exploring reform options in functional assignments id ok

88
Disusun oleh Dr. Gabriele Ferrazzi 28 Maret 2008 MENJAJAKI OPSI REFORMASI DI BIDANG PEMBAGIAN URUSAN Laporan Akhir

Upload: decentralization-support-facility

Post on 22-Mar-2016

232 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Disusun oleh Dr. Gabriele Ferrazzi 28 Maret 2008 Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja 57 Lampiran 2: Narasumber Utama 59 Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi 60 Lampiran 4: Tugas pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draf PP 62 Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Propinsi 64 Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan 66 Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh 68 DAFTAR ISI 12 Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan ii

TRANSCRIPT

Page 1: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Disusun olehDr. Gabriele Ferrazzi

28 Maret 2008

MENJAJAKI OPSI REFORMASI DI BIDANG PEMBAGIAN URUSAN

Laporan Akhir

Page 2: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan ii

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF iv

PENDAHULUAN 1

1. Konteks studi secara keseluruhan 1

2. Ruang lingkup dan metodologi studi 2

3. Struktur laporan 4

I. POKOK-POKOK DALAM KERANGKA SAAT INI 5

1. Perubahan kerangka pembagian urusan di Indonesia 5

2. Elemen-elemen utama dalam tatanan saat ini 10

II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TINDAKAN YANG

DIPERLUKAN

12

1. Tatanan secara keseluruhan: asas pemerintahan, peran dan struktur 12

2. Kerangka hukum/mekanisme untuk penyesuaian yang sedang berjalan 16

3. Peran gubernur dan propinsi 21

4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan 23

5. Kriteria pembagian urusan 25

6. Urusan konkuren 27

7. Formulasi urusan 30

8. Urusan wajib/standar pelayanan minimum 32

9. Urusan pilihan/hak inisiatif 36

10. Urusan kecamatan 39

11. Urusan desa 40

12. Wujud pengorganisasian dari pembagian urusan 42

13. Pembagian urusan di daerah-daerah khusus 44

14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan 48

15. Proses pembagian urusan 49

III. KESIMPULAN KESELURUHAN 55

Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja

57

Lampiran 2: Narasumber Utama 59

Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi 60

Lampiran 4: Tugas pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draf PP 62

Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Propinsi 64

Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan 66

Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh 68

Page 3: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan iii

DAFTAR SINGKATAN

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

CIDA Canadian International Development Agency

DAK Dana Alokasi Khusus

DAU Dana Alokasi Umum

Depkeu Departemen Keuangan

Depdagri Departemen Dalam Negeri

DRSP Democratic Reform Support Program (Didanai oleh USAID)

DSF Decentralization Support Facility (Fasilitas Pendukung Desentralisasi)

FPPD Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa

GTZ Deutche Gesellschaft Fϋr Technische Zusammenarbeit GmbH

Pemda Pemerintah Daerah

PMD Pemberdayaan Masyarakat Desa

PP Peraturan Pemerintah

SPM Standar Pelayanan Minimal

USAID United States Agency for International Development

WB World Bank (Bank Dunia)

Page 4: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan iv

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pembagian urusan di Indonesia masih tetap menghadapi berbagai tantangan yang

timbul, antara lain, dari sejumlah pembaruan yang terjadi pada kurun waktu 2004-

2007, yaitu periode sejak dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004.

Kesadaran akan adanya tantangan-tantangan tersebut menjadi latar belakang

keputusan Pemerintah Indonesia dalam menerima usulan berbagai donor untuk

melaksanakan suatu studi yang bertujuan mendalami kemajuan yang telah dicapai,

mengidentifikasi hambatan yang masih tersisa, juga peluang untuk membuat kerangka

pembagian urusan yang lebih kuat stabil dan efektif. Studi tersebut dimaksudkan

untuk membantu pemerintah RI dalam menjajaki berbagai arah baru reformasi di

bidang pembagian urusan.

Istilah pembagian urusan dalam studi ini mengacu kepada sebuah konsep yang cukup

luas, dimana didalamnya tercakup tatanan secara meyeluruh dari peranan masing-

masing tingkat pemerintahan juga susunan yang spesifik dari pembagian urusan. Kuat

atau tidaknya suatu kerangka pembagian urusan ditentukan oleh pemilihan yang

seksama dari elemen-elemen yang sesuai dengan konteks lokal, terutama bagaimana

elemen-elemen tersebut membangun suatu tatanan yang logis dan konsisten.

Dalam proses analisanya, studi ini menggunakan pendapat para akademisi dan

pemangku kepentingan lain, baik dalam hal substansi maupun pendekatan

pengembangan kapasitas yang diperlukan untuk membangun jaringan kebijakan yang

tepat di masa yang akan datang. Selain itu, indikasi mengenai peranan yang bisa

dimainkan oleh para donor juga dimuat pada pembahasan masing-masing isu yang

ada dalam laporan utama, dan pada bagian akhir ikhtisar ini dalam bentuk yang lebih

ringkas.

HASIL TEMUAN UTAMA

Proses perkembangan kerangka kerja pembagian urusan sejak periode pra otonomi

melalui dua tahapan reformasi sampai dengan saat ini menunjukkan bahwa kemajuan

yang dicapai tidak selalu berjalan secara linier. Di satu sisi, tatanan yang ada saat ini

sudah lebih canggih dibanding sebagian besar negara berkembang atau bahkan negara

maju lain. Tatanan tersebut sudah memperjelas tiga asas antarpemerintahan (yang

juga dikenal sebagai ―modes of decentralization‖), yaitu desentralisasi (devolved

functions), tugas pembantuan (agency tasks), dan tugas dekonsentrasi

(deconcentration tasks). Selain itu, daerah kabupaten/kota ditunjuk untuk

bertanggungjwab atas sebagian besar pelayanan dasar (general purpose local

government). Kerangka pembagian urusan ini, selain bertujuan untuk menjelaskan

tugas yang harus dilakukan pemerintah daerah, juga menetapkan tingkat prestasi

minimal khusus yang harus dicapai (Standar Pelayanan Minimal - SPM). Perlu juga

diakui bahwa selama dua periode reformasi, konsultasi antarorganisasi tingkat pusat

dan pemerintah daerah menjadi semakin intensif.

Namun demikian, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam hal kejelasan dan peraturan

perundang-undangan yang berkelanjutan. Salah satu indikator kelemahan ini adalah

penyimpangan yang terus menerus dilakukan jajaran instansi sektoral pusat terhadap

Page 5: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan v

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan. Salah satu kelemahan

terbesar yang ada hingga saat ini adalah kurangnya perhatian pada aspek hukum dan

aspek lain yang merupakan bagian dari tatanan pembagian urusan. Tatanan

pembagian urusan merupakan landasan dasar bagi hubungan antara tingkat pusat dan

daerah, dan harus diperhatikan keterkaitannya dengan kerangka hukum, pembagian

teritorial, pembagian peran pada masing-masing tingkat pemerintahan, struktur

organisasi, pendanaan dan aspek pemerintahan lainnya. Masih banyak tugas yang

harus dijalankan dalam upaya membenahi pembagian urusan, sebagaimana diuraikan

dalam ringkasan penjelasan hasil temuan di bawah ini.

1. Tatanan Secara Keseluruhan

Untuk dapat diterapkan dengan baik, definisi mengenai asas pemerintahan haruslah

konsisten mulai dari tingkat undang-undang dasar (atau tugas pembantuan) sampai

dengan tingkat undang-undang dan peraturan pemerintah. Akan tetapi definisi yang

ada dalam peraturan perundangan Indonesia mengenai asas pemerintahan masih

belum sepenuhnya menampilkan konsistensi antarperaturan perundangan. Dengan

mempertimbangkan kondisi tersebut, dikhawatirkan pengesahan rancangan peraturan

yang sedang disusun berkaitan dengan tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi

akan menambah kerancuan yang ada. Ketidakjelasan dalam hal pembiayaan dan

struktur organisasi (khususnya menyangkut peran ganda gubernur) dapat

menimbulkan konsekuensi yang serius dari segi efisiensi dan akuntabilitas.

Suatu amandemen terhadap undang-undang dasar akan dapat memberikan

definisi lebih jelas mengenai asas pemerintahan desentralisasi, prinsip pokok

yang berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan desentralisasi dan

menetapkan hirarki/peranan antar tingkat pemerintahan; panduan tersebut

seharusnya dicerminkan dalam peratuan perundangan yang selaras.

Penetapan rancangan peraturan tentang tugas dekonsentrasi/pembantuan

sebaiknya menunggu adanya amandemen konstitusional (atau paling tidak

undang-undang pemerintahan daerah).

2. Kerangka hukum/mekanisme penyesuaian

Dalam kerangka desentralisasi tahun 1999 dan 2004, Indonesia menggunakan

undang-undang pokok (organic law) untuk menyusun prinsip pembagian urusan dan

menguraikan berbagai urusan umum. Sebuah peraturan pemerintah kemudian

digunakan untuk menyediakan rincian urusan (PP Nomor 38 Tahun 2007 yang sedang

berlaku). Meskipun kepemilikan kementerian sektoral atas PP Nomor 38 Tahun 2007

(melalui berita acara masing-masing) sudah jelas, Pemerintah RI masih belum bisa

menyelaraskan UU mengenai pemerintah daerah dengan UU sektoral (misalnya

pernyataan resmi dari masing-masing kementerian untuk menyetujui teks rancangan

undang-undang).

Selain itu, belum terdapat ketentuan yang memadai untuk meningkatkan tatanan

pembagian urusan. Walaupun PP Nomor 38 Tahun 2007 sudah membahas mekanisme

―urusan sisa‖, PP ini masih kurang terperinci dan tidak nampak menjanjikan.

Page 6: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan vi

Mengingat kesulitan yang dihadapi berkaitan dengan tatanan yang ada saat ini,

Pemerintah RI perlu memperjelas kerangka hukum pembagian urusan yang akan

dianut di masa depan. Hal ini meliputi tahapan yang harus dilalui untuk

mencapai tatanan baru yang diinginkan (misalnya urutan revisi hukum organik

dengan peraturan perundangan di bidang pembagian urusan, atau penataan

menyeluruh terhadap urusan pada instrumen sektoral).

Konflik hukum mengenai pembagian urusan perlu dipetakan dengan

mengandalkan kombinasi pendekatan bottom up (dimotori oleh pemerintah

daerah) dan centrally driven (dimotori oleh pemerintah pusat) untuk melihat

instrumen sektoral terkait urusan pemerintahan yang perlu disesuaikan.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu menjalin kerjasama yang erat

dengan pihak/badan nasional yang dapat menyediakan upaya dan penekanan

lebih kuat pada bidang harmonisasi sektoral.

Perlu dikembangkan mekanisme untuk menangani urusan yang belum

terdaftarkan dan urusan yang perlu dialihkan secara dinamis ke atas atau ke

bawah, dari satu tingkat pemerintahan ke tingkat yang lain.

3. Peranan gubernur dan pemerintah propinsi

Berbeda dengan pernyataan awal resminya, revisi terbaru peraturan mengenai

pembagian urusan tidak secara signifikan menjelaskan dualitas ‖propinsi vs.

Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat‖ ataupun memperkuat peranan

gubernur di bidang tersebut. PP Nomor 38 Tahun 2007 justru memberikan peranan

yang memberatkan pemerintah daerah propinsi (dalam bentuk Urusan Desentralisasi)

berkaitan kabupaten/kota nyaris untuk semua urusan, yang mencakup pembinaan,

monitoring dan evaluasi, fungsi pengendalian, koordinasi, perencanaan, dan

penyelesaian konflik. Sementara itu, sebuah rancangan peraturan tentang peranan

gubernur sedang dipersiapkan, yang nampaknya akan bertentangan dengan

pengaturan (ulang) pembagian urusan yang ada sekarang.

Dibutuhkan visi yang jelas mengenai peranan propinsi/gubernur, dengan

mempertimbangkan kelebihan/kekurangan semua pilihan pokok berkaitan asas

pemerintahan yang digunakan; opsi yang ada perlu dipertimbangkan dengan

baik (lihat Lampiran 5).

4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan

Prinsip ―money follows functions‖ (pendanaan mengikuti pembagian urusan) memang

dengan jelas tercantum dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah, namun

pada praktiknya diabaikan. Dana dekonsentrasi yang jumlahnya terus meningkat

digunakan untuk mendanai urusan daerah; pengalihan penggunaan dana dekonsentrasi

menjadi DAK yang lebih sesuai dengan bentuk otonomi sepertinya masih belum

diterapkan secara signifikan. Jumlah besaran DAU and DAK juga tidak berhubungan

(kecuali secara kebetulan) dengan biaya sesungguhnya yang dibutuhkan pemerintah

daerah untuk menjalankan tugasnya sesuai kinerja yang diharapkan. Selain itu, biaya

berkaitan pencapaian SPM perlu diperhitungkan dengan seksama dan diterjemahkan

menjadi norma belanja daerah yang dapat diintegrasikan ke dalam mekanisme

Page 7: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan vii

penyerahan dana ke daerah. Mekanisme pendanaan dari donor secara off-budget

(tidak tercatat dalam anggaran), dan praktik seleksi daerah penerima makin

mempersulit upaya menyeimbangkan antara kebutuhan akan pelayanan dengan

pendanaan dalam negeri. Upaya untuk menetapkan input (dana) juga membuat proses

perencanaan/penganggaran daerah menjadi lebih rumit (dengan adanya ambiguitas

pengelompokan biaya) dan kaku.

Perlu kerangka hukum yang lebih rinci dan tegas tentang upaya mencapai

keseimbangan antara aspek urusan dan pendanaan.

Perlu upaya yang lebih intensif untuk menghitung biaya yang diperlukan oleh

pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan dasar dan untuk

mencerminkan biaya tersebut dalam mekanisme transfer (penyerahan dana) ke

daerah.

Proyek-proyek donor perlu mengalokasikan sumber daya (keuangan, bantuan

teknis) sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan pada tingkatan yang

berbeda-beda. Kecuali untuk bantuan darurat, pendanaan donor untuk investasi

pemerintah daerah sebaiknya hanya diberikan secara on-budget (dengan

persetujuan pusat) dan hanya sebagai percontohan dengan maksud

menyesuaikan mekanisme keuangan pusat-daerah agar kaitannya antar urusan

dan pembiayaan semakin kuat.

5. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan

Pada umumnya, kriteria pembagian urusan yang ada dalam PP Nomor 38 Tahun 2007

sudah cukup baik (dari sisi eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas), walaupun faktor

―kapasitas administratif‖ masih belum muncul. Sebagian besar penjelasan kriteria

tersebut masih sangat kurang penjelasannya dan secara umum tidak diterapkan secara

transparan.

Sebaiknya kriteria pembagian urusan disesuaikan, agar mencakup ―kapasitas

administratif‖ dan memperjelas akuntabilitas.

Untuk menunjang transparansi dan akuntabilitas, ke depannya dalam

penerapan kriteria pembagian urusan, agar disusun dokumentasi keputusan

yang disediakan bagi pihak yang membutuhkan.

6. Konsep urusan konkuren (concurrent functions)

Urusan konkuren di Indonesia (baru-baru ini istilahnya disesuaikan menjadi ―urusan

bersama‖) mencerminkan prinsip bahwa di luar sejumlah urusan eksklusif pemerintah

pusat, semua urusan lainnya ―dibagi‖, dengan pengertian bahwa sebagian urusan

ditangani pemerintah pusat dan sebagian sisanya oleh pemerintah daerah. Pengertian

tersebut berbeda dengan pengertian yang digunakan dalam praktik internasional, dan

mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman. Selain itu, PP Nomor 38 Tahun 2007

memuat beberapa urusan yang sama rumusannya baik untuk tingkat propinsi maupun

kabupaten/kota. Karena istilah ‖konkuren‖ sepertinya tidak berlaku pada tatanan ini,

sulit untuk mengetahui apakah kesamaan rumusan ini merupakan suatu kesalahan

Page 8: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan viii

atau disengaja dengan maksud yang jelas, dan apabila disengaja, konsep/argumen apa

yang yang dapat menjelaskannya.

Terdapat dua opsi yang dapat dipertimbangkan:

Opsi A: Menerapkan urusan konkuren yang konsisten dengan praktik

internasional, apabila dianggap perlu.

Opsi B: Apabila urusan konkuren, dalam pengertian internasional, dipandang

tidak sesuai, maka sebaiknya konsep urusan konkuren dihapuskan saja

(demikian juga dengan ‘urusan bersama‘).

7. Perumusan urusan

Kelemahan perumusan urusan sepertinya terdapat di aturan hukum pokok, khususnya

dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Kelemahan ini menimbulkan batu sandungan yang

juga banyak terdapat di negara lain, misalnya penggunaan yang ambigu dari istilah

―skala‖ untuk menjelaskan sifat urusan dan penggunaan mandat organisasi tingkat

pusat sebagai titik awal dari pembagian urusan. Selain itu, rumusan tersebut masih

memiliki kaitan yang lemah dengan kerangka/tatanan urusan yang lebih besar di

bidang asas pemerintahan, konstruksi general competence versus ultra vires, dan

urusan bersifat wajib versus pilihan.

Agar dipertimbangkan upaya peningkatan kapasitas individu/unit dalam

Kemendagri untuk menggalakkan praktik yang baik di bidang pembagian

urusan (misalnya antarkementerian sektoral), khususnya dalam perumusan

urusan.

8. Urusan wajib/Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999, urusan wajib dan SPM telah

diperjelas dan mulai ‖disosialisasi.‖ Ketentuan tentang SPM sekarang sudah

diintegrasikan dengan baik dalam kerangka hukum (mengenai proses perencanaan,

penganggaran, monitoring dan evaluasi, laporan pertanggungjawaban), dan sedang

diambil langkah-langkah untuk menyusun petunjuk operasional SPM. Kendatipun

demikian, rancangan daftar urusan wajib/SPM kementerian sektoral menunjukkan

pengertian yang berbeda-beda antar instansi sektoral. Hal ini berarti masih diperlukan

koordinasi untuk menyatukan persepsi atas peranan dan kinerja pemerintahan daerah,

terutama konsensus mengenai ruang lingkup SPM yang terkait dengan urusan wajib

(apakah semua urusan wajib membutuhkan SPM?); pembedaan prinsip urusan wajib

dengan urusan pilihan, dan perbedaannya dalam standar penerapannya; urusan wajib

mana sajakah yang benar-benar wajib (mengingat berbagai daftar urusan yang

panjang dan ambigu dalam PP Nomor 38 Tahun 2007).

Sepertinya konsep urusan wajib/SPM perlu dibenahi agar instansi sektoral

dapat menyusun usulan konsep urusan wajib/SPM yang kuat, yaitu dapat

diukur/dilaporkan, sesuai dengan kapasitas administratif setempat, dan dengan

biay yang terjangkau.

Page 9: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan ix

Tujuan dari sejumlah kementerian sektoral untuk melaksanakan

pengembangan kapasitas di daerah yang berkaitan dengan pencapaian SPM

mendapat respon positif dari para donor. Dalam hal ini, perlu juga diberikan

perhatian khusus pada kementerian sektoral itu sendiri.

Pembentukan secara formal kelompok kerja SPM yang sempat akan dibentuk

di bawah Permanent Secretariat of the Joint Working Group for

Decentralization mungkin dapat direalisasikan sekarang. Pokja ini dapat

membantu donor untuk mendukung Pemerintah RI dan pemerintahan daerah

sesuai prinsip harmonisasi dan kesesuaian (alignment).

9. Urusan pilihan/hak inisiatif

Urusan pilihan mulai diperkenalkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, dan

dicantumkan ulang, dengan rumusan yang agak samar, dalam PP Nomor 38 Tahun

2007; urusan ini harus dirinci dan diatur dalam peraturan daerah paling lama satu

tahun setelah PP Nomor 38 Tahun 2007 disahkan; sehingga pemerintah daerah mau

tidak mau harus membuat daftar urusan tersebut secara jelas sebelum mulai

menjalankannya. Banyak pertanyaan terbuka yang muncul dengan diberlakukannya

konsep urusan pilihan, terutama pertanyaan mengenai perbedaan urusan pilihan

dengan urusan wajib. Nampaknya definisi urusan pilihan yang diterapkan di

Indonesia berbeda dengan definisi internasional, dan dinilai membatasi pemerintah

daerah untuk memperluas struktur organisasinya. Oleh karena itu, definisi tersebut

bukanlah alat yang sesuai untuk memperkenalkan ―hak inisiatif‖ dalam pelaksanaan

urusan.

Konsep urusan pilihan yang ada saat ini sebaiknya tidak digunakan karena

tidak secara langsung berkaitan dengan urusan pemerintahan secara intrinsik,

dan tidak terlalu bermanfaat untuk mengatasi masalah struktur organisasi yang

luas (organizational excesses).

Urusan pilihan dapat dikembangkan melalui suatu konsep yang sesuai arti

internasional, yang dapat meningkatkan otonomi pemerintah daerah melalui

―hak inisiatif‖

10. Urusan tingkat kecamatan

Berbagai kajian terbaru menunjukkan bahwa pergeseran peran Camat/kecamatan

memperlemah struktur ini, dan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota pada

umumnya belum sepenuhnya memberdayakan tingkat administratif (dekonsentrasi)

ini. Terdapat konsensus yang luas bahwa pemerintah kecamatan seharusnya

diberdayakan dengan lebih optimal, khususnya dalam hal penyediaan pelayanan.

Berkaitan dengan hal ini, sudah mulai dilakukan diskusi mengenai berbagai pilihan

mendasar; apakah akan mempertahankan kerangka kecamatan yang kini berlaku, atau

dibutuhkan suatu intervensi dari pemerintah pusat.

Penjajakan peranan kecamatan sebaiknya dapat diselesaikan tepat waktu untuk

dimasukkan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Perlu dipertimbangkan

dengan tuntas dua pilihan pokok; apakah perlu memberikan pedoman bagi

kabupaten/kota agar memaksimalkan fungsi kecamatan, atau apakah

Page 10: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan x

diperlukan penetapan daftar urusan kecamatan (secara rinci) oleh pemerintah

pusat.

Apabila pemerintah mempertahankan bentuk/mandat kecamatan sebagai

perpanjangan kabupaten/kota, perlu dipertimbangkan penghapusan kriteria

―jumlah minimal kecamatan‖ sebagai salah satu ketentuan pemekaran

kabupaten/kota.

11. Urusan tingkat pemerintah desa

UUD ‘45 tidak menyinggung pengaturan otonomi desa, dan UU Nomor 32 Tahun

2004 dan PP Nomor 72 Tahun 2005 mencantumkan bahwa kabupaten/kota harus

mendelegasikan tugas ke tingkat desa. Namun walaupun Kemendagri telah

mengeluarkan peraturan untuk hal ini, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam

prosesnya, bisa jadi karena peraturan tersebut masih kurang jelas. Sepertinya terdapat

sedikit titik terang dari hasil upaya perumusan kebijakan yang difasilitasi suatu LSM,

namun Kemendagri masih belum memberikan tanggapan yang pasti terhadap usulan

ini. Tetapi usulan ini pun masih perlu diperjelas serta dijabarkan lebih lanjut, dan

masih menghadapi pilihan kebijakan yang mendasar yang sama sebagaimana dihadapi

dalam pemberdayaan tingkat kecamatan.

Opsi A: Mempertahankan pendekatan di mana kabupaten memainkan peranan

utama dalam mengatur kerangka pemerintahan desa (termasuk tugas

pembantuan dari kabupaten kepada desa), dengan melaksanakan upaya

peningkatan agar sistem ini dapat berjalan sesuai harapan.

Opsi B: Menempatkan desa sebagai tingkat pemerintahan otonomi ketiga,

sesuai dengan studi yang dikembangkan oleh PMD/FPPD, di mana desa

diberikan (berdasarkan undang-undang/peraturan) serangkaian urusan

pemerintahan yang menjadi wewenang desa sepenuhnya, sementara sebagian

urusan yang merupakan urusan turunan dari tingkat kabupaten/kota harus

dinegosiasi dengan kabupaten/kota.

12. Kesesuaian organisasi dengan pembagian urusan

Peraturan tentang struktur organisasi daerah yang diterapkan selama dasawarsa

terakhir cenderung mempersempit peluang untuk menyesuaikan bentuk organisasi

pemerintah daerah dengan beban urusan. Masih belum dapat dipastikan apakah PP

Nomor 41 Tahun 2007 akan dapat menyeimbangkan dengan baik nilai

keseragaman/ekonomis (yang ditekankan oleh pemerintah pusat) dan

mengintegrasikannya dengan beban kerja urusan dan karakteristik daerah setempat

dan pengguna pelayanan di daerah tersebut.

Kerangka desentralisasi yang berlaku saat ini masih kurang menyentuh upaya

restrukturisasi instansi sektoral yang sudah menyerahkan sebagian wewenang ataupun

yang beralih peran. Sejauh ini, dorongan untuk melaksanakan restrukturisasi berasal

dari Menpan. Namun, masih saja terjadi pembengkakan instansi di tingkat pusat yang

jauh melebihi fungsinya, antara lain dipicu oleh mudahnya akses terhadap dana

dekonsentrasi dan DAK.

Page 11: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xi

Aspek lain yang juga penting adalah kurangnya kejelasan dalam berbagai rancangan

(draft) peraturan perundangan mengenai peran propinsi dan gubernur. Jika pemilihan

asas pemerintahan tidak tepat, dapat menimbulkan kompleksitas dalam cakupan unit

pelaksana sehingga akan menghambat akuntabilitas.

Diperlukan upaya yang lebih intensif untuk memandu restrukturisasi instansi

sektoral di tingkat pusat sejalan dengan penurunan kegiatan dekonsentrasi dan

peningkatan dukungan strategis bagi pemerintah daerah.

Peranan pemerintah propinsi perlu diperjelas dalam hal hubungan unit

desentralisasi (devolusi/otonomi) dengan unit/wakil perpanjangan pemerintah

pusat (dekonsentrasi).

Diperlukan klarifikasi hak instansi sektoral untuk membentuk unit

dekonsentrasi dan kewajiban menjadikan gubernur sebagai wakil pemerintah.

Perlu diberikan jaminan bahwa pemerintah daerah akan mendapat

insentif/arahan untuk membentuk organisasi daerah yang efisien, mendorong

pembentukan daerah yang sesuai dengan beban urusan dan karakteristik

setempat.

13. Pembagian urusan di daerah otonomi khusus

Indonesia telah membentuk empat daerah propinsi dengan status khusus, dua di

antaranya dengan status otonomi khusus, yaitu Papua (UU No. 21 Tahun 2001) dan

Nanggroe Aceh Darussalam (UU No. 11 Tahun 2006). Kekhususan dua daerah ini,

berkaitan dengan urusan pemerintahan, tidak terlalu menonjol di tengah berbagai hal

yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus. Bahkan dari beberapa aspek

terlihat bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan otonomi khusus

berlaku, namun pada beberapa bagian sistem hukum (atau pandangan resmi) lainnya,

sistem yang bersifat umumlah (UU 32/2004 dan PP 38/2007) yang berlaku.

Aceh, dengan dukungan oleh pemerintah pusat, memprakarsai upaya untuk

memperjelas kerangka asas pemerintahan dengan mengkombinasikan peraturan

pemerintah (dengan penanggungjawab Kemendagri, dalam hal peranan pemerintah

pusat di Aceh) dengan serangkaian Qanun sektoral Aceh yang membagi urusan

pemerintah antar tingkat propinsi dengan kabupaten/kotanya. Papua belum sampai

tahap klarifikasi/penyesuaian kerangka hukum, dan masih menunggu proses evaluasi

status otonomi daerahnya sebelum dibuat perubahan hukum lebih lanjut.

Undang-undang otonomi khusus perlu dikaji untuk menilai apakah terdapat

kejelasan ketentuan dalam UU No. 32/2004 yang berlaku, dan ketentuan apa

dalam undang-undang otonomi daerah yang menimpa/menggantikan atau

menambah hal baru terhadap ketentuan dalam UU No. 32/2004 tersebut.

Kajian ini juga perlu menilai kejelasan atas pembagian urusan antara tingkat

propinsi dan tingkat di bawahnya, atau mekanisme untuk mencapai pembagian

tersebut.

Diskusi tentang aspek pembagian urusan perlu diperluas terutama untuk hal-

hal yang dapat digunakan untuk menjaga persatuan nasional, secara khusus

mengenai peranan pemerintah pusat dalam menentukan standar berkaitan

Page 12: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xii

urusan yang diberikan kepada daerah, terlepas dari rezim otonomi daerah yang

berlaku.

Sebaiknya pemerintah pusat memberikan perhatian lebih terhadap upaya Aceh

untuk menangani pembagian urusan antara pemerintah propinsi dengan

kabupaten/kota (dan untuk menyetujui suatu forum sebagai mekanisme

konsultasi yang sedang berlanjut mengenai kebijakan pemerintah yang

mempengaruhi Aceh), untuk menilai sejauh mana proses dan tatanan hukum

dapat dijadikan contoh bagi propinsi lain.

Mengingat pentingnya pembagian urusan, evaluasi pengalaman otonomi

Papua perlu menekankan peranan MPR dan evolusi dalam penataan daerah.

14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan

Penataan daerah (territorial reform) merupakan salah satu aspek yang ditangani

dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Terdapat sejumlah kekhawatiran terhadap

kemampuan daerah baru/calon daerah baru dalam memikul beban urusan

pemerintahan. Sudah dilakukan sejumlah pembahasan mengenai kemungkinan

menetapkan ambang batas jumlah penduduk untuk menghindari ketidakmampuan

daerah menjalankan fungsi pemerintahannya, namun masih belum jelas sejauh mana

dukungan para pembuat kebijakan terhadap hasil pembahasan ini.

Agar dipertimbangkan ambang batas jumlah penduduk kabupaten/kota untuk

menghindari keterbatasan daerah dalam menjalankan urusan yang diberikan

secara seragam kepada semua daerah.

Bagi daerah otonomi khusus, perlu dipertimbangkan untuk memberikan

wewenang menyelenggarakan penataan daerah agar urusan pemerintahan

dapat diselaraskan dengan skala daerah yang ditetapkan.

15. Proses pembagian urusan

Dalam dasawarsa terakhir ini, dapat dikatakan sudah ada tiga tahapan reformasi atau

pembaruan peraturan perundangan yang mengatur masalah otonomi daerah, termasuk

upaya untuk merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terdapat sejumlah

perbedaan ‖proses‖ pendekatan, sebagian besar proses utamanya tetap sama. Baik

pengalaman maupun kemampuan Indonesia dan internasional masih kurang

dimanfaatkan dengan optimal, dan proses konsultasi juga masih dikelola dengan

buruk. Selain itu, para ahli Indonesia yang mampu menyumbangkan pikiran seputar

isu pembagian urusan baru sedikit dan jaringannya masih kurang kuat –masih belum

ada jaringan tingkat kebijakan (policy network) untuk bidang ini. Sejumlah ahli yang

direkrut untuk mendukung upaya penyusunan kebijakan pemerintah pun sepertinya

masih belum berhasil sepenuhnya menghubungkan upaya kebijakan pemerintah

dengan kegiatan diseminasi/ karya akademis mereka sendiri.

Diperlukan proses perumusan dan pengembangan kebijakan yang lebih

sistematis dan tidak tergesa-gesa, dengan memperhatikan pengembangan

gagasan/ pembahasan yang lebih spesifik, dengan persiapan data empiris (dari

Indonesia dan negara lain) yang lebih baik dan dengan menjajaki opsi

kebijakan secara tuntas.

Page 13: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xiii

Perlu dipertimbangkan untuk mengelola proses pembagian urusan melalui

komisi pemerintah, atau komisi khusus nonpemerintah yang dapat bekerja

secara lebih intensif dan lebih leluasa dalam mengumpulkan masukan dan

partisipasi pemangku kepentingan. Kemungkinan lain yang dapat

dipertimbangkan adalah pendekatan di mana sejumlah ahli (diluar para ahli

yang disebutkan diatas) didorong untuk menyusun masukan yang matang dan

siap digunakan oleh pemerintah.

Diperlukan strategi jangka panjang untuk memperkuat jaringan tingkat

kebijakan (policy network) bidang otonomi daerah, khususnya tentang isu

politis-administratif yang terbukti bermasalah (pembagian urusan, peranan

berbagai tingkat pemerintahan, peranan ganda kepala daerah, pembinaan

daerah, pemekaran daerah, daerah otonomi khusus). Kelompok sasaran dapat

terdiri dari lembaga akademis, penelitian, dan organisasi yang mewakili

pemerintah daerah.

IMPLIKASI BAGI DONOR

Para donor telah, atau sedang, mendukung hampir semua upaya pembaruan dengan

lima belas tema terkait pembagian urusan yang telah dibahas di atas. Dukungan

tersebut mengalami pasang surut dalam tiga periode reformasi, dan menghasilkan

sejumlah keberhasilan maupun hasil yang kurang dapat dimanfaatkan Pemerintah RI.

Hal-hal itu merupakan dinamika yang sudah biasa ditemui dalam pemberian bantuan

teknis. Merujuk pada hal tersebut, pengalaman dalam bidang reformasi yang luas ini

menunjukkan bahwa dukungan lembaga donor akan dapat lebih efektif jika diberikan

secara konstan atau menyeluruh (misalnya bekerja sama melalui proyek lintas-

sektoral/bantuan teknis di antara lembaga donor), atau ditawarkan dalam bentuk yang

berbeda. Secara khusus, pengalaman ini menyarankan bahwa pergeseran pendekatan

mungkin dibutuhkan, dengan melakukan investasi jangka panjang untuk para pelaku

Indonesia yang dapat membentuk jaringan kebijakan, dengan menghindari kelemahan

yang ditimbulkan oleh bantuan teknis langsung dari donor dalam hal penerimaan dan

keberlanjutan.

Para lembaga donor menunjukkan minat mendukung pembentukan jaringan kebijakan

pribumi yang berkembang di Indonesia di masa lalu namun masih belum berhasil,

terutama disebabkan oleh penetapan orientasi yang berjangka pendek dan masih

kurang mengambil pelajaran dari pengalaman Indonesia maupun negara lain di masa

lalu. Meskipun gagasan untuk melibatkan pihak perantara untuk mendukung

kebijakan semakin dapat diterima oleh para donor, dan sampai tahap tertentu sudah

diterapkan, masih belum pasti apakah para donor berminat untuk memberikan

komitmen dengan jangka waktu yang lebih panjang yang akan dibutuhkan untuk

mendukung jaringan tersebut.

Para akademisi dan pemangku kepentingan lain tampaknya memberikan tanggapan

yang cukup baik mengenai pembentukan jaringan kebijakan di bidang ini. Penerimaan

dan peran serta mereka hendaknya jangan diterima begitu saja; terkadang minat

tersebut lebih mencerminkan pendapat pribadi dan bukan pandangan

lembaga/institusi. Selain itu, hal tersebut juga sangat tergantung pada hubungan

khusus dengan lembaga donor. Keinginan untuk mengembangkan jaringan kebijakan

Page 14: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xiv

ini di kalangan Kemendagri dan organisasi-organisasi pemerintah lain juga

merupakan suatu isu tersendiri. Kecenderungan untuk menggunakan perantara

mungkin karena adanya praktik pemilihan selektif orang-orang yang berasal dari

lembaga-lembaga yang sudah diunggulkan (favorit), di mana keterlibatan mereka

cenderung didanai lembaga donor secara hands-off (tanpa campur tangan lembaga

donor tersebut). Meskipun hal tersebut patut diwaspadai, tetap diperlukan adanya

dialog tentang perspektif jangka panjang untuk mencapai kemajuan di bidang

kebijakan ini.

Page 15: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 1

PENDAHULUAN 1. Konteks studi secara keseluruhan

Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain1, pengalaman di bidang desentralisasi

menunjukkan bahwa pembagian urusan antar tingkatan pemerintah bukanlah hal yang

mudah. Kerangka desentralisasi telah mengalami dua periode perubahan (tahun 1999 dan

2004) dengan tujuan memperjelas peran dan tanggung jawab, dan kini upaya yang ketiga

sedang berlangsung. Meskipun proses yang dijalani mungkin tidak mudah, pembagian

urusan pemerintahan yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik sangat penting bagi

keberhasilan desentralisasi pemerintahan. Dalam melaksanakan upaya ketiga ini,

Indonesia dapat meningkatkan peluang keberhasilannya dengan belajar dari pelaksanaan

reformasi sebelumnya juga dengan memperhatikan pengalaman negara-negara lain.

Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 memperkenalkan beberapa perubahan yang berani

mengenai ―siapa yang melakukan apa‖ dalam rangka melaksanakan desentralisasi dan

reformasi yang lebih luas. Namun, kerangka desentralisasi ini masih memiliki beberapa

kelemahan dalam tatanan pembagian urusan secara umum, dari segi struktur dan

penjabaran komponen-komponennya. Para pelaksana di daerah juga belum siap

melaksanakan tatanan baru yang berani ini, sehingga ketegangan antara berbagai tingkat

pemerintahan meningkat dalam waktu singkat sebagai akibat dari kesalahan pengertian

dan berbagai kesenjangan dalam kerangka tersebut. Konflik-konflik di bidang perikanan,

kehutanan, pendidikan dan berbagai bidang lainnya timbul2 sehingga semakin mendorong

dilakukannya perubahan dalam undang-undang kerangka desentralisasi — sebagai akibat

dari situasi yang semakin memuncak, diterbitkanlah PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan3 sebagai penjabaran dari ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Hasil tinjauan terhadap revisi kerangka desentralisasi tahun 2004 yang dilaksanakan oleh

pemerintah dan proyek-proyek dukungan para donor mengungkapkan bahwa masih

terdapat beberapa tantangan besar dalam hal pembagian urusan – sebagian bahkan berasal

dari ketentuan-ketentuan yang baru itu sendiri4. Karena menyadari bahwa revisi ini belum

sepenuhnya mengatasi kesenjangan-kesenjangan dan kelemahan-kelemahan dalam

kerangka awal maka Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah menerima tawaran para

donor untuk melaksanakan suatu studi guna mendalami kemajuan yang telah dicapai,

hambatan-hambatan yang masih tersisa dan peluang-peluang untuk membuat kerangka

pembagian urusan yang lebih kuat, stabil dan efektif (lihat Kerangka Acuan Kerja untuk

studi ini dalam Lampiran 1). Hasil studi ini berguna bagi Pemerintah Indonesia maupun

1 Konferensi Tingkat Menteri Se-Asia Timur tentang Penegakan Hukum Kehutanan dan Tata Pemerintahan,

di Bali, Indonesia (2001), Deklarasi Tingkat Menteri tanggal 11-13 September 2001; hal 1. 2 Lihat, misalnya, Kerangka Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir:

Tinjauan Penting dan Rekomendasi, Pengelolaan Samudera dan Pesisir, Jilid 49, Butir 1-2, Hal 68-92, oleh

Dirhamsyah D. (2006). 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 4 Lihat DRSP (2006). Inventarisasi Upaya Reformasi di Bidang Desentralisasi di Indonesia – Laporan

Utama, yang disusun untuk Kelompok Kerja Donor di Bidang Desentralisasi.

Page 16: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 2

para donor yang ingin mendukung upaya-upaya berkelanjutan Pemerintah Indonesia di

bidang desentralisasi.

Studi ini dipandu oleh staf GTZ - Advisory Support Services for Decentralization5, dan

didanai oleh Decentralization Support Facility/DSF; studi ini termasuk dalam bidang

fokus DSF ―Penguatan Kerangka Lintas Pemerintah‖ (Strengthening Intergovernmental

Framework). Studi ini dilaksanakan melalui kerjasama yang erat dengan para mitra yang

sangat penting; Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Bappenas dan Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), untuk memastikan terjaganya relevansi dan

mendukung pembangunan kapasitas instansi-instansi tersebut di bidang pembagian urusan.

Secara spesifik, studi ini mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari tatanan pembagian

urusan saat ini berdasarkan isi kebijakan dan peraturan maupun tanggapan stakeholder

(lihat Lampiran 2 tentang daftar narasumber utama yang memberikan informasi untuk

studi ini). Hasil analisa ini diharapkan akan bermanfaat bagi proses revisi UU Nomor 32

Tahun 2004 yang diperkirakan akan berlangsung sampai akhir tahun 2008. Meskipun telah

dilakukan untuk ketiga kalinya dalam periode reformasi Indonesia, revisi tersebut

kemungkinan belum akan mencapai hasil yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu,

studi ini juga memberikan perspektif untuk jangka waktu yang lebih panjang agar dapat

lebih memperkuat dan menyelaraskan kerangka kebijakan dan kerangka hukum, dan studi

ini juga mendorong dukungan multi-donor yang lebih selaras (harmonized) dalam

mendukung tujuan-tujuan yang berjangka lebih panjang tersebut.

Studi ini melibatkan sejumlah pembahasan dengan tim yang ditunjuk pemerintah

berkenaan dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Sebuah laporan awal telah

disampaikan kepada Pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2007. Sebuah presentasi

disampaikan kepada para donor DSF pada pertengahan November yang lalu, dan sebuah

presentasi terpisah disampaikan kepada para stakeholder Indonesia dan sejumlah donor

pada akhir bulan November. Kesempatan untuk mengulas draft laporan tersebut diberikan

di akhir bulan Desember. Draft laporan ini digunakan dalam rangka pembahasan ASSD

tentang revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan khususnya isu Standar Pelayanan Minimum

pada bulan Maret 2008. Draft laporan ini juga digunakan oleh USAID-DRSP untuk

mendukung kegiatannya dengan mitra utama pemerintah di bidang pemekaran wilayah

(territorial reform). Selain itu, staf Bappenas juga telah menunjukkan minatnya untuk

memanfaatkan draft laporan ini untuk memainkan peran mereka dalam mendukung

otonomi daerah. Draft akhir laporan ini akan disebarluaskan kepada pihak pemerintah,

donor dan para stakeholders.

2. Ruang lingkup dan metodologi studi

Studi ini meninjau perkembangan pembagian urusan sejak era pra-desentralisasi

(berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah)

sampai awal era reformasi tahun 1999 serta revisi baru-baru ini yang mencapai puncaknya

melalui PP Nomor 38 Tahun 2007 (yang menjabarkan revisi yang dimuat dalam UU

Nomor 32 Tahun 2004).

5 Suatu kerjasama antara Kementerian Federal di Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ),

yang diimplementasikan melalui GTZ, dengan Departemen Dalam Negeri. GTZ menyediakan dukungan

bagi Depdagri dan badan-badan lain di tingkat pusat dalam menginisiasi dan melembagakan pembuatan

kebijakan secara partisipatif dan transparan di bidang desentralisasi dan pemerintahan daerah. GTZ telah

cukup lama memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia di bidang pembagian urusan.

Page 17: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 3

Pembagian kewenangan pendapatan pemerintah tidak dibahas (hal ini diperlakukan secara

terpisah dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah)

tetapi kesesuaian antara urusan pemerintahan dengan pembiayaan akan sedikit disinggung.

Istilah pembagian urusan (functional assignment) digunakan dalam studi ini karena

konsepnya lebih luas daripada ―pembagian belanja pemerintah‖ (expenditure assignment);

istilah pembagian urusan lebih cenderung mencakup tatanan keseluruhan peran dan jenis

urusan di antara berbagai tingkat pemerintahan dan mempertegas kegiatan-kegiatan yang

mungkin tidak membutuhkan dana dalam jumlah besar namun sangat penting bagi tata

kelola pemerintahan (misalnya pengaturan perdagangan).

Pembagian urusan meliputi sejumlah elemen, dan sesuai atau tidaknya elemen-elemen

tersebut perlu dilihat dari pilihan elemen-elemen yang spesifik serta kesesuaian di antara

elemen-elemen yang dipilih (keseluruhan tatanannya). Studi ini memeriksa tatanan secara

keseluruhan beserta elemen-elemen utamanya:

1. Tatanan secara keseluruhan (asas pemerintahan, peran dan struktur)

2. Kerangka hukum dan mekanisme untuk penyesuaian yang masih berjalan

3. Peran gubernur dan pemerintah provinsi

4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan

5. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan

6. Konsep urusan-urusan konkuren

7. Perumusan urusan

8. Urusan wajib/Standar Pelayanan Minimum

9. Urusan pilihan/hak inisiatif

10. Urusan ditingkat pemerintah kecamatan

11. Urusan ditingkat pemerintah desa

12. Kesesuaian organisasi dengan urusan

13. Pembagian urusan di daerah-daerah otonomi khusus

14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan

15. Proses pembagian urusan dan peningkatan kapasitas yang diperlukan

Berdasarkan temuan-temuan yang terkait dengan status kerangka dan proses

pengembangan kebijakan yang diterapkan, maka disarankan agar diambil upaya-upaya

peningkatan kapasitas yang dapat memperkuat pembuatan kebijakan di bidang ini. Karena

pembagian urusan bersifat kompleks maka akan lebih baik jika dibentuk jaringan

akademisi/pakar di bidang ini, di Indonesia, untuk mendukung Pemerintah dalam upaya-

upayanya di masa mendatang. Oleh karena itu, studi ini memanfaatkan pendapat-pendapat

para akademis baik tentang isu substantif maupun pendekatan peningkatan kapasitas yang

diperlukan untuk mengembangkan jaringan kebijakan (policy network) di masa

mendatang.

Studi ini juga mencakup pandangan-pandangan asosiasi pemerintah daerah dan uraian

mengenai peluang-peluang untuk melaksanakan peningkatan kapasitas para pelaksana

dalam merealisasikan kebijakan dan ketentuan-ketentuan hukum tentang pembagian

urusan. Selain itu, disinggung juga peran dukungan dari para donor.

Dalam studi ini, dilakukan analisa terhadap perangkat hukum yang ada, media massa

(untuk mencakup pembahasan/diskusi yang lebih luas), pertemuan-pertemuan baik

individu maupun kelompok, dengan narasumber utama/stakeholder untuk memastikan

Page 18: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 4

pendapat-pendapat tentang isu-isu substantif dan prosedural, serta dua lokakarya untuk

mempresentasikan hasil-hasil temuan.

3. Struktur laporan

Laporan terbagi menjadi tiga bagian di mana bagian pertama menjelaskan konteks historis

dan tatanan yang ada saat ini. Kemudian kajian mengenai kelima belas pokok pembagian

urusan; setiap bagian mencakup sebuah isu tertentu dan diawali dengan latar belakang

praktik internasional kemudian dilanjutkan dengan status di Indonesia dan ditutup dengan

rekomendasi. Dalam sub-bagian yang terakhir, kemungkinan peran para donor

diidentifikasi sejauh dipandang relevan.

Page 19: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 5

I. POKOK-POKOK DALAM KERANGKA SAAT INI

1. Perubahan kerangka pembagian urusan di Indonesia

Sebelum era reformasi (berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), proses desentralisasi di Indonesia berjalan dengan

lamban dan dekonsentrasi menjadi asas pemerintahan yang dominan. Peningkatan

pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan berbagai cara di berbagai sektor.

Desentralisasi seringkali ditujukan ke tingkat provinsi, dengan harapan agar urusan

pemerintahan dapat berjenjang sampai ke tingkat kabupaten/kota—namun pada

praktiknya, pergerakannya sampai ke tingkat kabupaten/kota berjalan sangat lambat.

Perubahan kerangka pembagian urusan sejak masa pra-desentralisasi sampai reformasi

periode kedua, diuraikan lebih lanjut di Tabel 1. Tabel tersebut memperlihatkan kelanjutan

pengaturan secara sentralisasi dan desentralisasi, perubahan-perubahan penting dalam

reformasi periode pertama dan revisi atau penjabaran dalam periode reformasi yang kedua.

Kemajuan yang dicapai tidak selalu bersifat linier, beberapa gagasan yang berani ada yang

sempat dicoba lalu ada yang dibatalkan dan ada yang diterapkan dengan tingkat

keberhasilan yang beragam. Pengalaman di daerah memberikan umpan balik yang

berharga mengenai pokok-pokok yang dinilai sukses dan aspek yang perlu ditinjau ulang.

Banyak diskusi diadakan untuk membahas urusan-urusan yang seharusnya berhubungan

dengan sektor atau tingkat pemerintahan tertentu. Pembahasan ini kadangkala tidak hanya

terbatas pada lingkup organisasi pemerintah pusat namun jarang difokuskan pada tatanan

secara keseluruhan sebagaimana yang diuraikan dalam elemen-elemen kolom sebelah kiri

Tabel 1. Tinjauan yang lebih luas ini menjadi bidang tugas pejabat Departemen Dalam

Negeri yang didukung oleh beberapa masukan dari kalangan akademisi dan donor. Bahkan

dalam lingkup yang sempit ini, tidak terlalu banyak dilakukan kajian terhadap model

terdahulu dan opsi-opsi yang ada saat ini dari pengalaman luar negeri dan kalaupun

dilakukan, pelaksanaannya tidak berkelanjutan.

Reformasi desentralisasi periode pertama mulai dilaksanakan dalam suasana politik yang

kurang mendukung dan ditengah masalah disintegrasi bangsa. Asosiasi pemerintah daerah

masih belum terbentuk, atau tidak bersifat independen. Gaya konsultasi yang digunakan

masih merupakan warisan Orde Baru. Sumber daya akademis terbatas dan sering

ditunggangi kepentingan pemerintah. Reformasi merupakan urusan yang tidak terbuka dan

dilaksanakan dengan tergesa-gesa6. Hasilnya adalah tatanan yang mengejutkan, terutama

karena memberikan wewenang yang sangat besar kepada kabupaten/kota, namun tidak

menyediakan pengaturan sistem pembiayaan dan pengawasan yang semestinya agar

tatanan tersebut efektif. Memang diakui bahwa ―euforia otonomi‖ tercipta ketika sebagian

besar Bupati/Walikota yang diberikan kuasa dan kebebasan menganggap otonomi sebagai

bukti bahwa mereka dengan tegas berkuasa atas ―kerajaan kecil‖ mereka sendiri. Tidak

lama kemudian, mulai timbul ketegangan antar berbagai tingkat pemerintahan karena

mereka memperebutkan kekuasaan atas urusan-urusan yang menguntungkan. Pada saat

yang sama, timbul kekhawatiran bahwa urusan di bidang pelayanan dengan biaya tinggi

6 Patut diperhatikan bahwa salah satu proyek dukungan donor (Dukungan GTZ untuk Tindakan

Desentralisasi) digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan masukan; pengaruhnya terhadap formulasi

akhir UU Nomor 22 Tahun 1999 lebih terbatas daripada akses yang tidak pernah ada sebelumnya ke

penyusunan undang-undang yang diusulkan tim.

Page 20: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 6

tidak mendapatkan perhatian yang memadai dan bahwa konsep ―urusan wajib‖ yang

disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 penjabarannya masih kurang jelas untuk

membantu membimbing pemerintah daerah.

Reformasi periode kedua merupakan upaya untuk meluruskan persepsi pemerintah-

pemerintah daerah yang masih belum sesuai, dan mempererat hubungan antara pemerintah

pusat dan daerah. Pembagian urusan ―sisa‖ yang bersifat kabur diganti dengan daftar

positif urusan wajib, dan ketentuan Standar Pelayanan Minimum yang terkait diperkuat.

Page 21: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 7

Tabel 1: Perubahan kerangka pembagian urusan sejak tahun 1974

Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5

Tahun 1974)

Reformasi babak pertama (UU No.

22 Tahun 1999)

Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32

Tahun 2004)

Prinsip/fokus/kriteria

desentralisasi

―Nyata‖ (sesuai dengan kapasitas/situasi

daerah) dan ―bertanggung jawab‖ (terdiri

dari hak dan kewajiban) dengan

menekankan otonomi pada daerah tingkat

dua (kabupaten/kota). Desentralisasi

berdasarkan kriteria ―efisiensi‖ dan

―efektivitas‖.

―Otonomi luas‖ ditambahkan kepada

―nyata‖ dan ―bertanggung jawab‖,

dengan tetap menekankan otonomi pada

kabupaten/kota. Provinsi memiliki

otonomi yang ―terbatas‖.

―Otonomi seluas-luasnya‖ – dengan pembagian

urusan berdasarkan kriteria efisiensi,

eksternalitas dan akuntabilitas.

Konsep politik/hukum mengenai

desentralisasi (devolusi)

Desentralisasi adalah penyerahan urusan

dari pemerintah pusat (eksekutif), atau

daerah tingkat yang lebih tinggi, ke

daerah – menjadi urusan daerah itu

sendiri.

Desentralisasi adalah penyerahan

urusan dari pemerintah pusat

(eksekutif) ke daerah otonom dalam

kerangka NKRI

Desentralisasi adalah penyerahan urusan dari

pemerintah pusat (eksekutif) ke daerah – untuk

mengatur dan mengelola – dalam kerangka

NKRI.

Asas pemerintahan Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi

dan tugas pembantuan.

Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi

dan tugas pembantuan

Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi dan

tugas pembantuan

Peran kepala daerah Kepala pemerintah daerah dan kepala

wilayah (wakil pemerintah pusat-CG); di

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Kepala pemerintah daerah dan (untuk

Gubernur) kepala wilayah (sebagai

wakil pemerintah pusat).

Bupati/Walikota tidak lagi berperan

ganda.

Kepala pemerintah daerah dan (untuk Gubernur)

kepala wilayah (sebagai wakil pemerintah

pusat). Serupa dengan reformasi sebelumnya.

Hirarki antara tingkat-tingkat

pemerintahan daerah

Tercermin dalam mekanisme yang

bersifat berjenjang untuk

mendesentralisasikan urusan-urusan.

Terdapat dalam peran ganda kepala

daerah (garis komando dari Presiden

turun kepada kepala daerah).

Penolakan yang tegas terhadap gagasan

hirarki di antara tingkat pemerintahan;

menimbulkan kekacauan (dan euforia

otonomi) – mengabaikan elemen-

elemen kerangka lain yang memang

mencerminkan bentuk hirarki

(misalnya, Gubernur bertindak sebagai

wakil Pemerintah Pusat).

Penjelasan mengenai penolakan hirarki

dihapuskan namun peran antara tingkat-tingkat

pemerintahan daerah sebagian besar masih tidak

jelas atau tidak konsisten – hirarki terlihat

dengan jelas dalam peran pengawasan,

pembinaan, koordinasi dan perencanaan provinsi

terkait dengan tingkat kabupaten/kota (PP No. 38

Tahun 2007).

Tatanan secara keseluruhan dari

pembagian urusan

Undang-undang menetapkan peraturan

pemerintah sebagai mekanisme

penyerahan urusan secara spesifik; intinya

suatu konstruksi “ultra vires”; provinsi

Urusan pemerintah pusat dan

pemerintah provinsi disusun, dan

urusan ―sisa‖ untuk pemerintah

kabupaten/kota (bentuk radikal dari

Berpotensial dilihat sebagai ―general

competence‖ dibarengi dengan daftar positif:

urusan untuk pemerintah pusat disusun dan juga

urusan wajib untuk pemerintah provinsi dan

Page 22: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 8

Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5

Tahun 1974)

Reformasi babak pertama (UU No.

22 Tahun 1999)

Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32

Tahun 2004)

dan kabupaten/kota terikat dengan urusan

yang secara spesifik diserahkan kepada

mereka.

―general competence‖ untuk tingkat

ini).

pemerintah kabupaten/kota. Namun, karena

―urusan pilihan‖ tidak sejalan dengan konsep

internasional maka struktur ini tampaknya akan

kembali ke “ultra vires”.

Pelaksanaan/kinerja yang

diharuskan

Tidak jelas ... ad hoc melalui sistem

pemantauan/ pengawasan

Urusan wajib dan standar pelayanan

minimum mulai diterapkan namun tidak

cukup penjabarannya dan tidak

koheren.

Urusan wajib dan standar pelayanan minimum

ditekankan. Dilengkapi dengan urusan ―pilihan‖.

Semua ini masih belum cukup koheren.

Tugas dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat, atau Kepala Wilayah (sebagai

wakil pemerintah pusat) atau kepala unit

dekonsentrasi kepada para pejabat

pemerintah pusat di daerah.

Pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada instansi vertikal atau

Gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat.

Definisi dalam undang-undang kerangka tidak

konsisten; Menurut UU No. 32 Tahun 2004,

pelimpahan wewenang dapat dilakukan kepada

instansi vertikal atau Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat, tetapi menurut UU No. 33

(mengenai keuangan) hanya dapat dilakukan

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat.

Tugas pembantuan Tugas dari pemerintah pusat, atau

pemerintahan daerah yang lebih tinggi,

kepada pemerintahan daerah (di mana

pemerintahan daerah merupakan

gabungan dari kepala daerah sebagai

eksekutif dan legislatif daerah). Juga dari

pemerintah pusat dan pemerintahan

daerah kepada tingkat desa (dituangkan

dalam UU No. 5 Tahun 1979).

Penugasan oleh pemerintah pusat

kepada daerah dan desa, dan oleh

daerah kepada desa [provinsi tidak

dapat memberikan tugas kepada

kabupaten/kota]

Pemerintahan daerah merupakan entitas

penerima tugas (PP No. 38 Tahun 2007, pasal

161.c). Pemerintah pusat, provinsi maupun

kabupaten/kota dapat memberikan tugas

pembantuan kepada tingkat yang lebih rendah.

Hubungan pembiayaan Secara garis besar terdapat dalam UU No.

5 Tahun 1974 tetapi tidak ada hubungan

yang jelas dengan urusan (kecuali dalam

tugas pembantuan).

Pembiayaan secara garis besar

diuraikan dalam UU No.22 Tahun 1999

dengan penjabaran dalam UU NO. 25

Tahun 1999. Inkonsistensi dan

ketidakjelasan hubungan antara urusan

dan pembiayaan.

Pembiayaan secara garis besar diuraikan dalam

UU No. 32 Tahun 2004 dengan penjabaran

dalam UU No.33 Tahun 2004; Inkonsistensi dan

ketidakjelasan hubungan antara urusan dan

pembiayaan. Dekonsentrasi masih sangat

dipraktekkan dalam kenyataan.

Mekanisme penyesuaian

pembagian urusan dari waktu ke

Peraturan pemerintah untuk urusan-

urusan dan daerah-daerah secara spesifik;

Urusan sisa untuk kabupaten/kota

berarti tidak dibutuhkan mekanisme

Konsep ―urusan sisa‖ untuk urusan yang tidak

disebutkan dalam PP No. 38 Tahun 2007.

Page 23: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 9

Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5

Tahun 1974)

Reformasi babak pertama (UU No.

22 Tahun 1999)

Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32

Tahun 2004)

waktu provinsi harus menyerahkan sebagian

urusan. Prakteknya, perkembangan urusan

provinsi berlangsung lambat dan

penerusan ke kabupaten/kota hampir

diabaikan.

(meskipun diterapkan proses

―pengakuan‖ yang berlebihan dan

membingungkan). Tidak ada

mekanisme yang jelas untuk

menyesuaikan daftar urusan pemerintah

pusat/provinsi.

Menetapkan kriteria (sama seperti urusan-urusan

yang dicantumkan) untuk menentukan tingkat

pelaksana urusan dan harus mendapatkan

persetujuan Depdagri atas urusan-urusan

tersebut. Tidak membedakan antara urusan wajib

dan urusan pilihan, atau menjelaskan prosesnya.

Urusan pemerintah desa Dibahas tersendiri dalam UU No. 5 Tahun

1979; membutuhkan perda. Urusan rumah

tangga disebutkan namun tidak jelas dan

juga tugas pembantuan yang tidak jelas

dari tingkat mana.

Pemerintahan desa diletakkan dibawah

undang-undang tentang pemerintah

daerah; urusan-urusan termasuk yang

bersifat ―asli‖, yang bukan diambil oleh

tingkat yang lebih tinggi, dan tugas

pembantuan dari tingkat yang lebih

tinggi, terutama kabupaten (kota tidak

disebutkan).

Bersifat asli, urusan diserahkan berdasarkan

peraturan dan tugas pembantuan dari semua

tingkat yang lebih tinggi (termasuk kota).

Page 24: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 10

Reformasi desentralisasi periode kedua mengenai pembagian urusan agak berlarut-larut

dengan peraturan pemerintah pokok (PP Nomor 38 Tahun 2007) yang menguraikan

daftar urusan secara spesifik baru dikeluarkan tiga tahun setelah ditetapkannya undang-

undang yang mewadahinya. Ada yang berpendapat bahwa reformasi periode kedua

hanyalah penyesuaian reformasi sebelumnya; yang lain berpendapat bahwa reformasi

periode kedua ini merupakan kebalikan dari reformasi progresif sebelumnya. Satu hal

yang jelas, yaitu bahwa reformasi periode kedua tidak mengatur pembagian urusan dalam

arti yang utuh. Berbagai elemen kerangka desentralisasi atas pembagian urusan tidak

diuraikan secara lengkap dan beberapa elemen masih kurang diperhatikan. Laporan ini

menguraikan setiap elemen penting dari pembagian urusan dalam Bab II. Tetapi, sebagai

latar belakang pembahasan tersebut, ada gunanya untuk membahas atau meringkas

elemen-elemen utama tatanan pembagian urusan yang ada saat ini pada bab berikut ini.

2. Elemen-elemen utama dalam tatanan saat ini

Gambar 1 (Tatanan Pembagian Urusan di Indonesia dalam UU Nomor 32 Tahun 2004)

memperlihatkan bahwa beberapa perubahan penting dari tatanan dalam UU Nomor 22

Tahun 1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 saat ini merupakan penjelasan urusan-urusan

wajib (konsep awalnya dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999) dan tambahan urusan-

urusan pilihan. Selain itu, tugas-tugas pembantuan pada dasarnya mempunyai beberapa

kemungkinan lain yang berasal dari setiap tingkat ke tingkat di bawahnya. Pada UU

Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah provinsi tidak dapat menyerahkan tugas pembantuan

kepada pemerintah kabupaten/kota; ini merupakan bagian dari ―penolakan‖ terhadap

hirarki yang secara eksplisit dicantumkan dalam undang-undang tersebut.

Peran ganda gubernur dipertahankan dalam kerangka saat ini. Sehingga, gubernur

dianggap sebagai aparat dekonsentrasi pemerintah pusat, disamping sebagai kepala

pemerintah provinsi. Bupati/Walikota tetap memegang peran tunggal (kepala pemerintah

daerah).

Dalam kerangka saat ini, urusan rumah tangga dari provinsi dan kabupaten/kota

mencakup urusan wajib maupun pilihan. Daftar awal yang luas (dan tidak terlalu jelas)

terdapat dalam undang-undang itu sendiri7, dan daftar urusan yang terinci dicantumkan

dalam peraturan pemerintah secara terpisah yaitu PP Nomor 38 Tahun 2007.8

Tatanan di atas dijabarkan dengan lebih baik daripada yang banyak ditemukan di negara-

negara berkembang atau maju. Tatanan ini mempertegas tiga asas pemerintahan: urusan

desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi.9 Tatanan ini berupaya

memperjelas apa harus dilakukan oleh pemerintah daerah, dan tatanan ini juga

menetapkan standar kinerja (minimum) yang spesifik dalam penyediaan pelayanan dasar.

7 Yang seharusnya memperlihatkan bahwa urusan-urusan tersebut berasal dari ―negara‖ dan bukan hanya

pemerintah pusat – berbeda dengan definisi desentralisasi yang terdapat dalam undang-undang yang sama. 8 Dengan konstruksi ini, urusan sendiri daerah dapat dianggap berasal dari pemerintah pusat – yang

bertentangan dengan pendapat bahwa urusan-urusan tersebut berasal dari negara melalui undang-undang

(seperti yang tampaknya juga dituntut dalam Undang-Undang Dasar). 9 Istilah-istilah ini digunakan dalam bahasa Indonesia: urusan desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas

dekonsentrasi.

Page 25: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 11

Dalam hal ini, tatanan ini menjadi dasar yang menjanjikan untuk upaya yang lebih rinci

yang diperlukan untuk melengkapinya. Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab

berikutnya, tatanan yang tampaknya cukup kuat ini masih mempunyai masalah pada

beberapa elemen atau aspek.

Gambar 1: Tatanan Pembagian Urusan di Indonesia dalam UU Nomor 32 Tahun

2004

(psl 37) Tugas

pembantuan (psl 228)

Urusan Pemerintah Pusat Urusan Pemerintah Daerah

Pelaksanaan Langsung

Tugas pembantuan

Urusan Pilihan

(pasal 10.4) (pasal 11.3)

Departemen Kementerian Negara Lembaga Non-Departemen

Nas

ion

al

Dae

rah

Lembaga Vertikal Gubernur (sbg wakil Pemerintah Pusat)

(pasal 13/14)

(pasal 2)

Dekonsentrasi

Provinsi

Kabupaten/Kota

Desa

Urusan Wajib

Page 26: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 12

II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TINDAKAN YANG DIPERLUKAN

Pada pembahasan masing-masing masalah diuraikan latar belakang praktik internasional,

yang diikuti dengan uraian atau analisa situasi di Indonesia dan akhirnya opsi-opsi

kebijakan atau tindak lanjut yang diperlukan.

1. Tatanan secara keseluruhan: asas pemerintahan, peran dan struktur

Praktik Internasional

Asas pemerintahan desentralisasi

Tiga asas pemerintahan klasik telah secara luas dikutip dalam berbagai literatur:

dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan devolusi. Dengan membatasi pembahasan hanya

pada bidang pemerintahan (dengan struktur negara kesatuan) maka asas pemerintahan

dapat dipahami sebagai10

:

Dekonsentrasi adalah pelimpahan tugas-tugas administratif oleh kantor pemerintah

pusat kepada wakil-wakil atau kantor-kantor cabangnya yang tersebar di wilayah

nasional dalam pola fungsional/administratif yang sesuai kebutuhan organisasi tersebut.

Tugas pembantuan adalah tugas yang diserahkan kepada pemerintahan daerah atau

kepada instansi khusus/semi-otonom yang akan dilaksanakan atas nama

pemerintah/organisasi pusat yang memberikan tugas tersebut. Instansi penerima tugas

secara demokratis bertanggung jawab kepada warganya tetapi juga harus melaporkan

pelaksanaan tugas-tugasnya kepada instansi pemberi tugas.

Devolusi adalah penyerahan urusan, kuasa dan sumber daya yang diperlukan kepada

pemerintahan daerah (termasuk dewan daerah/DPD) yang mempunyai otonomi yang

luas dan secara demokratis bertanggung jawab kepada warga-warganya. Pelaporan

diarahkan terutama kepada dewan daerah, namun juga kepada pemerintah pusat.

Perbedaan yang lebih rinci dapat dilihat dalam Lampiran 3 (Tipologi urusan/tugas

terdesentralisasi).

Peran/hirarki pemerintah daerah di berbagai tingkatan

Berbagai pilihan dimungkinkan jika terdapat lebih dari satu pemerintah daerah. Dalam

sistem federal, unit-unit formatif adalah unit-unit yang lebih dominan dibandingkan

dengan pemerintah daerah di negara-negara kesatuan. Unit-unit tersebut seringkali

mempunyai yurisdiksi tunggal atas pemerintah daerah bawahannya (seperti di Amerika

Serikat dan Kanada) atau yurisdiksi bersama (seperti di Jerman dan India). Di negara-

negara kesatuan, terdapat berbagai hubungan hirarki di antara pemerintah-pemerintah

daerah. Sebagian besar pengawasan/pembinaan dapat berasal dari tingkat pemerintah

daerah yang lebih tinggi. Hal ini dapat melekat pada sistem pemerintahan daerah itu

sendiri (misalnya daerah-daerah di Italia dan propinsi-propinsi di Filipina) atau dapat

ditetapkan sebagai pelaksanaan tugas atas nama pemerintah pusat/negara (misalnya

governorates di Yaman dan propinsi-propinsi di Kamboja) – pada dasarnya, inilah yang

10

Lihat contohnya Rondinelli (1981). Banyak perbaikan atau penyimpangan dari definisi Rondinelli dapat

ditemukan, dan mode-azas pemerintahan yang disajikan dalam bagian ini diberikan oleh Gabriele Ferrazzi.

Page 27: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 13

dimaksud dengan tugas pembantuan. Dapat dikatakan bahwa di negara-negara kesatuan,

khususnya yang sangat memperhatikan masalah persatuan dan kesatuan bangsa,

pemerintah pusat ingin menangani secara langsung semua tingkat pemerintah daerah, dan

akan mendelegasikan peran pengaturan dan pengawasan kepada pemerintah daerah yang

lebih tinggi hanya jika hal tersebut dianggap tidak mengancam kepentingan nasional. Opsi

untuk memberikan peran ganda kepada pemerintah daerah atau pejabat/politisi tertentu di

tingkat daerah (di mana selain orientasi pemerintah daerah, juga terdapat perwakilan

pemerintah pusat di daerah) merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan

dilaksanakannya pendelegasian seraya tetap melakukan pengawasan.

Belum terdapat survei dalam literatur yang tersedia mengenai pola-pola tata kelola

pemerintahan yang berfokus pada masalah hirarki antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Sulit untuk mengidentifikasi praktik-praktik yang baik dalam bidang ini.

Tampaknya ada berbagai pendekatan yang dapat diterapkan dan pilihan pendekatan

tersebut harus berhubungan dengan stabilitas politik keseluruhan dan tuntutan otonomi

dari semua tingkat pemerintah daerah. Secara khusus, pemerintah pada tingkatan lebih

rendah dapat diberikan wewenang untuk berperan dalam menetapkan kerangka bagi

tingkat-tingkat pemerintahan yang lebih rendah dan membina mereka, asalkan peranan ini

tidak berpotensi mengancam pemerintah pusat.

Struktur urusan pemerintah daerah

Salah satu cara pembagian urusan adalah dengan membuat daftar terperinci mengenai apa

yang dapat atau harus dilakukan oleh pemerintah daerah (daftar ―positif‖). Tindakan ini

memberikan kejelasan dan merinci batas-batas kewenangan pemerintah daerah

sebagaimana yang tercantum dalam daftar sehingga tindakan pemerintah daerah selain

yang tercantum dalam daftar adalah ―ultra vires‖ (di luar batas hukum). Daftar positif

dapat dilengkapi dengan daftar ‗negatif‘; apa yang berada diluar wewenang pemerintah

daerah. Bahkan sekalipun prinsip ultra vires tidak secara eksplisit disebutkan sebagai pola

yang dianut, penggunaan sebuah daftar urusan dapat membuat pemerintah daerah berhati-

hati karena secara implisit memahami bahwa mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang

tidak tercantum dalam daftar tersebut.

Di negara-negara OECD di mana sistem desentralisasi telah lama dianut, ataukah di mana

pemerintah lokal merupakan titik tolak bagi tingkat pemerintahan yang lebih tinggi,

urusan-urusan yang diberikan kepada pemerintah daerah cenderung bersifat sangat luas,

secara de facto. Dalam kasus-kasus tertentu, pola ini juga terlihat secara de jure (misalnya

swatantra di beberapa daerah dari negara bagian AS). Namun, selama beberapa dekade,

konstruksi ultra vires umumnya menjadi dominan sejalan dengan perkembangan

pemerintahan, menjadi lebih formal dan lebih terpusat. Baru selama dua dekade terakhir

kecenderungan ini menjadi terbalik. Tinjauan terhadap pembagian urusan baru-baru ini

dilakukan di seputar dunia yang menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih fleksibel

(misalnya propinsi-propinsi di Kanada, negara-negara bagian di Australia dan pemerintah

lokal di Inggris).

Di banyak negara, pemerintah daerah tingkat tertentu, yang secara skala memadai,

ditargetkan menjadi tingkat penyedia utama pelayanan publik, dan berbagai upaya

dilakukan untuk memastikan bahwa tingkat pemerintahan tersebut dapat berfungsi sebagai

―pemerintahan untuk tujuan umum‖ (general purpose local government) yang diberikan

Page 28: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 14

kuasa untuk memenuhi berbagai kebutuhan warganya.11

Ketentuan ini lebih banyak

disertai dengan konstruksi urusan ―general competence‖, yang berarti bahwa urusan-

urusan tidak dicantumkan secara rinci melainkan secara garis besar untuk memberikan

kebebasan sebesar-besarnya kepada pemerintah daerah bertindak dalam memenuhi

mandatnya.

Meskipun general competence tampaknya cukup berpengaruh, konstruksi ini kadangkala

salah dimengerti. Konstruksi ini umumnya ditemukan dalam undang-undang pokok

tentang pemerintah daerah/desentralisasi, tetapi undang-undang ini biasanya

berdampingan dengan sejumlah undang-undang lain (misalnya undang-undang sektoral,

undang-undang pengadaan barang/jasa dan undang-undang perencanaan) yang

mewajibkan atau melarang urusan/pelayanan dan menetapkan standar kinerja. Sehingga

pada praktiknya, negara-negara OECD dengan general competence sebenarnya

mempunyai gabungan/hibrida antara konstruksi general competence dan konstruksi ultra

vires.

Status di Indonesia

Seperti yang diperlihatkan Gambar 1 dalam bab pembuka, Indonesia menerapkan

beberapa asas pemerintahan yang serupa dengan ―model internasional.‖ Urusan devolusi

di Indonesia (yang juga disebut urusan ―desentralisasi‖) berhubungan dengan urusan wajib

dan pilihan.

Meskipun lebih sesuai dengan model internasional, kerangka yang ada saat ini

menghadapi masalah-masalah sebagai berikut:

11

Tidak ada kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan skala yang memadai, tetapi pemerintah

daerah ―untuk tujuan umum‖ yang menyediakan sejumlah pelayanan penting (pendidikan dasar, perawatan

kesehatan primer/preventif, air bersih dan sanitasi, jalan daerah) mulai realistis bila jumlah penduduk

perkotaan (yang cukup padat) melebihi 10.000 jiwa. Efisiensi diyakini lebih mudah dicapai ketika jumlah

penduduk mencapai 100.000 jiwa atau lebih.

Page 29: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 15

Tugas Pembantuan yang Lenyap

Terdapat perubahan pemahaman tentang tugas

pembantuan dalam satu dekade terakhir; tugas

pembantuan sekarang dianggap sebagai tugas yang

diberikan/dibiayai secara ad hoc atau sementara, dan

praktiknya, tidak lagi dipergunakan secara umum

seraya desentralisasi dan dekonsentrasi menjadi

dominan. Dalam PP Nomor38 Tahun 2007, hanya

sedikit tugas pembantuan yang dicantumkan12

. Urusan-

urusan yang tercantum dalam PP 38 yang seharusnya

jelas merupakan tugas pembantuan tidak dinyatakan

secara eksplisit (misalnya membantu ujian nasional).

Sebuah rancangan peraturan pemerintah yang baru

(versi Oktober 2007) menyejajarkan tugas pembantuan

dengan tugas dekonsentrasi sehubungan dengan asal

tugas, pembiayaan, pelaporan dan pertanggungjawaban

yang berkaitan dengan lembaga legislatif daerah (lihat

Lampiran 4). Hal ini akan semakin membingungkan

dan mungkin akan menghambat upaya untuk

menemukan solusi bagi dilema ―propinsi vs. gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat‖.

Definisi dekonsentrasi berbeda dalam

undang-undang utama (UU No. 32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Keuangan)

Tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi

sekarang sulit dibedakan.

UUD sendiri menetapkan pandangan yang

menyesatkan mengenai tugas pembantuan,

yaitu bahwa pemerintah daerah dapat

mengatur tugas pembantuan. Istilah ini

seharusnya hanya digunakan untuk

―pemilik‖ dari urusan tersebut, bukan untuk

penerima tugas pembantuan.

Dalam pelaksanaannya, dekonsentrasi

cenderung dipergunakan untuk mendanai

urusan-urusan yang seolah-olah telah

diserahkan kepada pemerintah daerah.13

Peran ganda gubernur mendukung tugas

desentralisasi maupun dekonsentrasi namun

menyebabkan kebingungan karena peran

masing-masing tidak dapat dibedakan.

Kebingungan tersebut mengakibatkan

usulan aksi yang mengancam otonomi di

tingkat propinsi (lihat Pasal 3 untuk

pembahasan yang lebih lengkap).

Jika dilihat dari struktur urusan maka konstruksinya telah berubah dari ultra vires selama

masa sentralisasi menjadi bentuk radikal general competence dalam Undang-Undang

(UU) Nomor 22 Tahun 1999 (untuk tingkat kabupaten/kota), dan kembali lagi ke ultra

vires dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 (untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota).

Perubahan terakhir ke ultra vires tampaknya memungkiri prinsip ―otonomi seluas-

luasnya‖ dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, sebuah prinsip yang dapat dikatakan mirip

dengan ―subsidiarity‖. Sulit mengerti bagaimana konstruksi ―seluas-luasnya‖ dapat

dibangun atas struktur yang sebenarnya ultra vires. Belum jelas apakah maksud pembuat

kebijakan di Indonesia adalah untuk beralih dari prinsip konstitutional ―otonomi seluas-

luasnya‖ ke bentuk yang ketat ultra vires, atau apakah perubahan tersebut muncul secara

tidak disengaja.

Usulan Tindak Lanjut

☞ Untuk jangka menengah dan panjang, amandemen UUD mungkin akan dapat

membantu memperjelas definisi ketiga general competence dan prinsip-prinsip utama

12

Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007 memperlihatkan sedikit urusan di bidang kesehatan dan pengelolaan

tanah yang menjadi tugas pembantuan secara eksplisit. 13

Data mengenai bagian dana dekonsentrasi sulit diperoleh meskipun dana tersebut jumlahnya signifikan.

Misalnya, Dinas Hortikultura di Aceh Tamiang baru-baru ini memperkirakan bahwa dana dekonsentrasi

mencapai 30 persen dari belanja di sektor hortikultura di kabupaten tersebut.

Page 30: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 16

yang membimbing desentralisasi, yang diikuti dengan penyesuaian yang cocok dalam

undang-undang untuk menyelaraskan definisi/penerapan.

☞ Untuk memperjelas asas pemerintahan, sebaiknya draft peraturan pemerintah

mengenai tugas dekonsentrasi/pembantuan yang belum selesai, ditunda dulu sampai

dilakukan tinjauan terhadap prinsip-prinsip yang mendefinisikannya (sebaiknya

ditetapkan dalam konstitusi atau revisi UU Nomor 32 Tahun 2004). Dengan demikian

peraturan pemerintah tersebut tidak perlu direvisi lagi tak lama setelah disahkan.

☞ Penting untuk memeriksa makna, kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan

hirarki antara tingkat-tingkat pemerintah daerah, dengan mengacu pada asas

pemerintahan yang spesifik.

☞ Konstruksi ultra vires saat ini cukup menjanjikan dari segi urusan wajib/Standar

Pelayanan Minimum. Konstruksi ini dapat dibuat lebih fleksibel (lebih menyerupai

―general competence‖) melalui penyesuaian yang cermat terhadap kategori urusan

pilihan, agar selaras dengan makna umum istilah tersebut dalam konteks

internasional.

Praktik internasional kurang memberikan bimbingan yang jelas di bidang-bidang tersebut

di atas. Namun, para donor dapat membantu dengan memfasilitasi proses yang

mempunyai legitimasi dan memberikan sejumlah pandangan dan membagi pengalaman

untuk dibahas. Kemungkinan, upaya-upaya yang didukung para donor di bidang

pembiayaan, struktur organisasi dan pengawasan/peran propinsi/gubernur tidak akan

membuahkan hasil jika tatanan dasarnya tidak dibenahi dan dijabarkan secara memadai.

2. Kerangka/mekanisme hukum untuk penyesuaian yang sedang berjalan

Praktik internasional

Kebanyakan negara mengakui bahwa pembagian urusan seharusnya berlangsung secara

stabil namun juga dinamis seraya terjadi perubahan kondisi dari tahun ke tahun. Kerangka

hukum yang digunakan sangat berbeda di tiap-tiap negara, namun ada konsensus

mengenai praktik yang baik dalam hal ini. Piagam Eropa menyatakan14

:

―Wewenang dan tanggung jawab dasar dari aparat lokal ditetapkan berdasarkan

undang-undang dasar atau undang-undang. Namun, ketentuan ini tidak

menghalangi aparat lokal diserahkan wewenang dan tanggung jawabnya yang

spesifik sesuai dengan undang-undang.‖

Urusan-urusan yang ditetapkan secara konstitusional sudah umum di negara-negara

federal, antara pemerintah federal dengan unit-unit formatifnya. Beberapa negara federal

juga mencantumkan urusan pemerintahan daerah dalam undang-undang dasarnya, seperti

di India. Negara-negara dengan struktur federal semu (misalnya Afrika Selatan) atau

struktur kesatuan (misalnya Italia) juga menetapkan sebagian urusan pemerintahan daerah

dalam undang-undang dasar.

Di tingkat undang-undang, urusan-urusan dari suatu pemerintah daerah tertentu umumnya

ditemukan dalam undang-undang pokok (dalam Gambar 2 disebut UU Pemerintahan

14

Piagam Eropa tentang Pemerintah Daerah Mandiri Strasbourg, 15.X.19

Page 31: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 17

Daerah/LGA). Namun, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2, ada sejumlah undang-

undang lain yang juga mengatur urusan-urusan, terutama undang-undang sektoral.

Peraturan yang tingkatannya lebih rendah juga sering digunakan untuk memberikan

perincian dan tingkat kinerja yang diharapkan.

Gambar 2: Tatanan hukum yang mempengaruhi pembagian urusan

Jika urusan-urusan ditetapkan dalam undang-undang, tidak banyak kerangka di dunia yang

cukup jelas mengatur mekanisme penyesuaian dalam hal desentralisasi ataupun

(re)sentralisasi lebih lanjut. Kejelasan mengenai masalah-masalah ini akan membantu

menentukan ekspektasi dan memfasilitasi desentralisasi atau sentralisasi lebih lanjut.

Sistem di Indonesia selama masa Orde Baru menggunakan peraturan-peraturan

pemerintah, dan berbagai kemungkinan muncul di mana urusan-urusan pemerintahan pada

dasarnya diserahkan dengan beberapa cara; kepada propinsi untuk dilaksanakan, atau

kepada propinsi untuk diteruskan ke kabupaten/kota, atau diserahkan kepada propinsi dan

kabupaten/kota.

Kelemahan yang umum ditemui dalam sistem hukum di negara-negara berkembang adalah

kurangnya keselarasan antara undang-undang pokok dengan undang-undang sektoral.

Undang-undang sektoral tidak langsung disesuaikan dengan undang-undang pokok (atau

peraturan pelaksanaannya). ―Keterlambatan Desentralisasi Sektoral‖ ini mempunyai ciri-

ciri yang disajikan dalam kotak di bawah ini. Negara-negara seperti Yaman, Ghana,

Kamboja dan India (beberapa negara bagiannya) telah mengalami keterlambatan ini.

Keterlambatan Desentralisasi Sektoral

Suatu negara yang mempunyai ketentuan-ketentuan konstitusional atau undang-undang pokok

yang relatif progresif mengenai pemerintah daerah masih mungkin untuk memiliki kementerian-

kementerian sektoral yang:

Berbeda dalam memahami terminologi desentralisasi

Dengan sadar atau tidak, telah memilih dekonsentrasi, dan kadang-kadang menggunakan istilah

yang lebih umum desentralisasi untuk memaksudkan dekonsentrasi.

… …

Undang-Undang Dasar

UU Perencanaan

Pemda

LGA UU Keuangan

Pemda

UU Sektor

UU Kepegawaian

Peraturan:

perencanaan

Peraturan:

pemilihan

Peraturan:

pengawasan

Peraturan yang

lebih rendah

Page 32: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 18

Melampaui pemerintah daerah – ―langsung ke lembaga di daerah/rakyat‖ (misalnya transfer

kapitasi kepada sekolah)

Merasa enggan melaksanakan inovasi; uji coba/percontohan merupakan akomodasi adhoc pada

tekanan kelompok/donor

Mempertahankan kontradiksi/fragmentasi hukum antara UU Pemerintah Daerah dan instrumen

sektoral mengenai peraturan pembagian urusan dan pengadaan barang/jasa

Tidak menunjukkan bagaimana mereka akan menyusun kembali hubungan-hubungan vertikal

Belum melaksanakan restrukturisasi kementerian agar sejalan dengan urusan-urusan sisa di

tingkat pusat

Tidak memiliki rencana sektor untuk mengadakan desentralisasi atau hubungan dengan rencana

desentralisasi yang lintas sektor

Mempunyai wacana internal yang terfragmentasi/kerja sama yang rendah dengan stakeholder.

Status di Indonesia

Harmonisasi instrumen hukum sektoral dengan undang-undang pokok mengenai

pemerintahan daerah

Dalam kerangka tahun 1999 maupun 2004, Indonesia telah menggunakan undang-undang

organik untuk menjabarkan prinsip-prinsip pembagian urusan dan mempertegas beberapa

urusan umum. Peraturan pemerintah kemudian digunakan untuk menyediakan rinciannya

(Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007). Namun, undang-undang sektoral juga

berlaku yang kadang-kadang mengaburkan arti pembagian urusan atau mempunyai

formulasi yang lebih bersifat terpusat daripada undang-undang pokok mengenai

pemerintahan daerah. Beberapa undang-undang sektoral dikeluarkan sebelum undang-

undang pokok sedangkan undang-undang lainnya yang dikeluarkan setelah undang-

undang pokok kurang mengindahkan undang-undang pokok. Meskipun undang-undang

pokok mengenai pemerintahan daerah mencantumkan ketentuan yang tampaknya

mengharuskan agar undang-undang lain dan peraturan-peraturan disesuaikan dengan

undang-undang pokok, keabsahan ketentuan tersebut masih dipertanyakan. Prinsip-prinsip

hukum dapat digunakan untuk mendukung keunggulan undang-undang pokok maupun

undang-undang sektoral. Pada akhirnya, ini menjadi dinamika politik di antara berbagai

organisasi tingkat pusat yang menentukan hasil-hasilnya. Kabinet di Indonesia, karena

sejumlah alasan, masih jauh dari ‗kompak‘, dan Kemendagri sendiri tidak dapat

memberlakukan kebijakan lintas sektoral yang jelas. Hal ini pertanda yang kurang baik

bagi upaya harmonisasi hukum.

Sejauh ini, belum ada kesepakatan strategi yang jelas untuk mengharmonisasi undang-

undang sektoral dengan daftar sektoral yang terdapat dalam PP Nomor 38 Tahun 2007.

Namun, Kemendagri meminta ke-31 kementerian/lembaga untuk memberikan informasi

tentang instrumen hukum yang perlu disesuaikan dan urutan prioritas yang akan

disesuaikan (diselaraskan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 & PP Nomor 38 Tahun

2007). Pendekatan ini belum mendapatkan tanggapan secara resmi dari lembaga-lembaga

tingkat pusat tersebut sehingga Kemendagri mempertimbangkan pendekatan yang

langsung berhubungan dengan daerah. Di sepuluh propinsi, upaya dilakukan untuk menilai

apakah dukungan dan arahan dari departemen sektoral sesuai dengan urusan-urusan dalam

PP 38. Kemudian, hasil-hasil penilaian akan disampaikan kepada pemerintah. Temuan-

temuan ini diharapkan akan mendorong tindakan oleh organisasi yang bersangkutan –

yaitu penyesuaian instrumen-instrumen hukum yang tidak sejalan.

Page 33: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 19

Selanjutnya, Kemendagri berharap bahwa ketentuan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007

(pasal 10) yang mengatur batas waktu dua tahun bagi kementerian-kementerian untuk

menetapkan ―norma, standar, prosedur dan kriteria‖ akan mendorong kementerian-

kementerian untuk mengeluarkan pedoman yang memperkuat pembagian urusan. Jika

dalam batas waktu yang ditentukan, norma, standar, prosedur dan kriteria tersebut belum

ditetapkan maka pemerintah daerah dapat melaksanakan urusan-urusan apapun

berdasarkan instrumen hukum yang ada. Sayangnya, persyaratan yang terakhir disebutkan

ini membuat situasinya kembali kepada keadaan semula di mana revisi-revisi dalam PP

Nomor 38 Tahun 2007 bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan sektoral.

Baru-baru ini, ketua tim revisi UU 32 dari Kemendagri menjelaskan bahwa PP Nomor 38

Tahun 2007 untuk sementara waktu akan tetap berlaku dan bahwa ringkasan peraturan ini

akan disusun dan dimasukkan dalam revisi undang-undang sesuai dengan UU Nomor 32

Tahun 2004. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 bab ini, pendekatan ini diragukan

efektivitasnya karena membiarkan pertentangan antara undang-undang komprehensif

(omnibus) tentang pemerintahan daerah dengan beberapa undang-undang sektoral (tidak

jauh berbeda dengan pertentangan antara peraturan pemerintah omnibus dengan beberapa

undang-undang sektoral). Meskipun kelihatannya ringkasan yang disederhanakan tersebut

membawa pengaruh yang baik bagi semua pihak yang membutuhkan penjelasan dan

arahan, namun kondensasi demikian (yang dilakukan oleh tim revisi) menyingkirkan

proses komunikasi dan negosiasi yang diperlukan dengan lembaga-lembaga sektoral jika

formulasi baru tersebut ingin diterima oleh mereka.

Penyesuaian pembagian urusan yang masih berjalan

Penyesuaian urusan dari waktu ke waktu, dilakukan dengan cara yang tidak lazim dalam

PP Nomor 38 Tahun 2007. Tidak terdapat ketentuan mengenai instrumen hukum untuk

melaksanakan perubahan-perubahan lain di bidang pembagian urusan, tetapi ada beberapa

ketentuan yang tampaknya relevan:

UU Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai ―mekanisme‖ evaluasi dan penggabungan untuk

menangani situasi di mana urusan-urusan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

PP Nomor 38 Tahun 2007 menambahkan ―mekanisme‖ yang tidak disebutkan dalam

UU Nomor 32 Tahun 2004; mekanisme ini adalah mekanisme ―urusan sisa‖ di mana

urusan-urusan yang tidak disebutkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 akan diserahkan

menurut kriteria yang sama seperti yang dipergunakan untuk pembagian urusan yang

disebutkan dalam PP, dan pemerintah pusat (Kemendagri) perlu melakukan

penetapannya.

Mekanisme yang paling luas penjabarannya untuk pembagian dan perubahan urusan

sebenarnya dapat ditemukan antara kabupaten/kota dan desa meskipun dalam praktiknya

mekanisme tersebut belum banyak digunakan. UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP

Nomor 72 Tahun 2005 memperbolehkan kabupaten/kota memberikan tugas pembantuan

kepada desa. Mekanisme yang digariskan dalam Permendagri 30/2006 pada dasarnya

merupakan pelaksanaan yang seragam, yang meliputi semua urusan yang harus

dibagikan dan mencakup semua desa (penyesuaian tampaknya dapat dilakukan).

Namun, ada kemungkinan untuk menambah urusan lain secara ad hoc (berdasarkan

permintaan desa). Jika dalam waktu dua tahun desa tidak dapat menangani urusan-

urusan tersebut maka beberapa atau semua urusan dapat ditarik kembali; caranya hal ini

dilakukan akan ditentukan dalam peraturan daerah.

Page 34: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 20

Mekanisme penarikan kembali dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 berlaku untuk kegagalan

pemerintahan daerah yang sangat parah, bukan untuk penyesuaian inkremental dalam

urusan-urusan yang spesifik. Secara politik, mekanisme ini tidak layak diterapkan.

Mekanisme yang lebih dapat diterima secara politik memungkinkan memindahkan urusan-

urusan, yang bersifat sementara maupun permanen, dari kabupaten/kota ke tingkat

propinsi. Dengan adanya laju pemekaran daerah yang pesat di Indonesia (dan penyusutan

luas wilayah/ukuran penduduk yang diakibatkannya) maka mungkin ini waktunya jika

mekanisme demikian dapat menawarkan jalan keluar dari inefisiensi dan ketidakefektifan

pembagian urusan di beberapa daerah.

Mekanisme ―urusan sisa‖ yang terdapat dalam kerangka bukan hanya tidak lengkap

melainkan juga tidak berhubungan dengan kategori urusan wajib atau pilihan. Pemerintah

daerah sendiri berinisiatif ingin menambah ―urusan sisa‖; namun tampaknya tidak

mungkin bagi pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif demikian. Masih belum jelas

bagaimana pemerintah daerah atau pusat akan menerapkan kriteria untuk menentukan

tingkat pemerintahan mana yang akan melaksanakan urusan sisa tersebut.

Usulan Tindak Lanjut

☞ Dengan mempertimbangkan diskusi dan keputusan-keputusan yang dicapai baru-baru

ini, akan bermanfaat bagi stakeholder jika Pemerintah RI secara luas

mengkomunikasikan sikapnya (seperti yang baru-baru ini didiskusikan oleh tim revisi

UU 32) mengenai hal-hal berikut ini:

o kapan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan kira-kira akan

diubah;

o apa saja ruang lingkup revisi jika UU 32 diubah sebelum PP Nomor 38 Tahun

2007 diubah

o apakah PP Nomor 38 Tahun 2007 akhirnya akan digantikan dengan PP omnibus

yang baru, atau;

o apakah akan ada upaya untuk mencantumkan urusan-urusan (pusat dan daerah)

secara utuh dalam undang-undang sektoral.

☞ Pendekatan bawah-atas (bottom-up) yang diusulkan oleh Kemendagri untuk

memeriksa konflik instrumen sektoral dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 dapat

berguna dan patut dipertimbangkan sebagai alternatif atau pelengkap untuk

penyelesaian yang lebih langsung dari tingkat pusat. Ada dua kemungkinan sebagai

berikut:

o Daerah-daerah percontohan didukung selama sekitar setahun (selama siklus

kegiatan tahunan) untuk menilai sektor-sektor tertentu, dengan bantuan dari para

donor yang aktif dalam menyediakan dukungan yang relevan di daerah. Temuan-

temuan dari instrumen sektoral yang bertentangan diajukan melalui berbagai

saluran: asosiasi pemerintah daerah, Kemendagri, Forum Pemerintah Indonesia-

Donor yang lebih luas. Fasilitasi diberikan kepada departemen-departemen

sektoral dalam menyesuaikan undang-undang/peraturan agar selaras (atau

menemukan kompromis) dengan PP Nomor 38 Tahun 2007.

o Departemen-departemen sektoral diberikan dukungan dalam mengidentifikasi

instrumen-instrumen yang perlu disesuaikan melalui Kemendagri dan dukungan

donor. Kegiatan ini membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan jika digunakan tenaga

Page 35: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 21

ahli sektoral. Tugas ini dapat dilaksanakan secara internal. Tetapi jika mereka

kurang berminat, tugas ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak di luar departemen.

Selanjutnya, fasilitasi diberikan kepada departemen-departemen sektoral dalam

menyesuaikan undang-undang/peraturan agar selaras (atau mencapai kompromi)

dengan PP Nomor 38 Tahun 2007.

☞ Kedua strategi di atas akhirnya akan mengandalkan kemauan departemen sektoral

untuk mengadakan perubahan yang diperlukan terhadap instrumen-instrumen hukum

mereka. Dukungan, dorongan dan tekanan mungkin diperlukan dalam beberapa kasus

untuk melaksanakan perubahan-perubahan ini, mungkin dengan:

o Mengembangkan strategi dengan organisasi-organisasi yang diharapkan akan

memfasilitasi pembuatan kebijakan atau undang-undang mengenai otonomi

daerah (Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah);

o Meminta keikutsertaan Presiden atau Wakil Presiden dan Kabinet;

o Meminta dukungan dari DPR agar mereka mendukung undang-undang yang

direvisi.

Apapun kemungkinan di atas, urusan-urusan yang dicantumkan dalam PP Nomor 38

Tahun 2007 mungkin perlu disederhanakan dan dirundingkan kembali.

☞ Suatu mekanisme perlu dikembangkan untuk menangani urusan-urusan yang belum

tercantum dari waktu ke waktu dapat ditetapkan menjadi urusan daerah.

Kemungkinan-kemungkinan ini mencakup:

o Perubahan undang-undang pokok jika urusan-urusan tersebut akan dicantumkan

di dalamnya;

o Perubahan undang-undang sektoral jika urusan-urusan tersebut akan dicantumkan

di dalamnya;

o Peraturan pemerintah (per sektor atau gabungan) sebagai tindakan ad hoc dan

sementara, dengan asimilasi yang terjadi sesekali dalam undang-undang

(memanfaatkan revisi yang dibuat untuk alasan-alasan lain).

☞ Penting untuk menjajaki mekanisme formal dan praktis di mana urusan-urusan dapat

relatif mudah diubah di antara tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota. Hal ini

hendaknya mempertimbangkan adanya asimetri – sesuai dengan tingkat kapasitas.

Sistem tersebut khususnya diperlukan di daerah-daerah dalam hinterland, terutama

ketika pemekaran daerah menghasilkan daerah-daerah berukuran sangat kecil dengan

kapasitas administratif yang minim (misalnya Papua).

3. Peran gubernur dan propinsi

Praktik internasional

Secara konsep, peran ganda yang diberikan kepada beberapa pemerintah

daerah/pejabat/politisi dapat dianggap sebagai memanfaatkan dua asas pemerintahan,

salah satunya adalah devolusi. Tidak selalu dapat diketahui apa asas lain, apakah tugas

dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Keputusan atas pilihan ini dapat mempunyai

dampak yang signifikan atas pembiayaan, organisasi dan hubungan akuntabilitas, tetapi

pilihan tersebut tidak selalu dibuat secara jelas.

Jika kepentingan pemerintah pusat/negara dinyatakan di tingkat pemerintah daerah melalui

tugas pembantuan maka tingkat pemerintahan tersebut menerimanya sebagai ―pemerintah‖

Page 36: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 22

(yang diartikan komponen eksekutif maupun legislatif); dana dapat berasal dari sistem

pendapatan asli daerah dan transfer secara umum, atau menyertai setiap tugas secara

khusus. Tetapi dalam semua kasus, dana ini akan masuk dalam anggaran pemerintah

daerah yang bersangkutan. Pengaturan ini memperlihatkan bahwa pertanggungjawaban

sebagian diarahkan kepada pemerintah daerah (yaitu DPRD), sehingga tidak sepenuhnya

diarahkan kepada tingkat yang memberikan tugas (dalam hal ini Pemerintah Pusat).

Sebaliknya, penggunaan dekonsentrasi berarti pengaturan di luar anggaran pemerintah

daerah. Selain itu, pilihan ini menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai peran

fundamental pemerintah daerah; umumnya pemerintah daerah tidak ingin menganggap

dirinya hanya, atau bahkan terutama, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.15

Oleh karena itu, pada umumnya para pejabat individu (yang dipilih atau diangkat), dan

bukan ―pemerintah/an lokal‖ secara keseluruhan, dipercayakan dengan peran ganda yang

menggabungkan peran desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi. Jika tugas

desentralisasi maupun dekonsentrasi ini cukup berat maka para pejabat ini kemungkinan

membutuhkan staf pelaksana sehingga memperumit struktur organisasi dan akuntabilitas.

Status di Indonesia

Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 diharapkan oleh sebagian stakeholder (misalnya

asosiasi pemerintah kabupaten/kota) untuk mempertegas peran propinsi/gubernur, untuk

memperkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat – dan memberlakukan

(kembali) bentuk otonomi yang dipersempit untuk propinsi (serupa dengan UU Nomor 22

Tahun 1999). Kenyataannya hal ini tidak terjadi. Pertama-tama, undang-undang dasar

tidak membedakan peran jenis otonomi - tingkat propinsi atau kabupaten/kota keduanya

diberikan otonomi ―seluas-luasnya‖. Selanjutnya, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007,

pemerintah propinsi sebagai daerah otonom mempunyai tugas yang berat terhadap

kabupaten/kota di hampir semua sektor, berupa pengawasan, pemantauan dan evaluasi,

fungsi kontrol, koordinasi, perencanaan dan penyelesaian konflik. Mengingat wacana

sebelumnya maka yang menarik adalah bahwa peran-peran ini diberikan kepada

pemerintah propinsi sebagai urusan desentralisasi (devolusi).

Meskipun asas pemerintahan menimbulkan beberapa persoalan penting di bidang

akuntabilitas khususnya bagi pemerintah pusat - negara kesatuan, alternatif untuk

konstruksi ini mempunyai lebih banyak masalah dalam berbagai aspek. Opsi untuk

memperkuat gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dewasa ini lebih sulit dijustifikasi

daripada di masa lalu mengingat adanya perubahan ke sistem pemilihan kepala daerah

secara langsung; opsi ini juga tidak cocok dengan harapan menjadi kepala daerah lebih

bertanggungjawab kepada pemilih. Opsi ini mungkin paling tidak sesuai jika diterapkan di

Aceh dan Papua yang menginginkan dikuranginya pengendalian dari pusat.

Secara umum, banyak terjadi kesalahpahaman dan kekacauan mengenai peran ganda

gubernur. Bahkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, terminologi peran ganda ini tidak

jelas dengan istilah ―gubernur‖ yang ambigu (misalnya pasal 128, 130). Dalam

menentukan model yang akan digunakan, penting untuk menggunakan istilah-istilah

15

Sebenarnya pemerintah daerah adalah perwujudan negara di daerah. Meskipun demikian, hanya perspektif

Marxist yang menyangkal peran bermakna dari wujud negara di daerah dalam menanggapi politik daerah;

yang penting di sini adalah bahwa wujud negara di daerah menganggap dirinya mempunyai identitas dan

sederajat otonomi.

Page 37: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 23

dengan cermat dan konsisten. Perhatian khusus perlu diberikan dalam menyusun draft

peraturan saat ini mengenai peran gubernur, untuk menghindari pertentangan dengan PP

Nomor 38Tahun 2007; sebagai alternatif, draft peraturan yang sedang disusun maupun PP

Nomor 38 Tahun 2007 perlu dirumuskan bersamaan, berdasarkan kerangka yang lebih

jelas mengenai asas pemerintahan/peran pemerintah daerah di berbagai tingkat.

Usulan Tindak Lanjut

☞ Dibutuhkan visi yang jelas mengenai peran tingkat propinsi/gubernur yang

memperhitungkan kelebihan dan implikasi dari berbagai asas pemerintahan, misalnya

akuntabilitas, pengaturan organisasi dan keuangan. Lampiran 5 menyajikan ringkasan

mengenai opsi dan implikasi dasar. Opsi-opsi ini perlu dibahas secara memadai

mengingat seriusnya implikasi politik dari pilihan yang dibuat.

☞ Perlu lebih cermat dalam menggunakan istilah, dengan menentukan

makna/pemakaian yang disepakati (istilah-istilah lebih jelas di masa lalu):

o Gubernur, Bupati/Walikota hendaknya menjadi istilah yang tidak mengesankan

eksklusivitas pada jabatan yang mereka miliki;

o Kepala Daerah hendaknya secara otomatis berhubungan dengan urusan otonomi

dan tugas pembantuan yang dipercayakan kepada pemerintah daerah;

o Kepala Wilayah hendaknya secara otomatis merujuk kepada wakil pemerintah

pusat di daerah (dekonsentrasi).

4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan

Praktik internasional

Prinsip ―money follow function‖ memang telah secara luas dipahami namun seringkali

dilanggar. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kesenjangan ini, dan sebagian

penyebab mempunyai justifikasi. Misalnya, untuk memulai proses desentralisasi,

diberikan dana kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misalnya kotamadya di

negara-negara Amerika Selatan dan komune di Kamboja) tanpa kejelasan apa urusan yang

menjadi tanggung jawabnya (arahan yang maksimal berupa suatu menu dari mana

pemerintah daerah dapat memilih investasinya). Diharapkan (pernah diharapkan) masa

―pelatihan‖ ini akan menghasilkan pendekatan yang lebih terlembaga di mana pemerintah

daerah secara permanen bertanggung jawab atas pelayanan, berdasarkan uraian yang lebih

jelas mengenai pembiayaan yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tersebut.

Kesenjangan antara dana dan fungsi semakin diperparah dengan penerapan transfer dana

berdasarkan rumus tertentu, dimana dana yang disediakan tidak sesuai dengan realisasi

kebutuhan pengeluaran pemerintah daerah; proksi yang digunakan (misalnya ukuran

jumlah penduduk, indeks kemiskinan dan indeks biaya) memang membantu pemerataan

secara horisontal tetapi kurang membantu mencocokkan antara beban pembiayaan untuk

kebutuhan pelayanan (pada tingkat/kualitas yang diharapkan) dengan pendapatan.

Jika desentralisasi dilakukan dengan proses politik yang tergesa-gesa maka tidak ada

waktu untuk secara memadai menghitung biaya atas urusan-urusan yang didesentralisasi

kepada pemerintah daerah (misalnya Indonesia). Negara cenderung menghindari

memperhitungkan biaya kegiatan untuk menyesuaikan sistem pembiayaan pemerintah

Page 38: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 24

daerah. Namun, akhir-akhir ini sikap tersebut mulai berubah dengan adanya tekanan untuk

menghitung biaya pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG) – di mana belanja

pemerintah daerah menjadi semakin penting.

Selain itu, pembiayaan digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan pemerintah daerah,

seringkali karena kerangka kinerja dan fungsi pengawasan belum ditetapkan dengan baik;

pembiayaan digunakan sebagai alat pengendalian ―default.‖ Hal ini menyebabkan

lonjakan jumlah hibah bersyarat (sektoral) dengan tujuan khusus di banyak negara. Syarat-

syaratnya cenderung terletak pada input (program dan proyek yang dapat didanai atau

jumlah yang dapat dibelanjakan); arahan ini dapat sangat menghambat dan melemahkan

otonomi/kebijakan pemerintah daerah. Sektor-sektor mana yang akan mendapatkan hibah

dan berapa besar hibahnya ditentukan oleh dinamika politik di tingkat pusat. Kesesuaian

antara urusan dan pembiayaan bukan ditentukan oleh perspektif pemerintah daerah yang

berupaya memberikan perhatian kepada seluruh urusan desentralisasi dan pengharapanan

yang menyertai urusan-urusan tersebut.

Status di Indonesia

Berdasarkan beberapa ketentuan dasar dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pembiayaan

pemerintah daerah dituangkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Prinsip ―money follow

function‖ sebenarnya telah dinyatakan secara eksplisit dan dijelaskan mengeni kecukupan

dana untuk melaksanakan fungsi/urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah.

Bagian-bagian tertentu tidak dapat memenuhi tujuan ini, sebagian karena:

Dana dekonsentrasi masih digunakan untuk membiayai urusan-urusan yang secara

hukum merupakan urusan pemerintah daerah; dana ini bahkan jumlahnya terus

bertambah16

, sehingga mencerminkan persepsi yang sangat berbeda di antara instansi-

instansi pemerintah pusat mengenai asas pemerintahan yang harus dipergunakan.

Upaya-upaya untuk mempercepat pembangunan di Papua mengandalkan pendanaan

yang pada dasarnya merupakan mekanisme pembiayaan dekonsentrasi17

.

Pengalihan dana dekonsentrasi menjadi dana alokasi khusus (DAK), sebagaimana

ditentukan dalam kebijakan pemerintah, tampaknya masih belum terjadi secara

signifikan.

Besarnya jumlah agregat DAU dan DAK tidak berhubungan (kecuali kebetulan) dengan

kebutuhan biaya pelayanan pemerintah daerah pada tingkat kinerja yang diharapkan.

Biaya untuk Standar Pelayanan Minimum masih belum diperhitungkan dengan seksama

dan diterjemahkan menjadi norma-norma belanja yang dapat diintegrasikan kedalam

mekanisme transfer.

Mekanisme off-budget untuk bantuan donor dan praktik-praktik penyeleksian daerah

semakin mempersulit upaya menyesuaikan kebutuhan pelayanan dengan pembiayaan di

seluruh negeri.

16

Data Departemen Keuangan memperlihatkan bahwa Departemen Pendidikan membutuhkan Rp 48 triliun

dalam TA 2008 – angka ini sangat tidak seimbang dengan kebijakannya yang mengatur urusan-urusan dan

pembiayaan sistem universitas. Kunjungan Konsultan ke lapangan di Aceh memperlihatkan bahwa sektor-

sektor lain mendapatkan aliran dana dekonsentrasi yang signifikan; pejabat Dinas Hortikultura di Aceh

Tamiang memperkirakan bahwa 30 persen dana yang diterima di kabupaten tersebut di subsektor

hortikultura berasal dari aliran dana dekonsentrasi. 17

Lihat penjelasan Bappenas dalam Cendrawasih Pos (2007). Rp 17-18 Triliun untuk Papua Direalisasikan

2008-Menteri PPN/Ka. Bappenas Minta Dikelola dengan Baik, 12 Juli

http://www.cenderawasihpos.com/detail?id=1645&ses

Page 39: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 25

Kecenderungan untuk menentukan input (dana) membuat proses penganggaran menjadi

lebih rumit (karena ambiguitas kategori biaya) dan kaku (lihat kotak di bawah ini).

Penilaian dan pembahasan mengenai pengeluaran yang terserap untuk ―pelayanan

publik/pembangunan‖ dibandingkan dengan yang diserap untuk ‗birokrasi‘ kurang

menyentuh dan tidak membantu dalam menetapkan fokus pada urusan-urusan yang

sedang dilaksanakan dan tingkat kinerjanya.

Menetapkan Target Belanja

Dalam tahun-tahun terakhir, para pembuat kebijakan tingkat pusat berupaya untuk menyelesaikan

ketimpangan belanja dengan memperbaiki target belanja sektoral. Target sektor pendidikan

tercantum dalam undang-undang dasar sebesar 20 persen dari anggaran belanja (untuk tingkat

pusat/daerah). Penyokong sektor kesehatan hampir berhasil dalam menetapkan target yang serupa

– 10 persen dalam hal ini; untuk sementara target ini masih belum resmi. Penyokong masalah

perempuan mendesak untuk mendapatkan alokasi 5 persen untuk ―gender‖. Target-target ini masih

tidak jelas dan semuanya mengancam otonomi daerah dan kinerjanya.

Usulan Tindak Lanjut

☞ UU Nomor 33 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya perlu direvisi dan

dijabarkan untuk memperjelas bagaimana keseimbangan antara urusan dan

pembiayaan dapat dicapai.

☞ Diperlukan upaya yang lebih intensif dalam menghitung biaya yang diperlukan

pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan dasar dan kebutuhan biaya tersebut

perlu tercermin dalam mekanisme transfer ke daerah.

☞ Perlu ditetapkan tolok ukur yang peka terhadap teknologi dan kondisi di daerah untuk

memnunjukkan ketika penyediaan suatu pelayanan sudah dianggap efisien (misalnya

biaya untuk mendidik anak sekolah dasar, biaya pengangkutan sampah) –

menggantikan penilaian yang menyesatkan atau yang bersifat global (misalnya

belanja ―aparatur daerah‖).

☞ Sejumlah strategi perlu dikembangkan untuk menjelaskan kepada stakeholder

kekurangan dalam menetapkan target pendanaan sektor, dengan memfokuskan pada

target output dan outcome yang diinginkan dan sarana yang sesuai untuk mencapai

target ini.

☞ Mekanisme pengalokasian sumber daya (dana, bantuan teknis) proyek-proyek donor

sebaiknya mempertimbangkan urusan-urusan yang diserahkan ke berbagai tingkat.

☞ Mekanisme pengalokasian sumber daya (dana, bantuan teknis) proyek-proyek donor

sebaiknya mempertimbangkan urusan-urusan yang diserahkan ke berbagai tingkat.

Kecuali untuk bantuan darurat, pendanaan donor untuk investasi pemerintah daerah

sebaiknya hanya diberikan secara on-budget (dengan persetujuan pusat) dan hanya

sebagai mode percontohan dengan maksud menyesuaikan mekanisme pembiayaan

pusat-daerah untuk memperkuat hubungan urusan dan pembiayaan.

5. Kriteria pembagian urusan

Praktik internasional

Kebutuhan untuk menetapkan proses penyesuaian yang terus berjalan untuk pembagian

urusan lebih mendesak di negara-negara yang memutuskan untuk menggunakan

konstruksi ultra vires. Yang jelas dibutuhkan adalah memfasilitasi desentralisasi, tetapi

Page 40: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 26

kadang-kadang diperlukan juga re-sentralisasi urusan-urusan atau mengidentifikasi urusan

yang tidak diantisipasi sebelumnya. Sebaliknya daripada konstruksi ultra vires, mandat

general competence memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif,

meskipun hal ini mungkin dibatasi oleh undang-undang/peraturan yang lebih tinggi (yang

juga dapat diberlakukan untuk menghentikan tugas yang sedang dilaksanakan oleh

pemerintah daerah jika kinerjanya buruk). Seperti disebutkan sebelumnya, sebagian besar

kasus, general competence dalam undang-undang tentang ―pemerintahan daerah‖

dilengkapi dengan daftar sektoral yang strukturnya lebih bersifat ultra vires; sehingga

secara umum menciptakan konstruksi campuran.

Dalam konstruksi ultra vires maupun konstruksi campuran, praktik yang baik adalah

praktik yang memperlihatkan bagaimana penyesuaian akan dilakukan dengan menetapkan

instrumen hukum dan prosedur utama (misalnya mekanisme konsultasi).

Kemanapun arah pergerakan urusan-urusan, beberapa negara yang menjalani

desentralisasi merasa cocok untuk menetapkan kriteria yang akan mengatur ―siapa yang

melakukan apa‖. Prinsip umum yang dulu pernah diterapkan di Eropa, yaitu prinsip

―subsidiarity‖ sekarang mulai diterapkan di Eropa dan mulai menjalar ke negara-negara

lain. Prinsip ini mengatur agar urusan/tugas yang bersangkutan harus dilaksanakan oleh

yurisdiksi terkecil yang dapat melakukannya secara efektif dan efisien. Istilah terakhir ini

tentu saja sifatnya sangat luas sehingga perlu dibuat lebih spesifik.

Daftar kriteria internasional yang digunakan untuk pembagian urusan tidak banyak

tersedia, dan proses penerapan kriteria tersebut (siapa yang mengatur dan bagaimana

bobot kriteria atau bagaimana trade-off dilakukan) bahkan kurang transparan. Kriteria

yang paling sering dikutip adalah efek limpahan (spillovers) dan efisiensi/ekonomi, 18

tetapi kapasitas pemerintah daerah juga menjadi tema yang sering muncul. Lampiran 6

menyajikan beberapa contoh kriteria yang dipromosikan/digunakan. Perlu diperhatikan

bahwa penggunaan kriteria ini masih jauh dari pelaksanaan yang hanya bersifat ‗mekanik‘;

sehingga memberi banyak celah untuk menafsirkan bagaimana kriteria ini dapat

diterapkan dengan cara yang terbaik. Daftar yang disusun di negara tertentu oleh pihak

yang berkepentingan ataupun tidak berkepentingan, dengan menggunakan kriteria yang

sama, kemungkinan besar akan sangat beragam.

Status di Indonesia

18

Lihat Ferrazzi G. (1998), Kriteria Pengalihan Urusan ke Pemerintah Daerah: Penyeleksian dan Penerapan

dalam Inisiatif Desentralisasi Indonesia, thesis doktoral yang tidak diterbitkan, University of Guelph.

Penerapan kriteria tidak transparan

Dalam pembahasan yang mengarah kepada penyusunan PP Nomor 38 Tahun 2007, para

pejabat dari Kemendagri dan Depdiknas telah sampai kepada kesimpulan bahwa

pendidikan SLTA selama tiga tahun harus menjadi urusan propinsi –- namun pada

pembahasan tingkat Menteri justru diputuskan bahwa urusan ini justru menjadi urusan

kabupaten/kota. Tidak ada keterangan untuk menjelaskan apakah hal ini bersifat sementara

atau merupakan keputusan akhir.

Dalam kasus menara komunikasi, pemberian ijin untuk mendirikannya diserahkan ke

Page 41: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 27

Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan yang terdapat dalam PP Nomor 38

tahun 2007 secara umum sudah cukup baik (eksternalitas, efisiensi dan akuntabilitas),

meskipun pada beberapa bagian kriteria tersebut tidak dijelaskan dengan baik. Secara

khusus, akuntabilitas mungkin perlu dianggap sebagai kriteria implisit yang

menguntungkan penyerahan urusan pada daerah – yang digantikan (overridden) apabila

terdapat trade-off dengan efisiensi ekonomi.

Mengingat adanya keragaman daerah, maka hilangnya konsep ―kapasitas administratif‖

sepertinya aneh. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyalahgunaan kriteria ―kapasitas

administratif‖ selama masa Orde Baru (di mana kapasitas administratif cenderung

digunakan sebagai dalih untuk menunda desentralisasi), tetapi kemungkinan besar

hilangnya konsep tersebut tidak dilakukan dengan sengaja, atau semata-mata karena

kelalaian. Dengan mempertimbangkan pembagian urusan di Indonesia yang cenderung

seragam, dengan beragamnya tingkat kapasitas, maka ketiadaan kriteria ini mungkin perlu

ditinjau kembali. Karena sepertinya tidak masuk akal untuk mengharapkan Kabupaten

Supiori di Papua (dengan populasi 12.500 jiwa) untuk melaksanakan urusan yang sama

dengan Kabupaten Bogor (populasi 4 juta).

Karakteristik lain dari pengalaman yang ada di Indonesia adalah kurangnya dokumentasi

(sehingga mengakibatkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas) dalam penerapan

kriteria-kriteria di atas. Meskipun berbagai acara pertemuan diadakan dengan melibatkan

pemerintah dan pihak-pihak luar, keputusan akhir tidak dilengkapi dengan alasan yang

jelas. Untuk sebagian besar urusan, hal ini tidak menjadi masalah karena banyak orang

dengan sendirinya memahami mengapa sebagian urusan tetap dipertahankan oleh

pemerintah pusat (misalnya kebijakan luar negeri, tenaga nuklir, penetapan standar

pelayanan dasar) dan mengapa sebagian urusan harus berada di tangan kabupaten/kota

(pendidikan dasar dan perawatan kesehatan dasar). Tetapi untuk beberapa urusan

―antara‖/yang diperebutkan, mungkin akan sangat bermanfaat jika pembahasan dan

pemikiran yang menghasilkan keputusan tersebut di dokumentasikan.

Usulan Tindak Lanjut

☞ Mungkin sebaiknya kriteria pembagian urusan perlku disesuaikan agar dapat lebih

menjelaskan akuntabilitas dan mencakup ―kapasitas administratif‖.

☞ Dalam penerapan kriteria di masa mendatang, mungkin sebaiknya disediakan

dokumentasi dari keputusan-keputusan yang dibuat dan menyediakan data ini kepada

pihak-pihak yang berkepentingan.

19

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (2007). Operator Secara Umum Mendukung dan Menyambut Positif

Gubsu: Seluruh Operator Sudah Harus Sesuaikan Diri dengan ―Menara Bersama‖, Jumat, 02 November.

http://www.sumutprov.go.id/lengkap.php?id=134

pemerintah kabupaten/kota – sekali lagi, tidak ada catatan ataupun notulen pembahasan

yang dapat menjelaskan eksternalitas yang dihadapi. Pada praktiknya, setidaknya seorang

gubernur (Sumatera Utara19

) telah mengambil inisiatif untuk mengarahkan sektor swasta

dalam menentukan lokasi/pembagian menara-menara tersebut. Di Kanada, pemerintah

tingkat federal-lah yang menyetujui pendirian menara-menara komunikasi.

Page 42: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 28

6. Urusan konkuren Praktik internasional

Prinsip pembagian urusan yang bersifat konkuren dapat mengacu pada dua situasi yang

berbeda:

1. Salah satu urusan dapat dilaksanakan oleh lebih dari satu tingkat pemerintahan

secara simultan (misalnya daftar urusan konkuren untuk tingkat federal dan negara

bagian di Malaysia dan India).

2. Salah satu urusan dapat diambil oleh suatu tingkat pemerintahan jika urusan tersebut

belum diambil oleh tingkat pemerintahan yang lain atau tidak melanggar

kepentingan tingkat pemerintahan yang lain (biasanya tingkat yang lebih tinggi;

misalnya pertanian dan imigrasi dalam daftar konstitusional propinsi-federal

Kanada).

Konteks yang pertama adalah pendekatan yang cukup umum yang mencakup sebagian

dari seluruh urusan pemerintahan, biasanya sebagian kecil sampai sedang. Terlalu banyak

konkurensi dianggap dapat menimbulkan kesulitan dalam menentukan peranan dan

pertanggungjawaban.

Dalam konteks yang kedua, konkurensi membuka ―peluang‖ untuk melaksanakan suatu

urusan daripada menjalankan urusan secara bersama-sama. Biasanya, tingkat pemerintah

yang lebih rendah diperbolehkan untuk mengambil suatu urusan jika tingkat yang lebih

tinggi belum mengaturnya dengan cara yang menghalangi tingkat yang lebih rendah untuk

mengambilnya. Masih diperdebatkan apakah pengambilan urusan yang bersifat sementara

dan dikerjakan oleh kedua tingkatan (namun secara berurutan) dapat disebut ―konkuren‖.

Jika mekanisme ini memberikan perlindungan kepada pemerintah yang tingkatnya lebih

rendah untuk mempertahankan posisinya ketika pemerintah tersebut adalah yang pertama

menguasai urusan maka pada dasarnya ini sama dengan ―hak inisiatif‖ (lihat Pasal 9 dalam

bab ini).

Status di Indonesia

Indonesia mempunyai definisi sendiri mengenai urusan-urusan konkuren. Istilah konkuren

ternyata dipergunakan untuk menggambarkan prinsip yang lebih luas – selain dari

sejumlah urusan yang merupakan wewenang ekslusif pemerintah pusat, maka semua

urusan lain (maksudnya di sini ―sektor‖ atau ―urusan yang sangat luas‖) ―dibagi-bagikan‖

dalam arti bahwa ada bagian-bagian yang diserahkan kepada pemerintah pusat dan ada

yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemahaman ini, dan cara perumusan secara

khusu pemahaman ini, memiliki beberapa kekurangan antara lain:

Arti konkuren di Indonesia adalah sekedar cara lain untuk menegaskan prinsip yang

eksklusif (―kelima urusan ini hanya dimiliki oleh pemerintah pusat dan sisanya dibagi-

bagikan - yaitu merupakan urusan konkuren‖). Dalam pengertian ini, konkuren

mempunyai makna yang tidak terlalu signifikan.

Arti yang diberikan kepada konkuren di Indonesia menimbulkan kebingungan karena

bertentangan dengan penggunaan internasional yang lazim – di Indonesia konkuren

berarti akan ada pembagian urusan tertentu yang lebih mendetail di antara beberapa

tingkat, bukan dipegang secara simultan oleh berbagai tingkatan.

Page 43: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 29

Penerapan konsep ini terganggu oleh kecenderungan untuk melihat urusan secara luas

yang terdiri bagian-bagian yang dapat ditempatkan di semua tingkat (pusat, propinsi,

kabupaten/ kota) – kemungkinan demikian memang wajar untuk urusan seluas ―sektor‖

tetapi tidak selalu demikian bila urusan didefinisikan secara lebih sempit.

Perujukan ―Urusan konkuren‖ pada beberapa bagian dalam daftar PP Nomor 38 Tahun

2007 tidak jelas (lihat bagian 3 ―Otonomi Daerah‖. Administrasi Keuangan Daerah (8)).

Ironisnya, ketika perumusan urusan wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 di mana

daftar untuk propinsi dan kabupaten/kota sama persis, menunjukkan persepsi klasik

mengenai urusan konkuren; semua tingkat dapat melaksanakan urusan konkuren. Namun,

peraturan pelaksanaannya memperlihatkan bahwa sebenarnya bukan itu maksudnya –

makna konkuren hanya dilihat sebagai indikasi bahwa suatu sektor atau urusan yang luas

dapat dibagi-bagikan antar tingkatan pemerintahan; bagian-bagian tersebut tidak dimiliki

bersama.

Apakah urusan-urusan ini dimaksudkan bersifat konkuren?

Dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, beberapa urusan di tingkat propinsi dan kabupaten telah disusun

dengan formulasi yang persis sama. Misalnya, kutipan dari lampiran Pekerjaan Umum:

Pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria

(NSPK). [perumusan digunakan untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota]

Dalam kasus-kasus lain, perbedaan urusan antara kedua tingkat tersebut sulit untuk dipahami:

Penyediaan air minum di daerah-daerah yang ditimpa bencana alam atau kekeringan pada skala

propinsi

Penyediaan air minum di daerah-daerah yang ditimpa bencana alam atau kekeringan pada skala

kabupaten/kota

Dalam kasus kedua, sulit untuk melihat bagaimana kedua tingkat pemerintahan tersebut sama-

sama terlibat. Mungkin mereka terlibat namun dengan peranan yang berbeda.

Belum dapat dipastikan apakah Indonesia ingin mengadopsi makna konkurensi

internasional. PP Nomor 38 Tahun 2007 mencantumkan beberapa urusan yang

penjelasannya persis sama untuk tingkat propinsi dan kabupaten/kota (lihat kotak di atas).

Karena tidak ada pengantar atau ketentuan utama yang menjelaskan apakah hal ini

merupakan salah satu segi dari tatanan pembagian urusan, maka jawaban untuk pertanyaan

diawal paragraf ini masih belum terjawab. Wacana resmi juga tidak dapat banyak

membantu dalam menjawab pertanyaan ini karena dibutuhkan pemahaman mengenai

makna internasional dari istilah ini. Beberapa pakar memang memiliki pemahaman yang

cukup mendalam, misalnya Profesor Bhenyamin Hoessein dan Profesor Eko Prasojo

pernah menyatakan bahwa urusan konkuren dapat menciptakan duplikasi (bilamana

urusan dianggap menarik) atau kevakuman (bilamana urusan dianggap membebani secara

keuangan).20

Upaya revisi untuk menangani dampak yang semakin meluaas dari kejanggalan ini, istilah

―konkuren‖ diganti dengan istilah ―bersama‖. Pilihan kata ini menekankan prinsip yang

dianut oleh para pejabat Kemendagri bahwa tidak ada urusan pemda yang ―independen‖.

Peru bahan tersebut masih tidak menjelaskan apakah urusan tertentu (spesifik) harus

dilaksanakan hanya oleh satu tingkat pemerintahan, atau apakah urusan tersebut

20

Hoessein, Bhenyamin dan Prasojo, Eko (2007), Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat

Pemerintahan, disebarluaskan pada sesi Kemendagri untuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004, Oktober 2007.

Page 44: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 30

dilaksanakan oleh lebih dari satu tingkat ―secara konkuren‖ (terlaksana atau terjadi pada

waktu yang sama).21

Usulan Tindak Lanjut

☞ Dua opsi dapat dipertimbangkan:

o Opsi A: Menerapkan urusan konkuren sesuai dengan praktik internasional, bila

diperlukan. Namun, tampaknya belum ada kebutuhan atau permintaan untuk

melakukan hal ini.

o Opsi B: Jika urusan konkuren, menurut praktik internasional, dianggap tidak

sesuai, maka sebaiknya istilah ‗urusan konkuren‘ dihapuskan saja (demikian

juga dengan istilah ―urusan bersama‖). Tindakan ini tidak akan mempengaruhi

bagian-bagian yang lain dari kerangka hukumnya dan akan membantu mencegah

kebingungan.

☞ Jika pemikiran bahwa tidak ada urusan ―independen‖ di tingkat daerah dianggap

perlu dipertahankan, maka hal ini dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya dalam

pembukaan pasal tentang penjelasan peraturan pemerintah.

Mungkin ada baiknya jika pada proses merumuskan ‗urusan konkuren‘ agar istilah dan

konsepnya dapat selaras dengan yang berlaku secara internasional, diadakan serangkaian

diskusi yang melibatkan para stakeholder Indonesia (terutama kalangan akademisi) dengan

lembaga donor. Sehingga para stakeholder Indonesia dapat menilai apakah istilah yang

digunakan dan konsep yang diterapkan untuk ‗urusan konkuren‘ sudah sesuai dengan

kondisi Indonesia.

7. Formulasi urusan

Praktik internasional

Terdapat berbagai rumusan dalam daftar-daftar urusan yang diadopsi di seluruh dunia.

Beberapa prinsip yang dapat diambil dari konstruksi dan pengalaman penerapannya,

antara lain:

Mengetahui kapan urusan-urusan perlu dibagi-bagikan; untuk menghindari konkurensi

yang tidak diinginkan atau memberikan bagian-bagian urusan yang tidak cocok kepada

tingkat pemerintahan bersangkutan;

Meskipun demikian, sebisa mungkin mempertahankan urusan tetap utuh (tambahkan

sejumlah perkecualian jika hal ini dapat membantu mempertahankan agar rumusan tetap

utuh);

Menghindari menyamakan urusan-urusan dengan ―proyek‖ — ‗urusan‘ adalah mandat

dasar dan stabil yang menghasilkan proyek/program yang banyak berubah dari waktu ke

waktu;

Menghindari membatasi wewenang berdasarkan nilai proyek/ kegiatan; pengadaan

(procurement) harus dikemas dengan fungsi substantifnya;

Urusan yang bersifat pengelolaan hendaknya bersifat implisit atau digunakan sebagai

rujukan global;

21

Definisi ―konkuren‖ dalam kamus online Merriam Webster, http://m-w.com/dictionary/concurrent

Page 45: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 31

Menghindari penggunaan istilah ―skala‖ atau bahkan ―tingkat‖ karena istilah-istilah ini

dapat menimbulkan beragam penafsiran, atau tidak menambahkan informasi apapun;

Urusan-urusan hendaknya bukan sekadar cerminan mandat organisasi yang ada

sebelumnya.

Dengan menjaga urusan-urusan tetap utuh, pemerintah akan lebih mudah bertanggung

jawab dan menjadi efisien (misalnya belanja modal dan pemeliharaan seimbang), dan

daftar urusan akan lebih mudah dipahami. Kemudahan untuk dipahami dapat ditingkatkan

jika norma/standar dan peran pengawasan dibuat menyeluruh untuk semua urusan terkait

daripada menyusunnya untuk setiap urusan ―substantif‖ yang kecil.

Contoh penggunaan yang aman dari kata “skala”/ “tingkat”

―Penangkapan ikan dalam yurisdiksi pemerintah kabupaten‖ di mana ini telah disebutkan di bagian

lain.

―Penyediaan bandara yang berskala kotamadya‖ di mana ketentuan sebelumnya telah disebutkan

mengenai bandara mana yang berskala tersebut (berdasarkan lokasi fasilitas dan daerah

tujuan/status).

―Jalan yang berskala propinsi‖ di mana istilah teknis ini telah umum dan dipahami secara luas

(misalnya jalan arteri yang menghubungkan ibukota-ibukota kabupaten).

Perbedaan antara tingkat-tingkat dapat digunakan sebagai ―skala‖ tetapi umumnya jika

dimensi skalanya telah ―distandarisasi‖. Istilah skala hendaknya tidak digunakan untuk

membedakan urusan-urusan yang berkaitan dengan kelompok-kelompok sasaran yang

berbeda. Misalnya, jika penempatan staf ahli menjadi urusan tingkat propinsi dengan

lingkup ―skala propinsi‖, maka hal ini akan menimbulkan dua kemungkinan interpretasi:

menyangkut semua staf di semua tingkat sampai tingkat propinsi, atau hanya menyangkut

staff dari propinsi tertentu.

Urusan dan institusi seringkali dicampur-adukkan atau dikacaukan. Institusi harus

mengikuti urusan; mencerminkan cara-cara pelaksanaan urusan yang praktis/efisien.

Kurang tepat untuk memulai dari struktur tingkat pusat, membekukan mandat yang ada

dan kemudian maju ke tugas mencari urusan yang sesuai untuk SNG yang lebih

berorientasi pada implementasi. Pendekatan ini tentu menimbulkan inefisiensi akibat

struktur tingkat pusat yang terlalu besar dan peningkatan peran/fungsi SNG yang tumpang

tindih atau diragukan.

Status di Indonesia

Penggunaan kata ―skala‖ sebagai istilah untuk penjelasan terlalu banyak ditemukan dalam

PP 38/2007. Misalnya, di sektor kesehatan, mungkin cocok untuk menyatakan bahwa

propinsi maupun kabupaten/kota mengadakan surveilans terhadap penyakit menular

menurut skala; surveilans dapat dilakukan pada umumnya di tingkat kabupaten/kota

dengan protokol yang distandarisasi ketika intervensi tingkat propinsi dilakukan –

biasanya dalam situasi darurat. Namun, model ini mungkin tidak berguna untuk sejumlah

masalah lain; misalnya dalam surveilans kekurangan gizi. Dalam hal ini, kabupaten

berupaya untuk waspada terhadap ancaman kekurangan gizi dan secara mandiri

mempunyai sarana untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menyertakan peranan

propinsi—yang dapat menciptakan duplikasi karena hampir tidak ada keuntungan dengan

melihat tantangan ini sebagai berskala propinsi dan menanganinya dengan cara yang

Page 46: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 32

berbeda/melengkapi di tingkat tersebut (tidak seperti untuk penyakit-penyakit menular

yang mewabah dengan cepat di mana koordinasi yang tepat waktu oleh propinsi di antara

kabupaten-kabupaten dapat sangat berguna).

PP 38/2007 dikatakan, oleh para pejabat pemerintah sendiri, sesuai dengan kebutuhan

organisasi, dalam arti bahwa organisasi kementerian sektoral yang turun sampai ke tingkat

direktorat atau lebih rendah, berupaya melihat mandatnya tercermin dalam daftar

pemerintah pusat, dan kemudian dalam daftar pemerintah daerah agar dapat menyerahkan

tugas-tugasnya ke daerah-daerah. Sampai pada taraf ini, daftar yang terlalu terperinci

dihasilkan; daftar yang mungkin berisi urusan-urusan yang tidak perlu lagi atau yang tidak

harus lagi mencantumkan komponen tingkat pusat; atau daftar yang berisi urusan/tugas

duplikat di tingkat daerah hanya untuk ―mengimbangi‖ unit-unit di tingkat pusat.

Dalam revisi UU 32/2004, tim revisi berupaya membuat daftar yang lebih sederhana dan

secara konseptual menggunakan urusan-urusan sebagai titik tolak, bukan mandat

organisasi yang lama dan terlalu terperinci (tugas pokok dan fungsi/tupoksi). Maka,

beberapa daftar sektoral telah dipadatkan untuk memperlihatkan bagaimana hal ini dapat

dilakukan. Tampaknya ini terlihat sebagai fokus dari tim revisi, berkaitan dengan

pembagian urusan. Meskipun penting untuk memperbaiki formulasi daftar-daftar ini, yang

pertama harus disepakati adalah bahwa PP 38/2007 akan direvisi, atau diganti dengan

peraturan perundang-undangan yang berbeda mengenai urusan-urusan. Dan

kerangka/arsitektur yang lebih besar yang menjadi wadah bagi instrumen pengganti

tersebut juga harus dipersiapkan (misalnya azas pemerintahan, kompetensi umum vs ultra

vires, wajib vs pilihan).

Usulan Tindak Lanjut

☞ Perspektif jangka panjang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kapasitas

individu/unit dalam lingkungan Kemendagri yang bertugas untuk mempromosikan

praktik-praktik yang baik di bidang pembagian urusan, khususnya dalam

merumuskan urusan-urusan (termasuk menerapkan kriteria, memilih azas

pemerintahan, membagi-bagikan urusan dan menyederhanakan urusan-urusan yang

ada). Ini dapat terdiri dari:

o Mengidentifikasi individu-individu yang berpotensi memainkan peran yang lebih

besar dan memberi mereka dukungan yang spesifik;

o Meningkatkan jaringan kerja di lingkungan Kemendagri yang dapat dimanfaatkan

untuk mempromosikan praktik-praktik yang baik;

o Bekerja langsung dengan departemen-departemen sektoral untuk meningkatkan

kapasitas dalam merumuskan urusan-urusan.

Para donor telah memberikan dukungan yang terbatas dalam penyusunan PP 25/2000, dan

bantuan difokuskan pada kementerian yang bertanggung jawab atas reformasi

administrasi. Sampai saat ini, belum ada rencana dukungan lebih lanjut. Pengalaman yang

didapatkan dari penyusunan kerangka tahun 2000 dapat berguna dalam orientasi untuk

jangka yang lebih panjang seperti yang diperlihatkan di atas.

8. Urusan wajib/standar pelayanan minimum

Praktik internasional

Page 47: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 33

Wajar diakui bahwa terdapat berbagai jenis praktik di bidang pembagian urusan

internasional. Namun berbagai pola juga nampak. Banyak negara mempunyai

kebijakan/kerangka hukum yang menekankan atau mewajibkan beberapa urusan pada

SNG. Untuk urusan seperti ini, terutama yang diterapkan dalam rangka pelayanan dasar,

norma-norma/standar-standar ditetapkan (seringkali melalui instrumen sektoral; peraturan

perundang-undangan) untuk menentukan kinerja yang diharapkan dari SNG. Kedudukan

dan tingkat pelaksanaan standar-standar ini sangat bervariasi dari segi hukum dan praktik.

Salah satu aspek yang menimbulkan konsern dalam menerapkan standar pelayanan

minimum adalah kecukupan dana untuk memenuhi standar pelayanan minimum – yaitu,

bagaimana menghindari mandat-mandat yang tidak didanai.

Konsern lain yang terkait dengan penerapan urusan wajib adalah bagaimana pemerintah

daerah diberikan keleluasaan yang cukup – agar pemerintah daerah mempunyai tingkat

otonomi yang signifikan. Ini dapat dicapai dengan menyusun secara cermat harapan-

harapan kinerja atas urusan-urusan wajib (misalnya sedapat mungkin berorientasi pada

output dan bukan input/penetapan tingkat pengeluaran) dan dengan memperbolehkan

pemerintah daerah menjalankan juga urusan-urusan yang bersifat kedaerahan yang dinilai

layak dan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan sumber daya yang

dimilikinya.

Status di Indonesia

Sejak pertama kali diperkenalkan dalam kerangka tahun 1999, urusan wajib (UW) dan

Standar Pelayanan Minimum (MSS) telah dijabarkan dan disosialisasikan. Ketentuan-

ketentuan mengenai Standar Pelayanan Minimum (SPM) sekarang telah dicantumkan

secara lengkap dalam kerangka perundang-undangan (untuk perencanaan, penganggaran,

pemantauan dan evaluasi, dan laporan pertanggungjawaban). Secara khusus, PP 65/2005

menjadi pilar yang kuat untuk kerangka SPM, penopang yang masih dalam tahap

pemberlakuan melalui peraturan-peraturan di bawahnya. Sebuah ―Tim Konsultasi‖ antar

kementerian telah dibentuk untuk mengkaji usulan-usulan sektoral dalam menetapkan

SPM; tinjauan yang mereka lakukan akan dicantumkan dalam rekomendasi Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Jika rekomendasi DPOD mendapatkan dukungan

maka para menteri menindaklanjutinya dengan surat keputusan untuk menetapkan SPM.

Tim Konsultasi telah mengadakan rapat22

namun belum membahas usulan-usulan

(proposal) dan baru berfungsi secara penuh di awal tahun 2008 (ketika Kemendagri telah

selesai membuat anggaran operasionalnya).

Kemendagri melaporkan bahwa tujuh departemen/lembaga telah mengajukan usulan

urusan wajib/SPM (termasuk bidang kesehatan dan lingkungan, yang mendapatkan

perhatian dari Tim Konsultasi di akhir tahun 2007). Draft daftar yang telah disusun

sebelumnya menyingkapkan berbagai pemahaman atau pandangan tentang UW/MSS.

Departemen Kesehatan menganggap daftar usulan UW/SPM siap untuk ditinjau dan

merupakan perbaikan dari daftar sebelumnya. Depkes telah melaksanakan pemeriksaan

data secara sampel dan penghitungan biaya untuk memperbaiki daftarnya (lebih

disederhanakan agar SPM layak dan terjangkau menurut pandangannya).

22

Tim Konsultasi bertemu dalam sebuah breakfast meeting yang difasilitasi oleh GTZ-ASSD pada tanggal

28 November 2007. Tiga anggota berEselon I dan beberapa anggota berEselon II/III (Tim Teknis) ikut

dalam pertemuan; pertemuan ini cukup berhasil namun kerja keras untuk memfasilitasi/mengkaji usulan-

usulan sektoral masih menunggu.

Page 48: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 34

Pandangan Departemen Pendidikan tentang UW/SPM

Tidak ada sifat mendesak dari Departemen Pendidikan untuk mengajukan SPM karena mereka

menganggap bahwa prioritas departemen adalah menyusun standar pendidikan yang lebih besar

yang berasal dari Undang-Undang No. 20 tentang Pendidikan Nasional. Selain itu, standar

pendidikan ini tampaknya dapat dicapai hanya jika pemerintah pusat/daerah meningkatkan

anggaran pendidikan dari 12% menjadi 20% sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Dasar. Departemen Pendidikan khususnya ingin mendorong kemandirian unit-unit pelaksana

(sekolah) dan mengharapkan peningkatan dana alokasi khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi

yang langsung ditransfer ke sekolah-sekolah. Tantangan yang dihadapi Departemen Pendidikan

adalah meminta agar daerah mengerti peran fasilitatif bersama (dengan Pemerintah Pusat) di

bidang pendidikan, dengan mengatasi kesalahpahaman yang menimbulkan tuntutan yang tidak

masuk akal untuk mendapatkan otonomi (misalnya penolakan ujian nasional oleh Sumatera Utara).

Departemen Pendidikan menyatakan bahwa ia tidak akan mengajukan daftar sampai tahun

2008, dan sikapnya ini memperlihatkan bahwa Departemen Pendidikan menganggap

standar pendidikan nasional yang lebih luas sebagai prioritasnya. Sikap ini merupakan

bagian dari pandangan yang lebih luas mengenai otonomi seperti yang terlihat dari sudut

pandang Departemen Pendidikan (lihat kotak di atas) yang memperlihatkan bahwa masih

banyak pembahasan dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan pandangan dan pendekatan

terhadap peran dan kinerja pemerintah daerah.

Agenda Departemen Kesehatan untuk SPM

Depkes bermaksud memetakan kapasitas pemerintah daerah di bidang sistem data, perhitungan

biaya, perencanaan dan penganggaran dengan lebih terperinci dan mengembangkan tanggapan

yang cocok terhadap apa yang akan menjadi kebutuhan-kebutuhan yang sangat berbeda di antara

daerah-daerah dalam penerapan SPM. Perangkat lunak sedang dikembangkan untuk membantu

daerah-daerah dalam melaksanakan perhitungan biaya untuk mengatasi kesenjangan SPM.

Perhatian khusus akan diberikan kepada daerah-daerah yang sangat lemah, misalnya Papua, namun

pendekatan yang tepat masih belum disusun – fleksibilitas dalam mencapai SPM diakui penting

dalam hal ini. Untuk semua daerah, Depkes berniat mendukung, bukan menghukum.

Bagi departemen-departemen yang mendapatkan persetujuan DPOD untuk daftar SPM

yang mereka ajukan, maka selanjutnya dibutuhkan upaya yang besar untuk

memberlakukan SPM dalam kegiatan perencanaan, penganggaran dan pemantauan

pemerintah daerah. Niat Depkes dituangkan dalam kotak di atas. Kemendagri juga

berharap dapat meningkatkan kegiatan sosialisasi namun pendekatan dan anggaran untuk

tahun 2008 masih disusun dan belum dapat diserahkan kepada Konsultan.

Untuk standar yang dikembangkan secara konsisten dan disetujui di semua sektor maka

proposal harus mengikuti pedoman yang terdapat dalam PP 65/2006, khususnya hubungan

SPM dengan urusan wajib yang berorientasi pada pelayanan dasar. Dengan adanya PP

38/2007, maka dapat disampaikan hal-hal berikut ini sehubungan dengan UW/SPM:

Urusan wajib dalam PP 38/2007 hanya terikat pada pelayanan dasar (Pasal 7(1)),

sehingga tampaknya menghapuskan kemungkinan urusan wajib yang bukan merupakan

pelayanan dasar.

Pasal 7(2) bertentangan dengan ketentuan sebelumnya karena menyusun sektor-

sektor/urusan-urusan yang bukan pelayanan dasar dari segala aspek (misalnya persatuan

bangsa dan politik).

Page 49: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 35

Isi dari PP 38/2007 menyusun Urusan Wajib yang bersifat sektor, dengan demikian

meneruskan kelemahan dalam UU 32/2004 mengenai hal ini.

PP 38/2007 tidak mengatur ―penanaman modal daerah‖ – undang-undang khusus urusan

ini akan mengaturnya. Tidak diberikan penjelasan atas perkecualian ini (sebenarnya

arsitektur ini lebih baik- semua undang-undang ―sektoral‖ perlu diselaraskan dengan

pembagian urusan yang diputuskan secara politis).

Sektor-sektor yang tercantum dalam bagian utama PP 38/2007 tidak dibedakan menurut

sifat wajib atau pilihan.

PP 38/2007 tidak dapat memantapkan hubungan UW - SPM. Daftar di bidang kesehatan

dalam peraturan ini cukup berbeda dengan daftar yang mengatur UW/SPM – yang

sekarang ada di hadapan Tim Konsultasi.

Tantangan utama saat ini di bidang SPM adalah menyetujui SPM yang dapat

dipertanggungjawabkan berdasarkan relevansi, kemampuan untuk ditelusuri

(data/pelaporan), dan keterjangkauannya. Belum ada keputusan mengenai metode

pembiayaan; apakah keuangan daerah saat ini akan menutupi biaya-biayanya, atau apakah

ada sumber daya tambahan yang berasal dari tingkat pusat – dan bagaimana tata kerjanya.

Salah satu kemungkinan adalah peningkatan DAK karena seharusnya diperbesar dengan

adanya pengalihan dari dana dekonsentrasi. Dana dari donor dapat melengkapi dana-dana

ini. Kemungkinan untuk menyusun norma-norma pengeluaran SPM dalam DAU telah

diusulkan tetapi sejauh ini hampir tidak ada penjajakan. Meskipun beberapa departemen

mengharapkan kelanjutan/peningkatan dana dekonsentrasi, hal ini merupakan arah

kemunduran – SPM seharusnya tidak menjadi dalih para departemen sektoral untuk

mempertahankan atau meningkatkan dana dekonsentrasi, yang didasarkan atas pemikiran

yang salah bahwa SPM paling baik kalau dicapai melalui investasi yang langsung

diarahkan oleh pusat.

Usulan Tindak Lanjut

☞ Tampaknya perlu meninjau kembali dasar konseptual urusan wajib dan urusan

pilihan:

o Mengubah konsep dari definisi yang berbasis sektoral

o Menghapuskan pembatasan ―pelayanan dasar‖ untuk urusan-urusan wajib.

o Menyusun daftar yang hanya terdiri dari urusan-urusan wajib dan memperlakukan

urusan-urusan pilihan secara terpisah (lihat Bab 9)

o Menyesuaikan pendekatan norma dan standar yang mencerminkan sifat urusan

wajib (misalnya pelayanan dasar versus kegiatan pemda lainnya).

☞ Penting bagi lembaga-lembaga sektoral untuk menyusun proposal yang kuat kepada

Tim Konsultasi/DPOD dari segi pertanggungjawaban berdasarkan kemampuan SPM

untuk ditelusuri, kapasitas administratif dan keterjangkauan. Khususnya, perhatian

perlu diberikan kepada penghitungan biaya SPM yang mencerminkan

kebutuhan/norma pengeluaran pada transfer dari pusat dengan cara-cara yang

mendorong pemerintah daerah menggunakan sumber daya keuangannya untuk

mengatasi kesenjangan SPM. Setidaknya, skema pembiayaan jangan sampai

menciptakan insentif-insentif yang berlawanan di tingkat daerah (yaitu ―semakin

banyak kesenjangan SPM berarti semakin banyak transfernya‖).

Page 50: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 36

☞ Tujuan dari beberapa menteri untuk mengembangkan peningkatan kapasitas yang

signifikan terkait dengan penerapan SPM layak mendapatkan dukungan dari donor.

Ini membutuhkan:

o Pembinaan dari Kemendagri dan departemen-departemen mengenai penerapan

SPM yang sesuai dengan peraturan-peraturan pengelolaan keuangan.

o Peningkatan upaya untuk mencapai semua kabupaten/kota secara merata dengan

dukungan teknis/pelatihan melalui saluran-saluran/pendekatan-pendekatan

pelayanan yang terlembaga.

o Penyesuaian atau intensifikasi proyek daerah yang mendapatkan dukungan donor

(LGSP, ALGAP, GLG, dan sebagainya).

o Penyelarasan proyek-proyek investasi sektoral relevan yang didanai donor dengan

penempatan OF/MSS.

☞ Dukungan juga dibutuhkan di tingkat pusat, terutama di bidang pembiayaan (lihat

Pasal 4). Pada tahun 2008, kemungkinan terdapat kebutuhan dan permintaan bantuan

teknis dari proyek-proyek donor yang saat ini dilibatkan dalam pengembangan

kebijakan dan desentralisasi untuk membantu menyusun proposal-proposal yang kuat

kepada Tim Konsultasi/DPOD. Para donor mungkin dapat mempertimbangkan suatu

pembagian tugas agar upaya GTZ-ASSD (yang diarahkan pada DDN) dilengkapi

dengan dukungan kepada instansi sektoral.

☞ Dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman DSF-Pemerintah RI baru-

baru ini, maka kelompok kerja SPM dapat diresmikan. Kelompok kerja ini tadinya

dibentuk di bawah Sekretariat Tetap Kelompok Kerja Gabungan Desentralisasi.

Kelompok kerja ini dapat membantu donor untuk mendukung berbagai partner dan

daerah dengan cara yang harmonis dan disesuaikan (aligned).

Dukungan donor dalam urusan wajib terutama disediakan pada saat dimulainya

pembahasan tentang SPM. Sebagian dukungan disediakan selama proses revisi undang-

undang yang melahirkan UU 32/2004, tetapi sebagian besar input donor untuk tujuan ini

tidak dimanfaatkan. Sedikitnya sudah dua tahun tidak ada bantuan donor di bidang

pembagian urusan diartikan secara lebih luas.

Sejumlah donor telah mendukung upaya Pemerintah RI di bidang SPM sejak tahun 2002.

Ada juga donor yang bekerja di tingkat daerah untuk membantu pemerintah daerah

mengunakan SPM dalam proses perencanaan/ penganggaran. GTZ terlibat di tingkat pusat

dan demikian pula sesekali juga USAID-LGSP dan CIDA-GRSII. Efektivitas bantuan dari

mereka terganggu oleh kurangnya koordinasi Pemerintah Indonesia.

9. Urusan pilihan/hak inisiatif

Praktik internasional

Jika suatu negara memilih untuk menetapkan urusan wajib untuk SNG, maka pilihan ini

memperlihatkan bahwa kesempatan harus diberikan kepada SNG untuk melakukan

kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang ditetapkan sebagai urusan wajib. Apa yang

murni dilakukan berdasarkan inisiatif SNG dapat disebut sebagai urusan pilihan; urusan

pilihan yang menjadi pelengkap bagi urusan wajib ini akan meningkatkan otonomi daerah

mengingat urusan wajib agak membatasi diskresi daerah (tingkat pembatasan bergantung

pada tingkat dan sifat harapan kinerja yang dilekatkan pada urusan wajib).

Page 51: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 37

Berbagai negara telah menggunakan urusan pilihan, secara eksplisit maupun implisit.

Misalnya, Kamboja pada prinsipnya mengizinkan komune untuk melaksanakan urusan-

urusan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan jika urusan-urusan ini

diusulkan terlebih dahulu dan disetujui oleh lembaga tingkat pusat—ini adalah bentuk

kebijaksanaan tingkat daerah yang kurang lazim dan mengingkari formulasi urusan

komune berbasis general competence. Di beberapa negara, arsitektur urusan mencakup

ketentuan yang dapat disebut ―hak inisiatif‖; hal ini khususnya berguna untuk melengkapi

daftar positif yang bersifat wajib (secara eksplisit atau sebaliknya), yang dapat

menimbulkan sikap membatasi diri yang berlebihan di pihak pemerintah daerah.

Ketentuan mengenai ―hak inisiatif‖ ini mendorong SNG melakukan kegiatan-kegiatan

yang tidak dijabarkan dalam daftar positif. Filipina adalah salah satu negara yang

menganut konstruksi ini.

Beberapa negara lebih memilih untuk menyusun urusan pilihan, membuka formulasi

dengan istilah-istilah seperti ―mungkin‖, ―dapat‖ atau kata-kata kewajiban yang lembut

seperti ―sampai pada taraf ketika dana tersedia‖. Keuntungan dari menyusun daftar ini

adalah bahwa daftar tersebut memperluas ruang lingkup SNG untuk bertindak. Namun

bahayanya adalah bahwa daftar tersebut juga dianggap sebagai bagian dari konstruksi

ultra vires – tidak ada hal lain di luar apa yang ―mungkin‖ dilakukan akan dianggap

memungkinkan. Selain itu, istilah ―mungkin‖ dapat memaksudkan cara yang sopan untuk

memperlihatkan apa yang harus dilakukan oleh SNG, bukan pilihan. Untuk menghindari

perangkap ini, lebih baik menetapkan ketentuan hak inisiatif, atau formulasi general

competence (meskipun hal ini biasanya hanya cocok untuk satu tingkat pemerintahan – di

mana sebagian besar pelayanan dasar disediakan).

Perlu diperhatikan bahwa tidak ada urusan pilihan dalam arti mutlak; minimal kegiatan

SNG harus sesuai dengan kerangka hukum yang lebih tinggi (misalnya, tidak

diskriminatif, sesuai dengan KUHP, dan sebagainya). Urusan pilihan adalah urusan yang

jelas bersifat kedaerahan, muncul dari kreativitas dan prioritas SNG dan dilaksanakan jika

sumber dayanya memungkinkan, setelah adanya tekad bulat untuk mengurus usaha inti

dari SNG. Urusan pilihan merupakan prioritas daerah, tetapi tidak menggantikan apa yang

menjadi urusan prioritas tertinggi SNG, yang ditetapkan sebagai urusan wajib SNG.

Dalam konteks pemerintah daerah multilevel, urusan pilihan/ketentuan hak inisiatif

idealnya dilengkapi dengan aturan-aturan untuk memutuskan siapa yang benar-benar

berhak untuk maju dalam suatu kegiatan tertentu jika dua tingkat pemerintahan bersaing

untuk melakukannya. Mungkin terdapat peraturan yang mengizinkan kedua tingkatan

tersebut untuk melaksanakan jenis kegiatan tertentu. Sulit mendapatkan informasi

mengenai pengaturan seperti ini, tetapi praktik-praktik yang baik dapat dibayangkan.

Misalnya, jika pendekatan paralel atau gabungan (konkurensi) tidak praktis maka yang

pertama maju diberikan preferensi, atau jika kegiatan belum dimulai, maka tingkat tertentu

mungkin dapat diberikan prioritas umum (misalnya tingkat pemerintahan yang ditetapkan

sebagai pemerintah daerah yang ―general purpose‖).

Status di Indonesia

Urusan pilihan diperkenalkan dalam Undang-Undang 32/2004, dan ditegaskan kembali

dalam PP 38/2007. Urusan pilihan kurang dijelaskan dengan definisi ―urusan yang ada di

lapangan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan kondisi,

keunikan dan potensi dari daerah yang bersangkutan‖. Urusan pilihan harus ditetapkan

Page 52: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 38

dalam peraturan pemerintah daerah dalam jangka waktu setahun setelah dikeluarkannya

PP 38/2007, yang memaksa pemerintah daerah untuk membuatnya eksplisit a priori, bukan

kapan mereka akan menentukannya. Peraturan daerah tersebut harus merujuk kepada

lampiran PP 38/2007 yang rupanya menyusun urusan pilihan – secara seragam untuk

semua pemerintah daerah. Hasil-hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

Definisi urusan pilihan dalam bagian utama undang-undang/peraturan kurang baik;

urusan pilihan dikaitkan dengan sektor-sektor, bukan didefinisikan berdasarkan siapa

yang mengambil inisiatif.

Norma/standar urusan pilihan tidak dibedakan dalam hal apapun dari norma/standar

urusan wajib.

Peraturan-peraturan tidak konsisten sehubungan dengan siapa yang menentukan urusan

pilihan; tampaknya peraturan-peraturan tidak disusun ketika pemerintah daerah ingin

menentukannya.

Jika maksudnya adalah memperbolehkan adanya fleksibilitas/ perluasan otonomi maka

konsepnya mungkin perlu direvisi. Konsepnya harus jelas berfokus pada formulasi ―hak

inisiatif‖. Selain itu, beberapa aturan mungkin perlu disusun untuk menentukan tingkat

propinsi dan kabupaten/kota yang menerima urusan pilihan.

Alasan untuk Urusan Pilihan

Kemendagri khususnya merasa bahwa pemerintah daerah tidak dapat dipercaya untuk membentuk

organisasi sesuai dengan beban kerja yang dituntut untuk menjalankan urusan-urusan. Ancaman

ini semakin nyata bagi sektor-sektor unggulan – sektor ekonomi khususnya. Sebaliknya, sektor-

sektor yang memberikan pelayanan dasar sebagai urusan wajib barangkali tidak memiliki peluang

perilaku yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti ini. Oleh karena itu, pesan kepada daerah

adalah bahwa daerah harus (lebih) hati-hati dalam membuat pilihan struktur urusan di sektor-

sektor ekonomi – sesuai dengan potensi daerah; ―tidak perlu ada departemen pertanian di suatu

kota‖ adalah ilustrasi yang sering dinyatakan oleh Kemendagri.

Namun tampaknya para pembuat peraturan mungkin telah menggunakan kategori urusan

ini untuk mencegah daerah-daerah menetapkan sendiri struktur organisasi mereka.

Argumen yang mereka kemukakan adalah bahwa mengembangkan organisasi untuk

urusan pilihan dapat menjadi sia-sia karena urusan pilihan bergantung pada keadaan

sebenarnya di daerah – sehingga struktur organisasi bersifat opsional – demikian bunyi

argumen tersebut (lihat kotak di atas).

Argumen yang terfokus pada organisasi ini tidak dikemukakan secara konsisten dalam

kerangka hukum (tentang struktur organisasi), dan hanya menimbulkan kebingungan

dalam pembahasan tentang urusan-urusan.

Karena menimbulkan kebingungan seperti ini maka tampaknya konsep yang ada sekarang

perlu ditahan dulu agar cara-cara lain dapat mendorong penyusunan struktur organisasi23

secara bertanggung jawab. Selanjutnya, pembahasan hendaknya mengarah kepada unsur-

unsur arsitektur yang memperbolehkan campuran antara general competence dan ultra

vires; yaitu, kerangka yang memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan selain yang dituntut dalam urusan wajib.

23

Peraturan Pemerintah 41/2007 baru saja dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini.

Page 53: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 39

Tindakan yang diusulkan

☞ Konsep urusan pilihan saat ini perlu dihapuskan karena tidak berhubungan erat

dengan urusan-urusan dan tidak berguna dalam mencegah struktur organisasi yang

berlebihan.

☞ Gagasan urusan pilihan yang lebih diakui secara internasional perlu diupayakan

(misalnya memperkenalkan ―hak inisiatif‖ yang jelas) dengan:

o Mengubahnya dari definisi urusan pilihan yang bersifat sektoral menjadi definisi

yang terkait dengan ruang lingkup dan inisiatif;

o Menghapuskan keharusan bagi tingkat yang lebih tinggi untuk mengakui urusan-

urusan pilihan atau bagi pemerintah daerah untuk menetapkannya a priori;

o Memberlakukan aturan main untuk memastikan keharmonisan antara tingkat-

tingkat yang menjalankan urusan pilihan;

o Menyesuaikan pendekatan norma dan standar yang mencerminkan sifat dari

urusan pilihan (berbeda dengan urusan wajib).

10. Urusan kecamatan Praktik internasional

Pemerintah daerah yang berada pada tingkat lebih tinggi dapat memilih untuk mempunyai

hubungan langsung dengan tingkat di bawahnya atau dapat menengahi hubungan ini

melalui badan/lembaga khusus. Entitas-entitas ini memperluas jangkauan pemerintah

daerah dan bertindak sebagai sumber informasi dan sarana pemersatu. Salah satu contoh

adalah ―wilayah pembangunan‖ administratif yang digunakan dalam hubungannya dengan

pemerintahan daerah di Nigeria.

Status di Indonesia

Sejumlah faktor telah mendorong pembuat kebijakan dan stakeholder untuk mengkaji

kembali peran tingkat kecamatan. Perubahan Camat dari tokoh utama di kecamatan

(bertanggung jawab kepada Presiden) menjadi perangkat daerah kabupaten/kota

mengurangi peran camat tersebut, tetapi hal ini bukan harapan dari masyarakat yang tetap

bertahan pada persepsinya. Tuntutan terhadap Camat meningkat sedangkan wewenangnya

berkurang karena ia tidak lagi berperan sebagai pengawas dan pembina tradisional. Hasil

studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan

dukungan USAID DRSP memperlihatkan bahwa sebagian besar kecamatan sekarang

hanya membuat rekomendasi kepada kabupaten/kota, terutama tentang prosedur catatan

sipil. Studi ini merekomendasi bahwa seyogyanya Camat/kecamatan berperan dalam

perencanaan tata ruang dengan mengkoordinasikan unit-unit pemerintahan dan LSM;

menyediakan pelayanan dasar, menyelesaikan konflik, dan melayani sebagai pusat

informasi24

.

24

PSPPP, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (2007), Temuan sementara studi tentang

Kecamatan, Oktober, USAID-DRSP

Page 54: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 40

Temuan-temuan awal studi ini mengemukakan kemungkinan bahwa peran tersebut dapat

ditingkatkan dalam konstruksi saat ini, di mana Camat adalah perangkat daerah

kabupaten/kota. Namun, yang penting konstruksi ini agar25

:

- tidak menimbulkan keseragaman; daerah perkotaan hendaknya dapat mengurangi atau

meniadakan kecamatan — daerah pedesaan hendaknya dapat menambah jumlah

kecamatan dan memperkuatnya.

- tidak menghindari kecocokan struktur kecamatan dengan struktur tradisional di daerah-

daerah tersebut bila suatu campuran struktur dikehendaki.

Di manapun letak kecamatan, ada konsensus yang cukup luas bahwa tingkat kecamatan

harus lebih dimanfaatkan, khususnya dalam penyediaan pelayanan26

. Kemungkinan untuk

mendorong pelayanan ke bawah sampai ke tingkat ini diperlihatkan dengan adanya inovasi

pelayanan satu pintu yang mencapai kecamatan Aceh Besar dan Aceh Barat27

, di mana

beberapa jenis izin dapat dikeluarkan, misalnya izin lokasi usaha dan perdagangan.

Beberapa kabupaten telah mengambil langkah-langkah untuk secara formal

mendelegasikan tugas-tugas kepada kecamatan. Namun, formulasi ini seringkali

memaksudkan ―koordinasi‖ atau ―rekomendasi‖; tidak jelas dalam hal ini berapa besar

wewenang yang dimiliki Camat/kecamatan, khususnya dalam hal melaksanakan dan

mengarahkan pemberian pelayanan28

.

Jika konstruksi saat ini akan dipertahankan maka tantangan bagi pembuat kebijakan

tingkat pusat adalah menentukan bagaimana kabupaten/kota dapat didorong untuk

menjajaki berbagai pengaturan dan mendelegasikan pelayanan penting dan tugas-tugas

lain kepada kecamatan. Satu alternatif, sebuah pendekatan yang lebih bersifat sentralistik,

adalah menyerahkan tugas kepada tingkat kecamatan langsung berdasarkan peraturan

pemerintah pusat. Kelemahannya adalah dapat menciptakan pendelegasian tugas yang

seragam ke daerah-daerah yang tidak cocok atau tidak dapat diterapkan.

Tindakan yang diusulkan

☞ Upaya untuk menjelaskan peran kecamatan hendaknya dapat mencapai kesimpulan

pada waktu yang tepat untuk mempengaruhi revisi UU 32/2004. Penting untuk

memastikan apakah benar-benar ada peluang dalam konstruksi saat ini untuk

meningkatkan peran/urusan kecamatan, dengan mempertimbangkan dua opsi utama

(atau opsi-opsi lain) yang tersedia untuk memastikan agar pendelegasian tugas ke

kecamatan dapat bermanfaat. Kedua opsi tersebut adalah:

25

PSP3-IPB (2007). Posisi Institusi Kecamatan dalam Tata Pemerintahan Daerah Sekarang dan Ke Depan

(Isyu Kritikal dan Pelajaran dari Lima Kabupaten Studi) 26

Lihat, misalnya, catatan dari Tim Revisi UU 32/2004 tentang peran kecamatan dan desa, Oktober 2007. 27

AIPRD-LOGICA (2007) Panduan Pelayanan Satu Pintu – Inovasi Pelayanan Administrasi di Kecamatan.

AusAID. 28

Peraturan Bupati Karangasem Nomor 30 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Kecamatan di Kabupaten

Karangasem; Peraturan Bupati Karangasem Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pelimpahan Sebagian

Wewenang Bupati kepada Camat untuk Menangani Sebagian Urusan Otonomi Daerah Kabupaten

Karangasem.

Page 55: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 41

o Bimbingan kepada kabupaten/kota (misalnya, model perda) yang memperlihatkan

bagaimana struktur kecamatan dapat disusun dan mandat dapat diberikan melalui

pendelegasian dari kabupaten/kota.

o Daftar minimum urusan kecamatan yang ditetapkan oleh tingkat pusat

☞ Jika pemerintah memilih untuk mempertahankan proses formasi kecamatan yang

sebagian besar berada di bawah pengawasan kabupaten/kota maka perlu

dipertimbangkan untuk menghapuskan ―jumlah minimum kecamatan‖ sebagai salah

satu ketentuan pemekaran wilayah karena penggunaan persyaratan ini dapat

menyebabkan lonjakan jumlah kecamatan daripada yang diperlukan atau aturan yang

lebih ketat mengenai formasi kecamatan dari pemerintah pusat untuk menghindari

kecamatan ―fiktif‖ yang dibentuk hanya untuk mempermudah pemekaran daerah.

Kedua skenario ini tidak diinginkan.

11. Urusan desa

Praktik internasional

Ada beragam cara bagaimana negara-negara memperlakukan tingkat pemerintahan yang

lebih rendah. Mereka dapat menjadi ―otonom‖ atau bergantung pada tingkat SNG yang

lebih tinggi. Kadang-kadang, tingkat-tingkat pemerintahan ini diakui dalam undang-

undang dasar, atau hanya disebutkan sebagai cakupan yurisdiksi yang diserahkan kepada

unit-unit formatif federal (misalnya di Kanada).

Banyak negara harus menghadapi tantangan keragaman luasnya dan kapasitas tingkat desa

(misalnya, komune di Kamboja dapat bervariasi jumlah penduduknya dari 500 sampai

50.000 jiwa). Kesesuaian pembagian urusan desa harus dilihat dari karakteristik desa dan

posisinya dalam sistem administratif politik multi level.

Status di Indonesia

Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyinggung sifat otonomi untuk tingkat desa, dan UU

32/2004 dan PP 72/2005 menetapkan bahwa kabupaten/kota perlu mendelegasikan tugas-

tugas (tugas pembantuan) kepada desa-desa. Hampir tidak ada kemajuan dalam

pendelegasian ini di kebanyakan kabupaten/kota meskipun adanya ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan ini. Di akhir tahun 2006, Kemendagri mengeluarkan

peraturan (Peraturan Menteri No. 30/2006) sesuai dengan ketentuan dalam PP 72/200529

.

Beberapa observasi yang penting mengenai peraturan ini adalah sebagai berikut:

Peraturan ini menyediakan daftar (menu) urusan positif yang dapat ―ditransfer‖ namun

memuat pernyataan yang janggal bahwa semua sektor dapat diserahkan kepada desa

untuk mengatur – hal ini jelas tidak mungkin.

Tidak jelas apakah kabupaten/kota dapat ‗mentransfer‘ urusan atau sebagian urusan

yang bersifat wajib (bagi kabupaten/kota tersebut).

Perbedaan antara urusan ―yang ditransfer‖ dan tugas pembantuan yang diserahkan oleh

kabupaten/kota kurang ditegaskan.

29

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan

Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa.

Page 56: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 42

Dalam rangka revisi UU 32/2004, sebuah Naskah Akademik telah disusun oleh

Kemendagri (PMD) dengan bantuan dari jaringan forum LSM yang berurusan di bidang

tata kelola pemerintahan desa (FPPD). Teks kebijakan ini memuat undang-undang

tersendiri untuk tata kelola pemerintahan dan urusan-urusan desa berdasarkan prinsip

pengakuan dan penyerahan wewenang30

. Secara spesifik, ditawarkan adanya tiga

kemungkinan jenis urusan di tingkat desa sebagai berikut:

(a) Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara

(b) Kewenangan melekat yang diserahkan

(c) Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, yang juga disebut kerjasama urusan

konkuren.

Kewenangan asal-usul akan diserahkan hanya jika unsur ―adat‖ dicantumkan dalam

struktur tata pemerintahan desa. Untuk kewenangan melekat, tampaknya desa harus

memilih dari ―daftar positif‖ sesuai dengan kepentingan/kapasitasnya.

Tugas pembantuan diikuti dengan dana, staf dan fasilitas; tugas pembantuan dapat ditolak

jika tidak disertai hal-hal tersebut. Selain prinsip pembiayaan tugas pembantuan yang

disebutkan di atas, mekanisme pembiayaan ADD (sebelumnya dari tingkat kabupaten)

akan tetap dilanjutkan tetapi dananya berasal langsung dari APBN (dari amplop

pemerintah daerah). Kategori dana ―percepatan‖ juga diperkenalkan agar desa dapat

mengejar ketertinggalannya. Belum ditentukan bagaimana dana ini akan

diatur/didistribusikan—hubungan dengan urusan tidak dijelaskan.

Skema urusan yang diusulkan untuk desa sebagaimana yang terlihat dalam naskah

akademik, menimbulkan beberapa masalah atau pertanyaan:

Bagaimana caranya ―pengakuan‖ dapat dilakukan untuk Kewenangan Asal-Usul?

Dari mana asal Kewenangan Melekat?

Apakah pemerintah daerah sekarang dapat menyerahkan tugas-tugas kepada desa?

Bagaimana konkurensi dapat dicapai (untuk urusan-urusan yang menjadi fokus kerja

sama kabupaten-desa)?

Apakah konsep tugas pembantuan cocok (sesuai dengan konsep secara umum)?31

Bagaimana ADD atau Dana Percepatan yang ditentukan dalam APBN dapat memenuhi

kebutuhan ―kewenangan melekat‖ atau urusan-urusan lain?

Usulan Tindak Lanjut

☞ Opsi A: Mempertahankan pendekatan di mana kabupaten tetap dominan dalam

kerangka tata pemerintahan desa saat ini (termasuk tugas pembantuan), dengan upaya

untuk membuat perbaikan sesuai dengan kebutuhan, sehubungan dengan urusan-

urusan desa, dan melaksanakannya secara efektif seperti yang dimaksudkan.

☞ Opsi B: Menjadikan desa sebagai tingkat ketiga pemerintahan otonom, seperti yang

tersirat dalam naskah akademik yang disusun oleh PMD/FPPD, di mana urusan yang

30

PMD (Kemendagri), Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Desa, 30 Agustus 2007. 31

Misalnya, pendekatan partikularistik (mikro) untuk mendanai tugas pembantuan bisa jadi terlalu kaku.

Page 57: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 43

diperluas dijamin untuk desa, dan mungkin sejumlah urusan tambahan akan

dirundingkan dengan kabupaten.

USAID-DRSP sedang membantu Kemendagri dalam upaya ini meskipun menghadapi

fragmentasi dan penurunan intensitas upaya dalam bulan-bulan terakhir. Bantuan masih

terus dibutuhkan meskipun upaya ini tampaknya sudah cukup berhasil seperti yang

diharapkan.

12. Wujud pengorganisasian dari pembagian urusan

Praktik internasional

Ungkapan desentralisasi yang sering terdengar ―uang mengikuti urusan‖ mempunyai

imbangan yang sama-sama berlaku ―bentuk mengikuti urusan‖. Arahan ini sesuai dengan

desentralisasi sehubungan dengan struktur pemerintah pusat maupun daerah. Struktur

pemerintah daerah disesuaikan untuk melaksanakan urusan-urusan baru. Penyesuaian

organisasi dilakukan untuk menyesuaikan kembali besaran departemen-departemen sesuai

dengan urusan yang telah diserahkan dan peran mereka yang baru. Yang sering terjadi

adalah bahwa rancangan/kerangka hukum desentralisasi hanya menangani urusan-urusan

yang diserahkan, dan melupakan implikasi pada organisasi pemerintah pusat. Namun

secara luas diakui bahwa keberhasilan desentralisasi bergantung juga pada pelaksanaan

penyesuaian organisasi pemerintah pusat yang memadai dan tepat waktu. Pengalaman

negara-negara yang melakukan desentralisasi, di mana departemen-departemen pusat

menolak perubahan (misalnya Filipina) menimbulkan inefisiensi yang besar di tingkat

pusat dan ketidaksiapan departemen-departemen untuk mengemban perannya yang baru.

Status di Indonesia

Untuk struktur daerah, beberapa organisasi dasar dan jenis organisasi diatur dalam

Undang-Undang 32/2004, yang dilengkapi dengan perincian tentang jumlah/komposisi

unit pelaksana daerah (Dinas) dan unit-unit teknis yang akan dikelola oleh pemerintah

daerah menurut ―faktor-faktor tertentu‖ (dijelaskan dalam penjelasan tentang volume

pekerjaan, luas daerah dan jumlah penduduk). Pendekatan umum ini masuk akal. Namun,

karena khawatir terhadap struktur organisasi yang berlebihan, maka peraturan-peraturan

pelaksanaan di masa lalu telah mempersempit pilihan pemerintah daerah untuk

mengorganisasi dirinya sesuai dengan urusan-urusan yang harus mereka laksanakan.

Sebuah peraturan yang baru (PP 41/2007) baru saja dikeluarkan. Peraturan ini

mengizinkan terbentuknya 12-18 Dinas dan 8-12 unit teknis, tergantung pada ukuran dan

anggaran daerah. Tidak jelas apakah bentuk arahan ini akan berhasil dalam mengimbangi

nilai keseragaman/ekonomi (yang ditekankan oleh pusat) dengan penyesuaian daerah

terhadap beban kerja dan karakteristik spesifik daerah dan penguna jasa.

Seperti yang terjadi di banyak negara yang menjalani desentralisasi, tidak ada ketentuan

dalam kerangka perundang-undangan mengenai desentralisasi untuk mereorganisasi

departemen-departemen yang telah menyerahkan urusan-urusan atau mengubah perannya.

Diharapkan perubahan ke pengambilan kebijakan dan pengawasan dengan lebih

memanfaatkan tingkat propinsi di bidang pengawasan akan cukup berhasil mengubah

organisasi dan staf dari beberapa departemen. Desakan untuk melakukannya telah datang

Page 58: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 44

dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), tetapi secara umum hal ini

belum mempercepat proses reformasi.

Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan telah berupaya memfokuskan

desentralisasi melalui suatu unit khusus atau tenaga ahli Menteri. Namun, tugas unit ini

kurang dipahami oleh unit-unit lini dan unit-unit lain dari sekretariat jenderal sehingga

membatasi efektivitasnya. Tampaknya, unit-unit ini hanya berfokus pada tingkat daerah,

bukan sekaligus pada tingkat daerah dan departemen. Beberapa pendekatan tampaknya

dapat berhasil dalam menyelaraskan desentralisasi dengan pekerjaan mereorganisasi

departemen. Kuncinya adalah mendapatkan dukungan pimpinan dan orang-orang terampil

yang ditugaskan untuk memfasilitasi proses reorganisasi.

Masalah yang juga sama pentingnya adalah kurang jelasnya berbagai peraturan mengenai

peran propinsi dan gubernur yang sedang disusun. Sifat, ruang lingkup dan besaran unit

pelaksana dapat menjadi rumit dan kurang akuntabel jika pilihan yang dibuat ternyata

salah. Azas pemerintahan yang diterapkan dan bagaimana azas-azas ini saling

berhubungan harus jelas. Sebagaimana disebutkan di atas ―bentuk mengikuti urusan‖.

Tindakan yang diusulkan

☞ Dibutuhkan upaya tambahan untuk mengarahkan reorganisasi tingkat pusat seraya

kegiatan dekonsentrasi berkurang dan dukungan strategis kepada pemerintah daerah

diintensifkan.

☞ Peran tingkat propinsi perlu diperjelas untuk memahami bagaimana unit-unit yang

didesentralisasi (didevolusi/ otonom) berhubungan dengan perangkat pemerintah

pusat (dekonsentrasi).

☞ Hak departemen untuk membentuk unit-unit dekonsentrasi dan kewajibannya untuk

menggunakan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu diperjelas.

☞ Upaya perlu dibuat untuk memastikan bahwa pemerintah daerah diberikan

insentif/instruksi untuk menjadi organisasi daerah yang efisien dengan mendorong

penyesuaian organisasi daerah dengan beban urusan dan karakteristik lokal.

13. Pembagian urusan di daerah-daerah khusus

Praktik internasional

Perlakuan khusus terhadap daerah-daerah telah menjadi ciri pembangunan bangsa dalam

dua abad terakhir dan mungkin lama sebelumnya (ini telah menjadi ciri dari Kekaisaran

Romawi, misalnya). Apa yang membedakan daerah-daerah ini dari yang lainnya, bentuk

pemerintahan nasionalnya apapun, adalah aspek ―desentralisasi asimetris‖ di bidang

politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengaturan asimetris ini dapat ditemukan di negara-

negara kesatuan maupun federal. Beberapa kesepakatan berfokus terutama pada masalah

budaya, tetapi sudah lazim terjadi gabungan faktor-faktor pendorong dan segi-segi

dominan dalam kesepakatan-kesepakatan ini. Beberapa contohnya adalah:

Daerah Basque di Spanyol – negara kesatuan (politik, budaya)

Propinsi Quebec di Kanada – negara federal (politik, budaya)

Aceh di Indonesia – negara kesatuan (politik, ekonomi, budaya).

Page 59: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 45

Pemerintah daerah bersangkutan pada umumnya mempunyai urusan pemerintahan dasar

yang sama dengan yurisdiksi yang serupa (ditambah segi-segi khusus) tetapi mungkin

mempunyai sebutan khusus yang menunjukkan perbedaan status (misalnya Regione

Autonoma Trentino-Alto Adige di Italia). Undang-undang khusus umumnya digunakan

untuk mengatur urusan-urusan khusus yang diserahkan kepada daerah-daerah ini.

Aspek umum yang ditemukan di negara-negara ini adalah upaya untuk menyeimbangkan

permintaan perlakuan khusus dengan tuntutan unit-unit lain untuk mendapatkan perlakuan

yang adil dan mempertahankan persatuan dan identitas bangsa. Menghalangi tuntutan

daerah khusus dapat menimbulkan gagasan untuk memisahkan diri/irredentist. Sedangkan

membiarkan perbedaan yang terlalu besar dapat menyebabkan daerah-daerah lain merasa

diperlakukan tidak adil (misalnya dalam masalah fiskal) dan mendorong mereka untuk

melakukan tuntutan yang serupa. Selain itu, ada yang khawatir bahwa perlakuan berupa

memberikan otonomi ―yang berlebihan‖ dalam kasus apapun dapat dimanfaatkan sebagai

batu loncatan untuk memisahkan diri.

Status di Indonesia

Indonesia juga telah menetapkan undang-undang khusus untuk mengatur status khusus

beberapa daerah, berdasarkan ketentuan undang-undang dasar. Meskipun reformasi

desentralisasi tahun 1999 telah difokuskan pada tingkat kabupaten/kota, status atau

otonomi khusus telah diberikan kepada daerah propinsi berikut ini:

Propinsi Yogyakarta – Undang-Undang 3/1950 tentang Pembentukan Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta32

Propinsi Papua – Undang-Undang 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Propinsi

Papua33

Propinsi Aceh – Undang-Undang 18/2001 tentang Daerah Propinsi Khusus Aceh

sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; diikuti oleh Undang-Undang 11/2006

tentang Pemerintahan Aceh

Propinsi Jakarta – Undang-Undang 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah

Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta34

Semua ketentuan dalam UU 32/2004 berlaku bagi daerah-daerah khusus selama tidak

digantikan dengan undang-undang tentang status khusus. Namun, hanya undang-undang

tentang Aceh yang dikeluarkan setelah Undang-Undang 32/2004. Karena alasan urutan ini

maka undang-undang tentang Aceh diharapkan dapat menunjukkan bagaimana undang-

undang tersebut mengalami perubahan dari kerangka umum (UU 32/2004).

Perbedaan Pembagian Urusan untuk Aceh

Perbedaan-perbedaan karena adanya status khusus dapat berasal dari urusan-urusan yang

biasanya tidak diberikan kepada propinsi/kabupaten/kota atau dari wewenang untuk

menyerahkan urusan-urusan di antara tingkat-tingkat di suatu daerah. Perbedaan-

perbedaan tersebut dapat mencapai apa yang International Crisis Group sebut sebagai

32

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 33

Belakangan, terjadi pemekaran propinsi namun legalitasnya masih diperdebatkan 34

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah

Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta

Page 60: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 46

―otonomi khusus untuk Aceh yang secara kualitatif berbeda dengan otonomi untuk

propinsi-propinsi lain‖35

. Hasil perbandingan antara UU 32/2004 dengan ketentuan

Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh (UUPA) memperlihatkan situasi yang agak

rumit dan tidak jelas dalam arti apa sebenarnya yang kekhasan Aceh dan tingkat mana

aspek khas meletak di Aceh (Lampiran 7).

Karena daftar urusan dalam UUPA dijabarkan secara lebih luas daripada dalam UU

32/2004 tetapi tidak mencakup sebanyak yang ditemukan dalam PP 38/2007 (yang

dikeluarkan setelah UUPA), maka dibutuhkan peraturan tindak lanjut untuk menentukan

urusan-urusan lain apa yang ditemukan di Aceh. Sebenarnya tidak ada peraturan seperti ini

yang ditetapkan dalam UUPA, tetapi, sebagai pendekatan pragmatis, maka pemerintah

pusat mengumumkan akan mengeluarkan peraturan tersebut. Ketika pertama kali dibahas,

Gubernur menunjukkan reaksi negatif yang keras terhadap usulan ini karena peraturan

pemerintah tersebut dinilai telah melampaui yurisdiksi ―eksklusif‖ pemerintah pusat

dengan mencakup bidang-bidang di semua sektor pemerintahan. Ini dinilai sebagai campur

tangan oleh mereka yang mengerti bahwa Aceh mempunyai yurisdiksi total atas sektor-

sektor yang tidak diakui sepenuhnya oleh pemerintah pusat sebagai miliknya.

Kesalahpahaman yang terjadi selama pembahasan ini memperlihatkan betapa pemerintah

pusat harus berhati-hati dalam merancang arsitektur pembagian urusan, dalam hal

meningkatkan kesadaran tentang ruang lingkup wewenang pemerintah pusat dalam urusan

propinsi yang ―biasa‖ dan propinsi otonomi khusus.

Urusan-urusan yang tercantum dalam UUPA pada umumnya diserahkan kepada tingkat

propinsi maupun kabupaten/kota36

. Hal ini dapat menimbulkan masalah jika konkurensi

diharapkan diminimalisir. Oleh karena itu, pemerintah Aceh sendiri berinisiatif untuk

membagikan urusan-urusan di antara tingkat propinsi dan kabupaten/kota melalui

serangkaian Qanun propinsi sektoral. Instruksi Gubernur No. 12/2007 menetapkan

program pengaturan untuk membahas sektor-sektor utama dalam sidang DPRD 2007/2008

secara bertahap. Instruksi ini memerintahkan agar unit propinsi yang menyusun draf

Qanun berkonsultasi dengan tingkat kabupaten, di bawah koordinasi sekretaris pemerintah

daerah propinsi.

Diharapkan Aceh juga akan mempersiapkan mekanisme untuk menyesuaikan urusan-

urusan dari waktu ke waktu, karena mekanisme ―urusan sisa‖ dalam PP 38 tampaknya

tidak berlaku bagi Aceh.

Revisi UU 21/2001 untuk Papua

Departemen Dalam Negeri mulai memproses evaluasi otonomi daerah Papua, yang

dilaksanakan sebagian besar melalui universitas Satyawacana (Salatiga). Universitas

Cendrawasih juga diharapkan dapat berperan, tetapi rincian ini belum disampaikan kepada

Konsultan. Juga tidak jelas apakah evaluasi ini merupakan prasyarat untuk merevisi

undang-undang, atau apakah revisi maupun evaluasi sama-sama berjalan. Bagaimanapun

juga, proses revisi masih belum ditetapkan meskipun Kemendagri sudah mulai membahas

apa saja yang tercakup dalam revisi ini.

35

ICG (2007) Aceh: Komplikasi Pasca Konflik, Rekomendasi dari International Crisis Group, Laporan

Tingkat Asia No. 139—4 Oktober, Halaman ii. 36

Satu-satunya izin eksplisit untuk menentukan pembagian urusan di antara tingkat-tingkat pemerintahan

adalah untuk Syari‘at Islam – akan dilakukan melalui Qanun Aceh (dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat).

Page 61: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 47

Revisi undang-undang ini kemungkinan mengundang banyak perdebatan. Beberapa

stakeholder akan bersikeras agar undang-undang ini diberlakukan secara penuh sebelum

membuat perubahan-perubahan apapun – alasannya adalah bahwa jika harus ada evaluasi

maka evaluasi tersebut seharusnya berfokus pada kekurangan yang ditemukan dalam

pelaksanaan undang-undang ini. Ada yang merasa bahwa undang-undang ini telah terbukti

gagal37

. Yang lain merasa bahwa tidak ada undang-undang ―otonomi daerah‖ yang dapat

menampung aspirasi rakyat Papua – hanya kemerdekaan dapat menjawab tuntutan Papua.

Jelas terbentuknya Papua Barat dan dikeluarkannya Instruksi Presiden 5/2007 tentang

Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat38

telah memperumit

situasi politik, dan semakin mempersulit Rakyat Papua untuk mengembangkan dasar dan

kedudukan yang sama mengenai bentuk otonomi yang diinginkan. Instruksi Presiden itu

sendiri melemahkan ketentuan-ketentuan tentang otonomi dari UU 21/2001 dalam

menetapkan dana yang mengalir melalui departemen-departemen sektoral dengan gaya

dekonsentrasi, untuk urusan-urusan yang seharusnya menjadi urusan pemerintah daerah

Papua.

Secara khusus, peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dipersoalkan mengingat adanya

propinsi baru dan kemungkinan sejumlah propinsi baru lain yang akan dibentuk. Tidak

jelas apakah MRP perlu melaksanakan peran politik tambahan untuk mempertahankan

keutuhan identitas bagi rakyat Papua atau apakah undang-undang baru hanya perlu

menerima ―fakta di lapangan‖ yang dipromosikan oleh pemerintah pusat, sehingga

semakin memarjinalkan MRP.

Dalam revisi undang-undang tersebut, masalah pembagian urusan menjadi penting.

Pememeriksaan surat kabar cukup untuk mengetahui berita utama masalah ini. Upaya

propinsi Papua untuk melarang penjualan kayu gelondongan keluar dari propinsi

berdasarkan pemahamannya tentang UU 21/2001 menandaskan baik kemungkinan-

kemungkinan maupun tantangan-tantangan yang dihadapi39

. Dalam hal ini, para pelaku di

tingkat pusat berpendapat bahwa UU 41/1999 tentang kehutanan berlaku bagi seluruh

wilayah Indonesia, sedangkan para pemimpin adat di Papua menegaskan bahwa apa yang

membuat Papua istimewa adalah kepemilikan kolektif adat (suku) atas hutan, dan bahwa

ini adalah pemahaman yang berasal dari status khusus yang diberikan dalam Undang-

Undang 21/2001.

Akan tetapi, UU 21/2001 tidak banyak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ―khusus‖

sehubungan dengan pembagian urusan di Papua. Undang-Undang ini mengatur berbagai

kewajiban secara eksplisit, dalam arti bahwa Papua diharapkan dapat melestarikan bahasa

dan mempromosikan budayanya serta tujuan-tujuan kesejahteraan umum lainnya. Tetapi,

undang-undang ini tidak mengatur urusan-urusan spesifik yang dimiliki Papua seperti

halnya propinsi atau kabupaten/kota yang lain. Namun, undang-undang ini mengizinkan

para pemuka adat untuk berperan dalam beberapa aspek dari proses pengadilan – sama

seperti wewenang syariat Islam yang diberikan kepada Aceh. Undang-undang ini juga

membuat Papua bertanggung jawab atas semua jenjang pendidikan dalam norma-norma

37

Berita Daerah (2007). Inpres Percepatan Pembangunan Harus Direalisasikan, Selasa, 21 Agustus,

http://www.Kemendagri.go.id/konten.php?nama=BeritaDaerah&op=detail_berita_daerah&id=904 38

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Propinsi

Papua dan Propinsi Papua Barat. 39

Suara Pembaruan (2007), Larangan Jual Kayu Gelondongan – Pemprov Papua Dinilai Salah Menafsirkan

UU Otsus, Jumat, 23 November, hl. 12

Page 62: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 48

yang ditetapkan pemerintah pusat. Undang-undang ini meminta propinsi Papua untuk

menetapkan standar kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Hal ini

menimbulkan pertanyaan mengenai apakah Papua harus tunduk kepada standar kesehatan

nasional – sebuah pertanyaan yang juga pernah muncul dalam kasus Aceh ketika PP

tentang urusan pemerintah pusat untuk Aceh dibahas.

Melalui ketentuan yang ganjil, undang-undang otonomi daerah secara tegas menyatakan

bahwa pengawasan terhadap kabupaten/kota adalah peran pemerintah pusat yang dapat

diserahkan kepada Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat. Maka dalam hal ini,

Undang-Undang 21/2001 jelas lebih bersifat sentralistis daripada untuk propinsi lainnya

yang sebagian besar diberikan peranan ini (mungkin karena kelalaian) melalui urusan yang

didefinisikan secara sektoral dalam PP 38/2007.

Usulan tindakan

☞ Undang-undang daerah khusus perlu ditinjau kembali untuk melihat apakah ada

kejelasan dalam hal apa ketentuan UU 32/2004 itu berlaku dan ketentuan-ketentuan

mana dari undang-undang otonomi daerah yang menggantikan atau menambah

ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut. Juga perlu dijelaskan mengenai

pembagian urusan antara tingkat propinsi dan tingkat-tingkat di bawahnya, atau

bagaimana pembagian ini harus ditentukan.

☞ Pembahasan perlu diperluas mengenai apa yang dapat meningkatkan persatuan

bangsa dalam pembagian urusan, dan khususnya apa peran pemerintah pusat dalam

menetapkan standar urusan yang diserahkan kepada daerah, apapun sistem otonomi.

☞ Pemerintah pusat perlu memberikan perhatian khusus kepada upaya-upaya Aceh

untuk mengalokasikan urusan-urusan antara tingkat propinsi dan tingkat

kabupaten/kota (dan untuk menyepakati forum konsultasi mengenai kebijakan-

kebijakan tingkat pusat yang berlaku bagi Aceh), untuk melihat apakah proses dan

arsitektur hukum dapat menjadi model yang berguna bagi propinsi-propinsi lain juga.

☞ Mengingat pentingnya pembagian urusan maka evaluasi pengalaman otonomi di

Papua hendaknya memperhatikan:

o Apa yang khusus sehubungan dengan urusan Papua dibandingkan dengan

propinsi-propinsi lain;

o Bagaimana karakter khusus ini telah direalisasikan dalam praktik;

o Taraf sampai di mana pendanaan dan segi-segi lain dari otonomi telah sesuai

dengan urusan-urusan;

o Bagaimana MRP telah dapat melaksanakan urusan-urusannya;

o Bagaimana lonjakan jumlah propinsi akan membantu atau menghambat urusan

MRP yang ditetapkan dan pelaksanaan urusan pengelolaan sumber daya;

o Apakah ada prospek untuk memperkuat/mengubah MRP agar dapat berfungsi di

semua sektor pemerintahan yang relevan untuk mengimbangi pemekaran Papua

menjadi propinsi-propinsi, dengan bertindak sebagai badan pemersatu untuk

―Papua‖. Maka, urusan-urusan akan diperankan masing-masing oleh MRP,

propinsi dan kabupaten/kota atau bagian-bagian wilayah lainnya sebagaimana

yang ditetapkan di Papua (lihat Pasal 14 mengenai pemekaran wilayah)

14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan

Page 63: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 49

Praktik internasional

Struktur penataan daerah umumnya dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk kemampuan

calon SNG untuk mempertahankan pembagian urusan yang ditetapkan untuk tingkat

pemerintahan tersebut. Dalam beberapa kasus, tingkat baru ditetapkan, dan jumlah unit

yang terbentuk ditentukan, antara lain, berdasarkan beban urusan yang harus mereka

laksanakan40

.

Status di Indonesia

Reformasi penataan daerah, atau setidaknya pemekaran daerah dengan pola yang lebih

terarah, sedang diupayakan sebagai bagian dari revisi UU 32/2004. Meskipun terdapat

masalah bahwa beberapa daerah baru tidak dapat mengemban urusan-urusan yang terkait

dengan tingkat kabupaten/kota, tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai

ketidakmampuan daerah-daerah kecil, misalnya kabupaten Supiori di Papua dengan

jumlah penduduk 12.500 jiwa, untuk memenuhi harapan kinerja di tingkat pemerintahan

ini.

Papua mempunyai 10 kabupaten sebelum era desentralisasi, dan sekarang mempunyai 30

kabupaten (dengan memperhitungkan kedua propinsinya), dan masih ada banyak usulan

untuk pemekaran41

. Tuntutan ini berasal dari ―bawah‖ dan jawabannya berasal dari tingkat

nasional (terutama DPR). Propinsi-propinsi yang ada sejauh ini hanya bersikap pasif.

Sikap pasif propinsi ini agak sulit dipahami karena mereka memiliki otonomi khusus.

Diharapkan bahwa propinsi-propinsi ini mempunyai wewenang untuk mengatur struktur

pemerintahan daerahnya sendiri dan menyesuaikan urusan-urusan dengan skala dan hirarki

yang dipilih. Dengan demikian, kabupaten di Papua dapat memiliki urusan yang sangat

berbeda dengan kabupaten di Jawa.

Hasil diskusi para pejabat pemerintah pusat memperlihatkan kemungkinan menerapkan

patokan jumlah penduduk untuk mengatasi kapasitas yang tidak memadai dalam

melaksanakan urusan-urusan, namun belum jelas seberapa besar dukungan yang diberikan

kepada opsi ini oleh para pembuat kebijakan.

Usulan Tindakan

☞ Perhatian yang serius perlu diberikan kepada penerapan patokan jumlah penduduk

kabupaten/kota untuk menghindari terbentuknya daerah-daerah yang tidak dapat

melaksanakan urusan-urusan yang telah diserahkan kepada semua kabupaten/kota

secara seragam.

☞ Untuk daerah-daerah yang berstatus otonomi khusus, patut dipertimbangkan untuk

memberdayakan daerah tersebut dalam mengatur pembagian daerah sendiri dan

menyesuaikan urusan-urusan dengan skala/hirarki yang dipilih.

40

Lihat Ferrazi, G. (2007) Pengalaman Internasional di bidang Reformasi (Pemekaran) Wilayah –

Implikasinya terhadap Indonesia, draft awal, Program Dukungan Reformasi Demokratis (DRSP) USAID,

Januari. 41

Beberapa kabupaten baru telah terbentuk di awal tahun 2008 yang belum termasuk dalam ke-30 kabupaten

ini.

Page 64: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 50

15. Proses pembagian urusan

Praktik internasional

Kualitas pembagian urusan sangat bergantung pada kualitas proses yang digunakan untuk

mencapainya. Pengalaman di beberapa negara memperlihatkan bahwa ketertinggalan

desentralisasi sektoral terjadi ketika salah satu bagian pemerintahan membuat kemajuan

yang cepat di bidang desentralisasi dengan harapan sektor-sektor akan menyusul.

Penyesuaian yang cepat oleh departemen lini di pusat jarang terjadi.

Untuk mengatasi ketertinggalan desentralisasi sektoral ini, perlu diadakan dialog yang

dapat menghasilkan pemahaman yang memadai di antara para stakeholder untuk

menetapkan prinsip-prinsip dasar dan menyepakati arsitektur perundang-undangan secara

keseluruhan (di mana urusan-urusan disusun, apa saja jenis urusannya, peran apa yang

akan diberikan kepada tingkat-tingkat pemerintahan).

Kunci dari pembagian urusan yang legitimat dan dapat diterapkan adalah keterlibatan

stakeholder utama, di antaranya, tentu saja, departemen/lembaga non-departemen di pusat

(disingkat D/LND). D/LND pada umumnya mengkhawatirkan hal-hal berikut:

Kesenjangan kapasitas – ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menghadapi

tantangan karena rendahnya kapasitas mereka.

Gangguan pelayanan – karena tantangan kapasitas dan transisi, pemberian pelayanan

dapat mengalami hambatan.

Ketidaksesuaian dengan tujuan pusat – karena kurangnya waktu atau pengalaman

dalam menyesuaikan hubungan vertikal, atau kerangka pemerintahan daerah yang

terlalu serba boleh, akibatnya upaya-upaya pemerintah daerah kurang sejalan dengan

tujuan-tujuan pusat.

Kecurigaan atas Departemen yang bertanggung jawab untuk pemerintahan daerah –

kadang-kadang terdapat kekhawatiran di antara D/LND bahwa departemen yang

bertanggung jawab untuk pemerintahan daerah mempromosikan desentralisasi sebagai

cara untuk menggeser pengawasan dari sektor-sektor pelayanan spesifik dan

meningkatkan pengawasan di ―sektor pemerintahan daerah‖ yang dia memiliki sendiri.

Masalah-masalah ini seringkali beralasan dan harus diselesaikan secara konstruktif. Jika

ketidaksesuaian D/LND dengan kebijakan pusat di bidang desentralisasi dibiarkan

berlarut-larut maka hal ini akan mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap upaya

desentralisasi dan terhadap seluruh lingkungan perumusan kebijakan di Indonesia. Secara

khusus, hasil-hasil yang tidak diinginkan berikut ini dapat terjadi:

- Penggunaan secara tidak efisien sumber daya sektoral yang terbatas karena adanya

stagnasi penyesuaian/inovasi dalam pengaturan pemberian pelayanan di sektor yang

tertinggal.

- Hasil-hasil desentralisasi kurang optimal di sektor/jasa yang telah memprakarsai

desentralisasi karena kurangnya sinergi dengan sektor/jasa terkait (misalnya

pengambilan keputusan masih bersifat vertikal untuk jasa-jasa terkait; jumlah

minimum staf/sumber daya administratif di pemerintah daerah tidak tercapai).

- Tekanan yang tidak sehat di antara para pengambil kebijakan.

Page 65: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 51

- Kontradiksi berkelanjutan antara ketentuan hukum dan kenyataan di lapangan, atau

ketentuan-ketentuan hukum yang bertentangan dalam kerangka hukum Pemerintahan

Daerah dan kerangka hukum ―sektoral‖ yang menyebabkan hilangnya kepercayaan

masyarakat terhadap kekuatan hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ketertinggalan sektoral kadangkala dapat berubah menjadi keuntungan karena sektor yang

maju dapat menjadi ―percontohan‖ dan kemudian model bagi sektor yang lain, melalui

pendekatan berjenjang secara sektoral. Namun, ketertinggalan sektor yang berkepanjangan

dan tidak dimanfaatkan dalam persiapan hanya akan mendatangkan kerugian seperti yang

disebutkan di atas.

Minat D/LND untuk berperan dalam percontohan atau kebijakan yang berskala nasional

sangat bergantung pada pimpinan dalam departemen itu sendiri. Pada saat yang sama,

suatu badan diperlukan untuk memastikan hubungan lintas D/LND. Beberapa urusan

bersifat lintas departemen. Maka penting bagi SNG untuk menerima berbagai urusan

secara terpadu. Hal ini dapat ditetapkan di awal proses pembagian urusan yang mencakup

suatu dialog/pembicaraan pengembangan kebijakan lintas departemen. Departemen yang

menangani pemerintahan daerah, perencanaan, keuangan atau pendayagunaan aparatur

negara dapat ditugaskan untuk memfasilitasi dialog dan pengembangan kebijakan bersama

ini; pilihannya dapat bergantung pada hubungan yang telah terjalin berdasarkan

kepercayaan dan kapasitas.

Dalam lingkungan departemen itu sendiri, mungkin perlu membentuk semacam organisasi

untuk melaksanakan pembagian urusan, yang bersifat sementara atau permanen. Beberapa

opsi dapat dipertimbangkan, dan opsi yang dipilih harus cocok dengan D/LND

bersangkutan untuk mencapai hal-hal berikut ini:

Analisa lintas unit dan dialog dalam lingkungan D/LND

Arus informasi dari tingkat teknis sampai politik dalam lingkungan D/LND

Kerja sama dengan berbagai kementerian koordinator dan komite koordinasi antar

departemen.

D/LND dapat memilih salah satu, atau kombinasi dari yang berikut ini:

Titik fokus (focal point); seseorang yang bertanggung jawab penuh untuk memfasilitasi

kegiatan-kegiatan internal dan menjadi penghubung teknis dengan dialog/pembahasan

kebijakan lintas sektor dan stakeholder. Ia hendaknya seorang pejabat senior, dengan

jabatan wakil menteri atau sekretaris jenderal, atau staf ahli yang memiliki keahlian di

bidang teknik dan politik.

Unit kebijakan departemen yang ada yang diberikan fungsi staf (bukan lini) dan

mampu memetik informasi, pandangan dan dukungan dari unit-unit lini.

Kelompok kebijakan desentralisasi yang baru dengan peranan seperti diuraikan di atas.

Forum stakeholder sektoral; organisasi formal atau informal yang menghubungkan

D/LND dengan stakeholder bersangkutan.

Tidak ada cara terbaik untuk menentukan struktur organisasi internal untuk desentralisasi,

tetapi pasti akan lebih menguntungkan jika mendapatkan dukungan dari orang-orang yang

cukup dihormati dalam posisi/struktur ini.

Page 66: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 52

Dialog internal dan eksternal dapat ditingkatkan melalui sejumlah upaya yang membentuk

suatu Strategi Komunikasi mengenai desentralisasi untuk D/LND, misalnya:

Pamflet yang menjelaskan struktur tugas D/LND untuk desentralisasi atau inisiatif

spesifik.

Website atau halaman yang disediakan dalam website departemen untuk menjelaskan

organisasi, rencana kerja, inisiatif, kemajuan dan acara-acara.

Mekanisme umpan-balik (misalnya telepon, email) yang terkait dengan organisasi atau

focal person yang ditugasi menangani desentralisasi.

Sesi orientasi internal perlu disediakan bagi staf D/LND untuk memahami pendekatan,

rencana kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan upaya-upaya desentralisasi dari

D/LND. Secara khusus, pertemuan ini perlu menjelaskan apa yang diharapkan dari

setiap unit yang bersangkutan dalam lingkungan D/LND dan peluang-peluang yang

disediakan untuk memberikan kontribusi atau mencari keterampilan dan pengetahuan.

Selain para pejabat departemen (D/LND), dialog pada waktunya juga perlu mencakup

pemerintah daerah dan asosiasinya, asosiasi profesi yang relevan (misalnya guru, petugas

kesehatan), pakar dari lembaga penelitian dan pendidikan tinggi, LSM dan organisasi

swasta yang terlibat dalam pemberian pelayanan atau advokasi.

Dibutuhkan kecermatan dalam menjelaskan bagaimana para pelaku eksternal akan

berpartisipasi dalam pelaksanaan rencana kerja desentralisasi sektoral. Salah satu langkah

yang berguna adalah mengidentifikasi stakeholder, dan perlu mengantisipasi bahwa akan

ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang hendaknya berpartisipasi, atau di posisi

mana mereka hendaknya berpartisipasi.

Isi rencana kerja percontohan D/LND:

Memperkuat atau membentuk susunan organisasi internal D/LND untuk

meningkatkan/membimbing desentralisasi/percontohan.

Pekerjaan diagnostik yang perlu dilakukan, dan lokasinya.

Rapat internal yang penting untuk mendapatkan dukungan dan memulai kegiatan-kegiatan

utama.

Partisipasi dalam kegiatan CD lintas sektor.

Rapat laporan kemajuan di lingkungan departemen.

Dalam pelaksanaan desentralisasi yang kompleks ini, semakin sulit untuk menyusun

rencana kerja yang dapat berlangsung selama jangka waktu yang ditetapkan. Namun, jika

suatu rencana kerja dapat disesuaikan, hal ini dapat membantu mempertahankan fokus

pada target tahapan pencapaian (milestones).

Barangkali sangat sulit bagi D/LND atau kementerian koordinator itu sendiri

menunjukkan jadwal waktu yang tepat untuk desentralisasi sektor. Maka kebijakan-

kebijakan dibuat secara ad hoc karena adanya tekanan-tekanan politik yang mereka terima.

Jangka waktu yang realistis perlu ditetapkan, biasanya selama satu atau dua tahun, yang

memberikan cukup waktu untuk menjajaki pengaturan saat ini, mengembangkan dan

menjajaki opsi-opsi, dan membuat keputusan-keputusan. Mungkin perlu untuk

melaksanakan beberapa kegiatan percontohan, atau menentukan tahapan urusan lintas

sektor atau dalam sektor.

Page 67: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 53

Status di Indonesia

Jika upaya yang dilakukan sekarang untuk merevisi UU 32/2004 dihitung, maka reformasi

otonomi daerah sudah mengalami tiga babak (termasuk pembagian urusan) selama

sepuluh tahun terakhir. Salah satu pertanyaan yang masuk akal, yang diajukan oleh

stakeholder dan donor pendukung42

, adalah apakah telah ada peningkatan dalam

pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyusun (kembali)

kebijakan, dalam hal ini tentang pembagian urusan. Asumsi yang mendasari pertanyaan ini

adalah bahwa kualitas dan keberlanjutan kebijakan desentralisasi sangat bergantung pada

ketepatan proses yang diterapkan. Ketepatan proses ditentukan oleh kualitas masukan,

partisipasi dan legitimasi. Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam proses sejauh ini masih

belum signifikan dan masih mengalami kekurangan dalam beberapa hal.

Dalam reformasi babak kedua (untuk menyusun UU 32/2004), terjadi interaksi yang

signifikan dengan departemen-departemen sektoral, lebih signifikan daripada ketika

menyusun UU 22/1999 (khususnya PP 25/2000). Barangkali hal ini menjelaskan lamanya

waktu yang dibutuhkan (tiga tahun) antara undang-undang tersebut dan penjelasannya

berupa PP 38/2007. Kemendagri menunjuk kepada ―kepemilikan‖ departemen sektoral

dengan menjelaskan bahwa setiap menteri/pimpinan lembaga menandatangani berita acara

untuk menyetujui daftar urusan-urusan yang akhirnya melahirkan PP 38/2007. Juga harus

diakui bahwa beberapa asosiasi pemerintah daerah ikut dalam diskusi tingkat sektoral

meskipun lebih sebagai pengamat daripada sebagai peserta. Beberapa departemen sektoral

juga dapat menunjuk kepada konsultasi yang mereka adakan dengan stakeholder sektoral

(selain acara-acara yang difasilitasi Kemendagri). Dalam mempersiapkan ketentuan

pembagian urusan untuk undang-undang itu sendiri, para donor (khususnya GTZ, dan juga

UNDP, CIDA dan USAID) berupaya menyediakan masukan, meskipun partisipasi para

donor ini hanya sesekali dan bersifat ad hoc.

Perbaikan proses di atas tampaknya kurang memadai atau kurang dimanfaatkan untuk

mencapai kemajuan substantif. Rasanya aneh melihat kualitas arsitektur pembagian urusan

dalam UU 32/2004 dan PP 38/2007 tidak jauh lebih baik daripada konstruksi bermasalah

yang terdapat dalam UU 22/1999 dan PP 25/2000. Ada perubahan dari struktur residual

menjadi daftar positif untuk kabupaten/kota, dan upaya untuk menerapkan/memperkuat

konsep yang mungkin berguna. Tetapi secara umum, hasilnya tidak memuaskan.

Kelemahan yang satu digantikan dengan kelemahan yang lain. Kajian ini sebagian juga

dilakukan oleh pejabat pemerintah yang menganggap daftar dalam PP 38/2007 sulit untuk

diterapkan.

Maka diperkirakan bahwa revisi UU 32/2004 akan dirancang dengan memetik pelajaran

dari dua babak sebelumnya. Memang pada tahap perencanaan para donor (terutama GTZ)

memberikan dukungan dalam memfasilitasi prosesnya. Upaya dilakukan untuk

memperluas partisipasi dan mempersiapkannya dengan baik. Konferensi daerah pada

tanggal 18 Juni (di Semarang)43

dan 26 Juli (di Lombok)44

merupakan awal yang baik, dan

42

Pertanyaan ini diajukan dalam acara presentasi temuan awal studi ini kepada Decentralization Support

Facility, 21 November 2007. 43

DDN/GTZ, Forum Diskusi Kajian Isi Kebijakan dan Penggalian Fakta Penerapan Undang-Undang

32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Hotel Grasia, Semarang, 18 Juli 2007. 44

DDN/GTZ, Penggalian Fakta dan Aspirasi Daerah untuk Penyempurnaan Undang-Undang 32/2004

tentang Pemerintahan Daerah, Hotel Jayakarta, Senggigi, Lombok, 26 Juli 2007.

Page 68: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 54

telah didokumentasikan dengan baik meskipun diskusi-diskusi tersebut kurang

dipersiapkan atau dilaksanakan dengan baik.

Proses penggunaan keahlian khusus untuk mendefinisikan dengan tepat topik-topik dan

kemungkinan-kemungkinan peningkatan reformasi tidak lama kemudian terhenti sehingga

pada bulan November 2007 tim inti tampaknya harus menyusut menjadi tim Kemendagri

yang kecil. Tim ini segera menyusun formulasi hukum untuk menggantikan formulasi UU

32/2004, dan tidak melakukan penjajakan kemungkinan-kemungkinan melalui forum yang

cocok berdasarkan masukan empiris dan konseptual yang telah dipersiapkan dengan baik.

Tim ahli yang terlibat sejak pertengahan tahun 2007 ini hanya digunakan sesekali dan

tanpa pemahaman yang jelas mengenai ruang lingkup, output, waktu pelaksanaan dan

proses yang akan digunakan. Yang juga menjadi masalah adalah bahwa para ahli ini

tampaknya memisahkan peranan mereka dalam tim ahli pemerintah dari peran

akademis/pelayanan mereka sendiri. Akibatnya, dialog/presentasi yang diadakan di luar

proses revisi kurang mencerminkan pembahasan yang diadakan dalam tim revisi sehingga

hilang kesempatan untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan dan memberi tim

pandangan-pandangan baru tentang gagasan-gagasan revisi yang muncul45

.

Dari sisi positifnya, Kemendagri tampaknya mengurungkan niatnya untuk segera

melaksanakan revisi yang awalnya dijadwalkan akan selesai pada bulan Desember 2007.

Sekarang direncanakan bahwa kegiatan tinjauan/pengembangan kebijakan lebih lanjut

akan dilaksanakan pada tahun 2008 dan, karena tahun 2009 akan ada pemilu, maka

reformasi yang kemungkinan diselesaikan setelah pemilu telah diberitahukan. Jadwal

pelaksanaan yang lebih lambat ini lebih disukai agar ada cukup waktu untuk

memperhatikan banyak masalah yang perlu diselesaikan.

Tindakan yang diusulkan

☞ Tinjauan kebijakan dan pengembangan kebijakan perlu dilakukan secara lebih

―tenang‖ dan sistematis, dengan tingkat kespesifikan yang lebih tinggi, persiapan

informasi empiris (Indonesia dan internasional) dan opsi-opsi kebijakan yang

dibahas.

☞ Perlu diperhatikan pengelolaan proses kebijakan pembagian urusan melalui satuan

tugas khusus pemerintah, atau komisi khusus yang dapat bertindak dengan lebih

intensif dan fleksibel dalam mendapatkan masukan dari ahli dan partisipasi

stakeholder. Selain itu, calon pelaku (di luar kelompok ahli yang kecil yang saat ini

digunakan) perlu didorong untuk melakukan upaya di bidang-bidang revisi tertentu

dan menyumbangkannya kepada pemerintah.

☞ Strategi jangka panjang dibutuhkan untuk memperkuat jaringan kerja yang

menangani masalah-masalah otonomi daerah, khususnya masalah-masalah politik-

administratif yang telah terbukti bermasalah (pembagian urusan, peran dari tingkat-

tingkat pemerintahan, peran ganda dari kepala daerah, pengawasan, pemekaran

45

Hal ini terlihat jelas di seminar yang diadakan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 22 November

2007, di mana ahli dari universitas yang sama dilibatkan dalam merevisi UU 32/2004. Permasalahan penting

yang dibahas dalam revisi tersebut (hirarki antara tingkat-tingkat pemerintahan, memperkenalkan ―masa

persiapan‖ untuk pemekaran wilayah) tidak disebutkan dalam seminar yang dipromosikan sebagai fokus

pada hubungan antara tingkat pemerintahan dan pemekaran wilayah.

Page 69: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 55

wilayah, otonomi daerah khusus). Kelompok-kelompok sasaran meliputi antara lain

lembaga-lembaga akademis dan penelitian, serta pemerintah daerah.

Para donor telah bersedia mendukung jaringan kebijakan asli Indonesia di masa lalu, tetapi

belum mencapai banyak keberhasilan, terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek

dan kurangnya pembelajaran dari upaya-upaya di masa lalu atau upaya-upaya di negara-

negara lain. Meskipun gagasan menggunakan perantara untuk mendukung kebijakan

semakin banyak diterima, dan sampai taraf tertentu memang digunakan, namun masih

belum jelas apakah para donor berminat dengan komitmen dalam jangka yang lebih

panjang yang dibutuhkan untuk mendukung jaringan-jaringan tersebut. Penerimaan

jaringan-jaringan di lingkungan Kemendagri ini dan organisasi-organisasi pemerintah

lainnya juga harus dipertanyakan. Penggunaan secara selektif individu-individu yang

berasal dari lembaga-lembaga akademis yang disenangi dan partisipasi mereka, didanai

oleh donor, melalui pendekatan lepas tangan (hands-off approach), dapat menjadi cara

yang diinginkan untuk menggunakan perantara.

Page 70: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 55

III. KESIMPULAN KESELURUHAN

Perubahan besar telah dibuat di bidang pembagian urusan sejak dimulainya era reformasi

di Indonesia. Segi positifnya mencakup komitmen kepada tiga azas pemerintahan, yang

sesuai dengan praktik internasional. Kabupaten/kota telah menjadi tingkat pemerintahan

yang bersifat ―general purpose‖ yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan

dasar. Selain itu, upaya telah dibuat untuk mengidentifikasi urusan-urusan yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan untuk mendefinisikan tingkat kinerja pemberian

pelayanan dasar. Peningkatan konsultasi di seluruh organisasi sektoral pemerintah pusat

dan dengan pemerintah daerah juga telah dilakukan.

Namun, kemajuan yang dicapai masih sedikit dalam hal kejelasan dan aturan yang

berkelanjutan sebagaimana yang diperlihatkan oleh penyimpangan yang berkepanjangan

oleh D/LND terhadap undang-undang organik tentang desentralisasi dan peraturan

pelaksanaanya tentang pembagian urusan. Kelemahan yang besar adalah kurangnya

perhatian kepada aspek hukum dan aspek lain dari arsitektur pembagian urusan. Arsitektur

pembagian urusan merupakan aspek dasar dari hubungan antar-pemerintahan dan harus

dilihat dalam hubungannya dengan kerangka hukum, penataan daerah, peran antara

tingkat-tingkat pemerintahan, struktur organisasi, pendanaan dan segi-segi lain dari tata

pemerintahan.

Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki pembagian urusan.

Beberapa opsi untuk pekerjaan ini telah diidentifikasi dalam laporan ini, dari segi

kebijakan maupun pekerjaan persiapan/proses yang diperlukan. Beberapa perbaikan dapat

dilakukan dalam upaya saat ini untuk merevisi undang-undang organik mengenai

desentralisasi/pemerintahan daerah (Undang-Undang 32/2004 dan PP 38/2007), tetapi

perspektif jangka panjang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah fundamental,

khususnya terkait dengan amandemen konstitusi dan penyelarasan kerangka hukum.

Dibutuhkan dialog dan pekerjaan analisa yang besar, termasuk menggunakan pengalaman

Indonesia (seperti pendekatan masalah Aceh yang sekarang sedang berlangsung) dan

perbandingan dengan praktik-praktik internasional untuk menyediakan dasar bagi

pemahaman bersama tentang konsep-konsep utama, mencapai kesepakatan dan

merumuskan aturan-aturan secara berkelanjutan.

Para donor telah terlibat dalam mendukung pembagian urusan. Dalam tahun-tahun

terakhir, dukungan mereka telah berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun awal

desentralisasi di mana urusan wajib dan standar pelayanan minimum menjadi fokus utama

dukungan donor. Penyerapan input donor cukup tinggi pada suatu waktu (khususnya

dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2002) dan sangat

rendah di waktu-waktu lain (seperti dalam merumuskan Undang-Undang No. 32 Tahun

2004 dan PP No. 38 Tahun 2007). Para donor telah dan sedang mendukung seluruh

kegiatan reformasi yang diuraikan berdasarkan ke-lima belas tema terkait dengan

pembagian urusan. Dukungan donor mengalami pasang surut selama tiga periode

reformasi, ada yang berhasil dan ada yang kurang ditanggapi di kesempatan lain. Hal ini

sudah biasa dalam bantuan teknis.

Pengalaman dalam bidang reformasi yang luas ini memperlihatkan bahwa dukungan donor

dapat lebih efektif jika diberikan secara lebih konstan atau menyeluruh (misalnya

bertindak bersama-sama melalui proyek sektoral/bantuan teknis dan dari seluruh donor),

Page 71: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 56

atau diberikan dalam bentuk yang berbeda. Secara khusus, pengalaman ini

memperlihatkan bahwa perubahan pendekatan mungkin dibutuhkan di mana dilakukan

investasi jangka panjang pada para pelaku Indonesia yang dapat membentuk jaringan

kebijakan, dengan menghindari kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan oleh bantuan

teknis langsung para donor dalam hal akseptabilitas dan keberlanjutan.

Para donor telah bersedia mendukung jaringan kebijakan asli Indonesia di masa lalu, tetapi

belum mencapai banyak keberhasilan, terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek

dan kurangnya pembelajaran dari upaya-upaya di masa lalu di Indonesia atau negara-

negara lain. Meskipun gagasan menggunakan perantara untuk mendukung kebijakan

semakin banyak diterima oleh para donor, dan sampai taraf tertentu memang digunakan,

namun masih belum jelas apakah para donor berminat dengan komitmen dalam jangka

yang lebih panjang yang dibutuhkan untuk mendukung jaringan-jaringan tersebut.

Kaum akademis Indonesia dan pemangku kepentingan lain tampaknya memberikan

tanggapan yang cukup baik mengenai membentuk jaringan kebijakan di bidang ini.

Namun, penerimaan dan partisipasi mereka hendaknya jangan dianggap sebagai suatu hal

yang memang sudah seharusnya terjadi. Kadang-kadang minat yang besar diperlihatkan

oleh mereka sebagai individu, bukan lembaga, dan minat ini bergantung pada hubungan

khusus dengan para donor. Keinginan untuk mengembangkan jaringan-jaringan ini oleh

Kemendagri dan organisasi-organisasi PI lainnya juga menjadi masalah. Penggunaan

secara selektif individu-individu yang berasal dari lembaga-lembaga akademis yang

disenangi dan partisipasi mereka, didanai oleh donor, melalui pendekatan lepas tangan

(hands-off approach), dapat menjadi cara yang diinginkan untuk menggunakan perantara.

Meskipun adanya pengingat-pengingat ini, dialog tentang perspektif jangka panjang masih

diperlukan untuk membuat kemajuan di bidang kebijakan ini.

Page 72: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 57

Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja

Latar Belakang

Telah dilakukan penyempurnaan pembagian urusan melalui revisi Undang-Undang No. 22

Tahun 1999 yang melahirkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, khususnya PP No. 38

Tahun 2007 tentang pembagian urusan antara pusat dan daerah. Segi-segi progresif dari

kerangka ini (yang terkait dengan pembagian urusan) mencakup konsep urusan wajib dan

urusan pilihan, dan penjabaran yang lebih lengkap mengenai hubungan antara urusan

wajib dan standar pelayanan minimum.

Secara luas diakui bahwa beberapa tantangan masih tetap ada, khususnya tantangan

berikut ini:

Tipologi utama urusan (desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi) perlu

dikembangkan secara lebih konsisten

Urusan wajib dan urusan pilihan perlu lebih diperjelas

Pendelegasian kepada desa-desa perlu ditangani lebih sepenuhnya

Mekanisme yang ada untuk dialog dan penyesuaian perlu ditingkatkan

Beban urusan untuk kabupaten/kota perlu dipertimbangkan untuk membentuk daerah-

daerah yang mengurangi ukuran rata-rata secara drastis

Pembagian urusan di Aceh dan Papua perlu diperjelas dan diperlakukan secara khusus.

Kerangka hukum perlu lebih diperkuat dari segi jenis dan jumlah/kekuatan instrumen

hukum yang dipergunakan, untuk memastikan kepatuhan dan keselarasan.

Tantangan-tantangan di atas merupakan daftar awal dan daftar yang perlu diresmikan dan

disesuaikan pada tahap awal studi.

Tujuan Studi

Tujuan dari penjajakan ini adalah untuk menilai kerangka pembagian urusan saat ini yang

memperlihatkan elemen-elemen progresif yang perlu dipertahankan dan disempurnakan

serta perubahan-perubahan yang diperlukan untuk memberikan kejelasan dan membuat

kerangka tersebut lebih efektif.

Studi ini diharapkan dapat membentuk upaya reformasi dalam konteks revisi UU No. 32

Tahun 2004 yang sedang berlangsung dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2008.

Pendekatan Studi

Studi ini diadakan oleh seorang konsultan internasional yang memahami situasi

desentralisasi di Indonesia dan masalah pembagian urusan di Indonesia dan negara-negara

lain. Tujuan studi adalah untuk mengetahui kemajuan yang dicapai di Indonesia dan

perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan pembagian urusan

secara tepat. Oleh karena itu, konsultasi yang erat perlu dilakukan dalam studi ini, dan

peluang diberikan kepada pejabat pemerintah RI untuk menjelaskan dan mengomentari

kerangka saat ini dan bersama-sama memeriksa kemungkinan perbaikan untuk masa

mendatang.

Page 73: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 58

Karena kompleksitas pembagian urusan, diusulkan agar dibentuk suatu jaringan

akademis/tenaga ahli di bidang ini di Indonesia untuk mendukung upaya Pemerintah RI

dalam upaya-upayanya di masa datang. Studi ini akan mengikutsertakan individu-individu

yang diseleksi dan mempertimbangkan potensi untuk terus mengembangkan jaringan

demikian di masa datang.

Studi ini juga mencakup pandangan-pandangan dari asosiasi pemerintah daerah dan

menjelaskan peluang-peluang untuk melaksanakan pembangunan kapasitas semua

pelaksana dalam mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan mengenai

pembagian urusan. Peran dukungan donor juga diuraikan.

Proyek ASSD yang didukung GTZ akan menyediakan bimbingan bagi studi ini dan

mendukung studi ini di bidang logistik dan bantuan seminar yang akan diselenggarakan

pada bulan Februari 2008.

Daftar Awal Narasumber Penting

Pemerintah Indonesia:

Direktorat Urusan Pemerintahan Daerah, Kemendagri

Direktorat Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, Kemendagri

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kemendagri

Deputi Bidang Otonomi Daerah, Bappenas

Anggota tim penyusun PP 38/2007 dari Pihak Pemerintah

Pejabat Pemerintah Daerah Aceh/Papua

Pemangku kepentingan lainnya:

Akademisi berbasis universitas (UI, UGM, STPN)

Asosiasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota

Anggota tim penyusun PP 38/2007 dari Pihak Non-Pemerintah

Penasihat bantuan teknis donor yang terkait dengan pembagian urusan

Page 74: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 59

Lampiran 2: Narasumber Utama

Pemerintah Pusat

I Made Suwandi Direktur Urusan Pemerintahan Daerah – Kemendagri

Dedi Koespramoedya Direktur Bidang Otonomi Daerah, Bappenas

Son Diamar Staf Ahli Bappenas/Anggota Tim Penyusun Revisi UU 32/2004

Hasudungan Hutauruk Kepala Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri

Herbert Siagian Staf Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri

Prabowo Staf Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri

Herry Yuherman Direktur Bidang Tata Wilayah dan Otonomi Khusus, Kemendagri

Safrizal Z.A. Kepala Sub-Direktorat Bidang Otonomi Khusus, Kemendagri

M. Dwidjo Susono Wakil Ketua Unit Desentralisasi, Depkes

Tri Tarayati Subseksi Analisa dan Tatacara Kerja, Depkes

Asosiasi Pemerintah Daerah

Rusfi Yunairi Direktur Kerjasama dan Advokasi APEKSI

Rudi Hauter Ahli CIM, ADEKSI

Pembagian Urusan Otonomi Daerah

Mawardi Ismail Rektor – Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Anwar Muhammad Wakil Kepala Dinas Pendidikan NAD

May Bernhard Ketua Tim ALGAP II (Penasihat bidang hukum Gubernur)

Adriana Elizebeth Peneliti, LIPI

Narasumber Penting Terkait dengan Masalah Pembagian Urusan

Bhenyamin Hoessein Dosen & Ketua Studi Kesarjanaan Ilmu Pemerintahan, UI

Eko Prasojo Dosen dan Kepala Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI

Roy Salomo Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI

Irfan Ridwan Maksum Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI

Koswara Kertapradja Dosen Ilmu Politik/Pemerintahan Universitas Satyagama

Siti Zuhro Peneliti, LIPI

Elke Rapp Manajer Program Desentralisasi USAID-DRSP

Martha Gutierrez Principal Advisor for Advisory Service Support for Decentralization

(GTZ)

Erita Nurhalim Advisor untuk Advisory Service Support for Decentralization (GTZ)

Susanne Lubis-Sproesser STC untuk Advisory Service Support for Decentralization (GTZ)

Page 75: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 60

Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi46

Aspek pelayanan Tugas Dekonsentrasi Tugas pembantuan/ yang

didelegasikan

Urusan Desentralisasi

Instrumen SK Menteri dan Surat

Edaran

UU, peraturan, keputusan

pemerintah, atau

keputusan menteri/surat

edaran

Undang-Undang Dasar, UU

dan peraturan terkait

Sumber dan

penerima wewenang

Dari Departemen,

―didelegasikan‖

kepada berbagai

cabangnya

Dari badan perwakilan

atau departemen/lembaga

kepada pemerintahan

daerah atau lembaga

khusus

Dari negara atau badan

perwakilan tingkat pusat

kepada pemerintahan

daerah

Pendanaan Dari departemen

kepada cabang-

cabangnya langsung

(tidak terlihat dalam

anggaran pemerintah

daerah)

Dari entitas pemberi tugas

kepada pemerintahan

daerah/lembaga khusus.

Dalam kasus tertentu,

tugas didanai dari transfer

yang lebih luas yang

dianggap cukup untuk

menutupi tugas yang

didelegasikan

Penerima urusan (melalui

pajak/retribusi lokal atau

block grant atau grant yang

dibarengi persyaratan)

Staf Staf cabang adalah

PNS pusat, bagian dari

Departemen.

Tugasnya meliputi

koordinasi dengan

pemda.

Pemda/lembaga khusus

mempunyai staf sendiri,

tetapi bekerja menurut

kerangka pusat. Dapat

menggunakan tenaga yang

diperbantukan dari

pemerintah pusat.

Pemda mempunyai staf

sendiri tetapi bekerja

menurut kerangka pusat;

keleluasaan yang besar

dalam mempekerjakan,

memberhentikan, ukuran

lembaga, dsb. Juga dapat

menggunakan tenaga yang

diperbantukan dari

pemerintah pusat yang pada

dasarnya diperlakukan

sebagai staf pemerintah

daerah

Keleluasaan struktur

organisasi internal

Cabang-cabang

disusun oleh

Departemen,

meskipun seringkali

disetujui di tingkat

kabinet atau lembaga

yang lebih tinggi.

Daerah/lembaga khusus

dapat membentuk unit-unit

dalam kerangka pusat dan

menangani tugas

pada/dalam lingkungan

unit-unit yang dipilih

Daerah dapat membentuk

unit-unit dalam kerangka

pusat, dan menangani

urusan pada unit-unit yang

dipilih

Keleluasaan

Pelaksanaan

Bervariasi namun

biasanya dibatasi oleh

kementerian, melalui

peraturan, prosedur,

standar dan instruksi.

Dapat juga berupa

bimbingan ad hoc.

Sangat dibatasi oleh

kebijakan, prosedur dan

standar yang ditentukan

oleh entitas pemberi tugas;

keleluasaan pelaksanaan

dalam beberapa kasus.

Banyak keleluasaan, tetapi

dapat sedikit dibatasi oleh

standar nasional.

Pelaporan/

Pertanggungjawaban

Dari cabang kepada

kantor pusat D/LND

Terutama kepada entitas

pemberi tugas, tetapi juga

kepada dewan daerah dan

Terutama kepada

masyarakat yang menerima

urusan melalui dewan

46

Dikembangkan oleh Ferrazzi (2007), berdasarkan penjabaran sebelumnya tentang tipologi dasar azas

pemerintahan (misalnya laporan dukungan sektoral Yaman yang diserahkan melalui UNCDF/UNDP, lihat

Ferrazzi 2006).

Page 76: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 61

Aspek pelayanan Tugas Dekonsentrasi Tugas pembantuan/ yang

didelegasikan

Urusan Desentralisasi

masyarakat daerah atau secara

langsung;

pertanggungjawaban

vertikal tetap ada dan pada

prinsipnya lebih ditekankan

selama tahap awal

desentralisasi.

Page 77: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 62

Lampiran 4: Tugas Pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draft PP

Aspek Uraian tugas pembantuan

dalam draft PP

Uraian tugas dekonsentrasi dalam

draft PP

Kriteria penyeleksian

tugas

Eksternalitas, akuntabilitas dan

efisiensi, serta hubungan yang

serasi antara tingkat-tingkat

pemerintahan

Eksternalitas, akuntabilitas dan

efisiensi, serta hubungan yang serasi

antara tingkat-tingkat pemerintahan

Ruang lingkup tugas Untuk pemerintah pusat : Harus

di luar daftar eksklusif pusat;

tidak dapat dibebankan kepada

APBD (jika dari pusat);

Untuk pemerintah provinsi:

Harus dari daftar urusan

provinsi

Dari pemerintah kabupaten/kota

(K/K): Harus dari daftar urusan

K/K.

Kegiatan non-fisik

Tidak dapat dibebankan kepada

APBD

Entitas pemberi tugas Pemerintah pusat (dan

departemen/lembaga dengan

persetujuan Presiden atas tugas-

tugas yang akan diserahkan

kepada desa)

Pemerintah provinsi

Pemerintah Kabupaten/kota

Pemerintah Pusat

Entitas penerima Dari pemerintah pusat: kepada

daerah atau desa (tetapi juga

menyebutkan pemerintah daerah

dan pemerintah desa)

Dari provinsi: kepada

kabupaten/kota atau desa (tetapi

juga menyebutkan pemerintah

kabupaten/kota)

Dari pemerintah K/K: kepada

Desa

Gubernur sebagai wakil pusat

Lembaga Vertikal

Pegawai pemerintah pusat di daerah

Jadwal konfirmasi Departemen/Lembaga

menyatakan paling lambat

pertengahan Maret untuk tahun

anggaran berikutnya – diajukan

ke Musrenbangnas.

Departemen/Lembaga

memberitahukan gubernur,

bupati/walikota atau kepala desa

pertengahan Juni dan

mengesahkannya dalam

peraturan menteri –dikirim

kepada gubernur,

bupati/walikota atau kepala desa

pertengahan Desember

Untuk tugas gubernur,

Departemen/Lembaga menyatakan

paling lambat pertengahan Maret

untuk tahun anggaran berikutnya—

diajukan ke Musrenbangnas.

Departemen/ Lembaga

memberitahukan gubernur

pertengahan Juni dan

mengesahkannya dalam peraturan

menteri –dikirim kepada gubernur

pertengahan Desember

Organisasi Pelaksana Unit kerja (SKPD) provinsi atau Unit kerja provinsi sebagaimana

Page 78: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 63

kabupaten/kota sebagaimana

yang ditetapkan masing-masing

oleh Gubernur atau Bupati/

Walikota; kepala desa untuk

tugas-tugas yang diterima oleh

desa

yang ditetapkan oleh Gubernur

Pengaturan Pembiayaan Dari APBN-dilaksanakan oleh

daerah dan desa

Dari APBD provinsi –

dilaksanakan oleh

kabupaten/kota dan desa (tetapi

juga menggunakan istilah

pemerintah kabupaten/kota)

Dari APBD kabupaten/kota –

dilaksanakan oleh desa

Dari APBN – dilaksanakan oleh

Gubernur sebagai wakil pusat

Dari anggaran lembaga –

dilaksanakan oleh lembaga vertikal

Peran DPRD Diberitahukan oleh

Gubernur/Bupati/Walikota

setelah DPR menyetujui RKA-

KL (ketika RAPBD sedang

disusun) dan mempersiapkan

untuk melaksanakan tugas.

Diberitahukan oleh Gubernur setelah

ia menerima RKA-KL yang telah

disetujui oleh DPR (ketika RAPBD

sedang disusun) dan mempersiapkan

untuk melaksanakan tugas-tugas.

Pelaporan Kepada entitas pemberi tugas Pelaporan triwulan dan tahunan oleh

kepala unit kerja provinsi kepada

Gubernur dan Departemen/Lembaga

yang membiayai – mengenai

pencapaian target dan aspek-aspek

finansial. Gubernur mengumpulkan

laporan dan mengirimkannya kepada

Kemendagri dan Depkeu serta

Bappenas. Laporan tahunan

dilampirkan dalam Laporan

Pertanggungjawaban Anggaran

Tahunan yang dikirim kepada DPRD

Page 79: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 64

Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Provinsi

Opsi Konfigurasi Keterangan

1. Gubernur satu-

satunya tokoh politik di

tingkat provinsi

- Parlemen Provinsi dihapuskan

- Gubernur adalah wakil dari

tingkat pusat

- Hanya ada urusan tingkat pusat

dan tingkat kabupaten/kota

Kelihatan aneh jika Gubernur

dipilih langsung padahal ia tidak

mempunyai peran ―otonomi

daerah‖

Mengharapkan reaksi politik

yang kuat dari anggota DPRD

provinsi saat ini dan provinsi-

provinsi dengan identitas

provinsi yang kuat

2. Tumpang tindih

peran diselesaikan

untuk kepentingan

Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat dan

azas pemerintahan

dekonsentrasi

- Dekonsentrasi dipertahankan

yang berarti Gubernur tetap

sebagai wakil pemerintah pusat

(CG)

- Gubernur memperoleh aparat

dekonsentrasi sendiri

- Dinas dibatasi hanya pada

urusan otonomi provinsi yang

dipersempit

-Unit dekonsentrasi didanai dari

APBN

Kebanyakan dinas menjadi kecil

dibandingkan dengan unit-unit

dekonsentrasi (sebenarnya,

lembaga vertikal akan dibentuk

kembali – di bawah Gubernur

sebagai wakil pusat

Peran DPRD terbatas pada

tinjauan anggaran provinsi yang

dikecilkan dan tidak mempunyai

peran di kabupaten/kota

Dinas tidak efisien dan tekanan

terdapat pada unit-unit

dekonsentrasi karena

penyelesaian beberapa urusan

sulit dicapai

Kemungkinan besar akan ada

reaksi politik yang kuat dari

anggota DPRD provinsi saat ini

dan provinsi-provinsi dengan

identitas provinsi yang kuat

3. Tumpang tindih

peran diselesaikan

untuk kepentingan

provinsi sebagai badan

otonom dan penerima

tugas dari pusat melalui

azas pemerintahan tugas

pembantuan

- Dekonsentrasi dipertahankan

hanya untuk memaksudkan

lembaga-lembaga vertikal yang

terutama responsif terhadap

kantor pusat

- Provinsi/Gubernur sebagai

pelaku yang ―otonom‖ berperan

dominan

- Gubernur sebagai wakil CG

dipertahankan untuk tugas-tugas

khusus (pengangkatan, dsb)

tetapi tidak disebut sebagai

dekonsentrasi

- Tidak ada unit dekonsentrasi

khusus di bawah Gubernur

- Pusat memberikan tugas

penting (misalnya pengawasan)

sebagai tugas pembantuan

Peran Gubernur sebagai wakil

pusat yang telah dikurangi perlu

diberikan sebutan lain untuk

menghindari kerancuan dengan

azas dekonsentrasi yang berdiri

sendiri (instansi vertikal).

Menuntut agar tugas-tugas

didanai dari sumber APBD –

transfer dana dekonsentrasi

diperlukan misalnya menjadi

DAU/DAK atau berupa

penyerahan pajak daerah

4. Pertanggung-jawaban - Hanya ada urusan tingkat pusat Masih perlu menyelesaikan j

Page 80: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 65

Opsi Konfigurasi Keterangan

politik melalui dewan

Kabupaten/Kota yang

diproyeksikan di tingkat

provinsi

dan tingkat kabupaten/kota

- Sebagian urusan ditangani

melalui kesepakatan (dinamis)

di tingkat provinsi dengan

pertanggungjawaban kepada

dewan provinsi – yang

beranggotakan para pengurus

dewan kabupaten

peran ganda gubernur; gubernur

dapat bertanggung jawab kepada

dewan provinsi atas urusan-

urusan yang ditangani untuk

kepentingan kabupaten/kota, dan

juga bertanggung jawab kepada

pemerintah pusat atas tugas-

tugas yang diserahkan secara

vertikal. Kompleksitas urusan

provinsi sendiri vs tugas yang

diserahkan oleh pusat tidak ada

lagi.

Susunan organisasi tersendiri

untuk tugas-tugas dari pusat

masih dibutuhkan.

Page 81: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 66

Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan

Kriteria yang ditinjau oleh ACIR (USA)

1. Minimalisasi limpahan (spillovers)

2. Maksimalisasi skala ekonomis

3. Kecukupan luas geografis

4. Kemampuan Hukum dan Administratif

5. Kecukupan Urusan

6. Pengendalian dan aksesibilitas konstituen

7. Maksimalisasi partisipasi warga sesuai dengan kinerja yang memadai Sumber: Advisory Commission on Intergovernmental Relations, Performance of Urban Functions: Local

and Areawide, September 1963

Kriteria yang diusulkan oleh ACIR (Australia)

Kriteria Umum: 1. Persatuan Bangsa

2. Koordinasi

3. Nilai yang lebih penting

4. Multi-fungsionalitas

Daya Tanggap 5. Daya tanggap

6. Komunitas

7. Aksesibilitas

Pemerataan dan Keadilan 8. Keadilan sosial

9. Redistribusi

10. Pemerataan

11. Keseragaman

12. Portabilitas

Efisiensi: 13. Mobilitas

14. Stabilisasi

15. Internalisasi

16. Skala ekonomis

17. Persatuan daerah

Sumber: Advisory Council for Inter-government Relations, Towards Adaptive Federalism – A Search for

Criteria for Responsibility Sharing in a Federal System, Dinas Penerbitan Pemerintah Australia, Canberra,

1981.

Kriteria yang diusulkan oleh Komite Penasihat di Ontario (Kanada)

1. Sampai pada taraf di mana redistribusi penghasilan menjadi program atau tujuan pelayanan,

maka pengelolaan kebijakan/pelayanan dan pembiayaan program hendaknya menjadi

tanggung jawab provinsi.

2. Tingkat keterlibatan dalam pengelolaan kebijakan/pelayanan untuk setiap tingkat

pemerintahan perlu ditetapkan menurut jenis dan tingkat limpahan (spillovers).

3. Pelayanan hendaknya dihasilkan di tingkat pemerintahan yang dapat melakukannya dengan

cara yang paling ekonomis.

4. Pelayanan hendaknya diberikan di tingkat pemerintahan yang dapat melakukannya dengan

cara yang paling efektif.

5. Tingkat keterlibatan dalam pengelolaan kebijakan/pelayanan untuk setiap tingkat

pemerintahan hendaknya diatur menurut tingkat kepentingan atau kebutuhan standar.

Page 82: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 67

Sumber: Pemerintah Ontario, Laporan Komite Penasihat kepada Menteri Urusan Perkotaan mengenai

Hubungan Keuangan Provinsi-Kota, 1991.

Kriteria yang dirumuskan di bawah binaan Bank Dunia

1. Skala ekonomis

2. Lingkup ekonomis (paket pelayanan publik yang menghasilkan konsekuensi lain)

3. Limpahan manfaat/biaya

4. Jarak ke penerima manfaat

5. Preferensi konsumen

6. Evaluasi ekonomi pilihan sektor Sumber: Shah, A. (1994). The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging

Market Economies, Policy and Research Series # 23, The World Bank, Washington D. C.

Page 83: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 68

Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh47

UU 32/2004 dan PP 38/2007 UU 11/2006 (UUPA) Komentar

Prinsip Otonomi ―Seluas-luasnya‖ – untuk daerah,

tanpa membedakan tingkat daerah

―Seluas-luasnya‖ ditujukan kepada

masyarakat Aceh

Serupa; tidak jelas apakah nuansa yang dimaksud untuk

memperlihatkan perbedaan

Urusan eksklusif

pemerintah pusat

Urusan luar negeri, keamanan,

pertahanan, kehakiman; moneter/fiskal

nasional, dan agama

Urusan-urusan yang bersifat

nasional; urusan luar negeri,

keamanan; pertahanan, kehakiman;

moneter/fiskal nasional, dan urusan

keagamaan tertentu

Perubahan pertama berpotensi membuka bidang urusan

secara luas, bergantung pada definisi ―bersifat nasional‖;

penjelasannya mempersempit dan kemudian memperlebar

cakupan – sehingga membuka peluang bagi pemerintah pusat

untuk memaksudkan apapun yang diinginkannya; ini tidak

ada dalam MoU Helsinki.

Beberapa urusan keagamaan diizinkan berada di tangan

pelaku daerah (lihat mode di bawah). MOU menyerahkan

―kebebasan beragama‖ kepada pemerintah pusat ―sesuai

dengan Konstitusi‖.

Keterlibatan

daerah/desa dan

Gubernur dalam

urusan eksklusif

pemerintah pusat

Urusan eksklusif pemerintah pusat

sebagian dapat diserahkan sebagai

tugas pembantuan kepada

dewan/pemerintah daerah atau desa48

.

Dapat mendelegasikan sebagian

kepada wakil pemerintah pusat di

Sebagian kewenangan dapat

ditransfer ke Aceh atau pemerintah

daerah kabupaten/kota. Dapat

diserahkan sebagai tugas pembantuan

kepada Aceh atau kabupaten/kota

atau pemerintah gampong. Dapat

Tampaknya bertentangan dengan pernyataan eksklusivitas

karena menggunakan istilah urusannya sendiri

(menyerahkan). Dalam mentransfer atau menggunakan

model perbantuan, penerimanya adalah eksekutif bukan

gabungan dewan/eksekutif – tidak ada penjelasan untuk

perbedaan ini. Tidak jelas apakah istilah-istilah yang berbeda

47

Untuk menjaga fokus pada para pelaku daerah, maka perbandingan ini tidak mencakup perlakuan lembaga vertikal pemerintah pusat. 48

Istilah dewan/pemerintah memaksudkan ―pemerintahan‖ yang terdiri dari gabungan unsure legislatif dan eksekutif. Dalam sistem di Indonesia, pemerintah

didefinisikan sebagai kepala eksekutif dan anggota-anggota pelaksanaan eksekutif. Di banyak negara OECD, istilah ―pemerintah‖ mencakup unsur legislatif maupun

eksekutif. Dewan dan badan legislatif memaksudkan hal yang sama dalam analisa ini.

Page 84: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 69

daerah. mendelegasikan sebagian urusan

kepada Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah.

Perjanjian internasional yang

berlaku bagi dewan/pemerintah Aceh

akan diadakan melalui konsultasi

dengan/dengan pertimbangan dari

Dewan Aceh (DPRA). Undang-

undang nasional yang

mempengaruhi dewan/ pemerintah

Aceh akan dibuat melalui konsultasi

dengan DPRA. Kebijakan

administratif yang mempengaruhi

dewan/ pemerintah Aceh akan dibuat

melalui konsultasi dengan Gubernur.

(kewenangan dan urusan) dalam UUPA ada artinya sendiri.

Aceh berperan dalam urusan luar negeri (dikonsultasikan).

Sebenarnya, untuk setiap hal yang diputuskan oleh undang-

undang atau instrumen administratif yang berlaku bagi Aceh,

ada kewajiban untuk berkonsultasi dengan DPRA (undang-

undang) atau Gubernur (instrumen administratif kebijakan).

Perlu diperhatikan bahwa MOU menyebut ―izin‖ untuk hal-

hal di atas; bukan hanya konsultasi.

Keterlibatan

daerah/desa dan

Gubernur dalam

urusan-urusan non-

eksklusif pemerintah

pusat

Sebagian dapat diserahkan sebagai

tugas pembantuan kepada

dewan/pemerintah daerah atau desa.

Sebagian dapat mendelegasikannya

kepada Gubernur sebagai wakil CG di

daerah.

Tidak dibahas Formulasi Undang-Undang 32 menimbulkan pertanyaan

mengenai apakah ada suatu arti dalam ungkapan urusan

―eksklusif‖. Karena itu, kesenjangan yang jelas dalam UUPA

ini mungkin memperlihatkan bahwa tampaknya tidak perlu

membedakan antara eksklusif dan non-eksklusif.

Pengawasan peran

pemerintah pusat

dalam urusan di

daerah

pemerintah pusat menetapkan norma,

standar dan prosedur untuk urusan

yang dilaksanakan oleh daerah. Dapat

mendelegasikan pengawasan terhadap

pemerintah pusat menetapkan norma,

standar dan prosedur untuk urusan

yang dilaksanakan oleh Aceh dan

pemerintah kabupaten/ kota. Dapat

Konstruksinya serupa dengan daerah-daerah lain. Tidak jelas

mengapa dewan tidak termasuk dalam target pengawasan.

Page 85: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 70

kabupaten/kota kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat

mendelegasikan pengawasan

terhadap kabupaten/kota kepada

Gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat.

Kriteria pembagian

urusan

Eksternalitas, efisiensi dan

akuntabilitas, mempertimbangkan

hubungan yang harmonis antara

tingkat-tingkat dewan/pemerintah.

Eksternalitas, efisiensi dan

akuntabilitas, mempertimbangkan

hubungan yang harmonis antara

tingkat-tingkat dewan/pemerintah.

Dari ketentuan ini diharapkan bahwa pembagian urusan yang

sama dapat terjadi di Aceh seperti di provinsi atau

kabupaten/kota lainnya.

Prinsip dalam

melaksanakan urusan

daerah sendiri

Diatur dan diurus oleh

dewan/pemerintah daerah berdasarkan

prinsip otonomi dan tugas

pembantuan.

Diatur dan diurus oleh Aceh dan

dewan/pemerintah kabupaten/kota.

Tidak jelas mengapa tugas pembantuan tidak disebutkan

dalam UUPA, tetapi mungkin ini hal yang baik, karena UU

32/2004 (dan UUD) memberikan kesan bahwa daerah dapat

mengatur tugas-tugas pembantuan yang diserahkan

kepadanya oleh tingkat yang lebih tinggi (formulasi ini juga

dapat dipahami bahwa mereka melaksanakan tugas otonom

dan menyerahkan tugas pembantuan kepada tingkat yang

lebih rendah – tetapi penafsiran yang pertama juga dapat

seperti ini)

Pembagian urusan

antara tingkat

provinsi dan

kabupaten/kota

Semuanya diatur dalam UU 32/2004

dan PP 38/2007

Pembagian urusan syariat Islam

antara dewan/ pemerintah Aceh dan

dewan/pemerintah kabupaten/kota

dilakukan melalui Qanun Aceh

(dapat difasilitasi oleh pemerintah

pusat)

Tampaknya izin yang eksplisit untuk pembagian urusan

antara tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanya diberikan

kepada daerah khusus pemerintahan ini.

Jenis Urusan Untuk tingkat provinsi dan

kabupaten/kota:

Untuk tingkat provinsi dan

kabupaten/kota:

Kesan secara umum serupa antara UU 32/2004 dan UUPA,

tetapi PP 38/2007 mungkin tidak berlaku bagi Aceh. Daftar

Page 86: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 71

Urusan wajib

Urusan pilihan

Urusan sisa (dalam PP 38)

Daftarnya serupa di antara tingkat-

tingkat tersebut.

Perincian urusan wajib dan pilihan

terdapat dalam Peraturan Pemerintah

(PP 38/2007 saat ini).

Mekanisme urusan sisa kurang

dijabarkan.

Urusan wajib

Urusan pilihan

Beberapa urusan kabupaten/kota

yang ―tidak didefinisikan‖

Beberapa urusan

provinsi/kabupaten/kota yang

―tidak didefinisikan‖ dan tidak

diserahkan

Perincian urusan wajib dan pilihan

terdapat dalam Qanun Aceh dan

Qanum kabupaten/kota masing-

masing untuk daftar Aceh dan

kabupaten/kota – terkait dengan

kerangka hukum yang ada.

Tampaknya ―urusan sisa‖ tidak ada

untuk Aceh karena dalam PP 38

relevansinya dengan Aceh tidak

jelas.

dasar urusan wajib yang sama; Aceh kehilangan butir

terakhir yang memperbolehkan OF lain yang dapat

dicantumkan dalam kerangka hukum. Selain itu, Aceh

mempunyai lima OF keagamaan yang tidak dimiliki

provinsi-provinsi lain; juga kabupaten/kota, tetapi kurang

butir kelima ―ibadah haji‖. Urusan wajib yang terkait dengan

pertanahan lebih diperinci dalam UUPA. Pada dasarnya,

definisi urusan pilihan untuk kedua tingkatan sama-sama

tidak jelas/bermasalah seperti daerah-daerah lain. Perbedaan

penting adalah penjabaran daftar yang disusun dengan tidak

baik ini akan dilakukan oleh masing-masing pemerintah

daerah di Aceh. Sulit untuk memahami bagaimana hal ini

akan efektif; mungkin dihasilkan daftar urusan yang

sepotong-sepotong jika provinsi dan kabupaten/kota tidak

melakukan ini bersama-sama untuk menjamin cakupan dan

kelengkapannya.

Yang paling membingungkan adalah, dengan tidak

berlakunya PP 38/2007 bagi Aceh, bagaimana urusan untuk

pemerintah provinsi Aceh akan dibedakan dengan urusan

pemerintah pusat. Tantangan ini dapat sedikit diatasi dengan

penyusunan beberapa urusan kabupaten/kota dalam UUPA

(misalnya madrasah, bandara dan pelabuhan laut) dan hal-hal

lain yang tidak diserahkan di antara tingkat-tingkat (menarik

wisatawan dan investor, dan persetujuan atas investasi dan

impor/ekspor serta beberapa bidang lain); tidak jelas

Page 87: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 72

mengapa hal-hal ini dinyatakan secara eksplisit padahal hal-

hal ini milik dari daerah Aceh, dan bagaimana sektor-sektor

lain dapat dibuat eksplisit. Selain itu, tidak jelas mengapa ada

urusan yang diserahkan atau tidak diserahkan secara spesifik

dan apakah urusan-urusan tersebut bersifat wajib atau

pilihan.

Karena ―urusan sisa‖ tampaknya tidak berlaku bagi Aceh,

tidak ada mekanisme dalam UUPA untuk menyesuaikan

pembagian urusan dari waktu ke waktu.

Standar Pelayanan

Minimum

Berhubungan dengan urusan wajib dan

tunduk kepada PP 65/2005 dan

instrumen-instrumen turunannya.

Digunakan formulasi bermakna-

ganda yang sama dari UU 32/2004

yang menghubungkan SPM dengan

urusan wajib, untuk dilaksanakan

secara bertahap, dan akan diatur

dalam peraturan pemerintah. PP

65/2005 tidak membedakan antara

daerah-daerah.

Sangat sedikit yang dikatakan dalam UUPA tentang standar

pelayanan minimum (SPM). Jika pembagian urusan wajib

(yang disertai dengan SPM) akan berbeda dengan daerah-

daerah lain maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai

apakah instrumen departemen untuk SPM masih tetap

berlaku dalam arti umum. Jika demikian maka mungkin

ketentuan-ketentuan khusus perlu dibuat untuk urusan

spesifik yang ada di Aceh. Apapun kasusnya, Aceh dapat

mencantumkan SPM dalam Qanun sesuai dengan urusan

spesifik di Aceh.

Ketentuan untuk

daerah-daerah

dengan status khusus

UU 32/2004 merujuk kepada otonomi

khusus Provinsi Istimewa Nanggroe

Aceh Darussalam; undang-undang

tersebut berhubungan dengan hal ini

kecuali undang-undang lain secara

spesifik mengatur daerah ini. Dalam

(lihat kolom ini secara keseluruhan)

Kewenangan untuk pemerintah Aceh

akan diatur dalam Qanun Aceh.

Kewenangan untuk pemerintah Aceh

akan diatur dalam qanun

kabupaten/kota

Tidak jelas mengapa dalam formulasi ini (pasal 270),

formulasi berkaitan secara spesifik dengan pemerintah dan

tidak dengan dewan, tetapi formulasi tersebut menegaskan

bahwa PP 38/2007 tidak berlaku dan bahwa daerah-daerah

tersebut harus menyortir urusan (kewenangan)nya sendiri

(diharapkan hal ini akan dibahas bersama-sama).

Page 88: Exploring Reform Options in Functional Assignments ID OK

Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 73

PP 38/2007, dewan/pemerintah

provinsi NAD diatur oleh kerangka

hukum yang mengatur otonomi

khusus.

Penetapan Zona

Khusus

Berkaitan dengan kegiatan

kepentingan nasional dan penetapan

ini meliputi daerah-daerah.

Pemerintah wajib menyertakan

pemerintah Aceh dan/atau

pemerintah kabupaten/kota dalam

penetapan zona.

Serupa, tetapi MOU mengharuskan adanya izin dari

DPRA/Gubernur masing-masing berdasarkan undang-undang

atau peraturan yang berlaku bagi Aceh.