selendang lurik: lambang keperkasaan perempuan ... - jurnal

14
109 Vol. 11 No. 2, Juli 2014 Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN-PEREMPUAN DUSUN NITEN, KELURAHAN POGUNG, KECAMATAN CAWAS, KLATEN (SEBUAH KAJIAN ESTETIKA) Damar Tri Afrianto Prodi Pengkajian Seni, Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta Jl. Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126 ABSTRAK Selendang lurik mewujud dalam sebuah artefak fungsional yang memiliki nilai, gagasan, serta spirit bagi masyarakat Jawa agraris. Di dusun Niten, kelurahan Pogung, kecamatan Cawas, kabupaten Klaten, masih ditemui lima pengrajin lurik yang menghasilkan jenis selendang lurik. Pengguna selendang lurik ini umumnya adalah kaum perempuan dan fungsinya sebagai pendukung pekerjaan mereka, seperti menggendong jamu, mengangkat kayu bakar, serta membawa bekal untuk pergi ke sawah. Terlepas dari sifat fungsional tersebut, kajian ini bertujuan untuk menemukan makna serta nilai yang terkandung dalam selendang lurik. Bahasan tentang lurik, ada tiga aspek yang menjadi karakteristik dalam perwujudan sebuah lurik, yaitu: pola, corak dan makna. Pola, corak dan makna tersebut direpresentasikan dalam komposisi garis-garis yang runtut. Melalui pola, garis-garis vertikal dan garis-garis horisontal, terbaca sebuah gagasan serta makna yang terkandung dalam selendang lurik. Kajian ini menggunakan menggunakan konsep estetika Jakob Sumardjo tentang “pola tiga” untuk menganalisis wujud lurik. Kajian konsep estetika tentang garis-garis yang mewujud dalam selendang lurik berupa menyatunya garis vertikal dan horisontal. Hal ini menunjukkan adanya makna upaya untuk menyeimbangkan yang surgawi (vertikal) dan yang duniawi (horisontal). Harmoni vertikal dan horisontal ini menghasilkan paradoks yang transenden. Harmonisasi antara garis-garis vertikal dan horisontal dalam selendang lurik tersirat sebuah keinginan, tujuan, harapan, kerja keras yang dilakukan, khususnya kaum perempuan di Desa Pogung Niten untuk mencapai sebuah kehidupan yang sempurna. Kata kunci: selendang, lurik, estetika ABSTRACT Lurik scarves manifests in a functional artifacts that have values , ideas, and spirit for the Java community agriculture. In Niten hamlet, village Pogung, sub Cawas, Klaten district, was found five craftsmen who produce kinds of lurik scarves. This striped shawl users generally are women and function as equipment of their work, such as carrying herbs, lifting firewood, and bringing lunch to go to the field . Regardless of the functional properties, this study aims to find meaning and values contained in striated shawl . Discussion of lurik, there are three aspects that characterize the embodiment of a lurik: pattern, style and meaning. Pattern, style and meaning is represented in the composition of coherent lines. Through pattern, vertical lines and horizontal lines, read a notion and meaning contained in lurik shawl . This study uses the concept of aesthetic Jakob Sumardjo use of “ a pattern of three “ to analyze the form of lurik . Study concept of aesthetics of the lines which manifests in the form of merging shawl striated vertical and horizontal lines. This shows the meaning of efforts to balance the heavenly (vertical) and temporal (horizontal). Vertical and horizontal harmony produces transcendent paradox. Harmonization between vertical lines and horizontal in striated shawl implied a desire, purpose, hope, hard work, especially women in the village Pogung Niten to achieve a perfect life. Keywords : scarves, lurik, aesthetics A. Pendahuluan Bahasan mengenai berbagai jenis kain di nusantara, bagaimanapun sederhananya penampilan kain tersebut, akan mengenai keterkaitannya dengan berbagai hal. Keterkaitan itu akan membahas antara lain: falsafah dan pandangan hidup, adat istiadat, pemujaan terhadap leluhur, kepercayaan masyarakat, hingga persembahan untuk alam. Lurik merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kain yang ada di nusantara. Lurik merupakan kain yang hasilnya berbentuk garis-garis lurus baik membujur maupun melintang atau gabungan dari keduanya (Lu Zaini Rais,

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

109Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN-PEREMPUANDUSUN NITEN, KELURAHAN POGUNG, KECAMATAN CAWAS, KLATEN

(SEBUAH KAJIAN ESTETIKA)

Damar Tri AfriantoProdi Pengkajian Seni, Pascasarjana

Institut Seni Indonesia SurakartaJl. Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126

ABSTRAK

Selendang lurik mewujud dalam sebuah artefak fungsional yang memiliki nilai, gagasan, serta spirit bagimasyarakat Jawa agraris. Di dusun Niten, kelurahan Pogung, kecamatan Cawas, kabupaten Klaten, masihditemui lima pengrajin lurik yang menghasilkan jenis selendang lurik. Pengguna selendang lurik ini umumnyaadalah kaum perempuan dan fungsinya sebagai pendukung pekerjaan mereka, seperti menggendong jamu,mengangkat kayu bakar, serta membawa bekal untuk pergi ke sawah. Terlepas dari sifat fungsional tersebut,kajian ini bertujuan untuk menemukan makna serta nilai yang terkandung dalam selendang lurik. Bahasantentang lurik, ada tiga aspek yang menjadi karakteristik dalam perwujudan sebuah lurik, yaitu: pola, corakdan makna. Pola, corak dan makna tersebut direpresentasikan dalam komposisi garis-garis yang runtut.Melalui pola, garis-garis vertikal dan garis-garis horisontal, terbaca sebuah gagasan serta makna yangterkandung dalam selendang lurik. Kajian ini menggunakan menggunakan konsep estetika Jakob Sumardjotentang “pola tiga” untuk menganalisis wujud lurik. Kajian konsep estetika tentang garis-garis yang mewujuddalam selendang lurik berupa menyatunya garis vertikal dan horisontal. Hal ini menunjukkan adanya maknaupaya untuk menyeimbangkan yang surgawi (vertikal) dan yang duniawi (horisontal). Harmoni vertikal danhorisontal ini menghasilkan paradoks yang transenden. Harmonisasi antara garis-garis vertikal dan horisontaldalam selendang lurik tersirat sebuah keinginan, tujuan, harapan, kerja keras yang dilakukan, khususnyakaum perempuan di Desa Pogung Niten untuk mencapai sebuah kehidupan yang sempurna.

Kata kunci: selendang, lurik, estetika

ABSTRACT

Lurik scarves manifests in a functional artifacts that have values , ideas, and spirit for the Java communityagriculture. In Niten hamlet, village Pogung, sub Cawas, Klaten district, was found five craftsmen who producekinds of lurik scarves. This striped shawl users generally are women and function as equipment of their work,such as carrying herbs, lifting firewood, and bringing lunch to go to the field . Regardless of the functionalproperties, this study aims to find meaning and values contained in striated shawl . Discussion of lurik, thereare three aspects that characterize the embodiment of a lurik: pattern, style and meaning. Pattern, style andmeaning is represented in the composition of coherent lines. Through pattern, vertical lines and horizontallines, read a notion and meaning contained in lurik shawl . This study uses the concept of aesthetic JakobSumardjo use of “ a pattern of three “ to analyze the form of lurik . Study concept of aesthetics of the lineswhich manifests in the form of merging shawl striated vertical and horizontal lines. This shows the meaning ofefforts to balance the heavenly (vertical) and temporal (horizontal). Vertical and horizontal harmony producestranscendent paradox. Harmonization between vertical lines and horizontal in striated shawl implied a desire,purpose, hope, hard work, especially women in the village Pogung Niten to achieve a perfect life.

Keywords : scarves, lurik, aesthetics

A. Pendahuluan

Bahasan mengenai berbagai jenis kain dinusantara, bagaimanapun sederhananya penampilankain tersebut, akan mengenai keterkaitannya denganberbagai hal. Keterkaitan itu akan membahas antaralain: falsafah dan pandangan hidup, adat istiadat,

pemujaan terhadap leluhur, kepercayaan masyarakat,hingga persembahan untuk alam. Lurik merupakansalah satu dari sekian banyak jenis kain yang ada dinusantara.

Lurik merupakan kain yang hasilnyaberbentuk garis-garis lurus baik membujur maupunmelintang atau gabungan dari keduanya (Lu Zaini Rais,

Page 2: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

110 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

dalam Sahid Teguh Widodo, 2012: 20) rik adalah hasilpertenunan nusantara yang sangat sederhana dalamhal tampilannya. Sepintas hanya berwujud lajurangaris, bukan motif, tekstur atau bahkan gambar.Pemahaman unsur garis dan pemahaman prinsip-prinsip pengolahannya seperti proporsi,keseimbangan komposisi, efek-efek irma, kesankedalaman, penonjolan salah satu objek utama(aksen) dan olahan visual warna adalah hal yangpenting sebagai dasar proses kreasi dalam tenun lurik(Lu Zaini Rais, dalam Sahid Teguh Widodo, 2012: 20).R. Racmad mengartikan lurik, secara etimologi Jawa,bahwa bunyi “i” pada lurik menunjuk arti pada garis-garis kecil yang melintang dan membujur (Sri Wuryani,2002: 131). Lebih lanjut dalam tesis Sri Wuryani,menurut Wahyono kata lurik seakar dengan katabahasa Jawa lorek yang berarti garis-garis jugadengan kata lirik-lirik, yang berarti bergaris-garis,tetapi garisnya kecil-kecil (Sri Wuryani, 2002: 10).Dari wujud itulah tersirat makna kesederhanaan, tidakhanya sederhana motifnya tapi juga bagi pemakainya.Dari kesederhanaan, terekam kemandirian sandangmasa lampau, ketika ide tentang mesin-mesin industripakaian jadi belum tercetus. Hingga hari ini, masihkita dapati jejak-jejak kejayaan lurik di masa lampau.Di beberapa tempat di pelosok pulau Jawa kitamendapati orang-orang yang masih dengan tekunmenenun lurik. Menenun merupakan artefak yangterus merekam semangat dan selera jaman, yangmemang tumbuh dari kalangan rakyat jelata.

Jejak kejayaan lurik masih terasa di beberapatempat di daerah Yogyakarta dan Surakarta. AdalahKurnia Lurik, salah satu industri lurik yang masihbertahan di Bantul, Yogyakarta. Industri yang sudahberdiri sejak 1952 ini pertama kali didirikan oleh DibyoSumarto. Dengan 50 pekerja yang mayoritas sudahlanjut usia, Kurnia Lurik masih memproduksi 4.500meter lurik per bulan. Selain pesanan utama berupapakaian adat bagi abdi dalem keraton, Jussy Rizalselaku penerus usaha ini juga menggenjot luriksebagai tren fashion lurik sebagai pakaian sehari-hari.Ditambah mereka juga memproduksi kerajinan tanganberupa tas dan dompet yang berbahan baku kain lurik(Wawancara dengan Sahid Teguh Widodo, 22 April2014).

Di wilayah eks Karesidenan Surakarta,kecamatan Pedan, kabupaten Klaten juga dikenalsebagai sentra lurik. Adalah Raden Rachmad, salahseorang yang mengabdikan hidupnya untuk lurik dikawasan ini dan karena dedikasinya, dia dijuluki“Begawan Lurik”. Pemilik toko Sumber Sandang inimemiliki sebuah ruangan besar untuk memproduksi

lurik, serta terdapat ratusan alat tenun bukan mesin(ATBM), namun kini hanya beroperasi setengahnyasaja. Sisanya rusak atau ditinggal mati pengrajinnya.Para pengrajin Rachmad sudah melampaui usiasetengah abad, setua alat tenun mereka, sehinggasehari hanya bisa mendapatkan 7-8 meter lurik yangdibayar Rp. 3.000,- per meter. Sebagian besar merekahanya berprofesi sebagai buruh lurik, atau hanyamenjadikan lurik sebagai pekerjaan sampingan.(Wawancara dengan Yatin, 20 April 2014).

Tercatat beberapa penelitian-penelitianterdahulu yang membahas lurik dari prosespembuatan, bentuk, dan makna. Salah satu contohpenelitian milik Nian S. Djoemena. Dalam penelitiantesebut begitu rinci mengungkap sejarah, makna danperkembangan lurik. Seperti diketahui bahwa lurikmemiliki berbagai corak, motif dan struktur yangmemiliki makna yang berbeda-beda. Meskipun polalurik hanya terdiri dari garis-garis dan kotak-kotak,namun kepercayaan masyarakat jawa menganggapkain lurik memiliki makna dan garis-garis lurikmempunyai kekuatan magis yang melindungi (NIasDjoemena, 2000: 54). Lebih lanjut, Nian S. Djoemenamenjelaskan beberapa corak lurik yang sarat denganperlambangan dan mengandung sekumpulan harapanserta makna. Serta ada pula yang merupakan saranauntuk mengungkapkan isi hati dan niat dalam berbagaitahapan kehidupan manusia. Corak atau pola lurikyang mempunyai petuah serta sangat memegangperanan dalam berbagai upacara, antara lain adalahcorak: kluwung, tulung watu, lompong keli, tumbarpecah, liwatan/lompatan (NIas Djoemena, 2000: 54).Beberapa corak lurik tersebut dimaknai sebagaipetuah, nasehat, ajaran dan dipergunakan dalam ritus-ritus kepercayaan. Dalam penelitian tesis Sri Wuryani,lurik ditempatkan sebagai busana keraton dandigunakan dalam upacara adat keraton, yaitu “Bethak”.Sri Wuryani juga menampilkan analisis kain luriksebagai sarana upacara “Bethak” di KeratonSurakarta. Corak serta jenis lurik yang muncul untukupacara tersebut diantaranya: tuluh watu malang, ulerserit, pali, tuluh watu mujur, dengklung, liwatan,poleng, wari, gedong madu dan tumbar pecah (SriWuryani, 2002: 131).

Kedua peneliti di atas menganalisis jenis-jenis lurik yang umumnya mempunyai fungsi sakraldalam upacara adat di keraton. Keberadaan corak-corak lurik yang mempunyai makna di balik wujudbentuk lurik di atas masih berkembang dan justrumenjadi ide penciptaan lurik-lurik masa kini. Terlepasdari itu, penulis menemukan fenomena corak ataupola lurik yang luput dari perhatian yaitu selendang lurik.

Page 3: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

111Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

Selendang lurik dapat dikatakan lurik denganpola yang sangat sederhana dan hanya berfungsisebagai membawa kayu, menggendong jamu, sertamembawa peralatan dan bekal untuk pergi ke sawah.Dari segi fungsional yang sangat sederhana tersebut,selendang lurik seringkali dimaknai sebagai lurikkalangan bawah karena digunakan oleh masyarakatpetani untuk membantu meringankan pekerjaanmereka dan tidak mempunyai makna filosofi apapun.Selendang lurik ini biasanya diperuntukkan bagiperempuan-perempuan petani atau pedagang pasaruntuk menggendong barang bawaan mereka. Jamandulu, ketika alat transportasi belum mengalamiperkembangan, proses pemindahan barang dari satutempat ke tempat lain masih dilakukan oleh manusia.Distribusi berbagai barang hanya dilakukan secaramanual. Salah satunya dengan cara digendong.Gendong menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) adalah mendukung di belakang atau dipinggang. Maka dari itu, untuk menahan berat bebanyang berada di belakang atau di pinggangdigunakanlah selendang lurik.

Pemakaian selendang lurik ini pada umumnyaterbatas pada kaum perempuan yang bertani atauberdagang di pasar. Perempuan yang hidup dilingkungan agraris biasanya ikut membantu di sawahbersama para lelaki. Dalam pembagian tugas antaralaki-laki dan perempuan di desa-desa yang berbasisagraria, kaum laki-laki yang mengolah tanah sertaperawatan tanaman padi, sedangkan kaum perempuanmembantu untuk menanam benih-benih padi. Padaakhirnya, ketika panen raya tiba, kaum perempuanyang memotong tangkai padi dan para laki-laki yangmerontokkan gabahnya. Dan untuk mengangkut hasilpanenan mereka, si perempuan akan menggendongkarung-karung berisi gabah yang siap giling.Sedangkan laki-laki akan membawanya dengan caradisunggi atau meletakkan barang bawaannya di ataskepala (wawancara dengan Yatin, 20 April 2014).

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat diketahuiesensi selendang lurik bagi perempuan-perempuanyang hidup di lingkungan agraris. Selendang lurik telahmembantu mereka untuk mengikat dan menahanbarang-barang yang sarat beban. Menyatukan antarakarung-karung gabah dengan punggung paraperempuan, dan lebih dari itu selendang lurik jugaberhasil merajut kearifan lokal orang-orang pedesaanmelintas jaman. Hingga hari ini masih dapatdisaksikan di pedesaan-pedesaan, para perempuanyang menggendong hasil panen dengan selendanglurik.

Selain untuk mengangkut hasil panen,selendang lurik ternyata sudah lekat untuk setiapaktivitas perempuan-perempuan pedesaan yangberbasis agraria. Selendang yang ditenun dengan motiflurik juga digunakan untuk menggendong kayu bakar,mengangkut barang belanjaan dari dan atau ke pasar.Bagi para penjual jamu gendong, mereka juga identikdengan selendang lurik untuk menggendong jamu-jamu tradisional siap minum yang di jajakanberkeliling.

Menariknya, di tengah keterbatasan wilayahpemasaran selendang-selendang lurik, lima perajindari dusun Niten, kelurahan Pogung, kecamatanCawas, kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masihbertahan untuk memproduksi selendang lurik. Merekamengaku masih memproduksi selendang lurik karenamasih ada pesanan dari daerah-daerah di Purwokerto,Cilacap, dan Banjarnegara. Dari Yatin, pemilik usahatenun lurik Yatno Nugroho, penulis mendapatkaninformasi bahwa desa tersebut merupakan salah satusentra selendang lurik dikarenakan kemampuanmenenun mereka hanya sebatas untuk membuatselendang. Yatin, waktu mudanya dulu, merupakanburuh di tempat usaha Raden Rachmadi di kecamatanPedan, dan di tempat tersebut mendapat tugas untukmembuat selendang saja. Maka dari i tukemampuannya menenun lurik hanya sebatas untukmembuat selendang.

Berbekal data dan fenomena tentang lurikselendang di daerah Niten tersebut, menarik penulisuntuk mengkaji lebih dalam tentang selendang lurikdengan pendekatan estetika Jakob Sumardjo danmencoba mengungkap eksistensi dan makna lurikselendang di dusun Niten. Lebih lanjut, dalampenelitian ini juga akan menelisik mengapa pengrajin-pengrajin lurik selendang di dusun Niten masihbertahan di antara corak-corak lurik yang lebihmempunyai makna filosofi dan lurik masa kini yangsemakin berkembang pesat.

B. Sejarah Lurik

Bertahannya lurik yang telah melintas zamankarena tak lain kehadirannya terhubung erat dengandaur kehidupan manusia Jawa pada umumnya. Daribeberapa legenda maupun cerita rakyat di berbagaidaerah di nusantara dapat kita tarik kesimpulan bahwapertenunan, dan kain tenun, sudah lama dikenal. Padahakekatnya legenda atau cerita rakyat adalah sesuatuyang dipercaya turun-temurun oleh sekelompokmasyarakat yang memiliki kebudayaan dan yang

Page 4: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

112 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

mereka akui sebagai milik bersama serta diwariskansecara lisan (NIas Djoemena, 2000: 5).

Berikut beberapa legenda tentang munculnyalurik yang dipaparkan dalam penelitian Nian. SDjoemena:

cerita rakyat Nyi Pohaci dari Jawa Barat, salahsatu cerita rakyat terkenal dari suku Sunda di daerahParahiyangan atau Bumi Para Dewa di Jawa Barat.Nyi Pohaci Sang Hyiang Sri dari kerajaan dewa-dewaingin melihat manusia hidup penuh dengankesejahteraan, cukup sandang dan cukup pangan.Karena itu diutuslah seseorang untuk memetik buahbertuah yang tumbuh di gunung Galuh. Setelah buahitu didapat, maka bermunculan serat-serat putihberupa kapas. Untuk dapat menenun agarmendapatkan sehelai kain, maka Nyi Pohacimenjadikan tubuhnya sebagai alat tenun. Menurutcerita, antara lain tulang rusuknya dijadikan sisir atausuri dan kedua pahanya jadi penyanggah penggulungbenang lungsi yaitu dinamakan patek. Setelah itulegenda Dewi Si Boru Daek Parujar dari Batak Tobayang mengisahkan turunnya Dewi Si Boru DaekParujar dari dunia atas ke bumi. Menurutkepercayaan, beliau mengajarkan seni menenunkepada keturunannya, yang hingga kini masih merekalaksanakan. Kain tenun tersebut dinamakan kain ulos,dengan berbagai corak yang mengadung falsafahhidup suku Batak, yang mereka jadikan pedoman danpegangan dalam daur kehidupan mereka. Demikianpula suluk “Perawan Ngantih” jelas dapat dilihat bahwamenenun adalah pekerjaan perempuan. Suluk adalahkarya sastra dalam bahasa Jawa, ditembangkan olehpara dalang sebagai sarana pendidikan dan berbagaikesempatan dan upacara. Pada suluk tersebut,diuraikan tata cara menenun dari awal, mulai darimemintal kapas (bahasa Jawa: ngantih) untukmenghasilkan benang (NIas Djoemena, 2000: 7).

Selain legenda tersebut, juga masih bisadilihat sejarah lurik dari berbagai temuan di bidangarkeologi yang dapat dipakai sebagai petunjuk, bahwapertenunan sudah sejak lama dikenal dan dikerjakanhampir di seluruh nusantara. Dalam penelitan Nian SDjoemena, dalam prasasti Raja Airlangga yangberangka tahun 1033 M yang menyebutkan kain tuluhwatu, yang merupakan nama salah satu kain lurik,dan sebuah prasasti yang tidak diketahui namanyaberangka tahun 851-882 M, menunjukkan adanya kainlurik pakan malang yang berasal dari zaman kerajaanHindu Mataram (NIas Djoemena, 2000: 5). Selain itu,penelit ian Sri Wuryani yang berupa tesismenyebutkan bahwa di museum Mojokerto, dalamfragmen relief terdapat seorang wanita sedang

menenun. Dan bentuknya dapat diketahui bahwa alattenun tersebut termasuk alat tenun gendhong. Adapunrelief tersebut berasal dari jaman Majapahit (Wahyono,dalam Sri Wuryani, 2002: 18). Dari kedua penelitiantersebut, lurik sudah dikenal bangsa Indonesia sejakzaman prasejarah.

Kain tenun yang dimiliki bangsa Indonesiacukup beragam, yaitu dari endek, poleng, dan tenunsongket dari Bali, bantenan dari Sulawesi Utara,pinawetangan, dan tenun sutera Bugis SulawesiSelatan, kain tenun khas Baduy Jawa Barat, dan kainlurik dari Jawa Tengah (Theresia, 2012: 47). Meskisetiap kain tersebut memiliki ciri khasnya sendiri,tetapi semuanya bercorak garis, dibuat secara manualdengan alat tenun yang memiliki nama sendiri disetiap tempatnya, seperti gedog/gedongan atau tenungendong, dan alat tenun bendho (khusus membuatselendang) di Jawa Tengah, pakara di Jawa Barat(khususnya Baduy), tijak dari Sumatera, panta dariSulawesi dan dari semuanya itu merupakan alat tenunsederhana sebelum ditemukannya Alat Tenun BukanMesin (ATBM) (Theresia, 2012: 47).

Lebih lanjut menurut Nian S. Djoemena, dipulau Jawa pada mulanya pembuatan lurik denganmengunakan alat tenun gendongan yang sederhanadan membutuhkan waktu yang lama dalam prosespengerjaannya, namun saat ini lurik tidak lagidikerjakan dengan alat tenun gendong tesebut,melainkan sudah beralih menggunakan ATBM.Khsususnya di daerah Klaten dan sekitarnya, ATBMdi bawa masuk oleh seorang pengusaha lurik yangusahanya sempat berjaya di tahun 1960-an, yaituSuhardi Hadi Sumarto dari dusun Semen, kelurahanKeden, kecamatan Pedan, kabupaten Klaten. Iamengikuti kursus di Textiel Inrichting Bandung(sekarang menjadi Balai Besar Tekstil DepartemenPerindustrian) di Bandung pada tahun 1940, dankemudian keterampilannya menggunakan ATBMdiajarkan kepada buruhnya. Namun pada tahun 1968,penggunaan ATBM mengalami penurunan akibatadanya tenunan yang dibuat dengan teknologi mesin,yakni Alat Tenun Mesin (ATM) (Theresia, 2012: 50).

Lurik telah digunakan sejak dahulu sebagaikebaya, kain panjang/jarit, stagen (kain ikat di bagianperut), dan selendang untuk berbagai kegiatan.Hingga saat ini, selendang lurik pun masih dijumpaisebagai sarana untuk mengangkat barang oleh parapenjual jamu gendong, buruh gendong di pasartradisional dan seterusnya. Dalam upacara “daurhidup” di Surakarta dan Yogyakarta, lurik pun masihdigunakan sebagai salah satu saranan penting. Halini di mulai dari sejak manusia masih berada dalam

Page 5: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

113Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

kandungan, lahir, masa akil baligh, perkawinan hinggakematian. Termasuk juga upacara ruwatan untukmenolak bala, bersih desa, syukuran karena sembuhdari sakit, seserahan dalam rangkaian perkawinan,labuhan (upacara serah sesaji untuk Nyi Roro Kidulyang dilakukan raja Kraton Kasultanan Yogyakartasetiap tahun yang dilakukan sejak dahulu hinggasekarang) dan seterusnya. Sementara itu untukkeperluan adat Jawa, corak-corak lurik juga masihdigunakan dalam keperluan tersebut, sebagai contohupacara mitoni (upacara tujuh bulan bayi dikandungan) di Jawa digunakan empat macam coraklurik, seperti misalnya kain panjang/jarit tumbar pecahyang bertujuan agar kelahiran berjalan lancar, baikibu dan anak selamat, stagen bangun tulak pada perutsang calon ibu sebagai penolak bala, serta selendangdringin agar calon ibu terjauh dari nafsu birahi demikeselamatan janin yang ada dalam perutnya. Meskitidak semua orang menjalani upacara ini, tetapisetidaknya masih ada keluarga-keluarga yangmenyelenggarakannya.

Hingga sekarang, lurik masih diminatimeskipun terengah-engah di tengah kepungan industripakaian jadi dan kapitalisasi yang membelit bahanbakunya. Pamor lurik tergilas di era modern,digantikan motif-motif yang berkiblat ke kawasanEropa bahkan negara-negara Asia Timur. Sampaikemudian, sejumlah pihak, diantaranya adalah parapegiat industri mode berupaya mengangkat kembalikepopuleran lurik sebagai bahan baku fashion sertadesain interior.

C. Bentuk dan Makna Lurik

Khusus di daerah Surakarta dan Yogyakarta,kain lurik ditenun dengan teknik anaman wareg atauanyaman polos. Dilihat dari segi teknik menenun,pengerjaan lurik sangat sederhana, namun kejeliandalam permainan warna serta tata susunan antaragaris-garis, pola kotak-kotak yang serasi, akanmenghasilkan ciptaan atau corak yang mempesona.Corak-corak yang memberi garis-garis tersebutmenyatu membentuk sebuah pola. Berikut pembagianmetode cara membaca pola menurut Nian S.Djoemena.

Nian membagi pola lurik menjadi empatbagian seperti gambar di bawah ini. Pada bagian “a”disebut “bathuk” (dalam bahasa jawa berati depan).Bagain “b” disebut “seret” (dalam bahasa Jawa berartijalur dan juga tepi). Lalu bagian “a”+ “b” disebut“tumpal” atau kepala. Pada bagian “c” disebut “mancal”(bahasa Jawa), berarti tepi atau pembatas,

sedangkan bagian “d” adalah badan dari lurik tersebut.Pola ini tidak berlaku di berbagai jenis lurik, kadangpenempatannya bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan,namun nama atau istilah masih digunakan.

Gambar 1. Sketsa Pola Pembagian lurik.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58).

Ada berbagai macam bentuk kain luriktradisional yang tersebar di wilayah Surakarta danYogyakarta, diantaranya adalah sebagai berikut:1. Jarit atau kain panjang yang berukuiran ± 1m x

2,5m2. Kain sarung dengan ukuran ± 1m x 2m3. Stagen dengan ukuran ± 0,15m x 3,5m4. Bakal klambi untuk kebaya perempuan, sruwal

atau baju peranakan dan surjan untuk pakaianlaki-laki

5. Kain ciut atau selendang dengan ukuran ± 0,5mx 3m.

Pembuatan berbagai jenis kain lurik, yaitujarit, kain sarung, selendang dan kemben terdapataturan, pola tertentu. Istilah dari berbagai polatersebut dapat berbeda-beda pada masing-masingdaerah, bahkan antar desa. Berikut adalah beberapapenjelasan pola-pola menurut Nian S. Djoemena:1. Pola jarit lurik

Ukuran jarit /kain panjang ± 1m x 2,5m,mempunyai tumpal di kedua ujung dan pinggiransepanjang kedua sisinya. Tumpal atau kepalakain terdiri dari bathuk dan seret. Lebar bathukadalah ± 5cm dan lebar seret ± 25cm. Bathukdalam bahasa Jawa berarti depan dan seret berartilajur dan juga tepi. Pada umumnya bercorakpolos, sedangkan seret diberi corak pakanmalang/melintang, namun adakalanya tidakdemikian, tergantung daerah, bahkan pengrajinsetempat. Kedua pinggiran kain diberi dua lajuransearah lungsi, disebut dengan istilah mancal,yang berlainan warna dengan badan. Mancal(bahasa Jawa), diartikan berubah rupa dan

Page 6: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

114 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

memang mancal wajahnya berbeda denganbadan.

2. Pola sarung lurikUkuran sarung lurik ± 1m x 2,25m dan mempunyaitumpal di tengah-tengahnya, yang lebarnya ±60cm. Corak tumpal umumnya pakan malang/melintang yang dibuat berbeda dengan corakbadan. Demikian pula sarung, sebagaimanahalnya pada jarit, mempunyai mancal selebar1,5cm yang juga diperkuat oleh 2 helai benang.

3. Pola selendang dan stagenUkuran selendang untuk pembawa barang ± 0,5mx 3m dan untuk berbagai upacara sesajen, sepertiupacara labuhan, ukurannya lebih pendek, yaitu± 0,5m x 1,75m. Pola selendang pada umumnyadiberi tumpal sederhana selebar ± 20cm. Dalamperkembangannya, pada selendang terlihatberaneka ragam corak lajuran maupun corakpakan malang/melintang sebagai hiasantambahan.

Lebih lanjut, Nian S. Djoemana dalamtulisannya menyebutkan pada hakekatnya corak luriksecara garis besar dapat dibagi dalam 3 corak dasar,yaitu:1. Corak lajuran/lanjuran, adalah corak berupa lajur/

garis-garisnya membujur searah benang lungsi.Berikut contoh Corak lanjuran dalam lurik klentingkuning:

Gambar 2. Corak lajuran dalam lurik Klenting Kuning.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58).

2. Corak pakan malang/melintang, adalah corakberupa lajur/garis-garisnya melintang searahbenang pakan. Berikut contoh corak pakanmalang dalam lurik Lasem.

Gambar 3. Corak Pakan Malang dalam lurik Lasem(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58).

3. Corak cacahan/kotak-kotak, adalah corak yangterjadi dari persilangan antara corak lanjuran dancorak pakan malang. Berikut contoh corakcacahan:

Gambar 4. Sketsa Pola Pembagian Lurik.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58).

Sudah menjadi tradisi dan kebudayaanbangsa Indonesia, khususnya masyarakat JawaTengah dan Jawa Timur sebagai masyarakat agrarisdengan kebudayaan berlandaskan Hindu Jawa, ketikamenciptakan corak akan dimaknai dengan maksudtertentu. Corak-corak tersebut tidak hanya sebagaibudaya fisik yang lahir begitu saja, namun masyarakatagraris memaknai corak-corak tersebut adalahrepresentasi, lambang, dan simbol kepercayaan,keagungan alam semesta ciptaan Yang Maha Agung,pemujaan para leluhur, falsafah atau pandangan hidup,harapan, tauladan, peringatan dan sebagainya (NianS. Djoemena, 2000: 43).

Pendapat dari Nian S. Djoemena tentangketerikatan lurik dengan konteks-konteks yangmengitarinya, dapat dikatakan bahwa lurik tidak hanyaartefak yang hanya sebagai kain semata namun dalamgaris-garis, pola dan corak-corak terdapat ideologiyang ingin dibangun lewat kain lurik tersebut. Mengacupada penelitannya, diuraikan beberapa corak lurik yang

Page 7: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

115Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

diyakini memiliki makna di balik garis, corak dan polalurik. Misalnya corak kluwung, corak gedog madu,corak sulur angin, corak palen, corak dengklung,corak telu-pat, corak udan liris, corak sapit urang,dan corak tuluh watu. Corak-corak tersebut memilikikedalaman makna dan fungsional yang berbeda.Berikut penjelesan corak-corak diatas dikutip daripenelitian Nian S. Djoemena:a. Corak kluwung/klowong

Kluwung adalah bahasa Jawa yang dalam bahasaIndonesia artinya pelangi. Ada anggapan bahwapelangi merupakan keajaiban alam dan ciptaanserta tanda kebesaran Tuhan Yang MahaPencipta. Oleh sebab itu, corak kluwungdilukiskan dengan garis-garis lebar beranekawarna bagaikan warna pelangi. Corak inidigunakan untuk upacara mitoni (upacara adatJawa semasa kehamilan bunda yang pertamamencapai usia kehamilan 7 bulan). Upacara inibertujuan agar janin dalam kandungan selaludianugerahi keselamatan. Selain itu, corakkluwung digunakan untuk upacara labuhan yaituupacara yang dilakukan oleh penguasa keratonSurakarta dan Yogyakarta untuk penghormatandan persembahan kepada alam yang dilakukandi tempat-tempat tertentu, sesuai dengankepercayaan bahwa di tempat tersebut pernahterjadi peristiwa penting yang berkenaan denganpara leluhur raja.

Gambar 5. Corak Kluwung.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58).

wanita, disamping sehat ia akan menjadi cantikrupawan dan jika laki-laki akan kuat dan perkasa.Corak ini juga digunakan pada upacara siraman1

dengan harapan agar calon pengantin menjadicantik serta masa depannya manis bagaikanmadu.

Gambar 6. Corak Gedog Madu.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58)

c . Corak Sulur AnginDalam bahasa Jawa, sulur berarti akar dan ringinadalah pohon beringin. Sebagaimana kita ketahui,pohon beringin mempunyai akar angin yangtumbuh ke bawah mencapai tanah. Dengandemikian, berarti akar angin turut menopang hidupsuburnya pohon tersebut, serta pohon akan lebihkokoh dan lebih tahan menahan badai yangbagaimanapun dahsyatnya. Corak sulur anginadalah lambang kehidupan langgeng (harmonis).Corak sulur angin biasanya digunakan untuksepasang pengantin.

Gambar 7. Corak Sulur Angin.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-Garis Bertuah.

2000:58)

d. Corak PalenCorak palen ini digunakan untuk upacarasasrahan, yaitu upacara penyerahan berbagai

b. Corak Gedog MaduLurik corak madu sering disebut dengan istilahlurik gedog. Rasa madu selain manis jugamempunyai khasiat sebagai pemberi kesehatan.Karena itu corak ini sering juga digunakan untukacara mitoni yang hampir sama dengan corakkluwung. Diharapkan ketika bayi lahirmendapatkan kesehatan. Jika bayi yang lahir itu

Page 8: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

116 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

barang dari pihak calon pengantin pria kepadacalon pengantin wanita, sebagai tandapengukuhan hubungan antara dua keluarga.Benda-benda yang diserahkan antara lain yaitulurik corak palen. Masyarakat jawa meyakini ritualsasrahan merupakan perlambang akanpemberkahan, yaitu agar kedua pengantin selaludiberkahi melalui kerja keras keduanya.

Gambar 8. Corak Palen.(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-Garis Bertuah.

2000:58)

e. Lurik DengklungDengklung diartikan atau dikiaskan dengan orangyang amat tua namun memiliki pengalaman dalamkehidupannya.

Gambar 9. Corak Dengklung. (Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis

Bertuah. 2000:58)

Lurik dengklung berwarna hitam atau biru tuadengan lajur-lajur hitam dan putih, yangmerupakan perlambang orang tua namun juga

penuh dengan pengalaman sepanjang daurkehidupan, dengan segala suka-duka, dan sosokmanusia yang matang dalam segala hal.Corak ini dipergunakan sewaktu upacarapernikahan adat Jawa yang dikenakan oleh keduaorang tua pengantin pada saat siraman pengantin.

f. Corak Telu-patCorak telu-pat, dari kata bahasa Jawa telu (tiga)dan papat (empat), adalah corak lanjuran yangberjumlah tujuh, terdiri dari satu-satuan kelompokempat lajur dan yang satu lagi dengan jumlah tigalajur. Angka tujuh merupakan angka keramat,yang dalam kepercayaan tradisional Jawa,melambangkan kehidupan dan kemakmuran.Menurut cerita, corak ini diciptakan oleh Sri SultanHamengku Buwono I. Beliau memilih perbandingankedua satuan kelompok tersebut denganperbandingan 3:4 daripada perbandingan 1:6 atauperbandingan 2:5, karena kecuali serasi untukdipandang mata, juga mengandung maknafalsafah. Makna yang terkandung adalah bahwaseseorang yang lebih besar bukan berarti dalamarti harf iah seperti umpamanya raja ataupenguasa, harus dekat dengan rakyatnya sertaharus merupakan pemberi kemakmuran dankesejahteraan serta pengayoman bagi rakyatnya.

Gambar 10. Corak Telu-pat(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58)

g. Corak Udan LirisUdan liris berarti hujan gerimis. Karena hujanmempunyai konotasi mendatangkan kesuburan,maka corak ini merupakan perlambang kesuburandan kesejahteraan. Oleh sebab itu pula corak udanliris merupakan salah satu corak yang dipakaipenguasa, dengan harapan agar si pemakaidiberkati oleh Yang Maha Kuasa. Berikut contohcorak udan liris:

Page 9: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

117Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

Gambar 11. Corak Udan Liris(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58)h. Corak Sapit Urang

Corak sapit urang yang berarti capit udang adalahungkapan simbolis suatu siasat berperang, yaituposisi musuh dikelilingi atau dikepung darisamping dan kekuatan komando menyerangberada di bagian tengah. Berikut contoh coraksapit urang:

Gambar 12. Corak Sapit Urang(Repro. Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah.

2000:58)

i. Corak Tuluh watuAda yang mengartikan tuluh watu dengan batuyang bersinar dan dianggap bertuah sebagaipenolak bala. Dapat dipakai antara lain padaupacara ruwatan (ritual khusus dalam adat Jawabertujuan untuk membersihkan diri). Menurut NianS. Djoemena, corak ini dahulu hanya bolehdipakai oleh orang tertentu yang berkepribadiankuat, mantap dan berbudi luhur. Tuluh dapat

diartikan kuat atau perkasa. Di pedesaan kaumwanita pedagang memakai corak ini dalam bentukselendang untuk membawa barang dalam tugassehari-hari. Hal ini dikarenakan konstruksitenunan corak ini yang biasanya dibuat denganbenang pintal tangan, teksturnya kasar dandengan demikian buhulnya tidak lekas lepas.Disamping itu tuluh dapat diartikan keuletan dankata watu atau batu memberi kesan sesuatu yangkuat. Dengan demikian orang berharap pula,pemakaian lurik ini akan memberi kekuatan dankeuletan pula kepada pemakainya.

Gambar 13. Corak Tuluh Watu(Foto: Koleksi Yatno Muyono oleh Damar Tri A, 2014).

Corak-corak lurik yang disampaikan di atasdiberi nama yang erat kaitannya dengan daur, falsafahatau pandangan kehidupan dan kepercayaan pemakai.Lurik merupakan salah satu produk kebudayaanberupa tenun yang tidak lepas dari masyarakatpemiliknya, kehadirannya melalui corak-coraknya,pola-polanya dan garis-garisnya merupakanrepresentasi dari kehidupan, ritual, sugesti alam danideologi yang membentuk sebuah simbol maupunidentitas pemiliknya. Identitas dan simbol tersebutbukan pada wujud yang nampak, tetapi tersembunyidalam jaringan sistem hubungan abstrak yangmembentuk wujudnya dalam hal ini wujud lurik tersebut(Jakob Sumardjo, 2010: 53).

D. Lurik di Pogung Niten

Dusun Niten, kelurahan Pogung berada diperbatasan kecamatan Pedan dan kecamatan Cawas,kabupaten Klaten, propinsi Jawa Tengah. Namunsecara administratif masuk di kawasan kecamatanCawas. Desa yang lebih dikenal dengan sebutanPogung Niten ini secara geografis mengandalkansektor pertanian sebagai mata pencaharian utama

Page 10: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

118 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

penduduknya, hasil utamanya berupa padi danpalawija. Desa tersebut terletak ± 10km dari pusatkota kecamatan Pedan. Butuh waktu hingga 30 menituntuk mencapai rumah pengrajin yang khususmemproduksi lurik selendang. Saat memasukikawasan desa Pogung, jalanan hanya terbuat daribatu dan semen, bahkan semakin dalam hanyatersisa batu-batuan yang menunjukkan bahwa itulayak disebut “jalan”.

Di balik minimnya infrastruktur bahkan tingkatkesejahteraan warganya, desa Pogung Niten masihmenyimpan artefak kebudayaan dari masa lalu.Beberapa keluarga masih aktif menenun kain lurikuntuk dijadikan selendang. Ukuran lurik untukkebutuhan selendang memang tidak besar, hanya0,5m x 3m tiap helainya. Khusus untuk kebutuhansebagai bahan baku selendang ini, para pengrajin lurikjaman dulu selalu menggunakan serat dari kapas atauserat kayu. Kedua bahan tersebut dipercaya lebih kuatuntuk menahan barang bawaan yang sarat beban.Namun seiring kemajuan jaman, para pengrajin lurikdi Pogung Niten ini mulai mengandalkan benangsintetis yang dipasok dari pasar Masaran, kecamatanCawas.

Seiring perubahan jaman, secara perlahanpenggunaan selendang lurik mulai berkurang. Darihasil pemetaan wilayah agraris yang masihmenggunakan selendang lurik untuk kebutuhan sehari-hari, ternyata hanya berada di kawasan pinggiran ataupelosok kota-kota kecamatan yang wilayahnya masihminim infrastruktur yang memadai. Atau dalamkeseharian, masyarakat desa-desa yangmenggunakan lurik masih menggantungkan hidup daribertani dan beternak.

Di Pogung Niten, terdapat lima orangpengrajin selendang lurik. Dari kelima pengrajintersebut, mereka mengaku mendapatkan ketrampilanmenenun lurik dari orang tua dan leluluhurnya danmasih merawatnya hingga hari ini bahkanmewariskannya ke anak-anak mereka yang notebenejuga membantu dalam industri skala rumahan milikorang tuanya. Selain dibantu anak-anaknya, parapengrajin lurik ini juga mampu bertahan di tengahkemajuan jaman karena masih ada perempuan-perempuan yang mampu menenun. Meskipun usiapara pekerjanya sudah tak muda lagi, tapi perempuan-perempuan perkasa ini mampu menjaga artefakwarisan leluhurnya.

Sesampainya di rumah salah satu pengrajin,yang bernama Yatin, penulis mendapati dua buahbangunan yang berada dalam satu pekarangan.Keduanya menghadap ke hamparan sawah dan

deretan pegunungan di Gunung Kidul. Bangunanutama berupa sebuah rumah sederhana yangditempati Bu Yatin, sang pengrajin lurik selendang,dan anak serta menantunya. Di sebelahnya, miripsebuah ruangan besar yang di dalamnya terdapatdelapan unit ATBM dan tumpukan benang di salahsatu sudut ruangannya.

Di ruangan tersebut, penulis menyaksikanbeberapa perempuan yang diantaranya sudah lanjutusia masih menenun dengan ATBM. Menurut Yatin,dia memiliki tujuh pekerja yang setiap hari datangkesana untuk menenun lurik selendang. Ada duaorang pekerjanya yang sudah berusia lewat 70 tahun,salah satunya yang masih di tempat, saat penulisdatang adalah Kinem, berusia kira-kira 78 tahun. Kinemsendiri mengaku tidak ingat berapa usianya, dan haltersebut bisa dimaklumi karena jaman dulu belum adatertib adminsitrasi kependudukan bahwa setiap anakharus memiliki akta kelahiran. Selain Kinem, ada tigalagi pengrajin yang masih menenun saat penulisdatang, yaitu Tri Yuliarti (48 tahun) dan Swasini (52tahun). Dari kedua pengrajin tersebut, ditambah Yatinselaku pemilik usaha, penulis mendapatkan faktamengapa di desa tersebut hanya berkembang lurikyang dijadikan selendang. Yatin mengaku, bahwaawalnya dia adalah buruh tenun di tempat usaha milikRaden Rachmadi (Pedan) dan selama menjadi buruhhanya kebagian membuat lurik untuk selendang,bukan lurik untuk kebutuhan lain. Melihat kemampuanekonominya sudah cukup, dia memutuskan keluardari tempat kerja Rachmadi dan memutuskan untukmembuka usaha kerajinan lurik miliknya sendiri. Untukmencapai citanya, Yatin membeli beberapa ATBM danmulai merekrut tetangga-tetangganya untuk membuatlurik di rumahnya.

Swasini menambahkan, bahwa sebelumproduksi lurik terpusat pada beberapa pengrajin besar,setiap rumah di desa mereka hampir pasti memilikisatu buah ATBM untuk memenuhi kebutuhan sandangkeluarga. Dan setelah kebutuhan sandang terpenuhi,warga Pogung Niten memproduksi serbet untuktambahan pendapatan keluarga. Setiap ATBM jugadigunakan untuk membuat serbet bermotif kotak-kotakyang hasilnya akan dijual ke pengepul. Semakin lamaharga serbet mulai anjlok karena satu desa membuatserbet yang menyebabkan harga komoditas tersebutjatuh di tangan pengepul. Lebih memprihatinkan lagi,pengrajin di desa Pogung Niten tidak memahamibagaimana cara memasarkan komoditas daridaerahnya. Mereka hanya menjualnya ke pengepul,dan pengepullah yang berhadapan langsung dengankonsumen. Maka dari itu hingga hari ini, mereka juga

Page 11: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

119Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

menjual selendang hasil tenunannya kepadapengepul, yang datang ke desa mereka setiap minggu.Atau kapanpun dibutuhkan, tinggal dihubungi, danpengepul akan datang. Pada dasarnya, warga di desaPogung Niten tidak mengenal teknik pemasaran,mereka hanya bisa menjual lurik hasil kerajinannyapada pengepul dengan harga sesuai kesepakatan.

Setelah kejatuhan harga serbet, beberapapenduduk desa tersebut memutuskan untuk membuatselendang lurik. Sedangkan yang lain memilih untukberhenti membuat lurik atau menjadi buruh lurik padapengusaha setempat. Maka tidak sulit bagi Yatinuntuk meminta beberapa tetangganya menenun dirumahnya, ditambah di masa krisis moneterperekonomian desa ikut terkena imbasnya. Maka dariitu, hingga hari ini tercatat ada lima pengrajin lurikselendang di Pogung Niten, yaitu Yatin (YatnoNugroho), Sri Sumiarsih, Endang, Saniyem, Rajiman.Dari kelima pengrajin tersebut, mereka pun hanyamerekrut tetangga-tetangganya sebagai tenaga kerjauntuk menenun lurik. Di setiap tempat usaha,maksimal hanya terdapat 10 ATBM. Sistem kerjadalam industri ini cukup longgar. Setiap tenaga kerjatenun, boleh datang dan pergi kapan saja untukmengerjakan lurik, atau dalam artian tidak terpatokdengan adanya jam kerja. Para tenaga kerja tenunini, seperti Swasini dan Yuliarti yang bekerja di rumahpengrajin Yatin, datang di waktu siang hari. Pagiharinya para perempuan penenun lurik ini bekerja disawah, setelah matahari sepenggalah naik merekaberistirahat. Istirahatnya tersebut, menurut pengakuanmereka daripada dihabiskan di rumah tanpa aktivitas,memilih menjadi tenaga kerja di rumah-rumahpengrajin lurik yang ada di desa mereka. Merekabiasa menenun hingga pukul 15.00 wib dan setelahitu kembali ke sawah untuk mengurus lahanpertaniannya.

Selain itu, satu mesin hanya disetel untukmenghasilkan satu gulungan selendang lurik denganpanjang mencapai 15 meter. Ketika mereka tidak bisamenyelesaikan satu gulungan tersebut maka tenagakerja akan membawa pekerjaannya pulang atau tetapditinggal begitu saja di rumah pengrajin dan disambunghari berikutnya. Pada dasarnya tidak ada ketentuan,berapa meter yang harus dihasilkan tenaga kerjasetiap bulannya karena mereka mendapatkan upahper minggu sesuai dengan panjang selendang lurikyang dihasilkan. Terlebih lagi, desa Pogung Nitenmenggantungkan hidup dari pertaniannya, makaketika masa tanam dan panen raya tiba, kebanyakanmereka akan berhenti menenun untuk sementarawaktu.

Kegiatan menenun selendang lurik yangdilakukan oleh sebagian warga Pogung Nitenmerupakan cerminan peristiwa kebudayaan.Selendang lurik yang dihasilkan merupakan artefakseni yang menjadi modal kehidupan. Melalui sudutpandang kritis, selendang lurik akan didudukkansebagai artefak seni hasil kebudayaan yang patutuntuk dijaga kelestariannya. Ketika selendang lurikini mulai tenggelam dalam era moderen dan kemajuanteknologi, kehidupan masyarakat pemiliknya punakan ikut hanyut dan tenggelam tanpa memiliki jatidiri di dalamnya.

Kehadiran selandang lurik yang dimilikimasyarakat Pogung Niten hanya sebatas sebagai alatfungsional untuk membawa barang dalam tugassehari-hari seperti: membawa bekal untuk pergi kesawah, membawa kayu hasil berladang, dan untukmengendong jamu. Masyarakat Pogung Nitenmenyadari betul bahwa selendang lurik dulunya tidakhanya sebagai media fungsional namun jugadigunakan untuk kegiatan religi dan ritus spiritual.Yatin juga menambahkan bahwa selendang lurikdigunakan juga pada upacara ruwatan, dan sebagaipelengkap sesajen upacara labuhan. Namun dalamperkembangan jaman, selendang lurik mulaitergantikan dengan corak-corak lurik yang lain. Yatinmenambahkan selendang lurik yang dihasilkanmerupakan corak tuluh watu yang menurutnyamemang hanya sebatas untuk kaum wanita untukmembawa barang dalam tugas sehari-hari. Tanpadisadari masyarakat Pogung Niten bahwa selendanglurik yang dihasilkan selama ini memiliki maknatersembunyi dibalik garis-garis dan corak-corak yangterwujud dalam selendang lurik mereka.

E. Bentuk dan Makna Selendang Lurik PogungNiten

Bahasan tentang lurik, ada tiga aspek yangmenjadi karakteristik dalam perwujudan sebuah lurikyaitu pola, corak dan makna. Pola, corak dan maknatersebut direpresentasikan dalam komposisi garis-garis secara runtut dan sesuai dengan masyarakatpemiliknya. Sebagai karya tradisi budaya, garis-garislurik yang sederhana ternyata mengandung sejumlahmakna tersirat maupun tersurat. Mereka jugamengandung sebuah ideologi yang sedangdiperjuangkan, dan ritus kepercayaan bersifattransenden. Meskipun selendang lurik hanya sebatasmemiliki daya fungsional, namun kehadirannyamelekat dalam ritus ril igi. Sepaham denganpernyataan ini, menurut Jakob Sumardjo dalam

Page 12: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

120 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

bukunya Estetika Paradoks menyatakan bahwabentuk mengikuti fungsi, maka “seni” harusdikembalikan pada konteks budaya masyarakatnya.Fungsi seni pra-modern Indonesia adalah demi religidan kehidupan sehari-hari. Seni tidak dapat dipisahkandari kehidupan sehari-hari (Yacob Sumardjo, 2010:80).

Bentuk selendang lurik Pogung Nitenmempunyai karakteristik yang sederhana denganolahan serta dinamika garis-garis yang terstruktur.Garis-garis yang mendominasi adalah garis vertikaldan horisontal yang berpadu menciptakan sebuahkeseimbangan. Pola selendang lurik Pogung Nitendengan ukuran selendang untuk pembawa barang ±0,5m x 3m dan untuk berbagai upacara sesajen,seperti upacara labuhan lebih pendek, yaitu ± 0,5m x1,75m. Pola selendang pada umumnya diberi tumpalsederhana selebar ± 20cm. Dalam perkembangannya,pada selendang terlihat beraneka ragam corak lajuranmaupun corak pakan malang sebagai corak yangmelekat di dalamnya (Nian S. Djoemena, 2000: 37).

Gambar 14. Struktur Selendang Lurik Pogung Niten

Struktur selendang lurik terdiri corak lajuran

memberikan kejelasan bagian yang disebut tumpaldengan bagian badan.

Warna yang mendominasi selendang lurik iniyaitu: merah di bagian kedua kepala (tumpal) dan dibagian badan berwarna hitam, merah, hijau, dankuning yang tersebar di berbagai benangnya. Bentukselendang lurik Pogung Niten ini bercorak tuluh watu.Hasil wawancara dengan Yatin salah satu pengarajinselendang lurik ini, mengatakan sebagian besarselendang yang dibuat bercorak tuluh watu. Namundari proses wawancara tersebut penulis tidakmenemukan secara spesifik tentang makna coraktuluh watu, Yatin hanya memberikan penjelasanbahwa corak tuluh watu sekarang hanya digunakanuntuk kaum perempuan untuk menggendong kayu,membawa bekal sewaktu pergi ke sawah, dansebagian digunakan untuk penjual jamu gendong.Pemaknaan ini hanya sebatas kemampuannarasumber dalam mamandang selendang lurikPogung Niten. Yatin mengakui, pengetahuan tentangmakna corak tuluh watu didapat dari turun-temurun.

Keberadaan dan penamaan corak lurikmemang sulit ditelusuri asal-usulnya. Penamaancorak antara satu dengan yang lain dimaknai berbeda-beda sesuai dengan asumsi dan paradigma yangberkembang di wilayah masing-masing daerah.Terkadang penamaan sebuah corak dikaitkan denganfungsi dan keberadaannya. Terdapat juga corak-coraklurik yang diambil dari nama flora dan fauna, benda-benda serta gejala alam sekitarnya yang memberimanfaat bagi mereka (Nian S. Djoemena, 2000: 43).Begitu juga dengan corak selendang lurik PogungNiten, selendang lurik ini bercorak tuluh watu. Tuluhwatu ada yang mengartikan batu yang bersinar dandianggap bertuah sebagai penolak bala. Menurut NianS. Djoemena tuluh watu ini merupakan corak yangdikenakan perempuan di pedesaan sebagai selendangyang dikenakan untuk membawa barang dalam tugassehari-hari. Corak tuluh watu ini dikenal dengankonstruksi rajutan yang kuat, teksturnya kasar danbenang tidak lekas lepas. Disamping itu, tuluh dapatdiartikan keuletan dan kata watu atau batu memberikesan sesuatu yang kuat. Dengan demikian orangberharap pula, pemakaian lurik ini akan memberikekuatan dan keuletan pula pada pemakainya, dalamhal ini perempuan.

Pemaknaan corak tuluh watu memang secarakasat mata tidak ada kaitannya dengan bentuk visualselendang luriknya. Kesan tuluh yang berarti keuletan,kekuatan serta watu yang berarti batu tidak nampakjelas dalam bentuknya. Bentuk visual selendang lurikPogung Niten didominasi oleh garis-garis vertikal dan

dari atas ke bawah. Terdiri dari dua tumpal atas danbawah yang berukuran sama. Lajuran bagian atasdisebut tumpal bercorak pakan malang yangmemberikan batas antara bagian tumpal denganbagian badan yang berkuran panjang 3cm dan lebar45cm selebar kain selendangnya. Bagian tumpaldengan bagian badan diberi warna belakang yangberbeda dengan bagian badan. Perbedaan warna ini

Lanjuran

Page 13: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

121Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Damar Tri Afrianto: Selendang Lurik: Lambang Keperkasaan Perempuan-Perempuan Dusun Niten, Pogung, Cawas, Klaten

horisontal. Lebih lanjut pembuat dan pemakaiselendang lurik Pogung Niten yang bercorak tuluhwatu sebagian besar adalah perempuan. Dalam halini garis-garis tersebut merupakan simbol yangmembawa gagasan atau ideologi yang diyakini olehmasyarakatnya. Masyarakat pra-modern sudahmengenal apa yang disebut “simbol”, semua bentukkarya seni bermakna tersirat dan memiliki maknayang hadir lewat simbol-simbol tersebut. Seperti apayang dijelaskan Jakob Sumardjo bahwa pembatik,penenun, penganyam pra-modern dilakukan olehperempuan. Semua ini berhubungan dengan bahanutamanya yaitu kain dan benang. Kain dalam artefak-artefak seni purba Indonesia merupakan simbolperempuan (Jakob Sumardjo, 2010.146). MenurutEliade menyatakan bahwa, simbol merupakan bahasayang dipahami oleh semua anggota komunitas, bagiorang-orang di luarnya sama sekali tidak bermakana(Jakob Sumardjo, 2010: 105). Untuk memahamisecara rasional (konsep) simbol-simbol seni etnikIndonesia, mau tidak mau harus memasukikebudayaan atau cara berfikir komunitas penghasilsimbol-simbol tersebut. Dalam hal ini memang tidakdapat dipisahkan antara kebudayan, lurik, dan coraktuluh watu serta simbol-simbol yang melekat didalammya. Ketiganya memiliki keterkaitan dilihat dariproses dan pemaknaannya.

Garis-garis vertikal dan horisontal dalamselendang lurik Pogung Niten adalah representasi daripemaknaan-pemaknaan yang dijelaskan di atas.Secara keseluruhan, garis-garis tersebut tampilsecara sederhana, runtut dan terkesan teratur. Garis-garis tersebut membawa sebuah gagasan tentangcorak tuluh watu dalam selendang lurik Pogung Niten.Dalam hal ini berarti, garis-garis yang terdapat dalamselendang lurik Pogung Niten merupakan unsurpenting. Garis merupakan unsur-unsur visual dengansegala asumsi dan memiliki pemaknaan di dalamnya.

Garis-garis tersebut menyatu danmenumbuhkan kesan keseimbangan. Konsepkeseimbangan pada dasarnya berkembang di wilayahmasyarakat agraris atau pertanian. Garis-garis vertikalsebagai lambang makrokosmos dan horisontalsebagai lambang duniawi yang terbatas padamasyarakat tani pesawah justru semakin menyatu(Jakob Sumardjo, 2010: 237). Konsep keseimbangandan harmoni oleh Jakob Sumardjo dalam hal inidikatakan sebagai cara berfikir dengan Pola Tiga. Polatiga berkembang di wilayah peladang atau agararis,obsesinya adalah “menghidupkan”. Mereka hidupsecara seimbang dengan hidup memeliharakehidupan. Pola tiga memberikan sebuah konsep

bahwa hidup itu dimungkinkan karena adanyaharmoni. Lebih lanjut, Jakob menambahkan bahwa:

Syarat hidup adalah harmoni dankeseimbangan dari dua entitas yang salingbertentangan tetapi saling melengkapi. Peristiwaharmoni adalah peristiwa paradoks, tidak ada yangdikalahkan, dan tidak ada yang dimenangkan, bahkankeduanya melahirkan hidup yang baru.Dalam budaya“pola tiga “ masyarakat kaum peladang dan bertani,persilangan antara vertikal dan horisontal amat ramai.Ini nampak dari ragam hias pada kain tenun, danrumah adat. Hal ini menunjukan adanya upaya untukmengahrmonikan atau menyeimbangkan yangsurgawi (vertikal) dan yang duniawi (horisontal).Harmoni vertikal dan horisontal ini mengahasilkanparadoks yang trasenden (Jakob Sumardjo, 2010:244).

Itulah sebabnya selendang lurik masyarakatagraris atau peladang di Pogung Niten menampilkangaris-garis vertikal dan horisontal. Vertikal simbolsurgawi dan horisontal simbol duniawi. Lebih lanjut,Jakob menjelaskan bahwa pola berfikir masyarakatkaum peladang atau bertani dengan pola dasarkosmologi. Pola dasar kosmologi adalah dualismeanatoginistik antara yang trasenden dan imanen. Yangtrasenden itu bersifat vertikal dan yang imanen bersifathorisontal (Jakob Sumardjo, 2010: 288). Dengandemikian perpaduan komposisi antara garis-garisvertikal dan garis-garis horisontal dapat dibaca sebagaiperpaduan alam trasenden dan imanen.

Selendang lurik Pogung Niten tersirat maknakonsep keseimbangan tersebut. Garis-garis vertikalyang disebut lanjuran merupakan gambaran tentangkekuatan, keuletan, kegigihan dan kerja keras untukmencapai kesempurnaan (surgawi) dan garishorisontal yang disebut pakan malang merupakankonstruksi keseimbangan yang menciptakan garisvertikal tetap berdiri kokoh. Garis horisontal ataupakan malang ini menyimbolkan dasar tanah tempatberjalan, bumi sebagai peyangga, dan bumi sebagaipelindung. Hal ini juga disebutkan oleh Feldman bahwagaris horisontal berfungsi sebagai dasar tanah tempatkita berjalan, dan dalam pemikiran kosmologi, sebagaialas dunia atau basis kehidupan (Edmund BurkeFeldman, 1990: 171). Dalam hal ini, menurut analisisdi atas tergambar sebuah konsep keseimbangan danmitos bahwa selendang lurik Pogung Niten membawasebuah gagasan untuk mencapai sebuah tujuan,surgawi, kesempurnaan, keinginan, dan harapan dibumi tempat berpijak maka harus diimbangi dengankerja keras, keuletan, kekuatan agar dapat berdirikokoh.

Page 14: SELENDANG LURIK: LAMBANG KEPERKASAAN PEREMPUAN ... - Jurnal

122 Vol. 11 No. 2, Juli 2014

Jurnal Kriya Seni

Gambar 15. Analisis selendang lurik Pogung Nitenmelalui pendekatan Estetika Paradoks Jakob

Sumardjo

Selendang lurik Pogung Niten banyakdikenakan dan dibuat oleh kaum perempuan, sehinggamitos yang didapat bahwa selendang lurik PogungNiten merupakan lambang keperkasaan perempuan-perempuan dalam mencapai kehidupan yangsempurna dengan berupaya mewujudkannya melaluibekerja keras, kekuatan, keuletan dalam menjalanihidup di bumi tempat mereka berpijak.

Hasil analisis terhadap selendang lurik di atastentang hadirnya konsep keseimbangan, merupakananalisis dengan pendekatan emik maupun etik.Penulis mencoba menganalisis data dari hasilobservasi dan wawancara dengan pendekatan tentangkonsep estetika paradoks oleh Jakob Sumardjo.Penulis membaca dari sudut pandang garis-garisvertikal dan horisontal yang mendominasi selendanglurik, serta kaitannya dengan mitos-mitos tentangpemaknaan corak tuluh watu yang hadir dalamselendang lurik Pogung Niten.

F. Kesimpulan

Lurik sebagai karya seni memiliki keindahandan sebagai warisan budaya adiluhung yang saratakan nilai-nilai yang terkandung di dalam garis-garisyang terwujud di dalamnya. Kesederhanaan lurikmengandung sebuah nilai, semangat, harapan, doadan mengiringi kehidupan masyarakatnya. Hal initercermin juga pada selendang lurik yang dibuatmasyarakat Pogung Niten. Masyarakat Pogung Nitensecara sadar dan gigih tetap melestarikan selendanglurik di tengah kemerosotan nilai ekonomi selendanglurik tersebut. Berbekal semangat serta nilai-nilai yangterkandung di dalamnya, masyarakat Pogung Nitenmampu bertahan dan melestarikan selendang lurikbuatannya.

Di balik garis-garis sederhana yang munculpada selendang lurik Pogung Niten, tersirat sebuahkeinginan, tujuan, harapan, kerja keras yang dilakukankhususnya kaum perempuan di desa Pogung Niten

untuk mencapai sebuah kehidupan yang sempurnadi bumi tempat berpijak. Melalui analisis yangdilakukan penulis, diharapkan mampu memberikankesadaran khususnya bagi masyarakat Pogung Nitendan masyarakat umum, bahwa selendang lurikmemiliki ideologi atau gagasan tentang sebuahkonsep keseimbangan dan keharmonian hidup yangtersirat dari pola dan corak garisnya.

Catatan Akhir:

1 Siraman: salah satu bagian upacarapernikahan adat Jawa, dari kata dasar siram (Jawa)yang berarti mandi. Yang dimaksud dengan siramanadalah memandikan calon pengant in yangmengandung arti membersihkan diri agar menjadi sucidan murni.

KEPUSTAKAAN

Feldman, Edmund Burke.1990. “Seni Sebagai Ujuddan Gagasan” terjemahan: Sp. Gustami,Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

Jakob Sumardjo. 2010. Estetika Paradoks. Bandung:Sunan Ambu Press STSI Bandung.

Nian S Djoemena. 2000. Lurik, Garis-Garis Bertuah.Jakarta: Djambatan.

Sahid Teguh Widodo, dkk. 2012. Pesona Lurik Jawa.Surakarta: UNS Press.

Sri Wuryani. 2002. “Kain Tenun Lurik: Tinjauanterhadap Sarana Upacara “Bethak” diKeraton Kasunanan Surakarta”, Tesis,Bandung: ITB.

Theresia. 2012. “ Kecantikan Lurik Jawa DalamKemasan Produk Kerajinan Masa Kini”,dalam Sahid Teguh Widodo (eds), PesonaLurik Jawa. Surakarta: Uns Press.

Narasumber:

1. Yatin (43), perajin selendang lurik, Alamat: dukuhNiten Rt 02, Rw 08, Kelurahan Pogung,Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten

2. Sahid Teguh Widodo (56) Guru Besar Sastra JawaUNS. Jl. Agrika 108 Perum UNS, Jati, Jaten,Karanganyar