laporan_praktikum_anveg-libre.pdf

59
  LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS VEGETASI MATA KULIAH EKOLOGI TERAPAN LOKASI : TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGARANGO KETINGGIAN HM-5 OLEH KELOMPOK II : KURNIAWATI PURWAKA PU TRI P. 052130074 GERADUS M EKOHARTOYO P. 0521300….  ARIS DWI CAHYANTO P. 0521300…. ENTIN KARTINI P. 0521300…. JERREMIAS NDOEN P. 052130904 PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DESEMBER 2013

Upload: amalia-jassey-tristy

Post on 05-Oct-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS VEGETASI

    MATA KULIAH EKOLOGI TERAPAN

    LOKASI :

    TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGARANGO

    KETINGGIAN HM-5

    OLEH KELOMPOK II :

    KURNIAWATI PURWAKA PUTRI P. 052130074 GERADUS M EKOHARTOYO P. 0521300.

    ARIS DWI CAHYANTO P. 0521300. ENTIN KARTINI P. 0521300.

    JERREMIAS NDOEN P. 052130904

    PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    DESEMBER 2013

  • ABSTRAK

    Kehadiran vegetasi pada suatu area akan memberikan dampak positif bagi

    keseimbangan ekosistem. Namun pengaruhnya akan bervariasi tergantung pada

    struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu. Untuk memperoleh

    informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan

    dilakukan analisis vegetasi. Tujuan praktikum lapang adalah mempelajari komposisi

    dan dominansi serta struktur komunitas dari masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi)

    yang ada di kawasan HM 5 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Metode

    pengamatan yang dilakukan adalah kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak.

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerapatan populasi semua spesies untuk

    masing-masing tingkatan vegetasi adalah 135 pohon/hektar; 340 tiang/hektar; 25.000

    semai/hektar; 120.000 individu semak herba/hektar; 18.500 individu paku-

    pakuan/hektar; 4.000 batang palma/hektar. Dominansi semua spesies pada areal HM

    5-TNGP untuk tingkat pohon sebesar 25 m2/hektar; dan untuk tingkat tiang sebesar

    7,19 m2/hektar. Spesies yang dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya

    di kawasan HM 5 TNGP untuk tingkat pohon, tiang, pancang, semai, semak herba,

    paku-pakuan dan palma berturut-turut adalah Altingia excelsa (INP= 82,4 %); Ficus

    variegata (INP = 43,91 %) dan Schima walichi (INP = 39,38 %); Hedyotis diggusa

    (INP = 25,23 %); Ficus ribes (INP = 22,82 %); Elafostema strigosum (INP = 60,4 %);

    Cyathea latebrosa (INP = 93,02 %); dan Daemonorops rubra (INP = 146,67 %).

    Vegetasi tingkat semai menunjukkan tingkat keanekaragaman yang tinggi (H>3). Tingkat keanekaragaman sedang (H = 1-3) ditunjukkan oleh vegetasi tingkat pohon, tiang, pancang, semak-herba dan paku-pakuan. Vegetasi palem memiliki tingkat

    keanekaragaman rendah (H

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

    rahmatNya sehingga praktikum Analisa Vegetasi pada Hutan Hujan Tropis

    Gede Pangarango Pada Ketingian HM-5 dapat terselesaikan dengan baik.

    Praktikum ini merupakan bagian dari matakuliah Ekologi Terapan pada

    Sekolah Pascasarja Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Linkungan Institut

    Pertanian Bogor.

    Pada kesepatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak

    yang telah membantu terselesaikanya praktikum ini diantaranya :

    1. Prof. Andri . Sebagai koordinator matakuliah ekologi terapan

    sekaligus pembimbing praktikum

    2. Petugas Gunung Gede Pangaranago

    3. Pengenal Pohon

    4. Asisten .

    5. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 Pascasarjana PSL IPB

    Akhir kata semoga praktikum ini demi masa depan bumi dan generasi

    masa depan.

    Bogor,Desember 2013

    Tim

  • ii

    DAFTAR ISI

    Hal

    Kata Pengantar . i

    Daftar Isi . ii

    BAB 1 PENDAHULUAN . 1

    1.1 Latar Belakang . 1

    1.2 Tujuan Kegiatan . 2

    1.3 Ruang Lingkup . 3

    1.4 Sitematika Penyajian Laporan . 3

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 4

    2.1 Taman Nasional Gunung Gede

    Pangrango

    . 4

    2.1.1 Sejarah dan Perkembangan . 4

    2.1.2 Letak Kawasan . 5

    2.1.3 Kondisi Fisik Lapangan . 5

    2.1.4 Geologi dan Tanah . 6

    2.1.5 Iklim . 6

    2.1.6 Keanekaragaman Flora dan

    Fauna

    . 7

    2.2 Vegetasi . 8

    BAB III METODOLOGI . 12

    3.1 Waktu dan Lokasi . 12

    3.2 Bahan dan Alat . 13

    3.3 Prosedur Kegiatan Analisa Vegetasi . 14

  • iii

    Hal

    Hal

    3.4 Analisa Data . 16

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN . 18

    4.1 Analisis Kuantitatif . 18

    4.1.1 Vegetasi Tingkat Pohon . 18

    4.1.2 Vegetasi Tingkat Tiang . 21

    4.1.3 Vegetasi Tingkat Pancang . 23

    4.1.4 Vegetasi Tingkat Semai . 25

    4.1.5 Vegetasi Semak Herba . 27

    4.1.6 Vegetasi Paku-Pakuan . 29

    4.1.7 Vegetasi Palma . 30

    4.2 Indeks Diversitas Jenis . 31

    BAB V KESIMPULAN . 34

    LAMPIRAN :

    Lampiran 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Pohon di Hm 5- TNGP

    Lampiran 2. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Tiang di HM 5- TNGP.

    Lampiran 3. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Pancang di HM 5- TNGP.

    Lampiran 4. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Semai di HM 5-TNGP

    Lampiran 5. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Semak Herba di HM 5-TNGP

    Lampiran 6. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Paku-Pakuan di HM 5-TNGP

    Lampiran 7. Foto-foto

  • iv

    DAFTAR TABEL

    Hal

    Tabel 1. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat

    Pohon di HM 5 TNGGP.

    19

    Tabel 2. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat

    Tiang di HM 5 TNGP

    22

    Tabel 3. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat

    Pancang di HM 5 TNGP.

    24

    Tabel 4. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat

    Semai di HM 5 TNGP.

    26

    Tabel 5. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat

    Semak dan Herba di HM 5 TNGP.

    28

    Tabel 6. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Paku-

    Pakuan di HM 5 TNGGP

    29

    Tabel 7. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Palmae di

    HM 5 TNGGP

    30

    Tabel 8. Indeks Diversitas Shanon dan Indeks

    Diversitas Shanon-Wiener pada berbagai

    tingkat vegetasi di HM 5 TNGP

  • v

    DAFTAR GAMBAR

    Hal

    Gambar 1. Lokasi (Bukan peta lokasi 12

    Gambar 2. Kompas 13

    Gambar 3. Hagameter 13

    Gambar 4. Kamera 14

    Gambar 5. Roll meter 14

    Gambar 6. Lay Out Antara Cara Jalur dan Cara Garis

    Berpetak

    15

    Gambar 7. Vegetasi tingkat herba di HM 5 TNGP; A.

    Herba sp1 (Sirip penyu) ; B. Strobilanthes

    cemua Blume

    28

    Gambar 8. Indeks Diversitas Shanon dan Indeks

    Shanon-Wiener di HM 5 - TNGP.

    32

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kawasan Gunung Gede Pangrango, memiliki peranan yang sangat

    penting dan strategis bagi kehidupan manusia dalam lingkup lokal, regional,

    nasional, maupun global. Kawasan tersebut menjadi daerah hulu untuk

    beberapa daerah aliran sungai (DAS) sehingga termasuk kawasan konservasi

    yang secara teori tidak dapat diubah fungsinya menjadi bentuk pemanfaatan

    lahan lainnya.

    Kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan

    dengan berbagai macam spesies seperti spesies anggrek hutan dan bahkan

    terdapat beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah,

    seperti jamur yang bercahaya. Di dalam kawasan hutan TNGP juga ditemukan

    si pohon raksasa Rasamala, si pemburu serangga atau kantong semar

    (Nephentes spp). Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga

    merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis

    kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing Hutan,

    Macan Tutul, Sigung, dll, serta sekitar 250 jenis burung. Kawasan ini juga

    merupakan habitat Owa Jawa, Surili, Lutung dan Elang Jawa yang populasinya

    hampir mendekati punah. Oleh karena itu UNESCO menetapkan kawasan

    Gunung Gede Pangrango sebagai cagar biosfer yang diarahkan untuk fungsi

    konservasi plasma nutfah, pembangunan ekonomi berkelanjutan, dan ilmu

    pengetahuan. Mengingat fungsi dan keberadaannya tersebut, maka dalam

    pengelolaan kawasan TNGP harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan

    berkelanjutan.

    Kehadiran vegetasi pada suatu area akan memberikan dampak positif

    bagi keseimbangan ekosistem. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu

    http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_hujan_tropishttp://id.wikipedia.org/wiki/Rasamalahttp://id.wikipedia.org/wiki/Kijanghttp://id.wikipedia.org/wiki/Pelandukhttp://id.wikipedia.org/wiki/Anjing_hutanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Macan_tutulhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sigunghttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Owa_Jawa&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Surilihttp://id.wikipedia.org/wiki/Lutunghttp://id.wikipedia.org/wiki/Elang_Jawa

  • 2

    ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan

    oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan

    tata air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada

    suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya akan bervariasi

    tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.

    Berkaitan dengan kehadiran vegetasi, penting untuk menganalisa vegetasi

    dengan mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi

    atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi adalah cara mempelajari

    susunan (komposisi) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-

    tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Analisis vegetasi dapat

    digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat

    tumbuh-tumbuan yang meliputi mempelajari tegakan hutan yaitu tegakan

    tingkat pohon dan permudaannya (tingkat tiang, pancang, dan semai) dan

    mempelajari tegakan tumbuhan bawah yaitu jenis vegetasi dasar yang terdapat

    di bawah tegakan hutan selain permudaan pohon, padang rumput/ilalang dan

    belukar. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang

    struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

    Sehubungan dengan fungsi dan peranan TNGP terutama sebagai

    kawasan penyangga sistem DAS dan sebagai pelestari keanekaragaman

    hayati, maka diperlukan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami

    struktur dan komposisi vegetasi yang ada di TNGP dengan menginventarisasi

    vegetasi yang berada didalamnya. Hal inilah yang melatarbelakangi

    dilakukannya kegiatan praktikum lapangan analisis vegetasi di kawasan Taman

    Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) untuk mengetahui berbagai

    tingkatan pertumbuhan di TNGP dari mulai semai, pancang, tiang hingga pohon

    serta vegetasi lainnya yang terdapat pada pohon seperti liana dan lainnya.

    1.2 Tujuan Kegiatan Praktikum

    Mempelajari komposisi dan dominansi serta struktur komunitas dari

    masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) yang ada di kawasan Taman

    Nasional Gunung Gede Pangrango.

  • 3

    1.3 Ruang Lingkup

    Lokasi kegiatan pratikum adalah Taman Nasional Gunung Gede

    Pangarango pada ketinggian HM 5. Lingkup kegiatannya adalah pratikum

    analisis vegetasi untuk mempelajari komposisi dan dominansi serta struktur

    komunitas dari masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) yang ada di kawasan.

    1.4 Sitematika Penyajian Laporan Pratikum

    Laporan ini terdiri dari 5 Bab yakni :

    Bab I Pendahuluan : berisi latar belakang, tujuan serta sistematika penyajian laporan praktikum.

    Bab II Tinjauan Pustaka : berisi uraian tentang uraian mengenai Taman Nasional Gede Pangarango, serta teori tentang vegetasi.

    Bab III Metodologi : mengambarkan tentang metode pelaksanaan pratikum yakni waktu dan lokasi, bahan dan alat, prosedur survey dan

    analisis data.

    Bab IV Hasil dan Pembahasan : menguraikan tentang hasil analisis kuantitatif vegetasi serta Indeks Diversitas Jenis

    Bab V Kesimpulan : menyajikan kesimpulan dari hasil praktikum.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

    2.1.1 Sejarah dan Perkembangan

    Penetapan Gunung Gede Pangrango sebagai lokasi suaka alam

    sebenamya telah dimulai oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889

    dengan menetapkan kawasan yang ada di puncak Gunung Gede Pangrango

    (Kabupaten Cianjur) sebagai kawasan hutan seluas 150 km2. Selanjutnya

    Pemerintah Indonesia mengubah status wilayah Gede Pangrango menjadi

    Taman Nasional pada tahun 1980 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian

    tahun 1980.

    International Union for Conservation of Nature and Natural Resources

    (IUCN) dalam McKinnon, et al (1990) mendeskripsikan taman nasional sebagai

    kawasan dengan tujuan utama pengelolaannya adalah :

    1. Mempertahankan contoh ekosistem dalam kondisi alaminya

    2. Mempertahankan keanekaragaman ekologis dan pengaturan lingkungan

    3. Melestarikan sumberdaya plasma nutfah

    4. Melestarikan kondisi kawasan tangkap air

    5. Menyediakan pelayanan rekreasi dan pariwisata

    6. Melindungi obyek dan tempat warisan budaya, sejarah, dan purbakala

    7. Melindungi keindahan alam serta tempat terbuka

    8. Mendorong pemanfaatan rasional serta bekelanjutan dari kawasan

    merjinal dan pembangunan pedesaan.

    Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu dari

    enam cagar biosfer di Indonesia yang telah diresmikan oleh MAB UNESCO

    pada tahun 1977. Peresmian tersebut dilakukan bersamaan pada empat cagar

    biosfer, yaitu TN Gunung Gede Pangrango, TN Tanjung Putting, TN Lore Lindu,

    dan TN Komodo. Sebagai cagar biosfer, TNGP diarahkan untuk melayani

  • 5

    perpaduan tiga fungsi, yaitu : (i) kontribusi konservasi lanskap, ekonomi, jenis,

    dan plasma nutfah, (ii) menyuburkan pembangunan ekonomi yang

    berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya, dan (iii) mendukung logistik

    untuk penelitian, pemantauan, pendidikan, dan pelatihan yang terkait dengan

    masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokak, regional,

    nasional, maupun global (Soejito dan Rustiami, 2003).

    2.1.2 Letak Kawasan

    Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan luasan 21.975

    hektar merupakan kawasan Taman Nasional yang ditutupi oleh hutan hujan

    tropis pegunungan. Kawasan yang berjarak 100 km dari Jakarta tersebut

    berada pada ketinggian 1200-1500 m dpl. Secara administrasi pemerintahan,

    kawasan TNGP berada pada 3 wilayah kabupaten di Jawa Barat, yaitu Cianjur,

    Bogor, dan Sukabumi.

    2.1.3 Kondisi Fisik Lapangan

    Kondisi hutannya relative masih sangat baik sehingga kawasan TNGGP

    disebut sebagai perwakilan ekosisitem hutan hujan tropis pegunungan di Pulau

    Jawa. Berdasarkan ketinggian, formasi hutan di kawasan TNGGP dibedakan

    menjadi 3 (tiga) ekosistem utama yaitu : Sub Montana (1000 1500 m dpl); Montana (1500 2400 m dpl); Sub Alpin (> 2400 m dpl).

    Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango termasuk dalam tipe

    hutan dengan zona sub pegunungan atas. Hutan sub zona tersebut dicirikan

    dengan adanya lima lapisan vegetasi, tingginya kekayaan jenis, pertumbuhan

    tanaman yang relatif cepat, daun-daun tumbuhan yang berdaun lebar,

    Lingkungan hutan cenderung hangat dan lembab dengan tanah yang berhumus

    tebal serta tingkat persaingan yang tinggi dengan jenis-jenis pohon terutama

    dari kelompok FAGO-LAURACEODS. Ahli ekologi membuat klasifikasi

    ekosistem hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ke dalam tiga

    tipe vegetasi berdasarkan ketinggian, yaitu :

    1. Montana Bawah/Submontana (1000-1500 mdpl)

    Tipe vegetasi ini dapat ditemukan saat mulai memasuki kawasan TNGP

    tipe hutan ini mempunyai jenis vegetasi yang merupakan campuran antara

  • 6

    vegetasi hutan daratan rendah dan hutan pegunungan sehingga seringkali

    disebut sebagai ekosistem submontana.

    2. Montana (1.500-2.400 mdpl)

    Zona ini disebut juga Hutan Pegunungan Atas. Ekoton antara vegetasi

    hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas biasanya sangat

    jelas. Tajuk pohon di hutan pegunungan biasanya memeliki ketinggian

    yang sama, yaitu 20 meter.

    3. Sub Alpin (2.400-3.019 mdpl)

    Hutan di zona sub alpin hanya terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan pohon-

    pohon kerdil, rapat dengan batang pohon yang kecil, dan lantai hutan

    dengan tumbuhan bawah yang jarang. Hanya ditemukan sedikit jenis

    vegetasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan yang beriklim ekstrim,

    hal ini terkait kondisi tanah yang miskin hara dengan jenis tanah berbatu

    (litosol).

    2.1.4 Geologi dan Tanah

    Kondisi tanah di hutan montana dataran rendah biasanya dalam, basah,

    dan kaya dengan bahan-bahan organik dan partikel tanah yang subur seperti

    tanah liat, karena itu, pohon-pohon di hutan montana tumbuh lebih besar dan

    tinggi. Pada daerah yang lebih tinggi ketersediaan dan kondisi udara semakin

    sedikit dan menipis, dan kelembaban makin rendah, serta ketersediaan nutrisi

    tanah juga sedikit.Hal ini menyebabkan keanekaragaman jenis tumbuh semakin

    rendah dan struktur hutan sudah tidak lengkap, tidak ada pohon tinggi.

    2.1.5 Iklim

    Kawasan Gunung Gede Pangrango merupakan kawasan yang terbasah

    di pula Jawa dan sebagai konsekuensinya hutan di kawasan ini sangat kaya

    dengan keanekaragaman jenis flora. Bulan Desember-Maret merupakan bulan

    terbasah, dimana hujan turun hampir setiap hari.Tetapi antara bulan maret-

    september merupakan musim kering/kemarau, daun-daun kering banyak

    berjatuhan dan potensial untuk menyebabkan kebakaran, namun kelembaban

    lingkungan mikro hutan dan tanah mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap

  • 7

    hijau dan bertumbuh.Pada bagian pegunungan, temperatur udara semakin

    turun dan hutan sekitarnya sering ditutupi kabut, dan kelembaban udara yang

    rendah di daerah ini merupakan habitat ideal bagi tumbuhan pemanjat dan

    lumut.

    2.1.6 Keanekaragaman Flora dan Fauna

    Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki keanekaragaman

    jenis baik tumbuhan maupun hewan yang sangat menarik. Di dalam kawasan

    TNGP, dapat ditemukan si pohon raksasa Rasamala, si pemburu serangga

    atau kantong semar, berjenis-jenis anggrek hutan dan bahkan ada beberapa

    jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang

    bercahaya. Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga

    merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa sejenis

    kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti kijang, pelanduk, anjing hutan,

    macan tutul, sigung, dll serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan

    habitat Owa Jawa, surili, lutung, dan elang jawa yang populasinya hampir

    mendekati punah. (www.gedepangrango.org)

    Secara umum, peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan

    pengaturan keseimbangan karbondioksida dan oksigen di udara, perbaikan

    sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah,dan lain-lain.

    Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan

    dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi; tergantung pada struktur dan

    komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi daerah tersebut.

    Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik

    yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar,

    dan lain-lain. Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi

    oleh komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi

    yang tumbuh secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan

    pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami

    perubahan dastrik karena pengaruh anthropogenik (Sundarapandian dan

    Swamy, 2000)

    http://www.gedepangrango.org/

  • 8

    2.2 VEGETASI

    Vegetasi di definisikan sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam

    lansekap dan vegetasi alami diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam

    lansekep yang belum dipengaruhi oleh manusia (Kuchler, 1967). Dalam

    mendiskripsikan suatu vegetasi haruslah dimulai dari suatu titik pandang bahwa

    vegetasi merupakan suatu pengelompokan tumbuh-tumbuhan yang hidup

    bersama terutama yang mungkin dikarakterisasi baik oleh spesies sebagai

    komponenya, maupun oleh kombinasi dan struktur sifat-sifatnya yang

    mengkarakterisasi gambaran vegetasi secara umum atau fungsional.

    Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi

    dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi

    dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal

    lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga

    tentang keragaman jenis dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara

    perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor

    lingkungan (Greig-Smith, 1983).

    Mulyana et al. (2005) mengemukakan bahwa struktur suatu vegetasi

    merupakan organisasi dalam ruang, tegakan, tipe vegetasi atau asosiasi

    tumbuhan dengan unsur utamanya adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi,

    dan penutupan tumbuhan. Lebih jauh, struktur vegetasi hutan dapat dibagi

    menjadi tiga komponen, yaitu (1) struktur vertikal (stratifikasi berdasarkan

    lapisan tajuk), (2) struktur horisontal (stratifikasi berdasarkan penyebaran

    spasial individu suatu jenis dalam populasi), dan (3) kelimpahan jenis.

    Disamping ketiga komponen tersebut, masih terdapat struktur didalam satuan

    waktu, yaitu suksesi dan klimaks yang hanya dipusatkan pada struktur spasial

    yang merupakan struktur yang berhubungan dengan waktu.

    Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk

    menganalisis dan juga sintesis sehingga akan membantu dan mendiskripsikan

    suatu vegetasi sesuai dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan.

    Untuk mempelajari komposisi vegetasi dapat dilakukan dengan Metode

    Berpetak (Teknik sampling kuadrat : petak tunggal atau ganda, Metode Jalur,

    Metode Garis Berpetak) dan Metode Tanpa Petak (Metode berpasangan acak,

  • 9

    Titik pusat kwadran, Metode titik sentuh, Metode garis sentuh, Metode

    Bitterlich) (Kusuma, 1997).

    Selanjutnya, Indriyanto (2006) mengatakan bahwa berdasarkan analisis

    vegetasi dapat ditentukan beberapa besaran yang dapat memberikan

    gambaran tentang keseluruhan kondisi kawasan pengamatan, yaitu :

    1. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR)

    Kerapatan adalah perbandingan jumlah individu suatu jenis terhadap luas

    petak contoh yang digunakan. Berdasarkan kerapatan suatu individu

    dapat ditentukan pula Kerapatan Relatif masing-masing jenis individu,

    yaitu kerapatan individu suatu jenis dibanding dengan kerapatan seluruh

    jenis yang ditemukan.

    2. Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (RF)

    Frekuensi adalah jumlah petak yang berisi suatu spesies dibandingkan

    dengan jumlah seluruh petak contoh. Berdasarkan frekuensi suatu individu

    dapat ditentukan pula Frekuensi Relatif masing-masing jenis individu

    suatu jenis dibanding dengan frekuensi seluruh jenis.

    3. Luas Penutupan atau dominansi (D) dan Dominansi Relatif (DR)

    Luas penutupan atau dominansi (coverage) adalah proporsi antara luas

    tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat.

    Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan

    tajuk atau luas bidang dasar (basal area). Sedangkan luas penutupan atau

    dominansi relatif merupakan perbandingan antara dominansi jenis yang

    lain.

    Indeks nilai penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai

    untuk menyatakan tingkat dominansi atau penguasaan spesies-spesies dalam

    suatu komunitas tumbuhan (Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto

    (2006). Berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2005), jumlah nilai maksimal

    INP pada tingkat pohon dewasa adalah 300% yaitu jumlah parameter KR, FR,

    dan DR. Sedangkan jumlah nilai maksimal INP pada tingkat permudaan adalah

    200% yaitu jumlah parameter KR dan FR.

  • 10

    Indeks-indeks lainnya yang dapat menggambarkan kondisi suatu

    kawasan, antara lain : Perbandingan Nilai Penting (Summed Dominance Ratio),

    Indeks Dominansi (Index of Dominance), Indeks Keanekaragaman (Index of

    Difersity) yang biasa ditentukan dengan Indeks Shannon dan/atau Indeks

    Mmargalef (Indriyanto, 2006).

    Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara

    vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Pada tipe

    ekosistem hutan hujan tropis stratifikasi biasanya tersusun secara lengkap

    terdiri dari lima strata (storey). Tiap lapisan di dalam stratifikasi disebut stratum

    atau strata. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), stratifikasi yang

    terbentuk di dalam masyarakat tumbuhan disebabkan oleh dua hal, yaitu :

    1. Persaingan

    Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung di dalam

    suatu masyarakat tumbuhan antar spesies pohon yang ada. Akibat

    kompetisi ini akan muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki

    pertumbuhan yang kuat dan menjadi spesies yang dominan atau lebih

    berkuasa dari individu lain. Individu pohon-pohon dominan yang terbentuk

    tersebut akan mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Contoh

    spesies tersebut antara lain jenis Shorea spp. Yang dominan di hutan-

    hutan pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera yang menyusun stratum

    teratas (A) sehingga membentuk kelompok hutan Dipterocarpaceae.

    2. Semi toleransi spesies

    Sifat toleransi spesies ini sangat dipengaruhi oleh intensitas matahari.

    Spesies-spesies pohon yang intoleran mendapatkan kesempatan ruang

    tumbuh dengan radiasi matahari penuh, sehingga proses pertumbuhannya

    akan lebih cepat dan menjadi lebih tinggi.jenis individu intoleran tidak

    tahan berada dibawah naungan, karena menyebabkan pertumbuhannya

    menjadi lambat bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pada individu

    pohon dengan sifat toleran akan bertahan di bawah naungan jenis

    intoleran.

  • 11

    Stratifikasi yang ada dalam hutan tropis adalah sebagai berikut :

    a. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi

    totalnya lebih dari 30 meter. Umunya tajuk diskontinyu, batang pohon

    tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang yang tinggi. Jenis-jenis

    pohon dari stratum ini pada masa mudanya, tingkat semai hingga pancang

    memerlukan naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya

    perlu cahaya yang cukup banyak.

    b. Stratum B : Terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20-30 meter,

    tajuk umumnya kontinyu, batang bercabang banyak dengan batang bebas

    cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang

    memerlukan cahaya dan tahan naungan.

    c. Stratum C : terdiri dari pohon dengan tinggi 4-20 meter, tajuk kontinyu,

    pohon rendah dan banyak bercabang.

    d. Stratum D : Lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1-4 meter

    e. Stratum E : tumbuh-tumbuhan penutup tanah dengan tinggi antara 0-1

    meter.

    Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua hutan tropika mempunyai ketiga

    strata (strata A, B, dan C) utama diatas (Soerianegara dan Indrawan, 2005).

  • 12

    BAB III

    METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Lokasi

    Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada hari Minggu, tanggal 15

    Desember 2013, yang bertempat di HM 5 Kawasan Taman Nasional Gunung

    Gede Pangrango (TNGGP). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango secara

    geografis terletak antara 106051-107002 BT dan 6041 LS. Denah lokasi

    penelitian disajikan pada Gambar 1. kalau mau ditambahPak eko

    punya peta lokasi dll ??

    Gambar 1. Lokasi (Bukan peta lokasi)

  • 13

    3.2 Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan untuk pengamatan dan pengukuran adalah

    vegetasi yang ada di lokasi yang meliputi semai, pancang, tiang, pohon, semak

    herba, paku-pakuan dan palem.

    Peralatan yang digunakan selama pelaksanaan penelitian antara lain

    GPS, kompas, roll meter, meteran jahit, Christen-meter/haga, meteran,

    tambang, kamera, patok, kamera dan alat tulis menulis. Untuk lebih jelasnya

    beberapa peralatan yang digunakan disajikan pada Gambar 2 sampai dengan

    5.

    Gambar 2. Kompas

    Gambar 3. Hagameter

  • 14

    Gambar 4. Kamera

    Gambar 5. Roll meter

    3.3 Prosedur Kegiatan Analisa Vegetasi

    1. Analisis vegetasi dilakukan di dalam plot-plot pengamatan di kawasan

    Taman Nasinola Gunung Gede Pangrango dengan menggunakan

    metoda Kombinasi antara cara jalur dan cara garis berpetak pada unit

    contoh yang berbentuk jalur sepanjang 100 m, dengan arah tegak lurus

    kontur berdasarkan derajat (azimut) yang diukur dengan menggunakan

    kompas. Dasar pertimbangan menggunakan metode tersebut adalah

    representative dan cukup akurat untuk melakukan teknik sampling analisa

    vegetasi serta dapat mewakili populasi yang berada di dalam areal hutan

    yang diamati. Di dalam plot pengamatan pohon dibuat petak-petak

    berbentuk bujur sangkar yang lebih kecil untuk tumbuhan yang lebih kecil

    dan permudaan (Gambar 6).

  • 15

    Gambar 6. Lay Out Antara Cara Jalur dan Cara Garis Berpetak

    Keterangan : Petak A = Petak ukur untuk Semai (2 x 2 m2) Petak B = Petak ukur untuk Pancang (5 x 5 m2) Petak C = Petak ukur untuk Tiang (10 x 10 m2) Petak D = Petak ukur untuk Pohon (20 x 20 m2)

    2. Setelah menentukan titik awal pengamatan untuk membuat jalur,

    kemudian menarik tambang atau tali sepanjang 100 m untuk menentukan

    panjang jalur, serta 20 meter untuk menentukan lebar jalur. Pemasangan

    patok untuk pembuatan petak-petak pengamatan.

    3. Membuat petak pertama berukuran 20 x 20 meter. Di dalam petak

    tersebut, buatkan juga sub petak berukuran 10 x 10 meter, sub-sub petak

    berukuran 5 x 5 meter, serta petak 2 x 2 meter yang digunakan untuk

    pengamatan anakan.

    4. Pengukuran bisa dimulai dari petak 20 x 20 untuk pohon (diameter 20 cm), 10 x 10 untuk tiang (diameter 10-

  • 16

    3.4 Analisa Data

    Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dan dihitung

    nilai-nilai : kerapatan, kerapatan relative, frekwensi, frekuensi relative,

    dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting dari masing-masing jenis,

    dengan .menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :

    Kerapatan

    (batang/ha) =

    Jumlah individu suatu jenis

    Luas Seluruh Petak

    Kerapatan Nisbi

    (%) =

    Kerapatan suatu jenis X 100 %

    Kerapatan seluruh jenis

    Dominansi (m2/ha) = Basal Area suatu jenis

    Luas seluruh petak

    Dominansi Nisbi

    (%) =

    Dominansi suatu jenis X 100 %

    Dominansi seluruh jenis

    Frekuensi = Jumlah petak terisi suatu jenis

    Jumlah seluruh petak

    Frekuensi Nisbi (%) = Frekuensi suatu jenis

    X 100 % Frekuensi seluruh jenis

    Indeks Nilai

    Penting

    = KN + FN + DoN

  • 17

    Khusus untuk tingkat pancang, semai dan tumbuhan bawah, Indeks Nilai

    Penting (INP) cukup dihitung berdasarkan rumus :

    Indeks Nilai Penting (INP) = KN + FN

    Keanekaragaman Hayati

    Pengolahan selanjutnya adalah menghitung Indeks Keanekaragaman

    Shannon-Wiener dan Indeks Shannon (Shannon Index of Diversity). Untuk

    menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity)

    digunakan rumus sebagai berikut (Pileou, 1969; Magurran, 1988):

    (H) = - [ pi Log pi] dimana pi = ni / N

    Keterangan:

    H = Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity) ni = Indeks Nilai Penting suatu jenis

    N = Jumlah Indeks Nilai Penting dari seluruh jenis

    Sedangkan untuk menghitung Indeks Keanekaragaman Shannon- Wiener

    digunakan rumus sebagai berikut:

    H) = - [ pi Log pi] dimana pi = ni / N

    Keterangan: H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Kerapatan spesies ke-i

    N = Jumlah total spesies yang ditemukan

    Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah :

    H < 1 : Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan

    komunitas rendah

    1

  • 18

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Analisis Kuantitatif

    Hutan merupakan komponen habitat terpenting bagi kehidupan, oleh

    karenanya kondisi masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi) di dalam hutan

    baik komposisi spesies, dominansi spesies, kerapatan maupun keadaan

    penutupan tajuknya perlu dianalisis.

    Analisis kuantitatif yang dilakukan terhadap vegetasi di dalam plot

    pengamatan meliputi penghitungan Indeks Nilai Penting (INP). Untuk

    penghitungan INP tersebut terlebih dahulu menghitung kerapatan, frekuensi,

    dan dominansi untuk setiap jenis pada tiap tingkat vegetasi. Nilai dominansi

    dapat ditentukan untuk tiap jenis pada tingkat vegetasi yang memiliki data untuk

    pengukuran Luas Bidang Dasar (LBDS) sehingga untuk analisis dominansi

    hanya dapat dilakukan pada vegetasi tingkat pohon dan tiang.

    Hasil analisis kuantitatif vegetasi tingkat pohon dan permudaannya (tingkat

    tiang, pancang, dan semai) serta vegetasi semak herba, paku, palma dan rotan

    di HM 5 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) adalah sebagai

    berikut :

    4.1.1 Vegetasi Tingkat Pohon

    Pengukuran pohon adalah pengukuran tumbuhan berdiameter lebih dari

    20 cm yang dilakukan pada petak ukur (plot) berukuran 20 x 20 meter. Data

    yang diambil pada pengamatan vegetasi tingkat pohon meliputi diameter

    batang, tinggi pohon, spesies/jenis pohon, dan jumlah individu tiap spesies.

    Hasil pengamatan vegetasi tingkat pohon disajikan pada Lampiran 1.

  • 19

    Sedangkan hasil perhitungan kerapatan, kerapatan relatif, frekwensi, frekwensi

    relatif, dominasi, dominasi relatif, dan indeks nilai penting disajikan pada Tabel

    1.

    Hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa nilai kerapatan dari 16

    spesies yang terdapat di HM 5 TNGP cukup bervariasi. Nilai kerapatan suatu

    spesies menunjukkan jumlah individu spesies bersangkutan pada satuan luas

    tertentu, sehingga nilai kerapatan yang dihasilkan dalam kegiatan ini

    merupakan gambaran mengenai jumlah jenis bersangkutan yang ada di HM 5

    TNGP atau lebih luasnya untuk zona sub-montana hutan di TNGP. Total

    kerapatan pohon dari 16 spesies tersebut adalah 135 pohon/hektar dengan nilai

    kerapatan tertinggi sebesar 25 pohon/hektar dan kerapatan relative 18,5 %

    dicapai oleh spesies A. excelsa (rasamala) dan M. glauca (manglid).

    Selanjutnya diikuti oleh spesies F. fistulosa (kondang beunying), M. rehizinoides

    (manggong) dan C. tunggurrut (tunggeureut) dengan nilai kerapatan masing-

    masing sebesar 10 pohon/hektar dan kerapatan relatif sebesar 7,4 %.

    Sedangkan 11 spesies lainnya menunjukkan nilai kerapatan jenis terendah

    yaitu masing-masing sebesar 5 pohon/hektar dengan kerapatan relatif sebesar

    3,70 %.

    Tabel 1. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Pohon di HM 5 TNGGP.

    NAMA JENIS N K KR F FR D DR INP

    Latin Lokal

    Sloanea sigun beleketebe 1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,1 8,9

    Alaeocarpus ganitrus ganitri 1 5 3,7 0,2 4,2 0,2 0,7 8,6

    Engelhardia spicata kihujan 1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,2 9,0 Solanum verbascifolium L kijogo/teter 1 5 3,7 0,2 4,2 0,2 0,7 8,6

    Perumnopytis amara Ki Merak 1 5 3,7 0,2 4,2 0,5 1,9 9,8 Podocarpus neriifolius D. Don kiputri 1 5 3,7 0,2 4,2 0,8 3,1 11,0

    Ficus Fistulosa Reinw. kondang beunying

    2 10 7,4 0,4 8,3 0,5 2,1 17,8

    Macaranga rehizinoides manggong 2 10 7,4 0,4 8,3 1,3 5,3 21,1

    Manglietica glauca manglid 5 25 18,5 0,8 16,7 2,2 8,8 44,0

    Ostodes paniculata (BL) muncang cina 1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,3 9,1

  • 20

    NAMA JENIS N K KR F FR D DR INP

    Latin Lokal

    Lithocarpus elegans (BL) Horsus

    pasang batu 1 5 3,7 0,2 4,2 1,6 6,4 14,2

    Altingia excelsa rasamala 5 25 18,5 0,6 12,5 12,9 51,4 82,4 Castanopsis acuminatissima riung anak 1 5 3,7 0,2 4,2 0,3 1,2 9,1

    Castanopsis argentea saninten 1 5 3,7 0,2 4,2 1,0 4,1 11,9

    Castanopsis tunggurrut tunggerek 2 10 7,4 0,4 8,3 2,5 10,0 25,7

    Ficus ribes Reinw. Walen 1 5 3,7 0,2 4,2 0,2 0,7 8,6

    Total 27 135 100 4,8 100 25 100 300 Keterangan : n = Jumlah vegetasi FR = Frekuensi relatif (%) K = Kerapatan (pohon/hektar) D = Dominansi (m

    2/hektar)

    KR = Kerapatan relatif (%) DR = Dominansi relatif (%) F = Frekuensi INP = Indeks Nilai Penting (%)

    Perbedaan nilai kerapatan masing-masing spesies tersebut disebabkan

    adanya perbedaan kemampuan reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi

    terhadap lingkungan. Akan tetapi nilai kerapatan tersebut hanya dapat

    memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot

    dan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan pola

    penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis

    tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya.

    Nilai frekuensi tertinggi (Tabel 1) ditemukan pada spesies M. glauca

    (manglid) yaitu sebesar 0,8 yang berarti dari total 5 plot yang diamati di lokasi

    penelitian, 4 plot di antaranya terdapat jenis M. glauca (manglid). Spesies lain

    dengan nilai frekuensi yang relatif tinggi adalah A. excelsa (rasamala) yaitu

    sebesar 0,6 atau ditemukan pada 3 plot dari 5 sampel plot yang diamati. Hal

    ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat di HM 5 - TNGP cukup sesuai

    dengan karakteristik spesies M. glauca (manglid) dan A. excelsa (rasamala),

    sehingga kedua spesies tersebut mampu beradaptasi dengan baik yang

    tercermin dari tingkat kerapatannya serta tersebar pada hampir seluruh lokasi

    penelitian.

    Nilai dominasi setiap spesies yang terdapat di HM 5 TNGP juga sangat

    bervariasi. Dominansi terendah sebesar 0,2 m2/hektar ditemukan pada spesies

    A. ganitrus (ganitri), S. verbascifolium (kijogo) dan F. ribes (walen), sedangkan

  • 21

    dominasi tertinggi sebesar 14,76 m2/ha terdapat pada spesies A. excelsa

    (rasamala). Bervariasinya nilai dominansi tersebut disebabkan perbedaan

    tingkat kerapatan dan ukuran rata-rata diameter batang dari masing-masing

    spesies. Spesies A. excelsa (rasamala) menunjukkan nilai dominansi tertinggi

    disebabkan ukuran diameter batangnya yang besar disamping nilai kerapatan

    yang tinggi. Sedangkan spesies M. glauca walaupun nilai kerapatannya sama

    dengan spesies rasamala, tetapi memiliki rata-rata diameter batang setinggi

    dada spesies M. glauca (manglid) relative lebih rendah dibanding spesies A.

    excelsa (rasamala).

    Indeks nilai penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga

    parameter (kerapatan, frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya.

    Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), Indeks Nilai Penting (INP)

    merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang

    peranan spesies yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi

    penelitian. Dalam penelitian ini diketahui bahwa spesies A. excelsa (rasamala)

    merupakan spesies yang mendominasi di areal HM 5 TNGP karena memiliki

    nilai INP tertinggi yaitu sebesar 82,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa spesies A.

    excelsa (rasamala) merupakan jenis yang dominan dalam ekosistem HM 5 -

    TNGP. Keberhasilan spesies A. excelsa untuk hidup serta mampu

    mendominasi di di wilayah tersebut menunjukkan kemampuan adaptasi yang

    cukup tinggi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian.

    Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Kreb (1994) yang menyebutkan

    bahwa keberhasilan setiap jenis untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi

    oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor

    lingkungan fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembapan, dan

    sebagainya), faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme, dan lain-

    lain), serta faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi

    dalam tanah dan lainnya yang saling berinteraksi.

    4.1.2 Vegetasi Tingkat Tiang

    Pengukuran tiang adalah pengukuran tumbuhan dengan diameter antara

    10-20 cm yang dilakukan pada petak sub-kuadran berukuran 10 x 10 m. Sama

  • 22

    dengan pohon, parameter pengukuran tiang adalah diameter tiang, tinggi tiang,

    jumlah spesies tiang, dan jumlah individu tiap spesies. Hasil pengamatan

    vegetasi tingkat tiang disajikan pada Lampiran 2. Data hasil analisis kuantitatif

    pada vegetasi tingkat tiang di HM 5 -TNGP dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Tiang di HM 5 TNGP

    NAMA JENIS N K KR F FR D DR INP

    Latin Lokal

    Alaeocarpus ganitrus ganitri 1 20 5,9 0,2 7,14 0,37 5,11 18,13

    Aleurites fordii kemiri cina 1 20 5,9 0,2 7,14 0,55 7,71 20,74 Leptospermum palescen ki tanduk 1 20 5,9 0,2 7,14 0,59 8,24 21,27

    Saurauia bracteosa kileho leutik 1 20 5,9 0,2 7,14 0,21 2,87 15,90

    Turpenia montana BL Ki Bancet 1 20 5,9 0,2 7,14 0,46 6,46 19,49 Turpenia sphaerocarpa Hassk

    Kirangkong 1 20 5,9 0,2 7,14 0,46 6,46 19,49

    Ficus Fistulosa Reinw. kondang beunying

    3 60 17,6 0,2 7,14 1,38 19,12 43,91

    Villebrunea rubescens Nangsi 2 40 11,8 0,2 7,14 0,52 7,26 26,16

    Schima walichi puspa 2 40 11,8 0,4 14.29 0,96 13,33 39,38

    Altingia excelsa rasamala 1 20 5,9 0,2 7,14 0,54 7,45 20,48 Castanopsis acuminatissima riung anak 1 20 5,9 0,2 7,14 0,61 8,52 21,54

    Castanopsis argentea saninten 1 20 5,9 0,2 7,14 0,29 4,10 17,12

    Toona sureni suren 1 20 5,9 0,2 7,14 0,24 3,37 16,40

    Total 17 340 100 2,8 100 7,19 100 300 Keterangan : n = Jumlah vegetasi FR = Frekuensi relatif (%) K = Kerapatan (tiang/hektar) D = Dominansi (m

    2/hektar)

    KR = Kerapatan relatif (%) DR = Dominansi relatif (%) F = Frekuensi INP = Indeks Nilai Penting (%)

    Berdasarkan hasil pengamatan diketahui terdapat 13 spesies tingkat tiang

    yang berhasil diidentifikasi di HM 5-TNGP dengan total kerapatan sebesar 340

    tiang/hektar (Tabel 2). Nilai kerapatan tertinggi dicapai oleh spesies F. fistulosa

    (kondang beunying) yaitu sebesar 60 tiang/hektar (17,65%). Akan tetapi nilai

    frekuensi tiang tertinggi justru ditunjukkan oleh spesies S. walichi (puspa) yaitu

    sebesar 0,4 yang berarti bahwa spesies S. walichi (puspa) ditemukan di 2 plot

  • 23

    dari 5 sampel plot yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan

    spesies S. walichi cenderung lebih tersebar dibandingkan spesies lainnya.

    Nilai dominansi tertinggi untuk tingkat tiang ditunjukkan oleh spesies F.

    fistulosa (kondang beunying) yaitu sebesar 1.38 m2/hektar (19,12 %). Hal ini

    disebabkan oleh total luas bidang dasar (LBDS) yang lebih besar dibandingkan

    dengan nilai LBDS spesies-spesies lain. Selain itu juga dipengaruhi oleh nilai

    kerapatan spesies F. fistulosa (kondang beunying) yang relatif tinggi (60

    tiang/hektar), sehingga kedua parameter ini juga cukup berpengaruh terhadap

    nilai dominansi yang dihasilkan.

    Kehadiran suatu spesies pada daerah tertentu menunjukkan kemampuan

    spesies tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat,

    sehingga jenis yang mendominasi suatu areal dapat dinyatakan sebagai jenis

    yang memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebar terhadap kondisi

    lingkungan. Secara kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu

    komunitas ini diantaranya dapat diukur dengan parameter Nilai Indeks Nilai

    Penting (INP).

    Dalam pengamatan kali ini, spesies yang menunjukkan INP tertinggi untuk

    tingkat tiang adalah F. fistulosa (kondang beunying) yaitu sebesar 43,91 %.

    Nilai INP spesies tersebut mendapatkan sumbangan terbesar dari nilai

    dominansi dan kerapatannya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

    spesies lainnya. Berdasarkan nilai INP tersebut diketahui bahwa F. fistulosa

    merupakan spesies yang dominan dalam ekosistem HM -5 TNGP untuk tingkat

    tiang. Spesies tiang lainnya yang juga cukup dominan adalah S. walichii

    (puspa) dengan nilai INP sebesar 39,38 %. Nilai INP tersebut mendapatkan

    sumbangan terbesar dari nilai frekuensinya yang relatif lebih tinggi

    dibandingkan dengan spesies lainnya, disamping nilai kerapatan dan

    dominansinya.

    4.1.3 Vegetasi Tingkat Pancang

    Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5

    meter serta diameter batang kurang dari 10 cm. Ukuran petak yang digunakan

    untuk pengukuran pancang adalah 5 x 5 meter. Tidak seperti pada tingkat tiang

  • 24

    dan pohon, untuk tingkat pancang pengukuran hanya dilakukan pada jumlah

    individu dan jumlah spesies saja tidak dilakukan pengukuran diameter batang.

    Hal ini dikarenakan pada tahap pertumbuhan pancang yang paling penting

    untuk diketahui adalah kerapatan dan frekuensi. Hasil pengamatan vegetasi

    tingkat pancang disajikan pada Lampiran 3. Hasil analisis kuantitatif untuk

    vegetasi tingkat pancang di HM 5 TNGP disajikan pada Tabel 3.

    Berdasarkan hasil pengamatan diketahui terdapat 20 spesies tingkat

    pancang yang berhasil diidentifikasi di HM 5-TNGP dengan total kerapatan

    pohon sebesar 4.160 pancang/hektar (Tabel 3). Nilai kerapatan tertinggi

    dicapai oleh spesies H. diggusa (ki kopi leutik) dan F. fistulosa (kondang

    beunying/hijau) yaitu masing-masing sebesar 560 pancang/hektar (13,5%).

    Nilai frekuensi tertinggi hanya ditunjukkan oleh spesies H. diggusa (ki kopi

    leutik) yaitu sebesar 0,8 yang berarti bahwa spesies tersebut relative lebih

    tersebar dibandingkan spesies lainnya karena ditemukan di 4 plot dari 5 sampel

    plot yang diamati. Spesies lainnya yang juga menunjukkan nilai frekuensi relatif

    besar adalah V. rubescens (nangsi) yaitu sebesar 0,6. Sedangkan spesies F.

    fistulosa (kondang beunying/hijau) cenderung kurang tersebar luas karena

    hanya ditemukan di 2 plot saja dengan nilai frekuensi yang dihasilkan sebesar

    0,4.

    Nilai Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan bahwa spesies H. diggusa

    (ki kopi leutik) merupakan spesies yang mendominasi untuk tingkat pancang di

    HM 5 TNGP dengan nilai INP sebesar 25,53 %. Spesies lainnya yang juga

    cenderung cukup dominan adalah F. fistulosa (kondang beunying/hijau)

    dengan nilai INP sebesar 19,34 %.

    Tabel 3. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Pancang di HM 5 TNGP.

    NAMA JENIS N K KR F FR INP

    Latin Lokal

    Ficus cuspidata Reinw. darangdang 2 160 3,85 0,4 5,88 9,73

    Alaeocarpus ganitrus ganitri 1 80 1,92 0,2 2,94 4,86

    Ardisia marginata BL ki ajag 2 160 3,85 0,4 5,88 9,73

    Turpenia montana BL ki bancet 1 80 1,92 0,2 2,94 4,86

    Dichroa sylvanica Reinw. kicarang 1 80 1,92 0,2 2,94 4,86

  • 25

    NAMA JENIS N K KR F FR INP

    Latin Lokal

    Solanum verbascifolium L ki jogo/teter 5 400 9,62 0,4 5,88 15,50

    Hedyotis diggusa Wild. ki kopi leutik 7 560 13,5 0,8 11,76 25,23

    Mussaenda frodosa ki labang 2 160 3,85 0,4 5,88 9,73

    Mycetica modiflora ki leho bodas 2 160 3,85 0,2 2,94 6,79

    Ficus Fistulosa Reinw. kondang beunying

    7 560 13,5 0,4 5,88 19,34

    Syzygium picnatum Merr. kopo 3 240 5,77 0,4 5,88 11,65

    Macaranga rehizinoides manggong 1 80 1,92 0,2 2.94 4,86

    Villebrunea rubescens nangsi 3 240 5,77 0,6 8,82 14,59

    Trevesia sundaica panggang cucuk 5 400 9,62 0,4 5,88 15,50

    Lithocarpus elegans (BL) Horsus pasang batu 3 240 5,77 0,4 5,88 11,65 Castanopsis acuminatissima riung anak 1 80 1,92 0,2 2,94 4,86

    Schefflera lutescens (BL) romo giling 1 80 1,92 0,2 2,94 4,86

    Pygeum latifolium Mig. salam hutan 2 160 3,85 0,4 5,88 9,73

    Captanopsis tunggurut tunggereuk 1 80 1,92 0,2 2,94 4,86

    Talauma condollei tunjung 2 160 3,85 0,2 2,94 6,79

    Total 52 4.160 100 6,8 100 200 Keterangan : n = Jumlah vegetasi KR= Kerapatan relatif (%); F = Frekuensi K = Kerapatan (pancang/hektar) FR= Frekuensi relatif (%); INP = Indeks Nilai Penting (%)

    4.1.4 Vegetasi Tingkat Semai

    Semai adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih rendah dari 1,5

    meter. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran semai adalah 2 x 2

    meter. Sebagaimana pancang, tahap pertumbuhan semai hanya dihitung

    jumlah individu tiap spesies dan jumlah spesies. Hasil pengamatan vegetasi

    tingkat pohon disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis kuantitatif untuk

    vegetasi tingkat semai di HM 5 TNGP disajikan pada Tabel 4.

  • 26

    Tabel 4. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat Semai di HM 5 TNGP.

    NAMA JENIS n K KR F FR INP

    Latin Lokal

    Smilax odoratissima BL canar kecil 2 1.000 4 0,2 2,94 6,94

    Smilax macrocarpa BL canar 2 1.000 4 0,2 2,94 6,94

    Alaeocarpus ganitrus ganitri 2 1.000 4 0,4 5,88 9,88

    Ardisia marginata Bl ki ajag 1 500 2 0,2 2,94 4,94 Dichroa sylvanica Reinw. ki carang 2 1.000 4 0,4 5,88 9,8

    Engelhardia spicata ki hujan 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Schefflera aromatica ki jangkorang 2 1.000 4 0,4 5,88 9,88 Hypobathrum frutescens (BL) ki kopi 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Saurauia bracteosa ki leho 5 2.500 10 0,2 2,94 12,94

    Saurauia nudiflora ki leho badak 3 1.500 6 0,4 5,88 11,88

    Saurauia cauliflora DC ki leho beureum 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Perumnopytis amara ki merak 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Mussaenda frodosa kingkilaban 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Mussaenda frodosa kingkilaban bodas 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Podocarpus neriifolius D. Don ki putri 1 500 2 0,2 2,94 4,94 Macropanax dispermum BL ki racun 1 500 2 0,2 2,94 4,9

    Ficus Fistulosa Reinw. kondang hijau 3 1.500 6 0,2 2,94 8,94 Syzygium picnatum Merr. kopo hutan 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Trevesia sundaica panggang cucuk 3 1.500 6 0,4 5,88 11,88

    Lithocarpus elegans pasang batu 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Schima walichi puspa 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Pygeum latifolium Mig. salam hutan 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Castanopsis argentea saninten 1 500 2 0,2 2,94 4,9

    Schima noronhae tehtehan 1 500 2 0,2 2,94 4,94

    Talauma condollei tunjung 4 2.000 8 0,4 5,88 13,88

    Ficus ribes Reinw. walen 7 3.500 14 0,6 8,82 22,82

    Total 50 25.000 100 6,8 100 200 Keterangan : n = Jumlah vegetasi INP = Indeks Nilai Penting (%) K = Kerapatan (semai/hektar) F = Frekuensi KR = Kerapatan relatif (%) FR = Frekuensi relatif (%)

  • 27

    Dari hasil pengamatan terdapat 26 spesies yang berhasil diidentifikasi di

    HM 5-TNGP dengan total kerapatan mencapai 25.000 semai/hektar (Tabel 4).

    Nilai kerapatan semai tertinggi (3.500 semai/hektar atau 14 %) dicapai oleh

    spesies F. ribes (walen). Selain nilai kerapatannya, F. ribes (walen) juga

    menunjukkan nilai frekuensi terbesar yangmana spesies tersebut ditemukan di

    3 plot dari 5 plot sampel yang diamati. Berdasarkan nilai kerapatan dan

    frekuensi tertinggi yang dihasilkan spesies F. ribes (walen) tersebut,

    menggambarkan kemampuan adaptasi dari spesies teresebut yang lebih baik

    dibandingkan spesies-spesies lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

    karakteristik habitat di HM 5 - TNGP cukup sesuai dengan karakteristik spesies

    F. ribes (walen) untuk tingkat semai.

    4.1.5 Vegetasi Semak Herba

    Semak dan Herba termasuk dalam kelompok tumbuhan bawah yaitu

    tumbuhan-tumbuhan yang hidup di lantai hutan, kecuali regenerasi pohon

    seperti anakan dan pancang. Vegetasi tersebut merambat di tanah, namun

    tidak menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki

    bunga yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai

    lembut yang kadang-kadang keras.

    Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran vegetasi semak herba

    adalah 2 x 2 meter. Hasil pengamatan vegetasi tingkat semak herba yang

    terdapat di HM 5 -TNGP disajikan pada Lampiran 5. Contoh jenis herba yang

    ditenukan di HM 5-TNGP disajikan pada Gambar 7, sedangkan hasil analisis

    kuantitatifnya disajikan pada Tabel 5.

    Pada tingkat semak herba jumlah jenis vegetasi yang ditemukan sebanyak

    15 jenis dengan total individu sebanyak 240 individu. Spesies dengan nilai INP

    tertinggi adalah spesies E. strigosum (sirip penyu) (60,42 %), sehingga dapat

    dikategorikan sebagai spesies yang mendominasi tingkat vegetasi semak herba

    di HM 5 - TNGP. Tingginya nilai INP tersebut berasal dari nilai kerapatan

    (120.000 individu/hektar) dan frekuensinya (0,8) yang relatif lebih tinggi

    dibandingkan dengan spesies lainnya.

  • 28

    A B

    Tabel 5. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Tingkat

    Semak dan Herba di HM 5 TNGP.

    NAMA JENIS n K KR F FR INP

    Latin Lokal

    Eupatorium sordidum babakoan besar 40 20.000 16,7 0,2 3,3 20,0

    Eupatorium riparium babakoan kecil 12 6.000 5,0 0,6 10,0 15,0 Strobilanthes cernua BL

    bubukuan/bunga 9 tahun

    8 4.000 3,3 0,4 6,7 10,0

    Piper sp sirih hutan 6 3.000 2,5 0,6 10,0 12,5 Elafostema strigosum BL sirip penyu 113 56.500 47,1 0,8 13,3 60,4

    Elafostema sp. sirip penyu besar 15 7.500 6,2 0,2 3,3 9,6

    Amomum coccineum tepus/honje hutan 4 2.000 1,7 0,8 13,3 15,0

    Begonia robusta hariang beureun 2 1.000 0,8 0,2 3,3 4,2

    Pilea angulata pokpohan hijau 2 1.000 0,8 0,2 3,3 4,2

    Pilea melastomoides pokpohan merah 6 3.000 2,5 0,4 6,7 9,2

    Costus sp rumput pacing 8 4.000 3,3 0,6 10,0 13,3

    Urena lobata rumput pungpurutan 2 1.000 0,8 0,2 3,3 4,2

    Pygeum latifolium Mig salam hutan 1 500 0,4 0,2 3,3 3,7 Solanum verbascifolium L teter/kijogo 15 7.500 6,2 0,2 3,3 9,6

    Hedychium roxburghii tongkat kecil 6 3.000 2,5 0,4 6,7 9,7

    Total 240 120.000 100 6,0 100 200 Keterangan : n = Jumlah vegetasi F = Frekuensi K = Kerapatan (semak herba/ha) FR = Frekuensi relatif (%) KR = Kerapatan relatif (%) INP = Indeks Nilai Penting (%)

    Gambar 7. Vegetasi tingkat herba di HM 5 TNGP; A. Herba sp1 (Sirip penyu) ;

    B. Strobilanthes cemua Blume

  • 29

    4.1.6 Vegetasi Paku-Pakuan

    Paku-pakuan (Fern) adalah tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya

    memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut

    keluar tangkai daun. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran vegetasi

    paku-pakuan adalah 2 x 2 meter. Hasil pengamatan vegetasi tingkat paku-

    pakuan disajikan pada Lampiran 6. Sedangkan hasil analisis kuantitatif vegetasi

    tingkat paku-pakuan disajikan dalam Tabel 6.

    Hasil analisis diketahui bahwa terdapat 6 spesies paku-pakuan di lokasi

    HM 5-TNGP yaitu Curculiga capitulata, Asplenium nidus, Cyathea latebrosa,

    paku andam, paku pohon dan paku tiang. Total kerapatan paku-pakuan per

    hektar sebesar 18.500 dengan nilai kerapatan tertinggi sebesar 9.500

    individu/hektar (51,35 %) dicapai oleh spesies C. latebrosa (pakis haji) (Tabel

    6). Selain kelebihannya untuk tumbuh lebih baik dibandingkan spesies lainnya,

    spesies C. latebrosa (pakis haji) juga mampu menyebar secara luas, yang

    terbukti spesies tersebut ditemukan disemua plot-plot sampel yang diamati.

    Tingginya nilai kerapatan dan frekuensi tersebut selanjutnya menjadikan nilai

    INP spesies C. latebrosa (pakis haji) terbesar (93,02 %), yang menggambarkan

    kemampuan spesies tersebut untuk mendominasi di kawasan HM 5-TNGP.

    Tabel 6. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Paku- Pakuan di HM 5 TNGGP

    Jenis Nama lokal n K KR F FR INP

    Curculiga capitulata

    congkok 7 3.500 18,92 0,40 16,67 35,59

    Asplenium nidus kadaka 2 1.000 5,41 0,20 8,33 13,74

    Cyathea latebrosa pakis haji 19 9.500 51,35 1,00 41,67 93,02

    Polypodium (1) paku andam 6 3.000 16,22 0,40 16,67 32,88

    Polypodium (2) paku pohon 1 500 2,70 0,20 8,33 11,04

    Polypodium (3) paku tiang 2 1.000 5,41 0,20 8,33 13,74

    JUMLAH 37 18.500 100 2.4 100 200 Keterangan : n = Jumlah vegetasi INP = Indeks Nilai Penting (%) K = Kerapatan (individu/ha) F = Frekuensi KR = Kerapatan relatif (%) FR = Frekuensi relatif (%)

  • 30

    4.1.7 Vegetasi Palma

    Palma merupakan salah satu komponen penyusun vegetasi hutan di

    antara tumbuhan yang hidup di TNGP. Vegetasi palma adalah tumbuhan yang

    tangkainya menyerupai kayu, lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang

    sampai daun pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi

    dalam banyak anak daun. Palma (Arecaceae) biasanya berbentuk pohon,

    semak atau perdu dengan batang yang jarang bercabang dan tumbuh tegak ke

    atas. Tumbuh secara berbatang tunggal (umpamanya kelapa) dan juga ada

    yang berumpun (umpamanya salak). Beberapa anggotanya setengah

    merambat atau memanjat (umpamanya rotan). Akar palem biasanya

    menghunjam dalam ke tanah, sehingga mampu menopang batang yang

    tumbuh menjulang tinggi (hingga 20 m atau bahkan lebih).

    Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran palma dalam analisis

    vegetasi adalah 5 x 5 meter. Hasil analisis kuantitatif sebagaimana yang tersaji

    pada Tabel 7 menunjukkan bahwa hanya ditemukan dua spesies yaitu D. rubra

    (rotan setan) dan P. conorata (palem bombing) dengan total kerapatan sebesar

    400 batang/hektar. Spesies D. rubra (rotan setan) adalah spesies yang

    mendominasi kawasan HM 5 TNGP yang terbukti dari INP yang tertinggi

    146,67 %.

    Tabel 7. Hasil Analisis Kuantitatif Vegetasi Palmae di HM 5 TNGGP

    Jenis Nama lokal n K KR F FR INP

    Daemonorops rubra

    Rotan setan 4 320 80 0,4 66,67 146,67

    Pinanga coronata palem bingbin

    1 80 20 0,2 33,33 53,33

    JUMLAH 5 400 100 0,6 100 200

    Keterangan : n = Jumlah vegetasi INP = Indeks Nilai Penting (%) K = Kerapatan (batang/hektar) F = Frekuensi KR = Kerapatan relatif (%) FR = Frekuensi relatif (%)

    Secara keseluruhan data-data yang dihasilkan untuk masing-masing

    tingkatan vegetasi tersebut menunjukkan komposisi dan struktur tumbuhan

    yang nilainya bervariasi pada setiap jenis, karena adanya perbedaan dari

    karakter masing-masing spesies. Keberhasilannya menjadi individu baru

  • 31

    dipengaruhi oleh vertilitas dan fekunditas yang berbeda pada setiap spesies,

    sehingga terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing-masing spesies.

    Menurut Kimmins (1987) variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu

    komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi, dispersal, dan natalitas.

    Spesies yang mampu mendominasi suatu kawasan merupakan spesies yang

    memiliki tingkat kelimpahan populasi yang tinggi dan mempunyai persebaran

    merata di seluruh areal lokasi pengamatan.

    Altingia excelsa merupakan spesies yang memiliki nilai INP tertinggi pada

    tingkat pohon sehingga menunjukkan bahwa spesies ini dapat beradaptasi

    dengan baik terhadap lingkungannya di HM 5 TNGP. Namun untuk tingkat

    permudaannya yaitu tingkat pancang dan semai, tidak ditemukan spesies

    Altingia excelsa di semua plot yang diamati. Kondisi tersebut kemungkinan

    berkaitan dengan karakteristik spesies Altingia excelsa yang akan tumbuh

    pada tempat yang terkena sinar matahari langsung. Pada tingkat semai,

    spesies yang menduduki urutan INP teratas adalah Ficus ribes sehingga

    spesies tersebut di masa yang akan datang dapat menjadi bagian dari tingkat

    vegetasi yang lebih tinggi yaitu tingkat tiang dan pohon.

    4.2 Indeks Diversitas Jenis

    Indeks diversitas jenis merupakan gambaran tingkat keanekaragaman

    jenis di dalam suatu komunitas. Hasil analisis kuantitatif Indeks Diversitas

    Shanon dan Indeks Diversitas Shanon-Wiener pada berbagai tingkat vegetasi

    di HM 5 TNGP disajikan dalam Tabel 8.

    Hasil perhitungan Indeks Diversitas (Gambar 8) menunjukkan bahwa dari

    tujuh tingkat vegetasi yang diamati, vegetasi tingkat semai adalah jenis vegetasi

    yang memiliki keanekaragaman paling tinggi dengan nilai Indeks Diversitas

    Shanon sebesar 3,13 dan Indeks Diversitas Shanon-Wiener sebesar 3,03.

    Sedangkan vegetasi palem adalah tingkat vegetasi yang memiliki

    keanekaragaman terendah yaitu 0,58 untuk Indeks Diversitas Shanon dan 0,50

    untuk Indeks Diversitas Shanon-Wiener. Perbedaan ini disebabkan oleh

    perbedaan parameter yang digunakan untuk menentukan indeks diversitas atau

    keanekaragaman komunitas. Pada Indeks Diversitas Shanon tingkat

  • 32

    keanekaragaman diperhitungkan melalui parameter INP, sedangkan pada

    Indeks Diversitas Shanon-Wiener digunakan parameter jumlah individu atau

    kerapatan.

    Gambar 8. Indeks Diversitas Shanon dan Indeks Shanon-

    Wiener di HM 5 - TNGP.

    Berdasarkan kriteria diversitas (Barbour et al., 1987), maka vegetasi

    tingkat semai yang terdapat di HM 5-TNGP menunjukkan tingkat

    keanekaragaman yang tinggi (H>3). Keanekaragaman spesies untuk vegetasi

    tingkat pohon, tiang, pancang, semak-herba dan paku-pakuan yang ada di HM

    5-TNGP termasuk kategori sedang (H = 1-3), sedangkan vegetasi palem

    memiliki tingkat keanekaragaman rendah (H

  • 33

    merupakan cerminan dari stabilnya suatu komunitas, artinya setiap spesies

    atau bahkan individu telah memiliki tempat tersendiri dalam habitatnya (niche),

    sehingga jika terdapat gangguan sekecil apapun akan menyebabkan

    terganggunya stabilitas tersebut.

  • 34

    BAB V

    KESIMPULAN

    1. Kerapatan populasi semua spesies untuk masing-masing tingkatan

    vegetasi adalah 135 pohon/hektar; 340 tiang/hektar; 25.000 semai/hektar;

    120.000 individu semak herba/hektar; 18.500 individu paku-pakuan/hektar;

    4.000 batang palma/hektar.

    2. Dominansi semua spesies pada areal HM 5-TNGP untuk tingkat pohon

    sebesar 25 m2/hektar; dan untuk tingkat tiang sebesar 7,19 m2/hektar.

    3. Spesies yang dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya

    sehingga mampu mendominasi kawasan HM 5 TNGP adalah Altingia

    excelsa (INP= 82,4 %) untuk tingkat pohon; Ficus variegata (INP = 43,91

    %) dan Schima walichi (INP = 39,38 %) untuk tingkat tiang; Hedyotis

    diggusa (INP = 25,23 %) untuk tingkat pancang; Ficus ribes (INP = 22,82

    %) untuk tingkat semai; Elafostema strigosum (INP = 60,4 %) untuk

    semak herba; Cyathea latebrosa (INP = 93,02 %) untuk vegetasi paku-

    pakuan; dan Daemonorops rubra (INP = 146,67 %) untuk vegetasi palma.

    4. Vegetasi tingkat semai menunjukkan tingkat keanekaragaman yang tinggi

    (H>3). Tingkat keanekaragaman sedang (H = 1-3) ditunjukkan oleh vegetasi tingkat pohon, tiang, pancang, semak-herba dan paku-pakuan.

    Vegetasi palem memiliki tingkat keanekaragaman rendah (H

  • DAFTAR PUSTAKA

    Barbour, M. G., J.H. Burk., and W.P. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The

    Benjamin/Cumming Publishing Company Ins, California.

    Greig-Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Blackwell Scientific Publications. Oxford.

    Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Cetakan Pertama. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. MacMillan Publishing Company, New

    York. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher, Inc. New

    York.

    Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Mulyana, M., T.Hardjanto dan G.Hardiansyah. 2005. Membangun Hutan Tanaman. Meranti. Membedah Mitos Kegagalan Melanggengkan Tradisi Pengusahaan Hutan. Wana Aksara Serpong Tangerang.

    MacKinnon., et al . 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

    Soerianegara dan Indrawan. 2013. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Sundarapandian, SM. and P.S. Swamy. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. Journal of Tropical Forest Science 12 (1):104-123.

    Van Steenis CGGJ. 1972. Flora Malaysiana I(7):311-312. Netherland: Director of the Foundation Published by Voordhaff International Puleleyzen the Netherlands.

  • Lampiran 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Pohon di Hm 5- TNGP.

    Nomor Plot

    Jenis tanaman keliling

    (cm) diameter

    (cm)

    tinggi total (m)

    panjang tajuk (m)

    tinggi bebas

    cabang (m)

    1 kondang hijau 90 28.66 12 4 8

    Waten 68 21.66 16 2 14

    Manggong 105 33.44 19 4 15

    Manglid 117 37.26 21 6 15

    2 kijogo/teter 68 21.66 13 4 9

    Rasamala 376 119.75 23 6 17

    Saninten 160 50.96 22 18

    muncang cina 89 28.34 18 4 14

    Manglid 87 27.71 15 4 11

    3 Rasamala 244 77.71 24 6 18

    Manglid 93 29.62 17 11 6

    Tunggerek 220 70.06 22 4 18

    Manglid 110 35.03 19 6 13

    Manglid 117 37.26 21 3.5 17.5

    riung anak 88 28.03 20 4 16

    Rasamala 220 70.06 23 7 16

    Rasamala 81 25.80 18 2.5 15.5

    4 kondang beunying 69 21.97 14 1.5 12.5

    Kiputri 140 44.59 26 6 20

    manggong 150 47.77 19 2.5 16.5

    Rasamala 260 82.80 32 8 24

    5 pasang batu 200 63.69 24 8 16

    Tunggerek 120 38.22 21 4 17

    Kimerah 110 35.03 19.5 3 16.5

    Beleketebe 82 26.11 26 5 21

    Ganitri 70 22.29 18 3 15

    Kihujan 85 27.07 25 7 18

  • Lampiran 2. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Tiang di HM 5- TNGP.

    Nomor Plot

    Jenis tanaman

    keliling (cm)

    diameter (cm)

    tinggi total (m)

    panjang tajuk

    (m)

    tinggi bebas

    cabang (m)

    1 Nangsi 41 13.06 10 3 7

    nangsi 40 12.74 7 6 1

    kirangkong 54 17.20 9 2.5 6.5

    kondanghijau 61 19.43 11 3 8

    suren 39 12.42 13 3 10

    kondang hijau 46 14.65 7.5 3.5 4

    kondang hijau 53 16.88 15 3 12

    2 puspa 61 19.43 17 3 14

    kileho leutik 36 11.46 9 1.5 7.5

    rasamala 58 18.47 15 3 12

    kipancet 54 17.20 19 5 14

    riung anak 62 19.75 21 4 17

    3 saninten 43 13.69 11 4 7

    puspa 48 15.29 13 2 11

    ki tandu 61 19.43 16 2.5 13.5

    4 ganitri 48 15.29 14 3 11

    kemiri cina 59 18.79 16 2 14

  • Lampiran 3. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Pancang di HM 5- TNGP.

    NAMA JENIS Jumlah individu di Plot

    ke Jumlah individu

    Latin Lokal 1 2 3 4 5

    Ficus cuspidata Reinw. darangdang

    1 1

    2

    Alaeocarpus ganitrus ganitri

    1

    1

    Ardisia marginata BL ki ajag

    1

    1

    2

    Turpenia montana BL ki bancet

    1

    1

    Dichroa sylvanica Reinw. kicarang

    1 1

    Solanum verbascifolium L ki jogo/teter

    3

    2 5

    Hedyotis diggusa Wild. ki kopi leutik 1 2 2 2

    7

    Mussaenda frodosa ki labang

    1 1

    2

    Mycetica modiflora ki leho bodas

    2 2

    Ficus Fistulosa Reinw. Kondang hijau

    5

    2

    7

    syzygium picnatum Merr. kopo

    2

    1 3

    Macaranga rehizinoides manggong

    1

    1

    Villebrunea rubescens nangsi 1

    1 1 3

    Trevesia sundaica panggang cucuk

    3

    2

    5

    Lithocarpus elegans (BL) Horsus pasang batu

    1

    2

    3

    Castanopsis acuminatissima riung anak

    1

    1

    Schefflera lutescens (BL) romo giling

    1

    1

    Pygeum latifolium Mig. salam hutan

    1

    1

    2

    Captanopsis tunggurut tunggereuk

    1

    1

    Talauma condollei tunjung

    2

    2

    Total 2 18 11 10 11 52

  • Lampiran 4. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Semai di HM 5-TNGP

    No NAMA JENIS Jumlah individu di

    Plot ke- Jumlah individu

    Latin Lokal 1 2 3 4 5

    1 Smilax odoratissima BL canar kecil

    2

    2

    2 Smilax macrocarpa BL canar/anggur beureum

    2

    2

    3 Alaeocarpus ganitrus ganitri

    1 1 2

    4 Ardisia marginata Bl kiajag

    1

    1

    5 Dichroa sylvanica Reinw kicarang

    1 1

    2

    6 Engelhardia spicata kihujan

    1

    1

    7 Schefflera aromatica kijangkorang

    1

    1

    2

    8 Hypobathrum frutescens (BL) Kikopi 1

    1

    9 Saurauia bracteosa Ki leho 5

    5

    10 Saurauia nudiflora kileho badak

    2 1

    3

    11 Saurauia cauliflora DC kileho beureum

    1

    1

    12 Perumnopytis amara Ki merak

    1 1

    13 Mussaenda frodosa kingkilaban 1

    1

    14 Mussaenda frodosa kingkilaban bodas

    1

    1

    15 Podocarpus neriifolius D. Don kiputri

    1 1

    16 Macropanax dispermum BL kiracun

    1

    1

    17 Ficus Fistulosa Reinw. kondang hijau

    3

    3

    18 Syzygium picnatum Merr kopo hutan

    1

    1

    19 Trevesia sundaica panggang cucuk

    2 1

    3

    20 Lithocarpus elegans pasang batu

    1

    1

    21 Schima walichi puspa

    1

    1

    22 Pygeum latifolium Mig salam hutan

    1

    1

    23 Castanopsis argentea saninten

    1

    1

    24 Schima noronhae tehtehan

    1

    1

    25 Talauma condollei tunjung

    1

    3

    4

    26 Ficus ribes Reinw. walen

    3 1 3 7

    Total 7 10 11 16 6 50

  • Lampiran 5. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Semak Herba di HM 5-TNGP

    No NAMA JENIS Jumlah individu di

    Plot ke- Jumlah individu

    Latin Lokal 1 2 3 4 5

    1 Eupatorium sordidum Babakoan besar

    40 40

    2 Eupatorium riparium Babakoan kecil 4 5 3

    12

    3 Strobilanthes cernua BL

    bubukuan/bunga 9 tahun

    2 6

    8

    4 Piper sp sirih hutan

    2 3

    1 6

    5 Elafostema strigosum BL Sirip penyu 38 20

    40 15 113

    6 Elafostema sp. sirip penyu besar

    15

    15

    7 Amomum coccineum tepus/honje hutan

    4

    4

    8 Begonia robusta hariang beureun

    2

    2

    9 Pilea angulata pokpohan hijau

    2

    2

    10 Pilea melastomoides pokpohan merah

    3

    3 6

    11 Costus sp Rumput pacing 1

    2 5

    8

    12 Urena lobata rumput pungpurutan

    2

    2

    13 Pygeum latifolium Mig salam hutan

    1

    1

    14 Solanum verbascifolium L teter/kijogo

    15

    15

    15 Hedychium roxburghii tongkat kecil

    4 2

    6

    Total 43 27 49 62 59 240

    Lampiran 6. Hasil Pengamatan Vegetasi Tingkat Paku-Pakuan di HM 5-TNGP

    No NAMA JENIS Jumlah individu di Plot

    ke- Jumlah individu

    Latin Lokal 1 2 3 4 5

    1 Curculiga capitulata

    congkok/anggrek tanah

    5

    2 7

    2 Asplenium nidus kadaka

    2

    2

    3 Cyathea latebrosa pakis haji 3 3 5 4 4 19

    4 Polypodium sp Paku andam 3

    3

    6

    5 Polypodium sp Paku pohon 1

    1

    6 Polypodium sp paku tiang

    2

    2

    Total 7 5 13 6 6 37

  • LAMPIRAN 7.

    FOTO DOKUMENTASI PRAKTIKUM ANALISA VEGETASI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

    MINGGU, 16 DESEMBER 2013 (Kameramen : Aris Dwi Cahyanto)

    Foto 1. Film Dokumenter Taman Nasional Gunung Gede Pangrago

    Foto 2. Pengarahan oleh Prof. Andri Indrawan

  • Foto 3. Denah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

    Foto 4. Kelompok II (dari kiri ke kanan : Entin Kartini, Nia Purwaka, G. Eko Manjela, Romi (assisten), Aris Dwi Cahyanto, Jerremias Ndoen)

  • Foto 5. Di Depan Kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (duduk dari ki ka : Alfian, Aris DC, Eka, berdiri dari ki ka : Jerry, Eko, Entin, Nia, Rismun, Endang,

    Hengky)

    Foto 6. Membuat plot 2x2, 5x5, 10x10 dan 20x20 m2

  • Foto 7. Briefing (rapat kilat di dalam hutan)

    Foto 8. Patok dalam plot 2x2, 5x5, 10x10 dan 20x20 m2

  • Foto 9. Mengukur Panjang Plot

    Foto 10. Mencatat Nama Vegetasi

  • Foto 11. Di Plot 1

    Foto 12. Romi (Assisten Analisa Vegetasi)

    Foto 13. Bu Nani (Pemandu Lapangan)

  • Foto 14. Pak Eko menggunakan kompas untuk membuat plot

    Foto 15. Pak Jerry mengukur keliling batang pohon

  • Foto 16. Bu Nia di Plot 4

    Foto 17. Bu Entin Mencatat Nama Vegetasi

  • Foto 18. Pak Eko dan Mas Romi membuat dan mengukur plot

    Foto 19. Vegetasi 1 dan 2

    Foto 20. Vegetasi 3 dan 4

  • Foto 21. Vegetasi 5 dan 6

    Foto 22. Vegetasi 7 dan 8

  • Foto 23. Vegetasi 9 dan 10

    Foto 24. Vegetasi 11 dan 12

  • Foto 25. Vegetasi 13 dan 14