soeharto-mahathir: kemesraan antara indonesia- · pdf filemembuka pintu perdamaian. usaha...
TRANSCRIPT
1
Soeharto-Mahathir:
Kemesraan Antara Indonesia-Malaysia
Mahathir Mohamad bertemu Soeharto saat pertemuan G15 di Kuala Lumpur, Malaysia,
Juni 1990. FOTO/Istimewa
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
22 Agustus, 2017
https://tirto.id/soeharto-mahathir-kemesraan-antara-indonesia-malaysia-cu4R
Kecenderungan Indonesia ingin dianggap "saudara tua" dan ingin diperlakukan
seperti itu oleh Malaysia.
Konsolidasi politik Malaysia di bawah Mahathir lewat Barisan Nasional diinspirasi
Golkar ala Orde Baru.
Laa yafham al-diktatur illa diktatur, tidak ada yang memahami diktator kecuali
diktator.
tirto.id - Kesalahan menampilkan bendera merah putih yang dilakukan panitia
Sea Games Kuala Lumpur 2017 sontak membikin ramai. Seperti biasa, persoalan macam
ini mudah memantik kemarahan. Media-media sosial ramai dipenuhi adu gasak
orang-orang Indonesia dan Malaysia.
Pergocohan dua negara ini bukan hal baru. Bermula dari kampanye Bung Karno soal
“ganyang Malaysia” pada periode 1963-1966, karena Malaysia dianggap boneka imperialis,
api dalam sekam permusuhan rupanya masih mengendap dalam. Padahal, pernah pada
suatu masa Indonesia begitu akrab dengan negara jirannya itu.
2
Konfrontasi antara Indonesia vs Malaysia baru saja usai seiring jatuhnya kekuasaan
Sukarno dan naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan. Melalui operator-operator politik
seperti Ali Moertopo dan Adam Malik, Soeharto melobi para petinggi negeri jiran untuk
membuka pintu perdamaian. Usaha mereka berhasil mengakhiri konfrontasi. Hanya dalam
tempo tiga tahun, hubungan Malaysia-Indonesia dengan cepat menjadi akrab.
Baca juga: Adam Malik, RI-2 yang Dituduh Agen CIA
“Setelah Soeharto memegang kekuasaan dan konfrontasi dengan Malaysia berakhir,
hubungan antara kedua negara dipulihkan kembali,” tegas Leo Suryadinata dalam Politik
Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto (1998). Ketika ASEAN terbentuk pada 1967,
hubungan itu makin membaik dan bahkan ikut membuka jalan bagi kerja sama lebih erat
di antara kedua negara (baca: 50 Tahun ASEAN).
Faktor-faktor yang menentukan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia memang
rumit. Tetapi, menurut Leo Suryadinata, ada satu hal yang selalu diperhitungkan jika
membicarakan isu tersebut: Indonesia memiliki kecenderungan bertindak sebagai
saudara tua dan menginginkan diperlakukan seperti itu.
Diakui atau tidak, untuk beberapa lama, Malaysia seakan mengamini perasaan Indonesia
yang selalu merasa sebagai "saudara tua" itu.
Orde Baru Membangun Kemesraan
Indonesia dan Malaysia sama-sama berkepentingan menciptakan kawasan ASEAN yang
damai dan stabil dalam bidang politik. Ini sebenarnya untuk menopang stabilitas ekonomi
di masing-masing negara anggotanya. Sebagai negara terbesar, Indonesia diharapkan
mampu memimpin ASEAN dalam menciptakan stabilitas.
Soeharto paham betul aspirasi ini. Pada zaman Orde Baru, terutama dekade 1980-an,
Soeharto mengalihkan fokus politik luar negeri yang sebelumnya pasif menjadi lebih
aktif. Ia mulai memperhatikan masalah luar negeri setelah merasa berhasil mengelola
masalah dalam negeri. ASEAN adalah laboratorium pertama Soeharto untuk
menjalankan garis kebijakan politik luar negeri sekaligus organisasi pertama yang
mengakuinya sebagai pemimpin regional.
Seperti diungkapkan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik
Indonesia 1965-1998, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan-Yew mengakui kepemimpinan
3
Soeharto. Pengakuan itu tercermin dari ucapan Lee saat mengatakan bahwa KTT ASEAN
di Manila pada 1986 “[...] berlangsung hanya setelah Presiden Soeharto memutuskan
untuk datang” (hlm. 369).
Soeharto sangat percaya diri, salah satunya karena berhasil menggenjot pertumbuhan
ekonomi. Indonesia dianggao mampu memimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara
dan Malaysia-lah, sebagai “saudara muda”, yang dianggap paling baik untuk diajak
bermitra.
Dalam beberapa hal, terlihat upaya Malaysia meniru “saudara tua”-nya itu, terutama
menyangkut konsolidasi politik dalam negeri. Malaysia, misalnya, terinspirasi kemenangan
mutlak Golkar pada Pemilu 1971 (Pemilu pertama Orde Baru). Mereka membutuhkan
kendaraan politik serupa untuk menciptakan stabilitas.
Baca juga: Bagaimana Sukarno Menciptakan Golkar?
“Setelah terjadi konsolidasi Golkar dan kemenangannya dalam Pemilu 1971, Ghazali
Shafie [Menteri Dalam Negeri Malaysia] mengusulkan gagasan Barisan Nasional yang
akan mengoordinasi berbagai partai politik, terutama yang didasarkan pada ras,” tegas
Jusuf Wanandi (Menyibak Tabir Orde Baru, hlm. 170).
Pada periode inilah sebenarnya titik balik kemesraan Indonesia-Malaysia terjadi,
sekaligus awal mula hubungan baik kedua negara di tahun-tahun berikutnya. Keduanya
saling bahu-membahu bila masing-masing butuh pertolongan. Indonesia, yang saat itu
lebih maju dalam infrastruktur pendidikan, tidak segan-segan mengirim banyak tenaga
pendidik ke Malaysia untuk membantu Sang Jiran mengentaskan kebodohan.
“Banyak guru dan dosen Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengajar di
sekolah-sekolah Melayu dan di Universiti Kebangsaan Malaysia yang baru didirikan,” tulis
Leo Suryadinata (hlm. 88).
Mahasiswa-mahasiswa Malaysia juga banyak sekali yang mendaftar kuliah di berbagai
perguruan tinggi di Indonesia pada 1970-an sampai 1980-an. Dalam bidang bahasa,
Indonesia dan Malaysia bahkan menyepakati sistem ejaan bersama pada 1972.
Pada masa berikutnya, hubungan Indonesia-Malaysia menjadi makin erat karena dua
pemimpin negara tersebut berhasil membangun relasi pribadi yang akrab.
4
Hubungan Personal Soeharto dan Mahathir
Keakraban dua negara juga disimbolkan dari relasi pribadi yang sangat dekat antara dua
pemimpin negara. Ketika Tun Mahathir bin Mohamad (lebih dikenal dengan Mahathir
Mohamad) menjabat Perdana Menteri Malaysia pada 1981, terbentuk rasa saling
pengertian mendalam antara keduanya.
Dalam kenang-kenangan dari konco-konco terdekat soal penguasa Indonesia terlama
itu, Pak Harto: The Untold Stories, Mahathir mengenang sosok Soeharto dengan penuh
hormat. Katanya: “Saya menilai Pak Harto sangat beradab dan mempunyai sifat-sifat
yang baik. Orang Melayu menganut paham yang menghormati tamu” (hlm. 35).
Mahathir juga mengenang Soeharto
sebagai sosok yang tidak ribet dalam
menyelesaikan suatu persoalan pelik,
terutama menyangkut hubungan
Indonesia-Malaysia. Barangkali lantaran
didorong konvensi ASEAN soal stabilitas
politik kawasan dan kedekatan pribadi dua
diktator Asia Tenggara itu.
“Setiap kali berjumpa Pak Harto, saya
selalu merasa kami berbicara dari hati ke
hati, berbincang sebagai sahabat. Masalah
antara Indonesia dan Malaysia selalu ada
tetapi masalah itu kecil-kecilan… Pak
Harto menganggap Malaysia sebagai
bangsa serumpun, begitu pula saya
menempatkan bangsa Indonesia sebagai
bangsa serumpun,” tuturnya (hlm. 37).
Ia juga tak segan mengungkapkan rasa
utang budi kepada “senior”-nya itu.
“Dengan setiap negara, Malaysia memiliki
masalah. Malaysia memiliki masalah
dengan Thailand, Singapura, Filipina,
Brunei Darussalam, dan Indonesia, tetapi
5
yang paling mudah diselesaikan adalah dengan Indonesia. Jadi saya merasa berutang budi
terhadap Indonesia dan Pak Harto” (hlm. 37).
Ini seperti kesepahaman rasa antara dua penguasa Asia Tenggara yang lahir dari ikatan
keserumpunan dan tradisi feodalisme selama berabad-abad. Laa yafham al-diktatur illa
diktatur, tidak ada yang memahami diktator kecuali diktator, kira-kira demikian
ringkasnya.
Jurang yang Ditambal dengan Sentimen Serumpun
Tapi di antara diktator Jawa dan autokrat Melayu, persoalan hubungan kekuasaan tak
melulu soal rasa dan tidak semuanya bisa diselesaikan lewat sentimen bangsa serumpun.
Ada berbagai kepentingan dalam negeri yang bermain dan jurang kultural yang
kadang-kadang menghalanginya.
Pada 1991, Mahathir mendorong dibentuknya East Asian Economic Groupping (EAEG)
sebagai zona ekonomi kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Usulan ini awalnya
dinyatakan di depan Perdana Menteri Cina, Li Peng, pada Desember 1990. Semula
Mahathir hanya memberikan saran, tapi kemudian menyeriusi gagasan ini.
Baca juga: ASEAN di Bawah Bayang-Bayang Cina
Ketika melakukan kunjungan ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) ASEAN 1991 di Bali, Mahathir mampir ke Jakarta terlebih dahulu untuk
menawarkan gagasan tersebut kepada Suharto. Dengan gaya Jawa yang penuh
perhitungan, Soeharto menjawab: “Itu ide baik, dan kami akan mempelajarinya lebih
lanjut bersama pejabat-pejabat senior terkait.”
Soeharto tidak pernah mengakhiri kalimatnya dengan “…sebelum kami mengambil
keputusan” atau menjawab dengan jelas “iya” atau “tidak”. Kata Jusuf Wanandi, “Ini
memang gaya bicara Soeharto yang tidak pernah membuat komitmen dengan
gagasan-gagasan baru secara langsung” (hlm. 370).
Mahathir rupanya belum sepenuhnya paham gaya politik Jawa macam itu. Di hadapan
wartawan ia menyatakan kalau Soeharto setuju dengan gagasan EAEG. Menteri
Perdagangan Indonesia, Arifin Siregar, yang berdiri di samping Mahathir, bergumam
dalam hati: “Ah, mati lu, dia sama sekali gak ngerti Soeharto.”
6
Baca juga: Sikap Kita Tidak Lebih Baik dari Malaysia
Soeharto rupanya tidak setuju dengan gagasan Mahathir karena kepentingan ekonomi
Indonesia yang terbesar tetap dalam APEC. Akhirnya diambil keputusan kompromis agar
Mahathir tidak kehilangan muka: membentuk kaukus ekonomi yang tidak mengikat
dengan nama East Asia Economic Caucus (EAEC).
Ini bisa dijadikan contoh bagaimana penyelesaian “secara adat” lebih dikedepankan
dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Terlihat faktor-faktor emosional sebagai bangsa
satu ras dan serumpun lebih menonjol dalam mempertahankan hubungan baik
Indonesia-Malaysia.
Tapi dua puluh tahun setelah itu, faktor-faktor ini seperti menguap. Persaingan tidak
terhindarkan, juga tak lagi dapat dikelola dengan perasaan ke-serumpun-an.
Jusuf Wanandi mengutarakan hal itu dengan jelas: “Faktor-faktor emosi memang tidak
dapat bertahan lama sebagai satu-satunya dasar hubungan antarbangsa… Sekarang
zaman sudah banyak berubah: ternyata kita [Indonesia dan Malaysia] sangat berbeda
dalam berbagai hal.”
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Ivan
Aulia Ahsan (tirto.id - ivn/zen)