keratokonjungtivitis

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. A 1.1. Anatomi dan Fisiologi 1.1.1. Kornea Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5 lapisan. lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea juga merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika terjadi oedem kornea akan bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo. 1,8 Lapisan epitel Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan

Upload: medika-putri

Post on 20-Nov-2015

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

refrat mata

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. A

1.1. Anatomi dan Fisiologi

1.1.1. Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5 lapisan. lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea juga merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika terjadi oedem kornea akan bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.1,8 Lapisan epitelTebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. Membran bowmanTerletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. Jaringan sromaTerdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast yang terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Membran DescementMerupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 m. EndotelBerasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas dan deturgensinya.8

Gambar 1. Anatomi Kornea

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva

1.1.2. Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:81. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra).

2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata).

3. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola mata)

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior.) Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.8Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.8Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. 81.2. Definisi

Keratokonjungtivitis adalah peradangan("-itis") dari kornea dan konjungtiva. Ketika hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis, ketika hanyakonjungtivayang meradang, hal itu disebutkonjungtivitis.1,81.3. Etiologi

Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri, fungal, parasit, toksik, chlamydia, kimia dan agen alergik. Konjungtivitis viral lebih sering terjadi daripada konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat pada awal musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui berdasarkan klinis pasien. Pada tingkat seluler terdapat infiltrat seluler dan eksudat pada konjungtiva. Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah infeksi (bakteri, viral, dan fungal), degeneratif (dry eye, defek neurotropik atau berhubungan dengan penyakit sistemik), toksik dan alergi. Morfologi dan distribusi lesi pada kornea dapat membantu mengetahui penyebab keratitis. Ada beberapa penyebab potensial keratokonjungtivitis yaitu kekeringan, infeksi virus, manifestasi dari atopi atau allergen maupun trauma mekanik.1.4. Klasifikasi

Keratokonjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan karena kekeringan.("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi dengan 20% pasien RA.

Istilah "Vernal keratokonjunctivitis"(VKC) digunakan untuk merujuk keratokonjungtivitis terjadi di musim semi, dan biasanya dianggap karenaalergen.

Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dariatopi.

Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan olehadenovirusinfeksi.

Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik

1.5. Patofisiologi

Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.2,5,8Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.2,3,5Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.21.6. Diagnosis

Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea. Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.8Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut. Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu mengesankan konjungtivitis alergika. Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca. Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia. Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.8Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (selain unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis (mis.,trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.8Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru. Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia (mis.,konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan atap rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior papilla seperti ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler besar dengan sensitivitas lensa kontak; pada tarsus inferior, mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila besar dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpapar saat mata dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang pada keratokonjungtivitis atopi.8Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadang-kadang, kemosis dapat muncul sebelum infiltrat seluler atau eksudasi terlihat.8Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus, pada beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang disebabkan obat-obatan topikal seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotic. Foikel pada forniks inferior dan pada batas tarsus mempunyai nilai diagnostik yang rendah, tapi saat terletak pada tarsus (terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (yang menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai. Folikel terdiri dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler. Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul dari batas folikel dan mengelilingi folikel.8Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis herpes simplex virus primer, konjungtivitis streptokokal, difteri, cicatrical pemphigoid, dan eritema multiforme mayor. Juga mungkin timbul sebagai akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya basa.8Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis, cat-scratch disease, dan, yang jarang koksidiomikosis. Parinauds oculoglandular syndrome meliputi granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler yang menonjol, dan kelompok penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsy untuk menegakkan diagnosa.8Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis. Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinauds oculoglandular syndrome dan, yang jarang, pada epidemic keratoconjunctivitis. Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada anak dengan infeksi kelenjar meibomian.8Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini:8 Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna, malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, secret

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap:

Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi

Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, secret

Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan ukurannya; perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon; membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa, kelemahan palpebra

Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi

Kornea: Defek epithelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik, filament, ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten, vaskularisasi, keratik presipitat

Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi

Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea

Gambar 3. Keratokonjungtivitis epidemika

Gambar 4. Keratokonjungtivitis alergi Gambar 5. Keratokonjungtivitis limbus superiorGambar 6. Keratokonjungtivitis vernalis

1.7. Diagnosis Banding

Gejala subyektif dan obyektif Glaukoma akut Uveitis akut Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi

PenurunanVisus ++++/+++++---

Nyeri ++/+++++++---

Fotofobia +++++++---

Halo ++-----

Eksudat ---/++++++++

Gatal -----++

Demam -----/++-

Injeksi siliar ++++++---

Injeksi konjungtiva ++++++++++++

Kekeruhan kornea +++-+/++--/+-

Kelainan pupil Midriasis nonrekatifMiosis iregularNormal/

miosisNNN

Kedalaman COA DangkalNNNNN

Tekanan intraokular TinggiRendahNNNN

Sekret -++++/++++++

Kelenjar preaurikular ----+-

1.8. Komplikasi

Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat menyebabkan komplikasi:1a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat staphilococcus

b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada orang dewasa yang tidak diobati adekuat

c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral

d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi.

e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat terjadi pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H. aegypticus, S. aureus dan M. catarrhalis.

f. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami konjungtivitis chlamydia

g. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan meningococcus.1.9. Penatalaksanaan

Masing-masing jenis konjungtiva memberikan gejala klinis yang berbeda. Penatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat diberikan anti histamin topikal dan dapat ditambahkan vasokontriktor, kemudian dilanjutkan dengan stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat dapat dikombinasi dalam pengobatannya ataupun dilakukan pembedahan.1,8

Pada konjungtivitis virus yang merupakan self limiting disease penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan antibiotic tetes mata (chloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder. Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan berkepanjangan, antara lain infeksi fungal sekunder, katarak maupun glaucoma.9,10

Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif. Antibiotic topical bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid topical 3 kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel atau jika terdapat kekeruhan pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus yang berat, namun pemakaian berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih dari 1 minggu.1,11,12

Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotika topical tetes mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam pertama untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi menjadi setiap empat jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada malam hari akan mengurangi kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Antibiotik lainnya yang dapat dipilih untuk gram negative ialah tobramisin, gentamisin dan polimiksin; sedangkan untuk gram positif icefazolin, vancomysin dan basitrasin.10Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5 % setiap 1-2 jam saat bangun, atau dapat pula diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol, amfoterisin, nistatin dan lain-lain.11.10. Prognosis

Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama pada kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.8DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas DSM, Sidarta,. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.2. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern: conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2003.3. Stenson S, Newman R, Fedukowicz H. Laboratories studies in acute conjunctivitis. Arch Opthalmology. 1982; 100: 1275-1277.4. Weiss A, Brinser J, Nasae-Stewart V. Acute conjunctivitis in childhood. J Pediatr Med. 1993; 122:10-14.5. Gigliotti F, Williams WT, Hayden FG. Etiology of acute conjunctivitis in children. J. Pediatr. 1981;98: 531-536.6. Fitch CP, Rapoza PA, Owens S. Epidemiology and diagnosis of acute conjunctivitis at an inner-city hospital. Opthalmology. 1989;96:1215-1220.7. Sambursky RP, Fram N, Cohen Ej. The prevalence of adenoviral conjunctivitis at the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry. 2007;78:236-914.8. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000.

9. Scott IU and Luu K. Conjunctivitis, viral. http://www.emedicine.medscape.com/article/1197851. [Online] Emedicine, April 2012.

10. Khaw PT, Shah Pand Elkington AR. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ Publishing Group, 2004.

11. Bawazeer A and Hodge WG. Keratoconjunctivitis Epidemic. http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print. [Online] Emedicine. January 7, 2008.12. Yanoff, Myron, Duker JS and Augsburger JJ. Opthalmology 2nd edition: Mosby, 2003.