kodetikedokteran..1th homework

34
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut sebagai hubungan (transaksi) terapeutik antara dokter dan penderita. Yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. Sejak ptrwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan. Inhotep dari Mesir, Hipocrates dari Yunani, Gelanus dari Roma merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi kedokteran yang tampil ke forum international kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut atas suatu etik professional. Etik tersebut sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat demi keselamatan dan kepentingan penderita. Etik itu sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu beneficience, non maleficience, autonomy Etik Kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma- norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya dan dimiliki azas-azasnya dalam falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia- azas itu adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan UndangUndang Dasar 1945 sebagai landasan struktural. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, kami para dokter Indonesia, baik yang bergabung secara fungsional terikat dalam Ikatan Dokter

Upload: andhyka-brillian-kharisma

Post on 25-Nov-2015

26 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

kodekk

TRANSCRIPT

Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut sebagai hubungan (transaksi) terapeutik antara dokter dan penderita. Yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani.

Sejak ptrwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan.

Inhotep dari Mesir, Hipocrates dari Yunani, Gelanus dari Roma merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi kedokteran yang tampil ke forum international kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut atas suatu etik professional. Etik tersebut sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat demi keselamatan dan kepentingan penderita. Etik itu sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu beneficience, non maleficience, autonomy

Etik Kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya dan dimiliki azas-azasnya dalam falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia- azas itu adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan UndangUndang Dasar 1945 sebagai landasan struktural.

Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, kami para dokter Indonesia, baik yang bergabung secara fungsional terikat dalam Ikatan Dokter Indonesia, maupun secara fungsional terikat dalam organisasi di bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian kesehatan dan kedokteran, dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, telah merumuskan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang diuraikan dalam pasal-pasal sebagai berikut :

KEWAJIBAN UMUM

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melakukan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau ansehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperolah persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 7a

Sepramg dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubugnan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dangan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan SUATU permeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada citacitanya yang luhur.

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.Etik Profesi KedokteranEtik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1] Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi). Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.Majelis Kehormatan Etik KedokteranDalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya. Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit). Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5 Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3] Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena berbagai hal sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14 %), juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi MKEK (bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada 24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi. Namun perlu diingat bahwa pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat pula kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung es).Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah melanggar pasal 2 yang berbunyi Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri, pasal 7 yang berbunyi Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya, dan pasal 12 yang berbunyi Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal.TahunJumlah PengaduanDicabutDitolakTidak terdapat pelanggaran etik / profesiTerjadi pelanggaran etik / profesi

1997103241

1998112333

1999182574

2000142183

2001103151

2002131165

200314-1103

2004 9 *14

Jumlah99 *13144424

* sisanya (4 kasus) belum selesai diprosesApabila dilihat dari cabang keahlian apa yang paling sering diadukan oleh pasiennya adalah : SpOG (24), SpB (17), DU (14), SpPD (10), SpAn (7), SpA (4), SpKJ (3), SpTHT (4), SpJP (2), SpM (2), SpP (2), SpR (2) kemudian masing-masing satu kasus adalah SpBO, SpBP, SpBS, SpF, SpRM, SpKK, SpS dan SpU. Mereka pada umumnya bekerja di rumah sakit atau klinik ( 90 % ), bukan di tempat praktek pribadi.Dan apabila dilihat dari sisi pengadunya, maka terlihat bahwa pada umumnya pengadu adalah pasien atau keluarganya, tetapi terdapat pula kasus-kasus yang diajukan oleh rumah sakit tempat dokter bekerja dan oleh masyarakat (termasuk media masa). Dari sisi issue yang dijadikan pokok pengaduan, atau setidaknya terungkap di dalam persidangan, dapat dikemukakan bahwa menduduki tempat teratas adalah komunikasi yang tidak memadai antara dokter dengan pasien dan keluarganya. Kelemahan komunikasi tersebut muncul dalam bentuk : kurangnya penjelasan dokter kepada pasien baik pada waktu sebelum peristiwa maupun sesudah peristiwa, kurangnya waktu yang disediakan dokter untuk dipakai berkomunikasi dengan pasien, komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien.Ditinjau dari sisi sanksi yang diberikan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya diberikan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Terdapat dua kasus diberi sanksi reschooling. Tidak ada yang memperoleh sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktek. Dari sekian banyak yang ditolak oleh MKEK terdapat kasus-kasus sengketa antar dokter, sengketa dokter dengan rumah sakit, dan surat kaleng; sedangkan mereka yang mencabut kasusnya umumnya tidak diketahui alasannya, hanya sebagian yang menyatakan sebagai akibat dari upaya damai.Kesimpulan Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi. Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran, termasuk kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi (professional code of conduct), kepada para dokter yang bekerja di Indonesia belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan crash-program berupa pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan hukum kedokteran, pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran sejak dini dan bersifat student-active, serta pemberian bekal buku Kodeki bagi setiap dokter lulusan Indonesia (termasuk adaptasi).Profesi sebagai seorang dokter, adalah mulia. Banyak pasien sakit yang ditolongnya hingga sembuh dari penyakitnya. Seiiring dengan merosotnya moralitas umat manusia, ada juga sejumlah dokter yang melakukan tindakan yang tidak semestinya. Wajar saja jika ada pengaduan dari masyarakat yang berkaitan dengan pelanggaran etika kedokteran, dari mulai pelayanan yang kurang memuaskan, malpraktek sampai perdagangan organ..

Di Indonesia, lembaga yang mengatur dan mengawasi tentang pelaksanaan kode etik kedokteran adalah Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang saat ini diketuai oleh dr. Broto Wasisto, MPH. Untuk membahas soal pelanggaran kode etik dikalangan dokter, khususnya menyangkut kasus transplantasi organ tubuh, reporter Era Baru, Amelia Wulan telah menemui dr. Broto Wasisto di kantor USAID, kawasan Ratu Plaza, Jakarta pada Jumat, 14 Juni 2006 lalu. Berikut petikan hasil wawancaranya:

Masalah apa yang sekarang menjadi perhatian majelis kode etik IDI? Pelanggaran macam apa saja yang biasa terjadi?Saat ini adalah pembinaan dan penerapan kode etik kedokteran yang dilaksanakan melalui

kode etik kedokteran yang dilaksanakan melalui sekolah-sekolah kedokteran, dan rumah sakit. Fokus kegiatan kami adalah mengadakan pengawasan pelaksanaan kode etik dan menangani pengaduan-pengaduan dari masyarakat, seperti banyak diberitakan di surat kabar tentang pelanggaran etik kedokteran, disipliner dan hukum. Untuk indisipliner akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDK). Misalnya malpraktek, dokter pasang tarif tinggi, sikap dokter dalam memberi pelayanan kurang baik, mengeluarkan kata-kata kasar, perbuatan asusila atau melanggar kesopanan.

Khusus mengenai transplantasi organ tubuh, apakah ada dokter kita atau rumah sakit yang melanggar kode etik? Kecenderungan saat ini untuk transplantasi bertambah besar, teknologinya juga bertambah maju, pendonor juga semakin tersedia. Pendonor dengan maksud-maksud baik ingin menyumbangkan organnya untuk kebutuhan resipient. Bisa saja itu terjadi, tapi ilmu kedokteran memiliki kecenderungan positif thingking jadi kita akan melakukan transplantasi maka harus memiliki beberapa persyaratan, yaitu seorang resipient dan donasi harus memenuhi kreteria tertentu. Jika tidak, tidak dapat dilaksanakan transplantasi. Pelanggaran kode etik bisa terjadi pada setiap prosedur pengobatan pasien. Dan transplantasi adalah merupakan bagian prosedur pengobatan pasien.

Mengapa rumah sakit di Indonesia jarang melakukan operasi transplantasi organ? Apa kendala utamanya?Transplantasi sejak 20 tahun yang lalu sudah sering dilakukkan pada kornea mata dengan pendonor dari cadaver (mayat) yaitu orang yang meninggalkan wasiat agar organnya disumbangkan kepada orang lain. Dokter-dokter Indonesia sudah banyak yang mampu untuk melakukan operasi tersebut namun yang menjadi masalah adalah minimnya pendonor. Sedangkan pendonor dari cadaver kans probabilitinya sangat kecil karena sikap budaya dan agama masyarakat. Donor biasanya diambil dari saudara dekat atau orang tua.

Operasi transplantasi organ jarang terjadi Indonesia karena karena jarangnya pendonor dan jual beli organ sangat ketat peraturannya, mengapa begitu? Peraturan dan kode etik kedokteran dari seluruh dunia adalah hampir sama yaitu donasi organ tubuh seseorang kepada orang lain harus dilakukan secara sukarela dan atas dasar kemanusiaan, atas dasar keinginan-keinginan yang baik. Di negara-negara yang peraturan perundang-undangannya sudah jelas malah akan meningkat lebih lanjut. Hal tersebut dilarang karena hakekat dari pelayanan kesehatan itu adalah kemanusiaan. Jadi hal itu harus dikerjakan secara sukarela. Jika hal itu dilanggar dengan melakukan jual beli organ maka itu sudah melanggar kode etik kedokteran, ini merupakan prinsip yang utama.

Prinsip yang kedua adalah anggota tubuh seseorang yang diciptakan oleh Tuhan jika dia percaya Tuhan diciptakan bukan untuk diperjual belikan. Jika itu diperjual-belikan maka prinsip perlindungan kepada manusia itu dilanggar. Sehingga suatu hari ia bisa saja menjual jarinya, telinga dan anggota tubuh yang lainnya. Kemudian hakekat manusia dan kemanusiaan menjadi hilang. Itu yang dijaga oleh UU dan ketentuan-ketentuan dalam ilmu kedokteran.

Banyak negara-negara yang menjalankan jual beli organ ini dengan sangat ketat, seperti Singapora, Australia, Amerika, Jepang dan banyak lagi. Apakah ini tidak mempersulit pasien?Memang keinginan-keinginan mulia tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, harus diakui dalam kehidupan kita kenyataannya jual beli organ donor telah terjadi tidak hanya di Indonesia tapi juga dibanyak negara. Akar dari jual beli organ ini adalah kemiskinan. Memperjual-belikan organ secara kode etik, moral dan aturan hukum tidak diperbolehkan.

Imbas dari ketatnya peraturan ini, banyak pasien kita yang pergi ke China untuk menjalani transplantasi organ. Disamping biayanya relatif murah, peraturan di sana juga tidak ketat. Sekali lagi secara kode etik tidak diperbolehkan perdagangan organ, namun pada kenyataan itu terjadi banyak orang Indonesia yang mampu dan membutuhkan transplantasi organ pergi ke negara-negara tertentu untuk membeli organ tertentu dan melakukan transplantasi organ ketubuhnya. Perjanjian Internasional yang diprakarsai oleh WHO, ada larangan itu, tapi perjanjian ini memang hanya berupa seruan kepada semua negara untuk menghentikan perdagangan organ ini. Namun sikap dokter tertentu, faktor-faktor budaya dan lain-lain merupakan faktor penyebab masalah seperti ini.

Informasi yang kami peroleh, yang melakukan operasi transplantasi organ di China diantaranya adalah Rumah Sakit pemerintah atau militer bahkan mereka juga mengadakan kerjasama dengan rumah sakit tertentu yang ada di Indonesia, bagaimana menurut Anda?Hal ini saya kurang tahu, apakah itu dilakukan oleh rumah sakit swasta atau pemerintah tapi yang saya ketahui adalah rumah sakit swasta dan kecil-kecil. Saya tidak mengerti yang ada disana tapi memang mungkin itu terjadi di rumah sakit pemerintah atau yang besar. Memang, ada calo atau agen yang ada di Indonesia, saya mendengar demikian.

Banyak dokter kita yang mempromosikan pusat-pusat transplantasi di China, mereka mengadakan seminar di sejumlah kota besar di Indonesia, dan membuat brosur-brosur, bagaimana menurut Anda?Sebetulnya untuk promosi rumah sakit saja itu dalam etik kedokteran itu dilarang tapi apa yang terjadi sekarang, banyak di koran-koran itu promosi rumah sakit, dan IDI sudah memberikan peringatan-peringatan. Memang peringatan saja tidak cukup harus diberikan juga punish atau law emphasis yang lebih kuat.

Melalui publikasi mereka, pasien dijanjikan tingkat keberhasilan 98% jika menjalani transplantasi di China. Dikatakan profesor yang akan menangani adalah ahli yang telah melakukan ribuan kali operasi transplantasi.Orang yang berprofesi sebagai dokter dan mengamati pekerjaan dokter memang akan mengatakan sesuatu yang aneh telah terjadi disana (China). Sepertinya memang masyarakat kita telah dibrain wash oleh mereka tentang hal itu. Bahwa disana akan ditangani oleh profesor X yang sudah melakukan sekian ribu kali operasi transplantasi, bahkan tidak hanya masyarakat biasa tapi sudah banyak juga tokoh masyarakat sampai tingkat menteri juga ikut kesana.yang seperti itulah yang sebagian besar adalah bohong. Melakukan transplantasi ribuan kali ini memang aneh.

Banyak warga Indonesia yang menjadi pasien transplantasi di China, tidak mengetahui siapa yang menjadi donornya. Katanya pasien tidak boleh mengetahui dengan alasan takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan?Menurut UU etiknya seharusnya seorang resipient harus tahu siapa pendonornya dan kualitas donornya. Dan seorang dokter akan tahu masalah teknis seperti ini, seorang resipient yang tersangkut disini harus tahu informasi ini.

Ada informasi yang kami terima bahwa kelompok Falun Gong yang sedang ditindas di China adalah salah satu sumber stock organ terbesar selama ini. Jadi mereka bisa mendapatkan banyak organ dari mereka. Mengenai keadaan yang terjadi di China memang kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kita sebagi negara berdaulat kita hormati kedaulatan negara lain, namun jika hal itu terjadi, kita IDI hanya bisa menghimbau untuk dokter-dokter kita agar bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah etik yang ada.

Dengan keadaan seperti ini bagaimana IDI menyikapi dan memberikan informasi kepada masyarakat?Ya, tentunya saya sebagai salah satu pimpinan IDI tetap menyerukan kepada dokter-dokter Indonesia untuk selalu memperhatikan penerapan etik sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah kita sepakati bersama. Lakukanlah penerapan ilmu-ilmu kedokteran menurut kaidah-kaidah ilmu itu sendiri dan mengikuti kaidah-kaidah moral kedokteran yang telah disepakati bersama.

etika adalah panduan baik-buruk dalam berperilakukode etik adalah sekumpulan panduan baik-buruk dalam menunaikan tugas profesi

berbeda dengan etika yang tidak dikodifikasi (dibukukan secara resmi), kode etik disusun secara resmi oleh organisasi profesi yang bersangkutan(misalnya PWI menentukan secara resmi kode etik jurnalistik di Indonesia)oleh karena itu namanya kode etik

berbeda dengan hukum, etika tidak mempunyai sanksi yang memaksa dan fisikpelanggaran terhadap kode etik adalah teguran dari organisasi profesi yang bersangkutanada kalanya juga, pelanggaran kode etik juga merupakan pelanggaran hukum misalnyapemberitaan palsu >> pelanggaran kode etikpencemaran nama baik karena pemberitaan palsu >> pelanggaran hukum

kode etik dapat berbeda-beda tiap negara tergantung pola pikir negara itu sendiricontoh : kode etik pers Denmark yang melegalkan kartun nabi Muhammad jelas berbeda dengan kode etik yang digunakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dan sebagainya

MUKADIMAH Adalah merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa memperoleh kesehatan yang baik merupakan salah satu hak asasi bagi setiap orang. Menyadari bahwa perlindungan dan peningkatan kesehatan masyarakat adalah salah satu unsur yang esensial dalam rangka pembangunan. Memperhatikan bahwa industri farmasi mengemban fungsi sosial yang menyangkut kepentingan rakyat luas dan memegang peranan yang besar untuk mencapai tujuan pembangunan terutama dalam bidang kesehatan, disamping kedudukannya sebagai perusahaan, maka didorong oleh keinginan yang luhur, dengan rasa ketulusan yang mendalam, disusunlah Kode EtikPemasaran Usaha Farmasi Indonesia. Kode Etik ini merupakan salah satu unsur penting dalam kerangka upaya mengatur, membina danmengembangkan usaha farmasi yang sehat dan bertanggung jawab, sejalan dengan tradisi luhur bidang kesehatan dan falsafah hidup bangsa Indonesia, Pancasila.

BAB. I TUJUAN

Tujuan utama Kode Etik ini adalah untuk membina industri farmasi yang sehat dan bertanggung jawab dilandasi rasa ketulusan dan pengabdian kepada upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui penggunaan obat yang rasional.

BAB. II KODE ETIK

Pasal 1 PELAKSANAAN KODE ETIK 1. Ruang Lingkup

Promosi dan periklanan produk farmasi yang ditujukan kepada profesi kesehatan, masuk dalam cakupan Kode Etik ini. Sedangkan promosi dan periklanan golongan obat dan obat bebas terbatas yang langsung ditujukan kepada masyarakat umum tidak termasuk dalam cakupan Kode Etik ini dan merujuk pada peraturang yang berlaku. Demikian pula periklanan untuk keperluan distribusi (misalnya daftar harga dan katalog dagang) dan promosi produk- produk untuk nutrisi balita, tes diagnosti in vitro dan peralatan bedah dan kedokteran juga berada diluar cakupan Kode Etik ini.

2. Aplikasi dan Pemberlakuan

Dalam segala hal yang berkaitan dengan aplikasi, interpretasi dan pemberlakuan dari bagian manapun dari Kode Etik ini, pelu difahami bahwa kepatuhan pada hukum dan peraturan yang berlaku harus didahulukan.

3. Tanggung Jawab atas Pelaksanaan

Dipatuhinya Kode Etik ini merupakan syarat keanggotaan GP-Farmasi Indonesia. President Director / Managing Director atau penanggung jawab resmi lainnya dalam perusahaan bertanggung jawab atas terlaksananya Kode Etik dengan sebaik-baiknya.

Pasal 2 INFORMASI DAN KLAIM 1. Kriteria Umum

Informasi dan klaim mengenai suatu produk harus obyektif, akurat, tidak menyesatkan, lengkap, berimbang, disajikan memenuhi standar etika yang tinggi serta selera yang baik dan sesuai dengan informasi produk yang disetujui Badan POM.

2. Bukti Ilmiah

Informasi yang diberikan harus berdasarkan data atau penilaian mutakhir yang ditunjang dengan bukti-bukti yang sah secara ilmiah serta mencerminkan secara tepat dan jelas data-data tersebut. Sumber data-data ilmiah harus dapat dilacak. Data dari uji in vitro dan uji binatang harus ditandai dengan jelas dan jangan dikutip demikian rupa sehingga dapat memberikan kesan yang salah atau menyesatkan. Hal ini berlaku baik untuk produk yang dipromosikan maupun untuk klaim yang dibuat tentang produk lain.

3. Permintaan Informasi

Perusahaan hendaknya menangani secara obyektif permintaan informasi dari profesi kesehatan yang diajukan dengan etikad baik memberikan data yang akurat dan relevan. Permintaan data yang disebutkan dalam bahan promosi sebagai penunjang suatu klaim, harus dapat diberikan dalam waktu 3 bulan setelah tanggal permintaan.

4. Data Keamanan

4.1. Informasi tentang keamanan produk, seperti kontra - indikasi, perhatian dan efek samping harus sesuai dengan yang disetujui Badan POM. Kata aman janganlah digunakan tanpa penjelasan. 4.2. Perusahaan harus melaporkan kepada Badan POM efek samping serius dan tak terduga yang berkaitan dengan produk farmasinya.

5. Klaim yang Salah dan Menyesatkan

Informasi, klaim-klaim dan penyajian grafik mengenai suatu produk tidak boleh menyesatkan baik secara langsung maupun secara tidak langsung, memberi kesan yang salah melalui penghilangan bagian-bagian tertentu. Informasi harus berdasarkan bukti-bukti yang berlaku secara ilmiah dan sesuai dengan yang disetujui oleh Badan POM. Beberapa contoh pelanggaran misalnya :

5.1. Mengutip suatu hasil studi yang mencolok lebih baik dari pada yang diperlihatkan oleh sebagian besar bukti-bukti atau pengalaman klinis pada umumnya. 5.2. Menggunakan studi yang tidak memenuhi ketentuan baik disain maupun pelaksanaannya, untuk menunjang suatu klaim. 5.3. Menggunakan data yang dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan hasil penelitian yang lebih mutakhir. 5.4. Menganjurkan penggunaan, dosis, indikasi yang tidak sesuai dengan yang disetujui oleh Badan POM. 5.5. Menggunakan data binatang atau in vitro untuk menunjang klaim klinis pada manusia tanpa disebutkan dengan jelas sehingga memberikan kesan yang salah dan menyesatkan. 5.6. Penyajian atau lay-out yang memberikan pandangan yang salah misalnya menyajikan pernyataan-pernyataan yang penting dengan huruf cetak yang halus.

5.7. Pernyataan-pernyataan negatif tentang suatu produk pesaing yang tidak seimbang dengan informasi serupa tentang produk yang sedang dipromosikan. 5.8. Klaim-klam yang seolah-olah mengimplikasikan bahwa efek obat terhadap parameter tertentu tidak perlu menjadi perhatian padahal sebenarnya harus diperhatikan sesuai bagian Peringatan / Perhatian dalam informasi produk. 5.9. Penghilangan bagian-bagian tertentu, penyajian yang tidak benar dan kutipan di luar konteks, sehingga merubah arti atau maksud penulis yang sebenarnya. 5.10. Tidak adanya pembuktian klaim-klaim non-medis dan non-ilmiah, misalnya harga dan pangsa pasar.

6. Selera yang baik

Bahan promosi juga harus memenuhi standar selera yang baik yang berlaku dan memperhatikan kedudukan profesi sipenerima.

7. Klaim Superlatif yang tidak memenuhi syarat

Klaim Superlatif yang tidak memenuhi syarat jangan dibuat. Seluruh klaim tentang suatu produk harus dapat dibuktikan.

8. Perbandingan

8.1. Perbandingan antara produk harus berdasarkan fakta-fakta, jujur dan dapat dibuktikan. Dalam penyajian harus diupayakan untuk menjamin bahwa perbandingan tidak terpedaya oleh distorsi, pemberian tekanan yang tidak pantas atau oleh sebab lain. Rujukan-rujukan pada produk atau produsen lainnya yang mengandung unsurpelecehan, harus dihindari. 8.2. Perbandingan khasiat dan keamanan jangan dibuat berdasarkan data-data dari informasi produk semata yang tidak mencerminkan literatur pada umumnya karena data-data tersebut didasari database yang berbeda-beda sehingga tidak dapat dibandingkan secara langsung. 8.3. Perbandingan khasiat dan keamanan harus dibuktikan dengan mempertimbangkan segala aspek dari keamanan dan khasiat tersebut. Apabila perbandingan dilakukan hanya untuk satu parameter saja, maka hal tersebut harus dinyatakan dengan jelas. 8.4. Apabila data yang digunakan untuk perbandingan tidak memenuhi persyaratan Signifikansi statistik, maka hal ini harus dinyatakan dengan jelas dan jangan diguna kan untuk menyamaratakan, mengindikasikan persamaan atau mengindikasikan superioritas.

9. Tiruan

Bahan promosi jangan dengan sengaja meniru kiat-kiat, slogan-slogan atau lay-out yang digunakan oleh produsen lain sedemikian rupa sehingga dapat menyesatkan atau membingungkan orang.

10. Profesi Kesehatan dalam Promosi

Nama profesi kesehatan, institusi atau foto mereka jangan digunakan dalam promosi atau iklan secara bertentangan dengan etik kedokteran.

11. Promosi Terselubung

11.1. Promosu / Iklan Terselubung, Bahan-bahan promosi seperti yang dikirimkan melalui pos dan iklan yang dipasang dalam jurnal-jurnal kedokteran harus diberi tanda secara jelas sehingga tidak menyelubungi sifatnya yang sebenarnya . Contoh : Iklan dalam jurnal yang kelihatannya seperti bagian dari tajuk rencana harus diberi tanda iklan promosi atau advetorial dan dicetak dengan huruf sebesar ukuran huruf yang terbesar pada iklan tersebut.

11.2 Uji klinis pasca pemasaran. Uji klinik pasca-pemasaran hanya boleh dilakukan atas dasar ilmiah. Studi-studi ini tidak boleh dilakukan sekedar sebagai sarana untuk mempromosikan suatu produk dan untuk mempengaruhi para dokter dengan sedikit atau sama sekali tanpa dasar-dasar ilmiah.

12. Komunikasi Pre-Registrasi

Produk farmasi yang belum mendapatkan nomor registrasi tidak boleh dipromosikan. Akan tetapi, ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak-hak komunitas ilmiah dan masyarakat umum untuk dapat diinformasikan sepenuhnya tentang,kemajuan dibidang ilmiah dan kedokteran, sepanjang hasil-hasil riset telah diakui dunia internasional. Ketentuan ini juga tidak dimaksudkan untuk membatasi pertukaraninformasi ilmiah sepenuhnya dan sebaik-baiknya tentang sesuatu produk farmasi, termasuk penyebaran sepantasnya dari temuan investigasi penyelidikan di media komunikasi ilmiah maupun awam, serta pada konperensi-konperensi ilmiah. Demikian juga, ketentuan tersebut tidak membatasi ungkapan-ungkapan secara umum kepada para pemegang saham dan pihak lainnya perihal lainnya sesuatu produk farmasi sebagaimana diperlukan atau diinginkan berdasarkan hukum. Dalam hal konperensi ilmiah internasional atau regional yang dilangsungkan di Indonesia, suatu produk yang belum mendapatkan nomor registrasi di Indonesia, hasil-hasil temuan penelitiaannya boleh dikomunikasikan secara tepat dan bertanggung jawab, khusus pada acara konperensi dan sesuai aturan yang diuraikan pada Bab II pasal 2 Kode Etik ini, tetapi harus disebutkan dengan jelas bahwa produk belum terdaftar pada Badan POM di Indonesia.

13. Prosedur Perusahaan

13.1. Komunikasi di bidang promosi seyogyanya melalui medical clearance atau apabila diperlukan, penjelasan resmi oleh orang yang bertanggung jawab sebelum diumumkan. Orang yang bertanggung jawab tersebut harus mempunyai kualifikasi yang sesuai. 13.2. Perusahaan hendaklah menyusun dan melaksanakan prosedur-prosedur yang sesuai untuk menjamin keserasian sepenuhnya dengan Kode Etik ini dan untuk meninjau kembali dan memantau seluruh kegiatan dan bahan promosi yang ada.

Pasal 3 MEDICAL REPRESENTATIVE

1. Para Medical Representative harus dilatih secara memadai dan mempunyai pengetahuan medis dan Teknis secukupnya untuk dapat menyajikan informasi tentang produk-produk perusahaan mereka secara akurat, berimbang dan etis. Mereka berkewajiban pula memberikan umpan balik kepada perusahaan masing-masing tentang penggunaan produk-produk yang bersangkutan dan terutama sekali laporan-laporan tentang efek samping.

2. Perusahaan bertanggung jawab atas akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Medical Representative trhadap pedoman ini.

3. Para medical representative hendaknya memelihara perilaku mereka pada standar etis yang tinggi dalam menunaikan tugas dan kewajiban mereka.

4. Para medical representative hendaknya tidak menggunakan alasan yang dicari-cari untuk memperoleh kesempatan bertemu dengan profesi kesehatan, sehingga kunjungannya tidak mengganggu atau menghambat profesi kesehatan dalam menjalankan tugasnya, dan ketentuan-ketentuan mengenai kunjungan di masing-masing instansi hendaknya diperhatikan dan ditaati.

Pasal 4 SIMPOSIUM, KONGRES DAN PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERLANJUT

1. Maksud dan Tujuan

Simposium, Kongres, Pendidikan Kedokteran Berlanjut (PKB) dan sejenisnya mutlak diperlukan untuk penyebaran ilmu pengetahuan, pengalaman dan kemajuan di bidang kesehatan. Tujuan ilmiah hendaknya merupakan fokus utama dalam mengadakan pertemuan-pertemuan demikian. Acara-acara hiburan dan jamuan lainnya janganlah mengaburkan tujuan tersebut.

2. Simposium dan Kongres

2.1. Partisipasi suatu perusahaan atau asosiasi dalam penyelenggaraan simposium, kongres dan sejenisnya hendaknya dinyatakan secara tegas baik pada pertemuan yang bersangkutan maupun dalam buku procceding. Barang cetakan, audiovisual atau elektronik mengenai hasil pertemuan tersebut, hendaknya menggambarkan secara tepat materi presentasi dan diskusi dari acara tersebut. 2.2. Apabila program yang bersangkutan diakreditasikan bagi pendidikan kedokteran pasca-sarjana oleh suatu organisasi profesi kedokteran atau profesi kesehatan lainnya, maka tanggung jawab atas isi program tetap berada pada organisasi tersebut dan dukungan industri harus diungkapkan. 2.3. Kegiatan undian seperti doorprize yang diadakan pada akhir acara ilmiah, pada dasarnya diperbolehkan. (Maksimum US$.200 atau yang setara dengan nilai Rupiah per doorprize, tidak lebih dari 3 doorprize).

3. Mensponsori Profesi Kesehatan untuk Menghadiri Simposium / Kongres.

3.1. Tujuan ilmiah harus menjadi alasan utama pemberian sponsor untuk mengikuti pertemuan ilmiah dan setiap dukungan yang diberikan tidak dikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan suatu produk. 3.2. Perusahaan farmasi sangat diharapkan untuk dapat membatasi diri sewajarnya dalam hal pengeluaran yang berkaitan dengan pertemuan, seperti misalnya :

3.2.1. Purusahaan farmasi hanya dibenarkan untuk mensponsori biaya registrasi, akomodasi, makan dan transportasi dari dokter peserta. 3.2.2. Perusahaan farmasi tidak dibenarkan membayar biaya perjalanan pendamping atau penggembira, suami / istri atau keluarga dari dokter peserta. 3.2.3. Pemberian honorarium atau kompensasi tidak dibenarkan kepada peserta profesi Kesehatan. Hal ini tidak berlaku bagi profesi kesehatan yang disponsori sebagai pembicara atau penyaji pada pertemuan ilmiah. 3.3. Profesi Kesehatan yang telah disponsori mengikuti Simposium, Kongres atau Pendidikan Kedokteran Berlanjut (PKB) keluar negeri, sangat diharapkan untuk dapat menyebarluaskan pengetauhan mengenai kemajuan-kemajuan dalam ilmu kedokteran yang didapat tersebut atau menyampaikan tinjauan topik-topik tertentu kepada profesi kesehatan praktek lain yang tidak dapat mengikuti acara ilmiah tersebut.

3.4. Perusahaan farmasi hendaknya mempersyaratkan para profesi kesehatan peserta yang disponsorinya untuk mengikuti semaksimal mungkin acara-acara pertemuan ilmiah tersebut.

3.5. Pembicara/Penyaji :

Pemberian honorarium, kompensasi dan penggantian semua pengeluaran pribadi secara wajar, termasuk biaya perjalanan bagi pembicara atau para penyaji adalah lazim dan wajar. Honor untuk pembicara lokal pada acara ilmiah di Indonesia tidak lebih dari US$.300 atau yang setara dengan nilai Rupiah. Apabila acara ilmiah diadakan diluar negeri, honor disesuaikan dengan kondisi negara yang bersangkutan. Honor untuk pembicara asing di Indonesia disesuaikan dengan kondisi negara asal pembicara.

4. Stan Pameran

4.1. Tujuan utama Simposium dan Kongres adalah acara ilmiah. Kunjungan ke stan pameran dan hiburan harus selalu dinomoerduakan. 4.2. Stan pameran hanya diperuntukkan bagi profesi kesehatan. Nama perusahaan yang bersangkutan harus terlihat dengan jelas dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh panitia penyelenggara. 4.3. Pembagian sample produk merujuk pada peraturan yang berlaku yang ditetapkan Badan POM. 4.4. Permainan, undian dan kegiatan serupa yang diselenggarakan pada stan pameran Diperbolehkan asalkan hadiah-hadiah dibatasi pada barang-barang yang berkaitan dengan pekerjaan dan pendidikan profesi kesehatan dan mendatangkan manfaat bagi pasien dan tidak bernilai tinggi (dibawah US$ 50). Untuk menghindari hal-hal yang dapat mendiskreditkan citra industri farmasi maupun dokter sendiri. 4.5. Kegiatan seperti permainan undian dan sejenisnya hendaknya tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan sesi ilmiah atau sedemikian rupa sehingga dan dapat mengalihkan perhatian peserta dari acara-acara ilmiah yang sebenarnya.

5. Acara Hiburan

5.1. Perusahaan farmasi harus mendukung sepenuhnya pertemuan ilmiah dan tidak Mengadakan acara-acara hiburan seperti tur, acara sosial, perlombaan, permainan, acara olah raga dan acara lainnya sedemikian rupa sehingga mengganggu dan dapat mengalihkan perhatian peserta dari acara-acara resmi yang sebenarnya pada pertemuan tersebut. 5.2. Perusahaan hendaknya tidak mensponsori profesi dokter dan profesi yang terkait lainnya. Untuk hal-hal yang dianggap tidak sesuai bagi citra profesi dan moral. 5.3. Perusahaan diperkenankan menjamu profesi kesehatan untuk acara makan dan cocktail yang tergolong sederhana dan tidak mewah.

Pasal 5 HADIAH-HADIAH DAN DONASI KEPADA PROFESI KESEHATAN

1. Prinsip Umum

Pada dasarnya hadiah-hadiah dan jamuan yang diberikan kepada profesi kesehatan secara individu harus memenuhi kriteria-kriteria berikut :

1.1. Pemberian hadiah tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan produk tersebut (kontrak) dan pemberian hadiah tidak boleh sedemikian rupa sehingga menyebabkan dipengaruhinya penulisan resep 1.2. Pemberian hadiah jangan memberikan kesan kurang pantas di mata masyarakat 1.3. Pemberian uang intensif kepada profesi kesehatan secara individu dalam bentuk tunai, bank draft, pinjaman atau sejenisnya, tidak dibolehkan.

2. Contoh-contoh hadiah yang dibolehkan

Beberapa hadiah-hadiah diperbolehkan apabila membawa manfaat bagi pasien dan pekerjaan profesi kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan. Dengan demikian, hadiah-hadiah diperbolehkan untuk diberikan kepada dokter apabila :

2.1. hadiah tidak memiliki nilai yang tinggi (dibawah US$ 50 atau yang setara dengan nilai Rupiah) dan 2.2. hadiah donasi membawa manfaat bagi pasien, atau 2.3. hadiah berkaitan dengan pekerjaan dokter (pen, writing pad dan sebagainya) atau pendidikan dokter yang sebenarnya (buku, jurnal kedokteran dan alat pendidikan lain).

3. Donasi

3.1. Donasi diperbolehkan untuk diberikan kepada institusi, tetapi tidak kepada pribadi profesi kesehatan. 3.2. Hadiah donasi harus membawa manfaat bagi pasien. 3.3. Mesin-mesin dan peralatan kedokteran serta peralatan pendidikan diperbolehkan untuk didonasikan atau dipinjamkan (loan0 kepada institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit, tetapi tidak kepada pribadi atau pribadi-pribadi dokter. Barang-barang tersebut harus bermanfaat untuk pelayanan medis, diagnosis dan pendidikan kedokteran, misalnya : mesin EKG, stetoskop, Rontgen, scanner, alat-alat diagnostik, buku-buku kedokteran, dsb, dan tidak mengikat. 3.4. Donasi dalam bentuk bea siswa diperbolehkan untuk diberikan kepada institusi, tetapi tidak kepada pribadi dokter atau anggota keluarganya.

Pasal 6 BARANG CETAKAN UNTUK PROMOSI / PERIKLANAN

1. Umum

Bagian ini mengatur barang cetakan untuk promosi atau periklanan setiap produk farmasi yang ditujukan kepada profesi kesehatan. Barang cetakan untuk promosi/ periklanan harus disajikan dalam bentuk terbaca. Dasar ilmiah dan penyajian informasi tentang suatu produk harus sesuai dengan petunjuk umum mengenai informasi dan klaim yang diuraikan dalam Pasal 2 dari Kode Etik ini dan harus sesuai dengan informasi produk yang telah disetujui oleh Badan POM.

2. Promosi / Iklan Lengkap

Tujuan iklan / promosi cetak adalah untuk memasok profesi kedokteran dengan informasi yang cukup sehingga dapat mengambil keputusan yang rasional untuk menulis resep atau menggunakan produk yang bersangkutan, maka informasi seperti tersebut dibawah ini wajib deberikan dengan jelas dan ringkas :

(i) Nama produk (nama dagang) (ii) Nama generik zat aktif atau INN (International Nonproprietary Name) (iii) Nama dan alamat perusahaan yang bersangkutan (iv) Indikasi yang disetujui untuk pemakaian preparat yang bersangkutan (minimal 1 indikasi) (v) Dosis, cara pemakaian / pemberian yang dianjurkan. (vi) Pernyataan ringkas tentang efek samping perhatian dan peringatan yang penting secara klinis, kontra indikasi dan interaksi utama dari produk yang bersangkutan pada dosis yang dianjurkan. (vii) Pernyataan yang menunjukkan bahwa informasi lebih lanjut tersedia atas permintaan.

3. Promosi / Iklan Singkat (Reminder Advertisement)

Bahan promosi / iklan Reminder adalah bahan promosi dan iklan pendek yang memuat tidak lebih dari pernyataan sederhana tentang indikasi untuk menunjukkan kategori teratepetik dari produk yang bersangkutan serta pernyataan sederhana yang menunjukkan alasan mengapa produk tersebut dianjurkan untuk indikasi yang disebutkan dan apabila dapat ditunjukan dan secara jelas dirasa tidak praktis untuk memperagakan informasi selengkapnya yang disyaratkan dalam ayat 2.1, maka informasi minimum berikut ini harus diberikan :

(i) Mana produk (nama dagang) dan nama generik zat aktif atau INN. (ii) Pernyataan yang menunjukkan bahwa informasi lebih lanjut tersedia atas permintaan (iii) Nama dan alamat yang bersangkutan.

4. Reminder Item / Gimmick :

Reminder item / gemmick adalah barang-barang cinderamata yang diberikan kepada profesi kesehatan. Gimmick harus berkaitan dengan pekerjaan profesi kesehatan tidak boleh memiliki nilai yang tinggi (maksimum US$ 20 atau yang Teks harus mencakup :

(i) Nama produk (nama dagang) dan nama generik zat aktif atau INN.

5. Rujukan

5.1. Dalam hal terdapat bahan promosi yang berkaitan dengan studi-studi yang telh dipublikasi, harus diberikan rujukan yang jelas pada studi- studi tersebut di dalam bahan cetakan yang bersangkutan. 5.2. Penggunaan reprint, abstrak dan kutipan disesuaikan dengan perundang- undangan tentang hak cipta reprint, abstark atau kutipan itu. 5.3. Kutipan dari literatur kedokteran ataupun dari komunikasi pribadi tidak boleh mengubah atau mengacaukan arti yang dimaksudkan oleh sang penulis atau peneliti klinis atau arti dari karya atau studi yang mendasarinya. 5.4. Pengedaran petikan, reprint atau kutipan yang semata-mata berkaitan dengan produk-produk dari produsen lainnya dengan maksud untuk mendiskreditkan produk-produk demikian, dilarang.

6. Pengiriman Melalui Pos (Mailing)

6.1. Bahan-bahan promosi hendaknya hanya dikirim kepada mereka yang dianggap membutuhkan, atau menaruh perhatian pada pesan yang hendak disampaikan. 6.2. Frekuensi dan jumlah pengeposan dari bahan cetakan kepada para profesi kesehatan hendaklah cukup wajar. Permintaan oleh para profesi kesehatan supaya nama-nama mereka dihapus dari daftar pengeposan untuk bahan promosi hendaklah dihormati, akan tetapi daftar yang lengkap hendaklah dipertahankan untuk memungkinkan pemasokan informasi penting perihal kontraindikasi, perhatian, peringatan, dan sebagainya.

Pasal 7 BARANG-BARANG PROMOSI AUDIO-VISUAL DAN ELEKTRONIK

Informasi promosi untuk profesi kesehatan yang menggunakan media ini harus memenuhi persyaratan yang berkaitan perihal barang cetakan, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 6. Informasi produk dapat ditiadakan asal saja informasi produk lengkap tersedia bagi peminat.

Pasal 8 CONTOH OBAT

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 437/MEN.KES/SK/VI/1987 tertanggal 11 Juni 1987, maka pengiriman contoh produk-produk farmasi kepada para anggota profesi kedokteran, adalah terlarang. Oleh sebab itu perusahaan tidak diperbolehkan mengirimkan contoh produk kepada para profesi kesehatan, kecuali mendapatkan ijin secara khusus dari yang berwenang.

Pasal 9 RISET PASAR

Metode-metode yang dipakai untuk keperluan penelitian pasar jangan sekali-kali sedemikian rupa hingga mendiskreditkan atau menurunkan kepercayaan orang banyak pada industri farmasi. Ketentuan ini berlaku apakah penelitian itu dilaksanakan secara langsung oleh produsen yang bersangkutan ataukah dilakukan oleh suatu organisasi yang bertindak atas namanya. Hubungan dengan para responden tidak boleh diperoleh dengan alasan yang dicari-cari. Uang imbalan hendaklah diberikan dalam jumlah yang sekecil mungkin dan sebanding dengan karya yang bersangkutan (per proyek maksimum US$ 50 atau yang setara dengan nilai Rupiah).

Pasal 10 KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT DAN MEDIA MASSA

1. Permintaan dari masyarakat akan informasi atau nasihat mengenai diagnosa suatu penyakit atau pemilihan terapi supaya ditolak dan penanya hendaknya dianjurkan untuk berkonsultasi dengan pihak yang ahli dalam bidang kesehatan yang bersangkutan.

2. Obat resep dan produk farmasi yang penyerahannya dilakukan hanya berdasarkan resep profesi kesehatan, tidak boleh diiklankan kepada masyarakat awam tetapi hanya kepada profesi kesehatan. Dengan demikian, perusahaan tidak diperbolehkan memuat artikel di media massa yang bertujuan mempromosikan suatu obat resep tertentu atau sejenisnya kepada masyarakat awam ataupun mendorong masyarakat awam untuk minta suatu obat resep tertentu dari profesi kesehatan mereka.

BAB III PROSEDUR UNTUK MENYAMPAIKAN PENGADUAN KEPADA MAJELIS PEMBINA KODE ETIK USAHA FARMASI INDONESIA (KOMISI ETIK)

1. Pihak pengadu menyampaikan pengaduannya secara resmi, secara tertulis (menggunakan kertas surat perusahaan), kepada Majelis Pembina Kode Etik Usaha Farmasi Indonesia (Komisi Etik) melaui Ketua Majelis Pembina Kode Etik Usaha Farmasi Indonesia (Ketua Komisi Etik), dan melampirkan salinan-salinan dari semua dokumentasi yang diperlukan untuk pertimbangan Komisi Etik. Jumlah salinan yang harus dibuat adalah 10 untuk masa kerja Komisi Etik saat ini dan akan diberitahukan oleh Sekretariat GP Farmasi Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya. Surat Pengaduan disampaikan kepada :

Ketua Majelis Pembina Kode Etik Usaha Farmasi Indonesia Jl. Angkasa No. 20 A Kemayoran Jakarta Pusat 10620 INDONESIA Telp. : (62-21) 4203040, 4203048 Fax. : (62-21) 4203047

2. Surat pengaduan itu harus meliputi hal-hal berikut untuk pemeriksaan oleh para anggota Komisi Etik :

a. Upaya Penyelesaian Apakah telah ada upaya untuk mencapai penyelesaian sebelum mengajukannya kepada GP Farmasi Indonesia. Setiap upaya untuk menghubungi perusahaan yang diduga telah melanggar Kode Etik (perusahaan yang melanggar), dan hasil dari upaya-upaya ini, harus disebutkan di dalam surat pengaduan.

b. Perusahaan yang terlibat Untuk setiap kasus di dalam pengaduan itu, harus disebutkan identitas dari perusahaan yang melanggar, dan nama dari setiap produk/kegiatan pemasaran yang secara khusus terlibat di dalamnya.

c. Bahan-bahan Referensi Salinan contoh asli dari subyek pengaduan itu (artikel yang melanggar).

d. Tanggal dan Tempat Kejadian Tanggal dan lokasi kejadian yang tepat tempat subyek pengaduan (artikel yang melanggar) telah ditemukan, misalnya : Poster di ruang tunggu Klinik A.

e. Dugaan Pelanggaran Kode Etik Suatu ringkasan tentang bagaimana dan mengapa artikel yang melanggar itu dianggap melanggar Kode Etik, dengan menyebutkan pelanggaran terhadap bagian Kode Etik yang tertentu (Bab, pasal dan nomor pokok).

f. Bagaimana seharusnya ? Suatu ringkasan mengenai bagaimana artikel yang melanggar seharusnya dilakukan dengan baik dan benar, disertai dokumentasi ilmiah yang cukup mengenai hal ini. Jika ada, referensi yang memperkuat perlu diajukan bersama- sama dengan pengaduan itu.

3. Sekretariat GP Farmasi Indonesia setelah menerima pengaduan itu, memeriksa untuk memastikan apakah pengaduan itu memuat data dan dokumentasi yang relevan (sebagaimana disebutkan dalam pokok 2a sampai 2f diatas).

Jika pengajuan pengaduan itu tidak lengkap, pihak pengadu akan diberitahu unuk mengajukannya kembali dengan dokumentasi yang diperlukan. (NB. Tindakan lebih lanjut oleh Komisi Etik GP Farmasi Indonesia hanya akan dilakukan jika pengajuan itu telah lengkap).

Pengajuan pengaduan yang lengkap dan benar akan dibagikan dengan segera, dalam sampul bertuliskan rahasia, kepada semua anggota Komisi Etik untuk diperiksa.

4. Untuk memperlancar penanganan pengaduan, maka Sekretariat GP Farmasi Indonesia, pada waktu yang bersamaan menulis surat kepada perusahaan (perusahaan yang melanggar), yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik berdasarkan pengaduan itu. Satu fotocopy dari surat pengaduan, dengan menutupi/menghapus identitas dari nama dan perusahaan yang mengadu, akan diberikan kepada perusahaan yang melanggar.

Perusahaan yang melanggar akan diberi waktu kalau perlu sampai 3 kali dengan tenggang waktu masing-masing paling lama 10 hari kerja untuk menjawab (secara tertulis) terhadap dugaan-dugaan itu. Jika diminta, perusahan yang melanggar wajib melampirkan dokumentasi ilmiah untuk memperkuat klaim-klaim ilmiah. Jawaban dari perusahaan yang melanggar , dilampiri dengan jumlah salinan yang cukup, akan dibagikan oleh Sekretariat GP Farmasi Indonesia kepada semua anggota Komisi Etik untuk diperiksa. Jika panggilan tidak diindahkan, Komisi Etik dapat memproses masalah ini tanpa masukan dari perusahan yang melanggar.

5. Komisi Etik menjadwalkan pembahasan pengaduan itu dalam suatu rapat yang diselenggarakan dengan secepatnya. Didalam rapat itu, Komisi memeriksa kasus dan memutuskan apakah perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut, atau apakah referensi- referensi lehih lanjut diperlukan untuk memudahkan interpretasi dari kasus itu. Jika diperlukan pendapat lebih lanjut dari para ahli medis/hukum dan diperlukan pembayaran untuk jasa-jasa itu, maka pihak yang mengadu akan diminta persetujuannya, apakah mereka bersedia menanggung biaya-biaya ini dan apakah komisi harus melanjutkan tugasnya. Bilamana diperlukan, perusahaan yang melanggar diwajibkan oleh Komisi Etik untuk memberikan sanggahan terhadap dugaan-dugaan itu.

6. Setelah penyelidikan dan penilaian atas fakta-fakta dari kedua belah pihak selesai dilakukan, maka Komisi akan mengadakan pemungutan suara secara rahasia untuk memutuskan apakah benar-benar telah terjadi suatu pelanggaran terhadap Kode Etik itu.

7. Bila setelah pertimbangan yang memadai, Komisi Etik menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran Kode Etik, maka perusahaan yang melanggar diminta untuk memberikan suatu jaminan secara tertulis yang berlaku dengan segera untuk menghentikan di kemudian hari, dan juga untuk mengadakan tindakan perbaikan. Perusahaan yang bersangkutan wajib menanggapi keputusan dari Komisi Etik dalam waktu 14 hari. Dalam hal perusahaan yang melanggar itu tidak bersedia untuk memberikan surat jaminan yang diminta, dan/atau bahwa pelanggaran Kode Etik itu tetap dilanjutkan, maka Komisi Etik dapat memutuskan sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan atau tindakan lain seperti pemberitahuan kepada Badan POM, pemberitahuan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk tindakan mereka selanjutnya seperti pemberitahuan kepada para anggota IDI, pemberitahuan kepada perusahaan induk atau kantor pusat dari perusahaan yang melanggar, atau menerbitkan hal itu di dalam buletin GP Farmasi Indonesia, ATAU semua dari tindakan-tindakan di atas.

Jika dalam suatu kasus, dibuktikan bahwa tidak ada terjadi pelanggaran Kode Etik, maka pemberitahuan tentang ini harus dibuat oleh Komisi Etik kepada pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana diputuskan oleh Komisi.

Ketua Komisi Etik akan membuat laporan kepada Ketua Umum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia tentang semua kasus yang telah diputuskan oleh Komisi Etik. Laporan itu, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan, berikut semua keterangannya termasuk nama-nama dari perusahaan-perusahaan yang terlibat akan disampaikan dalam suatu Rapat Pengurus berikutnya menyusul penyelesaian dari suatu kasus.

Namun demikian, berita acara dari Rapat Pengurus tidak boleh mencantumkan informasi rahasia atau nama-nama perusahaan untuk menjaga kerahasiaan.

BAB IV PENUTUP

Kode Etik Usaha Farmasi Indonesia ini wajib diketahui oleh segenap anggota Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dengan menugaskan kepada Pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia pada semua tingkat untuk meneruskannya kepada setiap pimpinan usaha-usaha farmasi dalam lingkungan masing-masing.

Disampaikan pada : Rapat Pleno Pengurus Pusat GP Farmasi IndonesiaContoh pelanggaran kode etik

Semarang (ANTARA News) - Praktik dokter yang sekaligus langsung memberikan obat kepada pasien (self dispensing) merupakan pelanggaran kode etik profesi kedokteran, menyalahi disiplin, dan bila ada yang melaporkan dapat dikenai tuduhan melanggar tata cara pengadaan obat, kata seorang praktisi hukum kedokteran.

"Self dispensing hanya dibenarkan jika tidak ada sarana, seperti apotek, di sekitar tempat praktik, setidaknya jarak praktik dokter dengan apotek minimal 10 kilometer," ujar staf pengajar Forensik dan Hukum Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dr. Gatot Suharto, S.H., Dipl. For. Med., di Semarang, Senin.

Secara khusus, menurut dia, Kode Etik Kedokteran diatur dalam UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, dan secara umum diatur dalam UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992.

"Pemberian terapi obat langsung dari dokter kepada pasien diperbolehkan, jika menghadapi situasi darurat dan hanya untuk dosis awal," ujarnya.

Menurut dia, seorang dokter dapat dilaporkan oleh penyalur obat, karena menyalahi tata cara disiplin obat di Indonesia, mengingat yang diberi izin menyalurkan obat yang diresepkan adalah apotek.

"Ini merupakan pelanggaran etika dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah sering memberikan peringatan, tapi terkadang praktik self dispensing memang tidak mudah dibuktikan," katanya menambahkan. (*)

Penfertian kode etik

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kde etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh pengadilan.