pahlawan nasional
DESCRIPTION
PahlawanTRANSCRIPT
CUT NYAK DHIEN
Cut Nyak Dhien (Tjoet Nja' Dhien) lahir di
Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848 dan
meninggal di Sumedang, Jawa Barat pada 6 November
1908 yang dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim
diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim
Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga
tewas di Glee Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang
menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan
Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku
Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah
tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang
Laot melaporkan keberadaannya karena iba.
Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai
sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya ia dibawa ke
Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati
Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan keprihatinan mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
TEUKU UMAR
Teuku Umar lahir di Meulaboh pada tahun 1854 dan
meninggal di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Teuku
Umar adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang
berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan
Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan
senjata dan uang yang cukup banyak. Ia adalah anak
seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari
perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar
mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara
laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Teuku Umar
dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan
teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam
menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal.
Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-
pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di
kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini,
Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di daerah
Daya Meulaboh.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.
Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak
Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku
Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia
pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian
berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai
kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang
cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar
bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan
Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin
mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam
pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar
berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan
telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk
meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan
perlawanan pejuang Aceh.
SISINGAMANGARAJA XII
Sisingamangaraja XII lahir di Bakara pada 18
Februari 1845 dan meninggal di Dairi pada 17
Juni 1907 (umur 62 tahun). Sisingamangaraja
XII adalah seorang raja di negeri Toba,
Sumatera Utara, pejuang yang berperang
melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan
di Tarutung, lalu dipindahkan ke Soposurung,
Balige pada tahun 1953.
Nama kecil Sisingamangaraja XII adalah
Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan
Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun
1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja
XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu
ia juga disebut juga sebagai raja imam.
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan
dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal
asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte
Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana
kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain
Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik
yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada
pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian
pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si
Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil
Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai
penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng
pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII,
yang kemudian mengumumkan perang pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke
pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 1 Mei 1878, Bakara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan
kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bakara dapat ditaklukkan namun Sisingamangaraja XII
beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara
para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan
tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan
secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu
Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial
Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya .
Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan
Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883serta Tangga Batu pada tahun 1884.
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan
Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di
perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi. Sebuah peluru menembus
dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel.
Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu
dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya
yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan
Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak
dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam
Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh
Pemerintah, masyarakat dan keluarga.
IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman,
Sumatera Barat pada tahun 1772 dan wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,
Minahasa pada 6 November 1864. Tuanku Imam
Bonjol adalah salah seorang ulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri pada tahun 1803-1838.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol
adalah Muhammad Shahab, yang lahir di
Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra
dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang
alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto
Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai
salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam
memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailingatau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai
dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi
kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman
menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke
Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung dibawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada
di Padang waktu itu.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan
Kitabullah (Al-Qur'an)).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret - 17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal
dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara
pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep,
Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di
bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Setelah datang bantuan
dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa
selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk
menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan
perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat
yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837,
Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding.
Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir
itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat pengasingannya tersebut.
IR.SOEKARNO
Dr.(HC) Ir. Soekarno (Koesno Sosrodihardjo) lahir di
Surabaya, Jawa Timur pada 6 Juni 1901 dan meninggal di
Jakarta pada 21 Juni 1970 (umur 69 tahun).
Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat
pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting
dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada
tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama
kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun
karena ia sering sakit, maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno
oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata
Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a"
berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". Sebutan akrab untuk
Soekarno adalah Bung Karno.
Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong
Java cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-
sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat
pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang
dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan kemudian dia
mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan
dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan
hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal
bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI
menyebabkannya ditangkap Belanda dan pada tahun ia memunculkan pledoinya yang
fenomenal Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember
1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan
diasingkan ke Flores. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi
Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Soekarno aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk
merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir
ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung
oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada
tiga tokoh Indonesia tersebut. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,
pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat, Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia
sendiri.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),
Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam
Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok
pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda
untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Para pemuda
menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang
sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh
menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik
Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan
Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu
pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18
Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden
dan pejabat tinggi negara lainnya.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada
tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang
menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Konferensi
Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia
Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan
Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka
Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang
Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar
Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga
diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
SOEDIRMAN
Jenderal Besar Raden Soedirman lahir pada 24 Januari
1916 dan meninggal 29 Januari 1950 (umur 34 tahun).
Soedirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada
masa Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi
panglima besar Tentara Nasional Indonesia yang
pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia.
Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga.
Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang
priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada
tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa
rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan
yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah,
Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan
dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan,
pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di
sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan
menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang
menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat
sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya
sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara
Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan
Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima
sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada
tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR
di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif
di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan,
Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan
rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18
Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi
dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama
adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian
Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya
dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga
menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian
menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya;
karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-
pemimpin politik berlindung di Keraton Sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara
dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya
selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan
pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung
Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan
Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia
dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan
pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
DIPONEGORO
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11
November 1785 dan meninggal di Makassar, Sulawesi
Selatan pada 8 Januari 1855 (umur 69 tahun).
Diponegoro adalah salah seorang pahlawan nasional
Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal
karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa
(1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda.
Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta
yang lahir dengan nama Mustahar dari pasangan seorang selir bernama R.A. Mangkarawati,
yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran
Diponegoro kecil bernama Raden Mas Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita
dalam hidupnya, yaitu:
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo . Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwono V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang
mendampingi Hamengkubuwono V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan
sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti
itu tidak disetujui Diponegoro.
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda
yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan
pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi
kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja,
ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran
Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung
Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20
juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara
pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti
Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang
gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini
bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan
berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan
taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi
oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan
telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya
pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran
Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned
terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran
Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan,
begitu juga Ki Sodewo.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa
ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
PANGERAN ANTASARI
Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan
Banjar pada tahun 1809 dan meninggal di Bayan
Begok, Hindia-Belanda pada 11 Oktober 1862
(umur 53 tahun).
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau
dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan
tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar)
dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku
Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti
Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud)
bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang
gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan
dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II. Pangeran Antasari
memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang
bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda
Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris
kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga
merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung,
Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang
Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti
(Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan
rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat
yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk
mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar
bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan
dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah. Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan
bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi
"Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima
perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad
melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu
bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dikomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan
pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh
bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di
Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun
beliau tetap pada pendirinnya.
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun
sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-
tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu
Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang.
Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah
terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya
dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan
rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan
pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali
Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
SULTAN HASANUDDIN
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi
Selatan pada 12 Januari 1631 dan meninggal
di Makassar, Sulawesi Selatan pada 12
Juni 1670 (umur 39 tahun) adalah Raja Gowa
ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang
terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad
Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangepe sebagai nama pemberian dari Qadi
Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid
Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid,
seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy
Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah
menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri
Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena
keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam
Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.
Sultan Hasanuddin lahir di Makasar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain
pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada
akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667
bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu
Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan
tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin
memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan
Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu
Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan
diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
PATTIMURA
Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, Pulau
Saparua, Maluku pada 8 Juni 1783 dan meninggal
di Ambon, Maluku pada 16 Desember 1817 (umur 34
tahun). Ia juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura
yang merupakan pahlawan Maluku dan merupakan
Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang
pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan
Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari
Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni
Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra Raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya
Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di
Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah).
Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan
Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah. Dalam bahasa
Maluku disebut Kasimiliali.
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian
Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran Abdul Gafur,
leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk
agamis). Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan "Kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al
Malik yang berarti Tanah Raja-Raja, mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat
London I. Hal ini menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan
yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah
pimpinan Kapitan Pattimura. Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda
tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai
pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria
(kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan
pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan
diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda
ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi
dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan
militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang
Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang
menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede,
pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau
Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat
ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817
di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
“Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien
http://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar
http://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol
http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingamangaraja_XII
http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno
http://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman
http://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro
http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Antasari
http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hasanuddin
http://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura
PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA
Disusun oleh :
Muhammad Verrell
Kelas : 5 B
SD HARAPAN 1 MEDAN
2014