renungan ke

147
PENDAHULUAN Renungan Ke-NU-aN Ikatan Sarjana Alumni Krempyang Oleh Imam Tarmuji S.Th.I Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah jam’iyyah diniyyah yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah. Di dalam bidang fiqh, NU menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris asy- Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam perkembangannya, mayoritas warga Nahdliyyin menganut paham Syafi’iyyah di bidang fiqh karena fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam. Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyyah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut paham Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah system taqlid diwajibkan di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi justru sebagai sebuah sikap kehati- hatian di dalam mengikuti Al Quran dan Sunnah sehingga pengimplementasian amaliyah-amaliyah dan ibadah-ibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran dan Sunnah. Sebagai organisasi islam yang bersifat cultural, tidak mengherankan jika NU memiliki basis pendukung sebanyak empat puluh juta jiwa di seluruh Indonesia (data tahun 2000, kemungkinan saat ini lebih dari empat puluh juta jiwa dan data tahun 2009 didapat oleh Suaidi Asyari, memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU) yang kemudian menjadikan NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia dan mampu mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU telah mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi keanggotaan NU secara cultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak disebabkan oleh kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang bersifat cultural saja, tetapi juga disebabkan oleh model istinbath al-ahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jama’ah (dengan berbagai metode ijtihad, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan dan mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah. 1

Upload: imamtarmuji

Post on 28-Nov-2015

235 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Renungan Ke-NU-aN Ikatan Sarjana Alumni KrempyangOleh Imam Tarmuji S.Th.I

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah jam’iyyah diniyyah yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah. Di dalam bidang fiqh, NU menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn  Idris asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam perkembangannya, mayoritas warga Nahdliyyin menganut paham Syafi’iyyah di bidang fiqh karena fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam. Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyyah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut paham Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah system taqlid diwajibkan di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi justru sebagai sebuah sikap kehati-hatian di dalam mengikuti Al Quran dan Sunnah sehingga pengimplementasian amaliyah-amaliyah dan ibadah-ibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran dan Sunnah.

Sebagai organisasi islam yang bersifat cultural, tidak mengherankan jika NU memiliki basis pendukung sebanyak empat puluh juta jiwa di seluruh Indonesia (data tahun 2000, kemungkinan saat ini lebih dari empat puluh juta jiwa dan data tahun 2009 didapat oleh Suaidi Asyari, memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU) yang kemudian menjadikan NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia dan mampu mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU telah mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi keanggotaan NU secara cultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak disebabkan oleh kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang bersifat cultural saja, tetapi juga disebabkan oleh model istinbath al-ahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jama’ah (dengan berbagai metode ijtihad, seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan dan mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah.

Fleksibilitas pemikiran NU ini selanjutnya berefek pada fleksibilitas sikap para warga Nahdliyyin, khususnya terhadap perbedaan pemikiran atau pendapat dan mengenai adanya tradisi-tradisi. NU tidak kemudian melawan pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan NU, tetapi NU justru memberikan ruang toleransi bagi mereka. Selain itu, NU tidak memberantas habis tradisi yang berkembang di masyarakat, namun dengan kecerdasan para kyai NU telah berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi tradisi sehingga tradisi yang asalnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, perlahan bermetamorfosa menjadi tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam meskipun tetap menimbulkan kontroversi dan kontradiksi pada sejumlah kalangan. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU di dalam sikapnya terhadap segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat, yaitu tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan dalil naqli dan dalil ‘aqli), tasamuh(mengembangkan toleransi), tawassuth(sikap tengah, tidak ekstrem kanan dan juga tidak ekstrem kiri), dan istidal (tegak lurus, artinya konsistensi antara pikiran, ucapan, dan perbuatan).

NU juga merupakan representasi dari kalangan pesantren Indonesia yang pernah mencatatkan dirinya dengan tinta emas karena keberhasilannya di dalam ikut serta memprotes tindakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau serta keinginan Raja Ibnu Saud mewajibkan seluruh ummat Islam terutama yang beribadah haji untuk memeluk paham Wahhabi (suatu paham puritan yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab). Walhasil, Raja Ibnu Saud membatalkan rencananya untuk

1

membongkar makam Nabi Muhamamd SAW dan beberapa sahabat serta kebebasan bermadzhab dijaminkan kepada para pemeluk Islam meskipun di Mekkah telah diputuskan paham resmi Negara adalah Wahhabi. Sebagai representasi dari kalangan pesantren, tentu saja NU juga memiliki banyak sekali kelebihan. Para kyai dan santri yang senantiasa belajar mengaji dan mengkaji, telah membuat mereka menjadi pribadi yang faqih, ‘alim, bermanfaat bagi agama dan Negara. Selain itu, sifat-sifatnya yang zuhud, qana’ah, suka bersusah payah (prihatin—bahasa Jawa), taqwa, telah membuat beberapa dari mereka memiliki karamah dan kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa. Sehingga suatu hal yang mengherankan ketika banyak pihak yang menyangsikan dan menyepelekan kyai hanya karena sifat tidak baik dari sebagian kecil kyai saja.

Satu hal yang juga tidak kalah penting, semua Habib (keturunan Nabi) di Indonesia misalnya Habib Syeikh ibn Abdul Qadir Assegaf dan Habib Munzir al-Musawa (masih banyak lagi para habib yang lain) telah menjadikan pribadi mereka sebagai pembela paham ahlussunnah wal jama’ah ala NU. Bahkan Kyai Haji Habib Muhammad Luthfi Ali Bin Yahya menjabat sebagai Rais ‘Am Jam’iyyah Ahli Thariqat Al Mu’tabarah al Nahdliyah dan Rais Syuriah PBNU. Kelebihan ini bahkan tidak dimiliki oleh ormas Islam yang lain di Indonesia. Sebuah penghormatan yang sangat besar karena keturunan Nabi Muhammad SAW menjadi bagian dari NU.

Namun, sebagai organisasi islam yang bersifat structural, NU justru memiliki banyak kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut dapat saya identifikasikan sebagai berikut :

1. Sepinya kegiatan di berbagai ranting atau cabang atau wilayah.Di beberapa daerah, kegiatan yang dibawah structural NU kurang progresif dan cenderung

sepi. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa kalangan menyebut NU sebagai The Silence Majority(mayoritas yang hanya diam). Hal ini jelas merugikan NU sebagai organisasi Islam yang dibangun dengan tujuan salah satunya menegakkan agama Islam khususnya amalan-amalan ahlussunnah wal jama’ah dan juga menyejahterakan ummat. Sebagai organisasi yang terbesar, jangan sampai NU hanya mempunyai kegiatan yang menguntungkan pihak NU sendiri, NU harus progresif mengadakan kegiatan yang outputnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas secara umum dan masyarakat sekitar secara khusus. Tidak hanya kuantitas kegiatan yang menjadi sasaran di dalam menyusun program kerja, tetapi kualitas kegiatan juga penting. Kegiatan yang diadakan harus bersifat tepat sasaran, tepat guna, dan tepat tujuan. Mempertahankan kegiatan yang sudah menjadi tradisi memang baik, tetapi mengadakan inovasi kegiatan akan lebih baik. Ketika jaman semakin membuat tingkat kesulitan mencapai kesejahteraan hidup semakin tinggi dan juga berefek kepada tergadainya iman dan aqidah, kegiatan-kegiatan yang tidak hanya kegiatan keagamaan, misalnya kegiatan seminar, training, pelatihan, kursus, membuka klinik, koperasi, dan sebagainya, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diadakan seperti ini sebenarnya tinggal mengadopsi konsep Fiqh Sosial yang dicetuskan oleh DR HC KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Rais Am Syuriah PBNU) dan kemudian mengimplementasikannya dengan berbagai teknik dan metode yang disesuaikan dengan sasaran dan kebutuhan sehingga memiliki output yang maksimal. Kegiatan seperti ini juga harus menyebar baik di setiap tingkatan maupun di setiap daerah. Kemampuan berpikir inovatif dan peka terhadap kebutuhan ummat tentu saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan skill pengelolaan organisasi yang tentunya sangat dibutuhkan dan harus ada di setiap jajaran structural NU.

2. Semakin besar jumlah anggota suatu kelompok, semakin tidak kohesif (kompak, lekat, solid).

Data tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak lima puluh satu juta jiwa muslim dan santri Indonesia berafiliasi dengan NU, baik secara cultural maupun secara structural. Hal ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh NU yang menjadikan NU sebagai organisasi

2

kemasyarakatan terbesar di Indonesia, tetapi di sisi lain juga menimbulkan efek negative yang lain. Efek tersebut adalah sulitnya mengelola keanggotaan yang sangat banyak. Di dalam hukum kohesivitas psikologi social, semakin besar jumlah anggota suatu kelompok akan mengakibatkan kurangnya kohesivitas para anggota kelompok tersebut. Beberapa kalangan juga menilai bahwa NU kurang serius di dalam mengelola keanggotaan warganya. Di pihak lain, banyak terdapat para anggota structural NU yang juga kurang memahami manajemen organisasi yang baik yang juga akan mengakibatkan kurang solidnya barisan NU secara structural. Banyak pertemuan di berbagai tingkatan dan daerah secara rutin dengan agenda membahas masalah terkini ummat untuk dicarikan solusinya mungkin akan dapat menjadi sebuah solusi untuk permasalahan kohesivitas ini. Selain itu, di sisi lain para anggota structural NU juga harus belajar mengenai manajemen organisasi yang baik, bagaimana menyolidkan warga NU, bagaimana menghadapi masalah ummat, bagaimana ketika ada gesekan atau tantangan dari luar datang, dan sebagainya. Barangkali tantangan dari kaum radikalis—puritan yang semakin tinggi menjadi hikmah bagi NU untuk semakin menyolidkan barisan dan tidak lengah sedikitpun di dalam memperjuangkan Islam Sunni dan Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia.

3. System taqlid mengharuskan para kyai NU menuntun para warga Nahdliyyin yang awam.

Warga NU sangat bervariasi, termasuk salah satunya mengenai tingkat pemahaman terhadap Islam secara umum dan ahlussunnah wal jama’ah secara khusus. Ada yang sangat pandai dan paham, tetapi ada juga yang tidak paham sama sekali atau taqlid buta. Hal ini jika dibiarkan secara terus menerus, bisa saja akan merugikan. Di sini saya tidak bermaksud mengharuskan setiap warga NU untuk berijtihad, tetapi setidaknya ada usaha dari setiap warga NU terutama yang awam untuk belajar mengenai keilmuan dan kemadzhaban serta ahlussunah wal jama’ah sehingga semakin mantap di dalam beramaliyyah. Begitu juga sebaliknya, dibutuhkan peran aktif dari para kyai terutama di tingkat pedesaan untuk istiqamah di dalam memberikan kajian-kajian yang tidak hanya bersifat akhlaq dan aqidah, tetapi juga kajian fiqh, paling tidak disesuaikan dengan sasaran sehingga warga yang awam mampu memahami amaliyyah-amaliyyah mereka meskipun tidak secara detail, namun akan lebih baik jika para warga mampu untuk memahami sampai detail. Memberikan dan menyerahkan permasalahan kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan yang tidak terpuji, namun membiarkan ummat di dalam keawaman juga bukan tindakan yang bijaksana. Ikatan Sarjana Alumni Darussalam Krempyang yang baru dibentuk memiliki kepedulian untuk memberikan solusi agar ummat khususnya di daerah pedesaan tidak awam mengenai masalah keagamaan terutama yang terkait amaliyah-amaliyah NU dengan merekontruksi ulangan buku ASWAJA

4. Kontekstualisasi hukum membuat banyak orang terpengaruh paham skripturalis atau tekstualis.

Corak pemikiran NU adalah mengkontekskan hukum Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah sebagai sumber utama di dalam penggalian hukum (istinbath al-ahkam) dan juga sebagai dalil utama. Hal ini sebagai konsekuensi dari prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang peka terhadap kemashlahatan ummat dan moderat, salah satunya terhadap budaya. Arti moderat bukan berarti mengijinkan berkembangnya budaya begitu saja tanpa penyaringan atau filter. Arti moderat di sini adalah tetap menghargai adanya budaya tersebut dengan berupaya mengadakan akulturasi dan asimiliasi dengan budaya Islam. Sehingga, budaya-budaya yang menjadi amalan-amalan warga Nahdliyyin atau Syafi’iyyah di Indoensia dan diklaim bid’ah dlalalah tersebut sudah tidak lagi memakai nilai Hindu, Budha, dan kejawen, tetapi justru diganti dengan nilai-nilai keIslaman, misalkan menghilangkan unsure kesyirikan, mengisi acara dengan doa dan sesuatu yang bermanfaat. Kontekstualisasi hukum seperti ini membutuhkan kecerdasan, kepahaman, ketelitian, dan kehati-hatian yang sangat dalam pada kalangan kyai karena yang dihadapi tidak hanya masalah duniawi

3

saja, tetapi masalah keagamaan yang diperlukan ijtihad meskipun tidak berupa ijtihad muthlaq. Di dalam hadits Rasulullah SAW bersabda kesalahan ijtihad saja tetap diberi pahala satu, lalu mengapa masih ada pihak-pihak yang mengeklaim sesat dan salah padahal NU dan Syafi’iyyah belum tentu salah dan mereka belum tentu benar? Kontekstuaslisasi hukum ini juga kemudian berefek kepada sulitnya memahami hasil dari kontekstualisasi hukum tersebut, sehingga memberikan peluang ketidakpahaman kalangan awam yang kemudian banyak kalangan awam yang mudah terpengaruh oleh gerakan radikalis—puritan yang cenderung tekstual dan skripturalis di dalam memahami hukum-hukum di dalam Al Quran dan Sunnah. Hal ini yang kemudian membutuhkan upaya keras dari kalangan cendekiawan NU dan warga NU yang duduk di jajaran structural NU untuk senantiasa mengawal dan membentengi para warga yang masih awam agar tidak terseret dan tidak terpengaruh oleh gerakan-gerakan semacam itu yang justru mengancam keutuhan ummat dan ukhuwah islamiyyah.

5. Banyak para kaum muda NU terlibat ke dalam pemikir yang bebas (neo Mu’tazilah).Pemikiran akan terus berkembang karena sifat pikiran dan ilmu pengetahuan yang dinamis.

Perkembangan pemikiran seperti ini mampu memberikan efek positif di dalam kehidupan untuk tujuan kesejahteraan ummat. Namun, di sisi lain ketika terdapat kesulitan di dalam kehidupan yang membutuhkan tingkat dinamis dan fleksibiltas pemikiran yang tinggi, akan justru mengakibatkan liarnya pemikiran yang mungkin dapat keluar dari ketentuan syara’. Seperti yang telah tercatat oleh sejarah bahwa Islam pernah berjaya di tangan kaum Mu’tazilah yang pandai berdebat dengan teknik rasionalitas yang tinggi dan kemampuan filsafat yang hebat untuk menghadapi kaum zindiq yang menggerogoti Islam dari dalam. Namun, di sisi lain, mereka justru telah melampaui batas di dalam menggunakan akal dan pikiran mereka sehingga mereka diberangus oleh mantan pengikutnya sendiri, Abu Hasan al-Asy’ari yang telah taubat dari paham Mu’tazilah yang dianutnya selama 40 tahun, dan beliau telah menancapkan paham Asy’ariyyah menggantikan paham Mu’tazilah. Periode saat ini banyak muncul pemikiran liberal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai pemikiran liar dan liberal yang menyalahi syara’. Beberapa dari kalangan yang disebut sebagai neo-Mu‘tazilah oleh beberapa pihak yang tidak setuju dengan mereka, justru menganut paham NU meskipun secara structural tidak masuk di dalam kepengurusan NU. Terlepas apakah cara berpikir mereka benar atau bahkan salah, keberadaan pemikiran tersebut terbukti menodai kalangan NU sendiri, bahkan tidak jarang kalangan kyai berselisih pendapat dengan kaum muda NU yang liberal. Selain itu, terdapat beberapa mahasiswa NU yang tergabung dalam PMII suatu universitas sering mengadakan diskusi membahas mengenai teologi dan doktrin-doktrin yang membuat mereka berfilsafat tanpa arah dan tujuan yang jelas dan kemudian menjadikan mereka mempermainkan Tuhan dengan setiap tindakannya. Hal ini selain dapat menghilangkan nilai-nilai hukum Islam, juga dapat mengancam ukhuwah di tubuh NU sendiri. Jelas efek semacam ini sangat merugikan bagi NU sendiri. Sehingga kalangan kyai atau Syuriah atau Mustasyar harus dapat bertindak secara tegas dan tepat di dalam menghadapi kasus seperti ini. Islam memang agama rahmat untuk seluruh alam, namun bukan berarti universalitas dan fleksibilitas hukumnya meninggalkan nilai-nilai yang dibawanya sendiri.

6. Sikap toleransi yang kemudian disalahartikan menyebabkan sikap toleransi yang berlebihan.

Salah satu prinsip dari Ahlussunnah wal Jama’ah adalah prinsip tasamuh yang diartikan sebagai sikap toleransi dan menghargai perbedaan. Mungkin saja sikap pluralisme tumbuh dari sikap toleransi ini, yang kemudian menimbulkan polemic dan kontroversi dari tingkat ulama sampai tingkat akademis. Ada salah satu fenomena yang menurut saya kurang tepat dari segi aqidah, misalkan ketika Yenny Wahid (putri Alloh Yarham KH Abdurrahman Wahid) menginstruksikan kepada Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban perayaan Paskah. Dari segi toleransi ummat beragama jelas ini adalah sikap yang

4

menguntungkan karena dapat menimbulkan good image dari kalangan non-Islam terhadap kalangan Islam. Namun, dari segi aqidah, bisa-bisa sikap semacam ini melunturkan aqidah seseorang. Menjaga ketertiban dan keamanan peringatan keagamaan agama lain memang kewajiban setiap warga, namun bukankah POLRI yang seharusnya berada di garda terdepan karena itu memang tugas POLRI? Bukankah ketika ikut menjaga peribadatan mereka juga berarti mengakui kegiatan peribadatan mereka yang pada akhirnya berefek kepada kepercayaan secara tidak langsung terhadap Tuhan mereka? Toleransi bukan selalu harus terlibat secara langsung, membiarkan mereka beribadah dan tidak bersikap anarkis serta provokatif pun sudah termasuk sikap toleransi. Toleransi memang membutuhkan pertimbangan kemashlahatan ummat, tetapi juga bukan berarti membuat aqidah kita menjadi luntur.

7. Motivasi menulis warga Nahdliyyin rendah.NU merupakan sebuah organisasi yang didominasi oleh kalangan santri dan kyai. Hampir

seluruh waktu di setiap harinya dipakai santri untuk mengaji kitab kuning kepada para kyainya. Selain itu, santri juga dituntut menegakkan sembahyang-sembahyang sunnah sehingga bisa dikatakan waktu 24 jam dalam sehari kurang bagi santri dan kyai. Betapa sibuknya mereka untuk mencapai kemuliaan akhirat dan untuk mencari bekal menyejahterakan ummat kelak ketika sudah keluar dari pondok. Kesibukan ini ternyata memiliki sedikit (jika tidak mau dikatakan banyak) efek yang kurang baik bagi santri, yaitu kurangnya (bukan tidak adanya) motivasi untuk menulis. Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia juga selain mengaji. Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (sebagai pendiri dan Rais Akbar NU) saja rajin menulis yang membuat beliau menghasilkan karya sebanyak 20 kitab. Apalagi para santri dan warga NU, harus mencontoh keteladanan beliau. Menulis ini juga akan menimbulkan dampak positif bagi NU sendiri, yaitu sebagai sarana membentengi diri dari hantaman kalangan radikalis—puritan yang notabene rajin menulis namun ketika diadakan dialog terbuka secara ilmiah justru tidak pernah menyanggupi. Banyak media massa yang didominasi oleh kalangan radikalis—puritan yang menjadikannya sebagai alat untuk menyebarkan pahamnya. Buku merupakan salah satu media yang paling ekonomis dan dapat menyebar luas sehingga untuk menghadapinya juga dibutuhkan usaha sebanding. Salah satu upaya untuk menumbuhkan minat menulis ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh NU sendiri yaitu melalui pelatihan yang diadakan oleh lembaga NU yang bernama Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Namun, upaya ini sepertinya kurang progresif di berbagai daerah. Upaya seperti training dan pelatihan menulis harus diupayakan secara kontinyu dan berkualitas di berbagai tingkatan dan daerah. Tidak hanya mengembangkan kemampuan menulis, tetapi juga mengembangkan keilmuan terkait konten atau materi mengenai apa yang ditulis, misalkan keilmuan fiqh, hadits, Al Quran, tafsir, dan sebagainya. Para kyai pun juga dituntut untuk memotivasi para santrinya agar memiliki gairah berkarya.

8. Pengkaderan yang kurang progresif di beberapa daerah.Sebagai organisasi secara structural, NU kurang dapat mengendalikan keanggotannya. Hal

ini berakibat pada pengkaderan yang kurang rapi dan kurang optimal. Banyaknya anggota dan kader secara structural belum tentu menjamin kelangsungan NU sendiri. Selain kuantitas, kualitas kader juga sangat penting. Karena itu, harus ada upaya pengkaderan secara serius dan kontinyu. Misalkan, pengkaderan IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Banser-nya, Fatayat NU, harus dilaksanakan sesuai dengan program kerja dan konsep yang telah dicanangkan oleh NU, seperti Pelatihan Kader Muda (Lakmud) untuk pengkaderan IPNU dan IPPNU. Tidak hanya itu, teknik acara dan konten acara juga harus diperhatikan. Materi-materi yang diberikan harus berkualitas, misalkan materi tentang manajemen organisasi, aswaja, keNUan, networking, kohesivitas, pendidikan karakter dan mental, dan sebagainya. Dari situ, tentu saja dibutuhkan peran kalangan senior di dalam mengadakan kegiatan tersebut. Pengkaderan yang berkualitas akan melahirkan kader yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga militan dan loyal. Kader yang militant dan loyal

5

akan mengakibatkan kohesivitas yang tinggi di antara para kader NU. Pada akhirnya, NU akan menjadi organisasi yang kuat dan kokoh, tidak mudah goyah dengan terpaan badai dan tantangan serta akan dapat memecahkan permasalahan ummat.

9. Jangan hanya berNU secara cultural, tetapi juga secara akademisi.Sebagai jam’iyyah diniyyah, tidak cukup ketika hanya mengaku dan melaksanakan

amaliyyah-amaliyyah NU saja. Tetapi diperlukan upaya untuk paling tidak memahami amaliyyah-amaliyyah tersebut sesuai kadar kemampuan sehingga akan semakin mantap di dalam beramaliyyah. Tidak hanya itu, peningkatan pendidikan juga harus menjadi perhatian khusus NU. Pendidikan merupakan permasalahan urgen dan sampai sekarang masih menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Pandai di dalam keilmuan agama merupakan tingkatan yang mulia, namun pandai di dalam keilmuan umum juga tidak bisa dianggap remeh. Keilmuan agama dan umum sangat bermanfaat guna mencapai kesejahteraan dunia dan kahirat (sa’adatuddarain). Permasalahan kekinian tidak cukup diselesaikan dengan hanya beribadah dan berdoa saja, tetapi juga dengan upaya yang membutuhkan kecerdasan dan pengembangan pemikiran dan keilmuan guna memecahkan permasalahan ummat, khususnya yang bersifat duniawi. Efek selanjutnya, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dapat diminalisir dan dihilangkan yang selanjutnya mengakibatkan kesejahteraan ummat. Arah perjuangan di dalam mengentaskan dan memecahkan berbagai masalah tersebut harus sejalan dengan Qanun Asasy Nahdlatul Ulama (yang dipidatokan oleh Rais Akbar NU pada Muktamar I NU, Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari yang sekaligus menjadi Anggaran Dasar NU), Khiththah Nahdliyyah(yang dirumuskan oleh Kyai Haji Achmad Shiddiq yang menjadi Rais Am PBNU masa jabatan 1984—1991), dan Mabadi’ Khairu Ummat. Sehingga sebagai warga NU, khususnya santri, harus mampu menjadi kalangan terpelajar sebelum akhirnya melakukan upaya pengentasan kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan ummat demi mencapainya kesejahteraan ummat dan kejayaan Islam.

10. Para warga Nahdliyyin diharapkan aktif untuk menyumbangkan segala sesuatu kepada NU.

Sebagai warga yang bersedia diafiliasikan dengan NU, seharusnya memiliki komitmen tinggi untuk berkorban kepada NU. Berkorban banyak caranya. Berkorban juga sebaiknya dilaksanakan dengan maksimal tanpa menafikan kemampuan dan kadar diri masing-masing. Bagi para warga Nahliyyin yang duduk di jajaran structural NU, sebaiknya melengkapi keterampilan diri dengan keterampilan manajemen organisasi di samping keterampilan keilmuan dan interpersonal. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan harta diharapkan bersedia menyisihkan sebagian hartanya untuk NU, misalkan membangun gedung NU tingkat Majelis Wakil Cabang atau Cabang atau Wilayah, agar di setiap kegiatannya NU mampu mengaktualisasikan dirinya dengan baik tanpa terkendala fasilitas. Selain itu bisa juga menyumbangkan hartanya untuk kegaiatan-kegaiatan NU sebagai donator. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di bidang pemikiran, diharapkan bersedia menyumbangkan pemikiran dalam hal apapun untuk kemajuan NU dan kemashlahatan ummat, misalkan pemikiran mengenai hal-hal kekinian, pemikiran mengenai konsep kegiatan yang inovatif, dan sebagainya. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kemampuan menulis, diharapkan bersedia menuliskan setiap pemikirannya dan mempublikasikannya kepada masyarakat NU dan umum sehingga mampu mencerahkan tidak hanya NU saja tetapi juga masyarakat umum. Bagi warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di dalam hal kepandaian atau kefaqihan, maka diharapkan mampu mencerahkan dan mencerdaskan ummat dengan ilmunya. Tentunya sikap-sikap seperti harus disertai dengan pengimplementasian prinsip-prinsip ahlussunnah wal jama’ah dengan baik.

11.  NU harus merapikan strukturalnya.

6

Sebuah tantangan yang berat untuk organisasi sebesar NU di dalam mengelola keanggotaan dan organisasinya. Dibutuhkan skill dan kemampuan mengenai keilmuan manajemen organisasi untuk mengelola organisasi besar dengan baik. NU yang juga bercorak structural jangan hanya mengandalkan basis strukturalnya. Anggota NU sudah banyak tanpa pengelolaan dengan baik karena sudah melekatnya tradisi ahlussunnah wal jama’ah yang berkembang di Indonesia. Hal ini akan sangat baik jika disertai pengelolaan organsasi dengan kualitas yang tinggi yang akan membuat organsasi menjadi sangat rapi. Efeknya, keangotaan akan jelas dan kinerja akan semakin produktif. Sebagai salah satu contohnya, program dari PBNU yang membuat KARTANU (Kartu Tanda Anggota NU), baik untuk warga NU secara structural maupun secara cultural. Program ini tentunya sangat berkualitas karena dengan adanya KARTANU ini, maka seluruh anggota dan warga NU akan tercatat di databaseNU. Jika keanggotaan jelas, maka PBNU tidak akan kesulitan untuk berinteraksi dengan para warganya dan juga tidak akan mengalami hambatan jika warganya membutuhkan pertolongan. Kelebihan yang lain dari KARTANU ini tidak hanya berfungsi sebagai kartu tanda anggota saja, tetapi juga sebagai kartu asuransi dan kartu pra bayar. Namun, sayangnya upaya PBNU ini tidak diimbangi dengan respon yang reaktif dari jajaran structural dibawahnya yang seharusnya membantu PBNU di dalam mengkoordinasi warga NU untuk membuat KARTANU tersebut, misalkan oleh PWNU dan PCNU, sehingga program yang berkualitas ini kurang terpublikasi dan terealisasi dengan baik. Upaya yang lain untuk merapikan structural NU adalah dengan cara memasang nameboard NU dan badan otonom-badan otonom (banom) NU di setiap ranting (desa) atau majelis wakil cabang (kecamatan) atau cabang (kabupaten) atau wilayah (propinsi), sehingga akan jelas bahwa di daerah tersebut merupakan basis pendukung NU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini merupakan tanggung jawab dari jajaran structural NU misalkan PCNU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini juga tidak dapat dilakukan “asal dipasang”, tetapi harus berada di tempat yang strategis, atau jika dimungkinkan dipasang di kantor NU dan banom-banomnya. Hal ini akan memudahkan akses para warga NU jika membutuhkan bantuan dari NU dan mengadakan kegiatan keNUan. Selain upaya tersebut, merapikan organisasi juga tidak hanya merapikan secara structural, tetapi juga merpikan program kerja dan realisasinya sehingga program kerja dapat terlaksana dengan baik dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat.

12. NU harus bertindak tegas kepada para warganya yang melenceng dari prinsip dan ajaran aswaja.

Ketika saya jalan-jalan di sebuah toko buku, terdapat buku yang sangat kontroversi, yaitu Mahrus Ali yang mengaku Mantan Kiai NU dan buku yang diterbitkan oleh penerbit yang sama yang berjudul “MWC NU Menggugat Aqidah Sesat NU”. Hal ini sangat disayangkan karena mengancam ukhuwah NU secara khusus dan ukhuwah islamiyyah secara umum. Diperlukan ketegasan yang nyata dari jajaran structural NU yang lebih tinggi untuk menindaklanjuti para warganya yang mengancam ukhuwah terlebih lagi beberapa oknum warga NU yang bertindak provokatif dan meninggalkan prinsip-prinsip aswaja. Hal ini jelas dibutuhkan untuk menumbuhkan persepsi bahwa NU merupakan organisasi yang tidak hanya besar, tetapi juga tanggap dan tegas secara cerdas. Respon-respon untuk tindakan semacam ini tidak cukup dengan menulis buku-buku counter yang banyak tetapi juga dengan sikap dan tindakan seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa jajaran cultural dan sturktural NU misalnya dengan memberikan pengajian kefiqhan dan debat ilmiah secara terbuka. Namun, upaya ini harus dilakukan secara merata dan menyeluruh di setiap tingkatan dan daerah NU. Tentu saja hal ini membutuhkan tidak hanya keilmuan semata, tetapi juga motivasi dan keberanian yang tinggi tanpa mengancam ukhuwah dan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip aswaja.

13. Perbaikan akhlaq dan pergaulan di kalangan pelajar dan kaum muda NU.

7

Ketika era semakin berkembang pesat, tidak hanya teknologi saja yang mengglobal, tetapi juga karakteristik berpikir dan budaya dari tempat asal tekonologi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya gerusan budaya local dan local wisdom Indonesia yang banyak sesuai dengan prinsip aswaja. Pada akhirnya, etika bersikap dan bergaul akan semakin menipis dan pudar. Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang sangat ironis mengingat NU tidak hanya bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan saja tetapi juga bergerak di bidang akhlaq dan etika. Banyak para kaum muda dan pelajar NU di berbagai daerah yang kehilangan etika dan mencerminkan rendahnya akhlaq yang disebabkan oleh gaya hidup yang semakin modern. Fenomena semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari NU, terutama kalangan structural NU. Pondok yang tersebar luas dan merata di berbagai pedesaan perlu dimaksimalkan lagi untuk memberikan perannya di dalam memperbaiki akhlaq masyarakat. Peran kyai juga lebih ditonjolkan lagi mengingat karakter kyai yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga bijak dan berakhlaq mulia yang harus dijadikan tauladan di setiap daerah. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari para kyai dan santri untuk tetap mempertahankan etika dan akhlaq yang mulia di tengah arus globalisasi ini. Selain itu, saya pernah menemui karakter santri yang “memudahkan” (jawa : nggampangke) ibadah dengan dalil Alloh Maha Tahu. Hal ini kurang bijak jika dilakukan oleh santri yang notabene merupakan kalangan yang tidak hanya tahu tetapi juga paham mengenai keagamaan dan ibadah (meskipun tidak bijak juga jika dilakukan oleh orang biasa non santri). Mengetahui dan memahami secara mendalam seharusnya lebih membuat diri seorang santri semakin rajin dan tidaknggampangkemasalah keagamaan dan ibadah. Apalagi santri menjadi role model kaum terpelajar dan harus bisa menjadi contoh bagi masyarakat.

14. NU harus mengelola kegiatan-kegiatan dengan baik di setiap tingkatan.Sebagai sebuah organisasi yang besar, NU membutuhkan orang-orang

dengan skill manajemen organisasi yang tinggi. Tidak hanya dibutuhkan di dalam merapikan dan menyolidkan jajaran structural NU, tetapi juga untuk mengelola kegiatan dan program kerja dengan baik. Kegiatan yang merupakan realisasi program kerja harus dikelola oleh NU dengan baik agar kegaiatan tersebut terkendali dan terarah sehingga efek positif dapat dirasakan oleh semua kalangan yang membutuhkan. Pada setiap kegiatan dan organisasi, juga dibutuhkan tingkat koordinasi dan komunikasi yang tinggi, apalagi pada organisasi sebesar NU. Kegaiatan-kegiatan yang diadakan juga harus dikoordinasikan dan dikomunikasikan tidak hanya dengan structural NU setempat, tetapi juga dengan structural NU yang lebih tinggi. Hal ini bukan hanya sekedar bentuk pertanggungjawaban kepada structural NU yang lebih tinggi, tetapi juga memungkinkan pengawasan dari structural NU yang lebih tinggi sehingga kegiatan yang diadakan akan semakin berkualitas. Jika koordinasi kurang, maka jajaran structural NU yang lebih tinggi akan tidak mengetahui structural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya terlaksana dengan baik dan structural NU yang lebih rendah mana saja yang program kerjanya tidak terlaksana, sehingga jajaran structural NU yang lebih tinggi harus menegur dan mengetahui permasalahan yang terjadi yang menyebabkan program kerja dapat terlaksana dengan baik dan tidak terlaksana. Di sinilah peran structural NU yang lebih tinggi tersebut untuk membantu jajaran structural NU yang lebih rendah di dalam kegiatan salah satunya, sehingga kegiatan-kegaiatan NU akan berkualitas dan NU tidak akan diklaim sebagai The Silence Majority. Selain itu, jangan sampai juga organisasi sebesar NU memiliki orsi kegiatan yang berefek pada diri sendiri lebih besar daripada kegiatan yang berefek pada masyarakat luas. Jangan sampai juga terlena atas keberhasilan masa lalu yang akan membuat warga NU sekarang membanggakan nenek moyangnya dan tidak lagi berkarya.

15. Membangkitkan semangat untuk senantiasa memperkokoh NU.Semangat dan motivasi diperlukan untuk setiap sesuatu yang membutuhkan perjuangan di

dalam mencapai goal(tujuan). Semangat di dalam mempertahankan NU dapat dilakuakn dengan berbagai cara sesuai kadar kemampuan masing-masing warga NU. Yang jelas, jangan sampai

8

organisasi sebesar NU kehilangan semangat terutama semangat memperkokoh NU dan semangat senantiasa berjuang untuk kemashlahatan ummat. Semangat ini bisa dibangun dengan berbagai macam cara. Misalnya dengan membaca buku-buku keNUan yang berisi profil para tokoh NU dan keberhasilan-keberhasilan NU sehingga memotivasi untuk selalu berkarya lewat NU. Selain itu, peka terhadap realitas juga akan menimbulkan semangat dan motivasi, seperti misalnya melihat realitas bahwa aswaja dan NU semakin tergerus oleh kalangan radikalis—puritan yang gigih menyuarakan visi dan misinya memurnikan agama Islam serta mengkafirkan ummat Islam yang tidak sepandangan dengan mereka, melihat realitas bahwa ternyata masalah kebodohan, keterbelakangan, kesejahteraan, pendidikan, akhlaq, ekonomi, dan sebagainya masih menjadi masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Semangat dan motivasi keNUan juga dapat ditumbuhkan ketika pelatihan kader dan reorganisasi yang disisipkan di setiap materi yang diberikan. Namun, menimbulkan semangat dan motivasi tanpa menjaganya merupakan tindakan yang kurang berkualitas sehingga menjaga motivasi dan semangat juga merupakan suatu hal yang tidak kalah penting dari memunculkan semangat dan motivasi itu sendiri.

16. Mengadakan relasi dengan penerbit ternama untuk menerbitkan buku-buku keNUan.Relasi dengan penerbit terutama penerbit yang bonafide dan ternama merupakan sebuah

langkah penting di dalam mempublikasikan dan mendistribusikan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan karya-karya warga NU. Terutama sekarang NU dihadapkan dengan pertarungan media dengan kaum radikalis—puritan yang mendominasi media, terutama buku dan penerbit. Penerbit yang menjadi relasi juga jangan sampai hanya memikirkan untung—rugi, tetapi juga mempertimbangkan pengorbanan terhadap NU sehingga personal approach dibutuhkan di dalam hal ini. Sehingga, buku-buku keNUan, ke-aswaja-an, dan kemadzhaban Syafi’i  dapat diterbitkan secara luas dan merata serta dicetak berulang kali.

17. Perkuat aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan madzhab Syafi’iyyah.Tidak semua kalangan santri atau warga Indonesia yang memiliki amaliyyah-amaliyyah

seperti NU bersedia diafiliasikan dengan NU karena NU merupakan organisasi, sedangkan amaliyyah-amaliyyah tersebut tidak terikat organisasi, tetapi terikat oleh madzhab. Sehingga kalangan madzhab secara umum dan kalangan Syafi’iyyah secara khusus, yang tidak tergabung ke dalam NU, juga perlu memperkuat aqidah ahlussunnah wal jama’ah dan pengetahuan tentang kemadzhaban sehingga tidak mudah terpengaruh dan memiliki benteng pertahanan yang kuat dari serangan kalangan radikalis—puritan.

Dibutuhkan ijin dari Alloh SWT, doa dari ummat, dan upaya dari seluruh Aswaja dan NU di Indonesia untuk teap melestarikan amaliyyah-amaliyyah Aswaja dan madzhab yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Insya Alloh, dengan itu semua, semoga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah, dan madzhab (terutama madzhab Syafi’i) akan terus bercahaya dan menancap kuat di hati, pikiran, dan sikap para warganya yang setia. Jangan sampai kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran dan kebaikan yang tidak terorganisir. Bravo NU!! Bravo Aswaja!! Bravo Syafi’iyyah!!Bravo IKSADA Allâhu Akbar!!

IAhlus Sunnah Wal Jamaah

A. Devinisi Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 1. AhlunDalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna,

yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith.

9

2. As-Sunnah Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan,

sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW.

Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah). 

2. Al-Jama’ahMenurut Qamus Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari

tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama’ah" secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.  Dari pengertian di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah

golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal, sebagaimana pernyataan Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”

Secara historis, para imam Aswaja dibidang aqidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib RA, karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan pendapat Qodariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Dimasa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar”, Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi ‘ala al-Barohimah”.

Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa aqidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-

10

Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham aqidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman aqidah Aswaja.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keIslaman. Dalam hal aqidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.

Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:

�ع�ين� ب �ن� و�س��� �ي �ت �ن ى ع�ل�ى ث ار� �ص��� ق�ت� الن ر� ة� و�اف�ت��� ق��� �ع�ين� ف�ر� ب د�ى و�س��� �ه"ود" ع�ل�ى إح��� �ي ق�ت� ال �ر� اف�ت�ق�ة �ع�ين� ف�ر� ب ث& و�س� �ال� �ي ع�ل�ى ث م�ت

" �ر�ق" أ �ف�ت ت ق�ة� و� س� "وا : م�ن�  ف�ر� �ار� إال� و�اح�د�ة� ق�ال 3ه"م� ف�ي الن "ل ك�ن" م�اج�ه� م�ذ�ي3 و�اب :ر� "و د�او"دو�الت �ب و�اه" أ �ي. ر� اب ص�ح�

� �ه� و�أ �ي �ا ع�ل �ن �ه� ق�ال� م�ا أ س"ول� الل �ا ر� هم ي

“Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”.HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.

Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.B. Ruang Lingkup Aswaja

Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek aqidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek aqidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.

Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah  dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat aqidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H – 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama  menjadikan rumusan aqidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman aqidah yang sah dalam Aswaja.

11

Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-’Aql ‘ala al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini.

Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi dan al-Thahawi.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal aqidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.

Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awza’i, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ‘ala al-’Aql (mengedepankan daripada akal).

Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam.

Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.

Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda

12

didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah.

Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih “menengah” dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.

Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan aqidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup aqidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.

C. Madzhab Ahlissunnah Wal Jama'ahMadzhab dalam bidang fiqh berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan

sampai sekitar awal abad ke-2 Hijriyah. Rujukan dalam menggali hukum suatu permasalahan masih tetap sama yaitu, Al Quran, Sunnah Nabi dan Ijtihad para ahli fiqh. Pada masa itu kedudukan ijtihad sebagai metode penggalian hukum semakin kokoh dan diterima oleh semua komponen masyarakat.

Jumhur al ulama sepakat mengatakan bahwa madzhab saat itu ada 13 madzhab ahlissunnah wal jama'ah yaitu :

1. Madzhab Sufyan bin 'Uyainah (198 H.) di Makkah2. Madzhab Maliki (179 H.) di Madinah3. Madzhab Hasan Bashri (110) di Bashrah4. Madzhab Abu Hanifah (80-150 H.) di Kufah5. Madzhab Sufyan al Tsauriy (161 H.) di Kufah6. Madzhab Auza'iy (157 H.) di Syam7. Madzhab Syafi'i (150-204 H.) di Mesir8. Madzhab Laits bin Sa'ad (175 H.) di Mesir9. Madzhab Ishaq bin Rohawaih (238 H.) di Naisabur10. Madzhab Abu Tsaur (240 H.) di Baghdad11. Madzhab Ahmad bin Hambal (241 H.) di Baghdad12. Madzhab Daud al Dzahiriy (270 H.) di Baghdad13. Madzhab Muhammad Ibnu Jarir al Thobariy (310 H.) di Baghdad

Dari sekian madzhab yang ada hanya empat yang masih eksis sampai sekarang, yaitu : Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i dan Madzhab Ahmad bin Hambal,

13

adapun madzhab-madzhab yang lainnya masih dapat kita jumpai qoul-qoulnya dalam kitab-kitab seperti hilyah al ulama fi ma'rifah aqwal al fuqoha' karya Imam al Qoffal, bidayah al Mujtahid karya Ibnu Rusyd, al Muhallakarya Ibnu Hazm, Rohmah al Ummah karya Abu Abdilllah Shodr al Din al Dimasyqi, Nail al Author karya al Syaukani, bahkan dalam kitab-kitab tersebut seringkali kita jumpai qoul-qoul Shahabat dan ulama-ulama tabi'in.

Kelahiran beberapa madzhab tersebut menunjukkan perkembangan hukum Islam pada masa itu. Hal ini disebabkan munculnya beberapa problem di tengah-tengah masyarakat akibat meluasnya kekuasaan Islam sehingga menuntut untuk menugaskan para ulama ke wilayah-wilayah yang telah berhasil dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Dan masa ini dikenal dengan masa pembukuan ('ashru al tadwin) dalam berbagai disiplin ilmu

D. Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di IndonesiaBerkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan

berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. 

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

1) Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

2) Keharusan mengikuti mazhab empat,3) Karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk

merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).

4) Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.

5) Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber

14

perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.

6) Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah

KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.

Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian :Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .

7) Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.

Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi).

Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.

Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady)

8) Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam

9) Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya

15

dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.

10) Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf.

11) Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah.

12) Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.

13) Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!” Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.

Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, :pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam. Ketiga,

16

tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.

Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

E. BUDAYA AHLIS-SUNNAH WAL-JAMA’AHBerbaur dan bertebarnya berbagai kultur, menjadikan pemandangan semu (pseudo) antara

kultur yang sebenarnya ajaran Rasulullah SAW dan kultur yang muncul setelah Rasulullah SAW wafat sehingga muncul berbagai pertentangan. Sepertinya yang satu sebagai pembela dan lainnya sebagai penentang. Satunya merasa tersingkir dan yang lainnya merasa memdominasi. Terlepas dari praduga dan pretensi di atas, Ahlussunnah wal-Jama’ah tetap mempunyai karakteristik yang menonjol diantara model-model /type-type kultur lain yang muncul karena proses sejarah misalnya. Atau sengaja dilahirkan oleh suatu golongan untuk mempertahankan otoritasnya.

Ciri-ciri spesifik yang menonjol dan dipertahankan Ahlussunnah wal-Jama’ah adalah banyak sekali. Sehingga ciri-ciri tersebut menjadi tanda khusus yang membedakan Ahlussunnah dan lainnya.

Namun sebelum sampai pada penjabaran budaya Ahlussunnah, perlu sekali diketahui bentuk-bentuk tradisi masyarakat yang tidak mencerminkan budaya Ahlussunnah, agar dihindari oleh warga Ahlussunnah. Di antarnya adalah:

1. Mengagung-agungkan berbagai kesenian yang munkar, seperti seni musik, seni rupa, wayang, kethoprak, ludruk,seni tari, dsb.

2. Mencurahkan segala daya dan upaya untuk mengkaji pengetahuan ilmu umum sampai menelantarkan pendidikan agama yang merupakan bekal untuk meraih kesejahteraan dunia akhirat

3. Semaraknya Musabaqoh Tilawatil Qur’an dengan menekankan model irama yang menghilangkan ketajwidan al-Qur’an dan at-Tadabbur. Dan celaka lagi musabaqoh tersebut dijadikan sebagai sarana untuk ikhtilath bainar rijaal wan nisaa’/ ajang menampilakan alunan suara wanita

4. Ditinggalkannya pelatihan diri dan perlombaan yang mengarah pada persiapan membela agama dan negara, seperti latihan naik kuda, memanah (munadlolah) dan lain-lain

5. Terlalu menghabiskan waktu untuk memperhatikan perlombaan yang sifatnya hanya gerak badan saja dan hura-hura, sampai mengenaympingkan urusan sholat, seperti sepak bola dan lain-lai

Sedangkan budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah adalah:1. Meramaikan bulan suci Romadlon dengan pengkajian kitab-kitab Hadits, Tafsir

maupun lainnya serta bertadarus al-Qur’an dan sholat Tarawih2. Menjalankan qunut subuh biarpun terdapat khilafiyyah antara para Ulama’ dalam

masalah tersebut3. Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren maupun madrasah

diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan ilmu agama4. Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan syarat tidak terjadi

ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau fanatik berlebihan5. Memperhatikan jama’ah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau pada awwal waktu,

dan harus ikhlas serta khusyu’ didalam menjalankanya

17

6. Ziarah kubur Auliya’ untuk bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal munkar, Tahlilan, Berzanjenan dan manaqiban, namun dengan syarat tidak berlebihan dalam I’tiqodnya pada syekh Abdul Qodir, seperti membaca dengan serentak “Syekh Abdul Qodir Waliyulloh” setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalan-amalan di atas tidaklah budaya Syi’ah, sebab ziarahnya orang syi’ah tidak memakai bacaan ayat-ayat al-Qur’an, juga tidak membaca tahlil tasbih tahmid, bisanya cuma memberi kata-kata pujaan berlebihan pada Imam-imam mereke. Dan dalam berzanji maupun diba’ disebutkan pujian terhadap sahabat Nabi SAW. Di samping itu, Syekh ad-Dziba’I mempunyai kitab hadits bernama Taisirul Wushul yang di dalamnya disebutkan fadloilus shohabat, dan shohabat Abu Bakar ditempatkan pada peringkat pertama. Sedangkan Qoshidah نحن ج��يران ب��ذا الح��رم إلخ  itu adalah milik al-Habib Abdulloh al-Haddad yang telah kami nukilkan aqidahnya yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah.

7. Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang punya anak banyak, serta melindungi mereka dari penindasan

8. Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya untuk konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam menjalankan da’wahnya. Demikian pula bagi para kiainya hendaknya mengunjungi / mengecek mereka; apakah benar-benar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.

9. Takbiran pada malam hari raya ddengan tanpa diikuti penabuhan beduk. Sebab mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah  bid’ah. Apalagiaalatul malaahi

10. Mempermudah urusan Haji dan Umroh sehingga tidak menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin

11. Mengadakan bahtsul masa’il dengan dihadiri tokoh yang benar-benar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ru’yatul hilal untuk mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal

12. Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan13. Menghafalkan al-Qur’an dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain sebagainya

semoga menambah pengetahuan dan pencerahan warga NU secara umum, aamiin

IIStop Menuduh Bid'ah

A. Bid'ah sebuah kata sejuta makna

Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.

Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.

Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.

18

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammpstrongad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).

Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].

Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.

Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .

Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .

Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan Ar-Raghib Al-Ashfahani.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.

Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).

Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.

Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-

19

persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. 

Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !

Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!

Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .

Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !

Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.

Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah. 

Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-kan secara mutlak.

Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang

20

dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!

Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.

Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :

Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.Pertama, riwayat Abu Nu’aim;

ا و�د�ةF و�م��� و� م�ح�م��" �ة� ف�ه��" ن �م�ا و�اف�ق� الس3 �د�ع�ة� م�ذ�م"و�م�ةF ف�ي �د�ع�ة م�ح�م"ود�ةF و�ب �ان� , ب �د�ع�ت �د�ع�ة ب �لب ا. �ف�ه�ا ف�ه"و� م�ذ�م"وم� ال خ�

‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela

Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :ة". �د�ع��� ذ�ه� ب ا ف�ه��� ��ج�م�اع�� �و� ا ا ا �ر �و� أث��� �ة� ا ن �و� س��" ا ا ��اب�� �ت ال�ف" ك "خ� "ح�د�ث� ي , م�ا ا �ان� ب �ات" ض�ر� �لم"ح�د�ث ا

Fر" م�ذ�م"و�م�ة� �د�ع�ةF غ�ي �ك� ف�ه�ذ�ه� ب �ا م�ن ذ�ال �ئ ي ال�ف" ش� "خ� � ي �ر� ال ي �خ� "ح�د�ث� م�ن� ال �ة" و�م�ا ا الضXاللPerkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang

menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.

Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.

Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut iniJalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga

dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.

21

Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.

Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :

1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.

2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.

3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.

4. Bid’ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya.

5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.

Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :

a. Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.

b. Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.

c. Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.

d. Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.

e. Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik

22

di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.

f. Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.

g. Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.

Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.

B. Bid'ah Hasanah dalam Pandangan Imam Syafi'iLegalitas Bid’ah Hasanah tidak pernah menjadi permasalahan dan perdebatan sebelum

datang nya Wahabi, keberagaman penjelasan para ulama tentang Bid'ah bukan karena perselisihan dalam memahami hakikat Bid’ah, tapi karena kekayaan ilmu yang dimiliki oleh para ulama, tapi ketika bahasa para ulama tersebut dipahami oleh kaum yang sempit pemahaman, mulailah benih-benih perselisihan muncul dan alangkah menyesal ketika kebodohan tersebut dijadikan senjata untuk membid’ah-sesatkan amalan yang telah dilegalisasi oleh syara’ melalui dalil-dalil dhanni atau ijtihadi, dan akhirnya kata Bid'ah menjadi senjata untuk memecah-belah ummat ini.

1. Bagaimana pandangan Al-Imam asy-Syafi’i tentang Bid’ah Hasanah ?Imam Syafi’i Rahimahullah berkata :

و�� ا أ ��ثر و� أ

� �ة� أ ن و� س"� �ا أ �اب �ت "خ�الـف" ك مم�ا ي "ح�د�ث� �ح�د"ه"م�ا : م�ا أ �ان� : أ ب "م"و�ر� ض�ر� �أل �ات" م�ن� ا �م"ح�د�ث ال

د& م�ن� �و�اح��� �ه� ل �ف� ف�ي � خ�ال �ر� ال ي �خ� "ح�د�ث� م�ن� ال �ة" : م�ا أ �ي �ان �لـة"، و�الث �د�ع�ة" الض�ال �لب �ج�م�اع�ا، فه�ذ�ه� ا إ�ر" م�ذ�م"و�م�ة& �ةF غ�ي هذا ، و�ه�ذ�ه� م"ح�د�ث

Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah). Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah).

(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469).

Pernyataan Imam Syafi’i di atas adalah kelanjutan dari pemahaman Imam Syafi’i terhadap Hadits larangan Bid’ah, bukan malah dihantamkan dengan Hadits larangan Bid’ah, maka dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i tidak otomatis menganggap setiap perkara baru dalam Agama itu Bid’ah Dholalah, tapi setiap perkara baru ada dua kemungkinan yaitu  apabila bertentangan

23

dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’ maka itu Bid’ah Dholalah dan inilah Bid’ah yang dilarang dalam Hadits “Setiap Bid'ah sesat”.

Sementara bila perkara baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’ maka inilah Bid’ah Hasanah dan ini tidak termasuk dalam Bid’ah yang terlarang dalam Hadits “Kullu Bid’atin Dholalah”.

Sangat jelas penjelasan Imam Syafi’i tentang legalitas Bid’ah Hasanah, batasan Bid’ah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’, selama sesuatu yang baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan 4 batasan tersebut, maka itu bukan Bid’ah Dholalah dan tidak termasuk menambah atau mengada-ngada syari’at baru, karena batasan Bid’ah Dholalah bukan pada tidak ada nash yang shorih, atau pada adakah rasul dan para sahabat telah melakukan nya.

2. Memahami Perkataan Imam Syafi’i Dalam Pembagian Bid’ah�ان� = ب "م"و�ر� ض�ر� �أل �ات" م�ن� ا �م"ح�د�ث ال

Maksudnya : semua perkara baru baik Ibadah atau bukan Ibadah, baik Aqidah atau bukan Aqidah terbagi kepada dua macam, poin yang perlu di ingat adalah Imam Syafi’i sedang memisah dan memilah antara dua macam perkara baru yang tentu saja perkara tersebut tidak di masa Rasulullah dan para sahabat.

�ج�م�اع�ا و� إ� ا أ ��ثر و� أ

� �ة� أ ن و� س"� �ا أ �اب �ت الـف" ك "خ� مم�ا ي "ح�د�ث� �ح�د"ه"م�ا : م�ا أ أ

“salah satunya adalah perkara baru yang menyalahi Kitab (Al-Quran), atau Sunnah (Hadits), atau Atsar, atau Ijma’.”

Maksudnya : yang pertama adalah perkara baru yang menyalahi Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’, poin penting di sini adalah “Yukhalifu” atau “menyalahi” jadi perkara baru itu sesat bukan karena semata-mata ia baru ada dan belum ada di masa rasul dan sahabat, tapi karena menyalahi 4 perkara di atas.

�لـة" �د�ع�ة" الض�ال �لب فه�ذ�ه� اMaksudnya : perkara baru yang menyalahi Al-Quran atau menyalahi As-Sunnah atau

menyalahi Atsar atau menyalahi Ijma’, maka inilah Bid’ah Dholalah yang terlarang dalam Hadits larangan Bid’ah, Bid’ah Dholalah bukan sesuatu yang tidak tersebut secara khusus dalam Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’, tapi harus diperiksa dulu apakah ia menyalahi atau justru sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.

�و�اح�د& م�ن� هذا �ه� ل �ف� ف�ي � خ�ال �ر� ال ي �خ� "ح�د�ث� م�ن� ال �ة" : م�ا أ �ي �ان و�الث“yang kedua, perkara baru yang baik lagi tidak menyalahi bagi salah satu dari ini (Al-

Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’)”Maksudnya : yang kedua adalah perkara baru yang baik dan tidak menyalahi satupun dari

Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’, bukan maksud baik itu hanya dianggap baik, tapi baik di sini adalah tidak menyalahi 4 perkara tersaebut, dan poin penting di sini juga pada “Tidak menyalahi” jadi perkara baru tidak otomatis Bid’ah dan Sesat,  tapi ketika ia menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut, maka otomatis sesat, dan bila tidak menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut maka otomatis tidak sesat, baik dinamai dengan Bid’ah Hasanah atau Bid’ah Lughawi atau dengan bermacam nama lain nya.

�ر" م�ذ�م"و�م�ة& �ةF غ�ي و�ه�ذ�ه� م"ح�د�ثMaksudnya : perkara baru yang tidak menyalahi Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau

Ijma’ adalah Bid’ah yang tidak tercela atau di sebut juga dengan Bid’ah Hasanah.

3. Bid’ah Hasanah itu Syar’i atau Lughawi ?Ini bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan, tidak berpengaruh apapun terhadap

legalitas Bid’ah Hasanah, bahkan yang lebih bodoh lagi adalah mempermasalahkan adakah

24

“Perkara baru ada dua macam”

“maka perkara baru ini adalah Bid’ah Dholalah”

“dan perkara baru tersebut tidak tercela”

Bid'ah Hasanah ?,ulama pun berbeda pendapat dalam hal ini, tapi satu tujuan, ini bukan alasan untuk mengingkari Bid’ah Hasanah dalam Agama, karena walaupun Bid’ah Hasanah itu Lughawi atau Syar’i tetap saja maksudnya adalah perkara baru yang tidak bertentangan dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’, permasalahan ini hanya karena berbeda dalam memaknai Bid’ah pada Syara’.

Maksud Bid’ah pada Syara’ menurut Imam Nawawi adalah : إحداث ما لم يكن في عه�د الرس�ول ص�لى الل�ه علي�ه وس�لم، وهي منقس�مه إلى

حسنة وقبيحة“mengadakan perkara baru yang belum ada di masa Rasulullah SAW, dan ia terbagi

kepada hasanah (baik), dan qabihah (buruk)”.Atas definisi Bid’ah pada syara’ menurut Imam Nawawi di atas, maka Bid’ah Hasanah

adalah satu pembagian dari Bid’ah Syar’i, bukan Bid’ah Lughawi, kerena sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah dinamakan Bid’ah, tapi ada dua kemungkinan, bila sesuai dengan dalil-dalil syar’i maka itu Bid’ah Hasanah, dan bila menyalahi dalil-dalil syar’i maka itu Bid’ah Qabihah atau Bid’ah Dholalah.

Maksud Bid’ah pada Syara’ menurut Ibnu Rajab adalah : ما أحدث مما ال أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان ل��ه أص��ل من الش��رع

يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة“perkara baru yang tidak ada dasar dalam syari’at yang menunjuki atas nya, dan adapun

perkara baru yang ada dasar dari syara’ yang menunjuki atas nya, maka ia bukan Bid’ah pada Syara’, sekalipun Bid’ah pada Lughat”.

Atas definisi Bid’ah pada Syara’ menurut Ibnu Rajab, maka Bid’ah Hasanah adalah bukan pembagian dari Bid’ah pada Syara’, tapi Bid’ah Hasanah adalah Bid’ah Lughawi, karena maksud Bid’ah pada Syara’ yang seperti ini tidak mungkin terbagi kepada Hasanah (baik), sesuatu yang tidak ada dasar dari Syara’ otomatis Buruk atau sesat.

Maka sekalipun berbeda cara memahami Bid’ah pada Syara’ dan bereda dalam mengkategorikan Bid’ah Hasanah, tapi tidak berpengaruh pada legalitas Bid’ah Hasanah dalam Agama, ini bukan alasan mengingkari Bid’ah Hasanah, apalagi menjadikan sebagi alasan untuk membid’ahkan amalan-amalan yang tidak ada di masa para salafus sholeh, tapi ada dasar dari syara’ dan tidak menyalahi dalil-dali syar’i.

Kebesaran nama Imam Syafi’i tidak sanggup mereka tantang pernyataan sikap Imam Syafi’i secara langsung, tapi mereka mempermainkan pendapat Imam Syafi’i agar sesuai selera mereka dan cocok dengan kesalahpahaman mereka, mereka beralasan bahwa Bid’ah Hasanah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah Bid’ah Lughawi, untuk tetap bisa membid’ah-sesatkan amalan seperti Tahlilan, Yasinan, Maulidan dan sebagai nya.

Padahal alasan itu tidak ada hubungan dengan pembagian Bid’ah Hasanah dari Imam Syafi’i, karena sekalipun kita maksudkan dengan Bid’ah Lughawi, tetap saja yang dimaksud Bid’ah Hasanah oleh Imam Syafi’i adalah perkara baru dalam Agama yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’, inilah yang perlu digarisbawahi, bahwa Bid’ah Hasanah adalah sesuatu yang baru (tidak ada di masa rasulullah dan para sahabat) tetapi tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’, biarpun tidak ada dalil yang shorih. C. Bid'ah Menurut Aswaja

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Sebab menurut bahasa, arti bid’ah adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Pada intinya pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam,

25

seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka dapat terbagi menjadi lima hukum. A. Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah, Mu’tazilah. B. Makruh, seperti membuat lukisan-lukisan dalam masjid. C. Wajib, seperti belajar ilmu tata bahasa arab (nahwu). D. Sunnah, seperti membangun pesantren, madrasah. E. Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat. Walhasil, kata Imam ‘Izzuddin. “Segala sesuatu kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya tergantung dari tercakupnya pada salah satu  kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah atau mubah”.

Kelompok Wahabi dan yang semisal sering mengangkat Hadits berikut ini sebagai dasar atas kekeliruan amalan Ahlussunnah wal jama’ah:

ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم ق��ال: من عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رسول الل��هرواه مسلم عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد.

“Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”  HR. Muslim.

Hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal yang dimaksud tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan, bahwa yang dilarang dalam Hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu bentuk ibadah murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian dari ajaran agama. Karena itu ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan bid’ah ini.

Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syar’i, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Bila tidak ada dalill yang dapat dibuat sandaran, itulah bid’ah yang dilarang.

Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.

Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.

Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan yang tidak dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:

الل��ه علي��ه وس��لم ق�ال: أال وإي��اكم عن عبد الله ابن مسعود, أن رس��ول الل��ه ص�لى بدعة وكل بدع��ة ض��اللة. رواه ومحدثات األمور فإن شر األمور محدثاتها وكل محدثة

ابن ماجه“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Ingatlah, berhati-

hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.

Dalam Hadits ini Rasulullah SAW menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya. Sebenarnya kalimat kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, adakalanya berarti sebagian. Seperti dalam ayat al-Qu’an:

26

"و�ن� "ؤ�م�ن �ف�ال� ي �ئ& ح�يl ا ي "ل� ش� �م�آء� ك �ا م�ن� ال �ن و�ج�ع�ل “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada

juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada

dunia ini diciptakan dari air. Buktinya ayat al-Qur’an yang lain berikut ini:

�ار& �ج�آن� م�ن� م�ار�ج& م�ن� ن و�خ�ل�ق� ال “Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.Maka demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan kalimat kullu, bukan

berarti seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW dilarang dan sesat. Ini dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga melaksanakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, mengumpulkan jama’ah tarawih menjadi satu didalam masjid, dan lain-lain. Nah, kalau kalimat kullu diatas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru itu sesat dan berdosa, berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.

IIIIJTIHAD, MADZHAB, TAQLID, DAN TALFIQ

A.     IJTIHADIjtihad telah dilakukan pada masa Rasululah SAW. Beliau pernah mengutus Mu’adz bin

Jabal berangkat ke Yaman untuk mendakwahkan Islam. Saat itu -dengan maksud menguji- beliau bertanya kepada Mu’adz tentang bagaimana kelak dia menggali hukum untuk disampaikan kepada umat.

: - �ه" - ل ق�ال� �م�ن� �ي ال �ل�ى إ م"ع�اذ�ا �ع�ث� ب �م�ا ل وسلم عليه الله صلى �ه� الل س"ول� ر� �ن� �ق�ض�ى  أ ت �ف� �ي كق�ض�اءF؟ �ك� ل ع�ر�ض� �ذ�ا . :  إ ق�ال�. : �ه� الل �اب� �ك�ت ب �ق�ض�ى أ �ه�؟  ق�ال� الل �اب� �ت ك ف�ى �ج�د�ه" ت �م� ل �ن� . ف�إ

: .- ق�ال� : - وسلم عليه الله صلى �ه� الل س"ول� ر� �ة� ن �س" ب �ق�ض�ى أ �ة�  ق�ال� ن س" ف�ى �ج�د�ه" ت �م� ل �ن� ف�إ�ه� الل س"ول� . : :  ر� و�ق�ال�. : ص�د�ر�ى ف�ى �د�ه� �ي ب ب� ف�ض�ر� ق�ال� "و آل � ال �ى ي

� أ �ر� ب �ه�د" ت ج�� أ �ه�  ق�ال� لل �ح�م�د" ال

�ه� الل س"ول� ر� ض�ى "ر� ي �م�ا ل �ه� الل س"ول� ر� س"ول� ر� و�ف�ق� �ذ�ى  الDiriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke

Yaman beliau bertanya, “Apabila muncul suatu perkara, bagaimana engkau memutuskan hukumnya?” Mu’adz menjawab, “Aku putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah”. Beliau bertanya, “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan keputusannya dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad dengan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mundur.” Mendengar itu Rasulullah menepuk dada Mua’dz seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rusulullah sehingga membuat ridha Rasulullah.”

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bahkan disunnatkannya berijtihad. Ada banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang menunjukkan pentingnya ijtihad.

Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun hasilnya. Hal ini ditegaskan dalam  hadits :

�م� ح�ك �ذ�ا إ �ق"ول" ي �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه" الل ص�ل�ى �ه� الل س"ول� ر� م�ع� س� �ه" ن� أ �ع�اص� ال �ن� ب ع�م�ر�و ع�ن�

Fج�ر� أ �ه" ف�ل� �خ�ط�أ ف�أ �ه�د� ت ف�اج� �م� ح�ك �ذ�ا و�إ ان� �ج�ر� أ �ه" ف�ل ص�اب�

� ف�أ �ه�د� ت ف�اج� اك�م" �ح� ال

27

Dari Amr bin Al Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila saat hakim memutuskan hukum dia berijtihad, kemudian hasilnya benar, maka dia mendapat pahala dua. Dan apabila hasilnya salah maka dia mendapat pahala satu.”

Hadits ini secara jelas menyatakan bahwa hasil ijtihad mempunyai dua kemungkinan, yaitu benar dan salah. Dan keduanya sama-sama  mendapatkan pahala dari Allah.

Selanjutnya perbedaan yang muncul dari ijtihad para mujtahidin adalah merupakan suatu rahmat dan bukan sebagai sebab munculnya pertentangan dan perpecahan umat Islam.

KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa hadits di atas menggunakan kata ‘Hakim’, yang artinya orang yang mengerti hukum, dan bukan menggunakan kata ‘Rajul’ yang artinya orang secara umum. Ini artinya adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mengerti hukum.

Amat disayangkan apabila ada seseorang memahami Al Qur’an dan hadits dari terjemahan -karena tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu pendukung lainnya dengan baik- kemudian mengklaim mampu melakukan ijtihad. Padahal sebenarnya dia  hanya melakukan taqlid buta terhadap penerjemah buku-buku yang dipedomaninya itu lantaran dia sendiri tidak mampu mengkritisi dan menilai benar-salahnya hasil terjemahan tersebut.

Pengertian ijtihad yang kami maksud di sini tidak lain adalah proses penggalian hukum syariat dari dalil-dalilnya yang rinci dalam Al Qur’an, hadits, Ijma’, Qiyas dan dalil lainnya.  Imam As Suyuthi menyatakan, “Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum.

Oleh karena itu tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, karena harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Mempunyai kemampuan menggali hukum dari Al Qur’an, yaitu memahami ayat-ayat terkait hukum, diantaranya mengetahui sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul), Nasikh-Mansukh, Am-Khash, Mujmal-Mubayyan, Muhkan-Mutasyabih dan lain sebagainya.

2. Mengetahui secara mendalam hadits-hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum, latar belakang munculnya hadits (Sababul Wurud) dan pengetahuan tentang para perawi (Ilmu Rijal)

3. Mengetahui mana hukum yang telah menjadi Ijma’ dan mana yang diperselisihkan oleh para ulama

4. Menguasai Qiyas dan mampu menerapkannya secara benar dalam menelurkan hukum

5. Menguasai bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya secara detail, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya, disamping kaiah-kaidah Ushul Fiqh

6. Memahami tujuan dasar syari’at Islam secara hakiki7. Menguasai metodologi yang representative dalam menggali hukum8. Memiliki ketulusan hati dan akidah yang lurus dengan tidak berambisi mencari

popularitas, kedudukan maupun materi dunia. Niatnya semata-mata demi Allah SWT dan mencari solusi hukum bagi kemaslahatan umat manusia.Melihat persyaratan-persyaratan di atas tentu sulit menemukan orang yang memenuhi

seluruhnya. Masing-masing orang tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada yang hanya memenuhi sebagian, dan ada yang memenuhi lebih lengkap. Oleh karena itu para mujtahid terbagi dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:

1. Mujtahid Mutlaq atau Mustaqil (Mandiri) yaitu ulama yang melakukan ijtihad dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah penggalian hukumnya. Termasuk dalam tingkatan ini adalah  keempat Imam Madzhab, yaitu Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-2104 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H).

1. Mujtahid Muntasib (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq), yaitu ulama yang mengikuti metode imam panutannya dalam menggali hukum berbagai bidang. Misalnya

28

adalah Al Muzaniy dan Al Buwaithiy di lingkungan madzhab Syafi’i dan Muhammad bin Al Hasan dan Abu Yusuf di lingkungan madzhab Hanafi. Mereka juga disebut sebagai Mujtahid Mutlaq (Tidak Mandiri).

2. Mujtahid Muqayyad (Terbatas), yaitu para ulama yang menggali hukum pada kasus-kasus yang belum diuraikan oleh imam panutannya. Misalnya adalah Al Karkhiy, As Sarkhasiy, Al Bazdawiy, Abu Ishaq Asy Syiraziy dan lain sebagainya.

3. Mujtahid Madzhab atau Fatwa, yaitu ulama yang menerapkan metode penggalian hukum imam panutannya dan hanya memilah-milah mana yang Shahih dan mana yang Dha’if dari pendapat imam panutannya itu. Misalnya adalah Al Ghazali dan Al Juwainiy di lingkungan madzhab Syafi’i.

4. Mujtahid Murajjih, yaitu ulama yang memilah-milah pendapat-pendapat suatu madzhab dengan mengambil mana yang paling unggul dan sesuai dengan tuntutan kemashlahatan umat. Misalnya adalah Ar Rafi’i dan An Nawawi di lingkungan madzhab Syafi’i. Permasalahan lain adalah bahwa ada sementara orang yang berpendapat bahwa saat ini

pintu ijtihad telah tertutup. Menanggapi pendapat itu kita perlu merujuk kembali bahwa ijtihad adalah proses penggalian hukum dari Al Qur’an, Hadits dan dalil lainnya. Karena itu tentu pintu ijtihad masih terus terbuka. Apalagi perkembangan jaman demikian pesat, sehingga para mujtahid membutuhkan ilmu-ilmu pendamping lainnya dalam memecahkan problematika kontemporer, hingga kita yakin bahwa pada setiap jaman terdapat seorang mujtahid yang mampu berijtihad memecahkan problematika hukum umat. Suatu jaman tidak pernah kosong dari adanya mujtahid, kecuali jika Kiamat telah tiba.

B.     MADZHABDari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut istilah, madzhab

adalah sekumpulan hukum permasalahan furu’iyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih oleh imam Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.

Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukum-hukum pasti (qath’iy) yang telah disepakati para ulama, misalnya wajibnya shalat 5 waktu, keharaman berzina dan lain sebagainya. Madzhab muncul dan terbentuk dari kasus-kasus dimana mengenainya para ulama berbeda pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut masing-masing. Jadi, madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh para ulama untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al Qur’an, hadits dan dalil lainnya.

Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri dan Al Auza’i. Lalu mengapa madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terbatas hanya pada madzhab empat saja?

Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang membukukan dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka, hingga faliditas dan ke-mutawatiran-nya terjamin. Disamping itu, kesahihan madzhab juga dinilai dari sisi metode pengalian hukumnya, apakah dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ataukah tidak.

Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain 4 imam. Alasan mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat memang benar-benar merupakan pendapat imam yang bersangkutan, akibat tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya penyimpangan dan pemalsuan. Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para imamnya mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan  benar  atau tidaknya pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa aman dari adanya penyimpangan dan pemalsuan serta mengetahui mana pendapat yang Shahih dan mana yang Dha’if.

29

Watu terus berjalan dan probematika kehidupan berkembang dengan pesat, hingga para ulama pesantren secara terus-menerus melakukan usaha-usaha mengembangkan cara bermadzhab. Perubahanpun menjadi hal yang tak terhindarkan agar fiqh dapat terus memberikan pemecahan masalah dan kesulitan dalam masyarakat. Karena itu dibutuhkan pendekatan baru demi mewujudkan prinsip bahwa Islam selalu sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Diantara usaha para ulama tersebut adalah menggunakan pendekatan Fiqh Sosial sebagai suatu usaha untuk mengembangkan cara bermadzhab. Dari yang semula bermadzhab secara Qouli(tekstual) kepada bermadzhab secara Manhaji (metodologis) dalam Fiqh, sebagaimana yang digagas oleh Dr. KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.

Sesuai hasil halaqah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terdapat beberapa karakteristik konkrit dalam Fiqh Sosial tersebut. Diantara karakteristik itu adalah:

a. menafsirkan teks-teks fiqh secara kontekstual,b. meningkatkan cara bermadzab yang semula tekstual menjadi bemadzhab

secara Manhaji(metodologis),c. melakukan pemilahan ajaran agama secara mendasar dengan membedakan mana

ajaran pokok (Ushuli) dan mana ajaran cabang (Furu’i)d. dan mengenalkan metodologi filosofis terutama dalam permasalahan sosial-budaya.

Usaha-usaha tersebut hanya terbatas untuk mengatasi masalah-masalah sosial (hablun min an Nas) dan tidak pada hubungan antara hamba dengan Tuhan (hablun min Allah), sebab  bidang yang terakhir ini menuntut totalitas ketundukan dan kepasrahan hamba. As Syathibi menyampaikan kaidah, “Bagi mukallaf, dalil pokok dalam ibadah adalah penghambaan dan tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan. Sedangkan dalil pokok dari  adat kebiasaan adalah mempertimbangkan maksud dan tujuan.”

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal:1. Madzhab adalah suatu jalan pemikiran yang ditempuh oleh para mujtahid karena

adanya perbedaan pendapat antar mereka2. Umat Islam tidak terikat pada madzhab tertentu saja. Mereka memiliki kebebasan

penuh dalam memilih madzhab yang dinilai cocok3. Madzhab-madzhab yang berhak diikuti terbatas hanya pada 4 madzhab, yaitu Hanafi,

Maliki,Syafi’i dan Hambali4. Umat Islam harus mengembangkan cara bermadzhab yang dapat menjamin

kemaslahatan masyarakat terutama dalam masalah sosial. 

C.     TAQLIDTaqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa membuktikan   benar-

salahnya pendapat itu, meskipun mengetahui sepenuhnya bahwa bertaklid padanya boleh. Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain mujtahid. As Suyuthi

mengatakan, “Manusia itu ada yang mujtahid dan ada yang tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang awam maupun orang alim/pandai. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT

�م"ون� �ع�ل ت ال� "م� �ت "ن ك �ن� إ �ر� الذ:ك �ه�ل� أ "وا �ل أ ف�اس�“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui”Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja, tetapi juga bagi orang

alim yang mengetahui dalil, selama dia belum mencapai tingkat mujtahid, karena kemampuannya masih sebatas mengetahui dalil dan tidak sampai mengaplikasikan metodologi

30

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggalian hukum. Jadi orang alimpun selama belum mencapai tingkat berijtihad sama saja dengan orang awam dalam kewajiban bertaqlid.[14]

Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tercela hanyalah taqlid buta dimana seseorang menerima pendapat begitu saja tanpa memahami dan berusaha mengetahui dalilnya.  Sedangkan mengenai taqlidnya orang alim yang belum mencapai tingkat ijtihad, maka hal itu adalah terpuji, bahkan wajib. Dan itu lebih baik daripada terus berijtihad padahal dirinya sendiri tidak mampu.

Taqlid adalah hal pasti dan tak terhindarkan dilakukan  oleh setiap umat Islam, setidaknya ketika mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam, misalnya meletakkan kedua tangan di dada pada waktu shalat dan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram. Dia tetap melakukan hal itu meskipun belum mengetahui benar-salah dalil yang mendasarinya. Lalu ketika dia  mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu kemudian maka saat itu berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta. Meskipun demikian tetap saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum mengetahui dalil secara rinci, paling tidak bagaimana cara menggali hukum. Masih saja dia mengikuti metode dari seorang imam mujtahid.

Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien, maka selanjutnya pasien itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri obat-obatan itu. Cukup baginya membeli produk dari suatu pabrik obat yang ia anggap terjamin. Demikian juga guru mata pelajaran Geografi ketika menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat. Dia hanya mengikuti pandangan Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukannya mengkaji dan menelitinya sendiri secara langsung.

Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana dengan pernyataan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hambal, “Janganlah engkau bertaqlid kepadaku, juga kepada Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.”

Mari kita cermati sungguh-sungguh pernyataan di atas. Kepada siapakah Imam Ahmad berkata. Dia berkata kepada Imam Abu Dawud, penyusun kitab Sunan Abi Dawud yang menghimpun 5.284 hadits berikut sanadnya, bukan kepada orang awam. Maka tidak aneh jika Imam Ahmad mengatakan demikian kepada Abu Dawud, yang memiliki kemampuan berijtihad.

Mengharuskan orang awam –yang merupakan mayoritas umat Islam- untuk berijtihad sendiri-sendiri sama dengan menuntut hal di luar kemampuan mereka. Dan itu mustahil, sebab minat masing-masing mereka pada satu bidang ilmu berbeda satu sama lain. Sedangkan yang menekuni ilmu-ilmu agama jumlahnya relatif sedikit. Jadi bagi yang tidak berkesempatan mengkaji ilmu-ilmu agama wajib baginya bertanya dan bertaqlid kepada yang menekuninya.

Al Qur’an memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat Islam yang berangkat memperdalam agama dan ilmu syariat agar kelak mereka dapat memberi peringatan dan menyampaikan fatwa yang benar. Dan itu tidak ditujukan kepada semua umat Islam.

ف�ي �ف�ق�ه"وا �ت �ي ل Fف�ة� ط�ائ �ه"م� م�ن ق�ة& ف�ر� "ل: ك م�ن� �ف�ر� ن �و�ال� ف�ل ��اف�ة ك وا �ف�ر" �ن �ي ل "ون� �م"ؤ�م�ن ال �ان� ك و�م�اون� �ح�ذ�ر" ي �ه"م� �ع�ل ل �ه�م� �ي �ل إ ج�ع"وا ر� �ذ�ا إ ق�و�م�ه"م� وا �ذ�ر" "ن �ي و�ل  الد:ين�

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”

Bahkan sekalipun para Sahabat Rasulullah dianugerahi kecerdasan dan daya ingat yang kuat serta tabiat yang baik, hasilnya mereka berbeda-beda dalam menerima ilmu-ilmu syariat. Ada yang menjadi mujtahid dan menyampaikan fatwa dan ada yang bertaqlid. Rasulullah SAW mengutus beberapa orang Sahabat berangkat ke beberapa daerah untuk menyebarkan Islam dan menangani berbagai masalah, baik dalam bidang peibadatan, muamalah maupun masalah sosial

31

lainnya. Merekapun kemudian menerangkan keharaman dan kehalalan suatu perkara, dan kemudian fatwa mereka itu dikuti oleh umat.

Sedangkan mengenai istilah Ittiba’ ada sementara ulama yang membedakannya dengan Taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Keduanya memiliki arti dan maksud yang sama.

D.    TALFIQMenurut bahasa Talfiq artinya melipat atau merangkap. Sedangkan menurut syari’at,

Talfiq adalah melakukan suatu ibadah atau muamalah secara rangkap yaitu dengan menyomot pendapat-pendapat dari  madzhab yang berlainan sehingga muncul suatu praktik yang  keluar dari madzhab-madzhab itu.

Contoh:1. Seseorang melakukan wudlu dengan mengikuti madzhabSyafi’i, yaitu dengan

mengusap sebagian kepala (kurang dari ¼), kemudian menyentuh wanita lain (ajnabiyah). Kemudian dia melaksanakan shalat dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudlu. Maka praktek demikian disebut Talfiq, sebab dia menggabungkan pendapat Syafi’i dan pendapat Abu Hanifah dalam masalah wudlu, dimana akhirnya yang dilakukannya itu keluar dari kedua madzhab itu. Di satu sisi bersentuhan kulit dengan ajnabiyah menurut Syafi’i membatalkan wudhu dan di sisi lain menurut Abu Hanifah berwudlu tidak sah hanya dengan mengusap sebagian kepala.

2. Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala atau dengan tanpa menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti madzhab Syafi’i. kemudian dia menyentuh anjing dengan mengikuti madzhab Maliki yang berpendapat bahwa anjing adalah binatang suci. Maka shalat yang dilakukannya tidak sah dalam pandangan kedua madzhab tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki berwudlu tidak sah tanpa mengusap seluruh kepala serta menggosok-gosok anggota wudlu, dan di sisi lain menurut Syafi’i anjing adalah termasuk najis Mughalladhah(berat). Jadi apabila dia melaksanakan shalat maka shalatnya tidak sah dalam pandangan  madzhab-madzhab tersebut.

Talfiq sebagaimana kami sebutkan haram dilakukan. Dan tujuan pelarangan ini adalah agar seseorang tidak mencari yang serba mudah dan mempermainkan hukum.

Demi menghindarkan talfiq yang terlarang itu dalam mencari solusi hukum perlu dilakukan pemilihan hukum-hukum dari madzhab tertentu dari keempat madzhab, dimana madzhab tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan. Misalnya dengan memilih madzhab Syafi’i dalam bidang shalat –mulai dari syarat, rukun hingga yang membatalkan- dan memilih madzhab Abu Hanifah dalam masalah-masalah sosial kemayarakatan. Dengan demikian –disamping Talfiq  dapat dihindarkan-  hukum-hukum yang telah dirumuskan para ulama madzhab itu dapat diterapkan dan tidak hanya tertulis dalam lembar-lembar kitab saja

IVPUJIAN SETELAH ADZAN

Sejak zaman hadulu, di sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada kebiasan yang tidak dilakukan di masjid atau mushalla lain, yaitu setelah adzan shalat maktubah dibacakan pujian berupa dzikir, do’a, shalawat nabi atau sya’ir-sya’ir yang islami dengan suara keras. Beberapa menit kemudian baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak dipertanyakan bahkan dipertentangkan apakah kebiasaan tersebut mempunyai rujukan dalil syar’i? Dan mengapa tidak semua kaum muslimin di negeri ini melakukan kebiasaan tersebtu? Dengan munculnya pertanyaan seperti itu

32

warga Nahdliyin diberi pengertian untuk menjawab : Apa pujia itu? Bagaimana historisnya? Bagaimana tinjauan hukum syari’at tentang pujian? Dan apa fungsinya?

A. Pengertian Pujian dan HistorisnyaPujian bersal dari akar kata puji, kemudian diberi akhiran “an” yang artinya : pengakuan

dan penghargaan dengan tulus atas kebaikan/ keunggulan sesuatu. Yang dimaksud dengan pujian di sini ialah serangkaian kata baik yang berbahasa Arab atau berbahasa Daerah yang berbentuk sya’ir berupa kalimat-kalimat yang isinya mengagungkan asma Allah, dzikir, do’a, shalawat, seruan atau nasehat yang dibaca pada saat di antara adzan dan iqamat.

Secara historis, pujian tersebut berasal dari pola dakwah para wali songo, yakni membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang belum mengenal ajaran shalat. Al-hamdulillah dengan dilantunkannya pujian, tembang-tembang/sya’ir islami seadanya pada saat itu secara berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari mereka mau berdatangan mengikuti shalat berjamaah di masjid.

B. Pujian Ditinjau dari Aspek Syari’atSecara tekstual, memang tidak ada dalil syar’i yang sharih (jawa : ceplos) mengenai

bacaaan pujian setelah di kumandangkannya adzan, yang ada dalilnya adalah membaca do’a antara adzan dan iqamat. Sabda Nabi SAW :

، ف�اد�ع"و�ا. Fج�اب� ت �ق�ام�ة� م"س� �إل �ذ�ان� و�ا �أل �ن� ا �ي رواه أبو يعلى الد3ع�اء" بArtinya :“Do’a yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan oleh Allah). Maka

berdo’alah kamu sekalian”. (HR. Abu Ya’la)Kemudian bagaimana tinjauan syari’at tentang hukum bacaan pujian di masjid atau

mushalla seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa membaca dzikir dan sya’ir di masjid atau mushalla merupakan suatu hal yang tidak dilarng oleh agama. Pada zaman Rasulullah SAW. para sahabat juga membaca sya’ir di masjid. Diriwayatkan dalam sebuat hadits :

د" ف�ى �ش��� "ن و� ي �ت& و�ه��" اب �ن� ث��� ان� ب �ح�س��� ر" ب ر� ع"م��� ال� م��� :ب� ق��� ي �م"س��� �ن� ال ع�يد� ب ع�ن� س��ل�ى �ف�ت� إ �ت "م� ال �ك� ث �رF م�ن ي د�ت" و�ف�يه� م�ن� ه"و� خ� �ش� �ن �ه� ف�ق�ال� ق�د� أ �ي �ل �ح�ظ� إ ج�د� ف�ل �م�س� الج�ب�

� ول" : أ �ق��" �م� ي ل �ه� و�س��� �ي �ه� ص�ل�ى الله" ع�ل س"ول� الل م�ع�ت� ر� �س� ة� ف�ق�ال� أ �ر� ي �ى ه"ر� ب� أ

. �ع�م� �ه"م� ن . ق�ال� الل �ق"د"س� وح� ال �ر" :د�ه" ب ي� �ه"م� أ :ى الل رواه أبو دادو والنسائي ع�ن

Artinya :“Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan bertemu dengan

Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan sya’ir di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya)”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Isma’il Az-Zain dalam kitabnya Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan sya’ir yang berisi puji-pujian, nasehat, pelajaran tata karama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.

Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub hal 179 juga menjelaskan:

د� �ذ�ان� ف�ق��� �أل �م� ع�ق�ب� ا ل ه� و�س��� �ي��� �ي: ص�ل�ى الله" ع�ل �ب �م" ع�ل�ى الن ال �ة" و�الس� م�ا الص�ال� و�أ

، اد�ات� �ع�ب��� ر� ال �ب��� �ك ا م�ن� أ �ه"م��� ن� �مF ف�ي� أ ل ك3 م"س��� �ش��" � ي �ه�م�ا، و�ال �ت :ي ن �س��" �اخ" ب ي �ش� �أل ح� ا ص�ر�

�ة�. إه� :ي ن "خ�ر�ج"ه"م�ا ع�ن� الس3 � ي ة& ال �ار� "ه"م�ا ع�ل�ى م�ن �و�ن �ه�م�ا و�ك �ج�ه�ر" ب و�ال

33

Artinya :“Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan (jawa : Pujian)

para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya sunat. Dan seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun membacanya dengan suara keras dan di atas menara itu pun tidak menyebabkan keluar dari hukum sunat”.

C. Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syari’atApa yang dilakukan para wali di tanah jawa mengenai bacaaan pujian ternyata mempunyai

banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu antara lain :1.    Dari sisi syi’ar dan penanaman akidah.Karena di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan nasehat, maka hal itu

menjadi sebuah syi’ar dinul islam dan strategi yang jitu untuk menyebarkan ajaran Islam dan pengamalannya di tengah-tengah masyarakat.

2.    Dari aspek psikologi (kejiwaan).Lantunan sya’ir yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa seseorang, menambah

semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah berupa bacaaan pujian tersebut dapat menjadi semacam persiapan untuk masuk ke tujuan inti, yakni shalat maktubah lima waktu, mengahadap kepada Allah yang Maha Satu.

3.    Ada lagi manfaat lain, yaitu : Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan shalat berjamaah; Mencegah para santri agar tidak besenda gurau yang mengakibatkan gaduhnya

suasana; Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar tidak membicarakan hal-hal

yang tidak perlu ketika menunggu sahalat jamaah dilaksanakan.Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di atas, maka membaca pujian sebelum

pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau mushalla adalah boleh dan termasuk amaliyah yang baik, asalkan dengan memodifikasi pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang yang sedang shalat. Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu terkait pada kebiasaan setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca bersama-sama dengan irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat jamaah.

Dalam berdakwah para ulama yang bijaksana selalu berusaha menggunakan strategi agar dakwahnya dapat menyentuh hati. Diantara startegi yang digunakan adalah membaca syair-syair berisi pujian, dzikir dan nasehat-nasehat agama sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Hal itu dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan menyentuh perasaan melalui keindahan syair-syair yang dikumandangkan, sehingga orang merasa nyaman berada di masjid dan tidak berbicara yang tanpa guna.

Diantara dalil yang bisa digunakan adalah apa yang dilakukan penyair Hassan bin Tsabit yang menyenandungkan syair-syair pujiannya di dalam masjid di hadapan Rasulullah SAW dan para Sahabat.

�ح�ظ� ف�ل ج�د� �م�س� ال ف�ي د" �ش� "ن ي و�ه"و� �ت& �اب ث �ن� ب ان� �ح�س� ب ع"م�ر" م�ر� ق�ال� �ب� ي �م"س� ال �ن� ب ع�يد� س� ع�ن�م�ع�ت� س�

� أ ف�ق�ال� ة� �ر� ي ه"ر� �ي ب� أ �ى �ل إ �ف�ت� �ت ال "م� ث �ك� م�ن Fر� ي خ� ه"و� م�ن� و�ف�يه� د�ت" �ش� �ن أ ق�د� ف�ق�ال� �ه� �ي �ل إ

�ه"م� الل ق�ال� �ق"د"س� ال وح� �ر" ب :د�ه" ي� أ �ه"م� الل :ي ع�ن ج�ب�

� أ �ق"ول" ي �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه" الل ص�ل�ى �ه� الل س"ول� ر��ع�م� ن

“Dari Sa’id bin Musyayyab, dia berkata, “Pada suatu saat Umar berjalan bertemu Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan sebuah syair indah di masjid, lalu Umar menegurnya, namun Hasan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seseorang yang  lebih mulia daripada kamu.” Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hasan melanjutkan perkataannya, “Bukankah kamu telah mendengar Rasulullah SAW

34

bersabda, jawablah dariku, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh Al Qudus?” Umar menjawab, “Ya Allah, benar (aku sudah mendengarnya)”.

Jadi bila membaca syair seperti tersebut dengan suara keras di masjid boleh, maka membaca dzikir tentu lebih boleh.

Akan tetapi membaca dzikir dengan suara keras tersebut diperbolehkan selama tidak menggangu orang yang sedang shalat, apalagi shalat fardlu, sebagaimana disebutkan hadits:

مصليكم قارئكم يشغلن ال“Janganlah orang yang membaca Al Qur’an dari kalian mengganggu orang yang shalat

dari kalian.”Kalau semua masalah tentang pujian sudah demikian jelasnya, maka tidak perlu ada label

“BID’AH DLALALAH” dari pihak yang tidak menyetujuinya.

VDIBA’AN DAN SHALAWATAN

A. Pengertian Diba’anSebagaimana kita ketahui, bahwa para ulama salaf banyak sekali yang menulis kitab, buku

atau tulisan singkat yang berisi bacaan shalawat. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan sebuah bukti kecintaan mereka kepada Nabi yang disanjungnya. Bacaan shalawat yang berbentuk buku atau kitab antara lain : shalawat Dala'il, shalawat Bakriyah, shalawat Diba'iyyah dan lain-lain. Sedangkan yg berbentuk tulisan singkat antara lain shalawat Nariyah,  shalawat  Rajabiyah,  shalawat Munjiyat, shalawat Fatih, shalawatSa’adah. shalawat Badriyah dan lain- lain.

Dari sekian banyak kitab yang berisi bacaan shalawat tersebut ada yang paling terkenal dan sering dibaca yang diadakan oleh warga Nahdliyyin, antara lain adalah shalawat Diba’iyyah.

Jadi pengertian Diba’an adalah : membaca kitab yang berisi bacaan shalawat dan riwayat hidup Nabi secara singkat yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahman ad-Diba’i.

B. Hukum Membaca Diba'iyyah dan ShalawatanMembaca shalawat Diba’iyyah atau shalawat yang lain menurut pendapat yang tersohor di

kalangan Jumhurul Ulama adalah sunnah Muakkadah. Kesunatan membaca shalawat ini didasarkan pada beberapa dalil, antara lain:

a.    Firman Allah SWT.

Artinya :“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-

orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan sampaikanlan salatu penghormatan kepadanya. (QS. AI-Ahzab : 56)

b.    Sabda Nabi SAW.: ]رواه ابن ماجه[صلوا علي، فإن الصالة علي كفارة لكم وزكاة.

Artinya :“Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca shalawat untukku bisa mengahapus

dosamu dan bisa membersihkan pribadimu”. (HR. lbnu Majah)c.    Sabda Nabi SAW. :

. ]رواه الديلمي[زينوا مجالسكم بالصالة علي، فإن صالتكم علي نور لكم يوم القيامةArtinya:

35

“Hiasilah tempat-tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat untukku, karena sesungguhnya bacaan shalwat untukku itu menjadi cahaya bagimu pada hari kiamat”. (HR. Ad-Dailami).

C. Fadlilah Membaca ShalawatSeseorang yang ahli membaca shalawat akan diberi anugerah oleh Allah, antara lain :a.    Dikabulkan do’anya

الدعاء كله محجوب حتى يكون أوله ثناء على الله عز وجل وصالة على النبي صلىالله عليه وسلم ثم يدعو فيستجاب له لدعاءه. ]رواه النسائي[

Artinya:“Setiap do’a adalah terhalanh, sehingga dimulai dengan memuji kepada Allah dan

bershalawat kepada Nabi, kemudian baru berdo'a dan akan dikabulkan do’a itu”. (HR. Nasa’i).b.    Peluang untuk mendapat syafa'at Nabi pada hari kiamat.b.    Dihilangkan kesusahan dan kesulitannya.c.    Dan lain-lain.

D. Cara Membaca Diba’iyyah dan Shalawat NabiDibaca dengan kesungguhan dan keikhlasan hati serta diiringi rasa hormat dan

mahabbah/cinta kepada Rasulullah SAW.

Jelas sekali dalalah ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut bahwa kita sebagai ummat Muhammad diperintahkan untuk membacakan shalawat kepada Nabi SAW. dengan tujuan untuk mengagungkannya sekaligus mengharapkan barokahnya sewaktu kita masih hidup di dunia dan agar mendapat syafa’atul udzma ketika kita berada di alam mahsyar kelak.

VIBERSHADAQAH DAN BERTAHLIL UNTUK MAYIT

A. Pengertian Shodaqoh untuk Mayit Shodaqoh untuk mayit adalah suatu istilah yang disebut juga oleh orang jawa “selametan’,

yaitu dengan cara menghidangkan makanan dan minuman dengan niat bersedekah yang lazimnya dikaitkan dengan pembacaan tahlil setelah wafatnya seseorang.

B. Pengertian Bertahlil/TahlilanBertahlil atau dalam bahasa Iawa disebuttahlilan, pada hakekatnya adalah pembacaan

kalimat thayyibah, tasbih, tahmid, istighfar, sebagian ayat-ayat Al-Qur'an dan shalawat Nabi yang           kemudian       diakhiri dengando’a/permohonan ke hadirat Allah SWT. agar semua amalan/bacaan kita tersebut diterima di  sisiNya, kemudian Allah berkenan melimpahkan pahala dari amalan-amalan tersebut kepada mayityang kita tahlilkan.

C. Bermanfaatkah Pahala Sedekah atau Tahlil/ Do'a bagi Si Mayit?Jika ada orang bertanya : Mungkinkah sedekah dan bacaan tahlil/do’a itu bermanfaat untuk

mayit? padahal Allah telah berfirman :

Artinya:“Dan bahwasanya manusia tidak akan mendapatkan pahala melainkan dari usaha yang

telah dikerjakan”. (QS. An-Najm : 39)

36

Kalau sudah jelas demikian masalahnya, mengapa kita masih juga bersedekah atau bertahlil untuk orang yang mati? toh ... hanya sia-sia amalan kita tersebut?

Maka untuk menjawab pertanyaan itu, mari bersama-sama kita kaji keterangan di bawah ini,baik yang bersumber dari Al-Qur’an, al-Hadits atau fatwa ulama.

a. Firman Allah SWT.

Artinya :“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : “Hai Tuhan kami, beri ampulah

kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”. (QS. Al-Hasyr : 10)

b.    Firman Allah SWT.

Artinya :“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki

dan perempuan”. (QS. Muhammad : 19

c.    Firman Allah SWT.

Artinya :“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan

beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan”. (QS. Nuh : 28)

Ketiga ayat di atas, jelas menunjukkan bahwa do'a dan istighfar dari seorang yang masih hidup dapat berguna untuk orang yang telah mati dari kalangan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.

d.   Hadits Nabi SAW. عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رجال قال للن��بي ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم : إن أمي أقتتلت نفسها وأراها لو تكلمت تصدقت، فهل له��ا من أج��ر إن تص��دقت عنه��ا؟

]قال : نعم. عليه[ متفقArtinya :“Dari A’isyah ra. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. bahwasanya ibuku

telah mati secara mendadak, dan saya mengira andaikan dia sempai berbicara (sebelum mati) pasti dia bersedekah. Adakah dia memperoleh pahala andaikan saya bcrsedekah untuknya? Jawab beliau : ya”. (Muttafaq Alaih)

e.    Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’roni memberikan keterangan dalam kitabnya Mizan Kubra : واتفقوا على أن االستغفار للميت والدعاء له والص��دقة والعت��ق والحج عن��ه ينفع��ه.

الكبرى [ .فهذا ما وجدته من مسائل االجتماع واتفاق األئمة األربعة الميزان ]1/218اه�Artinya:“Dan teluh sepakat para ulama bahwa bacaan istighfar dan do’a untuk mayit, sedekah,

memerdekakan budak, menghajikannya, semua dapat bermanfaat untuknya.Demikianlah yang saya temukan di antara masalah-masalah hukum yang telah disepakati oleh para imam madzhab yang empat”.

Bersedekah adalah termasuk tindakan yang disyari’atkan agama dan berpahala. Bersedekah juga mencerminkan kepedulian sosial antar umat Islam. Dalam hadits Amr bin Abasah disebtkan:

37

� �ط�ع�ام" الط�ع�ام � و�إ م �ال� �ك م" ق�ال� ط�يب" ال ال� �س�  ق"ل�ت" م�ا اإل�“Aku bertanya, “Apa Islam itu?” Beliau menjawab, “Berkata yang baik dan memberi

makan.”Sedekah juga dapat berupa bacaaan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil. Dalam hadits Abu

Dzar disebutkan:

�م� ل �ه� و�س��� �ي �ه" ع�ل �ي: ص�ل�ى الل �ب �لن "وا ل �م� ق�ال ل �ه� و�س� �ي �ه" ع�ل �ي: ص�ل�ى الل �ب ص�ح�اب� الن� ا م�ن� أ ��اس �ن� ن أ

وم" �ص��" ا ن �م��� وم"ون� ك �ص��" ل:ي و�ي "ص��� ا ن �م��� ل3ون� ك "ص��� "ج"ور� ي األ� "ور� ب��� �ه�ل" الد3ث �ه� ذ�ه�ب� أ س"ول� الل �ا ر� يل: �ك��" �ن� ب د�ق"ون� إ �ص��� ا ت "م� م��� �ك ه" ل ل� الل��� د� ج�ع��� �س� ق��� �ي و� ل

� ال� أ �ه�م� ق��� م�و�ال� �ف"ض"ول� أ �ص�د�ق"ون� ب �ت و�ي

��ة& ص�د�ق�ة �يل �ه�ل "ل: ت �ح�م�يد�ة& ص�د�ق�ة� و�ك "ل: ت ة& ص�د�ق�ة� و�ك �ير� �ب �ك "ل: ت �يح�ة& ص�د�ق�ة� و�ك ب �س� [ 2 ]تSekelompok orang Sahabat Rasulullah bertanya kepada beiau, “Wahai Rasulullah, orang-

orang kaya itu bias pergi dengan membawa pahala. Mereka shalat sebagaimana kai shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami juga berpuasa. Namun mereka bias bersedekah dengan kelebihan harta mereka?” Beliau menjawab, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa yang bias kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah. Setiap bacaan takbir adalah sedekah. Setiap bacaan tahmid adalah sedekah. Dan Setiap bacaan tahlil adalah sedekah.”

Termasuk dalam hadits dia atas adalah bersedekah atas nama orang yang telah meninggal. Sedekah ini adalah boleh. Pada masa Rasulullah SAW sedekah tidak hanya teratas pada makanan saja, bahkan kebun kurma dan segala sesuatu yang nilainya mahal lalu pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Dalam hadits disebutkan:�ه�ا �ص�د�ق�ت" ع�ن �ن� ت �ف�ع"ه�ا إ �ن �ف�ي �ت� أ "و"ف:ي م:ي ت

" �ن� أ �ه� إ س"ول� الل �ا ر� ج"ال� ق�ال� ي �ن� ر� �اس& أ �ن� ع�ب ع�ن� اب�ه�ا �ه� ع�ن �ص�د�ق�ت" ب :ي ق�د� ت �ن ه�د"ك� أ "ش� ف�ا ف�أ �ن� ل�ي م�خ�ر� �ع�م� ق�ال� ف�إ ق�ال� ن

Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasululah, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal. Apakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas nama dia?’ Beliau menjawab, “Ya, benar” Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebuah keranjang. Maka aku persaksikan kepada engkau bahwa aku mensedekahkannya atas nama dia.”

Bahkan sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal termasuk amal mulia. Dari sekian banyak bentuk sedekah yang paling utama diantaranya adalah memerdekakan budak, sedekah, memintakan ampunan dan mendoakannya serta menghajikannya. Membaca Alqur’an dengan tanpa upah dan menghadiahkan pahala bacaan itu kepada mayit juga dapat sampai.

Sedangkan mengenai anggapan bahwa suguhan makanan kepada orang yang  hadir dalam tahlilan  selama 7 hari berturut-turut sepeninggal mayit adalah tradisi agama Hindu dan Budha adalah angapan keliru. Yang benar adalah bahwa tradisi ini jika dipilah-pilah masing-masing sebagai menyuguhkan makanan, majlis dzikir dan mendoakan mayit adalah hal yang dianjurkan syari’at. Sedangkan melaksanakannya pada hari-hari tertentu misalnya hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu dan setiap tahun dan seterusnya hanyalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syari’at.

Bahkan ImamAhmad bin Hambal menyebut itu sebagai tradisi salaf yang sunat dipraktekan

Dalil seperti di atas itulah yang dijadikan rujukan/referensi oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah untuk keyakinan mereka bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an, dzikir, shalawat, atau sedekah itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit. Dan semua hal tersebut sudah barang tentu atas izin Allah SWT.

38

Adapun ketentuan hukum yang ada pada ayat 39 An-Najm tersebut adalah berlaku bagi umat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Sedangkan bagi umat Muhammad, mereka bisa mendapat pahala dari amalnya sendiri dan bisa juga mendapat pahala dari amal orang lain. Hal ini sesuai dengan bunyi ayat sebelumnya :

Artinya :“Apakah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?

Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,  Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm : 36-39)

Pemahaman yang demikian ini sesuai dengan keterangan dalam kitab tafsir Khozin juz IV hal. 268 : كان ذلك لقوم إبراهيم وموسى، فأم��ا ه��ذه األم��ة فلهم م��ا س��عوا وم��ا س��عى لهم

خازن. [ غيرهم تفسير ]6/268اه�Artinya :“Adapun yang demikian itu adalah bagi kaum Ibrahim dan kaum Musa. Sedangkan untuk

umat ini (umat Muhammad SAW), maka mereka dapat memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari amal kebajikan orang lain”.

Ada juga penafsiran versi lain mengenai ayat 39 surat an-Najm tadi, yaitu menurut as-Syaikh Ibnul Qoyyim al-Jauziyah yang dikutip dan diterjemahkan oleh al-Mukarrom KH. Muhyiddin Abd. Shomad dalam bukunya Hujjah NU hal 85, sebagai berikut :

“Jawaban yang baik tentang ayat ini, bahwa menusia dengan amalnya sendiri dan juga karena pergaulannya sendiri dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”.

Berdasarkan keterangan yang akurat dari beberapa dalil syar’i di atas, warga kita pasti bisa menjawab pertanyaan dari si penanya dengan jawaban tegas bahwa :

a. Menghadiahkan pahala amal kebaikan kepada ahli kubur yang sama-sama muslim, baik ada hubungan kekerabatan atau tidak antara yang menghadiahkan dengan si mayit yang di hadiahi, itu menurut doktrin Ahlussunnah wal Jamaah bisa sampai pada mayit tadi;

b. Ukhuwwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian. Oleh karenanya menolong ahli kubur dengan do’a yang diwujudkan dalam bentuk tahlilan dan sebagainya itu akan manfaat bagi mereka.

VIIPERINGATAN HAUL

A. Pengertian Haul Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi peringatan haul

maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan.

39

B. Tujuan Diadakannya Peringatan HaulPeringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan

hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba'ib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus.

C. Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haula.    Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah thayyibah serta

membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dan do’a bersama di makam;b.    Diadakan majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan biografi sang

tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau haba’ib;c.    Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat selamatan/shodaqoh ‘anil

mayit.

D. Hukum Mengadakan Peringatan HaulSelama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang dari tujuan sebagaimana

yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan oleh para ulama, maka haul hukumnya jawaz(boleh). Jadi, salah besar jika ada orang yang mengatakan bahwa secara mutlak peringatan haul itu hukumnya haram atau mendekati syirik.

E. Dalil diperbolehkannya Peringatan HaulBerikut ini ada beberapa dalil syar’i yang berkaitan dengan masalah peringatan haul

dengan serangkaian mata acaranya.a.    Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam kitab Nahjul

Balaghoh hal. 399 كان رسول الله صلى الله علي��ه وس��لم ي��زور قتلى أح��د في ك��ل ح��ول، وإذا لق��اهم بالشعب رفع صوته يقول : السالم عليكم بما ص��برتم فنعم عق��بى ال��دار. وك��ان أب��و بكر يفعل مثل ذلك وكذلك عمر بن الخطاب ثم عثمان بن عف��ان رض��ي الل��ه عنهم.

]رواه الواقدي[Artinya:“Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada’ Uhud pada setiap tahun.

Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau mengucapkan dengan suara keras “semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat kesudahan”. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut”.

b.    Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam Baihaqi : ما جلس قوم يذكرون الله تعالى فيقومون حتى يقال لهم قوموا ق��د غف��ر الل��ه لكم

. ]رواه الطبراني والبيهقي[ذنوبكم وبدلت سيئاتكم حسنات

Artinya :“Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir kepada Allah

kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada mereka “bubarlah kamu”, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu dan kejahatan-kejahatanmu telah diganti dengan kebaikan-kebaikan”. (HR. Thabarani dan Baihaqi)

c.    Hadits riwayat Imam Dailami : ذكر األنبياء من العبادة وذك�ر الص��الحين كف�ارة، وذك�ر الم�وت ص�دقة، وذك�ر الق�بر

158 : يقربكم إلى الجنة. ]رواه الديلمي[ اه� الجامع الصغير

40

Artinya :“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kuburitu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)

d.    Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya al-fiqih ala madzahibil arba’ah : وينبغي للزائراالشتغال بالدعاء والتض��رع واالعتب��ار ب��الموتى وق��راءة الق��رآن للميت،

[1/540فإن ذلك ينفع الميت على األصح. اه� ]الفقه على مذاهب األربعة Artinya :“Sangat dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk bersungguh-sungguh

mendo’akan kepada mayit dan membaca Al-Qur’an untuk mayit, karena semua itu pahalanya akam bermanfaat bagi mayit. Demikian itu menurut pendapat ulama yang paling shahih”.

Memang begitulah doktrin Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah kubur dan haul. Kedua-keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak cabang amalan qurbah yang dianjurkan dalam agama. Namun dibalik itu ada hal yang patut disayangkan karena di dalam pelaksanaannya sering terjadi kemaksiatan yang sangat mencolok yang dilakukan oleh warga kita sewaktu menghadiri acara tadi, yakni berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan dalam satu tempat : di sarean sewaktu mereka berziarah kubur, berjubel-jubel dalam satu ruangan sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal dalam satu kendaraan (truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat dan pulang dari tempat acra dll.

Maka alangkah bijaknya jika masing-masing oknum, baik panitian atau warga yang hadir mau memperhatikan fatwa ulama klasikk yang menaruh rasa saying kepada umat dengan maksud agar amaliyh mereka ini tidak tercemar denan noda-noda kemaksiatan.

Tersebut dalam kitab Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 : )وسئل( رضي الله عنه عن زيارة قبور األولياء في زمن معين مع الرحل��ة إليه��ا ه��ل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختالط النس��اء بالرج��ال وإس��راج السرج الكثيرة وغير ذلك )فأجاب( بقوله : زيارة قبور األولياء قرية مس��تحبة ... إلى أن قال : وما أشار إليه السائل من تلك البدع أوالمحرمات، القرب��ات ال ت��ترك لمث��ل ذلك بل على اإلنسان فعلها وإنكار البدع بل وإزالتها إن أمكنه. وقد ذكر الفقه��اء في الطواف المندوب فضال عن الواجب أنه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا الرمل، لكن

أمروه بالبعد عنهن وينهى عما يراه محرما، بل ويزيله إن قدر كما مر. اه�Artinya :“Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali pada saat tertentu

dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan, sedangkan di situ terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur para wali adalah suatu amal kebaikan yang dianjurkan ….. sampai kata-kata kiyai mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si penanya berupa tindakan bid’ah atau hal-hal yang diharamkan, jangan menjadi sebab ditinggalkannya kebaikan tersebut. Bagi seseorang tetaplah melakukannya dan ingkar/benci terhadap pelanggaran dan menghilangkannya, kalau memang memungkinkan. Para fuqaha’ menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi thawaf wajib agar dilakukan walaupun di situ ada banyak perempuan demikian pula lari-lari kecil. Namun mereka memerintahkan agar menjauh dari para perempauan tersebut. Demikian pula ziarah kubur tetap dilakukan akan tetapi jauhilah (berdesak-desakan dengan) kaum wanita dan cegahlah dan kalau bisa hilangkanlah hal-hal yang diharamkan seperti keterangan yang telah lewat.

F. Subtansi Haul Ulama

Tujuan 'mengenang' kembali seorang ulama dalam biografi ataupun tradisi yang sering

dilakukan oleh warga Nahdliyin dalam mengadakan haul ulama dengan menyebutkan kisahnya

41

selama hidupnya adalah untuk 'meneladani keshalehannya'. Hal ini sudah dilakukan sejak zaman

sahabat:

ل� ال� ق"ت�� ه� ف�ق�� �ط�ع�ام�� ا ب ��و�م� ه" ي ي� الل�ه" ع�ن�� ض�� �ن" ع�و�ف& ر� ح�م�ن� ب �د" الر� �ي� ع�ب "ت ع�د& ق�ال� أ ع�ن� س�

و�� ة" أ ز� ل� ح�م��� د�ةF و�ق"ت��� "ر� � ب �ال �ف�ن" ف�يه� إ "ك �ه" م�ا ي "وج�د� ل �م� ي :ي ف�ل ا م�ن ��ر ي �ان� خ� �ر& و�ك �ن" ع"م�ي م"ص�ع�ب" ب

د� ون� ق��� �ك��" �ن� ي �ت" أ ي د� خ�ش��� �ق��� د�ةF ل ر� � ب��" �ال �ف�ن" ف�ي��ه� إ "ك ا ي ه" م��� "وج�د� ل��� �م� ي :ي ف�ل �رF م�ن ي ج"لF آخ�ر" خ� ر��ك�ي �ب "م� ج�ع�ل� ي �ا ث �ي �ا الد3ن �ن �ات ي �ا ف�ي ح� "ن �ات :ب �ا ط�ي �ن رقم ( ع"ج:ل�ت� ل البخاري )1195رواه

"Diriwayatkan dari Sa'd bahwa Abdurrahman bin Auf suatu hari disuguhi makanan. Ia

berkata: "Mush'ab bin Umair telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat

kafan untuknya kecuali kain selimut. Hamzah juga telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada

yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh saya kuatir amal kebaikan-

kebaikan kami segera diberikan di kehidupan dunia ini". Kemudian Abdurrahman bin Auf

menangis" (Riwayat Bukhari No 1195)

Dalam hal ini al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari ahli hadis:

�ه�ا "ه" ف�ي �ت غ�ب �ق�ل� ر� �ت �ا ل �ي �ه�م� ف�ي الد3ن 3ل �ق�ل �ن� و�ت ي �ح� �ر� الص�ال ي �ر" س� �غ�ي ذ�ك �ب �ن �ه" ي ن� �ه� أ �ط�ال& و�ف�ي �ن" ب ق�ال� اب

حجر ) البن الباري )354/ 7فتح"Ibnu Baththal telah berkata: Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut kisah-kisah orang

saleh dan kesederhanannya terhadap duniawi. Tujuannya agar tidak cinta dunia" (Fathul Bari 7/354)

Abdullah Ibn Mubarak berkata:

ا �ه�� :ت" الل�ه" ب �ب "ث و�د� الل�ه� ي دF م�ن� ج"ن��" �ن� ج"ن��� ي �ح� ال �ر" الص�� ي ح�م�ه" الل�ه" : )س�� ك� ر� �ار� �م"ب �ن" ال ق�ال� اباء� �ب��� �ن �ك� م�ن� أ �ي �ق"ص3 ع�ل � ن "ال �ع�ال�ى: }و�ك آن� ق�و�ل" الله� ت �لق"ر� �ك� م�ن� ا �اد�ه�( و�م�ص�د�اق" ذ�ل ب "و�ب� ع� ق"ل�ين�{ ]ه��ود: �م"ؤ�م�ن �ل ى ل �ر� �ح�ق3 و�م�و�ع�ظ�ةF و�ذ�ك �ه� ف"ؤ�اد�ك� و�ج�اء�ك� ف�ي ه�ذ�ه� ال :ت" ب �ب "ث س"ل� م�ا ن الر3

ع� ع�ل�ى120 �ط�ل��� اء�، ا �ح�ي��� �أل د�ه" ف�ي ا �ج��� �م� ي �ذ�ا ل ه�، و�إ �ك�ي��� "ب ة� م�ن� ي �ار� �ل�ى ز�ي ان" إ �س� �ن �إل �اج" ا ت �ح� [... ي�م�و�ات� )دروس للشيخ محمد الحسن الددو الشنقيطي �أل �ه� ف�ي ا ت �ر� ي (28/ 5س�

Abdullah bin Mubarak berkata: "Sejarah orang-orang shaleh adalah salah satu pasukan

Allah, yang dapat mengokohkan hati hamba-hamba Allah. Sebagaimana dalam firman Allah:

Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya

Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran

dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hud: 120]… Seseorang butuh untuk berkunjung

kepada sosok manusia yang dapat membuatnya menangis. Jika tidak menemukannya di kalangan

yang masih hidup, maka pelajarilah dari sejarah orang-orang yang telah wafat" (Syaikh Hasan

asy-Syanqithi)

Dalam riwayat hadis disebutkan:

42

Fد�ق�ة و�ت� ص�� �م�� ر" ال ةF و�ذ�ك�� ار� �ف�� �ن� ك ي �ح� �ر" الص�ال �اد�ة� و�ذ�ك �ع�ب �اء� م�ن� ال �ي �ب �ن �ال �ر" ا �ث� : ذ�ك �ح�د�ي و�ف�ي ال�ة� )رواه الديلمي عن معاذ(. ن �ج� "م� م�ن� ال "ك ب "ق�ر: "و�ر� ي �ق"ب �ر" ال و�ذ�ك

Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa: "Mengingat para Nabi adalah bagian dari ibadah.

Mengingat orang shaleh menjadi sebab terhapusnya dosa. Mengingat mati adalah sedekah. Dan

mengingat kubur dapat mendekatkan kalian ke surga" (HR Dailami, sanadnya dlaif)

Sufyan bin Uyainah berkata:

ة" )س��فيان بن عيين��ة ذك��ره ابن الج��وزي في مقدم��ة ح�م��� �ز�ل" الر� �ن �ن� ت ي �ح� �ر� الص�ال �د� ذ�ك ن ع�صفوة الصفوة(

"Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat" (Sufyan bin Uyainah dikutip

oleh Ibnu Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ash-Shafwah)

Ibnu Taimiyah juga berkata:

ال" "ق�� ذ�ا ي �ه�� �ن� و�ل ي �ح� ال �اء� و�الص�� �ي �ب �ن �أل �ر� ا �ذ�ك �ذ3و�ن� ب �ت �ل �ل� و�ي �ر�ه� ب �م�ع�ر�ف�ة� الله� و�ذ�ك "و�ن� ب �م"ؤ�م�ن �ذ3 ال �ت �ل ي

�ر� ي �خ� �ة� ال ب �ل�ى م�ح� �ة� إ ك �ح�ر� 3ف"و�س� م�ن� ال �ح�ص"ل" ف�ي الن �م�ا ي ح�م�ة" ب �ز�ل" الر� �ن �ن� ت ي �ح� �ر� الص�ال �د� ذ�ك ن ع�

و�ر� ر" �ه� و�الس3 ح� ب �ف�ر� �ه� و�ال �ة� ف�ي غ�ب الصفدية ( و�الر� في تيمية )269/ 2ابن

"Orang-orang beriman merasakan nikmat dengan mengenal Allah dan mengingat-Nya,

bahkan mereka merasa nikmat dengan mengingat para Nabi dan orang Shaleh. Karenanya ada

ungkapan 'Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat'. Hal ini disebabkan adanya

semangat di dalam hati untuk mencintai kebaikan, termotifasi dan rasa senang terhadapnya"

(Ibnu Taimiyah, kitab ash-Shafadiyah 2/269)

VIIITALQIN MAYIT

Sebetulnya masalah TALQIN dengan segala macam persoalannya itu sudah dikupas oleh para ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan selalu diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.

Akan tetapi amaliyah warga kita tadi menjadi terancam kelangsungannya sejak munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi yang sangat berlebihan dalam usaha memurnikan ajaran Islam, sampai-sampai mereka itu melarang amalan-amalan umat Islam yang bersifat furu’iyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.

Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut Ahlussunnah wal Jamaah.

A. Pengertian TalqinMenurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan kembali kepada

orang yang sedang naza’ atau kepada mayit yang baru saja dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.

43

B. Hukum TalqinOrang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza’ (mendekati kematian)

itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni kalimat laa ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru dikubur, walaupun orang itu mati syahid, apabila meninggalnya sudah baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum dia gila.

Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang yang Mentalqin?Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit ditalqin. Alasan

mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan itu tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an

  : [80]النمل

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An-Naml : 80)

  : [22]فاطرArtinya :“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat

mendengar”(QS. Fathir : 22)

Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan dengan masalah Talqin.

a.    Di dalam ajaran Islam itu ada hal-hal yang berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinyawalau pun secara rasional hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.

]عقيدة العوام للشيخ أحمد المرزوقي[ فحقه التسليم والقبول   وكل ما أتى به الرسولArtinya :“Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus dibenarkan dan

diterima”.b.    Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan tentang larangan talqin

mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang kafir itu telinga hatinya sudah mati, berpaling/tidak menerima apa-apa yang didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.

Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir : قوله تعالى : إنك ال تسمع الموتى وال تسمع الصم ال��دعاء إذا ول��وا م��دبرين أي أنهم لفرط إعراضهم عما يدعون إليه ك��الميت ال��ذي ال س��بيل إلى إس��ماعه. اه� ]تفس��ير

[2/133 منيرArtinya :“Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikam orang-orang

yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah berpaling” jelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah mati”.

قوله : وما أنت بمسمع من في القبور أي وما أنت يا أشرف الخلق بمفهم من ه��و[2/202مثل الميت الذي في القبور. اه� ]تفسير منير

Artinya:

44

“Firman Allah yang artinya : “dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar” jelasnya : hai Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur”.

Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.

Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqina.    Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang sedang naza’ adalah

hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 138 : ويندب أن يلقن محتضر ولو مميزا على األوجه الشهادة أي ال إله إال الله فقط لخ��بر مسلم : لقنوا موتاكم أي من حضرة الموت ال إله إال الل�ه، م�ع الخ�بر الص�حيح : من

. اه�كان أخر كالمه ال إله إال الله دخل الجنة أي مع الفائزينArtinya :  “Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih mumayyiz menurut

pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim “talqinlah orang Islam di antara kamu yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah” dan hadits shahih “Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah, maka dia masuk surga”, yakni bersama orang-orang yang beruntung”.

b.    Sedangkan dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur adalah :   Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 140

وتلقين بالغ ولو شهيدا بعد تمام دفن )قوله وتلقين ب��الغ( وذل��ك لقول��ه تع��الى وذك��ر [ وأحوج ما يكون العب��د إلى الت��ذكير في55فإن الذكرى تنفنع المؤمنين ]الذاريات :

. اه�هذه الحالةArtinya:“Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid setelah sempurna

penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman Allah : “dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti ini”.

   Hadits riwayat Thabarani : إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أح��د على رأس ق��بره ثم ليقل يا فالن ابن فالنة فإنه يسمعه ثم يقول يا فالن ابن فالنة فإنه يستوي قاع��دا ثم يقول يا فالن ابن فالنة فإنه يقول أرشدنا يرحمك الله ولكن ال تشعرون. فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن ال إله إال الله وأن محم��دا عب��ده ورس��وله وإن��ك رضيت بالله وباإلسالم دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما. فإن منكرا ونك��يرا ياخ��ذ ك��ل

. اه�واحد منهما بيد صاحبهArtinya :“Apabila salah seorang  di antara saudaramu telah meninggal dan penguburannya telah

kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka berdirilah salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : “hai fulan bin fulanah” maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah “hai fulan bin fulanah” maka dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi “hai fulan bin fulanah” maka dia berkata “berilah saya petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu”. Akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti. Seterusnya katakanlah kepadanya “ingatlah apa yang kamu pegangi sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak

45

ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabi mu dan Al-Qur’an sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan mereka berdua”.

  Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin : يندب التلقين بعد تمام دفنه لخبر : العب�د إذا وض�ع في ق�بره وت�ولى وذهب أص�حابه

[2/140 حتى أنه يسمع قرع نعالهم أتاه ملكان. الحديث اه� ]إعانة الطالبينArtinya :“Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena ada hadits :

“Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar suara sepatu mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya”.

Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :1. Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat  bagi si mayit.2. Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau suara-suara yang ada

di alam dunia ini.3. Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin adalah sunat tidak

bid’ah dan tidak dilarang seperti apa yang dituduhkan oleh kaum wahabi.

IXMenyuguhkan Makanan Pada Tamu Yang Bertakziyah

Menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakziyah hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:

" أ �ق�ر� و�ت الط�ع�ام� "ط�ع�م" ت ق�ال� Fر� ي خ� � م ال� �س� اإل� ي3� أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه" الل ص�ل�ى �ي� �ب الن �ل� أ س� �ج"ال ر� �ن� أ

�ع�ر�ف� ت �م� ل و�م�ن� ف�ت� ع�ر� م�ن� ع�ل�ى م� ال� الس�Seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Islam seperti apa yang paling baik?” Beliau

menjawab, “Yaitu jika engkau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak engkau kenal.”

Al Ahnaf bin Qais menyebutkan bahwa ketika Umar bin Al Khatthab ditikam  (yang kemudian menjadi sebab kematiannya), dia memerintahkan Shuhaib untuk shalat bersama orang-orang sebanyak tiga kali. Umar juga memerintahkan menyuguhkan makanan.

Demikian juga hadits :. – – : جنازة في وسلم عليه الله صلى الله رسول مع خرجنا قال األنصار من رجل عن

من – – أوسع الحافر يوصي القبر على وهو وسلم عليه الله صلى الله رسول فرأيتمعه، ونحن فأجاب، امرأته داعي استقبله رجع فلما رأسه، قبل من أوسع رجليه، قبل

. - في والبيهقي أبوداود رواه الحديث فأكلوا القوم، وضع ثم يده، فوضع بالطعام فجيءالنبوة . دالئل

Dari seorang Anshar, dia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah dalam rangka mengantar satu jenazah. Lalu aku lihat beliau –sedang berada di atas kubur- berpesan pada  pengggali kubur, “Lebarkanlah dari arah kedua kakinya. Lebarkanlah dari arah kepalanya.” Setelah beliau pulang seorang utusan istri si Mayit mengundang beliau. Beliau penuhi undangan itu. Kamipun menyertai beliau. Kemudian disuguhkan makanan. Beliau meletakkan tangan kemudian orang-orang juga meletakkan tangan, lalu mereka semua makan.”

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diundang istri atau keluarga mayit. Kemudian beliau bersama para Sahabat berkumpul di rumah duka. Saat itu adalah setelah penguburan mayit. Beliau dan yang lain makan makanan yang disuguhkan. Rasulullah SAW

46

juga memerintahkan memberikan makanan itu kepada para tawanan perang, sebab beliau juga khawatir dagingnya membusuk.

Berdasarkan hadits di atas hukumnya boleh keluarga orang yang meninggal menyuguhkan makanan atau mengundang orang untuk berkumpul di rumahnya, apalagi jika yang diundang adalah orang-orang fakir miskin. Kecuali apabila diantara ahli waris terdapat anak yang masih kecil, maka jangan sampai untuk keperluan itu diambilkan dari harta peninggalan orang yang meninggal.

Berdasarkan apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW tersebut menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakiyah hukumnya boleh.

XWALIMATUL HAMLI

Di kalangan masyarakt jawa khususnya yang ada di pedesaan masih dilestarikan suatu tradisi apabila si perempuan hamil maka keluarganya mengadakan selamatan/walimahan, mereka menyebutnya “tingkepan”, sementara para santri menyebutnya “walimatul hamli”.

Kata tingkepan/tingkep berasal dari bahasa daerah/jawa : sing dienti-enti wis mathuk jangkep(yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna). Waktu pelaksanaan selamatan tingkepan ini antara daerah satu dengan daerah lain tidak sama. Di sebagian daerah dilaksanakan pada saat usia janin ± empat bulan, sedangkan di daerah lain dilaksanakan pada saat usia janin tujuh bulan. Dalam upacara tingkepan yang mereka anggap sakral itu dihidangkan beberapa jenis menu makanan khas, di samping itu disajikan juga secama sesajen yang beraneka ragam.

Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu amalan sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama salaf atau tidak? Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya pro dan kontra antara kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim yang lain. Sebagian dari kelompok muslim di Indonesia ada yang apriori, tidak mau malakukan bahkan ada yang bersikap ekstrim menolak dan berusaha untuk memberantasnya. Mereka berargumentasi bahwa tradisi tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu peninggalan Budha klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh umat muslim. Mereka mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi saw. :ة� �ي��� اه�ل �ج� �ة� ال ن � س�" �م ال �س�� �إل غ& ف�ي� ا �ت��� �، و�م"ب ام ر� �ح��� دF ف�ي� ال �ح��� ةF م"ل �ث�� �ال �ل�ى الل�ه� ث اس� إ �غ�ض" الن��� �ب أه". رواه البخ��اري عن ابن عب��اس. اه� الج��امع الص��غير و�م"ط�ل�ب& د�م� ام�ر�ئ& ليهري��ق د�م���

5 صArtinya :“Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :1.  Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;2.  Orang yang sudah memeluk Islam, akan tetapi masih mengamalkan tradisi kaum

jahiliyah;3.  Orang yang menuntut darah orang lain agar orang lain itu dialirkan darahnya (yakni

menuntut hukum bunuh tanpa alasan yang benar)”.Adapun kelompok sunni (umumnya warga nahdliyin) menyikapi budaya tingkepan ini

dengan fleksibel/lentur, mau menerima tidak apriori mau melakukan bahkan melestarikannya, namun tidak serta-merta menerimanya secara total, akan tetapi bertindak selektif, yang dilihat bukan tradisi atau budayanya tetapi nilai-nilai yang dikandungnya.

Sebagaimana di sebut di awal bahwa dalam upacara tingkepan -biasanya dilakukan oleh orang awam- itu ada hidangan khusus dan ada lagi sajian lain. Jika hal itu tidak dipenuhi -menurut kepercayaan mereka- akan timbul dampak negatif bagi ibu yang sedang hamil atau janin yang dikandungnya. Hidangan atau sajian dimaksud antara lain :

1.  Nasi tumpeng;

47

2.  Panggang ayam;3.  Buceng/nasi bucu tujuh buah;4.  Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;5.  Takir pontang yang berisi nasi kuning;6.  Nasi liwet yang masih dalam periok;7.  Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;8.  Pasung yang dibungkus daun nangka;9.  Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).10.   Sehelai daun talas yang diberi air putih;11.   Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);12.   Sapu lidi;13.   Pecah kendi di halaman rumah;14.   Dan lain-lain.Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu, maka wajarlah kiranya

ada kelompok yang besikeras, seratus persen menolaknya.Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi dengan sikap selektif

dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan acara selamatan tingkepan asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang berseberangan dengan syari’at (hal yang haram) dan tidak pula merusak akidah (berbau syirik).

Shahibul walimah seharusnya mengerti bahwa :1.  Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang dimakan di tempat atau yang

berupa berkatan jangan diniati yang bukan-bukan, akan tetapi berniatlah menjamu para tamu dan bersedekah dengan harapan semoga dengan wasilahshadaqah ini, Allah SWT. memberikan keselamatan kepada segenap anggota keluarga, khususnya janin yang berada dalam kandungan serta sang suami dan isteri yang sedang mengandung (selameto ingkang dipun kandut, selameto ingkang ngandut lan selameto ingkang ngandutaken).

Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya shadaqah dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang ikhlas dan bahan-bahannya halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat menganjurkannya dan beliau jelaskan pula fadlilahnya, sebagaimana sabda beliau :

a.  Hadits riwayat Imam Rafi’i :�اف�ة�. رواه الرافعي عن ثابت �ت" الض:ي �ي �اة" الد�ار� ب ك �اةF، و�ز� ك ي�ء& ز� "ل: ش� �ك )الجامع الص��غير  ل

(264: صArtinya :“Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat tinggal adalah

menjamu para tamu”. (HR. Imam Rafi’i).b.  Hadits riwayat Imam Thabarani :

و�ء�. رواه الطبراني �ا م�ن� الس3 �اب �ن� ب �ع�ي ب د3 س� �س" الص�د�ق�ة" تArtinya :“Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan”. (HR. Imam

Thabarani).c.   Hadits riwayat imam Khatib :

�ء�. رواه الخطيب �ال �ب �و�ع�ا م�ن� ال �ن� ن �ع�ي ب �ع" س� �م�ن الص�د�ق�ة" تArtinya :“Bersedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam mala petaka/bala’”. (HR. Imam Khatib)2.  Walimatul hamli/selamatan tingkepan adalah salah satu wujud tahadduts bin

ni’mahyakni memperlihatkan rasa syukur atas kenikmatan/ kegembiraan yang dianugerahkan

48

oleh Allah SWT. berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang selama ini menjadi dambaan pasangan suami dan isteri.

Ulama’ salaf memfatwakan : setiap ada suatu kenikmatan/kegembiraan disunatkan mengadakan selamatan/bancaan mengundang sanak tetangga dan teman-teman sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya “al-fiqhu alal madzahibil arba’ah” juz II hal. 33 :

ان� و�اءF ك��� و�ر&، س��� ر" اد�ث� س��" "ل: ح��� �د� ك ن �ه� ع� �ي �ل � و�الد�ع�و�ة" إ �ع" الط�ع�ام "س�ن3 ص"ن "و�ا: ي �ة" ق�ال اف�ع�ي الش� . �ر� �ك� م�م�ا ذ"ك �ر� ذ�ل �ل�ى غ�ي ف�ر� إ � م�ن� الس� �ق"د"و�م �ل و� ل

� �ان� أ ت �خ� �ل و� ل� �ع"ر�س� أ �ل اهـل

Artinya :“Ulama Syafi’iyyah (pengikut madzhab Syafi’i) berpendapat : disunatkan membuat

makanan dan mengundang orang lain untuk makan-makan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara temantenan, khitanan, datang dari bepergian dan lain sebagainya”.

Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli sudah barang tentu harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan mempunyai sikap arif dan bijak dalam memilih dan memilah di antara beberapa hidangan dan sajian tersebut, mana yang bisa diselaraskan dengan syari’at dan mana yang tidak, mana yang masih dalam koridor akidah islamiyah dan mana yang tidak.

XITRADISI RUAWATAN

A. Pengertian Ruwat/RuwatanKata “ruwat” mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa.Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan seseorang yang

menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan cara melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.

Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon) bahwa sebagian orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam hidupnya di dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk.

B. Asal Muasal Adanya RuwatanDalam cerita pewayangan ada seorang tokoh yang bernama "BETHORO GURU" atau

"SANG YANG GURU", dia beristrikan dua orang istri. Dari istri pademi dia menurunkan seorang anak laki-laki bernama WISHNU. setelah dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi pekerti baik, sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang anak laki-laki bernama BETHORO KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang jahat, konon kesurupan setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk dimakan. Maka sang ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan tetapi pilihlah jalma seperti dibawah ini:

1.    Untang-Anting yakni anak tunggal laki-Iaki.2.    Unting-Unting yakni anak tunggal perempuan.3.    Kedono-Kedini yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.4.    Kembang Sepasang yakni dua anak perempuan.5.    Uger-Uger Lawang yakni dua anak laki-laki.6.    Pancuran Keapit Sendang yakni tiga anak, perempuan, laki-laki dan perempuan.7.    Sendang Keapit Pancuran yakni tiga anak, laki-laki, prempuan dan laki-laki.8.    Cukit-Dulit yakni tiga anak laki-Iaki.9.    Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.10.    Pandowo yakni lima anak laki-laki.

49

11.    Gotong Mayit  yakni tiga anak perempuan.12.    Sarimpi yakni empat anak perempuan.13.    Ponca Gati  yakni lima anak perempuan.14.    Kiblat Papat  yakni empat anak laki-laki dan perempuan.15.    Pipilan yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.16.    Padangan  yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.17.    Sepasar yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.18.    Pendowo Ngedangno yakni tiga anak laki-laki dan satu perempuan.Dalam metos orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih diyakini kebenarannya,

sehingga menurutShohibur riwayah agar Bethoro Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas, dicarikan solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN" untuk anak yang bersangkutan.

C. Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi JawaRuwatan yang diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang

bersangkutan terhindar dari mara bahaya, adalah suatu upacara yang acaranya sebagai berikut:a.    Mengadakan pagelaran wayang;b.    Sebagai pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG SEJATI";c.    Lakon yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO";d.    Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo;e.    Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan mantra-mantra dengan

iringan gamelan, langgam dan gending tertentu. Konon mantra-mantra tersebut untuk tolak balak (mengusir BETHORO KOLO yang jahat itu).D. Acara Ruwatan yang Islami.

Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsur-unsur yang menyimpang dari syari’ah, dan ada juga unsur-unsur yang merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.

Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru, yaitu :

·      Amalan yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan kepada perilaku yang bertendensi kepada syari’ah;

·      Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid;·      Amalan yang asalnya berbau bid’ah, diarahkan kepada Sunnah.Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk melakukan amalan-

amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syari’ah dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain :

a.    Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;b.    Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;c.    Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga yang bersangkutan

terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia dan akhirat;d.    Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta

upacara ruwatan.

E. Hukum RuwatanMengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang tersebut dalam keterangan

di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.

50

Nah, sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya?

Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:a.    membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang dituju,

terlepas dari kesulitan dan terhindar dari bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya "Idlohu Mafahimis Sunnah" menerangkan :ة� ك��� �ر� �ب ر� و�ال �ع"م��� �ة� ف�ي� ال ك �ر� �ب �ا ال �ب �ع�ال�ى ط�ال �قرآن� لله� ت ه�ا م�ن� ال �ر� و� غ�ي

� ة� يس أ و�ر� � س" أ و�م�ن� ق�ر��ن� ط� أ ر� �ش��� ر�، ب ي��� �خ� �ل� ال �ي ب ل�ك� س��� �ه� و�ق�د� س� �ي ج� ع�ل � ح�ر� �ه" ال �ن �ة� ف�ي� الص:ح�ة� ف�إ ك �ر� �ب �م�ال� و�ال ف�ي� الل� ة& ب��� ر� �ة� م��� �م�ائ �ث �ال و� ث

� ة� أ �ن� م�ر� �ي �ث �ال و� ث� �ا أ �ث �ال � يس ث أ �ق�ر� �ي �خ"ص"و�ص�ه�. ف�ل �ك� ب �ة� ذ�ل ي و�ع� ر" �ق�د� م�ش� �ع�ت �ي ال

�ج� �ف�ر�ي �ه� و�ت �ب �ق� م�ط�ال �ح�ق�ي �ج�ه� و�ت �ه" م�ع� ط�ل�ب� ق�ض�اء� ح�و�ائ �ص�ا ل �ع�ال�ى خ�ال �ه" لله� ت "ل آن� ك �ق"ر� " ال أ �ق�ر� ي�ن� د� أ �ع�ب��� "ح�ب3 م�ن� ال ؟ و�الل��ه" ي ك� ج" ف�ي� ذ�ل��� ر� �ح��� ا ال ه�، ف�م��� ض��� ف�اء� م�ر� �ه� و�ش��� ب �ر� ف� ك �ش� ه�م:ه� و�كك� د�ي� ذ�ل��� �ن� ي��� �ي د:م" ب "ق��� ه" ي �و�ن��" ه�. و�ك �ع�ل��� ع� ن �ح� ش�س� �ص�ال � و�إ �ح� الط�ع�ام ي�ء& ح�تى� م�ل "ل� ش� �ه" ك ل

� أ �س� يل� �و�س��3 اب� الت � م�ن� ب�� �ال و� إ ا ه�" �م� م�� ل �ه� و�س�� �ي �ي: ص�ل�ى الله" ع�ل �ب �ة� ع�ل�ى الن و� الص�ال

� ة� يس أ و�ر� س"�ه�. �ت ي و�ع� ر" �ف�قF ع�ل�ى م�ش� �ك� م"ت �. و�ذ�ل �م �ر�ي �ك آن� ال �ق"ر� �ال �ح�ة� و�ب �ع�م�ال� الص�ال �أل �ا إه� إيضاح مف��اهيم ب

11السنة ص: Artinya :" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an karena Allah

dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan menganggap adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan orang itu membaca surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai maksudnya, dihilangkan kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh Allah menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali sandal. Adapun orang tersebut sebelum berdo’a membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah merupakan tawassul dengan amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an. Disyari'atkannya Tawassul ini disepakati oleh para ulama.

Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317 juga meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:د�ع�ى ة" يس. ت��" و�ر� � و�ه�ي� س��" �ال �م�ع�ه�ا، أ ت �م"س��� ر" ل �غ�ف��� �ه�ا و�ت �ق�ار�ئ ف�ع" ل �ش� ة� ت و�ر� �س" آن� ل �ق"ر� �ن� ف�ي� ال إ�ا �ي ر� ال��د3ن ي��� �خ� �ه�ا ب ب اح� �ع"م3 ص��� ال� ت ة"؟ ق��� �م"ع�م��� ا ال و�ل� الله� و�م��� س" �ا ر� �ل� ي �م"ع�م�ة�. ق�ي اة� ال �و�ر� ف�ي التف� �ي��� و�ل� الل��ه� و�ك س��" �ا ر� �ل� ي �ة�. ق�ي �ق�اض�ي �ض�ا الد�اف�ع�ة� و�ال �ي "د�ع�ى أ ة�. و�ت �آلخ�ر� �ه�و�ال� ا �ه" أ �د�ف�ع" ع�ن و�تا �م��� : يس ل ال� �ن� ق��� �ل�ى أ ة& ..... إ ل� ح�اج��� ه" ك��" �ق�ض�ي� ل��� و�ء& و�ت "ل� س" �ه�ا ك ب �د�ف�ع" ص�اح� ؟ ق�ال� ت �ك� ذ�لد& �ح�� و� أ

� �ع& أ ب و� س��� �ع& أ ب ر�

� أ ار� ك�� ر� �ك�� �ه�ا الت �ع�م�ال ت �ن� ف�ي اس�� ي �ح� ال ار� الص�� �ي�� ت ة" اخ� �م�� ه". و�ح�ك �ت� ل�� ق"ر�ئر�ق3 ه" و�ت��� �ت��� أ ف"و� م�ر� �ص��� ار� ت �ر� �ك �الت ، ف�ب �ق�ل�ب� �ة� ع�ل�ى ال �غ�ف�ل �ح�ج�اب� و�ال د�ة" ال �ك� ش� �ر� ذ�ل �ن� و�غ�ي �ع�ي ب ر�

� و�أ�ه". إه� تفسير صاوي جزء ثالث ص �ع�ت �ي 317 ط�ب

Artinya:''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at kepada pembacanya

dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya, ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut “AL –MU’IMMAH”. Ditanyakan : apa itu Al-Mu’immah Ya Rasul ? Rasu!ullah menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut juga “AD-DAFI'AH” dan “Al-QODLIYAH”. Ditanyakan : bagaimana demikian itu Ya Rasul ? Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala keburukan dan meyebabkan tercapainya

51

segala hajat bagi pembacanya, .... sampai dengan sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya. Adapun hikmahnya para ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan berulang-ulang, empat kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain sebagainya, hal itu karena adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka dengan dibaca berulang-ulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati kita dan menjadi lunaklah tabi'atnya.

b.    Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :

�ج� و�ائ �ح��� ال�ى ف�ي� ال �ع��� �ل�ى الله� ت ع" إ �ض�ر3 ؤ�ال" و�الت ص�ل� الس3� �أل . الد3ع�اء" ف�ي� ا "م� �ك �ج�ب� ل ت س�

� �ي� أ "م" اد�ع"و�ن 3ك ب و�ق�ال� ر�

ع� �ى ف�ي� ش�س��� ا ح�ت �ه��� "ل ه" ك ت��� �ه" ح�اج� ب "م� ر� �ح�د"ك �ل� أ أ �س� �ي د�: ل �ه" م�ا و�ر� ة�. و�م�ن �ر� ق�ي �ح� �ة� و�ال �ل �ي ل �ج� �ة� ال و�ي "خ�ر� �أل �ة� و�ا �و�ي �ي الد3ن. إه� تفسير صاوي جزء رابع ص "م� �ت �ب �م�ا ط�ل "م� ف�ي �ك ب ج�

" ي� أ� "م� أ �ك �ج�ب� ل ت س�

� "ه" أ �ق�ط�ع�. و�ق�و�ل �ذ�ا ان �ه� إ �ع�ل 13 نArtinya:''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku perkenankan bagimu

(Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian memohon kepada Tuhannya mengenai semua kebutuhannya sampai dengan tali sandalnya yang putus. Firman Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah) akan memperkenankan kamu mengenai apa yang kamu mohonkan kepadaKu.

c.    Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda :�ء�. رواه الخطيب عن أنس رض��ي الل��ه عن��ه. �ال �ب �و�اع� ال ن

� �و�ع�ا م�ن� أ �ن� ن �ع�ي ب �ع" س� �م�ن الص�د�ق�ة" ت190 إه� الجامع الصغير ص

Artinya:“'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah)”. HR. KhotibDengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin, shalawat Nabi dan lain

sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur, jika dimaksud untuk menyembah selain Allah.

Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :، م� ر" �ح��� �م� ي �ج�ن: ل ك� ال ر� ذ�ل��� �ف�ي� الله" ش� �ك �ي �ل�ى الله� ل ب� إ �ق�ر3 � الت �ك� الط�ع�ام �ص�د3ق� ذ�ل �ت �ن� ق"ص�د� ب إ�ن� ل� إ ، ب��� Fام ر� �ج�ن� ف�ح��� د� ال �ذ�ا ق�ص��� ا إ م���

� . و�أ :ف� �م"ص�ن �ل �خ�ف�ى ل � ي �م�ا ال �ر� الله� ك �غ�ي ب� ل �ق�ر� �ت �م� ي �ه" ل �ن أل. �ح� �ص:ه�ا ف�ي الذ�ب ا ع�ل�ى ن ��اس ا ق�ي �"ف�ر �ك� ك �ان� ذ�ل ، ك �ر� �م�ن� ذ"ك �اد�ة� ل �ع�ب �م� و�ال �ع�ظ�ي ق�ص�د� الت

Artinya:''Apabila menshodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub)

pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin, maka tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila ditujukan pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan mengagungkan dan menyembah pada selain Allah, maka hal itu menjadikan kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah penyembelihan (dzabhi).

52

XIITRADISI KUPATAN

A. Pengertian Kupatan Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan

sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.

Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari ke delapan yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”.

B. Asal Usul Tradisi KupatanRasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang sejarah/asal muasal kupat.

Namun menurut berbagai sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini.

Secara filosofis, makanan khas “Kupat” ini memiliki banyak makna. Di antara makna itu adalah :

a.    Kata “kupat” berasal dari bahasa jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah, dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan kedamaian, ketenangan dan ketentraman.

b.    Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa.

c.    Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim.

C. Bid’ah Dlalalah kah Tradisi Kupatan?Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan dilakukan di berbagai

daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau melakukannya. Ada yang menganggapnya bid’ah dan bahkan menuduh sesat, karena termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah.

Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan berpuasa. Pada hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk melakukan puasa selama enam hari, baik secara langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau secara terpisah-pisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW :

53

� ال�د�ه�ر�. رواه مس�لم )الج��امع و�م �ص��� ان� ك و�ال& ك�� �ا م�ن� ش��� ت ه" س��� �ع�� �ب �ت م�ض�ان� و�أ م�ن� ص�ام� ر�(307الصغير ص

Artinya :“Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di

bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam Muslim)

Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi tertentu. Maka ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal itu disebut bid’ah (suatu hal yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau melakukannya dan sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah interpretasi makna bid’ah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat.

Pertama, pendapat yang mendifinisikan “bid’ah” secara mutlak, yaitu segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah dan haram dilakukan. Nah, karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal itu dianggap mengada-ada dan itu bid’ah. Setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Rasulullah SAW. :د¡. رواه ال��بيهقي عن عائش��ة )الج��امع و� ر� ه" ف�ه��" �س� م�ن��� �ي ا ل ذ�ا م��� �ا ه��� م�ر�ن

� �ح�د�ث� ف�ي� أ م�ن� أ(296 الصغير ص

Artinya :“Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak

bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi)Dan sabda Rasulullah SAW. :

�ةF. رواه أب��و داود والترم��ذي. �ل ال �د�ع�ة& ض��� "ل3 ب �د�ع�ةF و�ك �ك� ب �ن� ذ�ل "م"و�ر� ف�إ �أل �ات� ا "م� و�م"ح�د�ث �اك �ي و�إ

�ن� ة� ف�ي ال��د:ي �م"ح�د�ث��� "م"و�ر� ال �أل �ا �خ�ذ� ب �أل و�ا ا �حذ�ر" �اع�د"و�ا و�ا ي� ب� . )المج��الس الس��نية ش��رح األربعينأ

(87النووية ص Artinya :“Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah

bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru dalam agama.

Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik).

Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani pendapat pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang lebih luas. Maksudnya tidak semua did’ah itu dlalalah (sesat) akan tetapi ada bid’ah itu yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at.

As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya “al-ihtifal bidzikro maulidin nabi” menyatakan :ا ��ر ث

� و� أ� �ج�م�اع�ا أ و� إ

� �ة� أ ن و� س"� �ا أ �اب �ت �ح�د�ث� و�خ�ال�ف� ك �ه": م�ا أ ض�ي� الله" ع�ن اف�ع�ي: ر� �م�ام" الش� �إل ق�ال� ا

�م�ح�م"و�د". �ك� ف�ه"و� ال �ا م�ن� ذ�ل �ئ ي ال�ف� ش� "خ� �م� ي �ر� و�ل ي �خ� �ح�د�ث� م�ن� ال �ة"، و�م�ا أ �د�ع�ة" الض�ال �ب ف�ه"و� الArtinya :“Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu

jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah

54

yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”.

Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi) menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut :�م�ل� ت �ش��� �م� ي �ع�ة� و�ل ر�ي ة" الش��� �ف��� ال ه� م"خ� �ح�د�اث��� �إ "ق�ص�د� ب �م� ي �ة" و�ل ي ع� ر� �ة" الش� �د�ل �أل "ه" ا �م�ل ت �ش� �ر& ت ي "ل3 خ� ف�ك

. �ن� �ر& ف�ه"و� م�ن� الد:ي �ك ع�ل�ى م"نArtinya :“Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak

ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan agama)”.

Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari substansi masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan dan pemberian shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, sementara teknisnya bisa dilakukan dengan beragam cara.

Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :.� ح�م �ة" الر� �ر3 و�ص�ل �ب �ا ال �و�اب �ر� ث ي �خ� ع" ال ر� س�

� رواه الترمذي عن عائشة أArtinya :“Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan

silaturrahim”.Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :

Fم� ي ح� "م� و�الله" غ�ف"و�رF ر� �ك �غ�ف�ر� الله" ل �ن� ي 3و�ن� أ ب "ح� � ت �ال �ص�ف�ح"و�ا أ �ي �ع�ف"و�ا و�ل �ي .22. النور : و�لArtinya :“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah

akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-Nur : 22)

Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain :ة&. �م�ر� �ت �و� ب �ص�د�ق"و�ا و�ل رواه ابن المباركت

Artinya :“Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak).Hadits riwayat Ibnu ‘Ady :

. "م� اق�ك ز� ر�� ع�ةF ف�ي� أ �و�س� �ك� ت ��ن� ذ�ل ، ف�إ "م� �ك �ن �ي �ه�اد"و�ا الط�ع�ام� ب رواه ابن عدي ت

Artinya :“Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan hadiah berupa

makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan rizkimu” (HR. Ibnu ‘Ady)

Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah).

XIIINgalap Berkah

Fatwa haram, bid’ah bahkan syirik dalam masalah mencari berkah (tabarruk, ngalap berkah) kembali ramai didengungkan oleh mereka yang mengaku paling sehat dari penyakit

55

TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) ketika makam Gus Dur ramai diziarahi, bahkan ada beberapa peziarah yang mengambil tanah di area makam tersebut. Sebagaimana yang disebarkan oleh Ust Hartono Jais dan kawan-kawannya yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas dalam masalah ini, dan hanya bertaklid buta kepada Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dan sebagainya.

Ulama-ulama mereka dengan membabi-buta menvonis syirik kepada semua bentuk tabarruk, dengan tanpa sedikitpun mendudukkan makna tabarruk secara proporsional maupun mengungkap dalil dan argument tabarruk yang sudah dilakukan sejak Rasulullah Saw masih hidup.

A. Makna Berkah dan Mencari Berkahal-Barakat dan derivasinya memiliki makna ‘bertambah’ dan ‘berkembang’. Sedangkan

‘Tabarruk’ adalahك بالش��يء: طلب البرك��ة Xك: هو طلب البركة، وهي النماء أو السعادة. والتبر Xوالتبر

كت به: أي تيمXنت به( عن طريقه. X13/408 لسان العرب: قال ابن منظور: تبر(“mencari berkah terhadap sesuatu, mencari tambahan dengan metodenya” (Ibnu Mandzur,

Lisan al-‘Arab 13/408)

B. al-Quran Tak Menafikan BerkahDi dalam al-Quran banyak disebutkan kalimat ‘berkat’ dengan berbagai macam kalimat

bentukannya. Ini menunjukkan bahwa ada banyak sosok maupun tempat yang diberkahi oleh Allah. diantaranya:

وجعلني مباركا أين ما كنت وأوصاني بالصالة والزكاة ما دمت حيا“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia

memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup” (Maryam: 31)

وباركنا عليه وعلى إسحاق ومن ذريتهما محسن وظالم لنفسه مبين“Kami limpahkan keberkatan atasnya (Ibrahim) dan atas Ishak” (ash-Shaffaat: 113)

رحمت الله وبركاته عليكم أهل البيت إنه حميد مجيد“(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!

Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah" (Huud: 73)

1. tempat-tempat yang diberkati dalam al-Quran ::إن أول بيت وضع للناس للذي ببكة مباركا وهدى للعالمين

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (Ali Imraan: 96) سبحان الذي أسرى بعبده ليال من المسجد الحرام إلى المسجد األقصى الذي باركن��ا

حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al

Masjidil haram ke Al Masjidil aksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya…” (al-Israa’: 1)ونجيناه ولوطا إلى األرض التي باركنا فيها للعالمين

“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Lut ke sebuah negeri (Palestina) yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia” (al-Anbiyaa’: 71)

وجعلنا بينهم وبين القرى التي باركنا فيها قرى ظاهرة“Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri (Yaman) yang Kami limpahkan

berkat kepadanya, …” (Saba’: 18)

56

2. benda-benda ciptaan Allah juga dianugerahi keberkahan dalam al-Quran:كأنها كوكب دري يوقد من شجرة مباركة زيتونة

“…. kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya…” (an-Nuur: 35)

فلما أتاها نودي من شاطئ الوادي األيمن في البقعة المباركة من الشجرة“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah

yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu….” (al-Qashash: 30)ونزلنا من السماء ماء مباركا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya (berkah)….” (Qaaf: 9)إنا أنزلناه في ليلة مباركة

“sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Quran) pada suatu malam yang diberkahi…” (ad-Dukhaan: 3)

C. Mencari Berkah Telah Dilakukan Sejak Masa Nabi TerdahuluTepatnya adalah Nabi Ya’qub As ketika ditimpa penyakit tak bisa melihat lantaran lama

berpisah dengan putranya, Nabi Yusuf. Untuk mengobatinya ternyata Nabi Ya’qub maupun Nabi Yusuf tidak langsung berdoa kepada Allah, dan Allah juga kuasa jika langsung menyembuhkannya. Namun kesembuhan itu melalui proses ‘berkah’ sebagaimana diabadikan dalam al-Quran:

اذهبوا بقميصي هذا فألقوه على وجه أبي يأت بصيرا“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku,

nanti ia akan melihat kembali….” (Yusuf: 93)Tampak jelas sekali bahwa Allah menjadikan kesembuhan itu melalui berkah baju gamis

Nabi Yusuf.Makam Nabi Yunus juga dijadikan tempat mencari berkah Allah:

س��افر وأق��ام بمص��ر م��دة . ثم س��كن  عبد الرحمن بن عبد الله الحلحولي الحل��بي وحلحول: قرية بها ق��بر ي��ونس ص��لى الل��ه دمشق . وكان من كبار الصالحين والعباد

"قال، وهي بين القدس والخليل. أق��ام به��ا س��بع س��نين، ب��نى به��ا عليه وسلم - فيما يكون به، ويعتقدون فيه Xد فيه بين الفرنج، وسمعنا أنهم كانوا يتبرX �، وتعب )ت��اريخ مسجدا

(271 / ص 8 - ج اإلسالم للذهبي“Desa Hulhul antara Quds dan Khalil ada makam Yunus As. Para penduduknya mencari

berkah disana dan meyikini makamnya Nabi Yunus” (adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam 8/271)

D. Mencari Berkah Di Masa Hidup Rasulullah Saw

1. Rambut Rasulullah

ة� ر� �ج�م��� �ى ال �ت أ �ى ف��� �ى م�ن �ت �ه� -صلى الله علي��ه وس��لم- أ س"ول� الل �ن� ر� �ك& أ �ن� م�ال �س� ب �ن ع�ن� أ"م� �م�ن� ث �ي �ه� األ �ب ان �ل�ى ج� ار� إ �ش� �ق� » خ"ذ� «. و�أ �ح�ال �ل "م� ق�ال� ل �ح�ر� ث �ى و�ن �م�ن �ه" ب �ز�ل �ى م�ن �ت "م� أ م�اه�ا ث ف�ر�

�اس� "ع�ط�يه� الن "م� ج�ع�ل� ي ر� ث �س� �ي (3212 )رواه مسلماأل“Rasulullah r menyuruh tukang pangkas rambutnya, untuk mencukur rambut bagian kanan

dan kirinya, lalu rambut-rambut itu dibagi-bagikannya kepada para sahabat” (HR Muslim No 3212) وعن جعفر بن عبد الله بن الحكم ان خالد بن الوليد فقد قلنسوة له ي��وم ال��يرموك فقال اطلبوها فلم يجدوها فقال اطلبوها فوجدوها فاذا هي قلنسوة خلقة فقال خالد اعتمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فحلق رأسه فابت��در الن��اس ج��وانب ش��عره فس��بقتهم إلى ناص��يته فجعلته��ا في ه��ذه القلنس��وة فلم أش��هد قت��اال وهي معي اال

57

رزقت النصر. رواه الطبراني وأبو يعلى بنحوه ورجالهما رجال الصحيح وجعفر س��مع)مجمع الزوائ��د ومنب��ع الفوائ��د - ج من جماعة من الصحابه فال أدري سمع من خالد ام ال

(279 / ص 4Sahabat Khalid bin Walid t bertabaruk dengan rambut ubun-ubun Rasulullah r, ditaruh di

dalam kopiahnya (songkok). Kholid berkata: Saya tidak pernah mendatangi perang dengan membawa songkok tersebut (yang berisi rambut Rasulullah), kecuali setiap peperangan saya selalu diberi kemenangan” (HR Thabrani dan Abu Ya’la, para perawinya adalah perawi hadis sahih)

2. Air Ludah Rasulullahف: � و�ق�ع�ت� ف�ى ك��� �ال ة� إ "خ�ام��� �ه� - صلى الله عليه وس��لم - ن س"ول" الل �خ�م� ر� �ن �ه� م�ا ت ق�ال� ف�و�الل

�د�ه" ل �ه�ا و�ج�ه�ه" و�ج� �ك� ب �ه"م� ف�د�ل ج"ل& م�ن (2731 و 70 البخارى )رواه ر�“Miswar dan Marwan berkata: Demi Allah Setiap Rasulullah rberdahak, pasti dahak beliau

jatuh ke tangan salah seorang sahabat, lalu ia gosokkan ke wajah dan kulitnya. (HR Bukhari No 70 dan 2731)ه� -ص�لى الل��ه علي��ه ول� الل��� س��" �ن� ر� �ى: -صلى الل��ه علي��ه وس��لم- أ �ب و�ج� الن ة� ز� �ش� ع�ن� ع�ائ

"ه"م� :ك ن "ح� �ه�م� و�ي �ي ك" ع�ل �ر: "ب �ان� ف�ي �ي �الص:ب �ى ب "ؤ�ت �ان� ي (688 مسلم )رواهوسلم- ك“Diriwayatkan dari Aisyah bahwa bayi-bayi didatangkan kepada RAsulullah  Saw

kemudian beliau mendoakan berkah dan memamah makanan kepada mereka” (HR Muslim No 688) وعن ملك بن حمزة بن أبي أسيد الساعدي الخ��زرجي عن أبي��ه عن ج��ده أبي أس��يد وله بئر بالمدينة يقال لها بئر بضاعة قد بصق فيها النبي صلى الله علي�ه وس�لم فهي يعشر بها ويتيمن بها. قلت ويأتي بتمامه في التفسير في سورة البقرة إن شاء الله.

(37 / ص 2 )مجمع الزوائد ومنبع الفوائد - ج رواه الطبراني في الكبير ورجاله ثقات“Para sahabat y bertabaruk dengan air sumur Budha’ah di Madinah, yang pernah diludahi

oleh Nabi r “ (HR Thabrani, para perawinya terpercaya)ه" ف�ي��ه� ، و�م�ج� ف�ي��ه� ، �ه� و�و�ج�ه��� �د�ي �ق�د�ح& ف�يه� م�اءF ف�غ�س�ل� ي "م� د�ع�ا ب ( ث �ل& �ال �ى م"وس�ى و�ب ب

� )عن أد�ح� �ق��� ذ�ا ال �خ��� ا « . ف�أ ر� �ش��� �ب ا ، و�أ "م��� "ح"ور�ك "م�ا و�ن �ف�ر�غ�ا ع�ل�ى و"ج"وه�ك �ه" ، و�أ �ا م�ن ب ر� "م� ق�ال� » اش� ث

� (6561 ومسلم 4328  )رواه البخارىف�ف�ع�ال“Rasulullah Saw menyuruh kepada Abu Musa dan Bilal untuk mengambil tempat air, lalu

beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya dan memuntahkan air kumur ke wadah tersebut dan beliau bersabda: Minumlah oleh kalian, siramkan ke wajah dan leher kalian, dan bersenanglah. Kemudian dua sahabat itu melakukannya” (HR Bukhari 4328 - Muslim No 6561)

ك   �ار� �م"ب �ر�يق�ه� ال �ة ب ك �ر� �ب �يج�اد ال �ك� إ �ذ�ل �غ�ر�ض ب (300 / ص 1)فتح الباري البن حجر - ج و�الal-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Tujuan diatas karena adanya berkah dari ludah Rasulullah

yang mengandung berkah” (Fath al-Baari 1/300)3. Keringat Rasulullah Saw

ر�ق� �ا ف�ع��� د�ن ال� ع�ن��� �ى3 -صلى الله عليه وسلم- ف�ق��� �ب �ا الن �ن �ي �ك& ق�ال� د�خ�ل� ع�ل �ن� م�ال �س� ب �ن ع�ن� أ�ى3 -ص��لى الل��ه علي��ه �ب �ق�ظ� الن �ي ت ا ف�اس��� ق� ف�يه��� �ع�ر� ل"ت" ال �س� ع�ل�ت� ت ة& ف�ج� ور� �ق�ار" م:ى ب

" و�ج�اء�ت� أ�ع�ين� «. ن �ص��� ذ�ى ت ذ�ا ال��� & م�ا ه��� �م �ي ل "م� س" �ا أ ه" ف�ى وسلم- ف�ق�ال� » ي ع�ل��" �ج� ك� ن ق��" ذ�ا ع�ر� ال�ت� ه��� ق���

�ب� الط:يب� �ط�ي �ا و�ه"و� م�ن� أ �ن (6201)رواه مسلمط�يبSahabat Ummu Sulaim mengambil keringat Nabi r dan menaruhnya ke dalam botol,

sebagai minyak wangi. Setelah ditanya oleh Rasulullah, Ummu Sulaim menjawab: “Ini adalah keringatmu. Kami jadikan minyak wangi kami. Dan keringat itu adalah minyak yang paling harum” (Muslim No 6201)

4. Air Sisa wudlu RasulullahHadis yang menjelaskan masalah ini sangat banyak sekali, diantaranya:

58

�ى� "ت أ ة� ، ف��� اج�ر� �ه��� �ال �ه� - صلى الله علي��ه وس��لم - ب س"ول" الل �ا ر� �ن �ي ج� ع�ل �ف�ة� خ�ر� ي �ب� ج"ح� ق�ال� أ�ه� وئ ل� و�ض�����" ذ"ون� م�ن� ف�ض������ �خ�����" �أ اس" ي ل� الن������ � ، ف�ج�ع������ أ �و�ض������ وء& ف�ت �و�ض�����" )رواهب

(1151 مسلم  187 البخارى“Rasulullah mendatangi kami di Hajirah, kemudian beliau disediakan air wudlu dan beliau

berwudlu, kemudian para sahabat mengambil sisa wudlu’ beliau” (HR Bukhari 187 dan Muslim 1151)

5. Tempat Minum Rasulullah Sawو�ل� الله� س" �ن� ر� �ة� أ �ص�ار�ي �ن ة� األ� �ش� �ب ر�ب� ملسو هيلع هللا ىلص ع�ن� ك ةF ف�ش��� �ق��� �ةF م"ع�ل ب �د�ه�ا ق�ر� ن �ه�ا و�ع� �ي د�خ�ل� ع�ل

و�ل� الل��ه� س��" ع� ف�ي� ر� ة� م�و�ض��� ك��� �ر� �غ�ي� ب �ت �ب �ة� ت ب �ق�ر� �مF ف�ق�ط�ع�ت� ف�م� ال �ه�ا و�ه"و� ق�ائ (رواه ملسو هيلع هللا ىلص م�نابن ماجه والترمذي وقال حسن صحيح غريب)

“Dari Kabsyah al-Anshariyah bahwa Rasulullah e datang kepadanya dan di sebelahnya atau tempat air minum yang digantung, kemudian beliau meminum-nya dengan posisi berdiri. Kabsyah lalu memotong (bekas) tempat minum Rasulullah tersebut untuk mendapatkan berkah dari mulut Rasulullah  e”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi, ia berkata: Hadits ini Hasan Sahih Gharib)

6. Kain Kafan Dari Rasulullahا ون� م��� د�ر" �ت��� ال� أ د�ة& - ق��� ر� �ب��" ةF ب

� أ ر� اء�ت� ام��� ال� ج��� ع�د& - رضى الله عنه - ق��� �ن س� ه�ل ب ع�ن� س�:ى �ن �ه� ، إ س"ول� الل �ا ر� �ه�ا - ق�ال�ت� ي �ت ي �س"وجF ف�ى ح�اش� �ة" ، م�ن م�ل �ع�م� ، ه�ى� الش� �ه" ن د�ة" ف�ق�يل� ل "ر� �ب الا . �ه��� �ي �ل ا إ ��اج� ت �ى3 - صلى الله عليه وس��لم - م"ح� �ب �خ�ذ�ه�ا الن �ه�ا . ف�أ وك �س" �ك �د�ى أ �ي �س�ج�ت" ه�ذ�ه� ب ن�ع�م� ال� » ن �يه�ا ، ف�ق��� ن �س" �ه� ، اك س"ول� الل �ا ر� � ي �ق�و�م ج"لF م�ن� ال ه" . ف�ق�ال� ر� ار" �ز� �ه�ا إ �ن �ا و�إ �ن �ي �ل ج� إ ف�خ�ر�"م� ا ، ث ع� ف�ط�و�اه��� ج��� "م� ر� �م�ج�ل�س� ، ث �ى3 - ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم - ف�ى ال �ب « . ف�ج�ل�س� الن� �ال ائ د3 س� �ر" � ي �ه" ال ن

� �م�ت� أ �ق�د� ع�ل �اه" ، ل �ي �ه�ا إ �ت ل� أ �ت� ، س� ن �ح�س� �ق�و�م" م�ا أ �ه" ال �ه� . ف�ق�ال� ل �ي �ل �ه�ا إ ل� ب س� ر�

� أم"وت"

� �و�م� أ �ى ي �ف�ن "ون� ك �ك �ت � ل �ال "ه" إ �ت ل� أ �ه� م�ا س� ج"ل" و�الل (2093 )رواه البخارى. ف�ق�ال� الر�

“Rasulullah Saw diberi kain bergaris (burdah) oleh seorang wanita. namun kain tersebut diminta oleh orang lain untuk dijadikan kafan bagi dirinya. Rasulullah memberikannya” (HR Bukhari No 2093)

7. Jubah Rasulullah Saw محمد بن جابر: سمعت أبي يذكر عن جدي أنه أول وفد وفد على رسول الله صلى الله عليه وسلم من بني حنيفة فوجدته يغسل رأسه فقال: اقعد يا أخا أه��ل اليمام��ة فاغسل رأسك ففعلت فغسلت رأسي بفض��لة غس��ل رس��ول الل��ه ص��لى الل��ه علي��ه� � عب��ده ورس��وله ثم كتب لي كتاب��ا وس��لم ثم ش��هدت أن ال إل��ه إال الل��ه وأن محم��دا فقلت: يا رسول أعطني قطعة� من قميصك أس�تأنس به�ا فأعط�اني ق�ال محم�د بن

)اإلص��ابة في معرف��ة جابر: فحدثني أبي أنها كانت عندنا نغسلها للمريض يستشفي به�ا(482 / ص 1الصحابة للحافظ ابن حجر ج

“Seorang sahabat meminta potongan dari jubah Rasulullah Saw, beliau memberinya. Muhammad bin Jabir berkata: Bapak saya menceritakan bahwa potongan jugah tersebut kami cuci untuk orang sakit, mengharap kesembuhan darinya” (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah 1/482)

8. Air Seni Rasulullah Saw وعن حكيمة بنت أميمة عن أمها قالت كان للنبي صلى الل��ه علي��ه وس��لم ق��دح من عيدان يبول فيه ويضعه تحت سريره فقام فطلبه فلم يجده فسأل فقال أين الق��دح قالوا شربته سرة خادم أم سلمة التي ق�دمت معه�ا من أرض الحبش�ة فق�ال الن�بي صلى الله عليه وسلم لقد احتظرت من النار بحظار. رواه الط��براني ورجال��ه رج��ال

)مجم��ع الزوائ��د ومنب��ع الصحيح غير عبد الله بن أحمد بن حنب��ل وحكيم��ة وكالهم��ا ثق��ة(20 / ص 4 الفوائد - ج

59

“Barokah, pelayan Ummu Salamah (istri Nabi r), bertabaruk dengan menimun air seni Nabi r  yang akan menjadi pelindungnya dari api neraka” (Diriwayatkan oleh Thabrani, para perawinya sahih)

E. Mencari Berkah Setelah Rasulullah Saw WafatDalam masalah ini Imam Bukhari membuat Bab Khusus dari benda-benda peninggalan

Rasulullah yang dicari berkahnya oleh para Sahabat, bahkan para Khalifah yang mendapat jaminan masuk surga. Imam Bukhari mencantumkan beberapa hadis terhitung dari No 3106 – 3112:

ه�5 �ف�ه� و�ق�د�ح�� ي اه" و�س��� �ى: - ص�لى الل��ه علي��ه وس��لم - و�ع�ص��� �ب ع� الن ر� م�ن� د�ر� - باب م�ا ذ"ك��ع�ر�ه� "ه" ، و�م�ن� ش��� م�ت �ر� ق�س��� ذ�ك �م� ي��" ا ل ك� م�م��� د�ه" م�ن� ذ�ل��� �ع��� اء" ب �ف��� ل �خ" �ع�م�ل� ال ت �م�ه� . و�م�ا اس� ات و�خ�

�ه� �ع�د� و�ف�ات ه"م� ب �ر" "ه" و�غ�ي اب ص�ح�� ك" أ �ر� �ب �ت �ه� ، م�م�ا ي �ت �ي �ه� و�آن �ع�ل (204 / ص 11)صحيح البخارى - ج   .و�ن

“Bab yang yang menyebutkan tentang baju perang Nabi saw, tongkatnya, pedangnya, tempat minumnya, dan cintinnya.dan yang dipakai oleh para khalifah setelah beliau wafat,yang terdiri dari hal-hal yang tidak disebut pembagiannya, juga tentang rambut Nabi saw, sandalnya, dan wadah makanannya yang berupa benda-benda yang dicari berkahnya oleh para sahabat dan lainnya setelah Nabi wafat” (Shahih al-Bukhari: 11/104)

1. Asma’ Binti Abu Bakar dengan Jubah Nabi�ت�� �ى3 ق�ال �ب �ان� الن "ه�ا و�ك �ض�ت �ض�ت� ق�ب �م�ا ق"ب �ض�ت� ف�ل �ى ق"ب ة� ح�ت �ش� �د� ع�ائ ن �ت� ع� �ان م�اء"( ه�ذ�ه� ك س�

� )أا �ه���� ف�ى ب �ش���� ت "س� ى ي ض���� �م�ر� �ل "ه�ا ل ل �غ�س���� �ح�ن" ن ه�ا ف�ن �س���" �ب �ل .-ص���لى الل���ه علي���ه وس���لم- ي

�ألدب كان يلبسها للوفد وللجمعة( 5530 مسلم )رواه والبخاري في كتابه المفرد في ا“Asma’ binti Abu Bakar berkata: “Jubah ini (pada mulanya) dipegang oleh Aisyah

sampai ia wafat. Setelah wafat saya ambil jubah tersebut. Rasulullah ememakai jubah ini. Kami membasuhnya untuk orang-orang yang sakit, kami mengharap kesembuhan melalui jubah tersebut”. (HR. Abu Dawud dan Muslim. Sedangkan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dijelaskan bahwa Rasulullah memakai jubah tersebut untuk menemui tamu dan salat Jumat)

2. Ummi Salamah dengan Rambut Nabi Sawة& �ع� - م�ن� ف�ض��� ص�اب

� �ث� أ �ال �يل" ث ائ ر� �س� �ض� إ �ق�د�ح& م�ن� م�اء& - و�ق�ب �م�ة� ب ل "م: س� �ل�ى أ �ه�ل�ى إ �ى أ �ن ل س� ر�� أ

و�� �نF أ ان� ع�ي �س��� �ن اب� اإل ص���

� �ذ�ا أ �ان� إ �ى: - صلى الله عليه وسلم - و�ك �ب ع�ر� الن ع�رF م�ن� ش� ف�يه� ش�ات& ع�ر� �ت" ش������ �ي أ ر� ل� ف������ �ج�����" ل �ج" �ع�ت" ف�ى ال اط�ل �ه" ، ف������ ب ا م�خ�ض������ �ه������ �ي �ل �ع�ث� إ ى�ءF ب ش������

ا �(5896 البخارى )رواه ح"م�ر“Ummi Salamah memiliki rambut Rasulullah Saw. Jika orang yang terkena penyakit, maka

mendatang Ummi Salamah dengan membawa wadah (untuk mengobati). dan saya melihat di dalamnya ada beberapa rambut merah” (HR Bukhari No 5896)

3 Muawiyah Dengan Jubah, Sarung, Serban dan Rambut Nabi Saw وكان عنده قميص رسول الل��ه ) ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم ( وإزاره ورداؤه وش��عره فأوصاهم عند موته فقال كفنوني في قميصه وأدرج��وني في ردائ��ه وآزروني ب��إزاره واحش��وا منخ��ري وش��دقي بش��عره وخل��وا بي��ني وبين رحم��ة أرحم ال��راحمين ك��ان

(61 / ص 59 )تاريخ دمشق - ج حليما“Mu’awiyah memiliki gamis Rasulullah, sarungnya, serbannya dan rambutnya. Muawiyah

berwasiat agar benda-benda ia dijadikan kain kafan baginya” (al-Hafidz Ibnu Asakir, 56/61)4. Muhammad bin Sirin Dengan Rambut Nabi Saw

60

�ى: - ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم - �ب ع�ر� الن �ا م�ن� ش��� �د�ن ن �يد�ة� ع� �ع�ب ير�ين� ق�ال� ق"ل�ت" ل �ن� س� ع�ن� اب�ح�ب3 ه" أ ةF م�ن��� ع�ر� �د�ى ش� ن "ون� ع� �ك �ن� ت �س& ف�ق�ال� أل �ن �ه�ل� أ �ل� أ و� م�ن� ق�ب

� �س& ، أ �ن �ل� أ �اه" م�ن� ق�ب �ن ص�ب� أ

�ا و�م�ا ف�يه�ا �ي �ى� م�ن� الد3ن �ل (170البخارى  )رواه إ“Saya berkata kepada Abidah bahwa kami memiliki rambut Rasulullah, kami

mendapatkannya dari Anas atau keluarga Anas. ia berkata: Sungguh saya memiliki 1 helai rambut Rasulullah lebih saya senangi daripada dunia dan isinya” (HR Bukhari 170)

5. Umar bin Abd Aziz Dengan Tempat Minum Nabi SawFة� أ �ى: - صلى الله عليه وسلم - ام�ر� �ب �لن �ر� ل ع�د& - رضى الله عنه - ق�ال� ذ"ك �ن� س� ه�ل� ب ع�ن� س�ل�ت� ز� د�م�ت� ف�ن��� �ه�ا ، ف�ق��� �ي �ل ل� إ س� ر�

� �ه�ا ف�أ �ي �ل ل� إ س� "ر� ن� ي� اع�د�ى� أ �د& الس� ي س�

" �ا أ �ب م�ر� أ� ب� ، ف�أ �ع�ر� م�ن� ال

د�خ�ل� ا ف��� �ى ج�اء�ه��� �ى3 - ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم - ح�ت �ب ج� الن ر� اع�د�ة� ، ف�خ��� �ى س� �ن � ب "ج"م ف�ى أال�ت� �ى3 - صلى الل��ه علي��ه وس��لم - ق��� �ب �م�ه�ا الن �ل �م�ا ك ه�ا ، ف�ل س�

� أ ةF ر� :س� �ك �ةF م"ن أ �ذ�ا ام�ر� �ه�ا ف�إ �ي ع�ل. � ال�ت� ال ذ�ا ق��� د�ر�ين� م�ن� ه��� �ت��� ا أ �ه��� "وا ل ال :ى « . ف�ق��� "ك� م�ن �ع�ذ�ت �ك� . ف�ق�ال� » ق�د� أ �ه� م�ن �الل �ع"وذ" ب أق�ى �ش��� ا أ �ن��� �ت" أ "ن �ك� . ق�ال�ت� ك �خ�ط"ب �ي اء� ل �ه� - صلى الله عليه وسلم - ج� س"ول" الل "وا ه�ذ�ا ر� ق�ال�ى �ن ق�يف�ة� ب �ى ج�ل�س� ف�ى س��� ذ& ح�ت �و�م�ئ��� �ى3 - صلى الله عليه وس��لم - ي �ب �ل� الن ق�ب

� �ك� . ف�أ م�ن� ذ�ل

د�ح� �ق��� ذ�ا ال �ه��� �ه"م� ب ج�ت" ل ر� ه�ل" « . ف�خ��� ا س��� �ا ي��� ق�ن ال� » اس��� "م� ق��� "ه" ، ث اب ح� ص���� و� و�أ اع�د�ة� ه��" س���

�ن" ر" ب �ه" ع"م��� �و�ه�ب ت "م� اس��� �ه" . ق�ال� ث �ا م�ن �ن ر�ب �ق�د�ح� ف�ش� �ك� ال ه�لF ذ�ل �ا س� �ن ج� ل �خ�ر� "ه"م� ف�يه� ، ف�أ �ت ق�ي س�� ف�أ

�ه" �ه" ل �ك� ف�و�ه�ب �ع�د� ذ�ل �ع�ز�يز� ب �د� ال (  5354مسلم 5637 )رواه البخارىع�ب“Sahal bin Sa’d memiliki tempat minum yang pernah dipakai oleh Nabi. kemudian (masa

berikutnya), tempat minum itu diminta oleh Umar bin Abdul Aziz dan ia memberikannya” (HR Bukhari 5637 dan Muslim 5354)

6. Asma’ binti Yazid Dengan Sisa Minuman Nabi Saw عن أم عامر أسماء بنت يزيد بن السكن قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وآل��ه وسلم في مسجدنا المغرب فجئت م��نزلي فجئت��ه بلحم وأرغف��ة فقلت: تعش فق��ال� من أه��ل ال��دار ألصحابه: " كلوا " فأكل هو وأصحابه الذين ج��اءوا ومن ك��ان حاض��را� والذي نفسي بي��ده ل��رأيت بعض الع��رق لم يتعرق��ه وعام��ة وإن القوم ألربعون رجال الخبز. قالت: وشرب عن��دي في ش��جب فأخذت��ه فدهنت��ه وطويت��ه فكن��ا نس��قي في��ه

)اإلص��ابة في معرف��ة الص��حابة للحاف��ظ ابن المرضى ونشرب منه في الحين رجاء البركة.(104 / ص 4 حجر - ج

“Sisa minuman Rasulullah saya gunakan untuk membasahi rambut saya. Juga kami minumkan kepada orang-orang sakit, dan kami meminumnya, untuk mengharap berkah” (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah 1/482)

7. Anas bin Malik Dengan Tongkat Kecil Nabi Saw وك��انت عن��ده عص��ية من رس��ول الل��ه ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم ف��أمر به��ا ف��دفنت

(109 / ص 9)البداية والنهاية - ج .معه“Anas memiliki tongkat kecil dari Rasulullah Saw, ia memerintahkan agar dikubur

bersamanya” (al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah 9/109)8. Imam Ahmad bin Hanbal Dengan Rambut Nabi Saw

بعض ولد الفضل بن الربي��ع أب��ا عب��د الل��ه، وه��و في الحبس ثالث ش��عرات، أعطي  فقال: هذه من شعر النبي، صلى الله عليه وسلم، فأوصى أبو عبد الله عند موته أن

)س�ير ففع�ل ذل�ك ب�ه عن�د موت�ه. يجعل على كل عين شعرة، وشعرة على لس�انه.(2/357 صفة الصفوة: 337 / ص 11  النبالء - جأعالم

“Imam Ahmad diberi 3 helai rambut saat di penjara, itu adalah rambut Rasulullah Saw. Imam Ahmad berwasiat agar ketika meninggal 2 rambut diletakkan di matanya, 1 rambut lagi di mulutnya. maka wasiat itupun dilakukan ketiaka ia wafat” (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubalaa’ 11/337 dan al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dalam Shifat ash-Shafwah 2/357)

61

F. al-Hafidz Ibnu Hajar dan Istidlal Ngalap Berkah�ه� )فتح الب��اري البن حج��ر �ائ �ن �ق�ت �م� و�ج�و�از ا ل �ه� و�س� �ي �ه ع�ل ع�ر�ه� ص�ل�ى الل �ش� ك ب �ر3 �ب - جو�ف�يه� الت

(278 / ص 1al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 166: “Hadis ini diperbolehkan

mencari berkah dari rambut Rasulullah Saw, dan bolehnya mengoleksinya” (Fath al-Baarii 1/278)

ا �ه��� و� و�ط�ئ� �م� أ ل ه� و�س��� �ي��� ه ع�ل �يX ص�ل�ى الل��� �ب �ي ص�ل�ى ف�يه�ا الن �ت �م�و�اض�ع� ال �ال ك ب �ر3 �ب )فتحو�ف�يه� الت

(145 / ص 2الباري البن حجر ج al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 407: “Hadis ini diperbolehkan

mencari berkah dengan tempat-tempat yang dilakukan salat olen Nabi Saw dan yang beliau injak ” (Fath al-Baarii 2/145)

�ح�ين� �ار� الص�ال �آث ك ب �ر3 �ب (318 / ص 4)فتح الباري البن حجر - ج و�ف�يه� التal-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 1198: “Hadis ini diperbolehkan

mencari berkah dengan peninggalan orang-orang shaleh” (Fath al-Baarii 4/318)�ح�اء �اء و�الص3ل �ي و�ل

� � األ� �ط�ع�ام ك ب �ر3 �ب (386 / ص 10 )فتح الباري البن حجر - ج و�ف�يه� التal-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 3316: “Hadis ini diperbolehkan

mencari berkah dengan makanan para wali dan orang-orang shaleh” (Fath al-Baarii 10/386)

G. Mencari Berkah Allah dengan Berziarah

1. Makam Rasulullah Saw

ه" :ل�" "ق�ب ه� و�ي �م�س�: ك" ب ر� �ب�� �ت �م� و�ي ل ه� و�س��� �ي��� ل�ى الل�ه" ع�ل �ي: ص�� �ب ر� الن �ب��� �م"س3 م�ن ل� ي ج�" "ه" ع�ن� الر� �ت ل� أ س�

س�� �أ � ب �ل�ى الله� ج�ل� و�ع�ز� ف�ق�ال� ال ب� إ �ق�ر3 �ك� الت �ذ�ل �د" ب "ر�ي �ح�و� ه�ذ�ا ي و� ن

� �ك� أ �ل� ذ�ل �ر� م�ث �ق�ب �ال �ف�ع�ل" ب و�ي�ك� �ذ�ل (3243 رقم 492 / 2  الحمد بن حنبل)العلل ومعرفة الرجال ب

"Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan itu untuk mendekatkan dir kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: Tidak apa-apa" (Ahmad bin Hanbalal-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)

Imam Nawawi menjelaskan tatacara dan etika dalam berziarah dan bertawassul di makam Rasulullah Saw:ه� ل" ب��� �و�س��� �ت �م� و�ي ل �ه� و�س��� �ي و�ل� الله� ص�ل�ى الله" ع�ل س" �ة� و�ج�ه� ر� �ال �و�ل� ق�ب �ال �ل�ى م�و�ق�ف�ه� ا ج�ع" إ �ر� "م� ي ثاه" ا ح�ك��� و�ل" م��� �ق��" �ح�س�ن� م�ا ي �ع�ال�ى و�م�ن� أ �ه" و�ت ان �ح� ب :ه� س" ب �ل�ى ر� �ه� إ ف�ع" ب �ش� ت �س� ه� و�ي �ف�س� ف�ي ح�ق: ن

ه" �ن� ل�� �ي ن �ح�س�� ت �يX م"س� �ب �ع"ت �ا ع�ن� ال �ن اب ح� ص��� �ر" أ ائ :ب� و�س� "و� الط�ي ب

� �ق�اض�ي أ د�ي3 و�ال �م�او�ر� )المجم��وع ال(274 / 8 شرح المهذب لالمام النووي

"Kemudian hendaknya peziarah kembali ke tempat semula seraya menghadap kearah Rasulullah Saw, bertawassul kepada beliau untuk dirinya dan meminta syafaatnya kepada Allah. Dan diantara yang paling baik untuk dibaca saat ziarah adalah bacaan dari al-Utbi sebagaimana disampaikan oleh al-Mawardi, al-Qadi Abu al-Thayyib dan seluruh ulama Syafi'iyah, mereka semua menilainya baik" (Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' VIII/274)ة� �اي��� �ح�ك ام�ل� ال ه� الش��� �اب��� �ت �اغ� ف�ي ك ب �ن� الص��� ر� ب �ص��� و� ن �ب��" �خ" أ ي �ه"م" الش��� ةF م�ن ر� ج�م�اع��� د� ذ�ك��� و�ق���اء� �م� ف�ج��� ل ه� و�س��� �ي��� �ي: ص�ل�ى الل��ه" ع�ل �ب �ر� الن �د� ق�ب ن ا ع� ��س �ت" ج�ال "ن �ي ق�ال� ك �ب �ع"ت ة� ع�ن� ال ه"و�ر� �م�ش� الو�ا �م��" �ذ� ظ�ل �ه"م� إ ن

� و� أ و�ل" } و�ل��� �ق��" م�ع�ت" الل��ه� ي و�ل� الله� س��� س" �ا ر� �ك� ي �ي �م" ع�ل ال �ي¡ ف�ق�ال� الس� اب �ع�ر� أا { ��م�� ح�ي ا ر� ��و�اب�� د"و�ا الل��ه� ت �و�ج��� و�ل" ل س��" �ه"م" الر� �غ�ف�ر� ل ت و�ا الله� و�اس� �غ�ف�ر" ت ه"م� ج�اء"و�ك� ف�اس� �ف"س� �ن أ

: �ق"و�ل" ي� أ �ش� �ن "م� أ :ي ث ب �ل�ى ر� �ك� إ ف�ع�ا ب �ش� ت �ي م"س� �ب �ذ�ن ا ل ��غ�ف�ر ت "ك� م"س� �ت ئ و�ق�د� ج�

�م" �ك �أل �ق�اع" و�ا �ه�ن� ال �ب �ع�ظ"م"ه" ... ف�ط�اب� م�ن� ط�ي �بق�اع� أ �ال �ت� ب �ر� م�ن� د"ف�ن ي �ا خ� ي

62

م" �ر� �ك �ج"و�د" و�ال �ه� ال �ع�ف�اف" و�ف�ي �ه� ال "ه" ... ف�ي �ن اك �ت� س� �ن �ر& أ �ق�ب �ف�د�اء" ل �ف�س�ي ال ن

� و�م �م� ف�ي الن��� ل ه� و�س��� �ي��� ل�ى الل��ه" ع�ل �ي� ص��� �ب �ت" الن �ي أ ر� �ي ف��� �ن �ي ع�ي �ن �ت �ب �ي3 ف�غ�ل اب �ع�ر� �أل ف� ا �ص�ر� "م� ان ثه" ر� ل�� د� غ�ف�� �ن� الل��ه� ق�� ه" أ ر� �ش��: �ي� ف�ب اب ر� �ع�� �أل ق� ا �ح��� �ل �ى ا �ب �ا ع"ت /2 )تفس�ير ابن كث��ير ف�ق�ال� ي

بصيغة الجزم واالمام 201 / 3 وتفسير الوسيط لمحمد الطنطاوي شيخ االزهر 347/ 8 الن��ووي في المجم��وع واالم��ام ابن قدام��ة المقدس��ي في 498وااليض��اح 217

والشيخ منصور البهوتي في كشاف القناع 497 / 3 والشرح الكبير 556 / 3 المغني(30 / 5 على متن االقناع

"Golongan para ulama diantaranya Ibnu al-Shabbagh dalam kitab al-Syamil, menyebutkan kisah yang masyhur dari 'Utbi. Ia berkata: Saya duduk di samping makam Rasulullah Saw, kemudian datang seorang A'rabi dan berkata: Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah. Saya mendengar bahwa Allah berfirman: ""Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Saya datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolongan kepada Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair:

"Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah iniSehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu

Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmuDisana terdapat kesucian, kemurahan dan kemulian"

Lalu A'rabi itu pergi. Kemudian saya tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Saw dan beliau berkata: Wahai 'Utbi, kejarlah si A'rabi tadi, sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya" (Tafsir Ibnu Katsir II/347, Tafsir al-Wasith karya Guru Besar al-Azhar, Muhammad al-Thanthawi III/291, al-Majmu' VIII/217 dan al-Idlah 498 karya Imam al-Nawawi, al-Mughni III/556 dan al-Syar al-Kabir III/497 karya Ibnu Qudamah al-Hanbali danKisyaf al-Qunna' V/30 karya al-Bahuti)

ة�ع�ن� �ث��� �ال �ث �م� ب ل �ه� و�س� �ي و�ل� الله� ص�ل�ى الله" ع�ل س" �ا ر� �ع�د� م�ا د�ف�ن �ي¡ ب اب �ع�ر� �ا أ �ن �ي ع�ل�يl ق�ال� ق�د�م� ع�له� م�ن� �س��� أ ا ع�ل�ى ر� ث��� �م� و�ح� ل �ه� و�س��� �ي و�ل� الله� ص�ل�ى الله" ع�ل س" �ر� ر� ه� ع�ل�ى ق�ب �ف�س� �ن م�ى ب & ف�ر� �ام �ي أان� ك� و�ك��� ا ع�ن��� �ن��� �ت� ع�ن� الل��ه� ف�و�ع�ي ك� و�و�ع�ي �ا ق�و�ل��� م�ع�ن و�ل� الله� ف�س��� س" �ا ر� �ه� ف�ق�ال� ق"ل�ت� ي اب "ر� تك� �ت��" ئ ي و�ج� �ف�س��� �م�ت" ن د� ظ�ل ة� و�ق��� �آلي��� ( ا ه"م� �ف"س� �ن �م"و�ا أ �ذ� ظ�ل �ه"م� إ ن

� �و� أ �ك� )و�ل �ي ل� الله" ع�ل �ز� �ن �م�ا أ ف�ي�ك� �ه" ق�د� غ"ف�ر� ل ن

� �ر� أ �ق�ب "و�د�ي� م�ن� ال �غ�ف�ر" ل�ي ف�ن ت �س� / 5 )تفس��ير القرط��بيت والبح��ر المحي��ط 265 1 وخالصة الوفا بأخبار دار المصطفى لعلي بن عبد الله السمهودي 694 / 3 البي حيان االندلسي

(390 / 12 وسبل الهدى والرشاد لصالحي الشامي 45/ "Dari Ali, ia berkata: Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3 hari kami menguburkan

Rasulullah Saw. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke makam Rasulullah Saw dan menaburkan debu ke kepalanya sambil berkata: Engkau berkata wahai Rasullah lalu kami mendengar perkataanmu. Engkau menerima ajaran dari Allah, dan kami menerima darimu, dan diantara yang diturunkan Allah kepadamu adalah: "Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Sungguh saya telah menganiaya diri sendiri dan saya datang kepadamu agar engkau mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu dijawab dari dalam makam Rasullah Saw bahwa: Kamu telah diampuni" (Tafsir al-Qurthubi V/250,al-Bahr al-Muhith III/694 karya Abu Hayyan, Khulashat al-Wafa I/45 karya al-Sumhudi dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XII/390 karya Shalihi al-Syami)

�ا �ن ل �ا ال��و�ق�ت" ف�و�اص��� �ن �ة� ف�ض�اق� ب �ن �م�د�ي �ال �خ� ب ي "و� الش� ب� �ي3 و�أ ان �ر� �ا و�الط�ب �ن �ت" أ "ن �م"ق�ر�ئ� ك �ن" ال ق�ال� اب

�ج"و�ع� ف�ق�ال� ل�ي و�ل� الله� ال س" �ا ر� �ر� و�ق"ل�ت" ي �ق�ب ت" ال اء� ح�ض�ر� �ان� و�قت" الع�ش� �م�ا ك �و�م� ف�ل �ك� الي ذ�ل

63

اب� �لب��� �خ� ف�ح�ض�ر� ا ي "و� الش� ب� �ا و�أ �ن �م�و�ت" ف�ق"م�ت" أ و� ال

� ق" أ ز� "و�ن� الر: �ك ن� ي� �م�ا أ �ج�ل�س� ف�إ �ي3 ا ان �ر� الط�ب

�ي: �ب �ل�ى الن "م� إ �و�ت ك �ش��� ال� ا �رF و�ق��� �ي �ث ي�ءF ك �ه�م�ا ش� �ن� ف�ي �ي �ق�ف�ت �م�ان� ب �ذ�ا م�ع�ه" غ"ال �ه" ف�إ �ا ل ن �ح� �و�ي¡ ف�ف�ت ع�ل"م� �ك �ي �ل ي�ء& إ ل� ش��� �ح�م��� �ي ب ن م�ر�

� � ف�أ �و�م "ه" ف�ي الن �ت ي� أ �م� ؟ ر� ل �ه� و�س� �ي )الحاف��ظ ال��ذهبي ص�ل�ى الله" ع�ل

/ 3 في تذكرة الحفاظ / 31 وفي سير أعالم النبالء 121 والحافظ ابن الجوزي في الوف��ا 473 (818 بأحوال المصطفى

"Ibnu al-Muqri berkata: Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz al-Thabrani dan al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga kami tidak makan sehari semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya mendatangi makam Rasulullah, lalu saya berkata: Ya Rasulallah, kami lapar. Al-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba datang laki-laki Alawi (keturunan Rasulullah Saw) di depan pintu, lalu kami membukakan pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang membawa dua keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata: Apakah kalian mengadu kepada Rasulullah Saw? Saya bermimpi Rasulullah dan menyuruhku membawa makanan untuk kalian" (Diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffadz III/121 dan Siyar A'lam al-Nubala' XXXI/473, dan oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Wafa' bi Ahwal al-Musthafa 818)

ة& �ف�اق��� ا ب �ن��� �م� و�أ ل ه� و�س��� �ي��� ل�ى الل��ه" ع�ل و�ل� الله� ص��� س" �ة� ر� �ن �ق�ط�ع" د�خ�ل�ت" م�د�ي �أل �ر� ا ي �خ� "و� ال ب� ق�ال� أ

�ي ص�ل�ى الل��ه" �ب �م�ت" ع�ل�ى الن ل �ر� و�س� �ق�ب �ل�ى ال �ق�د�م�ت" إ & م�ا ذ"ق�ت" ذ�و�اق�ا ف�ت �ام �ي ة� ا �ق�م�ت" خ�م�س� ف�أو�ل� س��" ا ر� ة� ي�� �ل��� �ي �ف"ك� الل �ا ض�ي �ن �ه"م�ا و�ق"ل�ت" أ ض�ي� الله" ع�ن �ر& و�ع"م�ر� ر� �ك �ي ب ب

� �م� و�ع�ل�ى أ ل �ه� و�س� �ي ع�لو� �ب��" �م� و�أ ل �ه� و�س��� �ي �ي� ص�ل�ى الله" ع�ل �ب � الن �ام �م�ن �ت" ف�ي ال �ي أ �ر� ف�ر� �ب �م�ن "م�ت" خ�ل�ف� ال �ت" و�ن �ح�ي �ن الله� و�ت�ه"م� ي� الل�ه" ع�ن ض�� ه� ر� �د�ي�� �ن� ي �ي ال�ب& ب �ي ط��� ب

� �ن" أ �ه� و�ع�ل�ي3 ب م�ال ر" ع�ن� ش��� ه� و�ع"م�� �ن�� �م�ي ر& ع�ن� ي �ك��� بد�ف�ع� ه� ف�� �ي��� �ن �ن� ع�ي �ي �ل�ت" ب ه� و�ق�ب �ي��� �ل و�ل" الله� ق�ال� ف�ق"م�ت" إ س" �ي ع�ل�ي¡ و�ق�ال� ق"م� ق�د� ج�اء� ر� �ن ك ف�ح�ر�

ف& ي��� غ� �ص�ف" ر� �د�ي� ن �ذ�ا ف�ي ي �ه�ت" ف�إ �ب �ت �ص�ف�ه" و�ان �ل�ت" ن �ك �ف�ا ف�أ ي غ� �ي� ر� �ل )الحاف��ظ ال��ذهبي في ت��اريخإ/ 4 والحاف��ظ ابن الج��وزي في ص��فة الص��فوة 2632 االس��الم والحاف��ظ الس��لمي طبق��ات284 (161 / 66 والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق 281 / 1 الصوفية

"Abu al-Khair al-Aqtha' berkata: Saya datang ke kota (Madinah) Rasulullah Saw dalam keadaan lapar dan saya menetap selama lima hari. Lalu saya datang ke makam Rasulullah Saw, saya mengucap salam pada Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar, dan saya berkata: Wahai Rasulullah, Saya bertamu kepadamu malam ini. Lalu saya agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Maka saya bermimpi melihat Rasulullah Saw, Abu Bakar berada di sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau dan Ali berada di depan. Lalu Ali membangunkan saya dan berkata: Bangun, Rasulullah telah datang. Saya bangun dan mencium beliau. Beliau memberi roti pada saya dan saya makan separuhnya. Saya pun terbangun, ternyata di tangan saya ada separuh roti tadi" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam 2632, Ibnu al-Jauzi dalamShifat al-Shafwah IV/284, al-Hafidz al-Sulami dalamThabaqat al-Shufiyah I/281 dan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 66/161)

�ر� �ق�ب �ل�ى ال �ت" إ & ف�ج�ئ �ام �ي �ة� أ �ث �ال �ة� ث �ن �م�د�ي �ال �ر" ج"ع�ت" ب �م"ق�ر�ي الض�ر�ي �س� ال �ف�ي �ن� ن �اس� ب �ع�ب "و� ال ب� ق�ال� أ

�ل�ى ا إ ا ف�ق"م�ت" م�ع�ه��� �ه��� �ر�ج�ل ةF ب �ي ج�ار�ي��� �ن ت �ض��� ك �ف�ا ف�ر� �ت3 ض�ع�ي "م� ب و�ل� الله� ج"ع�ت" ث س" �ا ر� ف�ق"ل�ت" يذ�ا �ه�� �ي ب ن ر� م���

� د� أ اس� ف�ق��� �ع�ب��� ا ال �ب��� ا أ "ل� ي�� �ا و�ق�ال�ت� ك م�ن ا و�س� ��م�ر "رl و�ت �ز� ب ب �ي� خ" �ل د�ار�ه�ا ف�ق�د�م�ت� إFة ر� �ي��� �ث �ى ك �م�ع�ن ذ�ا ال �ع" ف�ي ه��� ائ �و�ق��� ا و�ال �ن��� �ي �ل �ت� إ أ �ى ج"ع�ت� ف��� �م� و�م�ت ل �ه� و�س� �ي ج�د:ي ص�ل�ى الله" ع�ل

(49 / 1  )خالصة الوفا بأخبار دار المصطفى لعلي السمهوديج�د�ا2. Makam Para Ulama dan Auliya'

Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

64

و�ل" الله� ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم: س" �ه"م�ا ق�ال� ق�ال� ر� ض�ي� الله" ع�ن �اس& ر� �ن� ع�ب ع�ن� اب"م� “. رواه ابن حبان ) �ر�ك �اب ك

� �ة" م�ع� أ ك �ر� �ب �ل ( و٨/١٧٢( وأبو نعيم في “الحلية” )١٩١٢ا ( و ق��ال٦٤/٣٥/٢( و الض��ياء في “المخت��ارة” )١/٦٢الحاكم في “المس��تدرك” )

الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

�ن� م"و�س�ى �ي� ص��لىuأ �ب ن� الن� ر& و�أ �ح�ج��� �ة� ب م�ي ة� ر� �م"ق�د�س� ر�ض� ال

� �أل �ي� م�ن� ا �ن �د�ن ب: أ : ر� ق�ال�د� ن��� ق� ع� �ب� الط�ر�ي��� �ل�ى ج�ن ه" إ �ر� "م� ق�ب "ك �ت ي ر�

� �د�ه" أل ن :ي� ع� �ن �و� أ : »و�الله� ل الله عليه وسلم ق�ال��ح�م�ر�«. �ب� األ� �ي �ث �ك ال

“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

�ي3 �ب ر� الن د� ذ�ك��� ا، و�ق��� �ح�ق:ه��� � ب ام �ق�ي��� �ه�ا و�ال ت �ار� �ز�ي �ن� ل ي �ح� "و�ر� الص�ال �اب" م�ع�ر�ف�ة� ق"ب ب �ح� ت �ه� اس� و�ف�ي:د� م"و�س�ى ي �ر� الس� �ق�ب ه"و�ر&uصلى الله عليه وسلم ل �ر& م�ش� �م�ة� ه�ي� م�و�ج"و�د�ةF ف�ي� ق�ب ع�ال

�ي3 �ب ار� الن �ش��� ذ�ي� أ و� ال�� "و�ر� ه�" ذ�ك �م�� �م�و�ض�ع� ال �ن� ال ه"، و�الظ�اه�ر" أ �ر" �ه" ق�ب ن� �أ �ن� ب �آل �اس� ا �د� الن ن ع�

. �م" ال ة" و�الس� �ه� الص�ال� �ي ع�ل“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk

dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

65

و�ر� �ق"ب��" ة� ال ار� "م� ع�ن� ز�ي��� "ك �ت �ه�ي �ت" ن "ن و�ل" الل��ه� ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم : » ك س��" ال� ر� ق���( Fم� ل و�اه" م"س� و�ه�ا « ر� و�ر" ر�٧/٤٦ف�ز" ز" �ي��� و�ر� ف�ل �ق"ب��" و�ر� ال ز" �ن� ي��� اد� أ ر�

� �ة& » ف�م�ن� أ (. و�ف�ي� ر�و�اية�«. �خ�ر� �آل �ا ا ن :ر" "ذ�ك �ه�ا ت �ن ف�إ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

3و�ن� "ص�ل "و�ر�ه�م� ي �اءF ف�ي� ق"ب ي �ح� �اء" أ �ي �ب �ن �ال و�ل" الله� صلى الله عليه وسلم: »ا س" « رواهق�ال� ر�البيهقي.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’, [1]).

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:و�ل� الله� صلى الله علي��ه وس��لم س" ع"و�د& رضي الله عنه ع�ن� ر� �ن� م�س� �د� الله� ب ع�ن� ع�با م�ت3 �ن��� �ذ�ا أ إ "م� ف��� �ك رF ل �ي� خ�ي��� ات "م� و�م�م��� �ك د�ث" ل "ح��� "و�ن� و�ي د�ث "ح��� "م� ت �ك رF ل �ي� خ�ي��� ات ي��� : »ح� ق�ال�ك� ر� ذ�ل��� �ت" غ�ي��� �ي أ �ن� ر� د�ت" الل��ه� و�إ ا ح�م��� �ر ي��� �ت" خ� �ي أ �ن� ر� إ "م� ف��� "ك ال �ع�م��� ت� ع�ل�ي� أ ع"ر�ض���

"م� �ك ت" ل �غ�ف�ر� ت �س� .ا ار" �ز� �ب و�اه" ال « ر�“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa

sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:ا ��ن� ق�و�م�� و�ى م�ن� أ ر� ( م�ا ي��" ل�ف� �د� الس� ن ات� ع� �ر� �ك �م"ن ي� م�ن� ال

� �اب� )أ �ب �د�خ"ل" ف�ي� ه�ذ�ا ال � ي و�الر�ه� م�ن� و�ر� غ�ي��� و� ق"ب��"

� �ي: ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم أ �ب ر� الن � م�ن� ق�ب��� �م ال د� الس��� م�ع"و�ا ر� س���و" �ح��� ة� و�ن �ح�ر� �ي� ال �ال �ي �ر� ل �ق�ب �ذ�ان� م�ن� ال �أل م�ع"ا �س� �ان� ي �ب� ك ي �م"س� �ن� ال �د� ب ع�ي �ن� س� �ن� و�أ ي �ح� الص�الا ��ض�� �ي �ك� أ ذ�ل �ع�ظ�م" و�ك��� �ك� و�أ �ج�ل3 م�ن� ذ�ل أ �م�ر" �أل �ه� و�ا �ح�ن" ف�ي �س� م�م�ا ن �ي 3ه" ح�ق¡ ل "ل �ك� ف�ه�ذ�ا ك ذ�لد�ب� �ج��� ه� ال �ي��� �ل �ا إ ك �ي: صلى الله عليه وس��لم ف�ش��� �ب �ر� الن �ل�ى ق�ب � ج�اء� إ ج"ال �ن� ر� و�ى أ "ر� م�ا ياس" ق�ي الن��� �س��� ت �س� ج� ف�ي ر" �خ��� ن� ي

� ه"أ م"ر�� �أ �ي� ع"م�ر� ف�ي �ت �أ �ن� ي ه" أ م"ر"

� �أ آه" و�ه"و� ي م�اد�ة� ف�ر� ع�ام� الر��ي: ص�لى الل�ه �ب و� د"و�ن� الن �ه�" �م�ن ا ل �ر �ي�� �ث ع" ك �ق�� �ل" ه�ذ�ا ي �اب� و�م�ث �ب �س� م�ن� ه�ذ�ا ال �ي �ن� ه�ذ�ا ل ف�إ

ا �ر �ي��� �ث �ع� ك ائ �و�ق�� ذ�ه� ال ر�ف" م�ن� ه�� �ع�� . )الش��يخ ابن تيمي��ة، اقتض��اء الص��راطعليه وس�لم و�أ(.١/٣٧٣المستقيم

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi

66

shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:3ق�اال� ي �ف�ار�س��� ر& ال �ك��� و� ب �ب��" اد�ة� و�ا �ن" ق�ت��� ر& ب �ص��� "و� ن �ب �ا ا ن �ر� ب �خ� �ه�ق�ي3 ا �ي �ب �ر& ال �ك "و� ب �ب �ح�اف�ظ" ا و�ق�ال� ال�ا �ن �ى ح�د�ث ي �ح� "ي �ن �ى ب ي �ح� �ا ي �ن �ن" ع�ل�يl الذ3ه�ل�ي3 ح�د�ث �م" ب اه�ي �ر� �ب �ا ا �ن �ن� م�ط�ر& ح�د�ث "و� ع"م�ر� ب �ب �ا ا �ن ح�د�ثاس� ق�ح�طFف�ي� اب� الن��� �ص��� ال� ا ك& ق��� �ح& ع�ن� م�ال��� �ي� ص�ال �ب �ع�م�ش� ع�ن� ا �أل �ة� ع�ن� ا "و� م"ع�او�ي �ب ا�ي: ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم �ب ر� الن �ل�ى ق�ب��� لF ا ج��" اء� ر� اب� ف�ج��� �خ�ط��� �ن� ال ر� ب م�ن� ع"م��� ز�و�ل" الل�ه� ص�لى س�" اه" ر� �ت�� و�ا ف�أ �ك��" �ه"م� ق�د� ه�ل �ن �ك� ف�ا "م�ت �س�ق� الله� ال� ت �س� و�ل� الله� ا س" �ار� �ي ف�ق�ال�ه"م� �ن ه"م� ا ر� �خ�ب��� �م� و�ا ال :ي الس��� �ق�ر�ء�ه" م�ن �ت� ع"م�ر� ف�أ �ي � ف�ق�ال� ا �ام �م�ن الله عليه وسلم ف�ي الا ب: م�� ار� ال� ي�� ر� ف�ق�� �ر� ع"م�� ب �خ� ا ج"ل" ف�� �ى الر� �ت �س� ف�ا �ي �ك �س� ال �ي �ك �ال �ك� ب �ي �ه" ع�ل �ل ق�و�ن� و�ق"ل م"س�

. Fح� ي �ادF ص�ح� ن �س� �ه"، و�ه�ذ�ا ا "ع�ن ت � م�ا ع�ج�ز� �ال "و�ا ا ل� وق��ال٧/٩۲)الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية آ

: اس�ناده جي�د ق�وي، وروى ه�ذا الح��ديث ابن ابي خيثم�ة. انظ�ر:١/۲٣٣في جامع المس�انيد وص��ححه۲/٤٦٤ وابن عب��د ال��بر في االس��تيعاب ١/٣١٣، والخليلي في االرشاد ٣/٤٨٤االصابة

.۲/٤٩٥الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-

Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam

67

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya

H. Makam Ulama’ atau auliya’ yang sering diziarahi dengan tujuan tabarruk antara lain :

 a)  Makam Imam Abu Hanifah�ل�ى ج�ي�ء" إ

� �ف�ة� و�أ �ي ن �ي ح� ب� �أ ك" ب �ر� �ب ت

� :ي أل �ن �ق"و�ل" ا اف�ع�ي� ي م�ع�ت" الش� �م"و�ن& ق�ال� س� �ن� م�ي ع�ن� ع�ل�ي: بر�ه� �ل�ى ق�ب��� �ت" إ �ن� و�ج�ئ �ي �ع�ت ك �ت" ر� �ي ل �ذ�ا ع"ر�ض�ت� ل�ي ح�اج�ةF ص��� ا ف�إ ��ر ائ �ي ز� �ع�ن & ي �و�م "ل: ي �ر�ه� ف�ي ك ق�ب

ى "ق�ض��� �ى ت :ي ح�ت �ع"د" ع�ن �ب �د�ه� ف�م�ا ت ن �ح�اج�ة� ع� �ع�ال�ى ال �ل�ت" الله� ت أ )الحاف��ظ الخطيب البغ��دادي و�س�(519 / 2 وعبد القادر ابن ابي الوفا في طبقات الحنفية123 / 1 في تاريخ بغداد

"Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata bahwa: Saya mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah setiap hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123 dan Ibnu Abi Wafa dalam Thabaqat al-Hanafiyah II/519)

b)  Makam Yahya bin Yahya

�ي� �ب �ت" الن �ي أ ر� �د& ف��� د�ي �ت" ف�ي غ�مl ش��� "ن و�ل" ك �ق��" "و�ر�ي ي اب �س��� �ي ا ع�ل�ي: الن �ب��� م�ع�ت" أ اك�م" س��� �ح� ق�ال� ال�غ�ف�ر� ت �ى و�اس�� �ح�ي �ن� ي �ى ب ي �ح� ر� ي �ل�ى ق�ب�� �ق"و�ل" ل�ي ص�ر� إ �ه" ي ن

� �أ � ك �ام �م�ن �ه� ف�ي ال �ه� و�آل �ي ص�ل�ى الله" ع�ل�ي �ت� ح�اج�ت �ك� ف�ق"ض�ي �ح�ت" ف�ف�ع�ل�ت" ذ�ل �ص�ب "ك� ف�ا "ق�ض� ح�اج�ت ل� ت )الحافظ ابن حجر في ته��ذيب و�س�

(1756 والحافظ الذهبي في تاريخ االسالم261 / 11 التهذيب"al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata bahwa saya berada

dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya bermimpi melihat Rasulullah Saw seolah beliau berkata kepada saya: Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah ampunan dan berdolah kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya saya melakukannya dan hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI/261 dan al-Hafidz al-Dzhabi dalam Tarikh al-Islam 1756)

c) Makam Ma'ruf al-Kurkhi

ط�ر: �م"ض��� اء� ال ة� د"ع��� �ج�اب��� د" إ "ر�ي��� ب" ي ر� �م"ج��� اق" ال ي��� :ر� و�ف& الت �ر" م�ع�ر" �ي ق�ال� ق�ب ب �ح�ر� �م� ال اه�ي �ر� �ب ع�ن� إو¡ ج��" ح�ر� م�ر� �ن� ال��د3ع�اء� ف�ي ال�س��� ا أ �م��� �د�ه�ا ال��د3ع�اء" ك ن �ج�اب" ع� ت "س� �ة� ي ك �ار� �م"ب �ق�اع� ال �ب �ن� ال �د�ه" ال ن ع�

ان& ي: م�ك���� ابF ف�ي أ ط�ر: م"ج�� �م"ض�� اء" ال ل� د"ع�� اج�د� ب�� �م�س� �ات� و�ف�ي ال "و�ب �ت �م�ك "ر� ال )س��ير أعالم و�د"ب

2 وصفة الصفوة البي الفرج ابن الجوزي 404 / 13 وتاريخ اإلسالم 343 / 9 النبالء لإلمام الذهبي /324)

"Diriwayatkan dari Ibrahim al-Harabi, ia berkata: Makam Ma'ruf al-Kurkhi adalah laksana obat yang mujarab. Yang ia maksud terkabulnya doa orang yang membutuhkan di dekat makam tersebut. Sebab tempat-tempat yang diberkati diharapkan doanya terkabulkan, sebagaimana doa saat waktu sahur dan setelah salat lima waktu dan di masjid. Bahkan doa orang yang membutuhkan dikabulkan di tempat manapun" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Siyar A'lam al-Nubala' IX/343 danTarikh al-Islam XIII/404, dan Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah II/324)

68

ال� ! ق��� Fب ر� اقF م"ج��� ي��� �ر� ه" ت �ر" "و�ن� ق�ب �ق"و�ل خ�ي( و�ي "ر� �ك و�ف& ال �ي� م�ع�ر" �ه )ا ق"و�ن� ب �س� ت �س� �غ�د�اد� ي �ه�ل" ب و�أة� د�ه" م�ائ��� � ع�ن��� أ ر� ه" م�ن� ق��� �ن��� "ق�ال" أ �ج� ي �ح�و�ائ �ق�ض�اء� ال و�فF ل ه" م�ع�ر" �ر" ه�ر�ي ق�ب ح�م�ن� الز3 �د� الر� "و� ع�ب ب

� أه�ب� �ش� �ر� أ �ر" ع�ن� ق�ب "ذ�ك �ل" ه�ذ�ا ي �ه" و�م�ث ت �د" ق�ض�ى ح�اج� "ر�ي �ل� الله� م�ا ي أ �ح�دF و�س� ة& ق"ل� ه"و� الله" أ م�ر�ال" "ق��� اف�ة� م�ص�ر� ي �ق�ر� ه�د& و�اح�د& ب �ان� ف�ي م�ش� �ك& و�ه"م�ا م�د�ف"و�ن � م�ال �م�ام �إل �ي� ا � ص�اح�ب م �ق�اس� �ن� ال و�ابك� ب� ذ�ل��� ر: د� ج��" ه" و�ق��� �ب� ل��� "ج�ي ت �ة� و�د�ع�ا اس� �ل �ق�ب � ال �ال �ق�ب ت �ن� م"س� ي �ر� �ق�ب �ن� ال �ي �ذ�ا و�ق�ف� ب ه"م�ا إ �ر� ائ �ن� ز� أ�ي ل� ب ز� ر& ن��� �م��� و�ت" الل��ه� أل دF و�د�ع�� �ح�� و� الل��ه" أ ة& ق"ل� ه�" �ة� م�ر� �د�ه"م�ا م�ائ ن ت" ع�

� أ "ه"م�ا و�ق�ر� ت ر� و�ق�د� ز"ال� ز� �ه" ف��� و�ال ج"و� ز� ر�

� / 1  البن الملقن الش��افعي)طبق��ات األولي��اء أ ووفي��ات األعي��ان ألبي 47 (232 / 5 العباس شمس الدين بن خلكان

"Penduduk Baghdad meminta hujan kepada Allah dengan pelantara Ma'ruf al-Kurkhi, dan mereka berkata: Makam Ma'ruf adalah obat yang mujarab. Abdurrahman al-Zuhri berkata: Makamnya dikenal untuk terkabulnya kebutuhan. Dikatakan bahwa barangsiapa membaca al-Ikhlas 100 kali di dekat makam Ma'ruf al-Kurkhi dan meminta kepada Allah, maka Allah mengabulkannya. Begitu pula di makam Asyhab dan Ibnu Qasim, murid Imam Malik. Keduanya dimakamkan di satu tempat di Qarafah Mesir. Konon peziarahnya jika dating ke dua makam tersebut dengan menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah, maka akan dikabulkan dan sudah terbukti mujarab. Saya sudah menziarahinya dan membaca al-Ikhlas 100 kali di dekatnya, saya berdoa kepada Allah dengan harapan sesuatu yang menimpa saya hilang, dan ternyata hilang" (Ibnu al-Mulaqqin dalam Thabaqat al-Auliya' I/47 dan Ibnu Khalkan dalam Wafiyat al-A'yan V/232)

d). Makam Musa bin Ja'far al-Kadhim� �ال ه� ا ل�ت" ب��� �و�س��� �ن� ج�ع�ف�ر& ف�ت �ر� م"و�س�ى ب م�رF ف�ق�ص�د�ت" ق�ب

� �ي أ �ق"و�ل" م�ا ه�م�ن �ل� ي �خ�ال ع�ن� ع�ل�ي: ال"ح�ب3 �ع�ال�ى ل�ي م�ا أ ه�ل� الله" ت (120 / 1 )تاريخ بغداد للحافظ الخطيب البغدادي س�

"Diriwayatkan dari Ali al-Khallal (pemuka Madzhab Hanbali), ia berkata: Saya tidak pernah mengalami masalah lalu saya datang ke makam Musa bin Ja'far dan bertawassul dengannya, kecuali Allah memudahkan kepada saya hal-hal yang saya inginkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/120)

e).  Makam Ali bin Musa al-Ridla

ل� �ه�� � أ ام �م�� ع� ا ا م�� ج�ن��� و�ل" خ�ر� �ق�" ى ي �س�� �ن� ع�ي �ح�س�ن� ب �ن� ال �م"ؤ�م�ل� ب �ن� ال �ر& م"ح�م�د� ب �ك �ي ب ب� ع�ن� أ

�ذ� �ا و�ه"م� إ ن �خ� ائ �ق�ف�يX م�ع� ج�م�اع�ة& م�ن� م�ش� �ي ع�ل�ي الث ب� �ه� أ �ل �م�ة� و�ع�د�ي ي �ن� خ"ز� �ر� ب �ك �ي� ب ب

� �ث� أ �ح�د�ي ال�ت" م�ن� �ي أ ر� ال� ف��� و�س& ق��� �ط��" ى ب ض��� ى الر: �ن� م"و�س��� ر� ع�ل�ي: ب ة� ق�ب��� ار� �ل�ى ز�ي��� و�ن� إ و�اف�ر" ذ�اك� م"ت���

ا ن�� �ر� ي �ح� ا ت �د�ه�ا م�� ن ع�ه� ع� �ض�ر3 �ه�ا و�ت �و�اض"ع�ه� ل "ق�ع�ة� و�ت �ب �ل�ك� ال �ت �م�ة� ل ي �ن� خ"ز� �ى اب �ع�ن �م�ه� ي �ع�ظ�ي )ته��ذيب ت(339 / 7 التهذيب للحافظ ابن حجر

"Abu Bakar bin Muammal berkata: Kami berangkat bersama pemuka ahli hadis Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya, Abu Ali al-Tsaqafi, beserta rombongan guru kami untuk berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridla di Thus. Abu Bakar bin Muammal berkata: Saya melihat ke-ta'dzim-an belia (Ibnu Khuzaimah) terhadap makam itu dan sikap tawadlu' terhadapnya dan doa beliau yang begitu khusyu', sampai membuat kami bingung" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib VII/339)

Imam Syafii Meminum Air Cucian Jubah Imam Ahmad م��رآة الجن��ان وع�برة اليقظ�ان (400 / ص 1مختصر تاريخ دمشق البن منظ�ور- )ج

(265 / ص 1في معرفة حوادث الزمان لليافعي - )ج قال الربيع: إن الشافعي خرج إلى مصر وأنا معه فقال لي: يا ربي��ع، خ��ذ كت��ابي ه��ذا وامض به، وسلمه إلى أبي عبد الله أحمد بن حنب��ل، وائت��ني ب��الجواب. ق��ال الربي��ع:

69

فدخلت بغ��داد، ومعي الكت��اب، فلقيت أحم��د بن حنب��ل ص��الة الص��بح، فص��ليت مع��ه الفجر. فلما انفتل من المح��راب س��لمت إلي��ه الكت��اب وقلت ل��ه: ه��ذا كت��اب أخي��ك الشافعي من مصر، فقال أحمد: نظرت فيه؟ قلت: ال، فكس��ر أب��و عب��د الل��ه الختم، وقرأ الكتاب، فتغرغرت عيناه بالدموع فقلت: إيش فيه يا أبا عبد الله؟! ق��ال: ي��ذكر أنه رأى النبي صلى الله علي��ه وس��لم في الن��وم فق��ال ل��ه: اكتب إلى أبي عب��د الل��ه أحمد بن حنبل واقرأ عليه مني السالم وقل: إنك ستمتحن وتدعى إلى خل��ق الق�رآن� إلى ي��وم القيام��ة. ق�ال الربي��ع: فقلت: البش�ارة، فال تجبهم، فسيرفع الله ل�ك علم�ا فخلع أحد قميصيه الذي يلي جلده ودفعه إلي فأخذته، وخ��رجت إلى مص��ر، وأخ��ذت جواب الكتاب، فسلمته إلى الشافعي، فقال لي الشافعي: يا ربي��ع، إيش ال��ذي دف��ع إليك؟ قلت: القميص ال��ذي يلي جل��ده. ق��ال الش��افعي: ليس نفجع��ك ب��ه ولكن بل��ه

.وادفع إلي الماء ألتبرك به. وفي رواية: حتى أشركك فيهIbnu Jawzi menuturkan sebuah kisah: “bahwa pada suatau malam, Imam Syafi’Ibermimpi

bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Kesokan harinya, Imam Syafi’Imemerintahkan Rabî’- murid beliau- agar membawakan surat menemui ImamAhmad ibn Hanbal. Rabî’ bergegas pergi menuju kota Baghdad dan menyerahkansurat tersebut, setelah membacanya, Ahmad meneteskan air mata. Rabi’bertanya kepadanya, ‘Ada apa di dalamnya wahai Abu Abdillah?’ Ahmad menjawab ‘Beliau menyebut bahwa beliau melihat nabi dalam mimpi dan berkata kepadanya, ’Tulislah surat kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya! Dan katakan, ‘Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap masa hingga hari kiamat. Rabi berkata, “Aku berkata, ‘Ini kabar gembira.’ Lalu Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya kepadaku, akumengambilnya dan akupun pulang menuju negeri Mesir bersama surat jawabanAhmad. Setelah aku serahkan kepadanya, ia bertanya, ‘Apa yang ia berikankepadamu?’ Aku menjawab, ‘baju gamis yang langsung menyentuh badannya’ Syafi’I berkata kepadaku, ‘Aku tidak ingin merampasnya darimu, tapi basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga dapat mendapat berkahsepertimu. Maka, kata rabi’, ‘Aku mencucuinya, dan aku bawakan sisa aircuciannya kepadanya aku telakkan di botol, aku menyaksikan beliau setiap harimengambil sedikit air darinya dan mengusapkannya ke wajah beliau, untukmengambil keberkahan dari Ahmad ibn Hanbal. (“Manaqib Ahmad ibn Hanbal”: 455 dan “Al Bidayah wa an Nihayah”; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi)

XIVMEMPERINGATI ULANG TAHUN KELAHIRAN

Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang didakwahkan oleh para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan yang mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan sebagaimana yang disebutkan dalam bab yang telah lalu ada lagi bancaan-bancaan yang lain, di antaranya :

a. Bancakan pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.b. Bancakan pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.c. Bancakan pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.d. Bancakan pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.e. Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane bayi.f. Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.

70

Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang anaknya. Mereka menyebutnya “bancaan tiron”. Sebagian warga kita ada yang ikut-ikutan mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan upacara yang dikemas secara khusus untuk kegiatan itu.

Pertanyaan penting yang perlu dijawab sehubungan dengan masalah ini adalah :a.  Apakah ada dasar berupa dalil dari syara’ mengenai acara peringatan hari ulang tahun

kelahiran?b.  Kalau tidak ada, bagaimana hukumnya orang Islam mengadakan acara ulang tahun itu?Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap

proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam selamatan itu ada unsur-unsur kebaikan, di antaranya: menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama muslim, mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang bertentangan dengan syari’at Islam.

Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara’ mengenai peringatan ulang tahun kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Ka’ab bin Malik menerima kabar gembira dari nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahni’ah).

Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik.

Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’” juz I hal. 162 :

�ح�د& م�ن� ر� أل� �م� أ �ي�: ل �ق�م"و�ل ا ق�ال� ال �م��� ه"ر� ك �ش��� �أل � و�ا �ع�و�ام �أل �د� و�ا �ع�ي �ال �ة� ب �ئ �ه�ن �م�ا ف�ي الت �ال �ا ك �ن اب ص�ح�

� أك� اب� ع�ن� ذ�ل��� �ج��� ه" أ �ن��� �م"ق�د�س�ي: أ �ح�اف�ظ� ال �ذ�ر�ي3 ع�ن� ال �م"ن �ح�اف�ظ" ال �ق�ل� ال �ك�ن� ن �اس"، ل "ه" الن �ف�ع�ل ياب� �ج��� ةF و�أ �د�ع��� � ب ه� و�ال �ةF ف�ي��� ن � س" �احF ال �ه" م"ب ن

� اه" أ ر�� �ذ�ي� أ �ه� و�ال �ن� ف�ي �ف�ي �ل ت "و�ا م"خ� ال �ز� �م� ي �اس� ل ن� الن

� �أ بد� �ه�ق�ي� ع�ق�� �ي �ب ن� ال

� أ ه" ب�� �ج� ل�� ت و�ع�ةF و�اح� ر" �ه�ا م�ش�� ن� �أ �ك� ب �ع�ه� ع�ل�ى ذ�ل �ع�د� اط:ال �ن" ح�ج�ر& ب ه�اب" اب الش:

ا �ل� الل��ه" م�ن��� �ق�ب �د� ت �ع�ي �ع�ض& ف�ي ال �ب �ع�ض�ه�م� ل �اس� ب و�ي� ف�ي� ق�و�ل� الن �اب" م�ا ر" : ب �ا ف�ق�ال� �اب �ك� ب �ذ�ل ل"م� �ك� ث �ل� ذ�ل �ه� ف�ي� م�ث �ج3 ب ت "ح� �ك�ن� م�ج�م"و�ع"ه�ا ي �ف�ة& ل �ار& ض�ع�ي �ار& و�آث ب �خ� �ر� م�ن� أ اق� م�ا ذ"ك ، و�س� �ك� و�م�نج"و�د� �ة� س��" ي و�ع� ر" �م�ش��� ة& ب �ق�م��� �د�ف�ع" م�ن� ن �ن و� ي

� �ع�م�ة& أ �ح�د"ث" م�ن� ن �م�ا ي �ة� ب �ئ �ه�ن � الت �ع"م"و�م �ج3 ل ت "ح� ق�ال� و�يف� �خ�ل�� ا ت �م�� ه� ل �ت�� �و�ب ة� ت ك& ف�ي� ق�ص�� �ن� م�ال�� �ع�ب� ب �ن� ع�ن� ك ي �ح� ي �م�ا ف�ي الص�ح� �ة� و�ب �ع�ز�ي �ر� و�الت ك الش3�م� ل ه� و�س��� �ي��� ل�ى الل��ه" ع�ل �ي: ص��� �ب �ل�ى الن ى إ �ه� و�م�ض��� �ت �و�ب "و�ل� ت �ق�ب ر" ب "ش: �م�ا ب �ه" ل ن

� "و�ك� أ �ب و�ة� ت ع�ن� غ�ز�ه".

� �أ �د� الله� ف�ه�ن �ي �ن" ع"ب �ح�ة" ب �ه� ط�ل �ي �ل ف�ق�ام� إArtinya :“Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama

kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan atsar yang dla’if-dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang tahni’ah. Secara umum, dalil dalil tahni’ahbisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang

71

isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”.

XVKupas Tuntas Legalitas Tawassul

Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul. Masalah ini sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama sejak dahulu dan diabadikan dalam kitab-kitab mereka. Namun sayangnya, di zaman ini banyak orang jahil berfatwa di sana-sini tanpa ilmu, bahkan tak sedikit yang mengkafirkan sesama muslim secara massal karena permasalahan yang sebenarnya tidak sampai level takfir. Lalu bagaimana sebenarnya?

Tulisan ini berusaha memaparkan penjelasan secara ringkas beserta dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah beserta nukilan-nukilan perkataan para ulama Ahlussunnah tentang masalah tawassul demi menyingkap kabut yang selama ini menyelimuti akal sebagian orang.

Apa itu tawassul?Tawassul secara bahasa artinya mendekat (taqarrub) atau menjadikan sesuatu sebagai

perantara untuk mendekatkan diri ke sebuah tujuan tertentu. Secara istilah, tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Perantara itu disebut wasilah. (lihat: Lisanul ‘Arab, Asasul Balaghoh dan Tartib Qamus Al Muhith: wa-sa-la)

Firman Allah SWT:

�ح"ون� "ف�ل "م� ت �ك �ع�ل �ه� ل �يل ب �ة� و�ج�اه�د"وا ف�ي س� يل �و�س� �ه� ال �ي �ل �غ"وا إ �ت �ه� و�اب �ق"وا الل "وا ات �ذ�ين� آم�ن 3ه�ا ال ي� �ا أ ي

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 35)

Tawassul juga bisa bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara doa dari orang lain, misalnya kita mengatakan kepada seseorang, “Mohon doakan saya.” Berarti kita sedang bertawassul kepada Allah dengan doa orang itu.

Tawassul juga bisa bermakna berdoa kepada Allah secara langsung dengan menyertakan wasilah dalam doa. Wasilah itu bisa berupa hal-hal berikut ini:

1. Amal shalih, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Misalnya kita mengatakan, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan shalat, puasa dan haji yang aku lakukan, berikanlah aku kesembuhan.”

2. Nama-nama Allah yang indah (asmaul husna) dan sifat-sifatNya yang tinggi (shifatul ulya), misalnya, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nama-namaMu yang mulia dan indah dan dengan sifat-sifatMu yang agung dan tinggi, berikanlah kami hujan.”

3. Nama-nama para nabi dan orang-orang shalih terdahulu misalnya, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nabi-nabiMu yang Engkau muliakan dan orang-orang shalih yang Engkau cintai serta wali-waliMu yang Engkau istimewakan, berikanlah kami keselamatan.”

4. Arsy (kerajaan) Allah, misalnya, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan keagungan ArsyMu, berikanlah kami rezeki.”

Mengapa harus bertawassul dan apa hukumnya?Perlu diketahui bahwa bertawassul tidaklah wajib. Seandainya seseorang ingin berdoa

kepada Allah secara langsung tanpa menjadikan sesuatu apapun sebagai perantara, maka hal itu

72

tak mengapa. Namun, sebagai makhluk yang penuh dengan dosa dan kemaksiatan, kita membutuhkan perantara yang dapat mengantarkan kita kepada tujuan kita, Allah SWT. Perantara itu bisa berupa amal shalih atau doa orang shalih yang masih hidup, sehingga kita sering meminta doa dari orang-orang yang kita anggap shalih dengan harapan agar Allah berkenan mengabulkan doanya. Bukan karena kita tidak percaya diri dengan doa kita, tapi untuk lebih menguatkan doa itu agar lebih mudah diijabah oleh Allah. Hal ini lumrah dilakukan oleh setiap muslim.

Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan kita untuk mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal shalih sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika Rasulullah SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat, karena menurutnya, seseorang tak dapat selamat dari api neraka kecuali dengan keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal itu adalah wajib hukumnya. (Qa’idah Jalilah hal. 5, Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah)

Dalam Al Quran, Allah juga memuji hamba-hambaNya yang bertawassul kepadaNya.

اف"ون� �خ��� ه" و�ي ح�م�ت��� ون� ر� ج��" �ر� ب" و�ي �ق�ر� 3ه"م� أ ي� �ة� أ يل �و�س� :ه�م" ال ب �ل�ى ر� �غ"ون� إ �ت �ب �د�ع"ون� ي �ذ�ين� ي �ك� ال �ئ "ول أ

ا ��ان� م�ح�ذ"ور :ك� ك ب �ن� ع�ذ�اب� ر� �ه" إ ع�ذ�اب ”Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada

Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Israa’: 57)

Sejak zaman Nabi SAW hingga berabad-abad setelahnya, umat Islam terbiasa dengan amalan yang dinamakan tawassul tersebut tanpa ada pengingkaran dari seorang pun. Mereka terbiasa mencari-cari wasilah (perantara) yang dianggap dapat mengantarkan doa mereka kepada Allah, misalnya dengan mendatangi orang shalih yang masih hidup untuk dimintai doa, atau yang sudah mati untuk mengambil berkah kuburannya, atau bisa juga menyertakan nama-nama orang shalih dalam doa mereka, misalnya, “Ya Allah, dengan kemuliaan Fulan, kabulkanlah doa kami.”

Dalil TawassulBerikut ini dalil-dalil mengenai disyariatkannya tawassul.Tawassul Dengan Nama Allah (Asmaul Husna)Allah berfirman, “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya

dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al A’raaf: 180)

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bertawassul dengan asmaul husna.Dalam hadis riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan doa

berikut ini:يا حى يا قيوم برحمتك أستغيث

“Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), dengan rahmatMu aku memohon pertolongan.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Dhiya’. Lihat: Al Jami’ Al Kabir)

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah: أسألك بكل اسم هو لك سميت ب��ه نفس��ك أو أنزلت��ه فى كتاب��ك أو علمت��ه أح��د�ا من

خلقك أو استأثرت به فى علم الغيب عندك“(Ya Allah), aku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang

dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang Engkau turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hambaMu, atau yang Engkau istimewakan dalam

73

ilmu ghaib milikMu.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu Mas’ud. Lihat: Al Jami’ Al Kabir)

Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:من قرأ القرآن فليسأل الله به فإنه سيأتى أقوام يقرءون القرآن ويسألون به الناس

“Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta kepada manusia dengan Al Quran itu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami’ Al Kabir)

Tawassul Dengan Amal ShalihPara ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa tawassul dengan amal shalih diperbolehkan.

Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata “al-wasilah” dalam QS Al Maidah 35 dan Al Israa’: 57 dengan amal shalih.

Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih dahulu sebelum disebutkan doa:

�ق�يم� ت �م"س� اط� ال �ا الص:ر� �ع�ين" اه�د�ن ت �س� �اك� ن �ي "د" و�إ �ع�ب �اك� ن �ي إ“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon

pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,”Ayat itu memberi isyarat bahwa sebelum berdoa sebaiknya seseorang beramal shalih

telebih dahulu.Serupa dengan ayat itu ada ayat-ayat berikut ini:

�ار� �ا ع�ذ�اب� الن �ا و�ق�ن �ن "وب �ا ذ"ن �ن �ا ف�اغ�ف�ر� ل �ا آم�ن �ن �ن �ا إ �ن ب "ون� ر� �ق"ول �ذ�ين� ي ال (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman,

maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (QS. Ali Imran: 16)

ار" �ص��� �ن �ح�ن" أ ون� ن �ح�و�ار�ي��3 �ه� ق�ال� ال �ل�ى الل �ص�ار�ي إ �ن "ف�ر� ق�ال� م�ن� أ �ك �ه"م" ال �ح�س� ع�يس�ى م�ن �م�ا أ ف�لع� ا م��� �ن��� "ب �ت ول� ف�اك س��" ا الر� �ع�ن��� �ب ل�ت� و�ات ز� �ن��� �م�ا أ �ا ب �ا آم�ن �ن ب �م"ون� ر� ل �ا م"س� �ن �أ ه�د� ب �ه� و�اش� �الل �ا ب �ه� آم�ن الل

اه�د�ين� الش�Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: “Siapakah

yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)”.

Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar seorang lelaki berdoa: اللهم إنى أسألك بأنك أنت الله ال إله إال أنت األح��د الص��مد ال��ذى لم يل��د ولم يول��د

دولم يكن لك كفوا أح“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan (kesaksian) bahwa Engkau

adalah Allah, tiada tuhan selain Engkau, Tuhan Yang Tunggal dan segala sesuatu bergantung kepadaNya, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada satu pun yang setara denganNya.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda:لقد سألت الله باسمه األعظم الذى إذا سئل به أعطى وإذا دعى به أجاب

“Sungguh kau telah memohon kepada Allah dengan perantara namaNya yang paling agung, yang jika Dia diminta dengan nama itu Dia pasti memberi, dan jika dipanggil dengan nama itu Dia pasti menjawab.”(HR. Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)

74

Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar tentang tiga orang yang terjebak dalam gua juga disebutkan tawassul dengan amal shalih. Hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

Rasulullah SAW bersabda: Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan, tiba-tiba turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua yang terdapat di perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu besar dari atas gunung menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung mereka. Kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan untuk Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amal tersebut agar Allah berkenan menggeser batu besar itu. Salah seorang dari mereka berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia, seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil di mana akulah yang memelihara mereka. Setelah aku mengandangkan hewan-hewan ternakku, aku segera memerah susunya dan memulai dengan kedua orang tuaku terdahulu untuk aku minumkan sebelum anak-anakku. Suatu hari aku terlalu jauh mencari kayu (bakar) sehingga tidak dapat kembali kecuali pada sore hari di saat aku menemui kedua orang tuaku sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah susu seperti biasa lalu membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku karena tidak ingin membangunkan keduanya dari tidur namun aku pun tidak ingin meminumkan anak-anakku sebelum mereka berdua padahal mereka menjerit-jerit kelaparan di bawah telapak kakiku. Dan begitulah keadaanku bersama mereka sampai terbit fajar. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat melihat langit. Lalu Allah menciptakan sebuah celahan sehingga mereka dapat melihat langit. Yang lainnya kemudian berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku pernah mempunyai saudara seorang puteri paman yang sangat aku cintai, seperti cintanya seorang lelaki terhadap seorang wanita. Aku memohon kepadanya untuk menyerahkan dirinya tetapi ia menolak kecuali kalau aku memberikannya seratus dinar. Aku pun bersusah payah sampai berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar yang segera aku berikan kepadanya. Ketika aku telah berada di antara kedua kakinya (selangkangan) ia berkata: Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu merenggut keperawanan kecuali dengan pernikahan yang sah terlebih dahulu. Seketika itu aku pun beranjak meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka ciptakanlah sebuah celahan lagi untuk kami. Kemudian Allah pun membuat sebuah celahan lagi untuk mereka. Yang lainnya berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah enam belas ritel beras (padi). Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya, ia berkata: Berikanlah upahku! Lalu aku pun menyerahkan upahnya yang sebesar enam belas ritel beras namun ia menolaknya. Kemudian aku terus menanami padinya itu sehingga aku dapat mengumpulkan beberapa ekor sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu. Satu hari dia datang lagi kepadaku dan berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu berikut penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi kepadanya: Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapi-sapi itu berikut penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa pergi. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit celahan lagi yang tersisa. Akhirnya Allah membukakan celahan yang tersisa itu.

Tawassul Dengan Nabi SAWTawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada Nabi SAW agar

mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al Quran:

75

د"وا �و�ج��� ول" ل س��" �ه"م" الر� �غ�ف�ر� ل ت ه� و�اس��� وا الل��� �غ�ف�ر" ت ه"م� ج�اء"وك� ف�اس��� �ف"س� �ن �م"وا أ �ذ� ظ�ل �ه"م� إ ن� �و� أ و�ل

ح�يم�ا �ا ر� �و�اب �ه� ت اللSesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon

ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa’: 64)

Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut: اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحم��ة ي��ا محم��د إنى ت��وجهت ب��ك

إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى“Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu

dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)

Hadis riwayat Anas bin Malik:Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan

Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami”. Kata Anas: Demi Allah, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan”. Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)

Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau WafatPara ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika beliau masih hidup

adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat. Mayoritas (jumhur) ulama membolehkannya, di antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali, sedangkan sebagian Hanabilah tidak memperbolehkannya. Berikut ini rinciannya:

1. Pendapat MalikiyahAl Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika ditanya oleh Abu

Ja’far Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas, “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?”

Imam Malik menjawab, “Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya (Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya pemberi syafaat bagimu.”

76

Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.

2. Pendapat SyafiiyahImam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW, “Kemudian orang yang

berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada Allah.” (Al Majmu’8/274)

Izzuddin bin Abdissalam berkata, “Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia).”

As Subki berkata, “Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan meminta syafaat dengannya kepada Allah SWT.”

Dalam I’anat at Thalibin disebutkan, “Aku telah datang kepadamu dengan beristighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku.” (Lihat: Faidhul Qadir 2/134/135, I’anat at Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al Bugho)

3. Pendapat HanabilahIbnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, “Disunnahkan bagi yang memasuki masjid untuk

mendahulukan kaki kanan… kemudian anda masuk ke kubur lalu berkata… “Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Allah.”

Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.4. Pendapat HanafiyahAdapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan bertawassul

dengan Nabi SAW.Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah kubur Rasulullah

SAW, “…kemudian dia berkata pada posisinya: Assalamu’alaika ya rasulallah (salam bagimu wahai Rasulullah)… dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah dengan Hadrat NabiNya SAW.”

Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, “Kami datang dari negeri yang jauh… dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami… kemudia berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu.”

Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, “Kami telah datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat dengan NabiMu kepadaMu.”

5. Pendapat Imam SyaukaniImam Syaukani berkata, “Dan bertawassul kepada Allah dengan para nabiNya dan orang-

orang shalih.” (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani 37)6. Pendapat Ibnu TaimiahIbnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW tidak diperbolehkan,

karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam, yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan paman Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.

Munaqasyah (Adu Argumentasi)Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa’ juz 1 hal. 432 hadis no. 963 disebutkan:

77

حدثنا عمرو بن علي قال حدثنا أبو قتيب��ة ق��ال ح��دثنا عب��د ال��رحمن بن عب��د الل��ه بن درينار عن أبيه قال : س��معت ابن عم��ر يتمث��ل بش��عر أبي ط��الب وأبيض يستس��قى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة لألرامل وقال عمر بن حم��زة ح��دثنا س��الم عن أبيه ربما ذكرت قول الش��اعر وأن��ا أنظ��ر إلى وج��ه الن��بي ص��لى الل��ه علي��ه و س��لم يستسقي فما ينزل حتى يجيش كل ميزاب وأبيض يستسقى الغم��ام بوجه��ه * ثم��ال

اليتامى عصمة لألرامل وهو قول أبي طالبAbdullah bin Dinar berkata, “Saya mendengar Ibnu Umar mempresentasikan syair Abu

Thalib, ‘Semoga awan putih disiramkan dengan pertolongan wajahnya. Untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi janda janda.’”

Dari sanad yang mu’allaq dari Ibnu Umar, ia berkata, “Sering saya mengingat perkataan seorang penyair sambil saya melihat wajah Rasulullah memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan) mengalir, ‘Semoga awan putih disiramkan (dijadikan hujan dengan pertolongan) wajahnya, untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi para janda.’ Syair itu adalah perkataan Abu Thalib.”

Dari hadis di atas, jelas bahwa dahulu sebagian sahabat berdoa kepada Allah sambil membayangkan wajah Rasulullah SAW dengan harapan agar doanya dikabulkan. Ini adalah salah satu bentuk tawassul, yaitu dengan menjadikan bayangan wajah Rasulullah SAW sebagai perantara (wasilah) dikabulkannya doa.

Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa’ juz 1 hal. 342 hadis no. 946 juga disebutkan: حدثنا الحسن بن محمد قال حدثنا محمد بن عبد الله األنصاري قال حدثني أبي عبد الل��ه بن المث��نى عن ثمام��ة بن عب��د الل��ه بن أنس عن أنس : أن عم��ر بن الخط��اب رضي الله عنه كان إذا قحطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب . فق��ال اللهم إن��ا

كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال فيسقونAnas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila terjadi kemarau

panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah (perantaraan) Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu selalu bertawassul dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan hujan. Sesungguhnya kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” Anas berkata, “Lalu mereka diberi hujan.”

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar: ليس في قول عمر أنهم كانوا يتوسلون به داللة على أنهم س��ألوه أن يستس��قى لهم إذ يحتمل أن يكونوا في الحالين طلبوا الس�قيا من الل�ه مستش�فعين ب�ه ص�لى الل�ه عليه و سلم وقال بن رشيد يحتمل أن يكون أراد بالترجمة االستدالل بطري��ق األولى

ألنهم إذا كانوا يسألون الله به فيسقيهم فأحرى أن يقدموه للسؤال انتهى“Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul (mengambil perantara) dengan

Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara. Ibnu Rusyaid berkata, “Mungkin yang dimaksud oleh penulis (Imam Bukhari) dalam menulis judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan metode Al-Awla. Artinya, jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan.” (Fathul Bari 2/495)

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya mudah dikabulkan. Beliau menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas dalam doanya. Ini juga merupakan salah satu bentuk tawassul, yaitu menyertakan nama orang shalih dalam doa.

Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah binti Asad:

78

اغفر ألمى فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها م��دخلها بح��ق نبي��ك واألنبي��اءالذين من قبلى

Ampunilah“ فإن��ك أرحم ال��راحمين dosa ibuku, Fathimah binti Asad, bimbinglah dia mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya, dengan perantara hak NabiMu dan para Nabi yang sebelumku, sesungguhnya Engkau Yang Paling Pemurah.” (HR. Thabrani dan Abu Nuaim, di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi shahih)

Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan: حدثنا محمد بن سعيد بن يزيد بن إبراهيم التستري . حدثنا الفض��ل بن الموف��ق أب��و

: – ق��ال رس��ول الل��ه الجهم . حدثنا فضيل بن مرزوق عن أبو س��عيد الخ��دري ق��ال صلى الله عليه و سلم ) من خرج من بيته إلى الصالة فقال اللهم إني أس��ألك بح��ق السائلين عليك وأسألك بحق ممشاي هذا . فإني لم أخرج أشرا وال بطرا وال رياء وال سمعة . وخرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك . فأسألك أن تعي��ذني من الن��ار وأن تغفر لي ذنوبي . إنه ال يغفر الذنوب إال أنت – أقبل الل��ه علي��ه بوجه��ه واس��تغفر ل��ه سبعون ألف ملك ( في الزائد هذا إسناده مسلسل بالض�عفاء . عطي�ة وه�و الع�وفي وفض��يل بن م��رزوق والفض��ل بن الموف�ق كلهم ض�عفاء . لكن رواه ابن خزيم�ة في

صحيحه من طريق فضيل بن مرزوق فهو صحيح عندهArtinya:“Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa keluar dari

rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku memintamu dengan perantara orang-orang yang meminta dan dengan perantara hewan-hewan ternak ini…dst.”

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3 hal. 21 hadis no. 11172: حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا فضيل بن مرزوق عن عطية الع��وفي عن أبي سعيد الخدري فقلت لفضيل رفعه قال أحسبه قد رفع�ه ق�ال : من ق�ال حين يخ�رج إلى الصالة اللهم اني أسألك بحق الس��ائلين علي��ك وبح��ق ممش��اي ف��إني لم أخ��رج أشرا وال بطرا وال رياء وال سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغ��اء مرض��اتك أس��ألك ان تنقذني من النار وان تغفر لي ذنوبي انه ال يغفر الذنوب اال أنت وكل الله به س��بعين

ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتى يفرغ من صالتهDari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat mulia, yaitu Abu Said Al

Khudri bertawassul dengan manusia dan hewan-hewan ternak sebagai perantara dikabulkannya doa.

Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk membaca doa berikut ini: اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه ب��ك إلى الله أن يقضي حاجتي أو حاجتي إلى فالن أو ح��اجتي في ك��ذا وك��ذا اللهم ش��فع في

نبيي وشفعني في نفسي“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku

kepadaMu dengan Nabiku Muhammad, Nabiyur Rahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Allah denganmu, supaya mengabulkan hajatku atau hajatku kepada Fulan atau hajatku dalam urusan ini dan itu…dst.”

Hadis di atas diriwayatkan oleh:1. Imam Bukhari dalam Tarikh Kabirnya secara ringkas.2. Imam Tirmidzi dalam Jaminya lalu beliau berkomentar, “Ini adalah hadis shahih

gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini”. Syaikh Albani juga menshahihkannya.

79

3. Ibnu Majah dalam Bab Shalat Hajat dari Sunnah-Sunnahnya dan dishahihkan oleh Abu Ishaq. Syaikh Albani juga menshahihkannya.

4. Imam Nasai dalam kitabnya, Amalul Yaumi wal Lailah.5. Imam Abu Nuaim dalam kitabnya, Ma’rifatus Shahabah.6. Imam Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah.7. dll.Hadis ini dishahihkan oleh sejumlah huffazh yang setidaknya jumlah mereka mencapai 15

orang, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari dalam kitabnya Muhiqqu At Taqawwul. Mereka adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thabrani, Abu Nuaim, Al Baihaqi, Al Mundziri, dll. Bagi yang ingin meneliti sanad hadis ini silahkan baca buku yang saya tunjukkan tersebut.

Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah mengajarkan doa yang berisi tawassul kepada beliau. Mengkhususkan doa tersebut untuk sebelum Rasulullah SAW meninggal merupakan pengkhususan tanpa dalil.

Dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis dari Abu Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya,Dalailun Nubuwwah: وأخرج أبو نعيم في الدالئل من طريق عطاء والضحاك عن ابن عب��اس ق��ال : ك��انت يهود بني قريظة والنضير من قبل أن يبعث محمد صلى الله عليه و سلم يستفتحون الله يدعون على الذين كفروا ويقول�ون : اللهم إن��ا نستنص��رك بح��ق الن��بي األمي إالنصرتنا عليهم فينصرون فلما جاءهم ما عرفوا يريد محمدا ولم يشكوا فيه كفروا به

Ibnu Abbas berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan (perantara) kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap mereka.” Lalu mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka ketahui itu, yakni Muhammad, telah datang, mereka ingkar…”

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab yang sama: وأخرج أبو نعيم في الدالئل من طريق الكل��بي عن أبي ص��الح عن ابن عب��اس ق��ال : كان يهود أهل المدينة قبل قدوم النبي صلى الل��ه علي��ه و س��لم إذا ق��اتلوا من يليهم من مشركي العرب من أسد وغطفان وجهينة وعذرة يستفتحون عليهم ويستنصرون يدعون عليهم باسم نبي الله فيقولون : اللهم ربنا انصرنا عليهم باسم نبيك وبكتاب��ك

الذي تنزل عليه الذي وعدتنا إنك باعثه في آخر الزمانHadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal 298 hadis no. 3042:

أخبرني الشيخ أبو بكر بن إسحاق أنبأ محمد بن أيوب ثنا يوسف بن موس��ى ثن��ا عب��د الملك بن ه��ارون بن عن��ترة عن أبي��ه عن ج��ده عن س��عيد بن جب��ير عن ابن عب��اس رضي الله عنهما قال : كانت يهود خيبر تقاتل غطفان فكلما التقوا هزمت يهود خيبر فعاذت اليهود بهذا الدعاء : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي األمي الذي وع��دتنا أن تخرجه لنا في آخر الزمان أال نصرتنا عليهم قال : فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا ال��دعاء فهزموا غطفان فلما بعث النبي صلى الله عليه و سلم كف�روا ب��ه ف�أنزل الل��ه و ق�د ك�انوا يس�تفتحون ب�ك ي�ا محم�د على الك�افرين ] [ أدت الض�رورة إلى إخراج�ه في التفسير و هو غريب من حديثه تعليق الذهبي قي التلخيص : ال ض��رورة في ذل��ك أي

إلخراجه فعبدالله متروك هالك

80

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 1 hal 461 hadis no. 411: أخبرنا محمد بن عبد الله الحافظ قال : أخبرني أب��و بك��ر بن إس��حاق ق��ال : أخبرن��ا محمد بن أيوب قال : أخبرنا يوسف بن موسى قال : أخبرنا عب��د المل��ك بن ه��ارون بن عنترة ، عن أبيه ، عن جده ، عن سعيد بن جبير ، عن ابن عباس ق��ال : » ك��انت يهود خيبر تقاتل غطفان ، فكلم��ا التق��وا ه��زمت يه��ود خي��بر ، فع��اذت اليه��ود ، به��ذا الدعاء ، فقالت : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي األمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا في آخر الزمان إال نصرتنا عليهم . قال : فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا الدعاء ، فهزم��وا غطفان . فلم�ا بعث الن�بي ص�لى الل�ه علي�ه وس�لم كف�روا ب�ه ، ف�أنزل الل�ه تب�ارك

( يعني ب��ك ي��ا محم��د على ال��ذين كف��روا إلى1وتعالى : وكانوا من قبل يستفتحون )قوله : فلعنة الله على الكافرين « وروي معناه أيضا ، عن عطية ، عن ابن عباس

Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no. 2974 disebutkan: أخبرنا أبو نصر بن قتادة ، وأبو بكر الفارسي قاال : أخبرنا أبو عمرو بن مطر ، أخبرنا أبو بكر بن علي الذهلي ، أخبرنا يحيى ، أخبرنا أب��و معاوي��ة ، عن األعمش ، عن أبي صالح ، عن مالك قال : أصاب الناس قحط في زمان عمر بن الخطاب ؛ فجاء رج��ل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فق��ال : ي��ا رس��ول الل��ه ، استس��ق الل��ه ألمت��ك فإنهم قد هلكوا ؛ فأتاه رسول الله ص��لى الل��ه علي��ه وس��لم في المن��ام ؛ فق��ال ائت عمر فأقرئه السالم ، وأخبره أنكم مسقون . وقل له : علي��ك الكيس الكيس . ف��أتى

الرجل عمر ، فأخبره ، فبكى عمر ثم قال : يا رب ما آلو إال ما عجزت عنهMalik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu

datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa: “Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa.” Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, “Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst.” lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, “Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.”

Al Hafizh Ibnu Katsir menshahihkan hadis ini dalam kitabnya, Al Bidayah wan Nihayah juz 7 hal. 105, beliau berkata:

.وهذا إسناد صحيح

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 hal. 236 hadis no. 32002: حدثنا أبو معاوية عن األعمش عن أبي صالح عن مالك الدار ق��ال وك��ان خ��ازن عم��ر على الطعام قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر الن��بي ص��لى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق ألمتك ف��إنهم ق��د هلك��وا ف��أتي الرج��ل في المنام فقيل له إئت عمر فأقرئه السالم وأخبره أنكم مس��قيون وق��ل ل��ه علي��ك الكيس علي��ك الكيس ف��أتى عم��ر ف��أخبره فبكى عم��ر ثم ق��ال ي��ا رب ال آل��و إال م��ا

عجزت عنهAl Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani juga menshahihkan hadis ini dalam Fathul Bari juz 2

hal. 495, beliau berkata: وروى بن أبي شيبة بإسناد ص��حيح من رواي��ة أبي ص��الح الس��مان عن مال��ك ال��داري وكان خازن عمر قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فج��اء رج��ل إلى ق��بر الن��بي

81

“Sanad hadis ini shahih.”

صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الل�ه استس�ق المت�ك ف�إنهم ق�د هلك�وا ف�أتىالرجل في المنام فقيل له ائت عمر الحديث

“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar…dst.”

Hadis ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Tarikh Kabir, secara ringkas.

Tawassul Salafus ShalihSebagian orang mengira bahwa tawassul tidak pernah dicontohkan oleh para salafus shalih.

Berikut ini beberapa nukilan tentang tawassul salafus shalih.Imam Syafii Bertabarruk di kuburan Imam Abu HanifahDalam kitab Tarikh Baghdad karangan Al Khathib Al Baghdadi yang sangat populer itu,

disebutkan dengan sanad shahih bahwa Imam Syafii sering datang ke kuburan Imam Abu Hanifah untuk mengambil berkahnya (tabarruk). Berikut ini teksnya: وبالجانب الشرقي مقبرة الخ��يزران فيه��ا ق��بر محم��د بن إس��حاق بن يس��ار ص��احب السيرة وقبر أبي حنيفة النعمان بن ثابت إمام أصحاب الرأي أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عم��ر بن إب��راهيم المق��رئ ق��ال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم ق�ال نبأن��ا علي بن ميم�ون قال سمعت الشافعي يقول اني ألتبرك بأبي حنيف��ة وأجيء إلى ق��بره في ك��ل ي��وم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تع��الى

الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى“Di sebelah timur terdapat kuburan Al Khaizuran,  di dalamnya terdapat kuburan

Muhammad bin Ishaq penulis Sirah, dan kuburan Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Imamnya ahli ra’yi… Ali bin Maimun berkata: Saya pernah mendengar Asy Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar mengambil berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah, aku datang ke kuburannya setiap hari, yakni sebagai peziarah, jika aku memiliki keinginan (hajat) aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian biasanya dipenuhi hajatku.” (Tarikh Baghdad 1/123)

Dalam kitab yang sama juga disebutkan: باب: ما ذكر في مقابر بغداد المخصوصة بالعلماء والزه��اد بالج��انب الغ��ربي في أعال المدينة مقابر قريش دفن بها موس��ى بن جعف��ر بن محم��د بن علي بن الحس��ين بن علي بن أبي طالب وجماعة من األفاضل معه أخبرنا القاضي أبو محم��د الحس��ن بن الحس��ين بن محم��د بن رامين اإلس��تراباذي ق��ال أنبأن��ا أحم��د بن جعف��ر بن حم��دان القطيعي ق��ال س��معت الحس��ن بن إب��راهيم أب��ا علي الخالل يق��ول م��ا هم��ني أم��ر

فقصدت قبر موسى بن جعفر فتوسلت به اال سهل الله تعالى لي ما أحبBab: Berita tentang kuburan-kuburan Baghdad yang dikhususkan untuk para ulama dan

ahli zuhud di sebelah Barat. Di puncak kota terdapat kuburan-kuburan Quraisy. Di dalamnya dimakamkan Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan sejumlah tokoh-tokoh pembesar bersamanya… Ahmad bin Ja’far bin Hamdan Al Qathi’I berkata: Aku pernah mendengar Al Hasan bin Ibrahim Abu Ali Al Khilal berkata: Tak pernah aku ditimpa kesusahan kemudian aku mendatangi kuburan Musa bin Ja’far lalu aku bertawassul dengannya kecuali Allah memudahkan apa yang aku inginkan.” (Tarikh Baghdad 1/120)

Dalam Manasik Imam Ahmad riwayat Abu Bakr Al Maruzi juga disebutkan tawassul dengan Nabi SAW. Redaksi tawassul itu disebutkan oleh Abul Wafa’ bin Aqil, salah seorang pembesar ulama mazhab Hambali secara panjang lebar dalam kitab Tadzkirohnya. Al Hafizh Abdul Ghaniy Al Maqdisi juga pernah mengusap kuburan Imam Ahmad demi memperoleh

82

kesembuhannya. Dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah bahwa tawassul dengan orang mati sudah dipraktekkan oleh kaum muslimin sejak dahulu kala tanpa ada pengingkaran dari seorangpun. Apakah kita berani memvonis mereka semua kafir, syirik, penyembah berhala dan kubur?

Syubhat dan JawabannyaBerikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak bolehSebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan orang mati sebagai

penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka membedakan antara tawassul dengan orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Mereka lalu menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas, tegas dan lugas menyebutkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran yang kuat kecuali hadis Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya dengan penafsiran yang kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut dengan penakwilan yang tidak pada tempatnya.

Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah meninggal dunia. Ini adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita jelaskan nanti. Adapun penakwilan mereka adalah, menakwilkan perkataan Umar, “Dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami” dan “Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami”, mereka menyisipkan tambahan kata yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata “doa” sehingga bunyi perkataan Umar menjadi, “Dahulu kami bertawassul dengan (doa) Nabi SAW” dan “Sekarang kami bertawassul dengan (doa) paman Nabi”. Jadi, mereka menganggap bahwa Umar bertawassul dengan doa Nabi dan doa Abbas, bukan dengan zat mereka berdua.

Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas dikarenakan Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag tak berdasarkan dalil, karena kata “kunna” (dahulu kami selalu) bermakna “istimrar” (berkelanjutan), artinya dahulu mereka selalu bertawassul dengan Nabi, baik sebelum meninggal maupun setelah meniggal. Kemudian baru ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah), mereka memanggil paman Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena peristiwa tersebut terjadi pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna “dahulu kami selalu” dengan “dahulu (sebelum mati) kami selalu” merupakan pengkhususan tanpa dalil. Jadi, tidak ada penunjukkan sama sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh para sahabat hanya ketika Nabi belum meninggal saja.

Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang yang lebih rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang lebih tinggi kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian, Umar tetap menyebutkan nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru kemudian menyebutkan nama paman Nabi setelah itu. Itulah maksud perkataan Ibnu Rusyaid, “Jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan.”

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh kedudukan Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga bertawassul dengannya sama dengan bertawassul dengan Nabi sendiri.

Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan Abbas di situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan batil. Karena tawassul tidak selalu bermakna memohon doa. Memang adakalanya seseorang memohon doa kepada orang lain untuk dirinya, tapi ini bukan satu-satunya makna tawassul sebenarnya. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari hadis di atas beliau berkata, “Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk

83

berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara.”

Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan zat Nabi dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan makna tawassul hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.

Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.

Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.

Syubhat ketiga: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.

Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu disebut majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika memang majhul, tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan sanadnya.

Syubhat keempat: Bertawassul dengan orang mati merupakan perbuatan orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam QS Az Zumar: 3.

Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Sesungguhnya yang telah menggiring mereka (musyrikin) ke arah penyembahan berhala itu adalah karena mereka menjadikan berhala-berhala yang diukir serupa malaikat –menurut keyakinan mereka, sebagai sesembahan, mereka menyembah berhala-berhala itu sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar para malaikat itu dapat menolong mereka di sisi Allah nanti.”

Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal orang musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga menyembah malaikat yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang dinamakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesembahan lain. Berbeda dengan tawassul, orang yang bertawassul memohon kepada Allah dengan menjadikan benda lain sebagai perantara. Oleh karena itu, Umar mengawali doanya dengan kata, “Ya Allah.”

Lalu apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir?Mari kita simak nasihat Ibnu Taimiah. Setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam

masalah ini beliau berkata:Fة� �ل أ ذ�ه� م�س��� �ن� ه��� �ف�ير�ه� ف�إ �ك �ت �ف�ر� و�ال� و�ج�ه� ل و�ل� ف�ق�د� ك

� �ق�و�ل� األ� �ال �ح�دF : إن� م�ن� ق�ال� ب �ق"ل� أ �م� ي و�ل�ة ور� ر" �م� م�ن� ال��د:ين� ض��� ا ع"ل �ار� م��� �ك �ن �إ "ون" ب �ك �م�ا ي "ف�ر" إن �ك ة� و�ال �ة� ظ�اه�ر� �ي ل "ه�ا ج� �ت د�ل

� �س�ت� أ �ي �ةF ل خ�ف�يع" ر� "ش��� ا ي اس� ف�يم��� ف" الن��� �ال� ت �ك� . و�اخ� �ح�و� ذ�ل �ه�ا و�ن �ي �م"ج�م�ع� ع�ل ة� و�ال �ر� �و�ات �م"ت � ال �ام �ح�ك �ار� األ� �ك �ن �إ و� ب

� أو� م�ن� �س� ه��" �ي �ح� ؛ و�ل �د� الذ�ب ن �ه� ع� �ي ة" ع�ل ع" الص�ال� ر� "ش� ف�ه�م� ه�ل� ت �ال� ت �اخ� ع" ك ر� "ش� م�ن� الد3ع�اء� و�م�ا ال� يذ�ي ل� ال��� �و�س��3 �ف�ى الت ال� : إن� م�ن� ن ا م�ن� ق��� م���

� �م�ين� . و�أ ل �م"س� �ح�د& م�ن� ال �د� أ ن �ل� الس�ب: ع� ائ م�س�ظ�ه�ر" م�ن�

� أ �ه� ف��� �ال م�ث� �خ� ع�ز: الد:ين� و�أ ي �ق�و�ل� الش� �ف�ير" م�ن� ق�ال� ب �ك �ف�ر� و�ت �ر�ه� ك �غ�ي �ة� ب �غ�اث ت م�اه" اس� س�

ة� �ع"ق"وب�� �ي�ظ� ال �ح�ق3 م�ن� غ�ل ت �س�� ور� ي "م�" ذ�ه� األ� ل� ه�� �م�ث��� ر" ب �ف�: �م"ك ل� ال و�اب& ؛ ب�� اج� إل�ى ج�� ت��� �ح� �ن� ي أل�ى �ي: ص��� �ب و�ل� الن ع� ق��� �م�ا م��� ي �ر�ين� ع�ل�ى ال��د:ين� ال� س��� �م"ف�ت "ه" م�ن� ال �ال م�ث

� �ح�ق3ه" أ ت �س� �ع�ز�ير� م�ا ي و�الت�ح�د"ه"م�ا �ه�ا أ �اء� ب �اف�رF ف�ق�د� ب �خ�يه� : ك �م� } م�ن� ق�ال� أل� ل �ه� و�س� �ي �ه" ع�ل {الل

“Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini adalah masalah khilafiyah,

84

dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum (diketahui) merupakan bagian dari agama secara pasti atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma’) atau semisal itu.” (Majmu’ Fatawa 1/106)

Analisa Hadis Malik Ad Dar Tentang TawassulNaskah Hadis

حدثنا أبو معاوية عن األعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال وكان خ��ازن عم��ر على الطعام قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر الن��بي ص��لى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق ألمتك ف��إنهم ق��د هلك��وا ف��أتي الرج��ل في المنام فقيل له إئت عمر فأقرئه السالم وأخبره أنكم مس��قيون وق��ل ل��ه علي��ك الكيس علي��ك الكيس ف��أتى عم��ر ف��أخبره فبكى عم��ر ثم ق��ال ي��ا رب ال آل��و إال م��ا

عجزت عنهTelah mengabarkan kami Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad

Dar ia berkata –ia dahulu adalah bendahara Umar untuk urusan logistik, ia berkata:

Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kuburan Nabi SAW lalu berdoa: “Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa.” Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, “Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian bersikap bijaksana, hendaknya kalian bersikap bijaksana.” Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, “Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.”

Studi SanadHadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (6/236 no. 32002),

Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah (8/91 no. 2974) dan Al Khaliliy dalam Al Irsyad (1/313-314). Tentang riwayat Al Baihaqi, Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/105) berkata, “Sanad hadis ini shahih.” Sedangkan tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/495) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar.” Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir (7/204 no. 1295) meriwayatkan dari Malik bin ‘Iyadh bagian akhir hadis ini, yaitu perkataan Umar, “Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.”

Kesimpulan HukumPara ulama bersepakat mengenai bolehnya bertawassul dengan Nabi SAW, baik ketika

beliau masih hidup maupun setelah wafat berdasarkan atsar di atas dan hadis-hadis lainnya. Baca: “Kupas Tuntas Masalah Tawassul”

Syubhat Beserta JawabannyaBerikut ini syubhat-syubhat yang beredar tentang hadis Malik Ad Dar beserta jawabannya.Syubhat pertama: Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi mudallis bernama Al A’masy

dan dia meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal “an” (dari). Padahal, seorang mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika ia berkata “haddatsana” (ia telah memberitahu kami), “akhbarona” (ia telah mengabarkan kami) dan semisalnya, bukan “qola” (ia telah berkata) atau “an” (dari), karena kemungkinan ia mengambil hadis itu dari perawi dhaif sehingga dapat menjadikan hadis itu menjadi lemah sebagaimana telah maklum dalam Mustholahul Hadis.

Jawaban: Benar bahwa Al A’masy adalah seorang mudallis. Akan tetapi, tidak semua ‘an’anahnya ditolak. ‘An’anah Al A’masy dari Abu Shalih diterima dan dianggap muttashil oleh para ulama. Ini adalah satu kekhususan dan keistimewaan ‘an’anah Al A’masy dari Abu Shalih. Oleh karena itu, Imam Bukhari memasukkannya dalam Shahihnya.

85

Syubhat kedua: Tidak diketahui apakah Abu Shalih pernah mendengar hadis dari Malik Ad Dar atau tidak, karena Malik Ad Dar tidak diketahui kapan tahun wafatnya.

Jawaban: Pernyataan tersebut keliru, sebab penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar telah diketahui oleh para ahli hadis. Al Khalili berkata, “Dikatakan bahwasannya Abu Shalih As Sammaan telah mendengar hadis ini dari Malik Ad Dar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya.” (Al Irsyaad: 1/313). Pernyataan Al Khalili tersebut jelas menunjukkan bahwa penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar adalah ma’ruf dan tidak diragukan lagi. Yang diragukan adalah penyimakannya tentang hadis ini, bukan penyimakan secara umum dalam hadis-hadis lain. Perhatikan kata “hadis ini” dalam pernyataan Al Khalili di atas, kata tersebut mengkhususkan keumuman penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar dalam hadis-hadis lain. Lagipula, Abu Shalih bukan seorang mudallis yang suka mengecoh orang lain dengan kata “an” untuk hadis yang tidak ia dengar, sebagaimana kebiasaan para mudallisin.

Syubhat ketiga: Abu Shalih membawakannya dengan ‘an’anah, sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi’).

Jawaban: Pernyataan itu juga keliru. Kemungkinan terputus itu sangat kecil bahkan mendekati nol, karena Abu Shalih bukan seorang mudallis. Riwayat ‘an’anah dipermasalahkan jika berasal dari perawi yang mudallis. Jadi ‘an’anah Abu Shalih diterima dan dianggap muttashil karena Abu Shalih tsiqoh. Imam Bukhari juga memasukkan ‘an’anah Abu Shalih ke dalam Shahihnya sebagaimana ‘an’anah Al A’masy dari Abu Shalih.

Syubhat keempat: Orang yang mendatangi kubur Nabi SAW itu tidak diketahui identitasnya (mubham).

Jawaban: Kemubhaman orang tersebut tidak berpengaruh apa-apa, karena yang menjadi hujjah adalah sikap (taqrir) Umar. Beliau tidak mengingkari perbuatan lelaki tersebut. Seandainya perbuatan itu keliru, pasti Umar sudah mengingkarinya.

Syubhat kelima: Malik Ad Dar bukan termasuk sahabat.Jawaban: Tidak berpengaruh apakah dia sahabat atau bukan, karena yang menjadi hujjah

adalah sikap Umar terhadap perbuatan orang yang menemuinya itu.Syubhat keenam: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad Dar mungkar

karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.Jawabnya: Memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya,

namun bukan berarti tambahan itu tidak ada atau mungkar. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.

Syubhan ketujuh: Ibnu Hajar tidak menshahihkan sanad hadis itu secara keseluruhan, melainkan hanya sampai Abu Shalih saja.

Jawaban: Ini adalah sebuah kecerobohan dan tuduhan yang tidak benar terhadap Ibnu Hajar. Pernyataan Ibnu Hajar diselewengkan dari makna sebenarnya. Seandainya sanad itu hanya shahih sampai Abu Shalih saja, pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti ini, “… dengan sanad shahih sampai Abu Shalih,” bukan “… dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih.” Kata “dari riwayat” hanyalah penjelasan mengenai sumber riwayat itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai Abu Shalih saja. Berbeda dengan kata “sampai” yang menunjukkan pembatasan. Hal itu maklum diketahui oleh siapapun yang pernah membaca Fathul Bari secara keseluruhan dan mengamati istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Hajar di dalamnya.

Syubhat kedelapan: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi dan tidak diketahui kejujuran dan kekuatan hafalannya.

86

Jawabnya: Tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu disebut majhul. Ketidaktahuan bukan tanda ketiadaan mutlak. Ketidaktahuan seseorang dikalahkan oleh pengetahuan orang lain. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Mengenai kejujurannya, dua di antara Khulafaurrasyidin, yaitu Khalifah Umar dan Ustman, telah mempercayainya sebagai bendahara logistik. Sungguh keterlaluan jika ada orang yang meragukan sosok yang dipercaya

Analisa: Hadis Utsman bin Hunaif Tentang TawassulPermasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat menjadi perdebatan

panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Jumhur ulama membolehkannya, Ibnu Taimiah melarang sebagian dan membolehkan sebagian, sedangkan Al Albani melarang seluruhnya. Masing-masing pendukung membela pendapatnya serta melemahkan pendapat lainnya.

Salah satu dalil yang membolehkan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif tentang seorang buta yang mendatangi Nabi SAW untuk minta didoakan, kemudian Nabi SAW mendoakan untuknya dan akhirnya ia bisa melihat. Dalam lafal doa tersebut terdapat tuntunan bertawassul dengan Nabi SAW. Dalil kedua lebih tegas lagi, hadis yang juga diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif setelah Nabi SAW wafat tentang seorang lelaki yang mendatangi Utsman bin Affan untuk suatu keperluan namun ia diabaikan, setelah itu ia mendatangi Utsman bin Hunaif (perawi hadis), kemudian oleh Utsman bin Hunaif, lelaki itu diberi saran untuk melakukan amalan yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada orang buta, lalu keinginan lelaki itu pun terkabul, hadis ini menjadi dalil terkuat bagi pendapat yang membolehkan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat, dengan alasan bahwa hadis itu diriwayatkan setelah Nabi SAW wafat dan yang meriwayatkannya adalah perawi yang sama dengan hadis pertama yang disepakati kesahihannya oleh kedua belah pihak. Namun, dalil kedua ini dipermasalahkan kesahihannya oleh Al Albani, kendatipun sejatinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, sebab hadis itu juga disahihkan oleh salah seorang perawinya sebagaimana akan kita bahas.

Berikut ini penjelasan mengenai kedua hadis di atas beserta takhrij dan statusnya. Semoga dengan penjelasan ini kita dapat melihat permasalahan ini dengan jernih, objektif dan jauh dari fanatisme kelompok tertentu. Selamat membaca.

Hadis ke-1Naskah HadisRedaksi dalam Musnad Ahmad:

ال� �م� ف�ق��� ل ه� و�س��� �ي��� ه" ع�ل �ي� ص�ل�ى الل��� �ب �ى الن �ت �ص�ر� أ �ب ج"ال� ض�ر�ير� ال �ن� ر� �ف& أ �ي ن �ن� ح" �م�ان� ب ع�ن� ع"ثال� رF ف�ق��� و� خ�ي��� ت" ذ�اك� ف�ه��" �خ�ر� �ت� أ ئ �ن� ش� �ك� و�إ �ت� د�ع�و�ت" ل ئ �ن� ش� �ي ق�ال� إ �ن "ع�اف�ي �ن� ي �ه� أ اد�ع" الل:ي �ن �ه"م� إ ذ�ا ال��د3ع�اء� الل �ه��� �د�ع"و� ب �ن� و�ي �ي �ع�ت ك "ص�ل:ي� ر� "ح�س�ن� و"ض"وء�ه" ف�ي ف�ي

� �و�ض�أ �ت ن� ي� ه" أ م�ر�

� اد�ع"ه" ف�أ:ي ف�ي ب �ل�ى ر� ك� إ و�ج�ه�ت" ب��� :ي ت��� �ن �ا م"ح�م�د" إ ح�م�ة� ي �ي: الر� �ب :ك� م"ح�م�د& ن �ي �ب �ن �ك� ب �ي �ل �و�ج�ه" إ ت

� "ك� و�أ �ل أ س�� أ

ف:ع�ه" ف�ي� �ه"م� ش���������������� ي ل�ي الل �ق�ض���������������� ذ�ه� ف�ت �ي ه���������������� اج�ت ح�����������������ي� �ب ا ن ال� ي��� �م� ف�ق��� ل ه� و�س��� �ي��� �ه" ع�ل �ي� ص�ل�ى الل �ب �ى الن �ت ا أ �ج"ال� ض�ر�ير �ن� ر� �ف& أ �ي ن �ن� ح" �م�ان� ب ع�ن� ع"ث�ت� ئ �ن� ش��� ك� و�إ ت��� خ�ر� ل" آل� �ف�ض��� و� أ �ك� ف�ه��" ت" ذ�ل �خ�ر� �ت� أ ئ �ن� ش� �ي ف�ق�ال� إ �ن "ع�اف�ي �ن� ي �ه� أ �ه� اد�ع" الل اللذ�ا �ه��� �د�ع"و� ب �ن� ي �ن� و�أ �ي �ع�ت ك "ص�ل:ي� ر� �ن� ي � و�أ �و�ض�أ �ت ن� ي

� ه" أ م�ر�� �ه� ل�ي ف�أ �ل� اد�ع" الل �ك� ق�ال� ال� ب د�ع�و�ت" ل

ح�م�ة� �ي: الر� �ب �م� ن ل �ه� و�س� �ي �ه" ع�ل :ك� م"ح�م�د& ص�ل�ى الل �ي �ب �ن �ك� ب �ي �ل �و�ج�ه" إ ت� "ك� و�أ �ل أ س�

� :ي أ �ن �ه"م� إ الد3ع�اء� اللف:ع"ه" ف�ي� "ش� �ي ف�يه� و�ت ف:ع"ن "ش� �ق�ض�ي و�ت �ي ه�ذ�ه� ف�ت :ي ف�ي ح�اج�ت ب �ل�ى ر� �ك� إ �و�ج�ه" ب ت

� :ي أ �ن �ا م"ح�م�د" إ يل� ال� ف�ف�ع��� �ي ف�ي��ه� ق��� ف:ع�ن "ش� �ن� ت ن� ف�يه�ا أ

� �ح�س�ب" أ �ع�د" أ "م� ق�ال� ب ا ث �ار �ق"ول" ه�ذ�ا م�ر� �ان� ي ق�ال� ف�ك� أ �ر� ج"ل" ف�ب الر�

Redaksi dalam Sunan At Tirmidzi:

87

عن عثمان بن حنيف : أن رجال ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و س��لم فق��ال ادع الله أن يعافيني قال إن شئت دعوت وإن شئت صبرت فهو خير لك قال فادع��ه قال فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو به��ذا ال��دعاء اللهم إني أس��ألك وأتوج��ه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي ه��ذه لتقض��ي لي

اللهم فشفعه في قال هذا حديث حسن صحيح غريب ال نعرفه إال من هذا الوجه من ح��ديث أبي جعف��ر

وهو الخطمي و عثمان بن حنيف هو أخو سهل بن حنيفRedaksi dalam Sunan An-Nasai:

· عن عثمان بن حنيف : أن رجال أعمى أتى النبي صلى الله صلى الله عليه و س��لم فقال يا رسول الله إني رجل أعمى فادع الله أن يش��فيني ق��ال ب��ل أدع��ك ق��ال ادع الله لي مرتين أو ثالثا قال توضأ ثم ص��ل ركع��تين ثم ق��ل اللهم إني أس��ألك وأتوج��ه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى الل��ه أن يقض��ي ح�اجتي أو

حاجتي إلى فالن أو حاجتي في كذا وكذا اللهم شفع في نبيي وشفعني في نفسي عن عثمان بن حنيف : أن رجال ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال ادع الله تعالى أن يعافيني قال إن شئت دعوت وإن شئت صبرت فهو خير ل��ك ق��ال فادعه فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء اللهم إني أسألك وأتوج��ه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقض��ي لي

اللهم شفعه في

عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه : أن أعمى أتى النبي صلى الل��ه علي��ه و سلم فقال يا رسول الله ادع الله أن يكش�ف لي عن بص�ري ق�ال أو أدع�ك ق�ال ي�ا رسول إنه شق علي ذهاب بصري قال فانطلق فتوضأ ثم صل ركعتين ثم ق��ل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك أن يكشف لي عن بصري ش��فعه في وش��فعني في نفس��ي فرج��ع وق��د كش��ف ل��ه عن

بصره

Redaksi dalam Sunan Ibnu Majah:

عن عثمان بن حنيف : أن رجال ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه و س�لم فق�ال ادع الله أن يعافيني . فقال إن شئت أخرت لك وه��و خ��ير وإن ش��ئت دع��وت فق��ال ادعه . فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه . ويصلي ركعتين . ويدعو بهذا ال��دعاء اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة . يا محمد إني قد ت��وجهت ب��ك إلى ربيفي ح��������������اجتي ه��������������ذه لتقض��������������ى . اللهم فش��������������فعه في

Redaksi dalam Shahih Ibn Khuzaimah: عن عثمان بن حنيف : أن رجال ضرير أتى النبي صلى الله علي��ه و س��لم فق��ال : أدع الله أن يعافيني قال : إن شئت أخ��رت ذل��ك وه��و خ��ير وإن ش��ئت دع��وت ق��ال أب��و

موسى قال : فادعه وقاال فأمره أن يتوضأ قال بندار : فيحسنDari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan sebagian orang jahil yang

mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu tak lain disebabkan oleh ketidakmampuan dirinya dalam mendatangkan argumentasi ilmiah yang mampu bertahan di panggung dialog dan diskusi. Akhirnya, mereka menggunakan senjata

88

ampuh untuk melumpuhkan lawan diskusinya yaitu dengan menjatuhkan vonis kafir, stempel bid’ah, cap musyrik dan sebagainya.

PenutupDemikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi yang ingin

memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah ini silahkan baca kitab Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul karangan Syaikh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari (semoga Allah merahmati beliau). Kitab ini sudah dicetak, disebarluaskan dan dijual secara bebas di toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya adalah salah seorang ulama yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang ahli hadis, fikih, ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa mendapatkan keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu a’lamu bis showab.

XVI

Bantahan Atas Argumen Lemah Dan Syubhat Wahabi

Dalam Hal Tawassul Melalui Orang Yang Telah Mati !!?

Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk melarang tawassul adalah

bahwa tawassul disamakan dengan meminta kepada orang yang telah mati, dan hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk memperkuat pemahamannya mereka sodorkan surat an Naml ayat 80: 

"Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang yang mati mendengar dan tidak pula

menjadikan orangyang tuli mendengar panggilan apabila mereka sudah berpaling." 

Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah mati. Apabila orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran maka hal itu juga tidak akan didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang yang telah mati dan orang yang tuli mampu mendengar otomatis kaum musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan. 

Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat 22 : 

"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah menjadikan siapa saja

yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah engkau menjadikan orang yang di dalam kubur itu bisa mendengar." 

Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon sesuatu kepada orang mati sama maka hukumnya sama dengan memohon sesuatu kepada benda mati. 

Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita sampaikan bahwa sangat disayangkan kelompok Wahabi dengan gampangnya mendistorsi makna ayat suci al-Quran. Ayat-ayat yang dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin menyatakan bahwa tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi memahami sesuatu. 

Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan kita kepada tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada ruh pemilik jasad tersebut yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan dengan jelas Qur’an menyatakan, mereka itu hidup. 

Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup oleh Quran, bukan kepada benda mati. 

89

Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh akan stagnasi seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka menolak dengan keras adanya kehidupan ruh para nabi dan lainnya sesudah kematian mereka. 

Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa beramal lagi sebab amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita jawab : itu maksudnya mereka tidak bisa beramal dalam arti tidak menerima taklif hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala. Buktinya dalam Hadits shahih para Nabipun melakukan shalat dikubur mereka. Ini membuktikan bahwa mereka bisa beramal walau tanpa beban taklif. 

Sehingga dalam Hadits/atsar shahihpun Nabi Saw yang sudah wafat juga mampu mendo'akan kepada Allah bagi Umatnya yang saat itu kekeringan sehingga diturunkannyalah hujan oleh Allah dengan sebab ada seorang sahabat yang telah melakukan tawassul dengan Nabi yang sudah wafat. 

Para ulama aswaja menolak pandangan Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahab yang mengingkari bolehnya tawassul dengan orang yang dekat dengan Allah sesudah matinya. 

Kholil Ahmad dari madzhab Hanafi mengatakan: 

"Kami dan para ulama’ kami meyakini bahwa diperbolehkan bertawassul dalam berdoa dengan para Nabi, solihin, auliya’ dan syuhada baik ketika mereka masih hidup maupun sesudah meninggal. 

Dan pendapat diatas juga disepakati oleh mayoritas umat Islam, hanya wahabi dan variannyalah yang menyelisihinya. 

Semoga petunjuk Allah atas mereka !!.

XVIIManaqib

--A. Pengertian

Secara bahasa manaqib berarti meneliti, menggali secara istilah diartikan sebagai riwayat hidup seseorang yang berisikan tentang budi pekertinya yang terpuji ahhlaknya yang baik karomahny dan sebagainya yang patut dijadikan suri tauladan. Maksud dari menjalankan manaqib diantarnya untuk beertawasul, untuk memperoleh berkah, untuk lebih mengenal orang sholih dan lebih mencintanya.

B. Dalil-dalil manaqibSebenarnya manaqib itu ada dalam Al’quran seperti manaqib, ashabul kahfi, Manaqib Raja

Dzul Qur’nain, Manaqib Lukman dan lain sebagainya. Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97.

� خ� م"ؤ�م�ن�ا �ل� :م�ن� و�ر� ه" ق�ا �ن�� �م� ا ل ه� و�س�� �ي�� ر� ص�لى� الل�ه" ع�ل �ش� �ب :�د� ال ي �ر� ع�ن� س� ث �ال� د� ف�ي ا و�ق�د� و�ر�و�ر� ز" و�ان� الل��ه� في� ح��" �و�ج�ب� ر�ض��� ت د� اس��� ه" ف�ق��� ار� � ز� ا �نم��� �أ ه" ف�ك �خ��� �ر�ي تا

� أ �ه" و�م�ن� ق�ر� �ح�يا � ا �نم�ا �أ ف�ك�ة�. ن �ج� ال

Tersebut dalam surat atsar: Rosululloh pernah bersabda: Siapa membuat sejarah orang mukmin( yang sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang, siapa yang mengunjunginya, Alloh akan memberikan surga.

Dalam kitab Jalauzh Zhulam ‘ala’Aqidatul awam dijelaskan

90

ات� �ف�ح��� �ت� و�الن ك��ا �ر� �ب �م�س� ال �ت �ل �ن� ي ات� ا ر� ي��� �خ� ل� و�ال �ف�ض��� �ل�ب" ال & ط��ا �م ل ل: م"س��� �ك��" �غي� ل �ب �ن �م� ي �ع�ل ا�اء �ح�ي��� ه�م� و�ج�م�ع�ه�م� ا �س� �ل �ء� ف�ي م�جا �يا و�ل

� �أل ات� ا �ت� ف�ي ح�ض�ر� ح�ما و�ل� الر� "ز" �ء� و�ن �ة� الد3عا �ب �جا ت و�اس�ات� �ر� ذ�اك د� م��� �ه�م� و�ع�ن��� ات �ر� �ج"م"و�ع� ف�ي ز�يا ة� ال �ر� �ث �د� ك ن �ر�ه�م� و�ع� "و�ر�ه�م� و�ح�ال� ذ�ك �د� ق"ب ن � و�ع� م�و�اتا

� و�أ�ه�م� . )جالء الظالم على عقيدة العوام �ق�ب ر� م�نا �ش� �ه�م� و�ن ف�ض�ل

Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik masih hidup ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam berziarah kepada mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka. 

91

92

.

93

94