hasil badan
DESCRIPTION
erupsi obatTRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh (Shah, Desai &
Dikshit, 2011). Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi
terhadap suatu obat yakni obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual
bebas, vaksin, dan suplemen sehari-hari (Budnitz, Lovegrove & Shebab, 2012).
Pajanan ulang dengan obat penyebab dapat menyebabkan erupsi obat
alergi menjadi lebih berat daripada bentuk klinis sebelumnya bahkan dapat
mengancam jiwa. Erupsi obat alergi merupakan masalah besar di bagian kulit dan
kelamin terutama dalam menentukan obat penyebab erupsi karena adanya
pengobatan multi regimen (Soebaryo, Nugrohowati & Effendi 2004) dan reaksi
obat alergi lebih sering muncul pada pasien yang menerima pengobatan sejumlah
obat sehingga sulit untuk menentukan obat penyebab erupsi (CIMS, 1999).
Alergi obat merupakan suatu hal yang perlu dipahami oleh seorang dokter.
Akibat yang ditimbulkan tidak jarang berakhir dengan kecacatan atau kematian,
serta terkadang menyebabkan dokter berurusan dengan aspek medikolegal
(Cahyanur, Koesnoe & Sukmana 2011). Erupsi obat alergi atau allergic drug
eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Pemberian dengan
cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum,
vagina, dan dengan suntikan atau infus (Hamzah, 2007).
Menurut HSA (2002), 80,93 % dari reaksi simpang obat merupakan erupsi
obat alergi. Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat
alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.
Kasus erupsi obat alergi paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar
25,27% (Nandha, Gupta & Hashmi, 2011), lebih sering terjadi pada wanita yaitu
sekitar 61,16% (Chatterjee et al., 2006), dan gambaran klinis kasus erupsi obat
Universitas Sumatera Utara
2
alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18% (Saha
et al., 2012).
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa erupsi obat alergi terjadi pada
distribusi karakteristik tertentu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti
gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu
kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun
2010-2012.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di
departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik tahun 2010-2012.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di
departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik tahun 2010-2012.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat
alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan
usia.
2. Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat
alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan
jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
3
3. Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat
alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan
gambaran klinis erupsi obat alergi.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Rumah Sakit
Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan
masukkan bagi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tentang gambaran
distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu kesehatan
kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 .
1.4.2. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian bagi peneliti adalah:
1. Dapat mengembangkan kemampuan di bidang penelitian serta
mengasah kemampuan analisis peneliti.
2. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang erupsi obat alergi dan
gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi menurut
usia, jenis kelamin, dan gambaran klinis erupsi obat alergi.
Universitas Sumatera Utara
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Erupsi Obat Alergi
2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson
2000).
Menurut ASHP (1995), reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak
diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan
rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti
cacat permanen sampai kematian.
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan
cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).
2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi
Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat
alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.
Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi
hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara
berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai
2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45%
dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi.
Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak &
Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir
Universitas Sumatera Utara
5
90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat
(Adithan, 2006).
2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah
(Hamzah, 2007):
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian,
belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang
mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS
misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan
risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali
dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada
anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan
karena perkembangan sistem immunologi yang belum sempurna.
Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya
orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih
tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi
menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang
berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan
memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase
induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat
menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan,
Universitas Sumatera Utara
6
Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada
penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi
obat berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi
virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya
ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas
obat.
2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergi
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya
erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme
imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang
disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan
dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).
Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.
Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang
paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah
imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan
pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai
antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti
histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan
menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang
paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II
(reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan
imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
Universitas Sumatera Utara
7
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi
alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang
tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &
Thomson, 2006).
Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis
Universitas Sumatera Utara
8
Tipe Contoh Kasus
Imunologis
Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin
Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte
globulin
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin
topikal
Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid
Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome
Toxic epidermal necrolysis
Non imunologis
Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate
Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian
lidokain
Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin
Sumber: Riedl & Casillas (2003)
2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan
gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):
1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis
Universitas Sumatera Utara
9
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi
eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali
terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema
dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam,
malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu
setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh
ampisilin, NSAID, sulfonamid, dan tetrasiklin.
2. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-
kadang disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya
ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya
umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul
mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat
disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri
kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir,
kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus
angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan
segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan
NSAID.
3. Fixed drug eruption
Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia
(Docrat,2005). Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi
kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema
dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular.
Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru
hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil
kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat
yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir
dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit
kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas
Universitas Sumatera Utara
10
disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang
sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.
4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)
Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya
disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-
macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya
psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem
limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma
karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru
timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa
menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang
tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai
ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di
sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi
berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai
rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya
distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.
Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat
penyebab ialah penisilin, sulfonamid, NSAID, antidepresan dan
antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang
berbentuk eritema nodosum. Kelainan kulit berupa eritema dan
nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum
berupa demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah
ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan
oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberkulosis, infeksi
Universitas Sumatera Utara
11
streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan
eritema nodosum ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak
alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.
Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan
matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah
fenotiazin, sulfonamida, NSAID, dan griseofulvin.
8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang
terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut
oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis
kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular
yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan
lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu
demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang
sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa
hari.
9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa
eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis
epidermal toksik.
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa
generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa
generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis
eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan
demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat Alergi
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan
mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan
aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang
didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):
1. Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat
membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat
dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan
menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi
penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah
lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan
lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah
eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila
perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi
obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila
terdapat overdosis dari obat tersebut.
3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat
dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan
pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling
membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang
lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati
dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.
Universitas Sumatera Utara
13
2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat Alergi
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai
obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga
beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai
demam yang biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang
ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan
yang timbul (Hamzah, 2007).
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data
kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian
obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya
hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat
yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang
bersifat persisten (Nayak & Acharjta, 2008).
2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergi
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi
adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.
Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat
mungkin (Nayak & Acharjya, 2008).
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema
fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg
sehari (Hamzah, 2007).
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan
kortikosteroid (Hamzah, 2007).
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%
Universitas Sumatera Utara
14
ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa
gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam
salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%. Pada
eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami
skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian
(Hamzah, 2007).
2.1.9. Prognosis Erupsi Obat Alergi
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom
Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
(Hamzah, 2007). Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5
% sedangkan toxic epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan
pasien meninggal akibat sepsis (Nayak & Acharjya 2008).
2.2. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi
2.2.1. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi Berdasarkan Usia
Menurut penelitian Saha et al. (2012), kasus erupsi obat alergi rata-rata
terjadi pada usia 33,2 tahun pada pria dan 34,4 tahun pada wanita.
Tabel 2.2. Distribusi Karakteristik Kasus Erupsi Obat Alergi Menurut Usia Karakteristik Morbiliformis Fixed drug
eruption
Steven Johnsons
Syndrome
Usia 18-65 4-82 9-56
Jenis Kelamin
(Pria:Wanita)
6:10 11:2 5:8
Sumber: Saha et al. (2012)
Universitas Sumatera Utara
15
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), kasus erupsi obat
alergi paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar 25,27%, lalu diikuti
usia 31-40 tahun sekitar 23,07%, usia 11-20 tahun sekitar 17,58%, usia 41-50
tahun sekitar 15,38%, usia 51-60 tahun sekitar 9,89%, usia 61-70 tahun sekitar
5,49%, usia dibawah 10 tahun sekitar 3,29%, dan usia diatas 70 tahun sekitar
1,09%.
Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi rata-
rata terjadi pada usia 26,81 ±10.22 tahun pada pria dan 26,74 ±9.39 tahun pada
wanita. Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), kasus erupsi obat alergi
rata-rata terjadi pada usia 37,06 tahun dimana kasus paling tinggi terjadi pada usia
20-39 tahun.
Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), kasus erupsi
obat alergi paling tinggi terjadi pada usia 30-40 tahun sedangkan menurut
penelitian Metha, Marquis & Shetty (1971) usia 20-40 tahun.
2.2.2. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi Berdasarkan Jenis
Kelamin
Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi lebih
sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 61,16%. Menurut penelitian Pudukadan &
Thappa (2004), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan
wanita adalah 0.87 : 1 sedangkan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &
Kumar (2001) adalah 1,47 : 1. Menurut penelitian Metha, Marquis & Shetty
(1971), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan wanita
adalah sama.
2.2.3. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi Berdasarkan
Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi
Menurut penelitian Saha et al. (2012), gambaran klinis kasus erupsi obat
alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18%, lalu
diikuti fixed drug eruption sekitar 24,52%, Stevens-Johnson syndrome-Toxic
Universitas Sumatera Utara
16
epidermal necrolysis sekitar 24,50%, dermatitis eksfoliativa sekitar 7,54%,
urtikaria sekitar 5,6%, dan reaksi foto alergik sekitar 3,8%.
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), gambaran klinis
kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu
sekitar 42,85%. Hal ini sama dengan hasil penelitian Young, Jong & Joo di tahun
yang sama dimana gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak
terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 68,8%, lalu diikuti Stevens-Johnson
syndrome sekitar 10,6%, urtikaria sekitar 8,5%, fixed drug eruption sekitar 2,9%,
toxic epidermal necrolysis sekitar 1,4%, dan erupsi bula 0,7%.
Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), gambaran klinis kasus
erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu
sekitar 27,3% dan diikuti morbiliformis sekitar 24,5%. Menurut penelitian
Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang
paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu sekitar 37,1% dan diikuti
morbiliformis sekitar 28,6%.
Menurut penelitian Gosh (2006), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi
yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 21% sedangkan
menurut penelitian Soebaryo, Nugrohowati & Effendi (2004), gambaran klinis
kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption
yaitu sekitar 21,99%.
Universitas Sumatera Utara
17
Tabel 2.3. Distribusi Karakteristik Kasus Erupsi Obat Alergi Menurut Gambaran klinis Erupsi Obat Alergi
Gambaran
Klinis/Tahun
1998 1999 2000 2001 2002 %
Fixed drug eruption 17 34 40 34 39 21,99
Urtikaria 18 23 16 23 8 11,8
Dermatitis eksfoliativa 9 12 16 8 11 7,51
Steven Johnsons
Syndrome
11 10 14 10 10 7,37
Erupsi papular 2 8 5 5 4 3,22
Sumber: Soebaryo, Nugrohowati & Effendi (2004)
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), gambaran klinis kasus
erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu
sekitar 31,1%, lalu diikuti morbiliformis sekitar 12,2%, Stevens-Johnson
syndrome-Toxic epidermal necrolysis sekitar 18,8%, urtikaria sekitar 7,8%,
dermatitis eksfoliativa sekitar 3,3%, pustulosis eksamentosa generalisata akut
sekitar 2,2%, dan angioedema sekitar 1,1%.
Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), gambaran
klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis
yaitu sekitar 34,6%, lalu diikuti fixed drug eruption sekitar 30%, dan urtikaria
sekitar 14%.
2.3. Gambaran Jenis-Jenis Obat yang menyebabkan Erupsi Obat Alergi
Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering
menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti
flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,
allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.
Universitas Sumatera Utara
18
Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan
golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,51%.
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.
Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.
Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat
yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba
yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%,
dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao
(2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah
golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar
25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar
22,2%, lalu diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma,
Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan
erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti
golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.
Universitas Sumatera Utara
19
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Data Rekam Medik Pasien Erupsi Obat
Alergi
Distribusi Karakteristik
Pasien Erupsi
Obat Alergi Berdasarkan Usia
Distribusi Karakteristik
Pasien Erupsi
Obat Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi Karakteristik
Pasien Erupsi
Obat Alergi Berdasarkan Gambaran Klinis Erupsi Obat
Alergi
20
3.2. Definisi Operasional
Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.
Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan usia
dikelompokkan menjadi:
Usia < 11 tahun
Usia 11 - 20 tahun
Usia 21 - 30 tahun
Usia 31 - 40 tahun
Usia 41 – 50 tahun
Usia 51 – 60 tahun
Usia 61 – 70 tahun
Usia > 70 tahun
Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan jenis
kelamin dikelompokkan menjadi:
Pria
Wanita
Universitas Sumatera Utara
Usia
Jenis Kelamin
21
Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan gambaran
klinis erupsi obat alergi dikelompokkan menjadi:
Morbiliformis
Urtikaria dan Angioedema
Fixed drug eruption
Dermatitis eksfoliativa
Purpura
Vaskulitis
Reaksi fotoalergik
Pustulosis eksantematosa
generalisata akut
Steven Johnsons Syndrome
Toxic Epidermolysis Necrose
Lain-lain
Universitas Sumatera Utara
Gambaran Klinis
22
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di
departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik tahun 2010-2012.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik selama bulan September 2013.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi target penelitian ini adalah pasien yang mengalami erupsi obat
alergi. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien erupsi obat alergi di
departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik tahun 2010-2012. Jumlah populasi target pada penelitian ini adalah
168 orang.
4.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah keseluruhan dari populasi terjangkau.
4.4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
4.4.1. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data yang diperoleh dari departemen ilmu
kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.
Universitas Sumatera Utara
23
4.4.2. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
SPSS. Analisis statistik untuk data deskriptif dilakukan persentase (data
kategorik).
Universitas Sumatera Utara
24
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah rumah sakit umum pusat Haji adam
Malik Medan yang beralamat di jalan Bunga Lau nomor 17 Medan Tuntungan,
Kemenangan Tani.
5.2 Deskripsi Karakteristik Responden
Terdapat sebanyak 111 data penderita erupsi obat alergi dalam penelitian
ini. Dari keseluruhan penderita erupsi obat alergi, gambaran karakteristik yang
diamati meliputi usia dan jenis kelamin. Tabel 5.1 mengambarkan distribusi
frekuensi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan usia sedangkan
tabel 5.2 mengambarkan distribusi frekuensi karakteristik penderita erupsi obat
alergi berdasarkan jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
25
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan usia
Usia Jumlah %
< 11 tahun 4 3,6
11 – 20 tahun 11 10
21 – 30 tahun 25 22,5
31 – 40 tahun 15 22,5
41 – 50 tahun 19 17,1
51 – 60 tahun 15 13,5
61 – 70 tahun 17 15,3
>70 tahun 5 4,5
Total 111 100
Dari tabel 5.1 didapatkan bahwa penderita erupsi obat alergi di rumah
sakit umum pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010 - 2012 paling banyak
berada pada usia 21- 30 tahun yaitu sebanyak 25 orang (22,5%), diikuti usia 41-
50 tahun yaitu sebanyak 19 orang (17,1%), usia 61- 70 tahun yaitu sebanyak 17
orang (15,3%), usia 31- 40 dan usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 15 orang
(13,5%), usia 11- 20 tahun yaitu sebanyak 11 orang (10%), usia >70 tahun yaitu
sebanyak 5 orang (4,5%), dan paling sedikit pada usia dibawah 11 tahun yaitu
sebanyak 4 orang (3,6%).
Didapatkan rata-rata usia adalah 41,27 tahun dengan usia minimum 1
tahun dan usia maksimum 80 tahun.
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah %
Pria 55 49,5
Wanita 56 50,5
Total 111 100
Dari tabel 5.2 terlihat bahwa jumlah penderita erupsi obat alergi pada
wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu 56 orang (50,5%) wanita dan 55
orang (49,5%) pria.
5.3 Hasil Analisis Data dan Pembahasan
5.3.1 Hasil Analisis Data
Hasil uji terhadap gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat
alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan gambaran klinis erupsi obat alergi
dapat dilihat pada tabel 5.3.
Universitas Sumatera Utara
27
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi gambaran klinis erupsi obat alergi
Gambaran klinis f %
Morbiliformis 22 19,8
Urtikaria dan Angioedema 28 25,2
Fixed drug eruption 7 6,3
Dermatitis eksfoliativa 24 21,6
Purpura 2 1,8
Vaskulitis 2 1,8
Reaksi Fotoalergik 5 4,5
Pustulosis eksantematosa generalisata akut 12 10,8
Steven Johnsons Syndrome 4 3,6
Toxic Epidermolysis Necrose 1 0,9
Lain-lain 4 3,6
Total 111 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa gambaran klinis yang timbul paling
banyak yaitu 28 (25,2%) kasus dengan gambaran urtikaria dan angioedema, 24
(21,6%) dengan gambaran dermatitis eksfoliativa, 22 (19,8%) pasien erupsi obat
alergi dengan gambaran morbiliformis, 12 (10,8%) dengan gambaran pustulosis
eksantematosa generalisata akut, 7 (6,3%) dengan gambaran fixed drug eruption,
5 (4,5%) dengan gambaran reaksi fotoalergik, 4 (3,6%) dengan gambaran steven
johnsons syndrome, 2 (1,8%) dengan gambaran purpura, 2 (1,8%) dengan
gambaran vaskulitis, 1 (0,9%) dengan gambaran toxic epidermolysis necrose, dan
4 (3,6%) dengan gambaran lain –lain yaitu eritema multiforme.
Universitas Sumatera Utara
28
Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu
kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun
2010-2012 berdasarkan usia dan gambaran klinis erupsi obat alergi dapat dilihat
pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan usia dan gambaran klinis erupsi obat alergi
Usia (Tahun)
Gambaran < 11 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70
Klinis f f f f f f f f
Morbiliformis 1 4 8 2 2 3 1 1
Urtikaria dan 0 4 8 4 5 0 5 2
Angioedema
Fixed drug eruption 0 0 0 0 3 2 2 0
Dermatitis 2 1 1 6 2 6 5 1
eksfoliativa
Purpura 0 0 0 0 1 1 0 0
Vaskulitis 1 0 0 0 0 0 1 0
Reaksi Fotoalergik 0 0 2 0 1 1 0 1
Pustulosis 0 1 3 2 2 1 3 0
eksantematosa generalisata akut
Steven Johnsons 0 0 1 1 1 0 1 0
Syndrome
Toxic Epidermolysis 0 0 1 0 0 0 0 0
Necrose
Lain-lain 0 1 1 0 1 1 0 0
Universitas Sumatera Utara
29
Dari tabel diatas, terlihat bahwa pada usia dibawah 11 tahun, gambaran
klinis yang paling banyak adalah dermatitis eksfoliata, 11-20 tahun serta 21-30
tahun adalah morbiliformis dan urtikaria, 31-40 tahun adalah dermatitis eksfoliata,
41-50 tahun adalah fixed drug eruption, 51-60 tahun adalah dermatitis eksfoliata,
61-70 tahun adalah dermatitis eksfoliata dan urtikaria, dan diatas 70 tahun adalah
urtikaria.
Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada usia 21-30
tahun, urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia 21-30 tahun, fixed drug
eruption paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis eksfoliata paling banyak
pada usia 31-40 dan 51-60 tahun, purpura paling banyak pada usia 41-60 tahun,
vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 dan 61-70 tahun, reaksi fotoalergik
paling banyak pada usia 41-60 tahun dan diatas 70 tahun, pustulosis
eksantematosa generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-70 tahun,
steven johnsons syndrome paling banyak pada usia 21-50 dan 61-70 tahun, dan
toxic epidermolysis necrose paling banyak pada usia 21-30 tahun
Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu
kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun
2010-2012 berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis erupsi obat alergi dapat
dilihat pada tabel 5.5.
Universitas Sumatera Utara
30
Tabel 5.5 Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis erupsi obat alergi
Jenis Kelamin
Gambaran Pria Wanita
Klinis f (%) f (%)
Morbiliformis 10 (9) 12(10,8)
Urtikaria dan Angioedema 11 (9,9) 17 (15,3)
Fixed drug eruption 5 (4,5) 2 (1,8)
Dermatitis eksfoliativa 15 (13,5) 9 (8,1)
Purpura 0 (0) 2 (1,8)
Vaskulitis 2 (1,8) 0 (0)
Reaksi Fotoalergik 0 (0) 5 (4,5)
Pustulosis eksantematosa 8 (7,2) 4 (3,6)
generalisata akut
Steven Johnsons Syndrome 2 (1,8) 2(1,8)
Toxic Epidermolysis Necrose 0 (0) 1 (0,9)
Lain-lain 2 (1,8) 2 (1,8)
Total 55 (49,5) 56 (50,5)
Dari tabel 5.5 dapat dilihat erupsi obat alergi pada pria paling banyak
berupa gambaran klinis dermatitis eksfoliativa yaitu 15 orang (13,55%) dan pada
wanita berupa urtikaria dan angioedema yaitu 17 orang (15,3%).
Universitas Sumatera Utara
31
Dari tabel 5.5 dapat dilihat gambaran klinis morbiliformis lebih banyak
terjadi pada wanita, gambaran klinis urtikaria dan angioedema lebih banyak
terjadi pada wanita, gambaran klinis fixed drug eruption lebih banyak terjadi pada
pria, gambaran klinis dermatitis eksfoliativa lebih banyak terjadi pada pria,
gambaran klinis purpura lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis
vaskulitis lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih
banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis pustulosis eksantematosa generalisata
akut lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis steven johnsons syndrome
sama antara pria dengan wanita, dan gambaran klinis toxic epidermolysis necrose
lebih banyak terjadi pada wanita.
5.3.2 Pembahasan
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa penderita erupsi obat alergi di
rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010 - 2012 paling
banyak berada pada usia 21- 30 tahun yaitu sebanyak 25 orang (22,5%), diikuti
usia 41- 50 tahun yaitu sebanyak 19 orang (17,1%), usia 61- 70 tahun yaitu
sebanyak 17 orang (15,3%), usia 31- 40 dan usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 15
orang (13,5%), usia 11- 20 tahun yaitu sebanyak 11 orang (10%), usia >70 tahun
yaitu sebanyak 5 orang (4,5%), dan paling sedikit pada usia dibawah 11 tahun
yaitu sebanyak 4 orang (3,6%).
Didapatkan rata-rata usia adalah 41,27 tahun dengan usia minimum 1
tahun dan usia maksimum 80 tahun.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada usia dibawah 11 tahun,
gambaran klinis yang paling banyak adalah dermatitis eksfoliata, 11-20 tahun
serta 21-30 tahun adalah morbiliformis dan urtikaria, 31-40 tahun adalah
dermatitis eksfoliata, 41-50 tahun adalah fixed drug eruption, 51-60 tahun adalah
dermatitis eksfoliata, 61-70 tahun adalah dermatitis eksfoliata dan urtikaria, dan
diatas 70 tahun adalah urtikaria.
Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada penelitian ini
adalah pada usia 21-30 tahun, urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia
Universitas Sumatera Utara
32
21-30 tahun, fixed drug eruption paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis
eksfoliata paling banyak pada usia 31-40 dan 51-60 tahun, purpura paling banyak
pada usia 41-60 tahun, vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 dan 61-70
tahun, reaksi fotoalergik paling banyak pada usia 41-60 tahun dan diatas 70 tahun,
pustulosis eksantematosa generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-
70 tahun, steven johnsons syndrome paling banyak pada usia 21-50 dan 61-70
tahun, dan toxic epidermolysis necrose paling banyak pada usia 21-30 tahun.
Menurut penelitian Saha et al. (2012), kasus erupsi obat alergi rata-rata
terjadi pada usia 33,2 tahun pada pria dan 34,4 tahun pada wanita.
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), kasus erupsi obat
alergi paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar 25,27%, lalu diikuti
usia 31-40 tahun sekitar 23,07%, usia 11-20 tahun sekitar 17,58%, usia 41-50
tahun sekitar 15,38%, usia 51-60 tahun sekitar 9,89%, usia 61-70 tahun sekitar
5,49%, usia dibawah 10 tahun sekitar 3,29%, dan usia diatas 70 tahun sekitar
1,09%.
Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi rata-
rata terjadi pada usia 26,81 ±10.22 tahun pada pria dan 26,74 ±9.39 tahun pada
wanita. Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), kasus erupsi obat alergi
rata-rata terjadi pada usia 37,06 tahun dimana kasus paling tinggi terjadi pada usia
20-39 tahun.
Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), kasus erupsi
obat alergi paling tinggi terjadi pada usia 30-40 tahun sedangkan menurut
penelitian Metha, Marquis & Shetty (1971) usia 20-40 tahun.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah penderita erupsi obat
alergi pada wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu 56 orang (50,5%) wanita
dan 55 orang (49,5%) pria.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa erupsi obat alergi pada pria
paling banyak berupa gambaran klinis dermatitis eksfoliativa yaitu 15 orang
(13,55%) dan pada wanita berupa urtikaria dan angioedema yaitu 17 orang
(15,3%).
Universitas Sumatera Utara
33
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa gambaran klinis morbiliformis
lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis urtikaria dan angioedema lebih
banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis fixed drug eruption lebih banyak
terjadi pada pria, gambaran klinis dermatitis eksfoliativa lebih banyak terjadi pada
pria, gambaran klinis purpura lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis
vaskulitis lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih
banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis pustulosis eksantematosa generalisata
akut lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis steven johnsons syndrome
sama antara pria dengan wanita, dan gambaran klinis toxic epidermolysis necrose
lebih banyak terjadi pada wanita.
Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi lebih
sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 61,16%. Menurut penelitian Pudukadan &
Thappa (2004), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan
wanita adalah 0.87 : 1 sedangkan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &
Kumar (2001) adalah 1,47 : 1. Menurut penelitian Metha, Marquis & Shetty
(1971), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan wanita
adalah sama.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa gambaran klinis yang timbul paling
banyak yaitu 28 (25,2%) kasus dengan gambaran urtikaria dan angioedema, 24
(21,6%) dengan gambaran dermatitis eksfoliativa, 22 (19,8%) pasien erupsi obat
alergi dengan gambaran morbiliformis, 12 (10,8%) dengan gambaran pustulosis
eksantematosa generalisata akut, 7 (6,3%) dengan gambaran fixed drug eruption,
5 (4,5%) dengan gambaran reaksi fotoalergik, 4 (3,6%) dengan gambaran steven
johnsons syndrome, 2 (1,8%) dengan gambaran purpura, 2 (1,8%) dengan
gambaran vaskulitis, 1 (0,9%) dengan gambaran toxic epidermolysis necrose, dan
4 (3,6%) dengan gambaran lain –lain yaitu eritema multiforme
Menurut penelitian Saha et al. (2012), gambaran klinis kasus erupsi obat
alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18%, lalu
diikuti fixed drug eruption sekitar 24,52%, Stevens-Johnson syndrome-Toxic
Universitas Sumatera Utara
34
epidermal necrolysis sekitar 24,50%, dermatitis eksfoliativa sekitar 7,54%,
urtikaria sekitar 5,6%, dan reaksi foto alergik sekitar 3,8%.
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), gambaran klinis
kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu
sekitar 42,85%. Hal ini sama dengan hasil penelitian Young, Jong & Joo di tahun
yang sama dimana gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak
terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 68,8%, lalu diikuti Stevens-Johnson
syndrome sekitar 10,6%, urtikaria sekitar 8,5%, fixed drug eruption sekitar 2,9%,
toxic epidermal necrolysis sekitar 1,4%, dan erupsi bula 0,7%.
Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), gambaran klinis kasus
erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu
sekitar 27,3% dan diikuti morbiliformis sekitar 24,5%. Menurut penelitian
Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang
paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu sekitar 37,1% dan diikuti
morbiliformis sekitar 28,6%.
Menurut penelitian Gosh (2006), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi
yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 21% sedangkan
menurut penelitian Soebaryo, Nugrohowati & Effendi (2004), gambaran klinis
kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption
yaitu sekitar 21,99%.
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), gambaran klinis kasus
erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu
sekitar 31,1%, lalu diikuti morbiliformis sekitar 12,2%, Stevens-Johnson
syndrome-Toxic epidermal necrolysis sekitar 18,8%, urtikaria sekitar 7,8%,
dermatitis eksfoliativa sekitar 3,3%, pustulosis eksamentosa generalisata akut
sekitar 2,2%, dan angioedema sekitar 1,1%.
Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), gambaran
klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis
yaitu sekitar 34,6%, lalu diikuti fixed drug eruption sekitar 30%, dan urtikaria
sekitar 14%.
Universitas Sumatera Utara
35
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Penderita erupsi obat alergi di rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik
Medan tahun 2010 - 2012 paling banyak berada pada usia 21- 30 tahun yaitu
sebanyak 25 orang (22,5%) dan paling sedikit pada usia dibawah 11 tahun yaitu
sebanyak 4 orang (3,6%).
2. Didapatkan rata-rata usia penderita erupsi obat alergi adalah 41,27 tahun
dengan usia minimum 1 tahun dan usia maksimum 80 tahun.
3. Pada usia dibawah 11 tahun, gambaran klinis yang paling banyak adalah
dermatitis eksfoliata, 11-20 tahun serta 21-30 tahun adalah morbiliformis dan
urtikaria, 31-40 tahun adalah dermatitis eksfoliata, 41-50 tahun adalah fixed drug
eruption, 51-60 tahun adalah dermatitis eksfoliata, 61-70 tahun adalah dermatitis
eksfoliata dan urtikaria, dan diatas 70 tahun adalah urtikaria.
4. Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada usia 21-30 tahun,
urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia 21-30 tahun, fixed drug
eruption paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis eksfoliata paling banyak
pada usia 31-40 dan 51-60 tahun, purpura paling banyak pada usia 41-60 tahun,
vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 dan 61-70 tahun, reaksi fotoalergik
paling banyak pada usia 41-60 tahun dan diatas 70 tahun, pustulosis
eksantematosa generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-70 tahun,
steven johnsons syndrome paling banyak pada usia 21-50 dan 61-70 tahun, dan
toxic epidermolysis necrose paling banyak pada usia 21-30 tahun.
5. Jumlah penderita erupsi obat alergi pada wanita lebih banyak dibandingkan
pria yaitu 56 orang (50,5%) wanita dan 55 orang (49,5%) pria.
Universitas Sumatera Utara
36
6. Erupsi obat alergi pada pria paling banyak berupa gambaran klinis dermatitis
eksfoliativa yaitu 15 orang (13,55%) dan pada wanita berupa urtikaria dan
angioedema yaitu 17 orang (15,3%).
7. Gambaran klinis morbiliformis lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran
klinis urtikaria dan angioedema lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis
fixed drug eruption lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis dermatitis
eksfoliativa lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis purpura lebih banyak
terjadi pada wanita, gambaran klinis vaskulitis lebih banyak terjadi pada pria,
gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran
klinis pustulosis eksantematosa generalisata akut lebih banyak terjadi pada pria,
gambaran klinis steven johnsons syndrome sama antara pria dengan wanita, dan
gambaran klinis toxic epidermolysis necrose lebih banyak terjadi pada wanita.
8. Gambaran klinis erupsi obat alergi yang timbul paling banyak yaitu 28 (25,2%)
kasus dengan gambaran urtikaria dan angioedema dan paling sedikit yaitu 1
(0,9%) dengan gambaran toxic epidermolysis necrose.
6.2 Saran
1. Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi tim medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sehingga tim
medis dapat segera mendiagnosis penyakit erupsi obat alergi berdasarkan
data epidemiologi.
2. Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan
penelitian selanjutnya dengan memperluas variabel-variabel lainnya.
Universitas Sumatera Utara
37
DAFTAR PUSTAKA
Adithan, C., 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of
Pharmacology Volume 2 Issue 1. India: JIPMER, 1-4.
ASHP, 1995. Guidelines on Adverse Drug Reaction Monitoring and Reporting.
Availablefrom:http://www.ashp.org/s_ashp/docs/files/MedMis_Gdl_ADR.p
df [Accesed 20 April 2013].
Budnitz, D.L., Lovegrove, M.C., Shebab, N. & Richards, C.L., 2011. Emergency
Hospitalizations for Adverse Drug Events in Older Americans. The New
England Journal of Medicine, 365 (21): 2002-2012.
Cahyanur, R., Koesnoe, S. & Sukmana, N., 2011. Sindrom Hipersensivitas Obat.
J Indon Med Assoc, 61 (4): 179-185.
Chatterjee, S., Ghosh, A.P., Barbhuiya, J. & Dey, S.K., 2006. Adverse Cutaneous
Drug Reactions: A One Year Survey at a Dermatology Outpatient Clinic of
a Tertiary Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology, 38 (6): 429-431.
CIMS, 1999. Skin and Appendages Disorders. In: Reporting Adverse Drug
Reaction. Geneva: Council for International Organization of Medical
Sciences, 32.
Docrat, M.E., 2005. Skin Focus. Current Allergy & Clinical Immunology, 18 (1):
24.
Edward, I.R. & Aronson, J.K., 2000. Adverse Drug Reactions: Definitions,
Diagnosis, and Management. The Lancet, 356: 1255-1259.
Ghosh, S., Acharya, L.D. & Rao, P.G.M., 2006. Study and Evaluation of the
Various Cutaneous Adverse Drug Reactions in Kasturba Hospital, Manipal.
Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, 68 (2): 212-215.
Universitas Sumatera Utara
38
Hamzah, M., 2007. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 154-158.
Hotchandani, S.C., Bhatt, J.D. & Shah, M.K., 2010. A Prospective Analysis of
Drug-Induced Acute Cutaneous Reactions Reported in Patients at a Tertiary
Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology, 42 (2): 118-119.
HSA, 2002. Analysis of Adverse Drug Reaction. Health Science Authority, 4 (1):
1-4.
Lee, A., and Thomson, J., 2006. Drug-induced Kkin. In: Adverse Drug Reactions
2nd edition. ISBN: Pharmaceutical Press, 125-156.
Metha, T.K., Marquis, L. & Shetty, J.N., 1971. A Study of 70 Cases of Drug
Eruptions. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 37
(1): 2-5.
Nandha, R., Gupta, A. & Hashmi, A., 2011. Cutaneous Adverse Drug Reactions
in a Tertiary Care Teaching Hospital: A North Indian Perspective.
International Journal of Applied and Basic Medical Research, 1 (1): 50-53.
Nayak, S. & Acharjya, B., 2008. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian
Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 53 (1): 2-8.
Pudukadan, D. & Thappa, D.M., 2004. Adverse Cutaneous Drug Reactions:
Clinical Pattern and Causative Agents in a Tertiary Care Center in South
India. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 70 (1):
20-24.
Riedl, M.A. & Casillas, A.M., 2003. Adverse Drug Reactions: Types and
Treatment Options. American Family Physicians, 68 (9): 1781-1791.
Universitas Sumatera Utara
39
Saha, A., Das, N.K., Hazra, A., Gharami, R.C., Chowdhury, S.N. & Datta, P.K.,
2012. Cutaneous Adverse Drug Reaction Profile in a Tertiary Care Out
Patient Setting in Eastern India. Indian Journal of Pharmacology, 44 (6):
792-797.
Shah, S.P., Desai, M.K. & Dikshit, R.K., 2011. Analysis of Cutaneous Adverse
Drug Reactions at a Tertiary Care Hospital, a Prospective Study. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research, 10 (4): 517-522.
Sharma, V.K., Sethuraman, G. & Kumar, B., 2001. Cutaneous Adverse Drug
Reactions: Clinical Pattern and Causative Agents, a 6 Year Series from
Chandigarh, India. Journal of Postgraduate Medicine, 47 (2): 95-99.
Soebaryo, S.W., Nugrohowati, T. & Effendi, E.H., 2004. Skin Test in Drug
Eruption. Med J Indones, 13 (2): 81-85.
Young, M.S., Jong, R.L. & Joo, Y.R., 2011. Causality Assessment of Cutaneous
Adverse Drug Reactions. Ann Dermatology, 23 (4): 432-438.
Universitas Sumatera Utara