tinjauan pustaka pemanasan global oleh emisi karbon ... · (co2), metana (ch4), nitrous oksida...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana
Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun
1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi.
Menurut Murdiyarso (2003), GRK terdiri dari terdiri dari gas karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs),
perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur heksafluorida (SF6). Keberadaan gas CO2 dan
CH4 di atmosfer lebih berlimpah dan konsentrasi kedua gas ini terus meningkat,
sehingga perlu mendapat perhatian serius. Gas CO2 dan CH4 di atmosfer memiliki
sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya
matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau
radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO2
dan CH4 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003).
Karakteritik CO2 CH4
Konsentrasi pada pra-industri 290 ppmv 700 ppbv
Konsentrasi pada 1992 355 ppmv 1714 ppbv
Konsentrasi pada 1998 360 ppmv 1745 ppbv
Laju pertumbuhan per tahun 1,5 ppmv 7 ppbv
Persen pertumbuhan per tahun 0,4 0,8
Waktu paruh (tahun) 5-200 12-17
Kemampuan memperkuat radiasi 1 23
Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan
untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi
kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung
meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini
tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Dari Tabel 1 terlihat bahwa
pada tahun 1950-an ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di
atmosfer baru 290 ppmv, pada tahun 1992 telah mencapai 355 ppmv. Jika pola
10
konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang
akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau
dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya dalam kurun waktu 100 tahun
yang akan datang suhu rata-rata bumi meningkat hingga 4,5oC dan berpengaruh
pada perubahan besaran dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas
dalam banyak segi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan perubahan suhu dan
curah hujan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sistem produksi
pangan, sumber daya air, pemukiman, kesehatan, energi, dan kenaikan permukaan
air laut.
Kenaikan emisi CO2 harus dikendalikan karena waktu paruh gas ini di
atmosfer cukup lama hingga mencapai 200 tahun. Meskipun emisi yang dilakukan
oleh kegiatan antropologis dihentikan dengan segera, dampak dari akumulasi
GRK tersebut masih akan tetap dirasakan untuk jangka waktu puluhan bahkan
ratusan tahun. Demikian juga dengan gas CH4, walaupun masa hidup, konsentrasi
dan laju pertumbuhan emisi CH4 relatif rendah, namun kemampuan memperkuat
radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang
bersifat panas 20 kali lipat dari kemampuan CO2, sehingga kenaikan sekecil
apapun emisi CH4 harus tetap dikendalikan.
Tanah Gambut dan Emisi Karbon Dioksida
Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang
sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal
dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut
dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an.
Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan
istilah peat sebagai gambut (Sabiham, 2006).
Di dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah,
gambut dikenal dengan sebutan Histosols, atau yang populer disebut sebagai peat.
Menurut Soil Survey Staff (1999), bahan tanah organik adalah bahan tanah
dengan diameter < 2 mm dan memenuhi salah satu syarat berikut:
11
1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) dan mengandung C-organik
sebesar 20% atau lebih, atau
2. Jenuh air selama 30 hari atau lebih per tahun (kumulatif) dan mengandung
C-organik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar:
a. 18% atau lebih (setara dengan 30% bahan organik atau lebih) bila
fraksi tanah mineral mengandung liat 60% atau lebih, atau
b. 12% atau lebih (setara dengan 20% bahan organik atau lebih) bila
fraksi tanah mineral mengandung tanpa liat, atau
c. 12% ditambah (persen liat dikalikan 0,1) bila fraksi tanah mineral
mengandung kurang dari 60% liat.
Sedangkan bahan tanah mineral adalah bahan tanah yang mengandung C-organik
lebih rendah dari ketentuan yang berlaku pada tanah organik. Tanah gambut
digolongkan ke dalam tanah organik atau histosol dengan sifat-sifat sebagai
berikut (Soil Survey Staff, 1999):
1. Tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan
diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan
tanah hingga ke kontak densik, litik, atau paralitik atau duripan, apabila
lebih dangkal; dan
2. Mempunyai bahan tanah organik yang tebalnya sebagai berikut:
a. Pada tanah berkerikil atau berbatu (bersinder, fragmental, berbatu
apung) dan ada kontak litik atau paralitik dibawahnya; tebal bahan
organik tidak disyaratkan asalkan di sela-sela kerikil/batu tersebut
terisi oleh bahan tanah organik; atau
b. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi tidak ada kontak litik atau
paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik ditambah dengan
tebal lapisan berkerikil atau berbatu yang sela-selanya terisi bahan
tanah organik 40 cm atau lebih (dihitung dari permukaan tanah hingga
kedalaman 50 cm); atau
c. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi ada kontak litik atau paralitik
dibawahnya, tebal lapisan tanah organik 2/3 tebal tanah atau lebih
sampai kontak/paralitik, tebal tanah mineral (bila ada) adalah 10 cm
atau kurang; atau
12
d. Jenuh air selama 30 hari atau lebih tiap tahun pada tahun-tahun normal
(atau telah drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari
permukaan tanah dan memiliki ketebalan total salah satu berikut:
Setebal 60 cm atau lebih, apabila ¾ (volume) terdiri dari serat-serat
lumut, atau apabila berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm-3,
atau
Setebal 40 cm atau lebih, apabila terdiri dari bahan saprik atau
hemik, atau bahan fibrik < ¾ (volume) terdiri dari serat-serat lumut
dan berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm-3 atau lebih.
Karbon dioksida adalah jumlah gas terbesar dalam atmosfer. CO2 akan
diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis, kemudian disimpan
dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi
bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah, sehingga tanah
gambut dapat bertindak sebagai rosot (sink) CO2 atmosfer (Rinnan et al., 2003).
Gambut yang terbentuk 5.000-10.000 tahun yang lalu, menyimpan 329-525 GT
karbon atau 15-86% C terestrial yang ada di muka bumi, dimana sekitar 46 GT
diantaranya tersimpan di lahan gambut Indonesia (Allen et al., 2003).
Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer
melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang
menghasilkan emisi gas CO2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan
aerasi bahan gambut disamping oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan
gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air)
menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO2 yang dihasilkan dari
dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu,
kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, tergantung pada faktor
lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO2
dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya.
Perbandingan perubahan gas CH4 menjadi CO2 dalam tanah pada suhu dan pH
tinggi, bentuk CH4 lebih memungkinkan, karena kondisi tersebut merupakan suhu
optimum untuk metanogen (Kirk, 2004).
13
Proses dekomposisi terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) pembentukan asam
organik, asetik, propianat dan butirat, ditambah gugus alifatik dan phenolik, (2)
konversi asam-asam organik tersebut menjadi gas (Kirk, 2004). Hasil
dekomposisi pada aerob berupa CO2, NO3-, SO4
-2 dan residu resisten, tetapi hasil
dekomposisi pada anaerob berupa CO2, H2, CH4, N2, NH4, H2S, bagian
terdekomposisi dan residu humik. Selama kebutuhan oksidator anorganik
tercukupi, CO2 merupakan hasil akhir utama dalam dekomposisi bahan organik,
namun setelah oksidator anorganik habis terpakai, digantikan oleh proses
metanogen sehingga proporsi CH4 meningkat seperti digambarkan dengan reaksi
sebagai berikut Kirk (2004):
SOM0 + a H2O SOM1 + b CH3COOH + c H2 + d CO2
CH3COOH CH4 + CO2
H2 + CO2 CH4 + 2H2O
Oksidasi CH4 tergantung pada populasi dan pertumbuhan bakteri
pengoksidasi CH4, difusi CH4 dari tanah anaerobik yang mungkin teroksidasi dari
interface tanah atau dari daerah rhizosfer.
Tanah Gambut dan Emisi Metan
Metan merupakan salah satu komponen GRK yang diemisikan oleh tanah
akibat metabolisme bakteri metanogen. Laju pembentukan CH4 secara akumulatif
ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil
CH4 dan lingkungannya (Alexander, 1977). Metabolisme mikrob penghasil CH4
lebih kompleks daripada emisi CO2 dalam tanah. Tanah dapat memproduksi dan
mengkonsumsi metana secara simultan dibawah kondisi lingkungan tertentu.
Metan mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan
oleh permukaan bumi sebesar 21 kali dibandingkan dengan CO2 (Shine et al.,
1995). Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global sebesar 20%, urutan kedua
setelah CO2 yaitu sekitar 55% (Shine et al., 1995).
Menurut Sylvia et al. (1998), total emisi CH4 diperkirakan sebesar 410 TG
CH4-C th-1. Emisi langsung dari lahan basah sekitar 32% dari total emisi ke
atmosfer. Di lahan basah, mikrob pengoksidasi CH4 dapat mengkonsumsi lebih
dari 90% CH4 di daerah anaerobik sebelum mencapai atmosfer, sehingga oksidasi
14
metana di lahan basah merupakan satu dari faktor terbesar yang mempengaruhi
siklus global metana. Metanogen dalam tanah memproduksi metana melalui dua
jalan utama, yaitu:
CO2 + H2 CH4 (reduksi CO2)
CH3COOH CH4 + CO2 (fermentasi asetat)
Sebagian besar ekosistem gambut menyimpan karbon dan nitrogen dari
atmosfer. Peningkatan deposisi N atmosfer memberikan dampak nyata dalam
emisi GRK. Dari hasil penelitian Aerts dan Caluwe (1999) tentang emisi CO2 dan
CH4 dari tanah gambut eutropik dan mesotropik dengan deposisi N yang berbeda
di daerah temperet tanpa perlakuan menunjukkan bahwa tanah gambut eutropik
dengan deposisi N tinggi, emisi CH4 lebih tinggi daripada gambut mesotropik
dengan deposisi N tinggi dan mesotropik dengan deposisi N rendah. Analisis
regresi linier antara emisi CH4 berkorelasi positif dengan variabel kesuburan tanah
(r2= 0,42-0,55), walaupun model regresi multipel emisi CH4 tergantung pada
variabel N tanah (r2= 0,93), sehingga disimpulkan bahwa peningkatan deposisi N
atmosfer menyebabkan peningkatan emisi CH4 dari tanah gambut kesuburan
rendah.
Pada kondisi anaerobik, dekomposisi bahan organik sangat lambat dan
karbon dilepaskan sebagai CH4. Gas CH4 terbentuk dari asam organik atau gas C
oleh bakteri methanogen, kemudian CH4 ditranslokasikan ke zone aerasi dari
bahan gambut yang memungkinkan untuk teroksidasi dan dilepaskan sebagai
CO2. Menurut Roulet et al. (1993), emisi CH4 menurun dengan meningkatnya
kedalaman muka air tanah. Tingginya emisi CH4 berasosiasi dengan jaringan
pembuluh vascular dan dalamnya perakaran tanaman yang meningkatkan efisiensi
pergerakan CH4 dari lapisan anaerobik ke atmosfer
Emisi CH4 dari lahan gambut tergantung pada produksi dan konsumsi CH4
dan kemampuan transport gas ke permukaan oleh tanah dan tanaman. Metana
yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke
atmosfer melalui tiga proses, yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman
(Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Ebulisi merupakan suatu proses
lepasnya bentuk gelembung gas dari pelarut yang volatil dari dalam larutan ke
permukaan tanah dan ke atmosfer. Bentuk gelembung gas terbentuk secara
15
spontan jika larutan menjadi jenuh dengan pelarut yang volatil. Pembentukan
gelembung gas CH4 dalam tanah melebihi CO2 walaupun kedua gas tersebut
dalam proporsi yang sama, karena CH4 20 kali lebih volatil daripada CO2 (Kirk,
2004).
Melling et al. (2005c) melaporkan fluks CH4 pada ekosistem hutan
gambut berkisar dari -4,53 sampai 8,40 μg C m-2 jam-1, pada ekosistem kelapa
sawit berkisar dari -32,78 sampai 4,17 μg C m-2 jam-1, dan pada ekosistem sagu
berkisar dari -7,44 sampai 102,06 μg C m-2 jam-1. Dengan pendekatan analisis
pohon regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH4 pada masing-masing ekosistem
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk
ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem
sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan source CH4 dengan emisi 18,34 mg
C m-2 jam-1 untuk hutan dan 180 mg C m-2 jam-1 untuk sagu, sedangkan ekosistem
kelapa sawit merupakan sink CH4 dengan uptake -15,14 mg C m-2jam-1.
Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi uptake
dan emisi CH4 dengan batas kritis 90,55%. Emisi CH4 tertinggi sebesar 9,23 μg
C m-2jam-1 terjadi pada kelembaban udara 90,55% dan muka air tanah lebih dari
49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH4
akibat tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki
lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan
oksidasi CH4, sehingga uptake CH4 semakin besar.
Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit dan Emisi Karbon
Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya yang
diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta,
sehingga perlu tersedianya lahan untuk pengembangan area tanam. Lahan gambut
memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan
kebun kelapa sawit. Secara umum, produksi kelapa sawit pada lahan gambut
saprik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut hemik dan fibrik.
Produktivitas kelapa sawit di lahan gambut saprik dengan ketebalan
gambut mencapai 48 cm, dengan kadar abu 36,34 %, pH 3,67, dan salinitas 0,65
mS per cm, pada usia produksi 10 tahun mencapai 27,17 ton tandan buah segar
16
(TBS) per hektar per tahun, sedangkan untuk lahan gambut yang sama dengan
kedalaman 450 cm, kadar abu 2,71 %, pH 3,55, salinitas 1,41 mS per cm,
menghasilkan lebih rendah TBS yakni 23,74 ton TBS per hektar per tahun. Untuk
lahan gambut hemik dengan kedalaman 240 cm, kadar abu 3,44 %, pH 3,53, serta
salinitas 1,34 mS per cm, mampu menghasilkan 23,20 ton TBS per hektar per
tahun pada usia produksi tahun ke 10. Sementara untuk jenis lahan gambut fibrik
dengan kedalaman mencapai 220 cm, kadar abu 10,65 %, pH 3,53, dan salinitas
1,11 mS per cm, hanya dapat menghasilkan 20,80 ton TBS per hektar per tahun
(Winarna, 2007).
Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan
gambut digunakan untuk mengatasi kandungan air gambut yang dapat mencapai
90% volume. Drainase diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit
dan untuk mengakses jalan. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah
menjadi source CO2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak
peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi source CH4 yang
lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO2 (Hendriks et al., 2007).
Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10
tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah
meningkat 1,5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO2 dari gambut
sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah
drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas
maksimum dari fluks CO2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme
teramati pada kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan
bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase
pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK (CO2,
N2O dan CH4) sekitar 1 t CO2 ha-1 th-1.
Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh tingginya muka air
tanah akibat drainase sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan
menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4. Murase dan Kimura (1994) dalam
Barchia (2006) melaporkan bahwa jumlah CH4 biasanya ditemukan paling banyak
di dalam tanah tergenang atau tereduksi. Jumlah CO2 di dalam tanah tergenang
17
berkisar antara 2–10% dan CH4 berkisar antara 4–55%. Rendahnya kandungan
CO2 pada tanah tergenang dibandingkan dengan kandungan CH4 karena pada
tanah tergenang oksigen masuk ke dalam tanah melalui proses difusi, dimana
proses difusi O2 ini 10.000 kali lebih lambat daripada difusi O2 di dalam pori
terisi gas.
Sistem drainase akan berdampak pada terjadinya subsiden dan perubahan
kondisi tanah dari reduktif menjadi oksidatif yang berpengaruh pada proses
dekomposisi bahan gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air
berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi
berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Bahan gambut dalam kondisi anaerob
(bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4,
sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat
menghasilkan CO2. Gambut dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika
tersedia asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang bertindak sebagai
donor elektron (Morril et al., 1982).
Lingkungan oksidatif dan reduktif berpengaruh nyata terhadap fluks CH4.
Pada horizon anoxic gambut, bakteri metanogen memproduksi CH4 (Rinnan et al.,
2003). Bakteri metanogen ini hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila
ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Bakteri metanogen
membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada
suhu 30-40oC (Alexander, 1977).
Kondisi hidrologi gambut berpengaruh terhadap emisi CO2. Nyman dan
DeLaune (1991) melaporkan bahwa terdapat perbedaaan perhitungan emisi CO2
di lapang antara fresh, brackhis, dan saline tanah rawa. Emisi CO2 tertinggi di frest
dan terkecil di brackish pada seluruh kedalam air tanah yang terukur. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam proses dekomposisi dan
Eh tanah pada tipe-tipe tanah rawa tersebut.
Hubungan Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Gambut dengan Emisi karbon
Salah satu faktor pembatas dalam pengelolaan gambut adalah hubungan
negatif antara ketebalan gambut dengan produktivitas lahan. Berdasarkan
ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu 1) gambut dangkal dengan
18
ketebalan 0,5-1 m, 2) gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, 3) gambut dalam
dengan ketebalan 2-3 m, dan 4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m
(Sabiham, 2006). Makin tebal gambut, makin besar kendala biofisiknya dan
makin rendah produktivitas lahannya. Perubahan pola penggunaan lahan gambut
akan mempengaruhi tinggi muka air di lahan gambut dan perubahan suhu secara
drastis sehingga akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO2 dan CH4.
Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan
kehilangan C-organik dan subsiden pada bahan gambut. Proses subsiden
merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang
ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Hal ini terkait dengan
terjadinya perubahan suhu, ketersediaan O2, pH, dan Eh tanah jika dilakukan
drainase pada bahan gambut. Suhu tanah merupakan pengendali utama terhadap
laju dekomposisi bahan gambut dan peranannya sangat dominan bila berinteraksi
dengan ketersediaan O2. Ketersediaan O2 di dalam bahan gambut dapat
mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan
CO2 dan CH4. Nilai Eh dan pH berperanan dalam produksi CH4 (Yagi et al.,
1994).
Dinamika kesetimbangan antara rata-rata produksi CO2 dan CH4 dan
oksidasi pada profil tanah gambut dan rata-rata perpindahan dari bahan gambut ke
atmosfer mengendalikan fluks CO2 dan CH4 dari lahan gambut. Fluks tersebut
menunjukkan spatial tinggi dan variasi temporal yang berhubungan dengan faktor-
faktor lingkungan, seperti suhu dan kedalaman air (Moore dan Dalva, 1993).
Fisiografi gambut (pantai, transisi, dan pedalaman) mempengaruhi sifat-
sifat inhern gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan
menjadi 3, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Bahan fibrik biasanya diendapkan di
lapisan gambut bawah, bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan
dalam bentuk asalnya dan masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami
dekomposisi. Bahan hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang dan saprik
apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, kedua bahan ini biasanya ditemukan
di atas lapisan bahan fibrik. Dilapangan, bahan hemik dan saprik sulit dibedakan
asal botaninya. Bobot isi (BI) hemik biasanya berkisar 0,11-0,2 g cm-3,
sedangkan BI bahan saprik > 0,2 g cm-3 (Sabiham, 2006).
19
Riwandi (2001) menyatakan bahwa kehilangan C organik gambut pantai,
transisi, dan pedalaman relatif sama, tetapi jumlah kehilangan C organik gambut
fibrik lebih tinggi dibandingkan dengan saprik, sedangkan hemik berada
diantaranya. Berdasarkan kehilangan C organiknya, stabilitas gambut fibrik
paling rendah, saprik paling tinggi, dan hemik berada diantara keduanya. Hasil
penelitian Sulistyono (2000) menyatakan bahwa tingkat dekomposisi gambut
berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 dan CH4 dengan urutan gambut fibrik
> hemik > saprik. Dalam kondisi aerob, produksi CO2 meningkat dan CH4
menurun dan sebaliknya pada kondisi anerob, produksi CH4 meningkat dan CO2
menurun. Berdasarkan hal tersebut, kehilangan karbon melalui CO2 dan CH4 dari
gambut dapat terjadi baik pada kondisi basah maupun kondisi kering. Dalam
kondisi basah atau anaerob masalah kehilangan CO2 sudah dapat ditekan, namun
masalah yang berkaitan dengan pemanasan global harus diperhatikan. Meskipun
bentuk CH4, secara angka nilainya lebih kecil daripada CO2, namun kemampuan
CH4 dalam menyebabkan pemanasan global lebih besar.
Dekomposisi anaerob merupakan sumber utama emisi karbon ke atmosfer.
Prekusor metanogenesis diproduksi melalui dekomposisi anaerob polimer organik
oleh bakteri hidrolitik dan fermentasi. Faktor lingkungan yang sangat
menentukan degradasi anaerob adalah kelembaban, suhu, konsentrasi substrat, dan
pH (Bergman et al., 1997). Menurut Whalen dan Reeburgh (1996), metanotrop
pada daerah subsurface bahan gambut secara fisiologi telah beradaptasi dengan
konsentrasi CH4 yang berlebihan jumlahnya. Kelembaban tanah dan suhu sangat
mempengaruhi konsumsi rata-rata CH4. Pengaruh tersebut terlihat pada suply
substrat dan aktivitas enzim. Bakteri pembentuk metan dikelompokkan dalam
famili Methano bacteriaceae yang dibedakan dalam dua kelompok bakteri, yaitu
(1) rod-shaped bacteria: Methanobacterium, (2) spherical cell: a. sarchinae,
Methanosarcina dan b. bukan sarchinae group, Methanococcus. Degradasi bahan
organik oleh bakteri methanogen anaerobik membutuhkan kerjasama 4 tipe
bakteria yaitu: a) bakteri penghidrolisis dan fermentasi, b) bakteri pereduksi H, c)
bakteri homoasetogenik, dan d) bakteri metanogenik (Alexander, 1977).
Faktor biotik dan abiotik mengendalikan fluks gas di lahan gambut. Lahan
gambut beriklim tropik, suhu tinggi sepanjang tahun dengan sedikit deviasi, tetapi
20
variasi harian dan bulanan terjadi untuk curah hujan, sehingga di daerah tropik,
tingkat air tanah lebih penting peranannya daripada suhu dalam fluks gas bahan
gambut ke atmosfer. Sylvia et al. (1998) menyatakan bahwa suhu, kelembaban,
potensial redoks, dan ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam
pengendalian dinamika gas dalam ekosistem. Suhu merupakan faktor penting
karena seluruh reaksi biologi terpengaruh oleh suhu. Kelembaban merupakan
faktor penting karena (1) seluruh kehidupan organisme memerlukan air dan (2)
kandungan air tanah mengendalikan difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga
mempengaruhi potensial redox dan mempunyai kontribusi dalam proses aerobik
dan anaerobik. Ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon
merupakan kunci pengendali dinamika gas.
Pengukuran CO2 secara sederhana dapat dilakukan dengan metode titrasi
asam basa. CO2 yang dihasilkan ditangkap oleh KOH sehingga akan terbentuk
K2CO3 yang kemudian dititrasi dengan HCl dengan indikator penolptalin (pp) dan
metil oranye (mo), reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp)K2CO3 + HCl KCl + KHCO3
2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo)KHCO3 + HCl KCl + H2O + CO2
Tanaman Dalam Kaitannya dengan Emisi karbon
Emisi karbon erat kaitannya dengan tanaman, sehingga sangat penting
menghubungkan antara komposisi jenis tanaman dengan fungsi ekosistem
gambut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekosistem jenis
tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan
pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dan CH4 dengan mekanisme dua
arah dalam perubahan iklim (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom,
Mastepanov dan Cristensen, 2005). Strom, Mastepanov dan Cristensen (2005)
melaporkan monolith gambut-tanaman dengan vegetasi dominan Carex memiliki
emisi CH4 tertinggi (6,76 mg CH4 m-2h-1) daripada jika didominasi vegetasi
Eriophorum (2,38 mg CH4 m-2h-1) atau Juncus (2,68 mg CH4 m
-2h-1). Emisi gas
melalui tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas dan stadia pertumbuhan
tanaman Shalini-Sigh et al. (1997), begitu juga umur dan ukuran tanaman (Mariko
21
et al., 1991). Menurut Parashar (1993), perbedaan varietas dalam jumlah jaringan
aerenchima mempengaruhi kapasitas transport emisi karbon. Emisi ini akan
meningkat dengan meningkatnya biomas, kondisi tanaman, dan perbedaan
varietas.
Kerapatan efflux CH4 pada sistem lahan basah berkorelasi linier dengan
rata-rata uptake CO2 dalam fotosintesis, dimana umumnya lebih tinggi pada lahan
basah yang subur (Allen et al., 2003). Ketersediaan CO2 berkaitan erat dengan
aktivitas metanogen. Peningkatan CO2 atmosfer ternyata meningkatkan aktivitas
metanogen dalam memproduksi CH4. Beverland et al. (1996) menjelaskan bahwa
peningkatan CO2 akan meningkatkan proses fotosintesis, sehingga jumlah
karbohidrat yang terbentuk semakin besar. Hal ini memperbesar translokasi
fotosintat ke akar tanaman dan meningkatkan pengeluaran eksudat akar.
Ketersediaan substrat organik hasil dekomposisi bahan organik secara anaerob
dan hasil eksudasi akar akan mensuplai energi bagi mikrob metanogen untuk
memproduksi CH4, yang berakibat pada tingginya emisi CH4. Alexander (1977)
menyatakan bahwa produksi CH4 berkaitan erat dengan aspek aktivitas mikrob
metanogen yang berlangsung pada ekosistem anaerob. Metan mulai terbentuk
pada potensial redoks -100 mV hingga -200 mV.
Jauhiainen dan Vasander (2002) melaporkan bahwa pada tanpa vegetasi
emisi CO2 menurun dengan meningkatnya kelembaban, hal ini terkait dengan
rendahnya aktivitas bakteri aerobik dalam memproduksi CO2 dan lambatnya
perubahan gas dalam kondisi tergenang. Untuk itu sangat perlu dilakukan
pengukuran produksi CO2 dan CH4 di sekitar dan diluar daerah perakaran.
Menurut Pendal et al. (2004), ketersediaan CO2, suhu, dan interaksinya
berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap siklus C di dalam tanah.
Ketersediaan CO2 secara langsung memacu proses respirasi sebagai bahan dasar.
Meningkatnya suhu secara langsung memacu proses dekomposisi dengan
mempercepat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia. Peningkatan CO2 secara
tidak langsung mempengaruhi kecepatan dekomposisi.
Rambut-rambut akar merupakan kunci penghubung bagi uptake air dan
unsur hara tanaman, input C tanah, dan aktivitas mikrob tanah. Turnover rambut
akar (diameter < 2 mm) berperan sangat penting dalam pengaturan keseimbangan
22
C pada ekosistem (Pendall et al., 2004). Peningkatan fotosintesis pada keadaan
CO2 semakin banyak dapat memacu C dalam tanah dan pertumbuhan rambut akar,
kecepatan turnover dan biomass akar. Fauzi et al. (2005) menjelaskan bahwa
tanaman kelapa sawit mempunyai akar serabut dengan sistem perakaran yang
sangat kuat. Hal ini dikarenakan oleh tumbuhnya akar ke bawah dan ke samping
membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke
bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier,
dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan
kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang mengandung unsur hara. Di
samping itu, tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di
dalam air tanah.
Pendal et al. (2004) mengajukan konsep 3 pool utama untuk menjelaskan
siklus karbon di bawah permukaan tanah yaitu pool aktif, lambat dan pasif. Pool
aktif menerima input dari rizosfer dan serasah di atas tanah dan mengalami
turnover pada jangka waktu sampai beberapa tahun. Pool lambat atau slow
menerima kebanyakan dari pool aktif, disertai dengan remineralisasi pasif C yang
berperan dalam jumlah sedikit, dan juga mengalami turnover dalam jangka waktu
sampai beberapa dekade. Pool pasif C terdiri dari kompleks-kompleks
organomineral yang dilindungi secara fisik maupun kimia, dimana pool ini
mengalami turnover dalam jangka waktu 100 tahun. Efflux CO2 dihasilkan dari
dekomposisi berbagai macam pool C termasuk akar dan serasah yang dipengaruhi
oleh suhu tanah, kelembaban, dan fenologi tanaman. Dekomposisi pada semua
pool karbon tanah menghasilkan CH4 maupun CO2 dengan perbandingan
tergantung pada kejenuhan O2. Pembentukan metan lebih bergantung pada pool
karbon yang tidak stabil, namun hanya sedikit diketahui mengenai peran berbagai
jenis bentuk pool C terhadap pembentukan CH4.
Menurut Rinnan et al. (2003), tanaman dapat berperanan sebagai media
transportasi CH4 dari tanah tergenang ke atmosfer. Alur emisi CH4 dari lahan
basah melalui tiga cara yaitu: (1) tanaman menyediakan substrat untuk metanogen
dalam bentuk eksudat tanaman, akar, sisa tanaman periode sebelumnya, (2) sistem
aerenchyma menyediakan media transport gas dari tanah ke atmosfer, dan (3)
tekanan O2 pada daerah perakaran merupakan salah satu faktor penting untuk
23
mereduksi potensi fluks CH4 dan melalui keberadaan O2 ini tanaman dapat
mengoksidasi CH4 di daerah perakaran dan menghambat aktivitas bakteri
metanogen. Hasil penelitian Ekberg et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan
dalam komunitas mikrob dan dekomposisi di daerah rhizosfer terjadi melalui cara
(1) meningkatnya ketersediaan substrat (akar mati) menyebabkan meningkatnya
kualitas komunitas dekomposer, (2) eksudar akar dan derivatnya meningkatkan
dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C-organik terlarut.
Pelepasan CO2 dan CH4 ke atmosfer dipengaruhi oleh umur tanaman.
Barchia (2006) melaporkan bahwa emisi CH4 tertinggi pada saat tinggi tanaman
dan bobot akar mencapai perkembangan maksimum. Pada fase generatif emisi
CH4 menurun bahkan hampir sama dengan emisi pada lahan yang terbuka tanpa
tanaman. Besarnya transpirasi dan jumlah pori mikro pada lembar daun
menentukan pelepasan CH4.