laporan toksikologi 10
DESCRIPTION
toksikologiTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGIPERCOBAAN X
ISONIAZID
Disusun oleh :Kelompok 2
Andriana (31112059)Dame Ria Br. Silaban (31112066)Desi Nur Alfiani (31112071)Dessy Sari Supriatna (31112072)Panji Taufik Ridwan (31112101)Yayu Hendriani (31112114)
PROGRAM STUDI S1 FARMASISTIKes BAKTI TUNAS HUSADA
TASIKMALAYA2015
PERCOBAAN XISONIAZID
I. Hari/Tanggal
Senin, 04 Mei 2015
II. Tujuan
1. Melakukan pengujian aktivitas suatu obat isoniazid
2. Memahami kerja obat isoniazid sebagai obat antituberkulosis
III. Dasar Teori
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH.
Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan
bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri).
Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis
asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis
asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan
jumlah lemak yang terekstrasi oleh metanol dari mikobakterium.
Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar
puncak diperoleh dalam waktu 1–2 jam setelah pemberian oral. Di hati,
isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini
dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar
obat dalam plasma. Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada
efektivitas dan atau toksisitas isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari.
Efek samping
Efek samping seperti Mual, muntah, anoreksia, letih, malaise, lemah,
gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer, neuritis optikus, reaksi
hipersensitivitas, demam, ruam, ikterus, diskrasia darah, psikosis, kejang,
sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan
vitamin B6, penyakit pellara, hiperglikemia, asidosis metabolik,
ginekomastia, gejala reumatik, gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus.
Resistensi
Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan
TBC dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat
tunggal akan cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi
terjadi akibat kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu
terapi yang cukup lama yaitu antara 6–9 bulan sehingga pasien banyak yang
tidak patuh minum obats elama menjalani terapi.
Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk
mengobati semua tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia
sehingga dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah
seperti piridoksin (vitamin B6).
TB vit B6 sudah mengandung isoniazid dan vitamin B6 dalam satu
sediaan, sehingga praktis hanya minum sekali saja. TB vit B6 tersedia dalam
beberapa kemasan untuk memudahkan bila diberikan kepada pasien anak-
anak sesuai dengan dosis yang diperlukan.
Isoniazid di absorpsi dengan mudah secara per oral. Kadar puncak
dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Absorpsi akan
terganggu jika diminum bersama makanan, terutam karbohidrat atau
antasida yang mengandung aluminium. Di hati isoniazid terutama
mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme isoniazid
dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar
obat dalam plasma dan masa paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada
orang-orang Eskimo dan Jepang. Asetilator lambat terutama pada skandavia
Yahudi dan Afrika Utara. Fungsi ginjal yang sangat berkurang
menyebabkan akumulasi obat tersebut terutama pada asetilator lambat. Pada
penderita yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid dalam sirkulasi
berkisar antara 30-50% kadar pada asetilator lambat masa paruhnya pada
keseluruhan populasi antara 1-3 jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator
cepat hamper 80 menit, sedangkan nilai 3 jam adalah khas untuk asetilator
lambat. Masa paruh obat ini dapat memanjang bila terjadi infusiensi hati.
Penyakit hati kronik akan mengurangi metabolisme dan dosis harus
dikurangi. Perlu ditekankan bahwa perbedaan kecepatan asetilasi tidak
berpengaruh pada efektifitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan
setiap hari. Isoniazid mudah berdifusi kedalam sel dan ke semua cairan
tubuh dan bahan kaseosa (jaringan nekrotik yang seperti keju); kadarnya
didalam cairan kira-kira sama dengan kadarnya dalam serum. Obat terdapat
dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar
dalam cairan serebrospinal kira-kira 20% kadar dalam cairan plasma. Kadar
obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam
jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan
terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik. Antara
75-95% isoniazid diekskresikan melalui urine dalam waktu 24 jam dan
seluruhnya dalam bentuk metabolit.
Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan
metabolit proses asetilasi, dan asam nikotinat yang merupakan metabolit
proses hidrolisis. Sejumlah kecil dieksresi dalam bentuk isonikotinil glisin
dan isonikotinil hidrasion dan dalam jumlah yang sangat kecil sekali berupa
N-metil isoniazid. Jaringan yang terinfeksi cenderung menahan obat lebih
lama. Obat tersebut mudah menembus sel-sel dan efektif terhadap basil-
basil yang sedang tumbuh dalam sel. INH mengalami N-asetilasi dan
hidrolisis, yang menghasilkan produk-produk tidak aktif. Ekskresi melalui
filtrasi glomerular, terutama dalam bentuk metabolit. Asetilator lambat
mengekskresikan lebih banyak “parent-compound” nya. INH juga
diekskresikan kedalam air ludah, sputum dan susu.
Gejala keracunan yag timbul berupa :
a. Akut : slurred speech, ataxia, koma, seizur, metabolit asidosis
b. Kronik : neuritis perifer, hepatitis, hipersensitivitas, defisiensi B6
Dosis toksik : akut . 1,5 gram atau 80-150 mg/kg, kronis 10 mg/kg.
Pengobatan :
a. Tindakan emergensi/suportif : pertahankan jalan udara atau
ventila beri oksigen, obati seizur, koma, dan metabolit asidosis
b. Antidotum : B6 dengan dosis sebanding dengan INH
c. Dekontaminasi :
- prehospital : karbon, ipeka
- hospital : karbon, katartik, cuci lambung
d. Eliminasi : diuresis, dialysis
IV. Alat dan Bahan
A. Alat
1. Masker dan Handskun
2. Timbangan mencit
3. Wadah penyimpan mencit
4. Mortir dan Stamper
5. Alat gelas
6. Disposable 1 ml
7. Stopwatch
B. Bahan / Hewan percobaan
1. Mencit
2. Tablet isoniazid
3. Vitamin B6 injeksi
4. Diazepam injeksi
5. Aqua P.I
6. PGA
V. Prosedur
1. Di buat 4 kelompok menggunakan 3 ekor mecit sbb:
a. Kelompok 1 diberi dosis 1 sebanyak 0,2 ml secara oral.
b. Kelompok 2 diberikan dosis 2 sebanyak 0,2 ml secara oral.
c. Kelompok 3 diberikan dosis 3 sebanyak 0,2 ml secara oral.
d. Kelompok 4 diberikan dosis 4 sebanyak 0,2 ml secara oral.
2. Berikan B6 sesuai dosis INH bila terjadi keracunan.
3. Bila kejang berikan diazepam dosis konversi (0,4 mg/kg) dan obat lain
sesuai dengan gejala yang timbul.
4. Perhatikan dan catat gejala yang terjadi pada tiap-tiap mencit.
5. Data-data tersebut masukkan dalam tabel data.
6. Bandingkan data dari ketiga dosis tersebut.
VI. Hasil Pengamatan dan Perhitungan
a. Perhitungan
Dosis IV
15 gram x 0,0026=0,039/ 20 gram BB mencit
0,0390,3
x 0,397=0,05161 gram / 0,2 ml
Larutan stok :
0,05161 gram / 0,2 ml
2,5805 gram / 10 ml
Pemberian sediaan isoniazid pada mencit :
BB Mencit 1 : 12,58 kg
: 12,58 kg
20 mlx 0,2 ml=0,13 ml
BB Mencit 2 : 26,98 kg
: 26,98 kg
20 mlx 0,2 ml=0,27 ml
a. Hasil Pengamatan
No Mencit Dosis Gejala
1 Mencit 1 INH
Cegukan Gemeteran Kejang-kejang menit 38 Pingsan pada menit 45 Loncat-loncat Mati pada menit 55
2 Mencit 2 INH
Cegukan Kejang-kejang pada menit 30 Gemetaran Loncat-loncat Mati pada menit 42
VII. Pembahasan
Pada praktikum ini tentang pengujian efek toksik isoniazid, isoniazid
sendiri merupakan hidrazid dari asam isonikotinat yang merupakan suatu
analog sintetik piridoksin. Isoniazid adalah obat anti-tuberkulosis yang
paling poten, tetapi tidak pernah diberikan sebagai obat tunggal dalam
pengobatan tuberkulosis aktif. Pada pengujian efek toksik isoniazid
kelompok kami menguji efek toksik isoniazid dalam dosis 4 yaitu sebesar
0,04 g atau sebesar 40 mg dosis ini termasuk dosis toksik, karena dosis
terapi pada manusia adalah 10 mg/kg BB.
Pada percobaan sebelumnya hewan mencit ditimbang terlebih
dahulu untuk mengetahui berat masing-masing mencit untuk memberikan
dosis sesuai berat badannya, dan dilakukan rute pemberian obat secara oral,
memberikan suatu obat melalui mulut adalah cara pemberian obat yang
paling sering, tetapi juga paling bervariasi dan memerlukan jalan yang
paling rumit untuk mencapai jaringan. Beberapa obat diabsorpsi dilambung,
namun diduodenum sering merupakan jalan masuk utama kesirkulasi
sistemik karena permukaan absorpsinya yang lebih besar. Terhadap hewan
mencit, cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral. Dilakukan
rute oral karena Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral, kadar
puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati,
isoniazid terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan
metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya, isoniazid
mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh.
Selanjutnya mencit dibiarkan selama 1 jam untuk menunggu obat
memberikan efek. Pengujian ini dapat dilakukan untuk mengetahui aktivitas
obat tuberkolosis dengan efek toksik dengan cara mengamati lama waktu
mencit mengalami efek toksik dengan gejala-gejala yang ditimbulkan.
Setelah diamati, sebelum 1 jam pada waktu 38 menit mencit mengalami
kejang-kejang, lalu ditandai dengan gemetaran, cegukan, loncat-loncat dan
mengalami pingsan pada waktu 45 menit dan hingga mengalami kematian
pada waktu 55 menit. Dan pada mencit kedua mengalami tanda awal
cegukan, kejang-kejang pada menit 30, gemetaran, loncat-loncat, dan
akhirnya mati pada menit 42. Hal ini menunjukkan pada efek toksik
Isoniazid pada pasien yang mengalami efek toksik yang dapat mencetuskan
terjadinya kejang gambaran ialah kedut otot, vertigo, ataksia, parestesia,
stufor dan ensefalopati toksis yang dapat berakhir fatal.
Menisme kerja toksik isoniazid menyebabkan kurang fungsionalnya
piridoksin oleh dua mekanisme. Metabolit Hydrazone INH menghambat
piridoksin phosphokinase, enzimnya yang mengkonversi piridoksin menjadi
bentuk aktifnya, piridoksal-5-fosfat. Selain itu, INH bereaksi dengan fosfat
piridoksal untuk menghasilkan sebuah kompleks hydrazone aktif yang
diekskresi melalui ginjal. Hal ini mengganggu sintesis dan
metabolisme aminobutyric acid (GABA), penghambatan neurotransmitter
utama dalam SSP. Deplesi GABA dianggap sebagai etiologi seizure yang
diinduksi isoniazid. INH diinduksi oleh GABA deffficiency melalui tiga
mekanisme berbeda, pertama INH diubah menjadi hydrazones, yang
menghalangi piridoksin phosphokinase, enzim yang mengaktifkan
piridoksin untuk menjadi piridoksal 5-phosfat, kedua metabolit INH secara
langsung menghambat aktivitas piridoksal-5-fosfat, ketiga INH
meningkatkan ekskresi piridoksin melalui pembentukan
isonicotinylhydrazide kompleks, yang dieliminasi oleh ginjal.
Untuk Piridoksin (vitamin B6) adalah antidot khusus dan biasanya
berakhir dengan diazepam- untuk pengobatan kejang dan memperbaiki
status mental. Jika jumlah INH tertelan tidak diketahui, diberikan
pyridoksin setara gram INH yang tertelan. Pengobatan bersamaan dengan
diazepam dapat meningkatkan hasil. Jika piridoksin tidak tersedia, dosis
tinggi diazepam (0,3-0,4 mg/kg) efektif untuk status epileptikus. Pengobatan
dengan Pyridoxine juga dapat mempercepat resolusi asidosis metabolik.
VIII. Kesimpulan
Jadi setelah dilakukan pengujian efek toksik yang diberikan pada
dosis IV Isoniazid sebesar 40 mg mengalami gejala-gejala yang ditimbulkan
yaitu kejang-kejang, lalu ditandai dengan gemetaran, cegukan, loncat-loncat
dan mengalami pingsan hingga akhirnya mengalami kematian.
Daftar Pustaka
Anief, Moh. (1995). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University
Ernst Mutschler. (1986). Dinamika Obat ; Farmakologi dan Toksikologi.
Bandung : ITB
Gunawan, G dan Sulistia. (1995). Farmakologi dan Terapi Edisi IV.
Jakarta: FK-UI
Katzung, Bertram G. (1989). Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba
Medika, Jakarta.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna. (1995). Pengantar Farmakologi
Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G.
Jakarta: Gaya Baru
Lampiran
Dokumentasi
Penimbangan Mencit 1 Penimbangan Mencit 2 Pemberian sediaan uji
Pemberian sediaan uji Mencit 2 Mencit 1
Mencit 1 mati Mencit 2 mati