mushalla, gereja, dan viharae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5661/1/mushola dan gereja.pdf ·...
TRANSCRIPT
LaporanPenelitian Terapan dan Pengembangan PTKI
MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA:
Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan
Antarumat Beragama Di Kota Salatiga Dan Manado
Oleh:
Mukti Ali
Benny Ridwan
Fatchurrohman
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
ABSTRAK
MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA: Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan Antarumat Beragama Di Kota Salatiga dan Manado, Penulis : Mukti Ali, Benny Ridwan, dan Fatchurrohman, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) IAIN SALATIGA, tahun 2018.
Adanya asumsi dasar bahwa nilai agama berperan dalam terciptanya
kerukunan, menimbulkan pertanyaan baru yang akan dijawab melalui penelitian ini.
Bagaimana pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku
kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang
multireligius? Kerukunan tercipta karena adanya harmoni dalam interaksi antar
kelompok yang terlibat.Wilayah di Indonesia yang berhasil mewujudkan kerukunan
antar umat beragama dan menekan potensi konflik rasial adalah Salatiga dan Manado.
Salatiga dipilih dengan pertimbangan bahwa masyarakatnya berpendidikan dan
memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, tapi
kepercayaan mereka akan adanya kearifan lokal tetap berdampingan dengan
keyakinan agama. Manado merupakan ibukota provinsi Sulawesi Utara, dimana
mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen dengan ras Minahasa tetapi dapat
hidup damai dan berdampingan dengan masyarakat minoritas yang memeluk agama
lain.
Pemuka agama di Salatiga dan Manado memiliki peran dalam lembaganya,
baik gereja, masjid, vihara, dalam penyampaian khutbahnya menganjurkan untuk
hidup berdampingan, menghargai agama lain, dan saling menghormati dalam
menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Selain itu, para penganut agama juga
melakukan kegiatan anjang sana ke tempat-tempat ibadah pemeluk agama lain. Saling
menjaga tempat ibadah juga penting dilakukan agar pemeluk agama yang sedang
merayakan hari besar dapat melakukannya dengan khusyu‘. Mimbar religi juga
digunakan sebagai tempat menyemai kerukunan. Mimbar religi semakin perlu untuk
difungsikan, diperluaskan jangkaun aktifitas dan pelayanannya serta ditangani dengan
organisasi dan manajemen yang baik. Peningkatan kualitas ceramah di tempat ibadah
perlu diperhatikan, karena dari sinilah firman Tuhan disampaikan oleh pendakwah
kepada jamaah. Upaya penguatan pemahaman dan perilaku toleransi dilakukan juga
melalui lembaga pendidikan. Masyarakat kelas bawah juga diajak mewujudkan
perilaku toleran dalam kehidupan. Relasi intimistik di antara kelas-kelas sosial perlu
diwujudkan, mulai dari kelas atas, menengah dan rakyat jelata. Relasi intimistik ini
akan mampu mewujudkan keakraban dan saling jaga, saling bantu dan saling
menghargai. Membuat public space untuk memfasilitasi relasi intimistik antar seluruh
elemen masyarakat. Penguatan toleransi bagi anak muda juga perlu dilakukan melalui
kegiatan ormas keagamaan yang berbentuk dialog, festival, kegiatan bersama dan
kunjungan tempat ibadah. Pendekatan kelembagaan dipandang lebih efektif untuk
memfasilitasi komunikasi antara kelompok masyarakat, agama, atau etnis.
Pendekatan kelembagaan dipandang efektif karena lebih mengedepankan rasionalitas
dan kebijaksanaan. Toleransi dalam bentuk kepedulian juga dikembangkan dalam
wujud layanan kesehatan.
KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillahpenyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
pemilik semesta alam dan sumber segala pengetahuan atas bimbingan dan ridha-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA: Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan Antarumat Beragama Di Kota Salatiga dan Kota Manado.
Penyusunan laporan penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pola pemikiran baru guna meningkatkan kesadaran manusia dalam hal ini masyarakat Kota Salatiga dan Kota Manado serta menimbulkan kepedulian terhadap masyarakat sekitar khususunya permasalahan kerukunan, toleransi, pluralisme, dialog, dan kerja sama lintas agama.
Fakta bahwa adanya sebuah tatanan hidup yang plural bukanlah sebuah fenomena baru yang datang dari dunia lain pada abad modern ini, melainkan sebuah warisan realitas sosial yang telah terjadi berabad-abad. Hidup dalam zaman pluralis memungkinkan setiap kita untuk bertemu ataupun berinteraksi langsung dengan “sesama” kita yang beragam, termasuk keberagaman agama. Hal ini juga didukung dengan era-globalisasi yang memungkinkan bahwa setiap komunitas agama tersebut suka atau tidak, terima ataupun tidak, akan mengalami perjumpaan dengan komunitas agama yang lain. Perjumpaan-perjumpaan tersebut dengan sendirinya dapat membuka gerbang untuk terciptanya sebuah relasi atau hubungan yang unik di antara mereka.
Berbicara mengenai kerukunan umat beragama memang merupakan suatu persoalan yang bersifat kompleks. Hal ini dikarenakan persoalan-persoalan yang ada tidak hanya melibatkan satu dimensi saja melainkan lebih. Tentu saja timbulnya berbagai dimensi atau faktor yang mempengaruhi hubungan antar-agama disebabkan karena agama tidak saja berurusan dengan dirinya sendiri tetapi juga berkaitan atau berurusan dengan ranah lainnya. Persoalan agama selain terkait dengan faham atau keyakinan para pemeluknya tentang kebenaran mutlak “doktrin agama” masing-masing sebagai bagian terdalam dari manusia, tetapi juga terkait dengan faktor-faktor sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Faktor agamawan memiliki peran yang kuat dalam menentukan pola hubungan atau relasi antar agama. Peran faktor agamawan biasanya yang berkaitan dengan hubungan antar agama adalah ajaran agama, pemahaman umat terhadap ajaran, penyebaran agama, pendirian rumah ibadah dan sikap mental dari umat sendiri. Sikap dan peran yang diambil oleh Pemerintah dalam memposisikan dirinya dalam kebhinekaan sangatlah penting. Dalam posisinya sebagai “penguasa”, pemerintah diharapkan dapat bertindak secara adil dan benar. Jika terdapat tindakan yang diskriminatif, maka dapat menciptakan kondisi yang disharmoni. Sehingga tindakan yang diambil pemerintah sangatlah menentukan relasi seperti apa yang akan tercipta. Sikap pemerintah sebagai fasilitator ini harus dipertahankan. Kerukunan yang terjalin sebagai warisan leluhur hendaknya terus dijaga dan dipelihara. Sikap bergotong royong, saling menghargai, saling mendukung dan saling terbuka hendaklah terus tertanam dalam kehidupan masing-masing, baik individu maupun bermasyarakat. Sehingga harta bersama yakni kehidupan rukun yang damai dan harmonis ini terus terpelihara dengan baik.
Kami sangat menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari
kesempuranaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun kami
sangat harapakan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada,
sehingga penelitian ini bisa bermanfaat. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan
laporan ilmiah ini, terkhusus kepada :
1. Rektor IAIN SALATIGA
2. Ketua Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat(LP2M) IAIN
SALATIGA
3. Para Informan yang telah memfasilitasi penyelesaian penelitian ini
dalam bentuk dukungan moril, bantuan teknis dan penghimpunan data
penelitian khususnya.Semoga hasil kerja keras ini dapat bermanfaat
bagi peningkatan pemahaman kerukunan, kesadaran pluralisme,
dialog, dan kerja sama lintas agama untuk kini dan masa yang akan
datang.
4. Pustakawan pustakawati IAIN Salatiga, dan pengelola Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora, Fakultas Dakwah, Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.
5. Sejawat IAIN Manado, Delmus Puneri Salim, Ph.D yang memfasilitasi
perjalanan Peneliti ke Manado. Begitu juga Ibu Dr. Hj. Salma, M.HI
Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang setimpal atas
bantuan dan perhatian mereka kepada kami dan melimpah rahmat dan karunia –
Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal Al Amin.
Salatiga, 2 November 2018
Mukti Ali, Benny Ridwan, Fatchurrohman
DAFTAR ISI
ABSTRAK..........................................................................
KATA PENGANTAR........................................................
DAFTAR ISI......................................................................
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………….. 3
C. Signifikansi Penelitian....................................................... 4
D. Kerangka Teori.................................................................. 4
E. Kajian Riset Sebelumnya ................................................ 6
F. Metode Penelitian............................................................. 9
BAB II KERUKUNAN: DARI POTENSI, REGULASI SAMPAI
INTERAKSI
12
A. Potensi Kerukunan Umat Beragama ……………………. 12
B. Regulasi Tentang Kerukunan……………………………. 15
C. Interaksi Antar Umat Beragama………………………… 17
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………. 21
A. Materi Penelitian………………………………………… 21
B. Cara/Alat Penelitian…………………………………….. 22
C. Jalan Penelitian…………………………………………. 22
1. Tahap Pengumpulan Data………………………. 22
2. Tahap Analisis Data…………………………….. 25
3. Tahapan Waktu Penelitian………………………. 26
BAB IV TOLERANSI SEBAGAI BEYOND UNDERSTANDING 28
A. Pemahaman Toleransi Keberagamaan Masyarakat Kota
Salatiga Dan Manado
28
B. Bentuk Perilaku Toleransi Keberagamaan Masyarakat
Kota Salatiga Dan Manado
33
C. Proses Penguatan Pemahaman Dan Perilaku Toleransi
Pada Masyarakat Kota Salatiga Dan Manado
36
D. Makna Toleransi………………………………………… 40
1. Pemahaman tentang makna toleransi……………. 40
2. Bentuk perilaku toleransi………………………... 47
3. Upaya penguatan pemahaman dan perilaku
toleransi
55
BAB V SALATIGA DAN MANADO SEBUAH KOMPARASI 63
A. Kota Salatiga…………………………………………….. 63
B. Kota Manado…………………………………………….. 67
C. Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Salatiga Dan
Masyarakat Manado
69
D. Rumah Ibadah dan Ker 75
E. ukunan Masyarakat Salatiga Dan Manado
F. Pesan Damai dalam Perbedaan………………………….. 86
BAB VI DARI MIMBAR RELIGI, KEARIFAN LOKAL, DAN
KERJASAMA
92
A. Kehadiran dan Partisipasi Lembaga Keagamaan……….. 92
B. Khutbah Kerukunan di Manado………………………… 100
C. Pentingnya Kerjasama………………………………….. 107
BAB VII PENUTUP………………………………………………….. 112
A. Kesimpulan……………………………………………… 112
B. Saran-Saran..................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 117
LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada sebuah diskusi bulanan Lintas Agama yang dilakukan di Sinode
Gereja Kristen Jawa Salatiga—sekaligus peneliti aktif di dalamnya—dengan tema
‖Kerukunan dan Toleransi Beragama‖, timbul beberapa pemaknaan tentang
kerukunan dan toteransi sesuai dengan pemahaman keagamaan masing-masing
diskusan. Suhartini pengikut Kristen yang taat, yang keluarganya terdiri dari
beberapa pemeluk agama. Beliau memaknai kerukunan dan toleransi beragama
adalah membiarkan, mengijinkan, dan tidak melarang. Ada juga yang
memaknainya dengan menghargai dan memberi kesempatan umat beragama
melakukan ibadah masing-masing sesuai agama dan keyakinan.
Kemudian dari sana timbul dalam pikiran bahwa akan lahir berbagai
persepsi atas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam benak masyarakat
tentang kerukunan dan toleransi umat beragama. Apakah memang sebuah
kerukunan dan toleransi sudah selesai seperti yang terjadi pada pemahaman
Suharti dan lainnya di atas? Atau mungkin kerukunan dan toleransi lebih sekadar
membiarkan, mengijinkan, tidak terlarang, menghargai, dan memberi kesempatan.
Atau yang lebih mungkin lagi adalah ketidakadaannya kerukunan antarumat
beragama itu sendiri? Artinya, bahwa kerukunan harus memiliki pemaknaan yang
berkonotasi pada pelbagai kelakuan sosial yang nyata, yang menekankan pada
munculnya nilai kerukunan baru yang lahir dari pengalaman kebersamaan umat
agama dalam tatanan ekonomi dan politik yang tidak adil. Nilai kerukunan baru
ini kurang lebih berarti: Solidaritas pada orang miskin—bukan konformitas pada
yang kuat—kerja sama (bukan sekadar tidak ada konflik), pro-eksistensi (bukan
sekadar ko-eksistensi). Kemiskinan menimpa siapa saja tanpa pandang agamanya.
Demikian juga kemiskinan menjadi tanggungjawab siapa saja tanpa pandang
rumah ibadatnya (St. Sunardi, 2004:24-25).
Kerukunan umat beragama bukan saja terciptanya kedamaian yang semu,
dalam arti bahwa kedamaian yang ditimbulkan bukan hanya sekadar ‟untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku‟(QS Al-Kafirun: 6), secara scriptua
(tekstual), yang berarti: sikap masa bodoh, acuh, dan terserah (pre[ko]-eksistensi)
tetapi kerukunan harus diarahkan kepada pemaknaan dan pemahaman yang nyata,
melalui keterlibatan dan rasa memiliki, peduli, dan saling (pro-eksistensi). Untuk
sampai pada tahap penguatan pemaknaan dan pemahaman kerukunan umat
beragama yang nyata tersebut, dapat direalisasikan melalui pelbagai macam cara,
baik melalui dinamika pergaulan, interaksi sosial, kepemilikan, kepedulian,
maupun keterlibatan secara aktif dalam masyarakat yang sangat plural. Selain itu,
anggota masyarakat harus saling menguatkan, dengan diikat oleh sikap saling
mengendalikan diri serta saling menghargai kebebasan dalam menjalankan
aktivitas keagamaan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.
Pluralitas adalah fenonema yang sangat lekat dengan Indonesia. Enam
agama resmi negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu) dan
lebih dari 150 aliran kepercayaan, cukup menjadi bukti bahwa Indonesia termasuk
salah satu negara pluralis terbesar di dunia. Pluralitas bisa menjadi potensi, namun
dapat pula menjadi problem. Dalam konteks inilah kerukunan diperlukan untuk
mengelola keragaman itu.
Kegelisahan akademik dari penelitian ini adalah ancaman timbulnya
kerawanan hubungan antar umat beragama itu yang disebabkan sifat dari masing-
masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi dari agamanya masing-
masing, kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan
pihak lain, kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan
intoleransi dalam kehidupan masyarakat, kurang adanya komunikasi antar
pemimpin masing-masing antar umat beragama, dan kecenderungan fanatisme
yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan
memandang rendah pihak lain. Belum lagi kurang optimalnya kerjasama antar
tokoh muda lintas agama dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan
keagamaan.
Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan
sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan
kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang
disebutkan itu bersifat universal, selain itu terdapat ajaran agama yang juga bisa
menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku oleh pemeluk,
terutama kaum muda sebagai penerusnya.
Kebebasan beragama dan tipologi multikultural yang terdapat dalam
ajaran universal agama-agama senada dengan kondisi daerah dan masyarakat
Salatiga. Semua agama dan pemeluknya yang ada di Salatiga sementara ini tidak
menandakan adanya superioritas atau imperioritas, terhindar dari konflik, rukun,
dan saling menghargai. Hal ini menandakan betapa toleran dan rukunnya agama
di Salatiga.
Penelitian ini juga ingin membandingkan atau komparasi dengan
pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan
beragama masyarakat Kota Manado. Penelitian komparatif adalah penelitian yang
bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di
teliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Menurut Nazir (2005: 58)
penelitian komparatif adalah sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari
jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor
penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau
lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka
pemikiran tertentu. Disamping itu juga untuk membuat generalisasi tingkat
perbandingan berdasarkan cara pandang atau kerangka berpikir tentu. Penelitian
komparasi antara Kota Salatiga dan Manado ini juga dalam rangka untuk bisa
menentukan mana yang lebih baik atau mana yang sebaiknya dipilih.
B. Rumusan Masalah
Apakah melalui penguatan pemahaman dan penguatan perilaku karukunan
Antarumat beragama di Kota Salatiga dan Manado dapat meredam dan
meminimalisir terjadinya konflik yang bermuatan SARA sekaligus berupaya
menguatkan NKRI, paling tidak semakin menjauhkan Salatiga dan Manado dari
riak-riak yang menyebabkan konflik antaragama. Rumusan masalah tersebut
dapat dikembangkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan
Manado sebagai masyarakat yang multireligius?
2. Bagaimana perilaku kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado
sebagai masyarakat yang multireligius?
3. Bagaimana proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama
masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang multireligius
dalam upaya penguatan NKRI?
C. Signifikansi Penelitian
Secara teoritis penelitian ini akan memberikan kontribusi dan memperkaya
kajian tentang pemahaman dan perilaku kerukunan antarumat beragama di
Indonesia khususnya Salatiga dan Manado. Sementara secara praksis, penelitian
ini akan menambah pemahaman dan semakin kuatnya bangunan kerukunan
antarumat beragamasekaligus menjadi model aktualisasi kerukunan antarumat
beragama di Indonesia. Selain itu penelitian ini memberikan informasi dan
sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tema pluralisme, dialog
keagamaan, multikulturalisme, kearifan local, dan kerjasama antaragama.
Penelitian ini juga dapat menjadi input yang positif bagi pengembangan penelitian
„discovery‟dan penelitian komparasi dalam upaya untuk melakukan penelitian
yang tidak hanya membuktikan teori, melainkan menemukan suatu nilai-nilai
universal. Lebih lanjut penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para tokoh agama
dan tokoh masyarakat pada umumnya dan stake holders pemerintahan.
D. Kerangka Teori
Kata kerukunan telah digunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti
kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar bangsa, dll. Penggunaan dan
pemahaman dari kerukunan ini bahkan telah tertera dalam dasar negara Indonesia,
yaitu pancasila. Sebagai negara pancasila, Indonesia memberikan tempat pada
kebebasan beragama. Oleh karenanya, kerukunan hidup umat beragama menjadi
suatu yang penting untuk diwujudkan, sebuah kerukunan yang dilandasi
kesadaran bahwa walaupun terdapat perbedaan agama tetapi setiap orang
mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengupayakan kesejahteraan bagi
orang banyak, (Sairin, 2006).
Pemahaman religiusitas secara nyata dapat membawa pada pola kehidupan
yang berkerukunan, karena agama—agama apapun bentuknya—jelas-jelas
mengajarkan kepada manusia untuk berbuat baik, saling menolong, saling
menghargai, dan saling berinteraksi tanpa memandang ras, suku, dan agama.
Sesungguhnya Tuhan menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan,
dan membuatnya bersuku dan berbangsa-bangsa untuk—li ta‟arafu—saling
mengenal (QS Al-Hujurat:13). Melalui bangunan logika sederhana, bahwa term li
ta‟arafu adalah untuk saling mengenal bukan saja seperti kenal dan tahu,
melainkan memiliki makna kenal dan tahu serta saling mengerti dan memahami
sehingga tidak terjadinya perselisihan yang berakibat pada konflik dan
kehancuran.
Sebagai bukti dalam meningkatkan pemahaman religiusitas yang
berimplikasi pada kerukunan umat beragama yang bersifat pro-eksistensi.Ada satu
peristiwa yang dapat diteladani dari apa yang Rasulullah ajarkan bahwa betapa
besar kerukunan yang dilakukan oleh Rasulullah. Adalah penerimaannya terhadap
delegasi Kristen dari Najran. Mereka menganut agama Katolik yang dipimpin
oleh Abdu ‘al-Masih al-Ayham dan Abu Haritsah bin ‘Alqama, salah seorang
uskup. Mereka tinggal beberapa hari di Madinah dan ditampung di Masjid
Nabawi dan di rumah-rumah sahabat Rasulullah. Selama beberapa hari terjalin
dialog antaragama antara Rasulullah dengan mereka. Suatu ketika pimpinan
delegasi itu mohon pamit kepada Rasulullah. Rasulullah menanyakan apa
keperluan mereka sehingga harus meninggalkan masjid. Mereka menjawab bahwa
mereka ingin melakukan kebaktian. Rasulullah mencegah mereka pergi ke luar
masjid dan mempersilahkan mereka melakukan kebaktian di Masjid Nabawi.
Peristiwa ini diceritakan oleh sejarawan Islam dalam buku Sirah Ibn Ishaq (85-
151 H). (Effendi, 2004:66)
Kembali menuju fenomena tersebut, ada dua wilayah yang mengangkat
dan mengagungkan nilai kerukunan. Pertama, sebagai pemeluk Kristen, Abd ‘I-
Masih al-Ayham dan Abu Haritsah bin ‘Alqama beserta rombongannya menjaga
dan menghormati perasaan Rasulullah dan umat muslim, sehingga mereka dengan
rasa hormat memohon izin untuk melakukan kebaktian di lain tempat. Kedua,
Rasulullah Muhammad pun menghormati rombongan tersebut untuk dengan
memperbolehkan melakukan kebaktiannya di Masjid Nabawi. Nilai spiritual dan
melakukan ritus keagamaan tidak dibatasi oleh tempat, karena hal tersebut
hanyalah simbolisme-simbolisme yang diberikan oleh manusia.
Agama adalah sebagai sebuah pengejawantahan dari ekesistensi Tuhan
memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Dengan agama tersebut manusia
tertolong dalam memecahkan berbagai dimensi misteri dan persoalan, baik
dimensi misteri dan persoalan sosial maupun dimensi misteri dan persoalan
ketuhanan itu sendiri. Agama juga diyakini oleh semua pemeluknya, sebagai
ranah yang mampu membawa pada kerukunan, kedamaian, dan keselamatan.
E. Kajian Riset Sebelumnya
Isu-isu yang menyangkut tentang kerukunan dan pluralisme agama serta
konflik-konfik yang disinyalir disebabkan oleh keberbedaan agama banyak
menarik perhatian peneliti; Tulisan Imam Tholkhah dalam Jurnal Harmoni (2004)
yang berjudul Membangun Kualitas Kerukunan Umat Beragama, mengisyaratkan
betapa pentingnya berbagai aspek guna mendorong terbangunnya kerukunan umat
beragama, diantaranya; aspek ajaran agama yang universal tentang kasih, cinta,
dan adil terhadap sesama; aspek soaial budaya yang bukan saja bermuara pada
wilayah birokrasi akan tetapi juga pada akar rumput; aspek pembentukan
organisasi lintas agama; aspek kearifan lokal; aspek historis; dan aspek hukum.
Ibnu Hasan Muchtar (2004) dengan judul penelitian Kajian Tentang
Kegiatan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
menyimpulkan bahwa kerukunan hidup umat beragama bertolak dari kebutuhan
riil umat beragama NTT, yang menyadari keberadaannya sebagai masyarakat
majemuk, multi etnis, suku, agama dan ragam budaya untuk hidup rukun, aman,
damai di wilayah RI. Sekaligus meniptakan bingkai kerukunan hidup beragama di
NTT, dengan melakukan pengkajian perumusan serta giat mensosialisasikan
manajemen strategis kerukunan hidup beragama Nusa Tenggara Timur.
Penelitian berjudul ―Umat Islam dalam Memaknai Isu Kristenisasi di
Salatiga (Suatu Analisis Persepsi Berdasarkan Perspektif Teori Coordinated
Management Of Meaning)‖ oleh Stefanie Theresia Permata, Royke Siahainenia,
dan Sampoerno yang dimuat pada Jurnal Cakrawala UKSW mengangkat bahwa
isu dominasi orang Kristen di Salatiga, tidak sedikit yang membenarkan bahwa
terangkatnya image Salatiga sebagai ‗Kota Kristen‘ sangat besar dipengaruhi oleh
kehadiran Universitas Kristen Satya Wacana sebagai universitas tertua dan
bergengsi di kota tersebut. Menilik lebih dalam pada isu Kristenisasi tak sebatas
pelekatan kesan kota Kristen maupun isu SARA yang menerpa UKSW.
Pembangunan rumah ibadah juga menjadi indikasi isu lainnya. Munculnya
bentuk-bentuk isu ini baiknya harus dicermati. Salah satu cara dalam mengamati
adalah dengan melihat populasi agama dan tingkat pertumbuhan rumah ibadah
dalam beberapa tahun belakangan atau berdasarkan sensus terakhir (Dapat dilihat
pada laman http://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/view/49 diakses pada bulan
April 2018).
Hidup menyatu dalam masyarakat plural perlu ada kesadaran bersama
untuk membangun platform yang memberikan jaminan hidup bagi seluruh warga
lintas agama untuk menikmati kesejahteraan secara material dan spiritual. Slogan
‖gotong royong‖ masyarakat Jawa sangat tepat untuk menggambarkan etos kerja
sama dan bersama-sama menjaga harmonisasi dalam kehidupan plural.
Masyarakat Indonesia perlu menghidupkan semangat kerja sama untuk menjaga
dinamika sekaligus harmonisasi dalam kehidupan masyarakat plural.
Pemberdayaan masyarakat perlu disosialisasikan sebagai bagian dari penggugah
gairah warga untuk hidup bersamasama dalam lingkungan yang plural. Hal
tersebut dapat dibaca lebih lanjut dalam penelitian Imam Sutomo yang diterbitkan
pada jurnal INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Juni
2014: 93-114 dengan judul Implementasi Nilai Religiusitas dan Toleransi dalam
Pemberdayaan MasyarakatPada Jamaah Masjid Al-Hikmah Sidomukti Salatiga.
Sementara itu penelitian Wulan Purnama Sari dengan judul Studi
Pertukaran Sosial Dan Peran Nilai Agama Dalam Menjaga Kerukunan Antar
Kelompok Umat Beragama Di Manadoyang dimuat pada Jurnal Komunikasi
Profetik Vol 11, No 1 (2018) menyebutkan bahwa Isu rasial memiliki potensi
konflik yang sangat tinggi, khususnya di Indonesia yang memiliki keberagaman
tinggi sehingga potensi akan konflik menjadi lebih tinggi. Keberagaman yang
dimiliki Indonesia ini menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan
kerukunan. Setiap agama bahkan mengajarkan tentang pentingnya kerukunan.
Sedangkan dalam teori pertukaran sosial diketahui bahwa interaksi manusia
dilandaskan pada prinsip pertukaran, dimana penghargaan dimaksimalkan dan
biaya dihindari. Kemudian dalam hal menjaga kerukunan faktor peran nilai agama
atau faktor pertukaran sosial yang lebih memiliki peran dalam kerukunan di
Manado. Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori kerukunan, nilai agama,
dan pertukaran sosial.Hasil penelitian menunjukkan bawah kerukunan dapat
tercipta di Manado karena faktor sejarah, pendidikan, peran orang tua yang
mengajarkan nilai-nilai hidup orang Manado, nilai ajaran agama, serta peran dari
para opinion leader yang turut menjaga kerukunan. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa antara Suku Minahasa dengan suku pendatang yang berbeda
agama terjadi pertukaran sosial, dimana suku Minahasa melakukan pertukaran ini
dengan dasar keuntungan terciptanya lingkungan yang damai dan rukun serta
menaati nilai dan ajaran agama.
Penelitian Frangky Suleman, Keberagaman Budaya dan Agama di Kota
Manado, yang dimuat pada jurnal Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian
Antropologi,E-ISSN : 2599-1078, tahun 2017menyebutkan bahwa Manado yang
berpenduduk mayoritas beragama Kristen, sedangkan Islam merupakan agama
yang di anut ke 2 terbesar selain dari agama-agama lain yang ada di kota manado,
keberagaman dan kemajemukan yang ada pada masyarakatnya membuat kota
manado kaya akan budaya. Masyarakat menunjukkan hubungan mendalam antar
budaya berbagai macam masyarakat yang terjadi sebagai akibat adaptasi kultural
dengan nilai budaya lokal. Dalam hal ini, masyarakat tempatan yaitu orang
Minahasa yang dominan kuantitas memiliki nilai budaya ideal yang adaptif dan
berkembang secara alamiah seiring proses interaksi serta diterima dengan baik
oleh masyarakat pendatang (bukan orang Minahasa) sebagai culture dominant.
F. Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian, peneliti menggunakan berbagai macam
cara untuk mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya untuk
mewujudkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain
penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2010), penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-
lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Peneliti memilih penelitian studi kasus karena penelitian studi kasus berusaha
menggambarkan kehidupan dan tindakan-tindakan manusia secara khusus pada
lokasi tertentu dengan kasus tertentu.
Penelitian studi kasus menurut Basuki (2006) adalah kajian mendalam
tentang peristiwa, lingkungan, dan situasi tertentu yang memungkinkan
mengungkapkan atau memahami sesuatu hal. Dalam penelitian ini peneliti ingin
berusaha mengungkapkan secara mendalam tentang bagaimana pemahaman,
perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama
masyarakat Salatiga dan Kota Manado sebagai masyarakat yang
multireligiusdalam perspektif tokoh-tokoh lintas agama.
Lokasi Salatiga terdiri dari 4 (empat) kecamatan, yaitu: Kecamatan
Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti.
Kota Salatiga adalah potret wilayah yang pluralistik, terlihat dari persentasi
jumlah penduduk penganut agamanya hampir berimbang. Sehingga Salatiga harus
mendapat prioritas untuk mendapatkan perhatian dalam persoalan motivasi
kerukunan beragama, dan sebuah usaha preventif yang harus dilakukan agar tidak
terjadi konflik antar agama.
Terlihat dalam jumlah penduduk agama kota Salatiga pada tahun 2012
sebagai berikut: Islam 144,695 (78%), Kristen 29,629 (16%), Katholik 9,879
(6.17%), Budha 1,288 (0,01%), dan Hindu 312 (0,002%)(Salatiga dalam Angka
dan BPS, 2012:123-124). Sehingga Kota Salatiga dapat dikategorikan pada
masyarakat yang multireligius dan pluralis. Sedangkan untuk tempat peribadatan
menurut data tahun 2012 adalah sebagai berikut: Masjid 200, Musholla: 293,
Gereja: 72, Vihara: 7.
Adapun yang akan dijadikan subjek teliti adalah penduduk penganut;
pemuka agama (Kyai, ‟Alim), Pendeta, Pastor, Guru Agama di sekolah dari
tingkat SD (Sekolah Dasar), sampai SMU (Sekolah Menengah Umum),
Akademisi, Organisasi keagamaan, Pemuka Masyarakat (Struktur Pemerintah
Kota sampai tingkat Kelurahan), dan bagian dari anggota masyarakat yang
berdomisili di Salatiga.
Sementara itu Kota Manado adalah ibu kota dari provinsiSulawesi Utara.
Kota Manado seringkali disebut sebagai Menado. Manado terletak di Teluk
Manado dan dikelilingi oleh daerah pegunungan. Kota ini memiliki 408.354
penduduk pada Sensus 2010, menjadikannya kota terbesar kedua di Sulawesi
setelah Makassar. Jumlah penduduk di Manado diperkirakan (berdasarkan Januari
2014) adalah 430.790. Saat ini mayoritas penduduk kota Manado berasal dari
suku Minahasa, karena wilayah Manado merupakan berada di tanah/daerah
Minahasa. Suku bangsa lainnya yang ada di Manado saat ini yaitu suku Sangir,
suku Gorontalo, suku Mongondow, suku Arab, suku Babontehu, suku Talaud,
suku Tionghoa, suku Siau dan kaum Borgo. Karena banyaknya komunitas
peranakan arab, maka keberadaan Kampung Arab yang berada dalam radius dekat
Pasar '45 masih bertahan sampai sekarang dan menjadi salah satu tujuan wisata
agama. Selain itu terdapat pula penduduk suku Jawa, suku Batak, dan suku
Makassar .
Agama yang dianut masyarakat Kota Manado adalah Kristen Protestan,
Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan data sensus
penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan
62.10%, Katolik 5.02%, Muslim 31.30%, Buddha 0.55%, Hindu 0.17% dan
Konghucu 0.10%. Meski begitu heterogennya, namun masyarakat Manado sangat
menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota
Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai
salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-
rawannya disebabkan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai
kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif
aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu Torang samua
basudara yang artinya "Kita semua bersaudara".
Output yang akan hasilkan dari penelitian ini adalah: 1) Buku Pedoman
Toleransi yang akan dijadikan rujukan pengambilan kebijakan dalam bidang
kerukunan umat beragama oleh Pemerintah, perguruan tinggi Keagamaan Islam
dalam bidang pengabdian masyarakat dan pengembangan organisasi sosial
kemasyarakatan dan keagamaan; 2) penyusunan Role Model kerukunan umat
beragama di wilayah perkotaan, urban, dan padat penduduk.
BAB II
KERUKUNAN: DARI POTENSI, REGULASI SAMPAI INTERAKSI
A. Potensi Kerukunan Umat Beragama
Bagaimana pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan
perilaku kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai
masyarakat yang multireligius?Kerukunan kerap disandingkan dengan makna
toleransi. Secara etimologis, toleransi berasal dari bahasa Inggris, tolerance,
diindonesiakan menjadi toleransi, dalam bahasa Arab disebut altasamuh, yang
berarti, antara lain, sikap rukun, kerukunan, tenggang rasa, teposelero, dan sikap
membiarkan. Sedangkan secara terminologis, toleransi adalah sikap membiarkan
orang lain melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Bila disebut
toleransi antarumat beragama, maka artinya adalah bahwa masing-masing umat
beragama membiarkan dan menjaga suasana kondusif bagi umat agama lain untuk
melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya tanpa dihalangi-halangi.
Persoalan kerukunan bukan hanya ditujukan kepada masyarakat yang
heterogen baik etnis maupun agama, akan tetapi juga terhadap masyarakat
homogen karena masyarakat ini juga mengandung potensi konflik yang cenderung
muncul sewaktu-waktu ke permukaan. Manakala kerukunan tidak terwujud, maka
dengan sendirinya akan menghabiskan ongkos besar sebuah pembangunan karena
akan menguras energi maupun dana yang akan terbuang percuma. Oleh
karenanya, baik pemerintah maupun masyarakat hendaknya secara dini dapat
membangun sistem ketahanan masyarakat (early warning system) sehingga
pemerintah tidak dihadapkan kepada situasi dadakan. Institusi pemerintah
mempersiapkan sarana dan fasilitas untuk mendukung pengembangan semangat
kerukunan sementara masyarakat mengembangkan berbagai kearifan lokal
sebagai hasil pengalaman pranata sosial dalam membakukan kerukunan itu. Hal
ini disebabkan karena semangat membangun kerukunan hendaklah muncul dari
pemuka masyarakat sehingga ia bersifat dinamis, kreatif dan inovatif dan menjadi
milik masyarakat sendiri di bawah kepemimpinan wibawa para primus
interpares.(Suryan A. Jamrah, JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 2, Juli-
Desember 2015)
Kerukunan, seperti telah dikemukakan di atas, adalah sikap tenggang rasa
dan dengan lapang dada membiarkan orang lain untuk melakukan apa yang
diinginkan. Kerukunan beragama, menurut Islam, adalah sebatas membiarkan
umat agama lain untuk melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya, sejauh
aktivitas tersebut tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan umum. Kalau
Islam mengajarkan dan menekankan keniscayaan akhlak kerukunan dalam
pergaulan antarumat beragama, maka tidak mungkin Islam merusak kerukunan
tersebut atas nama agama pula. Namun, di lain pihak, dalam pergaulan antarumat
beragama, Islam juga sangat ketat menjaga kemurnian akidah dan syariah
Islamiah dari noda-noda yang datang dari luar. Maka bagi Islam kemurnian
akidah dan syariah Islamiah tersebut tidak boleh dirusak atau ternoda oleh praktik
kerukunan.
Secara teoretis dan logis, semua umat beragama mendambakan kehidupan
damai tanpa konflik, termasuk konflik atas nama agama karena berbeda. Tidak
ada agama yang menganjurkan kekerasan dan konflik. Namun kenyataannya,
toleransi yang menjadi syarat kerukunan dan kedamaian sosial tersebut tidak
mudah diwujudkan tanpa kendala. Masih ada kendala yang selalu muncul di
sekitar upaya mewujudkan toleransi antarumat beragama. Rosyid (ADDIN , Vol.
7, No. 1, Februari 2013) menyebutkan bahwa tahun demi tahun tidak
menggembirakan dalam soal kerukunan umat beragama, baik intern maupun
antarumat beragama dan umat berkeyakinan di negeri ini. Masalah tersebut
berakar pada banyak persoalan, dari dalam dan dari luar agama. Sebagian
kelompok memperoleh pemahaman yang sempit tentang agama. Mereka juga
kurang mengenal keragaman budaya alias kemajemukan. Faktor luar berasal dari
banyak masalah yang membelit masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran,
pendidikan, infrastruktur yang lemah atau masalah lingkungan. Pemerintah dinilai
oleh masyarakat belum mampu membangunnegeri yang sumber daya alamnya
melimpah. Penegakan hukum yang lemah, bahkan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) semakin subur. Tren kekerasan di Indonesia meningkat,
toleransi beragama semakin terkikis dan radikalisasi agama kian menguat yang
terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain. Penyebab
intoleransi juga akibat tidak ada lagi tokoh masyarakat atau pemimpin yang
dihormati. Dulu masyarakat kuat karena ada inisiatif pemimpin lokal, munculnya
otoritas tradisional secara turun-temurun karena kharisma pemimpin dalam wujud
tokoh adat yang berperan mendamaikan konflik.
Semangat kerukunan bukanlah sesuatu yang sudah demikian adanya. Hal
ini disebabkan karena derasnya tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh
masyarakat. Keterikatan masyarakat terhadap komitmen kesukuan dan agama
akan mengalami fluktuasi seiring dengan terjadinya perubahan sosial. Oleh karena
itu untuk menumbuh-suburkan semangat kerukunan tidak bisa hanya
denganmengandalkan kepada pola-pola lama. Anak-anak muda yang telah
bersinggungan dengan modernisasi tidak lagi memiliki ikatan emosional kepada
agamamaupun budayanya seperti yang dialami oleh orangtua mereka. Oleh karena
itu, apabila masyarakat tidak diberikan bekal pengetahuan terhadap kemajemukan
itu maka masyarakat akan mengalami krisis identitas yaitu di satu sisi masyarakat
telah meninggalkan nilai tradisi sementara nilai-nilai moderen belum mapan
dalam kehidupan mereka (Hamidah, Wardah: Vol. 17 No. 2/Juli-Desember2016).
Problem kerukunan antar umat beragama tidak jarang mengganggu
stabilitas bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Lebih daripada perbedaan
sekte (aliran) keagamaan, perbedaan agama melibatkan massa yang lebih banyak,
sehingga efek psikologis dan sosiologisnya lebih luas. Bentrokan antar umat
beragama mampu rnenggerakkan simpati masing-masing umat beragama
dihampir seluruh kawasan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pada tataran ini
disharmoni antar . "umat beragama dapat dengan mudah rnempengaruhi stabilitas
politik, terutama karena campur tangan lembaga-lembaga keagamaan berskala
nasional dan intemasional. Keberadaan militansi dan kelompok-kelolnpok
fundamentalis memperoleh apresiasi di masing-masing komunitas keagamaan.
Selanjutnya, hal ini akan membangkitkan sentimen keagamaan yang meluap-luap
yang berujung pada perasaan wajib turut berjuang- dengan jiwa dan raga -
membela agama (Marzuki, Cakrawala Pendidikan, Juni 2001, Th.XX, No..3).
Persoalannya sekarang, bagaimana mengatasi permasalahan agama yang
sangat rumit ini. Berbagai upaya ditawarkan dan dilaksanakan seperti yang sudah
disinggung di atas, yakni dengan pendekatan studi agama, seperti yang ditawarkan
M. Amin Abdullah, dengan penerapan pola Tiga Kerukunan Umat Beragama
seperti yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia, dan juga dengan melakukan
dialog yang melibatkan para pemimpin agama-agama yang bertikai. Tawaran
pemecahan ini tampaknya sangat bagus, namun bersifat intelektual sehingga
jangkauannya kurang massif. Untuk itu tawaran lain yang perlu diperhatikan
adalah pendekatan sosiologis intelektual melalui pelaksanaan Pendidikan Agama
di sekolah. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengisi dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan beragama secara pluralistik di dalam kerangka kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
B. Regulasi Tentang Kerukunan
Bahwa persoalan kerukunan umat beragama merupakan persoalan bangsa
yang harus diprioritaskan dalam penangannya. Perlu ada upaya penguatan
terhadap kerukunan umat beragama secara serius melalui regulasi. Regulasi
tentang kerukunan umat beragama seperti itu merupakan suatu hal yang niscaya.
Bahkan, supaya regulasi ini memiliki kekuatan hukum yang kuat maka sudah
semestinya ia berbentuk undang-undang berdasar sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Keberadaan regulasi ini untuk melindungi keberlangsungan Tri
Kerukunan Umat Beragama yang ada, yakni kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan
pemerintah. Terkait hal ini, peran pemerintah dalam menjaga kerukunan umat
beragama seperti ini mutlak dibutuhkan. Peran yang dijalankan oleh pemerintah
dalam hal ini adalah dengan menerbitkan regulasi dan juga memberikan fasilitas
terhadap berbagai program kegiatan yang mengarah pada pemeliharaan kerukunan
umat beragama. Dukungan fasilitas pemerintah seperti ini sangat berpengaruh
bagi upaya peningkatan kerukunan hidup umat beragama.
Dasar persoalan pemikiran seperti di atas dapat dipahami, yakni dengan
Pendidikan Agama peserta didik dari agama tertentu diarahkan untuk memahami
dengan benar dan sebaik-baiknya ajaran agama yang dianutnya, selanjutnya
diharapkan mampu melaksanakan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga terbentuk insan-insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Inilah jalan pikiran yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini
terutama melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional.
Pendekatan semacam ini dikenal dengan pendekatan doktriner teologis-normatif.
Pendekatan ini dilengkapi oleh Amin Abdullah dengan penekanannya pada studi
agama yang menjadikan agama sebagai suatu bidang kajian ilmiah. Pendekatan
kedua ini disebut pendekatan historis-empiris-kritis (Abdullah, 1999: 12). Hanya
saja cara ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan intelektual saja dan tidak
merembes ke dalam keluarga yang bukan dari kalangan intelektual.
Potensi kerukunan umat beragama berada dalam ranah sosial, di mana
masing-masing umat yang berbeda agama melakukan interaksi dalam kehidupan
sosial mereka. Dengan kata lain, mereka tidak dipertemukan dalam lintas iman,
melainkan dalam lingkungan sosial. Ini artinya, kerukunan beragama tidak bisa
dan memang tidak perlu menyentuh ranah teologis. Ranah sosial inilah yang harus
dipelihara, dijaga sebagai bentuk ruang dialog. Secara umum, dari hasil penelitian
di Salatiga dan Manado ditemukan ada faktor-faktor yang bisa menjadi
sarana/wadah sosial terciptanya kerukunan yaitu, tradisi, adat/budaya, tokoh
agama, dan organisasi kelembagaan masyarakat/pemerintah yang mestinya dapat
dikembangkan. Dari hasil analisa pengelompokan data berdasarkan wilayah,
ditemukan adanya tipologi yang berbeda antarwilayah, sesuai ruang interaksi
antar umat beragama.
Pemerintah melalui Kementerian Agama telah melakukan berbagai
kegiatan yang ditujukan untuk mengembangkan kerukunan umat beragama di
Indonesia, di antaranya kegiatan reharmonisasi dan antisipasi disharmonisasi
kehidupan sosial keagamaan daerah pascakonflik/rawan konflik; penguatan peran
dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan pemahaman agama
berwawasan multikultural; pengembangan budaya damai; Participatory Action
Research (PAR) untuk pengembangan model kerukunan; pemberdayaan
organisasi keagamaan; serta penguatan peran tokoh-tokoh agama dan pemuka
agama. Selain itu juga peningkatan kerukunan umat beragama juga dilakukan
melalui penerbitan, sosialisasi dan implementasi Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,
dan Pendirian Rumah Ibadah.
Terlepas dari upaya pemerintah meningkatkan kualitas kerukunan
beragama tersebut, di sisi lain masyarakat sendiri juga memiliki peran yang
penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Bangsa Indonesia yang
memiliki norma-norma kemasyarakatan yang di antaranya bersumber pada nilai-
nilai agama mendukung terciptanya kerukunan di lingkungan mereka. Nilai-nilai
agama mendorong umat penganutnya untuk cinta damai, membangun kerjasama,
sikap toleransi dan menghormati agama lain. Ajaranajaran inilah yang sebenarnya
menjadi landasan sikap dan perilaku masyarakat secara umum dalam berinteraksi
dan berhubungan dengan orang lain yang menganut agama berbeda. Kerukunan
merupakan nilai yang universal, yang dapat ditemukan dalam setiap ajaran agama.
Setiap agama mengajarkan kepada umatnya untuk mengasihi sesama makhluk
hidup dan bersikap positif terhadap alam. Semua agama pada hakikatnya
mengajarkan umatnya untuk mawas diri, mengenal dirinya terlebih dahulu,
mengenal segala musuh yang ada dalam dirinya serta kelobaan, iri hati,
kemarahan dan lain sebagainya. Dengan senantiasa mawas diri, umat beragama
akan tetap dapat menjaga saling pengertian dengan umat lain dan benar-benar
dapat mengembangkan wawasan kebangsaan, menyadari diri sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang besar
C. Interaksi Antar Umat Beragama
Pada dataran formal, hubungan umat beragama membutuhkan pola
pengaturan yang dapat dipahami oleh semua agama. Peran Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama,
tokoh Adat, tokoh masyarakat dalam kegiatan sosial keagamaan menjadi sangat
penting. FKUB misalnya sebagai wadah kerukunan umat beragama, menempati
posisi sebagai penengah, pemberi informasi, dan membawa suasana kerukunan.
Pada tingkatan formal hubungan kemasyarakatan, terutama pada perayaan hari-
hari besar agama menuntut semua agama terlibat dalam bentuk penghormatan.
Dialog Budaya dalam bentuk pelaksanaan tradisi lokal juga dapat membuka
perasaan saling memiliki suasana sosial, keterbukaan sosial, menghilangkan rasa
curiga, dan sikap fanatik yang berlebihan dalam beragama. Forum-forum
pertemuan yang terwadahi dalam tradisi lokal bisa mengkontruksi kebersamaan,
rasa saling memiliki hubungan persaudaraan, dan saling mengenal.
Bila dilihat dari kacamata konstitusi, secara tegas dan jelas disebutkan
bahwa konstitusi negara ini serta sistem penyelenggaraan pemerintahan negara
sangat mencita-citakan adanya tata kehidupan umat beragama yang berjalan
dalam semangat persatuan dan kesatuan, di atas pedoman filosofis Bhinneka
Tunggal Ika. Secara konstitusional hal ini tersirat dengan jelas dalam pasal 29
UUD 1945. Demikian pula dalam jiwa sila ketiga Pancasila, yang berbunyi
Persatuan Indonesia, jelas terkandung nilai kerukunan. Dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara, cita-cita kerukunan ditunjukkan dalam
prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good
governance). Dalam konsep good governance disebutkan bahwa salah satu ukuran
kepemerintahan yang baik adalah adanya suatu masyarakat yang madani, yaitu
masyarakat yang plural demokratis, saling menghargai, adanya peradaban
masyarakat, menerima dan menghargai keberagaman, dan bersama membangun
masyarakat maju dan sejahtera, serta adanya tata kehidupan masyarakat yang
mencapai kesepakatan bersama guna mengatur kelompok-kelompok yang
berbeda. Dengan adanya amanat seperti ini, maka dalam tataran implementasi
praktis memerlukan adanya regulasi. Keberadaan regulasi memiliki arti penting,
yakni sebagai pedoman atau aturan main (rule of game) yang bisa dijadikan
sebagai acuan bersama untuk hidup berdampingan yang sehat dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia; mekanisme pengelolaan terhadap konflik
agama atau pengelolaan kerukunan beragama; sebagai kontrol sosial, alat
rekayasa sosial, dan pengakuan kebhinekaan, keberagaman, dan hiterogenitas
bangsa; upaya penguatan terhadap kerukunan umat beragama; untuk melindungi
keberlangsungan Tri Kerukunan Umat Beragama; pedoman dan panduan untuk
keabsahan campur tangan pemerintah dalam memediasi dan memecahkan
masalah kerukunan umat beragama
Oleh karena itulah, ketika arus globalisasi makin kencang berputar
melaluikebaruan-kebaruan pada sistem teknologi, informasi, dan komunikasi
denganjuga menggeliatnya beberapa penyimpangan sosial, justru kearifan lokal
daribudaya yang luhur menjadi sangat penting: sebagai identitas yang
memilikikompleksitas dengan kelenturan yang dapat diterima oleh berbagai
elemen.Adapun usaha untuk menggali nilai luhur budaya menjadi pekerjaanyang
bijak, mengingat banyak orang yang sudah mulai mengabaikan budayasecara utuh
dan terjerumus pada pergaulan yang keliru. Budaya itusendiri, tidak akan pernah
habis, walau zaman bergeser dalam konstruksi citrayang penuh gemerlap.
Sumbangan pengetahuan tersebut menjadi sangatberharga kepada kita semua
sebagai praktik maupun wacana berdasar padaranah filosofis yang luhur.
Kerukunan umat beragama dimungkinkan akan tumbuh ketika agama
diberikan ruang untuk berdialog dalam ruang budaya tanpa ada unsur paksaan dari
pihak lain. Dengan dialog, kerukunan beragama akan menjadi nyata melalui
peningkatan pemahaman ajaran agama pada masing-masing pengikut/umat
beragama; menjunjung tinggi perbedaan dan keanekaragaman pemahaman
keagamaan; mengesampingkan pikiran-pikiran yang menganggap pendekatan
budaya tidak relevan. Lewat dialog itu pula akan tumbuh kedewasaan beragama,
yakni kesanggupan untuk menghormati perbedaan keyakinan dalam beragama.
Dalam konteks Indonesia, ruang kerukunan hanya akan bisa dibentuk
ketika budaya masyarakat mampu menciptakan sarana pertemuan diluar konteks
agama. Pada posisi inilah dibutuhkan pelestarian arena interaksi umat dari
berbagai agama secara alami. Ruang interaksi yang benar-benar tumbuh dari
kesadaran umat beragama untuk berbaur dengan kelompok agama lain, bukan
arena interaksi yang secara politis dipaksakan. (Arifuddin Ismail, Jurnal ―Analisa‖
Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010). Untuk mewujudkan kerukunan
hidup beragama dan kerjasama antar umat beragama yang harmonis dan
berkualitas, tampaknya harus didasarkan pada faktor dan unsur yang bersifat
universal, yaitu faktor dan unsur kemanusiaan berdasarkan pandangan agama.
Bila unsur dan faktor yang universal itu dapat difungsikan secara efektif, maka
untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama dan kerjasama antar umat
beragama tidak: memerlukan unsur dan faktor eksternal, seperti negara dan
pemerintah.
Masyarakat Indonesia secara umum mampu menunjukkan diri sebagai
masyarakat yang memiliki toleransi terhadap umat agama lainnya. Selain itu,
diperlukan pula kesadaran umat beragama dalam menumbuhkan sikap toleran
dalam kehidupan beragama. Sikap toleran ini dapat menumbuhkan rasa saling
menghargai dan saling menghormati antara satu dengan yang lain untuk
mewujudkan ketenteraman dan perdamaian. Perwujudan sikap toleransi dalam
beragama dapat dicirikan dengan beberapa indikasi. Indikator-indikator sikap
toleransi tersebut adalah adanya penerimaan terhadap kelompok lain untuk hidup
bersama, terciptanya ruang dialog antar umat beragama, dan saling menghargai
terhadap aktivitas keberagamaan pemeluk agama lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Materi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dan bersifat kualitatif. Oleh
karena itu bahan-bahan penelitian primer diambil dari hasilobservasi, informasi
hasil wawancara mendalam, refleksi, ungkapan, dan tindakan dari beberapa
informan. Penelitian ini juga diperkuat dengan data sekunder berupa kajian buku,
naskah-naskah, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan
pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan
beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang
multireligius, kerjasama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas
dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-masing).
Sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup
bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.Lokasi
penelitian adalah Kota Salatiga dan Kota Manado serta sekitarnya.Pemilihan
lokasi di Salatiga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kemenarikan,
keunikan, dan kesesuaian dengan topik yang dipilih. Penelitian ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa masyarakatnya memeluk agama Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, tapi kepercayaan mereka akan adanya
kearifan lokal tetap berdampingan dengan keyakinan agama. Kota Manado dipilih
untuk mewakili kota besar, wilayah timur dan mayoritas penduduk beragama
Krtisten. Kota Manado didiami oleh beberapa etnis besar dari Sulawesi
Utaradiantaranya Minahasa, Bolaang Mongondow dan Sangihe-Talaud.
Meskipun Kota Manado didiami oleh berbagai etnis dan berbagai golongan agama
namun masyarakat Kota Manado selalu hidup rukun dan damai. Tak heran jika
dikatakan bahwa Manado merupakan miniatur Indonesia. Oleh karena itu selain
materi tersebut di atas juga dianggap sangat penting bahan-bahan yang bersumber
pada informan, baik berupa wawancara, maupun dialog dengan para tokoh yang
dianggap memiliki kredibilitas dalam kerjasama lintas iman/agama.
Informan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu informan internal
dan informan eksternal. Informan internal adalah informan yang berasal dari para
tokoh lintas agama di kota Salatiga dan Kota Manadoserta Informan eksternal
adalah informan yang berasal dari luar yaitu masyarakat plural yang berdomisili
di kota Salatiga dan Kota Manado. Peneliti menganggap tepat beberapa pihak
untuk dijadikan informan. Secara sederhana digambarkan oleh peneliti dalam
gambar informan dibawah ini:
Masyarakat Plural
Informan Eksternal Informan Internal
Informan
Tokoh Lintas
Agama
B. Cara/Alat Penelitian
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa penelitian ini adalah peneltian
lapangan bersifat kualitatif. Objek penelitian adalah tentang pemahaman, perilaku,
dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama masyarakat
Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang multireligius, dialog, dan
kerjasama lintas iman/agama. Cara penelitian dilakukan dengan peneliti langsung
melakukan pengumpulan data, dan mengingat penelitian bersifat kualitatif maka
teknik penelitian dilakukan dengan pengumpulan data pada sumber-sumber data,
dan peneliti langsung melakukan analisis.
C. Jalan Penelitian
1. Tahap Pengumpulan Data
Sebelum melakukan penelitian, peneliti merinci sumber-sumber data, serta
menentukan lokasi pengumpulan data. Satu hal yang menjadi kesulitan yang bakal
dihadapi dalam penelitian ini adalah tekanan dan kecurigaan sebagai konsekuensi
penelitian keagamaan, oleh karena itu sumber data berupa kepustakaan menjadi
sangat penting dalam penelitian untuk mendukung kelengkapannya.
Pengumpulan data juga dilakukan pada sumber-sumber data organisasi
keagamaan antara lain:
1. Kementerian Agama Kota Salatiga,
2. Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Salatiga dan Kota Manado,
3. Majelis Pimpinan Umat Beragama Salatiga (Majelis PUASA),
4. LSM Percik,
5. Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah
6. Forum Agamawan Muda Lintas Iman Kota Salatiga
7. Jamaah Gereja Katolik Santo Paulus Miki Salatiga
8. Akademisi STAB Syaelendra Kab Semarang
9. Parisadha Hindu Dharma Salatiga
10. Fatayat NU Salatiga
11. GKJ Sidomukti Salatiga
12. Sekolah dan Pendeta Seminari Manado
13. Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manado
14. Agamawan Konghucu Manado
15. Agamawan Muslim Manado
16. Perwakilan Komunitas Syiah di Manado
serta lembaga-lembaga lainnya yang memiliki hubungan dengan pluralisme,
dialog, dan kerjasama lintas iman/agama. Oleh karena penelitian ini pada
tahap pengumpulan data, peneliti sekaligus melakukan analisis dengan metode
verstehen, untuk memahami makna data. Adapun proses pengumpulan data
dilakukan dengan (a) mencatat data pada kartu data secara paraphrase,
mencatat dan menangkap keseluruhan inti sari data kemudian mencatat pada
kartu data, dengan menggunakan kalimat yang disusun oleh peneliti sendiri.
(b) Mencatat data secara quotasi, yaitu mencatat data dari sumber secara
langsung dan secara persis. (c) Mencatat data secara sinoptik, yaitu mencatat
dari sumber data dengan membuat ikhtisar atau summary.
Setelah melakukan pengumpulan data kemudian dilakukan
pengorganisasian dan pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut.
(1) Reduksi data, yaitu data dalam penelitian kualitatif berupa data-data
verbal, dalam suatu uraian yang panjang dan lebar. Data yang berupa data
verbal kemudian diseleksi dan direduksi tanpa mengubah esensi
maknanya, serta ditentukan maknanya sesuai dengan ciri-ciri objek
formalnya, (Matthew B Milles and Huberman, Michael A, 1984).
(2) Klasifikasi data, yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian dilakukan
klasifikasi data. Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan
berdasarkan objek formal penelitian, pemahaman, perilaku, dan proses
penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama masyarakat.
(3) Display data, tahap berikutnya kemudian mengorganisasikan data-data
penelitian tersebut sesuai dengan peta penelitian. Display data dapat juga
dilakukan dengan membuat networks atau skematisasi yang berkaitan
dengan konteks data tersebut. Tahap berikutnya adalah melakukan analisis
data, (Sugiyono, 2007; bandingkan dengan Matthew B Milles and
Huberman, Michael A, 1984).
(4) Pengecekan data. Untuk menghindari tuduhan bahwa penelitian yang
dilakukan oleh peneliti tidak ilmiah, maka peneliti melakukan pengecekan
keabsahan data dengan demikian apabila peneliti melakukan pemeriksaan
terhadap keabsahan data secara cermat, maka jelas bahwa hasil penelitian
ini benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dari segala segi. Moleong
(2010) dalam pengecekan keabsahan data diperlukan cara. Cara yang
digunakan peneliti dalam pengecekan keabsahan data dengan
menggunakan perpanjangan pengamatan. Peneliti melakukan
perpanjangan pengamatan sehingga akan diketahui kebenaran yang
sebenarnya. Perpanjangan pengamatan dilakukan dengan cara datang
kembali ke lokasi penelitian, dan menanyakan informan yang telah
diwawancarai kemudian dibandingkan jawabannya.
(5) Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka peneliti menggunakan
dokumen pendukung. Dokumen pendukung ini diperoleh dari masyarakat
yang berdomisili di Kota Salatiga dan Manado. Peneliti juga mengambil
gambar dan merekam hasil pengamatan yang dilakukan.
2. Tahap Analisis Data
Setelah melakukan pengolahan data, maka selanjutnya adalah membuat
rancangan análisis data. Rancangan análisis data dibuat untuk membantu
peneliti dalam menemukan hasil penelitian. Model análisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
a) Metodedeskriptif, yaitu mendeskripsikan secara mendalam tentang
pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku
kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat
yang multireligius dalam perspektif tokoh-tokoh lintas agama.
b) Metode interpretasi, yaitu proses analisis dilakukan dengan melakukan
interpretasi yaitu meliputi menerangkan, mengungkapkan maupun
menerjemahkan. Penerapan metode interpretasi dilakukan dengan
mengintrodusir faktor dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan
makna objek dalam hubungannya dengan faktor-faktor dari luar
objek.lnterpretasi menjadi penting manakala digunakan untuk memahami
hakikat persoalan. Di dalam objek yang dikaji, dibaca, ditangkap arti,
nilai, dan maksud yang jauh terkandung di dalamnya. Sesungguhnya
interpretasi merupakan upaya yang sangat penting untuk menyingkap
kebenaran, (L. R. Gay, 1996: 458-459; bandingkan dengan Moleong Lexy
J, 1998: 197-207).Peneliti melakukan interpretasi terhadap pemahaman,
perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan
beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang
multireligius.
c) Metode heuristika, yaitu metode untuk menemukan suatu pemikiran atau
jalan baru, (Kaelan, 2005:95-96; Anton Bakker dan Ahmad Charris
Zubair, 1994: 51-52).Penelitian ini tidak menentukan hal yang sangat
praktis akan tetapi selalu mencari visi baru atau pemahaman baru untuk
menempuh terjadinya pembaharuan ilmiah. Oleh sebab itu metode ini
digunakan untuk meneliti sebaik mungkin sistem pembenaran yang
menuju pada suatu reconstructed logic (idealisasi),sehingga penelitian
harus kembali kepada asumsi-asumsi dasar dengan latar belakang
ideologis, kerangka berfikir historis dan budaya. Dalam hubungan dengan
penelitian tentang pemahaman, perilaku, dan proses penguatan
pemahaman dan perilaku kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan
Manado sebagai masyarakat yang multireligius, pluralisme, dialog, dan
kerjasama lintas iman/agama, diterapkan metode heuristika dalam rangka
untuk menemukan inovasi baru secara kritis, dari hasil penelitian tersebut.
3. TahapanWaktu Penelitian
No Kegiatan Bulan
April Jun Agu Sep Nop
1 Penyusunan Proposal Penelitian
2 Penyusunan Instrumen Penelitian
3 Pengumpulan data
4 Persiapan penyusunan laporan
5 Analisis Penelitian Lapangan
6 Penyusunan Hasil Akhir Penelitian
7 Laporan Hasil Penelitian
BAB IV
TOLERANSI SEBAGAI BEYOND UNDERSTANDING
A. Pemahaman Toleransi Keberagamaan Masyarakat Kota Salatiga Dan
Manado
Menurut W salah seorang tokoh Hindhu, menyatakan bahwa
toleransi adalah:
―…saling hormat menghormati, tidak terbatas oleh kelompok, agama,
kepercayaan, malah justru toleransi itu mencakup semua makhluq. Ada
sasanti yang berbunyi Tat twam Asi (aku adalah engkau), jadi kalau
diuraikan aku adalah engkau, aku menyayangi engkau berarti menyayangi
diri sendiri, aku mengasihi berarti mengasihi diri sendiri karena engkau
sama dengan aku. Jadi termasuk tumbuh-tumbuhan hewan juga begitu jadi
tidak terbatas pada manusia saja. Dalam agama Hindhu ada hari
lingkungan hidup, hari raya untuk biatang, hari yang baik untuk
tubuhan….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei 2018)
Menurut T, salah seorang tokoh agama Katolik, menuturkan bahwa
toleransi adalah:
―…toleransi itu dari kata toleran, bagaimana kita bisa menghargai sesama,
bukan hanya pesoalan agama, tapi juga persoalan hidup bermasyarakat,
akhir-akhir ini khan kata toleransi dihubungkan dengan agama, karena
perbedaan itu tidak hanya dalam hal agama, tetapi banyak hal….‖
(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
Hal senada juga disampaikan oleh Y, salah seorang tokoh
Ahmadiyah di kota Manado (Wawancara dengan Y, 25 September 2018).
Dalam konteks toleransi yang lebih spesifik, yaitu toleransi beragama T
menuturkan:
―…dalam keluarga saya tidak mempermasalahkan soal toleransi, karena
saya dari ibu atau bapak bisa dibilang campur, separo Katolik separo juga
muslim. kalau dari ibu saya bisa diaktakan muslim taat, karena saya
dilahirkan dari keluarga katolik, om saya itu trahnya adalah penjaga
makam kudus, saya kalau liburan kalau ke sana, ke tempat yang mestinya
tidak boleh masuk, saya boleh masuk, trahnya dari Lasem, katanya sih
darah trahnya R. Patah, saya sejak kecil persoalan puasa, natal, lebaran
saya tidak ada batas perbedaan, ya kami saling menghormati saja, kalau di
natal saya juga mendapat ucapan selamat Natal, kalau lebaran tradisi kami
saya sungkem kepada yang lebih tua, tidak memandang agamanya…khan
ada yang mengatakan ada wilayah sosial dan ritual : mungkin lebih pada
menghormati tadi ya, saya juga dididik untuk saling menghormati, saya
sejak kecil bersama dengan keluarga saya yang muslim, saya juga tau
kalau mau sholat harus wudhu dulu….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni
2018).
Menurut R, salah seorang tokoh Budha menjelaskan tentang toleransi:
―…sebenarnya toleransi itu tidak hanya sebatas kata-kata, ya sudah silakan
sesuai ibadahnya masing-masing, tetapi toleransi harus dipahami sebagai
beyond understanding, yang lebih luas, bahwa kalau bisa diwujudkan
dalam aksi yang nyata, misalnya ada Vihara yang sedang kebhaktian,
teman-teman muslim memberi suasana yang baik atau menjaga keamanan
atau juga sebaliknya, temen-temen muslim sedang ada kegiatan apa umat
Budha umat Kristen bisa memberikan ruang, kalau bisa bantuan yang riil
itu menurut saya lebih baik dari pada sekedar ungkapan : ya sudah silakan
kebaktian, memang secara keimanan memiliki jalan macem-macem,
namun sebagai manusia bagian alam ini kita harus berkontribusi semua
elemen….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018)
Menurut N, salah seorang tokoh Muslim, toleransi adalah:
―…dalam pengertian simpel menurut saya, ya saling menghormati, saling
menghormati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain,
menghormati, menghargai….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Menurut Y :
―…bukan saja toleransi dalam beragama, melainkan dalam berbagai
macam unsur kehidupan. toleransi agama adalah dua bagian yang saling
beriringan antara perilaku dan perkataan. Perkataan adalah manifestasi dari
sikap dan habitual perilaku…Nilai kemanfaatan tidak harus berpihak. Kita
melakukan kerja-kerja sosial bukan saja dilakukan guna membantu orang
lain yang sekelompok kita, melainkan membantu manusia yang
membutuhkannya tanpa memandang agama, suku, organisasi, maupun
kelompok….‖ (Wawancara dengan Y, 11 Juli 2018).
Menurut H, salah seorang tokoh Protestan toleransi adalah:
―…hakikat dari toleransi adalah persaudaraan sesama…toleransi adalah
menghargai yang suci baik kesucian dalam keyakinan yang dimiliki oleh
agama sendiri maupun kesucian yang dimiliki agama lain. Bahkan tidak
cukup dengan menghargainya akan tetapi harus lebih dari sekedar itu.
Dibutuhkan proses dialogis yang lebih intimistik terutama dalam wilayah
dan yang bernilai positif. Akan lebih berarti toleransi jika terjadi intimistik
tersebut, karena bukan sekedar masabodoh atau tidak mau tahu. Intimistik
bisa dalam bentuk memahami kaidah ajaran agama orang lain setelah
memahami kaidah ajaran agama orang lain. Sehingga toleransi lahir dari
kesadaran dan pengetahuan, bukan sekedar berita/wacana
sederhana…memang dalam proses itu terlihat sekaan masuk pada wilayah
keagamaan agama lain. Akan tetapi akan berbeda hasilnya antar toleran
yang sekedar masa bodo dengan toleran yang didasarkan pada pengetahun.
Akarnya akan lebih kuat. Interaksi yang intim juga dapat dilakukan dengan
menghayati. Coba saja kita menghayati tentang agama orang lain, secara
sadar atau tidak akan ditemukan nilai-nilai yang tidak jauh berbeda dengan
ajaran agama orang lain….‖ (Wawancara degan H, 13 Juli 2018)
Menurut T, tentang sumber toleransi dalam kitab suci:
―…kalau dalam kitab suci banyak ayat-ayat ttg toleransi? saya kalau suruh
menerangkan kurang tahu, saya termasuk yang tidak suka menghafal kitab
suci, persoalan toleransi itu baru dimunculkan…kami punya semacam
Konsili Vatikan II tahun 1963, itu pemuka Katolik bertemu, sebelumnya
ada keyakinan tidak keselamatan di luar Gereja, kemudian di konsili itu
para pemuka Katolik menggodok betul persoalan toleransi. Sebenarnya
idenya adalah, bahasa al Kitab itu khan universal, yang memiliki
keterbatasan, di Konsili Vatikan itu dibuat semacam turunan agar Gereja
itu menjadi lebih modern, Gereja dan dunia, persoalan toleransi itu ada di
sana semua. Yang terakhir itu tentang eko sistem, lingkungan hidup, jadi
gerja itu mau tidak mau harus mengikuti perkembangan jaman, kalau
mengikuti al Kitab, eko sistem itu khan ndak ada di al Kitab maka perlu
dirumuskan, komunikasi sosial. Kami itu baru terbuka setelah konsili
Vatikan II, dengan berbagai dokumen gereja Istilah kerennya orang
Katolik itu : ajaran sosial gereja (cari di net), bagaiman kami harus
mensikapi perkembangan sosial, sementara bahasa al Kitab masih
universal….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
Tentang toleransi dalam ajaran agama, R menuturkan:
―…basiknya Budha sendiri lahir dalam masyarakat yang kompleks ada
Chinesse, ada Hindhu, ada Brahmanisme, saya kira Budha sangat arif
sekali dalam menyampaikan kebenaran atau ajarannya kepada para
muridnya. Di awal sekali ketika Budha ingin memberikan ajarannya itu,
yang ditekankan : jangan saja percaya pada apa yang saya sampaikan
tetapi selidikilah apakah ajaran ini membawa kemajuan batin apa tidak
pada diri masing-masing. Disitulah Budha sudah mencerminkan
memberikan ruang bahwa di dunia ini banyak kebenaran, yang mungkin
ada yang cocok ada yang tidak dan Budha sendiri menyampaikan bahwa
ajaran ini laksana obat dan dalam salah satu sutanya (ajarannya) yang
tekstual di situ disebutkan bahwa di dunia ini banyak kebenaran tetapi
kebenaran yang dapat digunakan menyelesaikan persolan di dunia ini yang
bebas dari penderitaan, keserakahan dan kebencian, dari kebodohan batin
itu sudah cukup dengan ajaran yang saya genggam ini untuk mencapai itu.
seperti sebuah daun yang ada di hutan sinsapa, ini kebenaran yang saya
sampaikan hanya segenggam daun saja. Artinya di situ Budha melihat
banyak ruang memahami tentang hakekat hidup dan kehidupan, Budha
menjelaskan bahwa tujuan ajaran ini adalah untuk melenyapkan diri dari
sifat keserakahan, kebodohan batin dan kebencian, dengan begitu saya rasa
Budha mempunyai perspektif yang luas terhadap kebenaran dan agama-
agama yang muncul karena kelahiran Budha sendiri berada di tanah yang
multikultur, tradisi yang cukup banyak di India itu, Samanisme,
Brahmaisme, Hinduisme, Syiwa, Wisnu. Kalau memang ajaran ini cocok
untuk menciptakan kemajuan dalam hidupmu maka terimalah, tetapi
jangan begitu saja percaya dengan ajaran yang guru-gurumu ajarkan,
selidikilah, ketahuilah dengan hati-hati dan cermat tentang ajaran ini. Hal
itu menurut saya sebagai landasan filosofi dalam melihat truth claim
terhadap ajaran agama. Budha sendiri mengajar kita memahami kebenaran
dari curiosity, jadi Budha sangat terbuka memberi ruang lingkup untuk
memahami kebenaran di alam ini….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni
2018)
W menuturkan:
―…iya. Jadi di dalam kitab suci banyak mengajarkan tentang toleransi.
Dalam agama Hindhu semua makhuq terdiri dari jiwa dan raga, kalau raga
itu berasal dari unsur materi, kemudian kalau sukma atau jiwa itu adalah
unsur rohani. Rohani ini menurut ajaran Hindhu adalah percikan dari
Tuhan YME. bukan diciptakan tetapi percikan, misal : jiwa menurut
Hindhu (Jiwatman), sumbernya dari Parama Atman, Parama Atman ya
Sang Hyang Widhi itu sendiri. Kalau bisa saya simpulkan, semua makhluq
itu asalnya satu, berhubung asalnya satu, maka kita ini bersaudara….‖
(Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).
Menurut H salah seorang tokoh Kristen:
―…jika didalam Kristen, dan mau sedikit mempelajari Bible study akan
menemukan inklusif trium, sebuah tema yang mengajarkan tentang
membangun jembatan dan bukan membangun benteg. Inklusi atau
jembatan adalah manifestasi dari membangun interaksi yang intim,
sementara trium adalah manifestasi dari ekslusivitas bertahan tanpa
terbangun sikap yang terbuka. Gereja kristenJawa untuk melaksanakan
amanat ajaran bible dalam event KESPEL Kesaksian dan Pelayanan, untuk
selalu menekankan dalam pembangunan jembatan interaksi intim tersebut.
Seperti kemaren yang sempat menjadi kondisi kurang baik di teman-teman
IAIN. Ketika misa kita mengundang teman teman paduan suara IAIN
untuk terlibat di dalamya. Kita memahami pasti ada pro dan kontra di sana.
Tetapi itu dapat dijadikan sebagai bukti dan alasan kami melibatkan
mereka. Agar terjadinya persaudaraan antara Islam dan Gereja….‖
(Wawancara dengan H, 13 Juli 2018).
Cakupan toleransi :
―…meliputi semua makhluq, semua dimensi kehidupan, hanya mempunyai
baju sendiri-sendiri, kalau hewan ya bajunya hewan, kalau tumbuhan ya
tumbuhan kalau manusia bajunya manusia….‖ (Wawancara dengan W, 30
Mei 2018)
Menurut T:
―…dalam berbagai kesempatan di gereja kami sudah sering dilakukan,
mulai dari koor, dulu pernah mengadakan dramanya itu diganti dengan hal
itu, tetapi secara katolik tegas liturgy, memang secara tegas hanya boleh
dijamah oleh pastur dan ada yang boleh dijamah oleh umat, kalau jenengan
ke gereja ada yang diatas altar itu batasannya di belakagn altar itu khan
ada semcam kotak kecil (sakristi ada lampunya) itu melambangkan Tuhan
itu hadir di sana, selama itu ada saya sebagai umat sebisa mungkin tidak
menjangkau altar, tetapi kalau itu dipindahkan ke ruang sebelahnya
misalnya mau dibersihkan atau ada acara apa…kemarin itu yang banyak
anak dari SPPQT (mas Bahrudin) itu memberi pemahaman juga kepada
mereka, itu wilayah iman (pastor)….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni
2018).
Menurut R:
―…saya setuju bahwa kita itu sama-sama manusia, secara pribadi untuk
iman, itulah hak masing-masing, jadi prinsip saya memanusiakan manusia
itu prinsip saya untuk membangun toleransi,sebenarnya krisis kita ini khan
krisis pemahaman. Banyak orang melihat Budhis misalnya, dulu di percik
itu khan ada gerakan sobat muda. banyak orang denger budha tetapi bukan
dari orang budha itu sendiri, ketika kita kumpul di sini, kita menyembah
patung, kemudian kita jelaskan bahwa patung itu hanya simbolis belaka,
mereka baru ngeh…ooo…jadi menurut saya lebih ke pemahaman karena
kita itu krisis pemahaman tentang toleransi itu sendiri dan terhadap agama
lain, kalau beyond belief nya itu luas, ya itu tidak bisa diganggu gugat. Jadi
pemahaman masing-masing itu sebagai batasan toleransi antar umat
beragama….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018).
Menurut N, batasan toleransi adalah:
―…menurut saya yang bisa ditoleransi ya yang muamalah, dimensi sosial,
kalau ubudiyah i‟tiqadiyah itu menurut saya tidak boleh, dalam arti orang
lain ikut dalam ubudiyah dan i‟tiqadiyah itu namanya mencampur adukkan
ajaran agama….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Sementara menurut Y, salah seorang tokoh wanita muslimah, dengan
bahasa lain mengatakan bahwa :
―…yang membatasi adalah aqidah….‖ (Wawancara dengan Y, 11 Juli
2018).
Hal senada juga disampaikan oleh Y, salah seorang tokoh muslim Manado
(Wawancara dengan Y tanggal 25 September 2018)
B. Bentuk Perilaku Toleransi Keberagamaan Masyarakat Kota Salatiga
Dan Manado
Menurut W, bentuk toleransi :
―…kalau kita sudah mendalami agama sendiri khan tidak perlu ikut
campur dengan orang lain, kita boleh saja ikut acara ritual agama lain, asal
kita tidak mencampuri ibadah mereka, saya dalam Natalan diundang,
mereka melaksanakan ritual mereka, saya cukup diam saja, saya duduk
diam menyaksikan, mendengarkan itu sebagai salah satu bentuk toleransi,
dan itu ndak ada masalah, dan itu tidak mengganggu srada dalam agama
kami, itu khan tergantung manusianya sendiri, kuat atau tidak, saya pernah
Natalan jam 04.00 pagi diundang di Pancasila suruh nyalakan lilin,ya saya
juga nyalakan lilin, setelah itu dia khotbah, melaksanakan kebhaktian, sya
hanya duduk menyaksikan atau berdiri manyaksikan. Contoh lain orang
tua saya meninggal atau mertua saya meninggal tetapi berlainan
keyakinan, saya tetap menghormati bagi yang meninggal, saya berdoa
menurut keyakinan saya, tetapi tidak perlu saya tunjukkan kepada orang
lain, saya duduk atau berdiri dengan tenang melaksanakan apa yang
menjadi kepercayaan agama saya, saya tidak mempermasalahkan apakah
yang meninggal itu agama Islam atau agama yang lain, tetapi kewajiban
saya, saya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, Tuhan itu khan tidak
beragama oleh karean itu saya melaksanakan sesuai dengan keyakinan
agama saya, Jiwatman mereka bisa kembali kepada asalnya, Itu bentuk
toleransi, saya tidak mengajak-ajak…. ya kalau kita, bagi yang
membutuhkan bantuan ya kita bantu semampu kita, entah itu kegiatan
sosial atau yang lain… ndak ada program kita, mengalir spotanitas,
soalnya di dalam agama Hindhu itu ada ajaran namanya Hukum karma
pala, setiap saat kita melaksanakan, hukum karma pala itu hukum sebab
akibat, siapa yang berbuat baik akan menerima akibatnya, jadi kita tidak
mengenal waktu, jadi itu termasuk hukum yang tertinggi di dalam agama
Hindhu….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).
Hal serupa disampaikan juga oleh Y, tokoh muslim Manado, S tokoh
Konghucu Manado, Romo D tokoh Katolik Manado (Wawancara tanggal
25 September 2018), dan Romo R tokoh Katolik Manado (Wawancara
tanggal 26 September 2018)
Menurut T :
―…rangkaian ibadah Natal ada koor dari luar…itu khan dari BKGS itu ya
(Badan Kerjasama Gereja Salatiga) yang biasanya mereka mengadakan di
Pancasila itu, kalau saya lebih ke perayaannya saja mas, karena ibadahnya
itu khan ibadah Kristen…menurut saya sih ndak begitu masalah ya, karena
di ibadahnya Katolik sendiri di tata urutan itu memang ada yang hanya
boleh diikuti oleh pemeluknya, tetapi orang luar kalau mau melihatpun
juga tidak apa-apa. Saya beberapa kali, misalnya secara Liturgi kita khan
memang Gereja Katolik itu paling taat, lagunya harus ini-ini-ini, tetapi
suatu saat misalnya kita mengadakan ibadah atau misa untuk kaum muda
khan kita ya agak menyesuaikan diri, saya biasa mengundang teman-teman
keroncong, ada juga tema keroncong yang bukan orang katolik juga, orang
Kristen, orang muslim, atau khotbah room yang sering dilakukan oleh
temen-temen itu, khotbah Romo diganti oleh visualisasi drama, sebenarnya
khan tidak mengurangi esensinya, nah drama ini yang melakukan khan
bukan hanya temen-temen katolik, misalnya kita minta tolong theatre
Getar, itu khan jelas mereka bukan Katolik, itu sering dilakukan. Tetapi
bagi Katolik yang esensi di ibadah itu dari tata urutannya : setelah doa
syukur Agung, hanya yang dibaptis Katolik yang boleh masuk, mengikuti
dan menerima symbol tubuh dan darah Yesus yang kita biasa dikasih
roti….Oo..itu kita baru sadar kalau itu masuk dalam ibadah ritual kita,
artinya di tempat kami itu malah masuk di dalam ibadah ritual kita, yang
visualisasi tadi khan masuk dalam ibadah kita….oh,..ya saya malah baru
sadar itu mas. Tetapi itu tidak mengurangi, karena nanti kalau sudah
masuk do‘a Agung pasturnya memberi pengumuman, yang boleh
menerima roti adalah khusus yang beragama Katolik/ Kristen, itu doa
syukur Agung….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
T melanjutkan:
―…kan secara struktural itu ada bidang Liturgi, Pewartaan, Persekutuan
Kemanusiaan, Diakonia, Litbang dan Sapasna, nah biasanya teman-teman
yang mendapat tugas di Diakonia dan Koinonia. Diakonia itu pelayanan
kemasyarakatan, Koinonia itu persekutuan, di bawah itu ada tim kerja
misalnya pelayanan kemasyarakatan, kemudian poliklinik, kesehatan,
biasanya jabatan satu tahun anggaran mereka yang membuat kegiatan-
kegiatan itu…kita bicara toleransinya luas ya, yang sudah berjalan secara
struktural secara garis besar geraja itu khan istilahnya kami harus
memperhatikan KLMTD (Kecil Lemah Miskin Tersingkir Difable) jadi
kami tidak mempersoalkan masalah agama tapi ini misi kemanusiaan,
mulai dari beasiswa, poliklinik (mulai tahun 1998), kami sedang
mengusahakan menjadi Balai Pengobatan, 70 % yang datang ke sini ini
malah bukan orang Katolik, saya tidak mengatakan muslim tetapi teman-
teman Kristen juga banyak yang datang ke sini. Teman-teman pendeta itu
malah datangnya ke sini, ini subsidi penuh gereja karena pasien hanya
bayar Rp.2.000,- sudah mendapat pelayanan dokter dan obatnya, yang
melayani bukan hanya dokter Katolik saja, dokter muslim banyak juga di
sini, yang dari pertama sampai sekarang dan saya menaruh hormat betul
itu dr. Sudir Asnawi Banyuputih, kalau di bidang lain kami aktif di Majlis
Puasa, BKGS dari tahun 2014 sejak kondisi politik mulai meningkat, kami
mencoba membuat hal-hal yang kesannya sederhana tetapi mengena,
misalnya kami membagi takjil itu sebenarnya kami juga ingin merangkul
teman-teman yang lain. Kami juga mengajak teman-teman non Kristen
juga, misalnya teman-teman Budha, Hindhu di family itu….yang kita
butuhkan khan menurut kami kita membutuhkan simbol-simbol tertentu
untuk menunjukkan bahwa kita tidak pernah ada permasalahan dengan
umat lain, misalnya sholat Id itu khan ada di Korem, kami biasanya
membuka tempat ini untuk parkir karena kami tahu kalau teman-teman
muslim kalau sholat Id pasti kesulitan dalam parkir, dari pada di jalan kita
mengarahkan…kalau takjil tadi sasarannya umum, itu mulai tanggal satu
sampai akhir, setiap sore dan itu semuanya dari umat kita, kita khan punya
white board, misalnya saya punya uang Rp.50.000,- ya saya kasih. Tapi
itu sebenarnya symbol aja, artinya kadang yang dibutuhkan masyarakat
khan simbol-simbol seperti itu, kalau secara struktural kami kerja sama
dengan tempatnya Gus Hanif, dengan mas Bahrudin, kita punya kerja
sama seperti itu. seperti kemarin acara silaturahmi ini kegiatan yang masuk
dalam program kerja, kemarin itu silaturahmi itu lima agama bahkan lebih
sama aliran kepercayaan…(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
R menuturkan:
―…satu adalah komunikasi dengan teman-teman lintas iman, kalau di
Salatiga khan ada sobat muda kerja sama dengan Percik juga, di sini ada
seminar dari Percik baru tgl 20 Mei kemarin mengadakan seminar lintas
iman dan itu menyongsong perayaan waisak itu pembicaranya pak KH.
Muhammad Adnan Ketua PWNU Jawa Tengah dan Romo Budi Utomo
berbincang tentang keberagaman yang mewakili dari Budhis adalah pak
Bramantyo dan menawarkan kepada masyarakat bahwa kondisi riil kita
memang majemuk, hadiah dari alam, karena tidak ada jaminan kalau
semua Budhis apakah ada kedamaian, ketenangan semua belum tentu, saya
kira tidak semua agama mampu menjamin bahwa ketika satu warna itu
akan damai tenteram, itu tidak termasuk Budhisme di Thailand, tapi yang
bisa menjamin adalah mutual understanding (pemahaman yang saling
berimbang)….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018).
Tentang partisipasi toleransi yang masuk dalam ritual agama, menurut R:
―…saya lebih setuju, yang penting tidak mengganggu keimanan teman-
teman muslim, dan di dalamnya itu khan melantunkan lagu-lagu yang
bernilai universal dan didasari pemahaman tentang toleransi tadi ya ndak
apa-apa. Malah justru kemarin ada ide juga bagaimana kalau temen-temen
IAIN itu di kegiatan Budhis….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018).
Sedangkan menurut N,
―…kalau menurut saya, kalau melanggar telalu tinggi ya, tetapi bagi saya
itu terlalu berlebihan di dalam menerapkan toleransi, menurut saya orang
Nasrani beribadah Misa ya nyanyi-nyanyi itu, ketika kita masuk dalam
ranah nyanyian itu ya itu sudah berlebihan, karena kita sudah masuk ke
ranah ibadah mereka….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Menurut W:
―…oo..bisa..bisa masuk, ndak apa-apa karena setiap orang khan punya
agama atau kepercayaan sendiri-sendiri, kita menghargai dan menghormati
kepercayaan itu, untuk menghargai itu kita menggunakan istilah Tatwam
Asi tadi….‖(Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).
Bentuk kegiatan yang terkordinir misalnya oleh FKUB, menurut W:
―…kita baik, gantian, kalau pertemuan ya ada anjangsana….‖ (Wawancara
dengan W, 30 Mei 2018).
Menurut T:
―…antara FKUB dan BKGS (Badan Kerja Gereja Salatiga) hanya
formalitas, saya belum melihat peran adanya peran yang sungguh belum
maksimal. Saya melihat teman-teman di FKUB dan BKGS itu (anggotanya
banyak, sekitar 150 an termasuk Kristen dan Katolik), saya beberapa kali
mengikuti acara mereka….saya harus katakan bahwa ketika mereka
bersentuhan dengan dunia politik mereka tidak objektif lagi…. ―
(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
Menurut N, bentuk toleransi beragama adalah:
―…kalau pengertian dalam hal yang paling sederhana misalnya ini bulan
ramadhan kita mengadakan buka bersama, itu kita undang hanya dalam
lingkup sosialnya untuk saling berkomunikasi ikut merasakan, ikut makan,
di dalam ibadahnya ndak, misalnya : besok orang Nasrani kita minta untuk
ikut berpuasa karena sorenya diadakan buka bersama, ndak mungkin itu
karena wilayah ritual….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
N melanjutkan :
―….ketika kita mengadakan peringatan Isra Mi‘raj mereka bantu-bantu,
angkat-angkat kursi, mendukung kegiatan dalam lingkup kerja fisiknya,
gotong royongnya, Isra‘ Mi‘raj, mauludan, mereka juga ikut
mendengarkan….kalau kita misalnya membuka kegiatan acara mereka,
workshop mereka, peningkatan kualitas guru-guru agama mereka, kita
dijadikan moderator, kita sudah tidak membedakan lagi, pejabat ini
beragama Islam atau bukan, kemudian ini tidak beragama Kristen,
kemudian tidak diundang khan ndak, menjadi petugas dalam kegiatan-
kegiatan tertentu….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
C. Proses Penguatan Pemahaman Dan Perilaku Toleransi Pada
Masyarakat Kota Salatiga Dan Manado.
Menurut W, upaya untuk memperkuat pemahaman dan perilaku
toleransi pada masyarakat adalah:
―…kita mendalami ajaran kita sendiri-sendiri, untuk memperkuat srada
(Iman) dan kita harus tahu keimanan orang lain sehingga kita punya
batasan-batasan mana yang baik dan mana yang tidak baik….‖
(Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).
Peran institusi dalam pendidikan toleransi:
Menurut W:
―…pemahaman toleransi di dapat dari semuanya, dari agama, sekolah,
keluarga, jadi sejak dulu saya itu bergelut dengan falsafah Jawa, waktu
saya kecil belum ada nama Hindhu itu belum ada, saya kelahiran
Banjarmasin, ibu dari Kediri dan ayah dari Suruh, nenek saya juga Haji,
lha saya itu memang tertarik dengan keagungan orang Jawa, sejak kecil
saya memang tertarik dengan orang Jawa dan bangga menjadi orang Jawa.
Sebetulnya Jawa itu agamanya apa, jadi sejak kecil sudah punya cita-cita
seperti itu, orang bilang orang Jawa itu beragama Hindhu, nah ini yang
sering salah dimengerti banyak orang….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei
2018).
Peran institusi di masyarakat, menurut W:
―…bagus sekali, sangat bagus, FKUB selalu menghimbau kepada seluruh
agama untuk saling menghormati dan bercita-cita Salatiga harus aman dan
tentram, saya tidak senang kalau Salatiga itu seperti kota lain yang rusuh
dan kacau….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).
Pendidikan toleransi bagi anak muda, menurut T:
―…penanaman toleransi melalui sekolah, anak muda, ormas-ormas banyak
program semacam silaturahmi yang baru saja dilaksanakan itu sebenarnya
untuk menanamkan kepada mereka hal-hal yang seperti itu (toleransi). Di
sekolah-sekolah kami, sejak tahun 2017 kami punya materi Wawasan
Kebangsaan, yang digagas semenjak politik di Indonesia memanas seperti
ini, yang menggagas itu sebenarnya temen-temen dari Gereja dari Jakarta,
misalnya di Salatiga membutuhkan maka temen-temen dari Jakarta akan
datang ke sini…untuk remaja kami ada kunjungan ke SPPQT, Gus Hanif,
sebelumnya ke Tegalrejo, karena kebetulan secara personal kami kenal
baik dengan mereka itu, pada waktu ke Tegalrejo (Gus Yusuf) malah pas
puasa waktu itu, jadi pelajaran bagi kita, malah Gus Yusuf yang membawa
makanan minuman…idenya sebenarnya seperti silaturahmi, temen-temen
kita kumpulkan lintas iman, mari kita lihat gereja, ini ada batas sucinya,
terus kami ke masjid di Gus Hanif kayaknya, terus temen-temen muslim di
sana Sholat Jumat, temen-temen di luar muslim kami melihat, setelah itu
kami ke Klenteng Jl Sukowati, terus kami ke Pura yang dekat SMA 2
Salatiga jadi kami mengunjungi, dan itu hari Jumat biar mereka tahu
bahwa ini temen-temen muslim ini lagi sholat Jumat…kalau kegiatan
bersama, yang kita lakukan ya baru takjil itu, kalau tahun kemarin kami
ke Thekelan, itu yang khusus anak muda. jadi saya, pak Beni, Gus Hanif
itu khan bentukan dari teme-temen Jogja untuk mendirikan lintas iman di
Salatiga waktu itu bentuknya di Thekelan, karena Thekelan (daerah
Kopeng), yang sempat viral khan ketika Waisak itu, temen-temen non
Hindu yang mengucapkan Selamat kepada teman-teman Hindhu…‖
(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
Gambar: Kegiatan Live in di Tekelan
T melanjutkan :
―…upaya yang harus kita lakukan untuk menguatkan pemahaman dan
perilaku kerukunan umat beagama dikota Salatiga… kita tidakhanya
simbol-simbol dalam bentuk takjil itu, namun lebih dari itu. Ketika saya
menjadi pengurus BKGS saya sampaikan : tantangan kita yang terberat
adalah menjaga kota Salatiga, kalau para pendeta-pendeta ini pada ribut-
ribut sendiri, cari uang sendiri-sendiri ya susah, upaya kami ketemu
dengan pak Beni, pak Bahrudin, Gus Hanif sebenarnya langkah saya untuk
mewujudkan itu, dan kita semua harus menggelorakan semangat
kerukunan itu, kami itu khan sangat minoritas, bukan hanya dengan
muslim, tapi di Kristen, bayangkan dari 150 Gereja kami hanya satu, buka
bersama itu yang menggagas kami dari 2014, pesertanya sekitar 50
orang…‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).
Menurut N, salah seorang tokoh muslim :
―…program untuk penanaman toleransi, misalnya melalui sekolah atau
ormas,ceramah masjid, khatib atau yang lainnya : ada banyak program di
masing-masing sektor, misalnya di sekjen itu ada FKUB, di situ ada dana
dari pemerintah pusat yang bisa direalisasikan dalam bentuk kegiatan-
kegiatan pembinaan kerukunan pada seluruh umat beragama, dan tokoh-
tokoh agama; kemudian yang lewat sekolah misalnya di seksi pendidikan
agama itu ada program yang namanya Islam rahmatan lil‘alamin, kegiatan-
kegiatan yang merupakan langkah-langkah Kementerian Agama tadi untuk
penanaman dan peningkatan pemahaman Islam rahmatan lil‘alamin yang
mengajarkan kepada para siswa untuk bisa menerapkan Islam yang
berkasih sayang terhadap, kemudian bimas Islam itu kita banyak menjalin
komunikasi dengan berbagai pihak, kita pernah melaksanakan pembinaan
di hotel itu dua kali, pembinaan toleransi antar tokoh agama melalui umat
masing-masing, penyelenggaranya ada yang dari Kesbanglinmas Propinsi,
ada yang dari Kesbanglinmas Kota, ada yang kementerian agama, polres
juga ada….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Menurut P, salah seorang tokoh Katolik menuturkan:
―…mengenalkan anggota Gereja terutama bagi kaum muda pada
masyarakat di luar agamanya, dengan membentuk kegiatan bersama,
kunjungan ke pesantren, dan melakukan pengobatan pada masyarakat yang
terdiri dari berbagai macam agama…membangun karakter interfaith pada
pemuda Gereja….‖ (Wawancara dengan P, 12 Juli 2018).
Tentang peran FKUB dalam penguatan toleransi, N menjelaskan:
―…bagus, karena itu mungkin cikal bakal FKUB secara nasional, jadi
kronologi berdirinya FKUB secara nasional itu khan embrionya dari
Salatiga lewat majlis puasa itu, dan menurut penilaian dari pusat, ahli
ideology, itu dipandang bagus….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Tentang penguatan pemahaman toleransi di kalangan muda, N
melanjutkan:
―…ada, di sekjen itu ada kegiatan yang mengundang pemuda dan yang
senior, beberapa kali, kemarin itu yang terakhir di Elang Sari, tokoh
pemuda, tokoh gereja, PMII….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Terkait dengan upaya untuk menciptakan penguatan pemahaman
danperilaku toleransi beragama, N menuturkan:
―…yang harus dilakukan untuk memperkuat pemahaman dan perilaku
kerukunan umat beragama : a) masing-masing harus memahami konsep
kerukunan menurut agama masing-masing dengan baik dan benar; b)
berusaha untuk mengamalkan konsep-konsep itu dalam kehidupan sehari-
hari tanpa menyudutkan pihak lain, menyerang atu tidak menghargai orang
lain, menghargai orang lain itu dalam posisinya, status agamanya, identitas
mereka lah….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).
Sedangkan, H menuturkan:
―…kota Salatiga yang berposisi sebagai kota tertoleran, yang pastinya
sudah dilihat dari variasi dan standarnya, mudah-mudahan bukan sekedar
kulitnya yang kasat mata. Melainkan perlu diperkuat dari segi esensinya,
lebih pada perilaku, dan sikapnya, dari kehidupan keseharian setiap umat
manusianya, bukan dilihat dari data jumlah gereja, dan pengiutnya.
Salatiga dari semua lapisan elemen masyarakatnya harus menguatkan
melalui interaksi intim dan persaudaraannya…kelas akar rumput harus
mulai dilibatkan dalam membangun interaksi intimistik persaudaraan
tersebut. Di tataran akademik, elit, dan bahkan pemerintahan kota,
toleransi hampir sudah final, akantetapi di akar rumput masih perlu
diberikan pemahaman…Gereja Kristen Jawa Sidomukti berkomitmen
untuk tidak membawanya pada wilayah politik,karena memang antara
politik dan gereja berbeda peran. Gereja berperan untuk mengajak umat
dalam hal kehidupan ilahiah dan etika, sementara politik lebih kental pada
kepentingan. Walaupun menyadari bahwa keduanya bertujuan pada hal-hal
kebaikan dan kesejahteraan. Pada hari ini terpaksa belum bisa terlibat
dalam urusan perpolitikan, karena disadari politik belum mampu
memberikan nilai peraudaraan yang universal. Politik masih
berkepentingan parsial, kelas, kelompok, dan golongan. Gereja jelas sudah
tidak melihat itu….‖ (Wawancara degan H, 13 Juli 2018).
D. Makna Toleransi
Ada banyak hal yang dipaparkan oleh para responden terkait dengan
pengertian dan pemahaman toleransi. Para responden berasal dari beragam
latar belakang pemeluk agama, ada yang berasal dari Islam, Katolik,
Protestan, Budha, Hindhu, Konghucu. Responden muslimpun diambil dari
pengikut Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Ahmadiyah.
1. Pemahaman tentang makna toleransi
Pengertian tentang toleransi yang disampaikan para responden, baik
dari Kota Salatiga maupun kota Manado mengandung unsur-unsur
pemahaman sebagai berikut.
a. Toleransi itu adalah saling menghormati dan menghargai kesucian agama
orang lain
b. Toleransi itu berarti membantu sesama manusia dan semua makhluq
dengan tanpa memandang suku, ras dan agama. Toleransi itu mencakup
relasi manusia dengan semua makhluq Tuhan (manusia, hewan, tumbuhan)
dalam segala dimensi kehidupannya
c. Toleransi itu adalah mengakui persaudaraan dengan sesama manusia
d. Toleansi itu adalah lahir dari kesadaran diri sendiri, tanpa ada rasa
keterpaksaan dan dilandasi dengan pengetahuan yang luas akan
keberadaan orang lain yang berbeda dengan dirinya sendiri.
e. Toleransi itu didasari oleh kesadaran bahwa perbedaan adalah realitas
mutlak alami yang berasal dari Tuhan
f. Toleransi itu ibarat membangun jembatan penghubung bukan membangun
benteng pelindung
g. Toleransi bisa dilakukan dalam bentuk partisipasi relasi sosial antara umat
beragama dan tidak masuk dalam ranah ibadah pemeluk agama lain.
Ranah ibadah adalah ranah privasi individual bagi pemeluk beragama.
h. Toleransi itu bersumber dari pikiran manusia dan ajaran Tuhan
i. Toleransi itu diwujudkan dalam perilaku nyata keseharian
Masing-masing unsur dapat diuraikan sebagai berikut.
Toleransi itu adalah saling menghormati dan menghargai kesucian agama
orang lain. Setiap umat beragama mesti menghargai apapun keyakinan dan
kepercayaan manusia kepada Tuhan. Masing-masing individu memiliki
pengalaman keagamaan yang berbeda, ada orang yang beragama karena
mengikuti keyakinan orang tuanya, sementara ada orang yang menganut
agama karena proses interaksi sosial dengan orang lain. Pengambilan
keputusan seseorang akan pilihan agama telah mengalami proses yang
panjang dan kesadaran diri yang mendalam akan adanya Tuhan. Dengan
demikian, setiap manusia mesti menghargai apapun keputusan orang lain
tentang pilihan Tuhan yang dianggap benar.
Menghargai agama orang lain tidak hanya sekedar karena pilihan bebas
setiap manusia, melainkan terhadap kesucian agama itu sendiri. Setiap agama
memiliki dimensi yang dianggap suci oleh para pemeluknya. Setiap pemeluk
agama akan mensucikan Tuhannya dan Kitab Suci serta menjunjung tinggi
pembawanya. Toleransi dalam beragama berarti pula menghormati keyakinan
orang lain yang mensucikan dimensi-dimensi tersebut. Setiap manusia tidak
boleh merendahkan terhadap hal-hal yang disucikan oleh para pemeluk
agama karena dimensi-dimensi kesucian itulah yang membangun keyakinan
para pemeluk beragama akan kebenaran agama yang diyakininya. Jika
dimensi kesucian tersebut tidak dibangun olehpara pemeluk beragama, maka
nilai sakral dalam agama tidak akan muncul dan beragama menjadi hambar.
Toleransi itu juga berarti membantu sesama manusia dan semua makhluq
dengan tanpa memandang suku, ras dan agama. Dalam hal ini toleransi
dimaknai saling menguatkan eksistensi sesama makhluk, baik sesame
manusia, atau manusia dengan hewan dan tumbuhan. Setiap manusia harus
memiliki kesadaran bahwa semua makhluq harus diberi kesempatan untuk
eksis di muka bumi ini. Untuk menjamin eksistensi makhluq hidup di muka
bumi ini maka manusia sebagai homo homini lupus harus mampu membantu
makhluq lain dalam mewujudkan eksistensi dirinya.
Manusia harus membantu manusia karena ada relasi interdependensi
antar manusia, demikian juga dengan makhluq selain manusia baik tumbuhan
maupun hewan. Manusia tidak bisa hidup tanpa keberadaan orang lain,
keberagaman realitas manusia di muka bumi ini akan semakin mengukuhkan
akan relasi interdependensi antar manusia. Keragaman profesi dan keahlian
manusia harus dipahami sebagai realitas yang justru memperkuat eksistensi
antara manusia yaitu adanya relasi komplimenter.
Relasi manusia dengan selain manusia juga harus salaing memperkuat
eksistensinya. Manusia memiliki kewajiban menjaga dan memelihara
tumbuhan karena manusia juga membutuhkan tumbuhan, baik untuk
keperluan makan maupun kebutuhan akan O2. Tumbuhan membutuhkan
manusia karena untuk proses fotosintesis, yaitu CO2. Manusia membutuhkan
hewan karena dalam siklus kehidupan manusia tidak bisa menyelesaikan
masalahnya sendiri, misalnya mengurai sisa-sia makanan dalam perut.
Kesadaran akan relasi interdependensi ini pada gilirannya akan melahirkan
sikap saling menolong antar sesama makhluq. Sikap saling menolong ini juga
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada makhluq lain untuk
menikmati hidup di alam ini sebagai karunia Tuhan. Setiap makhluq tidak
sebaiknya merampas hak hidup setiap makhluq hidup.
Dalam menolong sesama manusia, setiap individu harus menafikan
atribut-atribut sosial kemanusiaan, seperti suku, agama, ras, dan lainnya.
Atribut-atribut itu sifatnya tidak hakiki melainkan keberadannya terkadang
bersifat tidak sengaja, kebetulan. Ada manusia dilahirkan dalam kelompok
suku tertentu, ras tertentu atau agama tertentu, dimana hal tersebut dapat
terjadi pada siapa saja. Dengan demikian, hal tersebut bersifat given (qodrati),
dan terkadang manusia tidak bisa memilih dilahirkan pada ras, suku, agama
tertentu. Setiap individu harus mau menerima keadaan tersebut, sementara
orang lain mesti tetap menjaga relasi harmonis dengan siapapun dengan tidak
perlu merendahkan dan meremehkan terhadap atribut tertentu tersebut.
Dalam bertoleransi, setiap manusia harus memiliki kesadaran bahwa
setiap manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia. Manusia di
bumi ini berasal dari turunan yang sama yaitu Adam (dalam keyakinan
Islam). Manusia dikarunia akal pikiran dan perasaan agar dipergunakan untuk
menjalani hidup ini dengan penuh kebijakan. Manusia secara fitrah kejiwaan
memiliki rasa empati dan simpati terhadap orang lain, di mana rasa empati
dan simpati ini akan melahirkan sikap peduli dan saling membantu orang lain.
Sikap saling membantu ini kemudian akan mampu menumbuhkan sikap
saling bersaudara antara sesama manusia.
Sikap merasa bersaudara dengan sesama manusia ini sangat diperlukan
untuk mewujudkan harmoni dalam hidup bersama. Sikap bersaudara juga
akan memunculkan sikap-sikap lain yang mampu memperkuat eksistensi dan
relasi antara sesama manusia, seperti tidak saling menyakiti, saling
meringankan penderitaan orang lain, saling mudah memaafkan orang lain,
saling mengalah dan sebagainya. Sikap-sikap turunan tersebut, sangat
diperlukan dalam rangka mewujudkan hidup bersama yang aman dan damai.
Sikap toleransi yang sebenarnya itu lahir dari kesadaran diri sendiri,
tanpa ada rasa keterpaksaan dan dilandasi dengan pengetahuan yang luas
akan keberadaan orang lain yang berbeda dengan dirinya sendiri. Setiap
individu harus membangun kesadaran diri akan pelunya menghormati dan
menghargai keberadaan orang lain dengan segala atribut yang melingkupinya.
Perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap manusia harus dipahami sebagai
pelangi kehidupan yang akan memperindah kebersamaan hidup. Setiap orang
tidak perlu memaksakan kehendak kepada orang lain agar orang lain
menyamai dirinya.
Individu akan mampu besikap demikian manakala dia memiliki
pengetahuan yang cukup luas tentang keragaman sebagai sunnatullah.
Pemahaman ini sangat penting dan akan mendasari perilaku toleransi bagi
individu yang bersangkutan. Manakala individu tidak memiliki pengetahuan
atau wawasan yang luas, maka dia cenderung mengedepankan egoisnya,
memaksakan kehendak pada orang lain, meremehkan orang lain, merasa
dirinya paling benar, dan cenderung menganggap orang lain salah. Setiap
individu harus memiliki kesadaran bahwa kebenaran sudut pandang itu
bersifat subjektif, kebenaran mutlak itu hanya ada pada wahyu Tuhan,
sementara perspektif manusia tentang Tuhan juga beragam. Keragaman
perspektif tentang Tuhan ini berbeda karena adanya keragaman pada
individu, dan keragaman invidu ini bersifat qodrati. Dengan demikian
kesadaran akan adanya keragaman manusia di alam ini harus dimiliki setiap
manusia, yang pada gilirannya diikuti dengan perilaku menghargai akan
eksistensinya. Dengan kata lain, toleransi itu juga didasari oleh kesadaran
bahwa perbedaan adalah realitas mutlak alami yang berasal dari Tuhan.
Toleransi itu ibarat membangun jembatan penghubung bukan
membangun benteng pelindung. Dalam kehidupan dengan sesama makhluq,
setiap manusia harus mengupayaan bagaiamana membangun relasi positif
yang seluas-luasnya dengan sesama manusia dalam segala bidang. Setiap
makhluq memiliki peran masing-masing dalam upaya saling melengkapi
kehidupan makhluq lain. Peran-peran tersebut akan saling mengisi atas
kekurangannya sehingga kehidupan menjadi lengkap. Dalam membangun
relasi ini, manusia tidak perlu pilih-pilih karena apapun orang itu, dia
memiliki sesuatu yang dibutuhkan orang lain. Semakin banyak seseorang
membangun jembatan penghubung dengan orang lain, maka dia secara tidak
langsung akan terpenuhi segala kebutuhannya.
Namun jika yang terjadi sebaliknya, yaitu seseorang cenderung
membangun tembok dalam kehidupannya yang membatasi relasinya dengan
orang lain, maka sesungguhnya dia membangun kesulitan dalam
kehidupannya. Semakin banyak pembatasan diri yang dia lakukan, makan
akan semakin sempit dunia kehidupa yang dapat dia perankan. Semakin
sempit dunia peran yang dapat ia mainkan, maka semakin sulit dia
menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Ketika seseorang cenderung hidup
secara exclusive, maka secara tidak langsung dia tidak mengakui peran-peran
orang lain dalam kehidupannya. Dia juga membangun over self convident,
yang justru akan menjadikan kehidupannya semakin tidak harmoni dengan
lingkungannya. Ia juga menutup diri dari bantuan dari orang lain. Dengan
bahasa lain, toleransi berarti bersifat inclusive.
Dalam praktik partispasi toleransi, maka bisa dilakukan dalam bentuk
partisipasi relasi sosial antara umat beragama dan tidak masuk dalam ranah
ibadah pemeluk agama lain. Ranah ibadah adalah ranah privasi individual
bagi pemeluk beragama. Setiap pemeluk beragama dapat saling menghargai
dan terliba dalam kegiatan agama orang lain pada wilayah relasi horizontal,
wilayah kemanusiaan. Kegiatan kemanusia yang dimaksud misalnya acara
perkawinan, kematian, kerja bakti wilayah, gotong royong sosial, menjenguk
orang sakit, dan lainnya. Dalam kegiatan ibadah, maka partisipasi antar umat
beragama dilakukan dalam hal-hal yang tidak substanti, misalnya
pengamanan lokasi, pengaturan lalu lintas, pengaturan parkir, pembagian
konsumsi, persiapan tempat, dan sejenisnya. Dalam bahasa agama dapat
dikatakan bahwa partisipasi toleransi dapat dikembangkan dalam relasi
horizontal (muamalah) bukan pada wilayah vertical (ibadah).
Pembatasan wilayah partisipasi ini perlu dipahami oleh para pengikut
beragama agar setiap umat beragama dapat memupuk keimanan dan
keyakinan agamanya dan agama orang lain. Tidak memaksa seseorang masuk
dalam kegiatan ibadah yang bukan agamanya, berarti kita menghargai
keagamaan orang lain dan ikut menjaga keimanan dia agar tidak murtad.
Kalau seseorang melibatkan pemeluk agama lain agar mengikuti atau
berpartisipasi dalam kegiatan ibadahnya, berarti juga bahwa dia tidak
menghormati keyakinan orang lain dan ingin meruntuhkan keimanan atas
agama yang diyakininya. Perilaku demikian termasuk intoleran, dan harus
dihindari.
Ranah ibadah adalah ranah invidu dan sangat privasi, sedangkan ranah
muamalah adalah ranah sosial yang semua orang bisa masuk di dalamnya.
Ranah ibadah adalah ranah di mana seseorang membangun relasi positif
dengan Tuhannya, sedangkan ranah muamalah adalah ranah di mana
seseorang membangun relasi yang positif dengan sesama makhluq Tuhan.
Setiap pemeluk agama semestinya memberi kesempaan kepada pemeluk
agama lainnya untuk membangun relasi yang sebaik-baiknya dengan
Tuhannya. Dan relasi dengan Tuhan itu bersifat pribadi.
Toleransi itu juga bersumber dari pikiran manusia dan ajaran Tuhan.
Setiap manusia dengan secara qodrati memiliki kesadaran untuk menghargai,
bekerja sama, dan saling membantu dengan makhluq lain. Hal ini dirasakan
di Manado dan Tomohon bahwa tradisi bantu membantu dan saling
menghargai antar pemeluk agama sudah lahir jauh hari sebelum pemerintah
menganjurkan bertoleransi dan membentuk badan-badan yang mengurusi
toleransi beragama. Setiap manusia secara qodrati ingin mewujudkan hidup
yang damai dan harmoni. Setiap manusia secara qodrati saling membantu
dalam mengatasi kesulitan.
Bentuk bantu membantu diwujudkan kerja sama untuk saling
meringankan beban orang lain, misalnya pada acara perkawinan dan
kematian, sedangkan bentuk saling menghargai diwujudkan dalam sajian
hidangan, ada hidangan lokal dan hidangan nasional. Hidangan lokal
diperuntukkan bagi penduduk setempat yang beragama Katolik, Protestan dan
Konghucu, sedangkan hidangan nasional diperuntukkan bagi tamu yang
beragama muslim. Tradisi masyarakat Tomohon dan Manado ini sudah ada
sejak nenek moyang mereka sebelum agama-agama samawi datang ke daerah
tersebut.
Selain muncul dari kemampuan pikir qodrati manusia, ajaran toleransi
juga dituangkan dalam berbagai kitab suci agama-agama, baik Islam, Katolik,
Protestan, Budha, Hindhu, dan Konghucu. Spirit toleransi yang bersumber
dari kitab suci ini tentunya sangat kuat dalam menginspirasi para pengikutnya
untuk mengembangkan kehidupan yang bertoleransi. Spirit toleransi yang
bersumber dari kitab ini merupakan titik point bersama bagi para pemeluk
agama untuk mengembangkan toleransi dalam hidup bersama. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa seseorang atau kelompok orang bersama
yang tidak mengembangkan sikap toleransi dalam kehidupan bersama,
hakekatnya dia bukanlah pemeluk agama yang taat, dia bukanlah pengamal
kitab suci yang baik, dia bukanlah penyembah Tuhan yang sebenarnya.
Point yang terakhir dari unsur pemahaman toleransi masyarakat kota
Salatiga dan Manado adalah bahwa toleransi itu diwujudkan dalam perilaku
nyata keseharian, tidak hanya diperbincangkan dalam forum-forum. Point
inilah yang amat utama, sehingga dampak toleransi kehidupan dapat
dirasakan oleh semua makhluq hidup. Gagasan-gagasan besar tentang
toleransi yang didialogkan dalam berbagai forum tidak akan berarti
manakalah berhenti pada kesimpulan diskusi. Upaya untuk mewujudkan
toleransi dalam kehidupan menjadi penting agar kehidupan menjadi harmoni.
Semua pihak harus mengupayakan kehidupan bertoleransi dengan penuh
kesadaran dan dilandasi dengan pengetahuan dan wawasan yang luas.
Sebaliknya, jika dirasakan ada masalah toleransi dalam kehidupan atau
muncul perilaku yang intoleran, maka semua pihak harus bersama-sama
secara sungguh-sungguh pula dalam mencari solusi yang bijak demi untuk
mewujudkan harmoni kehidupan.
2. Bentuk perilaku toleransi
Bentuk perilaku toleransi masyarakat kota Salatiga dan Manado
diwujudkan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tesebut adalah : a)
kegiatan sosial bersama (pernikahan, kematian sosial, termasuk ibadah); b)
Poliklinik kesehatan; c) Beasiswa kurang mampu; d) Membagi takjil; e) Buka
bersama; f) Festival keragaman; g) Dialog, seminar; h) Saling kunjung pada
hari besar; i) Memberi bingkisan hari besar; j) Menjaga gereja/masjid; k)
Mengunjungi tempat ibadah; l) Saling mengisi kegiatan keagamaan (koor);
m) Pertemuan anjangsana. Masing-masing bentuk dapat diuraikan sebagai
berikut.
Perilaku toleransi yang dikembangkan di Salatiga dan Manado berbentuk
kegiatan sosial kemanusiaan bersama, seperti pernikahan, khitanan, dan
kematian. Ketika salah satu peristiwa kemanusiaan tersebut melanda salah
satu warga di Kota Salatiga dan Manado maka secara spontan warga yang
lain berdatangan untuk meringankan beban kerjanya. Ada yang menata
tempat, meminjam peralatan yang dibutuhkan, mendirikan tenda, mengatur
dan melengkapi kebutuhan dapur, sehingga acara dapat terselenggara dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan.
Toleransi bentuk ini menunjukkan adanya saling membantu antar sesama
manusia dengan tanpa melihat atribut-atribut yang melekat pada manusia
tersebut, baik agama, suku, ras maupun etnis tertentu. Pola hidup saling
membantu ini telah lahir bersamaan dengan lahirnya manusia di daerah
tersebut karena para sesepuh di wilayah tersebut juga tidak mengetahui kapan
lahirnya kesadaran saling membantu di antara warga tersebut. Mereka saling
menikmati kebersamaan hidup dalam suasana perbedaan.
Di dalam acara tersebut, juga terdapat bentuk toleransi lain, yaitu dalam
sajian makanan. Mereka saling menghargai dan menghormati syariat agama
lain yang diwujudkan dengan pemisahan masakan lokal dan masakan
nusantara, hal ini terjadi di Manado. Kaum Kristiani Manado menyadari
bahwa ada perbedaan hukum makanan tertentu yang diperbolehkan dalam
ajaran Kristen, namun diharamkan dalam ajaran Islam. Makanan yang
dimaksud adalah babi dan anjing. Makanan lokal menyediakan hidangan babi
dan anjing, sedangkan makanan nusantara yang diperuntukkan bagi tamu
muslim yang sajiannya berupa makanan atau daging yang halal menurut
ajaran Islam. Ini adalah bentuk kesadaran toleransi yang tinggi, di mana satu
kelompok berlainan agama menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada
pemeluk agama lain agar dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan
sebaik-baiknya. Perilaku ini dilandasi dengan penuh kesadaran, tidak ada
paksaan dan saling memahami posisi masing-masing.
Toleransi dalam bentuk kepedulian dikembangkan dalam wujud layanan
kesehatan. Bentuk ini dikembangkan di Gereja Kristen Jawa di kota
Salaatiga. Badan Gereja mengelola unit kesehatan yang diperuntukkan bagi
masyarakat luas yang membutuhkan layanan kesehatan dengan biaya murah.
Para pasien cukup membayar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah), mereka
mendapatkan layanan kesehataan yang bagus. Badan Gereja bekerja sama
dengan para dokter dari semua kalangan, baik Muslim maupun Kristen, untuk
melakukan kegiatan setengah pengabdian kemanusiaan bagi masyarakat yang
kurang mampu. Bentuk toleransi ini ternyata lebih mendatangkan manfaat
langsung bagi masyarakat luas, dimana mereka tidak lagi merasa dibatasi
dalam bersosial dengan kelompok tertentu, melainkan bisa berinteraksi
dengan kelompok lain yang berasal dari berbagai agama, suku, ras.
Badan Gereja Katolik Salatiga berencana untuk memperluas kegiatan
layanan kesehatan bagi masyarakat, karena antusias masyarakat cukup tinggi.
Para pasien tidak merasa takut lagi bergaul dengan orang yang berbeda,
sekaligus menghilangkan prasangka-prasangka negatif terhadap orang yang
berlainan dan merasakan akan adanya nilai kemanusiaan universal. Mereka
juga menyadari bahwa setiap manusia harus menjunjung tinggi nilai
universal kemanusiaan tersebut, perbedaan dalam agama, suku, dan ras tidak
semestinya menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan universal tersebut. Agama
justrus harus semakin mengukuhkan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan
universal dalam pergaulan dengan sesama.
Kegiatan kemanusiaan juga diwujudkan dalam bentuk santunan beasiwa
kepada keluarga kurang mampu. Beasiswa ini juga diberikan kepada siapapun
yang membutuhkan dengan tidak memandang agama yang dianutnya, asal
suku maupun ras. Misi kemanusiaan melalui beasiswa ini dimaksudkan untuk
membantu mereka kurang beruntung dalam kehidupan di dunia agar mampu
memotong garis hidupnya menjadi lebih baik. Pendidikan merupakan salah
satu media untuk membentuk sumber daya manusia yang bermutu sehingga
dia mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya.
Selama bulan puasa, ada dua bentuk kegiatan toleransi yang
dikembangkan baik di Salatiga maupun Manado, yaitu buka bersama dan
membagi takjil. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh kelompok muslim
dan nonmuslim. Dalam kegiatan buka bersama, kaum nonmuslim diajak
memahami dan merasakan secara langsung bagaimana kaum muslim
melaksanakan ibadah puasa. Forum buka bersama memungkinkan terjadinya
dialog sosial dan religius antara pemeluk umat beragama. Selain buka
bersama, komunitas Gereja Katolik Salatiga juga membagi-bagi takjil kepada
setiap muslim yang lewat di Jalan Diponegoro. Kegiatan ini dimaksudkan
untuk mengapresiasi kaum muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa,
sekaligus member kesempatan kepada kaum muslim agar melaksanakan
puasa dengan sebaik-baiknya.
Kegiatan pembagian takjil puasa oleh Badan Gereja Katolik Salatiga
melibatkan partisipasi jamaah Gereja. Pengurus Gereja Katolik menyediakan
list kesediaan bagi para jemaat yang akan berkontribusi dalam kegiatan
pembagian takjil ramadhan. Setelah jemaat menulis kesediaan kontribusi
takjil, kemudian Badan Gereja yang mengelola pembagian takjil tersebut.
Dari kalangan muslim, mereka sangat antusias dalam merespond keinginan
baik kaum Kristiani yang membagi takjil pada bulan Ramadhan. Kegiatan
semacam ini ternyata cukup efektif membangun rasa persaudaraan antar umat
beragama.
Bentuk kegiatan toleransi yang lain adalah festival keragaman yang
diselenggarakan di Kota Manado. Kegiatan ini dimaksudkan untuk member
kesempatan kepada seluruh warga masyarakat dan para pemeluk agama yang
beragam, untuk mengekspresikan dirinya melalui seni. Mereka diminta untuk
mengekspresikan siapa dirinya, sukunya, rasnya, agamanya yang sesungguh-
sungguhnya dengan tampilan jubah kebesaran mereka. Masing-masing agama
dianjurkan mengerahkan sebanyak-banyaknya warga jemaahnya untuk
menyaksikan pentas keragaman yang akbar itu. Festival keragaman ini
diselenggarakan atas kerja sama antara pemerintah daerah, organisasi
keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, FKUB, BKAUSA dan seluruh
elemen masyarakat yang ada. Festival keragaman ini juga menampilkan
berbagai keragaman keunggulan lokal kepada masyarakat luas sehingga
mampu menumbuhkan rasa bangga terhadap daerahnya. Masyarakat merasa
terhibur dengan festival keragaman ini dan sekaligus mendapatkan
pendidikan toleransi yang artistik.
Kegiatan berikutnya adalah dialog. Dialog meruapakan salah satu
kegiatan yang dianggap mampu membangun toleransi, baik dalam
pemahaman maupun perilaku umat beragama. Dalam dialog terjadi saling
tukar pemahaman antar umat beragama tentang keragaman agama sekaligus
klarifikasi berbagai hal terkait dengan dimensi keagamaan. Dialog mampu
membangun pemahaman yang benar akan nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran agama orang lain yang mampu menekan perilaku intoleran antar umat
beragama. Melalui dialog seseorang akan tahu akan ‗kebenaran‘ ajaran agama
orang lain. Melalui dialog orang beragama akan mengetahui bahwa setiap
agama mengandung ‗kebenaran‘ dari sudut pandang masing-masing yang
selanjutnya akan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan oleh para
pemeluknya.
Berbagai persoalan yang muncul dalam relasi beragama dapat
diselesaikan melalui dialog yang sebenarnya, yaitu dialog yang berusaha
untuk mencari kebenaran dan titik temu yang dilandasi dengan kesadaran
hidup bahwa alam ini memiliki keberagaman yang dengannya alam ini akan
harmoni. Maka, tugas setiap manusia adalah menjaga dan memelihara
keberagaman di alam dan menghindari sikap pemaksaan untuk keseragaman.
Dalam dialog antar umat beragama, perlu melibatkan semua elemen
masyarakat baik pejabat, tokoh masyarakat, tokoh, ormas, dan masyarakat
jelata. Hal in diperlukan agar suara dalam dialog adalah suara masyarakat,
bukan hanya suara pejabat atau tokoh agama. Masyarakat jelata adalah
pelaku kehidupan praktis sementara pejabat atau tokoh masyarakat adalah
pelaku kehidupan di aras atas yang terkadang kurang merasakan realitas
kehidupan yang sebenarnya.
Di Manado, dialog antar elemen masyarakat salah satunya dilakukan di
jalan Roda. Jalan roda adalah public space yang dapat dihadiri oleh siapa saja
yang ingin saling sapa. Setiap oang yang datang dapat saling berdialog dan
berinteraksi antar satu dan lainnya tanpa dibatasi skat-skat atribut sosial yang
melekat, ras, agama, suku, jabatan dan lainnya. Forum-forum kecil dapat
diciptakan oleh siapapun yang ingin berinteraksi dan berdialog dengan
siapapun dalam suasana batin yang rileks dan penuh kedamaian. Forum di
jalan roda ini ternyata mampu membangun masyarakat yang rukun, damai,
dan saling menghormati.
Kegiatan saling mengunjungi, bersilaturahmi antar umat beragama
merupakan bentuk lain dari perwujudan perilaku toleransi antar umat
beragama. Pada hari-hari besar keagamaan para penganut umat beragama
saling mengunjungi dan memberi selamat kepada umat yang merayakannya.
Mereka melakukan hal yang sama pada setiap peringatan hari besar
keagamaan.
Perilaku saling mengunjungi dan memberi ucapan selamat dari pemeluk
agama kepada pemeluk agama lain merupakan bentuk nyata dari pengakuan
akan eksistensi agama dan pemeluknya. Pengakuan ini kemudian akan
melahirkan perilaku menghargai, saling menghormati, dan saling mengakui
akan eksistensinya. Pengakuan akan eksistensi pemeluk agama oleh pemeluk
agama lain kemudian melahirkan sikap tenang, tentram dan damai dalam
menjalani kehidupan bersama pemeluk agama lain.
Tradisi saling mengunjungi dan memberi ucapan ini dilakukan dengan
kesadaran diri tanpa ada pihak yang saling mengundang. Ketika tiba hari
besar keagamaan, maka otomatis muncul kesadaran dari dalam diri untuk
memberikan ucapan kepada pemeluk agama yang menganutnya sebagai
bentuk persaudaraan dan pengakuan eksistensi. Kegiatan ini dikembangkan di
Manado dan Kota Salatiga.
Tidak hanya mengunjungi, mereka juga saling memberi bingkisan hadiah
kepada yang merayakannya. Dalam perspektif psiko-sosial, pemberian
bingkisan memiliki makna yang lebih dalam, di mana bingkisan yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain merupakan pewujudan rasa
pesaudaraan dan cinta kasih di antara mereka. Sedangkan dalam perspektif
teologis, pemberian bingkisan kepada orang lain merupakan ajaran Tuhan dan
tuhan berjanji akan membalasnya dengan pahala yang kebaikan serupa yang
lebih banyak; dan semua agama memiliki ajaran yang demikian. Dengan
demikian, titik temu antara perspektif psiko-sosial dan teologis ini mampu
mempererat tali persaudaraan di antara mereka.
Mereka tidak hanya saling mengunjungi dan memberi bingkisan, namun
mereka juga saling menjaga tempat ibadah agar pemeluk agama yang sedang
merayakan hari besar dapat melakukannya dengan khusyu‘. Para pemuda
Kristiani akan menjaga masjid ketika para kaum muslimin sedang melakukan
Ibadah Sholat Id, para remaja muslim akan menjaga Gereja ketika kaum
Kristiani sedang melakukan Ibadah Natal, para pemeluk Budha yang sedang
merayakan Waisak Suci di Vihara akan dijaga pula oleh pemeluk agama lain
agar dapat nyaman. Penjagaan tempat ibadah ini dilakukan dengan
menciptakan suasana yang kondusif di sekitar tempat ibadah, pengaturan lalu
lintas dan pengaturan parkir kendaraan.
Penjagaan tempat ibadah yang dilakukan saling bergantian tersebut juga
bermanfaat untuk meminimalisir perilaku-perilaku intoleran yang selama ini
muncul, yakni pengrusakan tempat ibadah oleh orang yang tidak bertanggung
jawab. Kegiatan demikian ternyata juga sedikit membantu petugas keamanan
yang sedang melakukan tugas penjagaan keamanan di tempat-tempat ibadah.
Selain hal itu, para penganut agama juga melakukan kegiatan anjang sana
ke tempat-tempat ibadah pemeluk agama lain. Pemuda Gereja mengunjungi
Masjid, Vihara, dan Klenteng; pemuda muslim mengunjungi Gereja, Vihara
dan Klenteng; pemuda Budha megunjungi Masjid, Gereja, dan Klenteng.
Mereka menguji tempat ibadah dimaksudkan agar lebih dekat dan memahami
tentang agama orang lain.
Setelah mengunjungi tempat ibadah dan menyaksikan pemeluk agama
lain yang sedang melakukan ibadah, maka akan muncul rasa hormat terhadap
umat bergama yang sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Alangkah
naifnya seseorang yang mengganggu apalagi memberikan kematian kepada
seseorang yang sedang melakukan ritual ibadah kepada Tuhannya. Hubungan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah hubungan yang sangat
pribadi, dan tidak seorangpun boleh mengganggu, melarang bahkan
meniadakan. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang paling asasi.
Dalam kegiatan membangun toleransi, juga dilakukan melalui kegiatan
tinggal bersama (live together) dengan pemeluk agama lain dalam camp.
Mereka tinggal selama 1 – 2 minggu di suatu tempat yang khusus dengan
dipandu oleh para tokoh agama. Selama dua minggu mereka mengikuti
berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan perilaku
toleransi antar umat beragama. Pemahaman yang benar tentang agama akan
mengantarkan pemeluknya beragama dengan baik dan benar, pemahaman
terhadap agama orang lain akan mengantarkan pemahaman yang bernar
terhadap orang lain dan mengantarkan pada perilaku menghargai pemeluk
agama lain.
Selama melakukan live together, para peserta akan menjalani serangkaian
kegiatan bersama pemeluk agama lain. Setiap pemeluk agama akan
melaksanakan ajaran agamanya masing-masing selama mengikuti camp
bersama, sehingga setiap pemeluk agama juga dilatih untuk memberi
kesempatan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya
dan sekaligus menghargai orang yang beragama lain. Kegiatan ini ternyata
memberi dampak yang positif bagi penguatan pemahaman dan toleransi
beragama. Kegiatan ini dilaksanakan di daerah Thekelan Kabupaten
Semarang dan Keuskupan Manado, di laksanakan di kompleks wisma
Lorenzo.
Selain melalui dialog, penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan
atau toleransi beragama juga dilakukan melalui seminar bersama antar umat
beragama. Seminar bersama ini dilakukan untuk mengkaji toleransi dan
kerukunan antar umat beragama secara akademik ilmiah dari para pakar.
Seminar ini diikuti kebanyakan dari kalangan akadmisi dan kaum terpelajar,
yang memiliki kemampuan kajian secara kritis. Kegiatan seminar ini
dilakukan di kota Salatiga dan juga kota Manado dan dilakukan di tempat
ibadah secara bergantian.
Kebersamaan untuk mewujudkan toleransi juga dilakukan melalui
kegiatan saling mengisi acara keagamaan. Isian acara kegiatan ini dilakukan
pada acara perayaan bukan pada ibadahnya, misalnya perayaan Natal, Waisak
Suci, Halal bi Halal dan lainnya. Bentuk isiannya kebanyakan berupa pentas
seni budaya nasional. Partisipasi tolerasi melalui isian seni budaya ini
memiliki nilai strategis, karena seni dan budaya bersifat netral artinya dapat
ada pada siapapun, pada etnis apapun dan pada pemeluk agama apapun.
Dengan adanya pentas seni budaya dapat mempersatuan manusia sebagai
insan kodrati yang memiliki rasa yang sama terhadap estetika.
Bentuk lain dari toleransi pada masyarakat kota Salatiga dan Manado
adalah melakukan pertemuan secara anjang sana. Pertemuan anjang sana ini
dimaksudkan agar masing-masing peserta dapat saling mengenal lebih dalam
terhadap peserta yang lainnya. Anjang sana juga merupakan wujud dari
persaudaraan yang sejati, persaudaraan yang sebenarnya, dan persaudaraan
yang tanpa basa-basi. Dengan demikian melalui pertemuan anjang sana ini
akan dapat menghilangkan prasangka-prasangka yang negatif kepada orang
lain karena setiap peserta datang dengan perasaan ihlas dan kesadaran penuh.
3. Upaya penguatan pemahaman dan perilaku toleransi
Toleransi antar umat di kota Salatiga dan Manado selama ini telah
berjalan dengan baik, kelaupun ada gangguan-gangguan itu sifatnya hanya
letupan kecil dan mampu diredam secara bersama-sama. Gangguan toleransi
yang muncul sebagian besar karena pengaruh dari luar, bukan muncul dari
dalam. Namun demikian, suasana sejuk yang ada tidak boleh menjadikan
masyarakat di kota Salatiga dan Manado terlena dan mengabaikan sikap
waspada terhadap kemungkinan munculnya perilaku intoleran atau bahaya
laten yang mungkin mencuat.
Ada banyak upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan situasi
yang damai dan toleransi di Kota Salatiga dan Manado, yaitu : a)
pendalaman ajaran agama masing-masing; b) mengoptimalkan lembaga
terkait, misal FKUB, BKAUSA; c) dukungan pemerintah; d) penguatan
toleransi melalui sekolah, anak muda, ormas-ormas; e) meningkatkan kualitas
ceramah di tempat ibadah; f) membentuk kegiatan bersama; g) memberikan
pemahaman yang benar kepada setiap orang tentang konsep kerukunan dan
mengamalkannya dalam kehidupan; h) membangun interaksi intimistik pada
semua lemen masyarakat. Masing-masing upaya dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Proses penguatan kerukunan umat beragama dilakukan melalui
pendalaman ajaran agama masing-masing. Pemeluk agama yang memahami
ajaran agamanya secara baik dan mendalam akan menunjukkan perilaku yang
mulia, baik dalam relasi vertikal kepada Tuhannya maupun relasi horizontal
kepada sesama makhluk. Setiap ajaran agama pasti mengajarkan kepada
pemeluknya agar berperilaku baik dalam segala relasi hidupnya. Agama lahir
untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang tidak selaras dengan nilai-nilai
Ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan senantiasa
selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Agama apapun di alam ini, baik agama samawi maupun agama ardhi
pasti mengajarkan setiap manusia untuk menghargai manusia lain, tidak
membuat kerusakan di alam, tidak menyakiti sesama manusia, tidak
merendahkan orang lain, senantiasa mengasihi orang lain, saling tolong
menolong dan banyak lagi ajaran kebaikan yang lainnya. Manusia beragama
yang dapat mewujudkan berbagai perilaku kebaikan di atas, berarti dia telah
memancarkan keimanan yang benar dalam wujud perilaku nyata. Dan inilah
misi agama hadir di muka bumi.
Namun demikian, ada juga sebagian pemeluk beragama yang
mengamalkan ajaran agamanya tetapi membuat orang lain merasa tidak
nyaman dan terkadang bahkan mengancam keselamatan orang lain. Perilaku
demikian tentu tidak bisa dikatakan sebagai pengamalan ajaran agama yang
benar. Bukan ajaran agamanya yang salah, namun orang tersebut memahami
ajaran agamanya kurang tepat. Kekurangtepatan pemahaman ajaran agama
tersebut dipengaruhi banyak faktor, antara lain faktor politik, ekonomi, dan
pendekatan yang dipakai.
Pemahaman agama yang diwarnai kepentingan politik akan menjadikan
ajaran agama sebagai legitimasi formal guna mengarahkan pemahaman kaum
awam pada dukungan kekuatan politik tertentu. Isu agama sangat menarik
dan efektif untuk mempengaruhi opini orang, apalagi pada kaum yang masih
awam emosional bukan awam rasional. Jika agama sudah masuk dalam
wilayah politik, maka pemahaman ajaran agama yang ‗sebenarnya‘ sulit
ditemukan, karena pemahaman yang dikembangkan kepada jamaah adalah
agama dalam tanda petik, dimana terkadang pemahaman seperti ini
melahirkan perilaku intoleran atas kelompok lain yang tidak sepahaman
dengan kelompok mayoritas. Mereka saling truth claim atas kebenaran ajaran
agama yang dianutnya.
Upaya untuk membangun dan memperkuat pemahaman dan perilaku
toleransi adalah mengoptimalkan peran lembaga-lembaga yang berkaitan
dengan persoalan toleransi beragama, yaitu FKUB maupun BKAUSA di
Manado. Lembaga-lembaga tersebut diciptakan untuk memfasilitasi
pertemuan dan interaksi antar umat beragama guna menciptakan pemahaman
bersama akan pentingnya membangun kedamaian bersama.
Pendekatan kelembagaan dipandang lebih efektif untuk memfasilitasi
komunikasi antara kelompok masyarakat, agama, atau etnis. Pendekatan
kelembagaan dipandang efektif karena lebih mengedepankan rasionalitas dan
kebijaksanaan. Berbeda dengan pendekatan individual, yang terkadang
tertutup, subjektivitas tinggi, dan pendekatan emosional sering muncul.
Lembaga-lembaga tersebut terbukti telah mampu membangun
masyarakat yang toleran dan damai. FKUB di kota Salatiga sangat beperan
dalam memfasilitasi komunikasi dan interaksi antar umat beragama, demikian
juga di Manado. Adapun upaya FKUB untuk mewujudkan toleransi adalah
dengan menyelenggarakan forum-forum diskusi antara tokoh umat bersama
untuk membahas hal-hal yang perlu dilakukan demi mewujudkan toleransi
yang sesungguhnya.
FKUB dan BKAUSA akan dapat berperan dalam menciptakan kehidupan
yang damai dan toleran manakala mendapat dukunga pemerintah setempat.
Dalam hal ini, pemerintah kota Salatiga dan Manado sangat respect terhadap
upaya menciptakan kerukunan umat beragama. Pemda menyadari bahwa
masyarakatnya sangat majemuk dan berpotensi timbulnya konflik horizontal.
Oleh karenanya perlu upaya-upaya yang sungguh-sungguh seluruh elemen
pemerintahan dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran.
Upaya yang dilakuakan pemerintah kota Salatiga untuk mewujudkan
kerukunan antar umat beragama adalah selalu menyampaikan pesan
kerukunan dan toleransi umat beragama di berbagai forum baik secara lisan
maupun tertulis. Sambutan wali kota Salatiga dan wakil walikota Salatiga
atau pejabat Pemda lainnya, selalu menyampaikan pesan tentang pentignya
menjaga kerukunan umat beragama di kota Salatiga. Setiap warga kota
Salatiga dihimbau agar senantiasa menjaga toleransi di kota Salatiga.
Himbauan pemerintah kota Salatiga tidak hanya secara lisan, tetapi juga
tertulis pada spanduk-spanduk, baliho yang dipasang di berbagai sudut kota
Salatiga. Himbauan ini ditujukan kepada seluruh masyarakat kota Salatiga
khususnya, dan siapa saja yang berada di kota Salatiga untuk senantiasa
menjaga kerukunan dengan orang lain. Himbauan tersebut dapat kita jumpai
di tempat-tempat umum, seperti perempatan, pasar, lapangan pancasila, dan
jalan raya.
Himbauan atau pesan kerukunan dan toleransi antar umat beragama juga
dijadikan tema dalam berbagai kegiatan. Tema kerukunan diangkat untuk
senantiasa mengingatkan kepada seluruh masyarakat betapa pentingnya hal
tersebut untuk dijaga. Misalnya tema bulan Ramadhan, tema kegiatan
Nuzulul Quran, tema Halal bi Halal, tema Natal, perayaan Waisak Suci, tahun
baru Imlek dan perayaan hari besar nasional seperti peringatan hari
kemerdekaan, sumpah pemuda, hari kebangkitan nasional dan lainnya.
Pemerintah daerah juga menyelenggarakan beberapa kali forum yang
membahas penguatan pemahaman dan perilaku toleransi di Kota Salatiga.
Forum tersebut dikordinasikan oleh Kesbangpolinmas kota Salatiga bekerja
sama dengan FKUB dan ormas-ormas yang ada di kota Salatiga. Kegiatan ini
mendapat respond yang sangat positif dari masyarakat terbukti dengan
hadirnya seluruh undangan dari pemkot Salatiga pada acara tersebut.
Demikian juga Pemkot Manado sangat sungguh-sungguh dalam upaya
menciptakan kehidupan yang rukun dan toleran. Pemda banyak menfasilitasi
kegiatan-kegiatan atau acara untuk penguatan kerukunan antar umat
beragama, baik dalam bentuk seminar, dialog, festival, dan berbagai forum
silaturahmi antar umat beragama. Dengan demikian, peran pemerintah
setempat sangat besar dalam mewujudkan toleransi beragama karena mereka
memiliki power dan pemangku kebijakan. Bahwa sinergi untuk menjaga
kerukunan dan menerapkan nilai-nilai toleransi sampai pada tarap eksekutif
dan legislatif. Pemerintah dengan aktif turut serta dalam menjaga kerukunan.
Walau, tidak tertutup kemungkinan adanya potensi untuk terjadi perpecahan
tetapi hal tersebut dapat diredam dengan cepat dengan adanya kerjasama dari
tingkat aparat pemerintahan. Hal ini membuktikan juga adanya peran dari
opinion leader dalam menjaga kerukunan di Manado.
Upaya penguatan pemahaman dan perilaku toleransi dilakukan juga
melalui lembaga pendidikan (sekolah), pada anak muda dan ormas-ormas.
Elemen-elemen ini sangat penting karna di dalamnya terdapat anak-anak dan
golongan kaum muda yang sangat mewarnai dinamika kehidupan dalam
masyarakat. Dinamika dalam masyarakat sebagian besar diperankan oleh
kaum muda, kaum tua hanya mengambil peran-peran yang tidak begitu
tampak dalam dinamka sosial.
Penguatan di sekolah Islam dilakukan dengan mengembangkan jargon
Islam rahmatan lil „alamin. Pelajaran Agama Islam, menampilkan materi
wajah Islam rahmatan lil „alamin, Islam inklusif bukan Islam ekslusif, Islam
yang memberikan kedamaian bagi seluruh manusia, bukan Islam yang hanya
memberikan kedamaian bagi sekelompok golongan, Islam wasthan bukan
Islam ekstrim kanan atau kiri.
Islam rahmatan lil ‗alamin yang diajarkan di sekolah diharapkan mampu
mewujudkan toleransi dalam kehidupan di masyarakat. Anak sedini mungkin
dikenalkan dengan ajaran Islam yang menghargai eksistensi orang lain.
Pemahaman Islam yang demikian dipandang sangat penting bagi anak yang
hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.
Penguatan toleransi bagi anak muda dilakukan melalui kegiatan ormas
keagamaan yang berbentuk dialog, kegiatan bersama dan kunjungan tempat
ibadah. Kegiatan dialog dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
benar tentang ajaran agama dan kemajemukan kehidupan. Dalam dialog ini
juga dibahas ajaran-ajaran yang krusial yang berpeluang menimbulkan multi
tafsir dan mengarah pada pemahaman yang intoleran.
Kegiatan bersama dilakukan dalam rangka membuktikan bahwa
kerukunan itu nyaman, toleransi itu nyaman dan kita tidak dapat hidup
bahagia tanpa berdampingan dengan orang lain. Kegiatan bersama ini
diwujudkan dalam bentuk kegiatan sosial, pentas budaya, karnaval budaya,
festival keragaman dan lainnya.
Upaya peningkatan pemahaman dan penguatan perilaku kerukunan juga
dilakukan melalui peningkatan kualitas ceramah agama. Di Manado, upaya
ini dilakukan dengan memberikan pengarahan kepada calon penceramah di
mimbar dan membuat buku khotbah bersama. Pengarahan kepada calon
penceramah di mimbar dilakukan melalui pendidikan khusus para calon
Pendeta atau pastor di Wisma Lorenzo; sedangkan penyusunan khotbah
bersama dilakukan oleh tim kerja yang terdiri dari berbagai pemeluk agama.
Khotbah besama ini kemudian dikembangkan oleh masing-masing khatib dan
dipedomani dalam khotbah-khotbah di tempat ibadah masing-masing.
Peningkatan kualitas ceramah di tempat ibadah ini perlu diperhatikan,
karena dari sinilah firman Tuhan disampaikan oleh para pendakwah kepada
para jamaah. Jika para mengkhotbah menyampaikan firman Tuhan secara
benar, maka jamaah akan menerimba kebenaran firman Tuhan dan
memberikan kedamaian dalam kehidupan mereka; namun jika yang terjadi
sebaliknya, para pengkhotbah menyampaikan firman Tuhan tidak benar maka
para jamaah juga akan mengamalkannya dalam kehidupan ketidakbenaran
tersebut. Oleh karena itu peran pengkhotbah sangat penting.
Dalam tradisi Katolik, para pengkhotbah agama di Gereja harus
mengikuti garis-garis ajaran yang dibuat oleh Vatikan. Garis-garis ajaran
tersebut harus dipedomani dan disampaikan kepada para jemaat agar mereka
tidak sesat, jika pengkhotbah Katolik menyampaikan ajaran tidak sesuai
dengan garis Katolik Vatikan maka yang bersangkutan akan diberhentikan
dari tugasnya sebagai pengkhotbah karena dia berkhotbah bukan atas dasar
kebenaran tetapi atas dasar pemikiran dan emosinya.
Memberikan pemahaman yang benar kepada setiap jemaat tentang
konsep kerukunan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat
perlu diberikan pemahaman yang benar tentang agamanya, masyarakatnya
dan keberadaan agama orang lain. Agama yang benar adalah agama yang
mengajarkan kebenaran yang tidak bertentangan dengan realitas alam dan
berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam. Realitas alam itu beragam dan
keragaman itu adalah alami (sunnatullah), dan oleh karenanya setiap manusia
memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan keragaman tersebut.
Tidak ada jaminan bahwa ketika di alam ini bertengger satu agama akan
terwujud kedamaian hidup, tidak ada konflik dan tidak terjadi kerusakan di
alam. Pembawaan manusia yang dikaruniai akal dan nafsu memberi peluang
munculnya perilaku konflik karena keserakahan. Dalam keadaan demikian,
maka setiap manusia harus mengakui eksistensi orang lain dan agama yang
dipeluknya yang diyakini mampu membahagiakan kehidupannya.
Pemahaman yang benar akan perlunya upaya menjaga secara bersama-
sama toleransi dalam kehiduan tersebut, harus diwujudkan dalam perilaku
nyata tidak sebatas wacana belaka. Seringkali konsep yang baik telah
dipahami namun tidak dilaksaksanakan dalam praktik kehidupan sehari-hari,
maka cita ideal kehidupan yang diinginkan tidak pernah terwujud.
Perwujudkan konsep kehidupan yang toleran tersebut harus diwujudkan
oleh berbagai elemen masyarakat, baik unsur pemerintahan, tokoh agama,
tokoh masyarakat, pemuda dan seluruh anggota masyarakat. Semua orang
harus memiliki kesadaran untuk mewujudkan hidup yang damai dan toleran,
serta menghidari dari perilaku intoleran yang dapat mengganggu harmoni
kehidupan di masyarakat.
Masyarakat kelas bawah juga diajak mewujudkan perilaku toleran dalam
kehidupan. Relasi intimistik di antara kelas-kelas sosial perlu diwujudkan,
mulai dari kelas atas, menengah dan rakyat jelata. Relasi intimistik ini akan
mampu mewujudkan keakraban dan saling jaga, saling bantu dan saling
menghargai. Jalan roda merupakan salah satu public space yang memfasilitasi
relasi intimistik ini antar seluruh elemen masyarakat. Relasi antar individu di
jalan roda tidak lagi membedakan status social, agama, ras, kelas ekonomi,
jabatan sosial, jabatan pemerintahan dan atribut sosial lainnya. Mereka
menyatu dalam kebersamaan dan larut dalam pembicaraan tema-tema sosial
kemanusiaan tanpa harus memandang siapa di depan siapa. Inilah salah satu
contoh forum sosial yang sesungguhnya yang memberi kesempatan kepada
setiap orang bisa menikmati kehidupan sosialnya tanpa harus saling
merendahkan antar satu dan lainnya. Setiap orang merasa nyaman dalam
perbincangan tanpa melihat atribut sosialnya.
Gambar: Suasana di Jalan Roda Kota Manado
BAB V
SALATIGA DAN MANADO SEBUAH KOMPARASI
A. Kota Salatiga
Berbicaratentang Salatiga,seperti diungkapkan oleh Weilen salah seorang
warga Kota Salatiga keturunan Tionghoa. Beliau adalah Waki l Ketua di Klenteng
Hok Tiek Bio Salatiga bahwa kerukunan beragama di Kota Salatiga ini sangat
baik, sangat nyaman dan merasa senang tinggal di Kota Salatiga. ―Selama ini
tidak ada diskriminasi terhadap warga kami Tionghoa‖, ungkap Bapak yang
berusia 49 ini. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Klenteng pun selalu
berjalan hikmat serta tidak ada diskrimasi pada etnis mereka yang tinggal di
Salatiga, seperti Kirab Ruwat Bumi dan lain-lain.
Kondisi dan gambaran ini juga dapat diperkuat melalui temuan penelitian
Dialog Inklusivistik Membangun Rasa Kebersamaan dan Saling Pengertian Studi
Kasus pada Majelis Pemuka Agama Salatiga (PUASA) dan FKUB Salatiga, M.
Zulfa dalam (Harder dan Hidayati, Edt., 2017:174), kondisi kerukunan di
masyarakat Kota Salatiga terwujud pada hubungan muamalah, kegiatan-kegiatan
masyarakatan, saling bekerja sama dala setiap acara kegiatan di kampong, seperti
pernikahan atau hajatan yang lain, kerja bakti, menjenguk tetangga yang sakit,
kegiatan lelayu, bakti sosial, dan halal bi halal serta saling berinteraksi dan
menyapa satu sama lainnya.
Sehingga wajar jika Wakil Walikota Salatiga Muh Haris pada sebuah
kegiatan sosialisasi pendidikan politik bagi pengurus RT dan RW se-Kota Salatiga
di Ruang Kaloka Setda, Senin (12/3), yang digelar oleh Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik (Kesbangpol) sebagaimana diwartakan oleh Koran Wawasan (13
Maret 2018) dengan judul ‗Jangan Nodai Salatiga sebagai Kota Toleran‟,
meminta semua pihak untuk menjaga iklim Salatiga agar tetap kondusif, selalu
guyub dan rukun meskipun beda pendapat dan beda pilihan selama proses pilgub.
Untuk itu dinamika politik jangan sampai menodai predikat Salatiga sebagai kota
paling toleran se-Indonesia. Bukan tanpa alasan, mengenai permintaan orang
nomor dua di Kota Salatiga ini, karena Kota Salatiga termasuk salah satu
kota di Indonesia yang dikatagorikan sebagai kota tertoleran.
Hasil dan temuan indexing yang dilakukan oleh Setara Insitute dan
UnitKerja Presiden-Pembinaan Ideologi PancasilaJakarta, 16 November 2017,
mengenai Indeks Kota Toleran (IKT); 10 Kota Teratas dengan Skor
Toleransi Tertinggi terdiri dari; Manado (5,90), Pematangsiantar (5,90), Salatiga
(5,90), Singkawang (5,90), Tual (5,90), Binjai (5,80), Kotamobagu (5,80), Palu
(5,80), Tebing Tinggi (5,80), dan Surakarta (5,72). Sementara 10 kota Terbawah
dengan Skor Toleransi Terendah, terdiri dari; DKI Jakarta (2,30), Banda Aceh
(2,90), Bogor (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,300), Yogyakarta (3,40),
Banjarmasin (3,55), Makassar (3,65), Padang (3,75), dan Mataram (3,78).
Dalam konteks ke-Salatiga-an, kebhinnekaan itu telah berlangsung cukup
lama. Kebhinnekaan itu tetap terawat dengan baik, sehingga harmoni dan
kedamaian masih bisa dirasakan. Bahkan, sejak zaman pemerintah kolonial
Belanda, Kota Salatiga Sebagai kota kecil yang sejuk dan nyaman, telah
terbangun dan hingga sekarang berkembang dalam kemajemukan. Relatif tidak
pernah ada gejolak yang dipicu semata-mata oleh perbedaan.
Paling tidak, (Rahmat Hariyadi, Salatiga Kota Bhinneka Tunggal Ika,
Kebhinnekaan adalah Keniscayaan, Majalah Jiwaraga, Edisi II T ahun 2017:10-
11) terdapat tiga faktor yang mendukung persatuan dan harmoni dalam
kebhinnekaan di Kota Salatiga yang harus dipertahankan oleh penduduknya.
Pertama, masyarakat Kota Salatiga relatif berpendidikan, sehingga memiliki
wawasan yang luas tentang hak azasi manusia serta memahami bagaimana
seharusnya hidup bersama dalam perbedaan, damai, dan harmoni, sesuai dengan
yang diamanatkan oleh konstitusi negara. Dalam hal pendidikan ini, terlebih
lembaganya. Tak terkecuali lembaga pendidikan keagamaan juga memiliki cukup
andil besar, dengan mengajarkan pendidikan keagamaan yang moderat dan
mengedepankan konsep rahmatan li al-alamin. Hal ini penting untuk
dipertahankan sekaligus untuk menangkal berkembangnya ideologi yang
membawa bibit intoleransi dan konflik.
Kedua, kuatnya keteladanan para tokoh agama dan tokoh masyarakat
dalam merajut kebersamaan dan menciptakan kerukunan. Perilaku para tokoh
agama dan tokoh masyarakat yang menampilkan kebersamaan, dan kesejukan
kiranya menjadi contoh dan panutan masyarakat. Hal ini perlu dipertahankan, baik
kebersamaan antaragama dan intraagama, antargolongan dan intragolongan,
antarkelompok dan intrakelompok, sehingga kerukunan dan harmoni itu benar-
benar tercipta pada semua lini kehidupan.
Ketiga, masih kentalnya nilai-niai budaya lokal, local wisdom, budaya
Jawa, tertanam kuat dalam keseharian, terutama dalam kehidupan sosial. Nilai-
nilai yang secara ringkas termuat dalam saloka (ungkapan pendek yang sarat nilai
sebagai rujukan dalam bersikap dan bertindak), antara lain, guyub-rukun, tepa-
slira, rukun agawesantosa, gotong royong, dan menang tanpangasorake. Nilai-
nilai kearifan yang terkandung dalam ungkapan tersebut bila dihayati dapat
menghilangkan potensi konflik karena perbedaan.
Keluasan wawasan dalam pendidikan bisa saja diakibatkan terdapatnya
lembaga pendidikan tinggi yang identik dengan institusi yang berperan besar
untuk membentuk kultur dan karakter masyarakat. Keberadaan Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW), berdiri tahun 1956. Kini setelah memasuki usia
60 tahun UKSW memiliki 16.322 orang mahasiswa dari 34 suku bangsa yang ada
di Indonesia baik berasal Pulau Jawa, Batak (Sumatera Utara), Kalimantan, Toraja
(Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), Timor Sumba
(NTT) dan etnis Tionghoa serta mahasiswa asing yang berasal dari Australia,
Amerika Serikat, New Zealand, Belanda. Mereka tersebar di dalam 14 fakultas, 56
program studi (progdi); 3 progdi Diploma III, 1 progdi Diploma IV, 39 progdi S1,
10 progdi S2, 3 progdi S3. Kampus ini sekaligus menjadi cikal bakal Perguruan
Tinggi ini memiliki identitas Indonesia Mini. Keberadaan demikian dengan IAIN
Institut Agama Islam Negeri Salatiga yang menampung sekitar 13.300 mahasiswa
dari berbagai daerah di Indonesia.
Gambar; Kampus UKSW (atas) dan Kampus 3 IAIN Salatiga (bawah)
Ketenangan dan kesejukan Kota Salatiga menjadi kota pilihan bagi
pendatang baik warga lokal maupun asing, walau hanya sekedar mampir, kuliner,
istirahat, tinggal sementara/homestay bahkan berbagai aktivitas lainnya seperti
bekerja dan sekolah tampaknya kota ini sangat representatif. Adalah Scoot Martin,
pria berkebangsaan Amerika Serikat selaku pendiri dan Secondary Principal
(Pemimpin Sekolah) ofMountainview International Christian School salah satu
sekolah berstandar internasional yang memilih Kota Salatiga sebagai tempat
untuk melakukan aktivitas pendidikan dari tingkat TK sampai SMA. Pelajar
sekolah ini berasal dari berbagai negara seperti Amerika, Australia, Canada,
Korea, Meksiko, Belanda, Singapore, Filipina Jerman, Inggris Jepang bahkan dari
Indonesia.
B. Kota Manado.
Manado berdasarkan pemeluk keagamaan; Islam: 128.483, Kristen:
254.912, Katolik: 20.603, Hindu: 692, Budha: 2.244, Kong-Hucu/lainnya: 499.
Tempat ibadah; Masjid: 192, Musalla: 5, gereja Protestan: 529, Gereja Katolik:
21, Pura: 3, Vihara: 20. Sementara lembaga cukup banyak dari, baik dari tingkat
Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, dari status pendidikana sekolah tinggi,
institute, hingga universitas; universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri
Manado, IAIN Manado, Universitas Klabat, Universitas Katolik De La Salle,
Universitas Kristen Indonesia Tomohon.
(https://manadokota.bps.go.id/subject/27/sosial-budaya.html#subjekViewTab3)
Gambar: Peneliti sedang berada
di pintu gerbang kampus
Uiniversitas Sam Ratulangi
Sedikit berbeda dengan
Kota Salatiga, selain
ditetapkannya Kota Manado
sebagai kota paling toleran
peringkat pertama di Indonesia
oleh sebuah lembaga peneliti
nasional Setara Institute Jakarta.
Kota Manado juga menerima
penghargaan kota terbaik kategori
toleransi dalam Sindo Weekly
Government Award 2018. Penghargaan yang diterima ini merupakan apresiasi
media masa atas kehidupan masyarakat Kota Manado yang rukun serta
menerapkan sikap hidup toleran. Penghargaan yang diterima Kota Manado
sebagai kota terbaik kategori toleransi menjadi motivasi bagi pemerintah dan
seluruh masyarakat Kota Manado untuk terus mempertahankan sikap hidup
toleran, menjaga dan mempertahankan sikap hidup yang rukun di antara sesama,
dan sebagai wujud dari kebersamaan tanpa memandang perbedaan suku, agama,
ras dan antar-golongan. Jauh sebelumnya adalah penghargaan lain yang diberikan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) kepada Kota Manado
adalah sebagai kota yang rukun dan damai karena bisa menjaga kerukunan
antarumat beragama.
Walikota Manado G.S Vick Lumentut berharap, dengan adanya
penetapan Kota Manado sebagai kota paling toleran di Indonesia, semangat untuk
terus menjaga sikap hidup toleran di tengah masyarakat Kota Manado yang
majemuk dan heterogen semakin kuat. Wadah besar instansi pendukung dan
pemelihara kondisi kerukunan, misalnya Badan Kerja Sama Antar Umat
Beragama atau (BKSAUA) dan didukung Forum Kerukunan Umat Beragama atau
FKUB Kota Manado sekaligus memiliki peran yang sangat penting. Senada
dengan apa yang disampaikan oleh Walikota Manado G.S Vick Lumentut dalam
Misa Pembukaan Tahun Yubileum 150 tahun gereja Katolik bertumbuh kembali
di Keuskupan Manado, yang dilaksanakan di kawasan Pohon Kasih Megamas
Manado, Senin (30/04) malam. Dalam sambutannya, Walikota mengatakan bahwa
selama ini umat Katolik di Kota Manado telah ikut serta secara aktif untuk
memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi pembangunan Kota Manado. Bentuk
sumbangsih yang diberikan umat Katolik adalah terus menjaga Kota Manado
dalam bingkai toleransi dan tetap hidup rukun di tengah perbedaan yang ada,
dalam kondisi masyarakat yang majemuk dan berbeda suku, ras dan agama
http://www.manadokota.go.id/search_detail/index/manado-raih-penghargaan-
kota-terbaik-kategori-toleransi-dalam-sindo-weekly-government-award-2018.
Dalam waktu yang berbeda, Wakil Walikota juga menjelaskan tentang
dukungan dan keikutsertaan agama atau umat lainnya dalam menjaga kondisi
keberagamaan yang harmonis di Kota Manado. Dalam keterangannya Bastian
mengatakan umat Buddha di Kota Manado telah ikut berperan menjadikan Kota
Manado sebagai kota paling toleran di Indonesia. Dalam perayaan Hari Raya
Waisak ini, Mor Dominus Bastian mengapresiasi terhadap Umat Budha Kota
Manado yang peran besar dalam menciptakan suasana yang aman dan rukun
sehingga Kota Manado ditetapkan sebagai Kota Paling Toleran di
Indonesia.Dikatakan, untuk menjadikan Kota Manado kota paling toleran di
Indonesia tidaklah mudah, karena butuh keterlibatan semua pihak baik pemerintah
maupun masyarakat termasuk umat beragama. ―Saya yakin untuk meraih predikat
sebagai kota paling toleran tidak mudah, butuh keterlibatan kita semua. Namun,
tidaklah sulit untuk meraih predikat itu, yang paling sulit adalah
mempertahankannya. Karena itu, sikap hidup kita sebagai masyarakat Kota
Manado yang rukun dan saling hormat menghormati antarpemeluk agama, harus
pula mendukung penuh Manado sebagai kota paling toleran di
Indonesia‖. http://www.manadokota.go.id/search_detail/index/wakil-walikota--
umat-buddha-ikut-berperan-jadikan-manado-kota-paling-toleran-di-indonesia
C. Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Salatiga Dan Masyarakat Manado
Baik Kota Salatiga maupun Kota Manado sedikit banyak keduanya
memiliki kemiripan latar belakang budaya dan karakter pada masyarakatnya,
terlebih latar budaya keagamaan. Kota Manado dan Kota Salatiga memiliki
dimensi keberagaman agama yang sangat kompleks. Hampir semua agama
terdapat di dalammya dan memiliki nilai kuantitatif dari jumlah penduduk
berdasarkan penganut keagamaan, jumlah rumah ibadah, dan lembaga yang
berafiliasi pada organisasi keagamaan sangat kentara. Secara statistik eksistensi
keagamaan dapat dilihat di kedua kota ini. Tidak susah kiranya, ketika menyusuri
jalan-jalan di kedua kota tersebut menemukan bangunan tempat ibadah dan
simbol keagamaan.baik di Kota Salatiga maupun Kota Manado dapat dilihat
bangunan gereja-gereja yang besar, megah, dengan menara yang sangat tinggi,
masjid dan vihara juga sama dapat dilihat di pinggiran jalan raya dengan kekhasan
masing-masing.
Ruang-ruang publik tidak sepi dari banner-benner yang menyampaikan
pesan-pesan keagamaan, baik dalam bentuk acara ibadah sebuah gereja, ucapan
selamat dalam bahasa dan Thiong Hoa, atau hal-hal informativ lain yang bertalian
dengan symbol kerukunan yang sangat sederhana. Dari terlihat banyaknnya
symbol-simbol keagamaan tersebut, jika di lihat dari kacamata Ilmu Komunikasi,
dapat ditarik benang merah atau hipotesa bahwa fenomena itu akan melahirkan
berbagai macam proses komunikasi budaya (cultural communication) dan atau
bahkan komunikasi antarbudaya (intercultural communication), dikarenakan
terdapat berbagaimacam latar budaya di kedua kota tersebut.
Dalam konteks keilmuan, terlebih ilmu komunikasi, dan lebih khusus lagi
komunikasi antarbudaya. Perbedaan secara nyata dilatarbelakangi oleh budaya itu
sendiri, karena pada hakikatnya hampir dari semua budaya yang ada tersebut
berbeda dalam proporsinya. Istilah komunikasi antarbudaya digunakan secara luas
untuk semua bentuk komunikasi di antara orang-orang yang berasal dari
kelompok yang berbeda, selain itu juga digunakan secara lebih sempit yang
mencakup komunikasi antara kultur yang berbeda. (Heryadi, Silvana, 2013: 95-
108). Sementara Alo Liliweri mendefinisikan bahwa komunikasi antarbudaya
adalah komunikasi antara orang‐orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya
antar suku bangsa, antar etnik, ras dan kelas sosial. (Liliweri, 2009:10.) Sementara W.M.
Lustig, J. Koester (2006:46) mendefinisikan bahwa komunikasi antarbudaya
adalah proses kontekstual, simbolis, transaksional, di mana orang-orang dari
budaya yang berbeda menciptakan makna bersama. Seperti halnya (Samovar dan
Porter, 1997:70) menegaskan bahwa komunikasi antarbudaya adalah studi tentang
komunikasi antara orang-orang yang "persepsi budaya dan sistem simbolnya
cukup berbeda" untuk mengubah komunikasi mereka.
Apabila hal ini sudah menjadi kesadaran setiap individu, sikap toleransi,
saling menghargai, dan menganggap pluralitas sebagai sebuah keharusan. Kita akan
berada pada kondisi yang harmonis baik secara sosial maupun secara teologikal.
Dang Linh Chi (2016:4) menjelaskan bahwa studi komunikasi antarbudaya adalah
untuk mempelajari dan memahami bagaimana orang-orang dari latar belakang
budaya yang berbeda berkomunikasi satu sama lain. Tujuannya adalah untuk
menghasilkan pedoman yang membantu orang untuk berkomunikasi dengan lebih
baik. Studi dalam komunikasi antar budaya biasanya dimulai dari perbedaan
antara kelompok budaya yang berbeda kemudian mempelajari interaksi antara
kelompok-kelompok ini..
Lebih lanjut Chi menjelaskan bahwa ketika tingkat perbedaan antara
budaya menjadi relatif besar, itu akan menyebabkan salah tafsir dan harapan yang
berbeda tentang bagaimana berkomunikasi secara kompeten. Oleh karena itu,
proses pertukaran informasi jauh lebih sulit dalam komunikasi antar budaya.
Dengan kata lain, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses di mana orang-
orang dari latar belakang budaya yang berbeda mencoba untuk berinteraksi dan
menciptakan pemahaman bersama sehingga mencapai tujuan pribadi mereka serta
menciptakan hubungan dengan orang lain (Chi, 2016:9). Baik Kota Salatiga dan
Kota Manado yang memiliki pendudukanya secara budaya memiliki
kemajemukan dan keragaman dalam hal keagamaan dan keyakinan, dibutuhkan
pemahaman bersama dalam membangun interaksi atau komunikasi yang lebih
efekti untuk menciptakan situasi kehidupan yang lebih harmonis dan terhidar dari
konflik horizontal atas nama perbedaan budaya keberagamaan.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dipetakan oleh Veronique Schoeffel
(2007), bahwa kemampuan dalam hal pemahaman dalam penyampaian pesan
(message), baik pengiriman (komunikator) dan penerima (komunikan)
memenjadikan proses komunikasi antara orang-orang dengan budaya yang
berbeda latar belakang akan meningkat sekonstruktif mungin. Dengan lebih luas
pengalaman, perhatian, dan perhatian yang ditunjukkan tidak hanya akan
menyuburkan komunikasi antarbudaya tetapi akan mendorong upaya komunikasi
lebih bekelanjutan. karena komunikasi antarbudaya banyak dipengaruhi; pertama,
oleh nilai-nilai, tradisi, hubungan sosial dan politik, dan pandangan dunia antara
pengirim dan penerima; kedua, karena efeknya pada pesan verbal dan nonverbal;
dan, ketiga, dengan pengaruh itu pada latar belakang sejarah, pengaturan
relasional, dan posisi seseorang dalam komunitas pidato. Jika kita benar-benar
ingin bernegosiasi berbagi makna lintas budaya, kita harus melepaskan gagasan
bahwa apa kita anggap dapat disepakati oleh semua orang. Perihal penting dalam
komunikasi antarbudaya bukan persepsi siapa yang benar, melainkan perbedaan
tentang apa yang dilihat dan bagaimana yang dirasakannya, baik yang ada pada
dirinya maupun yang ada pada orang lain, sehingga dapat berjalan dan sampai
pada tujuan makna bersama.
Milton J. Bennett (1998) memberi penekanan yang begitu argumentatif
factual tentang pentingnya studi tentang komunikasi antarbudaya telah mencoba
menjawab pertanyaan, bagaimana orang memahami yang satu dengan yang
lainnya ketika mereka tidak berbagi pengalaman budaya yang sama. Hari ini,
tinggal di masyarakat multikultural dalam desa global, kita semua menghadapi
pertanyaan setiap hari. Kami sekarang menyadari masalah itu pemahaman
antarbudaya tertanam dalam pertanyaan kompleks lainnya: Jenis komunikasi apa
dibutuhkan oleh masyarakat majemuk untuk menjadi budaya yang beragam dan
bersatu dalam tujuan bersama? Bagaimana komunikasi berkontribusi untuk
menciptakan iklim penghormatan, bukan hanya toleransi, untuk keberagaman?
Visi baru dan kompetensi inovatif yang kita bawa ke dunia yang berubah ini akan
menentukan jawaban untuk pertanyaan lain tentang desa global yang diajukan
oleh Dean Barnlund,apakah penduduknya akan menjadi tetangga yang mampu
menghormati dan memanfaatkan perbedaan mereka atau kelompok orang asing
yang tinggal di ghetto dan bersatu hanya dalam antipati mereka yang lain.
Lebih jauh, dalam tulisan lainnya sekaligus memberikan tekanan kuat,
Bannett melihat bahwa antara budaya dan komunikasi adalah bagian yang tak
terpisahkan. Galaksi-galaksi alam semesta dikendalikan oleh hukum yang sama.
Tidak benar jikadunia budaya diciptakan oleh manusia, yang masing-masing
beroperasi menurut dinamika internalnya sendiri, prinsipnya sendiri, dan
hukumnya sendiri yang ditulis dan tidak tertulis. Bahkan waktu dan ruang unik
untuk setiap budaya. Namun demikian, ada beberapa benang umum yang berjalan
melalui semua budaya, karena kita semua berbagi akar dasar yang sama.
Komunikasi mendasari segalanya. Meskipun kita cenderung menganggap bahasa
sebagai saluran utama komunikasi, ada kesepakatan umum di antara para ahli di
semiotika yang mana saja dari 80 hingga 90 persen dari informasi yang kami
terima tidak hanya dikomunikasikan secara nonverbal tetapi terjadi di luar
kesadaran kami (Bennett, 1998:53). Sementara bagi Hubert Knoblauch (2001)
menekankan bahwa budaya komunikatiftergantung pada termediasinya dan
keberlangsungantindakan dan bentuk-bentuk komunikatif yang dilakukan dalam
suatu masyarakat. Sangat berhubungan dengan struktur sosial, budaya
komunikatif tergantung pada distribusi sarana komunikasi; tetapi itu lebih
bergantung pada perbedaan penggunaan tindakan komunikatif dan bentuk-bentuk
komunikatif yang dibentuk dan disusun ke dalamsituasi komunikatif, milieus dan
organisasi institusional.
Tidak diragukan lagi secara realistis, baik di Kota Salatiga Maupun di
Kota Manado, bahkan di wilayah lain di Indonesia, yang memiliki tipologi
masyarakat yang majemuk akan dihadapkan pada sikap adaptif dalam
menjalankan kehidupan kesehariannya. Realitas pengalaman kemajemukan
tersebut mengantarkan setiap individu untuk terbuka terhadap interaksi dengan
dudaya di luar dirinya, walaupun kemampuan individu untuk berkomunikasi
sesuai dengan norma dan nilai budaya yang melatarbelakanginya, akan tetapi pada
dasarnya setiap individu akan melakukan adaptasi dengan budaya atau kebiasaan
yang berbeda dengannya, untuk membuat dirinya nyaman. Hal tersebut terjadi
karena adaptasi antarbudaya merupakan hal yang sudah dimiliki oleh individu
secara alami dan universal.Terdapat beberapa hal penting dalam melakukan
adaptasi yaitu keterbukaan, kekuatan dan kemampuan berpikir positif dari
pendatang maupun dari lingkungan budaya setempat(Utami, 2015:180-
197).Zaenal Abidin (2015) menggarisbawahi bahwa secara teoritis adaptasi
antarbudaya merupakan kolaborasi antara dua budaya yang berbeda dengan saling
menerima budaya satu dengan budaya lainnya dengan kesamaan tujuan, sehingga
terbagnun interaksi atau komunikasi yang efektif melalui sikap adaptif dari semua
pihak yang berbedaya budaya. Komunikasi yang efektiflah yang akan mampu
membangun proses komunikasi baik dan lancar antra komunikator dan
komunikan. Pola komunikasi yang baik akan menunjang efektifitas komunikasi
yang akan maupun yang sedang berlangsung. Pola komunikasi adalah model,
format, atau bentuk komunikasi yang dapat terlihat melalui prose komunikator
(baik individu maupun kelompok) mengkomunikasikan pesan-pesan komunikasi
terhadap komunikan di dalam berintraksi.
Kota Salatiga dan Kota Manado jelas memiliki karakter nilai keagamaan
yang sangat beragam dalam bentuknya, sesuai dari setiap individu masyarakatnya
sebagai penganut agama-agama yang terdapat di wilayahnya. Masyarakat Kota
Manado dan Kota Salatiga akan menjalankan kehidupannya berdasarkan pada
pengalaman keagamaannya serta pengalaman sosialnya yang syarat dengan
masyarakat majemuk, plural, dan beragam. Dan tidak dapat dimungkiri lagi
bahwa sikap adaptip dengan saling menghargai perbedaan yang ada, akan
melahirkan corak budaya baru, dalam proses komunikasinya.
Tata nilai masyarakat menurut Abd. Rahman P., (2014) banyak terbentuk
dari kepercayaan dan pengakuan umum tersebut, yang diperoleh dari
pengetahuannya dan pengalamannya dalam mengamati, merasakan dan mengenali
realitas hidupnya sehari-hari. Karena realitas yang dialami manusia dalam
masyarakat ini terus mengalami perubahan-perubahan, maka hasil pengamatan,
proses dan pengalamannya ikut mengalami perubahan, dan hal itu berakibat
timbulnya kepercayaan dan pengakuan masyarakat terhadap beberapa hal yang
dulunya mungkin belum dipercayai dan belum diakui.
Sementara untuk melihat sikap adaptif yang terjadi antara masyarakat
Kota Salatiga dan Kota Manado yang memiliki latar belakang budaya
keberagamaan yang beragam, Tubbs dan Moss menjelaskan tentang model-model
komunikasi yang dibangun di masyarakat. Berdasarkan model komunikasi,
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam (Mulyana, 2010:78.)menjelaskan
tiga model komunikasi yaitu: Model komunikasi linier yaitu
komunikasi satu arah (one-way view communication). Komunikasi
dua arah adalah komunikasi intraksional. Model komunikasi
transaksional, komunikasi yang hanya dipahami dalam konteks
hubungan (relationship) antara dua orang atau lebih. Pola komunikasi
berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi yaitu:
komunikasi intra pribadi, kominikasi diadik, komunikasi antar pribadi,
komunikasi publik, komunikasi organisasi, dan kominikasi masa.
Model-model komunikasi ini salah satu atau beberapa bagian model
dapat terjadi pada masyarakat Kota Salatiga maupun masyarakat Kota
Manado yang terdiri dari beragam budaya keagamaan.
D. Rumah Ibadah dan Kerukunan Masyarakat Salatiga Dan Manado
Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki potensi yang sama untuk
memiliki sikap hidup saling bertoleransi, namun yang perlu diingat Kota Salatiga
yang hanya memiliki luas 17,87 km ini memiliki kemajemukan yang luar biasa.
Hampir seluruh etnis di Indonesia dapat dengan mudah ditemukan di kota kecil
ini, bukan hanya etnis Indonesia saja namun beberapa etnis mancanegara juga
cukup mudah untuk ditemui. Keberagaman yang luar biasa ini menjadi salah satu
perbedaan dari kota-kota lain yang memiliki potensi yang sama untuk hidup
saling bertoleransi. Selanjutnya, kota Salatiga juga merupakan kota yang sangat
mudah untuk menjumpai rumah-rumah ibadah, seperti Gereja, Masjid, Pura,
Vihara, dan Klenteng. Bahkan tidak jarang ditemui rumah ibadah yang berbeda
berdiri secara berdampingan atau berhadapan, hal ini tidak cukup mudah ditemui
di kota-kota lain (Hartika dan Kristiyani, 2017:063-084). Berikutnya peran
pemerintah kota, dalam menanggapi perilaku masyarakat kota Salatiga dalam
hidup berdampingan antarumat beragama. Pemerintah Kota Salatiga bersifat
membina dan memaksimalkan manajemen komunikasi dengan pihak-pihak
terkait. Eratnya komunikasi yang terjalin membantu kelancaran komunikasi ketika
muncul isu-isu sensitif. Pada dasarnya masyarakat kota Salatiga yang sudah
memiliki karakter hidup rukun berdampingan juga memiliki semangat untuk
memotivasi diri sendiri agar terus membudayakan toleransi. Pemerintah Kota
yang berperan untuk meraih prestasi toleransi Kota Salatiga dan pemuka agama
yang berperan untuk membudayakan toleransi kota Salatiga pada nyatanya sama-
sama telah berupaya untuk menciptakan perilaku masyarakat kota Salatiga untuk
hidup rukun berdampingan antarumat beragama serta bertoleransi tinggi (Hartika
dan Kristiyani, 2017:063-084).
Andriana Susi Yudhawati, Indonesia Mini, Ragam Budaya dan Etnis Ada
di Satu Kota, Majalah Jiwaraga, Edisi II T ahun 2017:12-13 menerangkan bahwa
salah satu bentuk toleransi yang jelas terlihat adalah penggunaan lapangan
Pancasila sebagai lokasi kegiatan keagamaan. Pada bulan Desember, lapangan
Pancasila ini menjadi tempat ibadah merayakan Natal bagi umat Kristiani se-Kota
Salatiga, pada hari Raya Idul Fitri lapangan Pancasila juga digunakan sebagai
tempat untuk melaksanakan sholat Ied secara massal bagi umat Islam di Salatiga.
Uniknya pada saat merayakan Natal, para pemuda Masjid Agung Darul Amal
Kota Salatiga, yang berdekatan dengan lapangan pun turut membantu kelancaran
ibadah Natal tersebut dengan mengatur masuknya kendaraan dan mengatur para
warga yang akan mengikuti ibadah. Setelah itu para pemuda masjid akan
menyalami dan mengucapkan hari Natal kepada para umat Kristiani.
Pada realitas dan konteks yang sama, walau berbeda narasi Darmastuti,
Edi, dan Christianto, dalam penelitian menemukan data yang sama. Salatiga
mempunyai ritual tahunan yang digelar di lapangan Pancasila. Ritual ini
merupakan ritual yang dilakukan oleh umat Muslim dan umat Kristiani ketika
merayakan hari besar agama mereka. Pada saat umat Kristiani mengadakan ibadah
Natal maupun Paskah di lapangan Pancasila, umat muslim serta jamaah Masjid
yang ada di sekitar lapangan Pancasila yang ikut membantu menjaga pengamanan
dan menjaga kendaraan jemaat yang hadir. Kebaktian yang sudah dilakukan sejak
tahun 1970 itu tidak pernah menimbulkan masalah. Padahal kebaktian ini
diadakan di depan Masjid Raya Darul Amal yang terletak satu kompleks dengan
IAIN. Begitu juga sebaliknya, pada saat umat Muslim mengadakan sholat Ied di
lapangan Pancasila untuk memperingati hari raya Idhul Fitri serta hari raya Idhul
Adha, umat Kristiani yang ikut menjaga keamanan jalannya ibadah dan menjaga
kendaraan mereka (Darmastuti, Edi, Christianto, 2018:635-649).
Gambar;
Masjid Drul
Amal Salatiga
berada di
depan
Lapangan
Pancasila.
Sumber PT.
PARTNER
KEMENANGAN WordPress .com
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Eben Haezer, salah
seorang pendeta di sebuah Gereja Kristen Jawa. Ia merindukan toleransi dalam
bentuk interaksi intimistik; ―Toleransi yang terjadi di Salatiga perlu dibuktikan
melalui perilaku hubungan yang lebih. Apakah sudah saling mengenal terhadap
saudaranya, bahkan terhadap ajaran agama yang dianut oleh saudaranya yang
berada di luar agamanya sendiri. Jika hanya sebatas kota tertoleran, Itu akan
menandakan kemiskinan dalam persaudaraan. Kita merindukan tolerasi Kota
Salatiga yang inklusif terutama dalam interaksi intimistik persaudaraan. Ya kalo
tetntang keyakinan itu sudah milik individu dan masih dapat didialogkan yang
tidak menimbulkan ketersinggungan karena persaudaran sebagai akar sudah
dimiliki. (Wawancara dengan Pendeta Eben Haezer, tanggal 13 Juli 2018). Haezar
lebih menekankan toleransi dengan bahasa persaudaraan sesama; ―hakikat dari
toleransi adalah persaudaraan sesama. Toleransi adalah menghargai yang suci,
baik kesucian dalam keyakinan yang dimiliki oleh agama sendiri maupun
kesucian yang dimiliki agama lain. Bahkan tidak cukup dengan menghargai saja,
akan tetapi harus lebih dari sekedar itu. Dibutuhkan proses dialogis yang lebih
intimistik terutama dalam wilayah dan yang bernilai positif. Akan lebih berarti
toleransi jika terjadi intimistik tersebut, karena bukan sekedar masabodoh atau
tidak mau tahu. Intimistik bisa dalam bentuk memahami kaidah ajaran agama
orang lain setelah memahami kaidah ajaran agama orang lain. Sehingga toleransi
lahir dari kesadaran dan pengetahuan, bukan sekedar berita/wacana sederhana.
(Wawancara dengan Pendeta Eben Haezer, tanggal 13 Juli 2018).
Sementara itu Kota Manado yang berpenduduk mayoritas beragama
Kristen, sedangkan Islam merupakan agama yang di anut ke 2 terbesar selain dari
agama-agama lain yang ada di Kota Manado. Keberagaman dan kemajemukan
yang ada pada masyarakatnya membuat Kota Manado kaya akan budaya.
Masyarakat menunjukkan hubungan mendalam antar budaya berbagai macam
masyarakat yang terjadi sebagai akibat adaptasi kultural dengan nilai budaya
lokal. (Suleman, 2017:58)
Masyarakat Kota Manado, menganggap tiap manusia sebagai saudara
yang harus diakui keberadaannya serta tetap saling mendukung dalam kegiatan-
kegiatan yang positif. Perbedaan agama dan segala bentuk identitas primordial
tidak dijadikan penghalang untuk tumbuh berkembangnya slogan Torang Samua
Bersudara ini menjadi kata-kata yang dihidupi masyarakat. Selain itu falsafah
Sitou Timou Tumou Tou yang ditelorkan oleh Sam Ratulangi memiliki arti
manusia hidup memanusiakan manusia lain. Bahkan harus lebih memiliki makna
yang sangat luas. Keluasan makna itu dapat sampai pada realitas makna
kehidupan bangsa bagi masyarakat Kota Manado yang toleran, saling
membangun, akrab dengan sesama serta saling menghargai segala bentuk
perbedaan yang melewati sekat sekat perbedaan kronis, dalam hal ini perbedaan
agama sebagai penghambat. Dahulu, falsafah ini sangat nampak muncul pada
proses adaptasi antara pengungsi ―Perang Jawa‖ (1825-1830) yang beragama
Islam dan masyarakat Tondano, Minahasa beragama Kristen. Orang Jawa yang
ketika itu dipimpin Kyai Modjo, hingga kini telah hidup dengan harmonis dengan
masyarakat setempat, bahkan beberapa putranya pernah menjadi Walikota
Manado (Hi. Abdi Buchari) dan wakil propinsi di MPR-RI (Ishak Pulukadang).
Rasa saling terbuka dan menerima perbedaan membuat masyarakat Jawa yang
tinggal dalam pembuangan tersebut, sekalipun beragama Islam melabeli diri
mereka dengan sebutan Niyaku Toudano (aku orang Tondano). (Suleman,
2017:58-59) Masyarakat di Kota Manado, sekalipun heterogen dan dalam segi
jumlah didominasi oleh yang beragama Kristen sejauh ini telah berhasil
mengembangkan suatu model interaksi dan relasi antar umat beragama secara
setara, toleran serta tidak eksklusif. (Suleman, 2017:61)
Toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam
keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-
kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian
mu‟amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak
boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk
mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati
keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-
haknya. (Aslati, :8. Toleransi Antarumat Beragama Dalam Perspektif Islam (Suatu
Tinjauan Historis). Lebih rinci Aslati mengutip Syekh Salim bin Hilali bahwa
toleransi atau as-samahah memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara
lain; Pertama, kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan; Kedua,
kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan; Ketiga, kelemahlembutan
karena kemudahan; Keempat, muka yang ceria karena kegembiraan; Kelima,
rendah diri di hadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan; Keenam, mudah
dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian; Ketujuh,
menggampangkan dalam berdakwah ke jalan Allah tanpa basa basi; Kedelapan,
terikat dan tunduk kepada agama Allah tanpa ada rasa keberatan. (Aslati, :5.
Toleransi Antarumat Beragama Dalam Perspektif Islam (Suatu Tinjauan Historis).
Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam sebuah
wawancara dengan Yulia selaku pengurus Fatayat Nahdhatul Ulama Kota
Salatiga, sebagai manifestasi penganut Islam bahwa, ―bukan saja toleransi dalam
beragama, melainkan dalam berbagai macam unsur kehidupan‖. Bagi pengurus
salah satu sub-kultur dari organisasi keagamaan Islam di bidang kaum muda
wanita ini, ―toleransi terlebih toleransi agama adalah terbentuk oleh dua bagian
yang saling beriringan antara perilaku dan perkataan. Perkataan adalah
manifestasi dari sikap dan habitual perilaku.(Wawancara dengan Yulia, pada
tanggal 11 Juli 2018). Pemaknaan terhadap toleransi bagi Yulia dirasakan tidak
jauh dengan pemaknaan toleransi bagi kebanyakan ulama yang berpatokan pada
ajaran Islam. Begitu juga dengan yang diungkapkan Yusup sebagai pendakwah
Ahmadiyah Kota Manado. Ustadz muda keturunan Jawa ini menjelaskan bahwa
dalam ajaran toleransi sesuai dengan ajaran Ahmadiya; ―toleransi itu adalah
memahami, memaklumi, keyakinan atau ekspresi keyakinan tersebut melalui
ibadah dan lainnya, memaklumi ibadah-ibadah mereka, keyakinan-keyakinan
mereka yang berbeda dengan keyakinan yang kita yakini, terlepas apakah mereka
disimbolkan dengan symbol-simbol agama. Jadi toleransi menurut saya ada
memaklumi dan memahami dan menghargai keyakinan serta ekspresi dari
keyakinan tersebut‖ (Wawancara dengan Yusuf, pada tanggal 25 September
2018).
Hanya saja, baik Bagi Yulia Maupun Yusuf, yang tidak boleh ditolelir
pada persoalan ibadah atau ritual keagamaan yang indefenden dan nilai-nilai dasar
keimanan. Toleransi itu dilakukan pada wilayah muamalah (sosial kemanusiaan).
Ibadah ketuhanan atau nilai-nilai dasar itu tidak bisa lagi ditoleransikan. Artinya
partisipasi kita tidak bisa melebur ke mereka, ketika kita harus melebur atas nama
toleransi, maka akan hilang semangat toleransi itu. Toleransi itu pada sikap dan
interaksi antarsosial, manusia dan manusianya, antarumat, hubungan kehidupan
kemanusian. Seperti halnya toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling
menerima, saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi
dan karakter manusia (Walzer, 1996:57). Semakna namun beda bahasa, toleransi
adalah secara sukarela tidak mengambil tindakan terhadap sesuatu yang tidak
dibenarkan, di mana ia membawa maksud kebenaran yang terbatas dan kebebasan
bersyarat. Toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan
kelembutan (Adeney, 1926). Perbedaan agama yang hidup di tengah-tengah
masyarakat merupakan suatu hal yang potensial untuk terjadinya konflik. Akan
tetapi dalam hal ini masyarakat beragama mampu membuktikan bahwa melalui
komunikasi antarpribadi, sikap mengendalikan diri, menegakkan moral agama
sebagai landasan dalam kehidupan beragama, serta menumbuhkan sikap tanggung
jawab tentang pentingnya kerukunan hidup beragama, maka konflik-konflik dan
kesalahpahaman antarumat berbeda agama dapat diminimalisasi dan dihindari.
Selain itu, masyarakat memanfaatkan local wisdom, yakni dengan mengumpulkan
semua tokoh agama, termasuk kepala desa. Dari berbagai pikiran yang berasal
dari banyak pihak bisa dijadikan kesimpulan dan diambil jalan keluarnya. (Ali,
2017:91-112)
Senada dengan apa yang disadari dan dipahami oleh Reene Picaso,
seorang anggota divisi Pembina kaum muda di Gereja Paukus Mikki Salatiag
bahwa; ―antara toleransi dan keyakinan terdapat benang merah yang jelas.
Keyakinan itu ada di dalam hati, bagi Katolik, hati yang didalamnya adalah Bait
Allah. Gereja adalah manifestasi dari eksistensi Allah yang independen, yang
mengajarkan kecintaan terhadap sesama, sehingga bagi pribadi yang di dalam
hatinya bersemayam Allah, maka keluarannya akan mencintai sesama, inilah
toleransi. Persoalan keyakinan adalah milik individu yang secara langsung
bersinggungan dengan ilahi, mungkin ini juga sama dengan makna doktrin.
Keyakinan dan doktrin syarat dimiliki oleh manusia beragama yang berujung pada
fanatisme. Fanatisme terhadap keyakinan dan doktrin agama harus dimiliki oleh
setiap pemeluk agama. Apapun agamanya. Akan tetapi fanatisme tidak boleh
melanggar tentang hukum adat Tuhan dalam kehidupan kemanusiaan. Orang yang
menganggap agama orang lain salah, boleh saja jika berada pada keyakinan dan
dogma kepercayaan, tetapi tidak seharusnya menganggap kesalahan dalam setiap
etika kehidupan keagamaan manusia (Wawancara dengan Romo Reene Picaso,
tanggal 12 Juli 2018).
Dalam sebuah penelitian M. Syafi‘ie (2011:27) yang berjudul
Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi, menyimpulkan bahwa terdapat ambiguitas dan benturan
konsepsi regulasi terkait dengan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan
hak-hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pertama,
beberapa regulasi memberikan penegasan bahwa hak atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi
apapun (non-derigable rights), non-diskriminasi dan negara bertanggungjawab
dalam penghormatan, pemenuhan, dan perlindungannya. Kedua, terdapat regulasi
yang membatasi, mengurangi, dan mencabut dari hak-hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Dimensi regulasi hukum HAM pertama bersifat universal dan
non diskrminasi, sedangkan dimensi konsepsi hukum HAM pendapat kedua
bersifat partikular dan diskriminasi.
Terdapat berbagai pandangan tentang pengertian kebebasan beragama
dari yang berorientasi pada kebebasan sebagai hak itu sendiri, keterkaitannya pada
hak individu lain dan masyarakat, perundangan yang harus membatasinya, serta
akibatnya bagi kehidupan. Oleh karena luasnya argumentasi tentang kebebasan
beragama tersebut maka keseluruhan unsur terkait harus dipertimbangkan ketika
seseorang hendak mewacanakan atau bahkan mengimplementasikan kebebasan
tersebut. Hal ini karena benturan-benturan yang mungkin terjadi akibat adanya
perbedaan sudut pandang dan konsep tersebut. Oleh karena itu, dalam masyarakat
yang multikultur seperti Indonesia ini, sikap arifdan bijak dalam memahami
kebebasan sebagai salah satu hak asasi manusia dan keberagamaan sebagai
sesuatu yang sensitif. (Sartini, 2008:269). Siti Musdah Mulia (2007) dalam ―Hak
Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama‖ dalam web blognya membagi
pelaksanaan hak atas kebebasan beragama ini dalam dua kategori, yaitu sebagai
internal freedom (freedom to be) yang dibedakan dengan kebebasan eksternal
yang termanifestasikan dalam tindakan (freedom to act). Pembatasan terhadap
kebebasan beragama didasarkan atas lima elemen yaitu: keselamatan masyarakat
(public safety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat
(public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak
dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental rights and freedom of
others). (Sartini, 2008:253)
Terdapat berbagai pandangan tentang pengertian kebebasan beragama
dari yang berorientasi pada kebebasan sebagai hak itu sendiri, keterkaitannya pada
hak individu lain dan masyarakat, perundangan yang harus membatasinya, serta
akibatnya bagi kehidupan. Oleh karena luasnya argumentasi tentang kebebasan
beragama tersebut maka keseluruhan unsur terkait harus dipertimbangkan ketika
seseorang hendak mewacanakan atau bahkan mengimplementasikan kebebasan
tersebut. (Mulia 2007, Rahardjo: 2005, An-Na‘im: 2007, Sartini, 2008:253)
Tarik-ulur antara tuntutan dakwah dengan praktik kehidupan sosial yang
pluralistik sering menimbulkan dilemma bagi pemeluk yang concern terhadap
situasi tatanan sosial yang dinamis dalam kedamaian. Ada kekuatan internal untuk
membela agama dan tekanan eksternal yang menghendaki toleransi pada semua
pemeluk berbagai agama. Kentalnya semangat keagamaan menumbuhkan
kekuatan untuk mempertahankan keyakinannya, dan menimbulkan benturan
konflik internal dengan kepentingan pemeluk agama lain. Dikotomi antara
wawasan keagamaan dengan wawasan kemasyarakatan masih menggejala dalam
masyarakat, bahkan dalam batas tertentu sering muncul kesan mendahulukan
kepentingan apa pun atas nama agama. (Sutomo, 2014:93-114). Pengembangan
nilai toleransi secara empirik muncul dalam keterbukaan menerima variasi ritual
ibadah individu. Perbedaan cara ibadah (khilafiyah) tidak menghalangi para
jamaah untuk memilih secara bebas cara ibadah yang sesuai dengan jalan
pikirannya. (Sutomo, 2014: 93-114).
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari
beragam agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu
mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan
berpotensi konfik. Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang
multikultural. Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena
keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Dengan
perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan
konflik antarumat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu
sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan
saling tolong menolong. (Nazmudin, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat
Beragama dalam Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), Journal of Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017: 23-
39). Karena pada dasarnya masyarakat kita menurut Ali, dalam tulisannya Di
Beranda Rumah Kami Banyak Tuhan: Diskursus Komunikasi Keluarga Beda
Agama Pada Etnik Jawa, dalam (Harder dan Hidayati, Edt., 2017:278)
menjelaskan, agama memegang peranan penting, karena masyarakat meyakini
agama adalah identitas atau harga yang paling utama dari identitas-identitas
lainnya, karena agama begitu kuat mengajarkan keberpihakan primordial yang
sangat kuat. Seseorang masih menerima kehilangan identitas apapun, tapi agama
tidak boleh. Seseorang mungkin tidak terlalu taat menjalankan ajaran agama tetapi
orang itu pasti akan mengorbankan hidup matinya jika agamanya dihina oleh
orang lain. Agama masih kuat berada pada aras ideologis setiap individu
masyarakat.
Kerukunan antarumat beragama itu sendiri juga bisa diartikan dengan
toleransi antarumat beragama. Dalam toleransi sendiri pada dasarnya
mengharuskan masyarakat bersikap lapang dada dan menerima perbedaan
antarumat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati dan
tidak saling mengganggu antara umat satu terhadap umat lainnya terutama dalam
hal beribadah. (Nazmudin, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam
Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Journal of
Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017: 23-39).
Casram, Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat
Plural, Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 Juli 2016:
187-198)
Pemberitaan atau wacana tentang ‗kerukunan hidup beragama‘ di
Indonesia terus menerus digulirkan baik oleh kalangan pemerintah ataupun tokoh
agama bersama masyarakat. Hal itu dilakukan sebagai wujud pengamalan dari tri
kerukunan (kerukunan internal umat beragama, kerukunan antarumat beragama,
dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah) hidup beragama demi
menjaga harmonisasi kehidupan beragama antargenerasi di masa mendatang.
(Farhan, 2017:17-30). Pemberitaan yang diberitakan oleh media massa online
baik melalui you tube, media cetak online; metronews, antaranews, detik.com,
republika, okezone.com dan lainnya memberikan kesamaan yang sinergitas dalam
menjaga toleransi beragama, sekaligus menepis intoleransi di Indonesia. Wacana-
wacana yang diangkat dalam semua pemberitaan tetap mengindikasikan kekuatan
tri kerukunan hidup beragama di Indonesia di seluruh wilayah, baik di perkotaan
maupun di pedesaan. Tradisi gotong royong dan kerjasama antara masyarakat
tetap terjalin dari masa ke masa. Bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk
dengan beraneka suku, ras, etnis, dan agama bukan menjadi problema yang berat
bagi pemerintah untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan antarpemeluk
agama dengan pemerintah. Kinerja pemerintah terwujud dalam berbagai kegiatan
yang berkesinambungan secara serius baik yang dilakukan langsung oleh
pemerintahan pusat maupun oleh pemerintahan di daerah (Farhan, 2017:17-30).
Persepsi atau penilaian terhadap kelompok agama lain, baik mengenai
gambaran umumnya, masyarakatnya, ataupun perilaku keagamannya. Konflik-
konflik yang muncul antara pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama lainnya
bisa berasal dari adanya persepsi yang keliru atau pandangan buruk terhadap
pemeluk dan agama lainnya. Persepsi muncul setelah mereka melihat dan
memberikan penilaian terhadap kelompok agama lain tersebut yang dianggapnya
merugikan agama atau kelompok mereka (Hermawati, 2016:105-124).
Di dalam praktik toleransi sering muncul perilaku berlebihan yang
mengarah kepada nuansa sinkretisme, yang di Indonesia disebut toleransi
kebablasan. Sinkretisme yang dimaksud di sini tentu saja tidak sama dengan
fenomena sinkretisme yang terjadi antara Hindu dan Budha, melainkan dalam arti
sikap kompromistis, mencampuradukkan akidah dan ibadah antaragama.
Misalnya, seseorang umat agama tertentu ikut serta dalam pelaksanaan ibadah
tertentu dari agama tertentu yang bukan agamanya (Jamrah, 2015:185-200).
Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling
menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara (Ismardi dan Arisman, 2014:200-222). Umat
beragama dan pemerintah harus terus menerus bersinergi dalam melakukan
pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun
negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi
pemerintah lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertikal,
menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati,
saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah
(Ismardi dan Arisman, 2014:200-222).
Banyak terjadi konflik yang didasarkan pada perbedaan agama, yang jika
berpulang pada pengalaman konflik-konflik yang telah terjadi di beberapa daerah
di wilayah Indonesia begitu sulit dan banyak membutuhkan pengorbanan untuk
mencarikan solusinya. Resolusi konflik akan terus dilakukan, karena jika tidak
terselesaikan akan berimbas ke wilayah-wilayah lainnya yang memiliki karakter
sama. Dalam konteks hubungan antaragama, istilah rekonsiliasi paling tidak
memberikan kesan atau pemahaman bahwa kehidupan beragama di Indonesia
tidak harmonis dan sering menimbulkan konflik. Disebut ‗tidak harmonis‘ sebab
kehidupan beragama yang selama ini damai, berdampingan, saling memahami,
menghargai, dan menghormati satu sama lain terganggu oleh faktor-faktor
tertentu, terutama oleh situasi kehidupan ekonomi, sosial, kultur, dan politik
tempat agama-agama itu hidup dan berkembang. Adapun ‗konflik‘ menunjukkan
bahwa di mana pun agama-agama itu berada, sekalipun situasi kehidupan sosial-
politik stabil, tetap terjadi pertentangan. Hal ini dimungkinkan karena akar sejarah
dan kultural di antara agama-agama itu sangat berbeda dan selalu menunjukkan
dominasi perjalanan dan perkembangan agama itu (Khotimah, 2011:216).
Pendekatan kultur atau budaya adalah untuk melihat dan memahami karakteristik
suatu masyarakat yang lebih menitikberatkan pada aspek tradisi yang berkembang
dan mapan, yaitu agama dihormati sebagai sesuatu yang luhur dan sakral yang
dimiliki oleh setiap manusia atau masyarakat (Khotimah, 2011:217).
Pendekatan kultur atau budaya tersebut di atas membutuhkan sikap
Eklektisisme. Eklektisisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha
memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik
dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi
semacam mosaik yang bersifat eklektik. (Moran, 2012:17)
E. Pesan Damai dalam Perbedaan
Paradigma pluralisme atau paralelisme percaya bahwa setiap agama
mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim Kristiani bahwa ia adalah
satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain
(inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Flood,
2013:90). Bahkan secara epistemologis tanggapan Paul Elmen jauh mengkritisi
sikap ekslusif. Bagi Paul, sikap ekslusif dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran.
Pertama, ia membawa bahaya yang nyata akan intoleransi, kesombongan, dan
penghinaan terhadap yang lain. Kedua, sikap ini pun mengandung kelemahan
intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni
dan sikap yang tidak kritis terhadap kenaifan epistimologis. (Elmen, 2012:56).
Hal inilah yang harus dijadikan bahan pertimbangan bagi manusia yang
beriman atas pesan ajaran-ajaran Tuhan. Karena klaim-klaim seperti itu tidak saja
menjadikan nilai religiusitas keimanan bertambah, melainkan semakin
memperkuat kecurigaan-kecurigaan yang sangat merugikan kadar keimanan, dan
bahkan secara psikologis susah untuk melakukan interaksi, karena memang sikap
egosentris hanyalah dapat mempertegas anggapan bahwa hanya kitalah yang
memiliki kesucian teologis maupun kebenaran agama. Secara tidak disadari kita
menumbuhkan penyakit yang menggerogoti sikap empati dan menyuburkan sikap
keangkuhan yang ekslusif. Haruskah menganggap lebih baik dari orang lain
dengan alasan yang memang tidak jelas. Tidak jelas, dalam artian bahwa belum
tentu dianganggap buruk, jelek, dan salah adalah buruk, jelek, dan salah pula
menurut Tuhan. Untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan terbentuknya
nilai-nilai keagamaan yang adiluhung dalam masyarakat, pluralisme memiliki
kontribusi yang sangat kuat, karena dengan pluralisme akan lahir sebuah corak
interaksi antar-pemeluk agama secara terbuka dan toleran. Terciptanya totalitas
penghambaan bagi tiap-tiap pemeluk agama dapat diwujudkan melalui kehidupan
sosial yang terbuka dan terbebasnya rasa kecurigaan atas orang lain. Dengan
demikian akan ditemukan sebuah jawaban bahwa nilai totalitas pengabdian yang
ilahiyah tidak terlepas dari totalitas kehidupan humanistik.
Mukti Ali dalam bukunya Harmonical CommunicationSebuah
Pesan Damai dalam Perbedaan, memandang bahwa perbedaan dalam
keberagamaan bukan berarti memiliki tujuan untuk memerangi dan bukan sebuah
alasan untuk mengutuk dan mencerca bagi yang lainnya. Perbedaan
keberagamaan adalah median untuk tumbuhnya sikap saling melengkapisebagai
sebuah alasan terjadinya pertukaran pemahaman sesuai dengan pengalaman
religiusitas tiap-tiap pengimannya, tanpa harus mengorbankan pesan harmoni.
Dengan tertanamnya sikap pluralisme, baik yang tertanam dalam setiap idividu
maupun institusi kelompok agama akan berimplikasi pada kenyamanan dan
keleluasaan dalam menjalankan ritul-ritual keagamaannya. Tidak lagi merasa
terisolir karena minoritas, tidak lagi merasa superioritas karena mayoritas, tidak
ada lagi sikap kecurigaan dan ketakutan, tak ada lagi pertikaian dan konflik karena
perbedaan keberagamaan,maka akan jelas, dengan demikian setiap pemeluk
agama akan merasa totaldan lebih optimal dalam meraih nilai spiritual yang luhur.
Keshalihan keagamaan bukan dinilai dari kekuatan apologetik klaim
kebenaran agama yang dianutnya. Bukan juga dilandaskan pada justifikasi tanpa
rasionalitas dan objektifitas, akan tetapi kesalihan keagamaan adalah
keharmonisan, ketenangan, dan keamanan yang dihasilkan dari pengakuan bahwa
Tuhan menyebarkan pesan kebenaran terhadap keseluruhan alam, dan kebenaran
yang Tuhan ajarkan pada manusia melaui doktrin-Nya yang sesuai dan
menyesuaikan dengan latar belakang serta situasi yang ada dengan tidak
menafikan nilai keharmonisan. Kebenaran Tuhan tercurah tidak untuk satu
kelompok keagamaan saja, melainkan datang untuk semua agama-Nya. Terlebih
dari itu, Tuhan pun berhak secara absolut ketika memberikan rahmat dan
keselamatan pada ciptaan lainnya di luar manusia. Itu adalah sebuah kebenaran
yang bagi siapapun harus menerimanya, karena semuanya diciptakan atas
kehendak-Nya. Bahkan syetanpun berhak meminta pertanggungjawaban Tuhan
atas kebenaran, padahal syetan adalah sosok yang tidak patuh pada Tuhan sebagai
penciptanya. Apalagi Manusia yang selalu taat menjalankan perintah-Nya, walau
berbeda cara sesuai dengan keyakinannya masing-masing (Ali, 2016:29).
Pada akhirnya, untuk meningkatkan keamanan universal dibutuhkan
sebuah pemaham yang maksimal dari tiap-tiap penganut agama dalam memahai
ajaran agama yang dianutnya, selain mencari pengetahuan secara perlahan
memahami ajaran-ajaran agama lain. Penulis yakin, jika hal ini sudah menjadi
kesadaran setiap individu, sikap toleransi, saling menghargai, dan menganggap
pluralitas sebagai sebuah keharusan. Kita akan berada pada kondisi yang
harmonis baik secara sosial maupun secara teologikal (Ali,2016: 61).
Bagi masyarakat dan maupun kalangan agama tidak harus merasa curiga
dan terganggu dengan misionaris atau gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
propagandis,karena masyarakat akan dengan sendirinya menyadari dan dapat
mengidentifikasi mana yang benar sesuai dengan standarisasi penilaian mereka
dan mana yang salah sesuai dengan standarisasi penilaian mereka juga. Standar
penilaian bukan saja pada pengakuan akan kebenaran agama semata, akan tetapi
lebihsering, seseorang masuk ke dalam sebuah institusi keagamaan dikarenakan
faktor-faktor lain, misalnya; dengan menyaksikan berbagai fenomena yang terlihat
dalam kehidupan manusia. Ia tertarik dengan Islam, karena memang orang Islam
selalu menolong tetangganya atau ia akan masuk Kristen karena umat kristiani
sopan-sopan, begitupun orang masuk Budha, Hindu, Khong Hu Chu, karena
sangat peduli akan alam sekitar (Ali,2016:79-80).
Kita tidak bisa begitu saja mengklaim dan menutup mata bahwa sering
terjadinya konflik yang terjadi pada masyarakat ditimbulkan karena pesan yang
bernada suku, agama, ras, dan gologan. Doktrinisasi kebenaran agama bagi
pemeluknya memang harus dilakukan, akan tetapi harus juga diimbangi dengan
pewacanaan pesan bahwa pemeluk agama lainpun memiliki doktrinisasi atas
kebenaran agama yang diyakininya. Selain doktrinisasi dilakukan maka
persoalan-persoalan kemanusiaan pun harus ditebarkan, karena tanpa melakukan
pengimbangan menyebabkan penganut agama menjadi manusia tertutup dan
mengingkari adanya berbagai macam eksistensi keberagaman yang menjadi
sunatullah(Ali, 2016:81).
Fenomena keberagamaan, telah banyak memberikan pengalaman kepada
kita semua. Konflik-konflik keagaman lebih sering muncul, ketimbang konflik-
konflik lain di luar isu keagamaan. Wilayah agama adalah ranah yang sensitif dan
memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik. Dari fenomena tersebut, kita
mesti sesering mungkin untuk merefleksikan diri agar terhindar dari marabahaya
yang sulit dicarikan solusinya. Berbagai wilayah baik berskala nasional maupun
skala internasional, konflik agama selalu mewarnai sejarah peradaban manusia
dan memenuhi lembaran setiap isi kepala manusia. Dari konflik tentang pelecehan
atas seorang penganut agama, perusakan tempat ibadah, dan hingga persoalan
politik. Padahal dapat dikatakan bahwa hampir setiap konflik berawal dari hal-hal
yang remah, akan tetapi persoalan yang remah tersebut akan menjadi ledakan
yang maha dahsyat jika itu diselipi -bau-bau-agama (Ali,2016:87).
Padahal, siapapun kita, memiliki keyakinan dan pemahaman bahwa tidak
semua yang berhubungan dengan perbedaan agama selalu menjurus kepada
konflik atau permusuhan. Melainkanseringkali hubungan itu justru dapat
menjadikan faktor utama kebersamaan yang saling menguntungkan dan dapat
melancarkan poses yang mengarah kepada kehidupan bersama secara rukun dan
serasi. Ada kalanya hubungan yang baik kini dapat mencapai taraf integrasi.
Setiap kelompok tetap hidup atas identitasnya sendiri dan hubungan di antaranya
tetap dilakukan dengan baik. Mereka saling mengisi dengan tidak
mempermasalahkan perbedaan di antara mereka dan secara ideal mereka
menganggap bahwa tarap integrasi saja tidak cukup (Ali,2016:95).
Peneliti pada kesempatan ini juga menggunakan paradigma kualitatif
yang berbasis pada kajian interreligious and intercultural communication yang
terjadi pada lapisan Masyarakat Salatiga. Seluruh lapisan masyarakat Salatiga,
dalam konteks ini sebagai manifestasi dari masyarakat Jawa memiliki peran yang
sangat besar dalam membangun citra masyarakat yang rukun, toleran, harmoni,
imbas dari realitas perbedaan. Secara sosiologis, dari lapisan sosial yang terkecil
hingga lapisan sosial yang terbesar, memiliki kontribusi dan berperan sesuai
dengan kapasitas, isi pesan, media, dan metodenya masing-masing. Keluarga
misalnya, sebagai lapisan sosial terkecil berperan dalam membangun sikap rukun
dan toleran dalam bentuk pengajaran nilai–nilai dasar kesopanan tan tatakrama;
Pemuka agama memiliki peran dalam lembaganya, baik gereja, masjid, vihara,
dalam penyampaian khutbahnya menganjurkan untuk hidup berdampingan,
menghargai agama lain, dan saling menghormati dalam menjalankan ajaran
agamanya masing-masing; Lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat, melalui
pintu epistemologis terus mewacanakan diskursus interreligiousintercultural,
wacana dialog antaragama, life in interfaith, interchanges student, dan tidak
jarang diskusi azas negara; Pemerintah selaku struktur masyarakat yang besar,
berperan sesuai dengan kapasitasnya, melalui media-media yang ada secara terus
menerus dalam berbagai kesempatan, menginstruksikan untuk selalu bergotong
royong, kerjasama, menjaga ketertiban wilayah pemerintahannya, guna
memperkuat persatuan dan kesatuan sebagai amanat dari konstitusi Negara
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Nilai interreligious dan intercultural communication dengan sendirinya
terbangun melalui kesadaran yang terus menerus disosialisasikan pada seluruh
lapisan masyarakat. Pengalaman-pengalaman perbedaan terus dikonstruksi
sehingga kesadaran-kesadaran tumbuh di dalam benak masyarakat. Dengan
sendirinya kesadaran perbedaan itu terbangun hingga mengurat mengakar pada
jati diri dan perilaku masyarakat dalam kehidupan keseharian. Bagi masyarakat
Salatiga perbedaan agama dan perbedaan budaya bukan menjadi faktor terjadinya
konflik, melainkan sebaliknya, perbedaan-perbedaan dapat melahirkan
harmonisasi yang damai, memperkokoh kesatuan, bahkan perbedaan ketika
disadari dapat menjadikan kekuatan super. melalui perbedaan, kerjasama dan
gotong royong terbangun, melahirkan kesadaran untuk menahan diri dari sikap
egosentris, intoleransi, terhindar dari sikap truth of claim akan dirinya sendiri
sebagai bagian dari penyebab konflik, bahkan dari fenomena perbedaan itu
masyarakat semakin yakin bahwa secara teologis bahwa perbedaan adalah bagian
dari sekenario dan hokum dari Yang Maha Berkehendak. Terlebih dari itu semua,
Kota Salatiga yang terakumulasi dari lapisan masyarakat dalam kurun waktu
tertentu mendapat julukan The City of Harmony.
BAB VI
DARI MIMBAR RELIGI, KEARIFAN LOKAL, DAN KERJASAMA
A. Kehadiran dan Partisipasi Lembaga Keagamaan
Masyarakat Salatiga sangat plural baik secara etnis, agama, maupun
budaya. Selain suku Jawa dan Tionghoa, masyarakat Kota Salatiga terdiri dari
berbagai latar belakang suku dan etnis, seperti Batak, Minang, Dayak, Bugis,
Ambon, Papua, dsb. Beberapa tradisi berkembang di kota ini dengan latar
belakang agama Islam, Kristen, Tri Dharma, dan Hindu. Keragaman ini tetap
mempelihatkan proses saling interaksi yang sangat terbuka dan dinamis. Boleh
jadi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, tatkala semangat
pluralisme memang telah lama berkembang disini.
Kehidupan yang harmonis di tengah-tengah keragaman tradisi dan agama
telah berlangsung sejak lama di Salatiga. Bukanlah hal baru kalau para ibu-ibu
turut terlibat merawat jenazah yang berlainan agama; bukan hal baru juga bila
anak-anak muslim terlibat aktif berkesenian barongsai selepas dari belajar di
Taman Pendidikan Al Qur‘an (TPA); juga tidak mengherankan kalau pemuda
gereja turut pula membantu penggalangan dana sebuah pembagunan masjid.
Kesemuanya berlangsung secara alamiah dan terjadi bukan sebagai sesuatu yang
dipaksakan.
Suasana yang dinamis di Kota Salatiga juga ditunjukkan dengan hadirnya
lembaga-lembaga keagamaan. Lembaga-lembaga tersebut telah mampu
mengembangkan kapasitasnya, bukan saja di bidang keagamaan melainkan juga
bergerak di bidang lain, terutama pelayanan publik di bidang pendidikan, bidang
ekonomi, dan bidang pemberdayaan masyarakat lainnya. Sebagai salah satu
ukuran dari bukti perkembangannya adalah adanya respons dari masyarakat yang
turut serta mengambil manfaat dari peranan lembaga-lembaga tersebut.
Perkembangan ini tentu saja tetap dilihat sebagai bentuk relasi pragmatis antara
lembaga keagamaan dengan publiknya. Relasi antara lembaga keagamaan dan
masyarakat tidak lebih dari sekedar relasi yang bersifat transaksional dan
profitable.
Senada dalam penelitian Singgih Nugroho tahun 2010 berjudul Menakar
Kembali Tolerasi dan Intoleransi Agama di Jawa Tengah menyebutkan bahwa
dukungan terhadap toleransi masih dimiliki oleh sebagian besar kalangan pemuka
dan umat beragama. Tapi acapkali situasi itu tertutupi oleh gerakan intoleransi
yang datang dari konstelasi politik identitas di aras lebih tinggi. Keberadaan
forum-forum dialog agama baik yang diinisiasi oleh pemerintah (daerah) maupun
masyarakat sipil yang ada diberbagai daerah Jawa Tengah seharusnya merupakan
modal penting untuk mengelola potensi negatif dari kemajemukan agama. Penting
juga organisasi masyarakat sipil bekerjasama secara kritis dengan aparat
pemerintah mengawal proses pendewasaan beragama mereka dan masyarakat
luas. Dengan cara ini diharapkan praktek kekerasan keagamaan ke depan akan
terminimalisir. Jika penelitian Singgih lebih berfokus pada upaya menggali
potensi kerjasama dan mendata akar masalah peluang konflik yang ada dalam
dinamika agama di Jawa Tengah, sementara penelitian ini menemukan fokus pada
sikap dan pandangan para tokoh agamawan dalam pemahaman, perilaku, dan
proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan, toleransi, serta dinamika
lembaga keagamaan di Salatiga dan upaya penyelesaiannya dari kasus-kasus yang
ada. Penelitian ini lebih spesifik dalam kawasan teritorial yang terbatas yakni
Kota Salatiga, dan isu-isu lokalitas keagamaan.
Sementara itu hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa interaksi antar
umat beragama di Salatiga merupakan warisan sejarah yang telah diturunkan dan
dilestarikan dari generasi ke generasi. Terbentuknya relasi ini dipengaruhi oleh
beberapa kondisi antara lain kondisi geografis, sistem sosial, sistem mata
pencaharian, kondisi perekonomian masyarakat, dan tingkat kesejahteraan yang
relatif seimbang. Disamping itu, ternyata semua pihak seperti aparat
desa/kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan anggota masyarakat terlibat
secara aktif bahu-membahu untuk senantiasa membangun, memperkuat, serta
melestarikan interaksi yang telah terbangun bersama-sama. Terdapat dua faktor
utama yang mempengaruhi terbangunnya interaksi antar umat beragama di
Salatiga yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal yang
mempengaruhi interaksi antar umat beragama di Salatiga antara lain ikatan
emosional, ikatan budaya, ikatan kekeluargaan, dan faktor ajaran agama. Sedang
faktor-faktor eksternal terdiri dari kontak dengan masyarakat luar serta mobilitas
masyarakat. Masyarakat Salatiga melestarikan interaksi antar umat beragama
tersebut melalui berbagai cara antara lain melalui kegiatan sosial, dialog,
pembinaan pemerintah setempat, dan pembinaan keagamaan secara internal.
Kegiatan sosial merupakan wahana yang paling dominan karena melalui kegiatan
informal itu cakupan peserta dan bidang yang dibicarakan jauh lebih luas. Hal ini
tidak akan diketemukan di dalam dialog, pembinaan pemerintah, dan pembinaan
keagamaan secara internal. Dalam kegiatan sosial tersebut misalnya pertama:
semua masyarakat terlibat, dan ini tentu sulit terpenuhi dalam dialog, pembinaan
oleh pemerintah setempat, dan terlebih-lebih dalam pembinaan internal agama.
Kedua, tidak ada sekat agama, mungkin situasi ini dapat terkondisikan dalam
dialog dan pembinaan pemerintah setempat, tetapi sulit terpenuhi dalam
pembinaan internal agama.
Penelitian ini juga mendapati hubungan antaragama, dimensi sosial agama
para aras lokal, serta pola interaksi antarumat beragama yang dinamis, ditandai
dengan potret organisasi dan aktifitas para tokoh agamanya. Disamping itu
penelitian ini juga berhasil memberikan informasi tentang kerjasama kelembagaan
agama di Salatiga. Walaupun penelitian ini dikerjaan secara kolektif oleh para
peneliti yang berbeda latarbelakang akademisnya, namun diharapkan dengan
perbedaan tersebut dapat memperkaya sudut pandang dalam analisis dan
telaahnya
Begitu juga dengan kehidupan beragama, semua umat saling menjaga
sikap yang sekiranya tidak baik dan membuat orang lain tidak suka. Acuan yang
dipegang oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) berkaitan dengan
realitas hubungan antar agama yaitu tetap menjaga adanya kerukunan antar umat
beragama sehingga semua yang hidup bisa hidup lebih rukun. Sebagai contoh
bahwa umat mempunyai pedoman yang selalu dipegang ―saya adalah anda‖
mempunyai makna bahwa jika kita menghormati orang lain berarti kita juga
menghormati diri kita sendiri tetapi jika kita tidak menghormati orang lain maka
kita tidak menghormati diri kita sendiri. Intinya peranan PHDI senantiasa
berusaha membangun dan menjaga hubungan yang harmonis dan keserasian
hidup antar umat beragama serta alam semesta. Ketika ditanya mengapa? Pak
Putu (Sekretaris PHDI Kota Salatiga) menjawab:
―..bahwa jelas sekali hal tersebut apa yang tertulis di dalam kitab
suci Veda, dan saya yakin dalam kitab suci agama apapun menyatakan
bahwa perbedaan bukan alasan untuk tidak hidup secara damai, dan selalu
hormat-menghormati.‖
Sama halnya Pak Putu, Saryati Purwanegara, sebagai seorang guru di
SMK Muhammadiyah juga sebagai aktivis pimpinan daerah Nasyiatul Aisyiyah
Muhammadiyah Kota Salatiga sebagai sekretaris umum, aktif juga di forum
agamawan muda lintas iman Salatiga juga sebagai pegiat di Komunitas Kata
Hawa, mengakui realitas keragaman keberagamaan dan budaya sebagai sebuah
sunnatullah sesuatu diyakini sebagai suatu keniscayaan. Sunatullah adalah hukum
alam, misalnya lahir dan mati. Dalam Islam terdapat hukum alam yang pasti
misalnya matahari terbit dari timur, api membakar. Keberagaman tersebut dapat
hidup eksis berdampingan secara damai dan tumbuh kembang di bumi Indonesia
dengan acuan sumber primer ajaran Islam dan UUD ‘45. Peran yang dilakukan
adalah selalu menampilkan gerakan Islam yang moderat, tidak memperlihatkan
watak ekslusivitas yang mengarah pada sikap menegasikan kelompok yang
berbeda, apalagi meremehkan orang lain. Kaitannya adalah multikutlural dan
multireligi harus dipelihara sebagai aset dan diberi peluang untuk berkembang.
Menurutnya:
―Toleransi beragama adalah saling menghargai, menghormati,
tidak saling mengejek, saling meledek, faham lain dan ibadah umat
lainnya, dan hidup dengan toleransi serta terbuka untuk memberikan
ucapan selamat hari besar keagamaan. Itu sangat perlu karena realitas
keberagaman kita, jika itu tidak dilakukan maka jangan harap kita tidak
punya teman dan hidup tenang. Kita butuh lho hidup tenang.‖
Terkait dengan relitas hubungan antar agama Saryati Purwanegara yang
juga sebagai admin laman group FacebookKabar Salatiga Menjumlah Bukan
Memecah; dengan jumlah anggota 170.000an; menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia masih dalam proses demokrasi. Hubungan antaragama di Indonesia
termasuk masalah sensistif, dan dapat mengarah pada konflik jika tidak disikapi
secara santun. Dikotomi masyoritas vs minoritas masih menjadi alat untuk
menghakimi pihak lain. Mayoritas sering dipojokkan sebagai tidak toleran,
sedangkan minoritas selalu mengedepankan kebebasan dan hak asasi.
Muhammadiyah dalam hal ini Nasyiatul Aisyiyah memposisikan sikap aktif
dalam mempropagandakan Islam kepada warga Muhammadiyah sebagai agama
yang cinta damai, agama yang moderat, agama yang selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Peran Muhammadiyah dalam dakwah selalu
mengedepankan Islam sebagai agama penuh rahmat, agama pembawa kedamaian.
Muhammadiyah mengajak warganya bersikap moderat, belajar hidup
berdemokrasi dalam masyarakat plural. Semangat yang mendasarinya bahwa
kehadiran Islam harus dapat menjadi contoh untuk menegakkan kebenaran,
kejujuran, kebersamaan, dan kedamaian. Lebih lanjut Saryati menambahkan
bahwa:
―Saya tinggal di Salatiga sejak tahun 2013. Saya dididik dari
lingkungan yang intoleran. Saya sangat bersyukur dapat tinggal di Salatiga
yang sangat toleran. Saya punya banyak teman dari berbagai macam etins,
agama, dan golongan. Saya dan keluarga sangat toleran dalam pergaulan
sehari-hari dan kehidupan sosial, namun tidak dalam beribadah. Saya
dapat mengirim ucapan selamat Natal lewat pesan singkat SMS, atau
WhatsApp (WA). Hal itu tidak mengganggu keimanan saya. Saya masih
mengikuti sunah nabi, walaupun saya banyak bergaul dengan masyarakat
yang berbeda agama dengan saya.‖
Bahwa hubungan antaragama di Salatiga akan mengalami masa harmoni
jika peran elit agama dapat memberikan ketenangan dan penjelasan secara
teologis dan sosiologis kepada umatnya masing-masing secara terbuka dan
dialogis. Namun hubungan antaragama dapat mengalami ketegangan jika terjadi
ketimpangan sosial ekonomi, pendidikan, dan politik atas kelompok agama dan
manajemen euphoria politik otonomi daerah yang tidak terkendali secara baik.
Oleh sebab itu, masa depan hubungan antaragama di Salatiga memang tergantung
pada gerakan keagamaan yang lebih santun dalam berwacana dan beretorika pada
publik, dengan mengedepankan masalah-masalah yang riil dihadapi masyarakat
ketimbang menghadirkan masalah-masalah yang tampak abstrak, tidak terjangkau
sebab disitulah masyarakat agamaniah masih menghendaki agama yang mampu
menjawab masalah riil di daerah.
Heterogenitas atau kemajemuan masyarakat di Salatiga dilihat dari latar
belakang agama merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain,
pluralitas adalah sebuah kenyataan yang tak bisa diingkari dan dilewati begitu
saja. Mengingkari dan tidak mempertimbangkan pluralitas hanyalah akan
membuat persoalan baru. Perbedaan agama, suku, ras, adat istiadat, dan aliran
kepercayaan yang ada seharusnya kita syukuri sebagai suatu kekayaan bangsa,
namun kemajemukan tersebut sering mengandung kerawanan-kerawanan yang
dapat memunculkan potensi terjadinya konflik kepentingan antar individu maupun
kelompok dalam kaitannya dengan hubungan antar pemeluk agama.
Kegelisahan akademik dari penelitian ini adalah ancaman timbulnya
kerawanan hubungan antar umat beragama itu yang disebabkan sifat dari masing-
masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi dari agamanya masing-
masing, kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan
pihak lain, kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan
toleransi dalam kehidupan masyarakat, kurang adanya komunikasi antar
pemimpin masing-masing antar umat beragama, dan kecenderungan fanatisme
yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan
memandang rendah pihak lain.
Lebih lanjut, penyebab konflik agama yang sering muncul adalah akibat
reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap
pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang juga dianggap
sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama
agama. Selain itu, konflik yang selama ini terjadi karena hal-hal yang sepele yang
berada di luar konteks agama bisa berkembang dan membesar menjadi konflik
antar agama. Bahkan yang terjadi, agama justru dijadikan tameng sebagai
pembenar terjadinya konflik. Klaim agama dianggap sebagai pembenar segala
tindakan anarkisme.
Konflik horisontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-
masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar.
Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme yaitu untuk menghilangkan keyakinan
akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut. Pluralisme harus dipahami
sebagai pertalian seperti kebhinekaan dalam ikatan-ikatan peradaban. Plural yang
berarti perbedaan menjadikan tantangan tersendiri. Bagaimana sesuatu yang
berbeda menjadi suatu kebersamaan yang nantinya bisa menciptakan suatu
keadaan yang damai demi terciptanya kerukunan antara umat beragama dan
kerukunan antar umat seagama serta jauh dari pertentangan dan konflik. Suatu
tatanan hidup yang rukun dan harmonis merupakan harapan seluruh umat
manusia, dan setiap umat manusia terpanggil untuk menciptakannya. Cara hidup
rukun yang terjalin antara warga merupakan suatu cara hidup yang selaras dengan
panggilan iman. Dengan adannya dialog lintas iman, lintas agama dapat
memberikan masukan akan gagasan kerukunan antar umat beragama, karena
dengan dialog maka kita akan saling kenal, saling memahami dan menambah
pengetahuan. Ini sangat penting, karena kasus-kasus kerusuhan dan kekurang
harmonisan penganut agama tidak terlepas dari pimpinan antar agama yang
kurang saling mengenal.
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di
Indonesia beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan
berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998),
Maluku Utara (2000), Cikeusik (2011), Aceh Singkil (2012), Sampit, Madura dan
beberapa tempat lainnya. Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa
konflik-konflik ini melibatkan sentimen keagamaan yang berkelit kelindan dengan
kepentingan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan budaya.
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor
integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman,
kebangsaan dan kemanusiaan. Agung Waskita seorang pegiat lintas agama
menyebutkan bahwa:
―Salatiga merupakan kota/wilayah yang sangat plural, majemuk
dan disebut sebagai Indonesia mini, karena dihuni oleh masyarakat, suku,
adat, agama yang ada di Indonesia. Menjelang perayaan dan pelaksanaan
Natal, banyak saya lihat Banser NU jogo gereja. Pada hari-hari menjelang
imlek, tidak sedikit teman-teman saya yang katolik teribat dan aktif
mengikuti dan bermain barongsai, liong, dan tarian naga. Ini menujukkan
bahwa pemahaman masyarakat salatiga tentang arti penting kerukunan dan
kerjasama lintas agama semakin baik.‖
Lebih lanjut Agung menyebutkan bahwa prospek kerjasama antar agama
semakin terbuka mengingat banyak agenda dan isu permasalahan Indonesia,
khususnya Salatiga, memerlukan keterlibatan masyarakat agamawan, seperti
kemiskinan, kebersihan lingkungan, penghematan air, penghijauan,
penanggulangan HIV Aids TBC, Narkoba, dan sebagainya.
Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan
sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan
kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang
disebutkan itu bersifat universal, selain itu terdapat ajaran agama yang juga bisa
menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku oleh pemeluknya.
Beragama itu harus dilandasi dengan ilmu/ akal, dan juga tidak hanya cukup
dinikmati oleh diri sendiri, akan tetapi mesti juga punya implikasi terhadap
realitas sosial masyarakat sekitar kita. Beragama misalnya, di samping punya
tujuan intrinsik, tetapi juga punya tujuan di luar dari tujuan beragama itu sendiri,
yang tidak kalah pentingnya yaitu menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama,
dengan semangat anti penindasan, perusakan, penjajahan, menghilangkan
kebodohan dan menegakkan keadilan. Model beragama tersebut itu lah yang
disebut dengan beragama secara empiris, yang dalam konteks ini diperlukan
kearifan dan ketawadluan untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda
dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut. Terkait dengan peranan
nilai agama dalam menjaga kerukunan dan toleransi, Agung Waskito menjelaskan
bahwa ajaran agama memang memiliki peranan. Agama Kristen yang
menekankan ajaran tentang kasih, dimana setiap umat yang percaya harus saling
mengasihi satu sama lain. Ajaran tentang kasih ini menjadikan pemeluknya
memiliki keharusan untuk bersikap toleran, karena itu termasuk ke dalam
penerapan ajaran kasih dalam agama yang dianut.
B. Khutbah Kerukunan di Manado
Damianus Pongoh, salah seorang dosen STF Seminari Pineleng Manado
menyebutkan betapa pentingnya mimbar sebagai tempat menyemai kerukunan.
Dia menjelaskan bahwa;
―Mimbar merupakan panggung kecil untuk berkhotbah atau pidato
keagamaan. Di mana semua para pemuka agama dan pengikutnya saling
berinteraksi satu sama lain. Dalam mimbar, seorang pemuka agama
menyampaikan nilai-nilai ajaran agama agar terdengar secara jelas oleh
penganutnya. Ironinya, beberapa pemuka agama menyalahgunankan
mimbar sebagai alat propaganda serta memecah persaudaraan. Pada masa
sekarang mimbar semakin perlu untuk difungsikan, diperluaskan jangkaun
aktifitas dan pelayanan nya serta ditangani dengan organisasi dan
manajemen yang baik, tegasnya, perlu tindakan-tindakan mengaktualkan
fungsi dan peran mimbar dengan memberi warna dan nafas kerukunan,
toleransi, kerjasama agama, persauadaran, berlomba dalam kebaikan, dst.
Lebih jauh Romo Damianus Pongoh menengaskan bahwa mimbar
merupakan bagian dari sarana ibadah. Dalam setiap aktivitas, ini menjadi sebuah
bagian komunikasi yang terbangun dalam masing-masing rumah ibadah.
Sekaligus juga kesempatan bagi penyuluh agama untuk secara terus menerus
membangun interaksi dan hubungan dengan jamaah masing-masing. Sebuah
program yang berkala dan juga terpantau dengan baik akan memberikan daya
dukung pengembangan kapasitas jamaah. Untuk itu asing-masing pihak berupaya
untuk menyelenggarakan aktivitas mimbar ini dengan terencana. Bagi umat Islam,
mimbar jumat sangatlah penting, begitu juga mimbar bagi agama Katolik dan
Protestan dapat menempatkan secara khusus bagi setiap gereja pator dan pendeta
yang dapat melayani umat. Dari gambaran tersebut, mimbar merupakan kesadaran
dalam lingkungan rumah ibadah masing-masing. Ketika sebuah rumah ibadah
tidak memperhatikan mimbar dengan segala atribut yang mengikutinya, maka
tidak menjadikan proses interaksi dengan jamaah secara terstruktur.
Gambar: Para peneliti bersama
Romo Damianus Pongoh di
Sekolah Tinggi Filsafat
Seminari Pineleng Manado
Di sisi lain Perayaan Natal dan Idul Fithri menjadi bagian dari pertemuan
keluarga besar. Perayaan hari besar keagamaan merupakan kesempatan
berkumpul. Di saat itu pulalah mereka berbagi dan saling mengirimkan makanan
atau bingkisan antar sesama. Kondisi-kondisi seperti ini menjadi bagian tradisi
yang sudah berlangsung turun temurun, sehingga perbedaan agama tidaklah
menjadi persoalan bagi setiap orang. Secara bebas, individu memeluk agamanya
kemudian keterhubungannya dengan penduduk yang lain karena mereka adalah
bagian wilayah yang harus turut bertanggungjawab memelihara kedamaian yang
sudah diwariskan oleh pendahulu. Klaim kebenaran cukuplah dilakukan secara
khusus di dalam rumah ibadah. Tetapi ketika berjumpa dengan orang lain, maka
tidaklah perlu menjadikan agama sebagai bagian yang harus dijadikan sebagai
pembeda justru itu dipergunakan untuk saling menghormati pilihan yang berbeda.
Dalam beberapa kesempatan, pendirian masjid dan gereja justru didukung oleh
masyarakat lingkungan sekitar yang berbeda agama. Sehinga tidak kesulitan
membangun rumah ibadah, sekalipun itu di sekelilingnya terdapat masyarakat
yang menganut agama berbeda. Bahkan dalam urusan tanah justru dihibahkan
oleh pihak yang berbeda agama pula. Relasi keagamaan tercipta atas dasar
harmoni dan saling pengertian. Lembaga-lembaga pendidikan dan institusi sosial
lain tetap berjalan dan berkembang dengan adanya sikap saling memberi
kesempatan dan peluang yang sama tanpa memandang status agama. Justru agama
memperkuat lembaga secara positif. Kemudian dengan spirit itu hubungan
kemanusiaan terbangun untuk kepentingan saling mencerdaskan dan
memanusiakan.
Senada dengan Romo Damianus Pongoh, Pastor Rheiner dari Gereja St.
Fransiskus Xaverius Pineleng Manado menyebutkan bahwa pesan filosofi
pahlawan nasional dari Manado, Sam Ratulangi sangatlah penting bagi
masyarakat Manado. Pesan filosofinya adalah "Si tou timou tumou tou" artinya
"Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan
manusia". Lebih jauh Pastor Rheiner menjelaskan;
―Saya akan coba menggambarkan secara sederhana apa maksud
dari kalimat pamungkas beliau itu. Kenapa manusia baru dapat disebut
manusia manakala ia sudah dapat memanusiakan manusia lain? Titik tolak
dari pendapat beliau tentulah didasari atas pemahaman bahwa apa yang
kita miliki tidak akan berarti apa-apa kalau itu tidak memberi faedah bagi
orang lain. Jujur saja, pendapat beliau bisa menjadi sebuah ‗kepastian
universal‘. Dapat diakui dan diterima dimana saja. Artinya begini, sebagai
seorang manusia yang adalah ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan
utama kita adalah tatkala kita dapat menjadikan sesama manusia lebih
terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses, lebih pintar, dan lebih baik
hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar memperoleh ‗gelar
kemanusiaannya‘.
Lebih lanjut Pastor Rheiner menambahkan bahwa selama kepintaran,
keterdidikan, kesuksesan, kekayaan, dan semua kelebihan yang kita miliki hanya
untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri, berarti kita belum menjadi manusia
utuh sebagaimana seharusnya kita. Tapi apabila manusia lain kita angkat
derajatnya menjadi lebih baik lagi, di situlah kita sudah turut memanusiakan
mereka.
Efek dari memanusiakan manusia itu dapat terlihat dalam banyak wujud
dan penerapan. Salah satu wujud nilai pembelajaran tersebut adalah kebersamaan.
Nah, di Minahasa sendiri kebersamaan atau juga ‗saling tolong menolong
menanggung beban‘ yang cukup menonjol terlihat jelas pada aktivitas mapalus.
Kegiatan yang mirip dengan gotong royong ini masih terus dilakukan warga
pedesaan di berbagai daerah di Minahasa. Beberapa kelompok tani di banyak desa
sering kali membangun rumah atau menggarap kebun secara bersama-sama dalam
suatu sistem kerja yang disepakati bersama. Walaupun diterpa teriknya panas
mentari, mereka bekerja dengan semangat tinggi dan tanpa pamrih. Pemilik rumah
atau kebun cukup menyediakan air putih dan makan siang untuk mereka. Warga
terlihat bahu-membahu mencari kayu, serta bahan bangunan lainnya seperti batu
dan pasir untuk membuat rumah panggung contohnya. Mapalus adalah suatu
sistem atau teknik kerjasama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku
Minahasa. Pada awalnya mapalus dilakukan khusus pada kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan sampai memetik
hasil atau panen. Tetapi seiring dengan perkembangannya Mapalus tidak hanya
terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan
yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan hampir di segala bidang kehidupan,
seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat
perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya.
Selain berpegang pada semboyan "Si tou timou tumou tou", masyarakat
Minahasa juga berpegang pada kredo kearifan lokal Torang Samua Basudara.
Gambar; Peneliti
bersama Romo
Rheiner
Masyarakat
Sulawesi Utara
umumnya dan secara khusus kota Manado sangat menyadari dan memahami
bahwa perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan, dan berbagai perbedaan
lainnya bukan ancaman untuk hidup bersama. Masyarakat Sulut dan Manado
sebagai ibukotanya memandang tidak ada untungnya jika mengancam dan merasa
terancam dengan perbedaan. Di dunia mana pun, tidak ada manusia yang sama,
bahkan yang kembar sekali pun tetap berbeda, karena manusia diciptakan oleh
Tuhan dengan sejumlah perbedaan di dalam dirinya. Kredo Torang Samua
Basudara bukan untuk menyatukan perbedaan atau untuk menyamakan
keberagaman, tetapi untuk mengakui dan memahami bahwa perbedaan adalah hal
yang indah dan mengandung nilai kehidupan.
Romo Rheiner menambahkan bahwa Torang Samua Basudara adalah
kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara. Ciri yang paling menonjol di dalamnya
adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-
menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku
bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang
lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan
moral yang sangat mulia untuk hidup rukun dan damai. Keterbukaan masyarakat
Sulawesi Utara tercermin dalam sikap hidup suka bekerja sama dalam bidang apa
saja, namun yang paling menonjol adalah kerja sama dalam bidang pertanian.
Dalam kerja sama ini, tiap etnis memiliki nama yang berbeda, namun tujuannya
sama, yaitu saling membantu atau tolong-menolong secara bergiliran untuk
membuka lahan baru.
Pada awalnya, slogan yang sekarang berubah menjadi nilai budaya ini,
ditelorkan oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara Letjen (Purn) E.E. Mangindaan
untuk jadi senjata perekat dalam menghindari konflik SARA (Suku, Agama, Ras,
Antar Golongan) yang meluas di Indonesia bagian Timur (1998-1999), agar rasa
persatuan dan kesatuan masyarakat tetap merekat. Sejak ditelorkan, slogan ini
menjadi ikon hidup masyarakat Manado. Wujud nyatanya, dalam bidang
pendidikan, umat Islam sering sekolah di yayasan pendidikan Kristen dan tetap
mampu berinteraksi secara sehat tanpa menghilangkan ciri identitas agamanya.
Masyarakat kota Manado, menganggap tiap manusia sebagai saudara yang harus
diakui keberadaannya serta tetap saling mendukung dalam kegiatan positif.
Perbedaan agama dan segala bentuk identitas primordial tidak menjadi
penghalang untuk tumbuh berkembangnya slogan ini menjadi kata-kata yang
dihidupi masyarakat, (Frangky Suleman, Keberagaman Budaya dan Agama di
Kota Manado, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, E-ISSN : 2599-
1078, tahun 2017).
Masa depan Sulawesi Utara dan bangsa Indonesia yang damai, rukun dan
sejahtera hanya dapat dicapai jika semua elemen masyarakat mengakui bahwa
Torang Samua Basudara, menghargai perbedaan, dan memberi ruang untuk
keberagaman berakar kuat. Dari bentuk kerja sama inilah mulai tercipta rasa
saling menghargai, menyayangi dan saling mencitai dalam wujud hidup rukun
intern kelompok. Selanjutnya dari hidup rukun intern kelompok berkembang
sebagai cikal bakal hidup rukun antarkelompok, baik dengan kelompok
masyarakat penduduk asli, atau yang sudah berasimilasi maupun dengan
kelompok masyarakat pendatang baru. Nilai-nilai filosofi kearifan lokal tersebut
telah menjadi satu dengan sejarah masyarakar di Tanah Minahasa yang pada
akhirnya membentuk budaya masyarakar Minahasa. Budaya yang memiliki nilai
toleransi tinggi sehingga kerukunan antar umat yang berbeda agama dan suku
dapat terjalin. Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan
sebagai kebijaksanaan setempat ―local wisdom‖ atau pengetahuan setempat ―local
knowledge‖ atau kecerdasan setempat ―local genious‖, merupakan pandangan
hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh
Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai
bentuk jati diri bangsa.
Kekayaan budaya juga ditemukan oleh peneliti di sebelah utara Danau
Tondano, atau kurang lebih 35 KM dari Kota Manado, Sulawesi Utara, ada
kampung yang sangat erat memiliki keterkaitan dengan masyarakat Jawa, baik
secara historis maupun geneologis. Nama administratifnya adalah Desa Kampung
Jawa Kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.
Di desa itu, hidup masyarakat keturunan Jawa yang bangga mengaku sebagai
orang Minahasa. Kampung ini bukan merupakan wilayah transmigrasi. Kampung
itu juga terkenal dengan sebutan Kampung Jaton (singkatan dari Jawa Tondano)
yang merupakan saksi perjuangan masyarakat Jawa melawan kolonialisme. Lebih
tepatnya, Jaton terbentuk dengan latar Perang Jawa 1825-1830 yang dikobarkan
salah satunya oleh Pangeran Diponegoro. Pada 1828, Panglima Perang sekaligus
Penasehat Agama Pangeran Dipanegoro, Kyai Modjo ditangkap Belanda dan
diasingkan ke daerah terpencil. Mulanya, dari Jawa ia dibuang ke Batavia
(Jakarta). Tak lama di Batavia, Kyai Modjo dan pengikutnya diasingkan Belanda
sebagai tahanan politik ke Minahasa, Sulawesi Utara, (Ahmad Rajafi, dkk,
2018:122) Modjo dan pengikutnya tiba di Minahasa pada 1828. Dengan cepat
meraka bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Saking dekatnya, 63 pengikut
Modjo yang tersisa menikahi wanita asli Minahasa untuk melanjutkan keturunan.
Kampung Jaton itu sendiri berdiri kurang lebih dua tahun setelah
kedatangan Kyai Mojo, yaitu tahun 1831. Bersama Kyai Mojo datanglah 63 orang
pasukan perang Jawa yang juga dibuang Belanda. Mereka semuanya adalah laki-
laki dan menikah dengan wanita asli Minahasa sehingga perpaduan dua etnis
inilah yang kemudian menghasilkan keturunan yang memiliki dua darah
sekaligus, Jawa dan Minahasa. Di Kampung Jawa Tondano ini terdapat masjid tua
(didirikan pada 1854) yang menjadi simbol kekhasan kampung tersebut. Masjid
itu sempat beberapa kali direnovasi, yaitu pada tahun 1974, 1981, dan terakhir
pada 1994. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Falah Kiai Mojo (Pinontoan, 2010).
Konon, saat membangun masjid itu, masyarakat sekitar Jaton seperti Tonsea yang
mayoritas beragama Kristen juga turut serta membantu masyarakat Jaton. Saat
datang di Minahasa, Kiai Mojo dan balatentaranya juga ikut memperkenalkan
pertanian dan
bercocok tanam
kepada masyarakat
Minahasa.
Gambar: Saat peneliti
berkunjung ke
kelurahan kampung
Jawa Tondano
Jaton kemudian menjelma menjadi sebuah kampung yang unik dengan
identitasnya yang khas. Budaya masyarakat Jawa seperti lebaran ketupat, masih
bisa kita temui di kampung ini. Seni terbangan dengan langgam Jawa, juga masih
ada. Meski darah Jawa mengalir, mereka dengan tanpa ragu mengaku sebagai
orang Minahasa tulen. Saat ini, masyarakat Jaton tidak hanya berdomisili di
Kampung Jaton dan Tondano, tetapi sudah menyebar hingga Bolaang-
Mongondow, Gorontalo, Menado dan kota lain di Sulawesi Utara. Bahasa yang
digunakan dalam komunikasi setiap harinya pun adalah bahasa Minahasa.
C. Pentingnya Kerjasama
Romo Damianus Pongoh dan Pastor Rheiner menyebutkan bahwa dalam
Gereja Katolik ada komisi Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan yang
disingkat HAK. Komisi ini sesuai dengan namanya bertugas mengadakan dialog
dan kerjasama dengan agama dan kepercayaan lain. Komisi ini ada dari tingkat
Paus sampai Paroki. Gereja mengakui bahwa keselamatan dari Allah ditawarkan
kepada seluruh manusia, tidak hanya kepada orang Katolik. Gereja menghormati
siapapun tanpa membedakan agama.Dalam pertemuan mereka bersama para Kiai,
Pendeta, Pastor, dan tokoh agama lain. Lewat pertemuan itu mereka menemukan
persahabatan dan pencerahan. Suasana pertemuan sangat menyenangkan. Adapun
beberapa pencerahan yang mereka peroleh adalah:Pertama, Tuhan itu satu untuk
semua orang. Semua orang berasal dari Tuhan yang satu dan sama dan akan
kembali kepada Tuhan yang satu dan sama juga.Kedua, Di hadapan Tuhan kita itu
setara. Semua dicintai Tuhan, juga kepada orang berdosa. Tuhan tidak
membedakan siapapun.Ketiga, Agama sebagai jalan menuju Tuhan. Mungkin
jalannya berbeda tapi tujuannya sama yaitu Tuhan.Keempat, Agama itu tuntunan
ke arah kebaikan. Jadi agama hanya bisa untuk berbuat baik. Jika kita melakukan
keburukan atas nama agama, itu bertentangan dengan agama.Kelima, dalam
menghayati dan mengamalkan agama kita perlu rendah hati dan toleransi.
Semakin seseorang beriman, semakin ia menyadari bahwa ia adalah pendosa yang
dicintai Tuhan.
Lebih lanjut Pastor Rheiner menyebutkan bahwa pemerintah kota Manado
mendorong organisasi BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat Beragama) dan
BAMAG (Badan Musyawarah Antar Umat Beragama) untuk bertugas
membangun kerjasama serta membangun komunikasi dua arah antara pemimpin
agama dengan umat. Kedua organisasi ini dibangun dengan komposisi
keterwakilan dari seluruh latar belakang agama yang ada seperti. Dengan begitu,
organisasi ini memiliki massa pendukung yang notabene berlainan agama dan
tentu saja berlainan etnis. Organisasi masyarakat yang turut menjadi bagian dari
usaha membangun komunikasi ini adalah GP Ansor, PMII, HMI, Brigade
Manguni, Legium Christum, Paguyuban Kekeluargaan Tionghoa dan sebagainya.
Hasilnya, timbul persepsi yang sama mengenai pentingnya hidup damai yang
dibangun atas dasar toleransi. Aksi simpatik yang sering dilakukan oleh para
pemeluk beda agama adalah saling menjaga keamanan dan kelancaran sekaligus
membagikan bunga pada saat ibadah Natal di gereja dan pelaksanaan Sholat Ied
ketika Idul Fitri. Pemandangan indah tersebut telah berlangsung sejak lama,
sebelum konsep tentang multikulturalisme hangat dibicarakan di Indonesia dan
kerusuhan yang membawa isu agama pecah di Indonesia. Terlebih, yang paling
emosional, terjadi antara tahun 1998-2002, dimana konflik di Kalimantan dan
Maluku sementara membara dan banyak warga dari daerah konfliktersebut yang
mengungsi di Manado serta melaksanakan ibadah hari raya keagamaannya
masing-masing di Kota Manado.
Masyarakat di Kota Manado, sekalipun heterogen dan dalam segi jumlah
didominasi oleh yang beragama Kristen sejauh ini telah berhasil mengembangkan
suatu model interaksi dan relasi antar umat beragama secara setara, toleran serta
tidak eksklusif. Dalam hal ini, nilainilai budaya yang mendasari adalah falsafah
hidup sitou timou tumou tou dan torang samua basudara, nilai budaya mapalus
(kerjasama), nilai budaya demokrasi, nilai budaya anti diskriminasi dan nilai
budaya silaturahmi. Lewat lima nilai budaya tersebut masyarakat kota Manado
yang beragam religi, membangun dan menguatkan dirinya sebagai kota berwajah
ramah dalam hal kebebasan antar umat beragama. Interaksi sehat tersebut justru
muncul dari kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup rukun dan damai.
Lalu, bagaimana kerukunan dan kedamaian bisa tetap terpelihara di tengah
heterogenitas masyarakatnya? Banyak hal yang dapat menjelaskannya. Dari kajian
sebelumnya yang menggunakan pendekatan participatory action research, Ruhana
(2014) mengemukan bahwa secara historis suasana kedamaian di Manado,
Sulawesi Utara, sudah berlangsung lama dan karenanya cukup melembaga.
Kondisi ini memberikan kontribusi yang sangat positif bagi terwujudnya budaya
damai di daerah ini. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat Manado yang pada
umumnya relatif tinggi sehingga tidak mudah terprovokasi, juga
berpengaruh.Masyarakat Manado juga telah belajar dari pengalaman buruk
masyarakat di daerah lain yang mengalami konflik agama atau etnik. Kondisi
tersebut menghadirkan suatu komitmen kuat untuk terus memelihara kedamaian.
Kearifan lokal juga masih hidup dalam masyarakat. Hal yang juga berperan
penting dalam mewujudkan Manado damai, yakni adanya berbagai kebijakan
pemerintah dalam mengupayakan kerukunan serta fasilitasinya forum-forum
antarumat beragama. Searah dengan itu, terjadi komunikasi dan kerjasama yang
baik antara tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah dalam upaya
memelihara perdamaian. Posisi sentral tokoh agama yang menjadi panutan
masyarakat cukup efektif dan strategis dalam upaya menyebarkan pandangan
keagamaan yang moderat dan toleran.
Selanjutnya kemajemukan dipahami sebagai kumpulan berbagai elemen
sosial yang menyatu dalam lingkungan yang sama, elemen tersebut berpeluang
berbeda sehingga terjadi perbedaan. Perbedaan tidak untuk dijadikan modal
konflik, tetapi untuk dipahami bahwa ketidaksamaan dalam berbagai lini adalah
produk Ilahi untuk disadari dan disyukuri. Perbedaan sebagai cara memahami diri
atas pihak lain sebagai modal sosial untuk membangun kehidupan
kemasyarakatan. Sebagaimana realitas sosial bila terjadi musibah dan saling
menolong. Pertolongan tersebut atas dasar sifat kemanusiaan murni, bukan atas
dasar kesamaan atau perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Spontanitas
menolong sesama tersebut pada dasarnya adalah esensi dari toleransi dan
kemajemukan sebagai potensi alamiyah yang dimiliki setiap manusia, kapan pun
dan di manapun.
Faktor pendukung kerukunan beragama terwujud karena: antar-pemeluk
agama dan atau intern agama yang berbeda aliran terdapat hubungan persaudaraan
(geneologis), terjadi simbiosis mutualisme di bidang perekonomian, pemahaman
dalam batin antar-pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran
diwujudkan dalam kehidupan dengan mengedepankan persamaan kebutuhan dan
menafikan konflik yang lazimnya dipicu oleh perbedaan keyakinan dan agama,
pola pikir antar-pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran
terjauhkan dari sikap negatif.
Kemajemukan (pluralitas) adalah warna dasar yang menyangga basis
kultur sosial bangsa Indonesia. Realitas pluralistik masyarakat Indonesia dengan
detail keunikan yang dimilikinya merupakan aset dan kekuatan memperkaya
khazanah kreativitas manusia memanfaatkan alam Indonesia nan indah, subur dan
makmur untuk menjadi negara besar bermartabat. Pada sisi lain, pluralitas
menyimpan kerawanan pertikaian antarwarga dalam berbagai bentuk dan sumber
pemicunya. Pesona pascareformasi membangunkan kesadaran warga sipil
berpesta-ria mendemonstrasikan kebebasan berdemokrasi, tetapi sering berakhir
dengan konflik fisik. Kemajemukan sebagai khazanah kekayaan budaya bangsa
kini dihadapkan pada ancaman disintegrasi karena kecenderungan menonjolkan
sentimen agama, etnis, atau keunggulan primordial lainnya. Pluralitas sebagai
kuasa Tuhan memberi makna imperatif kesediaan setiap individu menghormati
kehadiran orang lain ikut berpartisipasi dalam menghuni bumi ini secara damai
dalam rangka kompetisi untuk kreasi kebaikan. Makna beragama dalam
kehidupan bersama harus dilandasi motivasi untuk saling toleransi, menghargai
keyakinan orang lain yang berbeda agamanya. Tumbuhkembang nilai religiusitas
dan nilai toleransi secara seimbang menjadi tuntutan untuk lahirnya komunitas
yang rukun damai dan dinamis. Pandangan Sumartana (2007:168) ―agama bisa
memberikan suatu basis kekuatan moral yang efektif di masyarakat, karena agama
tidak memiliki kepentingan lain selain membela tegaknya hak-hak asasi manusia,
harkat serta martabatnya selaku makhluk ciptaan Tuhan. ‖
BAB VII
PENUTUP
D. Kesimpulan
Berdasar dari analisis data dalam penelitian ini dengan acuan fokus
penelitian yang dituangkan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini dapat
disimpulkan dan sebagai jawaban dari rumusan masalah, yaitu bagaimana
pemahaman kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai
masyarakat yang multireligius? Pemahaman kerukunan dan toleransi masyarakat
kota Salatiga dan Manado adalah bahwa kerukunan dan toleransi itu diwujudkan
dalam perilaku nyata keseharian, tidak hanya diperbincangkan dalam forum-
forum. Point inilah yang amat utama, sehingga dampak kerukunan dan toleransi
kehidupan dapat dirasakan oleh semua makhluq hidup. Gagasan-gagasan besar
tentang kerukunan dan toleransi yang didialogkan dalam berbagai forum tidak
akan berarti manakalah berhenti pada kesimpulan diskusi. Upaya untuk
mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam kehidupan menjadi penting agar
kehidupan menjadi harmoni. Semua pihak harus mengupayakan kehidupan
bertoleransi dengan penuh kesadaran dan dilandasi dengan pengetahuan dan
wawasan yang luas. Sebaliknya, jika dirasakan ada masalah toleransi dalam
kehidupan atau muncul perilaku yang intoleran, maka semua pihak harus
bersama-sama secara sungguh-sungguh pula dalam mencari solusi yang bijak
demi untuk mewujudkan harmoni kehidupan.
Sementara itu bagaimana perilaku kerukunan beragama masyarakat
Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang multireligius? Bentuk perilaku
toleransi masyarakat kota Salatiga dan Manado diwujudkan dalam berbagai
kegiatan. Kegiatan-kegiatan tesebut adalah : a) kegiatan sosial bersama
(pernikahan, kematian sosial, termasuk ibadah); b) Poliklinik kesehatan; c)
Beasiswa kurang mampu; d) Membagi takjil; e) Buka bersama; f) Festival
keragaman; g) Dialog, seminar; h) Saling kunjung pada hari besar; i) Memberi
bingkisan hari besar; j) Menjaga gereja/masjid; k) Mengunjungi tempat ibadah; l)
Saling mengisi kegiatan keagamaan (koor); m) Pertemuan anjangsana. Perilaku
ini dilandasi dengan penuh kesadaran, tidak ada paksaan dan saling memahami
posisi masing-masing.
Toleransi antar umat di kota Salatiga dan Manado selama ini telah berjalan
dengan baik, kelaupun ada gangguan-gangguan itu sifatnya hanya letupan kecil
dan mampu diredam secara bersama-sama. Gangguan toleransi yang muncul
sebagian besar karena pengaruh dari luar, bukan muncul dari dalam. Namun
demikian, suasana sejuk yang ada tidak boleh menjadikan masyarakat di kota
Salatiga dan Manado terlena dan mengabaikan sikap waspada terhadap
kemungkinan munculnya perilaku intoleran atau bahaya laten yang mungkin
mencuat.
Ada banyak upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan situasi
yang damai dan toleransi di Kota Salatiga dan Manado, yaitu : a) pendalaman
ajaran agama masing-masing; b) mengoptimalkan lembaga terkait, misal FKUB,
BKAUSA; c) dukungan pemerintah; d) penguatan toleransi melalui sekolah, anak
muda, ormas-ormas; e) meningkatkan kualitas ceramah di tempat ibadah; f)
membentuk kegiatan bersama; g) memberikan pemahaman yang benar kepada
setiap orang tentang konsep kerukunan dan mengamalkannya dalam kehidupan;
h) membangun interaksi intimistik pada semua lemen masyarakat. Masing-masing
upaya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Proses penguatan kerukunan umat beragama dilakukan melalui
pendalaman ajaran agama masing-masing. Pemeluk agama yang memahami
ajaran agamanya secara baik dan mendalam akan menunjukkan perilaku yang
mulia, baik dalam relasi vertikal kepada Tuhannya maupun relasi horizontal
kepada sesama makhluk. Setiap ajaran agama pasti mengajarkan kepada
pemeluknya agar berperilaku baik dalam segala relasi hidupnya. Agama lahir
untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang tidak selaras dengan nilai-nilai
Ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan senantiasa selaras
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
E. Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan diatas, peneliti memiliki
beberapa rekomendasi dari penelitian ini yang diharapkan dapat berguna bagi
penelitian selanjutnya. Pertama, dapat dilakukannya penelitian lanjutan terkait
dengan temuan lain yang ditemukan dalam penelitian, menggali lebih mendalam
tentang nilai dan ajaran agama yang toleran, yang dapat dikaitkan dengan
kerjasama dan dialog antar dan intra umat beragama. Kedua, dilakukan penelitian
di daerah lain, untuk mencari tahu apakah nilai kerukunan di Salatiga dan Manado
dapat diterapkan di daerah lain, atau dibutuhkan sebuah model lain untuk dapat
menciptakan kerukunan di Indonesia.
Penulis menyarankan kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten kota untuk mewujudkankerukunan, toleransi dan
kerjasama antaragama.Indonesia adalah bangsa yang religious, bangsa yang
agamis, bangsa yang beragama, bangsa yang percaya kepada Tuhan yang Maha
Esa. Bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari agama-agama besar:, Islam,
Hindu, Budha, Katolik dan Kristen serta Konghuchu. Agama merupakan
ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai luhur, suci
dan mulia yang dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya masing-masing
merupakan factor yang berpengaruh dalam usaha bangsa Indonesia untuk
mensukseskan pembangunan nasional. Banyak hal positif yang bisa didapat jika
agama dan pemerintah mempunyai suatu bentuk toleransi karena keduanya sama-
sama membawa kesejahteraan bagi warga Negara. Setiap agama membawa misi
kedamaiaan, terutama Islam yang kita ketahui sebagai rahmatan lil alamin.
Sebuah agama atau beberapa agama akan membentuk masyarakat idaman dalam
sebuah Negara. Anggapan bahwa agama adalah penghambat kemajuan Negara
sebenarnya sangat salah. Tidak ada aturan yang mengarah pada hal-hal yang
buruk. Namun sebaliknya banyak sekali aturan Negara yang tidak memperhatikan
konsep yang telah diatur oleh agama. Sehingga toleransi agama terhadap Negara
tidak boleh luput dari pemahaman kita. Pengetahuan yang luas adalah cara agar
toleransi agama dengan Negara tidak menjadi suatu hal yang hanya dianggap
formalitas belaka. Tetapi harus diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari.
Penulis mendorong upaya menyusun aturan-aturan tentang kerukunan dan
toleransi yang diperlukan untuk mengikat tujuan bersama kelompok-kelompok
agama. Dengan banyaknya keperluan yang terus meningkat peraturan yang
digunakan harus semakin kuat dan lebih mengikat. Disini kehadiran negara yang
paling tepat. Negara membuat aturan yang mempermudah aktivitas manusia.
Tidak hanya membuat peraturan-peraturan, negara jugamenyediakanfasilitas-
fasilitas yang menunjangperkembangan kemajuan disemua bidang kehidupan.
Penulis menilai bahwa peran Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi dan daerah harus berwibawa karena sebagai pihak pendukung dan
pembantu pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal
ini setidaknya ditunjukkan dengan sejumlah program terkait kerukunan umat
beragama termasuk program yang dilakukan oleh Kementerian Agama pusat
yang bertempat di provinsi dan daerah.Anggaran untuk pemeliharaan kerukunan
umat beragama perlu ditingkatkan, sehingga upaya sosialisasi dan pembinaan
dapat lebih luas dan merata dilakukan. Dalam hal ini, Kementerian Agama dan
Kementerian Dalam Negeri perlu mendorong dan mengawal proses pengalokasian
kegiatan kerukunan yang lebih memadai tersebut.
Dari hasil kajian ini maka tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin
terutama di Indonesia sekarang ini untuk melangkah lebih progresif melakukan
aktifitas-aktifitas yang mengarah pada terciptanya iklim kerukunan, toleransi,
kampanye perdamaian, dan kerjasama lintas agama. Disamping itu juga perlu
menciptakan iklim solidaritas sosial, memajukan ekonomi, berpraktik politik yang
santun dan menjaga kebudayaan sebagai bentuk perwujudan dari pengabdiannya
kepada Allah Tuhan YME. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan
sejumlah krisis lain yang tengah menghimpit bangsa Indonesia tampaknya tidak
cukup hanya diselesaikan dengan melakukan ibadah-ibadah individual, tetapi juga
dengan perjuangan meningkatkan kecerdasan masyarakat, penegakan hukum dan
keadilan, solidaritas sosial dan membebaskan penderitaan masyarakat.
Peneliti meyakini bahwa penelitian harus dapat dikoreksi. Koreksi
diperlukan untuk menambah masukan-masukan baru yang belum dibahas agar
lebih terinci dan lengkap. Disamping itu juga dapat mengganti bagian bahasan
yang kurang baik dengan masukan yang lebih tepat atau lebih baik berdasarkan
kritik dan saran yang diterima. Koreksi atas penelitian ini juga terbuka untuk
menghilangkan bagian-bagian yang tidak tepat atau tidak perlu. Penulis meyakini
bahwa koreksi bukan alat untuk menghakimi namun dapat memandu dalam
melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap konteks kajian yang ada.
Daftar Informan Penelitian 2018
No Informan Agama Kontak Instansi
1. Bramantyo Buddha 087734734848 STAB Syaelendra
2. Bikhuni Samodhana Buddha 085225038327 Smaratunggha
Ampel
3. Goe Sho Hien Buddha 081901604701 Konghucu
4. Sukodoyo Budhha 085642767129 STAB Syaelendra
5. Romo Wiku Bibit Hindu PHDI Salatiga
6. Putu Gede Hindu PHDI / Korem
7. Sukla Hindu Famili
8. Luluk Abdul Gani Islam 087889984477 Fatayat
9. Ema Islam 082226179919 Fatayat
10. Saryati Purwanegara Islam 081317910310 Nasyiatul Aisyiyah
11. Yulia Islam 081336449908 Fatayat
12. Nurcholish Islam 0818240535 Kemenag
13. Reene Picasso Katholik 085606515758 Santo Paulus Miki
14. Soesetijo Katholik 081317866641 Santo Paulus Miki
15. Piyus Katholik 08164267581 Santo Paulus Miki
16. Jayusman Katholik 081225042829 Komisioner KPUD
Sltg
17. Agung Waskita Aji Kristen 08156508311 Percik
18. Pdt. Estheer Kristen 081567845588 Famili
19. Amin Siahaan Kristen 08157759848 Forum
Persaudaraan
20. Bani Umu Rauta Kristen 08122527791 UKSW
21. Pdt Eben Haezer Kristen 085600009030 GKJ Sidomukti
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman P.,Peranan Dakwah dan Komunikasi Antarbudaya dalam
Masyarakat Plural, Jurnal Al-Munzir Vol. 7, No. 1, Mei 2014
Abd. Rahman P.,Peranan Dakwah dan Komunikasi Antarbudaya dalam
Masyarakat Plural, Jurnal Al-Munzir Vol. 7, No. 1, Mei 2014)
Alo Liliweri. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2009
Andriana Susi Yudhawati, Indonesia Mini, Ragam Budaya dan Etnis Ada di Satu
Kota, Majalah Jiwaraga, Edisi II T ahun 2017:12-13)
Aslati, : Toleransi Antarumat Beragama Dalam Perspektif Islam (Suatu Tinjauan
Historis
Bennett, 1998:53,Concepts of Intercultural Communication: Selected Readings.
Yarmouth: Intercultural Press).
Bennett, Milton, J. (1998). Intercultural communication: A current perspective. In
Milton J. Bennett (Ed.), Basic concepts of intercultural communication:
Selected readings. Yarmouth, ME: Intercultural Press: Dean Barnlund,
―Communication in a Global Village,‖ this volume.)
Dang Linh Chi, Intercultural Communication Differences between Western and
Asian perspective, Thesis Centria University Of Applied Sciences
Business Management, December 2016:4
Deddy Mulyana. Ilmu komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2010
Dormort Moran, Introduction to Phenomenology. New York, 2012
Elmen, Paul. The Restoration of Meaning to Contemporary Life. New York:
Garden City, 2012:56
Farhan, Pemberitaan Kerukunan Umat Beragama: Analisis Pesan Media, Jurnal
Askopis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017 17-30
Farhan, Pemberitaan Kerukunan Umat Beragama: Analisis Pesan Media, Jurnal
Askopis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017 17-30
Flood, Gavin. Beyond Phenomenology: Rethinking the Study of Religion. London:
Bloomsbury Academic, 2013:90
Frangky Suleman, Keberagaman Budaya dan Agama di Kota Manado,
Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi2017:58)
Gavin Flood. Beyond Phenomenology: Rethinking the Study of Religion. London:
Bloomsbury Academic. 2013
Hedi Heryadi, Hana Silvana, Komunikasi Antarbudaya Dalam Asyarakat
Multikultur (Studi Tentang Adaptasi Masyarakat Migran Sunda di Desa
Imigrasi Permu Kecamatan Kepahiang Provinsi Bengkulu),Jurnal Kajian
Komunikasi, Volume 1, No. 1, Juni 2013, hlm 95-108
Imam Sutomo, Implementasi Nilai Religiusitas dan Toleransi dalam
Pemberdayaan Masyarakat, Inferensi Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Juni 2014: 93-114
Ismardi dan Arisman, Meredam Konflik dalam Upaya Harmonisasi Antar Umat
Beragama, Jurnal Toleransi, Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.6,
No.2 Juli-Desember 2014:200-222
Ismardi dan Arisman, Meredam Konflik dalam Upaya Harmonisasi Antar Umat
Beragama, Jurnal Toleransi, Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.6,
No.2 Juli-Desember 2014:200-222
Khotimah: Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin,
Vol. XVII No. 2, Juli 2011:216
Khotimah: Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin,
Vol. XVII No. 2, Juli 2011:216
Lusia Savitri Setyo Utami, Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya, Jurnal
Komunikasi, Vol. 7, No. 2, Desember 2015:180-197
M. Syafi‘ie, Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor
5, Oktober 2011: 27
Martania Hartika dan Dian Novita Kristiyani, Peran Pemerintah Serta Pemuka
Agama dalam Membentuk Perilaku Masyarakat Salatiga untuk Hidup
Berdampingan Melalui Tagline “Kota Salatiga Hati Beriman”, Jurnal Pax
Humana; Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol.IV, No.1, Januari-
Juni 2017:063-084
Martania Hartika dan Dian Novita Kristiyani, Peran Pemerintah Serta Pemuka
Agama dalam Membentuk Perilaku Masyarakat Salatiga untuk Hidup
Berdampingan Melalui Tagline “Kota Salatiga Hati Beriman”, (Jurnal
Pax Humana; Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol.IV, No.1,
Januari-Juni 2017:063-084.)
Moran, Dormort. Introduction to Phenomenology. New York, 2012:17
Mukti Ali,Harmonical Communication Sebuah Pesan Damai dalam
Perbedaan, Salatiga: LP2M-Press,Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA
2016:28
Nazmudin, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Journal of
Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017: 23-39
Nelly Van Dorm Harder dan Mega Hidayati, (Edt.) M. Zulfa, Dialog Inklusivistik
Membangun Rasa Kebersamaan dan Saling Pengertian Studi Kasus pada
Majelis PUASA dan FKUB Salatiga, dalam buku Kebebasan Beragama di
Tingkat Akar Rumput, Yogyakarta, Institut DIAN/Interfidei dan
Norwegian Center for Human Rights-University of Oslo, 2017:174
Nelly Van Dorm Harder dan Mega Hidayati, (Edt.) Mukti Ali, Di Beranda Rumah
Kami Banyak Tuhan: Diskursus Komunikasi Keluarga Beda Agama Pada
Etnik Jawa, dalam buku Kebebasan Beragama di Tingkat Akar Rumput,
Yogyakarta, Institut DIAN/Interfidei dan Norwegian Center for Human
Rights-University of Oslo, 2017:278
Paul Elmen. The Restoration of Meaning to Contemporary Life. New York:
Garden City. 2012
Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati, Toleransi Antar Umat
Beragama di Kota Bandung, Jurnal Umbara: Indonesian Journal of
Anthropology volume 1 nomor 2 Tahun 2016: 105-124
Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati, Toleransi Antar Umat
Beragama di Kota Bandung, Jurnal Umbara: Indonesian Journal of
Anthropology volume 1 nomor 2 Tahun 2016: 105-124
Rini Darmastuti, Sri Winarso Martyas Edi, Erwien Christianto, Model Literasi
Media Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Berbasis Kearifan
Lokal Masyarakat Salatiga, Jurnal Aspikom, Volume 3 Nomor 4, Januari
2018:635-649
Rini Darmastuti, Sri Winarso Martyas Edi, Erwien Christianto, Model Literasi
Media Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Berbasis Kearifan
Lokal Masyarakat Salatiga, Jurnal Aspikom, Volume 3 Nomor 4, Januari
2018:635-649)
S.W. Littlejohn & K.A. Foss. Theories of Human Communication. California:
Sage Publications, 2008.
Sartini, Etika Kebebasan Beragama, Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember
2008:269
Suryan A. Jamrah, Toleransi antar Umat Beragama: Perspektif Islam, Jurnal
Ushuluddin Vol. 23 No. 2, Tahun 2015:185-200
Veronica Schoeffel, cinfo and Phyllis Thompson, consultant Graphicmedialink
Zürich cinfo 11/2007 Rue Centrale 12).
W.M. Lustig & J. Koester. Intercultural Competence: Interpersonal
Communication Across Cultures. 5th edition. Pearson Education, Inc. 2006
William T. Cavanaugh. The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the
Roots of Modern Conflict. New York: Oxford University Press. 2009
Yusuf Faisal Ali, Upaya Tokoh Agama Dalam Mengembangkan Sikap Toleransi
Antaumat Beragama, Jurnal UCEJ Untirta Civic Education Journal, Vol. 2
No. 1, Tahun 2017:91-112
Zaenal Abidin, Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di
Indonesia, Jurnal Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015