hukum waris
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mewaris memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia,
sebab mewaris pada jaman Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi harta
warisan kepada orang laki-laki dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-
anak yang belum dewasa tidak mendapatkan bagian.
Pada saat Agama Islam masuk dengan turunnya Surat An-Nisa’ayat 11:
Artinya:“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Seseungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.”(QS. An-nisa’:11)
Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya
lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru
itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat
tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat
manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak
ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada
pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal
‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan
memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad
guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan
masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[¹]
Dapat dikembangkan bahwa orang yang memiliki pertalian darah,
perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak laki-laki maupun perempuan bisa
mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan dimana
kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan seperti jaman
jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan
mengenai mewarisi.
1.2 Rumusan Masalah
Di dalam pokok bahasan ini terdapat masalah yang dapat diangkat:
- Bagaimana pembagian waris dan hak waris wanita sebelum islam?
1. Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembagian Waris dan Hak Waris Wanita sebelum Islam [ ² ]
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak
untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun
kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan,
"Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada
orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu
memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka
mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka
mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab
memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris
kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami,
maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang
memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami
mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak
waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang
telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat
diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang
waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan.
Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut
dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan
kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan
adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari
Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang
warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan
hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri--
sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut.
Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah
memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.'
Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah
memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang
dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat
andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan
hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau
kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari
mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami
memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak
dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak
waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat
menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan
musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni
kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan
kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang
sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka
sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian
warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran
yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk.
Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak
waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum
wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan
menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara
menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan
warisan.
Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum
wanita agar mereka menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak
ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum
wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama dan
seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa
mereka yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka
sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah.
Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk
bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di
kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari
Barat yang banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan
mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak
menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang
kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam
memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk
mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum laki-laki
(suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja
guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih
menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.
2. PEMBAGIAN WARIS MENURUT ISLAM - oleh Muhammad Ali Ash-ShabuniPustaka Pribadi Notaris Herman ALT
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan Bab II, maka dapat disimpulkan :
1. Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk
menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya).
2. Setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk
mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh
kemuliaan, tanpa direndahkan.
3. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak
memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul
furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya).
Sumber :
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Mekah, Gema Insani Press, 1995.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2024563-contoh-makalah-hukum-waris-keluarga/
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/hukum-waris-islam-di-indonesia.html
MAKALAH
HUKUM WARIS“PEMBAGIAN WARIS DAN HAK WARIS WANITA SEBELUM
ISLAM”
OLEH :
INDRA EFENDI
RUSDIN
DOSEN PENGAMPU : H. FAISAL SHADIQ, S.Hi, M.Hi
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHANT.A 2010/2011