eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

15
PENDAHULUAN Virus Epstein-barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili Herpesvirus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan penyebab mononucleosis infeksiosa. Infeksi EBV berasosiasi dengan beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma gaster. KNF adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus, dimana virus memasuki periode laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik dimana terjadi replikasi DNA EBV, transkripsi dan translasi genom virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-masing periode infeksi. EBV mempunyai potensi onkogenik mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel ganas. Pada penderita KNF, DNA EBV selain dapat ditemukan pada jaringan (biopsi) tumor juga dapat dideteksi dalam sirkulasi (plasma/ serum) 1

Upload: egiariskafazrin

Post on 22-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

PENDAHULUAN

Virus Epstein-barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili

Herpesvirus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh

dunia dan merupakan penyebab mononucleosis infeksiosa. Infeksi EBV

berasosiasi dengan beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan

epitel seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma

nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma gaster. KNF adalah

neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV.

Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik.

Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus, dimana virus

memasuki periode laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat

mengalami reaktivasi spontan ke periode litik dimana terjadi replikasi DNA

EBV, transkripsi dan translasi genom virus, dilanjutkan dengan

pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar sehingga sel

pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang

terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-

masing periode infeksi.

EBV mempunyai potensi onkogenik mengubah sel yang terinfeksi

menjadi sel ganas. Pada penderita KNF, DNA EBV selain dapat

ditemukan pada jaringan (biopsi) tumor juga dapat dideteksi dalam

sirkulasi (plasma/ serum) dan sel darah penderita KNF. Radioterapi dan

kemoterapi merupakan terapi standar dalam penanganan penderita KNF.

Lebih kurang 80% penderita KNF pada stadium awal (stadium I dan II)

dapat mencapai remisi sempurna setelah mendapat radioterapi. Namun

demikian rekurensi setelah radioterapi dan kemoterapi dihentikan masih

merupakan kendala dalam pengobatan KNF.

Penelitian ini merupakan penelitian prospektif yang bertujuan untuk

mengetahui efektivitas radioterapi dan kemoterapi pada penderita

karsinoma nasofaring dengan mendeteksi perubahan eksistensi DNA EBV

plasma/serum dan cairan tubuh seperti saliva penderita KNF yang

1

Page 2: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

mendapat radioterapi dan kemoterapi. Deteksi DNA EBV dilakukan

dengan teknik nested PCR menggunakan primer yang kompatibel

dengan gen EBNA1 sebelum dan sesudah radioterapi.

Perubahan DNA EBV tersebut di dalam plasma/serum dan cairan

tubuh (saliva) setelah terapi memberi peluang penggunaan DNA EBV

sebagai marka/penanda yang sensitif untuk memantau status patologi dan

keberhasilan terapi KNF.

BAHAN DAN CARA KERJA

Sampel penelitian berupa darah dan saliva dari pasien KNF yang

sedang menjalani radioterapi dan kemoterapi di Departemen Radioterapi

RSCM. Skrining penderita KNF dilakukan oleh dokter yang merawat dan

menangani pasien KNF. Sebagai pembanding (kontrol) adalah sampel

darah yang dikoleksi dari donor sehat. Koleksi sampel penelitian dimulai

sejak bulan Juli 2007 hingga Desember 2009 dan telah terkumpul lebih

dari 100 sampel darah dan saliva penderita KNF dengan stadium

bervariasi.

Isolasi DNA dari serum dan saliva dimaksudkan untuk

mendapatkan DNA EBV yang dilepaskan ke sirkulasi dan cairan tubuh

karena reaksi litik pada sel tumor. DNA diekstraksi dengan phenol

khloroform plus isoamyl alkohol (24 :1) dan dipresipitasi dengan

isopropanol.DNA dikeringkan pada suhu kamar selama 30 menit,

disuspensi dengan larutan bufer TE, dan dikuantitasi dengan fotometri.

Untuk mendeteksi DNA-EBV, DNA diamplifikasi dengan PCR

menggunakan primer yang kompatibel dengan gen EBNA1 EBV dengan

pertimbangan gen EBNA1 adalah gen yang aktif dan berexpresi baik pada

infeksi fase latent maupun litik. Disain primer dilakukan menggunakan

program BCM search louncher yang tersedia di website NCBI. DNA EBV

dideterminasi dengan amplifikasi DNA virus dengan nested PCR

2

Page 3: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

menggunakan dua pasang primer yang kompatibel dengan gen EBNA I

yang telah didisain sebelumnya. Kondisi PCR diprogram dengan mengacu

pada program yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Pasangan primer yang pertama digunakan untuk mendapatkan DNA

EBNA1 yang cukup untuk amplifikasi kedua, pasangan primer kedua

digunakan untuk menggandakan produk PCR pertama, sehingga

didapatkan produk PCR yang terdeteksi dengan baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kelompok

kontrol berasal dari individu normal dan sehat, tidak menderita KNF pada

waktu pengambilan sampel dan kelompok KNF berasal dari individu yang

didiagnosis menderita KNF dengan bukti histopatologi oleh dokter yang

menangani kasus tersebut. Dari koleksi sampel sejak Juli 2007 hingga

Desember 2008, sampel yang terkumpul adalah sebagai berikut : Sampel

penderita KNF dikoleksi dari 102 orang penderita terdiri dari 64 laki-laki

(62,7%) dan 38 perempuan (37,3%). Ratio kelompok penderita KNF laki-

laki dan perempuan adalah 2,7 : 1. Sampel kontrol dikoleksi dari 106

orang sehat (non-KNF) terdiri dari 56 laki-laki (52,8%) dan 50 perempuan

(47,2%). Ratio kelompok kontrol laki-laki dan perempuan adalah 1,1 : 1

Eksistensi DNA EBV pada pasien KNF yang menjalani Radioterapi

Eksistensi DNA EBV merepresentasikan aktivitas replikasi virus.

Deteksi DNA EBV dilakukan dengan amplifikasi DNA virus dengan PCR

menggunakan primer yang kompatibel dengan gen EBNA1 dengan

pertimbangan gen EBNA1 akan terdeteksi pada setiap fase infeksi, baik

fase laten maupun fase litik.

Dengan teknik nested PCR, DNA EBV terdeteksi pada serum

pasien KNF maupun kontrol (non-KNF); dengan demikian dapat

3

Page 4: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

disimpulkan bahwa hampir semua individu dalam populasi (di Indonesia)

telah terinfeksi EBV, namun infeksi EBV tidak selalu berasosiasi dengan

patogenesis KNF. Faktor penyerta selain infeksi EBV juga berperan pada

patogenesis KNF, namun infeksi EBV merupakan faktor etiologi KNF

berdasarkan fakta bahwa semua penderita KNF selalu terdeteksi DNA

EBV positif pada jaringan tumornya.

Tabel 1. Eksistensi DNA EBV pada serum pasien KNF dan kontrol (non-

KNF), dideteksi dengan nested PCR.

Subyek Jumlah DNA EBV (-) DNA EBV (+)

Kontrol 31 8 23

Pasien KNF 32 0 32

Gambar 1. Hasil amplifikasi DNA- EBV dengan nested PCR

menggunakan primer yang kompatibel dengan gen EBNA1.

4

Page 5: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

Eksistensi DNA EBV dalam serum dan cairan tubuh seperti saliva

pasien KNF dapat dipakai sebagai indikator/penanda progresifitas tumor,

terkait dengan aktivitas replikasi virus dalam sel KNF yang pada gilirannya

akan membebaskan virion ke sirkulasi atau cairan tubuh yang paling dekat

dengan sumber replikasi virus, yaitu saliva.

Eksistensi DNA EBV dalam serum maupun saliva pasien KNF

diinterpretasi dari hasil elektroforesis produk nested PCR gen EBNA1.

Dinyatakan negatip (-) apabila tidak ada pita DNA yang terdeksi; positip

(1+) apabila jumlah DNA EBV sedikit ditunjukkan dengan pita (band) DNA

tipis; positip (2+) apabila jumlah DNA EBV sedang, ditunjukkan dengan

pita DNA yang jelas tetapi tidak tebal; positip (3+) apabila jumlah DNA

EBV banyak sekali, ditunjukkan dengan pita DNA yang jelas dan tebal.

Eksistensi DNA EBV dalam serum maupun saliva pasien KNF

diinterpretasi dari hasil elektroforesis produk nested PCR gen EBNA1.

Dinyatakan negatip (-) apabila tidak ada pita DNA yang terdeksi; positip

(1+) apabila jumlah DNA EBV sedikit ditunjukkan dengan pita (band) DNA

tipis; positip (2+) apabila jumlah DNA EBV sedang, ditunjukkan dengan

pita DNA yang jelas tetapi tidak tebal; positip (3+) apabila jumlah DNA

EBV banyak sekali, ditunjukkan dengan pita DNA yang jelas dan tebal.

5

Page 6: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

Gambar 2. Perubahan eksistensi DNA EBV dalam serum dan saliva

pasien KNF sebelum dan sesudah terapi.

Pengobatan dengan radioterapi ternyata efektif menurunkan DNA

EBV atau virus dengan jumlah besar (3+) sebesar 20% dalam serum dan

45% dalam saliva, tetapi belum efektif untuk menurunkan virus dengan

6

Page 7: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

jumlah sedang (2+) dan sedikit (1+). Perubahan/penurunan DNA EBV di

dalam saliva setelah terapi ternyata lebih nyata dan lebih cepat apabila

dibandingkan dengan yang terjadi di dalam serum; kenyataan ini

mengisyaratkan bahwa aktivitas litik tumor lebih cepat (segera)

membebaskan virion ke saliva daripada ke sirkulasi darah.

KESIMPULAN

1. Eksistensi DNA EBV pada pasien KNF yang menjalani radioterapi

dapat dipakai sebagai indikator efektifitas terapi. Radioterapi efektif

untuk pasien dengan viremia DNA EBV dalam jumlah besar, namun

kurang efektif untuk pasien dengan viremia DNA EBV dalam jumlah

kecil.

2. Eksistensi DNA EBV dalam saliva lebih informatif apabila dipakai

sebagai indikator keberhasilan terapi, karena memperlihatkan

frekuensi penurunan DNA EBV yang lebih tinggi dan lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mutirangura A. Molecular mechanisms of nasopharyngeal carcinoma development. Research advances and research updates in medicine 2000; 1:18-27.

2. Mutirangura A, Tanunyutthawongese C, Pornthanakasem W, Kerekhanjanarong V, Sriuranpong V, S. et al. Genomic alteration in nasopharyngeal carcinoma: loss of heterozygosity and Epstein-Barr virus infection. Brit J. Cancer 1997; 76:770-6.

3. Roezin A. dan Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dan Restuti RD. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2007.

4. Feng, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein-Barr virus lytic gene BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: potential use in diagnosis. J Gen Virol 2000; 81: 2417-2423.

7

Page 8: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

5. McDermott Al, Dutt SN, Watkinson JC. The aetiology of nasopharyngeal carcinoma. Clin otolaryngol 2001; 26:82-92.

6. Yu MC and Yuan JM. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Semin Cancer Biol 2002; 12: 421-9.

7. Jeannel D, Hubert A, de Vathaire F, Eliouz R, Camoun M, et al. Diet, living conditions and nasopharyngeal carcinoma in Tunisia: A case-control study. Int J cancer 1990; 46:421-425.

8. Cheung F, Pang SW, Hioe F, Cheung KN, Lee A, et al. Nasopharyngeal carcinoma in situ: Two cases of an emerging diagnostic entity. Cancer 1998; 83:1069-73.

9. Shanmugaratnam K and Sobin L. Histological typing of upper respiratory tract tumor. Geneva, World Health Organization: 1978; 31-39.

10. Neel HB, Pearson GR, Taylor WF, Antibodies to Epstein-Barr virus in patient with nasopharyngeal carcinoma and in comparison groups.Ann Otol Rhinol Laryngol 1984; 93:447-82.

11. Lin CT, Lin CR, Tan GK, Chen W, Dee AN,, et al. The mechanism of Epstein-Barr virus infection and nasopharyngeal carcinoma cells. Am J Pathol 1997; 150: 1745-1756.

12.Sastroasmoro S. dan Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. CV Sagung Seto, Jakarta. 2002.

13. Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J. Molecular Cloning : A Laboratory manual, 2nd edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York, 1989.

14. Promega. GoTaq PCR Core System. Instruction for use products. Technical Bulletin. Madison USA. 2007.

15.Medis R. Statistical handbook for non-statistician.McGraw-Hill Book Company (UK) Limit. London. 1975.

16. Stell RGD & Torrie JH. Prinsip dan prosedur statistika : Suatu pendekatan biometrik (terjemahan). Edisi 3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1993.

17. Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. (2001) Thompson&Thompson : Genetics in Medicine. 6th Ed. Philadelphia, USA : WB Saunders Co. : 87.

18. Armstrong MW, Armstrong MJ, Yu MC, Henderson BE. Salted fish and inhalant as risk factors for nasopharyngeal carcinoma in Malaysian Chinese. Cancer res 1983; 43: 2967-2970.

19.Parkin DM, Whelan SK, Ferlay J, Raymond L, Young J. Cancer incidence in five continent. Vol. 7, Lyon, France: IARC Scient. Publ. No. 143. IARC Press

20.Roezin A. Food and Social Background of Nasopharyngeal Cancer Patient in Jakarta. ASEAN Otolaryngol Head & Neck Surg J 1997; 1 : 21-27.

21.Roezin A. Berbagai Faktor Penyebab dan Predisposisi Karsinoma Nasofaring. Maj Kedok Indon 1999; 49 (3) : 85-88.

8

Page 9: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

22.Masrin I, Proporsi hasil pemeriksaan serologi virus Epstein-Barr pada pasien karsinoma nasofaring: menggunakan reagen NPC REAAD INFLECTION dengan metode ELISA. PPDS Bidang Studi Ilmu Penyakit THT FKUI Jakarta; 2006.

23.Chan ATC, Lo YMD, Zee B, Chan LYS, Ma BBY. Plasma Epstein-Barr Virus DNA and residual disease after radiotherapy for undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. J. Natl. Cancer. Inst. 94 : 1614 – 1619, 2002.

9

Page 10: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

EKSISTENSI DNA-EBV DI DALAM SERUM DAN SALIVA SEBAGAI PENANDA UNTUK MEMANTAU TERAPI KNF

*Purnomo Soeharso, Yurnadi*, Dwi Anita Suryandari*Departemen Biologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas

Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK

Pengantar: Karsinoma nasofaring (KNF) adalah penyakit yang konsisten dengan infeksi virus Epstein-Barr (EBV), sehingga eksistensi DNA-EBV di dalam cairan tubuh dapat dipakai sebagai penanda status patologi KNF dan/atau progresivitas tumor.

Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mendapatkan metoda efektif untuk memantau kemajuan atau keberhasilan terapi KNF dengan melihat perubahan eksistensi DNA-EBV di dalam darah dan saliva pasien KNF sebelum dan sesudah radioterapi. Deteksi DNA-EBV dilakukan dengan amplifikasi DNA virus dengan PCR menggunakan primer yang kompatibel dengan gen EBNA1 dengan pertimbangan gen EBNA1 akan terdeteksi pada setiap fase infeksi. Eksistensi DNA-EBV di dalam serum maupun saliva pasien KNF dan kontrol diinterpretasi dari hasil elektroforesis produk nested PCR gen EBNA1.

Hasil: Pengobatan dengan radioterapi ternyata efektif menurunkan DNA-EBV atau virus dengan jumlah besar (3+) sebesar 20% dalam serum dan 45% dalam saliva, tetapi belum efektif untuk menurunkan virus dengan jumlah sedang (2+) dan sedikit (1+). Perubahan atau penurunan DNA-EBV di dalam saliva setelah radioterapi ternyata lebih nyata dan lebih cepat apabila dibandingkan dengan yang terjadi di dalam serum; kenyataan ini mengisyaratkan bahwa aktivitas litik tumor lebih cepat membebaskan virion ke saliva daripada ke sirkulasi darah.

Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi DNA-EBV dalam saliva lebih informatif apabila dipakai sebagai indikator atau penanda keberhasilan terapi, karena memperlihatkan frekuensi penurunan DNA-EBV yang lebih besar dan lebih cepat.

Kata kunci : KNF, EBV, DNA-EBV dalam darah dan saliva.

10

Page 11: eksistensidnaebvpadapenderitaknfpublishedpadaseminarpbimalang2009

THE EXISTENCE OF EBV DNA IN THE SERUM AND SALIVARY AS A MARKER FOR MONITORING NPC THERAPY

Purnomo Soeharso*, Yurnadi*, Dwi Anita Suryandari*Department of Medical Biology, Faculty of Medicine, University of

Indonesia, Jakarta

ABSTRACT

Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a disease associate consistently with Epstein-Barr Virus (EBV) infection; therefore the existence of EBV-DNA in the liquid of the body may be considered as a marker for NPC pathology and/or tumor progression.

Objective: This study aims to discover effective method for monitoring the progression or succeeding of NPC therapy as reflected by changes of EBV-DNA existence in blood and saliva of NPC patients detectable before and after radiotherapy.

Methods: EBV-DNA detection was done by viral DNA PCR amplification using primers which are compatible with EBNA1 gene, as it is always detectable in either phases of infection. The existence of EBV-DNA in either serum or saliva of NPC patients and control groups was concluded by the evaluation of EBNA1 gene nested PCR product which was assessed by electrophoresis.

Result: Radiotherapy treatment seemingly decrease EBV-DNA with large concentration (3+) effectively as to the proportion of 20% in serum and 45% in saliva, nevertheless it did not effectively decrease virus with moderate concentration (2+) and small concentration (1+). The decrease of EBV-DNA in saliva after radiotherapy occurred more obvious and take less time than that occurred in serum; this situation reflect the litic activity of NPC tumor which release virions to saliva sooner than it does to blood circulation.

Conclusion: The result of this study indicate that the existence of EBV-DNA in saliva is more informative and beneficial as a marker or indicator of successful therapy, as reflected by the decrease of EBV-DNA in larger concentration and in shorter period as well.

Keywords : NPC, EBV, EBV-DNA in circulation and salivary.

11