potensi biogas pada anaerobic co-digestion lumpur tinja

21
1 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016 Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja dengan Sampah Makanan dan Sampah Taman Ukhtiy Afifah, Cindy Rianti Priadi Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia Email : [email protected] Abstrak Pengelolaan limbah lumpur tinja yang sangat terbatas dapat ditingkatkan dengan memanfaatkannya menjadi biogas. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi biogas pada lumpur tinja dengan menambahkan sampah makanan dan sampah taman. Sistem yang digunakan berupa Anaerobic Co-digestion dengan variasi kosentrasi lumpur tinja, yaitu sebesar 25% dan 50% berdasarkan nilai Volatile Solids (VS). Inokulum yang digunakan adalah rumen sapi. Penelitian dilakukan menggunakan reaktor batch skala lab berukuran 51 L dengan masa operasi selama 42 hari. Biogas yang dihasilkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 25% adalah 0,30 m 3 CH 4 /kg VS dengan destruksi VS sebesar 71,93% dan COD sebesar 72,42%. Sedangkan, biogas yang dihasilkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 50% adalah 0,56 m 3 CH 4 /kg VS dengan destruksi VS sebesar 92,43% dan COD sebesar 87,55%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa potensi biogas pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar dibandingkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Kata kunci : anaerobic co-digestion; biogas; gas metana; inokulum rumen sapi; lumpur tinja; sampah makanan; sampah taman Biogas Potential from Anaerobic Co-Digestion Of Faecal Sludge with Food Waste and Garden Waste Abstract The limited faecal sludge management can be optimized by converting the sludge into biogas. This study purposed to optimize the biogas potential of faecal sludge with food waste and garden waste. The system using Anaerobic Co-digestion on the variation 25% and 50% consenteration of faecal sludge based on Volatile Solids (VS). Inoculum used was cow’s rumen. The study was operated using lab-scale batch reactor 51 L for 42 days. Biogas produced at 25% consenteration of faecal sludge is 0,30 m 3 CH 4 /kg with 71,93% VS and 72,42% COD destruction. Meanwhile, at 50% consenteration of faecal sludge produce 0,56 m 3 CH 4 /kg VS biogas with 92,43% VS and 87,55% COD destruction. This study concludes that biogas potential of 50% consenteration greater than 25% consenteration of faecal sludge. Keywords : anaerobic co-digestion, faecal sludge, food waste, garden waste, cow’s rumen inoculum, biogas, methane gas Pendahuluan Lumpur tinja diartikan sebagai material kotoran manusia yang berasal dari tangki septik yang dipompa saat proses pengurasan. Setiap orang menghasilkan lumpur tinja sebesar 0,5

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

1 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja dengan Sampah Makanan dan Sampah Taman

Ukhtiy Afifah, Cindy Rianti Priadi

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,

Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Pengelolaan limbah lumpur tinja yang sangat terbatas dapat ditingkatkan dengan memanfaatkannya menjadi biogas. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi biogas pada lumpur tinja dengan menambahkan sampah makanan dan sampah taman. Sistem yang digunakan berupa Anaerobic Co-digestion dengan variasi kosentrasi lumpur tinja, yaitu sebesar 25% dan 50% berdasarkan nilai Volatile Solids (VS). Inokulum yang digunakan adalah rumen sapi. Penelitian dilakukan menggunakan reaktor batch skala lab berukuran 51 L dengan masa operasi selama 42 hari. Biogas yang dihasilkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 25% adalah 0,30 m3CH4/kg VS dengan destruksi VS sebesar 71,93% dan COD sebesar 72,42%. Sedangkan, biogas yang dihasilkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 50% adalah 0,56 m3CH4/kg VS dengan destruksi VS sebesar 92,43% dan COD sebesar 87,55%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa potensi biogas pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar dibandingkan pada kosentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Kata kunci : anaerobic co-digestion; biogas; gas metana; inokulum rumen sapi; lumpur tinja; sampah

makanan; sampah taman

Biogas Potential from Anaerobic Co-Digestion Of Faecal Sludge with Food Waste and Garden Waste

Abstract

The limited faecal sludge management can be optimized by converting the sludge into biogas. This study purposed to optimize the biogas potential of faecal sludge with food waste and garden waste. The system using Anaerobic Co-digestion on the variation 25% and 50% consenteration of faecal sludge based on Volatile Solids (VS). Inoculum used was cow’s rumen. The study was operated using lab-scale batch reactor 51 L for 42 days. Biogas produced at 25% consenteration of faecal sludge is 0,30 m3CH4/kg with 71,93% VS and 72,42% COD destruction. Meanwhile, at 50% consenteration of faecal sludge produce 0,56 m3CH4/kg VS biogas with 92,43% VS and 87,55% COD destruction. This study concludes that biogas potential of 50% consenteration greater than 25% consenteration of faecal sludge. Keywords : anaerobic co-digestion, faecal sludge, food waste, garden waste, cow’s rumen inoculum,

biogas, methane gas

Pendahuluan

Lumpur tinja diartikan sebagai material kotoran manusia yang berasal dari tangki septik

yang dipompa saat proses pengurasan. Setiap orang menghasilkan lumpur tinja sebesar 0,5

Page 2: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

2 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

liter/orang/hari dengan 62% masyarakat Indonesia membuangnya ke tangki septik. Jika tangki

septik penuh dilakukan pengurasan dengan truk tinja untuk dibawa ke Instalasi Pengolahan

Lumpur Tinja (IPLT). Namun, berdasarkan data World Bank tahun 2013, sekitar 90% dari

140 IPLT di Indonesia tidak beroperasi dengan baik. Keterbatasan pengelolaan tersebut dapat

diatasi dengan menerapkan sistem waste to energy, yaitu lumpur tinja diproses dengan

menggunakan digester anaerobik untuk dijadikan energi berbentuk biogas. Biogas terdiri gas

metana dan gas karbondioksida (Gomez, 2013) yang mudah terbakar sehingga dapat

digunakan untuk keperluan memasak, memanaskan, dan penerangan.

Potensi biogas dalam lumpur tinja manusia sangat kecil dibandingkan dengan substrat

yang lain, yaitu sebesar 0,009-0,028 m3/kg VS (Haq & Soedjono, 2010). Hal ini dapat

disebabkan oleh rasio C/N lumpur tinja yang rendah, yaitu hanya 7,9 (Haq & Soedjono,

2010), sehingga membutuhkan bantuan substrat lain untuk meningkatkannya menjadi

optimum, yaitu 20–30 (Dioha, Ikeme, Nafi’u, Soba, & Yusuf, 2013) dengan cara co-

digestion. Perlakuan anaerobic co-digestion dapat meningkatkan stabilitas proses digestion

(Gokcekus, Turker, & Lamoreaux, 2011), meminimalkan inhibitor dari substrat utama,

meningkatkan keseimbangan nutrisi, dan peningkatan produksi biogas yang stabil (Braun &

Wellinger, 2002).

Anaerobic co-digestion pada lumpur tinja dapat dilakukan dengan penambahan substrat

yang memiliki rasio C/N tinggi, contohnya sampah makanan dengan rasio C/N hingga 24,5

(Zhang, Xiao, Peng, Su, & Tan, 2013) dan sampah taman, yaitu sebesar 40-80

(Tchobanoglous, G., Burton, 2013). Pada penelitian terdahulu dengan metode BMP

menunjukkan bahwa rasio sampah makanan dan lumpur tinja sebesar 1:1,5 dan 1:2

menghasilkan biogas dengan rentang 1.600 – 2.300 m3/hari (Prabhu, Waigaonkar, Dube,

Walther, & Mutnuri, 2015). Sedangkan, campuran lumpur tinja dan sampah taman dapat

mengkonversi COD menjadi gas metana hingga 56,4% (Budianto, 2016). Penelitian lain

berupa campuran 1:1:1 antara lumpur tinja, sampah makanan, dan sampah taman

mendapatkan hasil produksi gas metana terbesar, yaitu sebesar 0,015 m3/kg VS selama 55

hari masa inkubasi, dibandingkan variasi lainnya (Primananda, A., 2016). Maka, besar biogas

yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh konsentrasi lumpur tinja dalam campuran.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses

anaerobic co-digestion yang terjadi pada lumpur tinja dengan sampah makanan dan sampah

taman, variasi konsentrasi lumpur tinja yang memiliki potensi produksi biogas terbesar, serta

perbandingannya dengan anaerobic digestion lumpur tinja saja.

Page 3: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

3 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Tinjauan Teoritis

Lumpur tinja (faecal sludge) adalah campuran air dan padatan yang dihasilkan dari

penggelontoran tinja manusia dengan air. Kandungan utama dari lumpur tinja adalah tinja

yang terdiri atas air, protein, lemak tidak tecerna, polisakarida, bakteri, dan residu makanan

tidak tecerna (Rose, Parker, Jefferson, & Cartmell, 2015). Lumpur tinja ditampung dalam

tempat pembuangan setempat dan belum disalurkan ke selokan disebut tangki septik (septic

tank).

Keterbatasan pengelolaan lumpur tinja dapat ditingkatkan dengan usaha pemanfaatan

lumpur tinja menjadi bahan penghasil energi menerapkan konsep waste to energy untuk

menghasilkan energi berupa biogas. Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh aktivitas

degradasi dari bakteri terhadap biomassa pada kondisi anaerobik (Gomez, 2013) atau biasa

disebut sistem anaerobic digestion. Kelebihan sistem ini diantaranya adalah efisiensi yang

tinggi dengan ditandai oleh jumlah lumpur residu yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan

proses aerobic digestion, prosesnya stabil, dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dengan

pemulihan metan dan menghasilkan biogas, serta sedikitnya jumlah faktor-faktor yang

diperlukan, seperti ruang, energi, dan nutrisi. Sistem ini terjadi dalam 4 tahap yang berjalan

secara simultan dan sinergis (Davis, M.L., 2010), yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis,

dan metanogenesis yang menuntun pada bentuk zat kimia yang semakin sederhana

menggunakan bantuan mikroorganisme untuk menghasilkan biogas. Jumlah biogas yang

dihasilkan dari lumpur tinja adalah 0,009 – 0,028 m3/kg VS dengan presentase gas metana 50-

75 % (Gomez, 2013).

Proses anaerobic digestion dioperasikan dalam reaktor yang disebut sebagai anaerobic

digester atau bioreaktor. Reaktor diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu berdasarkan

suhu (mesophilic dan thermophilic), jumlah total solid (TS) (sistem basah dan kering), jenis

reaksinya (reaksi homogen 1 fase dan reaksi heterogen 2 fase), cara pengoperasian (tipe batch

dan kontinu) (Nizami & Murphy, 2010). Reaktor anaerobik ini harus tahan kebocoran gas

pada 8-30 psi yang merupakan rentang tekanan pada saat sistem beroperasi (Ibsen, 2006).

Pertumbuhan bakteri pada proses anaerobic digestion dapat dipercepat dengan

inokulum (Mateescu & Constantinescu, 2011). Inokulum harus terlebih dahulu diberikan

perilaku degasifikasi, purging dengan gas inert, kemudian diaklimatisasi untuk menstabilkan

inokulum dan membiasakannya dengan substrat melalui feeding. Pada anaerobic digestion

untuk lumpur tinja, inokulum yang digunakan adalah rumen sapi yang masih segar yang

Page 4: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

4 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

memiliki aktivitas mikrorganisme yang lebih aktif bekerja secara luas dan menyebar sehingga

meningkatkan produksi biogas pada substrat hingga 3 kali lipat dibandingkan tanpa tambahan

inokulum (Budiyono, Widiasa, Johari, & Sunarso, 2014) (Ross, 2012) sehingga inokulum dari

rumen lebih baik dibandingkan kotoran sapi (Ross, 2012). Rasio substrat dan inokulum (S/I)

memberikan dampak penting pada produksi biogas dengan rasio S/I optimum adalah ≤ 0,5

berdasarkan nilai VS (Drosg, Braun, Bochmann, & Saedi, 2013).

Parameter yang mempengaruhi anaerobic digestion, diantaranya adalah suhu, ph,

Organic Loading Rate (OLR), Hydraulic Retention Time (HRT) dan Solid Retention Time

(SRT), rasio C/N, dan inhibitor. Anaerobic digestion umumnya menggunakan sebuah

substrat. Kombinasi dua atau lebih substrat disebut sebagai anaerobic co-digestion (Cherosky,

2012). Perlakukan anaerobic co-digestion dilakukan dengan tujuan menghasilkan jumlah

biogas yang lebih besar, khususnya gas metana; meningkatkan stabilitas proses (Gokcekus et

al., 2011) dan meminimalkan inhibitor yang mungkin ada dari substrat utama; meningkatkan

keseimbangan nutrisi untuk proses digesti yang optimal, dan peningkatan produksi biogas

yang stabil (Braun & Wellinger, 2002). Proses anarobic co-digestion memberi dampak

sinergis yang menghasilkan keseimbangan nutrisi dan peningkatan biodegradasi, contohnya

adalah target rasio C/N optimum. Kriteria lain untuk menentukan co-substrat yang cocok

adalah nilai COD dan VS yang besar, serta substrat yang telah menghasilkan volume produksi

biogas yang besar.

Penelitian anarobic co-digestion lumpur tinja dan sampah sisa makanan untuk

menjadikan C/N berada pada rentang optimum dilakukan pada penelitian metode BMP

selama 40 hari dengan rata-rata C/N 11,4 pada suhu 32oC menunjukkan bahwa biogas lebih

banyak dihasilkan pada perbandingan 1:2 (setara konsentrasi lumpur tinja 35%) dengan

rentang methane yield 0,32-0,56 m3/kg VS. Hal ini menunjukkan penambahan sampah

makanan ini dapat membantu peningkatan biogas dari lumpur tinja. Pada prosesnya,

campuran keduanya saling melengkapi trace element yang dibutuhkan sehingga enzim untuk

aktivitas mikroorganisme terpenuhi (Prabhu et al., 2015). Anaerobic co-digestion pada

lumpur tinja lainnya adalah penambahan sampah makanan dan sampah taman menggunakan

metode BMP dengan OLR 15 g/L VS pada suhu inkubasi 35oC yang menghasilkan produksi

gas metana paling besar, yaitu 0,3 m3/gr VS dibandingkan variasi lainnya (Primananda, A.,

2016).

Page 5: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

5 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian berupa pendekatan kuantitatif dalam skala laboratorium dengan

pengujian beberapa parameter. Variabel penelitian terdapat tiga jenis, yaitu variabel bebas,

variabel terikat, dan variable kontrol. Variabel bebas berupa konsentrasi lumpur tinja sebagai

substrat utama pada masing-masing reaktor anaerobik berdasarkan pada nilai volatile solids

(VS), yaitu 25% dan 50% dari total nilai VS campuran substrat dan co-substrat. Variabel

terikat berupa potensi produksi biogas dan gas metana yang diproduksi dari variasi

konsentrasi lumpur tinja yang digunakan. Variabel kontrol berupa besar nilai pH supaya

berada dalam rentang optimum dengan menambahkan buffer natrium bikarbonat untuk

meningkatkan pH.

Subjek pada penelitian ini adalah substrat lumpur tinja yang diperoleh dari tangki truk

tinja yang akan melakukan pengosongan di IPLT Kalimulya, Depok. Co-substrat sampah

makanan diambil dari Kantin Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan co-substrat sampah

taman berasal dari dedaunan di sekitar lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Inokulum berupa rumen sapi yang didapatkan dari Rumah Potong Hewan di Tapos, Depok.

Gambar 1. Sketsa Dimensi Reaktor B (50%) dan A (25%) Penelitian terbagi menjadi masa pra-penelitian dan masa penelitian. Masa pra-penelitian

berisi mengenai persiapan penelitian dilakukan berupa pengambilan sampel dan pengujian

karakteristik awal. Persiapan penelitian pertama, yaitu persiapan inokulum yang akan melalui

proses degasifikasi, purging, dan aklimatisasi sebelum digunakan dan disimpan dalam reaktor

anaerobik sederhana. Pada proses aklimatisasi diberikan feeding berupa substrat dan co-

substrat. Inokulum akan mengalami tahap-tahap anaerobic digestion yang dapat diketahui

dengan melakukan pengecekan pH dan uji Durham identifikasi asidogenesis dan

metanogenesis. Inokulum, substrat dan co-substrat yang siap digunakan kemudian diuji

karakteristik awal berupa C/N, COD, TS, dan VS. Persiapan penelitian lainnya adalah

Page 6: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

6 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

persiapan reaktor anaerobik skala lab yang dipilih sebagai tempat proses berlangsungnya

anaerobic digestion karena reaktor ini dapat merepresentasikan keadaan di lapangan. Reaktor

berukuran 51 L dan berbahan dasar stainless steel dengan tipe batch, homogen 1 fase dengan

suhu mesofilik. Lokasi pembuatan dan pengujian kebocoran reaktor adalah di PT Karya Cipta

Sukses Sejahtera, Lindeteves Trade Center (LTC), Glodok, Jakarta.

Pada masa penelitian, perbandingan jumlah masukan inokulum dan campuran substrat

yang masuk sebesar 2:1 berdasakan nilai volatile solids (VS). Selanjutnya, inokulum, substrat,

dan co-substrat juga dihitung berdasarkan VS sehingga didapatkan variasi konsentrasi lumpur

tinja sebesar 25% dan 50%. Campuran tersebut diuji dengan parameter C/N, COD, TS, dan

VS.

Masa penelitian dimulai saat memasukkan semua campuran ke dalam reaktor sebagai

hari ke-0 operasi reaktor. Selama masa penelitian beberapa parameter diuji di Laboratorium

Teknik Penyehatan dan Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia dengan

jenis dan frekuensi pengujian dapat dilihat pada Tabel 1 dan metode pengukuran parameter

dapat dilihat pada Tabel 2. Penelitian berlangsung dari bulan September 2015 hingga Juli

2016.

Tabel 1. Jenis dan Frekuensi Pengujian Parameter

No.

Parameter Penelitian Frekuensi Uji

1. Suhu Setiap 2-3 hari

2. pH Setiap 2-3 hari

3. TS Setiap 7 hari

4. VS Setiap 7 hari

5. COD Setiap 7 hari

6. C Di awal operasi

7. N Di awal operasi

8. Volume gas Setiap 7 hari

9. Konsentrasi gas Setiap 7 hari

10. Ammonia Setiap 7 hari

11. Alkalinitas Setiap 7 hari

12. Total Coliform Di awal dan akhir operasi

Page 7: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

7 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Tabel 2. Parameter dan Metode Pengukurannya

No. Parameter Penelitian Metode Pengukuran Spesifikasi 1. pH pH meter SNI 06-6989.11-2004 2. TS Gravimetri SNI 06.6989.25-2005 3. VS Gravimetri SNI 06.6989.25-2005 4. COD Refluks tertutup SNI 06-6989.15-2004 5. C Spektofotometri SNI 06-6989.28-2005 6. N Spektofotometri Standard Method (1980) 7. Volume gas Air flow meter - 8. Konsentrasi gas Gas Chromatograf - 9. Ammonia Spektofotometri SNI 06-6989.30-2005

10. Alkalinitas Titimetri SNI 06-2420-1991 11. Total Coliform - SNI 01-2332.1-2006

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Persiapan inokulum berupa aklimatisasi sampel cairan rumen sapi segar dalam wadah

reaktor anaerobik sederhana yang dilapisi alumunium insulator. Selama aklimatisasi rumen

sapi terjadi fluktuasi pH sebagai bentuk aktivitas mikroorganisme yang dapat dilihat pada

Gambar 2. pH inokulum pada awal pertama feeding sebesar 5,2 dapat membuat asam

terproduksi dan dapat membuat proses aklimatisasi gagal (Zupancic & Grilc, 2007) sehingga

diatasi dengan pemberian buffer natrium bikarbonat (NaHCO3) yang dapat digunakan untuk

meningkatkan pH (Guwy, A.J., Hawkes, F.R., Wilcox, S.J., Hawkes, D.L., 1997). Pemberian

buffer tersebut terbukti dapat meningkatkan pH secara perlahan sehingga pada saat digunakan

sehingga pH pada hari ke 84 sebesar 7,0 yang memenuhi pH untuk proses anaerobic

digestion, yaitu 6,6-7,9 (Haq & Soedjono, 2010).

Gambar 2. Grafik Nilai pH selama Aklimatisasi

Uji Durham dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada hari ke- 36 dan 42 memperlihatkan

bahwa mikroorganisme dalam inokulum masih beraktivitas dan inokulum berada pada fase

Page 8: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

8 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

asidogenesis. Inokulum kemungkinan belum mencapai fase metanogenesis karena dilakukan

feeding pada beberapa hari sebelum pengujian sehingga pH terpengaruh oleh substrat dan co-

substrat yang diberikan, terbukti pH saat uji Durham masih dibawah 6,7 dan belum

mendukung proses metanogenesis (Zupancic & Grilc, 2007).

Persiapan reaktor anaerobik berupa proses pembuatan dan uji kebocoran reaktor.

Reaktor yang digunakan berbentuk tabung yang terbuat dari stainless steel agar tahan korosi

untuk anaerobic digestion yang menggunakan sampel yang bersifat korosif. Reaktor

bervolume 51 L dengan dimensi reaktor berdasarkan pada perbandingan diameter dan tinggi

reaktor yang optimal sebesar 0,6-1,0 (Jain, Wolf, Lee, & Tong, 2015).

Reaktor harus dalam keadaan kedap udara sehingga dilakukan uji kebocoran gas dengan

memampatkan gas pada reaktor hingga tekanan sekitar 30-33 psi menggunakan kompresor

udara. Reaktor dinyatakan sudah tidak bocor jika reaktor tidak mengeluarkan gelembung

udara pada tekanan 30 psi sebagai tekanan maksimum reaktor anaerobik beroperasi (Ibsen,

2006). Persiapan reaktor juga berupa pemasangan alumunium insulator yang berguna untuk

menjaga agar suhu lebih stabil karena sifat bahan stainless steel yang mudah terpengaruh

suhu luar dan fluktuasi suhu berdampak negatif pada proses yang terjadi.

Gambar 3. Dokumentasi Persiapan Reaktor Anaerobik

Masa penelitian Anaerobic Co-digestion berupa pengambilan sampel dan pengujian

berbagai parameter dari awal hingga akhir masa operasi pada reaktor. Karakteristik awal

sampel dapat dilihat pada Tabel 3 dengan nilai pH, TS, VS, dan COD lumpur tinja memenuhi

memenuhi kisaran nilai berdasarkan literatur internasional dan Indonesia (Mills, 2014). Rasio

C/N lumpur tinja yang didapatkan lebih tinggi dari rasio C/N literatur yang pernah melakukan

anaerobic digestion, yaitu 7,9 (Haq & Soedjono, 2010), tetapi masih rendah untuk melakukan

proses anaerobic digestion sehingga cocok untuk anaerobic co-digestion sebagai upaya untuk

meningkatkan rasio C/N hingga mencapai optimum, yaitu 20-30 (Dioha et al., 2013).

Tabel 3. Data Karakteristik Awal Sampel

Parameter Satuan Inokulum Substrat Co-substrat

Page 9: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

9 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Uji Rumen Sapi Lumpur

Tinja Sampah

Makanan Sampah taman

Densitas kg/L 0,98 0,96 1,00 0,12 TS % 3,28 1,97 19,27 89,49 VS dalam TS % 59,05 79,86 78,53 73,34 TS g/L 32,17 18,84 192,85 109,28 VS g/L 19,00 14,96 168,50 80,08 COD mg/L 31.687,50 39.832,00 234.520,00 97.500,00 C % n/a 71,50 77,45 45,59 N % n/a 7,68 3,39 3,52 C/N - n/a 9,30 22,84 12,97

Total Coliform MPN/100ml n/a >1,6 x 105 n/a n/a

Total coliform lumpur tinja berada dibawah kisaran jumlah total coliform literatur, yaitu

(0,6-9,0) x 106 (Mills, 2014) dan berdasarkan US EPA tahun 1999, yaitu 106-108. Hal ini

dapat disebabkan karena perbedaan pengenceran karena perlakuan tersebut sangat

berpengaruh pada hasil pengujian yang didapatkan. Berdasarkan Pedoman WHO tahun 2006,

jumlah total coliform tersebut sangat banyak dibandingkan dengan jumlah total coliform

untuk air limbah, yaitu ≤ 103-104 MPN/100 ml sehingga lumpur tinja sangat berbahaya jika

tersebar langsung ke lingkungan.  

Sampel co-substrat sampah makanan memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan

literatur, yaitu 4,2 ± 0,2 (Zhang et al., 2013). Sampel co-substrat sampah taman memiliki pH

yang berada pada pH optimum untuk melakukan proses anaerobic digestion (Lin, Chang, &

Chang, 2001). Rasio C/N yang dimiliki sampah makanan mendekati dari rasio C/N literatur,

yaitu 24,5 (Zhang et al., 2013) dan rasio C/N pada sampah taman berada jauh dibawah nilai

literatur, yaitu 40-80 (Tschobanoglous, G.T., Theisen, H., Vigil, S.A., 1993). Secara umum,

hasil uji karakteristik awal menunjukkan bahwa sampah makanan dan sampah taman sebagai

co-substrat memiliki materi organik yang lebih tinggi dari lumpur tinja sebagai substrat yang

memungkinkan kedua co-substrat melaksanakan fungsinya untuk mendukung peningkatan

biogas pada substrat.

TS pada sampel rumen sapi tidak termasuk dalam rentang TS optimum untuk anaerobic

digestion, yaitu 7,4-9,2% (Ross, 2012). Meskipun begitu, rumen sapi tetap dapat digunakan

sebagai inokulum karena ketersediaannya yang melimpah dan lebih baik dibandingkan

dengan inokulum lain yang pernah digunakan, yaitu kotoran sapi (Ross, 2012). Penelitian ini menggunakan 2 variasi konsentrasi lumpur tinja, yaitu 25% dan 50%.

Konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dipilih karena mendekati penelitian dengan metode

BMP selama 55 hari yang berhasil menghasilkan gas metana sebesar 0,3 m3/kg VS

Page 10: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

10 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

(Primananda, A., 2016). Variasi konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% dipilih sebagai

konsentrasi dua kali lipat dari variasi sebelumnya sebagai perbandingan, serta lumpur tinja

dan sampah makanan memiliki perbandingan sebesar 1,25:1 (penyetaraan dari 3,1:2,5) yang

mendekati perbandingan terbaik sebesar 1,5:1 dan 2:1 dengan gas metana sebesar 0,32-0,56

m3/kg VS (Prabhu et al., 2015). Perbandingan sampah makanan dan sampah taman yang

diterapkan pada kedua variasi campuran tersebut adalah sama, yaitu 2,5:1.

Tabel 4. Data Karakteristik Campuran Substrat + Co-substrat

Parameter Satuan Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 25%

Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 50%

pH - 6,50 6,80 Densitas kg/L 0,57 0,54 TS g/L 6,71 7,54 VS g/L 5,76 6,19 COD mg/L 11.882,00 9.345,00 C % 55,50 44,00 N % 6,77 2,92 C/N - 8,20 15,05

Rasio C/N pada kedua variasi tersebut tidak memenuhi rasio C/N optimum yang berada

pada kisaran 20-30 (Dioha et al., 2013). Namun, jika berdasarkan literatur lain, rasio C/N

pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% telah memasuki rentang optimal, yaitu 15-20

(Zhang et al., 2013). Rasio C/N pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar

dibandingkan pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% sehingga menunjukkan penambahan

konsentrasi lumpur tinja dapat meningkatkan rasio C/N.

Nilai VS total (lihat Tabel 5) pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%

mendekati OLR optimum untuk wet anaerobic co-digestion, yaitu 12-15 g VS/L.hari (Nizami

& Murphy, 2010). Kinerja anaerobic co-digestion juga sangat dipengaruhi oleh rasio substrat

per inokulum (S/I) (Cherosky, 2012). Rasio S/I yang didapatkan sekitar 0,3 memenuhi rasio

S/I optimum, yaitu ≤0,5 (Drosg et al., 2013). Rasio S/I ini berdasarkan nilai Volatile Solids

(VS), yaitu 5,76 g/L dan 6,17 g/L untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%,

sedangkan 19,0 g/L untuk rumen sapi sebagai inokulum (lihat Tabel 5 dan Tabel 3).

Tabel 5. Data Karakteristik Campuran Substrat + Co-substrat+ Inokulum

Parameter Satuan Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 25%

Variasi Konsentrasi Lumpur Tinja 50%

pH - 6,90 7,00 Densitas kg/L 0,97 0,95 TS g/L 14,56 13,81 VS g/L 11,83 10,44

Page 11: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

11 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

COD mg/L 16.276,00 10.244,00

Ammonia g/L 240,00 357,00

Total Coliform MPN/100ml 1,5 x 105 3,0 x 104

COD dan pH pada campuran substrat dan co-substrat meningkat ketika ditambahkan

inokulum. Peningkatan pH ini menunjukkan penambahan inokulum membuat proses

anaerobic co-digestion lebih baik karena menyediakan material organik yang lebih banyak

dan pH dapat memenuhi rentang optimum (Haq & Soedjono, 2010).

Total coliform pada kedua variasi konsentrasi tersebut lebih rendah dari angka MPN

pada substrat lumpur tinja. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya pengenceran

pada sistem wet anaerobic co-digestion yang digunakan. Namun, angka tersebut tetap lebih

besar dari standar kualitas air limbah pada Pedoman WHO tahun 2006, yaitu ≤ 103-104

MPN/100 ml sehingga berbahaya jika tersebar ke lingkungan.

Periode operasi reaktor berjalan selama 42 hari untuk memenuhi kisaran optimum untuk

reaktor 1 tahap, tipe wet anaerobic digestion, dan sistem batch yang berkisar antara 30-60

hari (Nizami & Murphy, 2010). Pengujian parameter efluen seperti suhu, pH, C/N, COD

sangat penting dilakukan karena anaerobic co-digestion sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan.

Pada penelitian ini didapatkan suhu pada rentang 27-30 oC sehingga masih dalam rentang

mesofilik, yaitu 22-40 oC, tetapi tidak masuk dalam rentang optimum sehingga proses reaksi

yang berjalan kemungkinan masih kurang maksimal dan kurang efisien (Pfeffer, 1980). Suhu

selama masa operasi ini mengalami fluktuasi, peningkatan kemungkinan disebabkan oleh sifat

eksoterm yang menghasilkan panas saat proses dekomposisi bahan organik dan penurunan

suhu kemungkinan disebabkan oleh dekomposisi bahan organik yang menghasilkan air (Haq

& Soedjono, 2010). Suhu kemudian cenderung stabil pada akhir masa operasi dapat terjadi

karena penurunan atau tidak adanya aktivitas dekomposisi bahan organik (Haq & Soedjono,

2010). Jika dibandingkan, suhu selama masa operasi pada kedua variasi tidak memiliki

perbedaan signifikan secara statistik.

Page 12: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

12 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Gambar 4. Grafik Suhu selama Masa Operasi Reaktor

pH selama masa operasi reaktor pada kedua variasi (dapat dilihat pada Gambar 5)

mengalami fluktuasi dengan sedikit perbedaan, terutama konsentrasi lumpur tinja 25% pada

hari ke-3 hingga hari ke-14 mengalami penurunan pH. Penurunan pH ini kemungkinan dapat

disebabkan oleh aktivitas bakteri asidogen dan asetogen yang memiliki waktu regenerasi

setiap 36 jam dan 80-90 jam yang bekerja pada pH 5,2-6,3 (Zupancic & Grilc, 2007) sehingga

pH berada di luar rentang optimum, yaitu 6,6-7,9 (Haq & Soedjono, 2010) sehingga proses

anaerobic co-digestion dapat berjalan kurang optimal. Penambahan buffer pada hari ke-10

terbukti dapat meningkatkan pH sehingga pada hari ke-14 pH menjadi 7,0. Sedangkan, pada

masa awal operasi konsentrasi lumpur tinja 50% cenderung memiliki pH stabil sebesar 7,0.

Hal ini kemungkinan terjadi karena konsentrasi lumpur tinja 50% telah memasuki proses

methanogenesis yang bekerja pada pH 6,7-7,5 (Zupancic & Grilc, 2007). Hal ini didukung

dengan hasil uji konsentrasi pada hari ke-7 yang telah menunjukkan adanya gas metana (lihat

Gambar 10). pH pada kedua variasi konsentrasi lumpur tinja selama operasi terus meningkat

perlahan yang kemungkinan terjadi karena proses methanogenesis dan juga disebabkan oleh

terbentuknya buffer alkali (Haq & Soedjono, 2010). Namun, pH pada hari ke-38 hingga hari

ke-42 menjadi cukup tinggi, yaitu 8,0-8,5 dan dapat berbahaya jika dibarengi dengan

konsentrasi ammonia sebesar 1.500-3.000mg/L (Davis, M.L., 2010). Akan tetapi, pada

penelitian ini ammonia masih dibawah rentang tersebut sehingga pH tinggi yang terbentuk

belum dapat dikatakan menghambat. pH selama masa operasi pada kedua variasi tidak

terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik.

Page 13: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

13 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Gambar 5. Grafik pH selama Masa Operasi Reaktor

Nilai Volatile Solids (VS) yang cenderung semakin menurun dari awal hingga akhir masa

operasi menunjukkan degradasi material organik padatan (Haq & Soedjono, 2010). Besar

penurunan VS merepresentasikan efisiensi proses digesti yang terjadi pada anaerobic co-

digestion yang dilakukan (Lin et al., 2001). Berdasarkan korelasinya, yaitu dilihat dari nilai

R2 yang mencapai sekitar 88%, penurunan VS kedua variasi konsentrasi lumpur tinja

berhubungan dengan waktu operasi reaktor.Efisiensi penurunan nilai VS pada reaktor dengan

konsentrasi lumpur tinja 25% dan 50% adalah 71,93% dan 92,43%. Jika dibandingkan,

efisiensi penurunan VS pada konsentrasi lumpur tinja 50% lebih besar dibandingkan efiensi

penurunan pada anaerobic co-digestion lumpur tinja dan sampah makanan dengan rasio 2:1

pada penelitian terdahulu, yaitu sebesar 66-78% (Prabhu et al., 2015).

Gambar 6. Grafik Nilai VS selama Masa Operasi

Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) selama masa operasi reaktor pada konsentrasi

lumpur tinja 25% dan 50% terdapat perbedaan. Pada reaktor dengan konsentrasi lumpur tinja

50% mengalami kenaikan pada minggu kedua dan selanjutnya mengalami penurunan yang

y  =  12.499e-­‐0.035x  R²  =  0.88275  

y  =  15.236e-­‐0.067x  R²  =  0.87668  0.00  

2.00  4.00  6.00  8.00  

10.00  12.00  14.00  16.00  

0   7   14   21   28   35   42  

Nilai  V

S  (g/L)  

Hari  ke-­‐  Konsentrasi  Lumpur  Tinja  25%  Konsentrasi  Lumpur  Tinja  50%  Expon.  (Konsentrasi  Lumpur  Tinja  25%)  Expon.  (Konsentrasi  Lumpur  Tinja  50%)  

Page 14: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

14 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

signifikan. Sedangkan, pada reaktor dengan konsentrasi lumpur tinja 25% mengalami sedikit

kenaikan pada akhir masa operasi. Namun, kedua variasi konsentrasi lumpur tinja tetap

cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi material organik

dalam bentuk cairan. Penurunan nilai COD berkorelasi dengan waktu operasi reaktor yang

berjalan. Hal ini dapat dilihat dari angka korelasi (R2), yaitu sebesar 89-93%. Efisiensi

penurunan COD mencapai 72,42% dan 87,55% pada reaktor dengan konsentrasi lumpur tinja

25% dan 50%.

Gambar 7. Grafik Nilai COD selama Masa Operasi

Pada penelitian ini inhibitor yang diukur adalah ammonia dengan nilai ammonia yang

didapatkan berada pada rentang nilai 240-504 mg/L. Ammonia pada kedua variasi konsentrasi

mengalami kenaikan di hari ke-21 yang bersamaan dengan kenaikan pH. Meskipun pH berada

di atas 7,4, tetapi besar ammonia tersebut tidak termasuk dalam rentang ammonia yang

menghambat, yaitu 1.500-3.000 mg/L (Davis, M.L., 2010). Jika dibandingkan, nilai ammonia

kedua variasi memiliki perbedaan yang tidak signifikan secara statistik.

y  =  18875e-­‐0.035x  R²  =  0.93271  

y  =  15831e-­‐0.06x  R²  =  0.89464  

0  2000  4000  6000  8000  10000  12000  14000  16000  18000  20000  

0   7   14   21   28   35   42  

Nilai  COD  (m

g/L)  

Waktu  (Hari  ke-­‐)  Konsentrasi  Lumpur  Tinja  25%  Konsentrasi  Lumpur  Tinja  50%  Expon.  (Konsentrasi  Lumpur  Tinja  25%)  Expon.  (Konsentrasi  Lumpur  Tinja  50%)  

Page 15: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

15 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Gambar 8. Grafik Ammonia selama Masa Operasi

Pada penelitian ini, nilai alkalinitas yang memperlihatkan kemampuan sistem dalam

mempertahankan pH-nya berada pada rentang 1.200-8.600 mg/L CaCO3 sehingga terdapat

kelebihan alkalinitas dibandingkan yang biasa terjadi pada proses anaerobic digestion, yaitu

2.000-5.000 mg/L CaCO3 (Bouaziz, 2014). Peningkatan alkalinitas berarti peningkatan bakteri

metanogen dan saat penurunan berarti kemampuan metanogen memproduksi metana lebih

lambat dari kemampuan asidogen memproduksi VFA. Jika dibandingkan, nilai alkalinitas

kedua variasi memiliki perbedaan yang tidak signifikan secara statistik.

Gambar 9. Grafik Alkalinitas selama Masa Operasi

Gambar 10. Grafik Volume Biogas selama Masa Operasi

Volume biogas terbesar untuk konsentrasi lumpur tinja 25% terjadi pada hari ke-35 yang

tidak dibarengi dengan penurunan nilai VS dan COD terbesar. Hal ini menunjukkan

penurunan VS dan COD sebagai representasi detruksi material organik tidak mutlak

mempengaruhi volume biogas, melainkan kemungkinan terdapat faktor lain yang dapat

berupa pH dan suhu yang menuju pada pH optimum, yaitu 7,2±0,2 (Lin et al., 2001) dan

suhu meningkat ke arah suhu optimum (lihat Gambar 4 dan 5) sehingga suhu ini mendukung

Page 16: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

16 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

terbentuknya biogas yang lebih besar. Biogas yang besar ini menunjukkan alkalinitas yang

terbentuk pada hari tersebut mendukung produksi gas (lihat Gambar 9).

Pada konsentrasi lumpur tinja 50%, volume biogas terbesar terjadi pada hari ke-28. Sama

halnya dengan biogas terbesar pada konsentrasi lumpur tinja 25%, pada saat biogas terbesar

ini tidak dibarengi dengan penurunan VS dan COD terbesar, bahkan terjadi kenaikan nilai

VS. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi adalah penurunan pH yang mendekati pH

optimum ini memberi dukungan positif untuk menghasilkan biogas dan suhu yang meningkat

mengarah pada suhu optimum, meskipun tidak terlalu besar juga memberikan dukungan

positif terbentuknya biogas lebih besar. Dukungan lainnya adalah dengan tidak adanya

inhibitor berupa ammonia karena mengalami penurunan yang cukup besar (lihat Gambar 8).

Pada konsentrasi lumpur tinja 50%, volume biogas terbesar terjadi lebih cepat

dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja 25% yang dapat disebabkan oleh pH yang

lebih stabil saat awal operasi dan tidak mengalami fluktuasi suhu yang besar hingga hari ke-

28 dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja 25% yang mengalami penurunan suhu

hingga 27oC pada hari tersebut. Hal lain yang mungkin mempengaruhi adalah alkalinitas pada

hari ke-28 untuk konsentrasi lumpur tinja 50% yang terbentuk yaitu 5.800 mg/L CaCO3 lebih

mendekati rentang normal alkalinitas untuk anaerobic digestion dibandingkan dengan

konsentrasi lumpur tinja 25% yang mencapai 8.600 mg/L CaCO3. Setelah mengalami

kenaikan volume yang signifikan, kedua variasi konsentrasi lumpur tinja tersebut mengalami

penurunan volume biogas. Penurunan dapat terjadi pada konsentrasi lumpur tinja 25% di hari

ke-42 kemungkinan karena nilai VS dan COD yang naik. Sedangkan, pada konsentrasi

lumpur tinja 50%, penurunan volume biogas kemungkinan disebabkan oleh kenaikan

alkalinitas dibandingkan sebelumnya. Volume biogas rata-rata setiap 7 hari pada kedua

variasi konsentrasi lumpur tinja tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

Gambar 11. Grafik Konsentrasi Gas pada Konsentrasi Lumpur Tinja 25% dan 50%

Page 17: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

17 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwa konsentrasi gas metana pada kedua reaktor

mengalami fluktuasi. Pada awal masa operasi reaktor, konsentrasi lumpur tinja 25% belum

memiliki gas metana sama sekali hingga hari ke-14. Hal ini dapat disebabkan oleh pH yang

terjadi pada awal operasi mengalami penurunan hingga 6,5, sedangkan proses methanogenesis

minimal terjadi pada pH 6,7 (Zupancic & Grilc, 2007). Pada hari ke-14, konsentrasi lumpur

tinja 50% mengalami penurunan konsentrasi gas metana hingga mencapai 0%. Hal ini

kemungkinan terjadi karena terdapat kebocoran pada selang gas untuk menyuntikkan gas ke

botol sampel gas. Kebocoran pada selang gas ini teridentifikasi dari bau gas yang muncul di

sekitar selang. Kebocoran ini menyebabkan gas yang diuji konsentrasinya kemungkinan

merupakan gas yang muncul dari hasil purging pada botol sampel gas. Maka, dilakukan

perbaikan berupa merekatkan sealent pada selang gas tersebut sehingga pada hari ke-21

sampel gas dapat masuk sempurna ke dalam botol dan konstentrasi gas dapat diukur.

Selanjutnya, konsentrasi metana terus meningkat selama operasi hingga terjadi penurunan

pada hari ke-42. Penurunan ini dapat disebabkan oleh peningkatan pH pada kedua variasi

konsentrasi lumpur tinja yang mencapai 8,5 sehingga pH sudah tidak berada pada rentang

proses anaeobic digestion terjadi, yaitu 6,6-7,9 (Haq & Soedjono, 2010) dan berkurangnya

proses destruksi padatan dan cairan yang terlihat dari suhu yang hampir sama sejak hari ke-38

(Haq & Soedjono, 2010).

Pengoperasian reaktor pada penelitian ini berakhir pada saat hari ke-42. Pada akhir

pengoperasian reaktor ini juga dilakukan pengujian terhadap parameter biologis seperti pada

tahap awal operasi reaktor, yaitu total coliform. Jumlah total coliform yang didapatkan

sebesar 5,0 x 104 MPN/100 ml dan 1,4 x 104 MPN/100 ml untuk konsentrasi lumpur tinja

sebesar 25% dan 50%. Angka tersebut belum memenuhi standar kualitas air limbah

berdasarkan pedoman WHO tahun 2006, yaitu maksimal ≤ 103-104 MPN/100 ml. Namun,

jumlah total coliform ini mengalami penurunan dibandingkan dengan pada saat awal

pengoperasian reaktor,  pada efisiensi penurunan yang terjadi mencapai 66,67% dan 55,53%

untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%. Hal ini menunjukkan bahwa proses

anaerobic co-digestion dapat mengurangi jumlah patogen, khususnya total coliform dan

menjadi salah satu solusi untuk mengatasi pencemaran limbah.

Volume isi reaktor setelah pengoperasian pada kedua variasi konsentrasi lumpur tinja

adalah sekitar 25 L. Efisiensi pengurangan jumlah limbah mencapai 26,47% untuk anaerobic

co-digestion yang dilakukan selama 42 hari. Penurunan jumlah limbah yang tidak mencapai

setengahnya kemungkinan disebabkan oleh keberadaan air yang digunakan untuk

Page 18: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

18 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

pengenceran. Namun, hal ini tetap menunjukkan bahwa anaerobic co-digestion dapat menjadi

salah satu solusi untuk mengurangi jumlah limbah (lumpur tinja, sampah makanan, sampah

taman, dan rumen sapi.

Gambar 12. Grafik Volume Biogas Kumulatif pada Konsentrasi Lumpur Tinja 25% dan 50%

Pada penelitian anaerobic co-digestion ini didapatkan jumlah total volume biogas dari

masing-masing variasi konsentrasi lumpur tinja sehingga dapat diketahui potensi biogas yang

dihasilkan. Volume biogas secara kumulatif dapat dilihat pada Gambar 13. Pada grafik

tersebut terlihat bahwa volume biogas terbesar dihasilkan oleh konsentrasi lumpur tinja 50%,

yaitu 629,5 L dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja 25% yang sebesar 567,6 L.

Perbedaan volume biogas ini mulai terlihat sejak hari ke-21 dengan volume biogas

konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar dari konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%.

Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena pada hari ke-21, terdapat penurunan nilai VS dan

COD yang cukup besar pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% dibandingkan dengan

penurunan pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Hal ini karena penurunan nilai VS

yang besar menandakan proses degradasi yang besar sehingga dapat memungkinkan untuk

menghasilkan biogas lebih banyak (Haq & Soedjono, 2010).

Gambar 13. Grafik Methane Yield Kumulatif pada Konsentrasi Lumpur Tinja 25% dan 50%

Page 19: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

19 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Berdasarkan data berupa konsentrasi gas dari hasil uji Gas Chromatography, maka dapat

dikalkulasikan nilai methane yield pada masing-masing variasi konsentrasi lumpur tinja. Nilai

methane yield kumulatif selama 42 hari untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih

besar dibandingkan konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%. Hal ini dapat disebabkan oleh rasio

C/N pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% yang cenderung mendekati rentang nilai

optimum 20-30 (Dioha et al., 2013) dibandingkan dengan konsentrasi lumpur tinja sebesar

25%. Rasio C/N sangat penting untuk proses asimilasi yang dilakukan mikroorganisme dalam

sistem anaerobic co-digestion (ISAT, 1999). Selain itu, faktor lainnya adalah efisiensi

penurunan VS mencapai 92,43% pada konsentrasi lumpur tinja sebesar 50% lebih besar

dibandingkan konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%, yaitu sebesar 79,43%. Hal serupa juga

terjadi pada efisiensi penurunan COD, yaitu 87,55% untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar

50% yang lebih besar dari konsentrasi lumpur tinja sebesar 25%, yaitu 72,42%. Nilai methane

yield berhubungan dengan penurunan VS (Cherosky, 2012). Hal ini karena efisiensi

penurunan VS menunjukkan jumlah materi organik yang terdegradasi (Haq & Soedjono,

2010).

Nilai methane yield yang didapatkan untuk konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50%

adalah 0,3 m3/kg VS dan 0,56 m3/kg VS. Nilai methane yield pada konsentrasi lumpur tinja

sebesar 25% yang dilakukan selama 42 hari ini sama dengan penelitian pada BMP yang setara

dengan konsentrasi lumpur tinja 35% (rasio lumpur tinja:sampah makanan:sampah taman

adalah 1:1:1) selama 55 hari, yaitu hanya sebesar 0,3 m3/kg VS (Primananda, A., 2016). Hal

ini menunjukkan methane yield pada penelitian ini lebih cepat dibandingkan dengan pada

metode BMP. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan konsentrasi yang lebih kecil dapat

menghasilkan methane yield yang sama besar. Sedangkan, pada konsentrasi lumpur tinja

sebesar 50% dapat memberikan hasil methane yield yang sama besar seperti penelitian

anaerobic co-digestion lumpur tinja dan sampah makanan dengan rasio 2:1 selama 40 hari

dengan suhu optimum 35oC (Prabhu et al., 2015). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun

penelitian ini dilakukan pada suhu yang sama sekali tidak optimum dapat menghasilkan

methane yield yang sama besar dengan penelitian terdahulu dengan suhu optimum.

Nilai methane yield anaerobic co-digestion pada penelitian ini jauh lebih besar dari

anaerobic digestion yang dilakukan pada lumpur tinja saja, yaitu hanya sebesar 0,009-0,028

m3/kg VS (Haq & Soedjono, 2010). Maka, dapat dikatakan proses anaerobic co-digestion ini

memberikan hasil yang lebih baik dengan nilai methane yield yang mencapai 10-20 kali lipat

lebih besar.

Page 20: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

20 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Kesimpulan

Anaerobic co-digestion pada lumpur tinja dengan penambahan sampah makanan dan

sampah taman menggunakan reaktor anaerobik skala lab tipe batch selama 42 hari, dengan

variasi konsentrasi lumpur tinja sebesar 25% dan 50% dapat dilakukan dan menghasilkan

biogas dengan methane yield mencapai 10-20 kali lipat lebih besar dari anaerobic digestion

pada lumpur tinja saja. Anaerobic co-digestion dengan variasi konsentrasi lumpur tinja 50%

menghasilkan methane yield lebih besar, yaitu 0,56 m3/kg VS dengan reduksi 92,43% VS dan

87,55% COD dibandingkan variasi konsentrasi lumpur tinja 25%, yaitu 0,3 m3/kg VS dengan

reduksi 79,43% VS dan 72,42% COD.

Saran

Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya

pengujian parameter inhibitor lain, seperti VFA dan logam berat. Selain itu, sebagai upaya

mengetahui potensi biogas paling optimal dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan

variasi presentase lainnya pada konsentrasi lumpur tinja, variasi perbandingan lainnya antara

sampah makanan dan sampah taman, dan penelitian dengan subsrat dan co-substrat sama,

namun menggunakan sistem dry anaerobic co-digestion.

Daftar Referensi  Bouaziz, A. N. (2014). Design of an Anaerobic Digester in Quebec, Canada. Cambridge: Massachusetts

Institute of Technology. Braun, R., & Wellinger, A. (2002). Potential of Co-digestion. IEA Bioenergy. Budianto, H. A. (2016). Perbandingan Potensi Inokulum Cairan Rumen Sapi dengan Feses Sapi dalam

Mengolah Lumpur Tinja menjadi Gas Metana. Depok: Universitas Indonesia. Budiyono, Widiasa, I. N., Johari, S., & Sunarso. (2014). Increasing Biogas Production Rate from Cattle Manure

Using Rumen Fluid as Inoculums. International Journal of Science and Engineering (IJSE), 6(January), 31–38. http://doi.org/10.12777/ijse.6.1.31-38

Cherosky, P. B. (2012). Anaerobic Digestion of Yard Waste and Biogas Purification by Removal of Hydrogen Sulfide. Ohio: The Ohio State University.

Davis, M.L. (2010). Wastewater Engineering. New York: McGraw - Hill, Inc. Dioha, I. J., Ikeme, C. H., Nafi’u, T., Soba, I., & Yusuf, M. B. S. (2013). Effect of Carbon to Nitrogen Ratio on

Biogas Production. International Journal of Environmental Science and Technology, 1(3), 1–10. Drosg, B., Braun, R., Bochmann, G., & Saedi, T. Al. (2013). Analysis and Characterisation of Biogas

Feedstocks. In Biogas Handbook (pp. 52–84). Austria: University of Natural Resources and Life Sciences. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1533/9780857097415.1.52

Gokcekus, H., Turker, U., & Lamoreaux, J. W. (2011). Survival and Sustainibility Environmental Concerns in 21st Century. Berlin: Sringer.

Gomez, C. D. C. (2013). Biogas as an energy option: an overview. In The biogas handbook: Science, Production, and Applications (pp. 1–16). Fachverband: Woodhead Publishing Limited. http://doi.org/10.1533/9780857097415.1

Page 21: Potensi Biogas pada Anaerobic Co-Digestion Lumpur Tinja

   

21 Potensi Biogas ..., Ukhtiy Afifah, FT UI, 2016

Guwy, A.J., Hawkes, F.R., Wilcox, S.J., Hawkes, D.L. (1997). Neural Network and On-off Control of Bicarbonate Alkalinity in A Fluidised-bed Anaerobic Digester. Water Research, 31(8), 2019–2025. http://doi.org/10.1016/S0043-1354(97)00016-X

Haq, P. S. El, & Soedjono, E. S. (2010). Potensi Lumpur Tinja sebagai Penghasil Biogas. Institut Teknologi Sepuluh November, 1–13.

Ibsen, K. (2006). Equipment Design and Cost Estimation for Small Modular Biomass Systems , Synthesis Gas Cleanup , and Oxygen Separation Equipment Task 1  : Cost Estimation for Small Modular Systems. San Francisco.

Jain, S., Wolf, I. T., Lee, J., & Tong, Y. W. (2015). A Comprehensive Review on Operating Parameters and Different Pretreatment Methodologies for Anaerobic Digestion of Municipal Solid Waste. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 142–154.

Lin, C.-Y., Chang, F.-Y., & Chang, C.-H. (2001). Treatment of Septage using An Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor. Water Environment Researchesearch, Jul/Aug(73), 404–408.

Mateescu, C., & Constantinescu, I. (2011). Comparative Analysis of Inoculum Biomass for Biogas Potential in The Anaerobic Digestion. UPB Scientific Bulletin, Series B: Chemistry and Materials Science, 73(3), 99–104.

Mills, F. (2014). Faecal Sludge Characterization in Indonesia. Jakarta. Nizami, A., & Murphy, J. D. (2010). What type of digester configurations should be employed to produce

biomethane from grass silage  ? Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(6), 1558–1568. http://doi.org/10.1016/j.rser.2010.02.006

Prabhu, M., Waigaonkar, S., Dube, R., Walther, D., & Mutnuri, S. (2015). Carbon – Science and Technology. Carbon - Science Technology, 2, 87–98.

Primananda, A. (2016). Analisis Ko-substrat Optimal untuk Penerapan Digester Anaerobik Lumpur Tinja. Depok: Universitas Indonesia.

Rose, C., Parker, A., Jefferson, B., & Cartmell, E. (2015). The Characterization of Feces and Urine: A Review of the Literature to Inform Advanced Treatment Technology. Critical Reviews in Environmental Science and Technology, 45(17), 1827–1879. http://doi.org/10.1080/10643389.2014.1000761

Ross, C. L. (2012). Use of Rumen Fluid to Inoculate Dairy Excrement for Bio-fuel Production by Anaerobic Digestion. Athens: University of Gregoria. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Tchobanoglous, G., Burton, F. (2013). Wastewater Engineering. New York: Metcalf & Eddy Inc. Tschobanoglous, G.T., Theisen, H., Vigil, S.A. (1993). Integrated Solid Waste Management  : Engineering

Principles and Management Issues. New York: McGraw - Hill, Inc. Zhang, C., Xiao, G., Peng, L., Su, H., & Tan, T. (2013). The Anaerobic Co-digestion of Food Waste and Cattle

Manure. Bioresource Technology, 129, 170–176. http://doi.org/10.1016/j.biortech.2012.10.138 Zupancic, G. D., & Grilc, V. (2007). Anaerobic Treatment and Biogas Production from Organic Waste (Vol. 2).

Slovenia: InTech.