tinjauan pustaka fix

11
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) 2.1.1 Deskripsi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah- rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia, tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada temperatur 15 ˚ -18˚ C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis (Wijaya, 1999). Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya, 1999) menyatakan bahwa sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Klass : Dicotyledonae Sub klass : Rosidae Ordo : Rutales Family : Rutaceae Genus : Zanthoxylum Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC. Tanaman andaliman merupakan semak atau pohon kecil bercabang rendah dan tegak. Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Batang, cabang, dan Universitas Sumatera Utara

Upload: greenhorn-shoop

Post on 17-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

keren banget

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) 2.1.1 Deskripsi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

    Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah-

    rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan

    Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat

    kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan

    Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia,

    tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada

    temperatur 15 -18 C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis (Wijaya,

    1999).

    Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya, 1999) menyatakan bahwa sistematika

    tanaman andaliman adalah sebagai berikut:

    Kingdom : Plantae

    Divisio : Spermatophyta

    Subdivisio : Angiospermae

    Klass : Dicotyledonae

    Sub klass : Rosidae

    Ordo : Rutales

    Family : Rutaceae

    Genus : Zanthoxylum

    Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC.

    Tanaman andaliman merupakan semak atau pohon kecil bercabang rendah dan

    tegak. Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan

    cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Batang, cabang, dan

    Universitas Sumatera Utara

  • ranting berduri. Daun tersebar, bertangkai, majemuk menyirip beranak daun

    gasal, panjang 5-20 cm dan lebar 3-15 cm, terdapat kelenjar minyak. Rakis bersayap,

    permukaan bagian atas, bagian bawah rakis, dan anak daun berduri; 3-11 anak daun,

    berbentuk jorong hingga oblong, ujung meruncing, tepi bergerigi halus, paling ujung

    terbesar, anak daun panjang 1-7 cm, lebar 0.5-2.0 cm. Permukaan atas daun hijau

    berkilat dan permukaan bawah hijau muda atau pucat, daun muda permukaan atas

    hijau dan bawah hijau kemerahan. Bunga di ketiak, majemuk terbatas, anak payung

    menggarpu majemuk, kecil-kecil; dasar bunga rata atau bentuk kerucut; kelopak 5-7

    bebas, panjang 1-2 cm, warna kuning pucat; berkelamin dua, benang sari 5-6 duduk

    pada dasar bunga, kepala sari kemerahan, putik 3-4, bakal buah apokarp, bakal buah

    menumpang. Buah kotak sejati atau kapsul, diameter 2-3 mm (Tjitrosoepomo, 1991;

    Steenis, 1992).

    Bentuk buah andaliman mirip dengan lada (merica) bulat kecil, berwarna

    hijau, tetapi jika sudah kering agak kehitaman. Bila buah andaliman digigit akan

    tercium aroma minyak atsiri yang wangi dengan rasa yang khas (getir) sehingga

    merangsang produksi air liur (Sibuea, 2002).

    (a) (b) (c)

    Gambar 2.1 (a) Morfologi Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

    (b) Buah Tanaman Andaliman Yang Masih Muda Berwarna Hijau

    (c) Buah Tanaman Andaliman Yang Sudah Kering Berwarna Coklat Kehitaman

    Menurut Hartley (1966 dalam Siregar, 2003), menuliskan bahwa Zanthoxylum

    adalah genus dari famili Rutaceae yang memiliki kombinasi ciri berikut: tumbuhan

    Universitas Sumatera Utara

  • berduri, daun tersebar dan majemuk, bakal buah apokarp atau semikarp.

    Keempat ciri ini ada pada andaliman. Dari satu bunga dapat terbentuk satu hingga

    empat buah yang masing-masing mempunyai satu biji. Famili jeruk-jerukan ini di

    habitatnya berupa tanaman semak dengan tinggi sekitar 5 meter. Beberapa ciri genus

    Zanthoxylum ialah berdaun majemuk, ibu tangkai daun bersayap, batang dan cabang

    berduri sejati atau berduri tempel. Ketiga ciri tersebut dimiliki oleh andaliman

    (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Permukaan batang, cabang, dan rantingnya

    berduri tempel (aculeus), duri yang mudah ditanggalkan. Ketiga ciri ini tidak ditemui

    pada spesies Piper (Steenis, 1992).

    2.1.2 Kandungan Senyawa Dalam Andaliman (Zanthoxyllum acanthopodium DC.)

    Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.), famili Rutaceae, adalah tanaman yang

    khas dijumpai di Sumatera Utara, Indonesia. Buahnya umum digunakan sebagai

    bumbu masakan tradisional suku Batak (Siregar, 2003). Menurut Simangunsong

    (2008 dalam Sinaga, 2009) menyatakan bahwa andaliman adalah sumbernya senyawa

    polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen, serta kuinon. Selain itu dalam andaliman

    juga terdapat kandungan minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol, dan citronellal

    yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon. Sehingga jika dimakan

    meninggalkan efek menggetarkan alat pengecap dan menyebabkan lidah terasa kebal.

    Sementara itu, Katzer (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa fraksi

    non volatil dari genus Zanthoxylum diidentifikasi mengandung senyawa flavonoid,

    terpen, alkaloid, pyranoguinoline alkaloid, quaternary isoquinoline alkaloid,

    aporphyrine alkaloid, dan beberapa jenis ligan. Ligan ini sendiri adalah senyawa yang

    diduga berperan sebagai antioksidan pada fraksi non volatil ekstrak andaliman.

    Mengingat Widiastuti (2000), menyatakan bahwa ekstrak kasar buah andaliman ini

    juga pernah dilaporkan memiliki aktivitas fisiologi yang aktif sebagai antioksidan dan

    antimikroba yang potensial. Hal ini berdasarkan hasil pengujian aktivitas antimikroba

    pada penelitian Siswadi (2002), yang menunjukkan bahwa ekstrak buah andaliman

    bersifat bakterisidal terhadap bakteri Bacillus stearothermophilus, Pseudomonas

    aeruginosa, Vibrio cholera, dan Salmonella thypimurium.

    Universitas Sumatera Utara

  • Selain kandungan senyawa tersebut di atas, andaliman juga merupakan

    tanaman rempah yang memiliki kandungan fenolik. Fenolik berfungsi sebagai

    penyumbang radikal hidrogen atau dapat bertindak sebagai aseptor radikal bebas

    sehingga dapat menunda tahap inisiasi pada makanan. Menurut Suryanto et al.,

    (2008), hasil ekstraksi dan kandungan total fenolik andaliman adalah:

    Tabel 2.1 Hasil Ekstraksi dan Kandungan Total Fenolik Andaliman Jenis

    Tanaman Nama Ilmiah Ekstrak Rendemen

    (mg/g) Total Fenolik

    (g/g)

    Andaliman Zanthoxyllum acanthopodium

    Heksana Aseton Etanol

    78,062,48 31,755,56 69,983,36

    27,70,58 910,03

    125,30,59

    Pengekstraksian dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, heksana, dan

    aseton untuk memisahkan senyawa-senyawa dengan tingkat polaritasnya. Ekstraksi

    yang menggunakan heksana dapat melarutkan senyawa yang non polar, aseton dapat

    melarutkan senyawa yang semi polar, dan etanol akan melarutkan senyawa yang

    polar. Tujuan ketiga pelarut ini adalah untuk mencari komponen yang dapat berperan

    sebagai penstabilan senyawa oksigen reaktif yang terdapat dalam tanaman andaliman

    dengan tingkat perbedaan polaritasnya (Suryanto et al., 2008).

    2.2 Hepar (Hati) 2.2.1 Struktur Anatomi Organ Hepar

    Hepar merupakan pusat metabolisme dalam tubuh (Sujono, 2002 dalam Pawitra &

    Mutiara, 2010). Posisi organ hepar terletak di bagian kanan atas dari rongga

    abdominal tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan segar warnanya merah tua atau

    merah coklat (Leeson et al., 1990). Akan tetapi hepar juga bervariasi baik lokasi

    maupun jumlah lobusnya dari satu spesies hewan ke spesies yang lain (Frandson,

    1992).

    Hepar mencit (Mus musculus L.) memiliki empat lobus utama yang saling

    berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian dorsal

    organ ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan, yakni: sebuah lobus median, dua

    lobus lateral (kiri dan kanan) dan satu lobus caudal yang terbagi setengah di bagian

    dorsal dan setengah lainnya di bagian ventral (Covelli, 1972 dalam Fauzi, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Sedangkan manusia (Homo sapiens) memiliki hepar dengan dua lobus utama,

    yakni lobus kanan dan kiri yang masing-masing terdiri dari dua segmen. Lobus kanan

    dibagi menjadi segmen median dan lateral. Segmen median dibagi menjadi dua

    bagian, satu lobus quadratus dan satu lobus caudatus (Hage, 1982). Berat hepar

    manusia segitiga dan memiliki berat lebih kurang 1,5 kg serta ukurannya 7-10 cm

    pada orang dewasa normal (Dalimartha, 1997).

    Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan

    panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia

    berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati terbentuk mengelilingi sebuah

    vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika kemudian ke vena cava. Lobulus

    sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara

    sentrifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar

    tebalnya satu sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli

    biliaris kecil yang megalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang

    memisahkan lobulus hati yang berdekatan (Guyton & Hall, 1997).

    Struktur lobulus dapat ditafsirkan dalam tiga cara yang berbeda, tergantung

    pada hubungan fungsional yang diperhitungkan. Lobulus hati sering dikenal sebagai

    lobulus klasik, merupakan unit struktural yang mengitari vena sentralis. Profil sayatan

    melintang sayatan melintang lobulus ini secara kasar bentuknya heksagonal, dengan

    sinusoid yang memancar radier dari vena sentralis ke arah perifer. Saluran portal

    dibentuk antara tiga sampai enam lobulus hati. Pada babi, lobulus hati dikitari oleh

    jaringan ikat interlobularis yang cukup jelas. Pada spesies lain, jaringan ikat

    interlobularis kurang jelas, da parenkim lobulus berbatasan langsung dengan lobulus

    disekitarnya, tanpa ada batasan yang jelas (Dellmann & Brown, 1992).

    Saluran portal (segitiga Kiernan) merupakan unit fungsional yang terpusat

    pada saluran empedu di daerah portal. Empedu yang dihasilkan parenkim di sekitar

    daerah tersebut ditampung oleh saluran empedu di daerah saluran portal. Jadi sumbu

    saluran portal adalah saluran empedu yang disebut duktus interlobularis, dan bagian

    perifer yang digambarkan dengan tiga vena sentralis. Konsep ini melukiskan aktivitas

    hati sebagai kelenjar eksokrin, karena aliran empedu justru menuju duktus

    Universitas Sumatera Utara

  • interlobularis saluran portal, lain halnya dengan aliran darah yang justru

    berlawanan, mengalir dari pusat menuju tepi (Dellman & Brown, 1992).

    Gambar 2.2 Skema Lobulus Hepar, Asini Hepar, dan Lobulus

    Porta. Lobulus Hepar Terdiri Dari Vena Sentralis (CV) dan Dibatasi Oleh Garis yang Menghubungkan Celah Porta (PS) (Paulsen, 1996)

    Unit fungsional ketiga adalah asinus hati yang diterima secara luas karena

    didasarkan kepada perbedaan didalam dinamika aliran darah, tekanan dan tensi

    oksigen yang dapat dijelaskan melalui gradien aktivitas metabolisme. Secara kasar

    asinus hati berbentuk diamon, daerah tersebut dibentuk oleh dua bagian lobulus hati

    dengan pemberian darah dari cabang vena interlobularis dan arteria hepatika. Sel hati

    (hepatosit) yang berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, nukleolus dapat

    Universitas Sumatera Utara

  • satu atau lebih dengan kromatin yang menyebar. Sitoplasma hepatosit agak

    berbutir, tetapi dapat tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi selular. Hepatosit

    memiliki enam atau lebih permukaan, dan ada tiga bentuk yang berbeda: 1)

    permukaan yang berhadapan dengan ruang perisinusoid, dimana pada permukaan

    bebasnya tumbuh mikrovili; 2) permukaan yang berbatasan dengan kanalikuli

    empedu; 3) permukaan yang saling berhadapan antar hepatosit yang bersebelahan dan

    memiliki gap junction dan desmosom (Dellmann & Brown, 1992).

    Menurut Paulsen (1996), lobulus hati merupakan hubungan antara struktur dan

    fungsi hati terbaik yang dapat ditunjukkan melalui tiga model subdivisi hati, yaitu:

    1. Lobulus Hati Klasik

    Model ini berdasarkan pada aliran darah. Bagian dalamnya, menunjukkan pola

    substruktur hati membentuk segi enam.

    a. Triad Porta

    Satu triad menempati ruang potensial (ruang portal) di masing-masing dari

    enam sudut lobulus tersebut. Masing-masing berisi tiga unsur utama yang

    dikelilingi oleh jaringan ikat yaitu sebuah venule porta (cabang dari vena

    porta), sebuah arteriol hepatik (cabang dari arteri hepatik), dan saluran

    empedu.

    b. Vena Central

    Merupakan penanda pusat dari setiap lobulus.

    c. Pelat Hepatosit dan Sinusoid Hati

    Merupakan pelat yang memancar dari vena pusat terhadap pinggiran lobulus

    (seperti jari-jari roda). Pelat ini dipisahkan oleh sinusoid hati, yang menerima

    darah dari pembuluh kemudian berkumpul di pusat lobulus dan langsung ke

    vena pusat.

    2. Lobulus Porta

    Model ini berdasarkan arah aliran empedu, yang berlawanan dengan darah.

    Empedu diproduksi oleh hepatosit, masuk ke dalam kanalikuli empedu

    membran dan mengalir di dalam pelat hepatosit.

    3. Asinus Hati

    Model ini berdasarkan perubahan oksigen, nutrisi, dan konten toksin sebagai darah

    yang mengalir melalui sinusoid dan bertindak di dalam hepatosit.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.2 Fungsi Metabolik Hepar (Hati) Hepar (hati) merupakan kelenjar tubuh yang paling besar, dan khas karena memiliki

    multi fungsi kompleks, misalnya ekskresi (metabolit), sekresi (empedu), penyimpanan

    (lipid, vitamin A dan B, glikogen), sintesis (fibrinogen, globulin, albumin,

    protrombin), fagositosis (benda asing), detoksifikasi (obat yang larut dalam lipid),

    konjugasi (zar beracun, hormon steroid), esterifikasi ( asam lemak bebas menjadi

    trigliserida), metabolisme (protein, hidrat arang, lemak, hemoglobin, obat), dan

    hemopoisis (Dellmann & Brown, 1992).

    Hati adalah organ metabolik, sekretorik dan immunologik. Semua substansi

    termasuk obat dimetabolisme di hati (Page et al., 2002 dalam Wiryawan, 2008).

    Hepar merupakan organ pertama yang dicapai oleh obat-obatan dan zat lain yang

    diabsorpsi usus melalui vena porta, sehingga disebutkan bahwa hepar adalah tempat

    utama metabolisme dan detoksikasi obat. Berbagai obat dan senyawa dapat

    diinaktifkan oleh oksidasi, metilasi, hidrolisis, reduksi, dan konjugasi. Penggunaan

    obat yang berlebihan contohnya obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dapat

    menyebabkan kerusakan hati. Parasetamol adalah OAINS yang apabila digunakan

    dalam dosis yang berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

    nekrosis hati dan kerusakan ginjal (Wiryawan, 2008).

    Secara farmakokinetik, setiap obat yang masuk ke dalam tubuh mengalami

    proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Gamiswarna et al., 1995).

    Demikian pula dengan andaliman akan diabsorbsi oleh usus, kemudian mengalami

    metabolisme di hepar. Hepar merupakan organ penting didalam tubuh karena hepar

    merupakan tempat pertama dan terbesar untuk mendetoksifikasi berbagi zat yang

    dicerna oleh traktus digestivus (Tambunan, 1994). Penumpukan bahan-bahan toksik

    dalam parenkim hati dapat melukai sel hepatosit dan menyebabkan terjadinya

    perubahan histopatologis yang bervariasi tergantung dosis, jenis, pengaruh zat atau

    penyakit lain, kerentanan dan suseptibilitas zat.

    Meskipun hepar merupakan salah satu organ yang peka terhadap zat toksik,

    namun hepar memiliki fungsi yang sangat penting terhadap metabolisme bahan toksik

    yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Setelah diabsorbsi, zat toksik maupun bahan

    Universitas Sumatera Utara

  • obat akan masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian didetoksifikasikan dalam

    hepar menjadi bentuk non toksik dan lebih polar agar mudah diekskresikan (Martin et

    al., 1987).

    Sementara hati yang tidak sehat tidak bisa melakukan detoksifikasi secepat

    yang dilakukan oleh hati yang sehat, maka bila proses detoksifikasi lebih lambat dan

    hati yang belum selesai bekerja men-detoksifikasi itu sudah diberi serangan racun-

    racun yang harus didetoksifikasi, akibatnya akan lebih banyak racun yang beredar ke

    seluruh tubuh lewat darah. Sebagian racun yang tidak dapat diubah atau hanya sedikit

    berubah akan sulit dibuang dari tubuh karena lolos dari kerja hati. Akhirnya racun-

    racun itu bersembunyi di jaringan tubuh berlemak, di otak, dan sel sistem saraf.

    Racun-racun yang tersimpan itu pelan-pelan akan ikut aliran darah dan menyumbang

    penyakit-penyakit kronis (BPOM, 2004 dalam Dewi, 2010).

    2.2.3 Toksikologi dan Kerusakan Hepar (Hati)

    Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh.

    Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan

    toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi

    banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Hepatosit (sel parenkim

    hati) merupakan sebagian besar organ itu. Hepatosit bertanggung jawab terhadap

    peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi

    darah dan saluran empedu. Sel kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian

    penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Toksikologi hati dipersulit oleh berbagai

    kerusakan hati dan berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan itu (Lu, 1994).

    Menurut Lu (1994), menyatakan bahwa toksikan dapat menyebabkan berbagai

    jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis

    kerusakan hati seperti:

    a. Perlemakan hati (steatosis)

    Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Adanya

    kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara histokimia. Meskipun

    berbagai toksikan itu akhirnya menyebabkan penimbunan lipid dalam hati,

    Universitas Sumatera Utara

  • mekanisme yang mendasarinya beragam. Mungkin mekanisme yang paling umum

    adalah rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma. Karena trigliserid hati hanya

    disekresi bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein.

    b. Nekrosis hati

    Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,

    pertengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut.

    Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hati.

    Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak

    selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar

    biasa. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tidak ada

    perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah. Namun,

    ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik

    awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilasi retikulum endoplasma, dan

    disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel.

    Perubahan yang terdahulu merupakan pembengkakan mitokondria progresif

    dengan kerusakan krista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan

    inti, dan pecahnya membran plasma.

    c. Kolestasis

    Jenis kerusakan hati yang biasanya bersifat akut ini, lebih jarang ditemukan

    dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis, jenis kerusakan hati ini juga

    lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali mungkin dengan steroid.

    d. Sirosis

    Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar disebagian besar hati.

    Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat

    ini. Patogenesisnya tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dalam sebagian besar

    kasus, tampaknya sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya

    mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroblastik

    dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah di dalam hati

    mungkin menjadi faktor pendukung.

    e. Degenerasi parenkimatosa

    Menurut Tambunan (1994) menyebutkan bahwa, degenerasi lemak atau

    degenerasi parenkimatosa yang terjadi dihati adalah degenerasi yang sangat sering

    ditemukan. Sitoplasma menjadi membengkak yang berisi lemak, sehingga inti

    Universitas Sumatera Utara

  • terdesak ke pinggir. Sedangkan menurut Robbins & Kumar (1992), menyatakan

    bahwa kadang-kadang lemak berkumpul dalam bercak-bercak kecil tanpa

    pemindahan inti.

    f. Degenerasi hidropik

    Menurut Chang (1986) dalam Keliat (2011) menyatakan bahwa masuknya air

    biasanya akan membentuk vakuola-vakuola jernih, kecil, dan banyak. Selanjutnya

    vakuola tersebut bersatu dan menghasilkan vakuola lebih besar atau vakuola

    tunggal yang menempati di dalam sitoplasma dan menggantikan inti sel.

    Perubahan ini diikuti dengan sel mengalami pembengkakan dan sitoplasma

    tampak keruh. Kejadian ini sering disebut Hydropic degeneration. Pada

    pengamatan ultrastruktural, degenerasi hidropik ini menunjukkan terjadinya

    pembengkakan mitokondria.

    g. Karsinogenesis

    Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas

    yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain angiosarkoma,

    karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati yang tidak

    berdiferensiasi. Sejumlah besar toksikan diketahui menyebabkan kanker hati pada

    hewan. Namun, karsinogenisitasnya pada hati manusia belum pasti. Sebaliknya,

    peran vinil klorid sebagai penyebab angiosarkoma pada manusia tidak diragukan

    lagi.

    Universitas Sumatera Utara