problema & formulasi tarif
TRANSCRIPT
-
1
Problema dan Formulasi Tarif Sektor Transportasi
Oleh: Efi Novara Nefiadi1
ABSTRAK
Permasalahan dan formulasi tarif mencakup skema rate of return, price cap,
revenue cap, dan kombinasi rate of terurnprice cap serta price caprevenue cap
ditunjukkan, agar pemahaman stakeholders mengenai tarif sesuai aspek ekonomi /
finansial dapat lebih ditingkatkan.
Fokus kajian diarahkan untuk penerapan tarif di sektor jalan tol dan jasa angkutan
penumpang sektor transportasi, terutama dengan mempertimbangkan aspek
kemampuan daya beli (ability to pay) dan keinginan untuk membeli (willingness to
pay) konsumen serta keuntungan yang wajar bagi investor. Dengan demikian tarif
yang ditetapkan dapat memberikan solusi yang menguntungkan bagi semua
stakeholders, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat (win-win-win solution).
1 KKPPI Infrastructure Specialist
-
2
Problema dan Formulasi Tarif Sektor Transportasi
A. Permasalahan Tarif
Kondisi tarif di Indonesia untuk sektor transportasi tampaknya masih banyak diwarnai
oleh keputusan politis, dimana lemahnya daya beli masyarakat secara agregat
seringkali menjadi alasan penundaan bahkan pembatalan kenaikan tarif yang ada. Di
tengah minimnya dana pemerintah dan kewajiban pembayaran hutang Indonesia yang
tinggi serta masih kentalnya persepsi masyarakat akan ketidakefisienan manajemen
pemerintahan (termasuk BUMN/D), maka peran serta swasta telah menjadi fokus
utama kebijakan pemerintah untuk mempercepat kontribusinya khususnya di bidang
infrastruktur. Sejalan dengan pencanangan tahun investasi 2003, sudah seyogyanya
iklim yang kondusif untuk menarik swasta dan dana global ditingkatkan menuju
solusi yang menguntungkan semua pihak yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Memang suatu slogan yang indah untuk merealisasikannya, namun potensi
pendapatan swasta khususnya yang bersumber dari tarif perlu diformulasikan secara
cermat agas kepastian investasi menjadi tinggi (risiko proyek menjadi rendah). Pada
dasarnya penentuan tarif harus menutup seluruh biaya yang ditanggung penyedia jasa
transportasi (full cost recovery) dan sesuai kemampuan membayar (ability to
pay/ATP) pengguna jasa. Berkaitan dengan hal tersebut, makalah berikut mencoba
menguraikan kondisi, regulasi, dan kajian yang diperlukan agar permasalahan tarif
dapat diselesaikan dalam lingkup percepatan pertumbuhan ekonomi sektor
transportasi yang berkelanjutan.
B. Formulasi Tarif
Terdapat beberapa opsi bagi penentuan tarif yang bersifat cost-recovery yaitu tarif
datar (flat rate), tarif tetap per unit (fixed per-unit rate), value-of-service pricing, two-
part tariff, declining block tariff, dan increasing block tariff (Kerf, et.al., 1998),
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1-5.
-
3
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 10 20 30
PRICE
Unit expenses
Quantity
Gambar 4 Declining Block Tariff
100
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10
PRICE
Total expenses
Unit expenses
Quantity
Gambar 1 Flat Rate Gambar 2 Fixed Per-Unit Rate
100
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10
PRICE
Total expenses
Unit expenses
Quantity
100
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10
PRICE
Total expenses
Unit expenses
Quantity
Gambar 3 Two-Part Tariff
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 10 20 30
PRICE
Unit expenses
Quantity
Source : Kerf, et.al. (1998)
Gambar 5 Increasing Block Tariff
-
4
Berbagai skema tarif di atas telah digunakan di berbagai sektor infrastruktur. Flat rate
menerapkan tarif yang tetap, tanpa tergantung kuantitas jasa yang dikonsumsi
pengguna (misalnya tarif telepon lokal di AS dan koneksi air bersih di Amerika
Latin). Dibandingkan flat rate, skema fixed per-unit rate memberikan solusi bagi
permasalahan titik impas (break-even point), tetapi secara ekonomis masih tidak
efisien karena perbedaan biaya marjinal (marginal cost) tidak diperhitungkan dan
semua konsumen dibebankan tarif yang sama. Value-of-service pricing secara konsep
dinilai baik karena skema tarif memperhitungkan kebutuhan dan karakteristik biaya
konsumen, dimana tarif ditetapkan lebih tinggi bagi pengguna yang tidak sensitif
terhadap tarif. Namun skema tersebut sulit diterapkan karena membutuhkan informasi
yang banyak (seperti menentukan korelasi kebutuhan konsumen dengan tarif). Two-
part tariff terdiri dari tarif tetap (biasanya menutupi biaya akses pengguna atas jasa)
dan fixed per-unit rate (dapat disesuaikan dengan biaya marjinal). Declining block
tariff menerapkan tarif yang lebih murah bagi penggunaan konsumsi yang lebih
banyak, misalnya tarif jasa telekmunikasi. Sedangkan increasing block tariff
menerapkan tarif yang lebih mahal bagi penggunaan konsumsi yang lebih banyak,
misalnya tarif air bersih di Indonesia.
Selain metode penentuan tarif di atas, terdapat berbagai skema penyesuaian tarif
seperti rate of return, price cap (ceiling tariff), revenue cap, dan kombinasi rate of
return - price cap serta price cap revenue cap (Kerf, et.al., 1998).
Skema rate of return ditunjukkan sebagai berikut :
Nilai Aset
Biaya Modal
Allowable Return
Pengeluaran
Actual Return
Kebutuhan Revenue
Proyeksi Kebutuhan Tarif
Actual Demand
-
5
Sedangkan formulasi price cap dan revenue cap adalah :
Price cap : P t = P t-1 [ 1 + ( I t X t ) / 100 ]
Revenue cap : R t = R t-1 [ 1 + ( I t X t ) / 100 ]
dimana :
P t = Tarif pada periode t. R t = Revenue pada periode t. I t = Inflasi antara periode t dan t-1. X = Perolehan efisiensi (efficiency gain) yang diharapkan Contoh penerapan penyesuaian tarif adalah sebagai berikut :
P t-1 = S i a i C i,t-1
P t = S i a i C i,t-1 [ 1 + ( I i,t X i,t ) / 100 ]
dimana :
P t-1 = Maksimum tarif yang ditetapkan pada periode t-1. P t = Maksimum penyesuaian tarif pada periode t. S i a i = 1. C i,t -1 = Faktor biaya pada periode t-1. I i,t = Inflasi antara periode t dan t-1. X i,t = Perolehan efisiensi (expected efficiency gain) antara periode t dan t-1. Metode rate of return mempunyai keuntungan utama yaitu adanya jaminan bagi
investor dan biaya modal (capital cost) yang rendah, dimana penggantian atas
pengeluaran operator dan tingkat keuntungan (rate of return) tertentu diperoleh.
Sedangkan kerugiannya adalah kurangnya insentif untuk efisiensi dan overinvestment
(Averch-Johnson effect). Di sisi lain metode price cap mempunyai keuntungan utama
yaitu tingginya insentif untuk efisiensi dan beberapa kerugian seperti tingginya risiko
bagi investor (biaya modal lebih tinggi), kurangnya insentif untuk mempertahankan
kualitas pelayanan yang ada, dan sulitnya memprediksi kondisi masa mendatang.
Sedangkan revenue cap merupakan variasi price cap dan digunakan untuk mengatasi
permasalahan utilitas yang sebagian besar biayanya adalah tetap (fixed). Selain itu
revenue cap mengurangi insentif untuk memaksimalkan penjualan ke konsumen.
Dengan demikian price cap dan revenue cap memberikan insentif yang tinggi untuk
mengontrol biaya operator.
-
6
Pada prakteknya, kebanyakan sistem regulasi tarif menggunakan kombinasi antara
rate of return dan price cap, misalnya regulasi benchmark (yardstick) untuk
mengevaluasi komponen biaya operator, sliding scale rules (adanya bagi hasil antara
investor dan pemerintah dengan mengkaitkan rate of return dan penyesuaian revenue,
dan sebagainya. Selain itu kombinasi price cap dan revenue cap telah digunakan di
Inggris untuk perusahaan listrik regional (lihat formulasi berikut).
R t = [ k ( P t-1 D t ) + (1 k) R t-1 ] [ 1 + ( I t X t ) / 100 ]
dimana :
R t = Revenue pada periode t. I t = Inflasi antara periode t dan t-1. X = Perolehan efisiensi (expected efficiency gain). P t-1 = Tarif pada periode t-1. D t = Jumlah unit yang dilayani pada periode t.
Mengacu kepada berbagai formulasi tarif di atas, pembahasan makalah berikut akan
difokuskan kepada pentarifan jalan tol dan kebijakan harga (pricing policy) jasa
angkutan penumpang.
C. Tarif Jalan Tol
Kondisi Pentarifan Jalan Tol
Saat ini kenaikan terakhir tarif untuk beberapa ruas jalan tol tidak pernah mengalami
penyesuaian selama 10 tahun terakhir (lihat Tabel 1). Padahal tarif jalan tol
merupakan yang termurah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, yaitu tarif
terendah dan termahal untuk Golongan I masing-masing adalah Rp 80/km dan Rp
316/km. Menurut Capricorn Indonesia Consult (1999), tarif tol untuk golongan I di
Malaysia adalah Rp 275/km dan di Filipina berkisar antara Rp 225 sampai Rp 818 per
km. Adanya penundaan kenaikan tarif tol perlu dilihat dampaknya terhadap kondisi
keuangan investor swasta dan sejauh mana pemerintah mempunyai komitmen untuk
menarik modal swasta khususnya investasi asing di sektor jalan tol.
-
7
Pengelola jalan tol juga harus terus melakukan efisiensi, dimana evaluasi terhadap
inefisiensi manajemen perlu diperhatikan. Misalnya hasil audit Kantor Akuntan
Publik dan Pricewaterhouse Cooper (PwC) selama 19951999 (Kompas, 2003)
menunjukkan bahwa PT Jasa Marga mengalami kerugian inefisiensi Rp 2,376 trilyun,
selain potensi kerugian operasional Rp 141 milyar dan potensi kerugian investasi
sebesar Rp 5,039 trilyun.
Regulasi Tarif Jalan Tol
Sesuai pasal 40 PP No. 40/2001, besarnya tarif tol ditetapkan oleh Presiden atas usul
Menteri dan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kelayakan investasi, bagian
keuntungan biaya operasi kendaraan (BKBOK), dan kemampuan membayar pemakai
jalan tol. Sedangkan pasal 40A mengatur penyesuaian besarnya tarif tol dilakukan
setiap 3 tahun berdasarkan pengaruh laju inflasi terhadap komponen beban usaha
penyelenggaraan jalan tol, dengan kenaikan maksimum sebesar 25%.
Dibandingkan dengan regulasi jalan tol menurut PP No. 8/1990, adanya aturan
tambahan mengenai faktor penentuan dan penyesuaian tarif merupakan perangkat
yang baik bagi investor dalam menanamkan modalnya di bidang jalan tol, walaupun
usulan kenaikan tarif masih ditetapkan oleh Presiden.
Kajian Tarif Jalan Tol
Sesuai penjelasan PP No. 40/2001, kelayakan investasi dihitung berdasarkan nilai
investasi, perkiraan lalu- lintas, perkiraan tarif, masa penyelenggaraan, biaya operasi
dan pemeliharaan serta keuntungan yang wajar. BKBOK dihitung berdasarkan
pembebanan biaya operasi kendaraan meliputi biaya bahan bakar, pelumas, keausan
dan pengaruh nilai waktu, yang dihitung berdasarkan pengaruh pembedaan panjang
jalan dan kecepatan tempuh rata-rata. Sedangkan, kemampuan membayar masyarakat
pemakai jalan tol diukur berdasarkan survey yang dilakukan oleh lembaga
independen.
-
8
Berkaitan dengan BKBOK yang hanya memperhitungkan biaya operasi kendaraan
(vehicle operating cost) dan nilai waktu (value of time), tampaknya formulasi tersebut
perlu juga memperhatikan biaya kecelakaan dan emisi kendaraan. Misalnya studi
Indonesian Highway Capacity Manual (Bina Marga, 1997) telah menggunakan
komponen biaya tersebut untuk membuat traffic engineering guidelines berdasarkan
konsep biaya siklus hidup (life cycle cost). Dengan demikian penentuan tarif dapat
memperhitungkan berbagai komponen biaya, termasuk biaya lingkungan. Di sisi lain
pendekatan secara makro menggunakan CGE / INDORANI model (analisa input-
output) telah menghasilkan estimasi indirect benefit (yaitu total benefit direct
benefit) untuk mengkaji investasi di bidang jalan (Kimpraswil, 2000). Saat ini hasil
pengembangan model tersebut untuk SEPM (Strategic Expenditure Planning Module)
pada Integrated Road Management System (IRMS) telah memberikan acuan bagi
indirect benefit yang dapat digunakan bagi keperluan kelayakan investasi jalan (aspek
profitability) dan penentuan alokasi pendanaan bagi daerah (aspek equality). Kiranya
hasil kajian tersebut dapat menjadi masukan bagi penyempurnaan formulasi tarif jalan
tol (khususnya BKBOK) di masa mendatang, walaupun aspek kepraktisan dan
kederhanaan formulasi tarif harus tetap menjadi acuan. Selain itu berbagai upaya
inovasi untuk pengembangan jalan tol perlu terus dilakukan misalnya dengan
bercermin dari best practices negara lain (ADB, 2000; Bisnis Indonesia, 2003).
Usulan kenaikan tarif dalam rangka kelayakan investasi yang telah memperhitungkan
BKBOK (biasanya tarif maksimum sebesar 70% BKBOK menggunakan skema price
cap) dan sesuai kemampuan membayar konsumen serta telah memperhitungkan
keuntungan yang wajar bagi investor akan memberikan keuntungan bagi semua
stakeholders (yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat). Apabila dikaji secara
cermat, seharusnya tidak ada alasan untuk menunda kenaikan tarif tersebut. Mengutip
isi lapotan tahunan PT Jasa Marga (2001), survey Marketing Research Indonesia
(2000) menunjukkan bahwa 92% pengguna pribadi jalan tol memiliki pengeluaran
rumah tangga di atas Rp 1 juta / bulan dan survey metode stated preference oleh Pusat
Studi Transportasi FTUI (2001) memperlihatkan bahwa pelanggan untuk wilayah
dalam kota Jakarta mempunyai kemampuan membayar tol berkisar antara Rp 496
sampai Rp 829 per km. Secara keseluruhan nilai ATP tersebut masih di atas usulan
-
9
tarif untuk beberapa ruas jalan tol yang ada. Tentu saja pengkajian terhadap kondisi
keuangan perusahaan harus dilakukan untuk melihat efisiensi manajemen perusahaan.
Dengan demikian iklim investasi di bidang jalan tol diharapkan lebih kondusif dengan
adanya kepastian penyesuaian tarif secara berkala dan hal ini pada gilirannya akan
menurunkan risiko investasi dan diharapkan akan menarik partisipasi swasta di masa
mendatang. Selain itu tanggapan Asosiasi Jalan Tol Indonesia (Rachman, 2002)
mengenai PP No. 40/2001 yang tidak ramah pasar, yaitu tidak ada kepastian kenaikan
tarif setiap 3 tahun dan tidak ada kompensasi apabila tarif tidak naik serta apabila
inflasi di atas 25% perlu dikaji lebih lanjut, sehingga kepastian revenue investor yang
bersumber dari tarif lebih terjamin. Hal ini tentu saja harus diikuti penerapan good
corporate governance untuk mencapai efisiensi manajemen perusahaan.
D. Kebijakan Harga Jasa Angkutan Penumpang
Upaya optimalisasi tarif transportasi dengan mempertimbangkan efisiensi ekonomi
(economic efficiency), faktor eksternal, dan biaya transportasi (cost recovery) untuk
jasa angkutan penumpang telah dikaji melalui studi Passenger Transport Service
Pricing Policy (Dephub, 2001). Hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata pengambil
kebijakan di Dephub memprioritaskan pentingnya efisiensi ekonomi (52%), cost
recovery (29%), dan eksternalitas (19%) bagi pencapaian optimalisasi tarif tersebut.
Perumusan kebijakan dan strategi tarif angkutan penumpang di masa mendatang akan
difokuskan kepada kriteria efisiensi ekonomi dan menciptakan struktur pasar yang
optimal (untuk mendukung kompetisi yang fair antar operator). Upaya menuju
struktur pasar transportasi yang bebas sejalan dengan Reformasi Kebijakan
Transportasi, Pos, dan Telekomunikasi yang tertuang dalam Kepmenhub No. KM
95/1999. Fokus kebijakan transportasi akan diarahkan kepada hubungan antara
transport performance objective (kualitas, kuantitas, dan biaya), manajemen (kondisi
demand dan supply, struktur pasar, dan perilaku operator), dan instrumen kebijakan
publik (pricing policy, regulasi transportasi, dan ekonomi). Ketiga instrumen
kebijakan yang direkomendasikan untuk berbagai jasa angkutan penumpang (kereta
-
10
api, angkutan kota, bis kota, bis antar kota, taksi, transportasi laut, dan udara) dapat
dijadikan acuan bagi penerapan kebijakan harga di berbagai sub-sektor transportasi
(lihat Tabel 2-4).
Hal lain yang menarik adalah hasil kajian marketing research yang digunakan untuk
mengestimasi kemampuan daya beli (ability to pay/ATP) dan keinginan untuk
membeli (willingness to pay/WTP) pengguna jasa angkutan bis kota, angkutan kota,
kereta rel listrik, dan taksi, berdasarkan pilot study yang dilakukan di Jakarta (lihat
Tabel 5). Terlihat bahwa ATP lebih rendah dari tarif yang berlaku (karena rendahnya
daya beli masyarakat) dan WTP lebih besar dari tarif (apabila pelayanan operator
angkutan ditingkatkan). Selain itu terdapat perbedaan persepsi ATP untuk pengguna
angkutan bis non-AC, AC, dan reguler. Hal ini mengindikasikan persepsi segmen
pasar yang berbeda atas pelayanan operator yang dapat dikaitkan dengan tingkat
pendapatan konsumen (misalnya golongan ekonomi atas, menengah, dan bawah),
sehingga penerapan tarif menjadi lebih tepat sasaran. Karena itu penerapan
segmentasi, target, dan positioning pasar menjadi penting diperhatikan.
E. Kesimpulan
Permasalahan dan formulasi tarif mencakup skema rate of return, price cap, revenue
cap, dan kombinasi rate of terurnprice cap serta price caprevenue cap ditunjukkan,
agar pemahaman stakeholders mengenai tarif sesuai aspek ekonomi / finansial dapat
lebih ditingkatkan. Fokus kajian diarahkan untuk penerapan tarif di sektor jalan tol
dan jasa angkutan penumpang sektor transportasi, terutama dengan
mempertimbangkan aspek daya beli (ability to pay) dan kemampuan daya beli
(willingness to pay) konsumen serta keuntungan yang wajar bagi investor. Dengan
demikian tarif yang ditetapkan dapat memberikan solusi yang menguntungkan bagi
semua stakeholders, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat (win-win-win
solution).
-
11
Daftar Pustaka
- Asian Development Bank (ADB) Developing Best Practices for Promoting
Private Sector Investment in Infrastructure, Manila, Philippines, 2000.
- Bina Marga Indonesian Highway Capacity Manual, Departemen Pekerjaan
Umum, 1997.
- Bisnis Indonesia Bercermin ke Negara Lain untuk Bangun Jalan Tol, 6 Mei
2003.
- Capricorn Indonesia Consult Inc. (CIC) Perkembangan dan Prospek Investasi
Jalan Tol di Indonesia, Indocommercial No. 224, 26 April 1999.
- Departemen Kimpraswil Methodology in Estimating Economic Impacts and
Indirect Benefits, SEPM Project Team, 2000.
- Departemen Perhubungan Passenger Transport Service Pricing Policy Study,
LAPI-ITB, Laporan Final, 2001.
- Jasa Marga, PT Laporan Tahunan 2001, 2002.
- Kerf, M., Gray, R.D., Irwin, T., Levesque, C. & Taylor, R.R. Concessions for
Infrastructure : A Guide to Their Design and Award, World Bank Technical
Paper No. 399, IBRD, Washington, DC, 1998.
- Kompas Haruskah Tarif Jalan Tol Naik ?, 8 Maret 2003.
- Rochman, F. Bisnis Jalan Tol Indonesia : Prospek dan Kendala, Prosiding
Seminar Kerangka Bisnis Jalan Tol, Badan Pengembangan Konstruksi dan
Investasi (Bapekin), Dep. Kimpraswil, 2002.
-
11
Tabel 1 Kondisi Pentarifan Jalan Tol
PANJANG TH. KEPPRES TARIF SAAT INI (Rupiah) TARIF USULAN (Rupiah) KENAIKAN TARIF (%)(Km) TARIF TOL GOL I GOL II A GOL IIB GOL I GOL II A GOL IIB GOL I GOL II A GOL IIB
1 Jakarta - Cikampek- Tarif terjauh 74.00 1992 6,500 11,000 13,000 10,000 17,000 20,000 54 55 54 Tarif per Km 88 149 176 135 230 270 Tarif Ramp 500 800 1,000 1,000 1,000 1,000
2 Jakarta-Tangerang- Tarif terjauh 26.80 1992 2,500 4,000 5,000 4,000 6,000 7,500 60 50 50 Tarif per Km 93 149 187 149 224 280 Tarif Ramp 500 800 1,000 1,000 1,000 1,000
3 Tol Prof Dr. Ir. Sediyatmo- Tarif terjauh 15.00 1996 4,000 5,000 6,000 5,500 7,000 8,500 38 40 42 Tarif per Km 267 333 400 367 467 567
4 Padaleunyi- Tarif terjauh 35.00 1990 3,000 5,000 6,000 5,000 8,500 10,000 67 70 67 Tarif per Km 86 143 171 143 243 286
5 Waru-Gempol- Tarif terjauh 26.00 1992 2,000 3,000 4,000 3,500 5,000 6,500 75 67 63 Tarif per Km 77 115 154 135 192 250- Dupak - Waru 1,000 1,500 2,000 1,500 2,000 3,000
6 Belmera- Tarif terjauh 36.00 1992 2,500 4,000 4,500 4,000 6,500 7,500 60 63 67 Tarif per Km 69 111 125 111 181 208
7 Palikanci- Tarif terjauh 22.27 1998 3,000 4,000 5,500 4,000 5,500 7,500 33 38 36 Tarif per Km 135 180 247 180 247 337
8 Tol dalam kota Jakarta- Tarif terjauh 55.90 1996 3,000 4,000 5,000 4,000 5,500 7,000 33 38 40 Tarif per Km (Average Trip 236 315 394 315 433 551
Length = 12,7 km)9 Tangerang - Merak
- Tarif terjauh 72.45 1992 10,000 14,000 17,500 19,500 27,000 33,500 95 93 91 Tarif per Km 138 193 242 269 373 462
10 Surabaya - Gresik- Tarif terjauh 20.73 1994 3,800 5,500 8,000 6,000 8,500 12,500 58 55 56 Tarif per Km (Average Trip 196 284 412 309 438 644- Tarif Dupak - Tandes Length = 19,4 km) 500 1,000 1,500 1,000 1,500 2,000
11 Ujung Pandang- Tarif terjauh 5.95 1998 1,000 1,500 1,500 1,500 2,000 2,000 50 33 33 Tarif per Km 168 252 252 252 336 336- Tarif Ramp tallo bara 500 800 800 1,000 1,000 1,000
12 JORR Seksi S- Tarif terjauh 14.25 1996 4,500 4,500 5,000 Tarif per Km 316 316 351
13 Serpong - Pondok Aren- Tarif terjauh 7.20 1999 2,000 3,500 4,500 2,500 4,500 6,000 25 29 33 Tarif per Km 278 486 625 347 625 833
14 Jagorawi*- Tarif terjauh 50.00 1992 4,000 5,000 7,000 6,000 7,500 11,000 50 50 57 Tarif per Km 80 100 140 120 150 220- Tarif Ramp 500 1,000 1,500 1,000 1,500 2,000
Keterangan *) : Kenaikan tarif tol ruas Jagorawi, dan tol ruas JORR seksi W2 (S), S, E1 dan tarif tol ruas Pondok Aren - Ulujami akan diberlakukan pada triwulan akhir tahun 2003Catatan : - Diolah dari berbagai sumber (Kompas, 2003; CIC, 1999)- Inflasi untuk Indonesia selama 5 tahun terakhir (1998-2002) adalah 111,48 %
JALAN TOL
-
12
Tabel 2 Pricing Policy Jasa Angkutan Penumpang (Dephub, 2001)
No. Moda Transportasi Pricing Policy
1. Angkutan Penumpang Kereta Api
Kelas Non Ekonomi Urban dan Inter Urban: Laisez Faire
Kelas Ekonomi Urban dan Inter Urban: Ceiling Tariff
2. Angkutan Penumpang Angkutan Kota
Ceiling Tariff dan penerapannya menggunakan sistem Staggering Fare (sistem zona)
3. Angkutan Penumpang Bis Kota
Bis Kota Reguler dan Patas Biasa : Ceiling Tariff dan penerapannya menggunakan Straggering Fare (Sistem zona).
Bis Kota Patas AC : Laisez Faire
4. Angkutan Penumpang Bis Antar Kota
Ceiling Tariff
5. Angkutan Penumpang Taksi
Laisez Faire
6. Angkutan Penumpang Laut
Kelas Non Ekonomi : Laisez Faire
Kelas Ekonomi : Ceiling Tariff
7. Angkutan Penumpang Udara
Kelas Eksekutif dan Bisnis : Laise Faire
Kelas Ekonomi : Ceiling Tariff
Tabel 3 Regulasi Transportasi Jasa Angkutan Penumpang (Dephub, 2001)
No. Moda Transportasi Regulasi Transportasi
1. Angkutan Penumpang Kereta Api
Pemisahan pengelolaan sarana dan prasarana
Otonomi untuk masing-masing Daop (sehingga tercipta kompetisi antar Daop)
Kompetisi pada setiap rute
Deregulasi dan Privatisasi
2. Angkutan Penumpang Angkutan Kota
Standar Operasi dan Pelayanan
Standar Perhitungan Biaya
-
13
Kompetisi pada setiap rute
Deregulasi dan Privatisasi
3. Angkutan Penumpang Bis Kota Standar Operasi dan Pelayanan
Standar Perhitungan Biaya
Kompetisi pada setiap rute
Deregulasi dan Privatisasi
4. Angkutan Penumpang Bis Antar Kota
Standar Operasi dan Pelayanan
Standar Perhitungan Biaya
Kompetisi pada setiap route
Deregulasi dan privatisasi
5. Angkutan Penumpang Taksi Standar Operasi dan Pelayanan
Standar Perhitungan Biaya
Kompetisi pada setiap route
Deregulasi dan privatisasi
6. Angkutan Penumpang Laut Membentuk PT Pelni PT Pelni Baru di daerah
Kompetisi pada setiap rute pelayaran
7. Angkutan Penumpang Udara Kompetisi pada setiap rute
Tabel 4 Instrumen Ekonomi Jasa Angkutan Penumpang
No. Moda Transportasi Instrumen Ekonomi
1. Angkutan Penumpang Kereta Api
Subsidi untuk rute yang merugi (namun perlu dipertahankan untuk tujuan pembangunan)
Untuk yang urban perlu diupayakan subsidi dari user company
2. Angkutan Penumpang Angkutan Kota
Subsidi tidak langsung melalui keringanan pajak
-
14
3. Angkutan Penumpang Bis Kota Subsidi tidak langsung melalui keringanan pajak
Subsidi khusus langsung untuk kelas ekonomi
Subsidi silang antar pelayanan
4. Angkutan Penumpang Bis Antar Kota
Subsidi tidak langsung melalui keringanan pajak
5. Angkutan Penumpang Taksi Subsidi tidak langsung melalui keringanan pajak
6. Angkutan Penumpang Laut Penurunan pajak tidak langsung
Subsidi untuk rute perintis
7. Angkutan Penumpang Udara Penurunan pajak tidak langsung
Subsidi untuk rute perintis melalui tender terbuka
Tabel 5 Kajian Marketing Research ATP dan WTP Pengguna Jasa Angkutan
(Dephub, 2001)
No. Moda Transportasi ATP, WTP, dan Tarif
1. Bis Patas Non- AC
Bis Patas AC
Bis Reguler
Angkutan bis
ATP > Tarif
ATP = Tarif
ATP < Tarif
WTP < Tarif (konsumen tidak puas terhadap pelayanan operator)
WTP > Tarif (apabila kualitas pelayanan ditingkatkan)
2. Angkutan Penumpang Angkutan Kota
ATP < Tarif
WTP < Tarif (konsumen tidak puas terhadap pelayanan operator)
WTP > Tarif (apabila kualitas pelayanan ditingkatkan)
-
15
3. Angkutan Penumpang Kereta Rel Listrik (KRL)
ATP = Tarif (KRL Ekspres)
ATP < Tarif (KRL Ekonomi)
WTP < Tarif (konsumen tidak puas terhadap pelayanan operator)
WTP > Tarif (apabila kualitas pelayanan ditingkatkan)
4. Angkutan Penumpang Taksi ATP < Tarif
WTP > Tarif (karena rasa aman, duduk nyaman, dan waktu tunggu sebentar)
WTP > Tarif (apabila kualitas pelayanan ditingkatkan)