lp 2012-01 asesmen pendidikan.pdf

66
Pusat Kajian Antropologi Asesmen Pendidikan dan Kajian Komuniti di Riau Program Pelita Pendidikan, Yayasan Tanoto Laporan Akhir Semiarto Aji Purwanto Haryono Dodi Rokhdian Kukuh Bagus Handiko Risma Sugiharti Eduardo Erlangga 2011 Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Upload: nguyenlien

Post on 11-Jan-2017

262 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

Pusat Kajian Antropologi

Asesmen Pendidikan dan Kajian Komuniti di Riau Program Pelita Pendidikan, Yayasan Tanoto

Laporan Akhir

Semiarto Aji Purwanto Haryono

Dodi Rokhdian Kukuh Bagus Handiko

Risma Sugiharti Eduardo Erlangga

2011

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 2: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

1

Daftar Isi Laporan Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Asesmen 1.3. Metodologi 1.4. Dinamika Lapangan 1.5. Lokasi penelitian Bab 2 Aspek Sosial Budaya Pekerja RAPP 2.1. Identifikasi asal pekerja 2.2. Pekerja dan Migrasi orang Nias 2.2.1. Alasan Migrasi 2.2.2. Karakteristik Pekerja Nias 2.2.3. Pola Penyesuaian Pekerja Nias di RAPP

Kekerabatan dan Organisasi Sosial Hutang: Jeratan sekaligus Keuntungan

2.2.4. Alasan Bertahan Pada Pekerja asal Nias 2.3. Kondisi Pekerja Nias 2.3.1. Tempat Tinggal 2.3.2. Kesehatan dan gizi 2.3.3. Dinamika Kelompok Kerja

Dari karyawan menjadi pekerja Pengorganisasian Kerja dan Pendapatan Kehidupan di Camp

2.4. Ekonomi rumah tangga 2.5. Tingkat kesejahteraan pekerja Bab 3 Pendidikan di mata pekerja RAPP 3.1. Anak anak di lokasi kerja 3.2. Latar belakang dan pandangan orang tua terhadap pendidikan 3.3. Sarana Pendidikan di Estate Pelalawan 3.4. Kendala mendapatkan pendidikan pada anak anak pekerja Nias Bab 4 Penutup: Alternatif Pendidikan Bagi Pekerja Nias 4.1. Kebutuhan pendidikan Bagi Anak-Anak Pekerja Nias 4.2. Kajian Pendidikan Alternatif di Tempat lain

Program Sekolah Ketahanan Hidup - SOKOLA Kasus – Kasus Program Sekolah Ketahanan Hidup Sekolah Otonom – Sanggar Anak Akar Sanggar Anak Alam (SALAM) Sekolah penyetaraan ( Paket ) Sekolah Kebun - Eka Tjipta Foundation (ETF)

4.3. Pendidikan bagi Anak-anak Nias: Kesimpulan dan Rekomendasi

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 3: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

1

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Program pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam pelaksanaannya. Berbagai masalah terentang mulai dari ketersediaan anggaran negara untuk sektor pendidikan yang minim, tenaga pendidik yang kurang jumlah dan kualitasnya, fasilitas gedung dan infrastruktur yang terbatas, sampai pada sentralisasi pendidikan di wilayah tertentu saja. Deretan masalah itu masih akan bertambah bila kita tengok isu pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ada demikian banyak wilayah yang belum terjangkau pelayanan dan program pendidikan bahkan di tingkat dasar.

Banyak pihak sepakat bahwa masalah pendidikan suatu bangsa bukan saja menjadi masalah bagi pemerintah. Sepenuhnya disadari bahwa pendidikan adalah masalah seluruh bangsa. Dalam kaitan dengan upaya menghadapi masalah pendidikan, dunia usaha di Indonesia telah menunjukkan partisipasinya melalui berbagai program pelayanan komunitas dan kepedulian sosial. Sayangnya, niat baik tersebut seringkali hanya didasari oleh niatan yang tulus dan seringkali melupakan masalah sosial yang menjadi konteks masalah pendidikan di suatu lokasi. Alhasil, cukup banyak program pendidikan yang dirancang oleh perusahaan besar menemui kegagalan dalam pelaksanaannya di lapangan.

Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) sebagai sebuah perusahaan besar di wilayah Riau dan sekitarnya menyadari sepenuhnya harapan masyarakat untuk turut mengembangkan dan menyediakan fasilitas pendidikan di daerah. Upaya tersebut coba dimulai dengan memberikan perhatian pada pendidikan untuk keluarga karyawan yang bekerja di kebun-kebun perusahaan. Salah satu contohnya, Pelita Sekolah Informal, sebuah upaya melayani pendidikan dasar bagi anak-anak karyawan yang tinggal di barak-barak perkebunan, diluncurkan sebagai bagian dari program Pelita Pendidikan. Melalui Yayasan Tanoto, upaya mengembangkan pendidikan di wilayah sekitar perusahaan/perkebunan dirancang secara lebih sistematis dan terencana dalam program Pelita Pendidikan.

Salah satu kegiatan yang direncanakan Yayasan Tanoto sebelum merumuskan bentuk pelayanan pendidikan yang tepat adalah dengan membuat penelitian sosial budaya untuk memahami kondisi komunitas karyawan yang menjadi sasaran program. Bekerjasama dengan Pusat Kajian Antropologi (Puska Antrop) Universitas Indonesia, sebuah asesmen untuk mengungkap aspek sosial budaya dari komunitas karyawan perkebunan dilakukan. Secara khusus juga ditelusuri persepsi dan proses pembentukan makna budaya mengenai pendidikan. 1.2. Tujuan Asesmen

Asesmen ini secara umum dilakukan untuk memenuhi dua tujuan utama yaitu mengkaji aspek budaya dari pendidikan (education assessment) dan mengkaji komuniti yang akan menjadi sasaran program. Kajian mengenai aspek budaya dari pendidikan di kalangan komuniti akan mengungkapkan:

1. Latar belakang pendidikan, pandangan dan aspirasi orang tua mengenai pendidikan anak-anak pada berbagai kelompok

2. Identifikasi kendala yang dihadapi komuniti dalam mengakses pendidikan dan

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 4: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

2

bagaimana mereka mengatasinya 3. Bagaimana komuniti menanggapi program sekolah yang diselenggarakan perusahaan 4. Ketersediaan sumberdaya pendidikan di dalam komuniti dan perusahaan (RAPP)

Sementara kajian pada aspek sosial budaya dari komuniti akan mengungkapkan:

1. Konteks sosial ekonomi dari komuniti, meliputi karakteristik sosial-ekonomi rumah tangga, tingkat pendidikan dan pekerjaan komuniti dari berbagai kelompok sosial yang ada

2. Dinamika demografi pada komuniti, meliputi karakteristik populasi, pola migrasi dan hubungan antar kelompok

3. Kondisi fasilitas fisik di komuniti, mulai dari perumahan, air bersih, kebersihan lingkungan, listrik dan sebagainya

4. Strategi untuk meningkatkan pendapatan seperti bertani, berkebun, beternak, memancing dan sebagainya; pengaturan pola konsumsi di berbagai kelompok yang ada; dan perilaku menabung (saving) dan berinvestasi

5. Akses pada fasilitas kesehatan dan gizi yang baik 6. Berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan komuniti dan bagaimana

strategi untuk mengatasi masalah sosial secara individual maupun melalui modal sosial dari berbagai kelompok

1.3. Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, wawancara

berkelompok, observasi dan penyebaran kuesioner. Wawancara mendalam, wawancara berkelompok dan observasi memfokuskan pada karakteristik umum yang menampilkan kecenderungan kehidupan para pekerja Nias dan situasi khusus yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kebijakan bagi para pekerja. Penyebaran kuesioner dilakukan untuk melihat pola konsumsi dan aspek ekonomi rumah tangga di kalangan pekerja asal Nias. Penelitian lapangan yang telah tim lakukan menghasilkan sejumlah temuan yakni, kondisi pendidikan yang tidak memungkinkan bagi anak-anak di kemp, masalah sosial yang dihadapi pekerja Nias di antaranya hutang, ketenagakerjaan dan identitas, karakteristik budaya pekerja Nias yang menjadi latar belakang lemahnya pendidikan mereka dan anak-anak mereka. 1.4. Dinamika Lapangan

Secara teknis dalam hal ketersediaan sampel dan keberadaan subjek assesment tidak ada halangan berarti, hal ini karena terbantu oleh posisioning komuniti yang terpetakan dalam peta kerja perusahaan. Begitupun pendekatan terhadap subjek didukung oleh intervensi pihak manajemen kepada tiap kelompok kerja yang akan dikunjungi. Namun dibalik kemudahan teknis tersebut muncul bias-bias informasi dari informan. Kehadiran pihak manajemen(mandor/askep) di kunjungan awal membuat informan hati-hati mengemukakan pendapatnya. Dalam kasus tertentu seorang mandor atau askep kadang meluruskan informasi informan ketika wawancara berlangsung. Bias-bias tersebut diatasi dengan meminta pihak pengantar (manajemen) hanya mendrop tim di lokasi , tanpa mesti diantar ke camp pekerja. Cara tersebut kemudian membuat suasana penggalian informasi terhadap informan lebih

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 5: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

3

terbuka dan lebih mendalam, tanpa kekuatiran informan atas informasi tertentu yang dilontarkan.

Hambatan yang dihadapi lebih bersifat teknis, yakni ketersediaan angkutan dari mess ke lokasi kamp pekerja yang harus menyesuaikan dengan jam kerja karyawan. Konsekuensinya bila bertepatan dengan hari libur tim asesment harus menyesuaikan untuk libur kunjungan dan mengganti hari tersebut dengan aktivitas menulis catatan lapangan, mendiskusikan hasil temuan dan menyusun strategi

1.5. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Pelalawan Estate yaitu salah satu estate PT. RAPP yang lokasinya relative dekat dari pusat kota Kabupaten Pelalawan. Estate ini dipilih karena sudah berjalan cukup lama yaitu sudah sekitar 3 kali rotasi tanam dengan lahan yang dikatagorikan sulit karena berupa lahan gambut. Estate Pelalawan juga memiliki pekerja asal Nias dalam jumlah besar yaitu sekitar 500 orang sehingga dapat menggambarkan kondisi keseluruhan pekerja Nias di estate estate PT.RAPP lainnya.

Lokasi camp pekerja atau moving camp yang dijadikan sampel dalam penelitian ini antara lain:

No Lokasi / Blok

Tk Aktivitas KR Kontraktor kues Jarak dari sector (Km)

1 TPK 18 Planting Mesra Yanto 5 5 km

2 Nurseri 42 Nurseri Suardi Abdi jaya 5 5 km

3 Q008 35 Planting Robin Honorius 10 38 darat + 5 kanal

4 Q057 24 Planting Seri Honorius 10 38 darat + 5 kanal

5 Q072 8 Weeding Sutri Talabu 5 38 darat + 5 kanal

6 W058 20 Planting Hendrik Famomaha 10 41 darat + 29 kanal

7 W076 24 Planting Yuli LM/Famomaha 10 41 darat + 29 kanal

8 S001 24 Planting Yurni Talabu 10 32 darat + 3 kanal

9 S009 20 Planting Lisama Artomoro 10 32 darat + 3 kanal

10 R036 28 Planting Teti Prinsip 10 43 darat

11 V058 20 Planting Sefin Talabu 10 41 darat+ 1 jam kanal

12 V055 20 planting Duma Honorius 5 41 darat+ 1 jam kanal

Jumlah 100

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 6: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

4

Bab 2 Aspek Sosial Budaya Pekerja RAPP

2.1. Identifikasi asal pekerja

Jenis pekerjaan yang ada di RAPP dapat dibagi dalam 4 kelompok besar yaitu Penanaman, perawatan, pemanenan dan pembibitan.

Penanaman (Planting): Penanaman merupakan jenis pekerjaan yang membutuhkan jumlah tenaga kerja paling banyak di RAPP. Penanaman dapat dikatakan pekerjaan yang paling mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bagian penanaman ini didominasi oleh para pekerja asal Nias. Berdasarkan data estate Pelalawan jumlah pekerja asal Nias di bagian penanaman tidak kurang dari 500 orang. Berdasarkan hasil survey sebanyak 70.7% dari 99 responden bekerja di bagian penanaman.

Perawatan: Bagian Perawatan terdiri dari 3 jenis pekerjaan yaitu weeding atau membersihkan gulma, singling atau pemotongan cabang dan spaying atau penyemprotan tanaman. Jenis pekerjaan ini sedikit memelukan keahlian dan tenaga yang lebih besar. Jenis pekerjaan ini banyak dilakukan oleh pekerja asal Sunda, Jawa ( Jawa lampung dan Jawa medan) dan sedikit pekerja asal Nias. Sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh laki laki karena dibutuhkan tenaga yang besar untuk mengendong alat semprot yang cukup berat untuk spaying dan membawa galah panjang untuk singling. Untuk weeding dapat dilakukan baik oleh laki laki maupun perempuan. Namun umumnya dilakukan oleh laki laki karena dibutuhkan tenaga untuk membuang gulma. Hasil survey menunjukkan Sebanyak 7.1% dari 99 responden bekerja di bagian perawatan.

Pemanenan (harvesting): Pemanenan sekaligus juga landclearing adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus seperti mengoperasikan chainsaw, alat berat dan lain sebagainya serta membutuhkan tenaga yang cukup besar. Jenis pekerjaan ini didominasi oleh pekerja asal Sambas Kalimantan Barat yang memiliki keahlian dalam penebangan dan dikenal memiliki tenaga yang cukup kuat. Dalam harvesting terdapat juga sedikit pekerja asal Batak dan Jawa. Seluruh pekerjaan dilakukan oleh laki laki karena membutuhkan tenaga yang besar seperti menarik kayu dan sebagainya. Data survey memperlihatkan sebanyak 6.1% dari 99 responden bekerja di bagian pemanenan.

Pembibitan (Nursery): Walaupun disetiap estate terdapat pembibitan ( nursery ), kebutuhan bibit untuk seluruh estate sebenarnya disuplai langsung dari nursery pusat. Nursery yang ada di setiap estate hanyalah nursery pendukung apabila suplay bibit dari nursery pusat tidak mencukupi. Pekerja Nursery yang berada di masing masing estate umumnya berasal dari Nias dan sedikit pekerja etnis lain seperti batak dan Jawa Medan. Berdasarkan survey Sebanyak 14.1% dari 99 responden bekerja di bagian pembibitan Karena bagian penanaman merupakan bagian pekerjaan yang membutuhkan jumlah

tenaga kerja paling banyak maka saat ini baik di estate Pelalawan maupn estate lainnya dalam lingkup RAPP didominasi oleh pekerja asal Nias. Menurut staf RAPP jumlah pekerja asal Nias

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 7: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

5

berkisar 80% dari keseluruhan tenaga kerja yang ada di RAPP. sisanya sebanyak 20% berasal dari berbagai etnik seperti Sunda, Jawa, Batak dan Melayu.

Ada kecenderungan spesialisasi tenaga kerja berdasarkan kelompok etnik di masing-masing jenis pekerjaan diatas. Munculnya spesialisasi pekerjaan ini terkait dengan latar belakang pekerjaan di daerah asal pekerja. Orang Nias yang berlatar belakang petani tradisional umumnya bekerja dibagian penanaman dan pembibitan. Sedangkan bagian pemanenan umumnya dilakukan oleh pekerja laki laki asal Sambas karena di daerah asalnya umumnya mereka adalah pelaku illegal loging. Sedangkan untuk perawatan banyak dilakukan oleh pekerja asal Sunda dan Jawa yang lebih tetalen dan mengenal teknologi pertanian lebih baik dibandingkan dengan orang Nias.

Dilihat dari latar belakang, tidak terdapat perbedaan karakteristik yang mencolok antara pekerja asal Nias yang bekerja dibagian penanaman dengan yang bekerja dibagian pembibitan. Umumnya mereka berlatar belakang sebagai petani dan berpendidikan rendah. Perbedaan terjadi pada bentuk hubungan kerja antara pekerja dengan CV tempatnya bernaung. Dibagian penanaman seluruh pekerja merupakan pekerja borongan sedangkan di bagian pembibitan terdapat tidak bentuk hubungan kerja yaitu pekerja borongan, Buruh Harian Lepas (BHL) dan pekerja tetap CV dengan gaji bulanan.

2.2. Pekerja dan Migrasi orang Nias

Dari sisi etnisitas dan daerah asal, 91 % responden berasal dari wilayah Nias. Sebagian di antara mereka menyampaikan secara jelas daerah asalnya di Nias, misalnya Nias Barat, Nias Selatan, Nias, Tengah, dan Nias Utara, namun lainnya hanya mengatakan berasal dari Nias. Sisa responden, 7% berasal dari wilayah lain di Sumatera Utara dan 2% dari Jawa Barat.

2.2.1. Alasan Migrasi Pada awal masa berdirinya PT. RAPP banyak menggunakan tenaga kerja transmigran

asal Jawa yang ikut dalam program PIRTRANS sawit dan berada di sekitar areal HTI ditambah dengan tenaga kerja dari daerah lain seperti Medan, Nias dan sebagainya dalam jumlah terbatas. Ketika kebun sawit milik para transmigran asal Jawa ini mulai berproduksi banyak pekerja asal transmigran Jawa berhenti bekerja di RAPP dan memilih mengurus kebun sawitnya sendiri, sehingga terjadi kelangkaan tenaga kerja di RAPP.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja RAPP melalui agen agen pencari tenaga kerja mulai mencari tenaga kerja ke berbagai wilayah di luar Riau dan salah satunya adalah ke Nias. Sejak saat inilah pekerja asal Nias mulai menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh para pekerja asal transmigran jawa. Seiring waktu jumlah pekerja Nias meningkat pesat dan mendominasi pekerjaan di RAPP. Salah seorang mandor mengatakan, “Kalau tidak ada orang Nias maka RAPP tidak akan jalan.” Hal tersebut memperlihatkan bahwa eksistensi pekerja Nias saat ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan dengan RAPP. Selain itu, berkembangnya mitos “pekerja Nias tangguh karena mereka mampu bertahan lama bekerja di penanaman” di kalangan karyawan RAPP, memperlihatkan bahwa pekerja Nias memang sangat mendominasi untuk mewarnai kehidupan perkebunan milik RAPP.

Beberapa hal yang memicu tingginya tingkat migrasi orang Nias ke RAPP antara lain: Minimnya sumber mata pencaharian di Nias yang memaksa mereka harus mencari pekerjaan di

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 8: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

6

luar Nias, Tingginya mahar atau uang Jujuran untuk pernikahan, diterapkan system outsourcing di tahun 2002 serta bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami (tahun 2005) yang menghancurkan infrastruktur, harta milik, ladang dan kebun, dan mata pencaharian penduduk di wilayah Nias.

Berdasar informasi yang diperoleh jauh sebelum RAPP berdiri orang Nias sudah memiliki budaya merantau ke daratan Sumatera seperti ke Medan, Sibolga, Dumai dan Pekan baru. Umumnya mereka menjadi pekerja kasar seperti tukang becak, sopir, kuli bangunan, buruh pasar, buruh sawit dan sisanya biasanya menjadi guru. Ketika RAPP dibuka, perusahaan ini banyak mencari tenaga kerja ke Pekan Baru dan Medan. Orang-orang Nias yang sudah merantau di Pekan Baru dan Medan tersebut tertarik dengan ajakan perusahaan dan akhirnya ikut bekerja di RAPP. Dasar ketertarikan orang-orang Nias tersebut untuk bekerja pada perkebunan RAPP karena faktor kondisi sosio ekonomi kultrual di kampung mereka yang sudah terbiasa untuk bekerja dalam bidang perkebunan atau persawahan. Dibanding menjadi tukang becak dan kuli bangunan, pada akhirnya mereka lebih memilih pekerjaan menanam di perkebunan RAPP yang lebih mirip dengan kondisi pekerjaan di kampungnya.

Selain kondisi sosio kultural ekonomi yang mendukung, menurut salah seorang informan, tradisi merantau tersebut juga disebabkan oleh kondisi sosio-ekonomi yang sangat rendah di daerah Nias. Sebagai contoh, salah seorang informan yang bekerja sebagai petani sawah satu bulannya ia hanya mampu mendapatkan penghasilan sebesar Rp300.000,00. Namun yang menjadi masalah utama terkait rendahnya perekonomian mereka adalah upah sebesar Rp300.000,00 tersebut ternyata merupakan upah satu keluarga besar. Satu keluarga besar di Nias biasanya terdiri dari empat keluarga inti. Maka dalam satu bulannya setiap keluarga hanya mendapatkan uang sebesar Rp75.000,00 untuk menghidupi keluarganya. Oleh karena itu, biasanya salah satu keluarga mereka akan mengalah untuk merantau. Seperti yang dikatakan salah seorang informan:

“Anggap saja bapak saya punya 10 hektar yang akan dibagi kepada setiap anaknya, maka setiap anak diberikan 2 hektar. Lalu bila saya, adik, atau kakak saya punya anak lagi? Kan sudah tidak cukup itu. Kalau dibagi lagi jadi berapa? Kami itu satu keluarga besar biasanya tinggal dalam satu rumah. Nah, makanya biasanya ada yang ngalah untuk merantau biar keluarga tetap mampu secara ekonomi di kampung kami.”

Migrasi pekerja Nias ke RAPP juga disebabkan alasan adat yaitu tingginya mahar atau

uang “Jujuran” untuk perkawinan yang harus diberikan pihak laki laki kepada pihak perempuan. Tidak jarang untuk memperoleh uang jujuran ini calon pengantin laki laki harus menghutang pada pihak lain seperti kerabat, teman maupun atasan. Karena di Nias lapangan pekerjaan terbatas dan sulit mendapatkan orang yang bisa memberikan pinjaman, maka untuk mendapatkan uang jujuran tersebut mereka merantau ke luar daerah untuk mengumpulkan uang. Ketika diperantauan juga sulit untuk mengumpulkan uang maka cara yang mereka lakukan adalah dengan meminjam uang pada pihak lain yang bisa dimintai pertolongan. Dengan bekerja di RAPP kemungkinan memperoleh uang pinjaman untuk Jujuran lebih besar dibandingkan dengan bekerja di Nias sendiri. Di RAPP mereka bisa meminjam uang jujuran pada

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 9: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

7

KR atau CV yang kemudian dibayar dengan mengabdikan tenaga kerjanya pada KR atau CV tersebut.

Pada saat sitem outsourcing diterapkan maka kedatangan pekerja Nias semakin tinggi di perkebunan, khususnya di estate pelalawan. Hal ini dimungkinkan munculnya kontraktor-kontraktor (CV) yang kemudian menjadi penyuplai tenaga. Sebagai penyuplai tenaga kerja maka kontraktor (CV) via kepala rombong (KR) kemudian semakin intensif mencari langsung pekerja kekantong-kantong pekerja di pelosok Nias melalui berbagai cara dan strategi, karena didorong oleh adanya insentif yang didapatkan dari perusahaan atas sejumlah pekerja yang berhasil didatangkan.

Berbagai upaya dan cara dilakukan oleh KR untuk menarik minat warga Nias ke lokasi kerja. Salah seorang informan misalnya menyebutkan tentang terdapatnya iming-iming pekerjaan disertai informasi tentang kelebihan kelebihan RAPP sebagai perusahaan besar:

“KR senior kami dulu menceritakan bahwa RAPP ini adalah perusahaan negara. Ya begitu mas, katanya ini perusahaan ada di 5 negara, kan artinya perusahaan besar dan tentunya gajinya besar, masa negara tidak kasih kepada kami?”

Seorang informan mengatakan bahwa dirinya direkrut langsung oleh salah seorang KR di

kampungnya (Nias Tengah, Gunung Sitoli) untuk ditawari bekerja di RAPP. KR tersebut membujuknya dengan iming-iming upah per hari sebesar Rp100.000,00 bila mau ikut bekerja dengan dirinya di RAPP. Namun, pada kenyataannya, setelah bekerja di RAPP, ia hanya mampu mendapatkan Rp37.000,00 sampai Rp40.000,00 per harinya.

Sosok-sosok orang berhasil juga kerap dijadikan pendorong bagi warga Nias untuk meninggalkan kampung halaman dan biasanya merujuk pada keberhasilan seseorang. KR seringkali dianggap sebagai sosok yang sukses dan ingin ditiru keberhasilannya oleh penduduk Nias. Saat pulang ke kampong baik untuk keperluan keluarga maupun perekrutan tenaga kerja KR selalu menceritakan hal hal baik di tempatnya bekerja dan menutupi kekurangannya agar orang orang tertarik untuk ikut bekerja dalam kelompoknya. Adanya perbaikan nasib seperti yang ditunjukkan oleh KR merupakan salah satu pendorong penduduk Nias ikut merantau.

Sering terjadinya bencana alam juga merupakan salah satu factor terjadinya migrasi orang Nias ke daratan Sumatera. Seorang informan mengatakan pergi membawa keluarganya meninggalkan Nias didorong oleh bencana gempa di Nias pada tahun 2005. Menurutnya akibat gempa rumahnya roboh dan beberapa kerabatnya dilanda kesulitan ekonomi karena tak bisa lagi bekerja akibat tempat kerjanya dan hartanya hancur oleh gempa. Dia juga mengatakan memiliki dua hektar kebun yang ditanami karet, coklat, dan sebagian ditanami padi, namun hasilnya hanya pas pasan untuk hidup.

“waktu itu kan harga getah hanya 5 atau 6 ribu satu kilo mas, terus banyak orang bilang bahwa gempa dan bencana susulan akan datang lagi ke Nias, saya takut, dan daripada ketakutan begitu sebaiknya kami meninggalkan Nias”

Hal serupa diungkapkan juga oleh beberapa informan asal dari kecamatan Gomo dan

Amandraya, Kabupaten Nias Selatan. Ia menceritakan rumahnya yang hancur dan beberapa

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 10: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

8

kerabatnya meninggal. Ia mengaku memilih pergi meninggalkan Nias karena ada isu bahwa bencana akan datang lagi di tempatnya tinggal dan hal itu membulatkan tekadnya untuk ‘mangarato’ atau mengadu nasib ke tempat lain. Salah seorang informan yang berasal dari Teluk Dalam (Desa Tjeu) Nias mengatakan, pada tahun 2006 ia meninggalkan Nias untuk pertama kalinya untuk merantau ke Riau akibat bencana tsunami yang membuat rumah dan ladang mereka hancur.

“ada gempa di Nias, hancur semua rumah, ladang, sawah, habis gempa kemarilah kami” Dibalik semua motif dan alasan tersebut maka hampir semua informan sepakat bahwa

faktor ekonomi di daerah asal menjadi faktor pendorong yang dominan melatar belakangi kedatangannya. Alasan khusus lainnya juga muncul berkenaan dengan persoalan kedekatan keluarga antara pekerja dengan pihak lain yang mengajaknya, atau niatan mencari pengalaman baru. Seorang informan mengatakan bahwa dirinya meninggalkan Nias atas ajakan abangnya, suaminya, atau keluarganya. Dibeberapa kasus seorang informan mengaku alasan ia meninggalkan Nias hanyalah mencari pengalaman. 2.2.2. Karakteristik Pekerja Nias

Umumnya pekerja Nias berasal dari banua (desa) di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Mata pencaharian orang Nias di daerah asal pada umumnya adalah bercocok tanam di ladang atau sawah, sedangkan di pantai mereka berkebun kelapa. Selain itu mereka juga mempunyai mata pencaharian tambahan, seperti berburu, menangkap ikan di sungai, beternak, dan menukang (Sare dan Citra 2006:44). Namun mata pencaharian tersebut hanya mencukupi untuk makan keluarga saja (subsisten). Gambaran tentang kemiskinan warga Nias juga dinyatakan oleh data berikut, Dalam Jurnal Studi Pembangunan Oktober 2005 Volume 1 Nomor 1 diterbitkan Universitas Sumatera Utara (http://repository.usu.ac.id) disebutkan bahwa di Kabupaten Nias pada tahun 1983 terdapat 62 desa dalam kategori tertinggal, dan oleh pemerintah pusat dimasukan sebagai desa penerima IDT. Sementara data berikut menyatakan bahwa hampir 92 % warga Nias digolongkan sebagai penduduk miskin dan bencana alam menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi tersebut.

Sedikitnya 1.867.089 jiwa (15,49 persen) dari 12.061.632 jiwa warga Sumut hingga pertengahan tahun 2005 ini, masih hidup dalam kemiskinan. Dari persentase jumlah warganya, Kabupaten Nias Selatan tercatat paling banyak, yakni 92 persen dari 278.722 jiwa ... Dalam kesempatan itu, Hakimil juga menerangkan, dari 25 kabupaten/kota di Sumut, warga Kabupaten Nias Selatan tercatat paling banyak yang hidup dalam kemiskinan. Tingginya jumlah warga miskin di kabupaten baru tersebut, salah satu terpicu akibat bencana gempa tektonik pada 28 Maret 2005 lalu.1

Dari uraian diatas terlihat bahwa orang Nias yang bermigrasi dan bekerja di RAPP adalah mereka berasal dari desa dan berlatar belakang sebagai petani yang penghasilannya pas pasan.

1 http://groups.yahoo.com/group/komunitaskaro/message/3118 diunduh pada tanggal 2 September 2011

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 11: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

9

Menurut salah satu sumber umumnya berasal dari Nias Selatan dan Nias Tengah, sedangkan penduduk Nias Barat kalau pun merantau biasanya ke kota kota besar seperti Jakarta dan Medan bukan merantau ke wilayah pedalaman seperti di RAPP.

Para pekerja asal Nias yang terserap di estate umumnya berusia produktif antara umur 15 – 40-an tahun, walaupun sebenarnya aturan perusahaan mensyaratkan usia diatas 18. Untuk mengakali persyaratan tersebut pihak kontraktor biasanya mengkatrol umur calon pekerja yang belum memenuhi syarat. Di lapangan ditemukan juga penduduk usia lanjut, mereka adalah para orang tua pekerja yang sengaja diajak untuk menjaga anak anak di camp. Dari 100 responden frekuensi terbanyak adalah kelompok usia 21 – 25 tahun sebanyak 39%, usia 26 – 30 tahun sebanyak 18%, usia 31 – 35 sebanyak 12%, usia 36 – 40 tahun sebanyak 7 %, diatas 40 tahun sebanyak 13% dan usia 20 tahun kebawah sebanyak 11%. Pekerja usia 20 tahun kebawah, mereka mengaku berusia antara 18 – 20 tahun, namun ketika ditelusuri lebih jauh beberapa diantaranya masih berusia dibawah 18 tahun. Sedangkan ketika ditanya kapan mereka mulai bekerja, dari 96 responden yang menjawab, tercatat ada 10.4% yang sudah mulai bekerja sejak usia di bawah 15 tahun. Frekuensi terbanyak adalah pada kelompok usia 16-20 tahun sebanyak 33.3%, kelompok usia 21-25 tahun sebanyak 26% dan kelompok usia 26-30 tahun sebanyak 13%. Sisanya mulai bekerja di atas usia 30 tahun, sebanyak 16.7%. Dari sisi gender perbandingan jumlah antara pekerja laki-laki dan perempuan adalah 60% s.d 70 % merupakan pekerja laki-laki dan sisanya perempuan antara 30 % s.d. 40 %. Perempuan pekerja biasanya merupakan kerabat pekerja laki – laki seperti istri, anak perempuan, saudara perempuan dan sebaginya. Jarang ditemui perempuan pekerja yang tidak memiliki hubungan dengan anggota pekerja laki laki lainnya.

Pekerja Nias yang membawa serta keluarganya untuk bekerja dan tinggal di area perkebunan tidak terlepas dari alasan budaya mereka. Hanya 1.4% dari 74 responden yang mempunyai anak, tidak membawa anak; sementara yang membawa anak 1-3 orang ada 73%, membawa 4-5 orang anak ada 10.8% dan membawa lebih dari 5 anak ada 14.9%. Selain anggapan bahwa keluarga adalah segalanya jadi segala sesuatunya ditanggung sama-sama, ada juga anggapan bahwa anak perempuan adalah segalanya. Jadi, jika dalam satu keluarga memiliki anak perempuan, namun ayah dan saudara laki-laki mereka pergi merantau atau bekerja di daerah lain maka anak perempuan ini tidak ada yang menjaga. Maka solusi yang mereka anggap paling masuk akal adalah membawa serta seluruh keluarga mereka baik istri maupun anak mereka. Bahkan anak – anak mereka terpaksa berhenti sekolah karena dibawa ke tempat kerja. Hal ini berbeda dengan pekerja (laki – laki) dari etnis lain yang dating sendiri tanpa istri dan anak.

Seorang tokoh gereja sinode BNKP2 dan aktivis Ikatan Kekeluargaan Nias (IKN) mengatakan bahwa salah satu alasan disebabkan para istri di pedesaan Nias biasanya bekerja

2 Banua Niha Keriso Protestan (BNKP – The Protestant Christian Church) dirintis ketika Penginjil dari Jerman

bernama E. Ludwig Denninger mendarat pertama kali di pulau Nias pada tanggal 27 September 1865, yang mana

kemudian tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Yubelium BNKP. BNKP terdaftar sebagai gereja pada tanggal 18

Maret 1938 oleh Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie dengan Staatsblad (lembaran negara) No. 138, yo

Keputusan Dirjend Bimas Kristen Protestan Nomor 186 Tahun 1988 Tanggal 22 September 1988. BNKP kemudian

meluas sampai ke seluruh pelosok desa di pulau Nias bahkan sampai ke kota-kota besar Indonesia, seperti Medan,

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 12: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

10

sama kerasnya dengan para suami dan aktif membantu kerja-kerja suami di kebun, ladang atau sawah. Biasanya bila anaknya masih kecil atau belum sekolah maka mereka akan membawanya ketempat kerja tersebut.

Karakteristik lain yang membedakan pekerja Nias dengan pekerja etnik lain adalah lamanya waktu bekerja. Para pekerja nias, khususnya dibagian planting, dikenal lebih ‘lama’ bertahan dibanding etnik lain yang cenderung keluar masuk dan selalu berganti orang di setiap masa kontrak (antara 3 s.d. 6 bulan). Tidak jarang mereka disebut sebagai pekerja “tangguh” karena bisa bertahan dalam jangka waktu lama. Walaupun hanya 2 orang responden yang berstatus karyawan (sisanya pekerja), namun mereka betah bekerja terlihat dari lamanya mereka berada di RAPP. Sebanyak 42% dari 97 responden yang menjawab, telah bekerja lebih dari 2 tahun dan 6.2% yang telah bekerja satu tahun. Mereka yang baru mulai setengah sampai satu tahun mencapai 19.8% dan yang kurang dari setengah tahun 20.9%. banyaknya pekerja di atas dua tahun menunjukkan tingkat kenyamanan mereka bekerja di RAPP, sementara angka pekerja yang baru setengah tahun kurang, yang juga relatif banyak menunjukkan bahwa bekerja di RAPP masih diminati para pekerja Nias.

Namun sebenarnya terdapat alasan lain yang menyebabkan mereka terpaksa bertahan di estate. Salah satu penyebabnya adalah ikatan utang antara pekerja dengan KR atau CV yang mempekerjakannya. Mereka tidak akan bisa keluar dari lokasi tempat kerja apabila hutangnya belum terlunasi.

Permasalahan yang muncul dan dihadapi oleh para pekerja Nias saat ini adalah masalah identitas kependudukan. Banyak pekerja Nias yang tidak memiliki identitas kependudukan baik KTP maupun kartu keluarga. Ini terjadi karena KTP yang mereka bawa sudah kadaluwarsa dan tidak ada biaya pulang kampong untuk memperpanjang KTP dan pekerja tidak bisa membuat KTP ditempat baru karena tidak dilengkapi dengan surat pindah. Dengan tidak adanya identitas kependudukan atau KTP menambah persoalan yang dihadapi oleh pekerja Nias seperti mereka hanya bisa melangsungkan perkawinan secara adat tanpa tercatat di catatan sipil, anak tidak memiliki akta kelahiran, kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dari rumahsakit pemerintah, anak mendapat kesulitan untuk melanjutkan sekolah, kehilangan hak pilih dan hak hak lain sebagai warga Negara.

Sebanyak 100 responden yang merupakan karyawan RAPP dijaring selama penelitian; 72% responden laki-laki dan 28% responden perempuan. Mereka berasal dari kelompok usia produktif antara 21-40 tahun sebanyak 76%, sementara kelompok remaja di bawah 20 tahun tercatat 11% dan sisanya, 12% berusia di atas 40 tahun. Anak-anak di usia sekolah tidak dijaring dalam survei karena tidak terdaftar sebagai karyawan, tetapi di lapangan tenaga kerja anak-anak itu dapat diidentifikasi. Orang Nias adalah penganut Nasrani, tercermin dari agama yang dianut oleh responden; 79.8% Kristen Protestan dan 12.1% Katolik, sisanya 8.1% Islam adalah pekerja dari luar Nias. Sementara dari sisi keluarga, sebagian besar yaitu 76.8% responden telah menikah dan hanya 19.2% bujangan serta 4% duda/janda. Mereka bekerja di RAPP karena berbagai alasan

Padang, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota kecil lainnya termasuk di Kabupaten

Pelalawan, Riau. (http://bnkptangerang.wordpress.com/sejarah/ - diunduh tanggal 2 September 2011)

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 13: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

11

sebagaimana dijelaskan nanti pada bab berikut, namun ada indikasi kuat bahwa mereka pindah kampung halaman untuk mencari pekerjaan yang dipandang lebih baik. Dengan latar belakang pendidikan di atas, sebagian besar responden bekerja di bidang pertanian selama di kampung halaman. 2.2.3. Pola Penyesuaian Pekerja Nias di RAPP

Kekerabatan dan Organisasi Sosial Hal menarik dari para pekerja asal Nias ini adalah mereka membawa seluruh anggota

keluarga mereka tinggal dan hidup di camp maupun di barak yang disediakan oleh perusahaan. Padahal area kerja di camp tidak layak untuk ditinggali anak-anak kecil dan balita. Mengenai hal ini para pekerja Nias memiliki alasan tersendiri, yakni:

“…daripada pekerja harus 6 bulan sekali pulang menengok istri dan anak lebih baik mereka dibawa semua ke area pekerjaan ini. Karena supaya pekerja senang tinggal di camp ini dan juga agar bisa betah bertahan kerja disini 1-2 tahun tidak 6 bulan sekali pulang ke Nias sehingga ongkos bisa ditekan sehingga bisa disimpan dan untuk keberhasilan.”

Dari ungkapan diatas dapat dilihat bahwa membawa serta keluarga merupakan strategi ekonomi yang dilakukan oleh pekerja asal Nias.

Pekerja Nias yang membawa serta anak dan istrinya membawa kebiasaan-kebiasaan di Nias dan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi di lingkungan kerja. Mereka menjalani seluruh daur kehidupan layaknya hidup di lingkungan pemukiman desa atau kampungnya. Mereka melakukan perkawinan, melahirkan, bahkan kematian di lokasi kerja. Dengan adanya para kerabat maka mereka juga mengembangkan organisasi social yang tidak berbeda dengan di kampong asal sebagai sebuah strategi adaptasi di lingkungan baru. Setting nias – dengan segala tata cara adat – telah dipindahkan ke lokasi pekerjaan dengan modifikasi-modifikasi tertentu.

Bagan kekerabatan di camp Q057

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 14: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

12

Lebih jauh lagi pekerja yang ada dalam satu kelompok atau rombong umumnya memiliki hubungan kekerabatan antara satu dengan lainnya baik karena hubungan darah ataupun hubungan perkawinan. Adanya kerabat dari pihak laki laki dan perempuan dalam satu tenda atau satu areal kerja secara adat menguntungkan bagi pekerja. Dalam adat Nias pemberian nama anak harus mendapat persetujuan dari kerabat pihak laki laki dan kerabat pihak perempuan. Dengan kedua kerabat ada dalam satu lingkungan maka pekerja tidak perlu repot harus pulang kampong untuk meminta persetujuan nama anak. Adanya hubungan kekerabatan ini juga memudahkan kepala rombong (KR) mengatur dan mendistribusikan pekerjaan pada pekerja. Orang Nias umumnya lebih percaya pada kerabat sendiri dibandingkan pada pihak lain sehingga mereka lebih nyaman bekerja berasama keluarganya sendiri.

Bagan kekerabatan di camp Q008

Hutang: Jeratan sekaligus Keuntungan

Hutang menjadi fenomena tak terpisahkan dari kehidupan para pekerja asal Nias. Di beberapa kasus terungkap bahwa orang Nias sudah memiliki utang dari sejak awal keberangkatan dari Nias sampai tiba di lokasi kerja. Utang tersebut untuk ongkos perjalanan, pembelian APD, pendaftaran jamsostek dan sebagainya yang ditalangi terlebih dahulu oleh KR atau CV dan dibayar dengan memotong langsung upah pekerja.

Karena saat mulai bekerja tidak memiliki uang tunai maka kebutuhan hidup sehari hari seperti sembako, rokok dan lain sebagainya diperoleh dengan cara menghutang terlebih dahulu ke KR yang dibayar kemudian pada saat kirahan. Dengan demikian hutang para pekerja semakin bertambah. Salah seorang KR yang berasal dari Sunda mengatakan dalam 2 – 3 bulan pertama pekerja belum mendapat keuntungan karena habis digunakan untuk membayar keperluan awal pada KR. Namun berbeda dengan pekerja asal sunda yang sanggup melunasi utang di bulan ketiga dan selanjutnya memiliki surplus, pekerja Nias khususnya yang membawa keluarga tidak dapat melunasi utang karena ada kebutuhan lain seperti meminjam uang untuk dikirim ke kampung, biaya perkawinan dan keperluan konsumtif lain seperti membeli pulsa dan sebagainya. Sebenarnya pada pekerja asal Nias juga tidak berbeda dengan pekerja asal Sunda, mereka sudah bisa melunasi hutang awal untuk keberangkatan dan APD pada bulan ke 3 setelah bekerja, namun karena adanya perilaku konsumtif dan lain sebagainya itulah yang menyebabkan mereka tetap berhutang pada KR.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 15: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

13

Hutang adalah salah satu alat yang digunakan oleh KR untuk mengikat pekerja. KR akan senang bila para pekerjanya memiliki hutang banyak karena semakin banyak hutang semakin mudah diikat. Sebaliknya bagi para pekerja berhutang juga merupakan salah satu cara bertahan hidup dan mengambil manfaat dari adanya kebebasan berhutang dari KR misalnya untuk memperoleh biaya perkawinan dan sebagainya. Pekerja Nias berpikir bahwa dengan mereka bekerja disana bisa menggelar pesta pernikahan yang kurang lebih sama dengan biaya meminjam kepada ketua rombong dengan jaminannya keberadaan mereka ditempat untuk terus bekerja. Hal ini sulit untuk mereka dapatkan di Nias.

Beberapa pekerja Nias sendiri menganggap mengambil barang terlebih dahulu pada KR bukan lah berhutang. Mereka mengistilahkannya dengan kata “pendapatan yang dimakan terlebih dahulu”. Terkesan hutang bagi pekerja Nias sudah seharusnya terjadi karena system pembayaran yang diterapkan memaksa pekerja mengambil barang kebutuhan terlebih dahulu pada KR dan baru akan dilunasi pada saat gajian atau kirahan.

Berikut adalah berbagai macam utang ada pada pekerja Nias: a. Utang individu pada awal keberangkatan

Jenis Utang Rp. (±) K e t e r a n g a n

Ongkos 500.000 Angka untuk keluarga pekerja bisa dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga yang dibawa. Jika tidak membawa keluarga maka biasanva pekerja meminjam sejumlah uang lagi kepada KR untuk sangu keluarga yang ditinggalkan di Nias

Makan, Minum, Rokok 100.000

Total 600.000

b. Utang individu saat tiba dilokasi kerja Jenis Utang Rp. (±) K e t e r a n g a n

Alat safety : Sepatu boat Sarung tangan

75.000 5.000

Terdapat perbedaan informasi mengenai kelengkapan peralatan safety dan alat kerja dimana terdapat keterangan bahwa hal tersebut semestinya disediakan secara gratis oleh perusahaan/kontarktor atau diperlakukan sebagai inventaris yang dipinjamkan kepada para pekerja. Faktanya beberapa informan mengatakan bahwa peralatan tersebut mesti dibeli oleh pekerja.

Alat kerja : Tugal Ember pupuk

50.000 5.000

Jamsostek

Total 135.000

c. Utang individu selama menjalani pekerjaannya

Jenis Utang Rp. (±) K e t e r a n g a n

Sembako/bulan 400.000 Rincian biaya rutin dan itemnya relatif dan setiap individu paling tidak mengambil belanja berupa beras,ikan asin, gula,kopi,teh, bumbu (mecin, garam), sesekali mie instan dan minuman sachet energi kuku bima, lalu rokok/tembako untuk pekerja laki-laki

Lain-lain 200.000

Total 500.000

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 16: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

14

d. Utang Biaya Pendirian Camp Beban utang lainnya adalah biaya pendirian camp untuk kelompok tinggal. Setiap

individu akan dibebani utang pribadi atas keseluruhan biaya pendirian camp setelah dibagi sesuai jumlah anggota pekerja yang tinggal. Untuk camp ukuran minimal seluas 10 x 12 meter maka harga yang harus ditanggung oleh anggota rombong, misalnya 10 (plus keluarga) anggota adalah sebagai berikut :

Material Jumlah/Volume Harga (±) K e t e r a n g a n

Terpal 10 x 12 meter 1 buah Rp. 800.000 Besaran total harga berbanding lurus dengan luasan camp (tergantung jumlah anggota) semakin luas sebuah camp maka semakin besar biaya yang muncul

Paku berbagai ukuran 10 kilogram Rp. 250.000

Martil/Palu 2 buah Rp. 75. 000

Papan dan Tiang 2,5 kubik Rp. 5.000.000

Gergaji 2 buah Rp. 150.000

Total Rp. 6.275.000

Dengan membagi kedalam jumlah anggota sebanyak 10 anggota pekerja misalnya (bisa lebih) maka utang setiap pekerja untuk beban pendirian moving camp adalah sebagai berikut : Rp. 6.275.000 : 10 = Rp. 627.500,- e. Utang Lain lain

Beberapa informan mengatakan bahwa utang akibat jujuran tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Satu sisi memang memberatkan tetapi di sisi lain menguntungkan. Uang jujuran yang amat besar tersebut bila dicari tanpa utang tentunya sulit didapatkan dan bila harus mengutang pun akan sulit diperoleh di Nias. Di tempat kerja, uang tersebut bisa diperoleh dengan meminjam pada KR.

Dari hasil survei, terlihat bahwa 72.3% dari 94 responden berhutang. Sejalan dengan pengamatan kualitatif, sebanyak 80% responden berhutang pada KR atau kontraktor, 2.9% pada mandor, 5.7% pada saudara dan 1.4% pada kawan. Menarik bahwa hutang tersebut, sebagian besar diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sebanyak 70.5%. Hal ini mengindikasikan posisi keuangan yang kritis pada sebagian besar pekerja. Persentase hutang berikut adalah untuk mengirim saudara di kampung, sebanyak 14.9%, biaya hajat 9%, membeli barang 4.5%. Urusan domestik, yaitu untuk mengirim uang ke saudara dan biaya upacara menempati porsi kedua. Angka hutang untuk kebutuhan sekunder nampaknya sangat rendah. 2.2.4. Alasan Bertahan Pada Pekerja asal Nias Salah satu sumber mengatakan kehidupan para pekerja Nias saat ini sangat memprihatinkan bila dilihat dari kondisi tempat tinggal dan pendapatan yang mereka terima. Kehidupan para pekerja mengalami penurunan drastic dibandingkan saat mereka masih tinggal di kampong. Banyak pekerja yang ingin keluar dari kehidupan sekarang ini. Pekerja lajang yang sudah tidak tahan biasanya mereka keluar dengan cara kabur meninggalkan lokasi. Bagi pekerja yang membawa keluarga sulit untuk keluar karena terhalang oleh keberadaan istri dan anak mereka.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 17: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

15

Ditambahkan pekerja Nias yang saat ini masih bertahan di RAPP adalah mereka yang sudah tidak berdaya dan tidak bisa keluar karena adanya jeratan hutang. Banyak juga diantara pekerja yang tidak bisa kembali ke Nias karena sudah tidak memiliki apa apa lagi, kepemilikan mereka sudah dijual untuk biaya perjalanan, biaya hidup dan sebagainya. Apabila mereka pulang kembali ke Nias keadaan justru akan semakin sulit mengingat di Nias juga tidak banyak alternative pekerjaan. Informasi lain mengatakan sebaliknya, mereka memilih bertahan di RAPP walau upah kecil dan tidak sesuai dengan yang dijanjikan saat awal karena bila dibandingkan dengan penghasilan di kampong pendapatan mereka saat ini masih lebih baik. Beberapa informan mengatakan di kampong mereka tidak bisa mendapatkan tambahan penghasilan sama sekali selain dari hasil kebun yang pas pasan. Bahkan kondisi moving camp yang dapat dikatakan tidak layak, menurut salah seorang informan tidak menjadi masalah sama sekali. Seorang informan mengakui bahwa rumahnya di Nias pun beratapkan daun canggung dan dinding bambu, sehingga untuk tinggal di moving camp seperti ini, ia sudah merasa biasa dan tidak ada masalah. Kemudahan mendapatkan pinjaman dari KR untuk kebutuhan non konsumsi seperti untuk biaya pernikahan dan upacara adat lainnya merupakan merupakan salah satu alasan untuk tetap bertahan di RAPP. disebutkan sebelumnya bahwa mahar atau “jujuran” perkawinan pada masyarakat Nias sangat besar bisa mencapai 20 – 40 juta rupiah. Sangat sulit untuk mendapatkan pinjaman uang sebesar jumlah tersebut di Nias karena umumnya masyarakat Nias juga berpenghasilan rendah. Dengan bekerja di RAPP uang tersebut dapat diperoleh oleh pekerja dengan meminjam pada KR dengan jaminan dirinya tetap bekerja pada KR tersebut sampai utang dapat dilunasi. Pekerja Nias dapat bertahan bekerja di RAPP karena kehidupan mereka di Nias tidak jauh berbeda dengan kehidupan di area perkebunan baik dari segi ekonomi maupun sosial. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa mereka juga memindahkan setting Nias ke tempat mereka bekerja. Seluruh daur kehidupan mereka lakukan di tempat kerja bahkan pembagian kerja dalam satu rombongan mereka atur berdasarkan system pembagian kerja berdasar kekerabatan yang biasa mereka lakukan di tempat asal. 2.3. Kondisi Pekerja Nias 2.3.1. Tempat Tinggal Para pekerja dibagian penanaman tinggal di moving camp berupa tenda biru yang setiap saat dapat dipindah mengikuti perpindahan lokasi kerja. Biaya pembuatan camp atau tenda ada yang ditanggung sendiri oleh KR tetapi ada juga KR membebankannya pada pekerja. artinya biaya pembuatan camp ditanggung bersama sama oleh seluruh penghuni camp. Untuk sampai ke moving camp dari jalan utama yang bisa dilalui mobil harus disambung dengan perahu. RAPP sendiri tidak membolehkan moving camp terlihat dari jalan utama untuk menghidari kesan negative bila ada kunjungan tim audit dari pihak pihak terkait. Penempatan tenda diatur oleh ketua rombongan dan pengawas dari RAPP di lokasi yang dianggap strategis untuk menjangkau

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 18: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

16

seluruh areal kerja yang didapat oleh rombongan tersebut. Bila lokasi kerja masih dekat dengan camp maka cukup dijangkau dengan berjalan kaki tetapi apabila sudah jauh dijangkau dengan menggunakan perahu milik rombongan tersebut. RAPP sendiri tidak menyediakan sarana angkutan bagi pekerja dari camp ke areal kerja.

Terdapat perbedaan antara camp pekerja asal Nias dengan camp pekerja non Nias. Camp pekerja non Nias umumnya dibiarkan terbuka tanpa sekat karena yang tingal di camp hanyalah laki laki. Sedangkan camp pekerja Nias dibagi dalam sekat bilik – bilik berdasarkan jumlah keluarga yang ada dan untuk pekerja lajang disediakan bilik tersendiri yang ditempati oleh 5 – 6 orang pekerja lajang. Untuk keperluan makan, pekerja non Nias biasanya masak bersama dengan cara berpatungan sehingga pengeluaran bisa lebih ditekan, sedangkan pekerja Nias masak sendiri sendiri sesuai kebutuhan keluarga. Kegiatan memasak pada pekerja Nias ini khusus untuk kebutuhan keluarga inti seperti diungkapkan oleh seorang KR, “kalau masak itu untuk keluarga sendiri karena kebutuhannya beda beda..tidak bisa dicampur campur..kalau dicampur campur bagaimana repot itu”. Oleh karena itu dalam camp pekerja non Nias hanya terdapat satu dapur sedangkan pada camp pekerja Nias terdapat banyak dapur untuk memasak. Tidak jarang berpindahnya alat masak ke dapur lain atau digunakannya bumbu masak oleh keluarga lain menimbulkan perselisihan diantara sesama penghuni camp, walaupun sebenarnya sesama penghuni camp masih memiliki hubungan kerabat satu dengan lainnya. Dari para pekerja sendiri tidak diperoleh informasi yang jelas mengapa hal sepele tersebut sampai menimbulkan perselisihan. Dikalangan RAPP sendiri pekerja asal Nias dikenal memiliki jiwa social sangat rendah dan tempramental. Seorang tokoh Nias mengatakan mereka menjadi temperamental karena mereka merupakan masyarakat yang frustrasi akibat tingginya himpitan ekonomi yang dialami, mereka menjadi mudah tersinggung bahkan menjadi apatis. Sebagai contoh diungkapkan oleh seorang staf bila ada kematian yang mengantar ke pemakaman hanya beberapa orang saja yaitu kerabat yang tergolong dekat, sedangkan yang lainnya kadang hanya menonton saja.

Bilik dalam camp umumnya berukuran 2 x 2.5 meter. Bilik merupakan ruang pribadi bagi penghuninya sebagai tempat tidur, tempat istirahat, tempat melakukan aktivitas pribadi, menyimpan barang milik pribadi dan harta penghuninya. Satu bilik umumnya diisi oleh suami – istri dan anak anak mereka yang masih kecil dengan jumlah 1 sampai 2 orang. Anak yang sudah besar bergabung di bilik lajang. Berikut adalah tabel jumlah penghuni bilik yang terekam dari 93 responden.

Jumlah Penghuni Frekuensi Persentase

1 orang 7 7,5

2 orang 15 16,1

3 orang 27 29,0

4 orang 18 19,4

5 orang 13 14,0

> 5 orang 13 14,0

Total 93 100,0

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 19: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

17

Selain bilik terdapat beranda bersama yang bisa digunakan untuk bersantai dan ngobrol

ngobrol antara penghuni camp. Bagi camp yang memiliki genset di beranda ini biasanya ditempatkan televise sebagai sarana hiburan. Acara yang di putar berasal dari CD player karena televise tidak dilengkapi antenna parabola sehingga tidak bisa menangkap siaran. Tetapi hanya sebagian kecil saja camp yang memiliki genset dan menyediakan televise, sebagian besarnya camp tidak menggunakan alat penerangan sama sekali. Untuk hiburan beberapa camp membuat lapangan volley. Sering juga mereka bermain volley bersama dengan penghuni camp lain yang berjarak sekitar 2 – 3 km dari camp mereka.

Untuk keperluan buang hajat dibuat WC yang terpisah dari camp dan untuk keperluan mandi dan cuci penghuni camp memanfaatkan kanal sekitar camp. Kebutuhan air bersih untuk konsumsi disediakan oleh perusahaan dengan jatah 10 liter per hari untuk setiap pekerja. Air bersih ini dikirim setiap hari menggunakan perahu milik perusahaan.

Camp para pekerja ini didirikan diatas lahan gambut terbuka. Pada cuaca panas, keadaan sekitar camp akan terasa sangat panas karena sama sekali tidak ada pohon peneduh. Sebaliknya bila datang hujan, air hujan tampias masuk kedalam beranda bahkan masuk ke bilik bilik pekerja. Tidak jarang terpal camp tersingkap bila hujan disertai angin kencang. Bila datang hujan tanah menjadi becek, permukaan tanah naik dan membuat rongga dibawahnya yang seringkali membuat penghuni camp terperosok kedalam tanah. Untuk menghidari hal tersebut penghuni kamp menempatkan papan atau potongan kayu sebagai tempat pijakan. Kasus terperosoknya penghuni camp kedalam tanah sering dialami baik oleh orang dewasa maupun anak anak.

Selain moving camp di estate Pelalawan juga terdapat barak permanen untuk pekerja namun jumlahnya terbatas, antara lain ada di TPK 5, Nursery, TPK 17 dan satu buah dekat perumahan karyawan. Menurut seorang staf terbatasnya barak untuk pekerja karena estate Pelalawan berupa rawa gambut yang sebagian besar kawasan tidak bisa dijangkau oleh kendaraan darat. Sangat tidak efektif dan efisien menempatkan pekerja di barak permanen karena harus menyediakan transport darat dan transport air. Membuat barak permanen bagi pekerja hanya mungkin dilakukan di tanah darat atau mineral soil yang semua areal kerja bisa dijangkau dengan kendaraan darat.

Dibanding moving camp, barak permanen jauh lebih baik. Barak terbuat dari papan baik dinding maupun lantai. Memiliki kamar dan dapur serta terdapat jendela dan vemtilasi untuk sirkulasi udara. Di bagian depan terdapat teras untuk bersantai dan halaman untuk bermain anak anak. Penghuni barak permanen ini sebagian besar adalah pekerja nursery yang lokasi kerjanya permanen.

Berbeda dengan barak pernanen yang mudah diakses dengan jalan darat, akses untuk sampai ke moving camp cukup sulit karena harus menggunakan perahu melalui kanal kanal. Tidak adanya layanan transportasi perusahaan untuk pekerja membuat pekerja yang ada di moving camp menjadi terisolasi dari lingkungan luar. Tidak mudah bagi pekerja untuk meninggalkan camp, kalau pun ada perahu milik KR pengguna harus membayar. Satu satunya sarana untuk berhubungan dengan lingkungan luar adalah telepon seluler yang mendapat sinyal pada titik titik tertentu saja.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 20: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

18

Informan mengatakan bahwa orang yang tahan bekerja di tempat seperti ini umumnya adalah mereka yang berlatar belakang petani atau pernah merantau sebelumnya dan bekerja di tempat yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini seperti mereka yang pernah bekerja di kebun sawit, tambang atau buruh bangunan, diluar itu sulit orang bisa bertahan di tempat kerja seperti ini. Banyak orang yang pada awalnya bersedia ikut bekerja tetapi setelah beberapa hari bekerja merasa tidak betah dan tidak tahan dengan kondisi yang dihadapi akhirnya meminta berhenti. Kontraktor juga tidak bisa menahan mereka untuk tetap bekerja dan terpaksa memulangkan pekerja tersebut. Disinilah menurut informan, kontraktor sering merugi karena untuk merekrut orang kontraktor harus mengeluarkan biaya untuk agen pencari kerja baik itu untuk ongkos maupun konsumsi bahkan sering juga kontraktor harus menanggung ongkos tenaga kerja dari kampong asal ke lokasi bekerja.

Menurut informan pekerja yang merasa tidak kuat biasanya pamit minta pulang pada KR dan diijinkan oleh KR. Informan membantah pekerja tersebut keluar dengan cara kabur sembunyi sembunyi. Namun salah seorang KR mengisyaratkan adanya kemungkinan pekerja tersebut kabur karena tidak tahan dan meninggalkan hutang yang membuat KR merugi. Ini juga merupakan salah satu alasan orang yang diajak bekerja adalah orang berasal dari satu daerah karena apabila kabur akan mudah menemukannya kembali.

Gambaran Barak TPK 5 Berdasarkan pengamatan barak TPK 5 ini terlihat sangat baik kondisinya walaupun tidak sebaik barak yang ada di nursery. Mungkin ini karena barak TPK 5 usianya lebih tua dibandingkan dengan barak Nursery. Menurut keterangan barak nursery lebih baik karena baru dibangun bertepatan dengan mulai dijalankannya program inang asuh pada tahun 2007, sedangkan barak TPK 5 sudah ada jauh sebelumnya. Tetapi apabila dibandingkan dengan moving camp yang selama ini sudah saya kunjungi maka kondisinya jauh lebih baik. Selain itu, terlihat pula banyak anak- anak yang sedang bermain. Ada yang sedang duduk di depan pintu, ada yang sedang menggendong adiknya, dan ada yang sedang bermain voli dengan bola sepak plastik. Barak ini merupakan barak yang menjadi salah satu tempat penitipan anak untuk bersekolah di sektor. Tetapi wajah-wajah anak yang ada disini terlihat kuyu tidak seceria anak anak yang ada di barak nursery yang terlihat riang. TPK 5 berjarak sekitar 5 km dari sector atau komplek perkantoran Pelalawan estate. Di tempat ini terdapat 2 buah barak permanen yang saling berhadapan. Ditengah kedua barak tersebut merupakan lapangan tempat bermain anak anak dan taman sederhana. Masing masing barak memiliki 5 pintu dan masing masing pintu memiliki 5 buah kamar atau bilik. Disetiap pintu terdapat WC yang digunakan secara bersama oleh penghuni yang berada dalam satu deret pintu. Bilik atau kamar berukuran 3 x 4 dan memiliki jendela. Satu bilik biasany dihuni oleh satu keluarga atau satu kelompok pekerja lajang. Dalam bilik terdapat tempat tidur tingkat yang difungsikan sebagai lemari untuk menyimpan pakaian dan berbagai barang lainnya, sedangkan untuk tidur biasanya dilantai papan dengan alas tikar atau kasur sederhana. Berdasarkan pengamatan lapangan kondisi setiap bilik tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Terdapat sekitar 40 keluarga dan beberapa kelompok pekerja lajang yang tinggal di barak TPK

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 21: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

19

5 ini. Penghuni umumnya oleh pekerja asal Nias yang bekerja dibagian rounding atau erendi, pekerja spraying dan bagian water managemen. Pekerja yang tinggal di sini umumnya sebagai pegawai bulanan dari CV dan BHL. Di barak ini terdapat sekitar 30 orang anak usia sekolah baik TK dan SD yang bersekolah di TK/SD Global andalan yang berjarak sekitar 5 km dari barak. Bertemu Pak Soja Pak Soja merupakan orang kepercayaan yang bertugas menjadi pemimpin di barak TPK 5 ini dan sekaligus sebagai operator genset. Ia berasal dari Nias Selatan (Desa Sohahao). Ia sudah berumur 28 tahun, berkeluarga, dan memiliki satu orang anak perempuan yang masih berumur 2,5 tahun. Genset pada TPK tersebut hanya dimatikan oleh Pak Soja dari setengah lima pagi sampai jam setengah tujuh pagi. Pak Soja baru mulai bekerja pada TPK 5 ini tanggal 15 Februari 2010. Ia bekerja setiap hari tanpa hari libur untuk menjalankan genset tersebut. Dalam 31 hari ia akan mendapatkan upah sebesar Rp.1.402.000,00, sedangkan bila bekerja dalam 30 hari maka ia akan mendapatkan upah sebesar Rp.1.356.000,00. Upah tersebut didapatkannya dari CV Indah Perkasa. Sebelumnya, ia sudah pernah bekerja dalam ranah perkebunan sejak berumur 18 tahun di Rantau Perapat. Ia bekerja menjadi buruh rombong di perkebunan sawit milik PT Nopika sejak tahun 2000 hingga 2003. Di perkebunan sawit tersebut dalam satu bulannya ia mampu mendapatkan upah sebesar Rp800.000,00. Selain itu, ia juga mendapatkan jodoh dan menikah ketika bekerja di perkebunan tersebut. Pak Soja mengakui saat itu ia hanya menghabiskan jujuran beserta pestanya sebesar Rp3.000.000,00. Jujuran yang tidak besar tersebut memang disebabkan kejujuran Pak Soja terhadap kondisi keuangannya kepada Bapak mertuanya. Oleh karena itu, bapak mertuanya mengizinkan walau dengan bayaran yang sedikit. Pada tahun 2003, akhirnya ia pindah untuk bekerja di RAPP. Kepindahannya tersebut disebabkan ia mendengar bahwa bekerja di RAPP upahnya lebih besar. Pertama kali bekerja di RAPP, Pak Soja diajak menjadi salah satu anggota Pak Sukirman dibawah CV Daya Duip. Namun, selama satu tahun ia merasa ‘disakiti’ karena diberikan harga sembako yang tidak sesuai dengan harga di Kerinci dan diberikan beban hutang sampai Rp.3.000.000,00. Karena sangat kesal dengan Pak Sukirman, ia lalu keluar. Namun, karena didukung oleh seluruh anggota Pak Sukirman, maka ia menjadi KR dan menarik beberapa anggota Pak Sukirman. Ia mengatakan bahwa menjadi KR sangatlah beruntung karena upah dan bonus yang sangat besar dibanding anggotanya. Selama satu bulan ia mampu mendapatkan upah sebesar Rp.5.000.000,00. Lalu, tanpa bekerja pun ia mampu mendapatkan Rp.500.000,00 per bulannya karena bonus untuk KR per hektarnya. Selama Pak Soja menjadi KR masalah yang sering dihadapi adalah tuntutan anggota yang marah kepadanya ketika tidak ada bibit untuk bekerja. Selain itu, juga permasalahan anggotanya yang ingin pindah pada KR lainnya karena beda pendapat dengan dirinya. Setelah tiga tahun lamanya, akhirnya Pak Soja berhenti menjadi KR karena seluruh anggotanya pulang kampung. Pak soja pun ikut pulang kampong bersama rombongannya. Permasalahan lain bagi para pekerja Nias di RAPP baginya adalah permasalahan “makan-

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 22: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

20

memakan”. Ia mengatakan, “Bayangkan, Mas, satu hektar dulu diberikan RAPP untuk CV sebesar Rp300.000,00, sampai ke KR jadi Rp220.000,00, terus baru ke anggota jadinya Rp190.000,00. Lalu belum lagi bahan pokok, misalnya beras di Kerinci sebesar Rp130.000,00. Sampai sini bisa jadi Rp150.000,00, Mas. Nah, itu baru makanan belum lagi hutang tenda yang saya beli. Memang saya dapat uang dari mana selain minta sama anggota juga kan?” Di kampungnya ternyata pekerjaan sawah dan karet tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga Pak Soja. Oleh karena itu ia kembali bekerja di perkebunan sawit PT Indah Kiat. Proses “makan-memakan” pun terjadi pada perkebunan tersebut sehingga pada tahun 2010, ia diajak oleh temannya Pak Hasibuan untuk kembali bekerja di RAPP sebagai operator genset. Ia mengakui bahwa dirinya sangat trauma untuk bekerja pada bagian perkebunan. Oleh karena itu, ketika diajak untuk menjadi operator genset, ia langsung menerimanya dengan senang hati walau pendapatan (gaji) tidak sebesar saat menjadi KR dulu. Kondisi bagian dalam barak Barak TPK 5 ini ternyata tidak sekokoh penampilan yang diperlihatkannya. Banyak permasalahan infrastruktur yang tidak memadai dan rusak. Pak Soja mengatakan bahwa semenjak ia pertama kali bekerja sampai saat ini, dari sepuluh toilet yang ada, hanya tiga yang masih bisa digunakan. Permasalahan ini sudah diadukan kepada perusahaan tetapi sampai saat ini juga masih belum ada tindakan dan perbaikan. Kerusakan toilet tersebut adalah pipa air di bawah semen yang sudah pecah sehingga tidak dapat digunakan untuk buang air besar ataupun tempat saluran air untuk memenuhi bak mandi. Oleh karena itu, untuk buang air besar mereka harus pergi ke belakang barak. Selain itu, akhirnya bak mandi ditutup dengan papan yang di atasnya ditaruh ember sebagai tempat menampung air mandi. Begitu pula dengan closet-nya, akhirnya jalannya ditutup dengan drum untuk menampung air bersih. Saya membedakan adanya air mandi dan air bersih karena pada kenyataannya 4000 liter air bersih yang disuplai untuk TPK 5 ini, tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan anggota. Air bersih digunakan hanya untuk memasak, minum, dan mandi anak kecil. Untuk yang sudah dewasa, pada akhirnya mereka mandi menggunakan air kanal yang mengelilingi TPK tersebut. Berbeda halnya untuk mencuci baju. Untuk mencuci baju, mereka menggunakan air kanal dan sisanya dibilas dengan air hujan. Penggunaan air hujan disebabkan bila menggunakan air kanal saja maka baju mereka akan berwarna kemerahan. Di belakang barak, para anggota menanam pohon pisang, pepaya, dan cabai. Ketika saya tanyakan kepada Pak Soja, ia hanya mengatakan “Oh itu biar rapi saja, Mas. Kalau tidak ditanami kan banyak rumput liar, sekalian buat tambah-tambah makanan.” Selain itu, terdapat bagian barak yang sudah rusak karena lahan gambut yang tidak kuat menahan beban. Sudah berulang kali Pak Soja melapor ke perusahaan (kantor estate) tetapi sampai saat ini masih belum ada tanggapan dan perbaikan. Kamar Pak Soja Pak Soja tidur dengan istri dan anaknya. Walau sudah diberikan tempat tidur tetapi mereka tetap tidur di bawah dengan alas kasur semi tikar. Baju serta beberapa selimut tampak

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 23: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

21

digantungkan di atas alas tidur mereka. Tempat tidur mereka dijadikan tempat menyimpan barang-barang. Ketika saya tanyakan permasalahan tersebut, Pak Soja mengatakan “Tidak ada lemari, Mas, ya begini. Semuanya juga begini kok mas di TPK 5 ini.” Namun, yang paling menarik adalah tulisan alfabet, huruf vokal, dan angka dari 1-10. Tulisan tersebut dibuat oleh Pak Soja, untuk belajar anaknya yang masih berumur 2,5 tahun. Selain mengenai permasalahan infrastruktur, Pak Soja mengeluhkan mengenai permasalahan bila ada anggota yang sakit. Pak Soja mengatakan bila salah satu anggotanya sakit dan masih dapat disembuhkan di rumah sakit sektor maka akan gratis. Namun, bila anggotanya sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit Kerinci atau Pekan Baru maka anggota tersebut harus membayar setengah-setengah dengan CV-nya untuk biaya rumah sakit (berlaku juga untuk anak-anak). Inang Asuh Inang asuh merupakan program penitipan anak kepada para pengasuh anak. Anak-anak para pekerja dititipkan kepada inang asuh agar para orang tua dapat tetap bekerja di lapangan. Namun, saat ini program tersebut sudah diberhentikan sejak tahun 2009. Menurut Pak Soja, program tersebut diberhentikan karena para inang asuh mengalami pertengkaran hebat. Pertengkaran tersebut disebabkan oleh perbedaan upah mereka setiap bulannya yang tidak sesuai satu dengan yang lainnya. Selisih upah mereka berbeda-beda karena mereka diupah lewat para asisten CV yang akhirnya memainkan upah para inang asuh. Sebagai contoh, dari CV diberikan Rp1.200.000,00 per bulannya, tetapi sampai di tangan para inang asuh hanya menjadi Rp800.000,00. Pak Soja mendengar cerita tersebut dari salah satu inang asuh bernama Ina yang masih tinggal di camp tersebut. Di lain pihak, Pak Soja mengharapkan program inang asuh ini berjalan kembali. Alasannya karena saat ini bila anak-anak mereka sudah pulang sekolah maka mereka tidak ada yang menjaga karena ditinggal ibunya bekerja. Pak Soja bercerita bahwa sempat tahun 2010 ada seorang anak berumur tiga tahun meninggal karena tercebur di parit dan tidak bisa berenang. Anak tersebut baru ketahuan meninggal saat sore hari ketika ibunya pulang bekerja lalu mencari anaknya. Selain itu, Pak Soja juga bercerita bahwa bukan anak-anak saja yang tidak bisa berenang. Ia mengatakan bahwa kebanyakan pekerja Nias di sini tidak bisa berenang termasuk dirinya. Dahulu di TPK 4, Pak Soja mengatakan bahwa sering sekali para pekerja meninggal di kanal karena tidak bisa berenang. Aktivitas anak anak di barak Aktivitas anak-anak menurut pak Soja sudah mulai dari jam 5 pagi. Biasanya mereka semua bangun jam 5 pagi untuk mandi, sarapan dan belajar. Lalu bila sudah jam 7 maka mereka mulai siap-siap untuk dijemput bus sekolah. Kelas di sekolah sektor mulai pukul setengah 8 dan selesai pukul setengah 12. Setelah itu, anak-anak akan diantarkan lagi menuju camp. Selama jam 12 sampai jam 7 malam maka mereka dibebaskan untuk bermain. Biasanya mereka bermain voli, bermain suling, menonton TV, petak umpet, dan kejar-kejaran. Ketika jam 8 malam, mereka diharuskan mandi dan belajar sampai pukul 9. Setelah itu, sekitar jam 10 semua anak-anak di camp tersebut harus tidur.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 24: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

22

Permasalahan sekolah, biasanya terjadi pada mobil jemputan. Pak Soja bercerita, bulan lalu ia ditegur oleh para orang tua di camp ini karena supir mobil jemputan yang kurang ajar. Ketika anak sekolah baru menaiki mobil dan pintu belum ditutup, tiba-tiba mobil sudah jalan. Lalu ketika anak sekolah sedang siap-siap dan baru sebagian yang sudah menaiki mobil, tiba-tiba sisanya ditinggal dan mobil sudah pergi. Namun, saat ini permasalahan tersebut sudah tidak terlalu parah seperti dulu, walaupun sekarang kadang-kadang masih terjadi. Selain itu Pak Soja juga menceritakan mengenai pemberian nutrisi. Di barak TPK 5 ini, pemberian nutrisi hanya diberikan kepada para pekerja saja, sedangkan anak-anak tidak sama sekali. Nutrisi tersebut diberikan dua minggu sekali berupa Biskuat serta susu. Lain camp lain barak Idiom itu saya tujukan untuk para pekerja yang tinggal di camp dan yang tinggal di barak TPK 5 ini. Ada perbedaan yang sangat signifikan disini. Hidup di barak lebih bersih serta dekat dengan sarana pendidikan, lain halnya dengan mereka yang tinggal di camp.tinggal di barak ibarat hidup sudah menetap dan bukan pekerja borongan seperti di camp melainkan pekerja harian lepas yang mendapatkan hasil bukan karena berapa hektare yang sudah dikerjakan tetapi berapa hari yang telah digunakan untuk bekerja. Cara pandang orang yang tinggal di barak mengenai pendidikan juga sangat berbeda, contohmya Ina Soni. Dia juga berasal dari Nias bagian barat desa Gomo, alasan dia menyekolahkan anaknya lantaran jangan diikuti orang tuanya. Dia memiliki 5 orang anak, oktober yang duduk dikelas 3 SD, Kristina 1 SD, Mesra 4 tahun, Rustina 1,5 tahun dan bayi berumur 1 minggu yang belum bernama. Dua anak Ina Soni bersekolah di Global Andalan di area PEN, setiap harinya di TPK 5 ini ada 1 bus yang menjemput anaknya. Sekolah disini tidak bayar hanya pendaftaran Rp. 25.000 per anak dan iuran Rp. 5000 peranak perbulan. Pengeluaran yang besar adalah untuk membeli perlengkapan sekolah yakni 2 pasang seragam merah putih dan 1 pasang seragam pramuka, sepatu, tas, buku, kaos kaki dan alat tuli untuk maing-maing anak. Dalam 1 pintu di barak ini terdapat 4 kamar. Di kamar Ina Soni ini ada 1 kamar yang diperuntukan bagi 3 orang anak yang dititipkan Ama Duma ke Ina Angel. Ketiga anak ini adalah Sinihati, Ferdi, dan Leni semuanya bersekolah di Global Andalan. Ina Angel sendiri adalah adik Ina Duma yang tidak lain adalah bibi ketiga anak ini.

2.3.2. Kesehatan dan gizi

Pola makan para pekerja di moving camp berkisar antara 2 sampai 3 kali sehari dengan menu utama nasi dan ikan asin. Untuk mendapatkan protein tambahan sesekali pekerja memancing ikan atau berburu hewan liar seperti pelanduk, landak, biawak atau hewan liar lainnya. Ayam hamper tidak bisa didapat di camp dan telor kalau pun tersedia di KR harganya mahal. Sebagai perbandingan harga 1 butir telur ayam di Pangkalan Kerinci adalah Rp. 1000,- sedangkan di camp pekerja dijual seharga Rp. 1500,-. Sayuran yang sering dikonsumsi adalah kangkung yang tumbuh liar di kanal. Dapat dikatakan asupan gizi para pekerja di moving camp sangat rendah. Untuk menambah asupan gizi pekerja RAPP secara berkala memberikan tambahan nutrisi berupa biscuit dan lainnya yang oleh pekerja disebut pudding (fooding).

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 25: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

23

Menurut para pekerja tambahan nutrisi berupa biskuit diberikan 2 (dua) minggu sekali berdasarkan jumlah pekerja yang tercatat di RAPP dan bukan untuk kebutuhan keluarga. Biscuit tersebut biasanya dibawakan oleh mandor ke camp pada hari sabtu. Informasi lain mengatakan tambahan nutrisi tersebut baru diberikan apabila di order atau ditanyakan oleh KR kepada mandor apabila tidak ditanyakan sering tidak dikirim.

Anak-anak yang tinggal di camp juga mengalami kondisi yang memprihatinkan dalam hal gizi. Makanan yang mereka konsumsi sama seperti makanan orang dewasa, mereka tidak minum susu karena untuk membeli susu membutuhkan biaya yang besar. Gizi yang didapatkan anak-anak yang tinggal di camp ini sama berasal dari nasi yang juga dimakan oleh orang dewasa. Anak-anak dibawah umur 1 tahun, nasi yang dimakan dihancurkan dengan menggunakan air panas dan disaring dengan alat saringan. Hasil penyaringan nasi yang disiram air panas ini yang dijadikan makanan utama anak-anak. Sering makanan mereka hanya berupa nasi, jarang sekali anak-anak ini mengkonsumsi sayur dan buah-buahan karena memang untuk mendapatkannya sulit selain harus mengeluarkan biaya tambahan.

Karena lokasi yang terisolasi para pekerja sulit mendapatkan pelayan kesehatan yang memadai dari sarana kesehatan yang disediakan oleh perusahaan. Anak balita tidak pernah mendapatkan imunisasi bahkan persalinan pun sering dilakukan di camp dengan pertolongan kerabat atau dukun bayi. Luka akibat kecelakaan kerja atau luka kecelakaan akibat bermain pada anak anak lebih banyak ditangani sendiri dibandingkan dengan dibawa ke klinik. Salah satu hambatannya adalah tidak tersedianya sarana transportasi. Untuk mengatasi sakit ringan pekerja mengkonsumsi obat bebas yang disediakan oleh KR seperti Panadol, Neonapasin, paramex, dan bodrex.

Menurut salah seorang staf, perusahaan sebenarnya sudah berusaha memberikan pelayanan kesehatan yang memadai pada pekerja dan keluarganya. Hambatan utama yang dihadapi adalah kondisi lapangan yang sulit. Apabila terjadi kasus kecelakan dan ada laporan maka tim medis akan segera dikirim. Dalam kasus sering terjadinya persalinan di camp karena pekerja tidak mematuhi aturan yang diterapkan. Aturan perusahaan perumpuan yang mengandung harus sudah dievakuasi dari camp antara 1 - 2 bulan sebelum persalinan. dan ditempatkan di barak permanen ( TPK 5, TPK 5.5, TPK 17 dan satelit) agar memudahkan penanganan apabila terjadi persalinan. Menurut salah seorang satf apabila mereka juga menginginkan persalinan di rumah sakit maka perusahaan akan mengantarnya ke rumah sakit. Namun aturan ini seringkali tidak ditaati oleh pekerja dengan berbagai alasan seperti kebiasaan di kampong mereka baru akan membawa ibu yang akan melahirkan apabila keadaan sudah mendesak, tidak dimilikinya biaya untuk melakukan persalinan di rumah sakit dan sebagainya. Seorang staf RAPP mengatakan mereka berlaku demikian karena di camp juga biasanya ada orang yang bisa membantu melakukan persalinan, mereka baru akan menghubungi medis apabila ada masalah dalam persalinan, ditambahkan ini juga terkait dengan kebiasaan kebiasaan yang mereka bawa dari kampong asal. Bahkan dikatakan tim medis sering menangani persalinan di perjalanan seperti diatas perahu atau mobil. Pelayanan kesehatan bagi pekerja dan keluarganya tersedia di klinik yang terletak di ‘satelit’ dan ‘sektor’ yang berjarak di rentang 15 km s.d. 40 km dari camp tempat tinggal pekerja. Untuk berobat pada klinik tersebut pekerja tidak dipungut biaya, kecuali bila pasien harus dirujuk ke rumah sakit di tempat lain (pangkalan kerinci) maka pembiayaan ditanggung

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 26: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

24

50 % oleh perusahaan dan sisanya dibebankan kepada pasien. Jenis penyakit yang paling sering diderita oleh pekerja Nias dan keluarganya antara lain malaria, ISPA, gatal pada kulit, sakit kepala, batuk, flu, pilek. Pada musim kemarau malaria dan batuk-batuk sering terjadi. Kondisi camp yang tidak sehat dan bilik saling berdempetan turut membantu penyebaran penyakit ke semua penghuni di camp. Rendahnya tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan juga terhambat oleh persepsi pekerja Nias mengenai pengobatan dan sakit. Bagi mereka berobat ke fasilitas kesehatan seperti klinik atau pun rumah sakit identik dengan keharusan untuk disuntik (injeksi). Bila tidak disuntik bagi mereka sama saja dengan tidak berobat dan tidak ada bedanya dengan membeli obat bebas yang dijual KR.

Berikut adalah bahan makanan yang tersedia di camp

No Nama barang No Nama barang

1 Beras 9 Ayam *

2 Ikan asin 10 Telor

3 Indomie 11 Cabe

4 Minyak goring 12 Bubur Sun

5 Susu kental M 13 Kol

6 Gula 14 Permen

7 Garam 15 Ajinomoto

8 Bawang 16 Jajanan ringan anak anak ( berbahan MSG)

*: sangat jarang, hanya ada sewaktu waktu

2.3.3. Dinamika Kelompok Kerja

Dari karyawan menjadi pekerja Sampai sekitar tahun 2002 semua tenaga kerja mulai dari staf, karyawan sampai buruh terdaftar sebagai pekerja RAPP. Semua urusan mengenai ketenaga kerjaan mulai dari rekruitmen, mengadministrasikan pekerja ke disnaker, pendaftaran jamsostek, system penggajian sampai pemberian tunjangan hari raya, tunjangan kecelakaan kerja, pensiun dan tunjangan atau insentif lainnya ditangani langsung oleh RAPP. Dengan system ini RAPP merasa direpotkan dengan berbagai urusan mengenai ketenaga-kerjaan dan tingginya resiko yang akan muncul apabila memiliki jumlah tenaga kerja yang cukup banyak seperti munculnya demontrasi buruh, PHK dan lain sebagainya.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 58 – 66 mengenai outsourcing yang memperbolehkan perusahaan menggunakan pihak lain untuk menjalankan aktivitasnya maka kebijakan perusahaan mengenai ketenaga-kerjaan pun berubah. Semua jenis pekerjaan termasuk juga penyediaan tenaga kerja diserahkan pada kontraktor – kontraktor supplier tenaga kerja. Pekerja yang semula merupakan buruh langsung RAPP diputus

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 27: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

25

hubungannya dan diserahkan pada kontraktor. Mulai saat itu dilingkungan RAPP mulai bermunculan kontraktor kontraktor supplier tenaga kerja. Bahkan RAPP sendiri mendorong kemunculan kontraktor ini guna pemenuhan kebutuhan tenaga kerja.

Semua aspek yang berkait dengan produksi mulai dari penyediaan tenaga kerja, jamsostek, perlengkapan kerja dan alat perlindungan diri (APD) harus disediakan oleh kontraktor (CV). Untuk mendapatkan pekerjaan, kontraktor harus mengajukan “amprahan” pekerjaan terlebih dahulu pada perusahaan. Semakin banyak pekerja yang dimiliki maka akan semakin besar pula amprahan yang diperoleh kontraktor. Ini artinya mendatangkan keuntungan yang semakin besar pula bagi kontraktor. Para kontraktor melalui perpanjangan tangannya melakukan berbagai cara dan strategi untuk mendapatkan pekerja sebanyak banyaknya. Orang yang pertama kali diajak untuk bekerja adalah saudara kandung kemudian saudara ipar dan temannya sendiri. Perekrut tenaga ini selanjutnya oleh kontraktor (CV) diangkat sebagai Kepala Rombongan (KR) membawahi para pekerja yang berhasil dikumpulkannya. Sebagai imbalan KR mendapat fee dari kontraktor sebesar 10% dari hasil kerja para anggotanya.

Kadang cara yang dilakukan oleh kontraktor keluar dari aturan RAPP seperti mempersilahkan pekerja membawa anggota keluarganya termasuk anak kecil yang sebenarnya dilarang oleh RAPP. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya pekerja asal Nias yang membawa serta keluarga mereka dan dalam satu rombongan satu dengan yang lain memiliki ikatan kekerabatan. Di pihak lain RAPP sendiri tidak bisa berbuat banyak karena membutuhkan keberadaan pekerja untuk kelangsungan produksi.

Seperti disebutkan diatas untuk memperoleh pekerjaan kontraktor harus mengajukan amprahan terlebih dahulu ke perusahaan. Selanjutnya pekerjaan tersebut didistribusikan oleh kontraktor kepada KR – KR yang ada dibawahnya. Semakin banyak jumlah anggota dalam satu rombongan maka semakin besar pula jatah pekerjaan yang diberikan oleh kontraktor kepada rombongan tersebut.

Dengan system outsourcing, RAPP tidak mempunyai hubungan langsung dengan pekerja. Pekerja bukan karyawan RAPP tetapi pekerja kontraktor. Segala urusan menyangkut pekerja merupakan kewenangan kontraktor, oleh karena itu RAPP tidak bisa sepenuhnya mengontrol pekerja termasuk pembagian kerja dan besaran upah yang diterima pekerja. Pekerja seringkali menjadi sumber eksploitasi bagi kontraktor. “makan - memakan” diantara sesame pekerja asal Nias juga tinggi. Sebagai contoh menurut staf Pelalawan estate harga yang diberikan untuk menggarap 1 ha lahan dengan jarak tanam 2 x 3 meter dari perusahaan ke kontraktor sebesar Rp.550.000,-. Oleh kontraktor diberikan kepada KR sebesar Rp.400.000,- dan dari KR ke pekerja paling tinggi adalah Rp.350.000,-/ ha. Bahkan ada KR yang hanya memberikan harga sebesar Rp. 295.000,- / ha. Demikian juga dengan APD menurut staf RAPP dana untuk pembelian APD pekerja sudah diserahkan dari perusahaan ke kontraktor, tetapi kenyataannya para pekerja harus membayar APD tersebut ke kontraktor.

Dengan melakukan potongan sebesar Rp.150.000,- untuk setiap hektarnya dan menjual berbagai perlengkapan kerja kepada pekerjanya maka keuntungan yang diperoleh kontraktor sangat besar. Keuntungan kontraktor menjadi semakin besar lagi dengan menyediakan berbagai macam barang kebutuhan pokok bagi para pekerja di lapangan. Kondisi ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan kehidupan pekerjanya yang terjerat dalam utang dan

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 28: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

26

kemiskinan. Menanggapi hal ini salah seorang tokoh Nias mengatakan system outsourcing yang diberlakukan di RAPP hanya membuat “gemuk” kontraktor yang menjadikan para pekerjanya sebagai sapi perahan.

Pihak RAPP sendiri mengakui memang ada pemotongan yang dilakukan oleh kontraktor terhadap upah pekerja karena kontraktor juga ingin mendapatkan keuntungan. Namun RAPP selalu mengingatkan kontraktor bahwa upah yang diberikan tidak boleh dibawah UMK. UMK kabupaten Pelalawan tahun 2010 adalah sebesar Rp.42.100,-/hari atau sebesar Rp. 1.020.000,-/bulan. Dengan adanya potongan dan sedikitnya hari kerja sering menyebabkan pendapatan pekerja berada dibawah UMK. Kondisi pekerja semakin parah dengan tingginya harga bahan kebutuhan pokok yang dijual oleh KR. Tidak jarang pada saat kirahan jumlah ambilan barang lebih besar dari pendapatan yang menyebabkan pekerja berhutang pada KR.

Sudah semacam kode etik antara perusahaan (RAPP) dengan kontraktor, perusahaan tidak akan menanyakan besaran upah yang diberikan oleh kontraktor pada pekerja. Hal itu merupakan urusan internal kontraktor dengan pekerjanya. Tidak tertutup kemungkinan apabila pihak perusahaan / staf perusahaan banyak bertanya mengenai hak hak pekerja disalah artikan oleh kontraktor dan dianggap staf tersebut meminta fee dari kontraktor.

Kontraktor bisa sewaktu waktu menarik tenaga kerjanya apabila hubungan kerja dengan perusahaan dianggap kurang menguntungkan atau perusahaan dianggap mencampuri internal kontraktor seperti ingin apakah hak hak pekerja diberikan sepenuhnya atau tidak, ingin mengetahui besarnya gaji pekerja, insentif insentif yang diberikan pada pekerja dan lain sebagainya. Apabila kontraktor menarik tenaga kerjanya maka hal ini merupakan kerugian bagi perusahaan / estate. Perusahaan akan mengalami kelangkaan tenaga kerja dan akibatnya adalah target produksi tidak tercapai.

Diterapkan system outsourcing menyebabkan kehidupan para buruh menurun secara drastic. Mereka yang semula mendapat gaji bulanan secara tetap dengan system outsourcing pendapatan mereka menjadi tidak tetap karena pendapatan tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Hak hak buruh yang sebelumnya diterima langsung oleh buruh dari perusahaan seperti tunjangan hari raya, insentif dan bonus, setelah ditangani oleh kontraktor banyak hak hak mereka yang tidak diberikan tetapi diambil oleh kontraktor. Dengan system outsourcing para buruh juga kehilangan jenjang karier, mereka selamanya akan menjadi buruh dan tidak akan bisa mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Hal ini berarti mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh kenaikan gaji yang biasanya dipertimbangkan berdasarkan masa kerja dan prestasi kerja yang mereka capai. Hal yang sama juga terjadi pada buruh harian lepas (BHL), sebelum diterapkan outsourcing pendapatan BHL setiap harinya sangat jelas mengacu pada upah standar harian. Tetapi ketika mereka diserahkan kepada kontraktor dan bekerja secara borongan, upah yang diperoleh setiap hari menjadi tidak jelas. Pengorganisasian Kerja dan Pendapatan

Pembagian kerja dalam satu rombongan diatur oleh Ketua Rombongan (KR). Setidaknya ada 3 jenis pembagian kerja yaitu ada yang bertugas mengatur jalur tanam dengan menarik tali yang sudah ditandai dari ujung ke ujung lahan. Ada yang bertugas menugal dan menaburkan benih disekitar lubang. Ketiga adalah petugas penanam yang bertugas memasukan bibit pada

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 29: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

27

lubang yang sudah tersedia. Para pekerja biasa bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Selama bekerja para pekerja diawasi oleh seorang mandor dari perusahaan. Permasalahan teknis seperti jarak tanam, pengambilan bibit, penentuan titik untuk menarik lajur diatur dan diawasi oleh mandor agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Karena pekerjaan tidak selalu banyak, maka KR harus mengatur banyaknya jumlah anggota yang bekerja setiap harinya. Hal ini dilakukan agar ada pemerataan pendapatan dan upah yang diterima oleh anggota tidak terlalu kecil. Sebagai contoh pada rombongan yang terdiri dari 30 pekerja, bila pekerjaan tinggal 2 ha maka yang dipekerjakan oleh KR hanya 20 pekerja atau kurang. Dengan asumsi harga per ha Rp.350.000, pendapatan seorang pekerja adalah 2 x 350.000 : 20 = Rp. 35.000,-. Anggota yang diprioritaskan untuk bekerja adalah anggota yang memiliki hutang besar pada KR. Dalam kondisi pekerjaan lancar, satu kelompok kerja dengan 30 orang anggota dalam 1 hari bisa menyelesaikan penanaman sampai 5 ha. Bila dibagi rata maka pendapatan setiap pekerja adalah 5 x 350.000 : 30 = Rp. 58.300,- per hari atau sekitar Rp. 1.166.000,- per bulan dengan asumsi 20 hari kerja.

Contoh lain menunjukkan satu kelompok kerja yang berjumlah 20 orang dalam 1 hari bisa menyelesaikan pekerjaan sebanyak 3 ha. Dengan demikian penghasilan rata rata setiap pekerja adalah 3 x 350.000 : 20 = Rp. 52.500,- / hari atau sebesar Rp. Rp.1.050.000,- setiap bulannya. Kasus pada kelompok lain menunjukan pandapatan pekerja lebih kecil lagi, kelompok kerja berjumlah 8 atau 10 orang dalam 1 hari hanya mendapat pekerjaan 1 hektar lahan. Bila yang bekerja 8 orang, pendapatan pekerja kurang lebih 350.000 : 8 = Rp. 43.750,-/ hari atau Rp. 875.000,- / bulan. Bila yang bekerja 10 orang maka pendapatan pekerja sebesar Rp.700.000,- satu bulan.

Dalam satu bulan pekerja tidak bisa bekerja penuh dengan berbagai alasan seperti cuaca buruk, tidak adanya bibit, belum mendapat amprahan pekerjaan, sehingga jumlah Hari Kerja (HK) pekerja sangat sedikit dan tidak sampai diatas 20 hari. Bila tidak ada pekerjaan maka para pekerja diam menganggur dan tidak punya pendapatan sama sekali. Kondisi ini membuat pekerja merasa merugi karena biaya hidup harus dikeluarkan. Akibatnya pada saat kirahan, pendapatan lebih kecil dari pengeluaran sehingga mereka berhutang pada KR. Menurut salah seorang staf RAPP pekerja Nias seringkali sengaja tidak masuk kerja karena ada upacara perkawinan atau karena memang malas bekerja. Perusahaan sendiri memberikan rangsangan apabila seorang pekerja bisa mencapai 20 hari kerja dalam sebulan maka akan mendapat bonus 15 kg beras.

Dengan system kerja borongan, pendapatan pekerja menjadi tidak tentu tergantung ada atau tidak adanya pekerjaan. Seorang staf RAPP mengatakan sebenarnya pekerjaan selalu tersedia tetapi masalahnya adalah pekerja Nias umumnya hanya mau di penanaman saja, mereka tidak mau mengerjakan pekerjaan lain seperti weeding, singling dan sprying. Hal inilah yang sering menyebabkan pekerja Nias menganggur. Untuk mengatasi permasalahn ini salah satu persyaratan yang diterapkan RAPP adalah para kontraktor harus bersedia melakukan pekerjaan selain penanaman.

Beberapa pekerja mengatakan dalam satu hari bisa mendapat upah sebesar Rp. 43.000,- - Rp. 45.000,-. Jumlah tersebut memang berada diatas UMK harian kabupaten Pelalawan sebesar Rp. 42.100,- / hari. Tetapi apabila dikalikan dengan jumlah hari kerja maksimal 20 hari perbulan maka pendapatan pekerja adalah Rp. 900.000,- / bulan. Artinya jumlah ini berada

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 30: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

28

dibawah UMK bulanan sebesar Rp. 1.020.000,-. Pendapatan keluarga akan bertambah apabila istri juga ikut bekerja. Ketidak pastian pendapatan pekerja Nias juga terlihat dalam buku catatan seorang KR. Dalam buku catatan tersebut terlihat ada pekerja yang mendapatkan upah sebesar Rp. 35.000,- / hari, ada yang mendapat Rp. 20.000,- / hari bahkan ada yang hanya mendapat Rp. 7.000,- / hari. Bila dikalikan dengan 20 hari kerja maka pendapatan pekerja tersebut berkisar antara Rp. 400.000,- - Rp. 700.000,-.

Tidak informasi yang jelas dari pihak manajemen (RAPP) mengenai maksimal 20 hari kerja, Staf RAPP Pelalawan hanya mengatakan etos kerja pekerja Nias memang rendah dan sering tidak masuk kerja. Tetapi ketika dikonfirmasi pada seorang tokoh Nias, dipatoknya hari kerja hanya sampai 20 hari merupakan strategi dari RAPP untuk mensiasati peraturan perundang undangan mengenai ketenaga-kerjaan. Menurut informan apabila seseorang dipekerjakan sebanyak 63 -65 hari dalam 3 bulan, maka berhak mengajukan tuntutan untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Dengan hanya dipekerjakan sebanyak 20 hari perbulan maka jumlah hari kerja hanya sampai 60 hari dalam 3 bulan. Dengan demikian pekerja tidak bisa menuntut untuk dijadikan sebagai karyawan tetap pada perusahaan.

Sedikit membingungkan pernyataan tokoh Nias diatas karena dalam UU ketenaga-kerjaan no 13 tahun 2003 secara keseluruhan maupun pasal 58 – 66 sebagai dasar hukum outsourcing tidak ada pasal maupun ayat yang secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Kemungkinan besarnya adalah RAPP menerapkan maksimal 20 hari kerja karena tidak ingin menyalahi ketentuan bahwa maksimal pekerja bekerja sebanyak 8 jam / hari atau 40 jam/ minggu. Karena berdasarkan pengamatan lapangan dalam 1 hari pekerja bekerja mulai jam 7.00 – 16.00 atau 8 jam / hari. Apabila hari kerja lebih dari 20 hari maka akan menyalahi ketentuan perundang undangan. Beberapa staf mengatakan karena pekerjaan sifatnya borongan seringkali para pekerja tidak menghiraukan ketentuan waktu kerja. Para pekerja hanya berpikir bagaimana melakukan pekerjaan sebanyak banyaknya guna memperoleh pendapatan sebesar besarnya.

“apabila pekerjaan sedang banyak bila dibolehkan bekerja malam hari pun pasti mereka kerjakan..asal dikasih lampu saja..tapi kita larang itu karena melanggar aturan”

System penggajian atau “kirahan” berbeda antara satu kelompok kerja dengan kelompok lainnya tergantung kebijakan KR masing masing. Ada kelompok yang menerapkan kirahan setiap bulan ada juga yang 2 – 3 bulan sekali bahkan ada yang kirahan diakhir masa kontrak. RAPP sendiri baru melakukan pembayaran pada kontraktor setelah pekerjaan selesai dan dianggap memenuhi standar. Kelompok yang menerapkan kirahan setiap bulan maka pembayaran upah pekerja ditalangi terlebih dahulu oleh kontraktor.

Dengan system outsourcing dan kerja borongan maka para kontraktor harus memiliki modal awal untuk bisa mendapatkan pekerjaan dari RAPP. Modal dibutuhkan untuk rekruitmen tenaga kerja, administrasi ketenaga kerjaan, perlengkapan kerja dan pembayaran gaji bulanan pekerja. Semua biaya diatas harus ditanggung/ ditalangi lebih dulu oleh kontraktor karena RAPP baru akan membayar kontraktor pada akhir pekerjaan. Apabila kontraktor tidak memiliki modal kuat dan tidak mampu menalangi pembayaran gaji pekerja seringkali menjadi sasaran

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 31: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

29

kemarahan para pekerja bahkan sangat mungkin pekerja pindah pada kontraktor lain. Sebaliknya sering terjadi juga upah pekerja tidak diberikan dan dibawa kabur oleh KR dan menimbulkan perkelahian anatar sesame pekerja Nias. Karena tingginya kasus tipu menipu dan “makan – memakan” antara sesame pekerja Nias, dikalangan staf muncul femeo “ kalau tidak nipu bukan Nias”.

Di Nursery keadaan pekerja sedikit lebih baik dibandingkan dengan pekerja borongan yang tinggal di moving camp. Selain tinggal di barak permanen ketersediaan pekerjaan dan pendapatan lebih pasti. Terdapat 3 (tiga) macam pekerja di nursery yaitu pekerja borongan, Buruh harian Lepas (BHL) dan karyawan kontraktor. Untuk pekerjaan yang bisa diborongkan seperti mencampur tanah dengan pupuk dan memasukan benih pada trey (kotak benih) dikerjakan oleh pekerja borongan. Sedangkan pekerjaan yang tidak bisa diborongkan seperti merawat benih, menyiram dan sejenisnya ditangani langsung oleh kontraktor. Pekerjaan ini dilakukan oleh pekerja tetap kontraktor yang mendapat gaji bulanan dan Buruh Harian Lepas (BHL).

Pekerjaan mengaduk tanah dengan pupuk pekerja dibayar sebesar Rp. 40.000,- / kubik. Dalam 1 hari pekerja bisa menyelesaikan pekerjaan antara 1 - 2 kubik. Artinya dalam 1 hari pekerja bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 40.000,- - Rp. 80.000,-. hambatan yang sering dihadapi oleh pekerja adalah sulitnya memperoleh tanah terutama pada saat hujan. Sehingga dalam 1 hari rata rata pekerja hanya bisa menyelesaikan pekerjaan sebanyak 1 ½ kubik. Dengan hari kerja maksimal 20 hari maka pekerja bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 1.200.000,- / bulan.

Pekerjaan memasukan benih dibayar sebesar Rp. 17.500,- untuk setiap bedengnya. Dalam satu hari pekerja bisa menyelesaikan 3 bedeng, maka penghasilan pekerja sebesar Rp. 1.050.000,- dengan asumsi 20 hari kerja. Hambatan yang sering dihadapi oleh pekerja antara lain sering terlambatnya pengembalian trey dari bagian penanaman dan datangnya hujan yang menyebabkan pekerja tidak dapat bekerja.

Untuk pekerja bulanan yang berada langsung dibawah kontraktor besar upah pekerja baru adalah Rp. 900.000/bulan ditambah makan sebanyak 3 kali sehari yang disediakan oleh kontraktor. Untuk keperluan makan pekerja ini kontraktor mempekerjakan tukang masak tersendiri. Setelah 5 bulan upah dinaikan menjadi 1,2 juta dan setelah 1 tahun naik menjadi 1.5 juta ditambah jatah makan 3 kali sehari. Kebijakan kontraktor, lama kontrak dengan pekerja adalah 1 tahun setelah itu bisa diperpanjang .

Ditambahkan sebenarnya standar upah untuk pekerja baru adalah Rp. 1.200.000,- karena ada jatah makan 3 kali sehari maka yang diberikan sebesar Rp. 900.000,-, sisanya sebesar Rp. 300.000,- untuk biaya makan. Apabila pekerja ingin masak sendiri maka upah akan diberikan penuh sebesar Rp.1.200.000,-. Pekerja yang memilih makan dari perusahaan biasanya adalah pekerja lajang. Tetapi ada juga pekerja yang memilih masak sendiri, mereka biasanya adalah pekerja yang sudah berkeluarga. Untuk keperluan jajan dan masak bagi pekerja Suardi menyedikan barang barang kebutuhan sehari hari seperti beras, ikan asin, sarden, minuman ringan, jajanan anak sampai sayuran. Belanja sayuran biasanya 3 hari sekali. Karena adanya layanan bis sekolah ke pangkalan kerinci banyak juga pekerja yang belanja langsung ke pasar ikut bis sekolah.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 32: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

30

Untuk Buruh Harian Lepas (BHL), upah yang diberikan sebesar Rp. 45.000,- / hari. Pendapat BHL dalam 1 bulan tergantung dari kerajinan buruh itu sendiri. Dalam 1 minggu BHL bisa bekerja sebanyak 6 hari atau sebanyak 24 hari dalam sebulan. Dengan demikian maka pendapatan BHL bisa mencapai Rp. 1.080.000,- per bulan. Kehidupan di Camp Selain mengorganisir pekerjaan, Ketua Rombongan juga bertanggung jawab untuk mengatur kehidupan di camp. Terdapat pembagian tugas yang diberikan oleh KR pada anggota rombongan seperti mengatur jadwal piket kebersihan, menjaga keamanan camp, menjaga anak anak dan lain sebagainya. Untuk urusan domestic seperti memasak, mencuci dan menjaga kebersihan bilik diserahkan pada penghuninya masing masing. Anggota keluarga yang cukup umur untuk kerja biasanya dilibatkan dalam pekerjaan agar menambah penghasilan keluarga. Anggota keluarga yang belum cukup umur dan yang tidak bekerja seperti wanita hamil dan orang tua bertugas mengurus camp, memasak, dan menjaga anak-anak. KR juga bertanggung jawab terhadap ketersediaan bahan bahan kebutuhan pokok anggota. Secara berkala KR mengambil persediaan barang pada kontraktor. Setiap kali mengambil barang KR juga mendapat titipan belanja tambahan dari anggotanya seperti minta dibelikan baju, pulsa, makanan bayi dan lain sebagainya. Selain hal diatas KR juga bertanggung jawab atas ketertiban camp. Kehidupan di camp tidak luput dari konflik antara sesama penghuni mulai dari sekedar adu mulut sampai perkelahian fisik. Terjadinya perselisihan antara penghuni seringkali disebabkan oleh hal sepele. Pertengkaran antara ibu ibu misalnya sering akibat digunakannya alat masak oleh keluarga lain tanpa ijin atau berpindahnya bumbu masak ke dapur lain. pertengkaran antar keluarga juga kadang bermula dari perkelahian anak kecil yang akhirnya merembet menjadi perkelahian antar orang tua. Perkelahian juga muncul akibat adanya kasus pencurian, saling ledek dan mengganggu anak gadis. Perkelahian yang terjadi kerap jugamenggunakan senjata mulai dari senjata tumpul untuk memukul sampai menggunakan senjata tajam. Dengan kondisi lingkungan dan kehidupan yang sulit pekerja asal Nias di RAPP menjadi tempramental dan dilampiaskan dengan cara berkelahi. Perkelahian juga kerap terjadi antar camp akibat diganggunya anak gadis oleh penghuni camp lain. Untuk mengatur ketertiban dan mencegah munculnya perkelahian salah seorang KR menerapkan aturan yang tegas. Apabila ada yang melakukan pemukulan maka yang bersangkutan akan dikenakan denda yang berat yaitu harus membayar uang sebesar Rp. 500.000,-, rokok 1 slop, beras 1 sak dan 1 ekor babi seharga Rp.1.000.000,-. Menurut KR tersebut dengan diberlakukannya sangsi yang tegas maka di campnya tidak pernah lagi terjadi perkelahian fisik, namun diakuinya pertengkaran mulut antar anggota masih sering terjadi. Perkelahian yang sulit didamaikan adalah perkelahian akibat adanya perselingkuhan. Walaupun salah satu pihak sudah didenda kadang perselisihan terus berlanjut sampai melibatkan kontraktor dan perusahaan untuk meyelesaikannya atau salah satu dikeluarkan dari lingkungan kerja. 2.4. Ekonomi rumah tangga

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 33: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

31

Selama bekerja di RAPP, para pekerja hanya mengandalkan hidup dari upah mereka sebagai buruh kontra. Mereka tidak memiliki alternative lain untuk mendapatkan penghasilan. Bahkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sepenuhnya bergantung pada barang barang yang disediakan oleh KR. Pekerja tidak bisa bercocok tanam karena rotasi perpindahan mereka yang sangat cepat dan tanah gambut yang sulit diolah. Untuk memelihara ternak mereka juga terbentur pada aturan perusahaan yang melarang pekerja memelihara ternak karena khawatir akan adanya penyebaran penyakit terutama setelah terjadinya wabah flu burung yang menyerang berbagai tempat di Indonesia. Untuk ikan segar pekerja dapat memperolehnya di kanal dengan cara memancing. Memasang jarring dilarang oleh perusahaan karena bisa mengganggu lalu lintas perahu operasional perusahaan. Sebuah keluarga pekerja yang memiliki anak balita maka keluarga tersebut hanya mengandalkan pendapatan suami, sementara istri tidak bisa bekerja karena harus merawat anak. dengan perhitungan kerja maksimal, keluarga tersebut mendapat penghasilan sebesar Rp. 1.166.000,- perbulan. Sulit bagi seorang pekerja untuk memperoleh pendapatan diatas jumlah tersebut karena pada kenyataannya sering mendapat hambatan dalam pekerjaan seperti cuaca buruk, sakit atau adanya hal teknis seperti kelangkaan bibit, pupuk dan sebagainya. Pendapatan keluarga akan meningkat apabila suami dan istri sama sama bekerja. Penghasilan bisa bertambah menjadi dua kali lipat dan akan menjadi lebih besar lagi apabila ada anak mereka yang sudah bisa ikut bekerja. Alasan inilah yang digunakan oleh pekerja Nias untuk membawa serta keluarga mereka ke tempat kerja. Dengan membawa anak yang sudah besar maka kedua orang tua bisa focus bekerja karena pekerjaan domestic seperti memasak, mencuci dan menjaga anak yang masih kecil bisa mereka serahkan pada anak yang lebih besar. Anak tersebut juga sewaktu waktu dilibatkan dalam pekerjaan untuk menambah penghasilan keluarga. Kenyataan dilapangan para pekerja tidak selalu beruntung mendapatkan penghasilan maksimal karena adanya berbagai hambatan. Dalam kondisi ini pendapat pekerja menjadi sangat minim. Bila mengacu pada buku catatan pendapatan seorang KR yang menyebutkan dalam sehari pekerja ada yang mendapatkan upah sebesar Rp. 35.000,-, Rp 20.000,- bahkan Rp. 7.000,- dengan jumlah hari kerja sebanyak 20 hari maka pendapatan pekerja dalam 1 bulan sekitar Rp. 400.000,- - Rp. 700.000,-. Sebagian besar pekerja mengatakan bahwa untuk kebutuhan makan dengan menu utama ikan asin dalam 1 bulan menghabiskan uang berkisar antara Rp.500.000,- - Rp. 600.000,-. Berdasarkan keterangan para pekerja maupun hasil survey kuesioner pengeluaran tersebut untuk rumahtangga dengan jumlah anggota sebanyak 3 – 5 orang. Bila pekerja sudah terbebas dari hutang awal seperti biaya perjalanan, biaya pembelian perlengkapan kerja, biaya pembuatan camp dan sebagainya, dengan pendapatan maksimal Rp. 1.166.000,- pekerja bisa menyisihkan uang sebesar Rp. 500.000,- / bulan. Sisa uang biasanya tetap mereka simpan di KR sampai saat mereka membutuhkan seperti untuk membeli baju, mengirim uang ke kampong dan untuk perjalanan pulang ke kampong pada hari raya.

Tetapi apabila pekerjaan sedang sepi kadang pekerja hanya bisa memperoleh kelebihan Rp.100.000,- setiap bulan bahkan tidak jarang upah yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan terpaksa berhutang pada KR. Kondisi inilah yang paling sering terjadi pada pekerja Nias. Keadaan akan semakin parah apabila pekerja memiliki

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 34: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

32

kebutuhan kebutuhan lain yang terpaksa harus meminjam uang pada KR seperti uang untuk membantu kerabat yang menikah, uang untuk jujuran sampai pinjaman uang untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli HP dan sebagainya.

Sepi pekerjaan dapat diartikan sedang tidak bisa bekerja maksimal akibat keterlambatan suplai pupuk atau bibit dan jumlah lahan yang dikerjakan sedikit, Tidak adanya pekerjaan juga terkait dengan mekanisme penyedian lahan oleh RAPP. Lahan belum bisa dikerjakan apabila belum lulus dalam penilaian. Mekanismenya adalah dari bagian harvesting yang melakukan land clearing lahan diserahkan ke bagian planning dan dilakukan penilaian apakah sudah layak ditanami atau tidak. Bila lulus penilaian selanjutnya lahan diserahkan ke bagian planting, selanjutnya oleh bagian planting diamprahkan ke CV. Dalam proses inilah para pekerja borongan harus menunggu. Menurut staf RAPP mekanisme inilah yang tidak diketahui oleh para pekerja borongan. Ditambahkan sebenarnya para pekerja bisa mengambil pekerjaan di bidang perawatan sehingga mereka tidak perlu menganggur. Namun para pekerja Nias umumnya hanya mau dibagian penanaman saja yangpekerjaannya paling ringan, hal inilah yang sering menyebabkan mereka menganggur.

Dari hasil survei terlihat bahwa sebagian besar responden, yaitu 68.1% berpenghasilan kotor antara 1-1.5 juta perbulan, namun penghasilan bersih mereka dalam artian setelah dikurangi hutang pengambilan barang kebutuhan pokok ke KR, sebanyak 66.3%, berkurang setengah juta menjadi 500 ribu-sejuta perbulan, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.

Penghasilan perbulan

Kotor Bersih

Jumlah Frekuensi Persentase Jumlah Frekuensi Persentase

< satu juta rupiah 12 13,2 < 500 ribu 17 19,1

1-1.5 juta rupiah 62 68,1 500 ribu - 1 juta 59 66,3

1.5-2 juta rupiah 7 7,7 1 juta - 1,5 juta 9 10,1

2-2.5 juta rupiah 6 6,6 1.5 juta - 2 juta 3 3,4

> 2.5 juta rupiah 4 4,4 2 juta - 2.5 juta 1 1,1

Total 91 100,0 Total 89 100,0

Jumlah penghasilan bersih para pekerja itu, yang sebagian besar berkisar antara 500.000 sampai satu juta rupiah tentu saja sangat terbatas. Jumlah tersebut berada di bawah UMP Kabupaten Pelalawan tahun 2010 yaitu 1.020.000 atau tahun 2011 yang mencapai 1.128.000 rupiah. Untuk mengatasi kekurangan, strategi yang dilakukan pekerja Nias adalah dengan melibatkan anggota keluarga dalam pekerjaan mereka. Mencari pekerjaan sampingan nyaris tidak mungkin; hanya 6.3% dari responden yang mempunyai pekerjaan sampingan dengan penghasilan di bawah sejuta. Pekerjaan sampingan hanya dimungkinkan bagi KR yaitu berjualan menyediakan barang barang kebutuhan pokok, selain itu tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan untuk menambah penghasilan. Sementara strategi mengikutkan anggota keluarga untuk bekerja dilakukan 63.5% dari 96 responden yang terjaring. Setelah ditambah dengan segala cara untuk meningkatkan penghasilan, diperoleh angka penghasilan pekerja sbb.:

Jumlah Frekuensi Persentase

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 35: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

33

< 1.5 juta 17 23,6

1.5 juta - 2 juta 32 44,4

2 juta - 2.5 juta 10 13,9

2.5 juta - 3 juta 4 5,6

3 juta - 3.5 juta 6 8,3

> 3.5 juta 3 4,2

Total 72 100,0

Dengan melihat bahwa persentase terbesar penghasilan bersih ada pada kisaran 1.5-2 juta rupiah, yaitu 44.4% maka bisa disimpulkan bahwa strategi mengajakserta anggota keluarga untuk bekerja cukup ampuh untuk menambah penghasilan. Namun ini berarti orang tua harus bergantung pada anak-anaknya untuk mandiri, terutama anak yang sudah dianggap besar untuk bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga adik adik mereka. Mereka yang berpenghasilan bersih dari kurang dari 1.5juta rupiah turun, dari sebelumna mencapai lebih 95% responden menjadi hanya 23.6%. Catatan, strategi ini dilakukan hanya oleh 63.5% responden atau 72 orang. Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, dalam pandangan beberapa pekerja maka utang kepada KR bukanlah sebagai beban tetapi bermakna ‘penghasilan yang dimakan terlebih dahulu’ karena sepanjang ia bisa berutang dan kemudian bisa makan maka hal tersebut justru menjadi siasat bertahan hidup yang cerdas. Pekerja bisa bertahan hidup karena KR akan terus memberi utang selama pekerja terus mengabdi dan bekerja kepadanya. Sementara seorang guru di estate pelalawan menilai bahwa utang dan kemiskinan telah membuat pekerja nias tumbuh menjadi sosok yang frustasi dan maunya disuapi tanpa mau berusaha lebih keras untuk keluar dari keadaan yang dialaminya saat ini. Mereka juga sudah tidak menghiraukan masa depan anak dengan membiarkan anak anak mereka tidak mendapat pendidikan sama sekali. Bagi sebagian pekerja Nias pendidikan anak bukan prioritas sama sekali, prioritas mereka saat ini adalah bagaimana caranya bisa makan dan bertahan hidup. Berikut adalah daftar harga di beberapa camp:

No Nama barang Satuan Harga (Rp)

Q008 W075 W058 V058

1 Beras 1 karung 140.000 140.000 150.000 150.000

2 Ikan asin 1 kg 25.000 30.000 30.000 25.000

3 Supermie 1 bks 1.500 1.500 1.500

4 Indomie 1 bks 2.000 2.000 2.000

5 Minyak goring 1 kg 14.000 15.000 15.000 13.000

6 Susu kental M 1 kaleng 8.500 10.000

7 Gula 1 kg 13.500 13.500 14.000 13.500

8 Garam 1 bks 1.000 1.000 1000 2.000

9 Bawang 1 kg 25.000 25.000

10 Ayam * 1 kg 25.000 25.000 25.000

11 Telor 1 butir 1.500

12 Cabe 1 kg 40.000 25.000

13 Bubur Sun 1 kotak 120.000

14 Kol 1 kg 6.000 7.000

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 36: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

34

15 Sabun cuci 1 bks 1.500 2.000 2.000

16 Sabun mandi 1 btg 3.500 5.000 2.000

17 Pasta gigi kecil 1 tube 4.500 5.000 3.000

18 Sikat gigi Forml 1 buah 3.500 5.000 3.500

19 Shampoo 1 sc 1.000 1.000 1.000

20 Kuku bima 1 kotak 7.000 7.000

21 Rokok P gawang 1 bks 4.000 4.000 4.000

22 Rokok filo 1 bks 6.000 6.000

23 Ajinomoto 1 bks 2.000 2.500 2.500 2.000

24 Babi * 1 kg 45.000

*: Hanya ada sewaktu waktu

2.5. Tingkat kesejahteraan pekerja Berdasarkan peraturan perundang undangan setiap perusahaan diwajibkan memberikan

kesejahteraan dan perlindungan kepada para pekerjanya. Selain tidak diperbolehkan memberikan upah dibawah ketentuan UMK berlaku, perusahaan berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang memadai, menyediakan sarana peribadatan , fasilitas tempat tinggal yang memadai dan memberikan kesempatan bagi pekerjanya untuk mendapatkan pekerjaan sampingan guna menambah penghasilan.

Dengan diterapkan system outsourcing, RAPP tidak mempunyai hubungan langsung dengan pekerja karena semua urusan yang menyangkut pekerja merupakan kewenangan dari para kontraktor supplier tenaga kerja. Oleh karena itu RAPP juga tidak bisa mengontrol secara langsung system penggajian dan pendapatan dari pekerja. Dalam system penggajian atau upah RAPP hanya bisa meminta kepada pihak kontraktor agar upah yang diberikan kepada para pekerja tidak lebih rendah dari UMK berlaku. UMK kabupaten Pelalawan tahun 2010 adalah sebesar Rp. 42.100,-/ hari atau sebesar Rp. 1.050.000,- / bulan.

Terdapat dua kelompok pekerja Nias di RAPP yaitu pekerja borongan yang tinggal di moving camp dan pekerja yang tinggal di barak permanen. Penghasilan pekerja borongan sangat tidak menentu tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan dan besaran pekerjaan yang berhasil mereka lakukan. Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa pendapatan pekerja borongan sangat fliktuatif kadang berada diatas UMK tetapi sering juga berada dibawah UMK berlaku contoh kasus menyebutkan kadang pekerja mendapatkan upah sebesar Rp. 52.000,- / hari atau kira kira sekitar Rp. 1.160.000,-/bulan yang artinya pendapatan pekerja berada di atas UMR berlaku, tetapi lebih sering pendapatan pekerja hanya sebesar Rp.35.000,- atau Rp. 20.000,- per hari yang artinya pendapatan mereka berada di bawah UMK berlaku. Dilihat dari tingkat pendapatan maka sebenarnya para pekerja ini jauh dari kondisi sejahtera.

Dari hasil wawancara dan kuesioner rata rata pengeluaran untuk konsumsi para pekerja dengan jumlah anggota rumah tangga antara 3 – 5 orang berkisar antara Rp. 500.000,- - Rp. 600.000,- / bulan dengan menu utama nasi dan ikan asin. Telor merupakan menu yang mewah sedangkan ayam atau daging merupakan makanan yang sangat langka bagi mereka. Sayuran juga sulit didapat kecuali sayuran yang tumbuh liar seperti kangkung atau jamur. Untuk kuah kadang hanya berupa air putih yang ditaburi garam atau vetsin. Bila dirata ratakan konsumsi perorangan satu rumah tangga berkisar antara Rp. 120.000,- Rp. 200.000,- / bulan dengan tingkat asupan gizi seadanya. Melihat kondisi ini sulit dikatakan para pekerja di moving camp

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 37: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

35

berada dalam kondisi sejahtera. Sarana ekonomi yang bisa diakses juga sangat terbatas mereka hanya mengandalkan barang barang yang disediakan oleh KR. Berdasarkan perundangan sebenarnya perusahaan dianjurkan menyediakan fasilitas ekonomi yang bisa menyediakan kebutuhan para pekerjanya. Di pelalawan estate sebenarnya juga ada koperasi karyawan yang menyediakan berbagai barang kebutuhan, namun pekerja di moving camp karena alasan jarak dan tidak adanya moda transportasi tidak bisa mengakses koperasi ini.

Dalam kondisi kekurangan, wajar bila hanya 32.7% responden yang menabung secara teratur dari penghasilannya. Mereka menabung di rumah, menitipkan pada orang lain (seperti pada KR) atau menabung di bank dengan persentase yang kurang lebih sama. Sarana ekonomi yang bisa diakses juga sangat terbatas mereka hanya mengandalkan barang barang yang disediakan oleh KR.

Selain dari upah hasil kerja, pekerja di moving camp tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan tambahan dengan menciptakan beragam kegiatan ekonomi produktif. Bercocok tanam jelas tidak bisa mereka lakukan karena kondisi tanah gambut yang tidak bisa ditanami tanaman produktif seperti sayuran, buah buahan dan sebagainya. Akibatnya pekerja sama sekali tidak bisa memperoleh bahan tambahan makanan baik untuk konsumsi maupun untuk dijual. Mereka juga tidak bisa berternak baik untuk konsumsi maupun dijual karena terbentur aturan perusahaan yang tidak membolehkan pekerja memelihara ternak di areal kerja karena khawatir terjadinya penyebaran penyakit dari hewan. Kesulitan lain untuk bercocok tanam adalah rotasi perpindahan areal kerja yang cukup cepat berkisar antara 2 – 4 bulan, kondisi ini tidak memungkinkan pekerja untuk bercocok tanam yang membutuhkan waktu lama.

Disebutkan diatas bahwa perusahaan juga berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi pekerja dan keluarganya. Sebenarnya perusahaan telah menyediakan sarana kesehatan berupa klinik di sector dan di satelit. Namun karena jarak yang sangat jauh dari lokasi tempat tinggal pekerja dan terbatasnya sarana angkutan, maka fasilitas kesehatan ini sulit diakses oleh para pekerja walaupun semua pelayanan diberikan secara gratis. Untuk mengatasi maslah kesehatan para pekerja lebih mengandalkan obat pbat warung yang dijual KR, meminta bantuan dukun atau pengobat tradisional atau membiarkannya saja sehingga sembuh dengan sendirinya.

Fasilitas penunjang kesejahteraan lain yang harus disediakan oleh perusahaan berdasarkan aturan perundangan adalah sarana peribadatan sesuai dengan agama yang dianut oleh pekerja. Untuk sarana peribadatan di Pelalawan estate terdapat 2 masjid yang masing masing berada di sector dan satelit. Untuk non Muslim belum ada saran peribadatan. Menurut keterangan manajer estate untuk Kristen baik katolik maupun protetan apabila ingin malekukan peribadatan dipersilahkan menggunakan bagunan serba guna milik perusahaan yang berada di sector. Sarana peribadatan bagi pekerja non mulisim ini bukan saja belum memadai etapi sulit dijangkau oleh para pekerja asal Nias yang tinggal di moving camp yang sebagian besar beragama protestan. Para pekerja sendiri mengaku bahwa selama ini mereka belum pernah pergi ke temmpat ibadah karena jarak cukup jauh. Mereka juga mengaku selama ini belum pernah ada pelayanan iman dari petugas gereja ke camp – camp tempat mereka tinggal.

Dengan tempat tinggal terbuat dari terpal plastic, bilik untuk keluarga hanya berukuran 2,5 x 3 meter dan alas tempat tidur dari tikar serta lingkungan sekitar yang sangat becek saat

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 38: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

36

turun hujan dapat dikatakan tempat tinggal ini jauh dari memadai. Namun dapat dimengerti karena tempat tinggal ini merupakan tempat tinggal sementara dan harus dipindah lagi dalam jangka 2 – 4 bulan mengikuti rotasi perpindahan areal kerja. Masalahnya adalah para pekerja Nias menempati camp semacam ini dalam jangka waktu lama dan membawa serta keluarga mereka termasuk anak kecil dan balita yang tidak baik berada di tempat semacam ini terutama dilihat dari segi kesehatan dan keselamatan. Pihak perusahaan sendiri mengatakan sebenarnya perusahaan melarang keberadaan anak anak di areal kerja tetapi para pekerja itu sendiri lah yang melanggar aturan perusahaan dengan membawa serta anak anak mereka. Dalam konteks pelalawan estate pihak perusahaan juga mengatakan tidak memungkainkan menempatkan semua pekerja di barak barak permanen karena lokasi kerja yang sulit dan terpotong potong oleh kanal. Dibutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi apabila menempatkan pekerja di barak permanen karena harus ada angkutan antar jemput baik berupa kendaraan darat maupun kendaraan air. Selain itu proses antar jemput ini membutuhkan waktu lama sehingga efektifitas kerja akan terganggu.

Keadaan lebih baik diperoleh oleh pekerja asal Nias yang tinggal di barak permanen seperti di barak nursery, TPK 5, TPK 17 dan TPK 1. Barak tempat tinggal para pekerja ini dapat dikatakan memadai terbuat dari papan baik lantai maupun dinding, ruang kamar atau bilik berukuran 3 x 4 meter dan didalamnya disediakan tempat tidur tingkat walaupun tempat tidur ini lebih banyak difungsikan sebagai lemari dari pada untk tidur. Untuk tidur pekerja memilih tidur dilantai beralaskan kasur. Barak juga memiliki dapur, kamar mandi dan closet leher angsa. Tinggal bagaimana kesadaran para penghuni untuk merawat dan menjaga kebersihan barak. Di bagian depan barak terdapat halaman cukup luas untuk bermain anak anak dan terdapat taman yang dibuat oleh penghuni untuk memperindah barak. Barak juga memiliki sarana penerangan listrik dari genset sehingga penghuni bisa setiap saat menikmati hiburan televise atau memutar music.

Karena para penghuni barak ini umumnya adalah pegawai bulanan kontraktor (CV) dan Buruh Harian Lepas maka pendapatan mereka lebih pasti dan lebih terukur.Upah harian maupun gaji bulanan yang diberikan oleh kontraktor bisa dikontrol oleh perusahaan. Upah harian BHL berdasarkan informasi yang diperoleh berkisar antara Rp. 43.000,- - Rp. 45.000,- / hari tergantung dari CV tempat mereka bekerja ini artinya berada diatas UMK berlaku sebesar Rp. 42.100,- / hari. Demikian juga dengan pekerja dengan gaji bulanan, pertama kali bekerja upah sebesar Rp. 1.200.000,-/ bulan dan akan dinaikan setiap 3 bulan sekali. Tiga bulan kedua gaji pekerja sebesar Rp. 1.500.000,- / bulan, ini artinya berada diatas UMK bulana Pelalawan sebesar Rp. 1. 050.000,- / bulan. Ini berbeda dengan pekerja di moving camp yang pendapatan mereka tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan dan tergantung dari besaran kerja yang mereka lakukan. Seperti disebutkan pada bagian sebelumnya pekerja borongan kerap juga menganggur karena belum adanya amprahan pekerjaan untuk mereka.

Pekerja juga bisa memperoleh makanan tambahan dengan bercocok tanam memanfaatkan lahan yang berada di bagian belakang barak. Dari pengamatan terlihat bagian belakang barak dijadikan kebun oleh pekerja dengan menanam bermacam tanaman seperti pisang, papaya, singkong, jangung dan sebagainya. Dengan demikian mereka bisa mendapatkan asupan gizi tambahan dari lahan yang diusahakannya.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 39: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

37

Sarana pendukung kesejahteraan lain seperti sarana kesehatan dan koperasi juga mudah diakses oleh para pekerja karena tidak terhambat oleh sulitnya kondisi geografis. Sebagai contoh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mereka bisa menghubungi bagian kendaraan operasional perusahaan untuk diantar jemput ke klinik perusahaan yang ada di sector maupun satelit. Bila kondisi sakit parah mereka juga bisa diantar ke rumah sakit yang berada di Pangkalan Kerinci. Untuk memperoleh barang barang kebutuhan pokok mereka juga tidak sepenuhnya tergantung pada barang yang disediakan oleh KR, pekerja bisa berbelanja ke koperasi karyawan yang ada di sector atau berbelanja langsung ke Pangkalan Kerinci menumpang kendaraan antar jemput siswa yang beroperasi setiap hari. Dengan adanya kendaraan antar jemput siswa ini, anak anak pekerja juga tidak mengalami kesulitan untuk mengakses sekolah baik yang ada di sector maupun townsite 1 dan townsite 2 di Pangkalan Kerinci. Kendaraan antar jemput ini disesuaikan dengan jadwal sekolah anak anak. dalam 1 hari kendaran antar jemput ini bisa sampai 3 trip perjalanan untuk mengantar jemput siswa sekolah.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 40: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

38

Bab 3 Pendidikan di mata pekerja RAPP

3.1. Anak anak di lokasi kerja

Anak di camp pekerja Nias bukan saja anak yang dibawa serta dari kampong ke tempat kerja tetapi juga anak yang lahir ditempat kerja itu sendiri. Anak anak yang berada di camp dapat dikelompokan dalam 3 kelompok umur yaitu anak usia 0 – 5 tahun, 6 – 10 tahun dan 11 – 15 tahun. Anak umur 5 – 10 tahun dan anak usia 11 – 15 tahun adalah anak anak yang dibawa oleh pekerja dari kampong asal. Sedangkan anak umur 0 - 5 tahun sebagian dibawa dari kampong dan sebagian lagi anak yang lahir di camp tempat kerja.

Keluarga yang memiliki anak 0 – 3 tahun biasanya yang bekerja hanya suami sedangkan istri bertugas merawat anak di rumah. Diatas 3 tahun anak sudah bisa ditinggalkan ibunya bekerja dan anak diasuh oleh kakaknya atau dititipkan pada anggota camp lain yang sedang tidak bekerja. Anak usia 6 – 10 biasanya hanya bermain dengan teman sebayanya di sekitar camp sesekali membantu pekerjaan ringan orang tua mereka. Anak usia 10 – 15 tahun biasanya sudah mempunyai tugas khusus yaitu menjaga adik, mengerjakan pekerjaan domestic seperti memasak, mencuci, mencari kayu bakar bahkan ada yang dilibatkan dalam pekerjaan orang tua apabila badannya sudah dianggap besar dan cukup kuat.

Agar aktivitas bekerja orang tua tidak terganggu oleh keberadaan anak anak, maka ketua rombongan (KR) mengatur jadwal piket menjaga camp dan menjaga anak anak secara bergiliran pada anggotanya. Bahkan ada juga yang membawa orang yang sudah lanjut usia dan tidak produktif lagi yang dipekerjakan khusus untuk menjaga anak anak. Walaupun ada petugas piket dan penjaga anak anak, tetapi karena jumlah anak juga cukup banyak sering kali anak anak tidak terawasi seluruhnya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pada anak anak. contoh kasus antara lain ada anak yang mengalami kula akibat senjata tajam, luka tertusuk kayu, tersiram bensin dan sebagainya. Bahkan saat penelitian berlangsung tim harus membawa anak yang terluka akibat terjatuh menimpa parang ke klinik terdekat.

Jumlah petugas piket berbeda beda untuk setiap camp tergantung jumlah anggota rombongan, biasanya berkisar antara 1 - 2 orang petugas. Karena merupakan bagian dari mekanisme kerja maka orang yang ditugaskan untuk piket juga mendapat bayaran dari KR yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama anggota rombongan. Tidak semua camp memiliki petugas piket, hanya camp yang besar dan memiliki perlengkapan seperti genset dan televise saja yang selalu ada petugas piket karena mereka khawatir akan terjadinya pencurian, kebakaran camp dan sebagainya. Untuk camp kecil yang tidak memiliki barang yang dianggap berharga tidak ada petugas piket orang dewasa, camp biasanya hanya ditunggui oleh anak anak kecil.

Petugas piket bukanlah inang asuh, petugas piket merupakan bagian dari mekanisme camp dan berada di moving camp, sedangkan inang asuh adalah program yang diterapkan oleh perusahaan dan berada di barak permanen. Inang asuh tidak ada di moving camp. Petugas piket tidak berbeda dengan pekerja lainnya baik dari segi pendidikan maupun usia, hanya saja saat itu mereka ditugaskan untuk piket. Rasio antara jumlah petugas piket dengan jumlah anak anak berkisar 1 : 10 sampai 1 ; 15 tergantung dari besaran jumlah anggota rombongan. (mengenai inang asuh lihat box)

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 41: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

39

Selain petugas piket orang yang berada di camp pada siang hari adalah ibu yang memiliki bayi, pekerja yang sakit dan pekerja yang tidak sdang mendapat giliran kerja. disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa tidak setiap hari seluruh anggota camp bisa bekerja terutama pada saat pekerjaan sedang sepi. Pengaturan giliran kerja ini dilakukan oleh KR sebagai penanggung jawab rombongan. Maka pekerja yang tidak mendapat giliran kerja menganggur dan diam di camp. Pada kondisi seperti ini tugas piket biasanya diberikan pada pekerja yang tidak mendapat giliran kerja.

Tempat bermain anak anak juga sangat beresiko seperti bermain diparit tanpa pengawasan orang tua sehingga rawan tenggelam, bermain diatas lahan gambut yang rapuh sehingga mudah terperosok dan tempat tempat lain yang sebenarnya berbahaya bagi anak anak. bila lokasi kerja orang tua masih dekat dengan camp banyak anak anak bermain berlarian di areal kerja. Kegiatan anak anak ini seringkali juga dianggap mengganggu pekerjaan orang tua sehingga tidak jarang muncul teriakan orang tua menghardik anak anak untuk menjauh dari areal kerja.

Anak usia 6 – 10 tahun dan usia 10 – 15 tahun yang dibawa oleh orang tua sebagian belum bersekolah, sebagian sudah putus sekolah dan sebagiannya lagi masih bersekolah saat di Nias baik SD maupun SMP. Mereka yang masih bersekolah terpaksa berhenti sekolah karena ikut dengan orang tua ke tempat kerja. Banyak diantara anak anak tersebut yang masih ingin bersekolah tetapi mereka tidak bisa menolak keinginan orang tua untuk ikut pindah. Alasan orang tua membawa anak ke tempat kerja antara lain di kampong tidak ada yang merawat anak anak dan kalau pun dititipkan pada kerabat, kerabat di kampong juga sama susahnya, anak juga diharapkan bisa mengerjakan pekerjaan domestic dan menjaga adik sehingga orang tua bisa focus bekerja, orang tua sudah tidak memiliki uang untuk biaya menyekolahkan anak dan berharap suatu saat anak bisa bersekolah kembali di tempat baru. Anak yang ditugaskan menjaga adik biasanya berumur 10 tahun keatas, karena anak pada umur ini sudah dapat dipercaya dan bisa memasak dan memberi makan adik adiknya. Beberapa diantara mereka juga memiliki kemampuan tungcalis karena sebelumnya pernah bersekolah saat masih tinggal di Nias.

Sebenarnya ada juga pekerja yang meninggalkan anak mereka di kampong agar tetap bisa melanjutkan sekolah. Kelompok ini jumlahnya tidak banyak dari setiap camp yang dikunjungi rata rata ditemukan hanya 1 keluarga saja yang meninggalkan anaknya untuk tetap bersekolah di Nias. Salah seorang ibu mengatakan dia sengaja bekerja di RAPP khusus untuk mencari uang biaya pendidikan anaknya yang saat ini duduk di bangku SMP dan SMA karena gaji suami yang bekerja sebagai satpam di salah satu perusahaan sawit di Riau tidak cukup untuk membiayai sekolah anak. dia ingin anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik karena kalau tidak berpendidikan sulit untuk mendapat pekerjaan yang baik. Informan lain yang juga meninggalkan anaknya di Nias untuk tetap bersekolah memberikan alasan yang sama, dengan pendidikan yang rendah sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang baik.

Berikut adalah jumlah anak sekolah yang berhasil diliput dalam survei:

Jumlah anak Jenjang Pendidikan

TK SD SMP SMA

1 1 10 13 6

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 42: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

40

2 0 7 2 1

3 0 2 1 1

4 0 2 0 0

Total 1 22 16 8

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa anak yang tengah berada dalam jenjang pendidikan SD adalah yang terbanyak dengan 22 anak, disusul SMP sebanyak 16 anak dan SMA sebanyak 8 anak. Kebutuhan pendidikan menurut data tersebut, bukan hanya untuk SD tetapi juga SMP dan SMA, yang hanya bisa dipenuhi di kota Pelalawan. Dalam kasus para pekerja, mereka tidak dibawa ke perkebunan tetapi ditinggal di kampung.

Rutinitas anak di camp Secara umum rutinitas harian anak-anak pekerja Nias, memulai pagi dengan makan pagi. Anak yang agak besar setelah sarapan mencuci piring dan gelas. Sehabis itu saat orang tuanya kerja maka biasanya mereka menjaga adiknya di camp, atau main-main di sekitar camp, berlari lari ke sana kemari, atau berenang dan mandi-mandi di kanal. Sebagian mencari kayu bakar, atau mengikuti orang tuanya di pekerjaan. Siang mereka makan siang, sehabis itu keluyuran atau lari-lari di sekitar camp lagi, atau tidur-tiduran, hingga sore beranjak. Tak ada pola yang pasti yang mengikuti rutinitas hari-hari anak Nias ini. Umumnya di camp yang jauh dari lokasi sekolah TK dan SD yang terdapat di sektor mereka tak bersekolah, banyak dari orang tua tersebut yang tidak mengetahui informasi keberadaan sekolah berikut aturan dan mekanisme bagaimana masuk sekolah tersebut. atau sebagaian mengatakan bahwa anaknyalah yang tak mau sekolah, karena jauh, karena ketidakmampuan menguasai bahasa indonesia, atau karena si orang tua tak mampu membeli seragam dan biaya buku-buku. Di lokasi camp, berdasarkan pengamatan ke bilik pekerja, jarang ditemukan mainan anak-anak, harta milik di bilik umumnya hanya peralatan tidur berupa tikar, bantal, kain sarung, tumpukan pakaian, ayunan buat bayi dari kain, kelambu, lampu senter, serta peralatan makan sederhana yang disimpan di dapur. Sesekali saya temukan radio transistor, gitar, dan paling banter bola plastik untuk bermain voli lelaki dewasanya, dan biasanya anak-anak laki-laki atau perempuan nimbrung memainkan bola plastik ini dengan memainkannya sambil berlari kesana kemari. Rutinitas anak-anak yang ada di camp hanyalah bangun tidur, makan, lari-lari kesana kemari, makan, lalu tidur. Dalam beberapa pengamatan mereka menjadi penjaga adik-adik kecilnya, menidurkan bayi atau mengayun-ayunkannya di ayunan di dalam bilik, atau berenang di kanal saat mandi sore. Anak agak besar, khususnya perempuan terlihat mencuci pakaian, mencuci alat masak, atau sesekali terlihat mengumpulkan kayu bakar. Seorang ibu di sela bekerja mengatakan bahwa anak-anak ini seharusnya punya tempat yang nyaman dan tidak seharusnya ada dilingkungan kerja, “Namun dikampung bila saya tinggalkan tak ada mas yang mengurusnya, saya tak tahu apa bisa mereka sekolah karena kami selalu berpindah” Tuturnya. Di satu camp misalnya, saya melihat bagaimana dua orang anak melakukan tugas-tugas hariannya. Kedua anak tersebut kakak beradik, satu perempuan seusia 9 tahun-an (tidak

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 43: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

41

sekolah) dan satu anak lagi laki-laki seusia 7 tahun-an. Keduanya hendak mencuci piring dan gelas plastik untuk makan siang keluarganya di camp tersebut. Saat tiba di tepi kanal air, tepatnya di jamban Si kakak perempuan mencuci peralatan tersebut dan adiknya membantu-bantunya. Seusai melaksanakan tugasnya kedua anak tersebut mencebur ke sungai mendinginkan badannya dari terik matahari. Kedalaman air kanal itu ± 3 s.d 4 meter, namun kedua anak tersebut mampu berenang di kedalaman tersebut. seusai melaksanakan tugas hariannya kedua anak itu membawa semua peralatan yang sudah bersih tersebut kembali ke camp, si adik laki-laki membawa ember berisi peralatan tersebut, sementara si kakak perempuan mengikutinya berjalan dari belakan. Badannya basah kuyup karena tak dibilas handuk seusai mandi-mandi di kanal tersebut. Kehidupan anak di camp Q72 Titus, memasak dan mencari ikan Titus adalah seorang anak berusia 12 tahun. Sebelum ia pindah dari nias karena kasus kriminal yang dilakukan ayahnya ia sempat sekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama. Saat kami datang ke kemp banyak anak-anak usia balita dan sekitaran 10 tahun di sana. Saya memulai mewawancarai Titus dengan menanyakan alasannya meninggalkan sekolah. P : kenapa tidak sekolah T :‘ya karena keluarga kami pindah, keluarga kami ada masalah di Nias’ P :‘Terus kenapa gak lanjut sekolah di sini? T :‘di sini aku bantu mama masak, lagi pula sekolah di sini jauh’ P:‘Kamu masak? T:‘iya aku masak untuk abang-abangku yang kerja’ P : ‘coba kamu ceritakan kegiatan kamu dalam satu hari mulai dari bangun tidur! T :‘Aku bangun jam 4 pagi, terus aku masak nasi dan sayur, habis itu aku mandi jam 7, kalau mandi kurang dari jam 7 aku takut ada hantu. Habis mandi aku duduk-duduk saja di kemp sampai jam sembilan. Setelah itu aku pergi cari ikan di kanal’ P:‘Cari ikannya pakai apa, pakai pancing atau apa? T: ’pakai alat yang ada di depan kemp, itu yang sedang dipegang temanku tadi’ Saya kemudian menanyakan pada Titus sejak kapan ia mulai belajar memasak. Menurut Titus ia telah belajar masak sejak di Nias, ia diajari oleh ibunya menanak nasi dan mebuat sayur tumis. Saya kemudian menanyakan apa saja yang ia masak di kemp. ‘Kalau di sini saya masak nasi, sayur untuk pagi, kalau siang juga sama, kadang-kadang kalau ada ikan saya goreng untuk siang kalau baru dapatnya siang ya ikannya digoreng untuk malam’. Profil anak-anak di kemp KR Robin Saat saya sedang mengobrol dengan Pak Rafin anaknya yang paling kecil menangis karena diganggu oleh kakanya. Ia kemudian menggendong anak bungsunya dan kemudian mencubit si kaka yang tadi mengganggu adiknya. Sekarang giliran si kaka yang menangis dengan suara yang lebih keras lalu pergi mencari ibunya.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 44: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

42

‘Pak kalau anak-anak di kemp ini hari-harinya mereka ngapain? ‘ya anak-anak itu pak Cuma di kemp sajalah, seperti anak saya yang besar kalau saya pergi bekerja dia saya suruh jaga adiknya yang laki-laki si Santo’ ‘Kalau istri bapak ikut bekerja juga? ‘sudah berapa bulan ini tidak pak. Dia baru melahirkan dan sekarang sedang jaga anak, ya kalau masih bayi anak itu harus dekat dengan ibunya lah’ ‘Kalau anak-anak di kemp ini ada yang sekolah pak? ‘setahu saya belum ada si pak, tapi saya inginnya si ada, ya daripada mereka hanya di kemp, tidur-tidur, makan lari-lari ya lebih suka saya kalau mereka ada sekolah lah pak. Tapi ya itu masalah biaya pak, kalau bisa geratis lah, kita biaya masih sulit pak, kadang-kadang hasil kiran kita tekor pak. Soalnya kita kadang-kadang gak ada kerja, kalau gak ada kerja makan kan gak berhenti pak itulah kita jadi hutang sama kaka’.

Dari penuturan Pak Rafin terlihat sekilas bagaimana anak-anak di kemp melalui hari-harinya, anak-anak itu kebanyakan hanya bermain di dalam atau sekitar kemp. Saya sempat juga menanyakan pada Pak Rafin, apakah anak-anak diperbolehkan untuk bermain agak jauh dari kemp. Pak Rafin menyampaikan pada saya bahwa hal itu dapat membahayakan anak-anak. Menurutnya kondisi areal kerja yang dipenuhi batang-batang kayu juga ranting-ranting kering dapat melukai kaki anak-anak. Kebanyakan anak-anak di kemp tidak menggunakan alas kaki saat bermain. Selain kondisi di sekitar kemp yang menurut Pak Rafin tidak aman, ia juga khawatir jika anak-anak bermain terlalu jauh hingga tidak terlihat mereka dapat bertindak nakal dengan main di kanal. Menurut Pak Rafin kanal merupakan tempat yang sangat berbahaya bagi anak-anak. Saya kemudian menanyakan pada Pak Rafin mengani asupan makan bagi anak-anak di kemp apakah mereka mendapatkan makanan bergizi. Selain itu saya juga menanyakan mengenai kondisi kesehatan mereka, dan bagaimana penangan jika mereka sakit.

‘Pak kalau anak-anak di kemp ini makannya apa saja ya, mereka dapat bantuan makanan bergizi gak dari perkebunan? ‘yah anak-anak saya si suka makan telor pak, ikan mereka kurang suka. Kalau bantuan belum ada ada pak, saya si lebih suka pak kalau ada’ ‘Kalau anak ada yang sakit bagaimana pak? ‘yah anak aku si sakit pernah tapi sukur tidak parah hanya panas dan munta, saya kira si masuk angin. Kalau malam di sini angin sering kencang pak, apalagi kalau hujan dingin terasa pak, mungkin anak kami tidak tahan, ya mau bagaimana terpal ini tipis pak’

Kondisi anak-anak di Kamp Hendrik Di kamp itu terdapat 8 orang anak yang usianya 10 tahun kurang. Saat orang tua mereka bekerja tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Saat saya berkunjung ke sana anak-anak itu sedang duduk di bagian tengah kamp. Saya menanyakan pada Hendrik yang menjabat sebagai KR mengenai kegiatan anak-anak itu. Menurut Hendrik ‘anak-anak itu ya hanya begitu saja, hari-harinya ya di kemp saja pak’. ‘Kalau anak-anak itu ada diimnunisasi gak, terus mereka itu dapet bantuan makanan bergizi gak pak? ‘Kalau suntik tidak ada pak, makanan bergizi juga tidak ada, anak-anak itu makan ya sama-sama sama kita pak. Paling

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 45: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

43

yang masih kecil makannya sun sama sgm pak’. Kehidupan anak-anak di Kamp Amaseri Di kamp ini terdapat 13 anak di bawah usia 12 tahun. Saat saya sedang wawancara dengan Pak Iman Bulele saya menanyakan mengenai kegiatan anak-anak itu saat orang tua mereka bekerja. Pak Iman menuturkan pada saya bahwa saat ia bekerja anak-anak itu tinggal di kamp dijaga oleh anak familinya yang sudah berusia 10 tahun. Lebih lanjut saya menanyakan mengenai kegiatan anak-anak itu di kamp. Menurut Pak Iman, anak-anak itu dalam kesehariannya hanya berada di kamp saja, anak-anak itu ya tidur-tidur, makan, tidur lagi, lari-lari, nangis, ya gitulah. Asupan gizi pada anak usia di bawah 5 tahun, seharusnya tercukupi karena mereka sedang ada dalam masa pertumbuhan. Dalam wawancara dengan Pak Iman saya melanjutkan pertanyaan mengenai makanan anak-anak di kamp. Pak Iman menuturkan ‘anak-anak ya makan sama-sama kita’ ‘memang bapak biasa makannya apa’ ‘ya nasi ikan kadang indomi, telur si jarang apalagi ayam’ ‘kalau jajan-jajan bagaimana pak, apa anak-anak itu ada jajan roti, susu, atau coklat’ ‘mana ada ya jajan mereka itu yang bapak bawa itulah’. Saat kami ke lapangan kami membawa beberap biskuit dan permen sebagai barang kontak, makanan itu sangat disukai oleh anak-anak di kamp. Kehidupan anak di camp V58 KR sevin Di kamp itu terdapat 12 orang anak di bawah umur 10 tahun, 3 di antaranya bayi. 3 orang bayi di kamp itu tidak diimunisasi dan tidak mendapatkan perhatian kesehatan dari puskesmas atau posyandu seperti bayi-bayi yang tinggal dalam wilayah administratif desa. Sedangkan anak-anak usia balita dan di bawah 10 tahun tidak mendapat makanan penunjang diluar makanan pokok. Kondisi tanah di sekitar kamp yang basah membuat penghuni kamp tidak terkecuali anak-anak kesulitan untuk berjalan menuju tempat kerja atau kanal. Saat saya sedang observasi kamp ada 3 orang anak yang sedang berjalan menuju kanal. Dua anak diantaranya membawa baskom berisi alat makan kotor, nampaknya ia akan mencuci piring itu di kanal. Saya kemudian mengikuti ketiga anak itu. Beberapa kali ketiga anak itu terperosok kakinya kedalam gambut basah. Bahkan salah seorang anak laki-laki terperosok hingga sedalam lutut. Menurut saya kondisi tanah gambut di sekitar kamp berbahaya bagi anak yang tingginya belum mencapai 140 cm. Hal itu menjadi berbahaya karena jika mereka terperosok di tanah gambus basah yang agak dalam hal itu sangat berbahaya, apalagi jika si anak terus bergerak-gerak tanpa bisa keluar, tentunya hal ini sangat dihindari. Saya kemudian mengikuti ketiga anak tersebut, untuk mengobservasi kegiatan harian anak-anak kamp. Akhirnya saya tiba di kanal yang terletak lebih kurang 30 meter di depan kamp. Kanal itu sebenarnya merupakan saluran pengairan bagi kebun akasia sekaligus jalur transportasi pengangkutan hasil panen. Kayu-kayu akasia yang sudah dipanen akan diangkut menggunakan kapal tongkang. Bagi anak-anak kamp kanal itu memiliki fungsi lain yakni sebagai tempat mandi dan mencuci. Saya melihat anak-anak itu berenang dan mencuci di kanal itu. Sama seperti kanal lain di perkebunan, kanal itu memiliki lebar lebih

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 46: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

44

kurang 3 meter dengan kedalaman air sekitar 4 meter. Dasar kanal itu adalah gambut yang menurut oprator perahu sekitar 5 meter. Selain itu di kanal itu menurut oprator perahu ia pernah melihat ular, selain itu di kanal juga hidup ikan toman yang terkenal buas. Kondisi kanal yang seperti itu dapat membahayakan bagi anak-anak. Anak-anak itu tidak ada yang sekolah. Saya menanyakan pada informan saya yang bernama Pak Rahmat Jibua mengapa anak-anak itu tidak sekolah. Ia menyampaikan pada saya bahwa lokasi kamp mereka jauh dari TPK, selain itu kebanyakan orang tua mereka tidak memiliki cukup biaya. Saya kemudian menanyakan bukankah sekolah di sektor itu gratis. Pak Rahmat mnuturkan bahwa yang gratis itu sppnya, untuk buku, seragam, sepatu dan keperluan soklah lainnya ditanggung oleh wali murid. Pak Rahmat baru saja mendapat malapetaka, anaknya perempuannya yang bernama Juli Santi yang berusia 10 tahun baru meninggal dunia 2 minggu yang lalu. Malapetaka itu dimulai saat rombongan mereka bekerja di blok U 65. Saat mereka bekerja di sana anak Pak Rahmat sakit demam, menggigil, muntah-muntah dan panas tinggi. Pengobatan yang diusahakan Pak Rahmat adalah dengan membawa anaknya ke dokter di Kerinci akan tetapi, sakitnya Santi sudah terlalu parah dan akhirnya meninggal. Persepsi Pendidikan bagi Anak-anak Ibu Inajuna Setelah saya menanyakan permasalahan alat-alat dapur, saya mulai bertanya kepada anak-anak Ibu Inajuna. Saat itu hanya ada empat orang anak, sisanya sedang bermain-main. Saya mulai dengan Geta (anak tertua berumur 21 tahun), “Geta gak mau sekolah? Kan kemarin aku udah bilang ada sekolah gratis...” Geta pun menjawab, “Ah, sudah cukup, Bang, dulu aku SD, sekarang bapak sudah gak ada, yang bantu ibu siapa? Nanti kami tak bisa makan...” Lalu saya mulai menanyakan kepada anak kedua bernama Dion yang berumur 18 tahun, “Kalau kamu Dion? Bagaimana? Mau sekolah?” Ia pun sama seperti Geta hanya menjawab, “Nanti yang bantu ibu kerja siapa? Biar adik aja yang sekolah.” Lalu saya menengok kepada adik perempuannya (Rosi, 12 tahun) dan bertanya kembali, “Kalau kamu? Kok kamu gak sekolah?” Ia hanya terdiam dan tersenyum sambil malu-malu menjawab, “Jaga adik…” Lalu saya kembali bertanya kepada Ibu Inajuna, “Ibu, tapi untuk yang paling kecil, nanti mau disekolahkan kan?” Lalu Ibu Inajuna tersenyum dan menjawab, “Iya, kan kemarin sudah tahu ada sekolah gratis.” Cat: usia 21 dan 18 dimanipulasi agar bisa bekerja

3.2. Latar belakang dan pandangan orang tua terhadap pendidikan

Latar belakang pendidikan pekerja asal Nias sangat rendah, umumnya mereka tidak tamat SD. Hanya sebagian kecil yang tamat SD atau pernah bersekolah sampai SMP meskipun tidak sampai tamat. Pada pekerja perempuan kondisinya lebih parah banyak diantara mereka yang tidak pernah bersekolah sama sekali, buta huruf dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Walaupun mereka tidak bisa membaca dan menulis, namun umumnya mereka dapat menghitung uang, karena saat dikampung mereka sudah biasa bertransaksi jual beli karet atau hasil bumi lainnya. Artinya kemampuan berhitung diperoleh langsung dari pengalaman

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 47: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

45

keseharian mereka. Kemiskinan dan tidak dimilikinya dana merupakan alasan utama yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan sekolah. Sehingga ketika di kampong pun mereka lebih memilih membantu orang tua di kebun dan sawah dibandingkan sekolah. Menurut para pekerja, orang tua mereka di kampong juga tidak terlalu mementingkan pendidikan anak anaknya. Mengenai pendidikan diserahkan sepenuhnya pada anak. Apabila anak ingin bersekolah maka orang tua akan membiarkan anak untuk terus sekolah, sebaliknya apabila anak sudah tidak mau sekolah orang tua juga tidak akan memaksanya untuk terus bersekolah. Orang tua seolah tidak memandang penting pendidikan bagi anak anak mereka.

“Gimana yah Mas, Saya sekolah sampai 3 SD, tapi masih hidup sampai sekarang” Tutur SG saat ditanya apa pentingnya sekolah bagi dirinya dan anaknya. “Memang orang tua kami menyekolahkan kami anak-anaknya, minimal SD, tapi tidak pernah menyuruh saya belajar, waktu saya banyak diambil olehnya untuk bantu-bantu, sering orang tua saya bilang begini, percuma kalau kamu sekolah tapi gak bisa bantu-bantu kami,” ”percuma mas kalau disekolahkan tapi dia tidak bisa bantu belanja orang tua”

Selain factor ekonomi dan kurangnya dorongan dari orang tua untuk bersekolah yang

menyebabkan pekerja putus sekolah antara lain berkelahi dengan teman, memukul guru atau alasan yang sangat sepele seperti malas mandi pagi, malas disuruh suruh oleh guru dan sejenisnya. Menurut para pekerja dan beberapa sumber lain di Nias untuk mengakses fasilitas pendidikan tidak ada hambatan sama sekali. Sekolah Dasar (SD) tersedia sampai ke desa desa, untuk SMP ada di kota kecamatan dan SMA ada di kota kabupaten. Salah seorang tokoh yang berasal dari Nias Barat menyatakan keheranannya melihat orang orang Nias yang bekerja di RAPP ini. Menurutnya di kampungnya di Nias Barat justru kesadaran terhadap pendidikan sangat tinggi dan umumnya orang Nias Barat bekerja sebagai pendeta dan guru.

Dari survei terlihat bahwa pekerja berpendidikan rendah, lebih dari 80% tidak pernah mengenyam bangku sekolah setingkat SMA sebagaimana tergambar dari tabel di bawah ini

Frekuensi Persentase

Tidak Sekolah 18 18,9

Tidak Tamat SD 32 33,7

Tamat SD 18 18,9

Tidak Tamat SMP 6 6,3

Tamat SMP 10 10,5

Tidak Tamat SMA 5 5,3

Tamat SMA 6 6,3

Total 95 100,0

Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki pekerja setidaknya mempengaruhi

orientasi dan pandangan pendidikan bagi anak-anaknya. Banyak pekerja mengatakan mengenai pendidikan anak akan diserahkan pada anak itu sendiri. Apabila anak ingin

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 48: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

46

bersekolah maka akan disekolahkan semampunya tetapi bila anak tidak ingin bersekolah maka orang tua tidak akan memaksa. Mengenai pendidikan ideal untuk anak beberapa pekerja mengatakan untuk anak laki laki sampai tamat SMA sedangkan untuk anak perempuan tamat SMP. Bisa menyekolahkan anak sampai tingkat SMP atau SMA menurut mereka sudah sangat baik. Rendahnya tingkat kesadaran orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak anaknya juga terlihat dari mudahnya mereka memutuskan anak mereka yang sedang bersekolah di Nias untuk dibawa ke tempat kerja. Dengan keterbatasan ekonomi yang dimiliki dan susahnya mendapatkan akses pendidikan menurut para pekerja minimal anak anak mereka bisa menguasai baca dan tulis. Bahkan beberapa diantara pekerja mengatakan untuk apa menyekolahkan anak tinggi tinggi apabila nantinya kembali menjadi buruh.

“sekolah memang penting, biar anak tak bisa dibodohi orang, biar bisa baca dan tulis lah, nanti kalau bodoh dia bisa-bisa orang bilang begini begitu dia percaya saja, nah kalau kemudian nyatanya bukan, anak bodoh yang rugi…“maunya sih anak sekolah tinggi, dikampung hanya ada sekolah SD, kalau SMP harus ke tempat lain, butuh ongkos dan biaya, apalagi kalau mau SMA”

Namun demikian tidak seluruh pekerja memiliki orientasi pendidikan yang rendah untuk

anak anak mereka. Dalam beberapa kasus ada pekerja yang memandang sangat penting menyekolahkan anak setingi tingginya. Mereka yang berpandangan seperti ini biasanya tidak membawa serta anak anak mereka ke tempat kerja. Mereka hanya berangkat berdua suami dan istri sedangkan anak anak mereka dititipkan pada kakek atau kerabat yang lain agar tetap bisa melanjutkan sekolah. Secara berkala mereka juga mengirim uang ke kampong untuk biaya sekolah anak anak. Bahkan bila ada permintaan uang dari anak untuk biaya sekolah mereka tidak segan meminjam uang pada KR untuk dikirim kepada anaknya. Mereka berharap dengan pendidikan yang baik anaknya kelak bisa memiliki kehidupan yang lebih baik lagi dibandingkan dirinya. Kasus yang ditemui di lapangan mereka yang berpikiran seperti ini adalah seorang ibu yang suaminya bekerja sebagai security di perusahaan lain yang menyekolahkan anak di kota Nias. Dia berpandangan tanpa pendidikan tidak mungkin seseorang mendapatkan pekerjaan yang baik. Disamping itu karena anak sekolah di kota minat anak untuk terus bersekolah menjadi semakin tinggi. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pekerja Nias lain yang umumnya berasal dari desa desa pedalaman Nias. Dia juga menceritakan awalnya hanya suaminya saja yang bekerja, tetapi karena kiriman uang dari gaji suami sebagai security tidak mencukupi maka dia pun pergi bekerja untuk menambah biaya sekolah anak.

Secara umum, hasil survei menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan mesti berkesempatan unuk mendapat pendidikan yang tinggi. Pada anak laki-laki, pendapat bahwa idealnya mereka bersekolah sampai SMA memang lebih tinggi timbang perempuan, yaitu 46.1% dibanding 19.8%. namun keinginan untuk memfasilitasi pendidikan sampai di atas SMA menunjukkan angka yang tidak jauh beda antara anak laki-laki dan perempuan yaitu 36% dibanding 38,4%.

Jenjang Anak laki-laki Anak perempuan

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 49: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

47

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

SMP 8 9,0 3 3,5

SMU 41 46,1 17 19,8

> SMU 32 36,0 33 38,4

Kursus 3 3,4 24 27,9

Kuliah 2 2,2 6 7,0

Tergantung biaya 3 3,4 3 3,5

Total 89 100,0 86 100,0

Jenjang pendidikan ideal bagi anak yang tidak terlalu beda barangkali dapat diterangkan dari makna anak perempuan bagi Orang Nias. Anak perempuan selalu dianggap sebagai asset, sebagai harta keluarga, yang harus dijaga. Di saat dewasa nanti, prestise keluarga akan terangkat bila mas kawin untuk anak perempuannya bernilai tinggi. Jenjang pendidikan dan ketangkasan seorang anak perempuan akan menjadi modal baginya agar bernilai tinggi. Tidak heran bila pilihan pendidikan non-formal berupa kursus untuk meningkatkan ketrampilan praktis menjadi bayangan ideal bagi anak perempuan. Hasil pengukuran atas persepsi pendidikan bagi anak dari responden menghasilkan data sebagai berikut:

Pendidikan = masa depan

anak

Pendidikan > bekerja

Kepandaian > ketrampilan

Kepandaian = sekolah

Ketrampilan = sekolah

Rumah, kebun,

kendaraan > sekolah

Sangat setuju 19,1 4,2 1,1 5,3 2,1 3,1

Setuju 79,8 78,9 78,7 88,3 62,8 44,8

Tidak setuju 1,1 15,8 20,2 6,4 34,0 47,9

Sangat tidak setuju 0 1,1 0 0 1,1 4,2

Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Tabel di atas menunjukkan bahwa pendidikan dalam hal ini melalui sekolah dianggap

sebagai hal yang penting dan responden menujukkan persetujuannya pada pernyataan-pernyataan yang meninggikan posisi sekolah dibanding perolehan ketrampilan melalui insitutsi lain. Hampir 80% responden menganggap bahwa pendidikan merupakan modal bagi masa depan anak yang cerah. Oleh karena itu, menghabiskan waktu untuk pendidikan di sekolah dianggap lebih penting daripada anak-anak membantu orangtuanya bekerja. Pernyataan yang didukung oleh 78.9% responden ini berkebalikan dengan trend bahwa mereka seringkali melibatkan anak dalam pekerjaan mereka di kebun. Sekolah dianggap sebagai institusi yang penting bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Dari sekolah mereka akan memperoleh kepandaian dan ketrampilan. Walaupun responden lebih memilih anaknya menjadi pandai di bidang akademik di banding terampil bekerja, 78.7% menyatakan persetujuannya, namun mereka menyatakan bahwa sekolah adalah tempat bagi perolehan kepandaian, 88.3%, dan ketrampilan, 62.8%. Menariknya, sekolah

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 50: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

48

memang terlihat bukan suatu kebutuhan yang riil, sekolah lebih merupakan suatu impian. Hal ini terbukti ketika mereka diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan materi (rumah, kebn dan kendaraan) atas sekolah, ketidaksetujuan mereka mencapai 52%. Hal ini berarti ketika sampai pada hal-hal yang bersifat materi, yang lebih konkret, responden mulai meninggalkan cita-cita ideal pendidikan melalui sekolah.

Inang Asuh Kegiatan inang asuh adalah upaya untuk membantu anak-anak pekerja yang tinggal di kamp untuk bersekolah. Lokasi kamp yang berada jauh dari sekolah tidak memungkinkan anak-anak itu untuk pulang pergi setiap hari. Oleh karena itu, dititipkan pada keluarga yang tinggal di TPK atau barak yang dapat diakses oleh bus sekolah. Keluarga yang merawat anak-anak itu disebut ‘inang asuh’. Anak-anak itu mendapat bantuan dari RAPP, bantuan itu diberikan ke CV barulah disampaikan oleh KR kepada ‘inang asuh’. Kegiatan ‘inang asuh’ sudah lebih kurang 2 tahun ini dihentikan. Mengapa kegiatan itu dihentikan? Apakah kegiatan itu berhasil dalam pelaksanaannya? Profil Keluarga Mantan Inang Asuh Keluarga Pak Putra sudah tinggal di barak TPK 5 selama 3 tahun. Pak Putra sebenarnya memiliki 7 orang anak, namun anak sulungnya telah meninggal. Saat ini 5 orang anaknya ikut tinggal di barak dan 1 orang anaknya tinggal di Sibolga. Anak tertua bernama, Arif Saputra usianya 12 tahun dia bersekolah di SD sektor dan duduk di kelas 5 sd. Anak kedua bernama Nuraini berusia 10 tahun, ia sekolah di Sibolga kelas 6 SD. Anak ke 3 bernama Elvi Handayani usianya 9 tahun, ia bersekolah di SD sektor dan duduk di kelas 3. Anak ke 4 bernama Fitriani usianya 7 tahun, ia juga bersekolah di SD sektor dan duduk di kelas 2. Anak ke 5 bernama Abdul Rahman Gafur, usianya 5 tahun ia sudah di daftarkan di SD sektor namun ditolak karena masih belum cukup umur. Anak ke 6 bernama Ratnasari, usianya 3 tahun. Dalam wawancara mengenai penghasilan Pak Putra menyampaikan pada saya bahwa sekarang ini mencari kerja ‘panas’ maksudnya adalah, persaingan kerja saat ini sangat sulit dan dapat membuat manusia berbuat curang, culas bahkan jahat. Menurut Pak Putra hal itulah yang membuat kegiatan inang asuh diberhentikan. Padahal menurutnya kegiatan itu sangat bagus dalam membantu anak-anak nias yang tinggal di kamp. Pak Putra merupakan kepala keluarga yang memiliki anak terbanyak di barak itu. Saat program inang asuh berjalan keluarganya pernah merawat anak-anak titipan selama lebih kurang satu setengah tahun. ‘inang asuh itu baik sekali pak, tapi yah itulah ada orang kita yang menggunting dalam lipatan, sudah dilipat digunting lagi, sampai pada kita sudah mau habis lah. Itu namanya kesmpatan dalam kesempitan pak. Ya orang bapak dari perusahan mungkin sudah tau ada main-main, jadi ya diberhentikanlah itu inang asuh’ itulah penuturan Pak Putra mengenai alasan diberhentikannya kegiatan inang asuh. Saya kemudian menanyakan, ‘bapak pernah tanya tidak sama karyawan perusahaan alasan diberhentikan kegiatan itu?’‘saya juga sempat pak menanyakan pada pak Fitri Zon, kenapa pak berhenti inang asuh, pak Fitri Zon Cuma bilang tak tahulah itu dari bos-bos, Cuma itu saja alasannya, tapi saya tahu itulah orang kita yang punya salah’ Saya kemudian menanyakan pada Pak Putra mengenai bagaimana kegiatan ‘inang asuh’

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 51: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

49

dikelola. ‘Begini pak, kan anak-anak itu tinggal di rumah kita. Nah dari perusahaan itu ada bantuan, tapi salahnya menurut saya kenapa bantuan itu masuk ke CV dulu. Saya ini jujur tidak percaya dengan CV itu, dia sudah potong itu bantan, tapi kita kan tidak bisa tanya ke CV atau KR berpa jumlah bantuan itu sebenarnya, bisa selisih kita pak kalau tanya, tersinggungnya dia itu. Kita ini jadi serba salah kan Pak. Habis dijalan itu namanya pak’ tutur Pak Putra. Tidak cukupnya biaya hidup anak-anak yang dirawat keluarga Pak Putra menyebabkan keluarga anak-anak itu mengirim dana tambahan. Dari penuturan itu saya menjadi sedikit bingung. Puzzeling quesction yang muncul kemudian dalam benak saya adalah, mengapa perusahaan dalam hal ini management RAPP memberikan bantuan kegiatan ‘inang asuh’ via CV lalu ke KR? Jika bantuan itu untuk pekerja hal ini masih masuk akal, akan tetapi ‘inang asuh’ adalah kegiatan yang sama sekali berbeda dari siklus produksi, ia secara eksistensi tidak memengaruhi siklus produksi. Saya melanjutkan bertanya pada Pak Putra. ‘Kalau ada lagi kegiatan inang asuh menurut bapak baiknya bagaimana? ‘Kalau menurut saya pak, baiknya bantuan itu janganlah lagi diputar dulu ke CV, ya kalau bisa orang bapak itu kasih saja langsung ke keluarga yang merawat. Ya perusahan ini maju kan karena ada orang kita kerja, dia tau itu maka ada mau bantu. Coba pak, masa ada keluarga itu terima bantuan beda jumlahnya. Dari orang bapak kan bantuan itu rata lah, tapi sampai ke kita bisa berbeda pak, berarti kan ada kesalahan. Kalau saya, percaya sama orang bapak. Kita orang nias ini pak sifatnya iri pak, itulah yang bikin masalah’ tutur Pak Putra. Pak putra menyekolahkan anak-anaknya di SD di sektor. Saya banyak mendengar bahwa sekolah itu gratis. Saya kemudian menanyakan pada Pak Putra mengenai hal itu. ‘Pak anak bapak kan banyak yang sekolah di sektor, itu gratis atau bayar pak?’ ‘Iya pak, sekolah. Geratis sepenuhnya juga tidak pak, ada bayar 5,000 satu bulan. Baju, sepatu, buku dan yang lain itu biaya kita. Untuk putra itu pak saya beli buku satu lusin. Kata guru putra harus pakai 10 buku. Saya mau dukung putra karena dia anak itu pintar pak, selama sekolah dia itu ranking 1, 2 tidak pernah turun pak. Dia itu dapat hadiah pak 2 buku 1 pensil, bukan lagi pulpen pak pensil, satu buah pula’.

3.3. Sarana Pendidikan di Estate Pelalawan Fasilitas pendidikan yang ada di estate Pelalawan adalah TK dan SD Global Andalan yang

didirikan tahun 2007. Sekolah ini berada di lingkukan perkantoran dan pemukiman karyawan tetap RAPP sector Pelalawan. Jumlah tenaga pengajar sebanyak 12 orang termasuk kepala sekolah dan wakil kepala sekolah yang juga ikut mengajar. Sedangkan untuk TK dikelola oleh 2 orang tenaga pengajar. Siswa sekolah ini sebagian besar anak anak pekerja Nias yang tinggal di barak barak permanen seperti TPK 5, TPK 5,5, TPK 17 dan sebagian kecil anak karyawan tetap RAPP. Menurut keterangan kepala sekolah setempat karyawan RAPP memilih menyekolahkan anak mulai dari tingkat SD sampai Lanjutan di sekolah Global Andalan yang ada di townsite 1 dan 2 di Pangkalan Kerinci yang dianggap kualitasnya lebih baik disbanding dengan SD yang ada di sector Pelalawan. Sedangkan untuk TK karyawan menyekolahkan anaknya di TK estate Pelalawan. Berdasarkan keterangan kepala sekolah dan staf pengajar jumlah murid SD sebanyak 100 orang dan murid TK sebanyak 41 orang. Jumlah tenaga pengajar untuk SD sebanyak 11 orang, 9 orang merupakan guru tetap dan 2 orang sisanya guru honorer. Dari 9 orang guru tetap 7 orang diantaranya adalah sarjana dan 2 orang sedang menyelesaikan studi

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 52: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

50

untuk sarjana strata 1. Untuk SD dikenakan biaya pendaftaran sebesar Rp. 25.000,- dan SPP sebesar Rp. 5000,- untuk setiap bulannya.

Untuk kepentingan sekolah anak karyawan dan pekerja, perusahaan menyediakan bis sekolah khusus untuk antar jemput siswa. Keberangkatan bis disesuaikan dengan jadwal sekolah siswa dalam 1 hari bis bisa sampai 3 trip untuk antar jempur siswa. Pelayanan Antar jemput siswa bukan saja dari sector ke Pangkalan kerinci tetapi juga sampai ke barak barak permanen seperti di Nursery, TPK 5, TPK 5.5 dan TPK 17. Ini dilakukan karena siswa anak dari pekerja Nias tinggal di barak barak tersebut.

Keberadaan sekolah di estate Pelalawan bermula dari kepedulian beberapa orang petugas pelayanan iman dari gereja BNKP yang merasa prihatin melihat anak anak pekerja Nias tidak mendapatkan pendidikan sama sekali. Pada tahun 2004 di luar tugas memberikan pelayanan iman, petugas tersebut kemudian memberikan pendidikan informal kepada anak anak pekerja Nias agar mereka bisa membaca dan menulis. Kegiatan ini kemudian mendapat sambutan positif dari RAPP. Pada tahun 2007 melalui Yayasan Kerinci Citra Kasih (YKCK) kegiatan pendidikan informal tersebut ditingkatkan menjadi sekolah formal dan dibangun gedung sekolah permanen di lokasi sekolah sekarang ini. Status sekolah di Estate Pelalawan saat ini sudah resmi dan teregister di Dinas Pendidikan setempat. Untuk saat ini gereja BNKP tidak lagi memberikan pelayanan iman ke camp camp karena tidak dimilikinya tenaga pelayan. Upaya untuk meminta tenaga telah dilakukan beberapa kali oleh tokoh IKN ke sinode BNKP namun jawabannya selalu sama yaitu tidak ada tenaga. Bahkan menurutnya vicaris saja saat ini hanya ada 2 orang, itupun sudah ditempatkan di daerah lain.

Diakui oleh Kepala Sekolah SD Global Andalan Pelalawan walaupun sudah ada sekolah formal, tingkat partisipasi pekerja Nias untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Ini terlihat walaupun sudah disediakan bis sekolah dari barak barak ke sekolah dan ke pangkalan kerinci masih banyak anak pekerja yang tinggal di barak dibiarkan tidak bersekolah oleh orang tuanya. Selain itu juga kerap terjadi anak berhenti sekolah karena alasan yang tidak jelas.

SD Global Andalan Pelalawan juga memberikan kemudahan bagi anak pekerja yang sebelumnya bersekolah Nias untuk melanjutkan sekolah di SD GA Pelalawan. Tanpa membawa surat pindah dan buku raport pun anak anak pekerja Nias tetap diterima untuk melanjutkan sekolah. Menurut kepala sekolah setiap siswa yang pindah sekolah maka harus dilengkapi surat pindah dari sekolah asal dan buku raport sebagai salah satu persyaratan diterima di sekolah baru. Tetapi umumnya anak anak pekerja Nias yang dibawa oleh orang tuanya tidak membawa raport dan surat pindah dari sekolah asal. Kemudahan lain yang diberikan oleh sekolah kepada anak anak pekerja Nias adalah siswa tidak diharuskan menggunakan seragam sekolah dan sepatu apabila memang orang tuanya tidak mampu. Sama dengan SD SD lainnya sekolah Global Andalan juga tidak memungut bayaran sama sekali kepada siswa. Pada tahun 2011 ini SD Global Andalan Pelalawan telah meluluskan 6 siswa pekerja Nias, 1 orang diantaranya melanjutkan sekolah ke SMP di Pangkalan Kerinci sedangkan 5 orang lainnya tidak diketahui apakah mereka melanjutkan sekolah atau tetap di barak membantu orang tua mereka. Sayangnya, dari 82 responden yang jawabannya valid, hanya 11% yang mengaku memanfaatkan bantuan pendidikan yang diberikan RAPP melalui SD Global Andalan.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 53: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

51

Tentang Inang Asuh dan Gambaran Aktivitas di Dalamnya Pada saat dilaksanakannya program Inang asuh, TPK 5 merupakan salah satu tempat penampungan penitipan anak anak pekerja dibagian penanaman. Di TPK 5 ini terdapat lima orang inang asuh. Setiap inang asuh bertanggung jawab untuk mengurus 10 anak. Tugas seorang inang diantaranya memandikan, memberi makan, mengenakan pakaian, mencucikan pakaian, menjaga dan menidurkan (bagi anak balita). Untuk anak-anak usia sekolah dasar tugas-tugas inang asuh sekedar memberi makan, mencucikan pakaian, serta menyediakan tempat istirahat atau tidur. Bantuan-bantuan kecil lainnya juga menjadi tugas inang asuh dalam urusan kebutuhan anak yang dititipkan kepadanya. Kecilnya Tingkat Antusiame Orang Tua Menitipkan Anak di Inang Asuh dan Terhadap Sekolah Bila melihat jumlah anak yang dititipkan dengan jumlah anak secara keseluruhan yang tersebar di moving camp menurut keterangan informan jauh lebih banyak anak yang tidak. alasannya pekerja atau keluarga Nias yang ada di camp-camp umumnya melihat bahwa barak penampungan inang asuh terlalu jauh dengan lokasi-lokasi kerja para orang tua. Factor lain adalah kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak masih sangat rendah dan tidak adanya biaya untuk anak yang dititipkan.

“Gini mas, banyak utangnya, utang ke KR, yah buat makan sehari-hari, macam-macam mas, kadang buat kirim uang, kadang utang pas dia kawin”

Seorang informan bernama Desma Lase mengatakan:

“Orang tua kan harus punya uang buat titip anak, beras buat makan mereka harus ada, uang buat jajan sedikit, Mereka kadang takut juga mas, anaknya tak diurus dengan baik, padahal di camp belum tentu juga diurus, tapi di camp mereka kan tahu anak-anaknya secara langsung, tahu kemana mereka, tahu sedang apa,”

Sementara Aliya Giawa mengatakan:

“Semestinya ada juga barak yang menampung anak-anak ini, bukan hanya di TPK 5 mas, di TPK 17 misalnya, jadi mereka tak terlalu jau, orang tuanya mungkin bisa lebih dekat kalau nengok”

Seorang bapak bernama Amayofe di moving camp mengatakan bahwa menitipkan anak di ‘inang asuh’ juga butuh biaya untuk makan anaknya, setidaknya beras dan jajan anak . selanjutnya informan mengatakan:

“anak-anak disini mas, memang kebanyakan tak sekolah, sebabnya kami juga kesulitan untuk makan dan minum, bagaimana untuk sekolah anak? Kadang

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 54: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

52

anak-anaknya juga tak mau, takutlah jauh dengan mamanya, malu lah harus campur dengan anak lain di sektor, banyaklah alasannya…. Kadang anak juga risih kalau harus berbahasa Indonesia”

Mekanisme Pembiayaan Program Inang Asuh dan Persoalan Transparansi Jumlah Bantuan. Seorang Inang asuh mendapat bantuan bahan makanan dari orang tua si anak yang kadang mengirim dalam waktu tertentu ke lokasi Barak di TPK 5, baik dalam bentuk sembako atau sekedar uang makan dan uang bantuan sekedarnya. Sementara itu dari pihak RAPP bantuan dana untuk operasinalisasi program inang asuh disalurkan melalui CV, baru kemudian menyalurkan lagi ke inang asuh. Besaran dana untuk tiap inang asuh ini dari perusahaan menurut informan besarnya tak diketahui. Aliya Giawa dan Desma Lasse mengatakan bahwa berdasarkan informasi tiap inang semestinya mendapat 35 ribu/anak/bulan dari perusahaan atau sekitar 350 ribu untuk setiap 10 anak. Namun karena disalurkan melalui CV terdapat pemotongan, Inang asuh hanya menerima 15 ribu/anak/bulan. Uang sejumlah itu menurut Siti Bahalawa (mantan inang asuh) tidaklah cukup dan dikeluhkan para inang asuh. Karena terkadang uang itu juga terpakai untuk membiayai anak anak asuh. Sumber Masalah Berhentinya Program Inang Asuh “sebaiknya perusahaan menyalurkan uang asuh tersebut langsung ke para inang asuh, berapapun besarnya, jangan melalui CV mas” Kata Siti Bahalawa yang ditegaskan oleh beberapa informan yang berkerumun saat itu. “Masalahnya hanya itu mas, kita tidak tahu dengan pasti berapa jumlah uang dari perusahaan untuk setiap anak, lah ini kok diberikan melalui CV?” tutur Desma Lasse. Menurut kesimpulan para informan persoalan kenapa inang asuh berhenti karena persoalan dana yang tidak jelas tersebut telah membuat para inang asuh malas melanjutkan kegiatan tersebut. “Sebaiknya uang untuk anak-anak itu langsung diserahkan oleh perusahaan ke inang asuh, berapapun jumlahnya, ini lebih baik karena kami tidak menduga-duga yang jelek mas” Ujar Aliya Giawa. “Selain itu harus dibuat juga program inang asuh ini di tempat-tempat lain, biar yang jauh-jauh mau menitipkan anaknya dan mungkin banyak lagi yang sekolah, kan ke tiap TPK ada bus jemputan” Ujar Desma lasse. “kalau bisa juga inang asuh itu dapat uang gaji mas, selama ini kan tidak, jadi kalau kami marah-marah sewaktu uang untuk anak asuh dipotong CV ya wajar mas, lah itu kan buat kami pusing.. kami juga kan perlu penghasilan, kalau inang asuh bikin repot mending kami kerja kan …” Kata Siti Bahalawa. Pendapatan kurang Ina kembali menanam Program Inang asuh menurut mama Ina sudah diberhentikan pada tahun 2009. Hal ini

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 55: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

53

dikarenakan sudah tidak ada sumber lagi, (menurut Ina Soni), semua anak yang dititipkan dikembalikan ke orang tua masing-masing. Sumber sendiri disini adalah uang untuk membeli makanan sehari-hari anak-anak asuh ini. Uang yang ada sudah tidak memadai lagi, sehingga para Ina Asuh lebih memilih kembali bekerja sebagai pekerja harian lepas untuk ketimbang menjadi Ina Asuh yang tidak jelas pendapatannya. Dahulu ada sekita 6 orang Ina Asuh di barak ini yang dititipkan anak-anak pekerja tanam yang tinggal di camp. Setiap Ina Asuh mengasuh sekitar 10 orang anak. Ina Asuh bertanggung jawab menyaipakan makanan dan memandikan anak-anak yang belum bisa mandiri. Selain itu dia Ina Asuh juga harus mengurus anak-anak kandungnya. Terkadang Ina Asuh ini menggunakan uang belanja keluarganya untuk menutupi biaya makan anak-anak asuhnya. Banyak juga orang tua yang menitipkan anaknya mengirimkan beras dan uang untuk biaya sehari-hari anak mereka. Hal tersebut dibenarkan oleh Mathius yang masih kerabat Ina Soni, terhentinya program Ina Asuh karena terhentinya gaji mereka. Gaji Ina asuh berasal dari perusahaan langsung tapi sudah tidak ada lagi. Biaya operasional Ina asuh setiap harinya adalah Rp. 30.000 dari perusahaan ini termasuk makan dan gaji Ina Asuh, ini untuk memberi makan 10 orang anak yang dititipkan. Namun, akhirnya sistem ini berhenti karena gaji tersebut akhirnya berhenti. Anak-anak yang dititipkan dikembalikan kepada orang tua masing-masing dan para Ina Asuh kembali bekerja sebagai pekerja harian lepas.

3.4. Kendala mendapatkan pendidikan pada anak anak pekerja Nias

Hambatan utama yang dihadapi oleh para pekerja Nias untuk menyekolahkan anak di estate pelalawan adalah kondisi geografis yang sulit. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa lokasi pemukiman atau moving camp pekerja Nias berada di pedalaman yang sulit diakses. Jarak dari sector tempat sekolah berada ke pemukiman berjarak antara 30 sampai 40 km jalan darat atau sekitar 1 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dan harus disambung dengan perjalan menggunakan perahu dengan waktu tempuh bervariasi anatara 15 menit sampai lebih dari 1 jam. Kondisi ini sangat tidak memungkinkan bagi anak anak yang tinggal di moving camp untuk bisa menjangkau sekolah.

Selain kondisi geografis yang sulit keadaan diperburuk dengan tidak adanya sarana transportasi yang biasa setiap saat digunakan untuk mobilitas penghuni camp. Memberikan layanan transportasi khusus bagi anak untuk bersekolah tentunya membutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi dan akan menjadi beban bagi perusahaan.

Untuk mengatasi masalah ini pada tahun 2007 perusahan pernah mangadakan program “Inang Asuh” atau ibu asuh bagi orang tua bagi anak anak pekerja Nias dan membangun barak penampungan anak anak yang lokasinya berada di Nursery. Anak anak pekerja yang ada di camp dikumpulkan di barak tersebut dan diasuh oleh beberapa orang tenaga yang dipekerjakan khusus untuk menjaga anak anak. Sesuai dengan namanya “Inang Asuh” tujuan program ini adalah memberikan pengasuhan bagi anak anak pekerja. Bila dilihat lebih jauh dasar pemikirannya antara lain tempat tinggal orang tua yaitu moving camp sangat tidak layak untuk anak anak baik dari segi kesehatan maupun keselamatan, keberadaan anak anak di lokasi kerja

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 56: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

54

bisa menggangu aktivitas bekerja orang tua dan bisa berdampak rendahnya produktivitas kerja bahkan tidak tercapainya target kerja, dengan ditempatkan di nursery setidaknya anak usia sekolah bisa bersekolah karena ada bis antar jemput untuk siswa dan anak yang belum cukup umur untuk sekolah mendapat tempat tinggal yang layak dan pengawasan yang baik dari inang asuh.

Keberadaan “Inang Asuh” ini tidak bertahan lama dan hanya berjalan kurang lebih 2 tahun. Tahun 2009 inang asuh ditiadakan karena beberapa factor antara lain dalam aturan RAPP semua pekerjaan harus dilakukan oleh pihak kedua dalam hal ini kontraktor dan pembayaran dilakukan langsung oleh kantor pusat. Maka program inang asuh ini pun harus dijalankan oleh kontraktor rekanan. Dengan demikian inang asuh merupakan pekerja dari kontraktor dan pembayarannya pun dilakukan oleh kontraktor. setiap mendapatkan pekerjaan dari perusahaan seperti biasa kontraktor ingin mengambil keuntungan dari pekerjaan tersebut tidak terkecuali juga pada program inang asuh. Karena adanya pemotongan pemotongan dari kontraktor maka gaji yang diterima oleh inang asuh tidak utuh dan sangat kecil. Menurut pengakuan seorang bekas inang asuh gaji yang diberikan oleh kontraktor sangat kecil. Untuk mengasuh anak sebanyak 10 orang dana yang diberikan oleh kontraktor hanya Rp. 30.000,-. Karena tidak adanya biaya makan untuk anak anak asuh upah tersebut menurutnya habis untuk keperluan makan anak anak asuh itu sendiri sehingga pengasuh tidak mendapatkan apa apa.

Seorang mantan inang asuh lainnya mengatakan bahwa dalam 1 bulan gaji inang asuh sebesar 1.2 juta tetapi karena dipotong oleh kontraktor yang diterima hanya Rp. 800.000,-. Ditambahkan uang gaji tersebut juga pada kenyataannya habis untuk biaya makan anak asuh, karena orang tua dari anak anak asuh tidak pernah memberikan dana untuk biaya makan anak anak mereka. Informasi lain menyebutkan bahwa gaji yang diterima oleh seorang inang asuh disesuaikan dengan jumlah anak yang diasuh semakin banyak anak yang diasuh maka akan semakin besar upah yang diterima. Cara ini tidak jarang menimbulkan pertengkaran antar inang asuh karena jumlah upah yang diterima berbeda beda antara satu inang dengan inang asuh lainnya.

Bagi orang tua anak atau pekerja program inang asuh juga menjadi beban karena mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk biaya makan anak yang dititipkan pada inang asuh. Faktor lain adalah orang tua tidak percaya sepenuhnya pada orang lain untuk mengasuh anaknya. Ada rasa kekhawatiran apabila anak dititipkan pada pihak lain sehingga secara psikologis membeuta mereka tidak tenang. Para orang tua juga merasa lebih nyaman apabila anak selalu ada dekat dengan mereka dan dalam pengawasannya sendiri. karena adanya berbagai kendala diatas maka program inang asuh akhirnya berhenti pada sekitar tahun 2009. Anak anak asuh dikembalikan pada orang tua masing masing.

Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan juga merupakan kendala bagi orang tua untuk menyekolahkan anak. Disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pekerja banyak yang terjerat utang karena pendapatan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan menyekolahkan anak artinya harus ada biaya tambahan yang dikeluarkan. Memang sekolah tidak memungut bayaran dan tidak mewajibkan seragam bagi yang tidak mampu tetapi ada keperluan keperluan lain untuk bersekolah seperti baju yang layak, buku, tas dan biaya makan anak itu sendiri. Menurut keterangan seorang informan tidak kurang dari Rp. 300.000,- harus dikeluarkan setiap bulannya untuk biaya sekolah anak. Dengan tingkat pendapatan yang rendah

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 57: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

55

dan adanya jeratan utang, menyekolahkan anak bukanlah prioritas bagi para pekerja. Prioritas para pekerja saat ini adalah bagimana upaya bertahan hidup.

“di camp sebelah juga ada anak yang bersekolah.. dititipkan di sektor tetapi bapaknya harus ngirim uang sebesar Rp300.000,00 kepada anaknya untuk kebutuhan di sektor.”

Akan tetapi apabila dilihat lebih jauh bagi keluarga yang suami dan istri bekerja sebenarnya mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar ekonomi, karena upah salah satu dari mereka bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari dan upah salah satu lainnya bisa digunakan untuk keperluan lain termasuk untuk menyekolahkan anak. maka dalam hal ini dapat juga dikatakan salah satu penyebab tidak menyekolahkan anak akibat kedua orang tua bekerja sehingga tidak ada yang mengawasi anak di rumah selain aksesibilitas terhadap sekolah itu sendiri yang sulit. Factor lain adalah karena latar belakang orang tua yang berasal dari desa desa pedalaman yang belum memandang pendidikan sebagai hal yang penting bagi masa depan anak. Bagi mereka nampaknya jenjang pendidikan formal yang ideal dianggap menyita waktu teramat panjang, butuh waktu lama, dan menghabiskan biaya yang besar. Bagi mereka sekolah model formal berjenjang tak bisa menjawab kebutuhan riil kehidupannya yang serba kekurangan. Para pekerja Nias memiliki prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan dasar paling urgen : mencukupi pangan harian, dan kalau ada kebutuhan lain setelah itu, lebih kepada hal-hal yang akan menjaminkan lagi ketahanan pangan tersebut: mengumpulkan uang untuk membeli sawah dan kebun. Ataupun kebutuhan lainnya yang kini menjadi keinginan tambahan berupa keinginan mereka memiliki HP dan benda-benda lainnya yang dianggap secara kasat mata lebih prestisius, bahkan mereka tidak segan menghutang kepada KR untuk cicil kendaraan motor dan lain lain.

Persoalan-Persoalan Tentang Administrasi dan Kelengkapan Murid Para murid yang sebagian besar anak para buruh harian lepas menurut beliau secara administrasi kebanyakan tidak membawa raport lamanya dan tak memiliki surat pindah, “Ini yang membuat saya pusing, karena mereka ini secara teknis menurut dinas tidak dibolehkan ikut ujian” Ujarnya. Jalan keluarnya menurut bu emi hanya kesetaraan lewat paket A yang biasanya dikelola langsung oleh dinas melalui KBM (kelompok Belajar Masyarakat). Lalu beliau menceritakan hal yang menjadi kegundahannya selama ini menyangkut kelengkapan seragam murid, menurutnya sekolah sudah memberi kemudahan-kemudahan agar orang tua Nias tak terbebani dengan tidak membebani kewajiban seragam,”jadinya seragam mereka macam-macam, lihat seragam olah raganya mas, ada macam-macam” Ujarnya lagi. Di pembicaraan kemudian bu emi memohon tanoto foundation memikirkan hal tersebut Pandangan-pandangan Kepsek terhadap Orang Tua Murid Asal Nias “kalau alasan mereka tidak menyekolahkan anak tersebut ekonomi bagi saya tak begitu, saya orang batak mas dan dikampung saya juga banyak yang penghasilannya dibawah rata-rata

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 58: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

56

pekerja Nias di sini, tapi mereka masih mau memaksakan anaknya buat sekolah, di sini (orang Nias) lebih ke faktor ibu” Ujarnya. Maksud dari faktor ibu asal Nias ini ibu Emil merujuk pada soal kepeduliannya yang katanya rendah, dan ia ceritakan kasus yang ia alami yang menyangkut pengalamannya dengan orang tua murid. “dulu mas, ada murid orang kita nias yang sakit di sekolah, entah DB atau Malaria, dan kata dokter di klinik sini harus dirujuk ke rumah sakit di pangkalan kerinci karena gawat, saya lalu telpon ibunya, eh apa jawabnya mas” Ujarnya sambil menjelaskan apa yang kemudian ibu dari murid tersebut omongkan lewat telpon tersebut. Si ibu dari murid yang sakit tersebut malahan meminta para guru mengantarkan saja anaknya yang sakit ke barak, dan akhirnya salah sorang guru mengantarkan anaknya tersebut ke barak mereka. atas kejadian tersbut bu kepsek menyimpulkan bahwa tingkat kepedulian mereka para ibu murid Nias memang rendah,”semestinya kuatir kan kalau dengar anaknya sakit, atau paling tidak dia datang ke sekolah, bukannya acuh begitu,dari situ saya bisa bilang untuk sekolah pun akan begitu, acuh dan gak peduli” Ketidakpedulian para ibu Nias ini dilanjutkan lagi oleh Bu Emi dengan mencontohkan hal berikut: membiarkan anaknya telanjang kaki ke sekolah, dan bila mereka pindah seringnya mereka tak mengurusnya dengan meninggalkan raport anaknya di sekolah. “itu kan tandanya mereka memang tak peduli pendidikan anaknya, raportnya ditinggal, tentu di tempat baru mereka tidak berniat menyekolahkan lagi” tuturnya. Usulan-Usulan Meluaskan Akses Di sela obrolan bergabung juga wakil kepsek bapak firman yang asal Nias, dalam akhir obrolan mereka mengemukakan beberapa hal untuk menjangkau lagi akses sekolah ke tenmpat-tempat pekerja berdiam di moving camp. “Yang cocok itu model sekolah paket A karena banyak anak yang tidak punya kelengkapan administrasi seperti raport mas dan banyak pekerjanya putus sekolahjuga” “dulu sebelum ada SD Global Andalan ada sekolah di TPK 17 dan di TPK 5, sekarang dipusatkan disini, mungkin sekolah di sini juga kejauhan mas” “sering orang tua juga tak tahu informasinya, banyak isu lah, bayar mahal lah, harus ada uang apa lah, padahalkan di sini biaya gak berat” “mungkin juga harus ada volunter-volunter yang mendatangi mereka dan sekolahnya juga tidak harus setiap hari, tapi saya tidak tahu model begini di diknas seperti apa?” Pandangan Tentang Etos, Sifat, dan Karakter Orang Tua Nias yang di Moving Camp Tentang bagaimana semestinya fasilitasi pendidikan diberikan kepada anak-anak Nias di moving camp yang kebanyakan tidak menyekolahkan anaknya di SD Global Andalan maka pak Firman menjelaskan bahwa kelemahannya adalah tidakadanya anggkutan khusus kanal yang membawa anak-anak tersebut ke titik penjemputan di TPK. Karena sarana speadboat atau pompong yang selama ini tersedia lebih diperuntukan untuk sarana kerja dan kelancaran produksi. Pak Bejanolo lain lagi, selain mengamini pendapat wakil kepsek diatas dia juga menyarankan agar kebijakan untuk sekolah itu juga dibarengi dengan pemberian instruksi wajib dari perusahaan kepada pekerjanya. Atau dengan kata lain cv-cv yang menaungi mereka harus mewajibkan anak yang dibawa keluarganya untuk sekolah.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 59: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

57

Waktu dikemukakan pernyataan bahwa ada permintaan dari beberapa orang tua agar sekolah atau guru yang mesti mendatangi lokasi pekerjaan, maka pak firman bereaksi amat menghakimi atas permintaan tersebut. “nah itu pak mereka inginnya disuapi, gak mau susah” ujarnya sambil ia menceritakan bahwa tabiat dari warga di moving camp kebanyakan seperti itu. Menurutnya mereka kadang tidak mau kalau sesuatu itu tidak ‘nyata’ dan tidak ‘langsung’ menguntungkannya. Dulu katanya saat dia mau membagikan sembako (6 buah mobil) dia menyuruh orang nias di camp untuk mendata siapa saja yang harus dibagi. “itu sebulan sebelum sembako akan dibagikan oleh gereja, dan saya minta dia orang mendata dan berkumpul di satu tempat, tapi pas harinya orang-orang tak ada di tempat, tidak ada datanya” Ujarnya. Akhirnya sembako tersebut dibagikan ke orang yang ada di tempat yang tidak sengaja dijumpainya, “namun saat orang itu dibagi sembako lalu mengabarkan ke yang lain, bermunculanlah orang yang banyak, mereka minta dan mengatakan bahwa si anu belum, si anu belum, tanpa daftar seperti yang saya perintahkan sebelumnya” Ujarnya. Menurut pak firman orang kita nias ini digambarkan harus melihat dulu sesuatu itu ada dan menguntungkan, “kalau masih belum yakin, padahal pihak lain sebenarnya niatnya ingin bantu, mereka pasti tak mau, harus terlihat dulu, baru dia serius” Ujarnya. “Entahlah pak, mungkin mereka itu apatis atau frustasi, saya kadang jengkel dengan maunya yang ingin disuapi terus” Ujarnya. Untuk sekolah anaknya pun kata beliau si orang tua dianggap kurang peduli, “Mereka kalau untuk sekolah atau beli buku susah, tapi lihat kalau mereka belanja, wah nomor satu” Tegasnya menjelaskan betapa konsumtifnya orang tua nias yang katanya mempengaruhi pada tingkat penghasilan. Waktu saya tanya apakah itu mempengaruhi tingginya berhutang, pak Firman mengiyakan,”itu jelas pak, darimana mereka belanja HP atau baju, pasti utang” .

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 60: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

58

Bab 4 Penutup 4.1. Kebutuhan pendidikan Bagi Anak-Anak Pekerja Nias Dilihat dari usia sekolah anak anak di kamp pekerja dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu anak usia pra sekolah yaitu berkisar antara umur 5 – 7 tahun dan anak usia sekolah yaitu usia 7 tahun keatas. Anak usia sekolah terbagi dalam 2 kelompok yaitu anak yang belum pernah bersekolah dan anak putus sekolah karena dibawa pindah bekerja oleh orang tua mereka. Disebutkan pada bagian sebelumnya sebagian besar anak anak pekerja ini tidak bisa mengakses sarana pendidikan yang disediakan oleh perusahaan karena beberapa hambatan yaitu hambatan geografis, hambatan ekonomi dan latar belakang orang tua yang kurang mendukung pendidikan anak. Anak anak yang sudah dianggap besar mulai diberikan berbagai peran oleh orang tua seperti menjaga adik, memasak, mencuci dan mengerjakan pekerjaan domestic lainnya bahkan mulai diperbantukan bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Sedangkan anak anak kecil dibiarkan bermain bergerombol bersama teman sebayanya. Pada hakekatnya anak anak pekerja Nias tidak berbeda dengan anak anak umumnya, sebagian besar waktu dipergunakan untuk bermain. Namun tidak jarang kegiatan anak anak ini mengganggu pekerjaan orang tua dan melakukan tindakan “berbahaya” yang rawan kecelakaan. Beberapa kasus menunjukkan anak tertusuk kayu, tersiram bahan bakar, luka terkena senjata tajam, tenggelam di kanal dan terkena serangan hewan liar, karena kurangnya pengawasan. Pengawasan terhadap anak menurut salah seorang guru di SD Global Andalan sangat penting agar kegiatan anak lebih terarah. Salah satu bentuk pengawasan yang efektif bagi anak anak adalah sekolah dengan berbagai macam bentuknya. Dengan sekolah anak anak bisa berkumpul dalam satu tempat dan diawasi oleh guru atau pembimbing mereka. Sekolah juga sangat penting untuk mempersiapkan masa depan anak anak. Para orang tua juga setuju bahwa pendidikan penting bagi anak anak agar bisa keluar dari keadaan saat ini yang serba kekurangan. Minimal menurut mereka anak anak bisa membaca, menulis dan berhitung. Pentingnya pendidikan bagi anak ditunjukkan pula dengan adanya sebagaian kecil pekerja yang dengan sengaja meninggalkan anak anak mereka dikampung agar tetap bisa melanjutkan sekolah. Secara berkala mereka mengirimkan uang untuk biaya sekolah anak. Menurut mereka tanpa pendidikan yang memadai masa depan anak tidak akan jauh berbeda dengan keadaan orang tuanya saat ini. Dengan bersekolah mereka berharap anak anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya saat ini yang terjerat dalam kemiskinan. 4.2. Kajian Pendidikan Alternatif di Tempat lain Program Sekolah Ketahanan Hidup - SOKOLA Sokola adalah lembaga yang mengembangkan pendidikan bagi masyarakat asli yang terpinggirkan di lokasi mereka tinggal (Alternative Education For Indigenous People). Salah satu pogramnya, Sekolah Ketahanan Hidup, merupakan sebuah fasilitasi pendidikan alternatif komprehensif dimana literasi dasar berupa baca, tulis, dan berhitung diberikan kepada sebuah komunitas yang karena alasan seperti – geografis, ekonomi, dan kultural - tidak terakses dan tidak mengakses fasilitasi pendidikan formal. Fasilitasi literasi dasar tersebut dipadukan dengan

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 61: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

59

pemberian pengetahuan tambahan, penguatan internal, dan keahlian untuk meningkatkan ketahanan hidup dan daya saing komunitas saat menghadapi kompetisi dan perubahan di sekitar kehidupan.

Program dijalankan dengan mempertimbangkan beberapa hal dalam rangka penyesuaian kurikulum dan materi ajar antara lain konteks persoalan lokal dan fungsi hasil belajar. Sekolah ketahanan hidup umumnya dilaksanakan pada komunitas yang memiliki angka buta huruf cukup tinggi. Sering kali kelompok masyarakat ini mendapat perlakuan perlakuan kurang baik yang merugikan seperti ditipu dan diperdaya oleh pihak lain. Berikut adalah kasus-kasus dimana sekolah ketahanan hidup di langsungkan dan materi ajar pendidikan life skill yang diberikan di sesuaikan dengan konteks persoalan lokal.

Kasus – Kasus Program Sekolah Ketahanan Hidup

Lokasi dan Sasaran Persoalan Riil Materi Ajar

Sokola Rimba – Komunitas Adat Orang Rimba - di Taman Nasional Bukit Duabelas – Jambi

Komunitas buta aksara karena alasan kultural dan geografis. Penipuan besaran uang dan timbangan dalam transaksi ekonomi perdagangan hasil hutan dengan pasar di luar taman nasional. Kesulitan mengakses informasi tertulis dari pihak luar dimana saat disampaikan kerap tidak utuh dipahami. Kesulitan saat melakukan kesepakatan tertulis menyangkut persoalan konflik lahan/ sumber daya dengan pihak luar - komunitas ini kerap menganggap isi kesepakatan sering berbeda dengan yang diucapkan pihak lain. Perubahan ekologis kualitas hutan yang menuntut penyesuaian terhadap mata pencaharian dan kemampuan tambahan lain diluar subsistensi tradisionalnya. Keterbukaan akses atas lingkungan hutan membutuhkan pengetahuan tambahan atas efek interaksi yang berlangsung lebih intensif dengan dunia luar.

Literasi Dasar Baca, Tulis, dan Berhitung Fungsional Fasilitasi Pengutan Internal Pemberian nutrisi bergizi bagi murid secara berkala. pembentukan organisasi internal berbasis adat Life Skill Bahasa Indonesia Praktis : percakapan dan menulis surat Pendidikan Kesehatan dan Lingkungan Praktis : P3K, Sanitasi diri dan lingkungan, Pengelolaan sampah non organik. Pertanian Praktis: Pembuatan pupuk organik, pengkayaan bibit tanaman kebun ekonomis, perawatan dan pemasaran hasil kebun Wawasan Pengetahuan Dunia Luar: Sistem dan hierarkis pemerintahan lokal/nasional Sistem ekonomi pasar lokal dan tema-tema tertentu yang dianggap penting dan mempengaruhi komunitas.

Sokola Tayawi – komunitas Suku Tayawi – di Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata – Oba, Tidore Kepulauan, Maluku Utara

Sokola Kajang – Komunitas Adat Tanatoa – Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Sekolah Otonom – Sanggar Anak Akar Sekolah Otonom - Sanggar Anak Akar – merupakan media bagi anak-anak dari berbagai latar belakang social ekonomi dan budaya menempa diri untuk menjadi lebih berarti bagi diri dan lingkungannya. Istilah otonom menunjuk pada azas pendidikan yang menghormati anak sebagai mahkluk yang memiliki kesadaran akan kebebasannya sekaligus keterbatasannya.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 62: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

60

Praksis pendidikan otonom bertumpu pada cara pembelajaran yang menempatkan anak sebagai subyek yang sedang tumbuh dan berkembang bersama dengan lingkungannya. Istilah otonom juga menunjuk pada keberadaan Sanggar Anak Akar sebagai sebuah organisasi nir-laba yang dikelola secara independen oleh anggota masyarakat yang berniat dalam pengembangan pendidikan.

Fasilitasi pendidikan di Sekolah otonom mencakup pengembangan kemampuan kognitif, afektif, konatif, dan kreatif. Dinamika keseharian peserta ajar - mulai bangun pagi, menyiapkan makan pagi, merawat lingkungan sekolah (yang menjadi tempat tinggal bersama peserta ajar) - merupakan bagian yang dirancang bersama untuk membantu proses pengembangan kemampuan anak. Sementara proses pembelajaran bersama dilakukan melalui kelas akademik dan kelas kreatif yang diselenggarakan secara reguler. Di samping itu disediakan ruang, waktu dan fasilitasi bagi setiap anak yang berminat untuk melakukan eksplorasi pengembangan kemampuan pribadi.

Umumnya peserta Sekolah Otonom adalah anak-anak yang berasal dari kalangan keluarga kelas bawah yang kehilangan hak sosial ekonominya untuk mendapatkan kesejahteraan. Karena pembelajaran di Sekolah otonom setara dengan pembelajaran Sekolah Menengah, maka prioritas kesempatan belajar di Sekolah Otonom diprioritaskan anak-anak yang berusia antara 12 sampai dengan 16 tahun. Di luar dinamika rutin harian tersebut juga diselenggarakan aktivitas lain yang mendukung proses belajar anak-anak, diantaranya kegiatan tersebut berupa diskusi tematik, apresiasi seni budaya dan magang.

Sanggar Anak Alam (SALAM) Sanggar Anak Alam berdiri atas keprihatinan terhadap anak-anak usia SD di sekitar Desa Lawen yang tidak dapat membaca dengan lancar dan kurang bisa memahami kalimat dengan baik meskipun mereka sudah hampir lulus sekolah. Awal didirikan Salam memiliki 50 murid yang ditangani oleh 2 orang relawan setelah dua tahun berjalan SALAM memiliki 160 murid dengan 14 relawan.

Aktivitas yang dilakukan di Desa Lawen adalah: pendidikan anak pra sekolah, bimbingan belajar, pertanian organik, peternakan, pertukangan dan seni budaya, dan pembentukan kelompok tani. Selain itu, bekerjasama dengan PUSKESMAS setempat, SALAM memulai pelatihan dukun bayi dan tenaga kesehatan. Saat ini, aktivitas tersebut sudah dilakukan oleh komunitas masyarakat setempat.

Di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, SALAM melakukan desain ulang untuk menyesuaikan dengan kondisi di Kampung Nitiprayan. Masalah yang muncul antara lain tingkat kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak cukup rendah. Selain itu, perhatian terhadap pendidikan anak usia dini juga sangat kurang. Dibantu oleh beberapa relawan, SALAM mengadakan pendampingan belajar bagi anak usia sekolah yang kemudian dikembangkan menjadi beberapa aktivitas lain seperti Program Lingkungan Hidup (kompos, beternak, daur ulang kertas, dan briket arang), Kegiatan Seni dan Budaya (teater, musik, dan tari), Mendirikan perpustakaan anak, Bulletin SALAM.

Sanggar Anak Alam (SALAM) mempunyai perhatian khusus terhadap proses imajinasi yang merdeka, penguasaan kemampuan dan pengembangan sikap sosial anak sejak dini. Alam dan lingkungan menjadi media belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan dunia sekitar

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 63: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

61

dengan cara menciptakan kesempatan bagi anak untuk berekspresi dan bereksplorasi agar berkembang utuh sebagai pribadi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab. Sebagai bagian dari masyarakat, SALAM mencoba merealisasikan ide-ide pendidikan alternatif berbasis lingkungan lokal. Kesederhanaan, lokalitas dan persahabatan dengan lingkungan merupakan tawaran yang diberikan oleh SALAM. Sekolah penyetaraan ( Paket ) Sekolah penyetaraan adalah program pemerintah yang diberikan pada orang orang yang putus sekolah agar mereka memiliki sertifikat atau ijazah yang bisa dipergunakan untuk berbagai kepentingan seperti melanjutkan sekolah, mencari kerja dan sebagainya. Terdapat 3 kelompok belajar dalam sekolah penyetaraan ini yaitu Kejar Paket A untuk pendidikan setara SD, Kejar Paket B untuk pendidikan setara SMP dan Kejar Paket C untuk pendidikan setara SMA. Sertifikat atau ijazah dikeluarkan oleh pemerintah dan sifatnya setara dengan ijazah sekolah formal.

Sekolah Kebun - Eka Tjipta Foundation (ETF) Sejauh ini ETF aktif memberdayakan infrastruktur serta sumber daya pendidikan di sekitar fasilitas produksi Sinar Mas, antara lain dengan mengelola sebanyak 146 sekolah dari tingkat usia dini hingga menengah atas di sekitar perkebunan sawit yang dikenal dengan sebutan sekolah kebun dan melibatkan sekitar 1.000 orang guru.

Saat ini ETF bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melakukan kesepakan dalam pengembangan kurikulum, penelitian, pengembangan, serta penilaian pada satuan pendidikan – yang ditujukan untuk mendorong seluruh sekolah kebun yang berada di lokasi produksi Sinar Mas memenuhi standar Sekolah Nasional. Di awal kerjasama maka pemenuhan standar nasional ditujukan pada sekolah dasar dan menengah pertama yang memang jumlahnya paling banyak.

Seluruh sekolah tadi terkonsentrasi di sekitar sentra perkebunan yang dikelola Sinar Mas Agribusiness & Foods di Sumatera dan Kalimantan, dengan para siswa tidak hanya anak dan keluarga karyawan, tapi juga warga sekitar. Dimana tujuan kerjasama tersebut untuk mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang setara dengan kualitas sekolah-sekolah di perkotaan. Bentuk kerjasama tersebut – dalam tiga tahun ke depan – berupa pemberian bantuan teknis dan pakar yang akan diberikan Kemendiknas dalam kaitan penelitian dan pengembangan kualitas sekolah. 4.3. Pendidikan bagi Anak-anak Nias: Kesimpulan dan Rekomendasi Persoalan pendidikan bagi para pekerja Nias, terutama di bagian penanaman, tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-budaya mereka. Ditambah dengan lokasi baru di Riau, maka kompleksitas latar belakang budaya berpadu dengan kondisi alam yang relatif baru, kesempatan ekonomi yang diperoleh di perusahaan dan berbagai aspek legal/administratif terkait dengan proses migrasi mereka. Secara umum, rendahnya kemampuan dan kemauan dalam mengakses sekolah (TK/SD) yang berada di lokasi sektor Pelalawan disebabkan oleh:

1. Kondisi geografis yang sulit dan minimnya sarana transportasi yang tersedia baik transportasi darat maupun transportasi air. Pelayan bis sekolah baru menjangkau anak

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 64: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

62

anak yang tinggal dibarak permanen belum bisa menjangkau anak anak yang tinggal di moving camp.

2. Kondisi ekonomi. Faktor ekonomi ini menghalangi orang tua untuk membiayai anak dalam bersekolah, meski secara teknis biaya sekolah gratis (pendaftaran dan SPP) namun orang tua tidak memiliki biaya lain untuk keperluan sekolah anak seperti buku, biaya makan, uang jajan, tas dan lain sebagainya.

3. Alasan-alasan berbasis kultural - Anak bagi pekerja Nias merupakan unit produksi rumah tangga yang

dipekerjakan melakukan pekerjaan domestic agar kegiatan ekonomi orang tua tidak terganggu maupun dilibatka langsung dalam kegiatan ekonomi untuk menambah penghasilan keluarga.

- Cara pandang pragmatis terhadap sekolah formal, orang tua memandang jenjang sekolah formal teramat panjang, menyita waktu dan membutuhkan biaya mahal. Orang tua mengharapkan anak secepatnya berkontribusi dalam kehidupan ekonomi rumah tangga.

- Cara pandang terhadap sekolah dihubungkan dengan ketersediaan kesempatan kerja, orang tua memandang bahwa kesempatan kerja yang tersedia tidak membutuhkan pendidikan formal. Kerja tani di kampung maupun menjadi buruh tanam di perusahaan tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan tertentu.

- Intensitas pertemuan orang tua dengan anak, dimana sekolah yang selama ini terselenggara dianggap menjauhkan orang tua dari anak. Jarak dan kondisi bentang alam membuat anak tidak setiap saat bisa bertemu dengan orang tua. Keharusan anak ‘diasuh di tempat lain oleh inang asuh’ juga memberatkan secara ekonomi karena harus menyediakan dana tambahan untuk kebutuhan anak sehari hari.

4. Alasan kelengkapan administratif, dimana anak nias yang dibawa orang tuanya umumnya tidak membawa buku raport dan surat pindah dari sekolah asal, sehingga menyulitkan pengadministrasian di sekolah baru. Ketidaklengkapan administrasi sering juga menjadi penghambat ketika anak akan mengikuti ujian karena salah satu persyaratan adalah anak memiliki catatan atau teregister sejak mulai sekolah.

Untuk meningkatkan partisipasi orang tua menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal yang sudah tersedia (TK/SD Global Andalan) maka beberapa hal bisa dipertimbangkan sebagai berikut:

1. Diberlakukan aturan wajib menyekolahkan anak oleh perusahaan, baik secara langsung disampaikan atau pun via kontraktor, kepada para pekerja untuk mendorong tingkat partisipasi orang tua pekerja Nias dalam menyekolahkan anaknya.

2. Dihidupkan kembali program inang asuh di lokasi paling dekat dengan konsentrasi pekerja penanaman, dengan mempertimbangkan masukan dan temuan lapangan tentang kendala program inang asuh yang sebelumnya memiliki banyak kekurangan. Beberapa masukan tersebut diantaranya:

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 65: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

63

- Mengambil alih pengelolaan program (pendanaan dan pengawasan) dari sebelumnya melalui kontraktor ke tangan manajemen perusahaan atau langsung melalui Tanoto Foundation.

- Memberikan dukungan pendanaan terpisah, baik untuk upah inang asuh maupun untuk konsumsi anak selama di penampungan inang asuh, yang selama ini dikeluhkan para inang asuh membebaninya. Memberikan pendanaan bagi konsumsi anak di penampungan akan meringankan beban orang tua secara ekonomi dan bisa menjadi cara Tanoto Foundation untuk mengintervensi tingkat gizi anak dengan memberikan makanan tambahan bergizi. Kepada anak-anak pekerja.

- Melakukan penunjukan sosok inang asuh yang bisa dianggap dipercaya para orang tua pekerja. Beberapa masukan lapangan mengatakan bahwa sebaiknya inang asuh memperhatikan netralitas (bukan dari fam tertentu sesama nias).

3. Menyediakan transportasi khusus untuk memobilisasi anak pergi dan pulang sekolah. Khususnya moda transportasi kanal yang selama ini dikeluhkan bukan diprioritaskan untuk sekolah.

4. Penyampaian informasi tentang sekolah dengan segala kemudahan yang didapatkan (bebas biaya) perlu ditingkatkan agar setiap orang tua pekerja memahami dengan utuh informasi tersebut. hal tersebut penting untuk menghindari kesimpang siuran informasi tentang mekanisme penyelenggaraan sekolah yang seolah ‘memberatkan’ dalam kacamata ekonomi pekerja.

5. Pemberian bantuan kelengkapan administratif orang tua dan anak-anak (identitas, surat pindah, buku raport) untuk kemudahan proses administrasi sekolah.

Menyelenggarakan sekolah informal yang mudah dijangkau oleh anak anak pekerja dapat menjawab kebutuhan dasar literasi. Sekolah tersebut memberikan kemampuan baca, tulis dan hitung di kalangan anak anak pekerja Nias. Di sisi lain juga diarahkan untuk memberikan keahlian tertentu yang bisa digunakan secara praktis guna meningkatkan kehidupan dimasa datang sekaligus untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Sekolah informal harus disesuaikan dengan ritme kerja dan mobilitas para pekerja. karena pekerja setiap saat bergerak dari satu tempat ke tempat lain mengikuti ketersedian pekerjaan bagi mereka. Model pendidikan alternatif ini juga harus menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis yang disesuaikan dengan kebutuhan paling rasional dari sasaran dan bisa menjawab persoalan keseharian dari komunitas sasaran. Model sekolah ketahanan hidup bisa menjadi rujukan dalam implementasi program, sehingga tawaran strategi dan kurikulum yang ditawarkan lebih kurang sebagai berikut dengan menyertai argumentasi tujuan di setiap materi ajar/kegiatan yang diajukan. Berikut adalah matriks kegiatan yang dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari peyelenggaraan pendidikan informal di RAPP.

Kegiatan Tujuan

Mendirikan Pondok Belajar: Berisi segala perlengkapan belajar, bacaan, dan permainan

memberi ruang dan tempat nyaman dan kondusif bagi peserta didik dalam mengakses pengetahuan, keahlian

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011

Page 66: LP 2012-01 Asesmen pendidikan.pdf

64

tematis, dan pembelajaran

Perekrutan Fasilitator Pendidikan dan Pengasuhan menyediakan fasilitator pendidikan dan pengasuh untuk melakukan tugas-tugas pengajaran dan berperan sekaligus sebagai inang asuh

Literasi dasar baca, tulis, hitung fumgsional membekali kemampuan dasar dalam hubungan ekonomi, sosial, kerja dan praktikal

Bahasa Indonesia Praktis meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam percakapan dan tulisan

Pendidikan Kesehatan Praktis : Sanitasi Diri dan Pemberian Nutrisi Tambahan Berkala

membekali peserta didik dalam kemandirian kebersihan diri meningkatkan kualitas kesehatan dan gizi

Pendidikan Life Skill Tematis : Pertanian sederhana dengan memperhatikan aspek tanah yang sesuai dengan karakter gambut renang dan penyeberangan survival pertukangan, menjahit, memasak, dll

Memberi keahlian dan penyediaan sumber makanan tambahan untuk mengurangi belanja rutin melatih dan meningkatkan daya survival anak dalam lingkungan bermainnya (kanal air) meningkatkan keahlian untuk kehidupan harian

fasilitasi Program Kejar Paket A/B memberikan serifikasi formal untuk dipakai dalam rangka mengakses peningkatan kualitas hidup dan kesempatan kerja.

Asesmen pendidikan..., Semiarto Aji Purwanto, FISIP UI, 2011