hkum islam di indonesia

34
BAB 1 PENDAHULUAN A. Devinisi Hukum Islam Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah. Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah. Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan. Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin. 1

Upload: dompet-sosial-madani-bali

Post on 13-Aug-2015

31 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hkum Islam Di Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Devinisi Hukum Islam

Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan

dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-

orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan

(taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki

oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.

Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum

yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik

hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum

yang berhubungan dengan amaliyah.

Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh

Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan

Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia,

beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.

Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-

Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi

bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut

juga syara’, millah dan diin.

Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib

diturut (ditaati) oleh seorang muslim.

Dari definisi tersebut syariat meliputi:

1. Ilmu Aqoid (keimanan)

2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)

3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)

1

Page 2: Hkum Islam Di Indonesia

B. Karakteristik Hukum Islam

Untuk membedakan antara hukum Islam dengan hukum umum, maka hukum Islam

memiliki beberapa karakteristik tertentu. Diantaranya:

1. Penerapan hukum Islam bersifat universal

Nash-nash al-Qur’an tampil dalam bentuk prinsip-prinsip dasar yang universal dan

ketetapan hukum yang bersifat umum. Ia tidak berbicara mengenai bagian-bagian

kecil, rincian-rincian secara detail (Yusuf al-Qardhawi, 1993: 24) Oleh karena itu,

ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk yang universal dapat dimengerti dan diterima

oleh semua umat di dunia ini tanpa harus diikat oleh tempat dan waktu.

2. Hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an tidak memberatkan

Di dalam al-Qur’an tidak satupun perintah Allah yang memberatkan hamba-Nya.

Jika Tuhan melarang manusia mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan

ada hikmahnya. Walaupun demikian manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-

hal tertentu (darurat). Contohnya memakan bangkai adalah hal yang terlarang,

namun dalam keadaan terpaksa, yaitu ketika tidak ada makanan lain, dan jiwa akan

terancam, maka tindakan seperti itu diperbolehkan sebatas hanya memenuhi

kebutuhan saat itu. Hal ini berarti bahwa hukum Islam bersifat elastis dan dapat

berubah sesuai dengan persoalan waktu dan tempat.

3. Menetapkan hukum bersifat realistis

Hukum Islam ditetapkan berdasarkan realistis dalam hal ini harus berpandangan riil

dalam segala hal. Menghayalkan perbuatan yang belum terjadi lalu menetapkan

suatu hukum tidak diperbolehkan. Dengan dugaan ataupun sangkaan-sangkaan tidak

dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Said Ramadhan menjelaskan bahwa

hukum Islam mengandung method of realism (Said Ramadhan, 1961: 57)

4. Menetapkan hukum berdasarkan musyawarah sebagai bahan pertimbangan

Hal ini yang terlihat dalam proses diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an yang

menggambarkan kebijaksanaan Tuhan dalam menuangkan isi yang berupa hukum

Islam ke dalam wadahnya yang berupa masyarakat (Anwar Marjono, 1987: 126)

5. Sanksi didapatkan di dunia dan di akhirat.

Undang-undang produk manusia memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap

hukum-hukumnya. Hanya saja sanksi itu selamanya hanya diberikan di dunia,

berbeda halnya dengan hukum Islam yang memberi sanksi di dunia dan di akhirat.

2

Page 3: Hkum Islam Di Indonesia

Sanksi di akhirat selamanya lebih berat daripada yang di dunia. Karena itu, orang

yang beriman merasa mendapatkan dorongan kejiwaan yang kuat untuk

melaksanakan hukum-hukum-Nya dan mengikuti perintah serta menjauhi-larangan-

larangan-Nya (Muh. Yusuf Musa, 1998: 167)

Hukum yang disandarkan pada agama bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan

individu dan masyarakat. Tidak diragukan lagi ini adalah tujuan yang bermanfaat

hanya saja ia bermaksud membangun masyarakat ideal yang bersih dari semua apa

yang bertentangan dengan agama dan moral.

Begitu juga ia tidak hanya bermaksud untuk membangun masyarakat yang sehat

saja, tetapi ia juga bertujuan untuk membahagiakan individu, masyarakat, dan

seluruh umat manusia di dunia dan di akhirat.

C. Ciri-Ciri Hukum Islam

Merupakan bagian yang bersumber dari agama Islam

Mempunyai hubungan yang erat dan tidak terpisahkan dari iman (akidah) dan

kesusilaan (akhlak)

Mempunyai dua istilah kunci yaitu:

a) Syari’at

Terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi

b) Fikh

Pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari;at

Terdiri dari dua bidang utama yaitu:

a) Ibadah

b) Muammalah

Strukturnya berlapis

Mendahulukan kewajiban dari pada hak

Dapat dibagi menjadi:

a) Hukum Taklifi

Yaitu lima pengolongan hukum (wajib, haram, sunnah, makruh, jaiz)

b) Hukum Wadh’I

Mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.

3

Page 4: Hkum Islam Di Indonesia

D. Produk Pemikiran Hukum Islam

Produk Pemikiran Hukum Islam, yakni: fikih, fatwa, kodifikasi dan kompilasi.

Fikih adalah hukum-hukum yang behubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba

yang melingkupi bidang ‘ibadah, mu’amalah,‘uqubah, maupun yang lainnya.

Fatwa adalah pendapat ulama tentang satu masalah tertentu, yang prosedurnya

diawali dengan pertanyaan. Karna itu, dalam prosedur lahirnya fatwa ada tiga unsur,

yakni:

Mufti: seorang atau sekelompok ahli yang mengeluarkan pendapat (fatwa).

Mustafti: orang yang bertanya mengenai pendapat (fatwa).

Fatwa: pendapat atau jawaban itu sendiri.

Secara umum mufti adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat umum

untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat,

yakni untuk menentukan hukum halal, haram, boleh atau tidak.

Kompilasi secara makna bahasa adalah pengumpulan dari berbagai bahan tertulis

yang diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu yang

dibuat oleh beberapa penulis berbeda yang kemudian dikumpulkan dalam suatu buku

tertentu. Dengan kegiatan ini semua bahan dapat ditemukan dengan cepat dan

mudah. Dengan demikian, kompilasi secara bahasa tidak selalu merupakan produk

hukum, tapi masih bersifat umum. Singkatnya, komplikasi hukum islam dapat

diartikan sebagai konklusi dari berbagai pendapat tentang hukum islam yang diambil

dari berbagai kitab yang telah ditulis ulama fikih yang biasa digunakan sebagai

referensi di Pengadilan Agama yang diolah dan dikembangkan serta disusun secara

sistematis dengan berpedoman pada perumusan perundang-undangan.

Kodifikasi adalah pembukuan suatu jenis hukum tertentu secara lengkap dan

sistematis dalam suatu buku hukum. Karena itu, kodifikasi merupakan istilah tehnis

dalam bidang hukum.

Namun demikian, dalam hukum, kompilasi juga diartikan buku kumpulan

yang memuat uraianatau bahan-bahan hukum tertentu. Karena itu, meskiun secara

definitif kompilasi berbeda dengan kodifikasi, tapi kompilasi dalam pengertian ini

adalah sama-sama buku hukum. Perbedaan antara kompilasi dengan kodifikasi

terletak pada adanya kepastian dan kesatuan hukum. Dalam kodifikasi, undang-

undang dan peraturan perundang-undangan tersebut dibukukan secara sistematis dan

lengkap kemudian dituangkan dalam bentuk kitab undang-undang, seperti Kitab

4

Page 5: Hkum Islam Di Indonesia

Undang-undang Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan lain-lain. Jadi,

selain terjadi kesatuan hukum dan penyederhanaan hukum dalam satu buku,

kodifikasi selalu mempunyai kekuatan dan kepastian hukum untuk menciptakan

hukum baru dan mengubah hukum yang telah ada.

5

Page 6: Hkum Islam Di Indonesia

BAB II

Sejarah Hukum Islam Di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling

mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan

dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu

batas teritorial kenegaraan.

Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum

Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan

seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu

terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan

memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.

Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat

dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk

menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan

“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang

diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan

kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh

para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting

di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi

sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan

secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun

setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang

perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga

di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan

kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia

untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum

Islam.

6

Page 7: Hkum Islam Di Indonesia

A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah

dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan

masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau

Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para

pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk

masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas

muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di

Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai.

Ia terletak di wilayah Aceh Utara.

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara

kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya

Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka,

lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di

Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja

kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan

hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja

menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat

muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh

yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi

terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan

kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih

dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan

memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab

Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai

perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan

fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan

fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang

mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini

disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing 7

Page 8: Hkum Islam Di Indonesia

bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk

menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan

oleh pihak VOC, yaitu:

1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan

bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah

masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian

dikenal dengan Compendium Freijer.

3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang,

Cirebon, Gowa dan Bone.

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum

Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan

dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum

pidana Islam.[5]

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang

peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali.

Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-

1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda,

semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku

kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya

perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat

Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya,

Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu.

Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2)

membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual)

saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh

Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:

1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik

Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan

mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

8

Page 9: Hkum Islam Di Indonesia

2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah

Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga

dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka,

selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.

Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari

hukum Belanda.

3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah

Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau

ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus

kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]

4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische

Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang

intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam

jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu

ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya

kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima

militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah

Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag

meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral

Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi

keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan 

Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai

kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai

agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa

Indonesia sendiri.

9

Page 10: Hkum Islam Di Indonesia

3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan

oktober 1943.

5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi

berdirinya PETA.

6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan

Pengadilan Agama

dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk

menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan”

oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia

merdeka.

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam

selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa

pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru

bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno

Tjokrosujoso menyatakan bahwa,

Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak

memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau

pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang

memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari

bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para

pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya

langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka

membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah

kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-

tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai

kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak

mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat

(Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan

kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini,

paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah,

Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas

10

Page 11: Hkum Islam Di Indonesia

dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta

berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam

masyarakat Indonesia”.[16]

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan

lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling

penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia

merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang

mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat

Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu

akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh

PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi

mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan

Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari

seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun

Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada

saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang

menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan

mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari

Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang

BPUPKI.[18]

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary

mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai

suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik

pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]

E. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga

Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950

Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki

masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara

sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa

pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia

kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung 11

Page 12: Hkum Islam Di Indonesia

Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan,

hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan

Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku

sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara

Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk

dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah

Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam

sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula

dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang

berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja

RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat

Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi

Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut.

Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian,

Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa

dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik

dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal

34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar

Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk

menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan

keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.“Kelebihan” lain dari UUD

Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam

dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan

pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-

wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan

Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat

“hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang

Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak

lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka

tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang

yang bersifat tetap.12

Page 13: Hkum Islam Di Indonesia

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan

Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.

Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada

10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya,

Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli

1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah

konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai

UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini

tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –

menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[25] Namun

bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu

utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar

menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan

meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang

diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah

gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo

sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus

1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus

1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan

Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot

akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan

di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam

Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan

mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak

diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat

dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan

atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]

F. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum

nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk

dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat

Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh

Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera

13

Page 14: Hkum Islam Di Indonesia

Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno -

bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong

yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian

menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang

harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di

Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk

memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan

batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di

era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak

pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik

mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun

hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh

Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini

menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal

1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi

kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak

begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap

terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri

agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang

Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.

Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan

hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970.

Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang

mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada

Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum

Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun

1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan

usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu.

Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai

presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya

kepada Menteri Agama.

14

Page 15: Hkum Islam Di Indonesia

G. Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh

pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya

hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-

undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang

menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus

dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan

berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan

hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil

yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at

Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum

Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat

melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang

bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai

norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

15

Page 16: Hkum Islam Di Indonesia

A. Teori-teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia,

yang menurut sebagian kalangan, telah berlangsung sejak abad VII atau VIII M.

Sementara itu, hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awal abad XVII M.

Sebelum masuknya hukum Islam, rakyat Indonesia menganut hukum adat yang

bermacam-macam sistemnya, dan sangat majemuk sifatnya. Pengaruh agama Hindu

dan Budha diduga sangat kuat pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat pada

zaman itu (Jamal Abdul Aziz : Hukum Islam di Indonesia).

Keterangan yang dapat dipercaya tentang Islam yang mula-mula sekali terdapat

dalam berita Marco Polo. Dalam perjalanannya kembali ke Venesia pada tahun

1292, Marco Polo setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di Perlak

sebuah kota di pantai utara Sumatra. Menurutnya, penduduk Perlak ketika itu telah

diislamkan oleh para pedagang. (Drs. H. Taufik, SH, 1998 : 92)

Ibn Batutah (meninggal 1377), seorang pengembara dan sejarawan dari

Maroko,mengunjungi pesisir Sumatra ketika dalam perjalanannya ke Tiongkok pada

tahun 1345 dalam zaman pemerintahan Sultan Malik Al-Zahir. Ibnu Batutah

menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan disana.

Berdasarkan kenyataan bahwa pengaruh yang amat besar terhadap kehidupan bangsa

Indonesia adalah pengaruh agama Islam yang hingga saat ini masih tetap

berlangsung, karena sebagian besar penduduk bangsa Indonesia menganut agama

Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Samudra Pasai, Aceh (Al-

Attas, 1986:3-50), Demak, Kalimantan Selatan dan Maluku (Uka Djandrasasmita,

1985 :2-7), dapat dikatakan untuk sebagian besar kepulauan Indonesia, tradisi hukum

Islam pernah merupakan satu-satunya hukum.

1. Penerimaan Hukum Islam Sepenuhnya (Teori Receptio in Complexu)

Hukum Islam yang telah berlaku dari zaman kerajaan-kerajaan Islam Nusantara

dan dari zaman VOC itu oleh pemerintah Hindia Belanda di berikan dasar

hukumnya dalam Regeering Reglement (RR) th.1855, Statsblad 1855 Nomor 2.

RR merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Bahkan dalam ayat 2

pasal 75 RR itu ditegaskan :” Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama

orang Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka

maka mereka tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka

16

Page 17: Hkum Islam Di Indonesia

menurut undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan

lama mereka.

Dengan demikian bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam.keadaaan inilah

yang oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Cristian van den Berg, disebut telah terjadi

receptio in complexu, penerimaan hukum Islam secara menyeluruh oleh umat

Islam.

2. Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat (Teori Receptie)

Teori ini mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah

hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah

diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya

hukum Islam. Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali

hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya

adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Teori ini diberi dasar hukum dalam

Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, yang mengganti RR, yang di sebut wet

op de Staatsregeling (IS). Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin

sebagai “teori iblis” itu. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa

oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Yusril Ihsa Mahendra : 2007)

2. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif

Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia di bagike dalam

dua periode :

1. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasive

2. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif

Di dalam hukum konstitusi dikenal dengan spersuasive surce (sumber yang

harus diyakinkan untuk menerimanya) dan authoritative source (sumber yang

mempunyai kekuatan).

Setelah berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, hukum Islam berlaku bagi

bangsa Indonesia yang beragama Islam, bukan sekedar ia telah diterima oleh

hukum adat. Pasal 29 UUD `45 mengenai agama menetapkan :” (1) Negara

berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjain kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Selama 14 tahun, dari tanggal 22 Juli `45 – 5 Juli `59, sebelum Dekrit

Presiden diundangkan, kedudukan hukum dalam ketentuan “ kewajiban

17

Page 18: Hkum Islam Di Indonesia

melaksanakan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah sumber

persuasif. Jadi dari sini dapat dijumpai adanya peraturan perundang-

undangan yang secara langsung ditujukan untuk mengatur pelaksanaan ajaran

Islam bagi para pemeluknya.

3. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif

Ketika di tempatkannya Piagam Jakarta yang isinya antara lain “Ketuhanan,

dengan kewajiban melaksanakan Syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”

dalam Dekrit Presiden, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam telah

menjadi sumber otoritatif dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar

sumber yang harus diyakini untuk menerimanya.

Piagam Jakarta bisa dikatakan menjiwai UUD`45 dan merupakan suatu

rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut, karena perbedaan Piagam

Jakarta dan UUD`45 hanyalah tujuh kata “ dengan kewajiban menjalankan

syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh kata

itulah yang menjiwai UUD`45 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan

dalam UUD`45 itu.

Kesimpulan

Hukum Islam mulai memasuki Indonesia ketika Indonesia banyak di datangi

oleh para pedagang yang datang dari berbagai daerah. Dalam proses

berlakunya hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang

mendampinginya, diantaranya :

1. Teori Receptio in Complexu atau Penerimaan Hukum Islam Sepenuhnya

2. Teori Receptie atau Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat

3. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif

4. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif

B. Komplikasi Hukum Islam Di Indnesia Sevagai Konsensus (Ijma') Ulama

Sejak keluarnya Instruksi Presiden dan Surat Keputusan Menteri Agama

tersebut, maka KHI secara praktis telah menjadi hukum materil terapan di Peradilan

Agama yang digunakan oleh para hakim, pengacara dan pencari keadilan di samping

kutipan kepada ayat Qur’an, Hadits Nabi atau pendapat tertentu dari buku-buku fiqh

serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang lain.

Sandaran yuridis formal KHI adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991,

dan Instruksi Presiden tidak ditemukan dalam hirarki perundang-undangan

Indonesia. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa tata urutan

perundang-undangan Indonesia adalah UUD 1945, Tap MPR, 18

Page 19: Hkum Islam Di Indonesia

Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan seterusnya,

dan Tap MRP No. III/2000 menyatakan bahwa tata urutannya adalah UUD 1945,

Tap MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan

Peraturan Daerah. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa KHI tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang.

Dari sudut ini, maka KHI masih merupakan kelanjutan dari kitab-kitab fiqh

yang menjadi rujukan Pengadilan Agama sebelum ini dan sekarang telah

disederhanakan menjadi buku hukum berdasarkan ijmâ‘ jamhûr al-‘ulamâ’ al-

indonîsiiyîn (konsensus moyoritas ulama Indonesia). Sungguhpun demikian,

menurut Ismail Suny, hukum materil yang diatur dalam KHI dapat saja berbentuk

Instruksi Presiden; hal itu karena hukum perkawinan, kewarisan dan kewakafan yang

berlaku sejak lama adalah hukum Islam. Sandaran hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1)

UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan Presiden untuk memegang

kekuasaan permintahan negara."[16]

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status yuridis formalnya, KHI

dalam kenyataannya telah menjadi pedoman di Peradilan Agama, Peradilan Tinggi

Agama dan Mahkamah Aung. Kompilasi atau kodifikasi hukum bagaimanapun

lengkapnya tidak akan pernah memuaskan semua pihak. Kekurangan dapat diatasi

bila disertai dengan kearifan para pemakainya, terutama para hakim di pengadilan,

dengan menggali semangat yang ada di balik KHI dan hukum yang hidup dalam

masyarakat.[17]

Sebagai produk usaha manusia, KHI memerlukan penyempurnaan dari waktu

ke waktu. Dari segi legal formal, di samping penyempurnaan dan pengembangan,

KHI harus ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang sehinga masuk secara

jelas dalam hirarki perundang-undangan Indonesia.

Ada beberapa keberatan yang dikemukan terhadap KHI. Antara lain adalah

dari segi penamaan. KHI hanya mencakup hukum Islam tentang tiga hal menyangkut

Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan, padahal hukum Islam sebenarnya

mencakup semua bidang yang dicakup oleh hukum umum, bahkan lebih luas dari

hukum umum, seperti disinggung di awal tulisan ini. Di negara-negara lain dunia

Islam peraturan hukum seperti yang dimuat dalam KHI disebut Qanûn al-Ahwâl asy-

Syakhshiyyah. Karena itu, nama yang tepat untuk KHI sebenarnya adalah Kompilasi

Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan Islam (KHPKKI), dan bila dapat

19

Page 20: Hkum Islam Di Indonesia

ditingkatkan menjadi undang-undang, maka ia dapat bernama Kitab Undang-undang

Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan Islam (KUHPKKI).

Keberatan lainnya adalah, bila KHI ditingkatkan statusnya menjadi undang-

undang, maka dikhawatirkan pembuat undang-undang Indonesia telah membatasi

sifat universal hukum Islam, mengurangi kreatifitas para hakim, dan selanjutnya

menghambat pengembangan hukum Islam melalui ijtihad dan pendapat baru.

Kekhawatiran seperti ini dapat dipahami mengingat keluasan dan keluesan hukum

Islam sepanjang sejarahnya yang panjang sehingga masyarakat mempunyai banyak

opsi untuk memilih pendapat yang lebih cocok dengan kondisi dan zaman mereka.

Bahkan sebagian besar para fuqaha’ terkenal di masa lalu enggan menuliskankan

mazhab mereka untuk menjadi hukum materil di suatu negara. Dengan diberlakukan

satu mazhab, mereka khawatir akan menutup pintu kepada mazhab atau pendapat

lain yang mungkin saja lebih benar dan lebih tepat dari pendapat mereka. Mengingat

kesalehan dan kerendahan hati para imam mujtahidin ini, kita dapat memahami

alasan mereka. Sungguhpun demikian, keberatan seperti ini tidak lagi dapat

dipertahankan pada waktu ini. Sebagian besar perundang-undangan modern telah

mengantisipasi keberatan ini, misalnya, dengan membuat klausal tertentu yang

memungkinkan undang-undang tertentu direvisi, disempurnakan dan bahkan

dibatalkan di masa depan bila tidak lagi cocok dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Perundang-undangan Indonesia, termasuk UUD 1945 yang disakralkan

pada masa Orde Baru, sudah banyak yang mengalami revisi, penyempurnaan dan

pembatalan seperti ini.

20

Page 21: Hkum Islam Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khalaf, 1994, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo

Persada, Cetakan Keempat, Hal. 154.

Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam),

Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.

http://hk-islam.blogspot.com/2008/09/pengertian-hukum-islam-syariat-islam.html

T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy mengemukakan tiga ciri-ciri khas hukum Islam yaitu:

taqamul, wasathiyah, dan harakah.

http://ustirahmawati.wordpress.com/2010/07/07/karakteristik-hukum-islam/

21