niken antroologi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut tradisi Minangkabau,kerajaan Mnangkabau didirikan oleh Iskandar
Agung.Dalam kenyataannya,dulu terdapat kerajaan bernama Melayu,yang kemudian meluas
hingga ketempat yang kini bernama Minangkabau,didirikan oleh para penghuni koloni hindu
pada abad ke-7.Nama Minangkabau baru muncul dalam sebuah catatan bertarikh 1265 yang
mencantumkan tanah dan kabupaten di Sumatera yang membayar upeti ke Majapahit.
Menurut cerita rakyat,nama “Minangkabau” berasal dari masa ketika kerajaan tersebut
berusaha mempertahankan kemerdekaannya.Legenda itu juga menuturkan bahwa di suatu
masa orang-orang jawa datang membawa sejumlah besar pasukan untuk menaklukan
Minangkabu.para tetua dari kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut
melalui adu kerbau.orang – oran melayu pun bersiasat seekor anak kerbau dibiarkan kelaparan
hingga sepuluh hari,hidungnya dipasangi besi tajam,lalu dilepas hingga menyeruduk perut
kerbau jawa.anak kerbau yang sebenarnya mencari susu ini membunuh kerbau lawan.utuk
memperingati peristiwa ini,para pemenang dari melayu menamai tanah dan rakyat mereka “
MinangKabau “ yang diambil dari anak kerbau yang menang itu.
Kisah ini masih sering beredar di masyarakat minang kabau.Kerbau pun menjadi symbol
kesatuan nasional.Dalam penjelasan yang ilmiah,Van Der Tuuk mengatakan bahwa nama
tersebut berasal dari pinang khabu , sebuah istlah kuno yang artinya kampung
halaman.penjelasan ini nampaknya lebih bisa diterima karena sebetulnya Minangkabau adalah
kampung halaman orang Melayu.sementara satu setengah juta orang Melayu tetap tinggal di
tanah Minangkabau,dizaman Hindu penduduk dalam jumlah yang sama berimigrasi ke Malaka
dan ke sejumlah pesisir lain di Kepulauan Nusantara.Orang – orang Melayu yang sering disebut
deutro-Melayu.ini mengadopsi bentuk keluarga matrilineal.kini bahasa mereka pun sedikit
berubah dari yang dituturkan di kampung halaman mereka,Minangkabau
Di abad ke -14 dan ke – 15 daerah Minankabau melputi seluruh Sumatera
Tengah.Kerajaan ini dipecah menjadi tiga bagian yaitu : tiga luhak,tiga rantau , dan delapan
bab.
Dalam luhak (kabupaten) terdapat tanuh,Agam, dan lima puluh (lima belas kota).Tiga
Rantau (Negeri) memiliki hubungan yang longgar dengan provinsi pusat meskipun mereka
mengakui supermasi Maharaja Minangkabau.
Delapan Bab (Pintu keluar masuk kerajaan ) adalah pelabuhan besar: Padang ,
Pariaman ,Indrapura,Jambi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kepercayaan
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-
Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada
akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan
hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji
Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan
budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme
dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung
ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta
adat minangkabau.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir
pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam
antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka
bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada
syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya
dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di
Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap
kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di
tiap-tiap lingkungan keluarga.
Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di
surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela
diri pencak silat.
2. Mata pencaharian
Orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos
kewirausahaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta
bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia.
Selain itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia
dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di
Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18,
para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan rempah-
rempah. Meskipun ada pula yang menjual senjata ke kerajaan malaka, namun
jumlahnya tidak terlalu besar. Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-
pengusaha Minangkabau yang sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat
Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan
pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini jaringan perantauan
Minangkabau dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah satu bentuk
kewirausahaan yang sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu
kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset cukup besar. Pada masa-masa
selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan pengusaha-
pengusaha besar diantaranya, anwar sutan saidi Abdul latif, Fahmi idris.. Pada
masa Orde Baru pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi
yang tidak menguntungkan karena tiadanya keberpihakan penguasa Orde Baru
kepada pengusaha pribumi.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kuranglebih
dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalamperantauan. Minang
perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, sepertiJakarta, Bandung,
Pekanbaru, Medan,Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luarwilayah Indonesia, suku
Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama NegeriSembilan) dan Singapura. Di seluruh
Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakankhas suku ini, populer dengan
sebutan,masakan Padang sangat terkenal.
3. Bahasa
4. Kesenian
a. System kemasayarakatan (garis keturunan)
Suku-suku dalam Etnik Minangkabau Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi
klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku
besar mereka adalah suku Piliang,Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu,
Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang
beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut
Rumah Gadang.Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari
dua lareh atau kelarasan (laras). Suku-suku tersebut adalah:
Suku Koto
Suku Piliang
Suku Bodi
Suku Caniago
Dan dua kelarasan itu adalah :
- Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
- Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan
Panjang,diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego. Sekarang, suku-
suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku,
yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk.
Diantara suku-suku tersebut adalah:
- Suku Tanjung
- Suku Sikumbang
- Suku Sipisang
- Suku Bendang
- Suku Melayu (Minang)
- Suku Guci
- Suku Panai
- Suku Jambak
- Suku Kutianyie
- Suku Kampai
- Suku Payobada
- Suku Pitopang
- Suku Mandailiang
- Suku Mandaliko
- Suku Sumagek
- Suku Dalimo
- Suku Simabua
- Suku Salo
- Suku Singkuan
b. Sistem perkawinan (prosesi adat perkawinan)
Adat Perkawinan Minang kabau
Ditulis oleh palantaminang.wordpress.com, Kamis, 06 November 2008
Adat Perkawinan Minang kabau
1. Fungsi perkawinan
ImageManusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang
dapat kita sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah
usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan,
masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Tiap peralihan dari satu masa ke masa
berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa
peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah pada saat menginjak masa
perkawinan.
Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari
lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri,
yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan
demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :
* Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari
sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
* Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
* Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk
memperoleh ketentraman batin.
Memelihara kelangsungan hidup “kekerabatan” dan menghindari kepunahan. (Sumber :
Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan
memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak
saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara
kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena
itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat
mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh
keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan
juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan
hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara
adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat,
maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak
dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari
dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan
terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah
perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan
berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama,
walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada
hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak
kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang.
Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat
perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam
bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut : Kedua calon mempelai
harus beragama Islam.
* Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali
pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
* Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga
kedua belah pihak.
* Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat
menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan
sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu
masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi
seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek
gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun
tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu
sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup. (Sumber : Adat
Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Perkawinan Eksogami
Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan
bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing
kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati.
Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun
berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga
adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia
kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.
Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena
itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi
rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan
hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam
penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada
pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan. Pada
tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu.
Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini
mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa
diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang
dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga
batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga “marga”
yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang
berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”. Adat Minang
menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun.
Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku
serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami
matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama,
cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata
sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan
dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”,
“saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah “sasuduik”. Pengamatan kami membuktikan bahwa
pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja,
pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi
generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian
serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu
kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu
suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah
suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan
perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan
“endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip
“eksogami” yang dianut di Minangkabau. Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan
“sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik
nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah
diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat
membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di
Minangkabau. Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam
mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun”
semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit
bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi
muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini
adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”,
bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini
menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip
“eksogami matrilinial” akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi
dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila
kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya
4. Urang Sumando
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham
yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan
sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap
disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun
demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan
istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu
terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering
digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah,
sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah
sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain pihak
perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan
kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru
dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi
seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan
gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara
“japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur
upacara ini sebagai berikut; Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuik
Pai jo baanta Ayam putieh tabang siang Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak.,
(Tangga mencari enau) Enau tetap tangga berpindah Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar (Bagaikan) Ayam putih terbang siang Bersuluh matahari Bergelanggang
(disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap
perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh
keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki
secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.”
Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap
tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat.
Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput
suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau
kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah
ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di
Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang
adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang,
sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh. Kenyataan ini dihayati dan
diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati
Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang
bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.
Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau
adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anak-
anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul
dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara
keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang
Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di
rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki
tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi
orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada
dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang
tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan
tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah
ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip
pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap
mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran
moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau
antara saudara kandung sendiri. Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah
melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang,
mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam
mengendalikan harta pusaka. Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan
para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri. Berbagai
istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang
Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai “Rang
Sumando Niniek-mamak”, karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak
keluarga istri. Namun sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar
ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah polah perangai
mereka itu. “Rang Sumando” yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan
meninggalkan anak dimana-mana disebut dengan “Rang Sumando” Langau-Hijau atau “Rang
Sumando” Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat) dimana-mana. “Rang Sumando”
yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah,
atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam,
kambing dan lainnya diberi gelar “Rang Sumando Kacang Miang”, yaitu sejenis kacang-
kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal. Di Minangkabau berlaku pepatah “Kaluak paku
kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan
dibimbing urang kampung dipatenggangkan “. Kalau seorang suami sampai lupa kepada
kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan
istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai
“Rang Sumando Lapiak Buruak”, yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan
tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang
memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka “Rang Sumando” yang
demikian itu mendapat gelar “Rang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai
pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando
lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya. Dalam zaman modern ini, dimana
kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian
keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan
keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya
sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan
mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga
Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri
sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah
menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak
terhadap para kemenakannya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang
Minang)
bondo
5. Maresek
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari
penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah.
Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang
menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan
tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama. Siapa yang harus
melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang wanita, atau pihak
keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di Sumatera
Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih dahulu
melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang melakukan
pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku
di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga
perempuan. Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang
sebenarnya dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah
penjajakan. Untuk ini tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si
anak gadis yang akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-
perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang
diutus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju
telah niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan
kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk
berumah tangga. Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon
yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi
kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis. Urusan resek maresek ini tidak
hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi
keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang
sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga
yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-
anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus
yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan
penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai
dengan pepatah petitih : Sia marunduak sia bungkuakSia malompek sia
patahArtinya siapa yang lebih berkehendakTentulah dia yang harus mengalah
Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam
beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling
menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk
itupun telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang,
maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan
secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut
acara maminang. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
6. Maminang
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan
dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama
kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan
resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa
orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang
datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan
fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.
Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran
pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang
telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan
dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan
pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu
langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ? Batuka tando
secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang
telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling
memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian
pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi : Batampuak lah buliah
dijinjiang,
Batali lah buliah diirik Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara
resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda
tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang
yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat
untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara
sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.
Barang-barang yang Dibawa
Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang
lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak
menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat
sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan. Pada daun sirih yang akan
dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung
simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-
kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-
kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan
menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan
jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok Siriah lah kami makan
Manih lah lakek diujuang lidah
Pahik lah luluih karakuangan
Jika sirih sudah kami makan
Yang manis lekat di ujung lidah
Yang pahit lolos ke kerongkongan
Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis
saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya. Kalau
disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga
akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang
akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan
pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang
dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda
pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi
keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru
karena sejarahnya itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang.
Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang
pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang
pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.
Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu
menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula
maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus
dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak. Sesuai
dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita
membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak
rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai
oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau
wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda.
Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara
simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
1. Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak
keluarga si pemuda
2. Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
3. Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan
calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
4. Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah
direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali
sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak
dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik
mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan
keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak
keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.
Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang
praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang
dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali
pertemuan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
7. Minta Izin / Mahanta Siriah
Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang
pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi
tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya;
kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang
dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta
izin. Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon
anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga.
Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud
dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum
akad nikah dilangsungkan.
Tata Cara
Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan
(biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah
isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas. Setelah
menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi daun nipah dan
tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula memberitahu kepada
keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah.
Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu
minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam
rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh
keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut. Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi
tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti
itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil untuk
ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan bingkisan-
bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram
gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.
Tata Busananya
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana
khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di
Sumatera Barat :
1. Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain
sarung palekat (atau sarung Bugis)
2. Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah
kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang
disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.
Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk
rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya
dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan
pertama sebelum membuka kata. Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas
melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan
namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik
diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum
maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang
yang didatangi. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
8. Malam Bainai
Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah
Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus
daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang
cemerlang pada kuku. Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum
besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan
mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap
sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga
untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan
berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan
semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat.
Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan
berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-
ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan,
dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan
kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan.
Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-
kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung
jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa
melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang
dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia
berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan
tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna
merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah
tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.
Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian
dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak
lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun,
karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara
malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan
khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan
acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke
tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian
perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah
membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi
pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai
tujuan dan makna sbb:
1. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan
masa remajanya,
2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan
baru berumahtangga,
3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang
sakral, yaitu akad nikah,
4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan
sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga
sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain
seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-
mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup
dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat
ditubuhnya.
Tata busana
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang
disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan
menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi
dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus.
Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon
anak daro. Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak
daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.
Tata cara
Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas
rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah
sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah
didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang
berpakaian adat. Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini
disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya
sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah
kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah
bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan
oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi
dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita.
Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang
kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang
wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia
juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan
gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan. Walaupun acara mandi-mandi
dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk
memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon
pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat
anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau
sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya. Jumlah ganjilnya ini
ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil
pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis
tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling
Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada
beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang
berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan
yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya,
maka satu balutan kain dibuka, dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik,
maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan
mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai
diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun
sitawa sidingin. Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu
kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan
ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain
jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah
diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang
mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan
membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah
kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah
akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya. Kain jajakan kuning ini setelah
diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi
waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu
mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan
itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut
yang memisahkan mereka.
#9
26th November 2008, 10:30
10. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut
adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria ke rumah orang tuanya untuk
dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calon pengantin wanita.
Dahulu di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari keluarga calon
pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini untuk melafaskan ijab kabul di
mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah kemudian keluarga besar kembali menjemput
menantunya itu ke rumah orang tuanya untuk dipersandingkan di rumah pengantin wanita.
Tetapi sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar, akad nikah
diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu langsung kedua pengantin
dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara yang semacam ini, penjemputan calon
mempelai pria ke rumah orang tuanya harus dilaksanakan sepanjang adat dengan memenuhi
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Sering terjadi sampai
sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang diatur oleh orang tua-tua sebuah
rencana perkawinan batal gara-gara ketidakcocokan dalam soal jemput menjemput calon
marapulai atau mempelai ini. Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya
barang-barang yang dibawa pihak keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput, tapi bisa
juga karena dirasa juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara
kampungnya atau luhak adatnya yang berbeda-beda. Secara umum menurut ketentuan adat
yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria keluarga calon pengantin wanita harus
membawa tiga bawaan wajib, yaitu :
Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat
Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai
oleh calon pengantin pria
Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-
kue lainnya sebagai buah tangan
Hal-hal diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-
beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir
Sumatera Barat seperti Padang dan Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung
kuning tujuh tungketan, tombak janggo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya
bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll. Jika ada perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya
dimana pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa uang jemputan, uang hilang,
atau apapun namanya,maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu
melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada wadahnya
masing-masing. Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya
jumlah keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering menjadi ukuran
besar kecilnya pesta yang diadakan itu. Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan
melakukan akad nikah ini, pihak keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan
seluruh keluarganya yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang sumandonya.
Situasi ini dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua
belah pihak keluarga saling berusaha untuk memperlihatkan adat sopan dan basa-basi yang
baik. Adat sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap dan tindak
tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata. Oleh karena itulah maka pada
acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus menyediakan jurubicara yang
dianggap mahir untuk bersikap dan bertutur kata yang baik sesuai dengan tata cara adat yang
disebut alur pasambahan, atau yang pandai melaksanakan sambah manyambah. Untuk acara
sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau tidak perlu harus
dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu, tetapi dipercayakan kepada yang muda-
muda terutama para rang sumando baru dalam lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai
orang yang dihormati dan dituakan maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta perkawinan
berperan sebagai tumpuan untuk bermufakat atau tempat memulangkan kata, jika ada hal-hal
alam pembicaraan yang memerlukan petunjuk dan saran dari yang tua-tua. Oleh karena
kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang,
maka seringkali dikampung-kampung dulunya acara semacam ini oleh para jurubicara yang
ditunjuk, dijadikan ajang untuk saling memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam
melafalkan pepatah-petitih dan merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga acara
menjadi bertele-tele memakan waktu yang panjang dan membosankan. Sesuai dengan efisiensi
waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga harus tunduk kepada jadwal yang
telah ditentukan, maka dengan tidak mengurangi hakekat acara tersebut sebagai suatu yang
harus nampak beradat, maka acara sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya
menyebut bagian-bagian yang memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan tujuan
kedatangan rombongan itu sendiri. Oleh karena didalam pelajaran sambah-manyambah pun
ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai pangka batang untuk setiap acara yang
dihadapi. Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu
adalah sbb:
1. Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas rumah,
2. Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
3. Menyampaikan maksud kedatangan,
4. Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
5. Menanyakan gelar calon menantu mereka,
6. Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.
Tata cara
Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak yang akan
ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan sesuai dengan undangan, maka
rombongan penjemput berangkat menuju rumah calon pengantin pria bersama-sama sambil
membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah disebutkan pada bab terdahulu. Pihak
keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di pekarangan rumah sambil
menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan menjawat atau menerima barang-barang
yang dibawa oleh rombongan yang datang. Setelah segala bawaan yang dibawa oleh
rombongan penjemput ini diterima dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan
naik ke atas rumah. Para tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian
yang paling baik di atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan menghadap ke pintu
masuk, sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer sekitar pintu atau pada bagian yang dilalui
untuk menuju ke dapur atau ke ruang dalam. Barang-barang bawaan rombongan penjemput
termasuk sirih dalam cerana setelah diterima di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan
dijejerkan ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang. Dalam acara
manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak yang datang. Jika
rombongan yang datang membawa seorang juru bicara yang pandai sambah manyambah,
maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah terlebih dahulu pihak yang datang sambil berbisik
bertanya kepada orang yang menanti kepada siapa sembah ini akan ditujukan. Pertanyaan
berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu
jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang yang memang telah mempunyai keahlian sepadan
untuk menjawab kata secara alur persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang
dituhuakkan kepada seseorang yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini
dapat membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat menimbulkan
rasa kurang enak dihati tuan rumah. Pembicaraan pertama yang dibuka oleh pihak yang datang
ini, tidak pulalah sopan jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan.
Yang lazim adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas penyambutan yang ramah
dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka, maka ia akan bertanya terlebih
dahulu, apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari kedatangan
rombongan. Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut terungkap dalam kata-kata
bersayap sbb:
Jikok ado nan takana di ati
Nan tailan-ilan dimato
Alah kok buliah kami katangahkan ?
Lazimnya menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai sekarang di
ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan menjawab begitu saja secara
langsung memberikan izin kepada rombongan yang datang untuk menyampaikan maksud
kedatangan mereka. Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak
seteguk lebih dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat.
Ini sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :
Jikok manggolek di nan data
Jikok batanyo lapeh arak
Jikok barundiang sudah makan
Demikian pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan atau
setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan. Setelah
selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak rombongan yang
datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang tertunda tadi.
Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa runding sudah bisa dilanjutkan, maka
barulah jurubicara yang datang secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan
rombongan dalam alur persembahannya yang pokok-pokok isinya harus memenuhi ketentuan-
ketentuan adat menjemput maapulai sbb :
1. Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon
pengantin wanita.
2. Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan membawa
sirih dalam carano.
3. Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan namanya dan
nama orang tuanya dengan jelas).
4. Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan
mengiringkan.
Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan
membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah
tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak
Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali
dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si
tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan
dengan empat ketentuan di atas. Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh
jurubicara tuan rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan
penjemput diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon
mempelai pria. Sambil menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi
acara dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria. Setelah selesai acara
sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai pria didandani dan dikenakan
busana yang dibawa oleh keluarga calon mempelai wanita, maka sebelum rombongan
termasuk rombongan keluarga yang laki-laki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman
calon mempelai wanita, haruslah calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu
kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang pantas
untuk dihormati dalam kaumnya. Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau
sudah beristeri biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang
akan kawin itu disebut akan menjadi “anak orang lain”. Sehingga momen permohonan doa restu
ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan
yang melepas saling bertangis-tangisan. Lazimnya dalam acara menjemput calon mempelai
pria ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang
baru berumah tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon
mempelai pria mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah.
Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan
sunting rendah.
k.
6. Organisasi social
7. System pengetahuan (berhubungan dengan mata pencaharian)
a. Hari baik mendirikan rumah
b. Hari baik untuk perkawinan
8. Peralatan dan perlengkapan hidup
a. Rumah adat
b. Senjata adat
c. Perang adat (factor-faktor)
d. Pakaian tradisional
e. Transporatasi adat
f. Peralatan atau perlengkapan hidup