sjsn (jkn)
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………… ii
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………..... 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………… 3
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………………….. 3
1.4 Manfaat ………………………………………………………………………………… 3
BAB II : PEMBAHASAN ……………………………………………………………………. 4
BAB III : PENUTUP ………………………………………………………………………….. 13
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………….. 13
3.2 Kritik dan Saran ……………………………………………………………………….. 13
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………. 14
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), setelah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara nomor
007/PUU-III/2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk
melaksanakan program jaminan sosial di seluruh Indonesia. Undang-Undang ini merupakan
pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengamanatkan pembentukan BPJS dan Transformasi
kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero) dan PT
ASABRI (Persero) menjadi BPJS sesuai Undang-Undang No. 24 Tahun 2011. Transformasi
tersebut diikuti dengan adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai,
serta hak dan kewajiban. Pada dasarnya, SJSN merupakan solusi yang baik untuk
meningkatkan kualitas kesehatan dan jaminan kesehatan masyarakat Indonesia yang sebagian
berasal dari golongan kurang mampu. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ini memudahkan
masyarakat seperti memberikan manfaat dan kemudahan dengan premi terjangkau.
Kemudian, JKN juga menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu untuk menyediakan
pelayanan mutu yang memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali. Disamping itu, JKN
juga menjamin kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan dan memiliki
portabilitas sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, dalam proses pelaksanaannya SJSN/JKN dinilai memiliki banyak kelemahan yang
masih harus dibenahi karena masih ada beberapa pihak yang merasa dirugikan oleh sistem
ini. Anggaran kesehatan yang hanya 2 persen dari APBN tidaklah sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menjelaskan bahwa besaran
anggaran kesehatan seharusnya sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD untuk
menunjang pelaksanaan JKN oleh BPJS. Ketika anggaran yang disediakan oleh pemerintah
dibawah yang seharusnya, maka akan berdampak pada premi pelayanan kesehatan yang saat
1
ini berkisar Rp 15.500,00/orang/bulan yang dinilai kurang untuk besaran biaya pembayaran
jasa. Kelemahan yang lain adalah BPJS menggunakan diskriminasi dalam layanan kesehatan,
misalnya diskriminasi antara Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang tergolong fakir miskin atau
rakyat kurang mampu dan non-PBI yaitu golongan menengah ke atas yang diwajibkan
membayar iuran kelas I sebesar Rp 59.500/bulan, kelas II sebesar Rp 42.500/bulan dan kelas
III sebesar Rp 25.500/bulan. Selain iuran, baik pasien PBI maupun non-PBI harus membayar
sisa biaya pengobatan yang tidak ditanggung oleh BPJS.
Apabila dilihat dari sudut pandang masyarakat, memang JKN merupakan solusi yang
menguntungkan bagi mereka untuk menjangkau layanan kesehatan dengan harga yang murah
yang sesuai dengan pendapatan mereka sehari-hari. Masyarakat juga tidak perlu berpikir lagi
mengenai masalah ketersediaan layanan kesehatan karena sistem BPJS ini melayani pasien
dari sarana kesehatan tingkat bawah sampai dengan rumah sakit golongan A (RSUP) yang
tersedia dimana-mana. Namun, akibat mudahnya sistem jaminan kesehatan ini, banyak
pasien yang datang ke puskesmas maupun poliklinik hanya karena keluhan ringan atau
kontrol kesehatan yang bukan merupakan urgensi karena mereka menganggap semua biaya
asuransi akan ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini BPJS. Akibatnya, jumlah pasien
meningkat drastis dan membuat proses pelayanan kesehatan menjadi tidak efektif.
Apabila dilihat dari sudut pandang tenaga kesehatan, terutama dokter tentunya sangat
merasakan dampak dari Sistem Jaminan Sosial Nasional ini yang mana banyak aspek yang
menjadi alasan mengapa banyak kalangan dokter dan tenaga kesehatan lain yang merasa
dirugikan karena sistem ini. Besaran premi dan sistem jaminan kesehatan sangat berpengaruh
baik dalam kualitas pelayanan dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
Sebagai mahasiswa kedokteran, tentunya sangatlah penting untuk mengetahui dampak
SJSN/JKN terhadap pelayanan kesehatan di era BPJS yang sedang berlangsung terutama dari
profesi dokter baik dampak postif maupun dampak negatif.. Oleh sebab itu, perlu adanya
pembahasan secara objektif mengenai dampak jaminan kesehatan ini terhadap kualitas
pelayanan kesehatan di Indonesia.
2
1.2 Rumusan Masalah
Apakah dampak dari Sistem Jaminan Kesehatan Nasional pada kualitas pelayanan kesehatan
di Indonesia?
1.3 Tujuan
Mengetahui gambaran umum mengenai SJSN, BPJS dan JKN serta peranannya
dalam mewujudkan Indonesia sehat.
Mengetahui dampak positif dan negatif dari Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Mengetahui isu-isu yang beredar di masyarakat mengenai Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional.
1.4 Manfaat
Penulis dapat menambah pengalaman dalam membuat makalah ilmiah dan untuk
memenuhi keperluan nilai tugas bahasa Indonesia.
Masyarakat dapat mengetahui mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan
dampaknya di masyarakat dan kesehatan.
Para mahasiswa/i dapat mengambil makalah ini sebagai sumber referensi dan bahan
ajar untuk kebutuhan penelitian atau sumber belajar.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas pengertian asuransi kesehatan sosial, beberapa pengertian yang patut
diketahui terkait dengan asuransi tersebut adalah :
Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari
peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi
yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No. 40 Tahun 2004).
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan
Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Dengan demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial
Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat
wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem
asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak.
Kelebihan sistem asuransi sosial dibandingkan dengan asuransi komersial antara lain :
Asuransi Sosial Asuransi Komersial
1.Kepesertaan bersifat wajib 1. Kepesertaan bersifat sukarela
2. Non Profit 2. Profit
3. Manfaat komperhensif 3. Manfaat sesuai dengan premi yang dibayarkan
4
Setiap Peserta Wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan presentase dari
upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima
upah dan PBI). BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai
dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran
iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan/atau peserta
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.
Mengenai manfaat Jaminan Kesehatan Nasional dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dana
ambulans. Manfaat Jaminan Kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan
medis.
Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan :
Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai
pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan
Hepatitis B (DPTHB), Polio, dan Campak.
Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi
bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk
imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko
penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional seperti yang telah dijabarkan di atas sebenarnya
merupakan langkah baik yang diambil pemerintah untuk lebih memeratakan layanan
kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, SJSN dinilai
terlalu cepat dengan landasan hukum dan aturan yang belum jelas yang masih dipertanyakan
apakah SJSN ini merupakan suatu keuntungan atau suatu kerugian. Salah satu dampaknya
adalah bahwa pembentukan lembaga ini dinilai merugikan para dokter yang menjadi ujung
5
tombak pelaksanaan sistem tersebut. Dokter Puskesmas Tangerang Rini Dian Anggraini
menilai, sistem tersebut tidak berpihak pada para dokter yang mengabdi di Puskesmas.
“Itu cuma menguntungkan PT Askes. Kita yang kerja di lapangan Cuma dapat Rp 3.000 per
pasien. Parkir saja sudah Rp.2000. Dulu tuh sempat dapat info per pasien Rp 25.000, gak
tahu kenapa berubah, “ kata Rini kepada merdeka.com, Rabu (1/1) (Merdeka.com)
Menurut Rini, beban berat profesinya sebagai dokter tidak diimbangi dengan besaran upah
yang diperolehnya melalui sistem BPJS Kesehatan tersebut. “Mungkin buat yang strukural
enak, tapi yang fungsional itu pontang panting kerjanya. Yang ribet itu kalau pasien minta
dirujuk ke Rumah Sakit, padahal masih bisa ditangani di Puskesmas, atau pasien yang tidak
mau ke Rumah Sakit walau kondisinya sudah tidak bisa ditangani di Puskesmas, “ jelas Rini.
Dari penjelasan di atas sudah ada salah satu dampak BPJS bagi tenaga kesehatan seperti
akibat karena premi dari Menteri Keuangan diturunkan, maka pastinya masukan untuk dokter
akan rendah. Dokter pada kenyataannya merupakan suatu profesi yang sangat rentan oleh
pidana hukum dan kesalahan etika, mereka bisa kapan saja menjadi bahan incaran media dan
provokasi orang tidak bertanggung jawab yang menuntut tanggung jawab terhadap suatu
kesalahan tindakan medis yang belum tentu akibat kesalahan dari dokter atau perawat. Dalam
melaksanakan suatu tindakan medis dokter perlu melakukan tindakan inform consent untuk
menjelaskan dan meminta persetujuan kepada pasien. Namun, dalam beberapa kasus dokter
yang kurang memperhatikan urgensi inform consent, pasien yang merasa dirugikan pasti
akan menuntun balik walaupun dalam kesuksesan suatu terapi perlu kerjasama yang baik
antara dokter dengan pasien. Ketika dokter telah melakukan penatalaksanaan yang sesuai
dengan standar, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kegagalan terapi justru datang
dari pasien yang tidak peduli terhadap anjuran atau instruksi dari dokter mengenai terapi
yang sedang mereka jalani. Riwayat pendidikan dokter yang tidaklah mudah pun menjadi
latar belakang sebagian dokter mempermasalahkan besaran premi yang ditetapkan. Lama
masa kuliah yang ditempuh, kebutuhan kuliah yang tidak sedikit dan waktu tempuh untuk
menjadi seorang dokter yang tidaklah singkat dirasa tidak sebanding dengan upah sekadarnya
untuk membayar dokter di puskesmas maupun poliklinik. Hal ini salah satunya tercantum
dalam berita berikut ini,
6
KOMPAS.com - Pola pendidikan dokter di Indonesia dinilai tidak sejalan dalam mendukung
tujuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
memandang, sistem pendidikan kedokteran di Indonesia harus diubah, terutama hal yang terkait
biaya pendidikan. Perlu adanya dukungan lebih besar dari pemerintah dalam menekan biaya
pendidikan guna mendukung tujuan sistem jaminan kesehatan, terutama dalam pemerataan
dokter dan mengurangi biaya pemeriksaan.
"Seperti yang diketahui, pendidikan dokter tidak murah. Kalau pembiayaan tidak diatur jadinya
seperti sekarang, semua terserah dokter," kata Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
dr. Daeng M. Faqih, MH, di Jakarta, Kamis (11/4/2013).
Daeng tak menampik, besarnya biaya pendidikan dokter menjadi batu sandungan dalam
pelaksanaan SJSN. Tingginya biaya pendidikan tidak bisa dijangkau semua masyarakat
Indonesia. Akibatnya, pendidikan dokter hanya bisa dinikmati segelintir orang. Pendidikan,
semakin mahal ketika seorang dokter mengambil spesialisasi. Alhasil, tingginya biaya
pendidikan mempengaruhi pola pengabdian dokter.
Daeng mengatakan, pemerintah dan masyarakat tidak dapat menyalahkan jika ada dokter yang
mengusahakan balik modal. Hal yang sama juga melatarbelakangi dipilihnya pulau Jawa dan
Jakarta sebagaitempat praktek favorit.
Saat ini, Indonesia memiliki 110 ribu dokter. Sekitar 60 persen berada di Pulau Jawa. Sementara
Jakarta sendiri memiliki 19 ribu dokter. Jumlah penduduk dan kesempatan praktek yang lebih
besar, dirasa lebih menguntungkan bagi seorang dokter. Subsidi pemerintah menurut Daeng akan
membawa perubahan besar pada dunia pendidikan dokter karena hal ini tentu berefek pada
pengabdian dokter.
Pemberian subsidi, kata Daeng, akan membuat pendidikan dokter tak ubahnya pola militer.
Semua dokter juga harus siap ditempatkan di mana saja. Dokter juga tak boleh mengeluh dengan
sistem pembiayaan yang ditetapkan.
Dampak Sistem Jaminan Sosial Nasional lainnya terhadap kualitas pelayanan kesehatan adalah
terletak pada implementasi peran fakultas kedokteran dalam penyediaan dokter layanan primer.
Pada era BPJS lulusan dokter akan disekolahkan kembali untuk mengambil spesialisasi
7
pelayanan primer untuk menunjang beberapa tambahan standar kompetensi yang harus dikuasai
dokter umum dalam melakukan praktik umum. Terdapat prinsip dasar pelayanan kesehatan
dalam Jaminan Kesehatan Nasional dimana pelayanan kesehatan mengacu pada konsep “manage
care” yaitu keterpaduan antara pelayanan kesehatan yang bermutu dan pembiayaan yang
terkendali. Pelayanan kesehatan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dengan
pola pembiayaan yang dapat mengendalikan kenaikan biaya pelayanan antara lain dengan
prospective payment dan pelayanan kesehatan berjenjang.
Di era JKN, dokter layanan primer sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama
harus mampu melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua dan melakukan
kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional.
Prinsip pelayanan dokter layanan primer antara lain :
1. Pelayanan Tingkat Pertama (primary care)
2. Pelayanan yang mengutamakan promosi dan pencegahan (promotive and preventive)
3. Pelayanan bersifat pribadi (personal care)
4. Pelayanan paripurna (comperhensive care)
5. Pelayanan menyeluruh (holistic care)
6. Pelayanan terpadu (integrated care)
7. Pelayanan berkesinambungan (continuum care)
8. Koordinatif dan kerjasama
9. Berorientasi pada keluarga dan komunitas (family and community oriented)
10. Patient safety
Sesuai dengan pasal 8 ayat 3 UU No. 20 tahun 2013, dijelaskan bahwa pendidikan dokter
layanan primer merupakan jenjang pendidikan lanjutan yang setara dengan spesialis yang dapat
diikuti oleh dokter lulusan program studi pendidikan dokter. Program pendidikan dokter layanan
primer tidak diwajibkan, namun diharuskan untuk dokter-dokter baru lulusan program studi
pendidikan dokter yang menginginkan untuk dibiayai sistem sebagai dokter layanan primer pada
Jaminan Kesehatan Nasional. Diisukan bahwa seluruh biaya pendidikan dokter layanan primer
akan dibiayai oleh Negara. Sesuai dengan pasal 31 ayat 1 poin b bahwa peserta program
8
pendidikan dokter layanana primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis akan mendapatkan
insentif dari rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan.
Tidak dapat ditampik, perkiraan insentif yang akan didapatkan dokter layanan primer kelak akan
menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan minat lulusan program studi pendidikan dokter
terhadap strata pendidikan dokter pelayanan primer. Sistem pembiayaan kesehatan merupakan
salah satu hal yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan pelayanan kesehatan berjenjang. Sistem
pembayaran kesehatan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan
pelayanan kesehatan berjenjang. Sistem pembayaran kapitasi nantinya akan diberlakukan bagi
para dokter layanan primer selaku penyedia pelayanan kesehatan (PPK) tingkat pertama.
Sementara itu, untuk sistem pembiayaan di rumah sakit bagi dokter akan dipakai sistem INA-
CBGs dimana klaim biaya pengobatan disesuaikan dengan diagnosis.
Dirut PT Askes dr. Fahmi Idris menyatakan bahwa besarnya biaya kapitasi yang dibayarkan
kepada dokter layanan primer jika nanti JKN sudah berjalan adalah sebesar 30% dari jumlah
iuran yang akan dibayar oleh peserta. Dalam hal ini, besarnya iuran yang akan dibayarkan oleh
peserta masih harus diperjuangkan karena secara langsung akan mempengaruhi besarnya kapitasi
per kepala.
Untuk kepesertaan diisukan bahwa satu dokter layanan primer akan melayani kurang lebih 2500
orang, maksimal 3000 orang. Sampai sekarang keputusan terakhir dari pemerintah untuk iuran
adalah sebesar Rp 19.500,00. Namun, besarnya iuran masih sangat mungkin untuk berubah.
Perubahan lain dalam sistem pembiayaan kesehatan yang baru yaitu, biaya yang dikenakan
dihitung per prosedur (INA-CBGs) maka biaya yang akan dikenakan sesuai dengan kasus. Jadi
dokter nantinya harus menangani pasien masih belum sembuh sementara budget, maka dokter
tersebut harus mengeluarkan uang tambahan di luar budget tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas dokter dalam menangani pasien.
Dalam hal ini perlu diperhatikan beberapa hal yaitu bagaimana jika besar insentif yang diterima
tidak sepadan dengan kebutuhan biaya pelayanan kesehatan. Dikhawatirkan, hal seperti ini dapat
memicu terjadinya underutilisasi dan juga dapat berpengaruh pada PPK untuk lebih cenderung
merujuk karena PPK takut merugi. Disatu sisi dokter atau sarana pelayanan kesehatan ingin
memberikan kualitas pelayanan kesehatan terbaik bagi pasien. Namun, dengan besaran insentif
9
yang murah, akan lebih sulit bagi dokter untuk memutuskan tindakan terapi yang tidak
merugikan dirinya juga tidak merugikan pasien. Disatu sisi dokter harus memberikan standar
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan SOP, tapi dokter juga harus rasional dalam
mempertimbangkan pendapatan dengan memilih obat generik atau melakukan terapi atau
pemeriksaan penunjang diluar yang mampu menekan biaya. Walaupun memang ada beberapa
pemeriksaan atau pengobatan yang tidak termasuk dalam tanggungan BPJS. Diharapkan dalam
hal ini dokter tidak melakukan tindakan under prescribing yang akan merugikan pasien.
Ditinjau dari aspek sistem layanan dokter keluarga, dokter keluarga menangani sekian ribu
pasien yang pemberian upahnya berdasarkan jumlah kepala yang ditangani. Dokter perlu
mempertimbangkan upah yang diperoleh dengan kedatangan pasien yang berobat. Pasien yang
datang berobat dalam jenis pengobatan atau pemeriksaan tertentu bukanlah tanggungan mereka
dalam membayar jasa dokter, namun upah dokter itulah yang akan dikurangi untuk membiayai
pengobatan pasien. Oleh karena itu paradigma yang tejadi di klinik-klinik keluarga berharap
bahwa dalam satu hari pasien yang datang tidaklah banyak agar semakin banyak pula pemasukan
yang diperoleh. Oleh karena itu dokter keluarga harus menerapkan sistem pengobatan yang
bersifat promotif dan preventif agar pasien lebih sadar mengenai kesehatan dan dapat bekerja
sama dengan dokter untuk mencegah terjangkitnya penyakit. Hal ini dapat mengurangi jumlah
pasien yang datang berobat ke klinik-klinik keluarga. Namun, apabila terjadi seperti halnya
wabah atau kejadian luar biasa yakni suatu infeksi menular, tentunya akan lebih sulit bagi dokter
untuk mengatur jumlah pasien dan akhirnya dokter harus mengeluarkan tanggungan yang lebih
banyak, atau dikhawatirkan dokter cenderung merujuk ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan
tingkat atas agar tidak merugi.
Masalah lain yang masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia yaitu disparitas.
Kesenjangan pelayanan kesehatan di Indonesia baik dari segi kuantitas SDM yang tidak tersebar
merata, fasilitas, tingkat sosial ekonomi masyarakat serta tingginya angka morbiditas dan
rendahnya kualitas kesehatan masyarakat harus dibenahi secara bertahap guna mendukung
berjalannya JKN ini agar mampu mencapai tujuannya untuk “menyehatkan Indonesia”.
Namun, disamping segala permasalahan dan kekurangan dari Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional ini, pemerintah memiliki tujuan yang baik yaitu agar terciptanya Sistem Jaminan Sosial
yang mampu menanggung seluruh beban kesehatan rakyat Indonesia juga agar tidak ada sekat
10
bagi rakyat kurang mampu untuk pergi berobat. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Kemudian penerapan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK) yang
bertujuan agar lulusan dokter yang kini melakukan sistem berbasis kompetensi untuk bisa
menjadi dokter layanan primer yang mampu melakukan pendekatan keluarga. Dokter keluarga
sebagai penyelenggara layanan primer, harus bekerja keras untuk menyelesaikan segala masalah
kesehatan yang dipunyai pasien tanpa memandang jenis kelamin, sistem organ, jenis penyakit,
golongan usia, dan status sosialnya. Dokter keluarga terutama terutama bertugas meningkatkan
taraf kesehatan pasien, mencegah timbulnya penyakit, segera membuat diagnosis dan mengobati
penyakit yang ditemukan, mencegah timbulnya cacat serta mengatasi keterbatasan akibat
penyakit. Dalam melakukan kegiatan pelayanan primer, dokter keluarga juga dituntut untuk
mampu melakukan hubungan baik dengan sejawat dan profesi kesehatan yang lain. Jadi,
penerapan SPDK yang memerlukan kerjasama professional mutualisme di antara para dokter
yang terlibat di dalamnya, mustahil dapat diwujudkan jika tidak didasari oleh keelokan perilaku,
penguasaan ilmu, kemahiran bernalar dan keterampilan menjalankan prosedur klinis serta kinerja
yang prima.
Memang dalam hal ini, dokter dalam masa BPJS dituntut agar lebih berusaha keras untuk
mencapai segala aspek dalam 4 pilar profesionalisme. Tapi bila dilihat dari segi positif, sistem ini
akan memicu para dokter atau calon dokter untuk terbiasa belajar dengan berbasis kasus dan
berpikir holistik dan terintegrasi. Dokter juga dapat meningkatkan kemampuan klinis dan
skillnya untuk mengatasi kompetensi yang awalnya tidak dapat dijadikan kemampuan untuk
dokter umum biasa, namun dokter pelayanan primer nantinya akan mampu mengatasi lebih
banyak lagi kasus penyakit dan masalah kesehatan untuk mengurangi rujukan ke dokter spesialis.
Artinya, dokter dapat meningkatkan kualitas diri dan meningkatkan pengetahuan kedokterannya
lebih jauh lagi.
Berkaitan dengan masalah premi, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional baru berjalan beberapa
bulan yang artinya memerlukan adaptasi dan evaluasi dalam pelaksanaannya. Tentunya
pemerintah akan terus memonitoring sistem ini termasuk anggaran APBN yang kini belum
mencapai targetnya serta sistem rujukan yang kini masih rumit dan tentunya publikasi dan
pengenalan tentang JKN dan BPJS sendiri kepada masyarakat. Dokter sementara ini dapat
mengantisipasi masalah tersebut dengan lebih cerdas dalam mengedukasi pasien dan tindakan
11
preventif agar tidak banyak pasien yang sakit. Segala macam tindakan preventif seperti
imunisasi, vaksin, dan program keluarga berencana adalah tindakan yang masuk dalam jaminan
kesehatan nasional yang biayanya ditanggung oleh pemerintah. Dokter dapat menggunakan
keuntungan ini untuk mencegah banyaknya pasien dengan penyakit yang sebenarnya tidak harus
diderita oleh pasien karena masih ada tindakan untuk pencegahannya. Penyuluhan dan promosi
kesehatan adalah tindakan yang baik untuk memulai hal ini.
Diharapkan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ini dapat berlangsung lebih baik lagi dan
pemerintah diharapkan terus memantau perkembangannya dan langsung memperbaiki dan
mengevaluasi kekurangan yang ada. Program ini adalah suatu penunjang untuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat, mewujudkan sila ke-5 pancasila, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan pastinya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Dokter dan masyarakat
perlu bekerja sama untuk sama-sama menyukseskan program pemerintah ini dengan sungguh-
sungguh. Layaknya sistem lainnya, tidak akan ada yang sempurna dalam perjalanan suatu proses,
namun bukan berarti kendala yang ada dijadikan alasan untuk tidak maksimal menjalankan tugas
masing-masing terutama bagi para dokter sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bisa
memandang program ini menjadi suatu jenjang langkah yang baik untuk menunjang kesehatan
masyarakat yang menjadi tugas bagi dokter selaku health provider.
12
3.1 Kesimpulan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan
melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) dengan
tujuan agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Namun, sistem ini
ternyata berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia baik dari segi sistem
rujukan pasien yang masih rumit, fasilitas kesehatan, premi yang diterima dokter sebagai jasa
kesehatan, tuntutan dokter untuk meningkatkan kualitas menjadi dokter layanan primer atau
dokter keluarga dan sebagainya. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam
menyikapi sistem ini agar bukan hanya masyarakat yang sejahtera namun juga harus
memperhatikan dari segi kesejahteraan dokter dan profesi kesehatan lainnya yang ikut
terlibat agar tidak ada pihak yang dirugikan. Disamping permasalahan tersebut, ternyata
Sistem Jaminan Sosial Nasional juga memiliki dampak yang baik bagi para dokter yang
menyikapi positif program ini. Diharapkan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional kedepannya
akan semakin baik dan mampu menyeimbangkan antara aspek masyarakat dan aspek profesi
kesehatan khususnya dokter.
3.2 Kritik dan Saran
Penulis tentunya mempunyai kekurangan dalam hal penulisan dan pengumpulan sumber
informasi, diharapkan bagi pembaca untuk lebih mengembangkan tulisan ini agar informasi
yang didapatkan bisa lebih luas dan dapat memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah
ini. Kritik dan saran sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kualitas penulis dalam
membuat makalah ilmiah selanjutnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Manajemen Pembiayaan Kesehatan. 2014. Praktik Dokter dan Bidan akan Dibatasi Saat
Pemberlakuan BPJS pada 2014. http://www.manajemen-pembiayaankesehatan.net/. 18
Maret 2014
2. Rosmha Widiyani. 2013. Sistem Pendidikan Dokter Tak Sejalan dengan SJSN. www.
http://health.kompas.com/. 18 Maret 2014
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2013). Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemenkes
4. Kompas. 2013. Tarif Kapitasi Ditetapkan Akhir September. www.jamsosindonesia.com.
18 Maret 2014
5. Kompas. 2013. Dilema RS Swasta Hadapi SJSN Kesehatan. www.helath.kompas.com. 18
Maret 2014
6. Vicha Annisa. 2013. Program Pendidikan Dokter Layanan Primer dan Implikasinya
pada Dinamika Pendidikan Kedokteran di Indonesia. www.academia.edu. 19 Maret 2014
14