syair johan suntingan teks serta analisis …
TRANSCRIPT
SYAIR JOHAN
SUNTINGAN TEKS SERTA ANALISIS STRUKTUR, ROMANTIS, DAN
SIMBOLIK DALAM TEKS
Lira Widayat Sulastri, 0906641472
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
ABSTRAK
Naskah Melayu tersebar di seluruh Indonesia. Pada umumnya, naskah Melayu menggunakan
aksara yang sebagian masyarakat di Indonesia kurang memahaminya sehingga pelestarian dan
perawatan naskah Melayu kurang diperhatikan oleh masyarakat. Salah satu cara agar naskah
Melayu dapat dilestarikan adalah dengan mengalihaksarakan naskah Melayu menjadi edisi
teks yang dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut. Salah satu naskah Melayu yang
dialihaksarakan adalah „Syair Johan‟. „Syair Johan‟ terdapat di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. „Syair Johan‟ memiliki bagian penutup syair yang merupakan sebuah
inovasi dalam penulisan bentuk puisi lama. „Syair Johan‟ berisi percintaan antara Johan dan
Siti yang disimbolkan sebagai Kumbang dan turi. Oleh karena itu, „Syair Johan‟ dapat
dikategorikan dalam dua jenis syair yaitu syair romantis dan simbolik.
Kata kunci: Syair Johan, Struktur, Romantis, Simbolik
ABSTRACT
Malay Manuscripts scattered throughout Indonesia. In general, Malay manuscript was written
with foreign script. The public are not known about Malay manuscript because they do not
understand about foreign script. One of method in order to public understand and they
conserve and tend with Malay manuscript is make translation of Malay manuscript. One of
Malay manuscript that translated is „Syair Johan‟. „Syair Johan‟ is found in National Library
of Republic Indonesia. „Syair Johan‟ has closing part that form with innovation of writing
poetry. „Syair Johan‟ is narrating about Johan and Siti who making love. Johan and Siti are
symbolized with Kumbang and turi. Therefore, „Syair Johan‟ can be including in two kind of
poem which is romantic and symbolic.
Key words: Syair Johan, Structure, Romantic, Symbolic.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Pendahuluan
Naskah Nusantara tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bahasa yang terdapat
dalam naskah pun tidak sama, banyak naskah Nusantara yang menggunakan bahasa daerah
tertentu. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai katalog naskah yang tersebar di beberapa
perpustakaan universitas atau perpustakaan daerah. Misalnya, Katalog Induk Naskah-naskah
Nusantara Sulawesi Selatan, Katalog Naskah Buton : Koleksi Abdul Mulku Zahari, atau
Katalog Naskah Ambon. Oleh karena itu, jumlah naskah Nusantara dapat diperkirakan.
Di Indonesia, Perpustakaan Nasional menjadi perpustakaan yang paling banyak
menyimpan naskah daerah. Menurut Noegraha pada buku Sri Rujiati Mulyadi (1994: 5-6),
yang berjudul Kodikologi Melayu di Indonesia, mencatat bahwa kekayaan Perpustakaan
Nasional mencapai 9.626 naskah, yang antara lain tertulis dalam bahasa-bahasa Aceh, Bali,
Batak, Bugis, Makassar, Jawa, Jawa Kuna, Madura, Melayu, Sunda dan Ternate.
Naskah Nusantara tidak hanya terdapat di Indonesia. Berbagai negara juga memiliki
naskah yang berasal dari Indonesia dengan bahasa daerah atau Melayu. Salah satu negara
yang memiliki naskah Melayu Indonesia adalah Belanda, khususnya di Perpustakaan
Universitas Leiden. Hal tersebut dapat dibuktikan dari katalog-katalog yang dibuat oleh van
Ronkel yang berjudul Maleische en Minangkabausche Handschriften dan Teuku Iskandar
yang berjudul Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscript in The
Netherland.
Jumlah naskah Melayu yang cukup banyak membuat setiap naskah memiliki fungsi
yang berbeda-beda. Berdasarkan fungsinya, naskah Melayu dapat digunakan untuk berbagai
tujuan. Umumnya, naskah Melayu berisi hasil sastra. Naskah dapat juga digunakan sebagai
media untuk kepentingan diplomatis pemerintahan Belanda, dalam bentuk surat
Dilihat dari bentuknya, naskah dapat ditemukan dalam bentuk prosa dan puisi. Dalam
bentuk prosa, umunya naskah berjudul hikayat, misalnya Hikayat Panji Semirang (Liaw
Yock Fang, 2011: 160). Sementara dalam bentuk puisi, pada umumnya naskah disebut sesuai
dengan isinya, misalnya „Syair Johan‟. Syair adalah sejenis puisi lama yang memiliki rima
dalam setiap baitnya. Syair terdiri atas empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang
sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata (Liaw Yock Fang, 2011:
562).
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Salah satu kumpulan syair berbahasa Melayu adalah syair Kumbang dan Nyamuk dan
syair-syair lainnya yang terdapat di koleksi van Der Wall di Perpustakaan Nasional dengan
kode naskah W 240. Di dalam kumpulan syair ini terdapat lima syair yang berbeda, antara
lain, „Syair Nyamuk dan Lalat‟, „Syair Johan‟, „Syair Haj II‟, „Syair Kumbang dan Melati‟,
„Syair Bayan Budiman‟, dan „Syair Injil‟. Dari kelima syair tersebut, penulis sudah mencari
tahu hanya Syair Johan (W 240b) saja yang belum diteliti.
Dalam buku Kumpulan Naskah Syair Simbolik, Syair Johan ini disebut dengan “Syair
Burung Johan”, sedangkan dalam naskah tertulis Inilah Syair Johan (انيلسيررجوهان). Untuk
selanjutnya Syair Johan akan disebut dengan SJ. SJ ditulis dalam aksara Jawi. Secara umum,
kondisi naskah masih baik, walaupun kertas SJ ini sedikit rapuh, tulisannya dalam kondisi
baik dan mudah dibaca. SJ terdiri atas 13 halaman dan setiap halaman terdiri atas 19 baris.
Oleh karena masih tertulis dalam aksara Jawi, penulis hendak membuka teks tersebut agar
dapat dibaca.
Naskah SJ sangat menarik untuk diteliti karena dari kumpulan syair Kumbang dan
Nyamuk dan syair-syair lainnya hanya naskah SJ saja yang belum ditransliterasi. Syair
Kumbang dan Melati serta syair lainnya yang terdapat dalam kumpulan syair—kecuali SJ—
sudah banyak yang membahasnya. Bahkan beberapa sudah sejak lama diterbitkan oleh Pusat
Bahasa pada tahun 1978.
Pembahasan mengenai syair antara lain dilakukan oleh Jumsari Jusuf dalam buku
Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama (1978). Dalam buku tersebut, terdapat
pembahasan mengenai „Syair Bayan Budiman‟, „Syair Kumbang dan Melati‟, dan „Syair
Nyamuk dan Lalat‟. Dalam buku Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama,
„Syair Bayan Budiman‟ „Syair Kumbang dan Melati‟, dan „Syair Nyamuk dan Lalat‟
dibandingkan dengan naskah „Syair Bayan Budiman‟„Syair Kumbang dan Melati‟, dan „Syair
Nyamuk dan Lalat‟ lainnya dengan kode naskah yang berbeda yaitu W 239.
Pembahasan lain mengenai kumpulan syair Kumbang dan Nyamuk dan syair-syair
lainnya terdapat dalam skripsi yang ditulis oleh Yeri Nurita. Yeri Nurita pernah meneliti
„Syair Bayan Budiman‟ pada tahun 1991 dalam bentuk skripsi. Yeri Nurita memakai „Syair
Bayan Budiman‟ berkode naskah W 240 sebagai pembanding. Perbandingan yang dilakukan
Yeri Nurita tidak jauh berbeda dengan perbandingan yang terdapat dalam buku Antologi Syair
Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Dalam skripsinya, Yeri Nurita menyebutkan bahwa
teks „Syair Bayan Budiman‟ yang terdapat dalam naskah W 239 dan W 240 adalah teks yang
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
sama, namun teks „Syair Bayan Budiman‟ dalam naskah W 240 tidak lengkap. Dalam naskah
W 240 terdapat 15 bait yang tidak ada sehingga cerita menjadi tidak utuh.
Pembahasan lainnya yang juga berbentuk skripsi, ditulis oleh Rudi Kurniawan (1993)
yang meneliti „Syair Nyamuk dan Lalat‟. Kurniawan memakai „Syair Nyamuk dan Lalat‟
berkode naskah W 240 sebagai pembanding untuk dibandingkan dengan „Syair Nyamuk dan
Lalat‟ berkode naskah W 239. Menurut Kurniawan, teks „Syair Nyamuk dan Lalat‟ dalam
naskah W 239 dan W 240 adalah teks yang sama, namun dalam naskah W 240 terdapat empat
belas bait dan dua baris hilang.
Hasil penelitian yang paling baru adalah hasil penelitian Kramadibrata (2011) yang
meneliti „Syair Injil‟. Penelitian tersebut dipublikasikan dalam buku Teks, Naskah, dan
Kelisanan Nusantara Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram. Dalam penelitian tersebut,
Dewaki Kramadibrata menggali lebih dalam mengenai „Syair Injil‟. „Syair Injil‟ merupakan
syair yang menceritakan kisah Nabi Isa. Dalam tulisannya, Dewaki Kramadibrata hanya
menyajikan tulisan awal dan alih aksara dari „Syair Injil‟ tersebut.
Struktur dari SJ sama seperti struktur syair pada umumnya. Terdiri atas empat baris,
bersanjak a-a-a-a, dan memiliki suku kata sembilan sampai dua belas suku kata (Liaw Yock
Fang, 2011: 562). Namun, SJ memiliki bagian penutup yang kemungkinan jarang ditemui
dalam syair-syair lainnya. Pada bagian penutup SJ, penyalin menyajikan pesan yang memiliki
bentuk yang berbeda dengan syair atau pantun. Hal ini merupakan salah satu kekhasan dari SJ
yang dapat diteliti lebih lanjut.
Dilihat dari beberapa jenis syair, SJ merupakan salah satu syair yang dapat
dikategorikan dalam dua jenis syair. Liaw Yock Fang (2011: 566) membagi syair atas
beberapa jenis syair, antara lain, syair panji, syair romantis, syair kiasan, syair sejarah dan
syair agama. Menurut pengkategorian Liaw Yock Fang tersebut, SJ dapat dikategorikan
sebagai syair romantis dan sebagai syair simbolik sekaligus. Hal tersebut merupakan salah
satu keunikan SJ karena SJ memiliki cerita romantis tragis dan penyalin menceritakan kisah
romantis tragis tersebut dengan menggunakan simbol untuk menggambarkan seseorang atau
suatu hal.
Berdasarkan latar belakang tersebut, naskah SJ W 240b perlu dialihaksarakan
sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Selain itu, naskah SJ juga perlu
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
dianalisis lebih lanjut mengenai struktur dan pengkategorian syair sesuai khazanah sastra
Melayu Klasik.
Dalam menyunting naskah SJ, penulis menggunakan metode edisi kritis. Metode edisi
kritis adalah metode yang mengubah beberapa bagian dari teks naskah sehingga mudah
dibaca oleh masyarakat luas. “Kritis” berarti bahwa penyunting itu mengidentifikasi sendiri
bagian dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar (Robson,
1994:25).
Deskripsi Naskah SJ
Inventarisasi naskah dilakukan untuk mengetahui jumlah naskah, baik yang ada di
Indonesia maupun yang ada di luar Indonesia. Penulis menggunakan beberapa katalog dari
dalam dan luar negeri. Penulis menemukan bahwa SJ merupakan naskah yang lebih dari satu
naskah. Dalam Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscript in The
Netherlands yang disusun oleh Teuku Iskandar pada tahun 1999, penulis menemukan naskah
yang berjudul sama, yaitu Syair DJohan dengan kode naskah 1538. Kl. 158 disimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden.
Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan naskah SJ yang berada di
Perpustakaan Nasional, Jakarta yang berkode naskah W 240. Dalam buku Antologi Syair
Simbolik Sastra Indonesia Lama, Naskah W 240 terdiri dari 6 ceritera: „Syair Nyamuk dan
Lalat‟ (halaman 1-41), „Syair Burung Johan’ (halaman 41—53), „Syair Haji‟ (halaman 53—
83), „Syair Kumbang dan Melati‟ (halaman 83—96), „Syair Bayan Budiman‟ (halaman 96—
120), „Syair Injil‟ (halaman 120—140) (Jusuf, 1978:16).
Judul syair berdasarkan tulisan pada naskah adalah “Inilah Syair Johan” (lihat gambar
pada halaman berikutnya). Hal ini membuat penulis merasa perlu untuk menelusuri lebih
lanjut asal mula mengapa SJ disebut dengan „Syair Burung Johan‟. Setelah melakukan
beberapa penelitian di beberapa katalog, penulis menemukan SJ disebut dengan „Syair
Burung Johan‟ terdapat di Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan yang disusun oleh Amir Sutaarga, dkk. (1972: 244)
SJ merupakan salah satu bagian dari kumpulan syair yang berjudul Syair Kumbang
dan Nyamuk. Kumpulan syair ini terdiri atas enam syair yang ditulis secara bersambung.
Keenam syair ini hanya dipisahkan oleh judul pada setiap bagian awal syair. Dalam
kumpulan syair tersebut, SJ terdiri atas 13 halaman dengan jumlah baris rata-rata 19 baris.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
SJ menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Jawi. Setiap katanya dituliskan dengan
tinta hitam. Hanya satu kata yang dituliskan dengan tinta merah, yaitu kata pertama. Kata
yang menggunakan tinta merah tipis, sedangkan semua penulisan kata yang menggunakan
tinta hitam tebal dan mudah dibaca. Ukuran hurufnya pun tidak terlalu kecil dan tidak terlalu
besar, rata-rata berukuran 1 cm. Judul berada di tengah halaman yang kurang lebih berjarak
7,5 cm dari tepi kertas. Baris isi berjarak 2,2 cm dari tepi kertas.
Kondisi kertas dalam naskah cukup baik. Walaupun sudah kecokelat-cokelatan, kertas
belum patah atau rapuh. Beberapa bagian kertas sudah berlubang kecil karena dimakan rayap,
tetapi tidak robek. Sebagian besar lembaran sudah terlepas dari kurasnya sehingga sulit untuk
menentukan jumlah kuras walaupun masih ada satu hingga dua kuras yang masih utuh.
Penulis syair dan pemerolehan naskah tidak dicantumkan dalam naskah. Selain itu,
tahun dan tanggal tidak diketahui secara pasti. Dalam buku Surat-surat Raja Ali Haji Kepada
van de Wall yang ditulis oleh Jan van der Putten dan Al Azhar (2007: 6—13), tertulis sedikit
kisah mengenai van de Wall. Van de Wall merupakan tokoh yang sangat berperan dalam
pengumpulan naskah berbahasa Melayu di Nusantara. Awalnya, van de Wall hanya menyusun
tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda sebagai desakan dari pemerintah Belanda untuk
pengembangan kosakata baku untuk pendidikan.
Dalam proses menyusun tata bahasa dan kamus, van de Wall meminta bantuan Raja
Ali Haji di Riau. Saat itu, di Riau terdapat istilah „tradisi istana Melayu‟ yaitu, naskah-naskah
yang ada disalin kembali oleh kerabat raja atau orang suruhan raja. Pada awalnya, naskah-
naskah tersebut tidak dituliskan tanggal dan penyalinnya, namun pada abad kesembilan belas,
para penulis dan penyalin mulai menandatangani karyanya sampai pada akhirnya membuat
suatu kolofon yang berisi tanggal dan nama penyalin. Jika dilihat dari koleksinya, naskah ini
dikoleksi oleh van de Wall sehingga kemungkinan besar naskah ini berasal dari Riau sekitar
abad kesembilan belas ketika penulis dan penyalinan di Riau sedang berkembang (Jan van
der Putten dan Al Azhar, 2007: 6—13).
Ringkasan Cerita Syair Johan
Syair Johan bermula dengan memperkenalkan tokoh yang bernama Johan. Johan
digambarkan menyukai Siti dan bercumbu dengannya. Siti adalah seorang anak baginda yang
mempunyai dayang. Siti dan Johan dipisahkan dan tidak diperbolehkan bercumbu oleh
dayang. Hal ini membuat Johan sangat sedih. Johan pun pergi ke sebuah taman. Di taman
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
tersebut terdapat pusaran yang mengeluarkan tujuh rencana. Di tengah pusaran itu, Johan
berdiri dan seiring dengan suara tujuh rencana, Johan berubah menjadi Kumbang. Kumbang
mengeluarkan dengung yang sangat keras sampai istana. Seiring dengan dengung itu,
Kumbang berubah kembali menjadi Johan yang tampan. Siti mendengar dengung kumbang,
lalu mengirim dayang ke taman untuk menyampaikan pesan kepada Johan. Siti dan Johan
tidak dapat bertemu lagi. Johan harus merelakan Siti, tetapi Johan berjanji untuk tidak lagi
menikah selain dengan Siti.
Analisis Struktur Syair Johan
Syair merupakan salah satu jenis puisi lama. Syair memiliki beberapa ciri khas. Liaw
Yock Fang, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik menyebutkan
beberapa ciri syair menurut A. Teeuw. Syair terdiri atas empat baris, setiap baris mengandung
empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas sembilan sampai dua belas suku kata. Aturan
sanjak akhir ialah a-a-a-a dan sanjak dalam hampir tidak ada (Liaw Yock Fang, 2011: 562-
563).
SJ dapat disebut dengan syair sesuai dengan ciri yang disebutkan oleh Liaw Yock
Fang. Setiap bait SJ memiliki empat baris. Selain itu, setiap baris memiliki empat kata dan
terdiri atas sembilan sampai dua belas suku kata. Aturan sanjak dalam SJ adalah a-a-a-a.
Dalam SJ, ternyata terdapat ketidaksesuaian dalam penulisan. SJ memiliki bait yang
tidak berjumlah empat baris karena ada kesalahan penulisan, yaitu ditografi. Menurut Robson,
ditografi adalah sebuah suku kata atau bahkan sebuah kata yang kecil diulang secara tidak
hati-hati (Robson, 1994: 19). Ditografi terjadi karena ada perpindahan halaman. Hal ini terjadi
pada bait ke-62. Karena kesalahan ini, pada bait ke-62 terdiri atas 6 baris. Baris pertama dan
baris kedua terulang pada baris ketiga dan keempat.
62. Siti Sekanta sangatlah rawan,
Hatinya tidak berketahuan// bersyairkan,
[Siti Sekanta sangatlah rawan,
Hatinya tidak berketahuan],
Bersyairkan kepada laila jembawan,
Menyuruh mengambil buah-buahan
Pada bait ke-62 ini, kemungkinan kesalahan penyalinan terjadi karena adanya
perpindahan halaman. Kata alihan menjadi acuan dalam melihat adanya kesalahan penyalinan
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
tersebut. Pada bait ke-62 ini terdapat kata alihan bersyairkan, sedangkan pada halaman
berikutnya yang tertulis bukan kata bersyairkan melainkan kata Siti Sekanta. Kesalahan
penyalinan ini membuat bait ke-62 berisi enam baris sehingga tidak sesuai dengan ciri yang
disebut oleh Liaw Yock Fang.
Syair dan pantun merupakan hal yang serupa, tetapi tidak sama. Persamaan syair dan
pantun terdapat dalam iramanya (Liaw Yock Fang, 2011: 565). Dalam SJ terdapat keunikan
yang ditulis oleh penyalin yang berhubungan dengan pantun. Pada akhir syair, terdapat bagian
yang tidak sesuai dengan ciri-ciri syair namun sesuai dengan cirri-ciri pantun. Hal tersebut
terdapat pada bait 96 sampai bait 109. Walaupun beberapa bait tidak juga memiliki ciri-ciri
seperti pantun, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa pada bait-bait tertentu di bait 96
sampai 109, terdapat ciri pantun.
Pantun ialah puisi empat atau kuatren yang berima silang (Braginsky, 1998: 225).
Keunikan dari SJ adalah SJ memiliki bagian penutup yang mirip dengan pantun tetapi tidak
berima silang. Bagian tersebut bukan bagian dari isi cerita Johan, melainkan memiliki bagian
tersendiri dengan pesan tersendiri. Penulis menduga, bagian tersebut merupakan sebuah lagu
yang ditulis oleh penyalin sebagai penutup syair. Berikut ini merupakan bait pertama dari
bagian penutup SJ yang diduga merupakan sebuah pesan atau lagu.
Pada bait tersebut, terlihat ciri-ciri pantun yaitu a-b-a-b. Namun, baris pertama dan
kedua bukanlah sebuah sampiran, dan bait ketiga dan keempat bukanlah sebuah isi. Oleh
sebab itu, penulis menduga bagian penutup ini bukan bagian dari syair dan bukan pula pantun,
melainkan sebuah pesan yang ditulis secara bebas. Hal ini berbeda dengan bentuk bait SJ
yang lainnya. Selain itu, beberapa bait juga tidak berima a-b-a-b seperti halnya pantun.
Berikut ini merupakan contoh bait yang tidak berima a-b-a-b seperti pantun atau berima a-a-a-
a seperti syair.
Dalam tesisnya, Tanojo (1993: 98) membahas mengenai penyimpangan yang terjadi
dalam syair yang ditulis oleh penyair peranakan Cina, Tan Teng Kie sekitar tahun 1890—
1898. Karya Tan Teng Kie yang dibahas antara lain Sjair Djalanan Kreta Api, Sair dari Hal
Datengnya Poetra Makoeta Kerajaan Roes di Betawi dan Pegihnya, Syair Sekalian Binatang
di Hoetan, dan Syair Kembang. Berdasarkan strukturnya, karya-karya tersebut dianggap tidak
sesuai dengan konvensi. Penyimpangan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai korupsi,
melainkan sebuah eksperimen dalam penulisan puisi yang berusaha menggabungkan dua
macam bentuk puisi lama, yaitu syair dan pantun.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Penyimpangan tersebut bukanlah suatu kesalahan yang dibuat secara disengaja atau
tidak disengaja oleh penyair. Penyimpangan tersebut merupakan suatu inovasi baru yang
diciptakan oleh penyair. Penyimpangan ini terjadi bukan karena penyair tidak mengetahui
tentang konvensi penulisan puisi melainkan sebuah eksperimen yang akhirnya menjadi
inovasi. Inovasi atau eksperimen yang dibuat oleh penyair ini membentuk suatu warna baru
dalam penulisan puisi.
Analisis SJ sebagai Syair Romantis
Penulis menggunakan pengkategorian syair menurut Liaw Yock Fang dalam bukunya
yang berjudul Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (2011: 566—603). Menurut Liaw Yock
Fang, syair dapat dibagi ke dalam lima golongan, yaitu: Syair panji, Syair romantis, Syair
kiasan, Syair sejarah, Syair agama.
Syair romantis adalah syair yang paling digemari. Hal ini tidak mengherankan karena
sebagian besar syair romantis menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat,
penglipur lara dan hikayat. Kisah percintaannya diambil dari tokoh kerajaan dengan rakyat
biasa. Contoh yang diberikan Liaw Yock Fang adalah Syair Sinyor Kosta dan Syair Tajul
Muluk.
Berdasarkan isi atau jalan cerita, SJ dapat dikategorikan sebagai syair romantis.
Menurut Liaw Yock Fang, syair romantis mengisahkan percintaan antara putra putri raja.
Biasanya percintaan tersebut tidak hanya dengan sesama putra putri raja tetapi dengan rakyat
biasa. Dalam syair romantis, biasanya wanita yang menjadi rakyat biasa sedangkan pria yang
menjadi anggota kerajaan (2011: 572). Dalam SJ, tidak ditemukan percintaan antara wanita
biasa dan pria bangsawan. Namun berdasarkan formulanya, jalan cerita SJ sama seperti yang
dikemukakan oleh Liaw Yock Fang, yaitu kisah percintaan antara anggota kerjaan dengan
rakyat biasa.
Selain berdasarkan jalan ceritanya, SJ dapat dikategorikan dalam syair romantis
berdasarkan kata yang digunakan oleh penyair. SJ dapat dikategorikan sebagai syair romantis
didukung oleh penggunaan bahasa yang dipilih oleh penyalin dalam setiap baitnya. Kata-kata
yang dapat dikategorikan mendukung SJ termasuk syair romantis adalah majelis, merawan,
cumbu, berahi, kasih, mesra, cium, bercinta, cinta, hati, dan jantung hati. Kata-kata tersebut
muncul pada 16 bait dari 95 bait yang menceritakan kisah cinta Johan dan Siti. Bait-bait yang
menggunakan kata-kata yang mendukung SJ termasuk dalam syair romantis antara lain bait 2,
6, 10, 11, 28, 61, 79, 94, dan 95.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Beberapa adegan yang ditulis penyalin merupakan adegan romantis antara Johan dan
Siti. Dalam bait 10 dan 11 terdapat beberapa kata yang digunakan penyalin untuk
menggambarkan Johan merayu dan memuji Siti. Kata tersebut adalah majelis. Dalam Kamus
A Malay-English Dictionary yang disusun oleh R. J. Wilkinson, majelis mempunyai makna
„elok, cantik‟ (1932: 120). Kata majelis terdapat juga pada bait ke-2, 4, 6, dan 85. Selain
penggunaan kata majelis, pada bait 11 baris keempat penyalin menggunakan kalimat yang
romantis, yaitu puhunkan kasih dengan mesra. Kalimat ini biasanya digunakan oleh pasangan
kekasih.
Berdasarkan isi cerita dan kata-kata pendukung yang terdapat dalam teks, SJ
merupakan syair yang romantis. SJ menggambarkan kisah cinta antara rakyat biasa dan
anggota kerajaan, yaitu Johan dan Siti. Mereka menjalin cinta dan saling merayu. Pada
akhirnya, kisah percintaan mereka harus berakhir karena dipisahkan oleh keluarga Siti yang
merupakan keluarga kerajaan. Selain itu, penyalin memilih kata-kata pendukung yang juga
menggambarkan kisah cinta Johan dan Siti yaitu, majelis, merawan, cumbu, berahi, kasih,
mesra, cium, bercinta, cinta, hati, dan jantung hati. Kata-kata tersebut mempunyai arti yang
dapat dikairkan dengan sifat keromantisan.
Analisis SJ Sebagai Syair Simbolik
Dalam penjelasan mengenai jenis-jenis syair, syair simbolik atau kiasan adalah
syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga atau buah-buahan. Menurut
Overbeck melalui Liaw Yock Fang, menyebutkan bahwa syair jenis ini biasanya mengandung
kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Burung Pungguk menyindir
seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis yang lebih tinggi kedudukannya
(Liaw Yock Fang, 2011: 587).
Berdasarkan pengertian dalam buku Liaw Yock Fang, jalan cerita SJ menyindir
seorang pemuda biasa—bahkan seorang taruna muda—yang mencintai putri raja. Sindiran
tersebut tergambarkan dari Johan yang mencintai dan mengingini Siti sebagai istrinya. Namun
karena kedudukannya, Johan tidak dapat menjadikan Siti sebagai istrinya. Sindiran tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang masih memandang status sosial dalam hal percintaan.
SJ merupakan syair simbolik karena menceritakan kisah percintaan antara Kumbang—
Johan—dan turi—Siti. Pada bagian tengah cerita, Johan mengubah dirinya menjadi Kumbang
dan penyalin melambangkan Siti dengan kata turi.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Pada bait ke-44, Johan mengubah dirinya menjadi seekor Kumbang setelah bertapa
dan muncul dengungan dan pusaran. Perubahan Johan menjadi Kumbang tidak terlihat secara
jelas karena penyalin tiba-tiba memasukkan tokoh kumbang dalam ceritanya. Tokoh
Kumbang masuk dalam cerita pertama kali pada bait ke-44.
Pada bait inilah, Johan yang sebelumnya digambarkan bersemayam dalam putaran,
seiring dengan bunyi tujuh rencana berubah menjadi Kumbang. Walaupun perubahan Johan
menjadi Kumbang tidak terlihat dengan jelas, perubahan Kumbang menjadi Johan
tergambarkan dengan jelas. Perubahan Kumbang menjadi Johan kembali terdapat pada bait
ke-49 sampai 51.
Pada bait ke-49, Kumbang hinggap pada Siti sambil menari. Kumbang pun
menghampiri Siti dan seketika Kumbang pergi. Selanjutnya, pada bait ke-50, digambarkan
Kumbang pergi ke balik tirai kelambu ratna. Kemungkinan tirai kelambu ratna ini terdapat di
taman ketika Johan bersemayan dalam putaran sebelum berubah menjadi Kumbang. Di balik
tirai kelambu ratna inilah Kumbang berubah kembali menjadi Johan. Hal tersebut dipertegas
pada bait ke-51. Johan kembali dengan selamat.
Dalam SJ, penyalin menggunakan kata kiasan dalam menggambarkan Siti. Banyak
kata yang mempunyai arti nama tumbuhan atau pohon. Salah satunya merupakan julukan bagi
Siti. Hal tersebut terlihat dalam bait ke-52. Pada bait ke-52 ini penyalin menggunakan kata
turi sebagai simbol untuk menggambarkan Siti. Dalam Kamus A Malay-English Dictionary
yang disusun oleh R. J. Wilkinson, kata turi berarti rumput yang indah. Penulis
memperkirakaan, penyalin menggunakan kata turi untuk menggambarkan Siti yang elok atau
indah. Selain berdasarkan jalan ceritanya, kata-kata yang dipilih oleh penyalin dapat
mendukung SJ sebagai syair simbolik. Hal tersebut terdapat pada beberapa bait yang
menyebutkan simbol tumbuhan.
Penyebutan simbol tumbuhan juga disebutkan pada bait ke-12 sebagai berikut. Siti
tersenyum seraya berkata, Manis seperti delima dinatah, Bersenda gurau mada(h)
berserta,Laki-laki mulutnya dusta
Pada bait ini, penyalin menggunakan tumbuhan delima sebagai simbol. Kata tersebut
digunakan Siti setelah Johan merayunya. Kata delima dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi 3 (2001: 248) memiliki arti „tumbuhan perdu dengan cabang rendah dan berduri jarang,
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
buahnya berkulit kekuning-kuningan sampai merah tua, dan dapat di makan‟. Kata delima
pada bait ini, mempunyai arti bahwa laki-laki berbicara manis seperti delima dan tidak dapat
dipercaya karena penuh dengan dusta. Laki-laki di sini dimaksud untuk Johan.
Berdasarkan isi cerita dan kata-kata pendukung yang terdapat dalam teks, SJ dapat
dikategorikan ke dalam syair simbolik. Hal itu dapat dilihat dari isi cerita SJ yang
menggambarkan percintaan antara hewan dan tumbuhan. Dalam SJ, Kumbang disimbolkan
sebagai tokoh Johan dan turi disimbolkan sebagai tokoh Siti. Selain menggambarkan
percintaan tersebut, yaitu antara Kumbang dan turi, SJ juga memperlihatkan ciri syair
simbolik lainnya yaitu sindiran. Dalam SJ terdapat sindiran pemuda yang menginginkan
menikah dengan putri raja. Hal ini menyindir seseorang yang memandang status sosial dalam
percintaan. Dalam teks SJ, juga terdapat kata-kata pendukung yang dapat membuat SJ
termasuk syair simbolik yaitu rambun, seroja, dan delima.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis struktur, struktur SJ sebenarnya sama dengan struktur syair pada
umumnya, penulisan pada halaman yang dibagi dua dan mempunyai sanjak a-a-a-a. Namun,
SJ salah satu syair yang unik dengan menyertakan pesan pada akhir syair yang mirip dengan
pantun namun bukan pantun. Bagian pesan ini kadang-kadang bersanjak a-b-a-b seperti
pantun. Namun sebagian besar tidak bersanjak, melainkan ditulis secara bebas. Bagian pesan
ini tidak ada hubungan dengan kisah Johan atau pun Siti. Hal itu terdapat pada bait ke-96
sampai bait ke-109.
Pada bait ke-62, SJ mengalami kesalahan penyalinan yaitu, ditografi. Kesalahan
penyalinan ini menyebabkan struktur bait pada naskah tidak genap, yaitu kurang dua baris.
Selain itu, kesalahan penyalinan ini membuat sanjak setelah bait ke-62 menjadi tidak sesuai.
Hal tersebut menyebabkan penulis membuat rekonstruksi dalam penyuntingan sehingga bait
menjadi genap dan dapat dibaca dengan dengan sanjak yang sesuai.
Isi teks SJ merupakan sebuah kisah antara Johan dan Siti yang saling mencintai namun
terpisahkan karena ditentang oleh keluarga Siti. SJ disebut sebagai syair romantis karena SJ
mengisahkan percintaan dari dua kalangan yang berbeda yaitu anggota kerajaan dan rakyat
biasa. Beberapa adegan digambar secara romantis oleh penyalin. Penyalin menggunakan
beberapa kata yang romantis untuk mendukung isi cerita misalnya kata majelis—yang
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
bermakna „elok‟ atau „cantik‟. Selain kata majelis, penyalin juga mengunakan cumbuan,
merawan, cium, cinta, dan birahi sebagai pendukung cerita romantis.
Keunikan syair ini adalah penyalin juga menggunakan simbol-simbol. Dalam cerita,
Johan berubah menjadi Kumbang dan menghampiri Siti yang disimbolkan dengan turi yang
menyimbolkan sesuatu yang indah. Selain Kumbang dan Turi, penyalin juga menggunakan
kata rambun, seroja dan delima untuk melambang suatu keadaan. Hal ini menjadikan SJ tidak
hanya dapat dikategorikan sebagai syair romantis, tetapi dapat juga dikategorikan sebagai
syair simbolik.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Daftar Pustaka
Naskah
Kumpulan Syair Kumbang dan Nyamuk. ‘Syair Johan‟. W240b . Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Katalogus
Iskandar, Teuku. 1999. Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscript
in The Netherlands. Jakarta: Libra.
Sutaarga, Amir, dkk. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia.
T. E. Behrend. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4. PNRI. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Van Ronkel, PH. S. 1921. Maleische en Minangkabausche Handschriften. Leiden: E. J Brill.
Kamus
Iskandar, Teuku. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementrian Pelajar.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
3. Jakarta: Balai Pustaka.
Wilkinson, R. J. 1932. A Malay English Dictionary. London: Salavopaulus and Kinderlis, Art
Printers Mytiline, Greece.
Buku
Braginsky. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ikram, Achdiati. 2002. Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Jan Van der Putten & Al-Azhar. 2006. Terjemahan: Aswandi Syahri. Di Dalam Berkekalan
Persahabatan Surat-surat Raja Ali Haji. Jakarta: KPG.
Jumsari Jusuf. 1978. Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Ditjen.
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kramadibrata, Dewaki, dkk. Ed. 2011. Katalog Naskah Ambon. Depok: Yanasa.
Kurniawan Rudi. 1993. “Syair Nyamuk dan Lalat, Sebuah Suntingan Naskah Disertai Telaah
Tema, Amanat, dan Simbolik”. Skripsi, Sarjana. Fakultas Sastra: Universitas
Indonesia.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013
Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Mulyadi, Sri Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Nurita, Yeri. 1991. “Syair Bayan Budiman, Sebuah Suntingan Naskah Disertai Tinjauan
Tema dan Amanat”. Skripsi. Sarjana. Fakultas Sastra: Universitas Indonesia.
Pujiastuti, Titik, Tommy Christommy. 2011. Teks Naskah dan Kelisanan Nusantara. Depok:
Yayasan Pernaskahan Nusantara.
Tanojo, Edwina Satmoko. 1993. Dari DJalanan Kereta Api sampai Kembang Suatu Studi
atas Syair-syair Tan Teng Kie. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
T.E Behrend. 2003. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Makassar:
Arsip Nasional RI.
Robson, S. O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Terj. Kentjanawati Gunawan.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Universitas Leiden.
Syair Johan..., Lira Widayat Sulastri, FIB UI, 2013