qasidah

7
Qasidah, Seni Islami yang Terusir Ampuh Devayan - Panteue RASA ini menerawang ulang masa lalu, ke masa kanak-kanak di satu desa kecil di pulau Simeulue. Ketika itu ada satu grup music qasidah Alwardah yang begitu populer. Bukan suma suara penyanyinya yang menyejukkan bak embun di padang sahara, akan tetapi syair-syairnya berisi pesan-pesan agama. Semua larut ketika mendengar lenting tabuhan rebana yang dijentik jari-jari perempuan muda berkebaya. Orang-orangtua sering tercenung, ada yang manggut-manggut, bahkan tak sedikit mereka mengusap airmata. Tentu, sebagai kanak-kanak ketika itu kami hanya senang, karena meskipun kami bisa menghafal sebagian lagu-lagu itu, tapi belum memahami apa maksudnya. Dari sekian syair qasidah, aya masih ingat beberapa kalimat dari syair qasidah yang sering dilantunkan; //hidup ini tempat singgahan/ tiada suatu pun kan tinggal lama/ Perbanyak ilmu dan pengalaman, pertebal iman di dada, iman di dada…// Kalimat syair ini juga diingatkan kan berulang-ulang oleh Mak saya ketika pertama kali keluar dari kampong untuk melanjutkan pendidikan. Ternyata syair itu masih relevan di segala jaman, dan terus teringat karena mengendap lama dalam setiap jiwa. Inilah bedanya dengan syair-syair music modern. Sekarang begitu banyak lagu-lagu modern dengan beragam aransemen, namun cepat menguap tanpa memberi kesan. Sering dentuman alat-alat modern bernuansa cadas, cenderung menggiring jiwa penikmatnya menjadi kering. Dan inilah yang sedang dialami generasi kontemporer sekarang, music metal namun kevakuman ruh. Padahal esensi seni itu sebagai keindahan merupakan anugrah Tuhan. Itu sebabnya, seni (Islami) dalam falsafah agama termasuk satu di antara empat induk ilmu (etika, logika, aritmatika dan estetika). Melankoli masa lalu itu, terusik ulang, ketika sejumlah ibu-ibu tampil menyanyikan lagu qasidah dalam satu perjamuan makan malam artis-artis qasidah Aceh yang tergabung dalam Lembaga Seni Qasidah Indonesia (Lasqi) Provinsi Aceh di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh, Rabu (17/6) malam lalu. Apalagi ketika menikmati

Upload: rulivanrooley

Post on 26-Jun-2015

512 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Qasidah

Qasidah, Seni Islami yang Terusir

Ampuh Devayan - Panteue RASA ini menerawang ulang masa lalu, ke masa kanak-kanak di satu desa kecil di pulau Simeulue. Ketika itu ada satu grup music qasidah Alwardah yang begitu populer. Bukan suma suara penyanyinya yang menyejukkan bak embun di padang sahara, akan tetapi syair-syairnya berisi pesan-pesan agama. Semua larut ketika mendengar lenting tabuhan rebana yang dijentik jari-jari perempuan muda berkebaya. Orang-orangtua sering tercenung, ada yang manggut-manggut, bahkan tak sedikit mereka mengusap airmata. Tentu, sebagai kanak-kanak ketika itu kami hanya senang, karena meskipun kami bisa menghafal sebagian lagu-lagu itu, tapi belum memahami apa maksudnya.

Dari sekian syair qasidah, aya masih ingat beberapa kalimat dari syair qasidah yang sering dilantunkan; //hidup ini tempat singgahan/ tiada suatu pun kan tinggal lama/ Perbanyak ilmu dan pengalaman, pertebal iman di dada, iman di dada…// Kalimat syair ini juga diingatkan kan berulang-ulang oleh Mak saya ketika pertama kali keluar dari kampong untuk melanjutkan pendidikan.

Ternyata syair itu masih relevan di segala jaman, dan terus teringat karena mengendap lama dalam setiap jiwa. Inilah bedanya dengan syair-syair music modern. Sekarang begitu banyak lagu-lagu modern dengan beragam aransemen, namun cepat menguap tanpa memberi kesan. Sering dentuman alat-alat modern bernuansa cadas, cenderung menggiring jiwa penikmatnya menjadi kering. Dan inilah yang sedang dialami generasi kontemporer sekarang, music metal namun kevakuman ruh. Padahal esensi seni itu sebagai keindahan merupakan anugrah Tuhan. Itu sebabnya, seni (Islami) dalam falsafah agama termasuk satu di antara empat induk ilmu (etika, logika, aritmatika dan estetika).

Melankoli masa lalu itu, terusik ulang, ketika sejumlah ibu-ibu tampil menyanyikan lagu qasidah dalam satu perjamuan makan malam artis-artis qasidah Aceh yang tergabung dalam Lembaga Seni Qasidah Indonesia (Lasqi) Provinsi Aceh di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh, Rabu (17/6) malam lalu. Apalagi ketika menikmati penampilan dua bintang vokalis qasidah nasional Ali Muntasar dan Agustina, malam itu telah merefleksikan kerinduan akan gambus di kampung saya yang sudah hilang. Seni islami qasidah atau popular dikenal sebagai music rebana qasidah dulu sangat disukai masyarakat. Namun sekarang ia harus terusir ketika musik dangdut, pop dan aserege menyeruak.

Musik gambus atau qasidah yang diilhami dari aliran musi timur tengah, dan telah menjadi music tradisi Islami, malah dianggap sebagai seni marjinal. Itulah yang juga dirisaukan Wagub Muhammad Nazar. Katanya, sekarang qasidah dianggap ketinggalam zaman. Padahal, musik Qasidah masih enak didengar apalagi kalau dikolaborasikan dengan musik moderen. Syair-syair qasidah justru mengandung pesan-pesan dakwah kebaikan. “Saya pada masa kecil sering mendengar lagu qasidah yang dibawakan oleh remaja putri dengan rebana. Tetapi, sekarang nyaris tidak terdengar lagi,” ujar Nazar yang menyaksikan lagu qasidah itu banyak ditampilkan dari Timur Tengah, seperti Irak, Pakistan Lebanon dan Turki. Masyarakat di sana sangat menghargai seni sehingga dalam setiap kegiatan justru qasidah merupakan tampilan awal pembuka setiap acara seremonial.

Page 2: Qasidah

Dalam kontek itu, sekarang tinggal lagi bagaimana kreatifitas para pecinta qasidah, terutama Lasqi (Lembaga Seni Qasidah Indonesia) Provinsi Aceh. mengangkat qasidah sebagai seni tradisi Aceh. Bagaimana kita mengapresisasinya ketika seni bernuansa islami itu justru hilang saat Aceh didaulat sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam. Seperti dikatakan Muhammad Nazar, sekarang saatnya mengubah image seni tersebut jadi lebih bergengsi. Kecuali itu,k bagaimana menciptakan masyarakat yang tidak salah memahami seni. Dengan demikian qasidah akan mampu dikembangkan dan disosialisasikan sekaligus menjadi media dakwah bagi remaja di Aceh untuk tetap mengedepankan nilai-nilai Islami. Kesenian harusnya menjadi upaya menyelamatkan kebudayaan IslRabu, 21 Juli 2010 | 10:03

Qasidah Aceh Bawa Misi Damai ke Turki

Banda Aceh-Sejumlah lantunan qasidah diharapkan mampu membawa misi damai Aceh dalam lawatan mewakili Indonesia ke Turki pekan terakhir bulan ini. Penegasan itu disampaikan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar ketika melepas keberangkatan Tim Lembaga Qasidah Aceh (Lasqi) di Aula Rumah Dinas, Selasa (20/7).

"Ada sejumlah lagu bertemakan damai Aceh yang dibawakan personil Lasqi Turki," ungkap Nazar.Menurutnya, kehadiran Lasqi Aceh ke Turki atas undangan negara berjuluk 'Seribu Satu Malam' itu dalam misi budaya dan sekaligus kerjasama dalam bidang ekonomi.

Pemerintah Aceh, kata Nazar, pasca tsunami juga telah berkunjung kesana, dalam rangka kerjasama bidang pendidikan dan sampai saat ini masih berlanjut.Sekilas, Tim Lasqi Aceh pernah memperoleh juara IV pada lomba qasidah tingkat nasional di Batam awal tahun lalu.

Keberangkatan kali ini mengikutsertakan 40 personil dipimpin Ny Dewi M Nazar dan sejumlah anggBeberapa waktu yang lalu saya sempat jalan-jalan di Yahoo dan menembukan sebuah nama blog yang ya… gitulah (baru maksudnya n kagak biasanya). Yang saya tau bapak yang punya blog tersebut merupakan salah satu karyawan di kampus tepatnya di PusKom kagak tau bagian apa.

Fenomena Qasidah Modern

Setiap bulan suci Ramadhan, tak syak lagi begitu banyak album-album berlabel religius Islami dirilis oleh berbagai perusahaan rekaman. Ini merupakan fenomena yang berkembang sejak dasawarsa 1970-an. Artis maupun kelompok musik yang sesungguhnya menapak di jalur musik pop, melakukan terobosan dengan merilis album bertajuk Qasidah Modern. Mungkin masih lekat dalam ingatan bahwa pada paruh dasawarsa 70-an, tiba-tiba

Page 3: Qasidah

begitu banyak kelompok musik yang menjejali industri musik kita dengan musik ber-label qasidah modern. Ada Koes Plus (Tonny, Yon, Yok, dan Murry) dari label Remaco yang merilis album qasidah dengan sederet lagu seperti Nabi Terakhir, Ya Allah, Sejahtera dan Bahagia, Zaman Wis Akhir, Ikut Perintah-Nya, Karena Ilahi, atau Kesyukuran yang Suci. Kelompok rock asal Surabaya AKA yang didukung Utjok Harahap, Arthur Kaunang, Soenatha Tandjung, dan Syech Abidin, di perusahaan rekaman yang sama pun mengeluarkan album qasidah modern. Uniknya, baik Koes Plus maupun AKA beberapa personelnya seperti Yon Koeswoyo (Koes Plus), Soenatha Tandjung, dan Arthur Kaunang (AKA) justeru bukan penganut Islam. Lalu Bimbo pun tak ketinggalan merilis album qasidah modern dengan lagu-lagu, seperti Rindu Kami pada-Mu, Qasidah Matahari dan Rembulan, Dikaulah Tuhan Terindah, hingga Anak Bertanya pada Bapaknya. Menariknya dalam penulisan lirik lagu, Bimbo menjalin kolaborasi dengan penyair Muslim, Taufiq Ismail. Selain itu, Bimbo yang didukung Sam, Acil, Jaka, dan Iin Parlina, juga memperoleh kontribusi penulisan lirik dari KH Miftah Faridl, E.Z Muttaqien, Endang Sjaifuddin Anshari, dan banyak lagi. Tak semuanya menuai sukses. Itu patut diakui. Namun, dari pergulatan yang kompetitif, mencuat salah satu di antaranya adalah kelompok Bimbo asal Bandung, Jawa Barat, yang kemudian berlanjut hingga sekarang ini. Bahkan, Bimbo yang tahun ini genap berusia 40 tahun, memperoleh predikat sebagai kelompok musik religius. Penggagas Lalu siapakah sesungguhnya yang menggagas munculnya terminology qasidah modern dalam industri musik (pop) Indonesia? Dalam catatan, ada pemusik bernama Agus Sunaryo yang memimpin kelompok musik Bintang-bintang Ilahi berupaya memasukkan unsur modern dalam musik yang mengiringi qasidah. Instrumen combo band mulai dilibatkan di dalamnya, seperti keyboard, gitar elektrik, dan bass elektrik. Tersebutlah Rofiqoh Darto Wahab, penyanyi qasidah yang telah mencuri perhatian ketika tampil dengan qasidah modern pada sebuah acara keagamaan yang berlangsung di kota kelahirannya, Pekalongan, pada tahun 1964. Lalu ada kelompok qasidah wanita yang bermain dengan setumpuk instrumen band bernama Nasyidah Ria, yang antara lain memopulerkan lagu Perdamaian, lagu yang kemudian dibawakan dalam versi rock oleh kelompok Gigi. Artis lainnya yang mencoba berqasidah modern, antara lain penyanyi Fenty Effendy serta Djamain Sisters yang didukung Rien Djamain. Pro dan kontra perihal qasidah modern pun menyembur. Mochtar Luthfy El Anshary, salah seorang ahli musik qasidah, yang pernah memimpin Orkes Gambus Al Wardah dan Hasan Alaydrus dari Orkes Gambus Al Wathan, menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Agus Sunaryo dengan embel-embel qasidah modern sebetulnya tak bermuatan anasir modernisasi qasidah. ''Saya hanya melihat musik band yang pop telah dipaksakan dengan syair-syair lama,'' kata Alaydrus, seperti yang ditulis majalah Tempo edisi 37/IV/16/ 22 November 1974. Mochtar Luthfy El Anshary berpendapat, ''Pantun-pantun bahasa Arab itu diletakkan dalam irama yang tidak tepat.'' Namun, niat untuk 'memodernisasi' qasidah tiada pernah berhenti. Dari tahun ke tahun pergeseran telah terlihat dengan nyata. Saat itu, pada tahun 1974, Koes Plus yang menoreh kontroversi, karena juga merilis album Natal, menyanyikan syair religius dengan menggunakan bahasa Jawa pada lagu bertajuk Zaman Wis Akhir.

Page 4: Qasidah

Bimbo sendiri banyak mengadopsi musik Flamenco dalam racikan musik qasidahannya. Dan, Bimbo bahkan telah mencoba melepaskan diri dari pakem qasidah yang berbasis bahasa Arab. ''Kami menggunakan syair berbahasa Indonesia,'' ujar Samsudin Hardjakusumah atau lebih dikenal dengan Sam Bimbo. KeragamanSaat ini keragaman musik religius sangat terasa. Ada yang menyelusupkan pengaruh musik R&B (rhythm and blues), seperti yang dilakukan oleh kelompok Shaka hingga Nawaitu Project. Kelompok Gigi bahkan seolah meneruskan apa yang pernah dilakukan oleh kelompok rock, AKA, pada tahun 1975, memasukkan anasir musik rock yang dinamis dan sarat gegap gempita. Debby Nasution dari Gank Pegangsaan dalam album solo religiusnya malah memasukkan repertoar klasik milik Johann Sebastian Bach. Ada pula yang membaurkannya dalam musik jazz, seperti album Sound of Beliefe. Gito Rollies mendaur ulang dua hit dari The Rollies yakni Hari Hari dan Kau yang Kusayang, tetapi dengan lirik yang telah mengalami perubahan, dari tema hedonistic materialistic menjadi kontemplasi religi. Hingga saat ini, sudah tak terhitung lagi jumlah album religius yang beredar di tengah masyarakat. Opick, seorang pemusik rock yang gagal dalam karier musik rocknya, malah menemukan jati diri musikal yang sesungguhnya pada musik religius.

(Sosialisasikan KB lewat Seni Qasidah

SURABAYA - Surya- Budaya dan seni tradisional ternyata masih dinilai efektif untuk menyosialisasikan program pemerintah. Pemprov Jatim misalnya, akan menjadikan musik Qasidah sebagai salah satu wahana mensosilisasikan program keluarga berencana (KB) di masyarakat.

Ketua Tim Penggerak PKK Pemprov Jatim Nina Soekarwo mengatakan, untuk terwujudnya pembangunan secara menyeluruh, yang diprioritaskan tidak hanya pembangunan fisik, pembangunan nonfisik seperti masalah moral, spiritual, dan religius juga harus dikedepankan.

“Pembangunan yang sifatnya non fisik itu dapat dilakukan melalui qasidah klasik – salah satu seni budaya Islam. Dengan begitu, masyarakat terutama kalangan muda menjadi tahu pentingnya KB untuk kesejahteraan mereka” ujarnya, Jumat (11/6).

Dipilihnya musik Qasidah untuk mensosialisasikan KB, kata Bude Karwo – panggilan akrab Nina Soekarwo, bukan asal-asalan. Dalam UU 10/1992 tentang Pengembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera dijelaskan, agar keluarga sejahtera, minimal delapan fungsi dapat dikembangkan dalam keluarga. Dari delapan fungsi itu, pengembangan fungsi keagamaan menempati posisi pertama. “Kan musik Qasidah kan salah satu wahana untuk meneguhkan iman seseorang akan kepercayaan kepada Tuhan,” jelasnya.

Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Nur Syam MSi mengaku mendukung upaya Pemprov menjadikan musik Qasidah sebagai salah satu wahana untuk mensosialisasikan KB di masyarakat jatim

Page 5: Qasidah

JAKARTA--MI: Festival Budaya Betawi yang digelar di Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat Sabtu (26/6) siang, berlangsung semarak. Hujan yang sempat mengguyur tidak menyurutkan niat ribuan warga untuk memadati kawasan seluas 15 hektare tersebut.

Meskipun banyak yang terlihat basah kehujanan karena terbatasnya tempat bernaung namun pengunjung terlihat menikmati berbagai kesenian dan hiburan serta makanan khas Betawi yang digelar. Antara lain Rampak Beduk, sebanyak 8 beduk ditabuh para penari Betawi wanita.

Selain itu, dipentaskan pula kesenian lainnya seperti tanjidor, Marawis, Qasidah, Tari Betawi, Gambang Kromong, Lenong, Band Betawi dan lainnya.

Pengunjung juga bisa menikmati aneka makanan dan minuman khas Betawi serta produk unggulan Jakarta Barat seperti dodol, bir pletok, di tenda maupun stan yang disiapkan panitia.

Festival dibuka oleh Gubernur DKI Fauzi Bowo ditandai dengan pemukulan Beduk. Kedatangan Gubernur beserta istri dan jajarannya diiringi tarian dua pasang Ondel-ondel dan Tanjidor, diterima Walikota Jakarta Barat Djoko Ramadhan.

Rombongan Gubernur disambut atraksi palang pintu, yakni atraksi khas budaya Betawi berupa adu silat Cingkrik antara jagoan tamu dengan tuan rumah yang dibuka dengan sejumlah pantun.

Gubernur menilai Jakarta Barat konsisten, karena tiap tahun menyelenggarakan Festival Budaya Betawi. Menurutnya, budaya Betawi pantas mendapat perhatian yang lebih besar dari seluruh warga Jakarta termasuk jajaran pemerintahan.

"Karena kebudayaan Betawi inilah budayanya yang asal muasalnya dari tanah Betawi, yang kemudian menjadi kebanggaan orang Jakarta," katanya. (Jui/OL-9)