hasil badan

58
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh (Shah, Desai & Dikshit, 2011). Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat yakni obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, vaksin, dan suplemen sehari-hari (Budnitz, Lovegrove & Shebab, 2012). Pajanan ulang dengan obat penyebab dapat menyebabkan erupsi obat alergi menjadi lebih berat daripada bentuk klinis sebelumnya bahkan dapat mengancam jiwa. Erupsi obat alergi merupakan masalah besar di bagian kulit dan kelamin terutama dalam menentukan obat penyebab erupsi karena adanya pengobatan multi regimen (Soebaryo, Nugrohowati & Effendi 2004) dan reaksi obat alergi lebih sering muncul pada pasien yang menerima pengobatan sejumlah obat sehingga sulit untuk menentukan obat penyebab erupsi (CIMS, 1999). Alergi obat merupakan suatu hal yang perlu dipahami oleh seorang dokter. Akibat yang ditimbulkan tidak jarang berakhir dengan kecacatan atau kematian, Universitas Sumatera Utara

Upload: anonymous-uetvn7oio

Post on 04-Jan-2016

225 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

erupsi obat

TRANSCRIPT

Page 1: Hasil Badan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan

suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh (Shah, Desai &

Dikshit, 2011). Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi

terhadap suatu obat yakni obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual

bebas, vaksin, dan suplemen sehari-hari (Budnitz, Lovegrove & Shebab, 2012).

Pajanan ulang dengan obat penyebab dapat menyebabkan erupsi obat

alergi menjadi lebih berat daripada bentuk klinis sebelumnya bahkan dapat

mengancam jiwa. Erupsi obat alergi merupakan masalah besar di bagian kulit dan

kelamin terutama dalam menentukan obat penyebab erupsi karena adanya

pengobatan multi regimen (Soebaryo, Nugrohowati & Effendi 2004) dan reaksi

obat alergi lebih sering muncul pada pasien yang menerima pengobatan sejumlah

obat sehingga sulit untuk menentukan obat penyebab erupsi (CIMS, 1999).

Alergi obat merupakan suatu hal yang perlu dipahami oleh seorang dokter.

Akibat yang ditimbulkan tidak jarang berakhir dengan kecacatan atau kematian,

serta terkadang menyebabkan dokter berurusan dengan aspek medikolegal

(Cahyanur, Koesnoe & Sukmana 2011). Erupsi obat alergi atau allergic drug

eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang

terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Pemberian dengan

cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum,

vagina, dan dengan suntikan atau infus (Hamzah, 2007).

Menurut HSA (2002), 80,93 % dari reaksi simpang obat merupakan erupsi

obat alergi. Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat

alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.

Kasus erupsi obat alergi paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar

25,27% (Nandha, Gupta & Hashmi, 2011), lebih sering terjadi pada wanita yaitu

sekitar 61,16% (Chatterjee et al., 2006), dan gambaran klinis kasus erupsi obat

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Hasil Badan

2

alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18% (Saha

et al., 2012).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa erupsi obat alergi terjadi pada

distribusi karakteristik tertentu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti

gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu

kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun

2010-2012.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagaimana gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di

departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik tahun 2010-2012.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di

departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik tahun 2010-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat

alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan

usia.

2. Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat

alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan

jenis kelamin.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Hasil Badan

3

3. Mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat

alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan

gambaran klinis erupsi obat alergi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Rumah Sakit

Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan

masukkan bagi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tentang gambaran

distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu kesehatan

kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2010-2012 .

1.4.2. Bagi Peneliti

Manfaat penelitian bagi peneliti adalah:

1. Dapat mengembangkan kemampuan di bidang penelitian serta

mengasah kemampuan analisis peneliti.

2. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang erupsi obat alergi dan

gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi menurut

usia, jenis kelamin, dan gambaran klinis erupsi obat alergi.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Hasil Badan

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Erupsi Obat Alergi

2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi

Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang

diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat

diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga

dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson

2000).

Menurut ASHP (1995), reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak

diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan

rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti

cacat permanen sampai kematian.

Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.

Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan

cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,

profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).

2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi

Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat

alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.

Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi

hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara

berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai

2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45%

dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi.

Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak &

Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Hasil Badan

5

90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat

(Adithan, 2006).

2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah

(Hamzah, 2007):

1. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh

lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian,

belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.

2. Sistem imunitas

Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang

mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS

misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan

risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali

dibandingkan dengan populasi normal.

3. Usia

Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada

anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan

karena perkembangan sistem immunologi yang belum sempurna.

Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya

orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih

tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi

menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang

berat.

4. Dosis

Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan

memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase

induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat

menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan,

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Hasil Badan

6

Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada

penderita yang peka.

5. Infeksi dan keganasan

Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi

obat berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi

virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya

ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas

obat.

2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergi

Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah

mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya

erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme

imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang

disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan

dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).

Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.

Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang

paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah

imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.

Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan

pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai

antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti

histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan

menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang

paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II

(reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan

imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem

komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana

antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Hasil Badan

7

antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen

merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan

terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi

alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang

tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe

lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &

Thomson, 2006).

Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Hasil Badan

8

Tipe Contoh Kasus

Imunologis

Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam

Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin

Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte

globulin

Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin

topikal

Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid

Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome

Toxic epidermal necrolysis

Non imunologis

Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin

Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik

Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate

Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian

lidokain

Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

Sumber: Riedl & Casillas (2003)

2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi

Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan

gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):

1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Hasil Badan

9

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi

eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali

terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema

dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam,

malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu

setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh

ampisilin, NSAID, sulfonamid, dan tetrasiklin.

2. Urtikaria dan angioedema

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-

kadang disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya

ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya

umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul

mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat

disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri

kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir,

kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus

angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan

segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan

NSAID.

3. Fixed drug eruption

Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia

(Docrat,2005). Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi

kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema

dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular.

Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru

hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil

kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat

yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir

dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit

kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Hasil Badan

10

disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang

sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan analgesik.

4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya

disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-

macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya

psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem

limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma

karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru

timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa

menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang

tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai

ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di

sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi

berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai

rasa gatal.

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya

distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.

Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat

penyebab ialah penisilin, sulfonamid, NSAID, antidepresan dan

antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang

berbentuk eritema nodosum. Kelainan kulit berupa eritema dan

nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum

berupa demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah

ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan

oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberkulosis, infeksi

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Hasil Badan

11

streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan

eritema nodosum ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.

7. Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak

alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.

Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan

matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah

fenotiazin, sulfonamida, NSAID, dan griseofulvin.

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang

terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut

oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis

kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular

yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan

lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu

demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang

sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa

hari.

9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa

eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis

epidermal toksik.

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau

subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat

polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel

keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa

generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa

generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis

eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan

demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Hasil Badan

12

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat Alergi

Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan

mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan

aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang

didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat

alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):

1. Biopsi kulit

Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat

membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat

dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan

menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi

penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah

lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan

lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah

eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila

perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi

obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila

terdapat overdosis dari obat tersebut.

3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat

dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan

pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling

membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang

lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati

dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Hasil Badan

13

2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat Alergi

Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai

obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga

beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai

demam yang biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang

ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan

yang timbul (Hamzah, 2007).

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.

Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data

kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian

obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya

hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat

yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang

bersifat persisten (Nayak & Acharjta, 2008).

2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergi

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi

adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.

Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat

mungkin (Nayak & Acharjya, 2008).

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,

eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema

fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg

sehari (Hamzah, 2007).

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa

gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan

kortikosteroid (Hamzah, 2007).

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering

atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Hasil Badan

14

ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa

gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam

salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat

diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%. Pada

eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami

skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian

(Hamzah, 2007).

2.1.9. Prognosis Erupsi Obat Alergi

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom

Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

(Hamzah, 2007). Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5

% sedangkan toxic epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan

pasien meninggal akibat sepsis (Nayak & Acharjya 2008).

2.2. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi

2.2.1. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi Berdasarkan Usia

Menurut penelitian Saha et al. (2012), kasus erupsi obat alergi rata-rata

terjadi pada usia 33,2 tahun pada pria dan 34,4 tahun pada wanita.

Tabel 2.2. Distribusi Karakteristik Kasus Erupsi Obat Alergi Menurut Usia Karakteristik Morbiliformis Fixed drug

eruption

Steven Johnsons

Syndrome

Usia 18-65 4-82 9-56

Jenis Kelamin

(Pria:Wanita)

6:10 11:2 5:8

Sumber: Saha et al. (2012)

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Hasil Badan

15

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), kasus erupsi obat

alergi paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar 25,27%, lalu diikuti

usia 31-40 tahun sekitar 23,07%, usia 11-20 tahun sekitar 17,58%, usia 41-50

tahun sekitar 15,38%, usia 51-60 tahun sekitar 9,89%, usia 61-70 tahun sekitar

5,49%, usia dibawah 10 tahun sekitar 3,29%, dan usia diatas 70 tahun sekitar

1,09%.

Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi rata-

rata terjadi pada usia 26,81 ±10.22 tahun pada pria dan 26,74 ±9.39 tahun pada

wanita. Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), kasus erupsi obat alergi

rata-rata terjadi pada usia 37,06 tahun dimana kasus paling tinggi terjadi pada usia

20-39 tahun.

Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), kasus erupsi

obat alergi paling tinggi terjadi pada usia 30-40 tahun sedangkan menurut

penelitian Metha, Marquis & Shetty (1971) usia 20-40 tahun.

2.2.2. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi Berdasarkan Jenis

Kelamin

Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi lebih

sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 61,16%. Menurut penelitian Pudukadan &

Thappa (2004), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan

wanita adalah 0.87 : 1 sedangkan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &

Kumar (2001) adalah 1,47 : 1. Menurut penelitian Metha, Marquis & Shetty

(1971), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan wanita

adalah sama.

2.2.3. Distribusi Karakteristik Pasien Erupsi Obat Alergi Berdasarkan

Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi

Menurut penelitian Saha et al. (2012), gambaran klinis kasus erupsi obat

alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18%, lalu

diikuti fixed drug eruption sekitar 24,52%, Stevens-Johnson syndrome-Toxic

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Hasil Badan

16

epidermal necrolysis sekitar 24,50%, dermatitis eksfoliativa sekitar 7,54%,

urtikaria sekitar 5,6%, dan reaksi foto alergik sekitar 3,8%.

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), gambaran klinis

kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu

sekitar 42,85%. Hal ini sama dengan hasil penelitian Young, Jong & Joo di tahun

yang sama dimana gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak

terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 68,8%, lalu diikuti Stevens-Johnson

syndrome sekitar 10,6%, urtikaria sekitar 8,5%, fixed drug eruption sekitar 2,9%,

toxic epidermal necrolysis sekitar 1,4%, dan erupsi bula 0,7%.

Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), gambaran klinis kasus

erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu

sekitar 27,3% dan diikuti morbiliformis sekitar 24,5%. Menurut penelitian

Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang

paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu sekitar 37,1% dan diikuti

morbiliformis sekitar 28,6%.

Menurut penelitian Gosh (2006), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi

yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 21% sedangkan

menurut penelitian Soebaryo, Nugrohowati & Effendi (2004), gambaran klinis

kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption

yaitu sekitar 21,99%.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Hasil Badan

17

Tabel 2.3. Distribusi Karakteristik Kasus Erupsi Obat Alergi Menurut Gambaran klinis Erupsi Obat Alergi

Gambaran

Klinis/Tahun

1998 1999 2000 2001 2002 %

Fixed drug eruption 17 34 40 34 39 21,99

Urtikaria 18 23 16 23 8 11,8

Dermatitis eksfoliativa 9 12 16 8 11 7,51

Steven Johnsons

Syndrome

11 10 14 10 10 7,37

Erupsi papular 2 8 5 5 4 3,22

Sumber: Soebaryo, Nugrohowati & Effendi (2004)

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), gambaran klinis kasus

erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu

sekitar 31,1%, lalu diikuti morbiliformis sekitar 12,2%, Stevens-Johnson

syndrome-Toxic epidermal necrolysis sekitar 18,8%, urtikaria sekitar 7,8%,

dermatitis eksfoliativa sekitar 3,3%, pustulosis eksamentosa generalisata akut

sekitar 2,2%, dan angioedema sekitar 1,1%.

Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), gambaran

klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis

yaitu sekitar 34,6%, lalu diikuti fixed drug eruption sekitar 30%, dan urtikaria

sekitar 14%.

2.3. Gambaran Jenis-Jenis Obat yang menyebabkan Erupsi Obat Alergi

Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering

menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti

flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,

allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Hasil Badan

18

Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

sekitar 34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan

golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,51%.

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.

Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.

Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat

yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba

yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%,

dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao

(2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar

25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar

22,2%, lalu diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma,

Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan

erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti

golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Hasil Badan

19

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Data Rekam Medik Pasien Erupsi Obat

Alergi

Distribusi Karakteristik

Pasien Erupsi

Obat Alergi Berdasarkan Usia

Distribusi Karakteristik

Pasien Erupsi

Obat Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi Karakteristik

Pasien Erupsi

Obat Alergi Berdasarkan Gambaran Klinis Erupsi Obat

Alergi

Page 20: Hasil Badan

20

3.2. Definisi Operasional

Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan

yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.

Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan usia

dikelompokkan menjadi:

Usia < 11 tahun

Usia 11 - 20 tahun

Usia 21 - 30 tahun

Usia 31 - 40 tahun

Usia 41 – 50 tahun

Usia 51 – 60 tahun

Usia 61 – 70 tahun

Usia > 70 tahun

Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan jenis

kelamin dikelompokkan menjadi:

Pria

Wanita

Universitas Sumatera Utara

Usia

Jenis Kelamin

Page 21: Hasil Badan

21

Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan gambaran

klinis erupsi obat alergi dikelompokkan menjadi:

Morbiliformis

Urtikaria dan Angioedema

Fixed drug eruption

Dermatitis eksfoliativa

Purpura

Vaskulitis

Reaksi fotoalergik

Pustulosis eksantematosa

generalisata akut

Steven Johnsons Syndrome

Toxic Epidermolysis Necrose

Lain-lain

Universitas Sumatera Utara

Gambaran Klinis

Page 22: Hasil Badan

22

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan

untuk mengetahui gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di

departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik tahun 2010-2012.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik selama bulan September 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi

Populasi target penelitian ini adalah pasien yang mengalami erupsi obat

alergi. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien erupsi obat alergi di

departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik tahun 2010-2012. Jumlah populasi target pada penelitian ini adalah

168 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah keseluruhan dari populasi terjangkau.

4.4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.4.1. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data yang diperoleh dari departemen ilmu

kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Hasil Badan

23

4.4.2. Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan

SPSS. Analisis statistik untuk data deskriptif dilakukan persentase (data

kategorik).

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Hasil Badan

24

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah rumah sakit umum pusat Haji adam

Malik Medan yang beralamat di jalan Bunga Lau nomor 17 Medan Tuntungan,

Kemenangan Tani.

5.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Terdapat sebanyak 111 data penderita erupsi obat alergi dalam penelitian

ini. Dari keseluruhan penderita erupsi obat alergi, gambaran karakteristik yang

diamati meliputi usia dan jenis kelamin. Tabel 5.1 mengambarkan distribusi

frekuensi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan usia sedangkan

tabel 5.2 mengambarkan distribusi frekuensi karakteristik penderita erupsi obat

alergi berdasarkan jenis kelamin.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Hasil Badan

25

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan usia

Usia Jumlah %

< 11 tahun 4 3,6

11 – 20 tahun 11 10

21 – 30 tahun 25 22,5

31 – 40 tahun 15 22,5

41 – 50 tahun 19 17,1

51 – 60 tahun 15 13,5

61 – 70 tahun 17 15,3

>70 tahun 5 4,5

Total 111 100

Dari tabel 5.1 didapatkan bahwa penderita erupsi obat alergi di rumah

sakit umum pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010 - 2012 paling banyak

berada pada usia 21- 30 tahun yaitu sebanyak 25 orang (22,5%), diikuti usia 41-

50 tahun yaitu sebanyak 19 orang (17,1%), usia 61- 70 tahun yaitu sebanyak 17

orang (15,3%), usia 31- 40 dan usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 15 orang

(13,5%), usia 11- 20 tahun yaitu sebanyak 11 orang (10%), usia >70 tahun yaitu

sebanyak 5 orang (4,5%), dan paling sedikit pada usia dibawah 11 tahun yaitu

sebanyak 4 orang (3,6%).

Didapatkan rata-rata usia adalah 41,27 tahun dengan usia minimum 1

tahun dan usia maksimum 80 tahun.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Hasil Badan

26

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik penderita erupsi obat alergi berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah %

Pria 55 49,5

Wanita 56 50,5

Total 111 100

Dari tabel 5.2 terlihat bahwa jumlah penderita erupsi obat alergi pada

wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu 56 orang (50,5%) wanita dan 55

orang (49,5%) pria.

5.3 Hasil Analisis Data dan Pembahasan

5.3.1 Hasil Analisis Data

Hasil uji terhadap gambaran distribusi karakteristik pasien erupsi obat

alergi di departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan gambaran klinis erupsi obat alergi

dapat dilihat pada tabel 5.3.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Hasil Badan

27

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi gambaran klinis erupsi obat alergi

Gambaran klinis f %

Morbiliformis 22 19,8

Urtikaria dan Angioedema 28 25,2

Fixed drug eruption 7 6,3

Dermatitis eksfoliativa 24 21,6

Purpura 2 1,8

Vaskulitis 2 1,8

Reaksi Fotoalergik 5 4,5

Pustulosis eksantematosa generalisata akut 12 10,8

Steven Johnsons Syndrome 4 3,6

Toxic Epidermolysis Necrose 1 0,9

Lain-lain 4 3,6

Total 111 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa gambaran klinis yang timbul paling

banyak yaitu 28 (25,2%) kasus dengan gambaran urtikaria dan angioedema, 24

(21,6%) dengan gambaran dermatitis eksfoliativa, 22 (19,8%) pasien erupsi obat

alergi dengan gambaran morbiliformis, 12 (10,8%) dengan gambaran pustulosis

eksantematosa generalisata akut, 7 (6,3%) dengan gambaran fixed drug eruption,

5 (4,5%) dengan gambaran reaksi fotoalergik, 4 (3,6%) dengan gambaran steven

johnsons syndrome, 2 (1,8%) dengan gambaran purpura, 2 (1,8%) dengan

gambaran vaskulitis, 1 (0,9%) dengan gambaran toxic epidermolysis necrose, dan

4 (3,6%) dengan gambaran lain –lain yaitu eritema multiforme.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Hasil Badan

28

Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu

kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun

2010-2012 berdasarkan usia dan gambaran klinis erupsi obat alergi dapat dilihat

pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan usia dan gambaran klinis erupsi obat alergi

Usia (Tahun)

Gambaran < 11 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70

Klinis f f f f f f f f

Morbiliformis 1 4 8 2 2 3 1 1

Urtikaria dan 0 4 8 4 5 0 5 2

Angioedema

Fixed drug eruption 0 0 0 0 3 2 2 0

Dermatitis 2 1 1 6 2 6 5 1

eksfoliativa

Purpura 0 0 0 0 1 1 0 0

Vaskulitis 1 0 0 0 0 0 1 0

Reaksi Fotoalergik 0 0 2 0 1 1 0 1

Pustulosis 0 1 3 2 2 1 3 0

eksantematosa generalisata akut

Steven Johnsons 0 0 1 1 1 0 1 0

Syndrome

Toxic Epidermolysis 0 0 1 0 0 0 0 0

Necrose

Lain-lain 0 1 1 0 1 1 0 0

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Hasil Badan

29

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pada usia dibawah 11 tahun, gambaran

klinis yang paling banyak adalah dermatitis eksfoliata, 11-20 tahun serta 21-30

tahun adalah morbiliformis dan urtikaria, 31-40 tahun adalah dermatitis eksfoliata,

41-50 tahun adalah fixed drug eruption, 51-60 tahun adalah dermatitis eksfoliata,

61-70 tahun adalah dermatitis eksfoliata dan urtikaria, dan diatas 70 tahun adalah

urtikaria.

Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada usia 21-30

tahun, urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia 21-30 tahun, fixed drug

eruption paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis eksfoliata paling banyak

pada usia 31-40 dan 51-60 tahun, purpura paling banyak pada usia 41-60 tahun,

vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 dan 61-70 tahun, reaksi fotoalergik

paling banyak pada usia 41-60 tahun dan diatas 70 tahun, pustulosis

eksantematosa generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-70 tahun,

steven johnsons syndrome paling banyak pada usia 21-50 dan 61-70 tahun, dan

toxic epidermolysis necrose paling banyak pada usia 21-30 tahun

Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi di departemen ilmu

kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun

2010-2012 berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis erupsi obat alergi dapat

dilihat pada tabel 5.5.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Hasil Badan

30

Tabel 5.5 Distribusi karakteristik pasien erupsi obat alergi berdasarkan jenis kelamin dan gambaran klinis erupsi obat alergi

Jenis Kelamin

Gambaran Pria Wanita

Klinis f (%) f (%)

Morbiliformis 10 (9) 12(10,8)

Urtikaria dan Angioedema 11 (9,9) 17 (15,3)

Fixed drug eruption 5 (4,5) 2 (1,8)

Dermatitis eksfoliativa 15 (13,5) 9 (8,1)

Purpura 0 (0) 2 (1,8)

Vaskulitis 2 (1,8) 0 (0)

Reaksi Fotoalergik 0 (0) 5 (4,5)

Pustulosis eksantematosa 8 (7,2) 4 (3,6)

generalisata akut

Steven Johnsons Syndrome 2 (1,8) 2(1,8)

Toxic Epidermolysis Necrose 0 (0) 1 (0,9)

Lain-lain 2 (1,8) 2 (1,8)

Total 55 (49,5) 56 (50,5)

Dari tabel 5.5 dapat dilihat erupsi obat alergi pada pria paling banyak

berupa gambaran klinis dermatitis eksfoliativa yaitu 15 orang (13,55%) dan pada

wanita berupa urtikaria dan angioedema yaitu 17 orang (15,3%).

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Hasil Badan

31

Dari tabel 5.5 dapat dilihat gambaran klinis morbiliformis lebih banyak

terjadi pada wanita, gambaran klinis urtikaria dan angioedema lebih banyak

terjadi pada wanita, gambaran klinis fixed drug eruption lebih banyak terjadi pada

pria, gambaran klinis dermatitis eksfoliativa lebih banyak terjadi pada pria,

gambaran klinis purpura lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis

vaskulitis lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih

banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis pustulosis eksantematosa generalisata

akut lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis steven johnsons syndrome

sama antara pria dengan wanita, dan gambaran klinis toxic epidermolysis necrose

lebih banyak terjadi pada wanita.

5.3.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa penderita erupsi obat alergi di

rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2010 - 2012 paling

banyak berada pada usia 21- 30 tahun yaitu sebanyak 25 orang (22,5%), diikuti

usia 41- 50 tahun yaitu sebanyak 19 orang (17,1%), usia 61- 70 tahun yaitu

sebanyak 17 orang (15,3%), usia 31- 40 dan usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 15

orang (13,5%), usia 11- 20 tahun yaitu sebanyak 11 orang (10%), usia >70 tahun

yaitu sebanyak 5 orang (4,5%), dan paling sedikit pada usia dibawah 11 tahun

yaitu sebanyak 4 orang (3,6%).

Didapatkan rata-rata usia adalah 41,27 tahun dengan usia minimum 1

tahun dan usia maksimum 80 tahun.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada usia dibawah 11 tahun,

gambaran klinis yang paling banyak adalah dermatitis eksfoliata, 11-20 tahun

serta 21-30 tahun adalah morbiliformis dan urtikaria, 31-40 tahun adalah

dermatitis eksfoliata, 41-50 tahun adalah fixed drug eruption, 51-60 tahun adalah

dermatitis eksfoliata, 61-70 tahun adalah dermatitis eksfoliata dan urtikaria, dan

diatas 70 tahun adalah urtikaria.

Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada penelitian ini

adalah pada usia 21-30 tahun, urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Hasil Badan

32

21-30 tahun, fixed drug eruption paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis

eksfoliata paling banyak pada usia 31-40 dan 51-60 tahun, purpura paling banyak

pada usia 41-60 tahun, vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 dan 61-70

tahun, reaksi fotoalergik paling banyak pada usia 41-60 tahun dan diatas 70 tahun,

pustulosis eksantematosa generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-

70 tahun, steven johnsons syndrome paling banyak pada usia 21-50 dan 61-70

tahun, dan toxic epidermolysis necrose paling banyak pada usia 21-30 tahun.

Menurut penelitian Saha et al. (2012), kasus erupsi obat alergi rata-rata

terjadi pada usia 33,2 tahun pada pria dan 34,4 tahun pada wanita.

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), kasus erupsi obat

alergi paling tinggi terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar 25,27%, lalu diikuti

usia 31-40 tahun sekitar 23,07%, usia 11-20 tahun sekitar 17,58%, usia 41-50

tahun sekitar 15,38%, usia 51-60 tahun sekitar 9,89%, usia 61-70 tahun sekitar

5,49%, usia dibawah 10 tahun sekitar 3,29%, dan usia diatas 70 tahun sekitar

1,09%.

Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi rata-

rata terjadi pada usia 26,81 ±10.22 tahun pada pria dan 26,74 ±9.39 tahun pada

wanita. Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), kasus erupsi obat alergi

rata-rata terjadi pada usia 37,06 tahun dimana kasus paling tinggi terjadi pada usia

20-39 tahun.

Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), kasus erupsi

obat alergi paling tinggi terjadi pada usia 30-40 tahun sedangkan menurut

penelitian Metha, Marquis & Shetty (1971) usia 20-40 tahun.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah penderita erupsi obat

alergi pada wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu 56 orang (50,5%) wanita

dan 55 orang (49,5%) pria.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa erupsi obat alergi pada pria

paling banyak berupa gambaran klinis dermatitis eksfoliativa yaitu 15 orang

(13,55%) dan pada wanita berupa urtikaria dan angioedema yaitu 17 orang

(15,3%).

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Hasil Badan

33

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa gambaran klinis morbiliformis

lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis urtikaria dan angioedema lebih

banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis fixed drug eruption lebih banyak

terjadi pada pria, gambaran klinis dermatitis eksfoliativa lebih banyak terjadi pada

pria, gambaran klinis purpura lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis

vaskulitis lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih

banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis pustulosis eksantematosa generalisata

akut lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis steven johnsons syndrome

sama antara pria dengan wanita, dan gambaran klinis toxic epidermolysis necrose

lebih banyak terjadi pada wanita.

Menurut penelitian Chatterjee et al. (2006), kasus erupsi obat alergi lebih

sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 61,16%. Menurut penelitian Pudukadan &

Thappa (2004), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan

wanita adalah 0.87 : 1 sedangkan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &

Kumar (2001) adalah 1,47 : 1. Menurut penelitian Metha, Marquis & Shetty

(1971), perbandingan terjadinya kasus erupsi obat alergi pada pria dan wanita

adalah sama.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa gambaran klinis yang timbul paling

banyak yaitu 28 (25,2%) kasus dengan gambaran urtikaria dan angioedema, 24

(21,6%) dengan gambaran dermatitis eksfoliativa, 22 (19,8%) pasien erupsi obat

alergi dengan gambaran morbiliformis, 12 (10,8%) dengan gambaran pustulosis

eksantematosa generalisata akut, 7 (6,3%) dengan gambaran fixed drug eruption,

5 (4,5%) dengan gambaran reaksi fotoalergik, 4 (3,6%) dengan gambaran steven

johnsons syndrome, 2 (1,8%) dengan gambaran purpura, 2 (1,8%) dengan

gambaran vaskulitis, 1 (0,9%) dengan gambaran toxic epidermolysis necrose, dan

4 (3,6%) dengan gambaran lain –lain yaitu eritema multiforme

Menurut penelitian Saha et al. (2012), gambaran klinis kasus erupsi obat

alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 30,18%, lalu

diikuti fixed drug eruption sekitar 24,52%, Stevens-Johnson syndrome-Toxic

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Hasil Badan

34

epidermal necrolysis sekitar 24,50%, dermatitis eksfoliativa sekitar 7,54%,

urtikaria sekitar 5,6%, dan reaksi foto alergik sekitar 3,8%.

Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), gambaran klinis

kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu

sekitar 42,85%. Hal ini sama dengan hasil penelitian Young, Jong & Joo di tahun

yang sama dimana gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak

terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 68,8%, lalu diikuti Stevens-Johnson

syndrome sekitar 10,6%, urtikaria sekitar 8,5%, fixed drug eruption sekitar 2,9%,

toxic epidermal necrolysis sekitar 1,4%, dan erupsi bula 0,7%.

Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), gambaran klinis kasus

erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu

sekitar 27,3% dan diikuti morbiliformis sekitar 24,5%. Menurut penelitian

Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi yang

paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu sekitar 37,1% dan diikuti

morbiliformis sekitar 28,6%.

Menurut penelitian Gosh (2006), gambaran klinis kasus erupsi obat alergi

yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis yaitu sekitar 21% sedangkan

menurut penelitian Soebaryo, Nugrohowati & Effendi (2004), gambaran klinis

kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption

yaitu sekitar 21,99%.

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), gambaran klinis kasus

erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah fixed drug eruption yaitu

sekitar 31,1%, lalu diikuti morbiliformis sekitar 12,2%, Stevens-Johnson

syndrome-Toxic epidermal necrolysis sekitar 18,8%, urtikaria sekitar 7,8%,

dermatitis eksfoliativa sekitar 3,3%, pustulosis eksamentosa generalisata akut

sekitar 2,2%, dan angioedema sekitar 1,1%.

Menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), gambaran

klinis kasus erupsi obat alergi yang paling banyak terjadi adalah morbiliformis

yaitu sekitar 34,6%, lalu diikuti fixed drug eruption sekitar 30%, dan urtikaria

sekitar 14%.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Hasil Badan

35

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Penderita erupsi obat alergi di rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik

Medan tahun 2010 - 2012 paling banyak berada pada usia 21- 30 tahun yaitu

sebanyak 25 orang (22,5%) dan paling sedikit pada usia dibawah 11 tahun yaitu

sebanyak 4 orang (3,6%).

2. Didapatkan rata-rata usia penderita erupsi obat alergi adalah 41,27 tahun

dengan usia minimum 1 tahun dan usia maksimum 80 tahun.

3. Pada usia dibawah 11 tahun, gambaran klinis yang paling banyak adalah

dermatitis eksfoliata, 11-20 tahun serta 21-30 tahun adalah morbiliformis dan

urtikaria, 31-40 tahun adalah dermatitis eksfoliata, 41-50 tahun adalah fixed drug

eruption, 51-60 tahun adalah dermatitis eksfoliata, 61-70 tahun adalah dermatitis

eksfoliata dan urtikaria, dan diatas 70 tahun adalah urtikaria.

4. Gambaran klinis morbiliformis paling banyak dialami pada usia 21-30 tahun,

urtikaria dan angioedema paling banyak pada usia 21-30 tahun, fixed drug

eruption paling banyak pada usia 41-50 tahun, dermatitis eksfoliata paling banyak

pada usia 31-40 dan 51-60 tahun, purpura paling banyak pada usia 41-60 tahun,

vaskulitis paling banyak pada usia dibawah 11 dan 61-70 tahun, reaksi fotoalergik

paling banyak pada usia 41-60 tahun dan diatas 70 tahun, pustulosis

eksantematosa generalisata akut paling banyak pada usia 21-30 dan 61-70 tahun,

steven johnsons syndrome paling banyak pada usia 21-50 dan 61-70 tahun, dan

toxic epidermolysis necrose paling banyak pada usia 21-30 tahun.

5. Jumlah penderita erupsi obat alergi pada wanita lebih banyak dibandingkan

pria yaitu 56 orang (50,5%) wanita dan 55 orang (49,5%) pria.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Hasil Badan

36

6. Erupsi obat alergi pada pria paling banyak berupa gambaran klinis dermatitis

eksfoliativa yaitu 15 orang (13,55%) dan pada wanita berupa urtikaria dan

angioedema yaitu 17 orang (15,3%).

7. Gambaran klinis morbiliformis lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran

klinis urtikaria dan angioedema lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran klinis

fixed drug eruption lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis dermatitis

eksfoliativa lebih banyak terjadi pada pria, gambaran klinis purpura lebih banyak

terjadi pada wanita, gambaran klinis vaskulitis lebih banyak terjadi pada pria,

gambaran klinis reaksi fotoalergik lebih banyak terjadi pada wanita, gambaran

klinis pustulosis eksantematosa generalisata akut lebih banyak terjadi pada pria,

gambaran klinis steven johnsons syndrome sama antara pria dengan wanita, dan

gambaran klinis toxic epidermolysis necrose lebih banyak terjadi pada wanita.

8. Gambaran klinis erupsi obat alergi yang timbul paling banyak yaitu 28 (25,2%)

kasus dengan gambaran urtikaria dan angioedema dan paling sedikit yaitu 1

(0,9%) dengan gambaran toxic epidermolysis necrose.

6.2 Saran

1. Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan

bagi tim medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sehingga tim

medis dapat segera mendiagnosis penyakit erupsi obat alergi berdasarkan

data epidemiologi.

2. Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan

penelitian selanjutnya dengan memperluas variabel-variabel lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Hasil Badan

37

DAFTAR PUSTAKA

Adithan, C., 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of

Pharmacology Volume 2 Issue 1. India: JIPMER, 1-4.

ASHP, 1995. Guidelines on Adverse Drug Reaction Monitoring and Reporting.

Availablefrom:http://www.ashp.org/s_ashp/docs/files/MedMis_Gdl_ADR.p

df [Accesed 20 April 2013].

Budnitz, D.L., Lovegrove, M.C., Shebab, N. & Richards, C.L., 2011. Emergency

Hospitalizations for Adverse Drug Events in Older Americans. The New

England Journal of Medicine, 365 (21): 2002-2012.

Cahyanur, R., Koesnoe, S. & Sukmana, N., 2011. Sindrom Hipersensivitas Obat.

J Indon Med Assoc, 61 (4): 179-185.

Chatterjee, S., Ghosh, A.P., Barbhuiya, J. & Dey, S.K., 2006. Adverse Cutaneous

Drug Reactions: A One Year Survey at a Dermatology Outpatient Clinic of

a Tertiary Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology, 38 (6): 429-431.

CIMS, 1999. Skin and Appendages Disorders. In: Reporting Adverse Drug

Reaction. Geneva: Council for International Organization of Medical

Sciences, 32.

Docrat, M.E., 2005. Skin Focus. Current Allergy & Clinical Immunology, 18 (1):

24.

Edward, I.R. & Aronson, J.K., 2000. Adverse Drug Reactions: Definitions,

Diagnosis, and Management. The Lancet, 356: 1255-1259.

Ghosh, S., Acharya, L.D. & Rao, P.G.M., 2006. Study and Evaluation of the

Various Cutaneous Adverse Drug Reactions in Kasturba Hospital, Manipal.

Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, 68 (2): 212-215.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Hasil Badan

38

Hamzah, M., 2007. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 154-158.

Hotchandani, S.C., Bhatt, J.D. & Shah, M.K., 2010. A Prospective Analysis of

Drug-Induced Acute Cutaneous Reactions Reported in Patients at a Tertiary

Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology, 42 (2): 118-119.

HSA, 2002. Analysis of Adverse Drug Reaction. Health Science Authority, 4 (1):

1-4.

Lee, A., and Thomson, J., 2006. Drug-induced Kkin. In: Adverse Drug Reactions

2nd edition. ISBN: Pharmaceutical Press, 125-156.

Metha, T.K., Marquis, L. & Shetty, J.N., 1971. A Study of 70 Cases of Drug

Eruptions. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 37

(1): 2-5.

Nandha, R., Gupta, A. & Hashmi, A., 2011. Cutaneous Adverse Drug Reactions

in a Tertiary Care Teaching Hospital: A North Indian Perspective.

International Journal of Applied and Basic Medical Research, 1 (1): 50-53.

Nayak, S. & Acharjya, B., 2008. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian

Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 53 (1): 2-8.

Pudukadan, D. & Thappa, D.M., 2004. Adverse Cutaneous Drug Reactions:

Clinical Pattern and Causative Agents in a Tertiary Care Center in South

India. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 70 (1):

20-24.

Riedl, M.A. & Casillas, A.M., 2003. Adverse Drug Reactions: Types and

Treatment Options. American Family Physicians, 68 (9): 1781-1791.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Hasil Badan

39

Saha, A., Das, N.K., Hazra, A., Gharami, R.C., Chowdhury, S.N. & Datta, P.K.,

2012. Cutaneous Adverse Drug Reaction Profile in a Tertiary Care Out

Patient Setting in Eastern India. Indian Journal of Pharmacology, 44 (6):

792-797.

Shah, S.P., Desai, M.K. & Dikshit, R.K., 2011. Analysis of Cutaneous Adverse

Drug Reactions at a Tertiary Care Hospital, a Prospective Study. Tropical

Journal of Pharmaceutical Research, 10 (4): 517-522.

Sharma, V.K., Sethuraman, G. & Kumar, B., 2001. Cutaneous Adverse Drug

Reactions: Clinical Pattern and Causative Agents, a 6 Year Series from

Chandigarh, India. Journal of Postgraduate Medicine, 47 (2): 95-99.

Soebaryo, S.W., Nugrohowati, T. & Effendi, E.H., 2004. Skin Test in Drug

Eruption. Med J Indones, 13 (2): 81-85.

Young, M.S., Jong, R.L. & Joo, Y.R., 2011. Causality Assessment of Cutaneous

Adverse Drug Reactions. Ann Dermatology, 23 (4): 432-438.

Universitas Sumatera Utara