tarikh tasyrik 4

37
TARIKH TASYRI’ 4 Periode pembinaan hukum masa khulafur rasyidin

Upload: ali-me

Post on 14-Feb-2017

50 views

Category:

Education


4 download

TRANSCRIPT

TARIKH TASYRI 4

TARIKH TASYRI 4Periode pembinaan hukum masa khulafur rasyidin

A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN DAN PERKEMBANGANNYAPeriode Khulafaur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11 41 H atau 632 661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang undang dan terbukanya pintu pintu Istinbath Hukum dalam kejadian kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari pemuka pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash nash hukum dalam al Quran dan al Hadits yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran penafsiran nash serta sebagai penjelasannya.

Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para sahabat untuk benar benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek Politik

a. Kekhalifahan Abu Bakar (11 13 H atau 632 634 M)

Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah imamah atau kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini, masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab, akan dengan mudah hancur atau terpecah belah kembali, di samping kekhawatiran adanya serangan dari bangsa bangsa lain, seperti dari bangsa Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu terancam.

Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya menjadi khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat islam saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat bahwa Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama, namun kemudian dicegah oleh Umar bin Khattab

Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang terkenal dengan sebutan Tsaqifah. Peristiwa ini terjadi di Madinah, tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah mayoritas keturunan suku Aus dan suku Khazraj yang secara historis telah menjadi musuh bebuyutan semenjak pra-islam.Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah tertanam nilai nilai islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal itu membuat mereka bermusuhan kembali.

Pada saat itu datanglah para sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian langsung memproklamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat Islam. tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku Aus dan Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari golongan anshor.

Namun, meskipun demikian, ternyata pada akhirnya kedua suku itu - dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka yang turut membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama tidak lebih hanyalah sebuah perfect disguise (Pura pura yang sempurna).Fakta sejarah telah membuktikan bahwa dipilihnya Abu Bakar saat itu sebagai seorang Khalifah dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:

Dari segi Nasab, Abu Bakar yang merupakan keturunan dari bani Taim, keturunan suku Quraisy, nama lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Kaab bin Saadalah bin Taim. Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang suku Quraisy. Sekelompok suku minoritas yang tidak memihak kubu manapun itu ternyata telah dianggap sebagai mediator bagi suku Aus dan Khazraj yang membutuhkan seorang pemimpin yang tidak berasal dari kelompok mereka. Apakah pemimpin itu bernama Abu Bakar atau Abu Jahal atau siapapun, bagi mereka itu bukanlah hal yang penting, karena saat itu mereka sedang mempertaruhkan suatu hal yang sangat besar, yaitu kelangsungan hidup kedua suku mereka.

Hal lain yang mendukung pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah saat itu adalah bahwa saat itu beliaulah yang paling sepuh di antara para sahabat terdekat. Pada masa sebelum pembaiatannya sebagai khalifah, Abu Bakar juga berpidato kepada Kaum Anshor yang berbunyi : Sesungguhnya orang orang Arab tidak mengakui kekuasaan ini kecuali untuk orang orang Quraisy. Setelah 2 tahun memerintah (11 13 H) akhirnya Abu Bakar menghembuskan Nafasnya yang terakhir pada bulan Jumadil Akhir 13 H atau 634 M, setelah sebelumnya mewasiatkan Umar sebagai Khalifah Penerusnya.

b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 23 H atau 634 643 M)

Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi bin Kaab. Bani Kaab juga termasuk keturunan Quraisy. Dalam Islam, sebenarnya masalah masalah kekhalifahan yang termasuk masalah keduniawian harus melalui ijma atau musyawarah. Sebagaimana firman Allah ( ). Namun agaknya dalam pengangkatan Umar bin Khattab ini terjadi sedikit permainan Politik di tangan kaum Quroisy.

Sebuah makalah yang ditulis oleh Henri Lammens yang berjudul Kelompok Politik Tiga Orang (triumvirat) Abu Bakar, Umar bin Khattab dan abu Ubaidah, yang menceritakan keakraban mereka bertiga sejak awal masuk islam, dalam peperangan, hingga kepergiannya ke pertemuaan saqifah tanpa memberitahu sahabat lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk mengajukan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama, ternyata tidak berhenti sampai di sini saja, persekongkolan politik mereka berlanjut hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar kepada Umar di tengah tengah sahabat yang lain sebagai khalifah penggantinya.

Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi konflik politik lagi seperti dahulu, namun sebagai manusia berjiwa Arab yang menjunjung kesukuan Quraisy, tentu saja dia tidak ingin masyarakat islam dipimpin oleh selain Suku Quraisy, sehingga dia kemudian berinisiatif untuk mewariskan kekhalifahannya kepada Umar bin Khattab.Berbeda dengan Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan Politik, Umara adalah sosok sahabat yang memiliki naluri negarawan atau jiwa nasionalis yang besar, arif akan liku liku kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras.

Umar bukanlah prajurit yang hebat di medan peperangan, bila dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib atau Hamzah, namun dalam mengatasi kemelut politik ini, dia termasuk pemberani yang sedia juga menerjang bahaya. Ia malah berani menghapus kalimat adzan ( ) yang artinya : marilah melakukan amal yang baik, konon untuk mengarahkan semangat perang jihad dan agar lebih memompa semangat kaum muslimin yang disebarkan ke berbagai penjuru, ia juga berani menambahkan kalimat ( ) yang artinya : Shalat itu lebih baik daripada tidur, dia juga orang pertama yang menjuluki didrinya sebagai Amiru al mukminin, orang pertama yang membuat Penanggalan Islam atau Kalender Hijriyah yang dimulai awal Hijrah Nabi Muhammad SAW, memelopori perluasan masjidil haram, membentuk kantor pemerintahan, mata uang dan masih banyak lagi

Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat sebuah konspirasi politik yang dirancang oleh musuh musuh islam, terutama kalangan Yahudi dan Persia, yang sangat membencinya karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan dari muka Bumi. Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak Persia, Abu Luluah al Majusi.

Namun karena sahabat terdekat seperjuangannya telah meninggal dunia, maka dia pun mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk dalam orang orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu : Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan Saad bin Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini umar berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai khalifah penerusnya. Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun lamanya.

c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 35 H atau 644 656 M)

Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abdu Syams, berasal dari bani Umayyah. Setelah kematian Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama sama tidak berhasrat untuk menjadi khalifah, satu persatu di antara mereka mengundurkan diri hingga akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat, manakah yang mereka pilih sebagai khalifah, Utsman atau Ali.

Dia dibaiat sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada masa pemerintahannya jumlah kekayaan kaum muslimin sangat banyak sekali dan dia melihat bahwa banyak gubernur gubernur yang kurang cakap memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan penggelapan uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengganti gubernur gubernur yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur gubernur baru, yang tentu saja berasal dari keturunan bani Umayyah.

Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang yahudi, Abdullah bin Saba untuk menyebarkan fitnah di kalangan umat islam Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada prinsipnya bahwa Utsman telah merebut hak Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak dari Mesir, Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama sama menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah, namun Ali yang mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan menjelaskan duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali ke masing masing daerah.

Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba membuat surat fitnah atas nama khalifah, Ali dan Aisyah yang di dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan mengepung kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba yang kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para pemberontak ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca al Quran mushaf Utsmaninya.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah al Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam Dzulhijjah tahun 35 H atau 656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan al Quran dalam satu mushaf setelah khawatir terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah sabah, kemudian menamainya dengan Rasm Utsmani dan membakar al Quran yang lainnya untuk memelihara persamaan bacaan di antara kaum muslimin yang pada saat itu sudah sangat luas sekali kekuasaannya.

d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 40 H atau 656 661 M)

Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi di kalangan umat islam. Ali bukanlah orang yang pandai dalam hal politik, dia lebih dikenal sebagai sosok pintu ilmu dan juga seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara Muawiyah yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali.

Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah olah sedang menumbuhkan musuh musuh di sekelilingnya, seperti Muawiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali terbunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya peristiwa pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan Aisyah serta Muawiyah, yang dikonspirasi oleh Muawiyah sebagai usaha balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H atau 661 M. Dengan meninggalnya Ali bin Abu Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.

2. Aspek Fiqih

Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah masalah baru terkait dengan budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana yang kita ketahui daerah Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah Mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafaur Rasyidin ini terasa sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding periode berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri.

Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jamai sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa fatwa dan masail fiqih belum ditulis seperti juga sunnah.Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil dalil dan kaidah kaidah Istidlal.

B. SUMBER - SUMBER TASYRI

1. Al Quran

Al Quran adalah sumber primer dalam penggalian atau pembentukan hukum islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat, Tabiin hingga sekarang peran al Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama atau primer yang wajib didahulukan daripada sumber hukum lainnya. Al Quran adalah kalam Allah yang diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW bertahap tahap sesuai dengan permasalahan yang terjadi di sekitar Nabi pada masa itu, atau permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi, atau hal hal lainnya yang belum diketahui manusia.

Pengimplementasian al Quran dalam bentuk kalam insan ini terjadi karena Sang Pemilik Kalam (Allah swt) menghendaki agar kalamNya dapat dipahami untuk dijadikan sebuah pedoman, disebarkan, diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sehingga jika hal ini yang dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut harus memuat unsur unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di berbagai space, time and people di seluruh dunia.

2. Al HaditsBila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al Quran, maka selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan permasalahan hukum tersebut kepada al Hadits selaku sumber hukum kedua (Sekunder). Hal ini juga berlaku umum untuk seluruh masa perkembangan hukum islam. Pada masa Khulafaur Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar benar diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang diriwayatkan oleh perowi dalam keadaan maudhu atau dibuat buat. Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun mensyaratkan para perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya ketika meriwayatkan suatu hadits tertentu.

3. Ijtihad SahabatJika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam al Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Royu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syari yang bersumber dari al Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma atau qiyas, baru kemudian maslahah.

Ijma terjadi secara jamai terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma tidak harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi atau tanya jawab antara dua orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing masing punya metode sendiri sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.

C. SEBAB SEBAB IKHTILAF PADA MASA SAHABAT

Sebab sebab ikhtilaf yang terjadi pada masa pemerintahan para sahabat sangatlah banyak, yang akan kami sebutkan sebagai berikut :1. Perbedaan dalam memahami nash al-Quran dan Hadits.Hal ini disebabkan karena ketidak jelasan batasan antara pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat, seperti lafadz () dalam firman Allah Taala ( ) Umar dan ibnu Masud mengartikan bahwa () bermakna haid, sedangkan Zaid bin Tsabit mengartikannya dengan suci, dan tiap-tiap pendapat memiliki argument yang menguatkannya masing-masing.

2. Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang saling berlawanan.Para fuqoha pun sepakat bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan dengan beberapa tahapan atau metode sebagai berikut :Mencari benang merah antara kedua ayat tersebut, bila tidak ditemukan maka menggunakan metode kedua.Metode At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu nash hukum dengan nash hukum lainnya karena ada dalil yang menguatkannya, bila tidak ditemukan dalil yang menguatkannya maka dipakailah metode ketiga.

Metode Nasakh yaitu hukum nash yang pertama dihapus oleh hukum nash kedua yang datang belakangan. Contohnya masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, apakah dia beriddah hamil atau beriddah kematian suaminya?. Dalam al-Quran disebutkan :Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya... (QS. At-Thalaq : 4). Di ayat lain disebutkan : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234).

Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari benang merah dari kedua nash di atas dan beliau kemudian berpendapat bahwa iddahnya adalah masa iddah yang paling lama dari dua masa iddah tersebut, sedangkan Ibnu Masud hukum ayat pertama menghapus hukum ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10 hari jika sudah melahirkan maka berakhirlah masa iddahnya, hal ini diperkuatnya dengan hadits nabi yang menerangkan bahwa nabi mengizinkan Subaiah al-Aslamiyah untuk menikah lagi setelah melahirkan anaknya beberapa hari semenjak kematian suaminya.

3. Sebagian fuqoha memutuskan suatu peristiwa berdasarkan pengetahuannya dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih.Contoh: Perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dengan Ibnu Masud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum mengadaka hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan karena pada zaman tersebut sunnah atau hadits-hadits Nabi belum dibukukan, maka tingkat kuantitas hadits yang didapat dan dihafal oleh para sahabat juga relatif beda antara satu dan yang lain, tergantung seberapa seringnya mereka berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya, atau kepada para sahabat periwayat hadits.

4. Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha.Yang kemudian memunculkan beberapa perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini, dan muncullah beberapa perbedaan pendapat dalam satu persoalan yang sama, yang sebenarnya hal ini akan mampu memperkaya tsarwah fiqhiyyah. Contohnya perbedaan penentuan illat hukum. Ini terjadi ketika seorang sahabat ingin mengetahui sebab suatu peristiwa hukum.Contoh: Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW mempercepat langkah ketika tawaf dengan lari-lari kecil, kemudian sebagian besar sahabat berkata: lari-lari kecil ketika tawaf itu sunnah. Ibnu Abbas berkata: tidak sunnah. Langkah nabi dipercepat karena orang musyrik menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika berthawaf. Ketegaran langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.

5. Mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan itulah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode ini.