new swara rahima - 1repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50718/... · 2020. 4....

6
Swara Rahima - 1 No. 47 Th. XIV. Desember 2014

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Swara Rahima - 1No. 47 Th. XIV. Desember 2014

  • Daftar IsiSalam 1

    Surat Pembaca 2

    Abstrak 3

    Fokus 6

    Fundamentalisme Agama dan Dampaknya pada Perempuan

    Opini 15

    Professor Gregory Fealy, BA (Hons), PhD (Monash):Fundamentalis Gunakan Perempuan untuk Kontestasi Kesalehan

    Inayah Rochmaniyah, PhD :Pandangan Keagamaan Fundamentalis Bercorak Androsentris, Patriarkhal dan Seksis

    Tafsir Alquran 25

    Fundamentalisme dan Implikasinya terhadap PerempuanOleh: Nina Nurmila, PhD

    Fikrah 31

    Pemberdayaan dan Pemuliaan PerempuanMenurut Said Nursi (1877-1960)Oleh : Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA

    Akhwatuna 33

    Fundamentalisme: Kekerasan terhadap perempuanOleh Enik Maslahah*

    Profil 35

    Mbak Khotim dan “Rumah untuk Umat”

    Kiprah 38

    Tadarus 8 PUP: Kepemimpinan Perempuan yang Berkesetaraan Gender dan Berkelanjutan

    Saat Ulama Perempuan Aceh Bertadarus tentang Kesetaraan

    Jaringan 42

    PP Salafiyah Nurudh Dholam IV KlatenMencetak Hafidzoh Berwawasan Luas dan Mandiri

    Khazanah 45

    Ulama Perempuan untuk Kemanusiaan: Narasi Sejarah Perjuangan Perempuan Muslim Indonesia

    Dirasah Hadis 47

    Keseimbangan dan Ekstremitas dalam Beragama:Perempuan sebagai TerdampakOleh: Nur Achmad, MA.

    Info 52

    Wujudkan Banyuwangi Sehat Melalui Perda Pelayanan Kesehatan Reproduksi

    Cerpen 53

    Mereka yang TercampakkanSebuah Catatan Untuk Jugun IanfuOleh : Diah Rofika

    Teropong Dunia 56

    Fundamentalisme di Negeri-negeri Muslim:Perspektif Politik-Agama dan Sejarah Sosial-BudayaNur Hidayah, PhD

    Tanya Jawab 59

    Istri Gugat Cerai Suami karena Tak Dinafkahi dan Ditelantarkan

    Refleksi 61

    Mereka pun Perempuan:Pengalaman Bersama Perempuan Fundamentalis Oleh : Hj. Nihayatul Wafiroh, MA

  • Swara Rahima - 1No. 47 Th. XIV. Desember 2014

    Salam

    Assa lamu’a la ikum Wr. Wb.

    SwaraRahimaJl. H. Shibi No. 70 Rt. 007/01 Srengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640Telp. 021-78881272, Fax. 021-7873210Email: [email protected] - Website: www.rahima.or.id

    PENANGGUNG JAWAB Masruchah

    PEMIMPIN UMUM KH. Husein Muhammad

    PEMIMPIN REDAKSI AD. Eridani

    DEWAN REDAKSI Maman A. Rahman, Mawardi,

    Nurhayati Aida REDAKTUR PELAKSANA

    AD. Kusumaningtyas DEWAN AHLI

    Hj. Hindun Anisah, Hj. Afwah Mumtazah, Dr. Nur Rofiah, Prof. Dr. Saparinah Sadli,

    KH. Muhyiddin Abdussomad, Nyai. Hj. Nafisah Sahal,

    Prof. Dr. Azyumardi Azra, Kamala Chandra Kirana, MA, Faqihuddin Abdul

    Kodir, MA, KH. Helmi Ali, Farha Ciciek PEMBACA KRITIS

    AD. Eridani ABSTRAK ARAB

    Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. ABSTRAK INGGRIS

    AD. Kusumaningtyas KARTUNIS

    Basuki DESAIN GRAFIS DAN TATA LETAK

    Sanis Desain SEKRETARIS REDAKSI

    Binta Ratih Pelu DOKUMENTASI

    Ulfah MH KEUANGAN

    M. Syafran, Mustika DISTRIBUSI

    Imam Siswoko, Andy Fandiar.

    SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Perhimpunan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi pembaca melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA menanti kiriman tulisan pembaca sesuai dengan visi Rahima. Bagi yang dimuat akan diberi imbalan. Redaksi berhak mengedit semua naskah yang masuk. Semua tulisan menjadi milik redaksi, jika hendak direproduksi harus ada izin tertulis dari redaksi. 5 rubrik dari SWARA RAHIMA (Fokus, Tafsir Alquran, Dirasah Hadis, Fikrah dan Refleksi) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dan dapat diakses di website Rahima, www.rahima.or.id.

    Pembaca Swara Rahima yang senantiasa berbahagia, Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Ilahi Rabbi untuk segala nikmat, karunia, dan

    kasih sayang-Nya kita memiliki kekuatan untuk menapaki hari-hari yang semakin sarat dengan persoalan. Hingga tanpa terasa kita telah kembali berada di penghujung tahun. Tahun 2014 akan segera berlalu.

    Jika sejenak berefleksi, di tahun yang akan segera kita tinggalkan ini aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama masih marak terjadi. Sempitnya cara pandang seseorang terhadap hal yang diyakininya, begitu mudahnya menuduh sesat dan kafir pihak lain, peminggiran dan penomorduaan kaum perempuan di segala bidang dengan cara melakukan kontrol atas tubuh dan pembatasan ruang gerak mereka dengan alasan untuk menyelamatkan umat dari kerusakan moral, masih merupakan beberapa keprihatinan yang kita rasakan. Oleh karenanya, pada edisi ke-47 ini, Swara Rahima mengangkat tema “Fundamentalisme Agama dan Dampaknya pada Perempuan”.

    Upaya untuk menelaah fenomena sosial yang masih berkembang di masyarakat agar kita tidak gegabah dan sembarangan dalam melakukan penilaian, tidak terjebak dalam doktrin keagamaan yang kaku, dan lebih arif dalam memahami persoalan yang terjadi. Oleh karenanya, Redaksi Swara Rahima berupaya untuk mengulas itu semua di rubrik Fokus. Untuk melengkapinya, dua orang narasumber yang kompeten: Greg Fealy, seorang Indonesianist dari Australia yang banyak meneliti tentang gerakan Islam di Indonesia, dan Inayah Rochmaniyah, akademisi dari UIN Yogyakarta yang disertasinya tentang fundamentalisme, memberikan berbagai pandangannya di rubrik Opini.

    Pembaca Swara Rahima yang budiman , Berbagai tulisan yang senada dengan tema utama dapat dibaca dalam berbagai

    rubrik seperti Akhwatuna, Tafsir Alquran, Dirasah Hadis dan Refleksi. Di samping itu seperti biasa ada beberapa rubrik non tematik seperti Fikrah, Info, Tanya Jawab, Jaringan, dan Kiprah. Dalam rangka Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Diah Rofika menyajikan Cerpen tentang para Jugun Ianfu yang menjadi korban kekerasan tentara Jepang sebelum kemerdekaan Indonesia.

    Profil Khotimatul Khusna, peserta Program Ulama Perempuan (PUP) angkatan keempat yang bergiat komunitasnya diharapkan menjadi inspirasi bagi para pembaca yang bergiat di ranah serupa. Timbangan buku baru “Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima” yang diterbitkan dan diluncurkan oleh Rahima di Yogyakarta, September 2014 mengenai 40 profil ulama perempuan Rahima diulas di rubrik Khazanah. Adapun rubrik Suplemen menyajikan tulisan Nia Ramdhaniati, peserta program PUP Angkatan ke-2 menelaah tentang bias gender dalam penggunaan bahasa, dan pentingnya membangun relasi yang setara antara lelaki dan perempuan melalui penghapusan bias gender dalam penggunaan bahasa.

    Para pembaca yang senantiasa bersemangat,

    Kami berharap majalah Swara Rahima ini menjadi wadah untuk menyalurkan kreativitas pemikiran para mitranya dalam membangun relasi yang adil dan setara. Oleh karenanya Swara Rahima sangat menantikan karya-karya kreatif mitra Rahima lainnya. Mudah-mudahan, melalui tulisan berbagai pengetahuan yang kita miliki menjadi tali pengikat ilmu yang kokoh sebagaimana yang diungkapkan dalam salah satu Mahfuzhat: “Al ‘ilmu shaydun, wa al-kitaabatu qayyidun. Qayyid shuyuudaka bi al-hibaali al-waatsiqah”. Dengan demikian setiap pengalaman dapat menjadi ilmu yang bermanfaat. Semoga!

    Selamat menyambut Tahun baru 2015 M...

    Wassalam,Redaksi

    Redaksi

  • 56 - Swara Rahima No. 47 Th. XIV. Desember 2014

    Wacana Islam dan perempuan terus menjadi bahan perdebatan hangat seiring sorotan media terhadap penindasan perempuan atas nama penerapan syari`at Islam di banyak negara-negara Muslim seperti Afghanistan, Iran, Pakistan, termasuk juga Indonesia. Hal ini tentu sangat kontras dengan klaim umat Islam bahwa agama yang mereka anut merupakan agama Tauhid (monotheisme) yang menyerukan kesetaraan sesama manusia di hadapan Tuhan, termasuk antara laki-laki dan perempuan. Kemunculan gerakan fundamentalisme agama di dunia Muslim yang ingin menghidupkan kembali ajaran “murni” agama dengan dampaknya terhadap perempuan memunculkan pertanyaan: mengapa Islam yang mengklaim sebagai rahmatan lil `Alamin justru di tangan kelompok fundamentalis ini memperlakukan perempuan sebagai subordinat laki-laki.

    Pertanyaan inilah yang akan berupaya dijawab penulis dalam rubrik ini dengan melihat dari berbagai faktor. Penulis berargumen bahwa fundamentalisme Islam dan dampaknya yang sering sangat diskriminatif terhadap perempuan bukanlah karena ajaran-ajaran Islam yang mensubordinasi perempuan tetapi sesungguhnya fenomena ini merupakan akumulasi berbagai faktor terutama politik-agama dan sejarah sosial-budaya.

    Gerakan Fundamentalisme Islam dan Perempuan Muslim

    Pada awal abad ke-20 M, dunia Muslim menyaksikan kelahiran gerakan-gerakan Islam yang awal mulanya bertujuan untuk mereformasi kehidupan umat Islam yang dimotori ulama seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Namun sebagaimana perjalanan sejarah umat Islam terdahulu yang berkembang kepada aliran Ahl Hadits and Ahl Ra`y, gerakan ini pun terpolarisasi kepada dua kutub. Di satu sisi, kecenderungan reformis yang mengutamakan penalaran rasio dan dialog

    dengan modernisme Barat. Di sisi lain, kecenderungan konservatisme yang menekankan penafsiran harfiyah serta memandang Barat sebagai kekuatan yang berupaya menghancurkan umat Islam dan ajaran-ajarannya.

    Kecenderungan pertama melahirkan pemikir seperti Abdullah Ali Abdur Raziq dan Qasim Amin dan terus dikembangkan oleh generasi berikutnya, para sarjana Muslim reformis. Sedangkan kecenderungan kedua melahirkan tokoh-tokoh gerakan Islamis beserta organisasi-organisasinya seperti Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gerakan Wahabi di Saudi Arabia, Hassan al-Bana dan Sayyid Qutub dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Abul `Ala al-Mawdudi dengan gerakan Jama`at al-Islami di Pakistan.

    Gerakan-gerakan ini terus berkembang dan bermetamorfosis menjadi berbagai gerakan Islamis di berbagai dunia Muslim. International Crisis Groups mengkalisifikasikan kelompok ini menjadi 3 varian utama: pertama, Islamis-politik, seperti PAS di Malaysia, PKS di Indonesia; kedua, Islamis-dakwah,seperti gerakan Tarbiyah dan Hizbut Tahrir; ketiga, Islamis-jihadi, seperti Taliban di Afghanistan, al-Qaeda di Timur Tengah, dan ISIS di Suriah.1 Kedua kecenderungan ini terus berkembang di dunia Muslim dan tak jarang menimbulkan pergesekan di antara keduanya dalam memperebutkan legitimasi penafsiran teks, tidak hanya mengenai wacana agama dan politik tetapi juga wacana relasi laki-laki dan perempuan. Pergesekan ini tidak jarang melibatkan kekerasan dimana kelompok yang lemah (seperti perempuan dan kaum marjinal) dan pembelanya, kelompok reformis, sering menjadi korbannya akibat klaim kebenaran absolut yang diusung kelompok Islamis ini.

    1. Dosen Fakultas Syari`ah dan Ekonomi Islam IAIN “SMH” Banten

    Teropong Dunia

    Fundamentalisme di Negeri-negeri Muslim:Perspektif Politik-Agama dan Sejarah Sosial-BudayaNur Hidayah, PhD*

  • Swara Rahima - 57No. 47 Th. XIV. Desember 2014

    Dalam konteks perempuan, kelompok Islamis berkeyakinan bahwa teks-teks Islam telah mengatur secara detil relasi laki-laki dan perempuan berdasarkan penafsiran mereka yang sangat literal, yang bila dibaca dengan kacamata kontemporer, justru menjadikan Islam agama yang mensubordinasi perempuan, mengingat konteks diturunkannya teks-teks tersebut adalah masyarakat Arab pada abad 7M. Padahal sesungguhnya semangat awal diturunkannya Islam adalah pembebasan, keadilan, dan kesetaraan sesama manusia. Hal inipun diindikasikan oleh sebuah kaidah fiqh: Taghayyur Ahkam bi Taghayyil Azminah wal Amkinah (Perubahan Hukum berdasarkan Perubahan Zaman dan Tempat). Artinya pembacaan dan penafsiran teks perlu dilakukan secara kontekstual dalam sinaran zaman dan budaya yang terus berubah.

    Secara politik, kemunculan kelompok Islamis terjadi dalam konteks perlawanan negara-negara Muslim terhadap kolonialisme Barat yang meninggalkan luka dan trauma politik yang sangat mendalam. Hal ini semakin diperparah oleh kajian Orientalisme Barat yang berupaya mendikotomi dan mensterotype umat Muslim sebagai masyarakat inferior dan tertinggal sedangkan Barat sebagai masyarakat maju dan superior. Dikotomi ini kemudian, baik secara sadar ataupun tidak, diinternalisasi oleh kaum reformis, seperti Qasim Amin, yang berpendapat bahwa jalan menuju kemajuan Islam terletak pada pembebasan dan pendidikan bagi kaum perempuannya. Argumen kelompok reformis inilah yang kemudian menimbulkan politik reaksioner kelompok Islamis. Dengan argumen politik identitas dan otentisitas, kelompok Islamis menyerukan perempuan untuk tetap tinggal di rumah dan memelihara nilai-nilai keluarga dan agama.2 Politik identitas dan otentisitas ini semakin menguat seiring kemunculan politik post-modernisme yang mengkritik kegagalan teori modernisme dan developmentalisme Barat yang ditansplantasikan ke dunia Islam. Hal ini semakin menguatkan propaganda kelompok Islamis untuk kembali kepada ajaran Islam ‘murni’ sebagai solusi dari krisis modernisme yang melanda negara-negara Muslim (al-Islam huwal hal). Sayangnya yang dijadikan tolok ukur otentisitas agama,

    lagi-lagi perempuan, sebagaimana disinyalir oleh Nira Yuval-Davis bahwa perempuan sering diharuskan memikul beban sebagai penjaga kemurnian agama dan budaya.3 Hal ini pun diperkuat oleh Eickelman dan Piscatori yang berpendapat bahwa isu gender dan keluarga sering dianggap sebagai mikrokosmos aturan moral yang diinginkan dalam imaginasi politik Muslim.4

    Secara sejarah sosial-budaya, Islam diturunkan kepada masyarakat Arab nomad abad 7M yang notabene ketika itu sedang mengalami pergeseran dari sistem matriarkal menuju sistem patriarkal. Dalam masyarakat Arab, perempuan memiliki posisi penting karena perannya yang tidak hanya produktif tetapi juga reproduktif. Rasio yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, akibat perang antar suku, menjadikan perempuan bersaing antar mereka untuk menarik laki-laki menuju pernikahan, yang akhirnya menjadikan perempuan Arab dipandang sebagai pelaku seks aktif.5 Pandangan ini sedikit banyak mempengaruhi budaya Muslim yang percaya bahwa seksualitas perempuan bersifat aktif, bahkan agresif -yang dapat membuat laki-laki tergoda- dan selanjutnya dapat menimbulkan fitnah (kekacauan).

    Untuk mengantisipasi hal ini, budaya Arab Islam yang menekankan penegakan moral dari ‘luar’ seperti peraturan dan kurang menekankan pada pelarangan dari dalam (kesadaran diri), alih-alih menuntut laki-laki membatasi dan mengontrol diri, justru memberi jalan keluar dengan menyembunyikan tubuh perempuan dan mengasingkannya dari laki-laki, kecuali dalam hubungan pernikahan.6 Inilah yang kemudian melahirkan aturan-aturan yang sangat membatasi dan mensubordinat perempuan, seperti ketentuan qiwamah (kepemimpinan laki-laki atas perempuan) dan hijab (ketentuan menutup aurat), yang melalui penafsiran harfiyah memiliki implikasi lebih jauh yang sangat mendiskriminasi perempuan, seperti kewajiban perempuan sebagai ibu rumah tangga yang berdomisili di ranah privat dan pelarangan perempuan menduduki jabatan-jabatan politis di ranah publik.7

    2. Nur Hidayah, “Feminising Islam in Contemporary Indonesia: The Role of Progressive Muslim Women’s Organisations”, PhD Thesis, (Melbourne: Melbourne University, 2012), h. 53.

    3. Nira Yuval-Davis, Gender and Nation, (London: Sage Publications, 1997).4. Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Muslim Politics, (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1996).5. Nawal el-Saadawi, 1982, sebagaimana dikutip Lily Zakiyah Munir, “Fundamentalisme: Tantangan bagi Islam Agama Kesetaraan”, dalam Zuhairi

    Misrawi (et. all.), Fundamentalisme: Agama dan Dampaknya terhadap Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas, (Jakarta: Mitra INTI Foundation, 2005), h. 44.

    6. Fuad Zakariya, 1987: 180-1, sebagaimana dikutip Lily Zakiyah Munir, “Fundamentalisme: Tantangan bagi Islam Agama Kesetaraan”, h. 44.7. Untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan membaca Nur Hidayah, “Feminising Islam in Contemporary Indonesia”, h. 41-42.

    Teropong Dunia

  • 58 - Swara Rahima No. 47 Th. XIV. Desember 2014

    w

    PenutupSebagaimana Islam tidak pernah monolitik,

    gerakan Islam-pun memiliki ragam yang sangat varian. Kemunculan fundamentalisme Islam, di satu sisi, telah mencoreng wajah Islam sebagai agama yang rahmatan lil `Alamin. Namun di sisi lain, ia telah mendorong ribuan bahkan jutaan Muslim di berbagai belahan dunia yang meyakini prinsip utama keadilan dan kesetaraan Islam untuk menunjukkan bahwa fenomena diskriminasi terhadap perempuan oleh kelompok fundamentalis bukanlah gambaran sesungguhnya Islam.

    Ia sesungguhnya merupakan akumulasi berbagai faktor politik-agama, sejarah sosial dan budaya.

    Sebagai alternatif, kelompok terakhir ini, yang disokong oleh kaum reformis Islam, berupaya menawarkan wacana tandingan, yang memperlihatkan wajah Islam sebagai agama rahmatan lil Alamin melalui penafsiran dan gerakan Islam yang menekankan unsur keadilan dan kesetaraan. Semoga gerakan Islam yang rahmatan lil Alamin inilah yang bisa terus berkembang bersama kelompok masyarakat lain untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih adil dan sejahtera. Amin.{}

    Teropong Dunia

    Blame shifting : Ipaya untuk memindahkan kesalahan kepada orang lain atau pihak lain.dominasi : Penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah. Ghadhul bashar : Menjaga pandangan terhadap pihak lain yang bukan mahram.Hegemoni : Bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan kepemimpinan

    intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa.

    Islamis : Sebutan bagi orang-orang dan kelompok-kelompok yang mempercayai bahwa sistem pemerintah mereka seharusnya berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

    Jinayat : Hukum Pidana Islam.Jugun Ianfu : Perempuan-perempuan yang dijadikan budak dan penghibur pada masa pendudukan tentara

    Jepang.Khalwat : Berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam sebuah ruang yang

    tertutup ; dalam konteks Aceh diartikan dengan perbuatan mesum. Dalam konteks Tasauf diartikan mengasingkan diri dari ramainya kehidupan dunia.

    Konservatif : Sikap dan perilaku politik yang tidak menginginkan adanya perubahan berarti (mendasar) dalam sebuah sistem; kolot; orang yang tidak mau melakukan perubahan karena khawatir mempunyai dampak yang tidak baik terhadap dirinya maupun lingkungan.

    Literalis : Aliran keagamaan yang memandang sebuah ajaran agama secara tekstual, sehingga menganggap bahwa semua ajaran yang terkandung di dalam kitab suci bersifat benar dan absolut sehingga menyebabkan penafsiran atas teks menjadi terbatas dan cenderung eksklusif.

    Mainstream : Arus utama.Mujtahid : Pembaharu (dalam hal pemikiran).Murabbi : Pembimbing spiritual di dalam komunitas liqa’.Otoritatif : Diakui pengaruh atau otoritasnya.Preferensi : Didahulukan dan diutamakan daripada yang lain; prioritas; pilihan; kecenderungan;

    kesukaan.Qanun : Pemahaman atas Syariat Islam (Fiqh) yang telah diadopsi sebagai pandangan resmi negara,

    dalam konteks Aceh berarti Peraturan Daerah (perda); Fiqh mazhab negara. Religious blasphemy : Penodaan agama.Revivalis : Para pelaku dalam gerakan keagamaan yang bertujuan untuk bangkit ke masa lampau, bahkan

    berkeinginan untuk menghidupkan kembali tradisi, ajaran, atau kebiasaan yang sudah usang.Superior : Orang yang merasa hebat dan lebih baik dari orang lain di lingkungannya, berkuasa dan

    berkehendak sesuai dengan keinginannya sendiri.Wilayatul Hisbah (WH) : Polisi Syariat atau semacam satuan polisi pamong praja di Nangroe Aceh Darussalam, yang di

    antara tugasnya adalah merazia orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran Syariat.

    Glosari