pelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja...
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) SECARA LISAN TERHADAP PEKERJA PKWT ATAU
PKWTT DI SEKTOR PELAYARAN OLEH PT INTERNUSA
BAHARI PERSADA
SUATU PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 52 K/PDT.SUS-PHI/2018
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
OLEH:
DINA FIRDAUS
1114048000143
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Dina Firdaus, NIM 11140480000143, “Pelaksanaan Hukum Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap Pekerja PKWT atau
PKWTT di Sektor Pelayaran Oleh PT Internusa Bahari Persada Suatu
Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018”, Strata Satu (S1),
Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2018 M,
viii+80 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sebab dan akibat dari pemutusan
hubungan kerja secara lisan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT). Latar belakang penelitian ini didasari dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus.PHI/2018 yang diajukan oleh Timbul
Simatupang untuk menggugat PT Internusa Bahari Persada. Timbul Simatupang
melakukan pelanggaran berat, lalu PT Internusa Bahari Persada memutuskan
hubungan kerja dengan Timbul Simatupang secara lisan dengan alasan
pelanggaran tersebut. Putusan tersebut menimbulkan akibat yang signifikan.
Penelitian ini bersifat library research, mengkaji kasus yang terjadi dan
mengkaitkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mendukung
penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah normatif Empiris dengan
menggunakan bahan hukum primer terdiri dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018, bahan hukum sekunder terdiri dari publikasi tentang hukum
dalam pemutusan hubungan kerja meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas kasus yang terjadi, serta data tersier yaitu
data hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas data primer dan
sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus, website, atau sumber yang lain yang
mencakup pokok permasalahan materi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018 membuat pemutusan hubungan kerja terlihat tidak adil dan
diremehkan oleh perusahaan. Karena seharusnya, pemutusan hubungan kerja
dilakukan sesuai prosedur yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Walaupun pekerja tersebut PKWT atau PKWTT
namun dia berhak mendapatkan pemutusan hubungan kerja yang layak.
Kata Kunci : Pemutusan Hubungan Kerja, Perjanjian Kerja, PKWT, PKWTT
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمان الرحيم
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia
yang tidak terhingga. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Baginda
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang
setia hingga akhir zaman. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Hukum
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap Pekerja PKWT
atau PKWTT di Sektor Pelayaran Oleh PT Internusa Bahari Persada, Suatu
Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018”.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, tidak terlepas dari pengetahuan keilmuan
yang penulis dapatkan dari berbagai sumber. Selain itu tidak lupa pula terima
kasih atas bimbingan, bantuan, nasehat, doa, dan dukungannya. Kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan
atas penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi,
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., serta Dr. JM Muslimin, M.A., selaku dosen
pembimbing akademik yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan saran dan masukan terhadap proses penyusunan
skripsi ini.
4. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Arifin Setyabudi
Yanuardi, S.E., dan Uki Mulkiyah, S.Pd., yang telah mendoakan, mendukung,
dan menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, tanpa mereka saya tidak
akan bisa sampai ke tahap ini.
vi
5. Kepada orang-orang terdekat Rifky Muhammad Fadhil, Miranti Hanifa dan
Ryan Adhi Tama, S.H., yang selalu ada untuk saya dan menjadi motivasi saya
untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat seperjuangan Muslimah, S.H., Denti Aulia Puspita Sari, S.H.,
Kika Nurmala, S.H., serta kawan-kawan Ilmu Hukum 2014 yang telah
membantu dalam pengetahuan, memberikan semangat dan dukungan kepada
penulis sehingga penelitian ini terselesaikan
Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak yang telah membantu dan
memberikan masukan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis,
masyarakat serta para pembaca kalangan umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, Desember 2018
Dina Firdaus
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah........................................... 4
C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
E. Tinjauan Kajian Terdahulu...................................................................... 7
F. Kerangka Teori dan Konseptual .............................................................. 8
G. Metode Penelitian .................................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan .............................................................................. 16
BAB II TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN KETENAGAKERJAAN
DI INDONESIA ......................................................................................... 19
A. Sejarah Perkembangan Buruh atau Pekerja di Indonesia ........................ 19
B. Pemahaman Mengenai Ketenagakerjaan ................................................ 21
C. Visi, Misi dan Tujuan Ketenagakerjaan .................................................. 28
D. Ketenagakerjaan dalam Sudut Pandang Politik ...................................... 35
BAB III PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
PADA SEKTOR PELAYARAN DI INDONESIA ............................... 37
A. Profil Perusahaan PT Internusa Bahari Persada ...................................... 37
B. Tinjauan Mengenai Pekerja di Indonesia ................................................ 38
C. Pelanggaran-Pelanggaran yang Memperkenankan Pemutusan
Hubungan Kerja Secara Lisan di PT Internusa Bahari Persada .............. 43
D. Urgensi Perjanjian Kerja dalam Kesepakatan Kerja Bersama ................ 46
viii
E. Dampak Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja oleh
Perusahaan PT Internusa Bahari Persada ................................................ 50
F. Kompensasi Akibat Pemutusan Hubungan Kerja ................................... 53
BAB IV PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA LISAN DI PT
INTERNUSA BAHARI PERSADA DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 52 K/PDT.SUS-PHI/2018 ............. 57
A. Kronologi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan
oleh PT Internusa Bahari Persada ........................................................... 57
B. Analisis Kasus Berdasarkan Putusan mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018 ................................................................................ 66
C. Pengaturan Ketenagakerjaan Terhadap Masalah Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) ............................................................................................ 69
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 75
A. Kesimpulan.............................................................................................. 75
B. Saran ........................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77
LAMPIRAN ............................................................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara pertama di Asia dan negara kelima di
dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi pokok International
Labour Organisation (ILO). Tujuannya untuk menciptakan kesempatan
kerja guna mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung
pertambahan tenaga kerja yang merupakan bagian kesatuan dari seluruh
kebijakan dan program-program pembangunan.
Indonesia menerapkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja sehingga kelangsungan
usaha dan ketenangan kerja dalam rangka meningkatkan produktivitas
kerja dan kesejahteraan tenaga kerja terjamin. Dalam Pasal 27 butir (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa menjadi tugas bersama
untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja,
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkannya, dan setiap
orang yang bekerja mampu memperoleh penghasilan yang cukup untuk
hidup layak bagi tenaga kerja itu sendiri maupun keluarganya.1
Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan pengertian
hubungan kerja tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk
1 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1988), h. 19
2
hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha.2
Perjanjian kerja juga dibahas di dalam Hubungan industrial yang
menjelaskan sistem hubungan yang menempatkan kedudukan pengusaha
dan pekerja sebagai hubungan yang saling melengkapi dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Selain unsur tersebut, dalam tatanan sistem
ketenagakerjaan Indonesia terdapat pemerintah yang bersifat mengayomi
dan melindungi para pihak. Pemerintah mengeluarkan rambu-rambu
berupa aturan-aturan ketenagakerjaan demi terwujudnya hubungan kerja
yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja.3 Hubungan industrial itu
sendiri telah dibahas pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 yang
didalamnya dibahas terkait Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Sementara itu, hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya
membahas tentang hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja saja.
Tetapi, ketenagakerjaan mengenalkan istilah Pemutusan Hubungan Kerja
yang sering disebut dengan PHK. PHK atau pemutusan hubungan kerja
merupakan suatu pengakhiran hubungan kerja antara pelaku usaha dengan
pekerja yang disebabkan oleh suatu keadaan tertentu.4 Definisi lainnya
tentang pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja
antara perusahaan atau pekerja, yang disebabkan oleh sejumlah faktor
penting.5 Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pengusaha
maupun oleh pekerja, akan tetapi dalam melakukan pemutusan hubungan
kerja tersebut harus mengikuti aturan yang berlaku, dan pihak yang
2 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),
h. 63
3 Sri Subiandini Gultom, Aspek Hukum Hubungan Industrial (Jakarta: Inti Prima Promosindo,
2008), Cet. Ke 2, h. 14
4 Zainal Asikin, dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993), h. 173
5 D. Danny Simanjuntak, PHK dan Pesangon Karyawan (Jakarta: Visi Media, 2007), h.18
3
mengalami pemutusan hubungan kerja dapat menerima atau menolak
pemutusan hubungan kerja itu.
Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Pasal 150 hingga dengan
Pasal 172 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
termasuk alasan-alasan Pemutusan Hubungan Kerja. Pemutusan
Hubungan Kerja oleh pengusaha kepada pekerja bisa disebabkan beragam
alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan,
perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja
pensiun atau karena pekerja telah mengerjakan kesalahan berat
sebagaimana diatur dalam Pasal 158 butir (1) Undang- Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.6
Seluruh warga negara Indonesia selayaknya dijamin haknya atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sampai
saat ini masalah pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi sebagian
masyarakat Indonesia masih terus menjadi persoalan dasar, tidak hanya
bagi pemerintah tetapi juga bagi dunia usaha dan masyarakat pada
umumnya. Pembangunan ekonomi yang berbasis modal tidak mampu
menyelesaikan seluruh masalah ketenagakerjaan seperti kesempatan kerja,
pengangguran, dan kemiskinan. Masalah perekonomian bukan hanya
menyangkut masalah pekerjaan dan penghidupan yang layak tetapi juga
terletak struktur lapangan kerja dan status pekerjaan, tingkat upah dan
penghasilan yang relatif rendah terhadap kebutuhan hidup layak, masalah
kompetensi dan produktivitas yang kurang dapat bersaing, dan masalah
ketenagakerjaan lainnya yang saling kait mengkait.
Masalah diatas termasuk dalam permasalahan besar ketenagakerjaan
yang mungkin menjadi masalah di sebagian negara-negara besar. Namun,
ada bagian kecil permasalahan yang menarik untuk peneliti bahas, yaitu
terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara lisan yang
dilakukan oleh PT. Internusa Bahari Persada. Sejauh pengalaman peneliti
hanya sedikit orang yang mengetahui secara rinci tentang Pemutusan
6 Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 79-80
4
Hubungan Kerja secara lisan, bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak membenarkan adanya Pemutusan
Hubungan Kerja secara lisan. Tetapi dalam persidangan, PT Internusa
Bahari Persada menang dari kasus tersebut dan menurut hakim PT
Internusa Bahari Persada sudah tepat menindak pegawai tersebut.
Dari masalah tersebut, peneliti ingin membahas “Pelaksanaan
Hukum Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap
Pekerja PKWT atau PKWTT di Sektor Pelayaran Oleh PT Internusa
Bahari Persada, Suatu Putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018”.
B. Indentifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Penentuan Kompensasi yang merupakan hak bagi pekerja dan
kewajiban bagi pengusaha, pada kenyataannya sering menjadi
konflik antara kedua belah pihak. Menurut Pasal 156 butir (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaaan,
dijelaskan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
b. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja memang tidak bisa
dibenarkan, namun bukan berarti pekerja tersebut bisa
diperlakukan semena-mena. Pada Pasal 161 dijelaskan bahwa
apabila pekerja melakukan pelanggaran berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja, setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
c. Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut tidak serta merta
diterima oleh pekerja yang mengajukan gugatan ke Pengadilan
5
Hubungan Industrial, karena dalam putusan tersebut tidak satupun
permohonan pekerja dikabulkan sehingga berpengaruh kepada
penerimaan hak yang semestinya diterima oleh pekerja.
Pertimbangan hakim dalam putusan ini pun tidak sesuai dalam
penerapan hukumnya dalam memutus perkara Pemutusan
Hubungan Kerja.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan
peneliti. Disini peneliti hanya akan membahas pelaksanaan hukum
pemutusan hubungan kerja (PHK) secara lisan terhaadap pekerja
PKWT atau PKWTT di sektor pelayaran oleh PT Internusa Bahari
Persada berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-
PHI/2018 menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 serta
peraturan lainnya yang terkait dengan masalah tersebut.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut peneliti rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana tinjauan mengenai pengaturan ketenagakerjaan di
Indonesia?
b. Bagaimana pelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja pada
sektor pelayaran di Indonesia?
c. Bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan di PT
Internusa Bahari Persada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
52 K/Pdt.Sus-PHI/2018?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Untuk menjelaskan tinjauan mengenai pengaturan ketenagakerjaan di
Indonesia.
2. Untuk menjelaskan pelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja
pada sektor pelayaran di Indonesia.
3. Untuk menjelaskan Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan di PT
Internusa Bahari Persada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018.
D. Manfaat Penelitian
Berawal dari rumusan masalah penelitian yang telah dijelaskan di atas,
ada beberapa manfaat yang ingin peneliti peroleh, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh dari pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara lisan
b. Dapat memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan guna memberikan tambahan
pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan
terutama tentang pemutusan hubungan kerja.
c. Melatih peneliti dalam pembuatan karya ilmiah dan menuangkan
hasil pemikirannya ke dalam bentuk tulisan.
d. Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan peneliti
baik di bidang hukum maupun di bidang bisnis.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan
sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, masyarakat,
serta pihak-pihak terkait mengenai pemutusan hubungan kerja.
b. Memberi masukan kepada Mahkamah Agung, atau Instansi lain
untuk mempertimbangkan putusan agar dikemudian hari tidak
terjadi kembali.
7
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian ataupun kajian terdahulu
yang pernah dilakukan dalam hal terkait adalah sebagai berikut:
1. Skripsi yang disusun oleh Musrifah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Tahun 2013, yang
berjudul “Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dalam Perkara
Nomor: 50/G/2009/PHI.BDG”. Penelitian tersebut lebih menjelaskan
tentang Proses pembuktian yang dilakukan pada perkara tersebut serta
pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan
hubungan kerja. Perbedaan skripsi peneliti dengan skripsi yang
disusun oleh Musrifah terletak pada putusan Pengadilan Hubungan
Industrial-nya. Skripsi Musrifah lebih fokus pada aturan tidak
produktif bagi pekerja dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku sedangkan peneliti lebih kepada pemutusan hubungan kerja
secara lisan yang dilakukan oleh perusahaan.
2. Skripsi yang disusun oleh Sawitri Dian Kusuma Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Tahun 2012, yang berjudul
“Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena
Kesalahan Berat pada Tingkat Mediasi Di Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga”. Penelitian tersebut lebih
menjelaskan tentang pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di
suatu daerah. Perbedaan skripsi peneliti dengan skripsi yang disusun
oleh Sawitri terletak pada jenis Pemutusan Hubungan Kerja-nya.
Skripsi Sawitri lebih fokus pada Pemutusan Hubungan Kerja karena
kesalahan berat sedangkan peneliti lebih kepada Pemutusan Hubungan
Kerja secara lisan yang dilakukan oleh perusahaan.
3. Buku berjudul Hukum Perburuhan di Indonesia karangan Abdul
Rachmad Budiono membahas tentang bidang-bidang penting di dalam
perburuhan yaitu, hubungan kerja serta subjek hukum perjanjian kerja
termasuk didalamnya menguraikan tentang pekerja anak, organisasi
8
buruh, perselisihan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga
kerja. Buku ini hanya membahas perselisihan hubungan kerja secara
luas sedangkan peneliti lebih fokus ke Pemutusan Hubungan Kerja
terutama Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan.
4. Jurnal yang disusun oleh Lex Adminisratum pada tahun 2017 yang
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja yang di PHK
Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan” tersebut menjelaskan tentang
perlindungan hukum ketenagakerjaan yang di PHK berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta
mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berbeda dengan
peneliti yang nanti dalam tulisannya akan menyinggung dampak dari
pemutusan hubungan kerja secara lisan dan pemenuhan hak-hak
pekerja yang hilang akibat pemutusan hubungan kerja tersebut.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Menurut Soedarjadi, hukum ketenagakerjaan merupakan suatu
peraturan-peraturan tertulis atau tidak tertulis yang mengatur
seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sesudah tenaga kerja
berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan
apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana
termasuk lembaga-lembaga penyelenggara swasta yang terkait di
bidang tenaga kerja.7
b. Menurut Manulang, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah:8
1) Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam
bidang ketenagakerjaan
7 Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), h.
5
8 Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2016), h. 7
9
2) Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak
terbatas dari pengusaha
c. Visi perburuhan di Indonesia menurut Abdullah Sulaiman adalah
kepastian hukum non diskriminasi kepegawaian (publik dan privat)
dan pemberian serta penerimaan kesejahteraan perburuhan atau
ketenagakerjaan hingga pensiun yang diatur dalam konstitusi dan
perundang-undangan.9
d. Budiono membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2, yaitu:10
1) Hukum bersifat impreatif atau dwingenrecht (hukum memaksa)
2) Hukum bersifat fakultatif atau regelend recht/aanvulled recht
(hukum yang mengatur atau melengkapi)
e. Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dan
pekerja, maka putus hubungan kerja berarti putus hubungan hukum
antara pengusaha dengan pekerja.11
f. Menurut M.G Rood (pakar hukum perburuhan dari Belanda), 4
unsur syarat perjanjian kerja yaitu:12
1) Adanya unsur pekerjaan (work)
2) Adanya unsur pelayanan (service)
3) Adanya unsur waktu (time)
4) Adanya unsur upah (pay)
g. Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dalam teori hukum
perburuhan dikenal ada 4 jenis Pemutusan Hubungan Kerja13
,
yaitu:
1) Pemutusan hubungan kerja demi hukum
9Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 44
10
Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan…, h. 8
11
Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan…, h. 46
12
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 16
13
Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Pemutusan Hubungan Kerja), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 140
10
2) Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
3) Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
4) Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
h. Penyelesaian secara sukarela diluar pengadilan (non litigasi), atau
dikenal juga dengan istilah penyelesaian sengketa alternatif
(Alternative Disputes Resolution/ADR), memiliki berbagai macam
bentuk:14
1) Mediasi
2) Konsiliasi
3) Arbitrasi
i. Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin mengemukakan sebuah teori
tentang penyelesaian sengketa, yaitu:15
1) Contending (bertanding), mencoba menerapkan suatu solusi
yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya;
2) Yielding (mengalah), menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan;
3) Problem solving (pemecahan masalah), mencari alternatif yang
memuaskan dari kedua belah pihak;
2. Kerangka Konseptual
a. Mengacu pada pancasila sebagai landasan filosofis dan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional , maka norma
hukum hubungan industrial di Indonesia, terutama Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 3, menganut
asas-asas sebagai berikut:16
1) Asas Manfaat
14 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996),
h. 88
15
Dean G Pruitt dan Z Rubin, Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 4-6
16
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan
Mengetahui Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum Mengenai
Ketenagakerjaan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM,
2010), h. 10-12
11
2) Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan
3) Asas Demokrasi
4) Asas Keterbukaan
5) Asas Adil dan Merata
6) Asas Kemitraan Kerja
7) Asas Keterpaduan
8) Asas Non Diskriminasi
b. Pasal 27 butir (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
c. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang.
d. Pasal 28 D butir (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan
bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
e. Pasal 38 butir (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang, sesuai dengan
bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang
layak.
f. Pasal 38 butir (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang berhak dengan
bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas
syarat-syarat ketenagakerjaan.
g. Pasal 38 butir (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang, baik pria
maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,
setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian
kerja yang sama.
12
h. Pasal 38 butir (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang, baik pria
maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan
martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
i. Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
j. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Pasal 1 butir (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan
menjelaskan bahwa pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada
pengusaha dengn menerima upah.
k. Pasal 1 butir (25) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha. Pasal 1 butir (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang
Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di
Perusahaan menjelaskan bahwa Pemutusan Hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja
berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
13
l. Pasal 1 butir (16) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan Industrial adalah
suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-
nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
m. Pasal 1 butir (15) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
n. Pasal 1 butir (30) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa upah adalah hak pekerja yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja.
o. Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja dalam suatu
perusahaan.
G. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat mengenai permasalahan tersebut,
maka dalam skripsi ini peneliti menggunakan beberapa metode penelitian
yang relevan dengan judul di atas, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis
14
dan konsisten. Penelitian dibagi menjadi dua jenis yaitu penelitian
Kuantitatif dan penelitian Kualitatif, penelitian yang dipakai adalah
penelitian kualitatif yang bekerja sesuai data. Sedangkan penelitian
hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang
bersangkutan.17
Tujuan dari penelitian yaitu menemukan, mengembangkan,
menguji kebenaran suatu pengetahuan berdasarkan fakta dan data.
Karena sebuah usaha dari pengembangan dan penemuan ilmu
pengetahuan maka sebuah penelitian harus menggunakan metode
ilmiah yaitu logico hipotetico verifikatif yang artinya melibatkan dua
wilayah (deduktif) dan wilayah empiris (induktif).18
2. Teknik Pengumpulan data
Penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu
melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti buku-
buku yang berkaitan dengan Hukum Ketenagakerjaan, Mahkamah
Agung, Ilmu Perundang-undangan, Peraturan-peraturan mengenai
Ketenagakerjaan dan Pemutusan Hubungan Kerja, Putusan Mahkamah
Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018, Pendapat sarjana, surat kabar,
artikel, kamus dan juga berita dari internet atau buku-buku yang
berhubungan dengan penelitian.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
pendekatan hukum normatif empiris yang menggunakan data sekunder
17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 2
18
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 4
15
dan data primer yang berasal dari buku-buku, atau literatur-literatur
hukum, peraturan perundang-undangan, serta bahan-bahan lainnya.
Penggunaan pendekatan secara normatif empris ini pada dasarnya
merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan
adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian hukum
normatif empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif
(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu
dalam suatu masyarakat.19
4. Data dan Sumber Penelitian
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.20
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari semua publikasi tentang hukum yang merupakan bukan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan. Sumber bahan non hukum digunakan sebagai
penunjang untuk memperkaya dan memperluas wawasan, peneliti
menggunakan sumber bahan non hukum yang dapat berupa buku-buku
mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan atau
pun laporan-laporan penelitian non hukum dan jurnal-jurnal non
hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.21
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Metode pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang
Pemutusan Hubungan Kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan serta peraturan lainnya yang terkait dengan
19 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
2004) h.54.
20
Ashrhofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 141
21
Ashrhofa Burhan, Metode Penelitian Hukum…, h. 143
16
menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus_PHI/2018 yang selanjutnya diteliti dengan pendekatan yang
digunakan. Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah metode analisis data kualitatif.
Pengertian dari analisis kualitatif itu sendiri adalah bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting untuk dipelajari, serta memutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.
Pada penelitian hukum normatif, peraturan perundangan yang
menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian
yang dilakukan.22
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data
penelitian hukum normatif dengan cara data yang diperoleh, dianalisis
secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa
dihitung. Bahan hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan
pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokkan kedalam bagian-
bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017, yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri
dari sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti
permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing
bab serta inti permasalahan adalah sebagai berikut:
BAB I: Merupakan pendahuluan yang bermuatkan: Latar Belakang
Masalah; Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan
Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Tinjauan
22
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38
17
(Review) Kajian Terdahulu; Kerangka Teori dan
Konseptual; Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Berisi tentang Tinjauan Mengenai Pengaturan
Ketenagakerjaan di Indonesia yang bermuatkan: Sejarah
Perkembangan Buruh atau Pekerja di Indonesia;
Pemahaman Mengenai Ketenagakerjaan; Visi, Misi dan
Tujuan Ketenagakerjaan; serta Ketenagakerjaan dalam
Sudut Pandang Politik.
BAB III : Merupakan Pelaksanaan Hukum Pemutusan Hubungan
Kerja pada Sektor Pelayaran di Indonesia yang
bermuatkan: Profil Perusahaan PT Internusa Bahari
Persada; Tinjauan Mengenai Pekerja di Indonesia;
Pelanggaran-Pelanggaran yang Memperkenankan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan di PT
Internusa Bahari Persada; Urgensi Perjanjian Kerja dalam
Kesepakatan Kerja Bersama; Dampak Pemutusan
Hubungan Kerja Terhadap Pekerja oleh Perusahaan PT
Internusa Bahari Persada; serta Kompensasi Akibat
Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB IV : Merupakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara
Lisan di PT Internusa Bahari Persada dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018 yang
bermuatkan: Kronologi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) Secara Lisan oleh PT Internusa Bahari Persada;
Analisa Kasus Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018; serta Pengaturan
Ketenagakerjaan Terhadap Masalah Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK).
BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang dapat
ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan
perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran yang
18
akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan
pengulasannya dalam skripsi.
19
BAB II
TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN KETENAGAKERJAAN DI
INDONESIA
A. Sejarah Perkembangan Buruh atau Pekerja di Indonesia1
Pada era pasca kemerdekaan (1945-1949) ditandai dengan
diratifikasinya sejumlah konvensi International Labour Organitation
(ILO) oleh Pemerintah Indonesia. Sejumlah undang-undang juga lahir
sebagai bentuk ratifikasi dari konvensi tersebut. Seperti disahkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Buruh dan Majikan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, dan sebagainya. Secara
umum, peraturan ketenagakerjaan yang ada pada masa ini cenderung
memberi jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa peraturan di bidang perburuhan, salah satunya
Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran
Serikat Buruh, yang diundangkan pada masa ini.
Barisan Buruh Indonesia (BBI) terbentuk tanggal 19 September 1945
dengan tujuan ikut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena
tujuannya bersifat umum, semua serikat buruh dianggap menjadi anggota
BBI (Barisan Buruh Indonesia). Pada kongres di Solo, 17 November 1945,
BBI (Barisan Buruh Indonesia) mengalami perpecahan dalam dua kubu,
yang ingin menjadi partai politik dan yang tetap bergerak di bidang sosial
ekonomi.
Sekitar 150 serikat buruh di tingkat nasional, ratusan serikat buruh
lokal dan tujuh federasi serikat buruh lahir pada tahun 1950-an. Dasar dan
asasnya beraneka ragam, tetapi program dan kegiatannya dititikberatkan di
bidang politik sehingga melupakan tugas utamanya membela dan
1 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia, (Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011), h. 14-22
20
memajukan kepentingan umum buruh. Dalam masa liberal tersbut, jumlah
partai politik berkembang dengan pesat. Banyak partai politik ikut
mendirikan serikat buruh sebagai onderbouw dengan maksud
mengumpulkan jumlah anggota sebanyak-banyaknya guna memperoleh
suara dalam pemilihan umum 1955. Itu dimungkinkan dengan keluarnya
Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran
Serikat Buruh yang sifatnya liberalistik.
Di akhir 1950-an, angin politik berganti dan Indonesia memulai masa
demokrasi terpimpin. Ini diawali dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Arah politik nasional saat itu sangat berpengaruh kepada kegiatan serikat
buruh yang lebih bersifat umum, bukan untuk mengusahakan kepentingan
buruh.
Sedangkan, awal 1960-an kondisi politik yang berubah pun membawa
perbedaan dalam penanganan ketenagakerjaan. Meski kepemimpinan
nasional masih di tangan Presiden Soekarno, namun semangat peraturan
tenaga kerja mulai berubah. Di tahun tersebut, peraturan dibuat untuk
membatasi gerak politis dan ekonomis buruh.
Memasuki pertengahan 1960-an terjadinya perubahan kekuasaan
politik, yang dikenal sebagai era pemerintahan orde baru. Masalah yang
dihadapi Indonesia pada tahun 1966 dan 1967 cukup berat, terutama dalam
hal penciptaan kesempatan kerja. Pada saat itu pelaksanaan rencana
pembangunan jangka panjang tahap 1 telah dimulai. Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I dimulai dengan melakukan
berbagai usaha jangka pendek di bidang tenaga kerja dan penciptaan
kesempatan kerja. Usaha-usaha jangka pendek tersebut merupakan
pelaksanaan Ketetapan MPRS Nomor 28 Tahun 1966 dan pada awal tahun
1970-an, pemerintah Indonesia berhasil menyederhanakan jumlah partai
politik melalui penggabungan atau fusi. Penyederhanaan partai politik ini
diikuti oleh para pimpinan serikat pekerja.
Sedangkan, Era reformasi dimulai dari gerakan reformasi pada 1998
sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi, kondisi sosial dan politik yang
21
diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks. Termasuk
membengkaknya utang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali,
pemusatan kekuasaan eksekutif, Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN),
Ekonomi biaya tinggi, dan konglomerasi usaha. Selain itu, reformasi juga
didorong semangat deregulasi, privatisasi, liberalisasi ekonomi pasar,
makin tingginya kesadaran akan Hak Asasi Manusia dan tuntutan
demokratisasi. Gerakan reformasi politik juga telah menstimulasi
reformasi serikat pekerja di Indonesia. Banyak pekerja di Indonesia
merasa memperoleh kembali hak-haknya untuk berorganisasi secara bebas
dan jumlah serikat pekerja pun melonjak.
Gerakan reformasi politik juga telah menstimulasi reformasi serikat
pekerja di Indonesia, menjelang akhir 2004 terdapat lebih dari 80 federasi
serikat pekerja yang didaftarkan di Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigasi, di samping itu masih terdaftar lebih dari 100 serikat pekerja
non-federasi di tingkat nasional. Akan tetapi setelah dilakukan verifikasi
keanggotaan serikat pekerja menjelang akhir 2005, hanya terdapat 35
federasi serikat pekerja yang memenuhi syarat dan 31 serikat pekerja non-
federasi di tingkat nasional.
B. Pemahaman Mengenai Ketenagakerjaan
1. Pengertian Pekerja atau Buruh
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh sangat dikenal dalam hukum-
hukum perburuhan atau ketenagakerjaan karena sering di gunakan
sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu yang dimaksud dengan buruh
adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-
lain yang melakukan pekerjaan kasar sejenisnya disebut dengan Blue
Collar, sedangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan halus oleh
22
Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan istilah
”karyawan/pegawai” dan disebut dengan White Collar.2
Menurut Payaman Simanjuntak, tenaga kerja adalah penduduk
yang sudah atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang
melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah
tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya
ditentukan oleh umum atau usia.3 Jadi tenaga kerja mencakup siapa
saja yang dikategorikan sebagai angkatan kerja dan juga mereka yang
bukan angkatan kerja, sedangkan angkatan kerja adalah mereka yang
bekerja dan yang tidak bekerja (pengangguran).4
Buruh adalah tiap orang yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Orang itu disebut buruh apabila dia telah
melakukan hubungan kerja dengan majikan, kalau tidak melakukan
hubungan kerja maka dia hanya tenaga kerja, belum termasuk buruh.5
Istilah pekerja menurut Kamus Besar bahasa Indonesia mempunyai
definisi yaitu orang yang bekerja pada pemerintah atau perusahaan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menetapkan, bahwa penggunaan istilah pekerja selalu dibarengi
dengan istilah buruh yang menandakan bahwa dalam undang-undang
ini dua istilah tersebut memiliki makna yang sama. Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dijelaskan bahwa pekerja setiap orang yang bekerja dengan menerima
2 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993), h. 39-40
3 Sendjun H Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 3
4 Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika dan Kajian Teori, (Bogor:
Ghalia Indonesia,2010), h. 7
5 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan…, h. 42-43
23
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian tersebut dapat
dilihat beberapa unsur yang melekat yaitu:
a. Setiap orang yang bekerja, baik angkatan kerja maupun bukan
angkatan kerja tetapi harus bekerja;
b. Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan
pekerjaan tersebut.
Sedangkan, pekerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 150 tahun 2000 menetapkan bahwa pekerja adalah tenaga kerja
yang bekerja dengan pengusaha dengan menerima upah. Konsep
pekerja sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa Pekerja
adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalan
bentuk lain.
Dari pengertian di atas, konsep pekerja adalah setiap pekerja atau
setiap buruh yang terikat dalam hubungan kerja dengan orang lain atau
majikannya, jadi pekerja adalah mereka yang telah memiliki status
sebagai pekerja, status diperoleh setelah adanya hubungan kerja
dengan orang lain.
2. Penafsiran Kompensasi
Pada dasarnya setiap transaksi barang atau jasa dari satu pihak
kepada pihak lain akan menimbulkan kompensasi. Dengan terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja, pekerja akan mendapatkan haknya, yaitu
kompensasi yang meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja dan uang ganti kerugian. Adapun mengenai kompensasi tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 156 butir (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa hak-
hak tenaga harus diberikan oleh perusahaan akibat adanya Pemutusan
Hubungan Kerja, perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima dan dihitung berdasarkan jumlah upah tenaga
kerja dan masa kerjanya.
24
Uang Pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari
pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan
Kerja yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja.6 Bagi
pekerja yang diputus hubungan kerjanya, alasan Pemutusan Hubungan
Kerja berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut
berhak atau tidak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang
penggantian hak. Berdasarkan ketentuan di dalam Undang- Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.7
Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima ditetapkan dengan peraturan pemerintah.8 Pada Pasal 157
butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa uang pesangon dan uang
penghargaan masa kerja perhitungan didasarkan pada upah sebulan
terakhir sebelum terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Upah terdiri dari
upah pokok dan tunjangan yang bersifat tetap. Upah sebagai dasar
pemberian uang pesangon, uang jasa dan uang kerugian terdiri dari:9
a. Upah pokok
b. Segala macam tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja keluarganya
c. Harga pembelian dari jatah yang diberikan kepada pekerja secara
cuma-cuma harus dibayar kepada pekerja sebagai subsidi maka
6 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),
h. 135
7 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan Mengetahui
Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum Mengenai Ketenagakerjaan,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2010), h. 81
8 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 83
9 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 138
25
sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan yang
harus dibayar oleh pekerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian kompensasi:10
a. Penawaran dan permintaan tenaga kerja
b. Kemampuan dan ketersediaan perusahaan
c. Serikat buruh atau organisasi karyawan
d. Produktivitas kerja karyawan
e. Pemerintah dengan undang-undang dan keputusan presiden
f. Biaya hidup atau cost of living
g. Posisi jabatan karyawan
h. Pendidikan dan pengalaman kerja
i. Kondisi perekonomian nasional
j. Jenis dan sifat pekerjaan
Pekerja yang diputus hubungan kerjanya dengan alasan efisiensi
berhak mendapatkan kompensasi. Uang pesangon merupakan salah
satu hak pekerja yang seharusnya dipenuhi oleh perusahaan karena
secara tidak langsung pekerja telah mempunyai jasa kepada
perusahaan, apalagi jika masa kerja pekerja tersebut berlangsung lama.
Oleh karena itu, untuk membantu dan mengurangi beban pekerja yang
diputus hubungan kerjanya, maka peraturan perundang-undangan
mengharuskan untuk memberikan hak-hak pekerja tersebut.
3. Pemahaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pasal 1 butir (25) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara perkara
(buruh dan pengusaha). Pemutusan Hubungan Kerja dalam undang-
undang ini meliputi Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi di badan
10 I Komang Ardana, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.
153-154
26
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan atau milik badan hukum, milik swasta atau milik
negara, usaha-usaha sosial maupun usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.11
Menurut F.X. Djulmiaji, pemutusan
hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja
antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu. Istilah dan
pengertian Pemutusan Hubungan Kerja antara lain:12
a. Determination, pemutusan hubungan kerja karena selesai atau
berakhirnya kontrak kerja
b. Dissmisal, pemutusan hubungan kerja karena tindakan indisipliner
c. Redudancy, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan
perkembangan teknologi
d. Retrechtment, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan
masalah ekonomi
Di kehidupan sehari-hari, pemutusan kerja antara pekerja dengan
pengusaha dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang
telah disepakati atau diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi
karena adanya perselisihan antara pekerja dan pengusaha,
meninggalnya pekerja atau karena sebab lainnya.13
Menurut Lalu
Husni, pemutusan hubungan kerja merupakan suatu peristiwa yang
tidak diharapkan terjadinya, terutama dari kalangan pekerja karena
dengan adanya pemutusan hubungan kerja, pekerja yang bersangkutan
akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan
keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan
industrial baik pengusaha, pekerja, atau pemerintah, dengan segala
11 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 28
12
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 20
13
Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Pemutusan Hubungan Kerja), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 177
27
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja.14
Pemutusan hubungan kerja adalah suatu hal yang tidak diinginkan
oleh setiap pekerja, kehilangan pekerjaan berarti kehilangan mata
pencaharian yang dapat menimbulkan kesulitan ekonomi bagi
keluarga, sehingga banyak pekerja yang berusaha untuk
mempertahankan pekerjaannya. Hak dasar pekerja mendapat
perlindungan atas tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Mengenai pemutusan hubungan kerja dalam teori hukum
perburuhan dikenal ada 4 (empat) jenis pemutusan hubungan kerja,
yaitu:15
a. Pemutusan hubungan kerja demi hukum
Pemutusan hubungan kerja demi hukum disebabkan karena
hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya tanpa perlu
mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.16
b. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja atau buruh
Pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
pihak pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh
dipaksakan untuk terus menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak
menghendakinya. Dengan demikian pemutusan hubungan kerja
oleh pekerja ini, yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan
kerjanya adalah dari pekerja itu sendiri.17
c. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
14 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan…, h. 174
15
Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan…, h. 140
16
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 195
17
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 193
28
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan
pemutusan hubungan kerja dimana berasal dari kehendak
pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang
dilakukan oleh pekerja atau karena faktor-faktor lain, seperti
pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup, perubahan status
perusahaan, dan sebagainya.18
d. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan terjadi karena
alasan-alasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi
peralihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit.19
Pemutusan hubungan kerja bagi pihak pekerja akan memberi
pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab:
a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekerja telah
kehilangan mata pencaharian
b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus
banyak mengeluarkan biaya
c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum
mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya
C. Visi, Misi dan Tujuan Ketenagakerjaaan20
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tahap
pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap
industrialisasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan).
Kondisi ini sangat mempengaruhi perubahan sosial dan perkembangan
hukum perburuhan. Menurut Aloysius Uwiyono, tahap industrialisasi yang
menekankan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya akan mengarahkan
hukum perburuhan untuk melindungi pemilik modal. Hal ini berarti, buruh
18 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 198
19
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 196
20
Perkembangan Ketenenagakerjaan di Indonesia…, h. 39-42
29
dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Di lain pihak,
pada tahap kesejahteraan fokus pembangunannya adalah untuk
memperhatikan kesejahteraan masyarakat termasuk buruh.21
Konsep pembangunan Jangka Panjang dimulai ketika Indonesia
memasuki era Orde Baru. Kinerja perekonomian selama dua pelita
(Pembangunan Lima Tahun) pada era tersebut sangat memuaskan. Oleh
karena itu, untuk menghadapi persaingan dan ketidakpastian global yang
makin meningkat, jumlah penduduk yang makin banyak, dan dinamika
masyarakat yang makin beragam maka Indonesia memiliki sejumlah
tantangan untuk mewujudkan visi Indonesia, yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi,
2. Globalisasi,
3. Persoalan demografi dalam negeri,
4. Konsentrasi penduduk dan aktivitas perekonomian,
5. Kemandirian dalam teknologi dan produktivitas sumber daya manusia,
dan
6. Situasi politik dalam negeri.
Berdasarkan hal tersebut, dengan memperhitungkan modal sosial yang
dimiliki Indonesia dan faktor-faktor strategis yang muncul, sehingga visi
dan arah pembangunan ekonomi Indonesia adalah Indonesia yang maju
dan mandiri, adil dan demokratis serta makmur bersatu dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi tersebut dapat dipahami
sebagai berikut:
1. Indonesia yang maju dan mandiri adalah mendorong pembangunan
yang menjamin pemerataan yang seluas-luasnya didukung oleh sumber
daya manusia yang berkualitas, infrastruktur yang maju, penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi, berwawasan lingkungan, serta
didukung oleh pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
21 Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 44
30
2. Indonesia yang adil dan demokratis adalah mendorong pembangunan
yang menjamin penegakan hukum yang adil, konsekuen, tidak
diskriminatif, mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, serta
meneruskan konsolidasi demokrasi bertahan pada berbagai aspek
kehidupan politik agar demokrasi konstitusional dapat diterima sebagai
konsensus dan pedoman politik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
3. Indonesia yang makmur, aman, dan bersatu adalah mendorong
pembangunan yang mampu mewujudkan rasa aman dan damai,
mampu menampung aspirasi masyarakat yang dinamis, menegakkan
kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta melindungi segenap bangsa dari setiap ancaman.
Untuk mendorong tercapainya visi di atas, pemerintah Indonesia telah
menetapkan delapan program utama dan 18 aktivitas ekonomi. Kedelapan
program utama yang akan didorong itu adalah perindustrian,
pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi dan
pengembangan kawasan.
Misi utama pemerintah Indonesia di bidang ketenagakerjaan adalah:22
1. mempromosikan kesempatan kerja dan pelayanan penempatan kerja,
2. Menciptakan hubungan industrial yang harmonis, demokratis, adil, dan
bermartabat,
3. Peningkatan kualitas dari manajemen dan administrasi, sistem
pengawasan, sistem informasi, serta penelitian dan pengembangan.
Pemerintah republik di awal-awal kemerdekaan, terutama di era 1950-
an, menyadari hal yang sama, yakni usaha-usaha menciptakan kesempatan
kerja untuk mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung
pertambahan tenaga kerja merupakan bagian kesatuan dari seluruh
kebijakan dan program pembangunan. Bahkan seluruh kebijakan dan
22 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 3
31
program pembangunan ekonomi dan sosial mempertimbangkan
sepenuhnya tujuan-tujuan perluasan kesempatan kerja serta penggunaan
cara-cara kegiatan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja.23
Tujuan utama pemerintah mengatur kebijakan upah minimum adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Pemerintah secara periodik
menyesuaikan kenaikan upah minimum untuk mencerminkan perubahan
tingkat kesempatan kerja, produktivitas kerja, dan penetapan per kapita.24
Campur tangan pemerintah dalam hukum perburuhan atau
ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan
atau ketenagakerjaan yang adil. Jika hubungan antara pekerja dan
pengusaha diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sangat sulit
tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.
Atas dasar itulah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan
perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan
kewajiban para pihak.25
Para pemimpin pemerintahan, pekerja, dan pengusaha mengadopsi
Pakta Lapangan Kerja Global (Global Jobs Pact/GJP) pada Konferensi
Perburuhan Internasional Juni 2009 sebagai sebuah portofolio kebijakan
yang telah diujicoba, menempatkan ketenagakerjaan dan jaminan sosial
sebagai pusat dalam upaya merespons krisis. GJP (Global Jobs Pact)
disusun untuk merespons dampak sosial yang muncul akibat krisis global
pada ketenagakerjaan yang baru-baru ini terjadi dan mengusulkan
kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja, memperluas
23 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 45
24
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 31
25
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 52
32
jaminan sosial, menghargai standar-standar ketenagakerjaan dan
mempromosikan dialog sosial.26
Sejak dibentuk pada 1967, anggota Association of South East Asian
Nations atau Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)
meletakkan kerjasama ekonomi sebagai agenda utama. Awalnya
kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian
preferensi perdagangan (prefential trade), usaha patungan (joint ventures),
dan skema saling melengkapi (complementation scheme). Pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ke-sembilan ASEAN (Association of South East
Asian Nations) di Bali pada 2003 disepakati pembentukan komunitas
ASEAN (Association of South East Asian Nations) yang salah satu
pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). AEC (ASEAN
Economic Community) bertujuan menciptakan pasar tunggal dan basis
produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi,
tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas.27
Pemerintah secara khusus membangun komunikasi dan kerjasama
antar Menteri Tenaga Kerja se-ASEAN (Association of South East Asian
Nations) atau ASEAN Labour Ministers (ALM). Tujuan keseluruhan dari
kerjasama ASEAN (Association of South East Asian Nations) di bidang
ketenagakerjaan adalah untuk membangun visi menuju kualitas hidup
yang lebih baik, pekerjaan yang produktif, dan perlindungan sosial yang
memadai bagi masyarakat ASEAN (Association of South East Asian
Nations) melalui peningkatan daya saing tenaga kerja, menciptakan
lingkungan kerja yang harmonis dan progresif, dan mempromosikan
pekerjaan yang layak bagi semua.28
26 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 13
27
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 33
28
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 36
33
Tujuan dari Konvensi ILO (International Labour Organisation)
Nomor 87 tahun 1948 adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja
dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota
kelompok serta memberikan kemajuan dan kepastian dari kepentingan-
kepentingan pekerjaan mereka tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara.29
Tujuan utama ILO (International Labour Organisation) saat ini adalah
mempromosikan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif, dalam kondisi merdeka,
setara, aman dan bermartabat.30
ILO (International Labour Organisation)
mendukung Indonesia untuk mencapai tujuan menciptakan lapangan kerja
yang layak, melalui program-program dan kegiatan di tiga area utama,
yaitu:
1. Menghapuskan eksploitasi di tempat kerja
2. Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan dan
pemulihan mata pencaharian, khususnya bagi kaum muda
3. Dialog sosial untuk pertumbuhan ekonomi serta prinsip dan hak
mendasar di tempat kerja
Menurut Manulang, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah:31
1. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan
2. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas
dari pengusaha
Butir (1) lebih menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan harus
menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait
dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan
kelangsungan berusaha. Adapun butir (2) dilatar belakangi adanya
29 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 38
30
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 47
31
Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2016), h. 7
34
pengalaman selama ini yang sering kali terjadi kesewenang-wenangan
pengusaha terhadap pekerja. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan
hukum secara komprehensif dan konkret dari pemerintah.
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal, mewujudkan pemerataan
kesempatan kerja, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga
kerja.32
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan
d. Meningkatkan kesejahteran tenaga kerja dan keluarganya
Pekerja dalam berserikat dan berkumpul harus dijamin haknya dengan
tujuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota
mereka. Hak berserikat dan berkumpul merupakan salah satu syarat
penting untuk bisa menjamin hak atas upah yang adil.33
Pembinaan atau pengaturan hubungan industrial yang pada dasarnya
pengaturan hak dan kewajiban tidak lain untuk menciptakan hubungan
yang harmonis antara pelaku proses produksi dengan tujuan meningkatkan
kinerja perusahaan dan kesejahteraan.34
Hubungan industrial yang baik akan menciptakan kerja yang tentunya
akan sangat berpengaruh pula pada peningkatan produktivitas dan
32 Yatim kelana dkk, Sorotan Pers Tentang Ketenagakerjaan, (Jakarta: wijaya, 1993), h. 2
33
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 44
34
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 48
35
kesejahteraan pekerja.35
Tujuan akhir pengaturan hubungan industrial
adalah meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Untuk dapat
menciptakan tujuan tersebut, maka faktor utama adalah interaksi yang
positif antara pekerja dan pengusaha. Dengan demikian, ketenangan kerja
menjadi tujuan dalam menciptakan hubungan industrial yang aman dan
dinamis.36
Para pekerja yang bekerja pada perusahaan harus mengimbangi jalinan
atau hubungan kerja dengan kerja nyata yang baik, penuh kedisiplinan,
dan tanggung jawab agar tujuan perusahaan dapat tercapai dengan penuh
keberhasilan bagi kepentingan pekerja itu sendiri. Dengan demikian, usaha
produksi perusahaan tidak akan terganggu karena kedua belah pihak saling
memperhatikan, saling menghargai, saling bekerjasama dan saling
berkegiatan dalam mencapai tujuan perusahaan.37
D. Ketenagakerjaan dalam Sudut Pandang Politik
Resonansi perubahan yang terjadi di bidang politik terasa pula pada
semua bidang dan segi kehidupan, pada tingkat individual, tingkat
organisasional, tingkat masyarakat dan bahkan juga pada tingkat Negara.
Jika sebagai akibat perubahan yang terjadi di bidang politik terjadi pula
perubahan di bidang militer, ekonomi sosial budaya dan pendidikan,
tentunya implikasinya terhadap ketenagakerjaan akan menjadi sangat luas,
suatu hal yang perlu diperhitungkan secara matang.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang
merupakan kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja yang masih aktif
bekerja. Hal ini karena kondisi kehidupan politik yang goyah. Kemudian
disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak
pada banyaknya industri yang gulung tikar dan tentu saja berdampak pada
35 Dhaniswara K Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha, (Jakarta: Rajawali
Press, 2006), h. 80
36
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 50-51
37
Sunindhia Y W dan Ninik Widiyanti, Masalah PHK dan Pemogokan, (Jakarta: Bina
Aksara, 1998), h. 129-137
36
Pemutusan Huungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.
Kondsi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu ini selalu
dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya
diberhentikan dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup
keluarganya.
Penetapan upah minimum di beberapa daerah diidentifikasi telah
menjadi salah satu alat politik pemerintah untuk memenangkan kepala
daerah.38
Hubungan industrial merupakan sisi yang paling rawan di dalam
bidang ketenagakerjaan. Kerawanan tersebut sebagai akibat dari sifat
hubungan kerja yang pada dasarnya ada perbedaan kepentingan antara
pelaku proses produksi (pekerja dan pengusaha). Kerawanan ini semakin
lebih potensial manakala hubungan industrial berkembang menjadi
bermuatan politik. Kaum pekerja yang lemah tidak jarang digunakan untuk
alat politik tertentu. Apalagi pada akhir-akhir ini, praktek hubungan
industrial diakui sebagai salah satu sisi pelaksanaan hak asasi manusia dan
demokratisasi.39
38 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 34
39
Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 48
37
BAB III
PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA
SEKTOR PELAYARAN DI INDONESIA
A. Profil Perusahaan PT Internusa Bahari Persada1
PT Internusa didirikan tahun 1995 dengan nama PT Pelayaran
Internusa Bahari Persada dihadapan Notaris Weece Herawati, S.H. Hal
tersebut tercantum dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas Nomor 229
tahun 1995 yang sudah disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dibawah naungan Direktur Jenderal
Administrasi Hukum Umum tanggal 6 Maret 1996 nomor SK.02-
4464.HT.01.01.TH.96. Lalu terjadi perubahan dari Notaris Weece
Herawati, S.H. menjadi Notaris Sukawaty Sumadi, S.H. tanggal 6 Maret
2015 yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia dibawah naungan Direktur Jenderal Administrasi
Hukum Umum tanggal 7 Maret 2015 nomor AHU-AH.01.03-0014607
dengan Klasifikasi Lapangan Usaha Utama sebagai Perusahaan Angkutan
Laut Domestik untuk barang.
PT Pelayaran Internusa Bahari Persada beralamat di Jalan Baruna
Nomor 5, Pelabuhan Sunda Kelapa, Kelurahan Ancol, Kecamatan
Pademangan, Kota Administrasi Jakarta Utara, DKI Jakarta. Pemilik dari
perusahaan pelayaran ini adalah Albert Wongso (Albert), Eugenia Njolito
dan Agung Sembada Anggianto. Susunan pengurus PT Internusa Bahari
Persada sebagai berikut:
1. Dewan Komisaris
a. Komisaris : Agung Sembada Anggianto
2. Direksi
a. Direktur Utama : Djoli
b. Direktur : Eugenia Njolito
1Htpps://ahu.go.id/profil-pt/CetakPDF?kode=%7ECw%7DlskAampm%40xw%7B%60mArqC
diakses pada 16 Juli 2018
38
B. Tinjauan Mengenai Pekerja di Indonesia
1. Hak dan Kewajiban Pekerja di PT Internusa Bahari Persada
Berbicara mengenai hak pekerja berarti kita membicarakan hak-
hak asasi, maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang
melekat pada diri pekerja itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan jika
hak tersebut terlepas atau terpisah, maka pekerja itu akan menjadi
turun derajat dan harkatnya sebagai manusia. Sedangkan hak yang
bukan asasi berupa hak pekerja yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang sifatnya non asasi.2 Hak dan kewajiban
subjek kerja, dimana hak merupakan suatu tuntutan dan keinginan
yang diperoleh oleh subjek kerja (pengusaha dan pekerja). Sedangkan
kewajiban adalah para pihak, disebut prestasi.3
Tahun 2004, International Labour Organisation (ILO) dan
Pemerintah Indonesia memulai program untuk mempromosikan dan
melindungi hak-hak pekerja migran, dengan fokus awal pada pekerja
domestik migran dan diperluas untuk mencapai para pekerja lainnya,
terutama jika melibatkan perdagangan.4 Untuk melindungi hak pekerja
dalam berserikat tanpa adanya campur tangan dari pihak pengusaha
maka International Labour Organisation (ILO) mengadakan Konvensi
pada tahun 1949 yang dinamakan Konvensi ILO Nomor 98 tahun
1949.5 Hak-hak pekerja adalah sebagai berikut:
6
a. Hak-hak Pekerja adalah Hak Asasi Manusia
b. Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding Bersama
c. Penghapusan Kerja Paksa
2 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 15
3 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan Mengetahui
Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum Mengenai Ketenagakerjaan,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2010), h. 35
4 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia, (Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011), h. 54
5 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 39
6 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 35-47
39
d. Macam-macam Hak Pekerja;
1) Hak atas Pekerjaan
2) Hak atas upah yang adil
3) Hak untuk berserikat dan berkumpul
4) Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan
5) Hak untuk diproses hukum secara sah
6) Hak untuk diperlakukan secara sama
7) Hak atas rahasia pribadi
8) Hak atas kebebasan suara hati
e. Kewajiban Pekerja;
1) Memahami, mengetahui dan mematuhi aturan dan prinsip-
prinsip dalam bekerja termasuk mengenai kesehatan dan
keselamatan kerja, berpartisipasi dalam pelatihan dan lain-lain.
2) Melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan prinsip-
prinsip ketenagakerjaan, termasuk kesehatan dan keselamatan
kerja.
3) Menjaga ketertiban dan harmoni di tempat kerja.
4) Memberitahukan kepada pengawas di tempat kerja ketika
melihat kecelakaan kerja atau bahaya terhadap kehidupan atau
kesehatan pekerja.
Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha kepada
pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan jasa yang telah
dilakukan. Hak atas manfaat pensiun tidak menghilangkan hak pekerja
atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak pekerja tersebut telah di jamin
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
40
Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan sosial antara pekerja
dan pengusaha menimbulkan hubungan subordinatif yang terbingkai
dalam hubungan kerja sehingga menimbulkan posisi tidak seimbang
antara keduanya. Dalam konteks inilah hukum dijadikan sarana guna
memberikan perlindungan bagi pekerja. Karena sebagai konsekuensi
dari hubungan kerja muncullah hak dan kewajiban yang oleh hukum
harus dijaga dan dilindungi. Menurut Adrian Sutedi7, hanya ada dua
cara melindungi pekerja yaitu:
a. Melalui undang-undang perburuhan. Karena dengan undang-
undang berarti ada jaminan negara untuk memberikan pekerjaan
yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan
kerja, dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial
setelah pensiun.
b. Melalui serikat pekerja. Karena melalui serikat pekerja, pekerja
dapat menyampaikan aspirasinya, berunding dan menuntut hak-hak
yang semestinya mereka terima. Serikat pekerja juga dapat
mewakili pekerja dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama yang
mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja dengan pengusaha
melalui suatu kesepakatan umum yang menjadi pedoman dalam
hubungan industrial.
Pasal 111 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa peraturan perusahaan sekurang-
kurangnya memuat:
a. Hak dan kewajiban pengusaha
b. Hak dan kewajiban pekerja
c. Syarat kerja
d. Tata tertib perusahaan
e. Jangka waktu peraturan perusahaan
7 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan…, h. 13
41
Konsep terhadap perlindungan hukum bagi pekerja yang
dipergunakan adalah perlindungan terhadap hak pekerja dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh
hukum bagi pekerja atas tindakan-tindakan pengusaha pada saat
sebelum bekerja (pre-employment), selama bekerja (during
employment) dan masa setelah bekerja (post employment). Hakikat
“hak pekerja” merupakan “kewajiban pengusaha”, dan sebaliknya “hak
pengusaha” merupakan “kewajiban pekerja”8 Dengan kata lain, jika isi
yang tertuang di dalam perjanjian kerja tersebut menunjukkan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pekerja maka
sebaliknya kewajiban tersebut bagi pihak pengusaha adalah haknya,
dan begitu pula jika isi yang tertuang di dalam perjanjian kerja tersebut
menunjukkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha maka
kewajiban tersebut merupakan hak-hak dari pekerja.
2. Jenis-Jenis Hubungan Kerja
Kegiatan formal dan informal penduduk yang bekerja dapat
diidentifikasikan berdasarkan status dan jenis pekerjaan. Sebanyak
33,74 juta pekerja Indonesia bekerja pada kegiatan atau pekerjaan
formal dan sekitar 73,67 juta orang atau hampir 70 persen bekerja di
kegiatan atau pekerjaan informal.9 Dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 101/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu tidak diatur secara rinci klasifikasi mengenai
jenis-jenis pekerjaan pokok (core business) dan pekerjaan penunjang
(non core business), kategori yang ditentukan bersifat umum dan tidak
mengakomodir perkembangan dunia usaha, sehingga dalam
pelaksanaannya terjadi tumpang tindih dan penyelewengan.
8 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007), h.26
9 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di
Indonesia…, h. 29
42
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah
dan perintah. Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara
pekerja dan pengusaha yang terjadi setelah diadakan perjanjian oleh
pekerja dengan pengusaha dimana pekerja menyatakan
kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar
upah.10
Di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Jenis-
jenis hubungan kerja adalah sebagai berikut:
a. Pekerjaan Waktu Tertentu (Kontrak)
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu adalah
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerja tertentu11
, hubungan kerja itu sendiri merupakan hubungan
hukum antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan sebuah
perjanjian kerja.
b. Pekerjaan Waktu Tidak Tertentu (Tetap)
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja tetap.12
Pekerjaan ini dalam prosesnya dapat mensyaratkan
masa percobaan kerja paling lama 3 bulan. Pada masa percobaan
itu pengusaha dilarang membayar upah dibawah minimum yang
10 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 88
11
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 13
12
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi…, h. 13
43
berlaku. Perjanjian untuk pekerjaan waktu tidak tertentu dibuat
secara tertulis, jika dibuat secara lisan maka pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan.
C. Pelanggaran-Pelanggaran yang Memperkenankan Pemutusan
Hubungan Kerja Secara Lisan di PT Internusa Bahari Persada
Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan
perusahaan yang berupa perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan
perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh perusahaan atau secara bersama-
sama antara pekerja atau serikat pekerja dengan perusahaan, yang isinya
minimal hak dan kewajiban masing-masing pihak dan syarat-syarat kerja,
dengan perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak agar di
dalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah satu pihak.
Perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja selama ini paling
banyak terjadi karena tindakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. Pemutusan
hubungan kerja dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun
pekerja. Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja
melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya,
pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan atas permohonan pekerja
karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah
disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada pekerja.13
Apabila melihat dari kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),
maka ada beberapa penyebab terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) tersebut antara lain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang
dilakukan perusahaan secara lisan, adanya efisiensi yang dilakukan
perusahaan sehingga menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK), serta karena ada kesalahan berat yang dilakukan pekerja.
13 Lalu husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di
Luar Pengadilan, (Jakarta: raja grafindo persada, 2007), h. 46
44
Dikemukakan ada delapan alasan dalam Pemutusan hubungan Kerja
(PHK) yaitu karena undang-undang, keinginan perusahaan, keinginan
karyawan, pensiun, kontrak kerja berakhir, kesehatan karyawan,
meninggal dunia dan perusahaan di likuidasi.14
Menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat
saja melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam berbagai
kondisi yaitu:
1. Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri;
2. Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena
berakhirnya hubungan kerja;
3. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun;
4. Pekerja melakukan kesalahan berat;
5. Pekerja ditahan pihak yang berwajib;
6. Perusahaan mengalami kerugian;
7. Pekerja mangkir terus menerus;
8. Pekerja meninggal dunia;
9. Pekerja melakukan pelanggaran;
10. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan
kepemilikan;
11. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena alasan efisiensi.
Pemberhentian berdasarkan keinginan perusahaan dapat menyebabkan
seseorang harus diberhentikan dari perusahaan, baik secara terhormat atau
dipecat. Permohonan izin Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diberikan
karena buruh melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan besar, antara
lain:
1. Pada saat perjanjian kerja diadakan, pekerja memberikan keterangan
palsu atau dipalsukan;
2. Melakukan tindakan kejahatan;
14 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan…, h. 174
45
3. Melakukan penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancam
pengusaha, keluarga pengusaha serta teman kerja.
Pelanggaran terhadap perjanjian yang ada tentunya ada sanksi berupa
teguran lisan atau surat tertulis, atau bisa juga berupa surat peringatan.
Surat peringatan tertulis dapat dibuat surat peringatan pertama, kedua,
sampai ketiga. Masing-masing surat peringatan memiliki masa berlaku
selama 6 bulan. Apabila pekerja sudah diberi peringatan sampai 3 kali
berturut-turut terhadap pelanggaran yang sama maka perusahaan dapat
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti yang sudah
dijelaskan pada Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Namun, untuk beberapa hal yang menyangkut dengan
kebijakan dari manajemen perusahaan berkaitan dengan kesejahteraan
pekerja dan juga penjatuhan sanksi disiplin oleh perusahaan karena
adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja seringkali menimbulkan
masalah.
Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh
perusahaan harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) dilakukan dalam beberapa proses, yaitu mengadakan
musyawarah antara pekerja dengan perusahaan. Bila menemui jalan buntu
maka jalan terakhir adalah melalui pengadilan untuk memutuskan perkara.
Bagi pekerja yang bermasalah melakukan pelanggaran berat, langsung
diserahkan kepada pihak kepolisian tanpa meminta izin kepada pihak
yang berwenang. Dan untuk pekerja yang akan pensiun dapat diajukan
sesuai dengan peraturan. Demikian pula pekerja yang mengundurkan diri
diatur sesuai dengan peraturan perusahaan dan perundang-undangan
sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerja yang telah
diputus hubungan kerjanya.
Berdasarkan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan tersebut,
maka dapat dipahami bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
merupakan opsi terakhir dalam penyelamatan sebuah perusahaan.
46
Undang-undang ketenagakerjaan sendiri mengatur bahwa perusahaan
tidak boleh semena-mena memutuskan hubungan kerja pekerjanya.
Terkecuali karyawan atau pekerja yang bersangkutan telah terbukti
melakukan pelanggaran berat dan dinyatakan oleh putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap bahwa pekerja tersebut
telah melakukan kesalahan berat. Telah jelasnya peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan
tata cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Persoalannya adalah, masih
banyak kita temukan berbagai macam pelanggaran terkait Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dalam ketenagakerjaan.
D. Urgensi Perjanjian Kerja dalam Kesepakatan Kerja Bersama
Perjanjian kerja mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian bahwa
perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama atau
pekerja mengikatkan dirinya dibawah perintah pihak yang lain (majikan)
untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1
butir (14) menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-
syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Menurut Imam Soepomo, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
dimana pihak pertama (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah dari pihak kedua (majikan), dan majikan mengikatkan diri
untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah.15
Berdasarkan hal
tersebut, maka unsur-unsur dari perjanjian kerja yaitu:
1. Adanya Unsur pekerjaan
2. Adanya unsur perintah
3. Adanya unsur upah
15 Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Medan: USU Press, 2010), h.
40
47
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juncto Pasal 52 butir (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menjelaskan bahwa:
1. Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak,
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) huruf a dan b dapat
dibatalkan
3. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) huruf c dan d batal
demi hukum
Jenis-jenis perjanjian kerja adalah sebagai berikut:16
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian ini didasarkan atas jangka waktu atau selesainya
Pekerjaan. Dalam hal ini, perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk jenis sifat dan pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat:17
a. Pekerjaan yang sifatnya sekali selesai atau sementara
b. Pekerjaan yang diperkirakan akan selesai dalam waktu paling
lama 3 tahun
c. Pekerjaan yang sifatnya musiman
16 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 19-20
17
Goenawan Oetomo R, pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia,
(Jakarta: Grahadika Binangkit Press, 2004), h. 15
48
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
Perjanjian ini mengenai hubungan kerja yang tidak dibatasi oleh
jangka waktu atau tidak dibatasi oleh selesainya pekerjaan. Dalam
perjanjian ini, dapat disyaratkan adanya masa percobaan dengan
jangka waktu paling lama tiga bulan.
Perjanjian ketenagakerjaan dikenal 2 bentuk perjanjian yang sudah
dijelaskan didalam Pasal 51 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk perjanjian tersebut yaitu:
1. Perjanjian Tertulis adalah perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu
atau adanya kesepakatan para pihak bahwa perjanjian itu dibuat secara
tertulis agar adanya kepastian hukum.
2. Perjanjian tidak tertulis adalah perjanjian yang oleh undang-undang
tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis
Pada Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa kesepakatan kedua belah pihak yang
mengikatkan dirinya harus setuju atau sepakat, seia sekata mengenai hal-
hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak
yang membuat perjanjian haruslah cakap membuat perjanjian ataupun
cukup umur minimal 18 tahun.
Perwujudan Jaminan Perlindungan terhadap tenaga kerja ditetapkan
melalui perjanjian kerja yang ditandatangani oleh tenaga kerja dan pihak
pengguna melalui program dan sistem asuransi perlindungan terhadap
berbagai resiko serta bantuan hukum bagi tenaga kerja yang mengalami
permasalahan. Perjanjian-perjanjian kerja tersebut meliputi:18
1. Perjanjian penempatan secara tertulis antara penyelenggara dan
pengguna tenaga kerja
18 Abdullah Sulaiman dan Azhar Usman, Hukum Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Program
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta, 2008), h. 31-32
49
2. Perjanjian penempatan secara tertulis antara penyelenggara dan tenaga
kerja
3. Perjanjian perburuhan secara tertulis antara pengguna dan tenaga kerja
4. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan
tenaga kerja mulai dari keberangkatan di daerah asal, selama bekerja,
sampai dengan kembali ke daerah asal.
Suatu perusahaan yang memperkerjakan buruh wajib mempunyai
peraturan perusahaan. Kewajiban tersebut memiliki keharusan berupa:
1. Pengusaha yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang,
wajib membuat peraturan perusahaan yang disahkan oleh menteri
ketenagakerjaan dan transmigrasi,
2. Kewajiban perusahaan membuat peraturan perusahaan tidak berlaku
apabila perusahaan telah memiliki perjanjian bersama, dan
3. Peraturan perusahaan disusun oleh perusahaan dan menjadi tanggung
jawab perusahaan yang sekurang-kurangnya memuat hak dan
kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban buruh, syarat kerja, tata
tertib perusahaan, serta jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan
adalah 2 tahun.
Pengusaha diharuskan pula membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
dengan buruhnya. Perjanjian kerja bersama dibuat serikat buruh atau
beberapa serikat buruh yang telah tercatat di kantor ketenagakerjaan
dengan pengusaha atau beberapa pengusaha secara musyawarah dan
tertulis dengan huruf latin menggunakan bahasa Indonesia. Dalam satu
perusahaan hanya dibuat satu perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk
seluruh serikat buruh di perusahaan selama 2 tahun. Perjanjian kerja
bersama memuat hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban serikat
buruh atau buruh, jangka waktu, tanggal berlaku serta tanda tangan para
pihak pembuat perjanjian kerja bersama.19
19 Abdullah Sulaiman, Arbitrase Perburuhan, (Jakarta: Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Islam Jakarta, 2013), h. 134
50
E. Dampak Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja oleh
Perusahaan PT Internusa Bahari Persada
Di tengah-tengah masa kerja kerap kali terjadi perselisihan hubungan
industrial, baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
antar serikat pekerja maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja
(PHK). Oleh karena itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa timbul
karena adanya hubungan kerja yang terjadi sebelumnya.20
Pemutusan
hubungan kerja merupakan isu yang sensitif. Pengusaha seharusnya
bijaksana dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), karena
pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat menurunkan kesejahteraan
masyarakat, rakyat kehilangan pekerjaan, bahkan yang lebih parah adalah
bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat mengakibatkan
pengangguran. Istilah pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan
sebuah momok bagi pekerja, mengingat banyak dampak dan akibat yang
ditimbulkan. Tidak hanya bagi pekerja itu sendiri, bahkan ini seperti efek
domino yang saling berkaitan satu sama lain dan merambah kesektor
kehidupan masyarakat lainnya. Pemerintah, pengusaha, pekerja dan
serikatnya harus mengupayakan agar jangan sampai terjadi pemutusan
hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150
sampai dengan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pemberhentian kerja merupakan peristiwa yang tidak
diharapkan terjadinya, karena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu akan
memberikan dampak psikologis, ekonomi finansial bagi pekerja dan
keluarganya.21
Berbagai implikasi yang ditimbulkan akibat pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga
kerja adalah sebagai berikut:
1. Pengangguran
20
Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
(Jakarta: CV Rajawali, 1989), h. 23
21
F X Djumadji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 88
51
2. Menurunnya status dan prestise
3. Memicu disintegrasi keluarga
4. Perubahan struktural dalam kehidupan sehari-hari
Kontribusi pekerja pada suatu perusahaan akan menentukan maju
mundurnya perusahaan. Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu
elemen utama dalam suatu sistem kerja, pekerja tidak bisa lepas dari
berbagai kesulitan dan masalah. Salah satu permasalahan yang sedang
marak sekarang ini adalah karena krisis ekonomi yang terjadi sehingga
banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan restrukturisasi.
Perusahaan harus mengurangi pekerjanya dengan alasan efisiensi. Kondisi
seperti ini diikuti oleh meningkatnya pemutusan hubungan kerja sehingga
setiap pekerja yang tidak mempunyai kompetensi tinggi harus memikirkan
alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) pada prinsipnya dapat terjadi jika
salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa rugi bila hubungan kerja
tersebut diteruskan. Dengan demikian, pemutusan hubungan kerja (PHK)
dapat terjadi karena keinginan pekerja, keinginan perusahaan, atau
keinginan kedua belah pihak. Sebenarnya, pemutusan hubungan kerja itu
sendiri dapat menimbulkan kerugian. Namun, karena kerugian yang
ditimbulkan akibat mempertahankan hubungan kerja dianggap lebih besar
dibandingkan dengan kerugian akibat pemutusan hubungan kerja (PHK)
maka pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilaksanakan. Alasan
pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan bukan karena
ketidakjujuran pekerja, melainkan juga alasan-alasan lain yang dianggap
merugikan, misalnya ketidakmampuan bekerja, malas, pemabok, tidak
patuh, sering absen, dan sebagainya. Pemutusan hubungan kerja (PHK) ini
menurut pandangan perusahaan akan menimbulkan kerugian yang lebih
kecil daripada meneruskan hubungan kerja.
Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya
hubungan kerja itu, khususnya bagi pekerja dan keluarganya, pemutusan
hubungan kerja (PHK) bagi pekerja merupakan permulaan segala
52
pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan,
permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup,
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya. Faktanya, pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak menimbulkan permasalahan
terhadap kedua belah pihak karena pihak yang bersangkutan sama-sama
telah menyadari dan mengetahui bahwa saat berakhirnya hubungan kerja
tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri
menghadapi kenyataan tersebut. Berbeda halnya dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan
ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak. Terutama pekerja
yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah
jika dibandingkan dengan pihak pengusaha.
Akibat hukum dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) selalu ada,
baik terhadap pengusaha maupun terhadap pekerja itu sendiri. Akibat
hukum yang dimaksud adalah bentuk pemberian kompensasi upah kepada
kepada pekerja yang hubungan kerjanya terputus dengan pengusaha. Bagi
pengusaha, ada kewajiban untuk memberikan kompensasi upah kepada
pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya. Sebaliknya, pekerja berhak
untuk mendapatkan kompensasi upah yang dimaksud. Namun demikian,
tidak selamanya pmutusan hubungan kerja (PHK) selalu diikuti dengan
pemberian kompensasi upah kepada pekerja. Adakalanya pekerja tidak
mendapatkan kompensasi apapun atas terputusnya hubungan kerja dengan
pengusaha, seperti misalnya pekerja yang hubungan kerjanya diakhiri
dalam masa percobaan atau hubungan kerjanya didasarkan pada Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Terdapat berbagai alasan atau sebab pekerja itu berhenti, ada yang
didasarkan permintaan sendiri. Tetapi ada juga karena peraturan yang
sudah tidak memungkinkan lagi yang akhirnya membuat pekerja tersebut
tidak meneruskan pekerjaannya. Akibat Pemutusan hubungan kerja (PHK)
ternyata dapat menimbulkan dampak bagi pekerja dan perusahaan.
53
Dampak bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya adalah pekerja
akan kehilangan pekerjaannya, sehingga penghasilan untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya pun akan berkurang. Atas dasar tersebut, maka
bagian sumber daya manusia harus sudah dapat memperhitungkan berapa
jumlah uang yang seharusnya diterima oleh pekerja yang berhenti agar
pekerja tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sampai pada tingkat
dianggap cukup.
Selain dampak bagi pekerja itu sendiri, proses pemutusan hubungan
kerja (PHK) itu akan memberikan dampak positif dan negatif bagi
perusahaan. Dampak positif bagi perusahaan adalah memungkinkan
perusahaan untuk mendapatkan pekerja yang lebih baik dari pekerja
sebelumnya, dan mengurangi biaya pengeluaran gaji atau efisiensi.
Sedangkan dampak negatif bagi perusahaan yaitu citra perusahaan akan
berkurang di mata investor dan masyarakat, perusahaan akan kehilangan
pekerjanya, perusahaan akan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk
mendapatkan pekerja baru serta kuantitas produksi perusahaan menjadi
menurun.
Sebagian pekerja langsung menyetujui perjanjian secara lisan tanpa
memikirkan dampak buruk ketika pengusaha melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Bagi kaum pekerja, putusnya hubungan kerja
berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga
untuk menjamin kepastian dan ketentraman kaum buruh seharusnya tidak
ada pemutusan hubungan kerja. Tetapi, pengalaman sehari-hari
membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah
seluruhnya.
F. Kompensasi Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja dapat
dilakukan oleh pihak tenaga kerja maaupun pihak perusahaan. Secara
54
umum, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) ada bermacam-
macam, yaitu dari mulai adanya tenaga kerja yang mengundurkan diri,
tidak diperpanjang kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),
pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak baik secara lisan mupun tertulis
oleh perusahaan hingga perusahaan yang mengalami keadaan pailit.
Setiap pemutusan hubungan kerja memiliki konsekuensi bagi para
pihak, seperti hak buruh dan hak pengusaha. Hak buruh merupakan
kewajiban dari pihak pengusaha dalam pemutusan hubungan kerja.
Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja maka pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja serta
uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 156 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Mengenai kompensasi diatur dalam ketentuan Pasal 156 butir (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menjelaskan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima. Perhitungan uang pesangon tersebut diatur dalam ketentuan Pasal
156 butir (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perhitungan uang pesangon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 butir (1) paling sedikit sebagai
berikut:
1. Masa kerja kurang dari satu tahun, satu bulan upah;
2. Masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, dua
bulan upah;
3. Masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun, tiga
bulan upah;
4. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun, empat
bulan upah;
55
5. Masa kerja empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun, lima
bulan upah;
6. Masa kerja lima tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun, enam
bulan upah;
7. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari tujuh tahun, tujuh
bulan upah;
8. Masa kerja tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan tahun,
delapan bulan upah;
9. Masa kerja delapan tahun atau lebih, sembilan bulan upah.
Penghitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud
Pasal 156 butir (1) ditetapkan dalam Pasal 156 butir (3) sebagai berikut:
1. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun, dua
bulan upah;
2. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan tahun,
tiga bulan upah;
3. Masa kerja sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari dua belas
tahun, empat bulan upah;
4. Masa kerja dua belas tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas
tahun, lima bulan upah;
5. Masa kerja lima belas tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan
belas tahun, enam bulan upah;
6. Masa kerja delapan belas tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh
satu tahun, tujuh bulan upah;
7. Masa kerja dua puluh satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua
puluh empat tahun, delapan bulan upah;
8. Masa kerja dua puluh empat tahun atau lebih, sepuluh bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana
dimaksud Pasal 156 butir (1) ditetapkan dalam Pasal 156 butir (4)
meliputi:
1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
56
2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat
dimana pekerja diterima bekerja;
3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat;
4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dalam Pasal 156 butir (5) juga dijelaskan bahwa perubahan
perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 156 butir (2),
(3), dan butir (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Jika terjadi pemutusan hubungan kerja dalam perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTT) maka pekerja mendapatkan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja (bagi pekerja yang bekerja minimal 3 tahun) dan
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Namun apabila pemutusan
hubungan kerja terjadi pada pekerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) dan salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pekerjaan waktu tertentu,
maka jika pihak pekerja yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja
sampai batas jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja. Tetapi kalau
pihak pengusaha yang memutuskan hubungan kerja sebelum berakhir
jangka waktu sesuai perjanjian maka pihak pengusaha diwajibkan
membayar sisa jangka waktu yang ditetapkan sesuai besaran upah yang
dijanjikan.
57
BAB IV
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA LISAN DI PT INTERNUSA
BAHARI PERSADA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
52 K/PDT.SUS-PHI/2018
A. Kronologi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan
oleh PT Internusa Bahari Persada
Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-
PHI/2018 tentang perkara gugatan Pemutusan Hubungan Kerja, adapun
yang mengajukan gugatan adalah Timbul Simatupang. Dalam hal ini,
Timbul Simatupang mengajukan gugatan pada Pengadilan Hubungan
Industrial Jakarta Pusat, melawan PT Internusa Bahari Persada sebagai
Tergugat I dan Djoli selaku Direktur Utama PT Internusa Bahari Persada
sebagai Tergugat II. Gugatan tersebut dikabulkan sebagian oleh
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan putusan Nomor 155/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Jkt.Pst. tanggal 6
September 2017, dengan duduk Perkara sebagai berikut:
1. Timbul Simatupang bekerja pada PT Internusa Bahari Persada dengan
status Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak sesuai
dengan Perjanjian Kerja Laut yang ditandatangani oleh Timbul
Simatupang dan Saudara Sutiono Chandra selaku Kepala Cabang PT
Internusa Bahari Persada di Pangkal Pinang;
2. Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Kerja Laut tersebut, maka
dibuatlah surat penempatan kerja oleh PT Internusa Bahari Persada
yang ditandatangani oleh Djoli sebagai Direktur Utama PT Internusa
Bahari Persada kepada Timbul Simatupang;
3. Perjanjian Kerja Laut antara Timbul Simatupang dengan PT Internusa
Bahari Persada berlangsung selama satu tahun terhitung mulai tanggal
25 Juli 2016 dengan jabatan Nakhoda kapal dan masa percobaan tiga
bulan telah dilalui oleh Timbul Simatupang dengan baik;
58
4. Kemudian secara tiba-tiba pada tanggal 5 Desember 2016, Timbul
Simatupang dipanggil oleh PT Internusa Bahari Persada dan secara
sepihak dengan pernyataan lisan menyatakan hubungan kerja antara
Timbul Simatupang dengan PT Internusa Bahari Persada telah
berakhir;
5. Dasar Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan PT Internusa Bahari
Persada kepada Timbul Simatupang dikarenakan Timbul Simatupang
pada tanggal 26 November 2016 dan tanggal 2 Desember 2016
melakukan pelanggaran kerja dengan membiarkan kapal kandas;
menyenggol kapal teman hingga tiangnya roboh; minum-minuman
keras; setelah mau berlayar, memarahi lima Anak Buah Kapal akibat
mabuk; kurang cakap membawa kapal; serta membahayakan
keselamatan kapal;
6. Atas tuduhan tersebut, Timbul Simatupang membantahnya. Dasar
bantahan Timbul Simatupang adalah bila memang benar Timbul
Simatupang melakukan pelanggaran seperti yang disebutkan di atas,
tentu harus ada surat peringatan terlebih dahulu dari PT Internusa
Bahari Persada kepada Timbul Simatupang agar tidak mengulangi
perbuatannya. Namun PT Internusa Bahari Persada tidak dapat
membuktikannya karena memang Timbul Simatupang tidak pernah
melakukan segala yang diruduhkan PT Internusa Bahari Persada dan
memang tidak pernah terjadi;
7. Timbul Simatupang juga menjelaskan bahwa pada tanggal 2 Desember
2016, ia tetap menjalankan tugas sebagai nakhoda kapal dan berlayar
serta kembali ke dermaga membawa kapal dengan selamat;
8. Akibat peristiwa tersebut, Timbul Simatupang diminta untuk
menandatangani berita acara tentang peristiwa tanggal 26 November
2016 dan 2 Desember 2016 oleh Saudara Bastian Dimas Putra selaku
Chief Officer. Namun, ditolak oleh Timbul Simatupang sebab berita
acara tersebut dibuat oleh pihak yang tidak berwenang atau
berkompeten;
59
9. PT Internusa Bahari Persada yang diwakili oleh Djoli tetap
memutuskan hubungan kerja secara sepihak kepada Timbul
Simatupang dan ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun kepada
PT Internusa Bahari Persada. Oleh karena itu, Timbul Simatupang
meminta PT Internusa Bahari Persada untuk membayarkan sisa gaji
Timbul Simatupang selama tujuh bulan sisa waktu kerja;
10. Akan tetapi, PT Internusa Bahari Persada melalui Djoli tetap tidak
memenuhi kewajibannya kepada Timbul Simatupang untuk membayar
sisa gaji Timbul Simatupang meskipun perkara tersebut telah
disampaikan kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Administrasi Jakarta Utara;
11. Sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa apabila salah satu
pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), atau
berakhirnya hubungan kerja, pihak yang mengakhiri hubungan kerja
diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain sebesar upah
pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Karena yang mengakhiri hubungan kerja adalah perusahaan maka
pihak perusahaan berkewajiban membayar sisa kontrak yang belum
berakhir;
12. Berdasarkan fakta-fakta di atas, tindakan PT Internusa Bahari Persada
kepada Timbul Simatupang yang melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja secara sepihak tanpa pemenuhan hak-hak Timbul Simatupang
adalah tindakan tidak sah secara hukum;
13. Timbul Simatupang memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan dan memerintahkan
PT Internusa Bahari Persada membayar sisa gaji Timbul Simatupang
selama sisa waktu kontrak kerja.
Gugatan yang diajukan oleh Timbul Simatupang mempunyai
kelemahan-kelemahan dari segi teknis beracara yang mengakibatkan
60
gugatan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh
pengadilan. Adapun eksepsi dari PT Internusa Bahari Persada dan Djoli
adalah sebagai berikut:
1. Tidak pernah ada mediasi antara Timbul Simatupang dan PT Internusa
Bahari Persada. Salah satu fakta hukumnya adalah pada Pasal 83 butir
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dijelaskan bahwa pengajuan gugatan
yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada penggugat. Oleh sebab itu,
dikarenakan gugatan Timbul Simatupang tanpa dilampiri dengan
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka Majelis
Hakim wajib untuk tidak menerima serta mengembalikan gugatan
tersebut kepada Timbul Simatupang;
2. Gugatan Timbul Simatupang salah pihak (Error in Persona). Hal itu
dikarenakan perjanjian kerja Timbul Simatupang adalah dengan PT
Internusa Bahari Persada, sehingga para pihak dalam perselisihan
tersebut hanyalah Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari
Persada. Disamping itu, Timbul Simatupang tidak mempunyai
hubungan kerja dengan Djoli, sehingga Timbul Simatupang hanya
dapat menggugat PT Internusa Bahari Persada tanpa melibatkan Djoli.
Sesuai hukum acara, Majelis Hakim wajib untuk tidak menerima
gugatan Timbul Simatupang.
Dalam Pokok Perkara:
3. PT Internusa Bahari Persada dan Djoli memohon kepada Majelis
hakim agar apa yang telah diuraikan dalam eksepsi merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pokok perkara;
4. PT Internusa Bahari Persada dan Djoli membantah, menolak serta
menyangkal dengan tegas seluruh dalil, alasan dan hal-hal yang
dikemukakan oleh Timbul Simatupang didalam gugatannya, kecuali
61
yang secara tegas dinyatakan atau diakui kebenarannya oleh PT
Internusa Bahari Persada dan Djoli didalam jawaban pokok perkara;
5. Dalil Timbul Simatupang pada surat gugatan butir 1 yang menyatakan
Timbul Simatupang bekerja pada PT Internusa Bahari Persada dengan
status Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) sesuai dengan Perjanjian Kerja
Laut adalah tidak benar dan menyesatkan. Dalam Perjanjian Kerja
Laut antara Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari Persada yang
benar adalah atas dasar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT);
6. Djoli selaku Direktur PT Internusa Bahari Persada telah membuat dan
menandatangani surat penempatan Timbul Simatupang. Dalam surat
tersebut Timbul Simatupang ditugaskan di KM Karsa Jaya sebagai
Nakhoda;
7. PT Internusa Bahari Persada menolak keras dalil Timbul Simatupang
pada butir 3 yang menyatakan Perjanjian Kerja Laut antara Timbul
Simatupang dan PT Internusa Bahari Persada berlangsung selama satu
tahun terhitung mulai tanggal 25 Juli 2016. Dalil Timbul Simatupang
tidak benar dan mengada-ada;
8. Pada perjanjian kerja laut yang dibuat antara Timbul Simatupang dan
PT Internusa Bahari Persada, sengaja tidak dicantumkan masa kerja
atau berakhirnya hubungan kerja atau perjanjian kerja, yang ada hanya
dicantumkan tanggal mulai kerja pekerja dan tenggang waktu
pengajuan pengakhiran perjanjian, yakni dengan waktu 3 x 24 jam
sebelum perjanjian kerja ini berakhir. Dengan demikian, perjanjian
kerja laut ini adalah perjanjian untuk waktu yang tidak tertentu atau
sampai pemutusan perjanjian yang dapat dilakukan oleh satu pihak;
9. PT Internusa Bahari Persada membantah dalil Timbul Simatupang
pada surat gugatan butir 4, 5, 6, 8, 9, dan 10 perihal:
a. Timbul Simatupang dipanggil oleh PT Internusa Bahari Persada
dan secara sepihak dengan pernyataan lisan menyatakan hubungan
kerja antara Timbul Simatupang dengan PT Internusa Bahari
Persada telah berakhir;
62
b. Dasar Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan PT Internusa
Bahari Persada kepada Timbul Simatupang dikarenakan Timbul
Simatupang melakukan pelanggaran kerja dengan membiarkan
kapal kandas; menyenggol kapal teman hingga tiangnya roboh;
minum-minuman keras; setelah mau berlayar, memarahi lima Anak
Buah Kapal akibat mabuk; kurang cakap membawa kapal; serta
membahayakan keselamatan kapal;
c. Atas peristiwa tersebut, Timbul Simatupang membantahnya. Dasar
bantahan Timbul Simatupang adalah bila memang benar Timbul
Simatupang melakukan pelanggaran seperti yang disebutkan di
atas, tentu harus ada surat peringatan terlebih dahulu dari PT
Internusa Bahari Persada kepada Timbul Simatupang agar tidak
mengulangi perbuatannya. Namun PT Internusa Bahari Persada
tidak dapat membuktikannya karena memang Timbul Simatupang
tidak pernah melakukan segala yang dituduhkan PT Internusa
Bahari Persada dan memang tidak pernah terjadi;
d. Akibat peristiwa tersebut, Timbul Simatupang diminta untuk
menandatangani berita acara. Namun, ditolak oleh Timbul
Simatupang sebab berita acara tersebut dibuat oleh pihak yang
tidak berwenang atau berkompeten;
e. PT Internusa Bahari Persada yang diwakili oleh Djoli tetap
memutuskan hubungan kerja secara sepihak kepada Timbul
Simatupang dan Timbul Simatupang merasa tidak melakukan
kesalahan apapun kepada PT Internusa Bahari Persada;
f. PT Internusa Bahari Persada melalui Djoli tetap tidak memenuhi
kewajibannya kepada Timbul Simatupang untuk membayar sisa
gaji Timbul Simatupang meskipun perkara tersebut telah
disampaikan kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kota Administrasi Jakarta Utara.
10. Tanggal 2 Desember 2016, Timbul Simatupang masih menjalankan
pekerjaannya sebagaimana dalil Timbul Simatupang pada surat
63
gugatan butir 7. Namun PT Internusa Bahari Persada telah mencatat,
dalam waktu singkat telah terjadi 2 kejadian serius yang dapat
membahayakan keselamatan orang, barang, keselamatan dan
keamanan pelayaran;
11. PT Internusa Bahari Persada membantah dalil Timbul Simatupang
pada surat gugatan butir 11 yang menyatakan pada Pasal 62 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan
bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja, pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja. Berdasarkan hal tersebut, karena hubungan
kerja antara PT Internusa Bahari Persada dan Timbul Simatupang atas
dasar Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu bukan perjanjian kerja
waktu tertentu, maka ketentuan dalam pasal itu tidak berlaku atau tidak
dapat diterapkan dalam perkara tersebut;
12. PT Internusa Bahari Persada menolak tegas dalil Timbul Simatupang
pada surat gugatan butir 12 dan 13. Pemutusan Hubungan Kerja sudah
sah dan mengikat menurut hukum, tata cara pemutusan hubungan kerja
sesuai dengan ketentuan perjanjian kerja laut yang dibuat,
ditandatangani dan dibacakan seluruhnya dihadapan syahbandar
Pangkalbalam;
13. PT Internusa Bahari Persada membantah dan menolak dalil Timbul
Simatupang tentang upah proses dikarenakan hubungan kerja antara
Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari Persada telah berakhir.
Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah;
64
14. Permohonan sita jaminan terhadap barang milik PT Internusa Bahari
Persada sepatutnya ditolak;
15. Dalam perkara tersebut, tidak ada bukti-bukti dari Timbul Simatupang
yang dapat membuktikan adanya upaya PT Internusa Bahari Persada
akan mengalihkan, mengasingkan dan memindahtangankan hartanya
kepada pihak lain atau pihak ketiga akibat adanya gugatan Timbul
Simatupang dengan maksud agar tidak tersentuh oleh putusan hukum
dalam perkara tersebut. Tidak ada alasan apalagi niat PT Internusa
Bahari Persada untuk melakukan hal itu. Dengan demikian, sudah
sepatutnya Majelis Hakim menolak permohonan sita jaminan Timbul
Simatupang;
16. Tuntutan uang paksa (Dwangsom) pantas ditolak.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pada tanggal 6
September 2017 sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Timbul Simatupang untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Timbul Simatupang dengan
PT Internusa Bahari Persada terhitung sejak tanggal 3 Desember 2016;
3. Menghukum PT Internusa Bahari Persada untuk membayar kepada
Timbul Simatupang sebagai kompensasi atas pemutusan hubungan
kerja tersebut berupa Pesangon dan Uang Penggantian Hak serta THR
(Tunjangan Hari Raya) Tahun 2016;
4. Memerintahkan Djoli untuk tunduk dan mematuhi putusan ini;
5. Menolak gugatan Timbul Simatupang selain dan selebihnya;
6. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Akan tetapi, karena Timbul Simatupang tidak terima dengan hasil
putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan negeri Jakarta Pusat,
ia mengajukan kasasi tanggal 2 Oktober 2017 dengan isi memori kasasi
sebagai berikut:
65
1. Menerima Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi dan membatalkan
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tanggal 6 September 2017 dengan register perkara nomor
155/Pdt.Sus-PHI/2017.PN.JKT.PST dan selanjutnya mengadili sendiri
dengan amar putusan yaitu:
a. Menerima dan mengabulkan gugatan Timbul Simatupang untuk
seluruhnya;
b. Menyatakan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan
yang dilakukan oleh PT Internusa Bahari Persada kepada Timbul
Simatupang tanpa pemenuhan haknya adalah tidak sah;
c. Menyatakan sah dan mengikat secara hukum perjanjian kerja laut
tanggal 25 Juli 2016 yang dibuat dan disepakati antara Timbul
Simatupang dengan Sutiono Chandra serta surat penempatan kerja
tanggal 25 Juli 2016 yang dibuat oleh PT Internusa Bahari Persada
dan ditandatangani oleh Djoli;
d. Menghukum PT Internusa Bahari Persada untuk membayar gaji
Timbul Simatupang selama tujuh bulan sisa waktu kerja kontrak;
e. Meletakkan sita jaminan terhadap benda bergerak dan tidak
bergerak milik PT Internusa Bahari Persada;
f. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut;
g. Menghukum PT Internusa Bahari Persada untuk membayar uang
paksa (dwangsom) kepada Timbul Simatupang;
h. Menghukum Djoli untuk tunduk dan taat atas putusan perkara
tersebut;
i. Menghukum PT Internusa Bahari Persada membayar biaya perkara
bila ada;
j. Atau, bila Mahkamah Agung berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aqueo et bono).
PT Internusa Bahari Persada juga telah mengajukan kontra memori
kasasi tanggal 30 Oktober 2017 yang pada pokoknya menolak
permohonan kasasi dari Timbul Simatupang. Namun dikarenakan
66
menurut Mahkamah Agung putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh Timbul Simatupang tersebut harus ditolak.
Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa PT Internusa Bahari Persada dan
Timbul Simatupang telah melakukan kesalahan. PT Internusa Bahari
Persada sebagai perusahaan tempat Timbul Simatupang bekerja tidak ada
upaya hukum untuk mencegah pemutusan hubungan kerja. Walaupun
Timbul Simatupang melakukan pelanggaran berat, namun tetap saja ia
merupakan pekerja yang memiliki hak-hak yang harus dijunjung tinggi.
Timbul Simatupang sebagai pekerja di PT Internusa Bahari Persada tidak
menghormati hak dan kewajiban perusahaan dengan melakukan tindakan
yang mencoreng nama baik perusahaan. Jika antara PT Internusa Bahari
Persada dan Timbul Simatupang saling menghormati, menghargai dan
menjunjung hak serta kewajiban masing-masing maka hal seperti ini tidak
akan terjadi.
B. Analisis Kasus Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018
Timbul Simatupang yang merupakan pekerja di PT Internusa Bahari
persada di putus hubungan kerjanya perusahaan tersebut. Menurut PT
Internusa bahari Persada, Timbul Simatupang telah melakukan
pelanggaran berat yaitu minum minuman keras yang mengakibatkan kapal
kandas, menyenggol kapal teman hingga tiang kapal roboh, memarahi
beberapa anak buah kapal karena sedang mabuk, kurang cakap membawa
kapal serta mengganggu keselamatan kapal. Oleh karena itu PT Internusa
Bahari Persada melakukan pemutusan hubungan kerja secara lisan dan
sepihak tanpa memberi surat peringatan terlebih dahulu. Padahal
berdasarkan putusan pada tingkat pertama dan tingkat kasasi telah
dijelaskan bahwa Timbul Simatupang merupakan pekerja PKWTT
(Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) yang menjelaskan bahwa
67
seharusnya sebelum pemutusan hubungan kerja terjadi, harus ada upaya
dari perusahaan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam Pasal
151 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha, pekerja, serikat pekerja,
dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, perusahaan PT Internusa Bahari Persada menganggap tidak
pernah ada mediasi antara Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari
Persada. Namun, dalam pembuktian terdapat surat anjuran Mediator
Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara nomor
426/-1.831 tertanggal 8 Maret 2017 yang asli terlampir bersama surat
gugatan Timbul Simatupang. Anjuran tersebut membuktikan bahwa para
pihak telah menempuh proses penyelesaian perkara perselisihan
pemutusan hubungan kerja sebelum mengajukan gugatannya ke
pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sehingga Majelis Hakim berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1
butir (17) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial yang menjelaskan bahwa Pengadilan
Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial dan Pasal 83
butir (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial yang menjelaskan bahwa pengajuan
gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada penggugat.
Pemutusan hubungan kerja secara lisan dan sepihak yang dilakukan
oleh PT internusa Bahari Persada tidak dapat dibenarkan. Menurut PT
Internusa Bahari persada, tanpa adanya surat peringatan terhadap Timbul
Simatupang bukan berarti membuktikan Timbul Simatupang tidak
68
melakukan kesalahan. Karena surat peringatan tidak selalu harus diberikan
atas suatu pelanggaran seperti yang dilakukan Timbul Simatupang, dimana
apabila kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja sudah
dikategorikan berat dan merugikan perusahaan maka pelanggaran tersebut
dapat diberikan sanksi pemutusan hubungan kerja tanpa ada surat
peringatan terlebih dahulu. Tetapi dalam Pasal 161 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa:
1. Dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berturut-turut;
2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) masing-masing
berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama;
3. Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam butir (1) memperoleh uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali,
dan uang penggantian hak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Mengenai kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja memang tidak
bisa didiamkan begitu saja, namun harus sesuai peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pertimbangan hakim, PT Internusa tidak dikenakan sanksi
apapun, bahkan tidak dikenakan sanksi dikarenakan memutuskan
hubungan kerja secara lisan. Seharusnya walaupun pekerja itu terlibat
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTT) sekalipun setidaknya ada upaya pencegahan agar
pemutusan hubungan kerja tidak terjadi. Kalaupun diadakan pemutusan
hubungan kerja, alasan pemutusan hubungan kerja tersebut harus sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
69
C. Pengaturan Ketenagakerjaan Terhadap Masalah Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK)
Secara yuridis konstitusional, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dengan alasan efisiensi memang dibenarkan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 164 butir (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
(force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan
pekerja berhak atas uang pesangon sesuai peraturan yang berlaku.
Meskipun demikian, hal tersebut masih menimbulkan polemik dalam
praktik aturan ketenagakerjaan. Karena konteks perusahaan yang
melakukan efisiensi adalah agar perusahaan tidak menjurus kepada pailit
atau tutup perusahaan sehingga perusahaan dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) berdasarkan Pasal 164 butir (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja dan atau serikat
pekerja kerap menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan
efisiensi karena menurut mereka tidak ada pasal dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur efisiensi
tanpa tutupnya perusahaan bisa dijadikan alasan dilaksanakannya
pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. Hal ini tidak adil
karena efisiensi seringkali dijadikan alasan oleh pengusaha untuk
melaksanakan pemutusan hubungan keerja (PHK) secara sewenang-
wenang.
Bila seseorang diterima sebagai pekerja pada suatu perusahaan,
dengan sendirinya antara pekerja tersebut dan perusahaan tempatnya
bekerja telah terjadi hubungan kerja. Dengan adanya hubungan kerja ini,
masing-masing pihak, yaitu pekerja dan perusahaan, telah saling terikat
satu dan yang lain. Dengan adanya hubungan kerja yang menimbulkan
keterikatan satu dengan yang lain, masing-masing pihak mempunyai hak
dan kewajiban terhadap yang lain. Jika setelah adanya hubungan kerja ini
70
terjadi pemutusan hubungan kerja, hak dan kewajiban masing-masing
pihak harus dipenuhi sesuai dengan aturan permainan yang telah disetujui
bersama. Tidak ada perbedaan apakah pemutusan hubungan kerja tersebut
oleh pekerja atau oleh perusahaan, sebab dalam hukum ketenagakerjaan
hal ini dibedakan terkait dengan prosedur dan juga akibat hukumnya
seperti yang tercantum dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 hingga
Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, termasuk alasan-alasan pemutusan hubungan kerja
(PHK).1 Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha kepada pekerja bisa
disebabkan beragam alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan
status perusahaan, perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal
dunia, pekerja pensiun, atau karena pekerja telah mengerjakan kesalahan
berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158 butir (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa
pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan
alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
di lingkungan kerja;
4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
1 Abdul R Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 79
71
7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan;
8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan negara; atau
10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara lima tahun atau lebih.
Ketentuan Pasal 1 butir (25) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketengakerjaan menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha. Oleh sebab itu maka kebijakan pemutusan hubungan kerja
ketetapan yang memuat prinsip-prinsip perusahaan untuk melakukan
tindakan pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja dengan
alasan-alasan dan sebab-sebab tertentu.
Pada umumnya, dalam beberapa kasus yang berkaitan dan
menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia, pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara sepihak baik lisan maupun tertulis merupakan suatu hal yang
sering terjadi hingga saat ini. Perlakuan pemutusan hubungan kerja (PHK)
oleh perusahaan adalah suatu kejahatan terselubung dan jelas-jelas
termasuk bentuk dari pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan yang
sangat merugikan tenaga kerja karena tidak sesuai dengan perjanjian yang
sebelumnya diperjanjikan sebagai undang-undang bagi pihak pengusaha
dan tenaga kerja. Akan tetapi, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh
pihak perusahaan tetap saja sering terjadi. Padahal dalam ketentuan Pasal
151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa:
72
1. Pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja;
2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan
pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota
serikat pekerja;
3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam butir (2) benar-
benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Kasus pemutusan hubungan kerja yang melibatkan pihak pengusaha
dengan pihak tenaga kerja banyak terjadi di berbagai perusahaan.
Meskipun pemutusan hubungan kerja merupakan hal yang wajar dalam
dunia ketenagakerjaan, tetapi pelaksanaannya membutuhkan biaya, tenaga
dan pikiran. Oleh karena itu, pemutusan hubungan kerja merupakan upaya
terakhir yang dilakukan. Itulah sebabnya pengusaha, pekerja, serikat
pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar
tidak terjadi pemutusan hubungan kerja seperti pengaturan waktu kerja,
penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja. Namun, dalam kenyataannya membuktikan bahwa
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 153 butir (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa:
11. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus;
73
12. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
13. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
14. Pekerja menikah;
15. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
16. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
17. Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja diluar jam kerja,
atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
18. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
19. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
20. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Selain itu, pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan dengan
pengunduran diri yang dilakukan oleh pekerja. Pada dasarnya, pekerja
yang mengundurkan diri itu harus memenuhi syarat berdasarkan Pasal 162
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:
1. Pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh
uang penggantian hak;
2. Bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
74
langsung, selain menerima uang penggantian hak diberikan juga uang
pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
3. Pekerja yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam butir
(1) harus memenuhi syarat:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri;
4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas
kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungaan industrial.
Di dalam ketentuan undang-undang ketenagakerjaan, telah mengatur
alasan-alasan pemutusan hubungan kerja beserta hak-haknya dan
mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas
kemauan diri sendiri. Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara khusus
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Istilah sengketa yang
digunakan adalah perselisihan atau perselisihan hubungan industrial.2
Pengusaha maupun pekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan harus mengikuti aturan yang berlaku. Pihak yang mengalami
pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat menerima atau menolak
pemutusan hubungan kerja tersebut.
2 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.
7
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tinjauan Mengenai Pengaturan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara Lisan harus
mengacu kepada Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengusaha maupun
pekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan harus
mengikuti aturan yang berlaku. Memang dalam undang-undang tidak
dijelaskan secara jelas tentang Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan.
Tetapi setiap perusahaan pasti mempunyai peraturan perusahaan-
perjanjian kerja bersama (PP-PKB) yang telah didaftarkan kepada
kementerian ketenagakerjaan dan didalam PP dan PKB tersebut pasti
mengatur tentang Hubungan Kerja.
2. Pelaksanaan Hukum Pemutusan Hubungan Kerja pada Sektor Pelayaran
di Indonesia
Tentunya dari setiap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pasti memiliki
dampak tersendiri bagi pekerja yaitu dampak psikologis, ekonomi
finansial bagi pekerja dan keluarganya. Tetapi, apabila terjadi
pemutusan hubungan kerja maka pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja serta uang
pergantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 156 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
3. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Lisan di PT Internusa Bahari
Persada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-
PHI/2018
Dari kasus yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/Pdt.Sus-PHI/2018 setelah dianalisis terdapat kejanggalan yaitu
76
seharusnya pemutusan hubungan kerja tidak dapat dilakukan secara
lisan karena berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja harus
melalui upaya-upaya untuk mencegah dan mencari solusi agar tidak
terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun apabila harus dilakukan
pemutusan kerja maka ada prosedur yang harus dilakukan sesuai
peraturan yang berlaku. Sedangkan apabila pekerja tersebut melakukan
pelanggaran berat, harus ada surat peringatan sesuai dengan Pasal 161
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
B. Saran
1. Hal yang perlu diperhatikan secara khusus yaitu setiap perusahaan
yang memiliki karyawan diatas 10 orang karyawan wajib memiliki
peraturan perusahaan sendiri yang harus didaftarakan pada
kementerian ketenagakerjaan. Agar suatu saat ada hal yang serupa
perusahaan sudah memiliki regulasi sendiri dan tentunya tidak
bertentangan dengan undang-undang.
2. Meningkatkan komunikasi yang lebih baik antara manajemen
perusahaan dan pekerjanya, salah satunya dengan mengadakan
sosialisasi mengenai kebijakan pemutusan hubungan kerja ataupun
mengenai kebijakan perusahaan lainnya yang belum diketahui oleh
pekerja agar pekerja merasa lebih nyaman dan dapat mempersiapkan
diri dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut. Biasanya perusahaan
tiap tahunnya mengupdate peraturan-peraturan perusahaan yang baru
dan memang seharusnya perusahaan mensosialisasikan peraturan-
peraturan tersebut ke karyawannya.
3. Dalam melakukan pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan
undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak
ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
77
DAFTAR PUSTAKA
Agusmidah. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika dan Kajian Teori.
Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Agusmidah. Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Medan: usu press.
2010.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
Ardana, I Komang. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012.
Asikin, Zainal dkk. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1993.
Asyhadie, Zaeni. Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Pemutusan Hubungan Kerja).
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Budiono, Abdul R. Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Indeks. 2009
Burhan, Ashrhofa. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.
Djulmiadji, F X dan Wiwoho Soejono. Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
Perburuhan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara. 1985.
Djulmiadji, F X. Perjanjian Kerja Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Gultom, Sri Subiandini. Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo. 2008.
Harjono, Dhaniswara K. Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha. Jakarta:
Rajawali Press. 2006.
Husni, Lalu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
dan di Luar Pengadilan. Jakarta: raja grafindo persada. 2007.
78
Husni, Lalu Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2010.
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia. 2008.
Kelana, Yatim dkk. Sorotan Pers Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: wijaya.
1993.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perkembangan Ketenenagakerjaan
di Indonesia. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011.
Khakim, Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti. 2007.
Manulang, Sendjun H. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 1988.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media.
2015.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty. 1996.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 2004
Pruitt, Dean G dan Z Rubin. Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
R, Goenawan Oetomo. pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di
Indonesia. Jakarta: Grahadika Binangkit Press. 2004.
Simanjuntak, D Danny. PHK dan Pesangon Karyawan. Jakarta: Visi Media.
2007.
Situmorang, Basani dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan
Mengetahui Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum
Mengenai Ketenagakerjaan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM. 2010.
79
Soedarjadi. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
2008.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI. 1986.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rieneka
Cipta. 2000.
Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. 1999.
Sulaiman, Abdullah. Hukum Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Program Magister
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta. 2008
Sulaiman, Abdullah. Arbitrase Perburuhan. Jakarta: Program Magister Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta. 2013
Sulaiman, Abdullah. Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia. Jakarta:
Fakultas Syariah dn Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2018
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
W, Sunindhia Y dan Ninik Widiyanti. Masalah PHK dan Pemogokan. Jakarta:
Bina Aksara. 1998.
Wahyudi, Eko dkk, Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Sinar grafika. 2016.
Widodo, Hartono dan Judiantoro. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Jakarta: CV Rajawali. 1989.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar
Grafika. 2010.
PERATURAN PERUNDANGAN Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial
Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018
80
LAMPIRAN