laporan nusantara november 2016.pdf (10,71 mb)

91

Upload: nguyenliem

Post on 19-Jan-2017

237 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)
Page 2: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)
Page 3: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)
Page 4: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

IV

Page 5: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

V

Daftar isi v

Kata Pengantar vii

Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah

Bagian II 9 Perekonomian Sumatera

Boks 1 19 Mentransformasi Industri Kelapa Sawit dan Karet Menjadi Penggerak

Perekonomian Sumatera

Bagian III 23 Perekonomian Jawa

Boks 2 41 Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai Integrasi

Produksi dan Nilai (Kondisi, Tantangan dan Strategi Pengembangan)

Bagian IV 47

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

Boks 3 59

Mencapai Transformasi Industri yang Berkesinambungan di Kawasan Timur

Indonesia (KTI)

Bagian V 63 Isu Strategis : Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan

Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing Global

Lampiran 75

Page 6: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)
Page 7: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh terkait

perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia juga selalu

mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini

dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh

terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis

yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan

Kepala Departemen Regional yang mewakili 3 (tiga) wilayah di seluruh

Indonesia1. Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi

makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian

penting dalam proses perumusan kebijakan.

Perekonomian nasional pada triwulan III 2016 masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu

tumbuh 5,02%, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang

tumbuh 5,19%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh masih relatif kuatnya perekonomian di

berbagai wilayah. Jawa dan Sumatera, yang memiliki pangsa besar pada perekonomian

nasional, masih tumbuh cukup kuat ditopang konsumsi rumah tangga, investasi, serta

ekspor antar daerah. Provinsi di kedua wilayah tersebut yang mencatatkan percepatan

pertumbuhan adalah Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, serta Banten. Sementara

itu, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup Kalimantan, Bali-Nusa

Tenggara (Balinusra) dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) secara agregat tumbuh

meningkat, terutama ditopang membaiknya kinerja ekspor, baik luar negeri maupun antar

daerah. Peningkatan pertumbuhan KTI terjadi di hampir seluruh provinsi di Kalimantan,

kecuali Kalimantan Selatan, dan sebagian provinsi di Sulampua, yaitu Gorontalo, Sulawesi

Barat, Papua, dan Papua Barat.

Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan bahwa secara agregat,

perekonomian pada triwulan IV 2016 akan tumbuh lebih baik, meskipun dengan level yang

masih terbatas. Perbaikan tersebut diprakirakan bersumber dari akselerasi konsumsi rumah

tangga dan investasi, serta membaiknya kinerja konsumsi pemerintah dan ekspor. Lebih

tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya optimisme

konsumen dan prakiraan berlanjutnya kenaikan harga komoditas yang mendorong

penguatan daya beli. Adapun akselerasi investasi ditopang meningkatnya realisasi belanja

fisik, perkembangan pembangunan infrastruktur pemerintah, serta investasi non-bangunan

oleh swasta. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan membaik meski masih terbatas.

Perbaikan tersebut dipengaruhi kecenderungan peningkatan pembayaran oleh pemerintah

di akhir tahun, meski masih dibayangi dampak dari penundaan DAU terhadap 169 daerah

yang mulai berlaku sejak September lalu sampai dengan akhir tahun 2016. Sementara itu,

kinerja ekspor mengalami peningkatan, khususnya di Sumatera dan Jawa, terutama

didorong kenaikan ekspor antar daerah di tengah tertahannya ekspor luar negeri. Secara

keseluruhan tahun 2016, perekonomian secara nasional diperkirakan tumbuh 5,0%;

meningkat dibandingkan 2015 yang tumbuh 4,79%.

Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2016 (September 2016) terjaga

dalam level yang rendah, yakni sebesar 3,07% (yoy). Realisasi inflasi pada periode ini jauh

1 Sesuai SE No.18/86/Intern tentang Departemen Regional I, II, dan III, tanggal 30 September 2016, maka terhitung

sejak terbitan kali ini, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia (mencakup Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

D

Page 8: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

lebih rendah dibandingkan rata-rata 5 tahun terakhir yang mencapai 5,74%. Realisasi inflasi

(yoy) pada akhir triwulan III 2016 yang menurun terjadi di Jawa (2,58%) dan KTI (3,47%).

Sementara inflasi di Sumatera tercatat sedikit naik, meski masih dalam kisaran target 4±1%,

yaitu sebesar 4,28%. Terkendalinya inflasi di sepanjang periode triwulan III 2016 dipengaruhi

oleh kembali normalnya harga komoditas utama seperti daging ayam ras, telur ayam, dan

berbagai sayuran pasca Lebaran. Tarif angkutan darat dan udara juga kembali normal di

berbagai daerah pasca mencapai puncaknya pada Lebaran. Selain itu, masih terjaganya nilai

tukar Rupiah meminimalkan dampak imported inflation. Hingga akhir tahun 2016, inflasi

berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI, secara agregat akan berada pada kisaran 4±1%.

Perekonomian daerah secara agregat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran

5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi 2017

tersebut didukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di semua wilayah. Cukup kuatnya

optimisme konsumen diperkirakan mampu menopang pertumbuhan konsumsi rumah

tangga serta perdagangan antar daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur pemerintah

di berbagai daerah diperkirakan akan mendorong investasi fisik di berbagai daerah. Di sisi

lain, inflasi pada 2017 diperkirakan tetap berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional

4±1%. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah

serta berkurangnya potensi risiko cuaca yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan

dan hortikultura, yang tidak setinggi tahun 2016.

Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mempercepat

Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang Berdaya

Saing Global”. Isu tersebut penting diangkat karena di tengah gejala deindustrialisasi selama

satu dekade terakhir, Indonesia perlu segera kembali menata dan membangun industri

manufakturnya melalui upaya transformasi industri. Pengalaman negara-negara maju,

membuktikan bahwa industri manufaktur mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi

yang kuat dan sustainable. Oleh karena itu strategi transformasi industri yang komprehensif,

terkoordinasi dan terencana sangat dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi

Indonesia serta untuk menjaga agar Indonesia bebas dari Middle Income Trap. Dalam kaitan

dengan hal tersebut, transformasi industri perlu dilakukan dengan berfokus pada mengatasi

tantangan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka menengah panjang atau

struktural yang selama ini dihadapi industri manufaktur di Indonesia.

Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen

Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) serta Departemen Regional I, II, dan III yang

masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir

kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi

para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu

kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.

Jakarta, 23 November 2016

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung Direktur Eksekutif

Page 9: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

1

Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah

Perekonomian nasional pada triwulan III 2016

masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu

tumbuh 5,02%. Pertumbuhan yang lebih rendah

dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan II

2016 sebesar 5,19% tersebut ditopang oleh

masih relatif kuatnya perekonomian di berbagai

wilayah. Perekonomian Jawa dan Sumatera, yang

memiliki pangsa besar pada perekonomian

nasional, masih tumbuh cukup kuat. Provinsi-

provinsi yang mencatat percepatan pertumbuhan

adalah Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka

Belitung serta Banten. Khusus Banten,

pertumbuhannya ditopang oleh peningkatan

ekspor antar provinsi dan peningkatan kinerja

industri pengolahan, terutama terkait subindustri

petrokimia. Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia (KTI) yang mencakup Kalimantan, Bali-

Nusa Tenggara (Balinusra) dan Sulawesi-Maluku-

Papua (Sulampua) secara agregat tumbuh

meningkat. Peningkatan pertumbuhan KTI terjadi

di hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali

Kalimantan Selatan, dan sebagian provinsi di

Sulampua, yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat,

Papua, dan Papua Barat.

Perekonomian Sumatera tumbuh sebesar 3,88%

pada triwulan III 2016 didukung oleh

membaiknya net ekspor serta masih terjaganya

konsumsi. Tingkat pertumbuhan triwulan

laporan, meski lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan triwulan sebelumnya yaitu 4,44%,

didorong oleh perbaikan ekspor terutama dari

membaiknya ekspor CPO antar daerah akibat

permintaan domestik yang terus menguat. Meski

demikian, perbaikan harga komoditas ekspor

utama Sumatera yang masih terbatas

menyebabkan ekspor luar negeri tumbuh di level

yang rendah. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi

rumah tangga yang lebih kuat terhambat oleh

terbatasnya perbaikan daya beli yang tercermin

dari Nilai Tukar Petani dan keyakinan konsumen.

Sementara itu, konsumsi pemerintah mengalami

kontraksi pada triwulan laporan dan terjadi di

hampir seluruh provinsi di Sumatera, kecuali

Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung.

Hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan

pemerintah pusat dalam menjaga ketahanan

fiskal berupa kebijakan pengurangan dan

penundaan transfer ke daerah serta pemotongan

belanja Kementerian/Lembaga. Sementara itu,

perlambatan investasi dipengaruhi menurunnya

kinerja investasi bangunan terkait perkembangan

proyek pemerintah yang terhambat pada

masalah pembebasan lahan. Investasi sektor

swasta masih tertahan akibat perbaikan kondisi

perekonomian yang cenderung terbatas.

Ekonomi Jawa tumbuh cukup kuat mencapai

5,57%, meskipun melambat dibandingkan

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi

Jawa pada triwulan laporan ditopang investasi,

khususnya non-bangunan, serta ekspor antar

daerah yang tercatat tumbuh lebih tinggi.

Pergeseran puncak konsumsi Ramadhan ke

triwulan II pada 2016, menyebabkan terbatasnya

pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Pertumbuhan konsumsi yang terbatas khususnya

terjadi pada konsumsi makanan dan minuman

serta sandang. Konsumsi pemerintah tercatat

mengalami kontraksi meski tidak sedalam

Sumatera. Upaya rasionalisasi anggaran seiring

kebijakan penundaan DAU, serta pergeseran

penyaluran gaji ke-13 dan ke-14 menjadi di

triwulan II 2016, turut memengaruhi turunnya

pertumbuhan konsumsi pemerintah.

Di sisi lain, perekonomian Kawasan Timur

Indonesia (KTI) tercatat tumbuh meningkat.

Pada triwulan III 2016, perekonomian berbagai

Page 10: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

2

daerah di KTI secara agregat tumbuh 5,32%, lebih

tinggi dibanding triwulan II yang tumbuh 3,88%.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi KTI

ditopang oleh membaiknya kinerja ekspor, baik

luar negeri maupun antar daerah, terutama di

Kalimantan dan Sulampua. Selain itu,

peningkatan pertumbuhan juga didorong oleh

membaiknya investasi, khususnya investasi

bangunan di Kalimantan dan Balinusra seiring

masih berjalannya proyek infrastruktur

pemerintah. Di sisi lain, sejalan dengan kondisi di

Sumatera dan Jawa, konsumsi pemerintah di KTI

juga tumbuh negatif; yang terutama terjadi di

seluruh provinsi di Kalimantan, sebagian

Sulawesi, serta di NTT dan Maluku Utara. Secara

wilayah, perekonomian Kalimantan dan

Sulampua tercatat tumbuh lebih tinggi dibanding

triwulan lalu yang didorong oleh ekspor. Hal

tersebut didukung beroperasinya smelter bauksit

baru untuk memproduksi alumina di Kalimantan

Barat serta peningkatan produksi untuk mencapai

target pasca perbaikan mesin produksi tembaga

di Papua. Sementara perekonomian Balinusra

mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah

seiring kontraksi penjualan konsentrat mineral di

NTB, penurunan investasi di Bali, serta dalamnya

kontraksi konsumsi pemerintah di NTT.

Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2016

Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah

mengindikasikan perekonomian pada triwulan

IV 2016 secara agregat tumbuh membaik, meski

masih terbatas. Perbaikan tersebut ditopang oleh

akselerasi konsumsi rumah tangga dan investasi,

serta membaiknya kinerja konsumsi pemerintah

dan ekspor. Lebih tingginya pertumbuhan

konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya

optimisme konsumen dan prakiraan kenaikan

harga komoditas yang mendorong penguatan

daya beli. Adapun akselerasi investasi ditopang

meningkatnya realisasi belanja fisik,

perkembangan pembangunan infrastruktur

pemerintah, serta investasi non-bangunan oleh

swasta. Di sisi lain, konsumsi pemerintah

diperkirakan membaik meski masih terbatas.

Perbaikan tersebut dipengaruhi kecenderungan

pembayaran pemerintah di akhir tahun, meski

masih dibayangi dampak dari penundaan DAU

terhadap 169 daerah yang mulai berlaku sejak

September lalu sampai dengan akhir tahun 2016.

Sementara itu, kinerja ekspor membaik,

khususnya di Sumatera dan Jawa, terutama

didorong ekspor antar daerah di tengah

tertahannya ekspor luar negeri. Di Sumatera,

perbaikan ekspor antar daerah didorong

membaiknya permintaan CPO domestik di tengah

masih terbatasnya permintaan ekspor luar

negeri. Di Jawa, peningkatan ekspor lebih

didorong ekspor antar daerah terutama untuk

komoditas pertanian, produk makanan-minuman,

dan tekstil seiring dengan masih kuatnya

permintaan domestik. Disamping itu, sebagai

Page 11: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

3

bagian dari upaya perbaikan kinerja ekspor,

pelaku usaha di Jawa mulai melakukan perluasan

atau diversifikasi negara tujuan ekspor guna

meningkatkan pertumbuhan ekspor luar negeri.

Di sisi lain, kinerja ekspor di KTI justru tumbuh

melambat yang berkontribusi dalam perlambatan

pertumbuhan KTI secara keseluruhan pada

triwulan IV 2016. Hal tersebut terutama

dipengaruhi melambatnya ekspor CPO, LNG, dan

kayu karena terbatasnya perbaikan harga.

Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2016*

* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)

Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian

daerah secara agregat diprakirakan tumbuh

lebih baik dibandingkan tahun 2015, meski

sedikit lebih rendah dari prakiraan sebelumnya.

Perbaikan perekonomian terutama ditopang oleh

meningkatnya kinerja pertumbuhan ekonomi

Jawa dan Sumatera. Meski demikian, perbaikan

perekonomian masih dibayangi risiko belum

optimalnya penyerapan belanja daerah di tengah

kebijakan konsolidasi fiskal pemerintah. Selain

itu, masih terbatasnya perbaikan ekonomi global

yang berimbas pada terbatasnya ekspor daerah

diperkirakan turut menahan peningkatan yang

lebih tinggi pada kinerja perekonomian daerah

secara keseluruhan. Melihat berbagai

perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi

keseluruhan tahun 2016 diperkirakan berada di

kisaran 4,9%-5,3% (yoy), sedikit lebih rendah dari

perkiraan sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan

ditopang oleh konsumsi & investasi seiring

mulai membaiknya kondisi ekonomi,

pendapatan masyarakat, dan persepsi pelaku

usaha. Hal tersebut tercermin dari indeks

keyakinan konsumen yang membaik secara

gradual sejak pertengahan tahun. Selain itu,

berlanjutnya pembangunan infrastruktur

berskala besar di berbagai daerah di Jawa turut

mendorong perbaikan ekonomi Jawa secara

keseluruhan. Meski demikian, masih terbatasnya

perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama

di tengah menurunnya volume perdagangan

dunia diprakirakan menekan pertumbuhan

ekspor luar negeri dan kinerja industri

pengolahan.

Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan

bersumber dari meningkatnya realisasi proyek

infrastruktur pemerintah disertai masih kuatnya

Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen Tendensi Asesmen

Pertumbuhan

Ekonomi

Didorong akselerasi Konsumsi,

Investasi, serta Ekspor.

Pertanian, Pertambangan, dan

Industri Pengolahan

diperkirakan tumbuh

meningkat.

Didorong akselerasi Konsumsi,

Investasi, dan Ekspor; serta

akselerasi Industri Pengolahan,

Konstruksi, dan Perdagangan.

Dipengaruhi menurunnya kinerja

ekspor dan melambatnya

pertumbuhan sektor utama selain

Pertanian & Akomodasi.

Konsumsi RTKenaikan harga komoditas

diperkirakan akan mendorong

daya beli masyarakat.

Kenaikan optimisme konsumen

yang didukung faktor musiman dan

Pilkada, serta terjaganya inflasi

mendorong tingkat konsumsi

masyarakat.

Ekspektasi masyarakat terhadap

ekonomi ke depan meningkat dan

berada di level optimis.

Konsumsi

Pemerintah

Peningkatan realisasi belanja

barang & jasa pemerintah.

Kecenderungan pola realisasi serta

penagihan & pembayaran belanja

Pemerintah akhir tahun.

Meningkatnya belanja pemerintah

sesuai pola akhir tahun.

Investasi

(PMTB)

Peningkatan realisasi belanja

fisik pemerintah.

Pelonggaran kebijakan LTV/FTV

mendorong pembangunan properti;

meski dapat tertahan oleh

pemotongan belanja modal

pemerintah pasca penundaan DBH.

Masih berlanjutnya proyek

infrastruktur pemerintah serta

investasi swasta a.l.

Pembangunan pabrik gula di NTB.

Ekspor Membaiknya permintaan CPO

domestik di tengah tertahannya

ekspor LN.

Pelaku usaha mulai melakukan

perluasan negara tujuan ekspor

guna meningkatkan pertumbuhan

ekspor.

Perlambatan ekspor CPO, LNG,

dan kayu karena terbatasnya

perbaikan harga.

Impor Meningkatnya impor bahan

baku & barang modal.

Sejalan dengan kinerja industri

manufaktur, terutama impor bahan

baku dan barang modal.

Terutama disumbang kenaikan

impor barang konsumsi & barang

modal.

AGREGASISUMATERA JAWA KAWASAN TIMUR INDONESIAKomponen

PDRB

Page 12: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

4

konsumsi rumah tangga. Pembangunan

beberapa proyek infrastruktur berskala besar di

Sumatera seperti pembangunan jalan trans

Sumatera, pembangkit listrik, dan sarana

penunjang kegiatan Asian Games 2018

diperkirakan dapat mendorong investasi dan

kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain

itu, masih kuatnya konsumsi domestik

mendorong ekspor antar daerah serta kinerja

industri pengolahan CPO.

Di sisi lain, perekonomian KTI diprakirakan

tumbuh lebih rendah dibanding tahun lalu,

meski sedikit lebih tinggi dibanding perkiraan

sebelumnya. Prakiraan melambatnya ekonomi

KTI dipengaruhi turunnya produksi

pertambangan utama seperti minyak bumi di

Kalimantan, nikel di Sulawesi, dan tembaga di

Nusa Tenggara. Kondisi ini mengakibatkan

kontraksi ekspor yang lebih dalam. Selain itu,

kinerja investasi dan konsumsi pemerintah

tumbuh tidak setinggi perkiraan seiring realisasi

target pembangunan proyek infrastruktur

pemerintah yang belum optimal serta tantangan

kebijakan penghematan fiskal. Meski demikian,

pertumbuhan ekonomi KTI masih akan berada di

level yang cukup tinggi karena ditopang oleh

konsumsi yang masih kuat seiring prospek

peningkatan pendapatan pada usaha jasa dan

perdagangan.

Stabilitas Keuangan Daerah

Sejalan dengan kondisi ekonomi, kinerja

keuangan sektor korporasi pada triwulan III

2016 menunjukkan perlambatan. Hal ini

tercermin dari penyaluran kredit ke sektor

korporasi yang tumbuh sebesar 13,9% (yoy), lebih

rendah dibanding triwulan lalu 17,4% (yoy).

Angka pertumbuhan tersebut juga lebih rendah

dibanding rata-rata pertumbuhan 3 tahun

terakhir yang mencapai 16,5%. Perlambatan

penyaluran kredit korporasi terdalam terjadi di

Sumatera, yakni dari 18,0% menjadi 12,8%,

terutama dipengaruhi perlambatan kredit ke

Pertanian dan Perdagangan. Kredit korporasi di

Jawa juga melambat dari 18,2% menjadi 14,5%.

Sementara pertumbuhan penyaluran kredit

korporasi di KTI justru sedikit membaik, dari

10,8% menjadi 11,2% terutama ditopang

membaiknya kredit ke Pertanian. Kondisi

perlambatan pertumbuhan kredit ini perlu

diwaspadai seiring cenderung meningkatnya

risiko non performing loans (NPL) di berbagai

lapangan usaha utama daerah, terutama di

Perdagangan dan Pertanian.

Kinerja keuangan sektor rumah tangga juga

mengalami tekanan. Hal ini tercermin dari

penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang

tumbuh 6,4%, lebih rendah dibanding triwulan

lalu yang mencapai 7,6%. Perlambatan tersebut

terjadi di semua wilayah, pada berbagai jenis

kredit termasuk kredit kendaraan bermotor,

kredit pemilikan rumah, serta kredit multiguna.

Perlambatan kredit ke sektor rumah tangga

tersebut perlu diwaspadai karena diiringi

kenaikan NPL, meski masih di bawah batas aman

5%.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Aktivitas transaksi keuangan selama periode

triwulan III 2016 menurun signifikan sejalan

dengan perlambatan ekonomi. Nilai transaksi

keuangan melalui sistem Real Time Gross

Settlement (RTGS) sepanjang triwulan III 2016

tumbuh negatif 6,34% (yoy) atau senilai Rp26.274

triliun, lebih rendah dibanding periode triwulan

sebelumnya yang tumbuh negatif 3,64%.

Demikian halnya dari sisi volume yang

menunjukkan penurunan transaksi pada sistem

RTGS, yakni tumbuh dari -47,77% menjadi -

53,25% atau sekitar 1,37 juta transaksi.

Penurunan aktivitas transaksi keuangan juga

terlihat pada kliring. Perputaran kliring melalui

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)

pada triwulan III 2016 secara nominal tumbuh

15,70% atau senilai Rp848 triliun, turun signifikan

dibanding triwulan lalu yang tumbuh 56,22%.

Secara volume, transaksi perputaran kliring juga

melambat signifikan dari 50,75% menjadi 19,70%.

Page 13: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

5

Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2016 (yoy)

Peredaran uang kartal menunjukkan penurunan

seiring perlambatan pertumbuhan konsumsi

rumah tangga. Hal tersebut tercermin dari

kontraksi outflow uang kartal dari Bank Indonesia

sepanjang triwulan III 2016, yaitu negatif 32,4%

(yoy), jauh lebih rendah dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh 62,2% (yoy).

Perkembangan Inflasi

Perkembangan inflasi di berbagai daerah

sepanjang triwulan III 2016 terjaga dalam level

yang cukup rendah. Realisasi inflasi pada akhir

triwulan III 2016 (September 2016), secara

agregat tercatat sebesar 3,07% (yoy). Realisasi

inflasi pada periode ini jauh lebih rendah

dibandingkan rata-rata historisnya dalam 5 tahun

terakhir yang mencapai 5,74%. Secara umum,

terkendalinya inflasi di sepanjang periode

triwulan III 2016 dipengaruhi oleh kembali

normalnya harga komoditas utama seperti daging

ayam ras, telur ayam, dan berbagai sayuran pasca

Lebaran. Tarif angkutan darat dan udara juga

kembali normal di berbagai daerah pasca

mencapai puncaknya pada Lebaran. Selain itu,

masih terjaganya nilai tukar Rupiah

meminimalisasi dampak imported inflation.

Realisasi inflasi (yoy) pada akhir triwulan III 2016

tercatat menurun di Jawa (2,58%) dan KTI

(3,47%). Namun, inflasi Sumatera tercatat sedikit

naik meski masih dalam kisaran target 4±1%,

yaitu menjadi sebesar 4,28%. Realisasi inflasi

Sumatera yang lebih tinggi didorong inflasi pada

komoditas cabai merah di berbagai daerah di

Sumatera.

Memasuki awal triwulan IV 2016, tekanan inflasi

masih terjaga di berbagai daerah di Jawa dan

KTI. Per Oktober 2016, berbagai daerah di Jawa

mencatatkan inflasi sebesar 2,79%, sedangkan

inflasi KTI tercatat sebesar 3,47%. Kondisi

tersebut ditopang stabilnya harga pangan seiring

dengan pasokan yang cukup memadai serta

intensifnya upaya pemerintah untuk

mengendalikan harga-harga komoditas pangan.

Di sisi lain, inflasi Sumatera justru naik cukup

tinggi diatas kisaran, yakni mencapai 5,03%..

Provinsi yang mencatatkan inflasi tinggi di

Sumatera per Oktober 2016 adalah Sumatera

Utara (7,38%), Sumatera Barat (6,13%), Bengkulu

(5,72%), dan Bangka Belitung (5,04%). Penyebab

utamanya adalah kenaikan harga komoditas

cabai merah akibat serangan virus kuning, yang

merusak ribuan hektar areal tanam. Meski

demikian, penangan kuratif dan preventif telah

dilakukan oleh Pemda berbagai daerah di

Sumatera.

Tekanan inflasi pada Oktober 2016 lebih

bersumber dari kenaikan harga cabai merah, tarif

listrik, bahan bakar rumah tangga, rokok kretek

filter, serta ikan dencis. Meski demikian, tekanan

inflasi mampu ditahan oleh penurunan harga

komoditas pangan seperti bawang merah, daging

ayam ras, kentang, dan telur ayam ras, seiring

terjaganya pasokan.

Page 14: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

6

Hingga akhir triwulan IV 2016, inflasi berbagai

daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI secara

agregat akan berada pada kisaran 4±1%.

Beberapa risiko inflasi hingga akhir tahun 2016

antara lain faktor musiman naiknya permintaan

menjelang natal & tahun baru yang turut

mendorong naiknya harga tiket pesawat, serta La

Nina yang berdampak pada tanaman

hortikultura, meski dampaknya tidak setinggi

perkiraan sebelumnya.

Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah

Prospek Ekonomi Daerah

Perekonomian daerah secara agregat pada

tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran

5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Lebih

tingginya pertumbuhan ekonomi 2017 tersebut

didukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di

semua wilayah. Cukup kuatnya optimisme

konsumen diperkirakan mampu menopang

pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta

perdagangan antar daerah. Selain itu,

pembangunan infrastruktur pemerintah di

berbagai daerah diprakirakan masih akan

mendorong investasi fisik di berbagai daerah.

Beberapa paket kebijakan terkait deregulasi

perijinan dan berbagai insentif investasi

diharapkan mampu menarik investasi swasta

yang lebih tinggi di sepanjang tahun 2017.

Adanya Pilkada serentak di berbagai daerah pada

2017 di tengah capaian positif tax amnesty,

diharapkan mampu memperkuat kondisi fiskal

pemerintah dan meningkatkan kinerja konsumsi

pemerintah. Sementara itu, perekonomian dunia

dan volume perdagangan dunia yang

diproyeksikan tumbuh lebih tinggi, serta

perbaikan harga komoditas seperti minyak, gas

alam, CPO, karet, aluminium, timah, dan nikel

diprakirakan akan mendorong peningkatan

ekspor di berbagai daerah.

Di sisi lain, inflasi pada 2017 diperkirakan masih

berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional

4±1%. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi

inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah serta

ancaman cuaca yang dapat mengganggu produksi

tanaman pangan dan hortikultura tidak setinggi

pada 2016. Meski demikian, masih terdapat

beberapa risiko yang masih membayangi

kedepan, antara lain (i) kenaikan harga minyak

dunia yang berpotensi mengerek harga BBM; (ii)

kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebanyak tiga

kali (Januari, Maret, dan Mei 2017) untuk

pelanggan 900 VA; (iii) kemungkinan kenaikan

TTL bertahap untuk pelanggan 450 VA pada Juli,

Agustus, September dan Oktober 2017; (iv)

kebijakan distribusi tertutup terhadap LPG 3

kilogram dengan menaikkan harganya sesuai

harga keekonomiaannya; serta (v) kenaikan cukai

rokok.

Kedepan, Pemerintah Daerah perlu memberi

perhatian khusus yang berimbang baik pada

pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun

pengendalian inflasi. Hal tersebut sesuai dengan

arahan Presiden pada Rakornas TPID VII 2017.

Dalam konteks pengendalian inflasi kedepan,

Pemerintah Daerah perlu (i) segera membentuk

TPID bagi daerah yang belum memilikinya; (ii)

merumuskan dukungan intervensi atau program

pengendalian harga yang diperlukan dengan

alokasi APBD yang memadai; (iii) bersama-sama

dengan penegak hukum untuk melakukan

pengawasan kewajaran stok pangan di gudang-

gudang daerah secara berkala; (iv) melakukan

monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan

daerah dan segera melakukan perbaikan yang

diperlukan; serta (v) mencermati kondisi

distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi

faktor-faktor yang memicu disparitas harga.

Tantangan Ke Depan

Kedepan, perekonomian di berbagai daerah

akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik

tantangan global maupun domestik. Tantangan

global yang membayangi adalah proyeksi

tertahannya perbaikan ekonomi negara mitra

dagang, khususnya Eropa dan sebagian Asia.

Selain itu, kebijakan AS yang diperkirakan akan

cenderung berpandangan ke dalam (inward-

looking) dan protektif berpotensi menurunkan

Page 15: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

7

volume perdagangan dunia. Meski dampak

langsung terhadap kinerja investasi dan ekspor

Indonesia tidak terlalu besar, mengingat eksposur

ekspor yang relatif kecil, namun dampak tidak

langsungnya perlu dicermati. Kebijakan trade

protectionism AS berpotensi menekan PDB

Tiongkok sebagai pengekspor terbesar ke AS. Hal

tersebut kemudian dapat berdampak pada

kinerja ekspor berbagai daerah yang

menempatkan Tiongkok sebagai salah satu tujuan

utama ekspor.

Di sisi domestik, kondisi fiskal masih cukup

terbatas seiring potensi pajak yang belum

terserap secara optimal. Disamping itu, proses

transisi kepemimpinan daerah hasil Pilkada 2017

berisiko dapat menghambat pengambilan

kebijakan strategis terkait pembangunan

infrastruktur. Momen Pilkada juga berpotensi

mendorong investor untuk cenderung

berperilaku wait and see. Di sisi lain, kebijakan

peningkatan Domestic Market Obligation (DMO)

mineral dan batubara di tengah belum kuatnya

serapan domestik, berpotensi menahan

peningkatan produksi. Lebih jauh, larangan

ekspor mineral mentah yang efektif berlaku sejak

awal tahun 2017 juga berpotensi menekan

kinerja ekspor pertambangan.

Sementara itu, langkah pengendalian inflasi

masih dihadapkan pada berbagai risiko dan

tantangan struktural. Masih terbatasnya

kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang

belum efisien, dan infrastruktur logistik yang

belum memadai merupakan tantangan terbesar

bagi stabilitas harga pangan dalam jangka

panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya

ketergantungan produksi pangan terhadap faktor

iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga

antara produsen-konsumen maupun antar-

wilayah. Di samping itu, masih terbatasnya

kapasitas dan akses transportasi di beberapa

daerah juga sering kali mendorong kenaikan

inflasi yang bersumber dari angkutan, terutama

pada periode peak seasons.

Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,

strategi kebijakan yang terintegrasi dan

koordinasi yang intensif antara pusat-daerah

perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat.

Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk

mengakselerasi pembangunan berbagai

infrastruktur utama, memperkuat kebijakan yang

ramah bagi iklim usaha dan investasi, serta

mendorong transformasi industri yang berdaya

saing tinggi. Berbagai hal tersebut diperlukan

dalam kerangka mencapai pertumbuhan ekonomi

Indonesia yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif.

Strategi transformasi industri penting dilakukan

untuk mendorong Indonesia keluar dari Middle

Income Trap. Untuk mendekati level High Income

Group, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada

2017-2030 perlu tumbuh rata-rata minimal 7,1%

per tahun. Angka pertumbuhan setinggi itu tidak

mungkin tercapai jika kita tidak segera melakukan

reformasi ekonomi dengan mengoptimalkan

sumber pertumbuhan ekonomi baru (new engine

of growth). Pertumbuhan industri manufaktur

terbukti mampu menjadi motor penggerak

pertumbuhan ekonomi di berbagai negara maju.

Oleh karena itu, di tengah gejala deindustrialisasi

selama satu dekade terakhir, Indonesia perlu

kembali menata dan membangun industri

manufakturnya melalui transformasi industri

yang komprehensif, terkoordinasi dan terencana.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, transformasi

industri perlu dilakukan dengan memfokuskan

pada mengatasi tantangan baik yang bersifat

jangka pendek maupun yang bersifat jangka

menengah atau struktural (Lihat Isu Khusus

“Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur

Untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang

Berdaya Saing Global”).

Page 16: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

8

“halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 17: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

9

Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2016 tumbuh 3,9% (yoy), atau melambat dibandingkan

pertumbuhan triwulan sebelumnya 4,5% (yoy). Perlambatan tersebut disebabkan oleh melemahnya

pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi swasta. Dari sisi

sektoral, belum kuatnya permintaan eksternal, harga komoditas, serta dampak gagal panen di

sektor pertanian mempengaruhi kinerja pertambangan, pertanian dan industri pengolahan. Inflasi

selama triwulan laporan meningkat dari 3,71% (yoy) menjadi 4,28% (yoy) disebabkan oleh inflasi

komoditas volatile food, khususnya cabai merah akibat wabah virus kuning di sejumlah sentra

produksi. Sementara itu, kondisi stabilitas keuangan daerah masih terjaga dengan rasio NPL yang

relatif terkendali dan mampu mendukung akselerasi ekonomi Sumatera ditengah perlambatan

pertumbuhan kredit dan simpanan Dana Pihak Ketiga.

Pada triwulan IV 2016, aktivitas ekonomi diperkirakan kembali meningkat ditopang oleh perbaikan

konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta realisasi investasi. Dengan perkembangan

tersebut, ekonomi Sumatera 2016 diperkirakan lebih baik dari capaian tahun 2015 yaitu di kisaran

3,9%– 4,4%. Secara umum, motor penggerak pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi

rumah tangga, investasi, serta ekspor. Sementara itu, inflasi 2016 diprakirakan masih dalam kisaran

targetnya 4±1% meskipun terdapat tekanan inflasi volatile food. Proses perbaikan ekonomi dan

kestabilan inflasi diperkirakan akan terus berlanjut pada 2017 walaupun terdapat beberapa risiko

kenaikan harga kelompok administered prices. Peningkatan perekonomian diharapkan bersumber

dari perbaikan konsumsi dan ekspor. Sementara laju inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran

target, sejalan dengan terkendalinya pasokan pangan seiring dengan perbaikan jalur distribusi, pola

tanam, dan koordinasi yang erat antar lembaga dan instansi terkait.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2016

masih tumbuh cukup kuat sebesar 3,9% (yoy),

meski lebih rendah dari pertumbuhan triwulan

sebelumnya sebesar 4,5%. Kondisi ini didorong

oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi

rumah tangga dan konsumsi pemerintah serta

investasi. Laju pertumbuhan yang lebih rendah

tersebut terjadi pada sebagian besar provinsi di

Sumatera, kecuali Lampung, Jambi, dan Bangka

Belitung (Tabel II.1).

Tertahannya pertumbuhan konsumsi rumah

tangga di Sumatera dipengaruhi oleh penurunan

daya beli masyarakat. Pada periode laporan,

konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,9%

(yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan

triwulan II 2016 sebesar 5,5% (yoy). Kondisi ini

tercermin dari penurunan Indeks Keyakinan

Konsumen (IKK) dari 118,37 pada triwulan II 2016

menjadi 108,87 pada triwulan III 2016 (Grafik

II.1). Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) juga

menurun dari 98,81 menjadi 97,79 pada triwulan

laporan.

Tabel II.1 . Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera

Sumber: BPS

Penurunan konsumsi pemerintah akibat

kebijakan konsolidasi fiskal oleh Pemerintah.

III IV I II II

PDRB (% YoY) 3.1 4.6 3.5 4.2 4.5 3.9

Aceh -0.3 1.4 -0.7 3.7 3.5 2.2

Sumut 5.1 5.3 5.1 5.0 5.7 5.3

Sumbar 4.9 5.7 5.4 5.5 5.8 4.8

Riau -1.4 4.5 0.2 2.3 2.4 1.1

Jambi 4.4 3.2 4.2 3.4 3.6 4.0

Kep. Riau 5.4 5.2 6.0 4.6 5.4 4.6

Sumsel 4.8 3.9 4.4 4.9 5.1 4.8

Bengkulu 5.2 4.9 5.1 5.0 5.4 5.2

Lampung 5.2 5.3 5.1 5.1 5.2 5.3

Kep. Babel 4.0 4.3 4.1 3.3 3.7 3.8

Indikator

Makroekonomi Daerah

20152015

2016

Page 18: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

10

Konsumsi pemerintah yang sebelumnya tumbuh

positif 7,5% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi

terkontraksi atau tumbuh negatif 5,8% (yoy) pada

triwulan laporan. Penurunan konsumsi

pemerintah yang terjadi di seluruh provinsi

tersebut, sebagian besar merupakan dampak dari

kebijakan konsolidasi anggaran pemerintah

melalui penyesuaian anggaran pemerintah

daerah, penundaan DAU, dan pengurangan DBH.

Grafik II.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen

Realisasi investasi pada triwulan III 2016

tercatat tumbuh sebesar 4,5% (yoy), lebih

rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar

6,0% (yoy). Menurunnya investasi tersebut

terutama disebabkan oleh realisasi

pembangunan infrastruktur pemerintah berskala

besar yang masih terkendala, terutama karena

masalah pembebasan lahan dan perilaku wait

and see sektor swasta dalam berinvestasi.

Investasi yang dilakukan pada triwulan III 2016

lebih bersifat pemeliharaan rutin. Penurunan

investasi sejalan dengan penurunan laju

pertumbuhan kredit investasi dari sebelumnya

8,95% menjadi 6,50%. Selain itu, berdasarkan

hasil liaison, angka likert scale dari investasi

menunjukkan penurunan pada triwulan III 2016

menjadi 0,66 (Grafik II.2).

Kinerja ekspor luar negeri terkontraksi makin

dalam karena belum pulihnya pasar global.

Ekspor Sumatera berhasil tumbuh sebesar 1,8%

(yoy), masih lebih rendah dibandingkan triwulan

II 2016 yang tumbuh 2,4% (yoy). Perlambatan

ekspor terutama disebabkan oleh komponen

ekspor luar negeri yang kontraksinya semakin

dalam dari -9,8% (yoy) pada triwulan II 2016

menjadi -10,8% (yoy). Hal ini disebabkan oleh

belum pulihnya permintaan global dan harga

komoditas ekspor unggulan yang masih belum

membaik (Grafik II.3). Sementara, Kinerja ekspor

antar daerah yang cukup tinggi (16,8%) mampu

menahan perlambatan lebih dalam pada kinerja

ekspor Sumatera. Penurunan kinerja ekspor

terutama terjadi di Provinsi Aceh dan Riau yang

mencatatkan kontraksi ekspor sebesar 4,2% (yoy)

dan 2,7% (yoy).

Grafik II.2. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi

dan Investasi

Sumber: Bloomberg

Grafik II.3. Perkembangan Harga CPO dan Karet

Pekonomian Sumatera triwulan IV 2016

diprakirakan akan lebih baik dibandingkan

triwulan III 2016. Pertumbuhan ekonomi

triwulan IV 2016 diprakirakan akan mencapai

4,3% (yoy) didukung oleh pertumbuhan hampir

seluruh komponen pengeluaran seperti konsumsi

rumah tangga dan pemerintah, serta investasi.

Peningkatan tersebut juga didukung oleh faktor

musiman akhir tahun yang diprakirakan akan

mendorong peningkatan konsumsi masyarakat

serta realisasi belanja modal pemerintah terkait

proyek infrastruktur. Indikasi adanya peningkatan

kinerja proyek-proyek infrastruktur tercermin

Page 19: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

11

dari kecenderungani peningkatan impor besi dan

baja Sumatera (Grafik II.4).

Grafik II.4. Perkembangan Impor Besi dan Baja

Sementara itu, peningkatan ekspor2 diprakirakan

akan ditopang oleh prospek peningkatan harga

komoditas. Harga komoditas yang meningkat

tersebut selanjutnya akan menjadi stimulus bagi

peningkatan produksi perkebunan, kinerja

industri pengolahan, dan kinerja sektor

pertambangan, khususnya batubara. Peningkatan

kinerja pertambangan batubara terjadi seiring

dengan penambahan permintaan batubara untuk

menopang operasional sejumlah PLTU baru dan

infrastruktur pendukungnya.

Peningkatan konsumsi rumah tangga yang terjadi

seiring perbaikan daya beli masyarakat dan

dukungan belanja pemerintah serta investasi

yang berlangsung sepanjang 2016, akan mampu

mengangkat mengakselerasi perekonomian

Sumatera pada keseluruhan 2016 lebih tinggi

dibanding 2015.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Kinerja sektor pertanian di Sumatera pada

triwulan III 2016 mengalami perlambatan

dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja

lapangan usaha pertanian pada triwulan laporan

tumbuh 4,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan

triwulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy). Adanya

kegagalan panen yang berdampak pada

2 Akibat masih tingginya ketergantungan impor dalam produk

ekspor Sumatera, makan net ek pada triwulan IV 2016 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 6,4% (yoy).

penurunan produksi tanaman bahan makanan

(tabama) dan perkebunan di beberapa sentra

produksi menjadi faktor penyebab utama

penurunan kinerja lapangan usaha pertanian.

Penurunan produksi antara lain terjadi pada

komoditas cabai merah akibat faktor tingginya

intensitas hujan dan wabah virus kuning dan

keriting. Penurunan kinerja sektor pertanian juga

terindikasi dari penurunan pertumbuhan kredit

sektor pertanian di berbagai daerah di Sumatera.

(Grafik II.5).

Grafik II.5. Pertumbuhan Kredit Pertanian

Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha

pertanian diprakirakan akan kembali meningkat.

Walaupun masih dengan kenaikan yang terbatas,

program ketahanan pangan yang dilaksanakan

pemerintah telah mampu meningkatkan produksi

pertanian. Selain itu, peningkatan terbatas harga

internasional beberapa komoditas perkebunan,

khususnya komoditas kelapa sawit, diprakirakan

mampu mendorong optimisme perbaikan kinerja

lapangan usaha pertanian. Selain itu, penerapan

kebijakan B203 untuk perkebunan kelapa sawit

relatif mampu secara efektif menjaga permintaan

produk kelapan sawit di dalam negeri.

Pertambangan

Kinerja lapangan usaha pertambangan pada

triwulan III 2016 masih terkontraksi. Sektor

pertambangan mengalami kontraksi yang lebih

dalam dibandingkan periode triwulan

sebelumnya, yakni dari -2,4% (yoy) menjadi

3 kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam

solar sebesar 20 persen

Page 20: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

12

-2,6% (yoy). Semakin terkontraksinya kinerja

lapangan usaha pertambangan dipengaruhi oleh

terus menurunnya produksi minyak di Riau.

Lifting minyak terus menurun semakin dalam

akibat natural declining dan minimnya investasi

baru. Selain itu, perbaikan harga komoditas

pertambangan yang masih terbatas, khususnya

batu bara, menjadi disinsentif untuk kembalinya

kegiatan produksi secara nyata.

Kontraksi pertambangan diprakirakan masih

akan berlanjut di triwulan IV 2016. Namun,

sedikit membaik seiring dengan potensi

meningkatnya kebutuhan batubara untuk

kebutuhan energi domestik dan adanya potensi

peningkatan produksi gas di Jambi.

Industri Pengolahan

Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh

terbatas sejalan dengan masih lemahnya

permintaan ekspor mitra dagang utama dan

harga komoditas. Industri pengolahan pada

triwulan III 2016 tumbuh meningkat dari 3,5%

(yoy) menjadi 3,7% (yoy). Pertumbuhan kinerja

industri pengolahan juga tercermin dari hasil

liaison, yang menunjukkan tren pertumbuhan

penjualan ekspor yang meningkat (Grafik II.6)

seiring masih terbatasnya peningkatan harga

komoditas ekspor utama yang berbasis SDA.

Grafik II.6. Likert Scale Penjualan Domestik dan Ekspor

Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha

industri pengolahan diprakirakan mengalami

perbaikan, terutama ditopang oleh membaiknya

permintaan CPO. Hasil liason juga

mengkonfirmasi optimisme pengusaha terhadap

prospek peningkatan kinerja sektor industri

pengolahan di triwulan IV 2016 yang menunjukan

adanya prospek perbaikan penjualan hasil

industri.

Perdagangan

Kinerja lapangan usaha perdagangan pada

triwulan III 2016 membaik. Sektor perdagangan

tumbuh dari 6,2% (yoy) menjadi 6,4% (yoy) pada

akhir triwulan laporan. Membaiknya ekspor luar

negeri telah memberi dampak positif pada sektor

perdagangan. Peningkatan aktivitas perdagangan

dimaksud, dari pendekatan likert scale liaison,

menunjukan prospek perbaikan penjualan pada

triwulan III akan berlanjut pada triwulan IV 2016.

Grafik II.7. Likert Scale Proyeksi Penjualan

Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha

perdagangan diprakirakan akan tumbuh lebih

tinggi. Peningkatan konsumsi rumah tangga yang

sejalan dengan pola musiman akhir tahun,

menjadi pendorong utama perbaikan kinerja

lapangan usaha perdagangan di triwulan IV 2016.

Hal ini juga sesuai dengan hasil Survei Kegiatan

Dunia Usaha (SKDU) yang memproyeksikan

terjadinya peningkatan kegiatan usaha

perdagangan di triwulan IV 2016 (Grafik II.8).

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha

Grafik II.8. Perkiraan Volume Perdagangan

Page 21: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

13

Konstruksi

Penurunan aktivitas lapangan usaha konstruksi

pada triwulan III 2016 dipengaruhi oleh

minimnya investasi bangunan swasta ditengah

tertahannya realisasi proyek infrastruktur

pemerintah akibat lambannya kemajuan proses

pembebasan lahan. Pada triwulan laporan,

lapangan usaha konstruksi tercatat tumbuh 5,8%

(yoy), lebih rendah daripada triwulan sebelumnya

sebesar 6,7% (yoy). Hal itu sejalan dengan

penurunan realisasi kegiatan usaha sektor

bangunan pada hasil SKDU triwulan laporan

(Grafik II. 9).

Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha

konstruksi tumbuh cukup tinggi, namun dengan

besaran yang lebih rendah dibanding triwulan III

2016. Adanya faktor base effect pada triwulan IV

2015 saat terjadi realisasi proyek insfrastruktur

yang tinggi, menjadi salah satu penyebab

perkiraan realisasi triwulan IV 2016 yang tidak

setinggi sebelumnya.

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha

Grafik II.9. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan

Fiskal Daerah

Serapan belanja daerah di Sumatera pada

triwulan III 2016 menunjukkan peningkatan,

terutama pada serapan belanja rutin. Seiring

dengan perkembangan realisasi belanja APBD

dan pengurangan alokasi anggaran dari

Pemerintah Pusat, simpanan pemerintah pada

perbankan di Sumatera mengalami penurunan.

Pada September 2016, perlambatan simpanan

dana Pemda pada perbankan Sumatera pada

triwulan laporan semakin dalam dari -25,05%

(yoy) pada triwulan II 2016 menjadi -30,73% (yoy)

pada triwulan III 2016. Serapan keuangan daerah

dihadapkan pada kendala klasik antara lain

terbatasnya realisasi pembebasan dan/atau

pengadaan lahan akibat Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) yang belum disahkan.

Grafik II.10. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan

Perkembangan Inflasi

Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan III 2016

tercatat lebih tinggi akibat tekanan inflasi

volatile food. Pada triwulan III 2016, inflasi

wilayah Sumatera tercatat sebesar 4,28% (yoy)

meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar

3,71% (yoy). Peningkatan laju inflasi tersebut

terutama dipengaruhi oleh peningkatan harga

komoditas cabai merah. Kondisi ini merupakan

kombinasi dari dampak serangan virus kuning

dan keriting di sentra produksi cabai merah di

Sumatera Utara, pengaruh bencana alam Gunung

Sinabung dan terbatasnya pasokan cabai merah

dari wilayah Jawa. Bencana virus kuning

berdampak pada kerusakan sekitar 1.200 ha

lahan cabai merah, sementara letusan Gunung

Sinabung mengakibatkan gagal panen sejumlah

komoditas pertanian lainnya. Gangguan pasokan

pada cabai merah yang memiliki bobot inflasi

tinggi (±0,81%), mendorong terjadinya inflasi

yang cukup tinggi di Provinsi Aceh, Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Riau.

Sementara, inflasi administered prices juga

cenderung meningkat, dipicu oleh kenaikan tarif

transportasi. Di sisi lain, inflasi inti masih relatif

stabil (Grafik II.13). Dua provinsi yaitu Sumatera

Utara dan Sumatera Barat mencatatkan Laju

Page 22: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

14

inflasi tahunan di atas 5,0% yaitu masing-masing

6,02% dan 5,10%.

Pada akhir triwulan IV 2016, perkembangan

inflasi di Sumatera diprakirakan tetap terkendali

dalam kisaran target. Dengan perkembangan

inflasi Oktober 2016 sebesar 3,37% (ytd) dan

disertai intensitas upaya pengendalian inflasi

yang dilakukan oleh TPID di setiap

provinsi/kabupaten/kota yang tinggi, dampak

kenaikan inflasi volatile food diprakirakan dapat

diatasi. Sementara itu, inflasi komoditas inti dan

administered prices diprakirakan tetap akan

stabil. Sejumlah upaya pengendalian inflasi telah

dilakukan di Sumatera untuk mengendalikan

beberapa harga komoditas antara lain operasi

pasar, monitoring harga pangan, dan koordinasi

antar daerah.

Grafik II.11. Perkembangan Inflasi

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko

Secara umum, kondisi sistem keuangan di

Sumatera masih relatif stabil. Hal ini tercermin

dari kondisi risiko kredit (NPL) yang masih terjaga

ditengah penurunan pertumbuhan kredit. Pada

triwulan III 2016, pertumbuhan kredit total

tercatat sebesar 6,50% (yoy), lebih lambat dari

triwulan sebelumnya 8,07% (yoy). Di sisi lain, NPL

berada pada level yang terjaga, yaitu 3,07% atau

lebih rendah dari triwulan sebelumnya (3,12%).

Ketahanan sistem keuangan daerah Sumatera

selama triwulan III 2016 relatif terjaga. Hal ini

sejalan dengan hasil liaison dan SKDU Bank

Indonesia yang mengindikasikan bahwa

perusahaan mulai menunjukkan peningkatan

kinerja. Pada triwulan III 2016, profitabilitas

perusahaan mulai menunjukkan peningkatan

seiring membaiknya harga komoditas setelah

sebelumnya sempat mengalami perlambatan

(Grafik II.12). Perbaikan yang terbatas pada

sektor korporasi, tercermin pula dari beberapa

indikator keuangan jangka panjang (solvabilitas)

meskipun dari sisi likuditas masih terdapat

tekanan (Grafik II.13).

Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah

Grafik II.12. Indikator Profitabilitas Korporasi

Grafik II.13. Indikator Solvabilitas Korporasi

Membaiknya kondisi keuangan korporasi di

Sumatera meningkatkan kemampuan korporasi

dalam membayar utang. Rasio beban utang

korporasi (debt service ratio) menunjukkan

penurunan, dari 22,03% menjadi 19,20%. Hal ini

sejalan dengan membaiknya kinerja sektor

perkebunan. Perbaikan terutama ditunjukkan

oleh perusahaan yang bergerak di bidang

agroindustri.

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Penyaluran kredit perbankan kepada sektor

korporasi melambat dari 10,64% (yoy) menjadi

5,98% (yoy) pada triwulan III 2016. Perlambatan

Page 23: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

15

terutama terjadi pada penyaluran kredit industri

pengolahan dan kredit sektor pertanian yang

masing-masing melambat menjadi 6,98% (yoy)

dan 2,49% (yoy) dari sebelumnya 34,79% (yoy)

dan 20,75% (yoy). Sementara kredit untuk sektor

perdagangan justru mengalami peningkatan dari

2,86% (yoy) menjadi 3,09% (yoy). (Grafik II. 14).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.14. Perkembangan Kredit Korporasi

Perkembangan DPK korporasi di perbankan

melanjutkan kecenderungan penurunan.

Magnitude perlambatan DPK tercatat lebih besar

yaitu dari -4,76% (yoy) menjadi -5,09%, terutama

pada jenis simpanan giro dan deposito. Hal ini

sejalan dengan masih terbatasnya pertumbuhan

korporasi (Grafik II.15).

Grafik II.15. Perkembangan DPK Korporasi

Di tengah perlambatan kredit korporasi, rasio

non-performing loans (NPL) sektor korporasi

masih terjaga dalam batas aman, walaupun

mengalami sedikit peningkatan. NPL pada

triwulan III 2016 mengalami sedikit peningkatan

menjadi 2,51% dari 2,49% pada triwulan II 2016.

Secara sektoral, peningkatan NPL ini terjadi pada

sektor-sektor utama seperti pertanian,

pertambangan, dan perdagangan. Namun

demikian, rasio NPL secara keseluruhan masih

terjaga di bawah 5%.

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada

triwulan III 2016 mencatatkan laju pertumbuhan

yang lebih rendah. DPK perseorangan melambat

dari 11,87% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi

9,19% (yoy) pada triwulan III 2016. Penurunan ini

terjadi pada jenis simpanan tabungan dan

deposito, sementara giro mengalami

pertumbuhan yang lebih tinggi (Grafik II.16).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.16. Perkembangan DPK Perseorangan

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.17. Perkembangan Kredit Perorangan

Daya beli yang masih lemah berdampak pada

menurunnya kinerja kredit rumah tangga. Kredit

sektor rumah tangga (RT) di triwulan III 2016

tumbuh 5,11% (yoy), lebih rendah dibanding

triwulan sebelumnya sebesar 6,40%. Dilihat dari

komponennya, Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

tumbuh melambat, dari semula 5,69% menjadi

5,52%. Sementara Kredit Kendaraan Bermotor

(KKB) dan kredit multiguna juga turut melambat

Page 24: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

16

yaitu masing-masing dari -12,79% (yoy) dan

10,15% (yoy) menjadi -14,37% (yoy) dan 6,35%

(yoy).

Sumber : Bank Indonesia

Grafik II.18. Perkembangan NPL

Kondisi risiko di sektor rumah tangga masih

terjaga. Hal ini telihat dari penurunan rasio NPL

sektor rumah tangga menjadi 3,51% pada

triwulan III 2016, dari sebelumnya sebesar 3,66%

(Grafik II.18). Walaupun masih dalam batas

aman, risiko NPL sektor rumah tangga perlu

diwaspadai seiring belum pulihnya daya beli

masyarakat ditengah kinerja korporasi yang

masih dalam tahap konsolidasi.

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Tabel II.2. Perkembangan Kredit UMKM

Pada triwulan III 2016, laju pertumbuhan kredit

UMKM di Sumatera menunjukkan perlambatan.

Secara tahunan, penyaluran kredit UMKM pada

triwulan III 2016 tercatat sebesar 6,15%, lebih

rendah dibandingkan triwulan sebelumnya

sebesar 6,40%. Perlambatan kredit UMKM pada

sektor perdagangan, pertanian, dan pengolahan,

yang memiliki pangsa besar, terjadi lebih dalam

daripada peningkatan kredit pada sektor lainnya.

Kredit UMKM pada sektor perdagangan

melambat dari 11,77% (yoy) ke 10,61% (yoy),

sementara kredit UMKM pada sektor pertanian

dan pengolahan juga turut melambat, masing-

masing menjadi 3,26% (yoy) dan -16,02% (yoy).

Dari sisi risiko, rasio NPL kredit UMKM mengalami

penurunan meski tetap perlu diwaspadai.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran Non Tunai

Transaksi kliring di kawasan Sumatera pada

triwulan III 2016 menunjukkan perlambatan.

Pada periode laporan, transaksi kliring tercatat

tumbuh sebesar 28,99% atau sebesar Rp113

triliun (Grafik II.19). Berdasarkan provinsinya,

beberapa provinsi yang memiliki aktivitas

transaksi terbesar adalah Sumatera Utara, Riau,

Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara,

Bengkulu dan Aceh memiliki aktivitas transaksi

kliring yang terendah.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.19. Aliran Uang Kartal

Pengelolaan Uang Rupiah

Sesuai dengan pola musimannya, arus uang

kartal pada triwulan III 2016 mengalami net

inflow yang lebih tinggi. Berakhirnya momen

puasa dan Idul Fitri menyebabkan arus net inflow

uang kartal sebesar Rp10,13 triliun. Arus masuk

pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp34,59

triliun, lebih tinggi dibandingkan arus masuk pada

triwulan sebelumnya yang hanya Rp17,08 triliun.

Di sisi outflow, arus keluar turun menjadi Rp24,46

triliun lebih rendah daripada sebelumnya

Rp48,32 triliun (Grafik II.20). Kondisi net inflow

I-16 II-16 III-16 I-16 II-16 III-16 I-16 II-16 III-16

Aceh 10.22 14.42 15.73 10.00 9.44 8.88 13.78 13.41 13.07

Sumut 5.59 5.09 3.06 6.51 6.57 6.25 13.47 12.88 12.67

Sumbar 3.20 3.53 4.37 7.20 7.17 7.08 13.72 13.3 13.04

Jambi 8.28 8.94 6.99 5.35 5.23 4.63 14.34 13.93 13.54

Kepri 5.20 7.67 9.02 3.59 3.63 4.84 12.16 11.96 11.78

Riau (2.77) (1.59) -2.51 7.15 7.44 7.01 14.12 13.71 13.41

Sumsel 4.42 5.78 8.32 5.68 5.77 5.90 14.42 14.01 13.71

Lampung 11.20 17.20 12.54 4.06 4.17 4.31 14.66 14.35 14.11

Babel 15.47 15.05 29.09 5.94 4.99 4.80 14.21 13.81 13.40

Bengkulu 14.65 10.04 15.86 4.76 4.53 4.52 15.26 14.75 14.33

ProvgKredit UMKM Suku Bunga UMKMNPL UMKM

Page 25: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

17

terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara,

kondisi net outflow terjadi di Aceh, Riau, Kepri,

Jambi, Kep. Babel, dan Bengkulu.

Grafik II.20 Aliran Uang Masuk dan Keluar

Sumber : Bank Indonesia

Grafik II. 21. Temuan Uang Palsu (UPAL)

Upaya perluasan distribusi Uang Layak Edar dan

pecahan yang sesuai serta pengendalian uang

palsu terus dilakukan. Hingga triwulan III 2016,

berbagai upaya telah dilakukan, seperti

operasionalisasi kas keliling, pembukaan kas

titipan, dan sosialisasi Ciri-Ciri Keaslian Uang

Rupiah (Cikur) kepada kalangan penegak hukum

dan masyarakat di kawasan a.l Pematangsiantar,

Aceh, Sibolga, Sumatera Selatan, dan Lampung.

Dalam hal penanganan uang palsu, temuan uang

palsu (Upal) di wilayah Sumatera pada triwulan III

2016 mengalami penurunan. Hal ini tercermin

dari rasio temuan Upal yang kurang dari 1%

inflow. Dari setiap Rp1 miliar inflow terdapat 54

lembar uang palsu, lebih rendah dari triwulan

sebelumnya yaitu 186 lembar.

Pengembangan Layanan Keuangan Digital

Upaya peningkatan inklusi keuangan terlihat

dari peningkatan ketersediaan layanan

keuangan digital (LKD) bagi penduduk Sumatera.

Hingga Agustus 2016, jumlah agen LKD di

Sumatera telah mencapai 21.204 agen,

meningkat dibandingkan jumlah agen LKD pada

bulan Juni 2016 yang sebesar 20.438 agen.

Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar adalah

Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Riau.

Seluruh provinsi telah berhasil melampaui

kebutuhan LKD optimalnya, kecuali provinsi

Bengkulu.

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Sumatera pada 2017

diperkirakan tumbuh lebih tinggi daripada tahun

2016. Secara keseluruhan tahun 2017,

perekonomian Sumatera diperkirakan akan

tumbuh pada kisaran 4,6%-5,1% (yoy).

Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut

diperkirakan terjadi di seluruh wilayah Sumatera.

Konsumsi rumah tangga, investasi, dan aktivitas

perdagangan internasional diperkirakan menjadi

penopang pertumbuhan ekonomi tahun 2017.

Tabel II.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera 2016

PDRB (% YoY) 3.5 3.9 - 4.4 4.6 - 5.1

Aceh -0.7 2.7 - 3.2 2.8 - 3.3

Sumut 5.1 5.0 - 5.5 5.1 - 5.6

Sumbar 5.4 5.2 - 5.7 5.2 - 5.7

Riau 0.2 1.7 - 2.2 3.7 - 4.2

Jambi 4.2 3.6 - 4.1 3.9 - 4.4

Kep. Riau 6.0 4.7 - 5.2 4.8 - 5.3

Sumsel 4.5 4.7 - 5.2 5.7 - 6.2

Bengkulu 5.1 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5

Lampung 5.1 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5

Kep. Babel 4.1 3.5 - 4.0 3.9 - 4.4

Indikator

Makroekonomi

Daerah

2015 2016f 2017f

Page 26: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

18

Kontributor utama pertumbuhan ekonomi pada

2017 tetap berasal dari lapangan usaha utama

Sumatera yaitu pertanian, dan industri

pengolahan. Lapangan usaha pertanian

diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi sejalan

dengan membaiknya permintaan bahan baku

untuk mendukung kebutuhan ekspor dan upaya

peningkatan produksi pertanian yang telah

dilakukan sebelumnya. Selain itu, perkembangan

harga komoditas yang terus membaik ikut

menopang perbaikan lapangan usaha pertanian,

pengolahan, dan pertambangan. Lapangan usaha

konstruksi diprediksi tetap tumbuh lebih tinggi

seiring dengan realisasi proyek infrastruktur

pemerintah seperti jalan tol, bendungan, dan

proyek-proyek persiapan Asian Games 2018.

Prospek Inflasi

Inflasi Sumatera tahun 2017 masih akan berada

dalam rentang target inflasi nasional 4±1%.

Tekanan inflasi harga pangan diperkirakan akan

berkurang di tahun 2017, terutama ditopang oleh

membaiknya iklim dan aksi pengendalian inflasi

baik dari sisi koordinasi kelembagaan, kerja sama

antar daerah, maupun operasi pasar. Meski

demikian, potensi risiko tekanan harga dari

administered price diperkirakan akan meningkat

seiring dengan pengurangan subsidi listrik

kelompok 900VA, kebijakan pembatasan LPG 3

Kg dan kenaikan cukai rokok.

Page 27: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

19

Pengantar

Perekonomian Sumatera sangat dipengaruhi oleh

perkembangan lapangan usaha pertanian

(pangsa 23%) yang terhampar di hampir semua

provinsi dan industri pengolahan (pangsa 20%)

yang lokasinya terkonsentrasi di Sumatera Utara,

Kepulauan Riau, Riau, dan Bangka Belitung.

Ekspor Sumatera didominasi oleh hasil pertanian

yaitu CPO (38%) dan karet (9%), disusul hasil

industri elektronik (7%). Lapangan usaha industri

pengolahan Sumatera mencatat pertumbuhan

rata-rata per tahun sebesar 4,27% dengan pangsa

terhadap PDRB sebesar 19,38%. Pada triwulan III-

2016, industri pengolahan berhasil tumbuh 3,71%

(yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2016

sebesar 3,44% (yoy). Pangsa industri pengolahan

Sumatera terhadap nasional menunjukkan

penurunan yaitu dari 22% (2001-2005) menjadi

18,8% (2010-2015). Secara provinsi, kontributor

sektor Industri pengolahan terbesar adalah

Provinsi Kepulauan Riau yakni sebesar 39%.

Sementara itu, pangsa industri pengolahan di

Indonesia terkonsentrasi di Jawa yaitu mencapai

71%, Sumatera 19%, dan sisanya 10% berada di

kawasan lainnya.

Industri pengolahan di Sumatera dapat

dikelompokan menjadi industri yang berbasis

pertanian atau perkebunan seperti kelapa sawit

(CPO dan turunannya) dan karet (crump rubber

dan turunannya), dan industri non Sumber Daya

Alam (SDA) seperti industri elektronik, galangan

kapal (shipyard), dan animasi film, yang hampir

semuanya berlokasi di Batam, Kepulauan Riau.

Berdasarkan struktur kelas industrinya, industri

Sumatera didominasi industri mikro 86%, diikuti

industri kecil 13,5%, dan industri sedang-besar

0,50%. Adapun Output industri sebagian besar

(94%) barasal dari kelompok industri sedang-

besar, dengan serapan jumlah tenaga kerja

mencapai 30% dari total tenaga kerja Sumatera.

Hampir 80% ekspor Sumatera berupa produk

ekspor (2015) masih berbasis SDA yaitu CPO dan

olahannya, batubara, Kopi, bubur kertas, Timah,

dan produk pertanian lainnya. Industri Sumatera

masih berbasis pada pengolahan ekstratif yang

memberikan nilai tambah ekspor yang relatif

rendah.

Sementara, ekspor produk medium tech dan high

technology yang mencapai 17% dari total ekspor,

juga relatif memberikan nilai tambah terbatas.

Hal tersebut disebabkan produk ekspor dimaksud

banyak berupa maklon saja yaitu sebutan bagi

produk hasil jasa perakitan/assembly. Industri

jenis ini banyak berkembang di Kepulauan Riau,

khususnya Pulau Batam yang didukung oleh Free

Trade Zone (FTZ).

Dengan tingkat hilirisasi yang masih terbatas,

perekonomian Sumatera, memiliki potensi yang

besar untuk meningkatkan proses nilai tambah

produksi untuk sektor pertanian khususnya

tanaman kelapa sawit dan karet melalui

peningkatan level hilirisasi. Sehingga kondisi yang

relatif rentan terhadap fluktuasi harga komoditas

dapat ditekan.

Industri Kelapa Sawit: Perkembangan dan Tantangan

Dengan pangsa mencapai 53,4% produksi dunia,

Indonesia menjadi penghasil CPO terbesar di

dunia, diikuti oleh Malaysia di tempat kedua

dengan pangsa 32,1%. Kedua negara tersebut

menguasai produksi CPO dunia dengan pangsa

mencapai 85,5% dari produksi dunia.

Mayoritas produksi kelapa sawit (CPO) Indonesia

berasal dari Sumatera, dengan pangsa mencapai

68%. Kondisi ini didukung oleh relatif lebih

tingginya produktivitas Sumatera dibandingkan

provinsi lain (Tabel 1). Mayoritas produksi CPO

Sumatera berasal dari Riau (34,32%), Sumatera

Utara (23,87%), Sumatera Selatan (14,20%), dan

Boks 1

Page 28: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

20

Jambi (9,11%). Walaupun produksi CPO Sumatera

sangat besar, namun produktivitasnya masih

lebih rendah dari produktivitas CPO Malaysia.

Hilirisasi industri kelapa sawit telah berjalan

cukup baik. Hal ini terlihat dari ekspor produk

turunan CPO Sumatera yang terus menunjukkan

peningkatan. Pada tahun 2015, komposisi ekspor

produk turunan CPO telah mencapai 69,27%,

sementara sisanya masih CPO murni. Produk

turunan CPO terutama dalam bentuk refinery

yaitu berupa minyak goreng, produk biodiesel,

dan oleokimia dengan pangsa pasar di Indonesia

masing-masing sebesar 55%, 61%, dan 65%.

Lokasi hilirisasi CPO sebagian besar terletak di

Sumatera Utara dan Riau yang juga merupakan

penghasil utama CPO Sumatera.

Tabel II.4. Perkembangan Industri Sawit dan Karet 2015

Sumber : GAPKI, The World Rubber Outlook (June 2015 & 2016), diolah

Berkembangnya industri pengolahan kelapa sawit

didukung oleh peningkatan permintaan global

terhadap produk kelapa sawit dan turunannya

yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun

2015 permintaan minyak nabati di dunia

mencapai 182,4 juta ton dan diproyeksikan terus

meningkat menjadi 226,7 juta ton pada tahun

2025. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata

permintaan mencapai sebesar 12,4% per tahun,

Indonesia hanya mampu menambah produksi

kelapa sawitnya rata-rata sebesar 6,51%. Bahkan,

di Sumatera, pertumbuhan produksinya hanya

mencapai 4,79% per tahun (Tabel 1).

Peningkatan produksi Sumatera lebih didukung

oleh luasnya lahan kelapa sawit, yang mampu

mencapai skala ekonomis untuk menghasilkan

harga terendah. Adapun pertumbuhan

permintaan lokal produk CPO dan turunannya

didukung oleh adanya peraturan pemerintah

mengenai BBN 20 yaitu kewajiban pemanfaatan

biodiesel kelapa sawit (tahun 2016 – 2019).

Tantangan Transformasi Industri Kelapa Sawit

Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia tahun

2016 terhadap 52 perusahaan eksportir di 10

provinsi Sumatera, terdapat beberapa tantangan

dalam pengembangan industri kelapa sawit dan

turunannya. Pertama, kualitas bahan baku kelapa

sawit masih relatif rendah; Kedua, regulasi yang

kurang mendukung; Ketiga, infrastruktur yang

masih perlu ditingkatkan; serta keempat, terkait

ketersediaan pembiayaan. Hal-hal tersebut

menjadi faktor penghambat investor untuk

melakukan investasi perluasan atau pembukaan

lahan baru kelapa sawit.

Rendahnya kualitas bahan baku tidak terlepas

dari kompetensi dan kemampuan budidaya

petani yang terbatas. Sementara, regulasi dan

kebijakan pemerintah yang belum optimal dalam

mendukung berkembangnya industri kelapa

sawit terlihat dari tumpang tindihnya aturan

pusat dan daerah. Aturan yang tumpang tindih

tersebut meliputi penetapan Rencana Tata Ruang

dan Wilayah (RTRW) yang belum terintegrasi

antar sektor, serta prosedur pengurusan

perijinan yang rumit. Delegasi kewenangan

perijinan bagi PTSP di daerah juga masih terbatas,

misalnya di Provinsi Sumatera Selatan, PTSP

hanya memiliki kewenangan perijinan 60% dari

107 proses perizinan yang seharusnya. Selain itu,

izin pembukaan lahan di Aceh masih

mengharuskan surat rekomendasi dari

Sumatera 7.1 63% 5,19% 21.37 68% 4,79% 53,44% 2.6 71% 2.94% 2.4 77% 3.2% 26%

Luar Sumatera 4.2 37% 6,74% 9.92 32% 10,42% 1 29% -2.52% 0.7 23% -4.4%

Indonesia Total 11.3 100% 31.28 100% 3.6 100% 3.1 100%

12.4 Konsumsi Karet Dunia - 2024 16.6

12.3 16.9

-0.04 0.3

Wilayah

Sawit Karet

Lahan Produksi Lahan Produksi

Luas

(Juta ha)

Share

(%)

Pangsa

Dunia (%)

Pertumbuhan

(Rerata 3 th)

Jumlah

(Juta Ton)

Share

(%)

Pertumbuhan

(Rerata 3 th)

Pangsa

Dunia (%)

Luas

(Juta ha)

Share

(%)

Pertumbuhan

(Rerata 3 th)

Jumlah

(Ton)

Share

(%)

Pertumbuhan

(Rerata 3 th)

Konsumsi Karet Dunia - 2015

Produksi Karet Dunia - 2015 Produksi Karet Dunia - 2024

Gap Defisit Produksi Gap Surplus Produksi

Page 29: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

21

Bupati/Walikota, dimana izin tersebut

seharusnya tidak diperlukan.

Selain itu, ketersediaan infrastruktur dasar juga

masih minim, seperti pelabuhan, jalan, dan

listrik. Indeks kinerja pelabuhan di Sumatera

masih tergolong rendah. Pelabuhan Belawan

sebagai pelabuhan utama di Sumatera hanya

memiliki kapasitas sebesar 1 juta Teus, jauh di

bawah Tanjung perak yang memiliki kapasitas 3-4

juta Teus.

Terbatasnya upaya re-planting menjadi penyebab

rendahnya kualitas dan belum optimalnya

produktivitas kelapa sawit di Sumatera. Hal itu

antara lain disebabkan oleh keterbatasan

pembiayaan, khususnya terkait pembiayaan

replanting kebun kelapa sawit. Adapun dana CPO

fund belum dimanfaatkan untuk kebutuhan re-

planting kebun kelapa sawit4.

Industri Karet: Perkembangan dan Tantangan

Mayoritas produksi karet Indonesia bersumber

dari Sumatera, dengan pangsa mencapai 77%

dari total produksi nasional atau sekitar 2,4 juta

ton. Pada tahun 2015, produksi karet Sumatera

mencapai 26% produksi dunia. Pelemahan

permintaan global mengakibatkan tren

penurunan pertumbuhan industri karet dalam

tiga tahun terakhir bahkan hingga terkontraksi

dalam dua tahun terakhir.

Sebagian besar produksi karet Sumatera (82%)

ditujukan bagi pasar ekspor dengan mayoritas

berbentuk Standar Indonesian Rubber (SIR) 20

yang memiliki nilai jual lebih rendah

dibandingkan dengan Ribbed Smoked Sheet (RSS)

ataupun lateks yang memiliki nilai jual tertinggi.

Pangsa ekspor SIR 20 mencapai 96,5% dari nilai

ekspor karet Indonesia, sedangkan RSS sebesar

3,1% dan lateks hanya sebesar 0,2%. Minimnya

4 Alokasi pengunaan CPO Fund berdasarkan PP No. 61/2015

meliputi (i) pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit; (ii) penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit; (iii) promosi Perkebunan Kelapa Sawit; (iv) peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; dan (v) sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

produksi karet jenis RSS dan lateks disebabkan

antara lain belum memadainya infrastruktur

pendistribusian karet dalam bentuk tersebut.

Kompetitor utama karet Indonesia adalah

Thailand dan Vietnam, dengan tingkat

produktivitas sekitar 1,5 kali lebih tinggi

dibandingkan Indonesia. Baik Pemerintah

Thailand dan Vietnam, memberikan insentif

besar untuk mendukung perkembangan industri

karetnya. Pemerintah Thailand memberikan

dukungan pengembangan industri hulu dalam

bentuk soft loans bagi peremajaan kebun karet.

Sementara dukungan Pemerintah Vietnam bagi

pengembangan industry hilirnya berupa insentif

keringanan pajak berupa penetapan tarif pajak

10% selama 15 tahun pertama dan pembebasan

PPh badan selam 4 tahun.

Tantangan Transformsi Industri Karet

Dalam upaya transformasi industri karet,

terdapat sejumlah tantangan yang perlu

dihadapi. Pertama, rendahnya produktivitas serta

penurunan luas lahan perkebunan karet; Kedua,

lokasi industri yang tidak terintegrasi antara

bahan baku dengan produksi; serta ketiga,

panjangnya rantai produksi dan distribusi karet.

Strategi Pengembangan Industri Kelapa Sawit dan Karet

Dalam rangka meningkatkan daya saing industri

kelapa sawit dan karet, terdapat beberapa

langkah strategis perlu dilakukan. Pertama,

perbaikan infrastruktur dasar seperti pelabuhan

dan jalan untuk meningkatkan efisiensi biaya

logistik; Kedua, ketersediaan sumber energi

yang mencukupi dengan harga yang kompetitif;

Ketiga, pemberian kemudahan pelayanan

perizinan melalui realisasi penegakan birokrasi

dan layanan perijinan satu pintu. Keempat, perlu

dilakukan upaya peningkatan kualitas bahan baku

yang disertai dengan pemanfaatan teknologi dan

perbaikan kompetensi SDM petani. Selain itu,

upaya peningkatan produktifitas merupakan

suatu hal yang harus segera dilakukan. Di

samping semua hal itu, penciptaan demand

Page 30: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

22

dalam negeri sangat diperlukan untuk dapat

mengurangi ketergantungan terhadap

permintaan pasar internasional.

Percepatan transformasi industri Sumatera

membutuhkan dukungan dan sinergitas para

pemangku kebijakan yaitu berbagai kementerian

dan lembaga terkait termasuk Bank Indonesia.

Bank Indonesia akan terus mengupayakan

peningkatan akses keuangan bagi berbagai

kalangan, pendalaman pasar keuangan untuk

diversifikasi sumber pembiayaan dan bersama

Pemerintah Pusat dan Daerah, bersinergi

melakukan kebijakan mendukung pengembangan

ekonomi regional.

Page 31: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

23

Perekonomian Jawa pada triwulan laporan masih tumbuh cukup kuat meski tercatat melambat

menjadi 5,6% (yoy) dibandingkan capaian triwulan sebelumnya yang sebesar 5,8% (yoy).

Perlambatan ekonomi utamanya disumbang oleh terkontraksinya konsumsi Pemerintah dan ekspor

luar negeri Jawa. Secara spasial, pertumbuhan hampir seluruh provinsi di Jawa tumbuh melambat,

kecuali Provinsi Banten yang masih mencatat kenaikan pertumbuhan. Sementara itu, laju inflasi

tahunan Jawa masih relatif terkendali dan tercatat pada level 2,58% (yoy) atau lebih rendah dari

rata-rata historisnya dalam 5 tahun terakhir.

Ekonomi Jawa diprakirakan akan membaik pada triwulan IV tahun 2016 yang didorong oleh kembali

meningkatnya konsumsi rumah tangga, ekspor luar negeri, serta konsumsi Pemerintah yang sempat

menurun cukup dalam pada triwulan III. Di sisi lain, tingkat inflasi Jawa pada triwulan IV 2016

diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun 2015 dan berada dalam rentang sasaran inflasi

tahun 2016. Tekanan dari komoditas pangan diprakirakan relatif rendah, meski tetap perlu

diwaspadai potensi tekanan inflasi dari komoditas hortikultura karena curah hujan yang tinggi.

Adapun tekanan dari kelompok administered prices diprakirakan akan terbatas.

Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian Jawa diprakirakan akan membaik ditopang oleh

konsumsi rumah tangga yang lebih baik, realisasi investasi yang lebih tinggi seiring peningkatan

permintaan domestik, serta ekspor luar negeriyang diprakirakan juga akan meningkat. Secara

sektoral, perbaikan ekonomi Jawa pada tahun 2016 lebih banyak didorong oleh kinerja lapangan

usaha konstruksi sejalan dengan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Jawa masih menunjukkan kinerja

yang positif meski mengalami perlambatan pada

triwulan laporan. Pada triwulan III 2016,

perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,6% (yoy)

atau melambat dibanding triwulan sebelumnya

yang mencapai 5,8% (yoy). Secara spasial,

perekonomian hampir seluruh provinsi di Jawa

tumbuh melambat kecuali Banten yang mampu

tumbuh 5,4% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan

sebelumnya sebesar yang 5,2% (yoy). Sementara

itu, tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi

di provinsi Jawa Barat (5,8%, yoy), sedangkan

pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di

provinsi DI Yogyakarta (4,7%, yoy).

Melambatnya ekonomi Jawa disumbang oleh

perlambatan konsumsi Pemerintah dan ekspor

luar negeri. Perekonomian di Jawa pada triwulan

laporan yang tumbuh lebih rendah merupakan

dampak dari melambatnya realisasi konsumsi

pemerintah, yang secara signifikan terjadi pada

seluruh provinsi, khususnya untuk belanja

operasional. Selain itu, kontraksi ekspor luar

negeri turut menahan laju pertumbuhan ekonomi

Jawa, meski ekspor antar provinsi masih tercatat

tumbuh positif.

Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa

Sumber: BPS (diolah)

Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi

terbesar dalam ekonomi Jawa tumbuh melambat

dan menahan laju pertumbuhan yang lebih

tinggi. Konsumsi rumah tangga pada triwulan

laporan memperlihatkan pertumbuhan yang

melambat dan lebih disebabkan oleh pola

konsumsi masyarakat yang kembali normal

I II III IV Total I II IIIDKI Jakarta 5.9 5.5 5.3 6.1 6.5 5.9 5.6 5.9 5.8

Jawa Barat 5.1 4.9 4.9 5.0 5.2 5.0 5.2 6.0 5.8

Banten 5.5 5.5 5.2 5.9 4.9 5.4 5.1 5.2 5.4

Jawa Tengah 5.3 5.6 5.1 5.0 6.1 5.4 4.9 5.7 5.1

DI Yogyakarta 5.2 4.3 4.6 5.3 5.5 4.9 4.8 5.5 4.7

Jawa Timur 5.9 5.0 5.2 5.5 5.9 5.4 5.5 5.6 5.6

Jawa 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.3 5.8 5.6

Provinsi 20142015 2016

Page 32: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

24

setelah bulan Ramadhan dan Idul fitri pada bulan

Juli (triwulan II). Beberapa indikator yang

memperkuat kondisi perlambatan konsumsi

antara lain dari Indeks Perdagangan Ritel (IPR)

yang menurun, serta melambatnya penyaluran

kredit konsumsi oleh perbankan menjadi 8,65%

(yoy) dari 9,17% (yoy) pada triwulan sebelumnya.

Melambatnya kredit konsumsi terkait dengan

kontraksi penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor

(KKB) dan melambatnya pemberian Kredit

Kepemilikan Rumah (KPR) serta Kredit Multiguna.

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)

Perlambatan konsumsi Pemerintah menjadi

salah satu penahan utama pertumbuhan

ekonomi. Melambatnya konsumsi pemerintah

pada triwulan laporan disebabkan oleh kebijakan

pemerintah pusat untuk melakukan penundaan

penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) ke

sejumlah daerah termasuk di Jawa akibat

prakiraan shortfall penerimaan pajak yang lebih

besar dari prakiraan sebelumnya. Penurunan

konsumsi pemerintah terbesar terjadi di Provinsi

DKI Jakarta seiring dengan pemotongan anggaran

belanja pemerintah (K/L) yang relatif besar, yang

secara statistik tercatat sebagai pengeluaran di

DKI Jakarta. Selain itu, sebagai dampak dari

pergeseran periode Idul Fitri, maka realisasi

pencairan gaji ke-13 dan ke-14 bagi pegawai

pemerintah turut bergeser ke triwulan II 2016. Hal

tersebut menyebabkan realisasi konsumsi

pemerintah lebih tinggi pada triwulan II 2016.

Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan belanja

operasional provinsi triwulan III hanya tumbuh

36,09% (yoy), lebih rendah dari triwulan II sebesar

56,72% (yoy).

Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah)

Grafik III.3. Pertumbuhan Realisasi Belanja Operasional Provinsi

Realisasi pertumbuhan investasi di Jawa yang

meningkat dapat menahan perlambatan

ekonomi lebih dalam. Kinerja investasi pada

triwulan III 2016 yang meningkat didorong oleh

realisasi investasi nonbangunan yang tercermin

pada membaiknya tingkat impor barang modal,

meski masih mengalami kontraksi. Masih kuatnya

investasi dari pihak swasta juga dikonfirmasi oleh

likert scale5 (LS) hasil liason beberapa perusahaan

di kawasan Jawa yang mengindikasikan

peningkatan investasi, terutama pada investasi

mesin. Sementara itu, realisasi investasi oleh pihak

asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) masih

mengalami kenaikan yang relatif tinggi, dari

16,10% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi

47,02% (yoy) atau mencapai USD 3,86 miliar. Di

5 Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistik

yang digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan.

Page 33: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

25

sisi lain, realisasi investasi dalam negeri (PMDN)

mengalami perlambatan, meski masih tumbuh

cukup tinggi pada level 28,80% (yoy) atau

mencapai 35,46 triliun rupiah.

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.4. Perkembangan Investasi

Kinerja ekspor wilayah Jawa kembali melambat

dan mengalami kontraksi seiring permintaan

global yang masih terbatas. Neraca perdagangan

Jawa pada triwulan III masih mengalami defisit,

dan lebih dalam dibandingkan triwulan

sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan antara

lain berasal dari menurunnya ekspor produk

manufaktur seperti tekstil dan produk tekstil

(TPT), serta alat angkut (otomotif). Sementara itu,

permintaan ekspor luar negeri atas produk

makanan dan minuman, kimia dan kertas masih

dapat tumbuh positif. Berdasarkan negara

tujuannya, pertumbuhan ekspor ke Amerika

Serikat dan Eropa yang memiliki porsi ekspor

terbesar turut mengalami perlambatan, meski

ekspor ke Jepang dan Tiongkok masih mengalami

peningkatan. Di sisi lain, kinerja impor mengalami

peningkatan di seluruh kelompok impor, dengan

impor tertinggi pada impor barang modal. Hal

tersebut dapat menjadi indikasi optimisme pelaku

usaha dalam melihat prospek ekonomi ke depan.

Ekspor dalam negeri yang tumbuh meningkat

membuat ekspor Jawa secara keseluruhan

tumbuh membaik. Kinerja ekspor antar provinsi

tumbuh meningkat menjadi 16,1% (yoy) dari

sebelumnya hanya tumbuh 6,5% (yoy) pada

triwulan sebelumnya. Membaiknya ekspor antar

daerah terkonfirmasi dari meningkatnya total

barang yang dimuat di 2 pelabuhan utama di

Jawa, yaitu Tanjung Priok dan Tanjung Perak.

Sumber: Bea Cukai

Grafik III.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Luar Negeri

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.6. Data Muat Barang di Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Ekonomi Jawa diprakirakan akan membaik pada

triwulan IV tahun 2016 yang didorong

peningkatan konsumsi rumah tangga dan

perbaikan ekspor. Konsumsi rumah tangga

diprakirakan akan meningkat setelah melambat

pada triwulan sebelumnya. Konsumsi pemerintah

juga diprakirakan membaik meski masih

mengalami kontraksi. Sementara itu, realisasi

investasi diprakirakan membaik meski masih

dalam level yang terbatas. Perbaikan ekonomi

Jawa pada triwulan IV turut disumbang oleh

perbaikan ekspor luar negeri terutama produk

manufaktur.

Keyakinan konsumen yang meningkat

diprakirakan akan mendorong konsumsi rumah

tangga di triwulan IV. Indeks Keyakinan

Konsumen (IKK) menunjukkan adanya optimisme

masyarakat terkait penghasilan dan ketersediaan

lapangan kerja. Selain itu faktor musiman, yaitu

Page 34: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

26

Natal dan Tahun baru diprakirakan juga dapat

mendorong konsumsi rumah tangga di akhir

tahun. Relaksasi kebijakan yang dikeluarkan Bank

Indonesia terkait Loan to Value (LTV) juga dapat

menjadi stimulus dalam meningkatkan

pertumbuhan KPR dan KKB.

Konsumsi Pemerintah diprakirakan membaik

pada triwulan mendatang meski masih tercatat

kontraksi. Pada triwulan akhir tahun 2016,

realisasi konsumsi pemerintah diprakirakan akan

kembali meningkat sesuai dengan pola

realisasinya. Peningkatan realisasi bersumber dari

penagihan dan pembayaran atas belanja

operasional Pemerintah yang biasanya akan

meningkat sesuai target akhir tahun.

Membaiknya laju pertumbuhan investasi Jawa

diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan

IV 2016. Proyek infrastruktur Pemerintah

diprakirakan akan terakselerasi untuk mengejar

target waktu penyelesaian. Meskipun demikian

masih terdapat risiko dari dampak penundaan

DBH terhadap realisasi belanja modal.

Diversifikasi negara tujuan ekspor diprakirakan

akan mampu meningkatkan penjualan ekspor

manufaktur di triwulan IV 2016. Pertumbuhan

ekspor Jawa diprakirakan membaik meski masih

mengalami kontraksi. Hal tersebut tidak terlepas

dari kinerja para pelaku usaha yang akan

melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor

kepada negara-negara di Asia di tengah

perkembangan ekonomi negara maju yang

diprakirakan masih akan lamban pemulihannya.

Perekonomian Jawa untuk keseluruhan tahun

2016 diproyeksikan akan lebih tinggi

dibandingkan tahun 2015. Membaiknya

perekonomian Jawa untuk tahun 2016 ditopang

oleh konsumsi rumah tangga yang lebih baik serta

realisasi investasi yang lebih tinggi seiring

permintaan domestik yang meningkat. Kinerja

ekspor Jawa juga tercatat membaik secara year to

date dan diprakirakan secara keseluruhan tahun

akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Meski

demikian, sejalan dengan penghematan anggaran

oleh Pemerintah, maka perlambatan konsumsi

Pemerintah berpotensi menahan laju

pertumbuhan ekonomi Jawa di tahun 2016.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan

laporan yang terbatas, disebabkan oleh

melambatnya hampir seluruh lapangan usaha

utama di Jawa, kecuali pertanian. Melambatnya

perekonomian Jawa pada triwulan III 2016

terutama diakibatkan oleh tekanan perlambatan

kinerja lapangan usaha utama seperti industri

pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Namun

demikian, peningkatan kinerja pertanian seiring

dengan berlangsungnya masa panen raya

beberapa komoditas pangan dapat memberikan

sumbangan positif terhadap perekonomian Jawa.

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.7. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama

Industri Pengolahan

Kinerja industri pengolahan yang merupakan

kontributor utama ekonomi Jawa mengalami

perlambatan pada triwulan laporan. Lapangan

usaha industri pengolahan tercatat hanya tumbuh

4,4% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,6% (yoy).

Kinerja manufaktur yang melambat terkonfirmasi

dari beberapa indikator pendukung seperti hasil

liaison Bank Indonesia yang menunjukkan likert

scale (LS) penjualan domestik dan ekspor luar

negeri tercatat lebih rendah dibandingkan

triwulan sebelumnya. Prompt Manufacturing

Index (PMI) dari Survei Kegiatan Dunia Usaha

(SKDU) turut mengkonfirmasi perlambatan kinerja

industri pengolahan meski masih dalam area

ekspansi atau berada di atas level 50.

Page 35: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

27

Melambatnya kinerja industri pengolahan

terutama terjadi pada sub lapangan usaha alat

angkutan, tekstil serta logam. Industri alat angkut

dan tekstil sebagian besar berlokasi di wilayah

Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga

perlambatan pertumbuhan manufaktur terbesar

disumbang oleh kedua provinsi tersebut.

Pertumbuhan industri alat angkutan yang tercatat

melambat, sejalan dengan menurunnya produksi

kendaraan bermotor roda empat yang

terkontraksi sebesar 35% (yoy) setelah periode

sebelumnya mencatatkan pertumbuhan 13%

(yoy). Menurunnya jumlah produksi tersebut

sejalan dengan penjualan kendaraan bermotor

roda empat yang juga mengalami perlambatan.

Kinerja industri tekstil yang tumbuh melambat

terlihat dari ekspor tekstil yang kembali

terkontraksi sebesar 5,27% (yoy) pada triwulan

laporan. Perlambatan ekspor produk tekstil

terbesar terjadi di negara tujuan Amerika Serikat

dan Eropa yang memiliki pangsa terbesar dalam

ekspor tekstil Jawa. Sementara itu, melambatnya

industri logam sejalan dengan melambatnya

pertumbuhan investasi bangunan di Jawa pada

triwulan laporan, terutama pada proyek

infrastruktur Pemerintah.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.8. Perkembangan Industri Pengolahan (Likert Scale & PMI)

Kinerja industri pengolahan diprakirakan

membaik pada triwukan IV 2016 yang didorong

oleh sub lapangan usaha makanan dan minuman,

alat angkutan dan logam. Konsumsi rumah tangga

yang diprakirakan membaik akan mendukung

kinerja industri makanan dan minuman serta alat

angkutan. Selain itu faktor musiman akhir tahun

juga akan memberikan dorongan positif dengan

konsumsi domestik yang meningkat menjelang

Natal dan Tahun baru serta strategi promosi akhir

tahun yang akan mendorong penjualan kendaraan

bermotor. Sementara itu, pada sub lapangan

usaha logam, akselerasi proyek infrastruktur

Pemerintah dan realisasi investasi swasta akan

membuat permintaan baja domestik meningkat.

Industri pengolahan tumbuh terbatas untuk

tahun 2016 yang terindikasi dari utlisasi

kapasitas yang stabil. Lapangan usaha industri

pengolahan yang merupakan sektor utama Jawa

hanya tumbuh terbatas dengan pertumbuhan

kinerja sub lapangan usaha makanan dan

minuman, otomotif dan logam sebagai penopang

ekonomi Jawa. Khusus untuk sub lapangan usaha

otomotif, peningkatan kinerja tercermin dari

produksi kendaraan bermotor roda empat yang

secara kumulatif hingga September 2016 dapat

tumbuh lebih baik dari tahun sebelumnya.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.9. Perkembangan Kapasitas Utilisasi (Survei Kegiatan Dunia Usaha)

Konstruksi

Lapangan usaha konstruksi mengalami

perlambatan, terutama di Jawa Barat dan Jawa

Timur. Lapangan usaha konstruksi mengalami

perlambatan dari 4,0% (yoy) menjadi 3,4% (yoy)

pada triwulan III 2016. Melambatnya kinerja

lapangan usaha konstruksi juga terkonfirmasi dari

realiasi investasi bangunan yang tercatat

melambat serta realisasi investasi PMTB yang

turut melambat. Perlambatan utamanya

disumbang oleh Jawa Barat seiring dengan telah

Page 36: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

28

berakhirnya pembangunan venue dan

infrastruktur pendukung kegiatan Pekan Olahraga

Nasional (PON) XIX yang telah berakhir September

lalu. Penundaan Dana Bagi Hasil (DBH) juga

memberikan dampak terhadap terlambatnya

progress penyelesaian beberapa proyek

infrastruktur Pemerintah.

Pada triwulan IV 2016, akselerasi proyek-proyek

infrastruktur pemerintah dalam mengejar target

pembangunan akan mendorong kinerja lapangan

usaha konstruksi. Beberapa proyek yang sedang

berjalan di antaranya adalah pembangunan jalan

tol Trans Jawa, New Priok, MRT, LRT, bandara

Kulon Progo dan proyek infrastruktur lainnya. Di

samping pembangunan infrastruktur pemerintah,

realisasi investasi swasta diprakirakan juga akan

meningkat yang terlihat pada optimisme pelaku

usaha dalam liaison Bank Indonesia.

Sumber: BPS dan BKPM (diolah)

Grafik III.10. Investasi Bangunan dan Realisasi PMDN

Percepatan pembangunan infrastruktur oleh

Pemerintah pada tahun 2016 mendorong

pertumbuhan lapangan usaha konstruksi.

Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi ditopang

oleh realisasi proyek infrastruktur Pemerintah

yang juga tercermin dari peningkatan konsumsi

semen Jawa hingga triwulan III 2016. Selain itu,

investasi PMA maupun PMDN yang diprakirakan

lebih tinggi pada tahun 2016 dapat mendorong

pembangunan di wilayah Jawa.

Pertanian

Pertumbuhan lapangan usaha pertanian

mengalami peningkatan seiring produksi bahan

pangan yang meningkat pada triwulan laporan.

Kinerja lapangan usaha pertanian menunjukkan

adanya kenaikan dari 2,6% (yoy) menjadi 4,5%

(yoy), terutama didukung dari oleh peningkatan

produksi tanaman pangan di daerah sentra di

Jawa Barat dan Jawa Tengah. Indikator dari hasil

liaison Bank Indonesia juga menunjukkan

perbaikan, baik dari sisi penjualan domestik

maupun kapasitas utilisasi yang meningkat. Faktor

pendorong dari membaiknya kinerja lapangan

usaha pertanian juga terlihat dari adanya program

Peningkatan Luas Tambah Tanam dan Serap

Gabah yang dicanangkan oleh Pemerintah Jawa

Tengah dengan memanfaatkan La Nina untuk

meningkatkan produksi padi. Luas Tambah Tanam

(LTT) padi meningkat 128 ribu hektar menjadi 845

ribu hektar di triwulan laporan. Inflasi bahan

pangan yang terkendali pada triwulan laporan

juga memberikan indikasi adanya peningkatan

produksi bahan pangan di kawasan Jawa.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.11. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian (Liaison)

Meningkatnya kinerja lapangan usaha pertanian

diprakirakan tidak akan berlanjut pada triwulan

IV 2016. Hal ini terjadi seiring dengan telah

berlalunya masa panen raya untuk komoditas

utama tabama dan hortikultura. Meski demikian,

masa panen bawang merah di Jawa Tengah pada

akhir tahun diprakirakan dapat menahan

perlambatan yang lebih dalam.

Kondisi cuaca yang tidak normal sepanjang tahun

2016 membuat jumlah produksi pertanian

mengalami perlambatan. Kondisi cuaca yang tidak

normal dengan adanya El Nino di awal tahun dan

La Nina pada akhir tahun membuat produktivitas

Page 37: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

29

pertanian maupun perikanan di Jawa mengalami

penurunan. Serangan hama penyakit yang

menyerang beberapa daerah turut memperparah

kondisi lahan pertanian di Jawa.

Perdagangan

Kinerja lapangan usaha perdagangan mengalami

perlambatan setelah meningkat cukup tinggi

pada triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi

oleh pergeseran periode Ramadhan menjadi akhir

triwulan II 2016. Perlambatan ini juga didukung

oleh hasil SKDU dari lapangan usaha perdagangan

yang mengalami perlambatan cukup dalam.

Penjualan kendaraan bermotor, baik itu roda

empat maupun roda dua juga mengalami

penurunan, terutama pada roda dua yang kembali

mengalami kontraksi. Perlambatan perdagangan

juga terlihat dari hasil penjualan ritel yang

melambat tercermin dari Indeks Penjualan Ritel

(IPR) turut mengalami perlambatan dari 17,64%

(yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 12,30% (yoy)

pada triwulan laporan. Perlambatan kinerja terjadi

di seluruh provinsi di Pulau Jawa, kecuali Jawa

Barat.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.12. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil

Menjelang akhir tahun, kinerja lapangan usaha

perdagangan diprakirakan akan membaik

menjelang natal dan tahun baru. Selain itu, daya

beli masyarakat yang relatif terjaga akan mampu

meningkatkan konsumsi rumah tangga seperti

yang terindikasi dari Indeks Keyakinan Konsumen

(IKK) yang meningkat hingga bulan Oktober 2016.

Daya beli masyarakat yang diprakirakan

meningkat juga didukung oleh laju inflasi Jawa

yang terkendali dan diprakirakan akan berada

dalam rentang sasaran inflasi tahun 2016.

Membaiknya daya beli masyrakat membuat

kinerja lapangan usaha perdagangan meningkat

untuk keseluruhan tahun 2016. Penjualan ritel

diprakirakan membaik yang terlihat dari lebih

tingginya Indeks Penjualan Riil (IPR) dibandingkan

periode yang sama pada tahun 2015. Penjualan

kendaraan bermotor, baik itu roda dua maupun

roda empat juga tercatat membaik, terutama

pada penjualan mobil, yang secara year to date

triwulan III 2016 telah tumbuh positif.

Jasa Keuangan

Lapangan usaha jasa keuangan mengalami

perlambatan pada triwulan laporan seiring masih

rendahnya permintaan kredit. Lapangan usaha

Jasa keuangan hanya mampu tumbuh sebesar

9,4% (yoy), lebih rendah dari pencapaian periode

sebelumnya yang mencapai 13,9% (yoy). Di

samping itu, rasio NPL perbankan di Jawa juga

mengindikasikan adanya peningkatan sehingga

sektor perbankan cenderung lebih berhati-hati

dan selektif dalam memberikan pinjaman baru.

Pendapatan hasil intermediasi perbankan pada

triwulan III 2016 yang dihitung dengan metode

FISIM (Financial Intermediation Services Indirectly

Measured) tercatat melambat dibandingkan

triwulan sebelumnya. Namun perlambatan pada

kinerja jasa keuangan dapat tertahan oleh

pertumbuhan provisi atau komisi perbankan yang

mengalami peningkatan pada triwulan laporan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.13. Perkembangan FISIM

Page 38: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

30

Kinerja lapangan usaha jasa keuangan

diprakirakan akan tumbuh melambat pada

triwulan IV 2016. Pertumbuhan penyaluran kredit

yang masih rendah dan terbatas di seluruh

provinsi Jawa merupakan salah satu faktor

penghambatnya. Dengan demikian pendapatan

perbankan dari jasa bunga, provisi dan komisi

diprakirakan juga akan tumbuh lebih rendah

dibandingkan triwulan sebelumnya.

Fiskal Daerah

Pertumbuhan realisasi belanja provinsi di Jawa

secara year-on-year mengalami perlambatan

pada triwulan III 2016. Belanja provinsi kawasan

Jawa pada triwulan III 2016 tumbuh sebesar

26,35% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan

sebelumnya yang sebesar 42,73% (yoy).

Pertumbuhan tertinggi berlangsung di provinsi

Banten sebesar 49,90% (yoy) yang didorong

percepatan penyaluran hibah BOS Sekolah Dasar

meski masih di bawah capaian triwulan

sebelumnya. Di sisi lain, pertumbuhan realisasi

belanja Jawa Timur yang merupakan terendah di

kawasan Jawa mengalami peningkatan menjadi

3,48% (yoy), lebih tinggi dari sebelumnya yang

terkontraksi 0,03% (yoy) pada triwulan II 2016.

Tabel III.2. Realisasi Belanja Daerah

Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah)

Realisasi belanja pemerintah daerah di 6 provinsi

kawasan Jawa6 hingga triwulan III 2016 tercatat

membaik dibandingkan periode yang sama pada

tahun sebelumnya. Peningkatan belanja daerah

didorong oleh realisasi belanja provinsi yang

mencapai 50,98% atau senilai Rp75,82 triliun,

6 Data tahun 2015 mencakup 6 provinsi dan 81 kab/kota

sementara data 2016 mencakup 6 provinsi dan 113 kab/kota

lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi

belanja kabupaten/kota sebesar 47,83% atau

senilai Rp133,60 triliun. Dengan demikian, secara

keseluruhan realisasi belanja daerah telah

mencapai 48,92%, atau lebih tinggi dari capaian

periode yang sama pada tahun 2015. Membaiknya

realisasi hingga triwulan III ini didorong oleh

peningkatan realisasi dari seluruh provinsi.

Secara umum kecepatan realisasi belanja APBD

hingga triwulan III 2016 lebih baik dibandingkan

tahun 2015 (tabel III.2). Penyaluran dana transfer

daerah yang dikaitkan dengan mekanisme reward

dan punishment dan dengan mempertimbangkan

kedisplinan administrasi pelaporan dan kinerja

realisasi belanja berhasil mendorong pengelolaan

keuangan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

Selain itu, kecepatan realisasi belanja juga

dididorong penerapan PMK No.235/PMK.07/2015

Tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil

Dan/Atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non

Tunai.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.14. Porsi Dana Pemda di BPD

Perkembangan kondisi APBD juga dapat

dicermati dari persentase DPK Pemda terhadap

total DPK di BPD yang mengalami penurunan

(Grafik III.14). Pada triwulan III 2016 dana Pemda

di BPD memiliki porsi sebesar 53,05% atau senilai

Rp104,52 triliun Porsi dana Pemda di BPD

memang lebih rendah dari triwulan sebelumnya

yang sebesar 53,53%, meski secara nilai tercatat

lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar

Rp99,97 triliun. Posisi dana Pemda di BPD juga

mengalami penurunan bila dibandingkan periode

yang sama tahun sebelumnya sebesar 63,75%

Tw II Tw III

DKI Jakarta 29.7% 27.3% 43.3%Jawa Barat 43.3% 29.8% 48.7%

Banten 27.9% 32.8% 52.7%

Jawa Tengah 31.3% 28.4% 47.1%

DI Yogyakarta 53.8% 34.5% 54.9%

Jawa Timur 40.1% 33.3% 53.9%

Jawa 37.0% 30.5% 48.9%

2016Provinsi Tw III 2015

Page 39: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

31

atau Rp130,15 triliun. Penurunan ini disebabkan

peningkatan kecepatan realisasi belanja daerah

tahun 2016.

Realisasi pendapatan daerah relatif stabil pada

level 65,80% hingga triwulan III 2016. Capaian

tersebut tercatat stagnan bila dibandingkan

dengan periode yang sama tahun sebelumnya

sebesar 65,74%. Realisasi pendapatan pada tahun

2016 disumbang oleh perolehan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dan peningkatan transfer daerah.

Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah)

Grafik III.15. Realisasi Pendapatan Daerah

Perkembangan Inflasi

Tingkat inflasi Jawa pada triwulan laporan masih

terkendali yang tercermin dari laju inflasi

tahunan yang berada di bawah sasaran inflasi

tahun 2016. Tingkat inflasi pada triwulan ini

tercatat sebesar 2,58% (yoy), lebih rendah

dibandingkan realisasi triwulan sebelumnya

sebesar 3,14% (yoy). Pencapaian inflasi tersebut

juga lebih rendah dibandingkan laju inflasi

tahunan nasional sebesar 3,07% (yoy). Hingga

bulan September 2016, laju inflasi kalendar di

kawasan Jawa tercatat sebesar 1,70% (ytd), jauh

dibawah angka historis rata-rata lima tahun

terakhir sebesar 3,75% (ytd). Dengan capaian

tersebut, maka tingkat inflasi di akhir tahun akan

berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun

2016 sebesar 4% ± 1%.

Rendahnya capaian inflasi hingga triwulan III

2016 disumbang oleh tekanan volatile food yang

relatif rendah serta inflasi inti yang stabil.

Perkembangan inflasi kelompok volatile food tidak

setinggi triwulan sebelumnya, disebabkan telah

kembali normalnya harga daging dan telur ayam

ras paska lebaran. Sementara itu, tekanan pada

kelompok inti masih relatif stabil dengan tekanan

terbesar berasal dari kenaikan biaya pendidikan

dan akademi/perguruan tinggi. Di sisi lain, tekanan

pada kelompok administered prices mengalami

peningkatan secara quarter to quarter yang

didorong kenaikan tarif angkutan dan penyesuaian

tarif listrik.

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi

Laju Inflasi tahunan kelompok volatile food pada

triwulan laporan tercatat lebih rendah yang

didorong kembali normalnya harga pangan

strategis. Inflasi volatile food pada triwulan III

2016 berada pada level 5,92% (yoy), jauh lebih

rendah dibandingkan realisasi periode

sebelumnya yang mencapai 8,48% (yoy) yang

disebabkan tingginya permintaan saat bulan puasa

dan Idul Fitri. Beberapa komoditas pangan

strategis mengalami deflasi sehingga

menyumbang penurunan tekanan pada triwulan

laporan. Deflasi terutama dialami oleh komoditas

daging ayam ras dan telur ayam ras karena

pasokan yang kembali normal dibarengi

penurunan permintaan setelah berakhirnya bulan

Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Sementara itu

harga beras juga terpantau stabil dan tidak

memberikan tekanan inflasi. Namun, produk

holtikulutra seperti bawang merah dan aneka

cabai memberikan tekanan inflasi pada triwulan

laporan, meski relatif menurun pada akhir

triwulan karena masa panen untuk komoditas

bawang merah.

Page 40: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

32

Sumber: BPS (diolah)

Grafik III.17. Disagregasi Kelompok Inflasi

Tekanan harga pada triwulan laporan disumbang

oleh kelompok administered prices yaitu

kenaikan tarif angkutan udara dan angkutan kota

menjelang libur panjang. Sesuai dengan polanya,

tarif angkutan darat maupun udara mengalami

kenaikan menjelang periode mudik, walaupun

pada bulan berikutnya mengalami koreksi.

Tekanan inflasi turut disumbang oleh penyesuaian

tarif listrik di bulan Juli bagi 12 (dua belas)

golongan pelanggan dan menjadi penyumbang

inflasi terbesar pada triwulan laporan. Harga

rokok yang masih terus mengalami kenaikan

secara bertahap secara konsisten

menyumbangkan inflasi meski masih dalam level

yang terkendali. Sementara itu, tekanan inflasi

pada kelompok inti masih relatif stabil dengan

tekanan terbesar lebih dipengaruhi oleh adanya

kenaikan biaya pendidikan sehubungan dengan

tahun ajaran baru, baik itu untuk sekolah dasar

hingga sekolah menengah atas serta

akademi/perguruan tinggi pada bulan Juli-Agustus

2016.

Secara spasial, inflasi seluruh provinsi masih

berada di dalam rentang sasaran inflasi tahun

2016. Laju inflasi tahunan tertinggi berada di

provinsi Banten yang tercatat 3,01% (yoy) pada

triwulan laporan, disebabkan oleh kenaikan

komoditas pangan seperti bawang merah dan

daging ayam ras serta komoditas administered

prices, yaitu rokok kretek yang merupakan

komoditas penyumbang inflasi terbesar. Di sisi

lain, Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat inflasi

tahunan terendah atau berada pada angka 2,40%

(yoy) dipengaruhi oleh sumbangan deflasi yang

cukup besar dari komoditas administered prices,

yang berada di atas rata-rata provinsi di kawasan

Jawa.

Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi

Sumber: BPS (diolah)

Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial

Sumber: BPS (diolah)

Tingkat inflasi pada tahun 2016 diprakirakan

akan lebih rendah dibandingkan dari tahun 2015

dan masih berada dalam rentang sasaran inflasi

tahun 2016. Pada bulan Oktober, laju inflasi

bulanan tercatat 0,09% (mtm) atau jauh lebih

rendah dari rata-rata historisnya. Harga bawang

merah mengalami koreksi seiring mulai

berlangsungnya masa panen di beberapa daerah

di Jawa Tengah. Hingga bulan Oktober, laju inflasi

kalendar Jawa tercatat pada level 1,80% (ytd).

Dengan demikian, tingkat inflasi tahun 2016 yang

hanya menyisakan waktu dua bulan akan berada

di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2016.

Tekanan dari komoditas pangan diprakirakan

relatif rendah dan hanya akan berasal dari

komoditas hortikultura seperti cabai merah yang

mengalami gangguan produksi akibat curah hujan

yang tinggi. Berdasarkan analisa yang dilakukan

oleh Bank Indonesia, La Nina berpotensi

Komoditas Bobot qtq Andil qtq

Volatile Food

Cabai Merah 0.2% 29.3% 0.7%

Kentang 0.2% 15.2% 0.3%

Bawang Merah 0.2% 9.2% 0.2%

Administered Prices

Tarif Listrik 2.3% 3.8% 0.9%

Angkutan Udara 0.3% 9.7% 0.3%

Rokok Kreket Filter 1.3% 2.0% 0.2%

Core Inflation

Akademi/Perguruan Tinggi 1.3% 3.0% 0.4%

Sekolah Menengah Atas 0.8% 4.2% 0.3%

Kontrak Rumah 3.7% 0.8% 0.3%

I II III IV I II III

DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.62 3.08 2.40

Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.74 3.78 3.22 2.54

Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 5.70 3.78 3.01

Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 4.21 2.96 2.71

DI Yogyakarta 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.69 2.94 2.68

Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.69 3.08 3.71 2.93 2.69

Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.93 3.14 2.58

Provinsi 20142015 2016

Page 41: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

33

mendorong inflasi Jawa sebesar 0,13% (yoy)

akibat menurunnya produksi aneka cabai dan

bawang merah. Sementara itu, dari kelompok

administered prices juga diprakirakan masih akan

terjaga seiring harga minyak dunia yang masih

relatif rendah, meski masih perlu diwaspadai

tekanan yang berasal dari penyesuaian tarif listrik

pada bulan September dan Oktober. Pada

kelompok inti, komoditas emas perhiasan

diprakirakan akan memberikan tekanan inflasi

seiring ketidakpastian pada kondisi global yang

membuat emas sebagai investasi yang safe haven.

Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di

daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)

melakukan berbagai program di setiap daerah.

Strategi roadmap inflasi Jawa telah

diimplementasikan dengan baik dalam hal strategi

penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi,

penyusunan riset dan informasi serta

pembentukan ekspektasi masyarakat. Kebijakan

penetapan harga acuan konsumen merupakan

langkah awal pemerintah dalam pengendalian

inflasi harga daerah melalui peningkatan peran

Bulog dan BUMN Pangan bekerjasama dengan

BUMN, BUMD, Koperasi dan/atau swasta.

Penetapan harga acuan menjadi penting dalam

rangka menekan disparitas harga antar daerah.

Setiap daerah telah menjalankan program dalam

menjaga kelangsungan produksi, distribusi dan

konektivitas pangan. Sebagai contoh di Jawa

Tengah sedang digalakkan Kampung Cabai Inovatif

dalam rangka pengendalian harga cabai yang

sering menjadi penyumbang inflasi di Jawa. Di

Yogyakarta juga tengah mengoptimalkan Price

Reference Store sebagai salah satu upaya

memberikan referensi harga kepada konsumen.

Sementara di Jawa Barat terus dilaksanakan

sosialisasi sistem resi gudang dalam upaya

meningkatkan modal petani dan pengendalian

stok pangan di daerah.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja korporasi7 di kawasan Jawa mulai

menunjukkan perbaikan pada triwulan laporan.

Membaiknya kinerja dimaksud tercermin dari

rasio rentabilitas korporasi yang meningkat

setelah relatif stagnan pada pada triwulan

sebelumnya. Rasio solvabilitas dan likuiditas juga

tercatat relatif kuat yang menandakan ketahanan

korporasi hingga triwulan II 2016.

Rasio rentabilitas korporasi meningkat setelah

terus mengalami penurunan hingga akhir 2015.

Peningkatan kinerja korproasi yang tercermin dari

indikator Return on Assets (ROA) yang naik dari

5,40% menjadi 5,71% pada triwulan laporan.

Indikator lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga

membaik dari 11,14% menjadi 11,54%. Hampir di

seluruh sektor manufaktur menunjukkan

perbaikan profitabilitas kecuali pada industri

kertas serta tekstil dan produk turuannya.

Sumber: Bloomberg

Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi

Sumber: Bloomberg

Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi

7 Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh)

perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek Indonesia

Page 42: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

34

Kemampuan perusahaan dalam memenuhi

kewajiban jangka panjang yang terlihat dari rasio

solvabilitas relatif stabil. Namun rasio solvabilitas

yang masih kuat tidak diikuti dengan kemampuan

membayar bunga yang meningkat atau terlihat

dari rasio Interest Coverage Ratio (ICR). ICR pada

triwulan laporan tercatat menurun tipis dari 3,40

menjadi 3,30, namun masih berada dalam level

yang aman. Rasio ICR yang masih berada pada

level aman dimaksud menunjukkan ketahanan

korporasi yang relatif baik di tengah tekanan

global yang masih belum menunjukkan tanda-

tanda perbaikan.

Sumber: Bloomberg

Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi

Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi

Sumber: Bloomberg

Secara sektoral, rasio solvabilitas dan ICR di

seluruh sektor masih tergolong aman meski pada

beberapa sektor perlu mendapatkan perhatian

lebih. Secara umum seluruh sektor memiliki rasio

solvabilitas di atas 1 kali, yang menandakan

tingkat kemampuan perusahaan untuk membayar

semua kewajibannya masih berada dalam batas

aman. Meski demikian terdapat sektor

manufaktur yang mengalami penurunan rasio

solvabilitas seperti sektor semen serta logam dan

produknya. Dari sisi ICR, seluruh sektor masih

berada pada level yang baik, kecuali pada industri

logam dan produknya yang membaik

dibandingkan triwulan sebelumnya namun masih

memiliki ICR di bawah satu.

Sementara itu, salah satu indikator rasio

likuiditas yaitu current ratio mengalami sedikit

penurunan. Rasio likuiditas korporasi Jawa pada

triwulan laporan tercatat sebesar 1,51 atau sedikit

lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang

sebesar 1,58. Menurunnya rasio likuiditas sejalan

dengan peningkatan kinerja korporasi yang

membaik sehingga membuat aset likuid sedikit

menurun.

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan

ekonomi Jawa, penyaluran kredit8 oleh

perbankan mengalami perlambatan. Penyaluran

kredit di kawasan Jawa secara keseluruhan hanya

tumbuh sebesar 5,92% (yoy), melambat

dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 8,52%

(yoy). Realisasi tersebut juga tercatat lebih rendah

jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit

nasional yang mencapai 6,34% (yoy). Berdasarkan

golongannya, baik sektor korporasi maupun

perseorangan mengalami perlambatan, dengan

sektor korporasi menjadi penyumbang utama

perlambatan penyaluran kredit.

Sejalan dengan ekonomi Jawa yang melambat,

penyaluran kredit kepada korporasi turut

mengalami perlambatan. Penyaluran kredit

kepada korporasi tumbuh sebesar 6,87% (yoy),

8 Berdasarkan lokasi proyek

Tw II Tw III Tw II Tw III Tw II Tw IIIAutomotive & Components 4.93 4.98 9.74 9.80 0.91 0.94

Food & Beverage 6.31 6.59 12.83 13.18 0.96 0.99

Pulp& Paper 1.93 1.74 5.24 4.68 1.67 1.67

Tobacco Manufacturers 14.50 14.78 28.06 26.54 0.72 0.59

Cement 10.62 10.68 14.97 15.13 0.43 0.44

Metal & Allied Products -8.30 -6.27 -18.47 -13.21 1.09 1.20

Chemicals 2.91 6.21 5.90 12.40 1.03 0.90

Pharmaceuticals 15.21 15.23 18.61 18.66 0.22 0.23

Textile, Garment 1.16 0.95 7.63 6.14 5.51 5.80

Ceramics, Glass, Porcelain 1.60 2.09 4.06 5.27 1.48 1.49

Plastics & Packaging 1.39 2.12 2.86 4.31 1.00 0.97

Total 5.40 5.70 11.14 11.52 0.97 0.98

SektorROA ROE DER

Tw II Tw III Tw II Tw III Tw II Tw IIIAutomotive & Components 2.09 2.06 6.22 6.62 1.40 1.37

Food & Beverage 2.05 2.01 7.66 7.90 1.97 1.79

Pulp& Paper 1.60 1.60 2.54 2.51 1.49 1.42

Tobacco Manufacturers 2.39 2.70 17.70 19.01 2.45 2.07

Cement 3.34 3.29 10.47 9.71 1.86 1.76

Metal & Allied Products 1.92 1.84 0.41 0.71 0.73 0.83

Chemicals 1.97 2.11 - - 1.27 1.52

Pharmaceuticals 5.53 5.26 - - 4.08 3.75

Textile, Garment 1.18 1.17 1.58 1.55 0.80 0.86

Ceramics, Glass, Porcelain 1.68 1.67 2.00 2.89 1.67 1.41

Plastics & Packaging 2.00 2.03 - - 1.01 1.04

Total 2.03 2.02 3.40 3.30 1.58 1.51

SektorSolvability ICR Current Ratio

Page 43: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

35

melambat dibanding triwulan sebelumnya yang

sebesar 10,91% (yoy). Perlambatan penyaluran

kredit terjadi baik pada kredit modal kerja

maupun investasi. Perlambatan kredit ini

terutama didorong oleh melemahnya permintaan

dari industri pengolahan, yang memiliki pangsa

kredit korporasi terbesar (31,4% dari total kredit

korporasi), sejalan dengan perlambatan kinerja

industri pengolahan pada triwulan laporan.

Pemberian kredit ke lapangan usaha industri

pengolahan tercatat stagnan atau tidak

mengalami pertumbuhan, setelah pada triwulan

sebelumnya masih mampu tumbuh 6,81%.

Sementara itu, pada lapangan usaha perdagangan

besar dan eceran yang merupakan debitur

terbesar kedua pada kredit korporasi juga

melambat. Penurunan lebih jauh pada kredit

korporasi dapat tertahan oleh penyaluran kredit

ke lapangan usaha konstruksi yang meningkat dan

tercatat masih dapat tumbuh 28,71% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.21. Pangsa Kredit Sektor Korporasi

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi

Melambatnya pemberian kredit korporasi

industri pengolahan juga terindikasi dari rasio

DER yang relatif stabil. Tingkat utang terhadap

ekuitas korporasi9 pada akhir triwulan II 2016

relatif stabil pada level 0,97%. Ketidakpastian

kontinuitas pertumbuhan permintaan ekonomi

global ditengarai menjadi penyebab penurunan

preferensi korporasi dalam menerima pinjaman di

tengah perbaikan kinerja korporasi.

Risiko kredit mengalami peningkatan meski

masih berada dalam kategori aman. Peningkatan

risiko kredit bermasalah tersebut ditengarai

menjadi salah satu penyebab bank lebih selektif

dalam menyalurkan kredit yang berdampak pada

perlambatan pertumbuhan kredit. Pada triwulan

III 2016, rasio Non Performing Loan (NPL)

korporasi sedikit meningkat dari 3,16% menjadi

3,18%. Rasio NPL korporasi juga lebih tinggi dari

rasio NPL kredit secara keseluruhan yang sebesar

2,94%. Menurunnya kualitas kredit korporasi

terutama terjadi pada kredit modal kredit

investasi. Sementara itu, secara sektoral kualitas

kredit yang memburuk terutama dialami oleh

lapangan usaha perdagangan besar dan eceran

yang mencapai 4,75%, meningkat cukup tinggi

dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar

3,96%.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan

Dana Pihak Ketiga (DPK) dari golongan

perseorangan tercatat meningkat, terutama

9 Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh)

perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek Indonesia

Page 44: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

36

bersumber dari peningkatan giro dan deposito.

Secara keseluruhan, DPK perseorangan tumbuh

10,30% (yoy), di atas capaian triwulan sebelumnya

yang hanya sebesar 5,24%. Deposito, yang

memiliki pangsa mencapai 44,5% dari total DPK,

dapat tumbuh 6,2% (yoy) setelah pada triwulan

sebelumnya mengalami kontraksi. Hal tersebut

ditengarai akibat adanya peningkatan suku bunga

deposito sebanyak 67 basis poin sejak awal tahun

2016. Sementara itu, giro juga tercatat mengalami

pertumbuhan cukup signifikan menjadi 35,2%

(yoy). Namun di sisi lain, tabungan hanya mampu

tumbuh 11,25% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan

Kredit Perseorangan di Perbankan

Kredit rumah tangga tumbuh melambat untuk

semua jenis pada triwulan laporan. Penyaluran

kredit rumah tangga melambat dari 9,81% (yoy)

menjadi 8,99% (yoy) pada triwulan III 2016.

Perlambatan penyaluran kredit rumah tangga

utamanya disumbang oleh melambatnya kredit

multiguna yang tumbuh melambat dari 16,15%

(yoy) menjadi ke 11,68% (yoy), serta penyaluran

KKB yang terkontraksi pada triwulan laporan.

Perlambatan kredit rumah tangga turut

disumbang oleh perlambatan Kredit kepemilikan

rumah (KPR) dan terjadi pada seluruh tipe rumah.

Penurunan KKB utamanya disumbang oleh

adanya perlambatan kredit kepemilikan mobil

serta penurunan penyaluran kredit kepemilikan

sepeda bermotor. Kredit kepemilikan mobil

tercatat melambat cukup dalam dari 4,97%

menjadi 0,93% pada triwulan III 2016. Sementara

itu, penyaluran kredit kepemilikan sepeda

bermotor tercatat lebih buruk dan mengalami

kontraksi sebesar 13,96% pada triwulan laporan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Perlambatan penyaluran KPR terjadi pada

penyaluran KPR seluruh tipe rumah. Perlambatan

terendah untuk penyaluran KPR bersumber dari

KPR tipe <21 yang masih tercatat kontraksi,

melanjutkan pertumbuhan negatif dalam 3

triwulan terakhir. Sementara itu pemberian kredit

tipe 22 s.d. 70 serta tipe >70 juga mengalami

perlambatan meski masih tumbuh positif.

Perlambatan permintaan kredit terkait properti

sejalan dengan hasil Survei Harga Properti

Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya

perlambatan pertumbuhan indeks harga properti

di kota-kota besar di Jawa. Menurunnya

permintaan akan harta tetap juga tercermin dari

penurunan indeks konsumsi barang tahan lama

saat ini dibandingkan 3 bulan sebelumnya, yang

ditunjukkan oleh hasil Survei Konsumen (SK).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.26. Perkembangan KPR

Page 45: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

37

Risiko kredit rumah tangga sedikit meningkat

yang tercermin dari rasio NPL yang naik. Rasio

NPL untuk kredit rumah tangga tercatat

meningkat ke level 1,68%, sedikit lebih tinggi dari

triwulan sebelumnya yang sebesar 1,63%.

Memburuknya kualitas kredit rumah tangga

bersumber dari kenaikan rasio NPL KPR/KPA.

Meningkatnya risiko KPR/KPA terjadi pada seluruh

tipe rumah, namun KPR dengan tipe di atas 70

memberikan kenaikan risiko kredit tertinggi

dengan peningkatan rasio NPL menjadi 2,66%,

lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya

yang sebesar 2,33%. Namun demikian,

membaiknya kualitas kredit dari KKB dan kredit

multiguna dapat menekan risiko dari kredit rumah

tangga.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran Non Tunai

Transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional

Bank Indonesia (SKNBI) mengalami perlambatan,

baik secara nominal maupun volume. Transaksi

SKNBI di Jawa yang secara total mencapai 699

triliun tumbuh melambat menjadi 20,73% (yoy),

jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya yang dapat tumbuh 58,44% (yoy).

Salah satu faktor utama yang menyebabkan

perlambatan tersebut adalah adanya

pemberlakuan ketentuan baru atas caping

transaksi kliring dari sebelumnya Rp500 juta

menjadi Rp100 juta sejak 1 Juli 2016. Dengan

demikian transkasi harian melalui SKNBI turut

menurun dari Rp10,7 triliun menjadi Rp7,8 triliun

per harinya.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.28. Nominal Transaksi SKNBI

Pemberlakuan ketentuan baru terkait caping

transaksi kliring melalui SKNBI juga berdampak

kepada melambatnya pertumbuhan volume

transaksi. Volume transaksi SKNBI tercatat

melambat dari 13,07% (yoy) menjadi 5,99% (yoy)

pada triwulan laporan atau mencapai 24,67

transaksi. dari 24,3 juta transaksi menjadi 26,8

juta transaksi. Selain sebagai dampak dari adanya

caping transaksi terbaru, telah berlalunya periode

Idul Fitri yang jatuh pada triwulan II 2016

membuat volume transaksi juga menurun.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.29. Volume Transaksi SKNBI

Pengelolaan Uang Rupiah

Wilayah Jawa mengalami net-inflow pada

triwulan laporan dan merupakan yang terbesar

dalam 5 tahun terakhir. Pada triwulan III 2016,

wilayah Jawa mengalami net-inflow sebesar

Rp62,6 triliun, berbalik arah dari triwulan

sebelumnya yang mencatatkan net-outflow

Rp76,64 triliun. Hal tersebut sejalan dengan pola

Page 46: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

38

musiman, dimana pada periode lebaran akan

terjadi net-outflow karena penggunaan uang

kartal yang relatif besar oleh masyarakat dan akan

diikuti dengan net-inflow. Seluruh provinsi di Jawa

mengalami net-inflow dengan yang terbesar

berasa dari Jawa Barat yang mencapai Rp20,9

triliun.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu

Sejalan dengan intensifikasi edukasi CIKUR (Ciri-

ciri Keaslian Uang Rupiah) dan koordinasi dengan

pihak yang berwenang, maka penemuan uang

yang diragukan keasliannya mengalami kenaikan.

Jumlah uang yang diragukan keasliannya yang

dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan

laporan 66.397 lembar, atau lebih tinggi dari

temuan triwulan sebelumnya yang sebesar 54.554

lembar. Penemuan terbesar berasal dari Jakarta

yang merupakan pusat transaksi bisnis di

Indonesia. Meningkatnya temuan uang yang

diragukan keasliannya tidak terlepas dari edukasi

kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang

rupiah dan juga didukung oleh penguatan

koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib

mengenai penanganan laporan masyarakat terkait

uang yang diragukan keasliannya. Sementara itu,

rasio pemunsahan UTLE terhadap inflow relatif

lebih rendah seiring tingginya aliran uang masuk

ke Bank Indonesia pada triwulan laporan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Jawa diperkirakan akan membaik

pada tahun 2017 dan tumbuh lebih tinggi

dibandingkan dengan tahun laporan. Ekonomi

Jawa diperkirakan akan berada dalam rentang

5,5% - 5,9% (yoy) yang didorong oleh membaiknya

seluruh komponen PDRB, terutama pada

konsumsi rumah tangga. Sementara itu,

membaiknya permintaan domestik dan luar negeri

dapat meningkatkan kinerja lapangan usaha

industri pengolahan yang merupakan sektor

utama di kawasan Jawa. Secara spasial, perbaikan

ekonomi Jawa akan didorong dari seluruh provinsi

di Jawa yang diperkirakan akan tumbuh lebih

tinggi dibandingkan tahun 2016.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi

Jawa masih akan ditopang oleh membaiknya

konsumsi rumah tangga. Optimisme keyakinan

konsumen yang masih relatif tinggi hingga kuartal

akhir 2016, mengindikasikan daya beli masyarakat

yang masih kuat dan akan berlanjut hingga tahun

2017. Dengan adanya penyesuaian UMK dan

pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)

serentak di tahun depan dapat mendorong

konsumsi rumah tangga dan Lembaga Non Profit

Page 47: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

39

yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT). Sementara

itu, realisasi investasi baik dari PMA maupun

PMDN diperkirakan akan meningkat yang sudah

terlihat membaiknya realisasi investasi pada tahun

2016 (year to date September) yang telah

meningkat 25,28% (yoy) untuk PMDN dan 27,48%

(yoy) untuk PMA.

Perkembangan ekonomi global yang diperkirakan

akan mulai pulih pada tahun 2017 diharapkan

dapat mendorong penjualan ekspor Jawa.

Membaiknya ekonomi Jawa juga didorong

peningkatan ekspor dari Jawa dengan optimisme

terkait pertumbuhan ekonomi global serta dengan

adanya rencana dari pelaku usaha untuk

melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor.

Negara tujuan ekspor terbesar saat ini adalah

Amerika Serikat dan Eropa, dengan adanya

rencana diversifikasi, maka pangsa pasar akan

diperluas ke negara-negara di Asia. Dari sisi impor,

seiring dengan kinerja industri pengolahan yang

membaik maka impor bahan baku juga meningkat

seiring dengan peningkatan kapasitas produksi.

Dari sisi penawaran, seluruh lapangan usaha

utama mulai terakselerasi, terutama ditopang

oleh membaiknya kinerja industri pengolahan.

Keyakinan pelaku usaha terkait prospek ekonomi

dunia di tahun 2017 yang disertai peningkatan

permintaan domestik diperkirakan dapat mampu

meningkatkan kinerja lapangan usaha industri

pengolahan. Sub lapangan usaha makanan dan

minuman serta otomotif diperkirakan tumbuh

membaik seiring peningkatan daya beli

masyarakat. Permintaan akan baja domestik

diperkirakan meningkat terutama terkait dengan

pemenuhan proyek infrastruktur Pemerintah yang

akan mampu mendorong penjualan dari sub

lapangan usaha logam. Sejalan dengan perkiraan

peningkatan daya beli masyarakat pada tahun

mendatang, maka kinerja lapangan usaha

perdagangan akan membaik. Hal itu semakin

diperkuat dengan adanya pelaksanaan PILKADA

serentak yang akan menjadi salah satu pendorong

juga untuk peningkatan lapangan usaha

perdagangan.

Akselerasi proyek Pemerintah yang sempat

tertunda mendorong kinerja lapangan usaha

konstruksi. Perkiraan realisasi investasi

pemerintah yang lebih tinggi, mampu mendorong

kinerja konstruksi, terutama berasal dari

akselerasi proyek-proyek infrastruktur seperti

pembangunan jalan Trans Jawa, Bandara di Jawa

Barat dan DIY, pelabuhan di Jakarta dan Patimban

serta sarana pendukung untuk penyelenggaraan

ASEAN Games di jakarta. Selain itu, konstruksi dari

pihak swasta diperkirakan juga akan cukup tinggi

terutama dari sub lapangan usaha otomotif serta

tekstil dan produk turunannya. Sementara itu,

produksi pertanian akan mengalami peningkatan

seiring perkiraan berakhirnya dampak La Nina

pada triwulan I 2017. Peningkatan lapangan usaha

pertanian juga didukung oleh adanya perbaikan

infrastruktur irigasi serta pengaturan pola tanam.

Optimisme membaiknya perekonomian Jawa

masih dibayangi risiko internal maupun eksternal

yang dapat menahan laju pertumbuhan. Meski

secara umum ekonomi global diperkirakan dapat

tumbuh lebih tinggi, namun perekonomian Eropa

dan Tiongkok yang merupakan mitra dagang

utama Jawa diperkirakan masih akan melambat.

Dampak Brexit serta pemilihan presiden di

Amerika Serikat juga masih memberikan potensi

risiko terhadap perkembangan negera-negara

maju. Sementara itu, risiko sisi internal masih

dibayangi oleh penyaluran kredit yang masih

terbatas serta laju inflasi yang diperkirakan akan

lebih tinggi. Ruang fiskal juga diperkirakan masih

terbatas seiring dengan risiko realisasi pendapatan

pajak yang belum optimal.

Prospek Inflasi

Tingkat inflasi Jawa pada tahun 2017

diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan

tahun 2016, meski masih berada dalam rentang

sasaran inflasi tahun 2017. Tekanan pada tahun

2017 akan lebih banyak didorong oleh komoditas

administered prices. Sementara secara spasial,

tingkat inflasi di tahun 2017 untuk seluruh provinsi

di Jawa juga diperkirakan akan mengalami

peningkatan. Dengan demikian, inflasi pada tahun

Page 48: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

40

2017 diperkirakan akan berada pada rentang 3,6 -

4,0% (yoy) dan masih berada dalam rentang target

inflasi tahun 2017 sebesar 4% ± 1%. Perkiraan

realisasi inflasi dimaksud akan lebih tinggi dari

perkiraan tingkat inflasi tahun 2016 yang berada

pada level 2,6 - 4,0% (yoy).

La Nina masih berpotensi memberikan tekanan

inflasi terhadap produk hortikultura hingga

triwulan I 2017. Curah hujan yang tinggi akibat La

Nina telah memberikan tekanan inflasi sejak

semester II 2016 yang akan berlanjut hingga

triwulan I 2017, terutama untuk komoditas aneka

cabai dan bawang merah. Curah hujan yang tinggi

juga berisiko untuk merendam lahan penanaman

beras dan jagung yang dapat mengganggu

pasokan komoditas dimaksud. Terbatasnya

pasokan untuk komoditas beras berpotensi

memberikan tekanan inflasi yang relatif besar

dengan bobot komoditas beras merupakan yang

terbesar. Sementara itu, berkurangnya pasokan

jagung dapat dapat berdampak kepada kenaikan

harga daging ayam ras, dimana jagung merupakan

bahan baku utama makanan ternak ayam.

Tekanan pada kelompok administered prices

bersumber dari penerapan cukai rokok 2017 dan

penyesuaian tarif listrik oleh Pemerintah. Cukai

rokok 2017 diperkirakan akan mengalami

kenaikan sekitar 10 – 13%, dan akan berdampak

kepada komoditas rokok kretek dan rokok kretek

filter secara bertahap sepanjang tahun. Tekanan

inflasi juga ditambah dengan adanya rencana

penyesuaian tarif listrik untuk 450 Volt Ampere

(va) dan 900 va pada tahun 2017.

Meski tekanan pada kelompok volatile food

relatif tinggi di awal tahun, namun produksi

pangan di tahun 2017 diperkirakan akan lebih

baik dari tahun 2016. Dengan kondisi cuaca yang

kembali normal dan disertai dengan

pembangunan infrastruktur pertanian serta

peningkatan kerja sama antar daerah, maka laju

inflasi volatile food diharapkan masih akan terjaga

hingga akhir tahun 2017.

Page 49: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

41

Kondisi Industri Manufaktur

Industri pengolahan memegang peranan penting

bagi pertumbuhan ekonomi di Jawa, dengan

memiliki pangsa terhadap PDRB yang terbesar

dibandingkan lapangan usaha lainnya yaitu

mencapai 29%. Tenaga kerja yang berhasil

diserap oleh industri pengolahan juga tergolong

tinggi, dengan tingkat penyerapan mencapai

18,2% dari total angkatan kerja. Dari sisi

penanaman modal, realisasi investasi langsung

yang masuk ke Jawa sebagian besar ditujukan

untuk industri pengolahan atau manufaktur, dan

mencapai 45% dari total investasi langsung.

Selain itu, ekspor non-migas Jawa mayoritas

merupakan produk industri manufaktur. Sejak

global financial crisis pada tahun 2008, pangsa

industri pengolahan di Jawa memang terus

mengalami penurunan hingga levelnya saat ini,

dan belum menunjukkan indikasi untuk kembali

kepada level sebelumnya. Disisi lain, pangsa

sektor jasa-jasa justru terus mengalami

peningkatan. Dari fenomena tersebut, terdapat

tiga tantangan utama industri pengolahan yang

berhasil diidentifikasi, yaitu:

a. Deindustrialisasi

Global financial crisis pada tahun 2008 telah

menyebabkan permintaan global menurun dan

kemudian berdampak kepada melambatnya

pertumbuhan industri pengolahan di Jawa

sebagai salah satu pemasok rantai global.

Penurunan tersebut juga terindikasi dari pangsa

industri manufaktur dalam PDRB yang terus

menurun dari 32% pada tahun 2000 hingga

mencapai 28% pada tahun 2015. Terhadap

industri pengolahan nasional, pangsa industri

pengolahan di Jawa tetap paling dominan yaitu

sebesar 71%.

Melambatnya pertumbuhan industri

manufakturberimplikasi pada penyerapan tenaga

kerja sektor industri yang tidak mengalami

banyak perubahan sejak tahun 2001 hingga 2015.

Namun di saat yang sama, sektor perdagangan

dan jasa-jasa tumbuh lebih tinggi di atas industri

pengolahan.

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Grafik III.33. Pangsa PDRB Jawa Sektoral

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Grafik III.34. Pangsa Tenaga Kerja Jawa Sektoral

Dari sisi penanaman modal, realisasi investasi

masih tumbuh cukup kuat dan untuk periode

2011-2015 tercatat lebih tinggi dibandingkan

periode 2001-2010. Investasi industri pengolahan

masih didominasi dalam bentuk Penanaman

Modal Asing (PMA), dan secara spasial masih

terkonsentrasi di Jawa Barat. Investasi yang

bersumber dari PMA lebih banyak ke industri

padat modal dengan teknologi menengah tinggi.

Sementara itu, investasi PMDN lebih banyak ke

sektor padat karya dan sektor berbasis bahan

tambang.

Boks 2

Page 50: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

42

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Grafik III.35. Perkembangan PMA dan PMDN Industri dan Pangsa Investasi per Subsektor Industri

b. Kondisi Local & Global Chain

Menurut pendekatan local chain, kegiatan

industri manufaktur di Jawa belum memiliki

keterkaitan yang kuat dengan wilayah di luar

Jawa. Hal tersebut ditunjukkan oleh masih

rendahnya porsi bahan baku yang berasal dari

luar Jawa. Berdasarkan data IRIO 2005, hanya sub

lapangan usaha semen, besi baja dan petrokimia

yang sudah mendatangkan bahan baku dari luar

Jawa dengan pangsa di atas 10%.

Tabel III.6. Komposisi Input Antara Berdasarkan Subsektor

Sumber: IRIO, diolah (2005)

Di sisi lain, perkembangan internasional

menunjukkan bahwa negara lain di dunia telah

meningkatkan integrasinya dengan rantai nilai

global yang terindikasi dari indikator total

integration10

. Peningkatan integrasi tersebut

berkorelasi positif dengan peningkatan

pertumbuhan manufaktur, terutama untuk

10

Total Integration : Contribution of a country’s exports which

are part of GVC

negara-negara middle income. Sementara itu,

pada periode 1995-2001, Indonesia lebih

meningkatkan forward participation11

, terutama

pada produk bahan baku mentah pertambangan,

sementara peningkatan backward participation12

masih terbatas.

Sumber: OECD (2016)

Grafik III.36. Integrasi Global Value Chain (GVC)

c. Kesiapan pada Era Industri 4.0

Dalam beberapa waktu terakhir telah

berkembang revolusi industri 4.0 yang bertumpu

pada teknologi informasi, digitalisasi, dan tingkat

pengetahuan dan keterampilan tinggi. Bagi

negara berkembang seperti Indonesia, revolusi

industri 4.0 merupakan suatu tantangan yang

harus dihadapi. Oleh karena itu, percepatan

perbaikan infrastruktur dan SDM perlu terus

dilakukan.

Indikator kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM)

dan kesiapan teknologi juga menunjukkan bahwa

Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan

negara peers seperti China, Malaysia, Thailand,

dan Filipina.

11

Forward Participation : domestic value added embodied in

foreign exports as share of gross exports 12

Backward Participation : foreign value added share of gross

exports

Industri Jawa Luar Jawa Impor

Kertas 89% 3% 8%

Alat Angkut 65% 3% 32%

Mamin 93% 4% 3%

Alas Kaki 89% 5% 6%

TPT 90% 8% 2%

Petrokimia 63% 10% 27%

Besi Baja 67% 12% 21%

Semen 73% 24% 3%

Page 51: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

43

Sumber: McKinsey (2015)

Grafik III.37. Revolusi Industri 4.0

Tabel III.7. Indeks Higher Education and Training & Technological Readiness

Sumber: Global Competitiveness Index (2016)

Tantangan

Perbaikan daya saing industri manufaktur

menghadapi beberapa tantangan dalam

pemenuhan kapasitas dasar, baik itu secara fisik

maupun non-fisik.

a. Infrastruktur Fisik

Dari sisi infrastruktur fisik, kualitas jalan di Jawa

masih belum maksimal terutama terkait dengan

kondisi kerusakan jalan di Jalur Selatan.

Infrastruktur jalan merupakan salah satu

infrastruktur penting mengingat pengiriman

barang manufaktur masih banyak yang

menggunakan angkutan truk. Sementara itu,

berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh

Bank Indonesia kepada pengelola Kawasan

Industri di Jawa, didapatkan hasil bahwa

infrastruktur jaringan gas yang masih rendah.

Harga gas industri Indonesia relatif kurang

kompetitif jika dibandingkan dengan Negara-

Negara Asean lainnya. Sementara itu,

infrastruktur penunjang lainnya di Kawasan

Industri juga masih banyak yang perlu

ditingkatkan, terutama pada aspek pusat

Research & Development, pusat pelatihan,

perumahan Karyawan dan kantor bank.

Sumber: Survei Pengelola Kawasan Industri – Bank Indonesia

Grafik III.38. Kualitas Infrastruktur Pengelola KI

Terkait dengan ketersediaan pasokan listrik di

Jawa yang saat ini telah tercukupi, namun dalam

rangka mendorong dan mangantisipasi

kebutuhan seiring pertumbuhan ekonomi,

pembangunan pembangkit listrik tetap harus

terus dilakukan. Berdasarkan survei yang

dilakukan Bank Indonesia kepada perusahaan

manufaktur, didapatkan hasil bahwa

ketersediaan dan kemudahan akses energi listrik

di Jawa sudah cukup baik, namun frekuensi dan

lamanya listrik padam, untuk perusahaan yang

berada di luar kawasan industri dilaporkan masih

relatif tinggi.

b. Infrastruktur Non-fisik

Pemenuhan kapasitas dasar untuk non fisik,

utamanya bersumber pada kualitas SDM. Tenaga

kerja industri manufaktur di kawasan Jawa

didominasi oleh pekerja dengan tingkat

pendidikan SMA, diikuti oleh tingkat pendidikan

SD dan SMP, sehingga diperlukan adanya

peningkatan kualitas tenaga kerja dalam hal years

of schooling maupun kompetensi pendukung

lainnya. Mayoritas perusahaan manufaktur di

Jawa belum bekerjasama dengan lembaga

Rank Value Rank Value

Singapura 1 6.3 9 6.1

AS 8 5.9 14 6

Swedia 15 5.6 4 6.3

Jepang 23 5.4 19 5.8

Korsel 25 5.3 28 5.5

Malaysia 41 5 43 4.8

Tiongkok 54 4.6 74 4

Filipina 58 4.6 83 3.6

Thailand 62 4.5 63 4.3

Indonesia 63 4.5 91 3.5

India 81 4.1 110 3

NegaraHigher Education and Training Technological Readiness

Page 52: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

44

pendidikan vokasional meski saat ini telah berdiri

beberapa lembaga pendidikan vokasional di

Jawa.

Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)

Grafik III.39. Pangsa Tenaga Kerja Industri Manufaktur Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2016

Tantangan pada SDM juga terkait dengan

mismatch kualifikasi dan skill tenaga kerja dengan

jenis pekerjaannya. Secara umum tenaga kerja

sektor garmen dan rokok di Jawa >50%

merupakan under qualified.

Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)

Grafik III.40. Labor Mismatch Subsektor Industri Jawa

Dari sisi kesiapan teknologi, Indonesia masih

tertinggal dibandingkan negara lain di kawasan.

Hal tersebut tercermin dari ketersediaan

teknologi terbaru dan internet bandwith yang

relatif di bawah negara peers. Sementara itu, dari

sisi kelembagaan, meski survei Ease of Doing

Busniness memberikan peringkat yang lebih baik

untuk Indonesia, masih terdapat tantangan

terkait adanya gap antara kebijakan pusat

dengan daerah.

Selanjutnya, dari sisi efisiensi terkait supply chain,

salah satu indikator yang tersedia yaitu cash

conversion cycle (CCC)13

Indonesia merupakan

yang terendah di kawasan, atau termasuk efisien.

Namun rendahnya CCC tersebut tidak diikuti

dengan efisiensi dalam faktor produksi, dimana

COGS14

to Sales Indonesia merupakan yang

tertinggi di kawasan dengan return yang rendah.

Adapun dari sisi pendanaan, Weighted Average

Cost of Capital (WACC)15

di Indonesia merupakan

salah satu yang tertinggi di kawasan. Namun suku

bunga kredit korporasi masih lebih rendah dari

WACC meski hingga triwulan III 2016

pertumbuhan kredit industri pengolahan terus

mengalami perlambatan.

Strategi Pengembangan

Dalam mempercepat transformasi industri

manufaktur untuk mewujudkan industrialisasi

Indonesia yang berdaya saing global, terdapat

tujuh strategi yang dapat dilakukan bagi industri

pengolahan di Jawa.

Pertama, integrasi industri dengan Global Value

Chain (GVC). Untuk mendorong pertumbuhan

industri manufaktur perlu dilakukan upaya

meningkatkan daya saing industri dengan tingkat

backward participation tinggi, seperti elektronika,

otomotif, produk besi dan baja, kimia, TPT dan

alas kaki, serta kertas & produk kertas.

Kedua, optimalisasi local chain yang efisien. Local

chain yang kompetitif dan efisien perlu

dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan

key industry di Jawa, seperti alat angkut,

petrokimia, kertas dan produk kertas, TPT dan

alas kaki, serta makanan dan minuman.

Ketiga, untuk mendorong integrasi GVC dan

ekspor, diplomasi perdagangan luar negeri perlu

dioptimalkan. Dalam kasus IJEPA, meskipun

secara bilateral neraca perdagangan Indonesia

13

CCC merupakan lama hari untuk mengkonversi resources

input menjadi kas, dimana semakin rendah mengindikasikan semakin efisiennya perusahaan 14

COGS atau cost of good sold adalah beban pokok

perusahaan dalam memproduksi suatu unit 15

WACC adalah total cost of capital yang ditanggung

perusahaan dan terdiri dari rata-rata tertimbang dari suku bunga utang dan return of equity.

Page 53: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

45

defisit terhadap Jepang, namun neraca

perdagangan Indonesia untuk produk otomotif

tercatat surplus dengan total seluruh dunia.

Keempat, potensi BUMN industri strategis di

Jawa perlu dioptimalkan melalui pembentukan

holding untuk meningkatkan economies of scale,

kemampuan kinerja keuangan, dan spesialisasi

keahlian.

Kelima, dari sisi korporasi, strategi diversifikasi

perlu dilakukan untuk bersaing dalam era

kompetisi global dengan mempertimbangkan

karakteristik korporasi. Sebagai contoh, integrasi

vertical dapat dilakukan, yaitu memiliki lini bisnis

dari hulu ke hilir.

Keenam, peningkatan akses modal perbankan

Industri Kecil Menengah (IKM) perlu ditingkatkan

sesuai dengan karakteristik IKM.

Ketujuh, penguatan rantai pasok IKM, melalui

kemitraan dan pemanfaatan e-commerce untuk

meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi

dan mendorong daya saing nasional.

Page 54: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

46

“halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 55: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

47

Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup

wilayah Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua mengalami peningkatan

menjadi 5,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 3,9%. Peningkatan tersebut terutama

didorong oleh membaiknya ekspor luar negeri komoditas pertambangan, industri dan pertanian

serta kenaikan realisasi investasi. Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI menurun dari 4,26%,

(yoy) pada triwulan II menjadi 3,47% (yoy) terutama akibat kestabilan pasokan pangan yang

mampu merespon kenaikan permintaan di saat hari raya dan musim liburan.

Memasuki triwulan IV 2016, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan melambat, akibat

penurunan net eskpor di sektor utama. Tren penurunan laju inflasi kembali berlanjut pada awal

triwulan IV 2016 yang ditandai dengan deflasi 0,19% pada Oktober 2016. Hingga akhir triwulan IV,

inflasi diprakirakan relatif terkendali pada kisaran 4,2-4,5% (yoy), meski masih terdapat risiko

naiknya permintaan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, dampak lanjutan fenomena La

Nina, serta rencana pemerintah melakukan penyesuaian beberapa harga komoditas strategis.

Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh melambat dibandingkan 2015

dikisaran 4,4-4,9%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor,

investasi swasta dan konsumsi pemerintah. Namun, perlambatan lebih dalam ekspor tertahan oleh

perbaikan ekspor produksi sektor pertanian seperti ikan, kakao dan kelapa, serta alumina di wilayah

Kalimantan. Perekonomian KTI pada 2017 diprakirakan tumbuh meningkat pada range 4,6%-5,1%

(yoy). Perbaikan ekonomi KTI didukung oleh peningkatan ekspor pertambangan dan industri

pengolahan. Selain itu, diperkirakan terdapat perbaikan konsumsi pemerintah dan adanya

akselerasi investasi. Tekanan inflasi KTI di awal tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan

dengan tahun 2016. Tekanan terutama berasal dari komoditas administered prices, seiring

penyesuaian tarif listrik dan cukai rokok serta potensi kenaikan harga minyak dunia. Fenomena La

Nina yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2017 diperkirakan akan

berpengaruh pada produksi tabama, perkebunan dan perikanan serta gangguan distribusi barang

antar daerah.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian KTI pada triwulan III 2016 secara

agregat tumbuh 5,3% (yoy), lebih tinggi

dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan

pertumbuhan perekonomian KTI dipengaruhi

oleh meningkatnya ekspor luar negeri dan

investasi. Membaiknya ekspor luar negeri

terutama disebabkan oleh peningkatan ekspor

batubara dan tembaga ke Tiongkok. Selain itu,

perbaikan kinerja ekspor KTI juga didorong oleh

meningkatnya produksi pasca perbaikan mesin di

Papua. Perusahaan pertambangan tembaga di

provinsi tersebut berhasil mengoptimalkan

produksi untuk memenuhi kuota ekspor dan

target produksi di tahun 2016. Selain itu,

peningkatan harga komoditas selain tambang

juga mendorong perbaikan ekspor, antara lain,

kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara, rumput laut

di Sulawesi Selatan dan produk perikanan di

wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua Barat.

Sementara dari sisi investasi, kenaikan investasi

wilayah antara lain karena meningkatnya

investasi di Provinsi Sulawesi Barat dan

Kalimantan Barat. Peningkatan pertumbuhan

Page 56: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

48

investasi Provinsi Sulawesi Barat disebabkan oleh

meningkatnya investasi Penanaman Modal Asing

(PMA). Berdasarkan data Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM), investasi PMA di

Sulawesi Barat mengalami lonjakan sangat tinggi

(15 kali lipat) yaitu dari USD0,75 juta pada

triwuan III 2015 menjadi USD12 juta.

Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi

dibandingkan triwulan II 2016 yang meningkat

10,98 kali. Peningkatan tersebut didorong oleh

pembangunan PLTU Kalukku dengan kapasitas

2X25 MW yang ditujukan untuk kawasan industri.

Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI

Sumber: BPS

p) Prakiraan Bank Indonesia

Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi justru

melambat pada triwulan III. Hal ini disebabkan

oleh kembali normalnya kegiatan perdagangan

pasca Ramadhan-Lebaran. Perlambatan konsumsi

dikonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia

Usaha (SKDU) sektor perdagangan yang dilakukan

oleh Bank Indonesia (Grafik IV.1). Selain konsumsi

rumah tangga, konsumsi pemerintah juga

mengalami perlambatan akibat kebijakan

penghematan belanja, baik belanja Pemerintah

Pusat di daerah maupun belanja Pemerintah

Daerah secara mandiri.

Perekonomian KTI pada triwulan IV 2016, sesuai

dengan perkembangan berbagai indikator dan

hasil liaison mengindikasikan adanya sedikit

perlambatan. Ekonomi KTI diprakirakan tumbuh

5,2% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan

triwulan III 2016 sebesar 5,3%(yoy). Secara

spasial, prakiraan melambatnya pertumbuhan

ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi di

wilayah KTI. Perlambatan kinerja ekonomi

dipengaruhi oleh kinerja ekspor, khususnya

ekspor komoditas sektor primer. Selain itu,

pertumbuhan investasi pemerintah diprakirakan

melambat akibat kebijakan penundaan transfer

DAU. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah

tangga diprakirakan dapat menahan perlambatan

ekonomi lebih dalam.

Grafik IV.1. Realisasi SKDU Sektor Perdagangan

Ekspor KTI diperkirakan melambat pada

triwulan IV 2016. Beberapa harga komoditas

utama, seperti CPO, LNG dan produk kayu

diperkirakan akan mengalami pelemahan. Secara

spasial, Provinsi Kalimantan Timur, sebagai salah

satu produsen utama komoditas-komoditas

tersebut, ekspornya diperkirakan kembali

mengalami kontraksi. Selain itu, berdasarkan

hasil liaison, ekspor tembaga dari Provinsi Nusa

Tenggara Barat diperkirakan juga menurun.

Kebijakan Pemerintah terkait penundaan

transfer ke daerah berpotensi menjadi

penyebab turunnya kinerja investasi fisik

Pemerintah. Kebijakan untuk melakukan

penundaan DAU yang dilakukan pada triwulan III

2016 menyebabkan melemahnya kinerja

investasi Pemerintah, baik belanja Pemerintah

Daerah maupun belanja Pemerintah Pusat di

daerah. Peningkatan investasi swasta, khususnya

PMA di Sulawesi Selatan akan menahan

perlambatan investasi secara keseluruhan di KTI.

Provinsi Q3'15 Q2'16 Q3'16 Q4'16p

Kalimantan Barat 4,55 4,41 5,71 5,56

Kalimantan Tengah 6,87 5,72 6,02 5,91

Kalimantan Selatan 3,92 3,97 3,46 3,56

Kalimantan Timur -2,25 -0,91 0,23 -0,87

Sulawesi Selatan 7,59 8,04 6,82 7,15

Sulawesi Barat 6,33 4,80 5,97 7,60

Sulawesi Tenggara 6,99 6,83 5,95 6,46

Sulawesi Tengah 15,63 15,51 7,58 9,49

Gorontalo 5,86 5,40 6,98 5,94

Sulawesi Utara 6,31 6,14 6,01 6,42

Maluku 5,60 6,32 5,68 6,00

Maluku Utara 6,78 5,67 5,56 5,72

Papua 2,54 -5,45 20,65 22,31

Papua Barat 6,55 3,61 3,88 4,72

Bali 6,30 6,54 6,17 6,26

NTB 34,22 9,67 3,47 -1,06

NTT 5,15 5,36 5,14 5,21

KTI 5,10 3,88 5,32 5,20

Page 57: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

49

Di sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga

diperkirakan meningkat pada triwulan IV.

Peningkatan akitivitas konsumsi rumah tangga

terutama dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas

pariwisata karena libur panjang akhir tahun.

Peningkatan kinerja pariwisata, khususnya akan

terjadi di Bali, baik oleh wisawatan domestik

maupun mancanegara. Optimisme tersebut

tercermin dari keyakinan konsumen yang masih

tinggi dan cenderung sedikit meningkat (Grafik

IV.2).

Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen

Secara keseluruhan, pada tahun 2016

perekonomian KTI diprakirakan melambat dari

5,2% (yoy) di 2015, menjadi dikisaran 4,4-4,9%.

Secara spasial, perlambatan ekonomi terjadi di

wilayah Sulampua dan Balinusra. Sementara

wilayah Kalimantan diperkirakan cenderung

membaik. Perlambatan pertumbuhan ekonomi

disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor,

sejalan dengan rendahnya harga komoditas

pertambangan. Hal ini juga mengakibatkan

produksi pertambangan utama seperti minyak

bumi, nikel dan tembaga tercatat mengalami

penurunan. Namun penurunan kinerja ekspor

lebih lanjut, tertahan oleh perbaikan ekspor dari

hasil produksi sektor pertanian seperti ikan,

kakao dan kelapa, serta alumina di wilayah

Kalimantan.

Selain ekspor, melambatnya pertumbuhan

ekonomi di 2016, juga dipengaruhi oleh

investasi swasta dan konsumsi pemerintah. Hasil

liaison menunjukan bahwa pelaku usaha

cenderung menahan investasi karena permintaan

masih mengalami penurunan. Rendahnya harga

komoditas tidak hanya menjadi disinsentif bagi

kinerja ekspor KTI, namun juga memberikan

dampak pada penurunan Dana Bagi Hasil (DBH)

yang diterima Pemerintah Daerah sehingga

aktivitas konsumsi pemerintah daerah

diprakirakan cenderung tertahan. Selain

penurunan DBH, kebijakan Pemerintah untuk

melakukan penundaan DAU juga memberikan

dampak pada perlambatan konsumsi pemerintah.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Pada triwulan III 2016, pertumbuhan lapangan

usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan

mengalami akselerasi dari 2,3% (yoy) menjadi

4,0% (yoy). Secara spasial, perbaikan terjadi di

semua wilayah di KTI, antara lain peningkatan

ekspor kakao di Sulawesi Tenggara, perikanan

tangkap di Sulawesi, Maluku dan Papua Barat dan

rumput laut di Sulawesi Selatan, serta

meningkatnya produksi CPO pasca berkurangnya

dampak El Nino yang terjadi di tahun 2015 di

Kalimantan.

Memasuki triwulan IV 2016, kinerja lapangan

usaha pertanian diprakirakan melambat.

Perlambatan lapangan usaha Pertanian

diprakirakan akan melanda wilayah Kalimantan

dan Sulampua. Fenomena La Nina menjadi

penghambat utama pertumbuhan di lapangan

usaha pertanian, baik untuk komoditi tabama

khususnya di Sulawesi Selatan, maupun komoditi

perkebunan di Kalimantan Barat dan Kalimantan

Tengah. Indikasi perlambatan terkonfirmasi dari

menurunnya realisasi dan proyeksi penjualan

yang tercermin pada likert scale triwulan IV 2016

(Grafik IV.3).

Secara keseluruhan, sektor pertanian

diprakirakan masih mengalami perlambatan

pada 2016. Perlambatan tersebut terjadi karena

dampak dari El Nino yang membuat produksi

tabama dan perkebunan tidak optimal. Secara

spasial, perlambatan terjadi di semua wilayah

KTI, baik Kalimantan, Balinusra maupun

Sulampua. Selain itu, rendahnya harga komoditas

Page 58: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

50

internasional juga memberikan tekanan bagi

produksi di sektor pertanian selama 2016.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.3. Likert Scale Realisasi dan Proyeksi Penjualan

Pertambangan

Pertumbuhan lapangan usaha pertambangan

kembali mengalami peningkatan pada triwulan

III 2016. Sektor pertambangan di KTI kembali

tumbuh positif sebesar 4,5% (yoy) setelah sempat

mencatat pertumbuhan negatif 3,3% (yoy) pada

triwulan sebelumnya. Secara spasial,

membaiknya kinerja pertambangan terutama

terjadi di Kalimantan dan Papua akibat

peningkatan permintaan global terhadap

batubara. Peningkatan itu dipicu berkurangnya

pasokan dalam negeri di Tiongkok sebagai

dampak pengurangan jam kerja. Hal ini

menyebabkan perbaikan harga sepanjang

triwulan III 2016 serta mendorong peningkatan

ekspor batubara dari Kalimantan. Selain itu,

kinerja pertambangan mineral tembaga di Papua

meningkat pasca perbaikan mesin produksi,

sehingga produsen mengoptimalkan produksi

untuk mengejar target dan kuota ekspornya

(Grafik IV.4).

Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan

pertambangan diprakirakan akan menurun.

Peningkatan ekspor batubara dari Kalimantan

pada triwulan III diperkirakan bersifat temporer

dan akan mulai tertahan akibat membaiknya

pasokan domestik batubara di Tiongkok setelah

kembali normalnya jam kerja. Selain itu,

perbaikan kinerja pertambangan mineral di

Papua relatif bersifat sementara,

mempertimbangkan terbatasnya sisa kuota

ekspor tembaga dari NTB dan belum keluarnya

izin ekspor di bulan November (Grafik IV.5).

Sumber: Produsen, diolah

Grafik IV.4. Produksi Mineral Papua

Sumber: World Bank

Grafik IV.5. Harga Komoditas Mineral

Pertumbuhan sektor pertambangan sepanjang

tahun 2016 diperkirakan melambat

dibandingkan dengan tahun 2015. Perlambatan

tersebut antara lain disebabkan oleh penurunan

produktivitas lifting migas 2016, produksi

pertambangan utama lainnya seperti nikel di

Sulawesi dan tembaga di Nusa Tenggara juga

mengalami penurunan.

Industri

Pertumbuhan lapangan usaha industri

pengolahan mengalami perlambatan pada

triwulan III 2016, dari 6,3% (yoy) pada triwulan

sebelumnya, menjadi 6,0% (yoy). Hal ini antara

lain disebabkan oleh perlambatan kinerja industri

makanan olahan di Sulawesi dan Nusa Tenggara

pasca periode Lebaran akibat kembali normalnya

permintaan, kinerja industri kayu dan nikel

olahan yang juga masih tertahan, serta kontraksi

industri pengolahan ikan maupun kelapa sawit di

Sulawesi Barat akibat keterbatasan bahan baku

Page 59: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

51

untuk produksi. Namun kedepan, terdapat

potensi perbaikan sektor industri yang ditandai

oleh mulai beroperasinya hilirisasi tambang di

Kalimantan, khususnya peningkatan produksi

smelter alumina dan penambahan kapasitas

industri semen.

Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan industri

pengolahan diprakirakan meningkat. Prakiraan

membaiknya kinerja lapangan usaha Industri

tersebut bersumber dari rencana akan mulai

berproduksinya pabrik gula (Dompu, NTB),

perbaikan kinerja industri makanan olahan dan

industri feronikel (Sulawesi) serta peningkatan

produksi LNG (Sulawesi Tengah) yang

diprakirakan akan mencapai kapasitas utilisasi

maksimal sejalan dengan upaya pemenuhan

kuota ekspor. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha

(SKDU) juga mengindikasikan terjadinya kenaikan

kegiatan/realisasi usaha dan investasi pada

triwulan IV 2016. Potensi risiko adalah tingkat

harga komoditas yang masih belum stabil (LNG

dan CPO).

Sumber : SKDU, Bank Indonesia

Grafik IV.6. Kondisi Usaha Industri Pengolahan

Secara keseluruhan tahun 2016, lapangan usaha

industri pengolahan diprakirakan akan tumbuh

meningkat. Secara spasial, penguatan tersebut

terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan,

khsusnya seiring dengan mulai beroperasinya

smelter alumina baru dan beroperasinya pabrik

pupuk urea. Potensi perbaikan juga didukung

dengan masih kuatnya permintaan eksternal

untuk komoditas hasil industri yang tercermin

dari Purchasing Managers’ Index (PMI) di AS,

Tiongkok, dan Eropa yang masih terus meningkat

dan tetap pada level ekspansif hingga Oktober

2016.

Konstruksi

Pada triwulan III 2016, lapangan usaha

konstruksi tumbuh meningkat dibandingkan

dengan triwulan II 2016, dari 4,5% (yoy) menjadi

5,2% (yoy). Hal ini didorong oleh realisasi

berbagai proyek strategis Pemerintah di

Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua

yang terus membaik, seperti peningkatan

kapasitas jalan, jembatan, perbaikan irigasi,

perbaikan jalan akses antara kota ke bandara,

serta pembangunan fasilitas umum seperti

rumah sakit dan rel kereta api. Namun memasuki

triwulan IV 2016, kinerja konstruksi diprakirakan

melambat, terkait dengan berkurangnya sumber

pendanaan proyek-proyek pemerintah yang

dibiayai anggaran Provinsi dan Kab/Kota.

Sumber : Liaision, Bank Indonesia

Grafik IV.7. Likert Scale Harga Jual Sektor Bangunan

Kinerja lapangan usaha konstruksi sepanjang

tahun 2016 tumbuh lebih lambat dibandingkan

tahun 2015. Secara spasial, keterbatasan

kapasitas fiskal daerah akibat berkurangnya

alokasi dana bagi hasil (DBH) seiring melemahnya

harga komoditas, mendorong perlambatan

pertumbuhan lapangan usaha konstruksi di

semua wilayah KTI. Selain itu, langkah efisiensi

Pemerintah melalui penundaan dana alokasi

umum (DAU) juga semakin membatasi ruang

fiskal di daerah. Namun demikian, kinerja

kontruksi secara umum tetap tumbuh positif

karena masih berjalannya proyek-proyek

strategis multiyears.

Page 60: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

52

Perdagangan

Pada triwulan III 2016, pertumbuhan lapangan

usaha perdagangan di KTI mengalami

perlambatan, dari 7,3% (yoy) pada triwulan

sebelumnya menjadi 6,9% (yoy). Secara spasial,

perlambatan terjadi di wilayah Kalimantan

terutama di Kalimantan Timur dan Kalimantan

Barat serta Balinusra. Perlambatan sektor

perdagangan dipengaruhi oleh lesunya

perdagangan komoditas, yang terindikasi dari

kenaikan stok pertanian dan pertambangan.

Selain itu, perlambatan sektor perdagangan juga

dipengaruhi oleh aktivitas konsumsi pemerintah

yang turun cukup signifikan.

Sumber : Liaison Bank Indonesia

Grafik IV.8. Likert Scale Investasi

Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha

perdagangan diprakirakan masih dalam tren

perlambatan. Secara spasial, perlambatan

diperkirakan terjadi di wilayah Sulampua akibat

masih lesunya perdagangan komoditas.

Sementara di wilayah Balinusra, pertumbuhan

sektor perdagangan cenderung stabil pada level

tinggi yang didukung oleh peningkatan kinerja

pariwisata. Berbagai kebijakan pro-tourism

menjadi pendorong tingginya pertumbuhan

sektor perdagangan Balinusra.

Secara keseluruhan, kinerja lapangan usaha

perdagangan 2016 mengalami peningkatan.

Peningkatan sektor perdagangan diprakirakan

terjadi di wilayah Sulampua dan Balinusra,

sementara di wilayah Kalimantan cenderung

stabil. Peningkatan pada sektor perdagangan

sejalan dengan akselerasi konsumsi rumah

tangga yang terkonfirmasi oleh hasil liaison dan

SKDU Bank Indonesia yang meningkat dibanding

tahun 2015.

Perkembangan Inflasi

Laju inflasi KTI triwulan III 2016, menurun

dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 4,26%

(yoy) menjadi 3,47% (yoy). Hal ini disebabkan

oleh terkendalinya inflasi volatile foods dan inflasi

inti (core inflation). Bertambahnya supply

komoditas pangan akibat panen beras dan

komoditi hortikultura di sejumlah daerah mampu

menahan tekanan inflasi volatile foods meski di

tengah tekanan permintaan di hari raya dan

musim liburan. Sementara inflasi inti relatif stabil

di dukung oleh minimalnya tekanan imported

inflation seiring dengan nilai tukar yang

terkendali. Sementara itu, komponen

administered prices mencatat peningkatan

sepanjang triwulan III 2016 terutama untuk

komoditas angkutan udara. Tingginya permintaan

pada periode hari besar keagamaan dan liburan

menjadi salah satu penyebab naiknya inflasi

angkutan udara di KTI.

Secara spasial, inflasi triwulan III 2016 di

sebagian besar provinsi di KTI masih tetap

terjaga pada kisaran sasaran inflasi nasional.

Inflasi tahunan terendah terjadi di Sulawesi Utara

(2,28% yoy), Gorontalo (2,77% yoy) dan Maluku

(2,90% yoy). Rendahnya inflasi di daerah tersebut

terutama disebabkan oleh kecukupan pasokan

pangan di tengah permintaan yang cukup

moderat pada periode hari raya dan musim

liburan.

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik IV.9. Perkembangan Inflasi Spasial KTI

Page 61: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

53

Mengawali triwulan IV 2016, pada Oktober 2016

KTI mencatat deflasi 0,12% (mtm). Deflasi pada

periode lebaran dan musim liburan ini berbeda

dengan pola historis dalam 3 tahun terakhir yang

selalu mengalami inflasi dengan rata-rata 0,53%

(mtm). Penyumbang utama deflasi Oktober 2016

adalah beberapa komoditas pangan seperti

bawang merah, daging ayam ras dan cabai rawit

serta tarif ponsel dan emas perhiasan.

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik IV.10. Perkembangan Disagregasi Inflasi KTI

Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia

Grafik IV.11. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas

Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh

provinsi di KTI masih berada di bawah 2% (ytd)

sehingga di akhir tahun diprakirakan berada

dalam rentang sasaran 4%±1% (yoy). Kondisi

tersebut sejalan dengan perkembangan harga

terkini yang menunjukkan inflasi masih relatif

terkendali. Namun masih terdapat risiko yang

perlu diwaspadai, khususnya dari gangguan

pasokan dan distribusi komoditas pertanian dan

perikanan tangkap sebagai dampak fenomena La

Nina pada periode pertengahan triwulan. Di akhir

triwulan, tekanan inflasi diprakirakan akan

kembali meningkat khususnya pada barang

kebutuhan pokok dan tarif angkutan yang

disebabkan oleh meningkatnya permintaan

menjelang Natal dan Tahun Baru. Di samping itu,

risiko dari nilai tukar Rupiah yang kembali

mengalami depresiasi berpotensi mempengaruhi

harga imported inflation meski dampaknya relatif

minim.

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik IV.12. Ekspektasi Harga Konsumen

Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut,

secara tahunan inflasi KTI pada triwulan IV 2016

diperkirakan sebesar 3,22% (yoy), lebih rendah

dibandingkan periode sebelumnya maupun

tahun 2015. Prakiraan tingkat inflasi yang rendah

tersebut juga tidak terlepas dari berbagai upaya

pengendalian inflasi yang telah dilaksanakan

sebagaimana arahan Presiden pada Rapat

Koordinasi Nasional (Rakornas) VII Tim

Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan

kesepakatan bersama, yang di antaranya

mencakup: (i) program perluasan dan terobosan

stabilisasi harga yang didukung oleh alokasi

anggaran yang memadai melalui perumusan

program stabilisasi harga yang mengacu pada

roadmap pengendalian inflasi sebagai salah satu

sasaran pembangunan dalam Rencana Kerja

Pembangunan Daerah (RKPD); (ii) percepatan

pembangunan infrastruktur daerah yang dapat

mendukung kelancaran distribusi pangan yang

ditindaklanjuti melalui dukungan Pemda berupa

pembangunan fasilitas infrastruktur untuk

mendukung program tol udara; (iii) memperkuat

kerjasama antar daerah serta perluasan

kelembagaan TPID; serta (iv) penguatan

koordinasi dan kebijakan untuk memastikan

ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi

Page 62: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

54

masyarakat dengan memperkuat peran Bulog

dan BUMD pangan sebagai stabilator harga di

daerah.

Stabilitas Keuangan Daerah

Identifikasi & Pengukuran Sumber Kerentanan

Secara keseluruhan, sumber kerentanan dari sisi

eksternal tetap perlu mendapatkan perhatian

karena tingginya pangsa ekspor KTI yang

berbasis komoditas SDA. Belum pulihnya

perekonomian dunia di tengah persaingan pasar

yang semakin ketat, membuat permintaan ekspor

melemah. Dari sisi domestik, adanya penundaan

DAU berpotensi memberi tekanan tersendiri bagi

sistem keuangan di daerah. Namun demikian,

perkembangan kurs, suku bunga dan inflasi dinilai

masih dalam kondisi yang baik.

Sejalan dengan masih rendahnya harga dan

permintaan, kinerja keuangan korporasi terbuka

di KTI yang berbasis komoditas turut melemah.

Pelemahan terutama terjadi pada korporasi

dengan komoditas migas, batubara, dan produk

logam di Kalimantan dan Sulampua. Meski

demikian, kemampuan bayar di semua industri

KTI dinilai masih berada dalam level yang baik,

kecuali pada korporasi produk logam.

Tabel IV.2. Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka

Sumber: Bloomberg (diolah)

Penurunan aktivitas korporasi berbasis

komoditas tidak berpengaruh signifikan

terhadap kinerja keuangan rumah tangga di KTI,

yang tercermin dari masih cukup baiknya indeks

penghasilan dan kemampuan bayar saat ini.

Indeks penghasilan KTI saat ini tercatat masih

cukup baik, yaitu di atas 100 poin. Adapun

terdapat sumber kerentanan yang didorong

pesimisme konsumen terhadap kemampuannya

untuk memenuhi kebutuhan serta adanya

perkiraan peningkatan posisi pinjaman. Di tengah

sumber kerentanan tersebut, kemampuan bayar

rumah tangga dinilai masih cukup baik yang

didukung oleh penurunan level DSR rumah

tangga.

Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia

Grafik IV.13. Indeks Penghasilan Saat Ini

Ketahanan Sektor Korporasi

Seiring tertekannya kinerja keuangan korporasi

terbuka, khususnya tambang, intermediasi serta

kualitas kredit perbankan kepada sektor

korporasi turut menunjukkan perlambatan pada

triwulan III 2016. Dengan kondisi korporasi

terbuka yang belum membaik secara signifikan,

perbankan dinilai tetap berhati-hati dalam

melakukan penyaluran kredit, khususnya ke

sektor pertambangan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.14. Pertumbuhan Kredit Sektor Korporasi

Pertumbuhan kredit korporasi pada triwulan III

2016 tumbuh melambat dari 7,12% (yoy)

menjadi 4,18% (yoy). Fenomena perlambatan

yang dialami, terjadi baik pada kredit modal kerja

maupun kredit investasi. Secara spasial,

perlambatan terjadi baik di Sulampua, Balinustra

maupun Kalimantan. Bahkan, kredit di

Q1 Q2 Q1 Q2 Q1 Q2 Q1 Q2 Q1 Q2

Kalimantan -4.7 -4.1 2.0 2.0 0.7 0.7 1.6 1.4 305.3 300.3

Balinusra 3.8 3.8 0.5 0.6 1.5 1.2 9.9 8.7 51.9 49.2

Sulampua -2.1 -2.2 1.0 1.0 1.4 1.3 0.1 -0.3 352.9 399.8

DSRWilayah

ROA (%) DER (%) CR (%) ICR

Page 63: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

55

Kalimantan pada periode laporan tercatat -0,92%

(yoy).

Perlambatan terjadi hampir di seluruh sektor

penerima kredit. Masih lemahnya aktivitas di

korporasi tercermin dari melambatnya

permintaan kredit di sektor primer. Bahkan,

kredit sektor pertambangan mengalami

pertumbuhan negatif hingga mencapai -17,01%

(yoy). Demikian pula di sektor tersier dan

sekunder permintaan kredit masih lemah.

Perlambatan juga diikuti dengan kenaikan risiko.

Selain permintaan kredit yang lemah, kualitas

kredit juga mengalami penurunan di tengah

rendahnya permintaan komoditas global. NPL

tercatat meningkat dari 5,96% menjadi 6,16%.

Secara sektoral, peningkatan NPL disebabkan

oleh sektor pertambangan, industri dan

perdagangan. Tingkat NPL korporasi yang sudah

berada di atas batas indikatif 5% didorong oleh

NPL sektor tambang (14,32%), industri (10,11%),

konstruksi (8,06%) dan perdagangan (5,45%).

Secara spasial, beberapa provinsi yang tercatat

memiliki angka NPL di atas 5% adalah Bali

(5,85%), Sulsel (5,53%), Papua (12,51%), Kalbar

(7,45%), dan Kaltim (9,13%).

Tabel IV.3. Pertumbuhan dan NPL Kredit Sektoral Korporasi

Sumber: Bank Indonesia

Lesunya aktivitas juga membuat DPK sektor

korporasi melambat dari 10,91% (yoy) menjadi

7,25% (yoy). Perlambatan penghimpunan dana

disebabkan oleh perlambatan tabungan dan

kontraksi giro. Di sisi lain, pertumbuhan deposito

mengalami percepatan dari 5,06% (yoy) menjadi

15,19% (yoy). Secara spasial, perlambatan

penghimpunan DPK terjadi baik di Sulampua,

Balinusra maupun Kalimantan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.15. Pertumbuhan DPK Sektor Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Di tengah kondisi korporasi yang tertekan,

kinerja kredit rumah tangga masih dapat terjaga

dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan

tingkat NPL yang masih rendah. Meski demikian,

perubahan stance kebijakan moneter melalui

pelonggaran LTV dan FTV serta adanya

kecenderungan penurunan suku bunga belum

secara signifikan mendorong pertumbuhan kredit

akibat daya beli yang masih belum kuat. Secara

spasial, perlambatan terjadi di Kalimantan dan

Balinusra, sementara kredit rumah tangga di

Sulampua tumbuh tinggi dengan tren meningkat.

Kredit rumah tangga meningkat dari 9,74% pada

triwulan II 2016 menjadi 9,83% pada triwulan III

2016. Akselerasi penyaluran kredit rumah tangga

utamanya disumbang oleh kredit multiguna yang

meningkat dari 14,03% menjadi 17,19%. Namun,

pertumbuhan yang lebih tinggi tertahan oleh

perlambatan kredit perumahan dan kredit

kendaraan bermotor (KKB) yang tumbuh

melambat.

Penyaluran KPR melambat di semua tipe rumah.

Rumah tipe ≤21 turun dari 1,88% (yoy) menjadi -

3,31% (yoy). Demikian pula rumah tipe >70 turun

dari 3,31% (yoy) menjadi -2,41% (yoy). Di sisi lain,

kredit rumah tipe menengah, yakni 22 s.d 70

masih tetap tumbuh tinggi walaupun melambat

dari 12,23% (yoy) menjadi 10,98% (yoy).

Risiko kredit rumah tangga masih terjaga meski

sedikit meningkat. Rasio NPL untuk kredit rumah

tangga tercatat meningkat ke level 1,73% atau

sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya

I II III I II III

Total 7.23 7.06 7.12 4.18 4.98 5.10 5.96 6.16

Pertanian 7.40 10.00 7.31 10.02 1.02 0.63 0.62 0.59

Perikanan 7.44 5.09 6.56 -10.20 1.66 1.65 0.24 0.37

Tambang -11.62 -10.82 -6.23 -17.01 7.67 8.39 12.58 14.32

Industri 28.56 21.41 18.41 15.93 6.78 7.12 9.31 10.11

Konstruksi 14.09 8.87 8.33 7.58 7.58 8.35 8.19 8.06

Perdagangan 10.56 9.19 11.59 3.17 4.74 4.71 4.60 5.45

Akmamin 19.12 23.90 19.51 17.67 2.62 4.40 4.72 4.67

Growth % yoy % NPL

Sektor 2016 20162015 2015

Page 64: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

56

senilai 1,65%. Kenaikan risiko kredit didorong

oleh kredit perumahan, sedangkan KKB dan

multiguna tercatat tidak setinggi sebelumnya.

Kenaikan NPL perumahan tidak lepas dari situasi

makroekonomi di KTI yang belum sepenuhnya

pulih. Secara spasial, kenaikan NPL terjadi di

semua wilayah dengan tingkat NPL tertinggi

berada di Kalimantan sebesar 2,27% yang diikuti

oleh Sulampua sebesar 1,73% dan Balinusra

sebesar 1,08%.

Tabel IV.4. Pertumbuhan dan NPL Kredit RT

Sumber: Bank Indonesia

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.16. Pertumbuhan DPK Perseorangan

Pada sisi DPK, penghimpunan DPK perseorangan

melambat dari 13,04% (yoy) menjadi 9,88%

(yoy) sejalan dengan melambatnya DPK sektor

korporasi dan terbatasnya kenaikan pendapatan

rumah tangga. Perlambatan penghimpunan DPK

disebabkan oleh perlambatan tabungan. Di sisi

lain, giro dan deposito mengalami percepatan

pertumbuhan. Secara spasial, perlambatan

terjadi baik di Sulampua, Balinusra maupun

Kalimantan.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran Non Tunai

Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring

Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan

III 2016 tetap tumbuh tinggi. Volume transaksi

SKNBI tercatat mencapai 2,3 juta transaksi

dengan nominal Rp86 triliun. Sekalipun

melambat dibanding triwulan sebelumnya yang

mencapai 102,27% (yoy), nominal transaksi

tersebut masih mencatatkan pertumbuhan yang

tinggi yaitu sebesar 49,98% (yoy). Fenomena

perlambatan terjadi di semua wilayah akibat

adanya perubahan preferensi masyarakat setelah

turunnya minimum transaksi RTGS dari Rp500

juta menjadi Rp100 juta mulai 1 Juli 2016.

Berdasarkan wilayahnya, nominal transaksi RTGS

cenderung berimbang di ketiga wilayah, yakni

Sulampua 38,62%, Kalimantan 32,58% dan

Balinusra 28,79%.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.17. Nominal Transaksi SKNBI

Pengelolaan Uang Rupiah

Pada triwulan III 2016, wilayah KTI mengalami

net-inflow sebesar Rp5,84 triliun. Net-inflow di

triwulan III berbeda dengan pola historisnya,

yang disebabkan pergeseran Idul Fitri ke triwulan

II 2016. Fenomena ini terjadi di semua wilayah

KTI, yakni Kalimantan, Balinusra dan Sulampua.

Pada triwulan III 2016, pemusnahan uang yang

dilakukan Bank Indonesia dalam rangka

menjaga ketersediaan uang layak edar mencapai

Rp8,62 triliun. Angka tersebut setara dengan

25,14% terhadap inflow uang kartal. Tingginya

Q1'15 Q3'15 Q2'16 Q3'16 Q3'15 Q2'16 Q3'16

Total Kredit RT 13.08 11.42 9.74 9.83 1.68 1.65 1.73

KPR+KPA 11.05 8.71 7.95 5.16 3.10 3.24 3.69

Tipe ≤ 21 2.44 2.38 1.88 -3.31 1.96 1.84 2.18

Tipe 22 sd 70 13.58 11.25 12.23 10.98 3.25 3.20 3.57

Tipe > 70 14.01 8.23 3.31 -2.41 3.29 3.85 4.33

KKB 27.72 4.73 -15.81 -15.90 1.80 1.99 1.76

Roda 4 31.99 9.92 -15.36 -19.11 1.28 1.19 1.52

Roda 2 21.16 11.07 -9.98 -13.73 4.60 6.03 2.33

Multiguna 46.13 33.64 14.03 17.19 1.07 1.00 0.97

Kalimantan 31.99 9.61 6.49 5.27 2.02 2.06 2.27

Sulampua 21.16 11.75 10.97 12.58 1.84 1.69 1.73

Balinusra 46.13 13.10 11.36 9.87 0.90 1.05 1.08

Jenis & PulauPertumbuhan (% yoy) NPL (%)

Jenis Kredit Rumah Tangga

Spasial Kredit Rumah Tangga

Page 65: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

57

rasio tersebut dibandingkan historisnya

menunjukkan komitmen Bank Indonesia untuk

menjaga kualitas uang yang beredar di

masyarakat terus meningkat.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.18. Perkembangan Aliran Uang Kartal

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.19. Posisi Aliran Uang Kartal Per Provinsi

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.20. Perkembangan Aliran Uang Kartal

Jumlah uang palsu (atau yang diragukan

keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank

Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016

tercatat sebanyak 2.325 lembar, turun

dibandingkan triwulan sebelumnya yang

mencapai 3.284 lembar. Upaya mengantisipasi

peningkatan uang palsu melalui edukasi kepada

masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah

akan senantiasa ditingkatkan guna menekan

peredaran uang palsu. Hal tersebut juga akan

didukung oleh penguatan koordinasi dengan

perbankan dan pihak berwajib mengenai

penanganan laporan masyarakat terkait uang

yang diragukan keasliannya.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.21. Perkembangan Temuan Uang Palsu

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Dibandingkan pada 2016, perekonomian KTI

pada 2017 diprakirakan tumbuh meningkat

pada range 4,6%-5,1% (yoy). Secara spasial,

kenaikan pertumbuhan didorong oleh Kalimantan

dan Balinusra, sementara Sulampua cenderung

melambat. Secara umum, peningkatan tersebut

didorong oleh peningkatan di sektor utama yang

mendorong ekspor serta diiringi oleh perbaikan

kapasitas fiskal.

Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi KTI

didukung oleh peningkatan semua komponen

permintaan. Perbaikan utamanya didorong oleh

komoditas pertambangan seperti batubara, dan

komoditi industri seperti CPO dan olahan mineral

sehingga ekspor meningkat. Selain itu, kenaikan

ekspor juga didorong oleh pembebasan visa yang

mendorong sektor pariwisata. Kenaikan sektor

utama tambang memberikan implikasi pada

peningkatan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pada

akhirnya konsumsi Pemerintah. Konsumsi

Pemerintah juga didorong oleh momen Pilkada

serentak. Sejalan dengan perbaikan permintaan

swasta dan perbaikan ruang fiskal, investasi juga

diperkirakan terakselerasi. Fenomena tersebut

terkonfirmasi oleh likert scale investasi yang

menunjukkan adanya perbaikan pada tahun

Page 66: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

58

2017. Perbaikan di ekspor dan konsumsi serta

investasi berujung pada kenaikan daya beli

masyarakat KTI. Selain itu, turunnya suku bunga

juga akan mendorong peningkatan konsumsi

masyarakat yang terkonfirmasi dari kenaikan

likert scale penjualan sektor perdagangan di

tahun 2017.

Akselerasi di sisi sektoral terutama di dorong

oleh membaiknya produksi pada sektor

perkebunan, pertambangan, industri

pengolahan serta sektor pariwisata.

Beroperasinya pembangkit listrik di di beberapa

negara ASEAN seperti di Malaysia dan Vietnam

menjadi pendorong permintaan terhadap

komoditas batubara di Kalimantan. Produksi

mineral juga diperkirakan meningkat sejalan

dengan beroperasinya smelter alumina dan

kenaikan harga komoditas internasional. Kinerja

industri pengolahan meningkat sejalan dengan

operasionalisasi smelter nikel dan pengolahan

produksi ammonia di Sulawesi Tengah.

Sementara, sektor pendukung pariwisata tumbuh

sejalan dengan optimisme perbaikan

pertumbuhan ekonomi global.

Di tengah proyeksi perekonomian KTI yang

tumbuh moderat pada tahun 2017, beberapa

faktor risiko baik dari sisi eksternal maupun

internal masih perlu mendapat perhatian. Dari

sisi eksternal, kondisi pemulihan ekonomi global

yang berjalan tidak sesuai ekspektasi sebelumnya

sehingga berisiko menurunkan harga beberapa

komoditas ekspor terutama energi serta memberi

pengaruh negatif pada kinerja ekspor dan

investasi di KTI. Sementara itu, dari sisi internal,

dampak lanjutan La Nina yang diperkirakan

berlangsung hingga awal triwulan II 2017

berpotensi mengganggu produksi pada lapangan

usaha pertanian, perkebunan dan perikanan.

Selain itu, terdapat risiko kebijakan peningkatan

alokasi DMO, sementara serapan domestik masih

belum kuat, demikian pula ekspor komoditas

mentah yang akan dihentikan sepenuhnya pada

Januari 2017 diperkirakan akan berimbas pada

pelemahan ekspor. Di sisi lain, kondisi fiskal

pemerintah yang masih terbatas serta adanya

pengeluaran untuk Pilkada 2017 berpotensi

menahan investasi swasta dan menggeser jadwal

realisasi pembangunan infrastruktur.

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi KTI di awal tahun 2017

diperkirakan mengalami peningkatan

dibandingkan dengan tahun 2016. Proyeksi laju

inflasi tahunan KTI untuk tahun 2017 berada

pada kisaran 4,2%-4,5% (yoy). Tren peningkatan

terutama disebabkan oleh inflasi volatile food

dan inflasi inti. Terkait inflasi volatile food,

fenomena La Nina diperkirakan masih akan

berlanjut hingga awal tahun 2017 yang

berpengaruh pada produksi tabama, perkebunan

dan perikanan serta gangguan distribusi barang

antar daerah. Sementara itu, inflasi inti akan

meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi

dan infrastruktur yang terus dilakukan. Selain itu,

perlu diwaspadai juga dampak risiko lanjutan

menguatnya nilai tukar USD terhadap barang-

barang konsumsi, khususnya barang impor serta

tren peningkatan harga emas di pasar global.

Pada sisi administered prices, penyesuaian pada

harga beberapa komoditas yang diatur oleh

pemerintah seperti tarif listrik dan cukai rokok

serta kenaikan harga minyak dunia juga

berpotensi memberikan sumbangan terhadap

inflasi KTI.

Meski demikian, fokus pemerintah pusat untuk

mengurangi disparitas harga di KTI diperkirakan

dapat menekan inflasi khususnya pada

kelompok volatile foods. Kebijakan yang

direncanakan akan diimplementasikan pada awal

tahun 2017 adalah gagasan kebijakan tol udara

dan single price BBM. Dengan karakteristik

geografis KTI yang sebagian besar adalah wilayah

kepulauan dan pegunungan, program tol udara

sebagai bentuk subsidi angkutan logistik dan

kebijakan single price BBM diharapkan dapat

menurunkan dan menjaga kestabilan harga

barang khususnya harga pangan.

Page 67: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

59

Perekonomian KTI dan Peran Industri

Wilayah KTI yang secara geografis luasnya hampir

mencapai 70% dari total wilayah Indonesia serta

memiliki kekayaan sumber daya alam yang

sangat melimpah, jika ditinjau dari aspek

ekonomi masih sangat jauh dari seimbang.

Pangsa ekonomi KTI terhadap PDB cenderung

tidak bergerak pada angka 19%, sementara

pangsa industri pengolahan KTI terhadap industri

pengolahan nasional hanya 4%.

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik IV.22. Historis Ekonomi KTI

Perekonomian KTI hingga saat ini memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas

tambang, seperti nikel, alumina, batubara, dan

migas. Fokus kegiatan industri pengolahan juga

masih pada pertambangan. Investasi berbasis

pertambangan pangsanya mencapai 50% dari

total investasi. Ditinjau dari aspek tenaga kerja,

industri tambang penyerapan tenaga kerjanya

juga relatif terbatas. Selain itu, sebagai komoditas

yang tidak terbaharukan, cadangan kandungan

bumi komoditas tambang tercatat terus semakin

berkurang dengan harga komoditas yang juga

sangat berfluktuasi.

Perkembangan industri non-tambang relatif

tertinggal jauh karena minimnya minat investasi

karena lemahnya daya dukung infrastruktur.

Indsutri yang berkembang adalah yang skala

usahanya kecil dengan tingkat teknologi yang

rendah (low technology). Daya saing industri KTI

yang diukur dari “Competitiveness Industrial

Performance (CIP)” masih relatif rendah, dengan

nilai tambah yang terbatas. Hanya terdapat tiga

provinsi di wilayah KTI yang memiliki daya saing

cukup baik yaitu Kalbar, Sulut, dan Bali. Ketiga

provinsi tersebut didukung oleh diversifikasi pada

industri non-tambang yang cukup baik. Oleh

karena itu, diversifikasi sumber pertumbuhan

ekonomi pada industri non-tambang atau industri

yang lebih terbaharukan (renewable), perlu

menjadi satu hal yang mendesak dilakukan

seperti misalnya kakao, sawit, dan perikanan.

Sumber: NWSi, BKPM, diolah

Grafik IV.23. Pangsa Investasi Tambang dan NonTambang

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik IV.24. Pemetaan CIP Provinsi di KTI

Strategi Transformasi Industri KTI

Pemerintah Pusat telah menyusun Rancangan

Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-

2035. Pada tahap pertama, pengembangan

industri akan difokuskan pada peningkatan nilai

tambah sumber daya alam migas dan non migas.

Adapun target yang ingin dicapai pada tahap

pertama ini adalah pertumbuhan industri

nonmigas mencapai 8,5%, dan pangsa tenaga

kerja sektor industri mencapai 15,7%.

Boks 3

Page 68: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

60

Kondisi KTI saat ini, pertumbuhan industri

sebesar 7,7% dengan pangsa tenaga kerja yang

relatif rendah, hanya 6,2%, sehingga masih

dibutuhkan usaha ekstra untuk mencapai target

yang ditetapkan tersebut.

Tabel IV.5. Rencana & Realisasi Pengembangan Industri KTI

* Rata-rata 3 tahun terakhir (2013-2015)

Sumber: RIPIN 2013-1015

Potensi Pengembangan Renewable Industry: Alternatif Sumber Pertumbuhan KTI

Berdasarkan pengolahan Inter-Regional Input

Output (IRIO), didapati bahwa masing-masing

provinsi di KTI memiliki potensi pengembangan

industri masih cukup besar dengan multiplier

effect yang besar. Adapun jenis industri yang

memberikan multiplier effect terbesar di KTI yaitu

industri petrokimia, pengolahan laut, dan

makanan dan minuman.

Hasil asesmen Bank Indonesia, beberapa provinsi

di KTI yang memiliki kesiapan untuk menjadi

pusat pengembangan industri KTI berdasarkan

dampak multiplier effect terbesar yaitu provinsi

Kaltim, Maluku, Sulut, dan Bali. Masing-masing

provinsi tersebut juga tercatat memiliki modal

sumber daya alam yang melimpah, dan didukung

oleh ketersediaan soft dan hard infrastructure

yang cukup memadai.

Komoditas renewable industry yang sangat

potensial untuk dikembangkan lebih lanjut

antara lain kakao, kelapa sawit, dan perikanan.

Pada sektor hulu, Indonesia menempati peringkat

10 besar dunia untuk produksi ketiga komoditas

tersebut. Meski demikian, dalam

pengembangannya tidak lepas dari tantangan

untuk meningkatkan competitiveness industri di

KTI pada Global Value Chain (GVC). Beberapa

tantangan umum pengembangan renewable

industry yakni pemenuhan standarisasi dan

sertifikasi internasional, investasi pada penelitian

dan pengembangan yang sangat minim,

pengurusan perizinan yang masih berbelit, dan

infrastruktur pendukung industri yang masih

minim tersedia.

Tabel IV.6. Industri Potensial di KTI

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Pengembangan Industri Kakao

Indonesia memiliki posisi yang relatif terbatas

dalam GVC industri kakao. Indonesia saat ini

merupakan pengekspor produk Cocoa Butter

yang bernilai tambah rendah dengan pangsa

hanya sebesar 10% dari total perdagangan

sebesar $9,19 miliar. Indonesia merupakan

negara ketiga terbesar pengekspor Cocoa Butter

di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading yang

masing-masing memiliki pangsa 23% dan 16%.

KTI memiliki potensi pengembangan produk

hilirisasi mainstream kakao menuju produk

dengan nilai tambah yang lebih tinggi, seperti

Unsweetened Coconut Powder, atau Malt Extract.

Saat ini KTI menyumbang 54% dari total ekspor

bijih kakao Indonesia yang mencapai USD197 juta

pada 2014. Oleh karena itu, KTI memiliki modal

penting berupa bahan baku. Diharapkan

pengembangan tersebut dapat meningkatkan

sumbangan KTI dalam ekspor produk hilirisasi

kakao Indonesia seperti Cocoa Butter yang saat

ini hanya mencapai 16,11%. Saat ini industri

Cocoa Butter di KTI terpusat di Sulawesi Selatan.

Beberapa tantangan eksternal yang dihadapi

dalam pengembangan industri kakao adalah: (1)

regulasi tarif cukai; (2) risiko automatic detention

Komponen Eksisting* 2020 2025 2035

Pertumbuhan

industri nonmigas

(%)

7.7 8.5 9.1 10.5

Tenaga kerja sektor

industri (%)6.2 15.7 17.6 22.0

Provinsi Jenis IndustriMultiplier Effect

(kali)

Sulawesi Selatan

Maluku

Bali

Sulawesi Tenggara Industri Alat Angkut 10.5

Sulawesi Utara Industri Pengolahan Ikan 13.3

Nusa Tenggara Timur Industri Kayu, Rotan, Bambu 9.7

Nusa Tenggara Barat Industri Besi dan Baja 9.7

Kalimantan Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur Industri Petrokimia 37.7

Industri

Makan-Minum12.2

Industri Kelapa Sawit 10.6

Page 69: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

61

di Amerika yaitu diskon harga sehingga harganya

lebih rendah daripada kakao dari negara lain

akibat mutu yang dipersyaratkan tidak dapat

dipenuhi padahal Amerika merupakan salah satu

konsumen coklat terbesar dunia; (3) proteksi tarif

seperti yang dilakukan Jepang dan Malaysia

berdasarkan nilai tambah produk; dan (4)

diskriminasi pasar yang sering terjadi di benua

Eropa terhadap produk kakao Indonesia yang

diragukan kualitasnya.

Sedangkan tantangan internal yang dihadapi

adalah: (1) revitalisasi yang kurang optimal yang

meski sudah berlangsung selama hampir 5 tahun

namun belum memberikan dampak peningkatan

produksi yang signifikan; (2) belum terdapat

BUMN yang secara khusus mengelola

perkebunan kakao sehingga pengelolaannya

dilakukan seluruhnya oleh rakyat yang skala

ekonominya masih kecil dengan rata-rata

produktivitas yang masih rendah yaitu 660 Kg/Ha;

serta (3) terbatasnya Research & Development

(R&D).

Pengembangan Industri Kelapa Sawit

Berbeda dengan kakao, Indonesia memiliki

posisi yang kuat dalam GVC pada produk kelapa

sawit di sisi hulu. Berdasarkan data Center for

International Development Harvard University

(CID Harvard), Indonesia merupakan eksportir

terbesar Crude Palm Oil (CPO) dengan pangsa

sebesar 57% dari total ekspor dunia yang

mencapai $31,3 miliar. Selain itu, Indonesia juga

merupakan eksportir terbesar Crude Palm Kernel

Oil (CPKO) dengan pangsa sebesar 63% dari total

ekspor dunia yang mencapai $2,9 miliar.

Sedangkan posisi Indonesia dalam GVC hilirisasi

kelapa sawit masih sebatas hilirisasi mainstream,

khususnya Biodiesel dan Fatty Alcohol.

Berdasarkan data ekspor impor Bank Indonesia,

KTI merupakan penghasil bahan baku dalam

rantai produksi olahan sawit Indonesia. Namun,

KTI hanya menyumbang 12,43% dari total ekspor

CPO Indonesia dan hanya 9,09% dari total ekspor

CPKO Indonesia.

Beberapa tantangan eksternal yang dihadapi

dalam pengembangan industri kelapa sawit

adalah negative campaign yang membawa isu

lingkungan hidup terhadap produk CPO Indonesia

seperti yang terjadi di Eropa dan regulasi UU di

Australia yang semula mengkategorikan semua

minyak nabati sebagai vegetable oil, namun

khusus CPO akan dikategorikan “palm oil” pada

label produk dan harus bersertifikat sustainable

(berkelanjutan) sehingga berimplikasi pada

penguatan persepsi CPO menjadi produk yang

tidak ramah lingkungan.

Sedangkan tantangan internal yang dihadapi

adalah minimnya R&D, adanya moratorium

lahan, ancaman kepada keberlangsungan

lingkungan, biaya logistik yang tinggi, serta

banyaknya peraturan daerah terkait penarikan

retribusi yang menghambat industri seperti

retribusi limbah dan retribusi pengurusan izin

gangguan/Hinder Ordonantie (HO).

Pengembangan Industri Ikan

Khusus komoditas ikan, Indonesia adalah salah

satu pemain terbesar untuk ikan segar.

Berdasarkan data CID Harvard, Indonesia

memiliki pangsa 6% terhadap total ekspor ikan

segar dunia yang mencapai USD16,5 miliar,

dimana KTI hanya menyumbang 29,54% dari total

ekspor Indonesia.

Namun hilirisasi produk ikan segar masih terbatas

sehingga belum mempunyai posisi yang kuat

pada GVC. Data CID Harvard menunjukkan untuk

komoditas ikan fillet, Indonesia hanya memiliki

pangsa produk hilirisasi 2,1% dari total ekspor.

Adapun pangsa KTI terhadap ekspor komoditas

ikan fillet tersebut masih sebesar 26,99%.

Pengembangan industri perikanan menghadapi

beberapa tantangan yaitu terbatasnya

infrastruktur, SDM perikanan, dan modal, serta

minimnya unit pengelolaan ikan bersertifikasi.

Namun, pengembangan industri perikanan KTI

berpotensi ditingkatkan melalui penguatan R&D

serta subsidi perkapalan dan perikanan

sebagaimana dilakukan oleh Tiongkok dan

Page 70: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

62

Norwegia yang merupakan produsen perikanan

terbesar.

Transformasi Kebijakan, Infrastruktur Mendukung Transformasi Industri

Transformasi pada komoditas kakao dapat

dilakukan dengan penerapan revitalisasi

perkebunan kakao secara intensif yang bersifat

massal. Pengelolaan massal dilakukan dalam

proses intensifikasi dan peremajaan/rehabilitasi

tanaman yang ditopang pengawasan terkait

implementasinya. Untuk pemasarannya, perlu

dikembangkan pola kemitraan dengan

melibatkan perusahaan di bidang perkebunan

sebagai mitra pengembangan dalam

pembangunan produksi dan pemasaran hasil.

Lebih jauh lagi, pemerintah perlu

mempertimbangkan pembentukan BUMN yang

khusus mengelola kakao untuk dapat menjadi

pemain besar dalam industri kakao dunia.

Perlunya menghilangkan persepsi negatif

terhadap perkebunan kelapa sawit yang sering

dianggap penyebab kerusakan alam. Pemerintah

perlu bekerja sama dengan pelaku usaha serta

lembaga internasional untuk memperbaiki

persepsi tersebut sekaligus mengemukakan solusi

untuk menjamin minimnya dampak kerusakan

alam dengan produksi kelapa sawit. Selanjutnya,

untuk kontinuitas produksi kelapa sawit,

beberapa hal perlu dilakukan yaitu: (i)

intensifikasi; (ii) kejelasan lahan melalui

penerapan one map policy; (iii) penguatan data

peta, emisi gas rumah kaca, dan degradasi; (iv)

penentuan tingkat kekritisan lahan; serta (v)

pemanfaatan jalur hukum untuk memberantas

perkebunan ilegal.

Selanjutnya, transformasi pada komoditas

perikanan perlu difokuskan untuk menjaga

kontinuitas produksi perikanan yang terkendala

oleh adanya illegal fishing. Hal ini memerlukan

konsistensi pemerintah untuk mendukung

terciptanya Sustainable Fishery System yaitu

sistem perikanan yang memperhatikan ekosistem

dan masyarakat sehingga tidak hanya fokus pada

ouput fisik hasil perolehan ikan yang

berkelanjutan (Sustainable Yield). Langkah utama

untuk mendukung hal tersebut yaitu konsistensi

dalam penanggulangan IUU (Illegal, Unreported,

and Unregulated) Fishing.

Selanjutnya, penerapan Sistem Jaminan Mutu

dan Keamanan Hasil Perikanan terhadap Unit

Pengolahan Ikan (UPI) dengan sertifikasi Analisa

Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis atau Hazard

Analysis Critical Control Point (HACPP) oleh para

pelaku usaha dapat menjadi jaminan untuk

memenuhi persyaratan agar produk perikanan

diterima pasar nasional dan internasional.

Tantangan: Pasokan Listrik dan kondisi SDM di KTI.

Daya dukung infrastruktur dasar seperti energi

listrik dan SDM yang berkaulitas masih menjadi

tantangan besar di KTI. Gap pemenuhan listrik

oleh PLN dibandingkan dengan pemenuhan listrik

sendiri oleh pelaku usaha cukup besar. Rata-rata

hanya 1% industri di KTI yang memperoleh

pasokan listrik dari PLN, sementara sisanya harus

mengusahakan sendiri pemenuhan listriknya. Hal

ini menimbulkan tambahan biaya yang cukup

tinggi bagi pengusaha.

Selain itu, kuantitas maupun kualitas tenaga

kerja pada sektor industri di KTI relatif rendah.

Kendala tersebut bersumber dari tingginya biaya

upah tenaga kerja dan masih rendahnya

perpindahan tenaga kerja terdidik ke wilayah KTI.

Lebih jauh lagi, proses up-skilling dan re-skilling

tenaga kerja di KTI juga masih menghadapi

kendala minimnya fasilitas pendidikan dan

kualitas tenaga pengajar untuk dapat memenuhi

permintaan tenaga kerja di industri yang

berorientasi ekspor. Tantangan lainnya yang

masih mengemuka yaitu kontinuitas bahan baku,

infrastruktur jalan dan air bersih.

Page 71: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

63

Untuk menuju negara dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi serta untuk

menghindari middle income trap, Indonesia membutuhkan rata-rata tingkat pertumbuhan yang

lebih tinggi dari yang dicapai selama ini. Berkaca dari kisah sukses negara maju, pengembangan

sektor industri manufaktur yang kuat adalah sangat perlu untuk menjadi tulang punggung

pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Disisi lain, sektor Industri manufaktur

Indonesia dalam dekade terakhir dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang berujung pada

gejala deindustrialisasi, terindikasi dari terus menurunnya pangsa sektor industri manufaktur

terhadap PDB. Untuk meningkatkan kembali produktivitas dan daya saing sektor Industri,

dibutuhkan percepatan transformasi industri manufaktur nasional. Sejumlah tantangan utama telah

teridentifikasi yaitu diantaranya terkait dengan kualitas SDM, produktivitas tenaga kerja yang

rendah, kertersediaan dan harga energi yang kurang mendukung daya saing industri, infrastruktur

dasar pendukung yang masih terbatas, regulasi yang belum terintegrasi antar kementerian dan

lembaga, struktur industri yang kurang seimbang, peran IKM yangmasih rendah, serta sumber

pembiayaan yang belum terdiversifikasi.

Langkah transformasi Industri Manufaktur dapat dilakukan dalam perspektif jangka pendek dan

jangka menengah untuk masing-masing tantangan. Strategi jangka pendek difokuskan pada upaya

de-bottenecking ekonomi dari berbagai sisi baik operasional maupun prosedural. Sementara,

strategi jangka menengah difokuskan pada hal-hal yang bersifat lebih struktural, khususnya terkait

perbaikan dan penguatan struktur industri nasional.

Untuk menuju negara berpendapatan lebih

tinggi sekaligus menghindari middle income

trap (MIT), diperlukan pertumbuhan ekonomi

yang lebih tinggi dan berkesinambungan.

Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan minimal

yang diperlukan untuk mencapai pendapatan

per kapita sebesar USD 8.000 atau kelompok

upper middle income adalah sekitar 7,1% per

tahun. Sementara untuk menjadi negara high

income, Indonesia membutuhkan

pertumbuhan ekonomi sedikitnya sekitar 10%

per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi

yang tinggi tersebut hanya dapat dicapai

apabila didukung oleh peningkatan

produktivitas ekonomi dan optimalisasi

pengembangan pasar domestik.

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas

memerlukan dukungan sektor Industri yang

kuat. Beberapa negara maju seperti Jepang,

Korea Selatan, Jerman dan Amerika Serikat

secara konsisten membangun sektor industri

manufakturnya untuk menjadi motor

penggerak perekonomian. Langkah tersebut

mengantarkan mereka lepas dari MIT dan

menjadi bagian dari negara maju dunia. Di

negara tersebut, pangsa sektor industri dalam

perekonomian lebih tinggi dibandingkan sektor

lainnya. Selain itu, pertumbuhan industri

manufaktur juga terjaga lebih tinggi

dibandingkan pertumbuhan PDB.

Page 72: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

64

Grafik V.1. Skenario Menuju Negara High Income

Dalam struktur perekonomian Indonesia,

sektor industri juga memiliki peran yang

besar meskipun pangsanya terus mengalami

penurunan. Dalam satu dasawarsa terakhir,

pangsa sektor industri turun dari 28% menjadi

sekitar 24% dan kemudian relatif stagnan.

Selain itu, tingkat pertumbuhan sektor industri

cenderung melambat dan sejak 2011 sektor

industri tumbuh di bawah tingkat

pertumbuhan ekonomi. Perlambatan sektor

industri terjadi di tengah menguatnya peran

sektor jasa, keuangan dan pedagangan di

dalam struktur perekonomian yang sejalan

dengan peningkatan jumlah penduduk kelas

menengah.

Grafik V.2. Pertumbuhan Industri & Pertumbuhan PDB

Jawa, yang merupakan konsentrasi industri

dengan pangsa 71% dari total PDB Industri,

terus mengalami penurunan pangsa industri.

Sementara, di Sumatera sektor industri relatif

stagnan meskipun ada kecenderungan

peningkatan. Di KTI, sektor industri mengalami

peningkatan walaupun belum signifikan.

Karakteristik industri di Sumatera dan KTI

sebagian besar masih berbasis Sumber Daya

Alam (SDA) dengan tingkat hilirisasi industri

yang terbatas. Komoditas utama industri di

Sumatera dan KTI antara lain karet, kelapa

sawit dan komoditas pertambangan.

Perkembangan sektor industri di wilayah

Jawa tersebut selama ini didominasi oleh

investasi modal asing, khususnya di Jawa

Barat. Investasi modal asing itu lebih ditujukan

pada sektor padat modal dan berteknologi

menengah tinggi (mis. otomotif). Sementara,

investasi modal dari dalam negeri banyak

ditujukan pada sektor industri padat karya.

Booming harga komoditas pada awal dekade

tahun 2000-an, mendorong pertumbuhan

ekspor komoditas SDA dan berkontribusi

pada penurunan pangsa ekspor komoditas

manufaktur Indonesia. Pada periode 1990

hingga 2000, ekspor komoditas manufaktur

mencapai 65% dari total ekspor. Namun, kini

pangsa ekspor komoditas manufaktur hanya

51,47% dan selebihnya berupa ekspor berbasis

SDA. Bila dilihat dari sisi trade balance,

perubahan struktur ekspor berdampak pada

penurunan surplus trade balance sejak 2011,

antara lain terjadi pada industri barang dari

logam, logam dasar, dan industri kimia. Trade

balance industri-industri tersebut mengalami

penurunan yang signifikan dalam 15 tahun

terakhir. Hanya industri makanan dan

minuman saja yang masih menunjukkan

peningkatan trade balance.

Page 73: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

65

Penurunan ekspor manufaktur juga

disebabkan oleh relatif rendahnya daya saing

produk manufaktur dibandingkan negara

peers16

. Bahkan, sejak 2009 daya saing industri

Vietnam mulai melampaui Indonesia.

Lemahnya daya saing juga terlihat dari pangsa

mayoritas komoditas ekspor Indonesia yang

memperlihatkan kecenderungan menurun,

dimana pertumbuhan ekspor beberapa

komoditas relatif lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan permintaan dunia.

Sumber : Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional

di Era MEA dan Perdagangan Bebas (DKEM, 2015)

Grafik V.3. Pertumbuhan Ekspor Indonesia Vs Pertumbuhan Ekspor Dunia

Salah satu penyebab rendahnya daya saing

produk ekspor manufaktur Indonesia terkait

dengan relatif tingginya Real Effective

Exchange Rate (REER) dibanding beberapa

negara peers. Commodity boom price yang

terjadi pada tahun 2000-an menopang

apresiasi Rupiah, tetapi menurunkan daya

saing produk ekspor sektor tradeable dari sisi

harga jual, khususnya produk manufaktur.

Namun, ketika masa commodity boom

berakhir dan Rupiah mengalami depresiasi,

penurunan REER Indonesia ternyata tidak

sedalam depresiasi Rupiah yang terjadi. REER

Indonesia bahkan cenderung lebih tinggi

dibandingkan negara peers. Hal ini antara lain

terkait dengan tingkat inflasi Indonesia yang

relatif masih tinggi, khususnya inflasi pangan17

.

Dari sisi kesejahteraan, sektor industri

memegang peranan penting dalam

16

Berdasarkan Trade Specialist Index (ADB Economic

Working Paper No.411, 2014) 17

World Bank (2016)

penurunan tingkat kemiskinan dan

pengangguran. Akses yang lebih luas terhadap

pekerjaan formal, khususnya dari

perkembangan industri padat karya, selain

mampu menurunkan tingkat kemiskinan

secara signifikan dari 60% (1970) menjadi

11,3% (1996) juga mampu meningkatkan

pendapatan per kapita. Sektor industri

menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi

setelah sektor pertanian dan perdagangan,

walaupun dalam beberapa tahun terakhir

serapan tenaga kerja sektor industri relatif

stagnan, yaitu berkisar 12%-13% dari jumlah

tenaga kerja. Di sisi lain, dalam beberapa

waktu terakhir, tingkat Total Factor

Productivity (TFP) pekerja Indonesia cenderung

lebih rendah dibanding negara peers.

Sumber : Bank Indonesia, BPS

Grafik V.4. REER Indonesia & Pangsa Industri Terhadap PDB

Sumber : BPS

Grafik V.5. Pertumbuhan Manufaktur dan Tingkat Kemiskinan

Daerah dengan tingkat pengembangan

manufaktur yang lebih baik cenderung

Page 74: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

66

memiliki angka kemiskinan dan

pengangguran yang lebih rendah. Hasil

pemetaan tingkat kemiskinan dan perubahan

tingkat pengangguran pada periode 2000 s.d

2016 menunjukkan bahwa daerah yang

memiliki tingkat kemiskinan dan/atau

penggangguran lebih tinggi merupakan daerah

yang lebih mengandalkan sumber

pertumbuhan perekonomiannya pada

komoditas SDA. Daerah tersebut juga

terindikasi memiliki tingkat pengembangan

manufaktur yang relatif lebih rendah.

Berdasarkan kajian Bank Dunia, manufaktur

berorientasi ekspor mendukung penciptaan

lapangan kerja yang lebih tinggi dibandingkan

dengan komoditas ekspor lainnya. Penciptaan

nilai tambah tenaga kerja ekspor manufaktur

tertinggi berasal dari industri kimia, industri

makanan olahan dan industri permesinan.

Sumber : BPS

Grafik V.6. Tingkat Kemiskinan & Perubahan Tingkat Pengangguran

Namun, seiring dengan makin majunya suatu

negara, maka perkembangan beberapa sektor

lainnya (non-industri manufaktur) yang lebih

bersifat capital intensive antara lain sektor

pertambangan, telekomunikasi dan jasa

finansial, telah mengakibatkan peran industri

sebagai pencipta lapangan pekerjaan

mengalami penurunan secara alamiah. Kondisi

ini berdampak pada peningkatan ketimpangan

kesejahteraan di dalam masyarakat, terindikasi

dari peningkatan Rasio Gini ditengah

pertumbuhan manufaktur nasional yang relatif

stagnan.

Sumber : BPS

Grafik V.7. Tingkat Kemiskinan & Delta Tingkat Pengangguran

Daya Saing Industri

Daya saing industri Indonesia dalam beberapa

tahun terakhir terus mengalami perbaikan

setelah sempat mengalami penurunan.

Berdasarkan Global Competitiveness Index dan

Ease Of Doing Bussiness, perbaikan daya saing

terutama berasal dari perbaikan infrastruktur

dan kemudahan memulai usaha. Dengan

adanya upaya perbaikan yang dilakukan secara

kontinu dan faktor labor cost yang rendah

serta market size yang besar, Global

Manufacturing Competitiveness Index18

memperkirakan Indonesia akan masuk dalam

top 15 lokasi manufaktur yang kompetitif

dalam 5 tahun ke depan, bersama dengan

Malaysia, Thailand, India dan Vietnam.

Sumber : World Economic Forum (2016)

Grafik V.8. Ranking Global Competitiveness Index

Namun demikian, agar industri Indonesia

lebih kompetitif, maka upaya perbaikan daya

saing perlu terus dilakukan. Peningkatan daya

18

Global Manufacturing Competitivess Index

(Deloitte,2016)

Page 75: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

67

saing industri ditujukan untuk meningkatkan

efisiensi biaya, kualitas dan kapasitas produksi

yang didukung kemudahan berinvestasi,

dengan memanfaatkan berlimpahnya pekerja

usia produktif yang menjadi bonus demografi

Indonesia.

Sumber : World Bank (2016)

Grafik V.9. Ranking Ease Of Doing Bussiness

Terdapat beberapa area yang perlu dicermati

yaitu yang relatif tertinggal dibandingkan

negara peers seperti terkait efisiensi pasar

tenaga kerja, kesehatan dan pendidikan, serta

kesiapan teknologi. Bahkan, jika dibandingkan

dengan peer terdekat yaitu Vietnam, faktor

kemudahan memulai usaha, pendaftaran

properti, akses pembiayaan dan kepastian

hukum (terkait kontrak) Indonesia masih relatif

lebih lemah. Masih lebarnya perbedaan tingkat

daya saing antar wilayah terutama disebabkan

oleh belum meratanya dukungan infrastruktur

maupun upaya deregulasi dan debirokratisasi

untuk memperbaiki iklim berusaha di daerah.

Tantangan Industri

Untuk mencapai transformasi industri nasional

yang dapat mempercepat peningkatan daya

saing industri, terdapat sejumlah tantangan

yang perlu ditangani terlebih dahulu.

Tantangan tersebut adalah sebagai berikut.

Sumber Daya Manusia (SDM), produktivitas tenaga kerja dan rigiditas pasar tenaga kerja.

Tingginya jumlah angkatan kerja di Indonesia,

bukan berarti pemenuhan kebutuhan industri

dapat dilakukan dengan mudah. Terdapat gap

cukup besar antara spesifikasi tenaga kerja

yang dibutuhkan oleh industri dengan skill

yang dimiliki oleh angkatan kerja. Sekitar 70%

tenaga kerja sektor industri saat ini merupakan

pekerja dengan latar belakang pendidikan

umum (sekolah dasar hingga SMU) sehingga

belum memiliki keahlian khusus yang

dibutuhkan industri. Selain itu, kualitas tenaga

kerja yang belum merata diberbagai daerah

telah menciptakan ketergantungan

pemenuhan tenaga kerja dari daerah tertentu

yang memiliki kualitas pendidikan yang lebih

baik. Lebih jauh, produktivitas tenaga kerja

Indonesia masih tergolong rendah bila

dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan

Vietnam.

Output per tenaker (PDB KOnstan 2005 USD)

Sumber : ILO

Grafik V.10. Produktivitas Tenaga Kerja

Sumber : ILO, BPS

Grafik V.11. Pertumbuhan PDB dan Produktivitas Tenaga Kerja

Industri nasional juga dihadapkan pada pasar

tenaga kerja yang rigid yaitu terkait dengan

biaya pemutusan hubungan kerja yang tinggi,

khususnya biaya kompensasi dan gratuity

Page 76: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

68

(diluar severance payment atau uang

pesangon). Selain itu, peningkatan tingkat

upah yang cenderung signifikan ternyata tidak

sejalan dengan peningkatan produktivitas.

Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab

utama rigid-nya pasar tenaga kerja Indonesia.

Ketersediaan dan harga energi yang kompetitif

Dukungan energi bagi pengembangan industri

masih terbatas. Meskipun tarif listik Indonesia

tergolong kompetitif di bandingkan negara

peers, namun kualitas pasokan listrik masih

perlu ditingkatkan baik dari segi

kontinuitas/stabilitas maupun keterjangkauan

pasokan. Permasalahan pasokan listrik

terutama terjadi pada industri yang terletak di

luar Jawa. Dari 52 perusahaan industri

pengolahan yang disurvei di wilayah Sumatera,

hampir dua per tiganya (67%) harus memenuhi

kebutuhan listriknya secara mandiri.

Sementara itu, kebutuhan akan pasokan gas

industri dihadapkan pada tantangan harga gas

industri yang belum kompetitif dibandingkan

negara lain di kawasan. Kondisi ini antara lain

disebabkan oleh adanya gap supply-demand

yang cukup besar. Padahal, kebutuhan energi

gas untuk industri diperkirakan meningkat

hingga 26-28% dari total kebutuhan energi di

2050.

Efisiensi logistik dan infrastruktur

Efisiensi logistik yang masih rendah dan

kualitas infrastruktur logistik yang belum

merata menyebabkan biaya transportasi dan

distribusi yang tinggi, yang pada gilirannya

meningkatkan biaya produksi. Biaya logistik di

pelabuhan Indonesia masih tergolong tinggi.

Sebagai contoh, biaya terkait Terminal

Handling Charges (THC) Indonesia merupakan

yang tertinggi kedua setelah Singapura,

padahal produktivitas pelabuhannya masih

rendah. Rendahnya produktivitas pelabuhan

terindikasi dari lamanya waktu dwelling time

yang cukup panjang di beberapa pelabuhan

utama. Selain itu, sistem moda transportasi

barang juga masih belum terintegrasi,

sehingga pergerakan arus barang menjadi

kurang efisien.

Adapun biaya logistik khususnya terkait

dengan biaya transportasi dan handling

kontainer memiliki kontribusi sekitar 45% dari

total biaya logistik.

Tabel V.1. Tarif THC Pelabuhan

Sumber : KADIN

Pada transportasi darat, Indonesia juga

tergolong sebagai negara yang memiliki

ketidakefisienan traffic ketiga tertinggi di

dunia. Padahal, sebagian besar transportasi

barang (95%) dilakukan melalui jalur darat.

Moda ini dihadapkan pada tingkat kualitas

jalan yang sangat variatif di berbagai daerah.

Regulasi yang belum terintegrasi dengan baik

Hambatan terhadap proses perizinan &

ketidakpastian hukum dalam berinvestasi di

berbagai daerah masih terjadi, meskipun telah

dilakukan upaya debirokratisasi & deregulasi

yang intensif oleh Pemerintah. Hal ini

disebabkan antara lain oleh tidak selarasnya

percepatan upaya perbaikan regulasi ditingkat

pusat dan daerah. Disinyalir, masih terdapat (i)

banyak Peraturan Daerah (Perda) yang

menghambat investasi; dan (ii) masih terbatas

dan beragamnya tingkat pendelegasian

kewenangan pemberian izin investasi melalui

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai

akibat masih tingginya ego sektoral. Selain itu,

aplikasi sistem online yang masih terbatas dan

20 Feet 40 Feet

Bangkok, Thailand 60 95

Laem ChaBang, Thailand 53 85

Port Klang, Malaysia 76 113

North Port, Malaysia 64 97

Ho Chi Minh, Vietnam 46 69

Haipong, Vietnam 87 135

Manila, Philippines 82 115

Chitagong, Bangladesh 49 75

Tanjung Priok, Indonesia 95 145Port of Singapore 155 235

Negara(USD/Container)

Page 77: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

69

belum adanya standarisasi biaya layanan PTSP

turut meningkatkan risiko ketidakpastian

perizinan investasi. Di tingkat pusat,

pemberian insentif bagi investasi juga masih

belum optimal. Hal ini terlihat dari minimnya

sektor yang menerima tax allowance yang

hanya berjumlah 9 sektor industri dari 143

sektor yang berhak mendapatkannya

(berdasarkan PP No. 18/2015).

Struktur industri yang kurang berimbang

Industri nasional di dominasi oleh jenis industri

kecil, sementara jumlah industri menengah

yang berpotensi menjadi industri besar sangat

minim (fenomena missing middle). Porsi

industri kecil dan menengah di Indonesia

merupakan yang terbesar dibandingkan

Vietnam, Filipina dan Brazil. Kondisi ini

mengindikasikan terjadinya hambatan dan

keengganan industri kecil dan menengah

untuk bertransformasi ke kelas industri yang

lebih tinggi. Fenomena missing middle,

berimplikasi pada dukungan industri antara

dalam memasok kebutuhan industri hilir yang

terbatas, seperti yang terjadi pada industri

tekstil.

Sumber : BPS, diolah

Grafik V.12. Missing Middle19

19

LARGE (>100 Employees), asset > Rp 1 miliar High-

growth Enterprises; MEDIUM (20-100 Employees), aseet Rp 100 jt – Rp 500 jt (Early stage support of Innovative Entrepreneurs), Rp 500 jt – Rp 1 miliar (Venture Capital to scalable social enterprises); SMALL (5- 19 Employees), asset < Rp 100 jt (A lower tier of subsistence enterprises

Selain tantangan keterkaitan antar industri,

juga terdapat tantangan spasial terkait

keterkaitan industri antar daerah. Industri di

Jawa belum memiliki hubungan yang baik

optimal dengan wilayah diluar Jawa. Hal ini

tercermin dari rendahnya porsi pasokan bahan

baku yang berasal dari luar Jawa untuk industri

utama seperti makanan minuman, industri alat

angkut dan TPT. Hubungan yang belum

optimal itu dapat diakibatkan baik oleh belum

berkembangnya sektor industri di luar Jawa

yang mampu mendukung industri di Jawa

maupun oleh transportasi yang belum

memadai.

Permasalahan keterbatasan keterkaitan antar

sektor industri maupun antar wilayah perlu

segera ditangani. Hal ini agar industri nasional

dapat berkembang secara lebih menyeluruh

dengan meminimalisir ketergantungan pada

bahan baku maupun bahan antara dari impor.

Peningkatan peran swasta yang lebih besar

sebagaimana dilakukan di beberapa negara,

dapat dipertimbangkan menjadi salah satu

solusi mendorong perkembangan industri.

Sumber : Input Output (Jethro), diolah

Grafik V.13. Tinjauan Linkages Industri Mesin & Logam Dasar

that struggle to stay afloat and have very poor survival rate)

Page 78: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

70

Grafik V.14. Keterbatasan Linkage : Kasus Industri Tekstil

Tabel V.2. Pembagian Peran Pemerintah - Swasta

*setelah 30 tahun saham pemerintah minoritas

Sumber : KADIN

Penguatan peran dan kemampuan IKM dalam sektor industri

UMKM memiliki peran besar dalam

perekonomian Indonesia, khususnya peran

Industri Kecil Menengah (IKM) dalam

mendukung pengembangan industri

manufaktur. Dalam hal penyerapan tenaga

kerja, IKM memiliki peran yang cukup tinggi.

Namun dibandingkan dengan negara peer,

peran dan keterkaitan IKM dalam industri

manufaktur masih relatif minim. Peningkatan

kapabilitas IKM sangat diperlukan untuk

meningkatkan nilai tambah dan kualitas

produk yang dihasilkan. Namun demikian,

sebagaimana di banyak negara, penguatan

tersebut dihadapkan pada tantangan

keterbatasan modal, bahan baku dan akses

pasar.

Sumber : BPS

Grafik V.15. Pangsa Tenaga Kerja IKM

Sumber : BPS

Grafik V.16. Konsentrasi IKM

Ind. Hulu Ind. Antara Ind. Hilir

China 100% Pemerintah 50-100% Pemerintah 100% swasta

Saudi Arabia 100% Pemerintah 50% Pemerintah 100% swasta

Malaysia > 70% Pemerintah 30-60% Pemerintah 100% swasta

Korea Selatan 100% Pemerintah* 100% Swasta 100% swasta

Industri SekunderNegara

Page 79: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

71

Sumber pembiayaan industri yang lebih beragam

Perkembangan industri nasional belum

memanfaatkan dukungan perbankan secara

optimal. Hal ini terlihat dari pemanfaatan

pembiayaan industri melalui perbankan yang

masih relatif rendah. Kondisi ini dicerminkan

oleh pangsa kredit manufaktur yang hanya

17,5% dari total kredit, lebih rendah dari kredit

sektor PHR (19,6%). Selain itu, berdasarkan

hasil liaison Bank Indonesia dengan pelaku

usaha, diketahui bahwa pelaku industri

cenderung memanfaatkan sumber

pembiayaan di luar perbankan, khususnya

yang menjadi modal kerja. Pembiayaan berasal

dari internal perusahaan maupun perusahaan

induk menjadi pilihan banyak pelaku industri.

Kurang beragamnya sumber pembiayaan dan

“less favourable”-nya iklim investasi pasca

krisis 1998 telah menyebabkan terjadinya

penurunan jumlah plant entry ke sektor

Industri. Kondisi tersebut telah mengakibatkan

perkembangan industri yang terbatas sehingga

perkembangan industri selama ini masih

banyak didominasi oleh para pemain lama.

Sumber : BPS

Grafik V.17. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur

Strategi Pengembangan Industri

Dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi

dalam pengembangan industri nasional, maka

diperlukan strategi kebijakan pengembangan

industri yang fokus dan terintegrasi. Strategi

tersebut hendaknya dapat ditetapkan sebagai

acuan dalam pelaksanaan program berbagai

kementerian dan lembaga terkait, termasuk

menjadi acuan prioritas dalam pentahapan

implementasinya.

Strategi pengembangan industri manufaktur

diarahkan pada hasil yang dapat dicapai dalam

jangka pendek (short term) dan

pengembangan yang bersifat struktural

(medium term). Strategi pengembangan

industri dalam jangka pendek difokuskan pada

upaya de-bottlenecking yang meliputi :

1. Kerjasama Pemerintah, akademisi &

industri dalam menciptakan Sumber Daya

Manusia (SDM) yang handal dan

berkualitas antara lain melalui pendidikan

vokasional (Quick Win Strategy).

Pemerintah dipandang perlu untuk

memfasilitasi dan mendorong

berkembangnya penyelenggaraan

pendidikan vokasi baik oleh pemerintah

maupun swasta. Pendidikan vokasi harus

berbasis pada kebutuhan industri lokal

daerah (link and match). Dengan demikian,

pemenuhan kebutuhan tenaga kerja

sedapat mungkin diperoleh dari angkatan

kerja lokal. Selain itu, upaya up grading

kapabilitas industri dalam rangka

minimalisir gap inovasi teknologi dapat

dilakukan melalui kerjasama riset antara

pihak universitas dengan kalangan industri.

2. Penetapan sistem pengupahan yang

mengakomodir faktor produktifitas.

Gap antara pertumbuhan Upah Minimum

Provinsi (UMP) dan tingkat produktivitas

yang semakin lebar dapat diatasi dengan

mempertimbangkan produktivitas sebagai

salah satu komponen perhitungan upah

minimum. Peningkatan upah yang dapat

mendorong produktivitas dipandang

mampu untuk menjamin sustainabilitas

industri ke depan. Adapun penghitungan

upah minimum dengan menyertakan

komponen produktivitas telah di adopsi

oleh negara seperti Tiongkok dan Kamboja.

Page 80: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

72

Lebih jauh, kebijakan tenaga kerja secara

umum perlu diarahkan untuk dapat

menyerap tenaga kerja lebih banyak,

mengurangi kemiskinan dan ketimpangan

antar daerah.

Tabel V.3. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur

Sumber : Wageindicator.org

3. Penyediaan energi bagi industri yang

berkualitas dan dengan harga yang

kompetetitif (Gas, Tarif Tenaga Listrik,

Batubara, BBM)

4. Peningkatan efisiensi logistik antara lain (i)

perbaikan sistem logistik khususnya terkait

ketersediaan moda transportasi yang

mendukung efisiensi supply chain; serta (ii)

eliminasi biaya tinggi di pelabuhan (a.l tarif

handling container, tarif TKBM pelabuhan)

dan perbaikan durasi dwelling time.

5. Penyederhanaan birokrasi antara lain

melalui (i) aplikasi berbasis IT; dan (ii)

upaya perbaikan iklim investasi di daerah

melalui penghapusan Perda bermasalah

yang berpotensi menghambat investasi.

Selain itu, juga diperlukan (iii) upaya

menghilangkan ekonomi biaya tinggi akibat

berbagai punggutan liar yang terjadi baik

pada saat pengajuan perizinan maupun

saat perusahaan telah beroperasi.

Upaya short term tersebut perlu didukung

oleh koordinasi antar

Kementerian/Lembaga, Pemerintah Pusat-

Daerah, akses pembiayaan yang memadai

dan dukungan aplikasi teknologi. Dari

sejumlah tantangan tersebut, tantangan

terkait ketenagakerjaan yang menjadi salah

satu komponen utama daya saing industri

sangat perlu segera dibenahi (quick win).

Biaya tenaga kerja yang masih relatif lebih

rendah dari peer menjadi faktor penarik

investasi asing yang perlu dioptimalkan. Di

sisi lain, berlimpahnya tenaga kerja usia

produktif sebagai bonus demografi juga

perlu dimanfaatkan dengan baik, sebelum

berakhirnya bonus demografi tersebut

pada tahun 2030-an.

Sementara itu, strategi pengembangan dalam

jangka menengah (medium term) dapat

ditempuh dengan mencakup beberapa upaya

berikut :

1. Reformasi pasar tenaker

Pasar tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid)

perlu menjadi lebih fleksibel dengan

mereformasi beberapa ketentuan

ketenagakerjaan antara lain terkait

ketentuan pengupahan, pesangon, dan

outsourcing dengan tetap memperhatikan

prinsip yang mengutamakan win-win

solution bagi pelaku usaha maupun tenaga

kerja.

2. Penguatan Akses Pasar

a) Penguatan pasar domestik dan

interdependensi industri antar wilayah,

melalui :

Penindakan terhadap masuknya

produk impor ilegal dan pengawasan

ketat terhadap produk luar yang

dibatasi impornya.

Pengembangan zona industri yang

sesuai di tiap provinsi

Mendorong penguatan UMKM/IKM

agar semakin terintegrasi dengan

sektor industri

Memperlancar Perdagangan antar

pulau

b) Memperkuat akses pasar global melalui

(i) peningkatan keterlibatan dalam Global

Page 81: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

73

Value Chain dan Global Production

Network; serta (iii) mendorong

keikutsertaan dalam berbagai

kesepakatan perdagangan dan negoisasi

ulang kesepakatan perdagangan yang

merugikan posisi Indonesia.

c) Reformasi Pasar untuk mewujudkan tata

niaga yang efisien dan adil

3. Penetapan strategi kebijakan industri yang

integratif terkait perbaikan struktur

industri nasional.

a) Upaya mengatasi isu missing middle,

yaitu dengan mendorong dan

memfasilitasi berkembangnya industri

kecil menengah agar dapat “naik kelas”

menjadi industri yang lebih besar. Hal itu

dapat dicapai melalui pemberian insentif

dan bantuan/fasilitasi dari sisi finansial,

riset dan pengambangan, serta akses

pasar kepada mereka.

b) Pengembangan industri unggulan, baik

yang bersifat strategis maupun berbasis

komoditas unggulan. Industri unggulan

tersebut mencakup industri berbasis

agro, industri maritim, industri dasar,

industri dengan tenaga kerja intensif dan

industri kreatif.

4. Penguatan faktor enabler agar dapat

memberikan dukungan optimal bagi

pengembangan industri.

a) Pembiayaan berupa upaya diversifikasi

sumber pembiayaan melalui financial

deepening dan peningkatan akses

keuangan bagi industri.

b) Land Reform berupa (i) penegakan

kepastian hukum terkait pemanfaatan

lahan melalui penetapan rencana tata

ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Detil

Tata Ruang (RDTR) yang menyeluruh di

daerah; dan (ii) implementasi one map

policy sebagai dasar pengambilan

kebijakan optimasi pemanfaatan lahan.

c) Infrastruktur dan Konektivitas berupa

perbaikan infrastruktur berkelanjutan

khususnya terkait penyediaan energi dan

konektivitas dalam rangka mendukung

pengembangan Kawasan Ekonomi

Khusus dan Kawasan Industri prioritas

serta kelancaran transportasi barang

antar wilayah.

Page 82: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

74

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 83: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

75

Page 84: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

76

I II III IVp

PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 4.2 4.5 3.9 4.6 3.9 - 4.4 4.6 - 5.1

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.4 5.0 5.2 5.5 4.9 5.6 5.1 - 5.6 5.3 - 5.7

Konsumsi LNPRT 10.9 2.0 6.4 5.2 5.0 5.8 5.3 - 5.8 5.0 - 5.4

Konsumsi Pemerintah 2.2 4.9 1.7 7.5 -5.8 1.4 0.6 - 1.1 3.6 - 4.0

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.0 3.1 4.9 6.0 4.5 5.2 4.9 - 5.4 5.5 - 5.9

Ekspor -1.4 -3.0 -16.1 -19.3 -10.8 3.2 1.4 - 1.8 10.8 - 11.3

Impor -2.1 -5.7 -25.4 -31.2 -9.4 4.6 1.7 - 2.2 12.2 - 12.7

Net Ekspor Antar Daerah 2.0 2.7 0.0 -8.4 3.1 -6.8 (0.1) - (0.6) 4.6 - 5.1

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 3.6 3.7 4.2 3.6 4.3 3.7 - 4.2 4.4 - 4.9

Pertambangan dan Penggalian -1.5 -2.8 -0.8 -1.9 -2.8 -0.8 (1.9) - (1.4) (0.5) - 0.0

Industri Pengolahan 4.6 3.8 4.7 3.5 3.7 4.1 3.7 - 4.2 4.6 - 5.1

Pengadaan Listrik dan Gas 7.6 3.3 8.3 11.9 10.8 7.1 9.4 - 9.9 8.0 - 8.5

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang5.0 4.9 3.3 3.3 5.3 5.6 4.1 - 4.6 4.6 - 5.1

Konstruksi 7.0 4.2 5.8 6.4 5.8 4.9 5.5 - 6.0 6.1 - 6.6

Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi

Mobil dan Sepeda Motor5.9 4.4 5.0 6.2 6.4 4.9 5.9 - 5.9 5.9 - 6.4

Transportasi dan Pergudangan 6.5 7.2 6.2 7.8 6.5 7.3 6.3 - 6.8 6.6 - 7.1

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.7 7.7 7.6 8.2 8.0 8.4 7.9 - 8.4 6.8 - 7.3

Informasi dan Komunikasi 7.5 8.5 8.0 8.7 8.8 8.0 8.0 - 8.5 6.4 - 6.9

Jasa Keuangan dan Asuransi 3.7 4.3 6.1 9.0 6.1 4.7 6.2 - 6.7 6.3 - 6.8

Real Estate 6.6 5.8 4.9 5.5 6.3 8.1 6.0 - 6.5 5.5 - 6.0

Jasa Perusahaan 6.7 5.8 5.3 4.9 5.5 5.9 5.2 - 5.7 6.1 - 6.6

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib6.1 7.2 5.4 9.5 3.8 6.9 6.4 - 6.9 6.2 - 6.7

Jasa Pendidikan 8.1 7.0 6.2 7.6 5.3 5.4 6.0 - 6.5 6.0 - 6.5

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7.4 7.5 6.7 6.0 3.8 6.6 5.8 - 6.3 6.8 - 7.3

Jasa lainnya 6.7 7.5 6.0 5.7 6.3 8.1 6.2 - 6.7 5.7 - 6.2

PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 4.2 4.5 3.9 4.6 3.9 - 4.4 4.6 - 5.1

Provinsi Aceh 1.5 -0.7 3.6 3.5 2.2 3.5 2.7 - 3.2 2.8 - 3.3

Provinsi Sumatera Utara 5.2 5.1 5.0 5.7 5.3 5.3 5.0 - 5.5 5.1 - 5.6

Provinsi Sumatera Barat 5.9 5.4 5.5 5.8 4.8 5.8 5.2 - 5.7 5.2 - 5.7

Provinsi Riau 2.7 0.2 2.3 2.4 1.1 2.7 1.7 - 2.2 3.7 - 4.2

Provinsi Jambi 7.4 4.2 3.4 3.6 4.0 4.1 3.6 - 4.1 3.9 - 4.4

Provinsi Kepulauan Riau 6.6 6.0 4.5 5.4 4.6 5.8 4.7 - 5.2 4.8 - 5.3

Provinsi Sumatera Selatan 4.7 4.5 5.0 5.1 4.8 5.5 4.7 - 5.2 5.7 - 6.2

Provinsi Bengkulu 5.5 5.1 5.0 5.4 5.2 5.2 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5

Provinsi Lampung 5.1 5.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5

Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.7 4.1 3.3 3.7 3.8 4.0 3.5 - 4.0 3.9 - 4.4

Inflasi IHK (%,yoy) 8.62 3.05 5.71 3.71 5.06 3.89 3.89 3.91 - 4.41

Provinsi Aceh 8.08 1.53 3.55 2.34 3.65 3.46 3.46 3.56 - 4.06

Provinsi Sumatera Utara 8.17 3.24 7.16 4.32 7.38 6.41 6.41 3.82 - 4.32

Provinsi Sumatera Barat 11.57 1.08 6.62 3.23 6.13 5.11 5.11 4.23 - 4.73

Provinsi Riau 8.64 2.65 4.42 1.92 4.07 4.09 4.09 4.25 - 4.75

Provinsi Kepulauan Riau 7.59 4.40 5.59 3.85 3.87 3.86 3.86 3.78 - 4.28

Provinsi Jambi 8.75 1.37 4.95 3.38 4.99 4.89 4.89 3.89 - 4.39

Provinsi Sumatera Selatan 8.48 3.10 5.05 4.37 4.22 3.88 3.88 3.65 - 4.15

Provinsi Bengkulu 10.85 3.25 5.93 5.47 5.72 5.49 5.49 4.25 - 4.75

Provinsi Lampung 8.09 4.34 5.29 3.16 2.89 2.19 2.19 3.89 - 4.39

Provinsi Kep. Bangka Belitung 9.04 3.27 5.50 6.21 5.04 4.98 4.98 4.51 - 5.01

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 2014 20152016

2016p 2017p

Page 85: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

77

I II III Ivp

PDRB (%,yoy) 5.6 5.5 5.3 5.8 5.6 5.7 5.4 - 5.8 5.5 - 5.9

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.5 4.9 5.2 5.1 5.2 4.9 - 5.3 5.2 - 5.6

Konsumsi LNPRT 12.7 -4.0 6.0 6.2 9.7 9.8 7.8 - 8.2 6.0 - 6.4

Konsumsi Pemerintah 2.7 4.2 8.0 13.0 -2.9 -0.9 3.0 - 3.4 4.3 - 4.7

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 4.3 4.1 4.7 4.9 5.0 4.5 - 4.9 5.3 - 5.7

Ekspor 3.0 -1.7 0.9 5.3 -3.3 -0.5 0.4 - 0.8 1.3 - 1.7

Impor 1.2 -9.0 -5.8 -4.8 -4.1 -1.5 (4.3) - (3.9) (0.1) - 0.3

Net Ekspor Antar Daerah -4.1 -10.7 -7.4 -16.9 7.2 22.7 (1.7) - (1.3) (6.9) - (6.5)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 3.4 -0.7 2.6 4.5 3.6 2.3 - 2.7 3.0 - 3.4

Pertambangan dan Penggalian 3.1 5.1 8.8 6.3 12.4 4.2 7.7 - 8.1 1.6 - 2.0

Industri Pengolahan 5.8 4.6 4.5 4.6 4.4 4.9 4.4 - 4.8 5.2 - 5.6

Pengadaan Listrik dan Gas 4.3 -3.9 1.9 -0.4 -1.6 -4.1 (1.3) - (0.9) 1.7 - 2.1

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,

Limbah dan Daur Ulang3.3 4.2 3.1 4.7 5.9 5.3 4.6 - 5.0 4.1 - 4.5

Konstruksi 5.5 4.8 3.8 4.0 3.4 4.4 3.7 - 4.1 4.8 - 5.2

Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi

Mobil dan Sepeda Motor4.5 4.2 4.9 5.1 4.4 4.8 4.6 - 5.0 5.0 - 5.4

Transportasi dan Pergudangan 8.7 8.1 7.9 7.3 9.5 9.3 8.3 - 8.7 7.3 - 7.7

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.2 6.9 7.8 6.7 7.4 6.8 7.0 - 7.4 6.1 - 6.5

Informasi dan Komunikasi 11.0 9.8 9.9 9.9 10.0 9.6 9.7 - 10.1 8.6 - 9.0

Jasa Keuangan dan Asuransi 4.5 9.5 10.2 13.9 9.4 7.9 10.1 - 10.5 8.0 - 8.4

Real Estate 6.1 5.2 5.6 5.6 5.6 6.0 5.5 - 5.9 5.9 - 6.3

Jasa Perusahaan 8.8 7.6 7.3 7.4 8.0 8.1 7.5 - 7.9 7.8 - 8.2

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

dan Jaminan Sosial Wajib1.3 3.7 3.5 6.5 1.4 2.8 3.3 - 3.7 2.8 - 3.2

Jasa Pendidikan 7.3 7.3 7.5 7.7 6.3 6.6 6.8 - 7.2 6.1 - 6.5

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.9 8.2 8.0 7.5 7.4 7.0 7.2 - 7.6 6.2 - 6.6

Jasa lainnya 7.8 7.1 7.5 7.7 8.3 11.0 8.5 - 8.9 11.4 - 11.8

PDRB (%,yoy) 5.6 5.5 5.3 5.8 5.6 5.7 5.4 - 5.8 5.5 - 5.9

DKI Jakarta 5.9 5.9 5.6 5.9 5.8 5.6 5.5 - 5.9 5.7 - 6.1

Jawa Barat 5.1 5.0 5.2 6.0 5.8 5.8 5.5 - 5.9 5.5 - 5.9

Banten 5.5 5.4 5.1 5.2 5.4 5.5 5.1 - 5.5 5.2 - 5.6

Jawa Tengah 5.3 5.4 4.9 5.7 5.1 5.5 5.1 - 5.5 5.2 - 5.6

DI Yogyakarta 5.2 4.9 4.8 5.5 4.7 5.1 4.8 - 5.2 5.1 - 5.5

Jawa Timur 5.9 5.4 5.5 5.6 5.6 5.7 5.4 - 5.8 5.7 - 6.1

Inflasi IHK (%,yoy) 8.35 3.12 3.93 3.14 2.58 2.85 2.85 3.64 - 4.04

DKI Jakarta 8.95 3.30 3.62 3.08 2.40 2.73 2.73 3.46 - 3.86

Jawa Barat 7.60 2.73 3.78 3.22 2.54 2.96 2.96 3.84 - 4.24

Banten 10.20 4.29 5.70 3.78 3.01 2.90 2.90 4.46 - 4.86

Jawa Tengah 8.21 2.73 4.21 2.96 2.72 2.53 2.53 3.00 - 3.40

DI Yogyakarta 6.59 3.09 3.69 2.94 2.68 2.87 2.87 3.01 - 3.41

Jawa Timur 7.77 3.08 3.71 2.93 2.69 3.03 3.03 3.67 - 4.07

2014 20152016

Tahun Dasar 2010

2016p 2017pIndikator Makroekonomi Daerah

Page 86: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

78

I II III IVp

PDRB (%,yoy) 4.8 5.2 4.2 3.9 5.3 5.2 4.4 - 4.9 4.6 - 5.1

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.2 5.0 5.2 5.5 4.7 5.3 4.9 - 5.4 5.5 - 6

Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga 8.1 3.9 6.8 5.4 4.0 3.2 4.5 - 5.0 5.9 - 6.4

Konsumsi Pemerintah 3.7 5.2 5.0 6.1 (5.9) 0.2 0.7 - 1.2 8.0 - 8.5

Pembentukan Modal Tetap Bruto 7.6 6.3 4.2 2.4 3.9 6.2 4.0 - 4.5 6.0 - 6.5

Ekspor Luar Negeri (9.6) (4.1) (9.1) (7.3) (6.0) 2.2 (5.4) - (4.9) 6.6 - 7.1

Impor Luar Negeri 1.4 (2.3) (10.3) (3.1) (11.6) 2.7 (5.8) - (5.3) 9.7 - 10.2

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.1 4.3 2.1 2.3 4.0 3.5 2.7 - 3.2 4.5 - 5.0

Pertambangan dan Penggalian (0.6) 2.4 (2.4) (3.3) 4.5 3.3 0.3 - 0.8 0.8 - 1.3

Industri Pengolahan 4.3 5.6 9.5 6.3 6.0 6.2 6.7 - 7.2 5.0 - 5.5

Pengadaan Listrik dan Gas 12.8 6.6 6.6 14.2 13.2 12.5 11.4 - 11.9 10.4 - 10.9Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 6.0 3.3 6.0 5.8 6.8 6.4 6.0 - 6.5 5.4 - 5.9

Konstruksi 8.0 7.1 4.5 4.5 5.2 4.9 4.5 - 5.0 5.5 - 6.0Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi

Mobil dan Sepeda Motor 6.8 6.1 6.9 7.3 6.9 6.3 6.6 - 7.1 6.1 - 6.6

Transportasi dan Pergudangan 6.6 6.5 7.2 7.1 7.3 7.7 7.1 - 7.6 6.6 - 7.1

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 7.0 5.9 7.0 7.2 7.5 7.6 7.1 - 7.6 7.4 - 7.9

Informasi dan Komunikasi 8.1 8.4 8.9 8.3 7.8 8.2 8.0 - 8.5 7.8 - 8.3

Jasa Keuangan dan Asuransi 5.8 5.6 7.6 13.1 7.9 8.0 8.8 - 9.3 6.9 - 7.4

Real Estate 7.5 5.9 5.5 4.9 4.0 5.2 4.7 - 5.2 6.5 - 7.0

Jasa Perusahaan 7.6 4.4 5.8 4.3 4.5 5.6 4.8 - 5.3 5.6 - 6.1

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib8.2 8.2 8.2 10.5 2.3 5.7 6.3 - 6.8 6.1 - 6.6

Jasa Pendidikan 8.1 7.7 7.9 8.4 6.6 6.2 7.0 - 7.5 6.1 - 6.6

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.5 8.2 8.0 8.2 7.4 7.3 7.5 - 8.0 7.3 - 7.8

Jasa lainnya 7.5 7.2 7.8 7.8 6.8 7.1 7.1 - 7.6 7.0 - 7.5

PDRB (%,yoy) 4.8 5.2 4.2 3.9 5.3 5.2 4.4 - 4.9 4.6 - 5.1

Provinsi Kalimantan Barat 5.0 4.8 6.0 4.4 5.7 5.6 5.2 - 5.7 5.4 - 5.9

Provinsi Kalimantan Tengah 6.2 7.0 5.2 5.7 6.0 5.9 5.5 - 6.0 6.3 - 6.8

Provinsi Kalimantan Selatan 4.9 3.8 4.0 4.0 3.5 3.6 3.5 - 4.0 3.5 - 40

Provinsi Kalimantan Timur 2.2 (0.9) (0.7) (0.9) 0.2 (0.9) (0.8) - (0.3) (0.4) - 0.1

Provinsi Sulawesi Selatan 7.5 7.1 7.4 8.0 6.8 7.2 7.1 - 7.6 7.5 - 8.0

Provinsi Sulawesi Barat 8.9 7.4 6.3 4.8 6.0 7.6 5.9 - 6.4 6.8 - 7.3

Provinsi Sulawesi Tenggara 6.3 6.9 5.5 6.8 6.0 6.5 5.9 - 6.4 6.6 - 7.1

Provinsi Sulawesi Tengah 5.1 15.6 13.2 15.5 7.6 9.5 11.1 - 11.6 11.7 - 12.2

Provinsi Gorontalo 7.3 6.2 6.7 5.4 7.0 5.9 6.0 - 6.5 5.8 - 6.3

Provinsi Sulawesi Utara 6.3 6.1 6.0 6.1 6.0 6.4 5.9 - 6.4 6.3 - 6.8

Provinsi Maluku 6.6 5.4 5.8 6.3 5.7 6.0 5.7 - 6.2 6.0 - 6.5

Provinsi Maluku Utara 5.5 6.1 5.2 5.7 5.6 5.7 5.3 - 5.8 5.8 - 6.3

Provinsi Papua 3.8 8.0 (0.5) (5.5) 20.6 22.3 9.2 - 9.7 6.0 - 6.5

Provinsi Papua Barat 5.4 4.1 5.4 3.6 3.9 4.7 4.2 - 4.7 4.9 - 5.4

Provinsi Bali 6.7 6.0 6.1 6.5 6.2 6.3 6.0 - 6.5 6.2 - 6.7

Provinsi Nusa Tenggara Barat 5.1 21.2 9.9 9.7 3.5 (1.1) 5.1 - 5.6 5.2 - 5.7

Provinsi Nusa Tenggara Timur 5.1 5.0 5.1 5.4 5.1 5.2 4.9 - 5.4 5.1 - 5.6

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 2014 20152016

2016p 2017p

Page 87: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

79

I II III Okt IVp

Inflasi IHK (%,yoy) 8.15 4.43 4.84 4.26 3.47 3.19 3.22 3.22 4.03 - 4.53

Provinsi Kalimantan Barat 9.43 5.79 4.62 5.25 3.82 3.58 4.16 4.16 4.39 - 4.89

Provinsi Kalimantan Tengah 7.07 4.74 4.56 3.13 3.18 2.24 2.41 2.41 4.31 - 4.81

Provinsi Kalimantan Selatan 7.28 5.15 6.04 5.88 4.73 4.18 4.19 4.19 4.63 - 5.13

Provinsi Kalimantan Timur 7.67 4.89 4.91 4.61 3.81 3.30 3.58 3.58 3.77 - 4.27

Provinsi Sulawesi Selatan 8.61 4.48 5.70 4.30 3.07 3.15 2.92 2.92 4.53 - 5.03

Provinsi Sulawesi Barat 7.89 5.07 5.19 4.29 3.42 3.12 2.58 2.58 4.35 - 4.85

Provinsi Sulawesi Tenggara 8.45 2.27 4.75 4.12 3.28 4.05 3.54 3.54 3.00 - 3.50

Provinsi Sulawesi Tengah 8.84 4.17 6.03 4.21 4.08 2.29 2.82 2.82 5.24 - 5.74

Provinsi Gorontalo 6.14 4.30 5.74 4.89 2.77 2.28 1.98 1.98 2.48 - 2.98

Provinsi Sulawesi Utara 9.67 5.56 4.90 3.67 2.28 0.78 0.84 0.84 2.75 - 3.25

Provinsi Maluku 7.19 6.15 2.22 1.82 2.90 2.64 3.93 3.93 3.95 - 4.45

Provinsi Maluku Utara 9.35 4.52 5.45 3.87 4.05 2.89 2.95 2.95 5.79 - 6.29

Provinsi Papua 9.11 3.59 3.76 5.22 4.72 4.40 3.52 3.52 4.07 - 4.57

Provinsi Papua Barat 6.56 5.34 5.53 3.95 3.99 3.19 4.32 4.32 4.49 - 4.99

Provinsi Bali 8.43 2.75 3.59 2.96 3.18 3.63 3.14 3.14 3.35 - 3.85

Provinsi Nusa Tenggara Barat 7.22 3.43 4.34 4.39 2.94 2.87 3.33 3.33 3.67 - 4.17

Provinsi Nusa Tenggara Timur 7.76 4.92 5.04 5.02 3.07 2.93 2.66 2.66 4.61 - 5.11

2015

Tahun Dasar 2010

20162017pIndikator Makroekonomi Daerah 2016p2014

Page 88: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

80

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 89: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)

Yoga Affandi

Noor Yudanto

Gunawan Wicaksono

Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Ragil Misas Fuadi Agung Budilaksono Rikie Fasha Warsono Rizki Fitrama Erwin Syafi’i Frida Yunita Sinurat Ratu Miana Ulfani Bernad Hasiholan

Page 90: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)
Page 91: Laporan Nusantara November 2016.pdf (10,71 MB)