tentang ma'rifatullah 1

65
1 Tentang Ma’rifatullah 1 Oleh Yusdeka

Upload: fitri-indra-wardhono

Post on 17-Jul-2015

518 views

Category:

Lifestyle


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tentang ma'rifatullah 1

1

Tentang Ma’rifatullah 1

Oleh Yusdeka

Page 2: Tentang ma'rifatullah 1

2

Daftar Isi

Artikel 1 : Babak Baru ............................................................................................................. 3 Artikel 2 : Yang Awwal ........................................................................................................... 4 Artikel 3 : Arah Selanjutnya .................................................................................................... 6 Artikel 4 : Berma’rifat ............................................................................................................ 7 Artikel 5 : Berma’rifatullah ..................................................................................................... 9 Artikel 6 : Keliru Dalam Berma’rifat Melahirkan Bid’ah ........................................................ 13 Artikel 7 : Kun Fayakun ......................................................................................................... 16 Artikel 8 : Sifat - Hakikat – Ma’rifat ...................................................................................... 20 Artikel 9 : Paham Wahdatul Wujud ...................................................................................... 24 Artikel 10 : Paham Nur Muhammad ..................................................................................... 27 Artikel 11 : Paham Insan Kamil ............................................................................................. 29 Artikel 12 : Paham Rabithah Mursyid ................................................................................... 31 Artikel 13 : Paham DZATIYAH ............................................................................................... 35 Artikel 14 : Lauhul Mahfuz dalam Dimensi RUANG dan WAKTU. .......................................... 39 Artikel 15 : Pengakuan ......................................................................................................... 42 Artikel 16 : Membahas Dzat ? How Come ? .......................................................................... 45 Artikel 17 : Memahami TAKDIR atau PERAN ......................................................................... 48 Artikel 18 : Peran Tukang Sihir ............................................................................................. 58

Page 3: Tentang ma'rifatullah 1

3

Artikel 1 : Babak Baru

http://yusdeka.wordpress.com/2014/02/12/babak-baru/

Karena kasih sayang Allah, saya kembali menemukan babak baru dalam kehidupan beragama saya. Saya menjadi saksi kebenaran sebuah prinsip yang sangat sederhana, tapi sangat penting: bahwa, “Awal dari agama adalah ma’rifatullah, mengenal Allah”. Setelah itu barulah kita bisa mengingat Allah dalam setiap keadaan. Mengingat Allah di dalam shalat, di luar shalat, ketika berdiri, duduk, berbaring, berjalan, maupun bekerja”. Salah dalam berma’rifat kepada Allah, maka: 1. Salah pula cara-cara kita beribadah kepada-Nya, 2. Salah pula apa-apa yang kita ingat-ingat, agung-agungkan, dan perjuangkan dalam

perjalanan hidup kita.

Dengan ma’rifatullah, saya dipahamkan Allah di mana posisi paham-paham yang sudah sangat merebak berkembang di seluruh dunia, seperti “Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, Rabitah Mursyid dalam tarekat, Insan Kamil, dan serba-serbi ilmu Quantum lainnya. Tulisan-tulisan saya berikut-berikutnya akan sangat diwarnai oleh nuansa ma’rifatullah yang telah Allah berikan kepada saya saat ini.

Awal dari Agama

Page 4: Tentang ma'rifatullah 1

4

Artikel 2 : Yang Awwal

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/yang-awwal/10152618367742977

Hampir seluruh manusia di dunia ini, sejak dari dulu sampai sekarang, baik secara samar-samar ataupun secara tegas, meyakini bahwa alam semesta ini termasuk diri kita sendiri sedang berjalan di bawah sebuah “sistem kerja” yang sangat hebat. Keteraturan dan kepatuhan “perilaku” setiap penghuni alam semesta ini, mulai dari atom-atom yang sangat kecil sampai kepada bintang-bintang yang besarnya tak terperikan, kepada sistem yang mengatur itu sungguh mutlak. Seluruh penghuni alam semesta ini seperti tidak bisa melawan dan menentang aturan-aturan yang sangat tegas dari sistem itu. Melawan berarti hancur lebur dan musnah. Menentang berarti siksa dan derita yang sangat pedih.

Kita bisa melihat contoh dari kepatuhan mutlak alam ciptaan terhadap sistem kerja itu di alam benda, alam nabati, alam hewani, dan alam jasadi manusia. Misalnya :

Di dalam sistem berkala unsur-unsur, emas tidak akan bisa berubah menjadi perak atau loyang. Ada sebuah sistem yang sangat kuat yang memegang dan menggenggam agar atom-atom emas itu patuh terhadap “takdir” yang telah ditetapkan untuknya, sehingga dia tidak bisa berubah menjadi perak. Begitupun sebaliknya. Semua unsur-unsur di alam semesta ini seperti dipegang oleh sistem itu untuk berjalan dengan takdirnya masing-masing.

Di alam tumbuh-tumbuhan, hal yang sama juga berlaku. Sel-sel yang ada di rerumputan dipaksa oleh sistem itu untuk hanya bisa memandangi kegagahan pohon beringin, tanpa dia bisa mengubah dirinya menjadi pohon beringin. Sel-sel yang harus menjadi dedaunan hijau diantarkan oleh sistem itu ke tempatnya yang tepat sehingga tidak tertukar dan berubah menjadi buah ataupun dahan. Semua dipaksa oleh sistem itu untuk menjalani garisannya sendiri-sendiri, walaupun mereka tumbuh pada tanah yang sama, memakai air yang sama, menghirup udara yang sama, dan bermandikan cahaya matahari yang sama.

Di alam hewani, dengan tingkat kehidupan yang sangat dinamis dan beragam, kita juga bisa melihat binatang-binatang mulai dari yang satu sel sampai dengan hewan-hewan raksasa seperti gajah dan jerapah, hewan-hewan di darat dan di laut, semuanya terikat oleh sebuah sistem yang sangat kuat sehingga tidak satupun dari binatang-bintang itu yang bisa ke luar dari takdir yang telah digariskan untuknya. Sel-sel gajah tidak ada yang bisa berubah menjadi harimau ataupun ikan. Makanan masing-masingpun sangat beragam sekali. Tidak ada harimau yang memakan rumput, tidak ada gajah yang memakan daging. Semuanya mengikuti sistem itu dengan patuh.

Adanya Suatu Sistem Kerja

Page 5: Tentang ma'rifatullah 1

5

Dia alam jasadi manusia, terdapat 50 trilliun sel yang membentuk tubuh manusia. Masing-masing sel itu terbentuk dari organelles yang berasal dari biomolekul dan atom-atom yang masing-masingnya punya tugas dan fungsi sendiri-sendiri. Sel-sel itu patuh dengan takdirnya sendiri. Sel-sel yang akan menjadi telinga tidak pernah salah tempat menjadi mata, menjadi hidung, menjadi jantung, dan sebagainya. Hormon adrenalin dan hormon endorpine tidak akan pernah salah peran satu sama lainnya. Enzin-enzim, akan selalu hanya menjalankan tugasnya dengan tanpa bisa merubah perannya. Miliaran manusia yang ada di bumi ini akan mendapatkan hal yang sama di dalam tubuhnya. Sel-sel tubuh kita patuh kepada sebuah sistem yang sangat terukur dan terarah dalam menjalankan destinynya.

Sistem itu juga bekerja terhadap angin, awan, bukit dan gunung, lembah dan sungai, danau dan samudera. Bumi dan seluruh benda-benda angkasa yang terlihat dengan mata ataupun yang hanya bisa dilihat dengan teleskop yang paling canggihpun, semuanya patuh kepada sistem itu. Begitu sempurnanya sistem itu, sehingga tidak ada satupun ciptaan yang bisa ke luar darinya.

Melihat dan memperhatikan semua itu, orang-orang yang berpikir, ulul albab, akan ditantang untuk mengakui bahwa aturan yang sangat akurat dan sempurna itu pastilah dibuat oleh oleh Satu Wujud yang sangat sempurna pula. Wujud yang mau tidak mau haruslah Tunggal. Begitu wujud itu dua atau lebih, maka hilanglah kesempurnaan sistem itu. Sebab masing-masing wujud itu akan membuat sistemnya sendiri-sendiri yang nantinya akan dipatuhi oleh ciptaan yang ingin mereka ciptakan.

Contoh kalau ada lebih dari satu wujud yang membuat sistemnya sendiri-sendiri adalah keberadaan negara-negara yang ada di dunia ini. Setiap negara, karena dipimpin dan diatur oleh kepala negara dan perangkatnya masing-masing, maka antara satu negara dengan negara lain akan membuat sistemnya sendiri-sendiri untuk dijalankan oleh rakyatnya masing-masing. Makanya sistem di negara Arab berbeda dengan di Amerika, di India, di Jepang, dan di negara-negara lainnya. Karena berbeda pimpinan, makanya ada perang dan bunuh-bunuhan antar dua bangsa yang berbeda. Kacau sekali.

Page 6: Tentang ma'rifatullah 1

6

Artikel 3 : Arah Selanjutnya

http://yusdeka.wordpress.com/2014/02/12/arah-selanjutnya/

Sebelum kita shalat, kita harus mengenal Allah (ma’rifatullah) terlebih dahulu. Kalau tidak, maka kita tidak akan pernah bisa mengingat Allah di dalam shalat kita. Yang kita ingat di dalam shalat itu malah berbagai benda dan milik kita, serta berbagai peristiwa yang akan muncul silih berganti melalui “pintu-pintu ingatan” kita. Tepatnya, kita tidak akan pernah bisa IHSAN kepada Allah. Kalau kita tidak mengenal Allah, ma’rifatullah, maka kita tidak

akan pernah bisa beriman kepada TAKDIR Allah, rukun iman ke-6. Kita tidak akan pernah tahu tentang bagaimana takdir Allah bekerja. Tidak akan pernah bisa. Akibatnya, kita selalu akan ribut dan bertengkar dengan Allah. “Kenapa begini dan begitu ya Allah, kok tidak begini dan begitu ya Allah”, sehingga kitapun nyaris selalu merasa tersiksa di dalam hidup kita.

Kalau tidak mengenal Allah, ma’rifatullah, maka kita tidak akan pernah tahu tentang bagaimana Allah memberitahu kita tentang apa-apa yang tidak kita ketahui, tentang ilham, tentang hidayah. Karena ia nantinya akan tercampur baur dengan pikiran-pikiran kita sendiri, dengan hawa nafsu kita sendiri, dengan angan-angan kita sendiri. Sehingga kitapun seperti berjalan tanpa adanya tuntunan yang jelas dan tegas dari Allah.

Kalau kita tidak mengenal Allah, ma’rifatullah, bagaimana kita akan bisa mengingat Dia, dzikrullah ?

Cara untuk mengenal Allah, ma’rifatullah, yang diajarkan oleh Rasulullah saw, adalah sangat mudah sekali, bukan jalan yang berbelit, sulit, dan berliku. Tidak perlu wirid dan laku yang aneh-aneh yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah dulu. Dan kita selanjutnya akan mulai dari yang sederhana itu.

Selama ini hampir tidak ada orang yang membahas hikmah dari peristiwa isra’ dan mikraj Nabi Muhammad saw, selain hanya tentang diwajibkannya shalat untuk kita. Padahal dalam peristiwa itu terkandung sebuah hikmah lain yang alangkah fundamentalnya bagi manusia-manusia yang berfikir (ulul albab), yaitu tentang Allah dan tentang segala ciptaan-Nya. Tentang Allah dan Lauhul Mahfuz, Tentang Allah dan Sistem Allah yang bekerja sangat sempurna di dalam Lauhul Mahfuz itu.

Bahwa Rasulullah berada di batas akhir ruang ciptaan berhadapan dengan Allah di depan Tabir Nur Yang menabiri Allah terhadap Rasulullah. Tabir yang menjaga agar Rasulullah tidak hangus terbakar. Sebab seandainya tabir nur itu dibukakan oleh Allah, walau sedikit, maka Keagungan dan Keindahan Dzat-Nya akan menghanguskan Rasulullah dan semua makhluk Allah yang lainnya.

Ma’rifatullah

Lauhul Mahfuz

Page 7: Tentang ma'rifatullah 1

7

Artikel 4 : Berma’rifat

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/berma’rifat/10152618373462977

Berma’rifat adalah sebuah proses untuk menemukan dan mengenal di manakah titik awal dan titik akhir dari semua Alam Ciptaan ini bermula dan berakhir.

Proses untuk menyadari bahwa sistem yang sangat sempurna itu pastilah dibuat oleh Satu Wujud yang sangat kuat, yang sangat hebat, yang sangat pintar dan cerdas, yang sangat berkuasa. Wujud Absolut. Wujud yang Wajibul Wujud. Sistem itu, berikut dengan semua ciptaan yang berada di dalam sistem itu, tidak akan pernah ada kalau Wajibul wujud itu tidak Wujud. Bahwa semua ciptaan ini berasal dan berawal dari Wajibul Wujud dan berakhir pada Wajibul Wujud pula. Semua yang bukan Wajibul Wujud pastilah berawal dan berakhir. Musnah.

Semua manusia, pada awalnya sudah berma’rifat kepada Wajibul Wujud itu di alam Azali. Ketika Wajibul Wujud itu bertanya kepada setiap ruh manusia: “Alastu birabbikum, bukankah Aku Rabmu?”. Dan setiap manusia menjawabnya saat itu: “Bala Syahidna, Benar, Engkaulah Rabku !”. Persaksian awal dialam Azali inilah yang menyebabkan setiap bayi saat dia dilahirkan kedunia ini dikatakan fitrah, suci, bersih, mukmin, Islam. Semuanya tidak terkecuali, diakui ataupun tidak.

Persaksian awal ini pulalah yang menyebabkan setiap manusia selalu punya kerinduan yang sangat pekat untuk bisa “bertemu dan berkata-kata” kembali dengan Wajibul Wujud itu di saat ini. Ada sebuah kerinduan yang membuncah mendera kita untuk bisa kembali berada dalam suasana persaksian kita dialam Azali dulu itu di saat sekarang ini. Sebab di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan yang tengah kita jalani ini, tak peduli semasa kita kecil, saat dewasa, maupun saat kita sudah tua, ada sebuah gema kedamaian yang tiada ketakutan dan kekhawatiran di dalamnya yang memanggil-manggil kita agar kita kembali masuk ke sana. Gema itu entah berasal dari mana, tapi terasa sangat dekat, dekat sekali, dan kita seperti sangat familiar dengan keadaan dan suasananya.

Memang, perjalanan umur kita yang berisikan berbagai pengalaman hidup dan curahan ilmu pengetahuan, telah dengan perlahan dan pasti membuat kita lupa dengan keadaan dan suasana di alam Azali itu. Kita dibuat lupa dengan keakraban yang amat sangat, yang pernah kita lalui bersama Wajibul Wujud, Tuhan kita di alam Azali sana. Tetapi jauh di dalam lubuk sanubari kita, keakraban itu masih bisa kita rasakan, sehingga kitapun ingin kembali mengalaminya di saat sekarang ini.

Berma’rifat

Alastu birabbikum

Page 8: Tentang ma'rifatullah 1

8

Sebenarnya, suasana dia alam Azali itu selalu kita alami ketika kita tidur. Saat tidur itu, kita seperti terbebas dari segala persoalan dan permasalah hidup yang menimpa kita. Kita tidak lagi merasakan ketakutan dan kekhawatiran. Bangun tidurpun kita akan kembali merasa segar dan penuh tenaga sebagai bekal kita untuk kembali beraktifitas. Karena memang saat tidur itu kita sedang berada kembali di sisi Wajibul Wujud. Makanya setiap manusia selalu ingin untuk tidur pada waktu-waktu tertentu, ketika kita lelah, ketika malam hari mulai datang.

Akan tetapi perjumpaan kita dengan Wajibul Wujud saat kita tidur itu, tidak benar-benar membuat kita seperti kembali berada ke Alam Azali itu. Tidak. Rasanya ada yang kurang. Bahwa kita tidak berkata-kata, kita tidak berhadap-hadapan dengan Sang Wajibul Wujud dalam keadaan terjaga. Kita ingin berbicara dan berhadap-hadapan dengan Sang Wajibul Wujud dalam keadaan SADAR. Kita rindu duduk dan berdialog kembali dengan Sang Wajibul Wujud di setiap saat. Saat kita berdiri, duduk, tidur, berjalan, mapun bekerja, rasanya kita ingin selalu melakukan semua aktifitas itu di depan Sang Wajibul Wujud. Kerinduan itulah yang kemudian membuat kita selalu berusaha kembali untuk mencari Sang Wajibul Wujud dengan berbagai cara. Karena memang kita sudah lupa kepada-Nya.

Usaha kita untuk mengenal kembali Sang Wajibul Wujud itulah yang disebut sebagai BERMA’RIFAT. Setelah Berma’rifat, barulah kita bisa berkata-kata, berdialog, menyembah, berlindung, dan berkatifitas di hadapan-Nya. Salah berma’rifat, maka salah pula arah kita berkata-kata, berdialog, menyembah dan meminta perlindungan.

Tidur

Page 9: Tentang ma'rifatullah 1

9

Artikel 5 : Berma’rifatullah

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/berma’rifatullah/10152620646297977

Kalau dalam menjalani proses berma’rifat itu kita akhirnya berhasil mengenal Allah sebagai Wajibul Wujud, maka kita disebut sebagai orang yang sudah BERMA’RIFATULLAH, orang yang sudah mengenal Allah. Maka ketika kita mendirikan shalat, kita akan selalu INGAT kepada ALLAH yang sudah kita kenali itu : Saat wudu’ kita ingat Allah, Saat takbiratul ihram kita ingat Allah, Saat membaca setiap ayat do’a iftitah kita ingat Allah, Saat kita membaca Al Fatihah dan ayat-ayat Al Qur’an kita ingat Allah, Saat kita rukuk dan sujud dan membaca do’a-do’anya kita ingat Allah, Dari awal sampai akhir shalat kita selalu akan ingat Allah.

Bahkan selesai shalatpun kita akan ingat Allah : Ketika berdiri kita ingat Allah, Ketika duduk kita ingat Allah, Ketika berbaring kita ingat Allah, Ketika berniaga dan bekerja kita ingat Allah. Tiada satu saatpun di dalam hidup kita yang kita buang-buang dengan melupakan Allah.

Karena setiap saat kita sudah mengingat Allah, maka Allahpun lalu membalasnya dengan Ingatan-Nya kepada kita. Fadzkurunii adzkurkum ! Ingat kita dibalas oleh Allah dengan Ingat-Nya. Sebagai tanda bahwa Allah telah membalas ingat kita itu, Dia mengirimkan RIQQAH ke dalam dada kita. Dada kita dialiri rasa dingin sejuk seperti sedang diguyur dengan air es. Rasa dingin itu menjalar ke seluruh tubuh kita. Bulu roma kita berdiri. Kulit kita menggigil halus, hati kita menggigil lembut. Butir-butir air mata kita berloncatan ke luar dengan sangat deras, mereka seperti berebutan untuk menyambut kebahagiaan yang sedang dicurahkan oleh Allah. Sel-sel tubuh kita bergetar halus menerima Rahmat Allah yang sedang turun itu. “Taqsyairru minhu juludulladzinayakhsyaunarabbahum, kharru sujjadawwabuqiya ! Nikmatnya saat itu melebihi rasa nikmat dunia yang ternikmat yang pernah kita rasakan.

Karena memang Riqqah itu adalah bentuk Rahmat Allah yang sedang turun kepada kita. Seakan-akan Allah memberitahu kita agar kita segera berdoa ketika itu juga. Nabi pernah bersabda kepada Ubay bin Ka'ab: “Ightanimuu ad du'a 'inda riqqati fa innaha rahmah…”, segera berdo'a saat di hatimu terasa ada riqqah sesungguhnya itu adalah rahmat yang

Turunnya Riqqah

Berma’rifatullah

Page 10: Tentang ma'rifatullah 1

10

sedang turun.

Dengan tanda yang diberikan oleh Allah bahwa Dia telah mengingat kita pula, maka setiap kali ada permasalahan dan problematika hidup yang menimpa kita, semua itu tidak sedikitpun lagi membuat kita khawatir, takut dan sedih. Kita tinggal berkata kepada-Nya: “Ya Allah, tidak akan menimpa kami problematika hidup ini kecuali sudah Engkau izinkan. Dzalika taqdirul ‘adziizil ‘aliim, Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Lalu kita tunggu Allah memberikan petunjuk-Nya ke dalam Qalbu kita (yahdi Qalbahu)…”. Karena memang bersama Riqqah itu ikut pula turun ilham, hidayah, sakinah, cinta, tenteram, tenang, talinu, lembut. “Tsumma talinu juluduhum wa qulu buhum ilaa dzikrillah…”.

Kualitas dan kuantitas ilham, hidayah, atau petunjuk Allah yang akan kita terima bersama riqqah yang turun itu sangatlah tergantung kepada seberapa besar kapasitas kekhalifahan Allah di muka bumi ini yang bersedia untuk kita pikul atau ambil. Kalau kapasitas kita hanya sekedar untuk diri kita sendiri, atau untuk ke luarga kita sendiri, maka kualitas dan kuantitas ilham dan hidayah yang akan kita terima itu juga sangatlah sedikit. Semakin besar kapasitas kekhalifahan yang kita pikul itu, maka semakin besar pula kualitas dan kuantitas ilham dan hidayah yang akan kita terima. Tapi, walaupun begitu, ilham atau hidayah itu, ketika kita nanti berbicara tentang Lauhul Mahfuz, semuanya itu sudah ditakdirkan, direncanakan, dan tertulis dengan sangat sempurna. Ia hanya tinggal menunggu waktu penzahirannya saja.

Dalam hal ilham ini, kita hanya diberi kesempatan oleh Allah untuk tahu “sedikit lebih awal” dari kejadian atau peristiwa yang sebenarnya. Jadi Ilham itu hanyalah sekedar : Pemahaman yang didahulukan, atau Penyingkapan yang didahulukan, atau Pemberitahuan yang didahulukan, atau Pengalaman yang didahulukan, atas : Peristiwa, problematika, atau permasalahan masa depan yang akan kita hadapi, atau Solusi-solusi yang kita butuhkan terhadap permasalahan masa lalu kita untuk kita pakai nantinya dalam menjalankan fungsi kekhalifahan kita di muka bumi ini. Tegasnya, ilham itu bukanlah sebagai tanda bahwa kita adalah seorang yang hebat. Tidak. Tapi itu hanyalah salah satu pertanda saja bahwa kita disayangi oleh Allah.

Tapi ingatlah bahwa kita tidak mencari riqqah itu, kita tidak mencari-cari Ilham itu. Riqqah dan ilham itu datang dengan sendirinya begitu kita mengingat Allah. Jangan mengingat riqqah, jangan mengingat Ilham, karena pasti kita tidak akan mendapatkannya dengan begitu. Ingatlah hanya Allah…

Yang Turun Bersama Riqqah

Riqqah dan ilham itu datang dengan

sendirinya

Page 11: Tentang ma'rifatullah 1

11

Mengingat Allah setiap saat dalam keadaan sadar (tidak tidur dan tidak mabuk) inilah yang akan membuahkan rasa IHSAN ke dalam dada kita. Rasanya seperti kita kembali berada di Alam Azali. Ada keakraban yang amat sangat antara kita dengan Allah. Ada rasanya, rasa diawasi, rasa sungkan, rasa dekat, rasa dibela, rasa diberitahu, rasa dilindungi. Dan rasa IHSAN ini pulalah yang akan membuat kita bisa merasakan bahwa kita sedang berada di jalan yang salah. Karena saat salah itu kita akan merasa ditinggalkan oleh Allah, kita dibenci oleh Allah, kita dimarahi oleh Allah. Dan itu alangkah menyakitkan sekali. Tersiksa sekali. Tentu saja perubahan-perubahan rasa seperti ini tidak akan didapatkan oleh orang-orang yang belum pernah merasakan rasa IHSAN ini.

Sebab barang siapa yang tidak mengenal Allah, kemudian dia melakukan shalat, maka shalatnya pastilah shalat orang munafik. Dia sedikit sekali mengingat Allah di dalam shalat itu, ingatannya berkelana kian kemari, dia malas-malasan, dia ria'. Saat dia menyebut Allahu Akbar, ingatannya berada pada berbagai benda dan atribut miliknya. Saat dia sujud dan rukuk yang katanya menghormati dan menyembah Allah, ingatannya sedang berada pada harta benda, pekerjaan, dan dunia kesenangannya. Padahal munafik di hadapan Allah, maka munafik pulalah dia di hadapan sesama manusia. Pasti. Mencuri, korupsi, berzina, dan perbuatan maksiat lainnya bisa dia lakukan dengan sangat mudah dengan bungkus lahiriahnya seperti orang yang berpendidikan tinggi, agamis, terhormat, dan alim.

Orang-orang yang tidak berma’rifat kepada Allah pulalah yang akan selalu datang minta pertolongan kepada yang lain, selain Allah, setiap kali dia menghadapi masalah di dalam hidupnya. Dia akan datang minta pertolongan : kepada dukun, kepada hipnoterapis, kepada terapis-terapis lainnya yang berkedok spiritualis, kepada ahli getaran, ahli ilmu hikmah, dan ahli ilmu quantum-quantum lainnya, yang katanya hebat-hebat dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan menyelesaikan setiap persoalan hidupnya.

Bahkan sekedar untuk berdo’a kepada Allahpun dia sudah tidak sanggup lagi, sehingga dia selalu dan selalu akan minta tolong kepada orang-orang yang berlagak hebat itu untuk dido’akan.

Sungguh barang siapa yang tidak berma’rifat kepada Allah, maka dia akan berma’rifat kepada Tahgut. Ketika kita berpaling dari ingat kepada Allah yang Maha Rahman, maka seketika itu juga Allah akan mengirim dan membiarkan syetan, Qarin, untuk menyertai dan menemani kita dalam setiap langkah kita dalam menjalani kehidupan kita. Lalu Qarin itu

Shalat Orang Munafik

Page 12: Tentang ma'rifatullah 1

12

akan membuat kita bertambah lupa dari mengingat Allah. Ia akan memperdaya kita dengan angga-angan kosong dan berbuat lalai. Ia akan memperelokkan pandangan mata kita terhadap amalan-amalan jahat yang kita lakukan. Ia memperdayakan kita seakan-akan dalam kesesatan itu kita telah berada dalam petunjuk dan hidayah. Ia akan membisikkan dan mengajak kita untuk melanggar perintah Allah. Ia akan menyebabkan kita mudah melakukan permusuhan dan kebencian diantara kita. Ia akan menjadikan sahabat kita menjadi musuh kita. Ia akan membuat istri dan anak-anak kita menjadi musuh kita.

Page 13: Tentang ma'rifatullah 1

13

Artikel 6 : Keliru Dalam Berma’rifat Melahirkan Bid’ah

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/keliru-dalam-berma’rifat-melahirkan-bidah/10152622829422977

Pada zaman Rasulullah masih hidup sampai kepada zaman sahabat-sahabat pengganti Beliau, lalu berlanjut sampai ke zaman Tabi’iin dan zaman Tabi’it Tabi’in, proses untuk berma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) itu sungguh sangatlah mudah sekali. Hanya dengan : Mendengar dan menghayati ayat Al Qur’an, Memperhatikan alam ciptaan, atau Mendengarkan kalimat-kalimat yang ke luar dari lidah Rasulullah, dengan serta merta para sahabat Beliau itu bisa langsung berma’rifat kepada Allah, sehingga merekapun bisa langsung beriman kepada Allah dan mereka bisa pula langsung Ihsan kepada Allah di dalam shalat mereka maupun di luar shalat mereka.

Saat itu jelas sekali terkesan bahwa mereka bisa menjalankan syariat agama Islam dengan sangat mudah dan gampang sekali, itu karena mereka sudah berma’rifatullah terlebih dahulu. Jadi saat itu hanya ada konsep MA’RIFATULLAH SYARIAT. Artinya, kita tidak akan mudah untuk melaksanakan syariat kalau kita tidak berma’rifatullah terlebih dahulu, dan tidak akan ada gunanya pula kita berma’rifatullah kalau kemudian kita tidak melaksanakan syariat. Kita sudah merasakan sendiri kesulitan-kesulitan dalam bersyariat tanpa berma’rifatullah itu. Kalaulah tidak ada kata-kata pamungkas seperti dosa dan neraka, pahala dan syurga, mungkin banyak di antara kita yang sudah tidak menjalankan syariat lagi saking sulitnya.

Dan yang terpenting dalam konsep berma’rifat dan bersyariat di zaman itu adalah, bahwa untuk berma’rifatullah itu sangatlah mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama bagi kita untuk memahaminya. Semudah Abu Bakar berucap dengan kalimat “Sadaqta” beliau kepada Rasulullah. Kita tidak membutuhkan waktu : bertahun-tahun, belasan tahun, bahkan puluhan tahun, untuk sampai ke kehidupan berma’rifatullah itu.

Akan tetapi sejak 300-400 tahun setelah Rasulullah wafat, mulailah muncul cara-cara berma’rifat yang baru, yang tidak ada contohnya di zaman Rasulullah, maupun di zaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Cara-cara baru inilah sebenarnya yang dimaksud

Konsep :

Ma’rifatullah Syariat

Berma’rifatullah itu sangatlah mudah

dan tidak membutuhkan

waktu yang lama untuk memahaminya

Page 14: Tentang ma'rifatullah 1

14

dengan BID’AH di dalam hadist Rasulullah.

Saat itu mulailah muncul konsep yang sangat terkenal dan tetap dipakai banyak orang sampai sekarang, yaitu SYARIAT-TAREKAT-HAKIKAT-MA’RIFAT (STHM). Dari konsep ini, kemudian lahirlah berbagai aliran tarekat yang saling mengaku keaslian sanad ajarannya tersambung sampai kepada Rasulullah. Sebelum sampai ke Rasulullah, sanad ajaran tarekat itu katanya ada yang lewat jalur : Abu Bakar Ash Shiddiq terlebih dahulu, dan ada pula yang melalui Ali bin Abi Thalib terlebih dahulu, setelah itu barulah keduanya bertemu di tangan Rasulullah. Dari kedua jalur sanad ini, yang dianggap muktabarah, kemudian berkembanglah menjadi puluhan aliran tarekat yang masing-masing prakteknya berbeda secara signifikan satu sama lainnya.

Dalam konsep STHM ini, menjalankan syariat tidak akan sampai kepada tujuan akhir yang dituju, yaitu ma’rifat kepada Allah tanpa terlebih dahulu kita melalui jalan tarekat dan melewati pula berbagai tanjakan ilmu hakikat. Sehingga tidak jarang orang yang menjalankan konsep ini tidak pernah sampai-sampai ke tingkatan ma’rifat, walaupun ia sudah menjalankan praktek STHM itu selama belasan, bahkan puluhan tahun.

Jadi dalam konsep STHM ini, orang yang bersyariat dianggap nilainya kosong tanpa dia terlebih dahulu melakukan praktek-praktek tarekat tertentu. Sebab tanpa itu ia dihukum tidak akan pernah bisa menapaki jalan hakikat untuk sampai ke tingkatan maqam yang tertinggi, yaitu Maqam Ma’rifat.

Sejak zaman itu pulalah mulainya muncul berbagai konsep pemikiran baru seperti: 1. Wahdatul Wujud, 2. Ittihad, 3. Hulul, 4. Baqa-Billah, 5. Nur Muhammad, 6. Insan Kami, 7. Syatahat, 8. Rabitah Mursyid (untuk tarekat), 9. Dan sebagainya.

Akibatnya umat Islampun seperti berada dalam abad kegelapan selama berabad-abad lamanya. Umat Islam terpuruk menjadi umat yang terpecah belah menjadi golongan-golongan yang masing-masing golongan saling membenarkan golongannya sendiri. Umat Islam secara keseluruhanpun merasakan sendiri betapa sulitnya kita untuk bisa menjalankan

Konsep

SHTM :

SYARIAT-TAREKAT-HAKIKAT-MA’RIFAT

Page 15: Tentang ma'rifatullah 1

15

syariat Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat Beliau dulu.

Sehingga akibatnya, titel umat Islam sebagai rahmatan lil alamin, sebagai ULUL ALBAB (Sang Pembaca dan Penguak Rahasia-Rahasia Allah di Alam Semesta) pun seperti luntur tak berbekas.

Sejak zaman itu, tidak ada lagi penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan, kedokteran, dan teknologi yang datang dari tangan umat Islam. Umat Islam seperti dihibernasi, dibekukan oleh Allah. Minan nur ila dzulumat. Dari zaman yang bertaburkan cahaya yang terang benderang menjadi zaman yang kelam dan gelap gulita. Itu terjadi berabad-abad lamanya.

Pada zaman modern sekarangpun, selain sudah diganggu oleh konsep-konsep rumit di atas, umat Islampun tengah di bombardir bertubi-tubi oleh konsep-konsep : 1. Hipnoterapi. 2. NLP. 3. Quantum Energy. 4. Awarenes Healing. 5. Happiness. 6. Loves. 7. Dan sebagainya.

Dengan bantuan media cetak maupun kaca, semuanya itu seperti telah menyihir umat Islam untuk berduyun-duyun meninggalkan konsep-konsep sederhana yang telah diajarkan oleh Rasulullah untuk mendapatkan syurga di dunia dan syurga pula di akhirat kelak. Suasana zaman sekarang ini sudah kembali seperti suasana di zaman Fir’aun dulu yang menguasai rakyatnya dengan tukang-tukang sihirnya. Dan kesemuanya itu terjadi, karena kekeliruan umat Islam dalam berma’rifatullah, sehingga yang dijalankan adalah bid’ah-bid’ah yang tidak ada contohnya di zaman Nabi dalam berma’rifatullah. Sungguh dahsyat sekali akibatnya, dahsyat sekali.

Sekarang mari kita lihat di mana letak kelirunya konsep-konsep yang telah membawa umat Islam masuk ke zaman dzulumat tersebut. Semua itu bermula dari kesalahpahaman beberapa orang penggagasnya dalam memaknai hakikat penciptaan seluruh ciptaan ketika Allah berfirman "Kun Fayakun", Jadilah maka jadilah ciptaan yang dikehendaki oleh Allah.

Betapa Sulitnya Kita Untuk Bisa

Menjalankan Syariat Islam

Tukang Sihir Jaman Modern

Page 16: Tentang ma'rifatullah 1

16

Artikel 7 : Kun Fayakun

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/kun-fayakun/10152625201302977

A. Pertanyaan Pertama

Pertanyaan pertama adalah: “Kepada apa atau siapa Allah menyampaikan kalimat KUN itu untuk pertama kalinya?”, sehingga kemudian sejak itu wujudlah alam ciptaan Allah dalam berbagai bentuk dan dimensi (ruang dan waktu). Jawaban dari pertanyaan pertama ini akan menentukan arah KETAUHIDAN kita kepada Allah. Salah menjawabnya maka salah pula arah TAUHID kita kepada Allah. Kalau jawabannya adalah kepada sesuatu yang belum ada, kepada ketiadaan, bahwa

Allah berfirman “KUN” itu kepada ketiadaan, lalu ketiadaan itu berubah menjadi ada, menjadi ciptaan, maka saat itu juga lunturlah TAUHID kita. Sebab dengan jawaban kita itu berarti pada saat Awwal itu ada DUA YANG WUJUD, yang ada, yaitu ALLAH dan KETIADAAN. Ada dua. Ada Allah dan ada Ketiadaan.

Apalagi kalau jawabannya adalah, Allah berfirman kepada sebuah ciptaan, lalu kemudian ciptaan itu menjelma menjadi ciptaan-ciptaan yang lainnya. Ini lebih tidak bertauhid lagi. Sebab saat Awwal itu terang-terangan ada dua wujud yang ada, yaitu Allah dan suatu ciptaan-Nya. Jadi ada dua pada saat awwal itu. Jelas sekali saat itu juga runtuhlah TAUHID kita.

Padahal Tauhid mensyaratkan bahwa Yang Awwal sebelum adanya ciptaan hanyalah semata-mata Dzat Yang Tunggal, yang Ahad. Ketiadaanpun tidak ada. Satu ciptaan sekecil apapun juga tidak ada. Yang ada hanyalah semata-mata Dzat Wajibul Wujud saja. Sendiri.

Al Baqarah 117

“Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepada-Nya: Jadilah.., lalu jadilah ia.”

Di dalam berbagai terjemahan al Qur’an dan pembahasan-pembahasan ma’rifat selalu saja dikatakan kepada siapa Allah berkata KUN itu adalah kepada-nya dengan “n kecil”. Artinya saat berkata KUN itu, Allah berkata kepada sesuatu selain daripada Dzat-Nya sendiri. Dengan begitu maka lunturlah Tauhid kita. Oleh sebab itu, orang yang BERTAUHID akan menjawab pertanyaan pertama itu: bahwa sabda “KUN” itu ditujukan Allah kepada Dzat-Nya sendiri, karena memang saat itu hanya Dzat-Nya saja Yang Ada. Yang Wujud. Tiada apa dan siapapun yang ada saat itu selain Dia. Ketiadaanpun tidak ada. Dzat-Nya adalah Wajibul Wujud. Engkaulah Dzat yang mendahulukan, , tidak ada Tuhan selain Engkau, Terjemahan

Page 17: Tentang ma'rifatullah 1

17

Sunan At Tirmidzi Bk 5, 342 (1993) Pada permulaan Allah swt saja yang ada dan tiada apapun bersama-Nya,

Terjemahan Shahih Bukhari, Vol 9, 381 1987) Dia hanya mengatakan kepada-nya(Nya): “Jadilah”. Lalu jadilah ia (semua ciptaan),

Al Baqarah 2: 117

Jadi dengan begitu, Allah berkata Kun kepada Dzat-Nya sendiri, lalu dari Dzat-Nya itu terciptalah semua ciptaan. Ya, semua ciptaan.

B. Pertanyaan Kedua

Pertanyaan kedua adalah: “Apakah KESEMUA Dzat-Nya yang menjadi KESEMUA ciptaan termasuk RUANG dan WAKTU ?”. Ketepatan kita dalam menjawab pertanyaan kedua ini amatlah sangat penting sekali. VVIQA (Very Very Important Question and Answer).

Jawaban dari pertanyaan yang kedua inilah yang telah melahirkan berbagai konsep yang nanti akan mewarnai perkembangan agama Islam dan semua paham dan kepercayaan yang ada di dunia ini dari dulu sampai dengan sekarang dan yang akan datang. Kenapa begitu ? Karena jawaban dari pertanyaan yang kedua inilah nantinya yang akan membawa kita untuk mengetahui HAKIKAT daripada SEMUA CIPTAAN, termasuk HAKIKAT kita sebagai MANUSIA. Salah dalam jawabannya, maka kita tidak akan pernah sampai memahami HAKIKAT dari semua ciptaan ini termasuk diri kita sendiri. Dengan begitu, kita nantinya akan selalu hanya berhenti pada tatanan SIFAT dari ciptaan. Kita selalu berkutat dan sibuk membahas SIFAT-SIFAT Ciptaan. Kita sibuk membahas sifat manusia, sifat si fulan, sifat alam, sifat materi, sifat energi, sifat getaran, sifat quantum, sifat gelombang, sifat partikel, sifat… berbagai ciptaan yang memang tidak terbatas banyaknya dan ukurannya. Sibuk dan ramai, riuh rendah seperti berbalas pantun. Karena memang yang terlihat, terdengar, terasa, terbaui, terkecap dengan seluruh panca indera kita adalah SIFAT-SIFAT dari ciptaan. Kalau dibahas, maka akan ramai sekali dan tidak akan sampai kepada hakikatnya.

Misalnya, ada yang mencoba membahas hakikat manusia seperti kutipan berikut ini:

a. Hakikat manusia adalah sebagai berikut Google, Pak Guru Online : Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku

intelektual dan sosial. Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan

mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak

pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.

Page 18: Tentang ma'rifatullah 1

18

Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati

Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas

Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.

Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.

Atau:

b. Hakikat manusia, Mr. Google:

Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan Yang Maha Esa paling sempurna diantara makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dikarenakan manusia mempunyai akal pikiran, sehingga manusia dapat menggunakan akal pikirannya untuk bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dimasyarakat serta mampu berkomitmen dengan nilai-nilai yang ada. Selain memiliki akal pikiran manusia juga memiliki jiwa dan roh yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa dan roh tersebut melekat pada tubuh (raga) manusia. Dengan adanya komponen tersebut, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial dan budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.

Semua pembahasan tersebut di atas belum sedikitpun masuk dan menyentuh Hakikat manusia. Semuanya masih berada pada tatanan membahas sifat manusia. Karena bicara tentang HAKIKAT kita akan bercerita tentang ESENSI, Yang sebenarnya, yang hakikinya dari semua ciptaan ini.

Salah dalam BERHAKIKAT maka salah pula kita nantinya dalam BERMA’RIFAT. Pasti. Kita tidak akan bertemu dengan Sang Wajibul Wujud. Misalnya, kalau kita salah dalam memahami HAHEKAT manusia, maka akhirnya kita akan : mema’rifati diri kita sendiri sebagai Tuhan, mema’rifati Nabi Isa sebagai Tuhan, mema’rifati alam sebagai Tuhan, mema’rifati Nur Muhammad sebagai Tuhan, mema’rifati guru-guru kita sebagai Tuhan.

Salah dalam BERMA’RIFAT, ya beginilah jadinya kita umat Islam saat ini. Kacau-balau,

Page 19: Tentang ma'rifatullah 1

19

centang-perenang, hiruk-pikuk. Lalu kitapun salah pula dalam beramal. Ini yang sangat menakutkan sekali.

Untuk lebih jelasnya nanti kita akan melihat kekeliruan dalam berhakikat ini dalam konsep konsep : Wahdatul Wujud, Ittihad, Hulul, Baqa-Billah, Nur Muhammad, Insan Kami, Syatahat, dan Rabitah Mursyid (untuk tarekat), sehingga banyak pula yang keliru dalam mema’rifatkan diri dan ciptaan. Diri sendiri dikira Allah, Allah dikira diri sendiri, makanya dalam beragama kita santai-santai saja. Wong sudah merasa diri Allah. Manusia lain juga dikira Allah, Guru dikira Allah, Nabi Isa dikira Allah, makanya penghormatan kita kepada manusia lain terutama yang berkuasa dan perpengaruh kepada kita sangat berlebihan sekali. Bahkan Alam juga dikira Allah, sehingga melahirkan berbagai acara penghormtan kepada alam yang aneh-aneh. Kacau sekali.

Page 20: Tentang ma'rifatullah 1

20

Artikel 8 : Sifat - Hakikat – Ma’rifat

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/sifat-hakikat-ma’rifat/10152626583392977

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kita dapat melihat dan membedakan antara satu ciptaan dengan ciptaan yang lainnya hanya dengan melihat sifatnya masing-masing. Manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan sangatlah berbeda satu sama lainnya dengan melihat sifatnya masing-masing. Karena kalau dilihat secara kimiawi, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan itu nyaris tidak ada perbedaannya sama sekali. Akan tetapi kita tidak akan pernah salah dalam membedakan mana yang manusia, mana yang binatang, dan mana yang tumbuh-tumbuhan kalau dilihat dari sifat-sifatnya. Sebab perbedaan sifat dari setiap ciptaan itu sangatlah jelas sekali.

Begitu juga kita bisa membedakan mana yang gunung dan mana yang lembah, mana yang awan dan mana yang langit, mana yang matahari dan mana yang bulan. Kita bisa membedakan mana yang emas dan mana yang loyang atau perak, mana yang baja dan mana yang kerupuk. Kita bisa membedakan dengan jelas mana yang pria mana yang wanita, mana si Kal El dan mana si Godiva, mana yang rakyat dan mana yang presiden. Kita bisa mengetahui dengan jelas mana yang air dan mana yang minyak.

Untuk bisa memahami sifat-sifat ini kita menggunakan alat yang sudah diberikan oleh Allah kepada kita yaitu panca indera atau VAKOG dalam istilah modern sekarang. Misalnya, untuk memahami bentuk dan warna kita menggunakan alat berupa mata untuk melihatnya (visual). Untuk memahami bunyi dan tetabuhan kita menggunakan telinga untuk mendengarkannya (auditory), dan seterusnya. Selama kita masih menggunakan VAKOG ini untuk memahami alam ciptaan, maka yang akan kita temukan adalah sifat-sifat dari ciptaan itu. Kita tetap hanya ketemu sifatnya, bukan hakikatnya. Sebab hakikat berbicara tentang suatu esensi atau unsur asazi di sebalik sifat. Sesuatu yang tidak terdeteksi dengan menggunakan VAKOG. Sesuatu yang tidak bisa dipikirkan, sesuatu yang tidak bisa dibahas. Sesuatu yang hanya bisa kita percayai dan yakini. Sesuatu yang hanya bisa kita INGAT (DZIKIR) akan “keberadaannya, wujudnya”, tanpa kita harus memikirkan seperti apa bentuknya, rupanya, warnanya, suaranya, rasanya, baunya, getarannya, gelombangnya, materinya, dan bilangannya. Kita hanya berkata: Ada ! Kita hanya bisa mengangguk dan tersenyum mengiyakannya.

Contoh perjalanan ilmu untuk mencari hakekat ini adalah:

Kita bisa membedakan dengan jelas mana yang meja atau kursi, mana yang sandal jepit, dan mana yang kain baju yang kita pakai. Karena sifatnya masing-masing memang berbeda.

Page 21: Tentang ma'rifatullah 1

21

Akan tetapi kalau kita perhatikan dengan teliti, hahekat dari meja dan kursi itu adalah KAYU, hakikat dari sandal jepit itu adalah GETAH, dan hakikat dari kain baju adalah KAPAS.

Artinya dengan melihat meja, sendal jepit, dan kain, kita tahu di sebaliknya ada esensi dari masing-masing benda itu, yaitu kayu adalah esensi dari kursi, getah adalah esensi dari sendal jepit, dan kapas adalah esensi dari baju. Jadi, dengan melihat sifat-sifat dari sebuah ciptaan, kita sudah tahu apa hakikat di sebalik ciptaan itu. Untuk contoh ciptaan seperti di atas, kita tahu bahwa hakikatnya adalah kayu, getah, dan kapas.

Dengan mengetahui bahwa hakikat dari meja, sendal jepit, dan baju adalah kayu, getah, dan kapas, maka kitapun segera tahu bahwa kayu kayu, getah, dan kapas itu berasal dari POHON. Maka posisi pohon di sini disebut sebagai alamat terakhir bagi untuk berhenti berpikir. Akhir dari ilmu pengetahuan kita untuk mengetahui hahekat dari sebuah benda yanng sifat-sifatnya bisa saja berbeda, tetapi hahekatnya ternyata sama. Kalau hakekatnya sama maka, disitulah kita berhenti berpikir, kita telah berma’rifat kepada POHON itu sebagai pemilik dari hahekat itu, sebagai pemilik dari esensi itu.

Begitu kita melihat meja sesuai dengan sifat-sifatnya, maka kita pun segera mengetahui bahwa hakikat dari meja itu adalah kayu, sehingga kitapun segera sadar bahwa asalnya ternyata adalah dari POHON. Dengan melihat meja, kita berma’rifat kepada POHON. Dengan melihat sendal jepit, kita berma’rifat kepada Pohon. Dengan melihat kain, kita berma’rifat kepada POHON.

Akan tetapi karena ini hanya contoh saja, pohon belumlah ma’rifat yang sebenarnya, karena pohon masih bisa dibahas, dikuliti sampai ke sel-selnya. Kita masih bisa berselisih paham tentangnya. Ini hanya contoh bagaimana kita memperjalankan kesadaran kita saja untuk mencari apa yang ada di sebalik sebuah sifat ciptaan. Lanjutkan saja sampai kepada bertemu hakekat yang sebenarnya.

Kalau dalam memahami hakekat itu kita belum menemukan hal yang sama, kita masih bertengkar, kita masih berbual, kita masih riuh rendah, maka artinya kita belum sampai kepada hakekat itu sendiri. Berarti kita masih berada pada pembahasan sifat-sifat, dan sifat itu banyak ! Dengan begitu, kita tidak akan pernah sampai untuk berma’rifat. Kalau tidak berma’rifat, maka kita tidak akan pernah bisa beribadah dan beramal saleh dengan tenang dan bahagia. Tenang dan bahagia yang sesungguhnya. Bukan tenang dan bahagia yang artificial dengan cara kita mengolah tenang dan bahagia itu melalui olah pikiran kita seperti yang dilakukan dalam praktek-praktek hipnoterapi dan dzikir ala tarekat-tarekat tertentu.

Page 22: Tentang ma'rifatullah 1

22

Seperti itu pulalah eratnya hubungan antara Semua Ciptaan dengan Allah Sang Pencipta. Semua Ciptaan adalah sifat, dan Allah adalah titik akhir dari pikiran kita untuk berma’rifat. Setiap orang (yang percaya), kalau ditanya siapa yang menciptakan bumi dan langit ini, maka jawabannya pastilah sama, yaitu Allah. Itu sudah benar. Akan tetapi Allah yang kita maksud itu sangat-sangat tergantung kepada pemahaman kita tentang HAKIKAT daripada semua ciptaan itu. Sebab HAKIKAT adalah sebuah jembatan yang sangat penting bagi kita yang akan menghubungkan SIFAT dengan MA’RIFAT. Salah memaknai hakikat (esensi) dari semua ciptaan (sifat), maka salah pula kita dalam berma’rifat. Salah dalam berma’rifat, maka salah pulalah arah kita dalam beribadah atau bersyari’at.

Jadi hubungan itu adalah sbb: SIFAT – HAKIKAT – MA’RIFAT – lalu SYARI’AT.

SIFAT

HAKIKAT

MA’RIFAT

SYARI’AT

Ketika kita berhasil menemukan hakikat atau esensi dari semua ciptaan ini, maka berarti saat itu juga kita akan berhenti untuk berdebat. Kita akan berhenti dalam memperdebatkannya. Kita hanya akan tersenyum penuh arti. Akan tetapi, selagi kita masih sering berdebat dan bertengkar, maka saat itu artinya kita masih berada pada tatanan pembahasan sifat demi sifat dari ciptaan ini. Dan perdebatan itu tidak akan pernah selesai.

Contohnya, karena keliru dalam memaknai hakekat manusia, maka manusiapun dikatakan sebagai keturunan kera. Dari Mr. Google:

“Kehadiran manusia pertama tidak terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta. Asal usul manusia menurut ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang spesies lain yang telah ada sebelumnya melalui proses evolusi.

Evolusi menurut para ahli paleontology dapat dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat evolusinya, yaitu : a. Pertama, tingkat pra manusia yang fosilnya ditemukan di Johanesburg Afrika

Selatan pada tahun 1942 yang dinamakan fosil australopithecus. b. Kedua, tingkat manusia kera yang fosilnya ditemukan di Solo pada tahun 1891 yang

disebut pithecanthropus erectus. c. Ketiga, manusia purba, yaitu tahap yang lebih dekat kepada manusia modern yang

sudah digolongkan genus yang sama, yaitu Homo walaupun spesiesnya dibedakan. Fosil jenis ini di neander, karena itu disebut homo neanderthalesis dan kerabatnya

Page 23: Tentang ma'rifatullah 1

23

ditemukan di Solo (homo soloensis). d. Keempat, manusia modern atau homo

sapiens yang telah pandai berpikir, menggunakan otak dan nalarnya.

Beberapa Definisi Manusia… dan seterusnya…” (kutipan dari sebuah blog)

Ramai sekali…

Page 24: Tentang ma'rifatullah 1

24

Artikel 9 : Paham Wahdatul Wujud

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/paham-wahdatul-wujud/10152628874767977

Kalau membaca buku-buku tentang paham ini, akan lama dan sulit untuk dimengerti, akan tetapi kita akan mencoba mengupasnya dengan sederhana tapi tajam. Intinya adalah sebagai berikut:

Paham ini mengganggap bahwa SELURUH Dzat-Nya kemudian terzahir menjadi SEMUA ciptaan-Nya. Seluruh alam ciptaan ini berasal dari Seluruh Dzat Allah yang menjelma menjadi seluruh ciptaan-Nya. Jadi yang menjadi pusat perhatian di sini adalah kata SELURUH atau SEMUA. Sehingga muncullah kesimpulan bahwa Alam dan seluruh isinya adalah sama dengan Allah. Jadi Allah itu adalah kesemua ciptaan, kesemua ciptaan itu adalah Allah. Satu dalam ramai, ramai dalam satu.

Dalam paham ini, karena seluruh Dzat-Nya, berarti Allah itu sendiri terzahir menjadi ciptaan. Maka Allah itu adalah hakikat Alam. Tidak ada di sana perbedaan diantara Wujud yang Qadim yang digelari Khalik itu dengan wujud yang baru dan yang dinamai makhluk. Tidak ada perbedaan abid dan Ma’bud. Bahkan abid dan Ma’bud adalah satu.

Wahdatul Wujud tidak membedakan diantara manusia dengan Allah ataupun diantara alam dengan Allah. Yang membedakannya hanyalah huruf besar dan huruf kecil dipermulaan katanya saja. Misalnya, Aku dan aku, Dia dan dia, Engkau dan engkau. Huruf besar dipermulaan adalah untuk Allah dan huruf kecil adalah untuk manusia. Makanya sering muncul kata-kata seperti: “aku adalah Dia…”, “engkau adalah Engkau…”, “aku adalah Aku…”

Dari paham wahdatul wujud ini kemudian berkembanglah paham-paham turunannya yang lain, yaitu:

1. ITTIHAD : bahwa pada puncak pencapaiannya, manusia pada akhirnya akan bersatu dengan Allah. Fana Fillah. Maqam yang didapatkannya adalah maqam Ainiyah (Dzat Allah keseluruhan).

2. HULUL : ketika dalam keadaan ITTIHAD (bersatu dengan Allah), terjadi pula penyerapan Roh Allah ke dalam diri manusia. Allah kemudian menjelma menjadi manusia, seperti yang dipakai dalam konsep ketuhanan Kristus di dalam agama Kristen.

Page 25: Tentang ma'rifatullah 1

25

3. BAQA-BILLAH : dalam konsep ini besi yang disimbolkan sebagai manusia dan api yang yang panas yang disimbolkan sebagai Allah. Ketika besi itu dimasukkan ke dalam api, maka besi itu sudah menjadi api, tiada perbedaan lagi antara besi dan api. Panas. Tiada perbedaan lagi antara manusia dan Allah. Sama.

4. SYATAHAT : yaitu munculnya pengakuan dari mulut mereka ketika mereka mengalami ekstasis bahwa mereka adalah Allah : a. "Akulah Al Haq (Al Halaj); Siti Jenar tidak ada, yang ada adalah Allah (Syech Lemah

Abang)." b. "Akulah Tuhan (Nasim al Halabi); Yang ada dalam jubahku adalah Allah (Asy Syibli)." c. "Subhani… subhani (Abu Yazid Al Bustami); Jadilah aku Maha Kuasa atas segala

sesuatu (Abu Al Gais)." d. Jalan wali-wali berusaha kepada kesatuan dan dengan itu selalu berada dalam

kemabukan (Ahmad Sirhindi)

Karena keliru dalam memaknai hakikat manusia dan alam, bahwa SELURUH Dzat Allah tercipta menjadi SEMUA ciptaan, maka Allah menjadi sangatlah kecil sekali, sebesar alam ini saja. Walaupun alam ini sangatlah besar, tetapi alam ini tetap bisa dibayangkan. Sehingga ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, tidak ada kesan apa-apa yang muncul di dalam dada kita. Biasa-biasa saja.

Pengakuan bahwa kita ini adalah Allah muncul ketika kita bisa merasakan keluasan yang amat sangat, seluas alam semesta. Sebab dengan memakai teknik-teknik meditasi tertentu, kitapun bisa merasa seperti sudah menjadi alam semesta yang sangat luas. Dan itu ada RASANYA. Ekstasis, Karam. Dan saat ekstasis itulah pengakuan-pengakuan itu muncul dengan sangat mudahnya. Kita akan mengaku menjadi Allah. Sebab kita “merasa” kemanapun kita menghadap di dalam keluasan itu, yang ada adalah diri kita sendiri yang luas itu. Luas sekali, seluas alam semesta. Karena kita mengganggap bahwa Dzat Allah juga adalah seluas alam semesta, sementara dalam dzikir atau meditasi yang kita lakukan kita sudah menjadi alam semesta itu, maka dengan seketika juga kita bisa berkata dengan mudah “akulah Allah”, akulah Al Haq, maha suci aku.., dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan seperti ini disebut sebagai SYATAHAT.

Karena mengaku, apalagi pengakuan kita itu adalah mengakui diri kita sendiri sebagai Allah, sebagai Kebenaran Mutlak, Kemahasucian, maka kitapun akan disiksa oleh pengakuan kita itu sendiri. Al Halaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, pada puncak siksaan itu, merekapun harus musnah. Mati dibunuh. Sehingga dengan mati begitu, merekapun bisa merasa lepas dari penderitaan. Bebas dan merdeka. Karena memang menyandang-nyandang, memikul-mikul, membawa-bawa pengakuan itu kemana-mana, yang seharusnya bukan milik mereka, sungguh alangkah beratnya. Berat sekali. Iblis yang hanya mengaku lebih baik dari Adam saja, siksaannya begitu berat. Dan siksaan yang diterima iblis itu akan tetap abadi, sampai

Page 26: Tentang ma'rifatullah 1

26

waktu yang telah ditentukan oleh Allah.

Lalu selangkah lagi, kitapun akan tidak menjalankan syariat setelah itu. Kita tidak bisa lagi untuk shalat dan melakukan ibadah-ibadah lainnya. Shalat itu khan tujuannya untuk menyembah Allah, mengingat Allah. Masak Allah menyembah Allah, yaa sulit sekali rasanya. “Masak jeruk makan jeruk”, kata sebuah iklan. Makanya penganut Paham Wahdatul Wujud ini pada akhirnya banyak yang tidak shalat. Kalau hasil dari belajarnya yang membutuhkan waktu sekian lama itu adalah kita tidak shalat, khan kita lebih baik tidak shalat dari sekarang saja. Tidak perlu buang-buang waktu dalam mempelajarinya. Toh akhirnya tidak shalat juga.

Yang sangat dipentingkan dalam paham ini adalah Dzikir sebanyak-banyaknya dengan cara mengulang-ngulang kalimat-kalimat thayyibah tertentu dan tambahan-tambahan lainnya yang fungsinya serupa dengan mantra-mantra dalam aliran esoteris lainnya.

Page 27: Tentang ma'rifatullah 1

27

Artikel 10 : Paham Nur Muhammad

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/paham-nur-muhammad/10152632725567977

Paham Nur Muhammad ini juga tidak kalah rumitnya kalau kita membaca dari buku-buku yang banyak beredar saat ini. Padahal intinya sederhana saja. Bahwa sebelum Allah swt berfirman “Kun”, SEPARUH (SETENGAH) dari Roh atau Nur-Nya menjadi Roh ataupun Nur Muhammad. Maka apabila kemudian Allah swt berfirman “Kun”, Allah menujukan Sabda-Nya itu kepada Roh ataupun Nur Muhammad. Dan dari Nur Muhammad itulah kemudian semua ciptaan tercipta. Maka dengan begitu Roh ataupun Nur Muhammad boleh dikatakan sebagai Unsur Hakiki ataupun HAKIKAT dari semua ciptaan.

Dilihat dari sisi ilmu tauhid, paham ini sudah ke luar dari tauhid. Sebab ketika Allah mulai mencipta dengan sabda KUN, saat itu “sudah ada” dua wujud yang ada. Ada Allah dan ada Nur Muhammad. Allah bersabda KUN kepada Nur Muhammad, lalu kemudian seluruh Nur Muhammad pun berubah menjadi seluruh Ciptaan.

Padahal tauhid mensyaratkan bahwa Wujud Yang Awwal, wujud yang ada sebelum Allah berkata KUN, hanyalah semata-mata Dzat Allah Yang Maha Indah, Dzat Dia Yang Maha Agung. Dzat Wajibul Wujud. Dzat Semata Wayang. Ketiadaan saja tidak boleh ada atau exis saat itu. Ciptaan walau sekecil apapun juga tidak boleh ada, apalagi kalau ada wujud yang lain yang sebanding besarnya dan serupa dengan dia yaitu Nur atau Roh Muhammad. Mau tidak mau, kalau ingin bertauhid tentunya, Nur Muhammad inipun haruslah tidak ada. Wajib tidak ada. Kalau masih ada maka kita akan kehilangan tauhid kita kepada Allah. Karena menurut paham ini Allah telah membelah Diri-Nya menjadi dua bagian. Separuhnya tetap menjadi Diri-Nya dan separuhnya lagi menjadi Nur Muhammad. Lalu kepada separuh Diri-Nya yang sudah menjadi Nur Muhmmad itulah Dia berfirman KUN. Sehingga kemudian dari Nur Muhammad itulah terciptanya semua ciptaan.

Dengan begitu, peran Nur Muhammad menjadi sangat sentral dan penting sekali. Sebab paham ini mensyaratkan bahwa HAKIKAT, ESENSI, UNSUR ASASI dari semua ciptaan ini adalah Nur Muhammad. Kalau begitu, kita mau BERMA’RIFAT kepada apa dan siapa?? Kepada Muhammad kah atau kepada Allah kah?

Pastilah kita tidak akan pernah bisa berma’rifat kepada Allah, sebab kita masih belum berada pada tatanan Hakikat yang sebenarnya dari semua ciptaan ini. Nur Muhammad masih bisa dipertentangkan, masih bisa diperdebatkan. Kita masih harus mencari-cari Nur Muhammad itu di dalam WIRID kita yang banyaknya bisa ratusan ribu kali dengan “menyebut-nyebut” (baik jahar maupun sirr) beberapa kalimat thayyibah seperti tasbih, tahlil, tahmid, dan

Page 28: Tentang ma'rifatullah 1

28

takbir. Kemudian dalam wirid itu bisa pula ditambah-tambahi dengan kalimat-kalimat lainnya yang diijazahkan oleh guru atau mursyid yang mengajarkannya kepada kita.

Kira-kira tepatkah kalau saat kita melakukan wirid itu, yang isinya memuja-muji Allah, tetapi di dalam niat kita, di alam ingatan kita, dalam ma’rifat kita, malah kita sedang mengharap-harapkan munculnya Nur Muhammad yang terang benderang di depan mata (mata hati) kita? Dan itupun harus kita lakukan berlama-lama, bahkan bisa bertahun-tahun. Kita akan menjadi sibuk tak karuan. Tapi tujuannya adalah agar kita bisa melihat Nur Muhammad. Banyak akhirnya kita yang patah di tengah jalan. Kita menyerah dan akhirnya merasa masa bodoh. Karena memang sulit sekali untuk melakukannya. Hanya orang-orang yang selevel Mursyid saja yang katanya bisa mencapai tingkatan ini. Orang awam mana bisa.

Padahal tentang posisi Nabi Muhammad sendiri Allah sudah mewanti-wanti di dalam Al Qur’an: Dia mendapatimu (Muhammad) sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan

petunjuk (Ad Dhuha 93: 7) Katakanlah, “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku (Muhammad) ini hanya seorang manusia

yang menjadi Rasul?”, (Al Israa’ 17: 93). Dan sekiranya aku (Muhammad) mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan

sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan (Al A’raaf 7: 188)

Dan banyak sekali ayat-ayat al Qur’an dan Al Hadist yang menyatakan bahwa Beliau hanyalah Rasul dan Pesuruh Allah. Tidak Lebih dari manusia biasa seperti kita, hanya saja Beliau diberi Wahyu oleh Allah. Bahkan ketika Rasulullah wafat dan banyak diantara sahabat yang tidak mempercayainya, sayyidina Abu Bakar ra berkata: “Siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah Muhammad sudah wafat. Tetapi siapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka Dia (Allah) kekal abadi”.

Walaupun Beliau memang diturunkan oleh Allah kemuka bumi ini sebagai rahmatan lil ‘alamiin, tapi maknanya bukanlah dengan beliau menjadi Nur Muhammad. Bukan. Nanti pada bagian yang lain kita akan lihat bagaimana fungsi Beliau sebagai rahmatan lil ‘alamiin ini dengan lebih dalam.

Page 29: Tentang ma'rifatullah 1

29

Artikel 11 : Paham Insan Kamil

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/paham-insan-kamil/10152632730767977

Paham insan kamil ini juga bertumpu kepada paham Nur Muhammad, tapi dalam pola yang berbeda. Di sini, kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Nur Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Kemudian dari Nur Muhammad inilah tercipta seluruh ciptaan yang lainnya. Oleh sebab itu Nabi Muhhammad disebut juga sebagai Insan Kamil. Manusia sempurna dan paripurna.

Inti paham ini adalah, bahwa kemudian, seseorang bisa pula mencapai derajat Insan Kamil ketika Ruh Nabi Muhammad saw bisa menyerap atau menyusup ke dalam ke dalam tubuhnya. Begitu diyakininya Ruh Muhammad telah menyusup ke dalam dirinya, maka diapun dianggap sudah menjadi Insan Kamil. Biasanya yang bisa mencapai taraf Insan Kamil ini adalah guru-guru tarekat, dan Syech-Syech tertentu saja, yang dianggap oleh para muridnya sebagai wali Allah.

Penganut paham ini meyakini bahwa tegaknya alam ini oleh keberadaan Insan Kamil ini. Dan alam ini akan tetap terpelihara selama Insan Kamil (manusia sempurna) ini masih ada. Insan Kamil atau hakekat Muhammad lalu menjadi sumber dari seluruh hukum, kenabian, semua wali atau individu manusia sempurna. Wah sekali.

Cuma saja yang sungguh mengherankan adalah bagaimana bisa Ruh Nabi Muhammad yang suci dan maksum itu bisa menyusup ke dalam jasad manusia biasa yang sudah tentu banyak dosa, kotor, dan jauh dari kemuliaan ini? Tidak ada satupun dalil yang berasa dari Nabi ataupun Al Qur’an yang mendasari konsep dari paham ini. Makanya kata-kata yang sangat diperhatikan oleh penganutnya adalah kata-kata guru atau syechnya yang membawa paham ini.

Untuk bisa memahami dan mengalami sendiri realitas dari konsep Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, dan Insan Kamil ini sangatlah sulit sekali. Kita memerlukan bantuan dari orang-orang yang mengaku punya otoritas untuk itu. Dia adalah orang-orang yang sudah duduk di maqam yang sangat wah itu, seperti : maqam Wahdatul Wujud (Ittihad, Hulul, Baqa dan Fana Billah, Syatahat), atau maqam Nur Muhammad, atau maqam Insan Kamil (kesusupan Ruh Nabi Muhammad).

Untuk urusan inilah kemudian muncul konsep perantara, yaitu pribadi-pribadi yang disebut sebagai MURSYID, yang Kamil Mukamil pula. Mursyid inilah nantinya yang berperan untuk

Page 30: Tentang ma'rifatullah 1

30

mengantarkan ruhani kita ke maqam-maqam yang lebih tinggi sampai ke maqam bersatu dengan Allah, Nur Muhammad, atau Insan Kamil. Dan inilah kemudian yang akan melangengkan paham berikutnya, Paham Rabitah Mursyid, sampai sekarang.

Page 31: Tentang ma'rifatullah 1

31

Artikel 12 : Paham Rabithah Mursyid

https://www.facebook.com/notes/yusdeka-putra/paham-rabithah-mursyid/10152633721292977

Dalam paham ini, ada sekelompok orang yang mengaku atau dianggap sebagai sosok yang punya otoritas atau silsilah ilmu yang berasal dari gurunya, guru dari gurunya, buyut gurunya dan guru-guru yang seterusnya yang konon akhirnya tersambung kepada Rasulullah saw. Sebutan untuk guru itu biasanya adalah Syekh atau Mursyid. Mursyid yang terbaik biasanya disebut sebagai Mursyid Kamil Mukamil yang Waliyyam Mursyida, yang dapat memberi petunjuk. Hanya dengan bantuan Mursyid inilah seseorang baru bisa meningkatkan taraf pencapaian rohaninya ke tingkat yang lebih tinggi, sampai kemudian terbukanya pintu Ma’rifatullah kepadanya. Cara-cara yang dibawa oleh Mursyid itulah kemudian yang dikenal dengan nama Tarekat. Saat ini jumlah tarekat sangatlah banyak, masing-masing dengan ciri-ciri khasnya sendiri-sendiri.

Kalau kita bersedia untuk masuk ke dalam sebuah tarekat dan berkenan mengikuti seorang Mursyid, terlebih dahulu kita harus mau berbai’at kepadanya. Bai’at itu biasanya dengan syarat-syarat tertentu, mulai dari yang ringan seperti sekedar bersalaman tangan, sampai dengan syarat-syarat yang lebih berat seperti mandi kembang di tengah malam yang sangat dingin, dan menyediakan berbagai syarat tambahan lainnya, tergantung pada tarekat mana yang akan kita masuki.

Selesai berbai’at, maka barulah kita akan diberitahu latihan-latihan atau riadah-riadah yang harus kita lakukan. Kita akan diberikan talqin dzikir-dzikir tertentu oleh Sang Mursyid untuk kita wiridkan dengan jumlah tertentu setiap habis shalat, setiap waktu, setiap hari. Jumlahnya bisa puluhan ribu sekali putaran.

Sebelum dzikir dilakukan, maka kita sebagai murid harus terlebih dahulu melakukan prosesi Rabitah Mursyid, yaitu kita membayangkan wajah Sang Mursyid yang ada di depan kita sambil kita memejamkan mata. Kita berkonsentrasi kepada wajah Sang Mursyid. Lalu beliau akan menyebutkan silsilah ajaran tarekat tersebut sampai nantinya berujung pada Rasulullah saw. Dengan harapan saat itu juga terjadi sambungan rohani antara kita dengan Sang Mursyid, dan dengan Mursyid-Mursyid lainnya sebelum guru kita, lalu tersambung sampai kepada Rasulullah saw. Setelah itu barulah kita mambaca wirid-wirid yang diperintahkan. Setiap mau berdzikir harus begitu, membayangkan wajah guru mursyid kita terlebih dahulu, rabithah mursyid.

Pada tarekat tertentu, proses awal dari dzikir/wirid itu bisa pula dilakukan di tempat-tempat khusus yang disebut sebagai tempat SULUK. Lamanya bisa sebulan dengan lebih dan

Page 32: Tentang ma'rifatullah 1

32

kurangnya. Kita berdzikir di dalam kelambu yang sudah dilengkapi dengan kasur dan bantal. Selama proses itu kita harus berdzikir di dalam kelambu itu dengan jumlah tertentu, termasuk melakukan shalat-shalat sunnah. Kita hanya ke luar dari kelambu itu saat shalat wajib dan mandi saja. Sedangkan makan dan minum, dengan menu makanan yang sangat sederhana, tetap kita lakukan di dalam kelambu tempat suluk itu. Sang Mursyid akan mengawasi hasil-hasil yang kita dapatkan dalam berdzikir itu dengan teliti.

Dzikir pertama yang harus kita lakukan biasanya adalah dzikir JAHAR (LISAN), "Laa ilaha illallah", atau "Allah-Allah", sekian ribu kali. Bisa pula saat kita mengucapkan dzikir jahar itu kita berkonsentasi kepada Lathaif-lathaif yang ada di sekitar dada kita, mulai dari lathifatul qalbi, yang ada didekat jantung (2 jari di bawah susu kiri, 2 jari lagi kearah tengah dada ), sampai dengan lathaif lainnya seperti latifatul roh, latifatul sirri, latifatul khafi, latifatul akhfa, latifatun nafsun natiqah, dan latifatul kullu jasad. Fungsi Lathaif ini mirip dengan fungsi CAKRA dalam meditasi dari India.

Setelah Dizikir Jahar ini dilakukan sehari atau dua hari, dengan irama yang sangat monoton, dan dalam keadaan fisik yang mulai lelah dan lemah, maka pada suatu tahap, kita mulai merasakan getaran-getaran menyelimuti tubuh kita. Tidak jarang kita akan menangis histeris sampai tubuh kita bergetar hebat. Kadang-kadang gerakan tubuh kita itu liar dan tidak beraturan. Keadaan ini bisa berlangsung cepat dan bisa pula berlangsung sehari atau dua hari. Diakhir getaran itu biasanya ada yang seperti mau naik dari ulu hati kita keatas. Saat dorongan itu muncul, kita akan berkata "HU" atau "HAK" secara berulang ulang. Kemudian setelah itu kita akan menjadi tenang untuk beberapa saat.

Saat tenang itulah kemudian kita melanjutkan dzikir kita dengan dzikir qalb, yaitu dengan cara menyebut Nama Allah di dalam hati, latifah qalbi. Lidah dinaikkan ke langit-langit, dan ucapan Allah ditumpukan ke dalam qalbu tanpa bersuara sedikitpun. Dzikir qalbi inipun harus kita lakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama. Berhari-hari.

Sampai kemudian kita bisa melakukan dzikir sirr atau dzikir wuquf, di sini sudah tidak ada lagi bacaan yang kita baca. Kita hanya tetap menjaga hati/qalbu kita kepada Allah. Sampai Allah membukakan kepada kita rahasia-rahasia kedekatan kita dengan Allah seperti:

1. Muraqabatul Itlak (muthlak) : a. Meyakini dilihat oleh Allah, b. Meyakini perkataan kita didengar oleh Allah, Pasti kelakuan kita diketahui oleh Allah.

2. Muraqabatul Ahdyatul Af’aal : mengintai dengan hati sanubari kepada A’faal Allah (Keesaan perbuatan Allah) sambil menunggu limpahan karunia Allah (faid pertama).

3. Muraqabatul Ma’iyyah : mengintai dengan mendalam makna Allah bersama dengan kita; menanti faid ke dua (limpah karunia Allah) di 4 lataif : latifatur roh, latifatuus sir,

Page 33: Tentang ma'rifatullah 1

33

latifatul khafi, latifatul akhfa.

4. Muraqabatul Aqrabiyyah : mengintai bahwa Allah memberi kehampiran zat-Nya kepada hamba yang dikasihinya; menanti limpahan ke-3 pada nafsu radhiyah.

5. Muraqabatul Abdiyyatuzzat : mengintai Zat Allah yang Maha Esa; menanti limpahan ke-4 pada nafsu Mardiyyah pada kejadian air, api, angin.

6. Muraqabatuzzzaati sharf wal bahri : mengintai zat Allah semata-mata; menanti limpahan pada nafsul ‘ubudiyah pada unsur tanah.

Setelah selesai dan matang dalam dzikir jahar, dzikir qalb, dan dzikir sirr dan sudah pula mencapai tingkatan muraqabah kepada Allah, maka barulah kita bisa setapak demi setapak memasuki berbagai maqam Ma’rifatullah seperti: Maqam Musyahadah : dapat nikmat hati merasakan berpandang-pandangan dengan

Allah Maqam Muqabalah : dapat nikmat hati merasakan berhadap-hadapan dengan Allah Maqam Mukasyafah : dapat nikmat hati merasakan melihat kepada ‘alamulgaibul gaib

atau rahasia Allah. Maqam Mukafahah : dapat nikmat hati merasakan berkasih-kasihan dengan Allah. Maqam Fanaafillah : dapat nikmat hati merasakan lenyap pada mengenal Allah. Maqam Baqaabillah : dapat nikmat hati merasakan berkekalan beserta Allah, kekal abadi

beserta dengan Allah.

Hasil muraqabah dan maqam-maqam ini sangat tergantung kepada paham apa yang kita anut ketika kita mulai masuk dan berdzikir dalam sebuah aliran tarekat. Kalau tarekatnya berpaham Wahdatul Wujud, maka hasilnya adalah seperti yang telah diterangkan dalam Paham Wahdatul Wujud. Kalau Tarekatnya berpaham Nur Muhammad, maka hasilnya juga akan berbeda. Begitu juga dengan yang berpaham Insan Kamil. Hasilnya masing-masing punya karekateristiknya masing-masing pula.

Cuma saja bagi orang awam, untuk mencapai tingkatan seperti ini alangkah sulitnya. Sulitnya poooll (full). Sibuknya poooll. Lamanya pun poooll. Sehingga dari sekian banyak yang ikut dalam praktek tarekat itu, rasanya hanya Mursyidnya sajalah yang akan bisa mendapatkan Maqam-maqam tersebut. Yang lainnya banyak yang tidak kuat. Patah di tengah jalan. Bahkan ada yang menjadi tidak waras, atau paling tidak ia terjerumus masuk ke dalam alam khayalan. Karena ia terlalu lama menunggu sesuatu yang tidak jelas. Menunggu tanda-tanda kewalian, menunggu keajaiban, yang kadangkala bisa sampai belasan tahun lamanya.

Kalau kita berhasil mencapai tingkatan ma’rifatullah seperti di atas, maka kitapun akan diberi ijazah oleh Sang Mursyid kita. Kitapun dianggap sudah berhak pula mengembangan tarekat itu melalui sanad kita sendiri. Kita akan ditalqin kembali untuk menjadi seorang

Page 34: Tentang ma'rifatullah 1

34

mursyid. Lahirlah mursyid yang baru yang nantinya akan mengajarkan ilmu ini kepada masyarakat sesuai dengan apa-apa yang telah kita dapatkan.

Kalaulah di zaman Rasulullah dan para Sahabat Beliau dahulu Islam ditawarkan kepada umat dengan cara-cara yang sulit begini, barangkali tidak akan banyak orang yang akan menerimanya. Seperti kita menjual barang di sebuah warung, tapi barang yang kita jual itu nantinya akan menyulitkan orang yang membelinya. Tutup itu warung kita. Tidak akan ada orang yang membelinya. Tapi saat di zaman Rasulullah itu akhirnya orang berbondong-bondong masuk Islam. Karena Islam yang Beliau tawarkan memang sangat mudah. Iman-Islam-Ihsan, lalu berlomba-lombalah menuju kebaikan sebagai fungsi ke kekhalifahan kita masing-masing di muka bumi ini. Yaitu untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing yang telah ditakdirkan oleh Allah.

Lalu adakah Alternatif paham lain yang lebih kuat dan gamblang dalam kita belajar dan memahami HAKIKAT seluruh ciptaan ini, yang akan membawa kita BERMA’RIFAT kepada Allah ? MA’RIFATULLAH. Yang caranya sederhana, tidak rumit dan sulit. Caranya mudah saja. Dan itupun sesuai pula dengan hukum-hukum alam yang sudah berkembang saat ini.

Sebab untuk belajar selama belasan tahun seperti di atas alangkah sulitnya. Umur kita sangat pendek. Bagaimana jadinya kalau kita meninggal sementara kita belum mengenal Allah? Bagaimana kita mau shalat sementara kita belum kenal dengan Allah yang akan kita sembah dan kita ingati selalu, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.

Jawabannya ada, Ya…. ada…

Page 35: Tentang ma'rifatullah 1

35

Artikel 13 : Paham DZATIYAH

https://www.facebook.com/#!/notes/yusdeka-putra/paham-dzatiyah/10152636161227977

Ada sebuah alternatif paham lain untuk memahami HAKIKAT seluruh ciptaan ini yang akan membawa kita dengan mudah BERMA’RIFAT kepada Allah, MA’RIFATULLAH. Yaitu paham Dzatiyah atau Lauhul Mahfuz dengan manafakuri perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi. Bahwa Beliau diperjalankan menembus 7 lapis langit bertemu dengan nabi-nabi terdahulu. Kemudian Beliau naik ke Sidratul Muntaha. Lalu Naik ke Arasy yang berada di atas air, di mana Malaikat Jibril sudah tidak mampu lagi untuk masuk ke dalamnya. Lalu diakhir Arasy itu, di balik 70 Tabir Nur-Nya, Rasulullah berbicara langsung dengan Allah. Beliau berbicara dengan Allah di balik TABIR…

Dan dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj inilah kita nantinya akan ke luar dengan sebuah pandangan tersendiri tentang HAKEKAT dari SEMUA Ciptaan ini:

Bahwa SELURUH Ciptaan ini HAKEKATNYA adalah berasal dari SEDIKIT dari Dzat Allah yang terzahir menjadi SELURUH Ciptaan. Yaa, hanya sedikit, hanya seukuran setetes atau setitik air di tengah samudera raya, hanya seukuran sebutir pasir di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas, sajalah dari Dzat Allah yang Maha Besar, yang terdzahir menjadi SELURUH Ciptaan.. Yaa, hanya SEDIKIT Dzat Allah yang terdzahir menjadi SELURUH Ciptaan.

Pada awalnya hanya Dzat Allah saja Yang Wujud. Dzat Yang Maha Agung, Dzat Yang Maha Indah. Dialah Dzat Yang Awal yang tiada Awal. Yang lain selain Dzat-Nya tidaklah wujud. Saat itu KETIADAAN pun tidak wujud. Kalau kita mengatakan saat itu sudah ada KETIADAAN, maka seketika itu juga kita sudah tidak bertauhid lagi. Sebab di samping WUJUD Dzat-Nya ada pula WUJUD Ketiadaan. Tidak begitu. Tauhid mensyaratkan Yang Wujud saat itu hanyalah Sang Wajibul Wujud, yaitu Dzat Yang Maha Indah, yang menyebut Diri-Nya Sendiri dengan sebutan Allah.

Dia ingin dikenal dan disembah, maka Dia Ciptakan sebuah skenario sandiwara kolosal yang sangat indah dan maha hebat, yang peran dari masing-masing aktor atau pelakonnya sudah ditentukan sejak dari awal. Nanti akan ada yang berperan sebagai malaikat, iblis, manusia, jin, berikut dengan segala sifat-sifatnya masing-masing. Siapa yang akan berperan sebagai aktor utama, peran pembantu, teknisi, pengatur laku, pengatur cahaya, dan para pemeran peran-peran yang lainnya. Sudah ditentukan pula lokasi, tempat, hiasan panggung, dan segala tambahan pemanis lainnya berupa hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, gunung dan lembah. Sudah ditulis peristiwa-peristiwa yang akan dialami oleh masing-masing pemeran itu sejak dari awal sampai akhir dari sandiwara itu, the end. Sungguh semua itu adalah sandiwara belaka bagi Allah.

Page 36: Tentang ma'rifatullah 1

36

Akan tetapi, yang sangat menakutkan bagi bagi para pemeran masing-masing peran itu adalah bahwa sandiwara itu adalah kejadian benaran. Kalau sakit, sakitnya benaran, terluka dan berdarah-darah. Kalau mati, matinya benaran. Kalau bunuh-bunuhan (perang), perangnya benaran. Hancur, terbakar, terluka, mati. Kalau setting peristiwanya adalah ada gunung meletus, gempa bumi, tsunami, topan badai, dan bencana alam lainnya, maka bencananya benaran. Hancur, porak poranda, luluh lantak, mati. Kalau peran baik, baiknya benaran. Kalau jahat, jahatnya benaran. Semua itu bagi si pemeran akan ada rasanya. Ada enak, sakit, bahagia, duka, sedih, takut, marah, benci, sayang, cinta. Semuanya terasa benaran.

Namun syukur alhamdulillah bahwa Allah juga telah menurunkan petunjuk-Nya tentang bagaimana caranya agar kita sebagai pemeran yang sedang menjalankan peran kita itu tidak merasakan takut dan khawatir sedikitpun dalam kita menjalankan tugas kita itu. Tentang ini akan kita bahas pada bagian tersendiri.

Untuk sebagai pertanda bahwa sandiwara itu sudah dimulai, Allah pun berkata “KUN” kepada sedikit dari Dzat-Nya yang besarnya terhadap keseluruhan Dzat-Nya hanya laksana “bulan” yang mengambang di langit yang luasnya tak terbatas. Lalu dengan KUN, Dzat-Nya yang sedikit itu terdzahir menjadi sebuah sistem yang tertutup, panggung sandiwara maha besar, yang berisikan seluruh Ciptaan didalamnya

KUN, maka antara Dzat-Nya Yang di luar (Yang Sangat Besar, AKBAR) dengan sedikit Dzat-Nya yang ada di dalam sistem tertutup itu dibatasi oleh TIRAI CAHAYA. Tirai cahaya ini berguna untuk melindungi semua ciptaan yang terdzahir (dari sedikit Dzat-Nya) di dalam sistem tertutup itu agar tidak musnah terbakar ketika ia terpandang kepada Dzat-Nya yang di luar sistem tertutup itu, Dzat Yang Maha Agung.

“Tirai-Nya adalah Nur, dan seandainya terangkat pastilah keagungan Dzat-Nya akan membakar makhluk yang terpandang oleh-Nya”. Terjemahan Shahih Muslim Bk. 1, 228 (1994).

“Malaikat Jibril a.s berkata bahwa ada 70 tirai Nur yang meniraikan Dzat. Dan sekiranya dia mendekati tirai Nur yang pertama saja, dia akan binasa”. Al Hadist (Miskatul Masabih) Vol 4. 226 (1994)

Kemudian di dalam sistem tertutup itupun terciptalah sebuah Perencanaan Yang Sangat Agung. Perencanaan Yang Maha Detail, terhadap serba-serbi dari semua ciptaan yang akan menghuni sistem tertutup itu. Rencana itu meliputi semua detail dari kejadian dan peristiwa yang akan dialami dan dilalui oleh setiap ciptaan (mulai dari yang terkecil maha kecil, sampai kepada yang terbesar maha besar) dalam dimensi RUANG atau UKURAN dan dimensi WAKTU. Apa-apa yang akan terjadi, di mana akan terjadinya, dan apa hikmah yang terkandung di sebalik setiap kejadian yang akan menimpa setiap ciptaan itu sudah tertulis

Page 37: Tentang ma'rifatullah 1

37

dalam sebuah KITAB RENCANA YANG MAHA SEMPURNA yang disebut sebagai LAUHUL MAHFUZ.

Rencana itu sudah lengkap memuat setiap pergerakan, baik penciptaan dan penghancuran, dari setiap ciptaan yang terjadi di Lauhul Mahfuz itu mulai dari sejak awal sampai dengan akhirnya. Karena Lauhul Mahfuz itu adalah ciptaan, maka ia pastilah ada awalnya dan ada pula akhirnya. Sebab yang abadi hanyalah Dzat Allah semata-mata, baik Dzat-Nya Yang di dalam sistem tertutup itu maupun Dzat-Nya yang di luar sistem tertutup itu.

KUN, maka terciptalah sebuah plan (Lauhul Mahfuz) yang fungsinya mirip dengan skenario dalam sebuah Film. Isinya adalah rencana tentang detail WAKTU dan RUANG bagi terjadinya peristiwa-peristiwa. Di dalam plan itu sudah tertera pula dengan jelas dan lengkap tentang bagaimana DZAT-Nya yang akan terdzahir menjadi APA dan SIAPA untuk berperan dan melakukan APA. Rencana itu itu juga sudah merinci magnitute (besarnya, ukurannya, tingkatnya, jaraknya, jangkauannya, kepentingannya, luasnya, kekejamannya, kejahatannya, kelembutannya, tahapannya, tarafnya, babaknya, pentas dan panggungnya, pangkatnya, deretannya, perubahan-perubahan suasananya, hikmahnya, dan sebagainya) atas setiap peran dari Apa dan Siapa itu. Rencana itu sudah lengkap sekali, dan tidak ada satu detailpun yang terlupakan. Rencana itu tidak akan pernah berubah. Nanti pada bagian Lauhul Mahfuz kita akan membahas tentang Skenario Penciptaan ini lebih detail lagi.

KUN, terpampanglah sebuah rencana besar dari sedikit Dzat-Nya yang berada di dalam sistem tertutup itu (Lauhul Mahfuz) untuk terdzahir menjadi: 70 Tirai Nur, Arasy, Air yang Masiv, Sidratul Muntaha, Ruh Muhammad, 7 Langit dan Bumi beserta segala isi diantara keduanya yang salah satunya adalah umat manusia, Penghancuran dan Pemusnahan kembali Langit dan Bumi beserta isi diantara keduanya berupa peristiwa KIAMAT, diciptakannya kembali langit dan bumi yang baru, peristiwa berbangkitnya seluruh manusia di alam Mahsyar, peristiwa berbarisnya seluruh umat manusia menuju Hisab, tentang siapa orang-orang yang SEDIKIT diantara seluruh umat manusia ini yang akan menempuh jalan berhisab yang dimudahkan, tentang siapa-siapa yang akan menerima kitab amalannya dari kanan, dan siapa yang akan menerima kitab amalannya itu dari kiri, tentang siapa-siapa yang akan diberi SYAFA’AT oleh Rasulullah saw, lalu siapa-siapa yang akan berlama-lama di dalam Neraka, dan siapa-siapa pula yang akan berlama-lama di Syurga bersama Rasulullah beserta Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang lainnya serta orang-orang Shaleh dari segala zaman, tentang Telaga atau Sungai Kehidupan yang akan mencelup para penghuni neraka sehingga mereka ke luar dari neraka itu dengan muka berseri-seri untuk kemudian masuk ke dalam syurga, tentang bagaimana semua malaikat, iblis, manusia, dan jin akhirnya akan kekal didalam syurga selama masih ada langit dan bumi, kecuali kalau Allah berhendak lain.

Sebab segala ciptaan pastilah akan hancur, Yang Abadi hanyalah Dzat-Nya saja. Lauhul Mahfuz adalah Ciptaan, dan pastilah ia akan musnah.

Page 38: Tentang ma'rifatullah 1

38

Semua ciptaan-Nya pasti akan musnah kembali apabila Allah membuka 70 Tirai Nur-Nya kepada segala ciptaan-Nya itu yang berada di dalam Lauhul Mahfuz. Jika tirai terbuka, maka Lauhul Mahfuz pun kembali SIRNA menjadi Dzat-Nya, karena memang HAKIKAT dari semua ciptaan itu hanyalah sedikit saja dari Dzat-Nya yang Maha Besar dan Maha Agung. Sehingga akhirnya yang tinggal hanyalah Dzat-Nya semata-mata. Dialah Dzat Yang Awal dan Dia pulalah Dzat Yang Akhir. Selain Dzat-Nya pastilah hancur lebur dan sirna.

Sahabat saya “Kidung Alam” telah mengulas karakter dari sistem tertutup itu dari sisi ilmu alam dengan sangat sederhana:

“Dalam sebuah sistem tertutup, jumlah keseluruhan energy adalah tetap. Atau lebih dikenal dengan istilah: Energy tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, dan juga materi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Yang terjadi hanyalah perubahan bentuk saja.

Jadi kalau alam semesta dianggap sebuah sistem tertutup, maka apapun yang ada di alam ini adalah tetap. Kecuali suatu entitas yang berada di luar sistem, yang bisa menambah dan menguranginya.

Demikianlah dengan pengandaian sederhana, maka Dzat Allah pastilah ada yang berada di dalam sistem (alam semesta) dan juga ada di luar sistem. Allah is everywher and nowhere. Allah ada di luar dan ada di dalam, meliputi semuanya.

Dengan memahami keberadaan Dzat Allah di dalam dan di luar system Alam Semesta Ciptaan Allah ini, maka memahami postulat ahli ilmu alam akan dengan mudah diterima. Namun bila tidak memahami Dzat yang di luar sistem ini, maka memahami postulat ahli ilmu alam ini akan menjadi tidak masuk akal”.

Dengan memahami Hakekat semua ciptaan seperti ini, maka tanpa rumit-rumit, kita tinggal selangkah saja lagi untuk berma’rifat kepada Allah, Ma’rifatullah…

Page 39: Tentang ma'rifatullah 1

39

Artikel 14 : Lauhul Mahfuz dalam Dimensi RUANG dan WAKTU.

http://yusdeka.wordpress.com/2014/02/20/lauhul-mahfuz-dalam-dimensi-ruang-dan-waktu-2/

Dzat-Nya Yang sedikit itu kemudian terzahir menjadi Dimensi Ruang dan Waktu yang sangat terukur bagi-Nya, yang akan dihuni dan diisi oleh semua Ciptaan yang ada di dalamnya.

Untuk dimensi Ruang, besarnya ruangan yang terzahir itu sangatlah besar sekali. Mulai dari 70 Tirai Nur; Arsy; Air yang sangat Masiv; dan Sidratul Muntaha, sampai dengan 7 Lapis Lagit; Bumi & Alam Semesta Raya yang bisa terobservasi oleh Ilmu Pengetahuan (Observable universe).

OBSERVABLE UNIVERSE itu memuat JUTAAN Supercluster yang SALAH SATU CLUSTERNYA adalah LOCAL SUPERCLUSTER; Salah satu Supercluster dalam Local Supercluster itu adalah VIRGO SUPERCLUSTER yang memuat Jutaan Galactic; Salah satu Galactic yang ada di Virgo Supercluster itu adalah LOCAL GALACTIC GROUP yang memuat jutaan Galaxy; Salah satu Galaxy yang ada dalam Local Calactic Group ini adalah MILKY WAY GALAXY yang memuat Jutaan Solar Interstellar Neighborhood; Salah satu Solar System yang ada dalam Solar Intersteelar Neighborhood ini adalah Solar System yang kita huni saat ini yang didalamnya ada plannet-planet yang salah satunya adalah BUMI.

Bagi kita, ukuran Ruang untuk Observable universe ini saja sudah tak terperikan besarnya. Ukurannya bukan lagi dalam Kilometer, tapi sudah dalam Jutaan tahun perjalanan Cahaya. Belum lagi ukuran ruang dari Sidratul Muntaha, lalu Lapisan Air Di bawah Arsy, lalu Arasy sendiri, lalu 70 Tirai Cahaya. Sungguh tak terpikirkan oleh kita besarnya. Dan semua itu terzahir hanya dari SEDIKIT Dzat-Nya dari Keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Besar. Itu berasal dari sedikit Dzat-Nya yang seukuran setetes air didalam lautan yang luas, seukuran sebutir pasir dipadang pasir yang luas, seukuran bulan purnama di dalam Observable universe.

Untuk Dimensi Waktu, Kurun Waktu sejak dari Allah bersabda KUN, sampai dengan terciptanya 70 Tirai Nur; Arsy; Air yang sangat Masiv; dan Sidratul Muntaha, sangatlah LAMA SEKALI. Al Qur’an dan Al Hadist tidak bercerita tentang berapa lamanya proses pembentukannya. Al Qur’an hanya bercerita tentang lama proses pembentukan 7 Lapis Langit; dan Bumi & Alam Semesta Raya yang bisa terobservasi oleh Ilmu Pengetahuan (Observable universe). Yaitu 2 Fase untuk penciptaan 7 Lapis Langit, dan 6 Fase untuk Penciptaan Bumi dan Kelengkapannya. Totalnya sekitar 8 Fase yang masing-masing Fase itu seukuran 2 Billion tahun.

Jadi untuk proses penciptaan 7 Lapis langit dan Bumi beserta Observable universe itu adalah

Page 40: Tentang ma'rifatullah 1

40

sekitar 16 Billion Tahun. Itu belum lagi waktu yang dibutuhkan dalam proses penzahiran Kiamat, Kehidupan di alam Akhirat, Kehidupan di Syurga dan Neraka. Di mana keabadian di dalam Neraka dan Syurga itu adalah selama masih ada Langit dan Bumi yang baru yang diciptakan Allah setelah Kiamat Pertama. Sungguh, durasi waktu untuk kesemuanya itu tak terukur oleh pikiran kita.

Mau tidak mau kita akan berhenti berpikir tentang Dimensi Ruang dan Waktu atas kebesaran, ketinggian, dan keluasan Lauhul Mahfuz ini. Dan itupun barulah berasal dari sedikit dari Dzat-Nya.

Maka dengan Ilmu, tanpa kita harus MENUNGGU-NUNGGU ilham atau wisik, atau apapun jugalah namanya yang sering ditunggu-tunggu oleh pelaku meditasi dan dzikir-dzikir tertentu, yang entah kapan kita dapatkan, kitapun akan segera Bermakrifat kepada Kemahabesaran Allah, Kemahaluasan Allah, Kemahatinggian Allah.

Kita akan bisa bermakrifat sekarang juga. Bukan dengan menunggu-nunggu apa yang katanya ILHAM, berupa perkataan-perkataan: “Akulah Allah, Akulah Yang Maha Besar," dan perkataan-perkataan lainnya seperti yang selama ini dicari-cari dan ditunggu-tunggu oleh para pemraktek meditasi dan dzikir-dzikir tertentu.

Allah, maka Dia berhak MENGAKU kepada kita:

Dzat-Nya adalah Wajibul Wujud. Yang Tiada Permulaan dan Tiada Akhir Dialah Dzat Yang Awal, Yang Maha Indah. Dari Sedikit Dzat-Nya, terdzahirlah Semua Ciptaan, Oleh karena itu Dialah Yang Dzahir Hakikat di sebalik semua ciptaan, adalah Dzat-Nya, yang tidak terlihat oleh mata, Maka Dialah Yang Batin. Dari Dzat-Nya lah tercipta segala sesuatu di Lauhul Mahfuz, Maka Dialah yang Maha Meliputi segala sesuatu. Dzat-Nya ada di mana-mana, di setiap ciptaan-Nya Dzat-Nya bersamamu di manapun kamu berada. Dzat-Nya lebih dekat dari urat lehermu

Karena Dzat-Nya Meliputi Lauhul Mahfuz, maka:

Dialah Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengawasi, Maha Mengetahui, Yang Maha Berkuasa atas segala apapun juga yang berada di dalam Lauhul Mahfuz itu.

Karena Lauhul Mahfuz adalah ciptaan, padahal segala sesuatu selain Dzat-Nya akan musnah, maka ketika semuanya sudah musnah, yang akhir hanyalah Dzat-nya,

Sungguh Dialah Yang Akhir.

Page 41: Tentang ma'rifatullah 1

41

Dialah Yang Awal dan Dialah Yang Akhir.

Dengan memahami Hakekat semua Ciptaan ini adalah berasal dari sedikit dari Dzat-Nya, maka dengan mudah pula kita akan bermakrifat kepada Allah:

Tidak ada siapapun yang tahu bagaimana rupa Allah swt. Tidak Ada sesuatu pun serupa dengan Dia (Asy Syura 42: 11)

Tidak ada seorangpun yang seumpama dengan Dia (Al Ikhlas 112: 4)

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (Al Anaam 60: 103)

Nah, Allah yang seperti inilah yang harus kita INGAT (Dzikiri) setiap saat, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, seperti kita mengingat orang tua kita (Al Baqarah 200).

Kalau kita sudah bisa ingat kepada Allah yang sebenarnya, yang hakiki seperti ini, maka pastilah Allah akan menyambut rasa ingat kita itu dengan menurunkan Riqqoh ke dalam dada kita, sebagai tanda bahwa Diapun telah mengingat kita.

Selanjutnya adalah proses petunjuk, pengajaran, pemberitahuan dari Allah tentang hal-hal yang kita butuhkan sesuai dengan takdir atau lakon atau peran yang sedang dan yang akan kita mainkan di dalam fungsi kekhalifahan kita di muka bumi ini. Proses inilah yang disebut sebagai proses turunnya Ilham kepada kita, yaitu Allah berkenan membukakan sedikit lebih awal rahasia-rahasia atas peristiwa-peristiwa yang akan kita alami atau orang lain alami beberapa waktu kemudian. Atau jawaban-jawaban yang tidak kita sangka-sangka atas persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi saat ini atau yang akan kita hadapi dikemudian hari. Karena memang hakekatnya semuanya sudah terencana dengan sangat matang dan sempurna di dalam kitab yang nyata Lauhul Mahfuz. Dan Allah berkenan membukakannya sedikit lebih awal kepada kita. Pengungkapan itupun terjadi karena Rahmat dan Kasih Sayang-Nya kepada kita. Bukan karena kehebatan kita. Itu karena kita telah bersedia untuk menjadi abdi-Nya, pesuruh-Nya, alat Perkakas-Nya untuk memakmurkan bumi ini, sehingga Diapun berkenan membekali kita dengan fasilitas-fasilitas yang akan kita butuhkan dalam menjalankan tugas kita itu…

Lalu kita mau mengaku apa di hadapan Allah? Masihkah kita bisa mengaku di hadapan-Nya??

Page 42: Tentang ma'rifatullah 1

42

Artikel 15 : Pengakuan

http://yusdeka.wordpress.com/2014/02/21/pengakuan/

DARI SISI ALLAH, Dia berhak mengaku apa saja kepada kita, hatta kepada setiap makhluk ciptaan-Nya sekalipun. Karena memang hakikat dari semua ciptaan itu adalah sebagian kecil dari Dzat-Nya Sendiri, Dzat Yang Maha Agung. Ini bisa diibaratkan seperti kita mengakui jari kelingking kita adalah diri kita sendiri. Ketika seseorang memukul jari kelingking kita itu, kita berhak berkata kepadanya: “Kenapa engkau pukul aku ? Jari kelingkingku ini adalah aku.” Kita juga berhak berkata kalau kepala kita adalah kita. Ketika seseorang memegang kepala kita, kita akan berkata: “Kenapa engkau pegang aku?”. Dan seterusnya.

Karena Dzat-Nya Meliputi segala sesuatu, Maka Allah berhak berkata :

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar tetapi Allah-lah yang melempar… (Al Anfaal 8: 17)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – ia berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam - telah bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi salah seorang wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya, dan tidaklah seorang hamba mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu pekerjaan yang lebih Aku sukai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku tidak henti-hentinya mengerjakan amalan-amalan sunnah (melengkapi amalan-amalan fardhu) sehingga Aku mencintainya, dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia melakukan pekerjaan, dan kakinya yang dengannya ia melangkah, dan jika ia meminta niscaya Aku kabulkan, dan jika ia mohon perlindungan niscaya Aku akan melindunginya, dan tidak pernah Aku enggan sedikitpun terhadap pekerjaan yang Aku lakukan seperti keengganan-Ku ketika mencabut nyawa orang yang beriman, ia membenci (kesulitan) dalam menghadapi kematian, sedangkan Aku tidak suka menyiksanya (ketika ajalnya datang menjelang).” (HR. Bukhari).

Allah berhak berkata kepada orang-orang yang Dia CINTAI: Pendengaranmu adalah pendengaran-Ku. Penglihatanmu adalah Penglihatan-Ku. Tahumu adalah Tahu-Ku. Hidupmu adalah Hidup-Ku. Gerakmu adalah Gerak-Ku. Ruhmu adalah Ruh-Ku.

Page 43: Tentang ma'rifatullah 1

43

Hatimu adalah Hati-Ku. Tanganmu adalah Tangan-Ku. Kakimu adalah Kaki-Ku..

Hanya Dia sajalah yang berhak untuk berkata seperti itu.

SEBALIKNYA, DARI SISI MANUSIA, tidak satu orang manusiapun yang berhak untuk mengatakan kata-kata yang sama kepada siapapun.

Sehingga orang yang beriman dan dicintai oleh Allah, TIDAK akan pernah mengaku WUJUD kepada sesama manusia. Ia hanya akan berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, Subhanallah, Alhamdulillah, laa ilaaha illallaah, Allahu Akbar, Laa haula wala quwwata illabillah !"

Ia hanya akan berkata: Allahlah Yang Maha Besar. Allahlah Yang Maha Suci. Allahlah Yang Maha Tahu. Allahlah Yang Maha Melihat. Allahlah Yang Maha Mendengar.

Ia hanya akan berkata: Allahlah pemilik diri-ku. Allahlah pemilik ruh-ku. Allahlah pemilik anak-ku. Allahlah pemilik istri/suami-ku. Allahlah pemilik harta-ku.

Tidak ada satupun yang bisa ia akui sebagai miliknya. Sebab begitu ia mau mengaku-ngaku maka segera saja ia terkejut melihat, dengan hatinya, bahwa ternyata Dzat Wajibul Wujudlah di sebalik semua yang ingin ia akui sebagai miliknya itu. Sehingga lidahnyapun kelu. Ia hanya terdiam tanpa sempat berkata-kata sepatah katapun untuk mengaku…

Akan tetapi, orang-orang yang terhijab dari berma’rifatullah, akibat salah dalam memahami hakikat dirinya sendiri, seperti dalam paham : Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, Insan Kamil, dan Rabithah Mursyid yang telah dibahas sebelumnya, maka keliru pulalah mereka bermakrifat, sehingga mereka akan sering berkata-kata SYATAHAT. Dari mulut mereka munculnya pengakuan-pengakuan ketika mereka mengalami ekstasis, bahwa mereka adalah Allah:

Page 44: Tentang ma'rifatullah 1

44

Akulah Al Haq. Siti XXXXX tidak ada, yang ada adalah Allah. Akulah Tuhan. Yang ada dalam jubahku adalah Allah. Subhani. subhani. Jadilah aku Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aku adalah Aku. Dia adalah aku, aku adalah Dia. Engkau adalah Engkau.

Itu semua terjadi karena mereka keliru dalam memahami HAKIKAT semua ciptaan. Allah dikira Alam, Alam dikira Allah. Wahdatul Wujud. Sehingga diri sendiripun kemudian dikira Allah. Manusia lainpun dikira Allah. Manusia lain dikira Anak Allah. Allah dikira banyak. Satu dalam ramai, ramai dalam satu.

Page 45: Tentang ma'rifatullah 1

45

Artikel 16 : Membahas Dzat ? How Come ?

http://yusdeka.wordpress.com/2014/02/22/membahas-dzat-how-come/

Kalau sudah sampai di hakikat, yaitu memahami DZAT sebagai unsur azasi dari semua ciptaan, maka kita tidak bisa lagi membahas Dzat itu untuk kita cari-cari hakikat-Nya yang lebih lanjut. Tidak bisa. Kita akan langsung saja bermakrifat bahwa Dzat itu menamakan Diri-Nya dengan sebutan: “Allah”. Kita langsung bermakrifat kepada Allah, ma’rifatullah. Kalau Dzat-Nya masih bisa dibahas, dan dipertentangkan, maka itu artinya kita masih belum sampai pada hakikat yang sebenarnya. Artinya, kita masih berada pada tatanan Sifat. Dan kita pasti akan ramai dalam perdebatan.

Untuk Dzat-Nya, kita hanya cukup beriman bahwa Dia:

Tidak serupa dan seumpama apapun juga. Tidak berhuruf. Tidak berbunyi. Tidak berwarna. Tidak berbentuk.

Laisa kamistlihi syai’un.

Kalau masih ngotot untuk membahas-bahas Dzat-Nya, maka pastilah kita segera akan jatuh ke dalam jurang kesesatan. Dan tentu saja itu adalah jalan yang penuh dengan Kesulitan dan Penderitaan. Pasti.

Sebenarnya, setelah berma’rifatullah, setelah kita sudah tahu bahwa hakikat dari semua ciptaan ini adalah Dzat Allah, maka kita tinggal MENGINGAT-INGAT DZAT-NYA itu (dzikrullah, waspada, khasyaf), baik ketika kita SHALAT maupun DI LUAR SHALAT. Kita INGAT ketika kita memandang semua yang terpandang. Kita WASPADA ketika kita mendengar semua yang terdengar. Kita KHASYAF ketika kita merasakan semua yang terasa. Kita TIDAK LALAI untuk mengingat bahwa DI SEBALIK semua itu ada Dzat-Nya yang Wajibul Wujud. Selain dari Dzat-Nya tidaklah wujud. Fana.

Bahkan kita akan tetap ingat dan waspada kepada Dzat-Nya di setiap bencana yang menghadang, derita yang menghimpit, bahagia yang membuncah, sedih yang menggigit, tangis yang mengharu biru, darah yang menganak sungai, dang tangis yang menyobek angkasa, bahwa semua itu terjadi karena takdir atau peran yang telah Dia tetapkan kepada Sedikit dari Dzat-Nya untuk terjadi menjadi segala peristiwa dan kejadian.

Jadi apapun juga yang ada di depan kita, ketika kita masuk ke PINTU INGATAN, maka yang teringat oleh kita adalah DZAT-NYA. Saat kita sudah bisa untuk selalu ingat kepada Dzat-Nya

Page 46: Tentang ma'rifatullah 1

46

dalam keadaan apapun juga, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, maka kita disebut sebagai orang yang sudah selalu ingat kepada Allah, Dzikrullah. Dan rasa ingat itu akan bertambah dan bertambah seiring dengan perjalanan waktu.

Karena kita sudah SELALU INGAT dengan Dzat-Nya, Dzikrullah, ketika kita menyebut Nama-Nya (Allah); ketika kita berucap “subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar”; ketika kita rukuk dan sujud untuk menghormat dan memuja Allah; ketika kita berdo’a kepada Allah, maka ucapan-ucapan dan aktifitas kita itu sudah bisa disebut sebagai ucapan dan aktifitas orang yang sudah BERIMAN kepada Allah. Artinya, ingatan, kewaspadaaan, dan khasyaf kita dengan ucapan-ucapan dan aktifitas yang kita lakukan sudah berada pada tatanan yang sama, sudah SINKRON. Yaitu dalam rangka untuk MENGAGUNGKAN dan MENGINDAHKAN DZAT-NYA yang memang MAHA AGUNG dan MAHA INDAH.

Akan tetapi ketika kita menyebut Nama-Nya (Allah); ketika kita berucap subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar; ketika kita rukuk dan sujud untuk menghormat dan memuja Allah; ketika kita berdo’a kepada Allah, INGATAN kita saat itu malah sedang berkelana dan melanglangbuana kepada berbagai CIPTAAN dan PERMASALAHAN yang sedang kita hadapi, maka kita disebut sebagai ORANG MUNAFIK. Orang yang sedikit sekali mengingat Allah. Orang yang RIA. Orang yang akan melakukan semua ucapan-ucapan dan perkerjaannya itu dengan malas-malasan. Pak Ogah.

Selanjutnya, kalau kita dengan SENGAJA mengingat SESUATU yang lain dari selain Dzat-Nya ketika kita berucap “subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar”; ketika kita rukuk dan sujud untuk menghormat dan memuja Allah; ketika kita berdo’a kepada Allah, maka kita disebut sebagai orang yang TERSESAT. Artinya kita tersesat dalam bermakrifat. Kita tercover (KAFIR) dalam memahami HAKIKAT yang sebenarnya. Sudah barang tentu cara-caranya yang akan kita dapatkan akan jadi rumit dan sulit, dan hasilnya juga akan begitu-begitu saja.

Sebab kalau kita benar dalam bermakrifat, artinya kita bermakrifat kepada Allah, ma’rifatullah, maka cara-cara yang akan kita tempuhpun pastilah mudah, dan hasilnya juga akan sangat menakjubkan. Sebab, dalam setiap peristiwa, kita akan selalu melihat dengan gamblang sebuah hubungan timbal balik yang sangat jelas antara Dzat-Nya > TAKDIR > dan Seluruh Ciptaan Yang terzahir (LAUHUL MAHFUZ).

Dengan mudah kita akan melihat sistem tertutup DI DALAM LAUHUL MAHFUZ, Di dalam Setitik kecil Dzat-Nya:

Dzat-Nya ( Yang Batin) > TAKDIR > Dzat-Nya (Yang Zahir), begitupun sebaliknya, Dzat-Nya (Yang Zahir) > TAKDIR > kembali menjadi Dzat-Nya ( Yang Batin).

Bahwa SETIAP CIPTAAN terzahir dari Dzat-Nya (Yang Batin) karena TAKDIR atau PERAN yang telah ditetapkan untuknya. Kalau peran atau takdir itu sudah selesai dijalankan oleh ciptaan

Page 47: Tentang ma'rifatullah 1

47

tersebut, maka ia pun kembali menjadi Dzat-Nya (Yang Batin). Musnah ! Sebab hanya Dzat-Nya lah Yang Awal dan Yang Akhir.

Ia tidak bisa ke luar atau menghindar sedikitpun dari takdir yang telah dikalungkan atau diikatkan pada “lehernya”. Rela atau tidak, setiap ciptaan akan menjalani destinynya sendiri-sendiri sesuai dengan takdir, skenario, dan peran yang telah ditetapkan untuknya. Dan takdir itu bekerja tanpa ampun, walau pada hakikatnya itu terjadi pada Dzat-Nya sendiri.

Page 48: Tentang ma'rifatullah 1

48

Artikel 17 : Memahami TAKDIR atau PERAN

https://yusdeka.wordpress.com/2014/02/25/memahami-takdir-atau-peran/

Kalau kita tidak paham tentang makna dari TAKDIR atau PERAN, maka kita akan selalu BERTENGKAR, RIBUT, BERSELISIH, BERBANTAHAN, CEKCOK, BERKELAHI, dan GONTOK-GONTOKAN, baik dengan sesama manusia maupun dengan Allah.

1. Pertama, mari kita lihat bagaimana proses terjadinya pertengkaran di antara sesama manusia.

a. Berbeda pendapat ataupun hanya sekedar berbeda kalimat-kalimat saja, telah membuat umat manusia ini begitu terkotak-kotak. Yang satu menyalahkan yang lain, yang lain mencela dengan tak kalah sengitnya. Apalagi kalau sudah berbeda bangsa, agama, dan kepercayaan, teruk sekali. Sejarah panjang umat manusia telah membuktikannya dengan telak bahwa perbedaan-perbedaan itu ternyata bisa nyawa yang jadi taruhannya.

b. Yang paling terasa adalah kalau ada sesuatu label yang bisa kita lekatkan kepada diri kita sendiri, yang biasanya sering kita sebut sebagai milikku, aliranku, kepahamanku, ilmuku, hartaku, anakku, istriku, suamiku, jabatanku, dan atribut-atribut kita yang lainnya, yang kemudian saling bersinggungan dengan orang lain yang juga mengakui hal yang sama sebagai milikmya. Ribut dan gaduh antara kita yang saling mengaku itu sangatlah parah sekali. Kawan bisa jadi lawan, guru bisa jadi musuh, murid bisa jadi saingan, anak pecah hubungan dengan orang tua, diantara sesama saudara jadi bercerai berai, atasan menganiaya bawahan, bawahan menipu atasan, aparat dan kelengkapan negara menghisap darah rahyat, dan rakyatpun menggelepar penuh caci maki dan murka.

2. Kedua, pertengkaran kita dengan Allahpun tidak kalah sengitnya. Sejuta kata kenapapun membubung tinggi memenuhi angkasa sebagai tanda bahwa kita saat itu sedang protes terhadap kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita, atau peristiwa yang tidak enak yang langsung menimpa diri dan ke luarga kita. Bahkan jejaring sosial pun penuh dengan berbagai status dan artikel yang berisikan kegalauan, kegundahan, dan penuh dengan tanya “kenapa”.

Misalnya, Kenapa gunung ini meletus, kenapa terjadi gempa, kenapa ada tsunami, kenapa harus banyak yang mati terbunuh, kenapa ada perang, kenapa anak kecil harus mati, kenapa banyak wanita harus mati, kenapa rumahku terbakar, kenapa aku sakit, kenapa anakku menderita, kenapa pasanganku kabur, kenapa orang tuaku meninggal, kenapa bangsaku kacau, kenapa pejabat di negaraku banyak yang korup, kenapa aku

Page 49: Tentang ma'rifatullah 1

49

miskin, kenapa aku harus menderita, kenapa begini, seharusnya khan begini ?! Kenapa begitu, seharusnya khan begitu ?! Kenapa ? Kenapa ? Kenapa, haa ?

Begitulah kejadian-kejadian yang akan kita hadapi dan sikap yang akan kita ambil selama hidup kita kalau kita tidak paham tentang Takdir dan Peran yang telah Allah tetapkan kepada SELURUH MAKHLUK-Nya di dalam Kitab Yang Nyata (LAUHUL MAHFUZ). Bahwa semua kejadian itu dan apapun serta siapapun yang terlibat di dalamnya hanyalah SANDIWARA ALLAH belaka.

Muhammad 47 : 36

“Sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah PERMAINAN dan SENDA GURAU belaka”.

Tapi, Sandiwara, permainan, dan senda gurau itu begitu sempurnanya, sangat sempurna, sehingga para pemainnya tidak sedikitpun yang menyadari bahwa mereka sebenarnya hanyalah sekedar pemeran atau aktor saja untuk peran-peran tertentu yang telah Allah tetapkan untuk mereka di dalam Lauhul Mahfuz.

Namun, sungguh beruntunglah orang-orang yang menyadari dan mengetahui bahwa semua itu hanyalah senda gurau Allah belaka :

Az Zumar 39 : 9

“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui, Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Bahwa:

Al Isra 17 : 13

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.”

Betapa tidak sandiwara, sejak Allah berkata “KUN.”, Allah telah membuka layar kehidupan yang di dalamnya Dia akan bersandiwara kepada Dzat-Nya yang sedikit, sehingga kemudian dari Dzat-Nya yang sedikit itu terzahirlah berbagai CIPTAAN dengan perannya masing-masing, yang harus dijalankan oleh ciptaan itu sesuai dengan SCRIPT, Skenario, atau TAKDIR yang telah ditentukan untuknya.

Setiap pemeran dari peran itu telah diberikan hak dan tanggung jawabnya untuk ia pikul; Telah diberikan waktu dan ruangnya untuk ia mengada; Telah disediakan fasilitas dan peralatannya untuk ia beraktifitas; Telah dibuatkan KEMUDAHAN agar ia bisa menjalankan perannya itu dengan Mudah; dan Telah disiapkan pula berbagai cipta dan rasa agar ia bisa berperan dengan TOTAL.

Page 50: Tentang ma'rifatullah 1

50

Kun, saat Dia berfirman kepada sedikit dari Dzat-Nya Yang Maha Agung, maka tertulislah sebuah RENCANA INDUK yang sangat Sempurna, rencana yang tidak ada sedikitpun yang terlupakan, rencana yang tidak bisa berubah sedikitpun dari awal sampai akhir. Rencana Maha Sempurna (Lauhul Mahfuz) yang sudah berjalan dan tinggal menunggu waktu saja lagi untuk terzahir.

Demi Masa, Wal ‘ashri, seiring berjalannya waktu, maka terzahir dan terjadilah apa-apa yang harus terzahir dan terjadi : Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi 70 Lapisan Tirai Nur, yang akan

menirai Dzat-Nya Yang Maha Agung, agar nantinya semua Ciptaan di dalam tirai itu tidak hangus terbakar saat terpandang Dzat.

Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Arasy. Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Lapisan Air di bawah Arasy. Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Sidratul Muntaha. Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Ruh Muhammad yang diletakkan oleh

Allah di Sidratul Muntaha, sambil Ruh Beliau itu menungu proses penzahiran 7 lapis Langit dan bumi, tempat di mana Beliau nantinya TERLAHIR untuk menjadi Rahmat bagi seluruh langit dan Bumi itu.

Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Malaikat, dan juga Jin Azazil (yang nantinya akan berperan sebagai Iblis).

Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi 7 lapis langit dan bumi. Sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi segala isi dan perlengkapan yang

berada diantara langit dan bumi itu untuk menunggu penzahiran manusia pertama, Adam. Terzahirlah menjadi galaksi-galaksi, bintang-bintang, matahari, planet, bumi, gunung-gunung, lautan, pepohonan, dan berbagai binatang serta hewan.

Sesuai dengan TAKDIRNYA masing-masing, Tirai Nur telah menjalankan perannya dengan sempurna, begitu juga Arasy, lapisan Air di bawah Arasy, Sidratul Muntaha, 7 lapis langit, bumi beserta isi dan perlengkapan yang ada di antara keduanya. Semuanya berjalan begitu sempurna. Setelah itu, tinggal sekarang menunggu MASA penzahiran pemeran-pemeran utama yang akan meramaikan panggung sandiwara yang salah satu lokasinya adalah di BUMI. Ya Bumi.

Untuk itu, maka sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Adam, lalu Hawa. Lalu Malaikat, Azazil (salah satu Jin yang pada awalnya satu peringkat dengan Malaikat), dan Adam pun, menjalankan perannya masing-masing. Menjalankan destinynya masing-masing. Rela atau tidak, mereka harus menjalankan takdirnya masing-masing. Adam nantinya harus ke luar dari syurga. Ia harus ke luar dari alam yang sangat dekat dengan Allah, Karena saat itu Bumi telah menunggunya untuk berperan di sana. Dengan sebuah skenario yang sangat sempurna, terjadilah apa yang harus terjadi.

Page 51: Tentang ma'rifatullah 1

51

Ketika melihat tampang Adam yang ada di depan mata mereka, malaikat sempat agak salah baca dan salah dalam menilai Adam. Apalagi takdir Adam sedikit “terbaca” oleh malaikat, yaitu sebagai si penumpah darah. Tambahan lagi, malaikat tersebut juga merasa ada. Sebab selama ini mereka merasa telah menjadi makhluk yang sangat patuh kepada Allah. Ya, malaikat tanpa sadar telah mulai mengaku. Aku yang patuh dan shaleh kepada Allah.

Azazilpun begitu, dia merasa terheran-heran dan tak habis pikir, kenapa di depannya harus ada sosok yang asalnya hanya dari tanah. Sosok yang berbau tanah, busuk. Azazil “merasa” bahwa dirinya yang dari api, lebih baik dari Adam yang dirinya hanya dari tanah. “Aku lebih baik dari Adam”, katanya meradang.

Di tengah-tengah kegamangan Malaikat dan protes keras Azazil atas keberadaan Adam itu, dari balik 70 Tirai Nur, Allah berfirman :

Al Baqarah 2 : 30

“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Lalu Allah menakdirkan Adam untuk mengetahui nama-nama benda, apapun juga. Sebab dengan nama-nama itulah nanti Adam akan membangun peradaban kelak di muka bumi. Adam menyebutkan nama-nama benda yang ternyata tidak sedikitpun diketahui oleh Malaikat dan Azazil. Malaikat akhirnya sadar bahwa di sebalik diri Adam yang terbuat dari unsur-unsur tanah itu, ternyata adalah Dzat Allah sendiri. Dzat-Allah yang terzahir menjadi diri Adam. Karena hanya Allahlah Yang Maha Tahu segala sesuatu dan Maha Bijaksana.

Lalu ketika Allah berfirman :

Al Baqarah 2 : 34

“Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka (malaikat) kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.

Malaikat langsung tersujud dan tersungkur begitu menyadari bahwa di sebalik diri Adam itu ternyata adalah sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, yang terzahir menjadi diri Adam. Malaikat menyadari hakikat sebenarnya dari Adam, sehingga Ia pun segera bermakrifat kepada Allah. Iapun sujud kepada Adam. Sujud kepada sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, yang terzahir menjadi Adam. Malaikat akhirnya sadar bahwa di sebalik diri Adam ternyata hakekatnya sama dengan yang di sebalik dirinya sendiri, yaitu semata-mata Dzat-Nya.

Sebaliknya Azazil gagal memahami hakikat diri Adam yang sebenarnya. Ia hanya melihat

Page 52: Tentang ma'rifatullah 1

52

bahwa hakikat Adam tak lebih dari segumpal TANAH. Ya, hanya tanah. Sementara ia sendiri “menyangka” bahwa hakikat dirinya adalah dari Api. Ya, hanya api. Yang terlihat olehnya adalah sifat. Dia melihat sifat api dan sifat tanah. Ada dua sifat yang berbeda. Bisa dibahas dan bisa diperbincangkan. Karena ia (Azazil) melihat ada DUA yang exist, ada tanah dan ada api, maka segera saja ia akan terperosok untuk membanding-bandingkan kedua-duanya. Ia mengira api lebih baik dari tanah. Iapun berkesimpulan bahwa “Ana khairu minhu, saya lebih baik dari Adam. Sebab api lebih baik dari tanah”.

Ia tercover (KAFIR) untuk menyadari bahwa hakikat dirinya sendiri dan diri Adam itu sebenarnya adalah sama, yaitu Dzat-Allah sendiri yang terzahir menjadi dirinya dan diri Adam. Ia gagal dalam berhakikat, sehingga gagal pulalah ia dalam berma'rifat. Ia akhirnya melawan perintah Allah, yang nantinya akan diikuti pula oleh manusia-manusia yang takdirnya sudah ditentukan Allah untuk sama dengan Iblis. Takdir menjadi orang-orang yang tercover dari memahami hakikat penciptaan yang akan membawa mereka juga gagal dalam bermakrifat kepada Allah.

Lalu Malaikat, Adam, dan Azazil (yang kemudian lebih terkenal dengan nama IBLIS) pun mulailah menjalankan destinynya masing-masing. Malaikat tetap menjalani takdirnya untuk dapat hidup “dekat” dengan Allah. Selanjutnya Malaikat ini pulalah nanti yang akan menjalankan tugasnya untuk membantu umat manusia dalam memahami tentang kebaikan. Ia akan berperan untuk menjalankan hanya lakon kebaikan saja.

Sementara Iblis pun mulai pula menjalani takdirnya untuk hidup terlempar jauh dari kerajaan Allah. Bahkan untuk sekedar mendengar-dengarkan kabar dari langit saja ia sudah tidak mampu lagi, karena begitu ia mencoba-coba untuk mencuri dengar kabar dari langit, ia segera saja diburu oleh panah-panah api yang akan membakarnya. Ia pun telah bersiap-siap pula untuk menajalankan peran antagonisnya di hadapan umat manusia. Ia akan berperan pula untuk menjalankan hanya lakon keburukan, kekafiran saja. Ia akan selalu membuat umat manusia untuk menjadi was-was dalam menjalanan hidupnya.

Adampun untuk sementara bisa merasakan hidup dekat dengan Allah. Syurga. Hidup seperti di alam rahim IBU. Apa saja kebutuhan makanan dan buah-buahan, sudah tersedia untuknya. Untuk menambah nikmatnya hidup di dalam Alam Kerahiman Allah itu, Allahpun telah memperlengkapi Beliau pula dengan seorang istri, yaitu Hawa. Sungguh di dalam hidupnya sudah tidak ada lagi rasa takut dan khawatir. Namun suasana hidup di syorga itu hanya untuk sementara waktu saja. Sebab destinynya yang sebenarnya bukanlah untuk hidup di alam syurga itu. Adam akan diangkat oleh Allah untuk menjadi wakil-Nya, khalifah-

Page 53: Tentang ma'rifatullah 1

53

Nya, perkakas-Nya dalam membentuk peradaban umat manusia di muka bumi. Untuk pengangkatan itu, hanya tinggal sebuah skenario saja lagi yang harus tersaji di layar sandiwara kehidupan. Dengan IZIN Allah, terjadilah apa yang harus terjadi. Dengan sentuhan-sentuhan peran Iblis, Adam dan istrinya Hawa pun akhirnya memakan “buah terlarang” yang tadinya tidak boleh mereka makan. Begitu memakannya, seketika itu pulalah Adam dan Hawa “terlempar” ke muka bumi untuk memulai tugas dan perannya untuk menjadi cikal bakal bagi lahirnya peradaban umat manusia sampai kepada zaman kita sekarang ini dan di masa-masa yang akan datang. Dari RAHIM Hawa kemudian lahir pulalah anak-anak Beliau yang nantinya akan menurunkan pula keturunan-keturunannya untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Sejak saat itu umat manusiapun berkembang biak, peradabanpun berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu kedokteranpun berkembang dengan sangat cepat dan mencengangkan. Apa-apa yang tadinya sulit dan tidak mungkin untuk terjadi dan dilaksanakan, menjadi mudah dan mungkin. Makin lama hidup umat manusia yang pada awalnya sangat sulit dan keras menjadi semakin mudah dan nyaman.

Walaupun setting waktu dan lokasinya bisa berbeda-beda, namun peran-peran di panggung sandiwara itu harus tetap berjalan sesuai dengan skenario awal. Harus ada yang berperan untuk peran yang baik, yang jahat, yang kuat, yang lemah, yang sukses, yang gagal, yang gembira, yang sedih, yang bahagia, yang nestapa, dan peran-peran lainnya. Ada peran-peran yang dipermudah dengan jalan ilham fujur, dan ada peran-peran yang dipermudah dengan jalan ilham taqwa.

Malaikat sudah jelas perannya, yaitu untuk simbol bagi peran yang baik-baik saja. Begitu juga Iblis, perannya sudah selalu mengikuti jalur keburukan dan kekafiran. Mau tidak mau malaikat dan iblis harus begitu. Itulah destiny mereka sampai dengan semua skenario di dalam pertunjukan sandiwara selesai dipergelarkan. Sampai semua ciptaan natinya suatu SAAT akan kembali Musnah, sehingga yang WUJUD akhirnya hanyalah semata-mata DZAT Yang Maha Agung, DZAT Yang Maha Indah. Sebab Dialah Awal dan Dialah Yang Akhir. Allah !

Peran bintang-gumintang, matahari, bulan, bumi, gunung-gunung, samudera, lembah dan sungai, angin, awan, hujan, tumbuhan dan pepohonan, hewan, dan ciptaan lainnya pun sudah jelas pula. Semuanya hanyalah berperan sebagai penyangga, pemanis, latar belakang, dan tanda-tanda peristiwa untuk setiap skenario yang akan dijalankan oleh pemeran utama, yaitu umat manusia.

Sekarang tinggal kita mencoba untuk memaknai dan memahami peran umat manusia sesuai dengan skenario atau TAKDIR yang telah ditetapkan untuk masing-masing manusia pada zamannya sendiri-sendiri pula. Dengan memahami takdir ini, kita tidak akan pernah lagi berbuat ONAR, GADUH atau MAKAR dengan sesama manusia maupun dengan Allah.

Setelah Adam dan Hawa terzahir, kemudian sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir pula

Page 54: Tentang ma'rifatullah 1

54

menjadi para Nabi dan Rasul pada zamannya masing-masing. Diantara lebih dari 124.000 Nabi-nabi dan Rasul-rasul, ada dua puluh lima orang yang yang diterangkan di dalam Al Qur’an dan Al Hadist, yang antara lain adalah : Adam, Idris, Nuh, . . . , Ibrahim, Isma’il, . . . , Musa dan Harun . . . , Sulaiman, . . . , Isa . . . , dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad Saw. Di samping itu ada pula nama Khidir As, yang sangat fenomenal di zaman Nabi Musa As. Peran yang harus dijalankan oleh semua Nabi dan Rasul itu adalah sama, yaitu untuk mengingatkan kembali umat manusia tentang Dzat Wajibul Wujud yang menjadi sebab musabab terciptanya semua manusia dan semua ciptaan yang ada di Lauhul Mahfuz, sehingga akhirnya mereka pun bisa kembali bermakrifat kepada Allah. Sebab ternyata pada zaman masing-masing Nabi dan Rasul itu, ada pula sebagian besar dari umatnya yang telah ditakdirkan Allah untuk berperan sebagai orang-orang yang LUPA tentang Dzat Wajibul Wujud ini.

Pada sisi lainnya,

. . . para Nabi dan Rasul itu memberikan contoh yang sangat pas dan sempurna pula tentang bagaimana seharusnya setiap manusia bersikap

dalam menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan hidup.

Bagaimana sikap mereka untuk sabar, untuk menerima semua takdir yang menimpa mereka : Ada takdir Nabi Nuh yang dihadapkan dengan anak beliau yang tidak mau mengikuti

beliau untuk naik keperahu ditengah-tengah banjir bah, sehingga anak beliaupun meninggal.

Ada takdir Nabi Ibrahim yang diberikan perintah oleh Allah untuk menyembelih anak Beliau, Nabi Ismail.

Ada takdir Nabi Ayub yang harus mengadapi penyakit kulit yang sangat parah. Ada takdir Nabi Yunus yang hidup sekian lama di dalam perut ikan paus. Ada takdir berliku yang harus dialami oleh Nabi Musa. Ada takdir yang sangat menyengsarakan secara lahiriah yang harus dialami oleh

Rasulullah saw dalam kehidupan Beliau.

Namun, dalam menghadapi semua itu, Beliau-Beliau hanya berkata: “Inna lillahi wainna ilahi rajiun, semuanya berawal dari Dzat (Allah) dan kembali kepada Dzat (Allah), dzalika taqdirul ‘azizil ‘alim, sesungguhnya semua ini adalah takdir, ketentuan, dari Dzat Yang Memiliki Mutlak Kegagahan dan Maha Mengetahui”. Dan selanjutnya, apapun juga yang Beliau-Beliau lakukan, semuanya itu semata-mata adalah akibat dari adanya wahyu atau ilham, atau petunjuk tentang bagaimana seharusnya Beliau-Beliau bersikap kepada Allah. Makanya Beliau-Beliau sangat mudah sekali dalam menjalankan semua kebaikan dan ketaqwaan. Semua itu tanpa usaha, tanpa berpikir, tanpa bersusah payah, tanpa rasa takut dan khawatir.

Page 55: Tentang ma'rifatullah 1

55

Sebagai partner, atau teman berperan, tempat ke mana Beliau-beliau nanti akan menyampaikan pesan-pesan dan petunjuk dari Allah, dan juga sebagai lawan tanding untuk menggembleng kekuatan dan kesempurnaan Beliau-Beliau itu dalam berbagai keadaan, maka sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi para kafirin, para fasikin, seperti Fir’aun, Qarun, Namrud, dan pengikut-pengikut mereka semua. Mereka pun, tanpa ada yang bisa menolaknya, harus menjalankan peran-peran mereka dengan sangat sempurna. Sebab mereka juga akan selalu dicurahkan ilham tentang Kefujuran. Petunjuk dan tuntunan untuk berbuat fujur. Takdir membuat mereka harus berkata-kata dan berbuat kefujuran dengan sangat mudah. “Ana rabbakumul a’la”, kata Fir’aun dengan sangat lancar. Namrud dengan sangat mudah dan pas tersangkut di penyembahan berhala. Qarun dengan sangat tepat dan mudah terhijab dengan hartanya. Abu Jahal dan Abu Lahab dengan sangat lancar dan sempurna menjalankan perannya untuk berbuat jahil kepada Rasulullah saw dan umat Islam di zamannya. Si jahat dengan mudah melenggang kangkung dengan kejahatannya. Si pembunuh begitu mudahnya untuk membunuh sesama manusia. Si pencuri dan si koruptor dimudahkan jalannya untuk mencuri dan korupsi. Bahkan mereka difasilitasi oleh Allah dengan berbagai jabatan, kedudukan, dan ilmu pengetahuan yang nantinya akan memudahkan mereka untuk mencuri dan korupsi itu. Sungguh para pemeran peran antagonis itu menjalankan skenario, yang telah dilekatkan ke batang lehernya masing-masing, dengan begitu pas dan sempurna. Tanpa cacat.

Demikianlah kisah sandiwara kehidupan yang akan selalu berulang di setiap zaman selama langit dan bumi ini masih ada. Ada orang-orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk meneruskan tradisi Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Mereka akan dimudahkan oleh Allah untuk menerima tongkat estafet sebagai penerus fungsi-fungsi kenabian dan kerasulan. Untuk menjelaskan hakikat semua alam ciptaan ini, dan untuk menjelaskan bagaimana seseorang seharusnya bersikap di hadapan Allah.

Untuk terlaksananya peran pemegang penerus tongkat fungsi kenabian dan kerasulan itu, maka di setiap zaman harus ada pula orang-orang yang akan berperan sebagai si kafir, si fasik, si ragu-ragu, si plin-plan, si jahat, dan si pelaksana peran-peran buruk lainnya. Di mana semua mereka itu adalah sebagai penerus atau pemegang tongkat estafet fungsi-fungsi peran Fir’aun, Qarun, Namrud, Abu Jahal dan Abu Lahab, dan tentu saja iblis.

Mereka semua itulah orang-orang yang akan selalu diberitahu oleh pemegang tongkat estafet penerus Nabi-nabi dan Rasul-rasul, yang sering disebut sebagai ARIF BILLAH, tentang kebutaan mereka terhadap hakikat diri mereka sendiri dan juga hakikat dari semua alam ciptaan lainnya. Mereka juga akan diberitahu tentang bagaimana mereka bersikap yang seharusnya di hadapan Allah.

Sengaja kata diberitahu ini digarisbawahi, karena tugas Nabi-Nabi, Rasul-rasul, dan para Arif Billah itu memang hanyalah sekedar memberitahukan yang benar itu adalah benar dan yang

Page 56: Tentang ma'rifatullah 1

56

salah itu adalah salah saja. Hanya memberi tahu saja. Sedangkan hasilnya, apakah seseorang akan menjadi baik atau tidak, itu semata-mata adalah hak prerogatif Allah. Karena Allah telah meletakkan takdir untuk setiap ciptaannya pada “lehernya” masing-masing.

Al Isra (7 : 13

“Tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada leher mereka”.

Sunan Ibnu Majah, Bk. 1, 66 (1992)

Tidak seorangpun daripada kamu kecuali sudah ditetapkan tempatnya di syurga atau di neraka.

Dalam perjalanan waktu, sudah ditakdirkan pula bahwa selalu ada saja orang-orang yang berubah dari yang semula sangat mudah untuk berbuat Fujur kemudian menjadi sangat mudah untuk berbuat Taqwa. Mereka diberi hidayah oleh Allah. Diberi petunjuk. Akan tetapi perubahan mereka itu bukanlah akibat TUAH atau KEHEBATAN dari sipemegang tongkat estafet penerus Nabi-Nabi dan Rasul-rasul yang menyampaikan tugasnya kepada mereka. Sebab perubahan mereka dari Fujur menjadi Taqwa itu sendiri sudah tertulis, sudah ditakdirkan, di dalam buku besar rencana kehidupan (Lauhul Mahfuz).

Begitupun sebaliknya, akan selalu ada pula orang-orang yang pada awalnya mereka adalah beragama Islam, kemudian dengan cara-cara yang sangat khas seperti akibat perkawinan, kekurangan makanan, dipaksa pindah agama, dan sebagainya, mereka kemudian bertukar agama menjadi penganut agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, atau bahkan menjadi tidak beragama. Untuk bertukar agama itupun orang-orang tersebut dimudahkan, kemudian dikuatkan, dan difasilitasi pula oleh Allah. Sehingga walau dengan nasehat atau hukuman yang bagaimanapun kerasnya, mereka tetap akan tidak berubah pendirian. Kokoh sekali pendirian mereka, sesuai dengan peran baru atau takdir yang mereka sandang.

Demi MASA…, maka sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi kita semua yang hidup saat ini. Kita bisa menyaksikan bahwa tahu-tahu kita sudah menjalankan peran kita sesuai dengan TAKDIR kita masing-masing. Keinginan kita untuk ke luar dari takdir atau peran kita saat ini begitu sulit sekali rasanya, walaupun kita tahu bahwa peran atau skenario lain di luar sana banyak yang lebih baik dari peran yang sedang kita jalankan saat ini.

Kita seperti dipaksa untuk berjalan di sebuah REL yang khusus diperuntukkan hanya buat diri kita sendiri. Walaupun kita bisa melihat bahwa Rel itu bisa bercabang ke kiri dan ke kanan, namun kita tidak bisa berbelok ke kira

Page 57: Tentang ma'rifatullah 1

57

atau ke kanan. Boleh jadi kita bisa melihat bahwa dibelokan itu suasana dan keadaanya lebih baik dari keadaan dan suasana pada REL yang sedang kita lalui. Namun kita tidak bisa berbelok kesana. Sebab pintu masuk ke kiri dan ke kanan itu tertutup untuk kita masuki. Walaupun di samping kita juga ada REL lain yang kelihatannya mirip dan searah dengan REL yang kita jalani, namun sekali-kali kita tidak bisa untuk berpindah ke REL tersebut. Karena REL tersebut sudah dihuni pula oleh orang-orang lain. REL itu khusus hanya buat mereka masing-masing pula. Sendiri-sendiri.

Misalnya, ada REL yang disebut sebagai peran seorang DOKTER, maka walaupun ada sejuta orang yang memerankan peran dokter itu, tidak ada satupun pemerannya yang bisa tertukar-tukar. Setiap dokter itu punya perannya sendiri-sendiri. Unik. Begitu pula dengan REL-REL atau peran-peran yang lainnya, ada peran ahli hukum, ahli sipil, ahli keuangan, ahli manajemen, ahli teknologi, ahli mekanika, ahli kimia, ahli biologi, ahli ahli fisiologi, ahli psikologi, ahli mekanika quantum, ahli filsafat, ahli hadist, ahli tafsir, ahli fiqih, ahli wirid, dan sebagainya. Ada rel-rel khusus untuk peran presiden, menteri, rakyat, ulama, pemuka-pemuka agama dan lain-lain.

Setiap peran itu bisa dimainkan oleh beribu-ribu bahkan berjuta-juta pemeran atau aktor sesuai dengan settingan lokasinya yang ternyata sengaja pula dibuat sangat beragam oleh Allah. Beragam benua, suku bangsa, negara, daerah, dan bahasa. Allah sengaja membuatnya berbeda dan beragam begitu, walaupun dengan sangat mudah Allah bisa pula membuatnya menjadi seragam dan sama.

Tapi di sebalik keberagaman itu pada hakikatnya adalah Dzat-Nya sendiri. Sebab Allahlah yang telah memberikan berbagai peran untuk Dzat-Nya sendiri dengan sebab KUN yang telah Dia sabdakan kepada sedikit dari Dzat-Nya, sehingga kemudian terzahirlah berbagai aktor atau pemeran laku. Masing-masingnya akan menjalankan scrip atau skenarionya sendiri-sendiri ditengah-tengah keseluruhan skenario kehidupan yang telah disusun Allah dengan sangat sempurna (Lauhul Mahfuz).

Makanya tidak aneh pula kalau sekarang ini bermunculan pula peran-peran yang kelihatannya saja baru, tapi sebenarnya itu hanyalah pengulangan peran-peran di masa lalu saja, tapi dengan ke intensitas dan magnitude yang berbeda, sesuai dengan zamannya. Peran-peran itu adalah…

Page 58: Tentang ma'rifatullah 1

58

Artikel 18 : Peran Tukang Sihir

http://yusdeka.wordpress.com/2014/03/12/peran-tukang-sihir-bagian-1/

Allah adalah Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang Maha Hebat, Dzat Yang Maha Berkreasi. Untuk memperlihatkan Kemahaindahan-Nya, Kemahahebatan-Nya, dan Kemahakreasian-Nya itu, maka sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, dizahirkan-Nya menjadi Dark energy, Dark matter, dan Visible matter, yang semuanya itu boleh dikatakan sebagai alam semesta raya yang bisa diamati (observable universe), tidak termasuk 7 lapisan langit di atasnya. Ya…, kesemuanya itu barulah alam semesta yang teramati (observable universe). Hanya sekedar yang bisa diamati saja, terutama dengan bantuan teleskop modern. Dan itupun masih belum termasuk 7 lapisan langit di atasnya. Di mana kesemuanya itupun hanyalah sebahagian yang sangat kecil (sangat sedikit) saja dari Keseluruhan Alam Ciptaan (Lauhul Mahfuz) yang sangat besar dan sangat luas. Dan kesemuanya itu dizahirkan-Nya untuk keperluan sebagian kecil umat manusia yang nantinya akan diberi-Nya tugas untuk membaca dan mengungkapkan rahasia-rahasia-Nya yang berserakan di alam semesta raya itu untuk kepentingan, kemudahan, dan kesejahteraan seluruh umat manusia.

Sekarang para ahli ilmu pengetahuan telah dapat memperkirakan bahwa di alam semesta yang bisa diobervasi (observable universe), sekitar 74% adalah Dark energy, 22% adalah Dark matter, dan hanya 4% saja yang berupa Visible matter. Jadi dari semua alam raya ini, hanya sekitar 4% saja yang bisa terlihat oleh mata telanjang ataupun dengan bantuan teleskop ultra modern. Sisanya adalah kegelapan.

Di dalam yang 4% itu terdapat ribuan atau jutaan Gugus Super Cluster yang salah satunya adalah Virgo Supercluster. Di dalam Virgo Supercluster itu terdapat pula jutaan Local Galactic Group yang salah satunya adalah Milky Way Galaxy. Di dalam Milky Way Galaxy inipun terdapat jutaan Solar Interstellar Neigborhood yang salah satu diantaranya adalah Solar System yang kita huni saat ini. Di dalam solar system yang kita huni inilah terdapatnya matahari, bumi, dan planet-planet lainnya.

Dark Energy

Dark Matter

Visible Matter

Page 59: Tentang ma'rifatullah 1

59

Bayangkan, semua yang telah diuraikan itu besar dan luasnya barulah hanya 4% saja dari total keseluruhan alam semesta raya yang bisa di observasi oleh ilmu pengetahuan (observable universe), dan itu belum termasuk 7 lapisan langit yang berada di atasnya. Sedangkan sisanya yang 96% lagi tetap menjadi misteri yang tak terjawab oleh berbagai ilmuan sampai saat ini. GELAP. DARKNESS. Kegelapan total. Hitam legam tanpa cahaya. Tetapi di dalam kegelapan itu penuh dengan materi dan energy yang tidak bisa terlihat dengan panca indera kita. Dark matter dan Dark energy.

Apalagi kalau ditambah dengan 7 lapis langit di atasnya, lalu Sidratul Muntaha, lalu Lapisan Air yang sangat Masiv yang berada di atas Sidratul Muntaha, lalu Arasy yang berada di atas lapisan Air yang sangat Masiv itu, dan kemudian 70 Tirai Nur yang berada di atas Arasy itu yang menabiri Seluruh Ciptaan agar tidak musnah terbakar jika “terpandang” oleh Keagungan DZAT Yang Maha Indah, DZAT Yang Maha Agung, Yang Menamakan Diri-Nya dengan ALLAH, tentu luas dan besarnya sudah tidak dapat dibayangkan lagi. Dan itupun baru berasal dari sedikit saja Dzat-Nya yang terzahir menjadi semua ciptaan itu, yang ukurannya tidak lebih dari seukuran sebutir pasir dipadang pasir, atau setetes air masin ditengah samudera luas tak bertepi terhadap Dzat-Nya Yang Maha Indah. Allahu Akbar…

Pernah seorang manusia istimewa duduk di balik tabir 70 cahaya itu untuk berbicara langsung dengan Dzat Yang Maha Indah itu yang menamakan Diri-Nya dengan Allah. Manusia istimewa itu duduk di sebuah tempat yang tidak bisa dimasuki lagi oleh Malaikat Jibril sekalipun. Yaitu di di atas Arasy di bawah tabir 70 Cahaya yang melindungi diri Beliau dari hangus terbakar jika terpandang Dzat-Nya Yang Maha Indah. Beliau itu adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan peristiwa berhadap-hadapan antara Beliau dengan Allah di balik tabir 70 Cahaya itu dikenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebuah peristiwa yang sangat dahsyat, fenomenal, dan sangat penting untuk kita pahami agar kita bisa kembali merasakan kehidupan yang sangat akrab antara kita dengan Allah saat di alam Azali dulu.

Sungguh, peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu adalah sebuah perjalanan untuk meninggalkan semua Alam Sifat yang sangat beragam, ramai, hingar-bingar, dan riuh-rendah, lalu masuk dan berenang di Alam Hakikat Dzat-Nya yang sedikit, yang tidak bisa lagi dibahas dan diperbincangkan, untuk kemudian berhenti di “pintu” Samudera Makrifat Dzat-Nya yang Maha Agung dan Maha Indah, Yang Menamakan Diri-Nya Dengan Allah…

Ketika itulah Beliau menerima syariat shalat yang nantinya akan bisa pula dipakai oleh ummat Beliau untuk bertemu dan berkata-kata dengan Allah di Alam Makrifat, seperti yang Beliau alami dalam peristiwa Isra’ dan Mij’raj itu. Ashshalatu Mi’rajul Mukminin…., sungguh shalat itu adalah sarana pula bagi orang-orang yang beriman untuk melakukan Mi’raj, dan untuk berkata-kata dengan Allah, Dzat Yang Maha Indah.

Namun sayang di sayang…, sejak berbilang zaman setelah wafat Rasulullah, Para Sahabat,

Page 60: Tentang ma'rifatullah 1

60

Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in, nasib kita umat Islam ini ketika kita mendirikan Shalat sungguh sangat menyedihkan. Kita nyaris kehilangan makna hakiki dari syariat shalat yang sangat hebat ini.

Sungguh sebuah nestapa hidup yang sangat menyedihkan sekali ketika kita dengan tertatih-tatih dan terseok-seok tetap harus berusaha untuk mendirikan shalat ini, namun

seperti kita berkata-kata dengan Allah dahulu di alam Azali. “Alastu Birabbikum, bukankah Aku Tuhanmu?”, sapa Allah dengan sangat lembut. Dan ketika itu kita menjawabnya dengan sangat santun: “bala syahidna, benar Ya Allah, hamba bersaksi Engkaulah Tuhanku…”.

Seharusnya kita bisa kembali bersikap seperti itu di dalam shalat kita, tapi entah kenapa kita gagal untuk mendapatkannya. Walau untuk itu kita sudah berusaha pula untuk melatihnya dengan berbagai metoda dan teknik yang memang banyak ditawarkan kepada kita melalui berbagai media. Aneh memang, tapi itu nyata…

Kita seakan-akan telah dibuat lupa dengan sebuah hadist Rasulullah yang sangat mendasar, yaitu Ma’rifatullah:

Shahih Muslim Bk 1, 28 (1998)

“Engkau akan datang kepada suatu kaum Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang pertama-tama engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada Allah Azza wa Jallah. Apabila mereka telah mengenal Allah (Ma’rifatullah), maka beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam”.

Dan kemudian hal ini diamini pula oleh berbagai orang seperti:

Al Ghazali, Minhajul Abidin, 24 (1997).

Wajib bagimu mengenali dahulu siapa yang harus disembah, setelah itu baru engkau menyembah-Nya,

. . . kita gagal untuk mereguk nikmatnya rukuk, sujud, dan berkata-kata dengan Allah di dalam shalat itu, . . .

Shalat kita seperti tinggal hanya gerakan-gerakan tubuh dan bacaannya saja, sedangkan “isinya” sudah hilang entah kemana.

Page 61: Tentang ma'rifatullah 1

61

Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Sirrur Asrar, 17 (1997)

Manusia tidak akan beribadah kepada-Nya tanpa Makrifat yang sesungguhnya,

Sayid Sabiq, Aqidah Islam, 30 (1998)

Makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang merupakan dasar atau landasan yang di atasnya didirikan segala kehidupan kerohanian,

Kelihatannya penyebab kegagalan kita itu sederhana saja, bahwa kita kehilangan landasan atau lantai berpijak sebelum kita melakukan shalat itu, yaitu MA’RIFATULLAH. Namun dampaknya ternyata besar sekali. Bisa meruntuhkan keagungan dan manfa’at shalat secara keseluruhan…, mengerikan sekali.

Artinya apa?

Banyak kita umat Islam ini yang sudah buru-buru mendirikan shalat sementara itu kita masih belum mengenal Allah (Ma’rifatullah) dengan

benar. Sehingga ketika kita mengucapkan pujaan kita, penghormatan kita, rukuk dan sujud kita, yang kesemuanya itu seharusnya ditujukan kepada

Allah, malah jadi melenceng kepada berbagai wujud yang selain Allah. Syirik.

Tambahan lagi, kalau untuk belajar Ma’rifatullah itu saja kita butuh waktu tahunan, kalau tidak mau dikatakan belasan atau bahkan puluhan tahun, dengan anekdot Syariat-Tarekat-Hakikat-Makrifat yang sangat kental itu, bagaimana jadinya dengan shalat yang kita kerjakan selama waktu-waktu kita belum bisa bermakrifat dengan cara-cara seperti itu ? Sebab ternyata masing-masing tarekat itu juga menghasilkan berbagai macam teknik dan objek pikir (hakikat) yang digunakan oleh pengamalnya dalam proses penggemblengan dirinya.

Bagaimana kita akan bisa berma’rifatullah kalau mengenai hakikat semua ciptaan ini saja kita juga masih banyak yang keliru dan tersasar-sasar. Alam dikira Allah, Allah dikira Alam. Diri sendiri dikira Allah, Allah dikira diri sendiri. Nur Muhammad dikira Wujud Hakiki. Wajah Syech selalu di ingat-ingat (dzikir). Dan lain-lain sebagainya. Padahal dalam kekeliruan berhakitat itu kita juga melakukan shalat dan berbagai ibadah (tentu saja bagi yang masih shalat dan beribadah, sebab banyak juga orang yang mengaku sudah sampai kepada tahapan ini yang sudah tidak mau shalat dan tidak beribadah lagi).

Lalu, bagaimana kita akan bisa mengenal Hakikat dari semua ciptaan ini kalau kita masih selalu terpesona dan bahkan meributkan berbagai Sifat Ciptaan yang ada di depan mata kita. Kita juga saling ribut tentang diri kita; kita ramai tentang apa-apa yang kita miliki; kita berselisih tentang sifat-sifat kita; kita bertengkar tentang golongan-golongan, aliran, dan

Page 62: Tentang ma'rifatullah 1

62

agama kita.

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya,

Kita terlalu banyak yang terpesona dengan 4% visible matter yang ada di alam semesta ini.

Kita terlalu kagum melihat apa-apa yang terlihat; Kita terlalu terpesona mendengar apa-apa yang terdengar; Kita terlalu sibuk dengan apa-apa yang terasa, terbaui, dan terkecap.

Semuanya itu kita rasakan telah menjadi diri kita, milik kita, sehingga iapun selalu kita pikir-pikirkan dan rasa-rasakan setiap saat. Dalam kondisi seperti itulah kita kemudian mendirikan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Jelas saja itu tidak akan berpengaruh sedikitpun kepada kehidupan kerohanian kita. Itu justru malah akan menambah dan meningkatkan rasa keakuan dan kepemilikan kita terhadap semua benda-benda yang terpindai oleh panca indera kita itu.

Karena kita merasa bahwa shalat kita, do’a-do’a dan ibadah kita yang lain sudah tidak punya pengaruh apa-apa lagi terhadap kebahagiaan dan

ketenangan hidup kita, maka Allahpun mengirimkan fasiltas lain kepada kita untuk mencari rasa bahagia dan rasa tenang dalam hidup kita, yaitu

tukang-tukang sihir. Mereka mempesona kita melalui kenikmatan pandangan mata, pendengaran telinga, dan kata-kata manis yang membuai serta melenakan pikiran dan perasaan kita. Kita dininabobokan oleh orang-orang yang kerjaannya sehari-harinya memang adalah untuk menciptakan

kesenangan, kebahagian, ketenangan, keamanan, dan kenikmatan artificial (PALSU) untuk orang lain yang mempercayainya.

Tiba-tiba saja diantara kita ada yang terseret-seret, sengaja atau tidak sengaja, untuk memasuki alam praktek tukang-tukang sihir modern yang terkenal dengan berbagai istilah seperti Hipnoteraphy dan Hipnotis, Gendam, Metafisika dan Supranatural, Quantum Vibrasi, dan nama-nama keren lainnya seperti Powerfull Prayer (Spirituality), Provocative Therapy, Energy Therapy (EFT), Loving Kindness Therapy, Cognitive Therapy (NLP), Behavioral Therapy, Logotheraphy, Psychoanalisa, Self Hypnosis (Ericksonian), Sugesty & Affirmation, Visualization, Gestalt Therapy, Meditation, Sedona Method, di samping nama-nama tradisional lainnya seperti: pelet (jarah jauh dan jarak dekat), berbagai ajian dan jimat yang katanya hebat-hebat, dan berbagai ilmu kesaktian seperti meditasi, tenaga dalam, reiki, prana, ilmu hikmah dan lain-lain sebagainya.

Page 63: Tentang ma'rifatullah 1

63

Kesemua pemeran praktek-praktek sihir modern seperti di atas ternyata adalah generasi penerus untuk melanjutkan peran yang pernah dipikul oleh tukang-tukang sihir hebat di zaman Fir’aun dulu. Di setiap zaman harus ada peran seperti itu, yang gunanya adalah untuk memberi lawan tanding yang sepadan buat mematangan peran dari pemeran-pemeran yang meneruskan peran Nabi Musa, dan Nabi-Nabi lainnya sampai ke Nabi Muhammad. Para penyihir modern itu gunanya adalah untuk menyempurnakan keimanan dan peran dakwah yang diemban oleh para penerus tugas Nabi-nabi seperti para Arif-Billah, Aulia, Wali-Wali, Ulama, Ustad, dan sebagainya. Dan untuk memainkan kedua peran yang saling bertentangan ini, Allah juga telah menyiapkan ladang atau wilayah kerja untuk masing-masing peran itu agar sandiwara kehidupan ini bisa tergelar dengan sempurna.

Untuk para tukang sihir modern, Allah telah memfasilitasi mereka dengan lahan untuk beraktifitas di wilayah visible matter (yang besarnya hanya 4% dari seluruh alam semesta yang bisa diobservasi – observable universe), dan ditambah sedikit lagi di wilayah dark matter dan dark energy.

Mereka, yang kebagian peran tukang sihir modern ini, akan dipaksa oleh TAKDIR mereka sendiri untuk setiap saat harus menjalankan perannya tanpa mereka bisa ke luar sedetikpun dari peran itu. Setiap hari mereka akan dibuat berpikir, dibuat hilir mudik, dibuat berkelana, dibuat sibuk memasarkan peran-peran mereka ketengah-tengah gelanggang kehidupan.

Page 64: Tentang ma'rifatullah 1

64

Mereka akan sibuk menulis buku, mengadakan seminar, melaksanakan praktek terapi, karena nafkahnya pun sebagian besar berasal dari peran yang mereka emban itu. Mereka sangat serius dalam menekuni peran mereka itu, tanpa mereka sadari bahwa Takdirlah sebenarnya yang telah memaksa mereka untuk berbuat serius itu.

Mereka dipaksa sibuk setiap saat untuk menguak dan memecahkan berbagai rahasia Takdir (qada, qadar) yang telah dilekatkan oleh Allah terhadap setiap : visible matter, dark matter, dan dark energy. Karena difasilitas oleh Allah sendiri, sebab semua materi, dan energi itu adalah penzahiran atas sedikit dari Dzat Allah, maka hasilnyapun memang sangat luar biasa sekali. Materi, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat, seperti bisa mereka atur-atur dengan sekehendak hati mereka. Energi seperti patuh dan tunduk kepada keinginan mereka. Dan itupun hanya mereka lakukan dengan cara mengolah cara-cara berpikir dan melakukan beberapa gerakan tubuh saja.

Ada pula mereka yang merasa bisa mengatur-atur turunnya hujan, munculnya sinar matahari, mendatangkan kesembuhan, dan juga mendatangkan penyakit. Hal itu mereka lakukan dengan cara berdoa sendirian atau bersama-sama, atau bisa juga hanya berupa ungkapan-ungkapan keyakinan atas apa-apa yang diingini itu yang dibarengi dengan memasukkan perasaan-perasaan tertentu bahwa semua itu bisa terjadi dan terlaksana dalam waktu yang amat singkat.

Hebatnya, sebagai pelengkap dari fasilitas itu, Allah juga berkenan menyusupkan perasaan senang dan bahagia atas keberhasilan mereka itu sehingga rasa bisa dan rasa hebat merekapun semakin menjadi-jadi. Mereka akan semakin terhijab untuk memahami hakikat dari diri mereka sendiri dan juga hakikat dari visible matter, dark matter, dan dark energy yang menjadi pusat keasyik-masyukan mereka. Pada wilayah ini, beragama atau tidak, shalat atau tidak shalat, berdo’a atau tidak berdo’a, hasilnya sama saja. Ada kehebatan dan hasil yang menakjubkan yang muncul dari aktifitas itu. Dan itupun terjadi hanya dengan jalan memikirkannya saja. Makanya banyak orang yang tadinya shalat kemudian setelah memasuki peran tukang sihir ini akhirnya menjadi tidak shalat, atau paling tidak shalatnya akan menjadi so so saja.

Akan tetapi dalam hal menjalankan perannya, mereka akan menjadi semakin serius dan semakin serius saja untuk memerangkap dan menangkap orang-orang yang juga sedang menjalankan perannya sebagai orang yang ragu-ragu. Si ragu-ragu, si plin-plan (qalb). Mau menjalankan peran penerus nabi-nabi ia dibuat ragu-ragu, mau menjalankan peran penerus Tukang sihir Fir’aun ia juga dibuat ragu-ragu. Sehingga dengan begitu, semakin ramai dan

Page 65: Tentang ma'rifatullah 1

65

riuh-rendahlah kehidupan para tukang sihir itu setiap waktu. Karena memang ada peran orang yang ragu-ragu itu, yang sedang dijalankan oleh sebagian besar umat manusia untuk meramaikan lakon si tukang sihir itu.

Apalagi di tengah-tengah keragu-raguan sebagian besar umat itu, muncul pula orang-orang yang melakukan teknik-teknik yang sebenarnya sama saja dengan cara-cara di atas, tapi bedanya hanya dengan menambah-nambahkan lantunan ayat-ayat Al Qur’an dan beberapa dzikir (yang di sini lebih tepat disebut sebagai wirid atau mantra) di dalam prakteknya. Misalnya ruqyah “masa kini”, Pengobatan dengan cara dzikir-dzikir tertentu, dan sebagainya.

Kenapa ruqyah “masa kini” dan terapi dzikir-dzikir masa kini itu sama saja dengan metoda tukang-tukang sihir seperti di atas ? Jawabannya sederhana saja, karena orang-orang yang diterapi dengan cara itu terlebih dahulu disuruh rileks dan kemudian digiring untuk masuk ke dalam state of mind gelombang Alfa dan bahkan sampai ke Theta melalui lantunan ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir itu. Sedangkan pikiran mereka sebelum di ruqyah atau melakukan dzikir itu sudah terfokus kepada jin atau syetan yang dikatakan sedang merasuki tubuh mereka.

Klop sudah…! Otak mereka dalam state gelombang alfa, dan ada objek fikir yang terpusat kepada jin atau syetan, maka jadilah mereka keter-keter dan kelojotan seperti disembelih, atau menangis histeris, atau teriak-teriak. Kemudian ditambah pula dengan beberapa bagian tubuh mereka ditekan oleh sang terapis sehingga mereka merasa kesakitan, dan dibarengi pula dengan kata-kata bentakan : “Jin…, ke luar engkau…, ke luar…”.

Lalu tidak berapa lama kemudian, akhirnya getaran mereka itu dinetralisir, atau tepatnya netral dengan sendirinya. Karena sifat dari getaran-getaran seperti itu adalah ia akan hilang dengan sendirinya ketika otak mereka telah menyesuaikan diri dengan frekuensi getaran yang muncul itu. Hal itu sama dengan kalau tangan mereka sakit pada saat awal terluka, tapi beberapa lama kemudian sakit itu sudah tidak mereka rasakan lagi, walau luka ditangan mereka itu masih mengeluarkan darah. Itu terjadi karena otak mereka sudah bias menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialaminya (control gate theory). Perilaku otak yang seperti ini gunanya adalah untuk melindungi diri mereka sendiri dari merasakan sakit yang berkepanjangan.