potensi biogas pada anaerobic co-digestion lumpur tinja
TRANSCRIPT
1 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja dengan Sampah Makanan dan Sampah Taman
Ukhtiy Afifah, Cindy Rianti Priadi
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Pengelolaan limbah lumpur tinja yang sangat terbatas dapat ditingkatkan dengan memanfaatkannya menjadi biogas. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi biogas pada lumpur tinja dengan menambahkan sampah makanan dan sampah taman. Sistem yang digunakan berupa Anaerobic Co-digestion dengan variasi kosentrasi lumpur tinja, yaitu sebesar 25% dan 50% berdasarkan nilai Volatile Solids (VS). Inokulum yang digunakan adalah rumen sapi. Penelitian dilakukan menggunakan reaktor batch skala lab berukuran 51 L dengan masa operasi selama 42 hari. Biogas yang dihasilkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 25% adalah 0,30 m3CH4/kg VS dengan destruksi VS sebesar 71,93% dan COD sebesar 72,42%. Sedangkan, biogas yang dihasilkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 50% adalah 0,56 m3CH4/kg VS dengan destruksi VS sebesar 92,43% dan COD sebesar 87,55%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa potensi biogas pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar dibandingkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Kata kunci : anaerobic co-digestion; biogas; gas metana; inokulum rumen sapi; lumpur tinja; sampah
makanan; sampah taman
Biogas Potential from Anaerobic Co-Digestion Of Faecal Sludge with Food Waste and Garden Waste
Abstract
The limited faecal sludge management can be optimized by converting the sludge into biogas. This study purposed to optimize the biogas potential of faecal sludge with food waste and garden waste. The system using Anaerobic Co-digestion on the variation 25% and 50% consenteration of faecal sludge based on Volatile Solids (VS). Inoculum used was cow’s rumen. The study was operated using lab-scale batch reactor 51 L for 42 days. Biogas produced at 25% consenteration of faecal sludge is 0,30 m3CH4/kg with 71,93% VS and 72,42% COD destruction. Meanwhile, at 50% consenteration of faecal sludge produce 0,56 m3CH4/kg VS biogas with 92,43% VS and 87,55% COD destruction. This study concludes that biogas potential of 50% consenteration greater than 25% consenteration of faecal sludge. Keywords : anaerobic co-digestion, faecal sludge, food waste, garden waste, cow’s rumen inoculum,
biogas, methane gas
Pendahuluan
Lumpur tinja diartikan sebagai material kotoran manusia yang berasal dari tangki septik
yang dipompa saat proses pengurasan. Setiap orang menghasilkan lumpur tinja sebesar 0,5
2 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
liter/orang/hari dengan 62% masyarakat Indonesia membuangnya ke tangki septik. Jika tangki
septik penuh dilakukan pengurasan dengan truk tinja untuk dibawa ke Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPLT). Namun, berdasarkan data World Bank tahun 2013, sekitar 90% dari
140 IPLT di Indonesia tidak beroperasi dengan baik. Keterbatasan pengelolaan tersebut dapat
diatasi dengan menerapkan sistem waste to energy, yaitu lumpur tinja diproses dengan
menggunakan digester anaerobik untuk dijadikan energi berbentuk biogas. Biogas terdiri gas
metana dan gas karbondioksida (Gomez, 2013) yang mudah terbakar sehingga dapat
digunakan untuk keperluan memasak, memanaskan, dan penerangan.
Potensi biogas dalam lumpur tinja manusia sangat kecil dibandingkan dengan substrat
yang lain, yaitu sebesar 0,009-0,028 m3/kg VS (Haq & Soedjono, 2010). Hal ini dapat
disebabkan oleh rasio C/N lumpur tinja yang rendah, yaitu hanya 7,9 (Haq & Soedjono,
2010), sehingga membutuhkan bantuan substrat lain untuk meningkatkannya menjadi
optimum, yaitu 20–30 (Dioha, Ikeme, Nafi’u, Soba, & Yusuf, 2013) dengan cara co-
digestion. Perlakuan anaerobic co-digestion dapat meningkatkan stabilitas proses digestion
(Gokcekus, Turker, & Lamoreaux, 2011), meminimalkan inhibitor dari substrat utama,
meningkatkan keseimbangan nutrisi, dan peningkatan produksi biogas yang stabil (Braun &
Wellinger, 2002).
Anaerobic co-digestion pada lumpur tinja dapat dilakukan dengan penambahan substrat
yang memiliki rasio C/N tinggi, contohnya sampah makanan dengan rasio C/N hingga 24,5
(Zhang, Xiao, Peng, Su, & Tan, 2013) dan sampah taman, yaitu sebesar 40-80
(Tchobanoglous, G., Burton, 2013). Pada penelitian terdahulu dengan metode BMP
menunjukkan bahwa rasio sampah makanan dan lumpur tinja sebesar 1:1,5 dan 1:2
menghasilkan biogas dengan rentang 1.600 – 2.300 m3/hari (Prabhu, Waigaonkar, Dube,
Walther, & Mutnuri, 2015). Sedangkan, campuran lumpur tinja dan sampah taman dapat
mengkonversi COD menjadi gas metana hingga 56,4% (Budianto, 2016). Penelitian lain
berupa campuran 1:1:1 antara lumpur tinja, sampah makanan, dan sampah taman
mendapatkan hasil produksi gas metana terbesar, yaitu sebesar 0,015 m3/kg VS selama 55
hari masa inkubasi, dibandingkan variasi lainnya (Primananda, A., 2016). Maka, besar biogas
yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh konsentrasi lumpur tinja dalam campuran.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
anaerobic co-digestion yang terjadi pada lumpur tinja dengan sampah makanan dan sampah
taman, variasi konsentrasi lumpur tinja yang memiliki potensi produksi biogas terbesar, serta
perbandingannya dengan anaerobic digestion lumpur tinja saja.
3 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Tinjauan Teoritis
Lumpur tinja (faecal sludge) adalah campuran air dan padatan yang dihasilkan dari
penggelontoran tinja manusia dengan air. Kandungan utama dari lumpur tinja adalah tinja
yang terdiri atas air, protein, lemak tidak tecerna, polisakarida, bakteri, dan residu makanan
tidak tecerna (Rose, Parker, Jefferson, & Cartmell, 2015). Lumpur tinja ditampung dalam
tempat pembuangan setempat dan belum disalurkan ke selokan disebut tangki septik (septic
tank).
Keterbatasan pengelolaan lumpur tinja dapat ditingkatkan dengan usaha pemanfaatan
lumpur tinja menjadi bahan penghasil energi menerapkan konsep waste to energy untuk
menghasilkan energi berupa biogas. Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh aktivitas
degradasi dari bakteri terhadap biomassa pada kondisi anaerobik (Gomez, 2013) atau biasa
disebut sistem anaerobic digestion. Kelebihan sistem ini diantaranya adalah efisiensi yang
tinggi dengan ditandai oleh jumlah lumpur residu yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan
proses aerobic digestion, prosesnya stabil, dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dengan
pemulihan metan dan menghasilkan biogas, serta sedikitnya jumlah faktor-faktor yang
diperlukan, seperti ruang, energi, dan nutrisi. Sistem ini terjadi dalam 4 tahap yang berjalan
secara simultan dan sinergis (Davis, M.L., 2010), yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis,
dan metanogenesis yang menuntun pada bentuk zat kimia yang semakin sederhana
menggunakan bantuan mikroorganisme untuk menghasilkan biogas. Jumlah biogas yang
dihasilkan dari lumpur tinja adalah 0,009 – 0,028 m3/kg VS dengan presentase gas metana 50-
75 % (Gomez, 2013).
Proses anaerobic digestion dioperasikan dalam reaktor yang disebut sebagai anaerobic
digester atau bioreaktor. Reaktor diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu berdasarkan
suhu (mesophilic dan thermophilic), jumlah total solid (TS) (sistem basah dan kering), jenis
reaksinya (reaksi homogen 1 fase dan reaksi heterogen 2 fase), cara pengoperasian (tipe batch
dan kontinu) (Nizami & Murphy, 2010). Reaktor anaerobik ini harus tahan kebocoran gas
pada 8-30 psi yang merupakan rentang tekanan pada saat sistem beroperasi (Ibsen, 2006).
Pertumbuhan bakteri pada proses anaerobic digestion dapat dipercepat dengan
inokulum (Mateescu & Constantinescu, 2011). Inokulum harus terlebih dahulu diberikan
perilaku degasifikasi, purging dengan gas inert, kemudian diaklimatisasi untuk menstabilkan
inokulum dan membiasakannya dengan substrat melalui feeding. Pada anaerobic digestion
untuk lumpur tinja, inokulum yang digunakan adalah rumen sapi yang masih segar yang
4 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
memiliki aktivitas mikrorganisme yang lebih aktif bekerja secara luas dan menyebar sehingga
meningkatkan produksi biogas pada substrat hingga 3 kali lipat dibandingkan tanpa tambahan
inokulum (Budiyono, Widiasa, Johari, & Sunarso, 2014) (Ross, 2012) sehingga inokulum dari
rumen lebih baik dibandingkan kotoran sapi (Ross, 2012). Rasio substrat dan inokulum (S/I)
memberikan dampak penting pada produksi biogas dengan rasio S/I optimum adalah ≤ 0,5
berdasarkan nilai VS (Drosg, Braun, Bochmann, & Saedi, 2013).
Parameter yang mempengaruhi anaerobic digestion, diantaranya adalah suhu, ph,
Organic Loading Rate (OLR), Hydraulic Retention Time (HRT) dan Solid Retention Time
(SRT), rasio C/N, dan inhibitor. Anaerobic digestion umumnya menggunakan sebuah
substrat. Kombinasi dua atau lebih substrat disebut sebagai anaerobic co-digestion (Cherosky,
2012). Perlakukan anaerobic co-digestion dilakukan dengan tujuan menghasilkan jumlah
biogas yang lebih besar, khususnya gas metana; meningkatkan stabilitas proses (Gokcekus et
al., 2011) dan meminimalkan inhibitor yang mungkin ada dari substrat utama; meningkatkan
keseimbangan nutrisi untuk proses digesti yang optimal, dan peningkatan produksi biogas
yang stabil (Braun & Wellinger, 2002). Proses anarobic co-digestion memberi dampak
sinergis yang menghasilkan keseimbangan nutrisi dan peningkatan biodegradasi, contohnya
adalah target rasio C/N optimum. Kriteria lain untuk menentukan co-substrat yang cocok
adalah nilai COD dan VS yang besar, serta substrat yang telah menghasilkan volume produksi
biogas yang besar.
Penelitian anarobic co-digestion lumpur tinja dan sampah sisa makanan untuk
menjadikan C/N berada pada rentang optimum dilakukan pada penelitian metode BMP
selama 40 hari dengan rata-rata C/N 11,4 pada suhu 32oC menunjukkan bahwa biogas lebih
banyak dihasilkan pada perbandingan 1:2 (setara konsentrasi lumpur tinja 35%) dengan
rentang methane yield 0,32-0,56 m3/kg VS. Hal ini menunjukkan penambahan sampah
makanan ini dapat membantu peningkatan biogas dari lumpur tinja. Pada prosesnya,
campuran keduanya saling melengkapi trace element yang dibutuhkan sehingga enzim untuk
aktivitas mikroorganisme terpenuhi (Prabhu et al., 2015). Anaerobic co-digestion pada
lumpur tinja lainnya adalah penambahan sampah makanan dan sampah taman menggunakan
metode BMP dengan OLR 15 g/L VS pada suhu inkubasi 35oC yang menghasilkan produksi
gas metana paling besar, yaitu 0,3 m3/gr VS dibandingkan variasi lainnya (Primananda, A.,
2016).
5 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian berupa pendekatan kuantitatif dalam skala laboratorium dengan
pengujian beberapa parameter. Variabel penelitian terdapat tiga jenis, yaitu variabel bebas,
variabel terikat, dan variable kontrol. Variabel bebas berupa konsentrasi lumpur tinja sebagai
substrat utama pada masing-masing reaktor anaerobik berdasarkan pada nilai volatile solids
(VS), yaitu 25% dan 50% dari total nilai VS campuran substrat dan co-substrat. Variabel
terikat berupa potensi produksi biogas dan gas metana yang diproduksi dari variasi
konsentrasi lumpur tinja yang digunakan. Variabel kontrol berupa besar nilai pH supaya
berada dalam rentang optimum dengan menambahkan buffer natrium bikarbonat untuk
meningkatkan pH.
Subjek pada penelitian ini adalah substrat lumpur tinja yang diperoleh dari tangki truk
tinja yang akan melakukan pengosongan di IPLT Kalimulya, Depok. Co-substrat sampah
makanan diambil dari Kantin Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan co-substrat sampah
taman berasal dari dedaunan di sekitar lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Inokulum berupa rumen sapi yang didapatkan dari Rumah Potong Hewan di Tapos, Depok.
Gambar 1. Sketsa Dimensi Reaktor B (50%) dan A (25%) Penelitian terbagi menjadi masa pra-penelitian dan masa penelitian. Masa pra-penelitian
berisi mengenai persiapan penelitian dilakukan berupa pengambilan sampel dan pengujian
karakteristik awal. Persiapan penelitian pertama, yaitu persiapan inokulum yang akan melalui
proses degasifikasi, purging, dan aklimatisasi sebelum digunakan dan disimpan dalam reaktor
anaerobik sederhana. Pada proses aklimatisasi diberikan feeding berupa substrat dan co-
substrat. Inokulum akan mengalami tahap-tahap anaerobic digestion yang dapat diketahui
dengan melakukan pengecekan pH dan uji Durham identifikasi asidogenesis dan
metanogenesis. Inokulum, substrat dan co-substrat yang siap digunakan kemudian diuji
karakteristik awal berupa C/N, COD, TS, dan VS. Persiapan penelitian lainnya adalah
6 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
persiapan reaktor anaerobik skala lab yang dipilih sebagai tempat proses berlangsungnya
anaerobic digestion karena reaktor ini dapat merepresentasikan keadaan di lapangan. Reaktor
berukuran 51 L dan berbahan dasar stainless steel dengan tipe batch, homogen 1 fase dengan
suhu mesofilik. Lokasi pembuatan dan pengujian kebocoran reaktor adalah di PT Karya Cipta
Sukses Sejahtera, Lindeteves Trade Center (LTC), Glodok, Jakarta.
Pada masa penelitian, perbandingan jumlah masukan inokulum dan campuran substrat
yang masuk sebesar 2:1 berdasakan nilai volatile solids (VS). Selanjutnya, inokulum, substrat,
dan co-substrat juga dihitung berdasarkan VS sehingga didapatkan variasi konsentrasi lumpur
tinja sebesar 25% dan 50%. Campuran tersebut diuji dengan parameter C/N, COD, TS, dan
VS.
Masa penelitian dimulai saat memasukkan semua campuran ke dalam reaktor sebagai
hari ke-0 operasi reaktor. Selama masa penelitian beberapa parameter diuji di Laboratorium
Teknik Penyehatan dan Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia dengan
jenis dan frekuensi pengujian dapat dilihat pada Tabel 1 dan metode pengukuran parameter
dapat dilihat pada Tabel 2. Penelitian berlangsung dari bulan September 2015 hingga Juli
2016.
Tabel 1. Jenis dan Frekuensi Pengujian Parameter
No.
Parameter Penelitian Frekuensi Uji
1. Suhu Setiap 2-3 hari
2. pH Setiap 2-3 hari
3. TS Setiap 7 hari
4. VS Setiap 7 hari
5. COD Setiap 7 hari
6. C Di awal operasi
7. N Di awal operasi
8. Volume gas Setiap 7 hari
9. Konsentrasi gas Setiap 7 hari
10. Ammonia Setiap 7 hari
11. Alkalinitas Setiap 7 hari
12. Total Coliform Di awal dan akhir operasi
7 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Tabel 2. Parameter dan Metode Pengukurannya
No. Parameter Penelitian Metode Pengukuran Spesifikasi 1. pH pH meter SNI 06-6989.11-2004 2. TS Gravimetri SNI 06.6989.25-2005 3. VS Gravimetri SNI 06.6989.25-2005 4. COD Refluks tertutup SNI 06-6989.15-2004 5. C Spektofotometri SNI 06-6989.28-2005 6. N Spektofotometri Standard Method (1980) 7. Volume gas Air flow meter - 8. Konsentrasi gas Gas Chromatograf - 9. Ammonia Spektofotometri SNI 06-6989.30-2005
10. Alkalinitas Titimetri SNI 06-2420-1991 11. Total Coliform - SNI 01-2332.1-2006
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Persiapan inokulum berupa aklimatisasi sampel cairan rumen sapi segar dalam wadah
reaktor anaerobik sederhana yang dilapisi alumunium insulator. Selama aklimatisasi rumen
sapi terjadi fluktuasi pH sebagai bentuk aktivitas mikroorganisme yang dapat dilihat pada
Gambar 2. pH inokulum pada awal pertama feeding sebesar 5,2 dapat membuat asam
terproduksi dan dapat membuat proses aklimatisasi gagal (Zupancic & Grilc, 2007) sehingga
diatasi dengan pemberian buffer natrium bikarbonat (NaHCO3) yang dapat digunakan untuk
meningkatkan pH (Guwy, A.J., Hawkes, F.R., Wilcox, S.J., Hawkes, D.L., 1997). Pemberian
buffer tersebut terbukti dapat meningkatkan pH secara perlahan sehingga pada saat digunakan
sehingga pH pada hari ke 84 sebesar 7,0 yang memenuhi pH untuk proses anaerobic
digestion, yaitu 6,6-7,9 (Haq & Soedjono, 2010).
Gambar 2. Grafik Nilai pH selama Aklimatisasi
Uji Durham dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada hari ke- 36 dan 42 memperlihatkan
bahwa mikroorganisme dalam inokulum masih beraktivitas dan inokulum berada pada fase
8 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
asidogenesis. Inokulum kemungkinan belum mencapai fase metanogenesis karena dilakukan
feeding pada beberapa hari sebelum pengujian sehingga pH terpengaruh oleh substrat dan co-
substrat yang diberikan, terbukti pH saat uji Durham masih dibawah 6,7 dan belum
mendukung proses metanogenesis (Zupancic & Grilc, 2007).
Persiapan reaktor anaerobik berupa proses pembuatan dan uji kebocoran reaktor.
Reaktor yang digunakan berbentuk tabung yang terbuat dari stainless steel agar tahan korosi
untuk anaerobic digestion yang menggunakan sampel yang bersifat korosif. Reaktor
bervolume 51 L dengan dimensi reaktor berdasarkan pada perbandingan diameter dan tinggi
reaktor yang optimal sebesar 0,6-1,0 (Jain, Wolf, Lee, & Tong, 2015).
Reaktor harus dalam keadaan kedap udara sehingga dilakukan uji kebocoran gas dengan
memampatkan gas pada reaktor hingga tekanan sekitar 30-33 psi menggunakan kompresor
udara. Reaktor dinyatakan sudah tidak bocor jika reaktor tidak mengeluarkan gelembung
udara pada tekanan 30 psi sebagai tekanan maksimum reaktor anaerobik beroperasi (Ibsen,
2006). Persiapan reaktor juga berupa pemasangan alumunium insulator yang berguna untuk
menjaga agar suhu lebih stabil karena sifat bahan stainless steel yang mudah terpengaruh
suhu luar dan fluktuasi suhu berdampak negatif pada proses yang terjadi.
Gambar 3. Dokumentasi Persiapan Reaktor Anaerobik
Masa penelitian Anaerobic Co-digestion berupa pengambilan sampel dan pengujian
berbagai parameter dari awal hingga akhir masa operasi pada reaktor. Karakteristik awal
sampel dapat dilihat pada Tabel 3 dengan nilai pH, TS, VS, dan COD lumpur tinja memenuhi
memenuhi kisaran nilai berdasarkan literatur internasional dan Indonesia (Mills, 2014). Rasio
C/N lumpur tinja yang didapatkan lebih tinggi dari rasio C/N literatur yang pernah melakukan
anaerobic digestion, yaitu 7,9 (Haq & Soedjono, 2010), tetapi masih rendah untuk melakukan
proses anaerobic digestion sehingga cocok untuk anaerobic co-digestion sebagai upaya untuk
meningkatkan rasio C/N hingga mencapai optimum, yaitu 20-30 (Dioha et al., 2013).
Tabel 3. Data Karakteristik Awal Sampel
Parameter Satuan Inokulum Substrat Co-substrat
9 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Uji Rumen Sapi Lumpur
Tinja Sampah
Makanan Sampah taman
Densitas kg/L 0,98 0,96 1,00 0,12 TS % 3,28 1,97 19,27 89,49 VS dalam TS % 59,05 79,86 78,53 73,34 TS g/L 32,17 18,84 192,85 109,28 VS g/L 19,00 14,96 168,50 80,08 COD mg/L 31.687,50 39.832,00 234.520,00 97.500,00 C % n/a 71,50 77,45 45,59 N % n/a 7,68 3,39 3,52 C/N - n/a 9,30 22,84 12,97
Total Coliform MPN/100ml n/a >1,6 x 105 n/a n/a
Total coliform lumpur tinja berada dibawah kisaran jumlah total coliform literatur, yaitu
(0,6-9,0) x 106 (Mills, 2014) dan berdasarkan US EPA tahun 1999, yaitu 106-108. Hal ini
dapat disebabkan karena perbedaan pengenceran karena perlakuan tersebut sangat
berpengaruh pada hasil pengujian yang didapatkan. Berdasarkan Pedoman WHO tahun 2006,
jumlah total coliform tersebut sangat banyak dibandingkan dengan jumlah total coliform
untuk air limbah, yaitu ≤ 103-104 MPN/100 ml sehingga lumpur tinja sangat berbahaya jika
tersebar langsung ke lingkungan.
Sampel co-substrat sampah makanan memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan
literatur, yaitu 4,2 ± 0,2 (Zhang et al., 2013). Sampel co-substrat sampah taman memiliki pH
yang berada pada pH optimum untuk melakukan proses anaerobic digestion (Lin, Chang, &
Chang, 2001). Rasio C/N yang dimiliki sampah makanan mendekati dari rasio C/N literatur,
yaitu 24,5 (Zhang et al., 2013) dan rasio C/N pada sampah taman berada jauh dibawah nilai
literatur, yaitu 40-80 (Tschobanoglous, G.T., Theisen, H., Vigil, S.A., 1993). Secara umum,
hasil uji karakteristik awal menunjukkan bahwa sampah makanan dan sampah taman sebagai
co-substrat memiliki materi organik yang lebih tinggi dari lumpur tinja sebagai substrat yang
memungkinkan kedua co-substrat melaksanakan fungsinya untuk mendukung peningkatan
biogas pada substrat.
TS pada sampel rumen sapi tidak termasuk dalam rentang TS optimum untuk anaerobic
digestion, yaitu 7,4-9,2% (Ross, 2012). Meskipun begitu, rumen sapi tetap dapat digunakan
sebagai inokulum karena ketersediaannya yang melimpah dan lebih baik dibandingkan
dengan inokulum lain yang pernah digunakan, yaitu kotoran sapi (Ross, 2012). Penelitian ini menggunakan 2 variasi konsentrasi lumpur tinja, yaitu 25% dan 50%.
Konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dipilih karena mendekati penelitian dengan metode
BMP selama 55 hari yang berhasil menghasilkan gas metana sebesar 0,3 m3/kg VS
10 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
(Primananda, A., 2016). Variasi konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% dipilih sebagai
konsentrasi dua kali lipat dari variasi sebelumnya sebagai perbandingan, serta lumpur tinja
dan sampah makanan memiliki perbandingan sebesar 1,25:1 (penyetaraan dari 3,1:2,5) yang
mendekati perbandingan terbaik sebesar 1,5:1 dan 2:1 dengan gas metana sebesar 0,32-0,56
m3/kg VS (Prabhu et al., 2015). Perbandingan sampah makanan dan sampah taman yang
diterapkan pada kedua variasi campuran tersebut adalah sama, yaitu 2,5:1.
Tabel 4. Data Karakteristik Campuran Substrat + Co-substrat
Parameter Satuan Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 25%
Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 50%
pH - 6,50 6,80 Densitas kg/L 0,57 0,54 TS g/L 6,71 7,54 VS g/L 5,76 6,19 COD mg/L 11.882,00 9.345,00 C % 55,50 44,00 N % 6,77 2,92 C/N - 8,20 15,05
Rasio C/N pada kedua variasi tersebut tidak memenuhi rasio C/N optimum yang berada
pada kisaran 20-30 (Dioha et al., 2013). Namun, jika berdasarkan literatur lain, rasio C/N
pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% telah memasuki rentang optimal, yaitu 15-20
(Zhang et al., 2013). Rasio C/N pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar
dibandingkan pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% sehingga menunjukkan penambahan
konsentrasi lumpur tinja dapat meningkatkan rasio C/N.
Nilai VS total (lihat Tabel 5) pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%
mendekati OLR optimum untuk wet anaerobic co-digestion, yaitu 12-15 g VS/L.hari (Nizami
& Murphy, 2010). Kinerja anaerobic co-digestion juga sangat dipengaruhi oleh rasio substrat
per inokulum (S/I) (Cherosky, 2012). Rasio S/I yang didapatkan sekitar 0,3 memenuhi rasio
S/I optimum, yaitu ≤0,5 (Drosg et al., 2013). Rasio S/I ini berdasarkan nilai Volatile Solids
(VS), yaitu 5,76 g/L dan 6,17 g/L untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%,
sedangkan 19,0 g/L untuk rumen sapi sebagai inokulum (lihat Tabel 5 dan Tabel 3).
Tabel 5. Data Karakteristik Campuran Substrat + Co-substrat+ Inokulum
Parameter Satuan Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 25%
Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 50%
pH - 6,90 7,00 Densitas kg/L 0,97 0,95 TS g/L 14,56 13,81 VS g/L 11,83 10,44
11 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
COD mg/L 16.276,00 10.244,00
Ammonia g/L 240,00 357,00
Total Coliform MPN/100ml 1,5 x 105 3,0 x 104
COD dan pH pada campuran substrat dan co-substrat meningkat ketika ditambahkan
inokulum. Peningkatan pH ini menunjukkan penambahan inokulum membuat proses
anaerobic co-digestion lebih baik karena menyediakan material organik yang lebih banyak
dan pH dapat memenuhi rentang optimum (Haq & Soedjono, 2010).
Total coliform pada kedua variasi konsentrasi tersebut lebih rendah dari angka MPN
pada substrat lumpur tinja. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya pengenceran
pada sistem wet anaerobic co-digestion yang digunakan. Namun, angka tersebut tetap lebih
besar dari standar kualitas air limbah pada Pedoman WHO tahun 2006, yaitu ≤ 103-104
MPN/100 ml sehingga berbahaya jika tersebar ke lingkungan.
Periode operasi reaktor berjalan selama 42 hari untuk memenuhi kisaran optimum untuk
reaktor 1 tahap, tipe wet anaerobic digestion, dan sistem batch yang berkisar antara 30-60
hari (Nizami & Murphy, 2010). Pengujian parameter efluen seperti suhu, pH, C/N, COD
sangat penting dilakukan karena anaerobic co-digestion sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan.
Pada penelitian ini didapatkan suhu pada rentang 27-30 oC sehingga masih dalam rentang
mesofilik, yaitu 22-40 oC, tetapi tidak masuk dalam rentang optimum sehingga proses reaksi
yang berjalan kemungkinan masih kurang maksimal dan kurang efisien (Pfeffer, 1980). Suhu
selama masa operasi ini mengalami fluktuasi, peningkatan kemungkinan disebabkan oleh sifat
eksoterm yang menghasilkan panas saat proses dekomposisi bahan organik dan penurunan
suhu kemungkinan disebabkan oleh dekomposisi bahan organik yang menghasilkan air (Haq
& Soedjono, 2010). Suhu kemudian cenderung stabil pada akhir masa operasi dapat terjadi
karena penurunan atau tidak adanya aktivitas dekomposisi bahan organik (Haq & Soedjono,
2010). Jika dibandingkan, suhu selama masa operasi pada kedua variasi tidak memiliki
perbedaan signifikan secara statistik.
12 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Gambar 4. Grafik Suhu selama Masa Operasi Reaktor
pH selama masa operasi reaktor pada kedua variasi (dapat dilihat pada Gambar 5)
mengalami fluktuasi dengan sedikit perbedaan, terutama konsentrasi lumpur tinja 25% pada
hari ke-3 hingga hari ke-14 mengalami penurunan pH. Penurunan pH ini kemungkinan dapat
disebabkan oleh aktivitas bakteri asidogen dan asetogen yang memiliki waktu regenerasi
setiap 36 jam dan 80-90 jam yang bekerja pada pH 5,2-6,3 (Zupancic & Grilc, 2007) sehingga
pH berada di luar rentang optimum, yaitu 6,6-7,9 (Haq & Soedjono, 2010) sehingga proses
anaerobic co-digestion dapat berjalan kurang optimal. Penambahan buffer pada hari ke-10
terbukti dapat meningkatkan pH sehingga pada hari ke-14 pH menjadi 7,0. Sedangkan, pada
masa awal operasi konsentrasi lumpur tinja 50% cenderung memiliki pH stabil sebesar 7,0.
Hal ini kemungkinan terjadi karena konsentrasi lumpur tinja 50% telah memasuki proses
methanogenesis yang bekerja pada pH 6,7-7,5 (Zupancic & Grilc, 2007). Hal ini didukung
dengan hasil uji konsentrasi pada hari ke-7 yang telah menunjukkan adanya gas metana (lihat
Gambar 10). pH pada kedua variasi konsentrasi lumpur tinja selama operasi terus meningkat
perlahan yang kemungkinan terjadi karena proses methanogenesis dan juga disebabkan oleh
terbentuknya buffer alkali (Haq & Soedjono, 2010). Namun, pH pada hari ke-38 hingga hari
ke-42 menjadi cukup tinggi, yaitu 8,0-8,5 dan dapat berbahaya jika dibarengi dengan
konsentrasi ammonia sebesar 1.500-3.000mg/L (Davis, M.L., 2010). Akan tetapi, pada
penelitian ini ammonia masih dibawah rentang tersebut sehingga pH tinggi yang terbentuk
belum dapat dikatakan menghambat. pH selama masa operasi pada kedua variasi tidak
terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik.
13 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Gambar 5. Grafik pH selama Masa Operasi Reaktor
Nilai Volatile Solids (VS) yang cenderung semakin menurun dari awal hingga akhir masa
operasi menunjukkan degradasi material organik padatan (Haq & Soedjono, 2010). Besar
penurunan VS merepresentasikan efisiensi proses digesti yang terjadi pada anaerobic co-
digestion yang dilakukan (Lin et al., 2001). Berdasarkan korelasinya, yaitu dilihat dari nilai
R2 yang mencapai sekitar 88%, penurunan VS kedua variasi konsentrasi lumpur tinja
berhubungan dengan waktu operasi reaktor.Efisiensi penurunan nilai VS pada reaktor dengan
konsentrasi lumpur tinja 25% dan 50% adalah 71,93% dan 92,43%. Jika dibandingkan,
efisiensi penurunan VS pada konsentrasi lumpur tinja 50% lebih besar dibandingkan efiensi
penurunan pada anaerobic co-digestion lumpur tinja dan sampah makanan dengan rasio 2:1
pada penelitian terdahulu, yaitu sebesar 66-78% (Prabhu et al., 2015).
Gambar 6. Grafik Nilai VS selama Masa Operasi
Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) selama masa operasi reaktor pada konsentrasi
lumpur tinja 25% dan 50% terdapat perbedaan. Pada reaktor dengan konsentrasi lumpur tinja
50% mengalami kenaikan pada minggu kedua dan selanjutnya mengalami penurunan yang
y = 12.499e-‐0.035x R² = 0.88275
y = 15.236e-‐0.067x R² = 0.87668 0.00
2.00 4.00 6.00 8.00
10.00 12.00 14.00 16.00
0 7 14 21 28 35 42
Nilai V
S (g/L)
Hari ke-‐ Konsentrasi Lumpur Tinja 25% Konsentrasi Lumpur Tinja 50% Expon. (Konsentrasi Lumpur Tinja 25%) Expon. (Konsentrasi Lumpur Tinja 50%)
14 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
signifikan. Sedangkan, pada reaktor dengan konsentrasi lumpur tinja 25% mengalami sedikit
kenaikan pada akhir masa operasi. Namun, kedua variasi konsentrasi lumpur tinja tetap
cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi material organik
dalam bentuk cairan. Penurunan nilai COD berkorelasi dengan waktu operasi reaktor yang
berjalan. Hal ini dapat dilihat dari angka korelasi (R2), yaitu sebesar 89-93%. Efisiensi
penurunan COD mencapai 72,42% dan 87,55% pada reaktor dengan konsentrasi lumpur tinja
25% dan 50%.
Gambar 7. Grafik Nilai COD selama Masa Operasi
Pada penelitian ini inhibitor yang diukur adalah ammonia dengan nilai ammonia yang
didapatkan berada pada rentang nilai 240-504 mg/L. Ammonia pada kedua variasi konsentrasi
mengalami kenaikan di hari ke-21 yang bersamaan dengan kenaikan pH. Meskipun pH berada
di atas 7,4, tetapi besar ammonia tersebut tidak termasuk dalam rentang ammonia yang
menghambat, yaitu 1.500-3.000 mg/L (Davis, M.L., 2010). Jika dibandingkan, nilai ammonia
kedua variasi memiliki perbedaan yang tidak signifikan secara statistik.
y = 18875e-‐0.035x R² = 0.93271
y = 15831e-‐0.06x R² = 0.89464
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000
0 7 14 21 28 35 42
Nilai COD (m
g/L)
Waktu (Hari ke-‐) Konsentrasi Lumpur Tinja 25% Konsentrasi Lumpur Tinja 50% Expon. (Konsentrasi Lumpur Tinja 25%) Expon. (Konsentrasi Lumpur Tinja 50%)
15 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Gambar 8. Grafik Ammonia selama Masa Operasi
Pada penelitian ini, nilai alkalinitas yang memperlihatkan kemampuan sistem dalam
mempertahankan pH-nya berada pada rentang 1.200-8.600 mg/L CaCO3 sehingga terdapat
kelebihan alkalinitas dibandingkan yang biasa terjadi pada proses anaerobic digestion, yaitu
2.000-5.000 mg/L CaCO3 (Bouaziz, 2014). Peningkatan alkalinitas berarti peningkatan bakteri
metanogen dan saat penurunan berarti kemampuan metanogen memproduksi metana lebih
lambat dari kemampuan asidogen memproduksi VFA. Jika dibandingkan, nilai alkalinitas
kedua variasi memiliki perbedaan yang tidak signifikan secara statistik.
Gambar 9. Grafik Alkalinitas selama Masa Operasi
Gambar 10. Grafik Volume Biogas selama Masa Operasi
Volume biogas terbesar untuk konsentrasi lumpur tinja 25% terjadi pada hari ke-35 yang
tidak dibarengi dengan penurunan nilai VS dan COD terbesar. Hal ini menunjukkan
penurunan VS dan COD sebagai representasi detruksi material organik tidak mutlak
mempengaruhi volume biogas, melainkan kemungkinan terdapat faktor lain yang dapat
berupa pH dan suhu yang menuju pada pH optimum, yaitu 7,2±0,2 (Lin et al., 2001) dan
suhu meningkat ke arah suhu optimum (lihat Gambar 4 dan 5) sehingga suhu ini mendukung
16 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
terbentuknya biogas yang lebih besar. Biogas yang besar ini menunjukkan alkalinitas yang
terbentuk pada hari tersebut mendukung produksi gas (lihat Gambar 9).
Pada konsentrasi lumpur tinja 50%, volume biogas terbesar terjadi pada hari ke-28. Sama
halnya dengan biogas terbesar pada konsentrasi lumpur tinja 25%, pada saat biogas terbesar
ini tidak dibarengi dengan penurunan VS dan COD terbesar, bahkan terjadi kenaikan nilai
VS. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi adalah penurunan pH yang mendekati pH
optimum ini memberi dukungan positif untuk menghasilkan biogas dan suhu yang meningkat
mengarah pada suhu optimum, meskipun tidak terlalu besar juga memberikan dukungan
positif terbentuknya biogas lebih besar. Dukungan lainnya adalah dengan tidak adanya
inhibitor berupa ammonia karena mengalami penurunan yang cukup besar (lihat Gambar 8).
Pada konsentrasi lumpur tinja 50%, volume biogas terbesar terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja 25% yang dapat disebabkan oleh pH yang
lebih stabil saat awal operasi dan tidak mengalami fluktuasi suhu yang besar hingga hari ke-
28 dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja 25% yang mengalami penurunan suhu
hingga 27oC pada hari tersebut. Hal lain yang mungkin mempengaruhi adalah alkalinitas pada
hari ke-28 untuk konsentrasi lumpur tinja 50% yang terbentuk yaitu 5.800 mg/L CaCO3 lebih
mendekati rentang normal alkalinitas untuk anaerobic digestion dibandingkan dengan
konsentrasi lumpur tinja 25% yang mencapai 8.600 mg/L CaCO3. Setelah mengalami
kenaikan volume yang signifikan, kedua variasi konsentrasi lumpur tinja tersebut mengalami
penurunan volume biogas. Penurunan dapat terjadi pada konsentrasi lumpur tinja 25% di hari
ke-42 kemungkinan karena nilai VS dan COD yang naik. Sedangkan, pada konsentrasi
lumpur tinja 50%, penurunan volume biogas kemungkinan disebabkan oleh kenaikan
alkalinitas dibandingkan sebelumnya. Volume biogas rata-rata setiap 7 hari pada kedua
variasi konsentrasi lumpur tinja tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Gambar 11. Grafik Konsentrasi Gas pada Konsentrasi Lumpur Tinja 25% dan 50%
17 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwa konsentrasi gas metana pada kedua reaktor
mengalami fluktuasi. Pada awal masa operasi reaktor, konsentrasi lumpur tinja 25% belum
memiliki gas metana sama sekali hingga hari ke-14. Hal ini dapat disebabkan oleh pH yang
terjadi pada awal operasi mengalami penurunan hingga 6,5, sedangkan proses methanogenesis
minimal terjadi pada pH 6,7 (Zupancic & Grilc, 2007). Pada hari ke-14, konsentrasi lumpur
tinja 50% mengalami penurunan konsentrasi gas metana hingga mencapai 0%. Hal ini
kemungkinan terjadi karena terdapat kebocoran pada selang gas untuk menyuntikkan gas ke
botol sampel gas. Kebocoran pada selang gas ini teridentifikasi dari bau gas yang muncul di
sekitar selang. Kebocoran ini menyebabkan gas yang diuji konsentrasinya kemungkinan
merupakan gas yang muncul dari hasil purging pada botol sampel gas. Maka, dilakukan
perbaikan berupa merekatkan sealent pada selang gas tersebut sehingga pada hari ke-21
sampel gas dapat masuk sempurna ke dalam botol dan konstentrasi gas dapat diukur.
Selanjutnya, konsentrasi metana terus meningkat selama operasi hingga terjadi penurunan
pada hari ke-42. Penurunan ini dapat disebabkan oleh peningkatan pH pada kedua variasi
konsentrasi lumpur tinja yang mencapai 8,5 sehingga pH sudah tidak berada pada rentang
proses anaeobic digestion terjadi, yaitu 6,6-7,9 (Haq & Soedjono, 2010) dan berkurangnya
proses destruksi padatan dan cairan yang terlihat dari suhu yang hampir sama sejak hari ke-38
(Haq & Soedjono, 2010).
Pengoperasian reaktor pada penelitian ini berakhir pada saat hari ke-42. Pada akhir
pengoperasian reaktor ini juga dilakukan pengujian terhadap parameter biologis seperti pada
tahap awal operasi reaktor, yaitu total coliform. Jumlah total coliform yang didapatkan
sebesar 5,0 x 104 MPN/100 ml dan 1,4 x 104 MPN/100 ml untuk konsentrasi lumpur tinja
sebesar 25% dan 50%. Angka tersebut belum memenuhi standar kualitas air limbah
berdasarkan pedoman WHO tahun 2006, yaitu maksimal ≤ 103-104 MPN/100 ml. Namun,
jumlah total coliform ini mengalami penurunan dibandingkan dengan pada saat awal
pengoperasian reaktor, pada efisiensi penurunan yang terjadi mencapai 66,67% dan 55,53%
untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%. Hal ini menunjukkan bahwa proses
anaerobic co-digestion dapat mengurangi jumlah patogen, khususnya total coliform dan
menjadi salah satu solusi untuk mengatasi pencemaran limbah.
Volume isi reaktor setelah pengoperasian pada kedua variasi konsentrasi lumpur tinja
adalah sekitar 25 L. Efisiensi pengurangan jumlah limbah mencapai 26,47% untuk anaerobic
co-digestion yang dilakukan selama 42 hari. Penurunan jumlah limbah yang tidak mencapai
setengahnya kemungkinan disebabkan oleh keberadaan air yang digunakan untuk
18 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
pengenceran. Namun, hal ini tetap menunjukkan bahwa anaerobic co-digestion dapat menjadi
salah satu solusi untuk mengurangi jumlah limbah (lumpur tinja, sampah makanan, sampah
taman, dan rumen sapi.
Gambar 12. Grafik Volume Biogas Kumulatif pada Konsentrasi Lumpur Tinja 25% dan 50%
Pada penelitian anaerobic co-digestion ini didapatkan jumlah total volume biogas dari
masing-masing variasi konsentrasi lumpur tinja sehingga dapat diketahui potensi biogas yang
dihasilkan. Volume biogas secara kumulatif dapat dilihat pada Gambar 13. Pada grafik
tersebut terlihat bahwa volume biogas terbesar dihasilkan oleh konsentrasi lumpur tinja 50%,
yaitu 629,5 L dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja 25% yang sebesar 567,6 L.
Perbedaan volume biogas ini mulai terlihat sejak hari ke-21 dengan volume biogas
konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar dari konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%.
Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena pada hari ke-21, terdapat penurunan nilai VS dan
COD yang cukup besar pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% dibandingkan dengan
penurunan pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Hal ini karena penurunan nilai VS
yang besar menandakan proses degradasi yang besar sehingga dapat memungkinkan untuk
menghasilkan biogas lebih banyak (Haq & Soedjono, 2010).
Gambar 13. Grafik Methane Yield Kumulatif pada Konsentrasi Lumpur Tinja 25% dan 50%
19 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Berdasarkan data berupa konsentrasi gas dari hasil uji Gas Chromatography, maka dapat
dikalkulasikan nilai methane yield pada masing-masing variasi konsentrasi lumpur tinja. Nilai
methane yield kumulatif selama 42 hari untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih
besar dibandingkan konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Hal ini dapat disebabkan oleh rasio
C/N pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% yang cenderung mendekati rentang nilai
optimum 20-30 (Dioha et al., 2013) dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja sebesar
25%. Rasio C/N sangat penting untuk proses asimilasi yang dilakukan mikroorganisme dalam
sistem anaerobic co-digestion (ISAT, 1999). Selain itu, faktor lainnya adalah efisiensi
penurunan VS mencapai 92,43% pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar
dibandingkan konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%, yaitu sebesar 79,43%. Hal serupa juga
terjadi pada efisiensi penurunan COD, yaitu 87,55% untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar
50% yang lebih besar dari konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%, yaitu 72,42%. Nilai methane
yield berhubungan dengan penurunan VS (Cherosky, 2012). Hal ini karena efisiensi
penurunan VS menunjukkan jumlah materi organik yang terdegradasi (Haq & Soedjono,
2010).
Nilai methane yield yang didapatkan untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%
adalah 0,3 m3/kg VS dan 0,56 m3/kg VS. Nilai methane yield pada konsentrasi lumpur tinja
sebesar 25% yang dilakukan selama 42 hari ini sama dengan penelitian pada BMP yang setara
dengan konsentrasi lumpur tinja 35% (rasio lumpur tinja:sampah makanan:sampah taman
adalah 1:1:1) selama 55 hari, yaitu hanya sebesar 0,3 m3/kg VS (Primananda, A., 2016). Hal
ini menunjukkan methane yield pada penelitian ini lebih cepat dibandingkan dengan pada
metode BMP. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan konsentrasi yang lebih kecil dapat
menghasilkan methane yield yang sama besar. Sedangkan, pada konsentrasi lumpur tinja
sebesar 50% dapat memberikan hasil methane yield yang sama besar seperti penelitian
anaerobic co-digestion lumpur tinja dan sampah makanan dengan rasio 2:1 selama 40 hari
dengan suhu optimum 35oC (Prabhu et al., 2015). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
penelitian ini dilakukan pada suhu yang sama sekali tidak optimum dapat menghasilkan
methane yield yang sama besar dengan penelitian terdahulu dengan suhu optimum.
Nilai methane yield anaerobic co-digestion pada penelitian ini jauh lebih besar dari
anaerobic digestion yang dilakukan pada lumpur tinja saja, yaitu hanya sebesar 0,009-0,028
m3/kg VS (Haq & Soedjono, 2010). Maka, dapat dikatakan proses anaerobic co-digestion ini
memberikan hasil yang lebih baik dengan nilai methane yield yang mencapai 10-20 kali lipat
lebih besar.
20 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Kesimpulan
Anaerobic co-digestion pada lumpur tinja dengan penambahan sampah makanan dan
sampah taman menggunakan reaktor anaerobik skala lab tipe batch selama 42 hari, dengan
variasi konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50% dapat dilakukan dan menghasilkan
biogas dengan methane yield mencapai 10-20 kali lipat lebih besar dari anaerobic digestion
pada lumpur tinja saja. Anaerobic co-digestion dengan variasi konsentrasi lumpur tinja 50%
menghasilkan methane yield lebih besar, yaitu 0,56 m3/kg VS dengan reduksi 92,43% VS dan
87,55% COD dibandingkan variasi konsentrasi lumpur tinja 25%, yaitu 0,3 m3/kg VS dengan
reduksi 79,43% VS dan 72,42% COD.
Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya
pengujian parameter inhibitor lain, seperti VFA dan logam berat. Selain itu, sebagai upaya
mengetahui potensi biogas paling optimal dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan
variasi presentase lainnya pada konsentrasi lumpur tinja, variasi perbandingan lainnya antara
sampah makanan dan sampah taman, dan penelitian dengan subsrat dan co-substrat sama,
namun menggunakan sistem dry anaerobic co-digestion.
Daftar Referensi Bouaziz, A. N. (2014). Design of an Anaerobic Digester in Quebec, Canada. Cambridge: Massachusetts
Institute of Technology. Braun, R., & Wellinger, A. (2002). Potential of Co-digestion. IEA Bioenergy. Budianto, H. A. (2016). Perbandingan Potensi Inokulum Cairan Rumen Sapi dengan Feses Sapi dalam
Mengolah Lumpur Tinja menjadi Gas Metana. Depok: Universitas Indonesia. Budiyono, Widiasa, I. N., Johari, S., & Sunarso. (2014). Increasing Biogas Production Rate from Cattle Manure
Using Rumen Fluid as Inoculums. International Journal of Science and Engineering (IJSE), 6(January), 31–38. http://doi.org/10.12777/ijse.6.1.31-38
Cherosky, P. B. (2012). Anaerobic Digestion of Yard Waste and Biogas Purification by Removal of Hydrogen Sulfide. Ohio: The Ohio State University.
Davis, M.L. (2010). Wastewater Engineering. New York: McGraw - Hill, Inc. Dioha, I. J., Ikeme, C. H., Nafi’u, T., Soba, I., & Yusuf, M. B. S. (2013). Effect of Carbon to Nitrogen Ratio on
Biogas Production. International Journal of Environmental Science and Technology, 1(3), 1–10. Drosg, B., Braun, R., Bochmann, G., & Saedi, T. Al. (2013). Analysis and Characterisation of Biogas
Feedstocks. In Biogas Handbook (pp. 52–84). Austria: University of Natural Resources and Life Sciences. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1533/9780857097415.1.52
Gokcekus, H., Turker, U., & Lamoreaux, J. W. (2011). Survival and Sustainibility Environmental Concerns in 21st Century. Berlin: Sringer.
Gomez, C. D. C. (2013). Biogas as an energy option: an overview. In The biogas handbook: Science, Production, and Applications (pp. 1–16). Fachverband: Woodhead Publishing Limited. http://doi.org/10.1533/9780857097415.1
21 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016
Guwy, A.J., Hawkes, F.R., Wilcox, S.J., Hawkes, D.L. (1997). Neural Network and On-off Control of Bicarbonate Alkalinity in A Fluidised-bed Anaerobic Digester. Water Research, 31(8), 2019–2025. http://doi.org/10.1016/S0043-1354(97)00016-X
Haq, P. S. El, & Soedjono, E. S. (2010). Potensi Lumpur Tinja sebagai Penghasil Biogas. Institut Teknologi Sepuluh November, 1–13.
Ibsen, K. (2006). Equipment Design and Cost Estimation for Small Modular Biomass Systems , Synthesis Gas Cleanup , and Oxygen Separation Equipment Task 1 : Cost Estimation for Small Modular Systems. San Francisco.
Jain, S., Wolf, I. T., Lee, J., & Tong, Y. W. (2015). A Comprehensive Review on Operating Parameters and Different Pretreatment Methodologies for Anaerobic Digestion of Municipal Solid Waste. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 142–154.
Lin, C.-Y., Chang, F.-Y., & Chang, C.-H. (2001). Treatment of Septage using An Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor. Water Environment Researchesearch, Jul/Aug(73), 404–408.
Mateescu, C., & Constantinescu, I. (2011). Comparative Analysis of Inoculum Biomass for Biogas Potential in The Anaerobic Digestion. UPB Scientific Bulletin, Series B: Chemistry and Materials Science, 73(3), 99–104.
Mills, F. (2014). Faecal Sludge Characterization in Indonesia. Jakarta. Nizami, A., & Murphy, J. D. (2010). What type of digester configurations should be employed to produce
biomethane from grass silage ? Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(6), 1558–1568. http://doi.org/10.1016/j.rser.2010.02.006
Prabhu, M., Waigaonkar, S., Dube, R., Walther, D., & Mutnuri, S. (2015). Carbon – Science and Technology. Carbon - Science Technology, 2, 87–98.
Primananda, A. (2016). Analisis Ko-substrat Optimal untuk Penerapan Digester Anaerobik Lumpur Tinja. Depok: Universitas Indonesia.
Rose, C., Parker, A., Jefferson, B., & Cartmell, E. (2015). The Characterization of Feces and Urine: A Review of the Literature to Inform Advanced Treatment Technology. Critical Reviews in Environmental Science and Technology, 45(17), 1827–1879. http://doi.org/10.1080/10643389.2014.1000761
Ross, C. L. (2012). Use of Rumen Fluid to Inoculate Dairy Excrement for Bio-fuel Production by Anaerobic Digestion. Athens: University of Gregoria. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Tchobanoglous, G., Burton, F. (2013). Wastewater Engineering. New York: Metcalf & Eddy Inc. Tschobanoglous, G.T., Theisen, H., Vigil, S.A. (1993). Integrated Solid Waste Management : Engineering
Principles and Management Issues. New York: McGraw - Hill, Inc. Zhang, C., Xiao, G., Peng, L., Su, H., & Tan, T. (2013). The Anaerobic Co-digestion of Food Waste and Cattle
Manure. Bioresource Technology, 129, 170–176. http://doi.org/10.1016/j.biortech.2012.10.138 Zupancic, G. D., & Grilc, V. (2007). Anaerobic Treatment and Biogas Production from Organic Waste (Vol. 2).
Slovenia: InTech.