kerajaan kerajaan islam di kalimantan.doc

13
Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan Pokok bahasan : 1. Sejarah islam di Kalimantan 2. Perkembangan Islam di Kalimantan 3. Kerajaan Pontianak: a. masuknya islam di Pontianak b. Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak c. sisilah d. system pemerintahan e. wilayah kekuasaan 4. Kerajaan Lain Selain Kerajan Pontianak Sejarah Islam di Kalimantan Para ulama yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah awal dari masuknya islam di kalimantan. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu melalui dua jalur. Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa . Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.

Upload: ayu

Post on 15-Dec-2015

51 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan

Pokok bahasan :

1. Sejarah islam di Kalimantan2. Perkembangan Islam di Kalimantan

3. Kerajaan Pontianak:

a. masuknya islam di Pontianak

b. Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak

c. sisilah

d. system pemerintahan

e. wilayah kekuasaan

4. Kerajaan Lain Selain Kerajan Pontianak

Sejarah Islam di Kalimantan

Para ulama yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir sehingga inilah awal dari masuknya islam di kalimantan. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu melalui dua jalur.

 Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. 

Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.

Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.

Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu

Page 2: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al BanjariBerbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. 

Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat.

Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan.

Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.Pengembangan Islam di Kutai dilakukan oleh dua orang muslim dari makassar yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, dengan cepat islam berkembang di Kutai, termasuk raja mahkota memeluk islam. Kemudian pengembangan islam dilanjutkan ke daerah-daerah pedalaman pada pemerintahan Aji di Langgar. Pada tahun 1550 M, di Sukadan (Kalimantan Barat) telah berdiri kerajaan islam. Ini berarti jauh sebelum tahun itu rakyat telah memeluk agama islam, Adapun yang meng-islamkan daerah Sukadana adalah orang Arab islam yang datang dari Sriwijaya. Di Sukadana Sultan yang masuk islam adalah Panembahan Giri Kusuma (1591) dan Sultan Hammad Saifuddin (1677).

Perkembangan Islam di Kalimantan

Ketika perebutan kekuasaan pada Kerajaan negara Daka di Kalimantan Selatan, R.Samudera merasa ia lebih berhak menjadi raja dari Pangeran Tumenggung. Akhirnya timbul pertentangan dan perang saudara. R.Samudera meminta bantuan dari kerajaan Islam Demak dan ia menang dan dapat berkuasa memegang puccuk pimpinan kerajaan di Daha yang ada di Banjarmasin pada tahun 1550. R.Samudera memeluk agama Islam dan bergelar Suryanullah. Dengan Islamnya raja Suryanullah maka rakyat pun banyak yang memeluk agama Islam. Daerah-daerah lain pun banyak yang menyatakan masuk Islam.

Bantuan yang diberikan kerajaan Demak kepada R.Samudera juga mengandung tipuan membendung pengaruh Portugis yang telah menguasai Malaka. Mereka ingin menguasai daerah jalur perniagaan dan pelayaran di Indonesia.

Demak juga mengirimkan guru-guru agama yang mengajarkan tentang agama Islam kepada raja-raja Banjar. Akhirnya Islam tersebar luas di kalangan rakyat di sana.

Page 3: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

Kerajaan Kutai yang menganut agama Hindu, sekitar abad 16 Islam masuk ke sana. Pembawa Islam ke Kutai adalah Muslim dari Makasar yang terkenal Tuan di Bandung dan Tun Tunggang Parangan. Atas ketentuan dan usaha kedua mubaligh itu, raja Kutai menyatakan diri memeluk agama Islam.

Islam masuk ke Kutai + 1575M. Setelah raja memeluk Islam dan rakyat pun telah banyak yang masuk Islam. Sebagian penduduk pedalaman masih banyak yang memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Sejak raja Aji di Langgar naik tahta, ia giat menyiarkan Islam ke daerah pedalaman. Usha ini diteruskan oleh pengganti-pengantinya. Agama Islam didpeluk sampai ke daerah Mura Kaman.

Kerajaan Brunai pada abad 15 diperintah oleh Maharaja Kali yang beragama Islam. Raja Kali berkunjung ke negri Cina menemui Kaisar Cheng-Ho. Jauh sebelum abad 15 Islam telah dianut di Brunai. Sultan Brunai menyiarkan agama Islam ke daerah Mindano Filipina.

1. Kerajaan Pontianak

A . Masuknya Islam di Pontianak

Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh Bangsawan Arab Bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulusungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan Pemakaman Islam Kuno.

Masuknya Islam di Kalimantan ini juga tidak luput dari perjuangan ayahnya Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie yaitu Habib Husein Al-Qadrie.

Dalam perspektif yang berbeda kedatangan Islam ke Kalimantan Barat melalui kekuatan Ekonomi dan Perdagangan. Seperti didaerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang muslim dan da’i-da’I kelana, yang juga tertarik pada perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.

Di Mempawah Habib Husein Al-Qadrie sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhizah 1184 H, beliau menikahkan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putrid Raja Mempawah Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat menjadi pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein Al-Qadrie.

Umat Islam pada masa awal masuknya Islam yang dibawa oleh Syarf Husein bin Ahmad Al-Qadrie, penganut Islam masih sedikit. Tetapi, setelah berdirinya kerajaan Islam Pontianak pada tahun 1771 miladiyah, maka agama Islam menjadi agama yang mayoritas. Kesultanan Pontianak dengan Rajanya yang bernama SultanSyarif1[9]

Abdurrahman Al-Qadrie, yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan Barat. Kehadiran kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan agama islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak dipinggir sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie sebagai Sultannya menyebabkan Islam yang menjadi mayoritas dimana masyarakat di sekitar kesultanan Pontianak seperti, di Kamping Bansir, di Kampung Kapur, Kampung banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang bernama Djafar yang pada jaman tersebut beliau adalah

1

Page 4: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

salahseorang yang termasyhu, Sultan Syarief Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus untuk menjadi guru ngaji di lingkungan Keraton Kadariyah Pontianak. Hal ini membuktikan bahwa Islam pada masa itu sudah menyebarluas kewilayah Pontianak.

Jadi masuknya Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami: Habib Husein al-Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah lainnya. Disebut alami disini karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis juga digerakkan sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil, ditambah relasi yang luas dengan para pedagang lainnya. Walaupun bagi Kalimantan barat, datangnya Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri, Kalimantan barta bukan merupakan daerah pertama yang didatanginva. Dan rentetan kronologi sampai akhirnya beliau menetap dan memusatk~ul dakwah di Kalimantan Barat.2[13]

Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas togas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.3[14]

B. Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak

Syarif Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah. Husein Alqadrie dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil bernama Trim di Hadramaut (Yaman Selatan). Setelah mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya selama lebih dari 4 tahun, Husein Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri timur. Keinginan itu didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi

Dalam perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang termasuk wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian menuju ke Aceh. Di sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Siak, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu (Rahman, 2004:16). Sedangkan Husein Alqadrie sendiri melanjutkan perjalanannya menyusuri Pantai Timur Sumatra menuju ke Pulau Jawa untuk mengunjungi negeri-negeri Islam yang dilaluinya, termasuk Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian timur, dan Betawi (Yahya, 1999:224-225).

Husein Alqadrie kemudian menetap di Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia menyeberangi lautan hingga sampai di wilayah Kesultanan Matan di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran Husein Alqadrie disambut baik oleh keluarga Kesultanan Matan yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Muazzuddin (1724−1738 M). Husein Alqadrie berhasil menawan hati warga Kesultanan Matan karena tidak lama setelah kedatangannya, Husein Alqadrie diangkat menjadi hakim/qadhi kesultanan oleh Sultan Muhammad Muazzuddin. Bahkan oleh rakyat Matan, Husein Alqadrie sangat dihormati seperti layaknya seorang wali (Musni Umberan, et.al., 1995:46-47).

2

3

Page 5: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

Tidak hanya itu, Husein Alqadrie kemudian dinikahkan dengan anak perempuan Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu, Husein Alqadrie dikaruniai 4 orang anak, yaitu Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman Alqadrie, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Alqadrie dilahirkan pada tahun 1739 M (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Pada tahun 1738 M, Sultan Matan, Sultan Muhammad Muazzuddin, wafat dan digantikan Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749 M). Husein Alqadrie masih bertahan di Kesultanan Matan hingga Sultan Muhammad Tajuddin digantikan oleh Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762 M). Pada masa ini, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang kebijakan hukuman mati. Ketidaksepahaman ini membuat Husein Alqadrie beserta keluarganya meninggalkan Matan pada tahun 1755 M dan beralih ke Kesultanan Mempawah yang kala itu dipimpin oleh Opu Daeng Menambun (1740-1766 M) (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Rombongan Husein Alqadrie disambut suka-cita oleh keluarga Kesultanan Mempawah. Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar Kesultanan Mempawah. Atas izin Opu Daeng Menambon pula, Husein Alqadrie menempati daerah Kuala Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat di mana ia mengajarkan Islam. Untuk mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dengan Kesultanan Mempawah, maka Syarif Abdurrahman Alqadrie dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba, bernama Putri Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri (Muhammad Hidayat, tt: 21).

Kesukaan Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah berkelana, baik untuk berdagang atau sekadar berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain. Pada tahun 1759 M, Abdurrahman Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun 1765 M, ia berlayar menuju Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman Alqadrie melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman Alqadrie menikah lagi dengan putri Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Ketika Abdurrahman Alqadrie masih berada di Banjarmasin, dua orang yang disayanginya wafat. Pada tahun 1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia, kemudian disusul oleh sang ayah, Husein Alqadrie, yang menghembuskan nafas penghabisan pada tahun 1770 M. Mangkatnya dua orang yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari tempat permukiman baru.

Pada tahun 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie, di antaranya terdapat lima putra Opu Daeng Menambon, yaitu Panembahan Adijaya, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad, mulai berlayar untuk mencari tempat permukiman baru. Setelah 4 hari perjalanan, mereka tiba di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Dari sini, rombongan meneruskan perjalanan hingga mendekati simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat lokal di sana, di tempat inilah rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang melawan “makhluk halus” yang oleh warga setempat disebut dengan nama hantu “kuntilanak” (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie berhasil memukul mundur gerombolan perompak “kuntilanak” di muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak.

Page 6: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

Pada hari yang sama, rombongan Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’, masjid agung Kesultanan Kadriah Pontianak. Kemudian, rombongan Abdurrahman Alqadrie mulai mempersiapkan permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak. Meski sudah merintis pendirian pemerintahan Kadriah Pontianak sejak tahun 1771 M, namun baru pada tahun 1778 M Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie yang berkuasa sampai tahun 1808 M

C. Silsilah

Berikut daftar para sultan yang pernah memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak sejak awal berdirinya pada tahun 1771 M hingga berhentinya proses pemerintahan kesultanan pada tahun 1950:

1.Sultan Syarif Abdurahman Alqadrie (1771 – 1808 M).2.Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819).

3.Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855).

4.Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).

5.Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895).

6.Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944).

7.Sultan Syarif Thaha Alqadrie (1945).

8.Sultan Syarif Hamid II atau Sultan Hamid II (1945 – 1950) (Hidayat, tt:24).

D. Sistem Pemerintahan

Kesultanan Kadriah Pontianak hampir tidak pernah dapat mengatur pemerintahannya secara mandiri karena Belanda sudah menanamkan pengaruhnya tidak lama setelah Kesultanan Kadriah Pontianak berdiri pada tahun 1771 M. Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda menjadikan salah satu daerah Kesultanan Kadriah Pontianak, yakni Tanah Seribu atau Verkendepaal yang terletak di seberang Istana Kadriah Pontianak, sebagai pusat kedudukan Kepala Daerah Karesidenan Borneo. Selaku wakil pemerintah kolonial yang membawahi langsung beberapa daerah, termasuk Pontianak, Siantan, Sungai Kakap, dan lain-lain, Asisten Residen Pontianak (semacam Kepala Daerah Tingkat II/Bupati Pontianak) (www.pemkot.pontianak.go.id). Sistem pemerintahan seperti ini bertahan hingga pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak selalu tergantung dengan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada setiap pergantian kepemimpinan kesultanan, Belanda selalu memaksakan kehendaknya melalui kontrak politik. Ketika Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819) naik tahta menggantikan Sultan Syarif Abdurahman Alqadrie, ia harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 12 Januari 1819. Isi dari kontrak politik antara Sultan Syarif Kasim Alqadrie dan Komisaris Nahuys van Burgst dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda itu antara lain:

Page 7: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

1.Kekuasaan atas pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak dilaksanakan oleh Sultan bersama-sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Sultan Kadriah Pontianak akan mendapatkan perlindungan seperlunya dari Belanda.

2.Sebagai biaya perlindungan dari Belanda kepada Sultan maka ditetapkan bahwa semua penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda dibagi sama rata di antara kedua belah pihak tersebut.

3.Hasil pajak impor dan ekspor, penjualan candu, hasil monopoli garam, pajak dari kaum Tionghoa, dan lain-lain akan diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

4.Pengadilan untuk orang Eropa dan Tionghoa ada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda, sedangkan pengadilan untuk orang pribumi tetap berada di bawah Sultan.

5.Belanda berhak membangun tangsi tentara untuk melindungi pasukan Belanda yang ada di Pontianak (Rahman, 2000:112-113).

Sultan Kadriah Pontianak berikutnya, yakni Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855), melakukan perjanjian dengan pemerintah kolonial pada tahun 1819, 1822, dan 1823. Pada perjanjian tanggal 16 Maret 1822, misalnya, Belanda memaksakan bahwa penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak harus dibagi dua dengan pemerintah kolonial. Di sisi lain, kesultanan tidak lagi mendapatkan setengah dari penghasilan Belanda, namun hanya diberi tunjangan sebesar 42.000 gulden setiap tahun. Selain itu, dalam perjanjian tanggal 14 Oktober 1823 disebutkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan untuk rakyat Kesultanan Kadriah Pontianak (Rahman, 2000:117-118). Aturan ini berlaku hingga masa pemerintahan Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).

Selanjutnya, pada era Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), Belanda kembali memperbaharui kontrak politiknya pada tanggal 22 Agustus 1872, yang antara lain menyatakan bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada Kesultanan Kadriah Pontianak. Selain itu, kesultanan boleh memungut pajak di wilayahnya. Pengembalian kekuasaan kepolisian itu disebabkan karena penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Demikian pula dengan penyerahan hasil pajak kepada kesultanan yang hanya didasarkan atas pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda karena bagaimanapun juga hasil pajak tetap dibagi dua dengan Belanda

Hegemoni Belanda berlanjut pada era Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 –1944), di mana terdapat aturan baru yang antara lain menyebutkan bahwa

(1) Belanda berhak ikut-campur dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai kesultanan;

(2) Syariat Islam dihapuskan sebagai sumber hukum di Kesultanan Kadriah Pontianak dan diganti dengan hukum perdata dan hukum pidana; serta

(3) Seluruh pegawai kesultanan mendapat gaji dari pemerintah kolonial.

Dengan demikian, Belanda telah menguasai sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak. Seluruh pegawai kesultanan dianggap sebagai pegawai pemerintah kolonial, termasuk Sultan Syarif Muhammad sendiri (Hidayat, tt:23).

Setelah Indonesia merdeka, meski Kesultanan Kadriah Pontianak masih tetap eksis di bawah pimpinan Sultan Hamid II, terjadi perubahan sistem pemerintahan Kota Pontianak. Pada tanggal 14 Agustus 1946, dinyatakan bahwa Platselijk Fonds, yang diterapkan sejak tahun

Page 8: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

1779, diganti dengan Stadsgemeente (semacam swapraja) yang bertahan sampai tahun 1950 Pada tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan pada 5 April 1950 ia ditangkap karena diduga terlibat dalam kudeta Westerling. Setelah Sultan Hamid dihukum penjara sejak tahun 1953, riwayat Kesultanan Kadriah Pontianak pun berakhir.

Sejak tahun 1950, status Stadsgemeente Pontianak berubah menjadi Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak yang dipimpin oleh walikota dan bersifat otonom. Selanjutnya, sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk pemerintahan Kota Besar Pontianak ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak. Pemerintahan Kota Praja Pontianak berubah lagi menjadi Kotamadya Pontianak sejak tahun 1965 dan akhirnya menjadi Daerah Tingkat II Pontianak berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Sampai sekarang, Daerah Tingkat II Pontianak termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.

E. Wilayah Kekuasaan 

Sebelum mendirikan Kesultanan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie terlebih dulu mendirikan permukiman sementara di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Batu Layang inilah yang kemudian dijadikan sebagai tempat permakaman sultan-sultan yang pernah memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’ Syarif  Abdurrahman Alqadrie. Selanjutnya, Abdurrahman Alqadrie mempersiapkan permukiman yang letaknya menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman itulah yang kemudian menjadi wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Kadriah – Pontianak

Tidak lama setelah resmi menjadi Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M, Abdurrahman Alqadrie melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Pada tahun 1778 M itu, Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kerajaan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan ke pedalaman Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi, yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau. Selain itu, dalam kontrak politik antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda tanggal 5 Juli 1779, pihak Belanda menyebut bahwa Pontianak dan Sanggau sebagai satu kerajaan di bawah Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie (Rahman, 2000:81).

Kemudian, karena dipengaruhi oleh tekanan Belanda, Kesultanan Kadriah Pontianak kembali melancarkan ekspansi ke sejumlah kerajaan di Kalimantan Barat untuk semakin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1786 M, Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukkan Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Dengan demikian, daerah-daerah yang semula termasuk ke dalam wilayah Kesultanan Tanjungpura dan Mempawah beralih-tangan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak.

Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak banyak didatangi kaum imigran dari berbagai tempat. Misalnya orang-orang Bugis dari Sulawesi yang menetap di kawasan Pantai Jungkat dan Peniti untuk bertani atau menjadi nelayan, sehingga sampai sekarang terdapat daerah yang

Page 9: Kerajaan Kerajaan Islam di Kalimantan.doc

disebut Kampung Dalam Bugis di Pontianak bagian timur. Era pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie juga diwarnai dengan perjanjian mengenai batas-batas wilayah antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak, yakni kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 3 Agustus 1886. Perbatasan yang ditegaskan dalam sebuah peta tersebut menyatakan bahwa perbatasan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak dimulai dari Bukit Batu, kemudian ke Kubu Sengkubu dan Kuala Keramas, melintasi Kuala Terap hingga ke Hulu Sungai Menuntung, dan berakhir di Gunung Banua atau Gunung Ambawang