pahlawan nasional

36
CUT NYAK DHIEN Cut Nyak Dhien (Tjoet Nja' Dhien) lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848 dan meninggal di Sumedang, Jawa Barat pada 6 November 1908 yang dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Glee Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda. Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.

Upload: muhammad-gabriel

Post on 18-Jan-2016

66 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pahlawan

TRANSCRIPT

Page 1: Pahlawan Nasional

CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien (Tjoet Nja' Dhien) lahir di

Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848 dan

meninggal di Sumedang, Jawa Barat pada 6 November

1908 yang dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional

Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda

pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim

diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim

Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga

tewas di Glee Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang

menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan

bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada

awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta

dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.

Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan

Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku

Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang

sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah

tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang

Laot melaporkan keberadaannya karena iba.

Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai

sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih

berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya ia dibawa ke

Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati

Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan keprihatinan mereka pada Cut

Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan

bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli

dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".

Page 2: Pahlawan Nasional

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.

Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur

Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan

Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Page 3: Pahlawan Nasional

TEUKU UMAR

Teuku Umar  lahir di Meulaboh pada tahun 1854 dan

meninggal di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Teuku

Umar adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang

berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan

Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan

senjata dan uang yang cukup banyak. Ia adalah anak

seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari

perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar

mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara

laki-laki.

Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Teuku Umar

dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan

teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam

menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal.

Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.

Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-

pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di

kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini,

Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di daerah

Daya Meulaboh.

Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.

Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak

Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.

Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku

Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia

pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian

berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.

Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai

kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang

Page 4: Pahlawan Nasional

cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar

bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan

Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin

mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam

pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.

Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar

berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan

telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk

meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan

perlawanan pejuang Aceh.

Page 5: Pahlawan Nasional

SISINGAMANGARAJA XII

Sisingamangaraja XII lahir di Bakara pada 18

Februari 1845 dan meninggal di Dairi pada 17

Juni 1907 (umur 62 tahun). Sisingamangaraja

XII adalah seorang raja di negeri Toba,

Sumatera Utara, pejuang yang berperang

melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan

di Tarutung, lalu dipindahkan ke Soposurung,

Balige pada tahun 1953.

Nama kecil Sisingamangaraja XII adalah

Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan

Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun

1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja

XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu

ia juga disebut juga sebagai raja imam.

Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan

dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal

asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte

Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana

kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain

Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik

yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang

berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada

pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian

pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si

Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.

Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil

Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai

penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng

pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII,

Page 6: Pahlawan Nasional

yang kemudian mengumumkan perang pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke

pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada tanggal 1 Mei 1878, Bakara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan

kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bakara dapat ditaklukkan namun Sisingamangaraja XII

beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara

para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan

tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan

secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu

Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial

Belanda.

Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya .

Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan

Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883serta Tangga Batu pada tahun 1884.

Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan

Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di

perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi. Sebuah peluru menembus

dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel.

Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu

dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya

yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan

Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak

dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam

Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh

Pemerintah, masyarakat dan keluarga.

Page 7: Pahlawan Nasional

IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman,

Sumatera Barat pada tahun 1772 dan wafat dalam

pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,

Minahasa pada 6 November 1864. Tuanku Imam

Bonjol adalah salah seorang ulama, pemimpin dan

pejuang yang berperang melawan Belanda dalam

peperangan yang dikenal dengan nama Perang

Padri pada tahun 1803-1838.

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol

adalah Muhammad Shahab, yang lahir di

Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra

dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang

alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan

pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto

Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai

salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya

sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan

sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam

memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang

berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailingatau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di

kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus

Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah

Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam

Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan

Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai

dengan Islam (bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi

kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung

Page 8: Pahlawan Nasional

bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman

menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu

Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke

Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-

Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,

sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek

(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan

Pagaruyung dibawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada

di Padang waktu itu.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri

melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula

bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,

mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu

sendiri.  Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang

dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat

basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan

Kitabullah (Al-Qur'an)).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala

jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret - 17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal

dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara

pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep,

Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di

bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Setelah datang bantuan

dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa

selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk

menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan

perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat

yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837,

Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Page 9: Pahlawan Nasional

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding.

Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian

dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir

itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di

tempat pengasingannya tersebut.

Page 10: Pahlawan Nasional

IR.SOEKARNO

Dr.(HC) Ir. Soekarno (Koesno Sosrodihardjo) lahir di

Surabaya, Jawa Timur pada 6 Juni 1901 dan meninggal di

Jakarta pada 21 Juni 1970 (umur 69 tahun).

Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat

pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting

dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan

Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia

(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada

tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama

kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar

negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.

Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun

karena ia sering sakit, maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno

oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata

Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a"

berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". Sebutan akrab untuk

Soekarno adalah Bung Karno.

Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong

Java cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-

sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat

pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang

dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan kemudian dia

mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan

dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan

hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal

bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI

menyebabkannya ditangkap Belanda dan pada tahun ia memunculkan pledoinya yang

fenomenal Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember

1931.

Page 11: Pahlawan Nasional

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang

merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan

diasingkan ke Flores. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi

Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Soekarno aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah

merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk

merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir

ke Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni

Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung

oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada

tiga tokoh Indonesia tersebut. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,

pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat, Vietnam yang kemudian

menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia

sendiri.

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi

kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),

Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam

Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan

Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok

pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda

untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Para pemuda

menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik

Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang

sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh

menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang

berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik

Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan

Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu

pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18

Page 12: Pahlawan Nasional

Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan

Wakil Presiden Republik Indonesia.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya

memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden

dan pejabat tinggi negara lainnya.

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.

Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum

mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada

tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang

menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Konferensi

Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia

Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.

Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan

Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka

Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang

Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar

Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga

diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.

Page 13: Pahlawan Nasional

SOEDIRMAN

Jenderal Besar Raden Soedirman lahir pada 24 Januari

1916 dan meninggal 29 Januari 1950 (umur 34 tahun).

Soedirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada

masa Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi

panglima besar Tentara Nasional Indonesia yang

pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia.

Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga.

Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang

priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada

tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa

rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan

yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah,

Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan

dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan,

pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di

sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan

menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang

menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia

bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat

sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya

sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,

Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu

dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara

Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan

Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima

sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada

tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR

di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif

di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan,

Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.

Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan

Page 14: Pahlawan Nasional

rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18

Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi

dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama

adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian

Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya

dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga

menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian

menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya;

karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,

Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-

pemimpin politik berlindung di Keraton Sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara

dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya

selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan

pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung

Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk

Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan

Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia

dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan

pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui

kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Page 15: Pahlawan Nasional

DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11

November 1785 dan meninggal di Makassar, Sulawesi

Selatan pada 8 Januari 1855 (umur 69 tahun).

Diponegoro adalah salah seorang pahlawan nasional

Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal

karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa

(1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda.

Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban

paling besar dalam sejarah Indonesia.

Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta

yang lahir dengan nama Mustahar dari pasangan seorang selir bernama R.A. Mangkarawati,

yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran

Diponegoro kecil  bernama Raden Mas Antawirya.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan

ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak

mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita

dalam hidupnya, yaitu:

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka

tinggal di Tegalrejo . Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan

Hamengkubuwono V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang

mendampingi Hamengkubuwono V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan

sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti

itu tidak disetujui Diponegoro.

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik

Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda

yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan

pembebanan pajak.

Page 16: Pahlawan Nasional

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan

rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari

Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,

Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi

kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas

hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja,

ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran

Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung

Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20

juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara

pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap

Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal

yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti

Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut

kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam

sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang

gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini

bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan

berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan

taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi

oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan

telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi

mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan

menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai

Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran

Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya

pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di

Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan

Page 17: Pahlawan Nasional

syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan

diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng

Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran

Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned

terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran

Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan,

begitu juga Ki Sodewo.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa

ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu

berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini

jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Page 18: Pahlawan Nasional

PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan

Banjar pada tahun 1809 dan meninggal di Bayan

Begok, Hindia-Belanda pada 11 Oktober 1862

(umur 53 tahun).

Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau

dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan

tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar)

dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin

Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku

Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu

Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti

Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud)

bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang

gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan

dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II. Pangeran Antasari

memiliki 3 putera dan 8 puteri.  Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang

bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda

Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris

kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga

merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung,

Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang

Sungai Barito.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti

(Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan

rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat

yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk

mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar

bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan

Page 19: Pahlawan Nasional

dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah. Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan

bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi

"Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima

perang dan pemuka agama tertinggi.

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima

kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad

melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu

bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi

peperangan dikomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan

pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh

bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus

pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di

Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun

beliau tetap pada pendirinnya.

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu

menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun

sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-

tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu

Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang.

Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah

terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya

dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan

rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan

pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali

Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Page 20: Pahlawan Nasional

SULTAN HASANUDDIN

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi

Selatan pada  12 Januari 1631 dan meninggal

di Makassar, Sulawesi Selatan pada 12

Juni 1670  (umur 39 tahun) adalah Raja Gowa

ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang

terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad

Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto

Mangepe sebagai nama pemberian dari Qadi

Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid

Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid,

seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy

Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah

menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri

Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena

keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam

Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.

Sultan Hasanuddin lahir di Makasar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja

Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili

Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan

kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha

menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain

pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan

kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada

akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667

bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu

Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan

tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin

memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan

Page 21: Pahlawan Nasional

Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu

Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan

diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Page 22: Pahlawan Nasional

PATTIMURA

Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, Pulau

Saparua, Maluku pada 8 Juni 1783 dan meninggal

di Ambon, Maluku pada 16 Desember 1817 (umur 34

tahun). Ia juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura

yang merupakan pahlawan Maluku dan merupakan

Pahlawan nasional Indonesia.

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang

pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan

Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari

Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni

Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura

Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra Raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di

negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".

Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya

Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di

Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah).

Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan

Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah. Dalam bahasa

Maluku disebut Kasimiliali.

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian

Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran Abdul Gafur,

leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk

agamis). Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara

genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya

sebutan "Kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai

mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al

Malik yang berarti Tanah Raja-Raja, mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan

Page 23: Pahlawan Nasional

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan

kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),

pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat

London I. Hal ini menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan

yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah

pimpinan Kapitan Pattimura. Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda

tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai

pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria

(kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama

pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam

melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan

pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan

diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda

ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi

dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan

militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang

Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut

dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior

Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang

menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede,

pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau

Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu

domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat

ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817

di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai

“Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia. 

Page 24: Pahlawan Nasional

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien

http://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar

http://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol

http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingamangaraja_XII

http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno

http://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman

http://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro

http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Antasari

http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hasanuddin

http://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura

Page 25: Pahlawan Nasional

PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Disusun oleh :

Muhammad Verrell

Kelas : 5 B

SD HARAPAN 1 MEDAN

2014