penentuan isi kurikulum-1
TRANSCRIPT
MAKALAH
PENENTUAN ISI KURIKULUM PTK
Oleh :
HARRIASENTA / 55456
MUHAMMAD AHYA ANSYARI YUSLI / 18658
REFDINAL MARCOS / 55455
PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRONIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
PENENTUAN ISI KURIKULUM
PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
A.PENDAHULUAN
Transisi antara proses perencanaan kurikulum ditingkat mikro yang lebih sempit
cakupannya dan dimensi permasalahannya tidak semata-mata berarti perpindahan lembaga
pengambil keputusan dan pergeseran dari masalah nasional kemasalah lokal di masing-
masing sekolah. Untuk dapat menjabarkan misi dan tujuan umum yang sudah ditetapkan
sebagai hasil analisis makro ke dalam wujud operasional kurikulum sekolah, haruslah
dipahami terlebih dahulu konsep dan strategi penentuan isi kurikulum sekolah. Konsep dan
strategi ini sudah semestinya merupakan penjabaran dari orientasi atau penekanan utama dari
kurikulum pendidikan teknologi kejuruan, yaitu relevansi baik terhadap konteks pendidikan
maupun konteks lapangan kerja.
Relevansi kurikulum tehadap konteks pendidikan berkaitan dengan persoalan-
persoalan yang menyangkut dukungan masyarakat kependidikan, ketersediaan tenaga guru
dan jajaran kependidikan yang lain untuk mendukung implementasi kurikulum, kualitas
masukan calon siswa dan aspirasi pendidikannya, dan juga hal-hal yang menyangkut
administrasi akademik pelaksanaan kurikulum tersebut.
Relevansi kurikulum terhadap konteks lapangan kerja menyangkut persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan daya dukung masyarakat dunia kerja baik dalam hal
ketersediaan bantuan fisik maupun nonfisik, kemungkinan pengumpulan sumber informasi
untuk masukan perencanaan dan penyempurnaan kurikulum, serta kesediaan masyarakat
dunia usaha dan industri untuk membantu sebagai anggota dewan penasehat kurikulum
(advisory committee).
Kedua aspek diatas tidak jarang menimbulkan adanya tekanan-tekanan yang
mempengaruhi proses penentuan isi kurikulum dan penjabarannya kedalam pelaksanaan
operasional.belum lagi depertimbangkan masalah kebutuhan individu anak didik yang untuk
berbagai jenjang pendidikan akan sangat berbeda. Terlepas dari faktor-faktor tersebut diatas,
strategi penentuan isi kurikulum sangat menentukan sejauh mana kurikulum yang akan
dihasilkan nantinya mampu menjawab permasalahan yang melingkupi mekanisme
pengembangan sumber daya manusia sekaligus mekanisme penyediaan tenaga kerja dengan
memadai.
Dalam uraian berikut akan dibahas beberapa strategi yang banyak dimanfaatkan oleh
para perencana kurikulum untuk mengidentifikasi isi kurikulum.akan dibahas berturut-turut :
1) Pendekatan filosofis
2) Pendekatan instropektif
3) Pendekatan DACUM
4) Pendekatan fungsional
5) Analisis tugas (task anaysis)
Tidak ada satupun pendekatan yang mampu secara sempurna memenuhi kebutuhan
dan tujuan perencanaan kurikulum pendidikan teknologi kejuruan. Dengan membahas
berbagai strategi tersebut diharapkan akan dipergunakan suatu pendekatan khusus yang lebih
merupakan sintesis dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing pendekatan.
Dengan kata lain, apa yang diuraikan dibawah bukanlah semacam pedoman selangkah demi
selangkah, namun merupakan suatu komparasi strategi yang satu dengan yang lain dengan
harapan dapat diketahui kelemahan dan kelemahan masing-masing. Ini akan berguna untuk
bahan pertimbangan dalam proses perencanaan yang sebenarnya dilakukan di masing-masing
lembaga pendidikan teknologi dan kejuruan.
B.ISI (PEMBAHASAN)
1. PENDEKATAN FILOSOFIS
Dalam sejarah penentuan isi kurikulum,pemikiran para ahli filsafah pernah menjadi
faktor dominan dalam penentuan isi kurikulum pendidikan .bahkan di masyarakat yang
belum menemukan strategi yang lebih sistematis dan obyektif, pendapat yang bukan ahli
filsafatpun dapat mendominasi penentuan isi kurikulum.ini jelas nampak pada kurikulum
yang dijabarkan dari filsafat seseorang, mislanya seorang pejabat atau orang terkemuka
dalam masyarakat, yang mempunyai keyakinan akan “apa yang baik” dan “apa yang buruk”
apa yang patut dilestarikan dan apa yang harus ditinggalkan,apa yang “penting” untuk masa
depan dan apa yang “kurang penting”, yang kesemuanya lalu dijabarkan menjadi isi
kurikulum yang mengisi program pendidikan di sekolah. Tidak jarang filsafat perorangan
yang terpandang di mata msyarakat akan menjadi satu-satunya sumber inspirasi untuk
menentukan misi sistem pendidikan dan perencanaan isi kurikulumnya.
Secara praktis dapat dikatakan bahwa filosofi adalah seperangkat keyakinan yang
dimiliki oleh seseorang atau kelompok yang kemudian mendasari segenap sikap dan
perbuatannya. Ini membawa implikasi bahwa antara seseorang dengan orang lain banyak
terdapat kemungkinan perbedaan filosofi, karena tumbuhnya filosofi itu merupakan proses
kompleks yang dipengaruhi banyak faktor.
Dengan demikian perencanaan isi kurikulum dengan berdasarkan filosofi ini salah
satu kelemahannya adalah sulitnya menemukan konsensus atau kesepakatan antara para ahli
atau para perencana kurikulum tentang pemikiran-pemikiran mereka yang berkenaan dengan
“apa yang seharusnya diajarkan disekolah kejuruan?”
Dalam literatur banyak sekali dijumpai pernyataan-pernyataan filosofi yang
berkenaan dengan pendidikan teknologi dan kejuruan dan dari pernyataan-pernyataan
tersebut kemudian dapat dijadikan petunjuk menentukan isi kurikulum sekolah. Sebagai
contoh sederhana,apabila diyakini bahwa pendidikan kejuruan harus menekankan
penyesuaian anak didik dengan jenis pekerjaan yang ada dilapangan kerja, maka isi
kurikulumnya bisa diramalkan akan sangat didominasi oleh penumbuhan kemampuan-
kemampuan transisional seperti bagaimana beradaptasi dengan lingkungan, bagaimana
mengatasi problem mobilitas pekerjaan, dan kemampuan berhubungan dengan sesama orang
(human relations skill).
Di lain pihak , apabila pendidikan kejuruan diyakini sebagai pendidikan yang
menyiapkan anak didik untuk dapat memasuki beberapa lapangan kerja sejenis (occupational
clusters), maka dapat diharapkan isi kurikulumnya akan banyak mencakup aspek-aspek
kemampuan dasar teknik yang relatif umum dan dapat digeneralisasikan kebeberapa lapangan
pekerjaan yang sejenis. Kemampuan seperti itu dapat diperoleh lewat mata pelajaran seperti
Matematika,Sains,komunikasi dan dasar-dasar keteknikan, yang hampir pasti diperlukan di
semua jenis pekerjaan. Di lain pihak proporsi kemampuan khusus atau spesialisasi tidak akan
begitu menonol, kerena penonjolan bidang spesialisasi akan dianggap bertentangan dengan
pemikiran filosofi yang dianut.
Contoh lain yang senada adalah adanya keyakinan filosofis bahwa pendidikan
kejuruan pada dasarnya adalah bukan pendidikan terminal tetapi salah satu mata rantai saja
dari serangkaian upaya pendidikan yang bersifat Developmental. Ini akan membawa
konsekuensi langsung dalam menentukan mata pelajaran yang menjadi isi kurikulumnya.
Akan kontradiktif misalnya jika filosofi ini kemudian dijabarkan menjadi kurikulum yang
isinya tidak memungkinkan sama sekali bagi lulusan sekolah kejuruan untuk melanjutkan
belajar ke tingkat yang lebih tinggi.
Sifat Developmental yang terkandung dalam rumusan filosofis diatas menghendaki
adanya komponen kurikulum yang membekali anak didik bukan saja untuk melanjutkan
ketingkat lebih tinggi,tetapi bahkan lebih luas lagi kemampuan yang menjamin terus
tumbuhnya aspirasi, kemauan untuk terus belajar dan kemampuan untuk dapat terus belajar
baik melalui jalur pendidikan formal maupun memanfaatkan jalur pendidikan yang lain diluar
sekolah formal, seperti misalnya konsep belajar sambil bekerja.
Dengan adanya beberapa contoh di atas nampak suatu gambaran bahwa penentuan isi
kurikulum berlandaskan pemikiran filosofis ini selain mengandung konotasi subyektif atau
kurang obyektif,juga sering mengalami kesulitan teknis dalam mengidentifikasikan perangkat
pemikiran filosofis yang komprehensif dan merupakan konsensus paling tidak diantara
mereka yang terlibat dalam pendidikan teknologi dan kejuruan itu sendiri.
Sifat konfrehensif dituntut jika diinginkan kurikulum yang merupaka suatu kebulatan
integral, tidak terpotong-potong sehingga membuka kemungkinan kontradiksi antara maksud
dan tujuan mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya. Kesepuluh butir landasan
konseptual yang dikemukakan di bab sebelumnya dapat dipandang sebagai pemikiran-
pemikiran dasar atau keyakinan-keyakinan yang tumbuh dari analisi konteks dunia
pendidikan dan dunia kerja yang kemudian berkembang menjadi filosofi. Dari sini
diharapkan dapat dijabarkan isi kurikulum yang nantinya dapat dikembalikan kepada sumber
analisis yang menghasilkan pemikiran – pemikiran dasar tersebut.
Sifat konsensus diperlukan dan tidak kalah pentingnya karena suatu usaha besar untuk
meningkatkan efektifitas dan mengembangkan pola peran serta pendidikan kejuruan di era
pembangunan ini hanya mungkin dapat terlaksana jika ada keyakinan yang diyakini oleh
orang-orang yang terliabat di dalam sistem (sharet beliefs). Ini akan dapat memberikan
landasan yang kokoh untuk implementasi, keseragaman kerangka berpikir yang menunjang
arah dan orientasi pengembangan,serta kesamaan pandangan dalam menentukan apakah
tujuan yang dicanangkan bersama sudah dapat dicapai.
2. PENDEKATAN INTROSPEKTIF
Agak berbeda dengan pendekatan filosofis yang diuraikan di atas, pendekatan
introspektif masih juga mendasarkan penentuan isi kurikulum pada pemikiran perorangan
atau kelompok, tetapi difokuskan pada pemikiran dan perasaan dari mereka yang terlibat
langsung dalam penyelenggaraan pendidikan teknologi kejuruan, seperti misalnya para guru
dan administrator yang sehari-harinya bekerja di lingkungan sekolah kejuruan .mereka ini
secara individual maupun secara berkelompok merenungkan kembali apa yang sebaiknya
mereka anggap baik untuk dimasukkan sebagai isi kurikulum sekolah, dengan
mempertimbangkan pengalaman dan informasi yang langsung dapat mereka kumpulkan dan
diolah sesuai dengan konteks dimana mereka bekerja.
Biasanya pemikiran ini dimulai dengan mempelajari apa yang selama ini sudah
berjalan, mungkin dengan dibumbui data komparatif dengan program yang serupa ditempat
lain dalam suatu negara maupun dibandingkan dengan negara lain, meskipun hanya lewat
literatur. Dengan sendirinya katalog sekolah, buku laporan tahunan atau sumber informasi
lain melalui jurnal atau makalah termasuk dalam kajian komparatif ini untuk memperluas
wawasan sebelum para guru dan administrator tersebut sampai pada langkah pengambilan
keputusan tentang isi kurikulum mereka.
Kecenderungan untuk bekerja dalam kelompok dan kemudian secara bersama
memikirkan masalah ini timbul dari kenyataan praktis bahwa beberapa orang guru lebih
berpengalaman dan mempunyai latar belakang pekerjaan yang lebih banyak dari pada
sebagian yang lain, sehingga keragaman masukan ini akan memperkaya bahan pertimbangan
bersama. lagi pula dengan adanya diskusi kelompok yang melibatkan beberapa orang akan
dapat terhindar adanya pandangan subyektif atau bias.
Meskipun cara pendekatan ini sudah lebih baik dari pendekatan filosofis dalam arti
lebih dekat dengan situasi persekolahan yang akan digarap, namun karena yang terlibat dalam
proses tersebut terbatas dari kalangan dalam, biasanya tidak dapat dijamin bahwa isi
kurikulum yang dihasilkan akan dapat valid dalam arti memenuhi apa yang dibutuhkan oleh
calon pemakai. Ini akan terasa apabila para guru dan administrator tersebut kebetulan kurang
mengikuti apa yang terjadi di luar dinding sekolah., sehingga tidak atau kurang dapat
menyesuaikan dengan perkembangan dunia luar. Apa yang mereka anggap sudah baik selama
ini, karena tidak pernah dikaji relevansinya secara langsung dengan kebutuhan dunia luar,
Dengan sendirinya tidak menjamin hasil yang diharapkan.
Hal ini kembali mengingatkan pentingnya guru dan administrator pendidikan
teknologi dan kejuruan mengembangkan sikap atau kebiasaan belajar langsung dengan
mengunjungi lokasi-lokasi industri secara periodik, sebagai bagian dari pemeliharaan atau
pemantapan tingkat profesionalisasi mereka sebagai guru. Hanya dengan demikian
pemikiran, sikap dan pengetahuan mereka tentang dunia kerja dapat kemudian ditransfer
menjadi prilaku mengajar dan kompetensi lain yang menunjang,termasuk partisipasi aktif
mereka dalam memikirkan masalah kurikulum.
Untuk menghindari kelemahan ini dapat ditempuh jalan melibatkan personalia dari
industri atau dunia usaha dalam dewan penasehat kurikulum (curriculum advisory committe).
Ini secara praktis akan mendekatkan hubungan antara sekolah dan dunia kerja melalui kontak
perorangan berupa hubungan dekat antar pribadi, dan sekaligus memberi lebih banyak
peluang untuk mendiskusikan masalah isi kurikulum dengan para pemakai tenaga kelulusan
pendidikan teknologi dan kejuruan . kemacetan yang sering timbul pada advisory committee
ini lebih banyak disebabkan karena hubungan pribadi yang kurang harmonis antar para
anggotanya, yang seharusnya dapat dihindari demi kepentingan yang lebih besar.
3. PENDEKATAN DACUM
Variasi lain dari pendekatan instropektif adalah apa yang dikembangkan oleh para
ahli kurikulum di Canada dalam penentuan isi kurikulum ,yaitu yang disebut DACUM
(Developing A Curriculum). Proyek pengembangannya berawal dari usaha bersama antara
Departemen Tenaga Kerja dan Imigrasi dengan General Learning Corporation di Canada,
tetapi kemudian diseminasinya dilaksanakan di banyak lembaga kejuruan.
Menggunakan gagasan yang persis sama dengan pendekatan introspektif di atas, para
ahli yang diminta untuk memikirkan isi kurikulum ini didatangkan khusus dari para
pengusaha atau pekerja dari industri dan dunia usaha dengan tanpa melibatkan personil
sekolah sama sekali. Ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam proses penentuan isi
kurikulum pendidikan teknologi dan kejuruan yang diharapkan mempunyai relevansi yang
tinggi dengan kebutuhan lapangan kerja, biasanya guru dan instruktur yang sehari-hari
terlibat dalam mengajar saja kurang dapat memberi konstribusi yang positif.
Keunikan lain dari proses identifikasi isi kurikulum dengan pendekatan DACUM ini
ialah urutan dan intensitas partisipasi peserta yang harus ditargetkan sedemikian rupa
sehingga yang dihasilkan selama proses tersebut bukan terbatas hanya pada inventarisasi skill
atau pengetahuan spesifik yang akan menjadi kerangka isi kurikulum, tetapi juga sampai pada
tingkat kemahiran atau kompetensi sesuai dengan apa yang diperlukan dalam situasi kerja
yang nyata. Ini adalah kelebihan dari cara pendekatan yang seluruhnya melibatkan pihak
pengusaha dari industri dan dunia kerja. Urutan prosesnya secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Orientasi bagi anggota komisi atau peserta tentang program yang akan direncanakan
kurikulumnya dan apa yang diharapkan dari mereka.
2. Mengkaji / mereview deskripsi pekerjaan dan tugas atau tanggung jawab pekerjaan
tersebut dalam situasi tempat kerja yang riel.
3. Mengidentifikasi kategorisasi kompetensi umum dalam bidang kerja yang dimaksud,
yang biasanya merupakan ranah kompetensi yang nanti akan dapat dijabarkan lebih
lanjut ke dalam kompetensi-kompetensi yang lebih spesifik.
4. Mengidentifikasi seperangkat kompetensi khusus dalam tiap kategori kompetensi
umum, baik itu berujud skill, pengetahuan atau keterampilan tertentu.
5. Mengorganisir kompetensi-kompetensi tersebut dalam urutan atau struktur yang
memungkinkannya untuk dijabarkan menjadi urutan belajar yang sesuai dengan
prinsip dan psikologi belajar.
6. Menentukan tingkat kecakapan atau “level of competence” untuk masing-masing
kompetensi sebagai sebagai acuan proses penilaian hasil belajar anak didik.
Keenam langkah atau urutan proses tersebut selalu dilakukan dengan memaparkannya
secara keseluruhan sehingga dapat dilihat oleh semua peserta dalam suatu ruangan yang
diatur khusus. Dengan demikian dapat dimungkinkan pertukaran gagasan dan pendapat
sebanyak mungkin untuk menghindari juga terjadinya saling tumpang tindih antara satu
kompetensi dengan yang lain.
Keuntungan dari proses perencanaan isi kurikulum pendidikan teknologi kejuruan
menggunakan pendekatan DACUM ini adalah :
1) Biaya pengembangan yang relatif murah, apalagi kalau dari pihak industri dan dunia
usaha yang tersedia “meminjamkan” ahlinya dengan Cuma-Cuma sebagai akibat
baiknya hubungan yang sudah terjalin sebelumnya.
2) Waktu yang relatif singkat dengan hasil yang langsung bisa dipakai, karena biasanya
sikap kerja efisien dan konsentrasi yang tinggi yang dimiliki oleh orang-orang dari
industri dan dunia usaha tersebut terbawa pada waktu mereka bekerja sebagai
anggota komisi DACUM.
3) Peluang untuk menghasilkan kurikulum yang tinggi relevansinya dengan kebutuhan
dunia kerja karena minimalnya intervensi dari kalangan akademik.
Namum yang menjadi tantangan berikutnya adalah kemampuan para guru dan
administrator untuk menerapkan apa yang sudah diidentifikasikan tersebut dan
menjabarkannya menjadi kegiatan instruksional yang dapat dilaksanakan dalam konteks
kependidikan yang mempunyai iklum dan peraturan-peraturan tersendiri. Ini memerlukan
tidak saja keberanian mental tetapi juga kejelian untuk memanfaatkan segenap peluang yang
ada agar hasil sumbangan para ahli diluar kalangan tersebut benar-benar dapat
dimanfaatkan,karena pihak yang membantu tentu tidak akan bersedia membantu lagi jika
hasil jerih payah mereka sekedar menjadi dokumen tertulis yang tidak dapat
diimplementasikan.
Dalam halaman berikutnya diutarakan suatu contoh hasil perangkat kompetensi yang
dihasilkan dari proses DACUM, meskipun karena keterbatasan ruang tidak dapat
dicantumkan semua. Setiap kompetensi yang merupakan blok-blok dalam profile DACUM
tersebut adlah kompetensi yang harus dikuasai anak didik lengkap dengan keterangan tentang
level atau tingkat penguasaan dan yang nantinya harus dijabarkan oleh para guru dan
instruktur menjadi kegiatan atau pengalaman belajar yang secara efektif dapat membantu
anak didik menguasai kompetensi yang dimaksud.
GAMBAR
FORMAT PROFIL DACUM
4. PENDEKATAN FUNGSIONAL
Kedua pendekatan yang dijelaskan diatas boleh dikatakan cenderung ke penentuan isi
kurikulum secara subyektif,dimana subyektivitas para penyusun kurikulum itu dapat
dikatakan lebih menonjol dari pada faktor-faktor lainnya. Dalam pendekatan fungsional yang
akan diuraikan ini maka yang akan terjadi adalah sebaliknya, yaitu penentuan isi kurikulum
dilakukan dengan cara yang lebih obyektif.pendekatan ini didasari oleh asumsi bahwa anak
didik yang belajar melalui pendidikan teknologi dan kejuruan harus mempelajari fungsi-
fungsi apa yang harus ada untuk menjamin kelangsungan kerja suatu industri atau dunia
usaha tertentu, dan kemudian dijabarkan menjadi penampilan-penampilan (performance)
yang terkait dengan fungsi atau tugas tertentu untuk dijadikan masukan bagi perencanan
kurikulum.
Sebagai contoh identifikasi fungsi yang berkaitan dengan bidang kerja pertanian atau
peternakan mungkin akan menghasilkan inventarisasi fungsi-fungsi seperti :
Menjual hasil produksi langsung di pasaran bebas
Mengenal tanda-tanda dini gangguan kesehatan binatang ternak
Merencanakan sistem pemberian makanan binatang ternak yang efisien
Memenuhi syarat kesehatan serta kebersihan lingkungan
Mengelola kebun pembibitan sayur mayur tropis
Hal-hal seperti tersebut diatas adalah fungsi-fungsi pekerjaan diindustri pertanian atau
peternakan yang memiliki jangkauan luas, tidak terbatas pada skill-skill yang spesifik. Dari
langkah identifikasi ini kemudian dapat dirinci lagi menjadi daftar kegiatan-kegiatan dalam
setiap fungsi, untuk kemudian dikaitkan dengan kompetensi atau keterampilan yang harus
dimiliki oleh orang yang akan mengerjakan kegiatan-kegiatan tersebut.kompetensi ini
dirumuskan baik dalam bentuk pengetahuan, pemahaman dan kemampuan dengan tingkat
yang bervariasi.
Selanjutnya kompetensi-kompetensi atau kemampuan pemahaman atau yang lain ini
dekelompokkan menurut klasifikasi tertentu yang nanti akan membantu para guru dan
instruktur dalam menyusun pengalaman belajar atau kombinasi kegiatan belajar yang akan
membantu anak didik memperoleh kompetensi-kompetensi tersebut. Inilah yang kemudia
harus dikembalikan ke komisi yang terdiri dari wakil-wakil pihak industri,pihak sekolah dan
pihak-pihak lain yang terkait untuk peninjauan menyeluruh verivikasi lanjut tentang
ketepatan dan kelayakannya.
Meskipun pendekatan ini secara sekilas nampaknya menenpatkan sekolah atau dunia
pendidikan pada ujung ketergantungan pada dunia usaha industri dan penentuan isi
kurikulum sangat diorientasikan ke lapangan yang ada, namun sebenarnya dengan hanya
mengidentifikasi fungsi-fungsi umum tidaklah tepat jika dikatakan sekolah hanyalah menjadi
kepanjangan tangan industri. Disini ada kemungkinan bahwa kompetensi umum untuk
beberapa cabang pekerjaan yang termasuk dalam kelompok sejenis justru akan menjamin
keluasan pilihan bagi anak didik yang telah menyelesaikan program pendidikannya. Salah
satu kelemahan pokok adalah lamanya waktu pelaksanaan dan konsekuensi biaya yang tinggi
yang diakibatkan oleh proses yang panjang itu.
5. PENDEKATAN ANALISIS TUGAS (TASK ANALYSIS)
Diantara sekian banyak cara atau pendekatan yang digunakan untuk menentukan isi
kurikulum,mungkin pendekatan analisis tugas (task analysis) adalah yang paling banyak
diterapkan untuk pendidikan teknologi dan kejuruan di negara yang sudah maju. Dengan
pedoman dari hasil penelitian dan buku panduan yang dikembangkan selama beberapa
tahunterakhir,sudah dapat dilakukan kajian secara sistematis tentang aspek-aspek perilaku
dari persyaratan kerja tertentu yang dijabarkan langsung dari deskripsi pekerjaan dan
deskripsi tugas. Konsorsium pendidikan kejuruan di Amerika Serikat misalnya, yang
beranggotakan beberapa negara bagian sudah banyak mengembangkan kurikulum program
studi kejuruan yang didasarkan dari analisis tugas ini.
Sebelum melangkah lebih jauh ke proses penentuan isi kurikulum dengan pendekatan
analisis tugas,terlebih dahulu perlu dipertegas perbedaan istilah yang sering dipakai dibanyak
literatur yang kemungkinan besar menimbulkan kerancuan penafsiran dikalangan
masyarakat. Kerancuan ini sering timbul dari penterjemahan yang kurang tepat,tetapi juga
tidak jarang timbul karena pemakaian istilah yang memang sulit dipisahkan satu sama lain,
terutama dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Untuk keperluan analisis tugas ini akan di bedakan antara istilah pekerjaan (job),
kewajiban, (duties),tugas (task), kegiatan (activity),pengoperasian (operations) dan langkah-
langkah (step), dari yang paling umum atau yang paling utuh ke bagian yang terkecil, istilah
di atas dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini:
Gambar
Hirarki Analisis Pekerjaan Untuk Analisis Tugas
Dalam praktek yang sesungguhnya kerancuan timbul karena ada pekerjaan yang
sangat kompleks yang terdiri dari hirarki lengkap seperti yang tertera pada gambar diatas,
tetapi ada pula pekerjaan yang mungkin hanya terdiri dari beberapa langkah kerja yang
tergabung dalam satu kegiatan. Karena semuanya diterjemahkan menjadi pekerjaan, maka
tidak heran jika kerancuan penafsiran sering terjadi.
Untuk menghindari hal itu hendaklah diingat bahwa perangkap istilah yang
membingungkan itu bukanlah prinsip yang utama dalam melakukan analisis tugas, namun
yang terpenting adalah menggunakan diagram dalam gambar diatas untuk menganalisis suatu
pekerjaan, kalau suatu tugas tertentu dapat mewakili dengan representatif suatu kewajiban
(duty) tertentu, maka hendaknya dapat dimengerti kalau dalam kasusu tersebut kewajiban dan
tugas menjadi satu pengertian dan istilahnya dipakai atau dipertukarkan satu sama lain.
Begitu juga halnya jika suatu kegiatan hanya terdiri dari satu macam pengoperasian dan
itupun hanya melakukan suatu langkah tertentu,misalnya memijit tombol komputer tertentu,
maka didalam kasus ini antara kegiatan,operasi dan langkah pengertiannya menjadi satu dan
istilahnya dapat dipertukarkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan analisis tugas adalah bahwa
analisi dilakukan terhadap pekerja yang sudah benar-benar menduduki jabatan atau pekerjaan
di tempat kerja (job incumbent). Jadi tidak ada istilah analisis tugas dengan pengandaian
teoritik tentang fungsi atau tugas kewajiban yang dirumuskan secara imajiner, meskipun ini
suatu hal yang mungkin dilakukan , sebagaimana pada pendekatan yang diuraikan pertama
dan kedua. Dengan menganalisis pekerja yang benar-benar masih bertugas ditempat kerja
dapat dijamin bahwa apa yang dijaring adalah data obyektif yang terandalkan tentang apa,
siapa,bagaimana,dan mengapa suatu pekerjaan dilaksanakan.
Hal ketiga yang mempengaruhi keberhasilan pendekatan analisis tugas ini tetapi
sangat sulit dipenuhi adalah sisitimatika dan ketelitian atau kecermatan dalam inventarisasi
data dan pengolahannya nanti. Mungkin inilah sebab yang paling utama mengapa pendekatan
ini tidak banyak dipakai di negara yang belum maju,disamping juga karena makan waktu
yang sangat lama dan biaya penelitian serta pengembangan yang relatif mahal. Sistimatika
atau urutan kerja akan menentukan logika penjabaran selanjutnya menjadi satuan-satuan
kegiatan belajar yang harus diselenggarakan disekolah. Ketelitian dan kecermatan sangat
penting karena biasanya analisis tugas melibatkan pekerjaan banyak orang dengan jumlah
data yang sangat banyak, sehingga hampir merupakan proyek atau pekerjaan raksasa dengan
rincian yang sampai ke bagian-bagian terkecil dari suatu pekerjaan tertentu yang sedang di
analisis.
Dalam melakukan analisis tugas, perlu diperhatikan pula langkah-langkah atau urutan
prosesnya, yang menurut Finch dan Crunkilton (1979) mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Melakukan kajian literatur dan informasi yang relevan
2. Mengembangkan inventori pekerjaan atau jabatan
3. Memilih sampel atau contoh pekerja sebagai sumber data
4. Melaksanakan survei atau penelitian dilapangan
5. Menganalisis hasil survei untuk dijabarkan menjadi kurikulum dan kegiatan
belajar disekolah
Karena langsung berkaitan dengan perencanaan kurikulum di tingkat mikro,langkah keempat
dan kelima akan diuraikan lebih lanjut.
Pelaksanaan Survei Analisis Tugas
Aspek pertama yang dikerjakan dalam pelaksanaan analisis tugas adalah
mengidentifikasi dari sekian banyak jabatan dalam suatu lapangan kerja tertentu, mana saja
atau pekerjaan jenis apa saja yang akan dipilih untuk dikembangkan pendidikan dan
latihannya dengan menggunakan analisis tugas ini. Pertimbangan untuk ini adalah bahwa
jangka waktu proses dan pengembangan dan pertumbuhan kesempatan kerja harus berada
dalam satu titik seimbang, jangan sampai nantinya setelah hasil analisis selesai dijabarkan
menjadi kurikulum ternyata kesempatan kerja sudah jauh menurun atau sudah tidak ada sama
sekali. Disamping itu juga ada pertimbangan lainnya seperti kelancaran penempatan lulusan.
Daerah penempatan (lokal,regional dan nasional ), biaya investasi permulaan dan biaya
penyelenggaraan selanjutnya. Kalau semua faktor diatas sudah dinilai positif atau mempunyai
kelayakan, maka barulah analisis tugas untuk jabatan atau pekerjaan tersebut dilaksanakan.
Hal ini semua untuk menjaga agar usaha da dana yang sudah diinvestasikan untuk
mengembangkan kurikulum memakai pendekatan analisis tugas ini dapat memberikan hasil
balikan yang menguntungkan dan berjangka panjang. Untuk melakukan hal ini dapat dipakai
instrumen Matriks Analisis Penentuan Prioritas Pengembangan (MAPPP), yang isinya
menilai masing-masing pekerjaan atau jabatan yang dipertimbangkan tersebut diatas
berdasarkan faktor-faktor yang terkait untuk kemudian menyusun skala prioritas dari yang
paling layak dikembangkan sampai ke yang tidak begitu mendesak untuk digarap.
Tabel
INSTRUMEN MATRIKS ANALISIS PENENTUAN PRIORITAS
PENGEMBANGAN
Jenis jabatan /
pekerjaan
Kebut
lapanga
n
Pk
k
Prospek
penempata
n
Biaya
investas
i
Biaya
implementa
si
Sko
r
tota
l
rangkin
g
1. Sekretaris 5 5 4 5 4 24 1
2. Kapster
Salon
3 4 3 2 3 15 8
3. Pemrogram 4 4 2 3 4 17 6.5
4. Analisis
kimia
5 3 2 3 3 16 7
5. Operator
komputer
5 5 3 3 4 20 3,5
6. Teknisi alat
berat
4 3 3 3 4 17 6,5
7. Teknisi
mesin ind.
5 5 4 4 5 23 2
8. Teknisi
listrik
5 4 5 4 4 22 3
9. Operator
diesel
10. Asiten
apoteker
4
4
4
4
4
5
5
3
3
2
20
18
3,5
5
Keterangan : PKK = pertumbuhan kesempatan kerja
Skor berkisar antara 5 = sangat layak dikembangkan 1= sangat tidak layak
dikembangkan
Kelayakan masing-masing faktor ada kriteria tersendiri
Dalam matriks yang dipaparkan ditabel,diatas nampak bahwa jabatan sekretaris,
oprator komputer, teknisi listrik dan teknisi mesin industri menduduki urutan prioritas atau
ranking yang tinggi diantara jabtab-jabatan yang lain yang disurvei. Ini kemudian dapat
dipakai sebagai indikator untuk menentukan jabatan atau pekerjaan mana yang harus
dikembangkan lebih lanjut analisis tugasnya sehingga dapat disusun kurikulum pendidikan
atau latihanny.
Angka-angka sekor untuk masing=masing faktor berkisar antara 1 sampai 5 sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan untuk masing-masing faktor,yang pada intinya
menunjukan makin tinggi sektor pada suatu faktor akan makin tinggi pula kelayakan
pengembangan program ditinjau dari faktor tersebut. Nilai untuk masing-masing faktor
kemudian dijumlahkan dan dijadikan dasar menentukan urutan prioritas.
Untuk setipa pekerjaan atau jabatan yang diputuskan untuk dikembangkan, kemudian
dilakukan langkah lebih lanjut berupa inventarisasi tugas (task inventory), yang kemudian
kepada para responden yang disurvei dimintakan untuk memberikan data tentang frekuensi
mereka mengerjakan tugas-tugas tersebut dan seberapa penting tugas-tugas tersebut masing-
masing dalam keseluruhan kerangka pekerjaan yang mereka lakukan, sebgaimana pada
instrumen dibawah. Disini sengaja tentang kewajiban (duty) tidak diinventarisasikan, sebab
itu hanya merupakan pengelolaan atau kumpulan beberapa tugas saja yang tidak mempunyai
hierarki fungsional dalam kaitannya dengan penyusunan pengalaman belajar.
Stelah dihitung merata nilai untuk aspek frekuensi dan kepentingannya,dapatlah
kemudian disusun lagi urutan atau rangking tugas-tugas tersebut mulai dari urutan tertinggi
sampai terendah. Data ini nantinya akan sangat bermanfaat dalam mempertimbangkan jenis
pengetahuan,keterampilan atau pemahaman yang harus diajarkan sebagai isi kurikulum di
sekolah atau program latihan. Sangatlah tidak efisien mengajarkan anak didik melakukan
suatu tugas apabila dalam kenyataan ditempat kerja tugas tersebut hanya dilakukan oleh
beberapa orang, atau jarang dilakukan,atau tidak dianggap terlalu penting dalam keseluruhan
tugas kerja seorang pekerja tertentu.
Tabel
INSTRUMEN INVENTARISASI TUGAS (TASK INVENTORY)
SAMPLE n = 65
PENGATUR RAWAT GIGI
No Rincian tugas Frekunsi dilakukan Urgensi dilaksanakan
0 1 2 3 0 1 2 3
1. Membersihkan / sterilisasi alat 3 3 3 56 5 0 6 54
2. Menyimpan dan membungkus alat 4 4 6 51 6 0 5 54
3. Menyiapkan sterilisasi kimia 0 4 9 52 3 1 4 57
4. Menyiapkan alat bedah 2 6 8 49 5 4 10 46
5. Mensucihamakan ruangan operasi 0 2 4 59 0 2 7 56
6. Mencampur oksida seng untuk
base dan gigi palsu sementara
1 1 8 55 3 1 7 54
7. Mencampur amalgam untuk
pekerjaan distorsi
3 1 2 59 4 1 6 54
8. Mencampur silikat untuk
pekerjaan destorsi
6 7 8 44 8 1 6 45
9. Menambal gigi dengan bahan
tambal sementara
12 10 8 30 21 8 12 34
10. Mengelola kartu pasien 7 10 9 39 20 18 7 20
Keterangan :FREKUENSI URGENSI
0 = tidak pernah mengerjaka 0 = sama sekali tidak penting
1 = jarang mengarjakan 1 = sedikit penting
2 = sering mengerjakan 2 = penting
3 = selalu mengerjakan 3 = sangat penting
Dari sektor frekuensi masing – masing pilih jawaban kemudian dihitung
Indeksi frekuensi dan indeks urgensi untuk mencari urutan tugas.
Keterangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat dan jenis skill dalam
masing-masing tugas, karena ada yang sifatnya keterampilan teknis dan ada pula yang
sifatnya manipulatif, sebgaimana dibedakan oleh Milton Larson (1972). Ahli pendidikan
kejuruan ini membedakan kebutuhan skill untuk mengerjakan suatu tugas menjadi skill
manipulative dan skill teknis, yang masing-masing kemudian dibedakan lebih lanjut menjadi
empat tingkatan seperti dalam contoh Instrumen Analisis Kegiatan dan Tingkat keterampilan
(AKTK) dibawah.
Dalam menganalisa kegiatan dan tingkat keterampilan ini kecuali data yang diperolah
dari wawancara dengan para pekerja juga akan sangat baik sekali kalau dilengkapi dengan
observasi langsung ke lapangan, karena ada data tentang tingkat keterampilan yang akan
sangat tidak valid apabila hanya menggantungkan dari satu sumber saja.
Tabel
INSTRUMEN ANALISIS KEGIATAN DAN TINGKAT KETERAMPILAN
(AKTK)
MEKANIK OTOMOTIF
No Unit pekerjaan (operation) Tingkat skill
manipulative
Tingkat skill teknis keterangan
1
2
3
4
5
a. Pemasangan
kepala silinder
Membongkar gasket
Menyekor klep dan
dudukan klep
Memperbaiki mekanik
klep
Mendiagnosis kerusakan
mekanik klep
Menyetel saat
pembukaan/penutupan
b. Bongkar pasang
Blok Silinder
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
1
2
Menyetel ring,torak dan
pentorak
Dst,
1 2 3 4 1 2 3 4
Keterangan : Manipulative :
1. Perlu kecepatan, sedikit keterampilan
2. Kecepatan sedang,keterampilan sedang
3. Kecepatan sedang , keterampilan tinggi
4. Kecepatan tinggi dan keterampilan tinggi semua diperlukan
Teknisi :
1. Dapat mengerjakan dengan instruksi lisan
2. Dapat mengerjakan dibawah bimbingan dengan bantuan chart dan manual tertulis
3. Dapat mengerjakan sendiri dengan chart/manual
4. Mampu mendiagnosis dan memperbaiki kerusakan sendiri
Dengan menggunakan alat-alat atau instrumen survei tersebut di atas, maka akan
diperoleh gambaran keseluruhan maupun rincian informasi tentang suatu pekerjaan atau
jabatan tertentu sampai pada kegiatan dan keterampilan untuk melaksanakannya. Dari sinilah
kemudian para perencana kurikulum mengorganisir bahan atau informasi tersebut untuk
menyusun isi kurikulum pendidikan teknologi kejuruan. Sudah tentu untuk mengolah semua
informasi tersebut tidaklah mudah, karena masing-masing mempunyai bobot sendiri- sendiri
dan harus dipertimbangkan dalam kaitannya antara yang satu dengan yang lain.
Penjabaran Hasil Survei menjadi Kurikulum
Dari hasil survei analisis tugas yang diutarakan di atas, kemudian harus diorganisir
dan diolah sehingga menjadi bahan acuan dalam penyusunan isi kurikulum. Hal ini
dilaksanakan dengan melakukan analisis zone (zone analysis) dan analisis isi (content
analysis). Yang pertama melukiskan gambaran menyeluruh isi kurikulum berdasakan
kelompok mata pelajaran yang dibagi menjadi kelompok spesialisasi, kelompok penunjang
dan kelompok dasar, masing-masing dengan proporsi yang harus dipikirkan masak-masak.
Yang kedua menyangkut penjabaran rincian hasil analisis tugas menjadi materi belajar atau
unit belajar yang nantinya dilanjutkan dengan desain kegiatan instruksional dan pengadaan
materi instruksionalnya, baik yang berupa lembar informasi,lembar kerja,lembar tugas, dan
lembar pengamatan. Ini semua akan diuraikan dalam bab selanjutnya tentang analisis
instruksional (mikro).
C. PENUTUP
Dari kelima pendekatan untuk menentukan isi kurikulum yang sudah diuraikan diatas
dapat dikatakan dengan tegas mana yang paling baik,karena banyak faktor yang terkait
dengan kelayakan pemakaian masing-masing pendekatan. Ditinjau dari segi falsafah
pendidikan teknologi dan kejuruan, cara kelima (task analysis) mungkin yang paling
mendekati idealisme tentang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Tetapi
ditinjau dari peranan pendidikan teknologi dan kejuruan sebagai sarana pengembangan
sumber daya manusia,ada pertimbangan tertentu yang menyebabkan pendektan yang terlalu
didikte oleh kebutuhan industri ini tidak begitu populer di negara yang sedang berkembang
disamping faktor biaya prosesnya dan juga struktur industrinya yang belum mapan untuk
dapat disurvei secara sistematis.
Dengan kata lain masing-masing pendekatan mempunyai segi untung rugi dan
kelemahan serta kelebihan. Menjadi kewajiban bagi perencana kurikulum untuk dapat
mencari sendiri paradigma pendidikan kejuruan yang paling sesuai dengan konteks
masyarakat dan kemudian mencari pendekatan yang khusus dikembangkan untuk mengisi
paradigma tersebut dengan pelaksanaan operasional. Ini dapat dicapai dengan penggabungan
segi-segi kelebihan dari semua macam pendekatan tersebut diatas, atau dengan
mengembangkan suatu pendekatan yang sama sekali baru sesuai dengan tuntutan kondisi dan
situasi yang ada.
D REFERENSI
1. Barlow, Mervin (1974),the philosophy for Quality Vocational Education Programs,
Washington,D.C.: The American Vocational Associations, Inc.
2. Beane, J.A; To epfer, C.F. and Alessi, S.J.(1986), Curriculum Planning and
Development. Sydney : Allyn and Bacon, Inc.
3. Buku Petunjuk Pendidikan Menengah Kejuruan (1983), Jakarta : Depdikbud.
4. Indonesia Education and Human Recources sector Review (1986), Jakarta : Ministry
of Education and culture.
5. UNESCO (1982), Curriculum Development in Thechnical and Vocational
Education :Amethodology Guide. Paris : UNESCO.