jurnal pembangunan daerah kementerian dalam negeri dirjend bangda edisi 2 tahun 2013 isi

87
iii JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013 Dewan Redaksi PELINDUNG : Menteri Dalam Negeri PENANGGUNGJAWAB : Dr. H. Muh. Marwan, M.Si KETUA DEWAN REDAKSI : Dr. Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc ANGGOTA : Hasiholan Pasaribu, SE., MPKP Drs. Binar Ginting, MM Edi Sugiharto, SH., M.Si Widodo Sigit Pudjianto, SH., MH Ir. Dadang Sumantri Muchtar REDAKTUR UTAMA : Drs. A. Damenta, Mag.rer.publ REDAKTUR PELAKSANA : Fitriani, STP., MT., M.Sc EDITOR : Ahmad Anshori Wahdy, SE., MBA Emile Boeky, ST., M.Si Nita Sosiawati, ST., MT Muhammad Nur Fajar Asmar, S.STP Dede Sulaeman, S.PdI Azwar, S.S., M.Si MITRA BESTARI : Prof. Dr. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ Achmad Adhitya, M.Sc., Ph.D Dr. Moch. Fachrurrozi, M.Si Dr. Rulli Nasrullah, M.Si TATA LETAK : Deni Irawan, S.IKom ALAMAT REDAKSI : Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7992537 Email: [email protected]

Upload: roesdianto-shaffan-sagarino

Post on 23-Jul-2016

247 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Penulis Rusdianto dan di Publikasikan oleh Rusdianto Samawa Tarano Sagarino

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

iii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Dewan Redaksi PELINDUNG : Menteri Dalam Negeri PENANGGUNGJAWAB : Dr. H. Muh. Marwan, M.Si KETUA DEWAN REDAKSI : Dr. Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc ANGGOTA : Hasiholan Pasaribu, SE., MPKP Drs. Binar Ginting, MM Edi Sugiharto, SH., M.Si Widodo Sigit Pudjianto, SH., MH Ir. Dadang Sumantri Muchtar REDAKTUR UTAMA : Drs. A. Damenta, Mag.rer.publ REDAKTUR PELAKSANA : Fitriani, STP., MT., M.Sc EDITOR : Ahmad Anshori Wahdy, SE., MBA Emile Boeky, ST., M.Si Nita Sosiawati, ST., MT Muhammad Nur Fajar Asmar, S.STP Dede Sulaeman, S.PdI Azwar, S.S., M.Si MITRA BESTARI : Prof. Dr. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ Achmad Adhitya, M.Sc., Ph.D Dr. Moch. Fachrurrozi, M.Si Dr. Rulli Nasrullah, M.Si TATA LETAK : Deni Irawan, S.IKom ALAMAT REDAKSI : Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7992537 Email: [email protected]

Page 2: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

iv

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Page 3: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

v

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Pengantar Redaksi

erubahnya secara sistemik sektor pertanian ke industri manufaktur di Indonesia masih belum berjalan dengan baik. Sebab sebagian besar tenaga kerja masih menggantungkan mata pencahariannya pada sektor pertanian. Hanya sebagian kecil petani di desa yang sukses berwirausaha mengolah hasil-hasil pertaniannya. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan proses transformasi yang melompat dari pertanian ke sektor jasa. Dengan begitu petani secara berangsur-angsur bisa mengembangkan jasa-jasa lingkungan dan sosial spesifik di

wilayahnya masing-masing. Petani memiliki pilihan dan ragam produksi tidak hanya dari usaha tani, ikan, atau

ternak, tetapi juga berasal dari usaha jasa ekowisata maupun penunjang wisata lainnya. Hal ini pada gilirannya akan menghasilkan insentif untuk mengkonservasi sistem produksi pertanian, nilai-nilai tradisi dan budaya serta kelestarian lingkungan.

Jalan keluar tersebut harus diupayakan dengan optimal. Namun demikian, akan sangat sulit jika petani atau penduduk lokal berusaha sendiri. Artinya, mereka perlu dibantu dengan berbagai kebijakan dan program yang relevan oleh pemerintah. Di sini, Iwan Nugroho, Guru Besar Universitas Widyagama, Malang secara khusus menelaah pengembangan potensi ekowisata untuk mendukung pembangunan daerah. Artikelnya berjudul, Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah.

Artikel kedua ditulis Eka Intan Kumala Putri, Staf Pengajar pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengkaji peran dan fungsi kecamatan di era otonomi daerah dalam perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia. Menurutnya, perencanaan KSCT merupakan target yang harus disusun oleh pemerintah daerah (pemda), sebagai implementasi dari Permendagri Nomor 29 tahun 2008.

Seperti perencanaan kawasan lainnya, penyusunan perencanaan KSCT membutuhkan adanya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi kebijakan/program pembangunan dan pengembangan pada suatu kawasan tertentu. Yang paling mendasar dari kajian ini adalah pembahasan mengenai kemungkinan kecamatan difungsikan dalam implementasi perencanaan KSCT dengan memanfaatkan kemungkinan celah dan ruang yang bisa diberdayakan dari fungsi dan peran kecamatan saat ini. Artikelnya berjudul, Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia.

B

Page 4: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

vi

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Dalam artikel ketiga, Abdul Gafar Santoso, Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Hidup membahas secara detail mengenai Community Development Responsibility (CDR) sebagai Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan di Daerah. Menurutnya, sebenarnya masih banyak dana yang berasal dari dunia usaha dan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan. Dana tersebut tidak harus selalu berasal dari pajak dan atau retribusi yang diperoleh dan dikumpulkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dari dunia usaha dan masyarakat. Dalam hal ini masih banyak dana khususnya dari dunia usaha yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan terutama pembangunan di daerah. Nah, perusahaan-perusahaan tersebut juga harus menyediakan dana dan melaksanakan kewajiban turut membangun wilayah lingkungan di mana kegiatannya berada. Kegiatan membangun sekitar areal kerja perusahaan ini dikenal dengan istilah CDR. Menurut penulisnya, pemanfaatan dana CDR merupakan salah satu alternatif pembiayaan pembangunan daerah. Dalam kajian ini, dikaji pula contoh tentang adanya kemungkinan dana-dana yang berasal dari kegiatan dunia usaha yang seharusnya dapat diarahkan oleh pemerintah daerah guna pembangunan di daerahnya. Artikelnya berjudul, CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah.

Artikel keempat, ditulis Supadiyanto, Dosen Tetap Akademi Komunikasi Radya Binatama (AKRB) AMIKOM Group Yogyakarta mengkaji pembangunan nasional dengan berbasis ekonomi kelautan. Menurutnya, pembangunan nasional yang bervisi daratan dan kelautan harus dijalankan secara seimbang dan proporsional. Kebijakan tersebut akan menjadi langkah pertama yang diharapkan dapat mengubah tatanan perekonomian nasional. Sehingga diharapkan peta kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dapat dihapuskan, menggantikannya dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan konsep pembangunan nasional yang berbasis ekonomi kelautan. Artikelnya berjudul, Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan.

Dalam artikel kelima, Rusdiyanto, Ketua Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah, Madiun, Jawa Timur mengkaji mengenai peningkatan produktivitas ketahanan pangan yang berkelanjutan. Menurutnya, konektivitas pembangunan merupakan metode efektif dalam produktifitas pembangunan pangan yang bertujuan terbentuknya masyarakat berdaya saing, mandiri dan sejahtera. Hal itu harus dilakukan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan proses evaluasinya. Artikelnya berjudul, Konektivitas Pembangunan Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas Ketahanan Pangan Berkelanjutan.[]

Page 5: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

vii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Daftar Isi

PENGANTAR REDAKSI v

DAFTAR ISI vii

PENGEMBANGAN EKOWISATA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH Oleh: Iwan Nugroho

1

PERAN DAN FUNGSI KECAMATAN DI ERA OTONOMI DAERAH DALAM PERENCANAAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH (KSCT) DI INDONESIA Oleh: Eka Intan Kumala Putri

17

CDR, POTENSI YANG TERABAIKAN DALAM PEMBANGUNAN DAERAH Oleh: Abdul Gafar Santoso

31

PEMBANGUNAN NASIONAL BERBASIS EKONOMI KELAUTAN Oleh: Supadiyanto

45

KONEKTIVITAS PEMBANGUNAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN Oleh: Rusdiyanto

57

Page 6: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

viii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Page 7: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

1

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

Iwan Nugroho

[email protected] Rektor Universitas Widyagama Malang

ABSTRAK

Transformasi sektor pertanian ke industri manufaktur di Indonesia menghadapi kendala

yang serius. Sebagian besar tenaga kerja masih menggantungkan kepada sektor pertanian. Hanya sebagian kecil petani di desa yang sukses berwirausaha mengolah hasil-hasil pertaniannya. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan proses transformasi yang melompat dari pertanian ke sektor jasa. Petani secara berangsur-angsur dapat mengembangkan jasa-jasa lingkungan dan sosial spesifik di wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, petani atau penduduk lokal memiliki pilihan dan ragam produksi tidak hanya dari usaha tani, ikan atau ternak, tetapi juga berasal dari usaha jasa ekowisata maupun penunjang wisata lainnya. Hal ini pada gilirannya akan menghasilkan insentif untuk mengkonservasi sistem produksi pertanian, nilai-nilai tradisi dan budaya serta kelestarian lingkungan. Jalan keluar tersebut harus diupayakan dengan optimal. Tapi, petani atau penduduk lokal tidak dapat berupaya sendiri. Mereka perlu dibantu dengan berbagai kebijakan dan program yang relevan oleh pemerintah. Kajian ini mencoba menelaah pengembangan potensi ekowisata untuk mendukung pembangunan daerah. Kata kunci: ekowisata, pembangunan, daerah

ABSTRACT

The transformation of agricultural sector to industrial sector faces a serious issue. Most

of the man-power still lean on agricultural sector. Only a few of farmers are succeeding in agricultural entrepreneurship. The solution is jumping from agricultural into service sector. Farmers are gradually developing services and social, specifically on their own region. Therefore, farmers and local societies have their own choices and production variety, not only agriculture, fishery and livestock but also eco-tourism or other tourist-supporting. This in turn would generate incentives to conserve agricultural production systems, values and cultural traditions as well as environmental sustainability. The way out must be pursued to the optimum. But, they cannot seek it for themselves. They need to be assisted

Page 8: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

2

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

with a variety of relevant policies and programs by the government. This study attempts to examine the potential for ecotourism development to support regional development. Keyword: eco-tourism, regional, development

Latar Belakang

Transformasi pembangunan ekonomi Indonesia menarik ditelaah. Bagi Indonesia, transformasi dari sektor pertanian ke industri manufaktur menghadapi kendala yang serius, yakni lemahnya sektor permodalan, keterampilan maupun entrepreneurship untuk mengolah produk-produk pertanian. Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar tenaga kerja masih menggantungkan kepada sektor pertanian. Hanya sebagian kecil petani di desa yang sukses berwirausaha mengolah hasil-hasil pertanian.

Jalan keluar yang dapat disarankan adalah proses transformasi yang melompat dari pertanian ke sektor jasa. Petani secara berangsur-angsur dapat mengembangkan jasa-jasa lingkungan dan sosial spesifik di wilayahnya masing-masing. Dengan penduduk yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang dari 300 bahasa, serta ragam (warisan) budaya yang tinggi, merupakan aset utama yang dapat dikemas sebagai produk wisata (Ardiwidjaja, 2006). Dengan demikian, petani atau penduduk lokal memiliki pilihan dan ragam produksi tidak hanya dari usaha tani, ikan atau ternak, tetapi juga berasal dari usaha jasa ekowisata maupun penunjang wisata lainnya. Hal ini pada gilirannya akan menghasilkan insentif untuk mengkonservasi sistem produksi pertanian, nilai-nilai tradisi dan budaya serta kelestarian lingkungan. Pemanfaatan konstelasi geografi tersebut dapat memperkuat wawasan kebangsaan dan geopolitik Indonesia (Pokja Wasantara, 2010). Pemerintah daerah (pemda) secara langsung atau tidak langsung juga memperoleh manfaat dari kegiatan ekowisata.

Tentu saja jalan keluar tersebut harus diperjuangkan. Petani atau penduduk lokal tidak dapat berupaya sendiri. Mereka perlu dibantu dengan berbagai kebijakan dan program yang relevan. Tidak hanya petani, unsur-unsur pemda juga perlu menjalani proses pembelajaran untuk memahami ekowisata atau pariwisata. Memahami apalagi menjalankan dunia ekowisata atau pariwisata memerlukan perubahan sikap dan perilaku untuk lebih terbuka dan toleransi, serta bersedia memperbaiki diri sesuai budaya pariwisata.

Tulisan ini mencoba menelaah pengembangan potensi ekowisata untuk mendukung pembangunan daerah.

Ekowisata

Pariwisata (tourism) atau kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat

Page 9: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

3

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha (UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan).

Definisi pariwisata atau tourism memiliki ruang lingkup dan kegiatan yang luas, setidaknya meliputi lima jenis kegiatan meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan bisnis (business travel). Posisi ekowisata (ecotourism) memang agak unik, berpijak pada tiga kaki sekaligus, yakni wisata pedesaan, wisata alam dan wisata budaya.

Menurut The International Ecotourism Society (TIES), ekowisata adalah kegiatan

perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor usaha ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (TIES, 2006).

Sebagai suatu usaha ekonomi, operasional jasa ekowisata sangat efisien dan ramping. Karakteristiknya adalah jumlah rombongan pengunjung rendah (low volume), pelayanan berkualitas (high quality) dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi (high value added). Aspek manajemen mencakup pertama, pemasaran yang spesifik menuju tujuan ekowisata; kedua, pasar ekowisata adalah pengunjung seluruh dunia yang menguasai teknologi informasi (IT); ketiga, ke-terampilan dan layanan secara intensif, mengandung layanan pendidikan terhadap ling-kungan dan budaya; keempat, keterlibatan penduduk lokal sebagai subyek pembelajaran konservasi lingkungan dan budaya.

Kelembagaan ekowisata di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengembangan kawasan konservasi (protected area), khususnya wilayah taman nasional (TN), yang menyebar di hampir seluruh wilayah Nusantara (lihat Lampiran 1). Ada beberapa alasan yang mendasari. Pertama, taman nasional memiliki kapasitas normatif dalam upaya-upaya konservasi, misalnya (i) memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi, flora dan fauna yang khas,

Sustainable tourism

Gambar 1. Tourism dan ekowisata (Wood, 2002)

Ecotourism

Business travel

Beach tourism

Sun tourism

Rural tourism

Natural tourism

Cultural tourism

Page 10: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

4

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

terancam dan mendekati kepunahan, dan (ii) daerah resapan air. Kedua, taman nasional memiliki kompetensi normatif untuk pemanfaatan jasa lingkungan, pengelolaan ekosistem, standar dan prosedur, keamanan dan kenyamanan, pendidikan dan keterampilan, penelitian dan pengembangan, kerjasama internasional, partisipasi pengelolaan oleh operator (swasta), dan pengembangan promosi. Ketiga, taman nasional men-dominasi luasan kawasan konservasi nasional, yakni 65 persen. Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KSA terdiri yakni cagar alam dan suaka margasatwa; KPA terdiri dari taman nasional, taman wisata alam serta taman hutan raya. Luasan kawasan konservasi telah mencapai 414 situs atau luasan 23.1 juta hektar, terdiri 18.4 juta hektar daratan dan 4.7 juta hektar pesisir dan laut. Kawasan konservasi darat masih di bawah 10 persen luas daratan, sebagai ambang yang disarankan oleh Convention on Biodiversity (USAID Indonesia, 2004).

Oleh sebab itu, kelembagaan TN dianggap sebagai komponen penting dalam pengembangan ekowisata, pengelolaan kawasan konservasi, serta upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati dalam skala nasional maupun internasional (Rothberg, 1999). Jasa ekowisata meru-pakan sektor riil terdepan yang mengemas jasa lingkungan dan budaya sehingga menghasilkan manfaat bagi banyak kepentingan untuk mendukung pem-bangunan berkelanjutan.

Kelembagaan ekowisata di luar wilayah TN juga dapat dikembangkan. Wilayah tujuan ekowisata tersebut biasanya memiliki karakteristik konservasi yang kuat dalam aspek sosial maupun lingkungan. Kearifan, pengalaman dan nilai-nilai budaya sedemikian menyatu dengan lingkungan untuk mendukung kehidupan ekonomi. Wilayah tujuan ekowisata itu dapat menjadi bagian dari ekosistem pesisir, lautan, atau daratan; di sekitar kawasan konservasi, desa atau wilayah yang memiliki nilai-nilai khas yang harus diwariskan untuk generasi mendatang.1

Produk dan jasa ekowisata meliputi enam jenis (Manurung, 2002): (i) pemandangan dan atraksi lingkungan dan budaya, misalnya titik pengamatan atau sajian budaya; (ii) manfaat lanskap, misalnya jalur pendakian atau tracking; (iii) akomodasi, misalnya pondok wisata, restoran; (iv) peralatan dan perlengkapan, misalnya sewa alat penyelam dan camping; (v) pendidikan dan keteram-pilan, dan (vi) penghargaan, yakni prestasi di dalam upaya konservasi (lihat Tabel 1, contoh ekowisata di Jawa Timur).

Ditemukannya enam produk pada suatu wilayah tujuan ekowisata menunjukkan pengelolaan berjalan optimal, dan mencerminkan pembelajaran dari produk satu hingga kelima dan memperoleh penghargaan konservasi tingkat dunia (produk keenam). 1 Beberapa desa ekowisata telah berkembang, antara lain desa Candirejo, kec. Muntilan (Kab Magelang); desa Pelaga dan Belok Sidan, Kec Petang (Kab Badung); Desa Nusa Ceningan, Kec Nusa Penida (Kab. Klungkung); Desa Sibetan, Kec Bebandem (Kab Karangasem); Desa Tenganan, Kec Karangasem (Kab Karangasem) (Warta Kehati edisi Desember 2000)

Page 11: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

5

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Pengembangan produk ekowisata di Indonesia sebagian besar masih sampai ke empat, yang berarti belum menguasai kegiatan-kegiatan interpretasi.

Tabel 1. Produk dan Jasa Ekowisata pada wilayah Taman Nasional di Jawa Timur

No Produk dan jasa ekowisata

Taman Nasional Bromo Tengger

Semeru Meru Betiri Baluran Alas Purwo

1 Pemandangan dan atraksi lingkungan dan budaya

flora dan fauna; lautan pasir, matahari terbit; savana, ranu pane, ranu kumbolo, air terjun (trisulo dan pelangi); budaya Tengger, upacara kasodo dan karo,

flora dan fauna; Gunung Meru Betiri, Teluk Hijau, Teluk Permisan, Teluk Damai; habitat dan pembiakan penyu di pantai Sukamade, Pantai Rajegwesi

flora dan fauna; gunung: gunung Baluran calderanya, gunung klosot, gunung priuk, gunung glenseran, gunung kakapa, gunung motor

flora dan fauna; pantai trianggulasi, plengkung, pasir gotri; goa istana, goa putri, goa padepokan, budaya blambangan, pura hindu,

2 Manfaat lansekap pendakian gunung Semeru, Bromo, Widodaren, Batok, offroad, trekking lautan pasir, trekking savana, para layang

Menjelajahi hutan di Teluk Hijau, trekking Bande Alit-Sukamade (3 hari), panjat tebing, wisata bahari, kampung nelayan tradisionil

Wisata bahari, memancing, kano menyusuri pantai, menyelam/snorkeling di Bama, Balanan, Bilik; mendaki gunung Baluran, trekking savana

Selancar di Plengkung. jelajah hutan, mengamati banteng di Sedengan, trekking Trianggulasi, Plengkung

3 Akomodasi dan fasilitas layanan pendukung

hotel, restoran, pondok wisata di Ngadisari dan Ranu pane, camping ground

Wisma peneliti, pondok wisata, menara pandang, camping ground

Wisma peneliti, kantin, menara pandang di Bekol dan Samiang untuk pengamatan satwa, camping ground

Wisma peneliti, pondok wisata, selancar, menara pandang di Sedengan, shelter, camping ground

4 Peralatan dan perlengkapan

Pemandu wisata, Sewa kuda, motor ojek, offroad

Pemandu wisata, motor jagawana

Pemandu wisata, motor ojek/jagawana

Pemandu wisata, motor ojeg, sewa boat, sewa alat selancar, motor jagawana,

5 Pendidikan dan ketrampilan

Penelitian kearifan lokal,

Penelitian penyu, ekspedisi harimau jawa

Penelitian kerbau liar Penyelamatan banteng, penyu dan sawo kecik

6 Penghargaan, prestasi konservasi atau layanan

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Sumber: dikompilasi dari www.dephut.go.id dan Nugroho dan Negara (2008)

Page 12: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

6

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Relevansi Ekowisata dalam Pem-bangunan Daerah Kerangka konseptual ekowisata seperti yang telah diuraikan sangat sejalan dengan

pembangunan (otonomi) daerah, yakni dalam rangka menuju perekonomian daerah yang lebih sehat (high performing economy), tanpa kendala-kendala asymmetric information, ketidakefisienan atau distorsi, dan lemahnya mekanisme kelembagaan (Cullis and Jones, 1992; Williamson, 1995; Nugroho, 2000).

Relevansi ekowisata dalam pembangunan daerah dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, Indonesia belum cukup baik dalam mengelola sumber-sumber daya publik2 (common and public resources) antara lain sektor kehutanan, perikanan, kelautan dan pesisir. Pengalaman memperlihatkan bahwa produktivitas sumberdaya tersebut cenderung merosot akibat pengelolaan yang salah (ada perilaku free-rider). Konsepsi ekowisata berupaya membangun kelem-bagaan, mengutamakan pendefinisian property right dan rule of the game, dan mempertimbangkan aspirasi khususnya penduduk lokal.

Kedua, prinsip keadilan ekonomi. Otonomi daerah diharapkan dapat memenuhi prinsip bahwa yang menghasilkan adalah yang menikmati, dan yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Konsepsi ekowisata menunjukkan adanya bukti aktivitas ekonomi riil di wilayah TN yang diperankan oleh penduduk lokal. Hal ini berimplikasi pada benefit dan cost yang mengalir proporsional sehingga dapat dicegah munculnya externality dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

Ketiga, meningkatnya domestic purchasing power. Kedatangan pengunjung dari luar wilayah akan memberikan multiplier ekonomi bagi wilayah lokal, berupa pendapatan penduduk lokal, permintaan komoditi, peningkatan aktivitas ekonomi lokal, maupun pajak/retribusi. Keadaan ini akan memperkuat pembangunan ekonomi daerah. Dalam skala nasional, keadaan ini bukan saja berimplikasi kepada produktifitas (efficiency) dan kesejahteraan (equity), tetapi juga menciptakan kemandirian nasional dalam rangka menyongsong liberalisasi perdagangan.

Keempat, penguatan budaya. Budaya merupakan aset utama untuk dikembangkan sebagai kekuatan ekonomi daerah, disam-ping untuk memperkuat ketahanan budaya itu sendiri (Hatta, 2004) dan ketahanan nasional (Pokja Tannas, 2010). Budaya, lingkungan dan peningggalan sejarah adalah nyawa atau “roh” dari kegiatan pariwisata Indonesia (Ardika, 2003). Kekuatan budaya Indonesia yang diangkat melalui ekowisata diharapkan menghasilkan pengalaman unik, pengetahuan, dan pendidikan yang lebih signifikan dibanding fasilitas, sarana atau pemandangan alam yang mungkin tidak jauh berbeda dengan tempat tujuan lain.

2 Ciri umumnya adalah non-rivalry in consumption, artinya dalam batas-batas tertentu kenikmatan seseorang terhadap sumberdaya tertentu tidak berkurang akibat adanya orang lain yang mengkonsumsi sumberdaya yang sama (lihat Cullis and Jones,1992)

Page 13: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

7

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Kelima, peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Otonomi daerah akan berhasil bila diiringi peningkatan kualitas SDM aparat pemda, pelaku ekonomi dan penduduk lokal. Ekowisata membutuhkan kesiapan dan kualitas SDM di segala sektor dengan penguasaan IT. Lebih dari itu, SDM ekowisata berkarakter global, modern dan educated agar dapat menjalankan sistem produksi ekowisata. Untuk itu, aparat pemda perlu bekal kompetensi dan budaya pariwisata agar dapat memformulasikan program–program relevan di setiap wilayah.

Pengembangan Ekowisata dan Peran Pemerintah Daerah

Kebijakan pembangunan yang terkait dengan pengelolaan jasa ekowisata perlu terus dikembangkan. Sesungguhnya, potensi dari 50 TN belum terealisasi sepenuhnya, dimana seluruh penduduk sekitarnya pun belum menikmati kesejahteraan yang selayaknya. Pada saat yang sama, faktor lingkungan maupun sosial juga relatif peka terhadap ancaman ekonomi pasar dalam wujud eksploitasi sumberdaya keaneka-ragaman hayati.

Posisi kritikal kebijakan pengembangan ekowisata sesungguhnya terletak pada tingkat implementasi di wilayah lokal atau pemda. Di tingkat lokal tersebut, bertemu kepentingan penyediaan jasa ekowisata dan permintaan pengunjung. Bisnis jasa ekowisata mungkin saja menghadapi kendala seperti dihadapi bisnis umumnya. Namun, jasa ekowisata perlu lebih serius ditangani seupaya menghasilkan nilai tambah yang nyata dan positif bagi kegiatan konservasi lingkungan dan budaya setempat. Peran pemda dalam pengembangan ekowisata disajikan berikut:

a. Pengembangan Kapasitas Lokal

Masyarakat lokal perlu diberdayakan dengan menyusun kebutuhannya dengan pendampingan LSM, kepercayaan TN dan dukungan pemerintah setempat. Kebu-tuhan tersebut kemudian diakomodasikan di dalam rencana program konservasi hutan dan pengembangan jasa ekowisata yang terencana dan berkelanjutan.

Pengalaman Indecon, LSM ekowisata3, memerlukan waktu dua tahun untuk pendampingan hingga penduduk lokal Tangkahan, di wilayah TN Gunung Leuser dapat secara mandiri dan berinteraksi dengan pengunjung dan tour operator. Bahkan penduduk lokal mampu menjadi garis terdepan upaya-upaya konservasi, padahal sebelumnya mereka tergabung dalam penebang liar. Saat ini kebutuhan kesejah-teraan penduduk Tangkahan bersumber dari produk dan jasa ekowisata, perkebunan dan jasa penunjang lain. Gambaran buruk kendala konservasi, antara lain kurangnya kemauan politik, korupsi dan suap, moral hazard dari aparat, terbatasnya kapasitas untuk konservasi sumber daya dan penegakan

3 Sumber: Kompas 6 April 2003; http://portal.sabhawana.com/ (portal penjelajah alam Indonesia); Pikiran Rakyat, 8 Mei 2006

Page 14: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

8

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

hukum, dan konflik kepentingan sektor swasta dan masyarakat umum, sudah mampu diatasi.

b. Infrastruktur

Keadaan infrastruktur menuju wilayah TN umumnya belum memadai. Sebagai contoh, menuju TN di Jawa Timur, akses dari Surabaya, Bali atau kota terdekat relatif tersedia melalui transportasi darat. Namun demikian, akses mendekati atau di dalam TN umumnya belum memuaskan. Kendaraan umum untuk perjalanan malam hari umumnya tidak tersedia sehingga pengunjung harus merencanakan jadwal perjalanannya lebih rapi. Di TN Meru Betiri, kendaraan umum dari kecamatan terdekat terjadwal hanya sekali sehari, itupun menggunakan truk. Kendaraan umum di TN Bromo Tengger Semeru menyatu dengan angkutan pedagang hasil bumi (Nugroho, 2006; Nugroho dan Negara, 2008). Namun secara umum, angkutan ojek motor roda dua lebih leluasa mengantarkan pengunjung ke mana saja sekalipun aspek keamanan dan kenyamanan kurang terjamin.

Kendala akses menuju TN memang problem yang tidak sederhana. Hal itu juga tidak lepas dari rendahnya jumlah pengunjung. Semakin banyak pengunjung, secara alamiah akan mengundang investasi infrastruktur. Tantangan tersebut menjadi peluang dikembangkannya sarana transportasi oleh penduduk setempat. Sarana itu bisa berupa motor trail, sepeda gunung, kuda, perahu motor atau lainnya, yang disewakan kepada pengunjung namun memiliki kenyamanan dan tidak mengganggu upaya konservasi lingkungan.

c. Pemerintahan yang Baik dan Berwibawa (Good Governance)

Good governance akan menjalankan tatanan Sistem Manajemen Nasional (Sismennas) (Pokja Simmennas, 2010) khususnya bidang pariwisata. Good governance senantiasa dikaitkan dengan paradigma good corporate governance dalam dunia swasta. Pengenalan terhadap manajemen bisnis swasta (enterprising the government) sangat perlu agar organisasi pemerintahan menjadi efektif dan berorientasi kepada layanan. Manajemen ‘swasta’ ini sejalan dengan pendekatan manajemen publik (new public management atau public service orientation) dari Moore (1996) atau Mustopadidjaja (2008), yang memiliki karakteristik: (a) profesional dan akuntabel; (b) ukuran kinerja berciri kuantitatif; (c) terjadi mekanisme pengendalian pada input, proses dan output; (d) kompetisi; dan (e) disiplin.

Kebijakan pariwisata di Indonesia mengacu kepada hubungan antarindustri maupun terlaksananya fungsi-fungsi organisasi. Hubungan antarindustri ditunjukkan dengan keterkaitan sektor jasa pariwisata dengan sektor lain, misalnya kehutanan, perkotaan, pendidikan, dan infrastruktur. Sementara hubungan fung-sional organisasi mengacu kepada fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian (lihat Tabel 2).

Page 15: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

9

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Tabel 2. Klasifikasi Hubungan dan Kebijakan Pariwisata Hubungan

industri Hubungan fungsional organisasi

Perencanaan (plan) Pelaksanaan (do and action) Pengendalian/monitoring (check)

Hulu Bappenas, Menko Perekonomian, Dephan,

Depkimpraswil, Depkeu, Menristek -

Utama Depdagri (BPN), Depkimpraswil Dephut, Depbudpar KLH, Depdagri

Hilir - Deptan, DKP, DESM, Depdagri, Deperindag

TNI, Kepolisian, DepkehHAM, Pengadilan

Istilah Departemen setara dengan Kementerian

Pengelolaan industri jasa pariwisata secara langsung berada dalam wewenang Kementerian Kehutanan (Dephut) dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Keduanya merupakan unsur pelaksana yang mengoperasionalkan ke dalam rambu-rambu pengelolaan secara berkelanjutan. Pemda (Depdagri) berperan di dalam upaya mengkoordinasikan dan mengendalikan peran dan aliran manfaat kepada masyarakat, penduduk lokal dan swasta; melalui kebijakan penataan ruang, prosedur investasi dan perihal teknis lainnya. Dari sini pertumbuhan ekonomi dihasilkan, pengunjung memperoleh pengalaman dan keterampilan, masyarakat dan penduduk lokal memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan, swasta memperoleh nilai tambah, dan pemda memperoleh pajak/retribusi untuk dikembalikan ke upaya-upaya konservasi.

Atas dasar hubungan kelembagaan tersebut, fungsi koordinasi menjadi penting. Landasan koordinasi adalah Inpres No. 16 tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, yang mengins-truksikan menteri dan badan-badan pemerintah terkait serta semua gubernur dan bupati/walikota untuk mendukung dan berkoordinasi erat bagi percepatan pembangunan Pariwisata Indonesia (Wacik, 2007).

d. Integrasi Promosi

Dalam dunia pariwisata, Bali lebih dikenal dibanding Indonesia. Mengapa? Karena informasi mengenai Bali dalam aspek budaya dan lingkungan lebih lengkap dan positif dibanding Indonesia secara keseluruhan. Informasi tentang Bali juga ditemui di banyak tempat di seluruh dunia. Hal ini menun-jukkan bahwa Bali memiliki positioning yang lebih baik dibanding Indonesia. Nama Bali terintegrasi dengan nama-nama kota dan tempat wisata di dunia.

Pengembangan jasa ekowisata di suatu wilayah perlu menemukan sekaligus mengikuti positioning seperti halnya Bali. Strategi pemasaran ini memerlukan dukungan pengembangan produk, segmen-tasi pasar, dan teknologi pemasaran. Harus diakui, wilayah tujuan ekowisata di Indonesia belum terpromosikan dengan baik. Jasa pariwisata dan penunjangnya di tingkat daerah adalah ujung tombak promosi ekowisata setempat.

Sudah sewajarnya hotel dan restoran, biro perjalanan, airport, kantor airline, pelabuhan laut, terminal bis, atau dinas-dinas pariwisata di setiap provinsi menyajikan informasi perihal TN di wilayahnya. Setiap pemda selayaknya meneladani perilaku dan kebijakan

Page 16: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

10

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

pariwisata di Provinsi Bali. Promosi tingkat lokal untuk kepentingan domestik dapat menjadi proses pembelajaran bagi penyusunan kebijakan pariwisata. Hal ini juga sangat relevan karena jumlah wisatawan domestik juga sangat signifikan untuk pengembangan pariwisata nasional. Masih perlu dikembangkan isu yang terkait dengan konservasi atau produk dan jasa ekowisata unggulan setempat. Isu ini berguna untuk menarik perhatian dunia sehingga dapat diidentifikasi pasarnya. Dari sini kemudian dapat ditentukan teknik pemasarannya.

e. Pengembangan Produk

Arah pengembangan produk dan jasa ekowisata ditujukan kepada kegiatan interpretasi, yakni upaya pemahaman terhadap suatu obyek, sehingga seseorang mampu bereaksi dan menimbulkan suatu relasi positif antara manusia dengan obyek/alam tersebut. Untuk terciptanya suatu hubungan yang positif tersebut dibutuhkan interpreter, yang bertugas sebagai penjelas dan penterjemah obyek yang dikunjungi (Sunaryo, 1998). Seperti disajikan pada Tabel 1, kegiatan interpretasi lahir pada produk ke lima, yakni pendidikan dan keterampilan (Nugroho, 2007).

Tanpa interpretasi, aktivitas ekowisata beroperasi tidak optimal, atau menghasilkan keluaran seperti kegiatan wisata umumnya. Dalam keadaan seperti itu, aktivitas jasa ekowisata masih diwarnai kegiatan-kegiatan yang mengancam kelestarian lingkungan, antara lain menjual kayu bakar (2.1 persen) dan hasil hutan lain (2.8 persen), serta perburuan satwa (3.5 persen) (Goodwin, 2002). Ancaman semakin besar pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan tanpa kemampuan berwirausaha.

Kegiatan-kegiatan interpretasi hendak-nya menjadi fokus pengembangan produk ekowisata. Kegiatan interpretasi menuntut penguasaan filosofis hingga praktis perihal aset lingkungan, budaya dan karakteristik lokal lainnya. Dalam interpretasi, terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan yang intensif yang menghasilkan pengalaman dan kepuasan bagi pengunjung serta nilai tambah bagi penduduk lokal. Di Bali, pengunjung diberi kesempatan mengikuti upacara tradisional4, dengan membayar harga relatif mahal. Di Tangkahan, pengunjung dapat memandikan gajah dengan membayar 15 ribu rupiah, atau tracking dengan mengendarai gajah dengan harga 160 ribu rupiah. Pendeknya, semua atraksi dapat dikemas secara interaktif yang melibatkan psikomotorik pengunjung.

Kegiatan interpretasi diperkuat oleh kemampuan kewirausahaan penduduk lokal. Hasil studi Nugroho, Negara dan Nugroho (2009) menunjukkan bahwa kewirausahaan individu dalam jasa ekowisata sangat dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai kewirausahaan sosial. Menurut Martin dan Osberg (2007), mekanisme kewirausahaan individu adalah

4 Seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: (i) wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; (ii) bebali yakni pertunjukan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum (Tisna, 2005)

Page 17: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

11

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

mengantisipasi dan mengor-ganisasikan pasar agar berfungsi meng-hasilkan produk dan jasa sekaligus profit bagi entrepreneur. Sementara mekanisme kewira-usahaan sosial adalah memberdayakan masyarakat yang kurang beruntung menjadi lebih berkesempatan untuk mencapai kesejahteraan. Menurut Juma and Timmer (2003), pembelajaran sosial (social learning) menjadi bagian penting dimana individu-individu memahami kewirausahaan. Dengan demikian, fenomena ini mampu mem-buktikan bahwa pengembangan kewira-usahaan sosial adalah syarat bagi pemda untuk mengembangkan kewirausahaan individu jasa ekowisata.

f. Pembukaan enclave wisata

Fenomena munculnya enclave wisata umum ditemukan dan menjadi kendala peningkatan partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal. Wisatawan yang tinggal dalam resort atau hotel, sedang perjalanan dengan boat atau kendaraan wisata, secara fisik sulit diakses oleh penduduk lokal (Goodwin, 2002; Shaw and Shaw, 1999). Fenomena enclave mirip teori dualisme dimana sektor modern dan tradisional saling berdampingan namun tidak saling berin-teraksi positif. Di Bali, Shaw and Shaw (1999) menemukan bahwa penduduk lokal makin termarginalisasi secara ekonomi maupun geografi dan melahirkan sektor-sektor wisata informal. Sektor informal tersebut kemudian hanya makin memperluas kesenjangan sosial dan budaya di antara pengusaha lokal (host) dan investor (guest), sehingga pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi 1998 berjalan melambat.

Di TN Komodo, dampak dari enclave ekonomi menghasilkan kebocoran manfaat ekonomi sebesar 50 persen. Kebocoran berasal dari penggunaan bahan-bahan dari luar wilayah di dalam kegiatan ekonomi lokal, antara lain transportasi dan konsumsi (snack, minuman botol, rokok, kartu pos) yang dioperasikan dan diproduksi oleh pelaku ekonomi dari luar wilayah. Kebocoran dari kegiatan restoran, sewa boat, warung/toko, dan trasportasi berturut-turut sebesar 20, 58, 60 dan 93 persen (Goodwin, 2002).

Upaya pencegahan atau untuk membuka fenomena enclave memerlukan perencanaan strategis dalam pengembangan ekowisata. Hal tersebut meliputi: (i) membuka akses penduduk lokal dalam pasar ekowisata, (ii) mengenali bentuk dan struktur geografi enclave versus penduduk lokal, (iii) mengoptimalkan keterkaitan ekonomi lokal dalam ekowisata, (iv) membangun sinergi dan kebersamaan aktifitas ekowisata melalui pengembangan kesempatan kerja dan usaha kecil, (v) mengevaluasi ekonomi lokal dalam proyek-proyek pengembangan ekowisata, (vi) memelihara konservasi aset lingkungan dan budaya, (vii) mengendalikan dampak sosial dari aktivitas ekowisata dan (vii) mengendalikan pertumbuhan ekonomi ekowisata.

g. Simnas Pariwisata

Untuk memperkuat manajemen penyelenggaraan pariwisata di tingkat nasional dan daerah, perlu dikembangkan Sistem Informasi Manajemen Nasional (Simnas) dan Daerah

Page 18: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

12

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

(Simda) Pariwisata. Pendekatan pengelolaan ini diperlukan untuk keberlangsungan siklus tatanan Sistem Manajemen Nasional (Pokja Simmennas, 2010). Simnas Pariwisata berperan penting untuk mendukung tatakelola dan layanan masyarakat (e-government) maupun investasi pengembangan pariwisata (e-commerce).

Simnas Pariwisata juga digunakan untuk mengintegrasikan seluruh stakeholder pariwisata. Jaringan stakeholder sangat luas, meliputi pemerintah (pusat dan daerah), swasta (biro travel, airline, hotel, tour operator), wisatawan (mancanegara atau nusantara), penduduk lokal, kelompok masyarakat nirlaba (LSM, peneliti, perguruan tinggi atau yang sejenis), dan pihak lain penunjang pariwisata. Masing-masing stakeholder mempunyai fungsi yang memberi dan menerima aliran manfaat kepada satu sama lain. Networking di antara stakeholder telah demikian komplek dan canggih didukung oleh sistem bisnis pariwisata yang modern dan terintegrasi. Seorang calon wisatawan dapat menemukan informasi sekaligus memverifikasinya tentang suatu tujuan wisata dan jadwal kunjungan. Berikutnya ia dapat mengakses dan mengampil keputusan memilih moda transportasi dan jenis akomodasi.

Fenomena IT di dunia pariwisata telah berkembang. Hampir dipastikan SDM pariwisata menjadi terdepan dalam penggunaan IT dibanding sektor lain. Strijbos (1998) menyatakan pengembangan teknologi harus dipahami sebagai proses konstruksi sosial. Artinya seluruh SDM dibangunkan kesadarannya akan kepentingan dan manfaat IT, sehingga mereka bersedia menerima, menjalankan, mematuhi dan mengembangkan sistem IT. Namun, IT tentu bukan segala-galanya. IT harus ditempatkan sebagai pendukung berjalannya Sismennas Pariwisata. Pelaku pariwisata perlu terus menggali, mengolah dan mengasah nilai-nilai etika dan norma agar dapat membangun budaya organisasi. Prinsip etika dan norma diperlukan untuk mengawal transformasi konstruksi sosial berbasis IT untuk memperkuat Sismennas Pariwisata dan menghasilkan kesejahteraan.

Penutup

Pengembangan ekowisata memberikan dukungan bagi pelaksanaan pembangunan daerah. Relevansi ekowisata tersebut antara lain: (i) pengelolaan sumber-sumberdaya publik lebih baik, (ii) benefit dan cost mengalir proporsional di daerah, (iii) meningkatnya domestic purchasing power, (iv) peningkatan kesejahteraan penduduk lokal, (v) penguatan budaya daerah, dan (v) peningkatan kualitas SDM di daerah.

Peran pemda sangat signifikan dalam pengembangan ekowisata. Peran tersebut difokuskan kepada: (i) pengembangan kapasitas lokal, (ii) infrastruktur, (iii) good governance, (iv) integrasi promosi, (v) pengembangan produk, (vi) pencegahan enclave, dan (vii) simnas pariwisata.

Page 19: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

13

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Daftar Pustaka Ardika, I. G. 2003. Development of Ecotourism in Indonesia. www.world-tourism.

org/sustainable/IYE/Regional_Activites/Maldives/ardika.pdf (17 September 2003) Ardiwidjaja, R. 2006. Pariwisata Budaya, Mengapa Tidak Sekarang?

www.budpar.go.id/filedata/747_88-pariwisatabudaya.pdf Cullis, J. and P. Jones. 1992. Public Finance And Public Choice: Analitical perspectives.

McGraw-Hill International Editions-Economics series, Singapore. 486p. Goodwin, H. 2002. Local community involvement in tourism around national parks:

opportunities and constraints. Current Issues in Tourism 5(3&4): 338-360 Hatta, Meutia Farida. 2004. Membangun Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Kesenian.

Majalah Perencanaan Pembangungan. Bappenas Jakarta. IX(6): 75-77 Juma, C. and V. Timmer. 2003. “Social Learning and Entrepreneurship: A Framework for

Analyzing the Equator Initiative and the 2002 Equator Prize Finalists.” Working paper of 5 December 2003

Manurung. 2002. Ecotourism in Indonesia. In: Hundloe, T (ed.). Linking Green Productivity to Ecotourism : Experiences in the Asia-Pacific Region. Asian Productivity Organization (APO), Tokyo, Japan. 98-103

Martin, R. L. and S. Osberg. 2007. Social entrepreneurship: the case for definition. Stanford Social Innovation Review. Spring 2007. 39p

Moore, C. 1996. Human resources in the public sector. In: Towers, B (ed.). The Handbook of Human Resources Management. Blackwell Business, Massachussett. 353-372.

Mustopadidjaja, A. R. 2008. Gran Strategi Reformasi Birokasi: Kebijakan, Kinerja, dan Langkah Ke Depan. Jurnal Negarawan. 7, Februari 2008.

Nugroho, I. 2006. Mengangkat Ekowisata Ngadas di Kawasan Bromo Tengger Semeru. TEROPONG, Balitbang Provinsi Jatim. 28 (Juni-Agustus 2006):21-23.

Nugroho, I. dan P. D Negara. 2008. Produk dan Jasa Ekowisata di Jawa Timur. TEROPONG, Balitbang Provinsi Jatim. 38 (Maret April 2008):26-29.

Nugroho, I. P. D. Negara dan Y. A. Nugroho. 2009. Karakteristik Kewirausahaan Penduduk Lokal Pada Jasa Ekowisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Social Economic of Agriculture and Agribusiness (SOCA) Journal, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Denpasar. 9(3): 342-346.

Nugroho, I. 2000. Pengembangan Perekonomian Perdesaan Menyongsong Otonomi Daerah, ANALISIS CSIS Jakarta, Tahun XXIX/2000, No 1, halaman 102-114

Nugroho, I. 2007. Ekowisata: Sektor Riil Pendukung Pembangunan Berkelanjutan. Majalah Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta. Edisi 2 tahun ke XII (Januari-Maret): 44-57.

Pokja Sismennas. 2010. Sistem Manajemen Nasional. Pokja Sismennas, Lemhannas RI, Jakarta.

Page 20: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

14

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Pokja Tannas. 2010. Materi Pokok Ketahanan Nasional: Geostrategi Indonesia. Pokja Tannas, Lemhannas RI, Jakarta.

Pokja Wasantara. 2010. Konsepsi Wawasan Nusantara. Pokja Wasantara. Lemhannas, Jakarta

Rothberg, D. 1999. Enhanced and Alternative Financing Mechanisms Strengthening National Park Management in Indonesia. NRMP USAID, Jakarta

Shaw, B.J. and Shaw, G. 1999. Sun, sand and sales: enclave tourism and local entrepreneurship in Indonesia. Current Issues in Tourism 2 (1), 68–81.

Strijbos, S. 1998. Ethics and the systemic character of modern technology. Phil & Tech. 3(4 Summer): 19-34.

Sunaryo. 1998. Penyelenggaraan Beberapa Kegiatan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lokakarya Kepala Balai dan Kepala Unit Taman Nasional se-Indonesia, Lido, Bogor 21-25 Oktober 1998.

TIES (The International Ecotourism Society). 2006. Fact Sheet: Global Ecotourism. Updated edition, September 2006. www.ecotourism.org.

Tisna, I. G. R. P. 2005. Sekilas Tentang Dinamika Seni Pertunjukan Tradisional Bali Dalam Konteks Pariwisata Budaya. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. www.mspi.org

USAID Indonesia. 2004. Report on Biodiversity and Tropical Forests in Indonesia Submitted in accordance with Foreign. Assistance Act Sections 118/119

Wacik, J. 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata. Jurnal Negarawan. 4, Mei 2007.

Williamson, O. E. 1995. The institutions and governance of economic development and reform. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994. IBRD-World Bank, Washington, DC.

Wood, M. E. 2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainability. UNEP.

Page 21: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

15

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

Lampiran 1. Taman Nasional di Indonesia No Taman Nasional Luas Lokasi, propinsi Ekosistem Keputusan Menhut ha 1 Bukit Barisan Selatan 365.000 Bengkulu, Lampung Hutan TropikaS) Mentan No.

736/Mentan/X/1982 2 Gunung Palung 90.000 Kalbar Hutan Tropika, Rawa S) 448/Kpts-VI/1990 3 Rawa Aopa Watumohai 105.194 Sultra Rawa, Hutan Tropika S) 756/Kpts-II/1990 4 Bunaken 89.065 Sulut Laut, pesisir S) 730/Kpts-II/1991 5 Bukit Baka-Bukit Raya 181.090 Kalbar, Kalteng Hutan Tropika S) 281/Kpts-II/1992 6 Ujung Kulon 122.956 Banten Hutan tropika, Pesisir, laut S) 284/Kpts-II/1992 7 Berbak 162.700 Jambi Rawa gambut, air tawar S) 285/Kpts-II/1992 8 Bogani Nani Wartabone 287.115 Sulut, Gorontalo Hutan Tropika S) 731/Kpts-II/1992 9 Alas Purwo 43.420 Jatim Hutan Tropika t) 190/Kpts-II/1993 10 Siberut 190.500 Sumbar Hutan Tropika S) 407/Kpts-II/1993 11 Kutai 198.629 Kaltim Rawa, Hutan Tropika t) 325/Kpts-II/1995 12 Betung Kerihun 800.000 Kalbar Hutan Tropika S) 467/Kpts-II/1995 13 Bali Barat 19.002 Bali Hutan Tropika, Pesisir, laut t) 493/Kpts-II/1995 14 Kayan Mentarang 1.360.500 Kaltim Hutan Tropika S) 631/Kpts-II/1996 15 Tanjung Puting 415.040 Kalteng Rawa, Hutan Tropika t) 687/Kpts-II/1996 16 Lorentz 2.450.000 Papua Rawa, Hutan Tropika S) 154/Kpts-II/1997 17 Gunung Leuser 1.094.692 N Aceh Drslm Hutan Tropika t) 276/Kpts-VI/1997 18 Meru Betiri 58.000 Jatim Rawa, Hutan Tropika t) 277/Kpts-VI/1997 19 Bromo Tengger Semeru 50.276 Jatim Hutan Tropika S) 278/Kpts-VI/1997 20 Baluran 25.000 Jatim Savana, pantai, Hutan Tropika t) 279/Kpts-VI/1997 21 Gunung Rinjani 40.000 NTB Hutan Tropika S) 280/Kpts-VI/1997 22 Manusela 189.000 Maluku Hutan Tropika S) 281/Kpts-IV/1997 23 Wasur 413.810 Papua Savana, rawa S) 282/Kpts-VI/1997 24 Kelimutu 5.000 NTT Hutan Tropika S) 675/Kpts-II/1997 25 Laiwangi-Wanggameti 47.014 NTT Hutan Tropika S) 576/Kpts-II/1998 26 Manupeu-Tanah Daru 87.984 NTT Hutan Tropika S) 576/Kpts-II/1998 27 Danau Sentarum 132.000 Kalbar Rawa, danau S) 34/Kpts-II/1999 28 Lore Lindu 217.991 Sulteng Hutan Tropika S) 646/Kpts-II/1999 29 Way Kambas 125.621 Lampung Rawa, Hutan Tropika S) 670/Kpts-II/1999 30 Kerinci Seblat 1.375.349 Sumbar, Jambi,

Bengkulu, Sumsel Hutan Tropika S) 901/Kpts-II/1999

31 Komodo 173.300 NTT Savana, pesisir S) 172/Kpts-II/2000 32 Bukit Dua Belas 60.500 Jambi Hutan Tropika S) 258/Kpts-II/2000 33 Kep Karimunjawa 110.117 Jateng Laut, Pesisir t) 74/Kpts-II/2001 34 Taka Bonerate 530.765 Sulsel Laut, Pesisir S) 92/Kpts-II/2001 35 Kep Wakatobi 1.390.000 Sultra Laut, Pesisir S) 765/Kpts-II/2002 36 Kep Seribu 108.000 Jakarta Laut, Pesisir t) 6310/Kpts-II/2002 37 Bukit Tiga Puluh 127.698 Riau, Jambi Hutan Tropika S) 6407/Kpts-II/2002 38 Tel Cenderawasih 1.453.500 Papua Hutan propika, Laut, Pesisir S) 8008/Kpts-II/2002 39 Sembilang 205.078 Sumsel Rawa gambut, air tawar S) 95/Kpts-II/2003 40 Gunung Gede Pangrango 15.000 Jabar Hutan Tropika t) 174/Kpts-II/2003 41 Gunung Halimun 40.000 Jabar, Banten Hutan Tropika t) 175/Kpts-II/2003 42 Aketajawe-Lolobata 167.300 Halmahera, Malut Hutan Tropika 397/Menhut-II/2004 43 Bantimurung -

Bulusaraung 43.750 Sulsel Hutan Tropika 398/ Menhut-II/2004

44 Batang Gadis 108.000 Sumut Hutan Tropika 126/ Menhut-II/2004

Page 22: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pengembangan Ekowisata dalam Pembangunan Daerah

16

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Iwan Nugroho

45 Gunung Ciremai 15.500 Jabar Hutan Tropika 424/ Menhut-II/2004 46 Gunung Merbabu 5.725 Jateng Hutan Tropika 135/ Menhut-II/2004 47 Gunung Merapi 6.410 Jateng Hutan Tropika 134/ Menhut-II/2004 48 Togean 362.605 Sulteng Hutan Tropika, Laut, Pesisir 418/ Menhut-II/2004 49 Sebangau 568.700 Kalteng Rawa Gambut 423/Menhut-II/2004 50 Tesso Nilo 38.576 Riau Hutan Tropika 255/Menhut-II/2004 S) ancaman sedang t) ancaman tinggi | Sumber: USAID Indonesia (2004)

Lampiran 2. Kebijakan Sektoral Pariwisata

No Sektor Wewenang dan tanggungjawab 1 Kementerian Kehutanan

(Dephut) Menguasai lahan hutan (seluas 68 persen daratan), meliputi hutan lindung, taman nasional dan cagar alam serta pengelolaan jasa wisata alam.

2 Kantor Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar)

Kebijakan dan promosi kebudayaan, menetapkan standar layanan pariwisata (termasuk best practice ecotourism) dan akomodasi/ penunjang pariwisata dan pengembangan industri pariwisata

3 Kantor Menteri Lingkungan Hidup (KLH)

Pengelolaan dampak lingkungan, penyusunan kebijakan, baku mutu dan kriteria program lingkungan; dan regulasi pencemaran

4 Bappenas Koordinasi pembangunan tingkat nasional dan perencanaan alokasi sumberdaya pembangunan

5 Kantor Menteri Koordinator Perekonomian

Koordinasi sektor keuangan, perencanaan pembangunan, industri dan perdagangan dan badan usaha negara serta ketua perunding dengan negara-negara donor

6 Kementerian Pertahanan (Dephan)

Kebijakan pertahanan, pengawasan perbatasan, penegakan hukum, operasi militer dan kepolisian

7 Kementerian Dalam Negeri (Depdagri)

Kebijakan dan implementasi penyelenggaraan pemda, pengembangan kapasitas daerah, dan hubungan antar daerah, dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam

8 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Penataan, regulasi dan perijinan penggunaan lahan di luar wilayah kehutanan. 9 Kementerian Pemukiman dan

Prasarana Wilayah (Depkimpraswil)

Pengembangan infrastruktur dan penataan ruang wilayah kota dan desa

10 Kantor Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)

Pengembangan riset dan teknologi terkait dengan identifikasi, monitoring dan evaluasi pemanfaatan sumberdaya alam

11 Kementerian Keuangan (Depkeu) Perencanaan dan pelaksanaan anggaran, perpajakan, distribusi keuangan dan alokasi khusus ke daerah, (perimbangan keuangan)

12 Kementerian Pertanian (Deptan) Kebijakan produksi pangan; dan sektor pertanian, peternakan dan perkebunan 13 Kementerian Kelautan dan

Perikanan (DKP); Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, industri perikanan, dan pengelolaan wilayah (taman nasional) laut yang dilindungi

14 Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (DESM)

Peraturan dan kebijakan pengelolaan minyak, tambang dan energi industri

15 Kementerian Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)

Kebijakan perijinan usaha, lisensi, perdagangan internasional termasuk tarif dan ekspor.

16 Tentara Nasional Indonesia (TNI) Pertahanan negara, menjaga perbatasan dan ketertiban publik, mengamankan upaya investigasi dan illegal logging dan fishing

17 Kepolisian Penegakan hukum sipil, ketertiban hukum, penanganan kriminal khususnya investigasi dan illegal logging dan fishing ,

18 Kementerian Kehakiman dan HAM (DepkehHAM);

Penguatan sistem legal beserta peraturannya, dan jaminan dalam kesamaan hak di muka hukum

19 Pengadilan Pengambilan keputusan vonis hukum sebagai akibat bertentangan dengan kepentingan publik, misalnya kriminal illegal logging

Sumber: USAID Indonesia (2004)

Page 23: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

17

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis

Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

Eka Intan Kumala Putri

Peneliti pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) merupakan target yang harus disusun oleh pemerintah daerah (pemda), sebagai implementasi dari Permendagri Nomor 29 tahun 2008. Seperti perencanaan kawasan lainnya, penyusunan perencanaan KSCT membutuhkan adanya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi kebijakan/program pembangunan dan pengembangan pada suatu kawasan tertentu. Hal yang membedakan perencanaan KSCT dengan perencanaan pembangunan wilayah/kawasan lainnya adalah adanya integrasi dari ‘Triangle Planning’, yaitu Rencana Induk (Masterplan), Rencana Pengusahaan/Bisnis (Businessplan), dan Rencana Tindak (Actionplan). Dalam KSCT, ketiga rencana tersebut bekerja saling sinergi dan berkesinambungan satu dengan lainnya, atau singkatnya rencana pembangunan yang tertera dalam Rencana Induk dapat sinergi dengan Rencana Pengusahaan/Bisnis dan dapat dituangkan secara riil dalam Rencana Tindak bagi pengembangan KSCT. Tulisan ini membahas kemungkinan kecamatan difungsikan dalam implementasi perencanaan KSCT dengan memanfaatkan kemungkinan celah dan ruang yang bisa diberdayakan dari fungsi dan peran kecamatan saat ini. Kata kunci: KSCT, kecamatan, otonomi daerah

ABSTRACT

The Plan of the Strategically-Fast-Growing Regions (KSCT) is a target that should be developed by local governments (LGs), as the implementation of the Home Ministry Ordinance No. 29/2008. As with other areas of planning, preparation of KSCT planning requires coordination, synchronization, and the integration of policy/program development in a certain region. The difference between KSCT planning and other regional development planning is the integration of the ‘Triangle Planning’, which constitutes the Master Plan, Commercial/Business Plan, and Action Plan. In KSCT, such plans are an ongoing basis, which create a synergy with each other, or put it simply, the

Page 24: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

18

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

development plan set out in the Master Plan can be harmonised with Concession Plan and poured in the action plan for the development of KSCT. This paper will discuss the possibility of sub-function in planning implementation KSCT by exploiting the possibility of cracks and spaces that can be powered from the function and role of the today’s district. Keyword: KSCT, district, triangle planning Pendahuluan dan Permasalahan

Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (selanjutnya, disingkat KSCT), merupakan target yang harus disusun oleh pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota, sebagai implementasi dari Permendagri No. 29 tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah. Seperti perencanaan kawasan lainnya, penyusunan perencanaan KSCT ini juga membutuhkan adanya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi kebijakan/program pembangunan dan pengembangan pada suatu kawasan tertentu.

Hal yang membedakan perencanaan KSCT dengan perencanaan pembangunan wilayah/kawasan lainnya, adalah adanya integrasi dari Triangle Planning, yaitu Rencana Induk (Masterplan), Rencana Pengusahaan/Bisnis (Businessplan), dan Rencana Tindak (Actionplan). Dalam KSCT, ketiga rencana tersebut bekerja saling sinergi dan berkesinambungan satu dengan lainnya, atau singkatnya rencana pembangunan yang tertera dalam Rencana Induk dapat sinergi dengan Rencana Pengusahaan/Bisnis dan dapat dituangkan secara riil dalam Rencana Tindak bagi pengembangan KSCT.

Namun demikian, pada prakteknya hingga saat ini implementasi KSCT yang belum berjalan dengan baik. Beberapa permasalahan yang terkait dengan KSCT (Anonimous, 2008): (a) Banyak kecamatan dan perdesaan yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis

namun belum dikembangkan secara optimal; (b) Adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk

unggulan; (c) Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengem-bangan

kawasan; (d) Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan

pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian; (e) Masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku

pengembangan kawasan; (f) Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal

pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengem-bangkan peluang usaha dan kerjasama investasi;

Page 25: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

19

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

(g) Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta

(h) Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antardaerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.

Dari pernyataan di atas, jelas bagaimana kecamatan cukup berperan dalam implementasi

perencanaan KSCT. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa fungsi dan peran kecamatan pada saat ini (berdasarkan UU No. 22/1999 , UU No. 32/2004, dan PP No. 72/2005) dimana kecamatan lemah karena hanya sebagai SKPD dan sebagai perangkat daerah berazas desentralisasi sehingga camat berperan sebagai perpanjangan tangan bupati. Berbeda jika dibandingkan ketika UU No. 5/1974 masih berlaku, dimana kecamatan sebagai aktor pemerintahan memiliki kewenangan yang kuat dan sebagai perangkat wilayah berazas dekonsentrasi.

Pada tulisan ini akan dibahas kemungkinan kecamatan difungsikan dalam implementasi perencanaan KSCT, dengan memanfaatkan kemungkinan celah dan ruang yang bisa diberdayakan dari fungsi dan peran kecamatan saat ini.

Landasan Teoretis

Teori ini dikembangkan dari pendekatan Christaller tentang Hierarki Tempat Sentral (HTS), yang dikembangkan dari Teori Lokasi Johann Heinrich von Thünen (dalam Hanafiah,1989), dimana kecamatan dalam hierarki vertikal dan horizontal menempati posisi strategis di antara desa dan kabupaten/kota. Dalam analisis HTS tersebut penulis mencoba melihat kecamatan dalam posisinya dalam perencanaan pembangunan wilayah spasial secara proporsional, khususnya dalam hubungan hierarki vertikal desa-kecamatan-kabupaten/kota. Posisi dan fungsi kecamatan dikaitkan dengan alokasi geografis dari sumberdaya dan pengaruhnya terhadap berbagai usaha/kegiatan sosial-ekonomi, distribusi barang dan jasa, rentang kendali (aksesibilitas), karakteristik wilayah, kultural dan sosio-demografi penduduknya secara lokal.

Teori ini sekaligus berguna untuk menunjukkan posisi kecamatan dalam hubungan spasial/hierarkikal vertikal dan horizontal dalam berhubungan dengan wilayah lain sehamparan. Pada Gambar 1 menunjukkan posisi kecamatan dalam hierarki vertikal dan horizontal berdasarkan prinsip administrasi, prinsip transportasi dan prinsip pemasaran/penawaran seturut teori von Thünen.

Jika analisis HTS menjadi acuan, maka peran dan fungsi kelembagaan kecamatan saat ini tidak lebih dari hierarkhi prinsip administrasi, yaitu dimana hierarki yang terjadi berdasarkan prinsip kontrol atau pengelolaan dan pemerintahan, dalam pengertian bahwa fungsi setiap Tempat Sentral (TS) mengontrol ke enam sub TS yang mengelilinginya. Prinsip ini cocok diterapkan untuk kecamatan saat ini, yang memiliki fungsi koordinator,

Page 26: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

20

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan dimana fungsi pengelolaan dan fungsi kontrol tercakup di dalamnya.

Gambar 1. Hierarkhi Tempat Sentral Berdasarkan Prinsip Administrasi,

Transportasi dan Prinsip Pemasaran/Penawaran

(a) (b) (c)

Keterangan: (a) Hierarkhi berdasarkan Prinsip Administrasi (b) Hierarkhi berdasarkan Prinsip Transportasi (c) Hierarkhi berdasarkan Prinsip Pemasaran/Penawaran

Prinsip ini terkandung makna bahwa ada hierarki administrasi antara desa-kabupaten

dengan kecamatan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi perpanjangan tangan bupati. Prinsip hierarki transportasi menunjukkan fungsi dan peran kelembagaan yang semakin berkurang dan efisien, yaitu hanya berdasarkan prinsip jarak minimum antara TS utama dan sub TS yang dilayaninya dan terletak pada jalur lalu-lintas di antara TS utama. Dalam penerapannya, mobilitas barang adalah maksimum dengan ongkos minimum dan sejauh mungkin TS berlokasi pada jalur lurus.

Jika ke depannya kelembagaan kecamatan mengalami refungsionalisasi maka sesung-guhnya prinsip pemasaran atau penawaran dapat diterapkan. Dalam hierarki prinsip pemasaran atau penawaran dinyatakan bahwa setiap TS hanya dapat melayani secara maksimum sepertiga dari enam sub TS (titik-titik heksagonal) ditambah dengan TS itu sendiri, artinya jumlah pemukiman (desa) dengan orde tertentu dilayani oleh suatu TS (lembaga kecamatan atau dengan nama lainnya) yang memiliki orde lebih tinggi. Penerapan prinsip ini mewujudkan pola tata ruang yang memaksimalkan distribusi barang dan jasa dengan jumlah TS (lembaga pelayanan) yang lebih sedikit. Hierarki tempat sentral dengan penekanan pada fungsi dan sistem pelayanan dapat ditunjukkan pada gambar berikut.

Page 27: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

21

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

Gambar 2. Hierarkhi Tempat Sentral Berdasarkan Efisiensi Sistem Pelayanan

Gambar ini menunjukkan bahwa terdapat area pasar heksagonal yang menghubungkan beberapa area sarang lebah, yang merupakan area dengan efisiensi sistem pelayanan sehingga timbul sistem TS dengan orde tinggi (wilayah dekat pusat pelayanan) dan orde terendah (wilayah jauh dari pusat pelayanan), dimana tingkat TS itu dibangun mulai dari desa sampai ke kota kabupaten. Sedangkan keterkaitan hubungan hierakhi antara desa-kecamatan-kabupaten dan keterkaitan jaringan antara orde tertinggi dan orde terendah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hierakhi Hubungan Desa-Kecamatan-Kabupaten dan Keterkaitan

antara Orde Tertinggi dan Terendah secara Spasial

Wilayah kabupaten

Wilayah kecamatan

Wilayah perdesaan

Page 28: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

22

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

Pada Gambar 3 terlihat bahwa dari sisi perencanaan spasial, hubungan antara desa dan kecamatan adalah satu unit kesatuan, menyangkut jarak, kesamaan geografis-morfologis, jejaring antarnodal, perencanaan kawasan sehamparan dan jejaring pelayanan/aksesibilitas. Demikian pula dalam peren-canaan KSCT, desa-kecamatan-kabupaten merupakan satu unit utuh, yang idealnya perencanaan kegiatan pembangunan di level desa-kecamatan-kabupaten tertuang dalam RPJMD di tingkat kabupaten atau RPJM di tingkat provinsi. Dalam KSCT peran kecamatan tidak dapat diabaikan, yang pada posisi sekarang sebagai ‘perpanjangan tangan’ bupati dan memiliki hubungan hierarki horizontal dengan SKPD dan hubungan hierarki vertikal dengan desa dan kabupaten.

Tabel 1. Matriks Relevansi Hierarkhi Tempat Sentral dengan Kecamatan Pada Beberapa Kondisi Undang-Undang yang Menaunginya

Posisi Kecamatan Prinsip Hierarkhi Tempat Sentral

Kecamatan Pada Era UU No.5/1974

Kecamatan Pada Era UU 22/1999

Kecamatan Pada Era UU 32/2004

Jejaring Kontrol Antar Institusi

Sentralistik-vertikal sangat lemah

Tersebar-horisontal masih lemah

Tersebar-horisontal dengan efektivitas masih dipertanyakan

Jejaring Pemerintahan Sentralistik-vertikal ‘camat’ sebagai tokoh kuat

Tersebar-horisontal camat sebagai SKPD

Tersebar-horisontal camat sebagai SKPD

Pengembangan Jaringan Antar Nodal

Sentralistik-vertikal sangat lemah

Tersebar-horisontal masih penyesuaian

Tersebar-horisontal kecamatan berperan

Jejaring Pelayanan Sentralistik-vertikal lemah

Tersebar-horisontal masih penyesuaian

Tersebar-horisontal prioritas utama

Perencanaan Kawasan Sentralistik-vertikal kecamatan tidak terlibat

Tersebar-horisontal kecamatan mulai dilibatkan

Tersebar-horisontal kecamatan cukup berperan

Sumber: Dibangun dari hasil observasi kecamatan di beberapa lokasi penelitian, 2007. Pelemahan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah

Teori HTS tersebut di atas dapat diimplementasikan dengan peran dan fungsi kecamatan saat ini. Pada era UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, dengan menggunakan pendekatan HTS, menempatkan kecamatan pada posisi hierarki sentralistik-horizontal. Berbagai fungsi dan peran kecamatan dari sisi perencanaan wilayah spasial (jejaring kontrol antarinstitusi, jejaring pemerintahan dan pelayanan, maupun pengembangan jaringan antarnodal dan perencanaan kawasan) dengan keterlibatan camat yang sangat lemah, walaupun di masyarakat eksistensi camat dianalogkan sebagai

Page 29: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

23

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

‘orang yang harus tahu semuanya’. Pada era UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004, dengan analisis HTS, menempatkan kecamatan dalam posisi hierarkhi tersebar (desentralistik) horizontal, dimana perencanaan pembangunan wilayah lebih didesentralisasikan pada level kabupaten dan diimplementasikan ke kecamatan hingga ke level desa.

Pada Tabel 1 di atas juga ditunjukkan bahwa dalam pengembangan jaringan antarnodal dan dari sisi perencanaan kawasan, kecamatan cukup berperan secara tersebar-horizontal pada saat ini, dibandingkan fungsi kecamatan pada masa yang lalu (pada era UU no. 5 tahun 1974).

Namun demikian, bukan berarti bahwa posisi kecamatan saat ini tidak ada masalah yang membuat ‘ruang gerak’ kecamatan menjadi terbatas. Beberapa kelemahan kecamatan yang muncul dengan acuan matriks tabel di atas, adalah: (a) Kecamatan dalam perencanaan dan koordinasi pembangunan spasial belum berjalan

efektif karena tidak ada proses perencanaan dan implementasi pemba-ngunan yang melibatkan hubungan antara kecamatan-desa versus masyarakat atau antara kecamatan dan dinas sektoral. Kondisi saat ini yang ditemui adalah perencanaan pembangunan kewilayahan sebagai unit ‘kantor’ dan bukan sebagai unit yang dapat membuat keputusan.

(b) Tidak ada satu pasal pun dalam UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 72 tahun 2005 yang mengatur tentang fungsi dan peran kecamatan dalam perencanaan pem-bangunan wilayah spasial (walau sudah ada draft yang belum disahkan tentang pengaturan kecamatan), padahal posisi kecamatan penting dalam perencanaan pembangunan yang mempertautkan wilayah dalam satuan antardesa.

(c) Ada hambatan kewenangan, baik atributif maupun delegatif untuk melakukan pengembangan wilayah spasial sebagai akibat UU No. 32 tahun 2004 yang memosisikan kecamatan sebagai perangkat daerah (bukan perangkat wilayah) sehingga belum memiliki perangkat pelaksanaan yang jelas.

(d) Pada UU No. 32 tahun 2004 tertera bahwa kecamatan sebagai SKPD, artinya kecamatan hanya menerima dana sebatas anggaran rutin (bervariasi antarwilayah) dan di dalam satuan wilayah kecamatan tidak diberi dana perencanaan pembangunan sehingga tidak mampu men-delivery rencana kerjanya ke dalam hierarki wilayah yang lebih kecil (hingga level desa).

(e) Sangat jarang camat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang (perencanaan pembangunan spasial) padahal kecamatan merupakan wilayah strategis dalam penerapan berbagai kebijakan terkait publik, seperti TPA (Tempat Pengelolaan Akhir) Sampah, Unit Pengelolaan Pasar, Puskesmas, dan sebagainya, padahal keterlibatan camat penting untuk sinergitas antarsektor (ingat: kecamatan memiliki fungsi sebagai SKPD).

Page 30: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

24

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

(f) Program pembangunan saat ini, tidak pernah menempatkan kecamatan sebagai fungsi elevator, yang men-delivery rencana pembangunan dari kabupaten ke desa dan mengembalikan (men-delivery kembali) rencana pembangunan dari desa ke kabupaten.

Mungkinkah Memfungsikan Keca-matan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan KSCT?

Sangat mungkin, jawaban dari pertanyaan di atas. Namun demikian, dari beberapa pernyataan pada aline di atas, dapat dinyatakan bahwa fungsi dan peran kecamatan saat ini dalam KSCT sangat ditentukan oleh bagaimana posisi kecamatan itu sendiri secara legal sesuai dengan regulasi yang menaunginya saat ini.

Dari posisi kecamatan di era otonomi daerah ini maka dapat diambil beberapa poin penting, yaitu pertama, secara teoretis ditunjukkan bahwa bagaimanapun kewe-nangannya ternyata kecamatan masih menempati posisi yang strategis dalam hubungan di antara desa dan kabupaten/kota. Hal ini juga menunjukkan bahwa terkandung makna ada hierarki administrasi antara desa-kabupaten dengan kecamatan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi perpanjangan tangan bupati. Jika dikaitkan dengan perencanaan KSCT, dimana penyusunannya yang harus selaras dan mengacu pada RPJM, RPJMD, RTRW dan RDTR. Dalam hal ini, sebagaimana yang diketahui, bupati berperan dalam penyu-sunan ke empat dokumen tersebut, sehingga jika dikaitkan dengan fungsi kecamatan sebagai perpanjangan tangan dari bupati/kabupaten, maka secara langsung maupun tidak langsung, kecamatan juga berperan dalam penyusunan dan implementasi KSCT.

Di samping itu, menurut Permendagri No. 29 tahun 2008, KSCT merupakan rencana pengembangan kawasan strategis yang memuat arah kebijakan umum pengembangan kawasan, mencakup juga pengembangan ekonomi wilayahnya, dan dikembangkan dari keunggulan sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah, serta dalam rangka untuk peningkatan daya saing produk unggulan dengan satuan wilayah ‘kawasan’.

Jika berbicara satuan wilayah ‘kawasan’ maka kecamatan pun sesungguhnya memiliki satuan unit ‘kawasan’, menurut UU No. 5 tahun 1974. Posisi ini menjadi lemah setelah diimplementasikannya UU No.32 tahun 2004. Idealnya, baik kecamatan maupun KSCT sama-sama memiliki aspek kunci bagi pengembangan wilayah kawasan mencakup: potensi kawasan, potensi sumberdaya alam lokal, kebijakan sektoral, proyeksi arah, skenario, tahapan pengembangan kawasan, kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia, dan sebagainya, walaupun posisi kecamatan saat ini sesuai regulasi hanya sebagai perangkat daerah dan bukan perangkat wilayah. Posisi ini menjadikan kecamatan sulit berperan dalam pengem-bangan unit wilayah kawasan, yang mana kawasan merupakan satuan unit analisis dari perencanaan KSCT.

Kedua, di atas juga telah dikemukakan bahwa, kecamatan saat ini memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi koordinator, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintahan, dimana fungsi pengelolaan dan fungsi kontrol tercakup di dalamnya. Jika dikaitkan dengan KSCT, bahwa

Page 31: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

25

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

salah satu permasalahan yang dihadapi dengan belum efektifnya pengembangan dan implementasi KSCT adalah masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerjasama di antara pelaku-pelaku pengembangan kawasan. Padahal di sisi lain, jelas dikemukakan bahwa kecamatan memiliki fungsi koordinator tersebut, sehingga bisa diduga bahwa penyusunan dan implementasi KSCT belum melibatkan sepenuhnya kelembagaan kecamatan, atau, munculnya permasalahan tersebut di atas diduga disebabkan karena di era otonomi daerah ini ada pelemahan dari peran, fungsi dan kewenangan kelembagaan kecamatan itu sendiri. Perlu kajian mendalam untuk membuktikan dugaan itu. Sebenarnya di tingkat kecamatan ini ada suatu forum ‘musrenbang‘ dimana sesungguhnya fungsi koordinasi tersebut bisa dilaksanakan, namun tampaknya forum tersebut belum dimanfaatkan secara efektif dan maksimal dalam penyusunan dan implementasi KSCT.

Ketiga, di atas juga ditunjukkan dalam perencanaan kawasan dan pengembangan jaringan antarnodal, bahwa peran dan fungsi kecamatan tidak dapat diabaikan hingga saat ini. Oleh karena pengabaian kelembagaan kecamatan dan pelaku (aktor) pembangunan lainnya maka fakta yang ada menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam KSCT: banyak wilayah kecamatan dan perdesaan yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis namun belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena kelembagaan kecamatan belum dilibatkan dalam penyusunan KSCT, padahal dari sisi spasial kecamatan memiliki informasi tentang produk unggulan yang dapat dikembangkan. Ini juga diduga terkait dengan pelemahan posisi (peran, fungsi dan kewenangan) kelembagaan kecamatan di era otonomi daerah.

Dari tiga poin tersebut terlihat bahwa celah dan ruang gerak dari fungsi dan peran kecamatan dalam KSCT masih sangat terbatas, seiring dengan keterbatasan dan pelemahan wewenang, fungsi dan peran dari kecamatan itu sendiri. Oleh karena itu perlu ada pemikiran tentang perlunya perubahan fungsi kecamatan dalam penyusunan KSCT seiring dengan perubahan fungsi kecamatan itu sendiri, barangkali melalui refungsi-onalisasi kecamatan.

Berikut beberapa pemikiran yang terkait dengan perubahan kecamatan di masa yang akan datang, yang turut memengaruhi pula refungsionalisasi kecamatan dalam perencanaan KSCT, yaitu: (a) Kinerja kecamatan ikut merencanakan pembangunan wilayahnya sangat bervariasi

kedalamannya, namun demikian ada satu kesamaan pandangan yang ditemukan, yaitu melalui refungsionalisasi kecamatan, dimana camat perlu membuat dua perencanaan yaitu pembangunan (sektoral) yang dimatrakan dengan perencanaan spasialnya. Jika dua fungsi ini dapat direalisasikan maka fungsi kecamatan dalam penyusunan perencanaan dan implementasi KSCT akan efektif karena kelembagaan kecamatanlah yang memiliki kewenangan untuk dapat langsung berhubungan dengan desa, masyarakat maupun SKPD lainnya.

Page 32: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

26

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

(b) Jika UU No. 32 tahun 2004 tetap jadi acuan bagi fungsi kecamatan (selama belum ada regulasi lain yang mengatur fungsi kecamatan) maka harus dibedakan antara peran kecamatan dalam koordinasi otoratif dan koordinasi administratif. Dalam penyusunan perencanaan dan implementasi KSCT, fungsi koordinasi sangatlah penting, baik koordinasi otoratif maupun koordinasi administratif. Kecamatan akan makin berfungsi dalam KSCT jika ke dua koordinasi tersebut dapat direalisasikan.

(c) Dalam kerangka pengembangan wilayah, maka penataan kelembagaan kecamatan dengan melihat keragaman wilayah di Indonesia, berdasar pada karakteristik wilayah, menjadi sangat urgen untuk dilakukan. KSCT mengakomodir keragaman wilayah tersebut karena dalam penyusunan masterplan, bussinessplan, dan actionplan ditekankan pada keunggulan sumberdaya dan geografis yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Selain itu, KSCT juga menekankan pada empat spesifikasi karakteristik wilayah, yaitu: 1) Wilayah homogen, yaitu suatu wilayah dengan sifat dan ciri geografis yang hampir

sama, 2) Wilayah nodal, yaitu suatu wilayah yang mempunyai ketergantungan antara inti dan

hinterland-nya (melalui arus migrasi penduduk, produksi, transportasi, dan sebagainya),

3) Wilayah perencanaan, yaitu suatu wilayah yang memiliki perubahan dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun sulit dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh,

4) Wilayah administrasi, yaitu suatu wilayah dimana batas wilayah ditentukan berdasarkan perlakuan kebijakan yang homogen atau melalui administrasi pemerintah.

(d) Penguatan kecamatan tidak dilakukan seragam (homogen) di Indonesia tetapi melalui

tahapan evolusi, yang dimulai dari bentuk penguatan fungsi kecamatan penuh (pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan) hingga fungsi keca-matan yang mulai hilang dan berganti dengan fungsi pelayanan. Demikian pula fungsi kecamatan dalam KSCT, dimana ada pada beberapa kawasan fungsi itu menguat dan ada pada beberapa kawasan fungsi kecamatan yang melemah dan digantikan dengan fungsi kabupaten ataupun SKPD lainnya.

(e) Kecamatan sebagai hinterland pengem-bangan suatu kawasan ke depannya dapat diarahkan sebagai sentra pengembangan wilayah spasial, karena kecamatan dianggap sebagai wilayah ‘meso’ yang mampu mengintegrasikan dan memedia-sikan rencana tata ruang dari atas (tingkat wilayah ‘makro’ kabupaten) dan rencana tata ruang dari bawah (tingkat wilayah ‘mikro’ desa), sehingga peran kecamatan sesungguhnya menjadi lebih besar dari sekedar ‘perpanjangan tangan bupati’. Jika kecamatan di wilayah meso dapat

Page 33: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

27

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

lebih ditingkatkan lagi pada masa yang akan datang, maka dengan demikian kecamatan juga dapat lebih berperan dalam perencanaan KSCT.

(f) Seperti poin sebelumnya, dalam rangka perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah spasial, kecamatan masih relevan dibutuhkan, khususnya dalam satuan kawasan, karena kecamatan dari sisi administrasi kecamatan sebelum era otonomi daerah melakukan: koordinasi pembangunan antardesa, mediator pembangunan secara hierarki vertikal desa-kecamatan-kabupaten, maka sudah sewajarnya jika fungsi dan peran tersebut ‘dihidupkan’ kembali pada era otonomi daerah ini, agar kecamatan juga dapat lebih berdayaguna dalam perencanaan KSCT.

(g) Jika memang tidak ada alternatif lain bahwa kecamatan harus direduksi perannya sesuai dengan amanat dari UU No. 32 tahun 2004 maka harus ada lembaga representatif yang dapat menjalankan fungsi dalam perencanaan pembangunan spasial (tata ruang), termasuk juga dalam perencanaan KSCT yang juga menekankan pada kawasan sebagai satuan analisisnya.

(h) Sebagai prospective condition, pelemahan peran kecamatan dapat berjalan jika fungsi pelayanan mechanistic diterapkan melalui sistem operasionalisasi kompu-terisasi yang baik di tingkat kabupaten atau SKPD lainnya. Demikian pula halnya pada KSCT, komputerisasi perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi antar berbagai instansi/SKPD di tingkat kabupaten menjadi suatu hal yang penting.

Namun demikian, beberapa pemikiran tersebut di atas sudah barang tentu dapat

direalisasikan jika regulasi yang terkait dengan peran dan fungsi kecamatan direvisi terlebih dahulu, sehingga jelas dari sisi cantolan hukumnya. Dalam perencanaan KSCT pun demikian, kecamatan belum dapat berperan atau berfungsi secara maksimal jika regulasi belum diubah. Sesungguhnya untuk kecamatan sebagai ‘perpanjangan tangan’ bupati seorang bupati dapat membuat surat keputusan bupati atau peraturan bupati (perbup) untuk melimpahkan sebagian wewenangnya ke kecamatan (camat), namun itupun lemah dari sisi cantolan atau payung hukumnya. Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: (a) Fungsi dan peran kecamatan dalam KSCT sangat dipengaruhi dengan bagaimana posisi

kecamatan itu sendiri menurut UU No. 32 tahun 2004 dan derivatif undang-undangnya yang ada.

(b) Dari sisi analisis wilayah kawasan, tidak mungkin fungsi dan peran kecamatan diabaikan karena perencanaan wilayah spasial berbasiskan kawasan sebagai satuan ekologis tidak dapat terealisasi dengan baik tanpa ada peran kecamatan.

(c) Kecamatan dalam KSCT dan dalam pengembangan wilayah spasial memiliki peran dan fungsi pada: (i) perencanaan pembangunan kawasan spasial, (ii) koordinasi pembangunan

Page 34: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

28

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

antardesa, dan (iii) mediator pembangunan secara hierarki vertikal antara desa dan kecamatan, dan antara kecamatan dengan kabupaten.

Saran

Dari uraian di atas, saran yang dapat diberikan adalah perlunya ada koordinasi intensif antarkabupaten yang sudah siap menyusun perencanaan KSCT, terutama menyangkut fungsi dan peran kecamatan dalam perencanaan KSCT ini karena diyakini bahwa dengan melibatkan kecamatan dalam perencanaan dan implementasinya maka KCST dapat berjalan dengan baik.

Daftar Pustaka Anonimous. 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta __________. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang. Jakarta. __________. 2007. Penyusunan Masterplan Pembangunan Ekonomi Daerah (Kawasan

Agropolitan Ciwidey). Kerjasama antara Bappeda Kabupaten Bandung dengan Pusat Pengkajian Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM-IPB. Bogor.

___________. 2008a. Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah dan Pembangunan Perkotaan. Tidak Dipublikasikan.

___________. 2008b. Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah. Tidak Dipublikasikan.

Hanafiah. 1989. Aspek Lokasi Dalam Analisis Ekonomi Wilayah. Tidak Dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Lay, Cornelis. 2002. Potensi Kecamatan Sebagai Arena Kekuatan Intermediary (Studi Kasus 14 Kecamatan di Indonesia). Universitas Gajahmada. Yogyakarta.

Menteri Dalam Negeri. 2008. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Stategis Cepat Tumbuh di Daerah. Jakarta

Putri, Eka Intan K. 2006. Regional Planning in the Rural Governance Reformation: A Lesson Learned from Five Province and Many Challenges in the Future. Project Working Paper Series No. 06. Partnership-Based Rural Governance Reform, financed by UNDP and EU. ISBN:979-8673-38-0

__________________. 2007. Butir Pikiran Tentang Reformasi Kecamatan. Tidak dipublikasikan.

__________________. 2007. Catatan Harian dan Notulensi Fokus Group Discussion di Dua Kecamatan Kasus Baitussalam dan Inginjaya. Tidak dipublikasikan.

__________________. 2007. Menuju Pemberdayaan Mukim dan Penguatan Kecamatan (Studi Kasus Di Kabupaten Aceh Besar Propinsi NAD). Tidak Dipublikasikan.

Page 35: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

29

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

___________________. 2008. Refunctionalisation Kecamatan in Spatial Regional Development Planning. Project Working Paper Series No. 04. ‘Kecamatan’ Institutional and Good Governance: Implementation Review and Recomendation, financed by DRSP-USAID. ISBN: 978-979-8637-49-0

Suhandoyo, dkk. 2000. Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif. Penerbit: Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Triputro, R.W. dan Supardal. 2005. Pembaharuan Otonomi Daerah. Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” dan APMD Press Yogyakarta.

Page 36: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Peran dan Fungsi Kecamatan di Era Otonomi Daerah dalam Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) di Indonesia

30

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Eka Intan Kumala Putri

Page 37: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

31

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Hidup

ABSTRAK

Apabila kita lebih cermat sebenarnya masih banyak dana yang berasal dari dunia usaha dan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan. Dana tersebut tidak harus selalu berasal dari pajak dan atau retribusi yang diperoleh dan dikumpulkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dari dunia usaha dan masyarakat. Sesungguhnya, masih banyak dana khususnya dari dunia usaha yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan terutama pembangunan di daerah. Dewasa ini setiap perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan besar, kegiatan-kegiatannya sangat berdampak pada lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya, selain harus melakukan kajian analisis dampak lingkungan kegiatannya, perusahaan-perusahaan tersebut juga harus menyediakan dana dan melaksanakan kewajiban turut membangun wilayah lingkungan di mana kegiatannya berada. Kegiatan membangun sekitar areal kerja perusahaan ini dikenal dengan istilah Community Development Responsibility (CDR). Pemanfaatan dana CDR juga merupakan salah satu alternatif pembiayaan pembangunan daerah. Tulisan mengkaji contoh tentang adanya kemungkinan dana-dana yang berasal dari kegiatan dunia usaha yang seharusnya dapat diarahkan oleh pemerintah daerah guna pembangunan di daerahnya. Kata kunci: CDR, pembangunan daerah, dunia usaha

ABSTRACT

Basically, there are actually still have a lot of funds derived from the business world and society that can be used in the development. These funds do not have to come from taxes and or fees earned by the government and the local governments of the world of business and society. Indeed, much of the business community funds should be used to support development especially in the regional sides. Nowadays, the activities of every company, especially large companies, have greatly impact on the surrounding environment. That is why, in addition to assessing the environmental impact assessment activities, such companies should also provide funds and obligations and build the environment in areas where operations are located. Building activities around the area of the company’s work is known as the Community Development Responsibility (CDR) that can be an alternative to

Page 38: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

32

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

finance regional development. This paper examines an example of the possibility of funds derived from business activities that should be directed by the local governments to develop. Keyword: CDR, regional development, business world Pendahuluan

Sebagai wujud dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang telah lama di perjuangkan, maka salah satu amanat dari para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah melaksanakan pembangunan. Berdasarkan sejarah pelaksanaan pembangunan bangsa selama ini kita tahu bahwa pembangunan itu meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara ini.

Penjabaran atas rencana pembangunan tersebut ditetapkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Kondisi ini menggambarkan seolah-olah kegiatan pembangunan Negara ini hanya bertumpu pada anggaran yang diperoleh dan dikelola oleh pemerintah saja.

Apabila kita lebih cermat sebenarnya masih banyak dana yang berasal dari dunia usaha dan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan bangsa ini. Dana tersebut tidak harus selalu berasal dari pajak dan atau retribusi yang diperoleh dan dikumpulkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dari dunia usaha dan masyarakat. Sesungguhnya, masih banyak dana khususnya dari dunia usaha yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan terutama pembangunan di daerah. Tulisan berikut ini hanyalah sekedar contoh tentang adanya kemungkinan dana-dana yang berasal dari kegiatan dunia usaha yang seharusnya dapat diarahkan oleh pemerintah daerah guna pembangunan di daerahnya.

Dewasa ini setiap perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan besar, kegiatan-kegiatannya sangat berdampak pada lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya, bahwa selain harus melakukan kajian analisis dampak lingkungan kegiatannya, perusahaan-perusahaan tersebut juga harus menyediakan dana dan melaksanakan kewajiban turut membangun wilayah lingkungan di mana kegiatannya berada. Kegiatan membangun sekitar areal kerja perusahaan ini dikenal dengan istilah Community Development Responsibility (CDR).

Dalam kegiatan sektor kehutanan misalnya, kegiatan ini telah lama dilakukan dengan nama Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Di lingkungan Perhutani kegiatan PMDH ini dikenal dengan Program/Proyek MALU (Mantri-Lurah), berupa kerjasama antara KRPH dengan Kepala Desa dalam membangun desa yang bersangkutan dengan dana dari Perhutani.

Page 39: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

33

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Pemanfaatan dana CDR juga merupakan salah satu alternatif pembiayaan pembangunan daerah, apalagi setelah banyak Peraturan Daerah (Perda) yang baru-baru ini dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Terlebih hampir keseluruhan Perda tersebut mengatur tentang pajak dan retribusi. Dengan dibatalkannya Perda yang mengatur tentang pajak-pajak daerah dan retribusi ini sudah barang tentu banyak pendapatan daerah yang hilang. Dengan demikian kesempatan membangun daerah yang selama ini dibiayai dari sumber-sumber pendapatan tersebut menjadi hilang.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kemungkinan pemanfaatan dana dari dunia usaha guna menunjang pembangunan di daerah antara lain lewat pemanfaatan dana Community Development Responsibility (CDR) yang dananya berasal dari dana perusahaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan bersama masyarakat desa di mana perusahaan tersebut beraktifitas.

Adapun tujuannya adalah tercapainya percepatan pembangunan daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.

Pokok bahasan berikut ini dibatasi pada suatu daerah tertentu saja sekedar sebagai salah satu contoh, yang dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah lainnya. Untuk itu penulis memilih Provinsi Riau sebagai daerah contoh dalam penulisan ini. Sedangkan dari dunia usaha juga akan dibatasi pada sektor-sektor yang berkembang secara luas seperti sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan. Cakupan areal kegiatan ketiga sektor ini cukup luas dan sudah barang tentu dampaknya terhadap lingkungan juga cukup luas. Ruang Lingkup Studi Keadaan Geografis

Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi di Sumatera yang memiliki luas wilayah 8.915.016 Hektar. Wilayah ini terletak diantara 01o05’00” LS dan 02o25’00” LU, serta antara 100o00’00” BB dan 105o05’00” BT (Riau Dalam Angka 2010).

Provinsi ini memiliki 15 sungai dengan empat sungai utama yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Keempat sungai utama tersebut adalah Sungai Siak (300 km), Sungai Rokan (400 km), Sungai Kampar (400 km) dan Sungai Indragiri (500 km). Sungai-sungai tersebut mengalir dari Barat ke Timur dan bermuara ke Laut Cina Selatan dan Selat Malaka.

Batas-batas wilayah Provinsi Riau adalah: 1. Sebelah Utara = Selat Malaka dan Provinsi Sumut. 2. Sebelah Timur = Kepulauan Riau dan Selat Malaka. 3. Sebelah Selatan = Provinsi Jambi dan Provinsi Sumbar. 4. Sebelah Barat = Provinsi Sumbar dan Provinsi Sumut.

Provinsi Riau saat ini terbagi dalam 10 Kabupaten dan dua Kota masing-masing adalah

sebagai berikut:

Page 40: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

34

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

1. Kabupaten Rokan Hulu dengan Ibukota Pasir Pengaraian. 2. Kabupaten Rokan Hilir dengan Ibukota Bagan Siapi-Api. 3. Kabupaten Kampar dengan Ibukota Bangkinang. 4. Kabupaten Bengkalis dengan Ibukota Bengkalis. 5. Kabupaten Siak dengan Ibukota Siak Sri Indrapura. 6. Kabupaten Pelalawan dengan Ibukota Pangkalan Kerinci. 7. Kabupaten Teluk Meranti dengan Ibukota Selatpanjang. 8. Kabupaten Indragiri Hilir dengan Ibukota Tembilahan. 9. Kabupaten Indragiri Hulu dengan Ibukota Rengat. 10. Kabupaten Kuantan Singingi dengan Ibukota Taluk Kuantan. 11. Kota Pekanbaru. 12. Kota Dumai. Tanah dan Iklim

Dari luas daratan Provinsi Riau yang lebih dari 8 juta hektar sebagian besar jenis tanahnya adalah organosol dan gley humus dengan luas ± 5,6 juta hektar, podsolik merah kuning dengan luas ± 2,16 juta hektar dan sisanya adalah tanah podsol. Tanah-tanah jenis ini pada umumnya memiliki kesuburan yang rendah dan bersifat asam. Oleh karena itu pemanfaatan untuk usaha pertanian memerlukan pupuk yang tidak sedikit.

Provinsi ini memiliki iklim basah, bahkan hampir sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1000 mm3 hingga 3000 mm3 pertahun. Iklim seperti ini cukup menguntungkan bagi usaha pertanian. Tentu saja dalam kondisi yang berlebihan akan berakibat banjir dan hal seperti ini tentu tidak baik bagi kegiatan apapun.

Berdasarkan data klimatologi curah hujan tertinggi dalam tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar sebesar 3.349 mm3, kemudian disusul oleh Kota Pekanbaru sebesar 3.214 mm3 dan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635 mm3.

Berdasarkan catatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru sebesar 23o C, dengan suhu maksimun 36o C dan minimum 21o C. Kependudukan

Berdasarkan hasil olah cepat sensus penduduk tahun 2010 (SP 2010), jumlah penduduk di Provinsi Riau tercatat 5.543.031 jiwa, dari keseluruhan jumlah tersebut 2.854.989 jiwa merupakan penduduk laki-laki dan 2.688.042 jiwa adalah perempuan.

Sementara itu jumlah rumah tangga tercatat sebanyak 1.337.034 rumah tangga dengan rata-rata 4 jiwa per rumah tangga. Berdasarkan catatan SP 2010 tersebut, penduduk banyak terkonsentrasi di Kota Pekanbaru yakni sebesar 903.902 jiwa (16,31 %). Kabupaten yang tercatat berpenduduk paling sedikit adalah Kabupaten Teluk Meranti sebesar 176.371 jiwa (3,18 %).

Keadaan penduduk Provinsi Riau selengkapnya terdapat dalam tabel 1.

Page 41: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

35

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Tabel 1. Jumlah Penduduk Per Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun 2010

Kabupaten/ Kota

Regency/ City

Penduduk Population

Laki-laki male

Perempuan Female

Jumlah Total

(1) (2) (3) (4) 01 Kuantan Singingi 02 Indragiri Hulu 03 Indragiri Hilir 04 Pelalawan 05 Siak 06 Kampar 07 Rokan Hulu 08 Bengkalis 09 Rokan Hilir 10 Kepulauan Meranti 71 Pekanbaru 73 Dumai

149.368 186.989 340.299 159.247 196.814 353.787 245.636 257.200 283.758 90.577 459.533 131.781

141.676 175.972 322.006 143.774 180.418 332.243 229.375 241.184 268.675 85.794 444.369 122.556

291.044 362.961 662.305 303.021 377.232 686.030 475.011 498.384 552.433 176.371 903.902 254.337

Jumlah/ Total 2.854.989 2.688.042 5.543.031 Sumber: Hasil Olah Cepat Sensus Penduduk 2010.

Terkait dengan tingkat kesejahteraan penduduk, dari data jumlah dan persentase penduduk miskin serta garis kemiskinan di Provinsi Riau tahun 2008-2009, nampak adanya penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin. Berdasarkan data persentase penduduk miskin, tercatat penduduk miskin terbesar terdapat di Kabupten Pelalawan yakni sebesar 18,63% pada tahun 2008, dan menurun menjadi 16,71% pada tahun 2009. Sementara itu di Pekanbaru sebagai daerah dengan persentase penduduk miskin terendah pada tahun 2008 tercatat sebesar 3,63% justru pada tahun 2009 naik menjadi 3,92% Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya perpindahan penduduk miskin dari luar Pekanbaru yang mencari pekerjaan di kota ini.

Data jumlah dan persentase penduduk miskin serta garis kemiskinan Provinsi Riau adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini (Tabel 2).

Page 42: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

36

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Tabel 2. Jumlah, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Provinsi Riau

Kabupaten/ Kota Regency/ City

Jumlah Penduduk Miskin

Number of Poor Population

(000)

Persentase Penduduk Miskin

Percentage of Poor Population

(%)

Garis Kemiskinan Proverty Line

(Rp)

2008 2009 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (5) (6) (8) (9)

01 Kuantan Singingi 02 Indragiri Hulu 03 Indragiri Hilir 04 Pelalawan 05 Siak 06 Kampar 07 Rokan Hulu 08 Bengkalis* 09 Rokan Hilir 71 Pekanbaru 73 Dumai

47,35 40,62 92,39 54,57 23,85 71,57 75,16 69,80 61,27 29,74 18,35

42,74 35,98 80,60 50,71 20,19 65,58 68,01 63,43 55,96 33,42 15,65

16,51 12,05 13,19 18,63 7,09 11,45 18,05 8,94 10,59 3,63 7,42

14,42 10,25 11,11 16,71 5,71 10,04 15,49 7,91 9,32 3,92 6,08

242.455 231.894 217.031 286.761 245.192 241.279 288.961 255.670 185.264 241.428 256.806

299.369 269.484 219.841 331.024 247.965 257.508 289.554 295.967 227.571 300.852 261.859

Jumlah/ Total 584,68 532,26 10,79 9,45 240.811 270.504

* Termasuk kabupaten Kepulauan Meranti yang masih tercatat di kabupaten Bengkalis Sumber Survei Sosial Ekonomi Nasional,2008-2009.

Dilihat dari sudut mata pencahariannya penduduk di daerah ini sebagian terbesar bekerja di sektor pertanian. Pada urutan kedua mereka bekerja di sektor perdagangan dikuti kemudian oleh sektor jasa. Pekerjaan di sektor pertanian yang mendominasi lapangan kerja di daerah ini tentu banyak dipengaruhi sifat agraris yang dicirikan oleh penggunaan lahannya yang didominasi oleh sektor pertanian.

Oleh karena itu dengan adanya kegiatan CDR dari perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan yang pada umumnya berlokasi di desa-desa, sangat diharapkan akan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin tersebut di atas. Hal ini akan dapat terjadi manakala perusahaan-perusahaan yang bersangkutan benar-benar melaksanakan secara baik dan benar program-program CDR-nya. Selain itu program CDR juga diharapkan dapat mengurangi perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota untuk sekedar mencari pekerjaan.

Berikut ini gambaran kondisi lapangan kerja di Provinsi Riau dalam tiga tahun terakhir yang menyerap tenaga kerja usia produktif ( 15 tahun ke atas).

Page 43: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

37

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Tabel 3. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Seminggu Menurut Lapangan Usaha Utama

Lapangan Usaha

Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Februari

2008 Agustus

2008 Februari

2009 Agustus

2009 Februari

2010 (1) (2) (3) (4) (5) (5)

1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik Air dan Gas 5. Bangunan dan Konstruksi 6. Perdagangan Rumah Makan dan Hotel 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Keuangan dan Asuransi 9. Jasa-Jasa

46,7 2,9 5,4 0,2 5,9

17,2 5,9 1,4

14,3

49,3 2,3 4,3 0,3 5,2

17,6 5,6 0,9

13,5

45,9 3,8 4,9 0,2 6,0

18,2 5,7 1,2

14,0

48,4 2,1 5,8 0,5 4,8 18,2 4,8 1,5 13,9

43,9 2,6 5,4 0,2 5,5

19,3 4,3 1,7

17,1

Jumlah/ Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Sumber : Sakernas 2008-20 Penggunaan lahan

Data penggunaan lahan di Provinsi Riau ini termasuk yang paling susah dijadikan pegangan. Hal ini disebabkan oleh statisnya data kawasan hutan yang relatif tidak berubah jumlah luasnya sejak ketetapan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), walaupun sebenarnya kondisinya telah banyak berubah.

Berdasarkan data statistik tahun 2010 luas areal tanaman pangan sebesar 2.965.251,20 Ha, perkebunan seluas 3.084.770 Ha dan Kehutanan yang terdiri atas Hutan Lindung (HL) 228.793,82 Ha, Hutan Suaka Alam seluas 531.852,65 Ha, Hutan Produksi (HP) seluas 1.605.762,78 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebesar 1.815.949,74 Ha, Hutan Bakau 138.433,62 Ha, dan Hutan yang dapat dikonversi (HPK) seluas 4.277.964,39 Ha.

Dari data tersebut diatas, barangkali data luas hutan yang dapat dikonversi (HPK) merupakan data yang paling tidak up to date. Banyak perubahan kawasan hutan yang kemudian menjadi ladang, perkebunan, pertambangan, dan lain-lain yang tidak dilakukan pencatatan ulang dan updating, menjadikan data penggunaan lahan di Provinsi Riau sangat tidak akurat. Dari luas areal tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan di luar HPK saja, luasnya telah mencapai 10.370.813,81 Ha, jauh di atas luas keseluruhan wilayah provinsi ini.

Kondisi seperti ini disebabkan antara lain oleh tidak adanya ketaatan masyarakat dan aparatur terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada serta adanya kepentingan-kepentingan lain. Kondisi seperti ini juga dimungkinkan terjadi akibat lemahnya peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh misalnya adanya ketentuan dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang mengatur tentang keberadaan dan hapusnya

Page 44: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

38

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

masyarakat hukum adat, namun sampai dengan saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Kehutanan tersebut belum juga ada. Sementara itu Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan adat istiadat masyarakat hukum adat. Pembahasan Sektor-sektor yang Berpeluang

Meskipun banyak sektor yang berpeluang dapat dilibatkan dalam pembangunan daerah melalui pemberdayaan dana CDR, namun sebagaimana batasan penulisan di atas, dalam tulisan ini dibatasi pada sektor Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan dan Industri Pengolahan produk-produk ketiga sektor tersebut. Perkebunan

Berdasarkan data Perkebunan Provinsi Riau tahun 2009, jenis-jenis komodisi perkebunan yang dikembangkan oleh Perusahaan, Perkebunan BUMN maupun BUMS meliputi karet, kelapa hibrida, kelapa sawit, kakao dan sagu. Berikut dibawah ini data luas Perkebunan Besar Negara (PBN) maupun Perkebunan Besar Swasta (PBS) tahun 2009 di Provinsi Riau.

Tabel 4. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Provinsi Riau Tahun 2009

dari areal PBN dan PBS

No komoditi Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) PBN PBS 1 2 3 4 5

Karet Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kakao Sagu

10.901 -

19.545 - -

9.392 12.253 849.597 3.000 20.000

38.659 24.612 3 274.264 3.128 69.836

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Riau Tahun 2010

Berkaitan dengan data tersebut di atas dari sektor perkebunan ini penulis akan membatasi hanya pada komoditi kelapa sawit. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan data yang ada. Selain itu untuk sekedar contoh barangkali satu komoditi ini cukup mewakili, mengingat luasnya yang sangat dominan.

Berdasarkan data tersebut di atas dan harga jual produk kelapa sawit yang berlaku saat ini sebesar ± Rp. 1.700,- perkilogram TBS, maka apabila untuk setiap kilogram hasil kelapa sawit dikeluarkan biaya CDR sebesar 1% saja akan terdapat dana CDR sebesar ± Rp. 55,66 milyar.

Page 45: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

39

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Besarnya dana CDR tersebut sudah barang tentu akan berfluktuasi sejalan dengan fluktuasi harga produk dan besarnya produksi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya. Namun berdasarkan trend atau kecenderungan kebutuhan dunia akan minyak nabati, maka peluang meningkatnya dana CDR akan semakin besar dari tahun ke tahun.

Apabila setiap perusahaan baik PBN maupun PBS dari semua jenis usaha perkebunan melaksanakan CDR, tentulah dana CDR dari sektor perkebunan ini tidak hanya sebesar Rp. 55,66 milyar saja akan tetapi bisa lebih dari Rp. 65 milyar. Hal ini akan menjadi lebih besar lagi jika dana CDR tersebut dapat disediakan lebih dari 1%. Kehutanan

Untuk sektor kehutanan, kegiatan yang akan penulis kemukakan adalah kegiatan Hutan Tanaman Industri (HTI). Berdasarkan data saat ini tidak kurang dari 2,1 Juta hektar kegiatan HTI beroperasi di Provinsi Riau. Hampir keseluruhan kegiatan HTI di Provinsi Riau hasilnya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik pulp dan kertas. Untuk itu daur tanaman HTI ini cukup pendek yakni 5 (lima) tahun. Oleh karena itu setiap tahun akan selalu ada tebangan/ penyiapan lahan dan penanaman seluas ± 442.000 Ha, dengan demikian setiap tahun akan tersedia tidak kurang dari Rp. 60 milyar dana CDR dari kegiatan HTI di Provinsi ini.

Kegiatan di sektor kehutanan yang mengutamakan asas kelestarian mengharuskan terbentuknya kelas hutan yang normal. Mengingat daur tanaman HTI ini 5 (lima) tahun maka dapat dipastikan, setiap tahun setiap perusahaan wajib mengusahakan agar terdapat 5 (lima) kelas hutan dengan luasan yang relatif sama. Oleh karena itu besarnya dana CDR yang harus disediakan perusahaan HTI relatif tetap dari tahun ke tahun yakni sebesar 1 % atau lebih dari biaya tanaman sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No P 64/Menhut-II/2009.

Dengan demikian besarnya dana CDR dari kegiatan HTI juga relatif tetap dari tahun ke tahun. Selain dari kegiatan HTI, dana CDR juga dapat tersedia dari kegiatan Pengusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman Rakyat untuk hutan alam di Provinsi Riau relatif kecil. Sementara itu Hutan Tanaman Rakyat (HTR) juga masih terbatas sekali. Setidak-tidaknya peluang tersedianya dana CDR dari lahan hutan ini cukup tersedia selain dari HTI. Pertambangan

Dari Provinsi Riau komoditi pertambangan yang terkenal adalah minyak bumi. Untuk tahun 2009 tidak kurang dari 12,2 juta barel minyak bumi dihasilkan dari Provinsi ini. Hasil tersebut cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sebelumnya dihasilkan hampir 148 juta barel di tahun 2007 dan hampir 144 juta barel di tahun 2008.

Selain minyak bumi, bahan tambang yang lain berupa batu bara cenderung meningkat hasilnya dan untuk gambut ada kecenderungan hasilnya menurun dari tahun ke tahun. Produksi batu bara pada tahun 2007 sebesar 1.546.599,267 metrik ton. Untuk tahun 2008

Page 46: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

40

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

turun menjadi 1.274.180,78 metrik Ton, dan tahun 2009 menjadi sebesar 3.008.063,19 metrik Ton. Gambut tahun 2007 sebanyak 483.616 Ton turun menjadi 452.907,54 Ton di tahun 2008 dan tahun 2009 hanya menghasilkan 167.211,20 Ton Hal ini terjadi barangkali diakibatkan oleh gencarnya kampanye anti eksploitasi lahan gambut akhir-akhir ini. Bahan tambang lain yang berpeluang dapat menyediakan dana CDR adalah gas bumi.

Secara keseluruhan kegiatan-kegiatan pertambangan tersebut di atas di kelola oleh perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu, peluang untuk dapat mendayagunakan dana CDR bagi pembangunan daerah juga cukup terbuka dari sektor pertambangan. Industri Pengolahan

Untuk Industri Pengolahan ini penulis fokuskan pada industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Walaupun demikian tidak banyak data yang dapat dihimpun dari dana CDR sektor industri ini, baik besar maupun kebijakannya. Oleh karena itu, jika sektor ini juga melaksanakan kegiatan CDR dengan dana setidak-tidaknya sebesar 1% dari nilai hasil produksinya, maka dana CDR yang dapat dimanfaatkan dar sektor ini akan sangat besar pula.

Berikut ini data jumlah perusahaan dan tenaga kerja industri besar dan sedang sebagaimana tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang

di Provinsi Riau Yang Telah Disesuaikan

No. Klasifikasi Industri Jumlah Perusahaan

Tenaga Kerja 2007 r) 2008

1 2 3 4 5 6 7

Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau/ Industri Tekstil/ Industri Barang-barang dari Batu bara, Persilangan Minyak Bumi & Pengolahan Gas Bumi Industri kayu, barang-barang dari kayu (tidak termasuk furniture) dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya Industri Kertas, barang-barang dari kertas dan sejenisnya Industri Karet, barang dari karet dan barang plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Furnitur dan Industri Pengolahan lainnya

127 4

12

5

16

4 9

30 028 630

7 469

13 077

2 244

210 720

28 946 655

5 002

13 543

3 242

262 614

Jumlah/ Total 179 54 378 52 228 Sumber: Riau Dalam Angka 2010 Yang Telah Disesuaikan

Page 47: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

41

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Peran Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Dunia Usaha Dari uraian-uraian di atas, seyogyanya Pemerintah Daerah lewat Dinas-Dinas terkait

perlu segera menginventarisasi perusahaan-perusahaan dalam wilayah kerjanya masing-masing. Dari data masing-masing perusahaan perlu diketahui luas areal kerja perusahaan-perusahaan yang bersangkutan, letak kedudukan arealnya berada di desa mana produktivitas usahanya serta program kerja CDR-nya. Peran Pemerintah

Dari data perusahaan yang bersangkutan, dinas terkait dapat menetapkan arahan kepada desa-desa yang akan menjadi areal kegiatan CDR perusahaan-perusahaan tersebut. Desa sebagai bagian terbawah dari unsur Pemerintahan sesuai arahan dari tingkat kabupaten mengajukan rencana kerjanya ke Kecamatan untuk di bawa ke tingkat kabupaten.

Arahan atas program dan rencana kerja oleh tingkat kabupaten ini sangat penting. Satu dan lain hal adalah agar rencana kerja pembangunan desa dengan dana CDR tetap dalam kerangka pembangunan daerah dan nasional. Dengan arahan tersebut Pemerintah Kabupaten juga dapat melakukan kontrol atas pelaksanaannya kelak. Tanpa peran Pemerintah Daerah, boleh jadi banyak perusahaan yang semestinya menjalankan CDR nya justru tidak melakukannya. Hal demikian ini sudah barang tentu merupakan kerugian bagi desa dan daerah yang bersangkutan.

Mungkin juga terjadi perusahaan telah menjalankan program CDR-nya. Namun bukan tidak mungkin program itu hanyalah untuk keuntungan perusahaan saja. Misalnya dari sudut besarnya dana dan penggunaannya tidak sesuai untuk pembangunan desa karena tidak terarah.

Peran Masyarakat

Masyarakat selain merupakan pelaku pembangunan, pengguna hasil-hasil pembangunan, juga berperan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan, dengan demikian peran masyarakat ini sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Sayang sekali besarnya jumlah anggota masyarakat kita ini tidak disertai dengan kualitas mereka yang memadai, oleh karena itu terkadang justru banyaknya masyarakat dengan kualitas yang tidak memadai ini menjadi beban dan bahkan menghambat pembangunan.

Berkaitan dengan itu pula, maka Pemerintah berkewajiban meningkatkan kualitas masyarakat lewat dunia pendidikan. Dari data susenas 2009 sebanyak 2,87% penduduk Provinsi Riau tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, sebanyak 20,58% tidak tamat sekolah dan 26,55% merupakan tamatan Sekolah Dasar, selanjutnya 19,66% tamat SLTP, 18,93% tamat SMU, sebesar 5,91% tamat SMU Kejuruan dan Sisanya merupakan tamatan Diploma dan Strata.

Yang cukup menarik adalah jumlah Sarjana baik SI, SII maupun SIII yang mencapai 3,62% dari total penduduk Provinsi Riau, dengan demikian peran para sarjana ini sangat

Page 48: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

42

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

strategis untuk memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Provinsi ini. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka di harapkan beban sewaktu berkurang, begitu juga dengan hambatan pembangunan.

Di sisi lain, dengan adanya peningkatan kualitas SDM, selain dapat mengurangi beban sewaktu dan dapat mengurangi hambatan dalam pembangunan, SDM yang berkualitas tersebut juga diharapkan dapat memberikan kontrol sehat yang dapat meningkatkan kualitas hasil pembangunan itu sendiri, dan juga ikut berperan serta menjadi pelaksana pembangunan yang berkualitas.

Seyogyanya ada anggota kelompok masyarakat yang memang mempunyai kemampuan berinteraksi dalam pembangunan ikut terlibat dari sejak perencanaan pembangunan. Dengan keterlibatannya ini diharapkan yang bersangkutan dapat melakukan kegiatan pembangunan sekaligus melakukan kontrol.

Apabila dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan, maka yang bersangkutan dapat segera melakukan koreksi, dan dengan adanya tindakan koreksi yang cepat, maka pelaksanaan pembangunan akan dapat selesai tepat waktu serta efisien dalam pemanfaatan dananya.

Dalam pelaksanaan CDR, masyarakat merupakan mitra kerja perusahaan, seharusnya memiliki kedudukan yang setara dengan perusahaan. Oleh karena itu pelaksanaan CDR akan betul-betul terarah dan terkontrol dengan baik. Hasil pelaksanaan CDR tersebut juga akan memuaskan kedua belah pihak. Jika kedudukan kedua belah pihak ini tidak setara, maka arah pelaksanaan CDR dapat di selewengkan sesuai dengan keinginan pihak yang lebih dominan. Akibatnya hasilnya dapat menimbulkan kekecewaan pihak-pihak yang lemah. Peran Dunia Usaha

Badan Usaha baik milik negara maupun swasta merupakan lokomotif pembangunan ekonomi bangsa. Sebagai suatu unit usaha ekonomi Badan usaha sudah barang tentu berorientasi pada profit, terlebih-lebih Badan Usaha Swasta (BUMS) Dengan adanya profit oriented walaupun merupakan kewajiban, perusahaan pasti berusaha menekan pengeluarannya sekecil mungkin. Tanpa adanya kontrol pihak luar, bila mungkin CDR, yang merupakan kewajiban sosial bagi perusahaan tidak dijalankan dengan sepenuh hati. Hanya perusahaan yang memahami betul peran CDR bagi keamanan usahanya, yang menjalankan CDR dengan benar dan baik. Mungkin belum banyak perusahaan-perusahaan yang seperti ini. Itulah sebabnya maka diperlukan peran Pemerintah dalam pembinaan dan kontrol setiap aktifitas perusahaan dalam wilayahnya.

Apabila dibandingkan kegiatan sektor perkebunan dan kehutanan misalnya, dari dahulu hingga saat ini pun rentabilitas usaha perkebunan lebih tinggi daripada kehutanan. Dari usaha di bidang HTI misalnya, CDR sebagai kegiatan kelola sosial ditetapkan ± 1% dari setiap hektar kegiatan penanaman. Setelah panen, setiap m³ kayu uang yang dihasilkan juga wajib dikenakan PSDH-nya. Oleh karena itu semestinya pada usaha perkebunan perusahaan

Page 49: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

43

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

dapat menyediakan dana CDR lebih dari 1% terhadap setiap kilogram produk kebun yang dihasilkannya. Di antara sektor-sektor tersebut diatas, barangkali kegiatan di sektor pertambangan yang paling tertutup. Sektor ini sangat padat modal dan teknologi, menggarap sumber daya yang tidak terbarukan (non renewable), namun dapat difungsikan sebagai penggerak pembangunan yang memberikan efek ganda yang besar.

Pengaruh terhadap lingkungan dari kegiatan pertambangan terutama yang bersifat terbuka horizontal sangat besar, oleh karena itu semestinya pelaksanaan CDR dari kegiatan pertambangan harus lebih besar dibanding sektor-sektor lain meksipun resiko finansial kegiatan ini juga besar. Untuk itu pemerintah perlu lebih mendorong perusahaan-perusahaan pertambangan agar lebih transparan dalam melaksanakan program-program CDR-nya.

Kesimpulan Walaupun mungkin kecil bagi Provinsi Riau, namun dana CDR sangat bermanfaat bagi

pembangunan daerah. Dengan dana yang dapat mencapai ratusan milyar rupiah setiap tahun, kegiatan CDR akan sangat membantu pelaksanaan program pengentasan kemiskinan daerah ini.

Sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan serta industri pengolahannya adalah contoh bagi adanya peluang untuk memanfaatkan dana kegiatan CDR ini.

Pemerintah Daerah seharusnya sangat berkepentingan untuk mendorong perusahaan-perusahaan agar melaksanakan kegiatan CDR-nya secara baik dan benar serta bermitra dengan masyarakat setempat.

Pemerintah daerah juga berkewajiban membina dan mendayagunakan kelompok-kelompok masyarakat agar mampu menjadi mitra kerja setara bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan CDR.

CDR dapat membantu Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan daerahnya akibat sulitnya menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena mengabaikan potensi CDR merupakan suatu kekeliruan.

Daftar Pustaka Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Komisariat Provinsi Riau. Data Luas HTI Provinsi Riau

2009 Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Riau Dalam Angka 2010 Dinas Perkebunan Provinsi Riau. Data Statistik Perkebunan Perkebunan Provinsi Riau 2009

Page 50: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

CDR, Potensi yang Terabaikan dalam Pembangunan Daerah

44

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Abdul Gafar Santoso

Page 51: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

45

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

Supadiyanto [email protected]

Dosen Akademi Komunikasi Radya Binatama AMIKOM Group Yogyakarta

ABSTRAK Luas lautan Indonesia yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi dan segala potensi alam

di dalamnya; hingga kini belum mampu diberdayakan secara optimal untuk menyejahteraan rakyat. Lemahnya sistem pengamanan negara atas lautan Indonesia, berpeluang besar menimbulkan aksi kriminalitas di kawasan maritim, perompakan, pencurian ikan dan sumber daya laut lain, penambangan liar, dan aksi terorisme lain. Orientasi pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi yang berorientasi pada pembangunan kawasan daratan dan mengesampingkan pembangunan kawasan lautan adalah kesalahan. Ada tiga keprihatinan mengenai masa depan lautan di Indonesia. Pertama, minimalisnya jumlah nelayan yang dimiliki bangsa ini. Bukankah idealnya, mayoritas penduduk bangsa ini berprofesi sebagai nelayan, bukan sebagai petani. Kedua, minimalisnya jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki fakultas ilmu kelautan dan perikanan. Ketiga, minimalisnya jumlah anggota TNI Angkatan Laut. Dalam hal ini kita menanti keberanian progresif para penguasa negara untuk mengubah haluan pembangunan nasional yang berorientasi pada daratan menjadi lautan. Pembangunan nasional yang bervisi daratan dan kelautan harus dijalankan secara seimbang dan proporsional sehingga menjadi langkah yang dapat mengubah tatanan perekonomian nasional. Penelitian ini menggunakan metode postpositivistik (kualitatif/naturalistik), lebih tepatnya dengan menggunakan metode diskriptif-interpretatif. Kata kunci: pembangunan nasional, ekonomi kelautan, kesejahteraan, kemiskinan

ABSTRACT Indonesian sea area is about 5.8 million square kilometers, however, all of natural

resources until now have not been able to optimally empowered people’s well-being. The weakness of the state security system over the Indonesian ocean has created a great opportunity in the area of maritime crime, piracy, illegal fishing and other marine resources, mining, and other acts of terrorism. National development orientation that shed too much attention on lands development and ruled out the construction of the sea area is a mistake. There are three concerns regarding the future of the oceans in Indonesia. First, there is a few numbers of fishermen in this nation. Second, there is a lack of universities in

Page 52: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

46

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

Indonesia which has a faculty of marine sciences and fisheries. Third, the numbers of the Navy personnel are still minimal. In this case, we are waiting for the courage of the state authorities to progressively change the course of national development-oriented land into the ocean. The vision of the nationally-land-and-marine development must be executed in a balanced and proportionate so that it becomes a step that can change the order of the national economy. This study uses a descriptive-interpretative method to dig on such issues. Keyword: national development, marine development, welfare, poverty Pendahuluan

Berdasarkan data Ditjen Perikanan [1998], jumlah nelayan dan petani ikan di Indonesia hingga tahun 1997 mencapai 4.864.708 jiwa. Saat ini [Juni 2013] belum ada data penelitian yang lebih valid lagi, berapakah jumlah nelayan di Indonesia. Apakah jumlahnya lebih besar dari angka statistik di atas, atau sama dengan angka tersebut; atau malahan lebih kecil dari angka itu. Minimnya jumlah nelayan di Indonesia, berkorelasi positif dengan minimnya kontribusi ekonomi kelautan pada sektor pembangunan nasional. Padahal secara defakto dan dejuri, Indonesia adalah negara maritim karena luas lautan di Indonesia sebesar 5,8 juta kilometer persegi. Bandingkan dengan luas daratan yang hanya sekitar 2 juta kilometer persegi saja. Bukankah sudah seharusnya paradigma pembangunan nasional diubah haluannya menuju konsep lautan.

Tentu saja hal itu akan berimplikasi luas pada berbagai bidang kehidupan. Selama ini negara, dalam hal ini pemerintah yang berkuasa sejak Orde Lama, Orde Baru dan Orde Refomasi masih mengorientasikan pembangunan nasional berbasis daratan. Sedangkan pembangunan nasional berorientasi pada konsep lautan, masih dikesampingkan hingga kini. Bandingkan saja, berapa jumlah petani dan nelayan di Indonesia. Komparasikan juga jumah angkatan darat dan angkatan laut yang dimiliki TNI? Mengapa jumlah petani lebih besar ketimbang jumlah nelayannya? Mengapa jumlah anggota TNI AD jauh lebih besar ketimbang jumlah anggota TNI AL? Komparasikan lagi berapa jumlah perguruan tinggi yang memiliki fakultas perikaan dan ilmu kelautan; dengan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran? Mengapa setelah dihitung, jumlah perguruan tinggi yang memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan jauh lebih kecil ketimbang fakultas kedokteran. Tercatat 17 PTN/S yang memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan. Mereka adalah Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Diponegoro, Universitas Padjadjaran, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Sriwijaya, Universitas Hasanuddin, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Riau, Universitas Pattimura, Universitas Albuyatama, Universitas Warmadewa, Sekolah Tinggi Perikanan, dan Universitas Satya

Page 53: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

47

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

Negara Indonesia. Sedangkan PTN/S yang memiliki fakultas kedokteran bisa mencapai angka puluhan buah, bahkan bisa mencapai ratusan buah.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah petani pada akhir tahun 2011 lalu mencapai 39,33 juta orang. Sementara tahun 2010, jumlah petani sampai 41,49 juta orang. Sedangkan jumlah nelayan di Indonesia hingga tahun 1997 adalah 4.864.708 orang. Pada sisi lain, kekuatan TNI AD adalah 298.517 personil, TNI AL sebanyak 60.963 orang. Pasti ada yang keliru dengan berbagai kebijakan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Ada banyak orang yang mendiamkan saja keganjilan di atas; dan akhirnya menjadi hal yang dianggap umum dan benar. Mengapa Indonesia hingga kini masih menjadi negara miskin-berkembang; dan memiliki jumlah penduduk miskin yang mencapai hampir 29 juta jiwa hingga sekarang [Juni 2013] ini? Ada banyak alasan logis yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan di atas jika dilontarkan kepada para pemimpin bangsa ini. Bukankah amat naif, jika selama ini Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia; namun tidak pernah memiliki keinginan yang kuat untuk membagun basis ekonomi lautan dan daratan secara seimbang. Predikat Indonesia sebagai negara maritim tenyata tidak memberikan keuntungan ekonomi dan politik sama sekali. Padahal garis pantainya saja sepanjang 81 ribu kilometer yang memiliki lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil. Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia juga terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar [451.830 ton per tahun] dan pelagis kecil [2.423.000 ton per tahun], sumber daya perikanan demersal [3.163.630 ton per tahun], udang [100.720 ton per tahun], potensi lestari sumber daya perikanan laut sebesar 6,7 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48 persen [Ditjen Perikanan, 1995].

Penelitian ini menggunakan pendekatan/paradigma kualitatif [diskriptif-interpretatif]; yakni dengan mengedepankan pada kajian pustaka yang relevan. Waktu penelitian ini sejak tanggal 25 Mei 2013 s/d 25 Juni 2013. Ada dua rumusan masalah pokok yang akan dikaji dalam karya ilmiah singkat ini. Pertama, bagaimanakah prospek ekonomi kelautan di masa depan bagi pembangunan nasional di Indonesia? Kedua, bagaimanakah mendesain pembangunan perekonomian nasional berbasiskan pada ekonomi kelautan di Indonesia; di mana selama ini perekonomian nasional di Indonesia lebih berbasiskan pada ekonomi daratan?

Kajian Pustaka

Potensi ekonomi-politik kelautan yang dimiliki negeri ini sejatinya sungguh luar biasa. Jika bisa diberdayakan secara optimal, secara kalkulasi matematis sudah bisa digunakan untuk melunasi jumlah utang luar negeri Indonesia. Bahkan bisa diberdayakan untuk sumber kemakmuran rakyat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [2004], minyak dan gas alam Indonesia secara keseluruhan terakumulasi pada 60 cekungan sedimen yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 38 cekungan yang sudah diekplorasi, sisanya sebanyak 22 cekungan belum

Page 54: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

48

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

dieksplorasi. Dari sebanyak 38 buah yang dieksplorasi itu, 15 di antaranya sudah memproduksi hidrokarbon, 8 cekungan telah ditemukan hidrokarbon tetapi belum bisa diproduksi. Sementara sisanya sudah dibor namun belum ada penemuan apapun. Sebagian besar dari cekungan belum ada penemuan hidrokarbon tersebut merupakan kawasan frontier dan laut dalam dengan kondisi geologi yang sangat kompleks di kawasan timur Indonesia [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2004; 36].

Sedangkan ditinjau dari potensi lestari, total ikan laut di Indonesia ada 7,5 persen [6,4 juta ton/tahun] dari potensi dunia berada di perairan laut Indonesia, sedangkan di sisi lain berkisar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut [multikultur] ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lain yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun [Thoby Mutis, 2005].

Secara keseluruhan nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai USD 82 miliar per tahun. Hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut. Potensi ekonomi jasa perhubungan laut diperkirakan USD 12 miliar per tahun [Rohmin Dahuri, 2005]. Dengan asumsi demikian, maka jumlah utang luar negeri Indonesia yang kini mencapai hampir Rp 2 ribu triliun; dapat dilunasi dengan mudah selama 2,3 tahun saja—cukup dengan mengandalkan pada potensi laut saja.

Meskipun hingga kini belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari, jika dibandingkan dengan negara bagian Queensland [Australia], dengan panjang garis pantai 2.100 km mampu menghasilkan devisa dari pariwisata bahari USD 2 miliar USD per tahun, maka sebenarnya potensi ekonomi pariwisata bahari Indonesia sangatlah besar. Potensi ekonomi ini menjadi lebih besar dan strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia Pasifik. Hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung di antara negara-negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75 persen barang komoditas ditransformasikan melalui laut dan 45 persen [USD 1.300 triliun per tahun] melalui ALKI [Alur Laut Kepulauaan Indonesia] yang meliputi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makasar, dan laut-laut Indonesia lainnya [Thoby Mutis, 2005].

Sejatinya sudah ada pemikiran yang digagas oleh Yuzwar Zainul Basri mengenai pentingnya perubahan paradigma pembangunan nasional di Indonesia. Yuzwar Zainul Basri pernah mengungkapkan, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang maju, makmur dan mandiri dalam waktu cepat, harus ada perubahan paradigma pembangunan nasional, dari land-based development menjadi ocean-based development. Pembangunan di darat harus disinergisasikan dan diintegrasikan secara proporsioanl dengan pembangunan sosial-ekonomi di laut. Dalam konteks ini, Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan menggunakan basis utama tiga pilar ekonomi kelautan yang meliputi perikanan dan bioteknologi, pariwisata bahari, dan perhubungan laut. Inti dari gerakan pembangunan nasional ini adalah agar pembangunan kelautan tersebut mampu memperbaiki kinerjanya

Page 55: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

49

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

secara signifikan melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas di seluruh mata rantai [usaha] kelautan. Di sektor perikanan dan bioteknologi perairan, peningkatan tersebut dimulai dari proses poduksi [penangkapan dan budi daya], penanganan dan pengolahan hasil, serta pemasaran. Pada sektor pariwisata bahari, perbaikan mencakup penguatan dan pengembangan objek wisata bahari dan pantai, pelayanan, dan pengemasan serta promosi. Sementara itu, sektor perhubungan laut meliputi industri perkapalan, manajemen kepelabuhan dan transportasi laut [Yuzwar Zainul Basri, 2005].

Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan multidimensional. Bila dilihat dari aspek kultural maupun aspek struktural; ada 4 masalah pokok yang menjadi penyebab kemiskinan. Yaitu berkurangnya kesempatan [lack of opportunity], rendahnya kemampuan [low of capabilities], berkurangnya jaminan [low level-security] dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan [vulnerability], keterpurukan [voicelessness] dan ketidakberdayaan [powerlessness] dalam segala bidang [Thoby Mutis, 2005].

Metode Penelitian

Paradigma/pendekatan penelitian ini adalah postpositivistik [kualitatif/naturalistik], lebih tepatnya dengan menggunakan metode diskriptif-interpretatif. Sehingga sangat jelas, jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan utama penelitian ini adalah kualitatif-interpretatif. Sumber data dari hasil kajian berbagai sumber literatur [kajian pustaka]. Menurut Denzim and Lincoln [1994: 3], salah satu masalah yang menimbulkan kesalahpahaman terhadap penelitian kualitatif terletak pada kata kualitatif itu sendiri yang terabstarksi tinggi. Penelitian kualitatif, sesuai dengan prinsip epistemologisnya, lazim menelaah dan meneliti sesuatu sebagai satuan pengamatannya berada dalam lingkungan alamiahnya, tidak dikontrol atau dikendalikan dengan perlakuan tertentu sebagaimana misalkan dalam penelitian eksperimen [Basuki Agus Supeno, dkk. 2012].

Pembahasan

Pada bab pembahasan ini, secara berturut-turut dikaji secara komprehensif mengenai prospek ekonomi kelautan dan desain pembangunan ekonomi berbasiskan kelautan. Namun karena keterbatasan sumber literatur [minimnya sumber referensi tentang ilmu kelautan di Indonesia], menyebabkan bagian pembahasan ini membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut di kemudian hari. a) Prospek ekonomi kelautan

Ikan laut adalah binatang laut yang bergerak dinamis di seluruh kawasan lautan, dan tidak pernah mengenal batas-batas negara. Dengan kata lain, ikan tidak memiliki "identitas negara" atau "semacam KTP". Sehingga sangat dimungkinkan, ikan-ikan di lautan Indonesia, setiap detiknya berpindah masuk ke lautan negara-negara tetangga. Atau

Page 56: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

50

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

sebaliknya, ikan-ikan dari negara tetangga Indonesia masuk ke kawasan lautan Indonesia. Namun ketika ikan-ikan di lautan negara tetangga kita tinggal sedikit akibat ditangkap dengan cara yang mekanis dan sistematis, dan jumlah ikan di lautan Indonesia jumlahnya berlimpah, karena belum dieksplorasi secara optimal; secara otomatis ikan-ikan itu akan bermigrasi ke kawasan yang lebih sedikit ikannya dan memiliki ekosistem laut yang lebih lestari.

Namun hingga kini belum ada teknologi yang bisa “memindai” keberadaan ikan-ikan di dalam lautan. Padahal jika jumlah ikan di dalam lautan bisa diketahui secara pasti; dengan mudahnya para nelayan akan menangkapnya dan berarti memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi mereka. Di masa depan, menurut hemat peneliti, masing-masing negara akan menetapkan barikade yang diletakkan di dalam lautan; dengan teknologi elektronik tertentu sehingga ikan-ikan di dalam lautan negara tersebut tidak bisa berpindah-pindah lagi ke kawasan lautan negara tetangganya.

Dengan merujuk data yang dimiliki Ditjen Perikanan [1999], total nilai ekspor produk perikanan di Indonesia hingga tahun 1998 sebesar Rp 2.030.725.000 atau 714.427 ton ikan. Sedangkan nilai impornya mencapai Rp 139.285.000 atau mencapai 152.049 ton ikan. Sehingga ada selisih nilai ekspor-impor sebesar Rp 1.891.440.000. Data di atas menunjukkan masih minimnya nilai ekspor produk perikanan Indonesia. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan. Dengan potensi laut yang sungguh luar biasa, tentunya kemampuan Indonesia mengekspor produk-produk perikanan ke berbagai belahan dunia harusnya lebih besar lagi.

Minimnya jumlah nelayan di Indonesia, menjadi penyebab utama akan rendahnya nilai ekspor perikanan Indonesia. Idealnya, untuk mengoptimalisasikan potensi laut di Indonesia, pemerintah harus melakukan pemobilisasian penduduk untuk menjadi nelayan. Namun langkah tersebut tentu tidak bisa dilakukan dengan cara spontan. Para penduduk non nelayan yang dikader menjadi nelayan itu harus dibekali dengan kemampuan teknis dan pengetahuan luas mengenai bagaimana cara penangkapan ikan yang efektif dan tidak membahayakan lingkungan hidup, bagaimana membudidayakan ikan laut di kawasan pantai, dan bagaimana mengelola serta memasarkan segala produk perikanan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan [protein-gizi] dalam skala lokal, regional, nasional dan Internasional.

Kita mengimpikan agar jumlah nelayan di Indonesia yang saat ini hanya sekitar 4,9 juta jiwa; bisa dilipatgandakan menjadi 49 juta nelayan. Atau paling tidak setara dengan jumlah petani di Indonesia. Tentunya pemerintah harus mengubah haluan kebijakan pembangunan yang semula berkonsep daratan menjadi berorientasi pada konsep lautan. Atau secara perlahan-lahan, pembangunan di daratan diseimbangkan dengan pembangunan di lautan. Para nelayan di Indonesia juga harus dibekali kemampuan mengelola modal, sehingga para nelayan tidak sekadar menjadi buruh nelayan; yang pada umumnya hidup dalam keluarga miskin.

Page 57: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

51

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

Kampus-kampus yang memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan juga harus dilipatgandakan, dengan harapan jumlah mahasiswanya juga meningkat secara signifikan. Hal ini untuk menunjang tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni dalam bidang kelautan. Penelitian-penelitian dengan subjek dan objek kelautan dan perikanan laut, hendaknya semakin ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.

Langkah ini dilakukan untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional yang berorientasi pada sektor kelautan. Secara proporsional juga, anggaran negara yang diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi kelautan harus semakin ditingkatkan. Ini merupakan langkah yang mutlak dilakukan dalam waktu dekat ini. Jika tidak, segala program pembangunan sektor kelautan akan berjalan stagnan. Berbagai kasus kejahatan di lautan seperti pencurian ikan oleh nelayan asing, penambangan liar dan aksi pembajakan yang terjadi di berbagai kawasan laut di Indonesia; hanya dapat ditangkal dengan baik yakni dengan melipatgandakan jumlah anggota TNI AL dan TNI AU. Mengapa malahan, jumlah personil dua matra TNI di atas lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah personil TNI AD. Bukankah wilayah laut, bahkan kawasan udara itu lebih luas ketimbang area daratan?

Peta nyata kekuatan personil TNI pada tahun 2009 mencapai 383.870 orang [0,17 persen]. Padahal idealnya, jumlah TNI minimal 1 persen dari jumlah penduduk negeri yakni sekitar 2,4 juta personil. Dari totalitas kekuatan personil TNI itu terdistribusikan lagi atas kekuatan TNI AD sebesar 298.517 personil, TNI AL sebesar 60.963 orang dan TNI AU sebesar 28.390 jiwa serta PNS-TNI berkuantitas 68.647 orang. Logika berpikir dan bernegara para pemimpin bangsa ini sekarang ini sungguh terbalik. Logislah, berbagai kebijakan yang dikeluarkan tidak cukup efektif dalam merampungkan problematika kebangsaan di negeri ini. Postur anggota TNI AL harus dilipatgandakan lagi sehingga paling tidak setara dengan jumlah personil anggota TNI AD. Jumlah anggota TNI AU juga harus dilipatgandakan minimal dua kali lipat dari jumlah personil TNI AD. Tetapi kebijakan tersebut tentu berbenturan dengan masalah keterbatasan dana negara. Sedangkan alat utama sistem persenjataan yang dimiliki TNI AL saja kini masih sangat terbatas. Apalagi jika dilakukan pelipatgandaan jumlah personil TNI AL dan TNI AU; tentunya akan membawa konsekuensi logis pada peningkatan anggaran untuk membangun kekuatan TNI. Sedangkan pendapatan domestik bruto bangsa ini masih jauh dari harapan.

Dengan mengoptimalisasikan potensi laut Indonesia, menurut pandangan peneliti, akan memberikan dampak luas pada sektor pembangunan di daratan. Secara birokratis-administratif, Indonesia tersusun atas 399 kabupaten, 98 kotamadya dan 33 propinsi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara yang luasnya hampir mencapai 8 juta kilometer persegi. Secara konseptual, kita harus jujur mengakui, tata kelola pembangunan di Nusantara hingga kini masih terpusat di Pulau Jawa. Alasannya sederhana saja. Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar 132 ribu kilometer persegi, namun dihuni sebanyak 136 juta penduduk. Artinya; 57,2 persen penduduk Indonesia dari total penduduk sebesar 238 juta

Page 58: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

52

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

jiwa itu menempati Pulau Jawa. Pulau Jawa sejak era kerajaan, era kolonialisme, era prakemerdekaan hingga era kemerdekaan, era pasca kemerdekaan [Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, bahkan nanti “Orde Pascareformasi”] menjadi semacam "pusat peradaban nasional". Dan terbukti benar hingga kini, di mana pusat kerajaan di Nusantara sebagian besar berdomisili di Pulau Jawa. Dan juga hingga kini, Jakarta menjadi ibukota negara.

Berbagai alasan politik, kultural, psikologis hingga komersial [bisnis/industri] menjadikan Jawa sebagai "nukleusnya" Indonesia itu sendiri. Namun secara perlahan, menurut pengamatan peneliti, sesungguhnya kerusakan lingkungan terparah di Indonesia justru terjadi di Jawa. Gerak roda pembangunan yang begitu pesat, telah menyulap lahan hutan, rawa, sungai menjadi permukiman. Bahkan mengubah perbukitan menjadi semacam waduk besar, merobohkan pegunungan menjadi jalan lintas propinsi, menguruk lautan menjadi jembatan dan aneka proyek pembangunan lain. Pertambahan jumlah penduduk yang amat pesat, dengan sendirinya menuntut adanya ketercukupan suplai bahan pangan atau kebutuhan hidup lain dan tentunya rumah atau tempat tinggal [Supadiyanto, 2012: 34].

Dengan demikian, di masa mendatang; sangat mungkin ada teknologi canggih yang bisa mengkonstruksikan kawasan lautan sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi umat manusia. Lautan adalah kawasan superior bagi daratan. Namun masih sangat minim manusia yang mengeksplorasi lautan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan hidup umat manusia. Terutama bagi kepentingan ekonomi dan politik negeri ini. Pemilu 2014 merupakan momentum jitu bagi segenap elemen bangsa ini untuk mencari dan menemukan para pemimpin nasional maupun pemimpin daerah di tingkat eksekutif dan legislatif yang memahami benar akan potensi laut Indonesia. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah di mana setiap pemerintah daerah [propinsi dan kabupaten/kotamadya] memiliki otonomi luas dalam mengelola sumber daya daratan, udara dan lautan sejauh 12 mil laut yang dihitung dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan. Regulasi tersebut memberikan otoritas penuh pada pemerintah daerah untuk benar-benar memanfaatkan potensi lautnya secara optimal. Namun banyak pemerintah daerah yang kurang begitu peduli pada wilayah laut. Padahal laut menjanjikan kekayaan alam minyak-gas maupun sumber daya laut lain yang sangat besar. Pemerintah daerah yang memiliki kawasan laut seperti Pemerintah Propinsi DIY, Jateng, Jatim dsb.; idealnya harus segera mengubah haluan pembangunannya yang semula menitikberatkan pada daratan; menuju pembangunan berbasis laut.

b) Desain pembangunan nasional berbasis ekonomi kelautan

Pembangunan ekonomi yang berbasiskan pada daratan, ternyata hingga kini terbukti gagal dalam memajukan perekonomian bangsa ini. Indonesia yang diklaim sebagai negara agraris, namun kenyataannya bangsa ini masih mengimpor beras dari luar negeri. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik [BPS], Perum Bulog telah mengimpor beras sebanyak

Page 59: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

53

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

1,57 juta ton hingga akhir Juli 2011 lalu. Jumlah impor beras tersebut jika dirupiahkan senilai Rp 7,04 triliun atau hampir setara USD 829 juta. Sebagian besar beras tersebut didatangkan dari Vietnam sebanyak 892,9 ribu ton [setara USD 452,2 juta], dan dari Muangthai sebanyak 665,8 ribu ton [ekuivalen USD 364,1 juta]. Parahnya lagi, untuk mengamankan stok beras nasional yang terus menipis, pemerintah RI sekaligus membeli beras bekualitas bagus dari Cina, India, Pakistan, dan sejumlah negara lain.

Lagipula jumlah utang luar negeri Indonesia dari eranya Soekarno hingga eranya Susilo Bambang Yudhoyono semakin membesar. Jumlah utang pemerintah Indonesia sekarang sudah hampir genap mencapai Rp 2.000 triliun. Berdasarkan Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI, total utang pemerintah Indonesia hingga Maret 2013 mencapai Rp 1.991,22 triliun dengan rasio 24,1 persen terhadap PDB. Adapun negara dan lembaga keuangan yang mengutangi Indonesia adalah Prancis, Jerman dan Jepang serta Bank Dunia, Asian Development Bank [ADB], Islamic Development Bank [IDB]. Padahal total utang pemerintah Indonesia hingga Juli 2011 mencapai Rp 1.733,64 triliun. Bahkan dalam kurun waktu sebulan saja, utang pemerintah naik Rp 9,5 triliun dibanding Juni 2011 yang sebesar Rp 1.723,9 triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah utang di Desember 2010 yang sebesar Rp 1.676,85 triliun, jumlah utang hingga Juli 2011 bertambah Rp 56,79 triliun. Tahun 1981, jumlah utang luar negeri Indonesia masih berkisar USD 15,9 miliar, lantas meroket kuantitasnya menjadi USD 84,39 miliar [1992]. Pada akhir kekuasaan Soeharto (Mei 1998), jumlah utang luar negeri Indonesia mencapai USD 150 miliar. Pasalnya pemerintah saat itu gegabah dengan mengambil alih semua utang pihak swasta.

Ada banyak alasan prinsipiil, mengapa desain pembangunan ekonomi daratan harus diubah menjadi pembangunan ekonomi berbasis lautan. Pertama, luas wilayah laut Indonesia itu jauh lebih luas daripada kawasan daratan; sekaligus potensi alam yang terkandung di dalamnya jauh lebih melimpah ruah ketimbang potensi alam yang ada di daratan.

Kedua, konsep pembangunan daratan sangat riskan menimbulkan konflik sosial; sedangkan pembangunan ekonomi kelautan justru memberikan solusi atas berbagai konflik di daratan. Ketiga, belum banyak negara di dunia yang menjadikan laut sebagai basis kekuatan ekonomi dan politik pembangunan nasional. Sehingga hal ini menjadi peluang besar sekaligus tantangan bagi masa depan bangsa ini. Keempat, ketika air laut habis misalkan [kendati hal ini begitu naif], maka samudera dan lautan dengan sendirinya menjadi daratan; yang bisa dijadikan proyek pembangunan; sebagaimana yang berlaku dalam daratan secara konvensional.

Kelima, konsep lautan menyatupadukan batas-batas antarnegara; dan konsep daratan kerap kali menimbulkan jarak pemisah yang memicu berbagai konflik antarnegara. Keenam, potensi ekonomi politik kelautan masih sangat "misterius", paling tidak karena masih sangat minim data-data atau sumber rujukan yang bisa dijadikan bahan pengeksplorasi pembangunan kawasan laut. Ketujuh, Indonesia adalah negara agraris sekaligus maritim;

Page 60: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

54

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

artinya secara kultural; penduduk bangsa ini sudah memiliki bakat [historis] di kawasan daratan sekaligus lautan.

Maka desain pembangunan ekonomi berbasiskan kelautan yang bisa dilakukan bangsa ini adalah: Pertama: memajukan perekonomian sepanjang garis pantai. Pada masa dahulu, kawasan yang menjadi kota atau daerah yang maju adalah di sekitar tepi sungai dan pesisir pantai. Banyak kerajaan di Indonesia yang eksis dan mereka berada di kawasan pesisir pantai; bukan di kawasan pedalaman atau daratan. Dalam pengaplikasian pembangunan di masa kini, pembangunan kawasan pantai yang merupakan bagian integral dari kawasan laut dan daratan harus bisa disinergisasikan. Sehingga terjadi keseimbangan pola pembangunan dan efek positifnya terhadap kesejahteraan penduduk.

Kedua, meningkatkan jumlah nelayan di Indonesia yang bisa ditempuh dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan secara profesional dalam bidang kelautan bagi penduduk usia poduktif; sehingga minat masyarakat menjadi nelayan menjadi tinggi. Ketiga, pengembangan secara intensif dan massal berbagai teknologi tinggi namun ramah lingkungan hidup yang diperuntukkan bagi para nelayan untuk mengeksplorasi sumber daya laut, mengelola dan memasarkannya.

Keempat, mendorong pemerintahan daerah yang memiliki kawasan pantai dan lautan untuk mengoptimalisasikan potensi laut yang ada, tentunya dengan mendorong dan memfasilitasi penduduk agar berprofesi sebagai nelayan yang andal. Kelima, membangun berbagai peguruan tinggi baru yang memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan, pelayaran, pertambangan maupun yang relevan dengan bidang pembangunan laut di masa depan.

Keenam, mencari para pemimpin nasional dan pemimpin daerah yang memiliki orientasi pembangunan pada sektor kelautan; tentunya mereka yang memiliki basis pendidikan dalam bidang kelautan dan praktisi dalam bidang tersebut. Ketujuh, menjalin hubungan Internasional dengan negara-negara di dunia yang memiliki komitmen dan prestasi ekonomi kelautan.

Kesimpulan

Konsep negara, secara filosofis bukan hanya meliputi kawasan daratan saja. Melainkan menjangkau kawasan daratan, lautan sekaligus udara. Maka pemerintah yang berkuasa, sebagai representasi dari negara harus memfokuskan pembangunan pada bidang daratan, lautan dan udara secara proporsional demi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat. Tugas pemerintah pusat bersama aparatur negara adalah melayani kepentingan rakyat [publik], bukan minta dilayani oleh rakyat. Pertanyaannya, sudahkah pemerintah dalam hal ini negara memberikan pelayanan publik yang memuaskan kepada para petani, nelayan dan kaum buruh yang menjadi kelompok mayoritas di negeri ini? Menurut Mohtar Mas'oed, nalar yang mendasari pembentukan institusi publik yakni menjamin pemenuhan kebutuhan akan public goods seperti kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan. Bagi individu warganya, negara

Page 61: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

55

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

modern adalah "instrumen emansipatoris" untuk mencapai keadilan sosial. Penyelenggara urusan negara bertanggung jawab atas "emansipasi" warga negara [Mas'oed, Mohtar, 2011].

Yang terjadi sekarang, negara menjadi gagal dalam menjalankan kewajibannya, ketika masalah layanan publik seperti penjaminan atas kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan setiap penduduknya masih terkesampingkan. Untuk itulah, kekuatan nasional harus dikerahkan secara totalitas untuk memenuhi kewajiban dasar negara atas warga negara dan hak dasar penduduk sipil atas negara (pemerintah yang berkuasa). Ketika aparatur negara tidak menjalankan kewajibannya dalam melayani publik, inilah pencetus utama mengapa negara gagal menjadi institusi publik. Ada relasi sangat kuat antara maraknya pejabat negara yang korupsi dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia [Supadiyanto, 2012 dan 2013].

Program pembangunan nasional bisa berjalan sukses manakala jumlah penduduk miskin, menurut pandangan peneliti, maksimal hanya berada di angka 5 persen dari total jumlah penduduknya. Serta jumlah pengangguran nasional cukup menyisakan maksimal 2,5 persen dari total penduduk usia produktif atau angkatan kerja. Jumlah pengangguran nasional dan angka kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia semakin menjauhkan impian seluruh penduduk negeri dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, cerdas dan sejahtera [Supadiyanto, 2013].

Pembangunan ekonomi berbasiskan lautan merupakan jawaban atas berbagai persoalan sosial yang meliputi; kemiskinan dan pengangguran di negeri ini. Masalah utang luar negeri yang cukup tinggi itu, juga bisa diselesaikan dengan cepat melalui pengeksplorasian secara arif dan bijaksana berbagai kekayaan laut di Indonesia yang jumlahnya sangat berlimpah itu. Sangat jelas, laut menjanjikan prospek ekonomi yang sangat besar. Orientasi pekerjaan penduduk bangsa ini juga harus bisa diubah dari konsep darat menuju laut. Dari budaya petani, berubah menuju budaya sebagai nelayan.

Adapun desain pembangunan ekonomi kelautan bisa diterapkan dengan melakukan enam langkah yang harus dijalankan secara sinergis dan berkesinambungan. Yakni meliputi: memajukan perekonomian sepanjang garis pantai; meningkatkan jumlah nelayan di Indonesia; mengembangkan teknologi tinggi namun ramah lingkungan hidup yang diperuntukkan bagi para nelayan untuk mengeksplorasi sumber daya laut dan mengelola serta memasarkannya; mendorong pemerintahan daerah untuk mengoptimalkan potensi laut; membangun perguruan tinggi baru memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan, pelayaran, pertambangan maupun yang relevan dengan bidang pembangunan laut; dan mencari para pemimpin nasional dan pemimpin daerah yang memiliki orientasi pembangunan pada sektor kelautan; beserta menjalin hubungan Internasional dengan negara-negara di dunia yang memiliki komitmen dan prestasi ekonomi kelautan.

Sebagai catatan tambahan, gagasan ini pernah saya presentasikan pada Seminar Nasional dan Agrocomplex Expo 2013 di Universitas Muhammadiyah Malang [UMM] pada 26 Juni 2013.

Page 62: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan

56

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 2 | TAHUN 2013

Supadiyanto

Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup

Indonesia; Antara Krisis dan Peluang. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Statistik Perikanan Indonesia 1996. Jakarta: Deptan. Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan)

2003. Jakarta: Deptan. Mas'oed, Mohtar. 2011. Untuk Apa Negara? Renungan Akhir Tahun tentang Tanggung Jawab

Penyelenggaraan Layanan Publik. Makalah Pidato yang disampaikan pada Rapat Terbuka dalam rangka Peringatan Dies Natalies ke-62 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 19 Desember 2011.

Muyadi S. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Supadiyanto. 2011. Kembali ke Khittah Reformasi '98, Harian Pagi Jogja Raya [Grup Jawa Pos]

edisi 31 Oktober 2011. Supadiyanto. 2012. Rancang Bangun Pembangunan Daerah Bervisi Kearifan Lokal dan Pro

Lingkungan Hidup. Jurnal Pembangunan Daerah [Media Referensi Daerah Membangun] Volume XVII/Edisi 1/2012 diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri RI.

Supadiyanto. 2013. Quovadis Pembangunan Nasional Berbasis Ekonomi Kelautan. Makalah dan Prosiding Seminar Nasional dan Agrocomplex Expo 2013. Malang: UMM Press pada 25-26 Juni 2013.

Supadiyanto. 2013. Sinergi PT-Birokrasi-Korporasi [Segitiga Besi Kewirausahaan] untuk Memberdayakan Penduduk Miskin dan Pengangguran di Indonesia. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial milik Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta Volume 12 Nomor 1/2013.

Suparno, Basuki Agus, dkk. 2012. Computer Mediated Communication Situs Jaringan Sosial dan Identitas Diri Remaja. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 10 Nomor 1 Januari-April 2012. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Yogyakarta dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI).

Thoby Mutis. 2005. Kata Sambutan Rektor Universitas Trisakti pada buku berjudul: Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Yuswar Zainul Basri. 2005. Kata Sambutan Ketua Pusat Kajian Ekonomi Kelautan & Pengembangan Ekonomi Wilayah Pantai Universitas Trisakti pada buku berjudul: Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Page 63: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

57

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Konektivitas Pembangunan Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas Ketahanan Pangan

Berkelanjutan

Rusdiyanto Ketua Lembaga Penelitian pengabdian Masyarakat

Universitas Muhammadiyah Madiun Jawa Timur

ABSTRAK

Konektivitas merupakan metode efektif dalam pengembangan produktivitas pangan, yang dapat menciptakan kompetisi, kemandirian dan kesejahteraan, apabila hal ini dilakukan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tentu saja, proses pengembangan program harus dimulai pada akar rumput sehingga dapat menciptakan partisipasi yang aktif, berinisiatif dan inovatif dalam meningkatkan produktivitas ketahanan pangan. Partisipasi tersebut berbentuk Partisipasi Tinggi, Partisipasi Rendah Kuasi dan Partisipasi. Konsep produktivitas didasarkan pada penilaian terhadap daya dukung yang mengintegrasikan infrastruktur berbasis teknologi. Laju pertumbuhan produksi pangan membutuhkan terobosan teknologi yang konstruktif, seperti halnya dalam pupuk bersubsidi dan pengelolaan tanah. Pada prinsipnya, kebun bibit menjamin keamanan pangan yang berkelanjutan, keseimbangan produksi, distribusi benih dan obat-obatan. Salah satu upaya memacu pertumbuhan produksi pangan adalah dengan membuka areal lahan baru yang akan digunakan secara produktif. Lebih penting lagi, subsidi teknologi menjadi bagian penting untuk menciptakan ketahanan pangan yang kuat dan mengutamakan teknologi ramah lingkungan. Teknologi ini harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas dan mampu mempertahankan produksi pangan. Kata Kunci: konektivitas, produktivitas, pangan, dan keberlanjutan

ABSTRACT

Connectivity is an effective method in the development of the productivity of food development aimed at the formation of the highly competitive, independent and prosperous. If this was done in the planning process (planning), execution (implementation), and assessment (evaluating). Of course the process of program development must be rooted in the grassroots so that active participation, initiative and innovative in improving the productivity of food security. Such participation, shaped High

Page 64: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

58

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Participation, Quasi Low Participation and Participation. The concept of productivity is based on an assessment of the carrying capacity of integrating technology-based infrastructure. The rate of growth of food production need constructive breakthrough technology that is subsidized fertilizer and soil management. Nursery ensure sustainable food security, the balance of production, distribution of seeds and medicine and management. Efforts to spur growth in food production by opening up areas of new land to be used productively. More importantly, technology subsidies become an important part of creating a strong food security and priority to environmentally friendly technologies. The technology should contribute to the improvement of productivity and be able to maintain food production.

Keyword: connectivity, productivity, food and sustainable Pendahuluan

Conectivitas pembangunan adalah metode efektif pendistribusian informasi dalam produktifitas dinamika dan persaingan usaha untuk meningkatkan kualitas hidup sehingga aspek penting pembangunan itu tercapai sebagai kekuatan penuh dari sebuah cita-cita dan tujuan terbentuknya masyarakat berdaya saing, mandiri dan sejahtera1 meliputi peran dan fungsi conecting (pertukaran pesan) di antara semua komponen maupun pelaku kebijakan yang terlibat secara langsung dalam usaha pembangunan antara masyarakat dengan pemerintah. Hal itu di lakukan semenjak proses perencanaan (planning), pelaksanaan (implementation), dan penilaian (evaluating) terhadap kinerja pembangunan.

Selain itu, conectivitas pembangunan merupakan upaya penyampaian gagasan, ide dan keterampilan untuk memperkuat basis cultural pembangunan daerah dengan tetap memperhatikan masukan saran dari berbagai pihak sehingga masyarakat dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi secara penuh dari awal sampai akhir pembangunan. Namun, tidak menutup kemungkinan ada perubahan-perubahan situasi dan kondisi pada sistem connecting pembangunan yang belum begitu optimal disebabkan oleh masyarakat dianggap obyek pembangunan.

Karena itu, seharusnya posisi ini dibalik menjadikan pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai subyek program-program akselerasi pembangunan yang dimuat dalam sistem connecting tersebut. Sehingga konstruksi connecting yang bersifat endemik di sesuaikan dengan kebutuhan dan harapan publik. Corak lain dari connecting pembangunan menstimulus program pembangunan melalui saluran media (cetak/elektronik) swasta dan milik pemerintah sebagai instrumen strategis distribution of information yang sangat luas. Hal

1 Budi Sayoga, Konsolidasi Paradigma Komunikasi Pembangunan yang Demokratis, Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa, Universitas Gadjahmada, 2011 : 1

Page 65: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

59

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

ini perlu dilakukan karena masyarakat lebih mengetahui seluruh problem yang terjadi dan dihadapi untuk mencukupi kebutuhanya. Oleh sebab itu, memposisikan masyarakat sebagai mitra dialog dalam ruang lingkup conectivitas pembangunan dalam upaya meningkatkan produktivitas ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Selama ini kalau dilihat dari skala besar disparitas pembangunan dan distribusi kesejahteraan bahwa jumlah penduduk miskin, seperti di Sulawesi mencapai 1,71 juta (17 %), Ambon pertumbuhan penduduk 5,75 % dengan pendapatan per kapita mencapai 4,5 juta dengan jumlah penduduk miskin sekitar 23,2%. Begitu juga, Papua dengan cadangan sumberdaya alam memperoleh share PDRB lebih rendah lagi, yaitu 1,17 % dari migas dengan pendapatan per kapita 24,95 juta dan penduduk miskin Papua berkisar 40,4 %. Hasil evaluasi dari Bappenas tahun per 2008 – per 2012, kesenjangan di Pulau Jawa diperkirakan mencapai 75,5 % di akhir tahun 2012 lalu, sedangkan di Papua 55.8 % di akhir tahun 2012 juga.2

Kesenjangan ini makin terlihat jelas jika dilihat dari persentase penduduk miskin dan pendapatan perkapita. Begitu juga di Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku, yang jumlah penduduk miskinnya mencapai 25%.3 Conectivitas pembangunan sebagai factor penghubung wilayah antar pulau maupun daerah di seluruh Indonesia dapat menjadi salah satu alternatif dengan mempercepat volume produktivitas pangan yang berkelanjutan. Peningkatan kuantitas dan kualitas produktivitas itu sudah tentu mendorong munculnya pertumbuhan usaha ekonomi baru kelas masyarakat menengah kebawah.

Dengan demikian, maka dalam paradigma conectivitas pembangunan perlu dilakukan reorientasi arah dan tujuan aktivitas pembangunan itu sendiri. Tentu reorientasi dibutuhkan agar dinamisasi pembangunan yang berlangsung berada dalam koridor desentralisasi, linier dan terukur.4 Harapanya supaya dapat merefleksikan difusi partisipasi sehingga membawa masyarakat keluar dari ketergantungan lingkungan ekonomi yang tidak produktif dan lebih penting tidak selalu berharap diberikan oleh Negara. Bahkan sebaliknya, bagaimana masyarakat memberikan kontribusi dan jalan keluar problem Negara Indonesia dari jebakan kemiskinan maupun permasalahan pembangunan, tentu dengan kerja dan peran konsisten masyarakat itu sendiri.

Reorientasi yang dilaksanakan meliputi perubahan paradigm yang memberikan bentuk pengawasan secara vertikal (top down), satu arah, dan substantif. Dengan model itulah, proses conectivitas pembangunan akan mampu menjadi public vioner untuk bangkit melahirkan inovasi baru bagi sistem sosial masyarakat terutama berbasis pertanian dengan produksi pangan yang relatif rendah. Selain itu, dapat menciptakan mental dan perilaku

2 Anonim, 2008, Bappenas : Arah pembangunan Indonesia, Hal 4 3 Andrianto http://aanforsmart.blogspot.com/2009/07/konsep-pembangunan-berkelanjutan.html. 21 Maret 2011. Di akses pada 26 April 2013 4 Lyle, Jack. 2000. Communication and Development. New York: John Levely and Son.

Page 66: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

60

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

yang mengajarkan keterampilan baru dalam mengatasi kesulitan produktivitas pangan berdasarkan lingkungan sehingga aspek kegagalan dapat teratasi secara baik dan dijadikan perangsang untuk lebih berhati-hati serta bertindak nyata.

Rumusan hasil conectivitas pembangunan dalam segala proses kebijakan peningkatan produktivitas ketahanan pangan secara nasional, yakni memberikan programmer reward pembangunan dengan memusatkan perhatian pada metode efektif meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan terutama pengadaan pos-pos sarana prasarana sebagai penopang utama. Hal ini bertujuan memberikan kesempatan masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai produktivitas ketahanan pangan.

Menurut Dirjen FAO (Food and Agriculture Organization), pada tahun 2013 diperkirakan total seluruh jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami kekurangan pangan dan gizi adalah 30 % dari penduduk. Faktor lain adalah peningkatan luas kawasan kumuh di banyak perkotaan maupun pedesaan, menjadi bukti maraknya ketimpangan sosial yang tidak bisa dihindari. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), warga miskin yang menempati rumah tidak layak huni mencapai 28 juta orang pada tahun 2012. Pada sisi lain, juga terjadi pengangguran yang tinggi. Pada sisi lain lagi, BPS merilis data surveinya bahwa pengangguran di Indonesia pada bulan februari 2011 sampai februari 2013 mencapai 8,12 juta orang.

Pada sisi lain, berdasarkan laporan para ilmuwan di National Oceanographic and Atmospheric Administration bahwa curah hujan mengalami peningkatan di atas rata-rata. Para ilmuwan memprediksi pada tahun 2011 hingga 2013 hujan akan turun lebih sering dengan jangka waktu yang lebih pendek di beberapa bagian di Indonesia bahkan akan di menyebabkan banjir di banyak wilayah perkotaan.5 Belum lagi, soal kerusakan lingkungan yang mengancam kejernihan udara dan sumber air, bahan-bahan makanan, serta kelangsungan produktivitas kekayaan alam flora dan fauna.

Dari perubahan iklim dan sosial masyarakat tadi, tentu sangat berhubungan dengan penyediaan pangan sebagai kebutuhan mendasar masyarakat Indonesia. Banyak contoh daerah dengan sumber ekonomi cukup memadai bahkan terdapat pusat agribisnis, agropolitan maupun pertambangan yang berkapasitas besar seperti di NTB ada Newmont Nusa Tenggara dan Freeport Papua, tetapi terdapat banyak kelemahan maupun kebuntuan cara dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Sehingga bisa di pastikan, adanya ketergantungan pangan yang sulit lepas dari cengkraman para tengkulak dan centeng. Dengan demikian, upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi

5 Laporan penelitian para ilmuwan di National Oceanographic and Atmospheric Administration, Global Reporting, 1 : 2010, Hal 10

Page 67: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

61

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

harus disadari sebagai bagian mendasar bagi ketahanan pangan nasional yang harus dilindungi.

Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan besar ini pula, jika tidak diimbangi peningkatan ketahanan produksi pangan justru akan bersifat latent karena produksi dan penyediaan pangan dalam negeri semakin turun sehingga kesenjangan semakin melebar.

Yang terpenting adalah penguatan daerah secara praktis dan kelembagaan untuk memelihara, menjaga dan mempertahankan ketahanan pangan dengan memadukan strategi social, ekonomi, dan pertanian serta kelestarian lingkungan hidup berkelanjutan menjadi sangat penting berlandaskan konsep, policy, dan di sesuaikan dengan regulasi otonomi daerah. Tentu hal itu, di wujudkan dalam bentuk strategi matang pangan, social dan ekonomi yang berorientasi pada perwujudan kesejahteraan oleh masyarakat dan pemerintah daerah maupun nasional.6

Kondisi ini menunjukkan perlunya model pembangunan pangan berkelanjutan yang dapat mendorong keberlanjutan tersebut dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan yang terus bergerak maju.7 Laporan terbaru Bank Dunia bertajuk “Global Development Horizon 2011 Multipolarity : The New Global Economic” menempatkan Indonesia, Brasil, China, India, Korea Selatan dan Rusia sebagai penopang pertumbuhan ekonomi dan pangan dunia hingga tahun 2025 mendatang. Keenam Negara tersebut adalah kekuatan ekonomi baru dunia yang akan membantu pertumbuhan pesat. Hal itu dikarekan ekonomi pangan negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh 4,7 porsen per tahun selama kurun waktu 2011 – 2025, lebih tinggi ketimbang negara-negara maju yang hanya 2,3 porsen pertahun.8 Partisipasi Meningkatkan Produktivitas Lahan

Perihal kerawanan pangan, terutama yang menyangkut Sembilan bahan makanan pokok merupakan permasalahan yang sangat krusial. Anomali cuaca merupakan factor terbesar terhadap berbagai macam permasalahan pangan yang terjadi di seluruh Negara Republik Indonesia. Kemaren kita menghadapi musim penghujan berkepanjangan dengan intensitas cukup tinggi. Tak heran jika kemudian harga bahan pokok melambung tinggi, seperti bawang, cabai, tomat dan lainya.9

6 Isran Noor, 2012, Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI, Publisher Seven Strategic Studies Jakarta, Hal 16 – 17 7 Emil Salim, 2010. hal 23 8 Abdul Hakim MS Dkk, 2011, Hatta Rajasa (Harapan Rakyat) Catatan Opini Dan Blogger : Indonesia Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru, DCSC Publishing, Hal. 114 9 Ibid, Hal 120

Page 68: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

62

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Musim kemarau juga menjadi malapetaka. Kekeringan meluas, banyak daerah persawahan yang mengalami puso akibat akibat kesulitan air mengairi areal persawahan. Itu karena di sebabkan oleh waduk yang kekeringan sudah pada status akut. Menurut laporan kementerian pekerjaan umum, kondisi 7 waduk di Jawa tengah saat ini mengalami kekeringan seperti Plumbon, Kedungguling, Ngancar, Lalung, Delingan, Botok dan Brambang. Sedangkan waduk atau bendungan di daerah pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat seperti Bendungan Batu Bu lan, Bendungan Hilir, Bendungan Simu, dan Bendungan Mama juga mengalami hal yang sama yakni kekeringan dengan debit air turun drastic (kesat). Selain waduk tersebut ada 42 waduk lainnya di seluruh Indonesia berstatus waspada karena kekeringannya karena volume airnya terus menyusut, seperti waduk jati luhur dan sempot. Waduk Jatiluhur ketinggian airnya lebih rendah 9,71 meter. Sementara waduk sempor ketinggian air lebih rendah telah menyusut hingga 8,23 meter.

Tentu kondisi ini alarm serius bagi pemerintah. Perlu langkah strategis untuk mengatasinya. Hatta Rajasa (2011) mengatakan pertama; tidak boleh ada daerah yang kekuarangan pangan, stok harus cukup, bulog siap, dan harus stabil harganya. Kedua; agar tidak terganggu produksi pangan maka lakukan pompanisasi dari air sumur pompa dalam, atau membuat sumur-sumur air. Tentu tindakan cepat dan tepat sasaran harus di lakukan untuk mengatasi musibah kemanusiaan nantinya. Sehingga pada 2011 lalu pemerintah menggelontorkan dana sebanyak 1,7 triliun untuk mengatasi kekeringan ini. Dana tersebut diambil dari kontijensi pangan APBN sebesar 3 Triliun lebih.10

Membangun dan perbaikan infrastruktur pertanian untuk pangan dalam memperoleh air dan kebutuhan lainya adalah kebijakan yang sangat populis dan tepat. Sehingga kondisi-kondisi yang akan gagal panen bias diantisipasi sedini mungkin. Dengan program pembangunan pompanisasi (pompa sumur dalam; baca kabupaten Madiun) yang disiapkan pemerintah dapat menambal permasalahan kerawanan waduk maupun daerah persawahan yang mengalami kekeringan.11

Tentu proses program pembangunan tersebut saat ini harus berakar dari bawah (grassroots) yang berpusat pada masyarakat. Dengan demikian, partisipasi secara aktif, inisiatif dan inovatif masyarakat merupakan semangat melakukan pengelolaan dan meningkatkan produktivitas ketahanan pangan itu sendiri. Partisipasi tersebut, dalam konteks ini mengandung makna pemberdayaan secara dinamis untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam meningkatkan produktivitas pangan yang tinggi.

Orientasi pembangunan seperti ini tentu akan lebih berhasil guna dan berdaya guna, karena masyarakat diberi kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam proses pembangunan dan menikmati hasilnya. Efendy Gozali (2002) menyatakan partisipasi warga negara (masyarakat) tidak saja ikut serta dalam demokrasi, namun juga berperan serta dalam

10 Ibid, 121 11 Ibid, 122

Page 69: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

63

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

pengambilan keputusan kepada masalah-masalah yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti kedaulatan pangan, pertanian, ekonomi, dan sosial budaya.12

Gavenda dan Valderrama (1999) mencatat adanya pergeseran partisipasi dalam pembangunan yang dipahami sebagai partisipasi ditingkat proyek dan mikro. Hal ini ditujukan kepada penerima manfaat (beneficiaries) dan lebih pada konsultasi dan berlangsung hanya tataran penaksiran (appraisal). Sementara, makna partisipasi yang sedang berkembang saat ini adalah partisipasi pada tingkat kebijakan dan makro, ditujukan kepada warga negara (citizen) dan melalui modus pengambilan keputusan (bukan konsultasi) dan bergerak pada tataran implementasi secara bersama dengan masyarakat.13

Oleh karena itu, proses partisipasi meningkatkan produktivitas ketahanan pangan, maka perlu di perhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Pengkajian dan penelitian (investigative reporting), yang relevan terhadap iklim dan

pengaruh ketahanan pangan dalam menstimulus dinamika pertanian masyarakat.14 b. Penyediaan sarana prasarana yang bertujuan menjaga kualitas dan kuantitas ketahanan

pangan.15 c. Khususnya di daerah terpencil dalam upaya pemberdayaan masyarakat, membangun

persepsi terhadap lingkungan sekitar dan membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan maupun pendayagunaan volume pertanian secara cepat dan akurat.

d. Pengembangan simpul-simpul pertumbuhan dengan cara mobilisasi dengan berbagai pihak (public and private sectors) guna lebih memepercepat pembangunan simpul-simpul pertumbuhan pembangunan pangan diberbagai daerah.16

12 Gazali, Efendi (Ed.). 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. 13 Pergeseran makna partisipasi dari Beneficiries Citizen Project Policy Consultation Decision Making Appraisal Implementation Micro Macro. Di Indonesia, partisipasi seringkali dipahami sebagai “mobilisasi” atau “sosialisasi.” Mobilisasi merupakan praktek yang lazim pada era orde baru. Sementara istilah sosialisasi lebih merupakan penyebaran informasi atau semacam penyuluhan telah dianggap partisipasi. Partisipasi dapat berupa pengawasan dan pematauan dari luar oleh kelompok-kelompok warga Negara (citizen based initiatives) terhadap kinerja dari kebijakan social dan layananlayanan dasar pemerintah dan badan-badan swasta. Peningkatan kinerja dan ketanggapan lembaga pemerintah dengan berbagai langkah (public sector initiatives) dan. sinergi antara pemerintah yang terbuka dan responsives dengan warga Negara dan kelompok warga Negara yang aktif (active citizenship) dan wellinformed. Sumber : Gaventa dan Valderrama (1999), dalam Cornwall dan Gaventa (2001). 14 Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal. 2 15 Isran Noor (2012), Op.cit, Hal 16 16 Isran Noor (2012), Op.cit, Hal 17

Page 70: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

64

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Nair dan White (1987) mengembangkan suatu bentuk pastisipasi (tinggi, sedang, rendah) antara penerima dan sumber komunikasi pembangunan yang selanjutnya dapat di jelaskan sebagai berikut :17 a. Keikutsertaan tinggi (High Participation) adalah dilibatkan, aktip, kreatif dengan interaksi

berlanjut dan dialog. Kekuasaan dibagi antara sumber dan penerima. b. Keikutsertaan sedang (Quasi Participation) adalah lebih sedikit intens, lebih sedikit kreatif

dan menggunakan lebih sedikit dialog. c. Keikutsertaan rendah (Low Participation) menyarankan sedikit dialog, tidak ada

keterlibatan penuh dan tidak ada consciusness menyangkut kebutuhan akan perubahan.

Akan tetapi, menurut model ini bahwa partisipatif setidaknya dapat membantu pengembangan masyarakat dalam bidang pertanian dan ketahanan pangan dengan menyediakan sarana prasarana sebagai alat untuk mendiagnosis masalah-masalah petani.18 Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan dan ketahanan secara nasional, maka membutuhkan bentuk partisipasi yang baik. Strategi partisipatif dalam peningkatan produktivitas dan produksi pangan meliputi :19 1. Peningkatan produktivitas, 2. Perluasan areal tanam; 3. Pengamanan produksi, dan; 4. Pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usaha tani.

Di sisi lain, lahan irigasi Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan

produksi padi sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa.20 Akan tetapi mengingat padatnya penduduk di berbagai pulau di Indonesia terutama pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi seperti hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas pangan secara nyata dan membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Luas lahan pasang surut dan lahan tidur di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian.21 Menjadikan lahan lebak dan pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung dengan teknologi dan infrastruktur yang memadai sehingga luasan

17 Nair dan White (1987), Hal. 27 18 Srinivas, R. Melkote. 1991. Communication for Development in Third World: Theory and Practice. London: Sage 19 Suyamto et al 2010 20 BPS (2000). Hal. 10 21 Ananto, E.,2002. Hal 45

Page 71: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

65

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

lahan ini dapat menjadi pendukung dan buffer untuk peningkatan produksi pangan maupun swasembada.

Dari sisi perluasan areal lahan tanaman pangan yang dapat ditempuh dengan memanfaatkan dan optimalisasi lahan dikawasan pasang surut maupun lahan tidur. Tentu aspek ini harus di dukung oleh teknologi produktivitas, mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan.22 Hal ini dipandang sebagai terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah. Produktivitas rata-rata tanaman pangan padi, Jagung dan Kedelai di lahan tidur dan pasang surut dengan penerapan teknologi konvensional hasilnya masih rendah dan bahkan menurun yakni berkisar 3,5 ton/ha; 2,8 ton/ha dan 0,8 ton/ha. Kendala utama lahan ini adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan tekanan Air.23

Ditemukannya teknologi baru (misalnya Bio P 2000 Z) dengan memanfaatkan mikroba penyubur dan pengendali kesuburan alami tanah di lahan kering dan pasang surut memberikan bukti bahwa produktivitas tanaman pangan tersebut mampu lebih tinggi dibanding produktivitas konvensional di lahan subur atau produktivitas rata-rata nasional yakni 5,5 - 8 ton/ha padi; 2,5 – 3,5 ton/ha kedelai dan 5 – 8 ton/ha jagung.24

Ternyata dengan sistem demikian masalah tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan. Efek mikroba memiliki manfaat yang besar dalam mengendalikan lingkungan mikro tumbuh kembang tanaman yang secara sinergi memberikan manfaat, adalah sebagai berikut:25 1. Diredamnya faktor penghambat tumbuh kembang tanaman yang dijumpai dalam tanah

termasuk menetralkan kemasaman lahan. 2. Adanya produksi senyawa bio-aktif seperti enzim, hormon, senyawa organik, dan energi

kinetik yang memacu metabolisme tumbuh kembang akar dan bagian atas tanaman. 3. Pasok dan penyerapan hara oleh akar makin efesien, lancar, dan berimbang. 4. Ketahanan internal terhadap hama dan penyakit meningkat. Budidaya dengan

menerapkan teknologi ini secara baik di lahan jenis tersebut mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sehingga usaha tani pangan di lahan tersebut akan dapat bersaing.

22 Alihamsyah, dkk, 2002. Hal. 98 23 Moeljopawiro Sugiono. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002 24 Mashar Ali Zum, 2000, Teknologi Hayati Bio P 2000 Z Sebagai Upaya untuk Memacu Produktivitas Pertanian Organik di Lahan Marginal. Makalah disampaikan Lokakarya dan pelatihan teknologi organik di Cibitung 22 Mei 2000. 25 Ibid. Hal 4

Page 72: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

66

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan seperti jagung, padi huma dan kedelai serta kacang tanah.

Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5 ton/ha dan padi huma 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya berdampak positif bagi peningkatan produksi pangan. Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah sebagai berikut :26 1. Pemerintah sebaiknya memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah

diusahahan petani yaitu semacam HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan kontribusi berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut.

2. Memberikan bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan;

3. Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas dan nilai tambah dari usaha tani terpadunya.

Pengelolaan lahan kering untuk pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi

produktivitas organik agar memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk budidaya Jagung jika dengan tambahan teknologi produktivitas organik dapat menghasilkan rata-rata 6,5 ton/ha yang dilakukan dengan 2 kali MT maka akan terjadi penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton jagung, berarti akan mensubstitusi lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani tanaman pangan ini sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar dan bagi kepentingan nasional.27

Komoditi tanaman pangan memiliki peranan pokok sebagai pemenuhan kebutuhan pakan dan industri dalam negeri yang setiap tahun cenderung meningkat seiring dengan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan. Sehingga dari sisi

26 Ibid. Hal 5 27 Ibid. Hal 6

Page 73: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

67

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi amat penting dan strategis.28 Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan bahan baku industri, misalnya produksi jagung tahun 2009 sebesar 17,63 juta ton pipilan kering, meningkat sebanyak 1,31 juta ton (8,04%) dibandingkan tahun 2008. Produksi jagung tahun 2010 (Aram II) diperkirakan sebesar 18,02 juta ton pipilan kering, meningkat sebanyak 386,79 ribu ton (2,19%) dibandingkan tahun 2009.

Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan produktivitas sebesar 0,69 kuintal/hektar (1,63%) dan luas panen seluas 23,43 ribu hektar (0,56%).29 Walaupun terjadi kenaikan produksi jagung, namun karena tingginya permintaan maka produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Pada tahun 2013 ini diperkirakan impor komoditas jagung melonjak menjadi 1,6 juta ton atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya sebesar 300.000 ton. Impor komoditas jagung banyak diakibatkan oleh kebutuhan jagung perusahaan pakan mencapai 4,5 juta per tahun.

Produksi kedelai nasional tampak mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000 hingga 2013 ini, kondisi tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena membanjirnya Impor akibat fasilitas GSM 102, kredit Impor dan “Triple C” dari negara importir yang dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri. Akibat kebijakan di atas harga kedelai impor semakin rendah sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya pada harga kedelai petani tidak bisa bersaing dengan membanjirnya kedelai Impor dan petani kedelai tidak terlindungi.

Melihat kenyataan tersebut seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan langkah kerja yang serius untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Pembangunan Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Ketahanan pangan berkelanjutan perlu dilakukan dalam mendorong berbagai kebutuhan masyarakat, salah satunya adalah perbaikan pertanian dan pembibitan. Pengalaman negara berkembang seperti Indonesia bahwa ketahanan pangan merupakan faktor yang sangat luas

28 Dirjentan 2010 di kutif Adri dan Endrizal (2011), Akselerasi Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Jagung Melalui SL-PTT Jagung Hibrida Di Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Bahan Seminar Nasional Serealia 2011. Hal 120 29 Anonim, Data penelitian BPS tahun 2010 tentang produksi pangan Jagung.

Page 74: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

68

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

demi menjaga agar tidak terjadi kemunduran. Karena kalau saja pertanian dan pembibitan varietas unggul tidak di lakukan maka bisa di pastikan rusaknya struktur maupun distribusi kesejahteraan masyarakat sehingga tidak lagi dapat mendukung pembangunan yang ada secara simultan. Pelaksanaan program peningkatan produktivitas ketahanan pangan akan berhasil apabila didukung oleh lingkungan pertanian yang memadai.

Kesadaran petani pada masalah pertanian dan lingkungan hidup sekitarnya harus semakin luas. Ketahanan pangan berkelanjutan memiliki berbagai aksi inovatif yang di sesuaikan dengan kondisi pertanian dan lingkungan yang ada. Ciri – ciri tersebut adalah sebagai berikut:30 1. Menjamin pemerataan pembibitan, yaitu memanfaatkan bibit unggul dengan

persediaan yang cukup bagus secara berkesinambungan. 2. Melestarikan keseimbangan produksi pangan untuk pemenuhan kebutuhan

kesejahteraan masyarakat. 3. Distribusi bibit dan obat-obatan tanaman harus menggunakan pendekatan intergratif

antara kelompok dan pemegang kebijakan (pemerintah). 4. Merencanakan pengelolaan dan pemanfaatan ketahanan pangan untuk meningkatkan

kesejahteraan secara bijaksana dalam memenuhi kebutuhan masa sekarang dan mendatang.

5. Ketahanan pangan yang dilakukan mampu menjaga keseimbangan antara pertanian dan nilai-nilai sosial petani yang dianut dalam masyarakat serta bersifat fundamental baik jangka pendek maupun panjang.

6. Ketahanan pangan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat melalui pemerataan antar golongan dan antar daerah dengan menunjukkan peningkatan produksi pangan secara nasional.

Strategi ketahanan pangan yang berkelanjutan itu harus dilandasi oleh pemerataan

distribusi lahan dan faktor produksi. Selama ini kegagalan ketersediaan pangan semakin terbatas disebabkan oleh meningkat konversi lahan sawah dan lahan pertanian produktif, rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian, buruknya kondisi jaringan irigasi dan prasarana irigasi di lahan produksi. Peningkatan produksi pangan hanya terjadi di pulau Jawa. Kurun waktu 2002 – 2013 rata-rata produktivitas nasional hanya meningkat 600 kg per hektar seperti yang terjadi di kabupaten Madiun yang berkategori penyediaan pangan tertinggi di Jawa Timur.

Dari luas lahan baku sawah sekitar 8,4 juta hektar, pada kurun waktu 2002 – 2013 luas tersebut turun sekitar 300 ribu hektar, yaitu dari 8,3 juta hektar menjadi 5,8 juta hektar. Kondisi pasokan air bagi lahan beririgasi semakin terbatas karena menurunnya kemampuan

30 Anonim, (2002), Buku Renstra Pembangunan Infrastruktur Ketahanan Pangan Dalam Waktu Jangka Panjang Dan Menengah BAPPENAS RI. Hal. 5

Page 75: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

69

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

penyediaan air di waduk-waduk yang menjadi andalan pasokan air. Sementara itu, daya saing produk pertanian dalam negeri masih rendah dibandingkan dengan produk luar negeri sehingga pasar produk pertanian dalam negeri dibanjiri dengan produk impor.31

Dilihat dari aspek konsumsi pangan, ketergantungan pada beras masih tinggi sehingga tekanan terhadap produksi pertanian semakin tinggi pula. Kedepan perlu didorong diversifikasi konsumsi pangan dan pembangunan infrastruktur lahan dengan tujuan menjamin mutu gizi berbasis konsumsi hewani, buah, dan sayuran. Selama ini pembangunan ketahanan pangan masih rentan disebabkan sistem distribusi mengalami penurunan dan kurang efisiensi dalam menjamin ketersediaan pangan antar waktu dan antar wilayah.32

Pembangunan ketahanan pangan dalam kurun waktu tahun 2025 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok, yakni terbangunnya struktur ketahanan pangan yang kokoh dimana pertanian (dalam arti luas) menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global menjadi motor penggerak perekonomian, dan jasa menjadi perekat ketahanan pangan.

Mengingat pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$ 6000 dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 %. Sehingga membutuhkan kemandirian pangan untuk dapat dipertahankan pada tingkat aman dan kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.33 Hakekat ketahanan pangan yang berkelanjutan itu adalah nilai-nilai kesejahteraan yang terencana dan berkesinambungan oleh pemerintah bersama masyarakat dengan memanfaatkan lahan pertanian secara terbuka.

Membangun ketahanan pangan berbasis pertanian yang berkelanjutan memiliki dua model yakni Pertama, Agribisnis Pangan, pada tahun 1984 swasembada pangan pernah tercapai yang diukir sebagai prestasi gemilang saat itu, namun tahun-tahun selanjutnya semakin merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin terancam.34

Harus dibangun kembali kerangka pembangunan pertanian dan ketahanan pangan berkelanjutan yang berorientasi pada kemandirian dan kesejahteraan secara merata dalam sistem agribisnis pangan terpadu. Masalah penyediaan pangan untuk penduduk harus dipandang secara utuh, bukan sekedar dinilai secara untung rugi saja tetapi lebih jauh dicermati pada aspek sosial karena dalam pandangan nasional terhadap pembangunan

31 Ibid. Hal 6 32 Ibid,. Hal 8 33 Ibid,. Hal 10 34 Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal. 5

Page 76: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

70

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

ketahanan pangan merupakan bagian dari kedaulatan bersama dan penyusunan langkah pencerdasan dunia.35

Menempatkan pangan sebagai bagian kepentingan bangsa dan negara untuk melindungi dan memperbaiki produksi pangan yang seyogyanya terus dikembangkan. Pembangunan pertanian dan ketahanan pangan hendaknya jangan dipandang sebagai lahan untuk menyerap tenaga kerja. Akan tetapi, petani yang dikondisikan untuk terus memberikan subsidi bagi pertumbuhan ekonomi dengan nilai jual tinggi dan intensitas produksi tinggi pula.36

Selain itu, petani pangan harus mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan subsidi produksi karena petani membawa keuntungan besar bagi ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam hal ini adalah wajar jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku produksi pertanian pangan karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat Indonesia.37

Kebijakan impor pangan yang menonjol sebagai program instan untuk mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksi sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan nasional mejadi rapuh.38

Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan yang semakin tergantung impor dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka untuk mencapai pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan maju itu, ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi pangan nasional yang terencana mulai “presisi” di sektor hulu – proses (on farm) disektor hilirnya.

Yang perlu ditekankan adalah peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi bio hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan dan pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan stock pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan pembangunan produksi pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan pembangunan ketahanan pangan secara nasional.39 35 Ibid. Hal 4 36 Mashar Ali Zum, 2000. Hal 8 37 Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar (2010) Komunikasi Pembangunan Dan Produktivitas Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia. Hal 2 38 Ibid. Hal 3 39 Ibid. Hal 4

Page 77: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

71

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Kedua, Agropolitan Pangan. Konsep pembangunan ketahanan pangan berkelanjutan lahir karena era baru pertumbuhan ekonomi berdasar pada kebijakan pembangunan berkelanjutan dan pelestarian pangan pertanian. Menurut Achmad Santosa (2010), bahwa pembangunan ketahanan pangan berkelanjutan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan akan datang.

Selain itu dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang merumuskan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana untuk memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan dalam menjamin keutuhan serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.40

Sedangkan hasil analisis prioritas diperoleh bahwa konsep Agropolitan Pangan lebih peka terhadap kemampuan mendorong tingkat produktivitas, dengan daya tampung besar dan tinggi. Dari analisis itu secara keseluruhan akan terlihat pola pembangunan ketahanan pangan berkelanjutan dengan konsep sektoral dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sosial.41

Pembangunan kawasan Agropolitan Pangan harus memperhatikan beberapa hal, yakni pertama, pendanaan pembangunan; konteks makro program tersebut harus didukung oleh pembiayaan yang memadai untuk membangun prasarana dan infrastruktur agropolis pangan. Kemudian selain dari pada itu masyarakat dapat mengakses berbagai sumber pendanaan keuangan negara dengan modal pinjaman, sebagaimana di salurkan oleh Bank daerah dan PNPM tanpa anggunan dan bunga kecil. Kedua, peningkatan kapasitas masyarakat; program peningkatan kapasitas sebaiknya tidak dibebankan kepada sumber-sumber pendanaan masyarakat. Berbagai bentuk pelatihan usaha, pengelolaan lahan dan manajemen hasil usaha produksi. dan ketiga, inovasi, integritas dan efektivitas produksi. Pada saat ini dukungan industri berbasis sumberdaya pertanian hanya berkisar 10 % dari berbagai industri pakan di Indonesia. Artinya porsentase tersebut belum memadai dalam mendorong pertanian dan lahan petani yang ingin produksi pangan lebih tinggi. Dari berbagai pengalaman ternyata faktor ini kemudian juga menjadi penyebab yang dapat menganggu keberlanjutan aktivitas dari setiap agropolis sehingga tidak mampu bersaing. Dalam kontek pembangunan ketahanan pangan yang berbasis pada agropolis pangan tadi, bahwa pemerintah harus menunjukkan komitmen dalam membangun prasarana, menyediakansumber pendanaan, penyediaan lahan produksi dan peningkatan daya saing masyarakat.

40 Emil Salim. 2010. Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 142 41 Yonvitner (2012) Integrasi Model Agropolitan dan Minapolitan dalam Agromaritim Jurnal Pembangunan Daerah Edisi II – 2012. Hal 59

Page 78: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

72

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Subsidi Teknologi Produktivitas Pangan Salah satu program kementerian Pertanian yang mendukung percepatan pembangunan

sarana peningkatan produktivitas pangan melalui Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), Bantuan Langsung Benih Unggul non SL-PTT dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Peningkatan produktivitas sebagaimana di rilis oleh Kementerian Pertanian RI adalah LL 5,5-7,5 t/ha dibandingkan dengan SL 4,5-6,7 t/ha berkisar 18,42 – 53,28% dan peningkatan LL dibandingkan non SL-PTT 4-5 t/ha atau lebih tinggi berkisar 17,93 – 51,71%.42

Subsidi teknologi yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan. Teknologi tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan. Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara utuh dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin keberhasilannya.43

Sebagai contoh teknologi pupuk hayati Bio P 2000 Z yang diramu dari kumpulan mikro-organisme indegenus terseleksi bersifat unggul berguna yang dikondisikan agar dapat hidup harmonis bersama saling bersinergi dengan kultur mikro-organisme komersial serta dibekali nutrisi dan unsur hara mikro dan makro yang berguna bagi mikroba dan komoditas budidaya. Sekumpulan mikro-organisme unggul berguna dikemas dalam pupuk hayati Bio Perforasi terdiri dari dekomposer (Hetrotrop, Putrefaksi), pelarut mineral dan phospat, fiksasi nitrogen, Autotrop (fotosintesis) dan mikroba fermentasi serta mikroba penghubung (seperti Mycorrhiza) yang bekerja bersinergi dan nutrisi bahan organik sederhana, seperti senyawa protein/peptida, karbohidrat, lipida, Vitamin, senyawa sekunder, enzim dan hormon; serta unsur hara makro: N, P, K, S, Ca, dan lainnya berkombinasi dengan hara mikro: seperti Mg, Si, Fe, Mn, Zn, Mn, Mo, Cl, B, Cu, yang semua unsur yang disebut di atas diproses melalui cara fermentasi.44

Bio Perforasi secara komprehenship membentuk dan mengkondisikan keseimbangan ekologis alamiah melalui sekumpulan jasa mikro-organisme unggul berguna yang dikondisikan, bersinergi dengan mikroba alami indogenus dan nutrisi; dan dengan menggunakan prinsip “mem-bioperforasi“ secara alami oleh zat inorganik, organik dan biotik pada mahluk hidup (seperti tanaman) sehingga memacu dan/atau mengendalikan pertumbuhan dan

42 Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar Komunikasi Pembangunan Dan Produktivitas Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia. Hal 22 43 Ibid,. Hal 5 44 Ibid. Hal 7

Page 79: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

73

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

produksinya. Ternyata dengan sistem demikian masalah tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan.45

Melalui jasa mikro-organisme unggul yang sebelumnya telah dikondisikan terhadap lingkungan tumbuh kembang tanaman serta dibekali nutrisi dan unsur hara, faktor pembatas produksi dan kendala tumbuh asal tanah dan lingkungan dapat direndam sehingga tanaman dapat dipacu berproduksi tanpa menggangu hasil rekayasa konstelasi genetik yang telah dimiliki tanaman sebelumnya. Hal ini seiring dengan tujuan meningkatkan produktivitas hasil dari tanaman varietas unggul yang memiliki potensi genetik tinggi seperti padi Hibrida, PTB dan padi unggul lain yang akan dikembangkan untuk daerah-daerah kritis lebak rentan cekaman kesuburan tanah yang labil. Seperti daerah transmigrasi Penggunaan mikroba Bio P 2000 Z secara teratur dan sesuai anjuran ternyata mampu mendongkrak potensi produksi tanaman yang bersangkutan melebihi referensi Genetik yang dimilikinya dan cekaman anasir penghambat dalam tanah.46

Keunggulan penerapan teknologi Bio Perforasi pada padi adalah meningkatnya produktivitas dan kualitas beras. Pada padi unggul nasional memacu bertambahnya anakan produktif rata-rata 19 – 35 anakan dan kuatnya perakaran, tahan rebah dan serangan penggerek batang; malai lebih besar (berisi) sehingga dibanding tanpa Bio P2000Z pada volume gabah kering giling (GKG) yang sama rendemen meningkat 30% - 40%. Karena proses keseimbangan hara ini beras lebih jernih dan tidak mudah remuk/patah saat digiling.47

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pendekatan pengelolaan tanaman, lahan, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu dan bersifat spesifik lokasi.48 PTT bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan dan efisiensi produksi. Pengembangan PTT di suatu lokasi memperhatikan kondisi setempat, sehingga teknologi yang diterapkan di suatu lokasi dapat berbeda dengan lokasi lain.

Maka oleh karena itu, komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan sebagai alat komunikasi pangan sangat di perlukan untuk menerapkan pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan berdasarkan pembibitan yang baik. Varietas Unggul Baru (VUB) yang 45 Alihamsyah T., Muhrizal Sarwani dan Isdianto Ar-Riza. 2002. Komponen Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. 46 Sri Adiningsih J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994. Dalam Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar Komunikasi Pembangunan Dan Produktivitas Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia. 47 Moeljopawiro Sugiono. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. 48 Zubachtirodin et al 2009

Page 80: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

74

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

direkomendasikan adalah varietas yang berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit dan deraan lingkungan setempat atau memiliki sifat khusus tertentu. VUB hibrida antara lain Bima 2, Bima 3, Bima 4, Bima 5, Bima 6 dan Bima 7 (Balitsereal 2009). VUB komposit antara lain Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning, dan Srikandi Putih. Penggunaan varietas unggul akan memberikan produksi dan pendapatan yang lebih tinggi.49

Benih sering merupakan masalah ditingkat petani, terutama dalam hal ketepatan waktu, jenis, jumlah dan kualitas. Penggunaan benih yang mempunyai tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi (95%) akan memberikan pertumbuhan vegetatif dan generatif yang baik. Penyakit bulai yang merupakan penyakit utama pada tanaman jagung sudah terbawa mulai dari benih, maka perlu dilakukan perlakuan benih dengan menggunakan bahan kimia anjuran seperti ridhomil/karomil.

Jumlah tanaman per hektar ditentukan oleh jarak tanam dan mutu benih yang digunakan. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 70-75 cm x 20 cm (1 biji per lubang) atau 70-75 cm x 40 cm (2 biji per lubang). Benih yang mempunyai daya tumbuh 95% dapat memenuhi populasi 66.000-75.000 tanaman/ha. Dalam budidaya jagung tidak dianjurkan menyulam karena pengisian biji dari tanaman sulaman tidak optimal. Pemberian pupuk berbeda antar lokasi, pola tanam dan jenis jagung yang digunakan. Jagung jenis hibrida respon terhadap pemupukan dan menghendaki jumlah pupuk yang lebih banyak dibandingkan jagung jenis komposit.

Penyiapan lahan, pembuatan saluran drainase atau saluran irigasi, pemberian bahan organik, pembumbunan, pengendalian gulma, pengendaliaan hama penyakit dan panen tepat waktu dan pengeringan segera.50 Percepatan peningkatan produksi pangan dapat dilakukan melalui penerapan teknologi, terutama varietas unggul baru produksi tinggi, tahan hama penyakit dan memiliki daya adaptasi luas.

Memperluas dan memperbanyak program pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usaha tani.51 Dengan penduduk 216 juta jiwa, Indonesia saat ini membutuhkan bahan pangan pokok sekurang-kurangnya 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton kedelai. Jika tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan produksi pangan dalam negeri secara signifikan, dapat menyebabkan ketahanan pangan nasional rendah. Meskipun upaya peningkatan produksi pangan di dalam negeri saat ini terus dilakukan, namun laju peningkatannya masih belum

49 Ananto Eko. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. 50 Dinas Pertanian Provinsi Jambi. 2009. Bahan Rapat Evluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan Pembangunan Tanaman Pangan. Yokyakarta, 7-9 Desember 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2011. 51 Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010

Page 81: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

75

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri karena produktivitas tanaman pangan serta peningkatan luas areal yang stagnan bahkan cenderung menurun.52

Untuk meningkatkan produksi pangan nasional, dapat dilakukan peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi produksi antara lain melalui penggunaan pupuk organik/hayati. Pupuk tersebut dapat mengembalikan kesuburan lahan melalui jasa mikroba yang menguntungkan. Sejalan dengan itu, juga perlu dilakukan perluasan lahan pertanian antara lain melalui pengembangan kawasan transmigrasi. Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun. Selain itu, peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program subsidi teknologi ketahanan pangan nasional.53

Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha54 jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada pertingkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha.55

Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun.56 (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal.57 Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong,58 seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri.

Selain itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus,

52 Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar Komunikasi Pembangunan Dan Produktivitas Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia 53 BPS (Biro Pusat Statistik). 2001. Stasistik Indonesia 2000. BPS Jakarta. 54 Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. 55 FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome. 56 Adiningsih, S, dkk., 1994 57 Guedev S Kush, 2002 58 Mashar, 2000

Page 82: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

76

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 – 20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.

Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan.59 Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya. Sebagai contoh petani dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas organik hayati, benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca panen dan sekaligus pengawalan pendampingannya.60

Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management untuk mengembali-kan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan organik tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui bahwa mikro-organisme unggul berguna dapat diintroduksikan ke tanah dan dapat diberdayakan agar mereka berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana mestinya. Selain itu, sekumpulan mikro-organisme diketahui menghuni permukaan daun dan ranting. Sebagian dari mereka ada yang hidup mandiri, bahkan dapat menguntungkan tanaman.61 Prinsip-prinsip hayati yang demikian telah diungkapkan dalam kaidah-kaidah penerapan pupuk hayati.

Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi. Meskipun upaya breeding modern, teknologi transgenik dan hibrida dirancang agar tanaman yang dikehendaki memiliki kemampuan genetik produksi tinggi,62 tetapi jika dalam menerapkannya di lapangan asal-asalan, maka performa keunggulan genetiknya tidak nampak. Hasil penggunaan varietas unggul di lapangan seringkali masih jauh dari harapan. Penyebabnya adalah masih belum

59 Saragih, 2003 60 Anonim. 2001. Pemberdayaan Usaha Anggota koperasi Produsen tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Melalui Pemberian Insentif Pemerintah kepada INKOPTI. Inkopti. 61 Mashar, 2000 62 Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Page 83: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

77

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

dipahaminya teknik budidaya sehingga hasil yang didapat belum menyamai potensinya, apalagi melebihi.63

Untuk mendapatkan performa hasil maksimal dari tanaman unggul baru yang diharapkan memerlukan persyaratan-persyaratan khusus “Presisi” dalam budidayanya seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT64 dan/atau perlakuan spesifik lainnya. Pada kenyataannya baik tanaman unggul seperti padi VUB, Hibrida dan PTB; dan kedelai serta Jagung hibrida akan mampu berproduksi tinggi jika pengawalan manajemen budidayanya dipenuhi dengan baik, tetapi jika tidak justru terjadi sebaliknya. Hasilnya lebih rendah dari varietas lokal. Hal ini berarti bakal calon penerapan varietas unggul berproduktivitas tinggi harus dilakukan pengawalan dan manajemen teknologi penyerta dengan baik dan diterapkan secara paripurna. Untuk hal tersebut petani harus diberikan dampingan dan memanejemen budidaya secara intensif. Kesimpulan dan Saran

Konektivitas pembangunan merupakan metode efektif dalam produktifitas pembangunan pangan yang bertujuan terbentuknya masyarakat berdaya saing, mandiri dan sejahtera. Hal itu di lakukan dalam proses perencanaan (planning), pelaksanaan (implementation), dan penilaian (evaluating). Tentu proses program pembangunan harus berakar dari tingkat grassroots sehingga partisipasi aktif, inisiatif dan inovatif dalam meningkatkan produktivitas ketahanan pangan.

Partisipasi tersebut, berbentuk High Participation, Quasi Participation dan Low Participation. Konsep produktivitas didasarkan pada penilaian daya dukung mengintegrasikan infrastruktur yang berbasis teknologi. Laju pertumbuhan produksi pangan perlu terobosan konstruktif yakni subsidi teknologi pupuk dan soil management. Ketahanan pangan berkelanjutan menjamin pembibitan, keseimbangan produksi, distribusi bibit dan obat-obatan dan pengelolaan.

Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan dengan membuka areal lahan baru agar digunakan secara produktif. Lebih penting, subsidi teknologi yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan.

Teknologi tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan. Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah dimengerti dan

63 Abdullah Buang. 2002. Pengenbangan Padi Tipe Baru. Makalah disampaikan Pada Seminar Temu Lapang BALITPA di KP. Pusakanegara, Subang 26 September 2002 64 Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Makalah Pengembangan Teknologi Padi di Hotel Kaisar Maret 2003.

Page 84: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

78

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara utuh dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin keberhasilannya.

Daftar Pustaka Budi Sayoga, 2011, Konsolidasi Paradigma Komunikasi Pembangunan yang Demokratis, Jurnal

Pembangunan Masyarakat dan Desa, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta. Anonim, 2008, Bappenas : Arah pembangunan Indonesia. Jakarta Andrianto, 2011, http://aanforsmart.blogspot.com/2009/07/konsep-pembangunan-

berkela njutan.html. 21 Maret 2011. Di akses pada 26 April 2013 Lyle, Jack. 2000. Communication and Development. New York: John Levely and Son. Laporan penelitian para ilmuwan di National Oceanographic and Atmospheric Administration,

Global Reporting, 1 : 2010 Isran Noor, 2012, Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI, Publisher Seven Strategic

Studies Jakarta

Abdul Hakim MS Dkk, 2011, Hatta Rajasa (Harapan Rakyat) Catatan Opini Dan Blogger : Indonesia Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru, DCSC Publishing. Jakarta

Gazali, Efendi (Ed.). 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Jakarta.

Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jambi.

Srinivas, R. Melkote. 1991. Communication for Development in Third World: Theory and Practice. London: Sage.

Moeljopawiro Sugiono. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002

Mashar Ali Zum, 2000, Teknologi Hayati Bio P 2000 Z Sebagai Upaya untuk Memacu Produktivitas Pertanian Organik di Lahan Marginal. Makalah disampaikan Lokakarya dan pelatihan teknologi organik di Cibitung 22 Mei 2000.

Dirjentan 2010 di kutif Adri dan Endrizal (2011), Akselerasi Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Jagung Melalui SL-PTT Jagung Hibrida Di Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Bahan Seminar Nasional Serealia 2011.

Anonim, Data penelitian BPS tahun 2010 tentang produksi pangan Jagung.

Anonim, (2002), Buku Renstra Pembangunan Infrastruktur Ketahanan Pangan Dalam Waktu Jangka Panjang Dan Menengah. BAPPENAS RI.

Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar (2010) Komunikasi Pembangunan Dan Produktivitas Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia. Jakarta Indonesia

Emil Salim. 2010. Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Page 85: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

79

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Yonvitner (2012) Integrasi Model Agropolitan dan Minapolitan dalam Agromaritim Jurnal Pembangunan Daerah Edisi II – 2012.

Alihamsyah T., Muhrizal Sarwani dan Isdianto Ar-Riza. 2002. Komponen Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Sri Adiningsih J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994. Dalam Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar Komunikasi Pembangunan Dan Produktivitas Ketahanan Pangan Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia.

Ananto Eko. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Dinas Pertanian Provinsi Jambi. 2009. Bahan Rapat Evluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan Pembangunan Tanaman Pangan. Yokyakarta, 7-9 Desember 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2011.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010. Jakarta

Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome.

Anonim. 2001. Pemberdayaan Usaha Anggota koperasi Produsen tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Melalui Pemberian Insentif Pemerintah kepada INKOPTI. Inkopti.

Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Abdullah Buang. 2002. Pengenbangan Padi Tipe Baru. Makalah disampaikan Pada Seminar Temu Lapang BALITPA di KP. Pusakanegara, Subang 26 September 2002

Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Makalah Pengembangan Teknologi Padi di Hotel Kaisar Maret 2003.

Page 86: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pemanfaatan Media Baru dalam Pembangunan Daerah

80

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. I | EDISI 1 | TAHUN 2013

Rulli Nasrullah

Page 87: Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Dirjend Bangda Edisi 2 Tahun 2013 isi

Pedoman Penulisan Naskah 1. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 2. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4,

Times New Roman 12 pt, spasi satu setengah, dengan panjang naskah 10 s.d. 15 halaman.

3. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan pada bagian akhir naskah setelah daftar pustaka.

4. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki.

5. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf besar. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring.

6. Identitas penulis meliputi: Nama lengkap penulis (tanpa gelar). Nama dan alamat lembaga penulis. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai

nomor telepon, handphone, dan fax, serta alamat email. Nomor rekening bank yang masih aktif.

7. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang ditulis dalam satu alinea yang mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, maupun kesimpulan.

8. Redaksi berhak menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud.

9. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium sepantasnya. Naskah dikirim kepada redaksi Jurnal Pembangunan Daerah melalui email: [email protected] atau ke alamat redaksi di Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp. (021) 7992537