munajat - · pdf filei munajat dalam tarekat naqsyabandiah babussalam langkat: kajian...

373
i MUNAJAT DALAM TAREKAT NAQSYABANDIAH BABUSSALAM LANGKAT: KAJIAN TERHADAP FUNGSI, MAKNA TEKS, DAN STRUKTUR MELODI TESIS Oleh: WIWIN SYAHPUTRA NASUTION NIM: 107037004 PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2012

Upload: tranmien

Post on 06-Feb-2018

377 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

i

MUNAJAT DALAM TAREKAT NAQSYABANDIAH

BABUSSALAM LANGKAT: KAJIAN TERHADAP FUNGSI, MAKNA TEKS,

DAN STRUKTUR MELODI

TESIS

Oleh: WIWIN SYAHPUTRA NASUTION

NIM: 107037004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2012

ii

MUNAJAT DALAM TAREKAT NAQSYABANDIAH

BABUSSALAM LANGKAT: KAJIAN TERHADAP FUNGSI, MAKNA TEKS,

DAN STRUKTUR MELODI

TESIS

Oleh: WIWIN SYAHPUTRA NASUTION

NIM: 107037004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2012

iii

MUNAJAT DALAM TAREKAT NAQSYABANDIAH

BABUSSALAM LANGKAT: KAJIAN TERHADAP FUNGSI, MAKNA TEKS,

DAN STRUKTUR MELODI

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh WIWIN SYAHPUTRA NASUTION

NIM: 107037004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2012

iv

Judul Tesis : MUNAJAT DALAM TAREKAT NAQSYABANDIAH

BABUSSALAM LANGKAT: KAJIAN TERHADAP FUNGSI, MAKNA TEKS, DAN STRUKTUR MELODI

Nama : Wiwin Syahputra Nasution Nomor Pokok : 107037004 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Dr. Muhizar Muchtar, M.S. NIP. 195411171980031002 Ketua

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 196512211991031001

Anggota Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua, Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001

Fakultas Ilmu Budaya Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

v

Tanggal lulus:

Telah diuji pada Tanggal: 10 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (……………………..)

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (..…..………………..)

Anggota I : Dr. Muhizar Muchtar, M.S. (….…...……………)

Anggota II : Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. (...……………………)

Anggota III : Dr Phil. Zainul Fuad, M.A (…………….

vi

ABSTRACT

This study focused on the analysis of form, function and meaning Munajat as ideology and the media in keeping the congregation Naqsyabandiah lineage in the village of Padang Tualang Besilam Langkat District, North Sumatra Province. The study was conducted to provide a thorough understanding of the role of the congregation chanting Munajat Naqsyabandiah used as a sign of the entry of Fajr prayers, Maqhrib and Friday prayers. As the creator and the civilizing traditions of chanting Munajat reading this is the first master teacher who is also the founder of the Order of Naqsyabandiah in the village of Sheikh Abdul Wahab Babussalam Rokan Khalidy Naqsyabandy .

The approach used in this study is an interdisciplinary approach to qualitative research methods to describe and transcribe humming Munajat conducted research location. Some of the theories used in support of this research include functionalism theory, ethnomusicology theory, the theory of semiotics, the theory Tringulasi, Theory of Weighted Scale (weight scales), atqakum theory, the theory takmilah. Data collected through library, research, observation, interview and documentation.

Once the analysis is done, it was found that the congregation Naqsyabandiah Munajat in its important role as a tool to maintain cultural continuity and the reinforcement of the integrity of the congregation Naqsyabandiah Babussalam. Munajat also has a function as a means of education, manners and keep the congregation Naqsyabandiah pedigree.

Analysis of the meaning of the text with semiotic theory approach has been found that in addition to poetry Munajat text associated with the concepts of the concept of the sign, it also has elements of traditional Malay elements like prose poems, rhymes, seloka, or couplets. When viewed from the meaning of the Munajat activity is as a manifestation of devotion to God.

Munajat has 44 (forty four) stanza poem in its presentation using Malay ornamentation such as patah lagu, cengkok, and gerenek. Maqom used in this Munajat is Shika maqom use pattern. Munajat contained in this order priority to serving text (logogenik) is the primary means of communication is verbal.

In practice, Munajat always begins with a beating over the past ten to fifteen minutes by hitting the inside of the nakus section and ends with beating out the total number of prayers to be implemented. Further readings will be held on Munajat's tallest tower at madrasah Babussalam until it was time to worship azan prayers.

Keywords: Munajat, The essence of Tauhid, Tarekat, Lineage, function, meaning and music analysis.

vii

INTISARI

Penelitian ini fokus pada analisis bentuk, fungsi dan makna Munajat sebagai media dalam menjaga ideologi dan silsilah Tarekat Naqsyabandiah di desa Besilam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara. Kajian ini dilakukan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang peranan senandung Munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah yang digunakan sebagai tanda akan masuknya waktu salat Subuh, Maqhrib dan salat Jumat. Adapun yang menjadi pencipta dan yang membudayakan tradisi pembacaan senandung munajat ini adalah tuan guru pertama yang juga merupakan pendiri Tarekat Naqsyabandiah di kampung Babussalam yaitu Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy..

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interdisiplin dengan metode penelitian kualitatif dengan mendeskripsikan dan mentranskripsikan senandung munajat yang dilakukan dilokasi penelitian. Beberapa teori yang digunakan dalam mendukung penelitian ini diantaranya teori fungsionalisme, teori etnomusikologi, teori semiotika, teori Tringulasi, Teori Weighted Scale (bobot tangga nada), teori atqakum, teori takmilah. Data data dikumpulkan melalui, studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi.

Setelah analisis dilakukan, ditemukan hasil bahwa Munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah memiliki peranan yang penting sebagai alat untuk menjaga kontinuitas budaya dan sebagai penguat integritas tarekat Naqsyabandiah Babussalam. Munajat juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan, menjaga adab serta silsilah tarekat Naqsyabandiah.

Analisis terhadap makna teks dengan pendekatan teori semiotika ditemukan bahwa syair teks munajat disamping berhubungan dengan konsep konsep tanda, juga memiliki unsur unsur puisi melayu tradisional seperti prosa, pantun, seloka, atau gurindam. Apabila ditinjau dari makna aktifitasnya maka munajat adalah sebagai salah satu wujud ketaqwaan kepada Allah.

Munajat Memiliki 44 (empat puluh empat) bait syair yang dalam penyajiannya menggunakan Ornamentasi melayu yaitu patah lagu, cengkok, dan gerenek. Maqom yang digunakan dalam munajat ini menggunakan pola maqom Shika. Munajat yang terdapat dalam tarekat ini mengutamakan sajian teks (logogenik) yang artinya komunikasi utama adalah secara verbal.

Dalam pelaksanaannya, munajat selalu diawali dengan pemukulan nakus selama sepuluh sampai lima belas menit dengan memukul bagian dalam dari nakus tersebut dan diakhiri dengan pemukulan dibagian sisi luar nakus sebanyak jumlah rakaat salat yang akan dilaksanakan. Selanjutnya pembacaan munajat akan dilaksanakan diatas menara tertinggi di madrasah Babussalam sampai akan tiba waktu azan untuk ibadah salat.

Kata kunci : Munajat, Hakikat Tauhid, Tarekat,Silsilah, Fungsi, makna dan analisis musik.

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana huwataala, serta

selawat beriring salam kepada junjungan muslimin Rasulullah Sallallahu Alaihi

wassalam. Berkat rahmat, nur dan hidayahnya maka penelitian ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku

Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberi fasilitas pembelajaran sehingga

penulis dapat menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara dengan baik.

2. Bapak Drs. Irwansyah, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister (S2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara.

3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister

(S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Muhizar Muchtar, M.S., selaku Pembimbing Ketua yang telah memberikan

arahan dalam pelaksanaan penelitian, dan kontribusi mengenai substansi materi

penelitian ini dari sejak awal pelaksanaan penelitian, termasuk tatacara penulisan

ilmiah.

5. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D., selaku Pembimbing Anggota yang telah

memberikan koreksi, kontribusi pemikiran serta arahan terhadap hasil penelitian

ini.

6. Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai admistrasi Program Studi Magister (S2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

yang telah mendukung kelancaran administrasi.

ix

7. Seluruh dosen yang telah menyumbangkan pengetahuannya saat perkuliahan di

Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

8. Teman-teman seangkatan yang telah memberi dorongan moral sehingga penulis

tetap semangat dan termotivasi dalam pelaksanaan penelitian.

9. Bapak Akhyar Murni, Khalifah Selamat, Almarhum tuan guru Khalifah Ali

Mas’ud, Yumi Hendri Nasution, Abdul Rahman Syah, selaku informan dan

narasumber yang telah banyak memberi informasi tentang senandung munajat

Tarekat Naqsyabandiah di Kampung Babussalam, kecamatan Padang Tualang,

Kabupaten Langkat.

10. Ayah Syahril Husri Nasution, Mamak Nurlela Napitupulu serta adik adik tercinta

Eva Irvani Nasution, SE., dan Silva Winovia Nasution, SE., yang telah memberikan

dukungan moril dan materil kepada penulis.

11. Istri Elfida, S.Pd., dan anak-anak saya tercinta Fachru Razi Syafwan Nasution,

Fiola Syifa Azura Nasution, Fivian Zivana Auryn Nasution dan sibungsu Fachri

Gathfan Rivano Nasution sebagai motivasi dan yang telah mendoakan penulis

selama penelitian.

12. Teman teman alumni UNIMED angkatan 95 dan para dosennya yang telah banyak

memberikan masukan yang berarti untuk penulis selama ini.

13. Terutama buat almarhum abangda Drs. Ben M. Pasaribu, MMA., yang atas

dorongan serta rekomendasinya, akhirnya saya dapat melanjutkan studi ke Pasca

Sarjana USU. Semoga engkau damai dan tenteram berada disisiNya.

x

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam

penulisan hasil penelitian ini, baik berkenan dengan bentuk maupun isinya. Untuk itu

penulis sangat mengharapkan saran, kritik dan koreksi guna perbaikan.

Medan, September, 2012

Penulis,

Wiwin Syahputra Nasution

xi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Wiwin Syahputra Nasution

NIP : 197704242006041005

Tempat Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 24 April 1977

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : 1. Guru Sekolah Menengah Kejuruan Negri Tanjung Pura,

Langkat

2. Terapis pengobatan pada klinik Syifa dalam bidang

Akupunktur dan Hypnoteraphy

Pendidikan : 1. Sarjana Pendidikan Seni Musik (S.Pd.) dari

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri

Medan (UNIMED) Jurusan Sendratasik, Lulus tahun

2002.

2. Akupunkturis (AKP) dari Lembaga Pendidikan

Akupunktur (YAPEPTRI) Jakarta, Lulus tahun 2008.

3. Master Hypnoteraphy (Mch) dari Yayasan

Hypnoteraphy Indonesia (YHI) Medan, Lulus tahun

2011.

Pada tahun akademi 2010/2011 diterima menjadi mahasiswa pada Program

Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatra Utara.

xii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan,

Wiwin Syahputra Nasution NIM. 107037004

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................. iv

ABSTRACT ............................................................................................. vi

INTISARI ................................................................................................. vii

PRAKATA ............................................................................................... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................. xi

HALAMAN PERNYATAAN .................................................................. xii

DAFTAR ISI ............................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvii

DAFTAR BAGAN .................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................. 1 1.2 Pokok Masalah .................................................................. 23 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... 26 1.3.1 Tujuan Penelitian .................................................... 26 1.3.2 Manfaat Penelitian .................................................. 27 1.4 Tinjauan Pustaka ................................................................ 28 1.5 Konsep dan Landasan Teori ............................................... 33 1.5.1 Konsep ................................................................... 33 1.5.2 Teori ....................................................................... 37 1.6 Metode Penelitian .............................................................. 58 1.6.1 Pendekatan Penelitian ............................................. 58 1.6.2 Transkripsi dalam Bentuk Notasi ............................ 59 1.6.3 Kehadiran Peneliti .................................................. 61 1.6.4 Sumber Data ........................................................... 61 1.6.5 Data Statistik .......................................................... 62 1.6.6 Prosedur Pengumpulan Data ................................... 62 1.6.7 Analisis Data .......................................................... 62 1.7 Sistematika Penulisan ........................................................ 63

BAB II TAREKAT NAQSYABANDIAH BABUSSALAM LANGKAT DALAM KONTEKS DUNIA MELAYU DAN DUNIA ISLAM 65 2.1 Kata Tarekat dalam Al-Qur’an ............................................. 65 2.2 Perkembangan, Pengaruh dan Jenis Tarekat di Dunia Islam . 70 2.3 Tarekat Naqsyabandiah di Dunia Islam .............................. 82 2.4 Biografi Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy . Naqsyabandiah .................................................................... 84

xiv

2.4.1 Pendidikan ............................................................. 87 2.4.2 Mengembangkan Agama dan Tarekat .................... 91 2.4.3 Membangun Babussalam ....................................... 92 2.4.4 Percetakan, Pertanian dan Bintang Kehormatan...... 93 2.4.5 Mendirikan Serikat Islam ....................................... 98 2.4.6 Imam dan Bilal di Madrasah Babussalam ............... 99 2.4.7 Mengajar di Istana .................................................. 100 2.4.8 Bintang Kehormatan .............................................. 102 2.5 Silsilah .............................................................................. 103 2.6 Tuan Guru yang Menjabat di Babussalam .......................... 105 2.7 Aktivitas ............................................................................ 107 2.7.1 Baiah ..................................................................... 107 2.7.2 Berkhalwat ............................................................. 108 2.7.3 Khatam Khawajakan .............................................. 110 2.7.4 Khatam Tawajuh .................................................... 111 2.7.5 Idiologi .................................................................. 113 2.7.5.1 Yad Kard .................................................. 114 2.7.5.2 Baz Gasht ................................................. 117 2.7.5.3 Nigah Dahsyat .......................................... 119 2.7.5.4 Yad Dahsyat ............................................. 120 2.7.5.5 Hosh Dar Dam ......................................... 121 2.7.5.6 Nazar Bar Qadam ..................................... 124 2.7.5.7 Safar Dar Watan ....................................... 127 2.7.5.8 Khalwat Dar Anjuman .............................. 129 2.7.5.9 Ajaran Dasar Syekh Muhammad Bahauddin Naqshban ................................ 132

BAB III GUNA DAN FUNGSI MUNAJAT........................................... 135 3.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi .................................... 138 3.2 Penggunaan Munajat ......................................................... 142

3.2.1 Tanda Akan Masuknya Waktu Shalat ..................... 142 3.2.2 Tanda Persiapan Diri Untuk Ibadah ........................ 144

3.3 Fungsi Munajat.................................................................. 145 3.3.1 Kelestarian dan Kontinuitas Sistem Religi dan Budaya ................................................................... 145 3.3.2 Pendidikan ............................................................. 146 3.3.3 Ibadah Agama Islam .............................................. 147 3.3.4 Sarana Dakwah Islam ............................................. 148 3.3.5 Ekspresi Kelompok ................................................ 150 3.3.6 Ekspresi Emosi ...................................................... 152 3.3.7 Ekspresi Estetika .................................................... 156 3.3.8 Memberitahu .......................................................... 168

BAB IV KAJIAN TEKS MUNAJAT ..................................................... 173

4.1 Sumber Teks Munajat ........................................................ 173 4.2 Munajat Sebagai Syair Melayu .......................................... 173 4.3 Adab Munajat .................................................................... 187 4.4 Syarat-syarat Penyaji Munajat ........................................... 192 4.5 Teks Syair Munajat Tuan Guru Syekh Abdul Wahab

xv

Rokan Khalidy Nqsyabandy ............................................... 194 4.6 Analisis Semiotik dan Atqaqum ......................................... 205 4.7 Interpretasi Teks Munajat ................................................... 208 4.8 Interpretasi Estetika ........................................................... 266

BAB V KAJIAN STRUKTUR MELODI ............................................. 268

5.1 Latar Belakang Gaya Musik Melayu .................................. 268 5.2 Latar Belakang Gaya Musik Timur Tengah ........................ 270 5.3 Bentuk Penyajian Musikal Munajat .................................... 274

5.3.1 Nakus ..................................................................... 274 5.3.2 Susunan Aktivitas Ibadah Shalat ............................. 276

5.4 Transkripsi dan Analisis Melodi Munajat ........................... 277 5.4.1 Transkripsi ............................................................. 277 5.4.2 Proses Transkripsi .................................................. 278

5.5 Pemilihan Sampel .............................................................. 281 5.6 Analisis Lagu ..................................................................... 282 5.7 Hasil Analisis Munajat ....................................................... 283

5.7.1 Tangga Nada .......................................................... 283 5.7.2 Nada Dasar ............................................................. 286 5.7.3 Ritem ...................................................................... 288 5.7.4 Bentuk .................................................................... 289 5.7.5 Tempo .................................................................... 294 5.7.6 Wilayah Nada ......................................................... 294 5.7.7 Jumlah Pemakaian Nada ......................................... 295 5.7.8 Interval ................................................................... 296 5.7.9 Kantur .................................................................... 297 5.7.10 Pola-Pola Kadensa .................................................. 298 5.7.11 Gaya Lagu .............................................................. 299 5.7.12 Gaya Melayu .......................................................... 300

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 302

6.1 Kesimpulan ........................................................................ 302 6.2 Saran.................................................................................. 303

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 305

GLOSSARIUM ........................................................................................ 309

LAMPIRAN ............................................................................................. 314

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Penggunaan Nada dan Jumlahnya ........................................ 285

Tabel 5.2 Penggunaan Not dan Jumlahnya ........................................... 288

Tabel 5.3 Bentuk Melodi dan Variasinya ............................................. 290

Tabel 5.4 Pemakaian Nada dan Jumlahnya .......................................... 295

Tabel 5.5 Nama Interval dan Jumlah Pemakaiannya ............................ 297

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Tulisan Jawi ................ 178

Gambar 4.2 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Kitab Barzanji ............. 186

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

Gambar 1. Partitur Notasi Munajat .......................................................... 314

Gambar 2. Teks Munajat Dalam Tulisan Arab Melayu ............................. 336

Gambar 3. Madrasah Babussalam ............................................................ 345

Gambar 4. Makam Syekh Abdul Wahab Rokan ....................................... 345

Gambar 5. Pusara Syekh Abdul Wahab Rokan ......................................... 346

Gambar 6. Ziarah Makam ........................................................................ 346

Gambar 7. Tempat Air Yasin ................................................................... 347

Gambar 8. Kelambu Tempat Suluk .......................................................... 347

Gambar 9. Aktivitas Zikir di Persulukan .................................................. 348

Gambar 10. Tawajuh ............................................................................ 348

Gambar 11. Nakus Dalam ........................................................................ 349

Gambar 12. Nakus Luar ........................................................................... 349

Gambar 13. Tuan Guru yang Menjabat di Babussalam ............................. 350

Gambar 14. Syekh H. Hasyim Al Syarwani .............................................. 351

Gambar 15. Syekh H. Tajudin .................................................................. 351

Gambar 16. Rumah Suluk Besilam Atas .................................................. 352

Gambar 17. Rumah Suluk Besilam Bawah ............................................... 352

Gambar 18. Pembaca Munajat Di Atas Menara ....................................... 353

Gambar 19. Penyimak Bacaan Munajat .................................................... 353

xviii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Segitiga Makna .................................................................... 43

Bagan 1.2 Pembagian Tanda ................................................................. 44

Bagan 1.3 Hubungan Tanda .................................................................. 45

Bagan 1.4 Tentang Tanda ..................................................................... 47

Bagan 1.5 Tentang Hubungan Tanda .................................................... 47

Bagan 1.6 Konotasi dan Meta Bahasa ................................................... 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Bermula dari

kawasan Saudi Arabia, yaitu pada dua kota utama yaitu Kota Mekah tempat

Rasul Muhammad dilahirkan dan Madinah sebagai pusat perkembangan awal

Islam. Di Kota Madinah inilah terjalinnya integrasi sosioreligius antara kaum

muhajirin (pendatang) dan anshor (penduduk Madinah). Mereka dipersatukan

Rasul Muhammad berdasarkan konsep persaudaraan. Proses migrasi Nabi

Muhammad dan para pengikutnya dari Mekah ke Madinah ini menjadi dasar dari

sistem kalender Hijriah Islam. Akhirnya Islam berkembang keseluruh Jazirah

Arab, Persia, Asia Selatan, China, Eropa Barat dan Timur, Nusantara (Asia

Tenggara), dan kini ke seluruh penjuru dunia. Islam adalah agama yang paling

pesat perkembangan jumlah pengikutnya dalam beberapa abad terakhir ini.1

1Di dunia ini, manusia ada yang beragama dan ada juga yang tidak beragama, namun

sebahagian besar adalah beragama. Secara kuantitas, masyarakat yang tidak beragama berada pada peringkat ketiga dengan jumlah persentase 16 persen dari keseluruhan penduduk dunia. Yang menarik adalah setengah dari kelompok ini, percaya kepada Tuhan namun tidak mengikuti agama tertentu. Agama Yahudi yang jumlah pemeluknya memiliki persentase 0,22 % dari jumlah penduduk dunia berada pada peringkat terakhir dalam daftar agama-agama resmi dunia. Walaupun di Dunia Barat gereja-gereja yang tinggi menjulang banyak dibangun untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Kristiani, namun saat ini perkembangan agama Islamlah yang mengalami kemajuan pesat dan perselisihan serta perbedaan yang ada di tengah umat Islam pun semakin berkurang dibanding dengan agama-agama lain. Dengan mengingat segala permasalahan ekonomi dan berbagai problem lainnya yang terjadi pada negara-negara Islam, agama ini mampu berada pada peringkat kedua dalam daftar agama dengan jumlah penganut terbanyak. Berdasarkan laporan situs Baztab di Iran, hasil surveinya memperlihatkan agama Kristen menguasai 33 persen masyarakat dunia namun mereka mengalami perpecahan yang lebih besar dan lebih prinsipil dibanding agama-agama lainnya. Agama Kristen sekarang terpecah menjadi berbagai macam aliran yang berbeda-beda seperti Katolik, Protestan, Ortodoks Timur, Anglikan, Evangelis, Pantekosta, dan lain sebagainya. Islam yang dipeluk oleh sekitar 21 persen dari penduduk dunia termasuk Suni, Syiah dan beberapa mazhab lainnya menempati agama kedua dengan penganut terbanyak setelah agama

2

Kebesaran Islam bukan hanya terlihat dari jumlah pengikutnya namun

Islam juga memiliki banyak aliran yang berbeda dalam menafsirkan dan

mengamalkan perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits. Yang paling jelas ada dua

aliran dalam Islam yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah atau lazim disebut kelompok

Suni dan Syiah atau Syi’i. Di dalam masyarakat muslim Suni sendiri terdapat

empat mazhab besar berdasarkan imam yang mereka ikuti, yaitu:Maliki, Hanafi,

Hanbali, dan Syafi’i. Demikian pula di dalam masyarakat muslim Syiah terdapat

berbagai aliran lagi.

Islam adalah agama samawiyah2 yang dibawa oleh Nabi Muhammad

SAW. Inti ajarannya adalah percaya kepada Allah Yang Ahad, yang diucapkan

dan dibenarkan dalam hati yaitu Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu

adalah Utusan(Rasul) Allah (La ilaha ilallah Muhammadarrasulullah). Di dalam

Islam juga dikenali dua rukun utama agama ini, yaitu rukun Islam dan rukun

Iman. Rukun Islam adalah syariat dalam bentuk lima aktivitas, yaitu: (a)

Kristen. Orang-orang yang tidak beragama berada pada peringkat ketiga dengan persentase 16 persen dari jumlah penduduk dunia, termasuk di antaranya mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, orang-orang sekuler, dan yang menyembunyikan keyakinannya. Yang menarik adalah setengah dari mereka ternyata percaya kepada Tuhan walaupun tidak meyakini agama mana pun. Agama Hindu berada pada peringkat keempat dengan jumlah pengikut sebanyak 14 persen dari jumlah penduduk dunia. Diikuti agama Buddha, agama tradisional Cina dan kepercayaan-kepercayaan tradisional masyarakat Afrika yang masing-masing memiliki jumlah persentase sebanyak 6 persen. Agama Sikh dengan 0,36 persen komunitasnya menempati peringkat berikutnya dan Yahudi ternyata menempati peringkat paling akhir dari daftar agama-agama dunia menurut jumlah pengikutnya. [icc-jakarta.com]

2Istilah samawiyah ini berasal dari konsep Islam, yang mengandungi makna sebagai agama yang berdasar kepada wahyu yang diturunkan Tuhan melaluii-nabi. Istilah ini juga merujuk kepada agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Secara harfiah samawiyah artinya adalah langit. Konteks makna kata ini adalah agama wahyu yang diturunkan dari langit, yaitu dari Allah. Di sisi lain ada pula istilah agama ardhiyah yaitu agama-agama yang muncul, tumbuh, dan berkembang di dunia ini. Faktor budaya dan peradaban manusia menjadi faktor utama tumbuhnya agama-agama ardhiyah ini.

3

mengucap dua kalimah syahadat, (b) melaksanakan salat, (c) melaksanakan puasa;

(d) menunaikan zakat; dan (e) melakukan ibadah haji bagi yang mampu.3

Selanjutnya dikenal pula rukun iman yaitu berupa keyakinan, yang terdiri

dari: (a) iman kepada Allah, yaitu patuh dan taat kepada ajaran dan hukum-hukum

Allah; (b) iman kepada malaikat-malaikat Allah, artinya mengetahui dan percaya

akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta; (c) iman

kepada kitab-kitab Allah, berupa melaksanakan ajaran kitab-kitab Allah hanif.

Salah satu kitab Allah adalah Al-Qur'an, yang memuat tiga kitab Allah

sebelumnya, yaitu kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil; (d) iman kepada Rasul-

rasul Allah, yaitu mencontoh perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menyebarkan

dan menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran, (e) iman kepada hari kiamat,

yaitu faham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan, dan (f) iman

kepada qada dan qadar. Paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan

Allah pada alam semesta.

Di lain sisi rukun iman berikut ini adalah menurut aliran Islam Syiah

(dikenal sebagai ushulluddin yaitu prinsip-prinsip keimanan) terdiri dari: (1) At-

tauhid yaitu keesaan Allah, (2) Al-adhalah yaitu keadilan Allah, (3) An-nubuwah

yaitu kenabian, (4) Al-imamah yaitu kepemimpinan pasca Nabi Muhammad

SAW., dan (5) Al-ma'ad. Aktivitas Islam secara umum dapat terlihat dari

pengamalan 5 (lima) rukun Islam yang wajib dilaksanakan sebagai bentuk rasa

3Dalam dunia sufi (tarekat) aktivitas-aktivtas ini disebut dengan syariat. Namun secara

umum, sufi apapun alirannya di dalam Islam, selalu menekankan bahwa ibadah tidak cukup hanya dengan mengerjakan syariat saja, namun harus lebih dalam dan bermakna dari sekedar aktivitas itu, yaitu dalam tingkatan tarekat, hakikat, dan makrifat. Peringkat pelaksanaan ibadah ini yang didasari oleh zikir adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

4

patuh kepada Allah dengan mencontoh segala amal perbuatan yang dilakukan

oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam mencontoh segala amalan yang dilakukan oleh Rasul tidak hanya

terbatas oleh bentuk pelaksanaannya secara lahiriah saja namun bentuk amalan itu

juga harus disertai dengan mencontoh rasa batiniahnya Rasul. Hal inilah yang

banyak menjadi perbincangan diberbagai aliran di dalam Islam tentang bagaimana

melakukan pendekatan tentang maksud dari tiap-tiap ayat yang terkandung dalam

Al-Qur’an dan Hadits, karena Al-Qur’an tidak hanya dapat dimaknai dengan arti

tersurat saja namun lebih jauh dari pada itu Al-Qur’an memiliki makna tersirat

yang lebih mendalam. Sebagai contoh dalam kitab suci Al-Qur’an mengatakan

bahwa orang-orang yang beruntung adalah orang yang bertawakal dan khusuk

dalam salatnya. Oleh karena itu berbagai aliran Tarekat dalam Islam mencoba

mendekatkan faham tentang rasa khusuk dan tawakal ini dalam aktivitas

peribadatannya.

Pengertian Tarekat4 sebagaimana yang berkembang di kalangan ulama

ahli tasawuf adalah “jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai

dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. dan yang

dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para sahabatnya, tabiin, tabiit tabiin, dan

4Penulisan tarekat ini adalah transliterasi dari kata dalam bahasa Arab, yaitu

Kata ini kadangkala dalam teks-teks berbahasa Indonesia atau Melayu yang ditulis dengan huruf Latin atau Romawi menjadi thoriqot, thoriqat, thariqot, tharikat, tariqat, dan tarekat itu sendiri. Dalam tesis ini penulis memilih tarekat seperti yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka Jakarta 1980. Untuk selanjutnya walaupun ini istilah dalam bahasa Arab penulis tidak menulisnya huruf miring (italic) dalam tesis ini karena pada bab ini dan seterusnya akan banyak mengulang kata tarekat, jadi cukup ditampilkan sekali saja. Begitu juga dengan penulisan kata munajat, yang ditulis huruf miring pada awal tampilanhnya saja.

5

secara turun temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama, secara bersambung

dan berantai hingga pada masa sekarang ini.” (Imron Abu Amar, 1980:1).

Sebuah contoh diketahui umum di dalam Islam bahwa di dalam Al-

Qur’an hanya dapat dijumpai adanya ketentuan kewajiban salat, tetapi tidak ada

satu ayat pun yang memberikan perincian tentang rakaat salat tersebut. Misalnya

salat Zuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, Maghrib 3 rakaat, Isya 4 rakaat, dan Subuh 2

rakaat. Demikian juga terhadap syarat dan rukunnya salat-salat wajib tersebut.

Rasulullah sebagai orang yang pertama yang memberikan contoh-contoh dan

cara-cara salat tersebut melalui perbuatan yang dipertunjukkan dan ditiru oleh

para shahabatnya terus dienkulturasikan kepada umat Islam lainnya dan

dikekalkan hingga sekarang ini melalui ajaran dan petunjuk yang diberikan oleh

para guru, syeikh, dan ulama.

Ini tidaklah ditafsirkan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok hukum

Islam tidak lengkap, sunnah Rasul dan ilmu fiqih yang disusun para ulama tidak

sempurna, tetapi sebenarnya masih banyak penjelasan yang dibutuhkan umat agar

pelaksanaan peraturan dan ketentuan Allah dan Rasulullah dapat dikerjakan secara

teratur, bukan menurut penerimaan atau penangkapan akal bagi orang yang hanya

mampu membaca, menghayati, dan memahami yang pada akhirnya orang ini akan

mengerjakan syariat Islam sesuai dengan kemauan hawa nafsunya sendiri.

Demikian landasan berpikir kaum Tarekat dalam Islam.

Selain itu, Tarekat adalah termasuk ke dalam ilmu mukasyafah, yang

dapat memancarkan cahaya ke dalam hati para penganutnya. Sehingga dengan

cahaya itu terbukalah segala sesuatu yang terdapat di balik rahasia ucapan-ucapan

6

Nabi Muhammad. Demikian pula halnya terhadap sesuatu yang ada di balik

rahasia Allah.

Adapun tujuan mengamalkan Tarekat sebagaimana yang lazim

dikerjakan oleh para jemaahnya, ada beberapa hal. Di antaranya adalah: (a)

mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu

(mujahadah), membersihkan diri dari sifat tercela dan diisi sifat terpuji, (b) selalu

mewujudkan rasa ingat kepada Allah melalui amalan wirid dan zikir diikuti

tafakur yang terus menerus dikerjakan, (c) timbul rasa takut kepada Allah

sehingga menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang

menyebabkan lupa kepada Allah, (d) akan dapat mencapai tingkat alam makrifat,

sehingga dapat mengetahui segala rahasia di balik tabir cahaya Allah dan Rasul-

Nya secara jelas, (e) dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup

ini (Imron Abu Amar, 1980:12-13).

Adapun landasan pengamalan Tarekat dalam Islam adalah mengutip

Surah Al-Jin ayat ke-16, seperti berikut ini.

Artinya: Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) Ayat ini oleh para ulama ahli Tarekat dijadikan pegangan hukum dasar

melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan. Meskipun masih ada sebahagian

orang yang menentang dijadikannya ayat ini sebagai dasar hukum Tarekat.

7

Kemudian dari sisi materi pokok amalan Tarekat yang berupa wirid

zikrullah (berzikir), sesuai firman Allah dalam Qur’an sebagai berikut.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah; zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya waktu pagi dan petang (Q.S. Al-Ahzab: 41-42)

Memperhatikan ayat di atas, maka dengan jelas Allah telah

memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk tetap senantiasa berzikir

dengan menyebut asma Allah. Kegiatan ini dilakukan sepanjang waktu, siang atau

malam, pagi atau petang.

Aliran Tarekat mendekatkan faham tersebut dengan melakukan berbagai

cara, mulai dengan melakukan tarian untuk merasakan gerakan jiwa, merasakan

ketentraman hati tatkala berzikir dan mengikhlaskan harta pada saat sedekah.

Semua ini dilatih agar dapat mencapai tingkat kepasrahan kepada Yang Maha

Pengasih. Walaupun sedikit kontroversial tetapi inilah jalan yang ditempuh oleh

para sufi agar dapat lebih ikhlas, sabar dan bersyukur akan nikmat yang diberikan

Allah SWT.

Di dalam konteks Dunia Islam, terdapat berbagai aliran Tarekat. Di

antaranya adalah Jabariyah, Samaniyah, Mauwaliyah (Mevlevi), Naqsyabandiah,

dan lain-lainnya. Inti ajarannya adalah sama secara umum, yakni mendekatkan

diri kepada Allah melalui zikir. Namun terdapat variasi-variasi dalam tata cara

pengamalannya.

8

Aliran Tarekat Naqsyabandiah adalah Tarekat dengan jalan melakukan

amalan dengan mengasingkan diri (berkhalwat) dari keramaian dan melakukan

zikir sampai ribuan kali setiap harinya. Mengasingkan diri ini dilakukan

mencontoh aktifitas yang dilakukan Rasul ketika menerima wahyu dari Allah

yang disampaikan oleh malaikat Jibril di gua Hira. Berdasarkan sejarah inilah

para penganut Tarekat Naqsyabandiah melakukan zikir di suatu tempat yang

dinamakan dengan suluk. Tarekat Naqsyabandiah ini salah satu yang terkenal di

Nusantara dan Dunia Islam adalah Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat,

Sumatera Utara, Indonesia.

Pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam ini, ada amalan-amalan berupa

zikir yang disebut suluk tadi, haul yaitu memperingati hari wafatnya Tuan guru

Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy, salat berjamaah, tausyiyah

(ceramah tau siraman rohani) agama oleh para ulama Tarekat ini, azan untuk

memulakan salat, penggunana nakus (kentongan) sebelum masuknya azan.

Yang menarik secara religius adalah bahwa di dalam Tarekat

Naqsyabandiah Babussalam ini terdapat aktivitas munajat. Secara etimologis

munajat artinya adalah doa atau permohonan doa, merupakan sesuatu yang tidak

bisa dipisahkan dari ritual ibadah oleh agama dan kepercayaan manapun. Melalui

perantaraan doa, setiap individu meminta kepada yang kuasa tentang segala hal

yang diinginkannya. Oleh karena meminta adalah suatu proses mengharapkan

akan sesuatu maka di dalam memanjatkan doa setiap individu, kelompok maupun

suatu agama tertentu memiliki aturan, persepsi, dan syarat yang dianggap wajib

dilakukan agar doa tersebut terkabulkan. Demikian pula halnya pada aliran sufistik

9

Tarekat Naqsyabandiah yang memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan

doanya.

Pelaksanaan munajat pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam sedikit

berbeda dengan pelaksanaan munajat pada umat Islam secara umum. Biasanya

pada masyarakat Islam umum, munajat tidak dilakukan dengan bersenandung

dan isi dari munajat secara langsung merupakan permohonan kepada Allah.

Namun pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam selain munajat tersebut

disenandungkan juga permohonan kepada Allah melalui perantaraan guru dan

syekh yang dianggap suci dan keramat.

Sudah menjadi kebiasaan sejak Desa Babussalam dibangun, apabila kira-

kira setengah jam lagi waktu Salat Maghrib, Subuh, dan Jum’at masuk, bilal5

mengumandangkan munajat di atas menara Madrasah besar dengan suara yang

merdu dan lantang. Demikian pula menjelang Isya pada bulan Ramadhan,

Munajat ini terdiri dari 44 (empat puluh empat) bait yang pada dasarnya

mengandung puji-pujian kepada Allah, doa mohon ampun dan kelapangan hidup

dunia akhirat dengan berkat Syekh-Syekh Tarekat Naqsyabandiah serta Wali-Wali

Allah yang keramat dan Saleh.

Syair-syair munajat diciptakan oleh tuan guru pertama yaitu Syekh4

Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy semasa hidupnya. Pembacaan

5Bilal adalah petugas keagamaan Islam yang mengumandangkan azan baik di dalam

mesjid atau di atas menara (minaret), sebagai indeks atau tanda akan masuknya sholat wajib atau sunat lainnya seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Istilah bilal ini adalah merujuk kepada nama pengumandang azan Islam yang pertama kali yaitu Bilal bin Rabba. Istilah bilal juga disinonimkan dengan istilah muazin, yang maknanya adalah pengumandang azan (pertanda akan sholat). Umat Islam dalam membuat tanda akan segera masuk ibadah sholat ini adalah melalui azan. sedanagkan umat Kristiani tanda masuknya ibadah melalui bunyi lonceng gereja. Kemudian umat Yahudi memberi tanda masuknya ibadah di synagog melalui tiupan terompet.

10

munajat ini dimulai sejak masa kampung Babussalam pertama kali didirikan yaitu

pada tanggal 15 Syawal 1300 H dimana Syekh Abdul Wahab dengan keluarga

serta murid-muridnya yang berjumlah 130 (seratus tiga puluh) orang Hijrah

dengan menggunakan 13 (tiga belas) perahu ke daerah tersebut.

Di Tarekat Naqsyabandiah Babussalam, istilah munajat mengacu kepada

2 (dua) pengertian yaitu munajat sebagai senandung yang dibacakan setiap hari

diatas menara madrasah menunggu waktu salat tiba yang dilakukan bergantian

oleh 3 (tiga) sampai 4 (empat) orang dan yang kedua munajat yang dibacakan

sebelum ritual zikir di dalam suluk dimulai.

Keunikan yang ada dalam pembacaan munajat ini menjadikan munajat

menjadi salah satu ciri khas dari Tarekat Naqsyabandiah Babussalam. Pembacaan

munajat ini tetap dilakukan bukan saja di Babussalam namun di Masjid dan surau-

surau yang jamaahnya menganut faham Tarekat ini akan mengumandangkan

munajat untuk menunggu waktu salat subuh, Maghrib dan salat Jum’at tiba.

Budaya pembacaan munajat ini bagi masyarakat Naqsyabandiah menjadi

penting karena disamping sebagai wujud kepatuhan murid kepada sang guru yang

menganjurkannya juga munajat merupakan perwujudan tradisi kepercayaan yang

telah dibangun oleh ajaran Tarekat ini ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang

lampau yang disebut dengan rabhithah dan wasilah.

Pembacaan senandung munajat telah dilakukan berulang kali pada setiap

harinya di madrasah Babussalam, namun sejauh pengamatan penulis belum ada

suatu panduan tentang peraturan dalam pembacaan senandung munajat ini bila

ditinjau dari aspek melodinya.

11

Anggapan sementara penulis munajat sangat berhubungan erat dengan

tradisi budaya seni dan sastra. Hal ini dapat terlihat dari modus melodi yang

digunakan tatkala menyenandungkannya maupun dari unsur sastra dalam

penggunaan kata dalam syairnya. Didalam menyenandungkannya Munajat

menggunakan aspek musikal Melayu yang dipengaruhi oleh unsur tekhnik vokal

Arabian seperti modus atau maqam rast, sika, nahwa, dan hijaz. Demikian pula

bila ditilik dari penggunaan kata dan sastranya yang digunakan tidak terlepas dari

pengaruh budaya sastra Melayu dan unsur filosofi Tarekat Naqsyabandiah.

Keberadaan munajat dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah

Babussalam Langkat ini menarik dilihat dari berbagai fenomenanya. (a) Munajat

adalah doa yang disenandungkan dan diciptakan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab

Rokan, yang menguasai dua aliran Tarekat yaitu Naqsyabandiah dan Samaniyah

sekali gus, namun yang dikembangkannya di Babussalam Langkat adalah Tarekat

Naqsyabandiah. (b) Munajat di dalam kelompok Tarekat ini disajikan dengan

menggunakan bahasa Melayu, artinya munajat ini dibumikan dengan cara Melayu,

bukan cara Arab atau Gujarat. (c) Munajat yang dikumandangkan menjelang azan

pada Salat Maghrib, Subuh, dan Jum’at, menggunakan ornamentasi melodi

Melayu dan tangga nada (maqam yang khas Timur Tengah) dan ornamentasi

melayu yaitu patah lagu, cengkok, dan gerenek. (d) Bahwa munajat yang terdapat

dalam Tarekat ini mengutamakan sajian teks (logogenik)6 artinya komunikasi

6Yang dimaksud logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia, yang

ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukkan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang

12

utama adalah secara verbal yang sesuai dengan konsep budaya Melayu, yaitu yang

kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi, yang indah bahasa. (e) Bahwa

dalam munajat ini, unsur estetika juga memainkan peranannya setelah unsur

tekstual, unsur estetika ini mencakup aspek sastra seperti unsur syair, rima

(persajakan), bait, baris, makna teks, dan lainnya. Juga adanya unsur melodis

seperti patah lagu, cengkok dan gerenek, tangga nada, variasi individu

pengumandang munajat, dan lainnya. (f) Bahwa munajat merupakan ekspresi

budaya Melayu dalam konteks agama Islam, yang merupakan hasil adunan

Melayu dan Timur Tengah.

Dengan keberadaanya yang seperti itu, maka munajat ini menarik untuk

dikaji dari sisi ilmu seni budaya dan ilmu agama Islam. Dalam hal ini, penulis

menggunakan ilmu etnomusikologi dan agama Islam khususnya tentang Tarekat

yang disebut dengan ilmu tasawuf. Untuk itu perlu diulas sekilas tentang apa itu

etnomusikologi dan ilmu-ilmu dalam agama Islam yang mengkaji Tarekat.

Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau

gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi (antropologi) dan musikologi.

Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam

perkembangan etnomusikologi. Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain,

katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan yang menarik.

digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Adakalanya bersifat rahasia seperti pada mantea. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan kepada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi, atau bunyi-bunyia lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang dapat ditelusuri melalui pikiran mereka (lihat Malm, 1977).

13

Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi selalu dipergunakan dalam

mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya

sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi

kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian yang menyatu dari suatu dunia

yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).7

Dari kutipan paragraf di atas, menurut Merriam para pakar

etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian

ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang

7Buku ini menjadi “bacaan wajib dan mendasar” bagi para pelajar dan mahasiswa

etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “buku wajib” dalam disiplin etnomusikologi seluruh dunia.

14

terpisah, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan

kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua

disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu

bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme

lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya--

seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu

sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan

musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai

bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Pada saat yang sama,

beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika,

yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi terhadap

aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan

melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan

etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian

struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik

dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan

kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat

kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan

Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi

etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,

pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya

dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah

15

yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja.

Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari

dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi

penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat

persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks

kebudayaannya.

Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan

dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi berbahasa Indonesia,

Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari

Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan

berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk

Etnomusikologi, 1995, yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.

Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 (empat puluh dua) definisi

etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh

Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.8

8R. Supanggah, 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni

Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan

16

Dari 42 (empat puluh dua) definisi tentang etnomusikologi dapat

diketahui bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu

musikologi dan antropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan

interdisiplin. Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial

sekaligus, merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya

mengkaji manusia yang melakukan musik sedemikian rupa itu. Walau awalnya

mengkaji budaya musik non-Barat, namun sekarang ini semua jenis musik

menjadi kajiannya namun jangan lepas dari konteks budaya. Dengan demikian,

masalah definisi dan lingkup kajian etnomusikologi sendiri akan terus

berkembang dan terus diwacanakan tanpa berhenti.

Mengapa penulis mengambil disiplin ilmu ini dalam mengkaji

keberadaan munajat di kelompok Tarekat Naqsyabandiah dengan menggunakan

disiplin etnomusikologi adalah dilandasi oleh beberapa hal. (a) Sebagai sebuah

aktivitas keagamaan munajat Tarekat ini mengandung unsur-unsur musikal

melodi (yang kemudian dapat lagi dirinci menjadi tangga nada, bentuk melodi,

frase melodi, motif melodi, densitas, frekuensi, dan lainnya) yang merupakan

wilayah kajian etnomusikologi. (b) Demikian pula munajat ini mengandung unsur

syair yang juga merupakan wilayah kajian etnomusikologi yang sering disebut

dengan kajian tekstual. Unsur-unsur syair ini meliputi bait, baris, rima atau

persajakan bunyi, jumlah kata per baris, makna denotasi dan konotasi, dan hal-hal

sejenisnya. (c) Munajat juga diciptakan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan, yaitu

buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

17

dalam konteks budaya Melayu. Jadi munajat ini sangat menarik untuk distudi

yakni pertunjukan dalam konteks budayanya sebagaimana yang biasa dilakukan di

dalam disiplin etnomusikologi.

Namun demikian, untuk mengkaji munajat dalam konteks dunia Tarekat

atau sufisme, maka dalam tesis ini penulis menggunakan ilmu-ilmu dan

pendekatan tasawuf yang lazim digunakan dalam mengkaji keberadaan Tarekat di

dalam Dunia Islam. Untuk itu perlu dijelaskan apa itu ilmu tasawuf.

Tasawuf (tasawwuf) atau sufisme (bahasa Arab: تصوف) adalah ilmu

untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak,

membangun lahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf

pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan

dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai

aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Suni, cabang Islam yang

lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran sufi muncul di Timur

Tengah pada abad ke-8. Sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan

dunia.

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata sufi. Pandangan yang

umum adalah kata itu berasal dari suf, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada

jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi

mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan

bahwa akar kata dari sufi adalah safa, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh

penekanan pada sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan

bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.

18

Kelompok lain dalam Islam menyarankan bahwa etimologi dari sufi

berasal dari ashab al-suffa ("sahabat beranda") atau ahl al-suffa ("orang-orang

beranda"), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi

Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi,

mendedikasikan waktunya untuk berdoa.

Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf,

apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber

mengatakan bahwa ilmu tasawuf sangatlah membingungkan. Sebagian pendapat

mengatakan bahwa faham tasawuf merupakan faham yang sudah berkembang

sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Orang-orang Islam baru di daerah

Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang

yang memeluk agama non-Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski

sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri

dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh

kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam kehidupannya

sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu

mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat

sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya

dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut faham tersebut. Itulah

sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme, atau paham

tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.

Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf

berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa),

19

dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa. Mereka dianggap sebagai penanam

benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Pendapat

lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di

zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena

faktor politik. Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan

perebutan kekuasaan ini terus berlangsung di masa khalifah-khalifah sesudah

Utsman dan Ali. Muncullah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka

menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan

busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah, yaitu menarik diri dari hingar-bingar

masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah

gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad

kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-

Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.

Ilmu tasawuf ini didefinisikan oleh beberapa pakar. Tasawuf

yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan

ajaran Yoga di India (G.B.J. Hiltermann & Van De Woestijne). Tasawuf adalah

aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (C.B. Van

Haeringen).

Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan

untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para

muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama,

kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai

menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995).

20

Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abdil Wahhab Al-Sha'rani

mendefinisikan sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan

Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang

tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit

dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra, Kairo, 1374).

Sufisme yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok

kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua

yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt),

manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali

bersatu dengan Dia (J. Kramers Jz).

Al-Qur’an pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun

kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun

dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung

perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam

sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti

ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan

dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing.

Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian

diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang

sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama

Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan

masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat

kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan.

21

Keyakinan dan gerak-gerik (akibat faham mistik) ini makin hari makin luas

mendapat sambutan dari kaum muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli

dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang

pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi

dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Abubakar

Aceh, 1980).

Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan

yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2)

Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non

Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan

ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam.

Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak

sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980).

Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka

mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (shuuf), maka mereka disebut

dengan sufi. Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan

bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy

Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran sufi

periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang

keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini

mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita

tidak pernah melihat asal usul ajaran sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat

manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para sahabatnya yang mulia,

22

serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan

sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran sufi ini diambil dan diwarisi dari

kerahiban Nasrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Budha"( Ruwaifi’

bin Sulaimi dalam buku At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, 1981:28).

Tokoh-tokoh yang mempengaruhi tasawuf Nusantara pada masa

perkembangan awal Islam yaitu: Hamzah Al-Fansuri, Syekh Abdurrauf As-

Sinkili, dan Syekh Yusuf Al-Makasari, Syekh H. Muhammad Yusuf

Minangkabau, dan Syekh Abdul Wahab Rokan. Kemudian pada masa

kemerdekaan muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti: Syekh Abdullah Mubarok bin

Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dan

Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, serta yang lainnya.

Adapun tokoh-tokoh tasawuf yang berpengaruh di Cirebon di

antaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan

sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati, Syekh

Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, Syekh

Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan

para ulama diSrengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng,

Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi

guru dari Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul

Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten

Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain.

Jadi dapat dikemukakan bahwa ilmu tasawuf atau sufi dalam

agama Islam adalah salah satu ilmu tentang kerohanian atau kebatinan yang

23

berdasar kepada zikir untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu tasawuf menjadi

pemerkaya batin kepada umat Islam yang mengamalkannya.

Berdasarkan latar belakang keberadaan Tarekat Naqsyabandiah

Babussalam Langkat seperti terurai di atas dan pendekatan keilmuan yang akan

dilakukan, maka penulis membuat judul penelitian ini: Munajat dalam Tarekat

Naqsyabandiah Babussalam Langkat: Kajian terhadap Fungsi, Makna Teks, dan

Struktur Melodi.

1.2 Pokok Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, sebenarnya keberadaan

munajat pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat ini, dapat dikaji

melalui berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu ushuluddin agama Islam, ilmu

psikologi, sosiologi, linguistik, sejarah, dan lain-lainnya. Namun demikian seperti

sudah penulis kemukakan sebelumnya, dalam tesis ini penulis mendekatkan kajian

pada disiplin seni dan ilmu tasawuf. Disiplin seni yang utama pun adalah

etnomusikologi. Ini bertujuan untuk dapat memperdalam kajian estetikanya yang

dilatar belakangi keberadaan munajat dalam lingkungan Tarekat dan agama Islam

yang lebih luas yaitu mencakup persebarannya di Dunia Islam. Selain itu, kajian

terfokus ini, adalah mempertimbangkan latar belakang keilmuan penulis yang

dalam strata satu berpendidikan sebagai ilmuwan pendidik seni musik. Tentu saja

pendekatan ini tidak lupa menggunakan multidisiplin dan interdisiplin ilmu,

sebagaimana yang lazim dianjurkan dalam penelitian-penelitian di bidang ilmu-

ilmu seni.

24

Untuk memfokuskan kajian dan penyelesaian masalah, maka penulis

dalam tesis magister ini perlu dilakukan pembatasan masalah agar menghindari

pembahasan yang mengambang dan menyimpang. Adapun yang menjadi pokok

masalah yang diteliti adalah sebagai berikut.

(1) Pokok permasalahan pertama adalah bagaimana fungsi munajat dalam

kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat? Pokok masalah ini

nanti akan dikaji meliputi guna munajat dan fungsinya. Guna melihat dari sisi

praktisnya, sedangkan fungsi melihat dari perspektif sosiobudaya yang lebih

luas, terintegrasi dan mendalam.

(2) Pokok masalah yang kedua adalah apa-apa saja makna yang terkandung

dalam teks (syair) munajat dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah

Babussalam Langkat? Dalam pembahasan penelitian ini, maka pokok

masalah ini akan mencakup aspek struktural dan makna semiosis, yang

mencakup seperti jumlah bait teks munajat, jumlah baris dalam satu bait,

jumlah kata dalam satu baris dan bait, suku kata per baris, penggunaan aspek

estetika seperti rima atau persajakan bunyi akhir baris, intonasi, makna

konotasi, makna denotasi, lambang, ikon, indeks, dan hal-hal sejenis.

(3) Pokok masalah yang ketiga adalah bagaimana struktur melodi munajat yang

dipraktikkan dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat

yang ada pada saat ini? Pokok masalah ini akan diurai dengan parameter

seperti tangga nada (maqam), wilayah nada, nada dasar, persebaran interval,

formula melodi, pola-pola kadensa, kontur, dan hal-hal sejenis. Kajian ini

diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas tentang identitas musikal

25

yang terkandung di dalam munajat, yang menyatu dan terintegrasi dengan

sistem estetika Islam atau tasawuf.

Selain ketiga pokok masalah di atas, di dalam tesis ini juga akan dibahas

beberapa masalah lainnya, yang dipandang dapat mengungkapkan dan membantu

menjawab tiga pokok masalah di atas. Di antara pokok masalah tambahan lainnya

adalah: Bagaimana sejarah tumbuh dan berkembangnya Tarekat Naqsyabandiah

atau persulukan di Desa Besilam (Babussalam) Langkat ? Pokok masalah ini

dibuat untuk dapat mengungkap sejarah tumbuh dan berkembangnya Tarekat ini

dari dimensi ruang dan waktu yang dilaluinya. Selain itu juga akan dikaji tentang

biografi ringkas guru pendiri Tarekat ini yaitu Syekh Abdul Wahab Rokan, yang

berlatarbelakang sebagai orang Melayu dan jiwa kemelayuan yang juga tercermin

dalam munajat ciptaan beliau. Begitu juga dengan guru-guru penerusnya, yang

akan dikaji secara singkat saja, tidak mendalam.

Pokok masalah tambahan lainnya adalah bagaimana bentuk penyajian

atau pertunjukan munajat di dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah

Babussalam Langkat? Masalah ini akan memberikan atau mendeskripsikan

jalannya penyajian munajat dari sejak awal, hingga akhir menjelang azan dan salat

maghrib, Subuh, dan Jum’at. Masalah ini akan membahas siapa penyajinya, di

mana disajikan, bagaimana menyajikannya, bagaimana respons atau umpan balik

para jemaahnya, dan hal-hal sejenis.

Dengan menentukan pokok masalah seperti ini diharap akan dapat

mengungkap secara jelas tiga pokok masalah di atas. Penelitian ini juga

26

diharapkan akan memberikan wawasan keilmuan yang lebih terurai jelas dalam

lingkup disiplin seni dan agama sekaligus.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah

seperti uraian berikut ini.

1. Memahami guna dan fungsi munajat dalam komunitas Tarekat

Naqsyabandiah Besilam (Babussalam) Langkat.

2. Memahami makna-makna teks munajat ciptaan Syekh Abdul wahab Rokan,

yang disajikan sebelum azan pada salat Subuh, maghrib, dan Jum’at.

3. Mengetahui dan mengerti bagaimana struktur melodi munajat yang disajikan

yang mengandung unsur musikal Melayu dan Arab (Timur Tengah).

Selain itu penulisan tesis ini bertujuan untuk dapat mengungkapkan

tumbuh dan berkembangnya Tarekat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat,

berdasarkan dimensi waktu dan ruang yang dilaluinya. Tujuan lainnya adalah

memahami bagaimana bentuk penyajian atau pertunjukan munajat didalam

kelompok Tarekat Naqsyabandiah

1.3.2 Manfaat Penelitian

27

Sesuai dengan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian

diatas, manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu sumber informasi tentang salah satu kesenian ritual

keagamaan dalam bentuk vokal yang ada di Langkat Sumatra Utara.

2. Sebagai usaha melestarikan seni budaya Islam, khususnya bagi masyarakat

pendukungnya.

3. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan tentang kebudayaan seni

ritual Islam.

4. Sebagai sarana untuk memperkenalkan seni Tarekat di kalangan sivitas

akademika perguruan tinggi baik dalam lingkup daerah, nasional, atau

internasional.

5. Sebagai salah satu bahan saintifik pendukung untuk pengembangan metode

dan teori dalam bidang ilmu-ilmu seni, khususnya etnomusikologi dan seni

dalam agama, karena ilmu harus terus dikembangkan sesuai dengan

peredaran zaman.

6. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Magister

(S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara di Medan.

7. Sebagai bahan awal untuk kajian ilmu-ilmu seni dan agama dalam perspektif

yang lebih luas, seperti dalam konteks Indonesia, Dunia Melayu, Dunia

Islam, dan perbandingan antar agama yang mempraktekkan hal-hal yang

sejenis dengan munajat ini.

1.4 Tinjauan Pustaka

28

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan

studi kepustakaan. Ini dilakukan dengan cara mencari literatur yang berhubungan

dengan penelitian ini. Adapun yang menjadi tujuan dari studi kepustakaan ini

adalah untuk mendapatkan dasar-dasar teori yang mampu menelaah pokok

masalah, berdasar literatur-literatur tersebut dalam lingkup penelitian pengkajian

dan penciptaan seni. Kemudian memetakan sejauh apa para peneliti terdahulu

mengkaji keberadaan praktik religi munajat dan sejenisnya ini. Tujuan lainnya

adalah untuk menghindari penelitian yang tumpang tindih.

Sepanjang pengetahuan penulis, dari hasil penelitian pustaka yang

dilakukan menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada kajian yang berkenaan

dengan munajat Naqsyabandiah ditinjau dari aspek kajian fungsi, makna teks, dan

struktur melodi munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah di Dunia Melayu,

termasuk di Babussalam Langkat, Sumatera Utara.

Untuk mendukung pengetahuan dan pemahaman penulis dalam

membahas permasalahan yang ada, maka penulis mempergunakan penelitian-

penelitian atau penulisan terdahulu sebagai acuan. Adapun bahan-bahan acuan

tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Buku Sejarah Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam oleh H. Ahmad

Fuad Said. Buku yang berhalam 190 ini, menceritakan tentang sejarah

Tarekat Naqsyabandiah serta perjuangan Tuan guru Babussalam dalam

mengembangkan ajarannya serta perjuangannya pada masa penjajahan. Serta

silsilah yang dipergunakan dalam Tarekat ini yang nantinya menjadi acuan

dalam membahas mengenai syair yang digunakan dalam munajat.

29

2. Buku yang bertajuk Hakekat Tarekat Naqsyabandiah yang ditulis oleh H.

Ahmad Fuad Syaid, diterbitkan di Babussalam Langkat oleh Pustaka

Babussalam, 1989. Buku yang terdiri dari 211 (dua ratus sebelas) halaman

dan dibagi ke dalam 18 (delapan belas) bab ini, memberikan wawasan yang

mendalam, bagaimana orang-orang dalam Tarekat Naqsyabandiah

Babussalam Langkat menilai dan mengekspresikan ide-ide keagamaannya

dalam konteks pelaksanaan Tarekat. Buku ini sangat membantu melihat dari

sisi pandangan orang dalam (insider), agar peneliti tidak terjebak dalam

tafsiran yang menurut persepsi peneliti sendiri. Buku ini memberikan data

yang diperlukan dalam konteks studi dengan teori etnosains atau grounded

theory.

3. Seterusnya buku yang bertajuk Mengenang Kembali Syekh Fakih Tambah,

yang ditulis oleh Sulaiman JWR, tahun 2002, yang diterbitkan di

Babussalam. Buku ini memberikan gambaran tentang Syekh Fakih Tambah,

sebagai seorang tokoh ulama, pemimpin agama, dan ahli tasawuf. Beliau

adalah putra Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Kholidi Naqsabandi, Tuan Guru

Mursyid dan Nazir Babussalam langkat, Sujmatera Utara, Indonesia. Buku ini

memberikan pengetahuan lebih jauh bagaimana kontinuitas yang dilakukan

keturunan Syekh Abdul Wahab Rokan ini dalam mengelola kelompok

Tarekat ini.

4. Buku berbahasa Inggris, Sufi Expressions of the Mystic Quest oleh Laleh

Bakhtiar. Buku ini memandu penulis untuk lebih mengenal bentuk-bentuk

seni sufistik Islam. Bahwa Islam sebagai sebuah agama besar memiliki sisi-

30

sisi spritualitas dalam seninya, yang memiliki berbagai genre, khususnya

sebagai sen sufistik.

5. Buku Sastra Melayu Sumatra Utara oleh Muhammad Takari Bin jilin

Syahrial dan Fadlin Bin Muhammad Dja’far. Dalam buku ini, Takari dan

fadlin menguraikan secara mendalam bagaimana keberadaan sastra Melayu

yang terdapat di Sumatera Utara, seperti sinandong, syair, gubang, pantun,

gurindam, nazam, talibun, seloka, dan lain-lainnya dengan pendekatan

multidisiplin ilmu. Buku ini membantu penulis dalam mengenal sastra

Melayu dan menelaah permasalahan-permasalahan dalam memaknai maksud

dari syair munajat.

6. Psikologi Komunikasi oleh Jalaluddin Rakhmat. Buku ini berisikan hal-hal

yang dikomunikasikan oleh suatu kelompok kepada masyarakat serta

bagaimana bentuk komunikasi tersebut mempengaruhi perilaku manusia.

Buku ini membantu penulis untuk memahami bagaimana penerimaan pesan

komunikasi dan komunikasi yang terjadi pada saat disajikannya munajat

menjelang azan dan salat Maghrib, Subuh, dan Jum’at di dalam kelompok

Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat.

7. Selanjutnya buku Bersufi Melalui Musik oleh Abdul Muhaya. buku ini

menjelaskan tentang tingkatan spiritualitas dalam mendengarkan musik dan

pembagian derajat sufi dalam mendengarkan musik serta beberapa pandangan

Islam tentang musik. Bagi kalangan sufi, musik (al-sama’) merupakan alat

stimulus Ilahiah yang dapat meningkatkan kecintaan mereka kepada Allah.

Melalui kecintaan yang kuat, seorang sufi akan sampai kepada derajat wajd

31

(ekstasi). Ini adalah sebuah peristiwa suatu perasaan yang ditimbulkan oleh

rasa cinta yang sungguh-sungguh kepada Sang Khalik (Allah Subhana

Wata’ala) dan kerinduan untuk selalu bertemu dengan Allah. Buku ini

memberikan wawasan yang luas tentang bagaimana memandang dan

mengkaji seni musik dalam dunia tasawuf dalam Islam.

8. Buku Mutiara Al-Qur’an dalam Kapita Selecta oleh Kadirun Yahya. Buku

ini membantu penulis untuk lebih mengerti dan memahami tentang

terminologi yang lazim digunakan di kalangan sufi yaitu wasilah rabithah

dan adab dalam melakukan Suluk serta sudut pandang ilmiah metafisika

tasawuf.

9. Selanjutnya buku Sejarah Teori Antropologi Budaya oleh J.Van Baal. Buku

ini banyak membantu penulis dalam mencari teori yang berhubungan dengan

agama sebagai gejala budaya. Buku ini memberikan ilmu pengatahuan

kepada penulis tentang bagaimana pendekatan secara budaya terhadap

fenomena-fenomena agama sebagai sebuah realitas budaya dan sosial.

10. Dalam rangka kajian pustaka terhadap munajat ini dalam perspektif

etnomusikologi, penulis membaca buku William P. Malm, 1977. Music

Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey, Englewood Cliffs:

Prentice Hall; serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, William P.

Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialih

bahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara

Press. Buku ini di salah satu babnya mengkaji secara umum budaya musik

Islam di Timur Tengah, yang umum menggunakan istilah-istilah seperti

32

maqam, maqamat, datsgah, iqa’at, huda, qasidah, dan sejenisnya sebagai

identitas musik Islam.

11. Penulis juga membaca skripsi sarjana etnomusikologi yang ditulis oleh

Makhmud Hasbi, 1993. Studi Komparatif terhadap Aspek-aspek Muzikal

dalam Penyajian Azan oleh Empat Muazin di Kotamadya Medan. Skripsi

Sarjana Muda Seni, di Bidang Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas

Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini memberikan pengetahuan kepada penulis

tentang bagaimana azan dipraktikkan oleh masyarakat Islam di Sumatera

Utara dengan ciri ornamentasinya. dari skripsi ini juga penulis akan melihat

gaya munajat yang disajikan di dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah

Babussalam Langkat.

12. Demikian pula untuk melihat aspek estetis melodi munajat, penulis membaca

skripsi sarjana seni Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU Medan, yang

ditulis oleh Elydawati Pasaribu, 1993. Tradisi Musik Vokal Marhaban dalam

Upacara Menabalkan Anak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli

Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Skripsi ini juga nmemberikan pengetahuan tentang bagaimana secara musikal

marhaban dan barzanji disajikan dalam kebudayaan masyarakat muslim di

Sumatera Utara.

13. Selanjutnya penulis menggunakan halaman web www.maqomword.com.

Situs ini membantu penulis dalam menganalisis maqam yang dipergunakan

dalam pembacaan senandung munajat serta pembagian pembagian frase

dalam kalimat lagu.

33

1.5 Konsep dan Landasan Teori

1.5.1 Konsep

Dalam rangka memperjelas makna-makna peristilahan yang digunakan

dan berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan apakah

konsep dan teori itu. Penulis mengunakan ini agar tidak terjadi pendistorsian

makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari

peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, 2005:588).

Dalam penulisan tesis ini konsep yang akan diuraikan adalah

tentang: (1) munajat, (2) kajian, (3) fungsi, (4) teks, dan (5) struktur melodi.

Konsep ini terutama mengacu kepada pandangan para ahli di dunia ilmu

pengetahuan seni dan dari kalangan Tarekat Naqsyabandiah itu sendiri.

(1) Munajat secara etimologi berarti Doa atau permintaan kepada Allah.

Dalam Tarekat Naqsyabandiah dikenal ada 2 (dua) macam munajat yang dikenal

yaitu: (1) Munajat yang dibacakan setiap melakukan ritual zikir dalam bersuluk

yang berisi kalimah “ilahi anta maksudi waridho kamaklubi” yang artinya adalah

Allah yang dimaksud/dituju dan ridho yang diharapkan. (2) Munajat yang

dikumandangkan setiap hari sebelum Azan Salat Subuh, Maghrib dan Salat

Jum’at yang diciptakan oleh tuan guru Babussalam pertama Syekh Abdul Wahab

Rokan Naqsyabandy yang terdiri dari 44 (empat puluh empat) bait. Adapun

pemaksudan dari munajat yang akan dibahas dalam tesis ini adalah munajat yang

terdiri dari 42 (empat puluh dua) bait tuan guru di atas. Dalam Kamus Umum

34

Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta munajat berarti bergaul dengan tuhan

dalam doa (berdoa dalam batin).

Tarekat menurut pengertian bahasa berarti jalan, aliran, cara, garis,

kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama.

Berasaskan tiga huruf yaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang

menyatakan bahwa huruf Ta bererti Taubat, Ra berarti Redha dan Qaf berarti

Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tarekat ialah Taraiq atau Turuq yang berarti tenunan

dari bulu yang berukuran 4 (empat) hingga 8 (delapan) hasta dan dipertautkan

sehelai demi sehelai. Tarekat juga berarti garisan pada sesuatu seperti garis-garis

yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tarekat ialah

tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.

Menurut al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ta'rifaat: "Tarekat adalah jalan

yang khusus bagi ahli salikin (orang yang berjalan) menuju kepada Allah dengan

melalui berbagai rintangan dan peningkatan berbagai makam." (Al-Jurjani,

Ta'rifaat H: 94).

Naqsyabandiyah adalah nama salah satu Tarekat dari sahabat rasullullah

Abu Bakar Siddik Ra dan didirikan oleh Sayyid Shah Muhammad Bahauddin

Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah pada bulan Muharram tahun 717

Hijrah bersamaan 1317 Masehi yaitu pada abad ke 8 (delapan) Hijrah bersamaan

dengan abad ke 14 (empat belas) Masehi di sebuah perkampungan bernama

Qasrul ‘Arifan Bukhara. Naqsyabandiah terdiri dari 2 kata : Naqs berarti lukisan,

ukiran, peta atau tanda. Band berarti terpahat, terlekat, tertampal atau terpatri.

Naqsyaband berarti “ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan

35

kalimah Allah Subhana Wa Ta’ala dihati sanubari sehingga benar-benar terpahat

dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah.

(2) Konsep mengenai kajian. Istilah ini berasal dari kata analisa atau

analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk

mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah

yang di mulai dengan dugaan akan sebenarnya (Poerwadarminta dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 2005).

(3) Selanjutnya yang dimaksud fungsi menunjuk pada bagian yang

dimainkan dalam sebuah sistem. Fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan

dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel

lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki

peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam

satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada

pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang

variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439).

(4) Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik Teks adalah naskah

yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal

ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran,

berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud

dengan teks adalah lirik munajat yang diciptakan oleh Syekh Abdul Wahab

Rokan. Teks ini ada yang strukturnya berdasarkan syair dalam kebudayaan

36

Melayu. Syair sendiri adalah salah satu genre sastra tradisi Melayu yang dalam

satu bait terdiri dari empat baris, menggunakan rima, dan kesemuanya adalah isi.

Syair dalam budaya Melayu dibawa pertama kali oleh Hamzah Fansuri abad ke-13

(Takari dan Fadlin, 2010:45).

(5) Yang dimasud dengan struktur melodi adalah sebagai berikut.

Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang

berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan

dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan

struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa

saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-

lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja.

Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya

(Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam

kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada

struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada,

nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-

pola kadensa, dan kontur melodi.

1.5.2 Teori

Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan

pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi

(Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

37

2005:1177). Dalam pelaksanaannya, terutama untuk mencapai tujuannya,

penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan

prosedur pemecahan masalah yang relevan yaitu sebagai berikut.

(1) Untuk menganalisis fungsi dan guna munajat di dalam komunitas

Tarekat Naqsyabandiah, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut

Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala

aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari

sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh

kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi

karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap

keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk

tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi

dari beberapa macam human need itu. Dengan paham ini seorang peneliti bisa

menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan

kebudayaan manusia.9

Selaras dengan pendapat Malinowski, munajat dalam komunitas Tarekat

Naqsyabandiah Babussalam Langkat, Sumatera Utara, timbul dan berkembang

karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri

masyarakatnya. Munajat timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin

memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan dan keagamaan. Namun

9Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang

fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi begitu mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).

38

lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti

integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat

dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,

sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian,

Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu

masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas

kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan

fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti

yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, munajat bisa dianggap

sebagai bahagian daripada struktur sosial masyarakat Tarekat Naqsyabandiah.

Pertunjukan munajat adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang

kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi

kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh

adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian

39

kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai-bagai kondisi sosial dan budaya dalam

masyarakat Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat.

Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktikal

dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk

kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi

yang dapat menghibur diri, dan (3) sebagai penyajian estetika (1995). Selaras

dengan pendapat Soedarsono, munajat mempunyai fungsi sosial, ungkapan

perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika.

Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba

menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam

membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan

fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah

sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti

terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita

menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat,

sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan

adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan

aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan

pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.Music is used in certain

situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper

function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may

be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the

supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular

40

mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer,

organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is

enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted

as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them,

refers to the situation in which music is employed in human action; “function”

concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose

which it serves. (1964:210).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian

penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam

sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi

bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam.

Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan

untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai

perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu

untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, dan berumah tangga dan

pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang

menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme

tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,

mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan”

menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan

“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama

tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan

demikian, sejalan dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan

41

dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan

konsistensi internal budaya.

(2) Untuk mengkaji makna teks yang terkandung di dalam munajat,

penulis menggunakan teori semiotik. Untuk menganalisis makna yang

terkandung dalam teks munajat menggunakan teori semiotika yaitu teori

Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce,

seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem

yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image)

atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa

mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika itu adalah

seperti yang dijabarkan berikut ini.

Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified.

Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic

42

concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians.

This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.

Modem semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.

Semiotik adalah “ilmu” yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.

Karena manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai

gejala sosial budaya dan alam. Tanda adalah bagian dari kebudayaan manusia.

Dengan demikian, semiotik adalah “ilmu” yang dapat digunakan untuk mengkaji

tanda dalam kehidupan manusia. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya,

sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap

oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek

lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek

kedua terkandung di dalam aspek pertama. Penanda terletak pada tingkatan

ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi,

huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada

tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan.

Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan teori semiotik yang ditawarkan empat orang pakarnya.

43

(A) Semiotik Charles Sanders Peirce. Peirce mengemukakan teori

segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni

tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik

yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang

merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut

Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang

muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan

sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda

adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk

tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323).

Bagan 1.1 Segitiga Makna

Objek

Representamen Interpretan

Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis

menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya

mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan

sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam

mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala

sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan

jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan

pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan

1.3 berikut.

Bagan 1.2 Pembagian Tanda

Ground/ representamen : Objek/ referent: yaitu apa Interpretant: tanda-tanda

44

tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.

yang diacu. baru yang terjadi dalam batin penerima.

Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.

Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.

Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.

Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.

Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.

Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.

Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.

Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.

Sumber: Erni Yunita (2011)

45

Bagan 1.3 Hubungan Tanda

Sumber: Erni Yunita (2011)

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang

yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau

makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari

sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda

yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-

ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat

representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses

pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu

Representamen (R), Object (O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda

yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang

diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan

hubungan antara (R) dan (O).

46

Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka

dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia

menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). Tanda seperti

itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.

(B) Semiotik Ferdinand de Saussure. Teori Semiotik ini

dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik

dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda

(signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui

wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna

yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung di

dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda

dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika

signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam

sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial

diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (Culler, 1996:7). Bagan berikut

tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam

Djajasudarma, 1993:23).

47

Bagan 1.4 Tentang Tanda

Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) misalnya: pohon [p o h o n] Signe Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran).

Contoh:

Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang

saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat

arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-

a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat

linear, unsur-unsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti

unsur lainnya).

Bagan 1.5 Tentang Hubungan Tanda

---------- signification --------------

Pohon

tangkal

tangkal

Sign/symbol

Signifier Signified

48

Menurut Saussure (Chaer, 2003:348), tanda terdiri dari: bunyi-bunyian

dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-

bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang

menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan

menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir

serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object

untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan

menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh:

ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka

hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure,

“Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua

sisi dari sehelai kertas.”

Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri

dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau

gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan

konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu

signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier

tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih

sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier.

Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified

“bayi.”

(C) Semiotik Roland Barthes. Teori ini dikemukakan oleh Roland

Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika

49

menjadi 2 (dua) tingkatan penandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan

petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.

Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan

petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung,

dan tidak pasti (Barthes, 2007:82).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada

cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan

makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja

menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995:168) hubungan antara simbol dan

yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya

memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi

secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan

sebagainya.

Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang

mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.”

Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda (disebut expression

“ungkapan” dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/ content “isi”

dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R).

Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu

membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan

menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk

50

yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut

artikulasi. Konotasi–Denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut

lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).

Bagan 1.6 Konotasi dan Metabahasa

Denotasi \ Objek bahasa Konotasi Metabahasa

Contoh : Tempat jin turun berkecimpung

E C Denotasi Konotasi

E C

E C Objek bahasa

Metabahasa E C

(D) Semiotik Halliday. Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan

seorang pakar linguistik M.A.K. Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari

Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di Universitas Sydney.

Kata sistemik adalah suatu teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik

E C

E C

E C

E

penanda

C

petanda

Jin makhluk halus

Jin berkecimpung

Jin bermain air /mandi

Jin Bergembira menerima persembahan

51

sistem (Halliday dkk., 1992:4). Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis

yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan

bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh

ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki

arti tetapi tidak memiliki bentuk.

Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam

hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya

dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menujukkan

bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam

budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya

direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam

semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan

oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi.

Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis

pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai

semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan

semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk.

Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti,

bentuk dan ekspresi. Arti (semantic atau discourse semantics) direalisasikan

bentuk (grammar atau lexicogrammar) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh

ekspresi atau phonology/graphology (Saragih, 2000:1).

Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan

melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif

52

dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan

semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan

oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan

oleh phonology.

Dalam rangka penelitian terhadap makna teks munajat pada komunitas

Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, penulis menggunakan empat teori

semiotik tersebut di atas, yakni versi Peirce, Saussure, Barthes dan Halliday.

Keempatnya memiliki kesamaan dan sedikit perbedaan terutama dalam

interpretasi, namun dengan menggunakan keempat-empatnya akan menghasilkan

kajian yang relatif sama.

Keempat teori tersebut penulis sederhanakan pola-pola atau pokok

pikirannya sebagai berikut. (a) Peirce menggunakan segitiga makna yang terdiri

dari: tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk

fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu

yang merujuk (merepresentasikan) kepada hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda

menurut Peirce terdiri dari simbol, ikon, dan indeks, acuan tanda ini disebut objek

(konteks sosial).

(b) Saussure membagi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda

(signifier) dan pertanda (signified). Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal

melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Dalam konteks penelitian ini adalah

madrasah, tempat Tarekat, peralatan, pakaian, dan seterusnya, khususnya yang

difungsikan dalam pernyajian munajat. Sedang pertanda adalah makna yang

terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya

53

arsitektur atau rupa. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan

petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Dalam konteks

ini misalnya komunitas Tarekat ini memiliki ide-ide seperti zikir, suluk, guru, dan

lain-lainnya yang terdapat dalam pikiran mereka.

(c) Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan,

yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang

menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna

eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang

menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna

yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

(d) Halliday mengembangkan teori semiotik di dalam bahasa

verbal. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif

dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan

oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan

semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki

bentuk.

(3) Untuk mengkaji struktur melodi munajat, yang menggunakan dimensi

maqam dan derivatnya, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga

nada) sebagaimana yang ditawarkan Malm (1977). Teori ini pada prinsipnya

menawarkan delapan karakteristik yang harus diperhartikan dalam

mendeskripsikan melodi yaitu: scale (tangga nada), pitch center (nada dasar),

range (wilayah nada), frequency of note (jumlah nada), prevalent interval

54

(interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formulas

(formula-formula melodis), dan contour (kontur) (Malm 1997:8).

Kalau dijelaskan lebih rinci lagi maka tangga nada yang dimaksudkan di

sini adalah nada-nada yang digunakan pada munajat, yang didasari oleh sistem

maqam Arab atau tangga nada Melayu. Selanjutnya nada dasar adalah nada yang

selalu dijadikan sebagai patokan tonalitas dalam sebuah melodi. Nada ini

cenderung untuk digunakan pada ujung kadensa frase melodi atau ujung lagu.

Kemudian wilayah nada adalah jarak atau selisih frekuensi antara nada yang

tertinggi dengan nada yang terendah yang digunakan dalam sebuah arsitektonik

lagu dalam hal ini munajat. Selanjutnya jumlah nada-nada adalah jumlah masing-

masing nada yang digunakan dalam sebuah komposisi musik, dalam hal ini

munajat. Jumlah nada ini dikaitkan juga dengan bersaran nilai nada yang

digunakannya bukan hanya sekedar jumlah kemunculan. Selanjutnya, interval

yang dipakai adalah bermakna selang nada yang dipergunakan dalam keseluruhan

komposisi ini, baik itu yang sifatnya melangkah atau melompat, juga interval ke

atas atau ke bawah. Selanjutnya, pola-pola kadensa adalah dua nada atau lebih

yang digunakan di ujung frase lagu dalam hal ini munajat termasuk kadensa

akhirnya. Sedangkan formula melodi kadang disebut juga dengan bentuk melodi

adalah bagaimana lagu tersebut disusun oleh bentuk-bentuk melodi, bahagian

mana yang diulang, bahagian pembuka, isi, penutup, dan sejenisnya. Adapun yang

dimaksud dengan kontur adalah garis melodi yang disajikan dalam sebuah lagu.

Ini biasa dideskripsikan dengan kata-kata seperti melengkung, statis, sekuen,

berjenjang, pendulum, dan lain-lainnya.

55

Itulah ketika teori yang digunakan untuk memecahkan tiga pokok

masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan harapan fokus dan dalamnya

kajian dapat dilaksanakan dalam penelitian ini. Namun untuk mendukung pokok

masalah utama tersebut digunakan juga teori-teori lain yang mendukung tiga

pokok masalah tersebut seperti diuraikan berikut ini.

Untuk mengkaji sejarah Tarekat Naqsyabandiah secara umum dan

yang ada di Babussalam, dipergunakan teori fenomenologis agama-historis.

Menurut Garraghan (1957), yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu:

(1) peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas masa

lalu; (2) rekaman manusia pada masa lampau atau rekaman tentang aktualitas

masa lampau;dan (3) proses atau tekhnik membuat rekaman sejarah tersebut

berkaitan erat dengan disiplin ilmu pengetahuan. Lengkapnya sebagai berikut.

The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record. The Greek , which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).

Untuk menganalisis aktivitas Tarekat Naqsyabandiah dalam perspektif

etnosains atau orang dalam, digunakan teori atqakum oleh Sanat (1998) Istilah

atqakum diambil dari surah Al-Hujurat (49:13) yang maknanya adalah kamu yang

lebih bertakwa. Di sini merujuk kepada manusia yang lebih mulia di sisi Allah

56

ialah yang lebih bertakwa. Di dalam Al-Qur’an, terdapat maksud seperti takwa,

bertakwa, ketakwaan, ketakwaannya, dan bertakwalah. Menurut Indeks Al-

Qur’an (1999:440-441)

Teori atqakum yang dimaksud oleh Sanat adalah melampaui pengertian

teori biasa, teori ini merujuk langsung kepada perintah Allah untuk menjadi

manusia bertakwa. Manusia wajib melakuknnya dalam konteks hubungan dengan

Sang Khalik. Penunaian kewajiban itu adalah sebagai tanda ketaatan dan

kesyukuran yang manfaatnya akan didapati manusia yang melaksanakannya.

Sebaliknya, keingkaran kepada Allah tidak akan mengurangi kemuliaan dan

kekuasaan Allah. Hal ini terekam di dalam Al-Qur’an seperti berikut ini

Artinya:

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Al-Qur’an, surah Lukman, 31:12).

Teori atqakum menggagaskan bahwa menjadi lebih bertakwa merupakan

hukum perintah yang tidak ada pilihan pada saat apa pun dan tempat mana pun.

Dengan syarat taklif syar’i. Penunaian teori dalam semua bidang kehidupan atau

disiplin ilmu sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang membawahi khasanah

di dunia dan akhirat. Teori ini menjadi supraordinat kepada teori lain dalam

subdisiplin, termasuk linguistik.

57

Untuk dapat melihat isi makna syair munajat, selain teori semiotik,

penulis juga menggunakan teori takmilah Shafie Abu Bakar yang diciptakan

untuk aplikasi terhadap semua karya bagi menilai dan mengukur nilai keislaman

dalam karya. Pada satu posisi mungkin karya itu bebas dari nada keislaman, tetapi

setelah dianalisis baru nampak citra keislamannya. Demikian sebaliknya,

sesebuah karya yang kelihatan bernada keislaman, setelah dianalisis mengandung

citra yang sebaliknya. Mungkin di luar alam sadar pengarangnya.

Teori takmilah menekankan tiga komponen penting yaitu pengarang,

karya, dan khalayak. Semuanya harus bermula dari kesadaran tauhid pengarang

yang menuangkan kesedaran itu ke dalam karya untuk membangkitkan kesadaran

tauhid pembaca. Ketiga-tiganya memperlihatkan sifat saling menyempurnakan,

yang menjadi sifat Allah dan lambang kesempurnaan-Nya. Karya yang indah

harus berdasar kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Karya ini tercerna

dalam hubungan sikap dan perlakuan manusia terhadap Allah, sikap dan

perlakuan manusia sesama makhluk Allah, serta sikap dan perlakuan manusia

dengan alam sekitarannya.

Keindahan dan kesempurnaan karya sastra meliputi keindahan isi dan

bentuk. Jika isi baik tetapi disampaikan dalam bentuk yang tidak sesuai, atau

bentuk baik tetapi isi tidak sesuai, maka karya itu dianggap tidak indah dan tidak

sempurna. Isi dan bentuk karya harus sama-sama indah, sebagaimana maksud

sastra itu sendiri, dan karya sastra ini berpandukan ajaran Al-Qur’an. Walaupun

aspek struktur karya sama, namun teori ini melihat aspek strukturnya harus tidak

bertentangan dengan isi, tepat dengan genre, bahasanya tepat, isinya mudah

58

difahami, dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Dari segi isinya karya itu harus dapat memberi teladan atau hikmah

kepada pembaca. Satu hal yang ditegaskan oleh Shafie Abu Bakar bahwa teori

takmilah melihat segala kejadian atau peristiwa sebagai indah, baik peristiwa itu

menggembirakan maupun menyedihkan. Misalnya peristiwa tsunami di Aceh. Di

dalamnya terkandung hikmah dan keteladanan, dalam konteks tauhid kepada

Allah.

Untuk menguatkan teori ini, Shafie Abu Bakar mengemukakan tujuh

prinsip, yaitu: (1) prinsip ketuhanan yang bersifat kamal, (2) prinsip kerasulan

sebagai insan kamil, (3) prinsip keislaman yang bersifat akmal, (4) prinsip ilmu

dengan sastra yang bersifat takamul, (5) prinsip sastra bercirikan estetis dan

bersifat takmilah, (6) prinsip pengkarya yang seharusnya mengistikmalkan diri,

dan (7) prinsip khalayak yang bertujuan memupuk mereka ke arah insan kamil.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif Lexi. J.

Moleong yang mengatakan “metode Kualitatif ini digunakan karena beberapa

pertimbangan, yang pertama: menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila

berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua : metode kualitatif menyajikan secara

langsung hakekat hubungan antar peneliti dan responden, ketiga : metode

kualitatif ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak

penajaman dengan pengaruh bersama dan terhadap pola-pola yang dihadapi. Pada

59

penelitian kualitatif, teoritis dibatasi pada pengertian: suatu pernyataan sistematis

berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali

secara empiris.”

Dalam mencapai tujuan dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua

metode yaitu: (1) Metode literatur yaitu metode yang menggali tesis ini melalui

buku, kitab suci Al Qur’an, kamus, artikel dan lain-lain. (2) Metode wawancara

dan tanya jawab dalam metode ini penulis melakukan tanya jawab secara

langsung kepada pihak-pihak yang mengetahui tentang munajat terutama kepada

penyenandung munajat, syekh-syekh dan tuan guru yang memimpin persulukan di

Babussalam dengan tujuan untuk menambah pengetahuan guna melengkapi dan

membantu metode literatur.

1.6.2 Transkripsi dalam Bentuk Notasi

Untuk dapat mengkaji bentuk melodi munajat ini menggunakan metode

transkripsi yang merupakan pencatatan (notasi) bunyi melodi seseorang atau

sekelompok pemusik dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu.

Adapun bentuk notasi yang akan dipergunakan adalah notasi tablatura. Notasi

tablatura merupakan cara pencatatan bunyi musik yang diwujudkan ke dalam

bentuk simbol, dengan tidak mewujudkan lintasan gerakan naik turunnya

frekuensi nada.

Menurut Nettl, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa ritme dan

tangga nada dari tradisi non-Barat tidak selalu cocok dengan sistem notasi

Barat sehingga agak menyulitkan untuk memproduksi ulang kembali ke dalam

60

notasi konvensional. Beberapa pentranskripsi menambah simbol-simbol

khusus dari notasi konvensional tersebut, dengan simbol yang diinginkan,

sesuai dengan suara yang dihasilkan. Misalnya interval yang lebih besar dari

setengah langkah ditambahi tanda "tambah" atau yang lebih kecil ditambahi

tanda "kurang" di atas notnya (Nettl 1946:31).

Transkripsi merupakan pencatatan (notasi) bunyi musik atau gerak-

gerik tari yang dihasilkan seseorang atau sekelompok pemusik atau penari, ke

dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu. Pada dasarnya,

secara kasar bentuk-bentuk notasi musik dapat dikelompokkan kepada dua jenis:

(1) notasi tablatura dan (2) notasi grafik. Notasi tablatura merupakan cara

pencatatan bunyi musik atau gerak tari yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol,

dengan tidak mewujudkan lintasan gerakan naik turunnya frekuensi nada.

Contoh notasi ini adalah nota angka Barat, yang pada awalnya diperkenalkan oleh

Guido de Arrezo dan Cheve tahun 1850. Contoh lain adalah nota dalam

musikologi Jepang, untuk nada-nada G, A, C, D, E, dan G', ditulis dengan

simbol ( ). Juga dalam musik Jawa dikenal

sistem notasi kepatihan dan sari swara yang mempergunakan angka-angka

Arabik. Nota grafik merupakan sistem pencatatan bunyi musik yang diwujudkan

ke dalam bentuk simbol dengan menuruti lintasan gerak naik turunnya frekuensi

nada atau lintasan melodi (melodic line).

61

1.6.3 Kehadiran Peneliti

Guna mendapatkan data/informasi demi kepentingan thesis ini penulis

melakukan wawancara langsung kepada tuan guru Babussalam, syekh-syekh,

penyenandung munajat dan budayawan Tarekat Naqsyabandiah yang telah

ditentukan sebagai informan. Penulis melakukan peran sebagai pengamat penuh

dalam penelitian ini, serta peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek

atau informan. Sebagaim informan tambahan peneliti melibatkan masyarakat

setempat baik yang berlatar belakang Tarekat Naqsyabandiah maupun masyarakat

yang tidak tergabung didalamnya guna mengetahui respon terhadap pembacaan

munajat.

1.6.4 Sumber Data

Lofland mengatakan bahwa umber data utama dalam penelitian kualitatif

adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya ada data tambahan seperti dokumen.

Sesuai dengan penelitia ini penulis memperoleh sumber data dari:

1. Kata-kata dan tindakan yaitu : wawancara yang merupakan sumber data

utama. Sumber data utama dicatat dalam catatan secara tertulis atau melalui

rekaman Video/Audio tapes dan pengambilan gambar foto.

2. Sumber tertulis yaitu, bahan yang berasal dari sumber tertulis yang terdapat

pada : lembar teks munajat, buku , sumber dari arsip pemerintahan setempat

dan artikel lainnya.

3. Foto yang dipergunakan sebagai alat untuk keperluan penelitian kualitatif

62

1.6.5 Data Statistik

Penulis menggunakan data statistik yang tersedia sebagai data tambahan

demi mengetahui jumlah penduduk di Desa besilam (Babussalam). Begitu juga

dengan sebaran penduduk berdasarkkan jenis kelamin, pekerjaan, tingkat

pendidikan, jumlah rumah ibadah, tofografi desa, dan lainnya. Tentu saja

penelitian ini menggunakan data pengikut Tarekat Naqsyabandiah Babussalam

Langkat yang datanya terdapat di kelompok Tarekat ini.

1.6.6 Prosedur Pengumpulan Data

Dalam prosedur pengumpulan data penulis menggunakan metode Lof

Land yang dalam pengumpula data nmenggunakan observasi partisipan,

wawancara mendalam dan dokumentasi. Fidelitas mengandung bukti nyata dari

lapangan yang disajikan memakai instrument Audio dan Video. Disamping itu

penulis juga menggunakan dimensi struktur agar penulisan dapat dilakukan secara

sistematis pada saat wawancara dan observasi.

1.6.7 Analisis Data

Menurut Patton analisis data adalah : “mengatur urutan data,

mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar”.

Taylor mendefinisannya : “Analisis data merupakan proses yang merinci usaha

secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesa (ide). Dari

pendapat diatas penulis menggunakan teori tersebut untuk menganalisis data

63

dengan pertama-tama mengorganisasikan data yang terkumpul berupa gambar,

catatan,artikel, biografi dan sebagainya.

Data-data yang dikumpulkan diatur, diurutkan dan dikelompokkan

dengan memberikan kode tertentu serta dikategorikan.

1.7 Sistematika Penulisan

Tesis ini ditulis ke dalam lima bab. Setiap bab dipandang sebagai satu

kesatuan yang dekat. Antara bab sendiri merupakan satu kesatuan dalam rangka

memecahkan pokok masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun

sistematika penulisan atau pembahagian bab tulisan ini dapat dideskripsikan

sebagai berikut.

Bab I merupakan Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah,

Pokok Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka. Konsep dan

Teori yang Digunakan (Konsep, Teori), Metode Penelitian (Pendekatan

Penelitian, Kehadiran Peneliti, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data,

Analisis Data) dan Sistematika Penulisan.

Bab II berisi tentang Tarekat Naqsyabandiah Babussalam meliputi

sejarah berdirinya, masuknya ketanah melayu langkat dan biografi tuan guru

Syekh Abdul Wahab Rokan serta Membahas aktifitas yang dilakukan diTarekat

Naqsyabandiah, pemaknaan di dalam ritualnya serta silsilah Tarekat

Naqsyabandiah.

Bab III membahas tentang fungsi dan guna munajat dirinjau dari aspek

etnomusikologis. Bab ini terdiri dari sub bab penggunaan munajat, yaitu

64

menjelang azan dan salat Subuh, Maghrib, dan Jum’at. Fungsinya sebagai penguat

identitas Tarekat, komunikasi kepada Allah SWT., integrasi kelompok Tarekat,

penyajian estetika, mengesakan Allah, dan lainnya.

Bab IV berisi kajian syair munajat berdasarkan makna semiotik dengan

hubungannya dengan keberadaan Tarekat Naqsyabandiah. Teori semiotik ini

menggunakan empat jenis yaitu dari Peirce, Saussure, Barthes, dan Halliday.

Bab V berisi tentang analisis munajat berdasarkan melodinya. Ada

delapan unsur yang akan dikaji yaitu: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada,

nada dasar, formula melodi, interval, pola-pola kadensa, dan kontur.

Bab VI Merupakan Bab Penutup yang berisi tentang kesimpulan

penelitian ini yang menjawab tiga pokok masalah dan disertai dengan saran-saran

keilmuan praktis seni budaya.

65

BAB II

TAREKAT NAQSYABANDIAH BABUSSALAM LANGKAT

DALAM KONTEKS DUNIA MELAYU

DAN DUNIA ISLAM

2.1 Kata Tarekat dalam Al-Qur’an

Seperti sudah diterangkan di bab sebelumnya bahwa Tarekat artinya

secara etimologis adalah jalan, cara, garis, kedudukan, keyakinan, dan agama.

Tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai

dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. dan yang

dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para sahabatnya, tabiin, tabiit tabiin,10

dan secara turun temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama, secara

bersambung dan berantai hingga pada masa sekarang ini.

Para pengamal Tarekat memiliki alasan hukum yang kuat dalam

melaksanakan praktik Tarekat. Bagaimanapun terdapat sembilan kali dalam lima

surat yang mengandung istilah Tarekat. Selengkapnya adalah sebagai berikut.

(1) Q.S. An-Nisa’:168

10Sahabat Nabi Muhammad adalah orang-orang yang dekat dengan beliau terutama yang berjuang untuk tegaknya agama Islam di muka bumi. Di antara sahabat Nabi Muhammad adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali bi Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan lain-lainnya. Istilah tabiin dan tabiit tabiin adalah para ulama penerus ajaran-ajaran Rasulullah Muhammad SAW. pada masa generasi-generasi selepas beliau.

66

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka.

Dalam ayat ini istilah Tarekat yang terdapat di ujung ayatnya adalah

jalan yang semestinya diberikan Allah kepada para hambanya yang diberi

petunjuk. Namun dalam ayat ini, jalan itu tidak diberikan kepada kaum kafir yang

melakukan kezaliman. Bahkan mereka tidak akan diampuni dosa-dosanya.

(2) Q.S. An-Nisa’:169

Artinya: Melainkan jalan ke neraka jahanam; mereka kekal di dalamnya

Selama- lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Di dalam ayat ini yang merupakan ayat sambungan dari An-Nisa’:168,

mempertegas bahwa orang kafir itu akan diberi jalan ke neraka jahanam. Orang

kafir ini kekal di dalamnya. Kemudian Allah menegaskan bahwa memasukkan

orang kafir ke neraka jahanam adalah mudah dalam konteks kekuasaan Allah,

yang menciptakan seluruh alam ini.

(3) Q.S. Thoha:63

67

Artinya: Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang itu adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan ‘kedudukan’ kamu yang utama.”

Ayat ini menerangkan kedatangan Nabi Musa dan Harun ke Mesir, akan

menggantikan Bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebahagian ahli tafsir

mengartikan Tarekat dalam ayat itu dengan keyakinan atau agama. Menurut Ibnu

Manzhur (630-711 H) dalam bukunya yang bertajuk Lisanul Arab, jilid 12,

halaman 91, arti Tarekat dalam ayat itu adalah ar-rijalul asyraf, yang bermakna

tokoh-tokoh terkemuka. Jadi ayat itu berarti kedatangan Nabi Musa dan Harun ke

Mesir adalah untuk mengusir kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan

jemaah atau tokoh-tokoh terkemuka kamu. Lebih jauh Ibnu Manzhur mengatakan

hadza thariqatu qaumihi yang artinya inilah tokoh-tokoh pilihan kaumnya.

(4) Q.S. Thoha:77

Artinya: Dan sesungguhnya telah kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).”

Kata Tarekat dalam ayat ini berarti jalan di laut dan terbelahnya Lautan

Merah untuk jalan bagi Nabi Musa dan pengikut-pengikutnya. Peristiwa itu terjadi

setelah ia memukulkan tongkatnya.

68

(5) Q.S. Thoha:104

Artinya: Kami telah mengetahui apa yang mereka katakan ketika berkata yang paling lurus jalannya di antara mereka: “Kami tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja.” Adapun yang dimaksud dengan lurus jalannya dalam ayat itu adalah

orang yang agak lurus pikirannya atau amalannya di antara orang-orang yang

berdoa tersebut.

(6) Q.S. Al-Ahqaf:30

Artinya: Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” Dalam ayat ini, kata Tarekat memiliki arti sebagai jalan yang lurus

(thoriqim mustaqim). Istilah ini merujuk kepada agama Islam sebagai ajaran yang

memimpin kepada jalan yang lurus. Kitab suci Al-Qur’an adalah meneruskan

kitab-kitab suci Allah terdahulu yaitu Zabur, Taurat, dan Injil. Al-Qur’an in

diturunkan sesudah Rasul Musa Alaihissalam.

(7) Q.S. Al-Mukminun:17

69

Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).

Dalam ayat di atas makna dari Tarekat adalah alam ciptaan Allah yang

terdiri dari tujuh jalan (yaitu berupa tujuh buah langit). Tarekat dalam ayat ini

dapat dimaknai sebagai tujuh langit yang menjadi jalan manusia untuk berpikir

akan kebesaran Allah sebagai Sang Maha Pencipta. Ayat ini juga menjelaskan

bahwa setelah menciptakan tujuh langit Allah tidak akan membiarkan ciptaannya

itu, Allah akan terus menjaganya, dan Allah tidak akan pernah lengah.

(8) Q.S. Al-Jin:11

Artinya: Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.

Di dalam ayat di atas istilah Tarekat memiliki makna adalah jalan atau

amalan orang-orang yang saleh, artinya orang saleh ini memiliki jalannya untuk

mendekatkan diri kepada Allah.

(9) Q.S. Al-Jin:16

Artinya: Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).

70

Di dalam ayat di atas, pengertian istilah Tarekat adalah sebagai jalan

yang lurus yaitu agama Islam. Ayat ini menegaskan bahwa agama Islam adalah

jalan yang benar yang diturunkan Allah ke muka bumi ini sebagai agama yang

membawa rahmat kepada seluruh alam. Bagi yang menjalankan agama Islam

dengan sesungguhnya, Allah akan memberikan rezeki yang tidak disangka-

sangka, karena Allah sayang kepadanya.

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, maka beberapa umat Islam

kemudian mendirikan berbagai jenis Tarekat di dunia ini. Inti ajarannya sama

yaitu ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan yang benar yang diridhai

Allah. Keberadaan Tarekat di Dunia Islam ini memiliki perkembangan, pengaruh,

dan jenis Tarekat seperti yang diuraikan berikut ini.

2.2 Perkembangan, Pengaruh, dan Jenis Tarekat di Dunia Islam

Pada masa awal perkembangan agama Islam, hanya terdapat dua macam

aliran Tarekat, yaitu: (a) Tarekat Nabawiyah, yaitu amalan yang berlaku di masa

Nabi Muhammad, yang dilaksanakan secara murni. Tarekat ini dinamakan juga

dengan Tarekat Muhammadiyah atau Tarekat Syari’at. (b) Tarekat Salafiah, yaitu

cara beramal dan beribadah pada masa sahabat Rasul Muhammad dan tabi’in,

dengan maksud memelihara dan membina syari’at Rasulullah SAW. Tarekat ini

dinamakan juga dengan Tarekat Salafus Saleh.

Setelah abad kedua Hijriah, Tarekat Salafiah mulai berkembang secara

kurang murni. Ketidak murnian itu antara lain disebabkan oleh pengaruh filsafat

dan alam pikiran manusia telah memasuki negara-negara Arab, seperti filsafat

71

Yunani, India, dan Tiongkok. Dampaknya adalah pengamalan Tarekat Nabawiyah

dan Salafiah telah bercampur aduk dengan filsafat dari segala penjuru dunia. Pada

masa ini sejumlah kitab filsafat asing disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa

Arab.

Setelah abad kedua Hijriah, muncullah Tarekat Sufiah yang diamalkan

oleh orang-orang sufi, dengan tujuan untuk kesucian melalui empat tingkatan. (a)

Syari’at, mengetahui dan mengamalkan ketentuan-ketentuan syari’at, sepanjang

yang menyangkut dengan lahiriah. (b) Thariqat (Tarekat), mengerjakan amalan

hati, dengan akidah yang teguh, dan menyangkut dengan batiniah. (c) Hakikat,

cahaya musyahadah (batin) yang bersinar cemerlang dalam hati dan dengan

cahaya itu dapat mengetahui hakikat Allah dan rahasia alam semesta. (d) Ma’rifat,

tingkat tertinggi, yaitu para pengamalnya telah mencapai kesucian hidup dalam

alam rohani, memiliki pandangan tembus (kasyaf), serta mengetahui hakikat dan

rahasia kebesaran Allah.

Orang sufi menganggap bahwa syari’at untuk memperbaiki sesuatu yang

lahir (nyata). Tarekat untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan

hakikat untuk mengetahui segala rahasia yang ghaib-ghaib. Tujuan terakhir sufi

adalah ma’rifat yakni mengenal hakikat Allah, zat, sifat, dan perbuatan-Nya.

Orang yang telah mencapai tingkat ma’rifat dinamakan wali, yang mempunyai

kemampuan luar biasa (khariqul lil’adah), disebut “keramat” atau menguasai

supernatural. Terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh

logika akal, baik semasa hidup maupun setelah wafatnya. Syekh Abdul Kadir

72

Jailani (1078-1168 M) menurut pandangan para kaum sufi adalah wali tertinggi

yang disebut dengan Quthubul Aulia (Wali Quthub).

Gerakan Tarekat baru menonjol dalam Dunia Islam pada abad ke-12 M,

sebagai lanjutan dari kegiatan kaum sufi terdahulu. Kenyataan ini dapat ditandai

dengan nama pendirinya dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Setiap Tarekat mempunyai

Syekh, kaifiat zikir dan upacara. Biasanya Syekh atau mursyid (tuan guru)

mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani di tempat yang dinamakan

rumah suluk atau ribath.

Gerakan sufi ini mula-mula menonjol di Asia Tengah, Tibristan tempat

kelahiran dan operasinya Syekh Abdul Kadir Jailani. Kemudian berkembang ke

Irak, Turki, Arab Saudi, dan sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand,

India, dan Tiongkok.

Kemudian pada abad ke-12 itu muncul pula Tarekat Rifaiah di Maroko

dan Aljazair. Juga muncul Tarekat Sahrawadiah, dan lainnya yang berkembang di

Afrika Utara dan Afrika Tengah, seperti di Sudan dan Nigeria. Perkembangan itu

begitu cepat melalui murid-murid yang telah diangkat menjadi khalifah

(pimpinan). Mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri-negeri Islam.

Ada pula melalui perantaraan para pedagang.

Organisasi Tarekat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di

Dunia Islam, sebagaimana yang dikatakan ilmuwan Barat yang terkenal mengkaji

Islam, H.R. Gibb dalam An Interpretation of Islamic History, bahwa setelah

direbutnya Khalifah Islam oleh orang-orang Mongolia pada tahun 1258 H., maka

tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih ke tangan kaum sufi.

73

Peranan ahli Tarekat dalam percaturan politik di Turki pada masa

pemerintahan Ottoman I (1299-1326 M.) cukup besar. Demikian pula di Sudan,

Afrika Utara, dan Afrika Tengah, Tunisia, dan di Indonesia. Pada masa itu ahli

Tarekat memegang peranan penting dalam perjuangan melawan penjajahan

bangsa Barat khususnya Belanda.

Dalam proses Islamisasi di Indonesia, sebahagiannya adalah atas usaha

dari kaum sufi dan mistik Islam. Sehingga pada waktu itu para pemimpin Islam di

Indonesia bukan saja para ahli teologi (mutakallimin) dan ahli hukum (fuqaha’),

tetapi juga para Syekh Tarekat dan guru-guru suluk.

Salah seorang pemuka Tarekat Naqsyabandiah yang telah berjasa besar

bagi perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan lahir dan batin adalah Syekh

Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi (1811-1926). Beliau terkenal

dengan panggilan Tuan Guru Babussalam Langkat. Pusaran aktivitasnya adalah di

Desa Babussalam, Kecamatan padang Tualang, Kabupaten Langkat, Provinsi

Sumatera Utara. Ia adalah murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi dan belajar

kepadanya, selama enam tahun di Mekah.

Sekembalinya ke Indonesia, ia aktif mengajar agama dan Tarekat di

beberapa kerajaan Islam. Di antaranya Kesultanan Langkat, Deli, Serdang,

Asahan, Kualuh, dan Panai di Sumatera Utara. Juga sampai ke Siak Sri Indra

Pura, Bengkalis, Tambusai, Tanah Putih Kubu di Provinsi Riau. Keseluruhannya

adalah sebagai Kesultanan Melayu yang bercorak Islam.11

11Pada masa sekarang ini, kesultanan-kesultanan Melayu memiliki eksistensi dan

polarisasi yang berbeda-beda, sesuai dengan di mana ia berada. Di Semenanjung Malaysia, Kesultanan-kesultanan Melayu ini masih lestari dan kekal, karena Negara Malaysia adalah berdasar kepada negara kerajaan. Para sultan memiliki kekuasaan penuh untuk memimpin

74

Sampai sekarang murid-murid beliau tersebar luas di Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan

Sulawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan Tarekat

Naqsyabandiah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk dan

peribadatan di Batu Pahat Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan, dan beberapa

kawasan di Thailand.

Menurut pendapat para ulama Islam, pada abad ke-21 ini terdapat 41

macam Tarekat di Dunia Islam. Masing-masing mempunyai Syekh, kaifiat zikir

(tata cara berzikir mengingat Allah), dan upacara yang berbeda. Adapun berbagai

macam Tarekat di Dunia Islam itu diuraikan berikut ini.

(1) Tarekat Kadiriah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abdul Kadir

Jailani. Beliau lahir di wilayah Tibristan pada tahun 471 H (1078 M), wafat di

Baghdad 561 H (1168 M). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Muhyicin

Abdul Kadir bin Musa bin Abdullah Al-Husna Al-Jailani. Pada tahun 488 H

ketika masih remaja, melanjutkan pelajarannya ke Baghdad (ibukota Irak

sekarang), belajar kepada beberapa guru dan Syekh dalam berbagai disiplin ilmu,

terutama tasawuf. Beliau adalah seorang Suni yang menganut Mazhab Hanbali.

Beliau terkenal budiman, cerdas, lebih menonjol pengetahuannya di bidang ilmu

fiqih (hukum Islam), serta komunikasi dan informasi. Beliau tekun mempelajari

kesultanannya. Kemudian secara musyawarah mufakat mereka memilih salah seorang sultan ini sebagai pemimpin para sultan yang disebut dengan gelaran Yang di-Pertuan Agong, dengan masa jabatannya lima tahun sekali. Di Indonesia, kesultanan-kesultanan Melayu hanyalah sebagai pemangku adat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di antara keslutanan-kesultanan Melayu di Indonesia sampai sekarang ini adalah Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kesultanan Asahan, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Kotapinang, Kesultanan Siak Sri Inrapura, Kesultanan Palembang, Kesultanan Kutai Kartanegara, kesultanan Sambas, dan lain-lainnya.

75

sastra dan Hadits. Pada tahun 528 H. mengajar dan berfatwa di Baghdad. Karya

tulis beliau antara lain: (a) Al-Ghaniatu Lithalibi Thariqil Haqqi, (b) ‘Al-Fat-hur

Robbani, (c) Futuhul Ghaibi, dan (d) ‘Al-Fuyudhatur Robbaniatu.

Pengikut Tarekat Kadiriah memegang prinsip tasamuh (toleransi),

karena Syekh Abdul Kadir Jailani menegaskan kepada mereka: “Kita tidak hanya

mengajak diri sendiri tetapi juga mengajak semua makhluk Allah supaya menjadi

seperti kita.” Di antara Syekh Tarekat ini yang menonjol adalah Sayid Ahmad bin

Idris Al-Fasi. Ia sejalan dengan Syekh Sayid Muhammad bin Ali As-Sanusi,

pendiri Tarekat Sanusiah.

Pengikut Tarekat Kadiriah terbagi tiga: (a) Al-Kadiriah Al-Bukaiyah,

tersebar luas di wilayah Tombouktu, sebuah negeri di Sudan (Afrika Tengah),

pusat perdagangan Sungai Nigeria; (b) Al-Kadiriah, di wilayah padang pasir

sebelah barat, yang dinaakan Ad-Dirat; dan (c) Al-Kadiriah Al-Walatih, tersebar

di wilayah Sudan bahagian barat.

Tarekat Kadiriah adalah adalah salah satu Tarekat sufiah yang paling

giat menyebarkan agama Islam di Barat Afrika. Pengikut-pengikutnya

menyebarkan Islam itu melalui perdagangan dan pengajaran. Umumnya

pedagang-pedagang di daerah itu adalah penganut Tarekat Kadiriah. Ilmuwan

Islam yaitu Amir Syakib Arselan, menyatakan bahwa mereka telah membuka

sekolah dan madrasah di hampir setiap desa. Murid-muridnya sebahagian besar

terdiri dari anak-anak kulit hitam. Para murid yang cerdas dikirim ke berbagai

perguruan tinggi di Tripoli, Qairawan, dan Universitas Al-Azhar, Kairo. Setelah

76

menamatkan pelajaran di berbagai perguruan tinggi itu, mereka kembali ke tanah

airnya dan giat mengembangkan ajaran Islam.

(2) Tarekat Syadziliah, didirikan pada pertengahan abad ke-13 M,

dipandang sebagai Tarekat sufiah yang utama memasukkan tasawuf ke Negeri

Arab. Pusatnya di Bobarit Maroko. Pendirinya adalah Syekh Abu Hasan bin

Abdullah bin Abdul Jabbar bin Hormuz As-Syadzili Al-Maghribi Al-Husaini Al-

Idrisi, keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia dilahirkan pada tahun 591 H

(1195 M) di Gahamarah, sebuah desa dekat Sabtah, Afrika. Ia memperdalam ilmu

fikih dan tasawuf di Tunisia. Karena bermukim di Sadzili, maka Tarekat yang

didirikannya itu dinamakan Tarekat Sadziliah.

Setelah mengadakan perjalanan ke negeri-negeri sebelah Timur,

mengerjakan haji, dan mengunjungi Irak, ia menentap di Iskandariah dan wafat

pada tahun 615 H (1219 M) di padang pasir ‘Aidzab, dalam perjalanan haji. Abu

Hasan bertalian darah dengan para penguasa Maghribi, dan beliau meninggalkan

kenangan yang tidak terlupakan di Afrika, yakni partai politik Hizbuz Syadzili,

dan beberapa kitab ternama tentang adab tasawuf dengan judul Al-Amin dan

Assirul Jalil fi Khawashi Hasbunallahi Wani’mal Wakil.

Ahmad bin ‘Iyadh telah menerbitkan kitab tentang Syadziliah dengan

judul Al-Mufakaharul ‘Aliah fil-Ma-atsril Syadziliah. Ibnu Taimiah (661–728 H),

mengutip banyak pendapat Abu Hasan As-Syadzili mengenai berbagai masalah.

Ibnu Daqiqil mengaskan pula bahwa ia tidak pernah melihat orang yang paling

mengenal Allah dari Syekh Abu Hasan As-Sadzili. Kata-kata mutiaranya yang

amat bernas adalah: “Apabila zikir terasa berat atas lidahmu, anggota tubuh

77

berkembang menurutkan hawa nafsumu, tertutup pintu berpikir untuk

kemashlahatan hidupmu, maka ketahuilah bahwa semua itu adalah pertanda

banyaknya dosamu atau karena sifat munafik tumbuh dalam hatimu. Tiada jalan

bagimu, selain dari berpegang teguh kepada jalan Allah dan ikhlas dalam

pengamalannya.”

(3) Tarekat Tijaniah. Tarekat ini tersebar luas di Maghribi, didirikan

oleh Sayid Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad Syarif At-

Tijani, lahir pada tahun 1150 H (1737 M). Ia alim dalam ilmu ushul (pokok) dan

furu’ (cabang) , ahli tasawuf, bermazhab Maliki, mazhab yang paling berpengaruh

di Afrika Utara. Selama beberapa waktu berdomisili diTilimsan. Menunaikan

ibadah haji tahun 1186 M, melalui Tunis. Kemudian kembali ke Fas dan

mengadakan perjalanan ke Tawat. Kemudian kembali ke Fas, seolah-olah ia

senang tinggal di situ, sampai wafat tahun 1236 H (1815 M). Beberapa orang

sahabatnya telah menerbitkan buku riwayat hidupnya, dengan judul Jawahirul

Ma’ani.

Tarekat Tijaniah menganut prinsip tasamuh atau toleransi, mengikuti

jejak pendirinya yang bersikap toleransi terhadap kalangan bukan muslim, dengan

tidak mengurangi hak-hak agama dan kehormatan kaum muslimin. Dasar pokok

ajaran Tarekat ini adalah firman Allah Surat Al-Baqarah:194, yang berbunyi

sebagai berikut.

78

Artinya: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut

dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa

Oleh karena itulah kitab Hadhirul ‘Alamil Islami menyatakan bahwa

pengikut Tarekat Tijaniah mempergunakan kekuatan untuk menghadapi musuh

mereka, orang Perancis. Sikap tasamuh atau toleransi yang dikembangkan selama

ini berubah pada pertengahan abad ke-13, ketika mereka menentang kulit putih.

Seorang Syekh Tarekat Tijaniah yang menonjol dan gigih membela pendirinya

adalah Haji Umar anak Syekh Murabith, yang lahir pada tahun 1797 di suatu desa

di Senegal. Pada masa kanak-kanak ia dididik ayahnya. Belakangan melanjutkan

pendidikannya ke Universitas Al-Azhar Kairo. Ia kembali ke Bourno pada tahun

1833 dan mengunjungi Negeri Hausah. Di sini ia memimpin dan mangajari umat

ke akidah salaf dengan bijaksana dan cara yang baik. Dalam berdakwah, ikut serta

saudaranya Ahmad. Haji Umar dari Tijani telah membentuk barisan untuk

memerangi orang yang menyembah berhala. Ia wafat pada tahun 1865.

Dia telah meninggalkan pengaruh yang besar bagi kejayaan Islam di

negeri orang berkulit hitam. Perjuangannya dilanjutkan oleh pengikut-

pengikutnya. Pengaruh mereka semakin luas, sehingga penjajah Perancis

79

memandangnya sebagai suatu yang sangat membahayakan kedudukan penjajah di

wilayah itu. Pemerintah Perancis berusaha membasmi gerakan itu.

(4) Tarekat Sanusiah, yang muncul di Afrika Utara, didirikan oleh

Sayid Muhammad bin Ali As-Sanusi, yang lahir pada tahun 1791. Ia seorang alim

dan mujahid. Tarekat yang dipimpinnya berkembang luas dari Maroko sampai ke

Somalia, terutama di daerah pedalaman Libia.

Dasar ajaran Tarekat ini adalah ajaran Islam dan lapangan kerjanya

mendidik umat supaya dapat mengendalikan hawa nafsu untuk keselamatannya

suapaya giat bekerja dan berusaha serta beribadah dengan akidah (keimanan) yang

kokoh. Tarekat Sanusiah menurut Ahmad Syarbaini (guru besar Universitas Al-

Azhar Kairo) berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

Penjajah di Benua Eropa menganggapnya membahayakan bagi

kepentingan-kepentingan penjajah. Perjuangan mereka tidak saja dalam zikir dan

wirid-wirid, tetapi juga berjihad (berjuang menurut ajaran Islam) menegakkan

kebenaran. Pengaruh Tarekat ini di wilayah Jaghbub sangat besar. Hal itu dapat

ditandai dengan kemajuan dan keamanan negeri itu jauh lebih meningkat

dibandingkan dengan sebelum Tarekat itu muncul. Sebelumnya Jaghlub adalah

pusat kejahatan dan kekacauan sosial, tetapi setelah muncul dan pengaruh Tarekat

ini semakin kuat, maka daerah ini berubah menjadi pusat pendidikan dan

pengajaran, pusat peribadatan, dan kemakmuran. Di kawasan ini Sanusi

mendirikan sekolah dan madrasah untuk mendidik para kader Tarekat dan

pejuang-pejuang Islam militan.

80

Setelah Sanusi wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Al-

Mahdi. Anaknya ini melanjutkan jihad dan perjuangan ayahandanya dengan

mendirikan pusat latihan rohani di berbagai daerah, sehingga dalam waktu yang

relatif singkat, namanya menjadi begitu populer. Pemerintah penjajah berusaha

menutup kegiatannya. Namun ia terus berjuang dan bahkan lebih mempergiat

dakwah dan membangun mental umat Islam di sana. Selain mengajar, beliau juga

mendidik pengikutnya supaya berjihad menentang musuh-musuh Islam. Sebagai

dampak dari perjuangannya yang gigih dan gesit, maka pada tahun 1911

meletuslah pemberontakan menentang pendudukan Italia, dan mengembangkan

Islam di Sudan dan Afrika Tengah.

Tarekat Sanusiah menganggap Nabi-nabi adalah wasilah

(“penghubung”) antara makhluk dengan Allah. Ahmad Sanusi telah menyusun

kitab tentang sejarah Tarekat Sanusiah. Melalui ajaran Tarekat, berjuta-juta

penduduk Afrika Tengah memeluk agama Islam. Tarekat Sanusiah mengajarkan

kepada para pengikutnya ketangkasan berkuda, panah-memanah, dan berbagai

seni bela diri. Setiap hari Jum’at diadakan latihan perang. Pada hari Kamis latihan

kerajinan tangan, seperti pandai besi, tukang sepatu, menjahit dan menenun,

bertani dan bercocok tanam.

Pesan sebahagian dari tokoh-tokoh Tarekat Sanusiah adalah: “Jangan

menghina seseorang, baik orang Islam maupun Nasrani, Yahudi dan orang-orang

kafir lain. Mungkin mereka lebih baik dari anda di sisi Allah, sebab anda tidak

tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya.” Di antara kebiasaan pengamal Tarekat

Sanusiah, mereka membeli budak di Sudan, diasuh di Jaghbub. Sesudah dewasa

81

dan berilmu dimerdekakan dari hamba sahaya dan diterjunkan ke tengah

masyarakat sebagai juru dakwah dalam rangka pengembangan agama Islam di

segenap penjuru benua Afrika.

(5) Tarekat Rifa’iyah, yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Abu Al-

Hasan Ar-Rifa’i. Beliau wafat tahun 570 H atau 1175 M. Penganutnya banyak

terdapat di kawasan Maroko dan Aljazair (Algeria).

(6) Tarekat Sahrawardiah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abu Al-

Hasan bin Al-Sahrawardi yang meninggal pada tahun 638 H (1240 M). Para

pengikutnya sebahagian besar adalah di Afrika.

(7) Tarekat Maulawiyah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Maulana

Jalaluddin Ar-Rumi. Beliau wafat tahun 672 H (1273 M). Sebahagian besar

pengikutnya ada di Turkistan dan Turki. Dalam bahasa Turki Tarekat ini disebut

dengan Mevlevi.

(8) Tarekat Ahmadiah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad

Badawi, yang wafat pada tahun 675 H (1276 M). Para pengikutnya sebahagian

besar terdapat di Maroko dan kawasan sekitarnya.

(9) Tarekat Haddadiah. Didirikan oleh Syekh Abdullah Ba’lawi

Haddad. Tarekat ini diikuti oleh jemaah yang berada di negara-negara Arab,

Malaysia, Singapura, dan sekitarnya.

Di kawasan Indonesia, Tarekat yang paling banyak penganutnya adalah

Tarekat Naqsyabandiah dan Qadiriah. Khusus Tarekat Naqsyabandiah, akan

diulas dalam uraian berikutnya.

82

Dengan melihat keadaan sosioreligius di atas, dalam Dunia Islam,

Tarekat memiliki dasar hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Tarekat sebagai

gerakan rohani juga berkembang menjadi gerakan politik yang menentang ketidak

adilan. Tarekat dalam Dunia Islam juga umumnya mengajarkan tentang tolerasi

yang disebut dengan tasamuh. Ini sejalan dengan ajaran Islam, bahwa agama

Islam adalah rahmat kepada seluruh alam, bukan umat Islam saja.

2.3 Tarekat Naqsyabandiah di Dunia Islam

Pendiri Tarekat Naqsyabandiah adalah Imam Tarekat Hadhrat Khwajah

Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-

Uwaisi Rahmatullah ‘alaih. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717

Hijrah bersamaan 1317 Masehi, yaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan

abad ke 14 (empat belas) Masehi di sebuah perkampungan bernama Qasrul

‘Arifan yang berdekatan dengan Bukhara, Asia Tengah.

Ia menerima pendidikan awal Tarekat secara lahiriah dari gurunya

Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih. Beliau juga

menerima rahasia-rahasia Tarekat dan khilafat dari Syekhnya, Hadhrat Sayyid

Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih. Ia menerima limpahan faidhz dari Hadhrat Nabi

Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang seterusnya diwarisi

oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah

‘alaih, yang telah 200 (dua ratus) tahun mendahuluinya secara uwaisiyah.

Nama Naqsyabandiah mulai terkenal di zaman Hadhrat Shah Bahauddin

Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syekh Najmuddin Amin Al-

83

Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahwa nama Tarekat

Naqsyabandiah ini berbeda-beda menurut zamannya.

Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu

sehingga ke zaman Hadhrat Syekh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami

Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah. Pada masa ini amalan

khususnya adalah zikir khafi.

Di zaman Hadhrat Syekh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami

Rahmatullah ‘alaih, hingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul

Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih, Tarekat ini dinamakan Taifuriyah. Tema

khusus yang ditampilkan adalah cinta dan ma’rifat.

Kemudian di zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq

Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih, sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah

Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih

Tarekat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut, Tarekat ini

telah diperkuatkan dengan delapan prinsip asas Tarekat yaitu: yad kard, baz gasyt,

nigah dasyat, yad dasyat, hosh dar dam, nazar bar qadam, safar dar watan, dan

khalwat dar anjuman.

Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah

Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke

zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tarekat ini mulai

terkenal dengan nama Naqsyabandiah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah

Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas

sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq

84

Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yaitu: Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi, dan Wuquf

Zamani.

Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaidah

jalan yang biasa diperkenalkan oleh para Masyaikh Tarekat, yaitu Tarekat nafsani

ataupun Tarekat rohani. Tarekat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan

mentarbiyahkan (mengelola) nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau

keakuan diri ini adalah sifat ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi

menyelamatkan roh dan jalan Tarekat nafsani ini amat sukar dan berat karena

salik (pengamal Tarekat) perlu melakukan segala yang berlawanan dengan

kehendak nafs. Hal ini merupakan suatu perang jihad dalam diri seseorang

mukmin.

Tarekat rohani sedikit lebih mudah dilakukan, dengan cara pada awalnya

roh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan nafs. Setelah roh

disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka nafs atau

egonya dengan secara terpaksa akan menuruti dan mentaati roh. Demikian uraian

tentang Tarekat dalam Dunia Islam. Selanjutnya diuraikan biografi ringkas Tuan

Guru Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy.

2.4 Biografi Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy

Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi yang lebih dikenal

dengan sebutan “Tuan Guru Babussalam” (Besilam), adalah salah seorang ulama

terkemuka dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat.

Sebahagian besar hidupnya dihabiskan untuk menegakkan syiar agama dan

85

kejayaan negara. Beliau telah membuka dan membangan beberapa buah desa di

Sumatra Utara dan Malaysia, dengan mendirikan perguruan, asrama latihan

rohani, rumah ibadat, mushala dan langgar, balai kesehatan, asrama sosial, untuk

menampung fakir miskin, yatim piatu serta gedung serba guna lainnya untuk

kepentingan umum. Murid-murid dan khalifah-khalifahnya hingga kini tersebar

luas kesegenap penjuru baik didalam maupun di luar negeri seperti Batu Pahat,

Johor Bahru, Penang, Ipoh, Kuala Lumpur di Malaysia, dan Thailand.

Syekh Abdul Wahab Rokan adalah Putra dari Abdul Manap bin M. Yasin

bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai. Nama kecilnya Abu Qasim.

Ibunya bernama Arba’iah. Bersaudara empat orang dan salah seorang saudara

perempuannya bernama Seri Barat yang belar Hajjah Fatimah, wafat dikampung

Babussalam, disebelah makam Syekh Abdul Wahan Rokan.

Tidak ada yang dapat memastikan tanggal kelahiran Syekh Abd Wahab.

Sebahagian kalangan menyatakan beliau lahir pada tanggal 19 Rabiul Akhir 1230

H atau pada tanggal 28 September 1811 di Kampung Danau Runda, Desa Rantau

Binuang Sakti, Negri Tinggi, Kecamatan Kepenuhan, Kabupaten Rokan Hulu,

Provinsi Riau. Menurut satu riwayat beliau dilahirkan pada 10 Rabiul Akhir 1246

H atau 28 september 1830 M. Riwayat yang kedua ini dianggap lemah karena

menurut yang berkompeten usia beliau adalah kurang lebih 115 tahun. Sedangkan

hari wafatnya yaitu 21 Jumadil Awal 1345 H atau 27 Desember 1926 M.

Kakek beliau adalah Haji Abdullah Tembusai yang terkenal sebagai

seorang alim besar dan saleh. H. Abdullah Tembusai memiliki beberapa orang

istri, seorang di antaranya adalah putri dari yang dipertuan Kota Pinang. Kota

86

Pinang kini termasuk dalam daerah Kabupaten Labuhan Batu, Propinsi Sumatra

Utara. Menuru catatan Syekh Abdul Wahab yang diperbuatnya pada tanggal 10

Muharram 1300 H, anak cucu kakeknya, H Abdullah Tembusai berjumlah 670

orang. Sebahagian besar berasal dari suku Melayu Besar, suku Batu Hampar, dan

suku Melayu Tengah.

Ayahanda beliau Abdul Manap mempunyai beberapa orang istri

beberapa diantaranya dikaruniai anak tetapi kesemuanya meninggal dunia. Setelah

ayahanda beliau meninggal dunia Abdul Manap meneruskan usaha dari almarhum

dan beberapa waktu kemudian pindah ke tanah Deli Serdang, menetap di

kampung Kelambir. Beliau kawin dengan seorang wanita bernama Arba’iah, putri

Datuk Bedagai (Dagi) asal Tanah Putih. Dari perkawinannya dengan Arba’iah

beliau beroleh empat orang anak yaitu:

1. Seri Barat, Gelar Hajjah Fatimah, wafat di kampung Babussalm , Langkat,

Pada tahun 1341 H, dan dimakamkan di kuburan umum kampung

Babussalam.

2. Muhammad Yunus, Meninggal di Pulau Pinang (Malaysia), Seberang Prai,

sedang menuntut ilmu.

3. Abu Qasim, gelar Pakih Muhammad, yang kemudian terkenal dengan Syekh

Abdul Wahab Rokan Al- Khalidi Naqsyabandi, Tuan Guru Babussalam.

4. Seorang bayi meninggal pada waktu lahir. Dan tidak berapa lama meninggal

pula ibunya waktu bersalin. Diwaktu Syekh Abdul Wahab membuat catatan

(1300 H), semua saudaranya telah berpulang kerahmatullah, kecuali dua

orang, yaitu Seri Barat dan beliau sendiri.

87

2.4.1 Pendidikan

Pendidikan Syekh Abdul Wahab dimulai ketika belajar membaca Al

quran kepada H.M Saleh dan H. Muhammad, seorang ulama terkenal asal

Minangkabau. Ia termasuk ahli seni baca Al-Qur’an (qari). Dengan berbekal

pelajaran membaca Al-Qur’an ini Abu Qasim (nama kecil Abdul Wahab)

melanjutkan pelajarannya ke Tembusai. Pada waktu itu di negri Tembusai

terdapat dua orang alim besar yang pandai mengajar kitab-kitab Arab. Seorang di

antaranya bernama Maulana Syekh Abdullah Halim, saudara dari Yang Dipertuan

Besar Sultan Abdul Wahid Tembusai, dan seorang lagi bernama Syekh

Muhammad Saleh Tembusai. Kedua ulama ini sangat tekun dan rajin

mengembangkan ilmu agama, termasuk nahu, saraf, tafsir, hadist, tauhid, fiqih,

dan tasawuf.

Di Tembusai inilah Abu Qasim mendapatkan bapak angkat yang

bernama H. Bahaudin. Dengan bantuan bapak angkat inilah pendidikan beliau

dapat dilanjutkan kepada Syekh Abdullah Halim dan Syekh Muhammad Saleh.

Berkat ketekunannya, maka setelah tiga tahun ia mampu mengalahkan murid-

murid terdahulu dari padanya. Abu Qasim banyak memperdalam kitab-kitab

Fathul Qarib, Minhaajut Thalibin, Iqna, Tafsir Al Jalalain, dan lain lain dalam

ilmu fikih, nahu, saraf, lughah, bayan, mantik, maani, balaghah, arudh, asytiqaq,

dan lain-lain.

Sebagai puncak dari kemajuannya dalam pelajaran ini, kedua gurunya

memberi gelar kehormatan Fakih Muhammad. Fakih artinya orang yang alim

dalam hukum fikih, atau sarjana hukum Islam. Upacara pemberian gelar

88

penghormatan ini dilakukan dihadapan suatu majelis resmi, yang dihadiri oleh

khalayak ramai. H. Abdullah Halim dan H.M. Saleh melantiknya dengan

menyatakan Ikhwanul Muslimin (pernyataan tentang persaudaraan Islam).

Abu Qasim bin Abdul Manap Tanah Putih namanya dan dikaruniai gelar

dengan nama tuan Pakih Muhammad bin Abdul Manap Tanah Putih, berkat Al

Fatihah. Pada tahun 1277 H (1861 M) di samping berniaga, ia berguru kepada

Syekh H. Muhammad Yusuf asal Minangkabau. Tuan Syekh M. Yusuf ini

belakangan menjadi mufti dilangkat dan lebih terkenal dengan panggilan Tuk

Ongku. Ia bersama dengan Syekh Abdul Wahab Rokan dipandang orang keramat

dan meninggal di Tanjung Pura, Langkat dimakamkan di samping Mesjid Azizi.

Kurang lebih dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1279 H (1863 M), ia

mengajukan permohonan kepada gurunya, agar diizinkan berangkat ke Tanah

Suci Mekah untuk melanjutkan pelajaran. Permintaan ini dikabulkan dan dalam

perjalanan menuju Mekah bapak angkatnya H. Bahaudin senantiasa

menemaninya.

Mula mula mereka berangkat ke Singapura. Pada waktu itu di kota itu

terdapat seorang Syekh yang keramat bernama Habib, makamnya di Tanjung

Pagar. Setibanya di kota ini, Pakih Muhamad ziarah kepadanya dengan terlebih

dahulu memberi salam kepadanya. Begitu melihat Pakih Muhammad, Habib Nuh

serta merta mencium tangan, bahu dan seluruh tubuhnya seraya mengatakan,

“Barakallahu” (Allah memberkatimu).

Setelah beberapa hari di sana H. Muhammad dan Pakih Muhammad

meninggalkan Singapura menuju Jeddah dengan kapal. Menurut sejarah,

89

pelayaran dengan kapal, baru ada di Singapura pada tahun 1280 H, bernama Sri

Jedah. Di Mekah mereka masuk kelompok Syekh M. Yunus bin Abdul Rahman

Batu Bara, tinggal di Kampung Qararah tidak jauh dari Mesjid Al Haram. Selesai

mengerjakan ibadah haji, Pakih Muhammad beroleh gelar Haji Abdul Wahab

Tanah Putih. H. Bahauddin kembali ke tanah air, pulang ke Tembusai. Sementara

H. Abdul Wahab tinggal di Mekah untuk melanjutkan pelajaran.

Ia belajar kepada Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii, dan kepada Syekh

Hasbullah. Beliau juga belajar kepada guru guru asal Indonesia seperti Syekh M.

Yunus bin Abdul Rahman Batubara, Syekh Zainuddin Rawa, Syekh Ruknuddin

Rawa, dan lain lain. Untuk menambah ilmu, baik ilmu duniawi maupun ilmu

akhirat. Perjalanan kesehariannya hanya di sekitar Mesjidil Haram, dari rumah ke

mesjid, makam Ibrahim, Hijir Ismail, telaga Zamzam dan ke rumah guru. Teman

seperjalanannya, antara lain H. Abdul Majid Batubara dan H.M. Nur bin

H.M.Tahir Batubara.

Meski telah banyak kitab yang dipelajari, namun H. Abdul Wahab belum

puas, sebab menurut anggapannya hatinya belum bersih, masih bersarang sifat

sifat yang tercela seperti ujub, sum’ah dan kasih kepada dunia. Ia ingin

menjauhkan diri dari sepuluh sifat yang tercela sebagaimana yang tercantum

dalam kitab kitab tasawuf. Oleh karena itu H. Abdul Wahab memperdalam

pengetahuannya dalam bidang tasawuf, dengan mempelajari kitab Ihya Ulimuddin

karangan Imam Ghazali serta meminta nasihat kepada gurunya Syekh M. Yunus.

Maka Syekh M. Yunus pun menyerahkannya belajar kepada Syekh Sulaiman

Zuhdi di puncak Jabal Kubis.

90

Syekh Sulaiman Zuhdi adalah seorang pemimpin Tarekat Nasyabandiah

dan wali yang terkenal pada masa itu. Memimpin suluk di Jabal Kubis sejak

bertahun tahun. Setelah menerima Tarekat Naqsyabandiah dari Syekh Sulaiman

Zuhdi H. Abdul Wahab pun mengamalkannya dengan sungguh-sungguh

sementara itu tetap terus mengaji kepada Sayid Zaini Dahlan, Mufti Mazhab

Syafii, Syekh Hasbullah, dan Syekh Zainuddin Rawa.

Syekh Sulaiman Zuhdi amat gembira menyaksikan kemajuannya yang

luar biasa dari H.Abdul Wahab dan mendoakan semoga ia kelak akan dapat

mengembangkan ilmu Tarekat Naqsyabandiah di Sumatra, Kedah, Pahang

(Malaysia), dan daerah lain.

Pada suatu ketika, Syekh Sulaiman Zuhdi mendapat petunjuk dari Allah,

dan bisikan rohaniah dari Syekh Syekh Naqsyabandiah bahwa kepada H. Abdul

Wahab harus diberikan gelar khalifah dan diperbolehkan memimpin rumah suluk

serta mengajarkan ilmu Tarekat Naqsyabandiah dari Aceh sampai Palembang.

Syekh Sulaiman Zuhdi pun dengan resmi mengangkatnya menjadi khalifah besar

dengan memberinya ijazah bai’ah dan silsilah Tarekat Naqsyabandiah yang

berasal dari nabi Muhammad SAW. sampai kepada Syekh Sulaiman Zuhdi dan

seterusnya kepada Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi. Ijazah itu

ditandai dengan dua cap.

H. Abdul Wahab pun memperlihatkan ijazah tersebut kepada H. M.

Yunus Batu bara. Beliau kagum dan tercengang, karena menurut pengetahuannya

belum ada seorang pun murid beliau yang diberi ijazah bercap dua. Ketika Syekh

M. Yunus menanyakan kepada Syekh Sulaiman Zuhdi. Beliau menjawab,

91

“Dengan ijazah ini semoga H. Abdul Wahab bin Abdul Manap itu akan

mengembangkan dan memashyurkan Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia,

Malaysia dan daerah sekitarnya. Beberapa Sultan akan berguru kepadanya dan

beberapa panglima yang gagah perkasa akan tunduk, orang kafir dan Islam hormat

kepadanya.”

2.4.2 Mengembangkan Agama dan Tarekat

Syekh Abdul Wahab Rokan merupakan seorang ulama yang produktif

dalam menyiarkan ajaran Islam dan Tarekat Naqsyabandiah. Walaupun selain

Tarekat Naqsyabandiah Syekh Abdul Wahab Rokan juga adalah seorang penganut

Tarekat Samaniah.

Di samping menyiarkan agama dan Tarekat ke berbagai wilayah negeri

Syekh Abdul Wahab kerap membuka perkampungan. Seperti pada tahun 1285 H

(1869 M), dalam usia 58 tahun beliau membuka sebuah kampung di wilayah

Kubu, yang dinamainya Kampung Mesjid. Kampung ini dijadikannya pangkalan

atau basis bagi usaha usahanya menyebarkan agama ke daerah daerah sekitarnya.

Seperti ke Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang, Kabupaten Labuhan Batu, Dumai,

Bengkalis, Pekan Baru, dan Sungai Ujung Malaysia. Di daerah Kualuh beliau

juga membuka kampung baru pula dengan nama Kampung Mesjid pada tahun

1873 M (1292 H). Dari Rokan, menyusur pantai Timur Sumatra sampai ke Utara

kemudian meluaskannya sampai ke daerah Langkat.

92

2.4.3 Membangun Babussalam

Berawal dari kepulangan teman seperjalanan Syekh Abdul Wahab yaitu

Syekh M. Nur Batubara yang kembali ke Asahan dan pada tahun 1292 pindah ke

Tanjung Pura, Langkat. Pada masa itu kerajaan Langkat dipimpin oleh Sultan

Musa Al-Muazzamsyah gelar pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Sultan Aceh.

Ayahhandanya bernama Sultan Ahmad, raja ketujuh memerintah kerajaan

Langkat, berasal dari Siak Seri Indra Pura. Kira-kira 400 tahun yang lalu, sultan-

sultan yang memerintah di daerah Langkat, telah memelihara guru-guru agama.

Pada masa itu salah satu putra sultan musa yang diharapkan akan dapat

menggantikan beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini sangat

memukul batin Sultan sehingga beliau meminta nasehat kepada Syekh H.M. Nur

yang menganjurkan agar sultan beserta istri bersuluk kepada Syekh Abdul Wahab.

Sehingga pada waktu itu baginda menyediakan sebuah rumah di Gebang Desa

Putri untuk tempat bersuluk.

Syekh Abdul Wahab beberapa kali mengunjungi Sultan Musa ke Langkat

atas permintaannya sehingga pada kunjungan Syekh Abdul Wahab yang ketiga

kalinya ketanah Langkat mendapatkan tawaran dari Sultan Musa agar suluk

dilaksanakan di Kampung Lalang kira kira 1 kilometer dari Kota Tanjung Pura.

Akan tetapi menurut pertimbangan tuan guru tempat tersebut kurang sesuai dan

memohon agar diberikan sebidang tanah untuk perkampungan, dimana ia dapat

beribadat dan mengajarkan ilmu agama dengan leluasa. Sultan Musa Al-

Muazzamsyah pada waktu itu juga dengan disaksikan oleh anggota anggota

rombongan mewakafkan sebidang tanah yang dikehendaki oleh tuan Guru.

93

Tepatnya tanggal 15 Syawal 1300 H berangkatlah Syekh Abdul Wahab dengan

keluarga dan murid muridnya yang berjumlah 160 dengan 13 buah perahu pindah

dengan resmi dan menamakan tempat tersebut dengan nama Babussalam.

Pembangunan pertama yang dilakukan di Babussalam adalah mendirikan

sebuah madrasah (mushola) tempat sholat bagi laki laki dan wanita. Cara

pembangunan ini adalah sesuai dengan ajaran Islam, di mana Nabi Muhammad

SAW. mula mula Hijrah ke Madinah (622 M), membangun tiga proyek besar

yaitu:

1. Membangun Mesjid sebagai lambang pembangunan mental spiritual.

2. Menjalin rasa persaudaraan antara golongan anshor dan muhajirin sebagai

lambang pembangunan sosial ekonomi.

3. Mempermaklumkan lahirnya negara Islam dengan ibu kotanya Madinah,

konstitusinya Al-Qur’an dan Hadist, sebagai lambang pembangunan dalam

bidang politik.

Luas mushola ini 10 X 6 depa, diperbuat dari kayu kayu yang sederhana,

dipergunakan selain tempat salat dan mengaji, juga tempat melakukan kegiatan

kegiatan ibadah lainnya. Sampai kini mushola tersebut tidak pernah disebut orang

dengan mesjid atau mushola akan tetapi lebih terkenal dengan sebutan madrasah

atau mandarsah/nosah menurut dialek Babussalam.

2.4.4 Percetakan, Pertanian, dan Bintang Kehormatan

Tuan guru Syekh Abdul Wahab tidak saja menitikberatkan usahanya

dalam pembangunan mental spiritual, akan tetapi juga bergerak dalam

94

pembangunan fisik-material. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibukanya sebuah

perkebunan jeruk manis disuatu areal tanah di Kampung Babussalam. Pada tahun

1325 H, sebanyak 400 (empat ratus pohon). Tanaman tanamannya subur, dengan

memperhatikan saran saran para ahli pertanian dan menghasilkan 7.000 rupiah

setahun. Murid murid beliaupun banyak mengikuti jejaknya, dengan menanam

jeruk secara kecil kecilan sekedarnya.

Selain jeruk beliau juga membuka perkebunan karet. Untuk mencari bibit

pohon karet ini, beliau menugaskan H. Bakri dan Pakih Kamaluddin Tembusai ke

Perak (Malaysia). Keduanya kembali dengan membawa bibit karet sebanyak

delapan belas goni. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1330 H. Dari bibit-bibit

inilah banyak penduduk banyak bertanam karet di sekitar Kampung Babussalam

dan kapung kampung lainnya sampai ke Stabat.

Selain itu beliau membangun sebuah perkebunan lada hitam. Para jamaah

yang hidupnya ditanggung beliau, dikerahkan bergotong-royong mengolah

perkebunan tersebut beberapa jam dalam sehari. Malangnya pada suatu ketika

banjir menyerang kampung Babussalam yang mengakibatkaan kebun lada

tersebut menjadi musnah. Kemudian digantikan beliau dengan kebun pala, kopi,

pinang, durian, rambutan, jeruk, dan kelapa. Sekurang-kurangnya sekali setahun

Babussalam dilanda banjir. Sesudah benteng di sepanjang pinggir Sungai Batang

Serangan dibangun oleh pemerintah pada tahun 1992, barulah Desa Babussalam

aman dari ancaman banjir.

Dalam bidang peternakan beliau tidak ketinggalan. Beliau memiliki dan

mengolah tambak ikan. Penduduk diberi kesempatan beternak ayam dan kambing

95

atau lembu. Beliau juga memiliki ternak lembu yang dipercayakan kepada Pak

Selasa untuk memeliharanya. Usaha pertanian dan peternakan itu diselenggarakan

secara tradisional dengan alat-alat yang sederhana. Untuk menjaga kebersihan

kampung, maka semua hewan ternak harus dikandangkan, dijaga jangan

berkeliaran. Pemilik ternak yang tidak menjaga hewan ternaknya, dan

membiarkannya berkeliaran, akan dihukum oleh tuan guru.

Barang siapa mencuri ayam, maka beliau menghukumnya, dengan

menyuruhnya taubat di depan Madrasah Besar, disaksikan oleh khalayak ramai

dengan meneriakkan: “Astaghfirullahal’azhim tobat mencuri ayam.” Hukuman

itu harus dijalani selama beberapa jam.

Pada tahun 1328 H, H Bakri bermusyawarah dengan Tuan Guru

mengenai pembangunan kampung Babussalam. Antara lain disarankan supaya

mendatangkan guru guru terkenal ke Babussalam, dari Mekah dan Mesir.

Pelajaran tulisan Arab supaya lebih diintensifkan. Industri tekstil atau pabrik

tenun dan usaha kerajinan tangan lainnya supaya dibangun. Untuk keperluan itu,

lebih dahulu diutus tenaga tenaga ahli mengadakan riset dan penelitian

kebeberapa negara. Untuk meningkatkan usaha usaha pembangunan dalam

penerangan dan penyiaran (komunikasi dan informasi) hendaknya dibangun

sebuah unit percetakan. Pembangunan proyek pertanian yang dapat dikerjakan

oleh pelajar pelajar di samping belajar, dan usaha usaha lainnya yang dapat

meningkatkan taraf hidup penduduk Babussalam.

96

Saran saran ini diterima baik oleh Tuan Guru, akan tetapi beliau

memberikan analisis sebagai berikut: “Ketahuilah, bahwa Allah menjadikan uang

dirham itu 3 alamat, yaitu:

1. Uang (rupiah belanda) itu bulat seperti bola. Hal ini menunjukkan orang yang

mempunyai uang itu kadang-kadang naik ke atas dan kadang-kadang jatuh

kebawah. Mencari uang itu mudah, tetapi menyimpannya susah.

2. Pada mata uang itu ada gambar kepala orang. Maknanya kalau hati putih, ia

dapat dibawa ke jalan kebaikan. Kalau uang itu putih hati kita hitam, niscaya

kita dibawanya hanyut kepada kejahatan.

3. Uang itu keras, hal ini mengandung isyarat hendaklah kita berkeras hati

melawannya. Karena hati hendak bersedekah, tangan dipegang oleh tujuh

puluh setan. Kalau setan yang tujuh puluh itu dapat dikalahkan, barulah

sedekah kita itu terlaksana.

Pada tahun 1324 H, H. Yahya disuruh Tuan Guru bersuluk selama empat

puluh hari kepadanya di Batubara. Ikut pula bersuluk Datuk Laila Wangsa. Ketika

itu yang menjadi kepala kampung di Babussalam H. Abdul Jabbar dan mengajar

ilmu agama di madrasah besar, menggantikan Tuan Guru selama di Batubara

adalah H. Bakri. Ia mengajar, pagi pagi, sesudah Zuhur, sesudah Maghrib, dan

sesudah salat Isya. Selama dua bulan Tuan Guru berada di Batubara, beliau

beroleh penghasilan sebanyak 3.750 rupiah langsung dibawanya ke Babussalam.

Mengingat kemajuan Babussalam memerlukan usaha dalam bidang

penerbitan, maka H. Bakri meminjam uang sebanyak 2.500 rupiah, untuk

membeli sebuah mesin cetak. Tuan Guru memenuhinya, sebagai bantuan wakaf,

97

bukan pinjaman. Maka dengan modal 2500 rupiah inilah H. Bakri berusaha

membeli sebuah unit percetakan, yang intertipenya adalah huruf-huruf Arab.

Mesin cetak ini merupakan yang pertama di Langkat, dan pada tahun 1326 H,

dipimpin langsung oleh H. Bakri dan H. M. Ziadah dan H. M. Nur, menantu Tuan

Guru.

Kitab kitab yang pernah diterbitkan, hasil percetakan Babussalam ini

antara lain:

1. Soal jawab, sebanyak 1000 eksemplar,

2. Aqidul Iman, sebanyak 1000 eksemplar,

3. Sifat Dua Puluh, sebanyak 1000 eksemplar,

4. Nasihat Tuan Guru, sebanyak 1000 eksemplar,

5. Syair Nasihatuddin, sebanyak 1000 eksemplar,

6. Berkelahi Abu Jahal, sebanyak 500 eksemplar,

7. Permulaan Duni dan Bumi, sebanyak 500 eksemplar,

8. Adabuz Zaujain (Adab Suami Istri), sebanyak 500 eksemplar,

9. Dalil yang Cukup, sebanyak 500 eksemplar,

10. Dan lain lain.

Sayangnya, buku-buku tersebut tidak ada lagi dewasa ini. Berpuluh-

puluh orang buruh bekerja pada percetakan ini. Dengan perantaraan penerbitan

penerbitan seperti brosur-brosur atau siaran-siaran lainnya, makin tersiarlah nama

Babussalam ke mana-mana. Hubungan persahabatan dengan pemimpin-pemimpin

Islam di berbagai negara tambah erat pula.

98

2.4.5 Mendirikan Serikat Islam

Dalam dunia pergerakan, Tuan Guru Syekh Abdul Wahab juga tidak

sedikit memainkan peranan. Sekalipun tidak aktif memimpin sesuatu partai atau

sesuatu gerakan nasional, secara langsung akan tetapi usaha usaha ke arah itu,

amatlah giatnya. Pada tahun 1913 (1332 H) diutusnya suatu delegasi ke

musyawarah Syarikat Islam di Jawa. Anggota delegasi terdiri dari putra-putranya.

Pakih Tuah, Pakih Tambah, dan seorang tokoh bernama H. Idris Kelantan.

Pakih Tuah dan Pakih Tambah langsung mengadakan pembicaraan

dengan H.O.S. Cokroaminoto dan Raden Gunawan dan lain-lain pemimpin

gerakan pada masa itu di Jakarta, Solo, dan Bandung. Delegasi diberi tugas untuk

mengadakan hubungan dengan pemipin-pemimpin pergerakan nasional itu,

supaya dibenarkan mendirikan cabang Serikat Islam di Babussalam. Pemimpin

pusat Serikat Islam yang menjelma menjadi Partai Serikat Islam Indonesia,

menyuruh mereka mengadakan hubungan terlebih dahulu dengan perwakilan PSH

di Medan, yaitu M. Samin.

Sekembalinya dari Jawa, maka diadakan pertemuan dengan M. Samin

dan beberapa orang tokoh tokoh lainnya Grand Hotel Medan (sekarang Hotel

Garuda). Sebagai hasil dari pertemuan ini, dibenarkanlah berdirinya SI cabang

Babussalam, di bawah pimpinan H. Idris Kelantan, dengan sekretaris Hasan

Tonel. Anggota-anggota pengurus lainnya terdiri dari Pakih Tuah, Pakih Tambah,

pakih Muhammad, H. Bakri, dan lain lain. Penyumpahan (bai’ah) dilakukan

langsung oleh H. Idris Kelantan. Tuan Guru Syekh Abdul Wahab bertindak

sebagai penasehat.

99

2.4.6 Imam dan Bilal di Madrasah Babussalam

Sejak pindah ke Babussalam pada tahu 1300 H, Tuan Guru telah

membagi bagi tugas di antara anak-anak dan jamaahnya pada tahun pertama

membangun kampung ini, Tuan Guru menunjuk wakilnya dalam pembangunan

madrasah, rumah suluk dan menghadap Sultan Langkat kepada H. Abdullah

Hakim. Pada masa itu putra putra Tuan Guru belum ada yang dewasa. Pada tahun

1313 H, yang menjadi Imam di kampung Babussalam adalah sebagai berikut: 1.

H. M. Sa’id Kelantan, 2.H.M. Amin Kota Intan, 3. H. M. Zain Kubu. Menjadi

Bilal: 1. Bilal Muhammad Nurdin Tembusai, 2. M. Arsyad Kampar, 3. Usman

Tembusai.

Pada tahun 1327 H, menjadi Imam: 1. H. Abdul Fattah, Menantu Tuan

Guru, 2. H.M. Said, menantu Tuan Guru, 3. H. Harun, anak Tuan Guru, 4. Abdul

Kahar, anak Tuan Guru, 5.Pakih Yazid, Anak Tuan Guru, 6. Hasan, menantu

Tuan Guru,7. Pakih Muhammad, menantu Tuan Guru

Adapun yang menjadi bilal (1327 H): 1. M. Nuh bin H. Ibrahim Serdang,

2. M. Saleh Kota Intan, 3. Ahmad Tembusai. Pada tahun 1340 H, menjadi bilal :

1, Abdul Rasyid Tembusai 2. Thalib Mandailing, 3. Ahmad bin Harun.

Pada tahun 1315 H, H Yahya dipercayakan melakukan pekerjaan

pekerjaan penting di Babussalam. Pada tahun 1322 H, H. Abdul Jabbar mewakili

tuan Guru dalam segala urusan masyarakat. Pada tahun 1324 H. Abdul Jabbar

ditetapkan menjadi kepala kampung.

Pada tahun 1327 H, Tuan Guru menyatakan kepada anak-anaknya bahwa

ia telah tua, hanya dapat beribadat saja lagi. Karena itu untuk membangun

100

kampung Babussalam ini ditetapkan: 1. H. Abdul Jabbar menjadi kepala

kampung. 2. H. Harun, H. Abdul Fattah dan H.M.Nur, mengajar Qur’an dan kitab

kitab agama.

2.4.7 Mengajar Di Istana

Pada tahun 1328 H, H. Harun diutus ke Panai, Kota Pinang, dan Kubu.

H.M.Nur ke Minangkabau dan Perak (Malaysia). H. Abdul Fattah, ke Mekah, H.

Bakri ke Tanah Putih, Rambah, Kepenuhan, Singapura dan Batu Pahat

(Malaysia).

Pada tahun 1335 H, Sultan Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah mempersilakan

Tuan Guru mengajar di dalam Istana Darul Aman Tanjung Pura, seminggu sekali,

yaitu setiap hari Ahad. Hadir pada pengajian ini pembesar-pembesar kerajaan.

Datuk-datuk, dan tokoh-tokoh masyarakat. Biasanya tuan guru memberikan

ceramah agama itu memakan waktu sekitar dua jam. Selesai pengajian bilal pun

azan lalu semua hadirin salat Zuhur dengan berjamaah dan makan bersama.

Kadang-kadang hadir juga pada pengajian ini Sultan Siak, Sultan Johor, Raja-raja

Panai dan Asahan, Perak, dan lain lain.

Pada tahun 1337 H, harga beras naik. Kehidupan rakyat sulit. Di dalam

Negeri Langkat, sekati beras (6 ons) berharga 22 sen. Satu gantang padi berharga

14 rupiah. Sultan Aziz sebelum pengajian dimulai meminta kepada Tuan Guru

Syekh Abdul Wahab supaya mendoakan semoga harga beras turun dan rakyat

senang.

101

Pada masa itu Siam menghentikan ekspor berasnya. Di Eropa, Inggris

dan negeri belanda, sekati beras berharga tiga rupiah dan sepikul berharga tiga

ratus rupiah. Di Jepang sekati beras seharga empat puluh sen. Kenaikan harga

beras ini , adalah akibat dari perang dunia pertama.

Barulah pada tahun 1339 H, harga beras dunia menjadi turun. Pada saat

harga beras membumbung tinggi, Sultan Abdul Aziz mengumumkan siapa yang

tidak mampu membeli beras, dipersilakan mengaji Qur’an membaca Qul

Huallahu Ahad (surat Al Ikhlas) atau membaca Shalawat di mesjid Azizi Tanjung

Pura. Baginda sendiri menjamin kehidupan mereka. Baginda terkenal dermawan,

setiap tahun berzakat empat puluh ribu rupiah. Pada setiap 27 Ramadan

mengadakan jamuan besar, bersedekah, kadang-kadang sampai sepuluh ribu

rupiah dan kadang-kadang sampai limaa belas ribu rupiah.

Pada 13 Rabiul Awal tahun 1320 H, Sultan Abdul Aziz mendirikan

sebuah mesjid Raya di Tanjung Pura, dinamainya dengan Masjid Azizi.

Bangunannya dapat menampung ribuan jamaah. Sampai kini masjid itu masih

berdiri dengan megahnya, menjadi kebanggaan bagi daerah Langkat.

Pada tahun 1331 H, baginda mendirikan perkumpulan agama yang

bernama Al-Jamiatul Mahmudiah Litholabil Khairiah. Atas usaha baginda,

didirikan sebuah madrasah agama di bekas istana almarhum ayahandanya, Sultan

Musa Al-Muazzamsyah dengan nama Madrasah Maslurah. Tidak lama kemudian

dijadikan tempat pengajian tingkat tsanawiyah, dengan nama Madrasah Aziziah.

Madrasah Maslurah dan madrasah Aziziah ini terkenal pada zamannya karena

banyak mengeluarkan alim ulama dan cerdik pandai yang terkenal.

102

2.4.8 Bintang Kehormatan

Tuan guru memimpin Kampung Babussalam dengan aman dan makmur

dan pengaruhnya semakin besar. Melihat kebesaran itulah kerajaan Belanda yang

berkuasa pada masa itu merasa curiga dan khawatir terhadap dirinya. Syekh

Abdul Wahab merupakan bintang yang cemerlang dalam Kerajaan Langkat.

Karena itulah pada tanggal 1 Jumadil Akhir 1341 H (1923) Asisten Residen Van

Aken bersama Sultan Abdul Aziz Jalil Rahmatsyah menghadiahkan sebuah

bintang kehormatan. Dari emas kepada beliau Asisten Residen Langkat itu sendiri

melekatkan bintang emas tersebut ke dadanya. Sebelum itu Sultan Abdul Aziz

Jalil Rahmatsyah telah memberikan sejumlah uang pada tuan guru untuk membeli

sepersalinan pakaian yang akan dipakainya sewaktu menerima bintang

kehormatan itu. Upacara berlangsung di madrasah besar, dengan disaksikan

ribuah hadirin. Yang memenuhi ruangan itu. Syekh Abdul Wahab duduk

ditengah tengah menghadap kiblat.

Sebaik bintang itu diterimanya, ia pun menyatakan dengan tegas, kepada

wakil pemerintah yang menyematkan bintang itu, supaya menyampaikan

pesannya, agar raja Belanda memeluk agama Islam. Pemberian bintang itu

tidaklah menggembirakan beliau, dan tidak pula membuat beliau menjadi

congkak. Bintang itu hanya beberapa waktu saja di tangannya, kemudian

diserahkan kepada Sultan Aziz sampai wafatnya, bintang itu berada di tangan

Sultan Langkat.

103

2.5 Silsilah

Silsilah Tarekat Naqsyabandiah yang sampai kepada Syekh Abdul

Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi (1811-1926) menurut H. Ahmad Fuad

Said dalam tulisannya sejarah Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam,

adalah sebagai berikut:

1. Nabi Muhammad Saw

2. Abu Bakar Siddiq R.a

3. Salman Al – Farisi

4. Qasim bin Muhammad

5. Imam Ja’far Shadiq

6. Abu Yazid Bustami, nama lengkapnya Syekh Abu Jazid Thaifur bin Isa bi

7. Adam bin Sarusyan Al-Busthami

8. Abu Hasan Ali bin Ja’far Al-Kharqani

9. Abu Ali Al-Fadhal bin Muhammad Al-Thusi Al-Farmadi

10. Abu Ya’kub Yusuf Al-Hamdani bin Aiyub bin Yusuf bin Husin

11. Abdul Khaliq Al-Fajduwani bin Al-Imam Adul Jamil

12. Arif Al-Riyukuri

13. Mahmud Al-Anjiru al-Faghnawi

14. Ali Al-Ramituni, terkenal dengan Syekh Azizan

15. Muhammad Baba As-Samasi

16. Amir Kulai bin Sayid Hamzah

17. Bahauddin Naqsyabandi

104

Kemudian silsilah tersebut berkelanjutan sampai kepada Syekh Abdul

Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi. Sesuai dengan ijazah yang diperoleh

beliau dari gurunya Syekh Sulaiman Zuhdi sesudah bersuluk selama 6 tahun di

Jabal Abi Kubis, Mekkah, maka silsilah tersebut adalah sebagai berikut:

18. Muhammad Bukhari

19. Ya’kub Yarki Hishari

20. Abdullah Samarkandi (Ubaidullah)

21. Muhammad Zahid

22. Muhammad Darwis

23. Khawajaki

24. Muhammad Baqi

25. Ahmad Faruqi

26. Muhammad Ma’shum

27. Abdullah Hindi

28. Dhiyaul Haqqi

29. Ismail Jamil Minangkabawi

30. Abdullah Afandi

31. Syekh Sulaiman

32. Sulaiman Zuhdi

33. Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi.

105

2.6 Tuan Guru yang Menjabat di Babussalam

Di perkampungan Babussalam saat ini terdapat dua tuan guru yang

menjabat sebagai pimpinan (mursyid). Kedua tuan guru ini memiliki tempat

persulukan yang berbeda lokasi di Babussalam. Keduanya memiliki hubungan

yang erat karena masih satu garis keturunan dari Tuan Guru Syekh Abdul Wahab

Rokan.

Hal ini terjadi karena adanya perselisihan antara Syekh Muhammad Daud

dan Syekh Pakih Tambah tentang kepemimpinan Babussalam pada tahun 1948.

Sejak saat itu di Babussalam terdapat dua tempat persulukan yang dikenal dengan

Besilam Atas dan Besilam Bawah. Besilam atas atau yang menempati madrasah

besar saat ini dipimpin oleh Syekh Hasyim Al Syarwani dan Besilam Bawah

dipimpin oleh Syekh H Tajuddin bin Muhammad Daud.

Besilam Atas

Tuan Guru I : Syekh Abdul Wahab Rokan Al Kholidi Naqsyabandy

Menjabat dari tahun 1300-1345 H atau 1880-1926 M

Tuan Guru II : Syekh Yahya Afandi

Menjabat dari tahun 1345-1351 H atau 1926-1932 M

Tuan Guru III : Syekh Abdul Manaf

Menjabat dari tahun 1351-1354 H atau 1932-1935 M

Tuan Guru IV : Syekh Abdul Jabbar

Menjabat dari tahun 1354-1360 H atau 1935-1942 M

Tuan Guru V : Syekh Muhammad Daud

Menjabat 1360-1361 H atau 1942-1943 M

106

Tuan Guru VI : Syekh Fakih Tambah

Menjabat dari tahun 1361-1392 H atau 1943-1972 M

Tuan Guru VII : Syekh Abdul Mu’im

Menjabat dari tahun 1392-1401 H atau 1972-1981 M

Tuan Guru VIII : Syekh Maddayan

Menjabat dari tahun 1401-1406 H atau 1981-1986 M

Tuan Guru IX : Syekh Pakih Sufi

Menjabat daritahun 1406-1407 H atau 1986-1987 M

Tuan Guru X : Syekh Anas Mudawar

Manjabat dari tahun 1407-1418 H atau 1987-1997 M

Tuan Guru XI : Syekh Hasyim Al Syarwani

Menjabat dari tahun 1418 H atau 1997 M sampai dengan

sekarang

Besilam Bawah

Tuan Guru I : Syekh Abdul Wahab Rokan Al Kholidi Naqsyabandy

Menjabat dari tahun 1300-1345 H atau 1880-1926 M

Tuan Guru II : Syekh Muhammad Daud

Menjabat dari tahun 1366-1392 H atau 1948-1972 M

Tuan Guru III : Syekh H Tajuddin

Menjabat dari tahun 1392 atau 1872 sampai sekarang

107

2.7 Aktivitas

2.7.1 Baiah

Arti dari baiah adalah berjanji, atau bersumpah setia. Namun dalam

Tarekat Naqsyabandiah sumpah dan janji yang dimaksud adalah berjanji akan taat

kepada perintah Allah. Inti dari aktivitas ini sesungguhnya adalah bertaubat akan

segala dosa yang pernah dilakukan di hadapan guru, khalifah, dan para jamaah

serta memengakui bahwa Tarekat merupakan jalan untuk mendapatkan keridhaan

Allah. Bentuk penyerahan diri ini disimbolkan dengan membawa sebuah jeruk

purut kepada mursyid atau khalifah yang akan membaiahkan. Selanjutnya buah

jeruk tersebut akan dipergunakan sebagai pengganti sabun mandi nantinya pada

waktu mandi taubat.

Baiah merupakan sebuah persyaratan mutlak bagi penganut Tarekat

Naqsyabandiah. Oleh karena itu setiap seseorang yang ingin bergabung dalam

Tarekat ini diwajibkan untuk melaksanakan aktifitas baiah ini agar dapat diakui

sebagai ahli keluarga Tarekat Naqsyabandiah. Baiah juga bertujuan sebagai

pengangkatan guru dan murid. Oleh karena itu walaupun seseorang itu telah

melakukan baiah pada Tarekat Naqsyabandiah ditempat yang lain tetapi apabila ia

ingin belajar Tarekat Naqsyabandiah diBabussalam maka ia juga akan diwajibkan

untuk melakukan bai’ah kembali agar dapat diterima sebagai murid.

Pada hakekatnya baiah adalah penyerahan diri kepada Allah dengan

perantaraan mursyid atau guru didalam persulukan. Penyerahan diri ini dapat juga

diartikan dengan pernikahan yaitu menikahkan Allah dengan hambanya,

menikahkan rasul dengan umatnya, menikahkan Al-Qur’an dengan maknanya dan

108

menikahkan zahir dan batinnya. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yang

berbunyi: “annikahu sunnati famalaam yakmal bissunnati falaaisya minni” yang

artinya adalah “nikah itu adalah sunnahku barang siapa yang tiada menikah maka

ia bukan dari golonganku.”

Adapun yang menjadi dasar dari bentuk penyerahan diri ini adalah

mengikut kepada sejarah Rasulullah Ismail AS. dan Rasullullah Muhammad

SAW. Nabi Ismail as ikhlas tatkala menerima perintah dari Allah melalui

ayahandanya Nabi Ibrahim untuk menyerahkan dirinya dikurbankan yang

akhirnya digantikan Allah dengan seekor kibas. Bentuk penyerahan diri ini juga

dilakukan oleh Rasulullah Muhammad yang dirinya ikhlas dibedah dadanya oleh

malaikat Jibril untuk dibersihkan penyakit hati dari dalam dirinya serta

memasukkan tiga buah bejana ke dalam hatinya. Oleh karena Rasullullah adalah

merupakan contoh suri tauladan bagi sekalian umat muslim, maka aktivitas

tersebut merupakan sesuatu yang harus ditiru dan wajib dilaksanakan oleh

penganut Tarekat Naqsyabandiah Babussalam.

2.7.2 Berkhalwat

Penganut Tarekat melakukan khalwat atau suluk, dengan mengasingkan

diri kesebuah tempat, dibawah pimpinan seorang mursyid. Kadang kadang masa

berkhalwat itu sepuluh hari, dua puluh hari dan sampai empat puluh hari lamanya.

Menurut Najmuddin Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub. Sekurang

kurangnya suluk itu selama tiga hari. Boleh juga tujuh hari dan sebulan sesuai

dengan perbuatan Nabi saw. Namun yang paling baik empat puluh hari.

109

Selama dalam suluk, seseorang tidak boleh memakan sesuatu yang

bernyawa seperti daging, ikan, telur, dan sebagainya. Senantiasa berkekalan

wudhu dan dilarang banyak berbicara. Semuanya itu dimaksudkan agar hati bulat

tertuju kepada Allah semata-mata.

Menurut Syekh Ahmad Khatib yang mengutip isi kitab Jami’ul Ushul,

bahwa orang yang mula-mula memasukkan khalwat atau suluk kedalam Tarekat

ialah Syekh Khalid Kurdi. Dan yang mula mula mengadakan sistem zikir latha-if

adalah imam Robbani dan yang memasukkan khatam khawajakan adalah Syekh

Abdul Khaliq al-Fajduwani.

Imam Robbani ialah Syekh Faruqi Sarhindi, seorang ahli Tarekat di

India, lahir pada tahun 971 H (Sulsilah ke dua puluh empat) dari Nabi SAW.

Berarti dimulai pada abad ke sepuluh dan kesebelas Hijriah.

Syekh Khalid Kurdi, seorang ahli Tarekat Kurdistan, lahir pada tahun

1193 H (silsilah ke tiga puluh). Jadi, khalwat (suluk) dimulai pada abad ke dua

belas Hijriah. Syekh Abdul Khaliq Al-Fajduwani (silsilah ke sepuluh)

memasukkan Khatam khawajakan, dengan sistem sendiri.

Menurut kitab-kitab tafsir yang mu’tabar antara lain “Al-Futuhatul

Ilahiah”, “Al-Maraghi” bahwa Nabi Musa telah menyatakan kepada umatnya,

Bani Israil, bahwa jika Allah menghancurkan musuh musuh mereka, yakni

Fir’aun dan pengikutnya, ,maka ia akan menurunkan kitab Taurat kepadanya.

Setelah musuh kalah, maka Nabi Musa mohon kepada Allah supaya kitab Taurat

yang dijanjikan itu diturunkan. Maka Allah menyuroh Nabi Musa berkhalwat

dibukit Thursina selama tiga puluh hari. Nabi Musa berpuasa dan menegakkan

110

ibadat dengan berkhalwat itu menurut para ahli tafsir, pada bulan Zulkaedah

selama sebulan,dan ditambah lagi sepuluh hari pada bulan Zulhijah.

Menurut Hadits Bukhari dan Muslim Muttafaq’alaihi, dari Abu Hurairah,

dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda : “ada tujuh orang mendapat naungan

Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya (kiamat)

1. Pemimpin yang adil,

2. Seorang anak muda yang pada masa remajanya, beribadat kepada Allah,

3. Seorang laki laki yang hatinya tersangkut ke mesjid mesjid,

4. Dua orang laki laki yang berkumpul dan berpisah karena Allah,

5. Seorang laki laki yang dirayu oleh seorang wanita bangsawan dan berparas

elok untuk melakukan tindakan yang tidak senonoh tetapi menolaknya dan

berkata “aku takut kepada Allah,”

6. Seorang laki laki yang bersedekah namun tangan kanannya disembunyikan

sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diperbuat oleh tangan kanannya,

7. Seorang laki-laki yang berzikir kepada Allah ditempat sunyi (berkhalwat),

lantas kedua matanya mencucurkan air mata.

Dalam Hadits ini diterangkan bahwa salah seorang yang akan mendapat

naungan Allah nanti pada hari kiamat, adalah orang yang berzikir kepada Allah

dengan berkhalwat.

2.7.3 Khatam Khawajakan

Khatam artinya penutup atau akhir. Khawajakan kata jamak berasal dari

bahasa Persia, artinya Syekh-Syekh. Mufradnya khawajah artinya seorang Syekh.

111

Zikir dengan cara berkhatam ini ialah sejumlah murid-murid duduk dalam satu

majelis, berbentuk lingkaran, dengan dipimpin seorang Syekh yang duduk

menghadap kiblat. Di sebelah kanannya, duduk khalifah-khalifah. Dengan

susunan yang tertua khalifahnya di sebelah kanan Syekh. Dinamakan sistim ini

dengan berkhatam, karena selesai zikir, Syekh akan meninggalkan majelis itu,

maka ditutuplah dengan zikir zikir tertentu serta dilanjutkan dengan doa.

Imam Abdul Khaliq Al-Fajduwani dan pemuka-pemuka Tarekat sampai

kepada Syekh Bahauddin Naqsyabandi, sependapat bahwa barang siapa yang

mengamalkan zikir-zikir dengan sistem berkhatam itu, niscaya semua hajatnya

akan diperkenankan, terhindar dari berbagai bala, diangkatkan martabatnya dan

akan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah.

Berkhatam ini termasuk paling baik dan paling afdhal (baik) zikir dalam

Tarekat Naqsyabandiah, sesudah zikir ismu zat (Allah) dan nafi-itsbat (La Ilaha

Illallah). Roh roh Syekh Syekh akan membantu orang yang mewiridkannya.

2.7.4 Khatam Tawajuh

Menurut ajaran Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi

Tuan Guru Babussalam Langkat (1811-1926), setiap penganut Tarekat

Naqsyabandiah harus berkhatam tawajuh, baik ia sedang bersuluk maupun tidak.

Adab berkhatam tawajuh itu adalah:

1. Suci dari hadas kecil dan hadas besar.

112

2. Duduk tawaruk kebalikan dari duduk tawaruk (duduk antara dua sujud)

dalam salat. Dalam satu majlis zikir yang berbentuk lingkaran dengan pintu

tertutup.

3. Syekh atau mursyid duduk menghadap kiblat, didamping khalifah-khalifah.

Yang tertua duduk disebelah kanan mursyid dan khalifah-khalifah lain

disebelah kirinya.

4. Disediakan batu kerikil yang bersih sebanyak seratus sepuluh buah, dengan

perincian seratus buah kecil kecil dan sepuluh buah lebih besar. Batu-batu itu

dibagikan oleh petugas kepada setiap peserta. Petugas yang membagi-bagikan

itu, harus orang yang tinggi tingkat zikirnya, seperti khalifah atau orang yang

sudah mencapai tingkat tahlil. Batu yang sepuluh buah, enam diantaranya

diletakkan disebelah kanan Syekh, empat buah di kirinya. Batu-batu kecil

sebanyak dua puluh satu buah diletakkan di hadapannya.

5. Semua peserta menutupi kepalanya dengan serban atau sehelai kain, tunduk

menekurkan kepala ke lantai, memejamkan mata dengan khusyu’

(“konsentrasi”)

6. Berkhatam dimulai dengan ucapan Syekh: ”Astaghfirullahal’azhim”

sebanyak tiga kali, dan diikuti oleh peserta.

a. Membaca Al-Fatihah sepuluh kali. Bacaan ini dilakukan oleh orang yang

menerima pembahagian batu besar saja.

b. Shalawat tujuh puluh sembilan kali.

c. Membaca surat Alam Nasyrah tujuh puluh sembilan kali

113

d. Membaca surat Al-Ikhlas seratus kali. Setiap orang membacanya sebanyak

batu yang diterimanya.

e. Shalawat lagi kepada Nabi SAW. bersama sama.

f. Apabila Syekh menyebut, “robbal ‘alamin” maka seorang dari peserta

membaca sepotong ayat Al-Qur’an.

Selesai berkhatam, di tempat yang sama, para peserta melanjutkan

aktivitasnya dengan zikir menurut tingkat yang telah ditentukan Syekh. Sekurang

kurangnya lima ribu kali zikir ismu zat (menyebut Allah) dalam hati dengan

kaifiat sepuluh. Adapun waktu berkhatam tawajuh itu adalah:

1. Sesudah salat Isya dan Subuh

2. Sesudah salat Ashar, berkhatam saja

3. Sesudah salat Zuhur tawajuh saja, kecuali hari Jum’at. Pada hari Jum’at

berkhatam dan tawajuh.

2.7.5 Ideologi

Bentuk bentuk amalan Tarekat Naqsyabandiah menurut Najmuddin

Amin-AlKurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub” terdiri dari 11 (sebelas) azas

ideologi yang terbagi menjadi delapan azas dari Khwajah Maulana Syekh Abdul

Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dan 3 (tiga) azas dari Syekh

Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih.

Delapan azas dari Khwajah Maulana Syekh Abdul Khaliq Al-

Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih adalah sebagai berikut.

114

2.7.5.1 Yad Kard

Yad berarti ingat atau zikir. Perkataan kard menyatakan kata kerja bagi

ingat yakni pekerjaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ianya

merupakan zat bagi zikir. Menurut para masyaikh, yad kard bermaksud

melakukan zikir mengingat Tuhan dengan menghadirkan hati. Murid yang telah

melakukan Bai‘ah dan telah ditalqinkan dengan zikir hendaklah senantiasa sibuk

mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kalimah zikir yang telah

ditalqinkan (diucapkan dan dibenarkan dalam hati).

Zikir yang telah ditalqinkan oleh Syekh adalah zikir yang akan

membawa seseorang murid itu mencapai ketinggian derajat rohani. Syekh akan

mentalqinkan zikir kepada muridnya dengan zikir ismu zat ataupun zikir nafi

itsbat secara lisan ataupun qalbi. Seseorang murid hendaklah melakukan zikir

sebanyak-banyaknya dan sentiasa menyibukkan dirinya dengan berzikir. Pada

setiap hari, masa dan keadaan, baik dalam keadaaan berdiri atau duduk atau

berbaring ataupun berjalan, hendaklah senantiasa berzikir.

Pada umumnya seseorang yang baru menjalani Tarekat Naqshbandiah

ini, Syekh akan mentalqinkan kalimah ismu zat yaitu lafaz Allah sebagai zikir

yang perlu dilakukan pada latifah qalb (hati nurani) tanpa menggerakkan lidah.

Murid hendaklah berzikir Allah Allah pada latifah tersebut sebanyak 24 (dua

puluh empat) ribu kali sehari semalam setiap hari hingga mendapatkan cahaya

warid (cahaya penerangan iman).

Ada sebahagian Syekh yang menetapkan jumlah awalnya sebanyak lima

ribu kali sehari semalam dan ada juga yang menetapkannya sehingga tujuh puluh

115

ribu kali sehari semalam. Seterusnya murid hendaklah mengabarkan segala

pengalaman rohaniahnya kepada Syekh apabila menerima Warid tersebut.

Begitulah pada setiap latifah, murid hendaklah berzikir sebanyak-banyaknya pada

kesemua latifah seperti yang diarahkan oleh Syekh hingga tercapainya warid.

Mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara sempurna adalah dengan berzikir

menghadirkan hati ke Hadhrat Zat-Nya.

Setelah zikir ismu zat dilakukan pada setiap latifah dengan sempurna,

Syekh akan mentalkinkan pula zikir nafi itsbat yaitu kalimah La Ilaha Illa Allah

yang dilakukan secara lisan yaitu dengan cara dilafazkan melalui lidah atau secara

qalbi yaitu berzikir melalui lidah hati.

Zikir nafi itsbat perlu dilakukan menurut kaifiyatnya. Syekh akan

menentukan dalam bentuk apa sesuatu zikir itu perlu dilakukan. Yang penting

bagi salik adalah menyibukkan diri dengan zikir yang telah ditalqinkan oleh

Syekh, baik dalam bentuk zikir ismu zat ataupun zikir nafi itsbat. Salik hendaklah

memelihara zikir dengan hati dan lidah dengan menyebut Allah Allah yaitu nama

bagi Zat Tuhan yang meliputi Nama-nama-Nya dan sifat-sifatNya yang mulia

serta dengan menyebut zikir nafi itsbat dalam kalimah La Ilaha Illa Allah dengan

sebanyak-banyaknya. Salik hendaklah melakukan zikir nafi itsbat sehingga dia

mencapai kejernihan hati dan tenggelam di dalam Muraqabah. Murid hendaklah

melakukan zikir nafi itsbat sebanyak 5 (lima) ribu ke 10 (sepuluh) ribu kali setiap

hari untuk membersihkan penyakit hati. Zikir tersebut akan membersihkan hati

dan membawa seseorang itu kepada musyahadah.

116

Zikir nafi itsbat menurut Akabirin Naqshbandiyah, seorang murid yang

baru memulai zikir hendaklah menutup kedua matanya, menutup mulutnya,

merapatkan giginya, menongkatkan lidahnya ke langit-langit dan menahan

nafasnya. Dia hendaklah mengucapkan zikir ini dengan hatinya bermula dari

kalimah nafi dan dilanjutkan ke kalimah itsbat. Tetapi bagi murid yang telah lama

hendaklah membukakan kedua matanya dan tidak perlu menahan nafasnya.

Bermula dari kalimah Nafi yaitu La yang berarti Tiada, hendaklah

menarik kalimah La ini dari bawah pusatnya ke atas hingga ke otak. Apabila kata

La mencapai otak, ucapkan pula kalimah Ilaha di dalam hati yang berarti Tuhan.

Lalu digerakkan dari otak ke bahu kanan sambil menyebut Illa yang berarti

Melainkan, dan menghentakkan kalimah Itsbat yaitu Allah ke arah latifah qalb.

Sewaktu menghentakkan kalimah Allah ke arah Qalb, hendaklah merasakan

bahwa kesan hentakan itu mengenai kesemua lataif (“relung”) di dalam diri.

Zikir yang sebanyak-banyaknya akan membawa seseorang salik itu

mencapai kepada kehadiran Zat Allah dalam wujudnya secara zihni yakni di

dalam pikiran. Salik hendaklah berzikir dalam setiap nafas yang keluar dan

masuk. Yad kard merupakan amalan dalam pikiran yang bertujuan agar pikiran

senantiasa ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melakukan zikir untuk

mengingat zat-Nya. Pekerjaan zikir mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala

adalah suatu amalan yang tiada batas (had). Dapat dikerjakan pada setiap

keadaan, masa dan tempat. Berzikir Hendaknya sentiasa memperhatikan nafas

supaya setiap nafas yang keluar dan masuk itu disertai ingatan terhadap Zat Allah

Subhanahu Wa Ta’ala.

117

2.7.5.2 Baz Gasht

Baz Gasht berarti kembali, maksudnya adalah seseorang yang melakukan

zikir dengan menggunakan lidah hati menyebut Allah Allah dan La Ilaha Illa

Allah, hendaklah mengucapkan di dalam hatinya dengan penuh khusyuk kalimah

“Ilahi Anta Maqsudi, Wa Ridhoka Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka”

Yang berarti, “Wahai Tuhanku Engkaulah maksudku dan keredhaan-Mu tujuanku,

kurniakanlah cinta dan makrifat Zat-Mu.”

Bacaan di atas merupakan ucapan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi

Wasallam, ucapan ini akan meningkatkan tahap kesadaran kepada wujud dan

Keesaan Zat Tuhan, sehingga mencapai suatu tahap dimana segala wujud dari

makhluk terhapus pada pandangan matanya. Segala apa yang dilihatnya walau ke

manapun dia memandang, yang terlihat hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ucapan kata-kata ini juga memberikan pengertian bahwa hanya Allah Subhanahu

Wa Ta’ala yang menjadi maksud dan keinginan, tidak ada tujuan lain selain untuk

mendapatkan keredhaan-Nya. Salik hendaklah mengucapkan kalimah ini untuk

menguraikan segala rahasia Keesaan Zat Tuhan dan supaya terbuka kepadanya

keunikan hakikat Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagai murid,

tidak boleh meninggalkan zikir kalimah ini. Dia hendaklah tetap melakukan zikir

kalimah tersebut menurut anjuran Syekh atau Mursyidnya

Makna baz gasht ialah kembali kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi

Maha Mulia dengan penyerahan yang sempurna, mentaati segala kehendak-Nya

dan merendahkan diri dengan sempurna dalam memuji Zat-Nya. Adapun lafaz baz

gasht dalam bahasa Persia seperti yang diamalkan oleh para akabirin

118

Naqsyabandiah Mujaddidiyah adalah seperti berikut: “Khudawandah, Maqsudi

Man Tui Wa Ridhai Tu, Tarak Kardam Dunya Wa Akhirat Baraey Tu, Mahabbat

Wa Ma’rifati Khud Badih.” Yang berarti, “Tuhanku, maksudku hanyalah Engkau

dan keredaanMu, telahku lepaskan dunia dan akhirat karena Engkau, kurniakanlah

cinta dan makrifat Zat-Mu.”

Pada awalnya, jika Salik sendiri tidak memahami hakikat kebenaran

ucapan kata-kata ini, hendaklah dia tetap menyebutnya karena menyebut kata-kata

itu dengan hati yang khusyuk dan merendahkan diri akan menambah

pemahamannya dan secara sedikit demi sedikit salik itu akan merasai hakikat

kebenaran perkataan tersebut dan Insya Allah akan dapat merasakan kesannya.

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyatakan dalam doanya, “Ma

zakarnaka haqqa zikrika ya Mazkur.” Yang berarti, “Kami tidak mengingati-Mu

dengan hak mengingati-Mu secara yang sepatutnya, wahai Zat yang sepatutnya

diingati.”

Seseorang salik itu tidak akan dapat hadir ke Hadhrat Allah Subhanahu

Wa Ta’ala melalui zikirnya dan tidak akan dapat mencapai musyahadah terhadap

rahasia-rahasia dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui zikirnya jika

dia tidak berzikir dengan kuasa dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala serta ingatan

Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap dirinya.

Seorang salik itu tidak akan dapat berzikir dengan kemampuan dirinya

bahkan dia hendaklah sentiasa menyadari bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah

yang sedang berzikir melalui dirinya. Hadhrat Maulana Syekh Abu Yazid Bistami

Rahmatullah ‘alaih berkata, “Apabila daku mencapai Zat-Nya, daku melihat

119

bahwa ingatannya-Nya terhadap diriku mendahului ingatanku terhadap dirinya.”

(sumber Wikipedia)

2.7.5.3 Nigah Dasyat

Nigah berarti menjaga, mengawasi, memelihara dan dasyat pula berarti

melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Maksudnya ialah seseorang salik itu

sewaktu melakukan zikir hendaklah sentiasa memelihara hati dari segala khatrah

(lintasan hati) dan was-was dari godaan syaitan dengan bersungguh-sungguh dan

tidak membiarkan khayalan kedukaan memberi kesan pada hati.

Setiap hari hendaklah melapangkan masa selama sejam sampai dua jam

ataupun lebih untuk memelihara hati dari segala ingatan selain Allah Subhanahu

Wa Ta’ala. Selain Diri-Nya, jangan ada khayalan yang lain pada pikiran dan hati.

Nigah dasyat juga bermakna seseorang salik itu mesti memperhatikan hatinya dan

menjaganya dengan menghindarkan ingatan yang buruk masuk ke dalam hati.

Ingatan dan keinginan yang buruk akan menjauhkan hati dari kehadiran Allah

Subhanahu Wa Ta’ala.

Kesufian yang sebenarnya adalah kemampuan untuk memelihara hati

dari ingatan yang buruk dan memeliharanya dari keinginan yang rendah.

Seseorang yang benar-benar mengenali hatinya akan dapat mengenali Tuhannya.

Di dalam Tarekat Naqsyabandiah seseorang salik yang dapat memelihara hatinya

dari sembarang ingatan yang buruk selama lima belas menit adalah merupakan

suatu pencapaian yang besar dan menjadikannya layak disebut sebagai seorang

ahli sufi yang benar.

120

Menurut Khalifah H. Akhyar Murni yang menjadi salah satu nara sumber

penulis berkata bahwa “Nigah dasyat adalah merupakan syarat ketika berzikir,

bahwa ketika berzikir hendaklah menghentikan segala bentuk khayalan serta was-

was. Apabila ada khayalan yang selain Allah terlintas didalam hati maka pada

waktu itu juga hendaklah ia menjauhkannya supaya khayalan ghairullah tidak

menduduki hatinya.”

Hadhrat Maulana Syeikh Abul Hassan Kharqani Rahmatullah ‘alaih

pernah berkata, “Telah berlalu empat puluh tahun dimana Allah sentiasa melihat

hatiku dan telah melihat tiada siapa pun kecuali DiriNya dan tiada ruang di dalam

hatiku selain dari Allah.” (sumber Wikipedia)

Hadhrat Syeikh Abu Bakar Al-Qittani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata,

“Aku menjadi penjaga di pintu hatiku selama empat puluh tahun dan aku tidak

pernah membukanya kepada sesiapa pun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala

sehingga hatiku tidak mengenali siapapun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Seorang Syekh Sufi pernah berkata, “Oleh karena aku telah menjaga hatiku

selama sepuluh malam, hatiku telah menjagaku selama dua puluh tahun.” (sumber

Wikipedia)

2.7.5.4 Yad Dasyat

Yad dasyat berarti mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan

bersungguh-sungguh dengan Zauq Wijdani sehingga mencapai Dawam Hudhur

yakni kehadiran Zat Allah secara kekal dan berada dalam keadaan berjaga-jaga

memperhatikan limpahan Faidhz dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesadaran

121

ini diibaratkan sebagai Hudhur Bey Ghibat dan merupakan Nisbat Khassah

Naqsyabandiah.

Yad Dasyat juga bermakna seseorang yang berzikir itu memelihara

hatinya pada setiap penafian dan pengitsbatan di dalam setiap nafas tanpa

meninggalkan Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala serta menghendaki agar

Salik memelihara hatinya di dalam Kehadiran Kesucian Zat Allah Subhanahu Wa

Ta’ala secara berterusan. Ini untuk membolehkannya agar dapat merasakan

kesadaran dan melihat Tajalli Cahaya Zat Yang Esa atau disebut sebagai

Anwaruz-Zatil-Ahadiyah.

Menurut Khalifah Akhyar Murni “Yad Dasyat merupakan istilah Para

Sufi bagi menerangkan keadaan maqom Syuhud atau Musyahadah yang juga

dikenal sebagai ‘Ainul Yaqin atau Dawam Hudhur dan Dawam Agahi. Di zaman

para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in hal inilah yang disebut sebagai

Ihsan”.

Jika Salik tidak memiliki ketiga-tiga sifat ini yaitu tetap mengingat Zat

Ilahi, beri’tiqad dengan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan menuruti

Sunnah Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ataupun meninggalkan salah satu

darinya maka dia telah keluar dari jalan Tarekat Naqsyabandiah.

2.7.5.5 Hosh Dar Dam

Hosh berarti sadar, dar berarti dalam, dan dam berarti nafas, oleh karena

itu hosh dar dam artinya sadar dalam nafas. Seseorang Salik itu hendaklah berada

dalam kesadaran bahwa setiap nafasnya yang keluar dan masuk harus beserta

122

kesadaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Jangan sampai hati menjadi lalai

dan lepas dari kesadaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Dalam setiap nafas

hendaklah menyadari kehadiran ZatNya.

Menurut narasumber Khalifah Selamat (tuan Selamat) bahwa,

“Seseorang Salik yang benar hendaklah menjaga dan memelihara nafasnya dari

kelalaian pada setiap kali masuk dan keluarnya nafas serta menetapkan hatinya

sentiasa berada dalam Kehadiran Kesucian ZatNya dan dia hendaklah

memperbaharukan nafasnya dengan ibadah dan khidmat serta membawa ibadah

ini menuju kepada Tuhannya didalam seluruh kehidupan, karena setiap nafas yang

dihirup dan dihembus adalah hidup dan berhubungan dengan Kehadiran ZatNya

Yang Suci. Sebaliknya setiap nafas yang dihirup dan dihembus dengan kelalaian

adalah mati dan terputus hubungan dari Kehadiran ZatNya Yang Suci.”

Demikian pula menurut beliau “Maksud utama seseorang Salik di dalam

Tarekat ini adalah untuk menjaga nafasnya dan seseorang yang tidak dapat

menjaga nafasnya dengan baik maka dikatakan kepadanya bahwa dia telah

kehilangan dirinya.”

Lebih jauh Khalifah Selamat mengatakan bahwa, “Zikir adalah sentiasa

berjalan di dalam tubuh setiap satu ciptaan Allah sebagai memenuhi keperluan

nafas mereka biarpun tanpa kehendak sebagai tanda ketaatan yang merupakan

sebahagian dari penciptaan mereka. Melalui pernafasan mereka, bunyi huruf ‘Ha’

dari nama Allah Yang Maha Suci berada dalam setiap nafas yang keluar masuk

dan itu merupakan tanda kewujudan Zat Yang Maha Ghaib yang menyatakan

Keunikan dan Keesaan Zat Tuhan. Maka oleh karena itu amatlah perlu berada

123

dalam kesadaran dan hadir dalam setiap nafas sebagai langkah untuk mengenali

Zat Yang Maha Pencipta.” Nama Allah yang mewakili semua ini berjumlah

Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah dan Af’alNya terdiri dari

empat huruf yaitu Alif, Lam, Lam dan Ha.

Dari pendapat diatas jelaslah bahwa Zat Ghaib Mutlak adalah Allah

Yang Maha Suci lagi Maha Mulia KetinggianNya dan Diri-Nya dinyatakan

melalui huruf yang terakhir dari kalimah Allah yaitu huruf ha. Huruf tersebut

apabila dihubungkan dengan huruf alif akan menghasilkan sebutan ha yang

memberikan makna Dia Yang Ghaib sebagai kata ganti diri. Bunyi sebutan ha itu

menyatakan bukti wujud Zat Diri-Nya Yang Ghaib Mutlak (Ghaibul Huwiyyatil

Mutlaqa Lillahi ‘Azza Wa Jalla). Huruf lam yang pertama bermaksud ta‘arif atau

pengenalan dan huruf lam yang kedua memiliki maksud muballaghah yakni

pengkhususan. Menjaga dan memelihara hati dari kelalaian akan membawa

seseorang itu kepada kesempurnaan kehadiran Zat, dan kesempurnaan kehadiran

Zat akan membawanya kepada kesempurnaan musyahadah dan kesempurnaan

musyahadah akan membawanya kepada kesempurnaan tajalli sembilan puluh

sembilan, nama-nama dan sifat-sifat Allah. Seterusnya Allah akan membawanya

kepada penzahiran akan sembilan puluh sembilan nama-nama dan sifat-sifat Allah

dan sifat-sifatNya yang lain, karena dikatakan bahwa sifat Allah itu adalah

sebanyak nafas-nafas manusia.

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih menegaskan bahwa

hendaklah mengingati Allah pada setiap kali keluar masuk nafas dan di antara

keduanya yakni saat antara udara dihirup masuk dan dihembus ke luar dan saat

124

antara udara dihembus ke luar dan dihirup masuk. Terdapat empat ruang untuk

diisi dengan zikrullah. Amalan ini disebut hosh dar dam yakni bezikir secara

sadar dalam nafas. Zikir dalam pernafasan juga dikenali sebagai paas anfas di

kalangan ahli Tarekat Chistiyah. (sumber Wikipedia)

Tarekat ini dibina berasaskan nafas, maka adalah wajib bagi setiap orang

untuk menjaga nafasnya pada waktu menghirup nafas dan menghembuskan nafas.

Seterusnya menjaga nafasnya pada waktu di antara menghirup dan

menghembuskan nafas.” Udara Masuk - Allah Allah Antara - Allah Allah Udara

Keluar - Allah Allah Antara - Allah Allah.

Perlu diketahui bahwa menjaga nafas dari kelalaian adalah amat sulit

bagi seseorang salik. Oleh karena itu mereka hendaklah menjaganya dengan

memohon istighfar yakni keampunan karena memohon istighfar akan menyucikan

hatinya dan mensucikan nafasnya dan menyediakan dirinya untuk menyaksikan

tajalli penzahiran manifestasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana pun berada.

2.7.5.6 Nazar Bar Qadam

Nazar berarti memandang, bar berarti pada, dan qadam pula berarti kaki.

Seseorang salik itu ketika berjalan hendaklah senantiasa memandang ke arah

kakinya dan jangan melebihkan pandangannya ke tempat lain dan ketika duduk

hendaklah sentiasa memandang kedepan sambil merendahkan pandangan. Jangan

menoleh ke kiri dan ke kanan karena akan menimbulkan fasad yang besar dalam

dirinya dan akan menghalanginya mencapai maksud.

125

Nazar bar qadam bermakna ketika seseorang salik itu sedang berjalan,

dia hendaklah tetap memperhatikan langkah kakinya. Di manapun dia hendak

meletakkan kakinya, matanya juga perlu memandang ke arah tersebut. Tidak

diperbolehkan melemparkan pandangan ke sana sini, memandang kiri dan kanan

ataupun di hadapannya karena pandangan yang tidak baik akan menghijabkan

hatinya.

Kebanyakan hijab-hijab di hati itu terjadi karena bayangan gambaran

yang dipindahkan dari pandangan penglihatan mata ke otak. Ini akan mengganggu

hati dan menimbulkan keinginan memenuhi berbagai kehendak hawa nafsu seperti

yang telah tergambar di ruangan otak. Gambaran-gambaran ini merupakan hijab-

hijab bagi hati dan menghalangi cahaya kehadiran Zat Allah Yang Maha Suci.

Karena itulah para masyaikh melarang murid mereka yang telah

menyucikan hati, melakukan zikir memandang ke tempat yang lain selain dari

kaki mereka. Hati mereka ibarat cermin yang menerima dan memantulkan setiap

gambaran dengan mudah. Ini akan mengganggu dan akan menyebabkan

kekotoran hati.

Maka itu, salik diarahkan agar merendahkan pandangan supaya mereka

terhindar dari godaan syaitan. Merendahkan pandangan juga menjadi tanda

kerendahan hati. Orang yang pongah dan sombong tidak memandang ke arah kaki

mereka ketika berjalan. Ini merupakan tanda bagi seseorang yang mengikuti jejak

Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang ketika berjalan tidak

menoleh ke kiri dan ke kanan tetapi Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu

‘Alaihi Wasallam hanya melihat ke arah kakinya, bergerak dengan pantas menuju

126

ke arah destinasinya. Pengertian batin yang dituntut dari prinsip ini ialah agar

salik bergerak dengan cepat dan pantas dalam melakukan perjalanan suluk,

sehingga apapun maqom yang terpandang olehnya maka dengan secepat mungkin

kakinya juga segera sampai pada kedudukan maqom tersebut. ini juga menjadi

tanda ketinggian derjat seseorang yang mana dia tidak memandang kepada

sesuatu apapun selain Tuhannya. Seperti seseorang yang hendak bergegas menuju

kepada tujuannya, begitulah seorang Salik yang menuju Kehadhrat Tuhan

hendaklah lekas-lekas bergerak, dengan cepat dan pantas, tidak menoleh ke kiri

dan ke kanan, tidak memandang kepada hawa nafsu duniawi sebaliknya hanya

memandang ke arah mencapai Kehadiran Zat Tuhan Yang Suci.

Nara sumber Khalifah Selamat (tuan Selamat) mengatakan bahwa

“Pandangan mendahului langkah dan langkah menuruti pandangan. Mi’raj ke

maqom yang tinggi didahului dengan pandangan Basirah kemudian diikuti

dengan langkah. Apabila langkah telah mencapai Mi’raj tempat yang dipandang,

maka kemudian pandangan akan diangkat ke suatu maqom yang lain dimana

langkah perlu menurutinya. Kemudian pandangan akan diangkat ke tempat yang

lebih tinggi dan langkah akan menurutinya. Begitulah seterusnya sehingga

pandangan mencapai maqom kesempurnaan dimana langkahnya akan

diberhentikan. Apabila langkah menuruti pandangan, murid telah mencapai

maqom kesediaan untuk mengikuti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jejak langkah Nabi Muhammad

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah merupakan sumber asal bagi

segala langkah.”

127

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Jika kita

memandang kesalahan sahabat-sahabat, kita akan ditinggalkan tanpa sahabat

karena tiada seorangpun yang sempurna.” (sumber Wikipedia)

2.7.5.7 Safar Dar Watan

Safar berarti menjelajah, berjalan atau berkunjung, dar berarti dalam dan

watan berarti kampung. Safar dar watan bermakna berjalan jalan dalam kampung

dirinya, yaitu kembali berjalan menuju Tuhan. Seorang salik itu hendaklah

menjelajah dari dunia ciptaan kepada dunia Yang Maha Pencipta.

Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Daku

sedang menuju Tuhanku dari suatu hal keadaan ke suatu hal keadaan yang lebih

baik, dan dari suatu maqom ke suatu maqom yang lebih baik.”

Salik hendaklah berpindah dari kehendak hawa nafsu yang dilarang

kepada kehendak untuk berada dalam kehadiran Zat-Nya. Dia hendaklah berusaha

meninggalkan segala sifat-sifat basyariyah (kemanusiawian) yang tidak baik dan

meningkatkan dirinya dengan sifat-sifat malakutiyah (kemalaikatan) yang terdiri

dari sepuluh maqom yaitu: [1] taubat, [2] inabat, [3] sabar, [4] syukur, [5]

qana’ah, [6] wara’, [7] taqwa, [8] taslim, [9] tawakkal, dan [10] redha.

Para masyaikh membagi perjalanan ini kepada dua kategori yaitu syair

afaqi yakni perjalanan luar dan syair anfusi yakni perjalanan dalam. Perjalanan

luar adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain guna mencari seorang

pembimbing rohani yang sempurna bagi dirinya dan akan menunjukkan jalan ke

tempat yang dimaksudkannya.

128

Seseorang salik apabila dia sudah menemui seorang pembimbing rohani

yang sempurna bagi dirinya dilarang melakukan perjalanan luar lagi. Dalam

perjalanan luar ini terdapat berbagai kesulitan, di mana seorang yang baru

mengikuti jalan ini pasti akan terjerumus ke dalam tindakan yang dilarang. Karena

mereka lemah dalam menunaikan ibadah mereka.

Perjalanan yang bersifat dalam, hendaknya meninggalkan segala tabiat

yang buruk dan membawa adab tertib yang baik ke dalam dirinya serta

mengeluarkan dari hatinya segala keinginan duniawi. Dia akan diangkat dari suatu

maqom (tingkatan) yang kotor (zulmat) ke suatu maqom kesucian. Pada waktu itu

dia tidak perlu lagi melakukan perjalanan luar. Hatinya telah dibersihkan dan

menjadikannya bening seperti air, jernih seperti kaca, bersih bagaikan cermin.

Lalu menunjukkannya hakikat setiap segala sesuatu urusan yang penting dalam

kehidupan sehari-hari tanpa memerlukan tindakan yang bersifat luaran bagi

dirinya. Di dalam hatinya akan muncul segala yang diperlukan olehnya dalam

kehidupan ini dan kehidupan orang orang yang berada di sekitarnya.

Khalifah Selamat (tuan Selamat) mengatakan bahawa “apabila hati

tertakluk dengan sesuatu selain Allah dan khayalan yang buruk menjadi semakin

kuat maka limpahan Faidhz Ilahi menjadi sukar untuk dicapai oleh Batin. Oleh

karena itu dengan kalimah LA ILAHA hendaklah menafikan segala akhlak yang

buruk itu sebagai contohnya bagi penyakit hasad, sewaktu mengucapkan LA

ILAHA hendaklah menafikan hasad itu dan sewaktu mengucapkan ILLA ALLAH

hendaklah mengikrarkan cinta dan kasih sayang di dalam hati. Begitulah ketika

melakukan zikir Nafi Itsbat dengan sebanyak-banyaknya lalu menghadap kepada

129

Allah dengan rasa hina dan rendah diri untuk menghapus segala keburukan diri

hingga keburukan dirinya itu benar-benar terhapus. Begitu juga terhadap segala

rintangan Batin, perlu disingkirkan agar mendapatkan Tasfiyah dan Tazkiyah.

Latihan ini merupakan salah satu dari tujuan Safar Dar Watan.”

2.7.5.8 Khalwat Dar Anjuman

Khalwat berarti bersendirian dan anjuman berarti khalayak ramai, maka

pengertian dari khalwat dar anjuman adalah bersendirian dalam keramaian.

Dalam bentuk lahirnya, salik bergaul dengan manusia dan dalam batinnya dia

kekal bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Terdapat dua jenis khalwat yaitu khalwat luaran atau disebut sebagai

khalwat saghir yaitu khalwat kecil dan khalwat dalaman atau disebut juga sebagai

khalwat kabir yaitu khalwat besar atau disebut sebagai jalwat. Khalwat luaran

bertujuan agar salik mengasingkan dirinya ke tempat yang sunyi dan jauh dari

kesibukan manusia. Secara bersendirian salik menumpukan aktivitasnya kepada

zikirullah dan muraqabah untuk mencapai penyaksian kebesaran dan keagungan

Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila sudah mencapai fana melalui zikir pikir dan

semua indera luaran difanakan, pada waktu itu indera dalaman bebas menilik ke

alam kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal Ini akan

membawa kepada khalwat dalaman.

Khalwat dalaman bermaksud berkhalwat dalam kesibukan manusia. Hati

Salik hendaklah sentiasa hadir ke Hadhrat Tuhan dan hilang dari makhluk sedang

jasmaninya sedang hadir bersama mereka. Dikatakan bahwa seseorang salik yang

130

hak senantiasa sibuk dengan zikir khafi di dalam hatinya sehingga jika dia masuk

ke dalam keramaian manusia, dia tidak mendengar suara mereka lagi. Karena

itulah dinamakan khalwat kabir dan jalwat yaitu berzikir dalam kesibukan

manusia. Keadaan berzikir itu mengatasi kesibukan dirinya dan penzahiran

Hadhrat Suci Tuhan sedang menariknya membuatnya tidak menghiraukan segala

sesuatu yang lain kecuali Tuhannya. Ini merupakan tingkat khalwat yang tertinggi

dan dianggap sebagai khalwat yang sebenar benarnya seperti yang dinyatakan

dalam ayat Al-Quran Surah An-Nur ayat 37:

Artinya: Para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh

jual beli dari mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.

Rijalun la tulhihim tijaratun wala bay’un ‘an zikrillah, bermaksud para

lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah.

Inilah yang merupakan jalan Tarekat Naqsyabandiah. Hadhrat Khwajah Shah

Bahauddin Naqshband Qaddasallahu Sirrahu pernah dipertanyakan orang

mengenai apa yang menjadi asas bagi Tarekatnya? Beliau menjawab,

“Berdasarkan khalwat dar anjuman, yakni lahir berada bersama khalaq dan batin

hidup bersama hak serta menempuh kehidupan dengan menganggap bahwa

khalaq mempunyai hubungan dengan Tuhan. Sebagai salik dia tidak boleh

berhenti dari menuju kepada maksudnya yang hakiki.” (Wikipedia)

131

Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, pernah

bersabda “Padaku terdapat dua sisi. Satu sisiku menghadap ke arah penciptaku

dan satu sisi lagi menghadap ke arah makhluk ciptaan.”

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqatuna As-

Suhbah Wal Khayru Fil Jam’iyyat.” Yang berarti, “Jalan Tariqah kami adalah

dengan cara bersahabat dan kebaikan itu dalam jemaah Jam’iyat.” (sumber

Wikipedia)

Khalwat yang utama di sisi Para Masyaikh Naqsyabandiah adalah

Khalwat Dalaman, karena mereka sentiasa berada bersama Tuhan dan pada masa

yang sama mereka berada bersama dengan manusia. Dikatakan bahwa seorang

yang beriman dapat bercampur gaul dengan manusia dan menanggung berbagai

masalah dalam kehidupan ini lebih baik dari orang beriman yang menghindarkan

dirinya dari manusia.

Khalifah Selamat (tuan Selamat) berkata, bahwa “Salik pada awal

perjalanannya mungkin menggunakan khalwat luaran untuk mengasingkan

dirinya dari manusia, beribadat dan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa

Ta’ala sehingga dia mencapai tingkat derjat yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia

akan dinasihatkan oleh Syekhnya seperti yang dikutip dari kata-kata Sayyid Al-

Kharraz Rahmatullah ‘alaih yaitu kesempurnaan bukanlah dalam memamerkan

karamah yang hebat tetapi kesempurnaan yang sebenarnya ialah dapat duduk

bersama manusia, berjual beli, menikah dan mendapatkan zuriat, namun dalam

kesempatan itu sekali-kali tidak pernah meninggalkan Kehadiran Allah walaupun

sesaat.”

132

Lebih jauh Khalifah Selamat mengatakan “jangan ada sekali waktu pun

yang engkau tidak berzikir dan bertawajjuh serta mengharapkan Kehadiran Allah

Ta’ala dan bertemulah dengan manusia dan berzikirlah walaupun berada di dalam

keramaian dan sentiasa berjaga-jaga memperhatikan limpahan Allah.”

Keadaan inilah yang dinamakan Khalwat Dar Anjuman yaitu Kainun

Haqiqat Wa Bainun Surat yakni hakikat dirinya berzama Zat Tuhan dan tubuh

badan bersama makhluk ciptaan Tuhan. Kedelapan asas Tariqat ini diperkenalkan

oleh Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dan menjadi

ikutan 40 (empat puluh) Tarekat yang lain dan hingga hari ini menjadi asas yang

teguh untuk seorang hamba Allah kembali menuju kepada Tuhannya.

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaihi telah menerima kedelapan

asas Tariqat ini dari Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani dan beliau telah

menambahkan tiga asas Tarekat yaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf

Zamani dan menjadikannya sebelas asas yaitu Hosh Dar Dam Khalwat Dar

Anjuman; Yad Kard Yad Dasyat. Nazar Bar Qadam Safar Dar Watan; Baz Gasht

Nigah Dasyat..

2.7.5.9 Ajaran Dasar Syekh Muhammad Bahauddin Naqshband

Syekh Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih merupakan

imam bagi Tarekat Naqsyabandiah dan seorang Mahaguru Tarekat yang

terkemuka. Ia telah menambahkan lagi jalan Tarekat ini dengan tiga prinsip

penting dalam zikir khafi sebagai tambahan kepada delapan prinsip asas yang

133

telah dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih.

Tiga prinsip itu adalah sebagai berikut.

a. Wuquf Qalbi. Mengarahkan penumpuan terhadap hati dan hati pula

mengarahkan penumpuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap saat

dan keadaan. Baik dalam keadaan berdiri, berbaring, berjalan, maupun duduk.

Hendaklah bertawajuh kepada hati dan hati pula tetap bertawajuh ke Hadhrat

Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wuquf qalbi merupakan syarat bagi zikir.

Kedudukan qalbi ini terletak pada kedudukan dua jari di bawah puting

susu kiri dan kedudukan ini hendaklah selalu diberikan penumpuan dan tawajuh.

Bayangan limpahan cahaya dari Allah hendaklah sentiasa kelihatan melimpah

pada qalbi dalam pandangan batin. Ini merupakan suatu kaidah zikir khafi yaitu

suatu bentuk zikir yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh para Malaikat. Ini

merupakan suatu kaidah zikir yang rahasia.

b. Wuquf ‘Adadi. Sentiasa memperhatikan bilangan ganjil ketika

melakukan zikir nafi itsbat. Zikir nafi itsbat ialah lafaz La Ilaha Illa Allah dan

dilakukan di dalam hati menurut kaifiyatnya. Dalam melakukan zikir nafi itsbat

ini, salik hendaklah sentiasa mengawasi bilangan zikir nafi itsbatnya itu dalam

jumlah bilangan yang ganjil yaitu 7 (tujuh), 9 (sembilan), 19 (sembilan belas), 21

(dua puluh satu), 23 (dua puluh tiga) atau bilangan yang ganjil lainnya.

Menurut para masyaikh, bilangan ganjil mempunyai rahasia tersendiri

karena Allah menyukai bilangan yang ganjil dan hal ini akan menghasilkan ilmu

tentang rahasia Allah Ta’ala. Menurut Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah

134

‘alaih, “Memelihara bilangan di dalam zikir adalah langkah pertama dalam

menghasilkan ilmu laduni.” (sumber Wikipedia)

Memelihara bilangan bukanlah untuk jumlahnya semata-mata tetapi

untuk memelihara hati dari ingatan selain Allah. Selain itu adalah untuk

memberikan lebih banyak perhatian dalam usahanya untuk menyempurnakan zikir

yang telah diberikan oleh murshidnya.

c. Wuquf Zamani. Setiap kali setelah menunaikan salat, hendaklah

bertawajuh kepada hati dan sentiasa memastikan hati dalam keadaan bertawajuh

kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dilakukan selama beberapa menit sebelum

bangkit dari tempat salat. Kemudian setelah selang beberapa jam hendaklah

memperhatikan kembali keadaan hati untuk memastikan apakah masih dalam

keadaan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Apabila seseorang murid itu telah naik ke peringkat menengah dalam

bidang kerohanian, maka dia hendaklah selalu memeriksa keadaan hatinya sekali

pada tiap satu jam untuk mengetahui apakah dia ingat ataupun lalai kepada Allah

dalam masa-masa tersebut. Jika dia lalai. maka hendaklah dia beristighfar dan

berniat untuk menghapus kelalaian itu pada masa yang akan datang. Sehingga dia

mencapai peringkat dawam hudhur atau dawam agahi yaitu peringkat hati yang

sentiasa hadir dan sadar ke hadhrat Zat-Nya. Ketiga-tiga prinsip ini adalah

tambahan dari Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih dalam

membimbing sekalian para murid dan pengikutnya dan menjadi amalan yang tetap

dilakukan di Tarekat Naqsyabandiah.

135

BAB III

GUNA DAN FUNGSI MUNAJAT

Dalam bab ini kajian akan berfokus pada masalah fungsi dan guna

Munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat. Namun

sebelumnya penulis akan mengulas bagaimana sudut pandang Islam memandang

Munajat sebagai senandung (nyanyian). Adapun latar belakang kajian fungsi

Munajat pada Tarekat Naqsyabandiah menurut teori fungsionalisme yang

ditawarkan Radcliffe-Brown dan Merriam telah diuraikan pada Bab I.

Tingkatan spiritualitas yang harus dilintasi sufi secara general dapat

disimpulkan menjadi dua macam yaitu tingkatan menegasi selain Allah dan yang

selanjutnya untuk masuk ke dalam afermasi terhadap Allah, sebagai satu satunya

al-mahbub, al-maqshud, dan al-ma’bud.

Untuk mencapai tingkatan di atas sebagian dari para sufi menggunakan

ajaran maqamat sebagai jalannya. Di samping itu, ada juga sufi yang

menggunakan musik sebagai sarana menuju tingkatan spiritualitas yang tinggi,

karena musik dapat menyibak tirai hati, mengobarkan api cinta Ilahi, mengangkat

pendengarnya ke derajat musyahadah yang merupakan suatu tingkatan

spiritualitas yang tinggi.

Pro dan kontra tentang kehalalan musik dalam Islam belum berakhir dan

mungkin tidak akan pernah berakhir manakala hal tersebut hanya didekati melalui

pendekatan normatif. Sebab yang menghalalkan maupun yang menolak

136

(mengharamkan) musik sama sama menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadist

serta pendapat para sahabat dan tabi’in serta perkataan ulama.

Apresiasi terhadap musik vokal, secara historis, sudah ada sejak pra

Islam, baik dikalangan bangsa Arab maupun bagsa-bangsa lain. Posisi tersebut

tidak bergeser pada masa Islam. Hal ini dapat terlihat pada sikap Nabi

Muhammad, penyampai risalah (ajaran) keislaman, membiarkan kehadiran

penyanyi di hadapan istrinya. Nabi pun pernah meminta salah seorang sahabat

untuk melantunkan nyanyian di kala beliau sedang mengendarai unta.

Secara rinci, Ahmad al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Bawariq

al-‘Ilma fi al-Rad’ Ala Man Yuharrim al-Sama’bi al-Ijma’ menyatakan bahwa

pertama, mendengarkan musik dapat menyebabkan pendengarnya ke dalam proses

takhali (menghilangkan sampah batin) dan sekaligus menghantarkan

pendengarnya pada tingkatan yang hampir mendekati musyahadat. Kedua,

mendengarkan musik dapat menguatkan qalb (kalbu) dan sir (nurani) sebab musik

memiliki isyarat al-ruhaniyah. Atau dalam bahasa Dzu al Nun al-Mishri, musik

merupakan warid haqq, yang dapat menggetarkan roh. Ketiga, musik dapat

membuat seorang sufi semakin fokus dalam mencintai Allah. Dengan demikian,

sufi yang bersangkutan siap untuk menerima iluminasi dan berbagai cahaya

Ilahiah yang bersifat batin (suci). Keempat, musik dapat menyebabkan seorang

sufi mengalami ekstasi terhadap Allah yang disebabkan oleh keterpesonaannya

terhadap rahasia-rahasia ilahiah. Kelima musik dapat menghantarkan sufi ke

derajat yang tidak mungkin bisa dicapai melaui proses mujahadah (pendekatan

137

diri kepada Allah). Keenam, musik juga dapat menghantarkan manusia ke derajat

al-ma’iyah, al-dzatiyah, al-ilahiah (keagungan, zat, dan sifat keilahian)

Perlu penulis tegaskan bahwa manfaat yang didapatkan di atas hanya

akan diperoleh orang orang yang sudah cinta kepada Allah (suci hatinya).

Sebaliknya, orang yang hatinya belum bersih dan tidak dipenuhi oleh kecintaan

kepada Allah maka musik akan semakin menjauhkannya dari Tuhan. Inilah makna

perkataan Dzu al-Nun al-Mishri yang berarti bahwa musik adalah sinyal Ilahiah.

Barang siapa yang mendengarkannya bersama Allah, ia akan sampai ke derajat

tahaqquq (kebenaran) dan sebaliknya barang siapa yang mendengarkannya karena

nafsunya, ia akan menjadi zindiq (salah).

Dari elaborasi Ahmad al-Ghazaali tersebut dapat diketahui bahwa musik

memiliki fungsi yang sejenis dengan fungsi yang dimiliki oleh maqamat

(tingkatan) dalam tasawuf. Hal ini disebabkan melalui musik seorang sufi akan

sampai ketingkatan yang disebut tawajud, wajd, dan wujud yang oleh Abu’Ali al-

Daqqaq, tawajud diumpamakan sebagai tahap melihat lautan, wajd memasukinya,

dan wujud merupakan awal dari wajd, dan wujud merupakan akhir dari keduanya

(al-Qusyairi,1957:34). Demikian kedudukan musik dalam sufi. Musik dalam

masyarakat Tarekat Naqsyabandiah memiliki guna dan fungsi.

Fungsi dan guna merupakan dua hal yang berbeda hal ini sesuai menurut

Merriam (1964) yang membedakan antara penggunaan dan fungsi. Bila ditinjau

dari guna Munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah Babussalam adalah sebagai

penghantar waktu salat Subuh, Maghrib, Jum’at tiba dan menjadi tanda untuk

menghentikan amalan zikir bagi para salik. Adapun fungsi Munajat bila ditinjau

138

dari aspek komunikasi adalah untuk: kelestarian budaya, pendidikan, ibadah,

ekspresi kelompok, ekspresi emosi, ekspresi estetika, sarana ritual, membujuk

masyarakat, dan dakwah.

3.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi

Mengikut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya

adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan

suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang

berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh daripada

salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan

keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena

keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan

yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan

pemahaman ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak

masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.12

Sesuai dengan pendapat Malinowski, Munajat dapat bertahan didalam

Tarekat Naqsyabandiah karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian

keinginan naluri masyarakat pendukungnya yang haus akan cinta kasihnya kepada

guru dan penciptanya. Bentuk-bentuk pemuasan itu dapat berupa tingkatan nilai

12Lihat Koentjaraningrat (penye.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi

tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penyelidikan lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).

139

kesadaran spiritual. Berkaitan dengan fungsi untuk pemuasan individual Imam al-

Ghazali dalam kitab Misykat Al-Anwar membagi tingkatan kesadaran spiritualitas

menjadi lima. Lima tingkatan itu adalah al-ruh al hayawani, al-ruh al-khayayali,

al-ruh al-fikri, dan al-ruh al-qudsi. Dari segi fungsi dan kualitasnya, al-ruh al-

hayawani memiliki kesadaran yang bersifat natural, al-ruh al-khayali berfungsi

sebagai penyimpan dari kesan-kesan yang diperoleh melalui panca indra, al-ruh

al-aqli berfungsi sebagai penemu makna yang terkandung di balik fenomena, al-

ruh al-fikri berfungsi sebagai alat yang dapat menghasilkan “kompetensi” dan

intuisi batin yang punya arti yang sangat berguna bagi kehidupan dan al-ruh al-

qudsi memiliki fungsi yang dapat menyampaikan seseorang kepada wilayah

kenabian dan kewalian dan ini menduduki tingkatan spiritualitas yang paling

tinggi.

Pada tingkatan spiritualitas yang tinggi inilah, seorang dapat menerima

iluminasi cahaya Allah, ia memanifestasikan dirinya sebagai cermin Allah,

karenanya dalam istilah tasawuf dikategorikan sebagai orang orang yang telah

mencapai derajat insan kamil. Orang yang sudah berada dalam tingkatan yang

demikian ini sudah berada dalam kesadaran Ilahiah atau dalam bahasa Ahmad Al-

Ghazali berada pada tingkatan al-ma’iyah al-dzatiyah al-ilahiyah, sehingga di

antara mereka seolah olah ada orang yang tidak butuh risalah kenabian, sebab

secara langsung dia dapat mencapainya sendiri.

A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat

dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,

sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian,

140

Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu

masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas

kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan

fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti

yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Sesuai dengan pandangan Radcliffe-Brown, Munajat merupakan

bahagian dari struktur sosial masyarakat Naqsyabandiah. Munajat merupakan

salah satu bahagian aktivitas yang boleh menyumbang kepada keseluruhan

aktivitas, yang pada akhirnya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan

budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai

tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi

oleh berbagai-bagai kondisi sosial dan budaya.

Bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya

dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian

fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya,

membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli

etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika

141

kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan

(the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa

dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada

ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain

(1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara

penggunaan dan fungsi sebagai berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).

Dari kutipan di atas terlihat bahawa Merriam membedakan pengertian

penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam

sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi

bagian. Penggunaan boleh atau tidak boleh menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia

memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk

kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu boleh dianalisis sebagai perwujudan

dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia yaitu untuk memenuhi

kehendak biologikal bercinta, menikah dan berumah tangga dan pada akhirnya

menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika seseorang menggunakan musik

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan

142

dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan

kegiatan-kegiatan upacara.

“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan

manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai

melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang

dapat dilayaninya. Dengan demikian, sesuai dengan Merriam, penggunaan lebih

berkaitan dengan sisi praktikal, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi

integrasi dan konsistensi internal budaya.

3.2 Penggunaan Munajat

3.2.1 Tanda Akan Masuknya Waktu Salat

Penggunaan Munajat pada Tarekat Naqsyabandiah di Babussalam adalah

sebagai sarana menunjukkan waktu azan salat hampir tiba. Pelaksanaannya

dilakukan ditempat tertinggi didalam madrasah yaitu puncak menara. Didalam

bentuk penyajiannya, Munajat disenandungkan (dinyanyikan) oleh tiga sampai

empat orang secara bergantian. Pergantian tiap tiap orang dalam membacakannya

cukup dengan melakukan isyarat (tanda). Pembacaan Munajat dilakukan dengan

sangat teliti dan disiplin, hal ini terlihat pada saat seorang bilal membacakan

Munajat maka yang seorang lain memandu bacaan tersebut dengan mendahului

bilal dalam pembacaannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadinya kesalahan

dalam urutan maupun kesalahan dalam pembacaan syair. Sementara itu bilal bilal

lainnya akan menyimak bacaan tersebut sampai gilirannya tiba. Pembacaan

Munajat ini dilakukan setiap harinya diwaktu pergantian waktu siang menuju

143

malam dan malam menuju siang yaitu maghrib dan subuh kecuali pada hari jumat

pembacaan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum azan salat jumat. Adapun

yang menjadi dasar waktu pembacaan Munajat ini dilakukan pada saat subuh dan

maghrib adalah firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 41

Artinya :

Berkata Zakariya : “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung). “ Allah berfirman : “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak- sebanyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.”

Pembacaan Munajat membutuhkan waktu yang cukup lama karena

Munajat ini terdiri dari 45 (empat puluh lima) bait syair sehingga membutuhkan

durasi waktu kurang lebih satu jam. Oleh karenanya setiap harinya bilal

dimadrasah Babussalam wajib hadir satu setengah jam sebelum masuk waktu

azan. Setelah pembacaan Munajat selesai dilanjutkan dengan pembacaan taharim

dan salawat. Karena pembacaan ini cukup lama maka kenaziran diBabussalam

melakukan pembagian kelompok kelompok bilal yang bertugas setiap harinya

untuk pembacaan Munajat ini.

144

3.2.2 Tanda Persiapan Diri untuk Ibadah

Tarekat Naqsyabandiah adalah Tarekat yang melakukan amalannya

dengan cara berzikir. Bentuk dari berzikir ini dilakukan eksklusif dengan

melakukan khalwat (suluk) selama beberapa hari di dalam sebuah kelambu di

dalam ruangan yang telah tersedia di sekitar Madrasah Babussalam. Kegiatan

berzikir ini merupakan kegiatan amalan yang dilakukan secara kontinu oleh para

salik.

Di samping dari amalan berzikir, setiap salik diwajibkan untuk tetap

melakukan ibadah salat lima waktu yang dilakukan cara berjamaah dimadrasah

besar. Kegiatan berjamaah ini menjadi keharusan di Tarekat Naqsyabandiah.

Sesudah salat berjamaah mursyid, khalifah dan para salik akan melakukan amalan

tawajuh secara bersama sama. Setelah waktu bertawajuh selesai biasanya

dipergunakan para salik untuk mendiskusikan dan bertanya tentang hal hal yang

didapat beliau saat melakukan zikir. Melalui diskusi inilah mursyid akan

menentukan kelanjutan dari amalan yang akan dilakukan oleh para salik ke

depannya.

Guna dari Munajat adalah sebagai tanda untuk dihentikannya aktivitas

zikir dan mulai mempersiapkan diri untuk bergabung ke madrasah untuk salat

berjamaah. Satu jam sebelum waktu subuh tiba akan terlihat aktivitas jamaah

mulai berbenah dan membawa segala keperluan untuk ibadah seperti kain penutup

(selubung) untuk tawajuh, tasbih dan memakai pakaian putih bagi yang telah

mencapai tingkatan khalifah.

145

3.3 Fungsi Munajat

Munajat memiliki fungsi dalam konteks Kelestarian dan stabilitas

budaya. Munajat dapat bertahan karena merupakan salah satu alat untuk menjaga

ideologi dan silsilah Tarekat Naqsyabandiah. Pemahaman Tarekat Naqsyabandiah

mengenai pentingnya rabithah dan mursyid menjadikan Munajat sebagai sarana

untuk mengingatkan jamaahnya akan nilai nilai yang terkandung dalam ajaran

guru-guru Naqsyabandiah.

Munajat memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) kontinuitas sistem

religi dan budaya, (b) sarana pendidikan, (c) sebagai ibadah dan upacara

keagamaan Islam, (d) sebagai sarana dakwah Islam, (e) sebagai sarana

komunikasi (doa) kepada Allah, (f) sebagai pencerminan spiritualitas Islam,(g)

pengungkapan identitas Islam dan Tarekat Naqsyabandiah, (h) penguatan maqam

zikir, (i) ekspresi kelompok, (j) ekspresi estetika, (k) menyerap nilai-nilai, dan (l)

mengekspresikan ideologi

3.3.1 Kelestarian dan Kontinuitas Sistem Religi danBudaya

Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan

stabilitas kebudayaan, Merriam menjelaskan bahawa tidak semua unsur

kebudayaan memberikan tempat untuk meluahkan emosi, hiburan, komunikasi,

dan seterusnya. Musik juga adalah perwujudan kegiatan untuk meluahkan nilai-

nilai. Dengan demikian fungsi musik menjadi bahagian dari berbagai ragam

pengetahuan manusia lainnya, seperti sejarah, mite dan legenda. Berfungsi

menyumbang kesinambungan kebudayaan, yang diperolehi menerusi pendidikan,

146

pengawasan terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan

akhirnya menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225).

Di dalam Munajat terkandung unsur-unsur sejarah dan karamah, yang

pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk kelestarian kebudayaan Islam

dan Tarekat Naqsyabandiah secara khusus. Di dalam Munajat terkandung nilai-

nilai moral yang menekankan kepada kebenaran Islam dan adab juga sebagai

murid dan jamaah. Karena Munajat adalah merupakan doa yang dituangkan oleh

syekh atau mursyid kedalam bentuk syair menjadikannya sebagai upaya

memperkokoh ketaqwaan kepada Allah Swt dan selalu mengikut rambu-rambu

yang telah diajarkan oleh Muhammad Rasulullah. Adapun bentuk dari

pelestariannya Munajat diajarkan kepada generasi muda jamaah Tarekat agar

budaya ini tetap dapat terjaga dan tidak hilang bersama dengan zaman.

3.3.2 Pendidikan

Munajat sarat dengan pendidikan etika dan Agama, hal ini tercermin

pada cara pelaksanaan dan isi syair syairnya. Melalui perantaraan Munajat

seseorang terlatih untuk berdisiplin dalam melakukan aktivitas. Kehadiran yang

kontinu pada setiap harinya akan membentuk pribadi yang tabah dan menghargai

waktu. Dalam mentransformasi keilmuan dalam bentuk lisan oleh guru yang

membimbing, membentuk kesabaran bagi murid muridnya. Pesan-pesan moral

dalam Munajat mampu menyentuh hati seseorang baik penganut, maupun

masyarakat yang tidak terlibat didalamnya. Ini dapat dilihat pada beberapa syair

berikut ini.

147

Yaa Allah yaa hadii

Karuniai kami pikir dan budi

Siang dan malam bertambah jadi

Berkat tuan Syekh Abdullah Damalu dinegeri Hindi…

Berkat ‘Ali Romatni

Karuniai kami Ilmu Laduni

Mudah-mudahan hampir tuhan yang ghani

Kepada kami hamba yang fani…

Berkat Yusuf Hamdani

Karuniai juga yaa Allah hamba-MU ini

Akan ilmu hikmat dan laduni

Musyahadah Muqarabah tuhan Robbani…

Dalam syair di atas terlihat keutamaan ilmu dan pendidikan sangat

diperlukan untuk mendapatkan tingkatan musyahadah. Oleh karena itu pesan

moral dalam bait-bait di atas memohon kepada Allah agar dikaruniai pikir dan

budi agar nyata hijab Tuhan atas hambanya melalui ilmu pengetahuan.

3.3.3 Ibadah Agama Islam

Munajat berfungsi untuk seruan atau tanda tanda akan masuknya dan

azan Maghrib dan subuh. Di kampung Besilam pembacaan ini tetap dilakukan

148

setiap harinya disertai oleh pembacaan taharim. Aba-aba dari Munajat ini bukan

saja diperuntukkan kepada para jamaah Tarekat Naqsyabandiah, tetapi juga untuk

masyarakat Islam yang berdomisili di sekitar persulukan Babussalam. Di samping

merupakan sebagai sarana dakwah dan syiar, isi dari Munajat merupakan doa doa

kepada kaum muslimin agar diberi ampunan oleh Allah SWT., mendapatkan

keberkatan dan dilindungi kampung serta bangsa dan negaranya dari bencana.

Penyampaian Munajat ini menggunakan komunikasi verbal berupa syair

syair. Munajat ini adalah amalan yang dilakukan oleh Tuan Guru Babussalam

yang pertama Syekh Abdul Wahab Rokan yang bagi masyarakat dan pengikutnya

di anggap keramat dan merupakan salah seorang ulama besar Melayu Islam. Oleh

karenanya doa doa beliau dipercaya mustajab sehingga tidak terhitung lagi berapa

banyaknya masyarakat dari berbagai lapisan yang meminta beliau untuk

mendoakan agar tersampaikannya suatu keinginan dan permintaan. Hal inilah

yang menjadikan Munajat sampai saat ini di Babussalam dianggap mampu

memberikan perlindungan dan ketentraman kepada masyarakat sekitarnya.

3.3.4 Sarana Dakwah Islam

Melalui Munajat, Tarekat Naqsyabandiah mendakwahkan ajaran ajaran

keIslaman dan budi pekerti. Sejarah membuktikan bahwa Islam berkembang dan

dapat diterima oleh masyarakat karena mampu beradaptasi dengan budaya

masyarakatnya. Begitu juga dengan Tarekat Naqsyabandiah yang berkembang

didaerah Melayu langkat berhubungan erat dengan budaya masyarakatnya.

Senandung merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang ada di tanah Melayu

149

sehingga isi dan makna Munajat dapat menyerap perhatian masyarakat

disekitarnya. Adapun yang menjadi pesan pesan dakwah yang disampaikan

melalui Munajat terlihat dari syair syairnya seperti:

Berkat Muhammad aulia Allah

Dunia dan akhirat dibencilah

Semata berharap kepada zat Allah

Berilah kami demikian ulah…

Tambahi oleh-Mu kami ini

Berkat Abdul Khaliq Panjuduani

Terlebih daripada urat jidini

Dirasai Ma’rifat imani nurani…

Berkat Yusuf Hamdani

Karuniai juga yaa Allah hamba-Mu ini

Akan ilmu hikmat dan laduni

Musyahadah Muqarabah Tuhan Robbani…

Dalam syair Munajat di atas terlihat pesan pesan kepada umat muslim

agar menuntut ilmu hikmat dan laduni yang terhimpun kepada ilmu syariat,

Tarekat, hakikat dan makrifat sehingga mampu menundukkan hawa nafsu

duniawi. Munajat juga memberi pesan akan pentingnya menuntut ilmu tauhid

agar mengenal akan tuhan yang menjadi sembahan manusia sehingga terhindar

150

dari dosa syirik dan munafik. Ilmu tauhid adalah ilmu yang wajib diketahui oleh

umat muslim karena merupakan akidah dasar Islam.

Islam adalah agama tauhid yang mengesakan tuhan seperti yang tertera

pada dua kalimah syahadat. Kalimah ini berhubungan dengan dua puluh sifat-

sifat Allah yang wajib diketahui. Dua puluh sifat tuhan inilah yang menjadi dasar

pengenalan kepada Allah SWT.

Bagi seorang mukmin dunia adalah merupakan penjara dan syurganya

bagi orang orang kafir oleh karena itu janganlah memandang kepada dunia yang

menjadi ciptaan Allah SWT tetapi tetaplah memandang kepada wajahnya yang

merupakan sifat baginya serta selalu ingat kepadanya agar selalu dalam limpahan

kasihnya dan hanya berharap kepada zatnya semata.

3.3.5 Ekspresi Kelompok

Munajat memiliki fungsi komunikasi sebagai ekspresi kelompok yang

tidak kalah pentingnya. Melalui media senandung Munajat masyarakat Tarekat

Naqsyabandiah ingin diakui eksistensinya. Melalui perantaraan Munajat Tarekat

Naqsyabandiah mengekspresikan bentuk amalan dan cara mendekatkan diri

kepada Allah swt.

Aliran sufistik Tarekat Naqsyabandiah adalah faham aliran yang datang

ketanah langkat pada masa kesultanan Langkat masih dipimpin oleh Raja Musa

pada waktu itu dan oleh raja Musa tuan guru syekh Abdul Wahab Rokan diberi

sebidang tanah yang menjadi wilayah otonomi. Oleh karena itu, di Babussalam

151

semua aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan etika dan adab serta

ketentuan peraturan yang berlaku semua menurutkan kebijakan tuan guru.

Ekspresi kelompok ini dapat juga dilihat dari busana yang digunakan di

Babussalam yang menggunakan sorban atau kain penutup kepala, bendera

persatuan Tarekat Naqsyabandiah Babussalam, serta seni senandung Munajatnya.

Untuk dapat tergabung dalam Tarekat Naqsyabandiah ini seorang calon jamaah

diwajibkan melalui suatu bentuk ritual penyerahan diri yang dinamakan bai’ah.

Ritual bai’ah ini adalah bentuk ritual yang dilakukan oleh semua Tarekat

Naqsyabandiah. Bai’ah sesungguhnya adalah bentuk penyerahan diri kepada

Allah Swt karena di dalam Al-Qur’an Allah berfirman “watawakkal hayyu

alallazi layamutz” yang artinya “serahkan dirimu kepada tuhanmu yang hidup

yang tiada pernah mati.”

Secara syariah penyerahan diri ini menunjukkan tanda penyerahan diri

kepada guru agar diberi pengajaran dan bimbingan spiritual. Namun apabila

ditinjau dari sudut pandang tauhid bai’ah adalah sebentuk penyerahan diri kepada

Allah serta berjanji akan taat kepada perintah dan menjauhi segala larangannya.

Ujud dari pada ritual bai’ah sesungguhnya adalah melakukan taubatan nasuha

dengan melakukan mandi taubat. Hal ini dapat terlihat dari salah satu syair

Munajat:

Berkat Said Kulal wali yang maha mulia

Karuniai kami ya Allah sekalian cahaya

Sampai hilang daya dan upaya

Memandang zat Allah yang maha mulia…

152

Berkat Muhammad Babassamaasi

Hampirkan kepada kami ‘Ars dan kursi

Sampai terbezakan antara api dan besi

Sampai tahu kami kulit dan isi…

Tujuan dari bait diatas terlihat dalam kalimat “sampai hilang daya dan

upaya.” Melalui syair Munajat ini dapat dilihat faham jabariyah Tarekat

Naqsyabandiah yang ingin meniadakan diri sehingga yang ada dan yang nyata

hanyalah Allah semata (la haula walakuata illa billa).

.

3.3.6 Ekspresi Emosi

Fungsi komunikasi dalam Munajat Tuan Guru Babussalam adalah

sebagai sarana ekspresi emosi. Bagaimana keadaan ekspresi emosi dalam bidang

musik, Merriam menjelaskan sebagai berikut.

An important function of music, then, is the opportunity it gives for variety of emotional expression—the release of otherwise unexpres-sible thoughts and ideaas, the correlation of a idea variety of emotional music, of the opportunity to “let off steam” and perhaps to resolve social conflict, the explosion of creativity itself, and the group of expression of hostilities. It is quite possible that a much widear variety of emotional expressions could be cited, but the examples given here indicate clearly the importance of this function of music (Merriam, 1964:222-223).

Mengikut Merriam, salah satu fungsi musik yang penting, adalah ketika

musik itu menyediakan atau memberikan berbagai variasi ekspresi emosi. Hal

yang tidak boleh diekspresikan dalam pikiran dan idea, hubungan dari berbagai-

bagai variasi emosi dalam musik.

153

Secara psikologis, ritme dan tempo dalam lagu dapat memenuhi jiwa

pendengarnya. Ibn Zailah (w.440/1048), seorang murid Ibnu Sina, mengatakan

bahwa suara yang diatur melalui ritme tertentu memiliki dua pengaruh. Pertama,

dari segi komposisi khas yang dimilikinya (yaitu isi fisiknya) dan kedua, dari segi

lagu (muatan spiritualnya) yang menyamai jiwa. Lebih lanjut, ia mengatakan

bahwa ketika suara itu diracik dengan komposisi yang harmonis dan saling

berhubungan antara satu dengan yang lainnya, ia akan mengobarkan jiwa

manusia. Akibatnya , perasaan jiwa manusia itu menjadi terikat dengan lagu.

Ketika terjadi perubahan pada lagu, kondisi jiwa pendengarnya juga mengalami

perubahan secara bersamaan.

Dalam fungsinya sebagai ekspresi emosi Munajat dapat dilihat dari dua

aspek. Yang pertama emosi Munajat dapat dilihat dari segi melodi dalam

menyanyikan (menyenandungkannya) dan yang kedua Munajat yang dilihat dari

aspek lirik syairnya. Dari segi melodi menurut fakhr al-Din al-Razi terjadinya

hubungan yang simbiotik mutualistis antara musik dan kondisi jiwa meskipun

kondisi pendengar tetap lebih dominan dalam memberikan pengaruh. Dan hal ini,

menurut Ikhwan al-Shafa, tergantung pada dua hal : tingkat intensitas jiwa dalam

menguasai ilmu pengetahuan Tuhan dan intensitas kerinduan terhadapnya

(t.t:240). Semakin lengkap pengetahuan seorang sufi dalam mengenal Allah dan

kerinduannya terhadap Allah, semakin besar pengaruh musik dalam jiwanya

karena setiap jiwa akan merasakan kesenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan

yang diperoleh dari mendengarkan lagu lagu yang menggambarkan dan

mengagungkan sang kekasih (al-Shafa, t.t:240).

154

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari ‘Abd Allah bin Mas’ud’,

nabi Muhammad bersabda kepadanya, ‘Bacakanlah (Alquran) kepadaku!’ aku

menjawab,’ Wahai utusan Allah, aku membacakan (Alquran) untukmu, sedangkan

ia itu diturunkan kepadamu ?’ Nabi menjawab, ‘ya!’ Maka, aku membacakan

surat an-Nissa’ dan ketika aku membaca ayat 41: Nabi bersabda : ‘Cukup.’ Maka

aku pun menengok kepadanya, dan di kala itu kedua matanya berlinang air mata.

Menangis dikala mendengarkan Al quran, menurut penulis, merupakan

simbol dari tingkatan spiritualias seorang hamba. Tangisan tersebut bukanlah

ekspresi dari rasa sedih, kecewa, atau penyesalan, melainkan sebagai luapan rasa

rindu yang menderu terhadap Sang Khalik. Demikian pula halnya didalam

pembacaan senandung Munajat seorang pendengar maupun yang

menyenandungkan Munajat dapat menitikkan air mata apabila telah sampai

kepada tingkatan spiritualitas keilmuan dan telah mampu menguak tabir jiwa

dalam ujud (wajd) yaitu perasaan yang ditimbulkan oleh rasa cinta yang sungguh

sungguh kepada Allah dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya.

Yang kedua apabila ditinjau dari aspek lirik dan syairnya, syair Munajat

efektif untuk membangkitkan wajd (ekstasi). Wajd (ekstasi) dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu yang batil dan yang benar. Di antara keduanya terdapat

beberapa persamaan dan perbedaan yanng sangat prinsipil. Keduanya sama sama

menghasilkan gerakan lahir, sama sama mempengaruhi batin, dan sama sama

dapat mengubah kondisi mental seseorang. Adapun perbedaannya, pertama,

ekstasi (wajd) yang batil muncul dari dorongan hawa nafsu, sedangkan ekstasi

yang haq muncul dari keinginan hati. Ekstasi jenis pertama ada pada siapa saja

155

yang batinnya masih bergantung dengan selain Allah, sedangkan ekstasi jenis

kedua ada pada siapa saja yang hatinya hanya mencintai Allah. Kedua, pada jenis

ekstasi pertama pelakunya tertutup oleh hijab nafsi yang bersifat materi,

sedangkan bagi yang kedua tertutup oleh hijab qalbi yang bersifat samawi (al-

Suhrawardi, 1966:193).

Wajd (ekstasi), dari segi tingkatan, merupakan derajat pertama bagi orang

yang mencapai kelas khusus (al-khusush) (al-Sarraj, 1914:302). Proses wajd ini

bermula dari menghilangkan tabir, kemudian musyahadah kepada Allah disertai

pemahaman serta memperhatikan hal yang gaib dan bisikan sir, derajat fana’an

al-nafs.

Dalam penggunaan syair Munajat sebagai wajd dari pada penggunaan

Al-quran Muhammad Al-Ghazali menyebutkan tujuh alasan yang mendukung

efektivitas nyanyian syair (jika dibandingkan dengan Al-Qur’an). Pertama tidak

seluruh ayat Al-Qur’an itu sesuai dengan kondisi spiritual seorang sufi sehingga

tidak seluruh ayat efektif untuk membangkitkan wajd (ekstasi). Kedua Al-Qur’an

itu lebih sering didengar, dan setiap sesuatu yang sering didengar itu akan

bertambah lemah pengaruhnya pada jiwa. Adapun syair, nyanyian dan sebagainya

yang baru didengar sekali akan memiliki pengaruh yang lebih kuat. Ketiga syair

itu memiliki wazn yang dapat memengaruhi jiwa sehingga lebih efektif

dibandingkan dengan Alquran yang tidak memiliki wazn. Keempat masing

masing lagu itu memiliki pengaruh tertentu pada jiwa seseorang sesuai dengan

karakter lagu tersebut. Dalam menyanyikan lagu, kadang kadang kata yang

pendek harus dipanjangkan atau sebaliknya, kadang kadang dihentikan pada

156

tengah lafal dan sebagainya. Ketentuan ketentuan ini tentunya tidak boleh

dilakukan dalam membaca Alquran. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak memiliki

pengaruh pengaruh yang dimiliki oleh lagu tersebut. Kelima, ritme memiliki

pengaruh tertentu pada jiwa pendengarnya, dan keduanya tentu tidak layak bagi

Al-Qur’an. Keenam, Al Quran adalah kalam Allah dan sifatNya. Ia adalah hak

sehingga manusia tidak akan mampu menerima pengaruhnya (Al-

Ghazali,1991:325-328).

Dari keenam hal di ataslah yang menjadikan syair Munajat sebagai salah

satu wadah ekspresi bagi sufi Tarekat Naqsyabandiah. Di samping menggunakan

teks yang berbahasa Melayu sehingga mudah diterima arti dan isinya bagi jamaah,

keharuan kerap menghinggapi jiwa pendengarnya karena pencipta dan penulis

Munajat itu sendiri adalah seorang ulama yang saleh dan suci masih mendoakan

serta memohon pengampunan dan keberkatan kepada Allah agar masyarakat,

kampung dan jamaah terhindar dari dosa dan bencana.

3.3.7 Ekspresi Estetika

Berbicara tentang seni maka tidak bisa terlepas dari keindahan dan

keindahan itu sendiri identik dengan estetika. Perbincangan mengenai keindahan

dan estetika selalu tetap menarik perhatian karena identik berhubungan dengan

pelbagai cabang kesenian. Sementara itu, secara sosiokultural, seni timbul dalam

kebudayaan manusia, karena manusia memerlukan pemenuhan keinginan akan

rasa keindahan.

157

Seni dan keindahan ini dalam sejarah perkembangan peradaban manusia

dikaji dalam bidang estetika atau falsafah keindahan. Keindahan dalam bidang

seni ini ada yang sifatnya khusus dan ada pula yang mencapai tahap umum.

Selain itu konsep tentang keindahan ini boleh sahaja berbeda di antara kelompok

manusia, meskipun adakalanya terdapat kesamaan.

Kata estetika sendiri diturunkan dari akar kata Yunani aisthetikos, yang

berarti “mengamati dengan indra.” Kata estetika juga terkait dengan kata

aesthesis, yang berarti “pengamatan”. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, estetika

adalah salah satu cabang sains yang mengkaji kesenian. Sains ini telah lama

digeluti oleh para ilmuwan di dunia Barat dan dunia lainnya. Walaupun dalam

kajiannya estetika ingin mencapai tahapan generalisasi, dan akhirnya adalah

mengkaji manusia pendukungnya, namun ada juga nilai-nilai parsial yang terbatas

oleh lingkup etnik, ras, atau bangsa. Keanekaragaman konsep estetika ini perlu

dilihat dan diperhatikan untuk mengkaji bahwa manusia itu beragam namun ada

nilai-nilai universal dalam satu ragam.

Dalam sejarah pengetahuan dan sains Barat, kajian terhadap unsur-unsur

keindahan, dilakukan dalam disiplin yang disebut estetika (aesthetic) atau dalam

bahasa Indonesia lazim disebut falsafah keindahan. Dalam peradaban Barat,

estetika dimulai daripada sumber budaya Yunani dan Romawi (Edward et al.

1967: volume 1 dan 2). Estetika menurut Adler et al. (eds.) adalah disiplin yang

mengkaji tentang keindahan (sebagai antonim daripada keburukan). Estetika ini

memasukkan kajian secara umum dan teori tentang seni, dan berbagai-bagai

pengalaman manusia mengenainya. Adapun ilmu-ilmu bantunya adalah falsafah

158

seni, psikologi seni, dan sosiologi seni. Estetika juga kadang-kadang didefinisikan

lebih khusus lagi sebagai sebuah disiplin ilmu keindahan, yang mengandung

makna memiliki lapangan kajian seni, yang mencakup: teater, musik, tari, dan

sastra (lihat Adler et al. (penye.) 1986:161).

Selain daripada pendapat Adler et al., seorang teoretikus falsafah

ternama, Hospers mendefinisikan estetika atau falsafah keindahan itu sebagai

cabang falsafah yang memusatkan perhatian kepada konsep-konsep dan solusi-

solusi masalah yang terjadi dalam objek-objek estetik yang direnungkan. Dalam

sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (sains) Barat, awalnya istilah estetika

dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) menerusi

beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. Baumgarten

menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual

dan pengetahuan inderawi. Karena istilah estetika baru muncul pada abad ke-18,

maka pemahaman mengenai keindahan harus dibedakan dengan pengertian

estetika. Jika sebuah bentuk mencapai nilai betul, maka dapat dinilai estetis,

sebaliknya bentuk yang melebihi nilai betul, yaitu mencapai nilai baik penuh arti,

maka dinilai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum

tentu indah dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis.

Banyak pemikir seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa

(taste) yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G

Collingwood (lebih jauh lihat Harrison et al., 2001).

Pada masa Yunani yang diteruskan sampai abad pertengahan, keindahan

ditetapkan sebagai bagian daripada teologi. Pada abad pertengahan di Barat,

159

tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan

pengalaman keindahan. Pada zaman modern, tekanan justru diletakkan pada

objek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai cabang daripada

sains, khususnya falsafah dan psikologi. Maka pertimbangan estetika dalam

pengolahan seni setidaknya dapat didekati melalui: (1) pemahaman karya sebagai

objek estetika, dan (2) pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang

mengamati atau menciptakan karya yang estetik.

Dalam Dunia Islam, kata falsafah diadopsi daripada bahasa Yunani.

Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-kerja (mashdar) yang

diturunkan daripada kata philosophia, yang merupakan gabungan daripada philos

dan sophia; yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti kebijkasanaan.

Dengan demikian falsafah dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Plato

menyebut Socrates sebagai philoshopos (filsuf), yakni seorang pecinta

kebijaksanaan. Oleh kerana itu, kata falsafah merupakan hasil Arabisasi, suatu

mashdar yang berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filsuf.

Sebelum Islam lahir, berbagai-bagai pikiran dan falsafah telah tumbuh,

namun dalam arah yang simpang-siur. Dalam menjawab arah falsafah tersebut

Islam meletakkan sendi falsafahnya kepada asas: Tidak ada Tuhan selain Allah

dan Muhammad itu utusan Allah. Asas ini menentukan apakah seseorang itu

Islam atau tidak. Namun Islam tidak membatasi orang berfikir, kerana Islam

dibentuk berdasarkan atas akal sehat, yang tentu saja berfikir sehat pula. Nabi

Muhammad pernah menyatakan bahawa agama ialah akal. Oleh karena falsafah

Yunani-Romawi banyak berasas kepada mitologi, maka awalnya umat Islam tidak

160

begitu berminat terhadap falsafah mereka. Setelah wahyu Allah telah cukup

diturunkan dan Islam dijamin sebagai agama yang sempurna, maka kemudian

orang-orang Islam menggali falsafah Yunani-Romawi. Bahkan dalam konteks

sejarah dunia, Islam yang mengenalkan falsafah Yunani-Romawi ini ke seluruh

dunia. Universitas Islam yang termasyhur mengkaji falsafah adalah Universitas

Nizamyah di Baghdad, yang didirikan oleh Nizamul Muluk. Selain itu, dalam

dunia Islam, ada pula universitas lain, seperti Universitas Sishapur, Universitas

Damsyik, Universitas Kairo dan Universitas Aleksandria.

Dalam sejarah Islam muncullah beberapa filsuf ternama, misalnya Al-

Kindi (194-260 H atau 809-873 M), Al-Farabi (meninggal 961), Ibnu Sina (370-

428 H atau 980-1037 M), Imam Ghazali (450-505 H atau 1058-1111 M), dan

Ibnu Rusyid (520-595 H atau 1126-1198 M). Falsafah yang mereka hasilkan

memperkuat ajaran Islam yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan Hadits, misalnya

risalah falsafah Al-Kindi yang memuat: (a) adanya Tuhan membentuk adanya

alam, (b) kegiatan Tuhan berlangsung antara langit dan bumi, (c) jiwa bumi

adalah daya gerak Tuhan, (d) jiwa bumi telah menyebabkan terjadinya langit dan

bintang-bintang di cakrawala, (e) jiwa manusia adalah pancaran jiwa bumi, (f)

manusia bersifat dualis, yaitu saat hidup ia dipengaruhi langit dan bintang-

bintang, namun setelah meninggal, ia mendapat kemerdekaan, (g) kemerdekaan

abadi hanya boleh dicapai dalam dunia akal budi, dan (h) orang yang hendak

mencapai kemerdekaan dan keabadian, harus mengembangkan kekuatan akalnya

dengan jalan ilmu ketuhanan dan alam semesta. Al-Farabi dalam falsafahnya

mengemukakan bahwa alam ini dijadikan Tuhan dengan suatu maksud, yang

161

hanya Tuhan sajalah yang mengetahui maksud tersebut, seperti yang difirmankan

Allah dalam Al-Quran (3:191, dan 46:3). Ibnu Sina mengemukakan pula

falsafahnya bahwa: (a) dasar pokok adalah Allah; (b) akal pertama adalah

mengetahui sari nyawa dan sumbernya nyawa, (c) akal kedua terdiri daripada jiwa

dan tubuh yang terdiri daripada sembilan daerah, sendi akal kedua terdiri daripada

wajib dan mumkin, (d) akal ketiga terdiri daripada jiwa dan tubuh yang

dipengaruhi oleh alam. Akal ketiga ini bersendikan atas wajib dan mumkin.

Sebelum Socrates, ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka

kaum sopist yang berarti para cendekiawan. Mereka mempersepsi manusia

sebagai ukuran realitas (kebenaran hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang

keliru dalam kesimpulan-kesimpulan mereka. Secara bertahap kata sopist atau

sopisthes kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang

menggunakan hujah-hujah keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata

sophistry (cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai kata yang sama

dalam bahasa Arab, yaitu safsathah, dengan arti yang sama.

Socrates, karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan

menghindarkan diri dengan kaum sophis, melarang orang menyebut dirinya

seorang sophis, seorang cendekiawan. Oleh karena itu, ia menyebut dirinya

seorang filsuf (philosophos), pecinta kebijaksanaan, pecinta kebenaran,

menggantikan sophistes yang berarti sarjana. Gelar yang terakhir ini merosot

derajatnya menjadi orang yang menggunakan penalaran yang salah. Falsafah

(philosophia) kemudian menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan (kearifan).

Oleh itu, philosophos (folosof) sebagai satu istilah teknis tidak dipakaikan pada

162

seorang pun sebelum Socrates, dan begitu juga sesudahnya. Istilah philosophia

juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu, bahkan Aristoteles pun

tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (falsafah)

dan philoshopos (filsuf) semakin meluas.

Sebahagian cendekiawan Islam mengambil kata falsafah daripada bahasa

Yunani. Lalu mereka memberi sighat (bentuk) dan menggunakannya untuk

mengartikan pengetahuan rasional murni. Falsafah menurut pemakaian para filsuf

muslim secara umum tidak merujuk kepada disiplin sains tertentu. Ia meliputi

semua sains rasional, bukan ilmu yang diwahyukan atau yang diriwayatkan seperti

etimologi, retorika, sharaf, tafsir, hadis, dan hukum. Oleh itu, hanya orang yang

menguasai semua sains rasional termasuk di dalamnya matematik, ekonomi, etika,

teologi, yang boleh disebut sebagai filsuf.

Seni bukanlah hal yang mati, tetapi seni tumbuh di dalam jiwa manusia

dari zaman ke zaman yang menapaki kemajuannya sendiri. Islam memberi

petunjuk pengajaran dan menuntut agar kesenangan dalam seni yang dibentuk

tidak merusak keselamatan, tetapi perlu mengikuti syariat Islam yang telah

ditetapkan. Kesenian Islam adalah usaha dan ide umat Islam untuk menghasilkan

sesuatu yang indah dan estetik. Setiap keindahan yang dihasilkan oleh seniman

Islam wajib mengekspresikan ajaran Islam. Seni adalah bagian daripada budaya.

Seni Islam lebih mengutamakan intelektual dibandingkan emosi. Seni mempunyai

konsep yang mampu menyeimbangkan pertanyaan dengan jawaban. Sebenarnya

kesenian dalam konsep Islam adalah pengabdian diri kepada Allah SWT.

163

Dalam dunia Islam, tokoh filsuf yang paling banyak mengkaji tentang

estetika di dalam musik adalah Al-Farabi. Nama lengkapnya adalah Abu Nasir

Muhammad Ibnu Al-Farakh Al-Farabi, lahir di desa Wasij, dekat Farab di

Turkistan tahun 259 H (870 M), wafat 950 M dalam usia 80 tahun. Kampungnya

kini masuk ke dalam bagian Republik Uzbekistan di Asia Tengah. Ayahnya

seorang jenderal militer dan memiliki status sosial yang relatif baik. Namun sejak

kecil, Al-Farabi meninggalkan kampung Farab menuju Baghdad, untuk menimba

ilmu bahasa Arab dan logika dari gurunya Abul Bashar Matta. Kemudian dia juga

belajar falsafah kepada Yuhanna Ibnu Khailan di daerah Harran. Kemudian ia

juga mendalami ilmu-ilmu Aristoteles melalui Yuhanna. Ia paling gemar

mengkaji pikiran Aristoteles yang tertuang dalam buku Anima dan Physica.

Kemudian ia mengembara ke Syiria, terus ke Mesir, dan akhirnya sampai

ke Damaskus. Dalam pengembaraan ini, secara ekonomi ia begitu miskin,

akhirnya ia dibantu secara finansial oleh Pangeran Saif Al-Dawlah dari Damsyik.

Ia belajar, mengarang, mensyarah, mengkritik, dan berkecimpung di dunia sastra.

Ia terkenal sampai ke Eropa bukan hanya falsafahnya saja tetapi juga logika dan

metafisiknya. Di bidang musik, dengan dijiwai oleh ajaran Islam. ia mengolah

kembali model dan logika berpikir Yunani dalam musik, disertai dengan praktek

musik kontemporer saat itu. Ia juga mencipta dan mengolah sistem-sistem musik

yang berasal dari Timur Tengah. Bagaimanapun, Al-Farabi secara tegas

membedakan manusia di dunia ini menurut Al-Qur’an, yaitu manusia yang

bertakwa dan manusia yang tidak bertakwa.

164

Al-Farabi menghasilkan sebuah buku teori musik yang secara historis

sangat fenomenal dalam dunia Islam dan global, yang berjudul Kitabul Musiqil

Kabir (Kitab Besar tentang Musik). Buku ini terdiri daripada tiga bagian. Bagian

pertama memusatkan perhatian pada musik, bagian kedua pada alat-alat musik,

dan pada bagian ketiga mengenai komposisi musik. Ada dua tempat dalam buku

itu yang membicarakan gerakan melodi dalam musik: satu tempat di bagian

pertama dan satu lagi di tempat ketiga. Dalam buku itu ia menceritakan

bagaimana proses melakukan komposisi musik. Tujuan utama Al-Farabi mengkaji

dan menjelaskan komposisi musik adalah untuk membantu dan memberi arah

kepada para komposer dalam menciptakan melodi. Ia menjelaskan bahwa setelah

komposer memilih unsur-unsur melodi, selanjutnya dapat berkonsultasi dengan

jadwal konsonan dan gerak melodi yang dibuatnya, begitu juga dengan wilayah

nada atau suara penyanyi. Kemudian disesuaikan dengan modus-modus ritmik

yang telah disusun secara logis.

Dalam membentuk gerak melodi ini ia menawarkan konsep-konsep

interval satu nada ke nada berikutnya dengan memakai konsonan dan disonan

dalam sistem modal. Saat transisi melodi seharusnya menggunakan interval

konsonan. Al-Farabi menggunakan interval konsonan ke dalam tiga jenis: (a)

konsonan besar, seperti oktaf dan balikannya, disajikan bersama atau melodi, (b)

konsonan medium, yaitu kuint, kuart, antara oktaf dan kuint, serta antara oktaf dan

kuart, disajikan secara bersama atau melodis, dan (c) konsonan kecil yang terdiri

daripada sekunde mayor (dengan rasio 9/8) atau interval lain yang lebih kecil

daripada kuart.

165

Menurut Al-Farabi, melodi bisa didefinisikan sebagai sejumlah nada

tertentu, yang semuanya atau sebagian besar terjalin berdasarkan interval

konsonan, yang dirancang dalam kelompok tertentu, dan dipergunakan dalam

sebuah genus (tetrakord) tertentu, interval-intervalnya berada dalam tonalitas

tertentu; yang bergerak melalui sebuah modus ritmik yang pasti pula. Satu

rangkaian melodi menggunakan satu tetrakord ditambah satu langkah penuh. Jika

seorang komposer menggunakan interval kuint, ia harus mengimbanginya dengan

interval yang lebih kecil. Sebuah melodi nyanyian disebutnya tidak lengkap,

apabila ambitusnya tidak mencapai satu oktaf. Jika sampai satu oktaf disebut

melodi yang lengkap, dan jika mencapai dua oktaf disebut sangat lengkap. Dalam

menyusun melodi sebaiknya menggunakan interval-interval yang berbeda.

Al-Farabi menyebut gerak melodi dengan istilah al-intiqal, yang secara

harafiah artinya bergerak daripada satu titik ke titik lainnya. Al-intiqal ini

menurutnya adalah transisi yang dapat terjadi antara satu nada dengan nada lain,

daripada interval yang satu ke interval lain, daripada satu genus ke genus lain, jika

kelompok nada itu terdiri daripada tetrakord, kelompok nada, dan tonaliti yang

berbeda. Namun tetap terdapat satu nada nukleus. Selanjutnya, Al-Farabi

membuat kategori-kategori gerak melodi dalam bahasa Arab, yaitu: (1) al-nuqlah

‘ala istiqamah, artinya adalah gerak langsung atau rektilinier, yaitu gerakan yang

tidak kembali ke nada awalnya; (2) al-nuqlah ‘ala in’itaf, artinya gerak berlipat,

bertukar, melengkung, dan berkeliling. Artinya dalam melodi adalah kembali ke

nada awal; (3) al-nuqlah ‘ala istidarah, artinya gerakan sirkular, berputar. Dalam

melodi artinya kembali ke nada awal dan gerakannya terus diulang; (4) al-nuqlah

166

‘ala in’iraj, artinya adalah gerakan pembiasan atau deviasi—dalam melodi

maksudnya adalah kembali ke nada awal, tetapi tidak sejauh gerak-gerak

pertamanya; (5) al-nuqlah bi-in gerak melodi yang memperluas gerak

sebelumnya, baik ke arah atas maupun ke bawah dengan nada awal yang berubah-

ubah pula. Menurut Al-Farabi, gerak-gerak melodi di atas boleh saja saling

dipadukan dengan menjaga rasa musik.

Dalam membahas teori, selain sistem modal dengan menggunakan

tetrakord dalam tangga nada heptatonik, Al-Farabi juga menganalisis sistem-

sistem maqam yang ada di dunia Islam, seperti maqam: rast, bayati, husaini,

jiharkah, hijaz, sikkah, dukah, sikahirah, dan lainnya yang menjadi asas

komposisi musik dunia Islam. Ia juga mengkaji modus-modus ritmik seperti:

ramal maia, wahdah wa nifs (maksum), cahar mezarb, zarbi, iqa’at, durub, usul,

dan mazim. Dalam membahas alat-alat musik, ia memfokuskan kajian secara detil

tentang alat muzik ‘ud (lute petik) sebagai asas daripada penciptaan maqam dan

melodi. Alat seperti ini yang diuraikannya dapat menurunkan tangga-tangga nada

seperti yang dilakukan oleh Phytagoras dari Yunani dengan membahagi proporsi

matematik senarnya. Sistem ini kemudian dalam etnomusikologi dikategorikan

sebagai sistem devisif (pembagian). Dalam buku ini, memang unsur logik

memang begitu menonjol dituangkannya, namun ia juga berharap bahwa jangan

melupakan unsur perasaan dan spiritualiti dalam mengembangkan seni musik.

Bagaimanapun, musik itu adalah bagian dari ajaran Islam dalam rangka bertauhid

kepada Allah. Demikian menurut pandangan Al-Farabi.

167

Berkaitan dengan ekspresi estetika dalam Munajat tercermin melalui

adab yang dinyatakan dalam rabithah dalam Tarekat Naqsyabandiah. Pada bab

pendahuluan penulis telah mengutarakan salah satu fungsi dari Munajat adalah

untuk menjaga rabithah. Adapun yang dimaksud dengan rabithah adalah

menghadirkan rupa guru atau Syekh ketika hendak berzikir dan menghadirkannya

itu menurut Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Khani Al-Khalidi dalam kitabnya

“Al-Bahjatus Saniah” hal 43, dengan 6 (enam) macam cara yaitu:

1. Menghadirkannya didepan mata dengan sempurna.

2. Membayangkan dikiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada

rohaniahnya sampai terjadi sesuatu yang gaib. Apabila rohaniah mursyid

yang dijadikan rabithah itu lenyap, maka murid dapat menghadapi peristiwa

yang terjadi. Tetapi jika peristiwa itu lenyap, maka murid harus berhubungan

kembali dengan rohaniah guru, sampai peristiwa yang dialami tadi atau

peristiwa yang sama dengan itu, muncul kembali. Demikianlah dilakukan

murid berulang kali, sampai ia fana dan menyaksikan peristiwa gaib tanda

kebesaran Allah. Rabithah menghubungkannya dengan Allah serta murid

diasuh dan dibimbingnya terus menerus, meskipun jarak mereka jauh.

3. Menghayalkan rupa guru ditengah tengah dahi. Memandang rabithah

ditengah tengah dahi itu, menurut kalangan Tarekat lebih kuat dapat menolak

getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah.

4. Menghadirkan rupa guru ditengah tengah hati.

168

5. Menghayalkan rupa guru dikening kemudian menurunkannya ketengah hati.

Menghadirkan rupa Syekh dalam bentuk kelima ini agak sukar tetapi lebih

berkesan dari pada cara cara yang sebelumnya.

6. Menafikan (meniadakan) dirinya dan mentsabitkan (menetapkan) keberadaan

guru. Cara ini lebih kuat untuk menangkis aneka ragam ujian dan gangguan

gangguan.

Demikian pentingnya rabithah bagi penganut Tarekat Naqsyabandiah

sehingga barang siapa yang terus menerus berhubungan dengan rabithah , niscaya

terjadilah atas dirinya peristiwa peristiwa Tarekat dan kesempurnaan hakikat

namun sebaliknya apabila barang siapa yang tidak berabithah, niscaya terputus

limpahannya dan tidak akan mengalami peristiwa peristiwa suluk dan tidak akan

muncul rahasia kebesaran Allah kepadanya. Oleh karena itu Munajat sebagai

sarana mengingatkan jamaah kepada rabithahnya menjadi nilai keindahan

didalam perjalanan rohani para jamaahnya.

3.3.8 Memberitahu

Salah satu fungsi komunikasi dalam Tarekat Naqsyabandiah adalah

fungsi untuk memberitahu. Melalui media senandung Munajat bertujuan untuk

memberitahu dan menasehati agar memiliki pedoman dalam hidup dan

mengetahui apa yang menjadi maksud dan tujuan seorang insan didunia. Hal ini

juga dapat berupa aktivitas yang dilakukan dan apa yang menjadi tujuan

dilakukannya sebuah aktivitas sosiobudaya tersebut. Fungsi dalam komunikasi

untuk memberitahu ini dapat terlihat pada syair Munajat berikut ini.

169

Berkat Said Kulal wali yang maha mulia

Karuniai kami ya Allah sekalian cahaya

Sampai hilang daya dan upaya

Memandang zat Allah yang maha mulia…

Berkat Muhammad aulia Allah

Dunia dan akhirat dibencilah

Semata berharap kepada zat Allah

Berilah kami demikian ulah…

Berkat Mambubussubhaani

Tuan Syekh Abu Hasan Khorgani

Tolonglah kami mengerjakan Thariqat ini

Jangan dibimbang anak dan bini…

Dari kutipan syair pertama di atas dapat dilihat suatu bentuk pengajaran

tauhidan. Tiada daya dan upaya adalah merupakan bentuk kepasrahan total kepada

Allah sehingga meniadakan kuasa, kehendak diri, tetapi semuanya semata mata

karena Allah SWT.

Pesan moral dalam syair ini sekaligus mengingatkan kepada umat Islam

agar bacaan yang selalu diucapkan tatkala menjawab seruan azan bukan saja dapat

difahami berdasarkan arti semata namun jauh daripada itu tiada dan upaya dalam

pengertian ini harus mampu meniadakan diri. Sesuai dengan hadist rasullullah

170

yang berbunyi “ujuduka jambun lakiasan liqoiri” yang artinya “bermula dirimu

itu adalah dosa tiada kias menyertainya”. Maksud dari hadist ini adalah satu

satunya dosa pada manusia sesungguhnya adalah adanya diri yang mengakui

memiliki segalanya yang meliputi kuasa, kehendak, ilmu, hidup, mendengar,

melihat, berkata kata.

Dalam tauhid yang berlandaskan dua puluh sifat tuhan ketujuh sifat

diatas sesungguhnya sifat atau dirinya tuhan. Manifestasi dari pemahaman ini

bertujuan untuk menyadarkan umat Islam bahwa gerak yang dilakukannya

sesungguhnya adalah gerak kuasa tuhan. Kehendak yang ada pada muslim

sesungguhnya kehendak Allah. Ilmu dan pengetahuan yang ada pada dirinya

adalah ilmu Allah, yang melihat pada mata, yang mendengar pada telinga dan

yang berkata kata pada mulutnya sesungguhnya adalah Allah sehingga benar

benar Allah itu nyata pada dirinya. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan Allah

dalam hadist qudsi “majakartu fi kazahartu insan“ yang artinya “aku itu sangat

nyata seperti nyataku pada insan itu”. Apabila Allah itu telah nyata pada diri insan

itu niscaya tiada lagi dosa, karena dosa yang tidak dapat terampuni oleh Allah

adalah dosa syirik atau menserikatkan dirinya.

Nafs (nafsu) adalah diri itu sendiri jadi apabila berkuasa dengan nafs

akan menjadi zalim, berkehendak dengan nafs akan tamak, berilmu, melihat,

mendengar dan berkata kata dengan nafs dapat menjadikan insan itu ria, takabbur,

dengki, iri, dan tinggi diri.

Syair kedua dalam Munajat diatas memberikan nasehat kepada sekalian

muslim agar tiada mengharap apapun terkecuali ridha dan safaat. Tujuan muslim

171

dalam beramal ibadah sesungguhnya bukanlah surga ataupun kenikmatan dunia

namun bertawakkal dan mengharapkan ridhanya. Karena dunia ini sesunguhnya

merupakan neraka bagi orang orang mukmin dan surga bagi orang orang kafir

seperti yang tertera dalam hadist “addunia sajjnul mukmin al jannatul kafirin”.

Oleh karena inilah maka para mukmin tidak akan membesar besarkan dunia

namun selalu rindu kepada Allah dan rasulnya.

Syair Munajat ketiga mengandung pesan agar jangan bimbang kepada

anak istri tatkala mengikuti suluk (khalwat). Dalam melaksanakan aktivitas suluk

seorang salik akan meninggalkan keluarganya dalam beberapa hari oleh karena itu

salah satu faktor yang sangat bersar menghambat tercapainya tujuan dari pada

suluk adalah keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu sebelum melakukan

aktivitas suluk seorang salik yang telah berkeluarga diharuskan agar menitipkan

dan mempersiapkan kebutuhan hidup keluarganya terlebih dahulu

Munajat berfungsi untuk memberitahu akan masuknya waktu salat. Di

Besilam untuk menunjukkan masuknya waktu dilakukan dengan pemukulan

nakus yang disertai dengan pembacaan shalawat, Istiqhfar maupun Munajat.

Khususnya untuk Munajat dilakukan tatkala masuknya waktu subuh dan Maghrib.

Begitu pentingnya tanda ini dilakukan di Babussalam karena dahulu sewaktu

kepemimpinan tuan guru pertama Syekh Abdul Wahab Rokan seluruh murid yang

pada masa itu juga adalah jamaah Tarekat Naqsyabandiah diwajibkan untuk

berkumpul dan melaksanakan salat berjamaah.

Dimasa tuan guru pertama Syekh Abdul Wahab Rokan, peraturan dan

hukum di Besilam adalah hukum syariah Islam dan tuan guru sendiri yang

172

menentukan hukuman kepada para murid, jamaah dan masyarakat di Besilam.

Oleh karena itu apabila terdapat pelanggaran terhadap hukum termasuk peraturan

akan salat berjamaah maka tuan guru akan memberikan teguran sampai kepada

hukuman kepada masyarakat yang meninggalkan salat berjamaah.

Fungsi Munajat juga untuk memberitahu akan adab yang berlaku

diBabussalam. Hal ini dapat terlihat dengan sikap, perilaku dan busana yang

dipergunakan. diBabussalam, berbusana muslim wajib dikenakan oleh masyarakat

dan tamu yang berkunjung. Terutama pada wanita diwajibkan untuk menutup

auratnya dengan berbusana muslimah. Kesopanan dalam bertingkah laku dan

menjaga norma norma Islam harus diperhatikan sehingga siapapun orangnya yang

berada di desa Babussalam dan mendengar syair syair Munajat yang

disenandungkan akan merasa diberi ingat bahwa ia berada dalam lokasi di mana

hukum Islam ditegakkan dengan ketat.

173

BAB IV

KAJIAN TEKS MUNAJAT

4.1 Sumber Teks Munajat

Teks Munajat yang menjadi bahan analisis semiotik dalam tesis ini,

bersumber dari literatur bacaan Istighfar Shalawat Munajat dan taharim yang

diamalkan tuan guru Syekh Abdul Wahab Rokan Al Khalidy Naqsyabandy yang

terdapat didesa desa Besilam kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat,

Sumatra Utara. Tradisi pembacaan ini dilakukan setiap harinya sebelum masuk

waktu azan Subuh dan Maghrib. Dalam penyajiannya Munajat ini dilakukan oleh

tiga sampai empat orang bilal kenaziran madrasah.

Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai Munajat ini penulis

menghubungi salah seorang budayawan yang berada di Babussalam yang

bernama bapak Akhyar Murni yang juga berperan sebagai salah seorang anggota

majlis persatuan zuriat yang merupakan perhimpunan dari para ahli keluarga dan

keturunan dari Syekh Abdul Wahab Rokan beliau adalah seorang guru agama dan

sebagai seksi seni dan budaya didewan zuriat Babussalam. Adapun bunyi dan

syair Munajat ini selanjutnya penulis paparkan di bawah ini.

4.2 Munajat sebagai Syair Melayu

Munajat adalah termasuk ke dalam genre sastra Melayu. Genre sastra

Melayu (termasuk Sumatera Utara) disebut syair ialah suatu bentuk puisi Melayu

174

tradisional yang sangat populer. Kepopularen syair sebenarnya bersandar pada

sifat penciptaannya yang berdaya melahirkan bentuk naratif atau cerita, sama

seperti bentuk prosa, yang tidak dipunyai oleh pantun, seloka, atau gurindam.

Dari bentuk kata atau istilahnya jelas bahwa kata ini berasal dari bahasa

Arab. Kamus al-Mabmudiyah (1934) karangan Syed Mahmud ibnu Almarhum

Abdul Qadir al-Hindi memberikan makna kata syair sebagai "karangan empat

baris yang sama sajak (s-j-?)nya pada akhir keempat-empat kalimat dan sama

pertimbangan perkataannya" (Syed Mahmud 1934:159). Dari konteksnya kita

fahami apa yang dimaksudkan dengan sajak (s-j-?) ialah persamaan bunyi di akhir

tiap-tiap baris atau rawi. Tentu saja keterangan yang terdapat dalam Kamus Al-

Mahmudiyah sangat ringkas, karena penyusun kamus ini menyadari bahwa semua

orang Melayu pasti tahu apa itu syair (Siti Hawa Haji Salleh 2005:1).

Begitu pentingnya kedudukan syair ini dalam kebudayaan Islam atau

Melayu. Maka Al-Qur’an pun memuat perbincangan tentang syair ini dalam

beberapa ayat. Dalam Al-Qur’an Asy Syu’araa’ (26:224) dijelaskan bahwa para

penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

Artinya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

Kemudian dalam surat yang sama Al-Qur’an Asy Syu’araa’ (26:225), bahwa

para penyair itu mengembara di tiap-tiap lembah.

175

Artinya: Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap

lembah

Yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu

suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik yang

tertentu dan tidak punya pendirian.

Di ayat lain yaitu ayat 226, diterangkan bahwa penyair itu hanya suka

mengatakan tetapi tidak melakukan apa yang dikatakannya. Selengkapnya firman

Allah dalam Al-Qur’an Asy Syu’araa’(26: 226) adalah sebagai berikut.

Artinya: dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri

tidak mengerjakan(nya)?

Setelah memberikan peringatan bagi para penyair yang “menyimpang,”

di ayat 227 Allah memuji dan memberikan jaminan kepada para penyair yang

beriman dan beramal saleh, walau awalnya mereka menderita dan dizalimi.

Selengkapnya Al-Qur’an surat Asy Syu’araa’(26: 227) sebagai berikut.

176

Artinya: Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh

dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang- orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

Di dalam Al-Qur’an surah Yaasiin (36;69), sebagai pernyataan bahwa

Al-Qur’an itu bukan ciptaan Nabi Muhammad tetapi adalah wahyu Allah

melalui Malaikat Jibril, Allah berfirman sebagai berikut

Artinya : Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur.an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi tentang penyair dan syair tersebut di

atas, tampaknya adalah ingin meluruskan ide dan praktik terhadap sastra syair ini

dalam rangka tauhid kepada Allah, bukan sebaliknya “bermain dengan kata-kata”

untuk ingkar kepada Tuhan, dan memilih jalan syetan.

Dalam Dunia Melayu, lebih lanjut menurut Harun Mat Piah para

pengkaji yang meneliti syair sepakat menyatakan bahwa kata syair berasal dari

bahasa Arab sy’r yang umumnya merujuk kepada pengertian puisi dalam apa-apa

jua jenisnya seperti yang difahami dalam istilah Inggris poem atau poetry (Harun

Mat Piah 1989:210). Sementara itu, dalam bahasa Arab kata sy’r melahirkan kata

177

sya’ir dengan membawa maksud penulis atau pencipta puisi, penyair, atau

penyajak.

Dalam bentuk asalnya, syair tidak mungkin dikelirukan dengan seloka

dan gurindam karena cara penulisannya. Syair yang pada mulanya ditulis dalam

tulisan Jawi (Arab Melayu), ditulis berpasang-pasangan, yaitu dua kalimat (ayat)

pada baris pertama dengan dipisahkan oleh suatu tanda hiasan atau bunga di

tengah-tengahnya. Biasanya dua pasangan ayat (yaitu empat baris) mempunyai

bunyi akhir sama, walaupun kadang-kadang ditemui sepasang ayat sahaja yang

mempunyai rima akhir yang sama (Siti Hawa Haji Salleh 2005:4).

Kekeliruan terjadi ketika syair dalam tulisan Jawi diperturunkan ke

dalam tulisan rumi (Romawi) dan mungkin karena keterbatasan ruang, empat

baris syair berpasang-pasangan terpaksa diletakkan sebagai suatu rangkap yang

terdiri dari empat baris. Baris-baris syair ini biasanya ditransliterasikan dalam

bentuk yang sangat berbeda dengan yang asalnya dalam tulisan jawi.

178

Gambar 4.1 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Tulisan Jawi

Sumber: Siti Hawa Haji Salleh (2005:4)

Hijrat’l-Nabi ‘alaihi’l-salam,

Seribu tiga ratus bilangan Islam,

Bertambah empat bilangan malam,

Buan Jumadi’l-awal sepuluh malam.

Hari Thalatha mula disurat,

Syair dikarang fakir yang larat,

Dari hai sangat kelurat,

Disuratkan sedikit tamsil ibarat.

Baris-baris membawa maksud atau amanat syair, semuanya membawa

maksud amanat yang berkaitan dan jika ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin

179

dalam bentuk rangkap empat baris, maka mudah dikelirukan dengan seloka (Siti

Hawa Haji Salleh 2005:5).

Za’ba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu (1962 dan sebelumnya)

menyatakan bahwa penulisan syair tidaklah terkungkung pada monorima saja.

Beliau mengemukakan beberapa contoh yang memperlihatkan variasi yang

berbeda, seperti syair dua baris serangkap berima a/b, a/b, a/b, dan seterusnya;

syair tiga baris serangkap dengan rima a/a/b, a/a/b, dan seterusnya; syair empat

baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, dan seterusnya.

Contoh dua baris serangkap berima a/b, a/b:

Dihitung banyak tidak terkira,

Apabila dijumlahkan menjadi satu.

Melompat tak seperti kera,

Hanya tak pandai memanjat pintu.

Menghidupi memelihara,

Tetapi orang benci bercampur bersatu.

(Za’ba 1962:236 dalam Harun Mat Piah 1989:232).

Contoh syair tiga baris serangkap berima a/a/b, a/a/b:

Islam kita wei kejatuhan,

Sebab karut masuk tembahan,

Quran hadis terbulang-baling.

180

Hadis firman dapat ubahan,

Maksud hakiki perpecahan,

Punding bengkok kena perguling.

(Za’ba 1962:235 dalam Harun Mat Piah 1989:232)

Contoh syair empat baris serangkap berima a/b/a/b.

Kamilah raja tuan di sini,

Harta pun kami yang punya,

Orang yang duduk di bumi ini,

Mendengar kami gentar semuanya.

Bukalah pintu kami titahkan,

Nabi Sulaiman empunya perintah,

Jangan sekali kamu ingkarkan,

Derhaka kamu jika dibantah.

(Za’ba 1962:234 dalam Harun Mat Piah 1989:234)

Contoh syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d

Wahai Ramadhan syahar berpangkat,

Tuan kemana lenyap berangkat?

Dukanya kami tidak bersukat,

Hendak menurut tidak berdaya.

Sekali setahun tuan bermegah,

181

Menjelang kami sebulan singgah,

Kami bercengkerama belum semenggah,

Tuan pun lenyap dari dunia.

Syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, e/e/e/f, dan diulang

semula:

Kalau kita ditanya orang:

Kemudi manusia apakah gerang?

Berilah jawab dengannya terang:

Akal, akal, akal, akal.

Kalau kita lagi ditanya:

Haluan manusia apa ditanya?

Berilah jawab yang sempurna:

Hati, hati, hati, hati.

Kalau kita ditanya pula:

Perahu manusia nayatakan sila,

Terangkan dengan berhati rela:

Ilmu yang sihat, ilmu yang sihat.

(Za’ba 1962:107-8 dalam Harun Mat Piah 1989:237)

Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, seperti A. Teeuw

yang menggunakan pendekatan ekstensif (emik) dan Syed Naquib al-Attas yang

182

menggunakan pendekatan intensif, para sarjana ini tidak dapat menafikan bahwa

dalam realitinya Hamzah Fansuri yang memesatkan penggunaan syair dalam

perkembangan kesusastraan Melayu. Oleh karenanya, soalan yang perlu dibagi

jawaban ialah sangat menentukan seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah

(1989:216):

Pertamanya, apakah syair itu merupakan bentuk puisi Melayu- Indonesia yang asli (purba), ertinya telah ada sebelum kedatangan Islam atau, keduanya, benarkah syair dikarang dandicipta oleh Hamzah Fansuri dan hanya dikenali dan berkembang selepas Hamzah Fansuri (m. 1630 Masihi)

Harun Mat Piah mengemukakan empat kesimpulan berasaskan kepada

berbagai-bagai pendapat dan polemik yang timbul berhubung dengan syair yang

dikemukakan oleh para sarjana. Tanpa mengulangi satu per satu penghujahan

yang dikemukakan oleh para sarjana dan mengulangi lagi asal-usul syair dan lain-

lain yang berkaitan dengannya, kita lihat keempat simpulan mengenai syair yang

dikemukakan oleh Harun Mat Piah (1989:209-210).

(1) Bahwa istilah syair berasal dari bahasa Arab; dan penggunaannya dalam

bahasa Melayu hanya sebagai istilah teknik.

(2) Bahwa syair Melayu itu, walau ada kaitannya dengan puisi Arab, tetapi tidak

berasal dari syair Arab dan Persia, atau sebagai penyesuaian dari mana-mana

genre puisi Arab atau Persia. Dengan perkataan lain, syair adalah cipataan

asli masyarakat Melayu.

(3) Ada kemungkinan syair itu berasal dari puisi Melayu Malaysia-Indonesia asli.

(4) Bahwa syair Melayu dicipta dan dimulakan penyebarannya oleh Hamzah

Fansuri dan beracuankan puisi Arab-Persia.

183

Pengkaji lainnya yaitu Mohd. Yusof Md. Nor dan Abdul Rahman Kaeh

(1985:vii) mengemukakan empat kesimpulan juga, namun sedikit berbeda dengan

kesimpulan yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah, yaitu:

(1) Karena kata syair datangnya dari Arab-Persia, maka syair dianggap datang

dari luar.

(2) Meskipun kata syair ada kaitannya dengan bahasa Arab-Persia, tetapi bentuk

syair ialah ciptaan orang Melayu di Nusantara ini.

(3) Syair sudah ada sejak abad kelima belas di Melaka.

(4) Syair dikarang oleh Hamzah Fansuri dan berkembang selepasnya.

Sementara Siti Hawa Salleh menambahkan bahwa selain simpulan

seperti di atas ada sebuah lagi aspek yang berkaitan dengan eksistensi syair di

dunia Melayu. Menurutnya, kegiatan keagamaan dalam tradisi merayakan

Maulidur Rasul (Maulid Nabi) memperkenalkan dan merapatkan masyarakat

Melayu dengan puisi barzanji. Mungkin pada mulanya puisi didendangkan dalam

bahasa Arab asalnya dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu

sambil memberi perhatian kepada rima akhir setiap baris. Akhirnya para penyair

Melayu sendiri mencipta puisi-puisi dengan berpandukan penulisan puisi barzanji.

Contoh-contoh yang dipetik dari buku barzanji memperlihatkan bahwa bentuk

penciptaan puisi itu ialah bentuk syair seperti yang wujud sekarang. Kegiatan

menyanyikan puisi barzanji dalam majlis Maulidur Rasul (maulid Nabi) setiap

tahun pasti meninggalkan kesan terhadap selera puisi masyarakat Melayu.

Dengan itu, tentulah sedikit sebanyak lagu barzanji ini memainkan peranan dalam

menyebarkan penciptaan puisi jenis ini yang akhirya bernamakan syair. Selain

184

itu, tidak dapat dinafikan bahwa minda masyarakat Melayu lebih mudah

menerima puisi barzanji dengan struktur kalimat dan rima akhirnya karena

kebiasaan mereka dengan bentuk puisi yang sedia ada dalam kesusastraannya

sendiri.

Dengan wujudnya berbagai-bagai jenis syair dalam kesusastraan Melayu,

ternyata bahwa puisi jenis ini amat disukai oleh masyarakat Melayu zaman silam.

Syair menyediakan satu lagi cara untuk menyampaikan cerita selain bentuk prosa.

Walaupun pantun berkait berdaya menyampaikan sesuatu kisah yang panjang,

menuruti penceritaannya dapat memberikan tekanan kepada pembaca atau

pendengar karena struktur pantun berkait yang terpaksa mengulang sebut maksud

dalam rangkap awal sebelum mengungkapkan informasi dalam rangkap yang

berikutnya. Oleh itu, pantun berkait tidak digunakan secara meluas untuk

menyampaikan cerita yang panjang-panjang seperti yang dapat dilakukan oleh

syair (Siti Hawa Salleh 2005:23).

Dalam Dunia Melayu hampir setiap genre kesusastraan Melayu

tradisional mempunyai versinya dalam bentuk syair, selain dalam bentuk prosa

hingga terdapat satu kumpulan karya yang besar tercipta dalam bentuk syair.

Dengan demikian, dalam perbendaharaan kesusastraan Melayu terdapat syair

agama, syair sejarah, syair hikayat, syair nasehat, dan lain-lain. Syair juga muncul

dalam karya prosa tradisional, baik untuk selingan maupun penghias bahasa dan

juga dapat sebagai penyampai alternatif. Kepopularannya dikekalkan melalui

iramanya yang tersendiri hingga syair termasuk ke dalam kumpulan dendangan

185

irama asli13, menjadi sebahagian dari nyanyian dalam persembahan bangsawan

dan mempunyai peminat atau audiensnya sendiri. Contoh syair dalam Dunia

Melayu: (a) syair sejarah (Syair Sultan Maulana, Syair Perang Mengkasar, Syair

Muko-Muko), (b) syair keagamaan (Syair Makrifat, Syair Mekah dan Medinah,

Syair Hari Kiamat), (c) syair hikayat/hiburan/romantis (Syair Harith Fadzillah,

Syair Gul Bakawali, Syair Jauhar Manikam), (d) syair hikayat panji (Syair Ken

tambuhan, Syair Panji), syair nasihat (Syair Nasihat, Syair Nasihat Pengajaran

untuk Memelihara Diri, Syair Nasihat kepada Pemerintah), dan (e) syair

perlambangan, kiasan atau sindiran (Syair Ikan Terubuk, Syair Ikan Tongkol,

Syair Bereng-bereng) (Siti Hawa Haji Salleh 2005:24).

Gambar 4.2 Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Kitab Barzanji

13Sebenarnya syair ini tidak boleh dikategorikan sebagai irama asli atau kalau di Sumatera

Utara disebut irama senandung, yang temponya lambat yaitu sekitar 60 ketukan asas per minitnya. Ditulis dalam birama atau sukatan 4/4. Dalam satu siklus (pusingan) memerlukan delapan ketukan asas. Dengan onomatopeik bunyi 4 ketukan awal diisi oleh suara tak, dan empat berikutnya dang, dang , tung, tung, dang, dang dan tung. Dengan nota lengkap sebagai berikut:

. Pada bahagian melodi selang (interlude) digunakan rentak inang atau mak inang dalam 4/4 dan bahagian isi meter bebas bukan rentak ata irama asli.

186

4.3 Adab Munajat

Adapun adab saat melakukan Munajat adalah :

1. Dilakukan berulang ulang diwaktu tertentu

2. Dengan sungguh sungguh dan sepenuh hati

3. Dimulai dengan nama Allah, memuji Allah disertai dengan shalawat kepada

nabi Muhammad SAW.

4. Diucapkan dengan jelas

5. Diucapkan doa itu sesudah taubat lebih dulu

6. Penuh harap akan dikabulkan

7. Penuh keyakinan akan diterima

8. Penuh takut akan ditolak

9. Senantiasa memohon kepada Allah

187

Apabila dilihat dari adab dalam melakukan Munajat, selalu dimulai

dengan memuji Allah dengan asmanya (namanya). Hal ini merupakan estetika dan

etika seorang hamba yang akan meminta kepada tuhannya. Allah swt memiliki 99

(sebilan puluh sembilan) nama mulia yang disebut Asma AL- Husna.

1. Allah

2. Ar Rahman : yang maha pengasih

3. Ar Rahim : yang maha penyayang

4. Ar Malik : yang maha menguasai segalanya

5. Al Quddus : yang maha suci

6. Al Salam : yang menjamin keselamatan

7. Al Mu’min : yang mengamankan semua makhluk

8. Al Muhaymin : yang maha tahu

9. Al Aziz : yang maha perkasa

10. Al Jabbar : yang maha kuat

11. Al Mutakabbir : yang memiliki keagungan

12. Al Khaliq : yang maha pencipta

13. Al Bari : yang menjadikan segala sesuatu

14. Al Musawwir : yang memberi segala bentuk

15. Al Ghaffar : yang maha pemberi ampun

16. Al Qahhar : yang maha menaklukkan

17. Al Wahhab : yang maha pemberi

18. Al Razzaq : yang maha pemberi rizki

19. Al Fattah : yang maha menang

188

20. Al Alim : yang maha mengetahui

21. Al Qabit : yang maha mengendalikan rizki

22. Al Khafid : yang merendahkan derajat

23. Al Basit : yang melapangkan rizki

24. Ar Rafi : yang meninggikan derajat

25. Al Mu’izz : yang memuliakan

26. Al Mudhill : yang menghinakan

27. As Sami : yang maha mendengar

28. Al Basir : yang maha melihat

29. Al Hakam : yang menetapkan hukum

30. Al Adl : yang maha adil

31. Al Latif : yang maha lembut

32. Al Khabir : yang maha waspada

33. Al Halim : yang maha penyantun

34. Al Azim : yang maha agung

35. Al Ghafur : yang maha pengampun

36. Ash Shakur : Maha berterima kasih

37. Al Ali : yang maha tinggi

38. Al Kabir : yang maha besar

39. Al Hafiz : yang maha memelihara

40. Al Muqit : yang memberi makan

41. Al Hasib : yang maha menghitung

42. Al Jalil : yang maha sempurna

189

43. Karim : yang maha pemurah

44. Ar Raqib : yang maha mengawasi

45. Al Mujib : yang mengabulkan doa

46. Al Wasi : yang maha luas

47. Al Hakim : yang maha bijaksana

48. Al Wadud : yang maha mengasihi

49. Al Majid : yang maha mulia

50. Al ba’ith : yang membangkitkan

51. Ash Shaid : yang maha menyaksikan

52. Al Haqq : yang maha benar

53. Al Wakil : yang maha mengawasi

54. Al Qawi : yang maha kuat

55. Al Matin : yang maha teguh

56. Al Wali : yang menolong

57. Al Hamid : yang maha terpuji

58. Al Muhsi : yang maha menghitung

59. Mubdi : yang memulai segala sesuatu

60. Al Mu’id : yang mengembalikan

61. Al Muhyi : yang menghidupkan

62. Al Mumit : yang mematikan

63. Al Hayy : yang maha hidup

64. Al Qayyum : yang berdiri sendiri

65. Al Wajid : yang maha ada

190

66. Al Majid : yang maha mulia

67. Al Ahad : yang maha esa

68. As Samad : yang menjadi tempat memohon

69. Qadir : yang maha kuasa

70. Al Muqtadir : yang sangat berkuasa

71. Al Muqqadim : yang mendahulukan

72. Al Mu’akhhir : yang mengakhirkan

73. Awwal : yang maha awal

74. Al Akhir : yang maha akhir

75. Al Zahir : yang maha nyata

76. Al Batin : yang tidak kelihatan

77. Al Wali : yang menguasai

78. Al Muta’ali : yang maha tinggi

79. Al Barr : yang melimpahkan kebaikan

80. At Tawwab : yang menerima taubat

81. Al Muntaqim : yang membalas perbuatan dosa dengan

siksanya

82. Al Afu : yang memberi maaf

83. Ar Ra’uf : yang banyak rahmatnya

84. Mlik al Mulk : yang menguasai segalanya

85. Dhul Jalal Wal Ikram : yang memiliki keagungan dan kemuliaan

86. Al Muqsit : yang maha adil

87. Al jami : yang menghimpun

191

88. Al Ghani : yang maha kaya

89. Al Mughni : yang memberi kekayaan

90. Al mani : maha pembela

91. Ad Darr : yang mendatangkan kerusakan

92. An nafi : yang memberi manfaat

93. An Nur : yang bercahaya

94. Al hadi : yang memberi petunjuk

95. Al Badi : yang menciptakan yang pertama kali

96. Al Baqi : yang maha kekal

97. Al Warith : yang maha mewarisi

98. Ar Rashid : yang maha pandai

99. As Sabur : yang maha sabar

4.4 Syarat-syarat Penyaji Munajat

Pembaca Munajat di madrasah Babussalam diangkat dan dihunjuk oleh

tuan guru yang memimpin Babussalam. Pembaca Munajat dimadrasah

berhubungan dengan aktifitas bilal serta kenaziran yang bertugas melaksanakan

dan mengurusi madrasah dalam kesehariannya. Adapun kriteria yang menjadi

syarat untuk menjadi pembaca Munajat dimadrasah Babussalam adalah sebagai

berikut :

1. Suaranya bagus bisa menarik perhatian umat/Masyarakat.

Maksud dari bagus dan menarik perhatian umat dalam hal ini adalah

pembaca Munajat haruslah faham akan cengkok lagu dan alunan melodi Munajat

192

yang dibacakan serta dapat menghayati setiap isi dari bait baitnya, dengan

demikian diharapkan bisa menarik perhatian dari yang mendengarnya.

2. Membaca syairnya harus fasih.

Fasih dalam hal ini adalah pembaca Munajat haruslah mampu untuk

membacakan Munajat dengan benar, baik bentuk kalimat dalam bahasa melayu

maupun kalimat yang mengandung unsur bahasa arab yang terdapat pada syair

Munajat tersebut. Hal ini menjadi penting karena salah dalam pengucapan kata

akan mengakibatkan perbedaan penafsiran khususnya kata yang berasal dari

bahasa Arab.

3. Seorang yang melakukan pembacaan Munajat itu memang benar benar

melakukan salat lima waktu secara rutin dimadrasah Babussalam.

Oleh karena pembacaan Munajat adalah salah satu tugas rutin yang

dilakukan seorang bilal di madrasah Babussalam maka seorang pembaca Munajat

haruslah orang memiliki waktu melaksanakan salat lima waktu dimadrasah

Babussalam dalam kesehariannya. Disamping itu pemahaman dan mengamalan

syariat Islam juga menjadi syarat yang mutlak untuk menjadi bilal dimadrasah

Babussalam. Syarat ini sangat penting mengingat ketatnya faham tuan guru Syekh

Abdul Wahab Rokan tentang ketentuan ini, sehingga beliau tidak pernah

mengizinkan untuk didirikannya masjid diBabussalam salah satunya adalah

karena beliau takut nantinya kenaziran akan diisi oleh orang orang yang tidak

memenuhi syarat ilmu dan iman setelah dia berpulang ke Rahmatullah.

4. Suaranya lembut tidak fals

193

Suara yang lembut dan tidak fals yang dimaksudkan disini adalah suara

yang dapat mengikuti alunan Munajat yang dibacakan oleh bilal bilal lainnya

sehingga alunan nada dan iramanya tidak berbeda dari yang biasa dilakukan. Hal

ini menjadi penting karena masyarakat diBabussalam adalah masyarakat yang

minimal mendengarkan Munajat dua kali dalam sehari sehingga syair, melodi dan

cengkok Munajat sudah sangat melekat bagi masyarakat di daerah tersebut.

5. Aktif didalam pelaksanaan ibadah.

Aktif yang dimaksud adalah disiplin dalam waktu dan benar benar

melaksanakan tugasnya tanpa pamrih apapun. Keaktifan dalam kehadiran sangat

dibutuhkan karena mengingat diBabussalam setiap subuh bilal sedah mulai

beraktifitas jam 04..00 WIB untuk membaca Munajat.

6. Mampu mengukur kecepatan bacaan agar dapat sampai tepat waktu pada saat

masuknya azan.

Kemampuan ini merupakan kemampuan yang didapatkan dari

pengalaman. Seorang pembaca Munajat yang baik akan dapat mengatur kecepatan

tempo bacaan agar dapat selesai tepat waktu pada saat masuknya waktu azan.

Oleh karena itu seorang calon bilal atau pembaca Munajat pada awalnya tidak

serta merta diberikan tanggung jawab untuk membaca Munajat, tetapi harus

mengikuti aktifitas bilal bilal lainnya seperti menyimak bacaan Munajat terlebih

dahulu sampai benar benar dapat memahaminya.

194

4.5 Teks Syair Munajat Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy

Naqsyabandy

Berikut ini adalah syair Munajat yang menjadi tradisi dan kerap

dibacakan setiap hari di Desa Babussalam

MUNAJAT

1. Yaa Allah yaa tuhan kam

Tiliki olehMu ya Allah akan diri kami

Siang dan malam sepanjang waktu kami

Inilah pinta kami ya Allah ya tuhan kami…

2. Ampuni olehmu akan dosa kami

`Demikian lagi ya Allah dosa ibu bapak kami

Sekalian muslimin kaum keluarga kami

Sekalian jemaah dan ahli guru kami…

3. Janganlah hampakan akan pinta kami

Tiada siapa yang lain lagi ya Allah tempat pinta kami

Dengan berkat Hikmah pertama guru kami

Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan rabittah kami…

195

4. Kami ini orang berdagang

Dosa kami banyak amal kami kurang

Asikkan dunia pagi dan petang

Harap diampuni ya Allah tuhan penyayang…

5. Yaa hayyu yaa khoyyum yaa Allah

Jauhkan bala hampirkan nikmat

Negeri kami ini diamankan Allah

Berkat tuan Syekh Sulaiman Zuhdi wali yang megah…

6. Yaa Allah yaa rahman

Karuniai kami ta’at dan iman

Berkat keramat tuan Syekh Sulaiman

Negerinya Khorimi wali yang arfaan…

7. Yaa Allah yaa rahiim

Karuniai kami hati yang salim

Berkat keramat wali yang karim

Tuan Syekh Abdullah Afandi dibiladul ‘azhiim…

8. Yaa Allah yaa bashiir

Karuniai kami kuat berzikir

Siang dan malam janganlah mungkir

Berkat Maulana Kholid Baghdadi wali yang kabir…

196

9. Yaa Allah yaa hadii

Kurniai kami pikir dan budi

Siang dan malam bertambah jadi

Berkat tuan Syekh Abdullah Dahlawy dinegeri hindi…

10. Yaa Allah yaa qhafaar

Karuniai kami faidhol anwar

Berkat tuan Syekh Mu’ali Muzhar

Syamsudin wali yang akbar…

11. Yaa Allah yaa nurani

Limpahkan cahayamu ya Allah yang amat murni

Kepada kami yang sekampung ini

Berkat Muhammad Nur biduani…

12. Yaa Allah ya Naashruddin

Karuniai kami Mukasyafah dan yakin

Garam dilaut Bahrul yaqiin

Berkat aulia Allah Tuan Syekh Syaifuddin…

197

13. Yaa Allah yaa qoiyyum

Kurniai kami ya Allah bau yang harum

Berkat tuan Syekh sirril maktuum

Ialah wali Allah Muhammad ma’’sum…

14. Yaa Allah robbi

Kurniai kami ya Allah Wuquf Qolbi

Berkat Ahmad keramat ‘Ajabi

Namanya yang masyhur imamu robbi…

15. Yaa robbi ya Allah

Tambahi Wuquf dengan Muraqabah

Pinta kami ini tuan hamba segerakanlah

Berkat Muhammad Baqi wali yang Megah..

16. Yaa karim yaa Allah

Kekalkan kami didalam Muraqabah

Siang dan malam harapkan tambah

Berkat khiwajaki wali yang indah…

198

17. Yaa Wahab yaa Allah

Kurniai kami Muraqabah Ahadiah

Tulus dan ikhlas memandang zat Allah

Berkat Muhammad Darwis Waliullah…

18. Ya wahid yaaa Allah

Bukakan dinding hijab basyariah

Alam yang ghaib nyata terangla

Berkat Maulana Zahid yang Fana Fillah…

19. Yaa Fatah Yaa Allah

Terangkan jalan jangan tersalah

Supaya nyata af’alullah

Berkat khawajah’ubaidullah…

20. Yaa Allah ya Ghoffari

Kekalkan ahadiah ya Allah sehari-hari

Sekalian ikhwalnya hendaklah diberi

Berkat Tuan Syekh Ya’kub Jarkhi Khasari…

199

21. Yaa Allah yaa Wahab

Muraqabah Mu’iah pula yang kami harab

Berkat A’thari do’anya mustajab

Namanya Muhammad Qutubul Aqthob…

22. Yaa Allah Yaa Robbi

Segerakan olehmu ya Allah pinta kami ini

Sekalian ikhwalnya besar dan seni

Nyatakan kepada kami yang hadir ini…

23. Kami meminta demikian ulah

Berkat himmah Syekh Naqsyabandiah

Namanya Muhammad Bukhari waliullah

Kepada sekalian ‘Alam keramatnya melimpah…

24. Berkat Said Kulal wali yang maha mulia

Kurniai kami ya Allah sekalian cahaya

Supaya hilang daya dan upaya

Memandang zat Allah yang maha mulia…

200

25. Berkat Muhammad Babasyamasyi

Hampirkan kepada kami ‘Arasy dan kursi

Supaya terbezakan kami antara api dan besi

Supaya tahu kami kulit dan isi…

26. Berkat ‘Ali Rahmani

Karuniai kami Ilmu Laduni

Mudah-mudahan hampir tuhan yang ghani

Kepada kami hamba yang fani…

27. Berkat Mahmud aulia Allah

Dunia dan akhirat dia bencilah

Semata mata berhadap kepada zat Allah

Berilah kami yang demikian ulah…

28. Berkat ‘Arif riyukuri

Kami mohonkan hampir tiada terperi

Kepada Allah tuhan yang memberi

Demikian laku kami sehari-hari…

201

29. Tambahi oleh-Mu hasil kami ini

Berkat Abdul Khaliq Fajduwani

Terlebih hampirnya daripada urat wajdaini

Dirasai Ma’rifat iman nurani

30. Berkat Yusuf Hamdani

Kurniai juga ya Allah hamba-MU ini

Akan ilmu hikmah dan laduni

Musyahadah Muqarabah kepada tuhan Robbani…

31. Berkat Ali Permadi Khutub yang pilihan

Kami mohonkan juga ya Allah kepada-Mu tuhan

Sekalian pinta itu tuan hamba tambahkan

Janganlah juga ya Allah ditahan-tahan…

32. Berkat Mahbubus subhani

Tuan Syekh Abu Hasan Khorgani

Tolonglah kami mengerjakan Thariqat ini

Jangan dibimbang anak dan bini…

33. Berkat tuan Syekh Abu Yazid Busthani Sulthan Arifin

Kurniai kami ya Allah Mahabbah dan Tamkin

Akan Allah robbil ‘alamin

Kekalkan selama-lamanya ya Allah ilaa yaumidiiin…

202

34. Berkat Syaidina Jakfar Shadiq

Peliharakan kami ya Allah dari pada kufur dan zindiq

Dan daripada fitnah kakak dan adik

Dan dari pada kejahatan yang dijadikan Khaliq…

35. Berkat Syaidina KOsim anak Muhammad

Tuhan kami Allah nabi kami Muhammad

Kami mohonkan aman serta selamat

Dari pada dunia ini sampai ke akhirat…

36. Berkat keramat raja Salman

Dunia akhirat kamipun aman

Dijauhkan daripada iblis dan syaitan

Siang dan malam sepanjang zaman…

37. Kami mohonkan kepada tuhan yang Qohar

Berkat siddiq Saidina Abu Bakar

Ialah sahabat nabi yang Mukhtar

Didhoifkan Allah bicara kuffar…

203

38. Berkat Syafaat Saidal Anam

Ialah Nabi Rasul yang KIram

Kuat dan aman sekalian Islam

Sepanjang siang sepanjang malam…

39. Yaa Nabi kami kekasih Allah

Sungguhlah tuan hamba Muhammad Rasulallah

Rupa yang maha mulia itu tuan hamba nyatakanlah

Akan syafaat tuan hamba sangat kami haraplah…

40. Berkat Jibril aminullah

Kami ini ditolong Allah

Mengembangkan Thariqat Naqsyabandiah

Siapa yang dengki pulang ke Allah…

41. Kami mohonkan kepada Allah

Sekalian pinta itu tuan hamba perkenankanlah

Tambahi pula mana mana yang indah-indah

Kami harap juga ya Allah kurniai melimpah…

204

42. Yaa Allah ya robbal ‘izzati

Tolonglah kami berbuat bakti

Selama hidup sampai ke mati

Berkat Syafaat sekalian Sedati…

43. Kayakan kami ya Allah dunia dan akhirat

Peliharakan kami daripada sekalian Mudarat

Apa-apa yang kami maksud mana-mana yang kami hajat

Kecil dan besar sekalian dapat…

44. Amin amin amin ya robbil ‘alamin

Berkat Syafaat Nabi Muhammad saidil mursalin

Berkat malaikat yang Mukarrabin

Serta sekalian hamba-Mu ya Allah yang Sholihin…

Amiiiin…

4.6 Analisis Semiotik dan Atqaqum

Dalam syair Munajat yang tertera diatas, maka permohonan tanda dan

penanda dapat diaplikasikan dalam teori yang digunakan oleh para ahli yaitu

Charles Sanders Pierce, adapun semiotik Munajat tuan guru tersebut adalah:

1. Analisis semiotiknya Charles Sanders Pierce untuk Munajat tuan guru Syekh

Abdul Wahab Rokan.

205

Contoh:

a. Yaa Allah yaa tuhan kami

Tiliki olehMu ya Allah akan diri kami

Allah : nama tuhan (R)

Tiliki olehmu : perhatikan olehmu (O)

Akan diri kami : tujuanku agar memperhatikanku (I)

b. Siang dan malam sepanjang waktu kami

Inilah pinta kami ya Allah ya tuhan kami…

Allah : nama tuhan (R)

Siang malam sepanjang waktu : Selama hidup / dalam kehidupan

(O)

Inilah pinta kami : yang menjadi tujuan (I)

Sedangkan yang menjadi icon, index dan symbol menurut Pierce adalah :

icon : Diri

index : Allah/Tuhan

Munajat (doa) merupakan dialog dengan tuhan yang maha kuasa lagi

maha pemberi. Hal ini mulai berlaku semenjak manusia merasa dirinya lemah, aib

dan serba kekurangan. Mereka berusaha mencari yang serba lebih dari dirinya,

dan kepadanya dia akan mengadukan halnya, membagi perasaan dan kemudian

meminta perlindungan. Kadang kadang mereka meminta sesuatu yang ia rasa

dapat menolongnya, yaitu kepada Tuhan yang maha kuasa.

206

Munajat sebetulnya merupakan suatu realisasi penghambaaan dan

merupakan media komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya, dimana akan

dicurahkan segala isi hatinya yang paling rahasia, dengan doa tersebut manusia

merasa bertatap muka dengan Khaliqnya, khaliq yang telah memberikan amanat

kepercayaan sebagai Khalifah dimuka bumi. Dengan doa tersebut makhluk

memohon petunjuk dan perlindungan agar selama mengaku kekhalifahan dibumi

ini senantiasa dalam jalan yang dikehendakinya.

Doa pada perinsipnya merupakan kunci dari segala kebutuhan hidup

didunia dan akhirat. Doa juga merupakan bukti penghambaan kepada Allah hal ini

dapat dilihat dari firman Allah dalam Hadits Qudsi, sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya : “barang siapa yang tidak berdoa

kepadaku, niscaya aku murka kepadanya”.

Adapun contoh kajian teks ini dengan pendekatan teori atqaqum adalah

sebagai berikut :

Yaa Allah yaa bashiir

Karuniai kami kuat berzikir

Siang dan malam janganlah mungkir

Berkat Maulana Kholid Baghdadi wali yang kabir…

Dalam bait ini penekanan permohonan terlihat pada kalimat “karuniai

kami kuat berzikir”. Makna dari zikir sesungguhnya adalah “ingat” kepada Allah.

Berzikir adalah bentuk rasa cinta dan syukur kepada Allah, seorang yang

sedang dilanda cinta yang bersangatan kepada Allah akan tercermin baik dalam

207

bentuk ucapan maupun perbuatannya. Dimulai dengan menyebut nyebut namanya

seorang salik akan merasa dekat tuhannya yang akhirnya akan menyadari bahwa

dirinya tiada terpisahkan lagi dari kuasaNya.

Dalam Tarekat Naqsyabandiah bentuk penyerahan diri terdiri dari

beberapa tahapan yang dimulai dengan ritual bai’ah yakni penyerahan diri kepada

guru atau mursyid agar diterima sebagai pewaris ilmu. Selanjutnya penyerahan

diri terus dilakukan dengan melaksanakan bentuk bentuk amalan yang

diperintahkan oleh guru. Dalam kalimat syair diatas, dengan diberikannya

kekuatan dalam berzikir kepada seorang salik diharapkan dapat memperoleh

peningkatan ketaqwaan kepada Allah. Bukti dari iman hanya dapat diwujudkan

dengan bentuk ketaqwaan dan bentuk ketaqwaan tercermin dalam setiap aktifitas

amal dan ibadah seorang mu’min. Dalam hal ini Tarekat Naqsyabandiah

membuktikan ketaqwaannya melalui aktifitas zikir yang dilakukan secara terus

menerus baik dalam keadaan berjalan, duduk maupun berbaring.

4.7 Interpretasi Teks Munajat

Selanjutnya dalam bab ini penulis akan membahas apa yang menjadi

makna dari tiap baris kalimat dan bait syair Munajat. Untuk menginterpretasikan

Munajat ini penulis menggunakan pendekatan agama Islam yang berdasarkan

kepada pemahaman secara ilmu hakikat dan ilmu Tarekat yang dianut oleh aliran

Tarekat Naqsyabandiah serta mencoba menganalisanya menggunakan sudut

pandang estetika seni. Bentuk interpretasi itu seperti yang tertera dibawah ini:

208

Bait pertama

Yaa Allah yaa tuhan kami

Tiliki olehMu ya Allah akan diri kami

Siang dan malam sepanjang waktu kami

Inilah pinta kami ya Allah ya tuhan kami…

Bait ini memiliki makna sebagai permohonan kepada Allah agar

senantiasa mengawasi diri manusia sepanjang waktu siang dan malam. Kata tilik

didalam bait ini memiliki makna menjaga dan mengawasi segala aktifitas yang

dilakukan manusia baik aktifitas jasmaniah, ruhaniah maupun nuraniah.

Pemaknaan akan diri pada insan dalam ilmu tauhid dan tasawuf mengacu

kepada empat martabat yaitu :

1. Diri tajali yaitu jasmani yang pada insan merupakan tubuh

2. Diri terperi yaitu ruhani yang pada insan adalah ras

3. Diri terdiri yaitu nurani yang pada insan adalah nyawa

4. Diri sebenar diri yaitu rabbani yang pada insan adalah rahasia

Apabila dikaitkan diri ini dengan Allah maka:

1. Diri tajali yaitu jasmani merupakan af’alnya Allah atau kekayaan Allah

2. Diri terperi yaitu ruhani adalah asma’ Nya Allah atau nama bagi Allah

3. Diri terdiri yaitu nurani adalah sifatNya Allah atau wajah bagi Allah

4. Diri sebenar diri yaitu Rabbani adalah zatNya Allah

209

Dari data diatas dapat dilihat bahwa keempat diri ini sesungguhnya

adalah dirinya Allah atau dengan kata lain zat, sifat, asma’ dan af’al inilah yang

bernama Allah. Oleh karena itu makna permohonan doa didalam bait ini adalah

diri nurani memohon kepada diri rabbani melalui diri ruhani (asma’) untuk

kepentingan dan kebutuhan diri jasmani. Dengan demikian didalam ilmu Tauhid

tidak ada manusia, yang ada hanya tuhan yang bernama Allah.

Bait kedua

Ampuni olehmu akan dosa kami

Demikian lagi ya Allah dosa ibu bapak kami

Sekalian muslimin kaum keluarga kami

Sekalian jemaah dan ahli guru kami…

Pada bait kedua ini permohonan doa ditujukan untuk pengampunan

segala dosa para ahli keluarga yang meliputi ayah, ibu, guru, jamaah, muslim,

kaum keluarga baik yang masih hidup maupun yang telah berpulang

kerahmatullah. Demikian juga permohonan ampun akan dosa para jamaah Tarekat

Naqsyabandiah dan sekalian guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan. Dalam

ajaran Islam doa anak yang saleh akan dikabulkan Allah karena apabila seorang

manusia telah meninggal dunia maka segalanya akan terputus kecuali tiga hal

yaitu :

1. Amal zariah semasa hidup

2. Ilmu yang bermanfaat

3. Doa anak yang saleh

210

Oleh karena itu mendoakan kedua orang tua adalah merupakan suatu

keharusan bagi seorang anak sebagai salah satu bentuk bakti kepada orang tua

karena melalui perantaraan kedua orang tua seorang anak terlahir keatas dunia ini.

Dengan kata lain orang tualah yang menjadi perantaraan Allah untuk memberikan

kehidupan pada seorang anak manusia. oleh karena itu tiada dapat terputus

hubungan tersebut walaupun orang tua telah dipanggil oleh yang maha kuasa.

Mendoakan para muslim kaum keluarga dan orang orang yang telah

memberikan pengajaran dan ilmu pengetahuan kepada kita juga merupakan suatu

yang diharuskan, karena ilmu pengetahuan yang didapatkan melalui perantaraan

guru menjadi cahaya yang menerangi umat manusia dan muslim dalam menjalani

hidup baik didunia maupun diakhirat.

Bait ketiga

Janganlah hampakan akan pinta kami

Tiada siapa yang lain lagi ya Allah tempat pinta kami

Dengan berkat Hikmah pertama guru kam

Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan rabittah kami…

Syair Pada bait ini merupakan penguatan akan permohonan sebelumnya

agar Allah jangan mengabaikan permohonan tersebut karena Allahlah tempat

meminta dan hanya Allahlah yang dapat memberikan pertolongan. Hal ini sesuai

dengan ayat pada surat Al fatihah ayat ke 5.

211

Artinya : “Hanya engkaulah tempat kami memohon dan hanya engkaulah yang dapat memberikan pertolongan.”

Kata hikmah pada baris ketiga berarti kebijaksanaan, kebijaksanaan yang

diberikan Allah kepada guru pertama dipersulukan Babussalam yaitu Syekh

Abdul Wahab Rokan yang merupakan rabithah atau perantara jamaah dalam

melakukan amalan kepada Allah.

Bait keempat

Kami ini orang berdagang

Dosa kami banyak amal kami kurang

Asikkan dunia pagi dan petang

Harap diampuni ya Allah Tuhan penyayang…

Kata berdagang pada bait ini merupakan perumpamaan akan kehidupan

manusia dipermukaan bumi ini. Manusia diibaratkan sedang melakukan

perantauan disebuah tempat yang bernama kehidupan dunia. Selama dalam masa

perantauan hendaklah manusia mendapatkan keberuntungan sebelum nantinya

pulang kembali ke tempat asalnya disisi Allah. Keberuntungan yang dimaksudkan

dalam hal ini adalah selama didunia hendaknya memperbanyak bekal berupa ilmu,

amal dan iman kepada Allah sehingga nantinya bila dipanggil oleh Allah dapat

mempertanggung jawabkan segala yang diperbuatnya pada saat hidup di dunia.

212

Namun kelalaian dan khilaf selalu membayangi setiap aktifitas manusia,

oleh karena itu manusia hendaklah selalu beristiqhfar dan selalu memohon

ampunan kepada Allah agar jangan terlalu asik dengan ketertarikan kepada nafsu

duniawi.

Bait kelima

Yaa hayyu yaa khoyyum yaa Allah

Jauhkan bala hampirkan nikmat

Negeri kami ini diamankan Allah

Berkat tuan Syekh Sulaiman Zuhdi wali yang megah…

Permohonan doa pada bait ini ditujukan kepada negeri agar selamat serta

dijauhkan dari mara bahaya berupa bencana. Permohonan ini dimintakan karena

mengingat semakin banyaknya umat Islam yang telah jauh dari Allah dengan

melupakanNya. Bencana dan bala itu akan datang apabila tidak ada lagi manusia

yang memohon ampun kepadaNya. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al

Anfaal ayat 33.

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu

(Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun”.

213

Pemaknaan dari “kamu (Muhammad) pada ayat ini adalah Ilmu, Iman

dan Islam, oleh karena itu selama masih ada Ilmu, Iman dan Islam di dalam suatu

kaum dan bangsa maka Allah tidak akan menurunkan azab.

Meminta ampunan dan taubat adalah sesuatu yang sangat disenangi Allah

seperti yang tertera dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 73.

Artinya: “sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki danperempuan dan

orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Syekh Sulaiman Zuhdi adalah guru serta mursyid dari Tuan guru Syekh

Abdul Wahab Rokan. Melalui penguatan akan rabithah inilah diharapkan

permohonan ini dapat dikabulkan Allah. Para Mursyid, Wali dan Syekh Syekh ini

merupakan orang orang saleh dan dekat dengan Allah sehingga permintaan yang

disertai dengan orang orang saleh ini dapat menjadikan doa akan makbul.

Bait ke enam

Yaa Allah yaa rahman

Karuniai kami ta’at dan iman

Berkat keramat tuan Syekh Sulaiman

Negerinya Khorimi wali yang arfaan…

214

Dibait syair yang keenam ini permohonan doa bertujuan agar Allah yang

maha pengasih memberikan kekuatan kepada hambanya untuk patuh kepada

segala perintahnya dan menjauhi segala bentuk larangannya. Memiliki iman yang

kokoh serta meningkatkan iman dan Islam dalam bentuk amal ibadah.

Berkenaan dengan iman, didalam islam iman memiliki fardhu dan

syarat. Adapun yang termasuk fardhu iman adalah :

1. Mengikrarkan dengan lidah

2. Mentasdikkan dengan hati

3. Diperbuat dengan anggota tubuh serta mengikut kepada ijmak sahabat nabi

Yang termasuk kepada syarat iman itu ada sepuluh perkara yaitu :

1. Kasih akan Allah Taala

2. Kasih akan segala Malaikatnya

3. Kasih akan segala kitabnya

4. Kasih kepada wali Allah

5. Kasih kepada Nabi Allah

6. Benci akan segala seteru Allah

7. Takut akan azab Allah

8. Mengharap akan Rahmat Allah

9. Mengerjakan segala suruhan Allah

10. Menjauhi segala larangan Allah

Syekh Sulaiman adalah Syekh dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiah

yang menduduki peringkat ke 30 (tiga puluh) yang merupakan ayahanda dari

Syekh Sulaiman Zuhdi.

215

Bait ke tujuh

Yaa Allah yaa rahiim

Karuniai kami hati yang salim

Berkat keramat wali yang karim

Tuan Syekh Abdullah Afandi dibiladul ‘azhiim…

Dalam bait ini permohonan bertujuan mendapatkan hati yang selamat dan

terhindar dari segala penyakit hati yang terdiri dari ujub, riya takabbur, sam’ah,

hasad, dengki, iri dan tinggi diri. Melalui para keramah para wali yang mulia. Hati

yang selamat adalah hati yang mendapatkan cahaya Ilahiah. Cahaya yang merasuk

dan meresap kedalam hati inilah yang menyebabkan seseorang bisa dengan

sepenuhnya mencintai dan mencurahkan perhatiannya hanya kepada Allah

semata. Sehubungan dengan hal ini, sebahagian ahli ma’rifat mengatakan : “

apabila iman itu ada di bagian luar hati, maka hamba akan mencintai akhirat dan

dunia, yakni sebagian mencintai Allah swt dan sebagian yang lain mencintai

dirinya. Dan apabila iman telah masuk kedalam lubuk hati maka ia akan

membenci dunianya dan ditolak kehendak hawa nafsunya”.

Tuan Syekh Abdullah Afandi adalah Syekh yang menduduki silsilah ke

29 (dua puluh sembilan) dalam Tarekat Naqsyabandiah Babussalam.

216

Bait kedelapan

Yaa Allah yaa bashiir

Karuniai kami kuat berzikir

Siang dan malam janganlah mungkir

Berkat Maulana Kholid Baghdadi wali yang kabir…

Permohonan doa pada bait kedelapan ini bertujuan agar mendapatkan

kekuatan untuk melakukan aktifitas zikir pada setiap hari. Aktifitas berzikir

merupakan salah satu yang terpenting dalam tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiah.

Kegiatan ini dilakukan secara kontinu setiap hari hingga masyarakat menganggap

tasawuf atau Tarekat identik dengan orang orang yang hatinya selalu berzikir dan

ditangannya tiada pernah lepas atau pisah dengan tasbih.

Zikir pada hakikatnya adalah mengingat Tuhan dan melupakan apa saja

selain Allah sewaktu dalam berzikir. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam

surat Al-Kahfi ayat 24

Artinya : “Dan ingatlah kepada Tuhanmu, jika kamu lupa katakanlah mudah

mudahan Tuhanku akan memberikan petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.”

217

Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya “ orang orang yang

menyendiri (pertapa) adalah orang yang paling dahulu masuk surga”. Lalu salah

seorang sahabatnya bertanya “ Wahai Rasulullah, siapakah pertapa itu?”

Rasulullah saw menjawab “ Pertapa ialah orang yang selalu mengingat Allah”

(H.R Tarmidzi dari Abi Hurairah).

Zikir asal mulanya adalah ash-shafa, artinya bersih dan hening.

Wadahnya adalah al-wafa, artinya menyempurnakan dan syaratnya adalah al

hudlur, artinya hadir sepenuh hati. Hamparannya adalah amal saleh dan

khasiatnya adalah pembukaan dari Tuhan Al Aziz Ar Rahim. Demikian menurut

keterangan Syekh Ahmad al Fathani.

Didalam Al Quran banyak sekali ayat ayat yang menyuruh berzikir

kepada Allah atau menganjurkan seseorang untuk berzikir diantaranya adalah

firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 41-42

Artinya : “Hai orang orang yang beriman, berzikirlah dengan menyebut nama

Allah, zikir yang sebanyak banyaknya. Dan bertasbihlah padanya pada waktu pagi dan petang”.

Lalu Allah memberi peringatan kepada hambanya dalam surat Al-

Baqarah ayat 152

218

Artinya : “ maka ingatlah kamu kepadaku, niscaya aku ingat kepadamu”.

Manfaat zikir untuk orang orang beriman di jelaskan dalam surat Ar Ra’d

ayat 28.

Artinya : “Orang orang yang beriman hatinya tenteram karena mengingat Allah. Ketahuilah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”.

Bait kesembilan

Yaa Allah yaa hadii

Kurniai kami pikir dan budi

Siang dan malam bertambah jadi

Berkat tuan Syekh Abdullah Dahlawy dinegeri hindi…

Bait ke sembilan diatas memiliki makna serta permintaan kepada Allah

untuk dikaruniai fikir dan budi. Berfikir adalah sesuatu yang sangat dianjurkan

Allah. Untuk mengembangkan pemikiran dibutuhkan ilmu pengetahuan yang

didapat dari suatu proses belajar.

Islam adalah agama yang menentang kebodohan, oleh karena itu ayat

yang pertama kali di turunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada

Rasulullah adalah surat Al ‘Alaq yang yang berisikan Iqro artinya “baca”.

219

Membaca yang dimaksud dalam ayat ini bukan saja menulis dan membaca tetapi

juga mempertanyakan serta mengkaji isi alam semesta.

Bait kesepuluh

Yaa Allah yaa qhafaar

Karuniai kami faidhol anwar

Berkat tuan Syekh Mu’ali Muzhar

Syamsudin wali yang akbar…

Bait kesepuluh ini merupakan permohonan agar di karuniai faidhol anwar

yang berarti cahaya yang berlimpah. Limpahan cahaya yang dimaksud adalah

cahaya nurani yang merupakan cahaya kerasulan yang meliputi cahaya ilmu, iman

dan Islam.

Cahaya nur inilah yang menyinari baik di bumi maupun dilangit seperti

yang tertera dalam alquran surat an-Nur ayat 35

220

Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya

Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Menurut para ahli tasawuf selama cahaya (Nur) ini masih ada maka

kiamat tidak akan terjadi dimuka bumi ini.

Nur ini juga yang menjadi asal empat unsur lembaga Nabi Adam yaitu

api, angin, air dan tanah. Dua unsur yang ada dilangit yaitu api, angin yang

merupakan urat, darah bagi Adam. Air, tanah yang merupakan tulang dan daging

bagi Adam. Keempat unsur ini dikatakan merupakan afalnya Allah. Keempat

unsur inilah yang berpulang kepada Nur tatkala melakukan ibadah salat.

Sewaktu berdiri tegak dipulangkanlah darah menjadi api, sewaktu ruku’

dipulangkannya urat menjadi angin, diwaktu sujud dipulangkannya daging

menjadi tanah dan diwaktu duduk dipulangkannya tulang menjadi air dan semua

api, angin, air dan tanah ini akan kembali dan berpulang kepada Nur.

Bait kesebelas

Yaa Allah yaa nurani

Limpahkan cahayamu ya Allah yang amat murni

Kepada kami yang sekampung ini

Berkat Muhammad Nur biduani

221

Maksud dari bait Munajat diatas adalah untuk memohon kepada Allah

agar diberikan limpahan penerangan iman serta cahaya hidayah kepada

masyarakat kampung Babussalam. Limpahan cahaya yang dimaksudkan dalam

hal ini dapat berupa jalan yang terang agar tidak tersesat dalam hidup didunia.

Cahaya yang menerangi jalan dalam hidup adalah ilmu, dengan ilmu agama

manusia tidak akan tersesat baik di dunia maupun diakhirat. Inilah yang

menjadikan sebab maka ayat Allah yang pertama diturunkan melalui malaikat

Jibril adalah Iqro yang berarti “baca”. Maksud dari baca disini adalah menuntut

ilmu, karena tanpa ilmu manusia akan menjadi jahil (bodoh).

Allah mengutus rasulnya kedunia dengan membawa amanah untuk

menyampaikan ajaran agama dengan kitab suci Al Quran pertama tama adalah

untuk mengentaskan kebodohan yang dilakukan pada masa zaman jahiliyah.

Kebodohan dimaknai dengan kegelapan dalam berfikir dan bertindak. oleh karena

itu dalam hadist dan Al Quran banyak sekali menjelaskan mengenai keutamaan

dalam menuntut ilmu. Seperti ayat Al Quran dibawah ini.

Surat An-Nisaa ayat 4.

Artinya : ”Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkansebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat,menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada ` mereka pahala yang besar.”

222

Begitu juga Hadits: “Belajar Ilmu diwajibkan bagi tiap tiap orang Islam

lelaki dan orang Islam perempuan” (Al Hadist) barang siapa yang menghendaki

kebahagiaan didunia, maka wajib atasnya untuk mengetahui ilmunya, dan barang

siapa yang menghendaki kebahagiaan akhirat, maka wajib baginya untuk

mengetahui ilmunya dan barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya maka

wajib baginya untuk mengetahui ilmunya.” (Al-Hadist)

Bait kedua belas

Yaa Allah ya Naashruddin

Karuniai kami Mukasyafah dan yakin

Garam dilaut Bahrul yaqiin

Berkat aulia Allah Tuan Syekh Syaifuddin…

Bait diatas memiliki makna agar umat Islam dikaruniai Mukasyafah dan

yakin. Mukasyafah adalah suatu keadaan dimana terbukanya segala rahasia dan

tiada tertutup lagi sifat sifat ghoib. Mukasyafah berkaitan dengan musyahadah

yang memiliki arti “memandang”. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al

Musyahadah adalah nampaknya Al Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah

tiada” sementara itu dalam kitab Iqadhul Himam dikatakan “Al musyahadah

adalah terbukanya hijab alam perasaan dari pancaran Nur yang suci, yaitu

tersingkapnya tabir pemeliharaan alam wujud. Ketika itu engkau melihat

Dzatullah dalam alam ghoib/alam malakut. Dan Allah melihat kamu dalam alam

wujud/alam mulkihi. Ketika itu engkau melihat rahasia ketuhanannya dan

223

Allahpun melihat pengabdianmu. Dan adapun pandangan Tuhan terhadap

hambaNya, adalah melihat ilmuNya, ahwalNya dan rahasia rahasiaNya”.

Maksudnya adalah Allah mengetahui apa saja yang diketahui hambaNya

dan apa yang diperbuat hambaNya dan apa saja yang tergores dalam hati sanubari

hambaNya. Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya Nur

Musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Terjadinya musyahadah ini

melalui tiga tahap yaitu:

1. Nur Musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat dengan

Allah. Tanda tandanya ialah seorang merasa muraqabah/berintaian dengan

Allah.

2. Nur Musyahadah kedua adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni

hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud

yang hakiki.

3. Nur Musyahadah ketiga, yaitu tampaknya dzatullah yang maha suci. Dalam

hal ini bila seseorang telah fana’ sempurna, yaitu dirinya telah lebur dan yang

baqa’ hanyalah wujud Allah.

Musyahadah masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah

melakukan mujadah fil ibadah dengan cara memfanakan diri terlebih dahulu,

mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat sifat yang

menjadi penghalangnya.

Sementara itu makna yang ada pada kata garam dilaut bahrul yakin

adalah sebagai penguat dari arti mukasyafah itu sendiri, bahrul yaqiin yang

memiliki arti lautan keyakinan dapat dimaknai dengan iman. Sementara garam

224

yang menjadi kandungan lautan menjadi isi daripada arti iman itu sendiri yang

menurut pengamatan penulis merupakan musyahadah dan mukasyafah seperti

yang telah dijelaskan diatas.

Bait ketiga belas

Yaa Allah yaa qoiyyum

Kurniai kami ya Allah bau yang harum

Berkat tuan Syekh sirril maktuum

Ialah wali Allah Muhammad ma’’sum…

Pada bait ke tiga belas permohonan bertujuan agar dikaruniai bau yang

harum seperti bau tubuhnya orang orang mukmin. Abu Musa Ra : sabda Rasul :

perumpamaan orang mukmin yang membaca Al Quran adalah seperti buah

utrujah (jeruk) , baunya harum dan rasanya manis. (H.R. Bukhori/Muslim)

Bau yang harum adalah perumpamaan bagi orang mukmin yang selalu

membaca dan belajar Al Quran sehingga tercermin dalam tingkah laku dan

perbuatannya. Bau yang harum ini akan tercium oleh orang orang disekitarnya

sehingga mereka mereka yang ingin mendapatkan faedahya akan berusaha untuk

mendekatinya dan mendengarkan ilmu ilmu yang bermanfaat darinya.

Bait keempat belas

Yaa Allah robbi

Kurniai kami ya Allah Wuquf Qolbi

Berkat Ahmad keramat ‘Ajabi

Namanya yang masyhur imamu robbi…

225

Pada bait ke empat belas ini permohonan ditujukan agar dikaruniai wuquf

qolbi. Sebagaimana seperti yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya wuquf

Qolbi merupakan salah satu ajaran dasar pada Tarekat Naqsyabandiah. Seperti

yang dikatakan oleh Syekh “Ubaidullah Al-Ahrar” Wukuf Qalbi adalah kehadiran

hati serta kebenaran Allah, tiada tersisa dalam hatinya sesuatu maksud selain

kebenaran Allah dan tiada menyimpang dari makna dan pengertian zikir.

Lebih jauh dikatakan bahwa hati orang yang berzikir itu berhenti (wukuf)

menghadap Allah dan bergumul dengan lafaz-lafaz dan makna zikir. Menurut

pengarang “Ar-Rosyahat”, seorang murid dari maulana Syekh Muhammad

Bahauddin tidak menjadikan tahan nafas dan menjaga bilangan sebagai sesuatu

kelaziman dalam berzikir

Adapun wukuf qalbi menurut pengertiannya dijadikan sebagai sesuatu

yang amat penting dan merupakan suatu kelaziman. Kesimpulan atau sari pati dari

maksud zikir itulah yang dinamakan wukuf qalbi.

Sementara itu Ahmad keramat yang Ajabi dimaksuud kan dalam bait

syair ini adalah Ahmad Faruqi yang merupaakan Syekh urutan ke 24 (dua puluh

empat) dalam Tarekat Naqsyabandiah Babussalam.

Bait ke lima belas dan enam belas

Yaa robbi ya Allah

Tambahi Wuquf dengan Muraqabah

Pinta kami ini tuan hamba segerakanlah

Berkat Muhammad Baqi wali yang Megah..

226

Yaa karim yaa Allah

Kekalkan kami didalam Muraqabah

Siang dan malam harapkan tambah

Berkat khiwajaki wali yang indah…

Di dalam bait ke lima belas dan enam belas ini permohonan kepada Allah

bertujuan untuk diberikannya wukuf dengan muraqabah yang merupakan

kelanjutan dari khalwat (suluk). Tujuan dari muraqabah itu sendiri adalah untuk

selalu hadir hati dengan Allah sehingga merasa selalu dalam pengawasan Allah

SWT. Al-Qusyairi berkata: “muraqabah ialah bahwa hamba tahu sepenuhnya

bahwa tuhan selalu melihatnya” (ar Risalah Al Qusyairiyah).

Muraqabah menurut para ahli sufi ada tiga tingkatan sebagaimana yang

disebutkan oleh Syekh Ahmad al Husni dalam kitab Iqadhul Himam :

1. Muraqabah Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar

tidak keluar kehadirannya dengan Allah.

2. Muraqabatur Ruh, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar

selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.

3. Muraqabatus Sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir/ Rahasia,

agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.

Adapun yang menjadi dasar muraqabah ini adalah petunjuk kitab suci

Al Quran :

227

Surat al baqarah 186,

Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka

(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Demikian pula pada surat Qaff 16 Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa

yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,

Juga terlihat pada surat al Hadiid 4

Artinya :

228

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[1453] Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Syekh Muhammad Baqi dan Syekh khiwajaki merupakan Syekh

Naqsyabandiah pada urutan silsilah ke dua puluh tiga dan dua puluh dua.

Bait ke tujuh belas :

Yaa Wahab yaa Allah

Kurniai kami Muraqabah Ahadiah

Tulus dan ikhlas memandang zat Allah

Berkat Muhammad Darwis Waliullah…

Dalam bait syair ke tujuh belas ini permohonan masih juga bertujuan

agar dikaruniainya muraqabah serta ikhlas memandang zat Allah. Memandang zat

allah dalam hal ini sesungguhnya menunjukkan sifat basharnya Allah yang ada

pada diri hambanya karena zat Allah sesungguhnya tiada dapat dilihat oleh

sesuatu apapun jua. Oleh karena itu menurut pendapat para ahli sufi yang mampu

melihat dan memandang sesungguhnya adalah sifat bashar Allah sehingga Allah

benar benar Ahad (esa). Apabila tahapan ini telah dapat dilalui maka nyatalah

sesungguhnya manusia itu la haula walakuata illa billa (tiada memiliki daya dan

upaya).

Muhammad Darwis merupakan Syekh Tarekat Naqsyabandiah pada

urutan ke dua puluh satu dalam silsilah

Bait ke delapan belas

229

Ya wahid yaaa Allah

Bukakan dinding hijab basyariah

Alam yang ghaib nyata teranglah

Berkat Maulana Zahid yang Fana Fillah…

Dalam syair ke delapan belas ini permohonan bertujuan agar Allah

membukakan hijab dan rahasia alam gaib. Para ahli tasawuf dan sufi berpendapat

bahwa terbukanya hijab basyariah dan alam gaib hanya dapat dilakukan oleh

orang yang selalu dekat dengan Allah dengan jalan senantiasa melakukan amal

dan ibadah. Adapun yang menjadi tujuan dari terbukanya dinding hijab basyariah

adalah ma’rifat kepada Allah.

Seorang sufi akan dapat mencapai ma’rifat billah, bila telah dekat dengan

Allah sedekat dekatnya. Semakin dekat maka ia semakin tinggi tingkatannya

dalam berma’rifat billah. Apabila ia terlebih dahulu menghancurkan dirinya, yaitu

menghancurkan segala siifat sifat kehewanan yang penuh hawa nafsu dan

dipengaruhi tabi’at syaitan kemudian menetapkan sifat sifat terpuji yang selalu

mendapat cahaya Rabbaniyah yang selalu mengarah pada kebaikan yang

bertujuan untuk memperoleh ridha Allah.

Penghancuran diri dalam istilah sufi disebut fana’. Fana yang dicari oleh

kaum sufi adalah penghancuran diri yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran

tentang adanya tubuh kasar manusia. Al Qusyairi tentang hal ini mengatakan:

“fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya

kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu.....sebenarnya dirinya tetap

230

ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka

dan pada dirinya”(ar Risalah al Qusyairiyah)

Apabila seorang sufi telah mencapai fana’an nafsi yaitu kalau wujud

jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal

ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan tuhan.

Maulana Zahid merupakan Syekh dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiah

pada urutan ke dua puluh.

Bait ke sembilan belas

Yaa Fatah Yaa Allah

Terangkan jalan jangan tersalah

Supaya nyata af’alullah

Berkat khawajah’ubaidullah…

Syair ke sembilan belas ini memohon kepada Allah yang maha menang

agar menunjukkan jalan yang terang agar tidak salah dalam melalui jalan menuju

kepadanya serta tidak ada lagi diri manusia dan yang nyata hanyalah wujud dari

af’alNya (ciptaannya) yang merupakan kekayaanNya. Dalam Al Quran Allah

mengatakan bahwa kuciptakan tujuh lapis langit dan bumi dan barang kedua

diantaranya.

Af’al inilah yang bersaksi sewaktu melakukan dua kali masyahadat

“Ashadu alla ila haillallah” yang artinya “Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah

dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah”. Ashadu dalam kalimah ini

menunjukkan derajat Af’al dan af’al inilah menyaksikan adanya tuhan yang

231

bernama Allah. Dengan kata lain yang bersaksi adalah af’alnya Allah, yang

disaksikan adalah zatnya Allah dan yang menyaksikan adalah sifatnya Allah.

Khawajah ubaidullah adalah Syekh Tarekat Naqsyabandiah dalam urutan

ke sembilan belas dari Nabi Muhammad saw.

Bait ke dua puluh

Yaa Allah ya Ghoffar

Kekalkan ahadiah ya Allah sehari-hari

Sekalian ikhwalnya hendaklah diberi

Berkat Tuan Syekh Ya’kub Jarkhi Khasari…

Tujuan dari pada permohonan pada syair ke dua puluh ini adalah untuk

dapat diberi kekuatan kepada manusia agar senantiasa mengekalkan keesaan

Allah. Tidak dapat dipungkiri manusia merupakan makhluk yang mudah

terombang ambing oleh nafsunya, oleh karena itu manusia selalu bersifat khilaf.

Untuk mengesakan Allah mungkin tidaklah menjadi sesuatu yang sulit dilakukan

namun untuk senantiasa mengesakan dan mentauhidkan tuhan dalam setiap detik

waktu perlu melalui suatu proses latihan yang cukup panjang.

Mengesakan Allah tidak cukup dengan lisan saja namun perlu

ditasdikkan dengan hati dan dilakukan dengan perbuatan. Namun semua itu tidak

dapat dilakukan oleh seorang insan yang lemah. Oleh karena itu hanya Allah

sajalah yang mampu memberikan kekuatan agar Ia tetap mengingatkan hambanya

tatkala khilaf dalam melakukan amal dan ibadah.

232

Syekh ya’kub Jarkhi hazhori merupakan Syekh urutan ke delapan belas

dalam Tarekat Naqsyabandiah.

Bait ke dua puluh satu

Yaa Allah yaa Wahab

Muraqabah Mu’iah pula yang kami harab

Berkat A’thari do’anya mustajab

Namanya Muhammad Qutubul Aqthob…

Tujuan dari syair ke dua puluh satu ini adalah permohonan untuk

berharap diberikannya Muraqabah Mu’iah. Kata mu’iah dalam bait syair ini

berarti pengiring atau mengiringi, oleh karena itu permohonan dalam syair ini

menitik beratkan agar muraqabah selalu mengiringi setiap langkah salik.

Seperti yang telah dijelaskan pada bait syair ke lima belas bahwa

kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar kehadirannya dengan

Allah adalah sesuatu yang harus tetap terjaga oleh seorang penganut Tarekat

Naqsyabandiah. Oleh karena itu berkat Muhammad Qutubul aqthob yang keramat

dan doanya senantiasa dikabulkan Allah diharapkan muraqabah tidak lepas dari

ingatan penganutnya.

Bait ke dua puluh dua dan dua puluh tiga

Yaa Allah Yaa Robbi

Segerakan olehmu ya Allah pinta kami ini

Sekalian ikhwalnya besar dan seni

Nyatakan kepada kami yang hadir ini…

233

Kami meminta demikian ulah

Berkat himmah Syekh Naqsyabandiah

Namanya Muhammad Bukhari waliullah

Kepada sekalian ‘Alam keramatnya melimpah…

Pada bait syair kedua puluh dua dan dua puluh tiga ini permintaan doa

bertujuan agar semua permintaan yang di ungkapkan oleh semua jemaah agar

dikabulkan dan permintaan tersebut nyata didapatkan oleh seluruh jamaah.

Permohonan yang dikabulkan Allah adalah permohonan yang dipintakan oleh

kekasihnya, oleh karena itu hanya kekasihlah yang dapat meminta kepada yang

maha mengasihi. Kekasih Allah adalah ujudnya rasul yang merupakan utusannya.

Jadi proses berdoa adalah permohonan rasul kepada tuhannya untuk memenuhi

kebutuhan umatnya. Insan yang dalam hal ini adalah manusia adalah makhluk

yang sangat sempurna ciptaan Allah swt karena insan adalah makhluk satu

satunya yang mampu mengemban amanah Allah menjadi khalifah dimuka bumi.

Amanah tersebut pernah ditawarkan oleh Allah kepada gunung, lautan dan alam

semesta namun tiada yang mampu untuk mengemban amanah tersebut. Hanya

lembaga Adam yang mampu memikul amanah tersebut. Apa yang menjadi

amanah tersebut tidak lain adalah diri tuhan itu sendiri yang ada pada diri insan.

Rasullullah mengatakan dalam hadistnya “al insanu sirri wa ana sirruhu” artinya

“ insan itu adalah rahasia dan akulah rahasia itu”. Keterkaitan mengenai hal ini

dengan permohonan doa adalah zat Allah yang merupakan rahasia dalam diri

insan hanya mengabulkan permohonan yang datangnya dari nurani insan itu

234

sendiri yang berisikan martabat sifat sifatnya dan merupakan nur bagi rasulnya

yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sa’ma, basyar dan kalam. Ketujuh sifat tuhan

inilah yang menjadi nur yang menerangi di tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi

dan barang kedua diantaranya yang menjadi af’al Allah swt serta menjadi

kekayaannya. Jadi jelaslah bahwa yang meminta adalah sifatNya, yang memberi

adalah zatNya, yang merasakan nikmatnya adalah asmaNya dan yang diberi rezki

adalah af’alNya. Hal inilah yang ingin nyata pada sekalian jamaah Tarekat

Naqsyabandiah melalui isi Munajatnya.

Muhammad bukhari merupakan Syekh Tarekat Naqsyabandiah pada

urutan silsilah ke tujuh belas.

Bait ke dua puluh empat

Berkat Said Kulal wali yang maha mulia

Kurniai kami ya Allah sekalian cahaya

Supaya hilang daya dan upaya

Memandang zat Allah yang maha mulia…

Pada bait syair ini permohonan masih bertujuan untuk meningkatkan

ketauhidan dengan meniadakan diri (nafs). Seperti halnya dalam bait bait

sebelumnya dijelaskan bahwa adanya pengakuan akan diri merupakan dosa

karena dekat dengan kesyirikan. Daya dan upaya berkaitan erat dengan kuasa dan

kehendak. Apabila kuasa dan kehendak memperturutkan hawa maka nafsu tidak

akan terkendali. Oleh karena itu nafsu hendaknya tunduk kepada qudrat dan

iradat Allah agar jiwa menjadi tenteram.

235

Penyebutan akan tiada daya dan upaya selalu dilakukan sebagai jawaban

tatkala azan berkumandang. Mari tegakkan salat, mari menuju kemenangan

dijawab dengan tiada daya dan kuasa. Bentuk meniadakan diri ini juga lakukan

tatkala membacakan doa iftitah dengan menyatakan sesungguhnya salat, hidup

dan mati telah diserahkan kepada Allah. Selanjutnya dalam pembacaan niat

sebelum salat juga dinyatakan bahwa sengaja melakukan salat karena Allah taala.

Meninjau dari beberapa contoh diatas terbukti bahwa meniadakan diri adalah

sesuatu yang harus dilakukan untuk tercapainya maksud dari pada ibadah yaitu

mengesakan Allah serta senatiasa memandang zat Allah yang tiada rusak maupun

binasa seperti yang tertulis dalam kitab suci Al Quran dalam surat Al Baqarah

ayat 115

Artinya :

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83].Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Said Kulal merupakan Syekh dalam Tarekat Naqsyabandiah dalam urutan

silsilah ke lima belas.

236

Bait ke dua puluh lima

Berkat Muhammad Babasyamasyi

Hampirkan kepada kami ‘Arasy dan kursi

Supaya terbezakan kami antara api dan besi

Supaya tahu kami kulit dan isi…

Di bait ke dua puluh lima ini permohonan untuk menghampirkan ‘arasy

dan kursi. Kursi Arasy adalah kursi atau singgasana Allah swt tempat

bersemayam diriNya seperti yang tertera dalam kitab suci Al Quran dalam surat

Ar’d ayat 2.

Artinya : Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang

kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

Apabila dilihat ayat diatas Allah bersemayam diatas Arasy dan Allah mengatur

urusan makhluknya agar yakin akan pertemuan diriNya dengan makhluknya. Menurut

penulis pertemuan tuhan dengan hambanya didunia ini terjadi lewat Ilmu Allah yang

menjadi sifatnya. Apabila di hubungkan dengan manusia maka Arasy adalah fikir atau

237

akal sebagai wadah untuk menilai dan mempertimbangkan baik dan buruk. Keutamaan

akal ini selalu disinggung Allah dalam Al Quran surat al Maa’idah ayat 100.

Artinya :

Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

Untuk membedakan api dan besi membutuhkan ketajaman dari pada

pemikiran. Pengumpamaan api dan besi dipakai dalam kalimat pada syair ini

adalah sebagai kias bagaimana logam besi yang dilebur oleh api yang apabila

dilihat oleh pandangan mata akan terlihat sama sama merah membara. Keduanya

telah menyatu namun memiliki unsur yang berbeda artinya apabila dalam keadaan

membara tidak bisa dibedakan antara keduanya kecuali ditinjau dari asal muasal

unsurnya. Demikian pula hubungan antara manusia dengan tuhannya. Manusia

tidak dapat dikatakan tuhan dan tuhan pasti bukan manusia namun diri manusia

diliputi oleh sifat sifat ketuhanan. Seperti diumpamakan sebuah kapas yang

dipintal menjadi benang, benang dirajut menjadi kain dan kain dijahit menjadi

baju. Baju tidak dapat dikatakan sebagai kapas walaupun asal mula kejadiannya

dari pada kapas tersebut.

238

Tuhan tidak berawal dan tiada berakhir sementara manusia berawal dan

berakhir namun sifat tuhan nyata pada diri manusia, hal ini dapat terlihat pada

sifat berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat dan berkata kata.

Inilah yang dimaksud pada kalimat terakhir syair diatas yaitu bagaimana

membedakan antara kulit dan isi karena diri manusia itu sesungguhnya terdiri dari

empat martabat yaitu: 1. diri tajali, 2. diri terperi, 3. diri terdiri, dan 4.diri sebenar

diri.

Martabat diri tajali adalah diri yang merupakan ciptaan atau afalnya

Allah swt yang berupa tubuh jasmani, tubuh ini yang terlihat nyata pada mata

kepala. Diri terperi adalah diri yang merasa pada manusia, rasa ini dapat berupa

sakit, susah, senang, marah dan sedih. Diri terperi ini dikatakan diri ruhani atau

dikatakan juga diri yang dialam asma.

Diri terdiri merupakan nyawa bagi manusia, diri terdiri inilah yang

merasakan nikmat dan bahagia atau gelisah. Martabat diri terdiri ini adalah nurani

atau jiwa. Jiwa inilah yang menjadi rahmat apabila dapat dikenali dan

ditentramkan. Asal mula nurani adalah daripada nur Allah yang merupakan sifat

baginya. Diri terdiri disebut juga dengan tuhan yang bersifat ketuhanan dan sifat

ketuhanan ini dapat dikenali dengan pengenalan melalui ilmu.

Diri sebenar diri sesungguhnya adalah zat Allah yang rahasia bagi

manusia atau disebut juga sebagai tuhan yang tidak bersifat ketuhanan karena

tidak dapat dikenal dengan sebuah pengenalan.

Inilah yang menjadi sebab apabila zat Allah dipertanyakan maka Allah

akan menjawab melalui sifatnya. Sebagai contoh hayyum baqi, hayyum maujud

239

dan hayyum maksud yang artinya Yang hidup itulah yang kekal, Yang hidup

itulah yang ada dan Yang hidup itulah yang dituju. Sebutan sebutan ini biasanya

dipakai tatkala melakukan amalan tahlil.

Babasyamasyi adalah Syekh Tarekat Naqsyabandiah di urutan keempat

belas dalam silsilah.

Bait ke dua puluh enam

Berkat ‘Ali Rahmani

Karuniai kami Ilmu Laduni

Mudah-mudahan hampir tuhan yang ghani

Kepada kami hamba yang fani…

Dalam bait kedua puluh enam ini permohonan bertujuan agar Allah

memberikan ilmu Laduni. Ilmu adalah salah satu sifat dari tuhan. Ilmu datangnya

dari Allah seperti rezeki juga bukanlah datang dari kerja manusia. Ilmu laduni

merupakan ilmu yang didapatkan dari aktivitas amal. Ilmu ini merupakan ilmu

yang dikaruniai Allah kepada manusia untuk dapat memaknai isi Al Quran serta

membuka tirai gaib dalam pencapaian mukasafah. Mengenai ilmu laduni ini

mengacu kepada ayat Al Quran surat al Kahfi ayat 65

240

Artinya : “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba

Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”

Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud

dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud dengan

ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib.

Ilmu laduni juga dapat diartikan ilmu yang membawa pengertian atau

makna yang baru kepada syariat, bukan membawa syariat baru. Ilmu laduni atau

ilmu ilham ialah ilmu yang Allah jatuhkan ke dalam hati para wali-Nya, tanpa

melalui proses usaha atau ikhtiar atau hasil mendengar kuliah dari guru atau hasil

berfikir.

Jika ilmu wahyu disampaikan kepada rasul atau nabi maka ilmu laduni

atau ilmu ilham diberikan kepada para wali dan orang-orang yang saleh. Dengan

ilmu laduni ini diharapkan Allah yang ghani yang berarti kaya akan menghampiri

hambanya yang fani atau fana agar lebih dekat dan taat kepada Allah swt. Ali

Rahmani merupakan Syekh di Tarekat Naqsyabandiah urutan ketiga belas dalam

silsilah.

241

Bait ke dua puluh tujuh

Berkat Mahmud aulia Allah

Dunia dan akhirat dia bencilah

Semata mata berhadap kepada zat Allah

Berilah kami yang demikian ulah…

Bait ke dua puluh tujuh ini menunjukkan akan sikap seorang sufi

Naqsyabandiah yang tidak ingin dunia dan juga akhirat begitu juga dengan surga

maupun neraka. Tujuan dari seorang salik sesungguhnya hanya menginginkan

ridha Allah dan syafaat dari rasullullah.

Menurut pendapat para sufi Naqsyabandiah ibadah dan amal bukanlah

bertujuan untuk mendapatkan sesuatu pahala dari Allah karena apabila masih

berharap akan sesuatu maka akan mengurangi ke ikhlasan kepada Allah. Allah

telah memberikan nikmat yang banyak kepada manusia dan sesungguhnya

manusia itu haruslah bersyukur atas nikmat tersebut.

Apabila Allah telah ridha dan mereka (para sufi) telah dekat dengan

Allah walaupun ditempatkan di neraka jahanam oleh Allah mereka akan iklas

menerimanya. Tempat yang terbaik bagi mereka adalah berada disisi Allah.

Demikian pula dengan syafaat Rasulullah, sebagai kekasih Allah hanya

Rasulullahlah yang dapat memohonkan ampunan kepada Allah atas segala

kekhilafan umatnya.

242

Pendapat para sufi, dunia ini merupakan penjara bagi orang orang

mu’min sehingga apabila nantinya telah dipanggil oleh Allah maka akan terbebas

dari belenggu dunia dan masuk ke alam nikmat yang kekal yaitu kedalam

rahmatnya. Oleh karena itu dengan membenci dunia maupun akhirat diharapkan

seorang salik akan senantiasa cinta kepada Allah semata yaitu zat yang tidak

rusak lagi binasa.

Amal, ibadah bukanlah alat untuk dagang kepada Allah dengan pahala

sebagai nilai tukarnya serta surga dan neraka merupakan tujuannya akan tetapi,

amal ibadah adalah nikmat yang diberikan kepada umat islam. Nikmat yang

dimaksud adalah nikmat tatkala berjumpa dengan tuhannya dikala menunaikan

ibadah seperti salat, puasa, zakat dan haji oleh karena itu barang siapa yang tidak

menunaikannya niscaya ia adalah orang orang yang merugi.

Mahmud dalam bait ini adalah Syekh Mahmud Al-Anjiru al Faghnawi

yang merupakan Syekh Tarekat Naqsyabandiah pada urutan ke dua belas dalam

silsilah.

Bait ke dua puluh delapan dan dua puluh sembilan

Berkat ‘Arif riyukuri

Kami mohonkan hampir tiada terperi

Kepada Allah tuhan yang memberi

Demikian laku kami sehari-hari…

Tambahi oleh-Mu hasil kami ini

Berkat Abdul Khaliq Fajduwani

243

Terlebih hampirnya daripada urat wajdaini

Dirasai Ma’rifat iman nurani…

Pada bait kedua puluh delapan dan dua puluh sembilan, bentuk

permohonan masih berkaitan dengan para Syekh dan wali Naqsyabandiah yang

menjadi perantara atau rabithah agar permohonan doa lebih mustajab.

Diakhir kalimat pada bait ke dua puluh sembilan permohonan bertujuan

agar terhampirnya urat wajdaini yang merupakan tujuan dari pada amalan.

Wajdaini memiliki arti mendapatkan tujuan yang dimaksud. Tujuan dari amalan

baik berupa zikir maupun amalan amalan yang ada pada Tarekat Naqsyabandiah

lainnya tiada lain agar dapat mencapai Ma’rifat.

Ma’rifat atau mengenal Allah adalah tujuan utama dari tasawuf dan

merupakan maqam tertinggi dalam tingkatan maqam maqam yang ada dalam

tasawuf. Memperoleh maqam ma’rifat merupakan akhir dari banyak proses yang

telah dilakukan dan dilalui oleh para sufi selama melakukan suluk.

Ma’rifat billah adalah pengenalan terhadap Allah, baik lewat sifat

sifatNya, asma asma’Nya maupun perbuatanNya. Sebagai mana yang

dikemukakan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin

Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin al Husain bin ‘Atha’illah al

Iskandary adalah sebagai berikut “ Ma’rifat ialah pengenalan terhadap sesuatu,

baik zat maupun sifatnya yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Mengenal Allah adalah merupakan ilmu pengetahuan yang terpelik, karena Allah

tidak ada bandingannya, kendati demikian Allah mewajibkan kepada setiap

makhluk untuk mengenalNya, baik Jin, manusia, malaikat dan syetan untuk

244

mengenal sifatNya, perbuatan dan Asma’Nya. Kewajiban ini untuk seluruh

makhluk sesuai dengan kemampuan dan keadaannya masing masing”. Sedangkan

menurut Imam al Ghazali, ma’rifat adalah: “ma’rifat ialah mengetahui rahasia

rahasia Allah dan mengetahui peraturan peraturan Tuhan tentang segala yang ada”

Oleh karena itu al Ghazali selanjutnya mengatakan : “ma’rifat ialah memandang

kepada wajah Allah Swt”

Memperoleh pengetahuan tentang Allah atau ma’rifat billah memerlukan

proses yang panjang. Makin banyak seorang sufi melakukan pemikiran ,

perenungan akan keadaan makhluk Allah, hukum hukum Allah, rahasia rahasia

makhlukNya, akan semakin banyak memperoleh ma’rifat dari Allah, makin

banyak yang diketahuinya tentang rahasia rahasia dari Allah ia akan makin dekat

dengan Allah.

Arif Riyukuri dan Abdul Khaliq Fajduwani adalah Syekh Tarekat

Naqsyabandiah pada urutan silsilah ke sepuluh dan kesebelas dari Rasulullah.

Bait ke tiga puluh

Berkat Yusuf Hamdani

Kurniai juga ya Allah hamba-Mu ini

Akan ilmu hikmah dan laduni

Musyahadah Muqarabah kepada tuhan Robbani…

Pada bait ke tiga puluh ini tujuan dari permohonan masih berharap akan

di karuniainya ilmu hikmah atau laduni agar dapat mencapai tingkatan

musyahadah muqabalah. Seperti yang telah di jelaskan pada ulasan bait yang

245

terdahulu musyahadah berarti adalah tingkatan memandang Allah dan muqabalah

memiliki arti pertemuan. Pertemuan dalam tingkatan pandang ini hanya dapat

terjadi dikarenakan adanya nur yang terpancar dari hati seseorang dan terjadinya

musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu:

a. Nur Musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada

Allah. Tanda tandanya ialah seorang merasa muraqabah/berintaian dengan

Allah.

b. Nur Musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni

hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud

yang hakiki.

c. Nur Musyahadah ketiga, yaitu tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalam

hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu dirinya telah lebur dan yang

baqa’ hanyalah wujud Allah.

Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah

melakukan mujadah fil ibadah dengan cara memfanakan diri terlebih dahulu,

mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat sifat yang

menjadi penghalangnya. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa

musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Hal ini didasarkan pada sabda

Rasulullah Saw yang artinya “Matilah engkau sebelum engkau mati”

Dalam kitab Hikam Abu Mu’jam dikatakan, yang artinya : “ Barang

siapa yang tidak merasai mati, niscaya ia tidak dapat melihat/musyahadah Al

Haqqu Ta’ala”. Yang dimaksud dengan mati dalam pengertian ini adalah

246

hidupnya hati dan tiada saat kehidupan hati melainkan pada saat matinya nafsu.

Jadi mati dalam pengertian ini adalah matinya hawa nafsu.

Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan

Allah melalui pintu mati yang dapat ditempuh pada 4 (empat) tingkat yaitu:

1. Mati Tabi’i

Menurut ahli Tarekat bahwa mati tabi’i terjadi dengan karunia Allah

pada saat zikir qalbi didalam zikir Lathaif dan mati tabi’i ini merupakan pintu

musyahadah pertama dengan Allah. Pada tingkat ini, zikir qalbi yang mula

mulanya hati berzikir, kemudian dari hati kemulut dimana lidah berzikir jalan

sendiri. Dalam hal ini alam perasaan mulai hilang (mati tabi’i). Pada saat seperti

ini akal fikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi dengan ilham yang tiba

tiba Nur Ilahi, terbit dalam hati yang hadir dengan Allah. Telinga batin

mendengar yang naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan

Allah,Allah, Allah.

2. Mati Ma’nawi

Menurut ahli Tarekat , bahwa “mati ma’nawi” ini terjadi dengan karunia

Allah pada seorang salik saat melakukan zikir Lathifatul Ruh dalam zikir Lathaif.

Terjadinya hal itu sebagai ilham dari Nur Ilahi yang terbit dalam hati dengan

secara tiba tiba. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang dan mata batin

menguasai penglihatan.

Zikir “Allah, Allah, Allah” pada tingkat ini semakin meresap tembus

pada diri dimana zikir sudah terasa amat panasnya disekujur tubuh dan disetiap

bulu roma badan. Sifat ke insan telah lebur diliputi sifat ketuhanan.

247

3. Mati Suri

Mati dalam kategori ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seorang

salik melakukan zikir Lathifatus sirri dalam zikit Lathaif. Pada tingkat ke tiga ini,

seorang salik telah memasuki pintu musyahadah kepada Allah. Ketika itu segala

keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam gaib/alam

malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalam pada ini yang baqa’ adalah

Nurullah, Nur Sifatullah, Nur Asmaullah, Nur Dzatullah dan Nurun ala Nurin.

Firman Allah dalam surat An Nuur ayat 35

Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaancahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya- Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-

248

perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

4. Mati Hissi

Mati Hissi terjadidengan karunia Allah pada saat seseorang/salik

melakukan zikir Lathifatul Khafi dalam zikir Lathaif. Pada tingkat keempat ini,

seorang/salik telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma’rifat

sebagai maqam tertinggi.

Dalam pada ini fana dan lenyaplah segala sifat keinsanan yang baru dan

yang tinggal hanyalah sifat sifat Tuhan yang qadim. Dalam tingkat puncak ini,

seorang salik telah mengalami keadaan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak

pernah didengar, telinga, tidak pernah terlintas dalam hati manusia akan tetapi

dimengerti sendiri, siapa siapa yang telah merasainya.

Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah

dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan

musyahadah.

Yusuf Hamdani adalah Syekh dalam Tarekat Naqsyabandiah yang

menduduki urutan ke sembilan dalam silsilah.

Bait ke tiga puluh satu dan tiga puluh dua

Berkat Ali Permadi Khutub yang pilihan

Kami mohonkan juga ya Allah kepada-Mu tuhan

Sekalian pinta itu tuan hamba tambahkan

Janganlah juga ya Allah ditahan-tahan…

249

Berkat Mahbubus subhani

Tuan Syekh Abu Hasan Khorgani

Tolonglah kami mengerjakan Thariqat ini

Jangan dibimbang anak dan bini…

Pada bait ke tiga puluh satu dan tiga puluh dua ini doa (Munajat)

bertujuan untuk kembali menguatkan permohonan kepada Allah dengan

merabithahkan Syekh Ali Permadi yang menduduki silsilah ke delapan pada

Tarekat Naqsyabandiah. Syekh Ali Permadi merupakan salah seorang dari para

Wali Kutub yang memiliki karamah.

Di antara keramatnya Wali Qutub ialah :

1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari

Allah SWT.

2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.

3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.

4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-

Nya.

Demikian pula dengan Syekh Abu Hasan Khorgani yang merupakan

Syekh Tarekat Naqsyabandiah pada urutan silsilah ke tujuh adalah salah satu guru

sufi Islam. Ia lahir di Persia di desa bernama Kharaqan (terletak di provinsi

Semnan Iran , berdekatan dengan Bustam ) ia meninggal pada hari Asyura (10

Muharram 425 Hijriah ).

Dia adalah murid Syaikh Abul-Abbas Qassab Amili. Abul Hassan

Kharaqani adalah Guru atau Syekh yang terkenal di Persia. Disamping sebagai

250

seorang sufi beliau juga adalah seorang penyair, Khwajah Abdullah Anshari, Ibnu

Sina, Shah Mahmood dari Ghazna , Abu-Saïd Abul-Khair dan Nasir Kisra pernah

datang ke Kharaqan untuk menemuinya dan mereka sangat mengagumi dan

menghormati beliau.

Beberapa ucapannya: "Siapapun yang datang ke rumah ini, memberinya

makanan dan tidak bertanya tentang imannya. Karena, saat ia manfaat kehidupan

disamping Allah ditinggikan, tidak diragukan lagi dia layak makan di meja saya. "

Saya merasa, saya dengar, saya berbicara, tapi saya tidak ada. Ada 24

(dua puluh empat) jam dalam sehari. Aku mati seribu kali dalam satu jam, dan aku

tidak bisa menjelaskan 23 (dua puluh tiga) jam lainnya.

Orang tidak dapat menggambarkan saya. Tidak peduli di mana kata-kata atau

istilah yang mereka menghadirkan saya, saya kebalikan dari apa yang mereka

katakan.

Saya bukanlah seorang sufi , juga seorang ilmuwan, maupun saleh. Oh Tuhan,

Anda adalah satu-satunya, dan saya salah satu kesatuan yang ada.

Bagaimana jika ada baik neraka maupun surga, sehingga kita bisa melihat

orang yang taat nyata?!

Sarjana bangun pagi-pagi dan berusaha bagaimana meningkatkan

pengetahuannya. Seorang saleh bangun dan berusaha bagaimana

meningkatkan imannya. Namun Abul-Hassan mencari bagaimana membuat

manusia menjadi bahagia.

Orang yang berkata "Aku mencapai Allah (kepada Allah, Kebenaran dan

Realitas) ", dia tidak. Dan orang yang mengatakan "Dia (Allah) sendiri

251

membuat saya menghubunginya", ia mencapai Allah (atau ia mencapai

realitas).

Dia bertanya: "Di mana Anda melihat Allah?" Dia menjawab: "... di mana

pun aku tidak melihat diri saya sendiri."

Apa pun yang ada di seluruh alam semesta, juga dalam hati Anda sendiri.

Anda harus mendapatkan kemampuan untuk melihatnya.

Orang yang jatuh cinta menemukan Allah . Dan orang yang menemukan

Allah, lupa diri sendiri.

Di seluruh dunia hanya satu orang bisa mengerti saya, dan itu Bayazid .

Pada kalimat ke tiga dan ke empat pada bait ke tiga puluh dua

permohonan bertujuan untuk diberikan pertolongan agar mendapatkan kekuatan

untuk mengerjakan Tarekat Naqsyabandiah dan janganlah dibimbang anak dan

bini. Kalimat ini sesungguhnya merupakan nasehat dan pesan kepada para jamaah

yang sedang melakukan amalan suluk (khalwat) agar terus fokus kepada tujuan

dari amalannya.

Keluarga yang ditinggalkan janganlah menjadi penghambat tujuan yang

akan dicapai. Mungkin hal ini sedikit kontroversial apabila kita mengingat bahwa

anak dan istri adalah merupakan amanah dan tanggung jawab seorang muslim

yang telah berkeluarga. Namun selama kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi

secara materil selama dalam masa suluk hal itu dapat dibenarkan. Oleh karena itu

sebelum melakukan amalan suluk seorang salik hendaknya terlebih dahulu

mempersiapkan diri terlebih dahulu. Apabila segalanya telah terpenuhi, semasa

252

dalam suluk hendaknya seorang salik menyerahkan segalanya kepada Allah baik

dirinya maupun keluarganya.

Bait ketiga puluh tiga

Berkat tuan Syekh Abu Yazid Busthani Sulthan Arifin

Kurniai kami ya Allah Mahabbah dan Tamkin

Akan Allah robbil ‘alamin

Kekalkan selama-lamanya ya Allah ilaa yaumidiiin…

Pada bait ke tiga puluh tiga ini permohonan bertujuan agar dikaruniai

Allah mahabbah dan tamkin. Maksud dari mahabbah dan tamkin ini

sesungguhnya adalah agar senantiasa menempatkan kecintaan hanya kepada Allah

tuhan semesta alam. Tingkatan mahabbah ini disebut juga sebagai tingkatan nafsu

mardiah yaitu hati, kalbu dan jasadnya sering kali dilamun rasa cinta yang amat

sangat kepada Allah Swt.

Zikir pada peringkat ini tetap berada didalam kalbunya, tidak pernah lalai

dan lupa kepada Allah walaupun sesaat didalam hidupnya. Pada peringkat ini

seseorang telah dapat menerima tamu tamu agung yang terdiri dari para Rasul,

Nabi nabi, para Ariffinbillah, para Siddiqin dan para wali wali Allah. Disamping

mereka juga dapat menerima ilmu gaib dari Allah melalui cara Laduni di

peringkat Tawassul. Selain itu mereka juga telah berpeluang untuk menjelajah

seluruh alam maya dan alam gaib yang lain termasuk surga, neraka, arasy dan

kursi Allah SWT. Sebagaimana jaminan Allah didalam Al Quran surah Al-Talak

ayat 2 :

253

Artinya : “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar (kealam lain).

Syekh Abu Yazid Busthani merupakan Syekh Tarekat Naqsyabandiah

pada urutan silsilah keenam.

Bait ketiga puluh empat

Berkat Syaidina Jakfar Shadiq

Peliharakan kami ya Allah dari pada kufur dan zindiq

Dan daripada fitnah kakak dan adik

Dan dari pada kejahatan yang dijadikan Khaliq…

Pada bait ke tiga puluh empat ini permohonan bertujuan agar

terpeliharanya diri dari kufur dan tersesat. Kata kufur sesungguhnya memiliki arti

ingkar. Kafur adalah suatu keadaan dimana seseorang itu mengerti dan tahu mana

yang baik namun tidak menuruti kebenaran tersebut. Iblis adalah makhluk

pertama yang ingkar kepada Allah dikarenakan tidak ingin sujud dihadapan

Adam. Iblis mengetahui persis perintah Allah tersebut namun karena ketinggian

hatinya membuat dia enggan untuk melakukannya. Inilah yang menjadi sebab

mengapa orang orang yang tidak mau sujud kepada Adam dikatakan kafir, karena

254

mengikut sifat dari iblis. Adam sendiri memiliki anasir dari pada tanah dimana

tempat untuk hidup didunia dan tanah memberikan kehidupan kepada manusia.

Syahadat didalam ajaran Islam terdiri dari dua kalimah, kalimah yang

pertama disebut sebagai kalimah tauhid yang tujuannya agar terhindar dari dosa

syirik (menduakan tuhan). Oleh karena itu dalam kalimah tauhid ini maknanya

adalah untuk menyaksikan tuhan dengan af’alnya. Barang siapa yang

mentasdikkan kalimah tahuhid ini didalam kalbunya serta mengikrarkan dengan

lidahnya dan mengamalkannya dengan anggota tubuhnya maka akan terhindar

dari dosa syirik.

Selanjutnya Kalimah syahadat yang kedua adalah kalimah Rasul,

kalimah Rasul ini bertujuan agar manusia terhindar dari dosa kafir dan munafik.

Seperti halnya kalimah tauhid, barang siapa yang mentasdikkan kalimah Rasul ini

didalam kalbunya serta mengikrarkan dengan lidahnya dan mengamalkannya

dengan anggota tubuh maka niscaya ia akan terhindar dari kafir dan munafik serta

tidak akan tersesat selamanya.

Fitnah kakak dan adik dapat dimaknai bahwa dalam mengamalkan

Tarekat Naqsyabandiah tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keluarga dan

lingkungan sekitar, seorang Salik kerap sekali berhadapan dengan anggapan dan

pendapat yang kontra terhadap aliran ini. Namun hal tersebut janganlah dijadikan

perdebatan dan pertengkaran sehingga mengurangi keimanan tetapi perbedaan

akan pendapat tersebut hendaklah dijadikan sebagai rahmat. Syaidina Jakfar

Shadiq adalah Syekh Tarekat Naqsyabandiah urutan kelima dalam silsilah.

255

Bait ke tiga puluh lima

Berkat Syaidina KOsim anak Muhammad

Tuhan kami Allah nabi kami Muhammad

Kami mohonkan aman serta selamat

Dari pada dunia ini sampai ke akhirat…

Pada bait ke tiga puluh lima ini permohonan bertujuan agar selamat dan

aman didunia maupun diakhirat. Untuk mendapatkan rasa aman dan selamat

didunia dan akhirat hendaklah seorang muslim memohon ampunan kepada Allah.

Jaminan akan keampunan dan keselamatan ini tertulis didalam kitab suci Al-

Qur’an surat Ali Imran ayat 31

Artinya :

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari keterangan diatas sangat jelas tertera bahwa apabila ingin mendapatkan

pengampunan serta dikasihi Allah, tiada jalan laain kecuali dengan mengikut kepada

Rasulnya. Rasul yang diutus oleh Allah merupakan contoh suri tauladan untuk

mengeluarkan manusia dari alam yang gelap kepada jalan yang terang benderang

dengan ilmuNya. Jalan yang selamat adalah jalan yang lurus, jalan yang diridhai Allah

256

dan jalan itu adalah Islam. Syaidina Kosim merupakan Syekh urutan ke empat

dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiah.

Bait ke tiga puluh enam

Berkat keramat raja Salman

Dunia akhirat kamipun aman

Dijauhkan daripada iblis dan syaitan

Siang dan malam sepanjang zaman…

Pada bait ke tiga puluh enam ini permohonan masih bertujuan agar

selamat didunia maupun diakhirat dan terhindar dari godaan iblis dan syaitan.

Iblis dan syaitan merupakan wujud makhluk dan sosok yang amat ditakuti dan

dihindari oleh penganut agama dan kepercayaan. Namun iblis dan syaitan yang

amat ditakuti itu sesungguhnya ada didiri manusia itu sendiri yang disebut sebagai

penyakit hati seperti yang tertera dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 10

Artinya : “Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.”

Tidak ada cara yang lebih tepat untuk menghindarkan diri dari penyakit hati ini

kecuali kembali dan berlindung kepada Allah. Karena hanya dengan hal demikianlah

syaitan dan iblis yang selalu bersemayam di hati manusia dapat ditaklukkan.

257

Karena dalam hati (kalbu) manusia itu ada penyakit maka penganut Tarekat

Naqsyabandiah melakukan bentuk amalan agar menzumrah atau melontarkan iblis pada

hati mereka dengan zikir Nafi itsbat yang berbunyi “la ilaha ila Allah”. Dalam

pelaksanaannya, zikir Nafi itsbat ini memiliki perbedaan sedikit dengan zikir yang

dilakukan diperwiritan dalam masyarakat umumnya. Zikir Nafi itsbat ini menggerakkan

ingatan mulai dari kepala nafas yang berawal dari daerah sekitar pusar dengan

menyebut kata “la” selanjutnya ingatan tersebut diangkat sampai kedaerah kepala

dengan menyebut kata “ilaha” dan dari daerah kepala ingatan bergerak kedaerah bahu

kanan dengan menyebut kata “illa” dan diakhiri dengan kata “Allah” yang diarahkan ke

daerah dada sebelah kiri atau tepatnya dua jari di bawah puting susu kiri. Penyebutan

kata Allah yang diarahkan pada bawah puting susu kiri memiliki maksud agar hati (kalbu)

bersih dari penyakit dan benar benar menjadi rumah bagi Allah.

Bait ketiga puluh tujuh

Kami mohonkan kepada tuhan yang Qohar

Berkat siddiq Saidina Abu Bakar

Ialah sahabat nabi yang Mukhtar

Didhoifkan Allah bicara kuffar…

Permohonan pada bait ke tiga puluh tujuh ini adalah untuk didhoifkan

atau dilemahkan Allah berbicara yang kuffar atau berbicara yang ingkar. Karena

kata kata yang diucapkan sesungguhnya mencerminkan keadaan hati maka

didalam Tarekat Naqsyabandiah banyak berbicara apalagi selama masa

menjalankan amalan suluk tidak dibenarkan. Banyak beramal dan sedikit

berbicara adalah bentuk falsafah yang dianut oleh Tarekat ini.

258

Saidina Abu Bakar adalah seorang sahabat dan juga bapak mertua dari

Rasulullah Muhammad Saw. Beliau diberi gelar siddik yang artinya adalah benar

atau orang yang selalu berkata akan kebenaran. Saidina Abu Bakar juga adalah

khalifah pertama yang diangkat oleh kaum muslimin sebagai pengganti

kepemimpinan umat muslimin tatkala Rasulullah telah berpulang ke rahmatullah.

Saidina Abu Bakar adalah merupakan sosok yang diusung Tarekat

Naqsyabandiah sebagai panutan selain dari Rasulullah Saw. Beliau adalah

seorang yang taat dan tidak pernah lepas dari zikir kepada Allah.

Bait ke tiga puluh delapan

Berkat Syafaat Saidal Anam

Ialah Nabi Rasul yang KIram

Kuat dan aman sekalian Islam

Sepanjang siang sepanjang malam…

Di bait ke tiga puluh delapan ini permohonan bertujuan untuk diberikan

oleh Allah kekuatan dan keamanan kepada sekalian umat muslim. Kekuatan

dalam hal ini memiliki makna yang sangat luas, kekuatan ini dapat diartikan

sebagai kekuatan spiritual, ilmu, mental, ekonomi, politik maupun budaya.

Kekuatan spiritual diartikan sebagai kekuatan dalam menjalankan amal dan

ibadah kepada Allah sedangkan mental dan ekonomi juga adalah sesuatu yang

tidak bisa diabaikan karena apabila umat muslim tidak memiliki kekuatan

ekonomi dan mental yang mendukung maka maka umat muslim akan menjadi

259

lemah dan mudah untuk dicerai beraikan. Untuk itu semua, islam menuntut

umatnya agar memiliki ilmu untuk menghadapi segala tantangan kehidupan.

Bait ke tiga puluh sembilan

Yaa Nabi kami kekasih Allah

Sungguhlah tuan hamba Muhammad Rasulallah

Rupa yang maha mulia itu tuan hamba nyatakanlah

Akan syafaat tuan hamba sangat kami haraplah…

Pada bait ke tiga puluh sembilan ini permohonan bertujuan agar

mendapatkan syafaat dari rasulullah dan agar rupa yang mulia supaya dinyatakan.

Syafaat dari Rasulullah adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh sekalian

muslimin karena hanya dengan syafaat inilah umat muslim dapat diberikan

pertolongan dan ampunan dari Allah. Bentuk dari syafaat itu sendiri sesunguhnya

adalah “mendengar, belajar dan mengajar” barang siapa yang belum mampu untuk

mengajarkan agama Islam sebaiknya dia terus mempelajarinya dan apabila belum

juga dapat untuk benar benar belajar setidaknya dia terus mendengarkan ceramah

atau tausiah tausiah mengenai keIslaman. Apabila ketiga hal tersebut terus

dilakukan niscaya syafaat yang diharapkan akan bisa didapatkan.

Kata maha adalah kata yang hanya diperuntukkan kepada Allah. Rupa

yang maha mulia yang ingin dinyatakan di bait syair Munajat ini adalah rupa

ayau wajahnya Allah. Seperti yang telah di uraikan dalam bait bait sebelumnya,

rupa atu wajah bagi allah sesungguhnya adalah sifat baginya. martabat Sifat itu

terdiri dari berkehendak, berkuasa, berilmu, mendengar, melihat, hidup dan

260

berkata kata, inilah yang mau nyata pada diri insan. Untuk menyatakan wajah

tuhan ini hanya dapat di ujudkan pada diri Rasulnya yaitu tabligh

(menyampaikan), amanah, siddik (benar) dan fathonah (bijaksana).

Bait ke empat puluh

Berkat Jibril aminullah

Kami ini ditolong Allah

Mengembangkan Thariqat Naqsyabandiah

Siapa yang dengki pulang ke Allah…

Pada bait ke empat puluh permohonan bertujuan agar ditolong Allah

untuk mengembangkan Tarekat Naqsyabandiah. Dalam mengembangkan

Naqsyabandiah banyak rintangan yang terjadi hal ini dapat dimaklumi karena

Tarekat adalah aliran dalam Islam yang dari awal keberadaannya tidak terbuka

secara bebas dan aliran ini merupakan mutiara dalam Islam yang apabila

dibukakan secara luas akan menimbulkan banyak fitnah dari mereka yang belum

memahaminya.

Didalam ajaran Islam syariat, Tarekat, hakikat dan ma’rifat merupakan

empat alliran yang tidak dapat dipisahkan. Keempatnya diyakini adalah

merupakan sunnah Rasulullah, adapun yang menjadi perkataan Rasul adalah

syariat, perjalanan Rasul dalam melakuakn amalan dikatakan Tarekat, kediaman

atau jiwanya Rasul dinyatakan sebagai hakikat dan kelakuan dan perbuatannya

Rasul disebut sebagai ma’rifat. Oleh karena itu apabila salah satu dari keempat

261

Ilmu yang diajarkan Rasul ini dibantah maka sesungguhnya tidak mengikut

kepada sunnah Rasul Muhammad Saw.

Pro dan kontra atas beberapa aliran dalam Islam ini mengakibatkan

terjadinya hujjah dari masa kemasa sehingga para ahli sufi mengambil sikap

menutup diri dengan berpedoman kepada ayat Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat

55

Artinya :

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang- orang jahil."

Dengan ayat ini para penganut Tarekat Naqsyabandiah mengembalikan

semuanya kepada Allah Swt sehingga dengan demikian tiada lagi rasa dendam, benci

didalam hati yang akan merusakkan keimanan. Inilah yang menjadi makna dari kalimat

ke empat bait ke empat puluh diatas yaitu “siapa yang dengki pulang ke Allah.”

Bait empat puluh satu

262

Kami mohonkan kepada Allah

Sekalian pinta itu tuan hamba perkenankanlah

Tambahi pula mana mana yang indah-indah

Kami harap juga ya Allah kurniai melimpah…

Di bait ke empat puluh satu permohonan bertujuan agar semua yang

disebut pada bait bait dalam Munajat supaya dikabulkan Allah dan ditambah

Allah rahmat yang melimpah.

Tiada yang lebih indah dalam pandangan seorang sufi selain dari berada

disisi Allah yang maha mengasihi dan senantiasa memandang wajahnya yang

tiada rusak maupun binasa. Oleh karenanya mengabdi dan mencintai menjadi

aktivitas yang menyenangkan dan membahagiakan dengan menyebut dan

membaca kalam kalamNya membuat jiwa tergetar penuh dengan keharuan dan

ketentraman. Jiwa jiwa yang tentram inilah yang dipanggil Allah dalam Al-Qur’an

surat Al-Fajr ayat 27-30.

Artinya : “27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmudengan

hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. 30. Masuklah ke dalam syurga-Ku”

Bait ke empat puluh dua

263

Yaa Allah ya robbal ‘izzati

Tolonglah kami berbuat bakti

Selama hidup sampai ke mati

Berkat Syafaat sekalian Sedati…

Pada bait keempat puluh dua ini permohonan agar diberikan pertolongan

untuk berbuat bakti selama hidup didunia. Berbakti dalam hal ini terdiri dari tiga

yaitu berbakti kepada Allah, berbakti kepada orang tua dan berbakti kepada guru.

Berbakti kepada Allah maksudnya adalah menjalani apa yang telah

ditunjukkan oleh Allah. Jalan itu berupa jalan yang lurus dan jalan yang

diridhoiNya dengan mengikut kepada kekasihnya Rasulullah Muhammad SAW.

Berbakti kepada orang tua adalah sesuatu yang diharuskan oleh Allah karena

tanpa mereka secara syariat tidak ada kehidupan didunia ini. Oleh karena itu

durhaka kepada kedua orang tua merupakan sesuatu yang dimurkai oleh Allah.

Berbakti kepada guru juga diharuskan karena tanpa guru tiada dapat ilmu

tersampaikan secara syariat. Gurulah yang mengajarkan manusia untuk

mengetahui berbagai ilmu, terutama guru agama yang mengajarkan dan

memberikan cahaya dalam setiap perjalanan rohani manusia.

Bait ke empat puluh tiga

Kayakan kami ya Allah dunia dan akhirat

Peliharakan kami daripada sekalian Mudarat

Apa-apa yang kami maksud mana-mana yang kami hajat

264

Kecil dan besar sekalian dapat…

Dalam bait ke empat puluh tiga permohonan bertujuan agar dikayakan

dunia dan akhirat serta dipeliharakan dari kerugian. Dalam menuntut ilmu dan

beramal tidak hanya berupaya agar selamat daan beruntung diakhirat tetapi juga

hendaknya beruntung juga didunia, karena tanpa mendapatkan keberuntungan

didunia akan sulitlah menjalani hidup dan kehidupan. Oleh karena itu

beruntunglah orang orang yang beriman karena mereka mendapatkan

keberuntungan dari dikeduanya.

Segala yang diharapkan baik permohonan kebutuhan individu maupun

kelompok hendaknya dapat dikabulkan Allah.

Bait ke empat puluh empat

Amin amin amin ya robbil ‘alamin

Berkat Syafaat Nabi Muhammad saidil mursalin

Berkat malaikat yang Mukarrabin

Serta sekalian hamba-Mu ya Allah yang Sholihin…

Amiiiin…

Bait keempat puluh empat adalah bait terakhir Munajat ini. Dengan

bermohon kepada Alah penguasa sekalian alam serta pertolongan Rasulullah yang

merupakan utusanNya juga para malaikat dan hamba hamba Allah yang soleh

semoga segala doa yang dimohonkan dapat dikabulkan..

265

4.8 Interpretasi Estetika

Keempat puluh bait Munajat berisikan permohonan kepada Allah serta

nasehat kepada manusia agar selalu berada disisinya, mencintainya dan memohon

perlindunganNya. Dari syair Munajat dapat dilihat bagaimana para penganut

Tarekat Naqsyabandiah menginterpretasikan Allah yang yang sangat dicintai.

Melalui media seni berupa syair dan nyanyian senandung ini setidaknya dapat

terungkapkan segala bentuk rasa cinta dan harapan harapan mereka.

Dengan dinyanyikan dan disenandungkannya Munajat ini setiap hari di

Babussalam diharapkan dapat memahat hati akan senantiasa mengingat Allah dan

menjadikannya sebagai pondasi ketaqwaan kepadaNya.

Munajat juga adalah gerbang dalam berhubungan dengan yang maha

pencipta. Segala macam cara dilakukan agar permintaan tersebut dapat

dikabulkan. Oleh karena itu dalam melakukan dan membacakan Munajat disertai

dengan memuji muji nama tuhan yang mulia dan dicintai melalui Asma AL-

Husna.

Selanjutnya untuk membuktikan rasa cinta tersebut tidak cukup hanya

menyebutkan namanya setiap hari dan setiap waktu saja. Namun lebih jauh tentu

yang dicintai membutuhkan bukti cinta tersebut. Oleh karena itu seorang pecinta

haruslah melakukan apa apa yang diperintahkan oleh yang maha mengasihi.

Syair Munajat ini dilantunkan dengan cara disenandungkan dengan indah

karena dalam kitab suci Al Quran Allah dalam surat Luqman ayat 19 menyatakan

:

266

Artinya :

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.

Dari ayat di atas, maksud dari lunak adalah suara yang indah, lembut dan teratur

dalam penyajiannya. Disamping itu penyajian Munajat ini dilakukan di tempat yang

paling tinggi di Babussalam yaitu di puncak menara. Hal ini memiliki makna bahwa

permohonan ke pada Allah (Munajat) berada di tempat yang tertinggi dari segala

permohonan lain yang diharapkan oleh setiap individu di Babussalam.

267

BAB V

KAJIAN STRUKTUR MELODI

5.1 Latar Belakang Gaya Musik Melayu

Menurut Takari (2010) sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukan

Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik Melayu telah memiliki konsep-konsep

tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan penelitian yang penulis

lakuan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari

tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat.

Identitas gaya penyajian musik ini dapat dilihat dari kajian sistem musik

Melayu yang menggunakan suara dengan sebutan seperti mersik, garau, garau

alang, dan pekak. Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan

karakteristik tertentu. Termasuk unsur pelarasan alat musik, yang dalam hal ini

biasanya dihubungkan dengan biola dan rebab, serta sistem modus.

Para pemusik dan pencipta lagu Melayu masa dahulu kala juga telah

mengenalkonsep-konsep improvisasi, baik melodi atau ritme. Dalam improvisasi

dikenal istilah-istilah: (1) cengkok yang berarti suatu ide improvisasi dengan

teknik mengayunkan nada-nada, yang dalam musik Barat seperti teknik sliding

pitch, dengan contoh seperti berikut.

Contoh Cengkok

268

(2) gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan menggunakan nada-nada

yang berdensitas rapat, mendekati konsep tremolo di dalam musik Barat, dengan

contoh sebagai berikut.

Contoh Gerenek

(3) patah lagu, yang berarti suatu ide improvisasi melodi dengan memberikan

tekanan-tekanan (aksentuasi) pada nada-nada tertentu, terutama pada nada down

beat, dengan contoh sebagai berikut.

Contoh Patah Lagu

Konsep tentang ritme, seacra umum disebut rentak, yang mengandung

pengertian pola-pola ritme, durasi, onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara manusia

pada berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan

dengan konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini.

Umumnya struktur tari mempunyai kesinkronan dengan konsep-konsep rentak

musik. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, pada umumnya hitungan pertama ritme

bukan pada jatuhnya pukulan gong/tetawak, tetapigong/tetawak dianggap sebagai

akhir dari rangkaian siklus musik dan tarinya

269

5.2 Latar Belakang Gaya Musik Timur Tengah

Musik klasik di Timur Tengah mempergunakan sistem maqamat (bentuk

jamak maqam) yang menetapkan modus sebagai dasar melodis pada saat

komposisi musik dibentuk. Meskipun beberapa istilah dan beberapa sebutan

muncul di sini (makam di Turki, datsgah di Persia, naghmah di Mesir, dan taba di

Afrika Utara), konsepnya sendiri merupakan peninggalan yang dijadikan dasar

klasik musik pra-Islam.

Teori maqamat umumnya membicarakan tangga nada dan modus.

Berdasarkan sejarah musik, maqamat didefinisikan juga sebagai deretan tangga

nada heptatonik dengan sebuah nada oktafnya dalam gaya Yunani kuno dibagi

kepada dua unit yang terdiri dari empat nada (tetrakord). Tangga nada ini

merupakan tangga nada devisif, yaitu nada-nadanya yang didasarkan kepada

prinsip pembagian-pembagian rentangan senar, yang diperoleh dengan cara

membagi panjang senar yang diukur secara matematis untuk menghasilkan

beberapa bagian yang berbeda dalam satu oktaf, demikian juga berbagai ukuran

interval yang berbeda. Penggunaan alat musik 'ud adalah prinsip dasar sistem ini.

Berbagai modus dapat dibentuk. Modus-modus jari tangan (asabi) dirancang

dalam bebagai bentuk geometris sepert lingkaran, bintang segi banyak (poligon)--

270

didesain untuk memperlihatkan hubungannya dengan setiap modus rasa, waktu

sehari-hari, musim, warna, dan beberapa konsep di luar musikal.

Pada abad-abad akhir, dalam satu oktaf dapat dirubah dengan beberapa

waktu (25, 22, 17 dst.) sesuai dengan nama-namanya dan konstruksinya

memebentuk berbagai tangga nada. Penelitian tentang musik Islam ahun 1932 di

Mesir, memperlihatkan bahwa Mesir mempunyai 52 (lima puluh dua) tangga nada

dasar; Syria mempunyai jumlah yang sama; Afrika Utara mempunyai 18 (delapan

belas), yang 16 (enam belas) di antaranya terdapat di Mesir dengan nama-nama

yang berbeda; dan Iran mempunyai 17 (tujuh belas), mereka dapat saling menukar

nama atau komposisi nadanya.

Contoh Tiga Versi Maqam Ramal Maia

Sumber: Malm (1977:72)

271

Abstraksi Sistem Datsgah Persia

272

Contoh

Abstraksi Kromatisasi Mikrotonal Musik Islam

Sistem Maqam (Tangga Nada) dan Ritme dari

Budaya Islam di Timur Tengah

273

5.3 Bentuk Penyajian Musikal Munajat

Pelaksanaan Munajat di desa Babussalam berhubungan erat dengan

aktivitas ibadah salat. Pembacaan Munajat ini hanya dilakukan tatkala menunggu

274

saat azan Subuh, Maghrib dan Jumat tiba selebihnya tatkala menunggu azan

Zuhur, Ashar dan Isa hanya membacakan Istighfar dan shalawat saja.

5.3.1 Nakus

Di Desa Babussalam alat yang dipergunakan sebagai penunjuk waktu dan

tanda adalah benda yang disebut sebagai nakus. Nakus adalah sebuah kentongan

besar yang tebuat dari kayu yang diberi lubang di tengahnya dengan panjang dua

setengah meter dan diameter kurang lebih 90 cm (sembilan puluh sentimeter).

Cara penggunaan nakus ini adalah dengan memukulnya dengan sebuah

stick kayu. Pemukulan nakus ini dilakukan dengan memukul daerah ditengah

kentongan bagian dalam yang berlubang dengan berulang ulang dan juga

memukul kentongan bagian luarnya.

Pemukulan kentongan bagian dalam yang berlubang disebut sebagai

nakus dalam dan pemukulan kentongan bagian luar disebut sebagai nakus luar.

Pemukulan kentongan luar dalam inilah yang menjadi aba aba atau tanda kepada

masyarakat sekitar. Menurut nara sumber kunci yang ditemui oleh penulis budaya

penggunaan nakus ini di Babussalam dimulai sejak berdirinya desa Babussalam.

Penggunaan nakus ini efektif untuk memberikan tanda dan aba aba kepada jamaah

walaupun sedang berada cukup jauh dari madrasah dan rumah tuan guru.

Nakus di Babussalam terdiri dari dua buah, nakus yang berada diatas

menara madrasah adalah nakus yang dipakai untuk menunjukkan waktu salat akan

275

segera tiba. Nakus ini akan dipukul berulang ulang di dalam ketongan selama 10

(sepuluh) sampai 15 (lima belas) menit dengan diakhiri dengan memukulkan sisi

luar nya sebanyak dua, tiga atau empat kali untuk menunjukkan rakaat salat yang

akan dilaksanaakan. Seumpamanya salat subuh, maka nakus akan dipukulkan

sebanyak dua kali disisi luarnya dan pada waktu salat Zuhur maka nakus akan

dipukul sebanyak empat kali.

Nakus yang berada di bawah, tepatnya di samping madrasah berfungsi

untuk menunjukkan waktu hal ini dilakukan karena alat berupa jam pada masa itu

masih jarang dimiliki oleh masyarakat. Nakus ini berbunyi setiap jamnya dimulai

dari jam 7 (tujuh) pagi dengan memukulkan kentongan sebanyak satu kali setelah

memukulkan berulang ulang kentongan bagian dalamnya tanda ini diartikan oleh

masyarakat dan jamaah sebagai pukul satu. Demikian pula pada jam 8 (delapan)

dipukul dua kali, jam 9 (sembilan) tiga kali sampai jam 11 (sebelas) sebanyak 5

(lima) kali.

Di atas jam sebelas nakus bawah akan digantikan nakus atas kembali

untuk menunjukkan waktu salat zuhur akan tiba dan nakus bawah akan berbunyi

kembali pada jam 14 (empat belas) sebanyak 8 (delapan) kali. Jam 15 (lima belas)

nakus atas kembali berbunyi untuk menunjukkan salat ashar hampir tiba dan

nakus bawah kembali berbunyi pada jam 17 (tujuh belas) dengan 11(sebelas) kali

pukulan. Demikianlah pada jam 18 (delapan belas) kembali nakus atas berbunyi

untuk menunjukkan waktu shalat Maghrib segera tiba.

276

5.3.2 Susunan Aktivitas Ibadah Salat

Aktivitas tempat ibadah berupa madrasah pada tiap harinya didesa

Babussalam berbeda dengan masjid masjid yang ada pada masyarakat Islam

umumnya. Didesa Babussalam azan Subuh dilakukan dua kali yaitu pada jam

empat pagi setelah nakus atas berbunyi, setelah azan berkumandang maka

dilanjutkan dengan pembacaan Munajat. Setelah pembacaan Munajat selesai

dilanjutkan dengan membacakan istiqhfar dan azan Subuh. Setelah azan Subuh

selesai maka nakus atas akan berbunyi kembali dengan diakhiri pemukulan dua

kali nakus luar untuk menunjukkan raakaat salat Subuh.

Pada saat salat Zuhur pemukulan nakus dimulai pada jam 12 (dua belas)

dengan memukul nakus dalam dan diakhiri nakus luar sebanyak 4 (empat) kali

untuk menunjukkan rakaat salat Zuhur dilanjutkan dengan membaca Istighfar dan

salawat. Setelah salawat selesai dilanjutkan dengan azan Zuhur dan diakhiri

dengan pemukulan nakus kembali. Demikian pula halnya dengan saat waktu salat

ashar tiba pada jam 15 (lima belas) setelah nakus berbunyi, istighfar dan salawat

dilakukan sebelum azan salat Ashar tiba.

Saat salat Maghrib tiba, setelah pemukulan nakus dilakukan Munajat

berkumandang kembali namun tidak disertai dengan istighfar dan salawat. Hal ini

dikarenakan waktu menuju waktu maghrib cukup singkat sehingga setelah

pembacaan Munajat maka langsung dilakukannya azan Maghrib.

277

Di waktu salat Isya setelah pemukulan nakus atas kembali istighfar dan

salawat dibacakan saat menunggu azan salat Isya yang diakhiri dengan kembali

memukul nakus dalam dan 4 (empat) kali pukulan untuk menunjukkan jumlah

rakaat salat Isya.

5.4 Transkripsi dan Analisis Melodi Munajat

5.4.1 Transkripsi

Transkripsi adalah proses untuk menotasikan bunyi dari yang tidak tampak

menjadi simbol bunyi yang dapat dilihat (Nettl;1964,48). Simbol bunyi yang dapat dilihat

tersebut dinamakan notasi musik, yang pada sistem notasi musik Barat terdapat dua jenis,

yaitu notasi angka dan notasi balok. Sehubungan dengan hal ini, untuk menotasikan lagu-

lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini, maka penulis mengunakan notasi balok yang

dibuat di dalam garis paranada. Alasan penulis memilih notasi balok untuk

mentranskripsikan lagu-lagu tersebut adalah:notasi balok lebih (a) dikenal secara umum

dalam penulisan musik, (b) lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini,

menggunakan nada-nada yang terdapat pada tangga nada musik Barat

Untuk mentranskripsikan bunyi musik, Nettl (ibid,99) mencatat dua

masalah penting yang berhubungan dengan teori dan metodologi. Ia menawarkan

metodologi yang dikemukakan oleh Charles Seeger, yang mana Seeger

membedakan dua notasi pendeskripsian musik, yaitu notasi Preskriptip dan notasi

Deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang bertujuan untuk penyaji

(bagaimana ia harus menyajikan sebuah komposisi dari musik). Notasi ini

278

merupakan suatu alat untuk membantu mengingat. Sedangkan notasi deskriptif

adalah notasi yang bertujuan untuk menyampaikan kepada pembaca ciri-ciri dan

detail-detail dari komposisi musik yang memang belum diketahui oleh pembaca.

Dalam hal ini, pendekatan yang penulis pilih dan lakukan untuk

mentranskripsikan lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini adalah

pendekatan notasi preskriptif.

5.4.2 Proses Transkripsi

Untuk mentranskripsikan musik secara rinci, maka transkripsi ini

dilakukan dengan berbagai langkah, seperti yang pernah dikemukakan oleh Nettl

(ibid;119-120), yaitu:

(a) Mendengarkan nada secara seksama, untuk membedakan antara penyanyi, alat

musik, dan lain sebagainya.

(b) Untuk memindahkan nada yang didengar ke dalam bentuk tulisan, digunakan garis

paranada untuk menempatkan notasi balok.

(c) Penulisan bentuk yang pertama ditulis dengan terperinci, untuk menghindari

terjadinya kesulitan dengan bentuk yang pertama dengan bentuk lainnya.

(d) Menggunakan kecepatan normal, kemudian hasil transkripsi diperiksa kembali, lalu

diteruskan dengan nada yang lainnya.

Untuk mentranskripsikan Munajat ini, penulis mengikuti langkah-langkah yang

dikemukakan oleh Nettle tersebut. Pertama-tama, penulis mendengarkan terlebih dahulu

Munajat yang sudah penulis rekam berulang-ulang, sambil menghapal sedikit demi

279

sedikit pola-pola nada dan notasi yang dinyanyikan tersebut. Setelah beberapa kali

mendengarkan, penulis mulai melakuan pentranskripsian not, dengan menggunakan

pensil dan kertas yang di dalamnya terdapat garis paranada. Dalam hal ini, penulis tidak

melakukan pentranskripsian lagu sekaligus, melainkan bagian perbagian, sesuai dengan

kalimat yang dinyanyikan oleh pembaca Munajat tersebut. Hal ini penulis lakukan

berulang-ulang, hingga semua not selesai di transkripsikan

Agar tidak terjadi kesalahan pentranskripsian, penulis membagi kalimat

Munajat menjadi beberapa frase, sesuai dengan pola perulangan Munajat tersebut. Setiap

frase, penulis tandai dengan nomor, dari angka 1 dan seterusnya. Setiap frase tersebut

memiliki bait- bait yang isi dan pola notasinya berbeda, namun akan terulang di frase

berikutnya, sesuai dengan urutan bait tersebut.

Munajat yang penulis transkripsikan ini, memiliki 44 frase besar, dan

dalam setiap frase terdapat 4 bait, yang mana bait-bait tersebut akan memiliki pola

notasi yang hampir sama dengan pola bait pada frase berikutnya, sesuai dengan

urutan baitnya. Jadi, bait pertama pada frase pertama akan memiliki pola notasi

yang hampir sama dengan bait pertama pada setiap frase berikutnya. Demikian

pula bait ke-2, ke-3, dan ke-4, yang juga memiliki pola notasi yang hampir sama

dengan bait ke-2, ke-3, dan ke-4, pada frase berikutnya.

Setiap 1 bait, penulis letakkan pada satu garis paranada, sehingga akan

terjadi pengurutan bait yang sesuai dengan frasenya, sehingga nantinya satu garis

paranada hanya untuk meletakkan 1 bait saja. Dengan cara yang demikian, penulis

dapat mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi, dalam mentranskripsikan lagu

280

Munajat tersebut, dan mempermudah penulis untuk menemukan kesalahan yang

terjadi dalam penotasian.

Selain itu, pembacaan Munajat ini menggunakan nada-nada yang

membentuk suatu melodi. Melodi yang muncul dari pembacaan ini, tetap saja

menggunakan nada-nada yang terdapat pada tangga nada lagu barat. Berhubung

penulis memiliki keterbatasan dalam kemampuan mendengarkan dan

mentranskripsikan ke dalam bentuk tulisan nada melodi yang muncul tersebut,

maka dalam hal ini penulis hanya akan mentranskripsikan nada-nada yang mampu

penulis dengar, dan tetap diusahakan mendekati nada-nada yang terdapat pada

melodi yang muncul dari pembacaan Munajat tersebut. Oleh karena itu,

transkripsi yang muncul penulis buat nantinya hanya berdasarkan kemampuan

penulis saja.

Untuk mentranskripsikan lagu, penulis menggunakan alat musik

keyboard merk Yamaha PSR 2000, sebagai alat bantu. Tujuan dari penggunaan

alat musik keyboard untuk mentranskripsikan pembacaan Munajat adalah untuk

mempermudah penulis dalam menentukan nada-nada yang dinyanyikan oleh

penyanyi dalam sampel lagu. Sedangkan alasan penulis menggunakan alat musik

keyboard, karena alat musik ini penulis anggap memiliki nada-nada yang standar

dengan nada-nada yang terdapat pada sistem tangga nada musik Barat, sehingga

membantu penulis untuk menemukan not-not yang dimunculkan dari pembacaan

Munajat tersebut.

281

Oleh karena pembacaan Munajat tersebut menggunakan not-not yang

terdapat pada tangga nada musik barat, maka sebelum menuliskan nada-nada itu

ke bentuk not balok pada garis paranada, penulis terlebih dahulu menentukan

tanda kunci (kleft) yang akan digunakan, yang mana tanda kunci ini akan

menentukan letak dari nada-nada yang akan dituliskan nantinya. Dalam hal ini,

penulis memilih menggunakan tanda kunci G pada garis paranada, seperti yang

terlihat pada contoh di bawah ini.

Bentuk Tanda kunci pada garis paranada

Namun, karena pembacaan Munajat ini hanya berbentuk musik vokal,

maka penulis tidak dapat menentukan birama secara tepat, sehingga juga

berpengaruh pada nilai not yang disajikan. Dengan alasan tersebut, untuk

mentranskripsikan Munajat yang dibacakan ini, penulis tidak menggunakan

birama, sehingga nilai not yang nantinya muncul dalam penotasian ini, nilainya

tidak persis sama dengan nilai not yang terdapat pada tangga nada musik barat.

Pembacaan Munajat ini, sesuai dengan rekaman yang penulis peroleh,

disajikan dengan menggunakan nada dasar Do=D (2#). Apabila penulis mengikuti

nada dasar ini, penulis akan kesulitan menuliskan nada-nada rendah dari Munajat

tersebut. Oleh karena itu, untuk memudahkan penulis dalam menuliskan dengan

282

nada-nada yang rendah pada garis paranada, maka penulis merubah penulisan

nada dasar Munajat tersebut, tidak menggunakan nada dasar aslinya (Do=D),

melainkan menjadi Do=G (1#).

5.5 Pemilihan Sampel

Dalam tulisan ini, penulis hanya memilih satu sampel, yaitu Munajat

yang dibacakan ketika akan sholat maghrib, di lokasi penelitian penulis. Alasan

penulis memilih Munajat ini, karena Munajat ini sering dibacakan atau disajikan,

sehingga banyak pendudukan yang diam di tempat itu hafal baitnya. Selain itu,

Munajat ini juga memiliki ciri khas tersendiri, yang bukan hanya arti dari teks

yang dibacakan, tetapi juga dari not atau nada-nada yang muncul dari pembacaan

Munajat tersebut.

Pembacaan Munajat ini, menurut informan penulis disesuaikan dengan

kebiasaan mereka menggunakan satu pola nada yang terdapat pada musik Islam,

yang dinamakan Maqam. Maqam yang mereka tampilkan untuk pembacaan

Munajat ini adalah Shika. Ini merupakan satu dari beberapa pola nada yang

terdapat pada musik Islam

5.6 Analisis Lagu

Pada dasarnya, dalam proses transkripsi lagu sudah terjadi proses

analisis, karena dalam proses itu telah dilakukan suatu pengamatan terhadap

rentetan bunyi musik yang ditranskripsikan. Namun, untuk memperjelas analisis

283

tersebut, penulis akan menguraikan hasil analisis pembacaan Munajat, yang

menjadi sampel pada tulisan ini, yang merupakan penjelasan dari struktur musik

yang ditranskripsikan.

Untuk analisis ini, penulis menggunakan teori yang ditawarkan oleh Nettl

(ibid;147-149), yang isinya adalah:

1. Tangga nada

2. Modus

3. Nada dasar

4. Ritem

5. Bentuk, dan

6. Tempo

Selain itu, penulis juga menggunakan teori yang ditawarkan oleh William

P. Malm tentang weighted scale (1977:15), yang isinya adalah :

1. Tangga nada

2. Nada dasar

3. Wilayah nada

4. Jumlah nada

5. Interval

6. Formula melodi

7. Pola-pola kadensa, dan

8. Kantur

284

Nantinya, penulis akan mengabungkan kedua teori ini, untuk

menganalisis pembacaan Munajat yang menjadi sampel dalam tulisan ini. Berikut

adalah hasil analisis dari Munajat tersebut.

5.7 Hasil Analisis Munajat

5.7.1 Tangga Nada

Menurut Soeharto (1992:32), tangga nada adalah susunan berjenjang dari

nada-nada pokok suatu sistem nada, mulai dari salah satu nada dasar sampai

dengan oktafnya. Dalam tulisan ini, penulis akan menentukan tangga nada

pembacaan Munajat, sesuai dengan pendapat dari Malm (1977:8), yang

mengatakan bahwa menentukan tangga nada tersebut dapat dilihat dari nada

pokok (modal). Nada pokok maksudnya nada-nada yang terdapat pada lagu-lagu

yang ditranskripsikan itu. Selain itu, salah satu cara untuk mendeskripsikan tangga

nada adalah dengan menuliskan nada-nada yang dipakai, tanpa melihat fungsi

masing-masing dalam lagu, kemudian digolongkan menurut beberapa kriteria.

Dari pendapat tersebut di atas, maka nada pokok dari Munajat ada 15

yaitu: B-C-D-E-F-G-Gis-A-B-c-d-e-f-g-a, dan pada garis paranada bisa

digambarkan seperti yang terlihat dibawah ini:

285

Bentuk Tangga Nada

Dilihat dari nada-nada yang digunakan, maka lagu ini menggunakan

tangga nada Diatonis, karena sudah terdapat oktaf nada dalam lagu tersebut.

Namun dalam tangga nada musik Arab (maqam), susunan tangga nada ini

termasuk ke dalam lagu Shika.

Untuk mendeskripsikan modus lagu, Nettl mengatakan paling tidak harus

disebutkan nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal centre).

Gambaran tangga nada dan modus biasanya disampaikan lewat notasi. Jadi yang

dimaksud dengan modus adalah nada-nada yang umumnya dipakai dalam satu

komposisi itu.

Tabel berikut ini, menggambarkan jumlah pemakaian nada dalam

pembacaan Munajat yang di transkripsikan.

Tabel 5.1 Penggunaan Nada dan Jumlahnya

No Nada Jumlah

Pemakaian

Keterangan

1 B 94 Nada yang berada 2 oktaf di bawah

nada standar

2 C 184 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

3 D 233 Nada yang berada 1 oktaf di atas

286

nada standar

4 E 400 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

5 F 244 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

6 G 348 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

7 Gis 157 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

8 A 172 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

9 B 321 Nada yang berada 1 oktaf di atas

nada standar

10 C 581 Nada standar

11 D 496 Nada standar

12 E 280 Nada standar

13 F 113 Nada standar

14 G 74 Nada standar

15 A 78 Nada standar

JUMLAH 3775

287

Dari tabel di atas, terlihat jumlah pemakaian nada dan nada-nada yang

ada pada komposisi tersebut. Berdasarkan tabel tersebut, penulis berkesimpulan

bahwa modus dari Munajat ini adalah bekisar pada nada E-F-G-Gis-A-B-c-d

5.7.2 Nada Dasar

Nada dasar adalah nada tumpuan bagi nada-nada yang terpakai, dan pada

umumnya adalah nada pertama tangga nada (Soeharto, 499:88). Berdasarkan

rekaman dan transkripsi dari pembacaan Munajat, yang sudah penulis sesuaikan

dengan alat musik keyboard untuk patokan nadanya, maka penulis berpendapat

bahwa lagu tersebut dimainkan dengan menggunakan nada-nada yang terdapat

pada tangga nada 2#, artinya lagu ini dimainkan dengan menggunakan nada dasar

D.

Akan tetapi, untuk menentukan masalah tonalitas ini, perlu juga

diperhatikan satu pendapat yang ditawarkan oleh Nettl (1964;147-149), yang

mengatakan bahwa untuk menentukan nada dasar sebuah komposisi dan untuk

membedakan nada-nada yang penting dan kurang penting ada 7, yaitu :

1. Nada yang sering dipakai dan nada yang jarang dipakai dalam satu komposisi

tersebut.

2. Terkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar,

biarpun jarang dipakai.

288

3. Nada yang dipakai di akhir (awal) komposisi, atau pada akhir (awal) bagian-bagian

komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas tersebut.

4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada atau posisi pas di

tengah-tengah dapat dianggap penting.

5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai

patokan. Umpamanya, bila ada satu nada dalam tangga nada seluruh komposisi

yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakai oktaf (nada

pertama tersebut boleh dianggap penting).

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa dipakai sebagai patokan

tonalitas.

7. Harus diingat bahwa mungkin ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem

tonalitas sendiri. Untuk mendeskripsikan tonalitas seperti itu, maka cara terbaik

tampaknya adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan gaya musik

tersebut.

Berdasarkan pengalaman yang penulis dapat sejak melakukan penelitian

di lapangan, tidak ada patokan yang pasti yang digunakan untuk membacakan

Munajat ini. Oleh karena itu, penulis hanya berpegang pada hasil rekaman yang

penulis dapatkan dalam penelitian tentang pembacaan munjat ini, untuk

mengambil nada dasar lagu.

289

5.7.3 Ritem

Nettl (1964), mengatakan sebagai langkah awal dalam mendeskripsikan

ritem adalah menghitung harga-harga not yang ada dalam komposisi. Ritem

adalah gerak teratur yang mengalir karena menjadi aksen secara tetap. Keindahan

akan lebih terasa oleh adanya jalinan perbedaan dari satuan-satuan bunyinya

(Soeharto, 1992;56)

Pada pembacaan Munajat ini, ritem yang digunakan adalah seperti yang

terlihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.2 Penggunaan Not dan Jumlahnya

No Not Jumlah Pemakaian not

Jlh B C D E F G G# A B C D e F G a

1 1 - - - - 2 - - - - - - - - - 3

2 2 - - - - 4 - - - - - - - - - 6

3 16 24 22 22 12 15 22 4 6 40 36 35 5 - - 259

4 14 44 47 58 40 80 32 79 84 126 101 56 43 32 18 854

5 43 68 10

8

28

8

15

4

24

7 103 89 146 287 187 96 65 42 60

198

3

6

- - 4 - - - - - - - - - - - - 4

7

6 24 12 - - - - - 45 70 85 50 - - - 292

+

+

290

8 12 24 40 32 38 - - - 40 58 87 43 - - - 374

JUMLAH 94 18

4

23

3

40

0

24

4

34

8 157

17

2 321 581 496 280 113 74 78

5.7.4 Bentuk

Bentuk (form) adalah bentuk komposisi musik yang hanya dikaitkan

dengan jalur utama melodi ataupun bunyinya, jadi bukannya melalui teks maupun

harmonisasinya. Waupun teks dan harmoni yang baik akan selaras juga dengan

jalannya melodi (Soeharto,1992;39).

Menurut Nettl (1964;149-150) ada 2 masalah utama untuk menjelaskan

bentuk musikal, yaitu: (a) Identifikasi dari pokok-pokok materi, yang mana satu

potongan tanda istirahat menjadi dasarnya, dan (b) identifikasi pembagian pada

musik yaitu: bagian-bagian, motif-motif, dan frase-frase.

Dengan pengertian khusus sebagai hubungan-hubungan dari bagian-

bagian secara menyeluruh membentuk struktur dari lagu-lagu yang meliputi unsur

melodi dan ritmis dapat dibagi dengan berbagai cara. Membagi satu lagu menjadi

bagian-bagian yang lebih kecil penting dilakukan untuk mendeskripsikan

bentuknya. Kriteria pembagian dapat dilakukan dengan melihat pengulangan

frase, dan tanda diam, menemukan pengulangan pola ritmis, atau transposisi

kesatuan teks dalam vokal.

Setiap lagu mempunyai satu atau beberapa bentuk, dan untuk

membedakannya diberi tanda dengan huruf kapital seperti : A,B,C,D, dan

+

291

seterusnya yang mana masing-masing bentuk itu berbeda (A berbeda dengan

B,C,D, dan seterusnya) atau memiliki perbedaan. Akan tetapi, apabila bentuk

yang muncul sebagai variasi dari bentuk yang muncul sebelumnya, maka bentuk

ini ditulis dengan cara tertentu sebagai contoh A1 atau B1, A2 atau B2. Tanda itu

menyatakan bahwa bentuk A1 merupakan varian dari bentuk A, dan B1

merupakan varian dari bentuk B. Sedangkan A2 (B2) merupakan variasi lain yang

tidak sama bentuknya dengan A1 (B1). Maka apabila satu bentuk mempunyai

banyak variasi lagi, pemberian tanda variasi pun bisa bertambah banyak seperti

A3, A4, A5, dan seterusnya.

Dengan sekian banyak cara yang ditawarkan untuk menemukan bagian-

bagian yang sesuai untuk diterapkan pada pembacaan Munajat ini, dengan melihat

kesatuan teks dalam vokal dan perubahan pengulangan yang ada sebagai satu

pengulangan pola ritmis atau transposisi. Dengan acuan ini, yang pertama sekali

dilihat adalah kesatuan teks dan pola ritmisnya. Selanjutnya, dari pola-pola ritmis

yang ada terjadi pengulangan, maka pengulangan tadi bisa memiliki 2

kemungkinan yaitu pengulangan utuh atau pun pengulangan yang bervariasi, dan

ini akan menjadi bentuk dari pola ritmis itu.

Mengacu pada kesatuan teks dan disesuaikan dengan pengulangan pola

ritmisnya, maka melodi yang muncul pada pembacaan Munajat ini memiliki

bentuk seperti yang terlihat dalam tabel berikut ini.

292

Tabel 5.3 Bentuk Melodi dan Variasinya

No Bentuk Keterangan Bentuk variasi Keterangan

1 A Bait pertama setiap

frase 1

A1, A2, A3, A4,

A5, A6, A7, A8,

A9, A10, A11,

A12, A13, A14,

A15, A16, A17,

A18, A19, A20,

A21, A22, A23,

A24, A25, A26,

A27, A28, A29,

A30, A31, A32,

A33, A34, A35,

A36, A37, A38,

A39, A40, A41,

A42

Terletak pada

bait awal setiap

frase besar,

kecuali frase 17

dan 39

2 B Bait kedua frase 1

B1, B2, B3, B4,

B5, B6, B7, B8,

B9, B10, B11,

B12, B13, B14,

B15, B16, B17,

Terletak pada

bait kedua setiap

frase besar,

kecuali frase 42

293

B18, B19, B20,

B21, B22, B23,

B24, B25, B26,

B27, B28, B29,

B30, B31, B32,

B33, B34, B35,

B36, B37, B38,

B39, B40, B41,

B42

3 C Bait ketiga frase 1

C1, C2, C3, C4,

C5, C6, C7, C8,

C9, C10, C11,

C12, C13, C14,

C15, C16, C17,

C18, C19, C20,

C21, C22, C23,

C24, C25, C26,

C27, C28, C29,

C30, C31, C32,

C33, C34, C35,

C36, C37, C38,

Terletak pada

bait ketiga setiap

frase besar,

kecuali frase 12

dan 42

294

C39, C40, C41

4 D Bait keempat frase 1

D1, D2, D3, D4,

D5, D6, D7, D8,

D9, D10, D11,

D12, D13, D14,

D15, D16, D17,

D18, D19, D20,

D21, D22, D23,

D24, D25, D26,

D27, D28, D29,

D30, D31, D32,

D33, D34, D35,

D36, D37, D38,

D39, D40, D41

Terletak pada

bait keempat

setiap frase

besar, kecuali

frase 12 dan 15

5 E Bait ketiga frase 12 E1 Frase 42

6 F Bait keempat frase 12 F1 Frase 15

7 G Bait pertama frase 17 G1 Frase 39

8 H Bait kedua frase 42

Untuk lebih jelasnya, lihat dalam lampiran transkripsi.

295

Berpedoman pada apa yang dikemukakan oleh Malm (197;28) dalam

bukunya Music Culture of Pacific The Near East and Asia, bahwa ada lima (5)

bentuk melodi yang sering digunakan dalam satu komposisi lagu, yaitu:

1. Reventitive adalah bentuk lagu yang diulang-ulang

2. Reverting adalah bentuk lagu yang terjadi pengulangan pada frase pertama setelah

terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi

3. Stropic adalah bentuk lagu yang pengulangan melodinya tetap sama tapi melodi

lagu baru

4. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan

materi melodi yang baru.

5. Iterative adalah bentuk yang memakai formula melodi kecil yang cenderung terjadi

pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.

Dikaitkan dengan pendapat di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa

bentuk melodi dari pembacaan Munajat ini dapat digolongkan ke dalam bentuk

Iterative

5.7.5 Tempo

Menurut Soeharto (1992;134), tempo adalah cepat lambatnya gerak

musik. Dalam transkripsi lagu. Dalam transkripsi, tempo ditandai dengan huruf

M.M (Metonome Mark), yang dibelakang tanda ini diberi simbol notasi yang

memiliki nilai ¼. Tanda ini menunjukkan berapa kecepatan dari lagu tersebut

dengan mengunakan not yang bernilai ¼ dalam 1 menit. Dan selanjutnya, untuk

296

mengukur kecepatan tempo lagu yang terdapat pada rekaman, penulis

menggunakan kecepatan tempo yang terdapat pada keyboard, dengan cara

menyamakan ketukan dasar lagu dan dihitung dalam 1 menit.

Dari penjelasan di atas, maka penulis mengukur pembacaan Munajat

yang ada dalam rekaman, yang mana pembacaan Munajat ini memiliki tempo

= 85.

5.7.6 Wilayah Nada

Untuk menentukan wilayah nada pada lagu, dilihat berdasarkan pada

ambitus suara yang terdapat pada lagu yaitu dengan memperhatikan rentang jarak

antara nada yang terendah dengan nada yang tertinggi dalam satu komposisi.

Dalam Munajat ini nada yang terendah adalah nada B (yang berada 2

oktaf di bawah nada standar) dan nada tertinggi adalah nada a. Berdasarkan

pendapat dari Alexander J. Ellis (1850), yang menggunakan sistem cent dalam

penghitungan nada, maka wilayah nada dari pembacaan Munajat ini adalah 2200

cent:

Contoh : Wilayah nada yang digunakan dalam pembacaan Munajat

297

2200 cent

5.7.7 Jumlah Pemakaian Nada

Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam satu komposisi

lagu, mulai dari nada terendah sampai nada tertinggi. Adapun jumlah pemakaian

nada yang dipakai dalam pembacaan Munajat seperti yang terlihat pada tabel

berikut:

Tabel 5.4 Pemakaian Nada dan Jumlahnya

No Nada Jumlah Pemakaian

1 B 94

2 C 184

3 D 233

4 E 400

5 F 244

6 G 348

7 G# 157

8 A 172

9 B 321

10 C 581

11 D 496

298

5.7.8 Interval

Interval adalah jarak antara antara satu nada ke nada lain, yang biasa juga

di sebut swarantara. Hal ini disebabkan jarak nada itu dihitung menurut susunan

oktaf, baik naik maupun turun, memiliki suara yang berlainan (Subagyo,

2004;33). Dalam menghitung interval, jarak yang harus dihitung adalah jarak

yang terjadi diantara satu nada dengan nada selanjutnya, tanpa melihat oktaf dari

nada tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena nada yang terdapat pada oktaf yang

lain dari satu, masih dianggap sama bunyinya, walaupun tinggi nada yang dimiliki

berbeda. Jarak dari nada-nada tersebut memiliki nama-nama yang berbeda.

Tabel berikut, menunjukkan penggunaan interval yang terdapat pada

pembacaan Munajat.

Tabel 5.5 Nama Interval dan Jumlah Pemakaiannya

No Nama Interval Jumlah Pemakaian

1 Prime 457

12 E 280

13 F 113

14 G 74

15 A 78

Jumlah 3775

299

2 Prime Aughmented 89

2 Seconde minor 580

3 Seconde Mayor 558

4 Ters minor 346

5 Ters Mayor 387

6 Kwart Murni 80

7 Kwint Murni 57

8 Seksta minor 68

9 Seksta Mayor 98

10 Septime minor 481

11 Septime Mayor 574

Jumlah 3775

5.7.9 Kantur

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Malm (1964:8), kantur adalah

garis melodi dari sebuah lagu. Kantur merupakan pendeskripsian garis alur melodi

yang disajikan dalam dua bidang garis tegak lurus. Secara umum, pola kantur

dapat dibedakan menjadi 7 macam, yaitu :

1. Ascending, adalah garis melodi yang bentuknya naik

2. Descending, adalah garis melodi yang bentuknya turun dari yang tinggi ke yang

rendah

300

3. Pendulous, adalah garis melodi yang bentuknya melengkung

4. Conjunct, adalah garis melodi yang bentuknya melompat dari satu nada ke nada

yang lainnya secara melangkah

5. Disjunct, yaitu garis melodi yang bentuknya melompat dari satu nada ke nada yang

lainnya, dengan menggunakan interval di atas sekunder

6. Terraced, adalah garis melodi yang bentuknya sejajar dari nada yang rendah ke

nada yang tinggi, membentuk seperti anak tangga

7. Statis, adalah garis melodi yang bentuknya tetap yaitu bergerak dalam ruang

lingkup yang terbatas

Apabila diperhatikan, sesuai dengan pendapat di atas maka pembacaan

Munajat memiliki kecenderungan bentuk Pendulous, Statis dan Descending, dan

untuk lebih jelasnya lihat dalam lampiran.

5.7.10 Pola-pola Kadensa

Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni sebagai penutup pada akhir

melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna melodi tersebut

atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut. Menurut Rodijat (1989;10)

kadensa memiliki dua pengertian. Yang pertama adalah penutup bagian akhir

komposisi, berdasarkan akord-akord utama yang menegaskan pertangga nada-an,

sedangkan pengertian yang kedua adalah dereten nada berupa kiasan bebas,

sebagai persiapan akhir komposisi.

301

Adapun pola-pola kadensa dari pembacaan Munajat ini adalah seperti

yang terlihat di bawah ini

Contoh Pola-pola kadensa dalam pembacaan Munajat

5.7.11 Gaya Lagu

Dari segi penyajiannya, musik vokal pada umumnya memiliki dua gaya

yaitu melismatis dan silabis (Malm, 1977:9). Melismatis adalah gaya yang dalam

penyajiannya menggunakan satu suku kata untuk beberapa nada, sedangkan gaya

silabis adalah gaya yang dalam penyajiannya menggunakan satu suku kata untuk

302

satu nada. Gaya ini bisa timbul karena adanya hubungan musik (nada) dengan

teks.

Dari pendapat di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa pembacaan

Munajat ini memiliki kedua gaya tersebut, yaitu silabis dan melismatis, dan dapat

dilihat pada contoh di bawah ini.

Contoh Notasi Penggunaan Gaya Lagu

a. Gaya Silabis

b. Gaya Melismatis

5.7.12 Gaya Melayu

Didalam pembacaan Munajat hampir seluruh bagian melodi terdapat

cengkok dengan gaya melayu, namun untuk grenek dan patah lagu hanya dapat di

jumpai di beberapa bagiannya saja terutama untuk patah lagu terdapat dibeberapa

303

bagian awal frase. Demikian pula dengan grenek hanya di jumpai di beberapa

bagian akhir frase.

Contoh cengkok

Contoh grenek

Contoh m.

304

BAB VI

P E N U T U P

6.1 Kesimpulan

Setelah dikaji secara mendalam mengenai bentuk, fungsi dan makna

Munajat maka disimpulkan hal hal sebagai berikut :

1. Pembacaan Munajat ini, menggunakan ornamentasi melodi Melayu dan

tangga nada (maqam yang khas Timur Tengah). Ornamentasi melayu dalam

hal ini yaitu patah lagu, cengkok, dan gerenek. Maqam yang digunakan

dalam Munajat ini setelah disesuaikan dan dianalisis menggunakan pola

Maqam Shika. Munajat yang terdapat dalam tarekat ini mengutamakan

sajian teks (logogenik) artinya komunikasi utama adalah secara verbal yang

sesuai dengan konsep budaya Melayu, yaitu yang kurik kundi, yang merah

saga; yang baik budi, yang indah bahasa.

2. Guna Munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah adalah sebagai tanda akan

masuknya waktu salat serta persiapan diri untuk melakukan aktifitas Ibadah.

Selain itu Munajat memiliki fungsi sebagai bentuk kontinuitas sistem religi

dan budaya, sarana pendidikan, sebagai ibadah dan upacara keagamaan

Islam, sebagai sarana dakwah Islam, sebagai sarana komunikasi (doa)

kepada Allah, sebagai pencerminan spiritualitas Islam, pengungkapan

identitas Islam dan Tarekat Naqsyabandiah, penguatan maqam zikir,

ekspresi kelompok, ekspresi estetika, proses menyerap nilai-nilai, dan

sarana mengekspresikan ideologi.

li

305

3. Munajat adalah termasuk ke dalam genre sastra Melayu. Genre sastra

Melayu (termasuk Sumatera Utara) disebut syair ialah suatu bentuk puisi

Melayu tradisional yang sangat populer. Kepopularen syair sebenarnya

bersandar pada sifat penciptaannya yang berdaya melahirkan bentuk naratif

atau cerita, sama seperti bentuk prosa, yang tidak dipunyai oleh pantun,

seloka, atau gurindam.

4. Makna Munajat (doa) sesungguhnya adalah merupakan dialog dengan tuhan

yang maha kuasa lagi maha pemberi. Hal ini mulai berlaku semenjak

manusia merasa dirinya lemah, aib dan serba kekurangan. Mereka berusaha

mencari yang serba lebih dari dirinya, dan kepadanya dia akan mengadukan

halnya, membagi perasaan dan kemudian meminta perlindungan. Kadang

kadang mereka meminta sesuatu yang ia rasa dapat menolongnya, yaitu

kepada Tuhan yang maha kuasa.

6.2 Saran

Seni bersenandung merupakan warisan budaya yang perlu dipelihara

dan dipertahankan keberadaannya. Warisan ini sarat dengan nilai nilai budaya

terutama nilai nilai seni dalam budaya Islam dan Melayu, oleh karena itu

pengkajian dan penelitian dibidang seni Islam dan melayu perlu untuk

ditingkatkan agar mampu memberikan perimbangan terhadap arus dominasi

budaya barat.

306

Aspek aspek akustik dalam ritual zikir dipersulukan tarekat

Naqsyabandiah adalah sesuatu yang perlu untuk dikaji oleh peneliti yang

berminat untuk melakukan penelitian dalam seni Tarekat.

Naqsyabandiah sebagai salah satu tarekat yang ada dalam masyarakat

Islam sarat dengan unsur-unsur agama dan budaya seni, oleh karena itu perlu

kiranya pengkajian lebih lanjut dalam aspek sejarah, perkembangan serta

sumbangsihnya dalam dunia Islam. Berhubungan dengan tarekat Naqsyabandiah

Babussalam yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahab yang berasal dari daerah

Rokan, perlu kiranya dikaji lebih mendalam mengenai gaya lagu yang

dipergunakan dalam pembacaan Munajat tersebut. Menurut asumsi penulis

penggunaan gaya lagu yang saat ini dipakai oleh para pembaca Munajat

diBabussalam terjadi pergeseran dalam bentuk melodi dari asalnya dahulu yang

menggunakan cengkok, grenek dan patah lagu khas dari daerah Rokan.

Terkait dengan penganut tarekat Naqsyabandiah Babussalam,

diharapkan kajian ini dapat menjadi salah satu referensi untuk tetap

membudayakan tradisi senandung Munajat Tuan Guru Babussalam dan sebagai

bahan acuan terutama dalam mempelajari melodi Munajat Tuan Guru Syekh

Abdul Wahab Rokan.

307

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latiff Abu Bakar (ed.), 2001. Dunia Melayu Dunia Islam: Kesatuan dan

Perpaduan. Melaka: Kerajaan Negeri Melaka dan IKSEP. Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd Nefi Imran (eds.) 2001. Media Warisan

Malaysia: Komunikasi Melalui Puisi dan Gendang. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian Mediam Universiti Malaya.

Abdullah, M. Amin. 2002. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan Pustaka.

Abdullah, Hawash ( 1980). Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas

Abdul Muhaya (2003) Bersufi Melalui Musik. Yogyakarta : Gama Media Abdurrahman, Muslikh. al-Futuhat al-Rabbaniyah. Semarang: Toha Putera. Abdurrahman, Moeslim (1995). Islam Transformatif, Pustaka Firdaus. Jakarta. Abu Hassan Sham, 1995. Syair-syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negeri Malaysia Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton. Ahmad Samin Siregar, 2000. “Pemakaian Bahasa Melayu sebagai Gambaran

Budaya dan Cara Berfikir Masyarakat Melayu Sumatera Timur.” Dalam Kumpulan Kertas Kerja Kolokium Bahasa Pemikiran Melayu dan Indonesia. Suntingan Darwis Harahap dan Abdul Jalil Haji Anuar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pusaka.

Ahmad Fuad Said (1976). Sejarah Syeikh Abdul Wahab Tuan Guru Babu Salam. Medan: Pustaka Babussalam.

Ahmad Fuad Said (2001). Hakikat Tarekat Naqsyabandiah. Penerbit: Al-Zikra. Al-Attas, S.M. Naquib. 1969. Preliminary Statement on General Theory of the

Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Albrecht, Milton C. 1970. “Arts as an Institution.” dalam Albrecht, Milton C., James H. Barnett and Mason Griff (eds.). The Sociology of Art and Literature: A Reader. New York: Praeger.

Alex Sobur, 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Al-Ghazali Abdul Hamid, 2001. Merentas Jalan Kebangkitan Islam (terj.) Md.

Salleh Kassim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. At-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghinami (1985). Sufi dari Zaman ke Zaman.

Bandung: Pustaka Ali Ahmad, 1978. Dari Pelajaran Asas Puisi Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit

Fajar Bakti. Asmaran As (1996). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press. Austin, William W. 1972. “Words and Music: Theory and Practice of 20th

Century Composers”, dalam Words and Music: The Composer’s View, A Medley of Problems and Solutions. Compiled in Honor of G. Wallace

308

Woodworth. Edited by Laurence Bermon. Cambridge, Massachusetts: Department of Music, Harvard University.

Backus, John. 1977. The Acoustical Foundation of Music. New York: W.W. Norton Company.

Baijnath. 1959. “Nautch-girls.” Marg. 13(4). Becker, Howard S. And Michael M. McCall (eds.). 1990. Symbolic Interaction

and Cultural Studies. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Becker, Judith and Alton Becker. 1981. “A Musical Icon: Power and Meaning in Javanese Gamelan Music”. In Steiner, Wendy. The Sign in Music and Literature. Austin: University of Texas Press.

Berger, Arthur Asa, 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bruinessen, Martin van (1995). Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.

Cooper, Nancy I. 2000. “Singing and Silence: Transformation of Power through Javanese Seduction Scenarios.” American Ethnologist 27(3): 609-44.

De Marinis, Marco. 1993. The Semiotics of Performance. Translated by Aine O’Healy. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Doligin, J.L., D.S. Kemnitzer & D.M. Schneider. (peny.). 1977. Symbolic

Anthropology: A Reader in the Study of Symbols and Meaning. New York: Columbia University Press.

Dougherty, William P. 1993. “The Play of Interpretants: A Peircean Approach to Beethoven’s Lieder.” In The Peirce Seminar Papers: An Annual of Semiotic Analysis 1, M. Haley (ed.), Oxford: Berg.

Dougherty, William P., 1994. “The Quest for Interpretants: Toward A Peircean Paradigm for Musical Semiotics.” Semiotica 99(1/2), 163-184.

Eco, Umberto, 1979, “The Role of the Reader.” dalam Umberto Uco (peny.), The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics of Texts. Indiana: Indiana University Press. pp. 3-43 Elydawati Pasaribu, 1993. Tradisi Muzik Vokal Marhaban dalam Upacara Menabalkan Anak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Endang Saefuddin Anshari, 1991. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Gazalba, Sidi. 1989. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Penerbit Indonesia. Goldman, Alan H. 1992. “Music, Art, and Metaphysic: Essays in Philosophical

Aesthetics”. Journal of Aesthetic and Art Criticism 50/4:327-28. Hasbi Makhmud, 1993. Studi Komparatif terhadap Aspek-aspek Musikal dalam

Penyajian Azan oleh Empat Muazin di Kotamadya Medan. Skripsi Sarjana Seni, Universitas Sumatera Utara Medan.

Hasym Said, 1993. Nasyid di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Kajian Tekstual dan Musikologis. Skripsi Universitas Sumatera Utara Medan.

309

Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Hervey, S. 1982. Semiotic Perspectives. London: George Allen & Unwin. Innis,R.E. (pnyt.). 1995. Semiotic: an introductory anthology. London:

Hutchinson & Co. Ltd. Irwan Abdullah, 2001. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jones, George Thadeus, 1979. Music Theory. New York: Barnes and Noble Book. Kadirun Yahya (1985). Mutiara Al-Quran dalam Capita Selecta Tentang Agama Metafisika Ilmu Eksakta Jilid III. Medan : Lembaga Ilmiah Metafisika Tasauf Islam (LIMTI) Kahmad, Dadang (2002). Tarekat dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Moderen. Bandung: Pustaka Setia. Keris Mas. 1990. Perbincangan gaya bahasa sastera. Cetak ulang. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Khadijah Shalihah, 1983. Perkembangan Seni Baca Al-Quran dan Qiraat Tujuh

di Indonesia. Jakarta: Al-Husna. Laleh Bakhtiar (1976) Sufi Expressions Of The Mystic Quest. New York :

Thames and Hudson Inc M. Amin Abdullah, 2002. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan Pustaka. Makhmud Hasbi, 1993. Studi Komparatif terhadap Aspek-aspek Muzikal dalam

Penyajian Azan oleh Empat Muazin di Kotamadya Medan. Skripsi Sarjana Seni, di Bidang Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Martinez, José Luiz, 1992. Uma Possível Teoria Semiótica da Música (Pautada Logicamente em Charles Sanders Peirce). Cadernos de Estudo, Análise Musical 5, São Paulo: Atravez, 73-83.

Martinez, José Luiz, 1994. “Practicing Musical Semiotics.” Musiikkitiede 6(1/2), 158-163.

Martinez, José Luiz, 1996. “Icons in Music: a Peircean Rationale.” Semiotica 110 (1/2), 57-86.

Martinez, José Luiz,1991. Música & Semiótica: Um Estudo Sobre A Questão da Representação na Linguagem Musical. Tese de mestrado não publicada, Pontifícia Universidade Católica de São Paulo.

Mateijka, Ladislav and Irwin R. Titunik. 1989. Semiotics of Arts. Cambridge and London: The MIT Press.

Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a., 2006. Himpunan Fadhilah Amal. Yogyakarta :Ash-Shaff

M. Sholihin (2001). Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia

Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah pada Kebudayaan melayu Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.

310

Muhammad Takari, 1997. “Kajian Silamg Budaya tentang Etnisitas, Identitas dan Kesenian dalam Konteks Kebudayaan Masyarakat Pesisir Sumatera Utara.” Makalah dalam Seminar Budaya Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga di Medan 11 Oktober 1997.

Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya. Tesis S-2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Omar A. Hoesin, 1981. Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta:

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Robinson, Jenefer (ed.). 1997. Music and Meaning. Ithaca and London: Cornell

University Press. Said Hasym, 1993. Nasyid di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas

Kajian Tekstual dan Muzikologis. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara Medan.

Sartono Kartodirdjo, 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Koentjaraninrat (ed.). Jakarta: Gramedia Sasa Djuarsa Sendjaja. 1981/1982. “Media Kesenian Tradisional: Tinjauan terhadap Kedudukan, Peranan dan Karakteristik Kesenian Tradisional sebagai Medium Komunikasi Pembaharuan.” Analisis Kebudayaan 11(3): 76-80. Schimmel, Annimarie (1986). Dimensi Mistik dalam Islam. terj. Supardi Djoko Damono dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus Simuh, 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang. St. Muhmmad Zein, 1957. Kamus Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Balai

Pustaka. Suharsimi Arikunto, 2006 Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :

Rineka Cipta Surpady Muradi, 1990. Kesusasteraan daripada Perspektif Semiotik. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Suriasumantri, Yuyun S. 1983. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan

Leknas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ulack, Richard, 2007. Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007

Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica. W.J.S. Poerwadarminta (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

311

GLOSSARIUM

1. Ahlussunnah Wal Jamaah :Ahli, pengikut aktifitas Rasullullah yang tertuang

Dalam Hadist

2. Anwaruz : Cahaya zat yang esa

3. Ahadiah : Keesaan, persatuan

4. Basirah : Pandangan tuhan melalui salah satu sifatnya yang

Maha melihat

5. Bilal : Petugas keagamaan Islam yang mengumandangkan

Azan baik didalam Mesjid maupun diatas menara

6. Bai’ah : Berjanji, perjanjian yang dalam aliran tarekat lebih

Mengacu kepada bentuk taubat kepada Allah

7. Dawam Hudhur : Hanya Allah yang dikenali sebagai ainul yaqin

8. Faidhz : Karunia, limpahan rahmat

9. Ghairullah : Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata kasar

10. Ganiyah : memiliki sifat kaya

11. Hanif : Muslim yang teguh, yang lurus, bersih, suci.

12. Hakikat : Kebenaran; kenyataan sebenarnya; segala asal dan

Suci, tidak akan hilang didunia ini

13. Hudhur bey Ghibat : Kesadaran akan limpahan faidhz dari sisi Allah

14. Hadhrat : Pertemuan yang bertalian dengan agama

15. Itsbat : Penetapan, menyatakan

16. Jamaah : Kumpulan orang beribadah atau melakukan

Pembelajaran secara bersama sama.

17. Jihad : Usaha yaang sungguh-sungguh dengan segala

upaya

Untuk mencapai kebaikan; perang suci untuk

Memerangi orang kafir

18. Jabariah : Suatu aliran dalam Islam yang menganut faham

Bahwa segalanya semata-mata hanya karena Allah

19. Jabal kubis : Salah satu bukit yang berada di kota Mekkah

dimana

Dahulu sebagai pusat pengembangan tarekat

312

Naqsyabandiah

20. Khwajahgan, Khwajah : Guru, para guru pembimbing rohaniah dalam

tarekat

21. Khalifah : Pemimpin, kepala masyarakat Islam Sunni

22. Kaifiat : Cara yang khusus; tata cara amalan zikir dalam

Tarekat dan persulukan

23. Khilafat : Berasal dari kata kholafa dalam bahasa Arab yang

Berarti, meninggalkan, pengganti, pewaris, penerus

Atau wakil.

24. Kafir : Merahasiakan;tak berterima kasih kepada tuhan;

Ingkar; julukan kepada orang yang tak beriman

25. Khatam : Penghabisan; penutup; terakhir; tamat; selesai

26. Khalwat : Amalan tarekat dengan jalan mengasingkan diri

dari

Keramaian serta melakukan zikir ribuan kali

27. Khusyu : Kerendahan hati; dengan sungguh-sungguh (dalam

Berdoa, shalat dsb);dengan sebulat-bulat hati

28. Kibas : Kambing; biri-biri

29. Khatrah : Kekhawatiran dalam hati dari setiap khayalan

Maupun perkataan

30. Lataif : Bentuk jamak dari kata arab al-latif atau latifah

yang

Memiliki arti halus,kehalusan atau kelembutan

31. Muraqabah : Suatu kondisi dimana hamba sadar sepenuhnya

Bahwa Tuhan selalu melihatnya

32. Mu’tabar : Terpandang; mulia; terhormat; terkenal: beberapa

Buah kitab yang dikarang oleh para ahli; yang

Terhormat

33. Mursyid : Pemimpin dalam persulukan; Tuan guru

34. Mujahadah : Menundukkan nafsu untuk mengikuti garisan

Syariat Thoriq serta meninggalkan keinginan nafsu

dalam setiap aspek kehidupan

313

35. Mufti : Seseorang yang berwenang atas fatwa; pendukung

Suatu ajaran

36. Masyaikh : Para Ulama; kelompok Syekh

37. Musyahadah : Nampaknya Allah pada hambaNya dimana seorang

Hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam

Beribadah, kecuali menyaksikan, berhadapan dan

Dilihat oleh Allah

38. Mazhab : Aliran; Sekte; Mengikuti sesuatu yang dipercayaai

39. Mauwaliyah (Mavlevi) : Salah satu tarekat dalam Islam yang didirikan oleh

Syekh Jalalluddin Rumi berkembang didaerah

Turki

40. Makrifat : Mengenal Allah, baik lewat sifat-sifatNya, nama-

NamaNya maupun perbuatan-perbuatanNya

41. Mukasyafah : Terbukanya segala rahasia; tiada tertutup lagi sifat-

Sifat gaib

42. Nafi : Meniadakan

43. Nisbat Khassah : Kesadaran Hudhur bey Ghibat

44. Nafs : Diri; Diri tuhan; sesuatu yang melahirkan sifat

Tercela danj prilaku buruk

45. Qolbi : Hati; jantung

46. Qana’ah : Rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang

Dimiliki

47. Qada dan Qadar : Salah satu rukun Iman dalam Islam; sesuatu yang

Ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa

Penciptaan, peniadaan maupun perubahannya

48. Rabithah : Bertali; berkait; berhubungan; menghubungkan

Ruhaniah murid dengan ruhaniah guru dengan cara

Menghadirkannya dihati sanubari murid ketika

zikir

49. Ridha : Menerima ketetapan-ketetapan dari Allah untuk

Dirinya dengan senang hati

50. Salik : Orang yang sedang melaksanakan aktivitas suluk

51. Syekh : Guru; Pendidik; pembimbing

52. Sum’ah : Riya; beramal supaya terlihat orang lain

314

53. Suluk : Tempat latihan beramal; memperbaiki akhlak

Mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan

54. Samaniah : Salah satu aliran Tarekat dalam Islam

55. Syariat : Hukum Tuhan dalam dalam aturan Ilahinya, istilah

Ini dihubungkan dengan Fiqh

56. Syiah : Mazhab, Sekte yang mempertahankan otoritas

Rohani yang diturunkan dari Muhammad melalui

Keturunan dekatnya, AHLAL BAYT dengan Ali

Bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama

57. Sunni : Mazhab, nama aliran pengikut Sunnah Rasul

58. Shalawat : Bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti

Doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan

Ibadah

59. Tasamuh : Sifat dan sikap tenggang rasa atau saling

menghargai

antar sesama manusia

60. Tarbiyah : Pendidikan; memperbaiki sesuatu dan meluruskan

61. Tawajuh : Berhadap hati; hati yang telah diarahkan benar

Benar kepada Tuhan

62. Tawaruk : Salah satu cara duduk didalam salat dan berzikir

63. Tajali : Lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-sifat

Kebasyariaan;merasakan akan rasa ketuhanan yang

Sampai mencapai kenyataan Tuhan

64. Ujub : Salah satu penyakit hati yang menganggap dirinya

paling mulia, paling segala-galanya dan paling

sempurna dibandingkan orang lain.

65. Uwaisiyah : Perjalanan ruhani

66. Uzlah : Menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi

Yang sering kali menipu dan menjerumuskan

67. Wirid : Hadir; datang; mengamalkan ibadah dalam hati

Dan lisan dengan selalu disertai zikir pada waktu

tertentu

68. Wakaf : Menahan; berhenti; diam; menjadikan manfaat

Suatu harta yang dimiliki

315

69. Wasilah : Keinginan; permohonan; Media yang dipergunakan

Untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang

lain

70. Yoga : Aktivitas aliran mistik yang berasal dari India

Dengan cara melakukan berbagai amalan berupa

Pengolahan nafas dan jiwa

71. Zihni : Kefahaman; Kekuatan akal

72. Zikir : Ingat akan Allah; aktivitas menyebut asma Allah

Sebagai bentuk cinta kepadaNya

73. Zakat : Tumbuh; berkemmbang; kesuburan; bertambah

Membersihkan atau menyucikan; salah satu rukun

Dalam Islam

316

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Gambar 1. Partitur Notasi Munajat

317

318

319

320

321

322

323

324

325

326

327

328

329

330

331

332

333

334

335

336

337

338

Gambar 2. Teks Munajat Dalam Tulisan Arab Melayu

339

340

341

342

343

344

345

346

347

LAMPIRAN

Gambar 3. Madrasah Babussalam

Gambar 4. Makam Syekh Abdul Wahab Rokan

348

Gambar 5. Pusara Syekh Abdul Wahab Rokan

Gambar 6. Ziarah Makam

349

Gambar 7. Tempat Air Yasin

Gambar 8. kelambu tempat Suluk

350

Gambar 9. Aktivitas Zikir di Persulukan

Gambar 10. Tawajuh

351

Gambar 11. Nakus Dalam

Gambar 12. Nakus Luar

352

Gambar 13. Tuan Guru Yang Menjabat Di Babussalam

353

Gambar 14. Syekh H. Hasyim Al Syarwani Tuan Guru Besilam Atas Sekarang

Gambar 15. Syekh H. Tajuddin Tuan Guru Besilam Bawah Sekarang

354

Gambar 16. Rumah Suluk Besilam Atas

Gambar 17. Rumah Suluk Besilam Bawah

355

Gambar 18. Pembaca Munajat Diatas Menara

Gambar 19. Penyimak Bacaan Munajat