perpustakaanrsmcicendo.comperpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/01/... · web...
TRANSCRIPT
Defisiensi Sel Punca Limbal (Limbal Stem Cell Deficiency/LSCD)
dan Terapi Terkini dengan Transplantasi Sel Epitel Mukosa Oral
I. Pendahuluan
Permukaan mata dilapisi oleh sel epitel kornea dan sel epitel konjungtiva.
Kornea pada permukaan mata yang sehat dilapisi oleh epitel berlapis skuamosa
nonkeratinisasi yang memiliki dua fungsi utama yaitu mempertahankan integritas
permukaan mata dan transparansi optikal. Permukaan ini terdiri dari populasi sel
epitel yang diperbarui secara permanen melalui proliferasi dari sel punca. Sel
punca kornea terletak di lapisan sel basal dari limbus, sedangkan sel punca
konjungtiva dapat merata di seluruh permukaan bulbar dan di forniks. Defisiensi
sel punca limbal (Limbal Stem Cell Deficiency/LSCD) disebabkan oleh disfungsi
atau kerusakan dari populasi sel punca sehingga menyebabkan kerusakan
progresif epitel kornea. Hal ini akan mempengaruhi regenerasi sel kornea
sehingga memiliki prognosis yang kurang baik.1-4
Insidensi dan prevalensi LSCD belum diketahui. Namun, kasus trauma termal,
trauma kimia, Steven Johnson Syndrome dan infeksi yang menyebabkan defisiensi
sel punca limbal tidak jarang ditemukan pada kasus sehari-hari.5
Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memberikan terapi untuk
berbagai jenis kasus LSCD saat ini. Jenis LSCD total bilateral merupakan kasus
yang paling sulit untuk mendapatkan keberhasilan terapi. Pengembangan teknik
transplantasi mukosa oral merupakan terapi alternatif untuk kasus LSCD total
bilateral. Sari kepustakaan ini akan membahas mengenai LSCD dan terapi yang
telah dikembangkan saat ini.
II. Sel Punca Limbal
Sel punca merupakan sel progenitor yang bertanggung jawab untuk
penggantian seluler dan regenerasi jaringan. Sel ini dapat ditemukan di jaringan
embrio dan dewasa serta hanya mewakili sebagian kecil (0,01-10 %) dari total
massa sel. Sel punca memiliki karakteristik tidak berdiferensiasi, berumur
panjang, memiliki siklus yang lambat tetapi memiliki kemampuan duplikasi yang
1
2
tinggi untuk memperbaharui sel (aktivitas mitosis). Mereka memiliki kemampuan
untuk berkembang biak tanpa batas. Pada kondisi stabil, sel punca cukup aktif dan
jarang mereplikasi, tapi ketika kebutuhan untuk regenerasi jaringan muncul,
proliferasi dapat dirangsang dengan cepat. Sel induk membentuk sel transient
amplifier (TAC1, TAC 2, TAC 3) yang berkembang biak dengan cepat,
kemudian berubah menjadi sel mitotik (post mitotic cell/ PMC). Dan akhirnya
menjadi sel yang berdiferensiasi (terminally differentiated cell /TDC).1-3
Gambar 1. Diagram hierarki sel punca limbal Dikutip dari: Pflugfelder3
Diferensiasi sel punca berjalan irreversible. Proses diferensiasi terjadi dengan
cara transit amplifikasi. Masing-masing sel mampu menjalani pembelahan sel
dalam jumlah terbatas. Sel induk kornea dan konjungtiva dapat diidentifikasi
hanya dengan cara tidak langsung, seperti ekspansi klonal dan identifikasi siklus
yang lambat.2
III. Etiologi Defisiensi Sel Punca Limbal
Defisiensi sel punca limbal dihasilkan dari penyebab primer dan sekunder.
Penyebab primer merupakan penyebab yang didapat secara kongenital, sedangkan
penyebab sekunder disebabkan oleh paparan seperti trauma infeksi, adanya
dysplasia atau lesi neoplastik di limbus.2
Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Defisiensi Sel Punca Limbal
3
1. Idiopathic2. Trauma kimia/ Luka bakar
3. Iatrogenika. Lokal
i. Pembedahan- Operasi permukaan mata multiple- Krioterapi
ii. Radiasi dan radioterapiiii. Penggunaan lensa kontakiv. Kemoterapi lokal (contoh : 5-fluorouracil, mitomisin C)
b. Sistemiki. Obat : hidroksiureaii. Graft vs host disease
4. AutoimunSteven johnson syndromeOcular cicatrial pemphigoid
5. Penyakit mataNeoplasia dan degenerasi (pterigium)Keratitis neurotropikInfeksi ( herpetik, trakoma)AtopiUlkus kornea perifer ( contoh : Fuchs marginal keratitis)Sindrom iskemik segmen anterior
6. Kongenital dan herediterAniridiaMultiple endocrine neoplasiaEctodactyly-ectodermal dysplasia-clefting syndromeKeratitis-ichtyosis-deafness syndromeXeroderma pigmentosaLADD (Lacrimo-auriculo-dento-digital) syndrome/ Levy-Hollister syndrome
Sumber : American Academy of Ophthalmology2
III. Patogenesis
Berdasarkan hipothesis X,Y,Z dari Thoft, proliferasi dan migrasi sel epitel
kornea dihasilkan dari tiga mekanisme. Vektor X menyatakan migrasi vertikal sel
epitel kornea dari lapisan basal ke permukaan superfisial kornea. Vektor Y
menyatakan migrasi sentripetal sel perifer menuju tengah kornea. Vektor Z
menyatakan keseluruhan arah pergerakan sel epitel kornea dari kombinasi vektor
X dan Y.3,4,6,7
Sekitar 25 % -33 % dari limbus harus utuh untuk memastikan permukaan mata
normal. Limbus yang normal bertindak sebagai penghalang terhadap vaskularisasi
4
kornea dari konjungtiva dan invasi sel konjungtiva dari permukaan bulbar. Ketika
stem cell limbal tidak ada secara kongenital, rusak, atau hancur, sel konjungtiva
bermigrasi ke permukaan kornea, sering disertai dengan neovaskularisasi
superfisial. Tidak adanya sel punca limbal, mengurangi efektivitas penyembuhan
luka epitel, sehingga integritas permukaan kornea terganggu dan terjadi kerusakan
epitel berulang. 1-4
Gambar 2. Skematik teori X,Y,Z Dikutip dari: Pflugfelder3
IV. Manifestasi Klinis
Secara klinis, defisiensi sel punca pada kornea dapat terlihat pada beberapa
kelainan di permukaan kornea. Pasien biasanya mengalami ulserasi yang berulang
dan penurunan penglihatan sebagai hasil dari permukaan kornea yang ireguler.
Selain itu, adanya fotofobia, lakrimasi, blefarospasme, mata merah berulang.
Neovaskularisasi kornea terdapat di kornea yang terkena. Iregularitas di
permukaan kornea dari limbus dapat dilihat dari pemberian fluoresein topikal. 1-4
Gejala klinis defisiensi sel punca limbal bervariasi dari yang ringan hingga
berat. Pada kasus yang ringan terdapat hilangnya anatomi limbus berupa deretan
palisade Vogt dan susunan vaskular perilimbal, irregularitas ketebalan epitel
kornea, pewarnaan fluoresein pada area sel epitel yang abnormal, ketidakstabilan
5
lapisan air mata. Adanya sel epitel longgar, filamen dengan lendir dan erosi
berulang adalah gejala lain yang berhubungan dengan lapisan epitel kornea
abnormal. Vaskularisasi superfisial dan dalam, defek epitel persisten yang
menyebabkan ulserasi, kornea yang melunak dan perforasi, fibrovaskular pannus
dan munculnya jaringan parut, keratinisa
si dan kalsifikasi.1-4
(a) (b) Gambar 3. Defisiensi sel punca limbal (a). Adanya vaskularisasi perifer dengan hilangnya struktur limbal. (b). Vaskularisasi superfisial dan dalam disertai fibrovaskular panus Sumber : Krieglstein GK1
Pada kasus yang sedang sampai berat defisiensi sel punca limbal terjadi
vaskularisasi kornea yang dangkal dan dalam. Hal ini sebagian besar terbatas pada
daerah defisiensi sel punca limbal dan dapat mempengaruhi segmen limbus
tersebut.1
Defek epitel kornea persisten, ulserasi kronis sel epitel kornea yang tidak
membaik berhubungan dengan peradangan kronis derajat ringan. Defek ini dapat
menyebabkan infiltrat pada stroma yang dapat atau tidak dapat berhubungan
dengan infeksi. Stroma kornea melunak secara progresif sehingga dapat
menyebabkan perforasi.1-4
Tidak adanya penutupan epitel kornea berhubungan dengan tumbuhnya
jaringan fibrovaskular pannus. Jaringan ini menyebabkan penebalan beberapa
lapisan sel epitel yang berasal dari konjungtiva.1-4
Pada stadium akhir defisiensi sel punca limbal, terdapat jaringan parut dan
kadang terjadi kalsifikasi dari jaringan yang terpengaruh. Biasanya pada tahap ini
6
peradangan telah mereda dan mata pasien relatif nyaman. Pada pasien yang
berhubungan dengan dry eye yang berat. Sel epitel yang menutupi kornea telah
mengalami keratinisasi parsial dan total.1-4
V. Diagnosis LSCD
Diagnosis defisiensi sel punca limbal pada prinsipnya berdasarkan gejala
klinis. Pada pemeriksaan biomikroskop slitlamp terdapat konjungtivalisasi kornea.
Sel epitel memiliki variasi ketebalan dan transparansi. Sel epitel konjungtiva pada
kornea muncul lebih permeabel dibandingkan epitel kornea, dan menyerap
pewarnaan fluoresein.1
Pada kasus konjungtivalisasi kornea, pewarna fluorescein cenderung
mengumpul sepanjang perbatasan lapisan sel epitel kornea dan konjungtiva.
Kehilangan susunan jaringan ikat limbus Vogt dan vaskularisasi merupakan gejala
yang umum. Ketika kerusakan meluas, vaskularisasi terjadi dalam bentuk panus
fibrovaskular, yang ketebalannya meningkat pada area kornea yang terkena.
Namun, stroma kornea yang mendasarinya dapat jauh menipis dari awal proses
penyakit.1-4
Keberadaan sel goblet pada sitologi impresi yang diambil dari permukaan
kornea atau dalam biopsi spesimen jaringan pannus fibrovaskular yang menutupi
kornea merupakan patognomonik dari kornea yang terkonjungtivalisasi.
Intraepitelial limfosit yang merupakan ciri dari epitel konjungtiva, juga
didapatkan pada epitel kornea terkonjungtivalisasi, terutama CD 8, sel HML-1
(Limfosit T sitotoksik yang mengekspresikan antigen limfosit human mucosal).
Adanya metaplasia skuamosa atau hilangnya sitokeratin spesifik kornea (CK
3/12) pada imunohistologi didapatkan dari specimen biopsi.1-4,
VI. Penatalaksanaan LSCD
Setelah terjadi paparan yang menyebabkan LSCD, perlu dilakukan penilaian
dari limbus. Apabila limbus yang terkena LSCD parsial, maka pengobatan yang
sesuai dibutuhkan untuk mengobati penyebab yang mendasarinya dan mengontrol
inflamasi. Mata perlu diperiksa pada interval 24 atau 48 jam dan diobservasi
7
selama proses reepitelisasi. Proses reepitelisasi kornea dari epitel limbus sehat
yang tersisa, harus diupayakan. 1,6
Terdapat berbagai cara untuk mengobati LSCD. Pada kasus LSCD parsial yang
ringan dan tidak melibatkan aksis visual, dapat dilakukan terapi medikamentosa
seperti pemberian tetes mata untuk melubrikasi lapisan kornea. Bila terjadi LSCD
parsial disertai iritasi, penurunan tajam penglihatan dan terjadi konjungtivalisasi
kornea, maka diperlukan debridemen mekanik dengan teknik Sequential Sectoral
Conjunctival Epitheliectomy (SSCE). Tujuan tindakan ini untuk membersihkan
epitel konjungtiva dan memperluas lapisan epitel kornea yang berasal dari setiap
sektor limbus. Teknik SSCE dapat juga dikombinasikan dengan transplantasi
limbal untuk membuat populasi sel tanpa kontaminasi sel epitel konjungtiva di
permukaan kornea.1
Pada pasien dengan LSCD total pada satu mata, transplantasi keratolimbal
autologus merupakan prosedur yang ideal. Tindakan bedah ini dapat dilakukan
saat proses inflamasi mereda. Prosedur transplantasi keratolimbal allograft cocok
untuk kasus LSCD yang melibatkan limbus dan tidak disertai kerusakan pada
konjungtiva, atau terdapat kerusakan konjungtiva yang minimal. Tindakan ini
cocok untuk kasus aniridia, SJS yang ringan ataupun Ocular Cicatrical
Pemphigoid (OCP). Kontraindikasi prosedur ini adalah adanya defisiensi lapisan
akuous yang berat.4,6-10
Transplantasi limbal konjungtiva autolog diindikasikan untuk pasien dengan
LSCD unilateral, seperti pada trauma termal ataupun trauma kimia. Jaringan sel
punca limbal konjungtiva yang berasal dari mata kontralateral dapat
ditransplantasikan di kornea. Tindakan ini membantu proses reepitelisasi,
penurunan vaskularisasi kornea dan meningkatkan kejernihan kornea.
Keterbatasan dari teknik ini adalah terbatasnya jumlah sel punca limbal.4,6-9
Transplantasi limbal konjungtiva allograft diindikasikan pada defisiensi sel
punca limbal bilateral disertai kerusakan jaringan konjungtiva yang sedang hingga
berat. Namun teknik ini beresiko terjadi reaksi penolakan. Pemberian obat
imunosupresif topikal maupun sistemik dibutuhkan untuk menekan reaksi
tersebut. 4,6-10
8
Kombinasi transplantasi keratolimbal dan konjungtiva allograft dapat
dilakukan untuk kasus LSCD bilateral disertai kerusakan jaringan konjungtiva
yang berat seperti pada kasus SJS, OCP dan trauma kimia. Transplantasi
konjungtiva akan menambah fungsi sel goblet untuk memperbaiki lapisan
musin.4,6,7
Transplantasi membran amnion berfungsi untuk membantu epitelisasi kornea
dan menurunkan inflamasi. Lapisan membran basemen yang terdapat pada
membran amnion dapat meningkatkan kepadatan sel goblet, menurunkan
transformasi faktor pertumbuhan, menurunkan proses pembentukan fibroblas di
kornea dan konjungtiva.1,4,6-10
Pencangkokan kornea lamellar atau penetrating keratoplasty dapat
dikombinasikan dengan transplantasi limbal autolog atau allograft. Tindakan ini
diperlukan bila terdapat kekeruhan pada stroma dengan endotel kornea yang
normal. Sedangkan penetrating keratoplasty dilakukan bila terdapat kekeruhan
pada stroma dengan endotel kornea yang rusak. 4,6,7
Terapi setelah tindakan operasi dibutuhkan untuk menurunkan reaksi
inflamasi, memperbaiki fungsi lapisan air mata, mencegah terjadinya infeksi dan
menekan reaksi imunitas. Antibiotik topikal yang bebas pengawet digunakan
untuk satu bulan pertama. Steroid topikal bebas pengawet seperti prednisolon
asetat 1% digunakan empat kali sehari untuk 8-12 minggu pertama. Dosis rendah
kortikosteroid topikal (satu tetes per hari) dipertahankan kecuali terjadi
peninggian tekanan intraokular. Serum autologous (20%) diberikan setiap jam
sampai proses epitelisasi selesai, biasanya dalam 7-10 hari. Air mata buatan bebas
pengawet dapat digunakan. Penggunaan imunosupresi seperti siklosporin A dan
oflate FK 506 selama 18 bulan pasca operasi. Memonitor proses re-epitelialisasi
sampai proses selesai merupakan hal yang penting.1,10
VII. Transplantasi sel epitel mukosa oral yang telah dikultur
Jumlah kasus LSCD bilateral lebih banyak dibandingkan yang unilateral.
Transplantasi jaringan non limbal autologus dapat dilakukan untuk mengobati
kasus defisiensi sel punca limbal untuk kasus bilateral LSCD. Transplantasi
9
jaringan limbal allograft juga bisa digunakan, namun resiko transmisi organisme
dan reaksi penolakan transplantasi dapat dihindari.4,11-12
Teknik transplantasi jaringan non limbal telah banyak diteliti, seperti pada sel
epitel mukosa oral, sel punca embrionik, sel epitel konjungtiva, sel punca
epidermal, sel punca pulpa gigi, sel punca mesenkim yang berasal dari sumsum
tulang, sel punca dari folikel rambut dan sel punca dari tali pusat. Diantara semua
terapi sel non limbal, hanya sel epitel mukosa oral dan sel epitel konjungtiva yang
telah dilakukan pada manusia. 11
Selama sepuluh tahun, beberapa penelitian mengenai transplantasi sel epitel
mukosa oral yang telah dikultur secara ex vivo menunjukkan hasil yang paling
menguntungkan dibandingkan dengan transplantasi sel punca dari sumber yang
lain, Kemampuan teknik ini untuk menstabilkan permukaan mata yang terkena
LSCD bilateral telah sepenuhnya dikonfirmasi.11-12
Jaringan mukosa mulut mengandung sel epitel skuamosa berlapis non-
keratinisasi yang menyerupai sel epitel pada kornea. Sel mukosa oral yang telah
dikultur secara ex-vivo dapat ditransplantasikan pada jaringan okular dengan
membran amnion. Sel epitel mukosa oral yang telah dikultur dapat tumbuh di
permukaan kornea. Teknik ini merupakan alternatif untuk pasien yang telah gagal
dilakukan transplantasi limbal allograft dan tidak didapatkan jaringan limbal yang
sehat. Angka keberhasilan dari penelitian-penelitian transplantasi sel epitel
mukosa oral yang telah dikultur secara ex vivo sebanyak 72%, menyerupai angka
keberhasilan transplantasi sel epitel limbal yang telah dikultur yaitu 74%. Angka
ini didasarkan dari hasil kemajuan tajam penglihatan dan adanya perbaikan
permukaan okular.4,11
Metode kultur yang digunakan adalah dengan dilakukannya biopsi pada
mukosa oral. Selanjutnya sel epitel mukosa oral dipisahkan dari jaringan oral
dengan menggunakan enzim dan 3T3 murine fibroblast. Sel epitel mukosa lalu
disimpan di media kultur berupa membran amnion di ruangan kedap udara. Biopsi
dikultur di laboratorium. Sel epitel skuamosa berlapis dihasilkan dari proses
kultur selama dua minggu. Sebagian jaringan kultur diproses dan dianalisa.
Jaringan yang tersisa ditransfer dengan menggunakan kotak penyimpanan.
10
Jaringan mukosa oral yang telah dikultur dianalisa dengan mikroskop untuk
mengetahui fenotipnya yang menyatakan adanya penanda sel punca. Medium
penyimpanan dianalisa untuk melihat adanya mikroorganisme dengan
menggunakan alat Polimerase Chain Reaction. Jaringan kultur dipindahkan dari
kotak penyimpanan sesaat sebelum jaringan ditransplantasikan ke mata yang
sakit. Penyimpanan yang optimal dalam wadah tertutup dan kedap udara
menghindari untuk tumbuhnya mikroorganisme selama periode penyimpanan.13
Beberapa hal penting untuk penatalaksanaan paska operasi adalah menjaga
permukaan okular tetap lembab, memberikan proteksi mekanik terhadap jaringan
yang ditransplantasikan, mengkontrol peradangan dan mencegah infeksi. Hal ini
dapat dilakukan dengan pemberian obat tetes air mata buatan, serum autolog,
bandage contact lense (BCL), imunosupresan seperti steroid, siklosporine,
siklophospamide dan antibiotik tetes mata. Topikal steroid diberikan hingga enam
bulan kemudian diturunkan dosisnya perlahan, sedangkan steroid sistemik
digunakan dari satu minggu hingga dua bulan.11
Hasil klinis yang terlihat dapat dibandingkan dengan teknik kultur dari sel
punca limbal. Akan tetapi angka kejadian komplikasi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan teknik transplantasi sel punca limbal yang telah dikultur.
Komplikasi yang dapat terjadi dari teknik ini adalah defek epitel kornea, infeksi
berupa keratitis dan endoftalmitis, perforasi, inflamasi , alergi, simblefaron dan
reaksi penolakan transplantasi kornea.11,12
VIII. Kesimpulan
LSCD disebabkan oleh berbagai penyebab, yang melibatkan mata unilateral
maupun bilateral. Terdapat berbagai macam pilihan untuk memilih cara untuk
memberikan terapi penyakit ini. Pertimbangan untuk memilih terapi yang akan
11
digunakan sangat penting untuk menentukan keberhasilan terapi. Transplantasi
mukosa oral yang telah dikultur secara ex vivo menjadi alternatif terapi untuk
kasus LSCD bilateral total yang telah gagal mendapatkan terapi transplantasi
limbal allograft dan tidak didapatkan jaringan limbal yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
12
1. SD Haminder. Transplantation of limbal stem cell, surgical technique and
results. Dalam: Krieglstein GK, Weinreb RN, penyunting. Cornea and
external eye disease. Berlin. Springer; 2010. Hlm. 53-68.
2. American Academy of Ophthalmology. Ocular surface disease: Diagnostic
approach. External disease and cornea. Bagian ke-8. San Fransisco :
American Academy of Ophthalmology; 2011-2012. Hlm 92-4.
3. Beuerman RW, et al. Ocular surface epithelial stem cells: Implication for
ocular surface homeostasis. Dalam: Pfulgfelder SC et al, penyunting. Dry
eye and ocular surface disorder. Canada. Marcel and Dekker Inc; 2004.
Hlm. 225-46.
4. Sangwan VS, et al. Transforming Ocular Surface Stem Cells Research into
Succesfull Clinical Practice. Indian Journal of Ophthalmology. 2014. Hlm
29-40.
5. Medical Advisory Secretariat Ministry of Health and Long Term Care. An
Evidence Based Analysis. Volume. Canada. 2008. Hlm 15-9.
6. Letko E, Foster CS. Limbal stem cell transplantation. Dalam: Foster CS,
Azar DT, Dohlman CH, penyunting. The Cornea. Edisi ke-3. USA.
Lippincott Williams & Wilkins; 2005. Hlm. 991-7.
7. Holland EJ, Schwartz GS, Nordlund ML. Surgical Techniques for ocular
surface reconstruction. Dalam: Krachmer JH, Mannis JM, Holland EJ,
penyunting. Cornea. Edisi ke-2. London. Mosby;2005. Hlm 1799-812.
8. Daniles JT, Short AJ, Tuft SJ. Corneal stem cells in the eye clinics. Oxford
Journal. 2011. Hlm 209-25.
9. Chew HF. Limbal Stem Cell Disease: Treatment and advances in
technology. Saudi Journal of Ophthalmology. 2011. Hlm. 213-18.
10. Yang MC et al. Surgical therapy for ocular surface disorder. Dalam: :
Pfulgfelder SC et al, penyunting. Dry eye and ocular surface disorder.
Canada. Marcel and Dekker Inc; 2004. Hlm. 369-90.
11. Utheim TP. Concise Review: Transplantaion of Cultured Oral Mucosal
Epithelial Cells for Treating Limbal Stem Cell Deficiency- Current Status
and Future Perspectives. Alpha Med Press. Oslo. 2014.Hlm. 1687-98.
13
12. Tseng SC. Oral Mucosal Graft with Amniotic Membrane Transplantation
for Total Limbal Stem Cell Deficiency. American Journal of
Ophthalmology. 2011. Hlm. 739-46.
13. Iorio ED, et al. Techniques for Culture and Assessment of Limbal Stem
Cell Grafts. The Ocular Surface. Itali. 2010. Hlm 146-52.