fleksibilitas hukum islam dalam perkembangan zaman

21
1 | Page Brought By: Mazizaacrizal a.k.a Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com : www.facebook.com/mazizaacrizal E-mail : [email protected] FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN

Upload: mazizaacrizal-nisaa

Post on 12-Nov-2014

2.661 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

1 | P a g e

Brought By: Mazizaacrizal

a.k.a

Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com

: www.facebook.com/mazizaacrizal

E-mail : [email protected]

FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM

DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN

Page 2: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

2 | P a g e

ABSTRAK

The development of the era and the differences of the socio cultural geography

should be seen as one factor in formulate Islamic Law into the new one. Islamic Law

is as dynamic law has high flexibility to adapt with any period. Islamic law

formulation is a primary need in contemporary Islamic society. It is because there are

many problems which have never been appeared during Prophet, khalifah and tabi’in

time. When these problems appear, there is no other way except do ijtihad to solve it.

Ijtihad, even though has potential controversy aspect but it have been there since

early development of Islam. It means we should keep searching the spirit of Ijtihad

till present.

Kata kunci :

Fleksibelitas hukum Islam, formulasi, ijtihad

Pendahuluan

Suatu hari, usai shalat Jum’at, seseorang datang menemui saya. Saya tidak

tahu persis apa tujuannya. Terlebih saya belum mengenal orang ini sebelumnya.

Niatnya baru terungkap setelah kami terlibat dalam diskusi kecil beberapa saat

lamanya. Rupanya, maksud kedatangannya adalah untuk menawarkan asuransi

syari’ah. Dengan beragam penjelasan syar’i, dia hendak meyakinkan saya bahwa

asuransi syari’ah adalah yang paling aman; dari asuransi pendidikan anak hingga

asuransi kendaraan. Untuk semakin meyakinkan saya, tak lupa dia juga menampilkan

fakta-fakta (atau tepatnya asumsi) tentang keharaman asuransi non-syari’ah.

Melengkapi kejadian ini, di waktu-waktu yang lain, saya juga sering menyaksikan

kegairahan yang luar biasa dari kalangan tertentu umat Islam terhadap menjamurnya

sistem ekonomi syari’ah, seperti perbankan syari’ah, multilevel marketing syari’ah

dan sejenisnya, sembari tak lupa memberi label haram kepada sistem sejenis yang

bukan syari’ah, atau yang sering dikenal dengan konvensional.

Fakta lainnya. Pada tahun 2004, sekelompok kiai Nahdhatul Ulama’ (NU)

mengeluarkan fatwa tentang keharaman presiden perempuan. Fatwa itu dikeluarkan

Page 3: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

3 | P a g e

menyusul keseriusan Megawati Soekarnoputri maju sebagai kandidat presiden

berpasangan dengan Hasyim Muzadi, pada pemilu 2004. Alasan yang diajukan oleh

para kiai itu adalah bahwa Islam melarang pemimpin perempuan. Keharaman

perempuan menjadi pemimpin dianalogikan dengan keharaman perempuan menjadi

imam dalam shalat bagi jamaah laki-laki. Di samping itu, kesan bahwa perempuan

lebih mengedepankan perasaan ketimbang akalnya, juga menjadi faktor

pertimbangan lain ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin.

Pada pertengahan 2007, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyelenggarakan

konferensi internasional tentang khilafah. Dalam konferensi tersebut, Hizbut Tahrir

Indonesia menyerukan pentingnya mengadopsi khilafah Islam sebagai satu-satunya

jalan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. “Selamatkan

Indonesia dengan syari’ah,” adalah jargon yang secara ketat dianut dan diyakini oleh

Hizbut Tahrir. Khilafahlah --dan bukan kerajaan, republik atau bentuk pemerintahan

lain-- yang mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat, baik di Indonesia

maupun di dunia, klaim Hizbut Tahrir. Sehingga khilafah adalah sistem

pemerintahan yang wajib dianut oleh umat Islam.

Cerita lain berasal dari daratan Australia. Sewaktu menempuh studi

pascasarjana di Canberra, ada banyak teman-teman muslim Indonesia lainnya yang

juga sama-sama belajar. Karena berasal dari latar belakang yang berbeda, mahasiswa

muslim asal Indonesia ini menunjukkan perilaku dan orientasi keberagamaan yang

berbeda-beda pula. Salah satu hal yang menjadi perdebatan cukup serius adalah

menyangkut makanan halal, utamanya daging. Sebagian mahasiswa berkeyakinan

bahwa sebagai muslim, kita tidak boleh beli daging di sembarang tempat. Meskipun

itu daging sapi, kambing dan ayam yang dihalalkan oleh Islam, jika disembelih tidak

dengan menyebut nama Allah, tetap haram. Karena itu, mahasiswa kelompok ini

hanya mau makan daging yang dijual oleh halal butchery (jagal halal yang dikelola

oleh muslim). Kelompok lainnya tidak seketat kelompok ini. Mereka berpendapat

bahwa sepanjang dzat yang dikonsumsi adalah halal, maka tidak ada persoalan, di

manapun kita membelinya. Persoalan baru muncul kalau yang dikonsumsi adalah

barang yang jelas-jelas haram, seperti babi. Argumennya, di sebuah negara di mana

Islam minoritas, mencari daging sembelihan halal tentu sangat sulit. Sehingga

sebagai muslim kita tidak harus merepotkan diri. Ada lagi sebagian mahasiswa yang

Page 4: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

4 | P a g e

berpendapat unik: sepanjang kita baca basmallah, tidak ada persoalan di manapun

kita beli daging itu, tentu asal barangnya tidak dilarang oleh agama, begitu sebagian

lainnya berargumen.

Fiqih dan Fleksibilitas Zaman

Fakta-fakta ini hanyalah sebagian kecil contoh yang bisa ditampilkan untuk

menyatakan bagaimana persoalan-persoalan hukum Islam muncul dalam bentuknya

yang baru. Persoalan-persoalan baru itu, dengan sendirinya membutuhkan hukum

baru untuk menyelesaikannya. Pada kasus pertama, masalah-masalah mu’âmalah

merupakan salah satu bidang yang banyak memunculkan kontroversi. Masalah-

masalah yang muncul misalnya tentang status hukum melakukan transaksi dengan

bank konvensional, bagaimana pula status syar’i menjalankan transaksi ekonomi

dengan non-Muslim. Sementara contoh fakta kedua dan ketiga merupakan contoh

dari masalah-masalah di bidang siyâsah yang juga tidak kalah kontroversialnya. Di

antara masalah-masalah itu adalah pemimpin perempuan, tentang sistem dan bentuk

pemerintahan, demokrasi dan status mengangkat pemimpin dari kalangan non

Muslim.

Kecenderungan sebagian umat Islam untuk memilih transaksi ekonomi yang

berlabel syari’ah bukan sesuatu yang mengejutkan. Bahkan bagi sebagian kalangan,

itu merupakan keharusan. Motivasinya bisa bermacam-macam. Tetapi yang paling

mendasar adalah ikhtiyâth (kehati-hatian) dalam menentukan preferensi transaksi

ekonomi. Jika tidak berhati-hati, dalam pandangan sebagian orang, umat Islam bisa

terjebak pada hal-hal yang diharamkan agama. Dalam kerangka ikhtiyâth inilah,

maka kehalalan dan keharaman sesuatu menjadi sangat sentral posisinya. Memang

benar, bagi umat Islam halal dan haram menjadi hal yang sangat sensitif dan mesti

mendapat perhatian utama. Hanya saja, jika diskusi tentang berbagai persoalan

menempatkan kehalalan dan keharaman ini pada posisi yang tidak tepat, maka

hukum Islam justru kelihatan sangat kaku. Inilah yang kadang-kadang tidak

difahami, sehingga kehalalan dan keharaman seolah-olah menjadi sesuatu yang

mutlak. Padahal, dalam konteks tertentu, hal yang haram bisa menjadi halal dan

sebaliknya. Sekadar contoh, nikah adalah tindakan yang halal. Tetapi nikah bisa

menjadi haram dalam kondisi tertentu. Maka, sama sekali bukan hal yang

Page 5: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

5 | P a g e

mengejutkan ketika satu ibadah atau perbuatan bisa memiliki empat atau lima hukum

sekaligus. Apa yang mendasari hal ini? Di sinilah pentingnya menempatkan konteks

pada posisi yang benar. Bahwa sebuah perbuatan atau benda haram menjadi halal

atau halal menjadi haram sangat bergantung kepada konteksnya.

Hal ini juga akan berlaku pada masalah-masalah baru yang tidak pernah

ditemukan presedennya pada masa Rasulullah, khalifah atau tabi’in. Tidak bisa

disangkal, persoalan-persoalan baru yang lahir dalam kehidupan masyarakat Islam

membutuhkan hukum-hukum baru. Tentang menciptakan hukum baru atas masalah

baru, bukanlah sesuatu yang asing dalam diskursus pemikiran hukum Islam.

Dikisahkan, suatu hari Rasulullah Muhammad terlibat dialog dengan Mu’adz bin

Jabbal yang baru saja diangkat menjadi gubernur di Kufah. “Mu’adz, apa yang akan

kamu lakukan jika menemukan masalah-masalah dalam hukum Islam?”, tanya

Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Saya akan mencarinya dalam Kitab Suci al-qurân .”

Rasul melanjutkan pertanyaannya: “Jika kamu tidak menemukannya dalam al-

qurân ?” “Saya akan mencarinya dalam sunnah Nabi,” jawab Mu’adz. “Jika dalam

sunnah Nabi pun kamu tidak menemukan?” tanya Nabi lagi. “Ajtahidu bi ra’yi (saya

akan berijtihad dengan akal fikiran saya)”, jawab Mu’adz. Terhadap jawaban

Mu’adz, Rasul terlihat seperti sangat puas dan bahkan memberikan pujian atas

jawaban itu.

Respons Mu’adz tidaklah berlebihan, karena tidak semua persoalan

dijelaskan dalam al-qurân dan Sunnah. Al-qurân dan Sunnah sudah berhenti, dan

tidak akan pernah ada ayat-ayat atau sunnah baru, sementara masalah-masalah baru

terus bermunculan (al-qadhâya al-fiqhiyyah mutajaddidah wa mutazâyidah wa al-

nushûsh tsâbitah wa mutanâhiyah). Sehingga, ketika berhadapan dengan masalah-

masalah baru tersebut, al-qurân dan sunnah sering menunjukkan keterbatasan.

Keterbatasan cakupan al-qurân dan Sunnah itu bukan karena keduanya tidak

sempurna, karena keterbatasan itu hanya terjadi pada soal-soal yang terlampau rinci

dan terikat ruang dan waktu. Al-qurân dan Sunnah bersifat sempurna ketika

difahami bahwa keduanya memuat hal-hal yang bersifat syumûli dan ijmâli, sehingga

membuka ruang bagi penafsiran pada masa-masa yang jauh dari al-qurân . Kedua

sumber hukum ini juga memiliki derajat kerincian yang berbeda. Lazim diketahui, al-

qurân lebih ijmâl dibandingkan al-Hadits dan dengan sendirinya al-Hadits lebih

Page 6: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

6 | P a g e

bersifat tafshîli dibandingkan dengan al-qurân . Tambahan, tidak semua perbuatan

Nabi Muhammad bisa dianggap sebagai Sunnah yang berdimensi hukum. Para ahli

hukum Islam, umumnya membagi perbuatan Rasulullah ke dalam al-af’âl al-

tasyrî’iyah (perbuatan yang berdimensi hukum) dan al-af’âl al-jibiliyah (perbuatan

yang tidak bermuatan hukum).1

Di samping cerita tentang Zaid bin Tsabit, sejarah juga mencatat tentang

Umar ibn Khattab yang sering berselisih pendapat dengan Nabi Muhammad tentang

beberapa persoalan. Misalnya tentang tawanan perang Badar. Nabi menginginkan

agar para tawanan tersebut dibebaskan, tetapi Umar mengusulkan agar mereka

dibunuh. Dalam banyak kasus perbedaan pendapat antara Nabi dan ‘Umar, tidak

jarang wahyu turun untuk membenarkan ijtihad ‘Umar. Sebuah riwayat menceritakan

bahwa suatu ketika Nabi Muhammad yang ditemani Abu Bakar menangis terisak-

isak karena menyesali ijtihadnya yang keliru. Melihat kejadian itu, Umar lalu

bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis, wahai Rasul

Allah? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan ikut menangis pula. Jika

tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan kalian berdua.” Lalu

Nabi menceritakan wahyu yang membenarkan pendapat Umar dan menyalahkan

pendapat Nabi. Hingga Nabi berkata: “Seandainya azab turun, tidak akan ada yang

selamat darinya kecuali Umar ibn Khattab.”2

Semua ini menyatakan satu hal: bahwa sebagai seperangkat pedoman bagi

umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia, hukum Islam memiliki sifat dasar

yang fleksibel. Fleksibilitas hukum Islam itu mewujudkan diri dalam kebolehan

menciptakan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak atau belum pernah

muncul pada masa Nabi. Mekanisme menemukan hukum-hukum baru itulah yang

belakangan diformulasikan oleh 'ulama atau fuqaha sebagai ijtihad. Mengapa ijtihad

menjadi begitu penting? Kita akan membahas hal tersebut pada bagian-bagian

berikut. Tetapi sebelum pembahasan tentang ijtihad, ada baiknya, ditampilkan suatu

ulasan singkat tentang fleksibitas hukum Islam.

Salah satu adagium yang paling terkenal dalam hukum Islam adalah Islamu

shâlihun li kulli zamân wa makân (Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan

1 Lihat, misalnya, Khaled Abou el-Fadhl, 2001. And God Knows The Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (Maryland: University Press of America).2 Lihat Jalaluddin Rakhmat. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (Bandung: Mizan), h, 213.

Page 7: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

7 | P a g e

zaman tempat). Ini adalah salah satu bukti yang sering ditampilkan untuk

menjelaskan tentang flesibilitas hukum Islam. Fleksibilitas hukum Islam, bisa

dimaknai dalam dua konteks: 1) bahwa hukum Islam senantiasa relevan pada setiap

zaman dan setiap tempat; dan 2) bahwa dalam satu perbuatan, Islam bisa menentukan

tiga atau empat hukum sekaligus, sebagaimana disinggung terdahulu. Sementara

tidak ada perselisihan di antara umat Islam dalam menerima fleksibilitas hukum

Islam ini, terdapat perbedaan, dan tidak jarang perbedaan itu sangat tajam, berkaitan

dengan bagaimana fleksibilitas itu mesti diwujudkan. Pertentangan itu, misalnya,

berkaitan dengan hubungan antara teks dan konteks. Tegasnya, jika terjadi

pertentangan antara teks dan konteks, manakah yang harus dimenangkan.

Kelompok Muslim skripturalis –atau seringkali diistilahkan dengan puritan,

fundamentalis dan radikal-- akan cenderung menempatkan teks sebagai pemenang.

Karena bagi kelompok Muslim seperti ini, keislaman yang benar adalah keislaman

seperti yang termaktub dalam al-qurân dan Sunnah. Itu bermakna bahwa penuturan-

penuturan tekstual al-qurân harus dipatuhi. Konteks, dengan sendirinya, harus

menyesuaikan dengan teks. Karena bagi kelompok ini, jika teks harus disesuaikan

dengan konteks, maka itu bermakna Qur’an dan Sunnah adalah dasar hukum yang

tidak konsisten. Sementara kelompok kontekstualis melihat konteks sebagai faktor

determinan dalam menentukan hukum. Mereka berargumen bahwa al-qurân dan

Sunnah tidak turun di ruang kosong. Keduanya turun di tengah masyarakat atau

komunitas yang telah memiliki sistem nilai, sistem budaya dan sistem sosial yang

mapan. Sehingga turunnya sebuah ayat atau hadits, misalnya, selalu memperhatikan

unsur-unsur ini. Maka, istilah asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya al-qurân ) dan

asbâb al-wurûd (sebab-sebab lahirnya hadits) menunjukkan tidak pernah terpisahnya

sebuah teks dari konteks yang ada di sekitarnya.

Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, kelenturan hukum Islam ini bisa

dibuktikan dengan mengambil perubahan fatwa-fatwa Imam Syafi’i sebagai contoh.

Ketika berada di Iraq, Imam Syafi’i pernah memproduksi fatwa-fatwa atau ketetapan

hukum yang disesuaikan dengan konteks masyarakat di sekelilingnya. Tetapi, ketika

Syafi’i pindah ke Mesir, dan dia menemukan persoalan-persoalan yang timbul di

kalangan masyarakat Mesir berbeda dengan apa yang dia dapati di Iraq, maka dia

harus melakukan penyesuaian hukum. Konsekwensinya, fatwa-fatwa yang dihasilkan

Page 8: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

8 | P a g e

oleh Imam Syafi’i di Iraq berbeda dengan apa yang dia hasilkan di Mesir.

Karenanya, fatwa-fatwa di Iraq dinyatakan tidak lagi berlaku di Mesir, dan

dinamakan sebagai Qaul Qadîm (fatwa-fatwa lama), sementara fatwa-fatwa barunya

di Mesir dinamakan dengan Qaul Jadîd. Sebagian ulama’, menghubungkan

perubahan pendapat yang dilakukan oleh Syafi’i ini dengan pergaulan yang dia

alami. Di Iraq, yang beraliran hukum ahl al-ra’y, memberikan pengaruh tidak sedikit

kepada Imam Syafi’i dalam memberikan fatwa-fatwa. Sementara, situasi itu berbeda

dengan Mesir, di mana sebagian besar ulama’ yang hidup di sini adalah penganut ahl

al-hadîts. Atas dasar ini, Sya’ban Muhammad Ismail menyebut bahwa qawl qadîm

adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’y, sementara qawl jadîd adalah

fatwa-fatwanya yang bercorak hadits.3

Kelenturan hukum Islam ini menjadi dasar bagi para fuqaha untuk

menentukan hukum bagi sebuah perbuatan. Dalam Syifa’ al-Ghalîl fî Bayân al-

Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masâlik al-Ta’lîl karya Abi Hamid Muhammad Ibn

Muhammad al-Ghazali diceritakan tentang bagaimana Ibn Yahya al-Laitsi, seorang

qadhi di Andalusia memberikan hukuman yang berbeda terhadap sebuah persoalan.

Diceritakan, salah seorang gubernur Andalusia berhubungan seksual dengan salah

satu isterinya pada siang hari di bulan ramadhan. Belakangan dia menyadari bahwa

perbuatannya itu tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Kesadaran itulah yang

membawanya untuk mengumpulkan sejmlah ulama’ untuk dimintai pendapatnya

tentang pelanggaran yang baru saja dilakukannya. Ibn Yahya al-Laitsi berfatwa

bahwa hukuman bagi gubernur adalah puasa selama dua bulan berturut-turut. Fatwa

itu mengejutkan ulama’ lainnya yang melihat bahwa gubernur sebenarnya bisa

diberikan hukuman berupa memerdekakan hamba atau memberi makan 60 orang

miskin. Al-Laitsi berargumen bahwa bagi seorang gubernur yang memiliki

kekuasaan dan kemampuan finansial sangat memadai, memerdekakan hamba atau

memberi makan 60 orang miskin bukanlah hal yang berat, sehingga jika dihadapkan

pada pilihan antara puasa dua bulan berturut-turut atau memerdekakan hamba dan

memberi makan orang miskin, tentu gubernur akan memilih yang kedua.4

3 Ismail, Muhammad Sya’ban. 1985. al-Tasyri’ al-Islami: Masadiruhu wa Athwaruhu (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah), h. 337-38.4 Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali. 1971. Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masalik al-Ta’lil, (Baghdad: al-Irsyad) h. 219

Page 9: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

9 | P a g e

Fleksibilitas hukum Islam ini berkaitan erat dengan tujuan diturunkannya

hukum Islam. Sa’id Ramadhan al-Buti menyebut tujuan disyari’atkannya hukum

Islam adalah untuk kepentingan masyarakat umum.5 Prinsip inilah yang sering

diistilahkan dengan maqâshid al-tasyri’ atau maqâshid al-syari’ah. Dalam diskursus

hukum Islam, al-Juwaini dianggap sebagai orang pertama yang memformulasikan

konsep maqâshid al-syari’ah ini secara sistematis. Di samping itu, konsep maqâshid

al-syari’ah juga dikembangkan oleh al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, dan al-Qarafi.6

Pada masa-masa berikutnya, konsep maqâshid al-syari’ah dikembangkan oleh

ulama’ seperti Abu Ishaq al-Syatibi dalam magnum opus-nya al-Muwâfaqat fi Ushûl

al-Syari’ah, Najamuddin al-Thufi, al-Qasimi, Rasyid Ridha, Mahmasani, Allal al-

Fasi dan Abdul Wahhab Khallaf. Para fuqaha’ menegaskan bahwa salah satu tujuan

yang hendak dicapai melalui maqâshid al-syari’ah adalah maslahah. Dalam

pandangan sebagian sarjana, konsep maslahah ini bisa difungsikan sebagai sarana

perubahan hukum. Karena konsep masalahah ini memberikan seperangkat kerangka

teoretik yang bisa dirujuk ketika berhadapan dengan persoalan, yang inheren dalam

sistem hukum berdasarkan teks yang pasti, bagaimana membawa landasan material

hukum yang terbatas dalam situasi sosial yang senantiasa berubah-ubah.7

Pengakuan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel juga bisa dibuktikan

melalui sejumlah kaidah yang menekankan pentingnya hukum disesuaikan dengan

situasi. Misalnya, yadûru al-hukmu ma’a illati wujudan wa adaman (ada dan tidak

adanya hukum sangat bergantung kepada ‘illat-nya), la yunkaru taghayyaru al-

ahkami bi taghayyari al-zaman (tidak diragukan lagi, hukum berubah mengikuti

perubahan zaman), dan taghayyaru al-fatawa bi hasbi taghayyari al-azminati wa al-

amakinati wa al-ahwali wa al-niyati al-awaidi (perubahan fatwa tidak boleh

mengesampingkan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan. Tegasnya,

sangat tidak mungkin akan muncul hukum-hukum baru ketika maksud di balik

diundangkannya hukum tidak tercapai. Fleksibilitas hukum Islam juga bisa

dibuktikan dengan melihat beragam hukum Islam yang berkembang di berbagai

negara. Sama-sama mengadopsi hukum Islam, Indonesia dan Malaysia memiliki

5 Said Ramadhan al-Buti. 1977. Dlawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah, h. 12.6 Felicit Opwis. 2005. “Maslaha in the Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic Law and Society (12: 2), h. 182-223.7 Ibid.

Page 10: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

10 | P a g e

ketentuan yang berbeda. Demikian juga dengan Afghanistan, Maroko, Mesir, Sudan,

Kuwait dan Irak, misalnya (Marshall, 2005).8 Perbedaan itu sangat erat kaitannya

dengan situasi lokal yang dihadapi oleh umat Islam. Di Afghanistan, seperti yang

ditulis Joseph Schacht (2003), gerakan purifikasi Islam mengalami hambatan oleh

hukum adat.9 Cerita yang sama juga terjadi di Indonesia, misalnya pertentangan

antara Kaum Adat dan Kaum Paderi di Sumatera.

Meskipun demikian, masih ada ruang perdebatan menyangkut hukum apakah

yang bisa berubah itu. Sebagian ulama’ meyakini perubahan itu bisa berlangsung

pada hukum yang qath’iy maupun yang dzanny. Sementara ulama’ lainnya

berpendapat hanya hukum zhanny-lah yang bisa berubah. Itu bisa dilihat, misalnya,

dari pernyataan Ali Ahmad an-Nadawimembatasi hukum yang dinamis itu hanya

pada hukum yang berdimensi maslahat dan adat.10 Pendapat yang sama juga dianut

oleh Subhi Mahmasani.11 Hanya saja selain adat, dia juga menambahkan hukum yang

bersumber dari negara.

Ijtihad dan Penerapannya dalam Dinamika Zaman

Islam pernah menyaksikan satu masa fanatisme hukum Islam yang luar biasa.

Fanatisme itu berlangsung karena sikap para penganut imam-imam mazhab

melakukan kultisme individu yang berlebihan, sehingga pendapat-pendapat mereka

seolah-olah yang paling benar. Sayyid Sabiq menggambarkan sikap fanatik yang

berlebihan dari kalangan penganut imam mazhab itu dengan mencontohkan apa yang

terjadi pada al-Karkhi. Karena terlalu kagum pada imam mazhab yang dianutnya, al-

Kharki menganggap imam-imam lain salah. Ungkapan dia yang terkenal adalah:

kullu ayatin aw haditsin yukhalifu wa ‘alaihi ashabuna fahuwa wuawwalun aw

mansukhun (setiap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan pendapat imam kami,

maka harus ditakwilkan atau mansukh).12

Situasi ini kemudian melahirkan apa yang sering disebut sebagai tertutupnya

pintu ijtihad. Karena pintu ijtihad tertutup, umat Islam mengalami kemandegan

8 Paul Marshal (ed). 2005. Radical Islam’s Rule:The Worldwide Spread of Extreme Shari’ah Law (Noew York, Toronto, Oxford: Rowman and Littlefield Publisher). 9 Joseph Schact. 2003. Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Islamika)10 Ali Ahmad an-Nadawi. 1994. al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha (Damaskus: Dar al-Qalam), h. 158.11 Subhi Mahmasani. 1961. Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Miliyin), h. 198.12 Sayyid Sabiq. 1968. Fiqh Sunnah Jilid I. (Kuwait: Dar al-Bayan), h. 21.

Page 11: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

11 | P a g e

pemikiran. Lalu lahirlah pembaharu-pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani,

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyerukan umat Islam akan pentingnya

melakukan ijtihad. Pada masa pemikir-pemikir muslim inilah pintu ijtihad kemudian

dibuka kembali. Ijtihad menjadi instrumen penting yang menghubungkan antara

ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam al-qurân dan Hadits dengan situasi

masyarakat yang selalu berkembang. Terlebih di zaman sekarang, di mana

masyarakat dunia mengalami revolusi teknologi dan informasi yang begitu dahsyat,

pemberlakuakn ijtihad sebagai mekanisme penyelarasan hukum Islam dengan zaman,

menjadi sangat urgen.

Dalam menghadapi globalisasi ini, Amir Syarifuddin13 memberikan gambaran

tentang bagaimana hukum Islam menghadapi globalisasi. Pertama, merumuskan

pendekatan baru dalam memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kondisi

kontemporer zaman. Pendekatan baru ini penting dihadirkan karena pada dasarnya,

para imam terdahulu telah meletakkan dasar-dasar hukum Islam berkaitan dengan

persoalan tertentu. Tetapi konsekwensi logis perkembangan zaman adalah

munculnya masalah-masalah baru dalam bentuk yang berbeda, ketika para imam

mazhab itu merumuskan formula-formula hukum tadi itu. Amir Syarifuddin

memberikan contoh tentang hukum pengalihan hak milik barang dari satu subjek

hukum kepada subjek hukum lainnya. Imam Syafi’i merumuskan pemindahan hak

milik dari satu individu kepada individu lainnya bisa dilakukan secara sah melalui

transaksi yang menggunakan ijab dan qabul. Sementara tidak ada perdebatan tentang

keharusan ijab dan qabul sebagai syarat sah pemindahan hak milik, bagaimana ijab

qabul itu dilangsungkan, bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Misalnya,

bagaimana dalam era globalisasi ini, perdagangan bisa dilakukan secara maya, tanpa

mengharuskan para pihak bertemu secara fisik. Jika formulasi fikih lama yang

dipegangi, maka hukum Islam justru menimbulkan kesulitan bagi umat.

Kedua, menetapkan hukum-hukum baru dengan cara memahami secara

mendalam cara dan tujuan Allah dalam menetapkan hukum. Karena bentuk hukum

selalu menyesuaikan perkembangan zaman, maka ketika penetapan hukum baru

didasarkan pada bentuk-bentuk hukum yang pernah berlangsung, di satu sisi, dengan

mengesampingkan maksud atau tujuan hukum, di sisi lain, maka yang akan lestari

13 Amir Syaifuddin. 2005. Meretas Kebekuan Ijtihad (Jakarta: Ciputat Press), h. 15-7.

Page 12: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

12 | P a g e

bukanlah tujuan hukum, melainkan bentuk hukum dan peristiwa. Jika ini yang

berlangsung, maka sebagian dari tujuan hukum Islam akan tidak tercapai.

Kesimpulan

Hukum Islam adalah hukum yang dinamis dan memiliki kemampuan yang

sangat tinggi dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Formulasi hukum

Islam dalam bentuk-bentuk yang baru merupakan kebutuhan mendesak masyarakat

Islam kontemporer, karena pada masa inilah sejumlah persoalan baru yang tidak

pernah ada presedennya pada masa Nabi, khalifah maupun tabi’in muncul. Ketika

masalah-masalah yang demikian itu timbul, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan

kecuali dengan melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Ijtihad, meskipun memiliki potensi kontroversi, tetapi ia sudah ada dalam tradisi

awal perkembangan Islam. Bahkan Nabi Muhammad sebagai peletak dasar hukum

Islam juga memberikan indikasi bolehnya melakukan ijtihad ketika terdapat masalah-

masalah baru yang tidak ditemukan jawaban eksplisitnya dalam al-qurân .

Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan hukum Islam sangat fleksibel dan

memiliki kemampuan adaptif yang luar biasa. Karena itu, menjadi tidak

mengherankan ketika di banyak tempat hukum Islam dipraktikkan secara beragam.

Keragaman itu bukanlah persoalan, ketika tujuan atau maksud hukum terpenuhi.

Sebaliknya, memelihara keseragaman dengan meninggalkan tercapainya maksud

atau tujuan hukum, justru menyisakan persoalan bagi fleksibilitas hukum Islam dan

kemampuannya beradaptasi dengan progresivitas zaman.

Daftar Bacaan

Abou el-Fadhl, Khaled. 2001. And God Knows The Soldiers: The Authoritative and

Authoritarian in Islamic Discourse (Maryland: University Press of America).

Page 13: Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perkembangan Zaman

13 | P a g e

al-Buti, Said Ramadhan. 1977. Dlawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah.

(Beirut: Muassasah al-Risalah).

al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad. 1971. Syifa’ al-Ghalil fi Bayan

al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masalik al-Ta’lil (Baghdad: al-Irsyad).

an-Nadawi, Ali Ahmad. 1994. al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha,

Tathawwuruha, Dirasat Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha (Damaskus:

Dar al-Qalam).

Ismail, Muhammad Sya’ban. 1985. al-Tasyri’ al-Islami: Masadiruhu wa Athwaruhu

(Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah).

Marshal, Paul (ed). 2005. Radical Islam’s Rule:The Worldwide Spread of Extreme

Shari’ah Law (Noew York, Toronto, Oxford: Rowman and Littlefield

Publisher).

Mahmasani, Subhi. 1961. Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Miliyin).

Opwis, Felicit. 2005. “Maslaha in the Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic

Law and Society (12: 2).

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (Bandung: Mizan).

Sabiq, Sayyid. 1968. Fiqh Sunnah Jilid I. (Kuwait: Dar al-Bayan).

Schact, Joseph. 2003. Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Islamika)

Syaifuddin, Amir. 2005. Meretas Kebekuan Ijtihad (Jakarta: Ciputat Press).