kajian atas tafsir nabi bermuka...

107
KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAM DALAM QS. ‘ABASA [80]: 1-16 (Kajian Komparatif Interpretasi Tafsir Ibn Katsȋr dan Tafsir Tabȃtaba`ȋ) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh Bahaluddin Siregar NIM: 11140340000178 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2019 M

Upload: others

Post on 18-Jul-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAM

DALAM QS. ‘ABASA [80]: 1-16

(Kajian Komparatif Interpretasi Tafsir Ibn Katsȋr dan Tafsir

Tabȃtaba`ȋ)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Agama (S. Ag.)

Oleh

Bahaluddin Siregar

NIM: 11140340000178

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H / 2019 M

Page 2: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,
Page 3: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,
Page 4: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,
Page 5: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

v

ABSTRAK

Bahaluddin Siregar: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA

MASAM DALAM QS. ‘ABASA [80]: 1-16 (Kajian Komparatif

Interpretasi Tafsir Ibn Katsîr dan Tafsir Tabataba’î)

Konsep iṣmah (maksum) terjadi perbedaan di kalangan dalam

mendefinisikannya. Perbedaan ini mempengaruhi sikap dalam

menginterpretasikan ayat-ayat terkait tentang kemaksuman Nabi

Muhammad SAW. Bagi kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Nabi

Muhammad SAW bisa saja terjadi melakukan kesalahan dosa kecil

asalkan tidak melakukan dosa besar. Sedangkan bagi kelompok Syi’ah,

bagi mereka Nabi Muhammad SAW terjaga dari melakukan dosa kecil

maupun dosa besar.

Secara garis besar, penelitian ini membahas tentang komparasi

interpretasi Ibn Katsir dan Tabataba’ī terkait Nabi Muhammad bermuka

masam yang telah dijelaskan di dalam QS. ‘Abasa [80]: 1-16. Alasan

pengambilan kedua tokoh ini yang memiliki karya besar yaitu Ibn

Katsīr Tafsir al-Qur’an al-‘Adzīm dan Tabataba’ī Tafsir al-Mizān

dalam penelitian ini, karena kedua mufasir memiliki ideology yang

berbeda. Ibn Katsir tendensi (condong) dengan Ahl al-Sunnah wa al-

Jama’ah, sedangkan Tabataba’ī tendensi (condong) kepada Syi’ah:

Faktor ini yang menyebabkan perbedaan dalam menginterpretasikan

Nabi Muhammad bermuka masam, baik itu periwayatan, argumentasi

maupun substansi penafsiran kedua mufasir.

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (Library

Research). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penafsiran

ayat al-Qur’an yang ditulis oleh Imam Nawawi yang berjudul Tafsīr al-

Qur’an al-‘Adzīm dan Tabataba’ī yang berjudul al-Mizān fi Tafsīr al-

Qur’an. Sedangkan sumber data sekunder, peneliti mengambil buku-

buku dan jurnal terkait dengan tema judul pembahasan yaitu tentang

iṣmah (maksum), akhlak Nabi Muhammad, dan bibliografi terkait

sosio-historis penulis kedua tafsir di atas.

Setelah melakukan penelitian, penulis mendapatkan inferensi bahwa

kedua mufasir ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan di dalam

menafsirkan QS. ‘Abasa [80]: 1-16. Menurut Ibn Katsir yang bermuka

masam adalah Nabi Muhammad terhadap ‘Abdullah b. Ummi Maktūm.

Page 6: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر الر بسم للاه

Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Segala puji hanya milik Allah,

sang pencipta alam beserta seluruh isi yang ada di dalamnya. Hanya

kepada-Nya penulis meminta petunjuk, arahan, dan memohon

kemudahan di setiap langkah beserta urusan yang sedang dihadapi.

Solawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW sebagai junjungan makhluk, penyampai ajaran

untuk menuntun manusia menuju jalan yang diridhoi-Nya.

Skripsi adalah semacam suatu tugas yang menandakan

berakhirnya proses pendidikan di bangku kuliah. Namun, bagi

penulis selesainya skripsi ini menjadi langkah awal penulis untuk

melanjutkan pendidikan lebih lanjut ke jenjang pendidikan di

atasnya, Amin.

Proses penulisan skripsi ini cukup lama mulai awal Bulan Juli

2019 sampai Hari Rabu 20 November 2019, baru mendapat

persetujuan dari dosen pembimbing penulis. Ada banyak rintangan

dan kendala di dalamnya, dari proses kelengkapan administrasi,

mencari rujukan referensi, hingga beberapa kegiatan lainnya. Untuk

referensi, penulis mencari buku-buku di toko online, jurnal- jurnal di

Google Scholar, beberapa Perpustakaan di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta; Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas (PF)

Ushuluddin, PF Syariah dan Hukum, Perpustakaan Pasca Sarjana,

Pusat Studi al-Quran, Islamic Culture Center Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia, hingga buku-buku koleksi pribadi teman-teman

penulis. Namun, secara efektif dan kontinu proses penulisan skripsi

Page 7: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

vii

beserta editannya, ketika dikalkulasikan kurang lebih hanya

memakan waktu dua bulanan lamanya.

Berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak baik secara

langsung maupun tidak langsung, skripsi ini rampung. Tidak ada

kata lain untuk mereka kecuali ucapan terima kasih, semoga Allah

membalas semua jasa-jasa mereka sehingga penulisan skripsi ini

terselesaikan dengan baik, amin. Penulis mengungkapkan ucapan

terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis. M.A selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, M.A sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran, dan stafnya.

3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku Ketua Program Studi (Prodi) dan

Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH sebagai Sekretaris Prodi Ilmu al-

Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta meskipun keduanya baru menjabat, terobosan

kebijakannya sangat membantu terhadap percepatan proses

skripsi. Serta tak lupa kepada Dr. Lilik Ummi Kultsum, M.A

dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku ketua dan wakil

Prodi yang menjabat sebelumnya.

4. Dr. Muhammad Zuhdi, M.Ag selaku dosen pembimbing yang

telah meluangkan waktunya untuk membimbing memberikan

beberapa masukan-masukan, dan koreksi untuk merampungkan

skripsi ini.

5. Dr. Mafri Amir, M.Ag selaku dosen akademik yang

telahmembantu untuk merumuskan proposal skripsi.

6. Seluruh dosen-dosen baik di Fakultas Ushuluddin maupun di

Page 8: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

viii

luarnya, yang telah membimbing, membukakan gerbang

khazanah ilmu pengetahuan kepada penulis dari tahun 2014

hingga 2019.

7. Kepada orang tua penulis; Ayahanda Sahram Siregar dan

Ibunda Hasnah Harahap, yang tidak pernah lelah mendoakan

dan memberikan semangat berupa nasihat, masukan untuk tetap

fokus mengerjakan skripsi ini. Kedua wajah mereka semacam

memberikan energi dan optimisme kepada penulis. Tak lupa

juga kepada kedua kakak kandung penulis; Setia Erwin dan

Hamdan Husen Siregar. Tak lupa juga kepada keempat adik;

Ismail Hasan Siregar, Udin Syaputra Siregar, M. Fadhil Siregar,

dan Nur Hamidah Siregar, beserta seluruh keluarga sanak

saudara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

8. Para Sahabat Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

(DEMA FU) periode 2017, Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Ushuluddin dan PMII se

cabang Ciputat. Sahabat Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir

Hadis se Indonesia (FKMTHI), Keluarga Besar Etos UIN

Jakarta, Ikatan Mahasiswa Jambi (IKAMAJA) se Jakarta,

Dewan Pemenangan Pusat Persatuan Mahasiswa (DPP-PM)

Cabang Ciputat dan lainnya.

9. Kepada teman-teman angkatan Beasiswa Etos Dompet Dhuafa

angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi,

Salimah Zahro, Fida, Aisyah, Dian dan Syifa.

10. Kepada teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014

yang juga sama-sama berjuang menyelesaikan studi di Fakultas

Ushuluddin.

Page 9: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

ix

11. Kepada sahabat-sahabat sekontrakan, senasib seperjuangan di

Jakarta; Aprido, Raja Hotlan Harahap, Irfan Hazri, Dadan

Haerudin, Muhammad Alwi, Agung Rif’at, Ach. Sayuthi,

Abdillah, Rido Amran, Efrida Yanti Nasution, Yasep. Nurul

Chusna dan Indah Puji Lestari.

Hanya kepada Allah penulis berharap, siapa pun yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah

membalasnya, memberikan kesehatan, optimisme, kemudahan

segala urusan, dan takdir baik menyertainya, amin.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Ciputat, 04 Desember 2019

Bahaluddin Siregar

NIM: 11140340000178

Page 10: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini

berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan

Nomor: 0543b/U/1987.

1. Konsonan

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Nama

Alif Tidak dilambangkan Tidak ا

dilambangkan

Ba B Be ب

Ta T Te ت

Ṡa ṡ Es (dengan ث

titik di atas)

Jim J Je ج

Ḥa ḥ Ha (dengan ح

titik di bawah)

Kha Kh ka dan ha خ

Dal D De د

Żal ż Zet (dengan ذ

titik di atas)

Ra R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy es dan ye ش

Ṣad ṣ es (dengan ص

titik di bawah)

Page 11: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xi

Ḍad ḍ de (dengan ض

titik di bawah)

Ṭa ṭ te (dengan titik ط

di bawah)

Ẓa ẓ zet dengan ظ

titik di bawah)

ain ‘ koma terbalik‘ ع

(di atas)

Gain G Ge غ

Fa F Ef ف

Qaf Q Ki ق

Kaf K Ka ك

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wau W We و

ـه Ha H Ha

Hamzah ' Apostrof ء

Ya Y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A

Kasrah I I

Page 12: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xii

Dhammah U U

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ي Fathah dan

ya

Ai a dan i

و Fathah dan

wau

Au a dan u

Contoh:

kaifa- ك ي ف

haula- ه و ل

3. Vokal Panjang/ Maddah

Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Harakat

dan huruf

Nama Huruf dan

tanda

Nama

ا ي... Fathah dan

alif atau ya

Ā a dan garis

di atas

ي ى Kasrah dan

ya

Ī I dan garis

di atas

Dhammah ىـ و

dan wau

Ū u dan garis

di atas

Page 13: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xiii

Contoh:

ال ق -qāla

ىم ر -ramā

ل ي ق -qīla

4. Ta’ Marbūṭah

Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:

a. Ta’ Marbūṭah hidup

Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan

ḍommah, transliterasinya adalah “t”.

b. Ta’ Marbūṭah mati

Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya

adalah “h”.

c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka

Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

No Kata Arab Alih Aksara

rauḍah al-aṭfāl ر و ض ة األ ط ف ال 1

ل ة 2 د ين ة الف اض al-madīnah al-fāḍilah امل

م ة 3 al-ḥikmah احل ك

Page 14: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xiv

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

rabbanā- ر بـن ا

nazzala- نـ زل

al-birr- الب ر

al-ḥajj– احل ج

Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh

huruf kasrah ( ـى ـــــــــــــــ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).

Contoh:

Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)‘ : عل ى

Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)‘ : ع ر ب

Page 15: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xv

6. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang

ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf

syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi

huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata

yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),

Contohnya:

al-rajulu- الرج ل

al-sayyidu- السي د

al-syamsu- الشم ش

al-qalamu- الق ل م

al-badĭ’u- أل ب د ي ع

al-jalālu- ال ال ل

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku

bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah

terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia

berupa alif. Contohnya:

Page 16: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xvi

ta'murūna : ت م ر و ن

'al-nau : النـو ء

syai'un : ش ي ئ

umirtu : أ م ر ت

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah

atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah

atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan

bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa

Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya

kata Al-Qur’an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila

kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka

mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:

Kata Arab Alih Aksara

Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظ ال ل الق ر آن

و ي ن Al-Sunnah qabl al-tadwīn الس نة قـ ب ل الت د

الع با ر ة ب ع م و م الل ف ظ ال ب ص و ص السب ب

Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi

khuṣūṣ al-sabab

Page 17: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xvii

9. Lafẓ al-jalālah (هللا)

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),

transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

dīnullāh : د ي ن هللا

billāh : ب هللا

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-

jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :

hum fī rahmatillāh : ه م ف ر ح ة هللا

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),

dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang

penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia

yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis

huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada

permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka

huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi

yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks

maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:

Page 18: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xviii

Kata Arab Alih aksara

Wa mā Muḥammadun illā rasūl- و م ا م مد إ ال ر س و ل

ع ل لناس ل لذ ي ب ب كة م با ر كا Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi- إ ن أ ول بـ ي ت و ض

bi Bakkata mubārakan

ر ر م ض ان الذي أ ن ز ل ف ي ه الق ر آن ش ه -Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh

al-Qur'an

ي ي الد ي ن الطرو س Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- ن ص

Abū Naṣr al-Farābī- أ بـ و ن ص ر الف ر اب

Al-Gazālī- الغ ز ال

ن ق ذ م ن الد ال ل Al-Munqiż min al-Ḍalāl- امل

Page 19: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL. .................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN PENULIS .................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ........................... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................. vi

TRANSLITERASI .................................................................................... x

DAFTAR ISI .......................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah. ........................................................... ..5

C. Batasan dan Perumusan Masalah ............................................6

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ........................................ ...6

E. Tinjauan Pustaka ................................................................. ..7

F. Metode Penelitian. ............................................................... .10

G. Sistematika Penulisan. ......................................................... .11

BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR IBN KATSȊR DAN SERTA

AL-MIZAN TABATABA`Ȋ

A. Biografi Ibn Katsir. .............................................................. 13

B. Biografi Tabataba’î ............................................................. 16

C. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î ................... 23

1. Metodelogi Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î .................. 23

2. Corak Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î. ..........................24

3. Sumber Tafsir Ibn Katsir dan Tabataba’î…. ...................25

4. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ibn Katsir dan

Page 20: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xx

Tabataba’î ................................................................. 27

BAB III TINJAUAN SIFAT IDEAL NABI MUHAMMAD SAW

A. Akhlak Mulia Seorang Nabi ................................................ 30

B. Nabi Muhammad Sebagai Representatif Uswah Hasanah...33

C. Konsep Kemaksuman .......................................................... 37

1. Definisi Maksum ............................................................... 37

2. Ayat-Ayat Tentang Kemaksuman. .................................... 40

3. Klasifikasi Ishmah (Maksum) ........................................... 46

BAB IV INTERPRETASI DALAM KITAB IBN KATSIR DAN

TABATABA’Î

A. Kajian Analisis Ayat. ...........................................................50

1. Identifikasi Ayat ...............................................................50

2. Asbab Al Nuzul ................................................................52

3. Munasabah .......................................................................55

B. Penjelasan Kedua Mufassir Terhadap QS ‘Abasa [80]1-16..56

1. Pola Interpretasi Ibn Katsir Terhadap QS ‘Abasa [80]: 1-

16 ............................................................................. 57

2. Pola Interpretasi Tabataba’î Terhadap QS ‘Abasa [80]: 1-

16 .......................................................................... ..57

C. Argumen Kedua Mufassir Dalam Menginterpretasikan

Bermuka Masam. ........................................................... ..65

1. Perbedaan Dalam Mengkategorisasi Ismah. .............. 65

2. Menentukan Subjek Pada Derivasi ‘Abasa ................ 73

3. Mengaktualisasi Konsep Uswah Hasanah. ................ 73

Page 21: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

xxi

4. Perbedaan dan Persamaan Dalam Menginterpretasikan

QS ‘Abasa [80] 1-16. ............................................. .75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan. ........................................................... ..78

B. Saran ......................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 80

Page 22: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nabi Muhammad SAW seorang publik pigur yang menjadi

panutan bukan hanya untuk umat Islam bahkan integral bagi umat

manusia. Ia merupakan repsentatif manusia ideal yang menjadi Uswah

Hasanah bagi umat manusia. Menjadi manusia yang ideal bisa dilihat

dari berbagai aspek terutama menjadi muslim yang ideal yaitu

melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah. Hal ini telah menjadi

tugas edukasi Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia agar bisa

menjadi muslim yang ideal. Bukan hanya menjadi muslim yang ideal

saja, bahkan Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang didelegasikan

sebagai orang pilihan yang memiliki sifat kemaksuman.1 Ketika

kembali sejarah histori sebelumnya, Nabi Muhammad SAW telah

melakukan beberapa kali kesalahan yang ditegur oleh Allah, bahkan

tertulis di beberapa ayat-ayat al-Qur’an. Pada kasus ini banyak kalangan

‘Ulama konservatif menginterpretasikan ayat-ayat mengenai tindakan

kesalahan ini menuai pro dan kontra. Salah satu ayat yang menjelaskan

kesalahan Nabi Muhammad SAW adalah QS. al-Kafi [18]: 23-24

وٱذكر ربك إذا نسیت وقل غدا لك  ول ت قولن لشایء إن ی فاعل ذ أن یشاء ٱلل إل

رب من ه ذا رشدا أن ی هدین رب ی لق عسى

yaitu terjaga dari kesalahan. Menurut Ibn عصم asal katanya adalah معصوم 1

Taimiyyah, kema’suman Nabi Muhammad SAW bukan berarti tidak sama sekali

melakukan kesalahan melainkan terjaga dari dosa besar bukan dosa kecil. Lihat,

Taqiyyudīn Abū al-‘Abbās Ahmad bin ‘Abd al-Halīm bin Taimiyyah al-Harānī (728 H),

Majmū’ Fatawa. (al-Mamlaka al-‘Arabiyyah al-‘Su’udiyyah, 2005), juz 4, 319.

Page 23: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

2

“Dan janganlah sekali-kali engkau mengucapkan Sesungguhnya aku akan

melakukan hal itu besok. Kecuali (dengan mengucapkan) Insya Allah.

Dan ingatlah Tuhanmu ketika engkau lupa. Dan Ucapkanlah: Semoga

Tuhanku memberikan petunjuk pada jalan terdekat menuju hidayah.”

Pada kasus ini Nabi Muhammad SAW melakukan kesalahan ketika

ditanya beberapa hal mengenai Ashāb al-Kahfi, kemudian Nabi

memberikan pernyataan bahwa jawaban akan diberi besok. Tindakan ini

dinyatakan salah karena sudah mendahului tindakan Allah. Dengan

tindakan ini Nabi Muhammad SAW mendapatkan teguran yaitu wahyu

tidak turun selama 15 hari.2 Hingga turun dengan mendapatkan teguran

melalui QS. al-Kahfi [18]: 23-24.

Dengan melihat teks ayat ini, Nabi Muhammad SAW sendiri

memberikan pernyataan bahwa Ia adalah Manusia biasa. Sebagaimana

dijelaskan pada QS. al-Kahfi [18]: 110

فمن كان ی رجوا لقاء رب هۦ ا إل هكم إل ه و احد لكم یوحى إلی أن

ا أن بشر م ث قل إنا ف لی عمل عمل ص لحا ول یشرك بعبادة رب هۦ أحد

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang

diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah

Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan

Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan

janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada

Tuhannya".

Dan QS. al-Fussilāt [41] 6

ا إل هكم إل ه و احد ف ٱستقیموا إلیه وٱست غفروه لكم یوحى إلی أنا أن بشر م ث قل إن وویل ل لمشركی

2 Sebagian kelompok mengatakan 40 hari. Lihat, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr

Fakhr al-Rāzi al-Musytahir Bi al-Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib (Beirut: Dār al-

Fikr, 2008), juz 21, 109.

Page 24: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

3

Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,

diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang

Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan

mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-

orang yang mempersekutukan-Nya.

Pada kasus teks ayat ini Nabi Muhammad SAW memberikan

pernyataan bahwa beliau hanya manusia biasa yang pastinya tidak

mengetahui hal yang eskatologi (ghaib) maka pertanyaan mengenai

Ashāb al-Kahfi dan Dzulkarnain, Nabi Muhammad SAW tidak bisa

menjawab.3 Ketika Nabi Muhammad SAW memberikan pernyataan

bahwa beliau manusia biasa itu sebabnya Nabi bisa melakukan

kesalahan. Hanya saja para Ulama memberikan klasifikasi bahwa

kesalahan yang dilakukan Nabi hanyalah kesalahan kecil saja.

Dari hasil cerita ini, Nabi Muhammad SAW pernah melakukan

kesalahan dengan alasan Allah memberikan teguran bahwa itu perbuatan

yang salah. maka peneliti mengkorelasikan pada penelitian kajian tafsir

QS. ‘Abasa [80] 1-16, sebagai pijakan untuk melakukan penelitian. Pada

kasus ini Nabi juga mendapat teguran akibat bermuka masam kepada

salah seorang bernama Ibn Maktūm. Ketika itu Nabi Muhammad SAW

sedang duduk berhadapan dengan al-Walīd b. al-Mughīrah beserta

pemuka-pemuka Quraisy. Ketika itu Nabi Muhammad SAW sedang

menjelaskan hakekat ajaran Islam yang didakwahkan kepada mereka. Di

saat Nabi sedang berbicara itulah datang ‘Abdullāh b. Ummi Maktūm

yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tapi sayangnya Nabi

Muhammad SAW tidak merespon pertanyaan ‘Abdullāh b. Ummi

Maktūm sebab Rasulullah tetap larut dalam pembicaraannya menjelaskan

3 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr al-Qursyī al-Dimasyqī Abū al-Fidā’ ‘Imād al-Dīn

(773H), Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm Tafsīr Ibn Katsīr. (t.t: Dār Tayyibah, 2008), juz 9,

205.

Page 25: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

4

Islam kepada para pemuka Quraisy. Secara langsung Nabi Muhammad

SAW terusik oleh suara Abdullāh b. Ummi Maktūm yang berulang-

ulang menyerunya. Seketika itu Nabi Muhammad SAW bermuka masam

kepada Ummi Maktūm. Pada kasus ini turunlah QS. ‘Abasa [80]: 1-16

sebagai teguran Nabi Muhammad SAW. 4 Dari kedua kasus ini, ketika

dikaitkan dengan konsep Ma’ṣūm, ada dua hal yang harus diperhatikan

pertama, bahwa Ma’ṣūm itu bisa tidak terjadi kepada Nabi Muhammad

SAW secara fisik sebab Nabi Muhammad SAW juga manusia biasa yang

bisa saja melakukan kesalahan. Kedua, Nabi tidak akan melakukan

kesalahan diluar ma’sūm lahiriyyah (batin) seperti berubah akidah.

Konsep iṣmah (maksum) terjadi perbedaan di kalangan dalam

mendefinisikannya. Perbedaan ini mempengaruhi sikap dalam

menginterpretasikan ayat-ayat terkait tentang kemaksuman Nabi

Muhammad SAW. Bagi kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Nabi

Muhammad SAW bisa saja terjadi melakukan kesalahan dosa kecil

asalkan tidak melakukan dosa besar. Sedangkan bagi kelompok Syi’ah,

bagi mereka Nabi Muhammad SAW terjaga dari melakukan dosa kecil

maupun dosa besar. Perbedaan ini kemudian penulis melakukan analisis

terhadap kedua tokoh mufasir dari kedua golongan ini terkait ayat Nabi

Muhammad SAW bermuka masam.

4 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr al-Qursyīal-DimasyqīAbū al-Fidā’ ‘Imād al-Dīn

(773H), Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm Tafsīr Ibn Katsīr, (Dār Tayyibah, 2008) juz 14 h.

246. Lihat, Muhammad b. Ahmad al-Anshārīal-QurtubīAbū ‘Abdillah, Jāmi’ li Ahkām

al-Qur’an Tafsīr al-Qurtubī(Mu’assasah al-Risālah 2006) juz 22 h. 69 . lihat, Fakhr al-

Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzi al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātih al-

Ghaib (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), juz 31, 55.

Page 26: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

5

Pada penelitian ini penulis ingin mengkomparatifkan interpretasi

kedua tafsir yaitu tafsir Ibn Katsīr dan tafsir Ṭabaṭaba’ī. Di dalam tafsir

Ibn Katsīr berpendapat secara implisit bahwa Nabi Muhammad SAW

memang benar bermuka masam dengan argumentasi riwayat dari Ibn

Maktūm5, sedangkan Ṭabaṭaba’ī di dalam tafsir al-Mizan ia lebih tidak

sepakat bahwa Nabi bermuka masam sebab itu bukanlah sifat dari Nabi

Muhammad SAW. Adapun argumen yang dihadirkan adalah riwayat

yang dianut oleh Syi’ah, bahwa yang bermuka masam bukanlah Nabi

tetapi dari seseorang laki-laki yang duduk d sampingnya Ummi Maktūm,

dan argumentasi lainnya yaitu Nabi Muhammad SAW tidak akan

berakhlak yang buruk sebab Nabi Muhammad SAW merupakan makhluk

Allah yang berakhlak yang mulia,6 sebagaimana ditemukan QS. al-

Qalam [68]: 4

وإنك لعلى خلق عظیم Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Pada penelitian ini, akan membahas studi komparatif antara tafsir

Ibn Katsīr yang beargumentasi pro terhadap bahwa Nabi Muhammad

SAW bermuka masam, dan sebaliknya tafsir al-Mizan sebagai

kontradiktif terhadap interpretasi bahwa Nabi Muhammad SAW bermuka

masam.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, terdapat masalah

yang akan dibahas di dalam penelitian ini yaitu:

5 Ismā’il b. ‘Umar b. Katsīr al-Qursyīal-DimasyqīAbū al-Fidā’ ‘Imād al-Dīn

(773H), Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm Tafsīr Ibn Katsīr. (Dār Tayyibah, 2008) juz 14, 246. 6 Al-‘Allāmah al-Sayyid Muhammad Hayyin Ṭabaṭaba’ī, al-Mizan Fī Tafsīr al-

Qur’an. (Libanān-Mu’assasah al-‘’Ama li Matbū’ah, 1997) juz 20, 223.

Page 27: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

6

1. Perbedaan pandangan Mufassir dalam menginterpretasikan Nabi

Muhammad bermuka Masam pada QS. ‘Abasa [80]: 1-16

2. Bagaimana kedua mufasir menyikapi Nabi bermuka masam

dalam segi ideologi yang berbeda.

3. Konsep Ma’ṣūm menurut tafsir Ibn Katsīr

4. Konsep Ma’ṣūm menurut tafsir Ṭabaṭaba’ī.

C. Batasan dan Perumusan Masalah

Dari sekian banyak penulisan ilmiah tentang kajian QS. ‘Abasa

[80] 1-16, penulis membatasi dengan membahas tentang kajian tafsir

komparatif ayat-ayat al-Qur’an Nabi Muhammad SAW bermuka masam

pada QS. ‘Abasa [80]: 1-16

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana

penafsiran dalam tafisr Ibn Katsīr dan tafsir al-Mizan Ṭabaṭaba’ī

terhadap QS. ‘Abasa [80]: 1-16?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang

mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

1. Memahami gambaran dari pandangan mufasir mengenai ayat-

ayat Nabi Muhammad SAW bermuka masam pada QS. ‘Abasa

[80]: 1-16.

2. Memahami posisi Muhammad SAW Sebagai Nabi dan sebagai

manusia biasa.

3. Memahami pemikiran kedua tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat

al-Qur’an

Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut :

1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan

khususnya dalam bidang tafsir

Page 28: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

7

2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan

dapat dijadikan sebagai kontribusi penulis bagi pengembangan

literatur di bidang kajian tafsir konservatif maupun

kontemporer.

E. Tinjauan Pustaka

Sebelum mengadakan penelitian, maka meninjau kepustakaan perlu

dilakukan agar menjadi jelas sejauh mana pembahasan pustaka tersebut.

selain itu agar penelitian ini terhindar dari plagiasi.

Telaah pustaka yang akan dibahas yaitu literatur-literatur yang

membahas seputar interpretasi dan maksud tujuan dari QS. ‘Abasa [80]:

1-16. Adapun beberapa literatur yang membahas ini, di antaranya:

1. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sanusi yang berjudul “Pola

Interaksi Guru dengan Murid dalam Al-Qur’an Kajian Tafsir

Surat Abasa Ayat 1-10 Menurut Para Mufassir”. Di dalam

skripsi ini dijelaskan hubungan guru dengan murid dalam proses

belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan.

Bagaimana baiknya bahan pelaajran yang diberikan dan

sempurnanya metode yang digunakan, namun jika interaksi guru

dengan murid tidak harmonis, maka dapat menciptakan suatu

hasil yang tidak dinginkan, karena guru harus menjadi contoh

yang baik semua orang, begitu juga sebaliknya dengan Nabi.7

2. Skripsi yang ditulis oleh Sri Widayati berjudul “Nilai-Nilai

Pendidikan Akhlak dalam Al-qur’an (Telaah Surat ‘Abasa Ayat

1-10)”. Dalam pembahasan skripsi ini penulis menjelaskan

bahwa begitu pentingnya memelihara dan memperhatikan

7 Ahmad Sanusi, Pola Interaksi Guru dengan Murid dalam Al-Qur’an Kajian

Tafsir Surat Abasa Ayat 1-10 Menurut Para Mufassir. Skripsi Uin Sunan Ampel

Surabaya.

Page 29: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

8

Akhlak terutama di dalam dunia pendidkan, agar setidaknya

manusia terhindar dari dunia-dunia yang tidak baik. Penjabaran

di skripsi ini menjelaskan konsep nilai-nilai pendidikan akhlak

dalam islam dengan mengambil konsep yang di dalam surat

abasa 1-10. Konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat

abasa 1-10 tersebut adalah : 1. Memberikan penghargaan yang

sama. Walau pun yang datang itu adalah seorang kakek yang

buta. 2. Tidak berpikir negatif terhadap orang lain. 3. Bersikap

cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan.8

3. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Irwan berjudul “Pola Interaksi

Guru Dengan Murid Dalam Al-Qur'an Surat Luqman Ayat 12-19 Dan

Surat ‘Abasa Ayat 1-10” yang menjelaskan bahwa bagaimana pola

interaksi yang benar dilakukan oleh seorang guru kepada murid.

Bahwasanya seorang pendidik seharusnya memiliki kompetensi-

kompetensi (sifat dasar pendidik), antara lain meliputi bijaksana,

penuh kasih sayang, demokratis, mengenal murid dan

memahami kejiwaaannya, berpengetahuan luas, memahami

materi, sabar dan ikhlas. Sedangkang sikap peserta didik yang

harus dimiliki antara lain: Patuh, tabah, sabar, punya kemauan

atau cita-cita yang kuat serta tidak putus asa dan bersungguh-

sungguh dalam mencari ilmu, sopan santun, rendah diri dan

hormat pada guru, dan tugas utama seorang anak didik adalah

belajar. Fokus dalam penulisan skripsi ini adalah kajian tafsir

surat Luqman ayat 12- 19 dan surat ‘Abasa ayat 1-10. Jadi,

pendekatan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah

8 Sri Widayati, Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-qur’an (Telaah Surat

‘Abasa Ayat 1-10). Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan IAIN Salatiga 2016

Page 30: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

9

pendekatan tafsir. Metode penafsiran yang penulis gunakan

adalah metode maudhui (tematik) dan metode tahlili (telaah).9

4. Dede Hilman Firdaus dkk, yang berjudul “Implikasi Pedagogik

dari al-Qur’an surat abasa 1-10 terhadap tindakan guru dalam

menghadapi heterogonitas Murid”. Dalam pembahasn jurnal

yang dibuat oleh dede dkk, menjelaskan bahwasannnya

bagaiamana prilaku seorang guru yang ingin menjadi seorang

pendidik pada muri-muridnya. Sebagai pendidik guru

merupakan panutan bagi murid sehingga bisa memberikan

teladan yang baik dan panutan kepada siswanya. Oleh karena itu

guru harus bersifat adil terhadap siswanya, terlepas dari status

sosial, ekonomi dan rasial. Dalam hal ini penulis mengambil

esensi dari Surat Abasa ayat 1-10. Dimana disitu disampaikan

bahwa nabi tidak boleh bermuka masam ketika ada orang yang

datang ingin belajar. Dan tidak boleh memilih-milih siapa yang

akan didahului.

5. Skripsi yang ditulis oleh Lilis Mukhlisoh, “Nilai-Nilai

Pendidikan Moral dan Social dalam Al - Qur’an Surat ‘Abasa

1-10”, Penulisan skripsi ini untuk mengetahui nilai-nilai yang

terkandung dalam al qur’an surat A’basa 1-10 yaitu, nilai moral

dan sosial yang dijadikan sebagai tuntunan dalam kehidupan.

Nilai moral dan sosial merupakan nilai yang paling penting bagi

kehidupan, baik sebagai makhluk pribadi, makhluk tuhan,

maupun makhluk sosial. Nilai moral dan sosiala merupakan nilai

yang digunakan dasar sebagai tuntutan dan tujuan dalam

kehidupan manusia, berdasarkan analisis data diperoleh

9 Ahmad Irwan Irfany, Pola Interaksi Guru Dengan Murid Dalam Al-Qur'an

Surat Luqman Ayat 12-19 Dan Surat ‘Abasa Ayat 1-10, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013

Page 31: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

10

simpulan bahwa dalam al qur’an surat abasa ayat 1-10 tedapat

nilai-nilai kependidikan moral dan sosial.10

6. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sanjaya “Nilai-nilai Moral

yang Bisa Diambil dari Surah ‘Abasa”. Di dalam skripsi ini

penulis lebih fokus kepada nilai-nilai moral dalam keseharian

dalam hidup dikaitkan dengan kandungan isi ayat ‘Abasa, dan

penulis juga membahas kandungan ayat 1-10 dan pengaplikasian

nya dalam kehidupan sehari-hari. 11

Setelah menelaah beberapa literatur diatas, penulis belum

menemukan penelitian mengenai kajian tafsir Nabi bermuka masa pada

QS. ‘Abasa [80]: 1-16. Maka penulis ingin meneliti mengenai tema

tersebut.

F. Metode Penelitian

Dalam penulis ini, penulis menguraikan tentang metode yang

digunakan untuk menyelesaikan penelitian. Metode yang digunakan

adalah kualitatif yang di dalamnya berisikan tentang metode pendekatan,

metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data serta analisis

data.

1. Metode Pendekatan

Objek penelitian dalam kajian ini adalah ayat al-Qur’an. Oleh

karena itu, penulis menggunakan metode pendekatan

Pemahaman al-Qur’an. Yakni melihat bagaimana interpretasi

10 Lilis Mukhlisoh, “Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Social dalam Al-Qur’an

Surat ‘Abasa 1-10”, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Unisnu

(Universitas Islam Nahdlatul Ulama’) Jepara Tahun Ajaran 2013-2014. 11 Ahmad Sanjaya, “Nilai-nilai Moral yang Bisa Diambil dari Surah ‘Abasa”

UIN Sunan Ampel Surabaya 2014

Page 32: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

11

dan pemahaman tentang QS. ‘Abasa [80]: 1-16 dalam tafsir Ibn

Katsīr dan al-Mizan Tabataba’i

2. Metode Pengumpulan Data

Mengenai pengumpulan data, digunakan penelitian kepustakaan

(library research), yakni menelaah referensi atau literatur-

literatur yang terkait dengan pembahasan, baik yang berbahasa

asing maupun yang berbahasa Indonesia. Penelitian ini

menyangkut ayat al-Qur’an, maka sebagian besar kepustakaan

dalam penelitian ini adalah Kitab Suci al-Qur’an serta kitab

tafsir. Dan beberapa buku serta artikel-artikel terkait sebagai

penunjangnya.

Sebagai dasar rujukan untuk menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an

yang diperlukan dalam membahas skripsi ini penulis

menggunakan tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’i

3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Agar mendapatkan bahasan yang akurat, maka untuk mendapatkan

data yang diperoleh, penulis menggunakan metode pengolahan

dan analisis data yang bersifat deskriptif-analitis dan komparatif,

yaitu penelitian yang menuturkan dan menganalisa yang

pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data,

tetapi meliputi analisis dan interpretasi data kemudian dengan

mengkomparasikan kedua interpretasi data. Pada bagian ini

penulis akan menganalisa interpretasi QS. ‘Abasa [80]: 1-16

dalam tafsir Ibn Katsīr dan tafsir al-Mizan Ṭabaṭaba’ī.

G. Sistematika Penulisan

Sebagaimana layaknya sebuah penelitian ilmiah, maka penelitian

ini penulis susun dengan sistematika sebagai berikut:

Page 33: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

12

Bab pertama, Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang

penelitian, pokok masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua Tafsir Ibn Katsīr serta kitab al-Mizan Ṭabaṭaba’ī. Pada

bab ini membahas tentang profil pengarang, pendidikan, karya-karya,

gambaran umum kedua tafsir, metodologi penafsiran dan corak

penafsiran.

Bab ketiga Tinjauan Sifat-sifat Nabi yang ideal. Pada bab ini

membahasa seputar akhlak mulia seorang Nabi dan moralitas yang

menjadi repsentatif dari Nabi untuk menjadi Uswah Hasanah bagi

umatnya.

Bab keempat Interpretasi dalam kitab Ibn Katsīr dan al-Mizan

Ṭabaṭaba’ī QS. ‘Abasa [80] 1-16. Pada bab ini memaparkan penjelasan

di antara kandungan makna QS. ‘Abasa [80] 1-16, membahas Asbāb al-

Nuzūl, Munāsabah dan membahas kedua mufasīr dan

mengkomparasikan kedua pendapat dengan kesimpulan peneliti.

Bab kelima menjadi akhir pembahasan yaitu penutup. Pada bab ini

akhir dari pembahasan yaitu Kesimpulan dan saran.

Page 34: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TAFSIR IBN KATSĪR SERTA AL-MIZAN

ṬABAṬABA`Ī

A. Biografī Ibn Katsīr

Ibn Katsīr sebagai panggilan populer di kalangan kajian tafsir.

Nama Aslinya adalah al-Imām al-Hāfīdz ‘Imād al-Dīn, Abū Fīdā’

Ismā’il b. ‘Umar b. Katsīr b. Dau’ b. Katsīr b. Zar’i al-Baṣarī Al-Qaisi

Al-Qurasyi Al-Buṡrawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafī’i.1 Dari nama ini

beliau bersuku Qurasy yang tinggal di daerah Damaskus dan

bermadzhab fīkih Syafī’ī. Pada masa kanak-kanak, Ibn Katsīr dipanggil

dengan sebutan Ismā’il. Ia lahir di desa Mijdal dalam wilayah Busra

(Basrah), tahun 700 H./1301 M.2 Ayahnya bernama al-Khatib Syihab

al-Din ‘Amr Ibn Katsīr, beliau adalah seorang pemuka agama dalam

bidang fīqih.3

Ia ditinggal ayahnya yang menjadi yatim berumur 4 tahun. Ia juga

merupakan salah satu mufassir dan ahli hadis terbaik di masanya.

Tinggal di keluarga yang religius, sosok ayah bernama ‘Umar b. Katsīr

1 Muhammad b. ‘Alī b. Ahmad al-Dawūdī Syamsyuddīn, Ṭabāqat Al-

Mufassirīn (Libanon: Bairut, Dār al-Kitāb al-‘Alamiyyah), Juz 1, h. 110. Lihat juga

Muhammad Husain al-Dzahabī, Tafsīr wa al-Mufassirūn (Qāhirah: Maktabah

Wahbah), Juz 1, h. 173. Dan Ahmad b. ‘Alī b. Muhammad b. Hajar al-‘Asqalānī

Syihāb al-Dīn, al-Durar al-Kāminah fī A’yān al-Mi’āh al-Sāminah (Dāirah al-Ma’ārīf

al-‘Utsmaniyyah), Juz 1, 399 2 ‘Umar Ridā Kahlah, Mu’jam al-Muallafīn ( Muassasah al-Risālah), Juz 1,

283 3 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik

(Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), Cet. Ke-1, 35

Page 35: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

14

adalah seorang fakih, sastrawan, ahli syair, dan katib.4 Dia tinggal di

Damaskus dan belajar kepada banyak ulama di sana. Ibn Katsīr yang

juga pernah belajar di Mesir ini diakui kealimannya oleh para ulama

sezamannya maupun sesudahnya. Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan

bahwa Ibn Katsīr adalah sosok yang disibukkan dengan hadis, menelaah

matan-matan dan para rijalnya, memiliki ingatan yang sangat kuat dan

melahirkan karya-karya bernas di bidang ilmu al-Quran, tafsir, dan

hadis. Di antara karya yang telah dihasilkannya adalah Tafsīr al-Qur’ān

al-‘Aẓīm; al-Bidāyah Wa an-Nihāyah; Jamī’ Al-Masānid, Ikhtiṣar

‘Ulūm al-Hadīṣ, Risālah Fī al-Jihād, dan lain-lain.

Dalam usia masih kecil, ia pergi ke Damaskus bersama

saudaranya untuk belajar ke beberapa ulama di sana. Di sanalah ia mulai

belajar. Guru pertamanya adalah Bahr al-Din al-Farazi (660-729

H./1261-1328 M.), tidak lama setelah itu ia berada di bawah pengaruh

Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), untuk jangka waktu cukup panjang.

Sebagian ulama menganggap beliau sebagai salah seorang murid Ibn

Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan

gurunya dalam masalah fīqih dan tafsir, sampai-sampai beliau

mengidentikkan diri dengan gurunya dalam masalah talak tiga dengan

satu lafaz.

Di antara guru-gurunya adalah Syaikh Burhanuddīn Ibrāhīm

‘Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan Ibn al-Farkah,

syaikh Kamāl al-Dīn b. Qādī Syuhbah, Isa b. Muth’im, syekh Ahmad b.

Abī Thālib al-Muammari (w. 730), Ibn Asākir (w. 723), Ibn Syayrazi,

4 Ahmad b. ‘Alī b. Muhammad b. Hajar al-‘Asqalānī Syihāb al-Dīn, al-Durar

al-Kāminah fī A’yān al-Mi’āh al-Sāminah (Dāirah al-Ma’ārīf al-‘Utsmaniyyah), Juz

3, 261

Page 36: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

15

Syaikh Syamsuddin al-Dzahabi (w. 748), Syaikh Abū Mūsa al-Qurafī,

Abu al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishāq b. al-Amadi (w. 725), Syaikh

Muhamad b. Zurad. Kemudian dia juga berguru kepada Syekh

Jamaluddin Yūsuf b. Zaki al-Mizzī (w. 742).

Pada usia muda, ia telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an,

dilanjutkan memperdalam ilmu qirā’at, dari studi tafsir dan ilmu tafsir

dari Syaikh al-Islam b. Taimiyah (661-728 H.). Di samping ulama lain,

metode penafsiran Ibn Taimiyah menjadi bahan acuan pada penulisan

tafsir Ibn Katsīr. Dalam bidang tafsir ia diangkat menjadi guru besar

oleh gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus.5

Selama hidupnya Ibn Katsīr didampingi seorang istri yang

dicintainya, bernama Zainab. Ibn Katsīr dinikahkan dengan putrinya al-

Mizzi salah satu gurunya yang mengarang kitab pengarang kitab

“Tahżīb al-kamāl” dan “Aṭrāf al-Kutūbi al-Sittah” dan dikaruniai 5

orang anak, dan seorang puteri.6 Setelah melakukan kegiatan rihlah studi

keilmuan dengan penuh perhatian yang besar dalam berbagai disiplin

dunia keilmuan, akhirnya pada tanggal 26 Sya’ban 744 H/ Februari 1373

M. Ibn Katsīr meninggal dunia di Damaskus dan dimakamkan di

pemakaman sufī, di samping gurunya Ibn Taimiyah.

Sedangkan hasil pemikiran yang dimuat dalam tulisan di

antaranya:

5 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar

Van Hoeve, 1994), 157. 6 Nama putrinya adalah Asmā’ yaitu seorang ahli hadis, lihat. Muhammad

b. ‘Abd al-Rahman al-Sakhāwī Syams al-Dīn, al-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl al-Qur’an al-Tāsi’ (Bairūt: Dār al-Jail, 1992) jilid 12, 6.

Page 37: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

16

a. Bidang tafsir : Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, dikenal dengan

sebutan Tafsir Ibn Katsīr yang diterbitkan pertama kalinya di

Kairo pada 1342 H./1923 M. Fada’il al-Qur’an, yang berisi

ringkasan sejarah al-Qur’an.7

b. Bidang hadis: Kitab Jami’ al-Masanad wa al-Sunnah, Takhrij

al-Hadits Adillah al-Tanbih li ’Ulum al-Hadits, al-Kutub al-

Sittah. al-Takmilah fī Ma’rifat al-Sighat wa al-Du’afa wa al-

Mujahil, dan Syarh Sahih al-Bukhari.

c. Bidang fīqih: al-Jihad fī Talab al-Jihad, al-Siyasah al-

Syar’iyyah Kitab al-Ahkam, kitab fīkih yang berisikan referensi

pada al-Qur’an dan al-Hadis. al-Ahkam ’ala Abwab al-Tanbih,

kitab ini merupakan kritik dan komentar dari kitab al- Tanbih

karya al-Syirazi.

B. Biografī Ṭabaṭaba`ī

Ṭabaṭaba’ī adalah nama yang populer bagi penulis kitab al-Mizan

fī Tafsir al-Qur’an seorang ulama terkemuka pada masanya. Nama

lengkapnya adalah Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī.8 Penisbatan

Ṭabaṭaba’ī ini adalah merujuk pada kakeknya, yakni Ibrahim Ṭabaṭaba’ī

bin Ismail al-Dibaj.9 Nasab beliau dari Jalur bapak sampai pada Imam

Hasan al-Mujtaba, sedangkan dari jalur ibu sampai pada saudaranya

Imam Hasan, yakni Imam Husain, oleh karena itu, beliau memiliki

7 Nur Faizin Maswan. Tafsir Ibn Katsir; Membedah Khazanah Klasik

(Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), cet. Ke-1, h. 42 8 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizan fī Tafsir al-Qur’an, hlm. A 9 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizan fī Tafsir al-Qur’an, A.

Page 38: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

17

nisbat nama lengkap Muhammad Husain al-Hasani al-Husaini al-

Ṭabaṭaba’ī.10

Beliau lahir pada akhir 1321 H, tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321

H atau bertepatan dengan 1892 M. Beliau asli keturunan Iran ( waktu itu

masih menggunakan nama persia) tepatnya di desa Shadegan, Propinsi

Tibriz atau Tabriz (propinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu kota pada

Dinasti Safawi). Beliau lahir dari keluarga ulama keturunan Nabi yang

selama 14 generasi telah menghasilkan ulama-ulama yang terkemuka di

Tibriz, termaksud Ṭabaṭaba’ī sendiri.11

Ṭabaṭaba’ī juga mendalami kulifīkasi fīlsafat Islam tradisional, al-

Sifā oleh Ibnu Sina, Asfār oleh Mulla Shadra dan Tamhīd al-Qawā’id

oleh Ibnu Turkah dan Sayyid Husain Badkuba’i. Ia juga murid dari

Sayyid Abul Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zanusi dari Teheran.

Ia telah mencapai tingkat ilmu Ma’rifah dan Kasyyaf. Beliau

mempelajari ilmu ini dari seorang guru besar Mirza ‘Ali al-Qādhi.12

Kemudian Ṭabaṭaba’ī meninggal dunia di Aban pada tanggal 18

Muharram 1412 H / 1981 M.13

Ia juga mendalami kajian ilmu Fīqih dalm Ushul Fīqih, dalam hal

ini ia berguru kepada Muhammad Husain al-Na’ini dan Syekh

Muhammad Husain al-Kambani, sedang fans ilmu falsafah beliau

10 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Tafsir al-Bayan fī al-Muwafaqah baina al-

Hadis wa al-Qur’an (Lebanon: Beirut), 21 11 Sayyid Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Inilah Islam, Upaya Memahami

Seluruh Konsep Islam Secara Mudah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, 15 12 Sayyid Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Inilah Islam; Upaya Memahami

Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, 17. 13 Sayyid Husein Nasr, kata pengantar, dalam Thabathaba‟i, Islam Syi’ah,

(Bandung: Mizan, 1990), 8.

Page 39: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

18

belajar kepada Sayyid Husain al-Badakubi. Beliau juga belajar ilmu

riyadhoh kepada Sayyid Abi Qasim al-Khunisari, dan fans ilmu akhlaq

kepada Syekh Mirza Ali al-Qadhi.14 Tidak tercatat ada guru lain di luar

Syi’ah yang membimbing keilmuan beliau. Dalam perjalanan

keilmuannya, Ṭabaṭaba’ī tidak pernah jauh dari negerinya Iran. Kota-

kota di Iran seperti Qum, Tibriz dan Teheran adalah di antara kota yang

turut membentuk karakter keilmuannya hingga memiliki pandangan

yang berpengaruh kepada masyarakat Syi’ah di Iran.15 Ṭabaṭaba’ī

mewakili dari golongan ulama dan intelektual dari ulama syiah yang

memiliki pengaruh besar. Ia telah mengabungkan perhatian dalam

bidang fīkih dan tafsir al-Qur’an dengan fīlsafat juga teosofī yang

mewakili satu penafsiran tentang Syi’ah yang lebih universal. Dalam

golongan tradisional, Ṭabaṭaba’ī mempunyai penguasaan yang sangat

menonjol baik mengenai pengetahuan syari’at maupun lahiriyah dan

sekaligus beliau seorang fīlosof muslim tradisional terkemuka.16

Setelah mempelajari ilmu naqliyah dan aqliyah, karena peran dan

pengaruh sangat penting dalam pendidikan maka perlu disebutkan

nama-nama beberapa gurunya. Beliau belajar Fīqh dan Ushul Fīqh

kepada Mirza Muhamad Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain

Isfahani. Kepada mereka berdua, Ṭabaṭaba’ī belajar selama sepuluh

tahun sehingga ia sangat menguasai bidang ini. bahkan menjadi seorang

mujtahid yang terkenal dan berpengaruh dalam bidang sosial politik.

14 Ahmad Fauzan, Manhaj Tafsir al-Mizan Fī Tafsir al-Qur’an Karya

Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Al-Tadabbur, Vol. 03, No. 2 Oktober 2018, 122. 15 Khairunnas Jamal. (2011). Pengaruh Pemikiran Husain Ṭabaṭaba’ī dalam

Tafsir al-Mishbah‛, Jurnal Ushuluddin Vol. XVII, No. 2, 20. 16 Muhammad Husein Ṭabaṭaba’ī. (1993)), Islam Syi’ah; Asal Usul dan

Perkembangannya (Jakarta: PT. Temprint), 19

Page 40: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

19

Pada waktu bersamaan Ṭabaṭaba’ī juga mempelajari bidang gramatika,

sintaksis, retorika baik itu ushul fīqh, mantiq, fīlsafat serta teologi.

Sehingga kajian itu menutup kajian bacaannya dalam bidang selain

fīlsafat dan ilmu keruhanian.

Akan tetapi, hal itu bukan jalan hidupnya. Dia sangat tertarik

kepada ilmu ’aqliyah. Dia belajar dengan penuh ketekunan cabang ilmu

ini yang pada jantungnya terdapat fīlsafat Islam. Dia mulai mencari

guru-guru tertbaik dalam bidang ini, yaitu orang-orang yang telah

melestarikan kehidupan fīlsafat Islam di Iran. Dia mengkaji al-Syifā

karya Ibnu Sina, Asfar karya Mulla Shad al-Din al-Syirazi, Tamhīd al-

Qawāid karya Ibnu Turkah dan Tahdzīb al-Akhlāq karya Ibnu

Maskawaih. Literatur fīlsafat tersebut dipelajarinya di bawah bimbingan

seorang fīlosof terkemuka saat itu, Sayyid Husain Badkuba’i. Di

samping itu, dia mengkaji matematika tradisional dengan guru Sayyid

Abu al-Qasim Khawansari.

Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia

II. Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu,

Ṭabaṭaba’ī pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa

Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat

inilah Ṭabaṭaba’ī menghabiskan musim panasnya, menyingkir dari

panas. Di kota Qum ini, ia mulai aktif dalam aktivitas keilmuan sampai

dengan wafatnya. Beliau wafat pada waktu subuh hari Ahad tanggal 18

Muharram pada tahun 1402 H, dan dimakamkan di daerah Qum Pada

tahun 1412 H / 1981 M.17 ketika ia pindah ke kota Qum ia menjadi

17 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī. (2006)), Tafsir al-Bayan fī al-Muwafaqah

baina al-Hadis wa al-Qur’an, 24.

Page 41: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

20

pengajar di kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia menitikberatkan

pada pegajaran Tafsir al-Qur‟an, Fīlsafat dan Tasawwuf. Dengan ilmu

yang luas dan penampilannya yang sangat sederhana, membuatnya

mempunyai daya tarik khusus bagi muridnya. Beliau menjadikan ajaran

Mulla Shadra sebagai kurikulum penting.

Aktivitas keilmuan Ṭabaṭaba’ī, memberikan identifīkasi bahwa

dia telah meberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran.

Beliau telah mencoba meweujudkan suatu intelektual baru diantara

kelompok- kelompok yang berpendidikan modern. Kelompok elit baru

tersebut akan diperkenalkan dengan intelektualitas Islam seperti juga

dengan dunia modern. Banyak mahasiswanya yang berhasil tampil

sebagai tokoh intelektual gemilang. Sebagai seorang mufassir besar dan

fīlosuf sekaligus sufī, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama

yang intelektual seperti Mutahhari seorang Guru Besar di Universitas

Teheran dan Sayyid Jalāluddin Asytiyāni seorang Guru Besar di

Universitas Masyhad.18

Telah diketahui bahwa Ṭabaṭaba’ī merupakan tipe ulama atau

intelektual Syiah kontemporer yang mengusai berbagai cabang ilmu.

Ṭabaṭaba’ī merupakan salah satu ulama yang ahli dalam bidang tafsir

dengan latar belakang ajaran Syi’ah semasa menutut ilmu, maka sedikit

banyak beliau memasukkan dan membawa ajaran Syi’ah ke dalam

tafsirnya.19 Tetapi tafsirnya ini tidak hanya tersebar di kalangan muslim

Syi’ah, namun juga tersebar luas di kalangan muslim Sunni. Di antara

18 Ṭabaṭaba’ī, Tafsir al-Mizan; Mengupas Ayat-Ayat Kepemimpinan, (Jakarta:

CV. Fīrdaus, 1991), I-II 19 Khairunnas Jamal. (2011). Pengaruh Pemikiran Husain Ṭabaṭaba’ī dalam

Tafsir al-Mizan, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 2, 204.

Page 42: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

21

faktor penyebab diterimanya tafsir ini di kalangan muslim Sunni adalah

karena tafsir ini mengutamakan penggunaan sumber bi al-ma’sur

sebagai sumber penafsirannya. Ciri-ciri dalam tafsir Syiah memiliki

penafsiran dan penekanannya yang menjadikan cabang tafsir ini

memiliki khas serta beberapa karakteristik yang menonjol dalam

perkembangannya. Salah satu prinsip penting dalam tafsir Syiah adalah

bahwa al-Qur’an harus terlihat selalu memiliki relevansinya atau

memungkinkan penerapannya bagi orang-orang dan keadaan-keadaan

tertentu. Prinsip lainnya menyiratkan kegandaan makna seperti muhkam

dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, dhahir dan batin, dan ta’wil dan

tanzil.20

Metode dan corak penafsiran Syi’ah juga beragam, apabila

dibatasi membatasi pembicaraan pada cabang Syi’ah maka yang

terpenting seperti Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiah (Syi’ah Itsna

Asyariyah dan Syi’ah Ismailiyah). Kedua kelompok Syi’ah ini masih

memiliki pengikut dan pendukung sampai saat ini. Kaum Syi’ah Itsna

Asyariyah sekalipun menyeleweng, namun memiliki banyak tokoh-

tokoh pengarang tafsir yang kitab-kitabnya memenuhi perpustakaan

Islam. Begitu juga dengan Syi’ah Zaidiyah, mereka juga memiliki

tokoh-tokoh tafsir yang kitab-kitabnya telah diakui oleh Ahlu Sunnah,

seperti kitab tafsir karya Imam Syaukani yaitu Fathul Qadir. Metode

penafsiran yang dilakukan oleh Syi’ah Itsna Asyariyah adalah selalu

berupaya sekuat tenaga untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah SWT

dengan prinsip-prinsip mereka. Umpamanya saja tentang masalah

imamah, mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan perkataan yang

20 Mahmud Ayub (1991), Qur’an dan Para Penafsirnya (Jakarta: Pustaka

Fīrdaus), 51

Page 43: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

22

meyakinkan serta nash-nash dari Rasulullah SAW mengenai keimaman

Ali dan imam-imam selanjutnya, tetapi mereka juga berusaha

menundukkan ayat-ayat Allah s.w.t. kepada pendapat tentang wajibnya

keimaman Ali setelah Rasulullah s.a.w. secara langsung tanpa

terputus.21

Sedangkan pandangan mereka mengenai pengertian tafsir bi al-

ma’tsur adalah keterangan-keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an

itu sendiri, mengenai ayat-ayatnya, apa-apa yang dikutip dari Rasulullah

SAW, serta apa-apa yang dikutip dari imam-imam dua belas. Menurut

mereka, ucapan-ucapan para Imam yang maksum termasuk dalam

kategori sunnah. Ucapan-ucapan para imam dianggap sebagai hujjah

dan tak ubahnya seperti perkataan Nabi Muhammad SAW karena

mereka berbicara dengan bimbingan dari Rasulullah SAW sebagaimana

Nabi berbicara (menyampaikan agama) dan dibimbing oleh Allah

SWT.22 Adapun metode penafsiran yang digunakan oleh Syi’ah

Ismailiyah di dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan menyatakan

bahwa, al-Qur’an itu mempunyai dua makna, yaitu makna lahir dan

makna batin. Sedangkan yang dikehendaki adalah makna batinnya,

karena yang lahir itu sudah cukup dimaklumi dari ketentuan bahasa.

Adapun nisbat antara yang batin dan yang lahir itu adalah seperti isi

dengan kulitnya.23

21 Mahmud Basuni Faudah (1987), Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan

Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka), 135 22 Mahmud Basuni Faudah (1987), Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan

Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka), 136. 23 Mahmud Basuni Faudah (1987), Tafsir- tafsir Al- Quran Pengenalan dengan

Metodologi Tafsir, 221.

Page 44: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

23

Prinsip-prinsip dasar Syi’ah ini meliputi 5 hal, yakni tauhid

(penegasan akan keEsaan Allah), nubuwwah (yang berahir dengan Nabi

Muhammad s.a.w. dan al-Qur’an sebagai Risalah Allah yang terakhir),

ma’ad (kehidupan di akhirat), ‘adl (keadilan Allah), dan imamah.24

Penguasaannya terhadap berbagai cabang ilmu tersebut terlihat

dari berbagai karya-karya yang ditulisnya yang di antaranya

sebagaimana tercamtum dalam muqodimah al-Mizan di antarnya:

1. Ushūl al-Falsafah

2. Bidāyah al-Hikmah fī al-Falsafah

3. Ta’liqāt ‘Ala Kitab al-Asfar fī al-Falsafah li al-Fīlosūf

4. Ta’liqāt ‘ala Kitab Ushul al-Kafīy

5. Risalah fī al-Asmā’ wa al-Shifat

6. Risalah fī al-I’tibarāt

7. Risālah al-I’jaz

8. Risālah fī al-Af’al

9. Risalah fī al-Insan ba’d al-Dunya

10. Risalah fī al-Insān fī al-Dunya

11. Risālah fī al-Insan Qabl al-Dunya

12. Risālah fī al-Burhān, Risālah fī al-Tahlāl

13. Risālah fī al-Tarkīb

14. Risālah fī al-Dzat

15. Risālah fī ‘Ilmu al-Imam

16. Risalah fī al-Quwwah wa al-Fī’l

17. Risālah fī al-Mustaqat

18. Risālah fī al-Mughalatah

24 Waryono Abdul Ghafur (2008), Millah Ibrahim dalam Al-Mizan fī tafsir al-

Qur’an (Yogyakarta: Bidang Akademik), 75.

Page 45: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

24

19. Risālah fī al-Nubuat wa al-Manamat

20. Risālah fī Nadmi al-Hukm

21. Risālah fī al-Wahy

22. Risālah fī al-Wasā’it

23. Risālah fī al-Wilāyah

24. Risālah fī al-Islām

25. Al-Qur’an fī al-Islām

26. Al-Mar’ah fī al-Islām

27. Mandzumah fī Qawā’id al-Khath al-Farizy

28. Al-Mizān fī Tafsir al-Qur’an.

Ṭabaṭaba’ī juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel

yang hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal

Maktaba Tasyayyu’, Maktab Islāmi, Ma’ārif Islām dan dalam koleksi-

koleksi seperti The Mulla Sadra Commermoration Volume dan

Marja’iyyāt wa Ruhanīyāt.

C. Karakteristik Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī

1. Metodologi Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī

Dalam kajian tafsir ada beberapa metode yang digunakan

para ulama tafsir, sebagaimana yang diregulasikan oleh al-

Farmawi, metode penafsiran diklasifīkasikan menjadi empat

bagian antaranya: Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū’ī25.

Dalam tafsir Ibn Katsīr tendensius menggunakan metode

analitis (tahlili). Metode tahlili juga banyak digunakan oleh

karya-karya tafsir yang besar, di antaranya kitab Tafsir al-

Ṭabari, Tafsir Ruh al-Ma’ani, Tafsir al-Maraghi dan lain-lain.

25 Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidayah Fī ala Tafsir al-Mauḍu’iy (Mesir :

Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25.

Page 46: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

25

Penulis berkesimpulan bahwa metodologi tafsir Ibn Katsīr

dipandang dari segi tafsirnya termasuk dalam kategori tahlili,26

yakni, metode analitis yang menginterpretasikan ayat-ayat al-

Qur’an dengan menjelaskan segala aspek yang terkandung di

dalam ayat-ayat yang di tafsirkan serta menerangkan makna-

makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian

hegemoni dan tendensius mufasir yang menafsirkan ayat-ayat

tersebut.27

Sedangkan metodologi yang digunakan dalam tafsir al-

Mizān Ṭabaṭaba’ī tidak jauh beda dengan tafsir Ibn Katsīr.

Penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Mizān karya Ṭabaṭaba’ī

juga tendensius menggunakan metode tahlili. Metode tahlili

yang diterapkan Ṭabaṭaba’ī dalam menafsirkan al- Qur’an

terlihat jelas. Ṭabaṭaba’ī menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam

ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-

makna yang tercakup diantaranya pengertian kosa kata, sebab-

sebab turunnya, konotasi kalimatnya, kaitannya dengan ayat-

ayat yang lain serta kaitannya dengan pendapat sahabat, tabi’in

dan ahli tafsir lainnya.

2. Corak Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī

26Metode Tahlili, Berasal dari حلل-يحل ل, Tahlili yang berarti mengurai atau

menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan

memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan

bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi’i

(parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Al-Karīm, V, (pengantar). 27Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka

pelajar,2000), Cet. II, 31.

Page 47: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

26

Biasanya untuk mengetahu corak penafsiran, terlebih

dahulu kita harus mengetahu isi kandungan ketika menafsirkan

ayat, apakah dihegemonikan dengan Fīqhī, ilmī, Adabī,

Tabiyah, Sufīstik, dan lainnya. Menjadikan hegemonitas ketika

menafsirkan maka akan mempengaruhi di dalam penafsiran.

Tafsir Ibn Katsīr disepakati oleh para ahli termasuk dalam

kategori Tafsir al- Ma’tsur. Kategori atau corak Ma’tsur yaitu

penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis

Nabi yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasakan

sulit atau penafsiran dengan hasil ijtihad para sahabat, atau

penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.28

Sedangkan corak dalam tafsir al-Mizan Ṭabaṭaba’ī

adalah Corak penafsiran kajian-kajian falsafī, ilmiah, tarikh

(sejarah), sosial dan moral (akhlak).

3. Sumber Tafsir Ibn Katsīr dan Ṭabaṭaba’ī

Dalam kajian tafsir dalam menentukan sumber tafsir secara

universal diklasifīkasikan menjadi dua bagian di antaranya:

pertama, sumber al-Riwayah yaitu sumber yang merujuk kepada al-

Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat tabi’in. Kedua, sumber

al-Dirāyah yaitu pendapat yang telah dikutip oleh Ibn Katsīr dalam

penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifīkasi dari

sumber riwayah juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari

para mutaakhkhirin sebelum atau seangkatan dengannya. Terdapat

pula pada sumber ini karya ulama mutaqaddimin.

28 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawḍu’iy, penterjemah Suryan A.

Jamrah, (Jakarta: Rajawali pers, 1994), 13.

Page 48: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

27

Hal ini merupakan keterbukaan Ibn Katsīr terhadap karya-karya

dari ulama mutaakhkhirin yang berorientasi ra’y. Maksudnya dia

tidak membatasi pada kutipan karya tafsir ma’tsur saja, namun juga

memasukkan pendapat para ulama tafsir yang lahir dari pengaruh

perkembangan dan kemajuan perkembangan ilmu dalam Islam.

Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam tafsir

Ibn Katsīr Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini

berasal dari sumber kedua (dirayah), karena walaupun Ibn Katsīr

hafīzh dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis dan

menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip

riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifīkasi dari pada

menyampaikan hasil periwayatannya. Namun, karena materi

tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut

adalah sumber riwayah. Sebagai ulama mutaakhkhirin yang sudah

jauh rentang masanya dengan pemilik sumber riwayah adalah suatu

sikap yang berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukan

riwayat tafsir dengan kitab modifīkasi, sekalipun menguasai

periwayatan.

Beberapa literatur yang digunakan Ṭabaṭaba’ī dalam menyusun

tafsirnya mencapai 135 judul meliputi buku, kamus, majalah dan

koran dan telah dikelompokkan oleh al-Usiy menjadi beberapa

kategori, yaitu:

a. Literatur tafsir yang beliau gunakan meliputi tafsir klasik

hingga modern dari berbagai aliran, seperti tanwirul Miqbas

yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, al-Kasysyāf karyanya

al-Zamakhsyarī, dan kitab-kitab tafsir lainnya dari berbagai

aliran.

Page 49: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

28

b. Kamus bahasa seperti al-Shihah karya Ismail bin Hammad

al-Jauhari, Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manḋur, dan kamus-

kamus bahasa lainnya.

c. Kitab-kitab hadis dan rijalul hadis dari kalangan Sunni dan

Syiah seperti, Tahżibu al-Tahżīb karya Ibnu Hajar al-

‘Asqalani, al-Ihtijaj karya Tibrisy, dan lain-lain.

d. Kitab-kitab kitab Suci seperti Injil (perjanjian Lama dan

Baru), Avesta (kitab suci agama Zoroaster), Risalah Paulus,

Taurat, Sawa’i (salah satu kitab suci kristen Ortodok

Romawi), dan Weda.

e. buku-buku sejarah baik yang ditulis oleh orang Islam

maupun non Islam, seperti Tarikh al-Ṭabari karya Ibnu jarir

al-Ṭabari, Tarikh Tamadun Islam karya Kristor Liang, lain-

lainnya.

f. pengetahuan umum, seperti al-Umm karya al-Syafī’i, Ihya

Ulumuddin karya al-Ghazali, dan kitab-kitab lainnya. Dan

ketujuh adalah koran dan majalah yang dikutib Ṭabaṭaba’ī,

terutama mengenai beberapa peristiwa dan informasi ilmiah,

seperti koran Ithila’iyyah al-Iraniyyah, dan lain

sebagainya.29

4. Kelebihan dan kekurangan Tafsir Ibn Katsīr dan

Ṭabaṭaba’ī

Untuk melihat kelebihan dan kekurangan suatu tafsir maka cara

yang paling fundamental adalah melihat pola pikir metodologi yang

29 Ahmad Fauzan, Manhaj Tafsir al-Mizan Fī Tafsir al-Qur’an Karya

Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, Al-Tadabbur, Vol. 03, No. 2 Oktober 2018, 131.

Page 50: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

29

diaktualisasikan dalam tafsir masing-masing. Dalam tafsir Ibn

Katsīr kelebihan bisa diklasifīkasikan beberapa poin:

a. Isi substansi tafsir tersebut tidak hanya tafsir yang

memberikan refernsi bi al-ma’tsur, yang mengakumulasikan

riwayat serta khabar. Tapi beliau juga mengakumulasikan

referensi yang lain.

b. Menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan

rahasia yang dalam dengan melihat keserasiannya,

keselarasan lafadznya, kesimetrisan uslubnya serta maksud

tujuan maknanya.

c. Menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat

dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat

tersebut dari ṣahīh dan dha’īf, dengan mengemukakan sanad

serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa

ta’dīl.30 Pada kebiasaannya dia mentarjih aqwal (pendapat)

yang sahih dan menda’ifkan riwayat yang lain.

d. Keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai

kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibn Katsīr ahli tafsir,

tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat

mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia

menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan

30 Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi

yang merusak sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang

mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak

riwayatnya. Sedangkan al-Adl’ secara terminology yaitu orang yang tidak memiliki

sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperawiannya. Lihat. ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul

Al-Hadits, Terj. Qodirun dan Ahmad Musyafīq. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003),

233.

Page 51: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

30

akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat

yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia

ataupun di akhirat kelak.

e. Jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta

menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal

kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil.

Adapun kekurangan dalam tafsir Ibn Katsīr adalah di antaranya

masih terdapat hadits dha’if dan pengulangan hadits shahih

terdapatnya sejumlah Israilliyat, sekalipun ia mengingatkanya,

namun tanpa penagasan dan penyelidikan. Di dalamnya

disebutkan juga khabar-khabar yang sanadnya tidak shahih,

kemudian tidak dijelaskan bahwa ia tidak shahih. bercampunya

yang shahih dan yang tidak shahih, dan penukilan perkataan dari

para sahabat dan tabiin tanpa isnad dan tidak konfīrmasi.

Sedangkan kelebihan tafsir Tabatab’i di antaranya adalah:

a. Dalam menafsirkan al-Qur’an dengan memberikan referensi

disiplin ilmu yang begitu banyak mulai dari yang

berhubungan dengan agama sampai dengan ilmu-ilmu

umum maka dalam penafsirannya banyak ilmu-ilmu yang

dapat menunjang dalam penafsiran ayat tersebut terhadap

Al-Qur’an itu sendiri.

b. teliti dalam menukil riwayat baik itu yang dinukil dari

Rasulullah, Sahabat, maupun dikalangan tabi’in itu sendiri.

c. mengambil sesuatu yang bermanfaat saja dalam kitab-kitab

yang lain.

Page 52: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

31

d. melakukan tarjih atau mengungkapkan posisi pendapat

beliau setiap selesai penafsiran ayat dengan menyebutkan

alasan-alasannya.

e. hegemoni ideologi dipengaruhi oleh Syi’ah akan tetapi

penafsirannya untuk memperkuat posisi syi’ah itu tidak

terlalu karena ia juga membanding-bandingkan dengan

Sunni.

Adapun kelemahan Tafsir al-Mizan di antaranya:

a. tidak menyebutkan sanad hadis secara sempurna akan tetapi

cukup menyebut sumber pertamanya meskipun terkadang

menyebutnya hadis yang terkait dengan fadhilah-fadhilah

surah tidak disebutkan.

b. fanatisme terhadap ideologi aqidah Syi’ah.

c. dalam tafsirnya lebih banyak merujuk kepada pendapat dan

kitab-kitab para ulama Syiah.31

31 Ahmad Fauzan, Manhaj Tafsir al-Mizan Fī Tafsir al-Qur’an, 131-132.

Page 53: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

30

BAB III

TINJUAN SIFAT IDEAL NABI MUHAMMAD SAW

A. Akhlak Mulia Seorang Nabi

Derivasi Akhlak berakar kata dari خلق yaitu budi pekerti, tingkah

laku dan moral.1 Secara terminologi (istilah), di dalam ensiklopedi Islam

akhlak didefinsikan sebagai keadaan yang melekat pada jiwa manusia

yang darinya lahir suatu perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses

pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Menurut Anis Matta, akhlak

adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar

dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk perbuatan dan perilaku yang

bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.2

Menurut Imam al-Ghazali (w. 450 H) akhlak diartikan sebagai:

اخللق عبارة عن هيئة يف النفس الراسخة عنها تصدر األفعال بسهولة و يسر من غري حاجة ايل فكر وروية

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan

tindakan-tindakan dengan mudah dan tidak memerlukan pemikiran atau

pertimbangan (terlebih dahulu).3

Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, mendefenisi tentang akhlak

sebagai:

اعتاد ت شيأ فعادهتا عرف بعضهم اخللق أبنه عادة اإلرادة يعين أن اإلرادة اذا هي املسماة ابخللق

Ia mnjelaskan bahwa: sebagaian kelompok mmberikan definisi

akhlak, bahwa yang disebut akhlak merupakan suatu kehendak yang

1 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 11. 2 Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam (Jakarta: Al-‘Itishom Offset,

2006), cet.III, 14.

3 Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dūn (Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.), Juz 3, 53.

Page 54: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

31

dibiasakan. Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu

dinamakan akhlak.4

Dari diktum definisi yang dijelaskan sebelumnya, hemat penulis

akhlak adalah tindakan atau perbuatan manusia yang bersumber dari sifat-

sifat yang telah menjadi karakter kebiasaan di dalam jiwanya, baik itu

perbuatan baik (terpuji) atau perbuatan buruk (tercela). Adapun klasifikasi

akhlak terdiri dari dua bagian, di antaranya akhlak karimah atau akhlak

mahmudah (terpuji) dan akhlak mazmumah (tercela). Akhlak mahmudah

merupakan salah satu tanda kesempurnaan iman yang dimanifestasikan ke

dalam perbuatan sehari-hari dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang

sesuai dengan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-

Sunnah. Sifat terpuji, sebagaimana digambarkan dalam beberapa ayat di

dalam al-Qur’an seharusnya menjadi identitas hamba-hamba Allah SWT

pada umat ini. Mereka seharusnya menerima seruan Allah melalui ayat-

ayat al-Qur’an, mendengarkan dan menyaksikan, yang pada gilirannya

dari sanalah titik awal pergerakan mereka.5 Selain itu, dengan

mengaktualisasikan akhlak terpuji ini dapat membantu kita mendapatkan

kesempurnaan hidup, diantaranya mencakup sifat jujur, melakukan

kebaikan, merealisasikan amanah, menepati janji, tawadu, berbakti kepada

orang tua.

Sedangkan akhlak madzmumah merupakan akhlak yang

bertentangan dengan akhlak mahmudah yaitu melakukan perbuatan atau

tindakan yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan

menjatuhkan derajatnya sebagai manusia.6

4 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, 13. 5 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an, terj (Bandung:

Mizan, 1996), cet. I, 16. 6 Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 247.

Page 55: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

32

Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang akhlak yaitu

dalam QS. al-Nahl [16]: 90

هى عن ٱلفحشاء وٱلمنكر و حسـن وإيتاى ذی ٱلقرب ويـنـ مر بٱلعدل وٱإلٱلبـغی إن ٱلل ی

يعظكم لعلكم تذكرون Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari

perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran

kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Ayat ini memberikan interpretasi tentang akhlak mahmudahi, seperti

berbuat adil (al-adl), melakukan kebajikan (al-ihsān). Sedangkan larangan

melakukan tindakan akhlak madzmumah, seperti larangan membuat

kemungkaran (al-munkar), larangan berbuat dengki (al-Baghy), dan

larangan berbuat keji (al-fahsyā’).

Sedangkan ayat-ayat yang menceritakan tentang karakteristik

akhlak, dijelaskan dalam QS. Alī ‘Imran [3] 159

ن ٱلل لنت لم ولو كنت فظا غليظ ٱلقلب لٱنفضوا من حولك فٱعف فبما رحة مهم وٱستـغفر لم وشاورهم فی ٱألمر فإذا عزمت فـتـوكل على ٱلل إن ٱلل یب عنـ

ٱلمتـوكلی Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu

maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila

kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-

Nya.

Ayat ini memberikan informasi mengenai karakteristik akhlak yang

harus diaktualisasikan, pertama, seseorang hendaknya bersikap lemah

lembut yang diambil dari derivasi لنت yang artinya lemah lembut dan belas

Page 56: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

33

kasih. Kedua, saling memaafkan yang diambil dari drivasi ayat هم .فٱعف عنـ

Ketiga, setelah merealisasikan sikap lemah lembut dan saling memaafkan,

maka tindakan setelahnya adalah melakukan musyawarah. Secara

fundamen, melakukan musyawarah adalah suatu sikap yang bisa

menyelesaikan permasalahan secara bersama dalam mengambil keputusan

atau mencari jalan keluar untuk mencapai konsesus atau saling setuju.

Keempat, setelah ketiganya sudah diaktualisasikan, apapun yang terjadi

dengan yang telah kita lakukan makan sikap terakhirnya adalah

bertawakkal kepada Allah.

B. Nabi Muhammad Sebagai Representatif Uswah Hasanah

Uswatun Hasanah merupakan dua derivasi apabila dipisah maka

bentuknya أسوة dan حسنة. Pertama derivasi uswah diartikan sebagai قدوة

yaitu teladan, panutan dan contoh7. Kata uswah bisa dibaca dengan men-

dammah-kan hamzah dan bisa juga dibaca iswah dengan membaca kasrah

pada huruf hamzah. Kedua qira’at ini merupakan mutawattir. Kata ini bisa

jadi merupakan kata jadian (masdar) dari asā-ya’sū-aswan-asan.8 Kedua

derivasi hasanah yang merupakan akumulasi dari huruf ن-س-ح diartikan

sebagai kebaikan yang merupakan antonym dari kata قبح (kejelekan).9

Kedua derivasi ini apabila diakumulasikan dengan bentuk idhāfah,10

maka memiliki makna keteladanan yang baik. Uswah hasanah apabila

dikaitkan dengan kepribadi Nabi Muhammad SAW maka memiliki dua

7 Maqāyis fī al-Lughah, juz. 1, 105. 8 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),

juz 7, 639. 9 Maqāyis fī al-Lughah, juz. 2, 57. 10 Idhafah adalah kata yang bersandar. Di dalam gramatika bahasa Indonesia yaitu

sama dengan bentuk kata majemuk campuran. Lihat Muhammad Thalib, Sistem Cepat

Belajar Bahasa Arab (Jogjakarta: Media Hidayah, 2009), 39.

Page 57: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

34

fungsi yaitu, pertama dalam arti kepribadian secara totalitasnya adalah

teladan. Kedua, dalam arti terdapat dalam kepribadian yang patut

diteladani. Keteladanan berasal dari kata dasar “teladan” yang berarti

sesuatu atau perbuatan yang patut ditiru atau dicontoh.

Uswah hasanah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW juga

dilakukan pula oleh Nabi Ibrahim dan para pengikutnya. Keteladanan

merupakan bahan utama dalam kehidupan bahkan menumbuh karakter

keteladanan dibidang pendidikan, karena mendidik bukan sebatas

penyampaian materi saja, melainkan membangun karakter dalam setiap

jiwa peserta didik. Dalam al-Qur’an kata teladan direpresentatif dengan

kata uswah yang kemudian diberi sifat di belakangnya seperti sifat

hasanah yang berarti baik sebagai bentuk aktualisasi secara faktual.

Sehingga terdapat ungkapan uswatun hasanah yang artinya teladan yang

baik. Kalau dipandang dari ketokohan yang mendapat predikat uswatun

hasanah adalah Nabi Muhammad SAW yang didelegasikan langsung

dengan pernyataan Allah dalam al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan QS. al-

Ahzab [33] 21

اخر وذكر ٱلل لقد كان لكم فی رسول ٱلل أسوة حسنة لمن كان ـ يـرجوا ٱلل وٱليـوم ٱل كثريا

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Dalam hal ini, Ibn Katsīr, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan

argumentasi pokok yang paling besar yang menganjurkan kepada semua

umat agar meniru Rasulullah SAW dengan semua ucapan, perbuatan, dan

sepak terjangnya. Karena itulah Allah SWT memerintahkan kepada

kelompok Islam agar meniru sikap Nabi Muhammad SAW dalam perang

Page 58: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

35

ahzab, yaitu dalam hal kesabaran, keteguhan hati, kesiagaan, dan

perjuangannya serta tetap menanti jalan keluar dari Allah SWT.

Hemat penulis, keteladanan yang baik dari Nabi Muhammad

dijadikan sebagai metodologi Islam. Metode ini menjadi penting karena

berkaitan dengan tanggung jawab moral khususnya umat Islam. Cara yang

terbaik memberikan edukasi tentang keteladan baik adalah dimulai dari

pendidikan. Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari

sejumlah metode yang paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan

dan membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab, seorang

pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah

laku dan sopan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak, bahkan semua

keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam

bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi, maupun

spiritual. Memang yang mudah bagi pendidik adalah mengajarkan

berbagai teori pendidikan kepada anak, sedangkan yang sulit bagi anak

adalah mengaktualisasikan teori tersebut jika orang yang mengajar dan

mendidiknya tidak pernah meimplementasikan perbuata keteleadanan

yang tidak sesuai dengan ucapannya. Jadi yang dimaksud dengan

keteladanan dalam pengertiannya sebagai uswatun hasanah adalah suatu

cara mendidik, membimbing dengan menggunakan contoh yang5baik

yang diridhai Allah SWT sebagaimana yang tercermin dari prilaku

Rasulullah dalam bermasyarakat dan bernegara. Bukan hanya dilihat dari

pendidikan akademisi antara guru dengan murid tapi orangtua dengan

anak, pemimpin dengan rakyatnya, dan lain sebagainya.11

11 Iskandar, Konsep Uswah Hasanah dalam al-Qur’an (kompetensi Personality),

JIPSA, Vol. 15, No. 30, Desember 2015, 83-85.

Page 59: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

36

Perlu diketahui bahwa Allah SWT mendelegasikan Nabi

Muhammad SAW agar menjadi teladan dan panutan bagi seluruh manusia

secara umum dan secara khusus bagi umat Islam dalam merealisasikan

sistem pendidikan Islam. Setiap prilaku Rasulullah SAW dalam kehidupan

sehari-hari merupakan prilaku Islami yang bersumber dari Al-Qur’an

bahkan ucapan yang bersumber dari Nabi Muhammad merupakan wahyu

dan bisa dijadikan pijakan argumentasi agama sebagaimana dijelaskan di

dalam QS. al-Najm [53] 3-4

وما ينطق عن ٱلوى إن هو إل وحی يوحى “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya).”

Ayat ini dapat disimpulkan bahwa ucapan Nabi Muhammad SAW

bukanlah hawa nafsu. Melainkan wahyu yang dapat dijadikan sebagai

argumentasi yang dikenal dengan istilah Sunnah.

Bahkan Aisyah r.a. sendiri pernah berkata bahwa akhlak beliau

adalah Al-Qur'an. Dengan demikian sebagai muslim, hendaknya

menjadikan Rasul sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari.

Karena keagungan keteladanan yang sempurna hanya dimiliki Rasulullah

pembawa risalah abadi, kesempurnaannya menyeluruh dan universal, baik

yang berhubungan dengan masalah ibadah, atau yang menyangkut

kepatuhan atau kesabaran. Ini semua perlu diteladani dengan harapan agar

kita menjadi manusia yang bermental islami yang seluruh aspek

kejiwaannya didasari dengan nilainilai luhur Al-Qur'an dan Hadits.

Bagaimana tips mendidik ala Nabi saw, setidaknya ada tiga cara

bagaimana mendidik anak menurut Nabi SAW, yaitu: Metode mendidik

dengan memberi keteladanan (perbuatan), metode yang berpengaruh

terhadap akal, metode yang berpengaruh terhadap kejiwaan.

Page 60: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

37

Rasulullah merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin

beliau ajarkan melalui tindakannya, kemudian menterjemahkan

tindakannya ke dalam katakata. Bagaimana memuja Allah, bagaimana

bersikap sederhana, apa yang beliau katakan tentang kejujuran, keadilan,

toleransi, bagaimana duduk dalam sholat, do'a, dan lain sebagainya.

Semuanya ini beliau lakukan dulu dan kemudian baru mengajarkannya

kepada orang lain. Sebagai hasilnya, apapun yang beliau ajarkan diterima

dengan segera di dalam keluarganya dan oleh para pengikutnya, karena

ucapan beliau menembus ke dalam hati sanubari mereka.12

C. Konsep Kemaksuman

1. Defenisi Maksum

Untuk mengetahui devinisi maksum secara konkrit, maka

ada dua langkah dalam menentukan maksud dan pengertian dari

derivasi maksum. Pertama, secara etimologi, Kata maksum

merupakan bentuk ism maf’ūl dari kata عصم (‘aṣama).13

kata‘Iṣmah ditasrifkan menjadi kata ‘aṣama-ya’ṣimu-‘aṣman,

kata al-‘iṣmah dalam gramatika orang Arab bermakna mencegah,

menghalangi, menjaga dan memelihara.14 عصمت فالان, berarti aku

memelihara si Fulan. ‘Aṣama al-syai’, berarti menegakkan,

mencegah, melarang sesuatu.15

Sedangkan menurut terminologi atau secara istilah yang

dimaksud dengan ‘iṣmah adalah keterpeliharaan para rasul dari

12 Iskandar, Konsep Uswah Hasanah dalam al-Qur’an, 89. 13 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), 939. 14 Maqāyis al-Lughah, juz 4, h. 331. Lihat pula. Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arab

(Beirut: Dār Ṣādir, 1410 H), Juz XII, 403-404. 15 Maqāyis al-Lughah, juz 4, 331.

Page 61: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

38

sifat-sifat dan perbuatan yang tercela. Secara umum yaitu

mencegah, berpegang teguh dan memelihara. Jadi Al-‘Ishmah

merupakan penjagaan Allah yang khusus diberikan kepada orang-

orang yang telah mencapai derajat tertentu. Mereka adalah para

Nabi, karena mereka tidak melakukan dosa bahkan tidak tergores

sedikitpun di dalam hati dan pikiran untuk berbuat dosa dan

kesalahan yang dilarang agama.16

Menurut ‘Abd al-Razzāq, ‘iṣmah adalah berpegang teguh

dengan Allah dengan meninggalkan segala hal yang dilarang

oleh-Nya. Sedangkan derivasi ma’ṣum adalah orang yang

berpegang teguh dengan Allah dengan segala hal yang

dilarangnya. Ia juga berpendapat bahwa ‘iṣmah adalah ‘itiṣam

billah yaitu dari segala dilarang olehnya.17

Di antara sikap yang menjadi representatif seorang Nabi

yang memiliki kemaksuman ialah Nabi Muhammad SAW yang

telah dijaga oleh Allah SWT sejak sebelum diangkat menjadi

rasul. Masa Islam datang, kesalahan yang dilakukan oleh orang-

orang masa itu menyembah berhala-berhala. Penyembahan ini

tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, ini membuktikan

kemaksuman Nabi telah terbukti ketika ia belum diangkat

menjadi Nabi dan Rasul. Semua riwayat menunjukkan pada

kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar terpelihara

dari pemujaan berhala hanya saja yang diharapkan Allah SWT

akan melindungi seseorang yang Dia pilih sebagai rasul terakhir-

Nya untuk umat manusia, yang menyampaikan kepada mereka

risalah paripurna yang didasarkan pada keesaan Allah SWT yang

16 Ahsin W. Al-Hafīdz, Kamus Ilmu Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), 123. 17 ‘Abd al-Razzāq al-Dhairawī, Bahtsu Fī ‘Iṣmah (Anṣār al-Imām al-Mahdi,

2011), 63.

Page 62: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

39

mutlak menentang pemujaan terhadap berhala, bahkan sejak

mudanya.18

Dengan adanya diktum konsep ‘ismah, Nabi Muhammad

SAW dipandang sebagai seorang yang maksum (dilindungi Allah

SWT dari kesalahan). Konsep ini juga memiliki rujukan dari

riwayat-riwayat Salah satu riwayat yang paling populer

mendukung konsep ini adalah cerita di mana Nabi Muhammad

SAW dibelah dadanya lalu disucikan hatinya. Kisah ini

ditemukan dua kali, yaitu ketika Nabi Nuhammad SAW masih

dalam usia kanak-kanak dan sekali lagi ketika Nabi Muhammad

SAW hendak melaksanakan perjalanan Isrā’ Mi’rāj. Sebab, bila

Nabi Muhammad SAW adalah orang yang tidak terpelihara dari

kesalahan dan dosa, bagaimana ia dapat dipastikan

menyampaikan sesuatu yang benar yang bersumber dari yang

Maha Benar. Oleh karena itu, Nabi SAW sudah dipastikan

sebagai figur yang telah diberikan kemaksuman dari keterjagaan

dalam melakukan kesalahan baik itu dosa kecil maupun dosa

besar.19

Menurut Ibn Katsir, iṣmah adalah memelihara, menolong

dan mendukung Nabi sehingga tidak satupun keburukan yang

datang kepada nabi-nabi-Nya. Ibn katsir lebih condong kepada

memelihara dari gangguan fisik sebagaimana ia menafsirkan QS.

al-Mā’idah [5]: 67. Sedangkan pemeliharan dari dosa bagian dari

internal individu lebih menekankan terhindar dari dosa besar

18 M. A. Salahi, Muḥammad Man and Prophet, Terj. M. Sadat Ismail

(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2010), 39. 19 Maizuddin, Tipologi Pemikiran Hadis Modern Kontemporer (Banda Aceh: Ar-

Raniry Press dan Lembaga Naskah Aceh, 2012), 95.

Page 63: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

40

sebagaimana yang dianut oleh kelompok Ahl al-Sunnah wa al-

Jama’ah.20

Sedangkan menurut Tabataba’ī ‘iṣmah adalah

terpeliharanya seorang nabi dari melakukan dosa besar dan dosa

kecil. Perbedaan yang sangat signifikan dari defenisi iṣmah

Tabataba’ī yang dipengaruhi oleh golongan Syi’ah, sehingga

iṣmah tidak hanya berlaku untuk para nabi dan rasul tetapi juga

bagi para imam dan wāsī (pemberi wasiat) mereka. Adapun dalil

yang dijadikan hujjahnya QS. al-Ahzāb [33]: 33. Menurut

Tabataba’ī, ayat ini ditafsirkan bahwa Allah senantiasa

memberikan kamu anugrah ‘iṣmah, dengan menyingkirkan

keyakinan yang batil dan dampak perbuatan yang buruk dari

kamu, wahai ahlul bait. Dan Allah menghendaki sesuatu yang

dapat menghilangkan pengaruh yang jelek, itulah ‘iṣmah.21

2. Ayat-ayat Tentang Kemaksuman

Derivasi kata ‘iṣmah diambil dari akar kata م -ص -ع

ditemukan sebanyak 13 tempat di dalam al-Qur’an dengan makna

yang beragam.22 Penulis menyusun dengan mengkategorikan

berdasarkan periodisasi turunnya ayat-ayat al-Qur’an secara

universal yang diklasifikasikan dengan menjadi dua, yaitu yang

turun di Mekah dan Madinah atau yang disebut dengan istilah

20 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr (Libya:

Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), jilid V, 277-288. 21 Muhammad Husain Tabataba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan: Bairut, 1997),

juz 16, 331. 22 Muhammad Fu’ad ‘Abd Baqī’, al-Mu’jām al-Mufahras li al-fādh al-Qur’ān al-

Karīm, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t. tt), 463.

Page 64: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

41

Makiyyah dan Madaniyyah. Tentang istilah Makki dan Madani

sendiri, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan batasan

mengenai ayat-ayat makkiyah dan madaniyyah. Ada yang

berpendapat berdasarkan masa turunnya yaitu dengan

berargumentasi ayat-ayat Makiyyah adalah ayat-ayat yang

diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat

Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah

hijrah ke Madinah. Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat

diturunkannya yaitu Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di

Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah

dan Madaniyyah merupakan ayat-ayat yang turun di Madinah dan

sekitarnya, seperti Uhud, Quba’ dan Sil. Adapun yang

berpendapat berdasarkan sasaran (seruan)nya yang dituju oleh

dialog ayat-ayat al-Qur’an.23

Pertama, kategori priodesasi makkiyah di antaranya:

a. QS. Yunūs [10] 27

ن ٱلل ما لم مات جزاء سيئة بثلها وتـرهقهم ذلة وٱلذين كسبوا ٱلسيـ

ك أصحـب عاصممن ن ٱليل مظلما أولـى ا أغشيت وجوههم قطعا م كأن ٱلنارهم فيها خـلدون

“Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat)

balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak

ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah,

seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan

malam yang gelap gelita. Mereka itulah penghuni neraka;

mereka kekal di dalamnya.”

b. QS. Hūd [11] 43

23 Manna Khalil Al-Qattān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: PT. Pustaka Litera

Antar Nusa, 2013), 83-85.

Page 65: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

42

اوی إل جبل يـعصمنی من ٱلماء قال ل عاصم ٱليـوم من أمر ال سـ قنـهما ٱلموج فكان من ٱلمغرقی ٱلل إل من رحم وحال بـيـ

Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke

gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata:

"Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain

Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi

penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk

orang-orang yang ditenggelamkan.

c. QS. Yusūf [12] 32

ن ل يـفعل ودته ۥ عن نـفسه فٱستـعصم ولى لكن ٱلذی لمتـننی فيه ولقد ر   قالت فذ  

ن ٱلصـغرين ما ءامرهۥ ليسجنن وليكوان م

“Wanita itu berkata: "Itulah dia orang yang kamu cela aku

karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah

menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan

tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati

apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan

dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang

yang hina.”.

d. QS. al-Hajj [22] 78

لة وجـهدوا فی ٱلل حق جهاده ين من حرج م هو ٱجتـبىكم وما جعل عليكم فی ٱلد

ر يم هو سىكم ٱلمسلمی من قـبل وفی هـذا ليكون ٱلرسول شهيدا ه  أبيكم إبـ

بٱلل هو وٱعتصموا عليكم وتكونوا شهداء على ٱلناس فأقيموا ٱلصلوة وءاتوا ٱلزكوة

عم ٱلنصري مولىكم فنعم ٱلمول ون

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang

sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali

tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.

(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah

menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan

(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi

Page 66: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

43

saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas

segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah

zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah

Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-

baik Penolong.”

e. QS. Ghāfir [40] 33

فما لهۥ من هاد ن ٱلل من عاصم ومن يضلل ٱلل يـوم تـولون مدبرين ما لكم م

“(yaitu) hari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak

ada bagimu seorangpun yang menyelamatkan kamu dari (azab)

Allah, dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada

baginya seorangpun yang akan memberi petunjuk.”

Kedua, kategori priodesasi madaniyyah di antaranya:

a. QS. Alī ‘Imran [3] 101 dan 103

لى عليكم ءايـت ٱلل وفيكم رسولهۥ ومن يـعتصم بٱلل فـقد وكيف تكفرون وأنتم تـتـ

م يمستق ط  ل صر هدی إ

“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-

ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada

di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh

kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi

petunjuk kepada jalan yang lurus.”

يعا ول تـفرقوا وٱذكروا نعمت ٱلل عليكم إذ كنتم أعداء وٱعتصموا ببل ٱلل ج

ٱلنار فأنقذكم من حفرة شفا على وكنتم ان  فألف بی قـلوبكم فأصبحتم بنعمته إخو

ها كذ نـ تدون ك ل  م لكم ءايـته لعلكم هت ٱلل يـبی

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,

dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat

Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)

bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu

Page 67: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

44

menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang

bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu

Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat

petunjuk.”

b. QS. Al-Nisā’ [4] 146 dan 175

ك مع ٱلمؤمنی ىإل ٱلذين ت بوا وأصلحوا وٱعتصموا بٱلل وأخلصوا دينـهم لل فأولـ

ٱلمؤمنی أجرا عظيم وسوف يـؤت ٱلل

Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan

dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas

(mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu

adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah

akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala

yang besar.

نه وفضل ويـهديهم إليه فأما ٱلذين ءامنوا بٱلل وٱعتصموا به فسيدخلهم فی رحة م

يما مستق طا  صر

“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan

berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan

memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya

(surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka

kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.”

c. QS. al-Mā’idah [5] 67

يـأيـها ٱلرسول بـلغ ما أنزل إليك من ربك وإن ل تـفعل فما بـلغت رسالتهۥ وٱلل

ل يـهدی ٱلقوم ٱلكـفرين يـعصمك من ٱلناس إن ٱلل

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang

diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-

Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-

orang yang kafir.”

Page 68: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

45

d. QS. al-Ahzāb [33] 17

ن ٱلل إن أراد بكم سوءا أو أراد بكم رحة ول ل من ذا ٱلذی يـعصمكم م ق

ا ول نصريا یدون لم من دون ٱلل ولي

“Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari

(takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau

menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik

itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong

selain Allah.”

e. QS. Mumtahanah [60] 10

أعلم بمیـنهن فإن ف ت   كم ٱلمؤمنـت مهـجر يـأيـها ٱلذين ءامنـوا إذا جاء ٱمتحنوهن ٱلل

م ول هم یلون لن علمتموهن مؤمنـت فال تـرجعوهن إل ٱلكفار ل هن حل ل

تموهن أجورهن ول وءاتوهم ما أنفقوا ول جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءاتـيـ

ـ لوا ما أنفقتم وليسـ لوا ما أنفقوا ذ كم حكم لكم  تسكوا بعصم ٱلكوافر وس ٱلل ی

عل نكم وٱلل يم حكيم بـيـ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah

kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka

hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih

mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah

mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka

janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami

mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-

orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi

mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar

yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini

mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan

janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan

perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar

yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar

yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang

Page 69: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

46

ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Bijaksana.”

3. Klasifikasi iṣmah (maksum)

Perlindungan atau terpeliharanya Nabi bukan hanya

berkaitan dosa tetapi iṣmah (maksum) juga bisa berkaitan yang

lainya di antaranya:

a. berkaitan dengan akidah atau keyakinan. Seluruh aliran dalam

Islam sepakat bahwa seorang Rasul maksum dari berbuat

kekufuran dan melakukan perbuatan bid’ah.24 Namun

sekelompok dari golongan Khawārij berpendapat bahwa

seorang rasul mungkin saja berbuat kekufuran, hal ini karena

dilandasi oleh pendapat mereka bahwa Rasul bisa saja

melakukan dosa dan seluruh dosa menurut mereka adalah

termasuk dalam kekafiran. Di sisi lain, seorang Rasul boleh

menyatakan kekufuran demi sebuah taqiyah menurut golongan

Rafidhah.25 Terpeliharanya mereka dari berbuat syirik dan

kufur (sebelum dan sesudah menjadi Rasul) ini tentu adalah

sesuatu yang harus dimiliki oleh para Rasul, karena jika

sampai seorang Rasul tidak dipelihara oleh Allah dari

kemusyrikan tentu ini akan menjadikan risalah yang diemban

kepada mereka menjadi tidak relevan dengan apa yang mereka

sampaikan kepada umatnya untuk tidak berbuat kesyirikan.

b. Terpelihara dalam menyampaikan risalah. Allah SWT telah

memberikan pemeliharaan kepada para rasul dari sisi ini agar

24 Bid’ah berasal dari akar kata bada’a, yang memiliki berbagai derivasi. Di

antaranya bid’un dengan kata kerja idtada’a artinya, membuat dan memulai sesuatu.

Sedangkan al-bid’atu artinya sesuatu yang baru (al-H}adats). Lihat Ibn Manzūr, Lisān al-

‘Arab (Lebanon: Dār al-Kitab al-Ilmiyah, 2009), 6. 25 Fakhruddīn al-Rāzi,‘Iṣhmah al-‘Anbiyā’ (Kairo: Maktabah al-Saqāfah al-

Diniyyah, 1986), 41.

Page 70: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

47

risalah yang disampaikan sempurna, tanpa mengalami

pengurangan dan penyimpangan. Mereka tidak lupa sama

sekali apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka,

kecuali sesuatu yang mansukh dan Allah telah menjamin bagi

Rasul-Nya untuk membacakannya maka ia tidak lupa sama

sekali apa yang telah diwahyukan kepadanya, kecuali yang

dikehendaki oleh Allah untuk melupakannya sebagaimana

dijelaskan di dalam QS. al-‘Ala [87]: 6-7

إنه يـعلم ٱلهر و إل ما شاء ٱلل

فى سنـقرئك فال تنسى ما ی

“Kami akan membacakan kepdamu (wahai rasul), al-qur’an ini

dengan bacaan yang kamu tidak lupa, Kecuali apa yang Allah

kehendaki dimana hikmah-Nya menuntut melupakannya

karena kemashlahatan yang dia ketahui.sesungguhnya allah swt

mengetahui perkataan dan perbuatan yang ditampakkan dan

yang disamarkan.”

Untuk menguat argumentasi ini, ada beberapa ayat yang

mendukung hal ini yaitu dijelaskan di dalam QS. al-Najm [53]:

3-4

وما ينطق عن ٱلوى إن هو إل وحی يوحى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut

kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah

wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

c. Hal yang berkaitan dengan syari’at dan hukum-hukum Allah.

Semua aliran dalam Islam sepakat bahwa seorang rasul

terpelihara dari melakukan penyelewengan dan pengkhianatan

terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah baik

secara sengaja ataupun dalam keadaan lupa.26

26 Tesis Maksum, 52.

Page 71: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

48

d. Hal yang berkaitan dengan memberikan diktum fatwa. Hal ini

juga disepakati oleh seluruh aliran dalam Islam bahwa seorang

Rasul dipelihara dari memberikan fatwa yang keliru dengan

cara sengaja. Adapun jika kekeliruan tersebut terjadi

dikarenakan lupa maka terdapat perbedaan pendapat dalam

menyikapi hal tersebut.27

e. Terpelihara dari melakukan dosa kecil. Terjadi kontradiktif

perbedaan ulama dari mazhab yang berbeda pada

permasalahan ini. Golongon Syi’ah lah yang paling sepakat

dengan pendapat ini. Seperti apa yang dikonsepkan oleh Al-

Murtadha Nabi dan Rasul itu terlepas dari dosa kecil ataupun

dosa besar sebelum dan sesudah kenabian, konsep inilah

menjadi pijakan Madzhab Syi’ah hingga sekarang. Namun

menurut jumhur ulama Ahlu Sunnah Wa al-Jama’ah (Sunni)

seperti Al- Qurthubi bahwa Rasul mungkin saja melakukan

dosa-dosa kecil sekalipun di masa kerasulannya. Ada pendapat

yang mengatakan bahwa dalam hal dosa kecil seorang Rasul

masih mungkin melakukannya selama dosa tersebut tidak keji.

Hal ini menurut sebagian besar golongan Mu’tazilah.28

f. Terpelihara dalam melakukan dosa besar. apabila seorang

Rasul melakukan kesalahan, maka ulama berkeyakinan bahwa

Allah SWT tidak menetapkan kesalahan yang dilakukannya,

melainkan memberikan arahan kepada seseuatu yang benar,

dan kadang yang demikian itu menghasilkan celaan.

Kesalahan yang beliau lakukan itu didasari atas ijtihad beliau

bukan karena menyenghaja, oleh karnanya hal itu tidaklah

27 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’, 41. 28 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’, 42.

Page 72: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

49

dinamakan kemaksiatan. Adapun kelalaian dan lupa maka

kedua hal tersebut mungkin saja terjadi karena secara

fundamental ia adalah basyarī (manusia). akan tetapi ia akan

mendapatakan celaan akibat kelalaian tersebut, karena beliau

memiliki ilmu yang lebih sempurna. Maka mereka diwajibkan

untuk sangat berwaspada. Ini adalah pendapat Abu Ishaq

Ibrahim bin Siar an-Nazam. Tentu pemahaman seperti di atas

berbeda dengan apa yang dipahami oleh para ulama dari

kalangan Syi’ah yang tidak menganggap tidak mungkinnya

seorang Rasul melakukan dosa besar dan kecil secara sengaja

dan tidak juga karena takwil dan tidak juga krena lalai dan

lupa.29

29 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’, 42.

Page 73: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

50

BAB IV

INTERPRETASI DALAM KITAB IBN KATSĪR DAN

ṬABAṬABA`Ī QS. ‘ABASA [80]: 1-16

A. Kajian Analisis Ayat

1. Identifikasi Ayat

Pada penelitian ini, penulis hanya menghadirkan enam

belas ayat dari QS. ‘Abasa [80]. Secara menyeluruh surah ini

memiliki ayat berjumlah 42 ayat. Alasan dinamai dengan QS.

‘Abasa [80], Menurut Wahbah al-Zuhaili dinamai dengan ‘Abasa

sebagai kalimat pembukaan bagi sifat kebiasaan manusia yang

menyelesaikan kesibukannya, kemudian ada masalah yang lain

yang mengakibatkan hilangnya fokus terhadap kesibukan

sebelumnya, maka secara qudrah (kemampuan) manusia

langsung memalingkan dengan bermuka masam.1 Surah ini juga

memiliki beragam nama seperti yang dijelaskan oleh Imam

Nawawi al-Bantani, bukan hanya ‘Abasa tetapi sebagian

kelompok menamai dengan QS. al-‘A’ma (buta) dan QS. Safrah.2

QS. ‘Abasa [80] ini memiliki pesan-pesan berbagai tema di

antaranya : mengenai akidah, pesan hikmah, akhlak, dan QS.

‘Abasa [80] ini juga mengajarkan bahwa manusia itu memiliki

egaliter di hadapan Allah yang tidak memiliki perbedaan baik itu

kaya maupun miskin. QS. ‘Abasa [80] merupakan priodesasi

1 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-

Manhaj (Damaskus: Dār al-FIkr, 2009), juz 15, 423. 2 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), Juz 2, 603.

Page 74: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

51

makkiyah. Terbukti di dalam semua kitab tafsir menyebutkan

surah ini merupakan priodesasi makkiyah.3

Adapun pengertian عبس , kata ini berasal dari fi’il madhi

yaitu عبس-يعبس-عبسا (‘abasa-ya’bisu-‘absan) yang artinya

memberengut, bermuka masam. Surah ‘Abasa ini mengambarkan

bahwa Nabi Muhammad SAW (pendapat Ibn Katsīr) dan al-

‘Abbas al-Mutawāli (pendapat Ṭabaṭaba’ī) bermuka masam dan

memalingkan muka ke arah lain dari orang yang bertanya

kepadanya. Orang yang bertanya itu adalah ‘Adullah b. Ummi

Maktūm, seorang yang buta yang ingin menanyakan sesuatu

kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi karena Nabi Muhammad

SAW sedang menghadapi orang-orang penting yaitu beberapa

tokoh di antaranya: ‘Utbah b. Rabi’ah, Syaibah b. Rabi’ah, Abū

Jahal b. Hisyām, al-‘Abbās b. ‘Abd al-Muthalib, Umayyah b.

Khalaf, dan Walīd b.al-Mughīrah. Mereka ini sangat diharapkan

Nabi Muhammad SAW untuk masuk kedalam Islam agar

memperkuat posisi Islam dalam masyarakat Quraisy. Akan tetapi,

sikap Nabi Muhammad SAW tidak peduli dan memalingkan

muka dari orang dianggap tidak penting ketika berbincang

petinggi-petinggi Quraisy dibanding ‘Abdullah b. Ummi

Maktūm. Sikap Nabi Muhammad kepada Ummi Maktūm

mendapat renspon dari Allah sebagai teguran, karena Nabi

Muhammad SAW harus menjadi contoh yang baik umatnya.

Adapun ayat yang akan diteliti sebagai berikut:

3 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-

Manhaj, 424.

Page 75: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

52

وت ولى العمى(1)عبس جاءه ي زىكىى(2)أن لعلىه يدريك 3)وما فعه( ف ت ن يذىكىر أو

ي زىكىى(6)فأنتلهتصدىى(5)أمىامناست غن(4)الذ كرى وأمىامن(7)وماعليكألى

اتذكرة(10)فأنتعنهت لهىى(9)وهويشى(8)جاءكيسعى إنى فمنشاء(11)كلى

كرامب ررة(15)(بيديسفرة14)(مرفوعةمطهىرة13)فصحفمكرىمة(12)ذكره

)(16

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah

datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia

ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin)

mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat

kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,

maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (alasan) atasmu

kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang

yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan

pengajaran). sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu

mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya

ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang

siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di

dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi

disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi

berbakti.”

2. Asbāb al-Nuzūl

Menurut Ibn Katsīr, sebab turunya ayat ini didapati dari

riwayat yang menceritakan Nabi Muhammad SAW sedang

berbicara dengan seorang pembesar Quraisy di antaranya: ‘Utbah

b. Rabi’ah, Syaibah b. Rabi’ah, Abū Jahal b. Hisyām, al-‘Abbās

b. ‘Abd al-Muthalib, Umayyah b. Khalaf, dan Walīd b.al-

Mughīrah. Nabi Muhammad SAW ingin sekali dari salah satu

pembesar Quraisy ini masuk kedalam agama Islam. Ketika Nabi

Muhammad SAW berbicara dengan suara yang perlahan dengan

orang Quraisy itu, tiba-tiba datanglah seorang bernama Ibn

Page 76: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

53

‘Ummi Maktūm yang bertanya kepada Rasulullah tentang suatu

pertanyaan yang mendesak. Dan Nabi Muhammad SAW saat itu

menginginkan andaikata Ibn Ummi Maktūm dian dan tidak

menganggunya, agar Nabi Muhammad SAW dapat berbicara

dengan tamunya dari Quraisy. Sebab itulah Nabi Muhammad

SAW bermuka masam terhadap Ibn Ummi Maktūm dan

memalingkan wajah. Setelah kejadian ini maka turunlah ayat ini.4

Asbāb al-nuzūl versi Ṭabaṭaba’ī dalam kitabnya al-Mizān,

ia menghadirkan dua pendapat. Pertama, menurut riwayat

kalangan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah ayat ini turun ketika suatu

kisah Ibn Ummi Maktūm seorang buta yang bertemu kepada

Nabi Muhammad SAW. Ketika itu Nabi Muhammad SAW

sedang fokus bicara dengan tokoh Quraisy. Kemudian Nabi

Muhammad SAW bermuka masam. Kedua, menurut riwayat

Syī’ah sebab ayat ini turun ketika seorang laki-laki bernama al-

‘Ābas al-Mutawalī dari suku Umayyah yang duduk di samping

Nabi Muhammad SAW. Kemudian masuk yang bernama Ibn

Ummi Maktūm sehingga membuat laki-laki bernama al-‘Ābas al-

Mutawalī bermuka masam dan memalingkan wajahnya.5

Hemat penulis, Ibn Katsīr lebih tendensi (condong) dengan

periwayatan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah (sunni). Tokoh pelaku

bermuka masam adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Ibn

Ummi Maktūm sebagai objek. Periwayatan yang dikutip oleh Ibn

Katsīr tidak begitu lengkap. Penulis mencantumkan periwayatan

4 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr

(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 5 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan: Bairut,

1997), juz 20, 218.

Page 77: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

54

yang lebih lengkap dengan merujuk kepada Tafsir Kementrian

Agama RI.

Adapun penafsiran dalam Tafsir Kementrian Agama RI.

yaitu, surah ini diturunkan sehubungan dengan pristiwa seorang

yang buta bernama ‘Abdullah b. Ummi Maktūm anak paman

Khadijah. Ia termasuk di antara sahabat-sahabat Muhajirin yang

pertama masuk Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW

melaksanakan jihad dan meninggalkan kota Madinah, ia sering

ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjadi sesepuh kota

Madinah, mengimami shalat, dan juga sering melakukan azan

seperti Bilal. Peristiwa ini terjadi di Mekkah yaitu ketika Nabi

Muhammad SAW sedang sibuk melaksanakan seruan dakwah

Islam kepada pembesar suku Quraisy. Nabi Muhammad SAW

dengan sungguh-sungguh mengajak mereka masuk Islam dengan

harapan bahwa jika mereka telah memeluk agama Islam, niscaya

akan membawa pengaruh besar pada orang-orang bawahannya.

Di antara pembesar Quraisy yang sedang dihadapinya itu tedapat:

‘Utbah b. Rabī’ah, Syaibah b. Rabī’ah, Abū Jahal b. Hisyām, al-

‘Abbās b. ‘Abd al-Muṭalib, Umayyah b. Khalaf, dan al-Walīd b.

Al-Mughīrah. Besar sekali keinginan Nabi Muhammad SAW

untuk mengislamkan mereka itu karena melihat kedudukan dan

pengaruh mereka kepada orang-orang bawahannya.

Ketika Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menghadapi

para pembesar suku Quraisy itu, tiba-tiba datanglah ‘Abdullah b.

Ummi Maktūm dan menyela pembicaraan itu dengan ucapannya,

“Ya Rasulullah, coba bacakan dan ajarkan kepadaku apa-apa

yang telah diwahyukan oleh Allah kepadamu.” Ucapan itu

Page 78: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

55

diulanginya beberapa kali sedang ia tidak mengetahui bahwa

Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menghadapi pembesar-

pembesar Quraisy itu. Nabi Muhammad SAW merasa kurang

senang terhadap perbuatan ‘Abdullah b. Ummi Maktūm, yang

seolah-olah menganggu beliau dalam kelancaran tablighnya.

Sehingga beliau memperlihatkan muka masam dan berpaling dari

padanya. Allah menyampaikan teguran kepada Nabi Muhammad

SAW yang bersikap tidak acuh terhadap ‘Abdullah b. Ummi

Maktūm. Bermuka masam dan memalingkan muka dari orang

buta itu bisa menimbulkan perasaan tidak enak dalam hati orang-

orang fakir miskin, padahal Nabi Muhammad SAW

diperintahkan oleh Allah supaya bersikap ramah terhadap

mereka. Kemudian turunlah ayat ini QS.’Abasa [80].6

Adapun Ṭabaṭaba’ī dalam mengutip periwayatan lebih

moderat dengan menghadirkan kedua aliran teologi yaitu Ahlu

Sunnah wa al-Jama’ah (sunni) dan Syī’ah. Tetapi itu hanya

ditemukan di awal pembahasan mengenai sebab turunnya ayat,

sedangkan hegemoni dan tendensius terhadap pendapat Syī’ah itu

terlihat ketika ia dalam menginterpretasi ayat. Dan ini akan

dijelaskan pada subbab berikutnya dalam pola penafsiran kedua

mufasir.

3. Munasabah

Pada akhir surah al-Nazi’āt diterangkan bahwa Nabi

Muhammad SAW hanyalah pemberi peringatan kepada orang-

orang yang takut kepada hari kiamat. Pada permulaan surah ini

dijelaskan bahwa dalam memberikan penghargaan yang sama

6 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), Jilid 10, 546.

Page 79: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

56

kepada orang-orang yang diberi peringatan dengan tidak

memandang kedudukan seorang dalam masyarakat, seperti antara

tokoh-tokoh bangsawan Quraisy dengan orang buta yang

bernama ‘Abdullah b. Ummi Maktūm.7

Menurut Wahbah al-Zuhaili, surah ‘Abasa memiliki

hubungan pada ayat sebelumnya yaitu QS. al-Nazi’āt [79], bahwa

Allah mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang hari kiamat.

Peringatan ini juga memiliki kemanfaat bagi Nabi Muhammad

SAW dalam berdakwah mengenai rahasi-rahasia Islam kepada

‘Utbah b. Rabī’ah, Syaibah b. Rabī’ah, Abū Jahal b. Hisyām, al-

‘Abbās b. ‘Abd al-Muṭalib, Umayyah b. Khalaf, dan al-Walīd b.

Al-Mughīrah.8

B. Penjelasan Kedua Mufasir Terhadap QS. ‘Abasa [80] 1-16

Penulis ingin menguraikan penjelasan mengenai surah ‘Abasa dari

kedua mufasir, serta melihat tentang pola penafsiran Ibn Katsīr dan

Ṭabaṭaba’ī dari ayat 1-16. Tujuan adalah untuk melihat persamaan dan

perbedaan dari kedua mufasir yang secara fundamen, hegemoni mereka

dalam menginterpretasikan ayat itu berbeda.

Dalam kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm, langkah pertama dalam

menafsirkan yaitu dengan memberikan asbāb al-nuzūl terkait sebab

kejadian turun ayat. Sedangkan dalam tafsir al-Mizān karya Ṭabaṭaba’ī

memiliki dua struktur dalam menafsirkan ayat di antaranya: al-bayān

(penjelasan) ayat dan bahts al-rawā’ī (pembahasan periwayatan). Pada

bagian pertama, penulis membahas mengenai penjelasan QS. ‘Abasa

[80]: 1-16 perspektif Ṭabaṭaba’ī. Agar terstruktur dan mudah dipahami,

7 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, 546. 8 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-

Manhaj, 423-424.

Page 80: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

57

penulis menyusun interpretasi kedua mufasir dengan menggunakan table

sebagai berikut:

No Interpretasi Ibn Katsīr Interpretasi Ṭabaṭaba’ī

1. QS. ‘Abasa [80] 1-3: Ia

menafsirkan ayat ini, bahwa

yang datang kepada Nabi

Muhammad SAW adalah

seseorang yang menginginkan

agar dirinya suci dan bersih

dari segala dosa.9

QS. ‘Abasa [80] 1-2: Ayat

pertama, kata وت ولى diartikan عبس

sebagai memalingkan wajah dan

bermuka masam. Ayat kedua,

sebagai ta’līl (pertimbangan)

penyebab untuk memalingkan

wajah yaitu kedatangan orang

buta.

2. QS. ‘Abasa [80] 4: Menurut

Ibn Katsīr, menginginkan

pengajaran dari Nabi

Muhammad SAW untuk

dirinya sendiri, sehingga ia

menahan darinya dari hal-hal

yang diharamkan (dilarang).10

QS. ‘Abasa [80] 3-4: Ayat ketiga

dan keempat, kata ي زىكىى maksudnya adalah يتطهر (suci)

dengan melaksanakan amal-amal

soleh setelah mengingat-Nya,

cara yang tepat yaitu menyakini

kebenaran yang datang dari

Allah. Adapaun manfaat dari

mengingat-Nya (zikir) ialah

memberikan rangsangan untuk

mensucikan jiwa dengan iman

dan perbuatan amal soleh.11

3. QS. ‘Abasa [80] 5-6: Menurut

Ibn Katsīr, ayat ini sebagai

teguran bahwa orang yang

serba cukup (memadai), maka

melayaninya dengan harapan

dia mendapatkan petunjuk.

QS. ‘Abasa [80] 5-6: Ayat

kelima dan keenam, ayat ini

menurut Ṭabaṭaba’ī orang yang

merasa serba cukup itu adalah

‘Utbah dan petinggi Quraisy

lainnya. Kata است غن ia artikan

sebagai orang yang merasa kaya

dan kesombongan.

4. QS. ‘Abasa [80] 7: Maksudnya,

kamu tidak akan bertanggung

jawab mengenai apabila dia

QS. ‘Abasa [80] 7: Ayat ketujuh,

menurut Ṭabaṭaba’ī hurut ما bermakna nafī. Ayat ini

9 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr

(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 14, h. 246. 10 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr,246. 11 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan:

Bairut, 1997), juz 20, h. 219

Page 81: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

58

tidak mau membersihkan

dirinya (beriman).12

menafikan terhadap petinggi-

petinggi Quraisy yang tidak mau

membersihkan diri (beriman),

sehingga Allah mendelegasi

Muhammad agar mereka-mereka

bisa menerima agama Islam.

Sebagian kelompok mengangap

huruf ما di artikan sebagai

istifhām inkarī maksudnya

kalimat pertanyaan bagi

kelompok ingkar yang tidak mau

membersihkan jiwanya dari

kekafiran.13

5. QS. ‘Abasa [80] 8-9: Menurut

Ibnu Katsir, seseorang yang

dating pada Nabi Muhammad

SAWitu sengaja untuk dating

untuk mendapatkan petunjuk

dari pengarahan Nabi

Muhammad.14

QS. ‘Abasa [80] 8-10: Ayat

kedelapan, kesembilan dan

kesepuluh. Kata يسعى maksudnya

adalah cepat dalam berjalan.

Maka maksudnya ayat ini, siapa

saja yang datang kepada mu,

maka kamu berjalan cepat agar

bisa mengingat dan

membersihkan dia dengan

memberikan pembelajaran

dalam pengenalan agama. Kata

maksudnya takut kepada يشى

Allah dan takut terhadap ayat-

ayat al-Qur’an tentang

peringatannya. Kata ت لهىى maksudnya adalah menyibukkan

dan mengabaikan. Adapun

mendahului kata ganti (damīr)

anta sebagai catatan

peringatan.15

6. QS. ‘Abasa [80] 10: Dari

sepeluh ayat ini Ibn Katsīr

QS. ‘Abasa [80] 11-12: Ayat

kesebelas dan dua belas,

12 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 246. 13 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 220. 14 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 246. 15 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 220-221.

Page 82: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

59

mulai membahas secara

panjang lebar terkait peristiwa

Nabi Muhammad SAW

bermuka masam. Menurutnya

setelah kejadian ini Allah

memerintahkan kepada

Rasulullah untuk tidak boleh

mengkhususkan peringatan

terhadap seseorang secara

tertentu, melainkan harus

menyamakan di antara

semuanya. Dalam hal ini tidak

dibedakan antara orang mulia

dan orang lemah, orang miskin

dan orang kaya raya, orang

merdeka dan budak, laki-laki

dan perempuan, serta anak-

anak dan orang dewasa.

Kemudian Allah yang akan

memberikan petunjuk kepada

siapa yang diinginkan-Nya

dengan kebijaksanaan dan

mempunyai alasan yang kuat.16

Setelah itu, Ibn Katsīr

mengutip dari berbagai

periwayatan mengenai sebab

turunnya ayat ini di antaranya

dari al-Hāfidz Abū Ya’la,

Qatadah, Ib Hātim, Imam al-

Turmudzī, Ibn Jarīr, dan Ibn

Māik. Mereka meriwayatkan

secara substansi yang sama

bawah terkait QS. ‘Abasa [80].

Singkat cerita Nabi sedang

berbicara Ubay b. Khalaf,

kemudian datang Ibn Ummi

Maktūm, lalu Nabi Muhammad

SAW bermuka masam dan

berpaling darinya maka

menurut Ṭabaṭaba’ī kata تذكرةإ ا نى

maksudnya adalah semua ayat-

ayat al-Qur’an merupakan

pelajaran, peringatan, dan

nasehat bagi seseorang yang

mengingat-Nya agar bisa

menyakini kebenaran dari Allah.

Kata ذكره شاء ,sebagai isyarat فمن

bahwa dalam berdakwah tidak

ada paksaan untuk

mengingatnya, sehingga tidak

menjadi manfaat bagi mereka

untuk kembali kejalan benar.

Adapaun dakwah yang

bermanfaat adalah berdakwah

atau memperingati mereka,

kemudia biarkan mereka untuk

memilih pilihan mereka masing-

masing.18

16 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 246. 18 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 220-221.

Page 83: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

60

turunlah ayat ini. Sesudah

peristiwa ini Nabi Muhammad

SAW selalu menghormati Ibn

Ummi Maktūm setelah ditegur

oleh Allah. Sebagai penutup

pembahasan ia menambahkan

bahwa nama Ibn Maktūm

sebagian kelompok

mengatakan ‘Abdullah,

sedangkan pandangan lain

menamai ‘Amr. Dari beberapa

periwayatan ini, Ibn Katsīr

mengatakan sebagai

kesimpulannya adalah

periwayatan ini memang

demikianlah yang terdapat

dalam kitab al-Muwatta’ Ibn

Mālik.17

7. QS. ‘Abasa [80] 11:

Menurutnya, surah ini atau

perintah ini menyamakan

semua orang dalam

menyampaikan pengetahuan,

tidak dibedakan antara orang

yang terhormat dan orang biasa

dari kalangan mereka yang

menginginkannya. Sebagai

pembeda ia menambahkan

pendapat dari Qatadah, bahwa

yang dimaksud bukanlah surah

ini saja tetapi secara universal

yaitu al-Qur’an sebagai

peringatan.19

QS. ‘Abasa [80] 13-14: Ayat

tiga belas dan empat belas.

Menurut Ṭabaṭaba’ī kata صحف

merupakan jamak (kata plural)

dari kata صحيفة (ṣahīfah), orang

arab biasanya setiap yang ditulis

dalam bentuk buku itu namanya

ṣahīfah. Tulisan-tulisan dalam

bentuk ṣuhuf banyak macamnya

salah satunya di tulis tangan para

malaikat yaitu wahyu. Kata مكرىمة diartikan dengan معظمة (diagungkan). Kata رةمطهى

maksudnya disucikan dari

kotoran-kotoran, kebatilan,

17 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr

(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 14, 247-248. 19 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr

(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 14, 248.

Page 84: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

61

perkataan yang ambiguitas, dan

tindakan kontradiktif.20

8. QS. ‘Abasa [80] 12: Menurut

Ibn Katsīr, siapa yang

menghendaki maka ia dapat

mengingat Allah SWT dalam

semua urusan. Kata dhamīr

(kata ganti) di sini merujuk

kepada wahyu karena konteks

pembicaraannya berkaitan

dengannya.21

QS. ‘Abasa [80] 15-16: Ayat

kelima belas dan keenam belas.

Menurut Ṭabaṭaba’ī kata سفرة

merupakan jamak (kata plural)

dari سفري artinya adalah

Rasulullah yang sebagian

kelompok mengartikannya

malaikat. Kata ب ررة كرام

maksudnya adalah sifat-sifat

yang baik dalam melakukan

tindakan. Dari kedua ayat ini

memberikan penjelasan, bahwa

malaikat memiliki kontribusi

dalam membawa suhuf (al-

Qur’an) atas perintah Allah

kepada Jibril.22

9. QS. ‘Abasa [80] 13-14:

Menurutnya, surah in atau

pelajaran ini, kedua-duanya

saling berkaitan bahka al-

Qur’an seluruhnya. Kata فمكرىمة صحف yaitu diagungkan

dan dimuliakan. Kata مرفوعة artinya mempunyai kedudukan

tinggi. Kata مطهىرة yaitu

disucikan dari hal-hal kotor

baik itu penambahan maupun

pengurangan.23

10. QS. ‘Abasa [80] 15: Pada ayat

ini Ibn Katsīr mngutip dari

beberapa periwayatan, menurut

20 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an (Libanan:

Bairut, 1997), juz 20, 222. 21 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 248. 22 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 222. 23 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 248.

Page 85: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

62

Ibn ‘Abbās, Mujāhid, al-

Dahhāk, dan Ibn Zaid yang

dimaksud dengan سفرة ialah

para malaikat. Menurut Wahab

b. Munabbih kata سفرة ialah

para sahabat Nabi Muhammad

SAW. Menurut Qatādah kata ialah ahl qurrā’. Menurut سفرة

Ibn Jarīr pendapat yang sahih

ialah kata سفرة diartikan sebagai

para malaikat yang

menghubungkan Allah dengan

makhluk-Nya. Sebagaimana

kata safīr yang diartikan orang

yang menghubungkan di antara

kedua pihak yang bersangkutan

untuk tujuan perdamaian dan

kebaikan.24

11. QS. ‘Abasa [80] 16: Menurut

Ibn Katsīr, yakni fisik mereka

mulia, baik dan terhormat.

Akhlak serta perbuatan mereka

berbakti, suci dan sempurna.

Berangkat dari pengertian ini,

seseorang yang menghafal al-

Qur’an dianjurkan berada

dalam jalan yang lurus dan

benar dalam semua perbuatan

dan ucapannya.25

Setelah menyusun secara sistematis terhadap interpretasi kedua

mufasir, selanjutnya adalah ia membahas mengenai periwayatan tentang

sebab turunnya ayat. Menurutnya periwayatan itu masih terjadi ikhtilāf

(kotradiksi) dari ‘Aisyah, ‘Anas b. Mālik, dan Ibn ‘Abbās yang dikutip

24 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 248-

249. 25 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr, 249.

Page 86: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

63

oleh Imam Suyūti dalam kitab Dār al-Mantsūr. Sikap dan pernyataan

yang dilakukan oleh Ṭabaṭaba’ī adalah sebaliknya, bahwa ayat ini sudah

jelaskan petujuknya yang menjadi ketidakjelasan adalah transmisi (sanad)

yang membawa informasi bahwa yang bermuka masam adalah Nabi

Muhammad SAW. Menurutnya bermuka masam bukanlah bagian dari

sifat Nabi Muhammad SAW baik itu kepada musuh-musuh nabi maupun

orang mukmin. Sifat sebenarnya Nabi Muhammad SAW adalah melayani

orang-orang kaya bahkan orang-orang miskin sekalipun dan tidak ada

perbedaan sekalipun dalam melayaninya.26

Padahal Allah telah mengangungkan akhlak prilaku Nabi

Muhammad SAW, terbukti Allah menyatakan itu di dalam QS. al-Qalam

[68]: 4

وإنىكلعلىخلقعظيم

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang

agung.”

Menurut Ṭabaṭaba’ī, ayat ini sebagian kelompok menamainya

dengan surah ن nun. Perihal periwayatan mengenai turun ayat ini, ulama

sepakat bahwa turunnya setelah QS. al-‘Alaq [96]. Dengan ini Ṭabaṭaba’ī

berlogika, bagaimana bisa mereka beranggapan begitu padahal Allah telah

mendahului mengangungkan akhlak Nabi Muhammad SAW di awal-awal

Nabi Muhammad SAW didelegasi oleh Allah.

Bukan ayat ini aja yang dijadikan argument bagi Ṭabaṭaba’ī, tetapi

ada ayat yang lain bahwa sikap dan sifat Nabi bukanlah bermuka masam,

dijelaskan di dalam QS. al-Syu’arā’ [26]: 215

واخفضجناحكلمنٱت ىب عكمنٱلمؤمنی

26 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 223.

Page 87: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

64

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang

mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”

Ayat ini juga menurut Ṭabaṭaba’ī turun sebelum di awal masa

dakwah Nabi. Itu berarti lebih dahulu turun dari QS. ‘Abasa [80]. Maka

menurut Ṭabaṭaba’ī bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW bermuka

masam padahal ia menghormati orang-orang yang beriman. Adapun

pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak melarang tindakan Nabi

Muhammad SAW bermuka masam karena itu bukan maksiat dan tidak

dilarang karena belum ada hukum yang melarang. Menurut Ṭabaṭaba’ī

mengenai ungkapan ini adalah salah dan menegasikan pernyataan Allah di

dalam QS. al-Qalam [68]: 4, bahwa Allah mengangungkan akhlak Nabi

Muhammad SAW.27

Di akhir pembahasan ia mengutip periwayatan dari Ja’far b.

Muhammad Ṣādiq, bahwa ayat ini turun disebabkan dari seorang laki-

laki dari suku Umayyah bernama al-‘Ābas al-Mutawalī duduk di

samping Nabi Muhammad, kemudia datang Ibn Ummi Maktūm

sehingga membuat al-‘Ābas al-Mutawallī bermuka masam. Bahkan ia

menambahkan periwayatan yang sama dari Ja’far b. Muhammad

Ṣādiq, bahwasanya Rasulullah berkata:

كان رسول هللا صلى هللا عليه وآله إذا رأى عبد هللا بن أم مكتوم قال: مرحبا

مرحبا ال وهللا ال يعاتبين هللا فيك أبدا

“Apabila datang Ibn Ummi Maktūm ucaplah marhabān marhabān

(selamat datang), demi allah, tidaklah allah menyalahkan aku

selamanya”.

Periwayatan ini tidak dijelaskan secara lengkap oleh Tabataba’ī,

bahkan di dalam teks aslinya dalam kitab Ja’far b. Muhammad Ṣādiq

27 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 224.

Page 88: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

65

yang berjudul al-ṣahīh min sīrah al-nabī hanya menyebutkan

periwayatn dari Ja’far b. Muhammad Ṣādiq.28

Periwayatan ini ini membuat hatinya menjadi lembut sehingga dia

tidak mau menganggu Nabi Muhammad SAW dalam melakukan

kegiatan. Dari dua periwayatan ini, Tabataba’ī mengatakan ia

berpendapat sebelumnya. Adapun mengenai periwayatan Ṣadiq ini,

Ibn Maktūm tidak ingin menganggu kehadiran Nabi Muhammad SAW

karena banyak prilakunya baik itu menganggu maupun membuat Nabi

malu.29

C. Argumen Kedua Mufasir dalam Menginterpretasikan Bermuka

Masam

1. Perbedaan dalam mengkategorisasi ‘iṣmah

Setelah melakukan pemaparan interpretasi kedua mufasir, maka

pada sub bab ini penulis menjelaskan unsur-unsur iṣmah di dalam

penafsirannya. Pertama, Ibn Katsīr lebih memberikan konsep iṣmah

yang berbeda dengan Ṭabaṭaba’ī dalam menafsiran QS. ‘Abasa [80].

Menurutnya, bermuka masam bukanlah kesalahan yang dikategorikan

sebagai dosa besar, melainkan kesalahan manusiawi, oleh karena itu

Ibn Katsīr beryakinan bahwa ayat ini turun sebagai teguran Nabi

Muhammad SAW terhadap orang buta ynag datang dalam penuh

keikhlasan untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama Islam.

Dalam penelitian ini penulis tendensi dengan argumentasi Ibn Katsīr

bahwa Nabi Muhammad SAW bermuka masam. Hemat penulis,

hikmah adanya teguran dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW juga

28 Ja’far al-Muratada al-‘Ulya, al-Ṣahīh min Sirah al-Nabī al-Mustafa min Sirah

al-Mustafa (Iran: Markaz al-Islamī li Dirasāt, 1990), jilid III, h. 160 29 Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 224.

Page 89: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

66

memberikan bukti bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Nabi

Muhammad SAW, tetapi betul-betul firman Allah. Teguran ini

menjadikan bukti bahwa tidak mungkin dikarang sendiri oleh Nabi

Muhammad SAW.30

Kedua, argumentasi Ṭabaṭaba’ī berlandasan kepada iṣmah. Dari

peristiwa ini Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan

kesalahan baik itu dosa besar maupun dosa kecil meskipun bermuka

masam. Argumentasi yang dihadirkan di antaranya:

a. menghadirkan periwayatan dari Ṣadīq, bahwa yang bermuka

masam bukan lah Nabi Muhammad SAW, melainkan al-

‘Ābas al-Mutawalī.31

b. menghadirkan argumentasi al-Qur’an berupa QS. al-Qalam

[68]: 4 dan al-Syu’arā’ [26]: 215. Secara substansi, ayat ini

menjelaskan bahwa budi pekerti dan akhlak Nabi Muhammad

SAW sangat agung. Maka tidak mungkin Nabi Muhammad

SAW menyimpang dari pernyataan al-Qur’an ini.

Dari kedua argumentasi yang diberikan oleh kedua mufasir,

pendapat yang lebih banyak dipakai dikalangan mufasir adalah

argumentasi Ibn Katsīr.32 Alasan yang diberikan setiap mufasir

tidak jauh berbeda. Sebenarnya Nabi Muhammad SAW sesuai

dengan skala prioritas sedang menghadapi tokoh-tokoh penting

yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini akan

mempunyai pengaruh besar pada perkembangan dakwah

30 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 547. 31 ‘Abbās al-Mutawalī merupakan sahabat Nabi Muhmmad. Menurut

Ṭabaṭaba’ī, dia lah yang bermuka masam ketika Ummi Maktūm yang bertanya kepada

Nabi Muhammad. Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 219. 32 Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H), Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-

Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib ( Dar al-Fikr, 1981), Juz 31, 52.

Page 90: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

67

selanjutnya. Maka adalah manusiawi jika Nabi Muhammad SAW

tidak memperhatikan pertanyaan ‘Abdullah b. Ummi Maktūm,

apalagi telah ada porsi waktu yang telah disediakan untuk

pembicaraan Nabi dengan para sahabat.

Tetapi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia terbaik dan

contoh teladan utama bagi setiap mukmin (uswah hasanah), maka

Nabi Muhammad SAW tidak boleh membeda-bedakan derajat

manusia. Dalam menetapkan skala prioritas juga harus lebih

memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki kelemahan

seperti ‘Abdullah b. Ummi Maktūm yang buta dan tidak dapat

melihat. Maka seharusnya Nabi Muhammad SAW lebih

mendahulukan pembicaraan dengan ‘Abdullah b. Ummi Maktūm

daripada dengan para tokoh pembesar Quraish.

Dalam peristiwa ini Nabi Muhammad SAW tidak

mengatakan sepatah katapun kepada ‘Abdullah b. Ummi Maktūm

yang menyebabkan hatinya kecewa, tetapi Allah melihat dari raut

wajahnya yang bermuka masam tidak mengindahkan Ummi

Maktūm yang menyebabkannya dia tersinggung. Pada dasarnya

‘Abdullah b. Ummi Maktūm adalah seorang yang bersih dan

cerdas. Apabila mendengarkan hikmah, ia dapat memeliharanya

dan membersihkan diri dari kebusukan kemusyrikan. Adapun para

pembesar Quraisy itu sebagian besar adalah orang-orang yang kaya

dan angkuh sehingga tidak sepatutnya Nabi terlalu seius

menghadapi mereka untuk diislamkan. Dalam peristiwa ini juga

merupakan hikmah bahwa Nabi Muhammad SAW hanya orang

biasa (manusiawi) sekaligus memperkuat argumentasi bahwa al-

Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad SAW.33

33 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 547.

Page 91: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

68

Adapun periwayatan yang dipakai oleh Tabtaba’ī bahwa

yang bermuka masam adalah al-‘Ābas al-Mutawalī, periwayatan

ini jarang sekali dikutip oleh tokoh-tokoh mufasir. Sedangkan

periwayatan yang dikutip oleh Ibn Katsīr banyak sekali dipakai

dari kalangan mufasir. Periwayatan yang dipakai oleh Ṭabaṭaba’ī

hemat penulis sebagai memperkuat bahwa Nabi Muhammad SAW

adalah iṣmah. Sedangkan periwayatan yang ditulis oleh Ibn Katsīr

memberikan maksud bahwa Nabi Muhammad SAW adalah

seorang Nabi satu sisi, dan seorang individu manusiawi di sisi

yang lain.

Maka ketika kasus ini terjadi pada Nabi Muhammad, setelahnya

Nabi Muhammad SAW memperlakukan ‘Abdullah b. Ummi

Maktūm dengan baik, menghormatinya, dan sering

memuliakannya sebagaimana Nabi Muhammad SAW

memuliakannya melalui sabdanya dengan melalui periwayatan

Ja’far b. Muhammad Ṣādiq :

مرحبا مبن عاتبين فيه ريب

“Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku

ditegur oleh Allah”.34

Hemat penulis, Periwayatan yang dibawakan oleh

Tabataba’ī melalu jalur riwayat Ja’far b. Muhammad al-Sādiq

tidak ditemukan periwayatan yang lengkap. Pertama, merujuk

kepada kitab induk tafsir Tabataba’ī tidak ditemukan periwayatan

dan sanad yang lengkap. Kedua, merujuk kepada kitab sejarah

yang ditulis oleh Ja’far b. Muhammad al-Sādiq juga tidak

34 Abī Hafs ‘Umar b. ‘Alī b. ‘Ādil, al-Bāb fī ‘U1)um al-Qur’an (Bairut: Dār al-

Kitab al’Ilmiyyah, 1998), jilid 20, 153.

Page 92: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

69

ditemukan periwayatan yang lengkap. Sehingga tidak bisa dilacak

sehingga diasumsi hadits ini adalah da’īf (lemah). Alasan

lainnnyam periwayatan melalui jalur Ja’far b. Muhammad al-Sādiq

juga tidak ditemukan di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

baik itu literatur tafsir maupun sejarah

Argumentasi selanjutnya yang mejadi perbedaan adalah

dalam mengaktegorisasikan tentang iṣmah. Sebab kesalahan yang

dilakukan oleh Nabi bukanlah kesalahan yang bertentangan dengan

akidah, terpelihara dalam menyampaikan risalah, tidak

berhubungan dengan syari’at, tidak dalam keadaan dalam

memberikan fatwa, tetapi melakukan dosa kecil berupa muka

masam. Dalam konsep iṣmah bagi seseorang yang melakukan dosa

kecil menurut pandangan ulama terjadi kotradiktif (ikhtilāf). Bagi

golongon Syi’ah mereka menolak bahwa iṣmah masih toleransi

bagi Nabi yang melakukan dosa kecil. Seperti apa yang

dikonsepkan oleh Al-Murtadha Nabi dan Rasul itu terlepas dari

dosa kecil ataupun dosa besar sebelum dan sesudah kenabian,

konsep inilah menjadi pijakan Madzhab Syi’ah hingga sekarang.

Namun menurut jumhur ulama Ahlu Sunnah Wa al-

Jama’ah (Sunni) seperti Al- Qurthubi bahwa Rasul mungkin saja

melakukan dosa-dosa kecil sekalipun di masa kerasulannya. Ada

pendapat yang mengatakan bahwa dalam hal dosa kecil seorang

Rasul masih mungkin melakukannya selama dosa tersebut tidak

keji. Hal ini menurut sebagian besar golongan Mu’tazilah.35

Dari beberapa pandangan ini sangatlah jelas bahwa

Ṭabaṭaba`ī tendensi berhegemoni dalam teologi syi’ah maka dalam

35 Fakhruddīn al-Rāzī, ‘Iṣmah al-‘Anbiyā’ (Kairo: Maktabah al-Saqāfah al-

Diniyyah, 1986), 42.

Page 93: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

70

kasus ini Nabi Muhammad tidak akan pernah melakukan kesalahan

baik dosa besar maupun dosa kecil berupa bermuka masam.

Sedangkan Ibn Katsīr lebih tendensi yang bergehemoni kepada

diktum Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, bahwa Nabi tidak bisa

terhindar dari melakukan dosa kecil. Maka kasus ini Nabi

Muhammad terbukti melakukan dosa kecil berupa bermuka masam

kepada ‘Abdullah b. Ummi Maktūm.

Setelah memperjelas argumentasi Ibn Katsīr dengan

melihat periwayatannya, maka argumentasi selanjutnya adalah

Allah memberikan teguran supaya mendapatkan hikmah bahwa al-

Qur’an memberikan peringatan dari Allah. Bukan hanya perigatan

untuk Nabi Muhammad SAW saja, melainkan buat seluruh

umatnya. Pada QS. ‘Abasa [80]: 1-10 Allah menjelaskan mengenai

peristiwa sebab Nabi Muhammad SAW bermuka masam,

sedangkan QS. ‘Abasa [80]: 11-16 menjelaskan mengenai Hikmah

dibalik peristiwa itu.

Dalam ayat-ayat ini Allah menegur Rasul-Nya agar tidak

lagi mengulangi tindakan-tindakan seperti itu yaitu ketika ia

menghadapai ‘Abdullah b. Ummi Maktūm dan al-Walīd b. al-

Mughīrah beserta kawan-kawannya. Sesungguhnya pengajaran

Allah itu adalah suatu peringatan dan nasihat untuk menyadarkan

orang-orang yang lupa atau tidak memperharikan tanda-tanda

kebesara dan kekuasaan Tuhannya. Karena derivasi kata tazkirah

diartikan mengingat sesuatu yang sebelumnya diketahui dan

memiliki pengetahuan rasional, maka ketika seseorang lupa maka

perlu adanya tazkirah sebagai pengingat yang sudah lupa.

Pada akhir ayat ini, Allah memperjelaskan bahwa al-Qur’an

diturunkan oleh Allah. Al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang

Page 94: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

71

diturunkan oleh-Nya kepada para nabi. Al-Qur’an merupakan kitab

yang mulia dan tinggi nilai ajarannya dan disucikannya dari segala

macam bentuk pengaruh setan. Al-Qur’an diturunkan dengan

perantara para penulis yaitu para malaikat yang sangat mulia lagi

berbakti, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-Tahrīm [66] 6

ماأمرهموي فعلونماي ؤمرون اي عصونٱللى ل

“Dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-

Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

diperintahkan.”36

Dari penjelasan di atas sangat jelas, bahwa Allah

memberikan teguran kepada Nabi Muhammad SAW mempunyai

hikmah tersendiri yaitu membuktikan kepada kelompok yang

menuduh Nabi Muhammad SAW sebagai pembuat karangan.

Padahal tidak mungkin pengarang bisa salah dalam melakukan

ekspresi terhadap yang ia tulis. Maka inferensinya adalah al-

Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.

Setelah melakukan analisis mengenai argumentasi kedua

mufasir, maka argumentasi yang dipakai oleh penulis adalah Ibn

Katsīr. Sebagai alasan penulis sebagai berikut:

a. Allah menegur Nabi Muhammad SAW karena bermuka

masam dan berpaling dari ‘Abdullah b. Ummi Maktūm,

seorang sahabat yang buta dan memohon diberi pelajaran oleh

Nabi Muhammad SAW ketika ia sedang sibuk menghadapi

pembesar-pembesar Quraisy untuk diajak masuk ke dalam

Islam. Sedangkan al-‘Abbas al-Mutwālī bukanlah orang

bermuka masan dan bukan orang yang ditegur oleh Allah.

36 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya, 550.

Page 95: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

72

b. ‘Abdullah b. Ummi Maktum adalah orang yang mencari

kebersihan diri dengan mengiktui ajaran Islam.

c. Teguran Allah kepada Nabi Muhammad SAW itu karena ia

berpaling dari orang buta yang datang dengan tulus ikhlas

mencari petunjuk, dank arena ia terlalu memperhatikan

pembesar-pembesar Quraisy yang bersikap angkuh hanya

karena mengharapkan mereka masuk Islam.

d. Dengan adanya krtitik dan teguran kepada Nabi Muhammad

SAW menambahkan bukti bahwa al-Qur’an bukanlah

karangan Nabi Muhammad SAW, tetapi betul-betul dari Allah.

e. Pelajaran dari Allah merupakan peringatan bagi Nabi

Muhammad SAW dan manusia yang perlu diperhatikan dan

diamalkan. Orang yang menghendaki hidayah tentu

memperhatikannya karena merasa perlu pada hidayah.

f. Hidayah (peringatan) itu terdapat di dalam al-Qur’an yang

mulia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

g. Teguran pertama dari Allah adalah “Apa yang

memberitahukan kepadamu tentang keadaan orang buta ini?

Boleh jadi ia ingin membersihkan dirinya dengan ajaran yang

kamu berikan kepadanya atau ingin bermanfaat bagi dirinya

dan ia mendapatkan keridhaan dari Allah. Sedangkan pelajaran

itu belum tentu bermanfaat bagi orang Quraisy”. Teguran

kedua dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW, “Adapaun

orang orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba

cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman

kepadamu, mengapa engkau bersikap terlalu tendensi pada

mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk Islam”.

Teguran ketiga dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW,

Page 96: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

73

“Adapun orang seperti ‘Abdullah b. Ummi Maktūm yang

datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan

petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada

Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu

bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan

permintaanya.

2. Menentukan subjek pada derivasi ‘abasa

Setelah melakukan penjabaran periwayatn masing-masing,

maka sebagai pelaku di dalam teks ‘abasa memiliki perbedaan.

Subjek yang bermuka masam kepada ‘Abdullah b. Ummī

Maktūm adalah tunggal, sehingga tidak terjadi plural dalam

menentukan subjek. Menurut Ibn Katsīr yang menjadi subjek

(fā’il) dalam peristiwa bermuka masam adalah Nabi Muhammad

SAW, berdasarkan periwayatan yang ia jelaskan di dalam kitab

tafsirnya.

Sedangkan pendapat Ṭabaṭaba’ī di dalam tafsīr al-mizān,

bahwa yang menjadi subjek (fā’il) dalam peristiwa bermuka

masam adalah al-‘Ābas al-Mutawallī yang duduk di samping

Nabi Muhammad SAW. Perbedaan ini terjadi dikarenakan

periwayatan yang ditulis memiliki perbedaan yang sangat

signifikan. Dari penjelasan di atas, kedua mufasir tidak

memberikan subjek (fāil) plural melainkan pelaku yang tunggal,

baik itu subjeknya Nabi Muhammad SAW maupun Ibn ‘Ābas al-

Mutawallī.

3. Mengaktualisasi konsep uswah hasanah

Secara defenisi uswah hasanah merupakan teladan yang

baik. Di dalam al-Qur’an derivasi kata uswah hasanah disebut

Page 97: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

74

sebanyak tiga kali.37 Di antaranya QS. al-Ahzāb [33]: 21, QS. al-

Mumtahanah [60]: 4 dan 6. Pada dasarnya konsep uswah hasanah

memberikan nilai-nilai positif untuk bisa diaktualisasikan dan

diikuti oleh para umat. Kedua mufasir sepakat mengartikan

uswah hasanah sebagai teladan yang baik bagi Nabi Muhammad.

Hanya saja Ṭabaṭaba’ī memberikan klasifikasi mengenai karakter

yang baik.

Menurut Ṭabaṭaba’ī ada dua hal yang harus diperhatikan

dalam mengartikan uswah hasanah. Pertama, pada diri Nabi

Muhammad memiliki kebaikan yang harus diikuti oleh umat-

umatnya. Kedua, derivasi uswah hasanah diartikan dengan

kebiasaan Nabi untuk diikuti oleh umat-umatnya dan ini

merupakan karakter yang hanya untuk menyenangkan diri Nabi

Muhammad SAW.38 Bagi al-Ṭabaṭaba’ī pengertian yang dipakai

adalah yang pertama. Pengertian yang digunakan oleh Ṭabaṭaba’ī

ini juga dipakai oleh kalangan syi’ah. Bagi mereka semua yang

ada pada diri Nabi Muhammad SAW merupakan teladan yang

baik dan harus diikuti oleh umat-umatnya. Sesuai dengan

pengertian sunnah yaitu:

ماأضيفإلالنيبمنقولأوفعلأوتقريرأوصفةخلقي لةأوخلقية

Pengertian ini memberikan informasi bahwa apa yang adala

di dalam diri Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan,

perbuatan, penetapan, karakter, maupun kebiasaan harus diikuti.

Derivasi خلقية diartikan dengan kebiasaan Nabi Muhammad SAW,

37 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an

al-Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Kitab al-Misriyyah), h. 34 38 Lihat Muhammad Husain Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 295.

Page 98: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

75

sedangkan خلقية diartikan sebagai moralitas dan akhlak Nabi

Muhammad SAW. Pengertian ini banyak dipakai oleh kelompok

syi’ah dan tentunya dipakai oleh Ṭabaṭaba’ī dalam menafsirkan

QS. al-Ahzāb [33] 21, bahwa maksud dari uswah hasanah adalah

semua yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW merupakan

teladan yang baik.

Argumen yang lainnya sebagai penguat bahwa Nabi

Muhammad SAW merupaka teladan yang baik dan mustahil

untuk melakukan keburukan meskipun itu tuduhan bermuka

masam adalah QS. al-Najm [53] 3-4. Secara garis besar ayat ini

memberikan penjelasan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak

memberikan pernyatan sesuai keinginan hawa nafsunya

melainkan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Pada

kasus Nabi bermuka masam, jelas sekali Ṭabaṭaba’ī menolak

tuduhan Nabi bermuka masam. Sebab dengan analogi yang jelas,

tidak mungkin Nabi Muhammad SAW melakukan tindakan yang

enigma karena Nabi sudah didelegasikan oleh Allah sebagai

teladan, baik itu teladan khuluqiyyah maupun khilqiyyah.

Ditambah lagi bagi Ṭabaṭaba’ī QS. ‘Abasa [80] itu turunya

sesudah QS. al-Najm [53] 3-4, sehingga Nabi Muhammad SAW

mustahil melakukan tindakan seperti itu sedangkan Allah sendiri

sudah memberikan pernyatan bahwa Nabi Muhammad SAW

merupakan suri teladan yang baik bagi umat-umatnya.

4. Perbedaan dan Persamaan dalam Menginterpretasi QS. ‘Abasa

[80] 1-16

Page 99: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

76

Setelah mengetahui pola penafsiran dari kedua mufasir maka

langkah selanjutnya adalah penulis melihat titik perbedaan dan

persamaan dari kedua mufasir sebagai berikut:

Perbedaan kedua mufasir dalam menginterpretasi QS. ‘Abasa

[80]: 1-16

a. Ibn Katsīr lebih tendensius kepada periwayatan dari Ahl

Sunnah wa al-Jama’ah, sedangkan Ṭabaṭaba’ī secara tidak

langsung ia memihak kepada syi’ah yang secara fundamen

teologinya banyak dipengaruh oleh syi’ah.

b. Ibn Katsīr mengangap Nabi Muhammad SAW sebagai pelaku

bermuka masam terhadap Ibn Ummi Maktūm, sedangkan

Ṭabaṭaba’ī tidak menyatakan Nabi Muhammad SAW yang

bermuka masam melainkan laki-laki dari suku Umayyah

bernama al-‘Ābas al-Mutawali.

c. Perbedaan maksud kata seperti kata سفرة. Ibn Katsīr

mengartikan itu malaikat, sedangkan Ṭabaṭaba’ī mengartikan

Rasulullah.

d. Ibn Katsīr tidak menjelaskan argumentasinya jika Nabi

Muhammad SAW bermuka masam karena ia melihat

periwayatan sebagai bukti dan argumentasi yang faktual.

Sedangkan Ṭabaṭaba’ī menjelaskan argumentasinya menolak

bahwa Nabi Muhammad SAW bermuka masam.

e. Ibn Katsīr tidak mencantumkan periwayatan syi’ah, tetapi

Ṭabaṭaba’ī menghadirkan kedua periwayatan sebagai

gambaran untuk pengetahuan.

Page 100: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

77

f. Ibn Katsīr tidak menjelaskan secara mendetail mengenai

gramatika arab (nahwu), sedangkan Ṭabaṭaba’ī cukup banyak

mencantumkan pembahasan gramatika arab (nahwu).

g. Dalam menyampaikan argumentasi, Ibn Katsīr lebih banyak

menghadirkan periwayatan. Sedangkan Ṭabaṭaba’ī sedikit

bahkan jarang mengutip periwayatan.

Persamaan kedua mufasir dalam menginterpretasi QS. ‘Abasa [80]

1-16

a. Kedua mufasir secara impilisit memiliki kesamaan dalam

membagikan konteks setiap ayat, di antaranya: ayat satu

sampai 10 berkenaan tentang teguran kepada yang bermuka

masam baik itu Nabi Muhammad SAW pendapat Ibn Katsīr,

dan al-‘Ābas al-Mutawallī dari pendapat Ṭabaṭaba’ī.

Sedangkan ayat sebelas sampai enam belas membahas tentang

al-Qur’an pemberi peringatan dari Allah.

b. Memiliki kesamaan dalam memaknai kata di dalam ayat,

misalnya kata تذكرة. Menurut Ibn Katsīr adalah seluruh ayat

dalam al-Qur’an, begitupun Ṭabaṭaba’ī mengartikannya

seluruh ayat al-Qur’an.

c. Memiliki kesamaan objek dari bermuka masam adalah Ibn

Ummi Maktūm.39

39 Ibn Ummī Maktûm memiliki nama lengkap yaitu ‘Abdullah b. Syarīh b.

Mālik b. Rabī’ah, al-Fahrawī dari anak ‘Āmir b. Lu’ai. Lihat Muhammad Husain

Ṭabaṭaba’ī, al-Mizān Fī Tafsīr al-Qur’an, 222-223 .

Page 101: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis data di atas, maka dapat disimpulkan

di antaranya:

Ibn Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya, bahwa yang bermuka

masam adalah Nabi Muhammad SAW kepada ‘Abdullah b. Ummi

Maktûm. Sedangkan penafsiran Tabataba’î bukanlah Nabi Muhammad

SAW bermuka masam melainkan seseorang yang duduk di sampingnya

yaitu al-’Abbâs al-Mutawâlî.

Argumentasi yang dipakai oleh Ibn Katsir adalah periwayatan yang

dipakai oleh mayoritas mufasir yaitu ‘Â`isyah, ‘Anas b. Mâlik, dan Ibn

‘Abbâs. Kemudian peristiwa ini memberikan hikmah bahwa al-Qur’an

betul-betul bukan dikarang oleh Nabi Muhammad. Sedangkan

argumentasi Tabataba’î di dalam tafsirnya adalah periwayatan dari

Ṣadīq yang selalu dikutip oleh kelompok Syi’ah.

Adapun konsep ismah terhadap peristiwa ini, Ibn Katsîr

mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW kemungkinan bisa

melakukan dosa kecil sebagaimana layaknya manusia biasa. Sedangkan

bagi Tabataba’î Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan

kesalahan, karena ma’sûm dari kesalahan baik dosa besar maupun dosa

kecil.

Page 102: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

79

B. Saran

Adapun saran-saran penulis setelah melakukan penelitian ini

yaitu:

1. Penelitian ini masih dikategorikan belum maksimal,

dikarenakan penafsiran ayat tentang Nabi Muhammad bermuka

masam hanya fokus kepada studi komparatif dua mufasir.

2. Penelitian terhadap mufasir Ibn Katsir dan Tabataba’î sudah

banyak dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan

diteliti. Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar ada

kelanjutan mengenai konsep ismah dengan menggunakan ayat-

ayat yang lain

3. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat-ayat yang

menyinggung persoalan teguran Allah terhadap Nabi

Muhammad SAW. Tujuan dari peristiwa terdapat tarbiyah dan

uswah. Perihal ini peneliti menyarankan agar ada kelanjutan

penelitian terkait kasus ini.

Page 103: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

80

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, M. Mustamin. “Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa

Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-

Munīr li Ma`ālim al-Tanzīl.” Desertasi Doktor pada Universitas

Al-Azhar Kairo-Mesir. 2000.

Arsyad, M. Mustamin. “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd Terhadap

Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara.” Studi Al-Qur’an. Vol.

I, No. 3. 2006.

Arsyad, Sobby. Buku Daras Potret Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia.

Lampung: Bandar Lampung Press. 2007.

al-Asfahānī, al-Rāghib. Mufradāt Alfādz al-Qur’an. t.t: Dār al-Qalam.

2009.

al-‘Asy’arī, Abū al-Hasan ‘Alī b. Ismā’il b. Ishāq b. Sālim b. Ismā’il b.

‘Abdullah b. Mūsa b. Abī Bardah b. Abī Mūsa. Risālah ila Ahli

al-Tsaghri bi bāb al-Abwāb. Madinah: al-Mamlakah al-

‘Arabiyyah al-Su’udiyyah. 2010.

Bahary, Ansor. “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh

Labīd Nawawi al-Bantani.” Ulul AlBab. Vol. 16, No. 2 tahun

2015.

al-Bāqī, Muhammad Fu’ād ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-

Qur’an al-Karīm. Mesir: Dār al-Hadīts.

Page 104: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

81

Burhanuddin, Mamat. Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren: Analisis

Terhadap Tafsir Marāh Labīd Karya K.H. Nawawi Banten.

Yogyakarta: UII Press. 2006.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan

Hidup Kiyai. Jakarta: LP3S. 1982.

al-Dīnawarī, Abū Muhammad ‘Abdullah b. Muslim b. Qutaibah, Ta’wīl

Muskil al-Qur’an. Beirut: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah. 2010.

al-Dzhahabī, Muhammad Husain. Tafsīr Wa Mufassirūn. T.t: Maktabah

Wahbah. 2000.

Fāris, Zakariyā Abū Husain. Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. T.t.: Mufahris

Fihrasah Kāmilah. 2009.

al-Farmawī, Abū al-Hayy. al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy.

Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah. 1977.

Ichwan, M. Nor. Belajar Al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu

al-Qur’an melalui pendekatan Histors Metodologis. Semarang:

Rasail 2005.

Miftahudin b. Kamil. Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek

Metodologi. Malaysia: Universiti Malaya. 2007.

Kementrian Agama RI, Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta:

Lentera Abadi. 2010.

Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo

Persada. 2010.

Page 105: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

82

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Posdakarya. t.t.

Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islqam di

Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo. 2005.

al-Nawawī, Muhammad b. ‘Umar b. al-Jāwī. Marāh Labīd Li Kasyf

Ma’na al-Qur’an al-Majīd. Libanan: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah.

1997.

Parhani, Aan. “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam

Tafsir Marāh Labīd.” Tafsere. Vol. 1. No. 1. 2013.

al-Qattān, Manna Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT. Pustaka

Litera Antar Nusa. 2013.

al-Rahman, ‘Abd. “Nawawi al Bantani; an Intellectual Master of The

Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. No. 3 1996.

Raziqin, Badiatul. Dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta:

e-Nusantara. 2009.

Said, Hasani Ahmad. Diskusi Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis

Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-

Misbah. Jakarta: Lecture Press. 2013.

al-Shiddieqy, M. Hasby. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: PT. Bulan

Bintang. 1993.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Ciputat: Lentera Hati. 2003.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 2003.

Page 106: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

83

Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau Dari Aspek

Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung:

Mizan. 2013.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian

al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati. 2007.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B. Bandung:

Alfabeta. 2017.

Sunanto, Musyrifah. Nawawi al Bantani: Ulama Indonesia Pengarang

Tafsir Munir (Hasil Penelitian). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2000.

al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman b. Abī Bakr Abū al-Fadl, al-

Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Madinah: al-Irsyād al-Su’udiyyah.

2008.

al-Syahrastanī, Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm b. Abī Bakr

Ahmad. Al-Milal Wa al-Nihal. Beirut: Dār al-Fikr. 2002.

Tihami. Pemikiran Fiqh al Syaikh Muhammad al Nawawi al Bantani,

Disertasi Program Pascasarjana. Jakarta: Perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 1998.

Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Quran. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. 1996.

Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-

Mishbah.” Hunafa: Jurnal Studia Islamika. t.t.

al-Zarkasyī, Badr al-Dīn. al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. T.t.: Dār al-

Turāts. 2008.

Page 107: KAJIAN ATAS TAFSIR NABI BERMUKA MASAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49917...angkatan 2014. Julius Rahman, Ferisco Khusyufi, Willa, Rahmi, Salimah Zahro, Fida, Aisyah,

84

al-Zarqānī, Muhammad Abd al-‘Adzīm. Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-

Qur’an. Dār al-Kitab al-‘Arabī. t.t.

http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/11/nalar-fiqh-muhammad-

quraish shihab/

http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab