laporan kajian arah pengembangan klaster nasional … · indonesia dapat menjadi role model yang...

158
LAPORAN KAJIAN ARAH PENGEMBANGAN KLASTER NASIONAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN KAJIANARAH PENGEMBANGANKLASTER NASIONAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI

  • LAPORAN KAjIANARAH PENGEMBANGAN

    KLASTER NASIONAL DALAM RANGKA MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI

  • iv

  • v

    BANK INDONESIA

    1. YUNITA RESMI SARI

    2. IKA TEjANINGRUM

    3. MIRA RAHMAwATY

    4. DARA AYU LESTARI

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    1. DR. AMzUL RIFIN, SP, MA

    2. DR. SAHARA, SP, MSI

    3. DR. RER.POL. HETI MULYATI, S.TP, MT

    4. HASTUTI, SP, MP, MSI

    TIM PENELITI

  • vi

    Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusunan laporan akhir kajian “Arah Pengembangan Klaster dalam rangka Mendukung Pengendalian Inflasi” yang merupakan salah satu amanah yang diberikan kepada kami dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

    Dalam rangka pengembangan UMKM, sejak 2006 Bank Indonesia mulai mengembangkan

    klaster UMKM produsen komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor. Program ini

    bertujuan meningkatkan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster, sehingga pada waktunya

    dapat berdampak pada peningkatan perekonomian daerah. Sejalan dengan perkembangan arah

    kebijakan Bank Indonesia, pengembangan klaster kini lebih diarahkan pada upaya meningkatkan

    supply komoditas penunjang ketahanan pangan, khususnya komoditas volatile food. Hal ini tak lain

    sebagai salah satu upaya Bank Indonesia dalam mendukung pengendalian inflasi.

    Kajian ini disusun untuk memberikan arah pengembangan klaster ke depan sebagai Program

    Pengendalian Inflasi Bank Indonesia. Klaster terbukti berdampak positif terhadap peningkatan

    pendapatan petani dengan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas produksi berkat pendampingan

    serta introduksi teknik dan inovasi budidaya yang lebih baik. Klaster juga mampu mengembangkan

    kelembagaan petani, meningkatkan akses pasar serta pembiayaan. Selanjutnya, untuk mendukung

    pengendalian inflasi, peran klaster perlu diperkuat melalui sinergi positif dengan berbagai program

    Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Model bisnis klaster yang dikembangkan Bank

    Indonesia dapat menjadi role model yang implementatif dan dapat direplikasi di berbagai wilayah

    sehingga dapat mendorong peningkatan kegiatan perekonomian daerah. Arah klaster pengendalian

    inflasi ini selanjutnya adalah terintegrasi dan menjadi instrumen Tim Pengendalian Inflasi Daerah

    (TPID).

    Terima kasih dan apresiasi yang setinggi - tingginya kami sampaikan kepada berbagai pihak

    terutama Kementerian Teknis, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, Kantor Perwakilan Bank Indonesia

    Provinsi Sulawesi Selatan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DI Yogyakarta dan Kantor

    Perwakilan Bank Indonesia Kediri, serta pihak — pihak lain yang telah memberikan partisipasi dan

    kontribusi dalam penyusunan kajian ini.

    KATA PENGANTAR

    KATA PENGANTAR

  • vii

    Akhir kata, kami berharap kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi seluruh Kantor

    Perwakilan Bank Indonesia dalam mengembangkan klaster komoditas ketahanan pangan, serta

    mampu menginspirasi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan Iainnya dalam

    mengembangkan dan mensinergikan berbagai program strategis untuk meningkatkan roda

    perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Jakarta, Juli 2017

    Erwin RijantoDeputi Gubernur Bank Indonesia

    KATA PENGANTAR

  • viii

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 tahun 2009, salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas moneter melalui pengendalian inflasi. Salah satu faktor penyebab inflasi bersumber dari fluktuasi harga volatile foods, di mana tekanan harga dipicu oleh berbagai kendala, antara lain dari sisi produksi, lemahnya kelembagaan petani, inefisiensi struktur pasar, ketidaklancaran distribusi, kurangnya dukungan infrastruktur, serta kebijakan pemerintah.

    Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah melaksanakan program klaster UMKM produsen komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor bekerja sama dengan Pemerintah Daerah maupun Dinas terkait lainnya. Program ini bertujuan mendukung pengembangan ekonomi daerah melalui peningkatan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster. Berbagai intervensi dilakukan Bank Indonesia, meliputi proses usahatani dari hulu sampai hilir antara lain dari aspek budidaya, aspek pengolahan pascapanen, hingga pemasaran produk.

    Seiring dengan perkembangan situasi dan arah kebijakan Bank Indonesia, sejak tahun 2014 pengembangan klaster lebih difokuskan pada komoditas yang mendukung ketahanan pangan, komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods. Melalui program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM untuk memperkecil gap antara supply dan demand sehingga meminimalisir tekanan harga yang mendorong inflasi. Selain itu, program klaster juga bertujuan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) karena melibatkan banyak petani dan UMKM.

    Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat klaster binaan Bank Indonesia, khususnya terkait dengan tiga komoditas penyumbang inflasi di Indonesia yaitu: beras, cabai merah, dan bawang merah. Terdapat tiga besaran tujuan penulisan kajian ini, yaitu: (1) memperoleh arah pengembangan dan penguatan klaster komoditas volatile food Bank Indonesia meliputi analisis dampak dan perancangan skema arah pengembangan klaster yang dapat direplikasi secara nasional; (2) menetapkan roadmap pengembangan klaster (3-5 tahun) serta mengidentifikasi program kerja/intervensi yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan stakeholders terkait; dan (3) memperoleh usulan integrasi klaster secara nasional melalui peningkatan produksi, peningkatan jalur distribusi, dan penguatan sistem logistik dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Untuk menjawab tujuan tersebut, dilakukan survei ke klaster tiga komoditas, yaitu padi (Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan), cabai merah (Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta) dan bawang merah (Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur).

    Program klaster Bank Indonesia memiliki dampak positif bagi peserta klaster terutama petani. Dari klaster BI di tiga lokasi tersebut, dampak paling signifikan adalah meningkatnya rata-rata pendapatan petani yang disebabkan peningkatan jumlah dan kualitas produksi, serta penetapan harga yang lebih baik. Klaster juga terbukti mampu meningkatkan peran kelembagaan dari sisi kelompok tani. Selain

    RINGKASAN EKSEKUTIF

  • ix

    itu, klaster juga mampu membantu petani meningkatkan akses terhadap pasar dan pembiayaan. Dari sisi usahatani, klaster mampu mengembangkan usahatani yang tergambar dari peningkatan produktivitas, akses terhadap pasar input, pemanfaatan dan luas lahan, serta penerapan teknik dan inovasi budidaya yang lebih baik.

    Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa secara umum petani memiliki kemampuan budidaya yang cukup baik karena pengalaman bertani cukup lama. Namun demikian, jiwa kewirausahaan masih relatif rendah sehingga motivasi untuk berkembang masih kecil. Dari sisi peluang, permintaan terhadap padi, cabai, dan bawang merah sangat tinggi baik lokal maupun di daerah lain. Adapun ancaman yang dihadapi adalah rantai pemasaran masih panjang sehingga margin yang diperoleh petani relatif rendah.

    Roadmap klaster disusun dalam jangka waktu 3 – 5 tahun sesuai dengan situasi dan kondisi klaster melalui pendekatan siklus pengembangan klaster. Terdapat 6 (enam) tahapan pada roadmap klaster, yaitu: (1) seleksi/pemilihan klaster, (2) pengenalan, (3) pertumbuhan dan ekspansi, (4) matang/bertahan, (5) replikasi dan (6) phasing out. Adapun strategi pengembangan klaster diarahkan pada peningkatan produktivitas (higher productivity), peningkatan akses pasar (market oriented), serta peningkatan kualitas dan nilai tambah (higher value added) dengan melibatkan seluruh aktor utama yang terhubung dalam rantai nilai (perusahaan input, petani, kelompok tani, pengumpul, pengolah, pedagang, pasar). Untuk itu, beberapa rekomendasi strategi utama berdasarkan Analitycal Hierarchy Process  (AHP) meliputi peningkatan akses pasar, peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik, peningkatan dukungan finansial, capacity building anggota utama klaster, dan optimalisasi database klaster.

    Agar dapat lebih berperan dalam mendukung pengendalian inflasi, program klaster memerlukan integrasi secara nasional serta bersinergi dengan program Pemerintah/Pemerintah Daerah. Klaster diharapkan dapat menjadi suatu role model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah, sehingga dapat memberikan snowing ball effect yang berdampak luas bagi peningkatan kegiatan perekonomian di suatu wilayah. Integrasi klaster dapat memanfaatkan lembaga yang telah ada, yaitu Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), baik level provinsi maupun kabupaten/kota.

    RINGKASAN EKSEKUTIF

  • x

    DAFTAR ISI

    TIM PENELITI v

    KATA PENGANTAR vi

    RINGKASAN EKSEKUTIF viii

    DAFTAR ISI x

    DAFTAR GAMBAR xii

    DAFTAR TABEL xiii

    BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 2 1.3. Tujuan 3 1.4. Ruang Lingkup 4

    BAB II TINjAUAN PUSTAKA 5 2.1. Inflasi 5 2.2. Klaster 10 2.3. Lesson Learned Klaster 12 2.4. Konsep Rantai Nilai (Value Chain) 19 2.5. Manajemen Strategi 23 2.6. Rumusan Strategi dengan Analisis SwOT 25

    BAB III METODE PENELITIAN 29 3.1. jenis, Sumber Data dan Lokasi Penelitian 29 3.2. Metode Analisis 30

    BAB IV GAMBARAN UMUM 41 4.1. Gambaran Umum Lokasi Pilot Project 41 4.2 Gambaran/Karakteristik Umum Responden 45

    BAB V DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAwANG MERAH 49 5.1. Klaster Beras di Kabupatan Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan 49 5.2. Klaster Komoditas Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta 60 5.3. Klaster Bawang Merah di Kabupatan Nganjuk, Provinsi jawa Timur 71 5.4. Dampak Klaster pada Pedagang 89

    DAFTAR ISI

  • xi

    BAB VI ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI 93 6.1. Komoditas Beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan 93 6.2. Komoditas Cabai di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta 98 6.3. Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk, jawa Timur 103

    BAB VII ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS 111 7.1. Landasan Penyusunan Roadmap Klaster 111 7.2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods 113

    BAB VIII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER 123 8.1. Integrasi Klaster 124 8.2. Strategi Pengembangan Klaster 126 8.3. Tahapan Pemilihan Strategi Integrasi Klaster 129

    BAB IX KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIjAKAN 135 9.1. Kesimpulan 135 9.2. Implikasi kebijakan 135

    DAFTAR PUSTAKA 137

    DAFTAR ISI

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1. Determinan Inflasi 8

    Gambar 2. 2. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam Pengendalian Inflasi 9

    Gambar 2. 3. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID 10

    Gambar 2. 4. Pertumbuhan dan Karakter Hubungan pada Siklus Hidup Klaster 16

    Gambar 2. 5. Interaksi antara Ukuran Perusahaan dan Heterogenitas Pengetahuan dalam Siklus Hidup Klaster 17

    Gambar 2. 6. Konsep Value Networks untuk Agro-based Cluster 18

    Gambar 2. 7. Pendekatan Supply Chain 19

    Gambar 2. 8. Pendekatan Value Chain 20

    Gambar 2. 9. Mapping Actor pada Komoditas Tomat di Jawa Barat, Indonesia 21

    Gambar 2. 10. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Volume 22

    Gambar 2. 11. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Value 22

    Gambar 2. 12. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Relative Cost of Processing 23

    Gambar 2. 13. Output Mapping Knowledge Komoditas Kacang Kedelai 23

    Gambar 2. 14. Model Manajemen Strategi 24

    Gambar 4. 1. Produksi Gabah Kering Panen di Kabupaten Soppeng, 2010-2014 41

    Gambar 4. 2. Produksi Bawang Merah tahun 2010-2014 di Kabupaten Nganjuk 44

    Gambar 5. 1. Rantai Nilai Pilot Project Ketahanan Beras di Kabupaten Soppeng 50

    Gambar 5. 2. Saluran Pemasaran Sebelum dan Sesudah Program Klaster 50

    Gambar 5. 3. Bantuan Lantai Jemur dan Rice Milling Unit (RMU) dari Bank Indonesia 51

    Gambar 5. 4. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Klaster BI Soppeng 52

    Gambar 5. 5. Pemasaran Cabai Merah dengan Mekanisme Pasar Lelang Di Kulon Progo 61

    Gambar 5. 6. Saluran Pemasaran cabai di Klaster BI Kulon Progo 62

    Gambar 5. 7. Aktor yang Terlibat dalam Klaster Bawang Merah Nganjuk 75

    Gambar 5. 8. Rantai Pemasaran Bawang Merah Kabupaten Nganjuk 76

    Gambar 5. 9. Komponen Biaya Variabel Terbesar Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 78

    Gambar 5. 10. Waktu Penjualan Bawang Merah 80

    Gambar 5. 11. Tujuan Penjualan Bawang Merah dari Petani Kabupaten Nganjuk 81

    Gambar 5. 12. Proses Penentuan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani 82

    Gambar 5.13. Persepsi Responden terkait Peran Klaster terhadap Produksi Bawang Merah di Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten 86

    Gambar 5. 14. Persepsi responden tentang Peran Klaster terhadap Kestabilan Harga di Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten 87

    Gambar 7. 1. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods 114

    DAFTAR TABEL

  • xiii

    Gambar 8.1. Integrasi Klaster Bank Indonesia 125

    Gambar 8.2 Integrasi Klaster dalam Kaitannya dengan Pengendalian Inflasi di Tingkat Provinsi 126

    Gambar 8.3 Hierarki Strategi Integrasi Klaster Nasional dalam Mendukung Pengendalian Inflasi 130

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi 1

    Tabel 2. 1. Penyebab dan Lokasi Pembentukan Klaster Terbentuk 11

    Tabel 2. 2. Ruang Lingkup Fasilitator pada Berbagai Kondisi Klaster 15

    Tabel 2. 3. Siklus Hidup Klaster 16

    Tabel 2. 4. Matriks SWOT 27

    Tabel 3. 1. Hubungan antara Tujuan Penelitian dan Data 30

    Tabel 3. 2. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal 33

    Tabel 3. 3. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal 34

    Tabel 3. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) 35

    Tabel 3. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE) 36

    Tabel 3. 6. Matriks SWOT 37

    Tabel 3. 7. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan 38

    Tabel 4. 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Cabai di Provinsi DIY 42

    Tabel 4. 2. Potensi Areal dan Produktivitas Bawang Merah di Sentra Produksi Nganjuk 44

    Tabel 4. 3. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Petani 45

    Tabel 4. 4. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 46

    Tabel 4. 5. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama 47

    Tabel 4. 6. Rata-Rata Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Responden 47

    Tabel 4. 7. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Keterlibatan Petani dalam Klaster BI 48

    Tabel 5. 1. Kegiatan Klaster BI di Soppeng 51

    Tabel 5. 2. Dampak Klaster terhadap Usahatani 53

    Tabel 5. 3. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input Produksi 54

    Tabel 5. 4. Dampak Klaster terhadap Pasar Output dan Input 55

    Tabel 5. 5. Dampak Klaster terhadap Sumber Pembiayaan dan Sumber Informasi 56

    Tabel 5. 6. Dampak Klaster terhadap Pendapatan 56

    Tabel 5. 7. Dampak Klaster terhadap Kelembagaan 57

    Tabel 5. 8. Hasil Uji Beda Persepsi Petani terhadap Program Klaster 57

    Tabel 5. 9. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kabupaten Soppeng 59

    DAFTAR TABEL

  • xiv

    Tabel 5. 10. Intervensi Bank Indonesia Dalam Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kulon Progo 60

    Tabel 5. 11. Dampak Klaster terhadap Usahatani Cabai 63

    Tabel 5. 12. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input dan Aspek Usahatani Lainnya 64

    Tabel 5. 13. Dampak Klaster terhadap Pasar Output 65

    Tabel 5. 14. Dampak Program Klaster terhadap Pasar Input 66

    Tabel 5. 15. Dampak Program Klaster terhadap Aspek Pembiayaan 66

    Tabel 5. 16. Dampak Klaster BI terhadap Sumber Informasi 67

    Tabel 5. 17. Dampak Klaster terhadap Pendapatan 67

    Tabel 5. 18. Dampak Klaster BI Terhadap Kelembagaan 68

    Tabel 5. 19. Persepsi Petani Cabai di Kulon Progo Terhadap Program Klaster 69

    Tabel 5. 20. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kulon Progo dalam rangka Menunjang Komoditas Cabai 70

    Tabel 5. 21. Program Kerja dan Kegiatan Pendampingan Klaster Bawang Merah Kabupaten Nganjuk Tahun 2014-2016 72

    Tabel 5. 22. Harga, Produksi dan Margin yang Diterima Petani di Berbagai Musim 75

    Tabel 5. 23. Dampak Program Klaster terhadap Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 78

    Tabel 5. 24. Perubahan Pada Input Produksi Sebelum dan Sesudah Mengikuti Program Klaster 79

    Tabel 5. 25. Sumber Pembiayaan dan Jumlah Proposal untuk Pembiayaan 83

    Tabel 5. 26. Sumber Informasi Utama dalam Aspek Budidaya dan Harga 83

    Tabel 5. 27. Gambaran Kelembagaan di Klaster Bawang Merah Nganjuk 84

    Tabel 5. 28. Dampak Klaster BI terhadap Petani Bawang Merah 85

    Tabel 5. 29. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Infrastruktur Di Kabupaten Nganjuk dalam Rangka Menunjang Komoditas Bawang Merah 88

    Tabel 5. 30. Rata-rata Volume, Harga, dan Margin Penjualan Bawang Merah 91

    Tabel 5. 31. Rata-rata Volume, Harga Jual, dan Margin Penjualan Bawang Goreng 92

    Tabel 6. 1. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng 94

    Tabel 6. 2. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng 96

    Tabel 6. 3. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng 97

    Tabel 6. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah

    di Kabupaten Kulon Progo 99

    Tabel 6. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo 100

    Tabel 6. 6. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo 102

    Tabel 6. 7. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 104

    Tabel 6. 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 106

    DAFTAR TABEL

  • xv

    Tabel 6. 9. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 108

    Tabel 7. 1. Strategi yang Diperlukan pada setiap Tahapan Siklus Hidup Klaster 113

    Tabel 7. 2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods di Indonesia 120

    Tabel 8. 1. Strategi Integrasi Klaster 127

    Tabel 8. 2. Hasil Pengolahan Alternatif Strategi Arah Pengembangan Klaster Nasional 131

    Tabel 8. 3. Hasil Pengolahan Substrategi Optimalisasi Database Klaster 131

    Tabel 8. 4. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Akses Pasar 132

    Tabel 8. 5. Hasil Pengolahan Substrategi Capacity Building Anggota Klaster 132

    Tabel 8. 6. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Finansial 133

    Tabel 8. 7. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Infrastruktur dan Logistik 133

    DAFTAR GAMBAR

  • xvi

  • BaB I - Pendahuluan

    1

    1.1. LATAR BELAKANG

    Terjaganya kestabilan inflasi merupakan salah satu faktor pendukung bagi pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang tercermin dari daya beli masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

    Data BPS menunjukkan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2015 mencapai 3.35% (yoy), berada dalam kisaran sasaran inflasi Bank Indonesia sebesar 4±1% (yoy). Bila ditelaah lebih lanjut, inflasi volatile food mencapai 4.84% (yoy), sedangkan inflasi inti dan inflasi administered price masing-masing sebesar 3.95% (yoy) dan 0.39% (yoy). Data tersebut menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia juga dipengaruhi oleh sisi penawaran, antara lain bersumber dari fluktuasi harga volatile food, yang terutama berasal dari komoditas pangan.

    Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 tahun 2009, salah satu tugas utama Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah menjaga stabilitas moneter melalui pengendalian inflasi. Untuk itu, Bank Indonesia melakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui faktor utama penyumbang inflasi di daerah. Salah satu faktor penyebab inflasi bersumber dari fluktuasi harga volatile foods, di mana tekanan harga terutama dipicu oleh kendala produksi, lemahnya kelembagaan petani, inefisiensi struktur pasar, ketidaklancaran distribusi, kurangnya dukungan infrastruktur, maupun kebijakan pemerintah. Selain meningkatkan ketidakpastian baik bagi produsen maupun konsumen, fluktuasi harga volatile foods menjadi salah satu penyebab rendahnya minat untuk berinvestasi di sektor pertanian. Fluktuasi harga juga dapat menurunkan minat petani untuk berproduksi sehingga dapat berdampak pada meningkatnya impor bahan pangan. Semakin tinggi impor, maka peluang terjadinya defisit neraca pembayaran juga meningkat, yang pada akhirnya akan berdampak pada inflasi yang disebabkan oleh nilai tukar.

    Berdasarkan data bobot dan frekuensi per komoditas dalam perhitungan inflasi nasional dan regional terdapat 5 (lima) komoditas utama penyumbang inflasi sebagaimana Tabel 1.1.

    Tabel 1.1. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi

    Komoditas Sumatera Jawa Kalimantan Sulampua, Bali, Nusra Nasional

    Beras √ √ √ √ 4.02

    Cabai Merah √ √ √ √ 0.35

    Bawang Merah √ √ √ √ 0.48

    Daging Sapi - - √ - 0.65

    Daging Ayam Ras √ √ √ √ 1.11

    Sumber: Bank Indonesia (Juni 2015)

    BAB IPENDAHULUAN

  • BaB I - Pendahuluan

    2

    Tabel 1 menunjukkan pemetaan daerah regional mejadi 4 (empat) zona yaitu: 1) Sumatera, 2) Jawa, 3) Kalimantan, 4) Sulawesi, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara dan komoditas volatile foods yang memiliki pengaruh terbesar terhadap inflasi di masing-masing regional yang beririsan dengan nasional. Berdasarkan pemetaan dimaksud, prioritas pengembangan program Klaster Bank Indonesia diarahkan pada komoditas beras, cabai merah, bawang merah, daging sapi, dan daging ayam ras.

    Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah melaksanakan program pengembangan klaster UMKM produsen komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor. Program ini bertujuan mendukung pengembangan ekonomi daerah melalui peningkatan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster. Berbagai intervensi dilakukan Bank Indonesia, meliputi proses usahatani dari hulu sampai hilir antara lain dari aspek budidaya, aspek pengolahan pascapanen, hingga pemasaran produk.

    Seiring dengan perkembangan situasi dan arah kebijakan Bank Indonesia, sejak tahun 2014 pengembangan klaster lebih difokuskan pada komoditas yang mendukung ketahanan pangan, komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods. Melalui program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM untuk memperkecil gap antara supply dan demand sehingga meminimalisir tekanan harga yang mendorong inflasi. Selain itu, program klaster juga bertujuan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) karena melibatkan banyak petani dan UMKM.

    Hingga triwulan II 2016, Bank Indonesia memiliki 158 klaster binaan komoditas pertanian di berbagai daerah di Indonesia. Program klaster mampu menyerap 25.392 tenaga kerja (termasuk petani/peternak anggota) serta memanfaatkan lahan seluas 12.459 hektar. Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia meliputi: (1) aspek budidaya melalui introduksi teknologi budidaya, pola tanam, maupun pengembangan demonstration plot (demplot); (2) aspek kelembagaan dengan memperkuat manajemen kelompok, pelatihan manajemen keuangan; dan (3) aspek pemasaran dengan mengikutsertakan klaster pada pameran produk unggulan.

    1.2. PERUMUSAN MASALAH

    Dalam rangka mencapai tujuan memelihara kestabilan harga barang dan jasa, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan agregat (aggregate demand) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan dan sementara yang akan hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

    Kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar, misalnya pada saat terjadi kenaikan harga BBM (administered prices) yang bersumber dari kebijakan pemerintah maupun akibat fluktuasi harga komoditas volatile foods. Dalam upaya pengendalian inflasi yang bersumber dari komoditas volatile foods, Bank Indonesia mengembangkan klaster komoditas pendukung ketahanan pangan dan klaster komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods.

    Pendekatan klaster industri dalam pembangunan ekonomi daerah dapat menjadi alat yang efektif bagi kebijakan pembangunan ekonomi daerah dan kebijakan teknologi terpadu. Bagi pelaku ekonomi khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pendekatan klaster industri dapat mendukung terjalinnya kemitraan yang saling menguntungkan dan

  • BaB I - Pendahuluan

    3

    pengembangan jaringan bisnis yang luas. Sementara itu, bagi pembuat kebijakan, pendekatan ini memungkinkan skala pengaruh dari kebijakan dan program serta cakupan dampak yang signifikan. Secara umum, klaster binaan Bank Indonesia memiliki keunggulan dan potensi, namun juga masih terdapat beberapa kelemahan.

    Terdapat berbagai macam tantangan dalam pencapaian sasaran inflasi dan sebagian besar merupakan persoalan struktural. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian inflasi yang intensif melalui penyelesaian permasalahan struktural yang terintegrasi secara nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu skema pengembangan yang tidak saja fokus pada rantai nilai dalam klaster, tetapi juga memasukkan klaster sebagai bagian dari rantai pasok komoditas nasional.

    Oleh karena itu, skema pengembangan klaster Bank Indonesia perlu diintegrasikan dengan program pengembangan UMKM dan komoditas pangan yang dimiliki oleh instansi lainnya, baik dari pemerintah (kementerian teknis, dinas, dan lain-lain) maupun swasta. Misalnya, salah satu program Kementerian Perdagangan yang didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yaitu Pusat Distribusi Regional (PDR). PDR adalah jaringan logistik penyangga dalam sistem logistik nasional, yang antara lain bertujuan untuk mengatasi kelangkaan stok, disparitas dan fluktuasi harga komoditas bahan pokok. Selain itu, terdapat pula sistem resi gudang yang penerapannya berada di bawah wewenang dan pengawasan Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti), yang dapat dijadikan solusi alternatif pengembangan aspek keuangan klaster.

    1.3. TUjUAN

    Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat klaster binaan Bank Indonesia, khususnya terkait dengan tiga komoditas penyumbang inflasi di Indonesia yaitu: beras, cabai merah, dan bawang merah. Terdapat tiga besaran tujuan penulisan kajian sebagai sebagai berikut:

    1. Memperoleh arah pengembangan dan penguatan klaster komoditas volatile food Bank Indonesia.

    a. Impact evaluation (before – and after comparisons) dan indikator kestabilan inflasi yang dapat dikaitkan dengan klaster.

    b. Perancangan skema arah pengembangan klaster (business model) yang dapat direplikasi secara nasional dalam rangka pencapaian tujuan Bank Indonesia.

    2. Menetapkan roadmap pengembangan klaster, misalnya dalam jangka waktu 3-5 tahun (per siklus) serta mengidentifikasi program kerja/intervensi yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan stakeholders terkait.

    3. Memperoleh usulan integrasi klaster secara nasional melalui peningkatan produksi, peningkatan jalur distribusi, dan penguatan sistem logistik dalam rangka mendukung pengendalian inflasi.

  • BaB I - Pendahuluan

    4

    1.4. RUANG LINGKUP

    1. Pelaksanaan kajian, meliputi identifikasi dan analisis terhadap hasil pengembangan UMKM pada klaster komoditas pangan dan volatile foods binaan Bank Indonesia.

    2. Komoditas pangan yang diteliti meliputi: beras, cabai merah dan bawang merah dengan lokasi yang berbeda yaitu: komoditas beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo, Jawa Tengah dan komoditas bawang merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

    3. Definisi Klaster adalah sekelompok UMKM yang beroperasi pada sektor/subsektor yang sama atau merupakan konsentrasi perusahaan yang saling berhubungan dari hulu ke hilir.

    4. Volatile foods adalah komponen inflasi IHK yang mencakup beberapa komoditas pangan yang harganya sangat berfluktuasi.

    5. Roadmap adalah rencana kerja rinci yang mendeskripsikan hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengembangan klaster sebagai bagian dari rantai pasok nasional dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Substansi penulisan terdiri dari:

    1. Keadaan saat ini (sebagai baseline);

    2. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai per periode/fase;

    3. Uraian tahap pelaksanaan untuk mencapai tujuan/sasaran pada masing-masing periode/fase;

    4. Indikator pencapaian sasaran.

    6. Program pengembangan UMKM dan komoditas pangan yang dapat diintegrasikan dengan program pengembangan klaster adalah yang telah diterapkan di Indonesia dan merupakan program Bank Indonesia, pemerintah, atau swasta nasional.

    7. Stakeholder terkait dapat merupakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia pembina klaster, kementerian teknis, pemerintah daerah, akademisi, lembaga keuangan, atau swasta, yang terkait dengan pengembangan klaster yang sudah ada, program-program pengembangan UMKM dan komoditas pangan nasional, dan rencana arah pengembangan klaster sebagai best practice nasional.

    8. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan responden berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    5

    BAB IITINjAUAN PUSTAKA

    2.1. INFLASI

    Sesuai UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 tahun 2009, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, baik terhadap harga barang dan jasa (inflasi) maupun mata uang asing (kurs). Terdapat beberapa pilihan strategi kebijakan moneter yang masing-masing memiliki karakteristik sesuai dengan indikator nominal yang digunakan sebagai dasar atau acuan atau sasaran antara untuk mencapai tujuan akhir. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia pernah menggunakan kerangka kebijakan base money targeting, di mana instrumen yang dipakai adalah pertumbuhan jumlah uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara. Dalam perkembangannya, sejak Juli 2005 hingga saat ini, Bank Indonesia menerapkan kerangka inflation targeting dengan menjadikan tingkat inflasi sebagai strategi pelaksanaan kebijakan moneter.

    2.1.1. Faktor Pembentuk Inflasi

    Secara sederhana, inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Sementara, faktor-faktor pembentuk inflasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tekanan dari sisi suplai (cost push), sisi permintaan (demand pull), dan sisi ekspektasi inflasi.

    1. Inflasi akibat tekanan sisi suplai (cost push inflation) dapat disebabkan oleh depresiasi (melemahnya) nilai tukar, dampak inflasi yang terjadi di luar negeri terutama di negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditas yang diatur pemerintah (administered price), serta adanya gangguan di sisi penawaran (negative supply shocks), misalnya akibat bencana alam yang terjadi di suatu daerah atau terganggunya distribusi barang.

    2. Inflasi akibat tekanan sisi permintaan (demand pull inflation) adalah tingginya permintaan barang dan jasa dibandingkan dengan kapasitas ketersediaannya (penawaran). Secara makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian yang akhirnya menimbulkan output gap. Gap inilah yang pada akhirnya memicu kenaikan harga barang, sesuai dengan hukum ekonomi jika permintaan melebihi penawaran, maka harga akan bergerak naik.

    3. Faktor ekspektasi inflasi yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Untuk negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pelaku ekonomi biasanya masih bersifat adaptif. Misalnya, akan terjadi penyesuaian sesaat pada bulan-bulan di mana permintaan barang cenderung meningkat seperti menjelang hari-hari besar

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    6

    keagamaan atau libur sekolah. Penyesuaian harga pada tipe masyarakat atau pelaku ekonomi seperti di atas dapat juga terjadi saat pengumuman kenaikan gaji atau Upah Minimum Regional (UMR). Pada masyarakat atau pelaku ekonomi dengan perilaku forward looking, inflasi relatif tidak begitu fluktuatif.

    Selain itu, tekanan inflasi juga dapat dibedakan menjadi domestic pressures (tekanan dari dalam negeri) dan external pressures (tekanan dari luar negeri).

    1. Tekanan dari dalam negeri merupakan segala sesuatu yang terjadi di dalam negeri yang mempengaruhi harga barang. Hal ini dapat diakibatkan adanya gangguan dari sisi penawaran dan permintaan dalam negeri yang berpengaruh pada pembentukan harga barang di pasar atau kebijakan yang diambil oleh instansi di luar bank sentral. Sebagai contoh, kebijakan pengetatan anggaran belanja pemerintah dengan menghapus subsidi pemerintah, kenaikan pajak, atau kenaikan harga barang yang ditetapkan pemerintah yang berimbas pada kenaikan harga barang-barang lain.

    2. Tekanan dari luar negeri dapat berupa inflasi di negara lain yang akan berpengaruh terhadap ekspor, impor atau neraca pembayaran antar negara, kenaikan harga barang impor yang berdampak pada kenaikan harga produk berbahan baku impor, serta kenaikan nilai tukar mata uang asing yang otomatis akan berpengaruh pada kinerja neraca pembayaran.

    2.1.2. Indikator dan Jenis Inflasi

    Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selanjutnya, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern di setiap kota. Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:

    1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.

    2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

    Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), yaitu:

    1. Kelompok Bahan Makanan;

    2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau;

    3. Kelompok Perumahan;

    4. Kelompok Sandang;

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    7

    5. Kelompok Kesehatan;

    6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga;

    7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

    Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP, BPS juga memublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental. Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokkan menjadi:

    1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:

    a. Interaksi permintaan-penawaran

    b. Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang

    c. Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen

    Inflasi inti pada dasarnya merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan komponen bahan makanan dengan harga bergejolak (volatile foods) dan barang-barang dengan harga ditentukan pemerintah (administered goods).

    2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:

    a. Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food)

    Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

    b. Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices)

    Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, dan sebagainya.

    c. Inflasi IHK merupakan inflasi yang dihitung dengan keseluruhan indeks harga konsumen, baik inti maupun non-inti. Inflasi IHK dikenal juga sebagai headline inflation yang sama artinya dengan inflasi inti ditambah unsur harga barang/komoditas bergejolak (volatile) dan administered price. Inflasi IHK dapat lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan inflasi inti, tergantung dari inflasi volatile food dan inflasi administered price.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    8

    Gambar 2.1. Determinan Inflasi

    Konsumsi

    Permintaan

    Penawaran

    Kebijakan Pemerintah

    Administered Price

    Volatile Food Price

    Inflasi Inti

    INFLASI IHK

    Inflasi Non Inti

    Inersia

    Nilai Tukar

    Inflasi Dunia

    Penawaran

    Permintaan

    Produksi

    Impor

    Ekspor

    Investasi

    Output Gap

    Eksternal

    Ekspektasi

    Supply

    Shocks

    Impor Makanan

    Produksi Makanan

    Populasi

    Sumber: Bank Indonesia (2016) dalam www.bi.go.id

    2.1.3. Pentingnya Kestabilan Inflasi

    Inflasi yang rendah dan stabil dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Berikut ini digambarkan beberapa kondisi inflasi.

    1. Inflasi yang tinggi menurunkan pendapatan riil masyarakat sehingga menurunkan standar hidup masyarakat dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

    2. Inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

    3. Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

    2.1.4. Koordinasi Pengendalian Inflasi

    Sumber tekanan inflasi di Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) yang disebabkan oleh gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).

    Mengingat karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks, maka pengendalian inflasi memerlukan kerja sama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan, inflasi yang rendah dan stabil diharapkan dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung pencapaian tugas Bank Indonesia.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    9

    Gambar 2. 2. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam Pengendalian Inflasi

    Sumber: Bank Indonesia (2016) dalam www.bi.go.id/id.

    Menyadari pentingnya koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, mendorong Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri.

    Selain itu, dalam upaya pengendalian inflasi Bank Indonesia mengembangkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS). Program ini fokus pada diseminasi informasi harga bahan pangan strategis, yaitu komoditas pangan yang dikonsumsi masyarakat secara luas atau memiliki bobot kontribusi inflasi yang tinggi. Tujuan utama pengembangan PIHPS adalah untuk meningkatkan akses informasi harga pangan yang terpadu kepada pelaku ekonomi untuk menjaga ekspektasi masyarakat untuk mendukung upaya pencapaian sasaran inflasi dan peningkatan efisiensi perekonomian. Selanjutnya, untuk mendukung ketahanan pangan, mengembangkan komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods, Bank Indonesia juga melaksanakan program pengendalian inflasi berbasis klaster komoditas.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    10

    Gambar 2. 3. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID

    Sumber: Bank Indonesia (2016) dalam www.bi.go.id/id

    2.2. KLASTER

    Umumnya definisi klaster menekankan pada kedekatan geografis beberapa perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing. Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai pemusatan geografi yang bergabung dan memiliki kesamaan perusahaan dan institusi dalam bidang tertentu (geographic concentrations of interconnected companies and institutions in a particular field). Lokasi geografis suatu klaster dapat meliputi satu kota, kabupaten, negara, atau berupa jaringan yang melibatkan beberapa negara.

    Bergman dan Feser (2000) menyatakan bahwa klaster menunjukkan hubungan sangat erat yang mengikat perusahaan-perusahaan tertentu dan industri secara bersama-sama dalam beberapa aspek umum seperti lokasi geografis, sumber-sumber inovasi, pemasok, faktor produksi dan lain-lain. Pengelompokkan tersebut saling berhubungan secara intensif dan membentuk kemitraan dengan industri pendukung dan industri terkait (Simbolon, 2009). Klaster merepresentasikan seluruh nilai tambah mulai dari pemasok ke produk akhir termasuk jasa pendukung dan infrastruktur. Konsep-konsep klaster berdasarkan pada tiga konsep utama, yaitu:

    1. Konsep Ekonomi Geografi (Economic Geography Concept)

    Konsep ini didasari karakteristik teritorial dan fungsi lingkungan perusahaan-perusahaan yang fokus pada identifikasi karakteristik atau faktor lokasi yang mempengaruhi pemilihan lokasi industri. Akibatnya bila dilihat dari sudut pandang makro, perilaku masing-masing perusahaan tidak termodelkan secara eksplisit tetapi dilihat dari perilaku perusahaan keseluruhan (Krugman, 1991; Rauch, 1993).

    2. Konsep Organisasi (Organizational Concept)

    Konsep ini mempertimbangkan perilaku masing-masing perusahaan berdasarkan faktor internal dan lingkungan perusahaan (Scott, 1986; Harrison, 1992). Menurut Scott, yang mendasari timbul dan tumbuhnya suatu klaster adalah pendekatan biaya transaksi (cost transaction approach). Sedangkan konsep Harrison lebih banyak didasari oleh teori ekonomi sosial (Social Economic Theory).

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    11

    3. Konsep Strategi (Strategy Concept)

    Pemilihan lokasi suatu perusahaan tidak terlepas dari strategi perusahaan tersebut. Kondisi internal, teritorial dan lingkungan perusahaan masuk ke dalam perhitungan di berbagai tingkatan yang ada. Konsep ini didukung oleh Porter (1990) dan Storper (1992). Porter menyatakan bahwa perusahaan dapat meningkatkan daya saingnya melalui pembentukan klaster dengan asumsi daya saing bergantung pada kemampuan berinovasi dan upgrading. Storper menyatakan bahwa perusahaan mampu bersaing jika melakukan sistem produksi secara dinamis, yaitu selalu menyesuaikan teknik produksi tanpa meningkatkan biaya produksi. Perbedaan masing-masing teori tersebut terkait dengan penyebab dan lokasi pembentukan klaster disajikan dalam Tabel 2.1.

    Tabel 2. 1. Penyebab dan Lokasi Pembentukan Klaster Terbentuk

    Konsep Teori Penyebab Lokasi

    Ekonomi Geografi

    Krugman (1991)

    • Klaster timbul karena keadaan tidak terduga atau self-fulfilling prophecies.

    • Klaster tumbuh karena interaksi pengembalian meningkat, biaya transportasi dan permintaan.

    • Klaster dapat timbul di mana saja

    • Klaster yang ada akan tumbuh dan bertahan.

    Rauch (1993)

    • Klaster timbul karena keadaan tidak terduga. Pengembang industri ingin memperbaiki ketidakefisienan

    • Relokasi perusahaan-perusahaan tergantung pada trade off antara biaya investasi dan biaya produksi

    • Klaster dapat timbul di mana saja

    • Beberapa perusahaan tetap pada klaster yang lama dan yang lain mencari lokasi baru untuk membuat klaster baru lagi.

    Organisasi

    Scott (1986)

    Klaster mendorong integrasi vertikal, dan sebaliknya integrasi vertikal mendorong klaster.

    Klaster berada di daerah yang terdiri dari klaster-klaster kecil dan perusahaan-perusahaan yang memiliki spesialisasi kerja.

    Harrison (1992)

    Klaster perusahaan kecil memfasilitasi kontak antar personal dan memaksimalkan kepercayaan.

    Klaster berada pada daerah yang memiliki tingkat sosial tinggi, Bentuk klaster kecil dan merupakan perusahaan- perusahaan yang memiliki spesialisasi kerja.

    Strategi

    Porter (1990)

    Klaster memiliki tingkat persaingan yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk berinovasi. Hanya dengan inovasi akan mendorong keunggulan bersaing perusahaan tersebut.

    Klaster timbul di daerah yang memiliki tingkat persaingan tinggi dan terus menerus akan tumbuh karena masuknya para pesaing baru.

    Storper (1992)

    Klaster akan menimbulkan efisiensi manajemen karena adanya trade off antara efisiensi teknologi dan meminimalisasi biaya.

    Klaster akan terbentuk di daerah yang memiliki tingkat inovasi tinggi. Perusahaan-perusahaan di dalam klaster ini biasanya kecil, spesialisasi dan fleksibel.

    Sumber: Meijboom dan Rongen (1995)

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    12

    2.3. LESSON LEARNED KLASTER

    2.3.1. Klaster UMKM di Indonesia

    Menurut Burger, Kameo dan Sandee (2001), 63% tenaga kerja di UMKM di Indonesia terdapat pada klaster. Keuntungan bagi UMKM yang berada di dalam klaster antara lain kerja sama yang efektif antar UMKM di dalam klaster dan koordinasi yang lebih baik antara pembeli dan klaster, serta kerja sama dalam memilih pasar luar terutama pasar ekspor. Tambunan (2005) membagi klaster menjadi 4 (empat) tipe, yaitu:

    a. Artisinal

    Umumnya terdiri dari usaha mikro yang memiliki produktivitas dan upah yang rendah, stagnan, menggunakan alat yang masih tradisional, tidak memiliki informasi pasar, peran perantara dalam pemasaran sangat dominan, kerja sama antar usaha sangat rendah serta tidak ada jaringan eksternal dengan institusi pendukung.

    b. Active

    Menggunakan tenaga kerja yang lebih terampil, teknologi yang lebih baik, menjual ke pasar domestik dan ekspor, aktif di pemasaran, jaringan internal dan ekstenal tinggi.

    c. Dynamic

    Jaringan perdagangan luar negeri ekstensif, terdapat keberagaman di dalam klaster terkait ukuran, teknologi dan pasar, terdapat perusahaan pemimpin yang memiliki peran yang besar.

    d. Advanced

    Tingkat spesialisasi dan kerja sama antar perusahaan tinggi, jaringan bisnis dengan penyedia input, penyedia jasa, perantara dan bank berjalan dengan baik. Kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta universitas berjalan baik dan berorientasi ekspor.

    Salah satu contoh klaster yang berhasil adalah yang dilakukan oleh PT. Kelola Mina Laut (PT. KML) yang bermitra dengan nelayan di berbagai wilayah Indonesia. PT. KML adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan eksportir hasil-hasil perikanan laut maupun air tawar dengan volume ekspor 1.000 kontainer per tahun. Dalam menjalankan usahanya, PT. KML menerapkan sistem klaster agroindustri hasil laut yang terdiri atas nelayan penangkap ikan, sarana pengolahan lokal (miniplant), sarana pengolahan akhir (pusat di Gresik) dan sarana pemasaran. Kunci keberhasilan PT. KML dalam mengembangkan klaster agroindustri hasil laut adalah dengan memangkas/memperpendek rantai nilai tradisional yang lebih banyak dikuasai oleh pedagang antara, sehingga nelayan dapat menerima margin keuntungan yang lebih besar (Sunaryanto et.al, 2014).

    2.3.2. Klaster Binaan Bank Indonesia

    Secara umum, klaster binaan Bank Indonesia di berbagai daerah masih fokus pada upaya penguatan kelompok/kelembagaan dan peningkatan produksi. Namun

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    13

    demikian, beberapa klaster dengan keunggulan produksi dan lahan yang luas mulai meningkatkan fasilitasi terhadap akses pasar dan pembiayaan. Dengan memfasilitasi akses pasar, produksi klaster diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembentukan harga, sejalan dengan upaya pengendalian inflasi yang dilakukan Bank Indonesia, khususnya komoditas volatile food.

    Hasil kajian Bank Indonesia (2014) menunjukkan adanya 4 entitas atau lembaga di Indonesia yang berperan menginisiasi sekaligus memfasilitasi program klaster baik dalam bentuk program komprehensif maupun one shoot program dengan dan alasan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :

    1. Bank Indonesia, dalam bentuk program bantuan teknis dan penyaluran dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) sebagai implementasi dari Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia.

    2. Pemerintah, dalam bentuk program bantuan teknis maupun bantuan program dalam kapasitas sebagai pengambil kebijakan nasional untuk pencapaian MDGs di tahun 2015 melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat.

    3. Lembaga donor, dalam mengemban misi global pengentasan kemiskinan melalui kegiatan ekonomi berkeadilan.

    4. Swasta, dalam kerangka untuk memperkuat kegiatan mata rantai industrinya.

    Indikator kesuksesan klaster terdiri dari 16 indikator yaitu akses pasar, networking dan kerja sama, akses informasi (pasar dan teknologi), modal sosial yang kuat, kedekatan dengan pemasok, basis inovasi yang kuat, infrastruktur memadai, spesialisasi, kompetensi, kepemimpinan dan visi bersama, akses terhadap sumber keuangan, akses pada jasa pendukung bisnis, persaingan, budaya wirausaha yang kuat, akses ke jasa spesialis, dan keberadaan perusahaan besar. Pilar dari klaster yang berkelanjutan terdiri dari 4 (empat) hal yaitu prasarana bisnis, SDM klaster, kelembagaan klaster, dan peran pemerintah. Di sisi lain, faktor kunci keberhasilan klaster berbeda untuk masing-masing subsektor ekonomi. Berikut dijelaskan 3 faktor keberhasilan yang paling penting (berdasarkan tingkat kesetujuan manajemen dan stakeholders) untuk masing-masing sektor ekonomi:

    1. Subsektor Tanamanan Pangan: modal sosial yang kuat, kepemimpinan dan visi bersama serta akses pasar.

    2. Subsektor peternakan: modal sosial yang kuat, basis inovasi (Research & Development/R & D) yang kuat dan akses pasar.

    3. Subsektor hortikultura: akses pasar, terdapat networking dan kemitraan, serta modal sosial yang kuat.

    4. Subsektor Perkebunan: networking dan kemitraan, basis inovasi (R & D) dan kompetensi/keahlian SDM yang kuat.

    5. Subsektor perikanan: infrastruktur yang memadai, basis inovasi yang kuat (R & D tinggi) dan akses pasar.

    6. Subsektor Industri: spesialisasi, kedekatan dengan pemasok, serta networking dan kemitraan.

    Selanjutnya, hasil kajian Bank Indonesia (2015) pada klaster 2 (dua) komoditas volatile foods, (cabai merah dan bawang merah) menunjukkan bahwa klaster dapat diperkuat melalui pengembangan dan peningkatan keterampilan budidaya

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    14

    serta pemanfaatan teknologi. Hal tersebut dilakukan melalui pendampingan dan demonstration plot (demplot), bantuan sarana produksi padi (saprodi) ketika iklim ekstrem, peningkatan status dan penguatan kelembagaan klaster. Faktor penting lainnya dalam pengembangan klaster yaitu pengutan modal sosial klaster, akses pasar dan networking, serta perbaikan infrastruktur.

    Pada penelitian ini, rekomendasi strategi klaster volatile foods dibagi menjadi dua aspek, yaitu strategi meningkatkan pasokan dan mendorong kestabilan harga cabai merah dan bawang merah. Peningkatan pasokan cabai merah dapat dilakukan melalui strategi intensifikasi dan ekstensifikasi komoditas, pengembangan bibit tahan hama dan virus, pengembangan sarana penyimpanan cabai merah nasional, dan updating data kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Sementara strategi peningkatan pasokan bawang merah adalah intensifikasi dan ekstensifikasi, antisipasi ketidakpastian perubahan iklim, teknologi penyimpanan bawang merah, dan pengembangan teknologi rumah kaca khususnya untuk lahan tadah hujan. Untuk mendorong kestabilan harga cabai merah maupun bawang merah, perlu dilakukan penyelarasan maupun pengaturan pola tanam sepanjang tahun, efisiensi tata niaga dan jalur distribusi, dan kerja sama antar wilayah (provinsi sentra produksi dan provinsi konsumsi) untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan.

    2.3.3. Kategori Klaster dan Peran Fasilitator dalam Klaster di Denmark

    Klaster memengaruhi cara perusahaan dalam bekerja sama, mengatur, dan bersaing. Klaster umumnya berkembang sesuai dengan siklus pengembangan, yang mencakup tahapan evolusi di mana para aktor dari sektor swasta dan publik terlibat sebagai fasilitator untuk mengkoordinasikan dan mempromosikan klaster. Ingstrup dan Damgaard (2011) mengkaji hubungan antara pengembangan klaster dan fasilitator klaster. Mereka membuat kerangka kerja untuk menggambarkan perubahan yang terjadi melalui peran fasilitator klaster, termasuk fokus fasilitasi, kompetensi, dan tugas fasilitator dalam siklus pengembangan klaster. Penelitian ini dilakukan pada sembilan klaster yang berbeda di Denmark, antara lain: Agro Food Park, Designers’ Cooperation, Lean Energy Cluster, Agro Valley Denmark.

    Menurut Ingstrup dan Damgaard (2011), sebagian klaster berkembang karena memiliki fasilitator yang mendukung dan mengintervensi klaster. Fasilitator klaster dapat berupa individu, perusahaan dan konsultan swasta, pemerintah, asosiasi lokal, maupun lembaga pengetahuan. Peran fasilitator klaster adalah membangun kepercayaan dan platform berbagai kerja sama dalam klaster. Fasilitator klaster harus memilki visi, memahami bisnis yang dikembangkan, memiliki kemampuan manajerial, kredibel, mampu berkomunikasi, fokus pada hasil, netral, memiliki kemampuan wirausaha, inovatif, berfikir terbuka. Karakter lainnya yang harus dimiliki fasilitator adalah memililiki jiwa wirausaha dan kepemimpinan dalam menempatkan dan mengevaluasi peluang sesuai dengan visi (Mesquita, 2007). Selain itu, fasilitator harus mampu membangun pemahaman bersama untuk mencapai tujuan bersama.

    Berdasarkan hasil penelitian Ingstrup & Damgaard (2011), terdapat tiga kelompok klaster, yaitu klaster potensial (potential cluster), klaster yang perlu dikembangkan (latent cluster), dan klaster yang sedang berkembang (working cluster). Potential cluster dapat digambarkan sebagai klaster di mana keterkaitan antar anggota klaster relatif longgar dengan mayoritas pelaku usaha adalah perusahaan kecil dan menengah. Otoritas publik merupakan motor penggerak yang sangat penting karena masyarakat banyak memberikan dana bagi klaster untuk berkembang. Namun, umumnya masyarakat dan lembaga pengetahuan cenderung pasif. Potential cluster menekankan pada membangun kepercayaan, menjalin ikatan melalui aktivitas seperti networking events, mencari dana, branding, seminar, kegiatan sosial, dan pencocokan harapan anggota klaster yang difasilitasi oleh fasilitator klaster.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    15

    Latent cluster muncul untuk mengurangi kelemahan potential cluster. Aktifitasnya banyak dilakukan dengan mencari peluang bisnis, meningkatkan kepercayaan yang telah dibangun pada tahap awal pembentukan klaster. Upaya ini didukung oleh kegiatan yang dijalankan oleh masing-masing sekretariat klaster seperti seminar, acara networking, proyek kerja sama skala kecil, lokakarya ide bisnis, dan berbagi pengetahuan. Anggota klaster terutama perusahaan kecil dan menengah, lembaga pengetahuan, dan otoritas publik. Pada klaster ini kegiatan klaster lebih terintegrasi dibandingkan potential cluster. Contohnya, Agro Valley Denmark merupakan klaster yang sudah berkembang dengan baik antar triple helix, yaitu kerja sama antara universitas, industri, dan pemerintah. Pada klaster ini banyak dilakukan berbagai inovasi, kerja sama lintas klaster, sehinggga klaster lebih kuat. Peran lembaga pengetahuan sangat dominan dalam perkembangan klaster khususnya penelitian dan pengembangan. Sebagai contoh, klaster Medicon Valley fokus pada bioteknologi, teknologi medis, dan farmasi. Ruang lingkup fasilitator pada ketiga kondisi klaster disajikan pada Tabel 2.2.

    Tabel 2. 2. Ruang Lingkup Fasilitator pada Berbagai Kondisi Klaster

    Potensial cluster Latent cluster Working cluster

    Facilitator role Framework-setterNetworker

    EntrepeneurRelationship builder

    Business seekerIntegrator

    Facilitator focus Create social actor bondsFramework conditionsLocate new actorsTrust building

    Create profesional actor bondsCooperationLocate actor needsTrust expansion

    Create business actor bondsBusiness creating activitiesLocate actor opportunitiesTrust exploitation

    Facilitator competencies

    CommunicatorCredibleNetworkerOriginatorPolitical flairSeller

    AnalyserCommunicatorCredibleEntrepreneurialNetworkerProblem solver

    Busniness understandingCommunicatorInnovativeIndustry knowledgeManagerial skillsNetworkerOrganiserProblem solver

    Facilitator tasks BrandingFundingLobbyingMatching of expectationsNetworking eventsSeminarsSocial events

    BrandingBusiness idea workshopFundingKnowledge sharingNetworking eventsSeminarsSmall-scale cooperations project

    BrandingCross-cluster cooperationFundingInnovation and business projectKnowledge sharingMarket analyseNetworking eventsProject portfolio managementSeminars

    Sumber: Ingstrup dan Damgaard (2011)

    2.3.4. Perkembangan dan Siklus Hidup Klaster di Korea Selatan dan Belanda

    Shin dan Hassink (2011) mengkaji asal-usul dan perkembangan klaster industri galangan kapal di Korea Selatan. Penulis menganalisis siklus hidup klaster industri, tahap-tahap perkembangan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi siklus hidup dari klaster. Sebelumnya Van Klink dan De Langen (2001) melakukan studi klaster yang sama di Belanda.

    Konsep siklus hidup klaster diperkenalkan oleh Menzel dan Fornahl (2010), Press (2006), Lorenzen (2005) dan Van Klink dan De Langen (2001). Ada tiga pertanyaan penting dalam siklus tersebut, yaitu: penyebab timbulnya klaster, penyebab menurunnya klaster, dan penyebab bergesernya klaster ke tahap ekonomi baru. Berdasarkan penelitian di klaster

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    16

    penggalangan kapal di Belanda, Van Klink dan De Langen (2001) membedakan tahapan klaster yaitu: pengembangan (development), ekspansi (expansion), matang (maturation), dan tahap transisi. Sedangkan menurut Menzel and Fornahl (2010), siklus hidup klaster mencakup tahap awal (emergence), pertumbuhan (growth), pemeliharaan (sustainment), dan penurunan (decline).

    Van Klink dan De Langen (2001) membedakan enam karakteristik dari siklus hidup klaster yang berbeda. Karakteristik tersebut terdiri dari sifat rantai nilai, hubungan strategis, dinamika klaster, bidang kerja sama, dan, faktor-faktor keberhasilan, dan peran pemerintah (Tabel 2.3).

    Tabel 2. 3. Siklus Hidup Klaster

    Development Expansion Maturation Transition

    Character of the value chain

    Construction of a value chain with different firms

    Specialization among firms in the chain

    Strable roles of firms in the value chain

    Reorientation of the roles of firms in the chain

    Strategic relations Development of strategic relations

    Strengthening of strategic relations

    Pressure on strategic relations

    Reconfiguration of strategic relations

    Cluster dynamics Some entrans, no exits

    Some entrans, no exits

    Few entrans, few exits Few entrans, many exits

    Cooperative domain R&D; standardization; cooperative routines

    R&D; education; marketing; sharing infrastructure

    R&D; education; marketing;

    R&D; education; new cooperative routines

    Determinant for succes

    Presence of local resources, know-how and demanding home market

    Presence of local resources, know-how and risk capital

    Presence of local resources, know-how and a balance between local and global orientation

    Presence of (new) local resources and know-how and organizing capacity

    Role of government Providing information on local know-how

    Stimulating outsourcing and market expansion

    Professionalizing suppliers and stimulating neue Kombinationen

    Stimulating neue Kombinationen

    Dalam setiap tahapan tersebut dapat dicirikan pertumbuhan klaster dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan industri dan hubungan klaster seperti disajikan pada Gambar 2.4 (Van Klink & De Langen, 2001).

    Gambar 2. 4. Pertumbuhan dan Karakter Hubungan pada Siklus Hidup Klaster

    Tahap 1Pengembangan (Development)

    Diatas rata-rata

    Stab

    il d

    an b

    ero

    rien

    tasi

    in

    tern

    alH

    ubun

    gan

    bel

    um s

    tab

    il

    Kar

    akte

    r h

    ub

    un

    gan

    kla

    ster

    Pertumbuhan klaster dibandingkan denganrata-rata pertumbuhan industri

    Dibawah rata-rata

    Tahap 4Transisi

    (Transition)

    Tahap 2Ekspansi

    (Expantion)

    Tahap 3Matang

    (Maturation)

    Sumber: Van Klink & De Langen (2001)

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    17

    Menzel & Fornahl (2010) menekankan adanya perubahan karakter pengetahuan melalui siklus hidup klaster. Heterogenitas pengetahuan dalam klaster mengalami perubahan pada setiap tahapannya. Meningkatnya heterogenitas pengetahuan dapat menyebabkan tahap pertumbuhan baru (Gambar 2.5)

    Gambar 2. 5. Interaksi antara Ukuran Perusahaan dan Heterogenitas Pengetahuan dalam Siklus Hidup Klaster

    Sumber: Menzel dan Fornahl (2010)

    Klaster penggalangan kapal Korea memiliki karakter berbeda di setiap tahap siklus hidup klaster. Rantai nilai dan dinamika dari klaster tersebut termasuk berada pada tahapan pematangan. Klaster tersebut merupakan sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari perusahaan besar, pemasok UMKM, serta aktor politik yang berbeda di tingkat nasional dan regional. Perusahaan yang tergabung dalam klaster biasanya lebih kompetitif dibandingkan dengan perusahaan non-klaster pada tahap pertengahan siklus hidup. Perusahaan penggalangan kapal melakukan reorientasi dan diversifikasi untuk sasaran target pasar yang lebih luas (high-end market segments).

    2.3.5. Lesson Learned dari Agro-Based Clusters

    Meskipun kajian klaster sangat banyak, namun tidak banyak yang membahas klaster sektor pertanian (agro-based clusters). Padahal, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian adalah melalui klaster. Kerja sama vertikal dan horizontal antar aktor dalam rantai nilai pertanian dan institusi pendukung terkait lainnya seringkali menghasilkan inovasi, menciptakan lingkungan kondusif untuk kerja sama antar aktor, memberikan citra wilayah, dan menjembatani kebutuhan petani. Galvez-Nogales (2010) menyatakan bahwa klaster berbasis pertanian di negara-negara berkembang umumnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu didominasi petani skala kecil, dikelola secara informal, keterkaitan antar aktor masih lemah, serta menghadapi berbagai permasalahan untuk meningkatkan skala usaha. Hal tersebut menyebabkan promosi klaster di negara berkembang lebih sulit dibandingkan dengan negara maju, sehingga memerlukan dukungan yang lebih banyak.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    18

    Galvez-Nogales (2010) menganalisis agro-based cluster di negara-negara berkembang yaitu Amerika Latin, Asia dan Afrika. Klaster yang dipelajari antara lain klaster minuman anggur dan buah-buahan (Amerika Latin), klaster salmon dan bunga potong (Chili), dan klaster kopi (Nikaragua). Sementara klaster yang dikaji di Asia mencakup buah-buahan dan sayuran (Thailand), klaster singkong dan bunga lili (Vietnam), klaster anggur (India), serta klaster domba dan kambing (Tiongkok). Di Afrika contohnya adalah klaster perikanan (Uganda), kopi (Kenya), dan klaster minuman anggur (Afrika Selatan).

    Berdasarkan pengalaman di berbagai negara tersebut, klaster berbasis pertanian diharapkan mampu menciptakan value networks yang merupakan agregasi dari:

    • Hubungan vertikal antara pemasok input, petani, prosesor, eksportir, ritel, konsumen, danbranded buyer.

    • Hubunganhorizontalantaraprodusendengan lembagaataubisnis yangmendukungprosesrantai pasok pertanian.

    • Hubunganyangsalingmendukungantaraprodusendanlembagafasilitatorsepertipemerintahlokal, business service providers, lembaga penelitian, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat.

    Gambar 2. 6. Konsep Value Networks untuk Agro-based Cluster

    Sumber: Galvez-Nogales, 2010

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    19

    2.4. KONSEP RANTAI NILAI (VALUE CHAIN)

    Analisis value chain merupakan serangkaian aktivitas yang diperlukan dalam memproduksi dan mendistribusikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen, di mana permintaan konsumen merupakan pendorong utama seluruh kegiatan dalam rangkaian rantai nilai barang/jasa tersebut (World Bank, 2008). Berbeda dengan pendekatan supply chain yang lebih berorientasi kepada sisi produsen, pendekatan value chain lebih berorientasi kepada konsumen (consumer driven). Atribut-atribut yang diinginkan oleh konsumen terhadap suatu barang/jasa mengalami perubahan yang dinamis seiring dengan peningkatan pendapatan, demografi dan gaya hidup. Perubahan preferensi tersebut harus direspon oleh produsen/petani.

    Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu petani melakukan berbagai upaya untuk memproduksi buah-buahan yang memiliki ukuran yang besar (misalnya semangka atau pepaya). Namun, seiring dengan perubahan demografi di mana jumlah anggota keluarga yang semakin sedikit (misalnya satu keluarga hanya memiliki dua sampai tiga anak), maka ukuran semangka atau pepaya yang terlalu besar tidak begitu diminati oleh konsumen. Preferensi konsumen tersebut dipertimbangkan dalam analisis value chain sehingga petani kemudian akan memproduksi semangka atau pepaya yang berukuran sedang. Contoh lainnya adalah meningkatnya kesadaran konsumen berpendapatan tinggi terhadap kesehatan, sehingga menginginkan produk yang tidak mengandung pestisida dan pupuk kimia. Informasi tersebut kemudian diteruskan dan direspon oleh petani di sepanjang value chain dengan munculnya komoditas pertanian organik.

    Di samping consumer driven, perbedaan utama value chain dengan supply chain terletak pada pendekatan value chain yang lebih memfokuskan pada bagaimana meningkatkan nilai di sepanjang value chain tersebut (World Bank, 2008). Kesamaan utama dua pendekatan tersebut adalah bagaimana membuat rantai nilai lebih efisien dengan menurunkan biaya-biaya di sepanjang rantai nilai yang fokus pada supply chain. Dengan demikian, analisis value chain juga meliputi analisis supply chain. Analisis value chain sangat berguna terutama untuk: (1) mengetahui trend yang terjadi pada konsumen dan pengaruhnya terhadap value chain; (2) mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dan leader dalam value chain; dan (3) mengetahui hubungan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam value chain. Pendekatan supply chain dan value chain dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8.

    Gambar 2. 7. Pendekatan Supply Chain

    Sumber: Stringer (2009)

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    20

    Gambar 2. 8. Pendekatan Value Chain

    Sumber: Stringer (2009)

    Dalam melakukan analisis value chain, pemetaan value chain (mapping the chain) merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Tujuan utama dari pemetaan value chain adalah untuk mengidentifikasi aliran produk dan aktor-aktor yang terlibat dalam value chain (Stringer, 2009). Seperti diketahui, pendistribusian barang dari tingkat produsen ke konsumen akhir melalui beberapa middlemen, yaitu diantaranya adalah pedagang dan industri pengolahan.Pedagang itu sendiri bisa dibagi berdasarkan skala usaha yaitu pedagang kecil dan pedagang besar atau bisa juga berdasarkan lokasi/scope pemasarannya, yaitu pedagang tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, eksportir, dan atau kombinasi keduanya (lokasi dan skala usaha). Tujuan lain dari pemetaan value chain adalah untuk mengidentifikasi aktor-aktor mana yang memberikan nilai tambah terbesar dalam value chain tersebut.

    Pada prinsipnya pemetaan value chain dapat dibagi menjadi lima, yaitu (1) pemetaan aktor-aktor yang terlibat dalam value chain, (2) pemetaan volume penjualan di masing-masing aktor di sepanjang value chain, (3) pemetaan nilai produk pada setiap tingkatan value chain, (4) pemetaan proporsi biaya yang dikeluarkan oleh setiap aktor di sepanjang value chain, dan (5) pemetaan aliran informasi dan transfer teknologi. Masing-masing pemetaan tersebut dibahas pada bagian berikut.

    a. Mapping Actors

    Mapping actors adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku yang terlibat dalam suatu value chain. Aktor-aktor yang terlibat dalam suatu value chain biasanya bermula dari produsen, melalui middlemen, hingga konsumen akhir. Namun demikian, aktor dapat diperluas cakupannya tidak hanya bermula dari level produsen, tetapi bermula dari perusahaan-perusahaan yang menyediakan input kepada produsen. Gambar 2.9 menyajikan contoh mapping actors yang berasal dari value chain komoditas tomat di Jawa Barat, Indonesia (Natawidjaya, 2007).

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    21

    Gambar 2. 9. Mapping Actor pada Komoditas Tomat di Jawa Barat, Indonesia

    Sumber: Natawidjaya, 2007

    Gambar 2.9 menunjukkan bahwa value chain komoditas tomat sangat bervariasi, tergantung aktor-aktor yang terlibat di sepanjang value chain tersebut. Bagian paling bawah menunjukan bahwa aktor-aktor yang terlibat pada value chain komoditas tomat model ini lebih banyak dibandingkan dengan aktor-aktor yang terlibat pada value chain di bagian atasnya. Sebagai contoh, pada value chain komoditas tomat yang paling bawah, aktor-aktor yang terlibat meliputi: petani (farmer), pedagang lokal (local collector), pedagang besar (traditional wholesale), pedagang besar pasar induk (traditional wholesale market), dan pedagang pengecer di pasar tradisional (traditional retail market). Adapun value chain yang berada pada bagian paling atas menunjukkan value chain yang lebih pendek di mana aktor-aktor yang terlibat di sepanjang value chain tersebut relatif lebih sedikit, yaitu petani (farmer), pedagang yang memasok ke supermarket (specialized super wholesaler) dan supermarket.

    b. Mapping Volume

    Mapping volume dilakukan untuk memetakan volume penjualan di masing-masing aktor di sepanjang value chain. Mapping volume sangat berguna untuk mengidentifikasi aliran komoditas dan pangsa penjualan di sepanjang value chain. Contoh mapping volume disajikan pada Gambar 2.10.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    22

    Gambar 2. 10. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Volume

    Sumber: Stringer (2009)

    c. Mapping Value

    Mapping value dilakukan untuk mengidentifikasi besaran biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing aktor yang terlibat dalam suatu value chain. Di samping mengetahui besaran biaya, mapping value juga digunakan untuk melihat harga yang diterima oleh masing-masing aktor di sepanjang value chain. Gambar 2.11 menyajikan output dari kegiatan mapping value suatu komoditas.

    Gambar 2. 11. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Value

    Sumber: Stringer (2009)

    d. Mapping Relative Costs of Processing

    Mapping relative cost of processing digunakan untuk melihat biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh setiap aktor yang terlibat dalam value chain. Misalnya pada Gambar 2.12, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani terbagi menjadi lima, yaitu persiapan lahan (land preparation), pemupukan (fertilizing), penyemprotan (spraying), pemeliharaan tanaman (plant maintenance), dan pemanenan (harvesting). Masing-masing kegiatan yang dilakukan petani kemudian dihitung persentase biayanya terhadap keseluruhan biaya yang dikeluarkan di tingkat petani.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    23

    Gambar 2. 12. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Relative Cost of Processing

    Sumber: Stringer (2009)

    e. Mapping Information and knowledge transfer

    Mapping information and knowledge transfer sangat berguna untuk mengetahui informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing aktor terkait dengan komoditas yang terdapat pada value chain tersebut. Gambar 2.13 menyajikan output dari kegiatan mapping knowledge komoditas kacang kedelai di Laos.

    Gambar 2. 13. Output Mapping Knowledge Komoditas Kacang Kedelai

    2.5. MANAjEMEN STRATEGI

    Strategi berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti “seni berperang”. Sebuah strategi mempunyai dasar-dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi, pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan (Umar, 2008). Menurut Barney (1997), strategi adalah suatu pola alokasi sumber daya yang memungkinkan perusahaan untuk memelihara atau meningkatkan kinerjanya.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    24

    Definisi strategi dan manajemen strategi diperluas oleh Mintzberg et al. (1998) dikenal sebagai 5P yaitu:

    1. Strategy as plan. Strategi merupakan suatu rencana atau sesuatu yang berupa arahan, petunjuk untuk kegiatan di masa depan yang diambil pada masa kini. Strategi merupakan suatu rencana ke depan (looking ahead) atau sesuatu yang diharapkan di masa depan.

    2. Strategy as pattern. Strategi merupakan suatu pola atau sesuatu yang konsisten di setiap waktu. Strategi sebagai suatu pola melihat perilaku di masa lalu yang sudah terjadi (looking behind).

    Kedua definisi tersebut apabila digabungkan menjadi: suatu organisasi mengembangkan rencana masa depan dengan melihat pola-pola perilaku di masa lalu. Dalam hal ini disebut sebagai strategi yang diharapkan (intended strategy) dan strategi yang terjadi (realized strategy).

    3. Strategy as position. Strategi merupakan posisi yaitu menempatkan produk khusus pada pasar yang khusus juga.

    4. Strategy as perspective: Strategi merupakan perspektif, yaitu hal-hal yang bersifat fundamental dalam organisasi untuk mengerjakan sesuatu.

    5. Strategy as ploy: strategi merupakan suatu cara, yaitu manuver khusus yang diharapkan dapat mengalahkan lawan atau para pesaing.

    Strategi dirumuskan berdasarkan pendekatan hierarkis yang berhubungan dengan konsep misi, tujuan, dan taktik perusahaan. Dalam hal ini, strategi didefinisikan sebagai cara di mana organisasi mencapai visi, misi dan tujuan melalui manajemen strategi. Manajemen strategi terdiri atas tiga tahapan utama yaitu formulasi atau perencanaan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi untuk mencapai visi yang ditetapkan (David, 2011) sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.14. Strategi yang baik adalah strategi yang mampu menetralisir ancaman dan menggali peluang dengan menekankan pada kekuatan dan menghindari kelemahan. Rumusan strategi difokuskan untuk mempertemukan kekuatan dan kelemahan internal perusahaan dengan peluang dan ancaman.

    Gambar 2. 14. Model Manajemen Strategi

    Analisis lingkungan

    internal

    Analisis lingkungan eksternal

    Membuat visi dan misi

    Membuat tujuan jangka

    panjang

    Mengukur dan mengevaluasi

    kinerja

    Implementasi strategi

    Merumuskan mengevaluasi dan memilih strategi

    Rumusan strategi Implementasistrategi

    Evaluasistrategi

    Sumber: David, (2011)

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    25

    2.6. RUMUSAN STRATEGI DENGAN ANALISIS SwOT

    Rumusan strategi diawali dengan penentuan visi dan misi. Pernyataan visi menjawab pertanyaan yang diinginkan. Pengembangan visi merupakan tahap pertama dalam perencanaan strategi yang diikuti dengan pengembangan pernyataan misi. Visi dikembangkan dalam satu pernyataan kalimat tunggal. Misi merupakan pernyataan tujuan jangka panjang yang membedakan satu bisnis dengan perusahaan sejenis lainnya.

    Formulasi strategi harus dapat mengambil manfaat dari peluang yang ada dan mengurangi ancaman. Berdasarkan hal tersebut maka identifikasi, monitoring dan evaluasi peluang dan ancaman merupakan hal yang sangat penting. Proses ini seringkali disebut analisis industri atau environmental scanning (David, 2011).

    Kondisi eksternal berupa peluang dan ancaman merupakan kondisi, ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi dan tren persaingan yang dapat memberikan manfaat maupun membahayaakan bagi organisasi di masa depan. Peluang dan ancaman tidak dapat dikendalikan oleh organisasi (David, 2011).

    Kekuatan dan kelemahan yang bersifat internal merupakan hal-hal yang dapat dikontrol oleh organisasi. Faktor-faktor tersebut mencakup pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, dan manajemen sistem informasi. Strategi perlu dirumuskan dengan meningkatkan kekuatan dan mengeliminasi kelemahan.

    Tahapan perumusan strategi menurut David (2011) terdiri dari tahap input, pencocokan, dan keputusan. Berikut ini penjabaran ketiga tahap tersebut.

    1. Tahap Input

    Pada tahap ini dibuat matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Evaluasi Faktor Eksternal (EFE). Matriks EFI mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Sedangkan peluang dan ancaman perusahaan digambarkan dalam Matriks EFE.

    2. Tahap Pencocokan

    Tahap pencocokan dalam rumusan strategi terdiri dari Matriks SWOT, the SPACE Matrix, the BCG Matrix, the IE Matrix, dan the Grand Strategy Matrix. Pencocokan faktor internal dan eksternal merupakan kunci untuk merumuskan strategi.

    3. Tahap Keputusan

    Tahap ini menggunakan berbagai metode untuk mengevaluasi dan memilih strategi berdasarkan nilai total terbesar.

    Perumusan strategi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang relatif mudah dan banyak digunakan adalah analisis SWOT. SWOT merupakan akronim dari Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats. Pada mulanya, analisis SWOT diaplikasikan di Harvard Business School dan beberapa sekolah bisnis lainnya di Amerika, dan kemudian dipopulerkan oleh Kenneth Andrews. Analisis SWOT banyak digunakan untuk pengembangan strategi bisnis dan riset pemasaran. Pada strategi pengembangan bisnis, SWOT diperoleh dari pendapat stakeholders sehingga merefleksikan pendapat kolektif suatu kelompok. Focus groups merupakan metode yang banyak dipakai untuk mengumpulkan pendapat dari stakeholders terkait (Leigh, 2010).

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    26

    Analisis SWOT merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi internal dan eksternal, serta merumuskan kegiatan di masa depan berdasarkan faktor-faktor tersebut (Leigh, 2010). Identifikasi lingkungan adalah proses monitoring, evaluasi, dan pengumpulan informasi dari lingkungan eksternal dan internal yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor strategi. Lingkungan eksternal terdiri dari peluang dan ancaman yang berasal dari luar organisasi. Lingkungan internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan yang berada dalam lingkup organisasi dan mencakup struktur, budaya, serta sumber daya (Wheelen dan Hunger, 1998). Identifikasi dari SWOT adalah sebagai berikut:

    • Strengths/Kekuatan Internal

    Kekuatan merupakan internal enhancer yang menunjukkan kompetensi internal atau sumber daya yang bernilai (Leigh, 2010). Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar yang dilayani. Kekuatan merupakan suatu kompetensi berbeda (distinctive competence) yang memberi perusahaan suatu keunggulan komparatif dalam pasar. Kekuatan berkaitan dengan sumber daya keuangan, citra, kepemimpinan, pasar, dan hubungan pembeli - pemasok.

    • Weaknesses/Kelemahan Internal

    Kelemahan merupakan penghambat sumber daya internal (internal inhibitors), yaitu keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan, dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja efektif suatu industri.

    • Opportunities/Peluang Lingkungan Eksternal

    Peluang merupakan kondisi eksternal yang dapat meningkatkan kinerja (external enhancer). Peluang adalah situasi utama yang menguntungkan dalam lingkungan perusahaan/industri. Identifikasi dari segmen pasar, perubahan-perubahan dalam keadaan bersaing, perubahan teknologi, dan hubungan pembeli-pemasok menunjukkan suatu peluang.

    • Threats/Ancaman Lingkungan Eksternal

    Ancaman merupakan hambatan eksternal yang dapat menurunkan kinerja (external inhibitors). Ancaman berupa situasi yang tidak menguntungkan dalam lingkungan suatu perusahaan dapat berupa rintangan-rintangan utama bagi posisi yang diinginkan. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, daya tawar pembeli–pemasok yang meningkat, perubahan teknologi, kebijakan baru dapat merupakan ancaman bagi keberhasilan suatu industri.

    Setelah mengidentifikasi kondisi internal dan eksternal melalui SWOT, selanjutnya dilakukan tahap pencocokan yang relatif sulit dan kritis dalam merumuskan strategi. Tujuan tahapan pencocokan adalah untuk membangkitkan alternatif strategi yang layak, bukan untuk memiliki strategi terbaik. Tidak semua strategi dibuat dalam matriks SWOT.

    Salah satu alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks SWOT. Matriks ini membantu mengembangkan 4 (empat) tipe strategi yaitu: SO (strengths-opportunities), WO (weaknesses-opportunities), ST (strengths-threats), dan WT (weaknesses-threats). Matriks ini menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks SWOT menghasilkan 4 (empat) kemungkinan alternatif strategi seperti terlihat dalam Tabel 2.4.

  • BaB II - TINJaUaN PUSTaKa

    27

    Tabel 2. 4. Matriks SWOT

    Strength (S) Weaknesses (W)

    Opportunities (O) Strategi SOCiptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

    Strategi WOCiptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

    Threats (T) Strategi STCiptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

    Strategi WTCiptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman

    Sumber : Rangkuti (2002)

    Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi dan memilih strategi terbaik. Ruang lingkup terbaik untuk evaluasi adalah dengan menguji hal-hal berikut:

    1. Konsistensi (consistency): strategi harus konsisten antara tujuan dan kebijakan.

    2. Kesamaan (consonance): strategi harus merepresentasikan suatu respon yang adaptif terhadap lingkungan eksternal dan perubahan kritis yang terjadi.

    3. Memberikan manfaat (advantage): strategi harus menciptakan dan atau memelihara keunggulan bersaing dalam aktivitas yang dipilih.

    4. Layak (feasibility): strategi harus melihat sumber daya yang tersedia dan permasalahan lainnya yang belum tergali.

  • 28

  • BaB III - METODE PENELITIaN

    29

    BAB IIIMETODE PENELITIAN

    3.1. jENIS, SUMBER DATA DAN LOKASI PENELITIAN

    Sumber data diperoleh melalui data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari survei individu dan Focus Group Discussion (FGD). FGD dilakukan dengan kelompok individu yang memiliki keahlian untuk mendapatkan kesan, interpretasi, dan opini terkait topik yang dikemukakan. FGD juga dilakukan dengan kalangan internal Bank Indonesia dan pihak eksternal yang terdiri dari pejabat dari kementerian terkait serta akademisi.

    Data sekunder diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (nasional dan daerah), Kementerian dan Dinas terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan dinas-dinas yang berada di wilayah penelitian. Selain itu, sumber data sekunder diperoleh melalui buku-buku dan berbagai jurnal khususnya yang terkait dengan rantai nilai, sustainable cluster, volatile foods supply chain, rumusan strategi dan pengambilan keputusan berdasarkan multi kriteria (multi-criteria decision making).

    Metode pengumpulan data primer, khususnya yang terkait dengan perumusan roadmap pengembangan klaster dan usulan strategi klaster nasional dilakukan melalui in-depth interview, kuesioner, FGD, dan survei lapangan. Wawancara dilakukan secara langsung (face to face) dan mendalam dengan responden ahli. In-depth interview menggunakan kuesioner kepada 35 responden petani, 3 orang pedagang dan 2 orang pengolah pada komoditas beras, cabai merah dan bawang merah di masing-masing lokasi. Dalam FGD di lokasi penelitian, selain melibatkan petani, pedagang, dan pengolah juga melibatkan instansi-instansi terkait seperti: Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perhubungan, Dinas Perindustrian, Bappeda/Pemda, akademisi lembaga keuangan formal maupun non-formal, dan tokoh masyarakat. FGD dilakukan juga pada level nasional untuk mendapatkan masukan dari stakeholders terhadap roadmap, usulan integrasi klaster secara nasional, dan prioritas strategi. Peserta FGD nasional berasal dari Bappenas, Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog.

    Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui literature review terhadap kajian yang sudah dilakukan. Kajian tersebut dapat berupa hasil penelitian, best practices, maupun kebijakan yang terkait dengan pengembangan klaster sebagai pengendali inflasi. Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan data, sumber data, teknik pengumpulan dan teknik analisis data dapat dilihat pada Tabel 3.1.

  • BaB III - METODE PENELITIaN

    30

    Tabel 3. 1. Hubungan antara Tujuan Penelitian dan Data

    Tujuan Data Sumber DataTeknik

    Pengumpulan Data

    Teknik Analisis

    Memperoleh arah pengembangan dan penguatan klaster komoditas Volatile Foods.a. Impact evaluation

    (before – and after comparisons)

    b. Pengembangan klaster

    Data primerdan sekunder

    Responden, informan kunci dan laporan kegiatan

    Survei lapang dan desk study

    Statistikparametrikdan non-parametrik

    Menetapkan roadmap pengembangan klaster

    Data primerdan sekunder

    Informan kunci dan laporan kegiatan

    FGD dan nasi dan nasional nasional dan Desk study

    Kualitatif

    Memperoleh usulan integrasi klaster secara Nasional, dan prioritas strategi

    Data primerdan sekunder

    Informan kunci FGD SWOT dan AHP

    Dalam penelitian telah ditetapkan tiga komoditas volatile food yaitu beras, cabai dan bawang merah. Untuk masing-masing komoditas dipil