tinjauan pustaka fix
DESCRIPTION
keren bangetTRANSCRIPT
-
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) 2.1.1 Deskripsi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah-
rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan
Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat
kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan
Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia,
tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada
temperatur 15 -18 C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis (Wijaya,
1999).
Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya, 1999) menyatakan bahwa sistematika
tanaman andaliman adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klass : Dicotyledonae
Sub klass : Rosidae
Ordo : Rutales
Family : Rutaceae
Genus : Zanthoxylum
Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC.
Tanaman andaliman merupakan semak atau pohon kecil bercabang rendah dan
tegak. Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan
cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Batang, cabang, dan
Universitas Sumatera Utara
-
ranting berduri. Daun tersebar, bertangkai, majemuk menyirip beranak daun
gasal, panjang 5-20 cm dan lebar 3-15 cm, terdapat kelenjar minyak. Rakis bersayap,
permukaan bagian atas, bagian bawah rakis, dan anak daun berduri; 3-11 anak daun,
berbentuk jorong hingga oblong, ujung meruncing, tepi bergerigi halus, paling ujung
terbesar, anak daun panjang 1-7 cm, lebar 0.5-2.0 cm. Permukaan atas daun hijau
berkilat dan permukaan bawah hijau muda atau pucat, daun muda permukaan atas
hijau dan bawah hijau kemerahan. Bunga di ketiak, majemuk terbatas, anak payung
menggarpu majemuk, kecil-kecil; dasar bunga rata atau bentuk kerucut; kelopak 5-7
bebas, panjang 1-2 cm, warna kuning pucat; berkelamin dua, benang sari 5-6 duduk
pada dasar bunga, kepala sari kemerahan, putik 3-4, bakal buah apokarp, bakal buah
menumpang. Buah kotak sejati atau kapsul, diameter 2-3 mm (Tjitrosoepomo, 1991;
Steenis, 1992).
Bentuk buah andaliman mirip dengan lada (merica) bulat kecil, berwarna
hijau, tetapi jika sudah kering agak kehitaman. Bila buah andaliman digigit akan
tercium aroma minyak atsiri yang wangi dengan rasa yang khas (getir) sehingga
merangsang produksi air liur (Sibuea, 2002).
(a) (b) (c)
Gambar 2.1 (a) Morfologi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)
(b) Buah Tanaman Andaliman Yang Masih Muda Berwarna Hijau
(c) Buah Tanaman Andaliman Yang Sudah Kering Berwarna Coklat Kehitaman
Menurut Hartley (1966 dalam Siregar, 2003), menuliskan bahwa Zanthoxylum
adalah genus dari famili Rutaceae yang memiliki kombinasi ciri berikut: tumbuhan
Universitas Sumatera Utara
-
berduri, daun tersebar dan majemuk, bakal buah apokarp atau semikarp.
Keempat ciri ini ada pada andaliman. Dari satu bunga dapat terbentuk satu hingga
empat buah yang masing-masing mempunyai satu biji. Famili jeruk-jerukan ini di
habitatnya berupa tanaman semak dengan tinggi sekitar 5 meter. Beberapa ciri genus
Zanthoxylum ialah berdaun majemuk, ibu tangkai daun bersayap, batang dan cabang
berduri sejati atau berduri tempel. Ketiga ciri tersebut dimiliki oleh andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC.). Permukaan batang, cabang, dan rantingnya
berduri tempel (aculeus), duri yang mudah ditanggalkan. Ketiga ciri ini tidak ditemui
pada spesies Piper (Steenis, 1992).
2.1.2 Kandungan Senyawa Dalam Andaliman (Zanthoxyllum acanthopodium DC.)
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.), famili Rutaceae, adalah tanaman yang
khas dijumpai di Sumatera Utara, Indonesia. Buahnya umum digunakan sebagai
bumbu masakan tradisional suku Batak (Siregar, 2003). Menurut Simangunsong
(2008 dalam Sinaga, 2009) menyatakan bahwa andaliman adalah sumbernya senyawa
polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen, serta kuinon. Selain itu dalam andaliman
juga terdapat kandungan minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol, dan citronellal
yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon. Sehingga jika dimakan
meninggalkan efek menggetarkan alat pengecap dan menyebabkan lidah terasa kebal.
Sementara itu, Katzer (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa fraksi
non volatil dari genus Zanthoxylum diidentifikasi mengandung senyawa flavonoid,
terpen, alkaloid, pyranoguinoline alkaloid, quaternary isoquinoline alkaloid,
aporphyrine alkaloid, dan beberapa jenis ligan. Ligan ini sendiri adalah senyawa yang
diduga berperan sebagai antioksidan pada fraksi non volatil ekstrak andaliman.
Mengingat Widiastuti (2000), menyatakan bahwa ekstrak kasar buah andaliman ini
juga pernah dilaporkan memiliki aktivitas fisiologi yang aktif sebagai antioksidan dan
antimikroba yang potensial. Hal ini berdasarkan hasil pengujian aktivitas antimikroba
pada penelitian Siswadi (2002), yang menunjukkan bahwa ekstrak buah andaliman
bersifat bakterisidal terhadap bakteri Bacillus stearothermophilus, Pseudomonas
aeruginosa, Vibrio cholera, dan Salmonella thypimurium.
Universitas Sumatera Utara
-
Selain kandungan senyawa tersebut di atas, andaliman juga merupakan
tanaman rempah yang memiliki kandungan fenolik. Fenolik berfungsi sebagai
penyumbang radikal hidrogen atau dapat bertindak sebagai aseptor radikal bebas
sehingga dapat menunda tahap inisiasi pada makanan. Menurut Suryanto et al.,
(2008), hasil ekstraksi dan kandungan total fenolik andaliman adalah:
Tabel 2.1 Hasil Ekstraksi dan Kandungan Total Fenolik Andaliman Jenis
Tanaman Nama Ilmiah Ekstrak Rendemen
(mg/g) Total Fenolik
(g/g)
Andaliman Zanthoxyllum acanthopodium
Heksana Aseton Etanol
78,062,48 31,755,56 69,983,36
27,70,58 910,03
125,30,59
Pengekstraksian dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, heksana, dan
aseton untuk memisahkan senyawa-senyawa dengan tingkat polaritasnya. Ekstraksi
yang menggunakan heksana dapat melarutkan senyawa yang non polar, aseton dapat
melarutkan senyawa yang semi polar, dan etanol akan melarutkan senyawa yang
polar. Tujuan ketiga pelarut ini adalah untuk mencari komponen yang dapat berperan
sebagai penstabilan senyawa oksigen reaktif yang terdapat dalam tanaman andaliman
dengan tingkat perbedaan polaritasnya (Suryanto et al., 2008).
2.2 Hepar (Hati) 2.2.1 Struktur Anatomi Organ Hepar
Hepar merupakan pusat metabolisme dalam tubuh (Sujono, 2002 dalam Pawitra &
Mutiara, 2010). Posisi organ hepar terletak di bagian kanan atas dari rongga
abdominal tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan segar warnanya merah tua atau
merah coklat (Leeson et al., 1990). Akan tetapi hepar juga bervariasi baik lokasi
maupun jumlah lobusnya dari satu spesies hewan ke spesies yang lain (Frandson,
1992).
Hepar mencit (Mus musculus L.) memiliki empat lobus utama yang saling
berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian dorsal
organ ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan, yakni: sebuah lobus median, dua
lobus lateral (kiri dan kanan) dan satu lobus caudal yang terbagi setengah di bagian
dorsal dan setengah lainnya di bagian ventral (Covelli, 1972 dalam Fauzi, 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
Sedangkan manusia (Homo sapiens) memiliki hepar dengan dua lobus utama,
yakni lobus kanan dan kiri yang masing-masing terdiri dari dua segmen. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen median dan lateral. Segmen median dibagi menjadi dua
bagian, satu lobus quadratus dan satu lobus caudatus (Hage, 1982). Berat hepar
manusia segitiga dan memiliki berat lebih kurang 1,5 kg serta ukurannya 7-10 cm
pada orang dewasa normal (Dalimartha, 1997).
Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan
panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia
berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati terbentuk mengelilingi sebuah
vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika kemudian ke vena cava. Lobulus
sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara
sentrifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar
tebalnya satu sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli
biliaris kecil yang megalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang
memisahkan lobulus hati yang berdekatan (Guyton & Hall, 1997).
Struktur lobulus dapat ditafsirkan dalam tiga cara yang berbeda, tergantung
pada hubungan fungsional yang diperhitungkan. Lobulus hati sering dikenal sebagai
lobulus klasik, merupakan unit struktural yang mengitari vena sentralis. Profil sayatan
melintang sayatan melintang lobulus ini secara kasar bentuknya heksagonal, dengan
sinusoid yang memancar radier dari vena sentralis ke arah perifer. Saluran portal
dibentuk antara tiga sampai enam lobulus hati. Pada babi, lobulus hati dikitari oleh
jaringan ikat interlobularis yang cukup jelas. Pada spesies lain, jaringan ikat
interlobularis kurang jelas, da parenkim lobulus berbatasan langsung dengan lobulus
disekitarnya, tanpa ada batasan yang jelas (Dellmann & Brown, 1992).
Saluran portal (segitiga Kiernan) merupakan unit fungsional yang terpusat
pada saluran empedu di daerah portal. Empedu yang dihasilkan parenkim di sekitar
daerah tersebut ditampung oleh saluran empedu di daerah saluran portal. Jadi sumbu
saluran portal adalah saluran empedu yang disebut duktus interlobularis, dan bagian
perifer yang digambarkan dengan tiga vena sentralis. Konsep ini melukiskan aktivitas
hati sebagai kelenjar eksokrin, karena aliran empedu justru menuju duktus
Universitas Sumatera Utara
-
interlobularis saluran portal, lain halnya dengan aliran darah yang justru
berlawanan, mengalir dari pusat menuju tepi (Dellman & Brown, 1992).
Gambar 2.2 Skema Lobulus Hepar, Asini Hepar, dan Lobulus
Porta. Lobulus Hepar Terdiri Dari Vena Sentralis (CV) dan Dibatasi Oleh Garis yang Menghubungkan Celah Porta (PS) (Paulsen, 1996)
Unit fungsional ketiga adalah asinus hati yang diterima secara luas karena
didasarkan kepada perbedaan didalam dinamika aliran darah, tekanan dan tensi
oksigen yang dapat dijelaskan melalui gradien aktivitas metabolisme. Secara kasar
asinus hati berbentuk diamon, daerah tersebut dibentuk oleh dua bagian lobulus hati
dengan pemberian darah dari cabang vena interlobularis dan arteria hepatika. Sel hati
(hepatosit) yang berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, nukleolus dapat
Universitas Sumatera Utara
-
satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sitoplasma hepatosit agak
berbutir, tetapi dapat tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi selular. Hepatosit
memiliki enam atau lebih permukaan, dan ada tiga bentuk yang berbeda: 1)
permukaan yang berhadapan dengan ruang perisinusoid, dimana pada permukaan
bebasnya tumbuh mikrovili; 2) permukaan yang berbatasan dengan kanalikuli
empedu; 3) permukaan yang saling berhadapan antar hepatosit yang bersebelahan dan
memiliki gap junction dan desmosom (Dellmann & Brown, 1992).
Menurut Paulsen (1996), lobulus hati merupakan hubungan antara struktur dan
fungsi hati terbaik yang dapat ditunjukkan melalui tiga model subdivisi hati, yaitu:
1. Lobulus Hati Klasik
Model ini berdasarkan pada aliran darah. Bagian dalamnya, menunjukkan pola
substruktur hati membentuk segi enam.
a. Triad Porta
Satu triad menempati ruang potensial (ruang portal) di masing-masing dari
enam sudut lobulus tersebut. Masing-masing berisi tiga unsur utama yang
dikelilingi oleh jaringan ikat yaitu sebuah venule porta (cabang dari vena
porta), sebuah arteriol hepatik (cabang dari arteri hepatik), dan saluran
empedu.
b. Vena Central
Merupakan penanda pusat dari setiap lobulus.
c. Pelat Hepatosit dan Sinusoid Hati
Merupakan pelat yang memancar dari vena pusat terhadap pinggiran lobulus
(seperti jari-jari roda). Pelat ini dipisahkan oleh sinusoid hati, yang menerima
darah dari pembuluh kemudian berkumpul di pusat lobulus dan langsung ke
vena pusat.
2. Lobulus Porta
Model ini berdasarkan arah aliran empedu, yang berlawanan dengan darah.
Empedu diproduksi oleh hepatosit, masuk ke dalam kanalikuli empedu
membran dan mengalir di dalam pelat hepatosit.
3. Asinus Hati
Model ini berdasarkan perubahan oksigen, nutrisi, dan konten toksin sebagai darah
yang mengalir melalui sinusoid dan bertindak di dalam hepatosit.
Universitas Sumatera Utara
-
2.2.2 Fungsi Metabolik Hepar (Hati) Hepar (hati) merupakan kelenjar tubuh yang paling besar, dan khas karena memiliki
multi fungsi kompleks, misalnya ekskresi (metabolit), sekresi (empedu), penyimpanan
(lipid, vitamin A dan B, glikogen), sintesis (fibrinogen, globulin, albumin,
protrombin), fagositosis (benda asing), detoksifikasi (obat yang larut dalam lipid),
konjugasi (zar beracun, hormon steroid), esterifikasi ( asam lemak bebas menjadi
trigliserida), metabolisme (protein, hidrat arang, lemak, hemoglobin, obat), dan
hemopoisis (Dellmann & Brown, 1992).
Hati adalah organ metabolik, sekretorik dan immunologik. Semua substansi
termasuk obat dimetabolisme di hati (Page et al., 2002 dalam Wiryawan, 2008).
Hepar merupakan organ pertama yang dicapai oleh obat-obatan dan zat lain yang
diabsorpsi usus melalui vena porta, sehingga disebutkan bahwa hepar adalah tempat
utama metabolisme dan detoksikasi obat. Berbagai obat dan senyawa dapat
diinaktifkan oleh oksidasi, metilasi, hidrolisis, reduksi, dan konjugasi. Penggunaan
obat yang berlebihan contohnya obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dapat
menyebabkan kerusakan hati. Parasetamol adalah OAINS yang apabila digunakan
dalam dosis yang berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
nekrosis hati dan kerusakan ginjal (Wiryawan, 2008).
Secara farmakokinetik, setiap obat yang masuk ke dalam tubuh mengalami
proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Gamiswarna et al., 1995).
Demikian pula dengan andaliman akan diabsorbsi oleh usus, kemudian mengalami
metabolisme di hepar. Hepar merupakan organ penting didalam tubuh karena hepar
merupakan tempat pertama dan terbesar untuk mendetoksifikasi berbagi zat yang
dicerna oleh traktus digestivus (Tambunan, 1994). Penumpukan bahan-bahan toksik
dalam parenkim hati dapat melukai sel hepatosit dan menyebabkan terjadinya
perubahan histopatologis yang bervariasi tergantung dosis, jenis, pengaruh zat atau
penyakit lain, kerentanan dan suseptibilitas zat.
Meskipun hepar merupakan salah satu organ yang peka terhadap zat toksik,
namun hepar memiliki fungsi yang sangat penting terhadap metabolisme bahan toksik
yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Setelah diabsorbsi, zat toksik maupun bahan
Universitas Sumatera Utara
-
obat akan masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian didetoksifikasikan dalam
hepar menjadi bentuk non toksik dan lebih polar agar mudah diekskresikan (Martin et
al., 1987).
Sementara hati yang tidak sehat tidak bisa melakukan detoksifikasi secepat
yang dilakukan oleh hati yang sehat, maka bila proses detoksifikasi lebih lambat dan
hati yang belum selesai bekerja men-detoksifikasi itu sudah diberi serangan racun-
racun yang harus didetoksifikasi, akibatnya akan lebih banyak racun yang beredar ke
seluruh tubuh lewat darah. Sebagian racun yang tidak dapat diubah atau hanya sedikit
berubah akan sulit dibuang dari tubuh karena lolos dari kerja hati. Akhirnya racun-
racun itu bersembunyi di jaringan tubuh berlemak, di otak, dan sel sistem saraf.
Racun-racun yang tersimpan itu pelan-pelan akan ikut aliran darah dan menyumbang
penyakit-penyakit kronis (BPOM, 2004 dalam Dewi, 2010).
2.2.3 Toksikologi dan Kerusakan Hepar (Hati)
Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh.
Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan
toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi
banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Hepatosit (sel parenkim
hati) merupakan sebagian besar organ itu. Hepatosit bertanggung jawab terhadap
peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi
darah dan saluran empedu. Sel kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian
penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Toksikologi hati dipersulit oleh berbagai
kerusakan hati dan berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan itu (Lu, 1994).
Menurut Lu (1994), menyatakan bahwa toksikan dapat menyebabkan berbagai
jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis
kerusakan hati seperti:
a. Perlemakan hati (steatosis)
Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Adanya
kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara histokimia. Meskipun
berbagai toksikan itu akhirnya menyebabkan penimbunan lipid dalam hati,
Universitas Sumatera Utara
-
mekanisme yang mendasarinya beragam. Mungkin mekanisme yang paling umum
adalah rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma. Karena trigliserid hati hanya
disekresi bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein.
b. Nekrosis hati
Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,
pertengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut.
Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hati.
Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak
selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar
biasa. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tidak ada
perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah. Namun,
ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik
awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilasi retikulum endoplasma, dan
disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel.
Perubahan yang terdahulu merupakan pembengkakan mitokondria progresif
dengan kerusakan krista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan
inti, dan pecahnya membran plasma.
c. Kolestasis
Jenis kerusakan hati yang biasanya bersifat akut ini, lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis, jenis kerusakan hati ini juga
lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali mungkin dengan steroid.
d. Sirosis
Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar disebagian besar hati.
Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat
ini. Patogenesisnya tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dalam sebagian besar
kasus, tampaknya sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya
mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroblastik
dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah di dalam hati
mungkin menjadi faktor pendukung.
e. Degenerasi parenkimatosa
Menurut Tambunan (1994) menyebutkan bahwa, degenerasi lemak atau
degenerasi parenkimatosa yang terjadi dihati adalah degenerasi yang sangat sering
ditemukan. Sitoplasma menjadi membengkak yang berisi lemak, sehingga inti
Universitas Sumatera Utara
-
terdesak ke pinggir. Sedangkan menurut Robbins & Kumar (1992), menyatakan
bahwa kadang-kadang lemak berkumpul dalam bercak-bercak kecil tanpa
pemindahan inti.
f. Degenerasi hidropik
Menurut Chang (1986) dalam Keliat (2011) menyatakan bahwa masuknya air
biasanya akan membentuk vakuola-vakuola jernih, kecil, dan banyak. Selanjutnya
vakuola tersebut bersatu dan menghasilkan vakuola lebih besar atau vakuola
tunggal yang menempati di dalam sitoplasma dan menggantikan inti sel.
Perubahan ini diikuti dengan sel mengalami pembengkakan dan sitoplasma
tampak keruh. Kejadian ini sering disebut Hydropic degeneration. Pada
pengamatan ultrastruktural, degenerasi hidropik ini menunjukkan terjadinya
pembengkakan mitokondria.
g. Karsinogenesis
Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas
yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain angiosarkoma,
karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati yang tidak
berdiferensiasi. Sejumlah besar toksikan diketahui menyebabkan kanker hati pada
hewan. Namun, karsinogenisitasnya pada hati manusia belum pasti. Sebaliknya,
peran vinil klorid sebagai penyebab angiosarkoma pada manusia tidak diragukan
lagi.
Universitas Sumatera Utara