kumpulan nasehat dan pelajaran untuk seorang muslim

48
KUMPULAN NASEHAT DAN PELAJARAN “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah akan pahamkan dirinya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu'anhu) “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu) “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah) Daftar Isi Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid Ciri Orang Yang Beriman Bagaikan Debu Yang Beterbangan Hari Ini Engkau Dilupakan! Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah Jangan Lupakan Tauhid Perkataan Ulama Tentang Ikhlas Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim Kepada-Mu Semata Kami Beribadah Karena Seekor Kucing Makna Kata Fitnah Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah? Nasehat Imam Syafi'i Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Terhadap Perilaku Seorang Hamba Orang Yang Mendapatkan Syafa'at Pelajaran Berharga dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari

Upload: ilhamrevolution2015

Post on 18-Jul-2015

349 views

Category:

Spiritual


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

KUMPULAN NASEHAT DAN PELAJARAN

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah akan pahamkan dirinya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu'awiyah bin

Abi Sufyan radhiyallahu'anhu)

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

(HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

“Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup

sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”(Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)

Daftar Isi

• Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid• Ciri Orang Yang Beriman• Bagaikan Debu Yang Beterbangan• Hari Ini Engkau Dilupakan!• Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya• Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan• Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat• Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri• Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah• Jangan Lupakan Tauhid• Perkataan Ulama Tentang Ikhlas• Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim• Kepada-Mu Semata Kami Beribadah• Karena Seekor Kucing• Makna Kata Fitnah• Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman• Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya• Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah?• Nasehat Imam Syafi'i• Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Terhadap Perilaku Seorang Hamba• Orang Yang Mendapatkan Syafa'at• Pelajaran Berharga dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari

Page 2: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid

Salah satu diantara keistimewaan para pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan aqidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasehat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bid'ah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bid'ah (lihat Khasha'ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul 'Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13)

Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)

Tauhid adalah sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Pada umumnya, kita sebagai kaum muslimin pasti menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai orang yang bertauhid. Akan tetapi, pada kenyataannya bisa jadi masih banyak di antara kita yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini. Bahkan orang-orang yang merasa dirinya telah bertauhid sekalipun, bisa jadi belum mengenal seluk-beluk tauhid dengan jelas (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid karya guru kami al-Ustadz Abu 'Isa hafizhahullah, hal. 12 penerbit Pustaka Muslim cet. IV, 1430 H)

Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid." atau, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau, "Isu seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada isu yang lain." Tidak demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam video ceramah beliau al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta'akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [1/8])

Page 3: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh -'alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah 'azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur'an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da'i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta'ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah 'azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu'tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia'nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu'assasah ar-Risalah)

Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa 'ala (lihat Qawa'id wa Dhawabith Fiqh ad-Da'wah 'inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh 'Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)

Page 4: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Ciri Orang Yang Beriman

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)

az-Zajaj mengatakan, “Maksudnya, apabila disebutkan tentang kebesaran dan kekuasaan-Nya dan ancaman hukuman yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya maka hati mereka pun merasa takut.” (lihat Zaadul Masir, hal. 540)

'Umair bin Habib radhiyallahu'anhu berkata, “Iman mengalami penambahan dan pengurangan.” Ada yang bertanya, “Dengan apa penambahannya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah 'azza wa jalla dan memuji-Nya maka itulah penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka itulah pengurangannya.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 511)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Orang-orang munafik itu tidak pernah sedikit pun meresap dzikir kepada Allah ke dalam hatinya pada saat mereka melakukan amal-amal yang diwajibkan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengimani ayat-ayat Allah. Mereka juga tidak bertawakal [kepada Allah]. Mereka tidak mengerjakan sholat apabila dalam keadaan tidak bersama orang. Mereka pun tidak menunaikan zakat dari harta-harta mereka. Oleh sebab itulah Allah mengabarkan bahwasanya mereka itu memang bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [4/11])

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ungkapan 'bergetarlah hati mereka', kata beliau, “Yaitu mereka merasa takut kepada-Nya sehingga mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [4/11])

Ketika menjelaskan makna dari 'apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya' Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung dalil bahwasanya seringkali seorang lebih banyak mendapatkan faidah karena bacaan [al-Qur'an] oleh orang lain daripada bacaan oleh dirinya sendiri...” (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/30])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa ciri-ciri orang beriman itu antara lain:

1. Merasa takut kepada-Nya ketika mengingat-Nya, yang dengan sebab itulah maka dia akan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya

2. Bertambahnya keimanan mereka tatkala mendengar dibacakannya al-Qur'an3. Menyerahkan segala urusan dan bersandar kepada Allah semata (lihat al-

Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 269)

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa salah satu ciri utama orang beriman adalah bertawakal kepada Allah saja. Hatinya tidak bergantung kepada selain-Nya. Karena hanya Allah saja yang menguasai segala manfaat dan madharat. Dan tawakal inilah yang menentukan kuat lemahnya iman seorang hamba. Semakin kuat tawakalnya, semakin kuat pula imannya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 101)

Page 5: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Bagaikan Debu Yang Beterbangan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah 'azza wa jalla.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 924)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa'dul Masir, hal. 1014)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari'at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/103])

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.” (lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [5/472])

Di dalam ayat lain, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Ini adalah pendidikan dari Allah ta'ala kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah 'azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1235)

ar-Rabi' bin Anas rahimahullah berkata, “Tanda agama [amalan yang benar] adalah ikhlas karena Allah, sedangkan tanda ilmu [yang sejati] adalah perasaan takut kepada Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah karya Ibnu Abi Dun-ya, hal. 33)

Diriwayatkan bahwa 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Malaikat membawa naik amalan seorang hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin [catatan keburukan], karena amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 45)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Ada seseorang yang menceritakan kepadaku mengenai Abus Salil. Bahwasanya suatu saat dia menyampaikan hadits atau sedang membacakannya kemudian dia menangis, tiba-tiba dia pun mengubah dirinya menjadi tertawa.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 64)

Page 6: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa 'dia sedang ada keperluan'.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)

Mutharrif rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sejelek-jelek alat untuk mencari kesenangan dunia adalah amal akhirat.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)

Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya' walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)

Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 573)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 575)

al-Harits bin Qais an-Nakha'i rahimahullah berkata, “Jika kamu berniat untuk melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, “Kamu sedang riya'.” maka buatlah sholat itu semakin bertambah lama.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 576)

Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 579)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 579)

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang riya' dengan ilmu dan amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 580)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya' adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun 'ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 583)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584)

Setelah membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, “Ya Allah, ampunilah riya' dan sum'ahku.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 577)

Page 7: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Hari Ini Engkau Dilupakan!

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang hamba. Kemudian dikatakan kepadanya: “Bukankah telah Aku berikan kepadamu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak, tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku pada hari ini?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Allah pun berkata, “Kalau begitu pada hari ini Aku pun melupakanmu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata: hadits sahih gharib, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)

Faidah Hadits

Hadits ini mengingatkan kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Betapa butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah ketika itu. Akan tetapi pertolongan Allah itu hanya akan diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul dan mengamalkan ajarannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?”. [Allah menjawab] Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)

Imam al-Qurthubi menjelaskan makna 'peringatan-Ku' di dalam ayat di atas. Beliau berkata, “Artinya [barangsiapa yang berpaling] dari agama-Ku, tidak membaca Kitab-Ku, dan tidak mengamalkan isi ajarannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah keterangan-keterangan yang telah Aku turunkan. Namun, bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud peringatan ini adalah [keberadaan] Rasul, karena peringatan itu datang melalui perantara beliau.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/157])

Sebagian ulama berkata, “Tidaklah seorang pun yang berpaling dari peringatan Rabbnya kecuali waktu yang dilaluinya semakin menambah gelap (buruk) keadaan dirinya, mencerai-beraikan urusan rizkinya, dan membuatnya selalu mengalami kesempitan di dalam hidupnya.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/157]). Adapun maksud dari “Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan” Imam al-Qurthubi berkata, “Maksudnya adalah dibiarkan dalam keadaan tersiksa, yaitu di dalam neraka Jahannam.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/158])

Di dalam ayat lain, Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan dikatakan: Pada hari ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini, tempat tinggal untuk kalian adalah neraka, sama sekali tidak ada bagi kalian seorang penolong.” (QS. Al-Jatsiyah: 34). Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa maksud dari 'kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini' adalah: 'kalian meninggalkan amal untuk akhirat' (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [19/173])

Page 8: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan: “Kalian fakir kepada Allah” artinya kalian membutuhkan kepada-Nya. “Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya” artinya tidak membutuhkan ibadah kalian. “lagi Maha Terpuji” yaitu senantiasa terpuji di hadapan makhluk-Nya karena segala bentuk ihsan/kebaikan yang dicurahkan-Nya untuk mereka (lihat Zaadul Masir, hal. 1160)

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menerangkan: Kebutuhan setiap hamba untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (baca: kebutuhan terhadap tauhid) adalah kebutuhan yang tidak bisa diserupakan dengan sesuatu apapun. Walaupun hal itu bisa saja diserupakan dari sebagian sisi dengan kebutuhan badan terhadap makanan, minuman, dan nafas (udara). Akan tetapi sebenarnya antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang sangat banyak. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba tersimpan di dalam hati dan ruhnya. Sementara tidak akan baik hal itu tanpa pertolongan dari [Allah] sesembahannya yang sejati; yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Hatinya tidak akan pernah merasa tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya. Tidak merasakan tentram kecuali dengan mengenal dan mencintai-Nya.

Seorang hamba akan terus senantiasa berjuang, karena kelak dia akan berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya adalah sesuatu yang sudah pasti. Tidak akan baik dirinya kecuali dengan mengesakan Allah dalam hal kecintaan, ibadah, rasa takut, dan harapan. Seandainya seorang hamba bisa merasakan kelezatan dan kesenangan dengan bergantung kepada selain-Nya maka hal itu tidak akan terjadi secara terus-menerus. Akan tetapi kesenangan itu akan berpindah dari suatu perkara kepada perkara yang lain, dari seorang individu kepada individu yang lain. Sehingga dia hanya akan bisa merasakan kenikmatan dengan satu individu dalam satu keadaan dan dengan individu lain dalam keadaan yang lainnya. Dan kebanyakan perkara yang memberikan kesenangan untuknya justru merupakan sebab utama berlabuhnya kepedihan (kesusahan) dan bahaya yang akan menimpanya.

Adapun ilah/sesembahannya yang benar (yaitu Allah), maka dirinya pasti senantiasa membutuhkan-Nya; dalam setiap waktu dan keadaan. Dimana pun dia berada, maka iman kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, pengagungan, dan dzikir kepada-Nya adalah konsumsi bagi hati, sumber kekuatan, jalan kebaikan dan penentu kesehatan jiwanya... (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/96-97])

Beliau juga menegaskan, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma'rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya...” (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/97])

Benar sekali apa yang diucapkan oleh beliau -rahimahullah-; tauhid itulah kebutuhan terbesar umat manusia. Kebutuhan yang jauh lebih penting untuk dipenuhi daripada kebutuhan tubuh manusia terhadap makanan, minuman, dan udara. Namun, betapa sedikit orang yang menyadarinya. Wallahul musta'aan.

Page 9: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

Dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])

Shofwan bin 'Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-'Ulama, hal. 37)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm [80] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2671]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu'anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2673])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “... Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).

Imam al-Auza'i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)

Page 10: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 39)

Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 40)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 50).

Imam Ibnul A'rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])

Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari'at Islam (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 52).

Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur'an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)

Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?”. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-

Page 11: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Waki' bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid'ah.” (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki', hal. 69) Hisyam ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 254)

Sa'ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta'liqat Risalah Lathifah, hal. 44).

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 570)

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “... Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa'id, hal. 34)

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amal, hal. 44-45)

Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71)

Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan

Page 12: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71-72)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama'ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amal, hal. 36-37)

Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqan, menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. Allah lah pemilik keutamaan yang sangat besar.” (QS. Al-Anfal: 29)

Tatkala seorang hamba menunaikan ketakwaan kepada Rabb-nya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya. Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan:

1. Furqan; yaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia bisa membedakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka

2. Dihapuskannya dosa3. Pengampunan atas dosa. Kedua istilah ini sama maksudnya jika disebutkan dalam

keadaan terpisah dari yang satunya. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksud dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksud dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar

4. Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan lebih mengutamakan keridhoan-Nya di atas hawa nafsu mereka (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 319 cet. Ar-Risalah)

Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang-orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada nabi-nabi-

Page 13: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS. Al-Baqarah: 3-4)

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Page 14: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian dia berjalan menuju salah satu rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu kewajiban yang ditetapkan Allah (sholat) maka langkah-langkahnya; salah satunya menghapuskan dosa, sedangkan langkah yang lain mengangkat derajat.” (HR. Muslim di Kitab al-Masajid wa Mawadhi' ash-Sholah [666])

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotoran yang melekat pada tubuhnya?” Para Sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Lalu Nabi bersabda, “Demikian itulah perumpamaan sholat lima waktu yang dengan sebab itu Allah berkenan mengampuni dosa-dosa.” (HR. Bukhari di Kitab Mawaqit ash-Sholah [528] dan Muslim di Kitab al-Masajid wa Mawadhi' ash-Sholah [667])

Faidah Hadits

Hadits pertama menunjukkan kepada kita keutamaan bersuci di rumah lalu berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat wajib berjama'ah; yaitu menjadi sebab terhapusnya dosa dan terangkatnya derajat. Hadits berikutnya juga menunjukkan kepada kita bahwa sholat lima waktu merupakan sebab terhapusnya dosa seorang hamba.

Dosa-dosa yang terhapus dengan sebab amal-amal di atas adalah dosa-dosa kecil, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama. Ibnu Hajar berkata, “...al-Qurthubi berkata: Zahir hadits ini menunjukkan bahwa sholat lima waktu secara mandiri menjadi sebab terhapusnya segala dosa, tetapi ini adalah sesuatu yang musykil/janggal. Namun, Muslim telah meriwayatkan sebelumnya hadits al-'Ala' dari Abu Hurairah secara marfu', “Sholat lima waktu adalah kaffarah/penebus atas dosa-dosa yang terjadi diantara sholat-sholat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.” Berdasarkan dalil yang membatasi ini maka dalil lain yang bersifat tidak terikat dikembalikan kepadanya.” (lihat Fath al-Bari [2/15])

Kebaikan Menghapus Kejelekan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghilangkan kejelekan-kejelekan.” (QS. Hud: 114) Imam Ibnul Jauzi membawakan dua penafsiran ulama salaf tentang makna al-hasanat (kebaikan) yang dimaksud dalam ayat di atas:

1. Maksudnya adalah sholat lima waktu. Ini adalah penafsiran Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ibnul Musayyab, Masruq, Mujahid, al-Qarzhi, adh-Dhahhak, Muqatil bin Sulaiman, dan Muqatil bin Hayan.

2. Maksudnya adalah ucapan 'Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar'. Manshur meriwayatkan tafsiran ini dari Mujahid. Imam Ibnul Jauzi sendiri lebih menguatkan penafsiran pertama. Adapun maksud as-sayyi'at (kejelekan) di sini adalah dosa-dosa kecil sebagaimana penjelasan para ulama ahli tafsir (lihat Zaadul Masir, hal. 675-676)

Page 15: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri

Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat maka lakukanlah.”

Beliau adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq ats-Tsauri. Imam Yahya bin Ma'in mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsauri dilahirkan pada tahun 97 H. Beliau mulai menimba ilmu sejak kecil. Yazid bin Harun berkata, “Orang-orang telah mengambil ilmu dari Sufyan ats-Tsauri pada saat beliau berumur 30 tahun.”

Dikatakan bahwa beliau bertemu dengan 130 orang tabi'in dan berguru/mengambil riwayat dari 600 orang lebih. Adapun ulama yang mengambil riwayat dari beliau diantaranya Ibnu Juraij, al-Auza'i, Abu Hanifah, Ibnul Mubarak, Waki', Abdurrahman bin Mahdi, dan lain-lain. Berikut ini sebagian diantara nasehat dan pelajaran yang bisa kita petik dari ucapan dan kisah perjalanan hidup beliau. Semoga bermanfaat.

Beliau berkata, “Pada awalnya, aku menuntut ilmu dalam keadaan belum memiliki niat, kemudian Allah pun memberikan rizki kepadaku niat tersebut.”

Apa yang beliau ucapkan senada dengan perkataan Imam ad-Daruquthni. Imam ad-Daruquthni berkata, “Kami dahulu menimba ilmu bukan karena Allah, namun ia enggan kecuali harus dituntut karena Allah.” (lihat Ma'alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi)

Sufyan bin 'Uyainah berkata tentang Sufyan ats-Tsauri, “Adalah Sufyan ats-Tsauri sosok ulama yang ilmu seolah-olah senantiasa terpampang di hadapannya, sehingga dia bisa mengambil apa pun yang dia kehendaki dan meninggalkan apa yang tidak dia kehendaki.”

Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Tidaklah aku melihat seorang ahli hadits yang lebih kuat hafalannya daripada Sufyan ats-Tsauri.”

Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya, “Dengan apa kamu bisa mengenal Rabbmu?”. Maka beliau menjawab, “Dengan tekad yang memudar dan cita-cita yang gagal tercapai.”

Abu Nu'aim berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, “Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.”

Ibnul Mubarak berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang meyakini Qul huwallahu ahad adalah makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah.”

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa 'Ali -bin Abi Thalib- lebih berhak memegang kekuasaan (khalifah setelah nabi, pent) daripada Abu Bakar dan 'Umar maka dia telah menyalahkan Abu Bakar dan 'Umar bahkan segenap kaum Muhajirin dan Anshar. Aku pun tidak tahu apakah ada amalnya yang terangkat ke langit ataukah tidak.”

Sufyan ats-Tsauri juga berpesan, “Hendaklah kalian saling berpesan kepada Ahlus Sunnah dengan kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang asing.”

Page 16: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat maka lakukanlah.”

Waki' berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, “Tidaklah aku mengetahui suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu; yaitu bagi orang yang lurus niatnya.”

Sufyan juga mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dimuliakan di atas selainnya karena dia menjadi sarana untuk bertakwa.”

Beliau juga mengatakan, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba hadits, yaitu apabila lurus niatnya.”

Beliau juga mengatakan, “Tahapan awal menimba ilmu adalah diam. Yang kedua adalah mendengarkan dan menghafalkannya. Yang ketiga adalah mengamalkannya. Yang keempat yaitu menyebarkan dan mengajarkannya.”

Sufyan juga berkata, “Sudah semestinya seorang ayah untuk memaksa anaknya menimba ilmu dan belajar hadits, karena kelak dia harus mempertanggungjawabkan hal itu.”

Sufyan berkata, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan as-habul hadits adalah penjaga bumi.”

Beliau berkata, “Seandainya as-habul hadits tidak mendatangiku niscaya akulah yang akan mendatangi rumah-rumah mereka.”

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang pelit dengan ilmunya pasti akan tertimpa tiga bentuk musibah; bisa jadi dia lupa terhadapnya, atau dia mati dalam keadaan ilmunya tidak bermanfaat bagi orang lain, atau hilang buku-bukunya.”

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat manusia daripada hadits.”

Beliau juga berkata, “Fitnah/cobaan yang ditimbulkan oleh hadits lebih dahsyat daripada fitnah akibat emas dan perak.”

Sufyan berkata, “Sungguh kenikmatan Allah atas diriku akibat perkara dunia yang aku dipalingkan darinya itu lebih utama daripada kenikmatan yang ada pada apa-apa yang diberikan Allah kepadaku.”

Beliau juga berkata, “Kalian bisa mempercayaiku menjaga Baitul Mal, tetapi jangan mempercayakan kepadaku untuk menjaga budak perempuan berkulit hitam.”

Khalaf bin Tamim berkata: Aku melihat Sufyan ats-Tsauri di Mekah dan pada saat itu banyak sekali penimba ilmu hadits yang berkumpul untuk belajar kepadanya. Maka dia berkata, “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji'uun. Aku khawatir Allah telah menyia-nyiakan umat ini; sampai-sampai umat manusia membutuhkan orang seperti diriku.”

Page 17: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

'Ali bin Tsabit berkata, “Aku sama sekali tidak pernah melihat Sufyan berada di bagian depan majelis. Akan tetapi dia sering duduk di pinggir tembok seraya memeluk kedua lututnya.”

Ahmad bin Hanbal berkata: Dahulu apabila dilaporkan kepada Sufyan ats-Tsauri bahwa ada yang bermimpi melihat beliau -dalam keadaan mendapatkan kemuliaan- maka beliau berkata, “Aku lebih mengenali diriku daripada para pemilik mimpi itu.”

Abu Usamah menceritakan: Orang yang senantiasa memperhatikan keadaan Sufyan niscaya dia akan melihat seolah-olah Sufyan sedang berada di atas kapal yang dia khawatir kapal itu akan tenggelam. Betapa seringnya kami mendengar belliau berkata, “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.”

Qobishoh berkata tentang Sufyan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih banyak mengingat kematian daripada beliau.”

Abu Nu'aim berkata, “Adalah Sufyan apabila telah mengingat kematian, maka orang-orang pun tidak bisa belajar darinya selama berhari-hari.”

Muzahim bin Zufar berkata, “Suatu saat Sufyan mengimami kami sholat maghrib. Tatkala beliau sampai pada ayat Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, maka beliau pun menangis, kemudian beliau mengulangi bacaannya dari Alhamdulillah, dst.”

al-Firyabi berkata, “Suatu ketika Sufyan sedang sholat, lalu dia berpaling kepada seorang pemuda. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Jika kamu tidak sholat sekarang -di dunia- lantas kapan lagi?”.”

Sufyan juga mengatakan, “Aku terhalang dari sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah aku lakukan.”

Ibnu Rahawaih berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi menyebut nama Sufyan, Syu'bah, Malik dan Ibnul Mubarak. Lalu beliau berkata, “Orang yang paling berilmu diantara mereka adalah Sufyan.”

Yahya bin Ma'in berkata, “Sufyan ats-Tsauri adalah amirul mukminin fil hadits.”

Abu 'Ashim berkata: Aku pernah bertanya kepada Sufyan, “Siapakah manusia yang sejati?” Beliau menjawab, “Para ulama.” Aku berkata, “Siapakah raja yang sebenarnya?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang zuhud.” Aku berkata, “Siapakah orang-orang yang rendah?”. Beliau menjawab, “Orang yang tidak peduli dengan apa pun yang dia ucapkan dan tidak peduli dengan kritikan orang kepada dirinya.”

Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sufyan mengatakan, “Tidak boleh taat kepada kedua orang tua dalam perkara-perkara syubhat.”

Sufyan juga mengatakan, “Barangsiapa yang kelaparan lalu tidak mau meminta -kepada orang- sampai akhirnya mati, maka dia masuk neraka.” Sumber: Manaqib al-Imam al-A'zham, karya Imam adz-Dzahabi yang merupakan ringkasan karya Imam Ibnul Jauzi rahimahumallah. Penerbit Dar ash-Shahabah, Thantha.

Page 18: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah?

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba'du.

Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Bukankah Dia (Allah) Dzat yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum, yang tidak pernah berbuat aniaya dan tidak menzalimi siapapun...” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [8/435] cet. Dar Thaibah)

Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca: hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)

Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari'at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta'ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-Tsalits al-'Ali, hal. 37)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Dari al-'Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)

Imam Nawawi rahimahullah menafsirkan hadits di atas, “Arti hadits ini, bahwasanya dia tidak mau mencari (berharap) kepada selain Allah ta'ala, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan

Page 19: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Islam, dan tidak mau menempuh kecuali apa-apa yang sesuai dengan syari'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnul Haitsam)

Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma'idah: 50)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma menafsirkan, “Siapakah yang lebih adil [hukumnya]?!” selain daripada hukum Allah. Adapun maksud “Bagi orang-orang yang yakin” adalah “orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur'an.” (lihat Zaadul Masir, hal. 390)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum jahiliyah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari'at. Ia disebut hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/82])

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila kalian memutuskan hukum diantara manusia hendaklah kalian memberikan keputusan hukum dengan adil.” (QS. An-Nisaa': 58) Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menyeret kalian sehingga berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal itu (keadilan) lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma'idah: 8)

Imam al-Baghawi menafsirkan, “Yaitu berbuat adillah, baik kepada teman kalian maupun kepada musuh kalian.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 364)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu memutuskan hukum maka berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.” (QS. Al-Ma'idah: 42)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (kebaikan), memberikan santunan kepada sanak kerabat, melarang dari perkara yang keji dan munkar serta melanggar hak orang lain.” (QS. An-Nahl: 90)

Abu Sulaiman berkata, “Adil dalam bahasa arab artinya adalah bersikap inshof/objektif. Sedangkan sikap inshof yang paling agung adalah pengakuan terhadap Sang Pemberi nikmat (al-Mun'im) atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya (yaitu dengan bertauhid, pent).” (lihat Zaadul Masir, hal. 791)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Ibnul Qoyyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 145)

Page 20: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 145)

Allah ta'ala berfirman tentang isi wasiat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Demikian pula, orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum jahiliyah adalah orang yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam kesesatan, bahkan hal itu bisa menjatuhkan dirinya ke dalam kekafiran.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim itu.” (QS. Al-Qashash: 50)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma'idah: 44)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma'idah: 45)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma'idah: 47)

Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 386)

Abu 'Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum Yahudi.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/494])

Thawus menjelaskan maksud “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)

Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu 'Abbas mengenai maksud ayat di

Page 21: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

atas. Ibnu 'Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (lihat al-Qaul al-Ma'mun, hal. 17)

Dalam riwayat yang lain, Ibnu 'Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/497])

Ibnu Mas'ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik...” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/497])

Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/498-499])

al-Qusyairi berkata, “Adapun madzhab Khawarij adalah barangsiapa yang melakukan tindak suap atau berhukum bukan dengan hukum Allah maka orang itu adalah kafir. Pendapat ini disandarkan orang kepada al-Hasan dan as-Suddi (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/499]). Namun penyandaran ini telah terbantahkan dengan nukilan di atas.

Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [2/400])

Syaikh Ibnu 'Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dikatakan kafir pada 3 keadaan: [1] Apabila dia meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan zina dan khamr. [2] Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan hukum Allah. [3] Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum Allah(lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/69] cet. Maktabah al-'Ilmu)

Syaikh Shalih bin Sa'ad as-Suhaimi menambahkan, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka ini kekafirannya lebih parah

Page 22: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

daripada yang lainnya...” (lihat Transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 66)

Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari'at dengan undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa'ad Aba Husain hal. 297-301, lihat juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)

Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari'at dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini termasuk maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])

Sungguh tepat ucapan Syaikh Ibnu 'Utsaimin! Bukankah pada jaman sekarang ini tidak sedikit kalangan 'intelektual muslim' di negeri kita atau di negeri-negeri lain yang telah tertipu dan terpesona oleh pertunjukan demokrasi? Beredarlah 'keyakinan' bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Berkembanglah bibit-bibit kekafiran dan kemunafikan yang berjubah keadilan dan perdamaian. Allahul musta'an.

Perlu ditambahkan pula, bahwa para ulama masa kini yang memfatwakan bahwa tasyri' aam (penetapan aturan yang diberlakukan secara umum) dengan hukum selain Islam adalah kekafiran [akbar] tidaklah menjadikan masalah ini sebagai suatu perkara yang telah disepakati dan tidak boleh ada perselisihan padanya; sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Para ulama yang menganut pendapat itu tidak menghukumi pihak lain yang menyelisihi pendapat mereka sebagai Murji'ah dan semacamnya. Akan tetapi mereka menetapkan hukum dalam hal ini dengan pemahaman bahwa hal itu termasuk masalah kekafiran yang diperselisihkan, sebagaimana halnya hukum orang yang meninggalkan sholat dan zakat (lihat Haqiqat al-Khawarij oleh Faishal bin Qazar al-Jasim, hal. 67)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin kembali menasehati kita, “Bahkan, seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya, bahwa diantara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar kafir keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35)

Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma'ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)

Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin

Page 23: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang berkeyakinan al-Qur'an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau dan para ulama yang lain tidak mengkafirkan pemerintah dan para dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Mereka tidak memberontak kepada penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa yang memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh para ulama- agar meyakini al-Qur'an adalah makhluk!! (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 263)

Beliau berkata kepada ulama dan hakim yang menganut paham Jahmiyah ketika itu, “Adapun aku, seandainya aku mengucapkan seperti apa yang kalian ucapkan niscaya aku sudah kafir. Meskipun demikian, aku tidak mengkafirkan kalian. Karena dalam pandanganku, kalian ini adalah orang-orang yang bodoh (tidak tahu).” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 63)

Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan diinjak-injak...” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)

Pemberontakan tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)

Di masa seorang pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman [atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 275)

Hasan al-Bashri juga mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 279)

Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)

Demikianlah, sekelumit catatan dan nasehat sederhana yang bisa kami sajikan. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita menuju kebaikan dunia dan akhirat.

Page 24: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Jangan Lupakan Tauhid

Masalah tauhid adalah masalah yang sangat penting. Ia merupakan asas tegaknya agama. Muatan utama ayat-ayat al-Qur'an dan misi pokok dakwah seluruh para nabi dan rasul.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Sebuah materi dakwah yang tidak akan lekang oleh zaman dan terus dibutuhkan oleh siapa saja; orang miskin maupun orang kaya, orang tua maupun anak muda, penduduk kota maupun penduduk desa, pejabat maupun rakyat jelata.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Luqman memberikan nasehat kepada anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Sholah [425] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [33]) Dalam suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah -salah seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada kita untuk selalu memperhatikan masalah tauhid dan tidak menyepelekannya.

Beliau berkata:

Masalah paling besar yang diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota badan, akan tetapi [amalan] hati dan ikhlas dalam beramal...

Oleh sebab itu, Yusuf bin al-Husain -salah seorang salaf- berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas...Betapa sering aku berusaha menyingkirkan riya' dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia muncul kembali di dalamnya dengan warna yang berbeda.”

Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri. Sehingga sulit menggapai keikhlasan.

Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada ikhlas. Sebab di dalamnya hawa nafsu tidak mendapat jatah sedikitpun.” Senang dipuji, suka disanjung... Hawa nafsu memang menyimpan banyak keinginan (ambisi)...

Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Syarat -memurnikan- niat itu sangatlah berat." Semoga Allah merahmati beliau.

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih susah daripada niatku... Karena ia sering berbolak-balik."

Oleh sebab itu semestinya bagi saudara-saudara kami, saya menasehati diri saya sendiri dan

Page 25: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

juga mereka untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di dalamnya, dan terus-menerus berdoa kepada Allah agar mereka tetap istiqomah di atasnya.

Hendaknya mereka memohon kepada Allah jalla wa 'ala supaya Allah membantu mereka untuk bisa teguh di atas tauhid, dan memberikan taufik kepada mereka untuk itu...

Masalah ini bukan masalah sepele, saudara-saudara sekalian...

Beliau juga menjelaskan:

Manusia, bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya...

Atau bisa jadi mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi tidak secara rinci... maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya...

Atau bisa jadi mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci... maka mereka pun tetap butuh untuk senantiasa diingatkan tentang tauhid...serta terus mempelajarinya dan tidak berhenti darinya...

Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid." atau mengatakan, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau berkata, "Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita pindah saja kepada isu yang lain."

Tidak demikian...

Sebab, tauhid tidaklah ditinggalkan menuju selainnya...tetapi tauhid harus senantiasa dibawa beserta yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara...

Beliau juga menegaskan:

Jadi, tauhid adalah misi dakwah seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj dakwah yang tidak berubah.. Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan alasan apapun. Semisal, kita katakan, "Demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman, dsb." yang dengan alasan semacam itu kita merubah titik tolak dakwah dan mengganti manhaj dakwah.

Atau mengatakan bahwa semestinya sekarang dakwah kita mulai dengan masalah akhlak, atau sebaiknya kita mulai dengan masalah ini atau itu... Tidaklah demikian. Tidaklah kita memulai dakwah kecuali dengan apa yang dimulai oleh para rasul...

Inilah dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di atasnya dan mati di atasnya pula. Baarakallahu fiikum.

Sumber: Video al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net

Page 26: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Perkataan Ulama Tentang Ikhlas

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Sesungguhnya seseorang akan mendapatkan anugerah -balasan dari Allah- sebatas apa yang dia niatkan.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 7 oleh Imam an-Nawawi)

Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah ta'ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 7-8)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering berbolak-balik.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta'ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apapun selain mendekatkan diri kepada Allah ta'ala.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Abu Ya'qub as-Susi rahimahullah mengatakan, “Apabila orang-orang telah berani mempersaksikan keikhlasan telah melekat pada dirinya maka sesungguhnya keikhlasan mereka itu masih butuh pada keikhlasan.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Abu 'Utsman rahimahullah mengatakan, “Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian) al-Khaliq.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya' sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala Allah menyelamatkan dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Muhammad bin Wasi' rahimahullah berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 249)

Kerendahan Hati Para Ulama

Page 27: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi'in- mengatakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika'il.” (HR. Bukhari secara mu'allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya, lihat Fath al-Bari [1/136-137])

Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, “Apabila disebutkan tentang orang-orang salih maka aku merasa diriku teramat jauh dari kedudukan mereka.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 76 oleh Imam Ibnu Abid Dun-ya)

Yunus bin 'Ubaid rahimahullah berkata, “Sungguh aku pernah menghitung-hitung seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada diriku tidak ada satu pun darinya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 80)

Muhammad bin Wasi' rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 82)

Hisyam ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 254)

Nasehat Para Ulama

Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan: Bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta'thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)

Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr rahimahullah, “Dimanakah aku bisa beribadah kepada Allah?” Maka beliau menjawab, “Perbaikilah hatimu, dan beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu berada.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 594)

Abu Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.” (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 594)

Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 231).

Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).

Page 28: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim

Imam al-Hasan bin Sufyan an-Nasawi (wafat 303 H) meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh mencacinya. Barangsiapa yang menunaikan kebutuhan saudaranya maka Allah senantiasa memperhatikan kebutuhan dirinya. Barangsiapa yang memberikan jalan keluar bagi kesusahan seorang muslim [di dunia] niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi [aib] seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (lihat Kitab al-Arba'in, hal. 48. Bab Dorongan Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim)

Kandungan Hadits

Hadits yang agung ini berisi ajaran Islam yang sangat luhur. Di dalamnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga hubungan baik dengan sesama muslim. Karena sesama muslim adalah saudara. Sehingga tidak boleh melakukan perkara-perkara yang merusak ukhuwah diantara mereka, apakah dengan berbuat aniaya, mengejek, dan lain sebagainya.

Selain itu, hadits ini juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepekaan sosial dan kepedulian terhadap sesama muslim. Apabila mereka memiliki kebutuhan hendaklah kita juga memikirkannya. Demikian pula seandainya mereka tertimpa kesusahan maka semestinya seorang muslim yang berkemampuan untuk meringankan beban saudaranya. Sebagaimana dia senang apabila mendapatkan kemudahan, hendaknya dia pun senang apabila saudaranya mendapatkan kemudahan dalam urusannya.

Selain itu, hadits yang agung ini mengajarkan kepada kita untuk berusaha menutupi aib sesama muslim yang kita ketahui baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Sebab membeberkan aib sesama muslim adalah tindakan yang mencemarkan nama baiknya. Sebagaimana dirinya tidak suka jika aib-aibnya diketahui orang lain, maka sudah selayaknya dia menjaga aib saudaranya sesama muslim.

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan ubudiyah/ritual atau hubungan vertikal antara hamba dengan Allah. Bahkan, Islam juga mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia. Sebagaimana kita wajib mengikuti aturan Allah dalam masalah ritual, maka wajib pula bagi kita untuk mematuhi aturan-Nya dalam masalah sosial. Oleh sebab itu para ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud orang salih adalah yang menunaikan hak Allah (baca: tauhid) dengan baik dan menunaikan hak-hak sesama dengan baik pula.

Demikianlah, betapa Islam sangat memperhatikan kemaslahatan hidup umat manusia di atas muka bumi ini. Sehingga segala perkara yang bisa merusak kebahagiaan hidup mereka pun dibendung sedemikian rupa. Dan janganlah dikira bahwa Islam hanya menghargai sesama muslim saja, bahkan orang kafir sekalipun memiliki hak yang tidak boleh dilanggar dan tidak boleh dizalimi. Islam mengajarkan keadilan dan mengajak manusia kepada keselamatan dunia dan akhirat. Hanya di bawah naungan Islam lah kehidupan dunia ini menjadi tentram dan berkeadilan. Allahul musta'aan.

Page 29: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Kepada Mu Semata Kami Beribadah

Saudara-saudara seakidah yang dirahmati Allah. Setiap hari dalam sholat kita mengikrarkan bahwa kita beribadah hanya kepada-Nya dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya. Ini merupakan perkara yang sangat penting untuk kita pahami.

Ibadah adalah tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21) Allah memerintahkan kita beribadah kepada-Nya dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa': 36)

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain Allah, maka Allah tidak akan menerima amal-amal mereka. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, jika kamu berbuat syirik pastilah lenyap seluruh amalmu dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Bahkan, orang yang mempersekutukan Allah tidak akan diampuni apabila dia meninggal dalam keadaan belum bertaubat dari kesyirikannya tersebut. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan mengampuni dosa apa saja yang di bawah dosa itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa': 48)

Oleh sebab itu segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menjalankan agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat tinggalnya adalah neraka. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun pemberi pertolongan.” (QS. Al-Ma'idah: 72)

Perbuatan mempersekutukan Allah adalah sebuah kejahatan dan kezaliman yang sangat besar. Allah ta'ala berfirman menceritakan nasehat Luqman kepada anaknya (yang artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah! Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Syirik adalah sebab yang menghalangi seorang hamba mendapatkan keamanan dan hidayah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al-An'am: 82)

Page 30: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa tatkala turun ayat tersebut para sahabat pun bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah! Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri (baca: berbuat maksiat)?”. Maka Nabi menjawab, “Bukan seperti yang kalian ucapkan. “Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” yaitu dengan kesyirikan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada anaknya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah! Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu wajib bagi setiap hamba untuk mempersembahkan ibadahnya kepada Allah saja, apakah itu sholat, sembelihan, doa, isti'anah, istighotsah, dan lain sebagainya. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, matahari, pohon, batu, dan lain sebagainya. Semua ibadah adalah hak Allah, tidak berhak mendapatkan ibadah kecuali Dia.

Janganlah kita seperti orang-orang musyrik yang menujukan ibadahnya kepada selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka sedang naik di atas kapal -dan terancam badai, pent- maka mereka pun berdoa kepada Allah dengan ikhlas, tetapi ketika Allah selamatkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka pun kembali berbuat syirik.” (QS. al-'Ankabut: 65)

Janganlah kita seperti orang-orang musyrik yang mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu, mereka mencintainya sebagaimana cintanya kepada Allah. Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

Tauhid inilah yang menjadi bekal terbaik kita untuk menghadap Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Oleh sebab itu Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya dan tidak mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim; yaitu di atas tauhid. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali 'Imran: 102)

Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun pasti masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun pasti masuk neraka.” (HR. Muslim) Inilah tugas kita sepanjang hayat di kandung badan. Beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah kunci kebahagiaan yang sesungguhnya.

Page 31: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Karena Seekor Kucing

Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang perempuan disiksa gara-gara seekor kucing. Dia mengurung kucing itu sampai mati. Karena itulah dia masuk neraka. Perempuan itu tidak memberi makan dan minum kepadanya -tatkala dia kurung-. Dan dia pun tidak melepaskannya supaya bisa memakan serangga atau binatang tanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Faidah Hadits

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hadits yang mulia ini menunjukkan kepada kita betapa Islam sangat menjunjung tinggi kasih sayang. Tidak hanya kepada sesama manusia, bahkan kepada seekor binatang sekalipun. Akibat tidak menaruh kasih sayang kepada seekor kucing, perempuan tersebut harus merasakan pedihnya siksa neraka.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan diharamkannya membunuh kucing dan diharamkan mengurungnya tanpa diberi makanan dan minuman. Adapun dimasukkannya dia ke dalam neraka adalah karena perbuatan itu. Zahir hadits menunjukkan bahwa perempuan tersebut beragama Islam, meskipun demikian dia masuk neraka gara-gara menyiksa seekor kucing.” (lihat Syarh Muslim [7/347])

Beliau juga menegaskan, “Maksiat ini bukanlah dosa kecil, bahkan dia bisa berubah menjadi dosa besar apabila dilakukan secara terus-menerus.” (lihat Syarh Muslim [7/348])

Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sayangilah [sesama] niscaya kalian pun akan disayangi. Berikanlah ampun/maaf maka niscaya kalian pun akan diampuni oleh Allah...” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dicabut rasa kasih sayang kecuali dari orang yang celaka.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Dari Jarir radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah 'azza wa jalla tidak akan menyayanginya.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata mengomentari hadits ini, “Di dalamnya terkandung dorongan untuk menaruh kasih sayang kepada segenap makhluk, tercakup di dalamnya orang beriman dan orang kafir, serta binatang yang dimilikinya maupun binatang yang bukan miliknya.” (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/490])

Sebagian tabi'in mengatakan, “Barangsiapa yang banyak dosanya hendaklah dia suka memberikan minum. Apabila dosa-dosa orang yang memberikan minum kepada seekor anjing bisa terampuni, maka bagaimana menurut kalian mengenai orang yang memberikan minum kepada seorang beriman lagi bertauhid sehingga hal itu membuatnya tetap bertahan hidup!” (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/500])

Semoga Allah menanamkan jiwa kasih sayang ke dalam diri kita.

Page 32: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Makna Kata Fitnah

Kata fitnah di dalam al-Qur'an memiliki banyak makna, diantaranya:

Fitnah dengan makna syirik. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah.” (QS. al-Baqarah: 193). Demikian pula dalam ayat (yang artinya), “Fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” (QS. al-Baqarah: 217)

Fitnah dengan makna kekafiran. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyimpangan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabih itu demi mencari fitnah.” (QS. Ali 'Imran: 7)

Fitnah dengan makna ujian dan cobaan. Misalnya dalam ayat (yang artinya), “Sungguh Kami telah memfitnah orang-orang sebelum mereka.” (QS. al-'Ankabut: 3).

Fitnah dengan makna siksaan. Seperti dalam ayat (yang artinya), “Rasakanlah fitnah untuk kalian.” (QS. Adz-Dzariyat: 14). Dan juga ayat (yang artinya), “Apabila dia diganggu di jalan Allah, maka dia menganggap fitnah manusia seperti azab dari Allah.” (QS. al-'Ankabut: 10)

Fitnah dengan makna dosa. Misalnya dalam ayat (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam fitnah itulah mereka terjatuh.” (QS. at-Taubah: 49). Demikian pula firman Allah (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya bahwa mereka akan tertimpa fitnah.” (QS. an-Nur: 63)

Fitnah dengan makna pembunuhan. Seperti dalam ayat (yang artinya), “Jika kalian khawatir orang-orang kafir itu akan memfitnah kalian.” (QS. an-Nisaa': 101)

Fitnah dengan makna kesesatan dan kebingungan. Seperti dalam ayat (yang artinya), “Dan barangsiapa yang Allah kehendaki ia terfitnah.” (QS. al-Ma'idah: 41)

Fitnah dengan makna sesuatu yang menyebabkan lalai. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah.” (QS. at-Taghabun: 15)

Sumber: Mauqif al-Muslim minal Fitan fi Dhau'il Kitab was Sunnah, hal. 45-50

Page 33: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan maksud beberapa ungkapan yang diriwayatkan dari para ulama salaf tentang makna iman.

Pertama: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan. Maka yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah ucapan hati dan ucapan lisan. Sedangkan yang mereka maksud dengan amalan adalah amal hati dan amal anggota badan.

Kedua: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan dan keyakinan. Maka yang mereka maksud dengan ucapan adalah ucapan lisan -sebagaimana yang banyak dipahami orang- oleh sebab itu keyakinan disebutkan secara khusus. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa yang mereka maksud dengan amalan adalah amalan hati dan amal anggota badan.

Ketiga: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan niat. Maka yang mereka maksudkan dengan ucapan adalah ucapan hati (keyakinan) dan ucapan lisan. Adapun maksud dari amalan terkadang hanya dipahami oleh banyak orang sebagai amalan lahiriyah. Oleh sebab itu mereka menambahkan niat pada pengertian iman.

Keempat: Sebagian salaf menambahkan pada pengertian iman selain apa yang sudah disebutkan di atas dengan kata-kata 'ittiba' kepada sunnah'. Karena perkara-perkara tersebut -ucapan, amalan, keyakinan, dan niat- tidaklah menjadi suatu hal yang dicintai Allah kecuali dengan mengikuti/ittiba' kepada Sunnah.

Perlu diperhatikan pula, bahwa yang mereka maksudkan dengan ucapan dan amalan bukanlah semua ucapan dan amalan manusia, akan tetapi yang mereka maksud adalah ucapan dan amalan yang disyari'atkan. Lantas mengapa para salaf memakai ungkapan-ungkapan semacam itu? Jawabnya adalah dalam rangka membantah sekte Murji'ah yang hanya menjadikan iman sebagai ucapan. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah menegaskan, bahwa iman itu ucapan dan amalan.

Adapun para ulama yang membagi hakikat iman menjadi empat, maka maksud mereka adalah seperti jawaban Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah ketika ditanya tentang iman. Beliau mengatakan bahwa iman itu adalah, “Ucapan, amalan, niat (ikhlas), dan sunnah. Karena iman apabila hanya berupa ucapan tanpa amalan adalah kekafiran. Apabila ia hanya berupa ucapan dan amalan tanpa niat (ikhlas) maka itu adalah kemunafikan. Apabila ia berupa ucapan, amalan, dan niat (ikhlas) namun tidak disertai dengan Sunnah, maka itu adalah bid'ah.”

Sumber: al-Muntakhab min Kutub Syaikhil Islam Ibni Taimiyah hal. 39 karya Syaikh 'Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf hafizhahullah. Penerbit: Darul Hijrah lin Nasyr wat Tauzi' cet. 1419 H

Page 34: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, maka dia pasti menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara gaib dan perkara yang tampak, lalu Allah akan memberitakan kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu'ah: 8)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Setiap jiwa pasti merasakan kematian.” (QS. Ali 'Imran: 185)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian.” (QS' al-Hijr: 99)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali 'Imran: 102)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan olehnya untuk hari esok...” (QS. Al-Hasyr: 18)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 198)

Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.”

Suatu ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa'id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu lebih baik daripada kamu bergaul dengan teman-teman yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.”

Seorang penyair mengatakan:

Wahai anak Adam, engkau terlahir dari ibumu seraya melempar tangisanSedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira

Page 35: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Maka, beramallah untuk menyambut suatu hari tatkala mereka melempar tangisanYaitu hari kematianmu, ketika itu engkaulah yang tertawa gembira

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”

'Amar bin Yasir radhiyallahu'anhu berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”

al-Harits bin Idris berkata: Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha'i, “Berikanlah nasehat untukku.” Maka dia menjawab, “Tentara kematian senantiasa menunggu kedatanganmu.”

Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.”

Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, 'Kami mencari surga' padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”

Salah seorang yang bijak menasehati saudaranya, “Wahai saudaraku, waspadalah engkau dari kematian di negeri [dunia] ini sebelum engkau berpindah ke suatu negeri yang engkau mengangan-angankan kematian akan tetapi engkau tidak akan menemukannya.”

Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, “Apakah engkau mencintai surga?” Mak-hul menjawab, “Siapa yang tidak cinta dengan surga.” Lalu Ibnu Abdi Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu, cintailah kematian; karena engkau tidak akan bisa melihat surga kecuali setelah mengalami kematian.”

Sumber: Aina Nahnu min Ha'ula'i, Jilid 1. Karya Abdul Malik al-Qasim

Page 36: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah?

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, aqidah merupakan ilmu terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim. Mengapa demikian? Karena aqidah merupakan pondasi tegaknya amal ibadah dan syarat diterimanya amalan.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan tauhid. Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai amal-amal orang musyrik dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tampakkan segala amal yang dahulu mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk memahami tauhid berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami oleh para Sahabat radhiyallahu'anhum. Memahami ilmu aqidah adalah kunci keselamatan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Inilah kunci utama untuk membebaskan diri dari kerugian.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)

Keimanan yang benar adalah keimanan yang tidak dicampuri dengan syirik dan kekafiran. Itulah sebab pokok untuk meraih keamanan dan petunjuk dari Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An'am: 82)

Syirik adalah sebuah kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta'ala mengisahkan nasihat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Karena hanya Allah yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah semestinya kita hanya beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari segala sesembahan selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Aqidah inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah fiqih akbar. Imam Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi mengatakan, bahwa kebutuhan hamba kepada ilmu ini adalah di atas kebutuhan mereka terhadap perkara-perkara yang lain (lihat Syarh ath-Thahawiyah, hal. 69)

Page 37: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Oleh sebab itu pula, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, maka beliau berpesan, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari)

Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid dan betapa besar kebutuhan umat manusia terhadapnya. Sehingga, tidaklah mengherankan jika seluruh dakwah para rasul tegak di atas misi yang sama. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul -yang berseru- : Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)

Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai seruan yang mengatasnamakan kebangkitan Islam atau melanjutkan kembali kehidupan Islam akan tetapi tidak dibarengi dengan tarbiyah tauhid dengan benar adalah omong kosong belaka! Bukankah tidak jarang kita dengar sayup-sayup ucapan mereka, “Dakwah tauhid memecah-belah umat” [?!] “Dakwah tauhid mencerai-beraikan barisan” [?!] “Dakwah tauhid sudah ketinggalan jaman” [?!] “Dakwah tauhid membuat orang lari” [?!] “Dakwah tauhid tidak digemari orang” [?!]

Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan! Akankah kita katakan dakwah para rasul ini dakwah yang memecah-belah umat, mencerai-beraikan barisan mereka, sudah ketinggalan jaman, membuat orang lari, dan -lebih parah lagi jika dikatakan bahwa dakwah tauhid mesti disingkirkan gara-gara- tidak digemari orang?! Allahul musta'an.

Bagaimana mungkin kita bisa sepakat membuat orang untuk bersama-sama memerangi riba dan zina sementara kita lalai dari mengajak mereka untuk memberantas syirik dan pemujaan berhala?! Ataukah kita telah menganggap berhala masa kini sudah tiada? Karena manusia sudah berpindah ke masa kecanggihan teknologi sehingga jauh dari klenik dan ritual-ritual kemusyrikan? Benarkah demikian?!

Bagaimana mungkin kita bersemangat tatkala menghasung umat untuk mencabut riba sampai akar-akarnya namun di saat yang sama pemurnian aqidah seolah menjadi agenda dan tema pembahasan yang terlupa?! Padahal, Allah telah berfirman tentang besarnya dosa yang satu ini dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa': 48)

Dan lebih ajaib lagi jika kita mengangankan tegaknya sebuah daulah Islam di atas negeri yang syirik dan bid'ah merajalela bak jamur di musim hujan bahkan seolah telah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan mereka?!

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)

Sungguh benar firman Allah ta'ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd: 11). Kepada Allah semata kita memohon taufik dan bimbingan.

Page 38: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Nasehat Imam Syafi'i

ar-Rabi' mengatakan: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Apabila kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan tinggalkan pendapatku.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 55)

ar-Rabi' berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi'i- mengatakan, “Langit manakah yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan menjadi tempat berpijak bagiku. Jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat sebagaimana kandungan hadits tersebut.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 56)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus perkara atas segala perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati kesempitan di dalam hati mereka, dan mereka pasrah kepadanya secara sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang beriman, lelaki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Hendaklah kalian berpegang kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling banyak kebenarannya.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 63)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok orang diantara umatku ini yang menang -di atas kebenaran- tidaklah membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka hingga tegak hari kiamat.” (Muttafaq 'alaih)

Para imam; Imam Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H), Yazid bin Harun (wafat 206 H), Ali bin al-Madini (wafat 234 H), Ahmad bin Hanbal (wafat 241), dan Imam Bukhari (wafat 256 H) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kelompok' di dalam hadits tersebut adalah as-habul hadits (pengikut hadits). Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Seandainya mereka bukan as-habul hadits maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu?” (lihat Nasha'ih Manhajiyah Li Thalib 'Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 18)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Page 39: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Di Dalam Perilaku Seorang Hamba

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta'ala memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.

Misalnya, Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa': 96)

Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.” Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para malaikat (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)

Adapun rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A'raaf: 156)

Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara, cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.

Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur'an, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab (al-Qur'an). Tidak ada

Page 40: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123)

Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Diantaranya adalah:

Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa yang disyari'atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa': 29)

Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.

Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu roja'/harapan terhadap ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang bertaubat setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma'idah: 39)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Page 41: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A'raaf: 56)

Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu)

Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya', memurnikan ibadah untuk Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.

Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap sifat rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.

Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga, seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

Wallaahu ta'ala a'lam bish shawaab. Wa shallallaahu 'ala Nabiyyir rahmah, wa 'ala aalihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah. Laa na'budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil 'Abdi cet. 1433 H karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20

Page 42: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Orang Yang Mendapatkan Syafa'at

Dari Ibnu Darah -bekas budak yang dimerdekakan oleh 'Utsman bin 'Affan- dia berkata: Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui tentang syafa'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari kiamat.” Orang-orang pun berpaling kepada beliau. Mereka berkata, “Beritahukanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu.” Abu Hurairah berkata: Yaitu beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah setiap muslim yang beriman kepada-Mu dan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, sanadnya dinilai hasan, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 49)

Faidah Hadits

Hadits yang agung ini menunjukkan kepada kita bahwa hakikat syafa'at adalah doa. Salah satunya adalah doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Allah supaya mengampuni dosa-dosa setiap orang yang bertauhid. Dan yang dimaksud di sini adalah para pelaku dosa besar dari kalangan ahli tauhid. Mereka yang dihukum di neraka kemudian dimasukkan ke surga. Sebagaimana semakin jelas dengan hadits-hadits berikut.

Dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberikan pilihan -oleh Allah- antara syafa'at atau setengah umatku dimasukkan ke dalam surga. Maka aku pun memilih syafa'at, karena ia lebih luas [manfaatnya] dan lebih mencukupi. Apakah menurut kalian ia diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan sempurna imannya? Tidak, akan tetapi ia diberikan kepada orang-orang yang berdosa, pemilik kesalahan-kesalahan, orang yang bergelimang dengan dosa.” (HR. Ibnu Majah, dinilai sahih sanadnya oleh al-Bushiri, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 46)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Suatu kaum yang masuk ke dalam neraka Jahannam kemudian mereka dikeluarkan darinya, maka mereka pun masuk ke dalam surga. Mereka dikenal di surga dengan sebutan khusus untuk mereka. Mereka disebut dengan al-Jahanamiyun.” (HR. Ibnu Abi 'Ashim, dinilai sahih oleh al-Albani, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 51-52)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat-riwayat yang secara keseluruhan mencapai derajat mutawatir yang menetapkan kebenaran syafa'at di akhirat bagi para pelaku dosa diantara kaum beriman. Telah sepakat salaf dan kholaf serta para ulama sesudahnya dari kalangan Ahlus Sunnah atas hal itu. Akan tetapi Khawarij dan sebagian Mu'tazilah tidak mempercayai hal itu [syafa'at]. Mereka berpegang dengan madzhab mereka bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di dalam neraka.” (lihat Syarh Muslim [2/311])

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa hadits-hadits di atas adalah hujjah/dalil yang sangat kuat untuk membantah pemahaman sekte Khawarij dan Mu'tazilah yang menolak keberadaan syafa'at bagi pelaku dosa besar di kalangan ahli tauhid. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa Khawarij dan Mu'tazilah menyatakan pelaku dosa besar di akhirat kekal di neraka, walaupun mereka berbeda pandangan dalam hal hukum dunia. Khawarij mengkafirkan, sedangkan Mu'tazilah menyatakan 'manzilah baina manzilatain' (berada diantara dua kedudukan) alias tidak beriman tapi juga tidak kafir. Padahal, dalil al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma' telah menetapkan adanya syafa'at bagi pelaku dosa besar diantara ahli tauhid (lihat Ta'liq Risalah Qawa'id Arba' oleh Syaikh 'Ubaid al-Jabiri, hal. 13)

Page 43: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Pelajaran Berharga Dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari

Nama Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli hadits yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun menyatakan bahwa kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih setelah al-Qur'an. Kemudian, setelah itu diikuti oleh kitab muridnya, yaitu kitab Shahih karya Imam Muslim. Semoga Allah merahmati mereka berdua.

Meskipun demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu saja. Ada saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan kemuliaan dan kebesaran yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang aqidah/keyakinan bahwa al-Qur'an makhluk telah disalahalamatkan kepada beliau oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal, keyakinan al-Qur'an makhluk merupakan keyakinan sekte sesat yang amat terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah!

Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau

al-Qur'an adalah kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita katakan bahwa pelafalan al-Qur'an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini?!

Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu dengan serta merta menolak atau menerima pernyataan 'pelafalan al-Qur'an adalah makhluk' adalah tidak tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah perbuatan (fi'il) mengucapkannya yang hal itu termasuk perbuatan hamba maka jelas ini adalah makhluk. Karena hamba beserta perbuatannya adalah makhluk. Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah ucapan yang dilafalkan (maf'ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya bukan makhluk.

Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan, “Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur'an adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur'an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah.” Perkataan Imam Ahmad 'dan yang dia maksud adalah al-Qur'an' menunjukkan bahwa apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur'an akan tetapi perbuatan melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.

(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).

Fitnah Yang Menimpa Sang Imam

Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul 'masalah' di

Page 44: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.

Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur'an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi'ah), Jahmi, dan penganut Murji'ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”

Ahmad bin 'Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur'an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur'an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur'an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab, “al-Qur'an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid'ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.

Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi'/ahli bid'ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma'il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”

Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan, “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya

Page 45: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

-Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”

Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”

Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab, “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.” (Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)

Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata, “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur'an adalah makhluk, sedangkan al-Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid'ah?”. Beliau menjawab, “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid'ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan, “Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur'an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)

Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta'dil Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur'ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur'an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta'dil VII/191).

Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A'lam an-Nubala'. Beliau berkata, “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)

Hal ini menunjukkan bahwa jarh/celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Setiap orang yang telah

Page 46: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)

Pelajaran Yang Bisa Dipetik

Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da'i. Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam. Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da'i- meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.

Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da'i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan senantiasa melihat kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.

Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da'i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.

Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da'i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.

Page 47: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta'dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta'dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta'dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta'dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da'i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta'dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya: “Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su'uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta'aan.

Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da'i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da'i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama'ah, selama dia tegak di atas kebenaran.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid'ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid'ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid'ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid'ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan, “Bid'ah itu lebih dicintai Iblis

Page 48: Kumpulan Nasehat dan Pelajaran untuk Seorang Muslim

daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid'ah hampir tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid'ahan menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau 'allan.

Sebagian ulama salaf berpesan, “Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.”

Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya.

Ulama adalah pewaris para Nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah Nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan tetap bersangka baik dan memberikan udzur/toleransi terhadap mereka.

***

Rabbana taqabbal minnaa, innaka antas sami'ul 'aliimwa tub 'alainaa, innaka anttat tawwaabur rahiim

Sumber e-book: http://terjemahkitabsalaf.wordpress.com/

Membumikan Dakwah Ahlus Sunnah

Facebook: Terjemah Kitab SalafEmail: [email protected]

Boleh disebarluaskan!