konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

33

Upload: dodysopril

Post on 06-Jul-2015

1.589 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly
Page 2: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

HTTT

ABSTRAK

Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan. Para wanita di dalam bisnis

seks bekerja di berbagai macam lingkungan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi

diskriminasi dan kekerasan yang parah. Pelokalisasian PSK (pekerja seks komersial)

tidaklah tindakan yang tepat. Keputusan ini hanya membuat masyarakat bingung dan

timbul opini legalnya kemaksiatan dimasyarakat daripada dibiarkan tidak terkontrol. Bila

dilihat dari sumber permasalahan terjadinya PSK yang menjamur dan kebijakan

dilokalisasikannya prostitusi, diakibatkan kebutuhan ekonomi. Timbul berbagai masalah

dari penutupan lokalisasi Dolly yakni bisa mempunyai dua fungsi yaitu fungsi manifes

dari penutupan Dolly tersebut diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku

keji yang meresahkan banyak masyarakat. Mengurangi penderita penyakit yang

mematikan yakni virus HIV dan AIDS. Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly

tersebut diantaranya memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas

seks semakin bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus

HIV dan AIDS sulit ditangani, hal inilah yang harus dipertimbangkan dari penutupan

lokalisasi Dolly.

(Kata kunci : Prostitusi, Penutupan Lokalisasi Dolly)

Page 3: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Masalah yang dialami kaum perempuan di Indonesia salah satunya adalah tindak

kekerasan yang dilakukan laki-laki seperti misalnya kekersaan seksual, memukul, dan

menyiksa sehingga mengakibatkan perempuan menjadi takut dan trauma. Permasalahan

trauma dengan kaum laki-laki menjadi salah satu alasan kaum wanita lari ke area yang

tidak lazim. Banyak tempat yang dipilih kaum wanita sebagai tempat pelarian mereka

yaitu seperti Klub malam, diskotik, tempat karaoke, dan ada juga yang terjerumus

kedunia hitam seperti prostitusi. Kaum wanita yang memilih prostitusi sebagai tempat

pelarian umumnya tinggal dan berada di lokalisasi. Sedangkan alasan dari para wanita

yang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) ini tentunya berbeda satu sama lain.

Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum

peradaban modern menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kala telah ditemukan

prostitusi atau pelacuran ini, ambil contoh kecilnya pada zaman Nabi Muhammad SAW

saja prostitusi ini telah ada dan menjadi suatu permasalahan yang pada saat itu menjadi

gambaran masyarakat pada zaman tersebut. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur

atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa seksual.

Sedangkan menurut istilah prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan

cara menyerahkan diri atau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau

imbalan dari orang yang memakai jasa saksualnya tersebut.

Prostitusi atau pelacuran ini merupakan penyakit masyarakat yang tidak bisa dihapus

atau dimusnahkan dari kehidupan kita. Karena banyak faktor pendukung untuk terjadinya

prostitusi mulai dari factor keluarga yang bisa dikatakan keluarga gagal, maksud gagal disini

adalah Broken Home dimana ada banyak permasalahan yang timbul dari Broken Home

tersebut mulai dari cacat mental, cacat adab prilaku, sehingga seseorang yang mengalami

masalah ini merasa ingin melakukan segala sesuatu sesuai kehendak hatinya sebagai luapan

emosi atau hanya sekedar ingin memuaskan dirinya. Atau ada juga akibat factor lingkungan,

disini lingkungan memegang andil sangat penting dalam pembentukan kepribadian

seseorang, walaupun keluarga merupakan factor pembentuk kepribadian yang utama tetapi

Page 4: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

tidak menutup kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan

kepribadian seseorang, Selain itu juga ada factor pengaruh ekonomi dimana seorang yang

berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap nasi,

dan masih banyak lagi factor- factor yang mendukung terjadinya prostitusi atau pelacuran itu

tercipta.

Alasan kaum wanita ini terjerumus ke lokalisasi bukan hanya karena mereka merasa

sakit hati kepada laki-laki karena merasa dikhianti dan ditindas kaum laki-laki namun ada

juga dari meraka yang mengalami kekerasan seksual dan pengalaman seksual dini serta

karena sebab lainnya seperti faktor ekonomi, alasan lain mereka terjerumus kedunia ini yaitu

akibat rasa takut ditinggalkan kekasih sehingga para wanita ini rela melakukan apa saja yang

bisa menyenangkan sang kekasih (Penepoulosi, 2000: 42).

Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas

ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang

sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian

dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling

menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai.

Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang

sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam

bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar.

Apabila persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah bagaimana

setiap pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para

pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang

relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang

ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis

yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai

cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu.

Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memaksa atau melakukan pemaksaan

terhadap seseorang untuk bekerja sebagai pelacur dalam bisnis pelacurannya. Pemaksaan ini

dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penipuan, penjeratan utang, intimidasi,

Page 5: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

penculikan dan berbagai cara lain yang menyebabkan seseorang mau tidak mau, setuju tidak

setuju harus bekerja dalam bisnis pelacuran.

Mengingat pelacuran ini merupakan bisnis gelap maka penyelesaian dan penanganan

masalah ini semakin rumit, apalagi pelacuran merupakan bisnis perdagangan tanpa adanya

barang yang diperdagangkan dan dilakukan di tempat tertutup sehingga untuk membuktikan

telah terjadinya hal tersebut sangat sulit. Tetapi sulit tidak sama dengan mustahil, untuk itu

walaupun penanganan masalah pelacuran ini sulit kita tetap harus berusaha untuk

menyelesaikan masalah tersebut.

Namun yang lebih parahnya lagi prostitusi kini sudah merebah dikalangan pelajar

(remaja) Apalagi remaja sedang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.

Mereka biasanya ingin mencoba-coba sesuatu. Mereka juga ingin dihargai di group nya

(teman sebaya).

Gaya hidup dinilai menjadi salah satu faktor utama pendorong remaja terlibat prostitusi.

Gaya hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan sinetron di televisi.

Remaja digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang yang dimilikinya. Padahal

dengan terlibat prostitusi, para remaja itu sangat rentan terinfeksi penyakit menular seperti

HIV dan AIDS.

Bukan hanya factor gaya hidup yang mempengaruhi terjadinya prostitusi dikalangan

pelajar (remaja). Prostitusi juga terjadi karena sebagian remaja tidak memahami mengapa

terjadi kehamilan, menstruasi, dan hal lain yang terkait dengan seksualitas sehingga dengan

mudah mereka tergabung dalam dunia prostitusi ini. Minimnya pengetahuan mengenai seks

telah membuat para remaja tidak memiliki penangkal dalam soal seksualitas.

Untuk menangkal agar remaja tidak terlibat prostitusi, pendidikan seksual dan

kesehatan reproduksi di sekolah menengah sangat penting. Materi yang diajarkan bukan soal

hubungan seksualnya, pasalnya di Indonesia berbicara seks masih dinilai tabu. Pendidikan

seks lebih menekan pada kesehatan seksual atau reproduksi yang baik. Serta peran orang tua

juga sangat penting. Orang tua harus mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.

Apalagi remaja yang mulai beranjak dewasa biasanya perlu pengetahuan seks yang memadai.

Komunikasi antara anak dan orang tua harus pula terjalin. Dengan hubungan yang hangat,

Page 6: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

biasanya akan lebih terbuka dengan persoalan yang dihadapinya. Orang tua harus belajar

mengatasi konflik yang dihadapi remaja dan mampu memberi solusinya.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa yang menjadi faktor penyebab tumbuhnya prostitusi ?

B. Apa sajakah yang menjadi problem dari prostitusi ?

C. Bagaimanakah akibat yang muncul dari adanya pelacuran ?

D. Apa sajakah peraturan yang terkait prostitusi ?

E. Apakah pro kontra didalam masyarakat atas penutupan lokalisasi dolly ?

F. Apa saja akibat penutupan dari lokalisasi dolly di lihat dari aspek sosiologis ?

G. Bagaimanakah cara menanggulangi prostitusi ?

Page 7: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

III. KERANGKA TEORI

A. STUDI PENELITIAN TERDAHULU

Nur Kholis Aziz “Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Pengaturan Lokalisasi Pelacuran di

Kabupaten Tulungagung”. Dalam isi skripsi tersebut. Bahwa sebenarnya tidak ada

landasan hukum yang menjadi pertimbangan, sehingga dibukanya lokalisasi pelacuran di

Kabupaten Tulungagung, namun pertimbangan Pemerintah Daerah melokalisasi pelacuran

melalui Peraturan Daerah Nomor 29 tahun 2002, tentang penyelenggaraan Ketertiban

Umum adalah: pertama,untuk penyelenggaraan ketertiban umum, dalam rangka

menciptakan kebersihan, ketertiban dan menanggulangi praktik-praktik pelacuran liar di

tempat-tempat umum. Kedua,sebab-sebab timbulnya pelacuran karena adanya faktor

ekonomi, lingkungan, urbanisasi, dan problem keluarga yang saling berkaitan, untuk itu

harus dipahami.

Meskipun pelacuran dikatakan penyakit masyarakat yang dengan perlakuannya berakibat

pelanggaran ketertiban umum, namun pelacuran tidak dapat hanya diselesaikan secara

hukum, tapi juga melalui jalan memahami kehidupan sosial. Karena terkait antara

pencakupan biologis dan nafkah hidup bagi warga Negara. Pembinaan ketrampilan juga

menjadikan upaya memberi solusi pekerjaan bagi mereka. Payung hukum yang dijadikan

perlindungan lokalisasi pelacuran di Kabupaten Tulungagung adalah, Peraturan Daerah

Nomor 29 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan ketertiban umum, dimana melacurkan

diri perbuatan asusila yang hanya dijerat kalau dilakukan ditempat umum. Misalnya

dilakukan di jalan-jalan dan tempat-tempat terbuka. Adanya 2 (dua) lokalisasi pelacuran di

Ngujang dan Kaliwungu Tulungagung ternyata selama ini tidak ada payung hukum yang

kuat, yang dijadikan perlindungan lokalisasi. Sedangkan, keberadaan lokalisasi pelacuran

tersebut masih eksis selama ini di dua lokalisasi Ngujang dan Kaliwungu, hal tersebut

hanya karena pertimbangan sosial dari Pemerintah Dearah sebagai jalan alternatif saat ini.1

1Nur Kholis Aziz, Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Pengaturan Lokalisasi Pelacuran di

Kabupaten Tulungagung,Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Tulungagung, 2007

Page 8: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

B. TEORI YANG RELEVAN

KONFLIK

Berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih

(bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain

dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik

dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu

interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,

kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan

dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi

yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak

pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat

lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu

sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan

sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan

integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.

1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan

kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada

berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara

dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan

kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini

terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau

tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh

persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di

dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.

Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada

konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

Page 9: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi

pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan

organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang

sangat dekat hubungannya dengan stres.

5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua

atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun

terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak

yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak

mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara

negatif (Robbins, 1993).

7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,

kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,

pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang

diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku

komunikasi (Folger & Poole: 1984).

9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang

ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil,

maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps,

1986:185; Stewart, 1993:341).

10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang

lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang

berbeda – beda (Devito, 1995:381)

Konflik dalam masyarakat dikelompokkan menjadi beberapa kategori antara lain:

Konflik pribadi

Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi antarpribadi karena adanya

perbedaan-perbedaan tertentu yang saling dipertahankan oleh masing-masing

pihak.

Konflik rasial

Page 10: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Konflik rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena

kepentingan kebudayaan yang saling bertabrakan.

Konflik politik

Konflik politik menyangkut golongan-golongan dalam masyarakat (kepentingan)

maupun di antara negara-negara yang berdaulat.

Konflik antarkelas sosial

Konflik antarkelas sosial adalah konflik yang umumnya terjadi karena perbedaan

kepentingan masing-masing kelas sosial. Misalnya seperti yang diungkapkan

oleh Karl Marx yaitu konflik antara kelas borjuis dan proletar (buruh).

Konflik antarkelompok

Konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi karena persaingan untuk

mendapatkan mata pencaharian yang sama atau terjadi karena pemaksaan unsur-

unsur kebudayaan tertentu. Di samping itu mungkin ada pemaksaan agama,

dominasi politik, adanya konflik tradisional yang terpendam.

Konflik internasional

Konflik internasional biasanya berawal dengan adanya pertentangan antara dua

negara karena kepentingan yang berbeda. Konflik internasional yaitu

pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok negara (blok) karena

perbedaan kepentingan.

Konflik berbasis massa

Konflik berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa. Aspek

kognitif dan afektif rakyat yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi

aliran dan ideologi kelompok dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang

efektif

SEJARAH TENTANG PELACURAN/ LOKALISASI

Sejarah profesi prostitusi merupakan profesi yang tua dalam sejarah, hanya saja tidak

dapat dipastikan siapa yang lebih tua antara profesi prostitusi/ pelacur dan profesi

lawyer/advokad. Profesi pelacur dan juga hakim, lawyer, serta dokter bersama-sama

dengan dukun para normal disebut-sebut sebagai 4 (empat) profesi yang tertua dalam

Page 11: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

sejarah dunia.2 Sama halnya dengan kemiskinan, pelacuran merupakan masalah

sosial yang tertua, sejak adanya norma-norma perkawinan dalam pergaulan hidup

manusia. Sejak itu pula gejala masyarakat yang dikenal dengan pelacuran, dan

penyimpangan dari norma-norma perkawinan yang sah bisa merupakan zina/

pelacuran.3

Timbulnya pelacuran sama tuanya dengan sejarah timbulnya tata tertib masyarakat

seperti perkawinan atau pernikahan. Perwujudan saat itu berlainan dengan praktik

pada saat ini, hal ini tentunya berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan

peradaban itu sendiri di berbagai daerah. Pelacuran telah lama ada dan dikenal,

dalam sejarah manusia seperti diantaranya: Amerika Serikat, Yunan dan Romawi

Kuno, serta di kerajaan Tiongkok lama dan sejak berabad-abad silam. Sejalan

dengan perkembangan sejarah pada masa-masa dahulu, dimana masyarakat masih

sederhana, sebagai suatu gejala. Hal ini lebih banyak dijumpai di negara Amerika

Serikat.

Sejak zaman koloni banyak perempuan masuk daerah Amerika Serikat, dari Eropa

bersama dengan kaum pendatang lainnya. Beberapa diantaranya datang bersama-

sama dengan kaum penjahat. Tulisan dan kotbah-kotbah kaum pendatang semuanya

memberikan gambaran, tentang kejahatan dan pelacuran di daerah-daerah Amerika

Serikat. Sepanjang pantai Gading dan beberapa suku Indian Amerika, masyarakat

memiliki kebiasaan untuk melacurkan istri, dan putri mereka guna mendapatkan

keuntungan tertentu.

Penggantian dari pihak suami menjadi hak seorang dewa menyebabkan adanya suku-

suku dahulu, melakukan pelacuran keagamaan atau dikenal dengan istilah “religious

prostitusi”. Sebagai contoh, yang terdapat di dalam buku Ewe Tshi yang mendiami

pantai Afrika Barat. Bahwa pendeta perempuan menganggap dirinya sebagai istri

dari dewa yang mereka sembah, dan untuk itu mereka melakukan hubungan kelamin

dengan laki-laki yang bukan suaminya.

2 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, PT. Adya Bakti, Bandung, 2003, hal 70.

3 Soejono D, Pathologi Sosial, Alumni, Bandung, hal 102

Page 12: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Perbuatan itu dianggap bukan sebagai perbuatan yangtercela. Demikian halnya di

India sejak abad ke-8 dan ke-9, penyanyi-penyanyi di biara sering melakukan

hubungan kelamin sebagai bentuk pemujaan.

“Pada zaman kerajaan Yunani Kuno pelacuran merupakan suatu lembaga sosial yang

terhormat dan diakui oleh publik. Istri-istri raja Yunani Kuno, harus berdiam diri

terus di rumah dan tidak boleh keluar serta dilarang berada di tempat-tempat umum

seperti pada pertandingan-pertandingan dan teater-teater, dan kalau mereka boleh

keluar oleh suaminya harus memakai kerudung muka. Mereka menganggap sebagai

penghasil anak yang akhirnya pria-pria Yunani Kuno, yang terhormat mencari

wanita-wanita pelacur untuk hiburan”4

Di Negara Roma hubungan badan (seksual) di luar perkawinan adalah dianggap

sebagai perbuatan penyelewengan moral, dan hal tersebut merupakan perbuatan

yang harus dikenakan sanksi hukuman berat. Meskipun kenyataan pada akhirnya

diadakan hukuman berat, namun pelacuran menjadi gejala sosial yang dianggap

lumrah. Apalagi ketika Kaisar Roma sendiri melanggar hukum dengan main

perempuan-perempuan pelacur, di tempat tertentu/ khusus yang mewah, lengkap

dengan tempat pemandian dan pemijatan. Maka akhirnya, larangan pelacuran itu

menjadi tidak berlaku, dan kesucian terhadap perkawinan yang sah menjadi rusak.

Di Yunani perzinaan dianggap adat kebiasaan hak istimewa seorang laki-laki, dan

perempuan ulung bisa menjadi perempuan yang mempunyai kedudukan tinggi dalam

masyarakat. Di Roma pada masa kekuasaan kekaisaran terakhir, ketika kerajaan

lama mengalami keruntuhan, perzinaan menjadi praktik umum dan biasa bagi laki-

laki maupun perempuan, yang belum atau sudah kawin. Dan perempuan dari kelas

tinggi/ kalangan mewah bisa turun pangkat menjadi pelacur yang menawarkan

dirinya, pada siapa saja asal dapat kepuasan.

4 B. Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Pathologi Sosial, Penerbit Tarsito, 1981. hal 22.

Page 13: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Setelah pengakuan dan penyebaran agama Nasrani, timbul pandangan baru terhadap

pelacur, dan berusaha mengembalikan mereka kejalan yang benar. Pandangan

demikian ini pada dasarnya mempersamakan kedudukan perempuan dan laki-laki di

hadapan Tuhan. Jadi, berbeda dengan masalah sebelumnya, pelacuran pada

hakikatnya tidak dapat di terima dan menjadi masalah sulit.

Di Eropa raja-raja pertama abad pertengahan, selain memperkenalkan sistem selir,

pelacuran juga pada abad pertengahan, mungkin hanya dapat dimengerti bila

dihubungkan dengan tiga macam kepentingan sosial. Pertama, adalah dihubungkan

dengan kesejahteraan keluarga, yaitu dengan menjaga anak istri dari pengaruh-

pengaruh pelacuran, dan juga untuk kepentingan agama. Dan kepentingan ini

merupakan pencegahan. Keduaadalah, untuk mencegah rumah pelacuran menjadi

tempat pusat kekacauan, kejahatan. Untuk kepentingan ini rumah pelacuran diawasi

oleh petugas pemerintah, dengan mengharuskan pelacur yang berpraktik mendapat

izin terlebih dahulu dari pemerintah. Ketiga,adalah kepentingan keuangan, dimana

pemerintah ingin mendapat bagian.

Pada permulaan abad XV ditandai dengan munculnya anggapan-anggapan baru

mengenai pelacuran, yaitu dengan kesadaran akan bahaya penularan penyakit

kelamin, yang telah melanda Eropa Selatan menjalang akhir abad XV dan

mengganaskan di abad XVI. Telah di perkirakan sepertiganya penduduk Eropa telah

meninggal, akibat penyakit kelamin dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.

Ketakutan ini diperbesar lagi dengan adanya tindakan pendeta-pendeta Gereja yang

tidak mampu untuk mengatasi persoalan pelacuran. Kemudian diadakan pengawasan

yang keras dan ketat, bahkan ditetapkan undang-undang yang berisi tentang

penghukuman para pelacur. Di Paris contohnya dengan ordonansi 1635 yang

menyebutkan bahwa, tanpa pengadilan resmi, pelacuran dapat dibuang keluar daerah

seumur hidup. Selanjutnya bahwa diharuskan pemeriksaan bagi pelacuran yang

untuk berobat di kota Paris, tetapi

Page 14: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

penyakit kelamin tersebut telah menjalar dengan cepat di abad XIX, sedang undang-

undang itu sendiri tidak mampu menghapuskan sesuai dengan harapan. Tetapi,

dengan pelacuran itu sendiri bukan merupakan penyebab satu-satunya penyakit

kelamin. Pelacuran hanya merupakan bentuk yang paling nyata dibanding hubungan-

hubungan kelamin di luar pernikahan. Sumber penyakit itu sendiri bukan berasal dari

para pelacur saja, melainkan dari laki-laki dengan siapa berhubungan. Pada perang

dunia ke-II, penyakit kelamin yang tidak terkontrol oleh pemerintah menjadi banyak,

maka pada tahun 1919 liga bangsa-bangsa mengambil keputusan, mempercayakan

persetujuan mengenai perdagangan-perdagangan wanita, dan pelacuran di bawah

pengawasan Internasional.

Konverensi Jenewa tahun 1921 menyarankan rencana persetujuan, yang memohon

dewan liga bangsa-bangsa untuk membentuk komite penasihat, dan menyarankan

supaya wakil-wakil negara yang di undang untuk membuat laporan tahunan,

mengenai pelacuran di negaranya masing-masing. Sementara pelacuran berada di

Indonesia sejak masih berbentuk kerajaan. Dalam hal ini Rukmini Kusuma Astuti

menyatakan:

“Hal tersebut berakar adanya kelas dalam masyarakat, kelas tuan tanah, dan kelas

petani miskin. Golongan pertama mempunyai kedudukan ekonomi kuat sehingga

mereka mampu memelihara istri dan selir. Selir-selir ini banyak diambil dari

keluarga petani dan rakyat kecil. Keadaan yang demikian menimbulkan

perguncingan dan pelacuran.”5

PENGERTIAN PROSTITUSI ATAU PELACURAN

Pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti

membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan

pergendakan. Sehingga pelacuran atau prostitusi bisa diartikan sebagai perjualan jasa

seksual, seperti oral seks atau hubungan seks untuk uang.

5Rukmini Kusuma Astuti, Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat, Thesis, Fakultas

Psikologi Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, hal 17

Page 15: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Pelacur wanita disebut prostitue, sundal, balon, lonte; sedangkan pelacur pria disebut

gigolo. Pelaku pelacur kebanyakan dilakukan oleh wanita. (Samad : 2012)

Bloch (dalam Winaya, 2006) berpendapat pelacuran adalah suatu bentuk

perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada

siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk

persembahan maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang

diinginkan oleh yang bersangkutan.

Sekanto (dalam Syani, 1994 : 193) menganggap pelacuran itu sebagai suatu

pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan

perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Ia memandang hal itu

adalah suatu pekerjaan yang mendapat imbalan, artinya keterlibatan seseorang dalam

hubungan pekerjaan itu mempunyai keteraturan dan secara lahiriah tidak

memperlibatkan adanya unsure paksaan atau pemerkosaan.

Untuk lebih luas dan mendalam memahami prostitusi atau pelacuran ini, maka

penulis akan mengulas beberapa pendapat dan rumusan para ahli mengenai

pelacuran sebagai berikut:

1. Amstel (dalam kartini kartono, 1980 : 205), mengatakan bahwa: prostitusi adalah

penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki- laki dengan pembayaran.

2. Kartono (1988 : 206) mengatakan bahwa:

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi

impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintergrasi, dalam

bentuk pelampiasan nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang

(promiskuitas).

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan

badan, kehormatan dan kepribadian kepda banyak orang untuk memuaskan

nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya

untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Page 16: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

IV. PEMBAHASAN

A. FAKTOR PENYEBAB TUMBUHNYA PROSTITUSI

Menurut Soedjono (dalam Winaya: 2006), motif-motif atau faktor penyebab yang melatar

belakangi tumbuhnya pelacuran atau praktik prostitusi adalah:

1. Tekanan ekonomi.

2. Aspirasi materiil yang tinggi dalam diri wanita dan kesenangan-ketamakan terhadap

pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah namun

malas bekerja.

3. Rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah seks khususnya untuk remaja yang

kemudian masuk ke dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan orang-orang yang

tidak bertanggung jawab.

4. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan.

5. Adanya kebudayaan eksploitasi pada jaman modern khususnya terhadap kaum lemah

(wanita) untuk tujuan komersial.Peperangan dan masa kacau di dalam negeri

meningkatkan pelacuran.

6. Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah pertambangan dengan

konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan rasio kaum pria

dan wanita di daerah tersebut.

7. Perkembangan kota-kota daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan

menyerap urbanisasi tanpa ada jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan kecuali

menjadi PSK bagi anak-anak gadis.

8. Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat.

Berdasarkan uraian diatas seolah-olah pelacuran bukan suatu masalah sosial, akan tetapi

secara social justru yang menjadi persoalan adalah karena adanya keteraturan dengan

dukungan keamanan itu yang akan membuat profesinya menjadi berkembang dan

melembaga. Dan dalam prostitusi tersebut ada yang disebut dengan germo, yang

kemudian diperhalus menjadi Bapak atau ibu asuh, sementara yang diasuh sebagai anak

asuh.

Page 17: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Dua Faktor Besar Pendorong Timbulnya Pelacuran

1. Faktor Kejiwaan

Sejumlah faktor psikologi tertentu memainkan peranan penting yang

menyebabkan seseorang perempuan melacurkan diri. Bahwa, perempuan-

perempuan yang menjadi pelacur itu, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang

miskin atau agak miskin. Orang tua mereka berwatak lemah dan kebanyakan

kurang pendidikan. Standar modal keluarga keluarga mereka pada umumnya

rendah, dan cara orang tua mereka memberikan pembentukan disiplin adalah,

tidak bijaksana dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kurangnya kasih sayang dapat membawa pada keadaan tak berdaya. Di samping

itu juga, di dukung sejumlah faktor sosial, misalnya keinginan untuk melepaskan

diri dari kenyataan hidup keluarga, dan masyarakat yang tidak tertahankan lagi.

Adanya keinginan untuk mengikuti cara hidup di kota-kota dengan segala

kemewahaan, juga dapat mendorong seseorang melacurkan diri. Dalam hal ini

Rukmini menyebutkan sebagai berikut:

“Faktor moral individu dan moral masyarakat sebagai faktor yang cukup penting

artinya di dalam terjadinya pelacuran. Hal ini dapat dilihat di negara-negara yang

telah maju, dimana faktor ekonomi sering dianggap bukan faktor lagi yang

menyebabkan bukan wanita melacurkan diri, tetapi dikarenakan juga adanya

demoralisasi yang dialami oleh masyarakat dan individu pendukungnya, Di dalam

usaha pemuasan nafsu sexsual seseorang, peranan sanksi masyarakat yang

tercermin dalam keadaan moralnya sangat menetukan tindakan seseorang dan

karenanya itu masalah pemuasan sex untuk mengadakan hubungan kelamin bukan

hanya masalah kebutuhan biologis semata. Selanjutnya dikatakan, pembentukan

moral individu terutama dalam kehidupan sexnya, sangat ditentukan oleh

pendidikan didalam keluarga, dimana individu diperkenankan untuk pertama

kalinya dengan baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, benar dan salah serta hal

lainnya. Kemudian moral seks tersebut terinternanasi oleh si anak tanpa disadari.6

6Rukmini Kusuma Astuti, Op., Cit, hal 35.

Page 18: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Kegagalan-kegagalan di dalam hidup individu karena tidak terpuaskan

kebutuhannya (baik biologis maupun sosial), dapat menimbulkan efek psikologis.

Sehingga, mengakibatkan situasi kritis pada diri individu tersebut. Di dalam

keadaan kritis ini mudah mengalami konflik batin, dan sadar atau tidak sadar

mereka mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitannya. Dalam keadaan yang

demikian inilah orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat. Seperti yang

telah disebutkan oleh Warauow, berbagai faktor psikologis yang dapat

menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur adalah sebagai berikut:

1) IQ rendah sekitar 65 % sebagian besar wanita pelacur mempunyai IQ rendah,

yang terbagi: labilitas, dengan IQ 70-90, imbesil dengan IQ 50-70 dan idiot

dengan IQ dibawah 50, mereka yang idiot ini jarang hidup diatas 30 tahun.

2) Kehidupan sosial yang abnormal, misalnya: hipersexual dan sadis sex.

3) Kepribadian yang lemah misalnya meniru.

4) Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya kurang dapat membedakan

baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dan lain-lain.

5) Mudah terpengaruh (suggestible).

6) Memiliki motif kemewahan, yakni menjadikan kemewahan sebagai tujuan

utama.

2. Faktor Sosial Ekonomi.

Sejumlah faktor sosial ekonomi sering disebut sebagai faktor pendorong

seseorang melacurkan diri. Faktor ini dapat dikaitkan dengan teori anatomi

Durkheim, yang didasarkan pada anggapan banyak kebutuhan ekonomi tidak

terpenuhi. Dengan demikian diperlukan aturan umum ataupun sesuatu, yang

menjaga tindakan sewenang-wenang dari pada anggota masyarakat yang ingin

memenuhi kebutuhannya itu.

Bila aturan-aturan tidak dapat dilaksanakan ataupun tidak dapat lagi mengontrol

keadaan, timbulllah situasi seolah-olah tidak ada lagi norma, peraturan-peraturan

mengikat dengan sangat lemah. Keadaan anatomipun akan menguasai

masyarakat. Biasanya pelanggaran terhadap depresi ekonomi, ataupun ketika

pesatnya kemajuan teknologi di dalam masyarakat. Teori sosial diatas secara

khusus pula dapat dipakai dalam usaha menjelaskan mengapa seorang melacurkan

Page 19: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

diri. Reckless menyebutkan sejumlah kondisi sosial ekonomi yang amat penting

artinya dan menjerumuskan seorang perempuan melacurkan diri. Keadaan sosial

tersebut adalah:

a. Berasal dari keluarga miskin yang umumnya tingal di desa terpencil.

b. Melakukan urbanisasi karena menginginkan perbaikan nasib di kota-kota

besar, diantaranya mereka yang sedang hamil tanpa suami.

c. Pada umumnya mereka tidak memiliki keahlian tertentu.

d. Berasal dari keluarga yang pecah (broken home).

e. Telah dicerai suaminya.

f. Jatuh ke tangan-tangan agen rumah bordil yang sedang giat mencari mangsa-

mangsa baru, untuk dijadikan penghuni tetap rumah-rumah pelacuran.

Adanya pemupukan kekayaan pada golongan tertentu, terjadinya kemlaratan pada

golongan bawah atau dengan kata lain, adanya hierarki di bidang kehidupan

ekonomi, memudahkan bagi penguasa rumah bordil mencari wanita-wanita dari

kelas melarat. Hubungan faktortersebut dapat melahirkan pelacuran, tidak hanya

masalah ekonomi saja tetapi faktor sosial dan hukum sangat menentukan

terjadinya proses ini.

B. PROBLEM PROSTITUSI

a. Pelacuran sebagai masalah sosial

Pelacuran merupakan masalah sosial, karena merugikan masyarakat dalam hal

ketentraman, kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari kehidupan

bersama. Hal ini menjadi nyata biladihubungkan dengan penularan penyakit

kelamin, ajaran beberapa agama dan adat tradisi suku-suku bangsa Indonesia.

b. Pelacuran dan penyakit kelamin

Pelacuran dapat mendatangkan penyakit kelamin yang amat berbahaya, seperti

misalnya: sipilis dan kencing nanah yang dapat dengan mudah ditularkan

kepada istri, dan anak-anak si penderita. Betapa meluasnya penyakit kelamin

ditengah-tengah masyarakat dapat dilihat dari tulisan Rukmini (1984 :68) yang

menyatakan sebagai berikut:

Page 20: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

“Menurut hasil pelaksanaan survey lembaga P4K di Surabaya maka diperoleh

data sebagai berikut: diantaranya alat-alat negara didapatkan angka sipilis aktif

dan laten sebesar 30,8 persen, buruh-buruh pabrik dan perusahaan 10,5 persen,

rakyat bebas di dalam suatu kampung 8 persen, diantaranya mahasiswa 1,61

persen dan diantaranya ibu-ibu hamil yang memeriksakan diri di B.K.I.A di

kota Surabaya didapatkan sipilis 11,16 persen.”7

Dari hasil survey di atas kiranya dapat digaris bawahi, bahwa majunya

pengetahuan di bidang obat-obatan, ternyata belum dapat membatasi dan

menjamin melusnya penyakit kelamin di masyarakat. Ada beberapa hal yang

menyulitkan usaha-usaha untuk membatasi meluasnya penyakit kelamin,

terutama karena belum adanya kesadaran dari banyak perempuan pelacur akan

bahaya-bahaya yang dapat di timbulkannya. Adamang Rochim, menuliskan

hasil penelitiannya terhadap 122 orang pelacur sebagi berikut:

“Hampir lima puluh persen diantara mereka tidak dapat injeksi. Berdasarkan

hasil observasi penulis ada beberapa wanita pelacur yang memang takut di

injeksi, sehingga walaupun datang di tempat penyuntikan itu dia. Hanya

membayar uang Rp. 75, 00 dengan menyerahkan kartu kemudian diberi tanda

bahwa ia mudah di injeksi yang sebenarnya mereka tidak mau di injeksi.”8

Dari hasil penelitian di atas selanjutnya dapat diberi kesimpulan, bahwa

penyakit kelamin yang menyertai pelacuran mempengaruhi kesejahteraan

sebagai anggota masyarakat, karena penyakit kelamin mengancam

keselamatan, ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani, maupun

sosial mereka. Pelacuran sebagai masalah sosial, yang telah dibahas dari segi

penyakit kelamin yang ditimbulkan, juga akan dilihat dari pandangan agama,

yakni Agama Islam. Pelacuran dilihat dari pandangan agama menyangkut

nilai-nilai, yakni nilai yang buruk.

7Rukmini Kusuma Astuti. Op., Cit. hal 68.

8Adamang Rochim, 19981, Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat Kesejahteraan

Keluarga, Penerbit Tarsito, Bandung, hal 68.

Page 21: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Pengertian buruk antara lain, disebutkan dalam hukum Islam yang bersumber

dari Al-Qur’an dan Hadis NabiMuhammad saw, di dalam Al-Qur’an tidak ada

ayat yang menyebutkan pelacuran tetapi hanya menyebut perzinaan. Pelacuran

merupakan perzinaan menurut pandangan agama Islam. Mengenai sanksi

hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang pezina, Allah swt. Didalam

Surat An-Nur ayat 2, Al-Qur’an dan terjemahannya sebagai berikut:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap

seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada

keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu

beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman

mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Nabi Muhammad saw. Sangat mengutuk perbuatan zina, karena zina termasuk

perbuatan dosa besar dalam Islam. Para Imam empat madzhab didalam Islam,

yaitu Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi’i bersepakat, bahwa perbuatan zina

adalah suatu dosa besar yang wajib dikenakan hukuman kepada para

pelakunya. Dengan demikian pelacur merupakan masalah yang harus di

tanggulangi karena bertentangan dengan moral Islam.

c. Pelacuran Dilihat dari Pandangan Adat Tradisi.

Pelacuran merupakan masalah sosial, bukan hanya bila ditinjau dari segi

penularan penyakit kelamin dan pandangan Islam. Tetapi juga merupakan

masalah sosial bila dilihat dari segi adattradisi, sebagaian besar suku-suku

bangsa di Indonesia yang telah mengakui lembaga perkawinan sebagai

lembaga yang luhur. Sehingga setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan,

merupakan perbuatan tercela, bahkan dapat menyebabkan pertumpahan darah.

Reaksi masyarakat terhadap delik kesusilaan tidak dapat diabaikan. Sehingga,

hendaknya adat tradisi dapat dijadikan dasar dalam putusan hakim dalam

menerapkan delik kesusilaan ini. perempuannya karena diketahui telah

melakukan hubungan gelap dengan laki-laki lain yang bukan suaminya.9

9Nur Kholis Aziz, Op., Cit. hal 45

Page 22: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

C. AKIBAT ADANYA PELACURAN

Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun positif.

Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif, yaitu

akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam-macam penyakit kotor

dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan kelamin atau

penyakit hubungan seksual (PHS).

Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk

demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga

demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.

Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan nar-kotika,

karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya para

penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang sedang ber-masalah

dengan keluarga atau masalah yang lain.

Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan

eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita-wanita

pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus

diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus diberikan kepada germo, para

calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari akibat berbahayanya, gejala

pelacuran merupakan gejala sosial yang harus ditanggulangi, sekalipun

masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat sulit memberntas dan

menang-gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin banyak tipe-tipe

pelacuran yang ada dalam masyarakat.

Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.

Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-sendi dalam

keluarga rusak. Semakin banyak pengguna akan semakin memperbanyak jumlah

WTS ini, dan akan menular ke masyarakat luas.

Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama

Page 23: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan

agama . Karena pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral,

susila, hukum dan agama

Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan

minuman keras Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan

narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam

hubungan seksual

Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.

Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids,

HIV Aids sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak

merambat terlalu jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit

jaringan prostitusi ini .

D. PERATURAN TERKAIT PROSTITUSI

Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP

untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang

sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan,

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sedangkan untuk

pelakunya sendiri belum ada hukumannya .

Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah sukar dan harus melalui proses

dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan yang besar. Usaha untuk

mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Usaha yang bersifat preventif

Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk

mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :

penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan

penyelenggaraan pelacuran.

pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat

keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan

Page 24: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan kodrat dan

bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan

hidup setiap harinya.

penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam

kehidupan keluarga

penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar

porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks.

meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya

2. Tindakan yang bersifat represif dan kuratif

Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan

dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian

membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain berupa :

melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan

atau kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada umumnya di daerah

terpencil yang jauh dari keramaian.

untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan

resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang

susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui: pendidikan moral

dan agama, latihan–latihan kerja dan pendidikan keterampilan agara mereka

bersifat kreatif dan produktif.

penyempunaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang

terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-

masing.

menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan

profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila.

E. PRO KONTRA MASYARAKAT ATAS PENUTUPAN LOKALISASI

DOLLY

Gang Dolly merupakan tempat pelacuran yang diperkirakan terbesar di Asia

Tenggara menjadi salah satu lokalisasi yang ramai dikunjungi oleh para lelaki

Page 25: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

hidung belang baik tua maupun muda, apalagi ketika malam hari di gang-gang

Dolly tersebut seringkali macet Kemaksiatan (perzinaan) yang seringkali

memunculkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Saat ini gencar-gencarnya isu

penutupan gang Dolly diwacanakan dari berbagai pihak. Dan hal tersebut juga

banyak yang mendukung, dan ada juga yang tak merelakan jika Gang dolly

tersebut ditutup.

Saifullah Yusuf wakil gubenur mendesak wali Kota Surabaya Tri Rismaharini

agar menutup lokalisasi Dolly. Usul tersebut didasari temuan 80% PSK

mengalami gangguan reproduksi hingga terjangkit penyakit kelamin. Sehingga

pemkot harus bersinergi membuat program pembinaan PSK seperti keterampilan

dan wirausaha (Jawa Pos, 29-09-2010)

Anggota komisi E (Kesejahteraan Masyarakat) Heri Prasetyo (kader partai

Demokrat-dapil Jember-Lumajang) menyatakan pemprov dan pemkot/pemkab

seharusnya bersinergi meningkatkan pemerataan pembangunan. Menurutnya

banyaknya PSK (pekerja seks komersial) karena faktor ekonomi dan kebanyakan

dari mereka berasal dari luar Surabaya sehingga harus diadakan program

pengentasan kemiskinan di daerah. Hal tersebut akan merangsang para PSK

tersebut ke daerahnya masing-masing. Kemudian, Dolly direhabilitasi menjadi

tempat industri atau perdagangan. Penutupan dilakukan secara pelan-pelan

dengan menyadarkan sekaligus memberikan solusi (Jawa Pos, 29-09-2010).

Anggota komisi C Sugiri Sancoko mengungkapkan meski pemkot meningkatkan

operasi yang melarang kedatangan PSK dari tempat lain, belum ada jaminan

upaya tersebut berhasil. Hal tersebut diakibatkan masih bergentangannya sindikat

trafficking (perdagangan manusia).

Ketua PCNU Kota Surabaya KH. Syaiful Fahmi juga menyatakan setuju dengan

penutupan lokalisasi yang menurut Eko Haryanto kepala Dinas Sosial “Dolly

Legal iya, gak juga iya”, dimana Dolly tidak pernah diresmikan sebagai lokalisasi,

jadi tidak ada landasan hukum untuk menutup lokalisasi tersebut (Jawa Pos, 01-

10-2010

Sebagian besar masyarakat mungkin menganggap bahwa pekerja seks komersial

merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas, karena menimbulkan

Page 26: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

dampak yang tidak baik di masyarakat. Namun dalam realitasnya masyarakat

mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang keberadaan PSK, ada

yangmenentang dan menolaknya namun ada pula yang menerimanya. Bagi

mereka yang menerima, antara lain dikarenakan:

a. Sebagian anggota masyarakat tersebut sudah kecanduan terhadap pelayanan

yang diberikan PSK, dengan cara yang mudah dan bisa mendapatkan kepuasan

sesaat.

b. Keberadaan PSK itu dianggap sebagai hal biasa, sehingga orang berperilaku

acuh tak acuh terhadapnya.

c. Keberadaan PSK telah mendatangkan keuntungan ekonomis begi kehidupan

mereka sehari-hari.

d. Sedangkan bagi mereka yang menolak, alasan yang kuat adalah karena factor

agama, kesopanan, tata susila, maupun adat ketimuran serta karena bisa

merusak moral generasi muda.

F. PENUTUPAN LOKALISASI DOLLY DI LIHAT DARI ASPEK

SOSIOLOGIS

Masalah tersebut yakni progja penutupan Dolly bisa mempunyai dua fungsi yaitu

fungsi manifes (diharapkan dan disadari) dan fungsi laten (tidak dimaksudkan dan

tidak disadari) yang mengadaptasi pendapat dari Robert King Merton seorang

sosiolog dari aliran modern. Fungsi manifes dari penutupan Dolly tersebut

diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku keji yang meresahkan

banyak masyarakat. Mengurangi penderita penyakit yang mematikan yakni virus

HIV dan AIDS. Sebagai salah satu perintah Allah untuk memerangi kemaksiatan

yakni amal ma’ruf nahi munkar.

Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly tersebut diantaranya

memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas seks semakin

bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus HIV dan

AIDS sulit ditangani, mematikan pendapatan warga sekitar Dolly seperti tukang

parkir, warung kopi, dan sebagainya.

Page 27: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

G. CARA MENANGGULANGI PROSTITUSI

Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera di-lakukan

sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama

kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan

adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh dalam

menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran. Dengan

demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha penanggulangan ter-

hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal akibat-akibat adanya

pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi anak-

anak di masa mendatang.

Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran

ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan

pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama

dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk

mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha-usaha untuk memberantas dan

menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha

preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang

usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari

ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari

perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama.

Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi

pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.

2. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-

anak usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.

3. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .

4. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam

kehidupan rumah tangga.

Page 28: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam

usaha penanggulangan pelacuran.

6. Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-

mahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.

Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau

mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain

(Kartini Kartono, 1998):

1. Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan

pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan

para pealacur dan para penikmatnya.

2. Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-

kembalikan sebagai warga masyarakat yang susila.

3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena

razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.

4. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan

profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru.

5. Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal

mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna

mengawali hidup baru.

6. Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk

perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.

Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the

Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap

Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk

kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas

internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi,

Page 29: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari

berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem

regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan

warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi

selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan

beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya

berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka

tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat

jalan itu terbuka.

Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam

melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan

Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI

Jakarta. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal

proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar

suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya

penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi

dengan segala eksesnya.

Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan

bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang

beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di

diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan

penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”.

Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan

dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan

cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik,

termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang

benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat

“kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk

risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para

Page 30: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan

kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap

AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk

terhadap anggota keluarga korban.

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi

bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal,

sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias

jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena

jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat

prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang

tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang.

Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh

membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan.

Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.

Seringkali pemerintah membuat kebijakan dengan tak memperhatikan fungsi laten

dari kebijakan tersebut. Fungsi manifes yang selalu menjadi prioritas pemikiran

mereka. Pemerintah sebaiknya terlebih dulu melakukan penyadaran sekaligus

pemberdayaan secara menyeluruh dan kritis terhadap PSK dan nasib ekonomi warga

sekitar lokalisasi. Baru berinisiatif untuk menutup Gang Dolly tersebut.

Page 31: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

V. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pelacuran merupakan masalah sosial yang berpengaruh sangat besar terhadap

perkembangan moral. Kondisi ini sangat mengkawatirkan terhadap masalah bagi

keluarga dan generasi muda, serta akan semakin menjalarnya penyakit kelamin.

Penyakit kelamin ini terasa semakin menjalar akhir-akhir ini karena semakin

banyaknya korban penyakit HIV/AIDS yang belum ditemukan obatnya. Pelacuran

berkembang karena dorongan tekanan-tekanan sosial, keputusasaan, kehilangan

pekerjaan, pelarian bagi yang putus cinta, dan semakin banyaknya orang yang

menggandrunginya. Hal ini ditandai oleh adanya fasilitas lokasi secara khusus, meski

beralasan daripada berkeliaran di jalan-jalan, di stasiun kereta api, di sekitar kantor

polisi, atau di tempat-tempat umum yang terlihat sepi. Pada masa sekarang angin

pelacuran semakin bias dengan penyebutan nama dengan pekerja seks komersil

(PSK) dibanding wanita tuna susila (WTS). Dari adanya nama ini, pelacur atau WTS

yang terkesan suatu penyimpangan perilaku, berubah pada posisi yang lebih baik kalo

tidak bisa dibilang lebih terhormat dengan sebutan PSK. Sebutan PSK memposisikan

mereka sebagai bagian dari salah satu profesi dalam masyarakat. Bila nilai-nilai moral

dan keterlanjuran itu semakin terpatri dalam jiwa para pelaku ditambah adanya

anggapan bahwa pekerjaan PSK mudah dilakukan, tidak memerlukan keterampilan

khusus, dan banyak mendatangkan uang dengan mudah, maka perkembangan

pelacuran semakin sulit diberantas. Meski mereka ditangkap dan diberikan

keterampilan suatu usaha, maka setelah menjalani hukuman, mereka akan kembali

kepada kegiatan pelacuran

Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dan diperlukan

penanganan khusus. Prostitusi ini sangat sulit dihilangkan karena sudah ada sejak

zaman dahulu. Ada dua faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi pelacur

yaitu faktor internal dan eksternal. Belum adanya undang-undang yang mengatur

tentang perbuatan perzinaan semakin meningkatkan jumlah prostitusi ini. Terlebih

kebijakan pemerintah yang terlalu longgar terhadap pihak-pihak yang terkait dalam

hal ini. Akibat dari prostitusi ini sendiri dapat menyebarkan penyakit kelamin dan

aids serta membuat semakin merosotnya moral masyarakat. Lokalisasi merupakan

Page 32: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

jalan keluar yang dirasa mampu diterapkan di Indonesia. Dengan adanya lokalisasi ini

akan mempermudah pemantauan terhadap para pelaku.

Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku

prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini

ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya

kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya.

Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana

kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan,

kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara

yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi

memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan,

iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi

mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk melacur

B. SARAN

Apapun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang

berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu

tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan

yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya

seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah

urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para

perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para

koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat .Masyarakat

bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu

melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di

lingkungannya.

Page 33: Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

DAFTAR PUSTAKA

Alam. A.S. 1984. Pelacuran dan pemerasan Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi Manusia oleh

Manusia. Bandung: Alumni

Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada

Kholis Nur Aziz. 2007. Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Lokalisasi Pelacuran di

Kabupaten Tulungagung. Bandung: UNITA

Penepoulosi, Michel. 2000. Lika-Liku Gadis Panggilan. Jakarta: CV. Pionir Jaya

Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah Berubah.

Program Studi kajian Wanita. Jakarta: PPS. UI

Rochim Adamang. 1998. Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat Kesejahteraan

Keluarga. Bandung: Penerbit Tarsito

Rukmini Kusuma Astuti. 1984. Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat. Thesis Fakultas

Psikologi Universitas Gadjahmada. Jogyakarta

Sidik, Saiz, Asyhariz. 2007. Persepsi Masyarakat Tentang prostitusi Liar. SkripsiSimanjutak

Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta

Soekanto, Soerjono.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrapindo Persada