kajian pengendalian rayap tanah coptotermes spp. (isoptera ... · lecanii (zimmermann), aspergillus...

110
KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Upload: truongkhuong

Post on 20-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE)

DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL

DESYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 2: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bawah disertasi Kajian Pengendalian Rayap

Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2007

Desyanti NIM E 061020081

Page 3: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

iii

ABSTRAK DESYANTI. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal. Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF dan TEGUH SANTOSO

Rayap tanah Coptotermes spp. adalah salah satu dari banyak hama yang menyebabkan kerusakan serius pada produk hasil kayu khususnya sebagai material bangunan. Beberapa metode pengendalian rayap telah berhasil dilaksanakan di Indonesia, di antaranya penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah, impregnasi ke dalam kayu dan metode pengumpanan serta penghalang fisik. Namun pengendalian hayati menggunakan cendawan entomopatogen belum banyak dilakukan di Indonesia.

Cendawan diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam seperti ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR., Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Fusarium oxysporum Link, dan Fusarium solani Link telah ditemukan dari berbagai sumber inokulum di alam. B. bassiana merupakan spesies yang paling dominan ditemukan.

Uji tapis mengindikasikan bahwa cendawan yang ditemukan umumnya bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas rayap Coptotermes gestroi Wasmann lebih dari 60% setelah 6 hari diinokulasi. Bahkan M. anisopliae dari inang penghisap polong kedele, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari inang rayap tanah dapat membunuh rayap 100% setelah 6 hari inokulasi. Berkenaan dengan kerapatan konidia, hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia menyebabkan mortalitas rayap lebih tinggi. Nilai lethal concentration (LC) dari masing-masing spesies berbeda. Dalam hal ini M. brunneum dari pasir memiliki LC50 terendah, yaitu 1,8 x 105 konidia/ml. Aplikasi dengan metode kontak menyebabkan mortalitas dalam waktu yang lebih singkat (LT50 = 2,01 hari) dibandingkan dengan metode pengumpanan (LT50 = 4,83 hari).

Uji penularan patogen di laboratorium terhadap rayap C. gestroi, mengindikasikan korelasi antara mortalitas dengan proporsi vektor: mortalitas rayap meningkat dengan meningkatnya proporsi vektor. Pada penggunaan proporsi vektor 10%, mortalitas yang disebabkan oleh B. bassiana, M. anisopliae dan M. brunneum pada LC95 tidak berbeda nyata (>90%). Pada uji terhadap rayap tanah C. curvignathus, spesies cendawan M. brunneum hanya menyebabkan 60% mortalitas (mortalitas rayap pada kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) 15 hari setelah inokulasi. Sebagai kesimpulan penelitian ini, rayap yang diperlakukan (vector) dapat menyebarkan penyakit yang disebabkan cendawan terhadap individu rayap sehat lainnya. Key words: bio-kontrol, uji tapis, LC, LT, penularan, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.

Page 4: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

iv

ABSTRACT

DESYANTI. Study on Bio-control of Subterranean Termites Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) using indigenous Isolates of Entomopathogenic Fungi. Under the Direction of YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF and TEGUH SANTOSO

Subterranean termite Coptotermes spp. is one of the important pests causing serious damage of wood product especially as building material. Some methods for termite control currently practiced in Indonesia are the use of termiticides as soil treatment, impregnation in to the wood, baiting and physical barrier. The use of bio-control agent such entomopathogenic fungi is only at the beginning stage.

The fungi were isolated from various hosts in nature such as cabbage heart caterpillar (Crocidolomia pavonana F.), army worm (Spodoptera litura F.), rice bug (Leptocorisa oratorius F.), pod-sucking bug (Riptortus liniaris L.), subterranean termite (Coptotermes curvignathus Holmgren.), soil and sand. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill, Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and Fusarium solani Link have been found from various hosts. B. bassiana was the most commonly fungus species found.

The screening test indicated that the fungi are generally pathogenic to termite Coptotermes gestroi Wasmann and could cause termite mortality more than 60% within 6 days. M. anisopliae from infected pod-sucking bug, M. brunneum from sand, M. roridum from soil, B. bassiana from infected rice bug, F. oxysporum from infected army worm and A. flavus from infected subterranean termite could kill 100% termites within 6 days. Regarding the density of conidia, the result revealed that the higher level of density of conidia caused higher mortality of termite. The value of lethal concentration (LC) of each species are different. In this case M. brunneum from sand had the lowest LC50, i.e. 1.8 x 105 conidia/ml. For application purpose, the contact method caused mortality in few days (LT50 2.01 days) as compared with baiting method (LT50 4,83 days).

Transmission tests of pathogen indicated that on C. gestroi in the laboratory, there was correlation between termite mortality with vector proportion, the mortality of termite increased as vector proportion increased. By using 10% termite vector, mortality caused by B. bassiana, M. anisopliae and M. brunneum at LC95, termite mortality was not significantly different (>90%). Against subterranean termites of C. curvignathus, fungi M. brunneum only caused 60% mortality of termites within 15 days after application, while termite mortality in control was observed as 13.25% and specimens weight loss 11,27% (control 47,82%). It is concluded that in this study, treated termites (vector) could transmit the fungal disease to other healthy ones. Key words: bio-control, screening, LC, LT, Coptotermes gestroi, Coptotermes

curvignathus.

Page 5: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

v

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

Page 6: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

vi

KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE)

DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL

DESYANTI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 7: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

vii

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr.Ir. Idham Sakti Harahap, MSi. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Dodi Nandika, MS 2. Dr. Yanni Sudiyani, M.Agr.

Page 8: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

viii

Judul Disertasi : Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal Nama : Desyanti NIM : E 061020081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. Ketua

Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Anggota Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 15 Mei 2007 Tanggal Lulus: 16 Agustus 2007

Page 9: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

ix

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga disertasi dengan judul ” Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. Bapak Dr. Sulaeman Yusuf. M. Agr. dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, kritik, saran dan fasilitas sarana maupun prasarana selama penulisan rancangan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi hingga selesai. Semoga amal kebaikan yang disertai keikhlasan dari Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Allah SWT, Amin. Ucapan yang sama juga penulis ucapkan ke pada Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, MSi, Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Ibu Dr. Yanni Sudiyani, MAgr. yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi, terima kasih atas saran dan masukannya pada penyempurnaan disertasi ini.

Seterusnya penulis juga mengucapkan terima kasih Kepada Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bapak Koordinator KOPERTIS wilayah X dan Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dan ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dan seluruh staf pengajar, pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, atas kesempatan dan dukungan dana yang telah diberikan hingga penyelesaian studi yang penulis jalankan dapat terlaksana dengan baik.

Kepada Bapak Dr. Ir. Edi Suhaimi Bakar M.Agr, Ibu Dr. Yanni Sudiyani M.Agr., Didi Tarmadi S.Hut. diucapkan terima kasih atas pengarahan awal tentang materi penelitian, dan bantuan diawal penelitian sehingga dapat menapaki keberhasilan di dalam pelaksanaan penelitian ini.

Kepada orang tua (Alm) terima kasih atas kasih sayang, motifasi untuk selalu mementingkan pendidikan yang senantiasa diberikan didalam menjalani kehidupan ini, doa, dan dorongan moril maupun material yang telah diberikan pada ananda dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan yang tiada berahir sampai ahir hayat. Selanjutnya kepada Ibu dan Ayah mertua, teristimewa buat Suami tercinta yang senantiasa memberi semangat serta telah dengan ikhlas mendampingi dengan suka maupun duka selama menjalani studi, seterusnya buat Adik-adikku, keponakan, keluargaku di Padang dan Solo, kakak dan adik Ipar serta semua keluarga di Jakarta, terimakasih atas semua bantuannya moril maupun material.

Kepada Teman-temanku di program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Laboran di Laboratorium Kayu Solid, Keteknikan Kayu, Panel-panel Kayu dan Kimia Kayu Fakultas Kehutanan, Teman-teman serta adik-adik di Laboratorium Patologi Serangga, Teman-teman dan Laboran di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PSIH IPB, serta teman-teman yang tidak bisa penulis sebut satu persatu di

Page 10: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

x

sini juga diucapkan terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal kebaikan kepada semuanya dengan balasan kebaikan yang tidak terhingga. Akhir kata, semoga karya tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di bidang Teknologi Hasil Hutan dan Patologi Serangga.

Page 11: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Bonai Kec. Lintau Buo, Kab. Tanah Datar Sumatera Barat 17 Desember 1964, anak pertama dari 3 bersaudara dari Bunda Rahma (almarhuma) dan Bapak Kaliman (almarhum). Beliau telah memberikan bekal pendidikan yang baik sehingga penulis dapat meraih pendidikan ini dan hidup mandiri. Pendidikan dari Taman kanak-kanak sampai dengan SMA penulis selesaikan di Lintau, kemudian tahun 1984 penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat dan pada tahun 1991 sampai dengan 1997 penulis bekerja sebagai asisten dosen pada Fakultas yang sama. Pada tahun 1997 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan memperoleh Magister of Science pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2002 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi yang sama Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 2007. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dari tahun 2000 sampai sekarang.

Selama menjalankan pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis telah menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dan JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science. Penulis juga telah mengikuti Seminar Nasional yaitu pada Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VI di Bukittinggi 1-3 Agustus 2003, MAPEKI VII di Makasar 5-7 Agustus 2004 dan MAPEKI IX di Banjarmasin 11-13 Agustus 2006 (masing-masing makalah dipublikasi pada Proceeding MAPEKI VI, VII dan IX), Simposium Internasional yaitu The 6th International Wood Science Symposium (IWSS), Bali, August 29-31, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding IWSS 6), publikasi pada proceeding Pacific Rim Termite Research Group (TRG 2), Bangkok, March 2005, Konferensi Internasional The 1st International Conference of Crop Security (ICCS), Malang, September, 20th – 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding ICCS 1), dan publikasi pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) sedang dalam peroses. Makalah pada MAPEKI ke 7, IWSS ke 6, TRG 2, ICCS ke 1 dan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah merupakan bahagian dari disertasi penulis.

Page 12: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xii

DAFTAR ISI halaman DAFTAR TABEL.............................................................................. .... xiii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xiv BAB I. PENDAHULUAN..................................................................... 1

Latar Belakang ........................................................................... 1 Perumusan Masalah.................................................................... 3 Tujuan dan Kegunaan Khusus……............................................ 3 Hasil yang Diharapkan............................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 5

Rayap.......................................................................................... 5 Pengendalian Rayap.................................................................... 7 Cendawan Entomopatogen.......................................................... 9

BAB III. BAHAN DAN METODE........................................................ 13 Tahap Persiapan.......................................................................... 13 Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomo- patogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann 15 Metode Kontak dan Umpan……….................………..….......... 15 Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium......................... 16

Analisis Data................................................................................ 18 BAB IV. ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN.................................. 19 Abstrak......................................................................................... 19 Pendahuluan................................................................................. 20 Bahan dan Metode........................................................................ 21 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 24

Isolasi dan Identifikasi...................................................... 24 Patogenisitas dan Virulensi............................................... 29 Sporulasi in Vivo.............................................................. 36 Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi......................................... 38 Kesimpulan................................................................................... 42

Page 13: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xiii

BAB V. KEEFEKTIFAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMO- PATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN UMPAN ........................................................................................ 44

Abstrak.......................................................................................... 44 Pendahuluan.................................................................................. 44 Bahan dan Metode......................................................................... 46 Hasil dan Pembahasan................................................................... 49

Uji Patogenisitas................................................................ 49 Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium.............. 57

Kesimpulan.................................................................................... 60 BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RA- YAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM. 61

Abstrak....................................................................................... 61 Pendahuluan............................................................................... 61

Bahan dan Metode...................................................................... 63 Hasil dan Pembahasan................................................................ 66

Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann........................................................................... 66

Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum Antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus

(Holmgren)……………………………………………… 75 Kesimpulan................................................................................... 78 BAB VII. PEMBAHASAN UMUM......................................................... 79 BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN............................................... 88

Kesimpulan.................................................................................... 88 Saran............................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 90 LAMPIRAN............................................................................................... 97

Page 14: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel halaman 4.1. Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam............................................................ 28 4.2 Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi...... 39 5.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan dalam penelitian................................................................................................. 47 5.2. Lethal Concentration (LC) beberapa spesies cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi................................ 53 5.3. Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan metode kontak dan pengumpanan..................................................... 59 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam................................................. 63 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan............... 77

Page 15: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xv

DAFTAR GAMBAR Gambar halaman 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes gestroi dan Coptotermes curvignathus di laboratorium. 17 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam............................... 25 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal berumur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. Oxysporum (13 hari)............ 27 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran 1000 x............................................................................... 29 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen (107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%)................................................................................ 30 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml)......................... 37 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi.............................................. 38 5.1. Laju mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann setelah 6 hari diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (107, 5.106, 106, 5.105, 105 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen............................................................................ 51 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh B. bassiana (A) dan M. brunneum (B)......................................... 54 5.3. Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomopatogen M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengum- panan (7 hari setelah aplikasi).......................................................... 57 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (kontrol 5%)....................................................................... 67

Page 16: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xvi

Gambar halaman 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta- minasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan……………………………………………………….… 68 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi)........................ 71 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi.vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi)..................... 73 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum ........................ 73 6.6. Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh uji pada perlakuan 10 % vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan ......... 76 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan……………………… 78 7.1. Potensi cendawan entomopatogen yang diisolasi dari sumber inokulum di alam sebagai agens pengendalian hayati rayap tanah Coptotermes spp............................................................................... 79

Page 17: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

xvii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran halaman 1. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) yang Digunakan pada Penelitian …………………………………………… 97

Page 18: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB I

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat

sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sesuai bagi berbagai organisme

perusak kayu seperti rayap, cendawan maupun serangga lainnya dengan

keragaman yang tinggi. Diperkirakan hampir 80 – 85% dari luas daratan di

Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika 1999).

Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies rayap yang dapat

diklasifikasikan ke dalam kelompok ekologi yang berbeda: kayu lembab, kayu

kering, tanah (subterranean), arboreal/mound builder dan pohon. Kurang 15%

dari keragaman spesies rayap tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh

manusia, dan sekitar 150 spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku

kayu. Dari sekian banyak spesies rayap 10% atau 200 spesies lebih ditemukan di

Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama perusak kayu dan

tanaman (Tarumingkeng 2001; Nandika et al. 2003; Yusuf 2004; Lewis 2006).

Diperkirakan berbagai spesies rayap perusak kayu dan bangunan akan terus

menjadi bagian integral dari ekosistem Indonesia. Meluasnya pembangunan

gedung dan pemukiman ke seluruh pelosok daerah cenderung meningkatkan

integrasi antara koloni rayap dengan bangunan, yang berarti ancaman bahaya

serangan rayap terhadap kayu dan bangunan di Indonesia semakin tinggi.

Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes spp, merupakan spesies rayap

perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Kerusakan

yang diakibatkan oleh serangan spesies rayap ini paling mencolok dibandingkan

dengan kerusakan oleh serangan organisme perusak yang lain, dan keadaan ini

diperburuk dengan penggunaan spesies-spesies kayu yang keawetannya rendah.

Oleh karena itu pengendalian rayap tanah sangat diperlukan untuk

mempertahankan masa pakai kayu pada suatu bangunan.

Sampai saat ini berbagai teknologi pengendalian rayap telah dicoba, antara

lain adalah: 1) Penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah atau

dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), 2) Menggunakan

penghalang fisik (physical barrier) yaitu untuk mencegah penetrasi rayap pada

Page 19: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

2

bangunan dan 3) Teknologi pengumpanan (baiting), untuk mengeliminasi koloni

rayap.

Pemanfaatan bahan kimia seperti organochlorine sangat efektif untuk

pengendalian rayap namun membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.

Persistensinya yang bertahan lama di lingkungan menyebabkan jenis pestisida ini

masuk ke dalam rantai makanan manusia. Sebagai alternatif lain penggunaan

organophosphates dan synthetic pyrethroids selain efektif dianggap mempunyai

resiko rendah terhadap mammalia dan lingkungan. Di samping penggunaan

penghalang fisik seperti penggunaan granit, pasir, koral dan termite mesh untuk

pengendalian rayap, perkembangan termitisida saat ini telah mengarah pada

penggunaan bahan kimia dengan reaksi lambat seperti hexaflumuron dan

bistrifluron (Sornnuwat 1996; Tarumingkeng 2000; Kubota et al. 2007).

Pengendalian rayap secara biologi menggunakan agens hayati dari golongan

cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen merupakan alternatif lain

pengendalian rayap tanah (Pearce 1997). Penggunaan agens hayati tersebut untuk

pengendalian rayap merupakan suatu wacana baru yang belum digunakan di

Indonesia (Yusuf et al. 2005). Namun dari beberapa publikasi di negara-negara

maju seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan Perancis, penggunaan agens

hayati dari golongan cendawan entomopatogen tampak lebih berhasil untuk

pengendalian rayap.

Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hayati rayap

dengan proses atau metode penularan secara langsung maupun tidak langsung,

merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik dikembangkan. Selain

mempunyai arti strategis karena dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengendalian rayap secara

hayati, juga tidak berbahaya bagi lingkungan maupun pemakainya. Studi

pemakaian cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah spesies

Coptotermes spp. telah dilakukan (Suzuki 1991; Jones et al. 1996; Delate et al.

1995). Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin dan Beauveria

bassiana (Bals.) Vuillemin yang termasuk kelas Hyphomycetes merupakan

spesies yang paling cocok untuk pengendalian rayap (Khan et al. 1991; Suzuki

1991; Milner, et al. 1996). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan

Page 20: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

3

M. anisopliae adalah: 25-30 0C dengan kelembaban 70-95%, dengan demikian

kondisi Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok.

Pada penelitian ini dipelajari cendawan entomopatogen yang diisolasi dari

beberapa sumber inokulum yang terdapat di alam dan dikaji potensinya sebagai

bahan pengendalian rayap yang ramah lingkungan.

Perumusan Masalah

Kerusakan kayu bangunan yang diakibatkan oleh rayap di Indonesia sudah

sangat besar, apalagi kayu-kayu bangunan pada masa kini hanya ditunjang oleh

kayu-kayu yang mempunyai kualitas awet rendah. Bahan kimia yang digunakan

untuk mengawetkan kayu kebanyakan berasal dari bahan kimia yang sangat

berbahaya bukan hanya terhadap penghuninya melainkan juga terhadap

lingkungan. Penggunaan mikrob untuk menekan laju perkembangan rayap adalah

salah satu cara pengendalian yang sangat ideal agar keseimbangan lingkungan

dapat tercapai dan tidak membahayakan terhadap pemakainya.

Cendawan yang bersifat entomopatogen banyak ditemukan pada berbagai

spesies hama tanaman yang telah mati di lapangan, diduga cendawan-cendawan

tersebut mempunyai peranan besar atas kematian hama tersebut. Apabila

cendawan dapat diisolasi dari tubuh serangga tersebut, maka hal ini akan

membuka wacana baru dalam dunia pengawetan kayu, sehingga perkembangan

rayap dapat dikendalikan dengan penggunaan cendawan entomopatogen.

Tujuan dan Kegunaan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan tingkat

keefektifan masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen terhadap

rayap tanah Coptotermes spp.. Selain hal ini juga bertujuan untuk mengetahui

metode penginfeksian serta penularan cendawan di dalam koloni rayap tanah.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar maupun sumber informasi

bagi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. dengan menggunakan beberapa

spesies cendawan entomopatogen yang efektif dengan metode infeksi dan

penularan yang sesuai. Sehingga teknologi proses pemanfaatan mikrob cendawan

untuk pembuatan bahan pengendalian rayap diharapkan dapat mendukung industri

pestisida. Di samping itu sejalan dengan perhatian dan kesadaran masyarakat akan

Page 21: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

4

masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran akibat penggunaan bahan

kimia anti rayap yang terus meningkat. Dengan demikian penelitian ini dapat

mendukung perkembangan dan daya saing industri pengendalian rayap di masa

mendatang. Secara umum penelitian ini terkait dengan pendayagunaan

sumberdaya alam hayati yang lebih mengefisienkan pemanfaatan mikrob.

Hasil yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan:

1. Informasi tentang keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen

yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp.

2. Tingkat keefektifan cendawan dan persentase vektor efektif untuk

pengendalian koloni rayap tanah Coptotermes spp.

3. Menemukan metode yang cocok untuk pemanfaatan cendawan entomopatogen

sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di laboratorium.

4. Langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan

entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di

Indonesia

Page 22: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA Rayap

Indonesia merupakan wilayah sebaran rayap yang penting di dunia, baik

ditinjau dari keragaman jenis serangga tersebut yang mencapai tidak kurang dari

200 jenis atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap di dunia, maupun

ditinjau dari luasnya sebaran geografis dari Aceh sampai Papua. Kondisi iklim

dan tanah serta keragaman jenis tumbuhan di Indonesia yang tinggi sangat

mendukung kehidupan rayap, dan 80% daratan Indonesia merupakan habitat

yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini (Nandika et al. 2003).

Beberapa faktor dapat menyebabkan rayap menyerang bangunan, antara lain

kayu yang tertimbun tanah pada waktu pembangunan, ada celah pada pondasi

tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan

tanah dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan

kehidupan rayap.

Menurut Lewis (2006) perkiraan kerugian yang ditimbulkan oleh rayap

secara global sulit ditemukan pada referensi tetapi pasti mencapai milyaran dollar

Amerika setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2000 kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh serangan rayap pada bangunan diperkirakan mencapai 200 – 300

juta dollar Amerika (Yusuf 2004).

Rayap merupakan serangga sosial yang tergolong ke dalam ordo Isoptera

yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi

dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di

dalam koloni rayap meliputi kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif,

masing-masing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya

(Pearce 1997).

Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap,

tidak kurang dari 80 – 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-

individu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula

hanya sedikit mengalami penebalan sehingga nampak menyerupai nimfa. Kasta

prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya

semut dan vertebrata predator. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya

Page 23: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

6

dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Biasanya gigitan

kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati

sekalipun (Nandika et al. 2003)

Kasta reproduktif terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (ratu)

yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta

ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer

atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang

bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996)

neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang setelah

pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar

sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi

kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.

Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang

dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili dan 15 sub famili. Famili tersebut

adalah: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae,

Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah genus Coptotermes termasuk ke

dalam sub famili Coptotermitinae famili Rhinotermitidae. Menurut Tambunan

dan Nandika (1987), Coptotermes spp. merupakan salah satu rayap tanah paling

luas serangannya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Sub-klas : Pterigota

Ordo : Isoptera

Famili : Rhinotermitidae

Sub-famili : Coptotermitinae

Genus : Coptotermes

Thapa (1981) menyatakan genus Coptotermes memiliki kepala bewarna

kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat, bentuk kepala bulat

ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih

lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke

empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di

ujungnya; sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala

Page 24: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

7

tanpa mandibel 1,56 mm – 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 mm – 1,44 mm.

Bagian abdomen yang bewarna putih kekuning-kuningan ditutupi rambut

menyerupai duri. Suratmo (1974) menyatakan panjang badan kasta reproduktif

7,5 mm – 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 mm – 5,0 mm dan prajurit 5,0 mm – 5,3

mm.

Tarumingkeng (2004) menyatakan, di Indonesia jenis Coptotermes yang

telah teridentifikasi adalah a). Coptotermes curvignathus Holmgren

merupakan jenis terbesar dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 14 -16,

panjang kepala prajurit (termasuk mandibel) 2,4 - 2,6 mm. b). Coptotermes

travians Holmgren dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 15; panjang

kepala prajurit 1,8 - 2,1 mm mandibel relatif pendek, kira-kira sepanjang

setengah panjang kepala c). Coptotermes havilandi Holmgren (C. javanicus

Kemner) dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 15 - 18; panjang kepala

prajurit 2,0 - 2,2. Mandibel lebih panjang dari pada C. travians d).

Coptotermes kalshoveni Kemner dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 -

14 panjang kepala prajurit 1,6 - 1,7 mm. Jenis ini merupakan yang terkecil di

antara genus Coptotermes.

Pengendalian Rayap

Pengendalian rayap tanah di Indonesia telah banyak dilakukan dengan cara

mengimpregnasikan bahan pengawet (termitisida) ke dalam kayu, melakukan

penyemprotan ke dalam tanah (soil treatment), sistim pengumpanan dan kontak

langsung. Yusuf (2001b), menyatakan bahwa sampai saat ini upaya pengendalian

rayap yang populer di Indonesia adalah melalui penggunaan insektisida, baik

metode perlakuan kayu maupun perlakuan tanah (soil treatment); dengan cara

tersebut akan terbentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) baik di kayu

maupun tanah sekeliling bangunan.

Menurut Pearce (1997), metode tradisional meliputi pencelupan kayu pada

aspal batu bara, petrol, creosote atau pentachlorophenol, juga dapat memberikan

perlindungan pada kayu untuk beberapa tahun. Selain hal tersebut membakar

pada bahagian ujung kayu yang kontak dengan tanah atau melapisi kayu dengan

minyak mesin atau diesel juga dapat memberikan perlindungan jangka pendek.

Page 25: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

8

Garam metal dan oksida, seperti merkuri klorida, copper sulphate, merkuri, zinc

oksida dapat efektif untuk 3-5 tahun. Chlorpyrifos, permethrin, bifenthrin,

cypermethrin dan deltamethrin juga efektif, tetapi lebih mahal dan kegunaannya

dibatasi untuk bangunan yang bernilai tinggi.

Pearce (1997) menyatakan bahwa, teknik pengumpanan lebih meng-

untungkan karena tanah tidak lagi terkontaminasi oleh bahan kimia, dan dapat

meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Caranya yaitu menempatkan

umpan yang tidak beracun dekat koloni rayap dan kemudian mengulangi

penempatan umpan yang mengandung racun. Keefektifan umpan tergantung pada

perilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan dan dengan

reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan ke koloninya. Hal tersebut

dapat terlaksana jika umpan lebih menarik dari pada makanan di sekeli-lingnya.

Gula, madu, penambahan jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen bahkan

feromon dapat meningkatkan laju konsumsi.

Yusuf (2001a), melakukan penelitian pengendalian terhadap rayap tanah

Coptotermes sp. dengan menggunakan chlorpenapyr pada berbagai konsentrasi

dengan sistem pengumpanan, hasil penelitiannya menunjukan bahwa waktu

aplikasi dan konsentrasi perlakuan sangat mempengaruhi mortalitas yang terjadi.

Chlorpenapyr juga dapat diaplikasikan dengan metode duster (Yusuf, 2001b).

Perlakuan pada kayu yang juga penting adalah fumigasi, baik dengan

sulphuryl fluoride atau methyl bromides. Perlindungan museum, perpustakaan

dan tempat penyimpanan dokumen cocok menggunakan cara fumigasi ini

terutama untuk serangan rayap kayu kering. Selain ini juga digunakan

electroguns yang mengandalkan gas galleries. Metode lebih baru yang sedang

dicobakan adalah membakar propane (gas metan) dekat kayu yang terinfeksi

rayap dengan menaikan suhu sampai 66 oC; cara ini bermanfaat untuk perlakuan

khusus pada rayap kayu kering (Pearce 1997).

Cara pengendalian lainnya, seperti dengan menggunakan nematoda

entomopatogen Steinernema carpocapsae juga dapat dilakukan (Bakti 2004).

Cates (2007) menyatakan bahwa, penggendalian serangga dapat juga

menggunakan agens hayati lain, termasuk berbagai spesies cendawan, bacteria,

nematoda dan virus.

Page 26: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

9

Cendawan Entomopatogen

Cendawan adalah organisme multi seluler yang berfilamen dan memiliki

khitin, khitosan, glukan dan mannan dalam dinding selnya. Klasifikasinya

didasarkan pada produksi konidia atau spora, struktur morfologi, alat reproduksi,

ciri-ciri koloni dan sifat hifanya (Lay & Hastowo 1992).

Cendawan entomopatogen pertama kali dilaporkan lebih dari 2000 tahun

yang lalu, teridentifikasi di China pada cendawan Cordyceps (Ascomycota) yang

menginfeksi larva Lepidoptera (Boucias & Pendland 1998). Carruthers dan Hurar

1990 dalam Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen

merupakan cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendalian

hayati penting untuk banyak serangga hama. Pengendalian hayati lebih berhasil

bila dilengkapi dengan pemanfaatan cendawan entomopatogen.

Keragaman antar jenis cendawan entomopatogen sangat tinggi. Menurut

klasifikasi yang dikemukakan oleh Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001),

cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan

entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi:

Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan

Deuteromycotina. Menurut Tanada dan Kaya (1993) Kebanyakan cendawan

entomopatogen ditemukan pada sub-divisi Zygomycotina, klas Zygomycetes,

ordo Entomophthorales; sub-divisi Ascomycotina, klas Pyrenomycetes, ordo

Sphaeriales, klas Laboulbeniomycetes, ordo Laboulbeniales; dan pada sub-divisi

Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales.

Beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam sub-

divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales dan famili

Moniliaceae, misalnya: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium,

Paecilomyces dan Verticilium (Boucias & Pendland 1998).

Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada

perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994). Hal-hal yang mempengaruhi

perbedaan keragaman intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan

faktor daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995; Beretta et al. 1998).

Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara

fisiologis maupun genetik. Secara umum dikemukakan bahwa strain dari spesies

Page 27: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

10

cendawan patogen yang diisolasi dari satu jenis inang lebih virulen untuk inang

tersebut dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari inang yang lain. Seperti

yang dikemukakan oleh Boucias dan Pendland (1998), cendawan B. bassiana

yang diisolasi dari lingkungan koloni rayap lebih tinggi virulensinya jika

diinfeksikan terhadap rayap.

Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen

dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang

dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya

sehingga nutrisi di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang

begitu cepat, sehingga menyebabkan inang akan mati. Di samping itu cendawan

dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang

mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa zat beracun (toxin)

yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: beauvericin

oleh B. bassiana, Paecilomyces, Fusarium dan bassianolide oleh B. bassiana,

cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium, Tolypocladium dan

oosporein oleh B. bassiana, asam oksalat oleh Beauveria brongniartii, destruxins

oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, cytochalasins oleh M. anisopliae,

swainsonine oleh M. anisopliae, aflatoxins oleh Aspergillus, asam kojic oleh

Aspergilus flavus dan restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.

Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam

studi histopathological pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae

memperlihatkan bahwa toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan

merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang. Hal

ini mengakibatkan keutuhan struktural membran hilang, kemudian terjadi

dehidrasi sel akibat kehilangan cairan. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya

penyumbatan spiracles dan dapat menyebabkan kematian sebelum penyerbuan

pada hemocoel terlihat nyata dan pembentukan tubuh hifa masih sedikit.

Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh

berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan

cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai

faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap

cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,

Page 28: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

11

genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam

keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan

serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan

terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan

seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat

mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua

faktor lingkungan saling berinteraksi, dan interaksi yang komplek dan dinamik

ini menentukan efikasi cendawan (Inglis et al. 2001).

Di antara cendawan entomopatogen yang dimanfaatkan untuk

mengendalikan rayap Coptotermes sp., Reticulitermes flavipes atau Odontotermes

adalah M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua jenis cendawan ini telah diuji

keefektifannya oleh Zoberi 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium

dengan sistem pengumpanan dan kontak secara langsung. Percobaan ini

mengkontaminasi rayap R. flavipes dengan M. anisopliae yaitu menempatkan

konidia cendawan pada rayap pekerja. Hal ini menghasilkan 100% mortalitas

dalam waktu 5 hari, dan 12 hari pada metode pengumpanan. Penelitian lainnya

yaitu dengan cara pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi sebagai

vektor penyakit cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri. Dengan cara

ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.

Dengan metode pengumpanan selembar kertas saring, Suzuki (1991)

membuktikan keefektifan patogen M. anisopliae terhadap Coptotermes

formosanus dan Reticulitermes speratus dengan hasil LT50 11 hari. Selain hal ini,

kertas terkontaminasi spora M. anisopliae juga berperan penting untuk laju

mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al.

2000). Milner et al. (1996) menyatakan spesies cendawan M. anisopliae dan

B. bassiana tidak bersifat patogen terhadap mamalia dan spesifik terhadap rayap.

Saat ini M. anisopliae telah secara komersil dikembangkan ke dalam suatu

produk yang disebut dengan Bio-BlastTM, termitisida hayati yang telah di daftar

oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger et al. 1995 dalam

Bayon et al. 2000) untuk diaplikasikan di atas tanah. Cloyd (2003) menyatakan

pada uji laboratorium, kematian rayap dapat terjadi pada hari ke 4 – 10,

Page 29: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

12

tergantung pada temperatur. Viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi

dan virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah.

Maniania et al. (2002) telah melakukan studi di lapangan selama dua musim

untuk menilai kemanjuran cendawan entomopatogen M. anisopliae. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa formulasi granular dapat bermanfaat sebagai

pengendalian rayap di ekosistem pertanian jagung.

Page 30: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB III

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai

Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan

Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian

Bogor (IPB), sejak Februari 2004 sampai dengan Desember 2005. Secara umum

tahapan prosedur pelaksanaan diringkas pada Bab ini dan secara rinci dibahas

pada bab-bab berikutnya.

Tahap Persiapan

Spesies Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah

spesies Coptotermes gestroi Wasmann (Benson 2005) yang dipelihara di UPT

Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong, dan spesies Coptotermes curvignathus

Holmgren yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu

Hayati IPB.

Sumber Isolat

Isolat cendawan entomopatogen diperoleh dari serangga hama tanaman

(inang) terinfeksi yaitu ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak

(Spodoptera litura F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), walang

sangit (Leptocorisa oratorius F), rayap tanah (C. curvignathus), tanah dan pasir.

Isolat yang berasal dari tanah dan pasir terlebih dahulu dilakukan teknik

perangkap (trapping technique) terhadap cendawan entomopatogen menggunakan

hama gudang Tenebrio molitor (Keller & Zimmermann 1989). Masing-masing

tanah dan pasir ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 15 cm, kemudian di

tempatkan ke dalamnya 20 ekor hama gudang T. molitor dan diinkubasi pada suhu

ruangan selama 2 minggu. T. molitor yang mati dan dikolonisasi oleh cendawan

entomopatogen diambil dan biarkan bersporulasi di dalam cawan petri yang diberi

alas kertas tisu lembab.

Page 31: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

14

Prosedur Isolasi

Dalam tabung reaksi, sumber isolat cendawan entomopatogen ditambah air

steril yang mengandung 0,05% triton X-100 dan diaduk selama 5 menit sehingga

terbentuk suspensi konidia. Suspensi konidia tersebut diambil 0,5 ml, kemudian

ditambahkan dengan 4,5 ml akuades steril di dalam tabung reaksi. Suspensi

sebanyak 0,1 ml diinokulasikan pada media Saboraud Dextrose Agar with Yeast

extract (SDAY) di dalam cawan petri. Komposisi media SDAY adalah dekstrosa

10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar-agar 20 g dalam akuades 1 liter

yang mengandung 250 ppm chloramphenicol (Samuels et al. 2002), dan

diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 4-6 hari. Koloni

yang membesar dengan bentuk berbeda atau warna berbeda pada media biakan,

diambil dan masing-masing koloni tersebut diinokulasi secara terpisah pada media

SDAY baru. Kultur murni didapatkan dengan suksesi inokulasi suatu koloni pada

media SDAY. Kemudian stok kultur isolat disimpan pada suhu 4 0C sampai waktu

penggunaan (Sudiyani et al. 2002).

Prosedur Identifikasi

Identifikasi dilakukan secara visual terhadap pertumbuhan koloni isolat pada

media SDAY dalam cawan petri. Untuk pengamatan mikroskopik terlebih dahulu

isolat tersebut ditumbuhkan pada kaca objek cekung dengan metode slide culture

(Becnel 1997). Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur yang diurai oleh

Barneet dan Hunter (1972), Domsch et al. (1980), Singh et al. (1991) dan Ellis

(1993), yaitu dengan melihat ciri morfologi khas yang dimiliki oleh masing-

masing cendawan.

Persiapan Suspensi Konidia

Sebelum digunakan, isolat hasil isolasi dibiakan kembali pada media SDAY

di cawan petri berdiameter 9 cm dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Kemudian disiapkan suspensi

menggunakan air steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 dengan

kerapatan sebagai berikut: a) 107 konidia/ml untuk uji tapis (screening), b) 105

Page 32: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

15

konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 5.106 konidia/ml dan 107 konidia/ml

untuk uji keefektifan (bioassay) terhadap rayap, c) LC95 dari cendawan terseleksi

pada uji keefektifan untuk uji metode kontak dan umpan.

Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen

Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann

Suspensi konidia dari masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan

sebelumnya. Pada setiap unit percobaan sebanyak 20 ekor rayap pekerja dan 2

ekor prajurit C. gestroi dicelupkan ke dalam suspensi konidia selama 4 detik

sesuai perlakuan dan langsung ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah

diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan rayap. Seluruh unit percobaan

dipelihara pada kondisi gelap pada suhu ruangan dan mortalitas rayap dihitung

setiap hari selama 6 hari setelah inokulasi.

Metode Kontak dan Umpan

Kontak (Contact method)

Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada

setiap unit percobaan 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit dicelupkan ke

dalam LC95 suspensi cendawan Metarhizium brunneum Petch, kemudian

ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai

sumber makanan. Nilai LC95 diketahui dari percobaan sebelumnya (uji

keefektifan).

Umpan (Baiting method)

Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya.

Kertas saring bewarna biru yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% kemudian

diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum, dikering anginkan dan

ditempatkan di dalam cawan petri Ø 9 cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5

ekor prajurit untuk setiap ulangan dipelihara di dalamnya.

Page 33: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

16

Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium

Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. gestroi

Dalam percobaan ini sebagian populasi rayap (vektor) diinokulasi dengan

cendawan pada konsentrasi LC95. Persentase populasi vektor yang digunakan

adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50% terhadap populasi total. Populasi total yang

digunakan adalah 20 ekor rayap pekerja dan dua ekor rayap prajurit. Cendawan

entomopatogen yang digunakan adalah isolat yang menunjukkan patogenisitas

tinggi pada uji tapis. Vektor dipelihara bersama-sama dengan rayap sehat pada

unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah dialasi kertas saring sebagai

sumber makanan. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai 2 minggu.

Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. curvignathus

Pada penelitian ini digunakan spesies cendawan entomopatogen dan

proporsi vektor (%) terseleksi pada uji penularan koloni rayap tanah C. gestroi.

Rayap tanah C. curvignathus sebanyak 100 ekor pekerja dan 10 ekor prajurit

ditempatkan ke dalam setiap unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi

10 cm) yang telah di beri kayu pinus (2 cm x 1 cm x 1 cm) sebagai sumber

makanan dan 20 mg tanah (Falah 2005). Unit-unit percobaan tersebut dipelihara

pada suhu ruangan dengan kondisi gelap selama 2 minggu. Pengamatan hanya

dilakukan di akhir penelitian. Bagan alur penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1

Page 34: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

17

III

Koleksi Lab. Peremajaan

Pemeliharaan Rayap

Koleksi Cendawan

Nile blue 0,05%

Perbanyakan

Diisolasi dari Inang

I

Isolat murni

Pemurnian

Suspensi (107 konidium/ml )

Variabel: Mortalitasi, Sporulasi

Rayap uji

Variabel: Identifikasi

Rayap Vektor: 10% 20% 30% 40% 50%

Keragaman isolat (spesies)

Isolat (spesies) terpilih

Variabel: Mortalitas Lethal Time & Metode terpilih

Variabel: Mortalitas

Spesies cendawan entomopatogen dengan LC, metode dan % vektor efektif untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi dan C curvignathus di Laboratorium

III

II

Keterangan: 1. Keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang digunakan:

diisolasi dari sumber inang di alam dan koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen HPT Fak. Pertanian IPB

2. I, II & III: Tahapan penelitian ke I, II & III 3. Vektor: Rayap terkontaminasi cendawan entomopatogen

Gambar 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan

entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium

Variabel: Karakterisasi fisiologi cendawan

Variabel: Mortalitas

Metode: Kontak dan umpan

Kerapatan 0, 10 5, 5.10 5, 15.106,

107 konidium/ml

Lethal Concentration

Page 35: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

18

Analisis Data

Untuk setiap tahapan penelitian, data hasil penelitian dianalisis berdasarkan

rancangan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap penelitian I, data hasil penelitian variabel mortalitas rayap

C. gestroi dan sporulasi in vivo dengan perlakuan 16 isolat cendawan

entomopatogen, karakterisasi fisiologis cendawan (viabilitas, diameter

koloni dan sporulasi in vitro) spesies cendawan entomopatogen

Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch.,

Beauveria bassiana (Bals) Vuill., Fusarium oxysporum Link., Aspergillus

flavus Link., Myrothecium roridum Tode EXFR dan kontrol dianalisis

berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam

(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test

(Steel & Torrie 1993).

2. Tahap penelitian II, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing

spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F.

oxysporum dan A. flavus) dengan tingkatan kerapatan konidia (105, 5.105,

106, 5.106, 107 konidia/ml dan kontrol) terhadap mortalitas rayap

C. gestroi, lethal concentrations (LC) untuk uji keefektifan berbagai

spesies cendawan dan lethal time (LT) pada uji metode kontak dan umpan

adalah bersasarkan analisis probit (Finney 1971).

3. Tahap penelitian III, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing

spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F.

oxysporum ) dengan proporsi vektor (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan

kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi pada uji aplikasi dengan

metode penularan di laboratorium dianalisis berdasarkan analisis regresi

(Mattjik & Sumertajaya, 2000) sedangkan terhadap mortalitas rayap C.

curvignathus dengan perlakuan proporsi vektor 10% yang diinokulasi

dengan LC95 M. brunneum dan kontrol di analisis berdasarkan Rancangan

Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan

dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).

Page 36: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB IV

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH

COPTOTERMES GESTROI WASMANN

Abstrak

Cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yaitu dari ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir telah diisolasi dan identifikasi untuk menentukan patogenisitasnya terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann, kemudian masing-masing isolat ditempatkan pada suhu 4 0C. Sebelum digunakan, semua isolat dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji sidik ragam. Perbedaan antara isolat diuji lanjut menggunakan Duncan's Multiple Range Test. Hasil isolasi mengindikasikan keragaman spesies cendawan lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman terinfeksi dibandingkan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir, setelah diidentifikasi beberapa spesies cendawan yang ditemukan adalah: Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom. Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode ExFR, Fusarium oxysporum Link., dan Fusarium solani Link., spesies B. bassiana paling dominan. Uji patogenisitas mengindikasikan bahwa umumnya isolat bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60% setelah 6 hari inokulasi. Mortalitas rayap tertinggi disebabkan oleh M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F. oxysporum dari inang ulat grayak, dan A. flavus dari inang rayap tanah yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100%, dan diikuti oleh kemampuan bersporulasi secara in vivo yang cukup tinggi (76,25% - 96,25%) kecuali spesies M. anisopliae dan M. roridum. Kemudian isolat-isolat terseleksi disiapkan untuk dipelajari karakterisasi fisiologisnya, hasilnya mengindikasikan: kemampuan berkecambah tertinggi oleh M. brunneum dari pasir, diameter koloni tertinggi oleh F. oxysporum dari inang ulat grayak dan kemampuan bersporulasi secara in vitro tertinggi oleh B. bassiana dari inang walang sangit. Kata kunci: Bio-kontrol, uji tapis, cendawan entomopatogen, patogenisitas,

karakter fisiologis, C. gestroi

Page 37: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

20

Pendahuluan

Cendawan entomopatogen termasuk genera cendawan yang berasosiasi

dengan serangga dan beberapa spesies arthropoda lainnya (seperti laba-laba dan

kutu) dengan berbagai cara, yaitu sebagai saprofit, kommensalistik, parasit atau

patogen (Boucias & Pendland 1998). Di pertanian dan perkebunan di Indonesia

juga banyak ditemukan serangga terinfeksi oleh cendawan entomopatogen.

Diharapkan cendawan tersebut dapat diisolasi dan dibiakkan pada media sintetik

untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendalian rayap secara hayati. Untuk

tujuan ini diperlukan koleksi dan uji tapis cendawan entomopatogen dari berbagai

inang atau sumber inokulum di alam untuk mengetahui tingkat keragaman

spesies dan keefektifannya terhadap rayap. Menurut Keller dan Zimmermann

(1989), cendawan entomopatogen hanya dapat menginfeksi satu atau beberapa

jenis serangga saja, karena jenis serangga secara umum jarang ditemukan

mempunyai tingkat kerentanan yang serupa.

Di samping hal tersebut juga perlu dipelajari kemampuan cendawan

bersporulasi secara in vivo dan in vitro serta informasi tentang karakter fisiologis

lainnya. Hal ini penting dilakukan karena cendawan entomopatogen bersifat

spesifik dalam hubungannya dengan inang dan potensinya untuk dapat

diperbanyak secara massal, serta dapat tersebar luas setelah bersporulasi pada

inang sasaran di dalam koloni. Menurut Behle et al. (1999), cendawan

entomopatogen mempunyai keuntungan-keuntungan dibanding migro organisme

patogen lainnya diantaranya: cendawan cenderung mempunyai sebaran inang

yang lebih luas, beberapa cendawan entomopatogen menghasilkan spora yang

toleran terhadap proses pengawetan lewat pengeringan dan menghasilkan

stabilitas yang bagus dalam masa penyimpanan.

Pada penelitian pendahuluan, penggunaan cendawan entomopatogen yang

diperoleh dari hama tanaman dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml dapat

menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah inokulasi. Pada penelitian

berikut, dicoba penggunaan cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau

inokulum di alam yang meliputi isolasi, identifikasi, dan uji tapis cendawan

Page 38: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

21

dengan tujuan untuk mendapatkan isolat cendawan entomopatogen yang efektif

dimanfaatkan sebagai pengendali rayap C. gestroi.

Bahan dan Metode

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai

Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan

Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

Jenis Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan kasta prajurit spesies

rayap tanah C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang

Biomaterial LIPI Cibinong selama 2 tahun.

Persiapan Isolat Cendawan

Sumber isolat cendawan entomopatogen dikoleksi dan diisolasi dari hama

tanaman terinfeksi, tanah dan pasir mengacu pada Bab III.

Prosedur Isolasi

Prosedur isolasi telah dijelaskan pada Bab III.

Prosedur Identifikasi

Prosedur identifikasi telah dijelaskan pada Bab III.

Prosedur Perbanyakan

Perbanyakan dilakukan pada media SDAY dengan cara menginokulasikan

konidia kultur murni cendawan di dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan

selama 3 minggu dalam inkubator dengan suhu 24 0C dan kelembaban relatif

95%. Untuk menjaga tingkat virulensinya sebelum perlakuan cendawan

diremajakan dengan cara menginfeksikan ke serangga sasaran (rayap). Rayap

Page 39: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

22

yang terinfeksi cendawan dibiarkan selama 2 minggu sampai bersporulasi (Ansari

et al. 2004), kemudian cendawan dari tubuh rayap diisolasi lagi sampai

didapatkan lagi kultur murni. Kultur murni tersebut dibiarkan bersporulasi

sempurna kurang lebih 3 minggu sehingga siap digunakan sebagai bahan uji.

Pada percobaan ini cendawan yang digunakan untuk pengujian adalah pada

perbanyakan kedua (F2). Keberhasilan peremajaan ditentukan oleh berhasilnya

cendawan menginfeksi dan bersporulasi pada tubuh rayap.

Penyediaan Suspensi Konidia

Suspensi konidia disiapkan dengan menambahkan 2 ml akuades steril yang

telah mengandung 0,05% Triton X-100 ke dalam cawan petri berisi biakan

cendawan yang telah berumur 3 minggu. Cawan digoyang-goyang, kemudian

dengan bantuan kuas kecil steril konidia dapat terlepas. Konidia tersebut disaring

dengan kain kasa dan dilakukan 4 kali pengenceran, selanjutnya dilakukan

pengenceran dengan air sampai diperoleh konsentrasi yang diinginkan dengan

kerapatan sebagai berikut: a). 107 konidia/ml untuk uji patogenisitas dan uji

sporulasi in vivo, b). 106 konidia/ml untuk uji daya kecambah dan diameter

koloni, c). 105 konidia/ml untuk uji sporulasi in vitro. Konidia dihitung dengan

menggunakan haemocytometer.

Uji Patogenisitas

Suspensi konidia masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan di

atas. Sebanyak 80 ekor kasta pekerja dan delapan ekor kasta prajurit rayap C.

gestroi dicelupkan kedalam 0,50 ml suspensi konidia yang telah diaduk. Kontrol

hanya dicelupkan dalam larutan 0,05% Triton X-100. Kertas saring Whatman no.

40 ditempatkan kedalam cawan petri sebagai sumber makanan kemudian rayap

(20 ekor pekerja dan dua ekor prajurit) yang telah diinokulasi cendawan

ditempatkan ke dalamnya. Semua perlakuan dipelihara pada ruangan dengan

kondisi gelap dan mortalitas dihitung setiap hari selama satu minggu. Rayap yang

mati diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari

untuk melihat sporulasi cendawan pada tubuh rayap yang telah mati. Percobaan

diulang 4 kali.

Page 40: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

23

Sporulasi in Vivo

Cendawan yang menyerang serangga akan bersporulasi yaitu miselianya

tumbuh di permukaan tubuh rayap yang mati. Data untuk pengujian sporulasi in

vivo diambil dari data rayap yang mati pada uji patogenisitas yang diinkubasi

pada suhu 24 0C dan RH 95% selama 5-7 hari. Setiap perlakuan diulang 4 kali.

Persentasi sporulasi dihitung dengan rumus:

Sporulasi = Rayap terkolonisasi X 100%

Jumlah rayap perlakuan

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen in Vitro

Evaluasi daya kecambah konidia

Pengamatan daya kecambah konidia menggunakan metode yang dilakukan

oleh Junianto dan Sukamto 1995 dalam Trizelia (2005). Media SDAY (Ø 0,5 cm

tebal 1-2 mm) yang telah ditetesi suspensi konidia berkerapatan 106 konidia/ml

diletakkan di atas objek gelas steril, kemudian dimasukkan kedalam cawan petri

dan diinkubasi pada suhu 24 0C selama 12 - 24 jam. Masing-masing perlakuan

diulang 4 kali. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400

kali. Persentase konidia yang berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia

dinyatakan telah berkecambah apabila tabung kecambah (germ tubes) telah

muncul lebih panjang dari diameter konidia.

Diameter koloni

Media SDAY yang telah ditumbuhi miselia masing-masing isolat berumur

5 hari dengan dimeter 0,8 cm ditumbuhkan pada media SDAY baru di dalam

cawan petri dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0C. Diameter koloni

dari masing-masing isolat diukur setelah hari ke 15.

Sporulasi in vitro

Untuk menghitung sporulasi masing-masing isolat pada media SDAY,

disiapkan kerapatan suspensi konidia cendawan 105 konidia/ml. Suspensi konidia

masing-masing isolat sebanyak 0,1 ml dikulturkan pada media SDAY dalam

Page 41: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

24

cawan petri (Ø 9 cm), dan diinkubasi selama 15 hari pada suhu 24 0C. Kemudian

biakan cendawan dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer dan ditambahkan 40

ml aquades steril, dikocok dengan vortex selama 5 menit, disaring dan dilakukan

pengenceran sampai 4 kali. Kerapatan konidia dihitung menggunakan

haemocytometer dan rata-rata konidia untuk setiap cawan petri dibandingkan

antar isolat.

Analisis Data

Data mortalitas, sporulasi in vivo dan karakterisasi fisiologis in vitro di

analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomize Design)

satu faktor (keragaman isolat atau spesies cendawan entomopatogen yang terdiri

dari 16 isolat untuk uji mortalitas dan sporulasi in vivo, 6 spesies untuk uji

karakterisasi fisiologis in vitro) dengan 4 x ulangan menggunakan analisis ragam

(ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test.

Bentuk umum dari persamaannya adalah sebagai berikut:

Dimana: i = 1,2,....17, t dan j= 1, 2, ....4, r

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = rataan umum

δi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hasil dan Pembahasan

Isolasi dan Identifikasi

Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber

inokulum di alam (Gambar 4.1) mengindikasikan keragaman spesies cendawan

entomopatogen lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman (ulat

krop kubis, ulat grayak, penghisap polong, walang sangit dan rayap tanah

sebanyak 81%) dibandingkan dengan yang berasal dari tanah (13%) dan pasir

(6%). Berdasarkan hasil ini, untuk mendapatkan keragaman spesies cendawan

Yij = µ + δi + εij

Page 42: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

25

entomopatogen lebih mudah dilakukan dengan cara mengisolasi dari serangga

inang yang terinfeksi di alam dibandingkan dengan mengisolasi dari sumber

lainnya (tanah dan pasir). Diperkirakan spesies cendawan yang ada pada inang

yang berasal dari hama tanaman umumnya bersifat sebagai cendawan

entomopatogen. Menurut MacLeod dan Muller-Kogler 1973 dalam Butt et al.

(2001), serangga inang dari cendawan entomopatogen dijumpai pada lebih dari

32 famili yang tersebar pada ordo Hemiptera, Homoptera, Diptera, Lepidoptera,

Coleoptera, Orthoptera, dan Hymenoptera. Beberapa spesies mempunyai

rentangan inang yang luas, dan yang lainnya terbatas pada satu spesies atau

terbatas pada kelompok spesies tertentu saja.

Gambar 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam.

Cendawan entomopatogen dari sumber inokulum tanah dan pasir

mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena

cendawan entomopatogen selain hidup sebagai patogen obligat juga banyak yang

hidup sebagai patogen fakultatif yaitu disamping dapat meneruskan siklus

hidupnya sebagai patogen pada serangga inang juga mampu bertahan hidup

sebagai sapropit pada berbagai media di alam. Tanada dan Kaya (1993)

menyatakan bahwa beberapa cendawan entomopatogen hidup sebagai patogen

obligat yang siklus hidupnya selalu pada serangga inang namun kebanyakan

cendawan entomopatogen juga sebagai patogen fakultatif dan mampu hidup

tanpa inang dan melanjutkan siklus hidupnya sebagai sapropit

Menurut Keller dan Zimmermann (1989) cendawan entomopatogen juga

dapat dikoleksi dari tanah dengan menggunakan serangga umpan. Metode ini

terbukti sangat bermanfaat untuk mendeteksi cendawan entomopatogen

Serangga Hama81%

Tanah13%

Pasir6%

Page 43: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

26

khususnya untuk mempelajari sejarah penyebarannya. Walaupun tanah

merupakan habitat yang sangat menguntungkan untuk interaksi serangga dan

cendawan entomopatogen, hanya sedikit spesies cendawan entomopatogen yang

ditemukan pada tanah. Beberapa spesies cendawan penting yang ditemukan pada

tanah tercatat sebagai genera: Conidiobolus, Beauveria, Metarhizium dan

Paecilomyces.

Lebih lanjut dinyatakan keberhasilan cendawan entomopatogen di dalam

tanah telah berkembang dengan melakukan adaptasi khusus, dimana siklus

kehidupan cendawan entomopatogen terdiri dari fase parasit dan sapropit. Bila

serangga terinfeksi cendawan mati dan secara umum siklus hidup cendawan akan

berahir bila fase vegetatif atau organ reproduksi seksual terbentuk di luar inang.

Namun fase kehidupan selanjutnya sebagai sapropit akan mengkolonisasi inang

mati dan untuk sementara waktu berhenti pada pembentukan pseudosclerotium;

tingkatan dormansi yang memungkinkan cendawan bertahan pada kondisi yang

tidak menguntungkan. Jika faktor eksternal telah menguntungkan, hifa akan

muncul lewat kutikula serangga.

Beberapa spesies cendawan seperti Paecilomyces spp., B. bassiana, B.

brongniartii atau Cordyceps spp. memproduksi untaian hifa, synnemata atau

stromata di luar serangga inang. Elemen-elemen hifa ini sebagai adaptasi

morfologi terhadap kondisi tanah yang memungkinkannya menginfeksi inang

baru.

Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari masing-masing inang atau

sumber inokulum di alam dikoleksi untuk selanjutnya diidentifikasi berdasarkan

warna, pertumbuhan secara in vivo dan in vitro serta bentuk organ seksual

masing-masing spesies. Berdasarkan hasil identifikasi pada penelitian ini

ditemukan 16 isolat (10 spesies) (Gambar 4.2 dan Table 4.1).

Keragaman antar spesies cendawan entomopatogen sangat luas sekali.

Cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan

entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi:

Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan

Deuteromycotina. Umumnya mikroorganisme ini ada pada semua habitat tingkat

perkembangan serangga (Ainsworth 1973 dalam Butt et al. 2001). Boucias dan

Page 44: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

27

Pendland (1998) menyatakan beberapa genus cendawan entomopatogen yang

tergolong ke dalam divisi Eumycota, sub-divisi Deuteromycota, klas

Hyphomycetes dan ordo Moniliales adalah: Aspergilus, Beauveria, Fusarium,

Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium.

B. bassiana M. anisopliae M. brunneum M. roridum F. solani F. oxysporum V. lecanii A. flavus P. fumosoroseus P. citrinum Gambar 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal ber-

umur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. oxysporum (13 hari)

Spesies B. bassiana adalah spesies cendawan entomopatogen yang paling

dominan ditemukan. Menurut Scholte et al. (2004), cendawan entomopatogen

B. bassiana mempunyai sebaran inang yang luas dan mudah diperbanyak secara

in vitro pada media sintetik, penyebarannya hampir di semua lokasi di dunia dan

mempunyai spesies serangga inang lebih banyak dibandingkan spesies cendawan

entomopatogen lainnya; kebanyakan inangnya berasal dari ordo Lepidoptera,

Coleoptera, Hemiptera, Diptera dan Hymenoptera.

Spesies B. bassiana menunjukkan pertumbuhan yang tidak cepat tetapi

dengan mudah tumbuh pada media SDAY, permukaan biakan rata seperti tepung

Page 45: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

28

dan bewarna putih, cendawan ini menginfeksi rayap dengan penyebaran yang

tidak teratur, kemudian mengalami penyempurnaan yang tidak menyebar rata.

Setelah kematian inang konidiofora tumbuh keluar dari tubuh rayap dan diiringi

dengan munculnya konidia.

Barron (1968) menjelaskan tentang deskripsi dari B. bassiana sebagai

berikut: konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul

langsung dari hipa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang

menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal

yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi

acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora

sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Gambar 4.3)

Tabel 4.1 Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang

atau sumber inokulum di alam

No. Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia inang

Spesies cendawan Geografi asal (tahun)

1. 2. 3.

Bb-Cr As-Cr Pe-Cr

Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.) (Lepidoptera: Pyralidae)

Larva

Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Aspergillus flavus Link. Penicillium citrinum Thom.

Cibodas (2004)

4. 5.

Bb-Sl Fu-Sl

Ulat grayak (Spodoptera litura F.} (Lepidoptera: Noctuidae)

Larva B. bassiana Fusarium oxysporum Link.

Cibodas (2004)

6.

7.

8.

9.

Ma-Rl

Ve-Rl

Pa-Rl

Fu-Rl

Penghisap polong (Riptortus linearis L.) (Hemiptera: Alydidae) Penghisap polong Penghisap polong

Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok Verticilium lecanii (Zimmermann) Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith Fusarium solani Link.

Probolinggo (2003)

10.

Bb-Lo Walang sangit

(Leptocorisa oratorius F) (Hemiptera: Coreidae)

Imago

B. bassiana

Probolinggo (2003)

11. 12. 13.

Bb-Co As-Co Pe-Co

Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae)

Larva B. bassiana A. flavus P. citrinum

Bogor (2004)

14. 15.

Bb-Tn My-Tn

Tanah Tanah

- -

B. bassiana Myrothecium roridum Tode EXFR.

Bogor (2004) Cibodas (2004)

16. Mb-Ps Pasir - Metarhizium brunneum Petch Bogor (2004)

Page 46: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

29

Isolat lainnya yang diisolasi dari inang atau sumber inokulum di alam

seperti terlihat pada Tabel 4.1. juga diidentifikasi berdasarkan bentuk organ

seksual, warna massa konidia secara in vitro dan in vivo, dan tipe

pertumbuhannya (Deskripsi selengkapnya pada Lampiran 1).

Gambar 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran

1000 x

Patogenisitas dan Virulensi

Tingkat patogenisitas antar spesies cendawan entomopatogen dan tingkat

virulensi antar isolat di dalam satu spesies cendawan yang ditemukan pada

penelitian ini umumnya berbeda nyata pada uji DUNCAN pada tingkat

keragaman 5%. Spesies cendawan M. anisopliae dari inang penghisap polong,

M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang

sangit, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus dari rayap tanah dapat

menyebabkan mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi (Gambar 4.4). Hal ini

berarti beberapa isolat cendawan entomopatogen bersifat sangat patogen dan

berpotensi dijadikan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi.

Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies dan perbedaan virulensi antar

isolat cendawan entomopatogen diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat

dasar internal (genetik) antar spesies dan perbedaan sumber inang asal isolat.

Selain hal ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal

yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan cendawan tumbuh dan

berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut

Page 47: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

30

0

20

40

60

80

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talit

as (%

) Bb-SlBb-LoBb-TnBb-CoBb-CrMb-PsMa-RlAs-CoAs-Cr

0

20

40

60

80

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talit

as (%

) My-TnVl-RlPa-RlFu-SlFu-RlPe-CoPe-Crkontrol

Tanada dan Kaya (1993) biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan

satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan,

dan melepaskan toksin. Beberapa di antaranya bersifat virulen dan membunuh

serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi

kronik yang lama.

Gambar 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen

(107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%).

Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = M. brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = M. roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,

Page 48: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

31

Isolat cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang

umumnya bersifat patogen terhadap rayap, dan dapat menyebabkan mortalitas

lebih dari 60%. Yoshimura dan Takahashi (1998), menjelaskan bahwa

penggunaan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap telah 25 tahun

lebih menjadi target penelitian dan banyak spesies cendawan telah diuji tingkat

patogenisitasnya terhadap rayap. Setelah tahun 1960-an banyak peneliti memulai

investigasi patogenisitas cendawan terhadap rayap menggunakan A. flavus,

Absidia coerulea Bainier, B. bassiana, Entomophthora sp. M. anisopliae,

Conidiobolus coronatus dan Penicillium sp.

Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai sifat dan kemampuan

spesifik untuk tumbuh dan berkembang pada rayap. Perbedaan ini juga terlihat

pada karakterisasi fisiologisnya secara in vivo dan in vitro terutama pada

kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni dan konidiogenesis (Tabel

4.2). Diduga setiap spesies juga menghasilkan jenis metabolit sekunder (toxin)

yang bervariasi sehingga mempunyai daya toksisitas yang berbeda satu sama

lainnya.

Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen

dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang

dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya

sehingga nutrient di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang

begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya

atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang

secara normal. Beberapa di antara zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan

yang dapat membunuh serangga adalah: 1) Beauvericin oleh B. bassiana,

Paecilomyces dan Fusarium, 2) Bassianolide oleh B. bassiana, 3) Cyclosporin A

oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium dan Tolypocladium, 4) Oosporein oleh

B. bassiana, 5) asam Oxalic oleh B. brongniartii, 6) Destruxins oleh M.

anisopliae dan Aspergillus ochraceus, 7) Cytochalasins oleh M. anisopliae, 8)

Swainsonine oleh M. anisopliae, 9) Aflatoxins oleh Aspergillus, 10) Asam kojic

oleh A. flavus dan 11) Restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.

Selanjutnya dinyatakan bahwa penempelan mungkin melibatkan kekuatan

electrostatik dan interaksi molekul, hemagglutins, glukosa, dan

Page 49: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

32

N-acetylglucosamine merupakan substansi yang ditemukan pada permukaan

spora, spora berkecambah dengan cepat tergantung pada kelembaban lingkungan,

temperatur, kondisi cahaya yang kurang serta nutrisi lingkungan. Penetrasi

terutama tergantung pada sifat kutikula serangga (ketebalan, sclerotization, dan

kehadiran zat anti cendawan) dan substansi nutrisi. Setelah berkecambah hifa

masuk ke dalam integumen serangga dan terus ke hemocoel, dan menghasilkan

tubuh hifa (hyphal bodies), yang pada hakekatnya berupa blastospores yang

berkembang dengan tunas (budding).

Menurut Scholte et al. (2004), siklus cendawan entomopatogen hingga

menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia menempel pada

kutikula kemudian berkecambah dan menembus kutikula. Kemudian di dalam

hemocoel miselia tumbuh terus menerus pada inang membentuk tubuh hifa

(blastospores). Kematian serangga sering disebabkan oleh kombinasi dari aksi

toksin, terhalangnya sirkulasi darah, komsumsi nutrisi atau penyerangan organ

dari serangga.

Virulensi antar isolat juga menunjukkan perbedaan, seperti pada 5 isolat

cendawan B. bassiana yang berasal dari sumber inang yang berbeda, isolat

walang sangit (Bb-Lo) paling virulen dibanding isolat B. bassiana yang lainnya.

Dua isolat cendawan A. flavus yang juga berasal dari inang berbeda, isolat rayap

tanah (As-Co) lebih virulen dibanding isolat ulat krob kubis (As-Cr).

Diperkirakan sifat virulensi yang berbeda ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi

dan fisiologi serangga inang asal isolat dan lingkungan asal isolat yang berbeda.

Menurut Tanada dan Kaya (1993), virulensi adalah kemampuan penyakit

yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan

suatu organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang

berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi

mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen

sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya

patogen dapat mempunyai virulensi yang rendah sebab tingginya ketahanan atau

rendahnya kerentanan dari inang.

Patogenisitas secara dekat merupakan sinonim terhadap virulensi yaitu

berkenaan dengan kemampuan menghasilkan penyakit oleh mikroorganisme.

Page 50: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

33

Perbedaannya adalah bahwa patogenisitas diaplikasikan terhadap kelompok atau

spesies dari organisme; sedangkan, virulensi digunakan pengertian tingkat dari

patogenisitas di dalam kelompok atau spesies. Patogenisitas kadang-kadang

dipandang sebagai kemampuan penetapan secara genetika untuk menghasilkan

penyakit, dan virulensi tidak sebagai hasil secara genetika. Dengan demikian, kita

dapat mengatakan bahwa patogenisitas B. bassiana adalah tinggi untuk isolat

L. oratorius (Bb-Lo), tetapi virulensinya berbeda tergantung pada kondisi, seperti

metode pembiakan, penyimpanan, formulasi, dan faktor lingkungan. Sebagai

contoh di bawah kondisi nutrisi tertentu, virulensi dari patogen lebih tinggi

dibanding pada nutrisi lainnya. B. bassiana mempunyai banyak strains, yang

pada suatu waktu dipertimbangkan untuk berbeda spesies sebab berbeda

karakteristik morfologinya. Strains akan bervariasi virulensinya dan tergantung

pada kerentanan spesies serangga sasaran.

Perbedaan mortalitas rayap sebagai akibat perbedaan tingkat virulensi

disebabkan oleh asal dan kondisi sumber inang yang berbeda pula, hal ini

menyebabkan perbedaannya dalam karakter menyerang rayap. Disamping juga

tergantung pada lingkungan pada daerah asal, karakter dan struktur dari konidia

juga berakibat terhadap perkecambahan. Perkecambahan yang sukses dan

berpenetrasi pada inang tergantung pada total persentase perkecambahan,

lamanya waktu berkecambah, cara dari perkecambahan, agresivitas cendawan,

dan kerentanan inang (Samson et al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993).

Spesies cendawan mempunyai banyak strains yang berbeda virulensinya.

Pada umumnya, strains dari spesies yang diisolasi dari inang yang spesifik lebih

virulen untuk inang yang sama dibandingkan isolat dari inang yang lainnya, dan

suksesi penularan di dalam suatu inang dapat juga menghasilkan peningkatan

virulensi atau menghasilkan strain yang lebih virulent. Pernyataan ini dipertegas

oleh hasil penelitian ini yaitu pada kasus perbedaan virulensi antar isolat

A. flavus, yang berasal dari serangga inang rayap tanah (As-Co) lebih virulen

dibandingkan yang berasal dari serangga inang ulat krop kubis (As-Cr) terhadap

mortalitas rayap C. gestroi. Namun tidak demikian pada kasus perbedaan

virulensi antar isolat B. bassiana, isolat walang sangit (Bb-Lo) menunjukkan

Page 51: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

34

tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari rayap tanah (Bb-Co), ulat

krop kubis (Bb-Cr), ulat grayak (Bb-Sl) dan tanah (Bb-Tn).

Pada kasus seperti diterangkan di atas, tingkat virulensi ternyata tidak hanya

dipengaruhi oleh asal isolat yang secara umum ditentukan oleh faktor eksternal

(lingkungan), akan tetapi juga oleh spesies cendawan yang secara umum lebih

dipengaruhi oleh sifat internal, dengan pengertian bahwa setiap spesies cendawan

entomopatogen masing-masingnya mempunyai spesies inang yang spesifik.

Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Trizelia (2005), bahwa pada spesies

cendawan B. bassiana, isolat yang virulen terhadap serangga hama tidak selalu

berasal dari hama yang sama. Hasil uji virulensi dari 13 isolat B. bassiana

menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang sangat virulen terhadap ulat krop

kubis C. pavonana dari Cibodas berasal dari serangga dan daerah lain yang bukan

serangga inang uji yaitu berasal dari inang L. oratorius dari Cianjur.

Mortalitas rayap C. gestroi yang disebabkan cendawan entomopatogen

M. anisopliae dan F. oxysporum lebih cepat dibandingkan yang disebabkan oleh

spesies lainnya yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam periode

waktu yang lebih singkat. Hal ini diperkirakan spesies cendawan ini disamping

kemampuannya mendegradasi inang, juga dengan sangat cepat menyebarkan

metabolit sekundernya yang bersifat racun bagi rayap sehingga terjadi ketidak

seimbangan fungsi organ tubuh. Agens hayati penyebab penyakit ”green

muscardine” M. anisopliae merupakan spesies patogen yang secara alami

menginfeksi lebih dari 200 jenis serangga, termasuk rayap (Tanada dan Kaya

1993 dalam Strack 2003).

Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam

studi histopatologi pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae

memperlihatkan bahwa toksin (destruxin) membunuh serangga inang dengan

merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang

sehingga kehilangan keutuhan struktural membran dan kemudian terjadi

dehidrasi sel. Dalam hal ini penyumbatan spirakel dimungkinkan terjadi sehingga

dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada hemocoel.

Menurut MacLeod 1963 dalam Tanada dan Kaya (1993), periode dari

infeksi sampai pada kematian serangga dapat dalam waktu yang singkat 3 hari

Page 52: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

35

dan selama-lamanya 12 hari, dan kebanyakan terjadi dalam rentangan 5 - 8 hari.

Periode dapat bervariasi dan juga tergantung pada ukuran dari inang. Kebanyakan

serangga mati setelah sore hari antara 1500 dan 1900 jam. Virulensi dan

patogenisitas dari cendawan entomopatogen dapat berasosiasi dengan produksi

enzim collagenolytic dan mycotoxins.

Spesies cendawan M. anisopliae telah sangat populer keefektifannya di

dalam pengendalian rayap, bahkan sampai saat sekarang telah banyak

biopestisida yang berbasiskan konidia dari cendawan M. anisopliae diedarkan

secara komersil. Namun spesies cendawan Fusarium spp. masih diragukan dalam

penggunaan sebagai biopestisida walaupun mempunyai daya tinggi dalam

membunuh serangga hama, hal ini sehubungan dengan sifatnya yang juga sebagai

patogen pada tanaman.

Teetor-Barsch dan Roberts (1993) menyatakan cendawan Fusarium

diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di

antaranya pada tanaman hidup dan yang telah mati serta pada banyak hewan.

Cendawan ini terutama ditemukan berasosiasi dengan serangga. Perhatian khusus

diberikan terhadap rentangan inang, teristimewa antara inang tanaman dan

serangga, dan memungkinkan potensi cendawan ini untuk mengendalikan hama.

Beberapa jenis Fusarium spp. yang bersifat entomopatogen bersifat lemah dan

sebagai patogen fakultatif khususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera.

Cendawan akan mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada

segolongan kecil kasus tingkat patogenisitas terhadap tanaman dan serangga oleh

satu isolat juga ditemukan. Tingkat potensi isolat Fusarium yang menyebabkan

mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan spesifikasi inang yang

tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman.

Periode waktu kematian rayap oleh cendawan entomopatogen secara umum

tidak menunjukkan tanda dan gejala yang nyata pada awal tingkatan infeksi.

Hanya setelah infeksi menyebar ke dalam tubuh, rayap menjadi kurang aktif atau

menunjukkan kegelisahan. Pada tahapan akhir infeksi, rayap kehilangan tenaga

gerak dan diam ditempat lalu kemudian mati, pada tahapan paling ahir dari proses

infeksi, kadang-kadang rayap dapat berganti warna menjadi gelap dan tidak

dikolonisasi oleh miselia seperti pada kasus rayap yang diinfeksi oleh cendawan

Page 53: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

36

M. anisopliae. Kadang-kadang rayap yang telah mati menjadi keras dan 3 - 4 hari

setelahnya, rayap berubah warna sesuai warna konidia yang dihasilkan, rayap

mati diselimuti warna konidia putih mengindikasikan terserang oleh B. bassiana.

Sporulasi in Vivo

Pada penelitian ini, sporulasi cendawan pada permukaan tubuh rayap (in

vivo) tidak semua berkorelasi dengan mortalitas namun spesies cendawan yang

menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap

tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana

dari walang sangit juga mampu bersporulasi yang tinggi secara in vivo ( 78,25%

– 97,25%) kecuali M. anisopliae dan M. roridum dari tanah. Dalam hal ini

M. roridum menunjukan kemampuan bersporulasi in vivo paling rendah

(Gambar 4.5). Diperkirakan hal ini juga dipengaruhi oleh spesies cendawan,

sumber isolat dan faktor lingkungan; cendawan dapat tumbuh pada kondisi

kelembaban yang tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan

terlihat dengan jelas.

Menurut Prior dan Perry 1980 di dalam Butt et al. (2001) dan Tanada dan

Kaya (1993), pertama kali mikroorganisme ditemukan sebagai penyebab penyakit

pada serangga adalah cendawan sebab pertumbuhannya secara makroskopis

nampak dengan nyata pada permukaan serangga inang. Namun beberapa

cendawan entomopatogen bentuk pertumbuhannya tipis atau jarang dan tidak

nyata karena struktur eksternalnya yang sangat kecil dan sulit dideteksi oleh

peneliti. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan terutama dibatasi oleh

kondisi lingkungan eksternal, kususnya kelembaban yang tinggi atau kelembaban

dan temperatur yang memadai untuk bersporulasi dan perkecambahan spora.

Rombach (1988) menyatakan bahwa banyak spesies cendawan dapat

ditemukan tumbuh pada serangga mati, namun kebanyakan merupakan cendawan

saprofit yang menyerang setelah serangga mati. Akan tetapi hanya spesies

entomopatogen yang dapat secara aktif menyerang serangga hidup, membunuh

inang dan bersporulasi pada inang yang telah mati. Secara keseluruhan lebih dari

700 spesies cendawan dari perkiraan 90 genera adalah merupakan patogen

terhadap serangga. Spesies cendawan entomopatogen tersebut ditemukan pada

Page 54: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

37

0102030405060708090

100Bb

-Sl

Bb-L

o

Bb-T

n

Bb-C

o

Bb-C

r

Mb-

Ps

Ma-

Rl

As-

Co

As-

Cr

My-

Tn

Vl-R

l

Pa-R

l

Fu-S

l

Fu-R

l

Pe-C

o

Pe-C

r

Kon

trol

Isolat cendawan entomopatogen

Mor

talit

as d

an s

poru

lasi

in v

ivo

(%)

Mortalitas (%)Sporulasi (%)

klass Ascomycotina (Cordyceps, Hypocrella dan Torrubiella), Zygomycotina

(Entomophthorales) dan Deuteromycotina (kebanyakan dari klass

Hyphomycetes).

Gambar 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo)

dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml).

Di samping virulensi, kemampuan bersporulasi pada inang (in vivo)

menjadi sangat penting bila untuk tujuan penularan di dalam koloni karena

cendawan yang mampu bersporulasi pada inang dengan baik akan dapat

membentuk infective propagul baru dan dapat tersebar luas ke seluruh individu di

dalam koloni. Goettel dan Inglis 1997 dalam Scholte et al. (2004) menyatakan

bahwa setelah inang mati, hifa biasanya muncul dari bangkai serangga dan di

bawah kondisi abiotik yang menguntungkan, konidia dapat dihasilkan pada tubuh

bahagian luar inang, ini kemudian akan tersebar oleh angin atau air.

Menurut Yoshimura et al. (1992), pertumbuhan hifa dari tubuh rayap

setelah diamati sampai mati tidak nyata, namun dua sampai 3 hari setelah

kematian banyak hifa yang tumbuh ke luar, kira-kira 2 - 10 hari setelah kematian

Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = Metarhizium brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = Myrothecium roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,

Page 55: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

38

dibutuhkan untuk pembentukan konidia baru. Pada kasus cendawan C. coronatus,

banyak konidia terlihat setelah 2 hari pada rayap yang telah di ekspose selama 6

jam.

M. roridum F. oxysporum P. fumosoroseus M. brunneum B. bassiana A. flavus Gambar 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen

pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi

Karakter fisiologi adalah kemampuan cendawan untuk tumbuh dan

berkembang pada media sintetik atau inang, dalam hal ini yang diamati antara

lain adalah: daya kecambah, diameter koloni dan kemampuan berseporulasi. Di

samping patogenisitas, karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro akan

menjadi penting bila cendawan tersebut diperbanyak secara massal untuk tujuan

bio-termitisida komersil.

Umumnya cendawan entomopatogen yang mempunyai tingkat patogenisitas

tinggi dapat direkomendasikan pada penelitian selanjutnya, walaupun dari hasil

Page 56: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

39

analisis statistik ada perbedaan diameter koloni, daya berkecambah dan jumlah

konidia dari masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen.

Tabel 4.2. Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi.

Isolat Inang atau

sumber inokulum Diameter koloni

(cm) Daya kecambah konidia (%)

Sporulasi (konidia/ cawan petri x 107)

M. anisopliae Penghisap polong 5,47 ± 0,26 b 27,20 ± 13,67 c 6,18 ± 2,70 c M. roridum Tanah 4,72 ± 0,78 c 92,50 ± 6,02 ab 285,33 ± 102,25 b

M. brunneum Pasir 5,25 ± 0,17 bc 97,20 ± 1,70 a 223,66 ± 45,98 bc B. bassiana Walang sangit 4,67 ± 0,69 c 82,50 ± 7,76 b 1470,33 ± 291,34 a

F. oxysporum. Ulat grayak 9,00 ± 00 a 95,70 ± 1,70 a 10,08 ± 1,25 c A. flavus Rayap tanah 8,32 ± 0,25 a 95,20 ± 4,27 a 19,8 ± 5,78 c

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.

Diameter koloni (cm)

Diameter koloni dari masing-masing spesies setelah dua minggu berkisar

antara 4,4 cm – 9,0 cm, tertinggi diperoleh pada F. oxysporum (9 cm) dan

kemudian diikuti oleh A. flavus (8,3 cm). Analisis statistik memperlihatkan kedua

spesies cendawan ini tidak berbeda nyata, cendawan yang menunjukkan

pertumbuhan koloni yang lebih cepat ini menunjukkan pertumbuhan yang lebih

tipis dipermukaan media kultur SDAY. Hal ini ternyata berkaitan dengan jumlah

konidia yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata dan menghasilkan jumlah

konidia lebih sedikit.

Olsson (1997) mendefinisikan koloni cendawan adalah suatu kelompok hifa

yang berasal dari satu spora atau satu individu atau yang berasal dari satu sumber

miselia. Berdasarkan pernyataan ini, pertumbuhan koloni diawali oleh

perkecambahan dan pertumbuhan miselia, cepatnya pertumbuhan miselia akan

menyebabkan nutrisi yang diperoleh dari media tumbuh akan dimanfaatkan

terlebih dahulu untuk pertumbuhan miselia sehingga diperkirakan pembentukan

konidia akan dapat terhambat.

Daya kecambah konidia (%)

Daya kecambah cendawan entomopatogen dari masing-masing spesies

cendawan lebih dari 80% kecuali M. anisopliae (27,2%) setelah 12 - 24 jam

Page 57: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

40

inkubasi. Hasil penelitian menunjukan secara umum semua isolat terseleksi

tergolong mempunyai daya kecambah tinggi, hal ini akan sangat menguntungkan

didalam keberhasilan cendawan menginfeksi inangnya, karena keberhasilan

cendawan untuk dapat menyerang inang terutama sangat ditentukan oleh

kemampuan cendawan menempel dan berkecambah pada kutikula serangga.

Boucias dan Pendland (1998), mengemukakan cendawan entomopatogen

dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang

serta dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel).

Menurut Leland 2001; Jenkins et al. 1998; Kassa 2003 dalam Trizelia

(2005) evaluasi daya kecambah konidia cendawan entomopatogen perlu

dilakukan terutama apabila cendawan tersebut akan dikembangkan sebagai

bioinsektisida. Daya kecambah konidia merupakan salah satu kriteria dalam

pemilihan isolat; cendawan yang memiliki daya kecambah konidia di atas 80%

telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Selanjutnya

dinyatakan bahwa dalam pemilihan isolat yang akan digunakan, kecepatan

perkecambahan juga harus diperhitungkan. Isolat yang berkecambah lebih cepat

lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat ini dapat terhindar dari

pengaruh kekeringan, pengaruh dari mikroorganisme lain dan terlepas dari

kutikula serangga pada waktu ekdisis.

Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting

untuk berhasilnya melakukan penetrasi pada inang, namun hal ini akan sangat

tergantung pada faktor lingkungan asal spesies atau isolat dan sifat genetik

masing-masing spesies cendawan. Hal ini biasanya ditunjukkan oleh perbedaan

viabilitas antar isolat di dalam spesies yang sama, pada penelitian ini terlihat

bahwa daya kecambah M. anisopliae berbeda sangat nyata dengan M. brunneum

(Tabel 4.2). Menurut Ekesi et al. (2003) viabilitas 4 isolat M. anisopliae yang

berasal dari Kenya dan Congo berkisar antara 85 – 90%.

Viabilitas antar spesies cendawan M. brunneum, F. oxysporum dan A. flavus

tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan tingkat

patogenisitas yang tidak berbeda (Gambar 4.4). Adanya keterkaitan antara tingkat

patogenisitas dengan kemampuan berkecambah merupakan salah satu hal yang

sangat menunjang di dalam adanya kemungkinan spesies cendawan ini untuk

Page 58: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

41

dikembangkan ke penelitian yang lebih mendalam sehingga berpotensi sebagai

biopestisida.

Sporulasi (konidia / cawan petri).

Sporulasi adalah kemampuan cendawan entomopatogen untuk

menghasilkan konidia pada media sintetik atau inang. Untuk dapat melakukan

proses infeksi dan menurunkan generasi berikutnya dengan cepat akan sangat

tergantung pada kemampuan cendawan menghasilkan konidia. Pada penelitian ini

setelah 2 minggu, B. bassiana menghasilkan jumlah konidia tertinggi (1,47 x 1010

konidia / cawan petri). Hasil ini berbeda nyata dengan jumlah konidia yang

dihasilkan oleh spesies cendawan lainnya. Kemudian diikuti oleh M. brunneum,

A. flavus, F. oxysporum dan M. anisopliae (Tabel 4.2).

Spesies cendawan B. bassiana, menunjukkan laju pertumbuhan koloni yang

lambat namun memperlihatkan pertumbuhan koloni yang lebih tebal,

diperkirakan hal ini salah satu faktor penentu spesies cendawan ini dapat

menghasilkan jumlah konidia lebih banyak dibandingkan spesies cendawan yang

diujikan, yang bearti ada korelasi dengan karakter fenotip cendawan disamping

juga ditentukan oleh faktor genetik. Hasil penelitian ini menunjang penelitian

yang dilakukan oleh Trizelia (2005), 13 isolat B. bassiana dapat menghasilkan

jumlah konidia antara 1,27 X 1010 – 1,79 X 1010 konidia / cawan petri. Hasil ini

juga memperlihatkan perbedaan nyata antar isolat dan tertinggi ditemukan pada

isolat yang berasal dari inang C. pavonana (1,79 X 1010 konidia/cawan petri)

Kemampuan cendawan menghasilkan jumlah konidia yang banyak,

merupakan salah satu faktor yang menguntungkan di dalam pemanfaatannya

sebagai agens pengendalian hayati, karena konidia sangat penting untuk infeksi

dan penyebaran cendawan. Sun et al. 2003 dalam Trizelia (2005) menyatakan

bahwa Isolat B. bassiana yang lebih cepat bersporulasi dengan total sporulasi

yang tinggi menghasilkan epizootik yang lebih baik dalam koloni rayap C.

formosanus.

Karakter fisiologis (diameter koloni, viabilitas dan kemampuan

bersporulasi) cendawan entomopatogen menunjukan keragaman antar spesies

yang diuji. Selain faktor-faktor penentu yang telah diuraikan di atas, faktor media

Page 59: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

42

tumbuh diperkirakan juga menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan secara

fisiologis. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah SDAY dengan

komposisi dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g dalam

akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloromphenicol (Samuels et al.

2002). Dalam hal ini masing-masing spesies cendawan entomopatogen

memungkinkan dapat tumbuh lebih baik pada media yang lebih spesifik.

Kesimpulan

Hasil isolasi menunjukkan keragaman spesies yang didapatkan dari sumber

inokulum di alam. Tertinggi ditemukan pada inang yang berasal dari serangga

terinfeksi dibanding dari sumber tanah dan pasir. Spesies cendawan

entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di

alam adalah B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum, P. fumosoroseus,

P. citrinum, M. roridum, V. lecanii, F. oxysporum, F. solanii dan A. flavus. Hasil

uji patogenisitas menunjukkan pada umumnya cendawan bersifat patogen

terhadap rayap C. gestroi.

Cendawan entomopatogen yang ditemukan umumnya dapat dimanfaatkan

sebagai agens pengendalian hayati rayap C. gestroi, khususnya: M. anisopliae

dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah,

B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari

rayap tanah; pada penggunaan kerapatan konidia cendawan 107 konidia/ml dapat

membunuh rayap C. gestroi 100% setelah 6 hari inokulasi.

Kemampuan bersporulasi in vivo antar spesies umumnya tidak berkorelasi

dengan mortalitas, namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat

patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum

dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana dari walang sangit juga

menghasilkan kemampuan bersporulasi secara in vivo tinggi (78,25% – 97,25%).

M. roridum mempunyai kemampuan bersporulasi secara in vivo paling rendah

(10%).

Cendawan entomopatogen terseleksi jika ditumbuhkan pada media SDAY

memperlihatkan daya kecambah konidia lebih dari 80% kecuali M. anisopliae.

Page 60: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

43

Diameter koloni tertinggi setelah 2 minggu dicapai oleh F. oxysporum. (9 cm)

dan sporulasi tertinggi dicapai oleh B. bassiana (1,47 X 1010 konidia/ml).

Berdasarkan hasil uji tapis tingkat patogenisitas (laju mortalitas), sporulasi

in vivo dan karakterisasi fisiologis, cendawan entomopatogen A. flavus dari

inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir,

B. bassiana dari walang sangit dan M. anisopliae dari penghisap polong kedele

dapat dilanjutkan pada penelitian berikutnya.

Page 61: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB V

KEEFEKTIVAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMOPATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH

COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN UMPAN

Abstrak

Beberapa spesies cendawan entomopatogen: Metarhizium anisoplia (Metsch.) Sorokin, Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin, Fusarium oxysporum Link dan Aspergillus flavus Link. telah diuji keefektifannya terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann. Kultur murni masing-masing spesies cendawan disimpan pada suhu 4 0C. Sebelum digunakan, dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan diinkubasikan pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Untuk uji tingkatan patogenisitas untuk masing-masing jenis cendawan disiapkan suspensi dengan kerapatan konidia/ml (0, 107, 5.106, 106, 5.105 dan 105 konidia/ml), dan untuk uji metode aplikasi digunakan LC95 dari spesies cendawan M. brunneum, setiap perlakuan diulang 4 kali. Pada penelitian tingkat patogenisitas data mortalitas dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dua faktor dan untuk penelitian metode aplikasi data mortalitas dianalisis berdasarkan RAL satu faktor dengan uji sidik ragam (ANOVA). Perbedaan antar isolat diuji lanjut dengan DNMRT, untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dan kerapatan konidia/ml dengan mortalitas (LT dan LC) dilakukan dengan analisis probit. Hasil penelitian menunjukkan, semakin tinggi kerapatan konidia/ml untuk setiap spesies cendawan yang diaplikasikan pada rayap C. gestroi semakin tinggi mortalitas yang dicapai. Semua spesies cendawan mampu menyebabkan mortalitas diatas 80% pada tingkatan kerapatan sama atau lebih dari 5.106 konidia/ml, namun hanya cendawan M. brunneum yang mampu menyebabkan mortalitas diatas 80% sampai dengan kerapatan konidia yang lebih rendah (5.105 konidia/ml), sehingga spesies cendawan ini menghasilkan Lethal Concentration (LC50) terendah (1,8 x 105 konidia/ml). Pada uji metode aplikasi, mortalitas tertinggi didapatkan dengan metode kontak dengan lethal time (LT50) tersingkat 2,01 (1,52 – 2,40) hari. Kata-kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, kerapatan, metode

aplikasi, C. gestroi

Pendahuluan

Penggunaan agens hayati cendawan entomopatogen merupakan suatu upaya

untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik yang selama ini banyak

menyebabkan masalah lingkungan. Agens hayati diharapkan dapat menjadi suatu

solusi disamping dapat menggali potensi sumber daya hayati lokal yang diduga

Page 62: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

45

keberadaannya berlimpah di alam Indonesia. Menurut Boucias dan Pendland

(1998) tingkat patogenisitas masing-masing spesies Aspergilus, Beauveria,

Fusarium dan Metarhizium, termasuk ke dalam Kingdom Mychota, Filum

Deuteromycota, Klass Hyphomycetes dan Ordo Moniliales ditentukan oleh

interaksi berbagai faktor seperti jenis inang, metode aplikasi dan faktor

lingkungan. Adapun kemampuan dasarnya ditentukan oleh spesies cendawan itu

sendiri yang dapat menyebabkan kematian inang dengan cepat atau sebaliknya.

Pada penelitian terdahulu beberapa spesies cendawan entomopatogen dari

berbagai inang atau sumber inokulum di alam ternyata efektif dimanfaatkan

sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi. Pada uji Laboratorium, dari

16 isolat (10 spesies) cendawan entomopatogen yang diuji tingkat

patogenisitasnya terhadap rayap tanah, ternyata 14 isolat (9 spesies) dapat

menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 60%. M. anisopliae, M.

brunneum, F. oxysporum, A. flavus dan B. bassiana dapat menyebabkan

mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi.

Untuk dapat memanfaatkan cendawan entomopatogen sebagai bahan dasar

agens hayati secara optimal, perlu dilakukan pengujian secara mendalam tentang

keefektifan beberapa spesies cendawan yang mempunyai sifat patogen yang

tinggi. Kebanyakan cendawan entomopatogen mempunyai sifat spesifik terhadap

inang tertentu, yang kemampuan alaminya untuk menginfeksi serangga

bervariasi. Pada banyak kasus, kespesifikan cendawan pada inang mempunyai

karakteristik yang fleksibel yang dipengaruhi oleh metode perlakuan seperti dosis

dan metode aplikasi.

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan cendawan entomopatogen perlu

diketahui kerapatan konidia secara optimal (konidia/ml) sebagai formulasi bio-

termitisida. Dengan mendapatkan LC yang optimal dalam aplikasi, diharapkan

akan dapat mengendalikan rayap tanah C. gestroi sesuai yang diinginkan.

Menurut Edwards dan Mill (1986) di dalam Eaton dan Hale (1993),

berdasarkan pengamatan ada empat metode aplikasi pengendalian rayap yaitu:

memasukkan pestisida ke dalam kayu, sistem pengumpanan, metode fisik dan

pengendalian hayati. Di Indonesia metode aplikasi pengendalian rayap telah

berkembang dengan baik diantaranya metode kontak langsung dan pengumpanan.

Page 63: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

46

Menurut Jones et al. (1996), efikasi umpan tergantung pada keberhasilan

penyampaian agens kontrol dengan aksi bioaktif lambat ke seluruh koloni.

Patogen serangga adalah calon umpan yang menarik sebab mampu berbiak secara

alami dan aman bagi serangga non target. Patogen serangga dalam jumlah yang

sedikit dapat menyebar keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial

(grooming dan berbagi makanan) diharapkan dapat menyebarkan inokulum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, telah dicoba penelitian menggunakan

berbagai tingkatan kerapatan konidia beberapa spesies cendawan entomopatogen

dari berbagai sumber dan metode aplikasi di laboratorium. Tujuan percobaan ini

untuk mendapatkan kerapatan konidia yang efektif dari masing-masing spesies

cendawan entomopatogen dan metode yang sesuai untuk aplikasi mengendalikan

rayap tanah C. gestroi.

Bahan dan Metode

Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga

Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Jenis Rayap yang Digunakan

Jenis rayap yang digunakan pada penelitian ini adalah rayap tanah jenis

C. gestroi yang dipelihara pada UPT Biomaterial LIPI selama 3 tahun.

Persiapan Cendawan

Cendawan entomopatogen yang digunakan pada penelitian ini merupakan

hasil uji tapis pada penelitian sebelumnya. Spesies yang digunakan adalah:

M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus (Tabel

5.1.)

Page 64: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

47

Tabe1 5.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan dalam penelitian.

Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia Jenis cendawan Asal geografi

(Tahun) 1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus.

linearis) (Hemiptera:Alydidae) Imago Metarhizium anisopliae

(Metsch.) Sorokin. Probolinggo (2003)

2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Petch

Bogor (2004)

3. Bb-Lo Walang sangit (L. oratorius) (Hemiptera : Coreidae)

Imago Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin

Probolinggo (2003)

4. Fu-Sl Ulat grayak (Spodoptera. litura) (Lepidoptera : Noctuidae)

Larva Fusarium oxysporum Link.

Cibodas (2004)

5. As-Co

Rayap tanah (C. curvignathus) (Isoptera : Rhinotermitidae)

Larva Aspergilus.flavus. Link

Bogor (2004)

Perosedur Perbanyakan

Prosedur perbanyakan telah diuraikan pada Bab IV .

Penyediaan Suspensi Konidia

Suspensi konidia disiapkan sama seperti pada Bab IV, namun menggunakan

berbagai kerapatan sebagai berikut: a). 107 konidia/ml, 5.106 konidia/ml, 106

konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 105 konidia/ml untuk uji tingkat patogenisitas dan

b). LC95 dari M. brunneum (cendawan terseleksi pada uji tingkat patogenisitas)

untuk uji metode aplikasi. Konidia dihitung menggunakan haemocytometer.

Metode Kontak dan Umpan

Uji metode kontak (Contact method) dan metode umpan (Baiting method)

dapat diacu pada Bab III.

Uji Patogenisitas

Mortalitas

Suspensi konidia dari masing-masing spesies cendawan disiapkan seperti

diterangkan sebelumnya, 80 ekor C. gestroi kasta pekerja dan 8 ekor kasta

prajurit dicelupkan ke dalam 0,50 ml suspensi konidia masing-masing spesies

cendawan. Kontrol hanya dicelupkan dalam aquades steril yang telah

mengandung 0,05% Triton X-100. Kemudian larva dikeringkan dengan cara

Page 65: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

48

menempatkan ke dalam cawan petri yang telah diberi alas kertas saring sebagai

sumber makanan. Rayap uji terdiri dari 20 ekor rayap kasta pekerja dan 2 ekor

kasta prajurit untuk setiap unit percobaan. Semua unit percobaan dipelihara pada

suhu ruangan berkisar antara 26-28 0C dan RH 70-95% dengan kondisi gelap.

Mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari.

Uji Lethal Concentration (LC)

Lethal Concentration adalah konsentrasi yang dapat membunuh populasi

organisme sejumlah tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Untuk

mengetahui hubungan regresi kerapatan konidia/ml dengan mortalitas (LC)

dilakukan dengan menggunakan analisis probit (Finney 1971).

Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium

Mortalitas

Suspensi konidia cendawan M. brunneum disiapkan seperti diterangkan

sebelumnya, kemudian untuk perlakuan metode kontak sebanyak 200 ekor rayap

C. gestroi kasta pekerja dan 20 ekor kasta prajurit dicelupkan ke dalam 1 ml

suspensi konidia cendawan M. brunneum. Kontrol hanya dicelupkan dalam

akuades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100. Sebanyak 50 ekor

kasta pekerja dan 5 ekor prajurit dibagi dalam setiap unit percobaan yang telah

diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Untuk perlakuan metode

umpan kertas saring yang telah diwarnai dengan 0,05% Nile blue A untuk

makanan rayap dicelupkan ke dalam suspensi konidia cendawan M. brunneum,

kemudian dikering anginkan dan ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 9

cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit untuk setiap ulangan

dipelihara di dalamnya. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan

berkisar antara 26-28 0C dan RH 70-95% dengan kondisi gelap. Mortalitas rayap

dihitung setiap hari selama 6 hari.

Page 66: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

49

Lethal Time (LT)

Lethal Time adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh suatu populasi

sejumlah tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Untuk mengetahui

hubungan regresi waktu aplikasi dengan mortalitas (LT) dilakukan dengan

menggunakan analisis probit (Finney 1971).

Analisis Data

Data pengamatan mortalitas pada uji patogenisitas dianalisis berdasarkan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dua faktor (faktor I spesies cendawan

entomopatogen yang terdiri dari 5 level: M. anisopliae, M. brunneum,

B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus dan faktor II tingkatan kerapatan konidia

yang terdiri dari 5 level kerapatan: 105, 5.105, 106, 5.106, 107 konidia/ml dan

kontrol) dan pada uji metode aplikasi dianalisis berdasarkan RAL satu faktor

(faktor metode penginfeksian terdiri dari 2 level: kontak dan pengumpanan)

dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji DNMRT (Steel & Torrie

1993). Untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan

dengan tingkatan kerapatan konidia terhadap mortalitas rayap C. gestroi

dianalisis berdasarkan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000), sedangkan

untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dan kerapatan konidia/ml dari

masing-masing spesies cendawan dengan mortalitas (LT dan LC) dilakukan

dengan analisis probit (Finney 1971).

Hasil dan Pembahasan

Uji Patogenisitas

Mortalitas

Spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana

F. oxysporum dan A. flavus telah diuji keefektifannya terhadap pengendalian

rayap tanah C. gestroi dengan perlakuan berbagai tingkatan kerapatan

konidia/ml: 105 konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 5.106 konidia/ml,

107 konidia/ml dan kontrol.

Page 67: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

50

Pada pengujian keefektifan, ternyata B. bassiana, F. oxysporum dan

A. flavus setelah 6 hari penginfeksian dapat menyebabkan mortalitas rayap

C. gestroi lebih dari 80% pada perlakuan kerapatan konidia ≥ 5.106 konidia/ml.

Mortalitas yang sama dicapai oleh M. anisopliae pada perlakuan kerapatan

konidia 106 konidia/ml dan oleh M. brunneum pada kerapatan yang lebih rendah

(5.105 konidia/ml). Hal ini menunjukkan bahwa semua spesies cendawan yang

diuji pada penelitian ini sangat efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah

dan spesies M. brunneum paling tinggi tingkat patogenisitasnya dibanding spesies

lainnya (Gambar 5.1).

Laju mortalitas C. gestroi sangat dipengaruhi oleh tingkatan kerapatan dan

jenis cendawan entomopatogen, hal ini terlihat pada perbedaan bentuk grafik

yang dihasilkan. Setiap jenis cendawan sesuai dengan tingkat patogenisitasnya,

membutuhkan tingkat kerapatan konidia tertentu untuk dapat efektif sebagai

agens hayati pengendalian rayap C. gestroi.

Neves dan Alves (2004) menyatakan bahwa waktu kematian serangga

dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari masing–masing isolat. Tingkat

patogenisitas cendawan patogen untuk dapat menyebabkan penyakit ditentukan

oleh berbagai faktor, termasuk oleh sifat fisiologi dari inang seperti mekanisme

pertahanan dari inang dan sifat fisiologi dari cendawan seperti faktor viabilitas,

laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi dan metabolisme sekunder yang

dihasilkan yaitu berupa kemampuan menghasilkan enzim dan toxin serta

pengaruh lingkungan (Butt et al. 2001). Hal lainnya tentang patogenisitas spesies

cendawan diduga terkait dengan kemampuan menghasilkan enzim dan

mycotoxins selama berjalannya proses infeksi pada serangga seperti pada saat

kontak dengan kutikula dan di dalam hemosoel (Tanada & Kaya 1993).

Menurut Boucias dan Pendland (1998), tingkat patogenisitas cendawan

entomopatogen ditentukan oleh berbagai interaksi faktor. Ada beberapa genus

cendawan yang terdiri dari beberapa spesies yang masing-masingnya mempunyai

kemampuan dasar yang dapat menyebabkan cepat atau lambatnya kematian

inang. Selain hal tersebut patogenisitas juga tergantung pada berbagai

karakteristik dari potensi serangga inang dan lingkungan disekelilingnya.

Keadaan lingkungan seperti temperatur, cahaya, dan kelembaban relatif adalah

Page 68: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

51

penting di dalam menetapkan kemampuan cendawan entomopatogen menyerang

inangnya. Sebagai contoh, kelembaban relatif yang tinggi biasanya dibutuhkan

konidia untuk berkecambah pada kutikula inang, sedangkan kelembaban relatif

rendah dibutuhkan untuk pembentukan konidia yang siap menyebar ke inang

baru.

Gambar 5.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah 6 hari

diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (107, 5.106, 106, 5.105, 105 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen.

M. anisopliae

020406080

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talita

s (%

)10 75.10 610 65.10 510 5kontrol

B. bassiana

020406080

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talita

s (%

)

10 7

5.10 6

10 6

5.10 5

10 5

kontrol

M. brunneum

020406080

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talita

s (%

)

10 75.10 610 65.10 510 5kontrol

F. oxysporum

020406080

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talita

s (%

)

10 7

5.10 6

10 6

5.10 5

10 5

kontrol

A. flafus

020406080

100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Mor

talita

s (%

) 10 75.10 610 65.10 510 5control

Page 69: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

52

Untuk setiap spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini, tingkat

kerapatan konidia memperlihatkan reaksi yang nyata terhadap mortalitas rayap

C. gestroi. Secara umum ada korelasi antara tingkat kerapatan konidia dengan

mortalitas, semakin tinggi kerapatan konidia yang di perlakukan juga

menunjukkan tingkat mortalitas rayap C. gestroi yang tinggi. Dalam hal ini

diperkirakan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia/ml yang diaplikasikan

terhadap rayap, memungkinkan kontak konidia dengan tubuh rayap dalam jumlah

yang lebih banyak. Keadaan ini memberi peluang yang lebih baik bagi konidia

untuk berhasil berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh rayap C. gestroi.

Selain tingkat kerapatan konidia, lamanya waktu pencelupan rayap ke dalam

suspensi konidia diperkirakan juga akan berpengaruh, namun dalam penelitian ini

lama pencelupan untuk semua tingkat kerapatan konidia dilakukan dalam waktu

4 detik.

Penelitian oleh Yoshimura dan Takahashi (1998), menunjukan bahwa pada

kontak selama satu menit dengan formulasi berkerapatan konidia B. brongniartii

tinggi (3,3 x 108 konidia/cm3) menghasilkan 100% mortalitas serangga uji dalam

waktu 5 hari, sedangkan dengan formulasi konidia berkerapatan rendah kontak

selama satu hari hanya menghasilkan 50% mortalitas dalam waktu yang sama.

Yoshimura et al. (1992) menyatakan bahwa tingkat patogenisitas cendawan

entomopatogen Conidiobolus coronatus terhadap rayap C. formosanus di

laboratorium dengan pemaparan rayap kasta pekerja terhadap koloni cendawan di

medium agar selama 3 jam menyebabkan 100% mortalitas dalam waktu 9 hari,

walaupun hanya 2 atau 3 konidia yang menempel pada permukaan masing-

masing tubuh rayap setelah pemaparan pada cendawan. Semua rayap pekerja

mati hanya dalam 1 hari setelah pemaparan selama 6 atau 24 jam. Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa C. coronatus mempunyai potensi tinggi untuk membunuh

rayap dalam waktu singkat.

Lethal Concentration (LC)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC95, 50 dan 25 dari cendawan

M. brunneum paling rendah dibandingkan nilai LC dari spesies cendawan lainnya

yang diuji pada penelitian ini, secara berurutan: 1,21 x 106 konidia/ml, 1,80 x 105

Page 70: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

53

konidia/ml dan 8,60 x 104 konidia/ml. Hal ini mengindikasikan bahwa

M. brunneum paling tinggi tingkat patogenisitasnya dibandingkan spesies

cendawan entomopatogen lainnya terhadap rayap tanah C. gestroi (Tabel 5.2).

Hasil penelitian Jones et al. (1996) dengan menggunakan 7 isolat B.

bassiana dan M. anisopliae sebagai bio-kontrol rayap C. formosanus,

menunjukkan bahwa umumnya strain M. anisopliae lebih virulen dengan nilai

LT50 lebih rendah dibandingkan strain B. bassiana. Menurut Cloyd (2004),

spesies cendawan M. anisopliae dapat mengendalikan banyak spesies serangga

hama pada percobaan-percobaan yang dilakukan, termasuk kumbang jepang

(Japanese beetle), kumbang penghisap anggur (black wine weevil), nyamuk dan

banyak jenis kutu.

Tabel 5.2. Lethal concentration (LC) beberapa spesies cendawan

entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi

LC (konidia/ml) Spesies cendawan95% 50% 25%

M. anisopliae 3,12 x 106 3,20 x 105 1,26 x 105 M. brunneum. 1,21 x 106 1,80 x 105 8,60x 104 B. bassiana 1,08 x 107 3,9 x 105 9,40x 104

F. oxysporum 5,76 x 106 6,78 x 105 2,80 x 105 A. flavus 7,85 x 106 1,97 x 106 1,10 x 106

Masing-masing spesies cendawan entomopatogen mempunyai tingkat

patogenisitas dan cara untuk menyerang rayap; cendawan mempunyai karakter

spesifik untuk menyerang inangnya (Gambar 5.2). B. bassiana dan M. brunneum

menunjukkan karakter berbeda di dalam mengkolonisasi inangnya, B. bassiana

hanya bersporulasi pada sisi tertentu saja dari tubuh inang. Karakter cendawan

didalam mengkolonisasi inang diduga juga berpengaruh pada tingkat

patogenisitas masing-masing spesies cendawan. Di samping itu, cendawan

entomopatogen juga menghasilkan beberapa metabolit sekunder sebagai toxin

untuk dapat melumpuhkan pertahanan inangnya.

Page 71: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

54

A B

Gambar 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh B. bassiana (A) dan M. brunneum (B)

Destruxins merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan

entomopatogen hyphomycetes M. anisopliae. Sedikitnya 26 jenis destruxin telah

diidentifikasi, destruxin A, B dan E yang paling dominan (Pais, Das & Ferron

1981; Gupta et al. 1989; Roberts 1981 dalam Amiri-Besheli et al. 2000).

Selain spesies cendawan Metarhizium sp., B. bassiana juga lebih intensif

digunakan sebagai agens pengendalian rayap dan juga telah diformulasi sebagai

bio-termitisida komersil, hal ini disebabkan spesies B. bassiana mempunyai

beberapa sifat keunggulan dibandingkan kelemahannya jika dipersiapkan sebagai

formulasi bio-termitisida.

Pada penelitian ini juga terlihat bahwa spesies cendawan B. bassiana pada

pengggunaan kerapatan konidia 105 konidia/ml dapat membunuh rayap lebih dari

40%; hasil ini tertinggi jika dibandingkan dengan spesies cendawan lainnya pada

penggunaan kerapatan konidia yang sama. Disamping itu, B. bassiana lebih stabil

sesuai dengan penurunan kerapatan konidia, mortalitas menurun secara

berimbang seiring rendahnya kerapatan konidia yang diaplikasikan namun

berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 5.1).

Pada penelitian terdahulu, 5 isolat B. bassiana dari inang yang berbeda:

Coptotermes curvignathus (Bb-Co), Crocidolomia pavonana (Bb-Cp).

Leptocorisa oratorius (Bb-Lo), Spodoptera litura (Bb-Sl) dan tanah perkebunan

kubis (Bb-Soil) sebagai bio-control untuk rayap tanah Coptotermes sp.,

ditunjukkan bahwa masing-masing isolat dengan kerapatan 108 konidia/ml dapat

membunuh 100% rayap dalam waktu 6 hari setelah aplikasi, kecuali isolat B.

bassiana dari ulat grayak. Isolat B. bassiana dari walang sangit memperlihatkan

Page 72: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

55

pertumbuhan yang lebih intensif pada permukaan tubuh rayap setelah 6 hari

aplikasi. Bahkan pada kerapatan 107 konidia/ml isolat ini dapat membunuh 100%

rayap. Berdasarkan analisis probit, nilai LC50 dan LT50 berturut-turut adalah 3,9 x

105 konidia/ml dan 2,06 hari (Desyanti et al. 2005)

Jones et al. (1996), pada penelitiannya menggunakan 4 isolat B. bassiana

dan 3 isolat M. anisopliae yang dievaluasi kemampuannya untuk digunakan

sebagai perbaikan agens pengendalian rayap C. formosanus. Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa strain B. bassiana 787 mempunyai nilai LC50 paling

rendah tetapi secara dekat diikuti oleh ke tiga isolat M. anisopliae. Nilai LC50 dari

empat isolat berkisar antara 33 - 40 konidia/rayap. Strain B. bassiana 787

digagaskan mempunyai potensial tertinggi sebagai perbaikan agens pengendalian

rayap C. formosanus sebab nilai LT50 yang cukup rendah 2,9 hari dan nilai LC50

juga rendah yaitu 33 konidia/rayap.

Suzuki (1991) telah memperoleh respon termitisida yang nyata dari spesies,

M. anisopliae, B. bassiana dan P. fumosoroseus. Namun spesies ini, secara

umum menghasilkan tingkat patogenisitas bervariasi antar strain dan antar jenis

inang isolat.

Setiap spesies cendawan entomopatogen akan efektif sebagai agens

pengendalian hama bila di dalam aplikasi menggunakan kerapatan konidia yang

optimum, pada penelitian ini perlakuan menggunakan beberapa spesies cendawan

entomopatogen dengan berbagai variasi kerapatan konidia, menghasilkan nilai

Lethal Concentration yang bervariasi (Tabel 5.2).

Setelah spesies M. brunneum secara berurutan diikuti oleh M. anisopliae,

F. oxysporum, A. flavus dan B. bassiana namun hanya spesies M. brunneum yang

memiliki nilai LC terendah dibandingkan spesies yang lainnya pada setiap

tingkatan LC (LC95, 50 dan 25), pada spesies cendawan lainnya terlihat tingkat

LC50 dan 25 yang tidak konstan. Hal ini juga tercermin pada pola kurva yang

berbeda untuk setiap spesies cendawan, bahwa spesies cendawan yang hanya

efektif pada kerapatan konidia tinggi akan memiliki nilai LC lebih tinggi, seperti

yang ditunjukkan oleh spesies cendawan A. flavus dan F. oxysporum (Gambar

5.1).

Page 73: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

56

Spesies cendawan A. flavus dan F. oxysporum selain tidak efektif pada

tingkat kerapatan konidia yang lebih rendah juga mempunyai sifat yang

merugikan. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan A. flavus juga menghasilkan

aflatoxins yang dapat menghasilkan tumor pada organ hati vertebrata termasuk

manusia, sedangkan F. oxysporum umumnya bersifat sebagai patogen pada

banyak tanaman (Salleh 2005). Diduga hal ini sebagai penyebab A. flavus dan

F. oxysporum tidak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama.

Sifat yang dapat merugikan terhadap pengguna, tanaman dan lingkungan hidup

lainnya akan dapat menambah permasalahan baru.

Tanada dan Kaya (1993) menyatakan cendawan entomopatogen Aspergillus

terdiri dari banyak spesies seperti A. flavus, A. parasiticus, A. tamari, A.

ochraceus, A. fumigatus, A. repens dan A. versicolor, dan cendawan ini

umumnya sebagai saprofit akan tetapi dapat menginfeksi serangga pada

rentangan jenis yang luas.

Salleh (2005), secara spesifik mengklasifikasikan cendawan Fusarium

berdasarkan penyebarannya di alam: 94% sebagai penyebab penyakit tanaman

atau berasosiasi dengan penyakit tanaman, 5% terdapat pada makanan, 1% pada

sumber lainnya dan hanya 0,5% sebagai patogen pada hewan dan manusia.

Menurut Teetor-Barsch dan Roberts (1993) cendawan spesies Fusarium

diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di

antaranya pada tanaman hidup maupun yang telah mati serta pada banyak hewan,

terutama serangga. Perhatian khusus diberikan terhadap rentangan inang dari

Fusarium, teristimewa antara inang tanaman dan serangga, sehingga diharapkan

cendawan ini memungkinkan berpotensi untuk mengendalikan hama.

Selanjutnya dinyatakan bahwa dari sejumlah besar Fusarium spp. yang

bersifat entomopatogen beberapa diantaranya bersifat lemah dan sebagai patogen

fakultatif. Kususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera, cendawan akan

mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada segolongan kecil

kasus, tingkat patogenisitas Fusarium terhadap tanaman dan serangga oleh isolat

yang sama juga ditemukan. Dan tingkat potensi isolat Fusarium yang

menyebabkan mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan sepesifik

inang yang tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman.

Page 74: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

57

0

20

40

60

80

100

0 1 2 3 4 5 6 7

Periode (hari)

Mor

talit

as (%

)

Umpan Kontak Kontrol

Pada Tabel 5.2. juga terlihat bahwa, walaupun B. bassiana memiliki LC95

tertinggi, namun memiliki LC50 terendah setelah M. brunneum dan M. anisopliae

serta LC25 terendah setelah M. brunneum. B. bassiana mampu mengendalikan

rayap tanah C. gestroi sampai pada penggunaan LC yang lebih rendah

dibandingkan spesies A. flavus dan F. oxysporum.

Respon cendawan terhadap kondisi lingkungan seperti temperatur,

kelembaban relatif dan khususnya pilihan terhadap serangga inang secara

individu bervariasi tergantung strain, bermacam inang dan daerah asal isolat

(Yoshimura et al. 1992).

Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium

Mortalitas (%)

Mortalitas rayap oleh cendawan entomopatogen M. brunneum dengan

menggunakan metode aplikasi kontak dan umpan dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Metode aplikasi dengan metode kontak dapat menyebabkan mortalitas rayap

100% dalam waktu satu minggu, hal ini diperkirakan bahwa dengan metode

kontak konidia cendawan langsung mengenai tubuh serangga dalam jumlah yang

banyak dibandingkan dengan metode pengumpanan sehingga konidia dengan

cepat dapat menempel, berkecambah dan berpenetrasi menembus kutikula

serangga sehingga menyebabkan kematian.

Gambar 5.3 Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomo-

patogen M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengumpanan (7 hari setelah aplikasi).

0

20

40

60

80

100

Umpan Kontak Kontrol

Metoda aplikasi

Mor

talit

as (%

)

Page 75: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

58

Hasil penelitian menunjukkan pola yang sama dengan penelitian Trizelia

(2005) bahwa mortalitas ulat krop kubis yang diinokulasi langsung dengan

konidia B. bassiana lebih tinggi dibandingkan mortalitas larva yang makan atau

berjalan pada daun yang disemprot konidia. Boucias dan Pendland (1998)

menyatakan bahwa dengan metode kontak langsung konidia akan dapat langsung

menempel dan berkecambah pada tubuh serangga. Penelitian Zoberi, 1995 dalam

Bayon et al. (2000) di laboratorium, menunjukkan bahwa metode kontak secara

langsung menggunakan M. anisopliae terhadap rayap pekerja Reticulitermes

flavipes (Kollar) menghasilkan 100% mortalitas dalam waktu 5 hari dan pada

metode pengumpanan dalam waktu 12 hari.

Lethal Time (LT)

LT (LT25, 50, dan 95) cendawan entomopatogen pada perlakuan metode

kontak lebih rendah dibandingkan pada metode pengumpanan (Tabel 5.3). Pada

metode kontak konidia langsung dapat menempel, berkecambah dan penetrasi

pada bahagian antar ruas tubuh serangga yang kondisi kelembabannya sangat

mendukung perkecambahan konidia, sedangkan pada metode pengumpanan

konidia harus melewati saluran pencernaan yang kondisinya kurang

menguntungkan untuk cepat berkecambah. Ada kemungkinan konidia tidak dapat

berkecambah optimum dalam saluran makanan, karena lingkungan kurang

mendukung.

Penelitian sebelumnya oleh Tefera dan Pringle (2003), menemukan

mortalitas yang sama pada Chilo partellus (Lepidoptera: Pyralidae) yang

diinokulasi dengan B. bassiana. Pada perlakuan kontak dengan pencelupan

menghasilkan LT50 terendah dengan waktu tersingkat. Selanjutnya Amiri-Besheli

et al. (2000) menyatakan bahwa 3 strain cendawan M. anisopliae var. anisopliae

(V 304, Me 1 dan V 245) virulensinya pada perlakuan metode injeksi dan metode

kontak langsung dengan perendaman tinggi akan tetapi strain Ma 23 hanya pada

metode injeksi saja. Penelitiannya juga mengindikasikan bahwa tidak semua

strain M. anisopliae dapat berpenetrasi ke dalam kutikula serangga, dan

ditegaskan bahwa kutikula merupakan salah satu penghambat penting untuk

dapat terjadinya infeksi.

Page 76: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

59

Lebih lanjut dinyatakan patogen harus cocok dengan inangnya dan

menghasilkan kombinasi enzim yang baik untuk dapat berpenetrasi ke dalam

kutikula inang. Hal ini memberi kesan bahwa berhasilnya infeksi tergantung

kepada beberapa faktor patogenisitas. Keberhasilan beberapa strain M. anisopliae

mungkin lebih tergantung pada kandungan destruxin dibandingkan dengan faktor

patogenisitas lainnya, dan ini memungkinkan strain M. anisopliae sering

dilaporkan sebagai pembunuh inangnya sebelum terjadi kolonisasi intensif.

Metode injeksi dan kontak langsung dengan pencelupan pada var. V 245

menghasilkan sporulasi yang tinggi pada Galleria mellonella.

Tabel 5.3 Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan metode kontak dan pengumpanan

Lethal Time (hari) Metode

95 50 25 Kontak (Contact) 4,37 (3,58 – 6,15) 2,01 (1,52 – 2,40) 1,46 (0,95 – 1,84) Pengumpanan (Baiting) 15,05 (12,81 – 18,64) 4,83 (4,56 – 5,13) 3,03 (2,77 – 3,26)

Dari hasil penelitian lapangan menggunakan empat isolat cendawan

M. anisopliae dengan perlakuan semprotan suspensi dan inokulum kering yang

ditebar, Moslem et al. (1999) mendapatkan perlakuan dengan menggunakan

suspensi secara ekonomi lebih menguntungkan dalam mengendalikan hama

kelapa sawit Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae).

Delate et al. (1995) di dalam Yoshimura dan Takahashi (1998)

mengevaluasi potensi penggunaan cendawan entomopatogen B. bassiana dan

M. anisopliae dengan menggunakan metode pengumpanan. Semua rayap uji mati

dalam waktu 4 hari untuk yang diperlakukan dengan M. anisopliae, yang

diperlakukan dengan B. bassiana memperlihatkan toksisitas yang lebih lambat

dibandingkan dengan M. anisopliae.

Keberhasilan aplikasi cendawan entomopatogen dengan metode kontak,

diperkirakan selain dapat dengan cepat menembus bahagian antar ruas dan

kutikula serta masuk ke dalam bagian internal serangga inang, cendawan juga

dapat masuk melalui celah alami yang ada pada tubuh serangga inang. Menurut

Yoshimura dan Takahashi (1998), M. anisopliae secara umum masuk ke tubuh

serangga lewat spirakel dan pori-pori pada seluruh organ. Di dalam tubuh

Page 77: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

60

serangga, cendawan menghasilkan perpanjangan hifa secara lateral, yang ahirnya

berkembang biak dan mengkonsumsi kandungan internal serangga. Pertumbuhan

hifa berlanjut sampai serangga terisi dengan miselia. Bila kandungan internal

serangga telah dikonsumsi, cendawan akan keluar melewati kutikula dan

bersporulasi sehingga membuat serangga seperti berbulu halus. Sebagai

tambahan, M. anisopliae dapat memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula.

Pada keadaan yang memungkinkan, kadang kala serangga juga dapat

mencegah serangan cendawan entomopatogen walaupun konidia telah sempat

menempel pada permukaan tubuh. Beberapa serangga mempunyai mekanisme

physiologi yang telah berkembang untuk mengurangi terjadinya infeksi oleh

cendawan seperti M. anisopliae. Sebagai contoh, belalang gurun pasir

memproduksi toksin anti cendawan yang dapat menghalangi perkecambahan

konidia. Selain hal tersebut serangga dapat menghindari infeksi dengan berganti

kulit dengan cepat atau mengembangkan integumen baru sebelum cendawan

berpenetrasi ke kutikula (Boucias & Pendland 1998).

Kesimpulan

Cendawan entomopatogen M. brunneum merupakan spesies cendawan

paling efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi karena tingkat

patogenisitasnya paling tinggi dengan nilai LC50 paling rendah (1,80 X 105

konidia/ml) kemudian diikuti oleh spesies M. anisopliae (3,20 X 105), B.

bassiana (3,9 X105), F. oxysporum (6,78 X105). Berdasarkan pengujian tingkat

keefektifan keempat spesies ini dapat di uji pada penelitian selanjutnya. A. flavus

memperlihatkan tingkat keefektifan paling rendah dengan nilai LC50 paling tinggi

(1,97 X106). Pada uji metode aplikasi, metode kontak lebih efektif dan dapat

menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih cepat dengan LT50 2,01 (1,52 –

2,40) hari dibandingkan metode pengumpanan dengan LT50 4,83 (4,56 – 5,13)

hari.

Page 78: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB VI

APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP

TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM

Abstrak

Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilaksanakan di laboratorium. Pada uji laboratorium terhadap rayap C. gestroi digunakan LC95 dari spesies cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link., dengan proporsi vektor: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%, sedangkan terhadap C. curvignathus menggunakan LC95 dari spesies cendawan M. brunneum dengan proporsi vektor 0% dan 10%. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas pada berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi. Sedangkan data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan RAL satu arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji DNMRT.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) dan lamanya waktu aplikasi (hari). Pada proporsi 10% pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa spesies cendawan M. brunneum menyebabkan mortalitas tertinggi (55%) namun sampai pada pengamatan 15 hari, M. brunneum, B. bassiana dan M. anisopliae menyebabkan mortalitas rayap tidak berbeda nyata (91,25%-100%). Uji penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus menggunakan 10% vektor yang diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum hanya mampu menghasilkan 60% mortalitas (kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11, 27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari inokulasi.

Kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, penularan, vektor,

Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.

Pendahuluan

Rayap tanah Coptotermes spp. merupakan serangga hama yang banyak

menyebabkan kerugian pada konstruksi hunian berbahan baku kayu. Pengendalian

hama ini memerlukan teknik khusus sehubungan dengan kebiasaan hidupnya yang

tersembunyi di bawah permukaan tanah dan dengan jumlah individu di dalam

Page 79: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

62

koloni yang cukup besar. Serangga sosial ini memiliki perilaku dan tingkatan

kasta serta pembahagian fungsi yang berbeda untuk menjalankan aktifitas

kehidupannya di dalam suatu koloni. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan untuk

mencapai kesuksesan di dalam pengendalian menggunakan cendawan

entomopatogen.

Menurut Pearce (1997) tidak seperti kebanyakan serangga lainnya, rayap

hidup di kegelapan sehingga komunikasi lewat sensory (sentuhan dan rasa) dan

secara kimia adalah sangat penting. Komunikasi secara kimia di antaranya dengan

menggunakan pheromon yaitu bahan kimia bersifat volatil yang dapat berfungsi

sebagai bahan untuk merespon perilaku antar individu di dalam suatu koloni.

Komunikasi ini memungkinkan rayap didalam koloni melakukan interaksi sosial

lewat perilaku seperti grooming, trophallaxis dan cannibalistic. Perilaku ini

diharapkan secara efektif dapat menularkan patogen antar individu di dalam suatu

koloni rayap.

Untuk mengaplikasikan patogen terhadap koloni rayap juga dibutuhkan

vektor sebagai agens penularan inokulum antar individu di dalam suatu koloni.

Berdasarkan perilaku rayap seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan

dengan hanya menginokulasikan cendawan entomopatogen terhadap sebagian

anggota koloni rayap, cendawan patogen akan dapat tersebar dari vektor ke

individu lainnya di dalam koloni. Dengan demikian semua individu di dalam

koloni akan dapat tereliminasi. Menurut Jones et al. (1996) berdasarkan aksi

patogen serangga dengan jumlah yang sedikit memungkinkan dapat menyebar

keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial terutama grooming dan

berbagi makanan, diharapkan dapat menyebarkan inokulum.

Kemampuan patogen untuk menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis

serangga berbeda, hal ini sehubungan dengan setiap jenis serangga mempunyai

kemampuan daya tahan atau tingkat kerentanan yang tidak sama. Berdasarkan hal

ini, telah dilakukan penelitian penggunaan berbagai proporsi vektor yang

diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen yang

telah diketahui keefektifannya terhadap rayap tanah. Tujuan penelitian ini adalah

mempelajari penularan cendawan entomopatogen dari vektor sebagai pembawa

Page 80: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

63

patogen terhadap individu lainnya di dalam suatu koloni untuk mengendalikan

rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium.

Bahan dan Metode

Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga,

Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Jenis Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah

spesies C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Bio-material LIPI

Cibinong, dan spesies C. curvignathus yang dipelihara di Laboratorium Biologi

Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.

Persiapan Spesies Cendawan

Spesies cendawan entomopatogen yang digunakan adalah Metarhizium

anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana

(Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link. Semua isolat murni disimpan pada

suhu 4 0C sampai masa penggunaan. Data selengkapnya mengenai asal cendawan

dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabe1 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai

inang atau sumber inokulum di alam.

Isolat Inang atau sumber cendawan

Stadia Jenis cendawan Asal geografi (Tahun)

1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus. linearis)

(Hemiptera: Alydidae)

Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin.

Probolinggo (2003)

2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Petch.

Bogor (2004)

3. Bb-Lo Walang sangit (Leptocorisa oratorius) (Hemiptera :

Coreidae)

Imago Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin

Probolinggo (2003)

4. Fu-Sl Ulat grayak (Sepodoptera. litura) (Lepidoptera:

Noctuidae)

Larva Fusarium oxysporum Link

Cibodas (2004)

Page 81: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

64

Prosedur Perbanyakan

Prosedur perbanyakan dapat diacu pada Bab IV.

Penyediaan Suspensi Konidia

Prosedur penyediaan suspensi konidia dapat diacu pada Bab IV, namun

penelitian ini menggunakan kerapatan konidia sebagai berikut: a). untuk

pengujian terhadap rayap C. gestroi di laboratorium menggunakan LC95 dari

spesies cendawan B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum,

dan b). untuk pengujian terhadap rayap C. curvignatus menggunakan LC95 spesies

cendawan M. brunneum. (1,21 x 106 konidia/ml). Konidia dihitung dengan

menggunakan haemocytometer.

Uji Penularan

Uji penularan terhadap C. gestroi

Untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi proporsi vektor yang digunakan

dari masing-masing perlakuan adalah: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% untuk

setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakukan adalah LC95 dari spesies

cendawan M. anisopliae, M. Brunneum, B. bassiana, dan F. oxysporum. Rayap

vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di

dalam unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah diberi alas kertas saring

sebagai sumber makanan. Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 20

ekor kasta pekerja dan dua ekor kasta prajurit. Untuk tujuan penggunaan sebagai

vektor pada uji penularan digunakan rayap yang diwarnai dengan Nile blue A

0,05% dan diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan terseleksi.

Uji penularan terhadap C. curvignathus

Untuk rayap tanah C. curvignathus digunakan proporsi vektor 0% dan 10%

untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakuan adalah LC95 spesies

cendawan M. brunneum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama

dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm

dengan tinggi 10 cm) yang telah diberi isi 20 mg tanah dan kayu pinus (2 cm x 1

Page 82: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

65

cm x 1 cm) sebagai sumber makanan (Falah et al. 2004). Jumlah individu untuk

setiap unit percobaan adalah 100 ekor kasta pekerja dan 10 ekor kasta prajurit.

Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara 26-28 0C dan kelembaban relatif 70-95% dengan kondisi gelap. Pengamatan terhadap

rayap C. gestroi mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 2 minggu dan

mortalitas rayap C. curvignathus dihitung di akhir percobaan (setelah 2 minggu).

Rayap mati diinkubasikan pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 5-

7 hari. Rayap mati yang telah dikolonisasi oleh cendawan di amati dibawah

mikroskop untuk memastikan rayap terkolonisasi oleh cendawan sesuai perlakuan.

Uji Penurunan Berat Contoh Uji (%)

Pengujian terhadap penurunan berat contoh uji kayu yang diumpankan

terhadap rayap, dilakukan bersamaan dengan perlakuan uji penularan terhadap

rayap C. curvignathus. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan berat contoh uji

(BKT) akibat serangan rayap.

Untuk menghitung penurunan berat akibat serangan rayap pada contoh uji

digunakan rumus:

W = W1 – W0 X 100% W1 dimana: W = penurunan berat akibat serangan rayap (%) W0 = berat contoh uji BKT sebelum pengujian (gr) W1 = berat contoh uji BKT sesudah pengujian (gr) BKT = berat kering tanur

Analisis Data

Data mortalitas yang diperoleh pada perlakuan penularan di dalam koloni

rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

dengan dua faktor (faktor I spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 4

spesies: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum dan faktor ke

II penggunaan proporsi vektor dengan 6 level: 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan

kontrol). Untuk pengujian terhadap rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor (proporsi vektor: 10% dan kontrol)

dengan uji ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple

Page 83: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

66

Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas dengan

berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies

cendawan digunakan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000).

Hasil dan Pembahasan

Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann.

Laju mortalitas rayap C. gestroi pada perlakuan berbagai proporsi vektor

yang diperlakukan dengan 4 spesies cendawan entomopatogen (M. anisopliae,

M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum) sampai dengan hari ke 15 disajikan

melalui Gambar 6.1. Pada perlakuan semua jenis cendawan, mortalitas meningkat

seiring dengan meningkatnya persentase vektor dan lamanya waktu aplikasi.

Perlakuan proporsi vektor 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% dapat menyebabkan

mortalitas yang tinggi kecuali pada jenis F. oxysporum.

Di antara cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk

mengendalikan rayap Coptotermes spp., Reticulitermes flavipes dan Odontotermes

spp. adalah: M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua spesies cendawan ini telah

diuji keefektifannya oleh Zoberi (1995) dalam Bayon et al. (2000). Penelitiannya

yaitu pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi cendawan ke rayap

yang sehat di dalam cawan petri; rayap kasta pekerja disajikan sebagai vektor

penyakit. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.

Pada penelitian ini, mortalitas dihitung dari semua individu di dalam koloni

atau unit percobaan, yaitu individu yang diinokulasi awal (vektor) dan yang tidak

diinokulasi (rayap sehat). Semua vektor mati dalam waktu 5 hari setelah inokulasi

dengan M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum. Rayap yang diinokulasi

dengan spesies B. bassiana hanya menyebabkan mortalitas 97,5%, akan tetapi

tidak berbeda nyata dengan spesies lainnya; hal ini diduga sebagai akibat kontak

langsung dengan suspensi spesies cendawan entomopatogen.

Pada perlakuan proporsi vektor, di akhir penelitian (setelah 15 hari)

mortalitas individu sehat (yang terkontaminasi) lebih dari 78,7% kecuali pada

perlakuan dengan F. oxysporum dengan proporsi 20% dan 10% hanya

menyebabkan mortalitas kurang dari 45%.

Page 84: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

67

Metarhizium brunneum

0

20

4060

80

100

0 2 4 6 8 10 12 14Waktu (hari)

Mor

talit

as (%

) 10%20%30%40%50%

Beauveria bassiana

0

2040

6080

100

0 2 4 6 8 10 12 14

Waktu (hari)

Mor

talit

as (%

) 10%20%30%40%50%

Fusarium oxysporum

0

20

4060

80

100

0 2 4 6 8 10 12 14

Waktu (hari)

Mor

talit

as (%

) 10%20%30%40%50%

Gambar 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan

dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (mortalitas kontrol 5%)

Bagian torax individu rayap yang mati terlebih dahulu, dimakan oleh

individu yang masih sehat (Gambar 6.2c) sedangkan bagian abdomennya dikubur

menggunakan sisa-sisa makanan dan material lainnya yang ada pada wadah unit

percobaan (Gambar 6.2e). Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi konidia

Metarhizium anisopliae

020406080

100

0 2 4 6 8 10 12 14

Waktu (hari)

Mor

talit

as (%

) 10%20%30%40%50%

Page 85: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

68

Keterangan: a).Grooming antara vektor dengan individu sehat, b). individu sehat yang tertular cendawan entomopatogen, c). Kanibalisme, d). Abdomen rayap yang tersisa akibat Kanibalisme dan e). Sisa abdomen rayap yang telah dikubur oleh individu sehat di dalam unit percobaan.

dari rayap terinfeksi (vektor) ke rayap sehat mencukupi dan trans-contamination

disempurnakan oleh adanya prilaku grooming dan trophallaxis (Gambar 6.2). Hal

ini hanya terjadi sebelum semua vektor mati. Kontaminasi selanjutnya

memungkinkan terjadi jika cendawan dapat berseporulasi pada permukaan tubuh

rayap yang telah mati oleh terinfeksi langsung maupun tertular dari vektor.

Menurut Yoshimura et al. (1992), diperkirakan pembentukan konidia baru

membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah kematian serangga.

a b

c d e

Gambar 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta-

minasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan

Mortalitas individu rayap C. gestroi yang tertular meningkat sejalan dengan

meningkatnya persentase proporsi vektor di dalam koloni. Kasus ini diduga

disebabkan oleh lebih tingginya kesempatan kontak antara vektor dengan individu

rayap sehat sehingga penularan patogen di dalam koloni lebih tinggi dan dapat

menyebabkan kematian lebih cepat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoshimura et al. (1992) pada uji

penularan, satu ekor rayap pekerja terinfeksi cendawan Conidiobolus coronatus

dapat mengakibatkan total kematian 20 ekor sampai dengan 50 ekor rayap kasta

Page 86: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

69

pekerja yang sehat jika dipaksakan dekat secara individu di dalam ruangan yang

sempit, sedangkan kontrol tidak ada yang mati selama penelitian berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 ekor rayap dapat dibunuh

oleh satu ekor individu rayap terinfeksi oleh C. coronatus. Hasil ini dapat sebagai

pedoman untuk suatu wabah penyakit pada suatu koloni rayap bahkan pada sekala

yang besar.

Jumlah persentase mortalitas juga nyata terlihat dipengaruhi oleh spesies

cendawan yang digunakan sebagai agens hayati, hal ini ditunjukkan oleh

penampilan grafik yang tidak sama antar spesies cendawan terutama pada tingkat

genus yang berbeda. Dalam hal ini ada interaksi antara spesies cendawan dengan

proporsi vektor yang digunakan, setiap spesies cendawan membutuhkan

persentase vektor tertentu untuk dapat menyebarkan propagul ke seluruh individu

di dalam koloni.

Laju mortalitas rayap C. gestroi pada tingkatan proporsi vektor, yang

diperlakukan dengan spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae dan M.

brunneum melihatkan pola grafik sigmoid yang cenderung sama (Gambar 6.1).

Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua spesies ini mempunyai kekerabatan

yang dekat, sehingga cenderung mempunyai karakteristik dan pola yang sama di

dalam menyebabkan mortalitas inang.

Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya (1993) di dalam penyelidikannya

mengklasifikasikan genus Metarhizium ke dalam 2 spesies yaitu M. anisopliae

dan M. flavoviride, dan memasukan 2 spesies cendawan entomopatogen M.

album dan M. brunneum sebagai sinonnim dari M. anisopliae. Selanjutnya

dinyatakan bahwa karakter dari M. anisopliae: bewarna putih diwaktu muda,

setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora

bercabang, dan konidia awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung

konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan

konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora. Strain lain dari Metarhizium

membentuk warna koloni yang berbeda: strain album bewarna putih dan strain

brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat.

Barron dan George (1968) menyatakan bahwa Metarrhizium tercatat jarang

berasal dari tanah, tetapi penelitiannya pada flora tanah Ontario mengindikasikan

Page 87: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

70

bahwa M. anisopliae sangat umum pada tanah hutan. Tercatat tiga tipe fenotip

yang nyata, yang lebih umum menghasilkan alur dan agregat spora hijau terang

yang diskripsinya diakui sebagai M. anisopliae. Spesies yang jarang ditemui

dengan warna massa spora pudar sampai coklat dan deskripsinya disetujui sebagai

Metarhizium brunneum Petch. Tipe yang ke tiga tercatat hanya pada satu kali

peristiwa, dengan kolum spora keungu-unguan dan muncul dari lempeng kuning

muda. Latch 1965 dalam Barron dan George (1968) mencatat bahwa secara

mikroskopik M. anisopliae dan M. brunneum sangat mirip dan menyarankan

kedua spesies ini sebagai spesies yang sama.

Selanjutnya menurut Tulloch 1979 dalam Moslem et al. (1999), M.

anisopliae terdiri dari 2 varietas yaitu M. anisopliae var. anisopliae mempunyai

spora pendek (3.5 – 9.0 µm), dan M. anisopliae var. major mempunyai spora

panjang (9 – 18 µm). Varietas major relatif homogen sedangkan varietas

anisopliae sangat heterogen, virulensinya bervariasi tergantung pada serangga

inang.

Korelasi antara mortalitas dengan beberapa tingkatan proporsi vektor yang

diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen B.

bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum diringkas pada Gambar

6.3 dan 6.4.

Pada Gambar 6.3 yaitu pengamatan sampai dengan hari ke 5 ditunjukkan

mortalitas dengan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masing-

masing spesies cendawan berkorelasi positif. Semakin tinggi proporsi vektor yang

digunakan menyebabkan terjadinya mortalitas rayap C. gestroi yang juga tinggi.

Hal ini terjadi terhadap semua spesies cendawan yang diujikan. Spesies cendawan

F. oxysporum paling nyata memperlihatkan respon akibat penurunan proporsi

vektor seperti yang ditunjukkan oleh nilai R2 = 0,9341, selanjutnya diikuti oleh M.

anisopliae (R2 = 0,9015), M. brunneum (R2 = 0,7262), dan B. bassiana (R2 =

0,4538). Spesies cendawan yang menunjukan respon yang tinggi pada perlakuan

penurunan proporsi vektor mengindikasikan bahwa cendawan hanya efektif jika

digunakan pada jumlah proporsi vektor yang tinggi saja. Penurunan jumlah vektor

mengakibatkan menurunnya tingkat keefektifan cendawan terhadap pengendalian

rayap C. gestroi.

Page 88: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

71

Gambar 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan

tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi)

Spesies cendawan B. bassiana pada penelitian ini menunjukan respon yang

paling rendah terhadap perlakuan proporsi vektor. Penurunan proporsi vektor

tidak memperlihatkan penurunan mortalitas yang kontras; hal ini ditunjukan oleh

nilai R2 paling rendah (R2 = 0.4538). Walaupun B. bassiana secara umum

mempunyai kemampuan membunuh lebih rendah jika dibandingkan dengan

spesies M. brunneum dan M. anisopliae namun keefektifannya terlihat lebih stabil

sampai penggunaan proporsi yang paling rendah. Spesies cendawan M. brunneum

memperlihatkan keefektifan paling tinggi pada penggunaan proporsi vektor

kurang dan sama dengan 30%.

Berdasarkan analisis ragam dan DNMRT pada taraf nyata 5%, mortalitas

sampai hari ke 5 memperlihatkan bahwa setiap spesies cendawan yang diinokulasi

dengan berbagai tingkatan proporsi vektor dengan LC95 umumnya berbeda nyata.

Dapat dinyatakan bahwa semua spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini

bersifat patogen dan dapat ditularkan antar individu di dalam koloni dalam waktu

yang singkat. Pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan

entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi juga terlihat bahwa semua

sepesies cendawan yang sama dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam

waktu 1 minggu setelah semua individu rayap di dalam satuan unit percobaan

diinokulasi dengan kerapatan konidia sama dan lebih dari 5.106 konidia/ml.

y = 0.999x + 16.49R2 = 0.9341

y = 1.024x + 35.5R2 = 0.9015

y = 0.312x + 49.86R2 = 0.4538

y = 0.55x + 52.74R2 = 0.7262

0102030405060708090

100

0 10 20 30 40 50

Vektor (%)

Mor

talit

as (%

)

Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. anisopliaeLinear B. bassiana Linear M. brunneum

Page 89: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

72

Pada tingkatan proporsi vektor yang berbeda, masing-masing spesies

mempunyai kemampuan menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi yang berbeda

pula kecuali mortalitas yang disebabkan oleh M. brunneum dan M. anisopliae

sampai dengan proporsi 30% tidak berbeda nyata. Perbedaan mortalitas rayap

terutama terlihat pada penggunaan proporsi vektor sama dan lebih rendah dari

30%.

Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies cendawan yang diuji selain

dipengaruhi oleh faktor kecocokan yang berbeda antara satu spesies dengan

spesies yang lainnya terhadap jenis inang tertentu, diperkirakan juga disebabkan

oleh keefektifan cendawan pada tingkat kerapatan konidia tertentu juga berbeda.

Pada pengujian ini digunakan LC95 dari masing-masing spesies cendawan. Hal ini

terlihat pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen

terhadap pengendalian rayap C. gestroi bahwa masing-masing spesies

menghasilkan nilai LC yang bervariasi. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan

menunjukkan semakin tinggi tingkat patogenisitas dari spesies cendawan.

Secara umum M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana dengan proporsi

vektor sampai dengan 10% dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih

dari 90% pada pengamatan hari ke 15 namun F. oxysporum hanya dapat

menyebabkan mortalitas 43.75%, sehingga F. oxysporum menyebabkan mortalitas

paling rendah sampai penggunaan proporsi vektor 10% (Gambar 6.4). Tingkat

patogenisitas F. oxysporum yang lebih rendah juga terlihat pada perlakuan

penggunaan berbagai variasi kerapatan konidia (penelitian sebelumnya), hanya

efektif pada kerapatan konidia yang lebih tinggi.

Page 90: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

73

y = 1.55x + 25.2R2 = 0.8489

y = 0.176x + 92.96R2 = 0.5

y = 0.226x + 90.2R2 = 0.8727

y = 100R2 = #N/A

0102030405060708090

100

0 10 20 30 40 50

Vektor (%)

Mor

talit

as (%

)

Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. brunneumLinear B. bassiana Linear M. anisopliae

Gambar 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan

tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi)

Salleh (2005) menjelaskan bahwa keberadaan spesies Fusarium sp. di alam

hanya 0.5% sebagai penyebab penyakit pada manusia dan hewan. Selanjutnya

dinyatakan bahwa F. oxysporum pada umumnya adalah sebagai patogen pada

banyak tanaman, seperti: pada kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan beberapa

spesies palm seperti: Date palm (Phoenix dactylifera), Canary palm (Phoenix

canariensis) dan beberapa ornamental palms. Pada penelitian ini F. oxysporum

mempunyai kemampuan seperti cendawan entomopatogen (Gambar 6.5), dan

pada banyak penelitian, spesies Fusarium belum umum digunakan sebagai

cendawan entomopatogen.

Gambar 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum

Page 91: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

74

Tingkat keefektifan spesies cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan

B. bassiana pada penggunaan LC95 tinggi dengan proporsi vektor yang lebih

rendah. Tampak bahwa cendawan ini akan sesuai digunakan sebagai agens hayati

untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi. Kemampuan patogen untuk

mengendalikan inangnya sangat ditentukan oleh faktor kesesuaian patogen untuk

dapat berkecambah, menembus kutikula inang dan juga ditentukan oleh faktor

ketersediaan nutrisi pada tubuh inang. Di samping hal tersebut ditunjang oleh

faktor lemahnya daya pertahanan inang terhadap spesies patogen tertentu. Dalam

hal ini, tidak tersedianya mekanisme enzim yang dapat menghalangi patogen

untuk berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh inang. Juga ditunjang oleh

ketidak mampuan inang menghindar dari serangan patogen seperti kemampuan

untuk berganti kulit sebelum patogen dapat menembus kutikula.

Boucias dan Pendland (1998) menyatakan bahwa pada banyak kasus lainnya

ada mekanisme kekebalan yang dimiliki oleh serangga untuk mencegah serangan

mikroorganisme termasuk cendawan. Sehingga banyak cendawan entomopatogen

yang menjadi lemah atau bersifat fakultatif yang hanya bisa menempel, melukai

atau melemahkan saja. Selanjutnya Cloyd (2003) menyatakan serangga juga dapat

melindungi dirinya dari serangan cendawan dengan menghasilkan toksin anti

cendawan yang dapat menghambat perkecambahan spora. Serangga juga dapat

berganti kulit dan mengembangkan integumen sebelum cendawan berpenetrasi ke

bagian internal tubuh inang.

Pada banyak penelitian penggunaan spesies M. anisopliae dan B. bassiana

sukses digunakan sebagai agens pengendalian rayap. Namun demikian banyak

peneliti masih mencari strain yang benar-benar sesuai untuk digunakan sebagai

agens hayati untuk spesies rayap tertentu dan cocok diaplikasikan pada situasi dan

iklim yang dikehendaki. Dengan demikian setiap produk bio-termitisida yang

berbasiskan cendawan entomopatogen, dalam jangka waktu tertentu perlu

mengadakan perbaikan kualitas terhadap agens hayati yang digunakan, karena

dianggap tidak selalu stabil pada situasi dan iklim yang berbeda. Dalam hal ini

perlu ditelaah lebih jauh tentang adanya keragaman strain di dalam spesies yang

sama.

Page 92: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

75

Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada

perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994), dan hal-hal yang mempengaruhi

perbedaan intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah

geografis asal isolat (Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman

karakter di dalam spesies baik secara fisiologi maupun genetik.

Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren)

Mortalitas (%)

Penularan cendawan entomopatogen antar individu rayap tanah

C. curvignathus terkontaminasi (vektor) dengan individu rayap sehat di dalam

satuan unit percobaan dapat terjadi. Setelah 15 hari dengan menggunakan 10%

vektor diinokulasi M. brunneum, mortalitas rayap sebesar 60% dalam populasi

dapat teramati (Gambar 6.6).

Jika dibandingkan dengan jenis rayap C. gestroi, dengan proporsi vektor

dan jangka waktu yang sama, terjadi penurunan mortalitas pada C. curvignathus.

Diperkirakan hal ini dapat terjadi karena perbedaan spesies inang sasaran yang

digunakan. Di samping itu, kehidupan rayap C. curvignathus dikondisikan hampir

sama dengan lingkungan habitat aslinya yang diberi sumber makanan dari kayu

pinus dan berada dalam jumlah populasi yang lebih banyak.

Keadaan ini selain disebabkan oleh tingkat kerentanan jenis rayap

C. gestroi yang diperkirakan berbeda dengan tingkat kerentanan C. curvignathus

juga dengan kondisi lingkungan tersebut akan dapat membuat rayap lebih dapat

bertahan di dalam menghadapi serangan cendawan M. brunneum. Eaton dan Hale

(1993) menyatakan beberapa cendawan entomopatogen yang efektif untuk

pengendalian rayap adalah Metarhizium dan Beauveria namun penelitian di

lapangan mengindikasikan bahwa sifat patogenisitasnya tidak selalu stabil.

Jumlah populasi yang lebih banyak di dalam satuan percobaan rayap

C. curvignathus dimungkinkan juga membuat aktivitas sosialnya meningkat,

sehingga rayap di dalam koloni lebih dapat mengatasi segala kemungkinan yang

mengancam. Hasil penelitian Yanagawa dan Shimizu (2007), menunjukan bahwa

prilaku grooming rayap tanah C. formosanus yang dipelihara dalam bentuk

Page 93: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

76

0

10

20

30

40

50

60

70

Mortalitas Penurunan berat contoh uji

Variabel pengamatan

Mor

talit

as d

an P

enur

unan

be

rat c

onto

h uj

i (%

)

Vektor Kontrol

koloni, sangat effektif memproteksi koloninya dari infeksi M. anisopliae. Dalam

hal ini C. formosanus lebih resisten terhadap serangan M. anisopliae bahkan

dalam waktu 3 jam, lebih dari 80% konidia yang ada dipermukaan tubuh C.

formosanus dapat berpindah ke dalam saluran pencernaan.

Kramm et al. 1982; Hanel dan Watson 1983 dalam Strack (2003)

menjelaskan, secara alami konidia dapat menempel pada kutikula serangga, dan

dengan mudah berpindah ke individu lainnya dengan lazimnya melalui interaksi

prilaku koloni. Rayap merupakan serangga sosial yang menarik di dalam berbagai

aktivitas yang memerlukan seringnya terjadi kontak fisik langsung dengan

anggota koloni. Trophallaxis (pertukaran makanan yang dimuntahkan kembali),

proctodeal trophallaxis (mengkonsumsi buangan anal) dan grooming secara

teratur merupakan hal yang perlu di dalam koloni. Diperkirakan lewat prilaku

grooming propagul cendawan dapat ditransfer dari satu individu vektor ke

individu lainnya.

Penelitian lain yang dilakukan Yoshimura et al. (1992) tentang uji penularan

dengan satu ekor rayap pekerja mati terinfeksi C. coronatus ditempatkan di antara

20 atau 50 rayap pekerja sehat, secara berurutan mortalitas 100 % dapat dicapai

dalam waktu 4 dan 5 hari. Penggunaan patogen C. coronatus dalam teknik

penularan untuk mengendalikan rayap tanah seperti C. formosanus patut

dipertimbangkan

Gambar 6.6 Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh

uji pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.

Page 94: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

77

Penurunan berat contoh uji (%)

Pengujian penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap pada penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan cendawan entomopatogen

M. brunneum terhadap serangan rayap. Hasil penelitian pada perlakuan penularan

dengan 10% vektor yang diinokulasi dengan M. brunneum di dalam koloni rayap

C. curvignathus di laboratorium, menunjukkan penurunan berat contoh uji

berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6.2 ).

Tabe1 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.

Perlakuan Penurunan berat (%) Vektor 10% 11,27 b Kontrol 47,82 a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.

Penurunan berat contoh uji pada perlakuan vektor 10% mengindikasikan

penurunan serangan rayap jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan

penularan cendawan M. brunneum di dalam koloni dapat mengakibatkan

terganggunya metabolisme tubuh rayap sehingga menurunkan aktifitas dan daya

konsumsi. Menurut Sari et al. (2004) penghambatan aktifitas makan (antifeedant)

diindikasikan oleh kehilangan berat contoh uji. Apabila kehilangan berat contoh

uji kecil bearti penghambat aktifitas makannya tinggi.

Berat contoh uji menurun pada perlakuan 10% vektor sebanyak 11,27%

(Tabel 6.2 dan Gambar 6.6). Hal ini diperkirakan sebelum individu rayap sehat

terkontaminasi cendawan M. brunneum akibat penularan dari rayap vektor, rayap

mampu menyerang contoh uji secara aktif. Namun setelah penularan terjadi,

aktifitas rayap dan kemampuan konsumsi menurun sampai terjadi mortalitas.

Tanada dan Kaya (1993) menyatakan periode kematian serangga oleh

cendawan entomopatogen umumnya tidak ditandai oleh gejala tertentu pada awal

infeksi. Hanya setelah infeksi dan penyebaran cendawan terjadi di dalam tubuh,

serangga menjadi kurang aktif. Gejala yang sama juga terlihat pada rayap, tahap

ahir infeksi, rayap akan kehilangan tenaga, diam dan kemudian mati. Selanjutnya

Page 95: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

78

dinyatakan bahwa periode dari infeksi sampai serangga mati sesingkat-singkatnya

3 hari dan selama-lamanya 12 hari, periode ini bervariasi tergantung juga dengan

ukuran serangga.

Serangan rayap C. curvignathus selain berakibat pada penurunan berat

contoh uji, juga terlihat pada tingkatan serangan pada contoh uji (Gambar 6.7).

Pada tingkat serangan, perlakuan dengan 10% vektor juga terlihat lebih sedikit

dibandingkan dengan tingkat serangan pada kontrol.

Gambar 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada

perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.

Kesimpulan

Mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya

proporsi vektor (%) di dalam unit percobaan dan lamanya waktu pengamatan.

Dengan penggunaan vektor sampai dengan 10% dalam 15 hari pengamatan,

cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu menyebabkan

mortalitas rayap lebih dari 90% sedangkan mortalitas pada rayap kontrol hanya

5%. Pada uji terhadap rayap C. curvignathus, perlakuan dengan 10% vektor

diinokulasi dengan M. brunneum hanya dapat menyebabkan mortalitas 60%

(mortalitas kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol

47,82%) selama 15 hari pengamatan.

Page 96: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

Maaf ....................... Lembar Halaman Ini Pada Aslinya Memang Tidak Ada

Page 97: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Keragaman spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada sumber

inokulum serangga hama mati terinfeksi di lapangan lebih tinggi dibandingkan

yang ditemukan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir. Spesies

cendawan yang ditemukan pada berbagai inang dan inokulum di alam adalah:

Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch,

Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Myrothecium roridum Tode ExFR, Aspergillus

flavus Link., Penicillium citrinum Thom., Fusarium oxysporum Link, Fusarium

solani Link., Verticilium lecanii (Zimmermann) dan Paecilomyces fumosoroseus

(Wize) Brown dan Smith. Uji patogenisitas mengindikasikan umumnya cendawan

yang ditemukan bersifat patogen terhadap rayap tanah C. gestroi. Spesies M.

anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, B. bassiana dari

walang sangit, M. roridum dari tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus

dari rayap tanah, pada kerapatan 107 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas

100 % dalam waktu 6 hari.

Pada uji keefektifan dengan perlakuan beberapa kerapatan konidia, ternyata

M. brunneum mampu menyebabkan mortalitas lebih dari 80% pada kerapatan

5.105 konidia/ml dan memiliki LC50 paling rendah (1.8 x 105 konidia/ml)

kemudian diikuti oleh M. anisopliae, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus.

Metode kontak lebih cepat mematikan rayap tanah Coptotermes spp.

dibandingkan metode pengumpanan; metode kontak mempunyai LT50 2,01 hari

sedangkan metode pengumpanan mempunyai LT50 = 4,83 hari.

Pada uji laboratorium dengan penularan pada rayap C. gestroi, mortalitas

meningkat seiring dengan meningkatnya proposi vektor di dalam unit percobaan

dan lamanya pengamatan. Dengan penggunaan rayap vektor sampai dengan 10%

dalam 15 hari pengamatan, M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu

menyebabkan mortalitas C. gestroi lebih dari 90% sedangkan kontrol hanya

sebesar 5%. Perlakuan dengan 10% vektor diinokulasi dengan M. brunneum

hanya dapat menyebabkan mortalitas 60% C. curvignathus (mortalitas kontrol

Page 98: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

89

13.25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari

inokulasi.

Serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diarahkan pada pengujian

yang potensial sebagai langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan

cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di

Indonesia.

Saran

Penelitian ini perlu dilanjutkan pada uji semi lapangan dengan populasi

rayap yang lebih banyak dan pada koloni rayap di lapangan, karena hasil

penelitian pada laboratorium sering menunjukkan hasil yang tidak stabil jika

diterapkan di lapangan. Sehubungan dengan keragaman virulensi antar isolat

dalam spesies yang sama, perlu dilakukan pengujian terhadap isolat Metarhizium

spp. dan Beauveria bassiana yang berasal dari berbagai sumber inokulum dengan

kondisi iklim dan topografi yang berbeda di Indonesia. Untuk tujuan komersil

perlu penelitian yang intensif tentang pembuatan formulasi biotermitisida

berbasiskan isolat cendawan entomopatogen Metarhizium brunneum, Metarhizium

anisopliae dan Beauveria bassiana. Metode pengendalian dengan menggunakan

individu vektor dapat dikembangkan.

Page 99: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

DAFTAR PUSTAKA Amiri-Besheli B, Khambay B, Cameron S, Deadman ML, Butt TM. 2000. Inter-

and Intra-Specific Variation in Destruxin Production by Insect Pathogenic Metharhizium spp., and Its Significance to Pathogenesis. Crop Protection Unit, University of Reading United Kingdom Mycopathologia, 104(4): 447-452

Ansari MA, Vestergaard S, Tirry L, Moens M. 2004. Selection of a Highly

Virulent Fungal Isolat, Metarhizium anisopliae CLO 53, for Controlling Hoplia philanthus, J. Invertebr Pathol 95:89-96.

Bakti D. 2004. Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren

Menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae Weiser dalam Sekala Laboratorium. Jurnal Natur Indonesia 6 (2):81-83.

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4.

New York: Macmillan Publishing Company. Barron, George L. 1968. The Genera of Hyphomycetes from Soil. New York:

Robert E. Krieger Publishing Company. Bayon IL, Ansard D, Brunet C, Girardi S, Paulmier I. 2000. Biocontrol of

Reticulitermes santonensis by Entomopathogenic Fungi Improvement of the Contamination Process. Stockholm Sweden, IRG Secretariat KTH SE-100 44

Becnel JJ. 1997. Complementary Techniques: preparations of entomopathogens

and diseased specimens for more detailed study using microscopy. Di dalam: Lacey LA, editor. Biological Techniques, Manual of Techniques in Insect Pathology. San Diego: Academic Press.

Behle RW, Tames-Guerra P, Shasha BS, McGuire MR. 1999. Formulating

Bioinsecti-cides to Improve Residual Activity, Presented at the Formulations Forum Symposium USDA-ARS-NCAUR 18 15 N. University Peoria, Illinois

Benson EP. 2005. Termites Identification Workshop on Urban Pests

Management, Center for Integrated Pest Management (CIPM) Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture - Bogor Agricultural University Collaboration with Clemson University; Bogor, July 19th - 21st.

Berretta MF, Lecuona RE, Zandomeni RO, Grau O. 1998. Genotyping Isolates of

the Entomopathogenic Fungus Beauveria bassiana by RAPD with Fluorescent Labels. J. invertebr pathol 71: 145–150.

Boucias DG, Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. London: Kluwer

Academic Publishers.

Page 100: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

91

Butt TM, Jackson C, Magan N. 2001. Fungi as Biocontrol Agents: progress, problems and potential. United Kingdom: CABI Publishing.

CABI Bioscience (1998) Entomopathogenic Fungi from Various Host in the

World. CABI Genetic Resourse Collection. 375 hal. Cates J. 2007. Termite Control without Chemicals. [terhubung berkala]

http://www.bugsinthenews.com/Chemical%20Free%20Termite%20Interdiction.htm.[7 Mei 2007]

Cloyd RA. 2003. Know Your Friends The Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae. University of Illinois VI (7): [terhubung berkala] http://www.entomology.wisc.edu/mbcn/nbcn607html [7 Januari 2005]

Delate KM, Grace JK, Tome CHM. 1995. Potential Use of Pathogenic Fungi in Baits to Control Formoson Subterranean Termite (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Appl Entomol 119: 429-433.

Desyanti, Santoso T, Hadi YS, Yusuf S. 2005. Virulence of Various Isolates of

Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana (Balls.) Vuill. Against Subterranean Termite Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae), Proceedings of 1st International Conference Crop Security (ICCS); Malang, September 19th - 22nd

Domsch KH, Gams W, Anderson T-H. 1980. Compendium of Soil Fungi.

London: Academic Press. Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood Decay, Pests and Protection. London:

Chapman & hall, 2-6 Boundary Row. Ekesi S, Maniania NK, Lux SA. 2003. Effect of Soil Temperature and Moisture

on Survival and Infectivity of Metarhizium anisopliae to Four Tephritid Fruit Fly Puparia. J. Invertebr. Pathol. 83: 157-167.

Ellis D. 2007. Mycology Online, [terhubung berkala ] http://www.mycology.adelaide.edu.au/ Maret 2007.

Ellis MB. 1993. Dematiaceous Hyphomycetes. United Kingdom: CAB International.

Falah S, Syafii W, Katayama T. 2005. Antitermic of Extracts from the Bark of

Some Tropical Hardwoods di dalam Sustainable Production and Effective Utilization of Tropical Forest Resources, Proceedings of the 5th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science; Kyoto, September 17-19

Finney DJ. 1971. Probit Anlyisis. Ed ke-3. Combridge: University Press.

Page 101: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

92

Hajek AE, Leger RJ. 1994. Interactions Between Fungal Pathogens and Insect Hosts. Annu. Rev. Entomol 39: 293-322.

Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H. 2001. Use of Hyphomycetous Fungi

for Managing Insect Pests. Di Dalam: Butt TM, Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents: progress, problems and potential. London: CABI Publishing.

Jones WE, Grase JK, Tamashiro M. 1996. Virulens of Seven Isolates of

Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to Coptotermes formosanus (Isoptera : Rhinotermitidae). J. biol contr 25(2): 481-487.

Keller, Zimmermann.1989. Mycopathogens of Soil Insects. Di dalam: Wilding N,

Collins NM, Hammond PM, Webber JF, Editor. Insect-Fungus Interactions, 14th Symposium of the Royal Entomological Society of London in Collaboration with the British Mycological Society 16-17 September 1987, London: Academic Press.

Khan K, Jayaraj, Gopalan M. 1991. Mycophatogenes for Biological Control of

Odontotermes brunneus (Hagen). J. biol contr 5: 32-35. Krishna K, Weesner FM. 1969. Biologi of Termites. New York: Academic Press. Kubota S, Shono Y, Matsunaga T. 2007. Termitisidal Efficacy of Bistrifluron to

the Japanese Subterranean Termite. The Fourth Conference of Pacific Rim Termite Research Group (TRG 4); Kaohsiung, Taiwan 26 and 27 Februari 2007.

Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Peres Lewis V. 2006. Termite Damage and Detection: an American Perspective. The

Third Conference of Pacific Rim Termite Research Group (TRG 3); Guangzhou, P. R. China 6 and 7 March.

Maniania NK, Ekesi S, Songa JM. 2002. Managing Termites in Maize With the

Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae. T-Space Univ. of Toranto 22(1): 41-46. [terhubung berkala]. http://hdl.handle.net/1807/129 [23 maret 2004].

Mattjik AA, Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS

dan Minitap. IPB Press. Bogor. Milner RJ, Staples JA, Lenz M. 1996. Option for Termite Management Using the

Insect Pathogenic Fungus M. anisopliae. The International Research Group on Wood Preservation IRC/WP/10324 Rosenheim, June 7-11.

Page 102: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

93

Moslem R, Wahid MB, Kamarudin N, Sharma M, Ali SRA. 1999. Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) Applied by Wet and Dry Inoculum on Oil Palm Rhinoceros Beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Research II (2): 25 - 40.

Nandika D. 1999. Status Bahaya Serangan Rayap pada Bangunan Gedung. Makalah Seminar Nasional Pemantapan Sistim Pengendalian Rayap pada Bangunan Gedung. Jakarta, 12 Mei.

Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: biologi dan pengendaliannya.

Surakarta: Muhammadiyah University Press. Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of

Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the Entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomol 33(1): 051-056.

Oliveira CN de, Neves PMOJ, Kawazoe LS. 2003. Compatibility Between the

Entomopathogen Fungus Beauveria bassiana and Insecticides Used in Coffee Plantations. Sci. agric 60(4). [terhubung berkala].mailto:[email protected] [24 Januari 2004].

Olsson S. 1997. Nutrient Translocation and Electrical Signalling in Mycelia di

Dalam The Fungal Colony Edited oleh Gow NAR, Robson GD, Gadd GM, British Mycological Society, Cambridge University Press (1): 25-48.

Pearce MJ. 1997. Termite: biologi and management. New York: CAB

International Publisher. Richard D. 1996. Insect Societies. United Kingdom: CABI Publishing. Rombach. 1988. Entomogenous Fungi. Laporan Kursus Singkat Isolasi Pencirian

dan Pengawetan Biakan Murni Mikroorganisme. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.

Salleh B. 2005. Plant Diseases Caused By Fusarium Species in the Tropics,

Proceedings of 1st International Conference Crop Security (ICCS). Malang, September 19th - 22nd

Samuels R I, Corocini DLA, Santos CAM dos, Gava CAT. 2002. Infection of

Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae) eggs by entomophatogenic fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana. J. bio contr 23: 269-273.

Sari K, Syafii W, Sofyan K, Hanafi M. 2004. Sifat Antirayap Resin Damar Mata

kucing dari Shorea javanica K.et V. J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2 (1): 8-15.

Page 103: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

94

Scholte E-J, Knols BGJ, Samson RA, Takken W. 2004. Entomopathogenic Fungi for Mosquito Control: A Review. J Sci 4(19): 1-24 [terhubung berkala]: insectscience.org/4.9 [3 April 2006]

Singh K, Frisvad JC, Thrane U, Mathur SB. 1991. An Illustrated Manual on

Identification of Some Seed-borne Aspergilli, Fusaria, Penicillia and their Mycotoxins. Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries and Department of Biotechnology the Technical University of Denmark.

Sornnuwat Y. 1996. Studies on Damage of Construction Caused by Subterranean

Termites and its Control in Thailand. Phd Disertation of Kyoto Yuniversity . Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik: suatu pendekatan

biometrik. Sumantri B, penerjemah: Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Strack BH. 2003. Biological Control of Termites by the Fungal Entomopathogen

Metarrhizium anisopliae, Urban Entomology Laboratory University of Toranto. [terhubung berkala]. http://C:\NC\My%20Dokumens\Internet\Fungal%20control%20of%20termites.htm [4 Mei 2003].

Sudiyani Y, Horisawa S, Chen K, Doi S, Imamura Y. 2002. Changes in Surface

Properties of Tropical Wood Species Exposed to the Indonesian Climate in Relation to Mold Colonies; J. Wood Sci 48: 542-547.

Suratmo G. 1974. Perlindungan Hutan. Bogor: Proyek Peningkatan Mutu

Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Suzuki K. 1991. Laboratory Trial of Biological Control Agents Subterranean

Termite. International Research Group on Wood Preservation. IRC/WP/1476. Kyoto, May 20-24

Tambunan B, Nandika D. 1987. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor:

Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Tanada Y, Kaya HK.1993. Insect Pathology. Sandiago: Academic Press, INC.

Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Tarumingkeng RC. 1971. Biologi dan Pengendalian Rayap Perusak Kayu

Indonesia. Bogor: Lap LPPK . Tarumingkeng RC. 2000. Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan, Topik-topik

terpilih. Jakarta: Ukrida Press. Tarumingkeng RC. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap (Biology and ethology of

termites). [terhubung berkala] http://www.tumoutou.net/biologi_dan_perilaku_rayap.htm [7 Maret 2007].

Page 104: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

95

Tarumingkeng RC. 2004. Pengenalan Rayap Perusak Kayu yang Penting di Indonesia, Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan, [terhubung berkala]

http://tumoutou.net/dethh/4_termite_identification.htm [7 Maret 2007] Teetor-Barsch GH, Roberts DW. 1993. Entomogenous Fusarium Species.

Mycopathologia 1;84(1):3-16 [terhubung berkala] http://www.nlm.nih.gov/contacts/contact-pubmed.html [13 Februari 2006].

Tefera T, Pringle KL. 2003. Effect of Exposure Method to Beauveria bassiana

and Conidia Concentration on Mortality, Mycosis, and Sporulation in Cadavers of Chilo partellus (Lepidoptera: Pyralidae); J. Invertebr Pathol 84: 90-95.

Thapa RS. 1981. Termites of Saba. India: Entomology Branch Forest Research Institute and Colleges Dehradun.

Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.

(Deuteromycotina: Hyphomycetes): keragaman genetic, karakterisasi fisiologis, dan virulensinya terhadap Croccidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB

Varela A, Morales E. 1995. Characterization of Some Beauveria bassiana Isolate

and Their Virulence Toward the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei, L. J. Invertebr pathol 67: 147-152.

Yanagawa A, Shimizu S. 2007. Resistance of the termite, Coptotermes

formosanus Shiraki to Metarhizium anisopliae due to Grooming. J. BioControl 52: 75-85.

Yoshimura T, Tsunoda K, Takahashi M, Katsuda Y. 1992. Pathogenicity of An

Entomopathogenous Fungus, Conidiobolus coronatus TYRRELL. and MACLEOD, to Coptotermes formosanus SHIRAKI; Jpn. J. Environ.Entomol.Zool, 4(1): 11-16.

Yoshimura T, Takahashi M. 1998. Termiticidal Performance of An

Entomogenous Fungus, Beauveria brongniartii (SACCARDO) PETCH in Laboratory Tests; Jpn. J. Environ, Entomol. Zool. 9(1): 16 – 22.

Yusuf S. 2001a. Pengujian Meganium 200 EC Terhadap Rayap Tanah

Coptotermes sp. untuk Keperluan “Bait System”. Serpong: LIPI. Yusuf S. 2001b. Pengujian Meganium Duster 10 Terhadap Rayap Tanah.

Serpong: LIPI. Yusuf S. 2004. Current Termite Management in Indonesia. TRG 1, Pacific Rim

Termite Research Group; Malaysia, 8-9 March.

Page 105: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

96

Yusuf S, Desyanti, Santoso T, Hadi YS. 2005. The Application of Entomopathogenic Fungi as Biocontrol for Subterranean Termites. TRG 2, Pacific Rim Termite Research Group; Bangkok, 28 February and 1 March.

Page 106: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

LAMPIRAN

Page 107: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

98

Lampiran. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) yang Digunakan pada Penelitian

2. Metarhizium brunneum Petch Warna koloni brunneum kuning sampai coklat dan pudar. Sedangkan secara mikroskopik M. brunneum dan M. anisopliae sangat mirip ( Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993).

3. Penicillium citrinum Thom. Warna koloni hijau, biru keabu-abuan, tangkai konidiofora (stipe) panjang rata, biverticillate, divergent, metulae sering spathulate, pialit ampulliform dengan collula pendek, konidia bulat rata (Singh et al. 1991)

4. Fusarium oxysporum Link Pertumbuhan koloni cepat, bewarna orange keputihan, sporodochia orange pucat, mono-pialit, makro konidia 3-septa dengan foot cell dan mikro konidia 0-septa berada didalam kepala palsu (false heads), sering berkelom-pok pada mono-pialit pendek, chlamydospores berlimpah biasanya tunggal pada hifa (Singh et al. 1991).

5. Myrothecium roridum Tode ExFR. Mycelium putih-kemerahan, sporodochia bertangkai seperti synnemata diameter 60-750 µm, padat muncul dari perkembangan stroma. konidiofora hyaline, olivaceous ramping, muncul percabangan berulang dengan beberapa cabang pada setiap nodus. Cabang terahir merupakan pialit dengan lapisan parallel, berukuran 11-16 X 1.5-2.0 µm. Ada zona melingkar olivaceous-hitam, konidia ellipsoidal sempit dengan ujung membulat berukuran 5.5-7.0 X 1.5-2 µm (Tulloch et al. 1970 dalam Domsch et al. 1980).

1. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidium awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora, masa untaian konidia menjadi zigzag melekat satu sama lain yang masing-masingnya menghasilkan massa prismatic dari colum untaian konidia. (Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993).

Page 108: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

99

img

6. Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith. Pertumbuhan koloni agak lambat, mencembung, pink, kadang-kadang memproduksi synnemata pada agar, konidiofora muncul beberapa dengan dasar pialit mencembung, tersusun seperti daun melingkar, konidia cylindrical-fusiform berukuran 3-4 x 1-2 µm (Brown, Smith dan Samson 1979 dalam Domsch et al. 1980).

7. Aspergillus flavus Link. Warna koloni hijau kekuningan dan semakin hijau dengan bertambahnya umur, bersinar, kepala konidia radiate kehilangan colum konidia dengan bertambahnya umur, stipe panjang, verrucose dan hyaline. Vesicle berbentuk kubah. Ada metula berukuran kecil, pialit berukuran kecil langsung pada vesicle, konidia globose - subglobose, biasanya kasar. (Singh et al. 1991).

8. Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hifa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Barron 1968).

9. Verticilium lecani (Zimmermann), Koloni bewarna putih – kuning pucat, hifa fasciculate, reverse tidak bewarna - kuning. Pialit tunggal atau sangat sedikit melingkar muncul pada konidiofora dengan posisi tegak dan sedikit berbeda dengan kedudukan hifa. Konidia di ujung atau parallel berkelompok, silender, ujung membulat atau berbentuk ellip berukuran 2.3-10 x 1.0-2.6 µm (Domsch et al. 1980)

10. Fusarium solani Link. Pertumbuhan koloni cepat, berbentuk wol-cattun bewarna cream – putih. Hifa bersepta dan hyaline. konidiofora tidak bercabang dan bercabang. monophialides. Macroconidia melengkung, gemuk, biasanya 3-5 septate, berukuran 4-6 x 65 µm, muncul pada konidiofora pendek yang segera membentuk sporodochia. Microconidia muncul dari monophialides panjang, satu - dua cel, cylindrical – oval, berbentuk kuntum di ujung pialit. Ada Chlamydoconidia tunggal dan berpasangan. Mudah dikenal berdasarkan warnanya cream, mono pialit panjang dengan microkonidia hanya di false heads. (http://www.doctorfungus.org/index.htm maret 2007).

Page 109: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

100

Page 110: Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera ... · lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and ... 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada

101