neraca pembayaran dan perdagangan · web viewakibat dari perkembangan yang tidak menguntungkan ini...

118
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGANLUAR NEGERI

BAB V

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

A. PENDAHULUAN

Sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebijaksanaan pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama Repelita III berlandaskan pada trilogi pembangunan dengan penekanan pada azas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam rangka peningkatan ketahanan dan pemantapan kestabilan di bidang ekonomi, kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri diarahkan untuk menunjang proses perubahan struktur ekonomi melalui diversifikasi produksi dan perdagangan luar negeri, menjamin tersedianya barang-barang kebutuhan pokok secara me-rata dengan harga yang stabil, mengendalikan pengusahaan dan penggunaan pinjaman serta penanaman modal luar negeri, men-jaga kestabilan pasaran dan kurs valuta asing, serta memelihara tingkat cadangan devisa yang cukup memadai.

Berpegang pada pedoman bahwa pelaksanaan pembangunan nasional harus berlandaskan kemampuan sendiri sedangkan bantuan luar negeri harga merupakan pelengkap sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, selama Repelita III terus diusahakan peningkatan penerimaan devisa dari ekspor barang dan jasa serta penghematan penggunaan devisa untuk impor barang dan jasa. Peranan strategis dari kebijaksanaan perluasan ekspor dan pengendalian impor sejak tahun 1980 semakin menonjol guna menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh resesi ekonomi dunia dan tindakan-tindakan proteksionisme yang dilakukan oleh negara-negara maju yang mengekang daya masuk barang-barang ekspor negara-negara berkembang ke pasaran mereka.

Perkembangan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri Indonesia selama Repelita III kembali membuktikan eratnya kesalingtergantungan antara pertumbuhan negara-negara industri dan pembangunan negara-negara berkembang. Berpangkal tolak dari landasan di dalam negeri yang kuat dan didukung oleh iklim perekonomian dunia yang baik, selama dua tahun pertama Repelita III neraca pembayaran bergerak ke arah yang sangat menguntungkan melampaui sasaran-sasaran yang ditentukan. Namun selama dua tahun berikutnya kemunduran dalam kegiatan perekonomian dunia serta kemerosotan yang terjadi di pasaran

internasional khususnya pasaran komoditi primer dan minyak bumi menunjukkan dampak sepenuhnya pada perkembangan neraca pembayaran dengan penurunan ekspor dan cadangan devisa. Berkat kebijaksanaan baru di bidang perdagangan luar negeri yang ditempuh sejak permulaan tahun 1982 dan serangkaian kebijaksanaan penyesuaian selama tahun 1983 kecenderungan kemunduran dalam neraca pembayaran dapat dihentikan sehingga bersamaan dengan tanda-tanda bangkitnya kembali perekonomian dunia, baik ekspor maupun tingkat cadangan devisa Indonesia dalam tahun 1983/84 meningkat lagi dengan laju yang cukup besar.

Resesi ekonomi dunia terakhir yang berlangsung sejak akhir tahun-1979 ditandai oleh kemerosotan dalam laju pertumbuhan produksi riil negara-negara industri dari rata-rata 3,8% selama periode 1977 - 1979 menjadi 0,9% dalam masa 1980 - 1982. Pulihnya kegiatan ekonomi di negara-negara industri tidak terjadi serentak tetapi terpusat di benua Amerika Utara untuk kemudian merembet ke Inggeris dan Jerman Barat. Laju pertumbuhan produksi rill di Amerika Serikat, Kanada dan Jer-man Barat dalam tahun 1983 mencapai masing-masing 3,3%, 3,0% dan 1,3% dibandingkan dengan kemunduran sebesar 1,9%, 4,4% dan 1,1% dalam tahun 1982, sedangkan produksi riil Inggeris meningkat dengan 2,9% dari kenaikan sebesar 1,9% dalam tahun 1982. Secara, keseluruhan, negara-negara industri mengalami laju pertumbuhan produksi riil sebesar 2,3% dalam tahun 1983 dibandingkan dengan kemerosotan sebesar 0,1% tahun sebelumnya. Penekanan negara-negara industri pada kebijaksanaan pe-nanggulangan inflasi telah berhasil. menurunkan laju inflasi dari rata-rata 8,3% dalam periode 1980 - 1982 menjadi 5,1% dalam tahun 1983. Penurunan laju inflasi yang paling besar terjadi di Kanada dan Amerika Serikat, yaitu dari masing-masing 10,6% dan 8,2% dalam masa 1980 - 1982 menjadi 6,2% dan 4,2% dalam tahun 1983. Akan tetapi, ketatnya kebijaksanaan moneter mengakibatkan pula naiknya tingkat pengangguran dari 6,7%. dalam periode 1980 - 1982 menjadi 8,3% dalam tahun 1983 untuk negara-negara industri utama dan masing-masing dari 8,7% dan 8,2% menjadi 11,1% dan 9,7% untuk Kanada dan Amerika Serikat.

Situasi perekonomian dunia hingga saat ini tetap diwarnai. oleh berbagai kesulitan yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang. Resesi ekonomi dunia yang telah membawa serta kemerosotan dalam pasaran komoditi internasional, iklim proteksionisme yang semakin mencekam perdagangan dan daya masuk dalam pasaran dunia, ketidakstabilan pasaran valuta asing dan terus berlangsungnya kenaikan dalam suku bunga di pasaran uang internasional merupakan faktor-faktor penyebab utama ke‑

munduran dalam penerimaan devisa dari ekspor, beban pembayaran angsuran dan bunga pinjaman luar negeri yang makin berat, tersendatnya pengalihan dana-dana pembangunan dari luar negeri termasuk pinjaman yang dapat diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan internasional, menciutnya cadangan devisa serta kelambanan dalam laju pembangunan negara-negara berkembang.

Laju pertumbuhan produksi riil negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi masih terus menurun dari rata-rata 5,7% dalam masa 1977 - 1979 hingga 3,1% dalam periode 1980 - 1982 dan menjadi 1,6% dalam tahun 1983. Di antara negara-negara tersebut, pertumbuhan wilayah Asia menunjukkan perkembangan yang paling baik, yaitu dari 7,2% dalam periode 1977 1979 menjadi 5,0% dalam periode 1980 - 1982 untuk kemudian meningkat mencapai 6,5% dalam tahun 1983. Negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi, yang laju pertumbuhan produksinya dalam masa 1977 - 1979 masih mencapai 4,1%, meng-alami kemunduran dalam produk domestik bruto sebesar 3,4% se-lama periode 1980 - 1982 dan sebesar 1,1% dalam tahun 1983. Kejadian yang kurang menguntungkan ini disebabkan karena kemerosotan produksi di sektor minyak bumi sebesar 14,4% dalam masa 1980 - 1982 dan 6,9% dalam tahun 1983.

Gelombang kegiatan perekonomian di negara-negara industri menentukan arah perkembangan perdagangan internasional. Sete-lah peningkatan yang pesat sebesar 11,0% dalam tahun 1976, pertumbuhan volume perdagangan internasional merosot sehingga hanya mencapai laju kenaikan rata-rata sebesar 5,9% dalam ma-sa 1977 - 1979 untuk kemudian mencapai tahap stagnasi dalam masa 1980 - 1982, Kecenderungan ini dapat dihentikan dengan meningkatnya kembali volume perdagangan internasional sebesar 2,0% dalam tahun 1983. Selma periode 1977 - 1979 volume eks-por negara-negara industri, negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dan negara-negara pengekspor minyak bumi masing-masing mengalami kenaikan sebesar 6,3%, 7,3% dan 0,1%. Laju pertumbuhan tersebut bagi negara-negara industri dan negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi menurun menjadi masing-masing 1,6% dan 6,1% dalam masa 1980 - 1982, dan 2,0% dan 5,3% dalam tahun 1983. Volume ekspor negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi hanya mengalami kenaikan sebesar 0,1% dalam periode 1977 - 1979 dan kemudian menurun dengan berturut-turut 15,5% dalam masa 1980 - 1982 dan 7,2% dalam tahun 1983.

Volume impor negara-negara industri, negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dan negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi selama periode 1977 - 1979

mengalami kenaikan sebesar masing-masing 6,0%, 9,0% dan 3,4%. Dalam masa 1980 - 1982 laju pertumbuhan tersebut bagi negara-negara berkembang bukan pengekspor. minyak bumi dan pengekspor minyak bumi berubah menjadi masing-masing sebesar rata-rata 0,3% dan 13,0%; sedangkan negara-negara industri mengalami penurunan volume impor sebesar rata-rata 1,3%. Pada tahun 1983 laju pertumbuhan impor negara-negara industri kembali naik sebesar 4,1%, sedangkan volume impor negara-negara berkembang. bukan pengekspor minyak bumi dan negara-negara pengekspor minyak bumi mengalami kemunduran sebesar masing-masing 0,6% dan 10,2%.

Dinyatakan dalam SDR, nilai tukar perdagangan negara-negara industri menurun sebesar 0,6% dalam periode 1977 - 1979 dan sebesar 2,3% dalam masa 1980 - 1982 untuk selanjutnya naik dengan 2,2% dalam tahun 1983. Negara-negara berkembang bu- kan pengekspor minyak bumi dalam tahun 1983 hanya mengalami kenaikan sebesar 1,1% dalam nilai tukar perdagangannya sete- lah kenaikan sebesar 0,8% dalam masa 1977 - 1979 dan kemero-sotan sebesar 4,4% dalam periode 1980 - 1982. Dalam tahun 1983 hanya nilai tukar perdagangan bagi kelompok negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi yang mengalami penurunan, yaitu sebesar 8,9% dibandingkan dengan peningkatan sebesar berturut-turut 4,9% dan 16,9% dalam masa 1977 — 1979 dan 1980 - 1982. Dilihat dari segi perkembangan harga kelompok-kelompok barang utama yang diperdagangkan secara internasional dinyatakan dalam US Dollar harga barang-barang industri meningkat dengan 14,5% dalam tahun 1978, kemudian menurun de-ngan rata-rata 3,5% dalam periode 1981 - 1982. Kenaikan harga bagi komoditi primer di luar minyak bumi mencapai puncaknya pada tahun 1979, yaitu sebesar 16,3%, disusul dengan kemero-sotan sebesar rata-rata 13,3% dalam periode 1981 - 1982. Har- ga minyak bumi rata-rata meningkat dengan 54,5% dalam periode 1979 - 1980 dan mengalami kemunduran sebesar 4,2% dalam tahun 1982. Dalam tahun 1983 ketiga kelompok barang tersebut masing-masing menurun dengan 3,0%, naik sebesar 6,7% dan merosot sebesar 12,1%

Perkembangan neraca pembayaran negara-negara di dunia banyak ditentukan oleh pertumbuhan ekspor dan impor, nilai tukar perdagangan, perkembangan di pasaran valuta asing dan arus modal Pemerintah dan swasta. Negara-negara industri se- cara keseluruhan mencapai surplus transaksi berjalan sebesar US $ 32,4 milyar dalam tahun 1978, sedang dalam tahun 1980 surplus tersebut berbalik menjadi defisit sebesar US $ 40,4 milyar. Dalam tahun-tahun 1982 dan 1983 negara-negara industri masih mengalami defisit transaksi berjalan sebesar bertu-

rut-turut US $ 1,4 milyar dan US $ 1,2 milyar. Amerika Serikat menghadapi pelonjakan defisit transaksi berjalan dari US $ 5,8 milyar dalam tahun 1982 menjadi US $ 34,3 milyar dalam tahun 1983 sebagai akibat terus berlangsungnya apresiasi Dollar Amerika terhadap valuta utama lainnya perkembangan mana telah menurunkan daya saing barang-barang ekspor di pasaran luar negeri, menaikkan impor dan menyebabkan defisit dalam neraca perdagangan. Sebaliknya, surplus transaksi berjalan Jepang sejak tahun 1981 terus meningkat dan mencapai US $ 22,3 milyar dalam tahun 1983. Jerman Barat dan Inggeris berhasil mempertahankan surplus transaksi berjalan mereka sebesar masing-masing US $ 10,2 milyar dan US $ 12,7 milyar dalam tahun 1982 serta US $ 9,0 milyar dan US $ 6,1 milyar dalam tahun 1983. Negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi sejak tahun 1977 mengalami defisit transaksi berjalan yang terus meningkat hingga mencapai US $ 109,1 milyar dalam tahun 1981 untuk selanjutnya menurun menjadi US $ 82,2 milyar dalam tahun 1982 dan US $ 56,4 milyar dalam tahun 1983. Penu-runan defisit tersebut merupakan akibat keharusan pengurangan impor guna mengatasi baik keterbatasan sumber-sumber pembiayaan defisit neraca pembayaran maupun kelambanan dalam pertumbuhan ekspor. Surplus transaksi negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada tahun 1980 sebesar US $ 111,0 milyar dan kemudian berbalik menjadi defisit sebesar US $ 12,0 milyar dalam tahun 1982 dan US $ 16,2 milyar dalam tahun 1983. Defisit pada tahun-tahun terakhir tersebut disebabkan karena kemerosotan baik dalam volume maupun harga ekspor minyak bumi.

Dana Monster Internasional sejak tahun 1978 telah mulai melaksanakan kebijaksanaan menaikkan kuota negara-negara anggota, pengaturan kembali nilai tukar mata uang dan peningkatan peranan SDR dalam lalu-lintas monster internasional. Untuk membantu mengatasi kesulitan neraca pembayaran yang dialami oleh negara-negara berkembang khususnya, pada tanggal 1 April 1983 telah disetujui kenaikan kuota kedelapan dari SDR 61 milyar menjadi rupiah SDR 90 milyar. Selanjutnya, melalui General Arrangements to Borrow telah disetujui kenaikan jumlah dana yang tersedia bagi IMF dari SDR 6,4 milyar menjadi SDR 17,0 milyar. Sementara itu masalah pelunasan hutang-hutang negara berkembang menjadi semakin besar karena terbatasnya dana pinjaman baru yang dapat diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan internasional, sedangkan tingkat bunga di pasar modal terus bergerak naik. Dewasa ini sedang diadakan berbagai penjajagan di luar kerangka IMF guna mencapai penyelesaian menyeluruh dari masalah tersebut.

Kegoncangan-kegoncangan dalam perekonomian dunia selama tahun-tahun terakhir ini pada hakekatnya mencerminkan ketimpangan struktural di dalam hubungan ekonomi internasional. Perbedaan persepsi antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang terhadap situasi ekonomi internasional telah mengakibatkan kemacetan dalam perwujudan Tata Ekonomi Dunia Baru. Berbagai sasaran yang tercantum dalam Strategi Pembangunan Internasional untuk Dasawarsa Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Tiga menuju pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru menurut penilaian sekarang ini sulit akan tercapai bila tidak diambil langkah-langkah kerjasama internasional untuk meningkatkan laju pembangunan negara-negara berkembang. Konperensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok yang diadakan di New Delhi bulan Maret 1983 telah merumuskan strategi dan pedoman baru untuk dipergunakan dalam kelanjutan negosiasi global. Prakarsa tersebut, yang sepenuhnya didukung oleh Kelompok - 77 dalam Pertemuan Tingkat Menteri di Buenos Aires bulan April 1983, mengusulkan diluncurkannya Negosiasi Global dalam dua tahap. Tahap pertama terdiri dari tindakan-tindakan yang segera akan diambil di bidang keuangan, perdagangan, energi dan pangan guna menanggulangi krisis ekonomi dunia, sedangkan pada tahap kedua akan dibahas masalah-masalah yang menyangkut perombakan struktural dari sistem hubungan ekonomi internasional.

Dalam kerangka Konperensi tentang Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) berlakunya Persetujuan Dana Bersama untuk membiayai Program Komoditi Terpadu yang diterima pada tahun 1980 masih mengalami kelambanan karena belum terpenuhinya persyaratan yang diperlukan. Dari 111 negara yang menanda tangani Persetujuan Dana Bersama tersebut baru 74 negara yang telah meratifikasinya, sedangkan berdasar persyaratan jumlah tersebut harus mencapai paling tidak 90 negara. Demikian pula belum terpenuhi syarat bahwa kontribusi langsung harus melebihi 2/3 dari jumlah keseluruhan dana yang ditetapkan. Resesi ekonomi dunia disertai dengan kelesuan perdagangan internasional dan iklim proteksionisme juga menyebabkan terhambatnya pembentukan persetujuan komoditi internasional di samping perjanjian yang telah ada untuk timah, kopi, karet alam, gu-la, coklat, jute dan kayu tropis. Rintangan-rintangan lain yang harus diatasi untuk memperluas ekspor negara-negara ber-kembang adalah kelambanan dalam pelaksanaan hasil-hasil Negosiasi Perdagangan Multilateral (MTN), penyempurnaan Sistem Preferensi Umum (GSP) serta perundingan dalam kerangka Persetujuan Umum Tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT).

Dalam situasi perekonomian dunia yang bertambah suram, kerjasama ekonomi dan teknik antar negara-negara berkembang guna mewujudkan azas kesetiakawanan dan kemandirian bersama mengalami kemajuan yang menggembirakan. Berbagai proyek serta keputusan yang menyangkut bidang perdagangan, energi dan bahan mentah, industri dan keuangan dalam kerangka Program Arusha dan Caracas Kelompok - 77 UNCTAD, Program Colombo dan Havana Gerakan Non-Blok serta Rencana Taif Konperensi Islam (OKI) sedang dilaksanakan. Khususnya di bidang perdagangan, implementasi dari Program Aksi Caracas berupa pembentukan sistem Preferensi Perdagangan Global (GSTP), Perusahaan-perusahaan Multinasional di bidang pemasaran dan Produksi (MME) serta kerjasama diantara Perusahaan-perusahaan Negara (STO). Hingga saat ini sudah 46 negara anggota Kelompok - 77 yang menyampaikan notifikasi untuk ikut serta dalam negosiasi GSTP yang akan dimulai pada akhir tahun 1984.

Pertumbuhan yang cepat juga terjadi dalam rangka kerjasama ekonomi ASEAN. Perjanjian Perdagangan Preferensial yang ditandatangani dalam tahun 1977 semula hanya mencakup 71 jenis barang untuk mana diberikan preferensi berupa konsesi tarif bea masuk dan pemberian prioritas. Pada akhir tahun 1983/84 jumlah barang yang memperoleh perlakukan preferensial mencapai 18.431 jenis barang dengan pengurangan bea masuk sebesar minimal 20% untuk barang-barang dengan nilai impor melebihi US $ 2,5 juta sampai dengan batas US $ 10,0 juga. Dari jumlah jenis barang tersebut, tingkat konsesi untuk 3.558 produk telah dinaikkan hingga berkisar antara 30 - 50% dari tarif terakhir. Di bidang industri kerjasama dilakukan melalui pendirian proyek-proyek ASEAN dan pembentukan proyek-proyek industri komplementer. Pembangunan Proyek Pupuk Urea ASEAN di Aceh, Indonesia, dalam masa Repelita III telah dapat diselesaikan dan pembukaan PT. AAF diresmikan dalam bulan Januari 1984. Proses pembangunan Proyek Pupuk Urea di Malaysia saat ini telah lebih dari separuhnya terlaksana, sedangkan untuk Proyek Pengolahan Abu Soda di Muang Thai sedang dirundingkan masalah pembiayaannya dengan Pemerintah Jepang. Pembentukan Proyek Pengolahan Tembaga di Philipina mencapai tahap dimana telah dikeluarkan dokumen tender guna pelaksanaan konstruksi. Selanjutnya para Menteri Ekonomi telah menyetujui didirikannya Proyek Hepatitis B Vaccine di Singapura dengan penyertaan modal dari negara-negara anggota ASEAN lainnya. Di bidang industri komplementer pelaksanaan kerjasama dirintis di sektor komponen kendaraan bermotor melalui keringanan bea masuk dan pendirian pabrik industri komplementer untuk komponen merk mobil tertentu. Guna mendorong ker- jasama di sektor swasta telah pula disepakati Persetujuan

307

Dasar Tentang Usaha Patungan (BAAIJV) di sektor industri. Langkah-langkah di bidang keuangan dan perbankan meliputi pe-ngaturan "swap" untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek antar negara anggota ASEAN, pengeluaran Aksep Bank ASEAN dan pendirian Lembaga Keuangan ASEAN. Menghadapi negara-negara atau kelompok negara-negara ketiga dan di dalam forum multilateral serta global, kerjasama ekonomi ASEAN terus mengalami peningkatan berupa pengambilan sikap bersama dan langkah terkoordinasi menghadapi berbagai masalah di bidang komoditi, perdagangan, keuangan, industri, negosiasi global serta kerjasama ekonomi dan teknik di antara negara berkembang.

B. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI.

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Seperti digariskan dalam Repelita III, pokok-pokok kebijaksanaan yang ditempuh di bidang neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri meliputi diversifikasi struktur produksi dan perdagangan luar negeri; pengendalian impor guna menunjang kelancaran pengadaan bahan-bahan pokok untuk konsumsi serta bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan untuk produksi; pengembangan ekspor dan substitusi impor dalam rangka peningkatan produksi dan lapangan kerja, peningkatan penghasilan devisa dan penghematan penggunaan devisa; pengarahan pemanfaatan modal dan teknologi luar negeri; pengendalian stabilitas nilai tukar Rupiah serta pemantapan cadangan devisa.

Sadar akan peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi dalam memperkokoh landasan pelaksanaan pembangunan, menjelang dimulainya Repelita III Pemerintah menempuh "Kebijaksanaan 15 Nopember 1978" dengan sasaran peningkatan produksi dan kesempatan kerja di sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang ekspor dan barang-barang pengganti impor melalui peningkatan daya saing barang-barang tersebut di pasaran luar negeri dan di pasaran dalam negeri. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat diturunkan dengan 33,6% dan mulai saat itu nilai tukar dikaitkan dengan sekelompok valuta dari sejumlah negara penting tertentu.

Dampak resesi ekonomi dan suasana proteksionisme di negara-negara maju mulai tahun kedua Repelita III semakin mencekam perkembangan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri.

Untuk tetap mempertahankan laju pembangunan nasional, dalam tahun 1982 dan 1983 secara bertahap telah diambil serangkaian kebijaksanaan untuk menunjang ekspor, menghemat penggunaan devisa untuk impor dan mengendalikan neraca pembayaran dan cadangan devisa.

Melalui Kebijaksanaan Ekspor Januari 1982 telah ditempuh langkah-langkah yang bersifat menyeluruh di bidang lalu-lintas devisa; tata-cara pembayaran; penyederhanaan prosedur; pembiayaan; perkreditan dan jaminan kredit ekspor; perpajakan dan jasa-jasa angkutan laut.

Tantangan baru yang berkaitan dengan situasi minyak bumi internasional mulai bergerak sejak tahun 1980. Permintaan negara-negara industri akan energi terus mengalami kemunduran akibat kelesuan dalam kegiatan produksi serta perubahan dalam pola penggunaan energi, hal mana diimbangi dengan penurunan dalam produksi dan ekspor oleh negara-negara produsen. Mulai Maret 1982 Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) telah menentukan kuota produksi bagi negara-negara anggotanya disusul dengan penurunan harga patokan minyak mentah dari US $ 34,0 menjadi US $ 29,0 per barrel dalam bulan Maret 1983. Indonesia memperoleh kuota produksi sebesar 1,3 juta barrel perhari, sedangkan harga patokan ekspor minyak mentah Indonesia dalam bulan Nopember 1982 diturunkan dari US $ 35,00 menjadi US $ 34,53 per barrel dan dalam bulan Maret 1983 diturunkan lagi menjadi US $ 29,53 per barrel. Untuk menghadapi kemerosotan dalam nilai ekspor minyak bumi dan komoditi lain di luar minyak bumi yang dibarengi pula dengan laju inflasi dalam negeri yang meningkat dalam tahun-tahun 1979 dan 1980, maka pada tanggal 30 Maret Pemerintah mengambil kebijaksanaan penyesuaian berupa devaluasi Rupiah sebesar 27,8% dari Rp.700,- menjadi Rp.970,- per Dollar AS. Tujuan kebijaksanaan tersebut adalah untuk merangsang ekspor dengan meningkatkan daya saing barang-barang produksi dalam negeri di pasaran luar negeri.

Langkah berikutnya guna mengurangi tekanan pada neraca pembayaran dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditempuh dalam bulan Mei 1983 dengan dijadwalkannya kembali sejumlah proyek besar yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri Pemerintah dengan komponen impor yang sangat tinggi. Pentahapan kembali dilakukan untuk sekitar 45 proyek dengan jumlah biaya dalam valuta asing sebesar US. $ 21,3 milyar, sehingga dapat dilakukan penghematan sebesar US $ 10,4 milyar. Untuk tahun 1983/84 Baja penghematan yang dapat dicapai adalah sebesar US $ 3,0 milyar.

309

Selama masa Repelita III kebijaksanaan diversifikasi ekspor terus dilanjutkan melalui usaha-usaha peningkatan tahap pengolahan pengembangan produk-produk ekspor baru dan perluasan pasaran di luar negeri. Dalam rangka usaha pening-katan industri kayu dan ekspor kayu olahan, sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian dalam bulan Mel 1980, secara bertahap telah diadakan pembatasan ekspor kayu bulat sehingga pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak lagi diperbolehkan. Sekarang ini alokasi ekspor kayu bulat hanya diberikan sebagai perangsang kepada pemegang Hak Pengusahaan. Hutan yang sedang dalam tahap membangun industri perkayuan terpadu yang berintikan industri kayu lapis dan yang sudah dalam tahap berproduksi.

Guna memanfaatkan potensi produksi dan ekspor hasil-hasil laut khususnya di wilayah perairan Maluku dan Irian Jaya, Pemerintah telah mengizinkan penangkapan udang dengan menggunakan pukat udang. Sementara itu, sejak akhir tahun 1980 penggunaan pukat harimau tetap dilarang untuk seluruh wilayah Indonesia demi menjaga kelestarian sumber produksi perikanan dan perlindungan para nelayan. Diversifikasi ekspor juga diusahakan melalui pengembangan ekspor hasil-hasil industri, termasuk kerajinan tangan. Selain untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, usaha-usaha ini ditujukan untuk mem-perluas lapangan kerja dan menyebarkan kegiatan produksi dan perdagangan di daerah-daerah.

Selama Repelita III usaha-usaha untuk memperluas pasaran barang-barang ekspor terus ditingkatkan, antara lain dengan merintis pasaran-pasaran potensial yang baru seperti Timur Tengah dan negara-negara Eropa Timur, diantaranya Yugoslavia, Chekoslowakia, Polandia, Jerman Timur dan Uni Soviet.

Dalam rangka pemantapan daya saing barang-barang ekspor di pasaran luar negeri berbagai kebijaksanaan telah ditempuh di bidang perpajakan, perkreditan dan perbaikan mutu barang.

Selama masa 1979/80 - 1983/84 di bidang perpajakan diambil berbagai tindakan berupa pemberian keringanan bea masuk dan pajak penjualan impor bagi bahan baku dan penolong yang digunakan untuk produksi barang yang diekspor maupun untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Untuk impor bahan baku dan penolong serta suku cadang dan perlengkapan yang cepat aus yang dipergunakan dalam produksi industri untuk ekspor, dibe-rikan fasilitas pembebasan bea masuk, PPn Impor dan MPO Impor (WAPU). Kepada perusahaan yang mengimpor bahan baku dan bahan

penolong serta suku cadang yang cepat aus untuk produksi barang-barang ekspor dan telah dikenakan bea masuk, PPn Impor. dan MPO Impor (WAPU) diberikan Sertifikat Ekspor sebagai peng-ganti pajak yang telah dibayar tersebut. Fasilitas ini juga diberikan kepada perusahaan-perusahaan dalam negeri yang memperoleh tender internasional bagi proyek dalam negeri yang dibiayai dengan dana bantuan luar negeri. Dalam perkembangan selanjutnya, pemberian Sertifikat Ekspor tidak lagi dibatasi pada barang-barang ekspor yang mengandung bahan baku dan penolong serta suku cadang yang diimpor, akan tetapi telah diperluas untuk jenis barang-barang ekspor lainnya. Keringanan juga diberikan kepada perusahaan yang khusus bekerja untuk ekspor di kawasan tertentu seperti bonded warehouse dan industrial processing zone dalam bentuk pembebasan bea masuk, PPn Impor dan MPO Impor (WAPU) bagi Impor bahan baku dan penolong yang digunakan dalam proses produksi. Selanjutnya bahan baku dan penolong yang berasal dari dalam negeri dibebaskan pula dari PPn dalam negeri. Sejak diberikannya fasilitas Sertifikat Eks-por jenis barang industri yang memperoleh fasilitas tersebut sampai dengan akhir tahun 1983 mencapai jumlah 2.144 jenis barang yang seluruhnya terdiri dari produk tekstil.

Tindakan lainnya yang diambil di bidang perpajakan adalah pengenaan Pajak Ekspor dan Pajak Ekspor Tambahan (PET). untuk beberapa jenis barang ekspor tertentu. Dalam jangka pendek pengenaan PET dimaksudkan untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan dalam negeri, sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk menunjang produksi melalui pembiayaan usaha-usaha peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman bagi barang ekspor yang mempunyai prospek pemasaran yang baik di luar negeri: Besarnya pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan senantiasa ditinjau sesuai dengan perkembangan masing-masing barang ekspor di pa-saran luar negeri serta kebutuhan di dalam negeri. Dalam bulan Januari 1984 tarif pajak ekspor bauksit dan pekatannya diturunkan dari 10% menjadi 0%, sedangkan untuk minyak sawit dan stearin tarif pajak ekspor dinaikkan dari 0% menjadi 5%. Selanjutnya tarip pajak ekspor tambahan untuk minyak sawit, deo-dorized stearin dan crude stearin yang sebelumnya adalah 0% ditentukan menjadi masing-masing 37,18%, 27,00% dan 26,17%.

Untuk memperingan syarat-syarat pembayaran barang-barang ekspor Indonesia, Pemerintah telah memperluas jenis barang yang dapat diekspor dengan syarat pembayaran berjangka. Demikian pula diperluas Jenis barang kerajinan yang dapat diekspor tanpa melalui tata-cara ekspor umum.

Dengan ditempuhnya Kebijaksanaan Ekspor Januari 1982 terjadi perubahan yang fundamental dalam lalu-lintas devisa, ca- ra dan pembayaran ekspor dan pengaturan pelaksanaan ekspor dan impor pada umumnya. Berdasar kebijaksanaan tersebut mulai 18 Januari 1982 semua eksportir bebas dari kewajiban penyerahan devisa, sehingga devisa dapat dimiliki dan secara bebas digunakan sesuai dengan keperluan termasuk impor bahan. baku atau barang modal. Selanjutnya, ekspor yang semula hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan L/C, kecuali untuk beberapa ba-rang yang dapat diekspor dengan cara konsinyasi, sejak Januari 1982 dapat Pula dilaksanakan dengan cara pembayaran di muka, wesel inkaso dengan. kondisi Documents against Payment (D/P) dan Document against Acceptance (D/A), perhitungan kemudian, konsinyasi serta cara pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri.

Dalam rangka penyempurnaan pembiayaan ekspor telah disediakan fasilitas kredit ekspor dengan syarat-syarat lunak, jaminan kredit ekspor serta asuransi ekspor. Kredit ekspor diberikan baik kepada eksportir maupun produsen barang-barang ekspor, sedang suku bunga diturunkan dari 12% setahun menjadi 6% kecuali bagi kegiatan tahap pra pengapalan barang-barang ekspor yang tergolong kuat yang dikenakan suku bunga 9%. Jaminan kredit ekspor adalah asuransi untuk menanggung risiko kemacetan kredit yang dihadapi oleh bank, sedangkan asuransi ekspor merupakan pertanggungan atas risiko kurang atau tidak adanya pembayaran dari importir di luar negeri yang dihadapi oleh eksportir. Untuk penyelenggaraan kedua sarana tersebut Pemerintah telah menunjuk PT Askrindo sebagai lembaga yang wajib menutup jaminan kredit atas setiap kredit ekspor yang diberikan oleh perbankan, dan asuransi ekspor etas permintaan eksportir sepanjang pelaksanaan ekspornya sesuai dengan kela-ziman perdagangan internasional.

Guna mempercepat pelaksanaan ekspor, telah dilakukan penyempurnaan tatalaksana pabean yang meliputi pelayanan penyelesaian dokumen-dokumen ekspor selama 24 jam sehari, pemberi- an izin pemuatan barang ekspor ke kapal yang belum merapat ke dermaga dan penyelesaian dokumen selambat-lambatnya sehari setelah barang selesai dimuat. Usaha peningkatan daya saing ekspor juga dilakukan melalui penurunan biaya gudang, penurunan biaya pelabuhan serta penyempurnaan jasa angkutan laut. Untuk mengurangi biaya pengangkutan telah ditetapkan tarif tambang yang dapat bersaing dengan tarif pelayaran internasional. Demikian pula telah diusahakan pemusatan penyediaan barang ekspor pada empat pelabuhan laut utama, yaitu Belawan,

Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Ujung Pandang, sehingga jumlah pelabuhan singgah dapat dikurangi dan suatu jadwal pela-yaran yang tetap dan teratur dapat dikembangkan.

Masih dalam rangka memperkuat daya saing hasil-hasil ekspor di pasaran luar negeri, selama periode 1979/80 - 1983/84 kegiatan-kegiatan perbaikan mutu barang-barang ekspor terus ditingkatkan. Dalam tahun 1979 telah didirikan Pusat Pengendalian Mutu Barang yang bertugas untuk menentukan standar, menguji dan mengawasi mutu barang serta membina dan mengada-kan penyuluhan kepada laboratorium-laboratorium pengujian dan pengawasan mutu di daerah-daerah dan pada para produsen. Sampai saat ini pemerintah telah menetapkan 148 standar komoditi dan dari jumlah tersebut 24 Jenis komoditi telah dikenakan penerapan standar perdagangan. Usaha peningkatan kualitas terus dijalankan melalui penyempurnaan standar di antaranya untuk ekspor pala dan fuli. Dalam hal kopi telah diadakan perubahan sistem penentuan mutu ekspor dari sistem triage menjadi sistem defect di mana dinilai seluruh cacad pada kopi yang diekspor.

Dalam rangka usaha pengembangan ekspor hasil-hasil baru telah dibentuk Pusat Promosi Perdagangan Indonesia di London, Hamburg, New York, Sidney, Los Anggeles dan Rotterdam. Sementara itu Pusat Perdagangan di Osaka dan Kopenhagen sedang dalam tahap persiapan. Usaha-usaha peningkatan pemasaran, investasi dan kepariwisataan juga dilakukan dalam kerangka kerjasama regional dengan pendirian ASEAN Promotion Centre on Trade, Investment and Tourism di Tokyo dan ASEAN Trade Pro-motion Centre di Rotterdam. Kegiatan perluasan pasaran di wilayah Timur Tengah untuk ekspor hasil-hasil pertanian, barang-barang industri, jasa-jasa kontrakting dan pengiriman tenaga kerja telah berkembang dengan cepat. Guna menunjang ekspor ke Timur Tengah semenjak bulan Maret 1981 telah terbentuk usaha pelayaran patungan antara 3 perusahaan perkapalan untuk menjamin hubungan pelayaran tetap antara Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah. Selanjutnya dalam Repelita III terus dikembangkan kegiatan promosi perdagangan melalui pengiriman misi dagang serta partisipasi dalam pameran dagang internasional. Dalam rangka menciptakan sistem perniagaan komoditi ekspor yang tertib dan teratur dalam bulan Desember 1982 telah didirikan Bursa Komoditi. Berkaitan dengan penye-lenggaraannya dibentuk Badan Usaha Kliring dan Jaminan Komoditi yang memberikan jaminan penyelesaian keuangan dari tran-saksi yang terjadi di Bursa. Dalam bulan Pebruari 1984 telah didirikan Perusahaan Perseroan (PERSERO) dengan penyertaan modal negara

Semenjak akhir tahun 1979 Indonesia dihadapkan dengan masalah pemasaran tekstil ke negara-negara anggota MEE dengan diberlakukannya kuota oleh MEE untuk ekspor tekstil dalam bentuk pakaian jadi. Bagi Indonesia sebagai negara pendatang baru di bidang ekspor tekstil, Perjanjian Bilateral dengan MEE justru dimaksudkan untuk menjamin kebebasan kuota di pa-saran MEE di samping pengaturan ketentuan mengenai asal yang berlaku di MEE. Melalui perundingan dengan beberapa negara MEE, akhirnya Pemerintah berhasil mendapatkan tambahan kuota sehingga sejak tahun 1982 kuota impor tekstil dan pakaian ja-di telah lebih disesuaikan dengan kemampuan ekspor Indonesia ke masing-masing negara. Daya masuk dalam pasaran tekstil di negara-negara industri banyak ditentukan oleh perjanjian Mul-ti Fibre Arrangement (MFA) yang mengatur perdagangan internasional dalam tekstil dan sering digunakan sebagai suatu alat proteksionisme yang efektif oleh negara-negara maju. Da-lam kerangka MFA ke III yang berlaku dari Januari sampai dengan Juli 1986, selama tahun-tahun terakhir Repelita III te- lah dilakukan perundingan bilateral mengenai pemasaran jenis-jenis tekstil dan kuota ekspor pakaian jadi dengan MEE, Swe-dia, Amerika Serikat dan Kanada.

Guna memperkuat kedudukan Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir hasil-hasil pertanian, pertambangan dan industri, berbagai usaha telah dilanjutkan dalam kerangka kerjasama multilateral, regional dan bilateral. Dalam rangka Perjanjian Kopi Internasional, mulai bulan Oktober 1980 diberlakukan ketentuan kuota ekspor setelah 6 tahun perdagangan kopi berjalan bebas. Sampai September 1983 kuota ekspor kopi yang dialokasikan terus menurun sehingga guna mempertahankan harga dan penghasilan petani kopi di dalam negeri, Pemerintah mengambil beberapa kebijaksanaan guna mendorong ekspor ke ne-gara-negara non kuota seperti negara-negara Eropa Timur dan Asia dalam bentuk insentif jatah ekspor ke negara-negara kuota, pengutamaan eksportir lemah, penurunan harga patokan ser-ta peningkatan mutu. Dengan mulai menguatnya harga kopi di pasaran internasional, untuk periode Oktober 1983 sampai dengan Maret 1984 Indonesia memperoleh tambahan kuota sehingga untuk periode Oktober 1983 sampai dengan September 1984 jumlah kuota adalah sebesar 147.424 ton. Menjelang berakhirnya Perjanjian Timah Internasional ke V pada bulan Juli 1981, dalam kerangka Program Komoditi Terpadu UNCTAD telah dimulai serangkaian perundingan antara negara-negara produsen dan konsumen yang akhirnya menghasilkan Perjanjian ke VI yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1982. Ancaman yang dihadapi ialah bahwa ratifikasi dari kelompok negara konsumen tidak mencapai persyaratan minimum seperti ditentukan semula. Ame‑

rika Serikat, yang bukan anggota ITA ke VI, hingga saat ini secara teratur telah melepaskan timah dari cadangan strate-gisnya sekalipun dalam keadaan pasaran lesu. Untuk menjaga kestabilan harga timah di pasaran internasional, Dewan Timah Internasional (ITC) sejak bulan April 1982 masih tetap mem-berlakukan kuota ekspor bagi negara-negara anggota produsen. Sementara itu, guna penentuan langkah bersama dalam memperjuangkan kepentingan produsen dalam kerangka ITA, pada akhir bulan Maret 1983 telah dibentuk Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC).

Juga dalam kerangka Program Komoditi Terpadu, dalam bu-lan November 1983 telah disepakati Perjanjian Kayu Tropis Internasional (ITTA 1983) yang pada tahap pertama ditujukan pa- da kerjasama di bidang penelitian, pengelolaan hutan, pengem-bangan industri perkayuan dan penyidikan pasar.

Pada tingkat kerjasama regional, negara-negara anggota ASEAN telah menyetujui perluasan perdagangan preferensial hingga mencakup 18.431 Jenis barang yang oleh Indonesia dapat diekspor ke atau diimpor dari negara-negara ASEAN lainnya. Kerjasama antar negara-negara ASEAN juga dilakukan di bidang usaha penyempurnaan dan perpanjangan fasilitas Sistem Preferensi Umum dari berbagai negara industri seperti Jepang, MEE, Amerika Serikat dan Australia. GSP yang diberikan kepada negara-negara berkembang dapat menunjang pembukaan pasar bagi hasil-hasil ekspor Indonesia baik yang tradisional maupun yang Baru.

Dalam rangka Kebijaksanaan Ekspor Januari 1982, langkah lain yang ditempuh Pemerintah ialah pengkaitan impor Pemerintah yang pembiayaannya bersumber pada APBN atau Kredit Eks- por dengan peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Pada dasarnya nilai ekspor yang dikaitkan harus sama dengan nilai pembelian impor Pemerintah, sedang ekspor tersebut ha- rus merupakan tambahan di atas jumlah ekspor yang biasanya terjadi dari Indonesia ke negara-negara bersangkutan. Sampai sekarang barang ekspor yang dikaitkan dengan impor Pemerintah meliputi sekitar 33 jenis hasil pertanian, barang industri dan barang kerajinan.

Kebijaksanaan di bidang impor ditujukan untuk menunjang kebijaksanaan pengadaan pangan, bahan baku dan barang modal dalam rangka stabilisasi harga dan pemantapan kegiatan pembangunan, mendorong pertumbuhan industri di dalam negeri serta memperkuat daya saing hasil produksi dalam negeri terhadap barang impor.

315

Untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan akan bahan baku dan barang modal bagi kegiatan produksi dalam negeri, sejak Januari 1978 telah diberikan kelonggaran dalam tata cara impor dengan diizinkannya pemasukan barang dengan syarat pembayaran berjangka untuk beberapa jenis bahan baku dan penolong, barang modal serta suku cadang. Penyempurnaan secara menyeluruh dilaksanakan dalam kaitan kebijaksanaan ekspor bulan Januari 1982. Impor yang semula hanya dapat dilaksanakan atas dasar L/C, sejak saat itu dapat dilakukan dengan cara pembayaran lain yang lazim berlaku dalam perdagangan internasional. Di samping itu, ketentuan yang menetapkan jumlah minimum setoran jaminan impor, sejak tanggal 23 Mei 1980 tidak lagi diberlakukan terhadap impor dengan sight L/C bagi beberapa jenis bahan baku dan penolong, suku cadang dan barang modal tertentu. Hal ini berarti bahwa bank devisa pembuka L/C menetapkan sendiri besarnya uang jaminan impor dengan memper-timbangkan antara lain bonafiditas importir yang bersangkutan.

Guna memperlancar arus perdagangan luar negeri serta menjamin pengenaan tarif bea masuk yang lebih tepat terhadap suatu barang, maka dalam bulan Januari 1981 telah dilakukan penyesuaian terhadap buku tarif bea masuk Indonesia, sehingga buku tarif yang selama ini didasarkan pada Brussels Tariff Nomenclature (BTN), untuk selanjutnya didasarkan pada Customs Cooperation Council Nomenclature 1978 (CCCN). Penyesuaian tersebut meliputi antara lain penomoran barang yang semula terdiri dari 6 angka menjadi 7 angka, sehingga pengelompokan barang dalam CCCN bisa lebih terperinci. Sementara itu, pada bulan Januari 1982 telah disempurnakan tata laksana pabean di bidang impor dengan menyederhanakan proses penyelesaian dokumen Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD) be-serta dokumen penunjangannya serta mempercepat arus pemeriksaan dan pengeluaran barang.

Di bidang perpajakan Pemerintah tetap melanjutkan kebijaksanaan-kebijaksanaan sebelumnya berupa pemberian keringan-an bea masuk dan PPn Impor untuk barang-barang tertentu an-tara lain peralatan telekomunikasi, elektro motor dan polys-tyrene resin yang diperluas oleh industri dalam negeri dan yang merupakan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka menjaga kestabilan harga pada tingkat yang dapat dijangkau oleh masyarakat, Pemerintah telah memberikan pembebasan bea masuk dan PPn impor terhadap minyak goreng pada jumlah yang telah disetujui oleh Menteri Perdagangan. Di lain pihak untuk memberikan perlindungan bagi produsen di dalam negeri, Pemerintah telah menambah pembebasan dan atau mencabut pengenaan bea masuk dan PPn Impor terhadap beberapa jenis barang impor yang

sudah dihasilkan di dalam negeri seperti pipa besi dan produk polyvinyl chloride. Begitu pula telah dilakukan pengenaan ta-rif Bea Masuk dan PPn (impor) baru terhadap pemasukan beberapa produk seperti mesin penggali (hydraulic excavator) dan wheel loader yang telah dapat dirakit di dalam negeri. Dapat ditambahkan bahwa sejak berlakunya Undang-undang Perpajakan pada tanggal 1 Januari 1984, pungutan MPO atas barang-barang impor dihentikan sedang pungutan baru dikenakan pada impor barang yang menggunakan API, APIS atau APIT sebesar 2,5% dari nilai impor (CIF) dan pada impor yang tidak menggunakan API, APIS atau APIT sebesar 7,5% dari nilai impor (CIF).

Dalam bidang perkreditan sebagai usaha memperlancar arus impor untuk impor beberapa Jenis bahan baku dan penolong, suku cadang dan barang modal yang tercantum dalam daftar yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan, pemerintah telah memberikan izin kepada bank devise untuk memberikan kredit kepada importir tidak hanya untuk membiayai sisa L/C, tetapi juga untuk setoran jaminan impor barang-barang tersebut.

Dalam rangka lebih mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, Pemerintah juga memberikan perlindungan dalam bentuk pengaturan impor barang-barang yang telah dihasilkan di dalam negeri. Sehubungan dengan itu menjelang akhir tahun 1982 Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan untuk mengatur tata niaga impor 11 kelompok barang yang meliputi barang-barang hasil industri dan hasil pertanian. Produk-produk tersebut meliputi barang-barang listrik dan elektronika; produk industri kimia; produk industri logam; produk industri mesin, me-sin perlengkapan dan suku cadang; produk industri alat-alat besar dan suku cadang; produk industri suku cadang kendaraan bermotor; produk industri tekstil; hasil-hasil pertanian seperti bawang, kacang dan kelapa sawit; makanan, minuman dan buah-buahan; sisa dan logam bekas dari besi atau baja; serta baja lembaran, gulungan dan pelat yang digiling pada suhu tinggi dan rendah. Dengan pengaturan tersebut impor barang-barang yang termasuk dalam kelompok industri seperti disebut diatas hanya dapat dilaksanakan oleh importir terdaftar masing-masing kelompok industri yang terdiri dari Perusahaan Negara, perusahaan swasta nasional dan perusahaan dalam rangka Penanaman Modal. Khusus untuk kacang hijau, jagung, kacang tepung dan bungkil kedelai serta baja lembaran, gulungan dan pelat telah ditunjuk masing-masing Badan Urusan Logistik dan PT Krakatau Steel sebagai pelaksana impor produk-produk ber-sangkutan. Guna melindungi produk-produk industri dalam nege-ri yang mengalami saingan yang cukup berat dari barang-barang

impor sejenis telah ditetapkan pembatasan jumlah yang dapat diimpor (kuota).

Dalam rangka peningkatan penghasilan devisa dan penghematan penggunaan devisa berbagai langkah juga ditempuh, di bidang jasa-jasa. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 15 tahun 1983 dalam bulan Maret 1983 diberikan berbagai fasilitas untuk menarik wisatawan luar negeri dan mengembangkan industri pariwisata di dalam negeri. Antara lain Pemerintah members pembebasan dari kewajiban untuk memiliki visa bagi wisatawan dari 26 negara untuk batas waktu kunjungan dua bu- lan serta pembebasan bea masuk dan PPn Impor terhadap minuman, rokok dan perlengkapan dalam jumlah dan nilai yang wajar. Begitu pula pembangunan industri dan sarana pariwisata dirangsang dengan keringanan bea masuk dan PPn impor atas barang-barang yang diperlukan. Dalam dua tahun terakhir Repelita III transfer sebagian dari penghasilan tenaga kerja Indo-nesia yang bekerja di luar negeri mulai merupakan sumber penerimaan devisa yang penting. Pengendalian tata pelaksanaan pengerahan tenaga kerja dewasa ini mencakup juga penentuan upah terendah dan kewajiban mentransfer paling sedikit lima puluh persen penghasilan yang diterima.

Guna menghemat penggunaan devisa, sejak bulan November 1982 diusahakan pengendalian perjalanan ke luar negeri dengan cara menaikkan biaya Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri menjadi Rp 150.000 bagi setiap orang yang bepergian ke luar negeri. Di bidang pengangkutan, dalam bulan April 1982 Pemerintah mengambil langkah kebijaksanaan agar pengangkutan barang-barang ekspor dan impor milik Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara hanya dapat dilaksanakan oleh kapal-kapal yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran Indonesia. Selain penghematan dalam pengeluaran devisa, langkah tersebut juga ditujukan untuk meningkatkan peranan armada niaga nasional dalam pengangkutan muatan barang-barang ekspor dan impor.

Di bidang pemasukan modal, dana dan sumber-sumber dari luar negeri baik berupa pinjaman Pemerintah maupun pemasukan modal oleh swasta masih tetap dimanfaatkan. Dana tersebut berfungsi sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan dan harus memenuhi persyaratan bahwa penggunaannya sesuai dengan rencana dan program pembangunan, tidak adanya ikatan-ikatan politik, tidak mengakibatkan ketergantungan yang terus mene-rus pada luar negeri dan pelunasannya tidak memberatkan neraca pembayaran di masa mendatang.

Mengenai pinjaman Pemerintah untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan, di samping memberikan manfaat langsung bagi pelaksanaan proyek-proyek yang telah dipersiapkan penggunaannya juga diserasikan dengan sasaran pembangunan secara keseluruhan. Dalam hubungan ini, untuk menunjang pengembangan indus-tri dalam negeri serta perluasan kesempatan kerja, diusahakan agar barang-barang yang dibiayai dengan pinjaman tersebut tidak diimpor dalam bentuk jadi melainkan berupa komponen, keterampilan dan keahlian yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Sementara itu, usaha-usaha untuk melepaskan kaitan pinjaman luar negeri dengan impor dari negara-negara pemberi pinjaman terus dilakukan. Usaha ini bertujuan untuk memperoleh kebebasan pembelian, sehingga dana pinjaman luar negeri tersebut dapat digunakan baik untuk membeli hasil-hasil produksi dalam negeri maupun untuk membeli barang-barang produksi negara-negara berkembang.

Dalam rangka penganekaragaman sumber dana luar negeri, sejak beberapa tahun terakhir Repelita III Pemerintah telah memasuki dunia keuangan internasional dengan menerbitkan obligasi dan surat-surat berharga lainnya, serta mengusahakan pinjaman dari sindikat bank-bank. Dalam kenyataan, kepercayaan pasar modal internasional terhadap Pemerintah Indonesia cukup besar sehingga pinjaman telah dapat diperoleh dengan lancar dan dengan syarat-syarat yang relatif ringan. Sampai saat ini Indonesia telah 10 kali menerbitkan obligasi dan 3 kali surat berharga dengan bunga mengembang atau Floating Rate Notes.

Berkenaan dengan penanaman modal telah ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk lebih menarik pemasukan modal asing. Kebijaksanaan tersebut pada dasarnya merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan sebelumnya dengan memberikan penekanan kepada pengembangan usaha-usaha penanaman modal yang padat karya, dapat menghasilkan devisa, bergerak di daerah-daerah yang perlu dikembangkan serta mengikutsertakan golongan ekonomi lemah.

Guna lebih mengarahkan penanaman modal, sejak tahun 1977 dikeluarkan Daftar Skala Prioritas (DSP) penanaman modal yang berlaku untuk suatu periode tertentu yang disesuaikan dengan perkembangan dan situasi penanaman modal di berbagai sektor. Ditutupnya beberapa jenis usaha bagi penanaman modal asing berkaitan dengan pertimbangan bahwa bidang-bidang yang sudah mampu ditangani oleh modal nasional tidak lagi diberikan kepada modal asing. Dalam usaha menyusun rencana penanaman modal yang menyeluruh dan terpadu, maka sejak tanggal 1 Oktober 1981 telah dikeluarkan DSP yang mencakup seluruh sektor dan meliputi daftar-daftar bidang usaha yang terbuka bagi pena‑

319

naman modal asing (PMA), bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dalam negeri (PMDN), bidang usaha yang terbuka bagi usaha di luar PMA dan PMDN, bidang usaha yang tertutup, bidang usaha dengan registrasi dan bidang usaha penanaman modal prioritas utama. Bidang usaha prioritas utama adalah bidang usaha yang strategis dan penting yang pelaksanaannya harus sesuai dengan jadwal waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah, sehingga diperlukan adanya partisipasi Pemerintah. Pengertian partisipasi Pemerintah dalam hal ini dapat berbentuk penanaman modal maupun penyediaan sarana yang diperlukan.

Dalam usaha menarik penanaman modal asing tersebut telah disederhanakan prosedur perizinan bagi segala bentuk penanam-an modal. Prosedur perizinan yang meliputi persetujuan pokok, persetujuan pelaksanaan dan administrasi pelaporan telah dipersingkat sehingga jumlah izin yang diperlukan dapat dikurangi dari 36 menjadi sebanyak-banyaknya 15 izin.

Untuk menghindari ketergantungan yang terus menerus kepa-da luar negeri, Pemerintah menganut kebijaksanaan bahwa perusahaan-perusahaan asing harus melakukan Indonesianisasi secara bertahap baik dalam permodalan maupun tenaga kerja. Dalam pelaksanaan kebijaksanaan tersebut telah dilakukan usaha peng-alihan saham secara bertahap, sehingga dalam jangka waktu 10 tahun sejak produksi komersial, sebagian besar saham telah dimiliki oleh pihak Indonesia. Selanjutnya dalam rangka peningkatan peranan dan partisipasi modal nasional dalam usaha patungan, telah diambil langkah berupa pembebasan pajak atas bunga, dividen dan royalty, pajak perseroan serta pajak pendapatan atas perolehan devisa yang oleh peserta Indonesia dipergunakan untuk pembelian saham peserta asing. Untuk melaksanakan Indonesianisasi tenaga kerja, telah ditingkatkan pro-gram pendidikan dan latihan tenaga-tenaga Indonesia, sedangkan penggunaan tenaga kerja asing dibatasi pada pekerjaan yang belum mampu ditangani oleh tenaga kerja Indonesia.

Untuk lebih mendorong penanaman modal yang bersifat padat karya, berorientasi pada ekspor dan berlokasi di daerah-daerah yang perlu dikembangkan. Pemerintah telah memberikan tambahan kelonggaran perpajakan, fasilitas berupa pemutihan modal, penyusutan yang dipercepat, serta keringanan bea masuk dan pajak penjualan impor atas pemasukan perlengkapan yang diperlukan.

Selama masa Repelita III, kebijaksanaan di bidang minyak bumi tetap memberikan prioritas utama kepada usaha-usaha untuk mendorong kegiatan eksploitasi yang lebih intensif dari

ladang-ladang minyak yang sudah ada serta peningkatan usaha-usaha eksplorasi dan eksploitasi di ladang-ladang minyak baru, baik di darat maupun di lepas pantai. Untuk mendorong investasi di bidang minyak dan gas bumi, Pemerintah memberikan bebe-rapa insentif antara lain berupa penyusutan yang dipercepat dan pembebasan kewajiban untuk menyerahkan "prorata" selama jangka waktu tertentu sejak suatu sumur minyak baru mulai berproduksi secara komersial. Sementara itu, dengan berakhirnya Kontrak Karya dengan PT Caltex dalam bulan Nopember 1983 telah disepakati pula ketentuan-ketentuan untuk Kontrak Bagi Hasil yang baru antara Pemerintah Indonesia dengan PT Caltex. Pembagian hasil pengusahaan minyak bumi setelah dikurangi dengan biaya produksi adalah 88% untuk Pemerintah Indonesia dan 12% untuk kontraktor asing, hal mana berarti lebih menguntungkan untuk Indonesia bila dibandingkan dengan pembagian menurut Kontrak Karya atau Kontrak Bagi Hasil yang disetujui sebelumnya.

Untuk mengurangi ketergantungan terpenuhinya kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak kepada impor luar negeri dalam Repelita III telah dilakukan usaha peningkatan kapasitas pengilangan minyak dalam negeri. Kilang minyak di Balikpapan dan Cilacap serta hydrocracker Dumai masing-masing telah selesai dibangun pada bulan Agustus 1983, Nopember 1983 dan Januari 1984 dengan kapasitas 200 ribu barrel sehari. Dengan dilengkapinya kilang-kilang Balikpapan dan Cilacap dengan unit hydrocracker diharapkan bahwa BBM yang dihasilkan oleh kilang tersebut dari minyak mentah yang sama dapat ditingkatkan.

Di bidang gas alam cair (LNG), usaha peningkatan produksi dan ekspor dilakukan melalui perluasan kilang LNG di Badak dan Arun sehingga dalam tahun 1983/84 kapasitas kilang-kilang tersebut telah dapat dikembangkan menjadi masing-masing 4 dan 5 train. Pembangunan 4 train terbaru berkaitan dengan tambahan kontrak penjualan dengan Jepang. Selama periode Repelita III usaha perluasan pemasaran terus dijalankan dan untuk memenuhi permintaan dari Korea Selatan dewasa ini sedang dibangun, satu buah train di Arun yang diperkirakan akan mulai berproduksi pada tahun 1986.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Selama Repelita III perkembangan neraca pembayaran di-tandai oleh periode pasang dan surut, hal mana langsung berkaitan dengan berbagai gejolak yang terjadi dalam perekonomian dunia. Bertolak dari kebijaksanaan 15 November 1978 dan didukung oleh perkembangan permintaan negara-negara industri

321

dan pasaran dunia yang amat menguntungkan baik untuk minyak bumi, gas alam cair maupun komoditi lainnya, neraca pembayar- an berkembang dengan pesat selama dua tahun pertama Repelita III. Namun sejak tahun 1981/82 neraca pembayaran harus memi- kul beban sepenuhnya dari dampak resesi ekonomi dunia seperti tercermin dari kemerosotan dalam ekspor dan cadangan devisa. Pengalaman ini menyebabkan bahwa sasaran utama neraca pembayaran untuk masa Repelita III jauh terlampaui dalam tahun-ta-hun 1979/80 dan 1980/81, tetapi tidak terjangkau untuk tahun-tahun berikutnya (lihat Tabel V - 1 dan V - 2).

Nilai ekspor seluruhnya dalam periode 1979/80 - 1980/81 mengalami kenaikan sebesar rata-rata 42,0% per tahun terdiri dari peningkatan sebesar 18,5% untuk ekspor di luar minyak dan gas bumi; 48,8% untuk minyak bumi dan 102,3% untuk gas alam cair. Dalam masa yang sama nilai seluruh impor (C & F) naik sebesar rata-rata 29,8% setiap tahunnya dengan kenaikan impor di luar sektor minyak dan gas bumi, impor sektor minyak bumi dan impor sektor gas alam cair sebesar masing-masing 25,3%, 46,2% dan 62,3%. Pengeluaran devisa (netto) untuk jasa-jasa dalam masa 1979/80 - 1980/81 rata-rata meningkat dengan 25,6% per tahun, yaitu sebesar 17,8% untuk sektor di luar minyak dan gas bumi; 24,6% untuk sektor minyak bumi dan 73,3% untuk sektor gas alam cair (lihat Tabel V - 3, V - 4, V - 5, V - 6 ).

Dengan meningkatnya nilai ekspor sebesar rata-rata 42,0% pada satu pihak serta kenaikan dalam nilai impor dan pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa sebesar rata-rata 28,8% pa- da lain pihak, transaksi berjalan untuk pertama kalinya sejak dimulainya Repelita I mengalami surplus sebesar berturut-tu- rut US $ 2.198 juta dalam tahun 1979/80 dan US $ 2.131 juta dalam tahun 1980/81. Surplus transaksi berjalan tersebut pada gilirannya mengakibatkan bertambahnya cadangan devisa dengan US $ 4.426 juta dalam periode 1979/80 - 1980/81 sehingga pada akhir bulan Maret 1981 cadangan devisa resmi mencapai tingkat puncaknya sebesar US $ 7.342 juta.

Kemerosotan dalam posisi neraca pembayaran pada tahun-tahun berikutnya diawali oleh kemunduran dalam nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi yang sudah mulai dalam tahun 1980/81. Dalam periode 1981/82 - 1982/83 nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi rata-rata menurun dengan 16,2% per tahun. Nilai ekspor minyak bumi yang dalam tahun 1981/82 masih mengalami kenaikan merosot dengan 25,5% dalam tahun berikutnya, sehingga untuk periode 1981/82 - 1982/83 penurunan rata-rata setiap tahunnya adalah sebesar 10,1% per tahun. Kemunduran

TABEL V - 1

RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN.1978/79 - 1983/84(dalam juta US dollar)

1)Angka diperbaiki

2)Angka sementara

3)Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM hasil olahan (cross purchase)

4)Pokok pinjaman

TABEL V – 2

NERACA PEMBAYARAN MENURUT REPELITA III DAN REALISASINYA,

1979/1980 – 1983/84

(dalam juta US dollar)

324

TABEL V – 3

NILAI EKSPOR (F.O.B.),

1979/1980 – 1983/84

(dalam juta US dollar)

1) Angka diperbaiki

2) Angka sementara

3) Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM sebagai hasil olahan (cross purchase) senilai US $ 1.016 juta (1979/80); US $ 1.099 juta (1980/81); US $ 1.849 juta (1981/82) ; US $ 779 ( 1982/83) dan US $ 983 juta (1983/84)

342 A

GRAFIK V – 1

NILAI EKSPOR (F.O.B.)

1978/79 – 1983/84

1) Angka diperbaiki

2) Angka sementara

3) Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM sebagai hasil olahan (cross purchase) senilai US $ 1.016 juta (1979/80); US $ 1.099 juta (1980/81); US $ 1.849 juta (1981/82); US $ 779 (1982/83) dan US $ 983 juta (1983/84)

325

TABEL V – 4

NILAI EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM CAIR (F.O.B.),

1979/1980 – 1983/84

(dalam juta US dollar)

1) Angka sementara

326

TABEL V – 3

NILAI IMPOR (C.& F.),

1979/1980 – 1983/84

(dalam juta US dollar)

326 A

GRAFIK V – 2

NILAI IMPOR (C.& F.),

1979/1980 – 1983/84

1) Angka diperbaiki

2) Angka sementara

3) Termasuk BBM sebagai hasil pertukaran dengan ekspor minyak bumi mentah senilai US $ 1.016 juta (1979/80); US $ 1.099 juta (1980/81); US $ 1.851 juta (1981/82); US $ 520 juta ( 1982/83) dan US $ 983 juta (1983/84)

TABEL V – 6

NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM CAIR (C.& F.),

1979/1980 – 1983/84

(dalam juta US dollar)

1) Angka diperbaiki

2) Angka sementara

328

ini disebabkan karena volume ekspor dalam tahun 1982/83 mengalami penurunan sebesar 24,1% menjadi 355,1 juta barrel sebagai akibat mulai diberlakukannya kuota produkei OPEC sebe-sar 1,3 juta barrel per hari, sedangkan harga menurun sebesar 1,8%. Dalam periode yang sama nilai ekspor LNG menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 8,0%. Nilai ekspor secara keseluruhan rata-rata menurun sebesar 9,7% dalam jangka waktu 1981/82 - 1982/83 dengan kemerosotan sebesar 18,8% dalam tahun 1982/83. Pada lain pihak nilai impor (C & F) dan jasa-jasa netto dalam jangka waktu tersebut masih terus meningkat, masing-masing sebesar rata-rata 13,9% dan 2,2% setiap tahunnya. Pengeluaran devisa untuk impor dan jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi masing-masing naik dengan rata-rata 15,6% dan 2,0%, untuk sektor minyak bumi nilai impor naik dengan rata-rata 9,0% dan jasa-jasa turun sebesar 2,1%, sedang untuk sektor gas alam cair nilai impor dan jasa-jasa meningkat sebesar 6,7% dan 13,6%. Akibat dari perkembangan yang tidak menguntungkan ini surplus transaksi berjalan berbalik menjadi defisit sebesar US $ 2.790 juta dalam tahun 1981/82 yang kemudian melonjak mencapai US $ 7.039 juta pada tahun 1982/83. Dalam jangka waktu bersamaan cadangan devisa berkurang dengan US $ 4.268 juta atau 58,1% dari jumlah cadangan pada akhir tahun 1980/81 sehingga tingkat cadangan resmi pada akhir tahun 1982/83 hanya berjumlah US $ 3.074 juta jauh dibawah sasaran Repelita III sebesar US $ 4.167 juta.

Apabila dibandingkan dengan sasaran laju pertumbuhan nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi Repelita III sebesar 16,5% mencapai US $ 7.680 juta pada tahun 1983/84, maka kenaikan rata-rata yang sebenarnya terjadi dalam masa tersebut adalah sebesar 6,2% mencapai US $ 5.367 juta dalam tahun 1983/84. Sebaliknya nilai impor di luar impor sektor minyak dan gas bumi telah mengalami peningkatan sebesar rata-rata 14,0% menjadi US $ 14.346 juta pada tahun 1983/84 dibandingkan dengan sasaran pertumbuhan sebesar 12,0% dengan jumlah sebesar US $ 13.870 juta dalam tahun terakhir Repelita III. Dengan demikian laju kenaikan rata-rata dari defisit transaksi berjalan juga melampaui sasaran yaitu 29,2% dibandingkan dengan 14,9% dan US $ 4.151 juta terhadap US $ 2.359 juta dalam tahun 1983/84.

Berkat ditempuhnya kebijaksanaan Pemerintah di bidang ekspor dan impor, penyesuaian kurs valuta asing dan penjadwalan kembali sejumlah proyek besar selama tahun-tahun 1982 dan 1983, disertai dengan tanda-tanda meredanya resesi ekonomi dunia terutama membaiknya pasaran komoditi primer di luar

329

minyak bumi maka neraca pembayaran dalam tahun terakhir Repelita III kembali bergerak kearah yang mantap.

Nilai ekspor keseluruhan dalam tahun 1983/84 kembali menunjukkan kenaikan sebesar 6,1%. Hal ini disebabkan karena khususnya nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi meningkat dengan pesat, yaitu sebesar 36,6%, sedangkan sebaliknya nilai ekspor minyak bumi masih terus menurun dengan 1,9% dan nilai ekspor gas alam cair juga mengalami kemunduran sebesar 2,5%. Dalam tahun 1983/84 nilai impor (CIF) untuk pertama kalinya sejak dimulainya Repelita I berhasil diturunkan dengan 11,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Impor di luar sektor minyak dan gas bumi mengalami penurunan sebesar 9,3% dan impor sektor minyak berkurang dengan 22,5%. Impor sektor gas alam cair tetap masih mengalami kenaikan sebesar 51,9% akibat meningkatnya biaya perluasan kilang-kilang. Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa mengalami kenaikan sebesar 13,7% yang terdiri dari kenaikan sebesar 10,1% untuk jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi dan 31,5% untuk sektor minyak bumi, sedangkan jasa-jasa sektor gas alam cair menurun sebesar 12,9%. Meningkatnya pengeluaran untuk jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi disebabkan karena kenaikan pembayaran bunga atas pinjaman luar negeri sebesar 20,0%, sedangkan pengeluaran netto untuk jasa-jasa lainnya mengalami kenaikan sebesar 2,9%.

Dengan meningkatnya ekspor sebesar 6,1% dibarengi dengan penurunan impor dengan 11,8% dan kenaikan dalam pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa sebesar 13,7%, defisit transaksi berjalan dalam tahun terakhir Repelita III dapat diperkecil dengan 41,0% sehingga menjadi US $ 4.151 juta. Setelah diperhitungkan dengan kenaikan dalam pinjaman Pemerintah netto sebesar 17,1%, penurunan pemasukan modal lain netto sebesar 33,6% serta selisih yang tidak diperhitungkan maka dalam tahun 1983/84 cadangan devisa telah mengalami kenaikan sebesar US $ 2.070 juta.

Realisasi pinjaman Pemerintah selama masa Repelita III menunjukkan kenaikan sebesar rata-rata 23,3% dengan kenaikan yang paling pesat dalam tahun 1981/82, yaitu sebesar 31,2% dan tahun 1982/83 sebesar 42,3%. Peningkatan dalam dua tahun tersebut berkaitan erat dengan memburuknya posisi neraca pembayaran akibat menurunnya nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi dan kemudian juga ekspor minyak bumi. Karena itu pula pinjaman tunai dalam periode 1979/80 - 1983/84 meningkat dengan rata-rata 58,6% sedangkan pinjaman untuk proyek mengalami kenaikan sebesar rata-rata 15,5% setiap tahunnya. Dalam

masa yang lama bantuan program menunjukkan penurunan sebesar rata-rata 2,2% per tahun. Adapun pinjaman tunai itu terdiri dari hasil penjualan obligasi dan kertas berharga lainnya di luar negeri serta, pinjaman yang diperoleh dari lembaga keuangan internasional dengan syarat-syarat komersial.

Apabila jumlah bantuan program dan pinjaman untuk proyek selama periode 1979/80 - 1983/84 sebesar UPS $ 15.248 juta dibandingkan dengan perkiraan Repelita III sebesar US $ 15.346 juta, maka jumlah realisasi sedikit di bawah sasaran. Akan tetapi dengan digunakannya pinjaman tunas sejumlah US $ 4.451 juta, pinjaman serupa tidak diperkirakan akan terjadi dalam Repelita III, jumlah seluruh pinjaman Pemerintah yang direa-lisasi dalam masa 1979/80 - 1983/84 mencapai US 19.699 juta atau US $ 4.353 juta melampaui sasaran Repelita III. Dari seluruh pinjaman Pemerintah tersebut 2,6% berupa bantuan pro-gram, 74,8% adalah dalam bentuk pinjaman langsung untuk pro- yek dan 22,6% berupa pinjaman tunai.

Pelunasan pokok pinjaman Pemerintah dalam masa. Repelita III meningkat dengan rata-rata 9,8% per tahun dari US $ 632 juta dalam tahun 1978/79 menjadi US $ 1.010 juta dalam tahun terakhir Repelita III. Dalam tahun-tahun 1981/82 dan 1982/83 pelunasan pinjaman mengalami kenaikan sebesar berturut-turut 31,5% dan 17,2%. Kenaikan ini terjadi akibat dimulainya pelunasan pinjaman tunai yang diperoleh dari sekelompok bank antara lain untuk tambahan pembiayaan proyek yang mempergunakan kredit ekspor.

Transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pemasukan modal lain terdiri dari transaksi modal dalam rangka penanaman modal luar negeri, transaksi modal yang dilakukan oleh badan usaha milik negara seperti Pertamina dan Garuda serta lalu-lintas modal lainnya. Penanaman modal asing naik dari US $ 410 juta dalam tahun 1978/79 menjadi US $ 599 juta dalam tahun 1982/83 atau sebesar rata-rata 9,9% per tahun. Dalam tahun 1983/84 penanaman modal luar negeri mengalami penurunan sebesar 25,0%, perkembangan mana mempunyai kaitan dengan berbagai kegoncangan di pasar uang dan modal internasional teru-tama kecenderungan terus menaiknya suku bunga. Pinjaman yang dilakukan oleh badan usaha milik negara selama Repelita III rata-rata meningkat dengan 21,0% setiap tahunnya, sedang kenaikan yang paling besar terjadi dalam tahun 1981/82, yaitu sebesar 160,2% dan dalam tahun 1982/83 dengan 29,5% mencapai US$ 1.294 juta. Peningkatan dalam dua tahun tersebut teru-tama disebabkan oleh pinjaman yang digunakan untuk perluasan kapasitas kilang gas alam cair di Badak dan Arun. Mendekati

tahap penyelesaian pembangunan kapasitas tersebut, maka pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara mulai berkurang sebesar 25,1% dalam tahun 1983/84. Pelunasan pinjaman dalam rangka penanaman modal asing mengalami kenaikan sebesar rata-rata 13,0% per tahun selama Repelita III, sedangkan pelunasan pinjaman yang diusahakan oleh perusahaan-perusahaan negara rata-rata menurun dengan 5,9%. Transaksi modal lainnya dalam tahun 1979/80 dan 1980/81 mengalami arus pengeluaran netto sebesar berturut-turut US $ 1.132 juta dan US $ 419 juta. Bagian terbesar dari arus modal keluar tersebut disebabkan oleh meningkatnya kredit ekspor minyak akibat kenaikan harga dan penghasilan ekspor, sedang sisanya terutama berupa arus modal jangka pendek. Selama tiga tahun berikutnya transaksi modal lainnya menunjukkan arus pemasukan netto sebesar US $ 404 juta dalam tahun 1981/82; US $ 634 juta dalam tahun 1982/83 dan US $ 359 juta dalam tahun 1983/84. Perkembangan ini terjadi akibat pelunasan atas kredit ekspor minyak yang diberikan pada tahun-tahun sebelumnya dan arus modal jangka pendek yang masuk. Secara keseluruhan, pemasukan modal lain atas dasar netto menunjukkan jumlah negatif selama tahun 1979/80 dan 1980/81 atau pengeluaran netto. Namun dalam tiga tahun terakhir Repelita III transaksi pemasukan modal lain kembali positif sebesar berturut-turut US $ 1.140 juta, US $ 1.795 juta dan US $ 1.191 juta.

Posisi neraca pembayaran juga dipengaruhi oleh alokasi SDR yang diterima Indonesia selama dua tahun pertama Repelita III sebesar masing-masing US $ 65 juta dan US $ 62 juta. Pos selisih yang tidak diperhitungkan sampai dengan tahun 1982/83 terus menunjukkan jumlah negatif, hal mana terutama mencerminkan arus modal ke luar berupa tagihan terhadap luar negeri yang tidak tercakup dalam transaksi-transaksi neraca pembayaran lainnya. Dalam tahun 1983/84 pos tersebut menunjukkan jumlah positif yang berarti adanya arus modal masuk yang tidak tercatat.

Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan dengan memperhitungkan pemasukan modal netto di sektor Pemerintah dan sektor di luar Pemerintah, cadangan devisa dalam dua tahun pertama Repelita III periode 1979/80 - 1983/84 meningkat dengan US $ 4.426 juta dibandingkan dengan sasaran Repelita III sebesar US $ 650 juta. Selama tahun-tahun 1981/82 dan 1982/83 cadangan devisa mengalami kemerosotan sebesar US $ 4.268 juta, sedangkan sasaran Repelita III menunjukan ke- naikan sebesar US $ 830 juta untuk periode yang sama. Dengan meningkatnya kembali cadangan devisa sebesar US $ 2.070 juta pada tahun 1983/84, maka selama masa 1979/80 – 1983/84 ting-

kat cadangan devisa resmi telah dapat dinaikkan dengan jumlah sebesar US $ 2.228 juta atau 15,4% di atas sasaran Repelita III sebesar US $ 1.930 jute. Cadangan devisa resmi pada akhir tahun 1983/84 mencapai jumlah US $ 5.144 juta, jumlah mana cukup untuk membiayai impor (C & F) di luar sektor minyak dan gas bumi untuk rata-rata 4,3 bulan. Dengan demikian, serang-kaian langkah-langkah yang diambil Pemerintah untuk menghadapi tantangan-tantangan di bidang ekonomi selama masa Repe-lita III telah juga berhasil mengembalikan posisi neraca pem-bayaran kearah yang menguntungkan sekaligus memperkokoh lan-dasan bagi pelaksanaan Repelita IV.

C. E K S P 0 R

Selama tiga tahun pertama Repelita III nilai ekspor rata-rata meningkat sebesar 26,5%, untuk kemudian menurun dengan 18,8% dalam tahun 1982/83 dan selanjutnya kembali naik sebe-sar 6,1% pada tahun terakhir Repelita III. Nilai ekspor diluar. minyak dan gas bumi dalam tahun pertama Repelita III melonjak dengan peningkatan sebesar 55,1% dan kemudian hingga tahun 1982/83 rata-rata merosot sebesar 14,0% setiap tahunnya. Bila dari triwulan kedua tahun 1978 sampai triwulan kedua tahun, 1980 nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi mengalami kena-ikan rata-rata sebesar 8,7% per triwulan, maka mulai triwulan ketiga tahun 1980 sampai triwulan ketiga tahun 1982 nilai ter-sebut menurun dengan rata-rata 6,4% per triwulan. Mulai tri-wulan empat tahun 1982 ekspor di luar minyak dan gas bumi da-pat dipulihkan sehingga dalam tahun 1983/84 nilai ekspor me-ningkat sebesar 36,6% dibandingkan dengan tahun 1982/83.

Sebagai akibat resesi ekonomi dunia yang tercermin dalam kemerosotan kegiatan perekonomian di negara-negara industri harga di pasaran internasional untuk komoditi primer di luar minyak bumi telah mengalami kemunduran sebesar 14,6% dalam tahun 1981 dan 12,0% dalam tahun 1982 setelah kenaikan sebesar rata-rata 12,4% selama periode 1979 - 1980. Untuk komoditi seperti teh, kopi dan tembakau harga di pasaran dunia telah mulai merosot dalam tahun 1980, yaitu sebesar 12,2% di-susul dengan kemunduran sebesar 22,3% dalam tahun berikutnya. Harga produk pertambangan mengalami kemunduran yang paling besar dalam tahun 1981, yaitu sebesar 14,0%, kemudian menurun dengan 9,2% pada tahun 1982, dan tidak berubah dalam tahun 1983. Dalam tahun 1983 pasaran internasional untuk komoditi primer di luar hasil-hasil tambang mulai membaik hal mana tercermin dari kenaikan harga yang hampir mencapai 9,0%. Perkembangan yang terjadi dalam masa 1979/80 - 1983/84 di pasar‑

an komoditi internasional di luar minyak bumi searah dengan perkembangan harga yang dialami oleh komoditi ekspor Indonesia (lihat Tabel V - 8 ).

Dalam perkembangan ekspor di luar minyak dan gas bumi, ekspor kayu masih terus mengambil peranan yang paling penting. Selama periode Repelita III nilai ekspor kayu tertinggi tercapai pada tahun 1979/80, yaitu sebesar US $ 2.173,7 juta dengan volume sebesar 16.309,0 ribu ton. Hal ini berarti kenaikan dalam nilai dan volume sebesar masing-masing 91,5% dan 1,3% dibandingkan dengan tahun 1978/79. Perkembangan tersebut disebabkan karena harga kayu meningkat dengan 38,3% pada ta-hun pertama Repelita III. Dalam tahun-tahun berikutnya nilai ekspor terus mengalami kemunduran dengan rata-rata 25,5% setiap tahunnya sehingga pada tahun 1983/84 hanya mencapai US $ 898,6 juta. Faktor utama yang menyebabkan penurunan tersebut ialah kebijaksanaan Pemerintah untuk membatasi ekspor kayu bulat dalam rangka menunjang perkembangan industri kayu di dalam negeri. Di samping itu dalam periode yang sama harga kayu bulat di pasaran luar negeri menunjukkan kemunduran sebesar rata-rata 7,5%. Dengan pesatnya perkembangan industri kayu lapis, maka dalam tahun 1983/84 nilai ekspor kayu kembali meningkat dengan 29,2%. Selama Repelita III nilai ekspor kayu lapis mengalami kenaikan sebesar rata-rata 109,4% per tahun sehingga pada tahun 1983/84 mencapai US $ 579,3 juta. Meskipun harga kayu di pasaran dunia masih cenderung terus menurun, volume ekspor kayu lapis dalam masa Repelita III meningkat sebesar rata-rata 113,7% setiap tahunnya. Pentingnya peranan ekspor kayu lapis juga terlihat dari sumbangannya pada ekspor kayu keseluruhan. Bila pada tahun pertama Repelita III nilai ekspor kayu lapis hanya merupakan 1,8% dari nilai ekspor kayu seluruhnya, maka pada tahun terakhir Repelita III 49,9% dari penghasilan devisa dari kayu bersumber pada ekspor kayu lapis (lihat Tabel V-7, Tabel V-8 ).

Dalam periode Repelita III ekspor karet senantiasa menduduki urutan kedua setelah kayu di antara hasil-hasil ekspor di luar minyak dan gas alam cair. Seperti halnya kayu, ekspor karet tertinggi dicapai pada tahun 1979/80 dengan nilai ekspor sebesar US $ 1.100,9 juta dan volume sebesar 1.014,5 ribu ton, yang berarti peningkatan sebesar 40,9% dalam nilai dan 9,3% dalam volume dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingginya nilai ekspor pada tahun tersebut disebabkan karena kenaikan harga karet di pasaran dunia sebesar 20,5% dibarengi dengan berhasilnya usaha perbaikan mutu karet ekspor Indonesia. Setelah tahun 1979/80 ekspor karet terus

TABEL V – 7

VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, 1)

1979/1980 – 1983/84

(Volume dalam ribu ton dan nilai dalam juta US dollar)

334 A

GRAFIK V – 3

VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI,

1978/79 - 1983/84

(Volume dalam ribu ton dan nilai dalam juta US dollar)

(Lanjutan Grafik V - 3)

(Lanjutan Grafik V – 3)

337

(Lanjutan Grafik V - 3)

(Lanjutan Grafik V - 3)

TABEL V – 8

HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1)

1978/79 – 1983/84

1) Harga rata-rata, kecuali harga kayu dan the (akhir bulan)

2) Kopi RSS III New York dalam US $ sen/lb

3) Kopi Robusta ex Palembang, New York dalam US $ sen/lb

4) Minyak sawit ex Sumatera, London dalam £/long ton

5) Lada hitam ex Lampung, New York dalam US $ sen/lb

6) Timah putih London dalam £/long ton

7) Kayu, US Lumber, Tokyo dalam 1.000 Y/meter kubik

8) Tea Plain, London dalam £/kg

GRAFIK V - 4

HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,

1978/79 - 1983/84

(Lanjutan Grafik V - 4)

(Lanjutan Grafik V - 4)

merosot sampai dengan tahun 1982/83 di mana nilai ekspor hanya mencapai US $ 614,6 juta dengan volume ekspor sebesar 877,4 ribu ton. Kemerosotan ekspor karet dalam periode 1979/80 - 1982/83 berkaitan dengan lesunya perekonomian dunia yang mengakibatkan melemahnya pasaran dan turunnya harga karet internasional. Sejalan dengan menguatnya pasaran karet dunia, baik nilai maupun volume ekspor karet dalam tahun 1983/84 diperkirakan telah meningkat masing-masing menjadi US $ 1.104,7 juta yang berarti kenaikan sebesar 60,0% dan 983,6 ribu ton atau peningkatan sebesar 25,9%.

Kecuali dalam tahun 1981/1982, ekspor kopi selalu merupakan sumber penghasilan devisa dengan urutan ketiga. Meningkatnya harga kopi di pasaran dunia pada tahun 1979/80 menyebabkan nilai ekspor pada tahun tersebut merupakan yang tertinggi selama periode Repelita III, yaitu sebesar US $ 714,4 juta. Kenaikan harga tersebut telah meningkatkan nilai ekspor sebesar 40,6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedang volume ekspor kopi hanya meningkat dengan 2,6% menjadi 238,1 ribu ton. Dalam tahun 1980/81 nilai dan volume ekspor masing-masing menurun sebesar 17,7% dan 2,6%, dan pada tahun 1981/82 nilai dan volume ekspor terus menurun dengan 41,7% dan 5,4%. Persentase penurunan nilai yang jauh lebih besar dari persentase kemunduran dalam volume ekspor menunjukkan penurunan harga di pasaran kopi internasional. Menurunnya harga terse-but disebabkan oleh melimpahnya penawaran kopi di pasaran dunia, sehingga Organisasi Kopi Internasional (ICO) sejak bulan Oktober 1980 terpaksa memberlakukan kembali sistem kuota. Nilai ekspor kembali meningkat pada tahun 1982/83 mencapai US $ 363,3 juta atau kenaikan sebesar 6,0% dibandingkan dengan tahun 1981/82, sedang volume ekspor naik dengan 8,9% menjadi 238,8 ribu ton. Kenaikan ekspor baik dalam nilai maupun volume terjadi juga dalam tahun 1983/84, yaitu sebesar masing-masing 39,2% dan 18,4% mencapai US $ 505,8 juta dan 282,7 ribu ton. Peningkatan ekspor kopi dalam dua tahun terakhir Repelita III selain disebabkan oleh meningkatnya harga kopi di pasaran internasional juga karena keberhasilan usaha untuk meningkatkan ekspor kopi ke negara-negara non kuota.

Nilai ekspor hasil tambang di luar timah terus mengalami peningkatan dalam periode 1978/79 - 1980/81, sehingga pada tahun 1980/81 ekspor hasil tambang menghasilkan devisa sebesar US $ 315,9 juta. Kenaikan ini dimungkinkan dengan meningkatnya ekspor beberapa komoditi hasil tambang seperti tembaga dan bauksit. Setelah mengalami penurunan selama tahun 1981/82 dan tahun 1982/83 sebesar berturut-turut 2,8% dan 9,1%, nilai ekspor hasil tambang meningkat kembali dalam ta‑

hun 1983/84, menjadi US $ 326,5 juta yang berarti lebih tinggi 17,1% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari berbagai komoditi hasil tambang, adanya peningkatan ekspor nikel dan bauksit merupakan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya nilai ekspor hasil tambang di luar timah dalam tahun 1983/84.

Ekspor hasil kerajinan tangan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan selama Repelita III dengan nilai ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya kecuali pada tahun 1980/81. Perkembangan yang baik ini menyebabkan ekspor kerajinan tangan naik menduduki urutan keempat diantara hasil-hasil ekspor di luar minyak dan gas alam cair dari urutan ketujuh yang dicapai pada tahun 1982/83, sedangkan dalam tahun terakhir Repelita II ekspor komoditi tersebut masih berada dalam urutan kelima belas. Dalam tahun 1979/80 nilai ekspor mengalami kenaikan sebesar 450,4% dari US $ 27,2 juta menjadi US $ 149,7 juta. Dalam golongan ekspor hasil kerajinan tangan, peranan tekstil semakin menonjol sejak tahun 1981/82. Bila selama periode 1980/81 - 1983/84 nilai ekspor hasil kerajinan tangan naik sebesar rata-rata 24,9% setiap tahunnya, maka ekspor tekstil mengalami peningkatan sebesar rata-rata 37,4% per tahun. Hal ini berarti bahwa nilai ekspor tekstil yang pada tahun 1979/80 berjumlah US $ 81,3 juta telah berhasil mencapai jumlah US $ 290,1 juta pada tahun 1983/84.

Selama dua tahun pertama Repelita III ekspor timah mengalami peningkatan, baik dalam nilai maupun dalam volume. Pada tahun 1979/80 volume dan nilai ekspor masing-masing naik dengan 6,6% dan 19,8%, sedang dalam tahun 1980/81 laju ke-naikan volume dan nilai ekspor adalah 11,7% dan 16,9%. Peningkatan volume ekspor masih tetap terjadi dalam tahun 1981/82 yaitu sebesar 2,0%, sedangkan nilai ekspor mengalami penurunan sebesar 3,8%. Peningkatan volume ekspor terjadi terutama karena keberhasilan usaha rehabilitasi sarana produksi dan kegiatan eksplorasi. Menurunnya nilai ekspor pada tahun 1981/82 merupakan akibat dari kemunduran harga di pasaran dunia yang disebabkan oleh pelepasan cadangan timah Amerika Serikat. Dalam tahun 1982/83 ekspor timah mengalami kemerosotan baik dalam nilai maupun volume dengan penurunan sebesar masing-masing sebesar 20,0% dan 13,2%. Penurunan volume ekspor merupakan akibat penetapan kuota ekspor yang dilakukan oleh Dewan Timah Internasional sejak bulan April 1982 sehubungan dengan melemahnya pasaran timah dunia. Sementara itu harga timah di pasaran Internasional setelah meningkat dengan cepat selama pertengahan kedua tahun 1981 mengalami penurunan sebagai akibat pelepasan cadangan timah yang masih

345

terus dilakukan oleh Amerika Serikat sehingga untuk tahun 1982/83 harga timah merosot dengan 10,0%. Dengan tetap berlakunya kuota ekspor, volume ekspor timah dalam tahun 1983/84 mengalami penurunan sebesar 10,7% sedang nilai ekspor ber-kurang dengan 7,6% menjadi US $ 322,6 juta.

Ekspor udang, ikan dan hasil-hasil hewan lainnya telah berkembang dengan cukup baik selama Repelita III. Dalam tahun 1979/80 nilai ekspor meningkat sebesar 19,0% dari US $ 214,1 juta pada tahun 1978/79 menjadi US $ 254,7 juta, sedang volume ekspor naik sebesar 16,9% dari 84,0 ribu ton menjadi 98,2 ribu ton. Kenaikan tersebut dimungkinkan terutama karena meningkatnya ekspor udang yang merupakan bagian terbesar dari ekspor golongan produk ini. Nilai dan volume ekspor udang masing-masing mengalami kenaikan sebesar 16,6% dan 5,3%, yaitu dari US $ 186,9 juta menjadi US $ 218,0 juta dan dari 47,0 ribu ton menjadi 49,5 ribu ton. Juga dalam tahun 1981/82 volume ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya mengalami peningkatan yaitu sebesar 12,0%, akan tetapi nilai ekspornya menunjukkan penurunan sebesar 11,9%. Kemunduran nilai ekspor tersebut disebabkan oleh menurunnya ekspor udang sebagai akibat dari adanya kebijaksanaan Pemerintah yang melarang penggunaan pukat harimau sejak 1 Oktober 1980. Nilai ekspor udang yang merupakan 76% dari seluruh nilai ekspor golongan produk ini mengalami kemerosotan sebesar 21,9% sedangkan volume eks-pornya turun dengan 15,2%. Pengaruh kebijaksanaan tersebut masih dirasakan dalam tahun 1981/82, hal mana tercermin dari terus merosotnya nilai dan volume ekspor udang dengan penurunan sebesar masing-masing 3,3% dan 7,1%. Dengan demikian nilai dan volume ekspor golongan produk ini mengalami kemunduran masing-masing dengan 5,0% dan 4,2%. Pada tahun 1982/83 nilai dan volume ekspor udang, ikan dan hasil-hasilnya mengalami peningkatan masing-masing dengan 17,8% yaitu dari US $ 213,2 juta menjadi US $ 251,1 juta dan dengan 4,0% dari 105,4 ribu ton menjadi 109,6 ribu ton. Perkembangan serupa juga terjadi dalam tahun 1983/84 dengan peningkatan nilai ekspor sebesar 9,9% menjadi US $ 275,9 juta dan kenaikan volume ekspor dengan 37,9% mencapai 151,1 ribu ton. Sementara itu, nilai ekspor udang pada tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 24,1% dan 0,8%. Perkembangan yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini mencerminkan keberhasilan dari usaha penggalakan budidaya tambak.

Aluminium merupakan komoditi hasil industri yang mempunyai potensi dan prospek ekspor yang cukup baik. Komoditi ini baru memasuki pasaran ekspor pada tahun 1982/83 dengan volume ekspor sebesar 32,0 ribu ton dan nilai ekspor sebesar

US $ 48,3 juta. Sejalan dengan meningkatkanya produksi, ekspor dalam tahun 1983/84 telah mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Volume ekspor meningkat dengan 250,0% menjadi 112,0 ribu ton dan nilai ekspornya naik dengan 241,4% menjadi US $ 164,9 juta.

Walaupun nilai ekspor teh selama Repelita III menunjukkan fluktuasi dari tahun ketahun, ekspor teh berkembang dengan cukup baik. Dalam periode 1978/79 - 1981/82 volume ekspor teh terus mengalami kenaikan, sementara nilai ekspornya tampak berfluktuasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa naik turunnya nilai ekspor sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga di pasaran internasional. Pada tahun 1982/83 volume ekspor mengalami kemunduran karena produksi teh terganggu ben-cana alam Galunggung dan kemarau yang panjang. Volume ekspor pada tahun tersebut hanya mencapai 68,0 ribu ton yang berarti menurun sebesar 22,7% bila dibandingkan dengan volume ekspor tahun 1981/82. Sementara itu adanya kenaikan harga telah memungkinkan nilai ekspor teh meningkat 23,6% dari US $ 94,2 menjadi US $ 116,4 juta. Dalam tahun 1983/84 volume ekspor meningkat kembali sebesar 24,4% sedangkan nilai ekspornya meningkat dengan lebih cepat yaitu sebesar 34,1%. Lebih besarnya kenaikan nilai ekspor dibandingkan dengan volume pada tahun 1983/84 dimungkinkan karena melonjaknya harga teh di pasaran internasional dalam tahun tersebut.

Setelah mengalami kenaikan dalam tahun 1979/80, dimana nilai ekspor meningkat sebesar 48,5% dari US $ 93,2 juta pada tahun 1978/79 menjadi US $ 138,4 juta dan volume ekspor naik dengan 5,5% yaitu dari 1.315,7 ribu ton menjadi 1.387,5 ribu ton baik nilai maupun volume ekspor tapioka dan bahan ma- kanan lainnya terus merosot sampai dengan tahun 1982/83. Kemerosotan ekspor tersebut merupakan akibat dari tingginya konsumsi tapioka di dalam negeri. Dalam tahun 1983/84 nilai dan volume ekspor kembali meningkat karena kenaikan konsumsi tapioka di dalam negeri yang lebih lamban. Sementara itu juga ekspor bahan makanan lain seperti dedak dan molase mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Nilai ekspor diperkirakan telah naik menjadi US $ 134.3 juta dari US $ 59,0 juta pada tahun 1982/83 yang berarti meningkat dengan 127,6% sedang volume ekspor diperkirakan meningkat sebesar 103,2% dari 597,7 ribu ton menjadi 1.214,6 ribu ton.

Ekspor alat-alat listrik telah berkembang dengan baik selama Repelita III, nilai ekspor selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya kecuali pada tahun 1981/82. Dalam tahun 1979/80 dan tahun 1980/81 nilai ekspor berkembang dengan laju

347

kenaikan yang cukup tinggi, dengan peningkatan sebesar berturut-turut 72,3% dan 15,6%. Tetapi akibat tindakan protek-sionistis yang dilakukan oleh beberapa negara maju, nilai ekspor dalam tahun 1981/82 mengalami penurunan sebesar 10,8% dari US $ 80,7 juta pada tahun 1980/81 menjadi US $ 72,0 juta. Dalam tahun 1982/83 perkembangan ekspor kembali membaik, dengan meningkatnya nilai ekspor sebesar 56,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya mencapai US $ 112,4 juta. Kenaikan nilai ekspor diperkirakan juga terjadi pada tahun 1983/84 sehingga nilai ekspor menjadi US $ 129,7 juta yang berarti lebih tinggi 15,4% dari nilai ekspor tahun 1982/83.

Nilai ekspor minyak sawit dalam tahun 1979/80 mengalami peningkatan sebesar 15,9% sehingga mencapai US $ 257,1 juta, sedang volume ekspor meningkat dengan 6,2% menjadi 440,3 ribu ton. Nilai dan volume ekspor yang dicapai pada tahun bersangkutan merupakan yang tertinggi selama Repelita III. Di samping kenaikan harga di pasaran dunia peningkatan ini juga menunjukkan berhasilnya program pengembangan penanaman kelapa sawit sejak beberapa tahun sebelumnya. Namun selama tahun-tahun 1980/81 dan 1981/82 baik volume maupun nilai ekspor terus mengalami kemerosotan, sehingga volume ekspor pada tahun 1981/82 hanya mencapai 182,8 ribu ton dengan nilai sebesar US $ 79,3 juta. Penurunan volume ekspor disebabkan oleh meningkatnya penggunaan minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kestabilan harga minyak goreng di dalam negeri. Penurunan nilai yang lebih besar lagi yaitu sebesar berturut-turut 30,9% dalam tahun 1980/81 dan 55,3% dalam tahun 1981/82 mencerminkan kemerosotan harga minyak sawit di pasaran internasional yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1980 dengan penurunan sebesar 11,1% dalam tahun 1980/81, 8,2% dalam tahun 1981/82 dan 23,9% dalam tahun 1982/83. Dengan menurunnya laju pertumbuhan permintaan akan minyak sawit di dalam negeri se-lama tahun 1982/83 memungkinkan volume ekspor kembali naik sebesar 72,2%, sedang nilai ekspor mengalami kenaikan yang jauh lebih rendah, yaitu 29,9%. Pada tahun 1983/84 kebutuhan akan minyak sawit di dalam negeri berkembang lagi dengan pesat sehingga menyebabkan penurunan volume ekspor sebesar 13,6% menjadi 272,1 ribu ton. Sementara itu harga di pasaran internasional sejak tingkat terendahnya pada bulan Desember 1982 sebesar US $ 364 per long ton mulai bergerak naik mencapai US $ 725 per long ton pada bulan Maret 1984. Nilai ekspor dalam tahun 1983/84 mencapai US $ 92,4 juta atau penurunan sebesar 10,3% dibandingkan dengan tahun 1982/83.

Ekspor lada dan tembakau mengalami fluktuasi baik dalam nilai maupun volume dalam lima tahun terakhir ini yang

terutama disebabkan oleh keadaan pasar internasional. Dalam tahun 1979/80 nilai dan volume ekspor lada menurun masing-masing dengan 30,1% dan 37,4% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Setelah mengalami kenaikan dalam tahun 1980/81, kembali terjadi penurunan dalam nilai ekspor pada tahun 1981/82 sebesar 4,9%, sementara itu volume meningkat dengan 20,0%. Perkembangan ini menunjukan bahwa kemerosotan nilai ekspor semata-mata disebabkan oleh menurunnya harga. Pada tahun 1982/83 baik nilai maupun volume ekspor mengalami kemunduran masing-masing dengan 16,4% dan 10,5% sebagai akibat dari lesunya pasaran lada internasional yang terjadi karena meningkatnya penawaran lada terutama dari Brazilia. Membaiknya pasaran lada internasional memungkinkan ekspor lada mengalami kenaikan dalam tahun 1983/84 dengan meningkatnya nilai ekspor sebesar 41,9% dan volume ekspor sebesar 38,2%. Setelah mengalami kemerosotan baik dalam nilai maupun volume sebesar ma-sing-masing 28,9% dan 13,4% dalam tahun 1981/82 serta 24,0% dan 30,0% pada tahun 1982/83, ekspor tembakau kembali mening