masjid agung demak sebagai pencitraan kawasan...
TRANSCRIPT
TEMU ILMIAH IPLBI 2014
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | B_17
Masjid Agung Demak sebagai Pencitraan Kawasan Kota
Marwoto, Agus Maryono, Amat Rahmat
Mahasiswa PDTAP Universitas Diponegoro
Abstrak
Bangunan religi merupakan salah satu fungsi dan tempat ibadah yang selain bersifat sakral dan akan
memberikan citra dan kesan sebagai elemen kota. Bangunan ibadah Masjid berpotensi memberikan karakter yang kuat tergantung pada tingkatkan fungsi dan lokasi dengan mendefinisikan kota itu sendiri. Dari jenis bangunan agama dan budaya maju biasanya paling banyak berkontribusi terhadap
pembentuk morfologi dan pencitraannya. Di samping berbagai jenis bangunan yang lain juga berupaya untuk mengeksplorasi peranannya di dalam suatu kota. Beberapa pendapat yang berkenaan dengan masalah ruang sosial secara teoritis dan sebagai bagian dari latar pengetahuan
untuk mendekati kajian secara spesifik di lapangan. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif diharapkan akan menjadi sebuah paparan yang ringan dan sekaligus dapat menarik fakta yang ada di lapangan untuk diuraikan secara mendalam. Hasil yang diharapkan merupakan rangkaian
penelitian ini untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai proses pendalaman dan mencari fokus permasalahan yang sebenarnya. Masjid Demak sampai saat ini terus menunjukan eksistensinya sebagai masjid bersejarah dan oleh sebagai kelompok masyarakat dianggap sebagai bangunan suci, yang tidak lekang terhadap eksplorasi pertumbuhan kota yang serba dinamis.
Kata-kunci : citra, bangunan ibadah, sakral
Pendahuluan
Setiap bangunan memiliki peranan dan fungsi sebagai pembentuk ruang kota bagi masyarakat
dan pemakainya, antara lain pada skala lokal dan global kota. Pada jenis bangunan tertentu berpotensi memberikan karakter yang kuat
tergantung pada tingkatkan fungsi dan lokasi dengan mendefinisikan kota itu sendiri. Dari jenis bangunan agama dan budaya maju
biasanya paling banyak berkontribusi terhadap pembentuk morfologi dan eksistensinya. Di sam-ping berbagai jenis bangunan yang lain juga
berupaya untuk mengeksplorasi peranannya di dalam suatu kota. Bangunan publik adalah salah satu diantaranya yang mengindikasikan adanya citra bangunan, kenangan dan kesan mendalam,
aspek latarbelakang sejarah sangat mendukung keberadaan citra suatu bangunan, sehingga banyak bangunan religius masih terus menjadi
bagian dari perkembangan kota yang perlu diperhatikan bagi para perancang untuk memp-ertimbangkan aspek kesejarahan yang turut
menjadi bagian pengembangan ruang publik dan menjadi citra spesifik dari suatu kota. Bangunan religi merupakan salah satu fungsi
dan tempat ibadah yang selain bersifat sakral
dan banyak menciptakan karakter dan sebagai elemen kota yang membentuk ruang citra kota. Aktivitas formal dan informal turut memberikan
penggunaan ruang baik di dalam bangunan masjid maupun di luar. Interaksi manusia akan banyak terjadi pada lingkungan fisik yang pada
awalnya juga berkembang dari suatu tempat menjadi bagian dan wadah secara terstruktur menjadi bagian kehidupan dalam masyarakat.
Peran Bangunan Peribadatan dalam Per-
tumbuhan Kota
Thomas Barrie (1996) memberikan pandangan tentang tingkat kesucian dalam karya arsitektur
banyak diterapkan pada bangunan religi, lokasi dan nilai kesejarahannya. Bangunan ibadah yang memiliki nilai kesakralan ditentukan dari
nilai agama, latar budaya, simbolisasi dan tujuan spiritualnya, karena bangunan yang memiliki nilai-nilai sakral akan terpancarkan pada tempat
yang terbangun untuk menghasilkan makna dari simbol dan akomodasi ritual pada sistem keper-cayaan yang dianut oleh masyarakat setempat.
Elemen-elemen struktur, lintasan dan tempat adalah simbol ekspresi dari peziarahan yang dapat mentransformasikan nilai-nilai spiritual
Masjid Agung Demak Sebagai Pencitraan Kawasan Kota
B_18 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
dan adanya konsisten makna pada susunan
ruang dan bentuk dari bangunan peribadatan. Tentunya pengalaman seseorang dan persepsi manusia terhadap suatu tempat yang terdiri dari
komponen material, tekstur permukaan, ling-kungan, suara akan membawa pengaruh ter-hadap nilai-nilai kesakralan suatu tempat.
Mazumdar Shampa & Sanjoy (2004) yang membuat matriks peran bangunan peribadatan
yang memiliki tempat-tempat sakral dan mem-bentuk struktur kota berdasarkan klasifikasi dari masing-masing agama di dunia. Di mana
pengelompokan tersebut terdiri dari : kota suci, bangunan suci, dan tempat-tempat yang diang-gap keramat oleh sekelompok agama tertentu.
Dalam buku The City Shaped, Urban Patterns and Meanings Through History karya Spiro
Kostov bisa menjadi rujukan tentang pene-laahan masalah yang berkaitan dengan kajian pola ruang dikawasan perkotaan. Buku ini mengambil sudut pandang sangat berbeda
tentang suatu kota. Konteks penulisan ini terli-hat pada awal pendahuluan, penulis mencoba mengkaji tentang bagaimana dan mengapa kota
terjadi dari berbagai bentuk dan pola yang berbeda, apa yang mempengaruhi bentuk dan pola seperti itu. Lebih penting lagi pembahasan
tulisannya dibantu dengan ilustrasi dan kete-rangan secara rinci tentang berbagai kekuatan yang mempengaruhi formasi perkotaan. Bahkan,
ia menunjukkan minat dalam proses pertum-buhan perkotaan, perubahan tak terelakkan dan bertahap yang sebagian besar pusat kota telah
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sementara penulis masih mengacu pada model normatif Kevin Lynch dari kosmik, praktis dan
model organik pembentukan kota, dia lebih tertarik dalam melihat bentuk perkotaan dan kemudian mengeksplorasi kekuatan manusia yang ikut mempengaruhi karakter fisik kota.
Dalam buku The City Shape menunjukkan pengetahuan yang mendalam tentang agama
dan pengaruhnya pada arsitektur, hal ini tentu tercermin dalam banyak bidang buku. Lebih khusus, dalam pembahasannya tentang pola
grid, paparan Spiro Kostof lebih banyak meng-gunakan pendekatan teratur untuk analisis pola bersandar terhadap agama dan pemerintahan
sesuatu yang tidak dibahas oleh banyak penulis. Karya-karya Spiro Kostof menjadi harapan bahwa pengetahuan tentang agama bisa banyak
mempengaruhi perkembangan karya arsitektur
dan kota, terutama kota-kota di Indonesia juga
banyak dipengaruhi oleh perkembangan dan peradaban Islam.
Metode
Dengan menggunakan pendekatan penelitian yang bersifat kualitatif karena model analisa
yang digunakan bersifat deskriptif diharapkan akan menjadi sebuah paparan yang ringan dan sekaligus dapat menarik fakta yang ada di
lapangan untuk diuraikan secara mendalam. Hasil yang diharapkan merupakan rangkaian penelitian ini untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai proses pendalaman dan mencari fokus
permasalahan yang sebenarnya.
Metode Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data yang ada adalah penelusuran arsip, tentang perkembangan kota Demak dengan memperhatikan aspek historis
yang dikaitkan dengan pertumbuhan kota. Ka-jian mendalam berkaitan dengan kota Demak saat ini berdasarkan interpretasi dan analisis
perkembangan Demak yang terkait dengan teori arsitektur kota.
Pemilihan lokus penelitian
Keistimewaan kota Demak hingga kini masih dapat ditelusuri tentang sejarah perkembangan masa kerajaan dan peristiwa-peristiwa yang
melatar belakanginya, namun sejarah arsitektur Masjid Agung Demak hingga kini harus ditelusuri perkembangan dan perubahannya, hal ini akan
menjadi data yang mendukung karena peran arsitektur Demak bisa menjadi pembangkit seja-rah lama perkembangan kerajaan Demak. Peris-
tiwa munculnya kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa hingga kini meninggalkan karya arsitektur Masjid Agung Demak menjadi sebuah
fakta sejarah yang pernah dibuat pada masa raja Raden Fatah dan hingga kini masih dikeramatkan oleh sebagian masyarakat. De-
ngan demikian Masjid Agung Demak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat kota Demak, hubungan yang saling terkait berperan dalam kelestarian eksistensi arsitektur
Masjid Agung Demak.
Perkembangan Masjid Agung Demak
Unsur kebudayaan pra Islam sekitar kawasan Demak dan sekitarnya dipengaruhi oleh kebu-
Marwoto
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | B_19
dayaan Hindu, bukti kuat pengaruh ini dengan
ditemukan beberapa peninggalan situs dan benda-benda arkeologi berupa arca Durga dan Yoni. Begitu juga sebelum masa peradaban
Islam kawasan Pesisir Utara Jawa dan seki-tarnya banyak dikuasai oleh Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, dengan demikian sistem
sosial, ekonomi dan politik berlaku menurut tata hukum Hindu pada waktu itu. Selain unsur Hindu terdapat pula pengaruh dari luar yang
cukup kuat adalah kebudayaan Cina dengan ditemukannya berbagai keramik dari Dinasti Tang pada abad ke-9 yang merupakan bukti
kuat adanya hubungan politik dan ekonomi yang berperan penting dalam menjalankan kekuasan dan pemerintahan Majapahit. Hal ini bisa terjadi
karena kontak dengan masyarakat luar menjadi mudah karena posisi geografis sekitar pesisir pantai menjadi lintasan seberang pertemuan
antar ragam budaya. Menjelang akhir masa pengaruh Majapahit terdapat peninggalan ma-kam-makam muslim yang terletak di tengah-tengah sekitar pusat wilayah Majapahit meru-
pakan bukti adanya kontak dan hubungan antar umat beragama yang berlangsung dengan baik. (Supratikno Rahardjo 1994).
Penyebaran Islam memasuki pulau Jawa pertama kali memasuki wilayah Pesisir melalui
para pedagang dengan dua tujuan utama berniaga dan mengenalkan ajaran Islam bagi penduduk yang non muslim, sehingga muncul-
nya peradaban kota pesisir tidak lepas dari pengaruh Islam dan para pedagang muslim (Grunebaum 1955). Secara perlahan konsep
religi dan hubungan masyarakat menurut Islam mulai banyak diterima oleh masyarakat yang dahulunya menganut paham Hindu yang semula
hanya kelompok kecil yang bermukim di sekitar pantai dan terus berkembang mencapai golong-an elit kaum bangsawan di kerajaan.
Masjid Agung Demak terletak di bagian Pesisir Utara Jawa yang dikenal sebagai Pusat Kerajaan Islam yang mengandalkan kekuatan militer dan
perdagangan melalui jalur maritim yang diangg-ap hubungan lalu lintas lewat laut merupakan sarana transportasi yag paling penting untuk
menghubungkan kepentingan pemerintahannya. Selain faktor geografis faktor kosmologis juga turut mempengaruhi perkembangan kota kera-
jaan (Heine Geldern 1982) dalam masalah penobatan raja, pemberian gelar raja, dan beberapa gelar untuk pejabat kerajaan, pem-
berian nama wilayah kerajaan, upacara adat,
pekerjaan seni, tempat suci dan lain sebagainya. Menurut catatan sejarah de Graaf dan Pigeaud,
(1989) kerajaan Demak berdiri sekitar abad ke-15 mengikuti contoh kerajaan Majapahit meski-pun belum dapat ditelusuri lebih lanjut karena
hingga kini belum ada temuan yang meyakinkan tentang adanya bekas keraton peninggalan kerajaan Demak pada waktu itu. Sedangkan
berdasarkan penelusuran para pengembara Portugis dan Belanda pada abad ke-16 meng-ungkapkan adanya kubu-kubu pertahanan dan
pagar-pagar tembok, hal ini ditegaskan oleh De Graaf (1989) bahwa ada kemungkinan golongan menengah Islam yang bertempat tinggal di
perkampungan sekitar masjid besar merasa perlu untuk mempertahankan beberapa materi yang berkaitan dengan kepentingan raja mereka
sebagi pelindung agama dengan membangun kubu pertahanan militernya. Pada tahun 1475 Raja Demak pertama Raden
Fatah dilantik, beliau merupakan salah satu san-tri yang didik oleh para Wali dari Sunan Ampel dan para Wali lainnya untuk dibesarkan menjadi
pemimpin kerajaan Islam sebagai salah satu strategi politik untuk mempertahankan dan memperluas ajaran Islam yang disebarkan oleh
para wali. Sistem pemerintahan kerajaan Islam ini adalah awal penggunaan aspek politik kekuasaan dalam Islam yang berdaulat di tanah
Jawa. Sunan Ampel adalah salah satu wali yang menegakan ajaran Islam di Kawasan Tuban, Gresik. Beliau sering disebut sebagai konseptor
Kerajaan Islam dan mencari calon Raja dari kalangan keturunan kerajaan. Kebetulan salah satu muridnya adalah Raden Fatah salah satu
putra dari Prabu Brawijaya Kertabumi seorang Raja Majapahit. Dalam kondisi pemerintahan yang tidak menentu sang Raja menetapkan Raden Fatah menjadi seorang Adipati dan
menghadiahi sebidang tanah di kawasan Gela-gah Wangi. Mendapatkan kesempatan yang baik para wali bersepakat untuk melantik Raden
Fatah sebagai penguasa Demak sekitar abad ke XV. Hingga akhirnya kawasan ini berkembang dan menjadi kota Kerajaan Demak. Meskipun
para penulis Barat beranggapan Raden Fatah melakukan kudeta terhadap pemerintahan Majapahit, namun muncul suatu sintesa bahwa
bila terjadi perebutan kekuasan hal ini terjadi karena juga atas latarbelakang keagamaan dan hak waris.
Masjid Agung Demak Sebagai Pencitraan Kawasan Kota
B_20 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
Dengan demikian munculnya kerajaan Islam
pertama di tanah Jawa menandakan tingkat keberhasilan perjuangan para Wali untuk menyebarkan Islam di pulau Jawa, disamping
pemerintahan yang lama sedang mengalami perebutan kekuasan di kalangan keluarga kera-jaan. Dipilihnya Demak sebagai pusat peme-
rintahan didasari oleh perhitungan strategi pragmatis terutama dibidang politik, ekonomi, agama dan letak geografis. Perkembangan awal
kota Demak merupakan salah satu sintesa an-tara hubungan para wali (Sunan) dan keturunan Raja (Sultan) atau disebut sebagai manung-
galnya ulama dan umara yang akhirnya dapat menstabilisasi kehidupan masyarakat dan berne-gara dalam arti luas. Rakyat menilai hubungan
ketaatan para Sultan terhadap ajaran yang diberikan dari para Wali merupakan bentuk kebi-jakasanaan politik yang diberikan untuk
mengabdi pada Sang Pencipta dan menjalankan amanah untuk mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Sehingga lambat lau Demak mengalami kemajuan peradaban, pemerintahan,
budaya yang berdampak pada proses pertum-buhan kota.
Seperti yang diungkapkan oleh S. Gideon (1966) bahwa perubahan dalam arsitektur selalu didahului oleh perubahan dalam agama dan
sosial suatu masyarakat, jadi arsitektur hanyalah merupakan akibat dari hasil perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Wilayah Demak
berdasarkan catatan sejarah merupakan lahan kosong yang langsung di bangun oleh Adipati Raden Fatah, dimana latar belakang budaya
Hindu yang diterapkan oleh sang ayah secara bertahap berpaling menjadi salah satu murid dari para Wali dipandang sebagai pencetus
perubahan peradaban masa transisi antara Hindu- Islam. Munculnya masyarakat Islam yang dilindungi oleh pihak kerajaan dan para Wali memulai suatu peradaban baru sebagai reaksi
terhadap perubahan agama dan sosial. Muncul-nya tempat peribadatan masjid sebagai salah satu wujud arsitektur yang dilandasi dengan
pemahaman tentang ajaran agama untuk melaksanakan perintah yang diajarkan dalam kitab suci Al Quran dan sunnah Rasul yaitu
mendirikan masjid sebagai tempat ibadah yang dianjurkan. Lokasi pemilihan masjid Agung Demak diperkirakan salah satunya adanya sum-
ber air yang merupakan cara untuk bersuci sebelum melakukan solat. Fungsi pemerintahan kerajaan Islam hingga kini menjadi bukti kuat
dengan adanya beberapa peninggalan dari
beberapa toponim nama tempat di sekitar
Masjid Agung Demak. Kawasan masjid dan alun alun Demak tumbuh
dan berkembang berdasarkan kesepakatan para Wali dan raja Islam pertama di Jawa, menurut catatan Tome Pires (Cortesao, Armando, “Suma oriental of Tome Pires” 1944/1967) memiliki jumlah penduduk sebesar 8.000 hingga 14.000 orang pada tahun 1512-1515, dimana masya-
rakat sudah tumbuh pesat disamping kebera-daan komunitas Hindu di bawah pemerintahan Majapahit.
(sumber atlas of mutual heritage)
Gambar 01. Kota Demak abad ke-16
(sumber atlas of mutual heritage)
Gambar 02. Kota Demak abad ke-16
Berdasarkan catatan sejarah tersebut dapat
diartikan bahwa kota Demak tumbuh dan berkembang berdasarkan aspek religius sebagai bagian dari proses urbanisasi dan globalisasi.
Karakter kota Demak diiringi dengan pertum-buhan Kampung Kauman, Masjid, Alun-alun hingga Keraton Demak yang hingga kini masih
dalam proses pembuktian penelitian. Berdasar-kan para penelitian Barat kota ini tergolong kota-kota pre industrial sebagai warisan dari
kota tradisional dan juga menjadi ciri khas kota-kota di Jawa. Masjid Agung Demak menjadi perhatian utama bagi masyarakat muslim di
Indonesia karena masjid tersebut didirikan secara langsung oleh sebagian para wali sebagai tokoh panutan dan penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Indikasi dari pemahaman masyara-
kat ini menyebabkan kawasan Masjid Agung Demak sering menjadi orientasi utama dari program wisata religius bahkan lebih dari itu
terdapat makam para raja yang menjadi wilayah sakral untuk dijadikan tempat dan upacara keagamaan yang dianggap suci dan terjadi
secara rutin sepanjang tahun. Masjid Agung Demak sebagai tempat ibadah terletak pada kawasan pusat kota dan pusat pemerintahan
membentuk jaringan dan tingkat kepadatan bangunan yang cukup tinggi dengan demikian tingkat kehidupan bermasyarakat terus berkem-
bang sejalan dengan pertumbuhan pola ruang dan masa bangunan yang terbentuk secara organik pada kawasan kota Demak.
Marwoto
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | B_21
Kawasan Masjid Agung Demak termasuk dalam
wilayah Desa Glagahwangi kota Kadipaten Bin-toro yang terdiri dari wilayah pertanian yang luas dan tumbuhnya kawasan permukiman.
Fungsi lain yang sudah berkembang pada masa itu adalah adanya pasar Bintoro sebagai wadah transaksi penjualan hasil pertanian. Hasil
pertanian yang melimpah membuat sebagian masyarakat membuat lumbung-lumbung padi untuk kebutuhan pangan pada masyarakat yang
tinggal di sekitar Kadipaten Bintoro. Semenjak pertempuran yang dilakukan antara Pati Unus mengakibatkan persediaan lumbung tergannggu,
sehingga akan mempengaruhi kekuatan rakyat melawan infasi Portugis dari luar. Untuk itu pemerintah kerajaan mengalokasikan beberapa
wilayah permukiman ditempatkan di sebelah Utara kota untuk menghambat serangan dari Pesisir Utara. Kondisi geografis kota Bintoro
yang berada di selat gunung Muria pada waktu itu berpotensi menjadi tempat singgahan para pendatang terutama pedagang dari India, Cina dan Arab yang berperan menimbulkan migrasi
penduduk dari pedalaman ke kota untuk mencoba ganti usaha dari pertanian ke perdagangan.
(sumber kitlv)
Gambar 03. Ilustrasi Masjid Agung
Demak tahun 1810
(sumber kitlv)
Gambar 04. Ilustrasi Masjid Agung
Demak tahun 1848
Landasan pengambilan makna bentuk atap Masjid Agung Demak dengan atap tajug
menyerupai gunungan (meru) bersusun tiga. Atap persegi yang tersusun mengerucut ke atas selain kemudahan dalam pembuatan konstruksi
atap dan sebagai bahan penutup atap yang tanggap terhadap iklim tropis, juga bernilai filosofi pada tiga hal Islam, Iman dan Ihsan
Pada pucuk atau puncak atap masjid terdapat mustaka atau lambang mahkota sebagai puncak kekuasaan tertinggi hanyalah kehadirat Allah
Subhanaallahu Wata’ala. Sedangkan pada ba-gian dalam masjid terdapat empat porta (soko guru) melambangkan pada zaman wali 9 aliran
suni menganut empat madhzab yang diyakini sebagai Ahli Sunnah Wal’jamaah. Begitu pula dalam susunan tata ruang keberadaan Masjid Agung Demak di lingkungan sekitarnya terdapat
ruang terbuka (alun-alun), kadipaten (kantor bupati) dan gedung pengadilan atau penjara
yang sampai saat ini masih dipertahankan.
Sesuai dengan surat An-Nissa ayat 59 dalam AlQuran bahwa kehidupan masyarakat muslim tidak terlepas dari tuntunan para ulama dan
umara yang implikasinya adalah Masjid Agung Demak diartikan sebagai pusat para alim ulama yang berkumpul dan menyiarkan agama Islam
sebagai bentuk hubungan vertikal kepada Allah SWT. Kantor Bupati mengandung unsur pe-merintahan atau penguasa yang dipercaya akan
melindungi rakyat. Hubungan kedua belah pihak masing-masing ada kesamaan terhadap rakyat, namun secara tugas membawa amanah sesuai
dengan tugasnya.
(sumber kitlv)
Gambar 05. Masjid Agung Demak
thn. 1870
(sumber kitlv)
Gambar 06. Masjid Agung Demak
thn. 1910
Bila dibandingkan perkembangan Masjid Agung Demak menurut catatan sejarah dibangun sejak 1466 (Inajati Adrisijanti, 2000) Bentuk atap Masjid Agung Demak secara fisik tidak jauh
berbeda dengan masa sebelumnya, yaitu dengan bentuk atap seperti relief bangunan Candi Jawi (Kempers, A.J. Bernet, 1959).
Beberapa perubahan yang dialami Masjid Agung Demak dari awal di bangun hingga kini dian-taranya penambahan bagian serambi (pendopo),
pintu gerbang, minaret dan bangunan pesantren di halaman masjid. Perubahan penambahan bangunan di sekitar area masjid di samping
perluasan kegiatan sembahyang dan pengajian tidak terlalu mengurangi keagungan bentuk masjid ini. Oleh sebab itu sesuai dengan pera-
turan menteri agama Republik Indonesia no 1 tahun 1988 mulai berlaku tahun 1991 menjadi Masjid Agung Demak.
(sumber kitlv)
Gambar 07. Masjid Agung Demak
thn. 1930
(sumber kitlv)
Gambar 08. Masjid Agung Demak
thn. 1930
Masjid Agung Demak Sebagai Pencitraan Kawasan Kota
B_22 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
Kesimpulan
Fungsi tempat ibadah masjid agung Demak menjadi daya tarik yang kuat bagi perkem-
bangan morfologi kota. Meskipun peralihan periode pemerintahan keberadaan masjid dan alun-alun mengalami perkembangan dan dina-
mika yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kota. Sebagai tempat ibadah masjid merupakan wadah interaksi antara sesama muslim dalam
berkomunikasi dan bermasyarakat, sampai saat ini keberadaan citra Masjid Agung Demak masih tinggi terbukti suasana religius dan bangunan yang dianggap suci masih dianggap penting oleh
para peziarah, disamping itu masjid yang di-bangun oleh para wali sampai saat ini dipan-dang oleh sebagian masyarakat muslim meru-
pakan masjid yang bersejarah dan memilki nilai-nilai religi yang sangat besar dan berpengaruh, terutama karena masjid ini dibangun bersama
oleh para wali dan juga menjadi kerjaan Islam pertama di Jawa. Hingga saat ini masih bertahan dan terdapat beberapa unsur yang
paling memberikan dukungan diantaranya ma-syarakat yang tinggal di sekitar lingkungan Masjid Agung Demak.
Daftar Pustaka
Barrie Thomas, 1996 : Spiritual Path, Sacred Place, Myth, Ritual, and Meaning in Architecture,
Shambhala Boston & London. Bennison, Amira K. and Gascoigne Alison L. 2007,
Cities in the Pre-Modern Islamic World, The Urban Impact of Religion, State and Society.
SOAS/Routledge Studies on the Middle East. Graaf, H.J. de dan Th.G.Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-
Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Pustaka Grafiti,
Jakarta. Inajati Adrisijanti, 2000, Arkeologi Perkotaan Mataram
Islam. Penerbit Jendela, Yogyakarta. Ismudiyanto dan Parmono Atmadi. 1987. Demak,
Kudus, Jepara Mosque. A Study Of Architectural Syncretism. Dept. Of Architecture, Engineering Faculty, Gadjah Mada University.
Karsono, Bambang & Wahid, Julaihi. 2008, Imaginary Axis As Basic Morphology in the City of Yogyakarta, Indonesia 2nd International Conference on Built Environment in Developing
Countries (ICBEDC). Kempers, A.J. Bernet, (1959), Ancient Indonesian Art,
Amsterdam: C.J.P. van der Peet.
Kostov, Spiro (1991), The City Shaped, Urban Patterns and Meanings Through History, Thames and Hudson Ltd. London.
Mazumdar Shampa & Sanjoy (2004), Religion and Place Attachment: A Study of Sacred Places .
Journal of Enviromental Psychologys.
www.elsevier.com/locate/yjevp. Saoud Rabah, 2002: Introduction to Islamic City,
Foundation for Science Technology and
Civilisation. Soetomo Sugiono, 2013 : Urbanisasi dan Morfologi
Proses Perkembangan peradaban dan wadah ruangnya menuju ruang yang manusiawi, Graha
Ilmu. Yogyakarta. Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and
Caribbean Studies ( home page :
www.kitlv.com ) diakses pada tanggal 15 Februari 2013.
Atlas of Mutual Heritage Website (home page : www.atlasofmutualheritage.com ) diakses pada
tanggal 14 Februari 2013.