kajian tentang pengaturan pemerik …. terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada h. djahuri dan hj....

71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KAJI PE Disusun D IAN TENTA T DALAM ERATURA Dan Diajuka Derajat Sarj U UN ANG PENG TANPA KE M TINDAK AN PERUND an Untuk M ana Dalam I Universitas S D IHSA E FAKU NIVERSITA SU GATURAN HADIRAN PIDANA K DANG-UND elengkapi Sy Ilmu Hukum Sebelas Mare Disusun oleh: AN JAUHA E 1105013 ULTAS HUK AS SEBELA URAKARTA 2011 PEMERIK TERDAKW KORUPSI M DANGAN D yarat-Syarat m Pada Fakul et Surakarta : ARI KUM AS MARET A KSAAN PER WA MENURUT DI INDONE t Guna Mem ltas Hukum T RKARA ESIA mperoleh

Upload: dangnhu

Post on 24-Jul-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KAJI

PE

Disusun D

IAN TENTAT

DALAMERATURA

Dan DiajukaDerajat Sarj

U

UN

ANG PENGTANPA KE

M TINDAK AN PERUND

an Untuk Mana Dalam I

Universitas S

D

IHSAE

FAKUNIVERSITA

SU

GATURAN HADIRANPIDANA K

DANG-UND

elengkapi SyIlmu HukumSebelas Mare

Disusun oleh:

AN JAUHAE 1105013

ULTAS HUKAS SEBELA

URAKARTA2011

PEMERIK TERDAKW

KORUPSI MDANGAN D

yarat-Syaratm Pada Fakul

et Surakarta

:

ARI

KUM AS MARETA

KSAAN PERWA

MENURUT DI INDONE

t Guna Memltas Hukum

T

RKARA

ESIA

mperoleh

Page 2: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Disusun Oleh :

IHSAN JAUHARI

E 1105013

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

KRISTIYADI, SH, M.Hum. NIP. 195812251986011001

Page 3: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Disusun Oleh :

IHSAN JAUHARI

E 1105013

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada: Hari : Selasa Tanggal : 18 Januari 2011

TIM PENGUJI

Ketua 1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum.: ..........................................

NIP. 196202091989031001 Sekretaris

2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : .......................................... NIP. 195706291985031002

Anggota 3. Kristiyadi, S.H., M.Hum. : ..........................................

NIP. 195812251986011001

MENGETAHUI Dekan,

(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001

Page 4: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : IHSAN JAUHARI NIM : E1105013

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ”Kajian Tentang Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 18 Januari 2011

yang membuat pernyataan

IHSAN JAUHARI NIM. E1105013

Page 5: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

Abstrak Ihsan Jauhari, NIM. E1105013, KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini dilihat dari jenisnya merupakan penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan. Sifat penelitiannya adalah preskriptif. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memakai teknik pengumpulan data studi kepustakaan. Teknik analisis data dengan metode silogisme dan interpretasi. Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain. Berdasarkan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur sidang in absensia,yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu. Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang dI dalam Pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Kata Kunci : Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa, Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Page 6: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

Abstract Ihsan Jauhari, NIM. E1105013, THE INSTRUCTION OF ARRANGEMENT SESSION OF THE COURT WITHOUT ATTENDANCE OF DEFENDANT IN DOING AN INJUSTICE CORRUPTION BASED ON LAW AND REGULATION IN INDONESIA. Faculty Of Law Surakarta Sebelas Maret University. This research has a goal to know the arrangement session of the court without attendance of defendant in corruption doing an injustice based on law and regulation in Indonesia. In this study, the writer used normatif law research with statute approach. The kinds of data collection and source of data is taken from secondary subject. The writer also used prescriptive research design to illustrate the condition of subject of the research. Source of secondary data consist of materials punish primary, materials punish secondary, and tertiary law materials. To get data in this research used writer bibliography study data collecting technique or documentation. Technique study of data used interpretation method. Judging or bringing to justice by in absentia is judge defendant someone and can punishing it without attended by its defendant. Based on Article 196 Sentence (1) criminal prosedure (KUHAP), justice judge the case of attended its defendant except in the case determine the other of law. Based on Article 26 of Law Number 31 Year 1999 about Eradication Doing An Injustice Corruption, investigation, prosecution, and inspection in court to corruption doing an injustice, conducted pursuant to procedure of criminal going into effect, except determined the other of this law. In Article 16 Sentence (1) of Law Number 7 Emergency Year 1955 about Decreasetion, Prosecution, and Jurisdiction of Economic Doing An Injustice arrange absentia is if there are good enough reason to anticipate, that someone passing away, before the case is inexorable decision again have done economic doing an injustice, so the judge on the publik prosecutor demand with justice decision could be a. breaking hijack of goods which have been confiscated b. breaking that discipline action of called at section 8 sub c and conducted by weighing against its estae someone who pass away. The rule of In absentia at Law Number 3 Year 1971 about Eradication Doing An Injustice Corruption decanted in Article 23 Sentence (1) expressing that if defendant called with and was absent in court without reasoning valid, hence case can be checked and decision by judge without its attendance. Jurisdiction of In absensia to corruption doing an injustice arranged in Article 38 of Law Number 31 Year 1999 about Eradication Doing An Injustice Corruption, that is hit matter attendance of defendant in conference, if defendant have been called validly, and absent in court without valid reason, hence case can be checked and decised without its attendance. Keyword: Session Of The Court Without Attendance of Defendant, Doing An Injustice Corruption, Law And Regulation About Doing An Injustice Corruption.

Page 7: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

Pengetahuan adalah satu-satunya kekayaan yang tidak bisa di lenyapkan, hanya

kematian yang bisa melenyapkan lentera pengetahuan yang ada di dalam dirimu.

Kekayaan yang sebenarnya dari suatu bangsa bukan terletak pada jumlah emas

dan perak yang terkandung di dalam sumber alamnya tetapi terletak pada

pengetahuan, kebijaksanaan, dan kejujuran anak bangsa (Kahlil Gibran).

Page 8: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Dengan setulus hati, saya persembahkan Penulisan Hukum (Skripsi) ini untuk

kedua orang tua saya tercinta H. Djahuri, B.A dan Hj. Ruwaidah, keluarga besar,

Deni Herbiyanti, Spsi, Ronggo, S.H, Singgih, S.H, sahabat-sahabat terbaik saya,

untuk Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, serta

Indonesia tercinta.

Page 9: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut asma Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang serta diiringi rasa syukur kepada Allah SWT, penulisan hukum

(skripsi) yang berjudul “KAJIAN TENTANG PENGATURAN

PEMERIKSAAN PERKARA TANPA KEHADIRAN TERDAKWA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA”, dapat penulis selesaikan.

Penulisan hukum (skripsi) ini membahas permasalahan tentang pengaturan

pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi

menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penulis yakin bahwa

penulisan hukum (skripsi) ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,

terutama kepada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk menyusun penulisan hukum (skripsi) ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara Pidana

yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum

(skripsi) ini.

3. Bapak Hardjono, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Program S1 Non Reguler

yang telah banyak memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum

(skripsi) ini.

4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing yang telah banyak

memberikan masukan dan nasehat dalam penulisan hukum (skripsi) ini.

5. Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik

yang telah banyak memberikan nasehat yang berguna selama penulis belajar

di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 10: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum

pada khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam

penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat penulis praktekkan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7. Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah

selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus,

nasehat-nasehat, semangat, serta doa-doa yang penuh limpahan berkah rahmat

Allah SWT yang selalu mengiringi di setiap langkah saya.

9. Deni Herbiyanti, Spsi, Ronggo, S.H, Singgih, S.H, Edi Maryandi, S.H, Tiyas,

S.H, dan semua sahabat-sahabat terbaik saya yang telah memberikan

semangat.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum (skripsi) ini terdapat

banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran

yang membangun sehingga dapat memperjelas isi penulisan hukum (skripsi) ini.

Semoga Allah SWT membalas segala amal kebaikkan semuanya dan mudah-

mudahan penulisan hukum (skripsi) ini dapat memberikan manfaat bagi kita

semua, terutama bagi penulis sendiri, kalangan akademisi, praktisi, serta

masyarakat umum. Amin ya Robbal ‘alamin.

Surakarta, 18 Januari 2011

Penulis

Ihsan Jauhari

Page 11: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................... v

HALAMAN MOTTO ................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................. xi

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 6

E. Metode Penelitian ................................................................ 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................. 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 10

A. Kerangka Teoritis .................................................................. 10

1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia…….………... 10

a. Pengertian In Absensia…………………………….. 10

b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang

Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi... 12

c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang

3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi……………………………………... 13

d. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi……………………………… 14

Page 12: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi………………. 14

a. Pengertian Tindak Pidana……………………………. 14

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi…………………... 17

3. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi………………....... 27

a. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……. 27

b. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi…….. 28

B. Kerangka Pemikiran................................................................. 31

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………...... 32

Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa Dalam

Tindak Pidana Korupsi Menurut Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia……………………….................................................... 32

BAB IV : PENUTUP...................................................................................... 59

A. Simpulan......................................................................................... 59

B. Saran.............................................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 61

LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................. 64

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Page 13: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan

perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus

yang terjadi, jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas maupun

kuantitasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta

lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat yang merupakan

suatu fenomena kejahatan yang menghambat pertumbuhan dan kelangsungan

pembangunan nasional, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-

hak ekonomi masyarakat, serta membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan

perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada

umumnya, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar

diprioritaskan dalam rangka mewujudkan keadilan berdasarkan Pasal 28D ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua, bahwa setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan

biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya

pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-

cara yang luar biasa. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi

diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara

yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya. Tindak pidana korupsi

merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi

transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa

Indonesia. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang

bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga

memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat

menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional

1

Page 14: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2  

maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan

dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerjasama

internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana

korupsi.

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus,

antara lain dimulai dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (selanjutnya UU

7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi), Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan

Penguasa Perang Pusat A.D. Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, Undang-Undang

Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(selanjutnya UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (selanjutnya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme (selanjutnya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(selanjutnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (selanjutnya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (selanjutnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi), dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Tahun 2003 (Konvensi

Page 15: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3  

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003) (selanjutnya UU No. 7

Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption

Tahun 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003)).

Memperhatikan berbagai langkah kebijakan penanggulangan tindak pidana

korupsi di atas, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih memfokuskan pada upaya

melakukan pembaharuan dan perubahan peraturan perundang-undangan atau law

reform, upaya tersebut memang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan

tetapi oleh karena masalah tindak pidana korupsi sarat dengan berbagai

kompleksitas maka seyogyanya ditempuh pendekatan integral sehingga tidak

hanya law reform tetapi juga social, economic, political, cultural, moral, and

administrative reforms.

Tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 1,95 triliun

yang dilakukan oleh Almarhum Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing selaku

Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa yang dilikuidasi pada tanggal 1

November 1997 lalu (selanjutnya BHS) yang dijatuhi hukuman penjara seumur

hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyidangkan

perkaranya secara in absensia pada 22 Maret 2002. Alm. Hendra Rahardja

dihukum karena terbukti menyalahgunakan dana Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (selanjutnya BLBI) secara bersama-sama dengan Eko Edi Putranto

sebagai mantan Komisaris BHS yang juga anak Alm. Hendra Rahardja, dan

Sherny Kojongian sebagai mantan Direktur Kredit BHS, yang harus disalurkan ke

pengusaha kecil dan menengah itu dihabiskan untuk membeli tanah, membangun

gedung BHS di sejumlah kota di Indonesia, dan dikucurkan ke kelompok

perusahaannya sendiri hingga melanggar batas maksimum pemberian kredit

(Hendriko L. Wiremmer, 2001: 1).

Harta Alm. Hendra Rahardja di Australia nilainya sekitar Aus$ 600.000,00

atau setara dengan Rp 3,84 miliar disita Pemerintah Australia, kemudian

diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Uang dalam bentuk cek itu telah

Page 16: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4  

diserahkan Menteri Kehakiman dan Bea Cukai Australia Chris Ellison kepada

Duta Besar Indonesia di Australia Imron Cotan, rekeningnya tersebut terdapat di

dua bank di Australia, yaitu di Sidney dan Perth kedua rekening tersebut sudah

dibekukan. Rekening Alm. Hendra Rahardja yang berada di sebuah bank di

Hongkong berisi US$ 385.000, 00 dapat ditarik kembali ke Indonesia karena

Indonesia memiliki perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan

hukum timbal balik dengan Hongkong (Dewi Indriastuti, 2008: 1).

Kejaksaan Agung menyatakan, jumlah aset Alm. Hendra Rahardja yang

disita sekitar 232 item, yang telah dilelang 17 item dan cuma menghasilkan uang

Rp 13 miliar. Dana hasil pelelangan sejumlah perusahaan milik Grup BHS, seperti

PT Eka Sapta Dirgantara, PT Arta Buana Sakti, PT Inti Bangun Adi Pratama, PT

Prasetya Mandiri, dan PT Setyo Harto Jaya Building sebesar Rp 430,3 miliar serta

Kejaksaan Agung menyita aset tanah seluas 500 hektar di Bogor, Jawa Barat (Kun

Wahyu Winasis, 2002: 1).

Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian masing-masing dihukum 20 tahun

penjara. Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian didenda

sebesar Rp 30 juta dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 1,95 triliun.

Waktu itu, hanya Hendra Rahardja yang mengajukan banding, sedangkan Eko Edi

Putranto dan Sherny Kojongian tidak mengajukan banding. Pengadilan Tinggi

DKI Jakarta tetap memvonis Hendra Rahardja dengan penjara seumur hidup.

Berdasarkan siaran pers Kedutaan Besar Republik Indonesia dengan nomor

58/Pen/I/03, yang menyatakan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra

telah menerima pemberitahuan dari pejabat Kejaksaan Agung Australia bahwa

terpidana penyalahgunaan BLBI yaitu, Hendra Rahardja telah meninggal dunia

pada hari Minggu, tanggal 26 Januari 2003 di Sydney, Australia karena kanker

ginjal. Sedangkan, Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian hingga saat ini masih

bebas dan dikabarkan berdomisili di Australia (Erwin Dariyanto, 2005: 1).

Page 17: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5  

Sehubungan dengan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

Hendra Rahardja tersebut diperiksa di muka persidangan secara in absensia, maka

penulis menuangkannya ke dalam sebuah penulisan yang berbentuk penulisan

hukum dengan judul:

KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIKSAAN PERKARA TANPA

KEHADIRAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA.

B. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan

dibahas, maka perumusan masalahnya adalah:

Bagaimanakah pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam

tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan

sebelumnya, sehingga tujuan penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa

dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan

hukum agar memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar

sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta,

b. Untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman mengenai

pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak

pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia,

c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh

agar memberi manfaat bagi penulis dan masyarakat.

Page 18: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6  

D. Manfaat Penelitian

Adanya suatu penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi bidang

ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai pengaturan pemeriksaan

perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut

peraturan perundang-undangan di Indonesia dan semua pihak yang terkait

dalam menangani masalah tindak pidana tersebut,

b. Memberikan gambaran yang nyata mengenai pengaturan pemeriksaan

perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut

peraturan perundang-undangan di Indonesia,

c. Hasil penelitian tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran

terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-

undangan di Indonesia, diharapkan dapat menambah bahan referensi di

bidang karya ilmiah lainnya.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, serta

untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan penulis dalam

mengimplementasikan ilmu hukum yang diperoleh,

b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti,

c. Menambah pengetahuan tentang pengaturan pemeriksaan perkara tanpa

kehadiran terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan atau statute

Page 19: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7  

approach . Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan

tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 50-51).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitiannya adalah preskriptif atau terapan, yaitu penelitian ini

dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

yang termasuk dalam data sekunder.

3. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan

data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang diperoleh

melalui bahan-bahan, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan,

laporan, desertasi, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis

lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto,

2006: 12).

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah

sumber data sekunder yang terdiri dari: bahan hukum primer, yaitu peraturan

perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder, yaitu bahan

hukum yang membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer

seperti penjelasan undang-undang, serta bahan hukum tersier pada dasarnya

mencakup bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan

acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya,

ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan seterusnya (Soerjono Soekanto,

2006: 11).

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memakai teknik

pengumpulan data studi kepustakaan atau dokumentasi. Studi dokumentasi ini

sebagai metode pengumpulan data sekunder yang utama dan dokumen-

Page 20: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8  

dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi nara sumber yang dapat

memecahkan permasalahan penelitian. Di dalam melakukan studi

dokumentasi, peneliti menyelidiki bahan-bahan pustaka yang merupakan data

sekunder.

6. Teknik Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif, permasalahan hukum dianalisis

dengan metode silogisme dan interpretasi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan

hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis

membuat suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan

hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka,

pembahasan, dan penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar

pustaka. Apabila disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian antara lain: tujuan obyektif dan subyektif, manfaat

penelitian antara lain: manfaat teoritis dan praktis, metode penelitian yang

mencakup jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data, sumber data, teknik

pengumpulan data, serta diuraikan juga sistematika penulisan hukum.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan antara lain mengenai kerangka teoritis dan

kerangka pemikiran. Di dalam kerangka teoritis meliputi: pertama, tinjauan

tentang peradilan in absensi yang di dalamnya dijelaskan tentang pengertian in

absensia, pengaturan in absensia dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun

1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Page 21: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9  

Tindak Pidana Korupsi. Kedua, tinjauan tentang tindak pidana korupsi yang di

dalamnya dijelaskan tentang pengertian tindak pidana dan tindak pidana korupsi.

Ketiga, hukum acara tindak pidana korupsi yang di dalamnya dijelaskan tentang

hukum acara tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menurut Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pengaturan in absensia di dalam Undang-

Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi yang tercantum dalam pasal 16 ayat (1), Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

tercantum dalam pasal 23 ayat (1), dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini diuraikan simpulan berdasarkan analisis data yang dilakukan

sebagai jawaban atas permasalahan yang dirumuskan dan diuraikan mengenai

saran-saran yang ditujukan kepada para pihak yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Di dalam daftar isi diuraikan sumber-sumber pustaka yang digunakan oleh

penulis, baik sumber-sumber dari buku, peraturan perundang-undangan, maupun

bahan-bahan dari internet.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran-lampiran terdiri dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 22: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tinjauan Tentang Peradilan In Absensia

a. Pengertian In Absensia

Mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in absensia, ialah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Berdasarkan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain (Djoko Prakoso, 1985: 54-57).

Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan sebagai segala sesuatu

yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara baik perkara perdata maupun pidana untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil. Sedangkan menurut Arief Sidharta, peradilan adalah pranata hukum untuk secara formal, imparsial, obyektif, serta adil manusiawi memproses penyelesaian definitif yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk vonis yang implementasinya dapat dipaksakan dengan menggunakan aparat negara (HP. Panggabean, 2008: 95-96).

Istilah ”peradilan” dalam peraturan perundang-undangan dapat

ditemukan pada Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kata

”peradilan” pada rumusan judul peraturan tersebut merupakan salah satu

tahap penyelesaian perkara pidana, di samping tahap penyidikan dan

penuntutan. Peradilan di sini mempunyai pengertian sebagai suatu proses

pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan.

Secara fomal kata ”In Absentia” dipergunakan dalam Undang-

Undang Nomor 11/Pnps/1963 yang perumusannya terdapat pada Pasal 11

ayat (1). Kata in absentia diartikan dengan mengadili di luar kehadiran

terdakwa. Kata ”In Absentia” dalam rumusan tersebut sebenarnya

menunjuk pada pengertian ”peradilan In Absentia” yang mencakup

pemerikasaan sampai dengan putusan pengadilan di luar kehadiran

terdakwa. Pengertian di atas sesungguhnya mempunyai cakupan yang

10

Page 23: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11  

sempit, dalam arti bahwa pengertian tersebut hanya didasarkan pada

terjemahan masing-masing kata yang membentuknya, yaitu kata peradilan

dan kata In Absentia. Kata peradilan diterjemahkan sebagai pemeriksaan

dan putusan pengadilan sedangkan kata In Absentia deterjemahkan sebagai

tidak hadir. Tidak hadir dalam pengertian ini adalah tidak hadirnya

terdakwa.

Menurut ensiklopedia Wikipedia, In absentia is Latin for "in the

absence". In legal use it usually pertains to a defendant's right to be

present in court proceedings in a criminal trial. Apabila diterjemahkan

dalam Bahasa Indonesia, yaitu in absensia dalam bahasa Latin dapat

diartikan ketidakhadiran. Di dalam sistem hukum pada umumnya adalah

ketidakhadiran seorang terdakwa di pengadilan dalam suatu perkara

pidana (Wikipedi, 2008: 1-2).

Conviction of a person in absentia, that is in a trial in which they

are not present to answer the charges, is held to be a violation of natural

justice Apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, dikatakan in

absensia adalah terdakwa yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang seharusnya dijawab dalam suatu persidangan dipengadilan (Anthony,

2005: 1-2).

KUHAP secara umum tidak mengatur peradilan in absensia. Tanpa

kehadiran terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara oleh

pengadilan tidak dapat dilakukan. Sejalan dengan itu, Pasal 154 ayat (1)

sampai dengan ayat (7) KUHAP mengatur bagaimana cara menghadirkan

terdakwa dalam persidangan, yaitu: ayat (1) hakim ketua sidang

memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam

tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. Ayat (2) Jika dalam

pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari

sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah

Page 24: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12  

terdakwa sudah dipanggil secara sah. Ayat (3) Jika terdakwa dipanggil

secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan

memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari

sidang berikutnya. Ayat (4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara

sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan

perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang

memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Ayat (5) Jika dalam

suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa

hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat

dilangsungkan. Ayat (6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar

terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara

sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama

berikutnya. Ayat (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum

tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6)

dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Dalam perkara tindak

pidana umum, tidak dimungkinkan untuk diperiksa dan diputus tanpa

hadirnya terdakwa atau dilakukan secara in absensia, tetapi untuk tindak

pidana khusus dimungkinkan sebab adanya kekhususan dan berbagai

aspek pertimbangan untuk dilakukannya persidangan secara in absensia,

misalnya adanya kerugian negara akibat tindak pidana khusus tersebut

sehingga dapat berdampak kepada masyarakat (Adami Chazawi, 2005:

391).

b. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun

1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi

Pasal 16 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur lebih jelas

tentang sidang in absensia meskipun masih mengandung penafsiran yang

luas karena tidak rinci, yaitu: jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa

seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan

Page 25: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13  

yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka

hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a.

memutus perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa

tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan

dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.

c. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang di dalam Pasal 23 ayat (1)

sampai dengan ayat (6) yang menyatakan bahwa ayat (1) jika terdakwa

setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan

tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus

oleh hakim tanpa kehadirannya. Ayat (2) bila terdakwa hadir pada sidang-

sidang selanjutnya sebelum putusan dijatuhkan, ia wajib diperiksa dan

didengar serta sidang dilanjutkan. Ayat (3) putusan pengadilan

diumumkan oleh panitera dalam papan pengumuman pengadilan atau

kantor pemerintah daerah. Ayat (4) terhadap putusan pengadilan yang

dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa, terdakwa atau kuasanya dapat

memajukan banding. Ayat (5) a. jika ada alasan yang cukup menduga,

bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada

putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana

korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum, dengan putusan

pengadilan dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah

disita. b. ketentuan tersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang

meninggal dunia dimaksud sub a. Ayat (6) Setiap orang yang

berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada pengadilan yang

telah menjatuhkan putusan dimaksud ayat (5) dalam waktu tiga bulan

setelah pengumuman tersebut dalam ayat (3).

Page 26: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14  

d. Pengaturan In Absensia Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ketidakhadiran terdakwa atau saksi dalam persidangan sangat

mengganggu para penegak hukum, terlebih Jaksa sebagai Penuntut Umum

dan eksekutor putusan hakim. Dengan kejadian seperti ini, akan

mengakibatkan membengkaknya jumlah tunggakan-tunggakan perkara

pidana termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi ataupun denda-denda

yang menjadi sumber penghasilan bagi negara. Untuk menghindari hal ini

beberapa kasus atau perkara pidana yang menurut undang-undang yang

berlaku, masuk ke pengadilan diselesaikan meskipun tanpa kehadiran

terdakwa di muka sidang. Peradilan in absensia terhadap tindak pidana

korupsi diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai hal kehadiran

terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah dipanggil secara sah,

dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara

dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana

Belanda yang disebut strafbaar feit, dengan demikian istilah strafbaar feit

juga terdapat dalam Hukum Pidana Indonesia., tetapi tidak ada penjelasan

resmi dari istilah strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dari istilah strafbaar feit, tetapi belum ada

keseragaman pemakaian istilah strafbaar feit, ada yang menggunakan

istilah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana,

perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan

perbuatan pidana.

Page 27: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15  

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Adami Chazawi, strafbaar

feit diartikan dengan tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan hukuman pidana (Adami Chazawi, 2002: 55).

Sedangkan menurut Moeljatno, strafbaar feit yang di terjemahkan

dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno

merupakan penganut aliran dualisme yang mana memisahkan unsur

perbuatan dan unsur tanggungjawab dalam strafbaar feit. Alasan

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana karena (Moeljatno,

1983: 54):

1) Bahwa yang dilarang adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian

yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan

pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada

orangnya,

2) Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman

hukuman yang ditujukan kepada orangnya, ada hubungan yang erat,

oleh karena itu perbuatan dengan orang yang menimbulkan perbuatan

tadi ada hubungan yang erat pula,

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat tadi maka digunakan

istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu pengertian abstrak

yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit, yaitu adanya kejadian

tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat.

R. Saleh dalam Martiman Prodjohamidjojo, juga menggunakan

istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan

sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan (Martiman

Prodjohamidjojo, 1997: 15-18).

Page 28: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16  

Bermacam-macamnya terjemahan dari istilah strafbaar feit, tidak

menjadikan adanya suatu permasalahan, asalkan makna dari istilah

strafbaar feit tersebut sama, dan istilah tindak pidana yang dianggap

merupakan istilah resmi dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia sebab hampir seluruh peraturan perundang-undangan di

Indonesia menggunakan istilah tindak pidana (Andi Hamzah, 1993: 2).

Di dalam suatu tindak pidana terdapat unsur-unsur yang melekat

padanya. Sama halnya dalam mengartikan strafbaar feit yang tersebut di

atas, tidak ada keseragaman pemakaian arti strafbaar feit, dan mengenai

unsur-unsur tindak pidana, tidak ada keseragaman pendapat oleh para ahli

hukum pidana. Unsur-unsur tindak pidana terbagi dua macam, yaitu unsur-

unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat atau berhubungan dengan

diri pelaku tindak pidana dan yang termasuk di dalamnya, segala sesuatu

yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif terdiri dari (PAF.

Lamintang, 1997: 193-194):

a) Kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa).

Kesengajaan (intention/opzet/dolus) terdiri atas: kesengajaan sebagai

maksud (oogmerk), kesengajaan sebagai sadar kepastian (opzet als

zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai sadar kemungkinan

(dolus evantualis). Sedangkan kealpaan (culpa) terdiri atas: kealpaan

yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari (Leden Marpaung,

2005: 9),

b) Adanya maksud atau niat untuk melakukan tindak pidana,

c) Ada atau tidak adanya perencanaan dalam melakukan tindak pidana,

d) Adanya perasaan takut dari pelaku tindak pidana.

Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-

tindakan pelaku tindak pidana harus dilakukan (unsur-unsur dari luar diri

pelaku tindak pidana. Unsur-unsur objektif terdiri dari:

a) Sifat perbuatan pelaku tindak pidana yang melanggar hukum,

Page 29: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17  

b) Keadaan-keadaan tertentu yang menyertai perbuatan pelaku tindak

pidana atau kualitas dari pelaku tindak pidana,

c) Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu

kenyataan sebagai akibat atau kausalitas.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi walaupun sudah tidak asing lagi di telinga kita

rupanya merupakan kata serapan dari bahasa asing. Menurut Fockema

Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio atau corruptus, selanjutnya disebut bahwa kata corruptio itu

berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.

Dari bahasa Latin itulah penggunaan istilah korupsi diserap berbeda di

beberapa negara. Seperti Inggris, menyerapnya menjadi corruption,

corrupt, dan di Belanda menjadi corruptie (koruptie). Dan dari bahasa

Belanda turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi”. Secara harafiah dari

kata corruptio itu diartikan sebagai kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran,

dapat disuap, tidak bermoral, kata-kata atau ucapan yang menghina (Andi

Hamzah, 2006: 4-9).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan korupsi adalah

penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan

pribadi atau orang lain.

Masa pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan

perundang-undangan, antara lain:

1) Masa 1945 - 1957,

2) Masa 1957 - 1960,

3) Masa 1960 - 1971,

4) Masa 1971 - 1999,

5) Masa 1999 - Sekarang (Herman Pandapotan Simanjuntak, 2008).

Page 30: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18  

1) Masa 1945 - 1957

Tindak pidana korupsi belum dianggap sebagai ancaman negara

yang membahayakan dan pada tahun 1956, tindak pidana korupsi mulai

menguat dengan diangkatnya kasus tindak pidana korupsi di media cetak

oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah di

penjara pada tahun 1961.

2) Masa 1957 - 1960

Tindak pidana korupsi dirasakan sudah mulai menguat dalam

tubuh pemerintahan. Nasionalisme perusahaan asing dianggap sebagai titik

awal tindak pidana korupsi di Indonesia. Dasar hukum pemberantasan

tindak pidana korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan militer

yaitu:

a) Perarutan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 (tata kerja

menerobos kemacetan memberantas korupsi),

b) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 (pemilikan harta

benda),

c) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 (penyitaan harta

benda korupsi, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan

korupsi),

d) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No.

PRT/z.1/I/7/1958,

e) Peraturan Penguasa Perang AD No. PRT/PEPERPU/031/1958.

Pada masa orde lama ini, pernah dibentuk Panitia Retooling

Aparatur Negara (PARAN), yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu

oleh M.Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena kuatnya reaksi

dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi, PARAN berakhir

tragis.

Page 31: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19  

3) Masa 1960 - 1971

Dasar hukumnya dengan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambah perumusan tindak

pidana korupsi yang ada di dalam KUHP. Pasal 1 UU No. 24/Prp/Tahun

1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disebut tindak

pidana korupsi ialah:

a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan

keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan

keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara

atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal

kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat,

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan

kedudukan,

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai pasal 21 UU

No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan di dalam Pasal-pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419,

420, 423, 425, dan 435 KUHP.

Lembaga khusus untuk memberantas korupsi mulai dibentuk,

yaitu: Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi

Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), dengan ketua Presiden Soekarno

dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantasan Korupsi

(Keppres No.228/1967), Komisi Anti Korupsi (KAK) (1967), Tim Komisi

Empat (Keppres No. 12/1970). Kegagalan UU No. 24/Prp/Tahun 1960

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah masih ada

perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada

perumusannya dalam undang-undang sehingga tidak di pidana serta pelaku

tindak pidanakorupsi hanya pegawai negeri

Page 32: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20  

4) Masa 1971 - 1999

Perumusan pengertian tindak pidanakorupsi tercantum di dalam

Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yaitu: dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: ayat (1)

a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara

langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau

perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya

bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara,

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara

langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara,

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,

210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP,

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya

atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan

atau kedudukan itu,

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-

singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan

kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420

KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang

berwajib.

Ayat (2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk

melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e

pasal ini.

Page 33: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21  

UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang memperluas perumusan tindak pidana

korupsi yang ada dalam KUHP dan undang-undang sebelumnya,

perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil, dan percobaan dan

pemufakatan jahat di anggap sebagai delik selesai. Pada masa ini

dibentuknya Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), Tim Pemberantas korupsi

diaktifkan kembali (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara

Negara atau KPKPN (Keppres 127/1999).

5) Masa 1999 - Sekarang

Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di

dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi,

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, diatur di dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

3) Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang

memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

Page 34: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22  

memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, diatur di

dalam Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

4) Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim

dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan

kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu

kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan

perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri

sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau

pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur di dalam Pasal 6

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

5) Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,

atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan

bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat

membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan

negara dalam keadaan perang,

b) setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau

penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan

curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,

atau keselamatan negara dalam keadaan perang,

c) setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang,

Page 35: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23  

d) setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang

keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang

yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan

perang,

e) bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang

yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional

Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam

keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan

negara dalam keadaan perang.

6) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang

atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,

atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diatur di dalam

Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

7) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-

daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diatur di dalam

Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

8) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja, diatur di dalam Pasal 10 UU No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

Page 36: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24  

a) menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk

meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,

yang dikuasai karena jabatannya,

b) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,

atau daftar tersebut,

c) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,

atau daftar tersebut.

9) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang

berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang

yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan

jabatannya, diatur di dalam Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi,

10) Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah

atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau

janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan

dengan kewajibannya,

b) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut

diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan

atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan

dengan kewajibannya,

Page 37: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25  

c) hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau

patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili,

d) seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,

menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau

pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili,

e) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan

hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa

seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu

bagi dirinya sendiri,

f) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong

pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut

mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang,

g) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau

penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,

padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang,

h) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di

atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan

perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal

Page 38: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26  

diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan

peraturan perundangundangan,

i) pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun

tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,

pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,

untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau

mengawasinya.

11) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan

yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, diatur di dalam

Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

12) Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada

jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji

dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan, diatur di dalam Pasal

13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi,

13) Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara

tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-

undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang

diatur dalam Undang-undang ini, diatur di dalam Pasal 14 UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang adalah orang

perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi, yaitu kumpulan orang

dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum, sedangkan pegawai negeri meliputi pegawai

negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Page 39: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27  

Pokok-pokok Kepegawaian, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam

KUHP, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, dan orang yang

menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal

atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Dijelaskan di dalam Pasal 1 UU

No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Kepegawaian, yaitu pegawai negeri adalah setiap warga

negara republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,

diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu

jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, penyelenggara negara adalah penyelenggara

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme, meliputi: pejabat negara pada lembaga tertinggi

negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur,

hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi

strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi

a. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Hukum acara terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur

Page 40: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28  

dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40, yaitu penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi

harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya dan

dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali

ditentukan lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang

sulit pembuktiannya, yaitu tindak pidana korupsi di bidang perbankan,

perpajakan, pasar modal, perdagangan, industri, komoditi berjangka,

bidang moneter, dan keuangan yang bersifat sektoral, dilakukan dengan

menggunakan teknologi canggih, dan dilakukan tersangka atau terdakwa

yang berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana yang tercantum

dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih

dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka dapat dibentuk tim

gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.

b. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Di atas telah diuraikan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi

yang diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, sedangkan hukum acara terhadap tindak pidana

korupsi yang diatur di dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di

dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi diperkenalkan adanya perangkat pendukung lain seperti

dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung apabila

terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dan di dalam

undang-undang tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (selanjutnya KPK) yang merupakan lembaga

negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam

Page 41: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29  

memberantas tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari

kekeuasaan manapun (Supanto, 2008: 88).

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan

untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya

koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum acara

terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Pasal 38 sampai

dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, yaitu segala kewenangan yang berkaitan dengan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP

berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK dan

dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama

KPK, tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)

KUHAP, yaitu penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf b, yaitu pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang sesuai dengan

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam

pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan

penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu pejabat polisi

negara Republik Indonesia, tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana

korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu,

berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik,

penyidik, dan penuntut umum pada KPK, yaitu penyelidikan adalah

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP,

Page 42: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30  

sedangkan penyelidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi

dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan penyidik, yaitu pejabat

polisi negara Republik Indonesia. Penuntutan adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan,

sedangkan jaksa, yaitu pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan penuntut umum adalah

jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan

dan melaksanakan penetapan hakim.

Page 43: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32  

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Pemeriksaan Perkara Tanpa Kehadiran Terdakwa

Dalam Tindak Pidana Korupsi

Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Sebelum mengarah pada pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran

terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di

Indonesia yang berlaku, maka terlebih dahulu diuraikan peraturan yang

sebelumnya berlaku, yaitu Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957

yang memberikan pengertian tindak pidana korupsi adalah tiap perbuatan oleh

siapapun, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang

langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau

perekonomian negara dan tiap perbuatan oleh seorang pejabat yang menerima gaji

atau upah dari keuangan negara, alat daerah atau dari suatu badan yang menerima

bantuan dan keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan

kesempatan, kewenangan, atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan,

langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil

baginya.

Pada tahun 1958 dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat A.D.

Nomor PRT/PEPERPU/013, di dalamnya pengertian tindak pidana korupsi adalah

perbuatan yang melakukan pelanggaran, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau

suatu badan hukum, langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau

perekonomian negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dan

keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal

masyarakat atau perbuatan pelanggaran yang dilakukan dengan menyalahgunakan

jabatan atau kedudukan. Kejahatan dalam Pasal 41 sampai 50 peraturan ini dan

Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. Perbuatan korupsi lainnya adalah

perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan

hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan yang langsung atau

32

Page 44: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33  

tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain

yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat dan

perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan dengan melawan

hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang dilakukan

dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Pada tahun 1960 ditetapkan UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan arti tindak pidana

korupsi di dalam pasal 1 ialah:

a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau

pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang

secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian

negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang

mempergunakan modal kelonggarankelonggaran dari negara atau

masyarakat,

b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan

atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang

dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan,

c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai pasal 21 UU No.

24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan di

dalam Pasal-pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435

KUHP.

Menurut pasal ini maka perbuatan korupsi terdiri atas unsur-unsur: sub a:

melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau

orang lain, atau suatu badan dengan atau karena melakukan kejahatan itu, dan

yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian

negara, atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang

mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau

Page 45: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34  

masyarakat. Sub b: melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran,

menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dalam melakukan kejahatan atau

pelanggaran itu, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.

Perumusan pengertian tindak pidanakorupsi tercantum di dalam Pasal 1

UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: ayat (1)

a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak

langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau

diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara,

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak

langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387,

388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP,

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu

wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh

sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu,

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang

tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan

pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Ayat (2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan

tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan

manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti yang luas mempergunakan

Page 46: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35  

kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau

kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam jabatan umum yang secara

tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap

sehingga dikwalifiseer sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat

hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidananya dan acaranya. Penjelasan

ayat (1) sub. a, ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu

perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana

untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu "memperkaya diri sendiri"

atau "orang lain" atau "suatu badan." Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau

"orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal

18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan

keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan

yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut,

dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah

melakukan tindak pidana korupsi. keuangan negara seperti yang dimaksud oleh

undang-undang ini meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum

yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau

masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk

kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Tidak termasuk "keuangan negara"

dalam undangundang ini ialah keuangan dari badan/badan hukum yang

seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya PT, Firma, CV, dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian

negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturanperaturan yang

dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud

dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. Sub. b, tindak pidana korupsi ini

memuat sebagai perbuatan pidana unsur "menyalah-gunakan kewenangan" yang

ia peroleh karena jabatannya, yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal

52 KUHP yang selain dari itu memuat pula unsur yang "secara langsung atau

tidak langsung dapat merugikan keuangan negara" serta dengan "tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan." Ketentuan dalam

sub b. ini adalah luas dalam rumusannya karena mempergunakan istilah umum

Page 47: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36  

"menyalah-gunakan" dan tidak mengadakan perincian seperti halnya dengan Pasal

52 KUHP. Sub. c, dengan perumusan pasal 1 ayat (1) a dan b, maka istilah

korupsi dalam undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang luas, hingga

adalah layak apabila Pasal-pasal KUHP seperti tersebut dalam sub. c.,

dikwalifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sub. d, dalam KUHP tidak

diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai

yang dimaksud dalam Pasal 418 KUHP, juga tidak diancam dengan hukuman

orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam

pasal-pasal undang-undang ini. Untuk mengisi kekosongan itu maka diadakan

tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) d. Sub. e. Ketentuan

dalam sub. c. ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak

melaporkan pemberian atau janji yang diperolehya dengan melakukan

tindakpidana-tindak-pidana yang dimaksud dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP

Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu

misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang

peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa sipenerima itu dapat

dilepaskan dari penuntutan berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. Hal demikian

tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu

membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan, apabila semua unsur dari

tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP dipenuhi.

Di dalam ayat (2) dijelaskan karena tindak pidana korupsi sangat

merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan

tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman

sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan.

Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan

tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana

tersendiri.

Page 48: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37  

Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di dalam Pasal 2 UU No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, diatur di dalam Pasal 3 UU No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi

atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut

berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan

dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang

bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam

jabatannya, diatur di dalam Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi,

4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan

maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya

untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang

menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi

advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan

perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur di dalam

Page 49: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38  

Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan

bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan

perang,

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat

membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara

dalam keadaan perang,

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan

negara dalam keadaan perang,

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat

membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang,

e. bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang

menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan

atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan

curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau

keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat

membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang

disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga

Page 50: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39  

tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam

melakukan perbuatan tersebut, diatur di dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi,

7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus

untuk pemeriksaan administrasi, diatur di dalam Pasal 9 UU No. 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi,

8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja, diatur di dalam Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk

meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang

dikuasai karena jabatannya,

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,

atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar

tersebut,

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji

padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau

janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya, diatur di dalam Pasal 11 UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Page 51: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40  

10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya,

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan

sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya,

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi

putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,

menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa

hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat

yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili,

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang

memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan

potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran

kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada

kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

Page 52: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41  

lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal

diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang,

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan

barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui

bahwa hal tersebut bukan merupakan utang,

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya

terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan

perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal

diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan

perundangundangan,

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak

langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan,

atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau

sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap

pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, diatur di dalam Pasal 12B UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan

mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada

jabatan atau kedudukan, diatur di dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas

menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut

sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-

undang ini, diatur di dalam Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 53: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42  

Istilah tidak hadir sebagai terjemahan in absensia mempunyai kedudukan

khusus yang hanya digunakan pada obyek dalam keadaan tertentu. Kata tidak

hadir (in absensia) dalam pengertian hukum acara pidana digunakan pada pelaku

tindak pidana dalam statusnya sebagai terdakwa, selama ia dalam suatu proses

pemeriksaan sidang sampai dengan putusan pengadilan. Peradilan in absensia

dalam arti sempit mengadili dan menjatuhkan hukuman tanpa kehadiran terdakwa,

sedangkan dalam arti luas tidak hanya tanpa kehadiran terdakwa, tetapi juga kuasa

hukum dan saksi. Peradilan in absensia tersebut penting sebab merupakan

penyederhanaan proses beracara dalam persidangan, memberikan jaminan

kepastian hukum terdakwa dan keadilan, yaitu selama terdakwa melarikan diri

dan belum tertangkap serta tidak diproses ke tahap penuntutan maka penanganan

kasus tersebut akan terus menerus mengambang dan tidak jelas di tingkat

penyidikan, dengan diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa dan apabila

putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka apabila terdakwa

yang melarikan diri akhirnya tertangkap sehingga bisa langsung dijebloskan ke

penjara dan menjalani masa hukuman sesuai yang telah diputuskan oleh hakim.

Harapannya majelis hakim dalam putusan (sela atau akhir) dapat memerintahkan

penyitaan terhadap aset-aset yang dimiliki oleh terdakwa dan apabila telah

mempunyai kekutan hukum tetap, maka aset tersebut dapat dilelang dan hasilnya

masuk ke kas negara, kemudian melindungi kepentingan masyarakat, bangsa dan

negara, serta mencegah timbulnya perkara nebis in idem, sedangkan apabila

berhubungan dengan tindak pidana korupsi, sidang in absensia dibutuhkan untuk

mempercepat pengembalian uang negara yang telah dirugikan. Syarat

pemberlakuan peradilan in absensia tersebut adalah negara harus dapat

mengemukakan alasan ketidakmampuan negara dalam menghadirkan terdakwa

dan tersangka sudah dipanggil secara benar sesuai alamat yang diketahui, sidang

in absensia dibutuhkan untuk mempercepat pengembalian uang negara yang telah

dirugikan. Syarat pemberlakuan peradilan in absensia tersebut adalah negara harus

dapat mengemukakan alasan ketidakmampuan negara dalam menghadirkan

terdakwa, tersangka sudah dipanggil secara benar sesuai alamat yang diketahui

dan tidak memberikan alasan ketidakhadirannya, telah dinyatakan buron atau

Page 54: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43  

masuk daftar pencarian orang, negara tidak mampu menangkap atau

menghadirkan tersangka, ketidakmampuan negara harus dibuktikan di depan

pengadilan sebagai alasan yang obyektif, pihak penyidik sudah melakukan

pemeriksaan terhadap tersangka untuk dapat menentukan apakah kasus tersebut

layak dan dapat diajukan ke pengadilan.

Di dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa terdakwa wajib

memberi jawaban dan keterangan yang diminta oleh hakim, yang berhubungan

dengan perkara yang sedang diperiksa. Selanjutnya dijelaskan di dalam pasal 20

bahwa terdakwa yang dengan sengaja tidak memberi jawaban dan keterangan

tersebut dalam pasal 11 ayat (1) dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya lima ratus rupiah.

Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU 7 Drt Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi mengatur lebih

jelas tentang sidang in absensia meskipun masih mengandung penafsiran yang

luas karena tidak rinci, yaitu: ayat (1) jika ada cukup alasan untuk menduga,

bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan

yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi, maka hakim

atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat: a. memutus

perampasan barang-barang yang telah disita, b. memutus bahwa tindakan tata

tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya

pada harta orang yang meninggal dunia itu. Ayat (2) putusan itu diumumkan oleh

panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan

ditunjuk oleh hakim turunan dari putusan itu disampaikan kepada rumah di mana

orang itu meninggal dunia. Ayat (3) setiap orang yang berkepentingan dapat

memajukan surat keberatan kepada panitera pengadilan atas putusan itu dalam

masa tiga bulan setelah pengumuman termaksud ayat (2). Ayat (4) dalam hal itu

jaksa didengar pihak yang berkepentingan itu didengar juga, setidak-tidaknya

dipanggil semestinya untuk menghadap. Ayat (5) putusan hakim harus memuat

Page 55: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44  

alasan-alasan, terhadap putusan itu tidak dapat dimintakan bandingan atau kasasi.

Ayat (6) Ketentuan tersebut dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a

berlaku juga, jika berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak pidana

ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal, putusan itu diumumkan

dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk

oleh hakim.

Pengertian “tidak dikenal” ternyata dapat menimbulkan beberapa

permasalahan baru, UU 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi hanya menyebutkan bahwa pelaku yang tidak

dikenal ialah seorang yang berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal,

bahwa ia dapat tidak dikenal. Oleh Andi Hamzah, pakar hukum ekonomi

pengertian tidak dikenal adalah orang yang tidak dikenal yang diadili dengan in

absensia terjadi jika terdapat bukti-bukti dengan alat-alat bukti berupa barang-

barang sitaan tentang terjadinya delik ekonomi, tetapi pembuatnya tidak dikenal.

Oleh Djoko Prakoso, ada beberapa kriteria dari seseorang yang tidak

dikenal, yaitu:

1. Seseorang dianggab tidak dikenal apabila orang tersebut sebagai terdakwa

sama sekali tidak dikenal baik nama maupun alamatnya. Hal ini dapat terjadi

pada kasus-kasus penyelundupan yang meninggalkan kapal di pantai atau

muara sungai, dalam gudang-gudang di pelabuhan dan sebagainya. Dalam

perkara seperti ini memang pelaku atau pemilik barang-barang itu tidak

dikenal sama sekali, baik wajah, nama, maupun alamatnya,

2. Seseorang dalam tindak pidana ekonomi dapat pula dianggab tidak dikenal,

walaupun nama dan alamatnya kadang-kadang diketahui akan tetapi karena

suatu sebab ia tidak dapat diperiksa sebagai terdakwa. Penyebab tidak dikenal

dalam kriteria ini apabila terdakwa dengan sengaja melarikan diri, biasanya

keluar negeri, pindah ke luar negeri atau berdimisili di luar negeri meskipun

nama dan alamatnya di luar negeri telah diketahui.

Page 56: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45  

Praktek pengadilan in absensia seharusnya tidak hanya diberlakukan

terhadap terdakwa yang semata-mata hanya melarikan diri atau untuk

menghindari proses peradilan. Tetapi sebagaimana tujuan diberlakukannya sistem

peradilan ini, semata-mata untuk menyelamatkan keuangan negara, maka orang

dengan alasan sakit juga harus dapat diadili dengan in absensia. Seharusnya

peradilan in absensia yang menjadi salah satu solusi penting dalam menegakkan

keadilan lebih menjerat para terdakwa yang tidak menghadiri proses persidangan

dengan alasan-alasan yang sengaja disiasati untuk menghindari proses hukum

terhadapnya. Hal yang dituliskan dalam ketentuan in absensia dalam tindak pidana

ekonomi itu seharusnya menjadi masukan dan diterapakan juga dalam rumusan

peradilan in absensia tindak pidana korupsi. Tetapi undang-undang tindak pidana

korupsi yang pernah berlaku di Indonesia masih tetap tidak bisa mencakup tindak

pidana yang berkembang.

Pengaturan in absensia di dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertuang di dalam Pasal 23 ayat (1) sampai

dengan ayat (6) yang menyatakan bahwa ayat (1) jika terdakwa setelah dipanggil

dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan

yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa

kehadirannya. Hal yang ditetapkan dalam pasal ini adalah didasarkan pada

pemikiran bahwa seorang terdakwa itu mempunyai hak untuk hadir dalam sidang

pengadilan guna mengajukan usaha-usaha pembelaannyaataupun guna

mengemukakan segala sesuatu yang ditanyakan oleh pemeriksa, akan tetapi bila

terdakwa tidak menggunakan haknya itu maka pengadilan dapat melakukan

pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa dalam sidang. Ayat (2) bila terdakwa hadir

pada sidang-sidang selanjutnya sebelum putusan dijatuhkan, ia wajib diperiksa

dan didengar serta sidang dilanjutkan. Bila dalam waktu pemeriksaan persidangan

yang sedang berjalan dan belum mencapai suatu putusan, terdakwa baru hadir

pada sidang-sidang berikutnya ia wajib didengar dan diperiksa dan sidang

pengadilan berjalan terus. Ayat (3) putusan pengadilan diumumkan oleh panitera

dalam papan pengumuman pengadilan atau kantor pemerintah daerah. Ayat (4)

Page 57: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46  

terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa, terdakwa

atau kuasanya dapat memajukan banding. Lazimnya untuk putusan pengadilan

yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa dibuka kemungkinan bagi terdakwa

untuk mengajukan perlawanan akan tetapi dalam perkara korupsi untuk

mempercepat prosedur, lembaga perlawanan tersebut ditiadakan. Terhadap

putusan pengadilan tersebut dapat langsung dimintakan banding menurut

peraturan-peraturan yang berlaku. Ayat (5) a. jika ada alasan yang cukup

menduga, bahwa seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada

putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana

korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum, dengan putusan pengadilan

dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita. Putusan sebagai

termaksud dalam sub a ayat ini dikeluarkan sebagai suatu penetapan hakim

(beschikking). b. ketentuan tersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang

meninggal dunia dimaksud sub a. Ayat (6) Setiap orang yang berkepentingan

dapat memajukan surat keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan

putusan dimaksud ayat (5) dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman tersebut

dalam ayat (3). Ketentuan ini diperlukan karena orang yang berkepentingan tidak

mempunyai hak banding terhadap putusan (penetapan) termaksud dalam ayat (5)

melainkan dapat mengajukan surat keberatan terhadap putusan (penetapan)

tersebut.

Peradilan in absensia terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 38

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu

mengenai hal kehadiran terdakwa di dalam persidangan, jika terdakwa telah

dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,

maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan

dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-

surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan

dalam sidang yang sekarang. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa

Page 58: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47  

diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor

Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya dan terdakwa atau

kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan tersebut. Apabila terdakwa

meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat

bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim

atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah

disita dan tidak dapat dimohonkan upaya banding serta setiap orang yang

berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah

menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal pengumuman (Herman Pandapotan Simanjuntak, 2008: 1-26).

Hukum acara terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Pasal 25

sampai dengan Pasal 40, yaitu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara

lain guna penyelesaian secepatnya dan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana

yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ditemukan tindak pidana

korupsi yang sulit pembuktiannya, yaitu tindak pidana korupsi di bidang

perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan, industri, komoditi berjangka,

bidang moneter, dan keuangan yang bersifat sektoral, dilakukan dengan

menggunakan teknologi canggih, dan dilakukan tersangka atau terdakwa yang

berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana yang tercantum dalam UU

No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah

koordinasi Jaksa Agung. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau

suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau

yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan

tersangka. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang

pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta

Page 59: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48  

keterangan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.

Apabila penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih

unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata

telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas

perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan

gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk

mengajukan gugatan. Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak

menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Dalam

hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara

nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan

berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau

diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata

terhadap ahli warisnya. Jika terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan

pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita

acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada

instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi, dan apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai

hal yang menguntungkan baginya. Oleh karena itu, terdakwa wajib memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak,

dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara yang bersangkutan. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan

tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber

penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak

Page 60: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49  

pidana korupsi, tetapi dalam keadaan tersebut penuntut umum tetap berkewajiban

untuk membuktikan dakwaannya.

Di atas telah diuraikan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi yang

diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, sedangkan hukum acara terhadap tindak pidana korupsi yang diatur di

dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperkenalkan adanya perangkat

pendukung lain seperti dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh

Jaksa Agung apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dan

di dalam undang-undang tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (selanjutnya KPK) yang merupakan lembaga negara yang

dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam memberantas tindak pidana

korupsi bersifat independen dan bebas dari kekeuasaan manapun (Supanto, 2008:

88).

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,

supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hukum acara terhadap tindak pidana korupsi

yang diatur di dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu segala kewenangan

yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur

dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada

KPK dan dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama

KPK, tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP,

yaitu penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu

pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar

Page 61: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50  

hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah

koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu

pejabat polisi negara Republik Indonesia, tidak berlaku bagi penyidik tindak

pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, berdasarkan UU

No. 30 Tahun 2002 Tentang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP

berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK, yaitu

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

KUHAP, sedangkan penyelidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya, sedangkan penyidik, yaitu pejabat polisi negara

Republik Indonesia. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk

melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan

diputus oleh hakim di sidang pengadilan, sedangkan jaksa, yaitu pejabat yang

diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

dan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan

berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam UU No. 30

Page 62: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51  

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK dapat

melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian

internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Di dalam Bab II UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi diatur mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban KPK.

Tugas KPK antara lain: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-

tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap

penyelenggaraan pemerintahan negara. Wewenang KPK dalam melaksanakan

tugas koordinasi, yaitu mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan

pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta informasi tentang kegiatan

pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait, melaksanakan

dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan meminta laporan instansi terkait

mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Wewenang KPK dalam

melaksanakan tugas supervisi adalah melakukan pengawasan, penelitian, atau

penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang

berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, instansi yang dalam

melaksanakan pelayanan publik, dan KPK berwenang juga mengambil alih

penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal KPK mengambil alih

penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan

tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang

diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak

tanggal diterimanya permintaan KPK. Penyerahan dilakukan dengan membuat

Page 63: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52  

dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan

kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih

kepada KPK. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh KPK

tersebut dengan alasan laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, penanganan

tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi

yang sesungguhnya, penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur

korupsi, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif, dan keadaan lain yang menurut pertimbangan

kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan

secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila terdapat alasan yang

tersebut di atas, KPK memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum

untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Wewenang

KPK dalam melaksanakan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi yaitu apabila melibatkan aparat penegak hukum,

penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,

mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau menyangkut kerugian

negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dengan pengaturan di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut di atas, maka KPK dapat

menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi

yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan

tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif, tidak

memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,

berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism), serta berfungsi untuk

melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan

tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan

Page 64: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53  

penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau

kejaksaan.

Penyelidik tindak pidana korupsi adalah Penyelidik pada KPK yang

diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Jika penyelidik dalam melakukan

penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak

pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak

tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan

kepada KPK. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah

ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas

pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik

secara biasa maupun elektronik atau optik. Dalam hal penyelidik tidak

menemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK

dan KPK menghentikan penyelidikan. Dalam hal KPK berpendapat bahwa

perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat

melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. Dalam

hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan maka wajib

melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada

KPK.

Penyidik tindak pidana korupsi adalah Penyidik pada KPK yang diangkat

dan diberhentikan oleh KPK. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka

oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang

berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan

perundangundangan lain, tidak berlaku berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar dugaan yang

kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan

tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai

tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk kepentingan penyidikan,

Page 65: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54  

tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik

tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta

benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga

mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

tersangka. Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara

dan disampaikan kepada Pimpinan KPK untuk segera ditindaklanjuti.

Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum melakukan

penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh

kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada KPK

paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya

penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan wajib

dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan KPK. Jika KPK sudah mulai

melakukan penyidikan, maka kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi

melakukan penyidikan. Apabila penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh

kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh

kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Penuntut tindak pidana

korupsi adalah Penuntut Umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh

KPK. Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling

lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas

tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri,

dan Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari

KPK untuk diperiksa dan diputus.

Dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada di

lingkungan Peradilan Umum, bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus

tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Pertama kali

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan

di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Hakim

Page 66: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55  

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan

hakim ad hoc. Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja

terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima)

orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan

dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Jika putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus

dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak

tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi, pemeriksaan perkara

dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua)

orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad

hoc. Apabila putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan

kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam

jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal

berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agun, pemeriksaan perkara dilakukan

oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang

Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

Analisis penulis terhadap pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran

terdakwa dalam tindak pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan di

Indonesia, bahwa pengaturan in absensia diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) UU

No.7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak

Pidana Ekonomi, Pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU No. 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 38 UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan hukum acara

terhadap tindak pidana korupsi diatur di dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal

38 sampai dengan Pasal 62 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut di atas mencerminkan bahwa

pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak pidana

Page 67: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56  

korupsi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia masih terpecah-

pecah dibeberapa undang-undang sehingga mengakibatkan masyarakat kehilangan

orientasi. Oleh karena itu sebaiknya di lakukan perubahan dengan cara mengatur

pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa secara tersendiri agar peradilan in

absensia dapat diterapkan secara maksimal dengan aturan yang baik dan

merupakan pencegahan serta penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau

penal policy atau penal-law enforcement policy yang fungsionalisasi atau

operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu: tahap formulasi atau tahap

kebijakan legislatif sebagai tahap penegakan hukum in abstrakto oleh badan

pembuat undang-undang, tahap aplikasi atau tahap kebijakan yudikatif sebagai

tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum, dan tahap

eksekusi atau tahap kebijakan eksekutif atau administrasi sebagai pelaksanaan

hukum pidana secara kongkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana.

Di dalam pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak

pidana korupsi, mendengarkan langsung keterangan terdakwa merupakan aspek

yang esensial demi obyektivitas serta prinsip tidak memihak. Melaui kehadiran

terdakwa akan memperoleh kesempatan dalam melakukan pembelaan diri.

Meskipun asas tersebut jelas terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUHAP tetapi

penafsiran peradilan in absentia tidak dimungkinkan dalam KUHAP dapat terbaca

dalam beberapa pasal. Peradilan in absensia dalam perspektif KUHAP secara

umum tidak mengatur kecuali perkara pelanggaran lalu lintas karena diperiksa

dengan acara cepat. Salah satu prinsip pemeriksaan terdakwa di depan sidang

pengadilan mengharuska penuntut umum menghadirka terdakwa dalam

pemeriksaan. Terdakwa tidak dapat diperiksa pengadilan secara in absentia.

Tetapi ada kalanya terdakwa tidak hadir pada hari persidangan yang telah

ditentukan, ketidakhadirannya dengan sendirinya mengakibatkan pemeriksaan

tidak dapat dilakukan sampai terdakwa dapat dihadirkan oleh penuntu umum.

Sehubungan dengan masalah ketidakhadiran terdakwa pada hari sidang yang telah

ditentukan dapai dilihat dari beberapa segi, yaitu surat panggilan belum sah dan

menghadirkan terdakwa secara paksa (ketidakhadiran terdakwa tanpa alasan yang

Page 68: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57  

sah dan kehadiran terdakwa karena alasan yang sah). Oleh karena tindak pidana

korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara yang tidak sedikit maka

peradilan in absensia sangat efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

maupun tindak pidana khusus lainnya agar kerugian keuangan negara dapat

dikembalikan meskipun terdakwa tidak hadir dalam persidangan, di samping itu

untuk penyederhanaan proses penuntutan serta penumpukan kasus di pengadilan

akan dapat dikurangi.

Diantara orang-orang Indonesia, masih banyak yang mengutuk korupsi

dan berusaha hidup bersih di lingkungan yang sudah tercemar korupsi, yang dapat

dianggap corruption is way of live in Indonesian yang artinya korupsi telah

menjadi pandangan dan jalan kehidupan bagi bangsa Indonesia. Menurut Gunard

Myrrdal yang menyebut Indonesia sebagai soft nation atau bangsa yang lembek,

disinilah kita harus melihat pentingnya membangun budaya baru yang lebih

elegan, disiplin dan tak kenal kompromi dengan penyelewengan-penyelewengan

(salah satunya adalah korupsi yang jelas-jelas menghancurkan sendi-sendi bangsa

dan negara). Karena korupsi adalah suatu penyakit yang ganas yang menggerogoti

kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak

menghabisi daya hidup manusia. Para ahli kesehatan dan kedokteran diseluruh

dunia tidak berhenti mencari obat dan cara melawan kanker, namun usaha mereka

sampai sekarang belum berhasil tuntas, tetapi usaha mereka tidak dihentikan.

Demikian pula dengan korupsi, bahwa korupsi adalah penyakit pemerintah dan

masyarakat, maka wajiblah kita mencari obat dan cara memberantasnya. Apabila

obat dan cara itu sekarang belum ditemukan maka usaha kita untuk

menemukannya harus diteruskan dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat

sampai akhirnya kita berhasil.

Ada beberapa hipotesa tentang sebab-sebab dari korupsi di negara-negara

yang sedang berkembang, yaitu:

• Tradisi memberi hadiah kepada atasan,

Page 69: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58  

• Ketidak berdayaan manajemen (termasuk belum efektifnya mekanisme

pengawasan),

• Tekanan ekonomi yang keras,

• Mentalitas pelaku rusak.

Gejala-gejala tersebut melahirkan korupsi secara nyata, korupsi menguntungkan

bagi yang berkuasa, yaitu:

• Sebagai sarana untuk menggembangkan kantong,

• Sebagai mekanisme bagi penyelesaian politik,

• Membina jalinan relasi,

• Memperbaiki efisiensi ekonomi.

Akibat buruk korupsi yaitu sakitnya bangsa dan negara yang artinya sama

saja dengan menginjak-injak ibu pertiwi. Dengan memandang gejala umum

penyebab korupsi dan akibat korupsi maka dapat diketahui sejauh mana peranan

hukum dalam pemberantasan korupsi. Dewasa ini hukum tidak mempunyai dasar

yang objektif dan tidak ada namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari

hukum. Jadi hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya

“kekuasaan”. Hukum menjadi alat kekuasaan bagi penguasa. Ukuran hukum

bukan benar atau salah, bermoral atau tidak, melainkan hukum merupakan apa

yang diputuskan dan dijalankan penguasa padahal penguasa sendiri melakukan

penyimpangan (korupsi). Hukum ditafsirkan sesuai dengan keinginan yang

menafsirkan, sehingga “keadilan” hanya merupakan “semboyan retorik” (omong

kosong). Di dalam metode normatif mempelajari ilmu hukum, bahwa hukum

merupakan suatu peraturan yang tertutup atau hukum merupakan lembaga yang

otonom yang terlepas dari unsur-unsur lain di luar hukum dan juga hukum

terpengaruh oleh politik penguasa, hukum dengan politik bagaikan rel (berjalan

seiring tapi tak pernah bertemu).

Page 70: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60  

   

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Pengaturan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran terdakwa dalam tindak

pidana korupsi menurut peraturan perundang-undangan yang sebelumnya berlaku,

yaitu tercantum di dalam Pasal 16 UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 23 UU No. 3 Tahun

1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tercantum di dalam Pasal 38

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemeriksaan tindak pidana korupsi diatur di dalam Peraturan Penguasa Militer

No. PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat A.D. No.

PRT/PEPERPU/013/1958, UU No. 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

B. Saran

Mengenai materi permasalahan in absensia yang tercantum di dalam

undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, belum tegas mengatur

bagaimana sidang in absensia itu diberlakukan dan dalam hal ini dengan alasan

apa, harus diatur dengan jelas dan tidak terpecah-pecah dijelaskan di beberapa

peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mengingat perumusan tentang sidang in absensia dalam undang-undang tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi masih lemah dan pembahasan in absensia

59

Page 71: KAJIAN TENTANG PENGATURAN PEMERIK …. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada H. Djahuri dan Hj. Ruwaidah selaku orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, nasehat-nasehat,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60  

   

tercantum dibeberapa peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi sehingga sebaiknya di lakukan revisi dengan cara

dirumuskan dengan jelas agar penerapannya dapat maksimal dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengenai hukum acara tindak pidana

korupsi yang merupakan hukum pidana yang baru dan perkembangan tindak

pidana korupsi sudah sangat pesat, maka aturan beracaranya seharusnya diatur

dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, setidak-tidaknya peraturan

pemerintah, agar tentang peradilan in absensia ini dapat diterapkan secara

maksimal dengan aturan yang baik.