kajian pengendalian rayap tanah coptotermes spp. (isoptera ... · lecanii (zimmermann), aspergillus...
TRANSCRIPT
KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE)
DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL
DESYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bawah disertasi Kajian Pengendalian Rayap
Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2007
Desyanti NIM E 061020081
iii
ABSTRAK DESYANTI. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal. Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF dan TEGUH SANTOSO
Rayap tanah Coptotermes spp. adalah salah satu dari banyak hama yang menyebabkan kerusakan serius pada produk hasil kayu khususnya sebagai material bangunan. Beberapa metode pengendalian rayap telah berhasil dilaksanakan di Indonesia, di antaranya penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah, impregnasi ke dalam kayu dan metode pengumpanan serta penghalang fisik. Namun pengendalian hayati menggunakan cendawan entomopatogen belum banyak dilakukan di Indonesia.
Cendawan diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam seperti ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR., Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Fusarium oxysporum Link, dan Fusarium solani Link telah ditemukan dari berbagai sumber inokulum di alam. B. bassiana merupakan spesies yang paling dominan ditemukan.
Uji tapis mengindikasikan bahwa cendawan yang ditemukan umumnya bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas rayap Coptotermes gestroi Wasmann lebih dari 60% setelah 6 hari diinokulasi. Bahkan M. anisopliae dari inang penghisap polong kedele, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari inang rayap tanah dapat membunuh rayap 100% setelah 6 hari inokulasi. Berkenaan dengan kerapatan konidia, hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia menyebabkan mortalitas rayap lebih tinggi. Nilai lethal concentration (LC) dari masing-masing spesies berbeda. Dalam hal ini M. brunneum dari pasir memiliki LC50 terendah, yaitu 1,8 x 105 konidia/ml. Aplikasi dengan metode kontak menyebabkan mortalitas dalam waktu yang lebih singkat (LT50 = 2,01 hari) dibandingkan dengan metode pengumpanan (LT50 = 4,83 hari).
Uji penularan patogen di laboratorium terhadap rayap C. gestroi, mengindikasikan korelasi antara mortalitas dengan proporsi vektor: mortalitas rayap meningkat dengan meningkatnya proporsi vektor. Pada penggunaan proporsi vektor 10%, mortalitas yang disebabkan oleh B. bassiana, M. anisopliae dan M. brunneum pada LC95 tidak berbeda nyata (>90%). Pada uji terhadap rayap tanah C. curvignathus, spesies cendawan M. brunneum hanya menyebabkan 60% mortalitas (mortalitas rayap pada kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) 15 hari setelah inokulasi. Sebagai kesimpulan penelitian ini, rayap yang diperlakukan (vector) dapat menyebarkan penyakit yang disebabkan cendawan terhadap individu rayap sehat lainnya. Key words: bio-kontrol, uji tapis, LC, LT, penularan, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.
iv
ABSTRACT
DESYANTI. Study on Bio-control of Subterranean Termites Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) using indigenous Isolates of Entomopathogenic Fungi. Under the Direction of YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF and TEGUH SANTOSO
Subterranean termite Coptotermes spp. is one of the important pests causing serious damage of wood product especially as building material. Some methods for termite control currently practiced in Indonesia are the use of termiticides as soil treatment, impregnation in to the wood, baiting and physical barrier. The use of bio-control agent such entomopathogenic fungi is only at the beginning stage.
The fungi were isolated from various hosts in nature such as cabbage heart caterpillar (Crocidolomia pavonana F.), army worm (Spodoptera litura F.), rice bug (Leptocorisa oratorius F.), pod-sucking bug (Riptortus liniaris L.), subterranean termite (Coptotermes curvignathus Holmgren.), soil and sand. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill, Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and Fusarium solani Link have been found from various hosts. B. bassiana was the most commonly fungus species found.
The screening test indicated that the fungi are generally pathogenic to termite Coptotermes gestroi Wasmann and could cause termite mortality more than 60% within 6 days. M. anisopliae from infected pod-sucking bug, M. brunneum from sand, M. roridum from soil, B. bassiana from infected rice bug, F. oxysporum from infected army worm and A. flavus from infected subterranean termite could kill 100% termites within 6 days. Regarding the density of conidia, the result revealed that the higher level of density of conidia caused higher mortality of termite. The value of lethal concentration (LC) of each species are different. In this case M. brunneum from sand had the lowest LC50, i.e. 1.8 x 105 conidia/ml. For application purpose, the contact method caused mortality in few days (LT50 2.01 days) as compared with baiting method (LT50 4,83 days).
Transmission tests of pathogen indicated that on C. gestroi in the laboratory, there was correlation between termite mortality with vector proportion, the mortality of termite increased as vector proportion increased. By using 10% termite vector, mortality caused by B. bassiana, M. anisopliae and M. brunneum at LC95, termite mortality was not significantly different (>90%). Against subterranean termites of C. curvignathus, fungi M. brunneum only caused 60% mortality of termites within 15 days after application, while termite mortality in control was observed as 13.25% and specimens weight loss 11,27% (control 47,82%). It is concluded that in this study, treated termites (vector) could transmit the fungal disease to other healthy ones. Key words: bio-control, screening, LC, LT, Coptotermes gestroi, Coptotermes
curvignathus.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
vi
KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE)
DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL
DESYANTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
vii
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr.Ir. Idham Sakti Harahap, MSi. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Dodi Nandika, MS 2. Dr. Yanni Sudiyani, M.Agr.
viii
Judul Disertasi : Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal Nama : Desyanti NIM : E 061020081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. Ketua
Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Anggota Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 15 Mei 2007 Tanggal Lulus: 16 Agustus 2007
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga disertasi dengan judul ” Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal” dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. Bapak Dr. Sulaeman Yusuf. M. Agr. dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, kritik, saran dan fasilitas sarana maupun prasarana selama penulisan rancangan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi hingga selesai. Semoga amal kebaikan yang disertai keikhlasan dari Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Allah SWT, Amin. Ucapan yang sama juga penulis ucapkan ke pada Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, MSi, Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Ibu Dr. Yanni Sudiyani, MAgr. yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi, terima kasih atas saran dan masukannya pada penyempurnaan disertasi ini.
Seterusnya penulis juga mengucapkan terima kasih Kepada Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bapak Koordinator KOPERTIS wilayah X dan Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dan ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dan seluruh staf pengajar, pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, atas kesempatan dan dukungan dana yang telah diberikan hingga penyelesaian studi yang penulis jalankan dapat terlaksana dengan baik.
Kepada Bapak Dr. Ir. Edi Suhaimi Bakar M.Agr, Ibu Dr. Yanni Sudiyani M.Agr., Didi Tarmadi S.Hut. diucapkan terima kasih atas pengarahan awal tentang materi penelitian, dan bantuan diawal penelitian sehingga dapat menapaki keberhasilan di dalam pelaksanaan penelitian ini.
Kepada orang tua (Alm) terima kasih atas kasih sayang, motifasi untuk selalu mementingkan pendidikan yang senantiasa diberikan didalam menjalani kehidupan ini, doa, dan dorongan moril maupun material yang telah diberikan pada ananda dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan yang tiada berahir sampai ahir hayat. Selanjutnya kepada Ibu dan Ayah mertua, teristimewa buat Suami tercinta yang senantiasa memberi semangat serta telah dengan ikhlas mendampingi dengan suka maupun duka selama menjalani studi, seterusnya buat Adik-adikku, keponakan, keluargaku di Padang dan Solo, kakak dan adik Ipar serta semua keluarga di Jakarta, terimakasih atas semua bantuannya moril maupun material.
Kepada Teman-temanku di program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Laboran di Laboratorium Kayu Solid, Keteknikan Kayu, Panel-panel Kayu dan Kimia Kayu Fakultas Kehutanan, Teman-teman serta adik-adik di Laboratorium Patologi Serangga, Teman-teman dan Laboran di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PSIH IPB, serta teman-teman yang tidak bisa penulis sebut satu persatu di
x
sini juga diucapkan terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal kebaikan kepada semuanya dengan balasan kebaikan yang tidak terhingga. Akhir kata, semoga karya tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di bidang Teknologi Hasil Hutan dan Patologi Serangga.
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Bonai Kec. Lintau Buo, Kab. Tanah Datar Sumatera Barat 17 Desember 1964, anak pertama dari 3 bersaudara dari Bunda Rahma (almarhuma) dan Bapak Kaliman (almarhum). Beliau telah memberikan bekal pendidikan yang baik sehingga penulis dapat meraih pendidikan ini dan hidup mandiri. Pendidikan dari Taman kanak-kanak sampai dengan SMA penulis selesaikan di Lintau, kemudian tahun 1984 penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat dan pada tahun 1991 sampai dengan 1997 penulis bekerja sebagai asisten dosen pada Fakultas yang sama. Pada tahun 1997 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan memperoleh Magister of Science pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2002 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi yang sama Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 2007. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dari tahun 2000 sampai sekarang.
Selama menjalankan pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis telah menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dan JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science. Penulis juga telah mengikuti Seminar Nasional yaitu pada Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VI di Bukittinggi 1-3 Agustus 2003, MAPEKI VII di Makasar 5-7 Agustus 2004 dan MAPEKI IX di Banjarmasin 11-13 Agustus 2006 (masing-masing makalah dipublikasi pada Proceeding MAPEKI VI, VII dan IX), Simposium Internasional yaitu The 6th International Wood Science Symposium (IWSS), Bali, August 29-31, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding IWSS 6), publikasi pada proceeding Pacific Rim Termite Research Group (TRG 2), Bangkok, March 2005, Konferensi Internasional The 1st International Conference of Crop Security (ICCS), Malang, September, 20th – 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding ICCS 1), dan publikasi pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) sedang dalam peroses. Makalah pada MAPEKI ke 7, IWSS ke 6, TRG 2, ICCS ke 1 dan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah merupakan bahagian dari disertasi penulis.
xii
DAFTAR ISI halaman DAFTAR TABEL.............................................................................. .... xiii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xiv BAB I. PENDAHULUAN..................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................... 1 Perumusan Masalah.................................................................... 3 Tujuan dan Kegunaan Khusus……............................................ 3 Hasil yang Diharapkan............................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 5
Rayap.......................................................................................... 5 Pengendalian Rayap.................................................................... 7 Cendawan Entomopatogen.......................................................... 9
BAB III. BAHAN DAN METODE........................................................ 13 Tahap Persiapan.......................................................................... 13 Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomo- patogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann 15 Metode Kontak dan Umpan……….................………..….......... 15 Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium......................... 16
Analisis Data................................................................................ 18 BAB IV. ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN.................................. 19 Abstrak......................................................................................... 19 Pendahuluan................................................................................. 20 Bahan dan Metode........................................................................ 21 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 24
Isolasi dan Identifikasi...................................................... 24 Patogenisitas dan Virulensi............................................... 29 Sporulasi in Vivo.............................................................. 36 Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi......................................... 38 Kesimpulan................................................................................... 42
xiii
BAB V. KEEFEKTIFAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMO- PATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN UMPAN ........................................................................................ 44
Abstrak.......................................................................................... 44 Pendahuluan.................................................................................. 44 Bahan dan Metode......................................................................... 46 Hasil dan Pembahasan................................................................... 49
Uji Patogenisitas................................................................ 49 Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium.............. 57
Kesimpulan.................................................................................... 60 BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RA- YAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM. 61
Abstrak....................................................................................... 61 Pendahuluan............................................................................... 61
Bahan dan Metode...................................................................... 63 Hasil dan Pembahasan................................................................ 66
Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann........................................................................... 66
Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum Antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus
(Holmgren)……………………………………………… 75 Kesimpulan................................................................................... 78 BAB VII. PEMBAHASAN UMUM......................................................... 79 BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN............................................... 88
Kesimpulan.................................................................................... 88 Saran............................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 90 LAMPIRAN............................................................................................... 97
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel halaman 4.1. Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam............................................................ 28 4.2 Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi...... 39 5.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan dalam penelitian................................................................................................. 47 5.2. Lethal Concentration (LC) beberapa spesies cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi................................ 53 5.3. Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan metode kontak dan pengumpanan..................................................... 59 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam................................................. 63 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan............... 77
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar halaman 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes gestroi dan Coptotermes curvignathus di laboratorium. 17 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam............................... 25 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal berumur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. Oxysporum (13 hari)............ 27 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran 1000 x............................................................................... 29 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen (107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%)................................................................................ 30 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml)......................... 37 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi.............................................. 38 5.1. Laju mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann setelah 6 hari diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (107, 5.106, 106, 5.105, 105 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen............................................................................ 51 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh B. bassiana (A) dan M. brunneum (B)......................................... 54 5.3. Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomopatogen M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengum- panan (7 hari setelah aplikasi).......................................................... 57 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (kontrol 5%)....................................................................... 67
xvi
Gambar halaman 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta- minasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan……………………………………………………….… 68 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi)........................ 71 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi.vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi)..................... 73 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum ........................ 73 6.6. Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh uji pada perlakuan 10 % vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan ......... 76 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan……………………… 78 7.1. Potensi cendawan entomopatogen yang diisolasi dari sumber inokulum di alam sebagai agens pengendalian hayati rayap tanah Coptotermes spp............................................................................... 79
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran halaman 1. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) yang Digunakan pada Penelitian …………………………………………… 97
BAB I
PENDAHULUAN Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat
sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sesuai bagi berbagai organisme
perusak kayu seperti rayap, cendawan maupun serangga lainnya dengan
keragaman yang tinggi. Diperkirakan hampir 80 – 85% dari luas daratan di
Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika 1999).
Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies rayap yang dapat
diklasifikasikan ke dalam kelompok ekologi yang berbeda: kayu lembab, kayu
kering, tanah (subterranean), arboreal/mound builder dan pohon. Kurang 15%
dari keragaman spesies rayap tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh
manusia, dan sekitar 150 spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku
kayu. Dari sekian banyak spesies rayap 10% atau 200 spesies lebih ditemukan di
Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama perusak kayu dan
tanaman (Tarumingkeng 2001; Nandika et al. 2003; Yusuf 2004; Lewis 2006).
Diperkirakan berbagai spesies rayap perusak kayu dan bangunan akan terus
menjadi bagian integral dari ekosistem Indonesia. Meluasnya pembangunan
gedung dan pemukiman ke seluruh pelosok daerah cenderung meningkatkan
integrasi antara koloni rayap dengan bangunan, yang berarti ancaman bahaya
serangan rayap terhadap kayu dan bangunan di Indonesia semakin tinggi.
Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes spp, merupakan spesies rayap
perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Kerusakan
yang diakibatkan oleh serangan spesies rayap ini paling mencolok dibandingkan
dengan kerusakan oleh serangan organisme perusak yang lain, dan keadaan ini
diperburuk dengan penggunaan spesies-spesies kayu yang keawetannya rendah.
Oleh karena itu pengendalian rayap tanah sangat diperlukan untuk
mempertahankan masa pakai kayu pada suatu bangunan.
Sampai saat ini berbagai teknologi pengendalian rayap telah dicoba, antara
lain adalah: 1) Penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah atau
dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), 2) Menggunakan
penghalang fisik (physical barrier) yaitu untuk mencegah penetrasi rayap pada
2
bangunan dan 3) Teknologi pengumpanan (baiting), untuk mengeliminasi koloni
rayap.
Pemanfaatan bahan kimia seperti organochlorine sangat efektif untuk
pengendalian rayap namun membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Persistensinya yang bertahan lama di lingkungan menyebabkan jenis pestisida ini
masuk ke dalam rantai makanan manusia. Sebagai alternatif lain penggunaan
organophosphates dan synthetic pyrethroids selain efektif dianggap mempunyai
resiko rendah terhadap mammalia dan lingkungan. Di samping penggunaan
penghalang fisik seperti penggunaan granit, pasir, koral dan termite mesh untuk
pengendalian rayap, perkembangan termitisida saat ini telah mengarah pada
penggunaan bahan kimia dengan reaksi lambat seperti hexaflumuron dan
bistrifluron (Sornnuwat 1996; Tarumingkeng 2000; Kubota et al. 2007).
Pengendalian rayap secara biologi menggunakan agens hayati dari golongan
cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen merupakan alternatif lain
pengendalian rayap tanah (Pearce 1997). Penggunaan agens hayati tersebut untuk
pengendalian rayap merupakan suatu wacana baru yang belum digunakan di
Indonesia (Yusuf et al. 2005). Namun dari beberapa publikasi di negara-negara
maju seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan Perancis, penggunaan agens
hayati dari golongan cendawan entomopatogen tampak lebih berhasil untuk
pengendalian rayap.
Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hayati rayap
dengan proses atau metode penularan secara langsung maupun tidak langsung,
merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik dikembangkan. Selain
mempunyai arti strategis karena dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengendalian rayap secara
hayati, juga tidak berbahaya bagi lingkungan maupun pemakainya. Studi
pemakaian cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah spesies
Coptotermes spp. telah dilakukan (Suzuki 1991; Jones et al. 1996; Delate et al.
1995). Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin dan Beauveria
bassiana (Bals.) Vuillemin yang termasuk kelas Hyphomycetes merupakan
spesies yang paling cocok untuk pengendalian rayap (Khan et al. 1991; Suzuki
1991; Milner, et al. 1996). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan
3
M. anisopliae adalah: 25-30 0C dengan kelembaban 70-95%, dengan demikian
kondisi Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok.
Pada penelitian ini dipelajari cendawan entomopatogen yang diisolasi dari
beberapa sumber inokulum yang terdapat di alam dan dikaji potensinya sebagai
bahan pengendalian rayap yang ramah lingkungan.
Perumusan Masalah
Kerusakan kayu bangunan yang diakibatkan oleh rayap di Indonesia sudah
sangat besar, apalagi kayu-kayu bangunan pada masa kini hanya ditunjang oleh
kayu-kayu yang mempunyai kualitas awet rendah. Bahan kimia yang digunakan
untuk mengawetkan kayu kebanyakan berasal dari bahan kimia yang sangat
berbahaya bukan hanya terhadap penghuninya melainkan juga terhadap
lingkungan. Penggunaan mikrob untuk menekan laju perkembangan rayap adalah
salah satu cara pengendalian yang sangat ideal agar keseimbangan lingkungan
dapat tercapai dan tidak membahayakan terhadap pemakainya.
Cendawan yang bersifat entomopatogen banyak ditemukan pada berbagai
spesies hama tanaman yang telah mati di lapangan, diduga cendawan-cendawan
tersebut mempunyai peranan besar atas kematian hama tersebut. Apabila
cendawan dapat diisolasi dari tubuh serangga tersebut, maka hal ini akan
membuka wacana baru dalam dunia pengawetan kayu, sehingga perkembangan
rayap dapat dikendalikan dengan penggunaan cendawan entomopatogen.
Tujuan dan Kegunaan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan tingkat
keefektifan masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen terhadap
rayap tanah Coptotermes spp.. Selain hal ini juga bertujuan untuk mengetahui
metode penginfeksian serta penularan cendawan di dalam koloni rayap tanah.
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar maupun sumber informasi
bagi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. dengan menggunakan beberapa
spesies cendawan entomopatogen yang efektif dengan metode infeksi dan
penularan yang sesuai. Sehingga teknologi proses pemanfaatan mikrob cendawan
untuk pembuatan bahan pengendalian rayap diharapkan dapat mendukung industri
pestisida. Di samping itu sejalan dengan perhatian dan kesadaran masyarakat akan
4
masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran akibat penggunaan bahan
kimia anti rayap yang terus meningkat. Dengan demikian penelitian ini dapat
mendukung perkembangan dan daya saing industri pengendalian rayap di masa
mendatang. Secara umum penelitian ini terkait dengan pendayagunaan
sumberdaya alam hayati yang lebih mengefisienkan pemanfaatan mikrob.
Hasil yang Diharapkan
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan:
1. Informasi tentang keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen
yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp.
2. Tingkat keefektifan cendawan dan persentase vektor efektif untuk
pengendalian koloni rayap tanah Coptotermes spp.
3. Menemukan metode yang cocok untuk pemanfaatan cendawan entomopatogen
sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di laboratorium.
4. Langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan
entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di
Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Rayap
Indonesia merupakan wilayah sebaran rayap yang penting di dunia, baik
ditinjau dari keragaman jenis serangga tersebut yang mencapai tidak kurang dari
200 jenis atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap di dunia, maupun
ditinjau dari luasnya sebaran geografis dari Aceh sampai Papua. Kondisi iklim
dan tanah serta keragaman jenis tumbuhan di Indonesia yang tinggi sangat
mendukung kehidupan rayap, dan 80% daratan Indonesia merupakan habitat
yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini (Nandika et al. 2003).
Beberapa faktor dapat menyebabkan rayap menyerang bangunan, antara lain
kayu yang tertimbun tanah pada waktu pembangunan, ada celah pada pondasi
tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan
tanah dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan
kehidupan rayap.
Menurut Lewis (2006) perkiraan kerugian yang ditimbulkan oleh rayap
secara global sulit ditemukan pada referensi tetapi pasti mencapai milyaran dollar
Amerika setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2000 kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh serangan rayap pada bangunan diperkirakan mencapai 200 – 300
juta dollar Amerika (Yusuf 2004).
Rayap merupakan serangga sosial yang tergolong ke dalam ordo Isoptera
yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi
dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di
dalam koloni rayap meliputi kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif,
masing-masing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya
(Pearce 1997).
Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap,
tidak kurang dari 80 – 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-
individu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula
hanya sedikit mengalami penebalan sehingga nampak menyerupai nimfa. Kasta
prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya
semut dan vertebrata predator. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya
6
dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Biasanya gigitan
kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati
sekalipun (Nandika et al. 2003)
Kasta reproduktif terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (ratu)
yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta
ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer
atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang
bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996)
neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang setelah
pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar
sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi
kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.
Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang
dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili dan 15 sub famili. Famili tersebut
adalah: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae,
Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah genus Coptotermes termasuk ke
dalam sub famili Coptotermitinae famili Rhinotermitidae. Menurut Tambunan
dan Nandika (1987), Coptotermes spp. merupakan salah satu rayap tanah paling
luas serangannya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Sub-klas : Pterigota
Ordo : Isoptera
Famili : Rhinotermitidae
Sub-famili : Coptotermitinae
Genus : Coptotermes
Thapa (1981) menyatakan genus Coptotermes memiliki kepala bewarna
kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat, bentuk kepala bulat
ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih
lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke
empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di
ujungnya; sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala
7
tanpa mandibel 1,56 mm – 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 mm – 1,44 mm.
Bagian abdomen yang bewarna putih kekuning-kuningan ditutupi rambut
menyerupai duri. Suratmo (1974) menyatakan panjang badan kasta reproduktif
7,5 mm – 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 mm – 5,0 mm dan prajurit 5,0 mm – 5,3
mm.
Tarumingkeng (2004) menyatakan, di Indonesia jenis Coptotermes yang
telah teridentifikasi adalah a). Coptotermes curvignathus Holmgren
merupakan jenis terbesar dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 14 -16,
panjang kepala prajurit (termasuk mandibel) 2,4 - 2,6 mm. b). Coptotermes
travians Holmgren dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 15; panjang
kepala prajurit 1,8 - 2,1 mm mandibel relatif pendek, kira-kira sepanjang
setengah panjang kepala c). Coptotermes havilandi Holmgren (C. javanicus
Kemner) dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 15 - 18; panjang kepala
prajurit 2,0 - 2,2. Mandibel lebih panjang dari pada C. travians d).
Coptotermes kalshoveni Kemner dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 -
14 panjang kepala prajurit 1,6 - 1,7 mm. Jenis ini merupakan yang terkecil di
antara genus Coptotermes.
Pengendalian Rayap
Pengendalian rayap tanah di Indonesia telah banyak dilakukan dengan cara
mengimpregnasikan bahan pengawet (termitisida) ke dalam kayu, melakukan
penyemprotan ke dalam tanah (soil treatment), sistim pengumpanan dan kontak
langsung. Yusuf (2001b), menyatakan bahwa sampai saat ini upaya pengendalian
rayap yang populer di Indonesia adalah melalui penggunaan insektisida, baik
metode perlakuan kayu maupun perlakuan tanah (soil treatment); dengan cara
tersebut akan terbentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) baik di kayu
maupun tanah sekeliling bangunan.
Menurut Pearce (1997), metode tradisional meliputi pencelupan kayu pada
aspal batu bara, petrol, creosote atau pentachlorophenol, juga dapat memberikan
perlindungan pada kayu untuk beberapa tahun. Selain hal tersebut membakar
pada bahagian ujung kayu yang kontak dengan tanah atau melapisi kayu dengan
minyak mesin atau diesel juga dapat memberikan perlindungan jangka pendek.
8
Garam metal dan oksida, seperti merkuri klorida, copper sulphate, merkuri, zinc
oksida dapat efektif untuk 3-5 tahun. Chlorpyrifos, permethrin, bifenthrin,
cypermethrin dan deltamethrin juga efektif, tetapi lebih mahal dan kegunaannya
dibatasi untuk bangunan yang bernilai tinggi.
Pearce (1997) menyatakan bahwa, teknik pengumpanan lebih meng-
untungkan karena tanah tidak lagi terkontaminasi oleh bahan kimia, dan dapat
meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Caranya yaitu menempatkan
umpan yang tidak beracun dekat koloni rayap dan kemudian mengulangi
penempatan umpan yang mengandung racun. Keefektifan umpan tergantung pada
perilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan dan dengan
reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan ke koloninya. Hal tersebut
dapat terlaksana jika umpan lebih menarik dari pada makanan di sekeli-lingnya.
Gula, madu, penambahan jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen bahkan
feromon dapat meningkatkan laju konsumsi.
Yusuf (2001a), melakukan penelitian pengendalian terhadap rayap tanah
Coptotermes sp. dengan menggunakan chlorpenapyr pada berbagai konsentrasi
dengan sistem pengumpanan, hasil penelitiannya menunjukan bahwa waktu
aplikasi dan konsentrasi perlakuan sangat mempengaruhi mortalitas yang terjadi.
Chlorpenapyr juga dapat diaplikasikan dengan metode duster (Yusuf, 2001b).
Perlakuan pada kayu yang juga penting adalah fumigasi, baik dengan
sulphuryl fluoride atau methyl bromides. Perlindungan museum, perpustakaan
dan tempat penyimpanan dokumen cocok menggunakan cara fumigasi ini
terutama untuk serangan rayap kayu kering. Selain ini juga digunakan
electroguns yang mengandalkan gas galleries. Metode lebih baru yang sedang
dicobakan adalah membakar propane (gas metan) dekat kayu yang terinfeksi
rayap dengan menaikan suhu sampai 66 oC; cara ini bermanfaat untuk perlakuan
khusus pada rayap kayu kering (Pearce 1997).
Cara pengendalian lainnya, seperti dengan menggunakan nematoda
entomopatogen Steinernema carpocapsae juga dapat dilakukan (Bakti 2004).
Cates (2007) menyatakan bahwa, penggendalian serangga dapat juga
menggunakan agens hayati lain, termasuk berbagai spesies cendawan, bacteria,
nematoda dan virus.
9
Cendawan Entomopatogen
Cendawan adalah organisme multi seluler yang berfilamen dan memiliki
khitin, khitosan, glukan dan mannan dalam dinding selnya. Klasifikasinya
didasarkan pada produksi konidia atau spora, struktur morfologi, alat reproduksi,
ciri-ciri koloni dan sifat hifanya (Lay & Hastowo 1992).
Cendawan entomopatogen pertama kali dilaporkan lebih dari 2000 tahun
yang lalu, teridentifikasi di China pada cendawan Cordyceps (Ascomycota) yang
menginfeksi larva Lepidoptera (Boucias & Pendland 1998). Carruthers dan Hurar
1990 dalam Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen
merupakan cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendalian
hayati penting untuk banyak serangga hama. Pengendalian hayati lebih berhasil
bila dilengkapi dengan pemanfaatan cendawan entomopatogen.
Keragaman antar jenis cendawan entomopatogen sangat tinggi. Menurut
klasifikasi yang dikemukakan oleh Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001),
cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan
entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi:
Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan
Deuteromycotina. Menurut Tanada dan Kaya (1993) Kebanyakan cendawan
entomopatogen ditemukan pada sub-divisi Zygomycotina, klas Zygomycetes,
ordo Entomophthorales; sub-divisi Ascomycotina, klas Pyrenomycetes, ordo
Sphaeriales, klas Laboulbeniomycetes, ordo Laboulbeniales; dan pada sub-divisi
Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales.
Beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam sub-
divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales dan famili
Moniliaceae, misalnya: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium,
Paecilomyces dan Verticilium (Boucias & Pendland 1998).
Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada
perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994). Hal-hal yang mempengaruhi
perbedaan keragaman intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan
faktor daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995; Beretta et al. 1998).
Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara
fisiologis maupun genetik. Secara umum dikemukakan bahwa strain dari spesies
10
cendawan patogen yang diisolasi dari satu jenis inang lebih virulen untuk inang
tersebut dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari inang yang lain. Seperti
yang dikemukakan oleh Boucias dan Pendland (1998), cendawan B. bassiana
yang diisolasi dari lingkungan koloni rayap lebih tinggi virulensinya jika
diinfeksikan terhadap rayap.
Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen
dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang
dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya
sehingga nutrisi di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang
begitu cepat, sehingga menyebabkan inang akan mati. Di samping itu cendawan
dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang
mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa zat beracun (toxin)
yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: beauvericin
oleh B. bassiana, Paecilomyces, Fusarium dan bassianolide oleh B. bassiana,
cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium, Tolypocladium dan
oosporein oleh B. bassiana, asam oksalat oleh Beauveria brongniartii, destruxins
oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, cytochalasins oleh M. anisopliae,
swainsonine oleh M. anisopliae, aflatoxins oleh Aspergillus, asam kojic oleh
Aspergilus flavus dan restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.
Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam
studi histopathological pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae
memperlihatkan bahwa toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan
merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang. Hal
ini mengakibatkan keutuhan struktural membran hilang, kemudian terjadi
dehidrasi sel akibat kehilangan cairan. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya
penyumbatan spiracles dan dapat menyebabkan kematian sebelum penyerbuan
pada hemocoel terlihat nyata dan pembentukan tubuh hifa masih sedikit.
Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh
berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan
cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai
faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap
cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,
11
genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam
keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan
serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan
terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan
seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat
mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua
faktor lingkungan saling berinteraksi, dan interaksi yang komplek dan dinamik
ini menentukan efikasi cendawan (Inglis et al. 2001).
Di antara cendawan entomopatogen yang dimanfaatkan untuk
mengendalikan rayap Coptotermes sp., Reticulitermes flavipes atau Odontotermes
adalah M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua jenis cendawan ini telah diuji
keefektifannya oleh Zoberi 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium
dengan sistem pengumpanan dan kontak secara langsung. Percobaan ini
mengkontaminasi rayap R. flavipes dengan M. anisopliae yaitu menempatkan
konidia cendawan pada rayap pekerja. Hal ini menghasilkan 100% mortalitas
dalam waktu 5 hari, dan 12 hari pada metode pengumpanan. Penelitian lainnya
yaitu dengan cara pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi sebagai
vektor penyakit cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri. Dengan cara
ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.
Dengan metode pengumpanan selembar kertas saring, Suzuki (1991)
membuktikan keefektifan patogen M. anisopliae terhadap Coptotermes
formosanus dan Reticulitermes speratus dengan hasil LT50 11 hari. Selain hal ini,
kertas terkontaminasi spora M. anisopliae juga berperan penting untuk laju
mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al.
2000). Milner et al. (1996) menyatakan spesies cendawan M. anisopliae dan
B. bassiana tidak bersifat patogen terhadap mamalia dan spesifik terhadap rayap.
Saat ini M. anisopliae telah secara komersil dikembangkan ke dalam suatu
produk yang disebut dengan Bio-BlastTM, termitisida hayati yang telah di daftar
oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger et al. 1995 dalam
Bayon et al. 2000) untuk diaplikasikan di atas tanah. Cloyd (2003) menyatakan
pada uji laboratorium, kematian rayap dapat terjadi pada hari ke 4 – 10,
12
tergantung pada temperatur. Viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi
dan virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah.
Maniania et al. (2002) telah melakukan studi di lapangan selama dua musim
untuk menilai kemanjuran cendawan entomopatogen M. anisopliae. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa formulasi granular dapat bermanfaat sebagai
pengendalian rayap di ekosistem pertanian jagung.
BAB III
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai
Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian
Bogor (IPB), sejak Februari 2004 sampai dengan Desember 2005. Secara umum
tahapan prosedur pelaksanaan diringkas pada Bab ini dan secara rinci dibahas
pada bab-bab berikutnya.
Tahap Persiapan
Spesies Rayap yang Digunakan
Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah
spesies Coptotermes gestroi Wasmann (Benson 2005) yang dipelihara di UPT
Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong, dan spesies Coptotermes curvignathus
Holmgren yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu
Hayati IPB.
Sumber Isolat
Isolat cendawan entomopatogen diperoleh dari serangga hama tanaman
(inang) terinfeksi yaitu ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak
(Spodoptera litura F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), walang
sangit (Leptocorisa oratorius F), rayap tanah (C. curvignathus), tanah dan pasir.
Isolat yang berasal dari tanah dan pasir terlebih dahulu dilakukan teknik
perangkap (trapping technique) terhadap cendawan entomopatogen menggunakan
hama gudang Tenebrio molitor (Keller & Zimmermann 1989). Masing-masing
tanah dan pasir ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 15 cm, kemudian di
tempatkan ke dalamnya 20 ekor hama gudang T. molitor dan diinkubasi pada suhu
ruangan selama 2 minggu. T. molitor yang mati dan dikolonisasi oleh cendawan
entomopatogen diambil dan biarkan bersporulasi di dalam cawan petri yang diberi
alas kertas tisu lembab.
14
Prosedur Isolasi
Dalam tabung reaksi, sumber isolat cendawan entomopatogen ditambah air
steril yang mengandung 0,05% triton X-100 dan diaduk selama 5 menit sehingga
terbentuk suspensi konidia. Suspensi konidia tersebut diambil 0,5 ml, kemudian
ditambahkan dengan 4,5 ml akuades steril di dalam tabung reaksi. Suspensi
sebanyak 0,1 ml diinokulasikan pada media Saboraud Dextrose Agar with Yeast
extract (SDAY) di dalam cawan petri. Komposisi media SDAY adalah dekstrosa
10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar-agar 20 g dalam akuades 1 liter
yang mengandung 250 ppm chloramphenicol (Samuels et al. 2002), dan
diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 4-6 hari. Koloni
yang membesar dengan bentuk berbeda atau warna berbeda pada media biakan,
diambil dan masing-masing koloni tersebut diinokulasi secara terpisah pada media
SDAY baru. Kultur murni didapatkan dengan suksesi inokulasi suatu koloni pada
media SDAY. Kemudian stok kultur isolat disimpan pada suhu 4 0C sampai waktu
penggunaan (Sudiyani et al. 2002).
Prosedur Identifikasi
Identifikasi dilakukan secara visual terhadap pertumbuhan koloni isolat pada
media SDAY dalam cawan petri. Untuk pengamatan mikroskopik terlebih dahulu
isolat tersebut ditumbuhkan pada kaca objek cekung dengan metode slide culture
(Becnel 1997). Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur yang diurai oleh
Barneet dan Hunter (1972), Domsch et al. (1980), Singh et al. (1991) dan Ellis
(1993), yaitu dengan melihat ciri morfologi khas yang dimiliki oleh masing-
masing cendawan.
Persiapan Suspensi Konidia
Sebelum digunakan, isolat hasil isolasi dibiakan kembali pada media SDAY
di cawan petri berdiameter 9 cm dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Kemudian disiapkan suspensi
menggunakan air steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 dengan
kerapatan sebagai berikut: a) 107 konidia/ml untuk uji tapis (screening), b) 105
15
konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 5.106 konidia/ml dan 107 konidia/ml
untuk uji keefektifan (bioassay) terhadap rayap, c) LC95 dari cendawan terseleksi
pada uji keefektifan untuk uji metode kontak dan umpan.
Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen
Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann
Suspensi konidia dari masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan
sebelumnya. Pada setiap unit percobaan sebanyak 20 ekor rayap pekerja dan 2
ekor prajurit C. gestroi dicelupkan ke dalam suspensi konidia selama 4 detik
sesuai perlakuan dan langsung ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah
diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan rayap. Seluruh unit percobaan
dipelihara pada kondisi gelap pada suhu ruangan dan mortalitas rayap dihitung
setiap hari selama 6 hari setelah inokulasi.
Metode Kontak dan Umpan
Kontak (Contact method)
Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada
setiap unit percobaan 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit dicelupkan ke
dalam LC95 suspensi cendawan Metarhizium brunneum Petch, kemudian
ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai
sumber makanan. Nilai LC95 diketahui dari percobaan sebelumnya (uji
keefektifan).
Umpan (Baiting method)
Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya.
Kertas saring bewarna biru yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% kemudian
diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum, dikering anginkan dan
ditempatkan di dalam cawan petri Ø 9 cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5
ekor prajurit untuk setiap ulangan dipelihara di dalamnya.
16
Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium
Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. gestroi
Dalam percobaan ini sebagian populasi rayap (vektor) diinokulasi dengan
cendawan pada konsentrasi LC95. Persentase populasi vektor yang digunakan
adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50% terhadap populasi total. Populasi total yang
digunakan adalah 20 ekor rayap pekerja dan dua ekor rayap prajurit. Cendawan
entomopatogen yang digunakan adalah isolat yang menunjukkan patogenisitas
tinggi pada uji tapis. Vektor dipelihara bersama-sama dengan rayap sehat pada
unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah dialasi kertas saring sebagai
sumber makanan. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai 2 minggu.
Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. curvignathus
Pada penelitian ini digunakan spesies cendawan entomopatogen dan
proporsi vektor (%) terseleksi pada uji penularan koloni rayap tanah C. gestroi.
Rayap tanah C. curvignathus sebanyak 100 ekor pekerja dan 10 ekor prajurit
ditempatkan ke dalam setiap unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi
10 cm) yang telah di beri kayu pinus (2 cm x 1 cm x 1 cm) sebagai sumber
makanan dan 20 mg tanah (Falah 2005). Unit-unit percobaan tersebut dipelihara
pada suhu ruangan dengan kondisi gelap selama 2 minggu. Pengamatan hanya
dilakukan di akhir penelitian. Bagan alur penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1
17
III
Koleksi Lab. Peremajaan
Pemeliharaan Rayap
Koleksi Cendawan
Nile blue 0,05%
Perbanyakan
Diisolasi dari Inang
I
Isolat murni
Pemurnian
Suspensi (107 konidium/ml )
Variabel: Mortalitasi, Sporulasi
Rayap uji
Variabel: Identifikasi
Rayap Vektor: 10% 20% 30% 40% 50%
Keragaman isolat (spesies)
Isolat (spesies) terpilih
Variabel: Mortalitas Lethal Time & Metode terpilih
Variabel: Mortalitas
Spesies cendawan entomopatogen dengan LC, metode dan % vektor efektif untuk pengendalian rayap tanah
C. gestroi dan C curvignathus di Laboratorium
III
II
Keterangan: 1. Keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang digunakan:
diisolasi dari sumber inang di alam dan koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen HPT Fak. Pertanian IPB
2. I, II & III: Tahapan penelitian ke I, II & III 3. Vektor: Rayap terkontaminasi cendawan entomopatogen
Gambar 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan
entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium
Variabel: Karakterisasi fisiologi cendawan
Variabel: Mortalitas
Metode: Kontak dan umpan
Kerapatan 0, 10 5, 5.10 5, 15.106,
107 konidium/ml
Lethal Concentration
18
Analisis Data
Untuk setiap tahapan penelitian, data hasil penelitian dianalisis berdasarkan
rancangan penelitian sebagai berikut:
1. Tahap penelitian I, data hasil penelitian variabel mortalitas rayap
C. gestroi dan sporulasi in vivo dengan perlakuan 16 isolat cendawan
entomopatogen, karakterisasi fisiologis cendawan (viabilitas, diameter
koloni dan sporulasi in vitro) spesies cendawan entomopatogen
Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch.,
Beauveria bassiana (Bals) Vuill., Fusarium oxysporum Link., Aspergillus
flavus Link., Myrothecium roridum Tode EXFR dan kontrol dianalisis
berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test
(Steel & Torrie 1993).
2. Tahap penelitian II, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing
spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F.
oxysporum dan A. flavus) dengan tingkatan kerapatan konidia (105, 5.105,
106, 5.106, 107 konidia/ml dan kontrol) terhadap mortalitas rayap
C. gestroi, lethal concentrations (LC) untuk uji keefektifan berbagai
spesies cendawan dan lethal time (LT) pada uji metode kontak dan umpan
adalah bersasarkan analisis probit (Finney 1971).
3. Tahap penelitian III, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing
spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F.
oxysporum ) dengan proporsi vektor (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan
kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi pada uji aplikasi dengan
metode penularan di laboratorium dianalisis berdasarkan analisis regresi
(Mattjik & Sumertajaya, 2000) sedangkan terhadap mortalitas rayap C.
curvignathus dengan perlakuan proporsi vektor 10% yang diinokulasi
dengan LC95 M. brunneum dan kontrol di analisis berdasarkan Rancangan
Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan
dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).
BAB IV
ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH
COPTOTERMES GESTROI WASMANN
Abstrak
Cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yaitu dari ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir telah diisolasi dan identifikasi untuk menentukan patogenisitasnya terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann, kemudian masing-masing isolat ditempatkan pada suhu 4 0C. Sebelum digunakan, semua isolat dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji sidik ragam. Perbedaan antara isolat diuji lanjut menggunakan Duncan's Multiple Range Test. Hasil isolasi mengindikasikan keragaman spesies cendawan lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman terinfeksi dibandingkan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir, setelah diidentifikasi beberapa spesies cendawan yang ditemukan adalah: Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom. Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode ExFR, Fusarium oxysporum Link., dan Fusarium solani Link., spesies B. bassiana paling dominan. Uji patogenisitas mengindikasikan bahwa umumnya isolat bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60% setelah 6 hari inokulasi. Mortalitas rayap tertinggi disebabkan oleh M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F. oxysporum dari inang ulat grayak, dan A. flavus dari inang rayap tanah yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100%, dan diikuti oleh kemampuan bersporulasi secara in vivo yang cukup tinggi (76,25% - 96,25%) kecuali spesies M. anisopliae dan M. roridum. Kemudian isolat-isolat terseleksi disiapkan untuk dipelajari karakterisasi fisiologisnya, hasilnya mengindikasikan: kemampuan berkecambah tertinggi oleh M. brunneum dari pasir, diameter koloni tertinggi oleh F. oxysporum dari inang ulat grayak dan kemampuan bersporulasi secara in vitro tertinggi oleh B. bassiana dari inang walang sangit. Kata kunci: Bio-kontrol, uji tapis, cendawan entomopatogen, patogenisitas,
karakter fisiologis, C. gestroi
20
Pendahuluan
Cendawan entomopatogen termasuk genera cendawan yang berasosiasi
dengan serangga dan beberapa spesies arthropoda lainnya (seperti laba-laba dan
kutu) dengan berbagai cara, yaitu sebagai saprofit, kommensalistik, parasit atau
patogen (Boucias & Pendland 1998). Di pertanian dan perkebunan di Indonesia
juga banyak ditemukan serangga terinfeksi oleh cendawan entomopatogen.
Diharapkan cendawan tersebut dapat diisolasi dan dibiakkan pada media sintetik
untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendalian rayap secara hayati. Untuk
tujuan ini diperlukan koleksi dan uji tapis cendawan entomopatogen dari berbagai
inang atau sumber inokulum di alam untuk mengetahui tingkat keragaman
spesies dan keefektifannya terhadap rayap. Menurut Keller dan Zimmermann
(1989), cendawan entomopatogen hanya dapat menginfeksi satu atau beberapa
jenis serangga saja, karena jenis serangga secara umum jarang ditemukan
mempunyai tingkat kerentanan yang serupa.
Di samping hal tersebut juga perlu dipelajari kemampuan cendawan
bersporulasi secara in vivo dan in vitro serta informasi tentang karakter fisiologis
lainnya. Hal ini penting dilakukan karena cendawan entomopatogen bersifat
spesifik dalam hubungannya dengan inang dan potensinya untuk dapat
diperbanyak secara massal, serta dapat tersebar luas setelah bersporulasi pada
inang sasaran di dalam koloni. Menurut Behle et al. (1999), cendawan
entomopatogen mempunyai keuntungan-keuntungan dibanding migro organisme
patogen lainnya diantaranya: cendawan cenderung mempunyai sebaran inang
yang lebih luas, beberapa cendawan entomopatogen menghasilkan spora yang
toleran terhadap proses pengawetan lewat pengeringan dan menghasilkan
stabilitas yang bagus dalam masa penyimpanan.
Pada penelitian pendahuluan, penggunaan cendawan entomopatogen yang
diperoleh dari hama tanaman dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml dapat
menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah inokulasi. Pada penelitian
berikut, dicoba penggunaan cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau
inokulum di alam yang meliputi isolasi, identifikasi, dan uji tapis cendawan
21
dengan tujuan untuk mendapatkan isolat cendawan entomopatogen yang efektif
dimanfaatkan sebagai pengendali rayap C. gestroi.
Bahan dan Metode
Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai
Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan
Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).
Jenis Rayap yang Digunakan
Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan kasta prajurit spesies
rayap tanah C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang
Biomaterial LIPI Cibinong selama 2 tahun.
Persiapan Isolat Cendawan
Sumber isolat cendawan entomopatogen dikoleksi dan diisolasi dari hama
tanaman terinfeksi, tanah dan pasir mengacu pada Bab III.
Prosedur Isolasi
Prosedur isolasi telah dijelaskan pada Bab III.
Prosedur Identifikasi
Prosedur identifikasi telah dijelaskan pada Bab III.
Prosedur Perbanyakan
Perbanyakan dilakukan pada media SDAY dengan cara menginokulasikan
konidia kultur murni cendawan di dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan
selama 3 minggu dalam inkubator dengan suhu 24 0C dan kelembaban relatif
95%. Untuk menjaga tingkat virulensinya sebelum perlakuan cendawan
diremajakan dengan cara menginfeksikan ke serangga sasaran (rayap). Rayap
22
yang terinfeksi cendawan dibiarkan selama 2 minggu sampai bersporulasi (Ansari
et al. 2004), kemudian cendawan dari tubuh rayap diisolasi lagi sampai
didapatkan lagi kultur murni. Kultur murni tersebut dibiarkan bersporulasi
sempurna kurang lebih 3 minggu sehingga siap digunakan sebagai bahan uji.
Pada percobaan ini cendawan yang digunakan untuk pengujian adalah pada
perbanyakan kedua (F2). Keberhasilan peremajaan ditentukan oleh berhasilnya
cendawan menginfeksi dan bersporulasi pada tubuh rayap.
Penyediaan Suspensi Konidia
Suspensi konidia disiapkan dengan menambahkan 2 ml akuades steril yang
telah mengandung 0,05% Triton X-100 ke dalam cawan petri berisi biakan
cendawan yang telah berumur 3 minggu. Cawan digoyang-goyang, kemudian
dengan bantuan kuas kecil steril konidia dapat terlepas. Konidia tersebut disaring
dengan kain kasa dan dilakukan 4 kali pengenceran, selanjutnya dilakukan
pengenceran dengan air sampai diperoleh konsentrasi yang diinginkan dengan
kerapatan sebagai berikut: a). 107 konidia/ml untuk uji patogenisitas dan uji
sporulasi in vivo, b). 106 konidia/ml untuk uji daya kecambah dan diameter
koloni, c). 105 konidia/ml untuk uji sporulasi in vitro. Konidia dihitung dengan
menggunakan haemocytometer.
Uji Patogenisitas
Suspensi konidia masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan di
atas. Sebanyak 80 ekor kasta pekerja dan delapan ekor kasta prajurit rayap C.
gestroi dicelupkan kedalam 0,50 ml suspensi konidia yang telah diaduk. Kontrol
hanya dicelupkan dalam larutan 0,05% Triton X-100. Kertas saring Whatman no.
40 ditempatkan kedalam cawan petri sebagai sumber makanan kemudian rayap
(20 ekor pekerja dan dua ekor prajurit) yang telah diinokulasi cendawan
ditempatkan ke dalamnya. Semua perlakuan dipelihara pada ruangan dengan
kondisi gelap dan mortalitas dihitung setiap hari selama satu minggu. Rayap yang
mati diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari
untuk melihat sporulasi cendawan pada tubuh rayap yang telah mati. Percobaan
diulang 4 kali.
23
Sporulasi in Vivo
Cendawan yang menyerang serangga akan bersporulasi yaitu miselianya
tumbuh di permukaan tubuh rayap yang mati. Data untuk pengujian sporulasi in
vivo diambil dari data rayap yang mati pada uji patogenisitas yang diinkubasi
pada suhu 24 0C dan RH 95% selama 5-7 hari. Setiap perlakuan diulang 4 kali.
Persentasi sporulasi dihitung dengan rumus:
Sporulasi = Rayap terkolonisasi X 100%
Jumlah rayap perlakuan
Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen in Vitro
Evaluasi daya kecambah konidia
Pengamatan daya kecambah konidia menggunakan metode yang dilakukan
oleh Junianto dan Sukamto 1995 dalam Trizelia (2005). Media SDAY (Ø 0,5 cm
tebal 1-2 mm) yang telah ditetesi suspensi konidia berkerapatan 106 konidia/ml
diletakkan di atas objek gelas steril, kemudian dimasukkan kedalam cawan petri
dan diinkubasi pada suhu 24 0C selama 12 - 24 jam. Masing-masing perlakuan
diulang 4 kali. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400
kali. Persentase konidia yang berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia
dinyatakan telah berkecambah apabila tabung kecambah (germ tubes) telah
muncul lebih panjang dari diameter konidia.
Diameter koloni
Media SDAY yang telah ditumbuhi miselia masing-masing isolat berumur
5 hari dengan dimeter 0,8 cm ditumbuhkan pada media SDAY baru di dalam
cawan petri dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0C. Diameter koloni
dari masing-masing isolat diukur setelah hari ke 15.
Sporulasi in vitro
Untuk menghitung sporulasi masing-masing isolat pada media SDAY,
disiapkan kerapatan suspensi konidia cendawan 105 konidia/ml. Suspensi konidia
masing-masing isolat sebanyak 0,1 ml dikulturkan pada media SDAY dalam
24
cawan petri (Ø 9 cm), dan diinkubasi selama 15 hari pada suhu 24 0C. Kemudian
biakan cendawan dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer dan ditambahkan 40
ml aquades steril, dikocok dengan vortex selama 5 menit, disaring dan dilakukan
pengenceran sampai 4 kali. Kerapatan konidia dihitung menggunakan
haemocytometer dan rata-rata konidia untuk setiap cawan petri dibandingkan
antar isolat.
Analisis Data
Data mortalitas, sporulasi in vivo dan karakterisasi fisiologis in vitro di
analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomize Design)
satu faktor (keragaman isolat atau spesies cendawan entomopatogen yang terdiri
dari 16 isolat untuk uji mortalitas dan sporulasi in vivo, 6 spesies untuk uji
karakterisasi fisiologis in vitro) dengan 4 x ulangan menggunakan analisis ragam
(ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test.
Bentuk umum dari persamaannya adalah sebagai berikut:
Dimana: i = 1,2,....17, t dan j= 1, 2, ....4, r
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = rataan umum
δi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Hasil dan Pembahasan
Isolasi dan Identifikasi
Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber
inokulum di alam (Gambar 4.1) mengindikasikan keragaman spesies cendawan
entomopatogen lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman (ulat
krop kubis, ulat grayak, penghisap polong, walang sangit dan rayap tanah
sebanyak 81%) dibandingkan dengan yang berasal dari tanah (13%) dan pasir
(6%). Berdasarkan hasil ini, untuk mendapatkan keragaman spesies cendawan
Yij = µ + δi + εij
25
entomopatogen lebih mudah dilakukan dengan cara mengisolasi dari serangga
inang yang terinfeksi di alam dibandingkan dengan mengisolasi dari sumber
lainnya (tanah dan pasir). Diperkirakan spesies cendawan yang ada pada inang
yang berasal dari hama tanaman umumnya bersifat sebagai cendawan
entomopatogen. Menurut MacLeod dan Muller-Kogler 1973 dalam Butt et al.
(2001), serangga inang dari cendawan entomopatogen dijumpai pada lebih dari
32 famili yang tersebar pada ordo Hemiptera, Homoptera, Diptera, Lepidoptera,
Coleoptera, Orthoptera, dan Hymenoptera. Beberapa spesies mempunyai
rentangan inang yang luas, dan yang lainnya terbatas pada satu spesies atau
terbatas pada kelompok spesies tertentu saja.
Gambar 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam.
Cendawan entomopatogen dari sumber inokulum tanah dan pasir
mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena
cendawan entomopatogen selain hidup sebagai patogen obligat juga banyak yang
hidup sebagai patogen fakultatif yaitu disamping dapat meneruskan siklus
hidupnya sebagai patogen pada serangga inang juga mampu bertahan hidup
sebagai sapropit pada berbagai media di alam. Tanada dan Kaya (1993)
menyatakan bahwa beberapa cendawan entomopatogen hidup sebagai patogen
obligat yang siklus hidupnya selalu pada serangga inang namun kebanyakan
cendawan entomopatogen juga sebagai patogen fakultatif dan mampu hidup
tanpa inang dan melanjutkan siklus hidupnya sebagai sapropit
Menurut Keller dan Zimmermann (1989) cendawan entomopatogen juga
dapat dikoleksi dari tanah dengan menggunakan serangga umpan. Metode ini
terbukti sangat bermanfaat untuk mendeteksi cendawan entomopatogen
Serangga Hama81%
Tanah13%
Pasir6%
26
khususnya untuk mempelajari sejarah penyebarannya. Walaupun tanah
merupakan habitat yang sangat menguntungkan untuk interaksi serangga dan
cendawan entomopatogen, hanya sedikit spesies cendawan entomopatogen yang
ditemukan pada tanah. Beberapa spesies cendawan penting yang ditemukan pada
tanah tercatat sebagai genera: Conidiobolus, Beauveria, Metarhizium dan
Paecilomyces.
Lebih lanjut dinyatakan keberhasilan cendawan entomopatogen di dalam
tanah telah berkembang dengan melakukan adaptasi khusus, dimana siklus
kehidupan cendawan entomopatogen terdiri dari fase parasit dan sapropit. Bila
serangga terinfeksi cendawan mati dan secara umum siklus hidup cendawan akan
berahir bila fase vegetatif atau organ reproduksi seksual terbentuk di luar inang.
Namun fase kehidupan selanjutnya sebagai sapropit akan mengkolonisasi inang
mati dan untuk sementara waktu berhenti pada pembentukan pseudosclerotium;
tingkatan dormansi yang memungkinkan cendawan bertahan pada kondisi yang
tidak menguntungkan. Jika faktor eksternal telah menguntungkan, hifa akan
muncul lewat kutikula serangga.
Beberapa spesies cendawan seperti Paecilomyces spp., B. bassiana, B.
brongniartii atau Cordyceps spp. memproduksi untaian hifa, synnemata atau
stromata di luar serangga inang. Elemen-elemen hifa ini sebagai adaptasi
morfologi terhadap kondisi tanah yang memungkinkannya menginfeksi inang
baru.
Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari masing-masing inang atau
sumber inokulum di alam dikoleksi untuk selanjutnya diidentifikasi berdasarkan
warna, pertumbuhan secara in vivo dan in vitro serta bentuk organ seksual
masing-masing spesies. Berdasarkan hasil identifikasi pada penelitian ini
ditemukan 16 isolat (10 spesies) (Gambar 4.2 dan Table 4.1).
Keragaman antar spesies cendawan entomopatogen sangat luas sekali.
Cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan
entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi:
Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan
Deuteromycotina. Umumnya mikroorganisme ini ada pada semua habitat tingkat
perkembangan serangga (Ainsworth 1973 dalam Butt et al. 2001). Boucias dan
27
Pendland (1998) menyatakan beberapa genus cendawan entomopatogen yang
tergolong ke dalam divisi Eumycota, sub-divisi Deuteromycota, klas
Hyphomycetes dan ordo Moniliales adalah: Aspergilus, Beauveria, Fusarium,
Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium.
B. bassiana M. anisopliae M. brunneum M. roridum F. solani F. oxysporum V. lecanii A. flavus P. fumosoroseus P. citrinum Gambar 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal ber-
umur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. oxysporum (13 hari)
Spesies B. bassiana adalah spesies cendawan entomopatogen yang paling
dominan ditemukan. Menurut Scholte et al. (2004), cendawan entomopatogen
B. bassiana mempunyai sebaran inang yang luas dan mudah diperbanyak secara
in vitro pada media sintetik, penyebarannya hampir di semua lokasi di dunia dan
mempunyai spesies serangga inang lebih banyak dibandingkan spesies cendawan
entomopatogen lainnya; kebanyakan inangnya berasal dari ordo Lepidoptera,
Coleoptera, Hemiptera, Diptera dan Hymenoptera.
Spesies B. bassiana menunjukkan pertumbuhan yang tidak cepat tetapi
dengan mudah tumbuh pada media SDAY, permukaan biakan rata seperti tepung
28
dan bewarna putih, cendawan ini menginfeksi rayap dengan penyebaran yang
tidak teratur, kemudian mengalami penyempurnaan yang tidak menyebar rata.
Setelah kematian inang konidiofora tumbuh keluar dari tubuh rayap dan diiringi
dengan munculnya konidia.
Barron (1968) menjelaskan tentang deskripsi dari B. bassiana sebagai
berikut: konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul
langsung dari hipa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang
menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal
yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi
acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora
sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Gambar 4.3)
Tabel 4.1 Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang
atau sumber inokulum di alam
No. Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia inang
Spesies cendawan Geografi asal (tahun)
1. 2. 3.
Bb-Cr As-Cr Pe-Cr
Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.) (Lepidoptera: Pyralidae)
Larva
Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Aspergillus flavus Link. Penicillium citrinum Thom.
Cibodas (2004)
4. 5.
Bb-Sl Fu-Sl
Ulat grayak (Spodoptera litura F.} (Lepidoptera: Noctuidae)
Larva B. bassiana Fusarium oxysporum Link.
Cibodas (2004)
6.
7.
8.
9.
Ma-Rl
Ve-Rl
Pa-Rl
Fu-Rl
Penghisap polong (Riptortus linearis L.) (Hemiptera: Alydidae) Penghisap polong Penghisap polong
Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok Verticilium lecanii (Zimmermann) Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith Fusarium solani Link.
Probolinggo (2003)
10.
Bb-Lo Walang sangit
(Leptocorisa oratorius F) (Hemiptera: Coreidae)
Imago
B. bassiana
Probolinggo (2003)
11. 12. 13.
Bb-Co As-Co Pe-Co
Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae)
Larva B. bassiana A. flavus P. citrinum
Bogor (2004)
14. 15.
Bb-Tn My-Tn
Tanah Tanah
- -
B. bassiana Myrothecium roridum Tode EXFR.
Bogor (2004) Cibodas (2004)
16. Mb-Ps Pasir - Metarhizium brunneum Petch Bogor (2004)
29
Isolat lainnya yang diisolasi dari inang atau sumber inokulum di alam
seperti terlihat pada Tabel 4.1. juga diidentifikasi berdasarkan bentuk organ
seksual, warna massa konidia secara in vitro dan in vivo, dan tipe
pertumbuhannya (Deskripsi selengkapnya pada Lampiran 1).
Gambar 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran
1000 x
Patogenisitas dan Virulensi
Tingkat patogenisitas antar spesies cendawan entomopatogen dan tingkat
virulensi antar isolat di dalam satu spesies cendawan yang ditemukan pada
penelitian ini umumnya berbeda nyata pada uji DUNCAN pada tingkat
keragaman 5%. Spesies cendawan M. anisopliae dari inang penghisap polong,
M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang
sangit, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus dari rayap tanah dapat
menyebabkan mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi (Gambar 4.4). Hal ini
berarti beberapa isolat cendawan entomopatogen bersifat sangat patogen dan
berpotensi dijadikan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah
C. gestroi.
Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies dan perbedaan virulensi antar
isolat cendawan entomopatogen diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat
dasar internal (genetik) antar spesies dan perbedaan sumber inang asal isolat.
Selain hal ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal
yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan cendawan tumbuh dan
berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut
30
0
20
40
60
80
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talit
as (%
) Bb-SlBb-LoBb-TnBb-CoBb-CrMb-PsMa-RlAs-CoAs-Cr
0
20
40
60
80
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talit
as (%
) My-TnVl-RlPa-RlFu-SlFu-RlPe-CoPe-Crkontrol
Tanada dan Kaya (1993) biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan
satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan,
dan melepaskan toksin. Beberapa di antaranya bersifat virulen dan membunuh
serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi
kronik yang lama.
Gambar 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen
(107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%).
Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = M. brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = M. roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,
31
Isolat cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang
umumnya bersifat patogen terhadap rayap, dan dapat menyebabkan mortalitas
lebih dari 60%. Yoshimura dan Takahashi (1998), menjelaskan bahwa
penggunaan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap telah 25 tahun
lebih menjadi target penelitian dan banyak spesies cendawan telah diuji tingkat
patogenisitasnya terhadap rayap. Setelah tahun 1960-an banyak peneliti memulai
investigasi patogenisitas cendawan terhadap rayap menggunakan A. flavus,
Absidia coerulea Bainier, B. bassiana, Entomophthora sp. M. anisopliae,
Conidiobolus coronatus dan Penicillium sp.
Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai sifat dan kemampuan
spesifik untuk tumbuh dan berkembang pada rayap. Perbedaan ini juga terlihat
pada karakterisasi fisiologisnya secara in vivo dan in vitro terutama pada
kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni dan konidiogenesis (Tabel
4.2). Diduga setiap spesies juga menghasilkan jenis metabolit sekunder (toxin)
yang bervariasi sehingga mempunyai daya toksisitas yang berbeda satu sama
lainnya.
Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen
dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang
dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya
sehingga nutrient di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang
begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya
atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang
secara normal. Beberapa di antara zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan
yang dapat membunuh serangga adalah: 1) Beauvericin oleh B. bassiana,
Paecilomyces dan Fusarium, 2) Bassianolide oleh B. bassiana, 3) Cyclosporin A
oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium dan Tolypocladium, 4) Oosporein oleh
B. bassiana, 5) asam Oxalic oleh B. brongniartii, 6) Destruxins oleh M.
anisopliae dan Aspergillus ochraceus, 7) Cytochalasins oleh M. anisopliae, 8)
Swainsonine oleh M. anisopliae, 9) Aflatoxins oleh Aspergillus, 10) Asam kojic
oleh A. flavus dan 11) Restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.
Selanjutnya dinyatakan bahwa penempelan mungkin melibatkan kekuatan
electrostatik dan interaksi molekul, hemagglutins, glukosa, dan
32
N-acetylglucosamine merupakan substansi yang ditemukan pada permukaan
spora, spora berkecambah dengan cepat tergantung pada kelembaban lingkungan,
temperatur, kondisi cahaya yang kurang serta nutrisi lingkungan. Penetrasi
terutama tergantung pada sifat kutikula serangga (ketebalan, sclerotization, dan
kehadiran zat anti cendawan) dan substansi nutrisi. Setelah berkecambah hifa
masuk ke dalam integumen serangga dan terus ke hemocoel, dan menghasilkan
tubuh hifa (hyphal bodies), yang pada hakekatnya berupa blastospores yang
berkembang dengan tunas (budding).
Menurut Scholte et al. (2004), siklus cendawan entomopatogen hingga
menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia menempel pada
kutikula kemudian berkecambah dan menembus kutikula. Kemudian di dalam
hemocoel miselia tumbuh terus menerus pada inang membentuk tubuh hifa
(blastospores). Kematian serangga sering disebabkan oleh kombinasi dari aksi
toksin, terhalangnya sirkulasi darah, komsumsi nutrisi atau penyerangan organ
dari serangga.
Virulensi antar isolat juga menunjukkan perbedaan, seperti pada 5 isolat
cendawan B. bassiana yang berasal dari sumber inang yang berbeda, isolat
walang sangit (Bb-Lo) paling virulen dibanding isolat B. bassiana yang lainnya.
Dua isolat cendawan A. flavus yang juga berasal dari inang berbeda, isolat rayap
tanah (As-Co) lebih virulen dibanding isolat ulat krob kubis (As-Cr).
Diperkirakan sifat virulensi yang berbeda ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi
dan fisiologi serangga inang asal isolat dan lingkungan asal isolat yang berbeda.
Menurut Tanada dan Kaya (1993), virulensi adalah kemampuan penyakit
yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan
suatu organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang
berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi
mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen
sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya
patogen dapat mempunyai virulensi yang rendah sebab tingginya ketahanan atau
rendahnya kerentanan dari inang.
Patogenisitas secara dekat merupakan sinonim terhadap virulensi yaitu
berkenaan dengan kemampuan menghasilkan penyakit oleh mikroorganisme.
33
Perbedaannya adalah bahwa patogenisitas diaplikasikan terhadap kelompok atau
spesies dari organisme; sedangkan, virulensi digunakan pengertian tingkat dari
patogenisitas di dalam kelompok atau spesies. Patogenisitas kadang-kadang
dipandang sebagai kemampuan penetapan secara genetika untuk menghasilkan
penyakit, dan virulensi tidak sebagai hasil secara genetika. Dengan demikian, kita
dapat mengatakan bahwa patogenisitas B. bassiana adalah tinggi untuk isolat
L. oratorius (Bb-Lo), tetapi virulensinya berbeda tergantung pada kondisi, seperti
metode pembiakan, penyimpanan, formulasi, dan faktor lingkungan. Sebagai
contoh di bawah kondisi nutrisi tertentu, virulensi dari patogen lebih tinggi
dibanding pada nutrisi lainnya. B. bassiana mempunyai banyak strains, yang
pada suatu waktu dipertimbangkan untuk berbeda spesies sebab berbeda
karakteristik morfologinya. Strains akan bervariasi virulensinya dan tergantung
pada kerentanan spesies serangga sasaran.
Perbedaan mortalitas rayap sebagai akibat perbedaan tingkat virulensi
disebabkan oleh asal dan kondisi sumber inang yang berbeda pula, hal ini
menyebabkan perbedaannya dalam karakter menyerang rayap. Disamping juga
tergantung pada lingkungan pada daerah asal, karakter dan struktur dari konidia
juga berakibat terhadap perkecambahan. Perkecambahan yang sukses dan
berpenetrasi pada inang tergantung pada total persentase perkecambahan,
lamanya waktu berkecambah, cara dari perkecambahan, agresivitas cendawan,
dan kerentanan inang (Samson et al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993).
Spesies cendawan mempunyai banyak strains yang berbeda virulensinya.
Pada umumnya, strains dari spesies yang diisolasi dari inang yang spesifik lebih
virulen untuk inang yang sama dibandingkan isolat dari inang yang lainnya, dan
suksesi penularan di dalam suatu inang dapat juga menghasilkan peningkatan
virulensi atau menghasilkan strain yang lebih virulent. Pernyataan ini dipertegas
oleh hasil penelitian ini yaitu pada kasus perbedaan virulensi antar isolat
A. flavus, yang berasal dari serangga inang rayap tanah (As-Co) lebih virulen
dibandingkan yang berasal dari serangga inang ulat krop kubis (As-Cr) terhadap
mortalitas rayap C. gestroi. Namun tidak demikian pada kasus perbedaan
virulensi antar isolat B. bassiana, isolat walang sangit (Bb-Lo) menunjukkan
34
tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari rayap tanah (Bb-Co), ulat
krop kubis (Bb-Cr), ulat grayak (Bb-Sl) dan tanah (Bb-Tn).
Pada kasus seperti diterangkan di atas, tingkat virulensi ternyata tidak hanya
dipengaruhi oleh asal isolat yang secara umum ditentukan oleh faktor eksternal
(lingkungan), akan tetapi juga oleh spesies cendawan yang secara umum lebih
dipengaruhi oleh sifat internal, dengan pengertian bahwa setiap spesies cendawan
entomopatogen masing-masingnya mempunyai spesies inang yang spesifik.
Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Trizelia (2005), bahwa pada spesies
cendawan B. bassiana, isolat yang virulen terhadap serangga hama tidak selalu
berasal dari hama yang sama. Hasil uji virulensi dari 13 isolat B. bassiana
menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang sangat virulen terhadap ulat krop
kubis C. pavonana dari Cibodas berasal dari serangga dan daerah lain yang bukan
serangga inang uji yaitu berasal dari inang L. oratorius dari Cianjur.
Mortalitas rayap C. gestroi yang disebabkan cendawan entomopatogen
M. anisopliae dan F. oxysporum lebih cepat dibandingkan yang disebabkan oleh
spesies lainnya yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam periode
waktu yang lebih singkat. Hal ini diperkirakan spesies cendawan ini disamping
kemampuannya mendegradasi inang, juga dengan sangat cepat menyebarkan
metabolit sekundernya yang bersifat racun bagi rayap sehingga terjadi ketidak
seimbangan fungsi organ tubuh. Agens hayati penyebab penyakit ”green
muscardine” M. anisopliae merupakan spesies patogen yang secara alami
menginfeksi lebih dari 200 jenis serangga, termasuk rayap (Tanada dan Kaya
1993 dalam Strack 2003).
Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam
studi histopatologi pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae
memperlihatkan bahwa toksin (destruxin) membunuh serangga inang dengan
merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang
sehingga kehilangan keutuhan struktural membran dan kemudian terjadi
dehidrasi sel. Dalam hal ini penyumbatan spirakel dimungkinkan terjadi sehingga
dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada hemocoel.
Menurut MacLeod 1963 dalam Tanada dan Kaya (1993), periode dari
infeksi sampai pada kematian serangga dapat dalam waktu yang singkat 3 hari
35
dan selama-lamanya 12 hari, dan kebanyakan terjadi dalam rentangan 5 - 8 hari.
Periode dapat bervariasi dan juga tergantung pada ukuran dari inang. Kebanyakan
serangga mati setelah sore hari antara 1500 dan 1900 jam. Virulensi dan
patogenisitas dari cendawan entomopatogen dapat berasosiasi dengan produksi
enzim collagenolytic dan mycotoxins.
Spesies cendawan M. anisopliae telah sangat populer keefektifannya di
dalam pengendalian rayap, bahkan sampai saat sekarang telah banyak
biopestisida yang berbasiskan konidia dari cendawan M. anisopliae diedarkan
secara komersil. Namun spesies cendawan Fusarium spp. masih diragukan dalam
penggunaan sebagai biopestisida walaupun mempunyai daya tinggi dalam
membunuh serangga hama, hal ini sehubungan dengan sifatnya yang juga sebagai
patogen pada tanaman.
Teetor-Barsch dan Roberts (1993) menyatakan cendawan Fusarium
diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di
antaranya pada tanaman hidup dan yang telah mati serta pada banyak hewan.
Cendawan ini terutama ditemukan berasosiasi dengan serangga. Perhatian khusus
diberikan terhadap rentangan inang, teristimewa antara inang tanaman dan
serangga, dan memungkinkan potensi cendawan ini untuk mengendalikan hama.
Beberapa jenis Fusarium spp. yang bersifat entomopatogen bersifat lemah dan
sebagai patogen fakultatif khususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera.
Cendawan akan mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada
segolongan kecil kasus tingkat patogenisitas terhadap tanaman dan serangga oleh
satu isolat juga ditemukan. Tingkat potensi isolat Fusarium yang menyebabkan
mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan spesifikasi inang yang
tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman.
Periode waktu kematian rayap oleh cendawan entomopatogen secara umum
tidak menunjukkan tanda dan gejala yang nyata pada awal tingkatan infeksi.
Hanya setelah infeksi menyebar ke dalam tubuh, rayap menjadi kurang aktif atau
menunjukkan kegelisahan. Pada tahapan akhir infeksi, rayap kehilangan tenaga
gerak dan diam ditempat lalu kemudian mati, pada tahapan paling ahir dari proses
infeksi, kadang-kadang rayap dapat berganti warna menjadi gelap dan tidak
dikolonisasi oleh miselia seperti pada kasus rayap yang diinfeksi oleh cendawan
36
M. anisopliae. Kadang-kadang rayap yang telah mati menjadi keras dan 3 - 4 hari
setelahnya, rayap berubah warna sesuai warna konidia yang dihasilkan, rayap
mati diselimuti warna konidia putih mengindikasikan terserang oleh B. bassiana.
Sporulasi in Vivo
Pada penelitian ini, sporulasi cendawan pada permukaan tubuh rayap (in
vivo) tidak semua berkorelasi dengan mortalitas namun spesies cendawan yang
menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap
tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana
dari walang sangit juga mampu bersporulasi yang tinggi secara in vivo ( 78,25%
– 97,25%) kecuali M. anisopliae dan M. roridum dari tanah. Dalam hal ini
M. roridum menunjukan kemampuan bersporulasi in vivo paling rendah
(Gambar 4.5). Diperkirakan hal ini juga dipengaruhi oleh spesies cendawan,
sumber isolat dan faktor lingkungan; cendawan dapat tumbuh pada kondisi
kelembaban yang tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan
terlihat dengan jelas.
Menurut Prior dan Perry 1980 di dalam Butt et al. (2001) dan Tanada dan
Kaya (1993), pertama kali mikroorganisme ditemukan sebagai penyebab penyakit
pada serangga adalah cendawan sebab pertumbuhannya secara makroskopis
nampak dengan nyata pada permukaan serangga inang. Namun beberapa
cendawan entomopatogen bentuk pertumbuhannya tipis atau jarang dan tidak
nyata karena struktur eksternalnya yang sangat kecil dan sulit dideteksi oleh
peneliti. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan terutama dibatasi oleh
kondisi lingkungan eksternal, kususnya kelembaban yang tinggi atau kelembaban
dan temperatur yang memadai untuk bersporulasi dan perkecambahan spora.
Rombach (1988) menyatakan bahwa banyak spesies cendawan dapat
ditemukan tumbuh pada serangga mati, namun kebanyakan merupakan cendawan
saprofit yang menyerang setelah serangga mati. Akan tetapi hanya spesies
entomopatogen yang dapat secara aktif menyerang serangga hidup, membunuh
inang dan bersporulasi pada inang yang telah mati. Secara keseluruhan lebih dari
700 spesies cendawan dari perkiraan 90 genera adalah merupakan patogen
terhadap serangga. Spesies cendawan entomopatogen tersebut ditemukan pada
37
0102030405060708090
100Bb
-Sl
Bb-L
o
Bb-T
n
Bb-C
o
Bb-C
r
Mb-
Ps
Ma-
Rl
As-
Co
As-
Cr
My-
Tn
Vl-R
l
Pa-R
l
Fu-S
l
Fu-R
l
Pe-C
o
Pe-C
r
Kon
trol
Isolat cendawan entomopatogen
Mor
talit
as d
an s
poru
lasi
in v
ivo
(%)
Mortalitas (%)Sporulasi (%)
klass Ascomycotina (Cordyceps, Hypocrella dan Torrubiella), Zygomycotina
(Entomophthorales) dan Deuteromycotina (kebanyakan dari klass
Hyphomycetes).
Gambar 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo)
dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml).
Di samping virulensi, kemampuan bersporulasi pada inang (in vivo)
menjadi sangat penting bila untuk tujuan penularan di dalam koloni karena
cendawan yang mampu bersporulasi pada inang dengan baik akan dapat
membentuk infective propagul baru dan dapat tersebar luas ke seluruh individu di
dalam koloni. Goettel dan Inglis 1997 dalam Scholte et al. (2004) menyatakan
bahwa setelah inang mati, hifa biasanya muncul dari bangkai serangga dan di
bawah kondisi abiotik yang menguntungkan, konidia dapat dihasilkan pada tubuh
bahagian luar inang, ini kemudian akan tersebar oleh angin atau air.
Menurut Yoshimura et al. (1992), pertumbuhan hifa dari tubuh rayap
setelah diamati sampai mati tidak nyata, namun dua sampai 3 hari setelah
kematian banyak hifa yang tumbuh ke luar, kira-kira 2 - 10 hari setelah kematian
Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = Metarhizium brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = Myrothecium roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,
38
dibutuhkan untuk pembentukan konidia baru. Pada kasus cendawan C. coronatus,
banyak konidia terlihat setelah 2 hari pada rayap yang telah di ekspose selama 6
jam.
M. roridum F. oxysporum P. fumosoroseus M. brunneum B. bassiana A. flavus Gambar 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen
pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi
Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi
Karakter fisiologi adalah kemampuan cendawan untuk tumbuh dan
berkembang pada media sintetik atau inang, dalam hal ini yang diamati antara
lain adalah: daya kecambah, diameter koloni dan kemampuan berseporulasi. Di
samping patogenisitas, karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro akan
menjadi penting bila cendawan tersebut diperbanyak secara massal untuk tujuan
bio-termitisida komersil.
Umumnya cendawan entomopatogen yang mempunyai tingkat patogenisitas
tinggi dapat direkomendasikan pada penelitian selanjutnya, walaupun dari hasil
39
analisis statistik ada perbedaan diameter koloni, daya berkecambah dan jumlah
konidia dari masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen.
Tabel 4.2. Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi.
Isolat Inang atau
sumber inokulum Diameter koloni
(cm) Daya kecambah konidia (%)
Sporulasi (konidia/ cawan petri x 107)
M. anisopliae Penghisap polong 5,47 ± 0,26 b 27,20 ± 13,67 c 6,18 ± 2,70 c M. roridum Tanah 4,72 ± 0,78 c 92,50 ± 6,02 ab 285,33 ± 102,25 b
M. brunneum Pasir 5,25 ± 0,17 bc 97,20 ± 1,70 a 223,66 ± 45,98 bc B. bassiana Walang sangit 4,67 ± 0,69 c 82,50 ± 7,76 b 1470,33 ± 291,34 a
F. oxysporum. Ulat grayak 9,00 ± 00 a 95,70 ± 1,70 a 10,08 ± 1,25 c A. flavus Rayap tanah 8,32 ± 0,25 a 95,20 ± 4,27 a 19,8 ± 5,78 c
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Diameter koloni (cm)
Diameter koloni dari masing-masing spesies setelah dua minggu berkisar
antara 4,4 cm – 9,0 cm, tertinggi diperoleh pada F. oxysporum (9 cm) dan
kemudian diikuti oleh A. flavus (8,3 cm). Analisis statistik memperlihatkan kedua
spesies cendawan ini tidak berbeda nyata, cendawan yang menunjukkan
pertumbuhan koloni yang lebih cepat ini menunjukkan pertumbuhan yang lebih
tipis dipermukaan media kultur SDAY. Hal ini ternyata berkaitan dengan jumlah
konidia yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata dan menghasilkan jumlah
konidia lebih sedikit.
Olsson (1997) mendefinisikan koloni cendawan adalah suatu kelompok hifa
yang berasal dari satu spora atau satu individu atau yang berasal dari satu sumber
miselia. Berdasarkan pernyataan ini, pertumbuhan koloni diawali oleh
perkecambahan dan pertumbuhan miselia, cepatnya pertumbuhan miselia akan
menyebabkan nutrisi yang diperoleh dari media tumbuh akan dimanfaatkan
terlebih dahulu untuk pertumbuhan miselia sehingga diperkirakan pembentukan
konidia akan dapat terhambat.
Daya kecambah konidia (%)
Daya kecambah cendawan entomopatogen dari masing-masing spesies
cendawan lebih dari 80% kecuali M. anisopliae (27,2%) setelah 12 - 24 jam
40
inkubasi. Hasil penelitian menunjukan secara umum semua isolat terseleksi
tergolong mempunyai daya kecambah tinggi, hal ini akan sangat menguntungkan
didalam keberhasilan cendawan menginfeksi inangnya, karena keberhasilan
cendawan untuk dapat menyerang inang terutama sangat ditentukan oleh
kemampuan cendawan menempel dan berkecambah pada kutikula serangga.
Boucias dan Pendland (1998), mengemukakan cendawan entomopatogen
dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang
serta dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel).
Menurut Leland 2001; Jenkins et al. 1998; Kassa 2003 dalam Trizelia
(2005) evaluasi daya kecambah konidia cendawan entomopatogen perlu
dilakukan terutama apabila cendawan tersebut akan dikembangkan sebagai
bioinsektisida. Daya kecambah konidia merupakan salah satu kriteria dalam
pemilihan isolat; cendawan yang memiliki daya kecambah konidia di atas 80%
telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Selanjutnya
dinyatakan bahwa dalam pemilihan isolat yang akan digunakan, kecepatan
perkecambahan juga harus diperhitungkan. Isolat yang berkecambah lebih cepat
lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat ini dapat terhindar dari
pengaruh kekeringan, pengaruh dari mikroorganisme lain dan terlepas dari
kutikula serangga pada waktu ekdisis.
Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting
untuk berhasilnya melakukan penetrasi pada inang, namun hal ini akan sangat
tergantung pada faktor lingkungan asal spesies atau isolat dan sifat genetik
masing-masing spesies cendawan. Hal ini biasanya ditunjukkan oleh perbedaan
viabilitas antar isolat di dalam spesies yang sama, pada penelitian ini terlihat
bahwa daya kecambah M. anisopliae berbeda sangat nyata dengan M. brunneum
(Tabel 4.2). Menurut Ekesi et al. (2003) viabilitas 4 isolat M. anisopliae yang
berasal dari Kenya dan Congo berkisar antara 85 – 90%.
Viabilitas antar spesies cendawan M. brunneum, F. oxysporum dan A. flavus
tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan tingkat
patogenisitas yang tidak berbeda (Gambar 4.4). Adanya keterkaitan antara tingkat
patogenisitas dengan kemampuan berkecambah merupakan salah satu hal yang
sangat menunjang di dalam adanya kemungkinan spesies cendawan ini untuk
41
dikembangkan ke penelitian yang lebih mendalam sehingga berpotensi sebagai
biopestisida.
Sporulasi (konidia / cawan petri).
Sporulasi adalah kemampuan cendawan entomopatogen untuk
menghasilkan konidia pada media sintetik atau inang. Untuk dapat melakukan
proses infeksi dan menurunkan generasi berikutnya dengan cepat akan sangat
tergantung pada kemampuan cendawan menghasilkan konidia. Pada penelitian ini
setelah 2 minggu, B. bassiana menghasilkan jumlah konidia tertinggi (1,47 x 1010
konidia / cawan petri). Hasil ini berbeda nyata dengan jumlah konidia yang
dihasilkan oleh spesies cendawan lainnya. Kemudian diikuti oleh M. brunneum,
A. flavus, F. oxysporum dan M. anisopliae (Tabel 4.2).
Spesies cendawan B. bassiana, menunjukkan laju pertumbuhan koloni yang
lambat namun memperlihatkan pertumbuhan koloni yang lebih tebal,
diperkirakan hal ini salah satu faktor penentu spesies cendawan ini dapat
menghasilkan jumlah konidia lebih banyak dibandingkan spesies cendawan yang
diujikan, yang bearti ada korelasi dengan karakter fenotip cendawan disamping
juga ditentukan oleh faktor genetik. Hasil penelitian ini menunjang penelitian
yang dilakukan oleh Trizelia (2005), 13 isolat B. bassiana dapat menghasilkan
jumlah konidia antara 1,27 X 1010 – 1,79 X 1010 konidia / cawan petri. Hasil ini
juga memperlihatkan perbedaan nyata antar isolat dan tertinggi ditemukan pada
isolat yang berasal dari inang C. pavonana (1,79 X 1010 konidia/cawan petri)
Kemampuan cendawan menghasilkan jumlah konidia yang banyak,
merupakan salah satu faktor yang menguntungkan di dalam pemanfaatannya
sebagai agens pengendalian hayati, karena konidia sangat penting untuk infeksi
dan penyebaran cendawan. Sun et al. 2003 dalam Trizelia (2005) menyatakan
bahwa Isolat B. bassiana yang lebih cepat bersporulasi dengan total sporulasi
yang tinggi menghasilkan epizootik yang lebih baik dalam koloni rayap C.
formosanus.
Karakter fisiologis (diameter koloni, viabilitas dan kemampuan
bersporulasi) cendawan entomopatogen menunjukan keragaman antar spesies
yang diuji. Selain faktor-faktor penentu yang telah diuraikan di atas, faktor media
42
tumbuh diperkirakan juga menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan secara
fisiologis. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah SDAY dengan
komposisi dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g dalam
akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloromphenicol (Samuels et al.
2002). Dalam hal ini masing-masing spesies cendawan entomopatogen
memungkinkan dapat tumbuh lebih baik pada media yang lebih spesifik.
Kesimpulan
Hasil isolasi menunjukkan keragaman spesies yang didapatkan dari sumber
inokulum di alam. Tertinggi ditemukan pada inang yang berasal dari serangga
terinfeksi dibanding dari sumber tanah dan pasir. Spesies cendawan
entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di
alam adalah B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum, P. fumosoroseus,
P. citrinum, M. roridum, V. lecanii, F. oxysporum, F. solanii dan A. flavus. Hasil
uji patogenisitas menunjukkan pada umumnya cendawan bersifat patogen
terhadap rayap C. gestroi.
Cendawan entomopatogen yang ditemukan umumnya dapat dimanfaatkan
sebagai agens pengendalian hayati rayap C. gestroi, khususnya: M. anisopliae
dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah,
B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari
rayap tanah; pada penggunaan kerapatan konidia cendawan 107 konidia/ml dapat
membunuh rayap C. gestroi 100% setelah 6 hari inokulasi.
Kemampuan bersporulasi in vivo antar spesies umumnya tidak berkorelasi
dengan mortalitas, namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat
patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum
dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana dari walang sangit juga
menghasilkan kemampuan bersporulasi secara in vivo tinggi (78,25% – 97,25%).
M. roridum mempunyai kemampuan bersporulasi secara in vivo paling rendah
(10%).
Cendawan entomopatogen terseleksi jika ditumbuhkan pada media SDAY
memperlihatkan daya kecambah konidia lebih dari 80% kecuali M. anisopliae.
43
Diameter koloni tertinggi setelah 2 minggu dicapai oleh F. oxysporum. (9 cm)
dan sporulasi tertinggi dicapai oleh B. bassiana (1,47 X 1010 konidia/ml).
Berdasarkan hasil uji tapis tingkat patogenisitas (laju mortalitas), sporulasi
in vivo dan karakterisasi fisiologis, cendawan entomopatogen A. flavus dari
inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir,
B. bassiana dari walang sangit dan M. anisopliae dari penghisap polong kedele
dapat dilanjutkan pada penelitian berikutnya.
BAB V
KEEFEKTIVAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMOPATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH
COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN UMPAN
Abstrak
Beberapa spesies cendawan entomopatogen: Metarhizium anisoplia (Metsch.) Sorokin, Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin, Fusarium oxysporum Link dan Aspergillus flavus Link. telah diuji keefektifannya terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann. Kultur murni masing-masing spesies cendawan disimpan pada suhu 4 0C. Sebelum digunakan, dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan diinkubasikan pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Untuk uji tingkatan patogenisitas untuk masing-masing jenis cendawan disiapkan suspensi dengan kerapatan konidia/ml (0, 107, 5.106, 106, 5.105 dan 105 konidia/ml), dan untuk uji metode aplikasi digunakan LC95 dari spesies cendawan M. brunneum, setiap perlakuan diulang 4 kali. Pada penelitian tingkat patogenisitas data mortalitas dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dua faktor dan untuk penelitian metode aplikasi data mortalitas dianalisis berdasarkan RAL satu faktor dengan uji sidik ragam (ANOVA). Perbedaan antar isolat diuji lanjut dengan DNMRT, untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dan kerapatan konidia/ml dengan mortalitas (LT dan LC) dilakukan dengan analisis probit. Hasil penelitian menunjukkan, semakin tinggi kerapatan konidia/ml untuk setiap spesies cendawan yang diaplikasikan pada rayap C. gestroi semakin tinggi mortalitas yang dicapai. Semua spesies cendawan mampu menyebabkan mortalitas diatas 80% pada tingkatan kerapatan sama atau lebih dari 5.106 konidia/ml, namun hanya cendawan M. brunneum yang mampu menyebabkan mortalitas diatas 80% sampai dengan kerapatan konidia yang lebih rendah (5.105 konidia/ml), sehingga spesies cendawan ini menghasilkan Lethal Concentration (LC50) terendah (1,8 x 105 konidia/ml). Pada uji metode aplikasi, mortalitas tertinggi didapatkan dengan metode kontak dengan lethal time (LT50) tersingkat 2,01 (1,52 – 2,40) hari. Kata-kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, kerapatan, metode
aplikasi, C. gestroi
Pendahuluan
Penggunaan agens hayati cendawan entomopatogen merupakan suatu upaya
untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik yang selama ini banyak
menyebabkan masalah lingkungan. Agens hayati diharapkan dapat menjadi suatu
solusi disamping dapat menggali potensi sumber daya hayati lokal yang diduga
45
keberadaannya berlimpah di alam Indonesia. Menurut Boucias dan Pendland
(1998) tingkat patogenisitas masing-masing spesies Aspergilus, Beauveria,
Fusarium dan Metarhizium, termasuk ke dalam Kingdom Mychota, Filum
Deuteromycota, Klass Hyphomycetes dan Ordo Moniliales ditentukan oleh
interaksi berbagai faktor seperti jenis inang, metode aplikasi dan faktor
lingkungan. Adapun kemampuan dasarnya ditentukan oleh spesies cendawan itu
sendiri yang dapat menyebabkan kematian inang dengan cepat atau sebaliknya.
Pada penelitian terdahulu beberapa spesies cendawan entomopatogen dari
berbagai inang atau sumber inokulum di alam ternyata efektif dimanfaatkan
sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi. Pada uji Laboratorium, dari
16 isolat (10 spesies) cendawan entomopatogen yang diuji tingkat
patogenisitasnya terhadap rayap tanah, ternyata 14 isolat (9 spesies) dapat
menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 60%. M. anisopliae, M.
brunneum, F. oxysporum, A. flavus dan B. bassiana dapat menyebabkan
mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi.
Untuk dapat memanfaatkan cendawan entomopatogen sebagai bahan dasar
agens hayati secara optimal, perlu dilakukan pengujian secara mendalam tentang
keefektifan beberapa spesies cendawan yang mempunyai sifat patogen yang
tinggi. Kebanyakan cendawan entomopatogen mempunyai sifat spesifik terhadap
inang tertentu, yang kemampuan alaminya untuk menginfeksi serangga
bervariasi. Pada banyak kasus, kespesifikan cendawan pada inang mempunyai
karakteristik yang fleksibel yang dipengaruhi oleh metode perlakuan seperti dosis
dan metode aplikasi.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan cendawan entomopatogen perlu
diketahui kerapatan konidia secara optimal (konidia/ml) sebagai formulasi bio-
termitisida. Dengan mendapatkan LC yang optimal dalam aplikasi, diharapkan
akan dapat mengendalikan rayap tanah C. gestroi sesuai yang diinginkan.
Menurut Edwards dan Mill (1986) di dalam Eaton dan Hale (1993),
berdasarkan pengamatan ada empat metode aplikasi pengendalian rayap yaitu:
memasukkan pestisida ke dalam kayu, sistem pengumpanan, metode fisik dan
pengendalian hayati. Di Indonesia metode aplikasi pengendalian rayap telah
berkembang dengan baik diantaranya metode kontak langsung dan pengumpanan.
46
Menurut Jones et al. (1996), efikasi umpan tergantung pada keberhasilan
penyampaian agens kontrol dengan aksi bioaktif lambat ke seluruh koloni.
Patogen serangga adalah calon umpan yang menarik sebab mampu berbiak secara
alami dan aman bagi serangga non target. Patogen serangga dalam jumlah yang
sedikit dapat menyebar keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial
(grooming dan berbagi makanan) diharapkan dapat menyebarkan inokulum.
Berdasarkan hal tersebut di atas, telah dicoba penelitian menggunakan
berbagai tingkatan kerapatan konidia beberapa spesies cendawan entomopatogen
dari berbagai sumber dan metode aplikasi di laboratorium. Tujuan percobaan ini
untuk mendapatkan kerapatan konidia yang efektif dari masing-masing spesies
cendawan entomopatogen dan metode yang sesuai untuk aplikasi mengendalikan
rayap tanah C. gestroi.
Bahan dan Metode
Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Jenis Rayap yang Digunakan
Jenis rayap yang digunakan pada penelitian ini adalah rayap tanah jenis
C. gestroi yang dipelihara pada UPT Biomaterial LIPI selama 3 tahun.
Persiapan Cendawan
Cendawan entomopatogen yang digunakan pada penelitian ini merupakan
hasil uji tapis pada penelitian sebelumnya. Spesies yang digunakan adalah:
M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus (Tabel
5.1.)
47
Tabe1 5.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan dalam penelitian.
Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia Jenis cendawan Asal geografi
(Tahun) 1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus.
linearis) (Hemiptera:Alydidae) Imago Metarhizium anisopliae
(Metsch.) Sorokin. Probolinggo (2003)
2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Petch
Bogor (2004)
3. Bb-Lo Walang sangit (L. oratorius) (Hemiptera : Coreidae)
Imago Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin
Probolinggo (2003)
4. Fu-Sl Ulat grayak (Spodoptera. litura) (Lepidoptera : Noctuidae)
Larva Fusarium oxysporum Link.
Cibodas (2004)
5. As-Co
Rayap tanah (C. curvignathus) (Isoptera : Rhinotermitidae)
Larva Aspergilus.flavus. Link
Bogor (2004)
Perosedur Perbanyakan
Prosedur perbanyakan telah diuraikan pada Bab IV .
Penyediaan Suspensi Konidia
Suspensi konidia disiapkan sama seperti pada Bab IV, namun menggunakan
berbagai kerapatan sebagai berikut: a). 107 konidia/ml, 5.106 konidia/ml, 106
konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 105 konidia/ml untuk uji tingkat patogenisitas dan
b). LC95 dari M. brunneum (cendawan terseleksi pada uji tingkat patogenisitas)
untuk uji metode aplikasi. Konidia dihitung menggunakan haemocytometer.
Metode Kontak dan Umpan
Uji metode kontak (Contact method) dan metode umpan (Baiting method)
dapat diacu pada Bab III.
Uji Patogenisitas
Mortalitas
Suspensi konidia dari masing-masing spesies cendawan disiapkan seperti
diterangkan sebelumnya, 80 ekor C. gestroi kasta pekerja dan 8 ekor kasta
prajurit dicelupkan ke dalam 0,50 ml suspensi konidia masing-masing spesies
cendawan. Kontrol hanya dicelupkan dalam aquades steril yang telah
mengandung 0,05% Triton X-100. Kemudian larva dikeringkan dengan cara
48
menempatkan ke dalam cawan petri yang telah diberi alas kertas saring sebagai
sumber makanan. Rayap uji terdiri dari 20 ekor rayap kasta pekerja dan 2 ekor
kasta prajurit untuk setiap unit percobaan. Semua unit percobaan dipelihara pada
suhu ruangan berkisar antara 26-28 0C dan RH 70-95% dengan kondisi gelap.
Mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari.
Uji Lethal Concentration (LC)
Lethal Concentration adalah konsentrasi yang dapat membunuh populasi
organisme sejumlah tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Untuk
mengetahui hubungan regresi kerapatan konidia/ml dengan mortalitas (LC)
dilakukan dengan menggunakan analisis probit (Finney 1971).
Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium
Mortalitas
Suspensi konidia cendawan M. brunneum disiapkan seperti diterangkan
sebelumnya, kemudian untuk perlakuan metode kontak sebanyak 200 ekor rayap
C. gestroi kasta pekerja dan 20 ekor kasta prajurit dicelupkan ke dalam 1 ml
suspensi konidia cendawan M. brunneum. Kontrol hanya dicelupkan dalam
akuades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100. Sebanyak 50 ekor
kasta pekerja dan 5 ekor prajurit dibagi dalam setiap unit percobaan yang telah
diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Untuk perlakuan metode
umpan kertas saring yang telah diwarnai dengan 0,05% Nile blue A untuk
makanan rayap dicelupkan ke dalam suspensi konidia cendawan M. brunneum,
kemudian dikering anginkan dan ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 9
cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit untuk setiap ulangan
dipelihara di dalamnya. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan
berkisar antara 26-28 0C dan RH 70-95% dengan kondisi gelap. Mortalitas rayap
dihitung setiap hari selama 6 hari.
49
Lethal Time (LT)
Lethal Time adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh suatu populasi
sejumlah tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Untuk mengetahui
hubungan regresi waktu aplikasi dengan mortalitas (LT) dilakukan dengan
menggunakan analisis probit (Finney 1971).
Analisis Data
Data pengamatan mortalitas pada uji patogenisitas dianalisis berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dua faktor (faktor I spesies cendawan
entomopatogen yang terdiri dari 5 level: M. anisopliae, M. brunneum,
B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus dan faktor II tingkatan kerapatan konidia
yang terdiri dari 5 level kerapatan: 105, 5.105, 106, 5.106, 107 konidia/ml dan
kontrol) dan pada uji metode aplikasi dianalisis berdasarkan RAL satu faktor
(faktor metode penginfeksian terdiri dari 2 level: kontak dan pengumpanan)
dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji DNMRT (Steel & Torrie
1993). Untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan
dengan tingkatan kerapatan konidia terhadap mortalitas rayap C. gestroi
dianalisis berdasarkan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000), sedangkan
untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dan kerapatan konidia/ml dari
masing-masing spesies cendawan dengan mortalitas (LT dan LC) dilakukan
dengan analisis probit (Finney 1971).
Hasil dan Pembahasan
Uji Patogenisitas
Mortalitas
Spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana
F. oxysporum dan A. flavus telah diuji keefektifannya terhadap pengendalian
rayap tanah C. gestroi dengan perlakuan berbagai tingkatan kerapatan
konidia/ml: 105 konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 5.106 konidia/ml,
107 konidia/ml dan kontrol.
50
Pada pengujian keefektifan, ternyata B. bassiana, F. oxysporum dan
A. flavus setelah 6 hari penginfeksian dapat menyebabkan mortalitas rayap
C. gestroi lebih dari 80% pada perlakuan kerapatan konidia ≥ 5.106 konidia/ml.
Mortalitas yang sama dicapai oleh M. anisopliae pada perlakuan kerapatan
konidia 106 konidia/ml dan oleh M. brunneum pada kerapatan yang lebih rendah
(5.105 konidia/ml). Hal ini menunjukkan bahwa semua spesies cendawan yang
diuji pada penelitian ini sangat efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah
dan spesies M. brunneum paling tinggi tingkat patogenisitasnya dibanding spesies
lainnya (Gambar 5.1).
Laju mortalitas C. gestroi sangat dipengaruhi oleh tingkatan kerapatan dan
jenis cendawan entomopatogen, hal ini terlihat pada perbedaan bentuk grafik
yang dihasilkan. Setiap jenis cendawan sesuai dengan tingkat patogenisitasnya,
membutuhkan tingkat kerapatan konidia tertentu untuk dapat efektif sebagai
agens hayati pengendalian rayap C. gestroi.
Neves dan Alves (2004) menyatakan bahwa waktu kematian serangga
dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari masing–masing isolat. Tingkat
patogenisitas cendawan patogen untuk dapat menyebabkan penyakit ditentukan
oleh berbagai faktor, termasuk oleh sifat fisiologi dari inang seperti mekanisme
pertahanan dari inang dan sifat fisiologi dari cendawan seperti faktor viabilitas,
laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi dan metabolisme sekunder yang
dihasilkan yaitu berupa kemampuan menghasilkan enzim dan toxin serta
pengaruh lingkungan (Butt et al. 2001). Hal lainnya tentang patogenisitas spesies
cendawan diduga terkait dengan kemampuan menghasilkan enzim dan
mycotoxins selama berjalannya proses infeksi pada serangga seperti pada saat
kontak dengan kutikula dan di dalam hemosoel (Tanada & Kaya 1993).
Menurut Boucias dan Pendland (1998), tingkat patogenisitas cendawan
entomopatogen ditentukan oleh berbagai interaksi faktor. Ada beberapa genus
cendawan yang terdiri dari beberapa spesies yang masing-masingnya mempunyai
kemampuan dasar yang dapat menyebabkan cepat atau lambatnya kematian
inang. Selain hal tersebut patogenisitas juga tergantung pada berbagai
karakteristik dari potensi serangga inang dan lingkungan disekelilingnya.
Keadaan lingkungan seperti temperatur, cahaya, dan kelembaban relatif adalah
51
penting di dalam menetapkan kemampuan cendawan entomopatogen menyerang
inangnya. Sebagai contoh, kelembaban relatif yang tinggi biasanya dibutuhkan
konidia untuk berkecambah pada kutikula inang, sedangkan kelembaban relatif
rendah dibutuhkan untuk pembentukan konidia yang siap menyebar ke inang
baru.
Gambar 5.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah 6 hari
diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (107, 5.106, 106, 5.105, 105 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen.
M. anisopliae
020406080
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talita
s (%
)10 75.10 610 65.10 510 5kontrol
B. bassiana
020406080
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talita
s (%
)
10 7
5.10 6
10 6
5.10 5
10 5
kontrol
M. brunneum
020406080
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talita
s (%
)
10 75.10 610 65.10 510 5kontrol
F. oxysporum
020406080
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talita
s (%
)
10 7
5.10 6
10 6
5.10 5
10 5
kontrol
A. flafus
020406080
100
0 1 2 3 4 5 6
Waktu (hari)
Mor
talita
s (%
) 10 75.10 610 65.10 510 5control
52
Untuk setiap spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini, tingkat
kerapatan konidia memperlihatkan reaksi yang nyata terhadap mortalitas rayap
C. gestroi. Secara umum ada korelasi antara tingkat kerapatan konidia dengan
mortalitas, semakin tinggi kerapatan konidia yang di perlakukan juga
menunjukkan tingkat mortalitas rayap C. gestroi yang tinggi. Dalam hal ini
diperkirakan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia/ml yang diaplikasikan
terhadap rayap, memungkinkan kontak konidia dengan tubuh rayap dalam jumlah
yang lebih banyak. Keadaan ini memberi peluang yang lebih baik bagi konidia
untuk berhasil berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh rayap C. gestroi.
Selain tingkat kerapatan konidia, lamanya waktu pencelupan rayap ke dalam
suspensi konidia diperkirakan juga akan berpengaruh, namun dalam penelitian ini
lama pencelupan untuk semua tingkat kerapatan konidia dilakukan dalam waktu
4 detik.
Penelitian oleh Yoshimura dan Takahashi (1998), menunjukan bahwa pada
kontak selama satu menit dengan formulasi berkerapatan konidia B. brongniartii
tinggi (3,3 x 108 konidia/cm3) menghasilkan 100% mortalitas serangga uji dalam
waktu 5 hari, sedangkan dengan formulasi konidia berkerapatan rendah kontak
selama satu hari hanya menghasilkan 50% mortalitas dalam waktu yang sama.
Yoshimura et al. (1992) menyatakan bahwa tingkat patogenisitas cendawan
entomopatogen Conidiobolus coronatus terhadap rayap C. formosanus di
laboratorium dengan pemaparan rayap kasta pekerja terhadap koloni cendawan di
medium agar selama 3 jam menyebabkan 100% mortalitas dalam waktu 9 hari,
walaupun hanya 2 atau 3 konidia yang menempel pada permukaan masing-
masing tubuh rayap setelah pemaparan pada cendawan. Semua rayap pekerja
mati hanya dalam 1 hari setelah pemaparan selama 6 atau 24 jam. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa C. coronatus mempunyai potensi tinggi untuk membunuh
rayap dalam waktu singkat.
Lethal Concentration (LC)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC95, 50 dan 25 dari cendawan
M. brunneum paling rendah dibandingkan nilai LC dari spesies cendawan lainnya
yang diuji pada penelitian ini, secara berurutan: 1,21 x 106 konidia/ml, 1,80 x 105
53
konidia/ml dan 8,60 x 104 konidia/ml. Hal ini mengindikasikan bahwa
M. brunneum paling tinggi tingkat patogenisitasnya dibandingkan spesies
cendawan entomopatogen lainnya terhadap rayap tanah C. gestroi (Tabel 5.2).
Hasil penelitian Jones et al. (1996) dengan menggunakan 7 isolat B.
bassiana dan M. anisopliae sebagai bio-kontrol rayap C. formosanus,
menunjukkan bahwa umumnya strain M. anisopliae lebih virulen dengan nilai
LT50 lebih rendah dibandingkan strain B. bassiana. Menurut Cloyd (2004),
spesies cendawan M. anisopliae dapat mengendalikan banyak spesies serangga
hama pada percobaan-percobaan yang dilakukan, termasuk kumbang jepang
(Japanese beetle), kumbang penghisap anggur (black wine weevil), nyamuk dan
banyak jenis kutu.
Tabel 5.2. Lethal concentration (LC) beberapa spesies cendawan
entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi
LC (konidia/ml) Spesies cendawan95% 50% 25%
M. anisopliae 3,12 x 106 3,20 x 105 1,26 x 105 M. brunneum. 1,21 x 106 1,80 x 105 8,60x 104 B. bassiana 1,08 x 107 3,9 x 105 9,40x 104
F. oxysporum 5,76 x 106 6,78 x 105 2,80 x 105 A. flavus 7,85 x 106 1,97 x 106 1,10 x 106
Masing-masing spesies cendawan entomopatogen mempunyai tingkat
patogenisitas dan cara untuk menyerang rayap; cendawan mempunyai karakter
spesifik untuk menyerang inangnya (Gambar 5.2). B. bassiana dan M. brunneum
menunjukkan karakter berbeda di dalam mengkolonisasi inangnya, B. bassiana
hanya bersporulasi pada sisi tertentu saja dari tubuh inang. Karakter cendawan
didalam mengkolonisasi inang diduga juga berpengaruh pada tingkat
patogenisitas masing-masing spesies cendawan. Di samping itu, cendawan
entomopatogen juga menghasilkan beberapa metabolit sekunder sebagai toxin
untuk dapat melumpuhkan pertahanan inangnya.
54
A B
Gambar 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh B. bassiana (A) dan M. brunneum (B)
Destruxins merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan
entomopatogen hyphomycetes M. anisopliae. Sedikitnya 26 jenis destruxin telah
diidentifikasi, destruxin A, B dan E yang paling dominan (Pais, Das & Ferron
1981; Gupta et al. 1989; Roberts 1981 dalam Amiri-Besheli et al. 2000).
Selain spesies cendawan Metarhizium sp., B. bassiana juga lebih intensif
digunakan sebagai agens pengendalian rayap dan juga telah diformulasi sebagai
bio-termitisida komersil, hal ini disebabkan spesies B. bassiana mempunyai
beberapa sifat keunggulan dibandingkan kelemahannya jika dipersiapkan sebagai
formulasi bio-termitisida.
Pada penelitian ini juga terlihat bahwa spesies cendawan B. bassiana pada
pengggunaan kerapatan konidia 105 konidia/ml dapat membunuh rayap lebih dari
40%; hasil ini tertinggi jika dibandingkan dengan spesies cendawan lainnya pada
penggunaan kerapatan konidia yang sama. Disamping itu, B. bassiana lebih stabil
sesuai dengan penurunan kerapatan konidia, mortalitas menurun secara
berimbang seiring rendahnya kerapatan konidia yang diaplikasikan namun
berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 5.1).
Pada penelitian terdahulu, 5 isolat B. bassiana dari inang yang berbeda:
Coptotermes curvignathus (Bb-Co), Crocidolomia pavonana (Bb-Cp).
Leptocorisa oratorius (Bb-Lo), Spodoptera litura (Bb-Sl) dan tanah perkebunan
kubis (Bb-Soil) sebagai bio-control untuk rayap tanah Coptotermes sp.,
ditunjukkan bahwa masing-masing isolat dengan kerapatan 108 konidia/ml dapat
membunuh 100% rayap dalam waktu 6 hari setelah aplikasi, kecuali isolat B.
bassiana dari ulat grayak. Isolat B. bassiana dari walang sangit memperlihatkan
55
pertumbuhan yang lebih intensif pada permukaan tubuh rayap setelah 6 hari
aplikasi. Bahkan pada kerapatan 107 konidia/ml isolat ini dapat membunuh 100%
rayap. Berdasarkan analisis probit, nilai LC50 dan LT50 berturut-turut adalah 3,9 x
105 konidia/ml dan 2,06 hari (Desyanti et al. 2005)
Jones et al. (1996), pada penelitiannya menggunakan 4 isolat B. bassiana
dan 3 isolat M. anisopliae yang dievaluasi kemampuannya untuk digunakan
sebagai perbaikan agens pengendalian rayap C. formosanus. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa strain B. bassiana 787 mempunyai nilai LC50 paling
rendah tetapi secara dekat diikuti oleh ke tiga isolat M. anisopliae. Nilai LC50 dari
empat isolat berkisar antara 33 - 40 konidia/rayap. Strain B. bassiana 787
digagaskan mempunyai potensial tertinggi sebagai perbaikan agens pengendalian
rayap C. formosanus sebab nilai LT50 yang cukup rendah 2,9 hari dan nilai LC50
juga rendah yaitu 33 konidia/rayap.
Suzuki (1991) telah memperoleh respon termitisida yang nyata dari spesies,
M. anisopliae, B. bassiana dan P. fumosoroseus. Namun spesies ini, secara
umum menghasilkan tingkat patogenisitas bervariasi antar strain dan antar jenis
inang isolat.
Setiap spesies cendawan entomopatogen akan efektif sebagai agens
pengendalian hama bila di dalam aplikasi menggunakan kerapatan konidia yang
optimum, pada penelitian ini perlakuan menggunakan beberapa spesies cendawan
entomopatogen dengan berbagai variasi kerapatan konidia, menghasilkan nilai
Lethal Concentration yang bervariasi (Tabel 5.2).
Setelah spesies M. brunneum secara berurutan diikuti oleh M. anisopliae,
F. oxysporum, A. flavus dan B. bassiana namun hanya spesies M. brunneum yang
memiliki nilai LC terendah dibandingkan spesies yang lainnya pada setiap
tingkatan LC (LC95, 50 dan 25), pada spesies cendawan lainnya terlihat tingkat
LC50 dan 25 yang tidak konstan. Hal ini juga tercermin pada pola kurva yang
berbeda untuk setiap spesies cendawan, bahwa spesies cendawan yang hanya
efektif pada kerapatan konidia tinggi akan memiliki nilai LC lebih tinggi, seperti
yang ditunjukkan oleh spesies cendawan A. flavus dan F. oxysporum (Gambar
5.1).
56
Spesies cendawan A. flavus dan F. oxysporum selain tidak efektif pada
tingkat kerapatan konidia yang lebih rendah juga mempunyai sifat yang
merugikan. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan A. flavus juga menghasilkan
aflatoxins yang dapat menghasilkan tumor pada organ hati vertebrata termasuk
manusia, sedangkan F. oxysporum umumnya bersifat sebagai patogen pada
banyak tanaman (Salleh 2005). Diduga hal ini sebagai penyebab A. flavus dan
F. oxysporum tidak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama.
Sifat yang dapat merugikan terhadap pengguna, tanaman dan lingkungan hidup
lainnya akan dapat menambah permasalahan baru.
Tanada dan Kaya (1993) menyatakan cendawan entomopatogen Aspergillus
terdiri dari banyak spesies seperti A. flavus, A. parasiticus, A. tamari, A.
ochraceus, A. fumigatus, A. repens dan A. versicolor, dan cendawan ini
umumnya sebagai saprofit akan tetapi dapat menginfeksi serangga pada
rentangan jenis yang luas.
Salleh (2005), secara spesifik mengklasifikasikan cendawan Fusarium
berdasarkan penyebarannya di alam: 94% sebagai penyebab penyakit tanaman
atau berasosiasi dengan penyakit tanaman, 5% terdapat pada makanan, 1% pada
sumber lainnya dan hanya 0,5% sebagai patogen pada hewan dan manusia.
Menurut Teetor-Barsch dan Roberts (1993) cendawan spesies Fusarium
diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di
antaranya pada tanaman hidup maupun yang telah mati serta pada banyak hewan,
terutama serangga. Perhatian khusus diberikan terhadap rentangan inang dari
Fusarium, teristimewa antara inang tanaman dan serangga, sehingga diharapkan
cendawan ini memungkinkan berpotensi untuk mengendalikan hama.
Selanjutnya dinyatakan bahwa dari sejumlah besar Fusarium spp. yang
bersifat entomopatogen beberapa diantaranya bersifat lemah dan sebagai patogen
fakultatif. Kususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera, cendawan akan
mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada segolongan kecil
kasus, tingkat patogenisitas Fusarium terhadap tanaman dan serangga oleh isolat
yang sama juga ditemukan. Dan tingkat potensi isolat Fusarium yang
menyebabkan mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan sepesifik
inang yang tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman.
57
0
20
40
60
80
100
0 1 2 3 4 5 6 7
Periode (hari)
Mor
talit
as (%
)
Umpan Kontak Kontrol
Pada Tabel 5.2. juga terlihat bahwa, walaupun B. bassiana memiliki LC95
tertinggi, namun memiliki LC50 terendah setelah M. brunneum dan M. anisopliae
serta LC25 terendah setelah M. brunneum. B. bassiana mampu mengendalikan
rayap tanah C. gestroi sampai pada penggunaan LC yang lebih rendah
dibandingkan spesies A. flavus dan F. oxysporum.
Respon cendawan terhadap kondisi lingkungan seperti temperatur,
kelembaban relatif dan khususnya pilihan terhadap serangga inang secara
individu bervariasi tergantung strain, bermacam inang dan daerah asal isolat
(Yoshimura et al. 1992).
Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium
Mortalitas (%)
Mortalitas rayap oleh cendawan entomopatogen M. brunneum dengan
menggunakan metode aplikasi kontak dan umpan dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Metode aplikasi dengan metode kontak dapat menyebabkan mortalitas rayap
100% dalam waktu satu minggu, hal ini diperkirakan bahwa dengan metode
kontak konidia cendawan langsung mengenai tubuh serangga dalam jumlah yang
banyak dibandingkan dengan metode pengumpanan sehingga konidia dengan
cepat dapat menempel, berkecambah dan berpenetrasi menembus kutikula
serangga sehingga menyebabkan kematian.
Gambar 5.3 Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomo-
patogen M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengumpanan (7 hari setelah aplikasi).
0
20
40
60
80
100
Umpan Kontak Kontrol
Metoda aplikasi
Mor
talit
as (%
)
58
Hasil penelitian menunjukkan pola yang sama dengan penelitian Trizelia
(2005) bahwa mortalitas ulat krop kubis yang diinokulasi langsung dengan
konidia B. bassiana lebih tinggi dibandingkan mortalitas larva yang makan atau
berjalan pada daun yang disemprot konidia. Boucias dan Pendland (1998)
menyatakan bahwa dengan metode kontak langsung konidia akan dapat langsung
menempel dan berkecambah pada tubuh serangga. Penelitian Zoberi, 1995 dalam
Bayon et al. (2000) di laboratorium, menunjukkan bahwa metode kontak secara
langsung menggunakan M. anisopliae terhadap rayap pekerja Reticulitermes
flavipes (Kollar) menghasilkan 100% mortalitas dalam waktu 5 hari dan pada
metode pengumpanan dalam waktu 12 hari.
Lethal Time (LT)
LT (LT25, 50, dan 95) cendawan entomopatogen pada perlakuan metode
kontak lebih rendah dibandingkan pada metode pengumpanan (Tabel 5.3). Pada
metode kontak konidia langsung dapat menempel, berkecambah dan penetrasi
pada bahagian antar ruas tubuh serangga yang kondisi kelembabannya sangat
mendukung perkecambahan konidia, sedangkan pada metode pengumpanan
konidia harus melewati saluran pencernaan yang kondisinya kurang
menguntungkan untuk cepat berkecambah. Ada kemungkinan konidia tidak dapat
berkecambah optimum dalam saluran makanan, karena lingkungan kurang
mendukung.
Penelitian sebelumnya oleh Tefera dan Pringle (2003), menemukan
mortalitas yang sama pada Chilo partellus (Lepidoptera: Pyralidae) yang
diinokulasi dengan B. bassiana. Pada perlakuan kontak dengan pencelupan
menghasilkan LT50 terendah dengan waktu tersingkat. Selanjutnya Amiri-Besheli
et al. (2000) menyatakan bahwa 3 strain cendawan M. anisopliae var. anisopliae
(V 304, Me 1 dan V 245) virulensinya pada perlakuan metode injeksi dan metode
kontak langsung dengan perendaman tinggi akan tetapi strain Ma 23 hanya pada
metode injeksi saja. Penelitiannya juga mengindikasikan bahwa tidak semua
strain M. anisopliae dapat berpenetrasi ke dalam kutikula serangga, dan
ditegaskan bahwa kutikula merupakan salah satu penghambat penting untuk
dapat terjadinya infeksi.
59
Lebih lanjut dinyatakan patogen harus cocok dengan inangnya dan
menghasilkan kombinasi enzim yang baik untuk dapat berpenetrasi ke dalam
kutikula inang. Hal ini memberi kesan bahwa berhasilnya infeksi tergantung
kepada beberapa faktor patogenisitas. Keberhasilan beberapa strain M. anisopliae
mungkin lebih tergantung pada kandungan destruxin dibandingkan dengan faktor
patogenisitas lainnya, dan ini memungkinkan strain M. anisopliae sering
dilaporkan sebagai pembunuh inangnya sebelum terjadi kolonisasi intensif.
Metode injeksi dan kontak langsung dengan pencelupan pada var. V 245
menghasilkan sporulasi yang tinggi pada Galleria mellonella.
Tabel 5.3 Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan metode kontak dan pengumpanan
Lethal Time (hari) Metode
95 50 25 Kontak (Contact) 4,37 (3,58 – 6,15) 2,01 (1,52 – 2,40) 1,46 (0,95 – 1,84) Pengumpanan (Baiting) 15,05 (12,81 – 18,64) 4,83 (4,56 – 5,13) 3,03 (2,77 – 3,26)
Dari hasil penelitian lapangan menggunakan empat isolat cendawan
M. anisopliae dengan perlakuan semprotan suspensi dan inokulum kering yang
ditebar, Moslem et al. (1999) mendapatkan perlakuan dengan menggunakan
suspensi secara ekonomi lebih menguntungkan dalam mengendalikan hama
kelapa sawit Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae).
Delate et al. (1995) di dalam Yoshimura dan Takahashi (1998)
mengevaluasi potensi penggunaan cendawan entomopatogen B. bassiana dan
M. anisopliae dengan menggunakan metode pengumpanan. Semua rayap uji mati
dalam waktu 4 hari untuk yang diperlakukan dengan M. anisopliae, yang
diperlakukan dengan B. bassiana memperlihatkan toksisitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan M. anisopliae.
Keberhasilan aplikasi cendawan entomopatogen dengan metode kontak,
diperkirakan selain dapat dengan cepat menembus bahagian antar ruas dan
kutikula serta masuk ke dalam bagian internal serangga inang, cendawan juga
dapat masuk melalui celah alami yang ada pada tubuh serangga inang. Menurut
Yoshimura dan Takahashi (1998), M. anisopliae secara umum masuk ke tubuh
serangga lewat spirakel dan pori-pori pada seluruh organ. Di dalam tubuh
60
serangga, cendawan menghasilkan perpanjangan hifa secara lateral, yang ahirnya
berkembang biak dan mengkonsumsi kandungan internal serangga. Pertumbuhan
hifa berlanjut sampai serangga terisi dengan miselia. Bila kandungan internal
serangga telah dikonsumsi, cendawan akan keluar melewati kutikula dan
bersporulasi sehingga membuat serangga seperti berbulu halus. Sebagai
tambahan, M. anisopliae dapat memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula.
Pada keadaan yang memungkinkan, kadang kala serangga juga dapat
mencegah serangan cendawan entomopatogen walaupun konidia telah sempat
menempel pada permukaan tubuh. Beberapa serangga mempunyai mekanisme
physiologi yang telah berkembang untuk mengurangi terjadinya infeksi oleh
cendawan seperti M. anisopliae. Sebagai contoh, belalang gurun pasir
memproduksi toksin anti cendawan yang dapat menghalangi perkecambahan
konidia. Selain hal tersebut serangga dapat menghindari infeksi dengan berganti
kulit dengan cepat atau mengembangkan integumen baru sebelum cendawan
berpenetrasi ke kutikula (Boucias & Pendland 1998).
Kesimpulan
Cendawan entomopatogen M. brunneum merupakan spesies cendawan
paling efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi karena tingkat
patogenisitasnya paling tinggi dengan nilai LC50 paling rendah (1,80 X 105
konidia/ml) kemudian diikuti oleh spesies M. anisopliae (3,20 X 105), B.
bassiana (3,9 X105), F. oxysporum (6,78 X105). Berdasarkan pengujian tingkat
keefektifan keempat spesies ini dapat di uji pada penelitian selanjutnya. A. flavus
memperlihatkan tingkat keefektifan paling rendah dengan nilai LC50 paling tinggi
(1,97 X106). Pada uji metode aplikasi, metode kontak lebih efektif dan dapat
menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih cepat dengan LT50 2,01 (1,52 –
2,40) hari dibandingkan metode pengumpanan dengan LT50 4,83 (4,56 – 5,13)
hari.
BAB VI
APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP
TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM
Abstrak
Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilaksanakan di laboratorium. Pada uji laboratorium terhadap rayap C. gestroi digunakan LC95 dari spesies cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link., dengan proporsi vektor: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%, sedangkan terhadap C. curvignathus menggunakan LC95 dari spesies cendawan M. brunneum dengan proporsi vektor 0% dan 10%. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas pada berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi. Sedangkan data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan RAL satu arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji DNMRT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) dan lamanya waktu aplikasi (hari). Pada proporsi 10% pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa spesies cendawan M. brunneum menyebabkan mortalitas tertinggi (55%) namun sampai pada pengamatan 15 hari, M. brunneum, B. bassiana dan M. anisopliae menyebabkan mortalitas rayap tidak berbeda nyata (91,25%-100%). Uji penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus menggunakan 10% vektor yang diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum hanya mampu menghasilkan 60% mortalitas (kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11, 27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari inokulasi.
Kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, penularan, vektor,
Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.
Pendahuluan
Rayap tanah Coptotermes spp. merupakan serangga hama yang banyak
menyebabkan kerugian pada konstruksi hunian berbahan baku kayu. Pengendalian
hama ini memerlukan teknik khusus sehubungan dengan kebiasaan hidupnya yang
tersembunyi di bawah permukaan tanah dan dengan jumlah individu di dalam
62
koloni yang cukup besar. Serangga sosial ini memiliki perilaku dan tingkatan
kasta serta pembahagian fungsi yang berbeda untuk menjalankan aktifitas
kehidupannya di dalam suatu koloni. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan untuk
mencapai kesuksesan di dalam pengendalian menggunakan cendawan
entomopatogen.
Menurut Pearce (1997) tidak seperti kebanyakan serangga lainnya, rayap
hidup di kegelapan sehingga komunikasi lewat sensory (sentuhan dan rasa) dan
secara kimia adalah sangat penting. Komunikasi secara kimia di antaranya dengan
menggunakan pheromon yaitu bahan kimia bersifat volatil yang dapat berfungsi
sebagai bahan untuk merespon perilaku antar individu di dalam suatu koloni.
Komunikasi ini memungkinkan rayap didalam koloni melakukan interaksi sosial
lewat perilaku seperti grooming, trophallaxis dan cannibalistic. Perilaku ini
diharapkan secara efektif dapat menularkan patogen antar individu di dalam suatu
koloni rayap.
Untuk mengaplikasikan patogen terhadap koloni rayap juga dibutuhkan
vektor sebagai agens penularan inokulum antar individu di dalam suatu koloni.
Berdasarkan perilaku rayap seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan
dengan hanya menginokulasikan cendawan entomopatogen terhadap sebagian
anggota koloni rayap, cendawan patogen akan dapat tersebar dari vektor ke
individu lainnya di dalam koloni. Dengan demikian semua individu di dalam
koloni akan dapat tereliminasi. Menurut Jones et al. (1996) berdasarkan aksi
patogen serangga dengan jumlah yang sedikit memungkinkan dapat menyebar
keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial terutama grooming dan
berbagi makanan, diharapkan dapat menyebarkan inokulum.
Kemampuan patogen untuk menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis
serangga berbeda, hal ini sehubungan dengan setiap jenis serangga mempunyai
kemampuan daya tahan atau tingkat kerentanan yang tidak sama. Berdasarkan hal
ini, telah dilakukan penelitian penggunaan berbagai proporsi vektor yang
diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen yang
telah diketahui keefektifannya terhadap rayap tanah. Tujuan penelitian ini adalah
mempelajari penularan cendawan entomopatogen dari vektor sebagai pembawa
63
patogen terhadap individu lainnya di dalam suatu koloni untuk mengendalikan
rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium.
Bahan dan Metode
Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga,
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Jenis Rayap yang Digunakan
Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah
spesies C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Bio-material LIPI
Cibinong, dan spesies C. curvignathus yang dipelihara di Laboratorium Biologi
Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.
Persiapan Spesies Cendawan
Spesies cendawan entomopatogen yang digunakan adalah Metarhizium
anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana
(Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link. Semua isolat murni disimpan pada
suhu 4 0C sampai masa penggunaan. Data selengkapnya mengenai asal cendawan
dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabe1 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai
inang atau sumber inokulum di alam.
Isolat Inang atau sumber cendawan
Stadia Jenis cendawan Asal geografi (Tahun)
1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus. linearis)
(Hemiptera: Alydidae)
Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin.
Probolinggo (2003)
2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Petch.
Bogor (2004)
3. Bb-Lo Walang sangit (Leptocorisa oratorius) (Hemiptera :
Coreidae)
Imago Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin
Probolinggo (2003)
4. Fu-Sl Ulat grayak (Sepodoptera. litura) (Lepidoptera:
Noctuidae)
Larva Fusarium oxysporum Link
Cibodas (2004)
64
Prosedur Perbanyakan
Prosedur perbanyakan dapat diacu pada Bab IV.
Penyediaan Suspensi Konidia
Prosedur penyediaan suspensi konidia dapat diacu pada Bab IV, namun
penelitian ini menggunakan kerapatan konidia sebagai berikut: a). untuk
pengujian terhadap rayap C. gestroi di laboratorium menggunakan LC95 dari
spesies cendawan B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum,
dan b). untuk pengujian terhadap rayap C. curvignatus menggunakan LC95 spesies
cendawan M. brunneum. (1,21 x 106 konidia/ml). Konidia dihitung dengan
menggunakan haemocytometer.
Uji Penularan
Uji penularan terhadap C. gestroi
Untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi proporsi vektor yang digunakan
dari masing-masing perlakuan adalah: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% untuk
setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakukan adalah LC95 dari spesies
cendawan M. anisopliae, M. Brunneum, B. bassiana, dan F. oxysporum. Rayap
vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di
dalam unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah diberi alas kertas saring
sebagai sumber makanan. Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 20
ekor kasta pekerja dan dua ekor kasta prajurit. Untuk tujuan penggunaan sebagai
vektor pada uji penularan digunakan rayap yang diwarnai dengan Nile blue A
0,05% dan diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan terseleksi.
Uji penularan terhadap C. curvignathus
Untuk rayap tanah C. curvignathus digunakan proporsi vektor 0% dan 10%
untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakuan adalah LC95 spesies
cendawan M. brunneum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama
dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm
dengan tinggi 10 cm) yang telah diberi isi 20 mg tanah dan kayu pinus (2 cm x 1
65
cm x 1 cm) sebagai sumber makanan (Falah et al. 2004). Jumlah individu untuk
setiap unit percobaan adalah 100 ekor kasta pekerja dan 10 ekor kasta prajurit.
Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara 26-28 0C dan kelembaban relatif 70-95% dengan kondisi gelap. Pengamatan terhadap
rayap C. gestroi mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 2 minggu dan
mortalitas rayap C. curvignathus dihitung di akhir percobaan (setelah 2 minggu).
Rayap mati diinkubasikan pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 5-
7 hari. Rayap mati yang telah dikolonisasi oleh cendawan di amati dibawah
mikroskop untuk memastikan rayap terkolonisasi oleh cendawan sesuai perlakuan.
Uji Penurunan Berat Contoh Uji (%)
Pengujian terhadap penurunan berat contoh uji kayu yang diumpankan
terhadap rayap, dilakukan bersamaan dengan perlakuan uji penularan terhadap
rayap C. curvignathus. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan berat contoh uji
(BKT) akibat serangan rayap.
Untuk menghitung penurunan berat akibat serangan rayap pada contoh uji
digunakan rumus:
W = W1 – W0 X 100% W1 dimana: W = penurunan berat akibat serangan rayap (%) W0 = berat contoh uji BKT sebelum pengujian (gr) W1 = berat contoh uji BKT sesudah pengujian (gr) BKT = berat kering tanur
Analisis Data
Data mortalitas yang diperoleh pada perlakuan penularan di dalam koloni
rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan dua faktor (faktor I spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 4
spesies: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum dan faktor ke
II penggunaan proporsi vektor dengan 6 level: 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan
kontrol). Untuk pengujian terhadap rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor (proporsi vektor: 10% dan kontrol)
dengan uji ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple
66
Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas dengan
berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies
cendawan digunakan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000).
Hasil dan Pembahasan
Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann.
Laju mortalitas rayap C. gestroi pada perlakuan berbagai proporsi vektor
yang diperlakukan dengan 4 spesies cendawan entomopatogen (M. anisopliae,
M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum) sampai dengan hari ke 15 disajikan
melalui Gambar 6.1. Pada perlakuan semua jenis cendawan, mortalitas meningkat
seiring dengan meningkatnya persentase vektor dan lamanya waktu aplikasi.
Perlakuan proporsi vektor 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% dapat menyebabkan
mortalitas yang tinggi kecuali pada jenis F. oxysporum.
Di antara cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk
mengendalikan rayap Coptotermes spp., Reticulitermes flavipes dan Odontotermes
spp. adalah: M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua spesies cendawan ini telah
diuji keefektifannya oleh Zoberi (1995) dalam Bayon et al. (2000). Penelitiannya
yaitu pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi cendawan ke rayap
yang sehat di dalam cawan petri; rayap kasta pekerja disajikan sebagai vektor
penyakit. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.
Pada penelitian ini, mortalitas dihitung dari semua individu di dalam koloni
atau unit percobaan, yaitu individu yang diinokulasi awal (vektor) dan yang tidak
diinokulasi (rayap sehat). Semua vektor mati dalam waktu 5 hari setelah inokulasi
dengan M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum. Rayap yang diinokulasi
dengan spesies B. bassiana hanya menyebabkan mortalitas 97,5%, akan tetapi
tidak berbeda nyata dengan spesies lainnya; hal ini diduga sebagai akibat kontak
langsung dengan suspensi spesies cendawan entomopatogen.
Pada perlakuan proporsi vektor, di akhir penelitian (setelah 15 hari)
mortalitas individu sehat (yang terkontaminasi) lebih dari 78,7% kecuali pada
perlakuan dengan F. oxysporum dengan proporsi 20% dan 10% hanya
menyebabkan mortalitas kurang dari 45%.
67
Metarhizium brunneum
0
20
4060
80
100
0 2 4 6 8 10 12 14Waktu (hari)
Mor
talit
as (%
) 10%20%30%40%50%
Beauveria bassiana
0
2040
6080
100
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (hari)
Mor
talit
as (%
) 10%20%30%40%50%
Fusarium oxysporum
0
20
4060
80
100
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (hari)
Mor
talit
as (%
) 10%20%30%40%50%
Gambar 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan
dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (mortalitas kontrol 5%)
Bagian torax individu rayap yang mati terlebih dahulu, dimakan oleh
individu yang masih sehat (Gambar 6.2c) sedangkan bagian abdomennya dikubur
menggunakan sisa-sisa makanan dan material lainnya yang ada pada wadah unit
percobaan (Gambar 6.2e). Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi konidia
Metarhizium anisopliae
020406080
100
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (hari)
Mor
talit
as (%
) 10%20%30%40%50%
68
Keterangan: a).Grooming antara vektor dengan individu sehat, b). individu sehat yang tertular cendawan entomopatogen, c). Kanibalisme, d). Abdomen rayap yang tersisa akibat Kanibalisme dan e). Sisa abdomen rayap yang telah dikubur oleh individu sehat di dalam unit percobaan.
dari rayap terinfeksi (vektor) ke rayap sehat mencukupi dan trans-contamination
disempurnakan oleh adanya prilaku grooming dan trophallaxis (Gambar 6.2). Hal
ini hanya terjadi sebelum semua vektor mati. Kontaminasi selanjutnya
memungkinkan terjadi jika cendawan dapat berseporulasi pada permukaan tubuh
rayap yang telah mati oleh terinfeksi langsung maupun tertular dari vektor.
Menurut Yoshimura et al. (1992), diperkirakan pembentukan konidia baru
membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah kematian serangga.
a b
c d e
Gambar 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta-
minasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan
Mortalitas individu rayap C. gestroi yang tertular meningkat sejalan dengan
meningkatnya persentase proporsi vektor di dalam koloni. Kasus ini diduga
disebabkan oleh lebih tingginya kesempatan kontak antara vektor dengan individu
rayap sehat sehingga penularan patogen di dalam koloni lebih tinggi dan dapat
menyebabkan kematian lebih cepat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoshimura et al. (1992) pada uji
penularan, satu ekor rayap pekerja terinfeksi cendawan Conidiobolus coronatus
dapat mengakibatkan total kematian 20 ekor sampai dengan 50 ekor rayap kasta
69
pekerja yang sehat jika dipaksakan dekat secara individu di dalam ruangan yang
sempit, sedangkan kontrol tidak ada yang mati selama penelitian berlangsung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 ekor rayap dapat dibunuh
oleh satu ekor individu rayap terinfeksi oleh C. coronatus. Hasil ini dapat sebagai
pedoman untuk suatu wabah penyakit pada suatu koloni rayap bahkan pada sekala
yang besar.
Jumlah persentase mortalitas juga nyata terlihat dipengaruhi oleh spesies
cendawan yang digunakan sebagai agens hayati, hal ini ditunjukkan oleh
penampilan grafik yang tidak sama antar spesies cendawan terutama pada tingkat
genus yang berbeda. Dalam hal ini ada interaksi antara spesies cendawan dengan
proporsi vektor yang digunakan, setiap spesies cendawan membutuhkan
persentase vektor tertentu untuk dapat menyebarkan propagul ke seluruh individu
di dalam koloni.
Laju mortalitas rayap C. gestroi pada tingkatan proporsi vektor, yang
diperlakukan dengan spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae dan M.
brunneum melihatkan pola grafik sigmoid yang cenderung sama (Gambar 6.1).
Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua spesies ini mempunyai kekerabatan
yang dekat, sehingga cenderung mempunyai karakteristik dan pola yang sama di
dalam menyebabkan mortalitas inang.
Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya (1993) di dalam penyelidikannya
mengklasifikasikan genus Metarhizium ke dalam 2 spesies yaitu M. anisopliae
dan M. flavoviride, dan memasukan 2 spesies cendawan entomopatogen M.
album dan M. brunneum sebagai sinonnim dari M. anisopliae. Selanjutnya
dinyatakan bahwa karakter dari M. anisopliae: bewarna putih diwaktu muda,
setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora
bercabang, dan konidia awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung
konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan
konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora. Strain lain dari Metarhizium
membentuk warna koloni yang berbeda: strain album bewarna putih dan strain
brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat.
Barron dan George (1968) menyatakan bahwa Metarrhizium tercatat jarang
berasal dari tanah, tetapi penelitiannya pada flora tanah Ontario mengindikasikan
70
bahwa M. anisopliae sangat umum pada tanah hutan. Tercatat tiga tipe fenotip
yang nyata, yang lebih umum menghasilkan alur dan agregat spora hijau terang
yang diskripsinya diakui sebagai M. anisopliae. Spesies yang jarang ditemui
dengan warna massa spora pudar sampai coklat dan deskripsinya disetujui sebagai
Metarhizium brunneum Petch. Tipe yang ke tiga tercatat hanya pada satu kali
peristiwa, dengan kolum spora keungu-unguan dan muncul dari lempeng kuning
muda. Latch 1965 dalam Barron dan George (1968) mencatat bahwa secara
mikroskopik M. anisopliae dan M. brunneum sangat mirip dan menyarankan
kedua spesies ini sebagai spesies yang sama.
Selanjutnya menurut Tulloch 1979 dalam Moslem et al. (1999), M.
anisopliae terdiri dari 2 varietas yaitu M. anisopliae var. anisopliae mempunyai
spora pendek (3.5 – 9.0 µm), dan M. anisopliae var. major mempunyai spora
panjang (9 – 18 µm). Varietas major relatif homogen sedangkan varietas
anisopliae sangat heterogen, virulensinya bervariasi tergantung pada serangga
inang.
Korelasi antara mortalitas dengan beberapa tingkatan proporsi vektor yang
diinokulasi dengan LC95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen B.
bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum diringkas pada Gambar
6.3 dan 6.4.
Pada Gambar 6.3 yaitu pengamatan sampai dengan hari ke 5 ditunjukkan
mortalitas dengan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masing-
masing spesies cendawan berkorelasi positif. Semakin tinggi proporsi vektor yang
digunakan menyebabkan terjadinya mortalitas rayap C. gestroi yang juga tinggi.
Hal ini terjadi terhadap semua spesies cendawan yang diujikan. Spesies cendawan
F. oxysporum paling nyata memperlihatkan respon akibat penurunan proporsi
vektor seperti yang ditunjukkan oleh nilai R2 = 0,9341, selanjutnya diikuti oleh M.
anisopliae (R2 = 0,9015), M. brunneum (R2 = 0,7262), dan B. bassiana (R2 =
0,4538). Spesies cendawan yang menunjukan respon yang tinggi pada perlakuan
penurunan proporsi vektor mengindikasikan bahwa cendawan hanya efektif jika
digunakan pada jumlah proporsi vektor yang tinggi saja. Penurunan jumlah vektor
mengakibatkan menurunnya tingkat keefektifan cendawan terhadap pengendalian
rayap C. gestroi.
71
Gambar 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan
tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi)
Spesies cendawan B. bassiana pada penelitian ini menunjukan respon yang
paling rendah terhadap perlakuan proporsi vektor. Penurunan proporsi vektor
tidak memperlihatkan penurunan mortalitas yang kontras; hal ini ditunjukan oleh
nilai R2 paling rendah (R2 = 0.4538). Walaupun B. bassiana secara umum
mempunyai kemampuan membunuh lebih rendah jika dibandingkan dengan
spesies M. brunneum dan M. anisopliae namun keefektifannya terlihat lebih stabil
sampai penggunaan proporsi yang paling rendah. Spesies cendawan M. brunneum
memperlihatkan keefektifan paling tinggi pada penggunaan proporsi vektor
kurang dan sama dengan 30%.
Berdasarkan analisis ragam dan DNMRT pada taraf nyata 5%, mortalitas
sampai hari ke 5 memperlihatkan bahwa setiap spesies cendawan yang diinokulasi
dengan berbagai tingkatan proporsi vektor dengan LC95 umumnya berbeda nyata.
Dapat dinyatakan bahwa semua spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini
bersifat patogen dan dapat ditularkan antar individu di dalam koloni dalam waktu
yang singkat. Pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan
entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi juga terlihat bahwa semua
sepesies cendawan yang sama dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam
waktu 1 minggu setelah semua individu rayap di dalam satuan unit percobaan
diinokulasi dengan kerapatan konidia sama dan lebih dari 5.106 konidia/ml.
y = 0.999x + 16.49R2 = 0.9341
y = 1.024x + 35.5R2 = 0.9015
y = 0.312x + 49.86R2 = 0.4538
y = 0.55x + 52.74R2 = 0.7262
0102030405060708090
100
0 10 20 30 40 50
Vektor (%)
Mor
talit
as (%
)
Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. anisopliaeLinear B. bassiana Linear M. brunneum
72
Pada tingkatan proporsi vektor yang berbeda, masing-masing spesies
mempunyai kemampuan menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi yang berbeda
pula kecuali mortalitas yang disebabkan oleh M. brunneum dan M. anisopliae
sampai dengan proporsi 30% tidak berbeda nyata. Perbedaan mortalitas rayap
terutama terlihat pada penggunaan proporsi vektor sama dan lebih rendah dari
30%.
Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies cendawan yang diuji selain
dipengaruhi oleh faktor kecocokan yang berbeda antara satu spesies dengan
spesies yang lainnya terhadap jenis inang tertentu, diperkirakan juga disebabkan
oleh keefektifan cendawan pada tingkat kerapatan konidia tertentu juga berbeda.
Pada pengujian ini digunakan LC95 dari masing-masing spesies cendawan. Hal ini
terlihat pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen
terhadap pengendalian rayap C. gestroi bahwa masing-masing spesies
menghasilkan nilai LC yang bervariasi. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan
menunjukkan semakin tinggi tingkat patogenisitas dari spesies cendawan.
Secara umum M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana dengan proporsi
vektor sampai dengan 10% dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih
dari 90% pada pengamatan hari ke 15 namun F. oxysporum hanya dapat
menyebabkan mortalitas 43.75%, sehingga F. oxysporum menyebabkan mortalitas
paling rendah sampai penggunaan proporsi vektor 10% (Gambar 6.4). Tingkat
patogenisitas F. oxysporum yang lebih rendah juga terlihat pada perlakuan
penggunaan berbagai variasi kerapatan konidia (penelitian sebelumnya), hanya
efektif pada kerapatan konidia yang lebih tinggi.
73
y = 1.55x + 25.2R2 = 0.8489
y = 0.176x + 92.96R2 = 0.5
y = 0.226x + 90.2R2 = 0.8727
y = 100R2 = #N/A
0102030405060708090
100
0 10 20 30 40 50
Vektor (%)
Mor
talit
as (%
)
Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. brunneumLinear B. bassiana Linear M. anisopliae
Gambar 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan
tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi)
Salleh (2005) menjelaskan bahwa keberadaan spesies Fusarium sp. di alam
hanya 0.5% sebagai penyebab penyakit pada manusia dan hewan. Selanjutnya
dinyatakan bahwa F. oxysporum pada umumnya adalah sebagai patogen pada
banyak tanaman, seperti: pada kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan beberapa
spesies palm seperti: Date palm (Phoenix dactylifera), Canary palm (Phoenix
canariensis) dan beberapa ornamental palms. Pada penelitian ini F. oxysporum
mempunyai kemampuan seperti cendawan entomopatogen (Gambar 6.5), dan
pada banyak penelitian, spesies Fusarium belum umum digunakan sebagai
cendawan entomopatogen.
Gambar 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum
74
Tingkat keefektifan spesies cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan
B. bassiana pada penggunaan LC95 tinggi dengan proporsi vektor yang lebih
rendah. Tampak bahwa cendawan ini akan sesuai digunakan sebagai agens hayati
untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi. Kemampuan patogen untuk
mengendalikan inangnya sangat ditentukan oleh faktor kesesuaian patogen untuk
dapat berkecambah, menembus kutikula inang dan juga ditentukan oleh faktor
ketersediaan nutrisi pada tubuh inang. Di samping hal tersebut ditunjang oleh
faktor lemahnya daya pertahanan inang terhadap spesies patogen tertentu. Dalam
hal ini, tidak tersedianya mekanisme enzim yang dapat menghalangi patogen
untuk berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh inang. Juga ditunjang oleh
ketidak mampuan inang menghindar dari serangan patogen seperti kemampuan
untuk berganti kulit sebelum patogen dapat menembus kutikula.
Boucias dan Pendland (1998) menyatakan bahwa pada banyak kasus lainnya
ada mekanisme kekebalan yang dimiliki oleh serangga untuk mencegah serangan
mikroorganisme termasuk cendawan. Sehingga banyak cendawan entomopatogen
yang menjadi lemah atau bersifat fakultatif yang hanya bisa menempel, melukai
atau melemahkan saja. Selanjutnya Cloyd (2003) menyatakan serangga juga dapat
melindungi dirinya dari serangan cendawan dengan menghasilkan toksin anti
cendawan yang dapat menghambat perkecambahan spora. Serangga juga dapat
berganti kulit dan mengembangkan integumen sebelum cendawan berpenetrasi ke
bagian internal tubuh inang.
Pada banyak penelitian penggunaan spesies M. anisopliae dan B. bassiana
sukses digunakan sebagai agens pengendalian rayap. Namun demikian banyak
peneliti masih mencari strain yang benar-benar sesuai untuk digunakan sebagai
agens hayati untuk spesies rayap tertentu dan cocok diaplikasikan pada situasi dan
iklim yang dikehendaki. Dengan demikian setiap produk bio-termitisida yang
berbasiskan cendawan entomopatogen, dalam jangka waktu tertentu perlu
mengadakan perbaikan kualitas terhadap agens hayati yang digunakan, karena
dianggap tidak selalu stabil pada situasi dan iklim yang berbeda. Dalam hal ini
perlu ditelaah lebih jauh tentang adanya keragaman strain di dalam spesies yang
sama.
75
Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada
perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994), dan hal-hal yang mempengaruhi
perbedaan intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah
geografis asal isolat (Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman
karakter di dalam spesies baik secara fisiologi maupun genetik.
Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren)
Mortalitas (%)
Penularan cendawan entomopatogen antar individu rayap tanah
C. curvignathus terkontaminasi (vektor) dengan individu rayap sehat di dalam
satuan unit percobaan dapat terjadi. Setelah 15 hari dengan menggunakan 10%
vektor diinokulasi M. brunneum, mortalitas rayap sebesar 60% dalam populasi
dapat teramati (Gambar 6.6).
Jika dibandingkan dengan jenis rayap C. gestroi, dengan proporsi vektor
dan jangka waktu yang sama, terjadi penurunan mortalitas pada C. curvignathus.
Diperkirakan hal ini dapat terjadi karena perbedaan spesies inang sasaran yang
digunakan. Di samping itu, kehidupan rayap C. curvignathus dikondisikan hampir
sama dengan lingkungan habitat aslinya yang diberi sumber makanan dari kayu
pinus dan berada dalam jumlah populasi yang lebih banyak.
Keadaan ini selain disebabkan oleh tingkat kerentanan jenis rayap
C. gestroi yang diperkirakan berbeda dengan tingkat kerentanan C. curvignathus
juga dengan kondisi lingkungan tersebut akan dapat membuat rayap lebih dapat
bertahan di dalam menghadapi serangan cendawan M. brunneum. Eaton dan Hale
(1993) menyatakan beberapa cendawan entomopatogen yang efektif untuk
pengendalian rayap adalah Metarhizium dan Beauveria namun penelitian di
lapangan mengindikasikan bahwa sifat patogenisitasnya tidak selalu stabil.
Jumlah populasi yang lebih banyak di dalam satuan percobaan rayap
C. curvignathus dimungkinkan juga membuat aktivitas sosialnya meningkat,
sehingga rayap di dalam koloni lebih dapat mengatasi segala kemungkinan yang
mengancam. Hasil penelitian Yanagawa dan Shimizu (2007), menunjukan bahwa
prilaku grooming rayap tanah C. formosanus yang dipelihara dalam bentuk
76
0
10
20
30
40
50
60
70
Mortalitas Penurunan berat contoh uji
Variabel pengamatan
Mor
talit
as d
an P
enur
unan
be
rat c
onto
h uj
i (%
)
Vektor Kontrol
koloni, sangat effektif memproteksi koloninya dari infeksi M. anisopliae. Dalam
hal ini C. formosanus lebih resisten terhadap serangan M. anisopliae bahkan
dalam waktu 3 jam, lebih dari 80% konidia yang ada dipermukaan tubuh C.
formosanus dapat berpindah ke dalam saluran pencernaan.
Kramm et al. 1982; Hanel dan Watson 1983 dalam Strack (2003)
menjelaskan, secara alami konidia dapat menempel pada kutikula serangga, dan
dengan mudah berpindah ke individu lainnya dengan lazimnya melalui interaksi
prilaku koloni. Rayap merupakan serangga sosial yang menarik di dalam berbagai
aktivitas yang memerlukan seringnya terjadi kontak fisik langsung dengan
anggota koloni. Trophallaxis (pertukaran makanan yang dimuntahkan kembali),
proctodeal trophallaxis (mengkonsumsi buangan anal) dan grooming secara
teratur merupakan hal yang perlu di dalam koloni. Diperkirakan lewat prilaku
grooming propagul cendawan dapat ditransfer dari satu individu vektor ke
individu lainnya.
Penelitian lain yang dilakukan Yoshimura et al. (1992) tentang uji penularan
dengan satu ekor rayap pekerja mati terinfeksi C. coronatus ditempatkan di antara
20 atau 50 rayap pekerja sehat, secara berurutan mortalitas 100 % dapat dicapai
dalam waktu 4 dan 5 hari. Penggunaan patogen C. coronatus dalam teknik
penularan untuk mengendalikan rayap tanah seperti C. formosanus patut
dipertimbangkan
Gambar 6.6 Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh
uji pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.
77
Penurunan berat contoh uji (%)
Pengujian penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap pada penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan cendawan entomopatogen
M. brunneum terhadap serangan rayap. Hasil penelitian pada perlakuan penularan
dengan 10% vektor yang diinokulasi dengan M. brunneum di dalam koloni rayap
C. curvignathus di laboratorium, menunjukkan penurunan berat contoh uji
berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6.2 ).
Tabe1 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.
Perlakuan Penurunan berat (%) Vektor 10% 11,27 b Kontrol 47,82 a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Penurunan berat contoh uji pada perlakuan vektor 10% mengindikasikan
penurunan serangan rayap jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan
penularan cendawan M. brunneum di dalam koloni dapat mengakibatkan
terganggunya metabolisme tubuh rayap sehingga menurunkan aktifitas dan daya
konsumsi. Menurut Sari et al. (2004) penghambatan aktifitas makan (antifeedant)
diindikasikan oleh kehilangan berat contoh uji. Apabila kehilangan berat contoh
uji kecil bearti penghambat aktifitas makannya tinggi.
Berat contoh uji menurun pada perlakuan 10% vektor sebanyak 11,27%
(Tabel 6.2 dan Gambar 6.6). Hal ini diperkirakan sebelum individu rayap sehat
terkontaminasi cendawan M. brunneum akibat penularan dari rayap vektor, rayap
mampu menyerang contoh uji secara aktif. Namun setelah penularan terjadi,
aktifitas rayap dan kemampuan konsumsi menurun sampai terjadi mortalitas.
Tanada dan Kaya (1993) menyatakan periode kematian serangga oleh
cendawan entomopatogen umumnya tidak ditandai oleh gejala tertentu pada awal
infeksi. Hanya setelah infeksi dan penyebaran cendawan terjadi di dalam tubuh,
serangga menjadi kurang aktif. Gejala yang sama juga terlihat pada rayap, tahap
ahir infeksi, rayap akan kehilangan tenaga, diam dan kemudian mati. Selanjutnya
78
dinyatakan bahwa periode dari infeksi sampai serangga mati sesingkat-singkatnya
3 hari dan selama-lamanya 12 hari, periode ini bervariasi tergantung juga dengan
ukuran serangga.
Serangan rayap C. curvignathus selain berakibat pada penurunan berat
contoh uji, juga terlihat pada tingkatan serangan pada contoh uji (Gambar 6.7).
Pada tingkat serangan, perlakuan dengan 10% vektor juga terlihat lebih sedikit
dibandingkan dengan tingkat serangan pada kontrol.
Gambar 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada
perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.
Kesimpulan
Mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya
proporsi vektor (%) di dalam unit percobaan dan lamanya waktu pengamatan.
Dengan penggunaan vektor sampai dengan 10% dalam 15 hari pengamatan,
cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu menyebabkan
mortalitas rayap lebih dari 90% sedangkan mortalitas pada rayap kontrol hanya
5%. Pada uji terhadap rayap C. curvignathus, perlakuan dengan 10% vektor
diinokulasi dengan M. brunneum hanya dapat menyebabkan mortalitas 60%
(mortalitas kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol
47,82%) selama 15 hari pengamatan.
Maaf ....................... Lembar Halaman Ini Pada Aslinya Memang Tidak Ada
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Keragaman spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada sumber
inokulum serangga hama mati terinfeksi di lapangan lebih tinggi dibandingkan
yang ditemukan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir. Spesies
cendawan yang ditemukan pada berbagai inang dan inokulum di alam adalah:
Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch,
Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Myrothecium roridum Tode ExFR, Aspergillus
flavus Link., Penicillium citrinum Thom., Fusarium oxysporum Link, Fusarium
solani Link., Verticilium lecanii (Zimmermann) dan Paecilomyces fumosoroseus
(Wize) Brown dan Smith. Uji patogenisitas mengindikasikan umumnya cendawan
yang ditemukan bersifat patogen terhadap rayap tanah C. gestroi. Spesies M.
anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, B. bassiana dari
walang sangit, M. roridum dari tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus
dari rayap tanah, pada kerapatan 107 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas
100 % dalam waktu 6 hari.
Pada uji keefektifan dengan perlakuan beberapa kerapatan konidia, ternyata
M. brunneum mampu menyebabkan mortalitas lebih dari 80% pada kerapatan
5.105 konidia/ml dan memiliki LC50 paling rendah (1.8 x 105 konidia/ml)
kemudian diikuti oleh M. anisopliae, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus.
Metode kontak lebih cepat mematikan rayap tanah Coptotermes spp.
dibandingkan metode pengumpanan; metode kontak mempunyai LT50 2,01 hari
sedangkan metode pengumpanan mempunyai LT50 = 4,83 hari.
Pada uji laboratorium dengan penularan pada rayap C. gestroi, mortalitas
meningkat seiring dengan meningkatnya proposi vektor di dalam unit percobaan
dan lamanya pengamatan. Dengan penggunaan rayap vektor sampai dengan 10%
dalam 15 hari pengamatan, M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu
menyebabkan mortalitas C. gestroi lebih dari 90% sedangkan kontrol hanya
sebesar 5%. Perlakuan dengan 10% vektor diinokulasi dengan M. brunneum
hanya dapat menyebabkan mortalitas 60% C. curvignathus (mortalitas kontrol
89
13.25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari
inokulasi.
Serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diarahkan pada pengujian
yang potensial sebagai langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan
cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di
Indonesia.
Saran
Penelitian ini perlu dilanjutkan pada uji semi lapangan dengan populasi
rayap yang lebih banyak dan pada koloni rayap di lapangan, karena hasil
penelitian pada laboratorium sering menunjukkan hasil yang tidak stabil jika
diterapkan di lapangan. Sehubungan dengan keragaman virulensi antar isolat
dalam spesies yang sama, perlu dilakukan pengujian terhadap isolat Metarhizium
spp. dan Beauveria bassiana yang berasal dari berbagai sumber inokulum dengan
kondisi iklim dan topografi yang berbeda di Indonesia. Untuk tujuan komersil
perlu penelitian yang intensif tentang pembuatan formulasi biotermitisida
berbasiskan isolat cendawan entomopatogen Metarhizium brunneum, Metarhizium
anisopliae dan Beauveria bassiana. Metode pengendalian dengan menggunakan
individu vektor dapat dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA Amiri-Besheli B, Khambay B, Cameron S, Deadman ML, Butt TM. 2000. Inter-
and Intra-Specific Variation in Destruxin Production by Insect Pathogenic Metharhizium spp., and Its Significance to Pathogenesis. Crop Protection Unit, University of Reading United Kingdom Mycopathologia, 104(4): 447-452
Ansari MA, Vestergaard S, Tirry L, Moens M. 2004. Selection of a Highly
Virulent Fungal Isolat, Metarhizium anisopliae CLO 53, for Controlling Hoplia philanthus, J. Invertebr Pathol 95:89-96.
Bakti D. 2004. Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren
Menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae Weiser dalam Sekala Laboratorium. Jurnal Natur Indonesia 6 (2):81-83.
Barnett HL, Hunter BB. 1972. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4.
New York: Macmillan Publishing Company. Barron, George L. 1968. The Genera of Hyphomycetes from Soil. New York:
Robert E. Krieger Publishing Company. Bayon IL, Ansard D, Brunet C, Girardi S, Paulmier I. 2000. Biocontrol of
Reticulitermes santonensis by Entomopathogenic Fungi Improvement of the Contamination Process. Stockholm Sweden, IRG Secretariat KTH SE-100 44
Becnel JJ. 1997. Complementary Techniques: preparations of entomopathogens
and diseased specimens for more detailed study using microscopy. Di dalam: Lacey LA, editor. Biological Techniques, Manual of Techniques in Insect Pathology. San Diego: Academic Press.
Behle RW, Tames-Guerra P, Shasha BS, McGuire MR. 1999. Formulating
Bioinsecti-cides to Improve Residual Activity, Presented at the Formulations Forum Symposium USDA-ARS-NCAUR 18 15 N. University Peoria, Illinois
Benson EP. 2005. Termites Identification Workshop on Urban Pests
Management, Center for Integrated Pest Management (CIPM) Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture - Bogor Agricultural University Collaboration with Clemson University; Bogor, July 19th - 21st.
Berretta MF, Lecuona RE, Zandomeni RO, Grau O. 1998. Genotyping Isolates of
the Entomopathogenic Fungus Beauveria bassiana by RAPD with Fluorescent Labels. J. invertebr pathol 71: 145–150.
Boucias DG, Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. London: Kluwer
Academic Publishers.
91
Butt TM, Jackson C, Magan N. 2001. Fungi as Biocontrol Agents: progress, problems and potential. United Kingdom: CABI Publishing.
CABI Bioscience (1998) Entomopathogenic Fungi from Various Host in the
World. CABI Genetic Resourse Collection. 375 hal. Cates J. 2007. Termite Control without Chemicals. [terhubung berkala]
http://www.bugsinthenews.com/Chemical%20Free%20Termite%20Interdiction.htm.[7 Mei 2007]
Cloyd RA. 2003. Know Your Friends The Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae. University of Illinois VI (7): [terhubung berkala] http://www.entomology.wisc.edu/mbcn/nbcn607html [7 Januari 2005]
Delate KM, Grace JK, Tome CHM. 1995. Potential Use of Pathogenic Fungi in Baits to Control Formoson Subterranean Termite (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Appl Entomol 119: 429-433.
Desyanti, Santoso T, Hadi YS, Yusuf S. 2005. Virulence of Various Isolates of
Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana (Balls.) Vuill. Against Subterranean Termite Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae), Proceedings of 1st International Conference Crop Security (ICCS); Malang, September 19th - 22nd
Domsch KH, Gams W, Anderson T-H. 1980. Compendium of Soil Fungi.
London: Academic Press. Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood Decay, Pests and Protection. London:
Chapman & hall, 2-6 Boundary Row. Ekesi S, Maniania NK, Lux SA. 2003. Effect of Soil Temperature and Moisture
on Survival and Infectivity of Metarhizium anisopliae to Four Tephritid Fruit Fly Puparia. J. Invertebr. Pathol. 83: 157-167.
Ellis D. 2007. Mycology Online, [terhubung berkala ] http://www.mycology.adelaide.edu.au/ Maret 2007.
Ellis MB. 1993. Dematiaceous Hyphomycetes. United Kingdom: CAB International.
Falah S, Syafii W, Katayama T. 2005. Antitermic of Extracts from the Bark of
Some Tropical Hardwoods di dalam Sustainable Production and Effective Utilization of Tropical Forest Resources, Proceedings of the 5th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science; Kyoto, September 17-19
Finney DJ. 1971. Probit Anlyisis. Ed ke-3. Combridge: University Press.
92
Hajek AE, Leger RJ. 1994. Interactions Between Fungal Pathogens and Insect Hosts. Annu. Rev. Entomol 39: 293-322.
Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H. 2001. Use of Hyphomycetous Fungi
for Managing Insect Pests. Di Dalam: Butt TM, Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents: progress, problems and potential. London: CABI Publishing.
Jones WE, Grase JK, Tamashiro M. 1996. Virulens of Seven Isolates of
Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to Coptotermes formosanus (Isoptera : Rhinotermitidae). J. biol contr 25(2): 481-487.
Keller, Zimmermann.1989. Mycopathogens of Soil Insects. Di dalam: Wilding N,
Collins NM, Hammond PM, Webber JF, Editor. Insect-Fungus Interactions, 14th Symposium of the Royal Entomological Society of London in Collaboration with the British Mycological Society 16-17 September 1987, London: Academic Press.
Khan K, Jayaraj, Gopalan M. 1991. Mycophatogenes for Biological Control of
Odontotermes brunneus (Hagen). J. biol contr 5: 32-35. Krishna K, Weesner FM. 1969. Biologi of Termites. New York: Academic Press. Kubota S, Shono Y, Matsunaga T. 2007. Termitisidal Efficacy of Bistrifluron to
the Japanese Subterranean Termite. The Fourth Conference of Pacific Rim Termite Research Group (TRG 4); Kaohsiung, Taiwan 26 and 27 Februari 2007.
Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Peres Lewis V. 2006. Termite Damage and Detection: an American Perspective. The
Third Conference of Pacific Rim Termite Research Group (TRG 3); Guangzhou, P. R. China 6 and 7 March.
Maniania NK, Ekesi S, Songa JM. 2002. Managing Termites in Maize With the
Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae. T-Space Univ. of Toranto 22(1): 41-46. [terhubung berkala]. http://hdl.handle.net/1807/129 [23 maret 2004].
Mattjik AA, Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitap. IPB Press. Bogor. Milner RJ, Staples JA, Lenz M. 1996. Option for Termite Management Using the
Insect Pathogenic Fungus M. anisopliae. The International Research Group on Wood Preservation IRC/WP/10324 Rosenheim, June 7-11.
93
Moslem R, Wahid MB, Kamarudin N, Sharma M, Ali SRA. 1999. Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) Applied by Wet and Dry Inoculum on Oil Palm Rhinoceros Beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Research II (2): 25 - 40.
Nandika D. 1999. Status Bahaya Serangan Rayap pada Bangunan Gedung. Makalah Seminar Nasional Pemantapan Sistim Pengendalian Rayap pada Bangunan Gedung. Jakarta, 12 Mei.
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: biologi dan pengendaliannya.
Surakarta: Muhammadiyah University Press. Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of
Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the Entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomol 33(1): 051-056.
Oliveira CN de, Neves PMOJ, Kawazoe LS. 2003. Compatibility Between the
Entomopathogen Fungus Beauveria bassiana and Insecticides Used in Coffee Plantations. Sci. agric 60(4). [terhubung berkala].mailto:[email protected] [24 Januari 2004].
Olsson S. 1997. Nutrient Translocation and Electrical Signalling in Mycelia di
Dalam The Fungal Colony Edited oleh Gow NAR, Robson GD, Gadd GM, British Mycological Society, Cambridge University Press (1): 25-48.
Pearce MJ. 1997. Termite: biologi and management. New York: CAB
International Publisher. Richard D. 1996. Insect Societies. United Kingdom: CABI Publishing. Rombach. 1988. Entomogenous Fungi. Laporan Kursus Singkat Isolasi Pencirian
dan Pengawetan Biakan Murni Mikroorganisme. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
Salleh B. 2005. Plant Diseases Caused By Fusarium Species in the Tropics,
Proceedings of 1st International Conference Crop Security (ICCS). Malang, September 19th - 22nd
Samuels R I, Corocini DLA, Santos CAM dos, Gava CAT. 2002. Infection of
Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae) eggs by entomophatogenic fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana. J. bio contr 23: 269-273.
Sari K, Syafii W, Sofyan K, Hanafi M. 2004. Sifat Antirayap Resin Damar Mata
kucing dari Shorea javanica K.et V. J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2 (1): 8-15.
94
Scholte E-J, Knols BGJ, Samson RA, Takken W. 2004. Entomopathogenic Fungi for Mosquito Control: A Review. J Sci 4(19): 1-24 [terhubung berkala]: insectscience.org/4.9 [3 April 2006]
Singh K, Frisvad JC, Thrane U, Mathur SB. 1991. An Illustrated Manual on
Identification of Some Seed-borne Aspergilli, Fusaria, Penicillia and their Mycotoxins. Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries and Department of Biotechnology the Technical University of Denmark.
Sornnuwat Y. 1996. Studies on Damage of Construction Caused by Subterranean
Termites and its Control in Thailand. Phd Disertation of Kyoto Yuniversity . Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik: suatu pendekatan
biometrik. Sumantri B, penerjemah: Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Strack BH. 2003. Biological Control of Termites by the Fungal Entomopathogen
Metarrhizium anisopliae, Urban Entomology Laboratory University of Toranto. [terhubung berkala]. http://C:\NC\My%20Dokumens\Internet\Fungal%20control%20of%20termites.htm [4 Mei 2003].
Sudiyani Y, Horisawa S, Chen K, Doi S, Imamura Y. 2002. Changes in Surface
Properties of Tropical Wood Species Exposed to the Indonesian Climate in Relation to Mold Colonies; J. Wood Sci 48: 542-547.
Suratmo G. 1974. Perlindungan Hutan. Bogor: Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Suzuki K. 1991. Laboratory Trial of Biological Control Agents Subterranean
Termite. International Research Group on Wood Preservation. IRC/WP/1476. Kyoto, May 20-24
Tambunan B, Nandika D. 1987. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor:
Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Tanada Y, Kaya HK.1993. Insect Pathology. Sandiago: Academic Press, INC.
Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Tarumingkeng RC. 1971. Biologi dan Pengendalian Rayap Perusak Kayu
Indonesia. Bogor: Lap LPPK . Tarumingkeng RC. 2000. Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan, Topik-topik
terpilih. Jakarta: Ukrida Press. Tarumingkeng RC. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap (Biology and ethology of
termites). [terhubung berkala] http://www.tumoutou.net/biologi_dan_perilaku_rayap.htm [7 Maret 2007].
95
Tarumingkeng RC. 2004. Pengenalan Rayap Perusak Kayu yang Penting di Indonesia, Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan, [terhubung berkala]
http://tumoutou.net/dethh/4_termite_identification.htm [7 Maret 2007] Teetor-Barsch GH, Roberts DW. 1993. Entomogenous Fusarium Species.
Mycopathologia 1;84(1):3-16 [terhubung berkala] http://www.nlm.nih.gov/contacts/contact-pubmed.html [13 Februari 2006].
Tefera T, Pringle KL. 2003. Effect of Exposure Method to Beauveria bassiana
and Conidia Concentration on Mortality, Mycosis, and Sporulation in Cadavers of Chilo partellus (Lepidoptera: Pyralidae); J. Invertebr Pathol 84: 90-95.
Thapa RS. 1981. Termites of Saba. India: Entomology Branch Forest Research Institute and Colleges Dehradun.
Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
(Deuteromycotina: Hyphomycetes): keragaman genetic, karakterisasi fisiologis, dan virulensinya terhadap Croccidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB
Varela A, Morales E. 1995. Characterization of Some Beauveria bassiana Isolate
and Their Virulence Toward the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei, L. J. Invertebr pathol 67: 147-152.
Yanagawa A, Shimizu S. 2007. Resistance of the termite, Coptotermes
formosanus Shiraki to Metarhizium anisopliae due to Grooming. J. BioControl 52: 75-85.
Yoshimura T, Tsunoda K, Takahashi M, Katsuda Y. 1992. Pathogenicity of An
Entomopathogenous Fungus, Conidiobolus coronatus TYRRELL. and MACLEOD, to Coptotermes formosanus SHIRAKI; Jpn. J. Environ.Entomol.Zool, 4(1): 11-16.
Yoshimura T, Takahashi M. 1998. Termiticidal Performance of An
Entomogenous Fungus, Beauveria brongniartii (SACCARDO) PETCH in Laboratory Tests; Jpn. J. Environ, Entomol. Zool. 9(1): 16 – 22.
Yusuf S. 2001a. Pengujian Meganium 200 EC Terhadap Rayap Tanah
Coptotermes sp. untuk Keperluan “Bait System”. Serpong: LIPI. Yusuf S. 2001b. Pengujian Meganium Duster 10 Terhadap Rayap Tanah.
Serpong: LIPI. Yusuf S. 2004. Current Termite Management in Indonesia. TRG 1, Pacific Rim
Termite Research Group; Malaysia, 8-9 March.
96
Yusuf S, Desyanti, Santoso T, Hadi YS. 2005. The Application of Entomopathogenic Fungi as Biocontrol for Subterranean Termites. TRG 2, Pacific Rim Termite Research Group; Bangkok, 28 February and 1 March.
LAMPIRAN
98
Lampiran. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) yang Digunakan pada Penelitian
2. Metarhizium brunneum Petch Warna koloni brunneum kuning sampai coklat dan pudar. Sedangkan secara mikroskopik M. brunneum dan M. anisopliae sangat mirip ( Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993).
3. Penicillium citrinum Thom. Warna koloni hijau, biru keabu-abuan, tangkai konidiofora (stipe) panjang rata, biverticillate, divergent, metulae sering spathulate, pialit ampulliform dengan collula pendek, konidia bulat rata (Singh et al. 1991)
4. Fusarium oxysporum Link Pertumbuhan koloni cepat, bewarna orange keputihan, sporodochia orange pucat, mono-pialit, makro konidia 3-septa dengan foot cell dan mikro konidia 0-septa berada didalam kepala palsu (false heads), sering berkelom-pok pada mono-pialit pendek, chlamydospores berlimpah biasanya tunggal pada hifa (Singh et al. 1991).
5. Myrothecium roridum Tode ExFR. Mycelium putih-kemerahan, sporodochia bertangkai seperti synnemata diameter 60-750 µm, padat muncul dari perkembangan stroma. konidiofora hyaline, olivaceous ramping, muncul percabangan berulang dengan beberapa cabang pada setiap nodus. Cabang terahir merupakan pialit dengan lapisan parallel, berukuran 11-16 X 1.5-2.0 µm. Ada zona melingkar olivaceous-hitam, konidia ellipsoidal sempit dengan ujung membulat berukuran 5.5-7.0 X 1.5-2 µm (Tulloch et al. 1970 dalam Domsch et al. 1980).
1. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidium awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora, masa untaian konidia menjadi zigzag melekat satu sama lain yang masing-masingnya menghasilkan massa prismatic dari colum untaian konidia. (Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993).
99
img
6. Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith. Pertumbuhan koloni agak lambat, mencembung, pink, kadang-kadang memproduksi synnemata pada agar, konidiofora muncul beberapa dengan dasar pialit mencembung, tersusun seperti daun melingkar, konidia cylindrical-fusiform berukuran 3-4 x 1-2 µm (Brown, Smith dan Samson 1979 dalam Domsch et al. 1980).
7. Aspergillus flavus Link. Warna koloni hijau kekuningan dan semakin hijau dengan bertambahnya umur, bersinar, kepala konidia radiate kehilangan colum konidia dengan bertambahnya umur, stipe panjang, verrucose dan hyaline. Vesicle berbentuk kubah. Ada metula berukuran kecil, pialit berukuran kecil langsung pada vesicle, konidia globose - subglobose, biasanya kasar. (Singh et al. 1991).
8. Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hifa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Barron 1968).
9. Verticilium lecani (Zimmermann), Koloni bewarna putih – kuning pucat, hifa fasciculate, reverse tidak bewarna - kuning. Pialit tunggal atau sangat sedikit melingkar muncul pada konidiofora dengan posisi tegak dan sedikit berbeda dengan kedudukan hifa. Konidia di ujung atau parallel berkelompok, silender, ujung membulat atau berbentuk ellip berukuran 2.3-10 x 1.0-2.6 µm (Domsch et al. 1980)
10. Fusarium solani Link. Pertumbuhan koloni cepat, berbentuk wol-cattun bewarna cream – putih. Hifa bersepta dan hyaline. konidiofora tidak bercabang dan bercabang. monophialides. Macroconidia melengkung, gemuk, biasanya 3-5 septate, berukuran 4-6 x 65 µm, muncul pada konidiofora pendek yang segera membentuk sporodochia. Microconidia muncul dari monophialides panjang, satu - dua cel, cylindrical – oval, berbentuk kuntum di ujung pialit. Ada Chlamydoconidia tunggal dan berpasangan. Mudah dikenal berdasarkan warnanya cream, mono pialit panjang dengan microkonidia hanya di false heads. (http://www.doctorfungus.org/index.htm maret 2007).
100
101