tinjauan umum tentang paksa badan (gijzeling), … 2.pdf · kepailitan dan perseroan terbatas 2.1...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING),
KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS
2.1 Tinjauan Umum Tentang Paksa Badan (Gijzeling)
2.1.1 Pengertian paksa badan (gijzeling)
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia antara lain dikatakan, paksa
merupakan tindakan yang menekan atau mendesak seseorang harus
melakukan sesuatu. Jadi paksa badan merupakan tindakan yang ditimpakan
kepada jasad atau tubuh debitur sebagai tekanan atau desakan agar memenuhi
kewajiban membayar utang yang diperintahkan putusan atau penetapan
pengadilan. Menurut Prof. Dr. Soepomo, gijzeling berarti penyanderaan atau
ditutup dalam penjara. Maksud gijzeling, untuk memberi tekanan kepada
pihak yang berutang dan keluarganya untuk memenuhi putusan hakim. Juga
Prof Subekti mengartikan gijzeling sama dengan penyanderaan. Apabila harta
milik tergugat tidak mencukupi memenuhi isi pengadilan, undang-undang
memperbolehkan menyandranya. Tujuannya untuk memaksa sanak
keluarganya membayar sejumlah yang ditapkan dalam putusan pengadilan .
Lembaga Sandra (gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang dikenal
dalam hukum untuk proses penegakkan hukum. Penegakan hukum melalui
lembaga sandra secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Ada 2 (dua) hal yang
patut dicermati dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini yaitu1:
a. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis
diberlakukan terhadap untuk melunasi hutang pokok;
b. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan
seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan Negara yang
ditetapkan pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin
utang yang dapat diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi
tidak mau membayar utangnya.
2.1.2 Syarat-syarat paksa badan (gijzeling)
Dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditegaskan bahwa
permintaan untuk menahan debitor pailit harus dikabulkan, apabila permintaan
tersebut didasarkan atas alas an bahwa debitor pailit dengan tidak sengaja
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110,
atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2).
Artinya berdasarkan ketentuan Pasal 93 jo. Pasal 95 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004, ada persyaratan khusus dalam hal pengadilan
mengabulkan permohonan paksa badan (gijzeling) yaitu:
19 Mulyasi W, 2012, Gijzeling dalam Perkara Pajak,
http://eprints.undip.ac.id/15739/I/Mulyasih_Wahyumurti/pdf, diakses tanggal 8 Februari 2015
1. Debitor bersikap tidak kooperatif dengan kurator dan atau berupaya
menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen, uang,
perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitor.
2. Debitor pailit tidak menghadap untuk memberikan keterangan
kepada hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur meskipun
telah dipanggil secara resmi, patut, dan layak.
3. Debitor pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang.
4. Kreditur tidak dapat meminta keterangan dari debitor pailit mengenai
hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas.
Persyaratan khusus mengenai pengabulan permohonan paksa badan
(gijzeling) juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 seperti dalam pasal-
pasal berikut:
1. Pada Pasal 3 ayat (1), disebutkan bahwa paksa badan (gijzeling)
tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang beritikad tidak baik
yang telah berusia 75 tahun.
2. Pasal 4 yang menyatakan bahwa paksa badan (gijzeling) hanya
dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai
utang sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
2.2 Tinjauan Umum Mengenai Perseroan Terbatas
2.2.1 Pengertian perseroan terbatas
Perseroan terbatas yang digunakan dewasa ini, sebelumnya dikenal dengan
isitlah Naamloze Vennootschaap (VN) yang semula diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD). Bentuk usaha
yang saat ini paling banyak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha adalah
bentuk usaha berbentuk perseroan terbatas yang terus berkembang seiring
dengan perkembangan ekonomi di Indonesia. Perkembangan perseroan
terbatas tersebut juga tidak terlepas dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah
dalam rangka memberikan kemudahan dan tanggung jawab pada perseroan
terbatas sebagai badan hukum.
Pengaturan perseroan terbatas dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1995 di pandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat dikarenakan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
sudah berkembang begitu cepat, khususnya pada era globalisasi. Adanya
kebutuhan tersebut menuntut penyempurnaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya diganti/dirubah dengan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Mengenai pengertian/definisi perseroan terbatas pada KUHD sebagai cikal
bakal dari pengaturan perseroan terbatas tidak ditemui adanya pengertian dari
perseroan terbatas. Akan tetapi dari ketentuan-ketentuan Pasal 36, Pasal 40,
Pasal 42, dan Pasal 45 KUHD, akan didapat pengertian perseroan terbatas.
Dalam pasal-pasal tersebut mengandung unsur-unsur yaitu2:
20 Agus Budiarto,2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.
a. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-
masing persero (pemegang saham) dengan tujuan untuk
membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan
perseroan;
b. Adanya Persero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah
nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam
Rapat Umum Pemegang Saham merupakan kekuasaan tertinggi
dalam organisasi Perseroan, yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan direksi dan komisaris, berhak menetapkan garis-
garis besar kebijakan menjalankan perusahaan, dan lain-lain;
c. Adanya pengurus yaitu direksi dan komisaris yang merupakan satu
kesatuan pengurus dan pengawas terhadap perseroan dan tanggung
jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan
anggaran dasar atau keputusan rapat umum pemegang saham.
Perseroan terbatas berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
(selanjutnya disebut UUPT) memiliki definisi sebagai badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya. Dari definisi ini dapat dirarik unsur-unsur
perseroan terbatas yaitu:3
1. Perseroan terbatas adalah badan hukum;
21 Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, h. 33.
2. Didirikan berdasarkan perjanjian;
3. Melakukan kegiatan usaha;
4. Modalnya terdiri dari saham-saham.
Dengan demikian perseroan terbatas sebagai badan hukum yang didirikan
berdasarkan perjanjian dalam melakukan kegiatannya dari modal perseroan
yang terdiri dari saham-saham, maka secara hukum pada prinsipnya harta
bendanya terpisah dari harta benda pendirinya atau pemiliknya. Karena itu
tanggung jawab secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi milik
perusahaan yang berbentuk badan hukum tersebut. Suatu badan hukum
merupakan perseroan terbatas yang modalnya terdiri atas saham-saham, maka
tanggung jawab pemegang saham dalam perseroan terbatas terbatas pada
modal yang disetor dalam perseroan tidak bertanggung jawab sampai
kekayaan pribadinya4.
Sebagai badan hukum, perseroan terbatas dianggap layaknya orang-
perorangan secara individu yang dapat melakukan perbuatan hukum sendiri,
memiliki harta kekayaan sendiri dan dapat dituntut serta menuntut di depan
pengadilan.
2.2.2 Organ-organ perseroan terbatas
Perseroan terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian. Perseroan terbatas sebagai hukum bukanlah makhluk hidup
sebagaimana manusia, ia adalah makhluk artificial. Badan hukum tidak
memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri. Oleh karena itu ia tidak
22 Munir Fuady, 2002, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate law dan Eksistensinya
dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), h.
3.
dapat melakukan perbuatan sendiri, ia harus bertindak dengan perantara orang
alamiah (manusia). Tetapi orang tersebut tidak bertindak atas nama dirinya, ia
bertindak atas nama dan tanggung jawab badan hukum5.
Organ-organ perseroan terbatas berdasarkan pada ketentuan Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah:
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan
kepada direksi atau komisaris. Pada prinsipnya yang merupakan organ
perseroan adalah bukan pemegang sahamnya, melainkan Rapat Umum
Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) tersebut6. RUPS
merupakan organ perusahaan dengan kekuasaan tertinggi, tetapi bukan
kekuasaan mutlak, dikarenakan Negara kita didalam UUPT menganut
prinsip distribution of power, artinya kewenangan di dalam perseroan
terbatas dialokasikan kepada komisaris, direksi, dan RUPS. Dengan
demikian apabila suatu kewenangan telah dialokasikan kepada direktur
atau komisaris, maka RUPS tidak berwenang lagi terhadap hal yang
bersangkutan7. Serta hal tersebut menganut paham institusional dimana
paham ini berpandangan bahwa ketiga organ perseroan terbatas masing-
masing mempunyai kedudukan mandiri (otonom) dengan kewenangan
sendiri-sendiri sebagaimana diberikan menurut undang-undang dan
23 Ali Ridho, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan
Koperasi, Alumni, Bandung, h. 17.
24
Munir Fuady, 2008, Hukum Prusahaan: dalam paradigma hukum bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), h. 44.
25
Ibid, h. 47.
anggaran dasar tanpa wewenang organ yang satu boleh dikerjakan oleh
organ yang lainnya8. Secara umum RUPS terdiri dari 2 jenis yaitu RUPS
tahunan dan RUPS luar biasa.
2. Direksi
Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar. Menurut Pasal 92 UUPT dapat
diketahui bahwa organ yang bertugas melakukan pengurusan perseroan
adalah direksi. Serta pengertian direksi secara umum telah dijelaskan
dalam UUPT Pasal 1 butir 4. Setiap direksi wajib dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota
direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha
perseroan9.
Direksi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan direktur, yang
biasanya terbagi atas beberapa direktur bidang tertentu dan seorang
direktur utama10
. Biasanya terdapat suatu tata tertib direksi yang harus
mendapat persetujuan RUPS, dimana tata tertib ini hakikatnya sebagai
pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan (6) UUPT. Direksi diangkat oleh RUPS
26 Rudhi Prasetyo, 1983, Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban Terbatas dari
Perseroan Terbatas, Airlangga University Press, Surabaya, h. 11.
27
Cornelius Simanjuntak, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28
28
Ibid, h. 29.
dan karenanya segala tugas pengurusan perseroan harus
dipertanggungjawabkan kepada RUPS11
Jangka waktu jabatan seorang
anggota direksi perseroan berpedoman pada anggaran dasar masing-
masing perseroan.
3. Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai Anggaran Dasar serta
memberi nasihat kepada direksi. Tugas atau fungsi dewan komisaris
diatur pada Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UUPT yaitu melakukan
pengawan terhadap kebijakan pengurus perseroan yang dilakukan
direksi, dan jalannya pengurusan pada umumnya.
2.2.3 Prinsip dasar pengurusan perseroan terbatas
1. Prinsip Fiduciary duty dalam pengurusan perseroan terbatas
Pasal 92 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa: “Direksi menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui direksi
bertugas mengurus perseroan antara lain pengurusan sehari-hari perseroan.
Kata “pengurusan sehari-hari perseroan”, sejalan dengan pandangan para ahli
di bidang hukum bisnis yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan pengurusan atau dalam bahasa Belanda disebut dengan beheer van
29 Ibid.
daden adalah tiap-tiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan
yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata12
.
Konsep pengurusan bukan dimaksudkan bahwa direksi hanya menjadi
pelaksana kebijakan dan rencana yang dibuat RUPS atau Dewan Komisaris
tetapi lebih tepatnya istilah pengurusan diartikan sebagai Direksi ditugaskan
untuk13
:
a. Mengatur dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan usaha
Perseroan;
b. Mengelola kekayaan perseroan; dan
c. Mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan.
Dalam pengurusan perseroan, anggota direksi merupakan pemegang
amanah (fiduciary), karena itu dikatakan bahwa antara perseroan terbatas dan
direksi terdapat hubungan fiducia yang melahirkan fiduciary duties bagi
direksi14
.
Istilah “duty” berarti “tugas”, sedangkan untuk istilah “fiduciary” berasal
dari bahasa latin “fiduciarus” dengan akar kata “fiducia” yang berarti
“kepercayaan” (trust) atau dengan kata kerja “fidere” yang berarti
“mempercayai” (to trust). Sehingga dengan istilah “fiduciary’ diartikan
30 Nindyo Pramono, 2007, “Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank)
Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas” Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3, Desember 2007, h. 18.
31
Ais Chatamarrasjid, 2004, penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73.
32
Try Widiyono, op.cit, h. 38.
sebagai “memegang suatu dalam kepercayaan” atau “seseorang yang
memegang sesuatu kepercayaan untuk kepentingan orang lain”15
.
Ada 2 (dua) jenis kewajiban pokok dalam fiduciary duty yaitu16
:
a. Kewajiban untuk setia, yaitu suatu kewajiban yang
menghendaki direktur dengan persetujuan dan dengan jujur
melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya.
b. Kewajiban peduli, yaitu sebuah kewajiban yang menghendaki
direktur untuk menjalankan tanggung jawab dengan hati-hati
yang mana seorang yang berhati-hati dengan alasan akan
menggunakan dibawah keadaan yang sama, ketika bertindak
dalam cara yang berbeda.
Hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi
kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya
sendiri. Fiduciary duty direksi mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut17
:
a. Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk
kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa
persetujuan atau sepengetahuan perseroan,
b. Direksi tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus
untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun
pihak ketiga, kecuali atas persetujuan perseroan,
c. Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan asset
perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga.
33 Munir Fuady I, op.cit, h. 10.
34
Gunawan Widjaja, loc.cit. 35
Ais Chatamarrasjid, op.cit, h. 196.
2. Business Judgement Rule
Teori ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat dimintakan
tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam
kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik
untuk perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Prinsip ini ada untuk melindungi direksi, karena menurut prinsip ini jika
tindakannya merupakan tindakan yang terbaik untuk perseroan, maupun
bertentangan dengan keputusan RUPS yang dianggap tidak sesuai untuk
perusahaan, maka direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra Vires
Adapun yang dimaksud dengan prinsip ultra vires (pelampauan
kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang mengatur akibat hukum
seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas nama perseroan, tetapi
tindakan direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur dalam
anggaran dasar perseroan.
Suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa wewenang
(authority) dalam melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan perbuatan
tersebut adalah ultra vires bila dilakukan di luar atau melampaui wewenang
direksi atau perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar dan
hukum perusahaan. Menurut Ais Chatarramasjid bahwa suatu transaksi ultra
vires adalah tidak sah dan tidak dapat disahkan kemudian oleh suatu RUPS.
Sehingga perbuatan direksi yang ultra vires adalah merupakan tanggung
jawab pribadi dari direksi tersebut18
.
Fred B.G Tumbuan mengungkapkan kriteria-kriteria ultra vires yaitu19
:
1. Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh
anggaran dasar
2. Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan
hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan
menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran
dasar.
3. Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan
hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai tertuju
pada kepentingan perseroan terbatas.
4. Tanggung jawab berdasarkan Prinsip Piercieng The Corporate Veil
Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan teori Penyikapan
Tirai Perusahaan merupakan topik yang sangat popular dalam hukum
perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan dalam hukum
modern di Negara lain. Penerapan prinsip ini mempunyai tujuan utama yaitu
keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dengan perseroan, baik investor
maupun para pemegang saham.
Pada umumnya prinsip piercing corporate viel diartikan sebagai suatu
proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan
lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku. Dengan
36 Hadi Shubhan, op.cit, h. 228
37
Hadi Shubhan, op.cit, h. 229.
demikian, piercieng corporate viel ini pada hakaikatnya merupakan doktrin
yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham,
direksi, atau komisaris dan biasanya doktrin ini baru diterapkan jika ada klaim
dari pihak ketiga kepada perseroan. Doktrin ini juga dianut dalam UUPT yaitu
Pasal 60 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 80, dan Pasal 90.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Kepailitan
2.3.1 Pengertian kepailitan
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya
istilah pailit berasal dari kata Belanda faillet yang mempunyai arti kata ganda
yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet berasal dari Perancis
yaitu Faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran,
sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis
disebut Le fail yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Di
Negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan
menggunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy20
. Mengenai definisi
dari kepailitan sebagaimana terjemahan istilah Belanda Faillisement tidak
dapat ditemukan dalam peraturan kepailitan (Faillisement Verordenings yang
diundangkan dalam Staatsblad Hindia Belanda tahun 1905 Nomor 271 junto
Staatsblad tahun 1906 Nomor 348)21
. Peraturan Hindia Belanda tersebut
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum
masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah kepailitan, sehingga
38
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan Di
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 18
39
Rahayu Hartini, 2008, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Press, Malang,
h. 9.
pemerintah memperbaharuinya dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan dan perubahan terakhirnya adalah Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Pengertian Kepailitan mengacu pada undang-undang Kepailitan Nomor 37
Tahun 2004, Pasal 1 butir 1 menyebutkan definisi kepailitan yaitu sita umum
atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesan hartanya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Pengetian kepailitan lain yang dikemukakan oleh para sarjana diantaranya
adalah seperti yang dikatakan oleh Imran Nating bahwa kepailitan sebagai
suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan
untuk membayar utangnya yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal
ini pengadilan niaga22
.
Melihat pendapat dari Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan
adalah mogok dalam melakukan pembayaran23
, sedangkan Kartono
mengemukakan bahwa kepailitan adalah sitaan umum dan eksekusi atas
seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya24
.
Sementara itu pengertian pailit menurut R Subekti adalah keadaan seorang
debitur apabila debitur tersebut telah menghentikan pembayaran hutang-
40 Imran Nating, loc.cit.
41
Siti Soemartini Hartono, 1981, Pengantar Hukum Kepailitan, Seksi Hukum Dagang FH
UGM, Yogyakarta, h. 1.
42
Sentosa Sembiring, op.cit, h. 14.
hutangnya, suatu keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna
menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya25
.
Jadi berdasarkan definisi atau pengertian yang diberikan oleh para sarjana
di atas, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
5. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur;
6. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para krediturnya
bersama-sama
2.3.2 Syarat-syarat kepailitan
Syarat-syarat kepailitan sangat penting karena bila permohonan kepailitan
tidak memenuhi syarat, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh
pengadilan niaga. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan
PKPU yaitu debitur yang mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan
sendiri maupun atas permohonan 1 (satu) atau lebih krediturnya”.
Adapun syarat-syaratnya ialah sebagai berikut26
:
1. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (Concursus Creditorium).
Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditur yang dikenal dalam
HUKPerdata, yaitu sebagai berikut:
a. Kreditur konkuren, kreditur konkuren diatur dalam Pasal
1132 KUHPerdata yang dengan hak pari passu dan pro rata.
Yang artinya para kreditur secara bersama memperoleh
43 Subekti dan R Tjitrosudibyo, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 40.
44
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 31.
pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung
berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing kreditur
terhadap utang debitur secara keseluruhan.
b. Kreditur preferen, merupakan kreditur yang mempunyai hak
istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi
dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata).
c. Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan
kebendaan, yang dalam KUHPerdata disebut dengan nama
gadai dan hipotek.
2. Harus ada utang. Pengertian utang mengacu pada undang-undang
kepailitan dan PKPU Pasal 1 ayat (6).
3. Syarat utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU tidak membedakan, tetapi
menyatukan syarat suatu utang yang telah jatuh tempo dan utang
yang dapat ditagih.
4. Debitur harus dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih
dari 50% utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan
berhenti membayar kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak
membayar kepada satu atau dua orang saja.
Pernyataan pailit diperiksa secara sederhana, ialah bila dalam mengambil
keputusan tidak diperlukan alat-alat pembuktian seperti yang diatur dalam
Buku IV KUHPerdata cukup bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat-alat
pembuktian yang sederhana27
. Berkenaan dengan sifat sederhananya
pemeriksaan permohonan kepailitan, maka tentunya sangat diharapkan sikap
yang aktif dari hakim untuk sedapat mungkin mendengar secara seksama
kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur di depan persidangan, dan
berusaha mendamaikan diantara keduanya.
2.3.3 Tujuan hukum kepailitan
Hukum kepailitan bukan suatu lembaga yang sederhana dan berdiri
sendiri, karena mengatur hubungan berbagai pihak sehingga mempunyai
berbagai kaitan dan aspek, yang merupakan masalah yang perlu diperhatikan.
Termasuk juga pada masalah apakah pengaturan mengenai kepailitan
(faillssment) yang masih berlaku sesuai dengan keadaan sekarang.
Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy
sebagaimana dikutip oleh Jordan, tujuan semua Undang-undang Kepailitan
(bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk
memilah- milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur
yang tidak cukup nilainya. Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan
adalah28
:
3. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakunya asas jaminan yang dimana
perwujudan dari pasal 1131 KUHPerdata disebutkan bahwa semua
harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak
45 Rahayu Hartini, op.cit, h. 76.
46
Adrian Sutedi, op.cit, h. 29.
bergerak, baik yang telah ada sekarang maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur. Hukum
kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut diantara para
kreditur terhadap harta debitur berkenaan dengan asas jaminan
tersebut. Tanpa adanya hukum kepailitan, maka akan terjadi kreditur
yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak
daripada kreditur yang lemah.
4. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para
kreditur sesuai dengan asas pari passu yaitu membagi secara
proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren
berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur
tersebut di dalam hukum Indonesia. Adapun asas pari passu ini
merupakan perwujudan dari pasal 1132 KUHPerdata.
5. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan
seorang debitur pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki
kewenangan untuk mengurus dan menindahtangankan harta
kekayaannya.
6. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailit memberikan
perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para
krediturnya yaitu dengan cara memperoleh pembebasan utangnya.
Menurut hukum kepailitan Amerika Serika, seorang debitur
perorangan (individual debitor) akan dibebaskan dari utang-utangnya
setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta
kekayaannya. Sekalipun nilai hartanya setelah dilikuidasi atau dijual
oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya
kepada krediturnya, tetapi debitur tersebut tidak lagi diwajibkan
untuk melunasi utang-utang tersebut.
7. Menghukum pengurus karena kesalahannya telah mengakibatkan
perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga
perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan
pailit oleh pengadilan.
8. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk
berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-
utang debitur.
Peraturan kepailitan tersebut sangat perlu sampai saat ini, sebab di dalam
dunia perdagangan maupun dunia usaha yang semakin majunya perekonomian
dunia pada umumnya dan perekonomian Indonesia pada khususnya yang
selalu dalam perkembangannya membutuhkan modal yang cukup besar untuk
kemajuan usahanya, tak terlepas dari perbuatan hukum yang menimbulkan
perjanjian-perjanjian yang bentuknya utang piutang dengan suatu jaminan,
maka oleh para pengusaha termasuk juga pedagang, mungkin juga sebuah
badan dalam bentuk organisasi sebagai usaha perniagaan (perseroan terbatas,
firma, dan lain sebagainya), selalu mungkin dalam suatu ketika menghadapi
kenyataan penagihan utang-utang yang telah dapat dijalankan, yaitu atas
tuntutan beberapa kreditur (sedikit-dikitnya dua orang kreditur)29
.
2.3.4 Pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepailitan lama (Fv) atau
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, maka pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu:
1. Debitor sendiri;
2. Seorang kreditur atau lebih;
3. Jaksa penuntut umum.
Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU Pasal 2 ayat (1) sampai ayat (5), pihak-pihak yang dapat
mengajukan pailit diantaranya adalah:
1. Debitor sendiri;
2. Seorang atau lebih krediturnya;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia (BI);
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam);
6. Menteri Keuangan.
2.3.5 Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit
Debitor yang mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat
47 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, op.cit, h. 14.
dijatuhi keputusan kepailitan. Debitor disini dapat terdiri dari orang atau badan
pribadi maupun badan hukum.
Menurut pendapat Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, pihak yang dapat
dinyatakan pailit adalah:30
1. Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah
menikah maupun yang belum manikah. Jika permohonan
pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur perorangan yang
telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan
atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami-istri
tersebut tidak ada percampuran harta;
2. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak
berbadan hukum lainnya. Permohonan pernyataan pailit terhadap
suatu firma harus memuat nama dan tempat kediaman masing-
masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh
utang firma;
3. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi,
maupun yayasan yang berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah
ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum
sebagaimana diatur dalam anggaran dasar;
4. Harta peninggalan (Warisan). Harta warisan dari seseorang yang
meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang
meninggal itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti
48 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, op.cit., h. 16.
membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal
dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya. Hal
tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 1107 KUHPerdata.