mushalla, gereja, dan viharae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5661/1/mushola dan gereja.pdf ·...

125
LaporanPenelitian Terapan dan Pengembangan PTKI MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA: Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan Antarumat Beragama Di Kota Salatiga Dan Manado Oleh: Mukti Ali Benny Ridwan Fatchurrohman INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

Upload: others

Post on 27-May-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LaporanPenelitian Terapan dan Pengembangan PTKI

MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA:

Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan

Antarumat Beragama Di Kota Salatiga Dan Manado

Oleh:

Mukti Ali

Benny Ridwan

Fatchurrohman

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

ABSTRAK

MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA: Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan Antarumat Beragama Di Kota Salatiga dan Manado, Penulis : Mukti Ali, Benny Ridwan, dan Fatchurrohman, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) IAIN SALATIGA, tahun 2018.

Adanya asumsi dasar bahwa nilai agama berperan dalam terciptanya

kerukunan, menimbulkan pertanyaan baru yang akan dijawab melalui penelitian ini.

Bagaimana pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku

kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang

multireligius? Kerukunan tercipta karena adanya harmoni dalam interaksi antar

kelompok yang terlibat.Wilayah di Indonesia yang berhasil mewujudkan kerukunan

antar umat beragama dan menekan potensi konflik rasial adalah Salatiga dan Manado.

Salatiga dipilih dengan pertimbangan bahwa masyarakatnya berpendidikan dan

memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, tapi

kepercayaan mereka akan adanya kearifan lokal tetap berdampingan dengan

keyakinan agama. Manado merupakan ibukota provinsi Sulawesi Utara, dimana

mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen dengan ras Minahasa tetapi dapat

hidup damai dan berdampingan dengan masyarakat minoritas yang memeluk agama

lain.

Pemuka agama di Salatiga dan Manado memiliki peran dalam lembaganya,

baik gereja, masjid, vihara, dalam penyampaian khutbahnya menganjurkan untuk

hidup berdampingan, menghargai agama lain, dan saling menghormati dalam

menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Selain itu, para penganut agama juga

melakukan kegiatan anjang sana ke tempat-tempat ibadah pemeluk agama lain. Saling

menjaga tempat ibadah juga penting dilakukan agar pemeluk agama yang sedang

merayakan hari besar dapat melakukannya dengan khusyu‘. Mimbar religi juga

digunakan sebagai tempat menyemai kerukunan. Mimbar religi semakin perlu untuk

difungsikan, diperluaskan jangkaun aktifitas dan pelayanannya serta ditangani dengan

organisasi dan manajemen yang baik. Peningkatan kualitas ceramah di tempat ibadah

perlu diperhatikan, karena dari sinilah firman Tuhan disampaikan oleh pendakwah

kepada jamaah. Upaya penguatan pemahaman dan perilaku toleransi dilakukan juga

melalui lembaga pendidikan. Masyarakat kelas bawah juga diajak mewujudkan

perilaku toleran dalam kehidupan. Relasi intimistik di antara kelas-kelas sosial perlu

diwujudkan, mulai dari kelas atas, menengah dan rakyat jelata. Relasi intimistik ini

akan mampu mewujudkan keakraban dan saling jaga, saling bantu dan saling

menghargai. Membuat public space untuk memfasilitasi relasi intimistik antar seluruh

elemen masyarakat. Penguatan toleransi bagi anak muda juga perlu dilakukan melalui

kegiatan ormas keagamaan yang berbentuk dialog, festival, kegiatan bersama dan

kunjungan tempat ibadah. Pendekatan kelembagaan dipandang lebih efektif untuk

memfasilitasi komunikasi antara kelompok masyarakat, agama, atau etnis.

Pendekatan kelembagaan dipandang efektif karena lebih mengedepankan rasionalitas

dan kebijaksanaan. Toleransi dalam bentuk kepedulian juga dikembangkan dalam

wujud layanan kesehatan.

KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillahpenyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan

pemilik semesta alam dan sumber segala pengetahuan atas bimbingan dan ridha-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul MUSHALLA, GEREJA, DAN VIHARA: Penguatan Pemahaman dan Perilaku Kerukunan Antarumat Beragama Di Kota Salatiga dan Kota Manado.

Penyusunan laporan penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pola pemikiran baru guna meningkatkan kesadaran manusia dalam hal ini masyarakat Kota Salatiga dan Kota Manado serta menimbulkan kepedulian terhadap masyarakat sekitar khususunya permasalahan kerukunan, toleransi, pluralisme, dialog, dan kerja sama lintas agama.

Fakta bahwa adanya sebuah tatanan hidup yang plural bukanlah sebuah fenomena baru yang datang dari dunia lain pada abad modern ini, melainkan sebuah warisan realitas sosial yang telah terjadi berabad-abad. Hidup dalam zaman pluralis memungkinkan setiap kita untuk bertemu ataupun berinteraksi langsung dengan “sesama” kita yang beragam, termasuk keberagaman agama. Hal ini juga didukung dengan era-globalisasi yang memungkinkan bahwa setiap komunitas agama tersebut suka atau tidak, terima ataupun tidak, akan mengalami perjumpaan dengan komunitas agama yang lain. Perjumpaan-perjumpaan tersebut dengan sendirinya dapat membuka gerbang untuk terciptanya sebuah relasi atau hubungan yang unik di antara mereka.

Berbicara mengenai kerukunan umat beragama memang merupakan suatu persoalan yang bersifat kompleks. Hal ini dikarenakan persoalan-persoalan yang ada tidak hanya melibatkan satu dimensi saja melainkan lebih. Tentu saja timbulnya berbagai dimensi atau faktor yang mempengaruhi hubungan antar-agama disebabkan karena agama tidak saja berurusan dengan dirinya sendiri tetapi juga berkaitan atau berurusan dengan ranah lainnya. Persoalan agama selain terkait dengan faham atau keyakinan para pemeluknya tentang kebenaran mutlak “doktrin agama” masing-masing sebagai bagian terdalam dari manusia, tetapi juga terkait dengan faktor-faktor sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Faktor agamawan memiliki peran yang kuat dalam menentukan pola hubungan atau relasi antar agama. Peran faktor agamawan biasanya yang berkaitan dengan hubungan antar agama adalah ajaran agama, pemahaman umat terhadap ajaran, penyebaran agama, pendirian rumah ibadah dan sikap mental dari umat sendiri. Sikap dan peran yang diambil oleh Pemerintah dalam memposisikan dirinya dalam kebhinekaan sangatlah penting. Dalam posisinya sebagai “penguasa”, pemerintah diharapkan dapat bertindak secara adil dan benar. Jika terdapat tindakan yang diskriminatif, maka dapat menciptakan kondisi yang disharmoni. Sehingga tindakan yang diambil pemerintah sangatlah menentukan relasi seperti apa yang akan tercipta. Sikap pemerintah sebagai fasilitator ini harus dipertahankan. Kerukunan yang terjalin sebagai warisan leluhur hendaknya terus dijaga dan dipelihara. Sikap bergotong royong, saling menghargai, saling mendukung dan saling terbuka hendaklah terus tertanam dalam kehidupan masing-masing, baik individu maupun bermasyarakat. Sehingga harta bersama yakni kehidupan rukun yang damai dan harmonis ini terus terpelihara dengan baik.

Kami sangat menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari

kesempuranaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun kami

sangat harapakan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada,

sehingga penelitian ini bisa bermanfaat. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan

laporan ilmiah ini, terkhusus kepada :

1. Rektor IAIN SALATIGA

2. Ketua Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat(LP2M) IAIN

SALATIGA

3. Para Informan yang telah memfasilitasi penyelesaian penelitian ini

dalam bentuk dukungan moril, bantuan teknis dan penghimpunan data

penelitian khususnya.Semoga hasil kerja keras ini dapat bermanfaat

bagi peningkatan pemahaman kerukunan, kesadaran pluralisme,

dialog, dan kerja sama lintas agama untuk kini dan masa yang akan

datang.

4. Pustakawan pustakawati IAIN Salatiga, dan pengelola Fakultas

Ushuluddin Adab dan Humaniora, Fakultas Dakwah, Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.

5. Sejawat IAIN Manado, Delmus Puneri Salim, Ph.D yang memfasilitasi

perjalanan Peneliti ke Manado. Begitu juga Ibu Dr. Hj. Salma, M.HI

Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang setimpal atas

bantuan dan perhatian mereka kepada kami dan melimpah rahmat dan karunia –

Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal Al Amin.

Salatiga, 2 November 2018

Mukti Ali, Benny Ridwan, Fatchurrohman

DAFTAR ISI

ABSTRAK..........................................................................

KATA PENGANTAR........................................................

DAFTAR ISI......................................................................

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. 1

A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1

B. Rumusan Masalah……………………………………….. 3

C. Signifikansi Penelitian....................................................... 4

D. Kerangka Teori.................................................................. 4

E. Kajian Riset Sebelumnya ................................................ 6

F. Metode Penelitian............................................................. 9

BAB II KERUKUNAN: DARI POTENSI, REGULASI SAMPAI

INTERAKSI

12

A. Potensi Kerukunan Umat Beragama ……………………. 12

B. Regulasi Tentang Kerukunan……………………………. 15

C. Interaksi Antar Umat Beragama………………………… 17

BAB III METODE PENELITIAN…………………………………. 21

A. Materi Penelitian………………………………………… 21

B. Cara/Alat Penelitian…………………………………….. 22

C. Jalan Penelitian…………………………………………. 22

1. Tahap Pengumpulan Data………………………. 22

2. Tahap Analisis Data…………………………….. 25

3. Tahapan Waktu Penelitian………………………. 26

BAB IV TOLERANSI SEBAGAI BEYOND UNDERSTANDING 28

A. Pemahaman Toleransi Keberagamaan Masyarakat Kota

Salatiga Dan Manado

28

B. Bentuk Perilaku Toleransi Keberagamaan Masyarakat

Kota Salatiga Dan Manado

33

C. Proses Penguatan Pemahaman Dan Perilaku Toleransi

Pada Masyarakat Kota Salatiga Dan Manado

36

D. Makna Toleransi………………………………………… 40

1. Pemahaman tentang makna toleransi……………. 40

2. Bentuk perilaku toleransi………………………... 47

3. Upaya penguatan pemahaman dan perilaku

toleransi

55

BAB V SALATIGA DAN MANADO SEBUAH KOMPARASI 63

A. Kota Salatiga…………………………………………….. 63

B. Kota Manado…………………………………………….. 67

C. Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Salatiga Dan

Masyarakat Manado

69

D. Rumah Ibadah dan Ker 75

E. ukunan Masyarakat Salatiga Dan Manado

F. Pesan Damai dalam Perbedaan………………………….. 86

BAB VI DARI MIMBAR RELIGI, KEARIFAN LOKAL, DAN

KERJASAMA

92

A. Kehadiran dan Partisipasi Lembaga Keagamaan……….. 92

B. Khutbah Kerukunan di Manado………………………… 100

C. Pentingnya Kerjasama………………………………….. 107

BAB VII PENUTUP………………………………………………….. 112

A. Kesimpulan……………………………………………… 112

B. Saran-Saran..................................................................... 114

DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 117

LAMPIRAN

DAFTAR INFORMAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada sebuah diskusi bulanan Lintas Agama yang dilakukan di Sinode

Gereja Kristen Jawa Salatiga—sekaligus peneliti aktif di dalamnya—dengan tema

‖Kerukunan dan Toleransi Beragama‖, timbul beberapa pemaknaan tentang

kerukunan dan toteransi sesuai dengan pemahaman keagamaan masing-masing

diskusan. Suhartini pengikut Kristen yang taat, yang keluarganya terdiri dari

beberapa pemeluk agama. Beliau memaknai kerukunan dan toleransi beragama

adalah membiarkan, mengijinkan, dan tidak melarang. Ada juga yang

memaknainya dengan menghargai dan memberi kesempatan umat beragama

melakukan ibadah masing-masing sesuai agama dan keyakinan.

Kemudian dari sana timbul dalam pikiran bahwa akan lahir berbagai

persepsi atas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam benak masyarakat

tentang kerukunan dan toleransi umat beragama. Apakah memang sebuah

kerukunan dan toleransi sudah selesai seperti yang terjadi pada pemahaman

Suharti dan lainnya di atas? Atau mungkin kerukunan dan toleransi lebih sekadar

membiarkan, mengijinkan, tidak terlarang, menghargai, dan memberi kesempatan.

Atau yang lebih mungkin lagi adalah ketidakadaannya kerukunan antarumat

beragama itu sendiri? Artinya, bahwa kerukunan harus memiliki pemaknaan yang

berkonotasi pada pelbagai kelakuan sosial yang nyata, yang menekankan pada

munculnya nilai kerukunan baru yang lahir dari pengalaman kebersamaan umat

agama dalam tatanan ekonomi dan politik yang tidak adil. Nilai kerukunan baru

ini kurang lebih berarti: Solidaritas pada orang miskin—bukan konformitas pada

yang kuat—kerja sama (bukan sekadar tidak ada konflik), pro-eksistensi (bukan

sekadar ko-eksistensi). Kemiskinan menimpa siapa saja tanpa pandang agamanya.

Demikian juga kemiskinan menjadi tanggungjawab siapa saja tanpa pandang

rumah ibadatnya (St. Sunardi, 2004:24-25).

Kerukunan umat beragama bukan saja terciptanya kedamaian yang semu,

dalam arti bahwa kedamaian yang ditimbulkan bukan hanya sekadar ‟untukmulah

agamamu dan untukkulah agamaku‟(QS Al-Kafirun: 6), secara scriptua

(tekstual), yang berarti: sikap masa bodoh, acuh, dan terserah (pre[ko]-eksistensi)

tetapi kerukunan harus diarahkan kepada pemaknaan dan pemahaman yang nyata,

melalui keterlibatan dan rasa memiliki, peduli, dan saling (pro-eksistensi). Untuk

sampai pada tahap penguatan pemaknaan dan pemahaman kerukunan umat

beragama yang nyata tersebut, dapat direalisasikan melalui pelbagai macam cara,

baik melalui dinamika pergaulan, interaksi sosial, kepemilikan, kepedulian,

maupun keterlibatan secara aktif dalam masyarakat yang sangat plural. Selain itu,

anggota masyarakat harus saling menguatkan, dengan diikat oleh sikap saling

mengendalikan diri serta saling menghargai kebebasan dalam menjalankan

aktivitas keagamaan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Pluralitas adalah fenonema yang sangat lekat dengan Indonesia. Enam

agama resmi negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu) dan

lebih dari 150 aliran kepercayaan, cukup menjadi bukti bahwa Indonesia termasuk

salah satu negara pluralis terbesar di dunia. Pluralitas bisa menjadi potensi, namun

dapat pula menjadi problem. Dalam konteks inilah kerukunan diperlukan untuk

mengelola keragaman itu.

Kegelisahan akademik dari penelitian ini adalah ancaman timbulnya

kerawanan hubungan antar umat beragama itu yang disebabkan sifat dari masing-

masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi dari agamanya masing-

masing, kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan

pihak lain, kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan

intoleransi dalam kehidupan masyarakat, kurang adanya komunikasi antar

pemimpin masing-masing antar umat beragama, dan kecenderungan fanatisme

yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan

memandang rendah pihak lain. Belum lagi kurang optimalnya kerjasama antar

tokoh muda lintas agama dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan

keagamaan.

Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan

sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan

kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang

disebutkan itu bersifat universal, selain itu terdapat ajaran agama yang juga bisa

menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku oleh pemeluk,

terutama kaum muda sebagai penerusnya.

Kebebasan beragama dan tipologi multikultural yang terdapat dalam

ajaran universal agama-agama senada dengan kondisi daerah dan masyarakat

Salatiga. Semua agama dan pemeluknya yang ada di Salatiga sementara ini tidak

menandakan adanya superioritas atau imperioritas, terhindar dari konflik, rukun,

dan saling menghargai. Hal ini menandakan betapa toleran dan rukunnya agama

di Salatiga.

Penelitian ini juga ingin membandingkan atau komparasi dengan

pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan

beragama masyarakat Kota Manado. Penelitian komparatif adalah penelitian yang

bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan

persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di

teliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Menurut Nazir (2005: 58)

penelitian komparatif adalah sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari

jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor

penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau

lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka

pemikiran tertentu. Disamping itu juga untuk membuat generalisasi tingkat

perbandingan berdasarkan cara pandang atau kerangka berpikir tentu. Penelitian

komparasi antara Kota Salatiga dan Manado ini juga dalam rangka untuk bisa

menentukan mana yang lebih baik atau mana yang sebaiknya dipilih.

B. Rumusan Masalah

Apakah melalui penguatan pemahaman dan penguatan perilaku karukunan

Antarumat beragama di Kota Salatiga dan Manado dapat meredam dan

meminimalisir terjadinya konflik yang bermuatan SARA sekaligus berupaya

menguatkan NKRI, paling tidak semakin menjauhkan Salatiga dan Manado dari

riak-riak yang menyebabkan konflik antaragama. Rumusan masalah tersebut

dapat dikembangkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan

Manado sebagai masyarakat yang multireligius?

2. Bagaimana perilaku kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado

sebagai masyarakat yang multireligius?

3. Bagaimana proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama

masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang multireligius

dalam upaya penguatan NKRI?

C. Signifikansi Penelitian

Secara teoritis penelitian ini akan memberikan kontribusi dan memperkaya

kajian tentang pemahaman dan perilaku kerukunan antarumat beragama di

Indonesia khususnya Salatiga dan Manado. Sementara secara praksis, penelitian

ini akan menambah pemahaman dan semakin kuatnya bangunan kerukunan

antarumat beragamasekaligus menjadi model aktualisasi kerukunan antarumat

beragama di Indonesia. Selain itu penelitian ini memberikan informasi dan

sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tema pluralisme, dialog

keagamaan, multikulturalisme, kearifan local, dan kerjasama antaragama.

Penelitian ini juga dapat menjadi input yang positif bagi pengembangan penelitian

„discovery‟dan penelitian komparasi dalam upaya untuk melakukan penelitian

yang tidak hanya membuktikan teori, melainkan menemukan suatu nilai-nilai

universal. Lebih lanjut penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para tokoh agama

dan tokoh masyarakat pada umumnya dan stake holders pemerintahan.

D. Kerangka Teori

Kata kerukunan telah digunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti

kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar bangsa, dll. Penggunaan dan

pemahaman dari kerukunan ini bahkan telah tertera dalam dasar negara Indonesia,

yaitu pancasila. Sebagai negara pancasila, Indonesia memberikan tempat pada

kebebasan beragama. Oleh karenanya, kerukunan hidup umat beragama menjadi

suatu yang penting untuk diwujudkan, sebuah kerukunan yang dilandasi

kesadaran bahwa walaupun terdapat perbedaan agama tetapi setiap orang

mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengupayakan kesejahteraan bagi

orang banyak, (Sairin, 2006).

Pemahaman religiusitas secara nyata dapat membawa pada pola kehidupan

yang berkerukunan, karena agama—agama apapun bentuknya—jelas-jelas

mengajarkan kepada manusia untuk berbuat baik, saling menolong, saling

menghargai, dan saling berinteraksi tanpa memandang ras, suku, dan agama.

Sesungguhnya Tuhan menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan,

dan membuatnya bersuku dan berbangsa-bangsa untuk—li ta‟arafu—saling

mengenal (QS Al-Hujurat:13). Melalui bangunan logika sederhana, bahwa term li

ta‟arafu adalah untuk saling mengenal bukan saja seperti kenal dan tahu,

melainkan memiliki makna kenal dan tahu serta saling mengerti dan memahami

sehingga tidak terjadinya perselisihan yang berakibat pada konflik dan

kehancuran.

Sebagai bukti dalam meningkatkan pemahaman religiusitas yang

berimplikasi pada kerukunan umat beragama yang bersifat pro-eksistensi.Ada satu

peristiwa yang dapat diteladani dari apa yang Rasulullah ajarkan bahwa betapa

besar kerukunan yang dilakukan oleh Rasulullah. Adalah penerimaannya terhadap

delegasi Kristen dari Najran. Mereka menganut agama Katolik yang dipimpin

oleh Abdu ‘al-Masih al-Ayham dan Abu Haritsah bin ‘Alqama, salah seorang

uskup. Mereka tinggal beberapa hari di Madinah dan ditampung di Masjid

Nabawi dan di rumah-rumah sahabat Rasulullah. Selama beberapa hari terjalin

dialog antaragama antara Rasulullah dengan mereka. Suatu ketika pimpinan

delegasi itu mohon pamit kepada Rasulullah. Rasulullah menanyakan apa

keperluan mereka sehingga harus meninggalkan masjid. Mereka menjawab bahwa

mereka ingin melakukan kebaktian. Rasulullah mencegah mereka pergi ke luar

masjid dan mempersilahkan mereka melakukan kebaktian di Masjid Nabawi.

Peristiwa ini diceritakan oleh sejarawan Islam dalam buku Sirah Ibn Ishaq (85-

151 H). (Effendi, 2004:66)

Kembali menuju fenomena tersebut, ada dua wilayah yang mengangkat

dan mengagungkan nilai kerukunan. Pertama, sebagai pemeluk Kristen, Abd ‘I-

Masih al-Ayham dan Abu Haritsah bin ‘Alqama beserta rombongannya menjaga

dan menghormati perasaan Rasulullah dan umat muslim, sehingga mereka dengan

rasa hormat memohon izin untuk melakukan kebaktian di lain tempat. Kedua,

Rasulullah Muhammad pun menghormati rombongan tersebut untuk dengan

memperbolehkan melakukan kebaktiannya di Masjid Nabawi. Nilai spiritual dan

melakukan ritus keagamaan tidak dibatasi oleh tempat, karena hal tersebut

hanyalah simbolisme-simbolisme yang diberikan oleh manusia.

Agama adalah sebagai sebuah pengejawantahan dari ekesistensi Tuhan

memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Dengan agama tersebut manusia

tertolong dalam memecahkan berbagai dimensi misteri dan persoalan, baik

dimensi misteri dan persoalan sosial maupun dimensi misteri dan persoalan

ketuhanan itu sendiri. Agama juga diyakini oleh semua pemeluknya, sebagai

ranah yang mampu membawa pada kerukunan, kedamaian, dan keselamatan.

E. Kajian Riset Sebelumnya

Isu-isu yang menyangkut tentang kerukunan dan pluralisme agama serta

konflik-konfik yang disinyalir disebabkan oleh keberbedaan agama banyak

menarik perhatian peneliti; Tulisan Imam Tholkhah dalam Jurnal Harmoni (2004)

yang berjudul Membangun Kualitas Kerukunan Umat Beragama, mengisyaratkan

betapa pentingnya berbagai aspek guna mendorong terbangunnya kerukunan umat

beragama, diantaranya; aspek ajaran agama yang universal tentang kasih, cinta,

dan adil terhadap sesama; aspek soaial budaya yang bukan saja bermuara pada

wilayah birokrasi akan tetapi juga pada akar rumput; aspek pembentukan

organisasi lintas agama; aspek kearifan lokal; aspek historis; dan aspek hukum.

Ibnu Hasan Muchtar (2004) dengan judul penelitian Kajian Tentang

Kegiatan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Provinsi Nusa Tenggara Timur,

menyimpulkan bahwa kerukunan hidup umat beragama bertolak dari kebutuhan

riil umat beragama NTT, yang menyadari keberadaannya sebagai masyarakat

majemuk, multi etnis, suku, agama dan ragam budaya untuk hidup rukun, aman,

damai di wilayah RI. Sekaligus meniptakan bingkai kerukunan hidup beragama di

NTT, dengan melakukan pengkajian perumusan serta giat mensosialisasikan

manajemen strategis kerukunan hidup beragama Nusa Tenggara Timur.

Penelitian berjudul ―Umat Islam dalam Memaknai Isu Kristenisasi di

Salatiga (Suatu Analisis Persepsi Berdasarkan Perspektif Teori Coordinated

Management Of Meaning)‖ oleh Stefanie Theresia Permata, Royke Siahainenia,

dan Sampoerno yang dimuat pada Jurnal Cakrawala UKSW mengangkat bahwa

isu dominasi orang Kristen di Salatiga, tidak sedikit yang membenarkan bahwa

terangkatnya image Salatiga sebagai ‗Kota Kristen‘ sangat besar dipengaruhi oleh

kehadiran Universitas Kristen Satya Wacana sebagai universitas tertua dan

bergengsi di kota tersebut. Menilik lebih dalam pada isu Kristenisasi tak sebatas

pelekatan kesan kota Kristen maupun isu SARA yang menerpa UKSW.

Pembangunan rumah ibadah juga menjadi indikasi isu lainnya. Munculnya

bentuk-bentuk isu ini baiknya harus dicermati. Salah satu cara dalam mengamati

adalah dengan melihat populasi agama dan tingkat pertumbuhan rumah ibadah

dalam beberapa tahun belakangan atau berdasarkan sensus terakhir (Dapat dilihat

pada laman http://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/view/49 diakses pada bulan

April 2018).

Hidup menyatu dalam masyarakat plural perlu ada kesadaran bersama

untuk membangun platform yang memberikan jaminan hidup bagi seluruh warga

lintas agama untuk menikmati kesejahteraan secara material dan spiritual. Slogan

‖gotong royong‖ masyarakat Jawa sangat tepat untuk menggambarkan etos kerja

sama dan bersama-sama menjaga harmonisasi dalam kehidupan plural.

Masyarakat Indonesia perlu menghidupkan semangat kerja sama untuk menjaga

dinamika sekaligus harmonisasi dalam kehidupan masyarakat plural.

Pemberdayaan masyarakat perlu disosialisasikan sebagai bagian dari penggugah

gairah warga untuk hidup bersamasama dalam lingkungan yang plural. Hal

tersebut dapat dibaca lebih lanjut dalam penelitian Imam Sutomo yang diterbitkan

pada jurnal INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Juni

2014: 93-114 dengan judul Implementasi Nilai Religiusitas dan Toleransi dalam

Pemberdayaan MasyarakatPada Jamaah Masjid Al-Hikmah Sidomukti Salatiga.

Sementara itu penelitian Wulan Purnama Sari dengan judul Studi

Pertukaran Sosial Dan Peran Nilai Agama Dalam Menjaga Kerukunan Antar

Kelompok Umat Beragama Di Manadoyang dimuat pada Jurnal Komunikasi

Profetik Vol 11, No 1 (2018) menyebutkan bahwa Isu rasial memiliki potensi

konflik yang sangat tinggi, khususnya di Indonesia yang memiliki keberagaman

tinggi sehingga potensi akan konflik menjadi lebih tinggi. Keberagaman yang

dimiliki Indonesia ini menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan

kerukunan. Setiap agama bahkan mengajarkan tentang pentingnya kerukunan.

Sedangkan dalam teori pertukaran sosial diketahui bahwa interaksi manusia

dilandaskan pada prinsip pertukaran, dimana penghargaan dimaksimalkan dan

biaya dihindari. Kemudian dalam hal menjaga kerukunan faktor peran nilai agama

atau faktor pertukaran sosial yang lebih memiliki peran dalam kerukunan di

Manado. Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori kerukunan, nilai agama,

dan pertukaran sosial.Hasil penelitian menunjukkan bawah kerukunan dapat

tercipta di Manado karena faktor sejarah, pendidikan, peran orang tua yang

mengajarkan nilai-nilai hidup orang Manado, nilai ajaran agama, serta peran dari

para opinion leader yang turut menjaga kerukunan. Penelitian ini juga

menunjukkan bahwa antara Suku Minahasa dengan suku pendatang yang berbeda

agama terjadi pertukaran sosial, dimana suku Minahasa melakukan pertukaran ini

dengan dasar keuntungan terciptanya lingkungan yang damai dan rukun serta

menaati nilai dan ajaran agama.

Penelitian Frangky Suleman, Keberagaman Budaya dan Agama di Kota

Manado, yang dimuat pada jurnal Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian

Antropologi,E-ISSN : 2599-1078, tahun 2017menyebutkan bahwa Manado yang

berpenduduk mayoritas beragama Kristen, sedangkan Islam merupakan agama

yang di anut ke 2 terbesar selain dari agama-agama lain yang ada di kota manado,

keberagaman dan kemajemukan yang ada pada masyarakatnya membuat kota

manado kaya akan budaya. Masyarakat menunjukkan hubungan mendalam antar

budaya berbagai macam masyarakat yang terjadi sebagai akibat adaptasi kultural

dengan nilai budaya lokal. Dalam hal ini, masyarakat tempatan yaitu orang

Minahasa yang dominan kuantitas memiliki nilai budaya ideal yang adaptif dan

berkembang secara alamiah seiring proses interaksi serta diterima dengan baik

oleh masyarakat pendatang (bukan orang Minahasa) sebagai culture dominant.

F. Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian, peneliti menggunakan berbagai macam

cara untuk mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya untuk

mewujudkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain

penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2010), penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-

lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.

Peneliti memilih penelitian studi kasus karena penelitian studi kasus berusaha

menggambarkan kehidupan dan tindakan-tindakan manusia secara khusus pada

lokasi tertentu dengan kasus tertentu.

Penelitian studi kasus menurut Basuki (2006) adalah kajian mendalam

tentang peristiwa, lingkungan, dan situasi tertentu yang memungkinkan

mengungkapkan atau memahami sesuatu hal. Dalam penelitian ini peneliti ingin

berusaha mengungkapkan secara mendalam tentang bagaimana pemahaman,

perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama

masyarakat Salatiga dan Kota Manado sebagai masyarakat yang

multireligiusdalam perspektif tokoh-tokoh lintas agama.

Lokasi Salatiga terdiri dari 4 (empat) kecamatan, yaitu: Kecamatan

Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti.

Kota Salatiga adalah potret wilayah yang pluralistik, terlihat dari persentasi

jumlah penduduk penganut agamanya hampir berimbang. Sehingga Salatiga harus

mendapat prioritas untuk mendapatkan perhatian dalam persoalan motivasi

kerukunan beragama, dan sebuah usaha preventif yang harus dilakukan agar tidak

terjadi konflik antar agama.

Terlihat dalam jumlah penduduk agama kota Salatiga pada tahun 2012

sebagai berikut: Islam 144,695 (78%), Kristen 29,629 (16%), Katholik 9,879

(6.17%), Budha 1,288 (0,01%), dan Hindu 312 (0,002%)(Salatiga dalam Angka

dan BPS, 2012:123-124). Sehingga Kota Salatiga dapat dikategorikan pada

masyarakat yang multireligius dan pluralis. Sedangkan untuk tempat peribadatan

menurut data tahun 2012 adalah sebagai berikut: Masjid 200, Musholla: 293,

Gereja: 72, Vihara: 7.

Adapun yang akan dijadikan subjek teliti adalah penduduk penganut;

pemuka agama (Kyai, ‟Alim), Pendeta, Pastor, Guru Agama di sekolah dari

tingkat SD (Sekolah Dasar), sampai SMU (Sekolah Menengah Umum),

Akademisi, Organisasi keagamaan, Pemuka Masyarakat (Struktur Pemerintah

Kota sampai tingkat Kelurahan), dan bagian dari anggota masyarakat yang

berdomisili di Salatiga.

Sementara itu Kota Manado adalah ibu kota dari provinsiSulawesi Utara.

Kota Manado seringkali disebut sebagai Menado. Manado terletak di Teluk

Manado dan dikelilingi oleh daerah pegunungan. Kota ini memiliki 408.354

penduduk pada Sensus 2010, menjadikannya kota terbesar kedua di Sulawesi

setelah Makassar. Jumlah penduduk di Manado diperkirakan (berdasarkan Januari

2014) adalah 430.790. Saat ini mayoritas penduduk kota Manado berasal dari

suku Minahasa, karena wilayah Manado merupakan berada di tanah/daerah

Minahasa. Suku bangsa lainnya yang ada di Manado saat ini yaitu suku Sangir,

suku Gorontalo, suku Mongondow, suku Arab, suku Babontehu, suku Talaud,

suku Tionghoa, suku Siau dan kaum Borgo. Karena banyaknya komunitas

peranakan arab, maka keberadaan Kampung Arab yang berada dalam radius dekat

Pasar '45 masih bertahan sampai sekarang dan menjadi salah satu tujuan wisata

agama. Selain itu terdapat pula penduduk suku Jawa, suku Batak, dan suku

Makassar .

Agama yang dianut masyarakat Kota Manado adalah Kristen Protestan,

Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan data sensus

penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan

62.10%, Katolik 5.02%, Muslim 31.30%, Buddha 0.55%, Hindu 0.17% dan

Konghucu 0.10%. Meski begitu heterogennya, namun masyarakat Manado sangat

menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota

Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai

salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-

rawannya disebabkan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai

kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif

aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu Torang samua

basudara yang artinya "Kita semua bersaudara".

Output yang akan hasilkan dari penelitian ini adalah: 1) Buku Pedoman

Toleransi yang akan dijadikan rujukan pengambilan kebijakan dalam bidang

kerukunan umat beragama oleh Pemerintah, perguruan tinggi Keagamaan Islam

dalam bidang pengabdian masyarakat dan pengembangan organisasi sosial

kemasyarakatan dan keagamaan; 2) penyusunan Role Model kerukunan umat

beragama di wilayah perkotaan, urban, dan padat penduduk.

BAB II

KERUKUNAN: DARI POTENSI, REGULASI SAMPAI INTERAKSI

A. Potensi Kerukunan Umat Beragama

Bagaimana pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan

perilaku kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai

masyarakat yang multireligius?Kerukunan kerap disandingkan dengan makna

toleransi. Secara etimologis, toleransi berasal dari bahasa Inggris, tolerance,

diindonesiakan menjadi toleransi, dalam bahasa Arab disebut altasamuh, yang

berarti, antara lain, sikap rukun, kerukunan, tenggang rasa, teposelero, dan sikap

membiarkan. Sedangkan secara terminologis, toleransi adalah sikap membiarkan

orang lain melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Bila disebut

toleransi antarumat beragama, maka artinya adalah bahwa masing-masing umat

beragama membiarkan dan menjaga suasana kondusif bagi umat agama lain untuk

melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya tanpa dihalangi-halangi.

Persoalan kerukunan bukan hanya ditujukan kepada masyarakat yang

heterogen baik etnis maupun agama, akan tetapi juga terhadap masyarakat

homogen karena masyarakat ini juga mengandung potensi konflik yang cenderung

muncul sewaktu-waktu ke permukaan. Manakala kerukunan tidak terwujud, maka

dengan sendirinya akan menghabiskan ongkos besar sebuah pembangunan karena

akan menguras energi maupun dana yang akan terbuang percuma. Oleh

karenanya, baik pemerintah maupun masyarakat hendaknya secara dini dapat

membangun sistem ketahanan masyarakat (early warning system) sehingga

pemerintah tidak dihadapkan kepada situasi dadakan. Institusi pemerintah

mempersiapkan sarana dan fasilitas untuk mendukung pengembangan semangat

kerukunan sementara masyarakat mengembangkan berbagai kearifan lokal

sebagai hasil pengalaman pranata sosial dalam membakukan kerukunan itu. Hal

ini disebabkan karena semangat membangun kerukunan hendaklah muncul dari

pemuka masyarakat sehingga ia bersifat dinamis, kreatif dan inovatif dan menjadi

milik masyarakat sendiri di bawah kepemimpinan wibawa para primus

interpares.(Suryan A. Jamrah, JURNAL USHULUDDIN Vol. 23 No. 2, Juli-

Desember 2015)

Kerukunan, seperti telah dikemukakan di atas, adalah sikap tenggang rasa

dan dengan lapang dada membiarkan orang lain untuk melakukan apa yang

diinginkan. Kerukunan beragama, menurut Islam, adalah sebatas membiarkan

umat agama lain untuk melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya, sejauh

aktivitas tersebut tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan umum. Kalau

Islam mengajarkan dan menekankan keniscayaan akhlak kerukunan dalam

pergaulan antarumat beragama, maka tidak mungkin Islam merusak kerukunan

tersebut atas nama agama pula. Namun, di lain pihak, dalam pergaulan antarumat

beragama, Islam juga sangat ketat menjaga kemurnian akidah dan syariah

Islamiah dari noda-noda yang datang dari luar. Maka bagi Islam kemurnian

akidah dan syariah Islamiah tersebut tidak boleh dirusak atau ternoda oleh praktik

kerukunan.

Secara teoretis dan logis, semua umat beragama mendambakan kehidupan

damai tanpa konflik, termasuk konflik atas nama agama karena berbeda. Tidak

ada agama yang menganjurkan kekerasan dan konflik. Namun kenyataannya,

toleransi yang menjadi syarat kerukunan dan kedamaian sosial tersebut tidak

mudah diwujudkan tanpa kendala. Masih ada kendala yang selalu muncul di

sekitar upaya mewujudkan toleransi antarumat beragama. Rosyid (ADDIN , Vol.

7, No. 1, Februari 2013) menyebutkan bahwa tahun demi tahun tidak

menggembirakan dalam soal kerukunan umat beragama, baik intern maupun

antarumat beragama dan umat berkeyakinan di negeri ini. Masalah tersebut

berakar pada banyak persoalan, dari dalam dan dari luar agama. Sebagian

kelompok memperoleh pemahaman yang sempit tentang agama. Mereka juga

kurang mengenal keragaman budaya alias kemajemukan. Faktor luar berasal dari

banyak masalah yang membelit masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran,

pendidikan, infrastruktur yang lemah atau masalah lingkungan. Pemerintah dinilai

oleh masyarakat belum mampu membangunnegeri yang sumber daya alamnya

melimpah. Penegakan hukum yang lemah, bahkan Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme (KKN) semakin subur. Tren kekerasan di Indonesia meningkat,

toleransi beragama semakin terkikis dan radikalisasi agama kian menguat yang

terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain. Penyebab

intoleransi juga akibat tidak ada lagi tokoh masyarakat atau pemimpin yang

dihormati. Dulu masyarakat kuat karena ada inisiatif pemimpin lokal, munculnya

otoritas tradisional secara turun-temurun karena kharisma pemimpin dalam wujud

tokoh adat yang berperan mendamaikan konflik.

Semangat kerukunan bukanlah sesuatu yang sudah demikian adanya. Hal

ini disebabkan karena derasnya tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh

masyarakat. Keterikatan masyarakat terhadap komitmen kesukuan dan agama

akan mengalami fluktuasi seiring dengan terjadinya perubahan sosial. Oleh karena

itu untuk menumbuh-suburkan semangat kerukunan tidak bisa hanya

denganmengandalkan kepada pola-pola lama. Anak-anak muda yang telah

bersinggungan dengan modernisasi tidak lagi memiliki ikatan emosional kepada

agamamaupun budayanya seperti yang dialami oleh orangtua mereka. Oleh karena

itu, apabila masyarakat tidak diberikan bekal pengetahuan terhadap kemajemukan

itu maka masyarakat akan mengalami krisis identitas yaitu di satu sisi masyarakat

telah meninggalkan nilai tradisi sementara nilai-nilai moderen belum mapan

dalam kehidupan mereka (Hamidah, Wardah: Vol. 17 No. 2/Juli-Desember2016).

Problem kerukunan antar umat beragama tidak jarang mengganggu

stabilitas bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Lebih daripada perbedaan

sekte (aliran) keagamaan, perbedaan agama melibatkan massa yang lebih banyak,

sehingga efek psikologis dan sosiologisnya lebih luas. Bentrokan antar umat

beragama mampu rnenggerakkan simpati masing-masing umat beragama

dihampir seluruh kawasan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pada tataran ini

disharmoni antar . "umat beragama dapat dengan mudah rnempengaruhi stabilitas

politik, terutama karena campur tangan lembaga-lembaga keagamaan berskala

nasional dan intemasional. Keberadaan militansi dan kelompok-kelolnpok

fundamentalis memperoleh apresiasi di masing-masing komunitas keagamaan.

Selanjutnya, hal ini akan membangkitkan sentimen keagamaan yang meluap-luap

yang berujung pada perasaan wajib turut berjuang- dengan jiwa dan raga -

membela agama (Marzuki, Cakrawala Pendidikan, Juni 2001, Th.XX, No..3).

Persoalannya sekarang, bagaimana mengatasi permasalahan agama yang

sangat rumit ini. Berbagai upaya ditawarkan dan dilaksanakan seperti yang sudah

disinggung di atas, yakni dengan pendekatan studi agama, seperti yang ditawarkan

M. Amin Abdullah, dengan penerapan pola Tiga Kerukunan Umat Beragama

seperti yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia, dan juga dengan melakukan

dialog yang melibatkan para pemimpin agama-agama yang bertikai. Tawaran

pemecahan ini tampaknya sangat bagus, namun bersifat intelektual sehingga

jangkauannya kurang massif. Untuk itu tawaran lain yang perlu diperhatikan

adalah pendekatan sosiologis intelektual melalui pelaksanaan Pendidikan Agama

di sekolah. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengisi dan memenuhi kebutuhan-

kebutuhan beragama secara pluralistik di dalam kerangka kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Regulasi Tentang Kerukunan

Bahwa persoalan kerukunan umat beragama merupakan persoalan bangsa

yang harus diprioritaskan dalam penangannya. Perlu ada upaya penguatan

terhadap kerukunan umat beragama secara serius melalui regulasi. Regulasi

tentang kerukunan umat beragama seperti itu merupakan suatu hal yang niscaya.

Bahkan, supaya regulasi ini memiliki kekuatan hukum yang kuat maka sudah

semestinya ia berbentuk undang-undang berdasar sistem hukum yang berlaku di

Indonesia. Keberadaan regulasi ini untuk melindungi keberlangsungan Tri

Kerukunan Umat Beragama yang ada, yakni kerukunan intern umat beragama,

kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan

pemerintah. Terkait hal ini, peran pemerintah dalam menjaga kerukunan umat

beragama seperti ini mutlak dibutuhkan. Peran yang dijalankan oleh pemerintah

dalam hal ini adalah dengan menerbitkan regulasi dan juga memberikan fasilitas

terhadap berbagai program kegiatan yang mengarah pada pemeliharaan kerukunan

umat beragama. Dukungan fasilitas pemerintah seperti ini sangat berpengaruh

bagi upaya peningkatan kerukunan hidup umat beragama.

Dasar persoalan pemikiran seperti di atas dapat dipahami, yakni dengan

Pendidikan Agama peserta didik dari agama tertentu diarahkan untuk memahami

dengan benar dan sebaik-baiknya ajaran agama yang dianutnya, selanjutnya

diharapkan mampu melaksanakan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari,

sehingga terbentuk insan-insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Inilah jalan pikiran yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini

terutama melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional.

Pendekatan semacam ini dikenal dengan pendekatan doktriner teologis-normatif.

Pendekatan ini dilengkapi oleh Amin Abdullah dengan penekanannya pada studi

agama yang menjadikan agama sebagai suatu bidang kajian ilmiah. Pendekatan

kedua ini disebut pendekatan historis-empiris-kritis (Abdullah, 1999: 12). Hanya

saja cara ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan intelektual saja dan tidak

merembes ke dalam keluarga yang bukan dari kalangan intelektual.

Potensi kerukunan umat beragama berada dalam ranah sosial, di mana

masing-masing umat yang berbeda agama melakukan interaksi dalam kehidupan

sosial mereka. Dengan kata lain, mereka tidak dipertemukan dalam lintas iman,

melainkan dalam lingkungan sosial. Ini artinya, kerukunan beragama tidak bisa

dan memang tidak perlu menyentuh ranah teologis. Ranah sosial inilah yang harus

dipelihara, dijaga sebagai bentuk ruang dialog. Secara umum, dari hasil penelitian

di Salatiga dan Manado ditemukan ada faktor-faktor yang bisa menjadi

sarana/wadah sosial terciptanya kerukunan yaitu, tradisi, adat/budaya, tokoh

agama, dan organisasi kelembagaan masyarakat/pemerintah yang mestinya dapat

dikembangkan. Dari hasil analisa pengelompokan data berdasarkan wilayah,

ditemukan adanya tipologi yang berbeda antarwilayah, sesuai ruang interaksi

antar umat beragama.

Pemerintah melalui Kementerian Agama telah melakukan berbagai

kegiatan yang ditujukan untuk mengembangkan kerukunan umat beragama di

Indonesia, di antaranya kegiatan reharmonisasi dan antisipasi disharmonisasi

kehidupan sosial keagamaan daerah pascakonflik/rawan konflik; penguatan peran

dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan pemahaman agama

berwawasan multikultural; pengembangan budaya damai; Participatory Action

Research (PAR) untuk pengembangan model kerukunan; pemberdayaan

organisasi keagamaan; serta penguatan peran tokoh-tokoh agama dan pemuka

agama. Selain itu juga peningkatan kerukunan umat beragama juga dilakukan

melalui penerbitan, sosialisasi dan implementasi Peraturan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan

Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,

dan Pendirian Rumah Ibadah.

Terlepas dari upaya pemerintah meningkatkan kualitas kerukunan

beragama tersebut, di sisi lain masyarakat sendiri juga memiliki peran yang

penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Bangsa Indonesia yang

memiliki norma-norma kemasyarakatan yang di antaranya bersumber pada nilai-

nilai agama mendukung terciptanya kerukunan di lingkungan mereka. Nilai-nilai

agama mendorong umat penganutnya untuk cinta damai, membangun kerjasama,

sikap toleransi dan menghormati agama lain. Ajaranajaran inilah yang sebenarnya

menjadi landasan sikap dan perilaku masyarakat secara umum dalam berinteraksi

dan berhubungan dengan orang lain yang menganut agama berbeda. Kerukunan

merupakan nilai yang universal, yang dapat ditemukan dalam setiap ajaran agama.

Setiap agama mengajarkan kepada umatnya untuk mengasihi sesama makhluk

hidup dan bersikap positif terhadap alam. Semua agama pada hakikatnya

mengajarkan umatnya untuk mawas diri, mengenal dirinya terlebih dahulu,

mengenal segala musuh yang ada dalam dirinya serta kelobaan, iri hati,

kemarahan dan lain sebagainya. Dengan senantiasa mawas diri, umat beragama

akan tetap dapat menjaga saling pengertian dengan umat lain dan benar-benar

dapat mengembangkan wawasan kebangsaan, menyadari diri sebagai bagian dari

bangsa Indonesia yang besar

C. Interaksi Antar Umat Beragama

Pada dataran formal, hubungan umat beragama membutuhkan pola

pengaturan yang dapat dipahami oleh semua agama. Peran Forum Kerukunan

Umat Beragama (FKUB), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama,

tokoh Adat, tokoh masyarakat dalam kegiatan sosial keagamaan menjadi sangat

penting. FKUB misalnya sebagai wadah kerukunan umat beragama, menempati

posisi sebagai penengah, pemberi informasi, dan membawa suasana kerukunan.

Pada tingkatan formal hubungan kemasyarakatan, terutama pada perayaan hari-

hari besar agama menuntut semua agama terlibat dalam bentuk penghormatan.

Dialog Budaya dalam bentuk pelaksanaan tradisi lokal juga dapat membuka

perasaan saling memiliki suasana sosial, keterbukaan sosial, menghilangkan rasa

curiga, dan sikap fanatik yang berlebihan dalam beragama. Forum-forum

pertemuan yang terwadahi dalam tradisi lokal bisa mengkontruksi kebersamaan,

rasa saling memiliki hubungan persaudaraan, dan saling mengenal.

Bila dilihat dari kacamata konstitusi, secara tegas dan jelas disebutkan

bahwa konstitusi negara ini serta sistem penyelenggaraan pemerintahan negara

sangat mencita-citakan adanya tata kehidupan umat beragama yang berjalan

dalam semangat persatuan dan kesatuan, di atas pedoman filosofis Bhinneka

Tunggal Ika. Secara konstitusional hal ini tersirat dengan jelas dalam pasal 29

UUD 1945. Demikian pula dalam jiwa sila ketiga Pancasila, yang berbunyi

Persatuan Indonesia, jelas terkandung nilai kerukunan. Dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan negara, cita-cita kerukunan ditunjukkan dalam

prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good

governance). Dalam konsep good governance disebutkan bahwa salah satu ukuran

kepemerintahan yang baik adalah adanya suatu masyarakat yang madani, yaitu

masyarakat yang plural demokratis, saling menghargai, adanya peradaban

masyarakat, menerima dan menghargai keberagaman, dan bersama membangun

masyarakat maju dan sejahtera, serta adanya tata kehidupan masyarakat yang

mencapai kesepakatan bersama guna mengatur kelompok-kelompok yang

berbeda. Dengan adanya amanat seperti ini, maka dalam tataran implementasi

praktis memerlukan adanya regulasi. Keberadaan regulasi memiliki arti penting,

yakni sebagai pedoman atau aturan main (rule of game) yang bisa dijadikan

sebagai acuan bersama untuk hidup berdampingan yang sehat dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia; mekanisme pengelolaan terhadap konflik

agama atau pengelolaan kerukunan beragama; sebagai kontrol sosial, alat

rekayasa sosial, dan pengakuan kebhinekaan, keberagaman, dan hiterogenitas

bangsa; upaya penguatan terhadap kerukunan umat beragama; untuk melindungi

keberlangsungan Tri Kerukunan Umat Beragama; pedoman dan panduan untuk

keabsahan campur tangan pemerintah dalam memediasi dan memecahkan

masalah kerukunan umat beragama

Oleh karena itulah, ketika arus globalisasi makin kencang berputar

melaluikebaruan-kebaruan pada sistem teknologi, informasi, dan komunikasi

denganjuga menggeliatnya beberapa penyimpangan sosial, justru kearifan lokal

daribudaya yang luhur menjadi sangat penting: sebagai identitas yang

memilikikompleksitas dengan kelenturan yang dapat diterima oleh berbagai

elemen.Adapun usaha untuk menggali nilai luhur budaya menjadi pekerjaanyang

bijak, mengingat banyak orang yang sudah mulai mengabaikan budayasecara utuh

dan terjerumus pada pergaulan yang keliru. Budaya itusendiri, tidak akan pernah

habis, walau zaman bergeser dalam konstruksi citrayang penuh gemerlap.

Sumbangan pengetahuan tersebut menjadi sangatberharga kepada kita semua

sebagai praktik maupun wacana berdasar padaranah filosofis yang luhur.

Kerukunan umat beragama dimungkinkan akan tumbuh ketika agama

diberikan ruang untuk berdialog dalam ruang budaya tanpa ada unsur paksaan dari

pihak lain. Dengan dialog, kerukunan beragama akan menjadi nyata melalui

peningkatan pemahaman ajaran agama pada masing-masing pengikut/umat

beragama; menjunjung tinggi perbedaan dan keanekaragaman pemahaman

keagamaan; mengesampingkan pikiran-pikiran yang menganggap pendekatan

budaya tidak relevan. Lewat dialog itu pula akan tumbuh kedewasaan beragama,

yakni kesanggupan untuk menghormati perbedaan keyakinan dalam beragama.

Dalam konteks Indonesia, ruang kerukunan hanya akan bisa dibentuk

ketika budaya masyarakat mampu menciptakan sarana pertemuan diluar konteks

agama. Pada posisi inilah dibutuhkan pelestarian arena interaksi umat dari

berbagai agama secara alami. Ruang interaksi yang benar-benar tumbuh dari

kesadaran umat beragama untuk berbaur dengan kelompok agama lain, bukan

arena interaksi yang secara politis dipaksakan. (Arifuddin Ismail, Jurnal ―Analisa‖

Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010). Untuk mewujudkan kerukunan

hidup beragama dan kerjasama antar umat beragama yang harmonis dan

berkualitas, tampaknya harus didasarkan pada faktor dan unsur yang bersifat

universal, yaitu faktor dan unsur kemanusiaan berdasarkan pandangan agama.

Bila unsur dan faktor yang universal itu dapat difungsikan secara efektif, maka

untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama dan kerjasama antar umat

beragama tidak: memerlukan unsur dan faktor eksternal, seperti negara dan

pemerintah.

Masyarakat Indonesia secara umum mampu menunjukkan diri sebagai

masyarakat yang memiliki toleransi terhadap umat agama lainnya. Selain itu,

diperlukan pula kesadaran umat beragama dalam menumbuhkan sikap toleran

dalam kehidupan beragama. Sikap toleran ini dapat menumbuhkan rasa saling

menghargai dan saling menghormati antara satu dengan yang lain untuk

mewujudkan ketenteraman dan perdamaian. Perwujudan sikap toleransi dalam

beragama dapat dicirikan dengan beberapa indikasi. Indikator-indikator sikap

toleransi tersebut adalah adanya penerimaan terhadap kelompok lain untuk hidup

bersama, terciptanya ruang dialog antar umat beragama, dan saling menghargai

terhadap aktivitas keberagamaan pemeluk agama lain.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Materi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan dan bersifat kualitatif. Oleh

karena itu bahan-bahan penelitian primer diambil dari hasilobservasi, informasi

hasil wawancara mendalam, refleksi, ungkapan, dan tindakan dari beberapa

informan. Penelitian ini juga diperkuat dengan data sekunder berupa kajian buku,

naskah-naskah, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan

pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan

beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang

multireligius, kerjasama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas

dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-masing).

Sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang

menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup

bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.Lokasi

penelitian adalah Kota Salatiga dan Kota Manado serta sekitarnya.Pemilihan

lokasi di Salatiga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kemenarikan,

keunikan, dan kesesuaian dengan topik yang dipilih. Penelitian ini dilakukan

dengan pertimbangan bahwa masyarakatnya memeluk agama Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, tapi kepercayaan mereka akan adanya

kearifan lokal tetap berdampingan dengan keyakinan agama. Kota Manado dipilih

untuk mewakili kota besar, wilayah timur dan mayoritas penduduk beragama

Krtisten. Kota Manado didiami oleh beberapa etnis besar dari Sulawesi

Utaradiantaranya Minahasa, Bolaang Mongondow dan Sangihe-Talaud.

Meskipun Kota Manado didiami oleh berbagai etnis dan berbagai golongan agama

namun masyarakat Kota Manado selalu hidup rukun dan damai. Tak heran jika

dikatakan bahwa Manado merupakan miniatur Indonesia. Oleh karena itu selain

materi tersebut di atas juga dianggap sangat penting bahan-bahan yang bersumber

pada informan, baik berupa wawancara, maupun dialog dengan para tokoh yang

dianggap memiliki kredibilitas dalam kerjasama lintas iman/agama.

Informan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu informan internal

dan informan eksternal. Informan internal adalah informan yang berasal dari para

tokoh lintas agama di kota Salatiga dan Kota Manadoserta Informan eksternal

adalah informan yang berasal dari luar yaitu masyarakat plural yang berdomisili

di kota Salatiga dan Kota Manado. Peneliti menganggap tepat beberapa pihak

untuk dijadikan informan. Secara sederhana digambarkan oleh peneliti dalam

gambar informan dibawah ini:

Masyarakat Plural

Informan Eksternal Informan Internal

Informan

Tokoh Lintas

Agama

B. Cara/Alat Penelitian

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa penelitian ini adalah peneltian

lapangan bersifat kualitatif. Objek penelitian adalah tentang pemahaman, perilaku,

dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama masyarakat

Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang multireligius, dialog, dan

kerjasama lintas iman/agama. Cara penelitian dilakukan dengan peneliti langsung

melakukan pengumpulan data, dan mengingat penelitian bersifat kualitatif maka

teknik penelitian dilakukan dengan pengumpulan data pada sumber-sumber data,

dan peneliti langsung melakukan analisis.

C. Jalan Penelitian

1. Tahap Pengumpulan Data

Sebelum melakukan penelitian, peneliti merinci sumber-sumber data, serta

menentukan lokasi pengumpulan data. Satu hal yang menjadi kesulitan yang bakal

dihadapi dalam penelitian ini adalah tekanan dan kecurigaan sebagai konsekuensi

penelitian keagamaan, oleh karena itu sumber data berupa kepustakaan menjadi

sangat penting dalam penelitian untuk mendukung kelengkapannya.

Pengumpulan data juga dilakukan pada sumber-sumber data organisasi

keagamaan antara lain:

1. Kementerian Agama Kota Salatiga,

2. Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Salatiga dan Kota Manado,

3. Majelis Pimpinan Umat Beragama Salatiga (Majelis PUASA),

4. LSM Percik,

5. Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah

6. Forum Agamawan Muda Lintas Iman Kota Salatiga

7. Jamaah Gereja Katolik Santo Paulus Miki Salatiga

8. Akademisi STAB Syaelendra Kab Semarang

9. Parisadha Hindu Dharma Salatiga

10. Fatayat NU Salatiga

11. GKJ Sidomukti Salatiga

12. Sekolah dan Pendeta Seminari Manado

13. Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Manado

14. Agamawan Konghucu Manado

15. Agamawan Muslim Manado

16. Perwakilan Komunitas Syiah di Manado

serta lembaga-lembaga lainnya yang memiliki hubungan dengan pluralisme,

dialog, dan kerjasama lintas iman/agama. Oleh karena penelitian ini pada

tahap pengumpulan data, peneliti sekaligus melakukan analisis dengan metode

verstehen, untuk memahami makna data. Adapun proses pengumpulan data

dilakukan dengan (a) mencatat data pada kartu data secara paraphrase,

mencatat dan menangkap keseluruhan inti sari data kemudian mencatat pada

kartu data, dengan menggunakan kalimat yang disusun oleh peneliti sendiri.

(b) Mencatat data secara quotasi, yaitu mencatat data dari sumber secara

langsung dan secara persis. (c) Mencatat data secara sinoptik, yaitu mencatat

dari sumber data dengan membuat ikhtisar atau summary.

Setelah melakukan pengumpulan data kemudian dilakukan

pengorganisasian dan pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut.

(1) Reduksi data, yaitu data dalam penelitian kualitatif berupa data-data

verbal, dalam suatu uraian yang panjang dan lebar. Data yang berupa data

verbal kemudian diseleksi dan direduksi tanpa mengubah esensi

maknanya, serta ditentukan maknanya sesuai dengan ciri-ciri objek

formalnya, (Matthew B Milles and Huberman, Michael A, 1984).

(2) Klasifikasi data, yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian dilakukan

klasifikasi data. Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan

berdasarkan objek formal penelitian, pemahaman, perilaku, dan proses

penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan beragama masyarakat.

(3) Display data, tahap berikutnya kemudian mengorganisasikan data-data

penelitian tersebut sesuai dengan peta penelitian. Display data dapat juga

dilakukan dengan membuat networks atau skematisasi yang berkaitan

dengan konteks data tersebut. Tahap berikutnya adalah melakukan analisis

data, (Sugiyono, 2007; bandingkan dengan Matthew B Milles and

Huberman, Michael A, 1984).

(4) Pengecekan data. Untuk menghindari tuduhan bahwa penelitian yang

dilakukan oleh peneliti tidak ilmiah, maka peneliti melakukan pengecekan

keabsahan data dengan demikian apabila peneliti melakukan pemeriksaan

terhadap keabsahan data secara cermat, maka jelas bahwa hasil penelitian

ini benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dari segala segi. Moleong

(2010) dalam pengecekan keabsahan data diperlukan cara. Cara yang

digunakan peneliti dalam pengecekan keabsahan data dengan

menggunakan perpanjangan pengamatan. Peneliti melakukan

perpanjangan pengamatan sehingga akan diketahui kebenaran yang

sebenarnya. Perpanjangan pengamatan dilakukan dengan cara datang

kembali ke lokasi penelitian, dan menanyakan informan yang telah

diwawancarai kemudian dibandingkan jawabannya.

(5) Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka peneliti menggunakan

dokumen pendukung. Dokumen pendukung ini diperoleh dari masyarakat

yang berdomisili di Kota Salatiga dan Manado. Peneliti juga mengambil

gambar dan merekam hasil pengamatan yang dilakukan.

2. Tahap Analisis Data

Setelah melakukan pengolahan data, maka selanjutnya adalah membuat

rancangan análisis data. Rancangan análisis data dibuat untuk membantu

peneliti dalam menemukan hasil penelitian. Model análisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

a) Metodedeskriptif, yaitu mendeskripsikan secara mendalam tentang

pemahaman, perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku

kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat

yang multireligius dalam perspektif tokoh-tokoh lintas agama.

b) Metode interpretasi, yaitu proses analisis dilakukan dengan melakukan

interpretasi yaitu meliputi menerangkan, mengungkapkan maupun

menerjemahkan. Penerapan metode interpretasi dilakukan dengan

mengintrodusir faktor dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan

makna objek dalam hubungannya dengan faktor-faktor dari luar

objek.lnterpretasi menjadi penting manakala digunakan untuk memahami

hakikat persoalan. Di dalam objek yang dikaji, dibaca, ditangkap arti,

nilai, dan maksud yang jauh terkandung di dalamnya. Sesungguhnya

interpretasi merupakan upaya yang sangat penting untuk menyingkap

kebenaran, (L. R. Gay, 1996: 458-459; bandingkan dengan Moleong Lexy

J, 1998: 197-207).Peneliti melakukan interpretasi terhadap pemahaman,

perilaku, dan proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan

beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang

multireligius.

c) Metode heuristika, yaitu metode untuk menemukan suatu pemikiran atau

jalan baru, (Kaelan, 2005:95-96; Anton Bakker dan Ahmad Charris

Zubair, 1994: 51-52).Penelitian ini tidak menentukan hal yang sangat

praktis akan tetapi selalu mencari visi baru atau pemahaman baru untuk

menempuh terjadinya pembaharuan ilmiah. Oleh sebab itu metode ini

digunakan untuk meneliti sebaik mungkin sistem pembenaran yang

menuju pada suatu reconstructed logic (idealisasi),sehingga penelitian

harus kembali kepada asumsi-asumsi dasar dengan latar belakang

ideologis, kerangka berfikir historis dan budaya. Dalam hubungan dengan

penelitian tentang pemahaman, perilaku, dan proses penguatan

pemahaman dan perilaku kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan

Manado sebagai masyarakat yang multireligius, pluralisme, dialog, dan

kerjasama lintas iman/agama, diterapkan metode heuristika dalam rangka

untuk menemukan inovasi baru secara kritis, dari hasil penelitian tersebut.

3. TahapanWaktu Penelitian

No Kegiatan Bulan

April Jun Agu Sep Nop

1 Penyusunan Proposal Penelitian

2 Penyusunan Instrumen Penelitian

3 Pengumpulan data

4 Persiapan penyusunan laporan

5 Analisis Penelitian Lapangan

6 Penyusunan Hasil Akhir Penelitian

7 Laporan Hasil Penelitian

BAB IV

TOLERANSI SEBAGAI BEYOND UNDERSTANDING

A. Pemahaman Toleransi Keberagamaan Masyarakat Kota Salatiga Dan

Manado

Menurut W salah seorang tokoh Hindhu, menyatakan bahwa

toleransi adalah:

―…saling hormat menghormati, tidak terbatas oleh kelompok, agama,

kepercayaan, malah justru toleransi itu mencakup semua makhluq. Ada

sasanti yang berbunyi Tat twam Asi (aku adalah engkau), jadi kalau

diuraikan aku adalah engkau, aku menyayangi engkau berarti menyayangi

diri sendiri, aku mengasihi berarti mengasihi diri sendiri karena engkau

sama dengan aku. Jadi termasuk tumbuh-tumbuhan hewan juga begitu jadi

tidak terbatas pada manusia saja. Dalam agama Hindhu ada hari

lingkungan hidup, hari raya untuk biatang, hari yang baik untuk

tubuhan….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei 2018)

Menurut T, salah seorang tokoh agama Katolik, menuturkan bahwa

toleransi adalah:

―…toleransi itu dari kata toleran, bagaimana kita bisa menghargai sesama,

bukan hanya pesoalan agama, tapi juga persoalan hidup bermasyarakat,

akhir-akhir ini khan kata toleransi dihubungkan dengan agama, karena

perbedaan itu tidak hanya dalam hal agama, tetapi banyak hal….‖

(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

Hal senada juga disampaikan oleh Y, salah seorang tokoh

Ahmadiyah di kota Manado (Wawancara dengan Y, 25 September 2018).

Dalam konteks toleransi yang lebih spesifik, yaitu toleransi beragama T

menuturkan:

―…dalam keluarga saya tidak mempermasalahkan soal toleransi, karena

saya dari ibu atau bapak bisa dibilang campur, separo Katolik separo juga

muslim. kalau dari ibu saya bisa diaktakan muslim taat, karena saya

dilahirkan dari keluarga katolik, om saya itu trahnya adalah penjaga

makam kudus, saya kalau liburan kalau ke sana, ke tempat yang mestinya

tidak boleh masuk, saya boleh masuk, trahnya dari Lasem, katanya sih

darah trahnya R. Patah, saya sejak kecil persoalan puasa, natal, lebaran

saya tidak ada batas perbedaan, ya kami saling menghormati saja, kalau di

natal saya juga mendapat ucapan selamat Natal, kalau lebaran tradisi kami

saya sungkem kepada yang lebih tua, tidak memandang agamanya…khan

ada yang mengatakan ada wilayah sosial dan ritual : mungkin lebih pada

menghormati tadi ya, saya juga dididik untuk saling menghormati, saya

sejak kecil bersama dengan keluarga saya yang muslim, saya juga tau

kalau mau sholat harus wudhu dulu….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni

2018).

Menurut R, salah seorang tokoh Budha menjelaskan tentang toleransi:

―…sebenarnya toleransi itu tidak hanya sebatas kata-kata, ya sudah silakan

sesuai ibadahnya masing-masing, tetapi toleransi harus dipahami sebagai

beyond understanding, yang lebih luas, bahwa kalau bisa diwujudkan

dalam aksi yang nyata, misalnya ada Vihara yang sedang kebhaktian,

teman-teman muslim memberi suasana yang baik atau menjaga keamanan

atau juga sebaliknya, temen-temen muslim sedang ada kegiatan apa umat

Budha umat Kristen bisa memberikan ruang, kalau bisa bantuan yang riil

itu menurut saya lebih baik dari pada sekedar ungkapan : ya sudah silakan

kebaktian, memang secara keimanan memiliki jalan macem-macem,

namun sebagai manusia bagian alam ini kita harus berkontribusi semua

elemen….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018)

Menurut N, salah seorang tokoh Muslim, toleransi adalah:

―…dalam pengertian simpel menurut saya, ya saling menghormati, saling

menghormati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain,

menghormati, menghargai….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Menurut Y :

―…bukan saja toleransi dalam beragama, melainkan dalam berbagai

macam unsur kehidupan. toleransi agama adalah dua bagian yang saling

beriringan antara perilaku dan perkataan. Perkataan adalah manifestasi dari

sikap dan habitual perilaku…Nilai kemanfaatan tidak harus berpihak. Kita

melakukan kerja-kerja sosial bukan saja dilakukan guna membantu orang

lain yang sekelompok kita, melainkan membantu manusia yang

membutuhkannya tanpa memandang agama, suku, organisasi, maupun

kelompok….‖ (Wawancara dengan Y, 11 Juli 2018).

Menurut H, salah seorang tokoh Protestan toleransi adalah:

―…hakikat dari toleransi adalah persaudaraan sesama…toleransi adalah

menghargai yang suci baik kesucian dalam keyakinan yang dimiliki oleh

agama sendiri maupun kesucian yang dimiliki agama lain. Bahkan tidak

cukup dengan menghargainya akan tetapi harus lebih dari sekedar itu.

Dibutuhkan proses dialogis yang lebih intimistik terutama dalam wilayah

dan yang bernilai positif. Akan lebih berarti toleransi jika terjadi intimistik

tersebut, karena bukan sekedar masabodoh atau tidak mau tahu. Intimistik

bisa dalam bentuk memahami kaidah ajaran agama orang lain setelah

memahami kaidah ajaran agama orang lain. Sehingga toleransi lahir dari

kesadaran dan pengetahuan, bukan sekedar berita/wacana

sederhana…memang dalam proses itu terlihat sekaan masuk pada wilayah

keagamaan agama lain. Akan tetapi akan berbeda hasilnya antar toleran

yang sekedar masa bodo dengan toleran yang didasarkan pada pengetahun.

Akarnya akan lebih kuat. Interaksi yang intim juga dapat dilakukan dengan

menghayati. Coba saja kita menghayati tentang agama orang lain, secara

sadar atau tidak akan ditemukan nilai-nilai yang tidak jauh berbeda dengan

ajaran agama orang lain….‖ (Wawancara degan H, 13 Juli 2018)

Menurut T, tentang sumber toleransi dalam kitab suci:

―…kalau dalam kitab suci banyak ayat-ayat ttg toleransi? saya kalau suruh

menerangkan kurang tahu, saya termasuk yang tidak suka menghafal kitab

suci, persoalan toleransi itu baru dimunculkan…kami punya semacam

Konsili Vatikan II tahun 1963, itu pemuka Katolik bertemu, sebelumnya

ada keyakinan tidak keselamatan di luar Gereja, kemudian di konsili itu

para pemuka Katolik menggodok betul persoalan toleransi. Sebenarnya

idenya adalah, bahasa al Kitab itu khan universal, yang memiliki

keterbatasan, di Konsili Vatikan itu dibuat semacam turunan agar Gereja

itu menjadi lebih modern, Gereja dan dunia, persoalan toleransi itu ada di

sana semua. Yang terakhir itu tentang eko sistem, lingkungan hidup, jadi

gerja itu mau tidak mau harus mengikuti perkembangan jaman, kalau

mengikuti al Kitab, eko sistem itu khan ndak ada di al Kitab maka perlu

dirumuskan, komunikasi sosial. Kami itu baru terbuka setelah konsili

Vatikan II, dengan berbagai dokumen gereja Istilah kerennya orang

Katolik itu : ajaran sosial gereja (cari di net), bagaiman kami harus

mensikapi perkembangan sosial, sementara bahasa al Kitab masih

universal….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

Tentang toleransi dalam ajaran agama, R menuturkan:

―…basiknya Budha sendiri lahir dalam masyarakat yang kompleks ada

Chinesse, ada Hindhu, ada Brahmanisme, saya kira Budha sangat arif

sekali dalam menyampaikan kebenaran atau ajarannya kepada para

muridnya. Di awal sekali ketika Budha ingin memberikan ajarannya itu,

yang ditekankan : jangan saja percaya pada apa yang saya sampaikan

tetapi selidikilah apakah ajaran ini membawa kemajuan batin apa tidak

pada diri masing-masing. Disitulah Budha sudah mencerminkan

memberikan ruang bahwa di dunia ini banyak kebenaran, yang mungkin

ada yang cocok ada yang tidak dan Budha sendiri menyampaikan bahwa

ajaran ini laksana obat dan dalam salah satu sutanya (ajarannya) yang

tekstual di situ disebutkan bahwa di dunia ini banyak kebenaran tetapi

kebenaran yang dapat digunakan menyelesaikan persolan di dunia ini yang

bebas dari penderitaan, keserakahan dan kebencian, dari kebodohan batin

itu sudah cukup dengan ajaran yang saya genggam ini untuk mencapai itu.

seperti sebuah daun yang ada di hutan sinsapa, ini kebenaran yang saya

sampaikan hanya segenggam daun saja. Artinya di situ Budha melihat

banyak ruang memahami tentang hakekat hidup dan kehidupan, Budha

menjelaskan bahwa tujuan ajaran ini adalah untuk melenyapkan diri dari

sifat keserakahan, kebodohan batin dan kebencian, dengan begitu saya rasa

Budha mempunyai perspektif yang luas terhadap kebenaran dan agama-

agama yang muncul karena kelahiran Budha sendiri berada di tanah yang

multikultur, tradisi yang cukup banyak di India itu, Samanisme,

Brahmaisme, Hinduisme, Syiwa, Wisnu. Kalau memang ajaran ini cocok

untuk menciptakan kemajuan dalam hidupmu maka terimalah, tetapi

jangan begitu saja percaya dengan ajaran yang guru-gurumu ajarkan,

selidikilah, ketahuilah dengan hati-hati dan cermat tentang ajaran ini. Hal

itu menurut saya sebagai landasan filosofi dalam melihat truth claim

terhadap ajaran agama. Budha sendiri mengajar kita memahami kebenaran

dari curiosity, jadi Budha sangat terbuka memberi ruang lingkup untuk

memahami kebenaran di alam ini….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni

2018)

W menuturkan:

―…iya. Jadi di dalam kitab suci banyak mengajarkan tentang toleransi.

Dalam agama Hindhu semua makhuq terdiri dari jiwa dan raga, kalau raga

itu berasal dari unsur materi, kemudian kalau sukma atau jiwa itu adalah

unsur rohani. Rohani ini menurut ajaran Hindhu adalah percikan dari

Tuhan YME. bukan diciptakan tetapi percikan, misal : jiwa menurut

Hindhu (Jiwatman), sumbernya dari Parama Atman, Parama Atman ya

Sang Hyang Widhi itu sendiri. Kalau bisa saya simpulkan, semua makhluq

itu asalnya satu, berhubung asalnya satu, maka kita ini bersaudara….‖

(Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).

Menurut H salah seorang tokoh Kristen:

―…jika didalam Kristen, dan mau sedikit mempelajari Bible study akan

menemukan inklusif trium, sebuah tema yang mengajarkan tentang

membangun jembatan dan bukan membangun benteg. Inklusi atau

jembatan adalah manifestasi dari membangun interaksi yang intim,

sementara trium adalah manifestasi dari ekslusivitas bertahan tanpa

terbangun sikap yang terbuka. Gereja kristenJawa untuk melaksanakan

amanat ajaran bible dalam event KESPEL Kesaksian dan Pelayanan, untuk

selalu menekankan dalam pembangunan jembatan interaksi intim tersebut.

Seperti kemaren yang sempat menjadi kondisi kurang baik di teman-teman

IAIN. Ketika misa kita mengundang teman teman paduan suara IAIN

untuk terlibat di dalamya. Kita memahami pasti ada pro dan kontra di sana.

Tetapi itu dapat dijadikan sebagai bukti dan alasan kami melibatkan

mereka. Agar terjadinya persaudaraan antara Islam dan Gereja….‖

(Wawancara dengan H, 13 Juli 2018).

Cakupan toleransi :

―…meliputi semua makhluq, semua dimensi kehidupan, hanya mempunyai

baju sendiri-sendiri, kalau hewan ya bajunya hewan, kalau tumbuhan ya

tumbuhan kalau manusia bajunya manusia….‖ (Wawancara dengan W, 30

Mei 2018)

Menurut T:

―…dalam berbagai kesempatan di gereja kami sudah sering dilakukan,

mulai dari koor, dulu pernah mengadakan dramanya itu diganti dengan hal

itu, tetapi secara katolik tegas liturgy, memang secara tegas hanya boleh

dijamah oleh pastur dan ada yang boleh dijamah oleh umat, kalau jenengan

ke gereja ada yang diatas altar itu batasannya di belakagn altar itu khan

ada semcam kotak kecil (sakristi ada lampunya) itu melambangkan Tuhan

itu hadir di sana, selama itu ada saya sebagai umat sebisa mungkin tidak

menjangkau altar, tetapi kalau itu dipindahkan ke ruang sebelahnya

misalnya mau dibersihkan atau ada acara apa…kemarin itu yang banyak

anak dari SPPQT (mas Bahrudin) itu memberi pemahaman juga kepada

mereka, itu wilayah iman (pastor)….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni

2018).

Menurut R:

―…saya setuju bahwa kita itu sama-sama manusia, secara pribadi untuk

iman, itulah hak masing-masing, jadi prinsip saya memanusiakan manusia

itu prinsip saya untuk membangun toleransi,sebenarnya krisis kita ini khan

krisis pemahaman. Banyak orang melihat Budhis misalnya, dulu di percik

itu khan ada gerakan sobat muda. banyak orang denger budha tetapi bukan

dari orang budha itu sendiri, ketika kita kumpul di sini, kita menyembah

patung, kemudian kita jelaskan bahwa patung itu hanya simbolis belaka,

mereka baru ngeh…ooo…jadi menurut saya lebih ke pemahaman karena

kita itu krisis pemahaman tentang toleransi itu sendiri dan terhadap agama

lain, kalau beyond belief nya itu luas, ya itu tidak bisa diganggu gugat. Jadi

pemahaman masing-masing itu sebagai batasan toleransi antar umat

beragama….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018).

Menurut N, batasan toleransi adalah:

―…menurut saya yang bisa ditoleransi ya yang muamalah, dimensi sosial,

kalau ubudiyah i‟tiqadiyah itu menurut saya tidak boleh, dalam arti orang

lain ikut dalam ubudiyah dan i‟tiqadiyah itu namanya mencampur adukkan

ajaran agama….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Sementara menurut Y, salah seorang tokoh wanita muslimah, dengan

bahasa lain mengatakan bahwa :

―…yang membatasi adalah aqidah….‖ (Wawancara dengan Y, 11 Juli

2018).

Hal senada juga disampaikan oleh Y, salah seorang tokoh muslim Manado

(Wawancara dengan Y tanggal 25 September 2018)

B. Bentuk Perilaku Toleransi Keberagamaan Masyarakat Kota Salatiga

Dan Manado

Menurut W, bentuk toleransi :

―…kalau kita sudah mendalami agama sendiri khan tidak perlu ikut

campur dengan orang lain, kita boleh saja ikut acara ritual agama lain, asal

kita tidak mencampuri ibadah mereka, saya dalam Natalan diundang,

mereka melaksanakan ritual mereka, saya cukup diam saja, saya duduk

diam menyaksikan, mendengarkan itu sebagai salah satu bentuk toleransi,

dan itu ndak ada masalah, dan itu tidak mengganggu srada dalam agama

kami, itu khan tergantung manusianya sendiri, kuat atau tidak, saya pernah

Natalan jam 04.00 pagi diundang di Pancasila suruh nyalakan lilin,ya saya

juga nyalakan lilin, setelah itu dia khotbah, melaksanakan kebhaktian, sya

hanya duduk menyaksikan atau berdiri manyaksikan. Contoh lain orang

tua saya meninggal atau mertua saya meninggal tetapi berlainan

keyakinan, saya tetap menghormati bagi yang meninggal, saya berdoa

menurut keyakinan saya, tetapi tidak perlu saya tunjukkan kepada orang

lain, saya duduk atau berdiri dengan tenang melaksanakan apa yang

menjadi kepercayaan agama saya, saya tidak mempermasalahkan apakah

yang meninggal itu agama Islam atau agama yang lain, tetapi kewajiban

saya, saya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, Tuhan itu khan tidak

beragama oleh karean itu saya melaksanakan sesuai dengan keyakinan

agama saya, Jiwatman mereka bisa kembali kepada asalnya, Itu bentuk

toleransi, saya tidak mengajak-ajak…. ya kalau kita, bagi yang

membutuhkan bantuan ya kita bantu semampu kita, entah itu kegiatan

sosial atau yang lain… ndak ada program kita, mengalir spotanitas,

soalnya di dalam agama Hindhu itu ada ajaran namanya Hukum karma

pala, setiap saat kita melaksanakan, hukum karma pala itu hukum sebab

akibat, siapa yang berbuat baik akan menerima akibatnya, jadi kita tidak

mengenal waktu, jadi itu termasuk hukum yang tertinggi di dalam agama

Hindhu….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).

Hal serupa disampaikan juga oleh Y, tokoh muslim Manado, S tokoh

Konghucu Manado, Romo D tokoh Katolik Manado (Wawancara tanggal

25 September 2018), dan Romo R tokoh Katolik Manado (Wawancara

tanggal 26 September 2018)

Menurut T :

―…rangkaian ibadah Natal ada koor dari luar…itu khan dari BKGS itu ya

(Badan Kerjasama Gereja Salatiga) yang biasanya mereka mengadakan di

Pancasila itu, kalau saya lebih ke perayaannya saja mas, karena ibadahnya

itu khan ibadah Kristen…menurut saya sih ndak begitu masalah ya, karena

di ibadahnya Katolik sendiri di tata urutan itu memang ada yang hanya

boleh diikuti oleh pemeluknya, tetapi orang luar kalau mau melihatpun

juga tidak apa-apa. Saya beberapa kali, misalnya secara Liturgi kita khan

memang Gereja Katolik itu paling taat, lagunya harus ini-ini-ini, tetapi

suatu saat misalnya kita mengadakan ibadah atau misa untuk kaum muda

khan kita ya agak menyesuaikan diri, saya biasa mengundang teman-teman

keroncong, ada juga tema keroncong yang bukan orang katolik juga, orang

Kristen, orang muslim, atau khotbah room yang sering dilakukan oleh

temen-temen itu, khotbah Romo diganti oleh visualisasi drama, sebenarnya

khan tidak mengurangi esensinya, nah drama ini yang melakukan khan

bukan hanya temen-temen katolik, misalnya kita minta tolong theatre

Getar, itu khan jelas mereka bukan Katolik, itu sering dilakukan. Tetapi

bagi Katolik yang esensi di ibadah itu dari tata urutannya : setelah doa

syukur Agung, hanya yang dibaptis Katolik yang boleh masuk, mengikuti

dan menerima symbol tubuh dan darah Yesus yang kita biasa dikasih

roti….Oo..itu kita baru sadar kalau itu masuk dalam ibadah ritual kita,

artinya di tempat kami itu malah masuk di dalam ibadah ritual kita, yang

visualisasi tadi khan masuk dalam ibadah kita….oh,..ya saya malah baru

sadar itu mas. Tetapi itu tidak mengurangi, karena nanti kalau sudah

masuk do‘a Agung pasturnya memberi pengumuman, yang boleh

menerima roti adalah khusus yang beragama Katolik/ Kristen, itu doa

syukur Agung….‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

T melanjutkan:

―…kan secara struktural itu ada bidang Liturgi, Pewartaan, Persekutuan

Kemanusiaan, Diakonia, Litbang dan Sapasna, nah biasanya teman-teman

yang mendapat tugas di Diakonia dan Koinonia. Diakonia itu pelayanan

kemasyarakatan, Koinonia itu persekutuan, di bawah itu ada tim kerja

misalnya pelayanan kemasyarakatan, kemudian poliklinik, kesehatan,

biasanya jabatan satu tahun anggaran mereka yang membuat kegiatan-

kegiatan itu…kita bicara toleransinya luas ya, yang sudah berjalan secara

struktural secara garis besar geraja itu khan istilahnya kami harus

memperhatikan KLMTD (Kecil Lemah Miskin Tersingkir Difable) jadi

kami tidak mempersoalkan masalah agama tapi ini misi kemanusiaan,

mulai dari beasiswa, poliklinik (mulai tahun 1998), kami sedang

mengusahakan menjadi Balai Pengobatan, 70 % yang datang ke sini ini

malah bukan orang Katolik, saya tidak mengatakan muslim tetapi teman-

teman Kristen juga banyak yang datang ke sini. Teman-teman pendeta itu

malah datangnya ke sini, ini subsidi penuh gereja karena pasien hanya

bayar Rp.2.000,- sudah mendapat pelayanan dokter dan obatnya, yang

melayani bukan hanya dokter Katolik saja, dokter muslim banyak juga di

sini, yang dari pertama sampai sekarang dan saya menaruh hormat betul

itu dr. Sudir Asnawi Banyuputih, kalau di bidang lain kami aktif di Majlis

Puasa, BKGS dari tahun 2014 sejak kondisi politik mulai meningkat, kami

mencoba membuat hal-hal yang kesannya sederhana tetapi mengena,

misalnya kami membagi takjil itu sebenarnya kami juga ingin merangkul

teman-teman yang lain. Kami juga mengajak teman-teman non Kristen

juga, misalnya teman-teman Budha, Hindhu di family itu….yang kita

butuhkan khan menurut kami kita membutuhkan simbol-simbol tertentu

untuk menunjukkan bahwa kita tidak pernah ada permasalahan dengan

umat lain, misalnya sholat Id itu khan ada di Korem, kami biasanya

membuka tempat ini untuk parkir karena kami tahu kalau teman-teman

muslim kalau sholat Id pasti kesulitan dalam parkir, dari pada di jalan kita

mengarahkan…kalau takjil tadi sasarannya umum, itu mulai tanggal satu

sampai akhir, setiap sore dan itu semuanya dari umat kita, kita khan punya

white board, misalnya saya punya uang Rp.50.000,- ya saya kasih. Tapi

itu sebenarnya symbol aja, artinya kadang yang dibutuhkan masyarakat

khan simbol-simbol seperti itu, kalau secara struktural kami kerja sama

dengan tempatnya Gus Hanif, dengan mas Bahrudin, kita punya kerja

sama seperti itu. seperti kemarin acara silaturahmi ini kegiatan yang masuk

dalam program kerja, kemarin itu silaturahmi itu lima agama bahkan lebih

sama aliran kepercayaan…(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

R menuturkan:

―…satu adalah komunikasi dengan teman-teman lintas iman, kalau di

Salatiga khan ada sobat muda kerja sama dengan Percik juga, di sini ada

seminar dari Percik baru tgl 20 Mei kemarin mengadakan seminar lintas

iman dan itu menyongsong perayaan waisak itu pembicaranya pak KH.

Muhammad Adnan Ketua PWNU Jawa Tengah dan Romo Budi Utomo

berbincang tentang keberagaman yang mewakili dari Budhis adalah pak

Bramantyo dan menawarkan kepada masyarakat bahwa kondisi riil kita

memang majemuk, hadiah dari alam, karena tidak ada jaminan kalau

semua Budhis apakah ada kedamaian, ketenangan semua belum tentu, saya

kira tidak semua agama mampu menjamin bahwa ketika satu warna itu

akan damai tenteram, itu tidak termasuk Budhisme di Thailand, tapi yang

bisa menjamin adalah mutual understanding (pemahaman yang saling

berimbang)….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018).

Tentang partisipasi toleransi yang masuk dalam ritual agama, menurut R:

―…saya lebih setuju, yang penting tidak mengganggu keimanan teman-

teman muslim, dan di dalamnya itu khan melantunkan lagu-lagu yang

bernilai universal dan didasari pemahaman tentang toleransi tadi ya ndak

apa-apa. Malah justru kemarin ada ide juga bagaimana kalau temen-temen

IAIN itu di kegiatan Budhis….‖ (Wawancara dengan R, 05 Juni 2018).

Sedangkan menurut N,

―…kalau menurut saya, kalau melanggar telalu tinggi ya, tetapi bagi saya

itu terlalu berlebihan di dalam menerapkan toleransi, menurut saya orang

Nasrani beribadah Misa ya nyanyi-nyanyi itu, ketika kita masuk dalam

ranah nyanyian itu ya itu sudah berlebihan, karena kita sudah masuk ke

ranah ibadah mereka….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Menurut W:

―…oo..bisa..bisa masuk, ndak apa-apa karena setiap orang khan punya

agama atau kepercayaan sendiri-sendiri, kita menghargai dan menghormati

kepercayaan itu, untuk menghargai itu kita menggunakan istilah Tatwam

Asi tadi….‖(Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).

Bentuk kegiatan yang terkordinir misalnya oleh FKUB, menurut W:

―…kita baik, gantian, kalau pertemuan ya ada anjangsana….‖ (Wawancara

dengan W, 30 Mei 2018).

Menurut T:

―…antara FKUB dan BKGS (Badan Kerja Gereja Salatiga) hanya

formalitas, saya belum melihat peran adanya peran yang sungguh belum

maksimal. Saya melihat teman-teman di FKUB dan BKGS itu (anggotanya

banyak, sekitar 150 an termasuk Kristen dan Katolik), saya beberapa kali

mengikuti acara mereka….saya harus katakan bahwa ketika mereka

bersentuhan dengan dunia politik mereka tidak objektif lagi…. ―

(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

Menurut N, bentuk toleransi beragama adalah:

―…kalau pengertian dalam hal yang paling sederhana misalnya ini bulan

ramadhan kita mengadakan buka bersama, itu kita undang hanya dalam

lingkup sosialnya untuk saling berkomunikasi ikut merasakan, ikut makan,

di dalam ibadahnya ndak, misalnya : besok orang Nasrani kita minta untuk

ikut berpuasa karena sorenya diadakan buka bersama, ndak mungkin itu

karena wilayah ritual….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

N melanjutkan :

―….ketika kita mengadakan peringatan Isra Mi‘raj mereka bantu-bantu,

angkat-angkat kursi, mendukung kegiatan dalam lingkup kerja fisiknya,

gotong royongnya, Isra‘ Mi‘raj, mauludan, mereka juga ikut

mendengarkan….kalau kita misalnya membuka kegiatan acara mereka,

workshop mereka, peningkatan kualitas guru-guru agama mereka, kita

dijadikan moderator, kita sudah tidak membedakan lagi, pejabat ini

beragama Islam atau bukan, kemudian ini tidak beragama Kristen,

kemudian tidak diundang khan ndak, menjadi petugas dalam kegiatan-

kegiatan tertentu….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

C. Proses Penguatan Pemahaman Dan Perilaku Toleransi Pada

Masyarakat Kota Salatiga Dan Manado.

Menurut W, upaya untuk memperkuat pemahaman dan perilaku

toleransi pada masyarakat adalah:

―…kita mendalami ajaran kita sendiri-sendiri, untuk memperkuat srada

(Iman) dan kita harus tahu keimanan orang lain sehingga kita punya

batasan-batasan mana yang baik dan mana yang tidak baik….‖

(Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).

Peran institusi dalam pendidikan toleransi:

Menurut W:

―…pemahaman toleransi di dapat dari semuanya, dari agama, sekolah,

keluarga, jadi sejak dulu saya itu bergelut dengan falsafah Jawa, waktu

saya kecil belum ada nama Hindhu itu belum ada, saya kelahiran

Banjarmasin, ibu dari Kediri dan ayah dari Suruh, nenek saya juga Haji,

lha saya itu memang tertarik dengan keagungan orang Jawa, sejak kecil

saya memang tertarik dengan orang Jawa dan bangga menjadi orang Jawa.

Sebetulnya Jawa itu agamanya apa, jadi sejak kecil sudah punya cita-cita

seperti itu, orang bilang orang Jawa itu beragama Hindhu, nah ini yang

sering salah dimengerti banyak orang….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei

2018).

Peran institusi di masyarakat, menurut W:

―…bagus sekali, sangat bagus, FKUB selalu menghimbau kepada seluruh

agama untuk saling menghormati dan bercita-cita Salatiga harus aman dan

tentram, saya tidak senang kalau Salatiga itu seperti kota lain yang rusuh

dan kacau….‖ (Wawancara dengan W, 30 Mei 2018).

Pendidikan toleransi bagi anak muda, menurut T:

―…penanaman toleransi melalui sekolah, anak muda, ormas-ormas banyak

program semacam silaturahmi yang baru saja dilaksanakan itu sebenarnya

untuk menanamkan kepada mereka hal-hal yang seperti itu (toleransi). Di

sekolah-sekolah kami, sejak tahun 2017 kami punya materi Wawasan

Kebangsaan, yang digagas semenjak politik di Indonesia memanas seperti

ini, yang menggagas itu sebenarnya temen-temen dari Gereja dari Jakarta,

misalnya di Salatiga membutuhkan maka temen-temen dari Jakarta akan

datang ke sini…untuk remaja kami ada kunjungan ke SPPQT, Gus Hanif,

sebelumnya ke Tegalrejo, karena kebetulan secara personal kami kenal

baik dengan mereka itu, pada waktu ke Tegalrejo (Gus Yusuf) malah pas

puasa waktu itu, jadi pelajaran bagi kita, malah Gus Yusuf yang membawa

makanan minuman…idenya sebenarnya seperti silaturahmi, temen-temen

kita kumpulkan lintas iman, mari kita lihat gereja, ini ada batas sucinya,

terus kami ke masjid di Gus Hanif kayaknya, terus temen-temen muslim di

sana Sholat Jumat, temen-temen di luar muslim kami melihat, setelah itu

kami ke Klenteng Jl Sukowati, terus kami ke Pura yang dekat SMA 2

Salatiga jadi kami mengunjungi, dan itu hari Jumat biar mereka tahu

bahwa ini temen-temen muslim ini lagi sholat Jumat…kalau kegiatan

bersama, yang kita lakukan ya baru takjil itu, kalau tahun kemarin kami

ke Thekelan, itu yang khusus anak muda. jadi saya, pak Beni, Gus Hanif

itu khan bentukan dari teme-temen Jogja untuk mendirikan lintas iman di

Salatiga waktu itu bentuknya di Thekelan, karena Thekelan (daerah

Kopeng), yang sempat viral khan ketika Waisak itu, temen-temen non

Hindu yang mengucapkan Selamat kepada teman-teman Hindhu…‖

(Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

Gambar: Kegiatan Live in di Tekelan

T melanjutkan :

―…upaya yang harus kita lakukan untuk menguatkan pemahaman dan

perilaku kerukunan umat beagama dikota Salatiga… kita tidakhanya

simbol-simbol dalam bentuk takjil itu, namun lebih dari itu. Ketika saya

menjadi pengurus BKGS saya sampaikan : tantangan kita yang terberat

adalah menjaga kota Salatiga, kalau para pendeta-pendeta ini pada ribut-

ribut sendiri, cari uang sendiri-sendiri ya susah, upaya kami ketemu

dengan pak Beni, pak Bahrudin, Gus Hanif sebenarnya langkah saya untuk

mewujudkan itu, dan kita semua harus menggelorakan semangat

kerukunan itu, kami itu khan sangat minoritas, bukan hanya dengan

muslim, tapi di Kristen, bayangkan dari 150 Gereja kami hanya satu, buka

bersama itu yang menggagas kami dari 2014, pesertanya sekitar 50

orang…‖ (Wawancara dengan T, 04 Juni 2018).

Menurut N, salah seorang tokoh muslim :

―…program untuk penanaman toleransi, misalnya melalui sekolah atau

ormas,ceramah masjid, khatib atau yang lainnya : ada banyak program di

masing-masing sektor, misalnya di sekjen itu ada FKUB, di situ ada dana

dari pemerintah pusat yang bisa direalisasikan dalam bentuk kegiatan-

kegiatan pembinaan kerukunan pada seluruh umat beragama, dan tokoh-

tokoh agama; kemudian yang lewat sekolah misalnya di seksi pendidikan

agama itu ada program yang namanya Islam rahmatan lil‘alamin, kegiatan-

kegiatan yang merupakan langkah-langkah Kementerian Agama tadi untuk

penanaman dan peningkatan pemahaman Islam rahmatan lil‘alamin yang

mengajarkan kepada para siswa untuk bisa menerapkan Islam yang

berkasih sayang terhadap, kemudian bimas Islam itu kita banyak menjalin

komunikasi dengan berbagai pihak, kita pernah melaksanakan pembinaan

di hotel itu dua kali, pembinaan toleransi antar tokoh agama melalui umat

masing-masing, penyelenggaranya ada yang dari Kesbanglinmas Propinsi,

ada yang dari Kesbanglinmas Kota, ada yang kementerian agama, polres

juga ada….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Menurut P, salah seorang tokoh Katolik menuturkan:

―…mengenalkan anggota Gereja terutama bagi kaum muda pada

masyarakat di luar agamanya, dengan membentuk kegiatan bersama,

kunjungan ke pesantren, dan melakukan pengobatan pada masyarakat yang

terdiri dari berbagai macam agama…membangun karakter interfaith pada

pemuda Gereja….‖ (Wawancara dengan P, 12 Juli 2018).

Tentang peran FKUB dalam penguatan toleransi, N menjelaskan:

―…bagus, karena itu mungkin cikal bakal FKUB secara nasional, jadi

kronologi berdirinya FKUB secara nasional itu khan embrionya dari

Salatiga lewat majlis puasa itu, dan menurut penilaian dari pusat, ahli

ideology, itu dipandang bagus….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Tentang penguatan pemahaman toleransi di kalangan muda, N

melanjutkan:

―…ada, di sekjen itu ada kegiatan yang mengundang pemuda dan yang

senior, beberapa kali, kemarin itu yang terakhir di Elang Sari, tokoh

pemuda, tokoh gereja, PMII….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Terkait dengan upaya untuk menciptakan penguatan pemahaman

danperilaku toleransi beragama, N menuturkan:

―…yang harus dilakukan untuk memperkuat pemahaman dan perilaku

kerukunan umat beragama : a) masing-masing harus memahami konsep

kerukunan menurut agama masing-masing dengan baik dan benar; b)

berusaha untuk mengamalkan konsep-konsep itu dalam kehidupan sehari-

hari tanpa menyudutkan pihak lain, menyerang atu tidak menghargai orang

lain, menghargai orang lain itu dalam posisinya, status agamanya, identitas

mereka lah….‖ (Wawancara dengan N, 31 Mei 2018).

Sedangkan, H menuturkan:

―…kota Salatiga yang berposisi sebagai kota tertoleran, yang pastinya

sudah dilihat dari variasi dan standarnya, mudah-mudahan bukan sekedar

kulitnya yang kasat mata. Melainkan perlu diperkuat dari segi esensinya,

lebih pada perilaku, dan sikapnya, dari kehidupan keseharian setiap umat

manusianya, bukan dilihat dari data jumlah gereja, dan pengiutnya.

Salatiga dari semua lapisan elemen masyarakatnya harus menguatkan

melalui interaksi intim dan persaudaraannya…kelas akar rumput harus

mulai dilibatkan dalam membangun interaksi intimistik persaudaraan

tersebut. Di tataran akademik, elit, dan bahkan pemerintahan kota,

toleransi hampir sudah final, akantetapi di akar rumput masih perlu

diberikan pemahaman…Gereja Kristen Jawa Sidomukti berkomitmen

untuk tidak membawanya pada wilayah politik,karena memang antara

politik dan gereja berbeda peran. Gereja berperan untuk mengajak umat

dalam hal kehidupan ilahiah dan etika, sementara politik lebih kental pada

kepentingan. Walaupun menyadari bahwa keduanya bertujuan pada hal-hal

kebaikan dan kesejahteraan. Pada hari ini terpaksa belum bisa terlibat

dalam urusan perpolitikan, karena disadari politik belum mampu

memberikan nilai peraudaraan yang universal. Politik masih

berkepentingan parsial, kelas, kelompok, dan golongan. Gereja jelas sudah

tidak melihat itu….‖ (Wawancara degan H, 13 Juli 2018).

D. Makna Toleransi

Ada banyak hal yang dipaparkan oleh para responden terkait dengan

pengertian dan pemahaman toleransi. Para responden berasal dari beragam

latar belakang pemeluk agama, ada yang berasal dari Islam, Katolik,

Protestan, Budha, Hindhu, Konghucu. Responden muslimpun diambil dari

pengikut Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Ahmadiyah.

1. Pemahaman tentang makna toleransi

Pengertian tentang toleransi yang disampaikan para responden, baik

dari Kota Salatiga maupun kota Manado mengandung unsur-unsur

pemahaman sebagai berikut.

a. Toleransi itu adalah saling menghormati dan menghargai kesucian agama

orang lain

b. Toleransi itu berarti membantu sesama manusia dan semua makhluq

dengan tanpa memandang suku, ras dan agama. Toleransi itu mencakup

relasi manusia dengan semua makhluq Tuhan (manusia, hewan, tumbuhan)

dalam segala dimensi kehidupannya

c. Toleransi itu adalah mengakui persaudaraan dengan sesama manusia

d. Toleansi itu adalah lahir dari kesadaran diri sendiri, tanpa ada rasa

keterpaksaan dan dilandasi dengan pengetahuan yang luas akan

keberadaan orang lain yang berbeda dengan dirinya sendiri.

e. Toleransi itu didasari oleh kesadaran bahwa perbedaan adalah realitas

mutlak alami yang berasal dari Tuhan

f. Toleransi itu ibarat membangun jembatan penghubung bukan membangun

benteng pelindung

g. Toleransi bisa dilakukan dalam bentuk partisipasi relasi sosial antara umat

beragama dan tidak masuk dalam ranah ibadah pemeluk agama lain.

Ranah ibadah adalah ranah privasi individual bagi pemeluk beragama.

h. Toleransi itu bersumber dari pikiran manusia dan ajaran Tuhan

i. Toleransi itu diwujudkan dalam perilaku nyata keseharian

Masing-masing unsur dapat diuraikan sebagai berikut.

Toleransi itu adalah saling menghormati dan menghargai kesucian agama

orang lain. Setiap umat beragama mesti menghargai apapun keyakinan dan

kepercayaan manusia kepada Tuhan. Masing-masing individu memiliki

pengalaman keagamaan yang berbeda, ada orang yang beragama karena

mengikuti keyakinan orang tuanya, sementara ada orang yang menganut

agama karena proses interaksi sosial dengan orang lain. Pengambilan

keputusan seseorang akan pilihan agama telah mengalami proses yang

panjang dan kesadaran diri yang mendalam akan adanya Tuhan. Dengan

demikian, setiap manusia mesti menghargai apapun keputusan orang lain

tentang pilihan Tuhan yang dianggap benar.

Menghargai agama orang lain tidak hanya sekedar karena pilihan bebas

setiap manusia, melainkan terhadap kesucian agama itu sendiri. Setiap agama

memiliki dimensi yang dianggap suci oleh para pemeluknya. Setiap pemeluk

agama akan mensucikan Tuhannya dan Kitab Suci serta menjunjung tinggi

pembawanya. Toleransi dalam beragama berarti pula menghormati keyakinan

orang lain yang mensucikan dimensi-dimensi tersebut. Setiap manusia tidak

boleh merendahkan terhadap hal-hal yang disucikan oleh para pemeluk

agama karena dimensi-dimensi kesucian itulah yang membangun keyakinan

para pemeluk beragama akan kebenaran agama yang diyakininya. Jika

dimensi kesucian tersebut tidak dibangun olehpara pemeluk beragama, maka

nilai sakral dalam agama tidak akan muncul dan beragama menjadi hambar.

Toleransi itu juga berarti membantu sesama manusia dan semua makhluq

dengan tanpa memandang suku, ras dan agama. Dalam hal ini toleransi

dimaknai saling menguatkan eksistensi sesama makhluk, baik sesame

manusia, atau manusia dengan hewan dan tumbuhan. Setiap manusia harus

memiliki kesadaran bahwa semua makhluq harus diberi kesempatan untuk

eksis di muka bumi ini. Untuk menjamin eksistensi makhluq hidup di muka

bumi ini maka manusia sebagai homo homini lupus harus mampu membantu

makhluq lain dalam mewujudkan eksistensi dirinya.

Manusia harus membantu manusia karena ada relasi interdependensi

antar manusia, demikian juga dengan makhluq selain manusia baik tumbuhan

maupun hewan. Manusia tidak bisa hidup tanpa keberadaan orang lain,

keberagaman realitas manusia di muka bumi ini akan semakin mengukuhkan

akan relasi interdependensi antar manusia. Keragaman profesi dan keahlian

manusia harus dipahami sebagai realitas yang justru memperkuat eksistensi

antara manusia yaitu adanya relasi komplimenter.

Relasi manusia dengan selain manusia juga harus salaing memperkuat

eksistensinya. Manusia memiliki kewajiban menjaga dan memelihara

tumbuhan karena manusia juga membutuhkan tumbuhan, baik untuk

keperluan makan maupun kebutuhan akan O2. Tumbuhan membutuhkan

manusia karena untuk proses fotosintesis, yaitu CO2. Manusia membutuhkan

hewan karena dalam siklus kehidupan manusia tidak bisa menyelesaikan

masalahnya sendiri, misalnya mengurai sisa-sia makanan dalam perut.

Kesadaran akan relasi interdependensi ini pada gilirannya akan melahirkan

sikap saling menolong antar sesama makhluq. Sikap saling menolong ini juga

dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada makhluq lain untuk

menikmati hidup di alam ini sebagai karunia Tuhan. Setiap makhluq tidak

sebaiknya merampas hak hidup setiap makhluq hidup.

Dalam menolong sesama manusia, setiap individu harus menafikan

atribut-atribut sosial kemanusiaan, seperti suku, agama, ras, dan lainnya.

Atribut-atribut itu sifatnya tidak hakiki melainkan keberadannya terkadang

bersifat tidak sengaja, kebetulan. Ada manusia dilahirkan dalam kelompok

suku tertentu, ras tertentu atau agama tertentu, dimana hal tersebut dapat

terjadi pada siapa saja. Dengan demikian, hal tersebut bersifat given (qodrati),

dan terkadang manusia tidak bisa memilih dilahirkan pada ras, suku, agama

tertentu. Setiap individu harus mau menerima keadaan tersebut, sementara

orang lain mesti tetap menjaga relasi harmonis dengan siapapun dengan tidak

perlu merendahkan dan meremehkan terhadap atribut tertentu tersebut.

Dalam bertoleransi, setiap manusia harus memiliki kesadaran bahwa

setiap manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia. Manusia di

bumi ini berasal dari turunan yang sama yaitu Adam (dalam keyakinan

Islam). Manusia dikarunia akal pikiran dan perasaan agar dipergunakan untuk

menjalani hidup ini dengan penuh kebijakan. Manusia secara fitrah kejiwaan

memiliki rasa empati dan simpati terhadap orang lain, di mana rasa empati

dan simpati ini akan melahirkan sikap peduli dan saling membantu orang lain.

Sikap saling membantu ini kemudian akan mampu menumbuhkan sikap

saling bersaudara antara sesama manusia.

Sikap merasa bersaudara dengan sesama manusia ini sangat diperlukan

untuk mewujudkan harmoni dalam hidup bersama. Sikap bersaudara juga

akan memunculkan sikap-sikap lain yang mampu memperkuat eksistensi dan

relasi antara sesama manusia, seperti tidak saling menyakiti, saling

meringankan penderitaan orang lain, saling mudah memaafkan orang lain,

saling mengalah dan sebagainya. Sikap-sikap turunan tersebut, sangat

diperlukan dalam rangka mewujudkan hidup bersama yang aman dan damai.

Sikap toleransi yang sebenarnya itu lahir dari kesadaran diri sendiri,

tanpa ada rasa keterpaksaan dan dilandasi dengan pengetahuan yang luas

akan keberadaan orang lain yang berbeda dengan dirinya sendiri. Setiap

individu harus membangun kesadaran diri akan pelunya menghormati dan

menghargai keberadaan orang lain dengan segala atribut yang melingkupinya.

Perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap manusia harus dipahami sebagai

pelangi kehidupan yang akan memperindah kebersamaan hidup. Setiap orang

tidak perlu memaksakan kehendak kepada orang lain agar orang lain

menyamai dirinya.

Individu akan mampu besikap demikian manakala dia memiliki

pengetahuan yang cukup luas tentang keragaman sebagai sunnatullah.

Pemahaman ini sangat penting dan akan mendasari perilaku toleransi bagi

individu yang bersangkutan. Manakala individu tidak memiliki pengetahuan

atau wawasan yang luas, maka dia cenderung mengedepankan egoisnya,

memaksakan kehendak pada orang lain, meremehkan orang lain, merasa

dirinya paling benar, dan cenderung menganggap orang lain salah. Setiap

individu harus memiliki kesadaran bahwa kebenaran sudut pandang itu

bersifat subjektif, kebenaran mutlak itu hanya ada pada wahyu Tuhan,

sementara perspektif manusia tentang Tuhan juga beragam. Keragaman

perspektif tentang Tuhan ini berbeda karena adanya keragaman pada

individu, dan keragaman invidu ini bersifat qodrati. Dengan demikian

kesadaran akan adanya keragaman manusia di alam ini harus dimiliki setiap

manusia, yang pada gilirannya diikuti dengan perilaku menghargai akan

eksistensinya. Dengan kata lain, toleransi itu juga didasari oleh kesadaran

bahwa perbedaan adalah realitas mutlak alami yang berasal dari Tuhan.

Toleransi itu ibarat membangun jembatan penghubung bukan

membangun benteng pelindung. Dalam kehidupan dengan sesama makhluq,

setiap manusia harus mengupayaan bagaiamana membangun relasi positif

yang seluas-luasnya dengan sesama manusia dalam segala bidang. Setiap

makhluq memiliki peran masing-masing dalam upaya saling melengkapi

kehidupan makhluq lain. Peran-peran tersebut akan saling mengisi atas

kekurangannya sehingga kehidupan menjadi lengkap. Dalam membangun

relasi ini, manusia tidak perlu pilih-pilih karena apapun orang itu, dia

memiliki sesuatu yang dibutuhkan orang lain. Semakin banyak seseorang

membangun jembatan penghubung dengan orang lain, maka dia secara tidak

langsung akan terpenuhi segala kebutuhannya.

Namun jika yang terjadi sebaliknya, yaitu seseorang cenderung

membangun tembok dalam kehidupannya yang membatasi relasinya dengan

orang lain, maka sesungguhnya dia membangun kesulitan dalam

kehidupannya. Semakin banyak pembatasan diri yang dia lakukan, makan

akan semakin sempit dunia kehidupa yang dapat dia perankan. Semakin

sempit dunia peran yang dapat ia mainkan, maka semakin sulit dia

menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Ketika seseorang cenderung hidup

secara exclusive, maka secara tidak langsung dia tidak mengakui peran-peran

orang lain dalam kehidupannya. Dia juga membangun over self convident,

yang justru akan menjadikan kehidupannya semakin tidak harmoni dengan

lingkungannya. Ia juga menutup diri dari bantuan dari orang lain. Dengan

bahasa lain, toleransi berarti bersifat inclusive.

Dalam praktik partispasi toleransi, maka bisa dilakukan dalam bentuk

partisipasi relasi sosial antara umat beragama dan tidak masuk dalam ranah

ibadah pemeluk agama lain. Ranah ibadah adalah ranah privasi individual

bagi pemeluk beragama. Setiap pemeluk beragama dapat saling menghargai

dan terliba dalam kegiatan agama orang lain pada wilayah relasi horizontal,

wilayah kemanusiaan. Kegiatan kemanusia yang dimaksud misalnya acara

perkawinan, kematian, kerja bakti wilayah, gotong royong sosial, menjenguk

orang sakit, dan lainnya. Dalam kegiatan ibadah, maka partisipasi antar umat

beragama dilakukan dalam hal-hal yang tidak substanti, misalnya

pengamanan lokasi, pengaturan lalu lintas, pengaturan parkir, pembagian

konsumsi, persiapan tempat, dan sejenisnya. Dalam bahasa agama dapat

dikatakan bahwa partisipasi toleransi dapat dikembangkan dalam relasi

horizontal (muamalah) bukan pada wilayah vertical (ibadah).

Pembatasan wilayah partisipasi ini perlu dipahami oleh para pengikut

beragama agar setiap umat beragama dapat memupuk keimanan dan

keyakinan agamanya dan agama orang lain. Tidak memaksa seseorang masuk

dalam kegiatan ibadah yang bukan agamanya, berarti kita menghargai

keagamaan orang lain dan ikut menjaga keimanan dia agar tidak murtad.

Kalau seseorang melibatkan pemeluk agama lain agar mengikuti atau

berpartisipasi dalam kegiatan ibadahnya, berarti juga bahwa dia tidak

menghormati keyakinan orang lain dan ingin meruntuhkan keimanan atas

agama yang diyakininya. Perilaku demikian termasuk intoleran, dan harus

dihindari.

Ranah ibadah adalah ranah invidu dan sangat privasi, sedangkan ranah

muamalah adalah ranah sosial yang semua orang bisa masuk di dalamnya.

Ranah ibadah adalah ranah di mana seseorang membangun relasi positif

dengan Tuhannya, sedangkan ranah muamalah adalah ranah di mana

seseorang membangun relasi yang positif dengan sesama makhluq Tuhan.

Setiap pemeluk agama semestinya memberi kesempaan kepada pemeluk

agama lainnya untuk membangun relasi yang sebaik-baiknya dengan

Tuhannya. Dan relasi dengan Tuhan itu bersifat pribadi.

Toleransi itu juga bersumber dari pikiran manusia dan ajaran Tuhan.

Setiap manusia dengan secara qodrati memiliki kesadaran untuk menghargai,

bekerja sama, dan saling membantu dengan makhluq lain. Hal ini dirasakan

di Manado dan Tomohon bahwa tradisi bantu membantu dan saling

menghargai antar pemeluk agama sudah lahir jauh hari sebelum pemerintah

menganjurkan bertoleransi dan membentuk badan-badan yang mengurusi

toleransi beragama. Setiap manusia secara qodrati ingin mewujudkan hidup

yang damai dan harmoni. Setiap manusia secara qodrati saling membantu

dalam mengatasi kesulitan.

Bentuk bantu membantu diwujudkan kerja sama untuk saling

meringankan beban orang lain, misalnya pada acara perkawinan dan

kematian, sedangkan bentuk saling menghargai diwujudkan dalam sajian

hidangan, ada hidangan lokal dan hidangan nasional. Hidangan lokal

diperuntukkan bagi penduduk setempat yang beragama Katolik, Protestan dan

Konghucu, sedangkan hidangan nasional diperuntukkan bagi tamu yang

beragama muslim. Tradisi masyarakat Tomohon dan Manado ini sudah ada

sejak nenek moyang mereka sebelum agama-agama samawi datang ke daerah

tersebut.

Selain muncul dari kemampuan pikir qodrati manusia, ajaran toleransi

juga dituangkan dalam berbagai kitab suci agama-agama, baik Islam, Katolik,

Protestan, Budha, Hindhu, dan Konghucu. Spirit toleransi yang bersumber

dari kitab suci ini tentunya sangat kuat dalam menginspirasi para pengikutnya

untuk mengembangkan kehidupan yang bertoleransi. Spirit toleransi yang

bersumber dari kitab ini merupakan titik point bersama bagi para pemeluk

agama untuk mengembangkan toleransi dalam hidup bersama. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa seseorang atau kelompok orang bersama

yang tidak mengembangkan sikap toleransi dalam kehidupan bersama,

hakekatnya dia bukanlah pemeluk agama yang taat, dia bukanlah pengamal

kitab suci yang baik, dia bukanlah penyembah Tuhan yang sebenarnya.

Point yang terakhir dari unsur pemahaman toleransi masyarakat kota

Salatiga dan Manado adalah bahwa toleransi itu diwujudkan dalam perilaku

nyata keseharian, tidak hanya diperbincangkan dalam forum-forum. Point

inilah yang amat utama, sehingga dampak toleransi kehidupan dapat

dirasakan oleh semua makhluq hidup. Gagasan-gagasan besar tentang

toleransi yang didialogkan dalam berbagai forum tidak akan berarti

manakalah berhenti pada kesimpulan diskusi. Upaya untuk mewujudkan

toleransi dalam kehidupan menjadi penting agar kehidupan menjadi harmoni.

Semua pihak harus mengupayakan kehidupan bertoleransi dengan penuh

kesadaran dan dilandasi dengan pengetahuan dan wawasan yang luas.

Sebaliknya, jika dirasakan ada masalah toleransi dalam kehidupan atau

muncul perilaku yang intoleran, maka semua pihak harus bersama-sama

secara sungguh-sungguh pula dalam mencari solusi yang bijak demi untuk

mewujudkan harmoni kehidupan.

2. Bentuk perilaku toleransi

Bentuk perilaku toleransi masyarakat kota Salatiga dan Manado

diwujudkan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tesebut adalah : a)

kegiatan sosial bersama (pernikahan, kematian sosial, termasuk ibadah); b)

Poliklinik kesehatan; c) Beasiswa kurang mampu; d) Membagi takjil; e) Buka

bersama; f) Festival keragaman; g) Dialog, seminar; h) Saling kunjung pada

hari besar; i) Memberi bingkisan hari besar; j) Menjaga gereja/masjid; k)

Mengunjungi tempat ibadah; l) Saling mengisi kegiatan keagamaan (koor);

m) Pertemuan anjangsana. Masing-masing bentuk dapat diuraikan sebagai

berikut.

Perilaku toleransi yang dikembangkan di Salatiga dan Manado berbentuk

kegiatan sosial kemanusiaan bersama, seperti pernikahan, khitanan, dan

kematian. Ketika salah satu peristiwa kemanusiaan tersebut melanda salah

satu warga di Kota Salatiga dan Manado maka secara spontan warga yang

lain berdatangan untuk meringankan beban kerjanya. Ada yang menata

tempat, meminjam peralatan yang dibutuhkan, mendirikan tenda, mengatur

dan melengkapi kebutuhan dapur, sehingga acara dapat terselenggara dengan

sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan.

Toleransi bentuk ini menunjukkan adanya saling membantu antar sesama

manusia dengan tanpa melihat atribut-atribut yang melekat pada manusia

tersebut, baik agama, suku, ras maupun etnis tertentu. Pola hidup saling

membantu ini telah lahir bersamaan dengan lahirnya manusia di daerah

tersebut karena para sesepuh di wilayah tersebut juga tidak mengetahui kapan

lahirnya kesadaran saling membantu di antara warga tersebut. Mereka saling

menikmati kebersamaan hidup dalam suasana perbedaan.

Di dalam acara tersebut, juga terdapat bentuk toleransi lain, yaitu dalam

sajian makanan. Mereka saling menghargai dan menghormati syariat agama

lain yang diwujudkan dengan pemisahan masakan lokal dan masakan

nusantara, hal ini terjadi di Manado. Kaum Kristiani Manado menyadari

bahwa ada perbedaan hukum makanan tertentu yang diperbolehkan dalam

ajaran Kristen, namun diharamkan dalam ajaran Islam. Makanan yang

dimaksud adalah babi dan anjing. Makanan lokal menyediakan hidangan babi

dan anjing, sedangkan makanan nusantara yang diperuntukkan bagi tamu

muslim yang sajiannya berupa makanan atau daging yang halal menurut

ajaran Islam. Ini adalah bentuk kesadaran toleransi yang tinggi, di mana satu

kelompok berlainan agama menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada

pemeluk agama lain agar dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan

sebaik-baiknya. Perilaku ini dilandasi dengan penuh kesadaran, tidak ada

paksaan dan saling memahami posisi masing-masing.

Toleransi dalam bentuk kepedulian dikembangkan dalam wujud layanan

kesehatan. Bentuk ini dikembangkan di Gereja Kristen Jawa di kota

Salaatiga. Badan Gereja mengelola unit kesehatan yang diperuntukkan bagi

masyarakat luas yang membutuhkan layanan kesehatan dengan biaya murah.

Para pasien cukup membayar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah), mereka

mendapatkan layanan kesehataan yang bagus. Badan Gereja bekerja sama

dengan para dokter dari semua kalangan, baik Muslim maupun Kristen, untuk

melakukan kegiatan setengah pengabdian kemanusiaan bagi masyarakat yang

kurang mampu. Bentuk toleransi ini ternyata lebih mendatangkan manfaat

langsung bagi masyarakat luas, dimana mereka tidak lagi merasa dibatasi

dalam bersosial dengan kelompok tertentu, melainkan bisa berinteraksi

dengan kelompok lain yang berasal dari berbagai agama, suku, ras.

Badan Gereja Katolik Salatiga berencana untuk memperluas kegiatan

layanan kesehatan bagi masyarakat, karena antusias masyarakat cukup tinggi.

Para pasien tidak merasa takut lagi bergaul dengan orang yang berbeda,

sekaligus menghilangkan prasangka-prasangka negatif terhadap orang yang

berlainan dan merasakan akan adanya nilai kemanusiaan universal. Mereka

juga menyadari bahwa setiap manusia harus menjunjung tinggi nilai

universal kemanusiaan tersebut, perbedaan dalam agama, suku, dan ras tidak

semestinya menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan universal tersebut. Agama

justrus harus semakin mengukuhkan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan

universal dalam pergaulan dengan sesama.

Kegiatan kemanusiaan juga diwujudkan dalam bentuk santunan beasiwa

kepada keluarga kurang mampu. Beasiswa ini juga diberikan kepada siapapun

yang membutuhkan dengan tidak memandang agama yang dianutnya, asal

suku maupun ras. Misi kemanusiaan melalui beasiswa ini dimaksudkan untuk

membantu mereka kurang beruntung dalam kehidupan di dunia agar mampu

memotong garis hidupnya menjadi lebih baik. Pendidikan merupakan salah

satu media untuk membentuk sumber daya manusia yang bermutu sehingga

dia mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya.

Selama bulan puasa, ada dua bentuk kegiatan toleransi yang

dikembangkan baik di Salatiga maupun Manado, yaitu buka bersama dan

membagi takjil. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh kelompok muslim

dan nonmuslim. Dalam kegiatan buka bersama, kaum nonmuslim diajak

memahami dan merasakan secara langsung bagaimana kaum muslim

melaksanakan ibadah puasa. Forum buka bersama memungkinkan terjadinya

dialog sosial dan religius antara pemeluk umat beragama. Selain buka

bersama, komunitas Gereja Katolik Salatiga juga membagi-bagi takjil kepada

setiap muslim yang lewat di Jalan Diponegoro. Kegiatan ini dimaksudkan

untuk mengapresiasi kaum muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa,

sekaligus member kesempatan kepada kaum muslim agar melaksanakan

puasa dengan sebaik-baiknya.

Kegiatan pembagian takjil puasa oleh Badan Gereja Katolik Salatiga

melibatkan partisipasi jamaah Gereja. Pengurus Gereja Katolik menyediakan

list kesediaan bagi para jemaat yang akan berkontribusi dalam kegiatan

pembagian takjil ramadhan. Setelah jemaat menulis kesediaan kontribusi

takjil, kemudian Badan Gereja yang mengelola pembagian takjil tersebut.

Dari kalangan muslim, mereka sangat antusias dalam merespond keinginan

baik kaum Kristiani yang membagi takjil pada bulan Ramadhan. Kegiatan

semacam ini ternyata cukup efektif membangun rasa persaudaraan antar umat

beragama.

Bentuk kegiatan toleransi yang lain adalah festival keragaman yang

diselenggarakan di Kota Manado. Kegiatan ini dimaksudkan untuk member

kesempatan kepada seluruh warga masyarakat dan para pemeluk agama yang

beragam, untuk mengekspresikan dirinya melalui seni. Mereka diminta untuk

mengekspresikan siapa dirinya, sukunya, rasnya, agamanya yang sesungguh-

sungguhnya dengan tampilan jubah kebesaran mereka. Masing-masing agama

dianjurkan mengerahkan sebanyak-banyaknya warga jemaahnya untuk

menyaksikan pentas keragaman yang akbar itu. Festival keragaman ini

diselenggarakan atas kerja sama antara pemerintah daerah, organisasi

keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, FKUB, BKAUSA dan seluruh

elemen masyarakat yang ada. Festival keragaman ini juga menampilkan

berbagai keragaman keunggulan lokal kepada masyarakat luas sehingga

mampu menumbuhkan rasa bangga terhadap daerahnya. Masyarakat merasa

terhibur dengan festival keragaman ini dan sekaligus mendapatkan

pendidikan toleransi yang artistik.

Kegiatan berikutnya adalah dialog. Dialog meruapakan salah satu

kegiatan yang dianggap mampu membangun toleransi, baik dalam

pemahaman maupun perilaku umat beragama. Dalam dialog terjadi saling

tukar pemahaman antar umat beragama tentang keragaman agama sekaligus

klarifikasi berbagai hal terkait dengan dimensi keagamaan. Dialog mampu

membangun pemahaman yang benar akan nilai-nilai yang terkandung dalam

ajaran agama orang lain yang mampu menekan perilaku intoleran antar umat

beragama. Melalui dialog seseorang akan tahu akan ‗kebenaran‘ ajaran agama

orang lain. Melalui dialog orang beragama akan mengetahui bahwa setiap

agama mengandung ‗kebenaran‘ dari sudut pandang masing-masing yang

selanjutnya akan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan oleh para

pemeluknya.

Berbagai persoalan yang muncul dalam relasi beragama dapat

diselesaikan melalui dialog yang sebenarnya, yaitu dialog yang berusaha

untuk mencari kebenaran dan titik temu yang dilandasi dengan kesadaran

hidup bahwa alam ini memiliki keberagaman yang dengannya alam ini akan

harmoni. Maka, tugas setiap manusia adalah menjaga dan memelihara

keberagaman di alam dan menghindari sikap pemaksaan untuk keseragaman.

Dalam dialog antar umat beragama, perlu melibatkan semua elemen

masyarakat baik pejabat, tokoh masyarakat, tokoh, ormas, dan masyarakat

jelata. Hal in diperlukan agar suara dalam dialog adalah suara masyarakat,

bukan hanya suara pejabat atau tokoh agama. Masyarakat jelata adalah

pelaku kehidupan praktis sementara pejabat atau tokoh masyarakat adalah

pelaku kehidupan di aras atas yang terkadang kurang merasakan realitas

kehidupan yang sebenarnya.

Di Manado, dialog antar elemen masyarakat salah satunya dilakukan di

jalan Roda. Jalan roda adalah public space yang dapat dihadiri oleh siapa saja

yang ingin saling sapa. Setiap oang yang datang dapat saling berdialog dan

berinteraksi antar satu dan lainnya tanpa dibatasi skat-skat atribut sosial yang

melekat, ras, agama, suku, jabatan dan lainnya. Forum-forum kecil dapat

diciptakan oleh siapapun yang ingin berinteraksi dan berdialog dengan

siapapun dalam suasana batin yang rileks dan penuh kedamaian. Forum di

jalan roda ini ternyata mampu membangun masyarakat yang rukun, damai,

dan saling menghormati.

Kegiatan saling mengunjungi, bersilaturahmi antar umat beragama

merupakan bentuk lain dari perwujudan perilaku toleransi antar umat

beragama. Pada hari-hari besar keagamaan para penganut umat beragama

saling mengunjungi dan memberi selamat kepada umat yang merayakannya.

Mereka melakukan hal yang sama pada setiap peringatan hari besar

keagamaan.

Perilaku saling mengunjungi dan memberi ucapan selamat dari pemeluk

agama kepada pemeluk agama lain merupakan bentuk nyata dari pengakuan

akan eksistensi agama dan pemeluknya. Pengakuan ini kemudian akan

melahirkan perilaku menghargai, saling menghormati, dan saling mengakui

akan eksistensinya. Pengakuan akan eksistensi pemeluk agama oleh pemeluk

agama lain kemudian melahirkan sikap tenang, tentram dan damai dalam

menjalani kehidupan bersama pemeluk agama lain.

Tradisi saling mengunjungi dan memberi ucapan ini dilakukan dengan

kesadaran diri tanpa ada pihak yang saling mengundang. Ketika tiba hari

besar keagamaan, maka otomatis muncul kesadaran dari dalam diri untuk

memberikan ucapan kepada pemeluk agama yang menganutnya sebagai

bentuk persaudaraan dan pengakuan eksistensi. Kegiatan ini dikembangkan di

Manado dan Kota Salatiga.

Tidak hanya mengunjungi, mereka juga saling memberi bingkisan hadiah

kepada yang merayakannya. Dalam perspektif psiko-sosial, pemberian

bingkisan memiliki makna yang lebih dalam, di mana bingkisan yang

diberikan oleh seseorang kepada orang lain merupakan pewujudan rasa

pesaudaraan dan cinta kasih di antara mereka. Sedangkan dalam perspektif

teologis, pemberian bingkisan kepada orang lain merupakan ajaran Tuhan dan

tuhan berjanji akan membalasnya dengan pahala yang kebaikan serupa yang

lebih banyak; dan semua agama memiliki ajaran yang demikian. Dengan

demikian, titik temu antara perspektif psiko-sosial dan teologis ini mampu

mempererat tali persaudaraan di antara mereka.

Mereka tidak hanya saling mengunjungi dan memberi bingkisan, namun

mereka juga saling menjaga tempat ibadah agar pemeluk agama yang sedang

merayakan hari besar dapat melakukannya dengan khusyu‘. Para pemuda

Kristiani akan menjaga masjid ketika para kaum muslimin sedang melakukan

Ibadah Sholat Id, para remaja muslim akan menjaga Gereja ketika kaum

Kristiani sedang melakukan Ibadah Natal, para pemeluk Budha yang sedang

merayakan Waisak Suci di Vihara akan dijaga pula oleh pemeluk agama lain

agar dapat nyaman. Penjagaan tempat ibadah ini dilakukan dengan

menciptakan suasana yang kondusif di sekitar tempat ibadah, pengaturan lalu

lintas dan pengaturan parkir kendaraan.

Penjagaan tempat ibadah yang dilakukan saling bergantian tersebut juga

bermanfaat untuk meminimalisir perilaku-perilaku intoleran yang selama ini

muncul, yakni pengrusakan tempat ibadah oleh orang yang tidak bertanggung

jawab. Kegiatan demikian ternyata juga sedikit membantu petugas keamanan

yang sedang melakukan tugas penjagaan keamanan di tempat-tempat ibadah.

Selain hal itu, para penganut agama juga melakukan kegiatan anjang sana

ke tempat-tempat ibadah pemeluk agama lain. Pemuda Gereja mengunjungi

Masjid, Vihara, dan Klenteng; pemuda muslim mengunjungi Gereja, Vihara

dan Klenteng; pemuda Budha megunjungi Masjid, Gereja, dan Klenteng.

Mereka menguji tempat ibadah dimaksudkan agar lebih dekat dan memahami

tentang agama orang lain.

Setelah mengunjungi tempat ibadah dan menyaksikan pemeluk agama

lain yang sedang melakukan ibadah, maka akan muncul rasa hormat terhadap

umat bergama yang sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Alangkah

naifnya seseorang yang mengganggu apalagi memberikan kematian kepada

seseorang yang sedang melakukan ritual ibadah kepada Tuhannya. Hubungan

manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah hubungan yang sangat

pribadi, dan tidak seorangpun boleh mengganggu, melarang bahkan

meniadakan. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang paling asasi.

Dalam kegiatan membangun toleransi, juga dilakukan melalui kegiatan

tinggal bersama (live together) dengan pemeluk agama lain dalam camp.

Mereka tinggal selama 1 – 2 minggu di suatu tempat yang khusus dengan

dipandu oleh para tokoh agama. Selama dua minggu mereka mengikuti

berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan perilaku

toleransi antar umat beragama. Pemahaman yang benar tentang agama akan

mengantarkan pemeluknya beragama dengan baik dan benar, pemahaman

terhadap agama orang lain akan mengantarkan pemahaman yang bernar

terhadap orang lain dan mengantarkan pada perilaku menghargai pemeluk

agama lain.

Selama melakukan live together, para peserta akan menjalani serangkaian

kegiatan bersama pemeluk agama lain. Setiap pemeluk agama akan

melaksanakan ajaran agamanya masing-masing selama mengikuti camp

bersama, sehingga setiap pemeluk agama juga dilatih untuk memberi

kesempatan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya

dan sekaligus menghargai orang yang beragama lain. Kegiatan ini ternyata

memberi dampak yang positif bagi penguatan pemahaman dan toleransi

beragama. Kegiatan ini dilaksanakan di daerah Thekelan Kabupaten

Semarang dan Keuskupan Manado, di laksanakan di kompleks wisma

Lorenzo.

Selain melalui dialog, penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan

atau toleransi beragama juga dilakukan melalui seminar bersama antar umat

beragama. Seminar bersama ini dilakukan untuk mengkaji toleransi dan

kerukunan antar umat beragama secara akademik ilmiah dari para pakar.

Seminar ini diikuti kebanyakan dari kalangan akadmisi dan kaum terpelajar,

yang memiliki kemampuan kajian secara kritis. Kegiatan seminar ini

dilakukan di kota Salatiga dan juga kota Manado dan dilakukan di tempat

ibadah secara bergantian.

Kebersamaan untuk mewujudkan toleransi juga dilakukan melalui

kegiatan saling mengisi acara keagamaan. Isian acara kegiatan ini dilakukan

pada acara perayaan bukan pada ibadahnya, misalnya perayaan Natal, Waisak

Suci, Halal bi Halal dan lainnya. Bentuk isiannya kebanyakan berupa pentas

seni budaya nasional. Partisipasi tolerasi melalui isian seni budaya ini

memiliki nilai strategis, karena seni dan budaya bersifat netral artinya dapat

ada pada siapapun, pada etnis apapun dan pada pemeluk agama apapun.

Dengan adanya pentas seni budaya dapat mempersatuan manusia sebagai

insan kodrati yang memiliki rasa yang sama terhadap estetika.

Bentuk lain dari toleransi pada masyarakat kota Salatiga dan Manado

adalah melakukan pertemuan secara anjang sana. Pertemuan anjang sana ini

dimaksudkan agar masing-masing peserta dapat saling mengenal lebih dalam

terhadap peserta yang lainnya. Anjang sana juga merupakan wujud dari

persaudaraan yang sejati, persaudaraan yang sebenarnya, dan persaudaraan

yang tanpa basa-basi. Dengan demikian melalui pertemuan anjang sana ini

akan dapat menghilangkan prasangka-prasangka yang negatif kepada orang

lain karena setiap peserta datang dengan perasaan ihlas dan kesadaran penuh.

3. Upaya penguatan pemahaman dan perilaku toleransi

Toleransi antar umat di kota Salatiga dan Manado selama ini telah

berjalan dengan baik, kelaupun ada gangguan-gangguan itu sifatnya hanya

letupan kecil dan mampu diredam secara bersama-sama. Gangguan toleransi

yang muncul sebagian besar karena pengaruh dari luar, bukan muncul dari

dalam. Namun demikian, suasana sejuk yang ada tidak boleh menjadikan

masyarakat di kota Salatiga dan Manado terlena dan mengabaikan sikap

waspada terhadap kemungkinan munculnya perilaku intoleran atau bahaya

laten yang mungkin mencuat.

Ada banyak upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan situasi

yang damai dan toleransi di Kota Salatiga dan Manado, yaitu : a)

pendalaman ajaran agama masing-masing; b) mengoptimalkan lembaga

terkait, misal FKUB, BKAUSA; c) dukungan pemerintah; d) penguatan

toleransi melalui sekolah, anak muda, ormas-ormas; e) meningkatkan kualitas

ceramah di tempat ibadah; f) membentuk kegiatan bersama; g) memberikan

pemahaman yang benar kepada setiap orang tentang konsep kerukunan dan

mengamalkannya dalam kehidupan; h) membangun interaksi intimistik pada

semua lemen masyarakat. Masing-masing upaya dapat dijelaskan sebagai

berikut.

Proses penguatan kerukunan umat beragama dilakukan melalui

pendalaman ajaran agama masing-masing. Pemeluk agama yang memahami

ajaran agamanya secara baik dan mendalam akan menunjukkan perilaku yang

mulia, baik dalam relasi vertikal kepada Tuhannya maupun relasi horizontal

kepada sesama makhluk. Setiap ajaran agama pasti mengajarkan kepada

pemeluknya agar berperilaku baik dalam segala relasi hidupnya. Agama lahir

untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang tidak selaras dengan nilai-nilai

Ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan senantiasa

selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Agama apapun di alam ini, baik agama samawi maupun agama ardhi

pasti mengajarkan setiap manusia untuk menghargai manusia lain, tidak

membuat kerusakan di alam, tidak menyakiti sesama manusia, tidak

merendahkan orang lain, senantiasa mengasihi orang lain, saling tolong

menolong dan banyak lagi ajaran kebaikan yang lainnya. Manusia beragama

yang dapat mewujudkan berbagai perilaku kebaikan di atas, berarti dia telah

memancarkan keimanan yang benar dalam wujud perilaku nyata. Dan inilah

misi agama hadir di muka bumi.

Namun demikian, ada juga sebagian pemeluk beragama yang

mengamalkan ajaran agamanya tetapi membuat orang lain merasa tidak

nyaman dan terkadang bahkan mengancam keselamatan orang lain. Perilaku

demikian tentu tidak bisa dikatakan sebagai pengamalan ajaran agama yang

benar. Bukan ajaran agamanya yang salah, namun orang tersebut memahami

ajaran agamanya kurang tepat. Kekurangtepatan pemahaman ajaran agama

tersebut dipengaruhi banyak faktor, antara lain faktor politik, ekonomi, dan

pendekatan yang dipakai.

Pemahaman agama yang diwarnai kepentingan politik akan menjadikan

ajaran agama sebagai legitimasi formal guna mengarahkan pemahaman kaum

awam pada dukungan kekuatan politik tertentu. Isu agama sangat menarik

dan efektif untuk mempengaruhi opini orang, apalagi pada kaum yang masih

awam emosional bukan awam rasional. Jika agama sudah masuk dalam

wilayah politik, maka pemahaman ajaran agama yang ‗sebenarnya‘ sulit

ditemukan, karena pemahaman yang dikembangkan kepada jamaah adalah

agama dalam tanda petik, dimana terkadang pemahaman seperti ini

melahirkan perilaku intoleran atas kelompok lain yang tidak sepahaman

dengan kelompok mayoritas. Mereka saling truth claim atas kebenaran ajaran

agama yang dianutnya.

Upaya untuk membangun dan memperkuat pemahaman dan perilaku

toleransi adalah mengoptimalkan peran lembaga-lembaga yang berkaitan

dengan persoalan toleransi beragama, yaitu FKUB maupun BKAUSA di

Manado. Lembaga-lembaga tersebut diciptakan untuk memfasilitasi

pertemuan dan interaksi antar umat beragama guna menciptakan pemahaman

bersama akan pentingnya membangun kedamaian bersama.

Pendekatan kelembagaan dipandang lebih efektif untuk memfasilitasi

komunikasi antara kelompok masyarakat, agama, atau etnis. Pendekatan

kelembagaan dipandang efektif karena lebih mengedepankan rasionalitas dan

kebijaksanaan. Berbeda dengan pendekatan individual, yang terkadang

tertutup, subjektivitas tinggi, dan pendekatan emosional sering muncul.

Lembaga-lembaga tersebut terbukti telah mampu membangun

masyarakat yang toleran dan damai. FKUB di kota Salatiga sangat beperan

dalam memfasilitasi komunikasi dan interaksi antar umat beragama, demikian

juga di Manado. Adapun upaya FKUB untuk mewujudkan toleransi adalah

dengan menyelenggarakan forum-forum diskusi antara tokoh umat bersama

untuk membahas hal-hal yang perlu dilakukan demi mewujudkan toleransi

yang sesungguhnya.

FKUB dan BKAUSA akan dapat berperan dalam menciptakan kehidupan

yang damai dan toleran manakala mendapat dukunga pemerintah setempat.

Dalam hal ini, pemerintah kota Salatiga dan Manado sangat respect terhadap

upaya menciptakan kerukunan umat beragama. Pemda menyadari bahwa

masyarakatnya sangat majemuk dan berpotensi timbulnya konflik horizontal.

Oleh karenanya perlu upaya-upaya yang sungguh-sungguh seluruh elemen

pemerintahan dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran.

Upaya yang dilakuakan pemerintah kota Salatiga untuk mewujudkan

kerukunan antar umat beragama adalah selalu menyampaikan pesan

kerukunan dan toleransi umat beragama di berbagai forum baik secara lisan

maupun tertulis. Sambutan wali kota Salatiga dan wakil walikota Salatiga

atau pejabat Pemda lainnya, selalu menyampaikan pesan tentang pentignya

menjaga kerukunan umat beragama di kota Salatiga. Setiap warga kota

Salatiga dihimbau agar senantiasa menjaga toleransi di kota Salatiga.

Himbauan pemerintah kota Salatiga tidak hanya secara lisan, tetapi juga

tertulis pada spanduk-spanduk, baliho yang dipasang di berbagai sudut kota

Salatiga. Himbauan ini ditujukan kepada seluruh masyarakat kota Salatiga

khususnya, dan siapa saja yang berada di kota Salatiga untuk senantiasa

menjaga kerukunan dengan orang lain. Himbauan tersebut dapat kita jumpai

di tempat-tempat umum, seperti perempatan, pasar, lapangan pancasila, dan

jalan raya.

Himbauan atau pesan kerukunan dan toleransi antar umat beragama juga

dijadikan tema dalam berbagai kegiatan. Tema kerukunan diangkat untuk

senantiasa mengingatkan kepada seluruh masyarakat betapa pentingnya hal

tersebut untuk dijaga. Misalnya tema bulan Ramadhan, tema kegiatan

Nuzulul Quran, tema Halal bi Halal, tema Natal, perayaan Waisak Suci, tahun

baru Imlek dan perayaan hari besar nasional seperti peringatan hari

kemerdekaan, sumpah pemuda, hari kebangkitan nasional dan lainnya.

Pemerintah daerah juga menyelenggarakan beberapa kali forum yang

membahas penguatan pemahaman dan perilaku toleransi di Kota Salatiga.

Forum tersebut dikordinasikan oleh Kesbangpolinmas kota Salatiga bekerja

sama dengan FKUB dan ormas-ormas yang ada di kota Salatiga. Kegiatan ini

mendapat respond yang sangat positif dari masyarakat terbukti dengan

hadirnya seluruh undangan dari pemkot Salatiga pada acara tersebut.

Demikian juga Pemkot Manado sangat sungguh-sungguh dalam upaya

menciptakan kehidupan yang rukun dan toleran. Pemda banyak menfasilitasi

kegiatan-kegiatan atau acara untuk penguatan kerukunan antar umat

beragama, baik dalam bentuk seminar, dialog, festival, dan berbagai forum

silaturahmi antar umat beragama. Dengan demikian, peran pemerintah

setempat sangat besar dalam mewujudkan toleransi beragama karena mereka

memiliki power dan pemangku kebijakan. Bahwa sinergi untuk menjaga

kerukunan dan menerapkan nilai-nilai toleransi sampai pada tarap eksekutif

dan legislatif. Pemerintah dengan aktif turut serta dalam menjaga kerukunan.

Walau, tidak tertutup kemungkinan adanya potensi untuk terjadi perpecahan

tetapi hal tersebut dapat diredam dengan cepat dengan adanya kerjasama dari

tingkat aparat pemerintahan. Hal ini membuktikan juga adanya peran dari

opinion leader dalam menjaga kerukunan di Manado.

Upaya penguatan pemahaman dan perilaku toleransi dilakukan juga

melalui lembaga pendidikan (sekolah), pada anak muda dan ormas-ormas.

Elemen-elemen ini sangat penting karna di dalamnya terdapat anak-anak dan

golongan kaum muda yang sangat mewarnai dinamika kehidupan dalam

masyarakat. Dinamika dalam masyarakat sebagian besar diperankan oleh

kaum muda, kaum tua hanya mengambil peran-peran yang tidak begitu

tampak dalam dinamka sosial.

Penguatan di sekolah Islam dilakukan dengan mengembangkan jargon

Islam rahmatan lil „alamin. Pelajaran Agama Islam, menampilkan materi

wajah Islam rahmatan lil „alamin, Islam inklusif bukan Islam ekslusif, Islam

yang memberikan kedamaian bagi seluruh manusia, bukan Islam yang hanya

memberikan kedamaian bagi sekelompok golongan, Islam wasthan bukan

Islam ekstrim kanan atau kiri.

Islam rahmatan lil ‗alamin yang diajarkan di sekolah diharapkan mampu

mewujudkan toleransi dalam kehidupan di masyarakat. Anak sedini mungkin

dikenalkan dengan ajaran Islam yang menghargai eksistensi orang lain.

Pemahaman Islam yang demikian dipandang sangat penting bagi anak yang

hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Penguatan toleransi bagi anak muda dilakukan melalui kegiatan ormas

keagamaan yang berbentuk dialog, kegiatan bersama dan kunjungan tempat

ibadah. Kegiatan dialog dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang

benar tentang ajaran agama dan kemajemukan kehidupan. Dalam dialog ini

juga dibahas ajaran-ajaran yang krusial yang berpeluang menimbulkan multi

tafsir dan mengarah pada pemahaman yang intoleran.

Kegiatan bersama dilakukan dalam rangka membuktikan bahwa

kerukunan itu nyaman, toleransi itu nyaman dan kita tidak dapat hidup

bahagia tanpa berdampingan dengan orang lain. Kegiatan bersama ini

diwujudkan dalam bentuk kegiatan sosial, pentas budaya, karnaval budaya,

festival keragaman dan lainnya.

Upaya peningkatan pemahaman dan penguatan perilaku kerukunan juga

dilakukan melalui peningkatan kualitas ceramah agama. Di Manado, upaya

ini dilakukan dengan memberikan pengarahan kepada calon penceramah di

mimbar dan membuat buku khotbah bersama. Pengarahan kepada calon

penceramah di mimbar dilakukan melalui pendidikan khusus para calon

Pendeta atau pastor di Wisma Lorenzo; sedangkan penyusunan khotbah

bersama dilakukan oleh tim kerja yang terdiri dari berbagai pemeluk agama.

Khotbah besama ini kemudian dikembangkan oleh masing-masing khatib dan

dipedomani dalam khotbah-khotbah di tempat ibadah masing-masing.

Peningkatan kualitas ceramah di tempat ibadah ini perlu diperhatikan,

karena dari sinilah firman Tuhan disampaikan oleh para pendakwah kepada

para jamaah. Jika para mengkhotbah menyampaikan firman Tuhan secara

benar, maka jamaah akan menerimba kebenaran firman Tuhan dan

memberikan kedamaian dalam kehidupan mereka; namun jika yang terjadi

sebaliknya, para pengkhotbah menyampaikan firman Tuhan tidak benar maka

para jamaah juga akan mengamalkannya dalam kehidupan ketidakbenaran

tersebut. Oleh karena itu peran pengkhotbah sangat penting.

Dalam tradisi Katolik, para pengkhotbah agama di Gereja harus

mengikuti garis-garis ajaran yang dibuat oleh Vatikan. Garis-garis ajaran

tersebut harus dipedomani dan disampaikan kepada para jemaat agar mereka

tidak sesat, jika pengkhotbah Katolik menyampaikan ajaran tidak sesuai

dengan garis Katolik Vatikan maka yang bersangkutan akan diberhentikan

dari tugasnya sebagai pengkhotbah karena dia berkhotbah bukan atas dasar

kebenaran tetapi atas dasar pemikiran dan emosinya.

Memberikan pemahaman yang benar kepada setiap jemaat tentang

konsep kerukunan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat

perlu diberikan pemahaman yang benar tentang agamanya, masyarakatnya

dan keberadaan agama orang lain. Agama yang benar adalah agama yang

mengajarkan kebenaran yang tidak bertentangan dengan realitas alam dan

berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam. Realitas alam itu beragam dan

keragaman itu adalah alami (sunnatullah), dan oleh karenanya setiap manusia

memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan keragaman tersebut.

Tidak ada jaminan bahwa ketika di alam ini bertengger satu agama akan

terwujud kedamaian hidup, tidak ada konflik dan tidak terjadi kerusakan di

alam. Pembawaan manusia yang dikaruniai akal dan nafsu memberi peluang

munculnya perilaku konflik karena keserakahan. Dalam keadaan demikian,

maka setiap manusia harus mengakui eksistensi orang lain dan agama yang

dipeluknya yang diyakini mampu membahagiakan kehidupannya.

Pemahaman yang benar akan perlunya upaya menjaga secara bersama-

sama toleransi dalam kehiduan tersebut, harus diwujudkan dalam perilaku

nyata tidak sebatas wacana belaka. Seringkali konsep yang baik telah

dipahami namun tidak dilaksaksanakan dalam praktik kehidupan sehari-hari,

maka cita ideal kehidupan yang diinginkan tidak pernah terwujud.

Perwujudkan konsep kehidupan yang toleran tersebut harus diwujudkan

oleh berbagai elemen masyarakat, baik unsur pemerintahan, tokoh agama,

tokoh masyarakat, pemuda dan seluruh anggota masyarakat. Semua orang

harus memiliki kesadaran untuk mewujudkan hidup yang damai dan toleran,

serta menghidari dari perilaku intoleran yang dapat mengganggu harmoni

kehidupan di masyarakat.

Masyarakat kelas bawah juga diajak mewujudkan perilaku toleran dalam

kehidupan. Relasi intimistik di antara kelas-kelas sosial perlu diwujudkan,

mulai dari kelas atas, menengah dan rakyat jelata. Relasi intimistik ini akan

mampu mewujudkan keakraban dan saling jaga, saling bantu dan saling

menghargai. Jalan roda merupakan salah satu public space yang memfasilitasi

relasi intimistik ini antar seluruh elemen masyarakat. Relasi antar individu di

jalan roda tidak lagi membedakan status social, agama, ras, kelas ekonomi,

jabatan sosial, jabatan pemerintahan dan atribut sosial lainnya. Mereka

menyatu dalam kebersamaan dan larut dalam pembicaraan tema-tema sosial

kemanusiaan tanpa harus memandang siapa di depan siapa. Inilah salah satu

contoh forum sosial yang sesungguhnya yang memberi kesempatan kepada

setiap orang bisa menikmati kehidupan sosialnya tanpa harus saling

merendahkan antar satu dan lainnya. Setiap orang merasa nyaman dalam

perbincangan tanpa melihat atribut sosialnya.

Gambar: Suasana di Jalan Roda Kota Manado

BAB V

SALATIGA DAN MANADO SEBUAH KOMPARASI

A. Kota Salatiga

Berbicaratentang Salatiga,seperti diungkapkan oleh Weilen salah seorang

warga Kota Salatiga keturunan Tionghoa. Beliau adalah Waki l Ketua di Klenteng

Hok Tiek Bio Salatiga bahwa kerukunan beragama di Kota Salatiga ini sangat

baik, sangat nyaman dan merasa senang tinggal di Kota Salatiga. ―Selama ini

tidak ada diskriminasi terhadap warga kami Tionghoa‖, ungkap Bapak yang

berusia 49 ini. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Klenteng pun selalu

berjalan hikmat serta tidak ada diskrimasi pada etnis mereka yang tinggal di

Salatiga, seperti Kirab Ruwat Bumi dan lain-lain.

Kondisi dan gambaran ini juga dapat diperkuat melalui temuan penelitian

Dialog Inklusivistik Membangun Rasa Kebersamaan dan Saling Pengertian Studi

Kasus pada Majelis Pemuka Agama Salatiga (PUASA) dan FKUB Salatiga, M.

Zulfa dalam (Harder dan Hidayati, Edt., 2017:174), kondisi kerukunan di

masyarakat Kota Salatiga terwujud pada hubungan muamalah, kegiatan-kegiatan

masyarakatan, saling bekerja sama dala setiap acara kegiatan di kampong, seperti

pernikahan atau hajatan yang lain, kerja bakti, menjenguk tetangga yang sakit,

kegiatan lelayu, bakti sosial, dan halal bi halal serta saling berinteraksi dan

menyapa satu sama lainnya.

Sehingga wajar jika Wakil Walikota Salatiga Muh Haris pada sebuah

kegiatan sosialisasi pendidikan politik bagi pengurus RT dan RW se-Kota Salatiga

di Ruang Kaloka Setda, Senin (12/3), yang digelar oleh Badan Kesatuan Bangsa

dan Politik (Kesbangpol) sebagaimana diwartakan oleh Koran Wawasan (13

Maret 2018) dengan judul ‗Jangan Nodai Salatiga sebagai Kota Toleran‟,

meminta semua pihak untuk menjaga iklim Salatiga agar tetap kondusif, selalu

guyub dan rukun meskipun beda pendapat dan beda pilihan selama proses pilgub.

Untuk itu dinamika politik jangan sampai menodai predikat Salatiga sebagai kota

paling toleran se-Indonesia. Bukan tanpa alasan, mengenai permintaan orang

nomor dua di Kota Salatiga ini, karena Kota Salatiga termasuk salah satu

kota di Indonesia yang dikatagorikan sebagai kota tertoleran.

Hasil dan temuan indexing yang dilakukan oleh Setara Insitute dan

UnitKerja Presiden-Pembinaan Ideologi PancasilaJakarta, 16 November 2017,

mengenai Indeks Kota Toleran (IKT); 10 Kota Teratas dengan Skor

Toleransi Tertinggi terdiri dari; Manado (5,90), Pematangsiantar (5,90), Salatiga

(5,90), Singkawang (5,90), Tual (5,90), Binjai (5,80), Kotamobagu (5,80), Palu

(5,80), Tebing Tinggi (5,80), dan Surakarta (5,72). Sementara 10 kota Terbawah

dengan Skor Toleransi Terendah, terdiri dari; DKI Jakarta (2,30), Banda Aceh

(2,90), Bogor (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,300), Yogyakarta (3,40),

Banjarmasin (3,55), Makassar (3,65), Padang (3,75), dan Mataram (3,78).

Dalam konteks ke-Salatiga-an, kebhinnekaan itu telah berlangsung cukup

lama. Kebhinnekaan itu tetap terawat dengan baik, sehingga harmoni dan

kedamaian masih bisa dirasakan. Bahkan, sejak zaman pemerintah kolonial

Belanda, Kota Salatiga Sebagai kota kecil yang sejuk dan nyaman, telah

terbangun dan hingga sekarang berkembang dalam kemajemukan. Relatif tidak

pernah ada gejolak yang dipicu semata-mata oleh perbedaan.

Paling tidak, (Rahmat Hariyadi, Salatiga Kota Bhinneka Tunggal Ika,

Kebhinnekaan adalah Keniscayaan, Majalah Jiwaraga, Edisi II T ahun 2017:10-

11) terdapat tiga faktor yang mendukung persatuan dan harmoni dalam

kebhinnekaan di Kota Salatiga yang harus dipertahankan oleh penduduknya.

Pertama, masyarakat Kota Salatiga relatif berpendidikan, sehingga memiliki

wawasan yang luas tentang hak azasi manusia serta memahami bagaimana

seharusnya hidup bersama dalam perbedaan, damai, dan harmoni, sesuai dengan

yang diamanatkan oleh konstitusi negara. Dalam hal pendidikan ini, terlebih

lembaganya. Tak terkecuali lembaga pendidikan keagamaan juga memiliki cukup

andil besar, dengan mengajarkan pendidikan keagamaan yang moderat dan

mengedepankan konsep rahmatan li al-alamin. Hal ini penting untuk

dipertahankan sekaligus untuk menangkal berkembangnya ideologi yang

membawa bibit intoleransi dan konflik.

Kedua, kuatnya keteladanan para tokoh agama dan tokoh masyarakat

dalam merajut kebersamaan dan menciptakan kerukunan. Perilaku para tokoh

agama dan tokoh masyarakat yang menampilkan kebersamaan, dan kesejukan

kiranya menjadi contoh dan panutan masyarakat. Hal ini perlu dipertahankan, baik

kebersamaan antaragama dan intraagama, antargolongan dan intragolongan,

antarkelompok dan intrakelompok, sehingga kerukunan dan harmoni itu benar-

benar tercipta pada semua lini kehidupan.

Ketiga, masih kentalnya nilai-niai budaya lokal, local wisdom, budaya

Jawa, tertanam kuat dalam keseharian, terutama dalam kehidupan sosial. Nilai-

nilai yang secara ringkas termuat dalam saloka (ungkapan pendek yang sarat nilai

sebagai rujukan dalam bersikap dan bertindak), antara lain, guyub-rukun, tepa-

slira, rukun agawesantosa, gotong royong, dan menang tanpangasorake. Nilai-

nilai kearifan yang terkandung dalam ungkapan tersebut bila dihayati dapat

menghilangkan potensi konflik karena perbedaan.

Keluasan wawasan dalam pendidikan bisa saja diakibatkan terdapatnya

lembaga pendidikan tinggi yang identik dengan institusi yang berperan besar

untuk membentuk kultur dan karakter masyarakat. Keberadaan Universitas

Kristen Satya Wacana (UKSW), berdiri tahun 1956. Kini setelah memasuki usia

60 tahun UKSW memiliki 16.322 orang mahasiswa dari 34 suku bangsa yang ada

di Indonesia baik berasal Pulau Jawa, Batak (Sumatera Utara), Kalimantan, Toraja

(Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), Timor Sumba

(NTT) dan etnis Tionghoa serta mahasiswa asing yang berasal dari Australia,

Amerika Serikat, New Zealand, Belanda. Mereka tersebar di dalam 14 fakultas, 56

program studi (progdi); 3 progdi Diploma III, 1 progdi Diploma IV, 39 progdi S1,

10 progdi S2, 3 progdi S3. Kampus ini sekaligus menjadi cikal bakal Perguruan

Tinggi ini memiliki identitas Indonesia Mini. Keberadaan demikian dengan IAIN

Institut Agama Islam Negeri Salatiga yang menampung sekitar 13.300 mahasiswa

dari berbagai daerah di Indonesia.

Gambar; Kampus UKSW (atas) dan Kampus 3 IAIN Salatiga (bawah)

Ketenangan dan kesejukan Kota Salatiga menjadi kota pilihan bagi

pendatang baik warga lokal maupun asing, walau hanya sekedar mampir, kuliner,

istirahat, tinggal sementara/homestay bahkan berbagai aktivitas lainnya seperti

bekerja dan sekolah tampaknya kota ini sangat representatif. Adalah Scoot Martin,

pria berkebangsaan Amerika Serikat selaku pendiri dan Secondary Principal

(Pemimpin Sekolah) ofMountainview International Christian School salah satu

sekolah berstandar internasional yang memilih Kota Salatiga sebagai tempat

untuk melakukan aktivitas pendidikan dari tingkat TK sampai SMA. Pelajar

sekolah ini berasal dari berbagai negara seperti Amerika, Australia, Canada,

Korea, Meksiko, Belanda, Singapore, Filipina Jerman, Inggris Jepang bahkan dari

Indonesia.

B. Kota Manado.

Manado berdasarkan pemeluk keagamaan; Islam: 128.483, Kristen:

254.912, Katolik: 20.603, Hindu: 692, Budha: 2.244, Kong-Hucu/lainnya: 499.

Tempat ibadah; Masjid: 192, Musalla: 5, gereja Protestan: 529, Gereja Katolik:

21, Pura: 3, Vihara: 20. Sementara lembaga cukup banyak dari, baik dari tingkat

Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, dari status pendidikana sekolah tinggi,

institute, hingga universitas; universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri

Manado, IAIN Manado, Universitas Klabat, Universitas Katolik De La Salle,

Universitas Kristen Indonesia Tomohon.

(https://manadokota.bps.go.id/subject/27/sosial-budaya.html#subjekViewTab3)

Gambar: Peneliti sedang berada

di pintu gerbang kampus

Uiniversitas Sam Ratulangi

Sedikit berbeda dengan

Kota Salatiga, selain

ditetapkannya Kota Manado

sebagai kota paling toleran

peringkat pertama di Indonesia

oleh sebuah lembaga peneliti

nasional Setara Institute Jakarta.

Kota Manado juga menerima

penghargaan kota terbaik kategori

toleransi dalam Sindo Weekly

Government Award 2018. Penghargaan yang diterima ini merupakan apresiasi

media masa atas kehidupan masyarakat Kota Manado yang rukun serta

menerapkan sikap hidup toleran. Penghargaan yang diterima Kota Manado

sebagai kota terbaik kategori toleransi menjadi motivasi bagi pemerintah dan

seluruh masyarakat Kota Manado untuk terus mempertahankan sikap hidup

toleran, menjaga dan mempertahankan sikap hidup yang rukun di antara sesama,

dan sebagai wujud dari kebersamaan tanpa memandang perbedaan suku, agama,

ras dan antar-golongan. Jauh sebelumnya adalah penghargaan lain yang diberikan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) kepada Kota Manado

adalah sebagai kota yang rukun dan damai karena bisa menjaga kerukunan

antarumat beragama.

Walikota Manado G.S Vick Lumentut berharap, dengan adanya

penetapan Kota Manado sebagai kota paling toleran di Indonesia, semangat untuk

terus menjaga sikap hidup toleran di tengah masyarakat Kota Manado yang

majemuk dan heterogen semakin kuat. Wadah besar instansi pendukung dan

pemelihara kondisi kerukunan, misalnya Badan Kerja Sama Antar Umat

Beragama atau (BKSAUA) dan didukung Forum Kerukunan Umat Beragama atau

FKUB Kota Manado sekaligus memiliki peran yang sangat penting. Senada

dengan apa yang disampaikan oleh Walikota Manado G.S Vick Lumentut dalam

Misa Pembukaan Tahun Yubileum 150 tahun gereja Katolik bertumbuh kembali

di Keuskupan Manado, yang dilaksanakan di kawasan Pohon Kasih Megamas

Manado, Senin (30/04) malam. Dalam sambutannya, Walikota mengatakan bahwa

selama ini umat Katolik di Kota Manado telah ikut serta secara aktif untuk

memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi pembangunan Kota Manado. Bentuk

sumbangsih yang diberikan umat Katolik adalah terus menjaga Kota Manado

dalam bingkai toleransi dan tetap hidup rukun di tengah perbedaan yang ada,

dalam kondisi masyarakat yang majemuk dan berbeda suku, ras dan agama

http://www.manadokota.go.id/search_detail/index/manado-raih-penghargaan-

kota-terbaik-kategori-toleransi-dalam-sindo-weekly-government-award-2018.

Dalam waktu yang berbeda, Wakil Walikota juga menjelaskan tentang

dukungan dan keikutsertaan agama atau umat lainnya dalam menjaga kondisi

keberagamaan yang harmonis di Kota Manado. Dalam keterangannya Bastian

mengatakan umat Buddha di Kota Manado telah ikut berperan menjadikan Kota

Manado sebagai kota paling toleran di Indonesia. Dalam perayaan Hari Raya

Waisak ini, Mor Dominus Bastian mengapresiasi terhadap Umat Budha Kota

Manado yang peran besar dalam menciptakan suasana yang aman dan rukun

sehingga Kota Manado ditetapkan sebagai Kota Paling Toleran di

Indonesia.Dikatakan, untuk menjadikan Kota Manado kota paling toleran di

Indonesia tidaklah mudah, karena butuh keterlibatan semua pihak baik pemerintah

maupun masyarakat termasuk umat beragama. ―Saya yakin untuk meraih predikat

sebagai kota paling toleran tidak mudah, butuh keterlibatan kita semua. Namun,

tidaklah sulit untuk meraih predikat itu, yang paling sulit adalah

mempertahankannya. Karena itu, sikap hidup kita sebagai masyarakat Kota

Manado yang rukun dan saling hormat menghormati antarpemeluk agama, harus

pula mendukung penuh Manado sebagai kota paling toleran di

Indonesia‖. http://www.manadokota.go.id/search_detail/index/wakil-walikota--

umat-buddha-ikut-berperan-jadikan-manado-kota-paling-toleran-di-indonesia

C. Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Salatiga Dan Masyarakat Manado

Baik Kota Salatiga maupun Kota Manado sedikit banyak keduanya

memiliki kemiripan latar belakang budaya dan karakter pada masyarakatnya,

terlebih latar budaya keagamaan. Kota Manado dan Kota Salatiga memiliki

dimensi keberagaman agama yang sangat kompleks. Hampir semua agama

terdapat di dalammya dan memiliki nilai kuantitatif dari jumlah penduduk

berdasarkan penganut keagamaan, jumlah rumah ibadah, dan lembaga yang

berafiliasi pada organisasi keagamaan sangat kentara. Secara statistik eksistensi

keagamaan dapat dilihat di kedua kota ini. Tidak susah kiranya, ketika menyusuri

jalan-jalan di kedua kota tersebut menemukan bangunan tempat ibadah dan

simbol keagamaan.baik di Kota Salatiga maupun Kota Manado dapat dilihat

bangunan gereja-gereja yang besar, megah, dengan menara yang sangat tinggi,

masjid dan vihara juga sama dapat dilihat di pinggiran jalan raya dengan kekhasan

masing-masing.

Ruang-ruang publik tidak sepi dari banner-benner yang menyampaikan

pesan-pesan keagamaan, baik dalam bentuk acara ibadah sebuah gereja, ucapan

selamat dalam bahasa dan Thiong Hoa, atau hal-hal informativ lain yang bertalian

dengan symbol kerukunan yang sangat sederhana. Dari terlihat banyaknnya

symbol-simbol keagamaan tersebut, jika di lihat dari kacamata Ilmu Komunikasi,

dapat ditarik benang merah atau hipotesa bahwa fenomena itu akan melahirkan

berbagai macam proses komunikasi budaya (cultural communication) dan atau

bahkan komunikasi antarbudaya (intercultural communication), dikarenakan

terdapat berbagaimacam latar budaya di kedua kota tersebut.

Dalam konteks keilmuan, terlebih ilmu komunikasi, dan lebih khusus lagi

komunikasi antarbudaya. Perbedaan secara nyata dilatarbelakangi oleh budaya itu

sendiri, karena pada hakikatnya hampir dari semua budaya yang ada tersebut

berbeda dalam proporsinya. Istilah komunikasi antarbudaya digunakan secara luas

untuk semua bentuk komunikasi di antara orang-orang yang berasal dari

kelompok yang berbeda, selain itu juga digunakan secara lebih sempit yang

mencakup komunikasi antara kultur yang berbeda. (Heryadi, Silvana, 2013: 95-

108). Sementara Alo Liliweri mendefinisikan bahwa komunikasi antarbudaya

adalah komunikasi antara orang‐orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya

antar suku bangsa, antar etnik, ras dan kelas sosial. (Liliweri, 2009:10.) Sementara W.M.

Lustig, J. Koester (2006:46) mendefinisikan bahwa komunikasi antarbudaya

adalah proses kontekstual, simbolis, transaksional, di mana orang-orang dari

budaya yang berbeda menciptakan makna bersama. Seperti halnya (Samovar dan

Porter, 1997:70) menegaskan bahwa komunikasi antarbudaya adalah studi tentang

komunikasi antara orang-orang yang "persepsi budaya dan sistem simbolnya

cukup berbeda" untuk mengubah komunikasi mereka.

Apabila hal ini sudah menjadi kesadaran setiap individu, sikap toleransi,

saling menghargai, dan menganggap pluralitas sebagai sebuah keharusan. Kita akan

berada pada kondisi yang harmonis baik secara sosial maupun secara teologikal.

Dang Linh Chi (2016:4) menjelaskan bahwa studi komunikasi antarbudaya adalah

untuk mempelajari dan memahami bagaimana orang-orang dari latar belakang

budaya yang berbeda berkomunikasi satu sama lain. Tujuannya adalah untuk

menghasilkan pedoman yang membantu orang untuk berkomunikasi dengan lebih

baik. Studi dalam komunikasi antar budaya biasanya dimulai dari perbedaan

antara kelompok budaya yang berbeda kemudian mempelajari interaksi antara

kelompok-kelompok ini..

Lebih lanjut Chi menjelaskan bahwa ketika tingkat perbedaan antara

budaya menjadi relatif besar, itu akan menyebabkan salah tafsir dan harapan yang

berbeda tentang bagaimana berkomunikasi secara kompeten. Oleh karena itu,

proses pertukaran informasi jauh lebih sulit dalam komunikasi antar budaya.

Dengan kata lain, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses di mana orang-

orang dari latar belakang budaya yang berbeda mencoba untuk berinteraksi dan

menciptakan pemahaman bersama sehingga mencapai tujuan pribadi mereka serta

menciptakan hubungan dengan orang lain (Chi, 2016:9). Baik Kota Salatiga dan

Kota Manado yang memiliki pendudukanya secara budaya memiliki

kemajemukan dan keragaman dalam hal keagamaan dan keyakinan, dibutuhkan

pemahaman bersama dalam membangun interaksi atau komunikasi yang lebih

efekti untuk menciptakan situasi kehidupan yang lebih harmonis dan terhidar dari

konflik horizontal atas nama perbedaan budaya keberagamaan.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dipetakan oleh Veronique Schoeffel

(2007), bahwa kemampuan dalam hal pemahaman dalam penyampaian pesan

(message), baik pengiriman (komunikator) dan penerima (komunikan)

memenjadikan proses komunikasi antara orang-orang dengan budaya yang

berbeda latar belakang akan meningkat sekonstruktif mungin. Dengan lebih luas

pengalaman, perhatian, dan perhatian yang ditunjukkan tidak hanya akan

menyuburkan komunikasi antarbudaya tetapi akan mendorong upaya komunikasi

lebih bekelanjutan. karena komunikasi antarbudaya banyak dipengaruhi; pertama,

oleh nilai-nilai, tradisi, hubungan sosial dan politik, dan pandangan dunia antara

pengirim dan penerima; kedua, karena efeknya pada pesan verbal dan nonverbal;

dan, ketiga, dengan pengaruh itu pada latar belakang sejarah, pengaturan

relasional, dan posisi seseorang dalam komunitas pidato. Jika kita benar-benar

ingin bernegosiasi berbagi makna lintas budaya, kita harus melepaskan gagasan

bahwa apa kita anggap dapat disepakati oleh semua orang. Perihal penting dalam

komunikasi antarbudaya bukan persepsi siapa yang benar, melainkan perbedaan

tentang apa yang dilihat dan bagaimana yang dirasakannya, baik yang ada pada

dirinya maupun yang ada pada orang lain, sehingga dapat berjalan dan sampai

pada tujuan makna bersama.

Milton J. Bennett (1998) memberi penekanan yang begitu argumentatif

factual tentang pentingnya studi tentang komunikasi antarbudaya telah mencoba

menjawab pertanyaan, bagaimana orang memahami yang satu dengan yang

lainnya ketika mereka tidak berbagi pengalaman budaya yang sama. Hari ini,

tinggal di masyarakat multikultural dalam desa global, kita semua menghadapi

pertanyaan setiap hari. Kami sekarang menyadari masalah itu pemahaman

antarbudaya tertanam dalam pertanyaan kompleks lainnya: Jenis komunikasi apa

dibutuhkan oleh masyarakat majemuk untuk menjadi budaya yang beragam dan

bersatu dalam tujuan bersama? Bagaimana komunikasi berkontribusi untuk

menciptakan iklim penghormatan, bukan hanya toleransi, untuk keberagaman?

Visi baru dan kompetensi inovatif yang kita bawa ke dunia yang berubah ini akan

menentukan jawaban untuk pertanyaan lain tentang desa global yang diajukan

oleh Dean Barnlund,apakah penduduknya akan menjadi tetangga yang mampu

menghormati dan memanfaatkan perbedaan mereka atau kelompok orang asing

yang tinggal di ghetto dan bersatu hanya dalam antipati mereka yang lain.

Lebih jauh, dalam tulisan lainnya sekaligus memberikan tekanan kuat,

Bannett melihat bahwa antara budaya dan komunikasi adalah bagian yang tak

terpisahkan. Galaksi-galaksi alam semesta dikendalikan oleh hukum yang sama.

Tidak benar jikadunia budaya diciptakan oleh manusia, yang masing-masing

beroperasi menurut dinamika internalnya sendiri, prinsipnya sendiri, dan

hukumnya sendiri yang ditulis dan tidak tertulis. Bahkan waktu dan ruang unik

untuk setiap budaya. Namun demikian, ada beberapa benang umum yang berjalan

melalui semua budaya, karena kita semua berbagi akar dasar yang sama.

Komunikasi mendasari segalanya. Meskipun kita cenderung menganggap bahasa

sebagai saluran utama komunikasi, ada kesepakatan umum di antara para ahli di

semiotika yang mana saja dari 80 hingga 90 persen dari informasi yang kami

terima tidak hanya dikomunikasikan secara nonverbal tetapi terjadi di luar

kesadaran kami (Bennett, 1998:53). Sementara bagi Hubert Knoblauch (2001)

menekankan bahwa budaya komunikatiftergantung pada termediasinya dan

keberlangsungantindakan dan bentuk-bentuk komunikatif yang dilakukan dalam

suatu masyarakat. Sangat berhubungan dengan struktur sosial, budaya

komunikatif tergantung pada distribusi sarana komunikasi; tetapi itu lebih

bergantung pada perbedaan penggunaan tindakan komunikatif dan bentuk-bentuk

komunikatif yang dibentuk dan disusun ke dalamsituasi komunikatif, milieus dan

organisasi institusional.

Tidak diragukan lagi secara realistis, baik di Kota Salatiga Maupun di

Kota Manado, bahkan di wilayah lain di Indonesia, yang memiliki tipologi

masyarakat yang majemuk akan dihadapkan pada sikap adaptif dalam

menjalankan kehidupan kesehariannya. Realitas pengalaman kemajemukan

tersebut mengantarkan setiap individu untuk terbuka terhadap interaksi dengan

dudaya di luar dirinya, walaupun kemampuan individu untuk berkomunikasi

sesuai dengan norma dan nilai budaya yang melatarbelakanginya, akan tetapi pada

dasarnya setiap individu akan melakukan adaptasi dengan budaya atau kebiasaan

yang berbeda dengannya, untuk membuat dirinya nyaman. Hal tersebut terjadi

karena adaptasi antarbudaya merupakan hal yang sudah dimiliki oleh individu

secara alami dan universal.Terdapat beberapa hal penting dalam melakukan

adaptasi yaitu keterbukaan, kekuatan dan kemampuan berpikir positif dari

pendatang maupun dari lingkungan budaya setempat(Utami, 2015:180-

197).Zaenal Abidin (2015) menggarisbawahi bahwa secara teoritis adaptasi

antarbudaya merupakan kolaborasi antara dua budaya yang berbeda dengan saling

menerima budaya satu dengan budaya lainnya dengan kesamaan tujuan, sehingga

terbagnun interaksi atau komunikasi yang efektif melalui sikap adaptif dari semua

pihak yang berbedaya budaya. Komunikasi yang efektiflah yang akan mampu

membangun proses komunikasi baik dan lancar antra komunikator dan

komunikan. Pola komunikasi yang baik akan menunjang efektifitas komunikasi

yang akan maupun yang sedang berlangsung. Pola komunikasi adalah model,

format, atau bentuk komunikasi yang dapat terlihat melalui prose komunikator

(baik individu maupun kelompok) mengkomunikasikan pesan-pesan komunikasi

terhadap komunikan di dalam berintraksi.

Kota Salatiga dan Kota Manado jelas memiliki karakter nilai keagamaan

yang sangat beragam dalam bentuknya, sesuai dari setiap individu masyarakatnya

sebagai penganut agama-agama yang terdapat di wilayahnya. Masyarakat Kota

Manado dan Kota Salatiga akan menjalankan kehidupannya berdasarkan pada

pengalaman keagamaannya serta pengalaman sosialnya yang syarat dengan

masyarakat majemuk, plural, dan beragam. Dan tidak dapat dimungkiri lagi

bahwa sikap adaptip dengan saling menghargai perbedaan yang ada, akan

melahirkan corak budaya baru, dalam proses komunikasinya.

Tata nilai masyarakat menurut Abd. Rahman P., (2014) banyak terbentuk

dari kepercayaan dan pengakuan umum tersebut, yang diperoleh dari

pengetahuannya dan pengalamannya dalam mengamati, merasakan dan mengenali

realitas hidupnya sehari-hari. Karena realitas yang dialami manusia dalam

masyarakat ini terus mengalami perubahan-perubahan, maka hasil pengamatan,

proses dan pengalamannya ikut mengalami perubahan, dan hal itu berakibat

timbulnya kepercayaan dan pengakuan masyarakat terhadap beberapa hal yang

dulunya mungkin belum dipercayai dan belum diakui.

Sementara untuk melihat sikap adaptif yang terjadi antara masyarakat

Kota Salatiga dan Kota Manado yang memiliki latar belakang budaya

keberagamaan yang beragam, Tubbs dan Moss menjelaskan tentang model-model

komunikasi yang dibangun di masyarakat. Berdasarkan model komunikasi,

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam (Mulyana, 2010:78.)menjelaskan

tiga model komunikasi yaitu: Model komunikasi linier yaitu

komunikasi satu arah (one-way view communication). Komunikasi

dua arah adalah komunikasi intraksional. Model komunikasi

transaksional, komunikasi yang hanya dipahami dalam konteks

hubungan (relationship) antara dua orang atau lebih. Pola komunikasi

berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi yaitu:

komunikasi intra pribadi, kominikasi diadik, komunikasi antar pribadi,

komunikasi publik, komunikasi organisasi, dan kominikasi masa.

Model-model komunikasi ini salah satu atau beberapa bagian model

dapat terjadi pada masyarakat Kota Salatiga maupun masyarakat Kota

Manado yang terdiri dari beragam budaya keagamaan.

D. Rumah Ibadah dan Kerukunan Masyarakat Salatiga Dan Manado

Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki potensi yang sama untuk

memiliki sikap hidup saling bertoleransi, namun yang perlu diingat Kota Salatiga

yang hanya memiliki luas 17,87 km ini memiliki kemajemukan yang luar biasa.

Hampir seluruh etnis di Indonesia dapat dengan mudah ditemukan di kota kecil

ini, bukan hanya etnis Indonesia saja namun beberapa etnis mancanegara juga

cukup mudah untuk ditemui. Keberagaman yang luar biasa ini menjadi salah satu

perbedaan dari kota-kota lain yang memiliki potensi yang sama untuk hidup

saling bertoleransi. Selanjutnya, kota Salatiga juga merupakan kota yang sangat

mudah untuk menjumpai rumah-rumah ibadah, seperti Gereja, Masjid, Pura,

Vihara, dan Klenteng. Bahkan tidak jarang ditemui rumah ibadah yang berbeda

berdiri secara berdampingan atau berhadapan, hal ini tidak cukup mudah ditemui

di kota-kota lain (Hartika dan Kristiyani, 2017:063-084). Berikutnya peran

pemerintah kota, dalam menanggapi perilaku masyarakat kota Salatiga dalam

hidup berdampingan antarumat beragama. Pemerintah Kota Salatiga bersifat

membina dan memaksimalkan manajemen komunikasi dengan pihak-pihak

terkait. Eratnya komunikasi yang terjalin membantu kelancaran komunikasi ketika

muncul isu-isu sensitif. Pada dasarnya masyarakat kota Salatiga yang sudah

memiliki karakter hidup rukun berdampingan juga memiliki semangat untuk

memotivasi diri sendiri agar terus membudayakan toleransi. Pemerintah Kota

yang berperan untuk meraih prestasi toleransi Kota Salatiga dan pemuka agama

yang berperan untuk membudayakan toleransi kota Salatiga pada nyatanya sama-

sama telah berupaya untuk menciptakan perilaku masyarakat kota Salatiga untuk

hidup rukun berdampingan antarumat beragama serta bertoleransi tinggi (Hartika

dan Kristiyani, 2017:063-084).

Andriana Susi Yudhawati, Indonesia Mini, Ragam Budaya dan Etnis Ada

di Satu Kota, Majalah Jiwaraga, Edisi II T ahun 2017:12-13 menerangkan bahwa

salah satu bentuk toleransi yang jelas terlihat adalah penggunaan lapangan

Pancasila sebagai lokasi kegiatan keagamaan. Pada bulan Desember, lapangan

Pancasila ini menjadi tempat ibadah merayakan Natal bagi umat Kristiani se-Kota

Salatiga, pada hari Raya Idul Fitri lapangan Pancasila juga digunakan sebagai

tempat untuk melaksanakan sholat Ied secara massal bagi umat Islam di Salatiga.

Uniknya pada saat merayakan Natal, para pemuda Masjid Agung Darul Amal

Kota Salatiga, yang berdekatan dengan lapangan pun turut membantu kelancaran

ibadah Natal tersebut dengan mengatur masuknya kendaraan dan mengatur para

warga yang akan mengikuti ibadah. Setelah itu para pemuda masjid akan

menyalami dan mengucapkan hari Natal kepada para umat Kristiani.

Pada realitas dan konteks yang sama, walau berbeda narasi Darmastuti,

Edi, dan Christianto, dalam penelitian menemukan data yang sama. Salatiga

mempunyai ritual tahunan yang digelar di lapangan Pancasila. Ritual ini

merupakan ritual yang dilakukan oleh umat Muslim dan umat Kristiani ketika

merayakan hari besar agama mereka. Pada saat umat Kristiani mengadakan ibadah

Natal maupun Paskah di lapangan Pancasila, umat muslim serta jamaah Masjid

yang ada di sekitar lapangan Pancasila yang ikut membantu menjaga pengamanan

dan menjaga kendaraan jemaat yang hadir. Kebaktian yang sudah dilakukan sejak

tahun 1970 itu tidak pernah menimbulkan masalah. Padahal kebaktian ini

diadakan di depan Masjid Raya Darul Amal yang terletak satu kompleks dengan

IAIN. Begitu juga sebaliknya, pada saat umat Muslim mengadakan sholat Ied di

lapangan Pancasila untuk memperingati hari raya Idhul Fitri serta hari raya Idhul

Adha, umat Kristiani yang ikut menjaga keamanan jalannya ibadah dan menjaga

kendaraan mereka (Darmastuti, Edi, Christianto, 2018:635-649).

Gambar;

Masjid Drul

Amal Salatiga

berada di

depan

Lapangan

Pancasila.

Sumber PT.

PARTNER

KEMENANGAN WordPress .com

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Eben Haezer, salah

seorang pendeta di sebuah Gereja Kristen Jawa. Ia merindukan toleransi dalam

bentuk interaksi intimistik; ―Toleransi yang terjadi di Salatiga perlu dibuktikan

melalui perilaku hubungan yang lebih. Apakah sudah saling mengenal terhadap

saudaranya, bahkan terhadap ajaran agama yang dianut oleh saudaranya yang

berada di luar agamanya sendiri. Jika hanya sebatas kota tertoleran, Itu akan

menandakan kemiskinan dalam persaudaraan. Kita merindukan tolerasi Kota

Salatiga yang inklusif terutama dalam interaksi intimistik persaudaraan. Ya kalo

tetntang keyakinan itu sudah milik individu dan masih dapat didialogkan yang

tidak menimbulkan ketersinggungan karena persaudaran sebagai akar sudah

dimiliki. (Wawancara dengan Pendeta Eben Haezer, tanggal 13 Juli 2018). Haezar

lebih menekankan toleransi dengan bahasa persaudaraan sesama; ―hakikat dari

toleransi adalah persaudaraan sesama. Toleransi adalah menghargai yang suci,

baik kesucian dalam keyakinan yang dimiliki oleh agama sendiri maupun

kesucian yang dimiliki agama lain. Bahkan tidak cukup dengan menghargai saja,

akan tetapi harus lebih dari sekedar itu. Dibutuhkan proses dialogis yang lebih

intimistik terutama dalam wilayah dan yang bernilai positif. Akan lebih berarti

toleransi jika terjadi intimistik tersebut, karena bukan sekedar masabodoh atau

tidak mau tahu. Intimistik bisa dalam bentuk memahami kaidah ajaran agama

orang lain setelah memahami kaidah ajaran agama orang lain. Sehingga toleransi

lahir dari kesadaran dan pengetahuan, bukan sekedar berita/wacana sederhana.

(Wawancara dengan Pendeta Eben Haezer, tanggal 13 Juli 2018).

Sementara itu Kota Manado yang berpenduduk mayoritas beragama

Kristen, sedangkan Islam merupakan agama yang di anut ke 2 terbesar selain dari

agama-agama lain yang ada di Kota Manado. Keberagaman dan kemajemukan

yang ada pada masyarakatnya membuat Kota Manado kaya akan budaya.

Masyarakat menunjukkan hubungan mendalam antar budaya berbagai macam

masyarakat yang terjadi sebagai akibat adaptasi kultural dengan nilai budaya

lokal. (Suleman, 2017:58)

Masyarakat Kota Manado, menganggap tiap manusia sebagai saudara

yang harus diakui keberadaannya serta tetap saling mendukung dalam kegiatan-

kegiatan yang positif. Perbedaan agama dan segala bentuk identitas primordial

tidak dijadikan penghalang untuk tumbuh berkembangnya slogan Torang Samua

Bersudara ini menjadi kata-kata yang dihidupi masyarakat. Selain itu falsafah

Sitou Timou Tumou Tou yang ditelorkan oleh Sam Ratulangi memiliki arti

manusia hidup memanusiakan manusia lain. Bahkan harus lebih memiliki makna

yang sangat luas. Keluasan makna itu dapat sampai pada realitas makna

kehidupan bangsa bagi masyarakat Kota Manado yang toleran, saling

membangun, akrab dengan sesama serta saling menghargai segala bentuk

perbedaan yang melewati sekat sekat perbedaan kronis, dalam hal ini perbedaan

agama sebagai penghambat. Dahulu, falsafah ini sangat nampak muncul pada

proses adaptasi antara pengungsi ―Perang Jawa‖ (1825-1830) yang beragama

Islam dan masyarakat Tondano, Minahasa beragama Kristen. Orang Jawa yang

ketika itu dipimpin Kyai Modjo, hingga kini telah hidup dengan harmonis dengan

masyarakat setempat, bahkan beberapa putranya pernah menjadi Walikota

Manado (Hi. Abdi Buchari) dan wakil propinsi di MPR-RI (Ishak Pulukadang).

Rasa saling terbuka dan menerima perbedaan membuat masyarakat Jawa yang

tinggal dalam pembuangan tersebut, sekalipun beragama Islam melabeli diri

mereka dengan sebutan Niyaku Toudano (aku orang Tondano). (Suleman,

2017:58-59) Masyarakat di Kota Manado, sekalipun heterogen dan dalam segi

jumlah didominasi oleh yang beragama Kristen sejauh ini telah berhasil

mengembangkan suatu model interaksi dan relasi antar umat beragama secara

setara, toleran serta tidak eksklusif. (Suleman, 2017:61)

Toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam

keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-

kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian

mu‟amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak

boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk

mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati

keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-

haknya. (Aslati, :8. Toleransi Antarumat Beragama Dalam Perspektif Islam (Suatu

Tinjauan Historis). Lebih rinci Aslati mengutip Syekh Salim bin Hilali bahwa

toleransi atau as-samahah memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara

lain; Pertama, kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan; Kedua,

kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan; Ketiga, kelemahlembutan

karena kemudahan; Keempat, muka yang ceria karena kegembiraan; Kelima,

rendah diri di hadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan; Keenam, mudah

dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian; Ketujuh,

menggampangkan dalam berdakwah ke jalan Allah tanpa basa basi; Kedelapan,

terikat dan tunduk kepada agama Allah tanpa ada rasa keberatan. (Aslati, :5.

Toleransi Antarumat Beragama Dalam Perspektif Islam (Suatu Tinjauan Historis).

Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam sebuah

wawancara dengan Yulia selaku pengurus Fatayat Nahdhatul Ulama Kota

Salatiga, sebagai manifestasi penganut Islam bahwa, ―bukan saja toleransi dalam

beragama, melainkan dalam berbagai macam unsur kehidupan‖. Bagi pengurus

salah satu sub-kultur dari organisasi keagamaan Islam di bidang kaum muda

wanita ini, ―toleransi terlebih toleransi agama adalah terbentuk oleh dua bagian

yang saling beriringan antara perilaku dan perkataan. Perkataan adalah

manifestasi dari sikap dan habitual perilaku.(Wawancara dengan Yulia, pada

tanggal 11 Juli 2018). Pemaknaan terhadap toleransi bagi Yulia dirasakan tidak

jauh dengan pemaknaan toleransi bagi kebanyakan ulama yang berpatokan pada

ajaran Islam. Begitu juga dengan yang diungkapkan Yusup sebagai pendakwah

Ahmadiyah Kota Manado. Ustadz muda keturunan Jawa ini menjelaskan bahwa

dalam ajaran toleransi sesuai dengan ajaran Ahmadiya; ―toleransi itu adalah

memahami, memaklumi, keyakinan atau ekspresi keyakinan tersebut melalui

ibadah dan lainnya, memaklumi ibadah-ibadah mereka, keyakinan-keyakinan

mereka yang berbeda dengan keyakinan yang kita yakini, terlepas apakah mereka

disimbolkan dengan symbol-simbol agama. Jadi toleransi menurut saya ada

memaklumi dan memahami dan menghargai keyakinan serta ekspresi dari

keyakinan tersebut‖ (Wawancara dengan Yusuf, pada tanggal 25 September

2018).

Hanya saja, baik Bagi Yulia Maupun Yusuf, yang tidak boleh ditolelir

pada persoalan ibadah atau ritual keagamaan yang indefenden dan nilai-nilai dasar

keimanan. Toleransi itu dilakukan pada wilayah muamalah (sosial kemanusiaan).

Ibadah ketuhanan atau nilai-nilai dasar itu tidak bisa lagi ditoleransikan. Artinya

partisipasi kita tidak bisa melebur ke mereka, ketika kita harus melebur atas nama

toleransi, maka akan hilang semangat toleransi itu. Toleransi itu pada sikap dan

interaksi antarsosial, manusia dan manusianya, antarumat, hubungan kehidupan

kemanusian. Seperti halnya toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling

menerima, saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi

dan karakter manusia (Walzer, 1996:57). Semakna namun beda bahasa, toleransi

adalah secara sukarela tidak mengambil tindakan terhadap sesuatu yang tidak

dibenarkan, di mana ia membawa maksud kebenaran yang terbatas dan kebebasan

bersyarat. Toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan

kelembutan (Adeney, 1926). Perbedaan agama yang hidup di tengah-tengah

masyarakat merupakan suatu hal yang potensial untuk terjadinya konflik. Akan

tetapi dalam hal ini masyarakat beragama mampu membuktikan bahwa melalui

komunikasi antarpribadi, sikap mengendalikan diri, menegakkan moral agama

sebagai landasan dalam kehidupan beragama, serta menumbuhkan sikap tanggung

jawab tentang pentingnya kerukunan hidup beragama, maka konflik-konflik dan

kesalahpahaman antarumat berbeda agama dapat diminimalisasi dan dihindari.

Selain itu, masyarakat memanfaatkan local wisdom, yakni dengan mengumpulkan

semua tokoh agama, termasuk kepala desa. Dari berbagai pikiran yang berasal

dari banyak pihak bisa dijadikan kesimpulan dan diambil jalan keluarnya. (Ali,

2017:91-112)

Senada dengan apa yang disadari dan dipahami oleh Reene Picaso,

seorang anggota divisi Pembina kaum muda di Gereja Paukus Mikki Salatiag

bahwa; ―antara toleransi dan keyakinan terdapat benang merah yang jelas.

Keyakinan itu ada di dalam hati, bagi Katolik, hati yang didalamnya adalah Bait

Allah. Gereja adalah manifestasi dari eksistensi Allah yang independen, yang

mengajarkan kecintaan terhadap sesama, sehingga bagi pribadi yang di dalam

hatinya bersemayam Allah, maka keluarannya akan mencintai sesama, inilah

toleransi. Persoalan keyakinan adalah milik individu yang secara langsung

bersinggungan dengan ilahi, mungkin ini juga sama dengan makna doktrin.

Keyakinan dan doktrin syarat dimiliki oleh manusia beragama yang berujung pada

fanatisme. Fanatisme terhadap keyakinan dan doktrin agama harus dimiliki oleh

setiap pemeluk agama. Apapun agamanya. Akan tetapi fanatisme tidak boleh

melanggar tentang hukum adat Tuhan dalam kehidupan kemanusiaan. Orang yang

menganggap agama orang lain salah, boleh saja jika berada pada keyakinan dan

dogma kepercayaan, tetapi tidak seharusnya menganggap kesalahan dalam setiap

etika kehidupan keagamaan manusia (Wawancara dengan Romo Reene Picaso,

tanggal 12 Juli 2018).

Dalam sebuah penelitian M. Syafi‘ie (2011:27) yang berjudul

Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi, menyimpulkan bahwa terdapat ambiguitas dan benturan

konsepsi regulasi terkait dengan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan

hak-hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pertama,

beberapa regulasi memberikan penegasan bahwa hak atas kebebasan beragama

dan berkeyakinan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi

apapun (non-derigable rights), non-diskriminasi dan negara bertanggungjawab

dalam penghormatan, pemenuhan, dan perlindungannya. Kedua, terdapat regulasi

yang membatasi, mengurangi, dan mencabut dari hak-hak kebebasan beragama

dan berkeyakinan. Dimensi regulasi hukum HAM pertama bersifat universal dan

non diskrminasi, sedangkan dimensi konsepsi hukum HAM pendapat kedua

bersifat partikular dan diskriminasi.

Terdapat berbagai pandangan tentang pengertian kebebasan beragama

dari yang berorientasi pada kebebasan sebagai hak itu sendiri, keterkaitannya pada

hak individu lain dan masyarakat, perundangan yang harus membatasinya, serta

akibatnya bagi kehidupan. Oleh karena luasnya argumentasi tentang kebebasan

beragama tersebut maka keseluruhan unsur terkait harus dipertimbangkan ketika

seseorang hendak mewacanakan atau bahkan mengimplementasikan kebebasan

tersebut. Hal ini karena benturan-benturan yang mungkin terjadi akibat adanya

perbedaan sudut pandang dan konsep tersebut. Oleh karena itu, dalam masyarakat

yang multikultur seperti Indonesia ini, sikap arifdan bijak dalam memahami

kebebasan sebagai salah satu hak asasi manusia dan keberagamaan sebagai

sesuatu yang sensitif. (Sartini, 2008:269). Siti Musdah Mulia (2007) dalam ―Hak

Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama‖ dalam web blognya membagi

pelaksanaan hak atas kebebasan beragama ini dalam dua kategori, yaitu sebagai

internal freedom (freedom to be) yang dibedakan dengan kebebasan eksternal

yang termanifestasikan dalam tindakan (freedom to act). Pembatasan terhadap

kebebasan beragama didasarkan atas lima elemen yaitu: keselamatan masyarakat

(public safety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat

(public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak

dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental rights and freedom of

others). (Sartini, 2008:253)

Terdapat berbagai pandangan tentang pengertian kebebasan beragama

dari yang berorientasi pada kebebasan sebagai hak itu sendiri, keterkaitannya pada

hak individu lain dan masyarakat, perundangan yang harus membatasinya, serta

akibatnya bagi kehidupan. Oleh karena luasnya argumentasi tentang kebebasan

beragama tersebut maka keseluruhan unsur terkait harus dipertimbangkan ketika

seseorang hendak mewacanakan atau bahkan mengimplementasikan kebebasan

tersebut. (Mulia 2007, Rahardjo: 2005, An-Na‘im: 2007, Sartini, 2008:253)

Tarik-ulur antara tuntutan dakwah dengan praktik kehidupan sosial yang

pluralistik sering menimbulkan dilemma bagi pemeluk yang concern terhadap

situasi tatanan sosial yang dinamis dalam kedamaian. Ada kekuatan internal untuk

membela agama dan tekanan eksternal yang menghendaki toleransi pada semua

pemeluk berbagai agama. Kentalnya semangat keagamaan menumbuhkan

kekuatan untuk mempertahankan keyakinannya, dan menimbulkan benturan

konflik internal dengan kepentingan pemeluk agama lain. Dikotomi antara

wawasan keagamaan dengan wawasan kemasyarakatan masih menggejala dalam

masyarakat, bahkan dalam batas tertentu sering muncul kesan mendahulukan

kepentingan apa pun atas nama agama. (Sutomo, 2014:93-114). Pengembangan

nilai toleransi secara empirik muncul dalam keterbukaan menerima variasi ritual

ibadah individu. Perbedaan cara ibadah (khilafiyah) tidak menghalangi para

jamaah untuk memilih secara bebas cara ibadah yang sesuai dengan jalan

pikirannya. (Sutomo, 2014: 93-114).

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari

beragam agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu

mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan

berpotensi konfik. Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang

multikultural. Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena

keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Dengan

perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan

konflik antarumat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu

sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan

saling tolong menolong. (Nazmudin, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat

Beragama dalam Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI), Journal of Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017: 23-

39). Karena pada dasarnya masyarakat kita menurut Ali, dalam tulisannya Di

Beranda Rumah Kami Banyak Tuhan: Diskursus Komunikasi Keluarga Beda

Agama Pada Etnik Jawa, dalam (Harder dan Hidayati, Edt., 2017:278)

menjelaskan, agama memegang peranan penting, karena masyarakat meyakini

agama adalah identitas atau harga yang paling utama dari identitas-identitas

lainnya, karena agama begitu kuat mengajarkan keberpihakan primordial yang

sangat kuat. Seseorang masih menerima kehilangan identitas apapun, tapi agama

tidak boleh. Seseorang mungkin tidak terlalu taat menjalankan ajaran agama tetapi

orang itu pasti akan mengorbankan hidup matinya jika agamanya dihina oleh

orang lain. Agama masih kuat berada pada aras ideologis setiap individu

masyarakat.

Kerukunan antarumat beragama itu sendiri juga bisa diartikan dengan

toleransi antarumat beragama. Dalam toleransi sendiri pada dasarnya

mengharuskan masyarakat bersikap lapang dada dan menerima perbedaan

antarumat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati dan

tidak saling mengganggu antara umat satu terhadap umat lainnya terutama dalam

hal beribadah. (Nazmudin, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam

Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Journal of

Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017: 23-39).

Casram, Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat

Plural, Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 Juli 2016:

187-198)

Pemberitaan atau wacana tentang ‗kerukunan hidup beragama‘ di

Indonesia terus menerus digulirkan baik oleh kalangan pemerintah ataupun tokoh

agama bersama masyarakat. Hal itu dilakukan sebagai wujud pengamalan dari tri

kerukunan (kerukunan internal umat beragama, kerukunan antarumat beragama,

dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah) hidup beragama demi

menjaga harmonisasi kehidupan beragama antargenerasi di masa mendatang.

(Farhan, 2017:17-30). Pemberitaan yang diberitakan oleh media massa online

baik melalui you tube, media cetak online; metronews, antaranews, detik.com,

republika, okezone.com dan lainnya memberikan kesamaan yang sinergitas dalam

menjaga toleransi beragama, sekaligus menepis intoleransi di Indonesia. Wacana-

wacana yang diangkat dalam semua pemberitaan tetap mengindikasikan kekuatan

tri kerukunan hidup beragama di Indonesia di seluruh wilayah, baik di perkotaan

maupun di pedesaan. Tradisi gotong royong dan kerjasama antara masyarakat

tetap terjalin dari masa ke masa. Bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk

dengan beraneka suku, ras, etnis, dan agama bukan menjadi problema yang berat

bagi pemerintah untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan antarpemeluk

agama dengan pemerintah. Kinerja pemerintah terwujud dalam berbagai kegiatan

yang berkesinambungan secara serius baik yang dilakukan langsung oleh

pemerintahan pusat maupun oleh pemerintahan di daerah (Farhan, 2017:17-30).

Persepsi atau penilaian terhadap kelompok agama lain, baik mengenai

gambaran umumnya, masyarakatnya, ataupun perilaku keagamannya. Konflik-

konflik yang muncul antara pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama lainnya

bisa berasal dari adanya persepsi yang keliru atau pandangan buruk terhadap

pemeluk dan agama lainnya. Persepsi muncul setelah mereka melihat dan

memberikan penilaian terhadap kelompok agama lain tersebut yang dianggapnya

merugikan agama atau kelompok mereka (Hermawati, 2016:105-124).

Di dalam praktik toleransi sering muncul perilaku berlebihan yang

mengarah kepada nuansa sinkretisme, yang di Indonesia disebut toleransi

kebablasan. Sinkretisme yang dimaksud di sini tentu saja tidak sama dengan

fenomena sinkretisme yang terjadi antara Hindu dan Budha, melainkan dalam arti

sikap kompromistis, mencampuradukkan akidah dan ibadah antaragama.

Misalnya, seseorang umat agama tertentu ikut serta dalam pelaksanaan ibadah

tertentu dari agama tertentu yang bukan agamanya (Jamrah, 2015:185-200).

Kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang

dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling

menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam

kehidupan masyarakat dan bernegara (Ismardi dan Arisman, 2014:200-222). Umat

beragama dan pemerintah harus terus menerus bersinergi dalam melakukan

pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun

negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi

pemerintah lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi

terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertikal,

menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati,

saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah

(Ismardi dan Arisman, 2014:200-222).

Banyak terjadi konflik yang didasarkan pada perbedaan agama, yang jika

berpulang pada pengalaman konflik-konflik yang telah terjadi di beberapa daerah

di wilayah Indonesia begitu sulit dan banyak membutuhkan pengorbanan untuk

mencarikan solusinya. Resolusi konflik akan terus dilakukan, karena jika tidak

terselesaikan akan berimbas ke wilayah-wilayah lainnya yang memiliki karakter

sama. Dalam konteks hubungan antaragama, istilah rekonsiliasi paling tidak

memberikan kesan atau pemahaman bahwa kehidupan beragama di Indonesia

tidak harmonis dan sering menimbulkan konflik. Disebut ‗tidak harmonis‘ sebab

kehidupan beragama yang selama ini damai, berdampingan, saling memahami,

menghargai, dan menghormati satu sama lain terganggu oleh faktor-faktor

tertentu, terutama oleh situasi kehidupan ekonomi, sosial, kultur, dan politik

tempat agama-agama itu hidup dan berkembang. Adapun ‗konflik‘ menunjukkan

bahwa di mana pun agama-agama itu berada, sekalipun situasi kehidupan sosial-

politik stabil, tetap terjadi pertentangan. Hal ini dimungkinkan karena akar sejarah

dan kultural di antara agama-agama itu sangat berbeda dan selalu menunjukkan

dominasi perjalanan dan perkembangan agama itu (Khotimah, 2011:216).

Pendekatan kultur atau budaya adalah untuk melihat dan memahami karakteristik

suatu masyarakat yang lebih menitikberatkan pada aspek tradisi yang berkembang

dan mapan, yaitu agama dihormati sebagai sesuatu yang luhur dan sakral yang

dimiliki oleh setiap manusia atau masyarakat (Khotimah, 2011:217).

Pendekatan kultur atau budaya tersebut di atas membutuhkan sikap

Eklektisisme. Eklektisisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha

memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik

dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi

semacam mosaik yang bersifat eklektik. (Moran, 2012:17)

E. Pesan Damai dalam Perbedaan

Paradigma pluralisme atau paralelisme percaya bahwa setiap agama

mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim Kristiani bahwa ia adalah

satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain

(inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Flood,

2013:90). Bahkan secara epistemologis tanggapan Paul Elmen jauh mengkritisi

sikap ekslusif. Bagi Paul, sikap ekslusif dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran.

Pertama, ia membawa bahaya yang nyata akan intoleransi, kesombongan, dan

penghinaan terhadap yang lain. Kedua, sikap ini pun mengandung kelemahan

intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni

dan sikap yang tidak kritis terhadap kenaifan epistimologis. (Elmen, 2012:56).

Hal inilah yang harus dijadikan bahan pertimbangan bagi manusia yang

beriman atas pesan ajaran-ajaran Tuhan. Karena klaim-klaim seperti itu tidak saja

menjadikan nilai religiusitas keimanan bertambah, melainkan semakin

memperkuat kecurigaan-kecurigaan yang sangat merugikan kadar keimanan, dan

bahkan secara psikologis susah untuk melakukan interaksi, karena memang sikap

egosentris hanyalah dapat mempertegas anggapan bahwa hanya kitalah yang

memiliki kesucian teologis maupun kebenaran agama. Secara tidak disadari kita

menumbuhkan penyakit yang menggerogoti sikap empati dan menyuburkan sikap

keangkuhan yang ekslusif. Haruskah menganggap lebih baik dari orang lain

dengan alasan yang memang tidak jelas. Tidak jelas, dalam artian bahwa belum

tentu dianganggap buruk, jelek, dan salah adalah buruk, jelek, dan salah pula

menurut Tuhan. Untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan terbentuknya

nilai-nilai keagamaan yang adiluhung dalam masyarakat, pluralisme memiliki

kontribusi yang sangat kuat, karena dengan pluralisme akan lahir sebuah corak

interaksi antar-pemeluk agama secara terbuka dan toleran. Terciptanya totalitas

penghambaan bagi tiap-tiap pemeluk agama dapat diwujudkan melalui kehidupan

sosial yang terbuka dan terbebasnya rasa kecurigaan atas orang lain. Dengan

demikian akan ditemukan sebuah jawaban bahwa nilai totalitas pengabdian yang

ilahiyah tidak terlepas dari totalitas kehidupan humanistik.

Mukti Ali dalam bukunya Harmonical CommunicationSebuah

Pesan Damai dalam Perbedaan, memandang bahwa perbedaan dalam

keberagamaan bukan berarti memiliki tujuan untuk memerangi dan bukan sebuah

alasan untuk mengutuk dan mencerca bagi yang lainnya. Perbedaan

keberagamaan adalah median untuk tumbuhnya sikap saling melengkapisebagai

sebuah alasan terjadinya pertukaran pemahaman sesuai dengan pengalaman

religiusitas tiap-tiap pengimannya, tanpa harus mengorbankan pesan harmoni.

Dengan tertanamnya sikap pluralisme, baik yang tertanam dalam setiap idividu

maupun institusi kelompok agama akan berimplikasi pada kenyamanan dan

keleluasaan dalam menjalankan ritul-ritual keagamaannya. Tidak lagi merasa

terisolir karena minoritas, tidak lagi merasa superioritas karena mayoritas, tidak

ada lagi sikap kecurigaan dan ketakutan, tak ada lagi pertikaian dan konflik karena

perbedaan keberagamaan,maka akan jelas, dengan demikian setiap pemeluk

agama akan merasa totaldan lebih optimal dalam meraih nilai spiritual yang luhur.

Keshalihan keagamaan bukan dinilai dari kekuatan apologetik klaim

kebenaran agama yang dianutnya. Bukan juga dilandaskan pada justifikasi tanpa

rasionalitas dan objektifitas, akan tetapi kesalihan keagamaan adalah

keharmonisan, ketenangan, dan keamanan yang dihasilkan dari pengakuan bahwa

Tuhan menyebarkan pesan kebenaran terhadap keseluruhan alam, dan kebenaran

yang Tuhan ajarkan pada manusia melaui doktrin-Nya yang sesuai dan

menyesuaikan dengan latar belakang serta situasi yang ada dengan tidak

menafikan nilai keharmonisan. Kebenaran Tuhan tercurah tidak untuk satu

kelompok keagamaan saja, melainkan datang untuk semua agama-Nya. Terlebih

dari itu, Tuhan pun berhak secara absolut ketika memberikan rahmat dan

keselamatan pada ciptaan lainnya di luar manusia. Itu adalah sebuah kebenaran

yang bagi siapapun harus menerimanya, karena semuanya diciptakan atas

kehendak-Nya. Bahkan syetanpun berhak meminta pertanggungjawaban Tuhan

atas kebenaran, padahal syetan adalah sosok yang tidak patuh pada Tuhan sebagai

penciptanya. Apalagi Manusia yang selalu taat menjalankan perintah-Nya, walau

berbeda cara sesuai dengan keyakinannya masing-masing (Ali, 2016:29).

Pada akhirnya, untuk meningkatkan keamanan universal dibutuhkan

sebuah pemaham yang maksimal dari tiap-tiap penganut agama dalam memahai

ajaran agama yang dianutnya, selain mencari pengetahuan secara perlahan

memahami ajaran-ajaran agama lain. Penulis yakin, jika hal ini sudah menjadi

kesadaran setiap individu, sikap toleransi, saling menghargai, dan menganggap

pluralitas sebagai sebuah keharusan. Kita akan berada pada kondisi yang

harmonis baik secara sosial maupun secara teologikal (Ali,2016: 61).

Bagi masyarakat dan maupun kalangan agama tidak harus merasa curiga

dan terganggu dengan misionaris atau gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat

propagandis,karena masyarakat akan dengan sendirinya menyadari dan dapat

mengidentifikasi mana yang benar sesuai dengan standarisasi penilaian mereka

dan mana yang salah sesuai dengan standarisasi penilaian mereka juga. Standar

penilaian bukan saja pada pengakuan akan kebenaran agama semata, akan tetapi

lebihsering, seseorang masuk ke dalam sebuah institusi keagamaan dikarenakan

faktor-faktor lain, misalnya; dengan menyaksikan berbagai fenomena yang terlihat

dalam kehidupan manusia. Ia tertarik dengan Islam, karena memang orang Islam

selalu menolong tetangganya atau ia akan masuk Kristen karena umat kristiani

sopan-sopan, begitupun orang masuk Budha, Hindu, Khong Hu Chu, karena

sangat peduli akan alam sekitar (Ali,2016:79-80).

Kita tidak bisa begitu saja mengklaim dan menutup mata bahwa sering

terjadinya konflik yang terjadi pada masyarakat ditimbulkan karena pesan yang

bernada suku, agama, ras, dan gologan. Doktrinisasi kebenaran agama bagi

pemeluknya memang harus dilakukan, akan tetapi harus juga diimbangi dengan

pewacanaan pesan bahwa pemeluk agama lainpun memiliki doktrinisasi atas

kebenaran agama yang diyakininya. Selain doktrinisasi dilakukan maka

persoalan-persoalan kemanusiaan pun harus ditebarkan, karena tanpa melakukan

pengimbangan menyebabkan penganut agama menjadi manusia tertutup dan

mengingkari adanya berbagai macam eksistensi keberagaman yang menjadi

sunatullah(Ali, 2016:81).

Fenomena keberagamaan, telah banyak memberikan pengalaman kepada

kita semua. Konflik-konflik keagaman lebih sering muncul, ketimbang konflik-

konflik lain di luar isu keagamaan. Wilayah agama adalah ranah yang sensitif dan

memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik. Dari fenomena tersebut, kita

mesti sesering mungkin untuk merefleksikan diri agar terhindar dari marabahaya

yang sulit dicarikan solusinya. Berbagai wilayah baik berskala nasional maupun

skala internasional, konflik agama selalu mewarnai sejarah peradaban manusia

dan memenuhi lembaran setiap isi kepala manusia. Dari konflik tentang pelecehan

atas seorang penganut agama, perusakan tempat ibadah, dan hingga persoalan

politik. Padahal dapat dikatakan bahwa hampir setiap konflik berawal dari hal-hal

yang remah, akan tetapi persoalan yang remah tersebut akan menjadi ledakan

yang maha dahsyat jika itu diselipi -bau-bau-agama (Ali,2016:87).

Padahal, siapapun kita, memiliki keyakinan dan pemahaman bahwa tidak

semua yang berhubungan dengan perbedaan agama selalu menjurus kepada

konflik atau permusuhan. Melainkanseringkali hubungan itu justru dapat

menjadikan faktor utama kebersamaan yang saling menguntungkan dan dapat

melancarkan poses yang mengarah kepada kehidupan bersama secara rukun dan

serasi. Ada kalanya hubungan yang baik kini dapat mencapai taraf integrasi.

Setiap kelompok tetap hidup atas identitasnya sendiri dan hubungan di antaranya

tetap dilakukan dengan baik. Mereka saling mengisi dengan tidak

mempermasalahkan perbedaan di antara mereka dan secara ideal mereka

menganggap bahwa tarap integrasi saja tidak cukup (Ali,2016:95).

Peneliti pada kesempatan ini juga menggunakan paradigma kualitatif

yang berbasis pada kajian interreligious and intercultural communication yang

terjadi pada lapisan Masyarakat Salatiga. Seluruh lapisan masyarakat Salatiga,

dalam konteks ini sebagai manifestasi dari masyarakat Jawa memiliki peran yang

sangat besar dalam membangun citra masyarakat yang rukun, toleran, harmoni,

imbas dari realitas perbedaan. Secara sosiologis, dari lapisan sosial yang terkecil

hingga lapisan sosial yang terbesar, memiliki kontribusi dan berperan sesuai

dengan kapasitas, isi pesan, media, dan metodenya masing-masing. Keluarga

misalnya, sebagai lapisan sosial terkecil berperan dalam membangun sikap rukun

dan toleran dalam bentuk pengajaran nilai–nilai dasar kesopanan tan tatakrama;

Pemuka agama memiliki peran dalam lembaganya, baik gereja, masjid, vihara,

dalam penyampaian khutbahnya menganjurkan untuk hidup berdampingan,

menghargai agama lain, dan saling menghormati dalam menjalankan ajaran

agamanya masing-masing; Lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat, melalui

pintu epistemologis terus mewacanakan diskursus interreligiousintercultural,

wacana dialog antaragama, life in interfaith, interchanges student, dan tidak

jarang diskusi azas negara; Pemerintah selaku struktur masyarakat yang besar,

berperan sesuai dengan kapasitasnya, melalui media-media yang ada secara terus

menerus dalam berbagai kesempatan, menginstruksikan untuk selalu bergotong

royong, kerjasama, menjaga ketertiban wilayah pemerintahannya, guna

memperkuat persatuan dan kesatuan sebagai amanat dari konstitusi Negara

Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Nilai interreligious dan intercultural communication dengan sendirinya

terbangun melalui kesadaran yang terus menerus disosialisasikan pada seluruh

lapisan masyarakat. Pengalaman-pengalaman perbedaan terus dikonstruksi

sehingga kesadaran-kesadaran tumbuh di dalam benak masyarakat. Dengan

sendirinya kesadaran perbedaan itu terbangun hingga mengurat mengakar pada

jati diri dan perilaku masyarakat dalam kehidupan keseharian. Bagi masyarakat

Salatiga perbedaan agama dan perbedaan budaya bukan menjadi faktor terjadinya

konflik, melainkan sebaliknya, perbedaan-perbedaan dapat melahirkan

harmonisasi yang damai, memperkokoh kesatuan, bahkan perbedaan ketika

disadari dapat menjadikan kekuatan super. melalui perbedaan, kerjasama dan

gotong royong terbangun, melahirkan kesadaran untuk menahan diri dari sikap

egosentris, intoleransi, terhindar dari sikap truth of claim akan dirinya sendiri

sebagai bagian dari penyebab konflik, bahkan dari fenomena perbedaan itu

masyarakat semakin yakin bahwa secara teologis bahwa perbedaan adalah bagian

dari sekenario dan hokum dari Yang Maha Berkehendak. Terlebih dari itu semua,

Kota Salatiga yang terakumulasi dari lapisan masyarakat dalam kurun waktu

tertentu mendapat julukan The City of Harmony.

BAB VI

DARI MIMBAR RELIGI, KEARIFAN LOKAL, DAN KERJASAMA

A. Kehadiran dan Partisipasi Lembaga Keagamaan

Masyarakat Salatiga sangat plural baik secara etnis, agama, maupun

budaya. Selain suku Jawa dan Tionghoa, masyarakat Kota Salatiga terdiri dari

berbagai latar belakang suku dan etnis, seperti Batak, Minang, Dayak, Bugis,

Ambon, Papua, dsb. Beberapa tradisi berkembang di kota ini dengan latar

belakang agama Islam, Kristen, Tri Dharma, dan Hindu. Keragaman ini tetap

mempelihatkan proses saling interaksi yang sangat terbuka dan dinamis. Boleh

jadi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, tatkala semangat

pluralisme memang telah lama berkembang disini.

Kehidupan yang harmonis di tengah-tengah keragaman tradisi dan agama

telah berlangsung sejak lama di Salatiga. Bukanlah hal baru kalau para ibu-ibu

turut terlibat merawat jenazah yang berlainan agama; bukan hal baru juga bila

anak-anak muslim terlibat aktif berkesenian barongsai selepas dari belajar di

Taman Pendidikan Al Qur‘an (TPA); juga tidak mengherankan kalau pemuda

gereja turut pula membantu penggalangan dana sebuah pembagunan masjid.

Kesemuanya berlangsung secara alamiah dan terjadi bukan sebagai sesuatu yang

dipaksakan.

Suasana yang dinamis di Kota Salatiga juga ditunjukkan dengan hadirnya

lembaga-lembaga keagamaan. Lembaga-lembaga tersebut telah mampu

mengembangkan kapasitasnya, bukan saja di bidang keagamaan melainkan juga

bergerak di bidang lain, terutama pelayanan publik di bidang pendidikan, bidang

ekonomi, dan bidang pemberdayaan masyarakat lainnya. Sebagai salah satu

ukuran dari bukti perkembangannya adalah adanya respons dari masyarakat yang

turut serta mengambil manfaat dari peranan lembaga-lembaga tersebut.

Perkembangan ini tentu saja tetap dilihat sebagai bentuk relasi pragmatis antara

lembaga keagamaan dengan publiknya. Relasi antara lembaga keagamaan dan

masyarakat tidak lebih dari sekedar relasi yang bersifat transaksional dan

profitable.

Senada dalam penelitian Singgih Nugroho tahun 2010 berjudul Menakar

Kembali Tolerasi dan Intoleransi Agama di Jawa Tengah menyebutkan bahwa

dukungan terhadap toleransi masih dimiliki oleh sebagian besar kalangan pemuka

dan umat beragama. Tapi acapkali situasi itu tertutupi oleh gerakan intoleransi

yang datang dari konstelasi politik identitas di aras lebih tinggi. Keberadaan

forum-forum dialog agama baik yang diinisiasi oleh pemerintah (daerah) maupun

masyarakat sipil yang ada diberbagai daerah Jawa Tengah seharusnya merupakan

modal penting untuk mengelola potensi negatif dari kemajemukan agama. Penting

juga organisasi masyarakat sipil bekerjasama secara kritis dengan aparat

pemerintah mengawal proses pendewasaan beragama mereka dan masyarakat

luas. Dengan cara ini diharapkan praktek kekerasan keagamaan ke depan akan

terminimalisir. Jika penelitian Singgih lebih berfokus pada upaya menggali

potensi kerjasama dan mendata akar masalah peluang konflik yang ada dalam

dinamika agama di Jawa Tengah, sementara penelitian ini menemukan fokus pada

sikap dan pandangan para tokoh agamawan dalam pemahaman, perilaku, dan

proses penguatan pemahaman dan perilaku kerukunan, toleransi, serta dinamika

lembaga keagamaan di Salatiga dan upaya penyelesaiannya dari kasus-kasus yang

ada. Penelitian ini lebih spesifik dalam kawasan teritorial yang terbatas yakni

Kota Salatiga, dan isu-isu lokalitas keagamaan.

Sementara itu hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa interaksi antar

umat beragama di Salatiga merupakan warisan sejarah yang telah diturunkan dan

dilestarikan dari generasi ke generasi. Terbentuknya relasi ini dipengaruhi oleh

beberapa kondisi antara lain kondisi geografis, sistem sosial, sistem mata

pencaharian, kondisi perekonomian masyarakat, dan tingkat kesejahteraan yang

relatif seimbang. Disamping itu, ternyata semua pihak seperti aparat

desa/kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan anggota masyarakat terlibat

secara aktif bahu-membahu untuk senantiasa membangun, memperkuat, serta

melestarikan interaksi yang telah terbangun bersama-sama. Terdapat dua faktor

utama yang mempengaruhi terbangunnya interaksi antar umat beragama di

Salatiga yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal yang

mempengaruhi interaksi antar umat beragama di Salatiga antara lain ikatan

emosional, ikatan budaya, ikatan kekeluargaan, dan faktor ajaran agama. Sedang

faktor-faktor eksternal terdiri dari kontak dengan masyarakat luar serta mobilitas

masyarakat. Masyarakat Salatiga melestarikan interaksi antar umat beragama

tersebut melalui berbagai cara antara lain melalui kegiatan sosial, dialog,

pembinaan pemerintah setempat, dan pembinaan keagamaan secara internal.

Kegiatan sosial merupakan wahana yang paling dominan karena melalui kegiatan

informal itu cakupan peserta dan bidang yang dibicarakan jauh lebih luas. Hal ini

tidak akan diketemukan di dalam dialog, pembinaan pemerintah, dan pembinaan

keagamaan secara internal. Dalam kegiatan sosial tersebut misalnya pertama:

semua masyarakat terlibat, dan ini tentu sulit terpenuhi dalam dialog, pembinaan

oleh pemerintah setempat, dan terlebih-lebih dalam pembinaan internal agama.

Kedua, tidak ada sekat agama, mungkin situasi ini dapat terkondisikan dalam

dialog dan pembinaan pemerintah setempat, tetapi sulit terpenuhi dalam

pembinaan internal agama.

Penelitian ini juga mendapati hubungan antaragama, dimensi sosial agama

para aras lokal, serta pola interaksi antarumat beragama yang dinamis, ditandai

dengan potret organisasi dan aktifitas para tokoh agamanya. Disamping itu

penelitian ini juga berhasil memberikan informasi tentang kerjasama kelembagaan

agama di Salatiga. Walaupun penelitian ini dikerjaan secara kolektif oleh para

peneliti yang berbeda latarbelakang akademisnya, namun diharapkan dengan

perbedaan tersebut dapat memperkaya sudut pandang dalam analisis dan

telaahnya

Begitu juga dengan kehidupan beragama, semua umat saling menjaga

sikap yang sekiranya tidak baik dan membuat orang lain tidak suka. Acuan yang

dipegang oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) berkaitan dengan

realitas hubungan antar agama yaitu tetap menjaga adanya kerukunan antar umat

beragama sehingga semua yang hidup bisa hidup lebih rukun. Sebagai contoh

bahwa umat mempunyai pedoman yang selalu dipegang ―saya adalah anda‖

mempunyai makna bahwa jika kita menghormati orang lain berarti kita juga

menghormati diri kita sendiri tetapi jika kita tidak menghormati orang lain maka

kita tidak menghormati diri kita sendiri. Intinya peranan PHDI senantiasa

berusaha membangun dan menjaga hubungan yang harmonis dan keserasian

hidup antar umat beragama serta alam semesta. Ketika ditanya mengapa? Pak

Putu (Sekretaris PHDI Kota Salatiga) menjawab:

―..bahwa jelas sekali hal tersebut apa yang tertulis di dalam kitab

suci Veda, dan saya yakin dalam kitab suci agama apapun menyatakan

bahwa perbedaan bukan alasan untuk tidak hidup secara damai, dan selalu

hormat-menghormati.‖

Sama halnya Pak Putu, Saryati Purwanegara, sebagai seorang guru di

SMK Muhammadiyah juga sebagai aktivis pimpinan daerah Nasyiatul Aisyiyah

Muhammadiyah Kota Salatiga sebagai sekretaris umum, aktif juga di forum

agamawan muda lintas iman Salatiga juga sebagai pegiat di Komunitas Kata

Hawa, mengakui realitas keragaman keberagamaan dan budaya sebagai sebuah

sunnatullah sesuatu diyakini sebagai suatu keniscayaan. Sunatullah adalah hukum

alam, misalnya lahir dan mati. Dalam Islam terdapat hukum alam yang pasti

misalnya matahari terbit dari timur, api membakar. Keberagaman tersebut dapat

hidup eksis berdampingan secara damai dan tumbuh kembang di bumi Indonesia

dengan acuan sumber primer ajaran Islam dan UUD ‘45. Peran yang dilakukan

adalah selalu menampilkan gerakan Islam yang moderat, tidak memperlihatkan

watak ekslusivitas yang mengarah pada sikap menegasikan kelompok yang

berbeda, apalagi meremehkan orang lain. Kaitannya adalah multikutlural dan

multireligi harus dipelihara sebagai aset dan diberi peluang untuk berkembang.

Menurutnya:

―Toleransi beragama adalah saling menghargai, menghormati,

tidak saling mengejek, saling meledek, faham lain dan ibadah umat

lainnya, dan hidup dengan toleransi serta terbuka untuk memberikan

ucapan selamat hari besar keagamaan. Itu sangat perlu karena realitas

keberagaman kita, jika itu tidak dilakukan maka jangan harap kita tidak

punya teman dan hidup tenang. Kita butuh lho hidup tenang.‖

Terkait dengan relitas hubungan antar agama Saryati Purwanegara yang

juga sebagai admin laman group FacebookKabar Salatiga Menjumlah Bukan

Memecah; dengan jumlah anggota 170.000an; menyatakan bahwa masyarakat

Indonesia masih dalam proses demokrasi. Hubungan antaragama di Indonesia

termasuk masalah sensistif, dan dapat mengarah pada konflik jika tidak disikapi

secara santun. Dikotomi masyoritas vs minoritas masih menjadi alat untuk

menghakimi pihak lain. Mayoritas sering dipojokkan sebagai tidak toleran,

sedangkan minoritas selalu mengedepankan kebebasan dan hak asasi.

Muhammadiyah dalam hal ini Nasyiatul Aisyiyah memposisikan sikap aktif

dalam mempropagandakan Islam kepada warga Muhammadiyah sebagai agama

yang cinta damai, agama yang moderat, agama yang selalu menjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan. Peran Muhammadiyah dalam dakwah selalu

mengedepankan Islam sebagai agama penuh rahmat, agama pembawa kedamaian.

Muhammadiyah mengajak warganya bersikap moderat, belajar hidup

berdemokrasi dalam masyarakat plural. Semangat yang mendasarinya bahwa

kehadiran Islam harus dapat menjadi contoh untuk menegakkan kebenaran,

kejujuran, kebersamaan, dan kedamaian. Lebih lanjut Saryati menambahkan

bahwa:

―Saya tinggal di Salatiga sejak tahun 2013. Saya dididik dari

lingkungan yang intoleran. Saya sangat bersyukur dapat tinggal di Salatiga

yang sangat toleran. Saya punya banyak teman dari berbagai macam etins,

agama, dan golongan. Saya dan keluarga sangat toleran dalam pergaulan

sehari-hari dan kehidupan sosial, namun tidak dalam beribadah. Saya

dapat mengirim ucapan selamat Natal lewat pesan singkat SMS, atau

WhatsApp (WA). Hal itu tidak mengganggu keimanan saya. Saya masih

mengikuti sunah nabi, walaupun saya banyak bergaul dengan masyarakat

yang berbeda agama dengan saya.‖

Bahwa hubungan antaragama di Salatiga akan mengalami masa harmoni

jika peran elit agama dapat memberikan ketenangan dan penjelasan secara

teologis dan sosiologis kepada umatnya masing-masing secara terbuka dan

dialogis. Namun hubungan antaragama dapat mengalami ketegangan jika terjadi

ketimpangan sosial ekonomi, pendidikan, dan politik atas kelompok agama dan

manajemen euphoria politik otonomi daerah yang tidak terkendali secara baik.

Oleh sebab itu, masa depan hubungan antaragama di Salatiga memang tergantung

pada gerakan keagamaan yang lebih santun dalam berwacana dan beretorika pada

publik, dengan mengedepankan masalah-masalah yang riil dihadapi masyarakat

ketimbang menghadirkan masalah-masalah yang tampak abstrak, tidak terjangkau

sebab disitulah masyarakat agamaniah masih menghendaki agama yang mampu

menjawab masalah riil di daerah.

Heterogenitas atau kemajemuan masyarakat di Salatiga dilihat dari latar

belakang agama merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain,

pluralitas adalah sebuah kenyataan yang tak bisa diingkari dan dilewati begitu

saja. Mengingkari dan tidak mempertimbangkan pluralitas hanyalah akan

membuat persoalan baru. Perbedaan agama, suku, ras, adat istiadat, dan aliran

kepercayaan yang ada seharusnya kita syukuri sebagai suatu kekayaan bangsa,

namun kemajemukan tersebut sering mengandung kerawanan-kerawanan yang

dapat memunculkan potensi terjadinya konflik kepentingan antar individu maupun

kelompok dalam kaitannya dengan hubungan antar pemeluk agama.

Kegelisahan akademik dari penelitian ini adalah ancaman timbulnya

kerawanan hubungan antar umat beragama itu yang disebabkan sifat dari masing-

masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi dari agamanya masing-

masing, kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan

pihak lain, kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan

toleransi dalam kehidupan masyarakat, kurang adanya komunikasi antar

pemimpin masing-masing antar umat beragama, dan kecenderungan fanatisme

yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan

memandang rendah pihak lain.

Lebih lanjut, penyebab konflik agama yang sering muncul adalah akibat

reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap

pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang juga dianggap

sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama

agama. Selain itu, konflik yang selama ini terjadi karena hal-hal yang sepele yang

berada di luar konteks agama bisa berkembang dan membesar menjadi konflik

antar agama. Bahkan yang terjadi, agama justru dijadikan tameng sebagai

pembenar terjadinya konflik. Klaim agama dianggap sebagai pembenar segala

tindakan anarkisme.

Konflik horisontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-

masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar.

Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme yaitu untuk menghilangkan keyakinan

akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut. Pluralisme harus dipahami

sebagai pertalian seperti kebhinekaan dalam ikatan-ikatan peradaban. Plural yang

berarti perbedaan menjadikan tantangan tersendiri. Bagaimana sesuatu yang

berbeda menjadi suatu kebersamaan yang nantinya bisa menciptakan suatu

keadaan yang damai demi terciptanya kerukunan antara umat beragama dan

kerukunan antar umat seagama serta jauh dari pertentangan dan konflik. Suatu

tatanan hidup yang rukun dan harmonis merupakan harapan seluruh umat

manusia, dan setiap umat manusia terpanggil untuk menciptakannya. Cara hidup

rukun yang terjalin antara warga merupakan suatu cara hidup yang selaras dengan

panggilan iman. Dengan adannya dialog lintas iman, lintas agama dapat

memberikan masukan akan gagasan kerukunan antar umat beragama, karena

dengan dialog maka kita akan saling kenal, saling memahami dan menambah

pengetahuan. Ini sangat penting, karena kasus-kasus kerusuhan dan kekurang

harmonisan penganut agama tidak terlepas dari pimpinan antar agama yang

kurang saling mengenal.

Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di

Indonesia beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan

berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998),

Maluku Utara (2000), Cikeusik (2011), Aceh Singkil (2012), Sampit, Madura dan

beberapa tempat lainnya. Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa

konflik-konflik ini melibatkan sentimen keagamaan yang berkelit kelindan dengan

kepentingan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan budaya.

Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor

integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman,

kebangsaan dan kemanusiaan. Agung Waskita seorang pegiat lintas agama

menyebutkan bahwa:

―Salatiga merupakan kota/wilayah yang sangat plural, majemuk

dan disebut sebagai Indonesia mini, karena dihuni oleh masyarakat, suku,

adat, agama yang ada di Indonesia. Menjelang perayaan dan pelaksanaan

Natal, banyak saya lihat Banser NU jogo gereja. Pada hari-hari menjelang

imlek, tidak sedikit teman-teman saya yang katolik teribat dan aktif

mengikuti dan bermain barongsai, liong, dan tarian naga. Ini menujukkan

bahwa pemahaman masyarakat salatiga tentang arti penting kerukunan dan

kerjasama lintas agama semakin baik.‖

Lebih lanjut Agung menyebutkan bahwa prospek kerjasama antar agama

semakin terbuka mengingat banyak agenda dan isu permasalahan Indonesia,

khususnya Salatiga, memerlukan keterlibatan masyarakat agamawan, seperti

kemiskinan, kebersihan lingkungan, penghematan air, penghijauan,

penanggulangan HIV Aids TBC, Narkoba, dan sebagainya.

Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan

sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan

kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang

disebutkan itu bersifat universal, selain itu terdapat ajaran agama yang juga bisa

menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku oleh pemeluknya.

Beragama itu harus dilandasi dengan ilmu/ akal, dan juga tidak hanya cukup

dinikmati oleh diri sendiri, akan tetapi mesti juga punya implikasi terhadap

realitas sosial masyarakat sekitar kita. Beragama misalnya, di samping punya

tujuan intrinsik, tetapi juga punya tujuan di luar dari tujuan beragama itu sendiri,

yang tidak kalah pentingnya yaitu menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama,

dengan semangat anti penindasan, perusakan, penjajahan, menghilangkan

kebodohan dan menegakkan keadilan. Model beragama tersebut itu lah yang

disebut dengan beragama secara empiris, yang dalam konteks ini diperlukan

kearifan dan ketawadluan untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda

dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut. Terkait dengan peranan

nilai agama dalam menjaga kerukunan dan toleransi, Agung Waskito menjelaskan

bahwa ajaran agama memang memiliki peranan. Agama Kristen yang

menekankan ajaran tentang kasih, dimana setiap umat yang percaya harus saling

mengasihi satu sama lain. Ajaran tentang kasih ini menjadikan pemeluknya

memiliki keharusan untuk bersikap toleran, karena itu termasuk ke dalam

penerapan ajaran kasih dalam agama yang dianut.

B. Khutbah Kerukunan di Manado

Damianus Pongoh, salah seorang dosen STF Seminari Pineleng Manado

menyebutkan betapa pentingnya mimbar sebagai tempat menyemai kerukunan.

Dia menjelaskan bahwa;

―Mimbar merupakan panggung kecil untuk berkhotbah atau pidato

keagamaan. Di mana semua para pemuka agama dan pengikutnya saling

berinteraksi satu sama lain. Dalam mimbar, seorang pemuka agama

menyampaikan nilai-nilai ajaran agama agar terdengar secara jelas oleh

penganutnya. Ironinya, beberapa pemuka agama menyalahgunankan

mimbar sebagai alat propaganda serta memecah persaudaraan. Pada masa

sekarang mimbar semakin perlu untuk difungsikan, diperluaskan jangkaun

aktifitas dan pelayanan nya serta ditangani dengan organisasi dan

manajemen yang baik, tegasnya, perlu tindakan-tindakan mengaktualkan

fungsi dan peran mimbar dengan memberi warna dan nafas kerukunan,

toleransi, kerjasama agama, persauadaran, berlomba dalam kebaikan, dst.

Lebih jauh Romo Damianus Pongoh menengaskan bahwa mimbar

merupakan bagian dari sarana ibadah. Dalam setiap aktivitas, ini menjadi sebuah

bagian komunikasi yang terbangun dalam masing-masing rumah ibadah.

Sekaligus juga kesempatan bagi penyuluh agama untuk secara terus menerus

membangun interaksi dan hubungan dengan jamaah masing-masing. Sebuah

program yang berkala dan juga terpantau dengan baik akan memberikan daya

dukung pengembangan kapasitas jamaah. Untuk itu asing-masing pihak berupaya

untuk menyelenggarakan aktivitas mimbar ini dengan terencana. Bagi umat Islam,

mimbar jumat sangatlah penting, begitu juga mimbar bagi agama Katolik dan

Protestan dapat menempatkan secara khusus bagi setiap gereja pator dan pendeta

yang dapat melayani umat. Dari gambaran tersebut, mimbar merupakan kesadaran

dalam lingkungan rumah ibadah masing-masing. Ketika sebuah rumah ibadah

tidak memperhatikan mimbar dengan segala atribut yang mengikutinya, maka

tidak menjadikan proses interaksi dengan jamaah secara terstruktur.

Gambar: Para peneliti bersama

Romo Damianus Pongoh di

Sekolah Tinggi Filsafat

Seminari Pineleng Manado

Di sisi lain Perayaan Natal dan Idul Fithri menjadi bagian dari pertemuan

keluarga besar. Perayaan hari besar keagamaan merupakan kesempatan

berkumpul. Di saat itu pulalah mereka berbagi dan saling mengirimkan makanan

atau bingkisan antar sesama. Kondisi-kondisi seperti ini menjadi bagian tradisi

yang sudah berlangsung turun temurun, sehingga perbedaan agama tidaklah

menjadi persoalan bagi setiap orang. Secara bebas, individu memeluk agamanya

kemudian keterhubungannya dengan penduduk yang lain karena mereka adalah

bagian wilayah yang harus turut bertanggungjawab memelihara kedamaian yang

sudah diwariskan oleh pendahulu. Klaim kebenaran cukuplah dilakukan secara

khusus di dalam rumah ibadah. Tetapi ketika berjumpa dengan orang lain, maka

tidaklah perlu menjadikan agama sebagai bagian yang harus dijadikan sebagai

pembeda justru itu dipergunakan untuk saling menghormati pilihan yang berbeda.

Dalam beberapa kesempatan, pendirian masjid dan gereja justru didukung oleh

masyarakat lingkungan sekitar yang berbeda agama. Sehinga tidak kesulitan

membangun rumah ibadah, sekalipun itu di sekelilingnya terdapat masyarakat

yang menganut agama berbeda. Bahkan dalam urusan tanah justru dihibahkan

oleh pihak yang berbeda agama pula. Relasi keagamaan tercipta atas dasar

harmoni dan saling pengertian. Lembaga-lembaga pendidikan dan institusi sosial

lain tetap berjalan dan berkembang dengan adanya sikap saling memberi

kesempatan dan peluang yang sama tanpa memandang status agama. Justru agama

memperkuat lembaga secara positif. Kemudian dengan spirit itu hubungan

kemanusiaan terbangun untuk kepentingan saling mencerdaskan dan

memanusiakan.

Senada dengan Romo Damianus Pongoh, Pastor Rheiner dari Gereja St.

Fransiskus Xaverius Pineleng Manado menyebutkan bahwa pesan filosofi

pahlawan nasional dari Manado, Sam Ratulangi sangatlah penting bagi

masyarakat Manado. Pesan filosofinya adalah "Si tou timou tumou tou" artinya

"Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan

manusia". Lebih jauh Pastor Rheiner menjelaskan;

―Saya akan coba menggambarkan secara sederhana apa maksud

dari kalimat pamungkas beliau itu. Kenapa manusia baru dapat disebut

manusia manakala ia sudah dapat memanusiakan manusia lain? Titik tolak

dari pendapat beliau tentulah didasari atas pemahaman bahwa apa yang

kita miliki tidak akan berarti apa-apa kalau itu tidak memberi faedah bagi

orang lain. Jujur saja, pendapat beliau bisa menjadi sebuah ‗kepastian

universal‘. Dapat diakui dan diterima dimana saja. Artinya begini, sebagai

seorang manusia yang adalah ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan

utama kita adalah tatkala kita dapat menjadikan sesama manusia lebih

terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses, lebih pintar, dan lebih baik

hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar memperoleh ‗gelar

kemanusiaannya‘.

Lebih lanjut Pastor Rheiner menambahkan bahwa selama kepintaran,

keterdidikan, kesuksesan, kekayaan, dan semua kelebihan yang kita miliki hanya

untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri, berarti kita belum menjadi manusia

utuh sebagaimana seharusnya kita. Tapi apabila manusia lain kita angkat

derajatnya menjadi lebih baik lagi, di situlah kita sudah turut memanusiakan

mereka.

Efek dari memanusiakan manusia itu dapat terlihat dalam banyak wujud

dan penerapan. Salah satu wujud nilai pembelajaran tersebut adalah kebersamaan.

Nah, di Minahasa sendiri kebersamaan atau juga ‗saling tolong menolong

menanggung beban‘ yang cukup menonjol terlihat jelas pada aktivitas mapalus.

Kegiatan yang mirip dengan gotong royong ini masih terus dilakukan warga

pedesaan di berbagai daerah di Minahasa. Beberapa kelompok tani di banyak desa

sering kali membangun rumah atau menggarap kebun secara bersama-sama dalam

suatu sistem kerja yang disepakati bersama. Walaupun diterpa teriknya panas

mentari, mereka bekerja dengan semangat tinggi dan tanpa pamrih. Pemilik rumah

atau kebun cukup menyediakan air putih dan makan siang untuk mereka. Warga

terlihat bahu-membahu mencari kayu, serta bahan bangunan lainnya seperti batu

dan pasir untuk membuat rumah panggung contohnya. Mapalus adalah suatu

sistem atau teknik kerjasama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku

Minahasa. Pada awalnya mapalus dilakukan khusus pada kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan sampai memetik

hasil atau panen. Tetapi seiring dengan perkembangannya Mapalus tidak hanya

terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan

yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan hampir di segala bidang kehidupan,

seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat

perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya.

Selain berpegang pada semboyan "Si tou timou tumou tou", masyarakat

Minahasa juga berpegang pada kredo kearifan lokal Torang Samua Basudara.

Gambar; Peneliti

bersama Romo

Rheiner

Masyarakat

Sulawesi Utara

umumnya dan secara khusus kota Manado sangat menyadari dan memahami

bahwa perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan, dan berbagai perbedaan

lainnya bukan ancaman untuk hidup bersama. Masyarakat Sulut dan Manado

sebagai ibukotanya memandang tidak ada untungnya jika mengancam dan merasa

terancam dengan perbedaan. Di dunia mana pun, tidak ada manusia yang sama,

bahkan yang kembar sekali pun tetap berbeda, karena manusia diciptakan oleh

Tuhan dengan sejumlah perbedaan di dalam dirinya. Kredo Torang Samua

Basudara bukan untuk menyatukan perbedaan atau untuk menyamakan

keberagaman, tetapi untuk mengakui dan memahami bahwa perbedaan adalah hal

yang indah dan mengandung nilai kehidupan.

Romo Rheiner menambahkan bahwa Torang Samua Basudara adalah

kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara. Ciri yang paling menonjol di dalamnya

adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-

menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku

bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang

lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan

moral yang sangat mulia untuk hidup rukun dan damai. Keterbukaan masyarakat

Sulawesi Utara tercermin dalam sikap hidup suka bekerja sama dalam bidang apa

saja, namun yang paling menonjol adalah kerja sama dalam bidang pertanian.

Dalam kerja sama ini, tiap etnis memiliki nama yang berbeda, namun tujuannya

sama, yaitu saling membantu atau tolong-menolong secara bergiliran untuk

membuka lahan baru.

Pada awalnya, slogan yang sekarang berubah menjadi nilai budaya ini,

ditelorkan oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara Letjen (Purn) E.E. Mangindaan

untuk jadi senjata perekat dalam menghindari konflik SARA (Suku, Agama, Ras,

Antar Golongan) yang meluas di Indonesia bagian Timur (1998-1999), agar rasa

persatuan dan kesatuan masyarakat tetap merekat. Sejak ditelorkan, slogan ini

menjadi ikon hidup masyarakat Manado. Wujud nyatanya, dalam bidang

pendidikan, umat Islam sering sekolah di yayasan pendidikan Kristen dan tetap

mampu berinteraksi secara sehat tanpa menghilangkan ciri identitas agamanya.

Masyarakat kota Manado, menganggap tiap manusia sebagai saudara yang harus

diakui keberadaannya serta tetap saling mendukung dalam kegiatan positif.

Perbedaan agama dan segala bentuk identitas primordial tidak menjadi

penghalang untuk tumbuh berkembangnya slogan ini menjadi kata-kata yang

dihidupi masyarakat, (Frangky Suleman, Keberagaman Budaya dan Agama di

Kota Manado, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, E-ISSN : 2599-

1078, tahun 2017).

Masa depan Sulawesi Utara dan bangsa Indonesia yang damai, rukun dan

sejahtera hanya dapat dicapai jika semua elemen masyarakat mengakui bahwa

Torang Samua Basudara, menghargai perbedaan, dan memberi ruang untuk

keberagaman berakar kuat. Dari bentuk kerja sama inilah mulai tercipta rasa

saling menghargai, menyayangi dan saling mencitai dalam wujud hidup rukun

intern kelompok. Selanjutnya dari hidup rukun intern kelompok berkembang

sebagai cikal bakal hidup rukun antarkelompok, baik dengan kelompok

masyarakat penduduk asli, atau yang sudah berasimilasi maupun dengan

kelompok masyarakat pendatang baru. Nilai-nilai filosofi kearifan lokal tersebut

telah menjadi satu dengan sejarah masyarakar di Tanah Minahasa yang pada

akhirnya membentuk budaya masyarakar Minahasa. Budaya yang memiliki nilai

toleransi tinggi sehingga kerukunan antar umat yang berbeda agama dan suku

dapat terjalin. Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan

sebagai kebijaksanaan setempat ―local wisdom‖ atau pengetahuan setempat ―local

knowledge‖ atau kecerdasan setempat ―local genious‖, merupakan pandangan

hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas

yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah

dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh

Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai

bentuk jati diri bangsa.

Kekayaan budaya juga ditemukan oleh peneliti di sebelah utara Danau

Tondano, atau kurang lebih 35 KM dari Kota Manado, Sulawesi Utara, ada

kampung yang sangat erat memiliki keterkaitan dengan masyarakat Jawa, baik

secara historis maupun geneologis. Nama administratifnya adalah Desa Kampung

Jawa Kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.

Di desa itu, hidup masyarakat keturunan Jawa yang bangga mengaku sebagai

orang Minahasa. Kampung ini bukan merupakan wilayah transmigrasi. Kampung

itu juga terkenal dengan sebutan Kampung Jaton (singkatan dari Jawa Tondano)

yang merupakan saksi perjuangan masyarakat Jawa melawan kolonialisme. Lebih

tepatnya, Jaton terbentuk dengan latar Perang Jawa 1825-1830 yang dikobarkan

salah satunya oleh Pangeran Diponegoro. Pada 1828, Panglima Perang sekaligus

Penasehat Agama Pangeran Dipanegoro, Kyai Modjo ditangkap Belanda dan

diasingkan ke daerah terpencil. Mulanya, dari Jawa ia dibuang ke Batavia

(Jakarta). Tak lama di Batavia, Kyai Modjo dan pengikutnya diasingkan Belanda

sebagai tahanan politik ke Minahasa, Sulawesi Utara, (Ahmad Rajafi, dkk,

2018:122) Modjo dan pengikutnya tiba di Minahasa pada 1828. Dengan cepat

meraka bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Saking dekatnya, 63 pengikut

Modjo yang tersisa menikahi wanita asli Minahasa untuk melanjutkan keturunan.

Kampung Jaton itu sendiri berdiri kurang lebih dua tahun setelah

kedatangan Kyai Mojo, yaitu tahun 1831. Bersama Kyai Mojo datanglah 63 orang

pasukan perang Jawa yang juga dibuang Belanda. Mereka semuanya adalah laki-

laki dan menikah dengan wanita asli Minahasa sehingga perpaduan dua etnis

inilah yang kemudian menghasilkan keturunan yang memiliki dua darah

sekaligus, Jawa dan Minahasa. Di Kampung Jawa Tondano ini terdapat masjid tua

(didirikan pada 1854) yang menjadi simbol kekhasan kampung tersebut. Masjid

itu sempat beberapa kali direnovasi, yaitu pada tahun 1974, 1981, dan terakhir

pada 1994. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Falah Kiai Mojo (Pinontoan, 2010).

Konon, saat membangun masjid itu, masyarakat sekitar Jaton seperti Tonsea yang

mayoritas beragama Kristen juga turut serta membantu masyarakat Jaton. Saat

datang di Minahasa, Kiai Mojo dan balatentaranya juga ikut memperkenalkan

pertanian dan

bercocok tanam

kepada masyarakat

Minahasa.

Gambar: Saat peneliti

berkunjung ke

kelurahan kampung

Jawa Tondano

Jaton kemudian menjelma menjadi sebuah kampung yang unik dengan

identitasnya yang khas. Budaya masyarakat Jawa seperti lebaran ketupat, masih

bisa kita temui di kampung ini. Seni terbangan dengan langgam Jawa, juga masih

ada. Meski darah Jawa mengalir, mereka dengan tanpa ragu mengaku sebagai

orang Minahasa tulen. Saat ini, masyarakat Jaton tidak hanya berdomisili di

Kampung Jaton dan Tondano, tetapi sudah menyebar hingga Bolaang-

Mongondow, Gorontalo, Menado dan kota lain di Sulawesi Utara. Bahasa yang

digunakan dalam komunikasi setiap harinya pun adalah bahasa Minahasa.

C. Pentingnya Kerjasama

Romo Damianus Pongoh dan Pastor Rheiner menyebutkan bahwa dalam

Gereja Katolik ada komisi Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan yang

disingkat HAK. Komisi ini sesuai dengan namanya bertugas mengadakan dialog

dan kerjasama dengan agama dan kepercayaan lain. Komisi ini ada dari tingkat

Paus sampai Paroki. Gereja mengakui bahwa keselamatan dari Allah ditawarkan

kepada seluruh manusia, tidak hanya kepada orang Katolik. Gereja menghormati

siapapun tanpa membedakan agama.Dalam pertemuan mereka bersama para Kiai,

Pendeta, Pastor, dan tokoh agama lain. Lewat pertemuan itu mereka menemukan

persahabatan dan pencerahan. Suasana pertemuan sangat menyenangkan. Adapun

beberapa pencerahan yang mereka peroleh adalah:Pertama, Tuhan itu satu untuk

semua orang. Semua orang berasal dari Tuhan yang satu dan sama dan akan

kembali kepada Tuhan yang satu dan sama juga.Kedua, Di hadapan Tuhan kita itu

setara. Semua dicintai Tuhan, juga kepada orang berdosa. Tuhan tidak

membedakan siapapun.Ketiga, Agama sebagai jalan menuju Tuhan. Mungkin

jalannya berbeda tapi tujuannya sama yaitu Tuhan.Keempat, Agama itu tuntunan

ke arah kebaikan. Jadi agama hanya bisa untuk berbuat baik. Jika kita melakukan

keburukan atas nama agama, itu bertentangan dengan agama.Kelima, dalam

menghayati dan mengamalkan agama kita perlu rendah hati dan toleransi.

Semakin seseorang beriman, semakin ia menyadari bahwa ia adalah pendosa yang

dicintai Tuhan.

Lebih lanjut Pastor Rheiner menyebutkan bahwa pemerintah kota Manado

mendorong organisasi BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat Beragama) dan

BAMAG (Badan Musyawarah Antar Umat Beragama) untuk bertugas

membangun kerjasama serta membangun komunikasi dua arah antara pemimpin

agama dengan umat. Kedua organisasi ini dibangun dengan komposisi

keterwakilan dari seluruh latar belakang agama yang ada seperti. Dengan begitu,

organisasi ini memiliki massa pendukung yang notabene berlainan agama dan

tentu saja berlainan etnis. Organisasi masyarakat yang turut menjadi bagian dari

usaha membangun komunikasi ini adalah GP Ansor, PMII, HMI, Brigade

Manguni, Legium Christum, Paguyuban Kekeluargaan Tionghoa dan sebagainya.

Hasilnya, timbul persepsi yang sama mengenai pentingnya hidup damai yang

dibangun atas dasar toleransi. Aksi simpatik yang sering dilakukan oleh para

pemeluk beda agama adalah saling menjaga keamanan dan kelancaran sekaligus

membagikan bunga pada saat ibadah Natal di gereja dan pelaksanaan Sholat Ied

ketika Idul Fitri. Pemandangan indah tersebut telah berlangsung sejak lama,

sebelum konsep tentang multikulturalisme hangat dibicarakan di Indonesia dan

kerusuhan yang membawa isu agama pecah di Indonesia. Terlebih, yang paling

emosional, terjadi antara tahun 1998-2002, dimana konflik di Kalimantan dan

Maluku sementara membara dan banyak warga dari daerah konfliktersebut yang

mengungsi di Manado serta melaksanakan ibadah hari raya keagamaannya

masing-masing di Kota Manado.

Masyarakat di Kota Manado, sekalipun heterogen dan dalam segi jumlah

didominasi oleh yang beragama Kristen sejauh ini telah berhasil mengembangkan

suatu model interaksi dan relasi antar umat beragama secara setara, toleran serta

tidak eksklusif. Dalam hal ini, nilainilai budaya yang mendasari adalah falsafah

hidup sitou timou tumou tou dan torang samua basudara, nilai budaya mapalus

(kerjasama), nilai budaya demokrasi, nilai budaya anti diskriminasi dan nilai

budaya silaturahmi. Lewat lima nilai budaya tersebut masyarakat kota Manado

yang beragam religi, membangun dan menguatkan dirinya sebagai kota berwajah

ramah dalam hal kebebasan antar umat beragama. Interaksi sehat tersebut justru

muncul dari kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup rukun dan damai.

Lalu, bagaimana kerukunan dan kedamaian bisa tetap terpelihara di tengah

heterogenitas masyarakatnya? Banyak hal yang dapat menjelaskannya. Dari kajian

sebelumnya yang menggunakan pendekatan participatory action research, Ruhana

(2014) mengemukan bahwa secara historis suasana kedamaian di Manado,

Sulawesi Utara, sudah berlangsung lama dan karenanya cukup melembaga.

Kondisi ini memberikan kontribusi yang sangat positif bagi terwujudnya budaya

damai di daerah ini. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat Manado yang pada

umumnya relatif tinggi sehingga tidak mudah terprovokasi, juga

berpengaruh.Masyarakat Manado juga telah belajar dari pengalaman buruk

masyarakat di daerah lain yang mengalami konflik agama atau etnik. Kondisi

tersebut menghadirkan suatu komitmen kuat untuk terus memelihara kedamaian.

Kearifan lokal juga masih hidup dalam masyarakat. Hal yang juga berperan

penting dalam mewujudkan Manado damai, yakni adanya berbagai kebijakan

pemerintah dalam mengupayakan kerukunan serta fasilitasinya forum-forum

antarumat beragama. Searah dengan itu, terjadi komunikasi dan kerjasama yang

baik antara tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah dalam upaya

memelihara perdamaian. Posisi sentral tokoh agama yang menjadi panutan

masyarakat cukup efektif dan strategis dalam upaya menyebarkan pandangan

keagamaan yang moderat dan toleran.

Selanjutnya kemajemukan dipahami sebagai kumpulan berbagai elemen

sosial yang menyatu dalam lingkungan yang sama, elemen tersebut berpeluang

berbeda sehingga terjadi perbedaan. Perbedaan tidak untuk dijadikan modal

konflik, tetapi untuk dipahami bahwa ketidaksamaan dalam berbagai lini adalah

produk Ilahi untuk disadari dan disyukuri. Perbedaan sebagai cara memahami diri

atas pihak lain sebagai modal sosial untuk membangun kehidupan

kemasyarakatan. Sebagaimana realitas sosial bila terjadi musibah dan saling

menolong. Pertolongan tersebut atas dasar sifat kemanusiaan murni, bukan atas

dasar kesamaan atau perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Spontanitas

menolong sesama tersebut pada dasarnya adalah esensi dari toleransi dan

kemajemukan sebagai potensi alamiyah yang dimiliki setiap manusia, kapan pun

dan di manapun.

Faktor pendukung kerukunan beragama terwujud karena: antar-pemeluk

agama dan atau intern agama yang berbeda aliran terdapat hubungan persaudaraan

(geneologis), terjadi simbiosis mutualisme di bidang perekonomian, pemahaman

dalam batin antar-pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran

diwujudkan dalam kehidupan dengan mengedepankan persamaan kebutuhan dan

menafikan konflik yang lazimnya dipicu oleh perbedaan keyakinan dan agama,

pola pikir antar-pemeluk agama dan atau intern agama yang berbeda aliran

terjauhkan dari sikap negatif.

Kemajemukan (pluralitas) adalah warna dasar yang menyangga basis

kultur sosial bangsa Indonesia. Realitas pluralistik masyarakat Indonesia dengan

detail keunikan yang dimilikinya merupakan aset dan kekuatan memperkaya

khazanah kreativitas manusia memanfaatkan alam Indonesia nan indah, subur dan

makmur untuk menjadi negara besar bermartabat. Pada sisi lain, pluralitas

menyimpan kerawanan pertikaian antarwarga dalam berbagai bentuk dan sumber

pemicunya. Pesona pascareformasi membangunkan kesadaran warga sipil

berpesta-ria mendemonstrasikan kebebasan berdemokrasi, tetapi sering berakhir

dengan konflik fisik. Kemajemukan sebagai khazanah kekayaan budaya bangsa

kini dihadapkan pada ancaman disintegrasi karena kecenderungan menonjolkan

sentimen agama, etnis, atau keunggulan primordial lainnya. Pluralitas sebagai

kuasa Tuhan memberi makna imperatif kesediaan setiap individu menghormati

kehadiran orang lain ikut berpartisipasi dalam menghuni bumi ini secara damai

dalam rangka kompetisi untuk kreasi kebaikan. Makna beragama dalam

kehidupan bersama harus dilandasi motivasi untuk saling toleransi, menghargai

keyakinan orang lain yang berbeda agamanya. Tumbuhkembang nilai religiusitas

dan nilai toleransi secara seimbang menjadi tuntutan untuk lahirnya komunitas

yang rukun damai dan dinamis. Pandangan Sumartana (2007:168) ―agama bisa

memberikan suatu basis kekuatan moral yang efektif di masyarakat, karena agama

tidak memiliki kepentingan lain selain membela tegaknya hak-hak asasi manusia,

harkat serta martabatnya selaku makhluk ciptaan Tuhan. ‖

BAB VII

PENUTUP

D. Kesimpulan

Berdasar dari analisis data dalam penelitian ini dengan acuan fokus

penelitian yang dituangkan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini dapat

disimpulkan dan sebagai jawaban dari rumusan masalah, yaitu bagaimana

pemahaman kerukunan beragama masyarakat Salatiga dan Manado sebagai

masyarakat yang multireligius? Pemahaman kerukunan dan toleransi masyarakat

kota Salatiga dan Manado adalah bahwa kerukunan dan toleransi itu diwujudkan

dalam perilaku nyata keseharian, tidak hanya diperbincangkan dalam forum-

forum. Point inilah yang amat utama, sehingga dampak kerukunan dan toleransi

kehidupan dapat dirasakan oleh semua makhluq hidup. Gagasan-gagasan besar

tentang kerukunan dan toleransi yang didialogkan dalam berbagai forum tidak

akan berarti manakalah berhenti pada kesimpulan diskusi. Upaya untuk

mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam kehidupan menjadi penting agar

kehidupan menjadi harmoni. Semua pihak harus mengupayakan kehidupan

bertoleransi dengan penuh kesadaran dan dilandasi dengan pengetahuan dan

wawasan yang luas. Sebaliknya, jika dirasakan ada masalah toleransi dalam

kehidupan atau muncul perilaku yang intoleran, maka semua pihak harus

bersama-sama secara sungguh-sungguh pula dalam mencari solusi yang bijak

demi untuk mewujudkan harmoni kehidupan.

Sementara itu bagaimana perilaku kerukunan beragama masyarakat

Salatiga dan Manado sebagai masyarakat yang multireligius? Bentuk perilaku

toleransi masyarakat kota Salatiga dan Manado diwujudkan dalam berbagai

kegiatan. Kegiatan-kegiatan tesebut adalah : a) kegiatan sosial bersama

(pernikahan, kematian sosial, termasuk ibadah); b) Poliklinik kesehatan; c)

Beasiswa kurang mampu; d) Membagi takjil; e) Buka bersama; f) Festival

keragaman; g) Dialog, seminar; h) Saling kunjung pada hari besar; i) Memberi

bingkisan hari besar; j) Menjaga gereja/masjid; k) Mengunjungi tempat ibadah; l)

Saling mengisi kegiatan keagamaan (koor); m) Pertemuan anjangsana. Perilaku

ini dilandasi dengan penuh kesadaran, tidak ada paksaan dan saling memahami

posisi masing-masing.

Toleransi antar umat di kota Salatiga dan Manado selama ini telah berjalan

dengan baik, kelaupun ada gangguan-gangguan itu sifatnya hanya letupan kecil

dan mampu diredam secara bersama-sama. Gangguan toleransi yang muncul

sebagian besar karena pengaruh dari luar, bukan muncul dari dalam. Namun

demikian, suasana sejuk yang ada tidak boleh menjadikan masyarakat di kota

Salatiga dan Manado terlena dan mengabaikan sikap waspada terhadap

kemungkinan munculnya perilaku intoleran atau bahaya laten yang mungkin

mencuat.

Ada banyak upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan situasi

yang damai dan toleransi di Kota Salatiga dan Manado, yaitu : a) pendalaman

ajaran agama masing-masing; b) mengoptimalkan lembaga terkait, misal FKUB,

BKAUSA; c) dukungan pemerintah; d) penguatan toleransi melalui sekolah, anak

muda, ormas-ormas; e) meningkatkan kualitas ceramah di tempat ibadah; f)

membentuk kegiatan bersama; g) memberikan pemahaman yang benar kepada

setiap orang tentang konsep kerukunan dan mengamalkannya dalam kehidupan;

h) membangun interaksi intimistik pada semua lemen masyarakat. Masing-masing

upaya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Proses penguatan kerukunan umat beragama dilakukan melalui

pendalaman ajaran agama masing-masing. Pemeluk agama yang memahami

ajaran agamanya secara baik dan mendalam akan menunjukkan perilaku yang

mulia, baik dalam relasi vertikal kepada Tuhannya maupun relasi horizontal

kepada sesama makhluk. Setiap ajaran agama pasti mengajarkan kepada

pemeluknya agar berperilaku baik dalam segala relasi hidupnya. Agama lahir

untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang tidak selaras dengan nilai-nilai

Ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ketuhanan senantiasa selaras

dengan nilai-nilai kemanusiaan.

E. Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan diatas, peneliti memiliki

beberapa rekomendasi dari penelitian ini yang diharapkan dapat berguna bagi

penelitian selanjutnya. Pertama, dapat dilakukannya penelitian lanjutan terkait

dengan temuan lain yang ditemukan dalam penelitian, menggali lebih mendalam

tentang nilai dan ajaran agama yang toleran, yang dapat dikaitkan dengan

kerjasama dan dialog antar dan intra umat beragama. Kedua, dilakukan penelitian

di daerah lain, untuk mencari tahu apakah nilai kerukunan di Salatiga dan Manado

dapat diterapkan di daerah lain, atau dibutuhkan sebuah model lain untuk dapat

menciptakan kerukunan di Indonesia.

Penulis menyarankan kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten kota untuk mewujudkankerukunan, toleransi dan

kerjasama antaragama.Indonesia adalah bangsa yang religious, bangsa yang

agamis, bangsa yang beragama, bangsa yang percaya kepada Tuhan yang Maha

Esa. Bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari agama-agama besar:, Islam,

Hindu, Budha, Katolik dan Kristen serta Konghuchu. Agama merupakan

ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai luhur, suci

dan mulia yang dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya masing-masing

merupakan factor yang berpengaruh dalam usaha bangsa Indonesia untuk

mensukseskan pembangunan nasional. Banyak hal positif yang bisa didapat jika

agama dan pemerintah mempunyai suatu bentuk toleransi karena keduanya sama-

sama membawa kesejahteraan bagi warga Negara. Setiap agama membawa misi

kedamaiaan, terutama Islam yang kita ketahui sebagai rahmatan lil alamin.

Sebuah agama atau beberapa agama akan membentuk masyarakat idaman dalam

sebuah Negara. Anggapan bahwa agama adalah penghambat kemajuan Negara

sebenarnya sangat salah. Tidak ada aturan yang mengarah pada hal-hal yang

buruk. Namun sebaliknya banyak sekali aturan Negara yang tidak memperhatikan

konsep yang telah diatur oleh agama. Sehingga toleransi agama terhadap Negara

tidak boleh luput dari pemahaman kita. Pengetahuan yang luas adalah cara agar

toleransi agama dengan Negara tidak menjadi suatu hal yang hanya dianggap

formalitas belaka. Tetapi harus diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat

sehari-hari.

Penulis mendorong upaya menyusun aturan-aturan tentang kerukunan dan

toleransi yang diperlukan untuk mengikat tujuan bersama kelompok-kelompok

agama. Dengan banyaknya keperluan yang terus meningkat peraturan yang

digunakan harus semakin kuat dan lebih mengikat. Disini kehadiran negara yang

paling tepat. Negara membuat aturan yang mempermudah aktivitas manusia.

Tidak hanya membuat peraturan-peraturan, negara jugamenyediakanfasilitas-

fasilitas yang menunjangperkembangan kemajuan disemua bidang kehidupan.

Penulis menilai bahwa peran Kantor Wilayah Kementerian Agama

Provinsi dan daerah harus berwibawa karena sebagai pihak pendukung dan

pembantu pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal

ini setidaknya ditunjukkan dengan sejumlah program terkait kerukunan umat

beragama termasuk program yang dilakukan oleh Kementerian Agama pusat

yang bertempat di provinsi dan daerah.Anggaran untuk pemeliharaan kerukunan

umat beragama perlu ditingkatkan, sehingga upaya sosialisasi dan pembinaan

dapat lebih luas dan merata dilakukan. Dalam hal ini, Kementerian Agama dan

Kementerian Dalam Negeri perlu mendorong dan mengawal proses pengalokasian

kegiatan kerukunan yang lebih memadai tersebut.

Dari hasil kajian ini maka tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin

terutama di Indonesia sekarang ini untuk melangkah lebih progresif melakukan

aktifitas-aktifitas yang mengarah pada terciptanya iklim kerukunan, toleransi,

kampanye perdamaian, dan kerjasama lintas agama. Disamping itu juga perlu

menciptakan iklim solidaritas sosial, memajukan ekonomi, berpraktik politik yang

santun dan menjaga kebudayaan sebagai bentuk perwujudan dari pengabdiannya

kepada Allah Tuhan YME. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan

sejumlah krisis lain yang tengah menghimpit bangsa Indonesia tampaknya tidak

cukup hanya diselesaikan dengan melakukan ibadah-ibadah individual, tetapi juga

dengan perjuangan meningkatkan kecerdasan masyarakat, penegakan hukum dan

keadilan, solidaritas sosial dan membebaskan penderitaan masyarakat.

Peneliti meyakini bahwa penelitian harus dapat dikoreksi. Koreksi

diperlukan untuk menambah masukan-masukan baru yang belum dibahas agar

lebih terinci dan lengkap. Disamping itu juga dapat mengganti bagian bahasan

yang kurang baik dengan masukan yang lebih tepat atau lebih baik berdasarkan

kritik dan saran yang diterima. Koreksi atas penelitian ini juga terbuka untuk

menghilangkan bagian-bagian yang tidak tepat atau tidak perlu. Penulis meyakini

bahwa koreksi bukan alat untuk menghakimi namun dapat memandu dalam

melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap konteks kajian yang ada.

Daftar Informan Penelitian 2018

No Informan Agama Kontak Instansi

1. Bramantyo Buddha 087734734848 STAB Syaelendra

2. Bikhuni Samodhana Buddha 085225038327 Smaratunggha

Ampel

3. Goe Sho Hien Buddha 081901604701 Konghucu

4. Sukodoyo Budhha 085642767129 STAB Syaelendra

5. Romo Wiku Bibit Hindu PHDI Salatiga

6. Putu Gede Hindu PHDI / Korem

7. Sukla Hindu Famili

8. Luluk Abdul Gani Islam 087889984477 Fatayat

9. Ema Islam 082226179919 Fatayat

10. Saryati Purwanegara Islam 081317910310 Nasyiatul Aisyiyah

11. Yulia Islam 081336449908 Fatayat

12. Nurcholish Islam 0818240535 Kemenag

13. Reene Picasso Katholik 085606515758 Santo Paulus Miki

14. Soesetijo Katholik 081317866641 Santo Paulus Miki

15. Piyus Katholik 08164267581 Santo Paulus Miki

16. Jayusman Katholik 081225042829 Komisioner KPUD

Sltg

17. Agung Waskita Aji Kristen 08156508311 Percik

18. Pdt. Estheer Kristen 081567845588 Famili

19. Amin Siahaan Kristen 08157759848 Forum

Persaudaraan

20. Bani Umu Rauta Kristen 08122527791 UKSW

21. Pdt Eben Haezer Kristen 085600009030 GKJ Sidomukti

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman P.,Peranan Dakwah dan Komunikasi Antarbudaya dalam

Masyarakat Plural, Jurnal Al-Munzir Vol. 7, No. 1, Mei 2014

Abd. Rahman P.,Peranan Dakwah dan Komunikasi Antarbudaya dalam

Masyarakat Plural, Jurnal Al-Munzir Vol. 7, No. 1, Mei 2014)

Alo Liliweri. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. 2009

Andriana Susi Yudhawati, Indonesia Mini, Ragam Budaya dan Etnis Ada di Satu

Kota, Majalah Jiwaraga, Edisi II T ahun 2017:12-13)

Aslati, : Toleransi Antarumat Beragama Dalam Perspektif Islam (Suatu Tinjauan

Historis

Bennett, 1998:53,Concepts of Intercultural Communication: Selected Readings.

Yarmouth: Intercultural Press).

Bennett, Milton, J. (1998). Intercultural communication: A current perspective. In

Milton J. Bennett (Ed.), Basic concepts of intercultural communication:

Selected readings. Yarmouth, ME: Intercultural Press: Dean Barnlund,

―Communication in a Global Village,‖ this volume.)

Dang Linh Chi, Intercultural Communication Differences between Western and

Asian perspective, Thesis Centria University Of Applied Sciences

Business Management, December 2016:4

Deddy Mulyana. Ilmu komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2010

Dormort Moran, Introduction to Phenomenology. New York, 2012

Elmen, Paul. The Restoration of Meaning to Contemporary Life. New York:

Garden City, 2012:56

Farhan, Pemberitaan Kerukunan Umat Beragama: Analisis Pesan Media, Jurnal

Askopis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017 17-30

Farhan, Pemberitaan Kerukunan Umat Beragama: Analisis Pesan Media, Jurnal

Askopis Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017 17-30

Flood, Gavin. Beyond Phenomenology: Rethinking the Study of Religion. London:

Bloomsbury Academic, 2013:90

Frangky Suleman, Keberagaman Budaya dan Agama di Kota Manado,

Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi2017:58)

Gavin Flood. Beyond Phenomenology: Rethinking the Study of Religion. London:

Bloomsbury Academic. 2013

Hedi Heryadi, Hana Silvana, Komunikasi Antarbudaya Dalam Asyarakat

Multikultur (Studi Tentang Adaptasi Masyarakat Migran Sunda di Desa

Imigrasi Permu Kecamatan Kepahiang Provinsi Bengkulu),Jurnal Kajian

Komunikasi, Volume 1, No. 1, Juni 2013, hlm 95-108

Imam Sutomo, Implementasi Nilai Religiusitas dan Toleransi dalam

Pemberdayaan Masyarakat, Inferensi Jurnal Penelitian Sosial

Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Juni 2014: 93-114

Ismardi dan Arisman, Meredam Konflik dalam Upaya Harmonisasi Antar Umat

Beragama, Jurnal Toleransi, Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.6,

No.2 Juli-Desember 2014:200-222

Ismardi dan Arisman, Meredam Konflik dalam Upaya Harmonisasi Antar Umat

Beragama, Jurnal Toleransi, Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.6,

No.2 Juli-Desember 2014:200-222

Khotimah: Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin,

Vol. XVII No. 2, Juli 2011:216

Khotimah: Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin,

Vol. XVII No. 2, Juli 2011:216

Lusia Savitri Setyo Utami, Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya, Jurnal

Komunikasi, Vol. 7, No. 2, Desember 2015:180-197

M. Syafi‘ie, Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor

5, Oktober 2011: 27

Martania Hartika dan Dian Novita Kristiyani, Peran Pemerintah Serta Pemuka

Agama dalam Membentuk Perilaku Masyarakat Salatiga untuk Hidup

Berdampingan Melalui Tagline “Kota Salatiga Hati Beriman”, Jurnal Pax

Humana; Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol.IV, No.1, Januari-

Juni 2017:063-084

Martania Hartika dan Dian Novita Kristiyani, Peran Pemerintah Serta Pemuka

Agama dalam Membentuk Perilaku Masyarakat Salatiga untuk Hidup

Berdampingan Melalui Tagline “Kota Salatiga Hati Beriman”, (Jurnal

Pax Humana; Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol.IV, No.1,

Januari-Juni 2017:063-084.)

Moran, Dormort. Introduction to Phenomenology. New York, 2012:17

Mukti Ali,Harmonical Communication Sebuah Pesan Damai dalam

Perbedaan, Salatiga: LP2M-Press,Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA

2016:28

Nazmudin, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun

Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Journal of

Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017: 23-39

Nelly Van Dorm Harder dan Mega Hidayati, (Edt.) M. Zulfa, Dialog Inklusivistik

Membangun Rasa Kebersamaan dan Saling Pengertian Studi Kasus pada

Majelis PUASA dan FKUB Salatiga, dalam buku Kebebasan Beragama di

Tingkat Akar Rumput, Yogyakarta, Institut DIAN/Interfidei dan

Norwegian Center for Human Rights-University of Oslo, 2017:174

Nelly Van Dorm Harder dan Mega Hidayati, (Edt.) Mukti Ali, Di Beranda Rumah

Kami Banyak Tuhan: Diskursus Komunikasi Keluarga Beda Agama Pada

Etnik Jawa, dalam buku Kebebasan Beragama di Tingkat Akar Rumput,

Yogyakarta, Institut DIAN/Interfidei dan Norwegian Center for Human

Rights-University of Oslo, 2017:278

Paul Elmen. The Restoration of Meaning to Contemporary Life. New York:

Garden City. 2012

Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati, Toleransi Antar Umat

Beragama di Kota Bandung, Jurnal Umbara: Indonesian Journal of

Anthropology volume 1 nomor 2 Tahun 2016: 105-124

Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati, Toleransi Antar Umat

Beragama di Kota Bandung, Jurnal Umbara: Indonesian Journal of

Anthropology volume 1 nomor 2 Tahun 2016: 105-124

Rini Darmastuti, Sri Winarso Martyas Edi, Erwien Christianto, Model Literasi

Media Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Berbasis Kearifan

Lokal Masyarakat Salatiga, Jurnal Aspikom, Volume 3 Nomor 4, Januari

2018:635-649

Rini Darmastuti, Sri Winarso Martyas Edi, Erwien Christianto, Model Literasi

Media Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Berbasis Kearifan

Lokal Masyarakat Salatiga, Jurnal Aspikom, Volume 3 Nomor 4, Januari

2018:635-649)

S.W. Littlejohn & K.A. Foss. Theories of Human Communication. California:

Sage Publications, 2008.

Sartini, Etika Kebebasan Beragama, Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember

2008:269

Suryan A. Jamrah, Toleransi antar Umat Beragama: Perspektif Islam, Jurnal

Ushuluddin Vol. 23 No. 2, Tahun 2015:185-200

Veronica Schoeffel, cinfo and Phyllis Thompson, consultant Graphicmedialink

Zürich cinfo 11/2007 Rue Centrale 12).

W.M. Lustig & J. Koester. Intercultural Competence: Interpersonal

Communication Across Cultures. 5th edition. Pearson Education, Inc. 2006

William T. Cavanaugh. The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the

Roots of Modern Conflict. New York: Oxford University Press. 2009

Yusuf Faisal Ali, Upaya Tokoh Agama Dalam Mengembangkan Sikap Toleransi

Antaumat Beragama, Jurnal UCEJ Untirta Civic Education Journal, Vol. 2

No. 1, Tahun 2017:91-112

Zaenal Abidin, Pluralisme Agama dan pola Komunikasi Antar Budaya di

Indonesia, Jurnal Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015