Download - Tinea Corporis
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA KLIEN DENGAN TINEA CORPORIS DI POLI KULIT DAN KELAMIN
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
disusun guna memenuhi tugas Program Pendidikan Ners (PPN)Stase Keperawatan Medikal Bedah
oleh
Dian Diningrum T. P., S. KepNIM 112311101004
PROGRAM PENDIDIKAN NERSPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2015
LAPORAN PENDAHULUANASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA KLIENDENGAN TINEA CORPORIS DI POLI KULIT DAN KELAMIN
RSD dr. SOEBANDI JEMBEROleh : Dian Diningrum T. P., S. Kep.
1. Kasus
Tinea Corporis
2. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Tinea corporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut
pada wajah, badan, lengan dan tungkai (Siregar, 2005). Tinea korporis
adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin)
kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Verma dan Heffernan,
2008). Tinea korporis adalah adalah infeksi jamur kulit diseluruh wajah,
tubuh, dan ekstremitas (Price, 2005). Dermatofitosis adalah infeksi jamur
yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita
yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang
disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea korporis (Verma dan
Heffernan, 2008).
Dermatofita merupakan kelompok jamur yang memiliki
kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai
sumber nutrisi yang memungkinkan jamur tersebut untuk berkoloni pada
jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis,
rambut dan kuku. Penyakit ini dapat menyerang semua umur tetapi lebih
sering menyerang anak-anak (Havlickova et al, 2008). Tinea corporis
merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim tropis
seperti Negara Indonesia dan dapat menyerang semua usia.
B. Etiologi
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit
seperti Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi
penyebabnya dapat ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah
tertentu. Namun demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis
adalah T.rubrum, T.mentagrophytes, dan M.canis. Infeksi ini dapat
ditularkan dari hewan melalui M.canis atau Trichophyton mentagrophytes
dan dari manusia melalui Trichophyton rubrum (Price, 2005).
C. Patofisologi
Tinea korporis banyak diderita oleh orang-orang yang kurang
menjaga kebersihan, banyak bekerja di tempat panas, yang banyak
berkeringat, serta kelembaban kulit yang lebih tinggi (Siregar, 2002). Jalan
masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,
jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh
masuknya artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang
paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim
keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi.
Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga
patogen akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan
organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa
central healing (Laksmipathy & Kannabiran, 2010).
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia
karena stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan
dermatofita dan untuk pertumbuhan miselia jamur.4 Infeksi dermatofita
terjadi melalui tiga tahap: adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan
perkembangan respon host (Verma, 2008 & Hay. 2004).
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ
yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan
paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang
negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai
hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan
hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.
Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk
melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai
akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat
(Verma, 2008).
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) (Laksmipathy &
Kannabiran, 2010). Mekanisme imun yang terlibat di dalam patogenesis
infeksi jamur masih perlu diteliti lebih jauh lagi. Penelitian yang baru
menunjukkan bahwa munculnya respon imun berupa reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi pada
individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi
IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada
penderita dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita
melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan
terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator
proinflamasi lainnya (Ismail, 2008).
D. Manifestasi klinis
Lokalisasi lesi tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan bawah,
dada, punggung. Gejala subjektif yaitu keluhan gatal, terutama jika
berkeringat. Karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama
pada daerah kulit yang lembap. Efloresensi/sifat-sifatnya lesi adalah
berbentuk makula / plak yang merah / hiperpigmentasi dengan tepi aktif
dan penyembuhan sentral. Pada tepi lesi dijumpai papula-papula
eritematosa atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat
dijumpai likenifikasi. Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis
(Siregar, 2005).
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal,
dimulai sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan
membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang
anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular berupa
skuama, krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada
bagian tepinya. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya
(Amiruddin, 2010). Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut
biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian
tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea korporis dan kruris (Budimulja, 2002).
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan
bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum
korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini
setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk
lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Infeksi dermatofit secara
zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon inflamasi daripada
yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-positif
atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas
(Rushing, 2006).
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal
ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa
atau papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi
berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing
center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka
antara lain wajah, lengan dan bahu (Budimulja, 2002).
E. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis yang berupa
kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH lalu diperiksa langsung dengan
mikroskop. Pemeriksaan kerokan kulit dengan ditambahkan KOH akan
dijumpai adanya hifa (Budimulja, 2002).
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk
melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi
spesies jamur penyebab yang lebih akurat. Diagnosis pasti digunakan
melakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop untuk
mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi dermatofit.
Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari
hasil positif kerokan oleh kultur jamur.
F. Penatalaksanaan
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya
mengusahakan daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap
keringat.
1. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan klinik yang tinggi.
Berikut obat yang sering digunakan:
a. Topical azol terdiri atas:
1) Econazol 1 %
2) Ketoconazol 2 %
3) Clotrinazol 1%
4) Miconazol 2% dll.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-
alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.
b. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3
epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan
ergosterol membran sel jamur yaitu aftifine 1 %, butenafin 1%
Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi) yang mampu
bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-
turut.
c. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja
menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi
tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang
bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas.
d. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan
pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi
steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi.
B. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of
Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat
digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan
kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien
tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topical.
1. Griseofulvin
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap
baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat
mitosis pada stadium metafase.
2. Ketokonazol
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4) Itrakonazol
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,
bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik
maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat
diminum bersama dengan makanan.
5. Amfosterin B
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh
Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah
akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan
sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol
(Kuswadji, 2004).
G. Prognosis dan Pencegahan
Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya faktor : usia,
sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea korporis
merupakan salah satu penyakit kulit yang menular dan bisa mengenai anggota
keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan penderita. Anak-anak dan remaja
muda paling rentan ditularkan tinea korporis. Disarankan untuk lebih teliti dalam
memilih bahan pakaian yang tidak terlalu ketat, tidak berbahan panas dan bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat. Penularan juga dipermudah melalui
binatang yang dipelihara dalam rumah penderita tinea korporis. (Budimulja,
2008).
Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan
penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor yang memperberat atau
memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit
dapat dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna. Tinea korporis
mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan
kebersihan kulit yang selalu dijaga.
Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah
terjadi tinea korporis antara lain: mengurangi kelembaban tubuh penderita dengan
menghindari pakainan yang panas, menghindari sumber penularan yaitu binatang,
kuda, sapi kucing, anjing atau kontak dengan penderita lain, menghilangkan fokal
infeksi di tempat lain misalnya di kuku atau di kaki, meningkatkan higienitas dan
mengatasi faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, dll. Juga beberapa
faktor yang memudahkan timbulnya residif pada tinea korporis harus dihindari
atau dihilangkan antara lain: temperatur lingkungan yang tinggi, keringat
berlebihan, pakaian dari bahan karet atau nilon, kegiatan yang banyak
berhubungan dengan air, misalnya berenang, kegemukan, selain faktor
kelembaban, gesekan kronis dan keringat yang berlebihan disertai higienitas yang
kurang, memudahkan timbulnya infeksi jamur (Duarsa, 2010).
3. Clinical Pathways
Menggunakan pakaian yang terlalu ketat dan tidak menyerap keringat
Kulit menjadi panas, basah, dan lembab
Baik untuk perkembangan jamur
Daya tahan tubuh menurun
Mudah terinfeksi jamur
Kebersihan diri yang kurang
Kondisi kulit kotor, berkeringat
Infeksi jamur
Tinea corporis
Perubahan pola tidur
Kerusakan jaringan
Kelembaban kulit menurunan
Kulit mengering
Perubahan warna kulit
Gangguan citra diri
Sensasi gatal
Adanya garukan
Lesi kulit
Kerusakan integritas kulit
Rusaknya barier pertahanan tubuh
primer
Resiko infeksi
Rasa terbakar dan nyeri
Nyeri akut
Pengeluaran kreatinase
Merusak keratin pada lapisan statum korneum
Reaksi antigen antibodi
Reaksi inflamasi
Pengeluaran mediator kimia
Mengiritasi ujung saraf bebas
Kurangnya pengetahuan tentang penyakit
Kurangnya pengetahuan
Menimbulkan squam/ruam pada kulit
Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas Pasien
2. Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, ruam merah pada tubuh.
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada
pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien
untuk menanggulanginya.
b. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
c. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini
atau penyakit kulit lainnya.
d. Riwayat psikososial
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah
sedang mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat pemakaian obat
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai
pada kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap
sesuatu obat
4. Pola Fungsional Gordon
a. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan
Persepsi terhadap penyakit :
Tanyakan kepada klien pendapatnya mengenai kesehatan dan
penyakit. Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau
menunggu sampai penyakit tersebut mengganggu aktivitas pasien.
Penggunaan :
Tanyakan tentang penggunaan obat-obat tertentu (misalnya
antihistamin, antikolinergik, obat topikal).
Tanyakan tentang penggunaan alcohol, dan tembakau untuk
mengetahui gaya hidup klien.
b. Pola Nutrisi/Metabolisme
Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari klien (pagi,
siang dan malam)
Tanyakan bagaimana nafsu makan klien, apakah ada mual muntah,
pantangan atau alergi
Tanyakan apakah klien mengalami gangguan dalam menelan
Tanyakan apakah klien sering mengkonsumsi buah-buahan dan
sayur-sayuran yang mengandung vitamin antioksidant
c. Pola Eliminasi
Tanyakan bagaimana pola BAK dan BAB, warna dan
karakteristiknya
Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin dan defekasi
Adakah masalah dalam proses miksi dan defekasi, adakah
penggunaan alat bantu untuk miksi dan defekasi.
d. Pola Aktivitas/Olahraga
Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
pada kulit.
Kekuatan Otot: Biasanya klien tidak ada masalah dengan kekuatan
ototnya karena yang terganggu adalah kulitnya
Keluhan Beraktivitas : kaji keluhan klien saat beraktivitas.
e. Pola Istirahat/Tidur
Kebiasaan : tanyakan lama, kebiasaan dan kualitas tidur pasien
Masalah Pola Tidur : Tanyakan apakah terjadi masalah
istirahat/tidur yang berhubungan dengan gangguan pada kulit
Bagaimana perasaan klien setelah bangun tidur? Apakah merasa
segar atau tidak? Biasanya pasien mengalami gangguan tidur akibat
gatal-gatal.
f. Pola Kognitif/Persepsi
Kaji status mental klien
Kaji kemampuan berkomunikasi dan kemampuan klien dalam
memahami sesuatu
Kaji tingkat anxietas klien berdasarkan ekspresi wajah, nada bicara
klien. Identifikasi penyebab kecemasan klien
Kaji penglihatan dan pendengaran klien.
Kaji apakah klien mengalami vertigo
Kaji nyeri : Gejalanya yaitu timbul gatal-gatal atau bercak merah
pada kulit.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Tanyakan pada klien bagaimana klien menggambarkan dirinya
sendiri, apakah kejadian yang menimpa klien mengubah gambaran
dirinya, apakah merasa malu karena penyakitnya,
Tanyakan apa yang menjadi pikiran bagi klien, apakah merasa
cemas akan penyakitnya, depresi atau takut.
Apakah ada hal yang menjadi pikirannya
h. Pola Peran Hubungan
Tanyakan apa pekerjaan pasien
Tanyakan tentang system pendukung dalam kehidupan klien
seperti: pasangan, teman, dll.
Tanyakan apakah ada masalah keluarga berkenaan dengan
perawatan penyakit klien
i. Pola Seksualitas/Reproduksi
Tanyakan masalah seksual klien yang berhubungan dengan
penyakitnya
Tanyakan kapan klien mulai menopause dan masalah kesehatan
terkait dengan menopause
Tanyakan apakah klien mengalami kesulitan/perubahan dalam
pemenuhan kebutuhan seks
j. Pola Koping-Toleransi Stres
Tanyakan dan kaji perhatian utama selama dirawat di RS (financial
atau perawatan diri)
Kaji keadan emosi klien sehari-hari dan bagaimana klien mengatasi
kecemasannya (mekanisme koping klien). Apakah ada penggunaan
obat untuk penghilang stress atau klien sering berbagi masalahnya
dengan orang-orang terdekat.
k. Pola Keyakinan-Nilai
Tanyakan agama klien dan apakah ada pantangan-pantangan dalam
beragama serta seberapa taat klien menjalankan ajaran agamanya.
Orang yang dekat kepada Tuhannya lebih berfikiran positif.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan fungsi
barier kulit
2) Nyeri dan gatal yang berhubungan dengan iritasi ujung saraf bebas
3) Perubahan pola tidur yang berhubungan dengan pruritus
4) Perubahan citra tubuh yang berhubungan dengan penampakan kulit
yang tidak baik
5) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, perawatan, dan cara-cara
menangani kelainan kulit
6) Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak-bercak merah pada
kulit
c. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSATUJUAN DAN KRITERIA
HASIL(NOC)
INTERVENSI(NIC)
RASIONAL
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 jam integritas jaringan: kulit dan mukosa normal dengan indikator: a. temperatur jaringan dalam
rentang yang diharapkan b. elastisitas dalam rentang
yang diharapkan c. hidrasi dalam rentang yang
diharapkand. pigmentasi dalam rentang
yang diharapkane. warna dalam rentang yang
diharapkanf. tektur dalam rentang yang
diharapkang. bebas dari lesih. kulit utuh
Pengawasan Kulita. Inspeksi kondisi luka b. Inspeksi kulit dan membran
mukosa untuk kemerahan, panasc. Monitor adanya infeksid. Monitor warna kulite. Monitor temperatur kulitf. Catat perubahan kulit dan
membran mukosag. Monitor kulit di area kemerahanh. Anjurkan untuk makan teraturi. Anjurkan untuk sering berganti
pakaian jika sering berkeringatj. Anjurkan menggunakan pakaian
yang longgar
a. Mengkaji karakteristik luka untuk memudahkan pemberian tindakan
b. Mengkaji perbedaan antara luka dan kulit disekitarnya
c. Mengkaji apakah ada infeksi sekunder
d. Mengkaji perbedaan antara luka dan kulit disekitarnya
e. Melihat apakah ada infeksif. Status nutrisi baik dapat
membantu mencegah kerusakan integritas kulit
g. Meningkatkan kenyamanan dan mengurangi resiko gatal-gatal
h. Memperlancar sirkulasi2 Nyeri dan gatal
yang berhubungan
dengan iritasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...... x24 jam pasien dapat mengontrol
Manajemen NyeriDefinisi : mengurangi nyeri dan menurunkan tingkat nyeri yang
ujung saraf bebas nyeri dengan indikator:a. Mengenali faktor penyebabb. Mengenali onset (lamanya
sakit)c. Menggunakan metode
pencegahand. Menggunakan metode
nonanalgetik untuk mengurangi nyeri
e. Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
f. Mencari bantuan tenaga kesehatan
g. Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan
h. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia
i. Mengenali gejala-gejala nyerij. Mencatat pengalaman nyeri
sebelumnyak. Melaporkan nyeri sudah
terkontrol
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...... x24 jam
dirasakan pasien.Intervensi :a. lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
c. gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
d. evaluasi pengalaman nyeri masa lampau, tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
e. bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
f. kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
g. pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
a. berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan
b. mengetahui rasa nyeri yang dirasakan pasien
c. pasien merasa percaya dan mau bercerita mengenai nyerinya pada perawat
d. mengetahui riwayat kesehatan pasien
e. mengurangi kecemasan pasien dan keluarga akan kondisi pasien
f. meningkatkan relaksasi pasien
g. penanganan yang tepat mempercepat penyembuhan pasien
pasien dapat mengetahui tingkatan nyeri dengan indikator: a. melaporkan adanya nyerib. luas bagian tubuh yang
terpengaruhc. frekuensi nyerid. panjangnya episode nyerie. pernyataan nyerif. ekspresi nyeri pada wajahg. posisi tubuh protektifh. kurangnya istirahati. ketegangan ototj. perubahan pada frekuensi
pernafasank. perubahan nadil. perubahan tekanan darahm. perubahan ukuran pupiln. keringat berlebiho. kehilangan selera makan
h. kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
i. ajarkan tentang teknik non farmakologi
j. evaluasi keefektifan kontrol nyeri
k. tingkatkan istirahatl. kolaborasikan dengan dokter jika
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Analgetic AdministrationDefinisi : penggunaan agen farmakologi untuk menghentikan atau mengurangi nyeriIntervensi :a. tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
b. cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
c. cek riwayat alergi
d. tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
e. tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
h. menentukan intervensi yang tepat bagi pasien
i. pasien dapat mandiri untuk merelaksasi rasa nyerinya
j. mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan
k. mengurangi rasa nyeri pasienl. meningkatkan relaksasi
pasien
a. berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan
b. prinsip 6 benar pemberian obat
c. menghindari pemberian obat yang merupakan alergen bagi pasien
d. indikator efektivitas pemberian analgetik
e. mengurangi rasa nyeri pasien dengan cepat
f. pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
g. monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali
f. mengetahui efektivitas dan efek samping analgetik
g. Mengetahui efek dari pemberian analgetik
3 Perubahan pola tidur yang berhubungan dengan pruritus
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. x 24 jam gangguan pola tidur pasien teratasi dengan kriteria hasil:a. Jumlah jam tidur dalam batas
normalb. Pola tidur, kualitas dalam
batas normalc. Perasaan fresh sesudah
tidur/istirahatd. Mampu mengidentifikasi hal-
hal yang meningkatkan tidur
Sleep Enhancementa. Determinasi efek-efek medikasi
terhadap pola tidur
b. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
c. Fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur (membaca)
d. Ciptakan lingkungan yang nyaman
e. Kolaburasi pemberian obat tidur
a. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh obat dalam gangguan tidur
b. pasien mengetahui petingnya tidur untuk pemulihan kesehatannya
c. pasien akan mudah tidur setelah melakukan aktivitas
d. lingkungan yang nyaman dapat mengurangi beban pikiran pasien dan cepat tidur
e. untuk merangsang pasien agar cepat merasa ngantuk
4 Perubahan citra tubuh yang berhubungan dengan penampakan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x 24 jam , diharapkan Pengembangan peningkatan penerimaan diri pada
a. Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata, ucapan merendahkan diri sendiri
b. Berikan kesempatan pengungkapan
a. Episode traumatic mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
b. Mengetahui konsep diri
kulit yang tidak baik
klien tercapai dengan kriteria hasil:
a. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
b. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.
c. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.
d. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri.
perasaan.c. Nilai rasa keprihatinan dan
ketakutan klien, bantu klien yang cemas mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya.
d. Dukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri, seperti merias, merapikan
pasien terhadap dirinya sendiri, sehingga dapat menetapkan intervensi yang akan diberikan.
c. Membantu pasien untuk mengurangi masalah yang dihadapi dengan penjelasan proses penyakit
d. Menggali aspek positif yang dimiliki pasien
5 Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, perawatan kulit dan cara-cara menangani kelainan kulit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam psien mengetahui tentang proses penyakit dengan indikator pasien dapat :a. Familiar dengan nama
penyakitb. Mendeskripsikan proses
penyakitc. Mendeskripsikan faktor
penyebabd. Mendeskripsikan faktor resikoe. Mendeskripsikan efek
penyakitf. Mendeskripsikan tanda dan
gejala
TEACHING: PENGETAHUAN PROSES PENYAKITDefinisi : membantu pasien memahami informasi yang berhubungan dengan penyakit yang spesifikIntervensi a. Berikan penilaian tentang tingkat
pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaiman hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
a. Mempermudah dalam memberikan penjelasan pada pasien
b. Meningkatan pengetahuan dan mengurangi cemas
c. Meningkatan pengetahuan dan mengurangi cemas
d. Meningkatan pengetahuan dan mengurangi cemas
g. Mendeskripsikan perjalanan penyakit
h. Mendeskripsikan tindakan untuk menurunkan progresifitas penyakit
i. Mendeskripsikan komplikasij. Mendeskripsikan tanda dan
gejala dari komplikasi
k. Mendeskripsikan tindakan pencegahan untuk komplikasi
d. Gambarkan proses penyakite. Identifikasi kemungkinan
penyebab dengan cara yang tepatf. Sediakan informasi tentang kondisi
pasieng. Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
h. Diskusikan pilihan terapi
i. Gambarkan rasional rekomendasi manajemen terapi
e. Mempermudah intervensi
f. Menjelaskan kondisi pasien agar pasien dan keluarga mengerti
g. Memberikan gambaran pencegahan keparahan
h. Memberi gambaran tentang pilihan terapi yang bisa digunakan
i. Menjelaskan manfaat terapi yang digunakan
6 Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak-bercak merah pada kulit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam status kekebalan pasien meningkat dengan indilaktor: a. tidak didapatkan infeksi
berulangb. tidak didapatkan tumorc. status respirasi sesuai yang
diharapkan temperatur badan sesuai yang diharapkan
d. integritas kulit
KONTROL INFEKSIDefinisi: meminimalkan mendapatkan infeksi dan transmisi agen infeksiIntervensi :a. Gunakan sabun anti mikroba untuk
cuci tanganb. Cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatanc. Gunakan universal precaution
dan gunakan sarung tangan
a. Mematikan bakteri, virus yang ada pada tanganb. Mencegah terjadinya infeksi nosokomialc. Mencegah terjadinya penularan penyakit
e. integritas mukosaf. tidak didapatkan fatigue
kronisg. reaksi skintes sesuai paparanh. WBC absolut dalam batas
normalSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam psien mengetahui cara cara mengontrol infeksi dengan indikator: a. Mendeskripsikan proses
penularan penyakitb. Mendeskripsikan faktor yang
mempengaruhi terhadap proses penularan penyakit
c. Mendeskripsikan tindakan yang Dapat dilakukan untuk pencegahan proses penularan penyakit
d. Mendeskripsikan tanda dan gejala infeksi
e. Mendeskripsikan penatalaksanaan yang tepat untuk infeksi
selama kontak dengan kulit yang tidak utuh
d. Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
e. Berikan terapi antibiotik bila perluf. Observasi dan laporkan tanda dan
gejal infeksi seperti kemerahan, panas, nyeri, tumor
g. Kaji temperatur tiap 4 jamh. Catat dan laporkan hasil
laboratorium, WBCi. Istirahat yang adekuatj. Pastikan teknik perawatan luka
yang tepatk. Ajarkan klien dan anggota keluarga
bagaimana mencegah infeksi
d. Menjaga daya tahan tubuh agar tidak sampai menurune. Mempercepat kesembuhan atau mencegah perkembangbiakan jamurf. Mempercepat penanganan apabila ada infeksi sekunderg. Mengontrol terjadinya infeksih. Mengontrol terjadinya infeksii. Pemulihan tubuhj. Merawat luka dengan benar agar luka tidak menyebar ke daerah laink. Mencegah penularan penyakit ke anggota keluarga yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. D. 2003. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Percetakan LKiS.
Budimulja U. 2002. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai penerbit
FKUI.
Budimulja, U., dkk. 2008. Penyakit Jamur. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Duarsa, Wirya (dkk). 2010. Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan
Kelamin. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Hay, R. J. 2004. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford:
Blackwell Publishing.
Ismail. 2008. Clinical and Basic Immunodermatology. London: Spinger.
Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kuswadji. 2004. . Obat Anti Jamur. Balai penerbit FKUI.
Laksmipathy & Kannabiran. 2010. Review on dermatomycosis: pathogenesis
and treatment. Journal of Natural Science. 2010; 7; 726 – 31.
Mc Closkey, C.J., et all. 2002. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Price, A. Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rushing ME. 2006. Tinea corporis. Online journal. [4 Oktober 2015] diambil
dari: http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page
type=Article.htm
Siregar, R. S. 2002. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta: EGC.
Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Verma S. & Heffernan, M. P. 2008. Fungal Disease. New York: Mc.Graw Hill
Companies.