putusa n mahkamah koonstitusi republik...

162
DI UNIVER UNT DALAM IAJUKAN K SITAS ISL TUK MEM MEMPER 1. LIND 2. NUR FA UIN UL M PUTUSAN REPU KEPADA F LAM NEGE MENUHI SE ROLEH GE DALA PE DRA DARN RAINUN M PROD AKULTAS SUNAN KA i LTRA PET N MAHKA UBLIK IND SKRIPSI FAKULTA ERI SUNA EBAGIAN ELAR SAR AM ILMU H OLEH : MULATN 12340088 EMBIMBIN NELA, S.A MANGUNSO DI ILMU H S SYARI'A ALIJAGA 2016 TITA AMAH KO DONESIA I AS SYARI'A AN KALIJA DARI SYA RJANA STR HUKUM NO 8 NG : Ag., M.Hum ONG, S.H., HUKUM AH & HUKU YOGYAK ONSTITUSI AH & HUK AGA YOGY ARAT-SYA RATA SAT m. , M.Hum. UM KARTA I KUM YAKARTA ARAT TU A

Upload: dohanh

Post on 11-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

DI

UNIVER

UNT

DALAM

IAJUKAN K

SITAS ISL

TUK MEM

MEMPER

1. LIND

2. NUR

FA

UIN

UL

M PUTUSAN

REPU

KEPADA F

LAM NEGE

MENUHI SE

ROLEH GE

DALA

PE

DRA DARN

RAINUN M

PROD

AKULTAS

SUNAN KA

i

ULTRA PET

N MAHKA

UBLIK IND

SKRIPSI

FAKULTA

ERI SUNA

EBAGIAN

ELAR SAR

AM ILMU H

OLEH :MULATN

12340088

EMBIMBIN

NELA, S.A

MANGUNSO

DI ILMU H

S SYARI'A

KALIJAGA

2016

TITA

AMAH KO

DONESIA

I

AS SYARI'A

AN KALIJA

DARI SYA

RJANA STR

HUKUM

NO 8

NG :

Ag., M.Hum

ONG, S.H.,

HUKUM

AH & HUKU

YOGYAK

ONSTITUSI

AH & HUK

AGA YOGY

ARAT-SYA

RATA SAT

m.

, M.Hum.

UM

KARTA

I

KUM

YAKARTA

ARAT

TU

A

Page 2: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

ii

ABSTRAK

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial yang masih baru dianggap cukup penting kehadirannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi yang memiliki tugas penting untuk menjaga supremasi konstitusi di Indonesia terkadang memberikan putusan melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Putusan tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan para pegiat hukum karena tidak jarang putusan ultra petita tersebut melanggar norma-norma yang ada dalam undang-undang. Namun demikian, tentu Mahkamah Konstitusi memiliki dasar-dasar tertentu dalam memberikan putusan ultra petita. Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai dasar dari Mahkamah Konstitusi membuat putusan ultra petita.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang menitik beratkan pada telaah atau kajian hukum positif. Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah putusan melebihi yang dimohonkan (ultra petita) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Penyususun akan menganalisis putusan tersebut sesuai dengan karakter keilmuan hukum normatif berdasarkan norma-norma hukum yang ada.

Penyusun menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 86 UU MK menjadi dasar yuridis bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk kewenangan untuk membuat putusan yang melebihi permohonan (ultra petita). Penyusun juga menemukan setidaknya ada 4 (empat) dasar yang membuat Mahkamah Konstitusi memberikan putusan ultra petita, yaitu: 1) Untuk mewujudkan keadilan substantif. Ketika undang-undang yang berlaku tidak dapat memberikan keadilan bagi warga negara dan bertentangan dengan hak-hak konstitusionalitas seorang warga negara, maka seorang hakim harus dapat berkreasi dalam membuat putusan agar dapat mencapai substansi keadilan dan mengesampingkan keadilan prosedural yang kaku karena terbelenggu oleh bunyi undang-undang; 2) Koherensi antar pasal yang dibatalkan. Pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum jika pasal yang dibatalkan tersebut merupakan inti undang-undang atau menentukan operasionalisasi keseluruhan undang-undang; 3) Memperkuat Sistem Checks and Balances. Tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyempurnakan mekanisme Checks and Balances untuk mengawasi dan mengontrol dua lembaga lainnya (eksekutif dan legislatif); 4) Menghindari terjadinya kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum. Ketika Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan sebuah pasal yang dimohonkan saja terkadang hal tersebut akan menimbulkan kekosongan hukum yang berakibat terjadinya ketidakpastian hukum.

Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Ultra Petita.

Page 3: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK
Page 4: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK
Page 5: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK
Page 6: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK
Page 7: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

vii

MOTTO

Manusia yang menginginkan ilmu bagaikan menginginkan makanan dan air.

(Imam Hambali)

“Everything is difficult before you make it easy,

thinking simple and everything will be simple”

“You’ll never be perfect, but you can be better”

Page 8: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT dan Muhammad SAW atas rahmat-Nya skripsi ini dapat selesai

karena semua yang terjadi di dunia ini sudah pasti atas kehendak-Mu.

Untuk kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dan cinta kasih yang

tiada terhingga sehingga tidak dapat dibalas hanya dengan segunung emas sekalipun. Bangga

bisa diberi kesempatan hidup bersama dalam satu ikatan keluarga. Semoga ini menjadi

langkah awal untuk mendapatkan ridho kalian berdua karena selama ini belum dapat berbuat

lebih banyak untuk kalian. Dan untuk kakakku satu-satunya, terimakasih telah menjadi

panutan yang baik untukku.

Untuk almamaterku Ilmu Hukum 2012 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih telah memberikan motivasi, kritik dan saran

yang sangat membangun.

Page 9: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

P

menyele

P

dari All

sebagai

Hukum

menguc

1. B

S

2. B

H

3. B

U

S

S

4. B

5. I

p

Puji syukur

esaikan skri

Penyusun m

lah SWT d

persyaratan

Universita

capkan terim

Bapak Prof

Sunan Kalij

Bapak Dr.

Hukum Uni

Bapak Dr.

Universitas

S.H., M.Hu

Sunan Kalij

Bapak Faisa

Ibu Lindra

pembimbing

r kehadirat A

ipsi ini. Shal

mengakui ba

dan orang-or

n untuk men

as Islam N

ma kasih kep

f. Drs. Yud

jaga Yogyak

H. Syafiq

iversitas Isla

Ahmad Ba

Islam Nege

um., selaku

jaga Yogyak

al Luqman H

Darnela S.A

gan kepada

KAT

Allah SWT

lawat serta

ahwa skripsi

rang yang m

ndapatkan g

Negeri Suna

pada:

ian Wahyud

karta.

Mahmadah

am Negeri S

ahiej, S.H.,

eri Sunan K

Sekertaris

karta.

Hakim, S.H

Ag., M.Hum

penyusun.

ix

TA PENGA

سم هللا الرحمن

 

T karena ata

salam tercu

i ini tidak ak

membantu

elar strata s

an Kalijaga

di MA, Ph.

h Hanafi, M

Sunan Kalij

M.Hum. s

Kalijaga Yog

Program St

H., M.Hum. s

m. selaku P

ANTAR

بس

as rahmat d

urah kepada j

kan berhasil

penyusun d

atu Ilmu Hu

a Yogyakar

.D selaku R

M.Ag. selaku

aga Yogyak

selaku Ketu

gyakarta da

tudi Ilmu H

selaku Dose

Pembimbing

dan karunia-

junjungan R

l tanpa duku

dalam meny

ukum pada F

rta. Oleh k

Rektor Univ

u Dekan F

karta.

ua Program

an Bapak Fa

Hukum Univ

en Pembimb

g I yang me

-Nya penyu

Rasulullah S

ungan dan b

yelesaikan s

Fakultas Sy

karena itu,

versitas Isla

akultas Sya

m Studi Ilm

aisal Lukma

versitas Isla

bing Akadem

emberikan w

usun dapat

SAW.

bimbingan

skripsi ini

yari’ah dan

penyusun

am Negeri

ari’ah dan

mu Hukum

an Hakim,

am Negeri

mik.

waktu dan

Page 10: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

x

6. Ibu Nurainun Mangunsong, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II yang memberikan

waktu dan pembimbingan kepada penyusun.

7. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta yang telah memberikan ilmu kepada penyusun.

8. Seluruh teman-teman Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena telah memberikan

dukungan pada penyusun.

Demikian penyusunan skripsi ini yang disusun agar dapat bermanfaat dalam menambah

keilmuan kita semua. Penyusun menyadari masih terdapat kekurangan dan kelemahan sehingga

mengharapkan saran dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 22 Mei 2016

Penyusun,

Mulatno NIM. 12340088

Page 11: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

xi

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................... i

Abstrak............................................................................................................................... ii

Surat Pernyataan ............................................................................................................. iii

Surat Persetujuan Skripsi ............................................................................................... iv

Pengesahan ....................................................................................................................... vi

Motto ................................................................................................................................ vii

Persembahan .................................................................................................................. viii

Kata Pengantar ................................................................................................................ ix

Daftar Isi ........................................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...........................................................................................6

C. Tujuan dan Kegunaan .....................................................................................6

D. Tinjauan Pustaka .............................................................................................7

E. Kerangka Teoritik .........................................................................................11

F. Metode Penelitian .........................................................................................23

G. Sistematika Pembahasan ...............................................................................26

BAB II PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

SISTEM KETATANEGARAAN DAN ULTRA PETITA ...........................28

A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi ...............................................28

B. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ...................................................41

C. Pengertian Ultra Petita .................................................................................61

Page 12: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

xii

D. Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia .......................62

BAB III ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI: CONTOH KASUS DAN ALASAN ...................................70

A. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012: Kekayaan Alam Untuk

Kemakmuran Rakyat ....................................................................................75

B. Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014: Persamaan di Depan Hukum

Bagi Anggota DPR .......................................................................................86

C. Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009: Pendidikan

Sebagai Hak Setiap Warga Negara .............................................................92

BAB IV DASAR DAN URGENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

MEMUTUS PERKARA MELEBIHI YANG DIMOHONKAN

(ULTRA PETITA)............................................................................................103

A. Penegakkan Keadilan Substantif .................................................................107

B. Penjaminan Koherensi Antar Pasal .............................................................115

C. Peguatan Sistem Checks and Balances .......................................................118

D. Penciptaan Kepastian Hukum .....................................................................123

BAB V PENUTUP ........................................................................................................129

A. Kesimpulan .................................................................................................129

B. Saran ...........................................................................................................129 

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................131

LAMPIRAN ....................................................................................................................140

Page 13: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia yang selalu ingin berkembang dan lebih baik dari waktu

ke waktu harus selalu diikuti dengan perkembangan hukum guna menjamin

keselarasan kehidupan dalam bermasyarakat. Hukum diciptakan untuk melindungi

yang lemah dari kekuasaan yang lebih kuat, membatasi kekuasaan penguasa agar

tidak semena-mena dengan kekuasaanya. Lebih singkatnya hukum diciptakan untuk

mewujudkan sesuatu yang disebut keadilan, kepastian dan kemanfaatan untuk

mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam melaksanakan peranan

pentingnya bagi masyarakat, hukum mempunyai fungsi, seperti penertiban

pengaturan, penyelesaian pertikaian sedemikian rupa sehingga dapat mengiringi

masyarakat yang berkembang.1 Di dalam kehidupan bernegara hukum dibuat oleh

penguasa dalam bentuk seperti undang-undang dasar, undang-undang dan peraturan-

peraturan lainnya yang bersumberkan dari keadaan sosiologi, politik dan budaya yang

ada dalam suatu negara tersebut. Namun ada kalanya hukum yang dibuat oleh

penguasa tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan ataupun bertentangan

dengan asas ataupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Negara memiliki asas

dasar dalam pemerintahannya atau sering disebut konstiusi yang mencerminkan cita-

cita suatu negara. Ketika suatu peraturan dibentuk tidak sesuai dengan konstitusi atau

                                                            1 Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 45.

Page 14: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

2

kehendak rakyatnya, maka yang akan terjadi adalah adanya penolakan dari rakyat.

Jika hal demikian dibiarkan terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan

terjadinya suatu endapan emosioal (amarah) dari rakyat yang pada akhirnya timbul

pemberontakan dari rakyat. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 pada

akhir era Orde Baru, ketika amarah masyarakat telah mencapai puncaknya karena

pemerintahan yang berlindung di balik undang-undang dan tidak sedikit peraturan

perundang-undanga yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sehingga

menimbulkan pemerintahan yang korup karena pemerintahan yang cenderung

otoriter. Seperti halnya ungkapan power tends to corrupt, and absolute power,

corrupts absolutely.

Maka untuk menjamin keselarasan antara hukum dan masyarakat serta

mencegah suatu perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi, paska

pemerintahan Orde Baru muncul ide untuk membentuk suatu lembaga yang berfungsi

untuk menguji suatu undang-undang. Suatu badan hasil dari amandemen ke-3

Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi .

Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi diharapkan tidak akan ada

undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang

Dasar negara menjamin Hak asasi setiap warga Negara yang selama Orde Baru hak-

hak itu dirampas. Pribadi atau kelompok dapat mengajukan judicial review ke

Mahkamah Konstitusi jika suatu pasal dalam undang-undang dianggap bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar dan merugikan pihak tertentu. Dalam sistem

Page 15: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

3

kekuasaan kehakiman (yudisial), di samping ada Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha

negara telah muncul Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.2

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang masih baru dianggap cukup

penting dalam kehadirannya. Secara khusus Mahkamah Konstitusi diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tujuan

pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitui sepertinya

cukup tepat, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pengujian undang-undang

yang telah dilakukannya sejak tahun 2003 awal berdirinya dan putusan-putusannya

dianggap tepat.

Namun demikian, di balik kelebihan-kelebihannya, timbul kecemasan dari

para pengamat hukum karena beberapa kewenangannya. Sesuai dengan amanat

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1) bahwa, “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ….”. Hal

tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa sifat final Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut kemudian turut menahbiskan MK menjadi organ konstitusional yang

                                                            2 Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dalam Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), hlm. 118.

Page 16: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

4

superbody. Artinya, melalui putusan yang bersifat final, MK memiliki kekuasaan

yang luar biasa besar, melebihi kekuasaan lembaga-lembaga negara lainnya. 3

Mahkamah Konstitusi dipandang sering mengambil perspektif sendiri, padahal ada

perspektif lain yang juga argumentatif. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi

itu kemudian tak dapat dilihat sebagai kebenaran yang secara substantif sejalan

dengan isi atau politik hukum undang-undang dasar melainkan hanya sejalan dengan

pilihan perspektifnya sendiri. Padahal setiap perspektif memiliki logikanya sendiri-

sendiri yang juga benar.4

Dalam beberapa kasus Mahkamah Konstitusi dianggap mengambil keputusan

yang bersifat ultra petita (melebihi apa yang diminta/dimohonkan). Hal tersebut

menjadi kontroversi dan berdebatan bagi kalangan pengamat hukum karena

mengenai asas ultra petita tersebut tidak di atur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24

tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45A Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya melarang hakim untuk

memberikan putusan ultra petita tetapi pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi sendiri melalui judicial review. Dengan begitu maka tidak ada peraturan

                                                            3 Fajar Laksono Soeroso, “Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi”,

Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014), hlm. 67.

4 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Rajawali Press:Jakarta, 2013), hlm. 100.

Page 17: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

5

perundang-undangan yang mengatur mengenai putusan ultra petita di Mahkamah

Konstitusi. Hal ini menjadi perdebatan bagi beberapa ahli hukum, ada yang setuju

tentang putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi, tetapi banyak juga yang kontra.

Beberapa kasus diputus oleh Mahkamah Konstitusi melebihi dari yang

dimohonkan oleh pemohon (ultra petita). Misalnya dalam hal ini penyusun

mengambil contoh kasus yaitu dalam Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014. Putusan

tersebut mengandung ultra petita karena pemohon hanya meminta untuk meninjau

beberapa pasal dan frasa yang ada dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Bahwa pada

pemohon pengajukan judicial review Pasal 245 UU MD3. Namun dalam putusannya

Mahkamah Konstitusi membuat norma baru yaitu mengubah norma pada Pasal 245

ayat (1) dari yang sebelumnya berbunyi:

Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.5

Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” diubah

menjadi “persetujuan tertulis dari Presiden” oleh Mahkamah Konstitusi. Selain

perkara tersebut, pada perkara-perkara sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga tidak

                                                            5 Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Page 18: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

6

sedikit memberikan putusan yang ultra petita, misalnya Putusan No 5/PUU-V/2007

Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Putusan No 133/PUU-VII/2009 Pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Putusan No 65/PUU-VII/2010 Pengujian

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hal seperti itulah

yang menjadi suatu perdebatan dalam putusan tersebut dan penyusun akan

mengkajinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penyusun merumuskan

permasalahan yaitu apa dasar dari Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara

melebihi yang dimohonkan (ultra petita) oleh pemohon?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan yang diharapkan penyusun dalam penelitian ini adalah untuk

memahami apa dasar dari Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara

melebihi yang dimohonkan (ultra petita) oleh pemohon.

2. Kegunaan yang ingin dicapai penyusun melalui penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Manfaat Akademis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

pemikiran dan memberikan manfaat di bidang akademis untuk:

Page 19: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

7

1) Pengembangan wawasan keilmuan penyusun, memperkaya khasanah

Ilmu Hukum dalam rangka pengembangan Hukum Tata Negara.

2) Memberikan sumbangan pemikiran teoritikal dan kritikal dalam

pemahaman mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi

menggunakan asas ultra petita saat memutus perkara.

b. Manfaat Institusional

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman

serta dapat menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk

menggunakan asas ultra petita dalam memutus suatu perkara.

2) Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran dan wacana sebagai sumbangan pemikiran konsepsional

terutama pada bidang Hukum Tata Negara Pemerintah mengenai dasar

dari Mahkamah Konstitusi memutus perkara dengan asas ultra petita.

D. Tinjauan Pustaka

Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah

atau jarang diteliti oleh peneliti sebelumnya maka harus dinyatakan mengenai

perbedaan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Ini dilakukan untuk

memposisikan skripsi ini, serta menghindari kemungkinan adanya pengulangan

penelitian. Pembahasan mengenai masalah yang ada dalam penelitian ini sudah ada

yang mengangkat sebelumnya. Penyusun menyadari tentunya ada persamaan baik itu

dilihat dari teori yang dipakai ataupun yang lainya. Tetapi perlu penyusun tegaskan

Page 20: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

8

bahwa dalam penyusunan penelitian ini akan ada hal yang membedakan dengan

penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan mengenai masalah yang

diangkat.

Adapun penyusun menemukan beberapa literatur yang berkaitan dengan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

Literatur pertama, skripsi yang ditulis oleh Geri Afandi. Penyusun

berkesimpulan bahwa Putusan ultra petita ditinjau dari Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi adalah merupakan putusan yang tidak diatur dalam hukum acara

Mahkamah Konstitusi, akan tetapi larangan ultra petita hanya diatur dalam hukum

acara perdata, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan

Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.6 Tentunya penyusun menyadari ada persamaan dan

perbedaan antara karya ilmiah tersebut. Persamaanya yaitu dalam skripsi saudara Geri

Afandi dan skripsi yang penyusun tulis keduanya membahas tentang putusan yang

bersifat ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitus. Namun tentunya ada

perbedaan antara skripsi yang ditulis oleh saudara Geri Afandi susun dan skripsi yang

penyusun tulis. Perbedaanya skripsi yang penyusun tulis akan membahas mengenai

dasar dari Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara dengan ultra petita.

Literatur kedua, skripsi yang ditulis oleh Taufik Kemal Hadju. Penyusun

mengambil intisari dari kesimpulan skripsi tersebut yaitu: Putusan perkara Nomor

                                                            6 Geri Afandi, “Kajian Normatif Putusan Ultra petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Kasus Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang BP Migas),” skripsi Universitas Bung Hatta (2014), hlm. 97.

Page 21: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

9

49/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Mahkamah Konstitusi, telah memutus melebihi permohonan (ultra petita) yaitu,

menambahkan unsur Komisi Yudisial dalam komposisi Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi untuk dihilangkan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d

dan huruf e.7 Secara umum persamaan antara skripsi yang saudara Taufik Kemal

Hadju tulis dengan skripsi yang penyusun tulis adalah mengenai ultra petita oleh

Mahkamah Konstitusi. Sementara bedanya adalah putusan yang kami bahas, saudara

Taufik Kemal Hadju hanya membahas perihal Putusan Perkara Nomor 49/PUU-

IX/2011 Perihal Pengujian undang-undang Mahkamah Konstitusi sedangkan dalam

skripsi yang penyusun tulis menggunakan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi

yang mengandung unsur ultra petita.

Literatur ketiga, skripsi yang ditulis oleh Fadel. Penyusun mengambil intisari

dari kesimpulan skripsi tersebut yaitu: Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai

penjaga konstitusi (Guardian of Constitution), sehingga jika perlu dalam putusannya

mungkin terjadi penyimpangan dari prinsip keadilan prosedural, demi terwujudnya

keadilan substantif.8 Persamaan antara skripsi yang penyusun tulis dengan skripsi

saudara Fadel adalah bahwasanya kami membahasan tentang prinsip ultra petita

dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pembeda dari skripsi antara skripsi

                                                            7 Taufik Kemal Hadju,“Implikasi Hukum Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Dalam

Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Mahkamah Konstitusi),” skripsi Universitas Andalas (2012), hlm. 112.

8 Fadel, “ Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia,” skripsi Universitas Hasanuddin (2012), hlm. 77.

Page 22: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

10

yang penyusun tulis dengan skripsi saudara Fadel adalah bahwasanya penyusun

membahas tentang dasar dari Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara dengan

ultra petita sementara dalam skripsi saudara Fadel membahas tentang tujuan dari

Mahkamah Konstitusi melakukan putusan yang bersifat ultra petita kaitannya dengan

keadilan keadilan prosedural dan keadilan substantif.

Literatur keempat, skripsi yang ditulis oleh Sri Wahyuni. Penyusun

berkesimpulan bahwa pola dan bentuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi

yaitu tidak dapat diterima, dikabulkan, ditolak, konstitusional bersyarat, tidak

konstitusional bersyarat, ultra petita dan perumusan norma dalam putusan.9

Persamaan antara skripsi yang penyusun tulis dengan skripsi saudari Sri Wahyuni

adalah bahwasanya kami menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai objek penelitian

kami. Hal yang yang palig mendasar berbeda antara skripsi yang penyusun tulis

dengan skripsi saudari Sri Wahyuni adalah bahwa saudari Sri Wahyuni membahas

tentang pola dan bentuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi sedangkan

skripsi yang penyusun tulis membahas dasar dari Mahkamah Konstitusi dalam

memberikan putusan yang bersifat ultra petita yang berarti penelitian penyusun akan

lebih spesifik pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita.

Literatur kelima, skripsi yang ditulis oleh Abdullah Fikri. Penyusun

mengambil intisari dari kesimpulan skripsi saudara Abdullah Fikri yaitu: Putusan

                                                            9 Sri Wahyuni, “Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Untuk Mewujudkan Konstitusionalisme,” skripsi Universitas Sebelas Maret (2012), hlm. 132.

Page 23: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

11

Ultra petita Mahkamah Konstitusi, diperbolehkan dalam perspektif Fiqh Siyasah,

selama putusan tersebut mengandung kemaslahatan umum sebagai tujuan dari Fiqh

Siyasah dan dapat diterima oleh mayoritas masyarakat sebagai tolok ukur tercapainya

kemaslahatan. Kemaslahatan tersebut berada pada tingkatan kemasalahatan

dlaruriyat. Disamping itu, Pancasila harus diutamakan dalam penegakkan keadilan,

karena merupakan falsafah Negara Indonesia yang secara substantif mencakup

prinsip-prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah.10 Persamaan antara skripsi yang penyusun

tulis dengan skripsi saudara fikri adalah bahwasanya kami membahasan tentang

prinsip ultra petita dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pembeda dari

skripsi antara skripsi yang penyusun tulis dengan skripsi saudara Fikri adalah

bahwasanya saudara Fikri membahas putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi

dengan menggunakan perspektif Fiqh Siyasah sedangkan skripsi yang penyusun tulis

menggunankan perspektif hukum positif yang sedang berlaku saat ini.

E. Kerangka Teoritik

Adapun landasan teori yang penyusun gunakan dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Teori keadilan

Hukum tidak dapat dipisahkan dengan keadilan, karena keadilan

merupakan roh dari hukum itu sendiri. Keduanya merupakan suatu kesatuan.

                                                            10Abdullah Fikri, ”Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh

Siyasah” skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2012), hlm. 143.

Page 24: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

12

Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti menyamakan hukum

dengan kekuasaan.11 Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukum semata-mata

menghendaki keadilan. Teori yang mengajarkan hal tersebut, disebut teori-

teori yang etnis karena menurut teori-teori itu, isi hukum harus ditentukan

semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etnis mengenai apa yang adil

dan apa yang tidak adil.12

Aristoteles menggolongkan keadilan ke dalam keadilan distributif dan

keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut soal pembagian barang-

barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan

tempatnya dalam masyarakat, sedangkan keadilan korektif memberikan

ukuran untuk menjalankan hukum sehari-hari. Dalam menjalankan hukum

sehari-hari harus ada standar yang umum guna memulihkan konsekuensi dari

suatu tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain.13

Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan

yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Di sisi lain keadilan

korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian

                                                            11 L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm 28.

12 Ibid., hlm. 24.

13 Sukarno Aburaera, dkk., Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 184.

Page 25: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

13

dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya

memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan.14

Sedangkan Madjid Khadduri menggambarkan prinsip pokok keadilan

dengan menggolongkan keadilan ke dalam dua kategori, yaitu aspek

substantif dan prosedural. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan

dalam substansi syari’at, sedangkan aspek prosedural berupa elemen-elemen

keadilan dalam hukum-hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan

prosedural).15 Selain itu dapat juga dikatakan bahwa keadilan prosedural

adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan

dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-

syarat beracara di pengadilan lainnya. Sedangkan keadilan substantif adalah

keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber

hukum yang responsif sesuai hati nurani.16

2. Teori penemuan hukum (rechtsvinding)

Menurut Sudikno Mertokusumo sebagimana dikutip dalam bukunya

Ahmad Rifai mengartikan penemuan hukum sebagai proses pembentukan

                                                            14 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010),

hlm. 25.

15 Sukarno Aburaera, dkk., Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 193-194.

16 Bambang Sutiyoso, “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”, Jurnal Hukum, No. 2, vol. 17 (April 2010), hlm. 227.

Page 26: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

14

hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas

melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap

peristiwa hukum yang konkret.17 Sedangkan menurut Amir Syamsudin bahwa

penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam

upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya

berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang digunakan agar

penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat

dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu

dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum.18

Sejalan dengan pemikiran tentang penemuan hukum tersebut

memunculkan beberapa aliran, salah satunya adalah aliran recthsvinding.

Menurut aliran recthsvinding, tugas hakim sebagai penemu hukum adalah

menyelaraskan undang-undang sesuai dengan tuntutan zaman.19 Aliran ini

dapat dikatakan sebagai jalan tengah antara aliran legisme dan freie

rechtsbewegung. Aliran freie rechtsbewegung memberikan kebebaasan pada

hakim untuk memutus berdasarkan undang-undang atau tidak karena hakim

adalah pencipta hukum (jugde made law).20 Sedangkan aliran legisme

                                                            17 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21.

18 Ibid., hlm. 23.

19 Sudikni Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993), hlm. 32.

20 Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. ke-13 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 160.

Page 27: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

15

menekankan bahwa hakikat hukum itu adalah hukum yang tertulis (undang-

undang), sehingga terlihat aliran legisme ini sangat mengagungkan hukum

tertulis.21 Aliran rechtsvinding merupakan aliran di antara aliran legisme dan

freie rechtsbewegung. Aliran rechtsvinding tetap berpegang pada undang-

undang, tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim juga memiliki

kebebasan. Tetapi kebebasan itu tidak seperti kebebasan yang dianut Freie

Rechtsbewegung. Hakim memiliki kebebasan yang terikat dan keterikatan

yang bebas. Tugas hakim adalah menyelaraskan undang-undang dengan

tuntutan zaman, dengan hal-hal yang konkret yang terjadi dalam masyarakat

dan bila perlu menambah undang-undang yang disesuaikan dengan asas-asas

keadilan masyarakat.22

3. Teori kekuasaan kehakiman

Secara etimologis istilah kekuasaan terbentuk dari kata kuasa yang

menurut kamus besar bahasa Indonesia kuasa berarti: 1) kemampuan atau

kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan; 2) wewenang atas sesuatu

atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb), sedangkan

kekuasaan berarti kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang

atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau

                                                            21 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 28.

22 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1993), hlm. 91.

Page 28: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

16

kekuatan fisik; secara hukum berarti fungsi menciptakan dan memantapkan

kedamaian (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidakdamaian atau

ketidakadilan. Secara sederhana kekuasaan dapat diartikan sebagai

kewenangan atau kemampuan untuk memberi pengaruh. Sedangkan

kehakiman berasal dari kata hakim yang dalam kamus besar bahasa Indonesia

berarti orang yg mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah),

kemudian kehakiman berarti: 1) urusan hakim dan pengadilan; 2) segala

sesuatu yg berkenaan dengan hukum (undang-undang, pengadilan, dsb). 23

Miriam Budiarjo mengartikan kekuasaan sebagai kewenangan yang

didapatkan oleh seorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan

tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh

dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang

atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok

lainnya sesuai dengan keinginan dari pelaku.24

Dalam konteks negara Indonesia kekuasaan kehakiman didefinisikan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai

bentuk peraturan tertinggi dalam negara menyebutkan dalam Pasal 24 ayat (1)

bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

                                                            23 Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi

Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 746.

24 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jarkarta: Kencana Prenada Media, 2012), hlm. 24.

Page 29: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

17

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”25

Selanjutnya pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan

bahwa:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.26 Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka (1):

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.27 Adanya kekuasaan kehakiman sebagai salah satu lembaga kekuasaan

dalam suatu negara tidak lepas dari ide John Locke yang pertama kali

mengemukakan teori pemisahan kekuasaan. Teori pemisahan kekuasaan

membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif yaitu

kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan

yang menjalankan undang-undang, serta kekuasaan federatif yang merupakan

kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala

                                                            25 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

26 Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

27Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Page 30: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

18

tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri.28 Selanjutnya

Montesque dalam bukunya yang terkenal , I ‘Esprit de Lois yang membagi

kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan

yudikatif. Badan legislatif bertugas membuat undang-undang, eksekutif

melaksanakan dan yudikatif mengawasi bahwa undang-undang itu tidak

melanggar Undang-Undang Dasar (inkonstitusional) dan bahwa undang-

undang itu benar-benar dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh

eksekutif.29 Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara

tersebut dilembagakan dalam tiga organ/lembaga negara sesuai fungsinya

masing-masing, artinya satu organ/lembaga hanya menjalankan satu fungsi

dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.

Montesquieu menghendaki agar tiga lembaga kekuasaan tersebut tidak saling

mempengaruhi satu sama lain. Termasuk kekuasaan yudikatif yang tidak

boleh mendapat intervensi dari pihak manapun dalam menjalankan

kekuasaannya.

Setiap negara mempunyai ciri dan kekhasan tersendiri di bidang

ketatanegaraanya, termasuk juga kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal itu

terjadi karenan banyak faktor. Namun, secara garis besar susunan kekuasaan

                                                            28 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, (Sekretariat Jendral dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, t.t.), hlm. 13.

29Loekman Wiriadinata, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hlm. 67.

Page 31: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

19

kehakiman suatu negara dapat ditinjau dari berbagai dasar yaitu30: Pertama,

perbedaan antara badan peradilan umum (the ordinary cour) dan badan

peradilan khusus (the special court). Kedudukan ini menyangkut kedudukan

pejabat administrasi negara dalam forum peradilan. Maka susunan kekuasaan

kehakiman dibedakan antara lain: (1) Susunan kekuasaan pada negara-negara

yang tergolong ke dalam “common law state.” Pada negara-negara ini berlaku

konsep rule of law.” Menurut konsep ini tidak ada perbedaan forum peradilan

bagi rakyat biasa dan pejabat administrasi negara. Setiap orang (tanpa

memandang sebagai rakyat biasa atau pejabat administrasi negara) akan

diperiksa, diadili, dan diputus oleh badan peradilan yang sama yaitu badan

peradilan umum (the ordinary court). (2) Susunan kekuasaan kehakiman pada

negara-negara yang tergolong kedalam “prerogative state”. Menurut konsep

ini, pejabat administrasi negara dalam melakukan fungsi administrasi

negaranya tunduk pada hukum administrasi negara. Apabila pejabat

administrasi negara tersebut melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam

menjalankan fungsi administrasi negara akan mempunyai forum peradilan

tersendiri yaitu forum administrasi. Konsep ini berasal dari Dicey, yang

membedakan antara sistem “rule of law” dan “droit administrative”.

Perbedaan ini menurut Dicey menimbulkan dua sistem susunan peradilan

yaitu judicial court (common law court) dan administrative court. Pada

                                                            30 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media, 2012), hlm. 40-42.

Page 32: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

20

negara yang tergolong droit administrative akan ada lingkungan peradilan

yaitu peradilan umum dan peradilan administrasi. Adapun negara-negara

dengan sistem rule of law hanya ada satu lingkungan peradilan yaitu

peradilan umum (common law court). Kedua, perbedaan antara susunan

kekuasaan kehakiman menurut negara yang berbentuk federal dan negara

kesatuan. Perbedaan ini menyangkut cara pengorganisasian badan peradilan.

Pada negara-negara federal seperti Amerika Serikat mempunyai dua sistem

kekuasaan kehakiman yaitu susunan kekuasaan kehakiman federal dan

susunan kekuasaan kehakiman negara-negara bagian. Sedangkan pada negara-

negara kesatuan kekuasaan kehakiman disusun dalam susunan tunggal untuk

seluruh wilayah negara. Ketiga, kehadiran hak menguji. Faktor ini

mempengaruhi kekuasaan kehakiman dengan adanya hak menguji atas

peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah. Sekarang sesuai

dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, maka masing-masing lembaga tersebut mempunyai wewenang

menguji peraturan perundang-undangan dengan tingkatan-tingkatannya.

Keempat, sejarah dan keadaan suatu negara. Keadaan suatu negara sangat

menentukan susunan kekuasaan kehakiman. Karena biasannya sesuai dengan

kehendak perubahan, maka sendi-sendi susunan kekuasaan negara pun

mengalami perubahan termasuk di dalamnya kekuasaan kehakiman.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan

kehakiman di Indonesia yang baru lahir setelah amandemen ke-3 Undang-

Page 33: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

21

Undang Dasar 1945 memiliki peran yang sangat fital sebagai lembaga

yudisial yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga

permanen yang keberadaan dan kewenangannya diatur dalam Undang-

Undang Dasar 1945. Tujuan pokok pembentukan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia adalah menjaga agar tidak ada undang-undang yang bertentang

dengan Undang-Undang Dasar atau menjamin supremasi konstitusi terhadap

undang-undang. Jika ada pasal dalam undang-undang yang bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar maka peran Mahkamah Konstitusi adalah

dapat membatalkannya. Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 hasil

amandemen ke-3, tugas pokok Mahkamah Konstitusi adalah:

1. Menguji peraturan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

(judicial review).

2. Memutus sengketa antar lembaga Negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

3. Memutus pembubaran parpol.

4. Memutus sengketa hasil pemilu.

5. Memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hal-hal

tertentu yang di atur dalam UUD sehingga dapat diproses untuk

berhentikan.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Page 34: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

22

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika dilihat

dari undang-undang tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa jenis

putusan terhadap gugatan yang diajukan, yaitu:

1. Ditolak

Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengatur tentang amar putusan yang menyatakan

permohonan ditolak, yaitu “Dalam hal undang-undang dimaksdud tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau

keseluruhan amar putusan menyatakan ditolak”.

2. Tidak dapat diterima

Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengatur tentang amar putusan yang menyatakan

permohonan tidak dapat diterima yaitu: “Dalam hal Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi

syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar

putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.31

3. Dikabulkan

Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengatur tentang amar putusan yang menyatakan

                                                            31 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 35: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

23

permohonan dikabulkan, yaitu: “Dalam hal Mahkamah Konstitusi 24

berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan

permohonan dikabulkan.32

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi diatur sendiri oleh Mahkamah

Konstitusi yaitu melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor:

06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-

Undang.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penyusun menggunakan metode-metode yang

sesuai dengan permasalahan dalam skripsi ini. Adapun metode penelitian yang

digunakan oleh penyusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian dan metode pendekatan

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (library research) penelitian yang mengumpulkan

datanya dengan membaca dan mempelajari buku-buku dan peraturan

perundang-undangan ataupun apa saja yang ada kaitannya dengan

masalah yang diteliti.

                                                            32 Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Page 36: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

24

b. Metode pendekatan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap substansi atau kaidah-kaidah hukum

yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan perangkat

atau kaidah-kaidah hukum sehingga mampu diimplikasikan kepada

realitas. Penelitian yang menitik beratkan pada telaah atau kajian hukum

positif. Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah putusan melebihi

yang dimohonkan (ultra petita) yang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi. Penyususun akan menganalisis putusan tersebut sesuai dengan

karakter keilmuan hukum normatif berdasarkan norma-norma hukum yang

ada.

2. Sumber data

Untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam penelitian hukum

ini penyusun membedakan sumber-sumber penelitian menjadi tiga, yaitu

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-

bahan hukum sekunder, bahan-bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.

Page 37: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

25

b. Bahan Hukum sekunder, yang terdiri dari:

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum sekunder, yaitu : Jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa mengenai

permasalahan. Berbagai hasil pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional

maupun internasional yang ada kaitannya mengenai masalah diatas.

c. Bahan-Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum,

kamus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Selain bahan hukum

sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum, penyusun juga

menggunakan bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan

penelitian ini, misalnya dari bidang keilmuan Filsafat, Politik dan

Sosiologi.

3. Teknik pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara

dengan melakukan penelusuran serta penggalian lebih dalam mengenai

masalah yang diteliti yaitu dari sumber-sumber data yang disebutkan di atas,

yaitu baik itu primer seperti bahan-bahan yang berupa Undang-Undang

mengikat ataupun sumber data sekunder, seperti: Jurnal-jurnal hukum, dan

dari sumber data tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus

Page 38: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

26

hukum, kamus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selain bahan hukum

sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum, penyusun juga menggunakan

bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan penelitian ini, misalnya

dari bidang keilmuan filsafat, politik dan sosiologi.

G. Sistematika Pembahasan

Penyusun merencanakan dalam penelitian ini pembahasan akan

disistematikakan dalam 5 (lima) bab. Bab pertama adalah pendahuluan, terdiri dari:

(a) latar belakang masalah, (b) rumusan masalah, (c) tujuan dan kegunaan, (d)

tinjauan pustaka, (e) kerangka teoritik, (f) metode penelitian, (g) sistematika

pembahasan.

Bab kedua mengenai Perkembangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem

Ketatanegaraan dan ultra petita , terdiri dari: (a) sejarah pembentukan Mahkamah

Konstitusi, (b) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (c) Pengertian ultra petita,

dan (d) Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Bab ketiga adalah mengenai Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi: Contoh Kasus dan Alasan, terdiri dari: (a) Putusan Nomor 36/PUU-

X/2012: Kekayaan Alam Untuk Kemakmuran Rakyat, (b)Putusan Nomor 76/PUU-

XII/2014: Persamaan di Depan Hukum Bagi Anggota DPR, dan (c) Putusan Nomor

11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009: Pendidikan Sebagai Hak Setiap Warga

Negara.

Page 39: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

27

Bab keempat adalah dasar dan urgensi mahkamah konstitusi dalam

memutus perkara melebihi yang dimohonkan (ultra petita), yang terdiri dari: (a)

Penegakkan Keadilan Substantif, (b) Penjaminan Koherensi Antar Pasal, (c)

Penguatan Sistem Checks and Balances, dan (d) Penciptaan Kepastian Hukum.

Bab kelima merupakan bab penutup yang terdiri dari dua subbab yaitu

kesimpulan dan saran.

Page 40: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

28

BAB II

PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

SISTEM KETATANEGARAAN DAN ULTRA PETITA

A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi

1. Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia

Negara yang dapat dianggap pelopor dalam membentuk Mahkamah

Konstitusi di Eropa adalah Austria yang mengadopsikan ide pembentukannya

itu dalam UUD 1920.33 Revolusi Prancis telah membentuk elemen-elemen

demokratis dan kebebasan hak sipil. Revolusi Prancis itu ternyata juga

menyulut terjadinya revolusi di Austria. Revolusi tersebut menghendaki

adanya penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan partisipasi dari

rakyat. Hampir setengah abad terjadi dinamika ketatanegaraan di Austria baru

pada tahun 1920 lahir konstitusi Austria setelah runtuhnya Kekaisaran Austro-

Hungaria (1919). Hans Kelsen menjadi salah satu tokoh perancang konstitusi

tersebut. Konstitusi tersebut dianggap sebagai konstitusi yang paling

memenuhi syarat karena dalam konstitusi tersebut menjamin adanya

pemisahan kekuasaan, sistem demokrasi dan jaminan atas hak asasi manusia.

                                                            33 Jimly Assiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), hlm. 1.

Page 41: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

29

Rancangan mengenai sebuah mahkamah khusus untuk melaksanakan

tugas menegakkan konstitusi yang terpisah dari peradilan biasa untuk

mengawasi dan membatalkan jika ternyata bertentangan dengan undang-

undang dasar tidak lepas dari ide rancangan Hans Kelsen, seorang sarjana

hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 yang juga menjadi salah

satu tokoh perancang konstitusi Austria pada saat itu. Menurut Kelsen,

konstitusi dapat dipahami dalam dua arti yaitu konstitusi dalam arti formal

dan konstitusi dalam arti materil. Dalam arti formal, konstitusi adalah suatu

dokumen khusus yang khidmat, suatu perangkat norma hukum yang hanya

dapat diubah dengan mematuhi sejumlah keharusan dan persyaratan khusus,

dengan tujuan agar norma-norma itu menjadi lebih sulit untuk diubah.

Sedangkan dalam arti materil, konstitusi adalah berupa aturan-aturan yang

mengatur pembentukan norma-norma hukum umum, khususnya

pembentukan undang-undang. Konstitusi dalam arti materil bukan hanya

dapat menentukan organ-organ dan prosedur legislasi, dalam tingkatan

tertentu juga dapat menetukan isi hukum (undang-undang) yang akan dibuat

dimasa yang akan datang. Konstitusi dapat menentukan secara negatif bahwa

undang-undang tidak boleh memuat substansi atau isi tertentu. Dengan cara

ini, larangan yang ditentukan oleh konstitusi itu bukan hanya berlaku terhadap

isi undang-undang itu tetapi juga terhadap norma-norma dari tata hukum

lainnya serta keputusan-keputusan hukum administrasi.34 Pengaduan                                                             

34 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum

Page 42: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

30

konstitusional adalah suatu upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak

konstitusional yang dimiliki warga negara.35 Maka perlu adanya sebuah

peradilan guna menegakkan konstitusi tersebut. Kelsen mengakui adanya

ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk

melaksanankan tugas penegakan konstitusi.36 Hans Kelsen berpendapat bahwa

tugas judicial review tidak boleh dipercayakan kepada Mahkamah Agung

sebagai peradilan biasa tetapi harus diletakkan pada suatu special tribunal

yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung. Indonesia mengikuti

pendirian ini dan menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah

Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah

Agung.37 Organ yang menjalankan pengawasan mungkin dapat menghapus

sepenuhnya undang-undang yang “tidak konstitusional” sehingga undang-

undang tersebut tidak dapat diterapkan oleh setiap organ lain. Jika pengadilan

biasa berkompeten untuk menguji kekonstitusionalan suatu undang-undang,

pengadilan ini mungkin hanya diberi hak untuk menolak penerapannya dalam

kasus konkret jika pengadilan tersebut memandangnya tidak konstitusional,

                                                                                                                                                                          Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 204-205.

35 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 4.

36 Maruar, Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika. 2011), hlm. 3-4.

37Jimly Assiddiqqie, Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 23.

Page 43: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

31

sedangkan organ-organ lain tetap diwajibkan untuk menerapkan undang-

undang tersebut.38 Charles Beard menyatakan bahwa judicial review

merupakan bagian dari sistem checks and balances yang ditetapkan

convention untuk melindungi hak kepemilikan (property) terhadap serangan

mayoritas. Sistem checks and balances itu sendiri, yang tak pelak lagi

merupakan elemen esensial dari konstitusi, dibangun atas doktrin bahwa

cabang pemerintahan rakyat tersebut tidak boleh berkuasa penuh, lebih-lebih

dalam melaksanakan undang-undang yang menyentuh hak kepemilikan.39

Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan

Mahkamah Konstitusi berdasarkan model itu untuk pertama kali adalah

Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober

1920, rancangan tersebut diwujudkan di Austria.40 Karena gagasan model

pengujian konstitusi tersebut digagas Hans Kelsen maka ini juga disebut

sebagai Kalsenian Models atau sebutan Continental Model lainnya atau

Austrian Model. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi lahir dari adanya

keinginan untuk menjamin tegaknya konstitusi yang dianggap ideal.

                                                            38 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa,

2006), hlm. 225.

39 Leonard W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 3.

40 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 4.

Page 44: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

32

2. Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Bagi negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

negara dan pelaksana kekuasaan kehakiman memang dapat dikatakan sebagai

hal baru. Namun, sebagai sebuah gagasan, Mahkamah Konstitusi bukanlah

sesuatu yang baru, karena fungsi pengujian dan penafsiran konstitusi sebagai

gagasan yang sudah lama ada menjelang Indonesia merdeka.41 Didalam

penelusuran sejarah ketatanegaraan Indonesia pada awal penyusunan Naskah

Pembukaan UUD 1945 BPUPKI, tepatnya pada awal dalam 15 Juli 1959.

Terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian awal dalam bahasan ini,

yaitu: pertama, kewenangan lembaga kekuasaan kehakiman untuk melakukan

pengujian konstitusional terhadap undang-undang yang berlaku, walaupun

belum menyebutkan institusi mana yang berwenang untuk melakukan. Kedua,

melakukan interpretasi terhadap undang-undang. Terhadap yang pertama,

pada penyusunan UUD 1945, oleh Yamin, hak menguji oleh hakim yang di

Amerika Serikat disebut Judicial review, menjadi perdebatan dalam sidang

Pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (BPUPKI), ketika Supomo menanggapi

usulan Yamin tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya

                                                            41 Abdul Latif, dkk., Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Total

Media, 2009), hlm. 3.

Page 45: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

33

Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa suatu undang-

undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.42

Soepomo tidak menyetujui kewenangan untuk menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada MA. Karena, selain

alasan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar hanya

dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan

kekuasaan secara tegas, juga karena konsepsi undang-undang dasar ini tidak

memakai sistem yang membedakan secara prinsipal antara tiga badan atau

lembaga negara itu, artinya tidaklah kekuasaan kehakiman akan mengontrol

kekuasaan membentuk undang-undang. Tegasnya, yang dianut Undang-

Undang Dasar 1945 adalah pembagian kekuasaan bukan pemisahan

kekuasaan menurut teori atau doktrin trias politica yang dikembangkan oleh

Montesque di negara-negara Eropa Barat.43 Selain itu, Undang-Undang Dasar

1945 sebelum amandemen menganut supremasi parlemen dengan

menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem

demikian itu, produk legislatif tidak boleh diuji oleh kekuasaan lain.44

                                                            42 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokratis, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 54.

43 Jimly Asshidiqie, dkk., Menjaga Denyut Konstitusi (Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: -, 2004), hlm. 5-9.

44 Abdul Latif, dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 5.

Page 46: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

34

Tahun 1997 adalah tahun ketika bangsa Indonesia dilanda gejolak

krisis ekonomi disebabkan oleh krisis moneter. Bersamaan dengan krisis

tersebut keadaan politik di tanah airpun mengalami krisis karena maraknya

tuntutan reformasi, termasuk didalamnya reformasi konstitusi.45 Praktik

ketatanegaraan di awal reformasi tahun 1998 menunjukan perkembangan dan

dinamika kehidupan bernegara yang sangat pesat, sementara UUD 1945

sebelum amandemen kurang dapat mengikuti dinamika kehidupan yang

berkembang dan pada akhirnya menimbulkan pertentangan, karena masing-

masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan

pemahaman dan kepentingan masing-masing.46 Gagasan pembentukan

Mahkamah Konstitusi baru menjadi kenyataan ketika UUD 1945

diamanademen untuk yang ketiga kalinya (2001), sebagaimana tampak

pengaturannya dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.47 Di dalam

Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang ditetapkan MPR

pada 9 November 2001, menambahkan lembaga pelaksanaan kekuasaan

kehakiman baru, yakni Mahkamah Konstitusi.48

                                                            45Sri Soemantri, Hukum Tata negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung: PT

Rosda, 2014), hlm. 279.

46 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 10.

47 Ibid, hlm. 7-8.

48 Ach. Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 1, (Maret 2014), hlm. 87.

Page 47: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

35

Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan maka dalam rangka

menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah

Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara

sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil

perubahan ke-empat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat rancangan

undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 13 Agustus 2003

Presiden Megawati Soekarno Putri mengesahkan landasan hukum Mahkamah

Konstitusi yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4316). Undang-undang ini landasan hukum bagi Mahkamah

Konstitusi dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan Undang-

Undang Dasar 1945. Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M

Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang

dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di

istana negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan Mahkamah

Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke

Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai

beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang

kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.49                                                             

49 Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi,

Page 48: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

36

Hingga 12 (dua belas) tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi,

Mahkamah Konstitusi telah menjalankan dan melaksanakan tugasnya dalam

menangani tiga macam perkara yang menjadi yurisdiksinya yaitu menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Hingga saat ini Mahkamah Konstitusi belum pernah memberikan putusan

mengenai pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, dan tindak pidana berat lainnya adatu perbuatan tercela, dan/atau

pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat

sebagai presiden dan/atau wakil presiden dan juga belum pernah memutus

pembubaran partai politik.

3. Judicial Review sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi

Judicial review merupakan pengawasan kekuasaan kehakiman

terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif.50 Sejarah judicial review pertama

kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme

Court (Mahkamah Agung) dalam perkara Merbury vs Medison pada tahun

                                                                                                                                                                          http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1, (diakses pada 11 Januari 2016)

50 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 27.

Page 49: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

37

180351. Saat itu Jhon Marshall (seorang hakim agung Amerika) membatalkan

undang-undang dan harus diuji konstitusionalitasnya melalui putusannya

dalam menangani perkara Marbury Vs Medison. Marbury menuntut agar

Mahkamah Agung memerintahkan pemerintahan Thomas Jeffrson agar

mengeluarkan writ of mandamus.52 Namun John Marshall menolak

permohonan tersebut dan memberikan putusan yang berisi pembatalan

undang-undang dan melakukan constitusional review. Ketentuan memberikan

kewenangan Mahkamah Agung untuk mengeluarkan writ of mandamus. Pada

Pasal 13 Judiciary Act dianggap melebihi kewenangan yang diberikan

konstitusi sebagai the supreme of land.53 Putusan yang melebihi yang

dimohonkan tersebut sempat membuat kontroversi karena sebelumnya di

Amerika belum pernah ada hakim yang membatalkan undang-undang.

Peristiwa tersebut menjadi sejarah terjadinya judicial review dalam sejarah

Amerika Serikat dan pengaruhnya meluas dalam pemikiran dan praktek

hukum di banyak negara. Bagir Manan mengungkapkan bahwa judicial

review di Amerika Serikat adalah kekuasaan pengadilan untuk menyatakan

                                                            51 Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, (Jakarta: Gramata

Publishing, 2012), hlm. 199.

52 Writ of Mandamus dalam sistem hukum Amerika Serikat dapat diartikan sebagai surat perintah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tertinggi kepada organ tertentu termasuk Pemerintah agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang menjadi kewajiban hukumnya.

53 Tim Penyusun Buku Lima Tahun MK, Lima Tahun Mengakkan Konstitusi Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanieraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 3.

Page 50: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

38

batal (null and void) suatu hukum perundang-undangan atau tindakan

pemerintah karena berdasarkan alasan bertentangan dengan konstitusi.54

Di Indonesia sebelum terjadinya reformasi 1998 terjadi, banyak

kalangan mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga yang memiliki

kewenangan untuk melakaukan pengujian terhadap undang-undang. Ide

tersebut bahkan ide itu sudah ada sejak berdirinya negara Indonesia itu sendiri

lebih tepatnya pada saat pembahasan penyusunan UUD 1945 oleh BPUPKI

yang salah satu pembahasannya adalah mengenai kewenangan lembaga

kekuasaan kehakiman untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap

undang-undang yang berlaku, walaupun pada saat itu belum disebutkan

institusi mana yang berwenang untuk melakukannya.55 Baru setelah reformasi

1998 keinginan tersebut dapat terwujud setelah amandemen Undang-Undang

Dasar 1945 dilakukan. Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang

lahir dari amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945 diberikan kekuasaan

oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 yang diamanatkan melalui Pasal 24C ayat (1).

Sedangkan sesuai amanat Undang-Undang Dasar Pasal 24A ayat (1),

                                                            54 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung:

Mandar Maju, 1995), hlm. 9.

55 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 54.

Page 51: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

kew

und

und

yan

und

me

ban

Ma

me

Da

san

wenangan u

dang-undang

Berikut

dangan sebe

Meskip

ng diamana

dang terhad

ndominasi

nyaknya per

ahkamah Ko

Judicia

njaga agar

sar. Penguj

ngat penting

untuk peng

g terhadap u

t adalah sk

elum dan ses

pun Mahk

atkan oleh

dap Undan

tugas Mah

rmohonan p

onstitusi.

al review m

undang-un

ujian undan

g mengingat

gujian per

undang-und

ketsa kewen

sudah terjad

amah Kon

Undang-Un

ng-Undang

hkamah Kon

pengujian u

merupakan

ndang tidak

ng-undang

t undang-un

raturan per

dang dilakuk

nangan pen

dinya Undan

stitusi mem

ndang Dasa

Dasar me

nstitusi. Ha

undang-unda

kewenanga

k bertentang

terhadap U

ndang dibua

rundang-und

kan oleh Ma

ngujian pera

ng-Undang

miliki bebe

ar, tetapi p

erupakan tu

al tersebut

ang yang di

an yang san

gan dengan

Undang-Und

at oleh lemb

dangan di

ahkamah Ag

aturan peru

Dasar 1945

erapa kewe

pengujian u

ugas yang

dapat dilih

imohonkan

ngat pentin

n Undang-U

dang Dasar

baga legislat

39

bawah

gung.

undang-

5.

enangan

undang-

paling

hat dari

kepada

g guna

Undang

r tentu

tif yang

Page 52: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

40

merupakan lembaga politik yang sangat kental dengan kepentingan-

kepentingan tertentu. Foucault, seorang filsuf dan sejarawan Perancis

berpendapat bahwa hukum hanyalah ekspresi dan pelaksanaan kekuasaan.

Hukum dalam hal ini dipahami sebagai peraturan dan regulasi yang

ditetapkan dalam undang-undang atau hukum kasus.56 Pendapat tersebut

menunjukan bahwa pembentukan sebuah peraturan tidak dapat lepas dari

kepentingan pribadi/kelompok tertentu. Maka perlu adanya sebuah pengujian

untuk memastikan sebuah undang-undang tetap pada jalur konstitusi. Untuk

menentukan suatu undang-undang bertentangan atau tidak maka Mahkamah

Konstitusi akan melakukan penafsiran terhadap undang-undang yang sedang

diuji terhadap Undang-Undang Dasar. Jika tafsir yang ditentukan dalam

putusan Mahkamah Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau undang-

undang tetap konstitusional sehingga dipertahankan legalitasnya. Adapun jika

tafsir yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi

maka suatu norma hukum atau undang-undang menjadi inkonstitusional

sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.57

                                                            56 Ian Warda, Pengantar Teori Hukum Kritis, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 260-261.

57Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 149.

Page 53: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

41

B. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar

belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah

Konstitusi berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang

otoriter menuju demokrasi. Penolakan terhadap otoritarianisme berdampak

pada tuntutan penyelenggaraan negara secara demokratis dan menghargai hak

asasi manusia.58 Demikian juga yang terjadi di Indonesia, setelah berakhirnya

pemerintahan presiden Soeharto rakyat menuntut adanya perubahan menuju

negara yang menerapkan demokrasi secara lebih fair. Akibatnya terjadilah

amademen UUD yang mereformasi struktur ketatanegaraan Indonesia dan

melahirkan beberapa lembaga baru setelahnya guna menjamin terwujudnya

suatu pemerintahan yang demokratis. Salah satunya adalah Mahkamah

Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen, struktur kelembagaan Republik

Indonesia setidaknya terdapat sembilan buah lembaga negara yang menerima

kewenangan secara langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan

organ/lembaga tersebut adalah:

                                                            58 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan

UUD 1945, Cet. ke-2 (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 221-222.

Page 54: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

42

Di samping kesembilan lembaga tersebut diatas, terdapat pula

beberapa lembaga yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara

Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c)

Pemerintah Daerah, dan (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang

tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, tetapi kewenangan

dinyatakan akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ada pula

lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, akan tetapi

kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu bank

sentral dan komisi pemilihan umum. Hal ini dapat membedakan antara

kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar

 UUD  

DPR DPD

PRESIDEN

WAKIL PRESIDEN

BPK

KY

MA MK

MPR

Page 55: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

43

(constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya

berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power).59

H.M. Laica Marzuki mengemukakan Mahkamah Konstitusi bukan

bagian dari Mahkamah Agung dalam makna perkaitan struktur Unity

Jurusdiction, seperti halnya dalam sistem Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri

serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdicton. Keduanya

adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman.60 Hal tersebut

menunjukan bahwa keduanya (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)

merupakan puncak kekuasaan kehakiman yang sejajar. Mahkamah Konstitusi

merupakan salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman di samping

Mahkamah Agung.61 Jimly Assiddiqqie menyebutnya Mahkamah Agung pada

hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah

‘court of law’62.

Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan,

sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu

                                                            59 Jimly Assiddiqqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia, http://www.jimly.com/KEDUDUKAN_MK-2 (diakses pada 19 Februari 2016).

60 Abdul Latif, dkk., Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 15.

61 Inu Kencana Syafiie, Proses Legislatif, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2014), hlm. 58.

62 Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantif, seperti dalam istilah “court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”. Namun di sini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitusi.

Page 56: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

44

sendiri.63 Munculnya Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan

merupakan lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga

negara lainnya merupakan bagian dari upaya kontrol yudisial terhadap

penyelenggaraan negara melalui mekanisme hukum guna membangun dan

mengembangkan prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum.

2. Fungsi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi memiliki tugas untuk mengawal konstitusi, agar

dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggaraan kekuasaan negara maupun

warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi.

Lembaga negara lain dan bahkan orang per orang boleh saja menafsirkan arti dan

makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Akan tetapi, yang menjadi

otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah

Konstitusi.64 Menurut Kusnu Goesniadhie (Guru Besar Universitas

Wisnuwardhana, Malang) sebagaimana dikutip oleh Putera Astomo,

mengungkapkan bahwa dalam melakukan fungsi peradilan, Mahkamah Konstitusi

melakukan penafsiran terhadap UUD sebagai satu-satunya lembaga yang

mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar.

Karena itu, di samping berfungsi sebagai pengawal UUD, Mahkamah Konstitusi

                                                            63 Jimly Assiddiqqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia, http://www.jimly.com/KEDUDUKAN_MK-2 (diakses pada 19 Februari 2016).

64 Maruar, Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika. 2011), hlm. 7-8.

Page 57: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

45

juga bisa disebut sebagai The Sole Interpreter Of The Constitution.65

Sebagaimana tujuan awal pembentukan Mahkamah Konstitusi yang dicetuskan

oleh Hans Kelsen, Mahkamah Konstitusi memiliki tugas pokok untuk

menegakkan konstitusi dengan kewenangannya meninjau undang-undang

terhadap undang-undang dasar.

Dalam konteks bernegara, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai

pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusi di tengah

kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin

agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secra

konsisten dan betanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang

ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu

hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”66

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pengaduan konstitusional sebagai mekanisme perlindungan hak-hak

konstitusional warga negara jelas tidak dapat dipisahkan dari hakikat keberadaan

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang sengaja didesain untuk

                                                            65 Putera Astomo, Hukum Tata Negara Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Thafa Media, 2014),

hlm. 167.

66 _,Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta:Sekretariat Jendral MKRI, 2004), hlm. iv.

Page 58: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

46

melaksanakan fungsi constitutional review.67 Di Indonesia lebih dikenal dengan

istilah judicial review, meskipun secara makna berbeda. Makna constitutional

review lebih sempit karena yang digunakan untuk menguji peraturan perundang-

undangan hanya terhadap konstitusi saja, sedangkan judicial review dapat

menggunakan undang-undang di bawah konstitusi sebagai bahan pembanding

untuk menentukan keabsahan suatu peraturan perundang-undangan. Di Indonesia

pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

Dasar dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pengaduan konstitusi merupakan suatu

wujud perlindungan hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan dimana

pengadilan yang dimaksud di sini adalah pengadilan yang yang secara khusus

diberi fungsi untuk melaksanakan constitusional review (dalam hal ini adalah

Mahkamah Konstitusi). Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili

perkara pengaduan konstitusi merupakan sesuatu yang melekat dalam fungsi

Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan pengujian konstitusional. Menurut

Maurice Duverger,68 judicial control adalah penting agar undang-undang atau

peraturan perundang-undangan tidak menyimpang dari Undang-Undang Dasar

atau konstitusi. Undang-Undang Dasar akan kehilangan asas-asasnya dan akan

menjadi rangkaian kata-kata yang tidak ada artinya sama sekali kalau tidak ada

lembaga yang mempertahankan dan menjaga kehormatan hukum tersebut. Selain

                                                            67 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum

Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 309.

68 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 271.

Page 59: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

47

itu, kontrol terhadap tindakan badan eksekutif bertujuan agar tindakan badan

eksekutif tidak melanggar hukum.

Bagi negara-negara yang mengalami proses transisi menuju demokrasi,

pengaduan konstitusional dipandang bukan sekedar jaminan perlindungan hak-

hak konstitusional warga negara melainakan juga sebagai sarana penting untuk

membangun demokrasi konstitusional yang berlandaskan pada penghormatan

terhadap hak-hak asasi manusia. Sebagai instrumen khusus perlindungan hak-hak

konstitusional sesorang, pengaduan konstitusi juga memberi warga negara suatu

hak untuk memasuki sengketa hukum melawan negara, beserta aparatnya.69

Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi yang penting dalam menjaga

keselarasan peraturan perundang-undangan di Indonesia agar tidak bertentangan

dengan konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Wewenang

Mahkamah Konstitusi memutus pengujian undang-undang adalah menguji

konstitusionalitas suatu undang-undang.70 Selain fungsi untuk menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi juga

memiliki fungsi lain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil

amandemen ketiga yaitu dalam Pasal 24C ayat (1) sebagai berikut:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguju undang-undang

                                                            69 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusi (Constitutional Complain) Upaya Hukum

Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusi Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 309-311.

70 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm.28.

Page 60: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

48

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai polotik, dan memutus perselisaihan hasil pemilihan umum.”71 Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi ini adalah perwujudan

prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga-lembaga negara

dalam kedudukan setara sehingga dapat saling kontrol dan saling imbang dalam

praktek penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi jelas

merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antara lembaga negara

khususnya dalam proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara.72

Peradilan konstitusional dengan yurisdiksi pengujian konstitusionalitas

undang-undang memiliki kekhasan dibandingkan dengan peradilan biasa karena

peradilan konstitusional memiliki fungsi untuk menegakkan konstitusi sebagai

hukum kepada pembentuk undang-undang.73

Secara lebih khusus Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang

No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Wewenang secara khusus diatur dalam Pasal

                                                            71 Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945.

72 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 145.

73 Suwarno Abadi, “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi, Vol.12, No.3, (September 2015), hlm. 596.

Page 61: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

49

10 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu74:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rumusan terinci dalam Pasal 10 UU MK adalah salinan Pasal 24C ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 7B ayat (1) sampai dengan

ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih dikenal dengan nama

impeachment. Oleh karena adanya pemisahan antara empat kewenangan yang

disebut pertama dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan

ketentuan yang disebutkan dalam ayat (2) dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi

wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai

dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.75

                                                            74 Pasal 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

75 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 16.

Page 62: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

50

4. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik khusus yang berbeda

dengan peradilan lain. Hal tersebut sesuai dengan dengan sifat perkara yang

masuk dalam wewenang peradilan Mahkamah Konstitusi. Karakteristik utama

dasar hukum dalam proses peradilan (baik terkait dengan substansi maupun

hukum acara) adalah konstitusi, yaitu UUD 1945. Namun demikian juga

terdapat berbagai ketentuan undang-undang dan Peraturan Mahkamah

Konstitusi (PMK) yang digunakan sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak

terlepas dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang pada hakikatya adalah

mengadili perkara-perkara Konstitusional.76 Pada setiap jenis perkara yang

diterima Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki hukum acara

yang berbeda sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Setidaknya

Mahkamah Konstitusi memiliki 5 hukum acara, yaitu hukum acara pengujian

undang-undang terhadap UUD, hukum acara memutus sengketa

kewenanangan konstitusionalitas lembaga negara, hukum acara pembubaran

partai politik, hukum acara perselisihan hasil pemilu dan hukum acara

memutus pendapat DPR dalam proses pemberhentian presiden dan/wakil

presiden dalam masa jabatannya. Namun demikian, meskipun setiap jenis

perkara memiliki hukum acara yang berbeda-beda sesuai dengan

                                                            76 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 28.

Page 63: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

51

kewenangannya, secara umum aspek-aspek Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi adalah sebagai berikut:

a. Permohonan

Permohonan disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia

oleh pemohon atau kuasa hukum kepada Mahkamah Konstitusi.77

Didalam permohonan harus diuraikan secara jelas perkara yang

dimohonkan terkait dengan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi

dan harus dilengkapi dengan alat bukti pendukung permohonan. Selain itu

jika harus memuat nama dan alamat pemohon , uraian mengenai perihal

yang menjadi dasar permohonan sesuai dengan perkara yang dimohonkan,

dan hal-hal yang diminta untuk dihapus.78

b. Pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang

Permohonan yang telah diterima petugas Mahkamah Konstitusi

disampaikan kepada panitera Mahkamah Konstitusi yang akan melakukan

pemeriksaan kelengkapan permohonan (administratif). Secara umum alur

pendaftara permohonan adalah sebagai berikut:

                                                            77 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

78 Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 64: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

c.

                     79 T

(Jakarta: Sek

80 PUndang No.

Persidanga

Ber

perkara, si

(empat), ya

1) Pemeri

memer

memas

2) Pemeri

untuk

keteran

Pemeri

                      Tim Penyusun kretariat Jende

Pasal 39 ayat 24 Tahun 200

an

rdasarkan

idang Mahk

aitu:79

iksaan Pend

riksa keleng

suki pemerik

iksaan Pers

memeriksa

ngan saksi,

iksaan persi

                 Hukum Acar

eral dan Kepan

(1) Undang-U03 tentang Ma

materi pes

kamah Kon

dahuluan, y

gkapan dan

ksaan pokok

sidangan, y

a permohon

keterang

idangan pad

ra Mahkamah niteraan MKR

Undang No. ahkamah Kons

sidangan te

nstitusi dap

yaitu persid

kejelasan m

k perkara.80

yaitu jenis

nan, alat b

gan ahli, da

da prinsipny

Konstitusi, HI, 2010), hlm

8 Tahun 201stitusi.

erkait deng

pat dikatego

dangan yang

materi per

persidangan

bukti, keter

an keterang

ya dilakukan

Hukum Acara Mm. 44.

1 tentang Per

gan proses

orikan menj

g dilakukan

rmohonan s

n yang dil

rangan term

gan pihak

n oleh pleno

Mahkamah Ko

rubahan Atas

52

s suatu

jadi 4

n untuk

ebelum

lakukan

mohon,

terkait.

o hakim

onstitusi,

Undang-

Page 65: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

53

konstitusi, kecuali untuk perkara tertentu berdasarkan keputusan ketua

Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan oleh panel hakim.81

3) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yaitu salah satu dari sidang

pleno yang sifatnya tertutup. Dalam RPH ini dibahas perkembangan

suatu perkara, putusan, serta ketetapan terkait suatu perkara.82

4) Sidang pengucapan putusan, yaitu sidang pleno yang agendanya hanya

pembacaan putusan atau ketetapan Mahkamah Konstitusi terkait suatu

perkara yang telah diperiksa atau diadili.83

d. Pembuktian, untuk memutus suatu perkara konstitusi, harus didasarkan

pada sekurang-kurangnya dua alat bukti.84 Pembuktian di Mahkamah

Konstitusi menerapkan ajaran bebas yang terbatas. Dikatakan bebas

karena hakim dapat menetukan secara bebas kepada beban pembuktian

suatu hal akan diberikan. Namun hakim juga masih dalam batasan

tertentu.85 Alat bukti yang dapat digunakan di Mahkamah Konstitusi

meliputi: surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan para pihak,

petunjuk dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim,

                                                            81 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 48.

82Ibid., hlm.49.

83 Ibid., hlm.50.

84 Pasal 45 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

85 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 37-38.

Page 66: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

54

diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang

serupa dengan itu.86

e. Putusan, terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan,

yaitu:87 putusan sela (putusan provisi) dan putusan akhir. Putusan sela

merupakan putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan

pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan

dengan perkara yang diperiksa atau dipertimbangkan hakim. Putusan sela

dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir

dijatuhkan.

5. Jenis-jenis amar putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat

berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat

secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak

kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa

yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu merupakan tindakan

negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan

                                                            86 Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

87 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 51.

Page 67: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

55

UUD 1945 maupun undang-undang.88 Di Mahkamah Konstitusi, dasar

putusan perkara adalah Undang-Undang Dasar 1945. Untuk putusan yang

mengabulkan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti

yang sah dan keyakinan hakim bahwa permohonan itu memenuhi syarat-

syarat konstitusional sebagaimana dimaksud dalam konstitusi.89 Putusan

Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap di dalam

persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Putusan

tersebut harus diambil secara mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi

yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan hakim

wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap

permohonan.90 Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa jenis putusan

terhadap gugatan yang diajukan, yaitu:

                                                            88 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,

2006), hlm. 201.

89 UU Mahkamah Konstitusi Pasal 45 menyatakan:

(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.

90 C.S.T Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguran Tinggi), Cet. ke-22 ( Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), hlm. 239.

Page 68: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

56

1. Ditolak

Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

mengatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak,

yaitu “Dalam hal undang-undang dimaksdud tidak bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai

pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan amar putusan

menyatakan ditolak”91. Salah satu contoh putusan yang amar putusannya

adalah menolak permohonan para pemohon karena permohonan pemohon

tidak cukup beralasan adalah dalam Perkara Nomor 009-014/PUU-

III/2005 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris terhadap UUD 1945.

2. Tidak dapat diterima

Tidak dapat diterima merupakan amar putusan terhadap

permohonan yang tidak memenuhi syarat kewenangan Mahkamah

Konstitusi dan legal standing.92 Pasal 56 ayat (1) Mahkamah Konstitusi

mengatur tentang amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat

diterima yaitu: “Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

                                                            91 Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

92 Abdul Mukhtie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006), hlm. 143.

Page 69: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

57

Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan

permohonan tidak dapat diterima”.93 Contoh putusan dalam hal

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tidak memenuhi syarat (Niet

Ontvantkelijk Verklaard) adalah Putusan Perkara Nomor 031/PUU-

IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran terhadap UUD 1945, dimana pemohonnya adalah

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan KPI sebagai pemohon tidak

dirugikan hak atau kewenangan konstitusionalnya dengan berlakunya

undang-undang penyiaran.

3. Dikabulkan

Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur

tentang amar putusan yang menyatakan permohonan dikabulkan, yaitu:

“Dalam hal Mahkamah Konstitusi 24 berpendapat bahwa permohonan

beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan”.94 Contoh

putusan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan

dikabulkan adalah Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan                                                             

93 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

94 Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 70: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

58

Umum terhadap UUD 1945, tanggal 18 Maret 2010, dimana pemohonnya

adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dalam perkembangannya, terdapat pula amar putusan lainnya dalam

praktik di Mahkamah Konstitusi, yaitu:

1. Konstitusional Bersyarat

Munculnya gagasan tentang Putusan Konstitusional Bersyarat saat

permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air. Dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi diatur 3 (tiga) jenis amar putusan, yaitu

permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan

permohonan ditolak. Jika hanya berdasarkan pada ketiga jenis putusan

tersebut akan sulit untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-

undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum,

padahal dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah

dalam pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

Yang menjadi masalah adalah ketika dipersoalkan bahwa belum ada

peratuturan pelaksanaan yang menjadi turunan di bawahnya. Katakanlah

Peraturan Pemerintah yang belum ada, oleh karena itu Mahkamah

Konstitusi tidak mungkin dalam pengambilan putusan menunggu keluar

terlebih dahulu Peraturan Pemerintah yang belum ada. Jika menunggu

Peraturan Pemerintahnya (PP) maka yang diuji bukan undang-undangnya

melainkan Peraturan Pemerintahnya.

Page 71: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

59

2. Tidak Konstitusional Bersyarat

Pada dasarnya, sebagaimana argumentasi dan diputuskannya

putusan konstitusional bersyarat, putusan tidak konstitusional bersyarat

juga disebabkan karena jika hanya berdasarkan pada amar putusan yang

diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan tidak dapat diterima,

permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak, maka akan sangat sulit

untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-undang seringkali

dirumuskan bersifat umum, padahal dalam rumusannya yang sangat

umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaannya akan

bertantangan dengan UUD 1945 atau tidak.

3. Penundaan Keberlakuan Putusan

Putusan ini dikeluarkan Mahkamah Konstitusi untuk jangka waktu

tertentu guna terpenuhi suatu syarat di mana kekuatan mengikat putusan

ini akan berlaku. Bentuk lain dari putusan ini adalah dengan menyatakan

tidak mengikatnya salah satu pasal dalam undang-undang yang diujikan

sebelum ada syarat yang harus terpenuhi sebagai contoh Putusan

Mahkamah Konstitusi yang merupakan penundaan keberlakuan putusan

adalah dalam Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 terutama Pasal 53 Undang-

Page 72: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

60

Undang KPK yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dalam

pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa “Apabila

dalam jangka waktu tiga tahun tidak dipenuhi oleh pembuat undang-

undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi

hukum (van rechtwege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

lagi”.95 Hal ini dimaksudkan agar baik itu DPR dan Pemerintahan baru

hasil Pemilu 2009, melakukan perbaikan dalam undang-undang guna

memperkuat basis konstitusionalnya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya

Pasal 53 Undang-Undang KPK yang telah dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup

bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan agar sesuai

dengan UUD 1945 dan sekaligus dimaksudkna agar pembentuk undang-

undang secara keseluruhan memperkuat dasar-dasar konstitusional yang

diperlukan bagi keberadaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi.

Mahkamah Konstitusi merasa perlu membatasi akibat hukum yang timbul

dari pernyataan inkonstitusional sesuai undang-undang guna kepentingan

umum yang lebih besar.

                                                            95 Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindank Pidana Korupsi.

Page 73: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

61

4. Perumusan Norma dalam Putusan

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini mengubah atau penghapusan

bagian tertentu dari isi dari suatu undang-undang maka norma dari undang-

undang itu juga berubah dari yang sebelumnya. Contohnya dalam Pengujian

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945.

C. Pengertian Ultra Petita

Pada dasarnya prinsip ultra petita diatur dalam hukum perdata yaitu pada

ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

dan oleh Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg. Ketentuan tersebut melarang seorang

hakim menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan

lebih dari pada yang dituntut. HIR yang merupakan Hukum Acara Perdata ini

berlaku di Indonesia dengan mendapat legitimasi dari Pasal 1 aturan peralihan

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ”Segala peraturan

perundang-undangan yang ada masih tetap beraku selama belum diadakan yang

baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.96 Prinsip larangan ultra petita ini

kemudian juga dianut oleh sistem peradilan perdata di Indonesia.

                                                            96 Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

Page 74: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

62

Resiko terjauh hakim dari tindakan hakim melakukan ultra petita, hakim

dapat mengarah dan tergelincir melakukan tindakan reformation ini peies, dimana

hakim akan membawa penggugat kepada suatu keadaan atau situasi yang justru

merugikan kepentingan penggugat dibandingkan dengan keadaan penggugat

sebelum mengajukan gugatan.97

D. Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi memiliki

peran yang sangat penting guna menjaga negara agar sesuai dengan yang

diamanatkan oleh konstitusi. Sejalan dengan perkembangannya Mahkamah

Konstitusi terus membuat Terobosan-Terobosan hukum yang seringkali membuat

para ahli hukum khawatir. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena dalam

beberapa kasus Mahkamah Konstitusi membuat Terobosan dengan melanggar

ketentuan undang-undang. Misalnya saja pada Mahkamah Konstitusi perkara

Pilkada Jawa Timur tanggal 14 November 2008. Jika didasarkan pada ketentuan

undang-undang, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara

sengketa pemilukada tidak lebih dari mengadili angka. Mahkamah Konstitusi

tidak boleh memerintahkan diselenggarakannya pemilu ulang atau

memerintahkan pemungutan suara ulang. Sebab, pemilu ulang atau pemungutan

suara ulang hanya boleh dilakukan oleh dan atas dasar perintah KPU jika terjadi

                                                            97 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta:

UII Press, 2003), hlm. 167-168.

Page 75: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

63

bencana atau huru-hara sosial atau keadaan tertentu lainny.98 Namun pada

kenyataanya Mahkamah Konstitusi memerintahkan dilakukannya pemungutan

suara ulang.

Tercatat hingga tahun akhir 2015 terdapat 1273 permohonan judicial

review diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dari jumlah tersebut 843 permohonan

pengujian undang-undang yang dinyatakan diterima dan 807 putusan dikeluarkan

oleh Mahkamah Konstitusi. Berikut penyusun sampaikan data rekapitulasi

perkara pengujian undang-undang sejak 2003 hingga akhir 2015 yang penyusun

ambil dari data yang dirilis oleh Mahkamah Konstitusi.99

Tahun Dalam Proses Yang Lalu Terima Jumlah Jumlah Putusan2003 0 24 24 4 2004 20 27 47 35 2005 12 25 37 28 2006 9 27 36 29 2007 7 30 37 27 2008 10 36 46 34 2010 39 81 120 61 2011 59 86 145 94 2012 51 118 169 97 2013 72 109 181 110 2014 71 140 211 131 2015 80 140 220 157

Jumlah 430 843 1273 807

                                                            98 Rita Triana Budiarti, Kontroversi Mahfud Md Jilid 2 Di Balik Putusan Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 1-2.

99Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU, (diakses pada 8 Juni 2016).

Page 76: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

64

Berdasarkan data yang diperoleh oleh Abdulah Fikri dari pernyataan

Puslitka Mahkamah Konstitusi, hingga tahun 2010 terdapat setidaknya ada 13

putusan yang dapat dikategorikan ultra petita (melebihi yang dimohonkan).

Putusan tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu putusan pengujian undang-

undang yang dibatalkan seluruhnya dan yang tidak dibatalkan seluruhnya.100

Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah sangat produktif memeriksa dan memutus

perkara judicial review, tidak sedikit masyarakat yang terusik oleh beberapa

putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial, yakni putusan-

putusan dalam pengujian undang-undang yang bersifat ultra petita, bahkan ada

kesan Mahkamah Konstitusi bukan hanya bertindak sebagai negative legislator

tetapi juga sudah memasuki area positive legislator.101 Munculnya ultra petita di

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sendiri tidak lepas dari adanya

kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review sebagai

upaya untuk menjaga konstitusionalitas undang-undang yang dihasilkan oleh

lembaga legislatif. Semula putusan Mahkamah Konstitusi hanya sekedar

menyatakan suatu norma atau undang-undang bertentangan terhadap Undang-

Undang Dasar, kemudian berkembang dengan memberikan tafsir suatu norma

                                                            100 Abdullah Fikri, ”Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh

Siyasah”, s skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2012), hlm. 65.

101 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 148.

Page 77: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

65

atau undang-undang yang diuji agar memenuhi syarat konstitusionalitas sehingga

tidak terhindarkan Mahkamah Konstitusi membuat norma baru.

Dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi telah melakukan

pengujian atas produk legislasi sehingga norma atau undang-undang yang diuji

memenuhi syarat konstitusionalitas. Putusan Mahkamah Konstitusi memberi

tafsir (petunjuk, arah, dan pedoman serta syarat bahkan memberikan norma baru)

yang dapat diklarifikasi sebagai keputusan konstitusional bersyarat (conditionally

constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional).102 Beberapa pihak tidak menerima adanya tindakan-tindakan

Mahkamah Konstitusi yang memberikan putusan melebihi yang dimohonkan,

karena dinilai dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Sebagai negara yang

menganut sistem civil law tentu hal ini memberikan dampak terjadinya ketidak-

pastian hukum di Indonesia. Akan menjadi hal yang berbeda jika ini terjadi di

negara yang menganut sistem Anglo Saxon, karena dalam sistem Anglo Saxon

hakim memiliki kebebasan yang sangat luas dalam mempertimbangkan suatu

perkara. Selama ini pemberian kewenangan pengujian undang-undang kepada

Mahkamah Konstitusi tanpa adanya pembatasan tertentu juga berpotensi

terjadinya penyelewengan kekuasaan. Beberapa putusan ultra petita dan

menimbulkan kekacauan baru dalam perspektif yuridis maupun politis.103

                                                            102 Ibid.

103 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandeman Ulang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 259.

Page 78: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

66

Contoh lain yang cukup ramai dibicarakan adalah ketika pada tahun

2012 Mahkamah Konstitusi menyatakan BP Migas inkonstitusional dengan

membatalkan undang-undang yang mengatur BP Migas melalui Putusan MK

Nomor 36/PUU-X/2012 tentang BP Migas sehingga BP Migas harus bubar.

Putusan dinilai mengandung unsur ultra petita karena pemohon hanya meminta

untuk meninjau beberapa pasal dan frasa yang ada dalam Undang-Undang BP

Migas tersebut. Namun lebih dari itu dalam putusannya Mahkamah Konstitusi

membatalkan pasal-pasal yang oleh pemohon sendiri tidak di mohonkan.

Pelarangan tentang ultra petita di lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri

sebenarnya sudah pernah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Khususnya pada Pasal 45A yang berbunyi:

“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak

diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal

tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan”.104 Namun kemudian pasal

tersebut dibatalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa tidak ada

dasar hukum bagi pelarangan ultra petita di dalam sistem peradilan Mahkamah

Konstitusi.

Di beberapa negara yang telah mengadopsi pendirian Mahkamah

Konstitusi sebagai sebuah lembaga yudisial juga telah mengenal adanya prinsip

                                                            104 Pasal 45A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 79: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

67

ultra petita. Dalam hal ini penulis melihat Mahkamah Konstitusi di Hungaria

sebagai pembanding diterapkannya prinsip ultra petita dalam putusan Mahkamah

Konstitusi.

Hungaria merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Austria

yang merupakan negara Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang sangat

berpengaruh pada masanya dan juga menjadi seorang tokok pencetus ide

pendirian lembaga independen untuk menjaga konstitusioalitas suatu undang-

undang. Hungaria dapat dikatakan sebagai negri makmur. Mulanya sejarah

Hungaria berkembang dalam segi tiga sejarah antara Polandia dan Bohemia,

dengan banyak hubungan dengan para paus dan kaisar dari kekaisaran Suci

Romawi. Antara 1241-1242 sebagian Hungaria hancur dan banyak sekali yang

meninggal di tangan tentara mongol.105 Hungaria mengalami dinamika

kenegaraan yang cukup panjang hingga akhirnya pada akhir tahun 1980-an

beralih pada demokrasi multipartai. Mahkamah Konstitusi Hungaria merupakan

hasil kesepakatan parlemen Hungaria. Kesepakatan untuk membentuk suatu

institusi yang terpisah dari peradilan umum mencapai puncak kesepakatan pada

akhir Januari 1989. Berdasarkan hasil perubahan Pasal 32/A Konstitusi Hungaria

parlemen pada Oktober 1989 mengesahkan Undang-Undang No XXXII tentang

Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang

Mahkamah Konstitusi Hungaria (Act CLI of 2011 on the Constitutional Court)

                                                            105 Robert Tjahyono Adi, Mengenal 192 Negara di Dunia, (Jakarta: Pustaka Widyatama,

2007), hlm. 238-240.

Page 80: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

68

salah satu tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Hungaria adalah untuk

melindungi Undang-Undang Dasar Hungaria sebagaimana disebutkan dalam

mukadimah Act CLI of 2011 on the Constitutional Court sebagai berikut:

The Parliament of Hungary, with a view to protecting democratic State governed by the rule of law, constitutional order and the rights guaranteed in the Fundamental Law and to safeguard the inner coherence of the legal sistem, and enforcing the principle of the division of powers – implementing the Fundamental Law, pursuant to Article 24 (5) thereof – has adopted the following Act on the regulation of the competence, organisation and operation of the Constitutional Court as the principal organ for the protection of the Fundamental Law.106

Mahkamah Konstitusi Hungaria mempunyai putusan yang bersifat final

(tidak dapat dibanding) dan mengikat.107 Salah satu hal yang berbeda dari

Mahkamah Konstitusi di Indonesia bahwasanya Mahkamah Konstitusi Hungaria

dapat melakukan pengujian tanpa adanya permohonan dengan ketentuan yang

telah diatur dalam Act CLI of 2011 on the Constitutional Court. 108 Hal yang

menarik dari Mahkamah Konstitusi Hungaria ini adalah bahwa dalam amar

putusan pada 1993 Mahkamah Konstitusi Hungaria menyatakan bahwa sebagai

akibat dari uji konstitusionalitas undang-undang, mahkamah dalam putusannya

                                                            106 Mukadimah Act CLI of 2011 on the Constitutional Court.

107 Hal ini diatur dalam section 45(6) Act CLI of 2011 on the Constitutional Court yang menyebutkan bahwa: “The Constitutional Court shall order the review of the criminal proceedings or contravention proceedings concluded with a final decision based on a legal regulation which is contrary to the Fundamental Law, if the annulment of the applied legal regulation or provision therein would result in the reduction or waiver of the punishment or measure or in the exemption from or limitation of criminal or contravention liability.”

108 Hal ini diatur dalam Section 32 (1) Act CLI of 2011 on the Constitutional Court yang menyebutkan bahwa: “Pursuant to Article 24 (2) f) of the Fundamental Law, the Constitutional Court shall examine legal regulations on request or ex officio in the course of any of its proceedings.”

Page 81: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

69

dapat menentukan persyaratan konstitusionalitas apa saja yang tidak dipenuhi

oleh undang-undang tersebut.109 Dalam konteks Mahkamah Konstitusi Repubik

Indonesia putusan yang seperti ini seringkali menimbulkan pertentangan diantara

ahli hukum bahwa putusan tersebut melebihi yang dimohonkan. Namun di

Hungaria sendiri putusan konstitusionalitas bersyarat tersebut telah berlangsung

sejak lama. Seiring dengan perkembangannnya, ketika pembatalan tidak secara

langsung dapat memulihkan keluhan yang didalihkan oleh pemohon Mahkamah

Konstitusi Hungaria menggunakan instrumen tersebut. Namun demikian putusan

ini dapat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum. Artinya Mahkamah

Konstitusi dapat saja membatalkan undang-undang secara keseluruhan. Meskipun

hal demikian tidak dimohonkan oleh pemohon. Berkenaan dengan putusan model

ini, suatu ketentuan yang dinilai tidak konstitusional dapat dibatalkan melalui cara

menentukan terlebih dahulu constitutional content dari norma hukum tersebut.110

                                                            109 Jimly Assiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), hlm. 24.

110 Ibid.

Page 82: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

70

BAB III

ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI: CONTOH KASUS DAN ALASAN

Isi pokok dari pada Undang-Undang Dasar pada umumnya mengandung

prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan suatu negara dan menjadi pedoman

pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah.111 Maka ketika undang-undang di bawahnya

tidak sesuai Undang-Undang Dasar, undang-undang tersebut harus diuji

kekonstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi setelah terlebih dahulu pihak yang

merasa berkeberatan dengan isi undang-undang tersebut mengajukan permohonan

judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Adakalanya Mahkamah Konstitusi

memberiaan putusan melebihi yang dimohonkan (ultra petita) dengan pertimbangan-

pertimbangan tertentu.

Dalam menguji konstitusionalitas suatu undang-undang atau kebijakan,

Mahkamah Konstitusi seringkali dihadapkan pada pilihan dilematis. Mahkamah

Konstitusi dapat bertindak agresif, dengan secara aktif mengubah kebijakan yang

diambil oleh pembentuk undang-undang. Legitimasi pengambilan tindakan aktif ini,

secara teoritis, diperoleh dari konsep yudisialisasi politik. Konsep ini telah menjadi

konsep yang matang dengan banyak diulas dalam artikel-artikel ilmiah yang ditulis

oleh pakar-pakar hukum dan politik. Tidak hanya dalam perspektif teoritis, secara                                                             

111 C.S.T Kansil, Hukum Antar Tata Pemerintahan dalam Rangka Perbandingan Hukum Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 67.

Page 83: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

71

praktek, penerapan yudisialisasi politik juga lazim ditemukan dalam pengujian

konstitusionalitas oleh lembaga peradilan di berbagai negara. Fenomena global

menunjukkan telah terjadi pergeseran kewenangan pengambilan kebijakan dari

pembentuk undang-undang ke lembaga peradilan. Indonesia, tidak terlepas dalam

salah satu negara yang menerapkan yudisalisasi politik dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang atau kebijakan. Beragam putusan yang dikeluarkan

oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi sangat kental bercorak aktif dengan

mengubah suatu kebijakan yang selama ini merupakan ranah pembentuk undang-

undang (eksekutif dan legislatif). Konsekuensi pilihan aktif yang diambil oleh

mahkamah konstitusi adalah munculnya resistensi dan perlawanan dari pembentuk

undang-undang.112

Beberapa pakar hukum tidak sepakat dengan pitusan ultra petita yang

dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan sebelum menjadi hakim konstitusi,

Mahfud MD, Arief Hidayat, dan Patrialis Akbar bisa dikatakan sebagai para pakar

hukum yang tidak setuju ultra petita, mereka beranggapan bahwa ultra petita yang

dilakukan Mahkamah Konstitusi harus dibatasi. Patrialis Akbar ketika masih

menjabat sebagai Mentri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Oktober 2009 –

Oktober 2011) menilai bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator

hanya berwenang menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan dengan

                                                            112 Bisariyadi, “Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi

dalam Menguji Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3, (September 2015). hlm. 496. 

Page 84: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

72

UUD 1945. Bukan menambah norma baru dalam undang-undang. Patrialis Akbar

juga menjadi wakil pemerintah saat revisi UU MK dan menyetujui pembatasan ultra

petita oleh Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Pasal 45A yang berbunyi

“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta

oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu

yang terkait dengan pokok permohonan”.113 Meskipun kemudian pasal tersebut

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri melalui judicial review. Namun saat ini

ketika Patrialis Akbar menjadi salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi Patrialis

juga tidak dapat terlepas dari putusan-putusan yang ultra petita.

Mahfud MD sebelum juga merupakan salah satu tokoh yang menentang ultra

petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelum menjadi hakim konstitusi

Mahfud MD berpendapat bahwa dalam melakukan uji materi, perlu dibatasai

beberapa hal sebagai berikut:114

1. Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat isi yang

bersifat mengatur.

2. Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus batal

atau tidak batal sebuah undang-undang atau sebaian isi undang-undang yang

                                                            113 Pasal 45A Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

114 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 190.

Page 85: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

73

bersifat terbuka yakni yang oleh UUD diatribusikan (diserahkan

pengaturannya) kepada undang-undang.

3. Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus hal-hal

yang tidak diminta (ultra petita).

Kemudian saat ujian fit and proper test saat akan menjadi hakim konstitusi

Mahfud juga menyampaikan makalah tentang ultra petita di Mahkamah Konstitusi.

Beliau menentang ultra petita dengan beberapa alasan yang disampaikannya. Beliau

juga menyanggah pendapat Jimly Assiddiqqie yang berpendapat bahwa larangan

ultra petita hanya ada dalam hukum perdata dan Mahkamah Konstitusi dapat

memutus hal yang tidak langsung diminta jika memang undang-undang bertentangan

dengan UUD. Namun Mahfud memiliki pendapat berbeda, larangan ultra petita tidak

hanya dalam hukum perdata, tapi juga berlaku pada ranah hukum lainnya, termasuk

pengujian undang-undang terhadap UUD. Nyatanya, setelah menjadi hakim Mahfud

kemudian juga memberikan putusan ultra petita. Kemudian memperbolehkan ultra

petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Beliau menyadari kesenjangan

antara teori akademis dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Arief Hidayat juga menjadi salah satu tokoh yang berpendapat bahwa ultra

petita di Mahkamah Konstitusi perlu dibatasi. Dalam makalah yang disampaikan

dalam ujian fit and proper test saat untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi.

Menurut Arif Hidayat, pada dewasa ini MK dalam kewenangan pengujian undang-

undang selain membatalkan undang-undang, bagian, pasal, ayat, telah pula

menuliskan atau menetapkan norma baru. Hal ini bisa di mengerti apabila dilakukan

Page 86: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

74

oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka untuk menghindari adanya

kekosongan/kevakuman hukum dan menjaga supaya adanya tertib hukum dan

kepastian hukum, sehingga tidak memunculkan kekacauan hukum dan sosial, politik,

ekonomi di negara ini. Satu catatan yang harus diperhatikan bahwa secara filosofis-

yuridis perubahan kewenangan tersebut yang sering disebut sebagai putusan bersifat

ultra petita yang dapat dibenarkan atas pertimbangan tersebut di atas, tetapi batasan

sebagai negative legislator harus tetap dipertahankan agar tidak menggeser dan

melampui kewenangan lembaga lain yaitu lembaga pembentuk undang-undang.

Selain itu, pertimbangan lain yang lebih filosofis yang dapat dipergunakan adalah

upaya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mencari dan menemukan keadilan

yang bersifat substanstif tidak semata-mata menemukan keadilan yang bersifat

prosedural. Atas dasar pertimbangan formil dan filosofis ini, maka putusan

Mahkamah Konstitusi yang menggunakan prinsip ultra petita harus dilakukan secara

terbatas dan menggunakan prinsip kehati-kehatian.115 Namun demikian ketika

menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat juga ternyata juga membuat

putusan yang dapat dikatakan bersifat mengatur dan membuat norma baru yaitu

dalam Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

                                                            115 Arief Hidayat, “Prinsip Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait

Pengujian Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945”, Makalah, Disampaikan pada saat fit and propter test di hadapan Komisi III DPR RI, pada tanggal 27 Februari 2013.

Page 87: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

75

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Melihat fenomena di atas penyusun akan mengambil 3 (tiga) putusan yang

akan penyusun kaji untuk melihat apa dasar dari dari Mahkamah Konstitusi membuat

putusan yang melebihi yang dimohonkan (ultra petita). Sebenarnya banyak putusan

Mahkamah Konstitusi yang mengandung unsur ultra petia, tetapi penyusun hanya

mengambi 3 sample putusan yaitu, Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai

Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan Putusan Nomor

76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penyusun

mengambil sample 3 (tiga) putusan tersebut karena putusan tersebut dibuat oleh para

tokoh yang sebelumnya justru tidak sepakat dengan putusan ultra petita ataupun

membatasi putusan ultra petita yang dilakukan oeh Mahkamah Konstitusi.

A. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012: Kekayaan Alam Untuk Kemakmuran

Rakyat

Pada hakekatnya terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumber daya

yang sangat berbeda satu dengan yang lain, yaitu milik negara, milik pribadi, milik

Page 88: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

76

umum dan tak bertuan.116 Sebagaimanan tertuangkan dalam UUD 1945 dalam Pasal

33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.”.117 Negara memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan seluruh kekayaan yang

ada. Namun hal yang perlu digaris bawahi bahwasanya kemanfaatan tersebut

digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mohammad Hatta sebagai

salah satu perumus dalam Pasal 33 UUD 1945 mengungkapkan bahwa pengertian

“dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara atau pemerintah,

akan tetapi dapat menyerahkan pada pihak swasta, asalkan dengan pengawasan

pemerintah.118 Hatta juga menganjurkan agar negara tidak hanya membuat undang-

undang saja, akan tetapi juga mengadakan badan usaha.

Pada tanggal 22 Maret 2012 beberapa organisasi masyarakat mengajukan

permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi terhadap konstitusi Indonesia. Mereka mengajukan beberapa pasal dalam

Undang-Undang Migas kepada Mahkamah Konstitusi agar menguji

konstitusionalitasnya . Adapun pasal-pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 19 dan

angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat

(2), Pasal 13 dan Pasal 44 UU Migas. Para pemohon menilai pasal-pasal tersebut                                                             

116 Bustanul Arifin, Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Perspektif Ekonomi, Etika dan Praksis Kebijakan, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 112.

117 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

118 Aminudin Ilmar, Hak menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta: Kencana Media Group, 2012), hlm. 53.

Page 89: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

77

bertentangan dengan UUD 1945 karena kehadiran BP Migas tidak mencerminkan

pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

Dalam pertimbangannya MK mengenai UU Migas ini, Mahkamah Konstitusi

mempertimbangkan beberapa hal dalam memberikan putusannya yang kemudian

dituangkan dalam putusan mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dari UU BP

Migas yang di mohonkan oleh pemohon setidaknya Mahkamah Konstitusi melihat

peran BP Migas sebagai berikut:

1. BP Migas merupakan badan hukum milik negara yang secara khusus

berdasarkan undang-undang dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang

Kuasa Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di

bidang Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik

negara dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan

Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana. Fungsi BP Migas selaku badan

milik negara hanya sebatas melakukan pengendalian dan pengawasan

terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu agar

pengambilan sumber daya alam agar pengambilan sumber daya alam Minyak

dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang

maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peran BP

Page 90: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

78

Migas yang hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap

pengelolaan sumber daya alam Migas sehingga negara tidak dapat melakukan

pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam Migas pada kegiatan

hulu. Pihak yang secara langsung dapat mengelola sumber daya alam Migas

menurut UU Migas hanya Badan Usaha (BUMN dan BUMD), Koperasi serta

badan usaha swasta) dan Bentuk Usaha Tetap.

2. BP Migas oleh Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi

pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga

Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha. BP Migas

merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik

Negara (BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah

melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu

(ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang

dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha,

pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran

badan usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual

Migas bagian negara kepada badan hukum lain.

Dari hal tersebut Mahkamah Konstitusi menilai bahwa bentuk penguasaan

tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan oleh negara. Artinya BP Migas

sebagai badan hukum milik negara melakukan pengelolaan secara langsung atas

sumber daya alam. Dari konstruksi hubungan, BP Migas yang hanya melakukan

fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan

Page 91: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

79

pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor hulu baik

(eksplorasi dan eksploitasi) dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara maupun badan

usaha bukan milik negara. Menurut Mahkamah model hubungan antara BP Migas

sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam

pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam

Migas. Konstruksi hubungan BP Migas sebagai tersebut menurut Mahkamah

Konstitusi memiliki setidaknya 3 (tiga) kelemahan: Pertama, Pemerintah tidak dapat

secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha

milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha

hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara

terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk

melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS; Ketiga, tidak

maksimalnya keuntungan negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, karena

adanya potensi penguasaan Migas keuntungan besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau

Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang

sehat, wajar dan transparan. Dalam hal ini, dengan konstruksi penguasaan Migas

melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan

atau menunjuk secara langsung Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber

daya alam Migas, padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada

peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Sehingga Mahkamah Konstitusi menilai bahwa hal itu bertentangan dengan

konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) yang menghendaki penguasaan negara yang

Page 92: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

80

membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan

penguasaan negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap

sumber daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Hal itu

karena menurut Mahkamah Konstitusi tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat” sehingga dalam implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan

pemerintahan juga harus menuju ke arah tercapainya tujuan tersebut. Maka setiap

pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar

rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan

penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena keberadaan BP Migas sangat berpotensi

untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya telah membuka peluang

bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah keberadaan BP

Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang

pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.

Mahkamah Konstitusi berpendapat negara tidak berwenang mengatur atau

menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu

badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara

mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara dibagi menjadi lima bentuk

yaitu fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan.

Bentuk penguasaan negara tersebut harus dikitkan antara satu dengan yang lain agar

Page 93: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

81

dapat memberikan makna konstitusional yang tepat. Jika hanya satu bentuk

pengusaan yang dilakukan negara, misalnya hanya fungsi mengatur saja, maka

penguasaan negara tidak akan mampu mencapai tujuan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, tujuan penguasaan negara negara adalah untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan BP Migas hanya berfungsi

melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama

Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi

milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tetapi tidak terjun secara langsung untuk

mengelola sumber daya alam yang ada sehingga keberadaan BP Migas sangat

berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya telah membuka

peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah

keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan

negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.

Di pihak pemerintah, pembentukan UU BP Migas merupakan upaya untuk

meningkatkan produksi migas di tanah air karena produksi minyak dan gas bumi

Indonesia sejak tahun 1995 sampai sekarang cenderung mengalami penurunan yang

signifikan. Maka diperlukan adanya cadangan baru untuk meningkatkan produksi

minyak di tanah air. Sedangkan menurut pendapat pemerintah untuk menemukan

cadangan baru diperlukan investasi yang tinggi sesuai dengan sifat kegiatan usaha

hulu minyak dan gas bumi yang padat modal (high cost), beresiko tinggi (high risk),

Page 94: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

82

dan menggunakan teknologi tinggi (high tech), sehingga dalam rangka menghindari

adanya pembebanan terhadap keuangan negara, Pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) sebagaimana dituangkan dalam UU Migas telah mengambil suatu

keputusan bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang sesuai

adalah Kontrak Bagi Hasil atau kontrak lain yang menguntungkan bagi negara.

Mahkamah kemudian memberikan pertimbangan frasa yang dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi yang memiliki keterkaitan dengan pasal lain yang tidak

dimohonkan sebagi berikut:

Menimbang bahwa meskipun para Pemohon hanya memohon pengujian Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam Undang-Undang a quo diatur juga dalam berbagai pasal yang lain maka Mahkamah tidak bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang “Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63, serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.119 Hal ini merupakan alasan Mahkamah Konstitusi melakukan ultra petita

dalam perkara ini yaitu karena frasa yang dibatalkan dalam pasal yang dimohonkan

juga memiliki saling keterkaitan (koherensi) dengan pasal lain sehingga Mahkamah

Konstitusi juga membatalkan pasal-pasal yang terkait dengan frasa yang dibatalkan

tersebut.

                                                            119 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Page 95: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

83

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa KKS yang telah

disepakati sebelumnya tidak serta merta batal setelah dibubarkanya BP Migas, karena

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa segala KKS yang telah ditandatangani

antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku

sampai masa berlakunya berakhir atau pada masayang lain sesuai dengan kesepakatan

agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan

dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Karena apabila keberadaan BP Migas

secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang

sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka

pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi

terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat

menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak

dikehendaki oleh UUD 1945.

Pasal yang dibatalkan dalam UU Migas adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat

(3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61,

dan Pasal 63. Selain pasal Mahkamah Konstitusi juga membatalkan beberapa frasa

yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan

Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan

Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49.

Mahkamah Konstitusi juga membatalkan Seluruh hal yang berkait dengan Badan

Pelaksana dalam PenjelasanUndang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

Page 96: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

84

dan Gas Bumi. Adapun pasal-pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 19 dan angka

23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2),

Pasal 13 dan Pasal 44.

Hakim Konstitusi Harjono dalam perkara ini memiliki pandangan yang

berbeda (dissenting opinion), beliau mengungkapkan bahwa ” Pembentukan badan-

badan pemerintahan secara konstitusional menjadi ranah pembuat Undang-Undang

yang mendapat amanat langsung dari rakyat yang berdaulat karena pembuat

Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat. …”.120

Hakim Harjono menilai bahwa Mahkamah Konstitusi harus mempunyai alasan yang

kuat dan terukur mengapa Undang-Undang pembentukan suatu badan pemerintah

harus dibatalkan sehingga alasan tersebut dapat digunakan oleh pembuat Undang-

Undang dalam membentuk badan-badan pemerintahan lainnya yang di masa akan

datang karena tentu kedepannya akan lebih banyak kebutuhan untuk dibentuknya

badan-badan serupa. Pembentuk Undang-Undang oleh DPR dan Presiden, lebih

mengetahui badan pemerintah apa yang diperlukan dan dalam urusan apa, karena

kedua lembaga negara tersebut terlibat secara langsung secara aktual maka keduanya

harus dihargai. Mengenai potensi sesuatu yang melanggar konstitusi sebagai mana

dituangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 006/PUUIII/2005 bertanggal 31 Mei

                                                            120 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Page 97: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

85

2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUUV/2007 bertanggal 20 September 2007,

Hakim Harjono melihat bahwa:

“… hal yang sangat keliru ialah putusan berdasar adanya frasa "yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas". Frasa tersebut berhubungan dengan pemberian legal standing kepada Pemohon bukan untuk memutus dalam pokok perkara. Pemohon yang mendalilkan bahwa suatu pasal, atau bagian dari Undang-Undang yang menurut pendapatnya berpotensi melanggar konstitusi sehingga hak konstitusionalnya dirugikan cukup menjadi dasar bagi Mahkamah memberikan legal standing. Sedangkan pada pokok perkara kerugian tersebut harus nyata terdapat dan harus dibuktikan oleh Pemohon, karena putusan akan mempunyai akibat erga omnes maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemohon secara pribadi tetapi juga menjadi kerugian seluruh mereka yang mempunyai hak konstitusional...”.121

Dari pandangannya tersebut beliau mempertanyakan apa sebenarnya yang

menjadi dasar alasan memutus eksistensi inkonstitusionalitas BP Migas, karena

dikatakan cukup alasan dengan hanya merujuk Putusan Nomor 006/PUU-III/2005

dan Putusan Nomor 11/PUUV/2007 Mahkamah tidak mempermasalahkankan ada

tidaknya penyalahgunaan kekuasaan di BP Migas.

Dengan dibatalkannya pasal-pasal inti mengenai BP Migas maka secara

otomatis juga membatalkan pasal lainnya yang mengandung frasa yang dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi meskipun tidak dimohonkan untuk di uji (ultra petita)

yang kemudian secara otomatis berakibat pada dibubarkannya BP Migas. Kemudian

untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas setelah

dibubarkannya BP Migas maka Mahkamah mengamanatkan pada Pemerintah selaku

                                                            121 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Page 98: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

86

pemegang kuasa pertambangan yaitu kementerian yang memiliki kewenangan dan

tanggung jawab dalam bidang Migas untuk melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas

sampai terbentuknya aturan yang baru.

B. Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014: Persamaan di Depan Hukum Bagi

Anggota DPR

Pada tanggal 5 Agustus 2014, Presiden Susilo Bambang Yudoyono

mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Pada saat yang

bersamaan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi menerima berkas permohonan

pengujian undang-undang tersebut. Para pemohon memohonkan sebuah pasal untuk

dalam undang-undang MD3. Pasal diajukan tersebut adalah Pasal 245 yang dilnilai

bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D

ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam permohonannya pemohon

berdalih bahwa frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”

dalam Pasal 245 UU MD3 yang berbunyi menyebutkan bahwa “Pemanggilan dan

permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),

ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah

Page 99: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

87

Kehormatan Dewan” bertentangan dengan UUD 1954.122 Hal itu dinilai merupakan

diskriminatif dan bertentangan dengan asas kesamaan di depan hukum (equality

before the law).

Kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar selama frasa “persetujuan tertulis dari

Mahkamah Kehormatan Dewan” selama dimaknai “persetujuan tertulis dari”. Dalam

hal ini Mahkamah Konstitusi membuat norma baru dengan mengalihkan kewenangan

untuk memberikan ijin tertulis yang sebelumnya di berikan kepada Mahkamah

Kehormatan Dewan tetapi dialihkan oleh Mahkamah Konstitusi kepada Presiden.

Pengalihan tersebut sama sekali tidak dimohonkan oleh pemohon. Karena pemohon

keberatan dengan proses ijin tertulis dan dinilai menghambat proses hukum.

Pasal 245 Undang-Undang a quo yang dinilai pemohon bertentangan dengan

prinsip judicial independent, prinsip equality before the law oleh para pemohon. Hal

senada juga diungkapkan oleh Taufik Basri (Kuasa Hukum Partai Nasdem) yang

merupakan pihak terkait dalam permohonan ini. Taufik Basri meyampaikan dalam

persidangan bahwa “Ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun2014

yang mengatur bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat

persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan diberikan batas waktu

hingga paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis tersebut nyata-

                                                            122 Putusan Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Page 100: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

88

nyata bertentangan dengan konstitusi”.123 Menurutnya Pasal 245 yang telah

menempatkan anggota DPR menjadi pihak yang memiliki keistimewaan dalam

proses penegakan hukum karena harus melalui suatu tahapan berupa persetujuan

tertulis dari mahkamah kehormatan dewan untuk dapat dipanggil dan diminta

keterangan untuk penyidikan. Perlakuan khusus terhadap anggota DPR merupakan

bentuk perlakuan yang berbeda dalam hal penegakan hukum yang tidak

diperkenankan oleh konstitusi. Menurut Pandangan partai Nasdem, anggota DPR

dalam hal penegakan hukum mestinya diperlakukan sama seperti warga negara

lainnya. Tidak ada alasan yang rasional yang memberikan landasan argumentasi

bahwa harus ada tahapan khusus berupa persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan

Dewan.

Pemerintah sebagai pihak yang terkait dalam pembuatan UU MD3

berpendapat bahwa yang mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap

anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan

tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan bagian dari pelaksanaan asas

praduga tak bersalah, dan persamaan kedudukan hukum, berkesamaan kedudukan di

muka hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum. Menurut Mualimin Abdi

ketentuan tersebut lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa

                                                            123 Risalah Sidang Perkara Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 101: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

89

dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang

kuat.

Namun Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 245 Undang-Undang a quo

yang dinilai pemohon bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip

equality before the law, dan prinsip non-diskriminasi, yang dijamin oleh Pasal 24 ayat

(1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai

berikut:124

1. Sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang

dalam pelaksanaan kekuasaannya masing-masing anggota DPR mempunyai

hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan fungsi dan hak

konstitusional anggota DPR tersebut juga harus diimbangi dengan adanya

perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR

tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau

dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya

sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

2. Proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak

pidana, sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, meskipun

                                                            124 Putusan Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Page 102: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

90

dapat mengganggu kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas dan

fungsinya, tetapi tidak menghalangi yang bersangkutan untuk melaksanakan

tugasnya. Anggota DPR yang diselidiki dan/atau disidik masih tetap dapat

melaksanakan tugasnya sehari-hari.

3. Pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan

negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan

pejabat negara, karena dalam rangka menjalankan fungsi dan haknya, pejabat

negara memiliki risiko yang berbeda dengan warga negara lainnya. Namun

demikian, adanya pembedaan itu harus berdasarkan prinsip logika hukum

yang wajar dan proporsional yang secara eksplisit dimuat dalam Undang-

Undang serta tidak diartikan sebagai pemberian keistimewaan yang

berlebihan.

4. Adanya proses pengaturan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan

Dewan kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan menurut

Mahkamah adalah tidak tepat karena Mahkamah Kehormatan Dewan

meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR

yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dalam

sistem peradilan pidana. Proses pengisian anggota Mahkamah Kehormatan

Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan menimbulkan konflik

kepentingan.

5. Proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan

dilakukan penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan

Page 103: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

91

oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh

Mahkamah Kehormatan Dewan karena salah satu bentuk perlindungan hukum

yang memadai dan bersifat khusus bagi anggota DPR dalam melaksanakan

fungsi dan hak konstitusionalnya adalah dengan diperlukannya persetujuan

atau izin tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR tersebut dipanggil dan

dimintai keterangan karena diduga melakukan tindak pidana. Hal ini penting

sebagai salah satu fungsi dan upaya menegakkan mekanisme checks and

balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaaan

eksekutif.

6. Adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal

anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya

dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan

fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR, di lain pihak, tetap

menjamin adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu pokok pertimbangan bahwasanya

Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) adalah

alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan

langsung dalam sistem peradilan pidana dan proses pengisian anggota Mahkamah

Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR sehingga Mahkamah

Konstitusi menganggap bahwa proses seperti itu dapat menimbulkan konflik

kepentingan di dalam intern DPR itu sendiri. Atas pertimbangan tersebut Mahkamah

Page 104: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

92

Konstitusi memberikan solusi dengan memberikan kewenangan memberi ijin tertulis

tersebut kepada Presiden apabila seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai

keterangan karena diduga melakukan tindak pidana . Pemberian izin tertulis dari

presiden tersebut merupakan suatu wujud checks and balances antara pemegang

kekuasaan legislatif dan yudikatif. Pertimbangan memberikan kewenangan izin

kepada presiden terhadap anggota DPR yang dipanggil dan dimintai keterangan

karena diduga melakukan tindak pidana tersebut didasarkan pada beberapa peraturan

perundang-undangan yang mengatur izin untuk melakukan proses hukum diberikan

kepada lembaga lain sebagai wujud mekanisme checks and balances.

C. Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009: Pendidikan Sebagai

Hak Setiap Warga Negara

Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara yang mana hal tersebut

telah dijamin oleh konstitusi negara Indonesia. Pendidikan menjadi unsur yang sangat

penting bagi sebuah negara jika negara tersebut ingin sejahtera. Sesuai dengan cita-

cita para pendiri bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD

1945 bahwasanya salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk

mencerdaskan bangsa.125 Hal ini dapat dipahami sebagai suatu cita-cita yang sangat

                                                            125Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Alenia

keempat menyatakan” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu… .”.

Page 105: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

93

mulia jika dilihat bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan pendidikan menjadi

hal yang sangat mahal bahkan bagi kalangan bawah menjadi sesuatu yang bisa

dikatakan tidak mungkin. Pendidikan pada masa pra kemerdekaan hanya berlaku bagi

orang-orang tertentu saja, misalnya anak seorang lurah dan orang-orang eropa.

Meskipun pada masa-masa akhir penjajahan pemerintah kolonial semakin membuka

pintu pendidikan bagi orang-orang pribumi tetapi masih banyak terjadi diskriminasi

terhadap orang-orang asli pribumi yang berusaha menempuh penddidikan.

Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan kebangsaan yang sangat

penting yang menjadi tanggungjawab negara. Di samping terkait dengan tanggung

jawab untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang baik

dan berkualitas secara adil, negara juga bertanggung jawab untuk membangun dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang berkarakter sesuai dengan

dasar falsafah negara. Pendidikan harus diarahkan dalam rangka memperkuat

karakter dan nationbuilding, dan tidak boleh lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa

yaitu jatidiri nasional, identitas, dan kepribadian bangsa serta tujuan nasional untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa.126

Pendidikan merupakan suatu cara untuk meningkatkan kualitas masyarakat

ataupun sumber daya manusia. Menurut seorang ahli pendidikan dari Belanda yang

benama Mj. Langefek, mengungkapkan bahwa ilmu pendidikan sebagai ilmu teoritis

dan ilmu praktis mempelajari proses pembentukan kepribadian manusia yang

                                                            126 Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 106: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

94

dirancang secara sistematis dalam proses interaksi antara pendidikan dan peserta

didik, baik di dalam maupun diluar sekolah.127 Sedangkan di dinia Islam, Ali bin Abi

Thalib r.a. mengingatkan kepada orang tua dan atau para pendidik untuk mengajari

anak-anak (peserta didik) agar mereka diajari dengan ilmu supaya mereka bisa hidup

dizamannya yang berbeda zaman ketika mereka menuntut ilmu. Puncak pendidikan

adalah tercapainya titik kesempurnanaan kualitas hidup.128Dalam Pasal 28C ayat (1)

menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.129

Dengan melihat pasal tersebut dapat dipahami bahwa sudah menjadi

tanggung jawab dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi

seluruh warga negaranya tanpa membedakan status maupun kedudukan warga

negaranya. Keadilan menjadi salah satu segmen moralitas bukan terutama terkait

dengan perilaku atau tindakan individu melainkan dengan cara-cara yang

diperlakukannya kelas-kelas individu.130 Maka sudah seharusnya pemerintah tidak

                                                            127 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Cet. ke-3 (Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2004), hlm. 13.

128 Dedy Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 2-4.

129 Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 130 H.L.A. Hart, Konsep Hukum ( The Concept Of Law), (Bandung: Nusa Media. 2009), hlm.

259.

Page 107: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

95

membedakan kelas-kelas status maupun kedudukan warga negaranya dalam hal

pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan di

ajukan oleh beberapa pemohon yang kemudian dijadikan satu oleh Mahkamah

Konstitusi. Para Pemohon (Perkara Nomor 11/PUU-VII/2009, Nomor

14/PUUVII/2009, Nomor 21/PUU-VII/2009, 126/PUU-VII/2009, 136/PUU-

VII/2009) dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 6 ayat (2) dan

ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf c dan

huruf d, Pasal 12 ayat (2) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 46 ayat (1) dan

Penjelasannya, Pasal 47 ayat (2), Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3)

UU Sisdiknas dan 41 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (9), Pasal 46 ayat (1), ayat

(2), Pasal 57 huruf a, huruf b, dan huruf c UU BHP terhadap UUD 1945.

Dari permohonan yang diajukan para pemohon mengenai UU BHP,

Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai adalah

dihilangkannya ketentuan yang membebani masyarakat dalam penyelenggaraan

pendidikan dengan argumentasi bahwa negara in casu pemerintah yang seharusnya

menjadi penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan tetapi hanya

ditempatkan menjadi fasilitator. Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan

permohonan UU BHP, selain berdasarkan UUD 1945 juga mengacu pada Putusan

Page 108: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

96

Nomor 021/PUU-IV/2006 bertanggal 22 Februari 2007 sebagai dasar acuan

pertimbangan terutama yang tertera pada halaman 134 yang menyatakan bahwa:

”...agar undang-undang mengenai badan hukum pendidikan yang diperintahkan oleh Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas sesuai dengan UUD 1945, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1) (sic.) UUD 1945;

2. Aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudahada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum;

3. Aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik;

4. Aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian di dalam pembentukan undang-undang mengenai badan hukum pendidikan, agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. 131

Acuan tersebut tersebut dibuat dalam hal pengujian Pasal 53 ayat (1) UU

Sisdiknas yang mana pasal pasal tersebut pernah diujikan ke oleh sekelompok

masyarakat dalam Perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 dan dinyatakan tidak dapat

diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 Februari 2007 yang merupakan

                                                            131 Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 109: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

97

rekomendasi Mahkamah Konstitusi untuk DPR dalam menyusun UU BHP. Faktanya

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa UU BHP tidak memenuhi unsur-unsur yang

direkomendasikan Mahkamah Konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4965) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.132

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola

dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan

hingga sekarang. Maka negara seharusnya memberdayakan sekolah-sekolah swasta

tersebut supaya bersama-sama dengan pemerintah menjadi mitra dalam memajukan

pendidikan nasional.

Dalam perkara ini pemerintah berasumsi bahwa dirinya dapat secara praktis

mengawasi penyelenggara pendidikan untuk jangka waktu yang lama tetapi menurut

Mahkamah Konstitusi hal itu justru dapat menguras energi karena kesibukan

administratif yang luar biasa, Sehingga pemerintah akan kehabisan waktu untuk

mengawasi apakah penyelenggara pendidikan di seluruh pelosok Indonesia telah

sesuai dengan ketentuan UU BHP atau kah tidak. Pekerjaan ini dapat menyita

perhatian pemerintah yang justru seharusnya difokuskan untuk berusaha membuka

                                                            132 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Page 110: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

98

kesempatan agar warga negara dapat menikmati pendidikan secara luas. Mahkamah

berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum

pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) adalah tidak sesuai

dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam putusan perkara

Nomor 021/PUU-IV/2006 . Pengelolaan dana secara mandiri dan prinsip nirlaba yang

diterapkan dalam UU BHP tidak secara otomatis menjadikan pendidikan murah bagi

peserta didik, padahal biaya yang terjangkau adalah salah satu masalah pendidikan di

Indonesia.

Secara yuridis Mahkamah Konstitusi menilai UU BHP memiliki banyak

kelemahan baik dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU

lain. Mahkamah Konstitusi melihat bahwa dengan adanya UU BHP misi pendidikan

formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia  akan dilaksanakan oleh BHPP

dan BHPPD. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya

pendidikan formal di Indonesia akan tergantung kepada kinerja BHPP dan BHPPD.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Tanggung jawab BHPP untuk mencukupi

kebutuhan dana pendidikan tidak ringan karena BHPP dan BHPPD harus

menanggung biaya beberapa biaya, yaitu:

1. Bagian dari tanggung jawab bersama dengan pemerintah untuk menyediakan biaya investasi (vide Pasal 41 ayat (5) UU BHP);

2. Menutup kekurangan biaya operasional sebesar 2/3 karena peserta didik menanggung 1/3 dari biaya operasional [vide Pasal 41 ayat (4) UU BHP];

3. Menyediakan beasiswa [vide Pasal 40 ayat (3) UU BHP]. Dalam ketentuan UU BHP tidak lagi terdapat ketentuan bahwa terhadap BHPP yang tidak dapat memenuhi kewajibannya pemerintah mengambil alih tanggung jawab

Page 111: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

99

tersebut, dan bahkan apabila ternyata kemampuan keuangan dari BHPP dan BHPPD dalam keadaan sangat jelek tidak tertutup kemungkinan BHPP dan BHPPD dipailitkan.133

UU BHP mendasarkan pada asumsi bahwa penyelenggara pendidikan di

Indonesia mempunyai kemampuan yang sama untuk melaksanakan ketentuan yang

terdapat dalam UU BHP meskipun diberi batas waktu selama 6 (enam) tahun untuk

menyesuaikan dengan UU BHP. Hal demikian tanpa melihat realitas bahwa

kesamaan status sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) saja tidak berarti secara serta

merta semua PTN di Indonesia mempunyai kemampuan yang sama. Perbedaan

kemampuan antara PTNPTN di Indonesia sangatlah jelas terlihat. Pemberian

otonomi kepada PTN dalam bentuk BHPP juga akan mempunyai akibat yang sangat

beragam, meskipun ada beberapa PTN yang mampu untuk menghimpun dana, tetapi

Mahkamah Konstitusi menilai justru lebih banyak PTN yang tidak mampu untuk

menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di masing-masing daerah dan

terbatasnya modal investasi serta sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan

kewirausahaan.134 Hal demikian pasti akan menyebabkan terganggunya

penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi

berpendapat bentuk BHPP dan BHPPD yang diatur dalam UU BHP tidak menjamin

                                                            133 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

134 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Page 112: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

100

tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sedangkan menurut UUD 1945 negara mempunyai peran dan tanggung jawab yang

utama. Oleh karenanya, bentuk hukum BHPP dan BHPPD sebagaimana dimaksud

oleh UU BHP tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Putusan

Mahkamah Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007 dan bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 UUD 1945, bahkan bertentangan pula dengan

Pembukaan UUD 1945.

Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya membuat keputusan

kosntistusional bersyarat terhadap Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang merupakan

latar belakang lahirnya UU BHP konstitusional sepanjang frasa “badan hukum

pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan

sebagai bentuk badan hukum tertentu.

Mengenai UU Sisdiknas, Mahkamah Mahkamah Konstitusi hanya

mengabulkan sebagian pasal yang diajukan. Pasal 6 ayat (2) UU Sisdiknas

menentukan bahwa “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap

keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”.135 Dalam pertimbangannya

Mahkamah Konstitusi membenarkan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap

pendidikan warga negaranya, akan tetapi demi kualitas dirinya maka tiap warga

negara juga harus ikut memikul tanggung jawab terhadap dirinya untuk mencapai

kualitas yang diinginkannya. Maka kualitas setiap warga negara akan sangat                                                             

135 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 113: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

101

menentukan kualitas bangsa, oleh sebab itu negara tidak boleh berpangku tangan

dengan menyerahkan sepenuhnya pengembangan kualitas diri atau kecerdasan

kehidupan warganya kepada setiap warga negaranya, sebab kalau hal ini terjadi maka

tiap-tiap warga negara akan menggunakan kebebasannya memilih untuk menempuh

pendidikan atau sebaliknya tidak menempuh pendidikan sama sekali. Di sinilah peran

dan tanggung jawab pemerintah dan warga negara menjadi sangat penting. Artinya,

negara memiliki tanggung jawab utama sedangkan masyarakat juga ikut serta dalam

memikul tanggung jawab itu.

Dengan pertimbangan tersebut kemudian Mahkamah Konstitusi membuat

keputusan konstitusional bersyarat dengan membuat norma baru dengan menyatakan

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang

dimaknai “... ikut bertanggung jawab”, sehingga pasal tersebut selengkapnya

menjadi, “Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan

penyelenggaraan pendidikan”.

Kemudian dalam menguji Pasal 12 ayat (1) UU Sisdiknas, Mahkamah

Konstitusi hanya memotong (inkonstitusional sebagian) pasal saja. Pasal 12 ayat (1)

huruf c yang berbunyi “mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang

tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”,136 kemudian Mahkamah Konstitusi

                                                            136 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Page 114: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

102

dengan hanya membatalkan frasa “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai

pendidikannya.”, dan tetap mempertahankan sebagian pasalnya yaitu “Mendapatkan

beasiswa bagi yang berprestasi”. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbanganya

menilai bahwa frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”

inkonstitusional karena jika yang menjadi dasar pemberian beasiswa adalah yang

berprestasi saja, begitu juga pemberian beasiswa haruslah tidak didasarkan pada

mampu dan tidak mampu, karena bagi peserta didik yang orang tuanya tidak mampu

sudah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d sehingga frasa, “yang orang tuanya

tidak mampu” menjadi tidak relevan dan bisa dengan pengaturan dalam huruf d Pasal

a quo.137 Selain itu, peserta didik yang berprestasi perlu diberikan rangsangan dengan

memberikan beasiswa agar memacu peserta didik untuk menggapai prestasi yang

pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional, termasuk ilmu

pengetahuan.

                                                            137 Ibid.

Page 115: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

103

BAB IV

DASAR DAN URGENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS

PERKARA MELEBIHI YANG DIMOHONKAN (ULTRA PETITA)

Konstitusi yang dibentuk berdasarkan hasil kesepakatan para pendiri bangsa

dinilai telah memenuhi syarat untuk dapat memberikan keadilan bagi seluruh rakyat

jika dijalankan secara konsekuen. Satjipto Raharjo berpendapat bahwa menegakkan

konstitusi sama artinya dengan menegakkan hukum dan keadilan. Sebaliknya, dengan

tercapainya keadilan akan memperkuat bangunan negara hukum di Indonesia. Sebab,

makna keadilan dalam Pancasila mengandung prinsip bahwa setiap warga negara

Indonesia harus memperoleh perlakuan yang adil diberbagai ranah kehidupan, mulai

dari ranah hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.138 Pada hakikatnya,

penegakan hukum mengandung supremasi nilai substansial, yaitu nilai keadilan.139

Dengan tegakknya konstitusi diharapkan akan memberikan rasa keadilan bagi seluruh

rakyat sehingga secara tidak langsung juga mewujud cita-cita para pendiri bangsa

yang diamanatkan melalui sila kelima Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia”.

Konstitusi yang masih bersifat sangat umum (universal) perlu ditafsirkan

lebih lanjut untuk mendapatkan makna yang benar-benar sesuai dengan kondisi                                                             

138 Satjipto Raharjo, Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, (Jakarta: Epistema Institute, 2001), hlm. 194.

139 Faisal, Menerobos Positifisme Hukum, Cet. ke-2 (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm. 109.

Page 116: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

104

masyarakat dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Mahkamah

Konstitusi memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi. Indonesia sebagai negara

yang menganut asas kebebasan hakim dalam memeriksa perkara penggunaan asas

kebebasan hakim ini juga membawa dampak negatif.140 Salah satu dampak asas

kebebasan hakim ialah munculnya putusan ultra petita. Di Mahkamah Konstitusi

sendiri ultra petita sudah berlangsung sejak lama tetapi hingga saat ini masih sering

menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Mahkamah Konstitusi sebagai

lembaga yudikatif berperan sebagai penafsir tunggal konstitusi yang mana

putusannya bersifat tunggal dan mengikat. Setiap warga negara memiliki kebebasan

untuk menafsirkan konstitusi, baik itu lembaga pemerintah organisasi masyarakat

partai politik maupun akademisi memiliki hak untuk manafsirkan konstitusi, tetapi

penafsiran yang memiliki kekuatan hukum hanya dimiliki Mahkamah Konstitusi

melalui putusannya. Sehingga diharapkan tidak terjadi penafsiran yang semena-mena

dalam menafsirkan konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan hingga dapat

menimbulkan kesewenang-wenangan mengingat norma-norma yang dikandung

konstitusi masih bersifat umum dan luas.

Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari sistem konstitusi yang merupakan

gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Setelah perubahan ketiga pada

tahun 2001, ketentuan mengenai negara hukum ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).

Meskipun dalam pasal tersebut tidak ditegaskan Indonesia menganut ide rechtsstaat

                                                            140 Jeremias Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di

Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2007), hlm. 165.

Page 117: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

105

atau machtsstaat, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sistem hukum Indonesia

mendapat pengaruh dari keduanya. Tentu hal ini juga sangat berpengaruh terhadap

cara hakim dalam memutus sebuah perkara. Sebagai negara hukum, tidak dapat

dipungkiri bahwa Indonesia mendapat pengaruh dari sistem hukum civil law dan

sistem hukum common law. Sebagai negara yang merupakan bekas jajahan Belanda

yang menganut sistem hukum civil law, sistem hukum Indonesia juga mendapat

pengaruh kuat dari sistem hukum ini (civil law). Bagir Manan menyatakan, bahwa

pada negara-negara yang berada dalam Sistem Eropa Kontinental selalu berusaha

untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis, bahkan dalam suatu

sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang undang

(kodifikasi).141 Secara singkat dapat dipahami bahwa sumber hukum dalam sistem

civil law adalah statute (undang-undang), regulation (regulasi) dan custom

(kebiasaan). Maka dalam lembaga yudikatif di negara-negara yang menganut sistem

hukum civil law, kewenangan hakim adalah untuk menerapkan hukum dan tidak

dimungkinkan untuk merujuk pada referensi atau sumber lain.142 Seiring

perkembangannya Indonesia juga mendapat pengaruh dari sistem hukum common

law yang memberikan kekuasaan yang luas kepada hakim dalam menangani sebuah

perkara untuk membuat sebuah penemuan hukum. Namun demikian kebebasan

                                                            141 Bagir Manan, Dasar Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: IN-HILL-Co, l992),

hlm. 6.

142 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 69.

Page 118: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

106

hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur

tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas

yang cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.143 Hakim memiliki

kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan

masalah atau konflik yang dihadapkan kepada dirinya. Para hakim dalam

menjalankan tugasnya juga sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan

harus menyadari tanggung jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat

membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena

oleh jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat

membekas dalam batin para yastisinbel yang bersangkutan sepanjang perjalanan

hidupnya.144 Negara-negara common law secara umum adalah negara yang gaya

yuristiknya didasarkan pada model common law Inggris, yang terutama didirikan

berdasarkan pada sistem kasus atau preseden yudisial, dan dimana legislasi secara

tradisional tidak dianggap sebagai sumber hukum utama, tetapi biasanya dianggap

sebagai hanya sekedar sarana konsolidasi atau klarifikasi dari peraturan dan prinsip

hukum yang secara esensial diturunkan dari hukum kasus dan hukum yang dibuat

oleh hakim.145

                                                            143 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius , 1999), hlm. 94.

144 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 29.

145 Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Cet. ke-4 (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 62.

Page 119: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

107

Ketika Mahkamah Konstitusi memutus sebuah perkara melebihi yang

dimohonkan setidaknya penyusun menemukan ada 4 (empat) dasar yaitu untuk

mewujudkan keadilan substantif, koherensi antar pasal yang dibatalkan, memperkuat

sistem checks and balances dan menghindari terjadinya kekosongan hukum dan

menjamin kepastian hukum.

A. Penegakkan Keadilan Substantif

Sesuai dengan amanat Pasal 2 UU MK yang menyebutkan bahwa

”Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan

kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.” jelas dari situ tugas Mahkamah Konstitusi

adalah menegakkan hukum dan keadilan. Hakim diberikan kebebasan untuk

mewujudkan keadilan, namun dalam memutus perkara hakim juga diberi batasan

atau rambu-rambu sebagaimana disebutkan dalam pada Pasal 45 ayat (1) UU MK

menyebutkan bahwa:

Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.146

Maka dapat dilihat bahwa dalam rangka mewujudkan keadilan tersebut

juga harus didasarkan pada alat-alat bukti yang ada di persidangan. Dari pasal

tersebut juga menyebutkan frasa “keyakinan hakim” maka dapat dipahami bahwa

hakim juga diberi kebebasan dalam berijtihat dalam mewujudkan keadilan,

                                                            146 Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 120: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

108

selama itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dari keyakinan

hakim tersebut dapat saja hakim melakukan sebuah penemuan hukum agar

undang-undang tetap dapat memberikan keadilan sesuai perkembangan zaman.

Dalam perkara-perkara tertentu undang-undang yang berlaku tidak dapat

memberikan keadilan bagi warga negara dan bertentangan dengan hak-hak

konstitusionalitas seorang warga negara maka di sini seoarang hakim harus dapat

berkreasi dalam membuat putusan agar dapat mencapai sebuah keadilan bahkan

terkadang hakim harus mengesampingkan asas-asas hukum yang berlaku ataupun

harus mengesampingkan keadilan prosedural yang kaku karena terbelenggu oleh

bunyi undang-undang. Maka hakim harus mampu mewujudkan substansi dari

keadilan tersebut. Sesuai dengan aliran rechtsvinding yang menyebutkan tugas

hakim adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman, dengan hal-

hal yang konkret yang terjadi dalam masyarakat dan bila perlu menambah

undang-undang yang disesuakan dengan asas-asas keadilan masyarakat. Namun

perlu digaris bawahi bahwa dalam proses pembentukan hukum ataupun penemuan

hukum dalam upaya mewujudkan keadilan tersebut harus dapat dilakukan secara

tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu

dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. Akibatnya

seringkali hakim harus membuat putusan yang melebihi yang dimohonkan demi

tercapainya substansi keadilan. Ultra petita biasanya terjadi pada perkara-perkara

pengujian undang-undang terhadap UUD.

Page 121: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

109

Tidak hanya pada perkara judicial review saja Mahkamah Konstitusi

memberi beberapa putusan ultra petita namun juga pada perkara pemilu. Sebagai

contoh Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil

Pemilukada Jawa Timur 2008 yang memutuskan pemilihan kepala daerah Jawa

Timur harus di ulang. Berdasarkan ketentuan undang-undang, kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara sengketa pemilukada tidak lebih

dari sebuah pengadilan angka karena susuai dengan UU MK, Mahkamah

Konstitusi hanya sebatas memutus sengketa perhitungan suara pemilikada dan

Mahkamah Konstitusi tidak boleh memerintahkan untuk menyelenggarakan

pemilu ulang ataupun memerintahkan pemungutan suara ulang. Pemilu ulang dan

pemungutan suara ulang merupakan kewenangan KPU, itupun dengan ketentuan

apabila telah terjadi bencana, huru-hara sosial maupun keadaan tertentu lainnya.

Namun kemudian Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup

kontroversial yaitu memutus dilakukannya pemilukada ulang. Mahkamah

Konstitusi yang saat itu diketuai oleh Mahfud MD menyampaikan bahwa putusan

tersebut harus diambil karena Mahkamah Konstitusi menganut strategi hukum

responsif yang dirasa lebih adil. Hukum responsif mengatakan bahwa hakim

jangan hanya mau dibelenggu oleh bunyi undang-undang yang sifatnya

situasional. Pada perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa

sebagian besar sengketa yang terjadi disebabkan karena pelanggaran dalam

proses, baik dalam pelaksananaa, kelalaian penyelenggara pemilukada maupun

saat proses pendaftaran pasangan calon dan bukan semata-mata karena kesalahan

Page 122: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

110

dalam proses perhitungan. Dalam kasus pemilu tersebut dapat dilihat bahwa tidak

hanya pada perkara judicial review saja Mahkamah Konstitusi membuat putusan

ultra petita. Terobosan yang melanggar ketentuan undang-undang dengan alasan

ketentuan tersebut tidak memberikan jaminan kadilan bagi para pencari keadilan

karena ketentuan undang-undang terkadang dapat diakali dengan berbagai cara.

Setiap menguji sebuah undang-undang setiap hakim bebas menggunakan

metode penafsiran yang diyakini sesuai dengan undang-undang yang sedang diuji.

Adnan Buyung Nasution mengungkapkan seorang hakim Mahkamah Konstitusi

tidak boleh membatasi pandangannya dalam menafsirkan konstitusi. Penafsiran

sebuah konstitusi haruslah selalu mengacu pada asas-asas demokrasi, rule of law,

HAM dan konstitusionalisme.147 Setiap hakim menggunakan penafsiran yang

berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan penafsiran antara hakim

konstitusi tersebut menghasilkan perbedaan pendapat antar hakim itu sendiri

kareana setiap hakim memiliki cara pandangnya sendiri-sendiri dalam

menafsirkan sebuah undang-undang. Kemudian penafsiran-penafsiran tersebut

melahirkan pendapat dan pertimbangan hukum yang kemudian dituangkan dalam

putusan dan tidak jarang perbedaan penafsiran antar hakim menyebabkan adanya

dissenting opinion ataupun concurring opinion.

                                                            147 Adnan Buyung Nasution, Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional, (Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 107.

Page 123: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

111

Menurut Mahfud menegakkan kebenaran tak dapat dipisahkan dengan

upaya menegakkan keadilan.148 Hakim harus membuat putusan berdasarkan pada

kondisi lokal dan kondisi waktu. Dengan keyakinan dan kemuliaannya, hakim

harus membuat putusan sendiri, sehingga rasa keadilan tersebut diterima oleh

masyarakat sehingga rasa keadilan bukan karena kebenaran bunyi undang-

undang.149 Selanjutnya Mahfud juga mengungkapkan bahwa hakim konstitsi

berani keluar dari undang-undang jika undang-undangnya memang tidak benar,

tidak memberi rasa keadilan. Bagi Mahkamah Konstitusi, tekanan hukum

progersif adalah hukum dimana hakim mengambil putusan boleh berdasarkan

undang-undang sepanjang undang-undangnya itu benar dan diyakini memberi

rasa keadian, tetapi jika hakim membuat putusan-putusan berdasarkan kreasinya

sendiri apabila undang-undangnya itu memang tidak mampu memberikan rasa

keadilan.150

Dari beberapa pandangan tersebut dapat dipahami bahwa undang-undang

yang dibuat oleh legislatif terkadang tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat.

Maka untuk menjamin terwujudnya keadilan tersebut dapat dipahami jika

Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang melebihi yang dimohonkan.

                                                            148 Rita Trianita Budiarti, On The Record Mahfud MD diBalik Putusan Mahkamah Konstitusi,

(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010), hlm. 180.

149 Rita Trianita Budiarti, Kontroversi Mahfud MD Jilid 2 di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 6.

150 Mahfud MD, dkk., Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Yogyakarta: Thafa Media, 2013), hlm. 7.

Page 124: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

112

Sejalan dengan tujuan dari Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang

kekuasaan kehakiman sebagimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka (1):

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.151 Maka sudah menjadi tugas Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

kekuasaan kehakiman untuk menegakkan keadilan di Indonesia.

Seperti yang penyusun sebutkan dalam kerangka teori bahwa keadilan

dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan prosedural dan keadilan

substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-

ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai

tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan dan lainnya.

Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai

yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.152 Pada

dasarnya keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

sama lain. Karena ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum

formal ditujukan juga untuk mewujudkan suatu keadilan. Namun ada kalanya

peraturan hukum formal tersebut tidak dapat memberikan rasa keadilan karena

                                                            151 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

152 Bambang Sutiyoso , “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 2, (April 2010), hlm. 227.

Page 125: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

113

cenderung kaku. Maka di sini hakim sangat berperan dalam mewujudkan keadilan

sesuai dengan garis-garis konstitusi. Hakim konstitusi memiliki kewenangan

untuk melakukan pembentukan hukum sebagai upaya menerapkan konstitusi

terhadap undang-undang berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu,

yang digunakan agar penerapannya dapat dilakukan secara tepat dan relevan

menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan

dipertanggungjawabkan.

Hamdan Zoelfa mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi mencoba

keluar dari penafsiran undang-undang secara sempit. Konsep putusan tersebut

dikenal dengan putusan yang mengedepankan konsep keadilan substantif.153

Mahkamah Konstitusi tidak dapat membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural

memasung dan mengesampingkan keadilan substantif, karena fakta-fakta hukum

yang ada merupakan pelanggaran konstitusi. John Rawls dalam pemikirannya

tentang keadilan menyatakan: “Justice is the first virtue of social institutions, as

truth is of systems of thought. A theory however elegant and economical must be

rejected or revised if it is untrue; likewise laws and institutions no matter how

efficient and well-arranged must be reformed or abolished if they are unjust.”154

Rawls memposisikan keadilan sebagai keutamaan pertama dari institusi sosial.

                                                            153 Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan

Hukum Islam , Cet. ke-2 (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 61.

154 John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge-Massachussets: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), hlm. 3.

Page 126: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

114

Dengan posisi tersebut maka keadilan adalah tujuan yang harus direalisasikan

oleh setiap institusi sosial. Oleh karena itu Rawls sampai pada kesimpulan bahwa

betapapun suatu institusi sosial itu seperti hukum misalnya, efisien dan tertata

dengan baik, tetapi tetap harus dirombak atau dihapuskan jika terbukti tidak adil.

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwasanya tujuan hukum adalah untuk

mewujudkan keadilan di masyarakat, maka ketika keadilan tidak lagi dapat

dicapai dengan peraturan-peraturan atau bahkan bertentangan dengan keadilan

maka tidaklah salah bahwa peraturan tersebut harus dikesampingkan ataupun

dihapuskan.

Dalam perkara-perkara tertentu seperti dalam pengujian undang-undang

terhadap UUD dan pengujian hasil pemilu jika Mahkamah Konstitusi hanya

memutus perkaranya hanya didasarkan pada petitum putusan tersebut tidak dapat

mewujudkan substansi keadilan dan kaku karena undang-undang telah tertinggal

dengan realitas kehidupan masyarakat. Di Hungaria, Mahkamah Konstitusi dapat

membuat putusan konstitusional bersyarat dan membuat norma baru meskipun

bersifat ultra petita untuk mewujudkan supremasi konstitusi terhadap undang-

undang. Bahkan penerapan ultra petita di Mahkamah Konstitusi Hungaria sudah

berlangsung sejak lama, meskipun pada mulanya juga menimbulkan kontroversi

para pegiat hukum di Hungaria. Namun saat ini hal itu sudah menjadi hal yang

wajar dan dapat diterima.

Page 127: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

115

B. Penjaminan Koherensi Antar Pasal

Salah satu tujuan putusan ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi adalah untuk mewujudkan keadilan yang bersifat substantif dan tidak

terpaku pada keadilan prosedural yang kaku karena terbelenggu oleh bunyi

undang-undang. Setiap perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi khususnya

judicial review sangat rawan membuat keputusan ultra petita, karena setiap pasal

yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi seringkali memiliki konektifitas atau

hubungan antara satu pasal yang dengan pasal lainnya. Sedangkan tidak semua

pasal yang diajukan pemohon yang saling berkaitan tersebut diajukan judicial

review oleh pemohon, karena pasal yang diajukan untuk ditinjau hanya pasal yang

dinilai merugikan/perpotensi merugikan hak konstitusional pemohon.

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengungkapkan

bahwa jika pasal tersebut merupakan “jantung” atau menentukan operasionalisasi

keseluruhan undang-undang, pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan

ketidakpastian hukum. Misalnya, bagaimana implikasi putusan tersebut terhadap

pasal-pasal lain yang bersumber dari pasal yang dibatalkan? Akibatnya,

pelaksanaan UU tersebut menjadi sangat rawan bertentangan dengan UUD

1945.155 Penyusun menilai bahwa pembatalan pasal yang tidak dimohonkan

merupakan sebuah keniscayaan jika memang inti pasal yang terkandung dalam

undang-undang tersebut memang inkonstitusional. Seperti yang terjadi pada UU

                                                            155 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 54-55.

Page 128: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

116

Migas yang mana frasa “badan pelaksana” dalam undang-undang tersebut

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012.

Sedangkan ide utama dari UU Migas adalah mengatur badan pelaksana itu

sendiri. Pada akhirnya dengan dibatalnya frasa “badan pelaksana” dalam UU

Migas maka semua pasal juga harus dibatalakan karena frasa-frasa lain dalam

tersebut mengatur tentang badan pelaksana. Meskipun pemerintah berpandangan

bahwa pembentukan UU BP Migas merupakan upaya untuk meningkatkan

produksi migas di tanah air. Namun Mahkamah Konstitusi tetap berpandangan

bahwa badan pelaksana dalam hal ini BP Migas perpotensi menimbulkan

inefisiensi dan bertentangan dengan konstitusi.

Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk

mengatur lebih lanjut apa yang diperlukan unutuk memperlancar tugas dan

kewenangannya sebagiamana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dalam pasal Pasal 86 UU MK

disebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal

yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut

Undang-Undang ini.”156 Artinya Mahkamah Konstitusi dapat membuat

ketentuan-ketentuan untuk memperlancar tugas dan kewenangannya dalam

menjaga konstitusi. Penyusun melihat Mahkamah Konstitusi menggunakan

                                                            156 Pasal 86 Pasal 45A Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 129: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

117

landasan yuridis tersebut dengan memberikan putusan melebihi yang

dimohonkan. Meskipun pada nyatanya ketentuan tersebut tidak dituangkan

Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), tetapi

secara tersirat Mahkamah Konstitusi telah mengatur mengenai ultra petita dengan

membatalkan Pasal 45A UU MK yang menyatakan bahwa “Putusan Mahkamah

Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon

atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait

dengan pokok Permohonan.”157

Mengenai Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009

mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan

Hukum Pendidikan, Penyusun melihat bahwa Mahkamah Konstitusi telah

membuat acuan mengenai tindak lanjut Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas agar

kedepannya undang-undang yang dibuat legislatif tetap pada jalur konstitusi.

Acuan tersebut dituangkan dalam pengujian UU Sisdiknas sebelumnya yaitu

Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006. Kemudian pada pengujian Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan Mahkamah Konstitusi

menemukan UU a quo yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 53 ayat (4) UU

Sisdiknas tidak sesuai dengan acuan yang dibuat Mahkamah Konstitusi yang

terdapat dalam Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006 sehingga Mahkamah

                                                            157 Pasal 45A Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 130: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

118

Konstitusi membatalkan UU a quo.158 Maka dalam hal ini penyusun menilai

putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi tersebut tepat untuk menjaga agar

undang-undang tetap pada jalur konstitusi.

C. Penguatan Sistem Checks and Balances

Sistem kekuasaan di Indonesia tidak dapat lepas dari ide Montesque yang

membagi kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan

yudikatif. Lembaga legislatif berfungsi membuat undang-undang, lembaga

eksekutif melaksanakannya dan kemudia yudikatif mengawasi bahwa undang-

undang itu tidak melanggar Undang-Undang Dasar (inkonstitusional) dan bahwa

undang-undang itu benar-benar dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh

eksekutif. Pemikiran ini kemudian digunakan dengan penyesuaian yaitu adanya

checks and balances antara tiga lembaga tersebut. Kedudukan kekuasaan

kehakiman sebagai lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif disejajarkan yang

legislatif dan eksekutif di bawah Undang-Undang Dasar agar kekuasaan

kehakiman merdeka bebas dari intervensi lembaga lainya.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yaitu Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 yang mana

                                                            158 Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Page 131: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

119

pada dasarnya pemohon hanya keberatan jika dalam melakukan penyidikan

terhadap anggota DPR harus melakukan ijin terlebih dahulu kepada Mahkamah

Kehormatan Dewan (MKD), tetapi Mahkamah Konstitusi ternyata memiliki

pendapat berbeda bahwa ijin sebelum melakukan penyidikan terhadap anggota

DPR itu memang perlu sebagimana pejabat negara lainnya dengan ketentuan yang

berwenang memberikan ijin tersebut bukan Mahkamah Kehormatan Dewan

karena Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan lembaga etik yang tidak

memiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana. Selain itu proses

pengisian anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh

anggota DPR berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sehingga pemberian

ijin tersebut dikhawatirkan menjadi tidak obyektif. Sehingga Mahkamah

Konstitusi memutuskan proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang

kepadanya akan dilakukan penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah

dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan

oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Keputusan tersebut diambil guna

menegakkan mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Mahkamah

Konstitusi sendiri hadir sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyempurnakan

mekanisme checks and balances untuk mengawasi dan mengontrol dua lembaga

lainnya (eksekutif dan legislatif). Sistem checks and balances itu sendiri, yang tak

pelak lagi merupakan elemen esensial dari konstitusi, dibangun atas doktrin

Page 132: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

120

bahwa cabang pemerintahan rakyat tersebut tidak boleh berkuasa penuh, lebih-

lebih dalam melaksanakan undang-undang yang menyentuh hak kepemilikan.159

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman

melaksanakan kewenangannya terkait dengan produk hukum yang dibuat oleh

lembaga eksekutif dan legislatif. Guna memperkuat posisi tersebut Mahkamah

Konstitusi juga medapatkan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-

Undang Dasar 1945. Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 menunjukan bahwa

begitu pentingnya mekanisme checks and balances hingga Mahkamah Konstitusi

membuat norma baru dalam putusan tersebut yang menyebabkan putusan tersebut

ultra petita.

Jika dilihat lebih komprehensif, Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014

mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah salah satu

pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menegakkan mekanisme

checks and balances antar lembaga negara membuat putusan tersebut ultra petita.

Melalui putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membuat norma baru yang tidak

dimohonkan oleh pemohon sehingga putusan tersebut ultra petita. Dari putusan

tersebut dapat dilihat bahwa hakim melihat perlunya pengawasan dari lembaga

lain agar antar lembaga dapat saling megontrol antar satu dengan yang lain.

                                                            159 Leonard W. Levy (ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya

dalam Negara Demokrasi, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 3.

Page 133: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

121

Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran trias politika, kekuasaan negara

dibagi ke dalam 3 (tiga) kekuasaan yang terpisah, yaitu kekuasaan legislatif ,

kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial, dan untuk menghindari dengan

kekuasaan yang absolut pada salah satu lemabaga maka harus ada mekanisme

checks and balances sehingga antar lembaga dapat saling mengawasi. Jika lihat

sejarah amandemen UUD 1945 yang memunculkan lembaga yudikatif baru yaitu

Mahkamah Konstitusi, salah satu tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi

sendiri adalah melakukan agar dapat checks and balances melalui salah satu

tugasnya yaitu menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang.

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi ini adalah perwujudan

prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga-lembaga negara

dalam kedudukan setara sehingga dapat saling kontrol dan saling imbang dalam

praktek penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi jelas

merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antara lembaga negara

khususnya dalam proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara.160

Penyusun melihat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai

Ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang mengatur

bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap

anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan

tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan diberikan batas waktu hingga

                                                            160 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,

(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 145.

Page 134: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

122

paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis yang kemudian

Mahkamah Konstitusi memutus bahwa pada intinya izin tertulis tersebut harus

diberikan kepada Presiden dan bukan Mahkamah Kehormatan Dewan dengan

pertimbangan untuk memperkuat sistem checks and balances adalah kurang

tepat. Benar bahwa keputusan ultra petita untuk memperkuat sistem checks and

balances. Namun penyusun berpendapat bahwa ketentuan batas waktu hingga

paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis akan menghambat

proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

Jika dilihat keterangan yang diberikan pemerintah selaku pihak yang terkait

dalam pembentukan UU MD3 yang menyatakan ketentuan Pasal 245 UU MD3

lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa dugaan pidana

terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang kuat, maka

ketentuan izin tertulis itu sebenarya tidaklah perlu karena sebagai penyidik tentu

sudah memiliki standar aturan tersendiri untuk melakukan penyidikan.

Lebih lanjut jika memang ultra petita yang dilakukan Mahkamah

Konstitusi dalam putusan a quo161 untuk memperkuat sistem checks and

balances, maka izin tertulis dari presiden dengan batasan waktu 30 hari untuk

memberikan persetujuan tertulis adalah berlebihan dan akan menghambat proses

penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

Penguatan sistem checks and balances dapat dilakukan dengan memberikan surat

                                                            161 Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 Mengenai Pengujian Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Page 135: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

123

pemberitahuan dilakukannya penyidikan kepada presiden dan bukan izin tertulis

dengan batasan waktu 30 hari.

D. Penciptaan Kepastian Hukum

Pembatalan sebuah pasal saja dalam sebuah pasal dalam undang-undang

dapat menimbulkan akibat yang luas, apalagi jika undang-undang tersebut telah

berlaku lama. Dalam berbagai kasus, ketika Mahkamah Konstitusi menguji

sebuah pasal dan memutuskan bahwa pasal tersebut inkonstitusional maka

Mahkamah Konstitusi akan membuat sebuah terobosan yang terkadang itu diluar

dugaan kita. Tidak jarang terobosan Mahkamah Konstitusi tersebut keluar dari

ketentuan undang-undang yang ada untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap

warga negara agar stabilitas negara tetap terjaga maupun untuk mendapatkan

substasi keadilan. hal itu tidak hanya terjadi pada pengujian undang-undang

terhadap UUD sajaakan tetapi juga pada perkara sengketa hasil Pilkada yang

menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Mahkamah

Konstitusi memutuskan bahwa KKS yang telah disepakati sebelumnya tidak serta

merta batal setelah dibubarkanya BP Migas,162 karena Mahkamah Konstitusi

memutuskan bahwa segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan

                                                            162 Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Page 136: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

124

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa

berlakunya berakhir atau pada masayang lain sesuai dengan kesepakatan agar

tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan

dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Penyusun melihat bahwa putusan ini

harus diambil Mahkamah Konstitusi akibat dari amar putusan Mahkamah

Konstitusi sebelumnya yang menyatakan bahwa:

Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.163

Jika keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama semua kegiatan BP Migas termasuk

KKS dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka

pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi

terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat

menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak

dikehendaki oleh UUD 1945. Maka kemudian untuk mencegah terjadinya

kekosongan hukum yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum

kemudian Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa fungsi dan tugas Badan

Pelaksana Minyak dan Gas Bumi yang sebelumnya dilaksanakan oleh BP Migas

harus di ambil alih oleh Pemerintah.

                                                            163 Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Page 137: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

125

Dengan dibatalkannya pasal-pasal inti mengenai BP Migas maka secara

otomatis juga membatalkan pasal lainnya yang mengandung frasa yang dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi meskipun tidak dimohonkan untuk di uji (ultra petita)

yang kemudian secara otomatis berakibat pada dibubarkannya BP Migas.

Kemudian untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas

setelah dibubarkannya BP Migas maka Mahkamah mengamanatkan pada

Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan yaitu Kementerian yang

memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas untuk

melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru.

Penyusun melihat bahwa dalam putusan ultra petita yang dilakukan

Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan Frasa “dengan Badan Pelaksana”

dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3),

frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat

(1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akan menyebabkan ketikdakpastian

hukum karena kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan BP Migas masih

berlangsung.164 Maka kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan putusan ultra

petita lagi untuk menghindari kekosongan hukum tersebut. Artinya jika amar

putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi yang pertama menimbulkan

kekosongan hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum, maka Mahkamah

                                                            164 Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 

Page 138: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

126

Konstitusi akan memberikan amar putusan ultra petita lagi sebagai solusi dari

ultra petita dari amar putusan sebelumnya agar tidak terjadi kekosongan hukum

dan ketidakpastian hukum.

Dalam pengujian sebuah undang-undang, jika putusan Mahkamah

Konstitusi hanya berdasarkan pada petitum para pemohon saja maka putusan

tersebut akan sulit untuk menguji undang-undang di mana sebuah undang-undang

seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum. Sedangkan pada

umumnya rumusan sebuah undang-undang sangat umum dan belum diketahui

apakah dalam pelaksanaannya akan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

Permasalahannya adalah ketika dipersoalkan bahwa belum ada peratuturan

pelaksanaan yang menjadi turunan di bawahnya. Misalnya Peraturan Pemerintah

atau Peraturan Presiden yang belum ada, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi

tidak mungkin dalam pengambilan putusan menunggu keluar terlebih dahulu

Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang belum ada. Jika menunggu

Peraturan Pemerintahnya atau Peraturan Presidennya maka yang diuji bukan

undang-undangnya melainkan peraturan dibawahnya sedangkan itu bukanlah

kewenangan Mahkamah Konstitusi karena kewenangan Mahkamah Konstitusi

adalah menguji undang-undang terhadap UUD, bukan menguji peraturan dibawah

undang-undang. Dalam hal seperti biasanya Mahkamah Konstitusi membuat

sebuah terobosan dengan membuat batasan-batasan yang dituangkan dalam amar

putusan agar kedepannya dalam pelaksanaan undang-undang keluar dari jalur

konstitusi. Mahkamah Konstitusi mencoba keluar dari batasan-batasan undang-

Page 139: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

127

undang yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan guna mewujudkan

keadilan substantif. Sebagaimana pendapat Madjid Khadduri bahwa keadilan

substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari

sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.165 Maka ketika

peraturan perundang-undangan yang ada tidak membrikan rasa keadilan,

Mahkamah Konstitusi akan membuat putusan dengan mengesampingkan

peraturan perundang-undangan tersebut.

Ultra petita yang dilakukan Mahkamah Konstitusi untuk menjamin

kepastian hukum juga dapat dilihat pada Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006

mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi yang dalam putusannya Mahkamah Konstitusi

memberikan pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya

Pasal 53 Undang-Undang KPK yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD

1945 sedemikian rupa dengan memberi waktu yang cukup bagi pembentuk

undang-undang untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945 dan

sekaligus dimaksudkna agar pembentuk undang-undang secara keseluruhan

memperkuat dasar-dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK

dan upaya pemberantasan korupsi. Dalam Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi

merasa perlu membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan

inkonstitusional sesuai undang-undang guna kepentingan umum yang lebih besar.

                                                            165 Bambang Sutiyoso , “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”, Jurnal

Hukum, No. 2, vol. 17 (April 2010), hlm. 227.

Page 140: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

128

Jika Mahkamah Konstitusi langsung menyatakan pasal tersebut inkonstitusional

maka tentu kinerja KPK pasti akan menjadi terhambat kerena tentu legislatif tentu

tidak bisa langsung merevisi undang-undang yang dibatalkan tersebut.

Page 141: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

129

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas,

penyusun menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa, “Mahkamah

Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran

pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.” menjadi dasar

yuridis bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk

kewenangan untuk membuat putusan yang melebihi permohonan (ultra petita).

Penyusun juga menemukan setidaknya ada 4 (empat) dasar dari Mahkamah

Konstitusi memutus suatu perkara dengan ultra petita, yaitu penegakkan keadilan

substantif, penjaminan koherensi antar pasal, penguatan sistem checks and balances,

dam penciptaan kepastian hukum.

B. SARAN

Dasar dari Mahkamah Konstitusi untuk membuat suatu putusan yang bersifat

ultra petita sangatlah luas dan berpotensi menimbulkan suatu kesewenang-wenangan

bagi Mahkamah Konstitusi. Mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan

penafsir tunggal konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. Maka perlu

Page 142: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

130

adanya batasan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara dengan ultra petita.

Karena putusan ultra petita yang dilakukan Mahkamah Konstitusi berpotensi

menimbulkan suatu kesewenang-wenangan bagi Mahkamah Konstitusi maka perlu

adanya batasan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara ultra petita. Setiap

putusan ultra petita selain berdasarkan konstitusi juga harus berdasarkan nilai-nilai

Pancasila.

Page 143: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

131

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG

Act CLI of 2011 on the Constitutional Court of Hungary.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

BUKU

Aburaera, Sukarno, dkk.. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group. 2013.

Adi, Robert Tjahyono. Mengenal 192 Negara di Dunia. Jakarta: Pustaka Widyatama.

2007.

Apeldoorn, L. J van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. 1976.

Arifin, Bustanul. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Perspektif Ekonomi,

Etika dan Praksis Kebijakan. Jakarta: Erlangga. 2001.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara. Jakarta: Sekretariat Jendral

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.

Page 144: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

132

Asshidiqie, Jimly, dkk. Menjaga Denyut Konstitusi (Refleksi Satu Tahun Mahkamah

Konstitusi). Jakarta: -. 2004.

Asshidiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusi Di Berbagai Negara. Jakarta:

Sinar Grafika, 2010.

Asshidiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi

Press. 2006.

Assiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara. Jakarta:

Konstitusi Press. 2005.

Astomo, Putera. Hukum Tata Negara Teori dan Praktek. Yogyakarta: Thafa Media.

2014.

Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan. Jakarta:

Gramata Publishing. 2012.

Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Kanisius. 1999.

Budiarti, Rita Triana. Kontroversi Mahfud MD Jilid 2 di balik Putusan Mahkamah

Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press. 2013.

Cruz, Peter de. Perbandingan Sistem Hukum. Cet. ke-4. Bandung: Nusa Media.

2014. 

Dirjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.

Faisal. Menerobos Positifisme Hukum. Cet. ke-2.Jakarta: Gramata Publishing. 2012.

Fajar, Abdul Mukhtie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.Fab Jakarta:

Konstitusi press dan Citra Media. 2006.

Page 145: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

133

Fattah, Nanang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan Cet. ke-3. Bandung: Remaja

Rosda Karya. 2004.

Frank, Jerome. Hukum & Pemikiran Modern. Bandung: Nuansa Cendekia. 2013.

Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nusa Media.

2010.

Hart, H.L.A.. Konsep Hukum ( The Concept Of Law). Bandung: Nusa Media. 2009.

Huda, Ni’matul dan R. Nazriyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan. Bandung: Nusa Media. 2011.

Huda, Ni’matul. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan-Putusan

Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta:UII Press. 2011.

Huda, Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika

Perubahan UUD 1945 (Cetakan ke-2). Yogyakarta: FH UII Press. 2004.

Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandeman Ulang. Jakarta: Raja Grafino

Persada. 2008.

Ilmar, Aminudin. Hak menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN. Jakarta:

Kencana Media Group. 2012.

Kansil, C.S.T. dan Cristine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

(Pendidikan Pancasila di Perguran Tinggi), Cet. ke-22 (Edisi Revisi),

Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005.

Page 146: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

134

Kansil, C.S.T.. Hukum Antar Tata Pemerintahan dalam Rangka Perbandingan

Hukum Tata Negara. Jakarta: Erlangga. 1987.

Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia dan

Nuansa. 2006.

Latif, Abdul, Dkk. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Total

Media. 2009.

Levy, Leonard W. (ed.). Judicial review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan

Fungsinya dalam Negara Demokrasi. Jakarta: Penerbit Nuansa. 2005.

Lubis, Suhrawardi K.. Etika Profesi Hakim. Jakarta: Sinar Grafika. 2002.

Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.

Rajawali Pers: Jakarta, 2013.

Manan, Bagir. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung:

Mandar Maju. 1995.

Marbun, S.F. Peradilan Administrasi dan Upaya Administrative di Indonesia.

Yogyakarta: UII Press. 2003.

Marbun, S.F. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty. 2003.

Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang

Modern dan Terpercaya. Sekretariat Jendral MKRI. 2004.

Mulyasana, Dedy. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2011.

Page 147: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

135

Nurdin, Boy. Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia.

Bandung: Alumni. 2012.

Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Plihan Masalah.

Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2004.

Raharjo, Satjipto. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta:

Genta Publishing. 2009.

Rawls, John. A Theory of Justice, (Cambridge-Massachussets: The Belknap Press of

Harvard University Press, 1999.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekjen MKRI, 2006.

Siahaan, Maruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:

Konstitusi Press. 2005.

Siahaan, Maruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Edisi

Kedua). Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. 2000.

Soemantri, Sri. Hukum Tata negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan. Bandung:

PT Rosda. 2014.

Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,

1993.

Syafiie, Inu Kencana. Proses Legislatif. Bandung: PT Rafika Aditama. 2014.

Thaib, Dahlan. DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty: Yogyakarta.

1994.

Page 148: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

136

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI. 2010.

Tim Penyusun Lima Tahun Mahkamah Konstitusi. Lima Tahun Mengakkan

Konstitusi Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi

2003-2008. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanieraan Mahkamah

Konstitusi. 2008.

Warda, Ian. Pengantar Teori Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media. 2014.

Wiriadinata, Loekman. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1989.

SKRIPSI

Afandi, Geri.“Kajian Normatif Putusan Ultra petita Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Dalam Pengujian Undang-Undang (Studi

Kasus Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang BP Migas),” skripsi

Universitas Bung Hatta. 2014.

Fadel. “ Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai

Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia,” skripsi Universitas

Hasanuddin. 2012.

Fadjar, Abdul Mukthie. Hukum Konstitusi Dalam Mahkamah Konstitusi. Jakarta:

Konstitusi Press, 2006.

Fikri, Abdullah. ”Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh

Siyasah” skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 2012.

Page 149: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

137

Hadju, Taufik Kemal.“Implikasi Hukum Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Dalam

Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Perkara

Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Mahkamah Konstitusi).”

skripsi Universitas Andalas. 2012.

Jamil, M..”Penegakan Hukum Tindak Pidana Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di

Polresta Yogyakarta Tahun 2011).” skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2014.

Wahyuni, Sri. “Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Untuk

Mewujudkan Konstitusionalisme,” skripsi Universitas Sebelas Maret. 2012.

JURNAL

Abadi, Suwarno. “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah

Konstitusi”. Jurnal Konstitus. Volume 12, Nomor 3. (September 2015),

Nurjaya, Nyoman. “Putusan Ultra petita Mahkamah Konstitusi”, Jurnal

Konstitusi, Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014).

Bisariyadi. “Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah

Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang”. Jurnal Konstitusi, Volume 12,

Nomor 3, (September 2015).

Rubaie, Ach.. “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi,

Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014).

Page 150: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

138

Soeroso, Fajar Laksono.“Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah

Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Volume 11, Nomor 1. (Maret 2014).

Sutiyoso, Bambang. “ Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan”.

Jurnal Hukum. Volume 17, Nomor 2. (April 2010).

KAMUS

Departemen Pendidikan Nasioanal. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,

Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

INTERNET

Assiddiqqie, Jimly. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur

Ketatanegaraan Indonesia. http://www.jimly.com/KEDUDUKAN_MK-2

(diakses pada 19 Februari 2016).

Mahkamah Konstitusi. Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU (diakses

pada 8 Juni 2016).

Mahkamah Konstitusi. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 ,

(diakses pada 11 Januari 2016).

LAIN-LAIN

Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 151: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

139

Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Risalah Sidang Perkara Nomor 76 & 83/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Risalah Sidang Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 Perihal Pengujian Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Page 152: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

140

 

LAMPIRAN

Page 153: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

I

A. Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang

Badan Hukum Pendidikan

AMAR PUTUSAN

Mengadili, ·

Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4301) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” adalah konstitusional

sepanjang dimaknai “... ikut bertanggung jawab”, sehingga pasal tersebut

selengkapnya menjadi, “Setiap warga negara ikut bertanggung jawab

terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”;

Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu

membiayai pendidikannya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf c

Page 154: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

II

UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

menjadi, “Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi”;

Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4301) konstitusional sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai

sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk

badan hukum tertentu; · Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ·

Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4301) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat kecuali dimaknai, “... ikut bertanggung jawab”;

Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Page 155: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

III

Nomor 4301), sepanjang frasa, “...yang orang tuanya tidak mampu

membiayai pendidikannya”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; ·

Menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum

Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965) bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum

Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Page 156: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

IV

B. Amar Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 mengenai Pengujian Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;

2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian;

2.1 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;

2.2 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Page 157: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

V

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis

dari Presiden”;

2.3 Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya

menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus

mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”;

2.4 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;

Page 158: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

VI

2.5 Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam

Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis

dari presiden”;

2.6 Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya

menjadi,“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR

yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan

tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)

harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.

3. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;

Page 159: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

VII

C. Amar Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,

Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UndangUndang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan UndangUndang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2 Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45,

Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UndangUndang

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

1.3 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui

Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan

pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa

Page 160: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

VIII

“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.4 Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui

Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan

pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa

“Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.5 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

1.6 Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Page 161: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

IX

1.7 Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan

oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya

Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut;

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Page 162: PUTUSA N MAHKAMAH KOONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAdigilib.uin-suka.ac.id/21665/2/12340088_MULATNO_FULLTEXT.pdf · DARI SYA JANA STR UKUM O G : g., M.Hum NG, S.H., UKUM H & HUKU YOGYAK

X

BIODATA

Nama : Mulatno

Tempat Lahir : Gunung Kidul

Tanggal Lahir : 2 September 1993

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kasihan, Balong, Girisubo, Gunung Kidul, Yogyakarta

Kontak Person : 087738766100

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Balong

2. SMP Muhammadiyah 2 Tepus

3. SMK Negeri 1 Girisubo

4. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Riwayat Organisasi

1. Dewan Ambalan SMK Negeri 1 Girisubo

2. Scientific Club SMK Negeri 1 Girisubo

3. Jama’ah Cinema Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

4. Pusat Studi & Konsultasi Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta