fleksibilitas hukum islam dalam perkembangan zaman
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1 | P a g e
Brought By: Mazizaacrizal
a.k.a
Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi
Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com
: www.facebook.com/mazizaacrizal
E-mail : [email protected]
FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM
DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN
2 | P a g e
ABSTRAK
The development of the era and the differences of the socio cultural geography
should be seen as one factor in formulate Islamic Law into the new one. Islamic Law
is as dynamic law has high flexibility to adapt with any period. Islamic law
formulation is a primary need in contemporary Islamic society. It is because there are
many problems which have never been appeared during Prophet, khalifah and tabi’in
time. When these problems appear, there is no other way except do ijtihad to solve it.
Ijtihad, even though has potential controversy aspect but it have been there since
early development of Islam. It means we should keep searching the spirit of Ijtihad
till present.
Kata kunci :
Fleksibelitas hukum Islam, formulasi, ijtihad
Pendahuluan
Suatu hari, usai shalat Jum’at, seseorang datang menemui saya. Saya tidak
tahu persis apa tujuannya. Terlebih saya belum mengenal orang ini sebelumnya.
Niatnya baru terungkap setelah kami terlibat dalam diskusi kecil beberapa saat
lamanya. Rupanya, maksud kedatangannya adalah untuk menawarkan asuransi
syari’ah. Dengan beragam penjelasan syar’i, dia hendak meyakinkan saya bahwa
asuransi syari’ah adalah yang paling aman; dari asuransi pendidikan anak hingga
asuransi kendaraan. Untuk semakin meyakinkan saya, tak lupa dia juga menampilkan
fakta-fakta (atau tepatnya asumsi) tentang keharaman asuransi non-syari’ah.
Melengkapi kejadian ini, di waktu-waktu yang lain, saya juga sering menyaksikan
kegairahan yang luar biasa dari kalangan tertentu umat Islam terhadap menjamurnya
sistem ekonomi syari’ah, seperti perbankan syari’ah, multilevel marketing syari’ah
dan sejenisnya, sembari tak lupa memberi label haram kepada sistem sejenis yang
bukan syari’ah, atau yang sering dikenal dengan konvensional.
Fakta lainnya. Pada tahun 2004, sekelompok kiai Nahdhatul Ulama’ (NU)
mengeluarkan fatwa tentang keharaman presiden perempuan. Fatwa itu dikeluarkan
3 | P a g e
menyusul keseriusan Megawati Soekarnoputri maju sebagai kandidat presiden
berpasangan dengan Hasyim Muzadi, pada pemilu 2004. Alasan yang diajukan oleh
para kiai itu adalah bahwa Islam melarang pemimpin perempuan. Keharaman
perempuan menjadi pemimpin dianalogikan dengan keharaman perempuan menjadi
imam dalam shalat bagi jamaah laki-laki. Di samping itu, kesan bahwa perempuan
lebih mengedepankan perasaan ketimbang akalnya, juga menjadi faktor
pertimbangan lain ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin.
Pada pertengahan 2007, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyelenggarakan
konferensi internasional tentang khilafah. Dalam konferensi tersebut, Hizbut Tahrir
Indonesia menyerukan pentingnya mengadopsi khilafah Islam sebagai satu-satunya
jalan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. “Selamatkan
Indonesia dengan syari’ah,” adalah jargon yang secara ketat dianut dan diyakini oleh
Hizbut Tahrir. Khilafahlah --dan bukan kerajaan, republik atau bentuk pemerintahan
lain-- yang mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat, baik di Indonesia
maupun di dunia, klaim Hizbut Tahrir. Sehingga khilafah adalah sistem
pemerintahan yang wajib dianut oleh umat Islam.
Cerita lain berasal dari daratan Australia. Sewaktu menempuh studi
pascasarjana di Canberra, ada banyak teman-teman muslim Indonesia lainnya yang
juga sama-sama belajar. Karena berasal dari latar belakang yang berbeda, mahasiswa
muslim asal Indonesia ini menunjukkan perilaku dan orientasi keberagamaan yang
berbeda-beda pula. Salah satu hal yang menjadi perdebatan cukup serius adalah
menyangkut makanan halal, utamanya daging. Sebagian mahasiswa berkeyakinan
bahwa sebagai muslim, kita tidak boleh beli daging di sembarang tempat. Meskipun
itu daging sapi, kambing dan ayam yang dihalalkan oleh Islam, jika disembelih tidak
dengan menyebut nama Allah, tetap haram. Karena itu, mahasiswa kelompok ini
hanya mau makan daging yang dijual oleh halal butchery (jagal halal yang dikelola
oleh muslim). Kelompok lainnya tidak seketat kelompok ini. Mereka berpendapat
bahwa sepanjang dzat yang dikonsumsi adalah halal, maka tidak ada persoalan, di
manapun kita membelinya. Persoalan baru muncul kalau yang dikonsumsi adalah
barang yang jelas-jelas haram, seperti babi. Argumennya, di sebuah negara di mana
Islam minoritas, mencari daging sembelihan halal tentu sangat sulit. Sehingga
sebagai muslim kita tidak harus merepotkan diri. Ada lagi sebagian mahasiswa yang
4 | P a g e
berpendapat unik: sepanjang kita baca basmallah, tidak ada persoalan di manapun
kita beli daging itu, tentu asal barangnya tidak dilarang oleh agama, begitu sebagian
lainnya berargumen.
Fiqih dan Fleksibilitas Zaman
Fakta-fakta ini hanyalah sebagian kecil contoh yang bisa ditampilkan untuk
menyatakan bagaimana persoalan-persoalan hukum Islam muncul dalam bentuknya
yang baru. Persoalan-persoalan baru itu, dengan sendirinya membutuhkan hukum
baru untuk menyelesaikannya. Pada kasus pertama, masalah-masalah mu’âmalah
merupakan salah satu bidang yang banyak memunculkan kontroversi. Masalah-
masalah yang muncul misalnya tentang status hukum melakukan transaksi dengan
bank konvensional, bagaimana pula status syar’i menjalankan transaksi ekonomi
dengan non-Muslim. Sementara contoh fakta kedua dan ketiga merupakan contoh
dari masalah-masalah di bidang siyâsah yang juga tidak kalah kontroversialnya. Di
antara masalah-masalah itu adalah pemimpin perempuan, tentang sistem dan bentuk
pemerintahan, demokrasi dan status mengangkat pemimpin dari kalangan non
Muslim.
Kecenderungan sebagian umat Islam untuk memilih transaksi ekonomi yang
berlabel syari’ah bukan sesuatu yang mengejutkan. Bahkan bagi sebagian kalangan,
itu merupakan keharusan. Motivasinya bisa bermacam-macam. Tetapi yang paling
mendasar adalah ikhtiyâth (kehati-hatian) dalam menentukan preferensi transaksi
ekonomi. Jika tidak berhati-hati, dalam pandangan sebagian orang, umat Islam bisa
terjebak pada hal-hal yang diharamkan agama. Dalam kerangka ikhtiyâth inilah,
maka kehalalan dan keharaman sesuatu menjadi sangat sentral posisinya. Memang
benar, bagi umat Islam halal dan haram menjadi hal yang sangat sensitif dan mesti
mendapat perhatian utama. Hanya saja, jika diskusi tentang berbagai persoalan
menempatkan kehalalan dan keharaman ini pada posisi yang tidak tepat, maka
hukum Islam justru kelihatan sangat kaku. Inilah yang kadang-kadang tidak
difahami, sehingga kehalalan dan keharaman seolah-olah menjadi sesuatu yang
mutlak. Padahal, dalam konteks tertentu, hal yang haram bisa menjadi halal dan
sebaliknya. Sekadar contoh, nikah adalah tindakan yang halal. Tetapi nikah bisa
menjadi haram dalam kondisi tertentu. Maka, sama sekali bukan hal yang
5 | P a g e
mengejutkan ketika satu ibadah atau perbuatan bisa memiliki empat atau lima hukum
sekaligus. Apa yang mendasari hal ini? Di sinilah pentingnya menempatkan konteks
pada posisi yang benar. Bahwa sebuah perbuatan atau benda haram menjadi halal
atau halal menjadi haram sangat bergantung kepada konteksnya.
Hal ini juga akan berlaku pada masalah-masalah baru yang tidak pernah
ditemukan presedennya pada masa Rasulullah, khalifah atau tabi’in. Tidak bisa
disangkal, persoalan-persoalan baru yang lahir dalam kehidupan masyarakat Islam
membutuhkan hukum-hukum baru. Tentang menciptakan hukum baru atas masalah
baru, bukanlah sesuatu yang asing dalam diskursus pemikiran hukum Islam.
Dikisahkan, suatu hari Rasulullah Muhammad terlibat dialog dengan Mu’adz bin
Jabbal yang baru saja diangkat menjadi gubernur di Kufah. “Mu’adz, apa yang akan
kamu lakukan jika menemukan masalah-masalah dalam hukum Islam?”, tanya
Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Saya akan mencarinya dalam Kitab Suci al-qurân .”
Rasul melanjutkan pertanyaannya: “Jika kamu tidak menemukannya dalam al-
qurân ?” “Saya akan mencarinya dalam sunnah Nabi,” jawab Mu’adz. “Jika dalam
sunnah Nabi pun kamu tidak menemukan?” tanya Nabi lagi. “Ajtahidu bi ra’yi (saya
akan berijtihad dengan akal fikiran saya)”, jawab Mu’adz. Terhadap jawaban
Mu’adz, Rasul terlihat seperti sangat puas dan bahkan memberikan pujian atas
jawaban itu.
Respons Mu’adz tidaklah berlebihan, karena tidak semua persoalan
dijelaskan dalam al-qurân dan Sunnah. Al-qurân dan Sunnah sudah berhenti, dan
tidak akan pernah ada ayat-ayat atau sunnah baru, sementara masalah-masalah baru
terus bermunculan (al-qadhâya al-fiqhiyyah mutajaddidah wa mutazâyidah wa al-
nushûsh tsâbitah wa mutanâhiyah). Sehingga, ketika berhadapan dengan masalah-
masalah baru tersebut, al-qurân dan sunnah sering menunjukkan keterbatasan.
Keterbatasan cakupan al-qurân dan Sunnah itu bukan karena keduanya tidak
sempurna, karena keterbatasan itu hanya terjadi pada soal-soal yang terlampau rinci
dan terikat ruang dan waktu. Al-qurân dan Sunnah bersifat sempurna ketika
difahami bahwa keduanya memuat hal-hal yang bersifat syumûli dan ijmâli, sehingga
membuka ruang bagi penafsiran pada masa-masa yang jauh dari al-qurân . Kedua
sumber hukum ini juga memiliki derajat kerincian yang berbeda. Lazim diketahui, al-
qurân lebih ijmâl dibandingkan al-Hadits dan dengan sendirinya al-Hadits lebih
6 | P a g e
bersifat tafshîli dibandingkan dengan al-qurân . Tambahan, tidak semua perbuatan
Nabi Muhammad bisa dianggap sebagai Sunnah yang berdimensi hukum. Para ahli
hukum Islam, umumnya membagi perbuatan Rasulullah ke dalam al-af’âl al-
tasyrî’iyah (perbuatan yang berdimensi hukum) dan al-af’âl al-jibiliyah (perbuatan
yang tidak bermuatan hukum).1
Di samping cerita tentang Zaid bin Tsabit, sejarah juga mencatat tentang
Umar ibn Khattab yang sering berselisih pendapat dengan Nabi Muhammad tentang
beberapa persoalan. Misalnya tentang tawanan perang Badar. Nabi menginginkan
agar para tawanan tersebut dibebaskan, tetapi Umar mengusulkan agar mereka
dibunuh. Dalam banyak kasus perbedaan pendapat antara Nabi dan ‘Umar, tidak
jarang wahyu turun untuk membenarkan ijtihad ‘Umar. Sebuah riwayat menceritakan
bahwa suatu ketika Nabi Muhammad yang ditemani Abu Bakar menangis terisak-
isak karena menyesali ijtihadnya yang keliru. Melihat kejadian itu, Umar lalu
bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis, wahai Rasul
Allah? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan ikut menangis pula. Jika
tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan kalian berdua.” Lalu
Nabi menceritakan wahyu yang membenarkan pendapat Umar dan menyalahkan
pendapat Nabi. Hingga Nabi berkata: “Seandainya azab turun, tidak akan ada yang
selamat darinya kecuali Umar ibn Khattab.”2
Semua ini menyatakan satu hal: bahwa sebagai seperangkat pedoman bagi
umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia, hukum Islam memiliki sifat dasar
yang fleksibel. Fleksibilitas hukum Islam itu mewujudkan diri dalam kebolehan
menciptakan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak atau belum pernah
muncul pada masa Nabi. Mekanisme menemukan hukum-hukum baru itulah yang
belakangan diformulasikan oleh 'ulama atau fuqaha sebagai ijtihad. Mengapa ijtihad
menjadi begitu penting? Kita akan membahas hal tersebut pada bagian-bagian
berikut. Tetapi sebelum pembahasan tentang ijtihad, ada baiknya, ditampilkan suatu
ulasan singkat tentang fleksibitas hukum Islam.
Salah satu adagium yang paling terkenal dalam hukum Islam adalah Islamu
shâlihun li kulli zamân wa makân (Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan
1 Lihat, misalnya, Khaled Abou el-Fadhl, 2001. And God Knows The Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (Maryland: University Press of America).2 Lihat Jalaluddin Rakhmat. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (Bandung: Mizan), h, 213.
7 | P a g e
zaman tempat). Ini adalah salah satu bukti yang sering ditampilkan untuk
menjelaskan tentang flesibilitas hukum Islam. Fleksibilitas hukum Islam, bisa
dimaknai dalam dua konteks: 1) bahwa hukum Islam senantiasa relevan pada setiap
zaman dan setiap tempat; dan 2) bahwa dalam satu perbuatan, Islam bisa menentukan
tiga atau empat hukum sekaligus, sebagaimana disinggung terdahulu. Sementara
tidak ada perselisihan di antara umat Islam dalam menerima fleksibilitas hukum
Islam ini, terdapat perbedaan, dan tidak jarang perbedaan itu sangat tajam, berkaitan
dengan bagaimana fleksibilitas itu mesti diwujudkan. Pertentangan itu, misalnya,
berkaitan dengan hubungan antara teks dan konteks. Tegasnya, jika terjadi
pertentangan antara teks dan konteks, manakah yang harus dimenangkan.
Kelompok Muslim skripturalis –atau seringkali diistilahkan dengan puritan,
fundamentalis dan radikal-- akan cenderung menempatkan teks sebagai pemenang.
Karena bagi kelompok Muslim seperti ini, keislaman yang benar adalah keislaman
seperti yang termaktub dalam al-qurân dan Sunnah. Itu bermakna bahwa penuturan-
penuturan tekstual al-qurân harus dipatuhi. Konteks, dengan sendirinya, harus
menyesuaikan dengan teks. Karena bagi kelompok ini, jika teks harus disesuaikan
dengan konteks, maka itu bermakna Qur’an dan Sunnah adalah dasar hukum yang
tidak konsisten. Sementara kelompok kontekstualis melihat konteks sebagai faktor
determinan dalam menentukan hukum. Mereka berargumen bahwa al-qurân dan
Sunnah tidak turun di ruang kosong. Keduanya turun di tengah masyarakat atau
komunitas yang telah memiliki sistem nilai, sistem budaya dan sistem sosial yang
mapan. Sehingga turunnya sebuah ayat atau hadits, misalnya, selalu memperhatikan
unsur-unsur ini. Maka, istilah asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya al-qurân ) dan
asbâb al-wurûd (sebab-sebab lahirnya hadits) menunjukkan tidak pernah terpisahnya
sebuah teks dari konteks yang ada di sekitarnya.
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, kelenturan hukum Islam ini bisa
dibuktikan dengan mengambil perubahan fatwa-fatwa Imam Syafi’i sebagai contoh.
Ketika berada di Iraq, Imam Syafi’i pernah memproduksi fatwa-fatwa atau ketetapan
hukum yang disesuaikan dengan konteks masyarakat di sekelilingnya. Tetapi, ketika
Syafi’i pindah ke Mesir, dan dia menemukan persoalan-persoalan yang timbul di
kalangan masyarakat Mesir berbeda dengan apa yang dia dapati di Iraq, maka dia
harus melakukan penyesuaian hukum. Konsekwensinya, fatwa-fatwa yang dihasilkan
8 | P a g e
oleh Imam Syafi’i di Iraq berbeda dengan apa yang dia hasilkan di Mesir.
Karenanya, fatwa-fatwa di Iraq dinyatakan tidak lagi berlaku di Mesir, dan
dinamakan sebagai Qaul Qadîm (fatwa-fatwa lama), sementara fatwa-fatwa barunya
di Mesir dinamakan dengan Qaul Jadîd. Sebagian ulama’, menghubungkan
perubahan pendapat yang dilakukan oleh Syafi’i ini dengan pergaulan yang dia
alami. Di Iraq, yang beraliran hukum ahl al-ra’y, memberikan pengaruh tidak sedikit
kepada Imam Syafi’i dalam memberikan fatwa-fatwa. Sementara, situasi itu berbeda
dengan Mesir, di mana sebagian besar ulama’ yang hidup di sini adalah penganut ahl
al-hadîts. Atas dasar ini, Sya’ban Muhammad Ismail menyebut bahwa qawl qadîm
adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’y, sementara qawl jadîd adalah
fatwa-fatwanya yang bercorak hadits.3
Kelenturan hukum Islam ini menjadi dasar bagi para fuqaha untuk
menentukan hukum bagi sebuah perbuatan. Dalam Syifa’ al-Ghalîl fî Bayân al-
Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masâlik al-Ta’lîl karya Abi Hamid Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazali diceritakan tentang bagaimana Ibn Yahya al-Laitsi, seorang
qadhi di Andalusia memberikan hukuman yang berbeda terhadap sebuah persoalan.
Diceritakan, salah seorang gubernur Andalusia berhubungan seksual dengan salah
satu isterinya pada siang hari di bulan ramadhan. Belakangan dia menyadari bahwa
perbuatannya itu tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Kesadaran itulah yang
membawanya untuk mengumpulkan sejmlah ulama’ untuk dimintai pendapatnya
tentang pelanggaran yang baru saja dilakukannya. Ibn Yahya al-Laitsi berfatwa
bahwa hukuman bagi gubernur adalah puasa selama dua bulan berturut-turut. Fatwa
itu mengejutkan ulama’ lainnya yang melihat bahwa gubernur sebenarnya bisa
diberikan hukuman berupa memerdekakan hamba atau memberi makan 60 orang
miskin. Al-Laitsi berargumen bahwa bagi seorang gubernur yang memiliki
kekuasaan dan kemampuan finansial sangat memadai, memerdekakan hamba atau
memberi makan 60 orang miskin bukanlah hal yang berat, sehingga jika dihadapkan
pada pilihan antara puasa dua bulan berturut-turut atau memerdekakan hamba dan
memberi makan orang miskin, tentu gubernur akan memilih yang kedua.4
3 Ismail, Muhammad Sya’ban. 1985. al-Tasyri’ al-Islami: Masadiruhu wa Athwaruhu (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah), h. 337-38.4 Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali. 1971. Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masalik al-Ta’lil, (Baghdad: al-Irsyad) h. 219
9 | P a g e
Fleksibilitas hukum Islam ini berkaitan erat dengan tujuan diturunkannya
hukum Islam. Sa’id Ramadhan al-Buti menyebut tujuan disyari’atkannya hukum
Islam adalah untuk kepentingan masyarakat umum.5 Prinsip inilah yang sering
diistilahkan dengan maqâshid al-tasyri’ atau maqâshid al-syari’ah. Dalam diskursus
hukum Islam, al-Juwaini dianggap sebagai orang pertama yang memformulasikan
konsep maqâshid al-syari’ah ini secara sistematis. Di samping itu, konsep maqâshid
al-syari’ah juga dikembangkan oleh al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, dan al-Qarafi.6
Pada masa-masa berikutnya, konsep maqâshid al-syari’ah dikembangkan oleh
ulama’ seperti Abu Ishaq al-Syatibi dalam magnum opus-nya al-Muwâfaqat fi Ushûl
al-Syari’ah, Najamuddin al-Thufi, al-Qasimi, Rasyid Ridha, Mahmasani, Allal al-
Fasi dan Abdul Wahhab Khallaf. Para fuqaha’ menegaskan bahwa salah satu tujuan
yang hendak dicapai melalui maqâshid al-syari’ah adalah maslahah. Dalam
pandangan sebagian sarjana, konsep maslahah ini bisa difungsikan sebagai sarana
perubahan hukum. Karena konsep masalahah ini memberikan seperangkat kerangka
teoretik yang bisa dirujuk ketika berhadapan dengan persoalan, yang inheren dalam
sistem hukum berdasarkan teks yang pasti, bagaimana membawa landasan material
hukum yang terbatas dalam situasi sosial yang senantiasa berubah-ubah.7
Pengakuan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel juga bisa dibuktikan
melalui sejumlah kaidah yang menekankan pentingnya hukum disesuaikan dengan
situasi. Misalnya, yadûru al-hukmu ma’a illati wujudan wa adaman (ada dan tidak
adanya hukum sangat bergantung kepada ‘illat-nya), la yunkaru taghayyaru al-
ahkami bi taghayyari al-zaman (tidak diragukan lagi, hukum berubah mengikuti
perubahan zaman), dan taghayyaru al-fatawa bi hasbi taghayyari al-azminati wa al-
amakinati wa al-ahwali wa al-niyati al-awaidi (perubahan fatwa tidak boleh
mengesampingkan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan. Tegasnya,
sangat tidak mungkin akan muncul hukum-hukum baru ketika maksud di balik
diundangkannya hukum tidak tercapai. Fleksibilitas hukum Islam juga bisa
dibuktikan dengan melihat beragam hukum Islam yang berkembang di berbagai
negara. Sama-sama mengadopsi hukum Islam, Indonesia dan Malaysia memiliki
5 Said Ramadhan al-Buti. 1977. Dlawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah, h. 12.6 Felicit Opwis. 2005. “Maslaha in the Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic Law and Society (12: 2), h. 182-223.7 Ibid.
10 | P a g e
ketentuan yang berbeda. Demikian juga dengan Afghanistan, Maroko, Mesir, Sudan,
Kuwait dan Irak, misalnya (Marshall, 2005).8 Perbedaan itu sangat erat kaitannya
dengan situasi lokal yang dihadapi oleh umat Islam. Di Afghanistan, seperti yang
ditulis Joseph Schacht (2003), gerakan purifikasi Islam mengalami hambatan oleh
hukum adat.9 Cerita yang sama juga terjadi di Indonesia, misalnya pertentangan
antara Kaum Adat dan Kaum Paderi di Sumatera.
Meskipun demikian, masih ada ruang perdebatan menyangkut hukum apakah
yang bisa berubah itu. Sebagian ulama’ meyakini perubahan itu bisa berlangsung
pada hukum yang qath’iy maupun yang dzanny. Sementara ulama’ lainnya
berpendapat hanya hukum zhanny-lah yang bisa berubah. Itu bisa dilihat, misalnya,
dari pernyataan Ali Ahmad an-Nadawimembatasi hukum yang dinamis itu hanya
pada hukum yang berdimensi maslahat dan adat.10 Pendapat yang sama juga dianut
oleh Subhi Mahmasani.11 Hanya saja selain adat, dia juga menambahkan hukum yang
bersumber dari negara.
Ijtihad dan Penerapannya dalam Dinamika Zaman
Islam pernah menyaksikan satu masa fanatisme hukum Islam yang luar biasa.
Fanatisme itu berlangsung karena sikap para penganut imam-imam mazhab
melakukan kultisme individu yang berlebihan, sehingga pendapat-pendapat mereka
seolah-olah yang paling benar. Sayyid Sabiq menggambarkan sikap fanatik yang
berlebihan dari kalangan penganut imam mazhab itu dengan mencontohkan apa yang
terjadi pada al-Karkhi. Karena terlalu kagum pada imam mazhab yang dianutnya, al-
Kharki menganggap imam-imam lain salah. Ungkapan dia yang terkenal adalah:
kullu ayatin aw haditsin yukhalifu wa ‘alaihi ashabuna fahuwa wuawwalun aw
mansukhun (setiap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan pendapat imam kami,
maka harus ditakwilkan atau mansukh).12
Situasi ini kemudian melahirkan apa yang sering disebut sebagai tertutupnya
pintu ijtihad. Karena pintu ijtihad tertutup, umat Islam mengalami kemandegan
8 Paul Marshal (ed). 2005. Radical Islam’s Rule:The Worldwide Spread of Extreme Shari’ah Law (Noew York, Toronto, Oxford: Rowman and Littlefield Publisher). 9 Joseph Schact. 2003. Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Islamika)10 Ali Ahmad an-Nadawi. 1994. al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha (Damaskus: Dar al-Qalam), h. 158.11 Subhi Mahmasani. 1961. Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Miliyin), h. 198.12 Sayyid Sabiq. 1968. Fiqh Sunnah Jilid I. (Kuwait: Dar al-Bayan), h. 21.
11 | P a g e
pemikiran. Lalu lahirlah pembaharu-pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyerukan umat Islam akan pentingnya
melakukan ijtihad. Pada masa pemikir-pemikir muslim inilah pintu ijtihad kemudian
dibuka kembali. Ijtihad menjadi instrumen penting yang menghubungkan antara
ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam al-qurân dan Hadits dengan situasi
masyarakat yang selalu berkembang. Terlebih di zaman sekarang, di mana
masyarakat dunia mengalami revolusi teknologi dan informasi yang begitu dahsyat,
pemberlakuakn ijtihad sebagai mekanisme penyelarasan hukum Islam dengan zaman,
menjadi sangat urgen.
Dalam menghadapi globalisasi ini, Amir Syarifuddin13 memberikan gambaran
tentang bagaimana hukum Islam menghadapi globalisasi. Pertama, merumuskan
pendekatan baru dalam memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kondisi
kontemporer zaman. Pendekatan baru ini penting dihadirkan karena pada dasarnya,
para imam terdahulu telah meletakkan dasar-dasar hukum Islam berkaitan dengan
persoalan tertentu. Tetapi konsekwensi logis perkembangan zaman adalah
munculnya masalah-masalah baru dalam bentuk yang berbeda, ketika para imam
mazhab itu merumuskan formula-formula hukum tadi itu. Amir Syarifuddin
memberikan contoh tentang hukum pengalihan hak milik barang dari satu subjek
hukum kepada subjek hukum lainnya. Imam Syafi’i merumuskan pemindahan hak
milik dari satu individu kepada individu lainnya bisa dilakukan secara sah melalui
transaksi yang menggunakan ijab dan qabul. Sementara tidak ada perdebatan tentang
keharusan ijab dan qabul sebagai syarat sah pemindahan hak milik, bagaimana ijab
qabul itu dilangsungkan, bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Misalnya,
bagaimana dalam era globalisasi ini, perdagangan bisa dilakukan secara maya, tanpa
mengharuskan para pihak bertemu secara fisik. Jika formulasi fikih lama yang
dipegangi, maka hukum Islam justru menimbulkan kesulitan bagi umat.
Kedua, menetapkan hukum-hukum baru dengan cara memahami secara
mendalam cara dan tujuan Allah dalam menetapkan hukum. Karena bentuk hukum
selalu menyesuaikan perkembangan zaman, maka ketika penetapan hukum baru
didasarkan pada bentuk-bentuk hukum yang pernah berlangsung, di satu sisi, dengan
mengesampingkan maksud atau tujuan hukum, di sisi lain, maka yang akan lestari
13 Amir Syaifuddin. 2005. Meretas Kebekuan Ijtihad (Jakarta: Ciputat Press), h. 15-7.
12 | P a g e
bukanlah tujuan hukum, melainkan bentuk hukum dan peristiwa. Jika ini yang
berlangsung, maka sebagian dari tujuan hukum Islam akan tidak tercapai.
Kesimpulan
Hukum Islam adalah hukum yang dinamis dan memiliki kemampuan yang
sangat tinggi dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Formulasi hukum
Islam dalam bentuk-bentuk yang baru merupakan kebutuhan mendesak masyarakat
Islam kontemporer, karena pada masa inilah sejumlah persoalan baru yang tidak
pernah ada presedennya pada masa Nabi, khalifah maupun tabi’in muncul. Ketika
masalah-masalah yang demikian itu timbul, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan
kecuali dengan melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Ijtihad, meskipun memiliki potensi kontroversi, tetapi ia sudah ada dalam tradisi
awal perkembangan Islam. Bahkan Nabi Muhammad sebagai peletak dasar hukum
Islam juga memberikan indikasi bolehnya melakukan ijtihad ketika terdapat masalah-
masalah baru yang tidak ditemukan jawaban eksplisitnya dalam al-qurân .
Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan hukum Islam sangat fleksibel dan
memiliki kemampuan adaptif yang luar biasa. Karena itu, menjadi tidak
mengherankan ketika di banyak tempat hukum Islam dipraktikkan secara beragam.
Keragaman itu bukanlah persoalan, ketika tujuan atau maksud hukum terpenuhi.
Sebaliknya, memelihara keseragaman dengan meninggalkan tercapainya maksud
atau tujuan hukum, justru menyisakan persoalan bagi fleksibilitas hukum Islam dan
kemampuannya beradaptasi dengan progresivitas zaman.
Daftar Bacaan
Abou el-Fadhl, Khaled. 2001. And God Knows The Soldiers: The Authoritative and
Authoritarian in Islamic Discourse (Maryland: University Press of America).
13 | P a g e
al-Buti, Said Ramadhan. 1977. Dlawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah.
(Beirut: Muassasah al-Risalah).
al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad. 1971. Syifa’ al-Ghalil fi Bayan
al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masalik al-Ta’lil (Baghdad: al-Irsyad).
an-Nadawi, Ali Ahmad. 1994. al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha,
Tathawwuruha, Dirasat Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha (Damaskus:
Dar al-Qalam).
Ismail, Muhammad Sya’ban. 1985. al-Tasyri’ al-Islami: Masadiruhu wa Athwaruhu
(Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah).
Marshal, Paul (ed). 2005. Radical Islam’s Rule:The Worldwide Spread of Extreme
Shari’ah Law (Noew York, Toronto, Oxford: Rowman and Littlefield
Publisher).
Mahmasani, Subhi. 1961. Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Miliyin).
Opwis, Felicit. 2005. “Maslaha in the Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic
Law and Society (12: 2).
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (Bandung: Mizan).
Sabiq, Sayyid. 1968. Fiqh Sunnah Jilid I. (Kuwait: Dar al-Bayan).
Schact, Joseph. 2003. Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Islamika)
Syaifuddin, Amir. 2005. Meretas Kebekuan Ijtihad (Jakarta: Ciputat Press).