mencintai keluarga dan sahabat nabi

Download Mencintai Keluarga Dan Sahabat Nabi

If you can't read please download the document

Upload: ceria029

Post on 26-Jun-2015

71 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Mencintai Ahlul Bait dan Sahabat Nabi Secara ProporsionalMuhyiddin Abdusshomad 1 Dalam keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, salah satu kewajiban Umat Islam adalah mencintai keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad SAW, secara seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth), dan tegak lurus (itidal), serta tidak berlebih-lebihan dalam mencintai keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa yakni Sayyidah fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh keturunannya R.A. (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi SAW yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin R.A. (Surat AlAhzab ayat : 6 ) Menanamkan fanatisme buta kepada keluarga Nabi SAW dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. Bahkan pada tingkat tertentu dengan tanpa disadari justru menistakan keluarga Nabi SAW sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut (taqiyyah). Misalnya kelompok yang terlalu berlebihan kecintaannya kepada Sayyidina Ali R.A. Dalam keyakinan mereka, ketika Sayyidina Ali R.A. tidak diangkat menjadi khalifah pertama oleh mayoritas sahabat, beliau marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan menyebarkan caci maki, dan kelak di akhirat orang-orang yang dianggap merampas jabatannya akan dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Ali R.A. beserta para putra dan pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak lama sebagaimana dalam itiqad adanya rajah.. Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali R.A. namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan, karena menggambarkan potret buram keluarga Nabi SAW yang suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, gila jabatan, dan tidak berprikemanusiaan. Dalam keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, hal itu tidak mungkin terjadi pada keluarga Nabi Muhammad SAW yang disucikan oleh Allah SWT dari perbuatan yang buruk. Memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian keluarga dan para sahabatnya. Tetapi hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman sebab Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah SWT dari prilaku yang kotor. *** Di antara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad SAW ada kemesraan yang1 Ketua Tanfidziyah PCNU Jember

terjalin, saling mencintai karena Allah SWT, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Ada banyak bukti dalam Itikad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, bahwa hubungan keluarga Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sangat baik. Diantaranya adalah pernyataan Sayyidina Abu Bakar R.A. tentang kecintaan beliau kepada kelurga Nabi SAW:

. (3730 . ) SAW lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri. (Shohih al-Bukhori, 3730)

Dari Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar berkata, Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah Sayyidina Umar R.A. juga merupakan salah seorang sahabat yang selalu memperhatikan keluarga Nabi SAW. Mengenai hal ini dari Ibnu Abbas menyatakan:

(4121 ) Dari Ibn Abbas, ia bercerita, Sayyidina Umar pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar Rasulullah SAW, Ia berkata, Sayyidina Ali adalah orang yang paling ahli di bidang hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih bacaannya (Shohih al-Bukhori, 4121)

Dari Uqbah bin Harits ia berkata, Suatu ketika Abu Bakar melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak

(3278 )

sebaya. Abu Bakar kemudian menggendongnya seraya berkata, Sungguh, anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa. (Shohih alBukhori, 3278) Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali R.A.:

Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi menjawab, Sayyidina Abu Bakar. Aku bertanya lagi, Kemudian siapa lagi? Sayyidina Ali

(4013 )

Thalib R.A.), Siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah SAW?, Sayyidina Ali menjawab, Sayyidina Umar bin Khattab R.A.. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi,

3 Kemudian siapa lagi?, Sayyidina Ali menjawab, Sayyidina Utsman bin Affan R.A.. Lalu aku berkata, Kemudian Engkau wahai ayahku Abi Dawud, 4013) Sayyidina Ali R.A. menjawab (seraya merendahkan diri), Tidak, aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya(Sunan

Dari Ibn Umar R.A. ia berkata, Ketika jenazah Sayyidina Umar diletakkan di antara

(823 )

mimbar dan makam Rasulullah SAW, Sayyidina Ali R.A. datang dan berdiri di shaf terdepan, seraya mengatakan, Inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepadamu. Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu Allah SWT (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku catatan Nabi SAW, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar). (Musnad Ahmad, 823) Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali R.A. ini. Pertama, penghormatan Sayyidina Ali R.A. yang begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau. Tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi dan didholimi. Kedua, kerendahan hati sayyidina Ali R.A. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, Aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya. Ketiga, tidak mungkin beliau melakukan taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu, sebab penghormatan Sayyidina Ali R.A. diungkapkan pada saat orang yang dipuji itu telah meninggal dunia, bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah. Data seperti tersebut di atas tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah tetapi bisa didapatkan juga dalam kitab-kitab Syiah, misalnya dalam kitab Talkhis Asy- Syafi Juz II Hal. 48, Asy-Syafi hal 428, dan lain-lain. Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan persaudaraan itu berlangsung terus hingga anak keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam di antara para sahabat dengan keluarga Nabi Muhammad SAW tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar itu. Misalnya Sayyidina Ali R.A., di antara 33 putra putri beliau ada yang diberi nama dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, Hal. 9). Sayyidina Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar di antara 14 putra-putrinya. Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Imam Ali Zainal Abidin R.A. menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi SAW juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan dengan

nama Umar. Begitu pula Imam Musa al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, Juz 2, Hal. 217), Imam Ali al-Ridla R.A. memberi nama salah seorang putrinya dengan nama Aisyah (Kasyful Ghummah, Juz 2, Hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi R.A. juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama Aisyah. (alFushuulul Mihimmah 238) Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu sebagaimana orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah SWT melindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW dari berbagai penyakit hati. Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad SAW tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar R.A. menikah dengan Ummi Kultsum R.A. putri Sayyidina Ali R.A., Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan R.A. menikah dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib R.A. Muhammad bin Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib R.A. (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, Juz IV, Hal. 114 dan 120) (Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Usman R.A. adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali R.A. dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li-Almasudi, juz 2 hal. 340) Dengan demikian di tubuh Sayyidina Usman R.A. juga mengalir darah Bani Hasyim). Imam Muhammad al-Baqir, ayahanda dari Imam Jafar al-Shadiq R.A., menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar R.A., yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar R.A. Ibu dari Ummu Farwa tersebut ialah Asma Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan Aisyah R.A. (Al-Kafi, Juz I, Hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Jafar al-Shadiq R.A. menyatakan:

Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya) Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Jafar al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja'far al-Shodiq R.A. kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah :

, : ! . , (97 . ) ,

5 " Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri ?Abu Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari Ali R.A. tentu aku mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar R.A. " (Uqud Al-Almas, hal 97) Last but not least, Sayyidina Ali R.A. menikah dengan Asma binta Umais (janda Sayyidina Abu Bakar R.A.) yang dalam catatan buku-buku Syiah, Asma binta Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah R.A. selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma' binta Umais tersebut pada waktu itu masih menjadi istrinya Abu Bakar R.A.(AlAmali, Juz I, Hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma binta Umais adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah R.A.(Kasyful Ghummah, Juz I, Hal. 237). AlMajlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah R/A. berwasiat agar Asma binta Umais turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah R.A. kemudian Asma melaksanakan wasiat tersebut (Jilaul Uyun, Hal. 235, 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu Bakar sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika asma' bukan wanita yang shalehah, tentu sayyidina Ali R.A. tidak bakal menikahinya. Fakta-fakta tersebut di atas menambah keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaah bahwa Sayyidina Ali R.A. tidak ada masalah dengan Sayyidina Abu Bakar R.A. bahkan Sayyidina Ali R.A. sejak awal turut membaiat Sayyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khlaifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, Juz VI, Hal. 377) dan Ibn al-Atsir. (Al-Kamil Juz II, Hal. 220). Dengan demikian antara Sayyidina Ali R.A. dan Sayyidina Abu Bakar R.A. pada hakikatnya di antara keduanya terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad SAW dalam membimbing keluarga dan para sahabatnya. Jika kita benar-benar mencintai Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW, tentu kita wajib mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebab sebagai keluarga suci, hati dan lidah mereka jauh dari hal-hal yang mengotori semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki, tentu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api. ***