perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis … · (keracunan tanaman dan residu), manusia...

64
PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Upload: lyhanh

Post on 06-Mar-2019

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA

A. MUBARRAK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2006

ABSTRAK

A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Kubis pada Tiga Sistem Budi Daya. Dibimbing oleh DADANG, GEDE SUASTIKA dan NINA MARYANA.

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, yang terletak pada ketinggian ± 900 meter di atas permukaan laut, mulai bulan Maret 2005 hingga Maret 2006. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensiona dengan pola pertanaman monokultur dan tumpangsaril.

Percobaan dilakukan dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan yakni: (1) organik monokultur kubis, (2) organik tumpangsari kubis-tomat, (3) input rendah monokultur kubis, (4) input rendah tumpangsari kubis-tomat, (5) konvensional monokultur kubis dan (6) konvensional tumpangsari kubis-tomat. Pengamatan dilakukan seminggu sekali mulai umur 14 hari setelah tanam sampai 1 minggu sebelum panen dengan menetapkan 10 tanaman contoh secara sistematis. Parameter yang diamati antara lain populasi hama, tingkat parasitisasi, intensitas penyakit, luas serangan, tinggi tanaman, arthropoda tanah dan produksi tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan populasi hama Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana pada sistem budi daya pertanian organik dan input rendah relatif lebih rendah dibandingkan dengan konvensional. Perkembangan penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. campestris pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensional berkembang dengan pola yang sama. Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiopora brassicae dipengaruhi oleh jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan. Aplikasi fungisida pada tanaman tomat pada musim hujan berpengaruh terhadap penekanan serangan Phytophthora infestans. Secara umum tingkat parasitisasi P. xylostella oleh Diadegma semiclausum pada pola pertanaman tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur. Produksi kubis tertinggi terjadi pada perlakuan input rendah. Pada musim kemarau, perlakuan organik monokultur dan tumpangsari serta input rendah monokultur lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada musim hujan hanya perlakuan input rendah tumpangsari saja yang menguntungkan. Sistem pertanian organik dan input rendah pada pertanaman kubis, layak untuk diusahakan dalam rangka pertanian berkelanjutan dengan mengatur waktu tanam dan mempertimbangkan kesesuaian iklim.

Kata kunci: kubis, pertanian organik, input rendah, konvensional

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA

A. MUBARRAK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006

Judul Tesis : Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Kubis pada Tiga Sistem Budi Daya

Nama : A. Mubarrak Nomor Pokok : A451040031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 2 Agustus 2006 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas pada tanggal 9 April 1968. Penulis merupakan putra keenam dari sepuluh bersaudara dari pasangan Basyuni Yusuf (alm) dengan Hj. Sur’ah. Tahun 1986 penulis lulus SPP-SPMA Kalimantan Barat, kemudian tahun 1987 menjadi pegawai negeri sipil pada Unit Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Barat sampai sekarang.

Penulis memperoleh pendidikan DI Pengendalian Hama Terpadu di Universitas Andalas Padang tahun 1999, kemudian menyelesaikan D3 Penyuluhan Pertanian di Universitas Terbuka UPBJJ Pontianak tahun 2002, menyelesaikan sarjana pada Program Studi Teknologi Pangan di Universitas Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003. Penulis pada tahun 2004 mendapat tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas untuk mengikuti program S2 pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi pada Sub Program Studi Pengendalian Hama Terpadu di Institut Pertanian Bogor.

PRAKATA

Alhamdulillah, atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Kubis pada Tiga Sistem Budi Daya, yang dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor dari bulan Maret 2005 sampai dengan Maret 2006.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadang, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. dan Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda, istri dan anak-anak atas do’a dan kesabarannya serta rekan-rekan yang membantu penelitian di lapangan maupun di laboratorium. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Desa Suka Galih, Kecamatan Mega Mendung serta semua pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang berkompeten.

Bogor, Agustus 2006

A. Mubarrak

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……………………………………………………….... xi

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….... xii

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….... xiii

PENDAHULUAN ……………………………………………………….... 1

Latar Belakang …………………………………………………….... 1

Tujuan Penelitian ………………………………………………….... 2

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 3

Pertanian Organik ………………………………………………....... 3

Pertanian Input Rendah (Low External Input Agriculture – LEIA) ... 5

Pertanian Konvensional (High External Input Agriculture–HEIA) ... 6

Kubis ( Brasicca oleracea var. capitata) ………………………….... 7

Hama Kubis ………………………………………………. 8 Penyakit Kubis ……………………………………………. 8

BAHAN DAN METODE ………………………………………………… 11

Tempat dan Waktu …………………………………………………. 11

Persiapan Lahan ……………………………………………………. 11

Pemupukan ……………………………………………………….... 11

Penanaman ………………………………………………………..... 12

Pengamatan Hama dan Penyakit ………………………………….... 12

Pengendalian Hama dan Penyakit ………………………………...... 13

Perangkap Jebakan (Pitfall Trap) …………………………………... 14

Parasitisasi ………………………………………………………...... 14

Mikroorganisme …………………………………………………..... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………... 16

Keadaan Lokasi Penelitian ..………………………………………... 16

Hama Kubis ……………………………………………………….... 17

Plutella xylostella …………………………………………. 17 Crocidolomia pavonana …………………………………... 20 Gryllotalpa sp. …………………………………………....... 21

Parasitisasi ………………………………………………………....... 22

Penyakit Kubis ……………………………………………………. 24

Busuk Hitam ……………………………………………… 24 Akar Gada ……………………………………………….... 26

Hama Tomat ………………………………………………………. 27

Penyakit Tomat …………………………………………………… 28

Geminivirus ……………………………………...……….. 28 Bercak Daun ………………………………………………. 30 Busuk Daun ……………………………………………….. 31

Tinggi Tanaman Tomat …………………………………………… 34

Arthropoda Tanah ………………………………………………... 35

Mikroorganisme ………………………………………………….. 37

Produksi ………………………………………………………….. 39

Kubis ……………………………………………................ 39 Tomat ……………………………………………............... 41

Analisis Usaha Tani ……………………………………………… 41

SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………. 43

Simpulan ………………………………………………………….. 43

Saran …………………………………………………………........ 43

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 44

LAMPIRAN …………………………………………………………......... 48

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Dosis pupuk pada setiap perlakuan …………………………………….. 11

2 Kategori penilaian kerusakan tanaman ………………………………… 13

3 Intensitas kerusakan kubis oleh Gryllotalpa sp. ……………………….. 21

4 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella ………………….……. 23

5 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum dan Apanteles sp. pada MH ………………….………. 24

6 Rata-rata kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis ..………….. 26

7 Keadaan iklim wilayah pengamatan Stasiun Citeko bulan April–Juni dan September-Desember 2005 …………………….. 33

8 Komposisi populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada pertanaman kubis berdasarkan peranannya ……………………... 35

9 Jumlah ordo, famili dan populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada berbagai perlakuan pada tanaman kubis ……………………….. 36

10 Mikroorganisme hasil isolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat …………………..…………………………………… 37

11 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat pada tiga media tumbuh ………………………………………………... 38

12 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari daun tomat pada tiga media tumbuh …………………...... 39

13 Kandungan unsur hara pada pupuk kandang dan pupuk sintetik ……..... 40

14 Analisis usaha tani tanaman kubis monokultur dan tumpangsari dengan tanaman tomat (ha) pada MK dan MH …………………………. 42

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gejala serangan (a) X. campestris dan (b) E. carotovora pada tanaman kubis ………………………………………………........... 9

2 Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari ………... 12

3 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MK ……. 17

4 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MH ……. 18

5 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MK ………..... 20

6 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MH …………. 21

7 Gejala kerusakan akar kubis oleh serangan Gryllotalpa sp. ……………… 22

8 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada tanaman kubis pada MK (a) dan MH (b) ………………….……………………………. 25

9 Gejala penyakit akar gada (a) layu (b) gada pada akar …………………. 26

10 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MK …………….. 27

11 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MH …………….. 28

12 Gejala serangan virus gemini pada tanaman tomat …………………….... 28

13 Rata-rata luas serangan penyakit geminivirus pada tanaman tomat pada MK (a) dan MH (b) ………………………………………………... 29

14 Gejala serangan A. solani pada tanaman tomat ……………………….... 30

15 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada tanaman tomat pada MH ………………………………………………………………... 30

16 Gejala serangan P. infestans pada (a) daun dan (b) buah tomat ………... 32

17 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MK ………………………………………………………………... 32

18 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MH ………………………………………………………………… 33

19 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MK ......…………………………... 34

20 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH ......…………………………... 35

21 Rata-rata produksi tanaman kubis (ha) pada MK dan MH .…………….. 39

22 Rata-rata produksi tanaman tomat (ha) pada MK dan MH ……………... 41

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MK …… 49

2 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MH …… 49

3 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MK …… 49

4 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MH …… 50

5 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis pada MK ……………………………………………… …………….... 50

6 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis pada MH ……………………………………………………………...... 50

7 Rata-rata populasi B. tabaci pada pertanaman tomat ………………….. 51

8 Rata-rata kejadian penyakit geminivirus pada pertanaman tomat ……... 51

9 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada pertanaman tomat pada MH ……………………………………………………………...... 51

10 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada pertanaman tomat ……. 52

11 Rata-rata tinggi tanaman tomat ……………………………….....…….. 52

12 Penggolongan arthropoda tanah hasil pitfall trap berdasarkan peranannya …………………………………….....…….....…………..... 53

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran yang cukup dikenal di

Indonesia, yang dapat dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun olahan.

Di Indonesia tanaman kubis merupakan sayuran semusim yang produksinya

menempati urutan teratas (1.432.814 ton) dibandingkan dengan produksi sayuran

semusim lainnya (BPS 2004).

Serangan hama dan patogen merupakan salah satu faktor pembatas produksi

tanaman kubis di lapangan. Kehilangan hasil yang tinggi pada tanaman sayuran

akibat serangan hama dan patogen mendorong petani untuk menggunakan

pestisida secara rutin dengan dosis dan frekwensi yang tinggi (Sastrosiswojo dan

Suhardi 1988). Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran yang mempunyai nilai

ekanomi tinggi seperti kubis, wortel, tomat dan cabai, seakan-akan menjadi suatu

hal yang tidak dapat ditinggalkan. Rauf et al. (2003) melaporkan bahwa petani

kubis di Jawa Barat menggunakan 35 jenis insektisida untuk pengendalian hama

tanaman kubis, yang diaplikasikan rata-rata lebih dari 10 kali setiap musim.

Petani-petani sayuran mempunyai kebiasaan mencampur beberapa jenis pestisida

untuk satu kali aplikasi (Dadang et al. 2004). Penggunaan pestisida yang tinggi,

selain meningkatkan biaya produksi juga berpengaruh buruk terhadap tanaman

(keracunan tanaman dan residu), manusia (keracunan) dan lingkungan biotik

(resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami) maupun abiotik (pencemaran).

Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa penggunaan insektisida yang intensif

pada tanaman kubis, ternyata mempengaruhi aktifitas, perkembangan dan peranan

parasitoid Diadegma semiclausum Hullen (Hymenoptera: Ichneumonidae).

Menurut Flint dan van den Bosch (1981) bahwa peningkatan penggunaan pestisida

modern mengakibatkan resurjensi hama, ledakan hama sekunder dan resistensi

hama. Salah satu upaya untuk mengatasi pengaruh negatif penggunaan pestisida

yang tidak bijaksana, diantaranya dengan penerapan pertanian berkelanjutan.

Pertanian berkelanjutan merupakan suatu pengelolaan sumberdaya untuk

usaha pertanian, guna memenuhi kebutuhan manusia yang selalu meningkat,

sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta

melestarikan sumberdaya alam (Technical Advisory Committee of the CGIAR

1988 dalam Reijntjes et al. 1999). Sistem budi daya input rendah (low external

input agriculture-LEIA) dan pertanian organik (organic farming) menjadi pilihan

utama dalam pertanian berkelanjutan. Sistem budi daya input rendah

mengutamakan penggunaan input lokal yakni dari lahan dan lingkungan sekitarnya

serta meminimalkan penggunaan bahan luar seperti pestisida dan pupuk sintetik.

Sistem budi daya organik mendorong kesehatan tanah dan tanaman, melalui

praktik seperti pendaur-ulangan unsur hara dari bahan organik, rotasi tanaman,

pengolahan tanah yang tepat dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk

sintetik (IASA 1990 dalam Reijntjes et al. 1999). Sistem budi daya ini menjadi

suatu hal yang menarik untuk ditawarkan kepada petani kubis karena sistem budi

daya kubis tersebut tidak merusak lingkungan dan baik untuk kesehatan manusia.

Tujuan Penelitian

Membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada

sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensional dengan pola

pertanaman monokultur dan tumpangsari.

TINJAUAN PUSTAKA

Pertanian Organik

Sistem pertanian organik merupakan salah satu cara untuk pertanian

berkelanjutan. Pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi tanaman

yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara merupakan

teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal yang sejalan dengan

berkembangnya peradaban manusia, terutama di Daratan Cina. Pertanian organik

adalah suatu sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman,

melalui praktek seperti pendaur-ulangan unsur hara dari bahan organik (seperti

kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat dan

menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA 1990 dalam Reijntjes

et al. 1999).

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik

merupakan hukum pengembalian (law of return). Hukum pengembalian yang

dimaksud adalah suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua bahan

organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu, limbah pertanaman maupun

kotoran ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makan tanaman. Sutanto

(2002) menyatakan bahwa filosofi yang melandasi pertanian organik adalah

mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah, yang selanjutnya

tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants),

dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Von Uexkull (1984)

memberikan istilah "membangun kesuburan tanah". Strategi pertanian organik

adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk

kandang menjadi biomassa tanah. Selanjutnya setelah mengalami proses

mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Unsur hara didaur ulang

melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman.

Prinsip-prinsip pertanian organik sebagaimana ditetapkan oleh International

Federation of Organic Agriculture Movement (1990) dalam Sutanto (2002)

sebagai berikut: a) menghasilkan pangan dengan kualitas gizi yang tinggi dan

dalam jumlah yang mencukupi, b) menerapkan sistem alami dan tanpa

mendominasi alam, c) mengaktifkan dan meningkatkan daur biologis di dalam

sistem pertanian, melibatkan mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan dan hewan,

d) meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah, e) menggunakan sumber-

sumber yang dapat diperbaharui dalam sistem pertanian yang terorganisir secara

lokal, f) mengembangkan suatu sistem tertutup dengan memperhatikan elemen-

elemen organik dan bahan nutrisi, g) memperlakukan ternak secara alami,

h) mengurangi dan mencegah semua bentuk polusi yang mungkin dihasilkan dari

pertanian, i) memelihara keragaman genetik di dalam dan di sekeliling sistem

pertanian, j) memberikan pendapatan yang memadai dan memuaskan petani,

k) mempertimbangkan pengaruh sosial dan ekologis yang lebih luas dari sistem

pertanian.

Pertanian organik adalah suatu bentuk pertanian yang tidak menggunakan

input sintetik seperti pestisida dan pupuk, sehingga dapat menjaga keberlanjutan

sistem dalam waktu yang tidak terhingga. Namun demikian, pertanian organik

bukan sekedar pertanian tanpa bahan kimia sintetik, pertanian organik

menggunakan teknik-teknik seperti rotasi tanaman, jarak tanam yang mencukupi

antar tanaman, penggabungan bahan organik ke dalam tanah dan penggunaan

pengendalian biologi untuk menaikkan pertumbuhan tanaman yang optimum dan

meminimumkan masalah hama (Reijntjes et al. 1999). Pemakaian pestisida botani

dipertimbangkan sebagai upaya pengendalian dan digunakan dengan hemat (Stoll

1995 dalam Sutanto 2002) .

Keberhasilan pertanian organik tergantung pada program pengelolaan

penggunaan input- input secara intensif dalam rangka menghasilkan produktivitas

tanaman yang optimum. Sutanto (2002) menyatakan bahwa pelaksanaan

pengelolaan pertanian organik terdiri atas: a) penambahan bahan organik

terdekomposisi, b) rotasi tanaman untuk meningkatkan kesuburan dan mengurangi

serangan hama dan penyakit, c) memakai pupuk hijau dan tanaman penutup untuk

memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan populasi organisme yang bermanfaat

dan mengurangi erosi, d) pengurangan pengolahan tanah (minimum tillage) untuk

memperbaiki struktur tanah dan mengurangi erosi, e) memakai tanaman perangkap

(trap crops), jasad pengendali biologi dan teknik manipulasi habitat lainnya,

seperti tumpang sari atau penggunaan pembatas untuk mempertinggi mekanisme

pengendalian biologi alami, f) pembuatan zona penyangga dan pembatas untuk

menandai area penghasil organik, serta membantu melindungi area tersebut dari

bahan-bahan terlarang. Zona penyangga ditanami dengan tanaman pemecah angin

(wind breaker) atau tanaman yang bukan untuk dipanen.

Penerapan pengelolaan pertanian organik akan menghasilkan produk yang

sangat berkualitas dan bernilai tinggi. Meningkatnya pendapatan dan kesadaran

akan pentingnya kesehatan, menjadikan permintaan pangan organik selalu

meningkat. Kecenderungan pasar pangan organik dunia tahun 1998 sebesar US$

13 milyar, meningkat lebih dari dua kali pada tahun 2003 yaitu sebesar US$ 27

milyar. Tahun 2000-2004 perdagangan produk pertanian organik dunia telah

mencapai nilai rata-rata US$ 17,5 milyar dan diperkirakan pada tahun 2010 pangsa

pasar dunia akan mencapai US$ 100 milyar ( WTO dalam Damardjati 2005).

Pertanian Input Rendah (Low External Input Agriculture – LEIA)

Pertanian input rendah mengutamakan penggunaan input lokal, yakni dari

lahan dan lingkungan sekitarnya, sekecil mungkin memanfaatkan pasokan yang

diperoleh melalui pembelian (Reijntjes et al. 1999). Pertanian input rendah tidak

menutup kemungkinan untuk menggunakan bahan luar, seperti pupuk dan

pestisida sintetik. Penggunaan input luar tersebut digunakan secara tepat dan hati-

hati untuk melengkapi kekurangan input lokal. Penggunaan pestisida pada produk

pertanian input rendah diatur berdasarkan pemahaman dan ketepatan dalam

aplikasinya, sehingga beberapa perusahan yang menggunakan cara tersebut,

menyebutkan produk pertanian mereka aman (safe agricultural products).

LEISA (low external input sustainable agriculture) adalah pertanian yang

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan

lokal) dan manusia (tenaga, pengetahuan dan keterampilan) yang secara ekonomis

layak, mantap secara ekologis disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial.

Pemanfaatan input luar tidak dikesampingkan namun dipandang sebagai

pelengkap pemanfaatkan sumber daya lokal dan harus memenuhi kriteria diatas

(Reijntjes et al. 1999).

Berbagai upaya pemerintah dalam mengurangi pengaruh buruk penggunaan

pestisida secara konstitusi telah diatur. Aturan tersebut diantaranya adalah

pencanangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam GBHN tahun 1983 yang

dipertegas kembali dengan Inpres No. 03/1986. Peraturan Pemerintah tentang

pelarangan peredaran 57 jenis pestisida dan pelatihan serta penyuluhan kepada

pelaku langsung PHT di lapangan merupakan bentuk operasional aturan tersebut.

Pertanian Konvensional (High External Input Agriculture–HEIA)

Pertanian konvensional dicirikan dengan tingginya input luar buatan. Input

luar buatan yang dimaksud adalah input yang membutuhkan sejumlah besar bahan

bakar minyak untuk memproduksi dan mendistribusikannya, misalnya pupuk

sistetik, pestisida sintetik (Reijntjes et al. 1999). Dalam pertanian konvensional

pupuk sintetik diaplikasikan secara cepat, langsung dalam bentuk segera diserap

tanaman, takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Hal-hal tersebut menjadikan sesuatu tawaran yang sangat menarik untuk diadopsi

oleh petani (Reijntjes et al. 1999). Begitu juga penggunaan bahan pengendalian

seperti pestisida sintetik, yang diketahui mempunyai kelebihan, seperti praktis dalam

penyiapan dan penggunaannya serta reaksi terhadap sasaran cepat. Aplikasi

pestisida pada tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekanomi tinggi seperti

kubis, wortel, tomat dan cabai, seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak dapat

ditinggalkan. Keuntungan penggunaan pestisida antara lain efektif, praktis, mudah

didapat, relatif murah dan menguntungkan (Sastrosiswojo dan Suhardi 1988). Oka

(1995) menyatakan kecenderungan penggunaan pestisida juga berdasarkan alasan-

alasan bahwa pestisida cepat menurunkan populasi hama, dapat dipergunakan setiap

saat dan dimana saja. Walaupun demikian, penggunaan pestisida pada tanaman perlu

dipertimbangkan dengan bijaksana.

Jika mengaplikasikan pestisida, dianjurkan secara tepat (5 tepat) yaitu: tepat

sasaran, tepat jenis, tepat waktu, tepat cara, tepat dosis (Direktorat Perlindungan

Hortikultura 2002). Aplikasi pestisida pada sistem budi daya pertanian

konvensional pada tanaman sayuran yang dilakukan sekarang ini cukup

mengkhawatirkan. Dadang et al. (2004) melaporkan bahwa petani-petani sayur

mempunyai kebiasaan mencampur beberapa jenis pestisida untuk satu kali

aplikasi.

Pengaruh buruk dari peningkatan penggunaan pestisida modern adalah

1) resurjensi hama, 2) ledakan hama sekunder dan 3) resistensi hama (Flint dan

van den Bosch 1981; Untung 1992). Oka (1995) menyatakan bahwa pengalaman

Indonesia menggunakan pestisida dalam program intensifikasi padi, sayuran

dataran rendah dan dataran tinggi serta perkebunan menimbulkan akibat-akibat

samping yaitu: 1) hama sasaran berkembang menjadi tahan (resisten) terhadap

pestisida, 2) timbulnya fenomena resurjensi, 3) matinya musuh alami dan

organisme bukan sasaran (belut, kodok, cacing, serangga penyerbuk), 4) timbulnya

hama sekunder, 5) residu pada tanaman, 6) mencemari lingkungan (tanah, air dan

udara), 7) pestisida tertentu dapat menimbulkan “pembesaran biologik” artinya,

konsentrasi pestisida tersebut dalam mata rantai makanan berikutnya semakin

besar, seperti DDT, dan 8) pestisida menimbulkan keracunan pada manusia.

Purwanta dan Rauf (2000) menyatakan bahwa deltametrin memberi pengaruh yang

paling buruk terhadap laba- laba dan serangga predator sedangkan frofenofos

terhadap parasitoid. Ankersmit (1953) dalam Oka (1995) melaporkan sejak tahun

1953, Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) berkembang menjadi

resisten terhadap DDT. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa awal tahun 90-an

hama P. xylostella juga resisten terhadap berbagai jenis insektisida yang sering

diaplikasikan untuk pengendalian hama tersebut. Selanjutnya juga dinyatakan

Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) = Crocidolomia binotalis

Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) strain Lembang telah menunjukkan daya tahan yang

sangat tinggi terhadap berbagai formulasi insektisida.

Kubis ( Brasicca oleracea var. capitata)

Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran yang cukup dikenal di

Indonesia, yang dapat dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun olahan.

Di Indonesia tanaman kubis secara nasional merupakan sayuran semusim yang

produksinya menempati urutan teratas yakni 1.432.814 ton dibandingkan dengan

produksi sayuran semusim lainnya BPS (2004). Kubis diduga berasal dari Italia,

dan kapan waktu introduksi ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi telah

dibudidayakan sebelum Perang Dunia II pada daerah-daerah pegunungan yang

benihnya dibawa dari Eropa, khususnya Belanda (Parmadi dan Sastrosiswojo

1993).

Hama Kubis

Serangan hama dan patogen merupakan salah satu faktor pembatas produksi

tanaman kubis di lapangan. P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis

dataran tinggi di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi dan banyak daerah lainnya

di Indonesia sejak tahun 1916 (Vos 1953 dalam Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).

Kalshoven (1981) menyatakan bahwa hama utama pada tanaman kubis adalah ulat

daun kubis P. xylostella dan ulat krop C. pavonana Pengendalian hama tersebut

pada sistem pertanian konvensional dilakukan dengan menggunakan pestisida

sintetik dari berbagai merek dagang. Pengendalian hama pada sistem pertanian

organik dilakukan secara mekanik dan menggunakan insektisida botani secara

efisien dengan mempertimbangkan ambang ekonomi (AE). Ambang ekonomi

P. xylostella adalah 0,5 larva per tanaman dan C. pavonana adalah 0,3 kelompok

telur per tanaman (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Dadang (2004)

menyatakan bahwa ekstrak Swietenia mahogani (Meliaceae) baik aplikasi tunggal

maupun dicampur dengan ekstrak Aglaia odorata (Meliaceae) mampu menekan

populasi P. xylostella dan C. pavonana di lapangan. Selanjutnya dijelaskan juga

bahwa perlakuan ekstrak tersebut mampu menjaga aktivitas musuh alami

(parasitoid) dan relatif tidak mengganggu keragaman arthropoda tanah.

Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa musuh alami hama kubis yang potensial

untuk mengendalikan larva P. xylostella diantaranya adalah D. semiclausum dan

Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae).

Penyakit Kubis

Penyakit penting pada tanaman kubis yang mempunyai nilai ekonomi adalah

penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris pv. campestris) Pamm, busuk

lunak (Erwinia carotovora) Jones, akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.)

dan bercak daun (Alternaria spp.) serta diperkecambahan sering terinfeksi rebah

kecambah (Rhizoctania solani Kuhn.) (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman

1994).

Penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris pv. campestris

dicirikan dengan adanya bercak kuning menyerupai huruf V di sepanjang pinggir

daun mengarah ke tengah daun (Gambar 1a). Tulang-tulang daun berwarna cokelat

tua atau hitam. Penyaluran air pada bagian yang bergejala terhambat sehingga

daun membusuk dan berwarna hitam. Serangan patogen terjadi mulai dari

persemaian kemudian di lapangan, hingga pada pasca panen. Bakteri masuk ke

dalam tanaman kubis melalui pori air (hidatoda) pada ujung-ujung berkas

pembuluh di tepi daun (Semangun 2000). Selanjutnya dinyatakan juga bahwa

bakteri mempertahankan diri dari musim ke musim pada biji kubis, dalam tanah,

sisa tanaman sakit dan inang lain.

Penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh E. carotovora biasanya merusak

krop pada pasca panen. Gejala awal serangan E. carotovora berupa bercak berair

kemudian bercak membesar dan berwarna cokelat kehitaman, serangan lanjut pada

bagian yang terinfeksi menjadi lunak (Lampiran 1b), berlendir serta mengeluarkan

bau khas (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1994). Jaringan yang membusuk

pada mulanya tidak berbau tetapi dengan adanya bakteri sekunder jaringan

tersebut menjadi berbau khas (Machmud 1984 dalam Semangun 2000).

(a) (b)

Gambar 1 Gejala serangan (a) X. campestris dan (b) E. carotovora pada tanaman kubis.

Penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae dicirikan dengan

adanya daun-daun yang layu seperti kekurangan air dan akan terlihat jelas bila

keadaan udara panas pada siang hari. Akar-akar yang terinfeksi P. brassicae

mengadakan reaksi dengan pembelahan dan pembesaran sel yang menyebabkan

terjadinya bintil-bintil (Semangun 2000). Akibat serangan P. brassicae tanaman

menjadi kerdil dan tidak bisa membentuk krop. Pada malam hari tanaman yang

terserang P. brassicae akan segar kembali.

Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Alternaria spp. dicirikan dengan

timbulnya bercak-bercak bulat konsentris berwarna hitam (A. brassicola Schw.)

dan kelabu (A. brassicae Berk.). Penyebaran kedua patogen ini dapat melalui

udara dan benih (Semangun 2000). Bercak bulat tersebut merupakan kumpulan

spora patogen. Serangan bercak daun pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan

dengan musim kemarau dan bila kelembaban tinggi cendawan terlihat sebagai

bulu-bulu halus kebiruan di tengah bercak (Direktorat Perlindungan Hortikultura

2002).

Pengendalian penyakit pada sistem pertanian konvensional masih

mengutamakan fungisida sintetik dengan aplikasi berjadwal, terutama bila terjadi

kabut yang dianggap sebagai pemicu perkembangan penyakit.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung,

Kabupaten Bogor yang terletak pada ketinggian ± 900 meter di atas permukaan

laut, Laboratorium Biosistematika Serangga serta Laboratorium Fisiologi dan

Toksikologi Serangga IPB. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga

Agustus 2005 (musim kemarau/MK) dan September 2005 hingga Maret 2006

(musim hujan/MH).

Persiapan Lahan dan Perlakuan

Lahan diolah dengan cangkul dan dibagi menjadi 6 petak perlakuan yang

masing-masing berukuran 7 m x 6 m. Perlakuan terdiri dari (1) organik

monokultur kubis (OM), (2) organik tumpangsari kubis-tomat (OT), (3) input

rendah monokultur kubis (LM), (4) input rendah tumpangsari kubis-tomat (LT),

(5) konvensional monokultur kubis (KM) dan (6) konvensional tumpangsari kubis-

tomat (KT). Pada petak perlakuan dibuat bedengan yang terdiri dari 6 bedengan.

Setiap perlakuan diulang 4 kali.

Pemupukan

Pupuk kandang yang digunakan pada MK, dipersiapkan 1 bulan sebelum

tanam yang terdiri dari kotoran kambing, kotoran ayam petelur dan sekam dengan

perbandingan (3:6:1) sedangkan pada MH digunakan kompos kotoran kuda. Pupuk

kandang diaplikasikan langsung pada lubang tanam seminggu sebelum tanam.

Pupuk sintetik untuk tanaman kubis petak konvensional dan input rendah

diberikan 3 kali yakni saat tanam, 28 hari setelah tanam (hst) dan 56 hst (Tabel 1).

Tabel 1 Dosis pupuk pada setiap perlakuan

Pupuk kandang (ton/ha)

Urea (kg/ha)

KCl (kg/ha)

TSP (kg/ha)

NPK (kg/ha)

Perlakuan

MK&MH MK MH MK MH MK MH MH OM OT LM

LT KM KT

50 50 30 30 10 10

0 0

75 75 150 150

0 0

200 200 400 400

0 0 25 25 50 50

0 0 0 0 0 0

0 0 25 25 50 50

0 0 0 0 0 0

0 0

500 500

1 000 1 000

Penanaman

Benih kubis yang digunakan adalah varietas Grand 1l untuk MK dan MH,

sedangkan benih tomat adalah varietas Marta untuk MK dan varietas Arthaloka

untuk MH. Persemaian benih untuk perlakuan konvensional dibuat terpisah karena

ada aplikasi insektisida. Bibit kubis dan tomat ditanam 4 minggu setelah semai.

Tomat ditanam lebih dahulu yakni 4 minggu sebelum kubis ditanam. Kubis

ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm (Gambar 2a) dan pada petak

tumpangsari, tomat ditanam satu baris di bagian tengah bedengan (diantara baris

tanaman kubis) dengan jarak tanam 40 cm (Gambar 2b).

(a) (b)

Gambar 2 Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari.

Pengamatan Hama dan Penyakit

Pengamatan hama dan penyakit dilakukan mulai tanaman berumur 14 hst

sampai menjelang panen dengan interval seminggu sekali. Jumlah tanaman contoh

yaitu 10 tanaman per petak ulangan. Teknik penentuan tanaman contoh ditetapkan

secara sistematis. Parameter yang diamati adalah populasi hama, intensitas

serangan, luas serangan, tingkat parasitisasi, tinggi tanaman, arthropoda tanah,

mikroorganisme dan produksi kubis dan tomat. Penilaian intensitas serangan,

kejadian penyakit dan luas serangan oleh hama dan patogen dinyatakan dalam

persen.

Intensitas serangan Gryllotalpa sp. (Orthoptera: Gryllotalpidae) dan kejadian

penyakit akar gada (P. brassicae) pada tanaman kubis serta luas serangan

geminivirus pada tanaman tomat (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002)

dihitung menggunakan rumus berikut

P = intensitas/ luas serangan

n = jumlah tanaman terserang

N = jumlah tanaman yang diamati

Intensitas serangan X. campestris pada tanaman kubis dan alternaria solani

Sor. serta Phytophthora infestans Mont. pada tanaman tomat (Direktorat

Perlindungan Hortikultura 2002) dihitung menggunakan rumus berikut

I = intensitas serangan, Z = kategori nilai kerusakan tertinggi

ni = jumlah tanaman yang mempunyai kategori nilai kerusakan ke- i

vi = kategori nilai kerusakan ke-i (Tabel 2)

N = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati

Tabel 2 Kategori penilaian kerusakan tanaman

Kategori Kerusakan pada tanaman (x)

0 tidak ada serangan x = 0% 1 kerusakan tanaman 0% < x = 15% 2 kerusakan tanaman 15% < x = 30% 3 4 5 6

kerusakan tanaman 30% < x = 45% kerusakan tanaman 45% < x = 60% kerusakan tanaman 60% < x = 75% kerusakan tanaman 75% < x = 100%

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama pada perlakuan organik dilakukan secara mekanik

(pengambilan kelompok telur dan larva) serta menggunakan insektisida botani

dengan mempertimbangkan AE. Pengendalian pada perlakuan input rendah

menggunakan pestisida sintetik dengan mempertimbangkan ambang ekonomi,

∑ (ni.vi) I = x 100% N.Z

P = (n/N) x 100%

sedangkan pada perlakuan konvensional, menggunakan pestisida sintetik secara

berjadwal yaitu 1-2 kali seminggu. Insektisida yang digunakan berbahan aktif

profenofos (Curacron 500 EC, b.a 50%), deltametrin (Decis 2,5 EC, b.a 2,5%),

fungisida berbahan aktif propineb (Antracol 70 WP, b.a 70%) dan mankozeb

(Dithane M–45 WP, b.a 45%).

Sanitasi gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 26 dan 54 hst.

Penyiraman dilakukan bila diperlukan. Pemangkasan tomat dilakukan dengan

memotong tunas, cabang sakit dan cabang tidak produktif. Pemeliharaan kubis

dilakukan melalui pembuangan daun tua dan sakit.

Perangkap Jebakan (Pitfall Trap)

Arthropoda tanah diamati dengan memasang pitfall trap yang diletakkan

selama 48 jam sebanyak 4 buah/ulangan. Pemasangan pitfall trap dilakukan mulai

28 hst sebanyak 5 kali dengan interval seminggu sekali. Pitfall trap yang

digunakan berupa wadah plastik berdiameter 6,5 cm dan tinggi 10 cm diisi dengan

larutan formalin 2% sebanyak 30 ml. Arthropoda yang diperoleh diidentifikasi di

Laboratorium Biosistematika Serangga dengan mengacu pada Borror et al. (1996)

dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman (1999).

Parasitisasi

Pengamatan larva hama terparasit dilakukan sebanyak 5 kali, dimulai 28 hst

dengan interval seminggu sekali. Larva hama diambil secara acak dari setiap petak

ulangan maksimum 20 ekor dan bahan tanaman contoh sebagai bahan makanan.

Larva dipelihara dalam kotak plastik (10 cm x 9 cm x 4,5 cm) di Laboratorium

Fisiologi dan Toksikologi Serangga sampai terlihat larva terparasit atau muncul

parasitoid. Persentase larva terparasit dihitung dengan rumus:

S larva terparasit Tingkat parasitisasi (%) = x 100 %

S total larva yang diamati

Mikroorganisme

Pengamatan mikroorganisme dilakukan dengan mengambil tanah di sekitar

perakaran tanaman kubis dan tomat (rhizosfer) dan daun tomat (filosfer) secara

acak. Contoh tanah (5 g) dan daun (1 g) dari petak perlakuan organik, input rendah

dan konvensional dimasukkan ke dalam 50 ml aquades steril, kemudian diaduk

selama 15 menit. Suspensi tanah dan daun kemudian diencerkan sampai 10-4. Dari

masing-masing pengenceran diambil 0,5 ml dan disebar pada media king’s B dan

martin agar. Setelah diinkubasikan pada suhu kamar selama 24-48 jam koloni

mikroorganisme yang tumbuh dihitung, dikarakterisasi bentuk, warna dan tepian

koloninya.

Suspensi yang tersisa dipanaskan pada suhu ± 80 OC selama 10 menit,

kemudian diencerkan sampai 10-4. Dari masing-masing pengenceran diambil 0,5

ml dan disebar pada media triptic soy agar (TSA). Setelah diinkubasikan pada

suhu kamar selama 24-48 jam koloni mikroorganisme yang tumbuh dihitung,

dikarakterisasi bentuk, warna dan tepian koloninya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Lokasi Penelitian

Desa Sukagalih merupakan salah satu desa penghasil sayuran di Kecamatan

Mega Mendung. Desa Sukagalih terletak pada ketinggian ± 900-1500 meter dpl

dengan topografi berbukit-bukit, curah hujan diatas 150 mm/bulan, tanah latosol

coklat dan bertekstur gembur sesuai untuk budi daya sayuran. Keadaan ini

dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya petani untuk mengusahakan berbagai

tanaman sayuran. Jenis tanaman sayuran yang banyak diusahakan diantaranya

adalah kubis, tomat, wortel, cabai, caisin, kacang panjang, ketimun dan buncis.

Selain tanaman sayuran, juga ditanam tanaman pangan antara lain padi, jagung,

ubi kayu dan ubi jalar. Tanaman buah-buahan yang cukup luas dibudidayakan

adalah pepaya. Hasil pertanian tersebut umumnya dijual kepada pedagang

pengumpul di desa, namun terdapat juga yang dijual langsung ke konsumen.

Sistem budi daya tanaman sayuran umumnya masih dilakukan secara

konvensional baik secara monokultur maupun tumpangsari. Di Desa Sukagalih

terdapat beberapa petani yang telah melaksanakan sistem budi daya sayuran

organik. Luas lahan budi daya sayuran organik masih relatif sempit.

Hama yang sering ditemukan menyerang tanaman kubis di Desa Sukagalih

diantaranya adalah P. xylostella, C. pavonana dan P. vittata, sedangkan

penyakitnya adalah yang disebabkan oleh X. campestris, P. brassicae,

E. carotovora dan Alternaria spp. Praktik pengendalian hama dan penyakit yang

dilakukan oleh petani sayuran organik diantaranya adalah menanam secara

tumpangsari, pergiliran tanaman, mengambil kelompok telur dan larva hama

secara langsung, meramu insektisida botani dan menanam tanaman berbunga di

sekitar lahan. Petani konvensional dalam mengendalikan hama dan penyakit

menggunakan berbagai merek dagang pestisida yang tersedia pada kios pertanian

di desa. Tutu (2002) melaporkan bahwa 68% petani di Kecamatan Cisarua dan

Mega Mendung menyemprot secara berjadwal, 18% petani menyemprot apabila

ada kerusakan dan 14% petani menyemprot apabila ada imago di pertanaman.

Hama Kubis

Hama utama yang ditemukan pada pertanaman kubis yaitu P. xylostella dan

C. pavonana. Hama lainnya yang juga ditemukan yaitu Gryllotalpa sp., Agrotis

ipsilon Hufn. (Lepidoptera: Noctuidae), P. vittata dan Spodoptera spp.

(Lepidoptera: Noctuidae).

Plutella xylostella

Populasi larva P. xylostella pada MK tampak di atas AE pada umur 14 hst

pada perlakuan OM (0,9 larva /tanaman), OT (1,8 larva/tanaman), KM (1,2

larva/tanaman) dan KT (1,7 larva /tanaman). Pada perlakuan input rendah populasi

larva di bawah AE yaitu LM (0,2 larva/tanaman) dan LT (0,1 larva /tanaman)

(Gambar 3 dan Lampiran 1). Hal ini disebabkan sejak ditanam sampai 14 hst

belum dilakukan pengendalian. Setelah dilakukan pengendalian secara mekanik

pada perlakuan organik, populasi larva P. xylostella tampak menurun hingga di

bawah AE. Ini menunjukkan bahwa pengendalian secara mekanik dapat

memberikan hasil pengendalian yang cukup efektif. Pengendalian secara mekanik

selain dapat menekan populasi hama juga berpengaruh baik terhadap lingkungan

dan produksi kubis karena tidak terjadi pencemaran. Sementara itu pada perlakuan

konvensional yang menggunakan pestisida sintetik, populasi larva P. xylostella

0,00,20,40,60,81,01,21,41,61,82,0

14 21 28 35 42 49 56 63 70

OM OT LM

LT KM KT

Gambar 3 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MK.

Umur tanaman (hst)

Popu

lasi

(lar

va/ta

nam

an)

masih di atas AE yakni pada perlakuan KM (0,6 larva/tanaman) pada umur 21 hst

dan KT (0,7 larva /tanaman) pada umur 42 hst. Hal ini kemungkinan disebabkan

oleh larva P. xylostella tersebut resisten terhadap insektisida yang digunakan.

Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa awal tahun 90-an hama P. xylostella

menunjukkan resistensi terhadap berbagai jenis insektisida yang sering

diaplikasikan untuk pengendalian hama tersebut. Kemungkinan hal lain yang

dapat terjadi akibat dari penggunaan insektisida berjadwal adalah matinya musuh

alami. Pengaruh buruk penggunaan pestisida diantaranya adalah resistensi dan

matinya musuh alami (Flint dan van den Bosch 1981; Untung 1992; Oka 1995).

Populasi larva P. xylostella pada MH di atas AE terjadi pada perlakuan OM

(1,2 larva/tanaman) dan KT (0,8 larva /tanaman) pada umur 40 hst, sedangkan pada

perlakuan input rendah populasi larva masih di bawah AE (Gambar 4 dan

Lampiran 2). Pada perlakuan organik selain pengendalian secara mekanik juga

dikendalikan dengan insektisida botani (mengandung ekstrak S. mahogani dan A.

odorata). Tindakan ini dapat membatasi perkembangan larva.

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

13 19 26 33 40 47 61 68 74

OM OT LM

LT KM KT

Populasi P. xylostella pada perlakuan konvensional di atas AE walaupun

dilakukan aplikasi insektisida secara berjadwal baik pada MH maupun MK. Hal

tersebut menunjukkan bahwa penggunaan insektisida kurang dapat menekan

perkembangan larva P. xylostella secara permanen. Hal ini kemungkinan karena

larva P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan yakni

Umur tanaman (hst)

Popu

lasi

(lar

va/ta

nam

an)

Gambar 4 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MH.

berbahan aktif deltametrin dan profenofos. Terjadinya resistensi ini kemungkinan

disebabkan aplikasi insektisida tersebut oleh petani kubis di lokasi penelitian

kurang bijaksana (dari musim ke musim dengan dosis dan frekwensi tinggi).

Merujuk hasil survei Tutu (2002) bahwa 68% petani kubis di Kecamatan Cisarua

dan Mega Mendung, melakukan penyemprotan berjadwal. Kasus resistensi larva

P. xylostella terhadap bahan aktif yang sama dan bahan aktif yang lainnya telah

banyak dilaporkan di beberapa tempat seperti: bahan aktif sipermetrin, fenvalerat

dan deltametrin di India (Saxena et al. 1989); bahan aktif fenvalerat dan

deltametrin di Korea (Kim et al. 1990). Di Indonesia telah dilaporkan, adanya

kasus resistensi P. xylostella terhadap DDT (Ankersmit 1953 dalam Oka 1995);

P. xylostella strain Lembang, Pacet, Kopeng dan Tawangmangu tesisten terhadap

deltametrin, sipermetrin dan fenvalerat (Adiputra 1984); P. xylostella strain

Lembang resisten terhadap deltametrin dan asefat (Sastrosiswojo 1992).

Pada perlakuan input rendah, selama perkembangan tanaman kubis baik pada

MK maupun MH, populasi larva P. xylostella tidak melebihi AE, sehingga tidak

perlu aplikasi insektisida untuk pengendalian. Akan tetapi aplikasi insektisida

terpaksa dilakukan untuk mengendalikan larva C. pavonana pada MK, saat

tanaman berumur 35 hst dan pada MH saat tanaman berumur 61 dan 68 hst.

Dengan mengurangi aplikasi insektisida terlihat bahwa populasi larva P. xylostella

dapat dipertahankan pada batas tidak merugikan. Hal ini kemungkinan juga

disebabkan oleh peran musuh alami dalam menekan perkembangan larva

P. xylostella. Di Jawa Barat D. semiclausum dan Apanteles sp. dapat menekan

populasi larva P. xylostella dengan tingkat parasitisasi 79%-88% (Kartosuwondo

1994).

Secara umum, populasi larva P. xylostella pada perlakuan LT lebih rendah

dibandingkan dengan perlakuan LM baik pada MK maupun MH. Hal ini

menunjukkan adanya pengaruh tanaman tomat sebagai repellent (penolak) dari

bahan kimia yang dihasilkan untuk menghambat imago P. xylostella meletakkan

telur pada tanaman kubis (Sastrosiswojo et al. 2000).

Crocidolomia pavonana

Hama perusak krop C. pavonana ditemukan pada MK sejak tanaman

berumur 35 hst dan pada MH sejak tanaman berumur 26 hst. Populasi C. pavonana

pada MK tertinggi terjadi pada perlakuan KT (3,7 larva/tanaman), KM (2,3

larva/tanaman), LM (1,8 larva/tanaman) dan LT (1,3 larva /tanaman), sedangkan

pada perlakuan OM dan OT 0,1 larva/tanaman (Gambar 5 dan Lampiran 3). Hal

ini menunjukkan aplikasi insektisida berjadwal pada perlakuan konvensional

kurang efektif. Keadaan larva C. pavonana yang berada di bawah daun dan

selanjutnya masuk ke dalam krop, menyulitkan insektisida kontak untuk mengenai

sasaran. Hal ini kemungkinan membuat populasi larva C. pavonana dapat

berkembang lebih tinggi pada perlakuan konvensional dibandingkan dengan

perlakuan organik. Pada perlakuan organik dengan pengendalian secara mekanik,

mencari larva C. pavonana relatif lebih mudah walaupun berada di bawah daun

dan cara tersebut lebih aman bagi lingkungan.

00,5

11,5

22,5

33,5

4

35 42 49 56 63 70

OM OT LM

LT KM KT

Populasi larva C. pavonana tertinggi pada setiap perlakuan pada MH

berturut-turut adalah sebagai berikut LM (6,4 larva/tanaman), KM (3,8

larva/tanaman), LT (3,2 larva/tanaman), OM (3,1 larva/tanaman), OT (3

larva/tanaman) dan KT 1,4 larva /tanaman (Gambar 6 dan Lampiran 4). Secara

umum populasi larva C. pavonana lebih tinggi pada perlakuan konvensional dan

input rendah dengan aplikasi insektisida dibandingkan dengan perlakuan organik.

Gambar 5 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MK.

Popu

lasi

(lar

va/ta

nam

an)

Umur tanaman (hst)

0

1

2

3

4

5

6

7

26 33 40 47 61 68 74

OM OT LMLT KM KT

Keadaan ini menunjukkan, penggunan insektisida untuk pengendalian larva

C. pavonana kurang efektif. Hal ini kemungkinan disebabkan larva C. pavonana

resisten terhadap insektisida yang digunakan. Menurut Untung (1992) salah satu

penyebab terjadinya resistensi pada serangga adalah penurunan laju penetrasi

insektisida melalui kulit. Keberadaan telur dan larva C. pavonana yang

tersembunyi sulit bagi insektisida dan musuh alami untuk mencapainya hal ini

dapat diatasi dengan pengendalian mekanik.

Gryllotalpa sp.

Hama perusak akar Gryllotalpa sp. ditemukan pada MK dan MH (Tabel 3).

Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah akar muda terpotong hingga tanaman

bertahan hidup pada akar tua, tanaman layu dan krop susah terbentuk (Gambar 7).

Gryllotalpa sp. merupakan serangga penghuni tanah yang lembab, mempunyai

tungkai depan yang lebar berbentuk sekop (Borror et al. 1996). Tungkai depan

Tabel 3 Intensitas kerusakan tanaman kubis oleh Gryllotalpa sp.

Intensitas (%) Pertanaman OM OT LM LT KM KT

MK 20,87 28,75 4,82 14,82 11,43 15,35 MH 4,72 4,45 4,89 3,90 5,42 5,09

Gambar 6 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MH.

Popu

lasi

(lar

va/ta

nam

an)

Umur tanaman (hst)

Gambar 7 Gejala kerusakan akar kubis oleh serangan Gryllotalpa sp.

berfungsi sebagai pencabik akar-akar muda untuk dimakan, kerusakan ini akan

mengakibatkan tanaman tidak bisa membentuk krop. Kerusakan pada setiap

perlakuan bervariasi. Pada MK intensitas kerusakan pada perlakuan organik lebih

tinggi dibandingkan perlakuan konvensional dan input rendah sedangkan pada MH

hampir tidak berbeda. Pada MK intensitas kerusakan oleh Gryllotalpa sp. pada

pertanaman tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman

monokultur. Hal ini kemungkinan disebabkan pada pertanaman tumpangsari

terdapat inang utama yakni tanaman tomat dan tanah lebih gembur. CABI (2003)

menyebutkan bahwa G. hexadactyla Perty merupakan hama perusak akar pada

tanaman tomat, jagung dan kedele.

Parasitisasi

Parasitoid yang muncul dari larva P. xylostella pada MK adalah

D. semiclausum sedangkan pada MH adalah D. semiclausum dan Apanteles sp.

Persentase parasitisasi sangat bervariasi (Tabel 4). Secara umum, rata-rata

parasitisasi pada perlakuan tumpangsari lebih tinggi dari pada monokultur. Hal ini

kemungkinan karena imago parasitoid lebih menyukai tanaman yang mempunyai

bunga (nektar tanaman tomat). Parasitoid D. semiclausum mengisap nektar pada

tumbuhan berbunga sebagai sumber makanannya (Tooker dan Hanks 2000). Idris

dan Grafius (1995) melaporkan bahwa nektar bunga dapat meningkatkan lama

hidup, keperidian dan persentase parasitisasi serangga parasitoid Hymenoptera.

Tabel 4 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella

Pengamatan ke- Perlakuan

1 % (larva)

2 % (larva)

3 % (larva)

4 % (larva)

5 % (larva)

Pertanaman MK OM OT LM LT KM KT

43,5 (17) 53,8 (19) 68,8 (16)

0 (0) 27,8 (13) 69,2 (14)

57,3 (28) 63,4 (41) 100 (30) 100 (1)

54,3 (17) 76,7 (39)

39,6 (16) 70,8 (21) 66,7 (5)

0 (0) 77,5 (30) 48,9 (45)

75,6 (33) 64,6 (29)

100 (5) 75 (4)

76,1 (35) 74,3 (18)

54,2 (16) 68,8 (13) 43,8 (14) 87,5 (6)

53,6 (15) 60 (14)

Pertanaman MH OM OT

64,3 (14) 75 (4)

77,8 (6) 100 (2)

88,3 (67) 92,3 (42)

91,7 (13) 100 (14)

83,3 (7) 0 (0)

LM LT KM KT

77,8 (7) 55,6 (9) 100 (3) 100 (1)

59,7 (33) 82,2 (11) 58,3 (15) 64,4 (32)

72,2 (23) 83,2 (22) 85,8 (31) 86,7 (46)

61,9 (20) 44,2 (17) 56,3 (14) 63,2 (32)

100 (1) 0 (0)

52,4 (11) 100 (5)

(larva) = Jumlah larva sampel dari 4 ulangan

Kartosuwondo (1994) menyatakan bahwa tumbuhan Brassicaceae non budi daya

yang berbunga, bila ditanam dengan jarak 1 meter di pinggiran petak tanaman

kubis, mampu meningkatkan persentase parasitisasi D. semiclausum pada larva

P. xylostella 3 kali lebih tinggi dari pada petakan tanpa Brassicaceae non budi daya.

Secara umum rata-rata parasitisasi yang dihasilkan cukup tinggi, bahkan pada

minggu-minggu tertentu parasitisasi larva P. xylostella bisa mencapai 100%. Hal

ini menunjukkan bahwa D. semiclausum dan Apanteles sp. mempunyai

kemampuan untuk menekan perkembangan larva P. xylostella.

Tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum pada MH

menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dan dominan dibandingkan dengan

Apanteles sp. (Tabel 5). Menurut Sastrosiswojo et al. (2000), di Indonesia

keberadaan parasitoid Apanteles sp. kalah bersaing dengan Diadegma sp.

Rendahnya tingkat parasitisasi oleh Apanteles sp. kemungkinan disebabkan adanya

aplikasi pestisida pada petak input rendah dan konvensional sedangkan pada petak

organik terjadi migrasi Apanteles sp. ke pertanaman lain. Namun demikian

peranan Apanteles sp. sangat membantu dalam pengendalian P. xylostella secara

alami.

Tabel 5 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum dan Apanteles sp. pada MH

Pengamatan ke- Perlakuan 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%)

D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp OM 24,4 39,9 77,8 0 84,6 3,7 91,7 0 83,3 0 OT 50,0 25,0 100 0 84,8 7,5 100 0 0 0 LM 33,3 44,4 59,7 0 68,5 3,7 61,9 0 100 0 LT 55,5 0 75,5 6,7 69,9 13,3 44,2 0 0 0 KM 100 0 58,3 0 76,0 9,8 46,2 0 52,4 0 KT 0 100 56,1 8,3 81,0 5,6 63,2 0 100 0 D. s = D. semiclausum, A. sp = Apanteles sp.

Selama penelitian, tidak diperoleh parasitoid dari larva C. pavonana yang

dipelihara. Hal ini kemungkinan disebabkan musuh alami dari C. pavonana seperti

Eriborus argenteopilosus Cemeron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Sturmia

inconspicuoides Bar. (Diptera: Tachinidae) tidak ada di lahan penelitian.

Kemungkinan lain karena parasitoid sulit menemukan larva yang berada di bawah

daun atau di dalam krop. Menurut Othman (1982), kedua parasitoid tersebut

tingkat parasitisasinya rendah.

Penyakit Kubis

Busuk Hitam

Penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris pv. campestris

ditemukan berkembang selama pertumbuhan kubis baik pada MK maupun MH.

Patogen menyerang tanaman kubis pada semua sistem pertanaman dengan pola

yang sama yakni terjadi peningkatan dan penurunan intensitas serangan dengan

kisaran yang tidak jauh berbeda (Gambar 8a, 8b, Lampiran 5 dan 6). Hal ini

kemungkinan disebabkan sifat X. campestris pv. campestris yang mudah menyebar

dari tanah ke daun melalui percikan air hujan (Semangun 2001) dan penyiraman

yang sama pada semua perlakuan. X. campestris pv. campestris dapat bertahan di

dalam tanah dan sisa tanaman sakit (Semangun 2000). Penurunan intensitas pada

MK maupun MH pada semua perlakuan disebabkan adanya tindakan sanitasi,

yakni membuang bagian tanaman yang sakit, hingga penilaian pada waktu

pengamatan menurun.

0

5

10

15

20

25

13 19 26 33 40 47 61 68 74

OM OT LM LT KM KT

Secara umum intensitas serangan X. campestris pv. campestris pada

perlakuan monokultur lebih tinggi dari perlakuan tumpangsari. Hal ini

kemungkinan karena kondisi iklim mikro pada perlakuan monokultur lebih hangat.

Tanaman tomat pada perlakuan tumpangsari membuat iklim mikro lebih sejuk

dibandingkan dengan perlakuan monokultur. Selain itu tanaman tomat juga

sebagai penghalang gesekan antara daun kubis dan penghalang percikan air

langsung ke permukaan tanah atau ke tanaman kubis. Penyakit busuk hitam yang

disebabkan oleh X. campestris pv. campestris sering berjangkit pada tanaman

kubis dengan kondisi lingkungan hangat dan kelengasan udara tinggi (Parmadi dan

Sastrosiswojo 1993).

0 5

10 15 20 25 30 35 40 45 50

14 21 28 35 42 49 56 63 70

OM OT LM LT KM KT

Gambar 8 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pv. campestris pada tanaman kubis pada MK (a) dan MH (b). .

(b)

(a)

Umur tanaman (hst)

Umur tanaman (hst)

Inte

nsita

s se

rang

an (%

) In

tens

itas

sera

ngan

(%

)

Akar Gada

Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae ditemukan

tertinggi pada pertanaman kubis yang dibudidayakan secara organik. Gejala yang

terlihat adalah tanaman kubis layu pada waktu siang hari bila panas terik dan

kembali normal pada pagi hari, akar yang dihasilkan sedikit dan membengkak

(Gambar 9a dan 9b). Bila akar dicabut terlihat membengkak, berumbi menyerupai

gada (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Semangun (2000) menyatakan

bahwa akar-akar yang terinfeksi P. brassicae sel-selnya membelah dan membesar

hingga terbentuk seperti gada. Selanjutnya dinyatakan bahwa rusaknya susunan

jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkut air dan hara.

(a) (b)

Gambar 9 Gejala penyakit akar gada (a) layu (b) gada pada akar

Timbulnya serangan diduga karena pupuk kandang yang digunakan telah

mengandung inokulum P. brassicae. Pupuk kandang yang telah terinvestasi

P. brassicae dapat menyebarkan penyakit akar gada (Suryaningsih 1981; Parmadi

dan Sastrosiswojo 1993). Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh

P. brassicae berkorelasi positif dengan jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan.

Semakin banyak jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan semakin tinggi

kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis (Tabel 6 dan Tabel 1).

Tabel 6 Rata-rata kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis

Rata-rata perlakuan (%) Pertanaman OM OT LM LT KM KT

MK 21,8 23,2 9,3 14,8 6,8 7,5 MH 18,2 19,4 7,6 6,3 3,1 3,2

Kejadian penyakit akar gada pada MK (menggunakan pupuk kandang) lebih

tinggi dibandingkan dengan MH (menggunakan kompos). Hal ini kemungkinan

kompos yang digunakan pada MH mengandung mikroorganisme yang dapat

menekan perkembangan P. brassicae. Kompos mengandung berbagai macam

mikroorganisme dari golongan bakteri, aktinomisetes dan cendawan (Wibisono

2004). Kemungkinan hal lain yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit akar

gada pada MK dibandingkan dengan MH adalah faktor cuaca.

Hama Tomat

Selama penelitian, hama yang ditemukan pada pertanaman tomat adalah

Epilachna varivestis Muls. (Coleoptera: Coccinellidae), Liriomyza bryoniae Kalt.

(Diptera: Agromyzidae), Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) dan

Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptea: Noctuidae). Kerusakan yang

ditimbulkan pada MK oleh masing-masing hama yang ditemukan sangat kecil.

Kelimpahan populasi B. tabaci menjadi pengamatan khusus sehubungan dengan

kamampuannya sebagai vektor geminivirus. Meningkatnya populasi B. tabaci

pada MK seiring dengan bertambahnya umur tanaman sedangkan jumlah populasi

pada ketiga perlakuan tidak terlalu berbeda (Gambar 10 dan Lampiran 7).

Hama E. varivestis dan L. bryoniae pada MH menyerang pada awal

pertanaman dan tingkat kerusakannya sangat rendah. Perkembangan populasi

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10

21 28 35 42 49 56 63

Organik Input Rendah Konvensional

Popu

lasi

(ind

ivid

u/ta

nam

an)

Umur tanaman (hst)

Gambar 10 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MK.

B. tabaci terlihat lebih stabil pada MH (Gambar 11). Hal ini kemungkinan karena

seringnya turun hujan yang memperlambat perkembangan dan penyebaran

B. tabaci. Populasi pada perlakuan non organik lebih tinggi dibandingkan dengan

perlakuan organik baik MK maupun MH. Hal ini kemungkinan disebabkan

B. tabaci lebih menyenangi tanaman yang rimbun dan subur yakni pada perlakuan

non organik. Selain itu aplikasi insektisida kontak kurang efektif karena biasanya

B. tabaci berlindung pada permukaan bawah daun dan sulit dicapai insektisida.

Penyakit Tomat

Geminivirus

Tanaman tomat yang diserang oleh virus gemini menunjukkan gejala daun

mosaik, menguning dan keriting (Lampiran 12). Gejala yang sama juga dilaporkan

oleh Kato et al. (1998) dan Aidawati et al. (2002). Kejadian penyakit geminivirus

0

5

10

15

20

25

23 30 38 44 51 58 65 70

Organik Input rendah Konvensional

Umur tanaman (hst) Gambar 11 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MH.

Popu

lasi

(ind

ivid

u/ta

nam

an)

Gambar 12 Gejala serangan virus gemini pada tanaman tomat.

pada tanaman tomat pada setiap perlakuan tidak terlalu berbeda. Pada MK

umur 49 hst, kejadian penyakit geminivirus hampir mencapai 100% pada semua

perlakuan (Gambar 13a dan Lampiran 8). Pada MH umur 70 hst, kejadian penyakit

geminivirus tidak jauh berbeda yakni pada perlakuan input rendah 62,5%, organik

58% dan konvensional 53,2% (Gambar 13b dan Lampiran 8).

Kejadian penyakit geminivirus yang tidak terlalu jauh berbeda pada ketiga

perlakuan, kemungkinan karena sumber inokulum virus gemini dan B. tabaci yang

infektif telah berada pada semua perlakuan. Untuk menyebarkan virus gemini

hanya memerlukan jumlah vektor yang sedikit. Satu individu B. tabaci yang

infektif sudah dapat menularkan virus (Mehta et al. 1994) dan penularan semakin

efektif seiring dengan meningkatnya jumlah B. tabaci (Aidawati et al. 2002).

0

20

40

60

80

100

120

14 21 28 35 42 49Umur tanaman (hst)

OrganikInput rendahKonvensional

0

20

40

60

80

23 30 38 44 51 58 65 70Umur tanaman (hst)

OrganikInput rendahKonvensional

Gambar 13 Rata-rata luas serangan penyakit geminivirus pada tanaman tomat pada MK (a) dan MH (b).

(a)

(b)

Kej

adia

n pe

nyak

it (%

) K

ejad

ian

peny

akit

(%)

Aplikasi insektisida pada perlakuan konvensional dan seringnya turun hujan

pada MH hanya mampu memperlambat perkembangan dan penyebaran populasi

B. tabaci. Pada lahan non organik yang lebih rimbun, peluang kejadian penyakit

akan lebih besar karena aktifitas hidup B. tabaci cenderung pada kondisi lahan

tersebut. Sudiono (2001) menyatakan bahwa penularan penyakit geminivirus pada

tanaman inang melalui serangga vektor (B. tabaci) menunjukkan masa inkubasi

antara 15-29 hari setelah inokulasi dan kejadian penyakit antara 20-100%.

Bercak Daun

Penyakit bercak daun pada tanaman tomat yang disebabkan oleh A. solani

menunjukkan gejala bercak bulat atau bersudut, coklat tua sampai hitam dan

terdapat jalur klorotik (Gambar 14). Pada MK ditemukan menyerang tanaman

tomat hanya pada awal pertumbuhan dengan intensitas serangan rendah (< 5%),

namun pada MH intensitas serangan jauh lebih tinggi. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh pengaruh cuaca pada MH yang cocok untuk perkembangan

A. solani. Semangun (2000) menyatakan bahwa A. solani membentuk banyak

Gambar 14 Gejala serangan A. solani pada tanaman tomat.

konidium bila cuaca lembab. Selanjutnya konidia menyebar ke bagian tanaman

yang lain dengan bantuan air hujan dan angin. Serangan A. solani pada MH sudah

terlihat sejak tanaman tomat berumur 23 hst, intensitas serangan meningkat sampai

umur 51 hst kemudian turun pada umur 58 hst pada semua perlakuan (Gambar 15

dan Lampiran 9). Agrios (1997) menyatakan bahwa tanaman tomat pada awal

pertumbuhan rentan, kemudian agak tahan pada fase pertumbuhan dan kembali

05

101520253035404550

23 30 38 44 51 58 65 70 77

Umur tanaman (hst)

Inte

nsita

s se

rang

an (

%) Organik

Input rendahKonvensional

rentan pada fase pemasakan, terhadap bercak daun (early blight) dan busuk

daun (late blight). Intensitas serangan pada ketiga perlakuan sampai umur tanaman

58 hst tidak terlalu jauh berbeda. Intensitas serangan menurun setelah umur

tanaman 51 hst disebabkan adanya tindakan sanitasi yakni membuang bagian

tanaman yang sakit pada semua perlakuan. Bila dibandingkan dengan perlakuan

lain, pada perlakuan organik intensitas serangan cenderung menurun terus setelah

tanaman berumur 51 hst. Hal ini disebabkan oleh bagian tanaman (relung) yang

sebelumnya menjadi tempat berkembang A. solani didominasi oleh perkembangan

P. infestans. Pada perlakuan non organik, setelah menurun pada umur 58 hst

intensitas serangan meningkat sampai umur 70 hst yang kemudian menurun

kembali. Hal ini menunjukkan aplikasi fungisida kurang mempengaruhi penekanan

serangan A. solani. Dengan kondisi cuaca dan inang yang sama terlihat dominasi

relung oleh P. infestans lebih cepat dibandingkan dengan A. solani.

Busuk Daun

Penyakit busuk daun pada tanaman tomat yang disebabkan oleh P. infestans

menunjukkan gejala pada daun hawar hitam kecoklatan (Gambar 16a), buah hawar

coklat tua, keras dan berkerut (Gambar 16b). Serangan P. infestans pada MK

mulai terlihat sejak tanaman berumur 14 hst kemudian intensitas serangan

Gambar 15 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada tanaman tomat pada MH.

(a) (b)

Gambar 16 Gejala serangan P. infestans pada (a) daun dan (b) buah tomat.

meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 17 dan Lampiran

10). Intensitas serangan P. infestans pada MK tidak terlalu berbeda antara

perlakuan. Intensitas tertinggi pada setiap perlakuan sebagai berikut organik

(82,1%), input rendah (76,5%) dan konvensional (75,7%). Pada kondisi ini,

tanaman tomat masih dapat berproduksi karena P. infestans menyerang sebagian

besar pada daun sedangkan serangan pada buah masih sedikit.

Serangan P. infestans pada MH mulai tampak pada umur 51 hst dan

meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 18 dan Lampiran

10). Pada umur 70 hst, intensitas serangan P. infestans pada perlakuan organik

(60,2%) sangat tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah (9%) dan

konvensional (5,4%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

14 21 28 35 42 49 56 63 70

Organik Input Rendah Komvensional

Umur tanaman (hst)

Gambar 17 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MK.

Inte

nsita

s se

rang

an (%

)

MH memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan P. infestans.

Serangan P. infestans pada perlakuan organik mengakibatkan banyak tanaman

tomat mati pada umur 73 hst. Kondisi curah hujan dan kelembaban yang tinggi

(Tabel 7) memacu perkembangan P. infestans. Selanjutnya serangan pada

perlakuan organik diperparah karena posisi petak organik yang kurang terkena

sinar matahari (terlindung oleh pohon bambu). Menurut ramalan Agrios (1997)

bahwa apabila suhu tetap dingin (10oC-24oC) kelembaban diatas 75%, minimal

selama 48 jam maka akan terjadi serangan late blight 2-3 minggu kemudian.

Tabel 7 Keadaan iklim wilayah pengamatan Stasiun Citeko bulan April–Juni dan September–Desember 2005

Bulan

Curah hujan

Kelembaban nisbi (%)

Suhu (oC)*

Penyinaran (jam)*

(mm) (hh) Min Mak Pertanaman MK Maret 318,4 26 88-100 18,3 25,9 3,0 April 125,5 20 81-91 18,1 26,7 3,4 Mei 163,6 16 83-95 18,4 26,5 5,0 Juni 237,6 24 82-95 18,0 26,0 4,4 Pertanaman MH September 202,0 15 61-69 17,4 26,3 5,6 Oktober 192,1 22 84-93 17,5 26,6 4,7 November 263,3 24 83-94 17,8 26,4 4,1 Desember 282,0 28 85-97 18,0 25,6 2,0

Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, * rata-rata

0

20

40

60

80

100

120

44 51 58 65 70 77

Organik Input rendah Konvensional

Inte

nsita

s se

rang

an (%

)

Umur tanaman (hst)

Gambar 18 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MH.

Selanjutnya dinyatakan jika dalam periode tersebut terjadi hujan, embun dan

kelembaban nisbi mendekati jenuh selama beberapa jam maka akan terjadi

epidemi late blight. Crosier (1934) dalam Semangun (2000) menyatakan bahwa

cendawan hanya membentuk sporangium bila kelembaban udara lebih dari 91%

dan paling baik pada 100% dengan suhu 18o–22oC. Lebih lanjut dinyatakan bahwa

busuk daun tomat merupakan masalah berat di dataran tinggi hanya pada musim

hujan karena perkembangan P. infestans memerlukan kelembaban nisbi tinggi dan

suhu rendah.

Tinggi Tanaman Tomat

Rata-rata tinggi tanaman tomat antara perlakuan baik pada MK maupun MH

tidak terlalu jauh berbeda. Pada MK tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan

konvensional yaitu 136,6 cm, organik 132,7 cm dan input rendah 126,6 cm

(Gambar 19 dan Lampiran 11). Hal ini tampaknya disebabkan pada semua

perlakuan tanaman tomat terserang penyakit (geminivirus dan busuk daun) yang

dapat menghambat pertumbuhan tanaman.

020406080

100120140160

14 21 28 35 42 49 56 63

OrganikInput rendahKonvensional

Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH sejak awal pertumbuhan sampai

dengan umur 58 hst, pada perlakuan organik dan konvensional lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan input rendah (Gambar 20 dan Lampiran 11). Pada

umur 70 hst, tinggi tanaman tomat non organik lebih tinggi dibandingkan organik

yakni pada perlakuan konvensional 109,4 cm dan input rendah 102,9 cm

sementara organik hanya 98,2 cm. Hal ini disebabkan aplikasi pupuk anorganik

Gambar 19 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MK.

Umur tanaman (hst)

Ting

gi ta

nam

an (c

m)

020406080

100120

23 30 38 44 51 58 65 70

OrganikInput rendahKonvensional

dengan hara makro tinggi memberikan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan

tanaman dibandingkan dengan kompos yang mengandung hara makro rendah.

Selanjutnya pada perlakuan organik intensitas serangan P. infestans lebih tinggi

dibandingkan perlakuan non organik yang dapat menghambat pertumbuhan dan

produksi tanaman tomat.

Arthropoda Tanah

Total populasi arthropoda tanah yang diperoleh pada MK lebih banyak dari

pada MH (Tabel 8). Hal ini disebabkan pada MH arthropoda tanah kurang aktif

Tabel 8 Komposisi populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada pertanaman kubis berdasarkan peranannya

Hama Musuh alami

Pengurai Serangga lain

Jumlah Perlakuan

Pop % Pop % Pop % Pop % Pop % Pertanaman MK n = 139.138 OM 34 0,2 965 5,8 15.634 93,9 10 0,1 16.643 100 OT 29 0,1 790 3,8 19.964 96,0 13 0,1 20.796 100 LM 55 0,4 1.201 7,5 14.491 92,0 10 0,1 15.757 100 LT 28 0,1 1.260 4,0 30.591 95,8 8 0,1 31.887 100 KM 40 0,2 1.109 5,2 20.284 94,5 14 0,1 21.447 100 KT 74 0,2 973 3,0 31.554 96,7 7 0,1 32.608 100 Pertanaman MH n = 126.277 OM 26 0,1 972 5,0 18.243 94,7 30 0,2 19.271 100 OT 26 0,1 788 2,7 28.540 97,1 55 0,1 29.409 100 LM 30 0,2 1.206 7,5 14.576 92,1 26 0,2 15.838 100 LT 47 0,2 1.262 6,2 19.204 93,4 39 0,2 20.552 100 KM 38 0,1 1.107 3,1 34.961 96,7 23 0,1 36.129 100 KT 98 0,7 995 7,1 12.969 92,1 16 0,1 14.078 100

Pop = populasi (individu), n = total hasil pitfall trap

Gambar 20 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH.

Tin

ggi t

anam

an(c

m)

Umur tanaman (hst)

dan banyak yang mati. Aplikasi bahan organik menjadikan tanah lebih gembur dan

lembab. Kondisi tersebut dapat meningkatkankan populasi arthropoda tanah yang

penting seperti ordo Collembola. Komposisi arthropoda tanah pada semua

perlakuan dominan dihuni oleh ordo Collembola (5 famili) yang berperan sebagai

pengurai dan ordo Hymenoptera (famili Formicidae) yang berperan sebagai

musuh alami (Lampiran 12). Famili Formicidae (kelompok semut) sering

digunakan sebagai bioindikator kesehatan ekosistem pertanian (Samways 1995).

Pada MK jumlah ordo dan famili arthropoda tanah lebih beragam pada

pertanaman tumpangsari dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Hal ini

menunjukkan bahwa arthropoda tanah lebih menyenangi kondisi lahan dengan

beragam tanaman dan mempunyai kelembaban cukup.

Secara umum total populasi arthropoda tanah pada perlakuan konvensional

lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah dan organik baik pada

MK maupun MH (Tabel 9). Keadaan populasi arthropoda tanah kemungkinan

Tabel 9 Jumlah ordo, famili dan populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada berbagai perlakuan pada tanaman kubis

Perlakuan Penggolongan OM OT LM LT KM KT

Pertanam MK Ordo 12 12 12 13 10 10 Famili 34 34 32 35 31 31 Populasi * 16.643 20.796 15.757 31.887 21.447 32.608 Pertanam MK Ordo 9 12 10 12 10 13 Famili 33 34 30 32 36 32 Populasi * 19.271 20.409 15.838 20.552 36.129 14.078

* = individu

dipengaruhi oleh aplikasi bahan organik berupa pupuk kandang atau kompos. Hal

ini ditunjukkan dengan tingginya komposisi ordo Collembola dan famili

Formicidae pada semua perlakuan. Hal lain kemungkinan yang mempengaruhi

keadaan populasi arthropoda tanah adalah faktor lingkungan disekitar lahan

penelitian. Posisi petak perlakuan konvensional yang berdekatan dengan budi daya

tanaman lain yang memungkinkan terjadinya perpindahan serangga, dibandingkan

dengan petak organik yang berdekatan dengan pohon bambu dan jalan. Samways

(1995) menyatakan bahwa koridor perpindahan dapat berfungsi sebagai

penghubung yang membantu perpindahan atau pemencaran serangga dari suatu

lahan ke lahan yang lainnya. Jalan merupakan koridor penghambat perpindahan

dan pergerakan spesies tertentu dalam melintas lanskap (Forman dan Godron

1986).

Mikroorganisme

Mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan

tomat serta daun tomat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Mikroorganisme hasil isolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat

Kode Jenis koloni A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V

Pseudomonas kelompok fluorescens Warna putih, pinggir bergelombang Warna put ih, pinggir berambut Warna putih, bulat kecil Warna putih, bentuk tidak teratur Warna putih, transparan, kecil Warna putih, bentuk tidak teratur, tepi koloni berambut Warna kuning muda, bulat Warna putih, bulat besar Warna kuning, bentuk tidak teratur Warna kuning, permukaan koloni berkerut-kerut Warna putih, berambut panjang Warna putih, transparan besar Warna putih, mengkerut Warna putih, transparan konsentris Cendawan, putih mengkerut ke atas Warna merah, permukaan atas kuning Cendawan, warna merah mengkerut ke atas Cendawan, warna cokelat mengkerut ke atas Warna merah, bulat, pinggir berwarna putih Warna merah, bulat, atas berwarna putih Cendawan, warna hijau, seperti Aspergillus sp.

Jenis koloni mikroorganisme yang diisolasi dari tanah pada perlakuan

organik dan input rendah sama yakni 15 jenis, sedangkan pada konvensional hanya

11 jenis (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme tanah pada

perlakuan organik dan input rendah lebih beragam dibandingkan dengan perlakuan

Tabel 11 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat pada tiga media tumbuh

Media tumbuh King’s B Triptic soy agar Martin agar

Perlakuan (Jenis MO)

Jumlah jenis MO

Rata-rata total

koloni

Jumlah jenis MO

Rata-rata total

koloni

Jumlah jenis MO

Rata-rata total

koloni Organik (A,B,C,D,F,G,H,I, K,L,M,N,O,Q,R)

9 3,10x 104 11 2,87x104 3 0,27x104

Input rendah (A,B,C,D,E,F,G, H,I,J,K,N,P,Q,R)

11 8,30x104 7 1,70x104 3 0,33x104

Konvensional (B,C,D,F,H,I,K, L,M,N,P)

8 4,10x104 7 2,13x104 1 0,03x104

konvensional. Mikroorganisme yang diisolasi tersebut diantaranya ada yang dapat

tumbuh pada dua media (king’s B dan triptic soy agar). Jumlah koloni

mikroorganisme yang tumbuh dari ketiga media sangat bervariasi. Pseudomonas

kelompok fluorescens (A) merupakan bakteri yang bermanfaat sebagai agens

biokontrol, ditemukan hanya pada perakaran tanah perlakuan organik dan input

rendah. Hal ini menguntungkan sekali dalam upaya pengendalian hayati. Beberapa

isolat Pseudomonas kelompok fluorescens sudah banyak diketahui potensinya

sebagai agens biokontrol (Lindow et al. 1996)

Jumlah jenis mikroorganisme yang diisolasi dari daun tomat pada ketiga

perlakuan hampir tidak berbeda, pada perlakuan konvensional 12 jenis, perlakuan

organik dan input rendah sama yakni 11 jenis (Tabel 12). Rata-rata koloni

mikroorganisme yang tumbuh dari ketiga media sangat bervariasi.

Tabel 12 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari daun tomat pada tiga media tumbuh

Media tumbuh King’s B Triptic soy agar Martin agar

Perlakuan (Jenis MO)

Jumlah jenis MO

Rata-rata total

koloni

Jumlah jenis MO

Rata-rata total

koloni

Jumlah jenis MO

Rata-rata total

koloni Organik (B,H,I,G,K,N, P,S,T,U,V)

3 17,5x104 3 0,005x104

5 0,185 x104

Input rendah (B,F,H,I,J,M, P,Q,S,T,U)

6 32,5 x104 1 0,005x104

5 0,135 x104

Konvensional (B,H,I,J,K,M, P,Q,S,T,U,V)

6 33,0 x104 1 0,005x104

6 0,310 x104

Produksi

Kubis

Produksi kubis pada perlakuan non organik lebih tinggi dari pada

perlakuan organik, baik secara monokultur maupun tumpangsari (Gambar 21). Hal

ini kemungkinan disebabkan kurangnya ketersediaan pupuk baik kuantitas maupun

kualitas pada perlakuan organik. Pada perlakuan non organik, aplikasi pupuk

sintetik dilakukan secara bertahap sebagai penyedia hara makro tinggi yang siap

020406080

100120140160180

OM OT LM LT KM KT

MK

MH

Gambar 21 Rata-rata produksi tanaman kubis (ha) pada MK dan MH.

Perlakuan

P

rodu

ksi (

ku/h

a)

diserap sepanjang pertumbuhan tanaman. Pada perlakuan organik, kandungan hara

makro pada pupuk kandang rendah (Tabel 13) dan pemupukan dilakukan hanya

sekali. Dibandingkan dengan pupuk sintetik, pupuk kandang merupakan pupuk

dengan reaksi yang lambat, akan tetapi tanah yang diberi pupuk kandang dalam

jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik (Simatupang 1992).

Selama perkembangan tanaman, pupuk kandang mengalami dekomposisi dan

mungkin terjadi pula percucian hara, sehingga pada saat tanaman membutuhkan

hara ditanah kurang tersedia. Mahimairaja et al. (1995) menyatakan bahwa

kehilangan N terbesar pada pupuk kandang adalah melalui denitrifikasi dan

penguapan amonia. Produksi kubis pada perlakuan organik lebih rendah

dibandingkan dengan non organik, juga disebabkan tingginya intensitas penyakit

akar gada dan hama Gryllotalpa sp.

Tabel 13 Kandungan unsur hara pada pupuk kandang dan pupuk sintetik

Unsur hara (%) Jenis pupuk N P2O5 K2O C organik

Ayam & kambing* 0,74 0,75 2,20 7,44 Kuda (kompos)* Urea ** TSP ** KCl ** NPK **

0,49 45 0 0 15

0,36 0 46 0 15

0,20 0 0 50 15

9,33 0 0 0 0

Sumber: * Laboratorium Kimia, Balai Penelitian Tanah Bogor ** Program Nasional PHT (1999)

Produksi kubis pada perlakuan input rendah lebih tinggi dari perlakuan

konvensional baik pada MK maupun MH. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman

pada perlakuan input rendah dengan pupuk setengah dosis dari perlakuan

konvensional serta pengendalian kimia memperhatikan AE mampu membuat

tanaman kubis berproduksi dengan baik.

Produksi kubis pada pertanaman tumpangsari lebih rendah dibandingkan

dengan pertanaman monokultur baik pada MK maupun MH. Hal ini kemungkinan

disebabkan adanya kompetisi penggunaan hara, sinar matahari dan air antara kubis

dan tomat. Menururt Baharjah et al. (1993), selain keuntungan sistem pertanaman

tumpang sari juga mempunyai kelemahan antara lain terjadinya kompetisi

penggunaan hara, air dan cahaya.

Tomat

Produksi tomat pada MK, perlakuan organik (26,3 ku/ha) hampir sama

dengan perlakuan input rendah (27,5 ku/ha) tetapi lebih lebih rendah dibandingkan

dengan produksi tomat perlakuan konvensional (51,4 ku/ha) (Gambar 22).

Produksi tomat pada MH, perlakuan konvensional (76,5 ku/ha) lebih rendah dari

perlakuan input rendah (87,7 ku/ha) tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

produksi perlakuan organik (3 ku/ha). Hal ini disebabkan tanaman tomat pada

perlakuan organik terserang P. infestans dengan intensitas tinggi bahkan patogen

tersebut menyebabkan banyak kematian tanaman tomat pada umur 73 hst.

0

20

40

60

80

100

OT LT KT

Perlakuan

MK

MH

Analisis Usaha Tani

Hasil perhitungan analisis usaha tani yakni perbandingan antara pendapatan

dan biaya (R/C rasio) pada MK menunjukkan bahwa perlakuan OM, OT dan LM

lebih efisien dari ketiga perlakuan lainnya (Tabel 14). Pada MH analisis

menunjukkan bahwa perlakuan LT saja yang menguntungkan karena produksi

kubis dan tomat cukup berimbang dibandingkan dengan kelima perlakuan lainnya.

Perlakuan konvensional pada MK dan MH mengalami kerugian, sedangkan

perlakuan organik pada MK walaupun produksinya rendah tetapi menguntungkan

karena harga jual produk 3 kali lebih tinggi dari produk non organik. Pertanian

organik juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan kesehatan

manusia.

Gambar 22 Rata-rata produksi tanaman tomat (ha) pada MK dan MH

P

rodu

ksi (

ku/h

a)

Tabel 14 Analisis usaha tani tanaman kubis monokultur dan tumpangsari dengan tanaman tomat (ha) pada MK dan MH

Produksi Perlakuan

Biaya produksi

(Rp) Kubis (Rp)

Tomat (Rp)

Nilai (Rp)

Untung/ rugi (Rp)

R/C rasio

Pertanaman MK

OM 14.920.000 31.572.000 - 31.572.000 16.652.000 2,12

OT 18.004.000 10.206.000 9.208.500 19.414.500 1.410.500 1,08

LM 12.755.500 12.912.000 - 12.912.000 156.500 1,01

LT 16.233.500 6.962.400 2.750.000 16.233.500 -6.521.100 0,60

KM 12.205.000 12.205.000 - 12.205.000 -1.030.600 0,92

KT 16.649.000 2.702.400 5.140.000 16.649.000 -8.806.600 0,47

Pertanaman MH

OM 15.168.000 8.040.000 - 8.040.000 -7.128.000 0,53

OT 17.856.000 1.176.000 1.032.500 2.208.500 -5.647.500 0,12

LM 14.128.000 10.524.000 - 10.524.000 -3.604.000 0,74

LT 17.726.000 6.897.000 13.155.000 20.052.000 2.326.000 1,13

KM 14.950.000 10.071.600 - 10.071.600 -4.878.400 0,67

KT 19.394.000 3.377.000 11.470.500 14.847.500 -4.456.500 0,77

Untuk menekan biaya sarana produksi (pupuk kandang dan kompos) pada

pertanian organik, petani dapat membuat atau mengusahakan sendiri sarana

tersebut. Selain itu petani dapat mengupayakan bahan yang dipergunakan untuk

membuat pupuk organik tersebut lebih terjamin kualitasnya. Pupuk organik yang

mempunyai hara standar (Sutanto 2002) dan aman dari patogen berbahaya

merupakan langkah awal dalam pengendalian hama dan penyakit.

Sebagai salah satu bentuk usaha tani, sistem budi daya pertanian kubis input

rendah dan organik baik secara monokultur dan tumpangsari layak untuk

diusahakan dengan mengatur waktu tanam, mempelajari dan mempertimbangkan

kesesuaian iklim.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perkembangan populasi hama Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana

pada sistem budi daya pertanian organik dan input rendah relatif lebih rendah

dibandingkan dengan konvensional.

Perkembangan penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh Xanthomonas

campestris pv. campestris pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah

dan konvensional berkembang dengan pola yang sama. Kejadian penyakit akar

gada yang disebabkan oleh Plasmodiopora brassicae dipengaruhi oleh jumlah

pupuk kandang yang diaplikasikan.

Secara umum tingkat parasitisasi Plutella xylostella oleh D. semiclausum

pada pola pertanaman tumpangsari tanaman kubis-tomat lebih tinggi dibandingkan

dengan monokultur tanaman kubis.

Sistem budi daya pertanian input rendah dan organik pada tanaman kubis,

layak untuk dikembangkan dalam rangka pertanian berkelanjutan dengan

mengatur waktu tanam, mempelajari dan mempertimbangkan kesesuaian iklim.

Saran

Perlu penelitian sistem budi daya tanaman dalam beberapa musim pada lahan

yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra IMG. 1984. Status resistensi Plutella xylostella Linn. dan parasitoid Diadegma eucerophaga Horstm. terhadap beberapa macam insektisida [tesis]. Yokyakarta: Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth edition. London. Academic Press.

Aidawati N, Hidayat SH. Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Plant Pathol. J. 18:231-236.

Baharjah J.S, Suardi D, Las I (1993). Hubungan Iklim dengan Pertumbuhan Kedelai Di dalam: Somaatmadja S. editor. Tumpangsari Kedele. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor 87-102.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Survei Pertanian 2004. Produksi Tanaman Sayuran dan Buah-buahan. Jakarta . BPS.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam. Partosoedjono S, penerjemah; Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.

[CABI] Centre for Agriculture and Biosciences International. 2003. Crop Protection ed. [CD- ROM]. London. CABI.

Dadang. 2004. Beberapa ekstrak tumbuhan sebagai agens pengendali serangga hama pada tanaman kubis-kubisan. Procceding Simposium Nasional; Pertanian Organik: Keterpaduan Teknik Pertanian Tradisional dan Inovatif. Bogor, 30 November 2004. Bogor: The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences (ISAAS), Indonesia Chapter bekerjasama dengan Fakultas Pertanian IPB dan Asia Network of Organic Recycling (ANOR). hlm 34-40.

Dadang, Suastika G, Priyambodo S, Tondok ET. 2004. Survey on Fungicide Use by Potato and Tomato Farmers in Garut, West Java. Report. Cooperation between Dept. Plant Pests and Diseases, IPB with PT Du Pont Agricultural Products Indonesia.

Damardjati DS. 2005. Kebijakan operasional pemerintah dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia. Workshop dan Kongres Nasional II Maporina. Jakarta 21-22 Desember 2005. Jakarta: Masyarakat Pertanian Organik Indonesia.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1994. Pengelolaan Orgnisme Penggangu Tumbuhan Secara Terpadu, Tanaman Kubis. Jakarta. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1999. Buku Saku Musuh Alami. Jakarta. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan.

Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2002. Metode Pengamatan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Sayur. Jakarta. Direktorat Perlindungan Hortikultura.

Flint ML, van den Bosch R. 1981. Introduction to Integrated Pest Management .

New York. Plenum Press. Forman RTT, Godron M. 1986. Landscape Ecology. New York. John Willey and

Sons.

Idris AB, Grafius E. 1995. Wildflowers as nectar sources for Diadegma insulare (Hymenoptera: Ichneumonidae), a parasitoid of diamondback moth (Lepidoptera: Yponomeutidae). Environ Entomol 24:1726-1735.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kartosuwondo U. 1994. Populasi Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) dan parasitoid Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada kubis dan dua jenis Brassicaceae liar. Bul HPT 7:39-49.

Kato K, Onuki M, Fuji S, Hanada K. 1998. The first accurrence of Tomato yellow lef curl virus in tomato (Lycopersicon esculentum Mill) in Japan. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn 64:552-559.

Kim GH, Soe YS, Lee JH, Cho KY. 1990. Devolopment of fenvalerat resistance in the diamondback moth Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae). Korean Journal of Applied Entomology 29: 194-200.

Lindow SE, McGourty G, Elkins E. 1996. Interactions of antibiodies with Pseudomonas fluorescens strain A 506 in control of fire blight and forst injury to pear. Phytopathology 86: 841-848.

Mahimairaja S, Bolan NS, Hedley MJ. 1995. Denitrification losses of N from fresh

and composted manure. Soil Biol Biochem 9:1223-1225.

Mehta P, Wyman SA, Nakhla MK, Maxell DP. 1994. Transmission of tomato yellow leaf curl by Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). J. Econ. Entamol 5:1291-1297.

Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Edisi ketiga. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) and Its Parasites from Cipanas Area (West Java). Seamoa Regional Center for Tropical Biology. Bogor.

Parmadi AH, Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Jakarta. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Hortikultura Lembang dengan Program Nasional PHT Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Program Nasional PHT. 1999. Percobaan Lapang Pengendalian Hama Terpadu Padi. Jakarta. Program Nasional PHT dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Purwanta FX, Rauf A. 2000. Pengaruh samping aplikasi insektisida terhadap predator dan parasitoid pada pertanaman kedelai di Cianjur. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12:35-43.

Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russel DA. 2003. Survey on Pesticide

Use by Cabbage Farmers in West Java, Indonesia. Report of Research collaboration between Dept. of Plant Protection-IPB with LaTrobe University, Australia.

Reijntjes C, Haverkort B, Haverkort B, Waters-Bayer A, 1999. Pertanian Masa Depan – Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Rendah. Sukoco SSY, penerjemah; Fliert E, Hidayat B, editor. Yokyakarta Kanisius. Terjemahan dari: Farming For The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture.

Samways MJ. 1995. Insect Conservation Biology. London. Chapman & Hall.

Sastrosiswojo S. 1992. Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran berdasarkan konsepsi pengendalian hama terpadu. Makalah Rapat Komisi Perlindungan Tanaman. Cipanas. 19-21 Maret 1992. hlm 12.

Sastrosiswojo S, Setiawati W 1993. Hama–Hama Kubis dan Cara Pengendaliannya. Jakarta. Balai Penelitian Hortikultura Lembang dengan Program Nasional PHT dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Sastrosiswojo S, Suhardi. 1988. Peranan pestisida dalam pengendalian hama tanaman sayuran. Kumpulan Makalah Simposium Penggunaan Pestisida Secara Bijaksana. Jakarta. 15 November 1998. Jakarta. Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia. hlm 21.

Sastrosiswojo S, Uhan ST, Sutarya R. 2000. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Bandung. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Saxena JC, Rai S, Srivastava KM, Sinha SR. 1989. Resistance in the field population of the diamondback moth to some commonly used synthetic. Indian J. Entomol 51: 265-268.

Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Hortikultura di Indonesia. Edisi keempat. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Semangun H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi kedua. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Simatupang S. 1992. Pengaruh beberapa pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi wortel (Daucus carota L.). J Hort 1:16-18.

Sudiono. 2001. Deteksi dan identifikasi virus gemini pada tanaman tomat [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suryaningsih E. 1981. Penyakit akar pekung (Plasmodiophora brassicae): penyebaran dan pemberantasannya. Kongres Nasional. VI PFI; Bukittinggi, Mei 1981. Bukittinggi PFI. Hlm 21-23.

Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan Pengembangan). Yokyakarta. Kanisius.

Tooker JF, Hanks LM. 2000. Flowering of percent parasitism in studies of insect parasitoids. Environ Entomol 12: 1611-1622.

Tutu S. 2002. Permasalahan pengutamaan penggunaan pestisida dalam usaha tani kubis di Kecamatan Cisarua dan Mega Mendung Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Untung K 1992. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Sayur-sayuran sebagai Pelaksanaan Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional dan Forum Komunikasi VI HM-HPT UNPAD; Bandung, 1 September 1992. Tidak Dipublikasikan. Hlm12.

Von Uexkull H R. 1984. Food production in Asia In: Proc. IMC Word Food

Prod. Conf. on the Word Dilemma. Honolulu, Hawaii.

Wibisono A. 2004. Mikroba pengompos. Htttp://lingkar.yayasan324.or.id/artikel/ archives/00000010.htm. [23 April 2004].

LAMPIRAN

Lampiran 1 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MK

Populasi (larva/tanaman) Umur kubis (hst) OM OT LM LT KM KT 14 0,9 1,8 0,2 0,1 1,2 1,7 21 0,2 0,3 0,1 0,1 0,6 0,1 28 0,2 0,4 0,1 0 0,2 0,2 35 0,3 0,5 0,1 0 0,2 0,3 42 0,2 0,4 0,2 0 0,3 0,7 49 0,3 0,5 0,5 0,1 0,2 0,4 56 0,3 0,2 0,2 0,2 0,3 0,3 63 0,2 0,2 0,2 0,2 0,3 0,2 70 0,4 0,1 0,4 0,3 0,4 0,2

Lampiran 2 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MH

Populasi (larva/tanaman) Umur kubis (hst) OM OT LM LT KM KT 13 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 19 0,3 0,2 0,2 0,1 0,1 0 26 0,1 0 0,3 0,1 0,1 0,2 33 0 0,1 0,3 0,1 0,2 0,1 40 1,2 0,5 0,3 0,4 0,2 0,8 47 0,3 0,2 0,2 0,1 0,5 0,4 61 0,1 0 0,3 0,1 0,4 0,2 68 0,3 0,2 0,4 0,2 0,5 0,4 74 0,2 0,7 0,5 0,5 0,7 0

Lampiran 3 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MK

Populasi (larva/tanaman) Umur kubis (hst) OM OT LM LT KM KT 35 0,1 0 1,8 0 0 0 42 0,1 0,1 0,1 0 0 0,1 49 0 0 0,8 1,3 2,3 0 56 0,1 0 0,1 0,2 0 0,6 63 0,1 0 0,2 0,2 0 0,6 70 0,1 0,1 0,1 0,1 0,6 3,7

Lampiran 4 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MH

Populasi (larva/tanaman) Umur kubis (hst) OM OT LM LT KM KT 26 0 0 0,1 0 0 0 33 0 0 0 0 0 0 40 0,1 0,2 0,9 0,2 0,1 0 47 1,2 0,2 0,1 0 0,8 0,2 61 0,1 0 3,7 0,6 3,8 1,2 68 3,1 3,0 6,4 0,9 1,3 1,2 74 0,4 0,2 3,0 3,2 0,9 1,4

Lampiran 5 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis pada MK

Intensitas serangan (%) Umur kubis (hst) OM OT LM LT KM KT 14 0 0 0,5 0 0,5 0 21 19,0 19,0 10,0 13,0 17,0 23,5 28 21,5 20,0 18,5 13,0 20,0 20,5 35 27,5 22,5 15,5 13,5 20,5 22,0 42 30,0 31,5 22,0 18,5 22,0 22,5 49 35,5 40,0 25,5 21,5 26,5 24,5 56 46,0 35,0 23,5 23,0 29,5 28,5 63 35,5 30,0 24,0 19,5 20,5 22,5 70 32,5 29,0 26,0 20,5 25,0 22,5

Lampiran 6 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis

pada MH

Intensitas serangan (%) Umur kubis (hst) OM OT LM LT KM KT 13 0 3,0 3,0 2,5 2,0 0,5 19 2,0 3,6 3,5 0,5 1,0 0,5 26 4,1 5,3 3,2 2,1 1,5 3,6 33 10,4 7,8 4,0 2,0 4,1 6,1 40 15,4 8,9 9,0 9,5 5,1 7,1 47 11,7 5,0 5,5 6,0 5,1 6,3 61 5,1 3,0 12,0 4,5 5,8 2,7 68 17,1 7,1 19,6 7,7 10,9 10,1 74 8,0 3,3 12,0 6,3 16,9 4,8

Lampiran 7 Rata-rata populasi B. tabaci pada pertanaman tomat

Populasi pada MK (individu/tanaman)

Populasi pada MH (individu/tanaman)

Umur tomat (hst) OT LT KT

Umur Tomat

(hst) OT LT KT 21 0 0,2 0 23 4,1 5,4 0,9 28 0,4 2,1 2,7 30 0,5 0,6 0,6 35 0,9 2,4 2,9 38 2 1,6 2,8 42 1,2 4,6 4,8 44 1,8 1,1 2,1 49 3,4 7,7 5,1 51 2,3 1,8 2,4 56 4,2 7,9 8,7 58 1,1 5,1 5,8 63 6,7 9,3 8,9 65 3,2 4,9 7,2 70 6,7 11,5 11,1 70 5 21,9 17,3

Lampiran 8 Rata-rata kejadian penyakit geminivirus pada pertanaman tomat

Kejadian penyakit pada MK (%)

Kejadian penyakit pada MH (%)

Umur tomat (hst) OT LT KT

Umur tomat (hst) OT LT KT

21 10,6 15,7 14,7 23 20,3 17,1 23,7 28 22 24,9 27 30 30,5 22,5 37,5 35 41,3 47,3 56,3 38 37 38,6 42,3 42 80,7 80,1 76,3 44 39,2 49,4 46,2 49 95,3 95,5 96 51 42,2 53 47 56 100 100 100 58 51,1 57,2 48,8 63 0 0 0 65 57,2 62,5 50,1 70 0 0 0 70 58 62,5 53,2

Lampiran 9 Rata-rata intensitas serangan A. Solani pada pertanaman tomat pada MH

Intensitas serangan (%)

Umur tomat (hst) OT LT KT 23 4,6 9,6 5,9 30 4,6 11,3 8,8 38 12,9 15,4 18,8 44 26,7 27,2 31,3 51 27,9 27,2 34,2 58 17,2 24,9 23,3 65 19,9 36,0 40,6 70 6,7 38,4 45,7 77 0 17,6 24,5

Lampiran 10 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada pertanaman tomat

Intensitas serangan pada MK (%)

Intensitas serangan pada MH (%)

Umur tomat (hst) OT LT KT

Umur tomat (hst) OT LT KT

14 12,1 20,4 24,6 23 0 0 0 21 21,3 22,1 33,3 30 0 0 0 28 22,9 36,4 40,8 38 0 0 0 35 36,3 39,2 38,3 44 0 0 0 42 48,3 41,7 42,5 51 6,7 0,4 0,4 49 52,9 48,8 50,8 58 9,4 1,3 0,4 56 65,5 64,8 66,4 65 39 7,5 1,7 63 80,4 73,1 75,2 70 60,2 9 5,4 70 82,1 76,5 76,7 77 97,9 72,3 80,1

Lampiran 11 Rata-rata tinggi tanaman tomat

Tinggi pada MK (cm) Tinggi pada MH (cm) Umur tomat (hst)

OT

LT

KT

Umur tomat (hst)

OT

LT

KT

14 34,4 33,6 30,8 23 14,5 10,5 13,6 21 45,7 41,3 41,9 30 22,8 14,1 20,4 28 61,1 56,2 58,6 38 38,3 26,8 37,6 35 81,4 74,8 77,7 44 51 37,5 50,1 42 100,8 90,6 89,1 51 67,9 54,4 71,8 49 114,4 101,8 103 58 80,3 75,5 89,5 56 126 114,3 124,2 65 92,7 93,3 104,6 63 132,7 126,6 136,6 70 98,2 102,9 109,4

Lampiran 12 Penggolongan arthropoda tanah hasil pitfall trap berdasarkan peranannya

Peran Ordo Famili Hama Orthoptera:

Coleoptera: Hemiptera:

Gryllotalpidae, Gryllidae, Acrididae Elateridae, Anobiidae, Scarabaeidae, Scolytidae Aphididae

Musuh alami Orthoptera: Coleoptera: Hemiptera: Diptera: Hymenoptera: Arachnida:

Gryllacrididae, Cicindellidae, Carabidae, Coccinellidae, Staphylinidae, Reduviidae Ceratopogonidae, Dolichopodidae Formicidae, Scelionidae, Mymaridae, Ichneumonidae Lycosidae, Salticidae, Tetragnathidae, Araneidae

Pengurai Collembola: Sminthuridae, Isotomidae, Hypogastruridae, Neanuridae, Entomobryidae.

Serangga lain

Orthoptera: Coleoptera: Hemiptera: Diptera: Hymenoptera:

Tetrigidae, Anthicidae, Languriidae Dermestidae, Curculionidae Delphacidae, Miridae, Cicadellidae, Encocephalidae, Pentatomidae Sciaridae, Micropezidae Pompilidae

( ) Tidak teridentifikasi dan jumlahnya < 0,1% (MK) = Coleoptera, Hemiptera, Diptera, Hymenoptera, Acarina, Lepidoptera, Chilopoda (MH) = Coleoptera, Hemiptera, Diptera, Hymenoptera, Acarina, Lepidoptera, Isopoda, Chilopoda

.