karakteristik fisiko-kimia dan uji toksisitas bubuk cu ... · perbandingan 3:1 pada tumbuhan...
TRANSCRIPT
3
TINJAUAN PUSTAKA
Murbei (Morus alba L.)
Tanaman murbei berasal dari Cina, tumbuh baik pada ketinggian lebih dari
100 m diatas permukaan laut (dpl) dan memerlukan cukup sinar matahari.
Tanaman murbei berbentuk perdu, tingginya mencapai 5–6 m. Di Indonesia
terdapat sekitar 100 varietas murbei. Beberapa varietas tanaman murbei yang
tumbuh dan berkembang dengan baik di Jawa Barat diantaranya murbei varietas
Kanva-2 (400-1200 dpl), Cathayana (200-500 dpl), Multicaulis (700-1200 dpl),
Lembang (200-500 dpl) (Sunanto 1997). Berdasarkan Systema Nature 2000
(Brands 1989) tanaman murbei termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Urticalis,
famili Moraceae, genus Morus dan species Morus alba L.
Daun Murbei
Tanaman murbei berdaun tunggal dan terletak pada cabang spiral. Tulang
daun berada di bagian bawah dan terlihat jelas. Bentuk dan ukuran daun
bermacam-macam, tergantung jenis dan varietasnya. Murbei varietas Kanva
mempunyai daun berbentuk jantung, ujung runcing, pangkal daun rata dan tepi
daun bergerigi runcing tumpul. Warna daun hijau tua, susunan tulang daun
menyirip dengan tekstur permukaan atas daun kasap dan bawah daun halus.
Tipe daun tunggal dengan indeks P/L daun 1,27 dan panjang tangkai daun rata-
rata 2,40 cm. Daun murbei rasanya pahit (Pudjiono & Septina 2008).
Daun murbei yang selama ini digunakan sebagai pakan dalam budidaya
ulat sutera memiliki khasiat sebagai obat. Daun murbei dapat menurunkan
glukosa darah, bersifat diuretik dan menurunkan tekanan darah (Sianghal et al.
2001). Daun murbei juga dapat meredakan gejala gelisah (Yadav et al. 2008).
Hahm et al. (2008) melakukan penelitian mengenai manfaat daun murbei yang
dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol. Penelitian dilakukan
terhadap tikus dan hasilnya signifikan. Selain itu daun murbei juga dapat
mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara
meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008).
Kandungan klorofil daun murbei varietas Kanva adalah 844 ppm (Kusharto
et al. 2008). Kandungan klorofil daun murbei varietas ini paling tinggi
dibandingkan verietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm), dan
Cathayana (324 ppm). Daun murbei mengandung air sebesar 74,43%, protein
sebesar 7,63%, lemak sebesar 0,59%, abu sebesar 2,56% dan karbohidrat
4
sebesar 8,45%. Selain itu kandungan serat kasar daun murbei varietas ini
sebesar 6,34% (Nurdin et al. 2009)
Klorofil dan Turunannya
Menurut Harbone (1987) klorofil merupakan katalisator dalam proses
fotosintesis yang memiliki peranan penting dan berada di alam sebagai pigmen
hijau dalam semua jaringan tumbuhan yang berfotosintesis. Gross (1991)
menjelaskan bahwa klorofil berfungsi menangkap energi cahaya untuk
mengubah karbondioksida menjadi karbohidrat. Karbohidrat dibentuk dalam
tumbuhan yang berklorofil melalui reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar
matahari yang disebut sebagai proses fotosintesis (Winarno 2008).
Klorofil a dan klorofil b terdapat pada semua tumbuhan hijau dengan
perbandingan 3:1 pada tumbuhan tinggi. Kondisi pertumbuhan dan faktor
lingkungan dapat mempengaruhi perbandingan tersebut (Gross 1991). Menurut
Sweetman (2005) berat molekul klorofil a adalah 893,5 dan klorofil b adalah
907,51. Klorofil a dan b terdapat dalam tumbuhan, ganggang dan bakteri,
sedangkan klorofil c, d dan e terdapat dalam ganggang (Hendry & Houghton
1996).
Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai daun tumbuhan
No Jenis SayuranKadar Klorofil (ppm) daun
a b Total Rasio a:b1 Daun singkonga 2853,2 1114,3 3967,5 2,6:12 Daun katuka 1688,1 513,9 2202,0 3,3:13 Daun kangkunga 1493,5 519,9 2013,5 2,9:14 Daun bayama 1205,0 255,9 1460,9 4,7:16 Kacang panjanga 169,1 55,5 224,6 3,0:17 Buncisa 57,0 18,5 75,4 3,1:18 Seladaa 482,7 148,6 631,3 3,2:19 Daun kemangia 842,7 479,6 1322,7 1,8:110 Daun poh-pohana 1495,4 587,1 2082,5 2,5:111 Cincau hijaub 1300 408,7 1708,8 3,2:112 Daun murbei var. Kanvab 651,7 192,5 844,2 3,4:113 Daun pegaganb 612,5 219,0 831,5 2,8:1
Sumber: a Alsuhendra (2004), b Kusharto et al. (2008)
Jenis dan kandungan klorofil dalam jaringan tanaman tergantung pada
spesies, varietas dan tempat tumbuh. Klorofil dapat ditemukan pada daun dan
permukaan batang yaitu di dalam spongi di bawah kutikula. Oleh sebab itu
sayuran lebih banyak mengandung klorofil dibandingkan dengan buah-buahan
yang telah matang (Alsuhendra 2004).
5
Klorofil secara struktural merupakan porfirin yang mengandung cincin
dasar tetrapirol yang berikatan dengan ion Mg2+. Cincin dasar isosiklik yang
kelima berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Substituen asam propionat
diesterifikasi pada cincin keempat oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol
(C20H39OH) yang bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari struktur
intinya maka klorofil berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik. Klorofil
merupakan ester dan larut dalam pelarut organik (Gross 1991).
Kelabilan yang ekstrim merupakan karakteristik penting dari klorofil. Klorofil
sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen, degradasi kimia yang meliputi reaksi
feofitinisasi, reaksi pembentukan chlorophyllide dan reaksi oksidasi. Klorofil dapat
berubah menjadi turunannya baik secara in vivo maupun in vitro (Gross 1991).
Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan pheophytin yang berwarna
hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil
terlepas dan diganti oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalam kloroplas
mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti oleh ion hidrogen
membentuk pheophytin. Reaksi pembentukan chlorophyllide terjadi pada hampir
semua tumbuhan hijau dimana terdapat enzim klorofilase yang dapat
menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk
chlorophyllide (Gross 1991).
Reaksi oksidasi dibagi menjadi reaksi oksidasi non enzimatik dan oksidasi
enzimatik. Reaksi oksidasi non enzimatik terjadi karena pemanasan dan selama
penyimpanan. Kecepatan degradasi oksidatif meningkat sejalan dengan lamanya
pertambahan waktu blansir dan penyimpanan. Pengaruh blansir tampak dalam
dua hal. Pertama, blansir menginaktivasi enzim-enzim yang membantu degradasi
klorofil, sehingga klorofil lebih stabil. Kedua, blansir dalam waktu yang lebih lama,
meskipun menginaktivasi enzim, tetapi merangsang reaksi oksidasi yang
mengakibatkan kehilangan klorofil. Waktu blansir yang paling optimum adalah 45
detik sampai 1 menit, dimana aktivasi enzim dan peransang reaksi oksidasi
dihambat. Reaksi oksidasi enzimatik terjadi dengan adanya enzim lipoksigenase
(linoleat oksidoreduktase) yang terdapat disebagian besar sayuran dan buah-
buahan. Enzim lipoksigenasi diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan
pengaruh pemucatan pada klorofil a dan klorofil b dengan kehadiran lemak dan
oksigen (Eskin 1979 diacu dalam Prangdimurti 2007).
6
Turunan klorofil diantaranya:
1. Chlorophyllide, reaksi pembentukan chlorophyllide terjadi pada hampir semua
tumbuhan hijau dimana terdapat enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis
gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk chlorophyllide.
Chlorophyllide merupakan senyawa berwarna hijau mempunyai sifat spektral
yang sama dengan klorofil tetapi lebih larut dalam air. Chlorophyllide juga
dapat kehilangan ion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen
membentuk pheophorbide. Klorofil dapat dengan mudah dihirolisis
menghasilkan chlorophyllide dan fitol pada kondisi asam maupun basa.
2. Pheophytin a dan b merupakan turunan klorofil bebas magnesium, dimana
pheophytin a dan b secara mudah diperolah dari klorofil dengan perlakuan
asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit
menggunakan HCl dengan konsentrasi 13%. Kecepatan terbentuknya
pheophytin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam.
Warna hijau dari sayuran dengan cepat berubah dari hijau terang menjadi
hjau kecoklatan karena pemanasan dan penyimpanan. Asam-asam yang
terbentuk adalah asam asetat dan asam pirolidon karboksilat (Gross 1991).
3. Pheophorbide a dan b adalah klorofil terhidrolisis tanpa fitol (chlorophyllide)
yang juga bebas Mg. Pheophorbide dihasilkan dari klorofil dengan suasana
asam (HCl 30%) atau chlorophyllide yang diasamkan (Gross 1991)
4. Pyrochlorophyll, turunan pyro dari klorofil atau turunannya adalah senyawa
yang kehilangan gugus karboksimetoksi (-COOCH3) pada C-10 dari cincin
isosiklik, suatu gugus yang diganti oleh hidrogen. Klorofil a, methyl
chlorophyllide a, pheophytin a atau methyl pheophorbide a bila dipanaskan
pada 1000C menghasilkan turunan pyro oleh dekarbometoksilasi (Gross 1991)
Menurut Gross (1991) klorofil a berwarna hijau kebiruan (blue-yellow) dan
klorofil b berwarna hijau kekuningan (yellow-green). Warna hijau yang tampak
pada klorofil dikarenakan klorofil menyerap secara kuat pada area merah dan
biru pada spektrum tampak. Klorofil a bersifat kurang polar serta larut dalam
alkohol, eter dan aseton sedangkan klorofil b bersifat lebih polar serta dalam
keadaan murni sedikit larut dalam petroleum eter namun tidak larut dalam air.
Klorofil b dan pheophytin b larut dalam alkohol, eter, aseton dan benzene, serta
dalam keadaan murni tidak larut dalam petroleum eter dan air. Chlorophyllide
dan pheophorbide tidak larut dalam pelarut organik tetapi larut air. Klorofil a dan
7
klorofil b bersifat fluoresen dalam larutan (Kusumaningsih 2003; Clydesdale et al.
1969 diacu dalam Nurdin 2009).
Gambar 1 Struktur kimia klorofil beserta turunannya (Ferruzzi & Blakeslee 2006)
Muchtadi (1992) menjelaskan bahwa protein dari senyawa kompleks pada
sayuran yang mengandung klorofil akan mengalami denaturasi selama
perebusan sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil yang bebas tersebut
sangat tidak stabil dan Mg2+ yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah
digantikan oleh H+. Hal ini menyebabkan warna sayuran yang semula hijau
berubah menjadi kecoklatan karena terbentuknya pheophytin (Ferruzzi &
Schwartz 2001). Warna hijau terang (bright green) dari sayuran segar
menunjukkan kualitas daun yang dipengaruhi oleh umur (aging), pH, panas,
kompleks metal, oksidasi, enzim dan fermentasi. Semua faktor tersebut dapat
mempengaruhi warna alami klorofil yaitu menyebabkan degradasi klorofil
(Hutchings 1994). Perubahan warna inilah yang harus diperhatikan dalam
mengolah produk-produk yang mengandung klorofil. Warna merupakan salah
satu karakteristik penilaian pertama konsumen dalam membeli produk makanan
yaitu 45% dari keseluruhan mutu makanan (Eskin 1979 diacu dalam Kandiana
2010).
8
Manfaat Klorofil bagi Kesehatan
Hasil penelitian Kumar et al. (2004) menunjukkan bahwa klorofil dan
beberapa turunannya memiliki kemampuan antioksidatif baik secara in vitro
maupun in vivo. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Marquez
et al. (2005) dan Ferruzzi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa klorofil dan
turunannya memiliki kemampuan antioksidan dan antimutagenik. Kemampuan
klorofil dan turunannya dimanfaatkan juga sebagai pewarna makanan,
penghilang bau badan (Limantara 2009) dan antikanker (Breinholt et al. 1995;
Hasegawa et al. 1995; Keller et al. 1996 & Tassetti et al. 1997; Barder et al.
2006).
Klorofil dan turunannya seperti pheophytin, pyropheophytin, pheophorbide
dan chlorophyllide telah menunjukkan antimutagenik secara in vitro melawan
mutagen seperti 3-methylcholanthrene, N-methyl-N’-nitri-N’-nitrosoguanidine
(MNNG) dan aflatoksin B1 (Dashwood et al. 1991). Klorofil dan chlorophyllin juga
telah menunjukkan efek antikarsinogenik pada hewan coba, dalam hal ini dalam
melawan karsinogen seperti alfatoksin B1 (Breinholt et al. 1995), 1,2
dimethylhydrazine (Robins & Nelson 1989) dan dibenzopyrene (Reddy et al.
1999). Mekanisme kerja antimutagenik dan antikarsinogenik dari klorofil dan
chlorophyllin tidak diketahui, diduga sifat antioksidan dari klorofil atau
chlorophyllin yang berperan disini. Kemungkinan lain adalah pembentukan
kompleks antara mutagen atau karsinogen dengan klorofil atau chlorophyllin
yang akan menginaktivasi mutagen atau karsinogen. Berdasarkan Physicians
Desk Reference (PDR) for Nutritional Supplement klorofil dan chlorophyllin dapat
dijadikan sebagai suplemen makanan (Hendler & Rorvik 2001).
Cu-Turunan Klorofil
Manfaat Cu (Tembaga) bagi Tubuh
Cu atau tembaga merupakan salah satu zat gizi mikro essensial yang
berfungsi sebagai bagian dari enzim dalam tubuh. Tembaga terlibat dalam
pembentukan energi di dalam mitokondria melalui transport elektron protein.
Tembaga yang berada dalam sel darah merah sebagian besar berbentuk
metaloenzim superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan serta
membantu sintesis melanin dan katekolamin. Tembaga dalam seruloplasmin
berperan pada proses oksidasi besi sebelum ditransportasikan ke dalam plasma
(Anderson 2004).
9
Tembaga dalam enzim metaloprotein berperan pada proses sintesis
protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah
serta pada proses sintesis pembawa rangsangan saraf (neurotransmitter) seperti
noradrenalin dan neuropeptida seperti ensefalin (Almatsier 2009). Beberapa
enzim yang mengandung tembaga lainnya adalah tirosinase untuk memproduksi
pigmen dalam epidermis, urikase pada metabolisme asam urat di dalam hati dan
ginjal, lisis oksidase dalam kondensasi asam amino, amino oksidase pada
plasma dan jaringan ikat, serta tiol oksidase dalam pembentukan ikatan disulfida
(Garrow & James 1993). Orang dewasa mengandung tembaga sekitar 100 mg
yang umumnya terikat terhadap sekitar 30 jenis enzim dan protein (Buttriss &
Hughes 2000).
Menurut Anderson (2004) defisiensi tembaga dikategorikan sebagai
anemia, neutropenia dan kelainan skeletal terutama demineralisasi. Selain itu
defisiensi tembaga diduga menyebabkan subperiosteal hemorrhage,
depigmentasi rambut dan kulit. Namun belum ada bukti spesifik tentang
defisiensi tembaga yang terjadi pada manusia. Penyakit Menkes yang
merupakan kelainan genetik dapat menyebabkan defisiensi tembaga.
Angka Kecukupan Gizi untuk tembaga belum ditentukan di Indonesia
karena kekurangan tembaga karena makanan jarang terjadi. Jumlah tembaga
yang aman dikonsumsi yang ditentukan oleh Amerika Serikat adalah sebesar
1,5-3 mg sehari (Almatsier 2009). Keputusan Kepala Badan pengawas Obat dan
Makanan RI No. HK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan
Suplemen Makanan menyebutkan bahwa batas maksimum Cu yang diizinkan
terdapat dalam suplemen makanan sebanyak 3 mg/hari (BPOM RI 2005). Angka
ini lebih rendah dibandingkan dengan UL-nya yaitu sebesar 10 mg/hari (Young
et al. 2001).
Nekrosis hati atau sekrosis hati merupakan akibat dari kelebihan tembaga
secara kronis yang menumpuk di dalam hati. Kelebihan tembaga dapat terjadi
karena konsumsi suplemen tembaga atau penggunaan alat memasak dari
tembaga terutama pada saat memasak cairan bersifat asam. Konsumsi
sebanyak 10-15 mg perhari dapat menyebabkan muntah dan diare (Almatsier
2009). Penyakit Wilson merupakan penyakit yang ditandai dengan akumulasi
tembaga yang berlebih di dalam jaringan tubuh seperti mata sebagai hasil dari
defisiensi genetik pada sintesis seruplasmin hati. Penyakit ini biasanya terjadi
10
pada orang yang melakukan diet vegetarian ketat karena sayuran dan buah
sedikit sekali mengandung tembaga (Anderson 2004).
Cu-Turunan Klorofil
Logam Zn, Cu, Fe, Ni dan Co adalah logam yang biasa digunakan untuk
membentuk kompleks turunan klorofil atau molekul porfirin. Namun yang umum
digunakan dalam hubungannya dengan kesehatan adalah logam Zn dan Cu. Zn
dan Cu bersama dengan kompleks cincin porfirin membentuk suatu ikatan kuat
yang lebih tahan panas dan asam dibandingkan dengan klorofil asal. Beberapa
penelitian yang menggunakan sayuran telah membuktikan hal tersebut (Canjura
et al. 1999). Laborde dan Von elbe (1994) menyatakan bahwa ion logam tidak
bereaksi dengan klorofil alami, namun hanya bereaksi dengan turunan klorofil.
Berbagai penelitian in vitro menunjukkan bahwa klorofil dan turunannya
dapat digunakan sebagai antikanker, antiimflamasi dan antioksidan. Hasil
penelitian membuktikan bahwa Cu-chlorophyllin mempunyai aktivitas antioksidan
yang lebih tinggi dibandingkan klorofil alami (Marquez et al. 2005) dan turunan
klorofil alami (Ferruzi et al. 2002). Hal ini menandakan pentingnya logam terikat
dalam porfirin. Prangdimurti (2007) juga menyatakan bahwa ekstrak daun suji
dengan kadar klorofil 0,082 mg/ml, klorofil suji dan Cu-Chlorophyllin dengan
kadar klorofil semuanya setara 0,041 mg/ml mampu menghambat oksidasi LDL
secara in vitro sebesar 54%, 40% dan 100% secara berturut-turut. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dikatakan bahwa Cu-Chlorophyllin memiliki aktivitas
menahan oksidasi LDL yang lebih besar dibandingkan dengan klorofil alami.
Hasil penelitian Nurdin (2009) memperkuat pernyataan tersebut dimana bubuk
ekstrak Cu-turunan klorofil sebanyak 16,7 mg/kg BB/hari lebih berpotensi
mencegah pembentukan lesi aterosklerosis dibanding dengan klorofil alami
maupun klorofil komersil.
Karakteristik fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofil dari daun murbei
varietas Kanva (Nurdin et al. 2009) dan daun cincau hijau (Premna oblongifolia
Merr.) (Nurdin 2009 dan Kandiana 2010) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakter fisiko-kimia bubuk Cu-turunan klorofilKarakteristik Bubuk Cu-turunan klorofil
daun cincau hijaua,bBubuk Cu-turunan klorofil
daun cincau hijauc
Rendemen (%) 14,20 5,325 -pH 7,64 6,275 6,48Kelarutan (%) 98,04 93,44 62,99
Sumber: a Nurdin (2009), b Kandiana (2010), c Nurdin et al. (2009)
11
Selain itu Nurdin (2009) dan Nurdin et al. (2009) juga melakukan uji warna,
analisis proksimat, analisis serat kasar dan kandungan beta karoten bubuk Cu-
turunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei. Uji warna dilakukan pada
bubuk Cu-turunan klorofil sebelum dan sesudah dipanaskan. Tingkat kecerahan
dan kekuningan relatif stabil, penurunan hanya terjadi pada tingkat kehijauan
namun relatif kecil.
Tabel 3 Nilai uji proksimat, serat makanan dan beta-karoten bubuk Cu-turunan klorofil daun cincau hijau dan daun murbei
Jenis AnalisisBubuk Cu-turunan
klorofil daun cincau hijaua
Bubuk Cu-turunan klorofil daun murbeib
Air (%) 6,93 6,35Protein (%) 0,89 2,79Lemak (%) 7,11 5,85Abu (%) 2,63 2,26Karbohidrat (%) 82,44 78,87Serat kasar (%) 3,31 3,88Beta-karoten (mg/100 g) 3,38 -
Sumber: a Nurdin (2009), b Nurdin et al. (2009)
Nurdin et al. (2009) melakukan uji fitokimia terhadap bubuk Cu-turunan
klorofil daun murbei. Tanin, steroid dan glikosida merupakan zat fitokimia yang
paling dominan (positif sangat kuat). Selain itu kandungan alkaloid, saponin dan
flavonoidnya tergolong positif kuat sekali. Bubuk Cu-turunan klorofil ini juga
mengandung sedikit (positif lemah) fenolik dan triterpenoid.
Zat fitokimia memiliki potensi sebagai obat alternatif untuk meningkatkan
derajat kesehatan. Alkaloid memiliki manfaat bagi tubuh untuk menghilangkan
rasa sakit (analgesik), menurunkan tekanan darah dan antimalaria. Glikosida
dapat dijadikan sebagai obat jantung, melancarkan buang air kecil,
mengencerkan dahak dan prekursor hormon steroid. Manfaat saponin adalah
menstimulasi jaringan tertentu seperti epitel hidung, bronkus, dan ginjal.
Stimulasi pada ginjal diduga menimbulkan efek diuretika (Sirait 2007). Tanin
merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai
antioksidan kuat, anti peradangan dan antikanker. Tanin pada umumnya
dimanfaatkan sebagai pengencang kulit dalam kosmetik (Yuliarti 2008). Sifat
tanin dapat menciutkan dan mengendapkan protein dari larutan dengan
membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait 2007). Kandungan tanin dalam
bubuk Cu-turunan klorofil juga menjadi nilai tambah tersendiri. Tanin dapat
12
digunakan untuk membunuh bakteri Stroptococcus pyogenes dan Pasteurella
multicida secara in vitro (Siswantoro 2008).
Uji Toksisitas
Toksikologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari sifat-sifat racun zat
kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Setiap zat kimia pada dasarnya
bersifat racun, namun keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian.
Setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosisnya yaitu dosis kecil yang
tidak berefek sama sekali atau dosis besar yang dapat menimbulkan keracunan
dan kematian (Darmansjah 1995).
Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting
dari toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan
dipergunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya. Sebelum percobaan
toksikologi dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat
dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan
percobaan toksisitas yang akan dilakukan. Tujuan utama percobaan toksisitas
akut adalah mencari efek toksik, sedangkan tujuan utama percobaan toksisitas
kronik ialah menguji keamanan obat atau zat kimia. Menafsirkan keamanan obat
atau zat kimia untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan
toksisitas terhadap hewan. Istilah menafsirkan ini digunakan, karena ekstrapolasi
dari data hewan ke manusia tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa
mempertimbangkan segala faktor perbedaan antara hewan dan manusia.
Pendekatan penilaian keamanan obat atau zat kimia dapat dilakukan dengan
tahapan berikut: (1) menentukan LD50; (2) melakukan percobaan toksisitas
subakut dan kronik untuk menentukan no effect level; dan (3) melakukan
percobaan karsinogenisitas, teratogenitas dan mutagenisitas yang merupakan
bagian dari screening rutin mengenai keamanan (Darmansjah 1995).
Metoda uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
BSLT merupakan salah satu metoda screening bahan yang berpotensi
sebagai tanaman berkhasiat serta merupakan metode screening farmakologi
awal yang relatif murah dan telah teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan
95% (Meyer et al. 1982). Metode ini menggunakan larva udang laut (Artemia
salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva udang laut merupakan organisme
sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang
cukup tinggi terhadap toksik (Parwati & Simanjuntak 1998; Carballo et al. 2002).
Telurnya memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun dalam keadaan
13
kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva dalam waktu 24-
28 jam (Pujiati 2002). Bila bahan yang diuji memberikan efek toksik terhadap
larva udang laut, maka hal itu merupakan indikasi awal dari efek farmakologi
yang terkandung dalam bahan tersebut. Metode ini juga banyak digunakan
dalam berbagai analisis biosistem seperti analisis terhadap residu pestisida,
mikotoksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester
(Meyer et al. 1982).
Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dapat diketahui dari jumlah
kematian larva udang akibat pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam
tumbuhan tertentu dari dosis yang telah ditentukan dengan melihat nilai LC50
(lethal concentration). Apabila nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, ekstrak tumbuhan
tersebut dikatakan toksik. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna
terhadap potensi aktivitasnya sebagai antikanker. Metode BSLT ini mempunyai
keunggulan yaitu waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, praktis, tidak
memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan perawatan khusus, menggunakan
sampel relatif sedikit, tidak memerlukan serum hewan. Prinsip uji BSLT adalah
mencari hubungan antara konsentrasi larutan fraksi atau ekstrak terhadap respon
kematian larva udang (Meyer et al. 1982).
Suplemen Makanan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI) mendefinisikan
suplemen makanan sebagai produk yang dimaksudkan untuk melengkapi
kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin,
mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan
tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah
terkonsentrasi (BPOM RI 2005).
Suplemen makanan berfungsi sebagai zat tambahan yang berguna untuk
memperbaiki dan mengingkatkan daya tahan tubuh. Zat aktif yang dikandungnya
hanya mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh, tidak dapat mengobati atau
mencegah suatu penyakit. Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mengklaim
suplemen sebagai obat (Sudarisman 1997; Winarno & Kartawidjajaputra 2007),
namun suplemen makanan dapat mencantumkan klaim kesehatan pada labelnya
(Winarno & Kartawidjajaputra 2007). Penggunaan produk suplemen dalam
kebutuhan sehari-hari masih diperbincangkan oleh para ahli. Anjuran
penggunaan suplemen hanya diberikan bila asupan zat gizi seseorang tidak
mencukupi kebutuhannya (Loni 2001).
14
Peraturan Perundang-undangan dibidang Suplemen Makanan menyatakan
bahwa suplemen makanan harus memiliki kriteria sebagai berikut: (a)
Menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan
serta standar dan persyaratan yang ditetapkan; (b) Kemanfaatan yang dinilai dari
komposisi dan atau didukung oleh data pembuktian; (c) Diproduksi dengan
menerapkan Cara Pembuatan yang Baik; (d) Penandaan yang harus
mencantumkan informasi yang lengkap, obyektif, benar dan tidak menyesatkan;
(e) Dalam bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, serbuk, granul, setengah padat dan
cairan yang tidak dimaksud untuk pangan. Selain itu, suplemen makanan harus
diproduksi dengan menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu sesuai
dengan Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia atau standar lain yang
diakui (BPOM RI 2005).
Komposisi suplemen makanan merupakan susunan kualitatif dan kuantitatif
bahan utama dalam suplemen makanan. BPOM RI telah menetapkan daftar
batas maksimum per hari untuk penggunaan vitamin, mineral, asam amino dan
bahan lain yang diizinkan serta bahan (tumbuhan, hewan, mineral) yang dilarang
dalam suplemen makanan. Vitamin, mineral dan asam amino yang diizinkan
terdapat dalam suplemen makanan diantaranya vitamin A, B1, B2,B3, B6, B12,
D, E, C, K, beta karoten, biotin asam folat, besi, boron, fosfor, kalium, kalsium,
kromium, magnesium, mangan, molibdium, selenium, tembaga, vanadium,
iodium, zink, inositol, glutamine, glutation, karnitin, ko enzim Q 10. Kolin, l-
arginin, leusin, lisin, metal sistein, taurin dan tirosin. Bahan lain yang diizinkan
diantaranya bioflavonoid, citosan, fluor, glukosamin, kafein, kondroitin sulfat,
metilsulfonilmetan dan silika (BPOM RI 2005).