i
IMPLIKASI PENGELOLAAN ZAKAT TERHADAP JAMINAN KEADILAN SOSIAL DI INDONESIA
Implication Zakat Management Toward Social
Justice Security in Indonesia
ZAINUDDIN No.Pokok PO400308006
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt. kita memuji-Nya, kita mohon pertolongan-
Nya, kita mohon ampunan-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari
keburukan jiwa-jiwa dan amalan-amalan kami. Barang siapa yang diberi
pertunjuk oleh Allah swt. maka tiada seorangpun yang bisa menyesatkannya,
dan barang siapa disesatkan oleh Allah swt. maka tidak ada seorangpun
yang bisa menunjukinya. Sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah swt.
untuk itu penulis sangat menyadari bahwa hanya karena hidayah-Nya dan
ijin-Nya-lah, disertasi yang mencoba mengurai sekelumit ilmu yang
diturunkan melalui proses karstifikasi ini dapat terselesaikan. Semoga ilmu
tersebut dapat memberikan manfaat dan kebaikan serta amalan yang baik
bagi penulis.
Disertasi ini merupakan upaya penulis untuk mengungkap Implikasi
Pengelolaan Zakat Terhadap Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia. Penulis
menyadari bahwa selama penyelesaian pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk Program Doktor (S3) Ilmu
Hukum telah dibimbing oleh tim promotor. Oleh karena itu, dengan penuh
kerendahan hati penulis menghaturkan rasa hormat, penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada
Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Marlang, S.H., M.H., selaku Promotor, Bapak
iii
Prof. Dr. Ir. H. Abrar Saleng, S.H., M.H., dan Bapak Prof. Dr. H. M. Arfin
Hamid, S.H., M.H., selaku Ko-Promotor yang telah memberikan petunjuk,
bimbingan dan motivasi dengan penuh keikhlasan namun tetap korektif
dalam penyelesaian penulisan disertasi ini. Semoga Allah swt. mencurahkan
Rahmat dan Rahman-Nya kepada beliau.
Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Bapak Prof. Dr. H. Ali Parman, M.A, selaku Penguji
Eksternal, Ibu Prof. Dr. Hj. Nurhayati Abbas, S.H., M.H., Ibu Prof. Dr. Hj.
Badriyah Rifai, S.H., Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., Bapak Prof.
Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H., selaku tim penguji yang telah memberikan
saran dan kritik selama ujian.
Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan Nasional
yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti studi
Program Doktor (S3) dengan bantuan finansial melalui Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Kepada para pimpinan institusi tempat penulis menimba ilmu
pengetahuan, Bapak Prof. Dr., dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B.,Sp.BO., selaku
Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc., selaku Direktur
dan para Asisten Direktur Program Pascasarjana Unhas, Prof. Dr. Aswanto,
S.H., M.Si., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum Unhas dan para Wakil
Dekan Fakultas Hukum, serta seluruh staff, terima kasih atas segala
iv
dukungan baik fasilitas, maupun pelayanan selama menempuh pendidikan di
S3 Ilmu Hukum.
Bapak H. Abdullah Rahim, BA., selaku Ketua Yayasan Perguruan Al
Gazali Barru, Drs. H. Mustafa Hamid, MA, selaku Ketua STAI Al Gazali Barru
dan Drs. H. M. Dahlan Zainuddin, MA., selaku Ketua STAI Yapis Takalar
dimana penulis mendedikasikan diri dan telah memperkenankan penulis
untuk melanjutkan pendidikan
Kepada Bapak Dirjen Bimas Islam dan Bapak Direktor
Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama RI, Ketua Umum BAZNAS, Ketua
Umum BAZ Provinsi Sulawesi Selatan, Ketua Umum BAZ Kota Makassar,
Direktur Dompet Dhuafa Republika, Direktur Eksekutif LAZ DAPU al-Markaz
al-Islami Makassar atas segala bantuan dalam memberikan data maupun
informasi dalam penyusunan disertasi ini.
Kedua orang tua penulis ayahanda Sayyid Abdullah Aliah dan
Ibunda Syarifah Aisyah yang telah mendidik, membesarkan dan
membimbing serta doa yang tulus selama penulis menempuh pendidikan.
Begitupula dengan mertua penulis Muh. Idi Rahman dan Hj. St.
Rahmatiah yang telah melahirkan dan mendidik isteri penulis.
Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Isteri tercinta
Nasriah, S.Pd.I., yang tiada henti memberikan semangat dalam menempuh
pendidikan dan anak-anakku terkasih Ahmad Fadhil Aliah, Syarifah Athifah
Aliah, dan Ahmad Fahri Aliah yang setia memberikan dorongan dan
v
pengorbanan yang tak ternilai kepada penulis selama menempuh pendidikan
pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNHAS,
selanjutnya kepada saudara penulis Syarifah Mardiah dan Muhdar, S.Pd.
serta keluarga lainnya yang senantiasa memberikan bantuan dan doa
restunya.
Akhirnya penulis mengharap semoga dengan hadirnya disertasi ini
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi. Semoga Allah
swt. senantiasa memberkati dan merahmati segala aktivitas keseharian
sebagai suatu ibadah disisi-Nya. Amin.
Makassar, ....... Januari 2012
Zainuddin
vi
ABSTRAK
ZAINUDDIN. Implikasi Pengelolaan Zakat terhadap Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia (dibimbing oleh Abdullah Marlang, Abrar Saleng, dan M. Arfin Hamid)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami hakikat pengelolaan zakat yang dapat mewujudkan jaminan keadilan sosial di Indonesia. Untuk mengetahui dan memahami landasan keberlakuan hukum Islam terimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan pengelolaan zakat sehingga terwujud pengelolaan zakat yang dapat memberikan jaminan keadilan sosial di Indonesia serta untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pengelolaan zakat yang dapat mewujudkan jaminan keadilan sosial di Indonesia.
Pendekatan penelitian ini adalah teologis, filosofis, normative, dan non dokrinal. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pola deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakikat pengeloaan zakat pada dasarnya mengandung nilai tauhid, prinsip akhlak, prinsip kemanusiaan, prinsip keseimbangan, prinsip kemasyarakatan, prinsip distribusi, dan prinsip konsumsi. Nilai dan prinsip tersebut belum terimplementasi dengan baik dalam pengelolaan zakat. Landasan keberlakuan hukum Islam seperti landasan teologis, landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis belum terimplementasikan secara baik dalam peraturan perundang-undangan pengelolaan zakat Dalam pelaksanaan pengelolaan, masih kurang kepatuhan hukum membayar zakat pada pengelola zakat, pemerintah belum berperan dengan baik sebagai pengatur (regulator), pengelola (operator), pengawas (supervisor), dan eksekutor zakat; belum terkoordinasi pengelolaan zakat dengan baik; dan mekanisme pengumpulan zakat dengan obyek zakat yang masih konvensional dan belum menyentuh sumber-sumber ekonomi modern serta pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang masih berorientasi konsumtif.
Kata Kunci: Pengelolaan Zakat, Keadilan Sosial
vii
ABSTRACT
ZAINUDDIN. Implication Zakat Management Towards Social Justice Security in Indonesia (supervised by Abdullah Marlang, Abrar Saleng, and M. Arfin Hamid)
This research aimed to investigate and comprehend the essence of zakat management which could realize the social justice security in Indonesia; the foundation of the Islamic legal application implemented in the stipulation of acts of the zakat management that could give the justice security in Indonesia was realized and the implementation of the zakat management which could realize the social justice security in Indonesia.
This research used a theological, philosophical, normative and non-doctrinal approaches. This was a qualitative research with analytic descriptive patterns.
The results of the research reveals that basically, the essence of the zakat management contains the tauhid (oneness of God) value and moral, humanity, balance, society affairs, distribution, and consumption principles. The values and principles have not been implemented well in the zakat management. The foundations of the Islamic legal application such as: theological, philosophical, juridical, and sociological foundations have not been well implemented in the stipulation of acts of the zakat organizers. In the management implementation, there is still lack of legal obedience in paying the zakat to the zakat organizers. The government has not played its role well as the zakat regulator, organizer, supervisors, and executor. The zakat management and the mechanism of the zakat collection with the conventional the zakat touched the modern economic resources, the zakat distribution and utilization still have consumptive orientation.
Key Words: Zakat Management, Social Justice
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
ABSTRAK ....................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................... 18
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 18
D. Kegunaan Penelitian ...................................................... 19
E. Orisinalitas Penelitian .................................................... 19
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 22
A. Hakikat Islam ............................................................... 22
1. Aqidah ..................................................................... 25
2. Syariah .................................................................... 50
3. Akhlak ...................................................................... 57
B. Islam dan Kesejahteraan .............................................. 60
C. Negara Hukum Kesejahteraan ...................................... 68
1. Konsep Negara Hukum Kesejahteraan .................. 68
2. Negara Hukum Kesejahteraan: Ibnu Khaldun ........ 75
3. Negara Hukum Kesejahteraan Madinah ............... 83
ix
D. Teori Hukum al-Maslahah: Imam Malik ......................... 89
1. Pengertian al-Maslahah ......................................... 89
2. Macam-macam al-Maslahah .................................. 93
E. Teori Bisnis Tazkiyah ................................................... 106
F. Teori Kepatuhan Hukum Berzakat ................................ 111
G. Pengertian dan Teori Keadilan Sosial ........................... 127
1. Pengertian Keadilan Sosial ................................... 127
2. Keadilan Sosial dalam Filsafat Hukum Barat ........ 135
3. Keadilan Sosial dalam Filsafat Hukum Islam ........ 144
H. Epistemologi Pengelolaan Zakat .................................. 161
1. Pengertian Zakat ................................................... 161
2. Dasar Hukum Pelaksanaan Zakat ......................... 167
3. Pengelolaan Zakat di Indonesia ............................ 182
I. Kerangka Pemikiran ...................................................... 201
J. Definisi Operasional Variabel ........................................ 209
BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................... 211
A. Lokasi Penelitian ......................................................... 211
B. Pendekatan dan Sifat Penelitian ................................. 211
C. Populasi dan Sampel .................................................. 214
D. Jenis dan Sumber Data .............................................. 214
E. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 215
F. Teknik Analisis Data .................................................... 216
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 217
A. Hakikat Pengelolaan Zakat yang Dapat Mewujudkan Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia ............................... 217
1. Nilai Tauhid ............................................................... 220
2. Prinsip Akhlak ............................................................ 232
3. Prinsip Kemanusiaan ................................................ 243
4. Prinsip Keseimbangan .............................................. 249
5. Prinsip Kemasyarakatan ............................................ 254
x
6. Prinsip Distribusi ......................................................... 258
7. Prinsip Konsumsi ........................................................ 260
B. Landasan Keberlakuan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Zakat yang Dapat Mewujudkan Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia .......... 263
1. Landasan Teologis ...................................................... 282
2. Landasan Filosofis ...................................................... 293
3. Landasan Yuridis ......................................................... 303
4. Landasan Sosiologis ................................................... 312
C. Pelaksanaan Pengelolaan Zakat yang Dapat Mewujudkan Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia ............................... 318
1. Kepatuhan Hukum Masyarakat ................................... 318
2. Peran Pemerintah ....................................................... 326
3. Koordinasi antar Institusi ............................................. 359
4. Mekanisme Pengelolaan Zakat .................................... 369
BAB V. PENUTUP ............................................................................... 404
A. Kesimpulan ........................................................................ 404
B. Saran-Saran ..................................................................... 405
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 406
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Teori Bisnis Tazkiyah .......................................................................... 109
2. Kepatuhan Hukum Masyarakat Dalam Membayar Zakat Pada Lembaga Pengelola Zakat ................................................................ 319
3. Peran Pemerintah sebagai Pengatur Zakat ....................................... 332
4. Peran Pemerintah sebagai Pengelola Zakat ...................................... 340
5. Peran Pemerintah sebagai Pengawas Zakat ..................................... 348
6. Peran Pemerintah sebagai Eksekutor ................................................ 355
7. Koordinasi Institusi Pengelolaan Zakat .............................................. 362
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Siklus Rantai Reaksi Ibnu Khaldun yang Diformulasi M. Umer Chapra.. 80
2. Core Interdependent Components of Economic Growth ..................... 82
3. Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 208
4. Hierarki Sistem Ekonomi Islam ........................................................... 219
5. Landasan Keberlakuan Syariah Islam ............................................... 276
6. Keberlakuan Hukum dan Nilai-Nilai Dasarnya ................................... 277.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai suatu sistem kehidupan manusia mengandung
suatu tatanan nilai dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia baik
menyangkut sosial, politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Oleh karena
itu, Islam merupakan agama yang kaffah (Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 208)
dan menjadi rahmat bagi semesta alam (Q.S. Al-Anbiya [21] ayat 107).
Islam adalah agama yang memperhatikan kesejahteraan sosial.
Hal ini dapat dilihat dari adanya aturan tentang kewajiban membayar
zakat, yaitu memberikan harta dari orang kaya kepada orang miskin.
Kemiskinan adalah hal yang sudah dikenal semenjak beberapa abad
yang silam, dengan demikian umat manusia tidak pernah jauh dari
kegiatan bagaimana mengusahakan agar hal ini bisa diatasi.
Zakat merupakan pranata keagamaan yang berfungsi untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia dengan
memperhatikan dan meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat yang
kurang mampu. Zakat merupakan instrumen ekonomi yang
diperuntukkan sebagai pengurang kesenjangan ekonomi yang terjadi di
xiv
masyarakat. Secara khusus zakat dalam pendistribusiannya diutamakan
kepada orang yang serba kekurangan di dalam harta.
Zakat merupakan sub sistem dan salah satu wujud nyata dari
sistem ekonomi yang menunjang terwujudnya keadilan sosial. Orang-
orang yang tidak mau mengeluarkan zakat harta kekayaannya, jelas
sebagai penghambat terwujudnya keadilan sosial. Orang yang enggan
mengeluarkan kewajiban zakat itu dikecam, bahkan tidak ada ancaman
kitab suci yang lebih keras daripada ancaman kepada para pelaku
ekonomi yang tidak adil. Hal ini diekspresikan dalam Q.S. al-Takatsur
dan Q.S. al-Humazah yang mengancam keras sikap dan perilaku
ekonomi orang-orang yang suka menimbun kekayaan tanpa
memproduktifkannya dan tidak mau mengeluarkan zakat, infaq dan
shadaqah. Sikap orang seperti ini diancam secara keras oleh Alquran
dan dicap sebagai pendusta agama (Q.S. al-Ma'un [107] ayat 1- 7).
Allah swt. dalam Alquran menentang pemusatan kekayaan
yang mengakibatkan ketidakseimbangan struktur sosial yang penuh
dengan ketegangan dan konflik. Alquran telah menunjukkan wawasan
yang tajam sesuai dengan sifat dasar manusia dengan menentukan
sistem ekonomi yang jelas dimana distribusi diatur dengan tujuan-tujuan
moral yang dapat membawa ke arah pertumbuhan masyarakat harmonis,
xv
itulah adalah fungsi esensial dari rububiyah (yakni pertumbuhan menuju
kesempurnaan).1
Untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam
bermasyarakat, instrumen zakat merupakan salah satu jawaban yang
dapat mewujudkan semua itu. Zakat dapat menjadi penunjang
pembangunan ekonomi masyarakat, karena di dalam instrumen zakat
tercipta semangat tolong menolong (ta’awun), dan mengandung unsur
pemenuhan kewajiban individu untuk memberikan tanggung jawabnya
kepada masyarakat. Individu diharapkan secara semestinya dan efisien
melaksanakan setiap kewajiban yang dipercayakan padanya demi
kemaslahatan umum.
Pengelolaan zakat didasarkan Firman Allah swt. dalam Q.S. at-
Taubah (9) ayat 103:
Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
1Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (terjemahan), (Yogyakarta: LKiS,
1993), h. 48.
xvi
Ayat di atas menyiratkan bahwa harta orang kaya harus
dipaksakan untuk megeluarkan zakatnya demi menjaga kebersihan dan
kesucian harta tersebut. Kewajiban membayar zakat adalah kewajiban
yang mendasar dalam ajaran Islam dan dianggap sebagai satu rukun dari
rukun Islam yang lima, sesuai dengan sabda nabi dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar, yaitu:
بني الإسلام على : رسول الله صلى الله علیھ وسلم قال: عن ابن عمر قال
لاة وإیتاء دا رسول الله وإقام الص لھ الا الله و ان محم خمس شھادة أن لا ا
كاة والحج وصوم رمضان الز
Artinya:
‘Dari Ibnu Umar r.a. katannya : Rasulullah bersabda : Dasar (pokok-pokok) Islam itu lima perkara, Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan mengaku bahwa Muhammad saw. itu Rasul Allah, Menegakkan shalat, Membayar zakat, Menunaikan ibadah haji, dan Puasa pada bulan Ramadhan’.
Menurut Masdar F. Mas'udi, konsep dasar zakat sebagai
mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian
aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang
diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada fakir miskin dan
sejenisnya dan kepentingan bersama.2
2Masdar F. Mas'udi, Zakat: Konsep Harta yang Bersih, dalam Budhy Munawar
Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramdina, 1994), h. 425.
xvii
Dalam tinjauan ekonomi, tidak ditemukan suatu indikasi apalagi
bukti bahwa zakat menjadikan masyarakat (orang muslim) menjadi
melarat. Zakat merupakan bagian dari harta yang wajib diberikan oleh
setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu,
dengan syarat-syarat tertentu pula. Zakat menjadi suatu kewajiban bagi
orang yang mampu secara ekonomi dan menjadi kewajiban pula untuk
memungut zakat dari orang kaya tersebut.
Di Indonesia, tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan
umum yang berdasar pada keadilan sosial adalah tanggung jawab
pemerintah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI) Tahun 1945 mengatur tanggung jawab tersebut, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Adanya cita-cita yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 yang mendasari penyelenggara negara oleh pemerintah
dalam melaksanakan pembangunan, baik pembangunan materil maupun
pembangunan spiritual. Salah satu pembangunan yang dapat
mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah pembangunan
ekonomi.
Dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, menyatakan
bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
xviii
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Selanjutnya dalam Pasal 34 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, menyatakan
bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Adanya mandat konstitusional tersebut, tentu saja pembangunan
ekonomi yang digalakkan oleh pemerintah bermuara pada pemajuan
kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan sosial. Frase
kesejahteraan umum dan keadilan sosial yang termaktub dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan elemen konstitutif yang
mewajibkan negara dalam segala kebijakan-kebijakan pembangunan
yang dilakukannya atas dasar pemenuhan kesejahteraan umum. Menurut
Hayyan Ul Haq, apabila program-program pembangunan pemerintah
mengabaikan upaya pemajuan kesejahteraan umum yang berdasar pada
keadilan sosial sebagai unsur utama sistem menjadi tidak valid.3
Disyari’atkannya zakat bagi umat Islam antara lain bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan kaum fakir miskin. Sementara itu,
tanggung jawab pemeliharaan fakir miskin di negara Indonesia
3Hayyan ul Haq, “Constructing a Coordinated Structure in the Contract for the
Transfer of Technology” International Journal Technology Transfer and Commercialisation, Vol. 6, No. 1, 2007, h. 31
xix
merupakan bagian dari tanggung jawab negara sebagaimana diatur
dalam konstitusi Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 bahwa: ”Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara.” Atas dasar tersebut, peran negara dalam upaya mendukung
pengelolaan zakat yang optimal bagi peningkatan fakir miskin sangat
tepat sesuai dengan konstitusi. Sebaliknya, apabila negara membiarkan
penanganan zakat yang tidak optimal sebagai bentuk pengingkaran
terhadap konstitusi yang telah ada4
Pengaturan zakat dalam sebuah undang-undang merupakan
salah satu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang sumbernya dari
ajaran Islam yang merupakan sumber dana potensial bagi upaya
mewujudkan kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan sosial.
Untuk menjadikan zakat sebagai sumber dana yang dapat dimanfaatkan
bagi kesejahteraan masyarakat terutama dalam hal mengatasi masalah
kemiskinan, perlu adanya penataan pelaksanaan zakat, baik dalam
sumber-sumbernya, cara penghimpunannya maupun dalam
pengelolaan dan pembagiannya.
Untuk memenuhi kewajiban konstitutif pemerintah dalam
pemajuan kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan sosial,
4Oneng Nurul Bariyah, N. “Kontekstualisasi Total Quality Management dalam
Lembaga Pengelola Zakat untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)”. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010, h. 20.
xx
maka pemerintah telah mengkonstruksi hukum yang berkaitan dengan
zakat ke dalam aturan formal yaitu Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat kemudian diganti dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Filosofi keberadaan zakat sebagaimana diatur dalam
konsideran Undang-Undang Pengelolaan Zakat, pada bagian
menimbang bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan
untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Menjadikan zakat sebagai suatu sistem pemberdayaan ekonomi
umat berarti zakat harus didistribusikan secara produktif. Tentu saja
memerlukan pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat yang baik
pula. Upaya untuk memantapkan pengelolaan zakat sebagai suatu
sistem pemberdayaan ekonomi umat tentu saja menghajatkan
pengkajian yang mendalam mengenai dimensi-dimensi sistem
pendistribusian zakat pada lembaga-lembaga pengelola zakat. Sistem
pendistribusian yang tepat guna dan efektif serta profesional akan
membantu masyarakat terlepas dari kemiskinan.
Apabila ditelaah dari sisi ekonomi secara umum, zakat dapat pula
meningkatkan etika bisnis, artinya kewajiban zakat dikenakan pada harta
yang didapat secara halal. Zakat menjadi pembersih harta yang diperoleh
secara batil. Hal ini dapat mendorong para pelaku dunia usaha
memperhatikan etika bisnis secara bersih dan halal pula.
xxi
Dari sisi keseimbangan dan pemerataan pendapatan,
pengelolaan zakat secara baik dan tepat sasaran akan mengakibatkan
pemerataan pendapatan. Hal ini sebagai solusi untuk memecahkan
permasalahan utama bangsa Indonesia dari kemiskinan. Salah satunya
dengan pengembangan sektor riil, karena mekanisme pendistribusian
zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi
para mustahik. Selain itu, zakat juga sebagai sumber dana pembangunan
bagi kaum dhuafa yang sangat sulit untuk memperoleh fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan sosial ekonomi.
Dalam perspektif kolektif dan ekonomi, zakat akan
melipatgandakan harta umat. Proses tersebut sangat mungkin terjadi
karena zakat dapat meningkatkan permintaan dan penawaran di pasar
yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Peningkatan permintaan
akan terjadi karena perekonomian mengakomodasi golongan manusia
yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup minimalnya,
sehingga volume dan pelaku pasar pada sisi permintaan akan meningkat,
yang didukung oleh distribusi zakat kepada golongan masyarakat kurang
mampu sehingga masyarakat miskin memiliki daya beli dari akses
perekonomian.
Apabila ditelaah dari sisi peningkatan penawaran juga akan
terjadi, karena zakat memberikan nilai disinsentif bagi penumpukan harta
diam atau ihtikar dengan mengenakan potongan sehingga mendorong
xxii
harta untuk diusahakan dan dialirkan untuk investasi di sektor riil. Pada
akhirnya, zakat akan berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara makro.
Keberadaan zakat sebagai salah satu pilar Islam merupakan
ibadah maliyah ijtima’iyah. Artinya di samping zakat itu bersifat material
(harta), tapi juga bersifat sosial (kemasyarakatan). Oleh karena itu,
penunaian zakat harus dikelola dengan sebaik-baiknya.
Mengacu pada data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang
dirilis pada Juni 2011, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp217 triliun
atau 3,4% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Nilai tersebut terbagi
masing-masing potensi zakat rumah tangga sebesar Rp 82,7 triliun, zakat
industri swasta Rp114,89 triliun, zakat Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Rp2,4 triliun, dan zakat tabungan Rp17 triliun.5
Berdasarkan data tersebut, berbagai sektor dapat dikelola untuk
kegiatan pemungutan zakat seperti sektor pertanian, insdustri dan jasa.
salah satu sektor potensial untuk pengembangan obyek zakat adalah
perusahaan.6 Pada sektor industri, perusahaan juga diizinkan memiliki
kekayaan dari Tuhan. Kepemilikan dan penggunaan kekayaan bukan saja
untuk partisipan langsung perusahaan (direct stakeholders), seperti
5“Zakat Instrumen Mensejahterakan Umat” http://www.bisnis-kti.com/index.php
/2011 /08/zakat-instrumen-mensejahterakan-umat/ diakses 2 September 2011. 6Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani,
2008), h. 93.
xxiii
pemegang saham, kreditor, karyawan, dan pemerintah, tetapi juga pihak
yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan (indirect
stakeholders), seperti masyarakat penerima zakat, infaq, dan shadaqah.
Hal ini dilandasi bahwa manusia adalah Khalifatullah fil Ardh (wakil Tuhan)
untuk mengelola bumi atau menciptakan kesejahteraan bagi semua
manusia dan alam. (QS al-Anbiya [21] ayat 107).
Perusahaan tidak saja berorientasi pada profit (profit-oriented)
atau pemegang saham (stockholders-oriented), tetapi juga berorientasi
pada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders-oriented) atau
sosial (social-oriented). Orientasi pada stakeholders adalah menciptakan
dan mendistribusikan kesejahteraan kepada manusia, yaitu laba atau
aset bersih perusahaan juga dialokasikan sebagai zakat (bersifat sosial).
Iwan Triyuwono mengistilahkan orientasi zakat (zakat-oriented) sebagai
zakat metaphorised organizational reality, perusahaan memberikan
pertanggungjawaban horizontal (manusia dan alam) dan vertikal (kepada
Allah swt).7
Suatu hal yang menarik untuk dikaji, selain karena pertimbangan
urgensitasnya juga karena pertimbangan praktisnya, bahwa zakat
sebagai sebuah sistem ekonomi Islam dapat menjadi solusi dalam
mewujudkan keadilan sosial, karena dalam perspektif ekonomi Islam,
7Wahyuddin Abdullah, “Sudahkah Menunaikan Zakat Perusahaan?’, Fajar, Senin,
22 Agustus 2011, h. 4.
xxiv
zakat dipandang penting dan sebagai instrumen utama kebijakan fiskal
suatu negara. Jika zakat itu dikelola dengan baik, zakat akan menjadi
salah satu solusi bagi perekonomian suatu negara guna terciptanya
kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal apabila
dilaksanakan oleh lembaga pengelola dengan menerapkan prinsip-
prinsip tata kelola zakat yang baik dalam rangka pengalokasian,
pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat. Lembaga pengelola
zakat tidak memberikan zakat begitu saja, melainkan mendampingi,
memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-
benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut
memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.
Akan tetapi, dalam praktiknya sekarang, zakat seolah menjadi
problema masyarakat muslim sepanjang waktu yang tidak terpecahkan
hingga saat ini, antara cita dan fakta terdapat jarak yang terlalu jauh.
Antara sisi normatif dan sisi praktiknya terdapat kesenjangan yang tak
mampu ditutupi oleh siapapun. Potensi zakat yang demikian besar hanya
sebatas potensi yang belum dapat digali secara serius karena berbagai
faktor.
Dalam konteks Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan
namun belum menunjakkan hasil maksimal. Tak kurang campur tangan
pemerintah dalam masalah ini, dimulai dengan keluarnya Peraturan
xxv
Menteri Agama RI Nomor 4 dan 5 tahun 1968 masing-masing tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) dan Baitul Mal (Balai Harta
Kekayaan) di tingkat Pusat, dan Propinsi, Kabupaten/Kota Madya.
Kemudian pada Tahun 1991 terbentuklah Keputusan Bersama Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 1991 dan Menteri Agama Nomor 47
Tahun 1991 tanggal 11 Maret 1991 tentang Pembinaan BAZIS,
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat. Pada tahun 1999 lahir Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat yang ditindak lanjuti dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UUPZ
yang kemudian diganti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 373
tahun 2003 tentang Pelaksanaan UUPZ, selanjutnya 27 Oktober 2011
DPR mensahkan RUU Pengelolaan Zakat menjadi UUPZ
Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur
pengelolaan zakat, tetapi tampaknya Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat dan perubahannya tersebut dapat
dikatakan sebagai produk gagal karena secara normatif tidak memenuhi
elemen-elemen konstitutif hukum seperti nilai keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum sehingga tidak dapat dibadankan dengan nilai-nilai
xxvi
konstitusional bangsa Indonesia, yaitu frase memajukan kesejahteraan
umum yang berdasar pada keadilan sosial.8
Menurut M. Arfin Hamid, masalah zakat di tanah air bahkan di
seluruh wilayah masih menunjukkan tanda-tanda pengelolaan yang
manual dan tradisional, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan. Oleh karena
itu, untuk menggenjot kinerja pengelolaan zakat yang efektif, perlu
dilakukan terobosan baru karena dengan pola lama yang normatif dan
formalitas, tentunya tidak akan mampu mengubah dan mengentaskan
kemiskinan.9 Selain itu pula pemahaman yang tidak proporsional
masyarakat dikarenakan mengutamakan sisi keutamaan (afdhal) pahala
yang berlipat ganda apabila dikeluarkan pada bulan ramadhan sehingga
pada hari-hari di luar ramadhan cenderung terabaikan10
Ada beberapa alasan mengapa zakat belum optimal
pengelolaannya sehingga belum mampu menopang pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan umum. Pertama, kurangnya pengertian umat
Islam tentang lembaga zakat itu sendiri terutama bila dibandingkan
8Zainuddin, “Constructing Appropriate Regulation to Optimize Zakat for Public
Welfare”, Makalah, disampaikan dalam International Indonesian Law Society Conference, dengan tema Rights to Justice: Exploring Legal Innovation towards Ideal State of Social Order, 8 December 2010, di Utrecht Belanda.
9M. Arfin Hamid, “Menakar Paradigma Kesadaran Berzakat” Fajar, Sabtu, 28
Agustus 2010, h. 4. 10
M. Arfin Hamid, “Konsep Reformasi Berzakat” Fajar, Rabu, 25 Agustus 2011, h. 4.
xxvii
dengan pengertian umat mengenai shalat dan puasa. Kedua, masih
melekatnya pengertian atau pemahaman umat Islam terhadap konsepsi
fikih zakat yang tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik, yang
rumusannya banyak yang tidak lagi sesuai dengan kondisi kekinian.
Ketiga, adanya kekhawatiran dari organisasi-organisasi atau lembaga-
lembaga sosial Islam yang selama ini memungut zakat terhadap BAZIS
sebagai lembaga atau amil baru. Keempat, masih adanya pandangan
dari kelompok-kelompok yang menghubungkan ibadah zakat dengan
Piagam Jakarta. Kelima, adanya sikap masyarakat yang kurang percaya
terhadap penyelenggaraan zakat, terutama ditujukan kepada orang atau
kelompok yang mengurus zakat. Keenam, masih terdapatnya para wajib
zakat, terutama di pedesaan yang menyerahkan tidak pada delapan
kelompok yang berhak menerima, tetapi kepada para pemimpin agama
setempat yang tidak bertindak sebagai amil tetapi sebagi mustahik sendiri
dalam kategori sabilillah.11
Permasalahan lain yang muncul mengenai rendahnya
penerimaan dana zakat melalui amil zakat, setidak-tidaknya disebabkan
oleh empat faktor utama, yaitu: (1) rendahnya penghimpunan dana zakat
11
K.N. Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 15-17.
xxviii
melalui lembaga amil karena rendahnya kepercayaan terhadap lembaga
amil dan prilaku wajib zakat (muzakki) yang masih amat karikatif, yaitu
berorientasi jangka pendek, desentralistis dan interpersonal; (2) masih
rendahnya efesiensi dan efektifitas tasharruf (pendayagunaan) dana
zakat terkait masih besarnya jumlah Objek Penerima Zakat (OPZ)
dengan skala usaha kecil; (3) lemahnya kerangka regulasi dan
institusionalisasi zakat karena ketiadaan lembaga regulator-pengawas
dan tidak jelasnya relasi zakat-pajak; (4) lemahnya kapasitas
kelembagaan dan SDM pengelola zakat.12
Di samping itu pula persoalan lain dihadapi adalah belum
maksimal pengumpulan dana zakat dari perusahaan yang dimiliki oleh
pengusaha muslim padahal potensi dana zakat tersebut cukup besar
untuk dikelola, selain itu pula yang tidak kalah pentingnya adalah
pendistribusian zakat yang lebih bersifat konsumtif dalam rangka
memenuhi kebutuhan sehari-hari mustahik. Namun pemberian zakat
tersebut kurang membantu mustahik untuk jangka panjang. Uang atau
kebutuhan sehari-hari yang diberikan akan segera habis dan mustahik
akan kembali hidup dalam keadaan fakir dan miskin. Memberikan zakat
12
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Indonesia Economic Outlook 2010, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), h. 156.
xxix
dalam bentuk konsumtif tidak mendidik mustahik untuk mengubah
kondisinya.13
Sesuai deskripsi di atas, penelitian ini dipetakan tiga
permasalahan dalam lapisan permasalahan, yaitu: sympton atau gejala
yang muncul sebagai efek di atas permukaan; core problems atau
problema inti yang terkait dengan substansi hukum dan struktur hukum;
root cause, yaitu akar penyebab yang dapat ditemukan pada filosofis dan
konseptual domain.14 Dalam konteks penelitian ini, gejala (sympton) yang
tampak di permukaan adalah tingginya angka kemiskinan, akses
pendidikan dan kesehatan yang rendah, kurangnya ketersediaan
lapangan kerja bagi masyarakat; sedangkan masalah inti (core problems)
yang muncul adalah terkait pengelolaan, pengawasan zakat, peran
negara serta regulasi zakat. Pada tataran akar penyebab (root cause)
adalah paradigma atau nilai-nilai yang dianut masyarakat (muzakki dan
mustahik), pemerintah terkait dengan zakat dan pengelolaannya.
Oleh karena itu, isu dalam penelitian ini adalah diduga pengelolaan zakat
13
Zainuddin, “Zakat: Konsumtif: Melestarikan Kemiskinan,” Harian Fajar, Kamis, 25 Agustus 2011, h. 4.
14Hayyan ul Haq ”Managing Uncertainty And Complexity In The Utilization Of
Biodiversity Through The Tailor-Made Inventor Doctrine And Contract Law”, Paper, Presented at International Workshop Managing Uncertainty and Complexity in Biodiversity and Climate Change, University Chatolic Louvain La-Neuve, Belgium 15-16 June 2006, p. 5.
xxx
yang selama ini dilakukan belum memberikan jaminan bagi terwujudnya
pemajuan kesejahteraan rakyat yang berdasar pada keadilan sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat pengelolaan zakat yang dapat mewujudkan
jaminan keadilan sosial di Indonesia?
2. Seberapa jauh landasan keberlakuan hukum Islam terimplementasikan
dalam peraturan perundang-undangan pengelolaan zakat sehingga
terwujud pengelolaan zakat yang dapat memberikan jaminan keadilan
sosial di Indonesia?
3. Seberapa jauh pelaksanaan pengelolaan zakat yang dapat
mewujudkan jaminan keadilan sosial di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami hakikat pengelolaan zakat yang
dapat mewujudkan jaminan keadilan sosial di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan memahami landasan keberlakuan hukum Islam
terimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan
pengelolaan zakat sehingga terwujud pengelolaan zakat yang dapat
memberikan jaminan keadilan sosial di Indonesia.
xxxi
3. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pengelolaan zakat
yang dapat mewujudkan jaminan keadilan sosial di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat menjadi bahan kajian bagi kalangan teoritisi dalam
pengembangan ilmu hukum khususnya hukum Islam, hukum
administrasi negara, dan hukum ekonomi Islam serta menjadi
masukan konseptual dalam pengelolaan zakat.
2. Dapat menjadi konstribusi kepada Pemerintah, Badan Amil Zakat
(BAZ), dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam menata pengelolaan
zakat.
3. Dapat menjadi masukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam penyusunan undang-undang yang berhubungan
dengan pengelolaan zakat.
E. Orisinilitas Penelitian
Penelitian mengenai pengelolaan zakat telah banyak dilakukan di
Indonesia, antara lain: H.M. Arfin Hamid, Tesis di Universitas Indonesia
(1999) dengan judul, Hukum Zakat: Pengembangan dan
xxxii
Pendayagunaannya Sebuah Kajian Kearah Formalisasi Hukum Zakat di
Indonesia. Tesis ini menfokuskan pada persepsi dan pemahaman umat
Islam mengenai hukum zakat dan pelaksanaannya. Dibahas pula tentang
peranan zakat dan proyeksi zakat termasuk upaya formalisasi hukum
zakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammad Ali Jennah, Disertasi di Universitas Hasanuddin
Makassar (2007), dengan Judul Hakikat Zakat dan Kewenangan dalam
Penegakan Hukum Pengelolaannya di Sulawesi Selatan. Penelitian ini
menfokuskan pada perbandingan pengelolaan zakat pada masa
Rasulullah, Khulafaurrasyidin dengan pengelolaan zakat di Indonesia baik
pada masa kerajaan-kerajaan Islam, pasca kemerdekaan maupun setelah
berlakunya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Selain itu pula penelitian ini mengkaji penegakan hukum dalam
pengelolaan zakat yang di muat dalam Perda.
Ali Parman, Disertasi di Universitas Negeri Alauddin Makassar
(2007), dengan judul Ketaatan Berzakat (Telaah Hukum Islam dan
Implikasinya Terhadap Manajemen Zakat di Kota Makassar). Dalam
penelitian ini memfokuskan kajian zakat dalam konteks hukum Islam
dengan menekankan pada perilaku (ketaatan) masyarakat Kota Makassar
dalam membayar zakat yang merupakan ajaran Islam.
A. Tamaruddin, Disertasi pada Universitas Negeri Alauddin
Makassar (2007), dengan judul Penunaian Zakat Mal di Sulawesi Barat
xxxiii
(Tinjauan Yuridis Sosiologis Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat). Penelitian ini dilihat dari beberapa pendekatan
seperti pendekatan teologis, historis, sosiologis, yuridis, politis,
antroplogis dan filosofis pada pembayaran zakat mal oleh muzakki.
Dalam penelitian itu ditemukan fakta bahwa Badan Amil Zakat (BAZ) di
Propinsi Sulawesi Barat belum memberikan motivasi terhadap mustahik
dalam membayar zakat.
Mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu seperti yang
sudah dikemukakan tampaknya belum ada peneliti yang berusaha
menfokuskan pengelolaan zakat dan implikasinya terhadap jaminan
keadilan sosial, oleh karena itu penelitian ini melihat dari tiga aspek
kajian, yaitu kajian filosofis, kajian konseptual atau normatif dan kajian
sosiologis. Ketiga kajian tersebut dilakukan agar pengelolaan zakat dapat
dipahami secara integral sehingga pengelolaan dapat mewujudkan
keadilan sosial. Oleh karena itu, peneliti menjamin keaslian penelitian ini
dan dapat dipertanggungjawabkan.
xxxiv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
F. Hakikat Islam
Islam merupakan agama yang kaffah,15 mengatur segala perilaku
kehidupan manusia. Bukan hanya menyangkut urusan peribadatan saja,
tetapi juga urusan sosial dan ekonomi diatur dalam Islam. Oleh karenanya
setiap orang muslim, Islam merupakan sistem hidup (way of life) yang
harus diimplementasikan secara menyeluruh dalam seluruh aspek
kehidupannya tanpa kecuali.
Islam adalah agama wahyu (samawi) yang terakhir diturunkan
oleh Allah swt. kepada umat manusia, melalui rasul dan nabi-Nya yang
15
Kaffah dapat diartikan semua atau seluruh. Oleh sebab itu, al jama’ah dikatakan al kaffah.Lihat Muhammad Ibnu Mukaram Ibnu Mansur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Lisan al-Arab Juz IX, t.th.), h. 305. Dikalangan mufassirin terdapat pengertian mengenai masuklah Islam secara kaffah, seperti yang dirangkum Muchotob Hamzah dkk, sebagai berikut:
Pertama, Menurut al-Maraghi, hai orang-orang yang beriman dengan lisan dan hatinya, tetaplah pada Islam sepanjang hari-harimu. Janganlah kamu keluar dari Islam sedikitpun, tetapi ambillah Islam secara totalitas. Ada juga pendapat ulama yang mengatakan, masuklah sekalian ke dalam Islam keseluruhannya dengan mengerjakan seluruh ajaran dan syariah Islam sebab Islam itu totalitas, tidak terbagi-bagi dan terpotong-potong. Ibnu Katsir berkata: Allah memerintahkan para hamba yang beriman kepada-Nya dan membenarkan rasul-Nya agar mereka mengambil semua ajaran dan syariah Islam dan mengerjakan semua perintahnya serta meninggalkan semua larangannya, sekuasa mereka dalam hal itu. Ar-Razi berkata: masuklah kedalam syariah Islam hingga syariah Islam itu habis (dilaksanakan semua), maka kamu tidak meninggalkan sesuatu dari syariah tersebut.
Kedua, masuklah kamu semua (ke dalam Islam) hingga tidak ada seorangpun dinatara kamu yang tidak masuk Islam. Al-Qafal berkata: masuklah kamu semua ke dalam Islam, janganlah kamu menjadi terpecah belah dan saling berselisih
Ketiga, hai orang-orang yang beriman (masuklah Islam) dari kalangan ahli kitab, tunduk dan taatlah kamu kepada Allah secara lahir dan batin. Masuklah ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu mencampur aduknya dengan yang lain (ajaran non Islam). Lihat Muchotob Hamzah dkk, Tafsir Maudhu’i Al-Muntaha, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 216.
xxxv
terakhir, Muhammad saw. Ajaran-ajaran Islam berdasarkan atas wahyu
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., lalu nabi menyampaikan
ajaran-ajaran itu kepada umat-Nya hingga pada masa sekarang.
Kata Islam secara harfiah berasal dari bahasa Arab, aslama-
yuslimu-islaman yang mempunyai arti semantik sebagai berikut:
1. Tunduk dan patuh (khadha’a – khudhu wa istaslama – istislam);
2. Berserah diri, menyerahkan, memasrahkan (sallama – taslim);
3. Mengikuti (atba’a – itba’)
4. Menunaikan, menyampaikan (adda – ta’diyah)
5. Masuk dalam kedamaian, keselamatan, atau kemurniaan (dakhala fi
as-salm au as-silm au as-salam)16
Menurut Nurcholish Madjid, Islam selain dapat diartikan sebagai
sebuah agama, yaitu agama Islam, dapat juga dimaknai dari asal atau
generiknya, yaitu sikap pasrah kepada Tuhan, suatu semangat ajaran
yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar.17
Islam sebagai agama samawi, memiliki sistem perpaduan antara
dimensi esoterik (aqidah) disatu sisi, dan dimensi eksoterik (syariah) di
sisi lain. Dimensi esoterik dalam ajaran Islam memuat aturan paling dasar
yang menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan terhadap entitas
16
Ibid., h. 82. 17
Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 467.
xxxvi
Allah swt. sebagai pencipta alam semesta. Oleh karena itu, dalam Islam
pemaknaan atas iman secara benar dan tulus dimaksudkan untuk
menstimulasi rasa spritualisme keagamaan paling asasi dalam wujud
penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah swt.18
Pada tataran praksisnya, Islam mempunyai titik keseimbangan
antara esoterisme (aqidah) dan eksoterisme (syariah). Apabila yang
pertama beraksentuasi pada hal-hal yang bersifat kepercayaan (abstrak)
maka segmen kedua mempunyai konsentrasi pada pengaturan
pergumulan umat manusia sehari-hari.19
Secara garis besar, agama Islam terdiri atas aqidah, syariah dan
ahklak.20 Dua komponen, yaitu aqidah dan akhlak bersifat konstan.
Keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu
dan tempat. Adapun syariah (fiqih) senantiasa berubah sesuai dengan
kebutuhan dan taraf peradaban umat yang berbeda-beda sesuai dengan
masa rasul masing-masing.21 Hal itu dijelaskan Allah swt. dalam Q.S. al-
Maaidah (5) Ayat 48.
18
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 7.
19
Ibid., h. 7. 20
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 44.
21
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 4
xxxvii
Terjemahnya:
…untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang...
Aqidah (iman), syariah, dan akhlak (ihsan) terkait satu sama lain,
tidak dapat dipisah-pisahkan, ketiganya merupakan jalinan sistem
keberislaman. Ketiga-tiganya diperlukan untuk membentuk kepribadian
yang utuh pada diri seorang muslim.
Islam diibaratkan sebuah bangunan, aqidah adalah pondasi
bangunan keagamaan seseorang agar dapat berperilaku mulia. Kuat
lemahnya seseorang dapat diukur dan diketahui dari prilaku akhlaknya,
karena iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia.
Sedangkan iman yang lemah mewujudkan akhlak yang buruk. Di sisi lain,
bangunan keagamaan tidak dapat tegak tanpa tiang penyangga yaitu
syariah. Artinya, iman itu menuntut pengalaman sehingga akan
membuahkan akhlak yang baik pula.22 Selanjutnya aqidah, syariah, dan
akhlak akan diuraikan sebagai berikut:
1. Aqidah
Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. اعتقدت
artinya “saya beritiqad begini” maksud dari ungkapan ini adalah كاذا
22
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia,(Jakarta: Salemba Empat, 2009), h. 17.
xxxviii
saya mengikat hati terhadap hal tersebut. Aqidah adalah apa yang
diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu
kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.23
Aqidah adalah persoalan pertama yang diserukan Rasulullah
Muhammad saw. ketika beliau diutus kepermukaan bumi. Aqidah
memiliki enam pokok-pokok keyakinan yaitu: iman kepada Allah swt.
iman kepada malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada
para rasul-Nya, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadar baik
dan buruk. Pokok-pokok keyakinan itu disebut rukun iman.24
Aqidah atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi
dan prinsipil bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri,
bahkan melebihnya. Hal itu terbukti adanya orang yang rela mati
untuk mempertahankan keyakinannya.
Aqidah lebih mahal dari segala sesuatu yang dimiliki
manusia. Demikianlah yang dialami dan disaksikan dari segenap
lapisan masyarakat, baik yang masih primitif maupun yang sudah
modern. Sesuatu yang terlanjur menjadi keyakinan sangat sulit
untuk ditinggalkan begitu saja oleh penganutnya walaupun
keyakinan tersebut dalam bentuk takhayul atau khurafat sekalipun.
23
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, (terjemahan), (Jakarta: Akafa Press, 1998), h. 2
24
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 201.
xxxix
Peperangan yang terjadi antara pasukan Islam di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad saw., dan para sahabatnya
melawan pasukan kafir terjadi karena mempertahankan aqidah,
bukan karena berebut negeri dan materi. Kaum musyrik tidak
keberatan berbagi materi dengan Nabi, apakah itu harta, tahta atau
wanita sekalipun.
Aqidah yang sudah mendarah daging bagi penganutnya
tidak bisa dibeli atau ditukarkan dengan benda apapun. Sejarah
membuktikan bahwa tatkala kaum musyrik Quraisy menawarkan
kepada Nabi untuk menghentikan perjuangan dakwahnya dengan
memberikan imbalan materi apa saja asalkan Nabi Muhammad saw.
mau meninggalkan kepercayaannya, dengan tegas Nabi menjawab,
“Janganlah materi yang besar itu, bukan matahari dan bulan pun
mereka berikan kepadaku, tetap aku menolaknya sampai aku
berhasil ataupun aku mati karenanya”.25
Demikianlah segala kegiatan manusia lainnya yang bertalian
dengan hidup dan kehidupan semuanya tidak lepas dari unsur yakin
dan percaya. Ketergantungan manusia kepada kepercayaan dan
keyakinan dapat melebihi ketergantungannya terhadap makanan
dan minuman, karena keyakinan adalah kebutuhan sepanjang
waktu.
25
H.Z.A. Syihab, Aqidah Ahlu Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 2.
xl
Kepercayaan dan keyakinan yang tumbuh dalam lubuk hati
yang paling dalam itu disebut aqidah dan tiap-tiap agama
mempunyai aqidah masing-masing. Dalam pembahasan ini penulis
hanya membahas atau menguraikan aqidah Islam, pokok ajaran
tentang aqidah Islam yaitu rukun iman.
Berbicara tentang aqidah atau iman dalam Islam, maka telah
tergambar atau tercakup di dalamnya enam perkara, yakni:
1. Iman kepada Allah swt.
2. Iman kepada kitab-kitab Allah swt.
3. Iman kepada Rasul-rasul Allah swt.
4. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah swt.
5. Iman kepada hari akhir
6. Iman kepada qadha dan qadar. 26
Berikut penulis akan menguraikan secara umum tentang
masing-masing rukun iman sebagai landasan pokok kepercayaan
orang Islam.
1) Iman kepada Allah swt.
Allah swt. nama yang Maha Mulia, dari zat yang Maha
Suci, yang dipercayai dan tiap manusia diwajibkan beramal dan
berusaha karena-Nya. Dari Allah swt. manusia hidup dan kepada-
26
Sayid Sabiq, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), (terjemahan), (Bandung: PT. Diponegoro, 1985), h 16-17.
xli
Nya manusia akan kembali. Tak terhitung banyak puji yang harus
diberikan kepada-Nya dan belum juga setarap usaha manusia
memuja Dia dengan kebesan yang ada pada-Nya.
Iman kepada Allah swt. yaitu manusia wajib percaya
bahwa Allah swt. itu Esa dan bersifat kesempurnaan-Nya, dan
Maha Suci Allah dari segala sifat kekurangan. Adapun sifat-sifat
bagi Allah swt. yang wajib, yaitu: Allah bersifat wujud (ada), Allah
swt. bersifat Qidam (sediakala), Allah swt. bersifat baqa (kekal),
Allah swt. bersifat Wahdaniyat (Esa), Allah swt. bersifat Qudrat
(kuasa), Allah swt. bersifat Iradat (berkehendak), Allah swt. bersifat
Hayat (hidup), Allah swt. bersifat Sama; (mendengar), Allah swt.
bersifat Bashar (melihat) dan bersifat Kalam (berbicara).
Iman kepada Allah swt. merupakan rukun iman yang
pertama. Iman ini merupakan yang paling pokok dan mendasar
seluruh ajaran Islam, dan beriman kepada Allah swt. harus
diyakinkan dengan ilmu yang pasti dan manusia harus menyakini
bahwa Allah swt. adalah zat yang suci dan suci dari segala sifat
yang serupa dengan alam. Allah swt. tidak dapat diserupakan
dalam bentuk apapun juga. Konsep Ketuhanan menurut Alqur’an
berdasarkan atas Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Ikhlas (112)
Ayat 1-4 sebagai berikut:
xlii
Terjemahnya:
Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah tempat
sekalian makhluk bergantung. Tidak ia beranak dan
tidak ia diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.
Pada Firman Allah swt. yang lain dalam Q.S al-An’am
(6) Ayat 102 – 103 sebagai berikut:
Terjemahnya:
xliii
“…Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembalah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
Mengingat kedudukan keimanan yang pertama ini
sangatlah mendasar dalam kehidupan beragama, maka umat
manusia mempunyai pengetahuan tentang Keesaan Tuhan.
Manfaat dari pengetahuan manusia tentang tentang keesaan
Tuhan ialah manusia tidak boleh menyembah dan bertuhan
selain kepada Allah swt. Hanya Allah-lah yang memiliki
kekuasaan dan kehendak yang tertinggi atas seluruh alam dan
manusia. Allah swt. berkuasa memakmurkan atau
menghancurkan suatu negeri yang dikehendaki-Nya. Tak ada
suatu kekuatan yang mampu menghalangi kehendak-Nya,
karena Allah swt. Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Oleh karena
itu, manusia diperintahkan bertakwa kepada-Nya, segala
pengabdian hanya kepada Allah swt. semata. Tegasnya tidak
boleh punya pilihan lain, baik secara perorangan maupun secara
bersama, manusia harus percaya dan patuh kepada kebenaran
hukum Allah swt. yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Itulah pandangan hidup dan dasar hukum Islam bagi kaum
muslimin.
xliv
Untuk mempertinggi dan mempertebal iman kepada
Allah swt. manusia diperintahkan mempelajari alam semesta.
Alam semesta laksana kitab penuh khazanah dan hikmah
terbuka dihadapan manusia, menjadi bukti-bukti yang terang
benderang tentang keesaan Allah swt. Manusia tidak
diperkenankan memikirkan hakikat atau substansi Tuhan, untuk
menghindari kesesatan. Masalah substansi Tuhan adalah diluar
kemampuan manusia.
Pengaruh iman kepada Allah swt. terhadap kehidupan
seseorang yang intinya dirumuskan dalam kalimat
syahadat/tauhid, yakni: “لاالھ الاالله”, mempunyai efek positif yang
besar sekali manfaatnya bagi seseorang dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat, antara lain:
a. Iman kepada Allah swt. mendorong seseorang untuk
bertakwa kepada-Nya dengan jalan melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
b. Iman kepada Allah swt. akan menimbulkan kekuatan batin,
ketabahan, keberanian dan harga diri pada seseorang,
sebab diyakini bahwa Allah swt. sajalah Yang Maha Kuasa,
yang menentukan segala-galanya di alam semesta ini,
sedangkan selain Allah swt. adalah sama-sama makhluk-
Nya yang tidak perlu ditakuti, apalagi dikultuskan.
xlv
c. Iman kepada Allah swt. akan mendatangkan rasa tenteram,
aman, dan damai dalam hati seseorang, karena telah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. untuk
melindungi keamanannya dan mencukupi segala
kebutuhannya.27
2) Iman Kepada Malaikat-Malaikat Allah swt.
Beriman kepada malaikat-malaikat Allah swt. yaitu
manusia wajib percaya bahwa Allah swt. telah menjadikan suatu
makhluk yang berjisim halus dan tidak dilihat oleh mata
manusia. Malaikat hidup tidak seperti manusia, tidak makan dan
minum, tidak tidur dan tidak berkeluarga, malaikat mempunyai
tugas–tugas tertentu dan malaikat selalu taat menjalankan
perintah Allah swt. dan tidak pernah melanggarnya.
Jumlah malaikat itu banyak sekali, dan hanya Allah swt.
sendiri yang mengetahui jumlahnya secara pasti. Manusia
hanya diwajibkan mengetahui sebagian malaikat, diantaranya
tugas-tugas malaikat, yaitu :
a. Malaikat Jibril, tugasnya menyampaikan wahyu kepada Nabi-
nabi dan Rasul-rasul.
27
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam (Aqidah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 22-23.
xlvi
b. Malaikat Mikail, tugasnya membagikan rezki kepada semua
makhluk, dan mengatur alam seperti hujan, angin dan lain.
c. Malaikat Israil, tugasnya mencabut nyawa seluruh makhluk.
d. Malaikat Israfil, tugasnya membunyikan terompet pada hari
kiamat.
e. Malaikat Mungkar dan Nakir, tugasnya memeriksa/menanyai
orang-orang mati dalam kubur.
f. Malaikat Raqib dan Atib, tugasnya mencatat segala amal
perbuatan selama hidup di dunia.
g. Malaikat Malik, tugasnya menjaga Neraka.
h. Malaikat Ridwan, tugasnya menjaga surga.28
Pengetahuan manusia kepada Malaikat hanya semata-
mata berdasarkan Alqur’an dan keterangan-keterangan dari
Nabi. Para malaikat termasuk persoalan gaib, tidak bersifat
materi, namun sebagai tabiatnya bahwa malaikat dapat
menjelma ke dalam materi. Manusia wajib beriman kepada
Malaikat, oleh karena Alqur’an memerintahkannya,
sebagaimana wajibnya beriman kepada Allah swt. dan para
Rasul-Nya.
Iman kepada malaikat sangat besar nilainya dalam hidup
dan kehidupan manusia yang selalu penuh dengan berbagai
28
Abu Yasid, Islam Akomodatif… op.cit., h. 13
xlvii
persoalan. Seorang muslim haruslah selalu optimis, tidak boleh
ragu dan gentar dalam menghadapi masalah apa saja, baik
dikala seorang diri, sebatang kara maupun di waktu bersama-
sama, karena ada iman atau keyakinan bahwa Allah swt.
mempunyai petugas-tugas yaitu malaikat yang selalu
memberikan bantuan dan pertolongannya.
Apabila dikatakan malaikat mempunyai tugas-tugas
menjaga alam, maka hendaklah manusia paham bahwa di
dalam alam ini ada lagi alam yang lebih halus dari alam yang
dapat dijangkau dengan panca indra manusia, mempunyai
hubungan dengan keadaan dan aturan-aturannya. Tegasnya,
malaikat adalah makhluk gaib yang tidak dapat dikenal
hakikatnya. Hanya iman atau keyakinan seseorang yang
menetapkan bahwa malaikat itu ada, sebab Allah swt. dengan
perantaraan Alqur’an dan Nabi-Nya menerangkan adanya dan
sebagian sifat-sifat malaikat.
Mengenai sifat-sifat malaikat, Alqur’an menerangkan
bahwa malaikat adalah hamba Allah swt. yang mulia, tidak
pernah durhaka, tidak melakukan perbuatan maksiat dan tidak
pernah durhaka, serta menentang perintah Allah swt. Malaikat
tidak pernah butuh makan dan minum, selalu taat terhadap
xlviii
perintah Allah swt. yang diamanahkan atau tugas yang diberikan
kepadanya, dan tugas Malaikat, di antaranya: (1)
menyampaikan wahyu Allah swt. kepada manusia melalui para
Rasul-Nya, (2) mengukuhkan hati orang-orang yang beriman,
(3) memberikan pertolongan kepada manusia, (4) membantu
perkembangan rohani manusia, (5) mendorong manusia untuk
berbuat baik, (6) mencatat perbuatan manusia, dan (7)
melaksanakan hukuman Allah swt.29
Percaya adanya malaikat mempunyai pengaruh positif
yang besar terhadap kehidupan seseorang, antara lain:
a. Dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang baik, karena diyakini bahwa keinginan untuk
menginginkan yang baik itu dari dorongan/sugesti malaikat.
b. Mencegah seseorang melakukan kejahatan, karena
menyadari bahwa keinginan-keinginan yang jahat atau
nafsu-nafsu yang rendah itu dari dorongan setan.
c. Bersikap hati-hati dalam segala tingkah-lakunya, karena
merasa ada malaikat yang selalu mengawasi dan mencatat
segala perbuatan.
29
Muhammad Daud Ali, Pendidikan…op.cit., h. 201.
xlix
d. Merasa aman dan tenteram hatinya serta optimis dalam
hidunya, karena diyakini adanya malaikat yang mau
melindungi dan membantu keberhasilan cita-citanya.30
Berdasarkan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa
malaikat adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang berada pada
alam gaib. Manusia diwajibkan untuk meyakini keberadaannya
tanpa memikirkan subtansinya, berdasarkan perintah Allah swt.
dalam Alqur’an dan perintah Nabi Muhammad saw.
3) Iman Kepada Kitab-Kitab Allah swt.
Beriman kepada Kitab-kitab Allah swt. yaitu percaya
bahwa Allah swt. telah menurunkan beberapa kitab-Nya kepada
beberapa Rasul-Nya untuk menjadi pegangan dan pedoman
hidupnya guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
Kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt. itu, di
dalam Alqur’an (dan hadits Nabi yang sahih) tidak disebutkan
secara konkrit semua nama kitab Allah swt. dan jumlahnya,
yang telah diturunkan kepada para Rasul-Nya, yang disebut
namanya secara konkrit dalam Alqur’an ada empat, ialah:
a. Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as.
30
Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 42.
l
b. Zabur diturunkan kepada Nabi Daud as.
c. Injil diturunkan kepada Nabi Isa as.
d. Alqur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.31
Semua kitab Allah swt. baik yang empat kitab tersebut
maupun yang lainnya, membawa prinsip yang sama, yaitu:
mengajak manusia ke jalan yang benar dan memberi petunjuk
kepadanya untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
Berdasarkan Firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nahl (16)
Ayat 36.
Terjemahnya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut …”. Maka dapat dipastikan bahwa semua Nabi dan Rasul
membawa ajaran yang sama dalam lapangan aqidah, antara lain
ajaran tauhid (mengesakan Tuhan), sehingga kalau ada agama
Allah swt. yang mengajarkan aqidah yang tidak sama dengan
31
Ibid., h. 43.
li
aqidah yang diajarkan Alqur’an dan hadis Nabi, pasti itu
penyelewengan dari penganut agama itu sendiri, bukan ajaran
yang asli dari Nabinya, misalnya ajaran trinitas dalam agama
selain agama Islam.
Kitab-kitab Allah swt. berisi petunjuk tentang hukum-
hukum dan peraturan-peraturan Allah swt. serta perintah-
perintah dan larangan-larangan-Nya, juga berisi janji-janji
tentang azab atau siksa dan pahala di akhirat. Risalah Tuhan itu
adalah wahyu-wahyu Allah swt. kepada para rasul yang diutus
kepada setiap bangsa dan umat manusia sepanjang sejarah.
Rasul-rasul yang menerima wahyu itu adalah manusia-manusia
pilihan Tuhan di antara kelompok-kelompok manusia yang
memiliki ciri-ciri khas dan karakteristik dalam segi-segi rohaniah
dan jasmaniah. Wahyu yang diterima para rasul yang diutus
itulah yang dinamai shuhuf atau kitab. Setiap rasul yang diutus
Tuhan kepada manusia, dipersenjatai dengan kitab dan Kitab
itulah yang menjadi pedoman pemimpin baginya, dan kitab
itulah yang menjadi undang-undang buat manusia yang
dipimpinnya.
Pengaruh iman kepada kitab-kitab Allah swt. bagi
kehidupan manusia atau seseorang, antara lain :
lii
a. Mendidik umat Islam untuk bersikap toleransi terhadap
pemeluk agama lain untuk menciptakan kerukunan hidup
antar umat manusia yang berlainan agama. Hal ini sesuai
dengan Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat
256 sebagai berikut:
Terjemahnya
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”.
b. Memberikan keyakinan kepada umat Islam, bahwa Alqur’an
adalah kitab penerus dan pelengkap terhadap semua Kitab
Allah swt. yang pernah diturunkan sebelumnya dan
merupakan pula kitab Allah swt. yang terakhir dan paling
lengkap untuk dijadikan pedoman hidup manusia dalam
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat,
sebagaimana Firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nahl (16)
Ayat 89 sebagai berikut:
liii
Terjemahnya:
“Dan Kami turunkan kepada kamu al-Kitab (Alqur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa
pentingnya seorang muslim mempunyai keyakinan atau
keimanan pada kitab-kitab Allah swt. sehingga setiap muslim
dituntut untuk senantiasa memelihara dan menjadikan
pedoman dalam hidup di dunia.
4) Iman Kepada Para Nabi dan Rasul Allah swt.
Nabi dan Rasul Allah swt. merupakan orang pilihan
diantara manusia. Beberapa orang yang bertindak sebagai
utusan Allah swt. yang bertugas menyampaikan kepada kepada
umat manusia segala wahyu yang diterima dari Allah swt.
melalui malaikat Jibril, dan menunjukkan ke jalan yang lurus,
serta membimbingnya dalam mencapai kesejahteraan dan
kebahagian hidup dunia dan di akhirat.32
Seorang muslim tidak hanya wajib percaya kepada Nabi
Muhammad saw. saja, melainkan juga wajib percaya kepada
semua Nabi dan Rasul Allah swt. sebagaimana disebutkan
dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 136 sebagai berikut:
32
Masjkuf Zuhdi. op cit., h. 63
liv
Terjemahnya :
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Iman kepada Nabi dan Rasul itu cukup secara global
atau umum saja. Artinya wajib percaya bahwa Allah swt. telah
mengutus beberapa Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad
saw. tetapi tidak wajib mengetahui seluruhnya atau siapa
namanya. Sebagaimana dalam Q.S. an-Nisa (4) Ayat 164
sebagai berikut:
lv
Terjemahnya:
Dan kami telah mengutus Rasul-rasul yang sungguh telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu”. Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahwa Allah
swt. hanya memperkenalkan sebagian dalam Alqur’an hanya 25
Nabi dan Rasul saja yang wajib diketahui. Nabi dan Rasul inilah
yang wajib diketahui satu persatu dan wajib pula dipercayai
kenabian dan kerasulannya. Diantara nabi dan rasul itu adalah:
(1) Adam, (2) Idris, (3) Nuh, (4) Hud, (5) Shaleh, (6) Ibrahim, (7)
Ismail, (8) Ishaq, (9) Luth, (10) Ya’qub, (11) Yusuf, (12) Syu’aib,
(13) Ayyub, (14) Musa, (15) Harun, (16) Dzulkifli, (17) Daud, (18)
Sulaiman, (19) Ilyas, (20) Ilyasa’, (21) Yunus, (22) Zakaria, (23)
Yahya, (24) Isa, (25) Muhammad saw.33
Semua Nabi dan Rasul sebelum Muhammad saw. diutus
Allah swt. untuk satu bangsa tertentu, untuk satu generasi atau
33
Abu Yasid, Islam Akomodatif… op.cit., h. 12.
lvi
beberapa generasi dari bangsa tertentu, dan untuk periode
tertentu. Wilayah misi dakwah dari seorang Nabi atau Rasul
serta masa berlaku syariahnya itu juga terbatas sampai
datangnya Nabi atau Rasul yang menggantikannya.
Para Nabi dan Rasul tersebut diutus oleh Allah swt.
untuk memperbaiki dan meluruskan aqidah, ibadah dan akhlak
dari bangsanya yang telah menyimpang dari ajaran Allah swt.
terutama ajaran tauhidnya. Sedangkan Nabi Muhammad saw.
diutus oleh Allah swt. sebagai utusan yang terakhir dan
syariahnya berlaku untuk seluruh umat manusia sampai akhir
zaman, sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt. dalam Q.S.
Saba’ (34) Ayat 28 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Dan kami tidak mengutus kamu kecuali kepada umat dan manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dari ayat di atas kata كا فـة, yang artinya seluruhnya
dimaksudkan untuk menegaskan dan mengukuhkan bahwa, misi
lvii
dakwah Nabi Muhammad saw. bukan hanya untuk satu bangsa
saja (bangsa Arab), melainkan untuk seluruh umat manusia.
Menurut ajaran Islam, bahwa para nabi itu memiliki derajat
yang tinggi di sisi Allah swt. dan fungsinya yang sangat luhur dan
amat berat, yakni: memimpin dan membimbing umatnya; maka
para nabi itu pasti mempunyai kepribadian yang dapat menjadi suri
teladan bagi umatnya, seperti yang disebut dalam Q.S. al-Ahzab
(33) Ayat 21 sebagai berikut:
Terjemhanya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasullah itu suri teladan yang baik bagimu(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Uraian dan ayat di atas memberikan peringatan kepada
umat manusia untuk beriman kepada semua Nabi dan Rasul
serta mengikuti apa yang dicontohkan atau diperintahkan, agar
manusia selamat di dunia dan di akhirat.
5) Iman kepada hari akhirat
Beriman kepada hari akhirat, artinya manusia wajib
percaya bahwa semua yang hidup pasti akan mati, kemudian
lviii
akan dibangkitkan kembali (dari kubur), sebagaimana firman
Allah swt. dalam Q.S. az-Zumar (39) Ayat 68 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Dan ditiuplah sangkakalah, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)”. Hari kiamat ialah hari bangkitkan semua manusia nyang
telah mati dari alam kubur, kemudian manusia dihisab dan
diperhitungkan segala amal perbuatannya semasa hidupnya di
dunia, perbuatan baik dibalas dengan kenikmatan dan
perbuatan jahat dibalas dengan siksaan. Disebut hari kiamat
karena, hari itu merupakan hari penghabisan dan merupakan
kelanjutan dari kehidupan dunia. Pada waktu itulah manusia
menerima balasan yang adil sesuai amalan masing-masing,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. az-Zalzalah (99) Ayat 6-8
sebagai berikut:
lix
Terjemahnya:
“Pada hari itu keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperhatikan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula”. Setiap orang akan merasakan kelezatan usaha dan
pengabdian kepada Allah swt. dan sebaliknya orang akan
merasakan penderitaan atau kepahitan akibat kedurhakaannya
kepada Allah swt.
Iman kepada hari akhirat adalah masalah yang paling
berat dari segala macam aqidah dan kepercayaan manusia.
Sebab iman kepada akhirat akan membawa manusia kepada
keyakinan adanya suatu hidup lagi di alam lain sesudah hidup di
dunia. Hidup yang kedua itulah yang menjadi tujuan akhir dari
pada perputaran roda kehidupan dan penciptaan manusia.
Beriman kepada hari akhirat mempunyai nilai-nilai yang
sangat tinggi dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia.
Kehidupan dunia ini bersifat sementara artinya, bukan hidup
yang sekadar hanya hidup dan sesudah itu lalu mati dan tidak
lx
punya kelanjutan lagi. Semua amal perbuatan manusia tidak
akan sia-sia dan dihitung sekecil apapun.
Orang yang beriman kepada Allah swt. dan hari akhirat,
akan dapat mencegah orang berbuat maksiat, apabila
seseorang mengingat bahwa tidak dapat terlepas dari kewajiban
mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah
swt. sehingga akan menjauhi perbuatan buruk dan cenderung
untuk memperbanyak kebajikan, karena kehidupan di akhirat
lebih baik dan lebih kekal.
6) Iman Kepada Qadha dan Qadar
Menurut bahasa, qadha itu berarti ketentuan atau ukuran
dari Allah swt. sejak zaman azali dan menyangkut segala
sesuatu yang menyangkut makhluknya, meliputi baik dan buruk,
sukses dan gagal, sehat dan sakit dan bentuk-bentuk nasib
lainnya. Sedangkan qadar ialah perwujudan dari ketentuan-
ketentuan Allah swt. yang telah ada sejak zaman azali,
sebagaimana Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Hadid (57) Ayat
22 sebagai berikut:
lxi
Terjemahnya:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Beriman kepada qadha dan qadar, artinya mempercayai
dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah swt. sejak
zaman azali telah menentukan semua-Nya dan melaksanakan
sesuai dengan ketentuan tersebut. Matahari terbit di waktu pagi
dan terbenam di waktu sore itu semuanya ditentukan Allah swt.
Manusia lahir dan mati, sehat dan sakit, itu sudah ditentukan
Allah swt. sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-A’laa (87)
Ayat 2-3 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.
Beriman kepada qadha dan qadar dapat mendorong
seseorang untuk bersikap berani dalam menegakkan keadilan
dan kebenaran, dan dalam meninggikan kalimat Allah swt.
lxii
Seseorang tidak takut dan gentar menghadapi risiko dan bahaya
yang mengancam. Misalnya jatuh miskin atau mati sekalipun,
karena diyakini bahwa mati, rezeki dan nasib semuanya di
tangan Allah swt. sebagaimana Firman Allah swt. dalam Q.S.
at-Taubah (9) Ayat 51 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal. Beriman kepada takdir dapat pula menimbulkan
ketenangan jiwa dan pikiran serta tidak akan berputus asa pada
waktu menghadapai bencana atau kegagalan dalam suatu
usaha, melainkan tetap sabar dan bertawakkal.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa beriman
kepada qadha dan qadar dapat meningkatkan ketaqwaan
seseorang kepada Allah swt. sehingga dapat dikatakan bahwa
lxiii
beriman kepada qadha dan qadar sangatlah penting bagi
seorang muslim.
2. Syariah
Kata syariah berasal dari Bahasa Arab, dari kata syara’a
berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-
masalik (menunjukkan jalan). Syara’a lahum-yasyra’u-syar’an berarti
sanna (menetapkan).34 Secara etimologis kata as-syar’iah mempunyai
konotasi masyra’ah al-ma’ (sumber air minum).35
Menurut Mahmud Syalthut, syariah adalah sistem atau aturan
yang disyariahkan oleh Allah swt. untuk mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri dengan sesama muslim, dengan sesama
manusia, dengan alam semesta dan dengan kehidupan.36 Sedangkan
menurut Amir Syarifuddin, syariah adalah hukum atau aturan hukum
yang ditetapkan Allah swt. yang menyangkut tingkah laku manusia.
Pengertian ini dibedakan dengan tasyri’ yang berarti penetapan hukum
atau aturan tersebut.37 Dari dua definisi syariah di atas, dapat
dipahami bahwa syariah adalah aturan-aturan Allah swt. dan
34
Ar-Razi, Mukhtar as-Shahah, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1996), h. 294. 35
Ibid., h. 294. 36
Mahmud Syalthut, Islam: Aqidah wa Syariah, (T.tp: Dar al-Qalam, 1966), h. 12. 37
Tim Penulis Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariah Islam, (T.tp: Hizbut Tahrir Indonesia, 2002), h. 1.
lxiv
Rasulullah yang mengatur manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya maupun dengan sesamanya.
Pada mulanya kata syariah meliputi aspek ajaran agama,
yakni aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah (sosial).38 Ini terlihat pada
syariah setiap agama yang diturunkan sebelum Islam. Setiap umat,
Allah swt. memberikan syariah dan jalan yang terang (Q.S. al-Maidah
[5] Ayat 48).
Adapun kata fiqih berasal dari kata al-fiqh yang berarti
pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu.39 Secara terminologis
fiqih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara yang
bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil terperinci.40
Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fiqih
merupakan suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara terutama
yang bersifat amaliyah dengan mendasarkan pada dalil-dalil terperinci
dari al-Quran dan al-Hadis.
Pengertian fiqih berbeda dengan syariah baik dari segi
etimologis maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat
aturan yang bersumber dari Allah swt. dan Rasulullah untuk mengatur
38
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988), h. 1.
39
Muhammad Ibn Ya’qub al-Fairuzabadiy, Al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 1126.
40
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Qalam li al- Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1978), h. 11.
lxv
tingkah laku manusia baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka berhubungan dengan
sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fiqih merupakan penjelasan
atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh
syariah.
Istilah lain yang sering dikemukakan adalah hukum Islam (al-
hukm al-Islamiy). Istilah hukum Islam merupakan istilah khas
Indonesia yang tidak ditemukan dalam Alqur’an dan Sunnah
Rasulullah.41
Syariah, fiqih dan hukum Islam adalah sebuah istilah yang
identik, syariah merupakan dasar pertimbangan moral apakah baik
atau tidak, fiqih merupakan ilmu bantu syariah, ilmu pengetahuan dan
yurisprudensi Islam yang merupakan hasil kecerdasan intelektual,
spiritual dan kecerdasan pisik yang merupakan proses pemahaman
terhadap syariah yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi
masyarakat. Akumulasi dari dua istilah ini melahirkan istilah hokum
Islam42
Pada dasarnya syariah (hukum/ajaran) Islam dapat dibedakan
menjadi dua kelompok. Pertama, ajaran yang bersifat absolut,
41
Ali Parman, “Ketaatan Berzakat: Telaah Hukum Islam dan Implikasinya Terhadap Manajemen Zakat di Kota Makassar” Disertasi, Program Pascasarjana UIN alauddin Makassar, 2007, h. 29.
42
Ibid., h. 34.
lxvi
universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah sampai
kapanpun. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam yang
tercantum dalam Alqur’an dan al-Hadis Mutawatir yang penunjukannya
jelas. Kedua, ajaran yang bersifat relatif, tidak universal, temporal
dapat berubah dan dapat diubah. Termasuk dalam kelompok ini
adalah ajaran Islam yang bersifat zanni yang diperoleh dari ijtihad para
mujtahid.43
Sedangkan Abd al-Wahhab Khallaf membagi syariah (hukum)
menjadi tiga, yaitu hukum-hukum i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-
hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah (aktivitas
baik ucapan maupun perbuatan). Selanjutnya, Khallaf membagi
hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-
hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya.44
Sebagai suatu sistem hukum tersendiri, hukum Islam memiliki
beberapa karakteristik dan watak tersendiri yang membedakannya dari
berbagai sistem hukum yang ada di dunia. Di antara karaktersitik
hukum Islam ini ada yang merupakan produk dari watak hukum Islam
43Isnawati Rais, Pemikiran Fiqih Abdul Hamid Hakim, (Jakarta: Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), h. 1-2.
44
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul… op.cit., h. 32.
lxvii
itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya dalam mencapai
tujuan yang diridhai Allah swt.
Secara umum, Muhammad Yusuf Musa mengemukakan enam
karakteristik dasar dari hukum Islam, yaitu: 1) Dasar-dasarnya yang
umum berasal dari wahyu Allah swt.; 2) Aturan-aturan hukum Islam
dibuat dengan dorongan agama dan moral; 3) Balasan hukum Islam
didapatkan di dunia dan akhirat; 4) Kecenderungan hukum Islam
komunal; 5) Dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan
tempat; dan 6) Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan
kemudahan bagi kehidupan privat dan publik dan membahagiakan
dunia seluruhnya.45 Sementara itu, Fathurrahman Djamil
mengemukakan lima sifat dan karakteristik hukum Islam, yaitu: 1)
sempurna; 2) elastis; 3) universal dan dinamis; 4) sistematis; dan 5)
bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.46
Dari dua pendapat tentang karakteristik hukum Islam di atas
dapat disimpulkan bahwa hukum Islam mempunyai sifat, watak, dan
karakteristik yang membedakannya dengan sistem hukum manapun di
dunia. Selanjutnya Muhammad Yusuf Musa mengemukakan tiga
prinsip dasar hukum Islam, yaitu: 1) tidak mempersulit dan
45Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, (terjemahan),
(Jakarta: Rajawali Pers, 1988), h. 160-179. 46
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama). Jakarta: Logos, 1997), h. 46-53.
lxviii
memberatkan; 2) memperhatikan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan; dan 3) mewujudkan keadilan secara menyeluruh.47
Sedangkan Fathurrahman Djamil mengemukakan lima prinsip dasar
hukum Islam, yaitu: 1) meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan;
2) menyedikitkan beban; 3) ditetapkan secara bertahap; 4)
memperhatikan kemaslahatan manusia; dan 5) mewujudkan keadilan
yang merata.48
Pada dasarnya hukum Islam memiliki tujuan yang sering
disebut maqashid al-syari’ah. Pembahasan utama dalam maqashid al-
syari’ah adalah masalah hikmah dan ‘illah ditetapkannya suatu
hukum.49 Kajian maqashid al-syari’ah merupakan kajian yang penting
dan menarik dalam bidang ushul fiqih. Dalam perkembangan
selanjutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum
Islam, sehingga pada akhirnya istilah maqashid al-syari’ah identik
dengan filsafat hukum Islam.
Tujuan hukum Islam harus diketahui oleh mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad) dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum
dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Alqur’an
47
Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu… op.cit., h. 180-190. 48
Ibid., h. 66-75. 49
Ibid., h. 123.
lxix
dan Sunnah. Semua ketentuan hukum Islam (syariah) baik yang
berupa perintah maupun larangan, sebagaimana tertera dalam
Alqur’an dan Sunnah, mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada satu
ketentuan pun dalam syariah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum
Islam datang ke dunia membawa misi yang sangat mulia, yaitu
sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi (Q.S. Yunus [10]:
57; Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107).
Pembuat syariah (Allah swt. dan Rasul-Nya) menetapkan
syariah yang bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umum,
memberikan kemanfaatan, dan menghindarkan kemafsadatan bagi
umat manusia.50 Terkait dengan ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa
setiap hukum Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu kemaslahatan.
Tidak ada perintah dalam al-Quran dan as-Sunnah yang tidak memiliki
kemaslahatan yang hakiki, meskipun kemaslahatan itu tidak tampak
dengan jelas. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan
hakiki yang bersifat umum dan tidak didasarkan pada pemenuhan
hawa nafsu.51
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di
akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih , ada lima unsur
50
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), h. 333.
51
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1958), h. 366.
lxx
pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok itu
adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang yang
memelihara lima hal tersebut akan memperoleh kemaslahatan, sedang
yang tidak dapat memeliharanya akan mendapatkan kerusakan.
3. Akhlak
Secara etimologis akhlaq bentuk jamak dari khuluq yang
berarti budi pekerti, perangi, tingkah laku atau tabiat.52 Dari pengertian
etimologi ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma
perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga
norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
bahkan dengan alam semesta.
Secara terminologi, akhlak menurut Imam al-Ghazali adalah :
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.53 Sedangkan Ibrahim Anis mengemukakan bahwa akhlak adalah
:
52
Louis Ma’luf, al-Munjid Fi Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1997), h. 164.
53
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihyā Ulūm ad-Din Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr: 1989), h. 58.
lxxi
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah
macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.54
Dari definisi yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dan
Ibrahim Anis dapat dipahami bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana
diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih
dahulu. Imam al-Gazali memberikan ilustrasi dalam kitabnya Ihya
Ulum al-Dien bahwa bila seseorang dalam menerima tamu dan
membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain, atau
kadangkala lembut dan kadangkala tidak, maka orang tersebut belum
dapat dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang
yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu
memuliakan tamunya tanpa melihat latar belakang tamunya.55
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral.
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat, watak
atau kesusilaan. Sedangkan moral yaitu mos jamaknya mores adalah
kata Latin; yang berarti adat atau cara hidup. Meskipun kedua istilah
tersebut mempunyai kesamaan pengertian dalam percapakan sehari-
hari, namun dari sisi lain mempunyai unsur perbedaan. Istilah etika
54
Ibrahim Anis, op.cit , h. 202 55
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lo.cit
lxxii
digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada, karena etika
merupakan suatu ilmu, istilah moral digunakan untuk memberikan
kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Oleh karena itu, moral bukan
suatu ilmu tetapi merupakan suatu perbuatan manusia.56
Kedua istilah tersebut sama-sama menentukan nilai baik dan
buruk sikap dan perbuatan manusia. Namun perbedaannya terletak
pada dasar yang dipakai dalam menentukan baik buruknya suatu
perbuatan. Akhlak dasarnya Alqur’an dalam menentukan baik dan
buruk sedangkan etika dasarnya pertimbangan akal pikiran dan moral,
dasarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.57
Dalam konsep akhlak segala sesuatu itu dinilai baik dan buruk,
terpuji atau tercela, semata-mata karena berdasarkan kepada Alqur’an
dan al-Hadis. Oleh karena itu, dasar dari pembinaan akhlak adalah
Alqur’an dan al-Hadis.
Ajaran akhlak dalam Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang
termaktub dalam Alqur’an dan al-Hadis. Di dalam Alqur’an terdapat
kira-kira 1.500 ayat yang mengandung ajaran akhlak, baik yang teoritis
56
Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia, 1999), h. 7. 57
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), h. 9.
lxxiii
maupun praktik. Demikian pula hadis-hadis Nabi, amat banyak
jumlahnya yang memberikan pedoman akhlak.58
Secara garis besar akhlak di bagi menjadi dua yaitu pertama,
akhlak kepada Allah swt. (khalik) dan kedua, akhlak kepada semua
ciptaan Allah swt. (makhluk). Akhlak terhadap makhluk di bagi menjadi
dua yaitu: Pertama, akhlak kepada sesama manusia, dan Kedua,
akhlak kepada bukan manusia. Akhlak terhadap sesama manusia
dibagi menjadi dua yaitu akhlak terhadap diri sendiri dan akhlak
terhadap orang lain. Akhlak terhadap orang lain dibagi menjadi lima,
yaitu: akhlak kepada Rasulullah, orang tua, karib kerabat, tetangga
dan masyarakat. Sedangkan akhlak terhadap bukan manusia dibagi
manjadi dua, yaitu: akhlak terhadap makhluk Allah swt. yang hidup
seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan dan akhlak terhadap makhluk
Allah swt. yang mati yaitu tanah, udara, air.59
G. Islam dan Kesejahteraan
Manusia sebagai makhluk psikofisik, membutuhkan
kesejahteraan karena terkait dengan kedua karakter. Kesejahteraan
merupakan kondisi ideal yang hendak dicapai manusia yang bersifat fisik
dan spiritual secara utuh dan terpadu.
58
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 12 59
Muhammad Daud Ali, Pendidikan…op.cit., h. 351.
lxxiv
Konsep kesejahteraan dalam Islam bukanlah secara ekslusif
bersifat materlialistis ataupun spiritual. Konsep ini menggabungkan aspek-
aspek spiritual dan material dalam kehidupan sehingga keduanya dapat
menjadi sumber kekuatan bersama dan sebagai dasar dari kesejahteraan
serta kebahagiaan umat manusia yang sejati.60
Kata kesejahteraan terkandung makna kemakmuran, yaitu
kondisi setiap orang yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah
karena tersedianya barang dan jasa yang dapat diperoleh dengan harga
yang terjangkau. Kesejahteraan fisik merupakan pencapaian dari
kesejahteraan ekonomi, yaitu terpenuhinya kebutuhan ekonomi, seperti
makan, minum, sandang dan papan.61
Di samping ada kesejahteraan fisik, manusia membutuhkan
kesejahteraan batin, yaitu ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman
batin. Jadi, kesejahteraan adalah keadaan orang yang hidup dengan rasa
aman, tenteram, dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.62
Apabila dikembalikan kepada pengertian Islam itu sendiri yang
berarti selamat, sejahtera, aman dan damai. Pencapaian keamanan dan
kesejahteraan yang paling maksimun yang dijamin oleh Islam hanya
60
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (terjemahan) (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 52.
61
Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 73. 62
Ibid., h. 73.
lxxv
tercapai setelah segala pengajarannya diimani, dihayati, dijiwai dan
diamalkan secara mutlak.63
Islam dan kesejahteraan tidak dapat dipisahkan, Imam al-
Syathibi, seorang pemikir Islam yang mempelopori lahirnya ilmu tujuan-
tujuan syariah (maqashid al-syari’ah) melalui karya monumentalnya, al-
Muwafaqat, menjelaskan bahwa tujuan utama syariah Islam adalah
meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah menurut al-Syathibi,
adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran,
keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana tujuan
utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.64
Pandangan al-Syathibi tersebut hampir sama dengan
pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menegaskan bahwa syariah
berlandaskan pada kebijakan dan kesejahteraan manusia di dunia hingga
hari akhir nanti. Kesejahteraan yang dimaksud meliputi rasa keadilan,
kasih sayang, kebaikan, serta kebijaksanaan. Apa pun yang bergeser dari
keadilan ke penindasan, dari kasih sayang ke kebencian dari
kesejahteraan ke kemelaratan dan dari kebijaksanaan ke kebodohan,
tidak ada hubungannya dengan syariah.65
63
Mustafa Haji Daud, Tamadun Islam, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2004), h. 85.
64Yuslam Fauzi, Islam dan Kesejahteraan Dunia Muslim http://www.cmm.or.id/
cmm-ind_more.php?id=A5248030M diakses pada 5 Februari 2011. 65
Hamid Abidin, (ed.), Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Pemanfaatan Zakat Infak Sedekah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h. 4.
lxxvi
Menurut al-Gazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu
masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan
dasar, yakni agama (ad-dien), hidup atau jiwa (an-nafs), keluarga atau
keturunan (an-nasb), harta atau kekayaan (al-mal), dan intelek atau akal
(al-aql).66
Kesejahteraan pada dasarnya merupakan akumulasi dari
kondisi yang baik, lahir dan batin. Ajaran Islam mengarahkan manusia
kepada kesejahteraan hakiki, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 201 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Ayat di atas menegaskan bahwa tujuan hidup yang ingin dicapai
adalah kesejateraan di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan di dunia adalah
terpenuhinya kebutuhan hidup yang bersifat material dan terpenuhinya
kebutuhan batin dalam bentuk ketenangan dan ketenteraman, sedangkan
kesejahteraan akhirat adalah kebahagiaan abadi di dalam surga.
66
Ahmad Ifham Sholihin, Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 71.
lxxvii
Kesejahteraan manusia hanya dapat direalisasikan melalui
pemenuhan kebutuhan material dan spritual manusia sedemikian rupa,
sehingga salah satu dari kedua aspek ini tidak ada yang diabaikan. Islam
mendorong kaum muslimin untuk menguasai alam dan memanfaatkan
sumber-sumber daya yang disediakan oleh Allah swt. untuk kepentingan
manusia, namun manusia diingatkan agar jangan mementingkan satu
aspek dengan mengumpulkan materi sebagai ukuran prestasi manusia
karena hal ini akan menyebabkan lupa pada pemenuhan aspek spiritual
manusia yang tidak bisa diabaikan.67
Islam begitu tegas mengingatkan aspek kehidupan material dan
spiritual, sehingga hal itu berfungsi sebagai sumber kekuatan yang saling
menguntungkan dan keduanya bersama-sama berfungsi sebagai fondasi
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia yang hakiki. Sesungghnya tidak
ada pemisahan antara kehidupan material dan spiritual dalam Islam.
Semua usaha manusia bernuansa spiritual selama itu sesuai dengan
sistem nilai-nilai Islam. Bekerja keras untuk kesejahteraan material adalah
bernilai spiritual seperti shalat dengan catatan bahwa usaha-usaha
material itu dibimbing oleh nilai-nilai spiritual.68
67
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (terjemahan), (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 12.
68
Ibid., h.12.
lxxviii
Kesejahteraan yang didambakan tercermin dalam Alqur’an
bahwa surga yang dihuni oleh Adam dan Isterinya, sesaat sebelum turun
melaksanakan tugas kekhalifaan di bumi. Surga diharapkan menjadi arah
pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu
diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat.
Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah
masyarakat yang berkesejahteraan.69
Untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat, agama Islam
mendorong umat Islam untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh
melakukan pekerjaan atau profesinya. Dalam Islam, derajat berjuang
untuk memenuhi kebutuhan hidup disejajarkan dengan berjuang membela
agama. Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Qashash (28) Ayat 77 sebagai
berikut:
Terjemahnya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…
Selain Islam mengakui kesejahteraan lahir dan batin, juga
mengakui kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat atau
sosial yang saling melengkapi satu sama lain. Islam tidak hanya
69
M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), h. 127.
lxxix
mendorong terciptanya kesejahteraan individual tetapi secara keseluruhan
dalam masyarakat harus tercipta kesejahteraan. Islam juga tidak
membenarkan persaingan tidak sehat dan permusuhan dalam bisnis.
Sistem Islam berusaha meredam konflik dalam kegiatan ekonomi sehingga
tercipta kemaslahatan dan kemanfaatan bersama.70
Kesejahteraan yang dituntut oleh Islam agar diwujudkan oleh
umatnya bukanlah sebatas kesejahteraan yang harus berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan materi individual namun kesejahteraan dalam
seluruh aspek kehidupan yang menyangkut semua elemen masyarakat.
Peningkatan kesejahteraan yang dimaksud kemudian tidak semata-mata
menjadi tanggung jawab orang-orang yang dalam kesehariannya hidup
serba kekurangan tetapi merupakan tanggung jawab integral dalam suatu
komunitas masyarakat, karena tercapainya kesejahteraan sosial akan
berimbas pada kedamaian dan ketenangan yang menjadi dambaan
seluruh anggota masyarakat.
Kesejahteraan lahir dan batin merupakan tujuan utama dalam
hidup dan kehidupan masyarakat muslim. Orang Islam memiliki fungsi
utama dan sangat mendasar yaitu beribadah kepada Allah swt. dalam
rangka ibadah ini, manusia telah diberi kemampuan untuk berusaha, di
samping itu ada jaminan sarana hidup dan kehidupan yang menuntut
70
Mohammad Asror Yusuf, Kaya Karena Allah: Sikap dan Pandangan Islam terhadap Dunia Materi, (Depok: Kawan Pustaka: 2004), h. 80.
lxxx
sumber daya manusia dan budi daya alam, pengelolaan, pengembangan,
dan pelestariannya.71
Samiul Hasan menulis mengenai Islam kaitannya dengan
kesejahteraan bahwa:
The Islamic principle of property suggests that the needy people have a right in the wealth of a rich person because everything belongs to God and He gracefully has bestowed some property on some so that they can be grateful and help others in charity.72
Menurut M. Umar Chapra, Islam menyatakan kesejahteraan
akan lahir manakala terjadi sinergisitas antara kepentingan dunia dan
akhirat. Dalam hal ini, negara mempunyai kewajiban pokok untuk
memenuhi kebutuhan warga negaranya yang meliputi pemenuhan
kebutuhan dasar (basic need) dan menjamin tercapainya pelaksanaan
nilai-nilai spiritual.73
Kekayaan alam dan sumber daya yang lain dengan
perantaraan ilmu dan teknologi tidak sekadar diubah untuk memenuhi
kebutuhan material manusia saja, karena kebutuhan material hanyalah
salah satu tujuan dari hidup ini. Sedangkan tujuan hidup yang sebenarnya
71
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 12-13. 72
Samil Hasan, “Islamic Concept of Social Justice: Its Possible Contribution to Ensuring Harmony and Peaceful Coexistence in a Globalised World” dalam Macquarie Law Journal, Vol 7, 2007, h. 172.
73
Ainur R. Shopian, (ed.), Negara Sejahtera dalam Islam dan Peranannya di Bidang Ekonomi dalam Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997),h. 29-30.
lxxxi
adalah untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin, semua itu
hendaknya dicapai dengan cara yang konsisten dengan tujuan itu sendiri.74
H. Negara Hukum Kesejahteraan
1. Konsep Negara Hukum Kesejahteraan
Ide dasar negara kesejahteraan dalam filsafat barat, berawal
abad ke-18 yang dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832).75
Bentham adalah salah seorang filosof moral dan reformer hukum yang
memperkenalkan doktrin utilitarianisme. Gagasan utamanya adalah
prinsip tertinggi moralitas adalah memaksimalkan kebahagiaan,
keseimbangan keseluruhan adalah kesenangan dari rasa sakit. Hal
yang tepat untuk dilakukan adalah apa saja yang dapat
memaksimalkan utilitas.76
Jeremy Bentham mempromosikan gagasan bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest
happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens.
Bentham menggunakan istilah utility (kegunaan) untuk menjelaskan
konsep kebahagiaan atau kesejahteraan.
74
Abdul Majid bin Aziz al-Zindani, et.al., Mukjizat Alqur’an dan as-sunnah tentang Iptek (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 150.
75Edi Suharto, Islam dan Negara Kesejahteraan, http://www.policy.hu/suharto/
Naskah% 20PDF/ IslamNegaraKesejahteraan.pdf diakses pada 24 Februari 2010.
76Michael J. Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do?, (London: Penguin
Books, 2010), h. 34.
lxxxii
Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang dikembangkan,
sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu
yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk.
Menurut Bentham, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk
meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan
Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan
penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial akhirnya dikenal
sebagai bapak negara kesejahteraan (father of welfare states).77
Prinsip kemanfaatan yang dikemukakan Bentham, bahwa:
The principles of utilities have to be the guiding standard and the basis for evaluation of all action. Utility in this case was to be understood as that quality of an object or action which gave it a propensity to produce some good, satisfaction/happiness or benefit on the one hand, and to prevent or reduce pain, evil or mischief on the other78. Jadi, menurut Bentham bahwa prinsip kemanfaatan harus
menjadi petunjuk standar dan dasar untuk pengevaluasian semua
tindakan. Kemanfaatan dalam hal ini harus dipahami sebagai kualitas
dari suatu obyek atau tindakan yang memberikannya kecenderungan
untuk menghasilkan hal yang baik, kepuasaan/kebahagiaan atau
77
Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan” loc. cit.
78Routledge.Cavendish, Jurisprudence, (New York: Cavendish Publishing, 2002), h.
83.
lxxxiii
manfaat di satu sisi, dan untuk mencegah atau mengurangi rasa sakit,
kejelekan atau kerusakan di sisi lain.
Dalam konteks negara modern, menurut Bagir Manan bahwa
konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep
negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini tugas
negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga
keamanan atau ketertiban masyarakat saja tetapi memikul tanggung
jawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum yang
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.79
Adanya perpaduan antara negara hukum dan negara
kesejahteraan diistilahkan oleh Jimly Asshiddiqie dengan istilah
welfaarts-rechsstaat atau negara hukum kesejahteraan. Kesejahteraan
lahir dalam hubungan yang serasi antara kebebasan dan keadilan.
Jadi, nilai-nilai yang diidealkan dalam kehidupan kolektif umat manusia
adalah kebebasan (freedom), keadilan (justice), dan kemakmuran atau
kesejahteraan (posperity).80
Konsep negara hukum kesejahteraan yang dikemukakan Jimly
Asshiddiqie, diistilahkan oleh Satjipto Rahardjo, yaitu negara hukum
yang membahagiakan rakyatnya, negara yang bersifat progresif, selalu
79Bagir Manan, Politik Perundang-Undangan dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian, (Bandar Lampung: FH-UNILA, 1996), h. 16. 80
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 372-373.
lxxxiv
aktif mengambil inisiatif untuk bertindak. Bukan rakyat yang harus
meminta-meminta untuk dilayani oleh negara, melainkan negaralah
yang aktif datang kepada rakyat.81
Konsep negara hukum kesejahteraan adalah suatu masyarakat
yang pemerintahnya bertanggungjawab menjamin bahwa setiap warga
negaranya menerima pendapatan minimum dan mempunyai akses
sebesar mungkin yang mampu diraih untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya pada bidang perawatan kesehatan, perumahan, pendidikan
dan layanan sosial personal.82
Piet Thoenes memberikan definisi tentang welfare state
sebagai berikut:
Suatu bentuk masyarakat ditandai dengan sustu sistem kesejahteraan yang demokratis dan ditunjang oleh pemerintah yang ditempatkan atas landasan baru, memberikan suatu jaminan perawatan sosial yang kolektif pada warga negaranya dengan mempertahankan secara sejalan beriringan suatu sistem produksi kapitalis.83 Negara hukum kesejahteraan menunjuk pada sebuah model
ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan
melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam
81
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), h. 106.
82
Isbandi Rukminto Adi, Konsep dan Pokok Bahasan dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial (Jakarta: UI Press, 2005), h. 102.
83
Laode Husen, Hubungan Fungsi Pengawasan DPR dengan BPK dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2005), h. 23.
lxxxv
memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif
kepada warganya. Spicker, misalnya, menyatakan bahwa negara
kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which welfare is
provided comprehensively by the state to the best possible
standards.”84
Konsep negara kesejahteraan dalam Lontara Bugis, dapat
ditemukan dalam pendapat Maccae ri Luwu bahwa kesejahteraan
masyarakat dan negara terjadi bila raja menjalankan fungsi
pengayoman dan pemayungan kepada rakyatnya, sehingga
memungkinkan: 1) warga masyarakat memperluas jaringan
kekerabatan, merimbunkan pepohonan, palorong welareng, pakdaung
raung kaju; 2) warga masyarakat memiliki harapan hidup (usia) lebih
panjang, malampek sungek, 3) meningkatkan jumlah manusia dan
mengembangbiakkan binatang ternak, pasawe tau, pabbija olokolok;
4) mempersubur tanaman buah-buahan dan meningkatkan hasil
panen, pasawe bua-bua ajukkajung, mapato laopole sangiaserri; serta
5) adanya persatuan jiwa dan semangat seluruh rakyat. Hal-hal
tersebut sekaligus memungkinkan terciptanya kejayaan negara.85
84
Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches, (London: Prentice Hall, 1995), h. 82.
85
Anwar Ibrahim, Negara Kesejahteraan Versi Maccae ri Luwu, http://alwyrachman. blogspot.com/2009/09/negara-kesejahteraan-versi-maccae-ri.html diakses pada 5 Juni 2010.
lxxxvi
Dalam memahami negara hukum kesejahteraan, setidak-
tidaknya ada tiga poin penting yang harus diketahui dan menjadi kunci
utama, yaitu:
1. Intervensi yang dilakukan oleh negara (dalam hal ini pihak
pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan warganya;
2. Kesejahteraan harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan dasar
masyarakat;
3. Kesejahteraan adalah hak dari setiap warga negara.86
Secara umum, suatu negara dapat digolongkan sebagai
negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utama, yaitu: (1)
social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation
system; (4) rights to education and the expansion of modern mass
education systems.87
Negara hukum kesejahteraan berusaha membebaskan
warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk
mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya
sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat
kebijakan sosial yang disediakan oleh negara.88
86
Isbandi Rukminto Adi , op. cit. 108. 87
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2007), h. 9.
88
Ibid. h. 9.
lxxxvii
Dalam suatu negara hukum kesejahteraan, negara mempunyai
tugas politik dalam semua sektor kehidupan, terutama dalam sektor
perekonomian. Tugas negara dalam menciptakan kesejahteraan tidak
terbatas pada suatu golongan tertentu dalam masyarakat tetapi untuk
semua warga negara dan tidak pula untuk suatu waktu dalam
kehidupan individu, dimulai dari dilahirkan sampai meninggal. Negara
harus memperhatikan kesejahteraan individu dan masyarakat tersebut,
inilah yang dinamakan universalisme negara kesejahteraan. Seiring
dengan lahirnya konsepsi negara hukum kesejahteraan ini, timbul pula
apa yang dinamakan konsepsi ekonomi kesejahteraan yang
memberikan dasar-dasar teoritis ekonomis kepada konsepsi negara
hukum kesejahteraan itu.89
Negara hukum kesejahteraan mengacu pada peran
pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan
perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya
untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam
tingkat tertentu bagi warganya. Konsep ini dipandang sebagai bentuk
keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah
mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market
89
Yulia Hafizah, “Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau dari Konsep Dasar Ekonomi Islam” Jurnal Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005, h. 20.
lxxxviii
failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure)
pada masyarakat sosialis90.
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan
kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the granting
of social rights) kepada warganya. Semua perlindungan sosial yang
dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh
masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur
dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber
daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.91
2. Negara Hukum Kesejahteraan: Ibnu Khaldun
Salah seorang ilmuwan muslim yang memberikan konstribusi
terhadap perkembangan kenegaraan adalah Ibnu Khaldun. Nama
lengkapnya adalah Abdurrahman Abu Zaid yang kemudian mendapat
gelar Waliyyuddin, Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada awal bulan
Ramadhan 732 H. (1332 M) dan meninggal di Kairo Mesir pada
tanggal 25 Ramadhan 808 H. (1406 M).92
90
Imam Purwadi, “Negara Kesejahteraan dalam Pandangan Ketatanegaraan Islam” http://wwwgats.blogspot.com/2009/07/negara-kesejahteraan-dalam-pandangan.html diakses pada 5 Juni 2010.
91
Ibid. 92
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 421.
lxxxix
Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun pernah tercatat dua
kali menjadi hakim agung. Pertama kalinya sebagai hakim agung
diangkat pada 8 Agustus 1384 M oleh Sultan Mesir, al- Zhahir Barqa,
kemudian kedua kalinya oleh Sultan Mesir Nashir Faraj, putera Sultan
Burquq hingga meninggal dunia pada 16 Maret 1406 M (26 Ramadhan
808 H) dalam usia 74 tahun di Mesir.93
Ibnu Khaldun memperkenalkan teori negara hukum
kesejahteraan dengan istilah negara kemakmuran (ashabiah),
kemudian teori ini diadopsi oleh pemikir barat modern sejak
renaissance hingga sekarang dengan memodifikasi dengan konsep
baru yaitu negara kesejahteraan (welfare state).94
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, hubungan antara pemerintah
dan rakyatnya adalah hubungan kepemilikan. Pemerintah adalah milik
rakyat dan rakyat adalah milik pemerintah. Apabila hubungan
kepemilikan dan akibat-akibat yang ditimbul dari padanya, maka tujuan
pemerintahan benar-benar telah dipenuhi. Sebab apabila kekuasaan
yang timbul dari pemilikan itu dipergunakan di atas jalan yang tepat
dan baik, maka kepentingan rakyat akan terjamin tetapi sebaliknya
93
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 95. 94
Sumber: http://www.reocities.com/CapitolHill/embassy/4083/tarbiyah/konsep negara.html. diakses pada 25 Mei 2010.
xc
apabila kekuasaan itu digunakan di atas jalan yang nista dan
menindas, rakyat akan menderita bahkan mungkin binasa.95
Di antara pemikiran Ibnu Kaldun yang sangat penting adalah
pemikirannya tentang circle of equity. Dalam lingkaran keadilan ini,
Ibnu Khaldun menghubungkan beberapa variabel yang saling terkait
dan saling mempengaruhi dalam memajukan atau memundurkan
peradaban.
Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat variabel-
variabel yang mendukung terwujudnya negara hukum kesejahteraan,
yaitu:
1. G = Government (pemerintah) = الملك
2. S = Syari’ah = الشریعة
3. W = Wealth (kekayaan/ekonomi) =الأموال
4. N = Nation (masyarakat/rakyat)= الرجال
5. D = Development (pembangunan) = عمارة
6. J = Justice (keadilan) = العدل
Keenam variabel-variabel tersebut saling berkaitan sebagai
satu jalinan sistem. Adapun uraiannya sebagai berikut :
95
Ibnu Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction the History, (United Kingdom: Princeton University Press, 2005), h.153.
xci
1. Pemerintah (G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan
implementasi Syari’ah (S);
2. Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh
pemerintah/penguasa (G);
3. Pemerintah (G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh
masyarakat (N);
4. Pemerintah (G) yang kokoh tidak terwujud tanpa ekonomi (W)
yang tangguh;
5. Masyarakat (N) tidak dapat terwujud kecuali dengan
ekonomi/kekayaan (W);
6. Kekayaan (W) tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan
(D);
7. Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan
(J);
8. Penguasa/pemerintah (G) bertanggung jawab mewujudkan
keadilan (J);
9. Keadilan (J) merupakan mizan yang akan dievaluasi oleh Allah
swt.96
Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan
hubungan variabel-variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan
96
Mohammad Tahir Sabit Haji Mohammad, “Principles of Sustainable Development in Ibn Khaldun’s Economic Thought”, Malaysian Journal of Real Estate, Volume 5, Number 1, 2010, h. 6.
xcii
sebuah negara, khususnya negara hukum kesejahteraan. Semua
variabel tersebut bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling
tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel
tersebut menjadi faktor yang menentukan kemajuan suatu peradaban
atau kemunduran dan keruntuhannya.
Secara sederhana dapat dibaca bahwa penguasa (G)
bertugas dan bertangungjawab menerapkan syari’ah (S), sebab tanpa
syari’ah, masyarakat (N) akan kacau, negara akan runtuh. Negara juga
harus menjamin hak-hak masyarakat dan bertanggung jawab
mewujudkan kesejahteraan masyarakat (N) agar masyarakat
sejahtera/makmur (W), melalui pembangunan (D) yang adil ( J). Bila
variabel-variabel itu tidak dipenuhi, maka kekuasaan tinggal menunggu
waktu runtuhnya. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menekankan bahwa
sebuah negara tidak dapat mencapai kemajuan dan kekuatan kecuali
dengan menerapkan syariah.97
Mohammad menulis, bahwa Chaptra telah
menginterpretasikan gagasan Ibnu Khladun dalam sebuah mulitidisplin
model dengan karakter dinamis yang terdiri atas variabel sosial
ekonomi dan politik yang termasuk “the sovereign or political authority
(G), beliefs and rules of behaviour or the Shariah (S), people (N),
97
M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, (United Kingdom: The Islamic Foundation, 2001), p. 61.
xciii
wealth or stock of resources (W), development (G) and justice (J), in a
circular and interdependent manner, each influencing the others and in
turn being influenced by them.”98
Selanjutnya, lingkaran karakter dinamis pengembangan
ekonomi dalam negara hukum kesejahteraan versi Ibnu Khaldun,
dapat dilihat gambar di bawah ini:
Gambar 1
Siklus Rantai Reaksi Ibnu Khaldun yang Diformulasi M. Umer Chapra
Sumber: Mohammad Tahir Sabit Haji Mohammad (2010)
M. Umer Chapra menginterpretasikan model tersebut secara
sederehana yaitu: a strong economic development requires (i)
collective entity (state), (ii) rules and regulations, (iii) law enforcement
institutions, (iv) people, (v) wealth or economic empowerment, (vi)
98
Mohammad Tahir Sabit Haji Mohammad, “Principles of Sustainable… loc.cit.
xciv
development, (vii) justice, and (viii) moral legitimacy. These eight
components may be compressed into: (a) a collective authority
represented by State institutions (b) the rule of law, (c) the people, (d)
wealth and development, (e) justice and (f) moral legitimacy.
Menurut Chapra, kekuatan negara atau masyarakat atau
ekonomi tergantung dari dukungan warganya dan dukungan warganya
tergantung dari makanan yang dikonsumsi. Makanan yang dikonsumsi
masyarakat tergantung dari akses kekayaan yang diperoleh,
sementara akses untuk memperoleh kekayaan tergantung
partisipasinya dalam pembangunan, sementara partispasi dalam
pembangunan dapat dicapai, apabila semua itu didasarkan pada
keadilan yang didirikan atas dasar prinsip-prinsip hukum dan moral.99
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut ini:
99
Ibid., h. 7.
xcv
Gambar 2 Core Interdependent Components of Economic Growth
Strong Economy/Society People Wealth Development Justice
Sumber: Mohammad Tahir Sabit Haji Mohammad (2010)
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa negara harus berorientasi
kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran,
menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak
yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan
melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan
sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan
memperlakukan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara
merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara
tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, negara tidak perlu
terlibat secara langsung sebagai pelaku pasar, namun harus
melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan
xcvi
usahanya secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk
melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan.100
3. Negara Hukum Kesejahteraan Madinah
Berdasarkan catatan sejarah diketahui bahwa Nabi
Muhammad saw. hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Ada dua
aktivitas yang sangat penting yang dilakukan setibanya di Madinah,
yaitu mendirikan masjid di Quba dan city-state di Madinah. Dua
peristiwa tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw. telah
melaksanakan dua macam doktrin Islam yang pokok, yaitu hubungan
manusia dengan Allah swt. dan hubungan manusia dengan sesama
manusia.101
Perilaku Nabi Muhammad saw. pada permulaan periode di
Madinah membuktikan bahwa sejak semula Islam mempertautkan
secara erat antara agama dengan negara. Selain itu pula ketika Nabi
Muhammad saw. di Madinah mengubah kota Yastrib. Namun Madinah
yang digunakan untuk mengganti Yastrib tidak sekadar berarti kota.
Nama itu punya arti yang luas, yaitu kawasan tempat menetap dan
100
Merza Gamal, “Peran Negara dalam Ekonomi Islam”, http:// www.kabarindonesia.com/ berita. php?pil=20&dn=20071203154331 diakses pada 2 September 2010.
101
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 157.
xcvii
bermasyarakat yang memiliki peradaban dan budaya yang mencakup
negara (dawlah) dan pemerintahan (hukumah). Di belakang kata
Madinah, ditambahkan kata Munawwarah atau Madinah al-
Munawwarah, artinya negara dan pemerintahan yang diberi cahaya
wahyu Ilahi, atau menurut istilah al-Farabi, yaitu al-Madinah al-Fadilah
(negara utama).102
Secara konvesional, perkataan madinah, dapat diartikan
sebagai kota. Dalam ilmu kebahasaan mengandung makna
peradaban. Dalam bahasa Arab peradaban dinyatakan dalam kata-
kata madaniyah atau tamaddun, oleh karena itu, tindakan mengubah
nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah
peryataan niat atau proklamasi bahwa Nabi Muhammad saw.
bersama para pendukungnya yang terdiri atas kaum Muhajirin dan
Anshar hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.103
Menurut Yudi Latif, salah satu penjelasan leksikal kata
madinah berasal dari kata kerja dana-yadinu, berarti tunduk-patuh;
yang mengisyaratkan kewajiban manusia untuk tunduk dan patuh
kepada kesepakatan dan perjanjian kontraktual yang sah antara
manusia dengan Tuhannya dan antara sesamanya. Penjelasan
102Irfan Idris, Islam dan Konstitusionalisme: Konstribusi Islam dalam Penyusunan
Undang-Undang Dasar Indonesia Modern, (Yogyakarta: antonyLib, 2009), h. 32. 103
Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, No. 2, Vol. VII, Th. 1996, h. 51.
xcviii
leksikal lainnya menyebutkan bahwa madinah berasal dari kata kerja
madana-yamdunu, yang berarti mendirikan bangunan. Hal ini
mengisyaratkan pembangunan hunian tetap sebagai basis peradaban
negara-kota (polis).104
Masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. di
Madinah oleh Robert N. Bellah dikatakan sebagai masyarakat yang
untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern,
sehingga setelah Nabi Muhammad saw. sendiri wafat tidak bertahan
lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan
pranata sosial yang diperlukan untuk menopang tatanan sosial yang
modern seperti dirintis Nabi Muhammad.105
Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw.
berdasarkan prinsip kesejahteraan. Dalam Islam, konsep negara
hukum kesejahteraan dirumuskan dengan istilah baldatun thayyibatun,
seperti dalam Firman Allah swt. Q.S. Saba (34) Ayat 15 sebagai
berikut:
Terjemahnya:
104
Fajar Riza dan Endang Tirtana, (ed.), Islam, HAM, dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama, (Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2007), h. 22.
105
Robert N. Bellah, Beyond Belief, (New York: Harper & Row, 1976), h. 150-151.
xcix
…(negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".
Hakikat baldatun thayyibatun pada ayat di atas adalah suatu
negeri atau daerah yang baik, tanahnya subur, masyarakatnya
makmur serta pemerintahannya adil dan merupakan gambaran
masyarakat yang ideal.106
Dalam mewujudkan negara hukum kesejahteraan
sebagaimana dimaksudkan Alqur’an, yaitu suatu negara yang
sejahtera di bawah naungan ridha Allah swt., maka negara
berkewajiban mengatur dan mengalokasikan dana dalam jumlah yang
cukup untuk keperluan jaminan masyarakat yang memerlukannya.
Jaminan sosial itu mencakup tunjangan pengangguran, tunjangan
orang tua (berusia pensiun), beasiswa yang sedang menuntut ilmu
dan lain-lain. Negara berkewajiban pula menyediakan sarana
peribadatan, pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain.107
Pada negara hukum Madinah, hanya ada satu motivasi pada
prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam: hablun min Allah wa hablun
min al-nas, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Realisasi prinsip
negara hukum kesejahteraan ini semata-mata bertujuan untuk
106
Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qu’ran, (Surabaya: Penerbit Erlangga, 2006), h. 116
107
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum… op.cit., h. 152.
c
mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat sesuai dengan
perintah Allah swt.
Masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad
saw. adalah masyarakat yang berhasil memberlakukan nilai-nilai
keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi
semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Kalangan pemikir muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah
sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam. Hal itu berdasarkan
Hadis Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya, "tak ada satupun
masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik
masa adalah masaku”.
Sumber-sumber pendapatan negara pada Negara Madinah,
antara lain zakat, infak, sadaqah, ghanimah dan jizyah. Zakat, infaq,
sadaqah merupakan sumber pendapatan negara yang berasal dari
kaum muslimin. Ghanimah adalah harta rampasan perang yang
ditentukan.
Nabi Muhammad saw. sebagai rasul tidak hanya
menerapkan prinsip kesejahteraan sosial dalam makna pemenuhan
akan kebutuhan materil atau kebendaan saja, akan tetapi dalam
kedudukannya sebagai Rasulullah dan Kepala Negara Madinah, Nabi
Muhammad saw. telah menerapkan suatu prinsip kesejahteraan untuk
dua macam kepentingan, yaitu kepentingan kesejahteraan materil
ci
bagi semua warga Madinah dan kesejahteraan yang bersifat spiritual.
Nabi Muhammad saw. telah melaksanakan dan menerapkan suatu
prinsip keseimbangan duniawiyah dan ukhrawiyah.108
Prinsip ini diajarkan dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 201
sebagai berikut:
Terjemahnya:
dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kesejahteraan (kebaikan) di dunia dan kesejahteraan (kebaikan) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Prinsip ini dapat dikatakan merupakan salah satu ciri khusus
konsep negara hukum kesejahteraan Madinah yang
membedakannya dengan cita-cita kenegaraan dalam pemikiran barat
yang cenderung mengutamakan kesejahteraan materil dan
mengabaikan kesejahteraan spiritual atau setidaknya kurang
memperhatikan segi kesejahteraan spiritual bagi rakyatnya.
B. Teori Hukum al-Maslahah: Imam Malik
1. Pengertian al-Maslahah
108
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum… op.cit., h. 168.
cii
Teori maslahah atau istislah, pertama kali diperkenalkan oleh
Imam Malik (W. 97 H.), pendiri Mazhab Maliki. Namun karena
pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah
abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan
maslahah kepada Imam Malik,109 sehingga tidak berlebihan jika ada
pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah ditemukan dan
dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah
yaitu Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali
dan menurut beberapa hasil penelitian, ahli usul fiqih yang paling
banyak membahas dan mengkaji maslahah adalah Imam al-Ghazali
yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.110
Kata maslahah berasal dari bentukan tiga huruf sha, la dan ha.
Dari kata tersebut terbentuk kata shalaha, shaluha, ashlaha, shaalaha,
isthalaha, ishtashlaha, shalahiyah dan ash shulhu.111 Sedangkan
Fairuz Abadi mengatakan, kata maslahah berasal dari kata kerja
shalaha-yasluhu, shalaahan wa suluhan, yang bermakna hilangnya
kerusakan, bermanfaat atau cocok. Kemudian ditambah huruf hamzah
109
Ahmad Munif Suratmaputra, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 184.
110
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Madzhab Sunni, (terjemahan), (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 165-166.
111
Ibrahim Musthafa, (et.al.), Al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Maktabah asy-Syuruq ad- Dauliyah, 2004), h. 520.
ciii
di depan sehingga menjadi ashlaha-yuslihu-islaahan, bermakna
berbuat sesuatu yang berfaedah (bermanfaat).112
Menurut Yusuf Hamid Alim, kata maslahah mutlak kembali
kepada dua hal. Pertama, kata maslahah sama dengan kata manfaat
(dalam bahasa arab), dari sisi timbangan (wazan) dan makna, ini
adalah makna hakiki. Kedua secara majazi, berarti perbuatan yang
mengandung kebaikan dan manfaat, maksudnya dalam konteks
kausalitas. Seperti halnya perniagaan yang mengandung manfaat
materi dan menuntut ilmu yang mengandung manfaat maknawi.113
Sedangkan Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam
menyatakan bahwa kata al-mashalih (bentuk plural dari al-maslahah)
dan al-mafasid (bentuk plural dari al-fasadu) sering diungkapkan
dengan kata khair (kebaikan) dan asy-syarr (keburukan), an-naf’u
(manfaat) dan adh-dhaarr (bahaya), al-hasanah (kebaikan) dan as-
sayi’ah (keburukan). Maslahah mencakup semua kebaikan dan
manfaat, sedangkan al-mafasid mencakup seluruh keburukan dan
bahaya. Alqur’an sendiri selalu menggunakan kata al- hasanah untuk
112
Ibrahim Musthafa (et.al.), loc. cit. 113
Yusuf Hamid Alim, Al-Maqasid al-Ammah Lissyariah al-Islamiyah, (Riyadh: Ma’had Ali al-Fikri al-Islami, 1994), h. 133-134.
civ
menunjukan pengertian al-maslahah dan kata as-sayi’ah untuk
menunjukan pengertian al-mafsadah114.
Secara etimologi kata maslahah adalah sinonim dari kata
manfaat, digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang yang
menjadi baik atau bermanfaat. Secara alternatif untuk menunjukkan
keadaan yang mengandung kebajikan atau terhindar dari bahaya.
Dalam mengartikan maslahah secara definitif terdapat
perbedaan rumusan dikalangan ulama. Berikut ini disebutkan definisi
dari beberapa ulama.
Imam al-Ghazali menjelaskan, menurut asalnya maslahah itu
berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menjauhkan mudarat (kerusakan), namun hakikat dari maslahah
adalah memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.115
Selanjutnya Izzudin Ibnu Abdil Azis mendefinisikan maslahah
dalam dua bentuk. (1) hakiki, maksudnya berupa kesenangan dan
kenikmatan; (2) majazi, maksudnya ”sebab-sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmatan” tersebut, dan bisa jadi faktor datangnya
114Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawaidul Ahkam fi Islahil Anam,
(Damaskus: Darul Qalam, t.th), h. 7. 115
Imam Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa bi Tahqiqi Abdullah Mahmud Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2008), h. 275.
cv
maslahah adalah justru mafasid (kerusakan).116 Definisi ini didasarkan
bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan
dan sebab sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.117
As-Syatibi mendefinisikan maslahah dari dua sudut pandang,
yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi
tergantungnya tuntunan syara’ kepada maslahah. Dari segi terjadinya
maslahah dalam kenyataan, berarti sesuatu yang kembali kepada
tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya, tercapai
apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak,
sehingga merasakan kenikmatan.118
Sedangkan dari segi tergantungnya tuntunan syara’ kepada
maslahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan
hukum syara’. Untuk meraihnya Allah swt. menuntut manusia untuk
berbuat, sehingga mencapai kesempurnaan dan lebih mendekati
kehendak syara’. Meskipun dalam pelaksanaannya mengandung
kerusakan sebenarnya bukan itu yang diinginkan oleh syara’.119
Berdasarkan definisi di atas, baik secara etimologi maupun
secara terminologi, dapat diambil beberapa kesimpulan. Diantaranya
116
Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam… op.cit., h. 18. 117
Ibid., h. 15. 118
As-Syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, Vol. 2, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997), h. 44.
119
Ibid., h. 45.
cvi
adalah: maslahah terkadang dapat dilihat secara rasional dan
terkadang tidak, karena ada beberapa perkara yang bentuknya
kerusakan namun ujungnya berbuah maslahah atau sebaliknya.
Kemudian ada perbedaan antara definisi maslahah secara umum
(etimologi) dan syara’ (terminologi) yang terletak pada tujuan syara’
yang dijadikan rujukan. Secara etimologi maslahah merujuk pada
tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung
pengertian untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan
secara syar’i, ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, tanpa melepaskan
tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan
kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.
2. Macam-Macam al-Maslahah
Ada beberapa kategori dalam pembagian macam-macam
maslahah. Diantaranya adalah Pertama, dari segi kekuatan zatnya;
Kedua, berdasarkan cakupannya menurut jumhur ulama; dan Ketiga,
maslahah menurut syara’.
1) Maslahah dari segi kekuatan zatnya.
cvii
Maslahah ini di bagi dalam tiga bagian, yaitu maslahah dharuriyah,
maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah.
(1) Maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya sangat dibutuhkan demi tegaknya
kemaslahatan dunia dan akhirat; artinya apabila ada yang
hilang maka kemaslahatan dunia dan akhirat tersebut tidak
dapat berjalan dengan semestinya, bahkan akan mengalami
kerusakan, kegoncangan serta lenyapnya kehidupan; selain itu
kenikmatan akan sirna dipenuhi dengan kerugian.120 Ibnu
Asyur berkata bahwa maslahah dharuriyah adalah
kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia,
tanpanya aturan tidak dapat berjalan dengan lurus, jika
maslahah itu rusak maka keadaan umat akan rusak pula.121
Kemaslahatan tersebut menjaga lima hal pokok,
yaitu: menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Beragama adalah fitrah; menjaga jiwa adalah watak; menjaga
120
As Syatibi, Al-Muwafaqat....op. cit., h. 17-18. 121
Muhammad bin Thahir bin Asyur, Maqasid asy-Syariah al-Islamiyah, (Kairo: Darus Salam, 2006), h. 76.
cviii
keturunan adalah hukum alam; menjaga harta adalah hukum
masyarakat dan menjaga akal adalah suatu keharusan.122
Ada dua cara untuk menjaganya, yaitu: Pertama,
berupa tindakan langsung dengan menegakkan sendi dan
pondasi-pondasinya. Kedua tindakan tidak langsung, yaitu
mencegah terjadinya sesuatu yang dapat merusaknya. Contoh
dari tindakan langsung seperti pokok ibadah berupa iman,
syahadat shalat dan sebagainya, ini sebagai tindakan kuratif
untuk agama. Sedangkan untuk jiwa dan akal adalah dengan
makanan, minuman, tempat tinggal dan lainnya. Untuk
tindakan langsung terhadap harta dan keturunan adalah
dengan muamalah. Adapun tindakan secara tidak langsung
semuanya tercakup dengan upaya amar maruf dan nahi
munkar.123
(2) Maslahah hajiyat
Maslahah hajiyat, yaitu kemaslahatan yang tingkat
kebutuhannya untuk memberi kemudahan dan tanpa
keberadannya akan timbul kesusahan. Jika hal ini tidak dijaga
maka manusia akan merasa berat, namun tingkat
122
Muhammad Kamaludin Imam, Ushulul Fiqh al-Islamy, (Iskandariyah: Darul Matnu’at al-Jami’ah, t.th), h. 200-201.
123
As-Syatibi, Al Muwafaqat ….op. cit., h. 18-20.
cix
kerusakannya tidak sebagaimana yang biasa terjadi di tingkat
umum.124 Ibnu Asyur berkata, kemaslahatan yang diperlukan
oleh manusia agar maslahah dan kebutuhannya tercapai
dengan hasil yang baik, dan ketiadaannya tidak menimbulkan
kerusakan, hanya saja kurang sempurna, oleh karena itu tidak
sampai tingkat dharuri.125
Maslahah ini tercakup dalam masalah ibadah, adat,
muamalah dan jinayat. Contoh dalam ibadah seperti rukhsah
yang diperuntukkan bagi orang sakit dan musafir. Dalam adat
misalnya boleh berburu atau bersenang-senang dengan
sesuatu yang baik (halal). Contoh dalam perkara muamalah
seperti gadai dan jual beli dengan metode pesanan. Contoh
dalam perkara jinayat seperti pembebanan diyat bagi keluarga
tersangka.126
(3) Maslahah tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah adalah melakukan sesuatu yang
termasuk kebaikan dalam tradisi dan menjauhi perilaku buruk
yang tercela menurut akal yang benar, contohnya terhimpun
124
Ibid., h. 21. 125
Muhammad bin Thahir bin Asyur, Maqasid… op.cit.,h. 76. 126
As Syatibi, Al Muwafaqat ….op. cit., h. 22.
cx
dalam kategori akhlak terpuji.127. Menurut Amir Syarifuddin,
maslaha ini adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai
tingkat hajiyah; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi
dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi
hidup manusia.128
Maslahah tahsiniyah juga berlaku dalam perkara
yang sama sebagaimana dua maslahah sebelumnya.
Contohnya dalam ibadah adalah menghilangkan najis,
menutup aurat, berhias dan lainnya. Dalam perkara adat
kebiasaan seperti adab makan minum, tidak makan yang najis
dan lainnya. Kemudian contoh dalam perkara muamalah
adalah larangan jual-beli barang najis. Dalam masalah jinayah,
contohnya larangan membunuh anak-anak, wanita dan orang
tua dalam perang.129
Menurut Ali Parman, ada dua hal yang harus dilihat dari
tujuan kemaslahatan ini. Pertama, pada masalah dharuriyah
sebagai tujuan utama hukum Islam (merangkum beberapa
127
Ibid. 128
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 2, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 350.
129
As-Syatibi, Al Muwafaqat ….op. cit., h. 22-23.
cxi
pendapat seperti: Syatibi, Hamka Haq, dan A. Qadir Gassing)
yaitu: memelihara jiwa, akal, keturunan, harta benda, persatuan,
dan lingkungan hidup. Kedua, istilah dharuriyah bermakna primer,
hajiyah bermakna sekunder dan tahsiniyah bermakna
komplementer. Pemaknaan tersebut harus dipahami dan
diamalkan agar tujuan hukum Islam dapat tercapai. Oleh karena
itu sikap moderat menjadi pertimbangan kuat memelihara
kemaslahatan.130
Berdasarkan argumen di atas, dapat dipahami bahwa
tujuan hukum Islam tidak hanya terbatas pada memelihara jiwa,
akal, keturunan, harta benda, persatuan dan kesatuan, serta
lingkungan hidup tetapi juga adalah sikap moderat dalam
memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Sikap moderat ini
membawa konsekuensi hokum bahwa jiwa, akal, keturunan, harta
benda, persatuan dan kesatuan, serta lingkungan hidup tidak
terlaksana apabila tidak ada sikap moderat didalamnya.
2) Maslahah berdasarkan cakupannya
(1) Pertama adalah maslahah umum yang berkaitan dengan
semua orang, seperti dicontohkan Imam al-Ghazali dalam
130
Ali Parman, “Kemoderatan Dalam Hukum Islam: Telaah Terhadap Implementasi Ibadah-Muamalah yang Bercorak Matematis”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, 25 Oktober 2011, h. 14-15.
cxii
perkara menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku bid’ah
dan menyerukannya. Hal tersebut dilakukan jika diyakini
bahayanya dapat menimbulkan kemudaratan bagi semua
orang.
(2) Kedua maslahah yang mencakup mayoritas manusia,
contohnya adalah seperti jaminan perusahaan bagi konsumen
terhadap barang yang hilang, selama bukan karena kelalaian
konsumen. Maka kemaslahatan tersebut hanya bagi mayoritas
konsumen, bukan semua orang. Maslahah yang mencakup
mayoritas manusia pada hakikatnya adalah maslahah umum
yang mencakup mayoritas manusia dari sisi praktiknya.
(3) Ketiga maslahah yang jarang dan terkhusus untuk individu dan
saat-saat tertentu, seperti adanya kemaslahatan bagi seorang
istri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena
suaminya dinyatakan hilang. Menurut Kamaluddin Imam, sifat
kekhususan dalam maslahah ini bergantung kepada
praktiknya, hakikatnya fasakh nikah dalam kondisi seperti ini
adalah umum diantara istri yang suaminya hilang.131
Ajaran fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam
adalah maslahah, yaitu maslahah manusia universal. Tawaran teoritik
131
Muhammad Kamaludin Imam, op.cit., h.. 199-202.
cxiii
(ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nash
atau pun tidak, yang dapat menjamin terwujudnya maslaha
kemanusiaan, dalam hukum Islam adalah sah, dan umat Islam terikat
untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran
teoritik apa pun dan bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak
mendukung terjaminnya maslaha, apalagi membuka kemungkinan
terjadinya kemudaratan, dalam hukum Islam, adalah fasid, dan umat
Islam secara orang perorang atau bersama-sama terikat untuk
mencegahnya.132
Mengacu pada paradigma di atas, kaidah yang selama ini
dipegang oleh dunia fiqh yang menyatakan: “apabila suatu hadis teks
ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku”, secara
meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis
telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum,
dalam Islam lebih mengutamakan bunyi harfiyah teks daripada
kandungan substansialnya, atau, dalam dunia pemikiran fiqh, lebih
mengutamakan atau bahkan hanya memperhatikan bunyi ketentuan
legal formal, daripada tuntutan maslahah (keadilan), yang notabene
merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, diperlukan menegakkan kaidah
132
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahah Sebagai Acuan Syari'ah" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995. h. 97.
cxiv
yang berbunyi: “jika tuntutan maslahah, keadilan, telah menjadi sah
melalui kesepakatan dalam musyawarah itulah mazhabku”.133
Tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu
maslahah-keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari
ketentuan hukum harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang
sah, bagaimana pun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam
kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada
saat yang sama, haruslah disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan
legal-formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana cita
maslahah, yakni keadilan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Ini
berarti bahwa ketentuan formal-tekstual bagaimana pun dan datang dari
sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini terbuka
untuk diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan maslahah, cita
keadilan.134
Secara mendasar, perlu ditinjau konsep usul fiqh tentang qat'i
(yang pasti dan tidak dapat diubah-ubah oleh ijtihad) dan zanni (yang
tidak/kurang pasti dan dapat diubah-ubah oleh ijtihad) dalam hukum
Islam. Fiqh selama ini mengatur bahwa yang qat'i adalah apa-apa
133
Ibid., 97. 134
Ahmad Zaenal Fanani. “Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam”http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORI%20KEADILAN%20PERSPEKTIF%20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf diakses pada 28 Juni 2010.
cxv
(hukum-hukum) yang secara syar’i ditunjuk oleh nash Alqur’an dan
Hadis Nabi. Sedangkan yang zanni adalah apa-apa (hukum) yang
petunjuk nashnya kurang/tidak syar’i, ambigu dan mengandung
pengertian yang berbeda-beda.135
Sesungguhnya, yang qat'i dalam hukum Islam, sesuai dengan
makna harfiyahnya adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-
ubah, karena itu bersifat fundamental adalah nilai maslahah atau
keadilan itu sendiri yang merupakan jiwanya hukum. Sedangkan yang
masuk kategori zanni (tidak pasti dan dapat diubah-ubah) adalah
seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang
dimaksudkan sebagai upaya yang menerjemahkan yang qat'i (nilai
maslahah atau keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga kalau
dikatakan bahwa ijtihad tidak dapat terjadi untuk daerah qat'i, dan hanya
dapat dilakukan untuk hal-hal yang zanni, itu memang benar adanya.
Cita-cita maslahah dan keadilan sebagai hal yang qat'i dalam hukum
Islam, memang tidak perlu dilakukan ijtihad guna menentukan
kedudukan hukumnya, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau
haram.136
135
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali… loc. cit. 136
Ahmad Zaenal Fanani, “Teori Keadilan… loc.cit.
cxvi
Untuk mempermudah pemahaman, dapat dikemukakan satu
ilustrasi syari'ah zakat. Tujuan disyari'atkan zakat adalahterwujudnya
keadilan sosial dan kesejahteraan bersama dengan prinsip yang kuat
untuk membantu yang lemah. Dalam konteks ini, tidak ada keperluan
sedikit pun untuk melakukan ijtihad guna menentukan hukumnya dalam
menegakkan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konsep zakat
tersebut.137
Ijtihad diperlukan dalam hal-hal berikut ini: Pertama,
mendefinisikan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan dalam
konteks ruang dan waktu tertentu, misalnya konteks bangsa Indonesia
dalam dasawarsa kini dan mendatang; Kedua, berapa beban yang
harus ditanggung oleh orang yang mampu (miqdar al-zakah), atas basis
kekayaan apa saja (mahall al-zakah), kapan harus dibayar (waqt al-
ada), dan siapa-siapa serta dimana alamatnya yang secara nyata dan
definitif harus diuntungkan oleh zakat, dan sektor apa saja yang secara
riil dan definitif harus didukung oleh dana zakat (masraf al-zakah), dan
sebagainya; dan Ketiga, kelembagaan apa saja yang seharusnya
tersedia dalam realitas sosial politik Indonesia yang dapat mendukung
137
Ibid.
cxvii
terwujudnya keadilan sosial dengan zakat tersebut; bagaimana
mekanisme pembentukannya, kerjanya dan kontrolnya.138
Ketentuan yang terdapat dalam teks ajaran atau dalam
pendapat para ulama mengenai persoalan pada ketiga poin tersebut,
tidak ada yang qat'i tapi semuanya zanni, karena itu dapat disesuaikan,
diubah, kapan saja tuntutan maslahah-keadilan menghendaki. Misalnya,
tentang amwal zakawi; tidaklah adil untuk zaman sekarang, hanya
mengenakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur,
sementara kelapa sawit, apel, kopi, tembakau, yang tidak kalah
ekonomisnya, dibebaskan begitu saja. Juga, tidak adil dikenakan beban
sedekah wajib atas pendapatan sektor pertanian, sementara dari sektor
industri dan jasa justru tidak dikenakan.139 Demikian pula, tidak sesuai
lagi dengan maslahah keadilan yang nyata kalau sabilillah, sebagai
salah satu dari mustahiq zakat, hanya didefinisikan dengan tentara di
medan perang melawan orang kafir, sementara aparat penegak hukum
seperti polisi, jaksa, hakim dan pembela hukum, tetap diletakkan di luar
orbit misi ketuhanan untuk menegakkan orde keadilan. Lalu akibatnya,
rakyat cenderung melepaskannnya dari tuntutan moral. Aparat penegak
hukum sendiri cenderung merasa bebas dari tuntutan itu. Meletakkan
138
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali… op. cit., 97-98. 139
Ibid., h. 98.
cxviii
aparat penegak hukum pada barisan sabilillah, telah memberikan
justifikasi dan sekaligus kepedulian (kritik) sosial terhadap peran dan
aktivitasnya, dengan acuan nilai ketuhanan dan keadilan.140
Bertitik tolak dari paradigma tersebut, maka tidak semua
maslahah dapat dipandang benar oleh hukum. Maslahah yang
dibenarkan hanyalah maslahah yang merupakan pengembangan
kulliyat al-khamsah (kelima pokok hukum) di atas. Untuk itulah dalam
pengembangan kajian hukum (Islam) tidak boleh hanya terpaku pada
teks-teks hukum secara lahiriyah (formalistik) saja. Penelusuran
terhadap pengembangan hukum menjadi sangat penting. Sekalipun
demikian penelusuran tersebut harus selalu berpijak dan bersandar
pada teks-teks atau nash yang ada. Hal ini dilakukan demi menjawab
perkembangan dan perubahan sosial yang dalam kenyataannya melaju
lebih cepat dari pada hukum itu sendiri.
Teori maslahah ini berasal dari teori hukum Islam yang
orientasinya lebih menekankan kepada unsur kemaslahatan atau
kemanfaatan untuk manusia dari pada mempersoalkan masalah-
masalah yang normatif belaka. Teori ini tidak semata-mata melihat
bunyi teks hukum (bunyi ayat Alqur’an dan Hadis) maupun undang-
undang tertulis, melainkan lebih menitikberatkan pada prinsip-prinsip
140
Ahmad Zaenal Fanani, “Teori Keadilan… loc.cit.
cxix
atau tujuan yang hendak dicapai, yang terkandung di dalam nash atau
teks tersebut (maqashid syariah). Oleh karena itu, terkadang teori
maslahah ini secara lahiriah tampak tidak sejalan dengan teks undang-
undang baik berupa ayat Alqur’an maupun Hadis, akan tetapi kalau
dicermati sesungguhnya justru mengembangkan dan membawa prinsip-
prinsip dan misi hukum yang terkandung di dalam teks tersebut.
Menyangkut formulasi teori maslahah, bahwa maslahah
merupakan tujuan yang dikehendaki oleh syar’i dalam hukum-hukum
yang ditetapkan-Nya melalui teks-teks suci syariah (nusus al-syari‘ah)
berupa Alqur’an dan Hadis. Tujuan tersebut mencakup 5 (lima) hal pokok,
yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa,
perlindungan terhadap akal budi, perlindungan terhadap keturunan,
perlindungan terhadap harta kekayaan.141
C. Teori Bisnis Tazkiyah
Secara umum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan
atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya
dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan
141
Asmawi, “Relevansi Teori Maslahat dengan UU Pemberantasan Korupsi” http://asmawi.net/wp-content/uploads/2010/01/Relevansi-Teori-Maslahat-dengan-UU-Pemberan-tasan-Korupsi.PDF diakses pada 2 Juni 2010.
cxx
efisien.142 Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tidak lain
adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan
penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen
untuk memperoleh keuntungan.143
Adapun pengertian bisnis dalam Islam dapat dipahami sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak
dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk
profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan
hartanya (ada aturan halal dan haram).144
Pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Islam mewajibkan
setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja.
Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan
manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia
berusaha mencari nafkah, Allah swt. melapangkan bumi serta
menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari
rizki, sebagaimana Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Mulk (67) Ayat 15
sebagai berikut:
142
Muslich, Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif, (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII, 2004), h. 46.
143
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 15.
144
Ibid, h. 18.
cxxi
Terjemahnya:
Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Selanjutnya, dalam Q.S. al-A’raf (7) Ayat 10 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber-sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Mengenai Teori Bisnis Tazkiyah (TBT) diperkenalkan oleh M.
Arfin Hamid dari hasil penelitiannya. Untuk mengkualifikasi sebuah bisnis
halalan-tayyiban yang tazkiyah (suci), yaitu bisnis yang dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah, paling tidak melalui sedikitnya 4 (empat)
tahapan sebagai unsur (rukun) yang saling terkait dan tidak terpisahkan.
Adapun tahapan yang dimaksud dapat dilihat tabel di bawah ini:
cxxii
Tabel 1 Teori Bisnis Tazkiyah
Tahapan Uraian
Kegiatan Kualifikasi Keabsahan
1 2 3 4 5 I Objek? Haram Halal Halal Halal HALAL II Proses? Halal Haram Halal Halal HALAL III Hasil? Haram Haram Haram Halal HALAL
IV Pemanfaatan, Pengolahan?
Halal Haram Halal Haram HALAL
- Kesimpulan Haram Haram Haram Haram HALAL
Sumber: M. Arfin Hamid, 2008.
Berdasarkan tabel di atas, tergambar hanya lajur paling kanan
yang menggambarkan sebuah sistem bisnis yang betul-betul sesuai
syariah. Ada beberapa tahapan itu, diuraikan sebagai berikut.
1. Penentuan objek usaha (barang, jasa, jenis usaha) seluruhnya harus
terjamin keabsahan dan kehalalannya, bukan termasuk haram
lizatihi.
2. Metode/proses pengelolaan dan menjalankan bisnis tidak terdapat
unsur-unsur yang diharamkan, bukan termasuk haram lighairi zhatihi,
3. Hasil/output-nya dipastikan terjamin kehalalannya (tazkiyah)
4. Penggunaan dan pengelolaan hasil/harta itu dalam koridor
limardhatillah.145
145
M. Arfin Hamid, “Teori Bisnis Tazkiyah: Konsep dan Aplikasinya pada Bank Syariah dan Institusi Syariah Lainnya”, Jurnal Amanna Gappa, Vol. 16 Nomor 4, Desember 2008, h. 318.
cxxiii
Selanjutnya, Teori Bisnis Tazkiyah (TBT) dapat diuraikan sebagai
berikut:
Sebelum penentuan objek, tentunya niat/itikad berbisnis penting
diluruskan sesuai tuntunan syariah terlebih dahulu, setelah itu objek dan
jenis usaha dipastikan keabsahan dan kehalalannya. Sementara jika
sejak awal objeknya itu diharamkan, atau dimakruhkan, atau disubhat-
kan maka status hukum itu tidak mungkin berubah menjadi halal atau
mubah sekalipun.146
Selanjutnya meskipun objek sudah teruji kehalalannya tetap
harus diikuti dengan metode/proses pengelolaannya yang sah pula agar
kehalalannya tetap terjaga, tetapi jika dalam metode dan cara
pengelolaannya terdapat unsur keharaman, seperti gharar, riba, tadlis,
bathil, zhalim, monopoli iktinaz, dan semua tindakan tidak amanah
lainnya, maka kehalalannya berubah menjadi haram, karena termasuk
haram lighairi zhatihi.147
Tahap berikutnya (3) harus pula dipastikan bahwa dari objek dan
proses yang sah/halal menghasilkan sesuatu yang juga dijamin
kehalalannya. Realitasnya memperlihatkan bisa saja objek dan proses
sah, tetapi output-nya diharamkan, misalnya (a) minuman memabukkan
146
Ibid., h. 318. 147
Ibid., h. 318.
cxxiv
terbuat dari sari buah, tumbuhan, gula, buli, air yang halal,
pengelolahannya pun terjamin kehalalannya tetapi hasilnya diharamkan
karena khamar. (b) pengusaha pakaian jadi (konveksi) yang
memproduksi pakaian tank top, jangkis, celana botol, pakaian trendy
sensivitas tubuh tetap kelihatan, semuanya bahan dari yang halal,
bahkan ketika dijahit membaca basmalah, tetapi output-nya diharamkan
karena wanita yang memakainya pasti beraurat ria yang diharamkan
dalam Q.S. al-Ahzab, tentunya hasil bisnis seperti ini secara syar’i bukan
sesuatu yang suci dan tidak boleh dizakati.148
Pada tahapan terakhir (4), perolehan hasil usaha dari dari yang
diperoleh dari tahap 1 sampai 3 yang terjamin kehalalannya tentunya
pula diikuti dengan penggunaan dan pemanfaatan yang sesuai dengan
ridha Allah swt. Apabila hasil akhir yang halal itu dimanfaatkan selain
tujuan yang diridhai oleh Allah swt. maka kesimpulan akhirnya adalah
harta itu adalah haram.149
D. Teori Kepatuhan Hukum Berzakat
Kepatuhan hukum pada dasarnya merupakan suatu kewajiban,
sedangkan kewajiban itu sendiri awalnya adalah suatu konsep moral
yang spesifik dan merupakan pengertian norma moral dalam
148
Ibid., h. 318. 149
Ibid., h. 318.
cxxv
hubungannya dengan individu yang tindakannya diperintahkan atau
dilarang.150 Sedangkan norma-norma moral adalah prinsip hukum alam
atau hukum kodrat yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas.151 Oleh
karena itu, salah satu alasan orang taat hukum karena pertimbangan
moral.152
Hukum alam (natural law) memberikan tempat utama kepada
moralitas. Peranan yang dimainkan oleh moral dalam memformulasikan
teori mengenai hukum dari alam (the law of nature) kadang-kadang
dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara diam-
diam. Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Kadang-kadang
dikarakterisasikan sebagai produk dari isi hukum alam. Kadang-kadang
hukum alam diberikan peranan ganda, tidak hanya sebagai produk tetapi
juga sebagai pembenaran, petunjuk kata hati nurani atau dengan kata
150
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 55.
151
St. Thomas Aquinas was the central figures in the natural law traditions. His moral theology, which was based on his Christian faith, sees morality as part of God’s governance of the world. Morality’s purpose is to lead us to our final goal, which is eternal happiness with God. We have two ways to know the basic moral norms: human reason and the Bible. Morality is possible because of how God created us, as rational animals with an intellect and will. Lihat Harry J. Gensler, Ethics: A Contemporary Introduction, Second Edition (New York: Routledge, 2011), h. 160.
152
Joseph Raz, The Authority of Law: Essays on Law and Morality, (United States: Oxford University Press, 2009), h 237.
cxxvi
lain apa yang seharusnya berlaku mengikuti apa yang seharusnya secara
moral berlaku.153
Kepatuhan pada hukum bagi ahli filsafat dan teoritisi hukum
dipandang sebagai keharusan yang pelanggarnya ditindak dan secara
pasti ditindak dalam bentuk hukuman. Jadi, hukuman dianggap sebagai
elemen konstitutif hukum.154
Dikalangan tokoh positivisme hukum, seperti John Austin155 yang
memahami hukum sebagai komando. Hukum tanpa hukuman bagi Austin
tidak pantas disebut hukum karena hukum yang demikian tidak dapat
digunakan untuk menegakkan tertib sosial, itu berarti bahwa mematuhi
hukum adalah kewajiban politik yang suka atau tidak suka harus
dilakukan oleh setiap warga negara.156
A John Simmons dalam esainya, “The Duty to Obey and Our
Natural Moral Duties”, menegaskan kesangsiannya dengan mengajukan
153
Erman Rajagukguk, “Filsafat Hukum Ekonomi” http://www.ermanhukum.com/ Kuliah/Filsafat%20Hukum%20Ekonomi%20Kul%20II.pdf diakses 22 April 2011.
154
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h. 210. 155
According to Austin, law is the order of a “sovereign” backed by a thereat of sanction in the event of noncompliance. A norm is law, then, only if it is the command of a sovereign. Legality, on this account, is determined by its source-that is the will or command of a sovereign-not is substantive merit. The criteria of legality are matters of fact, not value. Lihat, Dennis Patterson (ed.), A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, (United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd, 2010), h. 231.
156
Andre Ata Ujan, Filsafat … op.cit., h. 210.
cxxvii
pertanyaan, “is there a duty to obey the law”157. Menurut Simmons,
banyak kepatuhan hukum yang disebabkan oleh rasa takut akan sanksi
hukum. Ini terjadi akibat pembiasaan sejak kecil, misalnya atau oleh
berbagai alasan non rasional yang dianut oleh masyarakat, negara, atau
bangsa.158
Ada tiga perbedaan penting yang dibuat H.C. Kelman yang
menggambarkan tiga tipe perubahan sikap terkait dengan kepatuhan
terhadap hukum, yaitu:
1. Complience is public yielding to an influence attempt without private acceptance; its basis is the expectation of gaining rewards or avoiding punishment.
2. Identifications is yielding to influence in an attempt to emulate an individual or group; its basis is satisfactions in being like the admired other (s)
3. Internalization is yielding in influence to in situations where the new attitude is instrinsically rewarding, useful or consistent with one’s value system; its basis is the instrinsic value of the new attitude to oneself159
Dalam hal kepatuhan terhadap hukum seperti yang dikatakan
H.C.Kelman tersebut dengan membedakan kualitas kepatuhan dalam 3
(tiga) jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
157
Christopher Heath Wellman and Alan John Simmons, Is There a Duty to Obey the Law? (New York: Cambridge University Press, 2005), p. 93-105.
158
Andre Ata Ujan, Filsafat … op.cit., h. 212. 159
Stuart Oskamp and P. Wesley Schultz, Attitudes and Opinions, Third Edition (New York: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2009), p. 214.
cxxviii
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.160
Kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan
masyarakat atau subyek hukum itu terhadap hukum. Kesetiaan tersebut
diwujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata yaitu patuh pada hukum.
Secara a contrario masyarakat tidak patuh pada hukum karena
masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan, antara
kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya
masyarakat tersebut dihadapkan pada kesetiaan terhadap hukum atau
kesetiaan terhadap kepentingan pribadinya yang bertentangan dengan
hukum, seperti banyaknya pelanggaran lalu-lintas, korupsi, perbuatan
anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh pada
hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai
kewibawaan lagi, penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula
tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik. Sehingga dalam hal ini,
160
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) h. 348.
cxxix
kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa
manusia atau masyarakat tidak patuh pada hukum.161
Menurut Schuyt dalam Satjipto Rahardjo, orang mematuhi hukum
karena:
a. Kepatuhan hukum itu dipaksakan oleh sanksi (teori paksaan). b. Kepatuhan tersebut diberikan atas dasar persetujuan yang
diberikan oleh para anggota masyarakat, terhadap hukum yang diberlakukan untuk mereka (teori persetujuan).162
Richard A Wasserstrom mengidentifikasi tiga posisi kemungkinan
diadopsi mengenai karakter kewajiban untuk mematuhi hukum, yaitu:
(1) One has an absolute obligation to obey the law; disobedience is never justified. (2) One has an obligation to obey the law but this obligation can be overridden by conflicting obligations; disobedience can be justified, but only by the presence of outweighing circumstances. (3) One does not have a special obligation to obey the law, but it is in fact usually obligatory, on other grounds, to do so; disobedience to the law often does turn out to be unjustified.163 Ali Parman menulis, bahwa motivasi orang taat atau patuh
melaksanakan hokum Islam dipengaruhi oleh rasa takut kepada neraka,
rasa harap atau ingin masuk surga, atau karena cinta kepada Allah swt.164
Selanjutnya, mengenai alasan orang patuh kepada hukum, terdapat teori
161
M. Sofyan Lubis, “Menggugat Kepatuhan Hukum Kita”, http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=42 diakses 20 April 2011.
162
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya, 1996), h. 155. 163
Richard A Wasserstrom, “The Obligation to Obey the Law”, in The Duty to Obey the Law, edited by William A. Edmundson, Lantham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1999, h. 21.
164
Ali Parman, Ketaatan Berzakat… op.cit., h.137.
cxxx
kewajiban natural yang menuntut kepatuhan terhadap hukum dengan
bertolak pada dua pertimbangan, seperti yang ditulis Andrea Ata Ujan,
yaitu:
Pertama, pertimbangan bahwa secara moral memang penting
untuk mengambil manfaat dari moral imparsial, seperti berlaku adil dan
jujur itu baik. Kepatuhan pada hukum penting demi membela
kemanusiaan universal. Kedua, pertimbangan yang melihat kepatuhan
pada hukum sebagai kewajiban moral yang harus dilakukan begitu saja
oleh siapa saja bagi siapapun sebagai sesama manusia tanpa
memperhatikan peran sosial atau manfaat apapun yang didapatkan dari
negara.165
Sementara itu, dalam ajaran Islam, kepatuhan adalah esensi
ajaran Islam karena kata Islam itu sendiri bermakna pasrah dan patuh.
Menurut al-Baidhawi, kata as-silm atau as-salm berarti tunduk atau patuh,
dan kata at-thaah berarti taat. Sedangkan menurut ar-Razi, makna asal
kata as-silm adalah al-inqiyad yang berarti tunduk dan patuh.166 Firman
Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 13 sebagai berikut:
165
Andre Ata Ujan, Filsafat … op.cit., h. 215. 166
Muchotob Hamzah dkk, Tafsir Maudhu’i… op.cit., h. 214.
cxxxi
Terjemahnya:
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Pengertian ini, diperkuat oleh ayat lain dalam Q.S. Fushilat (41)
Ayat 11 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Imaduddin Abd. Rahim mengomentari ayat di atas, bahwa tunduk
dan patuh atau Islamnya seluruh jagat alam raya ini kepada Allah swt.
ialah berdasarkan dekrit-Nya, namun telah diterima alam ini dengan patuh
(taat). Manusia diistimewakan oleh Allah swt. dalam hal keislaman atau
kepatuhan manusia kepada-Nya karena manusia diberikan hak untuk
menentukan pilihan sendiri. Manusia diberi kesempatan oleh Allah swt.
untuk memilih dua alternatif, yaitu: tunduk dan patuh kepada Allah swt.
cxxxii
maka akan dinamakan muslim (orang yang Islam) atau menolak mematuhi
Allah swt. maka dinamakan kufur (ingkar).167
Kepatuhan hukum umat Islam yang berada pada tataran
keyakinan (aqidah) akan berpengaruh terhadap moral (kesusilaan) dan
kualitas moral akan berpengaruh terhadap kualitas terhadap hukum.168
Kepatuhan seorang muslim pada hukum bukan atas dasar ketakutan,
tetapi atas dasar kesadaran keimanan. Jadi, menjalankan atau
menegakkan hukum dalam pandangan muslim merupakan bagian dari
keislaman yang total.169 Oleh karena itu, kepatuhan hukum merupakan
bagian dari takwa.170
Kepatuhan terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
adalah sebuah keniscayaan dan seluruh amal perbuatan manusia di dunia
akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. di hari akhir. Amal
perbuatan manusia dianggap benar jika amal tersebut adalah amal yang
dilaksanakan sesuai dengan syariah berdasarkan perintah Allah swt. dan
Rasul-Nya. Amal perbuatan manusia baik yang bersifat ibadah maupun
167
M. Imadduddin Abdulrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 5.
168
Amrullah Achmad (et.al), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH.,(Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 214.
169
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariah dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 90.
170
M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi: Mendialogkan Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 65.
cxxxiii
muamalah.171 Kepatuhan kepada hukum Islam merupakan tolok ukur
keimanan seseorang. Mengenai hal ini Allah swt. menegaskan dalam Q.S.
an-Nisaa (4) Ayat 65 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Menurut Sayyid Qutb, kepatuhan masyarakat terhadap qiyadah
Rabbaniyah (kepatuhan kepada Allah swt) sebagai pemberi identitas
Islam padanya dan menjadikannya sebagai masyarakat muslim. Tanpa
kepatuhan mutlak ini, maka semuanya bukan muslim dan sebagai syarat
dari kepatuhan ini ialah berhukum kepada Allah swt. dan Rasul,
mengembalikan semua urusan kepada Allah swt. dan ridha kepada hukum
Rasul serta melaksanakannya dengan sepenuh hati.172 Allah swt.
berfirman dalam Q.S. an-Nisaa (4) Ayat 59 sebagai berikut:
171
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah… op.cit., h.18. 172
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalil Qur`an, Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 261.
cxxxiv
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Manusia patuh kepada hukum-hukum Allah swt. sebagai
konsekuensi manusia sebagai hamba Allah swt. Jadi kepatuhan
merupakan pengejawantahan penghambaan manusia terhadap Allah
swt. Hamba yang baik adalah hamba yang patuh pada Tuhannya dan
yakin bahwa apa yang telah diputuskan oleh Allah swt. adalah sesuatu
yang terbaik untuk dirinya. Setiap pengingkaran atau penolakan pada
ketetapan-Nya berarti penginkaran akan ketuhanan Allah swt.173
Alqur’an menyebutkan kepatuhan kepada Allah swt. sebagai
kepatuhan kepada kebenaran dan Nabi Muhammad saw. yang diutus oleh
Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepatuhan kepada kebenaran agar
173
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 66.
cxxxv
segala kepatuhan kepada yang lain di tundukkan, sebagaimana Firman
Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah (9) Ayat 33 sebagai berikut:.
Terjemahnya:
Dialah yang Telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan kepatuhan kepada kebenaran untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (kepatuhan), walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.
Adapun tujuan kepatuhan (ketaatan) hokum bagi manusia
sebagaimana diungkapakan Yusuf Qardawi yang dikutip Ali Parman,
ialah: Pertama, ketaatan merupakan makanan ruh. Jiwa manusia
butuh kepada Allah swt. Kedua, ketaatan merupakan jalan terhindar
dari gangguan makhluk. Ketiga, ketaatan menghaluskan karakter
manusia. Keempat, ketaatan adalah hak Allah swt atas hamba-Nya.174
hunan Jadi pada dasanya kepatuhan kepada kebenaran
dalam ajaran Islam merupakan refleksi dari keberimanan seseorang.
Kepatuhan tersebut adalah kepatuhan secara total (kaffah) dalam
seluruh aspek kehidupan manusia. Totalitas kehidupan manusia
174
Ali Parman, Ketaatan Berzakat… op.cit., h. 93
cxxxvi
menurut Islam adalah kehidupan yang selalu merujuk pada perintah
dan larangan Allah swt.
Dalam konteks zakat, membayar zakat atau tidak membayar
sangat terkait dengan soal ketaatan. Zakat secara umum merupakan
satu ibadah sebagaimana kewajipan ibadah yang lain seperti shalat,
puasa dan menunaikan haji. Walaupun zakat adalah wajib namun
masih terdapat individu yang tidak taat melakukannya. Apa lagi
dengan ketiadaan fatwa yang mewajibkannya. Di dalam melakukan
amalan agama faktor ketaatan amat berkait dengan keimanan. Oleh
karena itu, ketidaktaatan untuk membayar zakat melambangkan
ketidaktaatan melakukan perintah agama dan memberi gambaran
bahwa tingkat keimanan yang rendah. Aidit menyatakan bahwa untuk
mengatasi masalah ketidaktaatan khususnya tidak mau membayar
zakat bukanlah satu perkara mudah kerana terkait dengan tahap
keimanan dan sikap. Secara praktik sukar diukur tetapi membawa
kesan kepada keimanan.175
Zakat tidak saja menjadi rukun Islam, tetapi juga menjadi
indikator dan penentu apakah seseorang itu menjadi saudara
seagama atau tidak. Artinya, bila seorang muslim telah terkena
175
Hairunnizam Wahid dkk., “Kesedaran Membayar Zakat Pendapatan di Malaysia” http://www.ukm.my/hairun/kertas%20kerja/kesedaran%20membayar%20zakat%20pendapatan.pdf diakses 6 September 2011.
cxxxvii
kewajiban zakat, tetapi tidak mau berzakat, maka bukan lagi
saudara seagama dan seiman. Hal ini secara tegas dikemukakan
Allah swt., dalam Q.S. At-Taubah (5) Ayat 11, sebagai berikut:
Terjemahnya:
Jika mereka bertaubat mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat, barulah mereka menjadi saudaramu seagama. Jadi, orang yang menolak kewajiban zakat sesungguhnya
telah melakukan pengingkaran dan kedurhakaan besar kepada
Allah swt. Abdullah bin Mas'ud RA mengatakan bahwa barang siapa
yang melaksanakan shalat tapi menolak membayar zakat, maka tidak
ada shalat baginya.
Kepatuhan hukum membayar zakat, tidak hanya dalam
konteks penunaiannya saja, tetapi juga patuh terhadap persyaratan-
persyaratan yang telah ditetapkan, seperti persyaratan bahwa harta itu
adalah harta yang halal dan baik (tayyib). Allah swt. berfirman dalam
Q.S Al-Baqarah (2) Ayat 267 sebagai berikut:
cxxxviii
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,
Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Allah tidak menerima zakat dari
harta yang tidak sah." Membersihkan harta sama sekali berbeda
dengan money laundering. Abu Hurairah ra meriwayatkan, bahwa
Rasulullah Saw telah berwasiat, ‘’Sesuatu yang dishadaqahkan
seseorang dari yang baik-baik dan Allah tidak akan menerima
shadaqah kecuali yang baik tiada lain shadaqah itu pasti diterima Ar
Rahman dengan tangan kanan-Nya; dan jika shadaqah itu berupa
sebiji korma, maka akan berkembang dalam tapak tangan Ar-Rahman
sehingga ia membesar melebihi gunung, sebagaimana seseorang di
antara kalian memelihara mahar atau anak onta.” (HR. Ibnu Majah dan
An-Nasai).
cxxxix
Dalam Kitab Shahih Bukhari terdapat bab khusus yang
menguraikan bahwa zakat hanyalah dari harta yang halal dan bersih.
Selain baik dari segi kualitas zat, harta ZIS (zakat, infak, sedekah)
dipersyaratkan baik (halal) secara perolehan atau sumber
pemilikannya. Oleh karena itu, menzakatkan harta haram Ibarat
hendak mengepel lantai kotor, tentulah harus digunakan lap yang
bersih.176
Mengenai harta yang dizakatkan harus berasal dari sumber
yang halal dan bersih sejalan dengan Teori Bisnis Tazkiyah (TBT)
yang dikembangkan oleh M. Arfin Hamid, bahwa penetuan objek
barang seluruhnya harus terjamin keabsahan dan kehalalannya, bukan
termasuk haram lizatihi.177
Dalam hal mendorong kepatuhan muzakki membayarkan
zakat, perlu menormakan wewenang Pemerintah cq Departemen
Agama RI sebagai eksekutif yang menyelenggarakan urusan
pemajuan (to promote) dan sosialisasi serta penyadaran terhadap
kepatuhan membayar zakat dan menurunkan penghindaran zakat
(zakah evasion).178
176
“Zakat Makes Free!”, http://www.khalifah.co.id/sosial/enterpreneurship/1329-zakat-makes-free diakses pada 27 Agustus 2011.
177
M. Arfin Hamid, “Teori Bisnis Tazkiyah… loc.cit. 178
Muhammad Joni, “Pengelolaan Zakat: Review Hukum http://advokatmuhammadjoni.com/berita/info-hukum/145-pengelolaan-zakat-review-hukum.html diakses 6 September 2011
cxl
E. Pengertian dan Teori Keadilan Sosial
1. Pengertian Keadilan Sosial
Pengertian keadilan memiliki makna yang luas, keadilan
menurut Muhammad Ismail Ibrahim berarti berdiri lurus (istiqam),
menyamakan (taswiyah}), netral (hiyad), insaf, tebusan (fida),
pertengahan (wast), dan seimbang atau sebanding (mitsal).179
Achmad Ali, menelusuri pengertian keadilan dari berbagai
pendapat para pakar dan menemukan sebanyak 49 definisi
keadilan.180 Beragamnya definsi keadilan karena keadilan bersifat
subyektif dan abstrak.181 Ada yang mengaitkan keadilan dengan
peraturan politik negara, sehingga ukuran tentang segala yang menjadi
hak atau bukan senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah
ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang keadilan dalam
wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk
memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang. Ada yang
melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanaan hukum yang
diperlawankan dengan kesewenang-wenangan dan ada yang
179
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam al-Quraniyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1969), h. 332.
180
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum… op.cit., h. 217-221. 181
Ibid., h. 223.
cxli
menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang harus disucikan dan
berada bukan hanya di ruang persidangan pengadilan saja.182
Keadilan hanya dapat dipahami apabila diposisikan sebagai
keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk
mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka
umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.183
Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan
adalah internal autentik dan esensi roh wujud hukum. Sehingga
supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremsi keadilan
(supremacy of justice) begitupula sebaliknya, keduanya adalah hal
yang komutatif. Hukum tidak berada dalam dimensi kemutlakan
undang-undang, namun hukum berada dalam dimensi kemutlakan
keadilan. Hukum tidak akan mampu bertahan hidup apabila roh
keadilan telah hilang.184
Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran
mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-
182
Ibid., h. 221-222. 183
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, (terjemahan), (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 240.
184
Sukarno Aburaera et.al., Filsafat Hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), h. 201-202.
cxlii
beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam
banyak literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral,
politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu, menjelaskan
mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.185
Istilah keadilan sosial memiliki berbagai makna, tidak satupun
dari berbagai ahli memberikan makna yang tepat, dan semuanya
bersifat abstrak.186 Keadilan sosial adalah keadilan yang berhubungan
dengan pembagian nikmat dan beban dari suatu kerja sama sosial
khususnya yang disebut negara.187
Hakikat keadilan menyiratkan sesuatu, dimana sesuatu itu
tidak hanya menyangkut benar melakukan sesuatu atau salah ketika
tidak melakukan sesuatu, tetapi beberapa individu dapat menklaim
sebagai hak moral. Oleh karena itu, area dari keadilan berada pada
tugas yang berkorelasi antara hak dan pertimbangan keadilan adalah
ditentukan pada sebuah tugas di satu sisi dalam masyarakat dan hak
disisi lain sebagai individu.188
185
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 96. 186
Steven E. Mayer, “Social Justice”, http://www.justphilanthropy.org/ resources/ Social Justice.pdf diakses 1 Juni 2010.
187
Bur Rusuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Modern, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 6.
188
Richard B. Brandt (ed.), Social Justice, (United States of America: Prentice-Hall, Inc., 1962), h. 7.
cxliii
Pengertian keadilan sosial memang jauh lebih luas dari pada
keadilan hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang
keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau
hukum, tetapi berbicara lebih luas tentang hak warga negara dalam
sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan dimana kekayaan dan
sumberdaya suatu negara didistribusikan secara adil kepada seluruh
rakyat. Dalam konsep ini, terkandung pengertian bahwa pemerintah
dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat, dan
pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya
adalah pemerintah yang gagal dan karena itu tidak adil.189
Dalam studi filsafat keadilan sosial didefinisikan sebagai
kehidupan ekonomi yang adil dan memberantas kemiskinan dan
keterbelakangan masyarakat.190 Studi filsafat lainnya mengartikan
keadilan sosial sebagai kesejahteraan umum, yakni diakui dan
dihormatinya hak-hak asasi semua warga negara penduduk lainnya
dan tersedianya barang-barang dan jasa-jasa keperluan hidup yang
terjangkau oleh daya beli rakyat banyak.191 Untuk lebih menjelaskan
189
“Keadilan Hukum atau Keadilan Sosial yang Diperlukan Rakyat Timor-Leste?” http://www.yayasanhak.minihub.org/direito/txt/2003/26/06_direito.html diakses pada 1 Juni 2010.
190
Aris Munandar, “Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial, dan Pemberdayaan Masyarakat” Jurnal Universitas Paramadina, Vol.2 No. 1, September 2002, h. 17.
191
Kirdi Dipoyudo, Membangun Atas Dasar Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1990) h. 56.
cxliv
konsep keadilan sosial, harus didefinisikan secara operasional
sehingga dapat dengan mudah melakukan intervensi kebijakan untuk
mencapainya.
Keadilan sosial sering disebut sebagai keadilan distributif.
Meski istilah tersebut tidak keliru, tapi perlu diberi catatan bahwa
keadilan sosial bukan sekadar masalah distribusi ekonomi saja,
melainkan jauh lebih luas, mencakup keseluruhan dimensi moral
dalam penataan politik, ekonomi, dan semua aspek kemasyarakatan
yang lain. Sering pula dikenal ungkapan keadilan struktural yang
melihat keadilan, sosial maupun individual, lebih dari perspektif struktur
sosial. Keadilan distributif dibedakan dari keadilan retributif, yaitu
keadilan yang berkenaan dengan kontrol bagi pelaksanaan keadilan
distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum.192
Keadilan sosial merupakan konsep yang digunakan untuk
menggambarkan beberapa gerakan menuju dunia yang adil secara
sosial. Dalam konteks ini, keadilan sosial didasarkan pada konsep-
konsep hak asasi manusia dan kesetaraan serta melibatkan lebih
besar egalitarianisme ekonomi melalui pajak progresif, redistribusi
pendapatan, atau bahkan properti redistribusi, kebijakan ditujukan
untuk mencapai perkembangan ekonomi yang lebih mengacu pada
192
Bur Rusuanto, Keadilan Sosial, loc.cit.
cxlv
kesetaraan kesempatan dan hasil dari pada mungkin saat ini ada
dalam beberapa masyarakat atau yang tersedia untuk beberapa kelas
dalam masyarakat tertentu.193
Keadilan sosial adalah perwujudan relasi yang adil disemua
tingkat sistem (the creation of just relationships at all system levels);
pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan
(the development of structures that provide for equality of opportunity);
proses fasilitasi untuk akses atas informasi yang diperlukan, layanan
yang diperlukan, dan sumber daya yang diperlukan (the facilitation of
access to needed information, services and resources); dukungan atas
partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang
(the support of meaningful participation in decision-making for all
people).194
Pada dasarnya, keadilan sosial dibahas sebagai suatu hak
(rights) yang bersifat normatif, sementara pencapaian hak-hak tersebut
tidak dibahas secara rinci. Oleh karena itu, untuk lebih memudahkan
193
Wikipedia, “Social Justice”, http://en.wikipedia.org/wiki/Social_justice, diakses pada 5 Maret 2009.
194
Henry Simarmata “Keadilan Sosial: Perspektif Perdebatan antara John Maynard Keynes dan Friedrich von Hayek” http://www.psik-indonesia.org/files_pdf/Keadilan%20Sosial paper%20okt_ 20090330050314.pdf diakses pada 23 Juni 2010.
cxlvi
pencapaian hak tersebut, maka konsep hak didefinisikan sebagai
konsep peluang atau probability.195
Dalam pendekatan atau teori statistik, konsep peluang terkait
dengan ukuran proporsional yang mewakili suatu populasi (probability
proportionate to size). Dalam suatu populasi yang heterogen, bagian
stratifikasi dalam suatu populasi harus terwakili secara proporsional
dalam sampel. Dalam kaitannya dengan konsep keadilan sosial,
golongan-golongan dalam masyarakat harus terwakili dalam segala
sektor, terutama dalam pendidikan dan pekerjaan. Jika tidak ada
pengaturan maka yang akan menang dan berhasil hanyalah golongan
yang kuat. Golongan lemah harus mendapat perlindungan yang
sebenarnya merupakan haknya. Adanya quota sosial yang
mencerminkan teori peluang (keterwakilan sosial) memungkinkan
terjadinya mobilitas sosial vertikal bagi golongan-golongan lemah
tersebut. Pengaturan yang mengacu pada prinsip keterwakilan sosial
ini disebut prinsip diskriminasi protektif.196
Satu ilustrasi yang jelas dapat dipelajari dalam dunia olah raga.
Untuk golongan yang lebih lemah secara fisik (wanita dan orang cacat)
diadakan pertandingan tersendiri. Bahkan dalam beberapa cabang
195
Aris Munandar, “Pembangunan Nasional… op.cit., h.18. 196
Ibid. h. 18.
cxlvii
olah raga, misalnya karate, silat, tinju, dan olah raga bela diri lainnya,
diadakan pembagian berdasarkan kelompok berat badan. Para atlet
bersaing diantara sesamanya dan mendapat jatah medali/hadiah. Hal
ini menunjukkan bahwa keadilan dalam olah raga dicerminkan dengan
adanya pemisahan pertandingan antara golongan yang berbeda
kekuatannya secara fisik. Tanpa pemisahan dan pengaturan seperti ini
semua medali/hadiah akan direbut oleh atlet laki-laki yang paling
kuat.197
Menurut Gardono, meskipun kemakmuran ekonomi dapat
dicapai, tetapi tanpa strategi quota atau keterwakilan sosial,
keberhasilan program pembangunan tersebut tidak akan memperbaiki
keadilan sosal sebagaimana yang diamanatkan oleh Sila Kelima
Pancasila.198
Keadilan sosial dapat terwujud dalam suatu negara, apabila
hak-hak masyarakat dihormati, untung dan beban dibagi secara tuntas.
Keadilan sosial ini biasa juga disebut keadilan distributif (distributive
justice). Keadilan sosial ini ditunjang oleh dua jenis keadilan lain, yaitu
keadilan komutatif atau tukar menukar (iustitia comutativa), mengenai
197
Ibid., h. 18. 198
Ibid., h. 18.
cxlviii
pertukaran barang dan keadilan vindikatif yang berlaku di pengadilan
(iustitia vindikativa).199
2. Keadilan Sosial dalam Filsafat Hukum Barat
Konsep keadilan yang dikenal hingga sekarang ini berawal dari
pemikiran Aristoteles. Aristoteles menganalisi keadilan ke dalam dua
unit utama, yiatu hukum dan hak. Keadilan dalam pengertian hukum
menjelma dalam bentuk keadilan konstitusional dan keadilan legal.
Sementara, keadilan dalam pengertian hak menjelma ke dalam empat
jenis keadilan yaitu, keadilan kontraktual (lazimnya dikenal dengan
nama keadilan komutatif), keadilan distributif, keadilan punitif dan
keadilan korektif.200 Keadilan menurut Aristoteles harus dibagikan oleh
negara kepada semua orang dan hukumlah yang mempunyai tugas
untuk menjaganya agar keadilan sampai pada semua orang.201 Pada
garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus
pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh
Plato, kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh
Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab
199
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 118. 200
Riyadi Terre, “Keluar dari Dilema Transisi: Sebuah Pendekatan Paradigmatik Menuju Keadilan Transisional” dalam Jurnal Dignitas, Volume 1, No. 1 Tahun 2003, h 8.
201
Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), h.15.
cxlix
prihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah. Sementara
keadilan yang metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai
sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk hidup,
dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia
berakal.202
Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya
dengan transformasi sosial Karl Marx mengenai pemetaan kelas
sosial. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang
antagonistis. Dalam pandangan Marx watak dasar yang antagonistis
ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang
kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat
diuraikan karena perbedaan kedudukan masyarakat di dalam tatanan
ekonomi.203 Pertentangan kelas yang kemudian menimbulkan konflik
sosial merupakan bagian penjelasan Marx mengenai dinamika
keadilan pada zaman itu. Kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis
modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang
sama, sehingga kedudukan pekerja terkucilkan dari kelas sosial di
atasnya. Oleh karena itulah, ketimpangan keadilan ini dapat dilihat
dengan rasionalisasi yang dilakukan oleh Marx.
202
Wikipedia, Social Justice, loc.cit. 203
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988) h. 146.
cl
Sedangkan istilah keadilan sosial pertama kalinya dicetuskan
oleh Luigi Taparelli Jesuit pada 1840-an. Ide ini dikembangkan oleh
teolog moral John A. Ryan, yang memprakarsai konsep upah hidup.
Pastor Coughlin menggunakan istilah ini dalam publikasinya pada
tahun 1930-an dan 40-an, kemudian konsep ini dikembangkan lebih
lanjut pada oleh John Rawls pada 1990-an. Keadilan sosial adalah
bagian ajaran sosial dari Agama Katolik dan merupakan salah satu
dari empat pilar Partai Hijau ditopang oleh partai-partai hijau di seluruh
dunia. Beberapa prinsip-prinsip keadilan sosial telah diadopsi dalam
spektrum politik.204
Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan
ragam dalam pemberian makna secara konseptual terhadap nilai
keadilan. Jhon Rawls misalnya, mengatakan teori keadilan sosial
bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial masyarakat
bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional,
masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat pluralistik
dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan
mungkin bertentangan. Pengaturan masyarakat pluralistik modern itu
tidak boleh didasarkan atas suatu anutan nilai hidup tertentu,
204
Wikipedia, Social Justice, loc.cit.,
cli
melainkan haruslah dikendalikan oleh prinsip yang menjamin dan
mengekspresikan kepentingan bersama.205
Dalam perspektif John Rawls, keadilan sosial sebagai
kejujuran/kepantasan (social justice as fairness). Agar hubungan sosial
dapat berjalan secara berkeadilan, maka harus diatur atau berjalan
sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan. Pertama, kebebasan
yang sama (principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai
kebebasan dasar yang sama. Kebebasan dasar ini, antara lain, (1)
kebebasan politik, (2) kebebasan berpikir, (3) kebebasan dari tindakan
sewenang-wenang, (4) kebebasan personal, dan (5) kebebasan untuk
memiliki kekayaan206.
Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference),
bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang
ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga
ketidaksamaan tersebut, (1) dapat menguntungkan setiap orang,
khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung dan (2)
melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua
orang.207
205
Bur Susanto, Keadilan Sosial, op.cit., h. 19-20. 206
John Rawls, A Theory of Justice, (United States of America: Harvard University Press, 2003), h. 14.
207
Ibid., h. 61.
clii
John Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah
sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan dan lainnya, karena hal itu
tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksaaman tersebut diatur
sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan, kerja sama dan kaitan saling
menguntungkan juga membutuhkan di antara masyarakat.
Keadilan bagi John Rawls bertolak dari dua prinsip:
a. Each person has the same indefeasible claim to a fully adequate scheme of equal basic liberties, which scheme is compatible with the same scheme of liberties for all; and
b. Social and economic inequalities are satisfy two conditions; first, they are to be attached of offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity; and second, they are to be to the greatest benefit of the least-advantaged members of society (the difference principle).208
Jadi, setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap
skema kebebasan dasar yang sejajar yang sekaligus kompatibel
dengan skema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain; dan
ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya:
(a) diekspektasikan secara logis yang menguntungkan bagi setiap
orang; dan (b) diharapkan posisi dan jabatan yang terbuka bagi
seluruh pihak.
208
John Rawls, Justice as Fairness: a Restatement, (United States of America: President and Fellows of Harvard College, 2003), h. 42-43; dan Lihat juga John Rawls, Justice and Equality, dalam John Perry. et.al (ed.), Introduction to Philosophy: Classical and Contemporary Reading (New York: Oxford University Press, 2007), h. 615.
cliii
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian membawa Rawls pada
sikap untuk meyakini bahwa sebetulnya keadilan (justice) itu tidak lain
sebagai kepatutan/kepantasan (fairness).
Titik sentral dari gagasan John Rawls mengenai social justice
dilandaskan pada prinsip keadilan yang disebut dengan posisi asali
(original position).
The original position is the appropriate initial status quo which insures that the fundamental agreements reached it in are fair. This fact yields the name ‘justice as fairness’. It is clear, then, that I want to say one conception of justice is more reasonable than another, or justifiable with respect to it, if rational persons in initial situation choose those principles over those of the other for the role of justice. Conceptions of justice are to be ranked by their acceptability to persons so circumstanced209. Menurut Amartya Sen, posisi asali yang dimaksudkan John
Rawls adalah sebuah penggambaran mengenai situasi kesetaraan
primordial ketika para pihak yang terlibat tidak memiliki pengetahuan
mengenai identitas personalnya, atau yang berhubungan dengan
kepentingannya, dalam sebuah kelompok sebagai satu kesatuan.210
Keadilan sosial adalah setiap orang berhak atas kebutuhan
manusia yang mendasar tanpa memandang perbedaan manusia
seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya.
Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan
209
John Rawls, A Theory of Justice,… op.cit., h. 15-16. 210
Amartya Sen, The Idea of Justice, (London: Penguin Books, 2010), h. 54.
cliv
kemiskinan secara mendasar, pemberantasan buta huruf, pembuatan
kebijakan lingkungan yang baik, dan kesamaan kesempatan bagi
perkembangan pribadi dan sosial.211
Konsep keadilan sosial pertama kali muncul dalam pemikiran
Barat dan bahasa politik dalam kebangkitan industri revolusi dan
pembangunan paralel doktrin sosialis. Keadilan sosial muncul sebagai
ekspresi protes terhadap apa yang dianggap sebagai eksploitasi
kapitalis kerja dan sebagai titik fokus bagi pengembangan langkah-
langkah untuk memperbaiki manusia kondisi. Keadilan sosial lahir
sebagai slogan revolusioner mewujudkan cita-cita kemajuan dan
persaudaraan. Setelah revolusi yang mengguncang Eropa pada
pertengahan tahun 1800-an, keadilan sosial menjadi gagasan progresif
para pemikir dan aktivis politik. Proudhon, mengidentifikasi keadilan
dengan keadilan sosial, dan keadilan sosial dengan menghormati
martabat manusia.212
Selanjutnya, konsep keadilan menurut Rawls, ialah suatu
upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga
secara konseptual Rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang
mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan
211
Keadilan Hukum atau Keadilan Sosial…loc. cit. 212
Anonim, Social Justice in an Open World: The Role of the United Nations (New York: United Nations Publication, 2006), h. 12.
clv
rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-
kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama
pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang
fundamental baginya untuk memasuki perhimpuan yang
dikehendaki.213
Keadilan sosial adalah setiap orang berhak atas kebutuhan
manusia yang mendasar tanpa memandang perbedaan manusia
seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya.
Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan
kemiskinan secara mendasar, pemberantasan buta huruf, pembuatan
kebijakan lingkungan yang baik, dan kesamaan kesempatan bagi
perkembangan pribadi dan sosial.214
Menurut Jon Mandle, keadilan sebagai fairness adalah sebuah
pengamalan dari teori ideal. Teori itu bertujuan membangun prinsip-
prinsip untuk sebuah evaluasi dari tertib sosial masyarakat. Teori itu
mengasumsikan bahwa pada umumnya warga negara memiliki rasa
kesanggupan dan rasa keadilan, sebuah institusi dari masyarakat akan
menyesuaikan diri terhadap tuntutannya215
213
E. Fernando M. Manullang, op. cit., h.99. 214
Keadilan Hukum atau Keadilan Sosial…loc. cit. 215
Jon Mandle, Rawl’s a Theory of Justice: an Introduction, (New York: Cambridge University Press, 2009), p. 13.
clvi
Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang
dikatakan oleh Rawls pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak
dan unsur manfaat. Nilai keadilan yang demikian dikaitkan dengan
unsur hak dan manfaat dinyatakan dalam diskursus hukum, perihal
realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih
dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan ini mempunyai aspek
empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah
diaktualisasikan secara konkrit menurut ukuran manfaatnya.216
Konsep keadilan sosial, sebagaimana yang sering dibahas
oleh pemikir-pemikir kontemporer bersifat multidimensional. Keadilan
berkaitan dan berintikan kebenaran (al-haq)217; persamaan di hadapan
hukum, dijaminnya persamaan di dalam pendidikan yang merupakan
tanggung jawab negara; dilaksanakannya pajak kekayaan untuk
penyediaan kebutuhan dasar bagi mereka yang tidak beruntung dalam
rangka mengurangi kesenjangan ekonomi.218 Keadilan berarti pula
kebijaksanaan dalam mengalokasikan sejumlah hasil tertentu dari
kegiatan ekonomi bagi golongan yang tidak mampu memasuki pasar
216
Ibid., h. 99. 217
M. Dawam Rahardjo, “Adl” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol V, No. 3, 1994, h. 47.
218
Shahrukh Rafi Khan, “Sistem Ekonomi Politik dalam Negara Islam” dalam Jurnal Millah, Vol. II, No. 1 Januari 2002, h. 31.
clvii
atau tidak sanggup membelinya menurut kekuatan pasar, yaitu
kebijaksanaan melalui zakat, infaq dan sedekah.219
3. Keadilan Sosial dalam Filsafat Hukum Islam
Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia
adalah prinsip keadilan dan pelaksanaannya dalam setiap aspek
kehidupan manusia. Islam memberikan satu aturan yang dapat
dilaksanakan sebagai pengganti amalan-amalan tradisional yang
bertentangan. Setiap anggota masyarakat didorong untuk
memperbaiki kehidupan jasmani masyarakat di samping berusaha
untuk memperbaiki kehidupan rohani dan mengingatkan bahwa
setiap yang ada dimuka bumi ini perlu diambil manfaatnya.
Menurut Abdurrahman Wahid, diantara term-term penting
yang berkaitan dengan moral yang diungkapkan oleh Alqur’an adalah
keadilan. Alqur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi
kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Ada
beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam
Alqur’an, dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap
yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara
yang tepat.220
219
Yulia Hafizah, “Kebijakan Ekonomi Indonesia… op.cit., h. 29. 220
Budhy Munawar Rachman (ed.) Kontekstualisasi… op..cit., 35.
clviii
Kata adl (justice, keadilan) memiliki makna yang sama,
seperti al-qist, al-wazn, al-wast yang terdapat dalam berbagai tempat
dalam Alqur’an. Selain dari ungkapan-ungkapan yang secara eksplisit
menyebut kata al-adl, sebenarnya pada ayat-ayat yang paling awal,
ide dan pikiran tentang keadilan telah datang secara bersamaan.221
Tidak itu saja, perintah berbuat adil juga terlihat dari larangan
Alqur’an berbuat zalim. Tidaklah berlebihan apabila Fazlur Rahman
seorang pemikir Islam kontemporer menyatakan bahwa, pesan dasar
Alqur’an adalah penekanan pada keadilan yang salah satu bentuknya
terlihat pada keadilan sosial ekonomi.222
Dalam Alqur’an term-term al-adl dengan berbagai derivasinya
disebut sebanyak 30 kali.223 Selain kata al-wazn dengan segala
turunannya sebanyak 23 kali.224 Arti pokoknya adalah ta’dil dan
istiqamah (moderat dan lurus). Sedangkan kata al-wast diungkapkan
Alqur’an sebanyak 5 kali yang arti aslinya adalah al-adl dan al-nisf,
tengah atau pusat.
221
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 21.
222
Ibid., h. 21. 223
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazd Alqur’an al-Karim, (Mesir: Dar al-Fikr, 1981), hal. 448.
224
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqiy, Op.cit, hal. 750.
clix
Budhy Munawar Rachman menguraikan istilah adil dengan
merujuk pada Alqur’an, bahwa adil itu diartikan keseimbangan,
menentukan hukum dengan benar, dan mempertahankan yang hak
dan mencegah yang batil (Q.S. al-Infithar [82] Ayat 27]; al-Maidah [5]
Ayat 95; al-Hujurat [49] Ayat 9). Asal kata adil itu berarti keadaan
yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi
lurus.225
Memahami sebuah konsep dalam Alqur’an tidaklah utuh jika
penelusuran makna hanya dilakukan pada tema pokok dan tema
yang semakna. Agaknya diperlukan untuk menelusuri kontra (lawan
kata) dari tema pokok tersebut dan memahami kontra adl menjadi
satu kemestian. Di dalam Alqur’an, kata adl selalu dihadapkan
dengan kata zalm.226 Seringkali ketika Allah swt. memerintahkan
berbuat adil pada saat yang sama Allah swt. melarang untuk bersikap
zalim. Kata al-zulm bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya
yang semestinya, baik dengan cara melebihkan atau mengurangi
maupun menyimpang dari waktu dan tempatnya.227
225
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 343-344.
226
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alqur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 391
227
Ibid, hal. 326.
clx
Melalui pendekatan tafsir maudhu’i (tematik) ditemukan
bahwa konsep keadilan dalam Alqur’an mengandung makna yang
serba melingkupi. Pengertian keadilan itu berkisar pada makna
perimbangan atau keadaan seimbang atau tidak ekstrim, persamaan
atau tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, dan penunaian
hak kepada siapa saja yang berhak atau penempatan sesuatu pada
tempat yang semestinya.228
Pengertian-pengertian yang terkandung dalam konsep
keadilan ini sudah tentu mempunyai implikasi terhadap aktivitas
perilaku manusia. Implikasi itu terlihat pada keadilan hukum dalam
makna, bahwa Alqur’an memerintahkan agar manusia
memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum dan tidak
boleh membedakannya berdasarkan aksiden-aksiden (hal-hal yang
melekat secara lahiriyah) yang dimilikinya.229
Konsep adil dalam pandangan Murtadha Muthahhari, dibagi
dalam empat hal, yaitu:
1. Adil bermakna keseimbangan. Masyarakat jika ingin tetap
bertahan dan mapan maka masyarakat tersebut harus berada
dalam keadaan seimbang.
228Amiur Nuruddin, “Konsep Keadilan dalam Alqur’an dan Implikasinya Pada
Tanggung Jawab Moral”, Disertasi, (Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1994) h. 63.
229
Ibid., h. 63.
clxi
2. Adil adalah persamaan dan penafian terhadap perbedaan dalam
bentuk apapun.
3. Adil adalah pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak
kepada setiap objek yang layak menerimanya.
4. Adil adalah tindakan memelihara kelayakan dan pelimpahan
wujud dan tidak mencegah limpahan dan rahmat.230
Dalam pandangan M. Quraish Shihab, keadilan dalam
Alqur’an melalui penggunaan adl, qisth, dan mizan.231 Ketiga istilah
tersebut melahirkan berbagai makna. Pertama, artinya sama atau
menegakkan persamaan hak. Dalam Q.S. an-Nisaa (4) Ayat 58,
misalnya menganjurkan seorang hakim menempatkan orang yang
bersengketa pada posisi yang sama dalam proses pengadilannya.
Kedua, artinya keseimbangan, seperti dalam Q.S. al-Infithaar (82)
Ayat 6-7, yang menciptakan manusia secara seimbang. Ketiga, tidak
berlaku zalim dan proporsional serta memberikan hak kepada
pemiliknya, seperti dalam Q.S. an-Nisaa (4) Ayat 135 dan Q.S. al-
230
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, (terjemahan), (Bandung: Mizan, 2009), h. 60-65.
231
M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an… op.cit., h. 111.
clxii
Mumtahanah (6) Ayat 8. Keempat, artinya keadilan Tuhan seperti
dalam Q.S. Ali Imran (3) Ayat 18 dan Q.S. Fushshilat (41) Ayat 46.232
Sesungguhnya Alqur’an menaruh perhatian sangat besar
dalam mewujudkan keadilan sosial. Hal ini dapat dilihat betapa
kerasnya kecaman Allah swt. terhadap fenomena sosial yang
pincang, sebagai akibat tidak ditegakkannya keadilan sosial ekonomi
oleh orang-orang kaya dan penguasa.
Menurut Masdar F. Mas’udi, bahwa keadilan dapat dipenuhi
dengan dua cara: (1) penegakan hukum berdasarkan fakta kebenaran
yang ditemukan dalam proses peradilan; (2) kebijakan publik yang
berorientasi pada perlindungan, pemenuhan hak-hak orang yang
lemah dan terpinggirkan. Keadilan yang pertama sering disebut
keadilan hukum, sedangkan yang kedua disebut keadilan sosial.233
Secara garis besar tanggung jawab moral manusia
dihadapan Allah swt. dalam hubungannya dengan keadilan dapat
dibagi atas tiga macam, yaitu: Pertama, keadilan hukum, yaitu
keadilan berkaitan dengan kaidah nilai yang membekali standar
tingkah laku manusia dalam hubungannya antara satu sama lainnya;
232
Chaider S. Bamuaalim dan Irfan Abubakar (ed.), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya [PBB] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 11.
233
Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat: Sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005), h. 153.
clxiii
Kedua, keadilan sosial dan ekonomi, yaitu keadilan yang
berhubungan dengan sikap yang harus diambil dalam aktivitas sosial
ekonomi; Ketiga, keadilan global, yaitu keadilan yang senantiasa
berupaya mewujudkan keseimbangan (equilibrium) antar berbagai
golongan dan kelompok dalam masyarakat yang majemuk.234
Gagasan tentang keadilan sosial sekarang ini bersifat
universal, keadilan sosial sebenarnya telah diterima oleh semua
bangsa, negara dan masyarakat di muka bumi ini. Konsep keadilan
sosial telah diasumsikan penting secara global. Sebenarnya
penghormatan hanya untuk martabat individu, membuat kebebasan
individu lebih bermakna dan benar-benar efektif. Islam mengajarkan
semuanya, bukan hanya semua itu, tetapi Islam juga menawarkan
solusi.235
Keadilan sosial dalam pandangan Budhy Munawar Rachman
adalah keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada
kehendak pribadi, atau pada kebaikan-kebaikan individu yang
bersikap adil, tetapi sudah bersifat struktural. Artinya, pelaksanaan
keadilan sosial sangat tergantung kepada penciptaan struktur-struktur
sosial yang adil. Apabila ada ketikdakadilan sosial, penyebabnya
234Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 104. 235
Mohammad Shujaat, Social Justice in Islam, (New Delhi: Anmol Publications PVT. LTD, 2004), h. vii.
clxiv
adalah struktur sosial yang tidak adil. Mengusahakan keadilan sosial
berarti harus dilakukan melalui perjuangan memperbaiki struktur-
struktur sosial yang tidak adil itu.236
Konsep keadilan sosial yang diamanahkan oleh Alqur’an
tidak juga menghendaki dijalankannya prinsip kesamarataan mutlak,
seperti yang diajarkan oleh teori komunisme, apabila prinsip ini
diterapkan, justru bertentangan dengan prinsip dan konsep keadilan
yang hakiki, bahwa setiap orang akan menikmati perolehan yang
sama, padahal secara faktual setiap orang memiliki latar belakang
kemampuan yang berbeda, baik dari segi kualitas kecerdasan
maupun dari segi motivasi dan etos kerja serta faktot-faktor internal
lainnya.
Ajaran Islam menuntut setiap anggota masyarakat untuk ber-
fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), (Q.S. al-
Baqarah [2] Ayat 148). Setiap perlombaan menjanjikan hadiah dan
hadiah adalah keistimewaan bagi yang berprestasi, tidak ada
keadilan apabila peserta lomba dibedakan atau tidak diberi
kesempatan yang sama, tetapi tidak adil juga apabila setelah
236
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis… op.cit., h. 344.
clxv
berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan,
sebab akal maupun agama menolak hal ini.237
Allah swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisaa (4) Ayat 95 sebagai
berikut:
Terjemahnya:
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah swt. dengan harta mereka dan jiwanya. Allah swt. melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka, Allah swt. menjanjikan pahala yang baik (surga)...
Selanjutnya, Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Zumar (39)
Ayat 9 sebagai berikut:
Terjemahnya:
237
M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an… op.cit., h. 126.
clxvi
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?...
Keadilan sosial seperti yang digambarkan dalam Alqur’an
tersebut bukan mempersamakan semua anggota masyarakat,
melainkan mempersamakan semua orang dalam kesempatan untuk
mengukir prestasi.238
Sesungguhnya Alqur’an telah menggariskan suatu tatanan
masyarakat yang bermoral dan egalitarian, yaitu terwujudnya suatu
masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial, bukan dis-
equilibrium sebagaimana gambaran pada sikap Karun, Fir'aun dan
Hamman yang tidak berperikeadilan sosial, seperti yang dijelaskan
Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Qashash (28) Ayat 76 sebagai
berikut:
Terjemahnya: Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang
238
Ibid. h. 126.
clxvii
yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Konsep keadilan sosial dalam Islam mengajarkan dan
mengusahakan untuk mendekatkan jarak antara yang kaya dan yang
miskin, agar jangan sampai terjadi jurang pemisah yang terlalu dalam
dan terhindar dari berbagai kerawanan sosial.
Konsep keadilan sosial mendapat perhatian penting bersama
pelurusan aqidah (tauhid), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai elan
dasar al-Quran. Hal itu dapat dilihat dari beberapa ayat Alqur’an yang
diturunkan dalam periode Mekkah (Makkiyah) yang mencela sikap
masyarakat jahiliah yang berlaku zalim dalam bidang ekonomi
dengan berbagai bentuk dan manifestasi.239
Menurut Sayyid Qutb, keadilan sosial dalam Islam
mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam
memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian
dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan
Penciptanya. Keadilan Islam menyeimbangkan kapasitas dan
keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan
spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Keadilan
Islam berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong
239
Fazlur Rahman, Islam and Modernity…op.cit., h. 21.
clxviii
kompetisi. Keadilan Islam menjamin kehidupan minimum bagi setiap
orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan
kesamaan kekayaan.240
Konsepsi keadilan sosial dalam Islam mempunyai ciri khas
yang berbeda dengan konsep ekonomi yang lain, diantaranya:
Pertama, keadilan sosial dalam Islam dilandasi prinsip
keimanan bahwa semua yang ada di alam semesta adalah milik Allah
swt. (Q.S. Yunus [12] Ayat 6). Manusia sebagai khalifah Allah swt.
dan sesuai dengan fitrahnya dianugerahkan pemilikan sebagai
karunia-Nya. Hak milik ini bukanlah tidak terbatas, manusia
memilikinya hanya sebagai pemegang amanah, bukan sebagai
pemilik mutlak. Tindak lanjutnya, jika manusia tidak melaksanakan
semua kewajibannya secara sadar, maka harus diciptakan berbagai
pranata untuk menyelaraskan perilaku individu manusia dengan
perilaku kelompok masyarakat.
Ajaran Islam tidak membenarkan seseorang melakukan
penimbunan kekayaan demi kepentingan pribadi, karena manusia
hanyalah sebagai khalifah dan pemegang amanah Allah swt. untuk
memfungsikan harta. Sikap yang dituntut dari orang kaya adalah
bersikap moderat (adil), antara tidak terlalu rakus melakukan
240
M. Taufiq Rahman, “Teori Keadilan Sosial Sayyid Qutb”http://www.insistnet.com/ index.php?option=com_content&view=article&id=112:teori-keadilan-sosial-sayyid-qutb& catid=18 :seputar-ham&Itemid=16 diakses pada 5 Juni 2010
clxix
penimbunan dan tidak terlalu menghambur-hamburkan harta
kekayaan tersebut.
Kedua, menggalakkan sistem pendistribusian kembali
pendapatan yang sifatnya built-in, lebih diefektifkan lagi dengan
mengaitkannya pada ridha Allah swt. Islam lebih mendorong dan
mengakui kenyataan, bahwa terjadinya perbedaan-perbedaan
dikarenakan oleh adanya kesempatan yang tidak sama, hal tersebut
sering terjadi terutama bersumber dari pranata kekayaan pribadi. Hal
ini merupakan faktor penghambat terhadap usaha pemerataan
pendapatan.
Ketiga, Keadilan sosial dalam Islam berakar pada moral.
Implikasinya secara otomatis mendorong kewajiban untuk berbuat
adil dan saling membantu. Alqur’an menetapkan, bahwa salah satu
sendi kehidupan bermasyarakat adalah keadilan, dan keadilan lebih
utama dari pada kedermawanan atau ihsan. Keadilan sosial dalam
Islam yang khas itu adalah sebagai implikasi tauhid dalam kehidupan.
Keadilan sosial dalam konteks masyarakat Islam, adalah
produk dari suatu proses pengambilan keputusan berdasarkan
kebenaran karena Allah swt. dan karenanya sesuai dengan fitrah
kemanusiaan. Oleh karena itu, keadilan sosial dalam Islam
mempunyai karakteristik dan tujuan: (1) berlandaskan pada
hubungan persaudaraan Islami; (2) membela kaum lemah, fakir dan
clxx
miskin; (3) mendasarkan pada perkembangan manusia yang dinamis;
(4) beretika dengan memuliakan kerja dan prestasi; (5) beretika
dengan memberi lebih baik daripada menerima; (6) berdisiplin,
berorientasi pada masa depan yang lebih baik dan terencana; (7)
mengutamakan jiwa pioner dan kreatif; (8) mengutamakan
pemanfaatan modal dan berorientasi produktif.
Keadilan sosial yang memenuhi ciri-ciri di atas, menjadi jelas
bahwa keadilan sosial dalam Islam tidak hanya dipermukaan saja,
yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sosial atau kegiatan-
kegiatan amal bakti lainnya, lebih dari itu, keadilan sosial adalah
sebuah konsep yang integral, sebagai suatu sistem sosial yang
membawa pada proses perubahan sosial yang dinamis. Keadilan
sosial tidak mengharuskan terhapusnya sama sekali masalah sosial,
seperti kemiskinan di alam ini, akan tetapi berusaha mengurangi
problema-problema sosial tersebut baik secara moril maupun secara
material. Oleh sebab itu, orang-orang kaya harus dijamin
eksistensinya, tidak boleh dimusuhi dan dijadikan mitra dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, secara filosofis, konsep keadilan sosial
berlandaskan pada pandangan mengenai sesuatu yang
clxxi
memaksimumkan kebahagiaan manusia. Kebahagiaan adalah wujud
apa saja yang membahagiakan manusia.241
N.K. Singh mengulas mengenai keadilan sosial dalam Islam,
sebagai berikut:
Social justice, thus, based on economic justice in Islam has been able to guarantee certain standards to all members of the ummah, be they capable or incapable of performing any work, be they poor, weak, widowed, or children. It includes among the weak, both Muslims and Dhimmis-those, who live is Islamic country but do not profess Islam. Animals too, are included among the weak. However, the social justice of Islam has neither approved nor encouraged poverty engendered by laziness or inertia.242 Jadi, menurut Singh, bahwa keadilan sosial yang
berdasarkan keadilan ekonomi dalam Islam telah mampu menjamin
standar tertentu untuk semua masyarakat muslim, baik mampu atau
tidak mampu melakukan pekerjaan apapun, baik orang miskin,
lemah, janda, atau anak-anak. Ini mencakup antara yang lemah, baik
Muslim dan Dzimmi. Hewan juga, termasuk di antara yang lemah.
Namun, keadilan sosial Islam tidak menyetujui kemiskinan yang
disebabkan oleh kemalasan atau kelemahan.
241
Abdurrachman Qadir, Zakat dalam… op.cit., h. 145-150. 242
N.K. Singh, Social Justice and Human Rights in Islam, (New Delhi: Mehra Offset Press, 1998), h. 13.
clxxii
Dalam pandangan Sayyid Qutb mengenai keadilan sosial,
bahwa landasan keadilan sosial dalam Islam dibangun berdasarkan
pada:
1. Kebebasan jiwa yang mutlak (absolut freedom of conscience)
Keadilan sosial yang sempurna tidak dapat terwujud dan
terjamin pelaksanaan dan kelestariannya, sepanjang tidak
dikaitkan dengan persoalan-persoalan hati nurani dengan
memberikan hak setiap individu dan kebutuhan masyarakat, di
samping adanya keyakinan bahwa keadilan sosial akan
mengantarkan pada tujuan perikemananusiaan yang luhur.243
Islam memulai dengan melakukan pembebasan jiwa dari
segala bentuk peribadatan dan ketundukan kepada apapun selain
Allah swt. Tidak ada seorangpun yang memiliki kekuasaan selain
Allah swt. tidak ada yang menghidupkan dan mematikan
seseorang selain Allah swt. tidak ada yang memberikan daya
untuk memberikan manfaat dan mudharat selain Allah swt. tidak
ada selain Allah swt yang memberi rezki baik dari langit maupun
bumi kepada seseorang, dan tidak ada seorang perantarapun
yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya, hanya
Allah swt. sendirilah yang memiliki dan mampu melakukan
243
Sayyid Qutb, Social Justice in Islam, (New York: Islamic Publications International, 2000), h. 53.
clxxiii
semuanya itu, sedangkan yang selain Allah swt. hanyalah hamba-
hamba-Nya belaka, tidak sedikit pun hamba itu memiliki sesuatu
daya yang dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada
yang lainnya.244
2. Persamaan Kemanusiaan (human equality)
Persamaan derajat ini ditegakkan atas teori kemanusiaan
yang sempurna dan bersih, sampai-sampai fanatisme keagamaan
sekaIipun. Islam memberikan hak-hak kepada kaum musyrikin
dalam bidang perlindungan jiwa yang sama dengan yang
diberikannya kepada kaum mukminin, sepanjang diantaranya
terdapat perjanjian damai.245
3. Tanggung jawab timbal-balik dalam masyarakat (mutual
responsibility in Society)
Islam menetapkan prinsip-prinsip jaminan dalam semua
gambaran dan bentuknya. Ada jaminan antara individu dengan
dirinya sendiri, antara individu dengan keluarga dekatnya, antara
individu dengan masyarakat, antara umat dengan umat lainnya,
244
Ibid., h. 55. 245
Ibid., h. 71.
clxxiv
dan diantara generasi yang satu dengan generasi lain dalam
masyarakat secara timbal balik.246
F. Epistemologi Pengelolaan Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu aspek penting dalam ajaran Islam.
Sebab zakat merupakan kewajiban keagamaan dan harta sekaligus.
Dalam menggambarkan urgensitas (kedudukan) zakat ini, Alqur’an
menyebutnya sebanyak 72 kali dengan berbagai macam derivasinya.
Zakat secara etimologi, berasal dari Bahasa Arab, zakaa-
yuzakki – tazkiyatan – zakaatan yang memiliki arti bermacam-
macam, yakni thaharah, namaa’, barakah atau amal saleh.247
Menurut Muhammad Baqir al-Habsyi, pengertian zakat
mengandung banyak arti, antara lain keberkahan, kesuburan,
kesucian dan kebaikan.248 Namun maknanya secara harfiyah seperti
yang tertulis,249 adalah berkembang biak dan bertambah, namun
terkadang digunakan pada makna kesucian, sebagaimana dalam
246
Ibid. h. 80. 247
Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Rukun Islam, Ibadah Tanpa Khilafiah, Zakat, (Jakarta: Al-Kautsar Prima, 2008), h. 1.
248
Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqih Praktis 1 menurut Alqur’an, al-Sunnah dan Pendapat Ulama, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005) h. 273
249
Wahbah al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, (terjemahan), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 35.
clxxv
Q.S. al-Syams (91) Ayat 9 atau bermakna pujian (Q.S. al-A’la [87]
Ayat 14). Dapat dipahami bahwa menunaikan zakat pada dasarnya
akan menambah jumlah harta benda atau menjadikan harta benda itu
subur, berkembang, suci dan baik, sedangkan orang yang
menunaikan zakat akan tergolong orang-orang yang banyak berbuat
baik dan dipuji oleh semua orang. Penamaan dari segi etimologi ini
sejalan dengan firman Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah (9) Ayat 103.
Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah swt. Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Di samping itu, selain hati dan jiwanya bersih, kekayaannya
akan bersih pula. Dari ayat di atas tergambar bahwa zakat yang
dikeluarkan para wajib zakat (muzakki) dapat membersihkan dan
mensucikan hati manusia, tidak lagi mempunyai sifat yang tercela
terhadap harta, seperti sifat rakus dan kikir. Menurut Abu Muhammad
Ibnu Qutaibah yang mengatakan bahwa lafadz zakat diambil dari kata
clxxvi
zakah yang berarti nama', yakni kesuburan dan penambahan.250
Menurutnya, bahwa syara' memakai kata tersebut untuk dua arti,
yaitu: Pertama, dengan zakat diharapkan akan mendatangkan
kesuburan pahala. Karenanya, harta yang dikeluarkan itu dinamakan
zakat; Kedua, zakat itu merupakan suatu kenyataan jiwa suci dari
kikir dan dosa.251
Secara etimologi, al-zakah berarti al-numuw wa al-ziyadah,
terkadang juga diartikan dengan kata al-thaharah (suci), seperti
dalam Q.S. al-Syams (91) Ayat 9 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” Dalam Q.S. al-A’la (87) Ayat 14 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Zakat terkadang juga diartikan dengan al-madh (memuji),
seperti dalam Q.S. al-Najm (53) Ayat 32 sebagai berikut:
250
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.14.
251
Ibid., h. 14.
clxxvii
Terjemahnya:
(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa". Kata turunan zaka dengan makna suci, juga terdapat dalam
Q.S. an-Nur (24) Ayat 21 sebagai berikut:
clxxviii
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar, sekiranya tidaklah karena karunia Allah swt. dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah swt. membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah swt. Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Menurut Wahbah al-Zuhaili, beberapa definisi zakat yang
dikemukakan para ulama mazhab:
1. Menurut Malikiyah, zakat adalah mengeluarkan bagian yang
khusus dari harta yang telah mencapai nishabnya (batas kuantitas
yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya
(mustahiq), kepemilikan itu penuh dan mencapai haul selain
barang tambang dan bukan pertanian.
2. Hanafiyah mendefinisikan zakat adalah kepemilikan bagian harta
tertentu dari harta tertentu untuk orang/pihak tertentu yang telah
ditentukan oleh Syar’i (Allah swt.) untuk mengharapkan keridhaan-
Nya.
clxxix
3. Syafi'iyyah mendefinisikan zakat adalah nama bagi sesuatu yang
dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu.
4. Hanabilah mendefinisikan zakat adalah hak yang wajib dalam
harta tertentu untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu.252
Dari berbagai definisi yang diutarakan para ulama, dapat
disimpulkan bahwa zakat itu harus memenuhi beberapa unsur, antara
lain:
a. Hak yang wajib ditunaikan
b. Harta yang dizakati telah ditentukan oleh syara’
c. Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat juga telah
ditentukan.
d. Waktu penunaian zakat juga sudah ditetapkan oleh syara’
e. Syarat-syarat lain seperti mencapai ukuran wajibnya zakat, milik
mutlak dan sudah mencapai satu tahun.
Dari definisi-definisi ini, dapat dipahami bahwa zakat
sebenarnya sangat besar manfaatnya dalam kehidupan manusia,
khususnya di bidang sosial. Adanya zakat, orang-orang lemah dapat
memperoleh bantuan dari si kaya dan si kaya dapat
mengembangkan, membersihkan, menyuburkan harta bendanya,
apatah lagi tidak semua harta wajib ditunaikan zakatnya.
252
Wahbah al-Zuhayly, Zakat: Kajian... op.cit., h. 83.
clxxx
Zakat merupakan pemberian wajib yang dilakukan oleh
seorang muslim apabila ia termasuk seorang muzakki, seperti yang
diutarakan oleh Abu A'la al-Maududi:
Zakat merupakan kewajiban agama yang harus dibayarkan oleh setiap orang muslim di dalam masyarakat yang telah memenuhi persyaratan tertentu (nisab), dan harus dibayarkan dalam keadaan apapun. Dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk membantu anggota masyarakat yang kurang beruntung. Dengan demikian, zakat membentuk masyarakat untuk bekerja sama, bertindak sebagai lembaga penjamin (asuransi), dan penyedia dana cadangan bagi masyarakat Islam. Sebagian anggota masyarakat yang memerlukan suatu bantuan dapat diberikan bantuan dari dana zakat ini. Oleh karena itu, zakat merupakan modal bantuan yang dikumpulkan oleh masyarakat yang dapat digunakan untuk membantu orang yang menganggur, fakir miskin, yatim piatu, janda, orang-orang cacat, orang sakit, dan sebagainya. Zakat menjadi sangat penting sebagai jaminan sosial bagi setiap anggota masyarakat Islam sehingga tidak seorang pun perlu merasa cemas akan masa depannya.253
2. Dasar Hukum Pelaksanaan Zakat
a. Nas Alqur’an
Kata zakat (الزكاة) didapati dalam Alqur’an sebanyak 32
kali, dan terdapat 82 kali diulang dengan kata-kata yang
sinonim dengannya yaitu kata صدق dan نفق. Pengulangan ini
mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan,
fungsi, dan peran yang sangat penting. Dari 32 kali kata zakat
253
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 3, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 248-249.
clxxxi
yang terdapat dalam Alqur’an, 29 kali diantaranya
bergandengan dengan kata 254.الصلاة
Berbeda dengan perhitungan yang dikemukakan oleh
Yusuf Qardhawi bahwa kata zakat dalam bentuk ma’rifah
disebutkan dalam Alqur’an sebanyak 30 kali, diantaranya 27
kali disebut dalam satu ayat bersama shalat, dan satu kali
disebut dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak di
dalam satu ayat.
Adapun ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya
ditunaikan zakat di antaranya adalah Firman Allah swt. dalam
Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 43 sebagai berikut:
Terjemahnya :
Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah berserta orang-orang yang ruku’.
Selanjutnya Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 277 sebagai berikut:.
254
Abdurrachman Qadir, Zakat dalam… op.cit., h. 43.
clxxxii
Terjemahnya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dari kedua ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa
zakat adalah merupakan ibadah yang mengandung dua
dimensi yaitu terlaksananya hablun minallah dan hablun
minannas secara serentak (bersamaan). Oleh karena itu, orang
yang menunaikan zakat adalah orang yang berusaha
menghindarkan dirinya dari malapetaka yang akan ditimpakan
kepada orang di mana saja berada kalau tidak menjalin
hubungan baik dengan Allah swt. dan dengan sesamanya
manusia.
b. Al-Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim telah menghimpun hadis-
hadis yang berkaitan dengan zakat sekitar 800 hadis, termasuk
beberapa atsar,255 Di antara hadis yang paling populer
mengenai zakat adalah:
255
Abi Abdillah, Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz II, (Dimasyq: Dar wa al-Mutabi al-Shabil, t.th.), h. 120.
clxxxiii
بني : قال رسول الله صلى الله علیھ وسلم : عن ابن عمر قال
لھ الا دا رسول الله الإسلام على خمس شھادة أن لا ا الله و ان محم
كاة والحج وصوم رمضان لاة وإیتاء الز وإقام الص
Artinya:
‘Dari Ibnu Umar r.a. katannya: Rasulullah bersabda: Dasar (pokok-pokok) Islam itu lima perkara, Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan mengaku bahwa Muhammad saw. itu Rasul Allah, Menegakkan shalat, Membayar zakat, Menunaikan ibadah haji, dan Puasa pada bulan Ramadhan’.
Apabila dilihat dalam konteks hadis di atas dipahami
bahwa dari lima dasar (rukun) Islam, zakat menempati urutan
ketiga setelah syahadat dan shalat, kemudian disusul dengan
ibadah haji dan puasa ramadhan, ini memberi arti bahwa zakat
sama pentingnya dengan rukun-rukun Islam yang lain untuk
dilaksanakan, bahkan kalau dilihat dari segi dampaknya, maka
zakat selain sebagai ibadah kepada Allah swt. juga sebagai
alternatif utama dalam pemecahan pengentasan kemiskinan
umat Islam, namun apabila dikalkulasi pada tingkat
pelaksanaannya maka di antara lima rukun Islam, zakatlah
yang paling kurang ditegakkan/dilaksanakan, sehingga yang
mungkin akan didapati ada orang rajin shalat dan berkali-kali
naik haji, puasa ramadhan pun tidak dilewatkan, namun tidak
clxxxiv
melaksanakan zakat sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
pemahaman umat Islam yang keliru seperti ini hendaknya
mendapat perhatian dari semua pihak agar kesadaran umat
dalam berzakat dapat ditingkatkan.
c. Ijtihad Sahabat dan Pandangan Para Ulama
1. Zakat pada masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Rasulullah wafat, maka pimpinan
pemerintahan dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq sebagai
khalifah pertama. Pada saat itu, timbul gerakan
sekelompok orang yang menolak membayar zakat kepada
khalifah Abu Bakar. Khalifah mengajak para sahabat
lainnya untuk bermufakat memantapkan pelaksanaan dan
penerapan zakat dan mengambil tindakan tegas untuk
menumpas orang-orang yang menolak membayar zakat
dengan mengkategorikan sebagai orang murtad.256
Selanjutnya pada masa tabi’in dan telah melakukan ijtihad
dan merumuskan pola operasional zakat sesuai dengan
situasi dan kondisi ketika itu.
Adanya antisipasi dan tindakan tegas oleh para
sahabat dalam menangani persoalan pembangkang zakat.
256
Abdurrachman Qadir, Zakat dalam … op. cit., h. 49.
clxxxv
Apabila tidak dilakukan tindakan tersebut, maka kerusakan
akhlak terutama dalam bidang ekonomi yang disebabkan
oleh sikap dan prilaku golongan penguasa dan pemilik
modal yang umumnya bersikap zalim dan sewenang-
wenang dengan mengeksploitasi milik orang miskin dan si
lemah dengan berbagai cara, seperti sistem riba, penipuan
serta kejahatan ekonomi lainnya.
2. Zakat pada masa Khalifah Umar bin Khattab
Pengelolaan zakat pada masa Khalifah Umar bin
Khattab semakin diintensifkan baik pemungutan maupun
pendayagunaannya, hal ini menyebabkan semakin
meningkatnya penerimaan zakat harta sebagai akibat
semakin banyaknya jumlah wajib zakat karena adanya
pertambahan dan perkembangan umat Islam di wilayah-
wilayah yang telah ditaklukkan.
Khalifah Umar bin Khattab sangat respek terhadap
masalah pengelolaan zakat, bahkan begitu besar
perhatiannya kepada masalah zakat, khalifah sendiri selalu
terjun langsung mengadakan inspeksi dan mengontrol
secara langsung para petugas amil zakat dan mengawasi
clxxxvi
keamanan gudang penyimpanan harta zakat. Untuk itu,
khalifah tidak segan-segan mengeluarkan ancaman akan
menindak tegas petugas yang lalai atau menyalahgunakan
harta zakat.
Meskipun penerimaan harta zakat melimpah ruah,
karena semakin luasnya wilayah Islam saat itu, namun
kehidupan ekonomi Khalifah Umar bin Khattab tetap
sederhana seperti sebelum menjadi khalifah.
3. Zakat pada masa Khalifah Usman bin Affan
Seperti halnya pada masa pemerintahan Khalifah
Umar bin Khattab, pada masa Khalifah Usman bin Affan
pun penerimaan zakat semakin meningkat bahkan lebih
meningkat lagi bila dibandingkan pada masa sebelumnya,
sehingga gudang Baitul Mal penuh dengan harta zakat.
Untuk itu khalifah sekali-sekali memberi wewenang kepada
para wajib zakat untuk atas nama khalifah menyerahkan
sendiri zakatnya langsung kepada yang berhak (fakir
miskin). 257
Khalifah Usman bin Affan sangat memperhatikan
pelaksanaan zakat, begitu besar perhatiannya terhadap
257
Al-Thayyar, op. cit., h. 50.
clxxxvii
pelaksanaan zakat, maka hartanya sendiri yang
dikeluarkan untuk memperbesar penerimaan demi
kepentingan negara. Khalifah Usman bin Affan dikenal
sebagai orang yang dermawan, dan memiliki kekayaan
pribadi yang banyak sebelum menjadi khalifah.
Bagi khalifah Usman bin Affan, urusan zakat ini
demikian penting, untuk itu Khalifah Usman bin Affan
mengangkat pejabat yang khusus menangani zakat yaitu
Zaid Ibn Tsabit,258 yang mengurusi lembaga keuangan
negara (Baitul Mal).
Pelaksanaan pemungutan dan pendistribusian
zakat makin lancar dan meningkat. Harta zakat yang
terkumpul dibagi-bagikan kepada yang berhak
menerimanya, sehingga hampir tidak terdapat sisa harta
zakat yang tersimpan dalam Baitul Mal. Suatu ketika
khalifah mengadakan inspeksi mendadak (sidak)
memeriksa Baitul Mal. Ketika itu, ditemukan saldo kas
sebanyak seribu dirham, yaitu sisa setelah dilakukan
pembagian kepada seluruh orang yang berhak. Khalifah
memerintahkan Zaid untuk menyalurkan sisa lebih ini ke
lembaga-lembaga sosial yang memberi manfaat bagi
258
Ibid., h. 50.
clxxxviii
kemaslahahan umat, termasuk untuk biaya pembangunan
dan ta’mir Masjid Rasulullah. 259
4. Pelaksanaan Zakat pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah lima hari terbunuhnya Khalifah Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah. Sejak
awal pemeritahannya, khalifah menghadapi persoalan yang
amat kompleks, yaitu masalah politik dan perpecahan
dalam masyarakat sebagai akibat terjadinya pembunuhan
atas diri Khalifah Usman.
Meskipun dalam situasi politik yang goncang itu, Ali
Ibn Abi Thalib tetap mencurahkan perhatian yang besar
menangani persoalan zakat yang merupakan urat nadi
kehidupan pemerintahan dan agama, bahkan pada suatu
ketika khalifah sendiri yang turun tangan langsung
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak
menerimanya.
Dalam penerapan dan pelaksanan zakat, Ali Ibn
Abi Thalib selalu mengikuti kebijakan khalifah-khalifah
pendahulunya. Harta zakat yang sudah terkumpul
diperintahkan kepada petugas supaya segera membagi-
bagikannya kepada orang yang berhak yang sangat
259
Ibid., h. 50.
clxxxix
membutuhkannya dan jangan sampai terjadi penumpukan
harta zakat dalam Baitul Mal.
Setelah membagi-bagikan zakat itu, khalifah
tampak lega dan langsung shalat sunnat sebagai tanda
syukur kepada Allah swt. karena telah melaksanakan tugas
yang berat itu tanpa terpengaruh sedikitpun oleh godaan
melihat harta zakat yang melimpah ruah.260
5. Zakat pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Azis
Dalam periode Daulah Bani Umayyah yang
berlangsung hampir sembilan puluh tahun (41 – 129 H),
tampil salah seorang khalifah, yaitu Umar Ibn Abdul Azis
yang terkenal karena kebijaksaan dan keadilannya serta
keberhasilannya dalam memajukan dan mensejahterakan
masyarakat, termasuk keberhasilan dalam penanganan
zakat, sehingga dana zakat melimpah ruah dalam Baitul
Mal sampai menimbulkan kesulitan bagi petugas amil zakat
mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta
zakat tersebut.
Pada masa khalifah Umar Ibn Abd. Azis tersebut,
sistem dan manajemen zakat sudah mulai maju dan
260
Ibid., h. 50.
cxc
profesional. Jenis harta dan kekayaan yang dikenakan
zakat sudah bertambah banyak. Yusuf al-Qardhawi
menuturkan bahwa Khalifah Umar Ibn Abdul Azis adalah
orang pertama yang mewajibkan zakat atas harta
kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil
jasa yang baik, termasuk gaji, honorarium, penghasilan
berbagai profesi lainnya.261
Dari kelima sahabat tersebut di atas, dapat
dipahami bahwa betapa besar perhatian para sahabat
terhadap pelaksanaan zakat, dalam rangka menjalin
hubungan persaudaraan antara golongan kaya dan miskin,
karena secara realitas mengenai kepemilikan harta
manusia dikotakkan menjadi dua golongan oleh Allah swt.
yaitu kaya dan miskin dan harus dipahami itu merupakan
kerangka rencana Allah swt. dalam menciptakan
keseimbangan yang harmonis dan mewujudkan keadilan
yang hakiki serta mendidik manusia supaya menghayati
dan menerapkan sikap dan perilaku yang berkeadilan
(ummatan wasatan).
261
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (terjemahan), (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2007), h. 471-473.
cxci
Berzakat adalah sebagai refleksi dan realisasi dari
rasa keadilan yang bersumber dari akal sehat sebagai tolok
ukur dalam menetapkan perbuatan yang baik dan buruk.
Oleh karena itu, orang yang sadar dengan kewajiban
membayar zakat digolongkan pada orang baik, pemurah
dan berkeadilan. Sebaliknya orang yang tidak mau
membayarkan zakat digolongkan pada sikap asusila, bakhil
dan tidak manusiawi serta tidak berkeadilan.
d. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah salah satu
sistem hukum diantara beberapa komponen sistem hukum.
Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem
hukum, yaitu: Pertama, sistem hukum mempunyai struktur.
Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu
berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian
berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka
panjang yang berkesinambungan. Aspek sistem yang berada di
sini dan kemarin (atau bahkan pada abad yang terakhir) akan
berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum
kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian
yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap
cxcii
keseluruhan. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini:
jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya yaitu, jenis perkara
yang diperiksa, dan bagaimana serta mengapa, dan cara naik
banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya
struktur adalah semacam sayatan sistem hukum semacam foto
diam yang menghentikan gerak.
Kedua, sistem hukum adalah substansinya. prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem
hukum itu, keputusan yang yang dikeluarkan, aturan baru yang
disusun. Penekanannya terletak pada hukum yang hidup (living
law), bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books).
Ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum, yaitu
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan,
nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum adalah
suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.
Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya, seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, bukan
seperti ikan hidup yang berenang di lautnya262.
262
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975), h. 7-9.
cxciii
Berkaitan sistem hukum yang dikemukakan Lawrence
M. Friedman, maka UUPZ, masuk dalam komponen substansi
hukum. Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah sebuah
undang-undang nasional yang merupakan bagian dari sistem
hukum Indonesia. Undang-undang ini tidak memuat aturan
tentang zakat sebab telah diatur secara lengkap dalam hukum
Islam. Undang-undang ini banya mengatur pengelolaan zakat.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 yang dimaksud dengan pengelolaan zakat
adalah pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat berlaku terhadap
siapa saja yang ada di Indonesia baik lembaga maupun
perorangan yang beragama Islam. Semua pihak harus tunduk
pada undang-undang ini dan menjalankannya dengan sebaik-
baiknya, walaupun kewajiban zakat itu sendiri hanya berlaku
untuk orang Islam.
Pasal 2 UUPZ menentukan bahwa pengelolaan zakat
berasaskan pada syariat Islam; amanah; kemanfaatan;
keadilan; kepastian hukum; terintegrasi; dan akuntabilitas.
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Undang Pengelolaan Zakat,
cxciv
pengelolaan zakat bertujuan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah
membentuk BAZNAS (Pasal 5 [1]) dan BAZNAS merupakan
lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat
secara nasional (Pasal 6).
Dalam undang-undang ini tidak diatur dalam hal apa dan
kapan seorang muzakki wajib mengeluarkan zakat dan siapa saja
yang termasuk dalam mustahiq, karena semua ini diatur dalam
hukum Islam. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka fungsi
UUPZ adalah sebagai procedural law tentang zakat bukan
substantive law, karena yang disebutkan terakhir ini ada dalam
hukum Islam dan dinyatakan dalam Alqur’an, al-Hadis dan Ijtihad
para ulama yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqih.
Apabila diperhatikan kandungan undang-undang ini,
maka yang menjadi tujuan dari undang-undang bukan saja ingin
memberikan jaminan kepastian agar supaya zakat dikelola
dengan baik, dan tidak sekadar untuk memfasilitasi lancarnya
interaksi dalam proses pengelolaan, tetapi lebih jauh lagi yaitu
cxcv
diharapkan melalui undang-undang ini akan terjadi beberapa
perubahan kehidupan masyarakat yang sifatnya lebih sejahtera.
Dalam konteks ilmu hukum dapat disebut bahwa UUPZ
tidak hanya sekadar berfungsi sebagai a tool of social control
atau a tool of facilitation of human interaction tetapi juga as a tool
of sosial engineering dalam arti sebagai sarana untuk
menciptakan rekayasa sosial menuju ke arah kehidupan yang
lebih sejahtera dan berkeadilan.
3. Pengelolaan Zakat di Indonesia
a. Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia
Dilihat dari aspek historis, perkembangan zakat di
Indonesia telah mengalami perjalanan waktu yang panjang.
Sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara, zakat telah
menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Ketika
memasuki era Kolonialisasi Barat, zakat dijadikan sebagai salah
satu sumber penopang dana perjuangan melawan penjajahan.
Ketika wilayah jajahan makin meluas, pemerintah Belanda
mengeluarkan Bijblaad No. 1892 Tanggal 4 Agustus 1892, yang
isinya adalah kebijakan pemerintah kolonial mengenai zakat.
Lahirnya undang-undang tersebut didorong oleh suatu
keinginan rezim kolonial agar tidak terjadi penyelewengan
(manipulasi) keuangan zakat oleh para penghulu atau naib
cxcvi
zakat (petugas zakat) yang bekerja bagi kepentingan kolonial.
Para petugas zakat tersebut tidak diberi gaji untuk membiayai
hidup, kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarga.263
Menurut Arskal Salim, adanya regulasi tersebut untuk
menghindari penyalahgunaan zakat dengan menunjuk petugas
keagamaan seperti naib dan penghulu sebagai pengelola
zakat.264 Lalu pada tahun 1905 pemerintah Belanda
mengeluarkan regulasi lain (Bijblaad 6200) yang secara khusus
melarang petugas pribumi (priyayi dan setingkatnya) untuk
mengintervensi pengelolaan zakat. Kebijakan pemerintah
Belanda itu adalah suatu upaya untuk membuat perbedaan
yang nyata antara urusan negara dan urusan masyarakat
muslim dalam masalah keagamaan.
Upaya selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah
Kolonial Belanda dalam rangka meminimalisir kekuatan
ekonomi rakyat yang bersumber dari zakat, yaitu dengan
dikeluarkannya larangan untuk membantu pelaksanaan zakat
bagi pegawai pemerintah dan priyayi pribumi. Larangan tersebut
tercantum dalam Bijblaad No. 6200 Tanggal 28 Februari 1905.
263Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI
Press, 1991), h. 32-33. 264
Arskal Salim and Azyumardi Azra, (ed.), Sharia and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), p. 182.
cxcvii
Peraturan tersebut berlaku untuk seluruh wilayah jajahan dan
larangan tersebut lahir karean didorong berakhirnya Perang
Aceh pada tahun sebelumnya (1904) yang telah berlangsung
puluhan tahun. Penerbitan larangan tersebut terutama ditujukan
bagi para priyayi pribumi Aceh, untuk tidak lagi berupaya
membantu pengumpulan dan pengelolaan dana zakat
berdasarkan Syari’at Islam yang telah berjalan sebelumnya265.
Menururt Andi Lolo Tonang, lahirnya ordonansi
Pemerintah Belanda No. 6200 tersebut, pengaturan tentang
pengumpulan dan pengelolaan dana zakat diserahkan
sepenuhnya kepada umat Islam sesuai dengan ajaran Islam.
Kondisi ini menjelaskan tentang upaya pemerintah Belanda
untuk memisahkan antara negara dengan ajaran agama. Bahwa
tujuan utama dari kebijakan kolonial tersebut adalah untuk
melemahkan perekonomian rakyat yang bersumber dari zakat.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kebijakan tersebut
sebagai upaya legal melemahkan kekuatan rakyat pribumi yang
mayoritas beragama Islam.266
265
Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995),h. 250-251.
266
B. Wiwoho et.al., (ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: Bina Rena Pari Wara, 1992), h. 262.
cxcviii
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah
penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A`la
Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik dan organisasi
massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II.
Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun
Baitul Mal di Jawa pada tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya
gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang pada akhir
tahun 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan dibentuklah
Kementerian Agama pada 8 Desember 1951, kementerian ini
mengeluarkan edaran bahwa kementerian ini tidak berkehendak
untuk mencampuri urusan pengumpulan dan pendistribusian
zakat. Misinya hanyalah mendorong orang untuk membayar
zakat dan mengawasi supaya distribusi zakat terselenggara
sebagaimana mestinya.267
Pasca proklamasi kemerdekaan, Negara Republik
Indonesia senantiasa mengalami dinamika. Konsep UUD 1945
dan Pancasila dengan Piagam Jakarta sebagai jiwanya pada
masa awal kemerdekaan belum memberikan tempat yang layak
bagi implementasi zakat. Namun secara informal terdapat ide
dari beberapa tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan
267
Arskal Salim and Azyumardi Azra, (ed.), Sharia and Politics… op.cit., h. 184.
cxcix
tentang implementasi zakat dan kaitannya dengan kewenangan
pemerintah. Diantara gagasan tersebut adalah seperti yang
disampaikan oleh Mr. Jusuf Wibisono pada tahun 1950, Menteri
Keuangan ketika itu menuangkan idenya dalam sebuah
makalah yang dimuat dalam Majalah al-Hikmah, tentang
perlunya memasukkan zakat sebagai salah satu komponen
sistem perekonomian keuangan negara Indonesia. Di samping
itu, berkembang suara-suara di kalangan anggota parlemen
yang menginginkan agar persoalan zakat diatur dengan
peraturan perundang-undangan dan diurus langsung oleh
pemerintah atau negara.268
Gagasan-gagasan tersebut belum menjelma menjadi
kenyataan, justru sebaliknya pemerintah melalui Kementerian
Agama pada 8 Desember 1951, mengeluarkan Surat Edaran
tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah No. A/VII/17367. Surat
tersebut berisikan bahwa pemerintah tidak mencampuri rakyat
yang beragama Islam dalam mengumpulkan dan mengelola
zakat fitrah. Dalam tugas tersebut dijelaskan bahwa tugas
pemerintah hanya:
268
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi…, op.cit., h. 35.
cc
a. Menggembirakan dan menggiatkan masyarakat untuk
menunaikan kewajibannya;
b. Melakukan pengawasan supaya pemakaian dan
pembagiannya dari hasil pungutan tersebut dapat di
laksanakan sesuai dengan hukum agama269.
Tahun berikutnya, perhatian terhadap permasalahan
zakat terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1964,
kementerian agama menyusun Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang
pelaksanaan pengumpulan dan pembagian serta pembentukan
Baitul Mal. Disertai alasan yang tidak jelas, RUU tersebut belum
dapat disampaikan kepada parlemen, dan begitu juga RPPPUU
juga sempat diajukan kepada presiden.270
Pada tahun 1967 disusunlah RUU tentang Zakat yang
kemudian diajukan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR) dengan disertai Surat Menteri
Agama No. MA/095/1967, tanggal 5 Juli 1967, kemudian RUU
ini juga mengalami kegagalan karena ditolak oleh DPR-GR.
269
Zulfahmi Bustami “Argumentasi Positifikasi Hukum Zakat di Indonesia” dalam Jurnal Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007, h. 569.
270
Ibid., h. 570.
cci
Pada masa tersebut, sedang berkembang sikap curiga terhadap
segala upaya pengembangan di bidang ajaran Islam, dan upaya
tersebut dikategorikan sebagai upaya mendirikan Negara Islam
di Indonesia.271
Beriringan dengan diajukannya RUU tersebut ke DPR,
Menteri Agama juga mengirim RUU Zakat kepada menteri yang
memiliki kaitan dengan bidang ini, yaitu Menteri Sosial dan
Menteri Keuangan, dengan Surat No. MA/099/1967, tanggal 14
Juli 1967. Dalam surat tersebut, Menteri Sosial diharapkan
untuk memberi saran dan konstruktif bagi penggunaan dana
zakat karena berkenaan dengan kepentingan dan tujuan sosial.
Demikian juga Menteri Keuangan diharapkan memberi arahan
karena dianggap telah memiliki pengalaman dalam pemungutan
dan pengelolaan dana pajak. Namun sangat disayangkan
jawaban Menteri Keuangan yang hanya memberi saran dan
belum menyentuh kepada solusi subtansif, yaitu agar
permasalahan zakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Agama, seperti yang tercantum dalam suratnya bernomor:
D.15-1-5-25.272
271
Ibid., h. 570. 272
Ibid., h. 570.
ccii
Pada akhir tahun 1960-an perhatian pemerintah
terhadap persoalan zakat semakin meningkat secara kualitatif.
Indikasinya ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri
Agama (PMA) No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan
Amil zakat. Untuk memperkuat PMA tersebut pada tahun itu
juga dikeluarkan PMA No. 5 tahun 1968 yang berisikan tentang
pembentukan Baitul Mal yang statusnya semi resmi yang
berbentuk yayasan. Tidak beberapa lama PMA tersebut
dikeluarkan, Presiden Soeharto dalam pidatonya pada malam
peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. pada 22 Oktober
1968 mengeluarkan anjuran untuk mengumpulkan zakat secara
sistematis dan terorganisir dengan baik.273
Menindaklanjuti anjuran tersebut, Menteri Agama
mengeluarkan Instruksi No. 1 tahun 1969, yang berisikan
penundaan Pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No. 4 dan 5
Tahun 1968, Selanjutnya pada 21 Mei 1969, keluarlah Kepres
No. 44 Tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia
Pembangunan Uang Zakat yang diketahui oleh Menko Kesra,
Dr. KH. Idham Chalid. Kepres ini dalam operasionalnya
diuraikan dalam Surat Edaran Menteri Agama No. 3 Tahun
273
Arskal Salim and Azyumardi Azra, (ed.), Sharia and Politics… op.cit., h. 182.
cciii
1969, yang intinya hasil pengumpulan uang zakat agar dikirim
kepada Presiden Soeharto melalui rekening Giro Pos No.
A.10.00.15 Mengenai hasil dari surat perintah dan Kepres
tersebut sampai saat ini belum dapat diperoleh datanya.
Empat belas tahun kemudian, Presiden Soeharto
merealisasikan anjurannya dengan mendirikan Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila (YABMP), tepat pada 17 Februari
1982, dengan Akta Notaris No. 029. Yayasan ini tercantum
dalam Lembaga Negara RI No. 17, tanggal 26 Februari 1982.
Tujuan utama dari pendirian yayasan ini adalah untuk
memperbanyak rumah Ibadah umat Islam yang jumlahnya
dirasakan masih minim, terutama untuk daerah-daerah terpencil
dan lingkungan masyarakat yang kurang mampu. Dana
yayasan ini berasal dari sumbangan Instansi Pemerintah,
Badan Usaha Negara dan Swasta, amal jariah, shadaqah dan
hibah. Pada Instansi Pemerintah, sumbangan ditarik dari
potongan gaji pegawai negeri sipil dan ABRI-Polri yang
muslim.274
Sebagai respon dari meningkatnya perhatian
pemerintah pusat terhadap persoalan zakat, pemerintah daerah
274
Zulfahmi Bustami “Argumentasi Positifikasi… op.cit.,h. 571.
cciv
yang dipelopori oleh Pemda DKI Jakarta di bawah pimpinan
Gubenur Ali Sadikin, berinisiatif mendirikan Badan Amil Zakat
(BAZ) pada tahun 1968, selanjutnya diikuti oleh Pemda-Pemda
lainnya dengan mendirikan lembaga sejenis. Seperti BAZIS
atau BAZ di Kalimantan Timur (1972) Sumatera Barat (1973),
Jawa Barat (1974), Aceh dan Lampung (1975), Kalimantan
Selantan (1977), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa
Tenggara Barat (1985).275
b. Lembaga Pengelola Zakat
Zakat tidak dapat dipandang sebagai jasa baik orang
kaya kepada orang miskin atau fakir, atau dipandang sebagai
pemberian saja, sebab zakat dalam Islam merupakan kewajiban
sosial, sebagai hak sah bagi mustahiq yang dalam
pelaksanaannya perlu wewenang pemerintah untuk ikut
mengurusnya276
Pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada
Firman Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah (9) Ayat 60 sebagai
berikut:
275
Ibid., h. 571. 276
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 255.
ccv
Terjemahnya:
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selain itu pula dasar lain yang menjadi rujukan
pengelolaan zakat adalah Firman Allah swt. dalam Q.S. at-
Taubah (9) Ayat 103 sebagai berikut:.
ccvi
Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam Q.S at-Taubah Ayat 60 tersebut dikemukakan
bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat
(mustahiq zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus
urusan zakat ('amilina `alailha). Sedangkan dalam Q.S at-
Taubah Ayat 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput)
dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki)
untuk kemudian diberikan kepada orang yang berhak
menerimanya (mustahiq). Mengambil dan menjemput tersebut
adalah para petugas (amil). Menurut Imam Qurthubi
sebagaimana dikutip Didin Hafidhuddin, ketika menafsirkan
ccvii
Surah at-Taubah Ayat 60 menyatakan bahwa amil itu adalah
orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah)
untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan
zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.277
Rasulullah pernah mempekerjakan seorang pemuda
dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus
urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin Abi
Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Muaz bin Jabal
pernah diutus Rasulullah pergi ke Yaman, di samping bertugas
sebagai da'i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga
mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Demikian pula
yang dilakukan oleh para sahabat rasulullah yang menjadi
khalifah dan sesudahnya, selalu mempunyai petugas khusus
yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun
pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang
memiliki kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk disalurkan
kepada mustahiq, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah
semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga
277
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 125.
ccviii
suatu kewajiban yang bersifat otoritatif (ijbari).278
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat,
apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, memiliki
beberapa keuntungan, antara lain: Pertama, untuk menjamin
kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, untuk
menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
Ketiga, untuk efisiensi dan efektivitas, dan sasaran yang tepat
dalam pengguanaan harta zakat berdasarkan skala prioritas
yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan
syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan
yang Islami. Sebaliknya, jika pelaksanaan zakat diserahkan
langsung oleh muzakki zakat kepada mustahiq, maka nasib dan
hak-hak orang miskin tidak memperoleh jaminan yang pasti.279
Menurut Didin Hafidhuddin, seseorang yang ditunjuk
sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki
beberapa persyaratan sebagai berikut:
Pertama, beragama Islam. Zakat adalah salah satu
urusan utama kaum muslimin yang termasuk Rukun Islam
(Rukun Islam Ketiga), karena itu sudah saatnya apabila urusan
278
Ibid., h. 125-126. 279
Abdurrachman Qadir, Zakat dalam … op. cit., h. 87.
ccix
penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim.
Kedua, mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal
pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus
urusan umat. Ketiga, memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini
sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat.
Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya
melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang
patut dan Iayak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam
bentuk transparansi dalam menyampaikan laporan
pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan
penyalurannya sejalan dengan ketentuan ajaran Islam.
Keempat, mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
yang menyebabkan mampu melakukan sosialisasi segala
sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.
Pengetahuan tentang zakat yang relatif memadai, para amil
zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan yang
diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat tersebut.
Pengetahuan yang memadai tentang zakat inipun akan
mengundang kepercayaan dari masyarakat.
Kelima, memiliki kemampuan untuk melaksanakan
tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan
ccx
syarat yang sangat penting, akan tetapi juga harus ditunjang
oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas. Perpaduan
antara amanah dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan
kinerja yang optimal.
Keenam, kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan
tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang memiliki
waktu yang cukup dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-
asalan dan tidak pula sambilan. Adanya amil zakat yang
sambilan dalam masyarakat, menyebabkan amil zakat tersebut
pasif dan hanya menunggu kedatangan muzakki untuk
membayarkan zakatnya atau infaknya.280
Disahkannya UUPZ pada tahun 1999, maka Indonesia
memasuki babak baru, zakat menjadi elemen penting dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Disahkannya UUPZ juga
menandai bahwa zakat telah memasuki wilayah formal
kenegaraan. Meskipun diakui, isinya sebagian masih
menimbulkan pro dan kontra, tetapi secara umum UUPZ
dipandang membawa angin segar bagi perkembangan zakat di
Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat merekomendasikan berdirinya organisasi
280
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam… op.cit., 127-128.
ccxi
Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk membantu BAZNAS dalam
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat dan LAZ wajib melaporkan pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang
telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. Sementara dalam
Pasal 17 UU No. 23 Tahun 2011 bahwa untuk membantu
BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat juga menegaskan
berlakunya pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak. Meskipun belum memenuhi harapan utama umat,
yaitu zakat sebagai pengurang pajak, akan tetapi akomodasi
pembayaran zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
(PPKP) merupakan bentuk motivasi dan pengakuan sehingga
umat diharapkan lebih terdorong untuk membayarkan zakatnya
melalui lembaga pengelola zakat formal.
Sejak keluarnya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, terdapat 18 LAZ nasional yang
mendapat pengukuhan Menteri Agama. LAZ itu, yakni (1)
Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful, (3) Pos Keadilan
Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Mal Muamalat, (5)
Yayasan Dana Sosial al-Falah, (6) Yayasan Baitul Mal
ccxii
Hidayatullah, (7) LAZ Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan
Baitul Mal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI (persero) tbk, (9)
LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Mal
Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ
Baitul Mal wat Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dompet Sosial
Ummul Quro (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah Pertamina
(BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Darut Tauhid
(DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan
Persaudaraan Haji (IPHI)281.
Menurut Moch. Arief, tujuan besar dilaksanakannya
pengelolaan zakat adalah, Pertama, meningkatnya kesadaran
masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah
zakat. Sebagaimana realitas yang ada dimasyarakat bahwa
sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum
menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan
kemampuan akan tetapi adalah persoalan lain yaitu kesadaran
untuk ibadah zakat yang kurang terutama dari umat Islam
sendiri. Hal ini menyimpan pekerjaan rumah tersendiri
281
Almisar Hamid, “Nasib Lembaga Amil Zakat Di Indonesia” http://www.ahmad heryawancom/opini-media/sosial-politik/4297-nasib-lembaga-amil-zakat-di-indonesia.pdf diakses pada 2 Mei 2010.
ccxiii
bagaimana secara umum umat Islam meningkat kesadaran
beragamanya.
Kedua, meningkatnya fungsi dan peranan pranata
keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial. Pengelola zakat/amil adalah
merupakan salah satu institusi yang mengelola zakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan
derajat kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya
keadilan distribusi harta. Zakat itu dipungut dari orang-orang
kaya untuk kemudian didistribusikan kepada mustadz’afin (fakir
miskin) di daerah zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi
aliran dana dari para orang kaya(aghniyaa) kepada orang lemah
(dhuafa) dalam berbagai bentuknya, baik untuk kepentingan
konsumtif maupun kepentingan produktif (investasi). Maka
secara sadar, penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas
sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya
akan mengurangi derajat kejahatan di tengah masyarakat.
Ketiga, meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Setiap lembaga zakat memiliki database (pangkalan data)
tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata
untuk mengetahui potensi-potensi atau peluang untuk
melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki.
ccxiv
Muzakki adalah nasabah seumur hidup, maka perlu adanya
perhatian dan pembinaan yang memadai guna memupuk nilai
kepercayaannya. Terhadap mustahiq-pun juga demikian,
program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan
sejauh mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas
kehidupannya, dari status mustahiq berubah menjadi
muzakki.282
Menurut Ibnu Taimiyyah, orang yang bekerja untuk
kepentingan zakat, termasuk kolektor, pemelihara dan yang
terlibat dalam pemeliharaan penghitungan dan sebagainya,
disebut amilin. Pada garis besarnya tugas para amil zakat dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok besar: 1) para pengumpul
yang bertugas mengamati dan menetapkan muzakki,
menetapkan jenis-jenis harta yang wajib dizakati, dan jumlah
yang harus dibayar. Kemudian mengambil dan menyimpannya
untuk diserahkan kepada para petugas yang membagikan telah
dikumpulkan itu. Para pengumpul memerlukan pengetahuan
tentang hukum-hukum zakat, misalnya hal-hal yang berkaitan
dengan jenis harta, kadar nisab, haul dan sebagainya; 2) Para
pembagi bertugas mengamati dan menetapkan, setelah
282
Moch. Arief, “Prinsip Pengelolaan Zakat” dalam Infoz, Edisi 5 Th V Maret - April 2010, 24-25.
ccxv
melakukan pengamatan dan penelitian yang seksama, siapa
saja yang berhak mendapatkan zakat, perkiraan kebutuhan,
kemudian mendistribusikan kepada masing-masing yang
membutuhkan dengan mempertimbangkan jumlah zakat yang
diterima dan kebutuhan masing-masing.283
G. Kerangka Pemikiran
Zakat merupakan bagian penting dari syariah Islam yang
pertama kali dikenal di dalam sejarah peradaban yang mampu menjamin
dan memproteksi kehidupan bermasyarakat, terutama terhadap orang-
orang yang lemah yang tidak memiliki penghasilan dan kehidupan yang
layak. Islam mewajibkan zakat selain sebagai rukun Islam juga berfungsi
sebagai sistem redistribusi kekayaan dan sistem jaminan sosial demi
menciptakan kesejahteraan. Zakat diyakini mampu menjadi jembatan
kekuataan persatuan (ijtima’iyyah) umat Islam. Pada prinsipnya, Islam
tidak membenarkan adanya kesenjangan yang lebar di tengah
masyarakat antara orang kaya dengan orang miskin.
Kewajiban membayar zakat adalah kewajiban yang mendasar
dalam ajaran Islam dan dianggap sebagai salah satu rukun Islam dari
283
Mawardi, “Strategi Efektifitas Peran Lembaga Zakat Di Indonesia” dalam Jurnal Hukum Islam. Vol. IV No. 2 Desember 200, h. 178-179.
ccxvi
lima rukun Islam, sesuai dengan Firman Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah
(9) Ayat 103 sebagai beirkut:
Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Zakat sebagai kewajiban umat Islam dan menjadi pilar (rukun)
keislaman seseorang, seseorang belum dikatakan muslim yang
sempurna sebelum melaksanakan lima hal ini, diantaranya adalah
membayar zakat. Harta yang dikeluarkan melalui zakat, akan
membersihkan semua harta yang dizakati, dan memelihara
pertumbuhannya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
Abdullah bin Umar, yaitu:
بني الإسلام على : قال رسول الله صلى الله علیھ وسلم : عن ابن عمر قال
لاة وإیتاء دا رسول الله وإقام الص لھ الا الله و ان محم خمس شھادة أن لا ا
كاة والحج وصوم رمضان الز
ccxvii
Artinya:
‘Dari Ibnu Umar r.a. katannya : Rasulullah bersabda : Dasar (pokok-pokok) Islam itu lima perkara, Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan mengaku bahwa Muhammad saw. itu Rasul Allah, Menegakkan shalat, Membayar zakat, Menunaikan ibadah haji, dan Puasa pada bulan Ramadhan’.
Peran negara dalam pengelolaan zakat tidak dapat dinafikan,
zakat apabila dikelola secara baik akan mewujudkan kesejahteran umat,
sesuai dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia. Adanya cita-cita tersebut mendasari penyelenggara negara
(pemerintah) dalam melaksanakan pembangunan, baik pembangunan
materil maupun pembangun spiritual.
Demi tercapainya kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang
kurang mampu dan menumbuhkan gairah untuk menunaikan zakat bagi
bagi yang mampu, maka diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat yang disahkan oleh DPR pada tanggal
27 Oktober 2011 pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dan
ccxviii
Dalam penelitian ini, sebagai landasan grand theory, adalah
teori Negara Hukum Kesejahteraan oleh Ibnu Khaldun. Menurut Ibnu
Khaldun untuk mendukung terwujudnya negara hukum kesejahteraan
ada variabel utama yang saling terkait, yaitu: G = Government
(pemerintah) = الملك; S = Syari’ah = الشریعة; W = Wealth
(kekayaan/ekonomi) =الأموال; N = Nation (masyarakat/rakyat)= الرجال;
D = Development (pembangunan) = عمارة; J = Justice (keadilan) =
.العدل
Selanjutnya, sebagai middle range theory atau teori antara,
mengacu pada teori hukum al-muslahah dari Imam Malik. Teori
maslahah ini urgen sekali digunakan sebagai teori kajian hukum
khususnya dalam hukum zakat, karena zakat selain sebagai ibadah
mahdah (ibadah yang orientasinya semata-semata kepada Allah swt.),
juga sebagai ibadah ghairu mahdah orientasinya untuk kepentingan
umum. Alasan digunakannya teori maslahah dalam kajian ini adalah
terletak pada subtansi bahasannya, secara filosofis bahwa zakat
sesungguhnya berasal dari hukum Islam. Karakteristik yang paling
fundamental dalam kajian hukum yang berasal dari agama adalah
sulitnya didekati dengan pemikiran manusia. Oleh karena itu,
permasalahan agama adalah permasalahan keyakinan. Sedangkan
ccxix
keyakinan sulit sekali didekati dengan model (teori) hasil pemikiran
manusia. Satu-satunya cara yang paling dianggap mudah dan relevan
adalah teori yang berasal dari agama (keyakinan) itu sendiri. Itulah
sebabnya teori maslahah digunakan sebagai middle range theory.
Sedangkan teori aplikasi (application theory) yang dipakai
dalam dalam penelitian ini:
1. Teori Bisnis Tazkiyah (TBT) oleh H.M. Arfin Hamid. Untuk
menentukan sebuah sistem bisnis yang betul-betul sesuai syariah.
Ada beberapa tahapan itu diuraikan sebagai berikut: (1) Penentuan
objek usaha (barang, jasa, jenis usaha) seluruhnya harus terjamin
keabsahan dan kehalalannya, bukan termasuk haram lizatihi; (2)
Metode/proses pengelolaan dan menjalankan bisnis tidak terdapat
unsur-unsur yang diharamkan, bukan termasuk haram lighairi zhatihi;
(3) Hasil/output-nya dipastikan terjamin kehalalannya (tazkiyah); (4)
Penggunaan dan pengelolaan hasil/harta itu dalam koridor
limardhatillah.284
2. Teori pengelolaan zakat dari Yusuf Qardhawi, untuk menjamin
kesuksesan penerapan zakat ada beberapa persyaratan penting
yang harus dilakukan, yaitu: (1) menetapkan konsep perluasan dalam
kewajiban zakat; (2) pengelolaan zakat dari harta yang bergerak dan
284
M. Arfin Hamid, “Teori Bisnis Tazkiyah…loc. cit.
ccxx
tidak bergerak (3) administrasi yang accountable dan dikelola oleh
para penanggung jawabnya yang profesional; (4) pendistribusian dan
penerapan zakat dengan baik; (5) melakukan pekerjaan dengan
menggunakan manajemen Islam.285
3. Teori Kepatuhan Hukum
Teori kepatuhan hukum yang menjadi salah satu teori
aplikasi dalam penelitian ini adalah teori kepatuhan hukum dari
H.C.Kelman. Kualitas kepatuhan hukum diklasifikasi dalam 3 (tiga)
jenis, yaitu sebagai berikut :
a. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
b. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
c. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.286
4. Teori Keadilan Sosial dari Sayyid Qutb. Menurut Sayyid Qutb bahwa
keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu
kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai
kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas
dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam
285
Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (terjemahan), (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), h. 93-157.
286
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum… loc.cit.
ccxxi
menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan
kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam
kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan
mendorong kompetisi. Ia menjamin kehidupan minimum bagi setiap
orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan
kesamaan kekayaan.287
Dalam penelitian mengenai pengelolaan zakat yang berimplikasi
pada jaminan keadilan sosial. Ada tiga variabel independen, yaitu:
variabel hakikat pengelolaan zakat dengan indikator yaitu: nilai tauhid,
nilai akhlak, nilai kemanusiaan dan nilai keseimbangan; Variabel
implementasi nilai-nilai hukum Islam dalam peraturan perundang-
undangan pengelolaan zakat dengan indikator, yaitu: nilai teologis, nilai
filosofis, nilai yuridis, dan nilai sosiologis; Variabel pelaksanaan
pengelolaan zakat dengan indikator, yaitu: kepatuhan hukum masyarakat,
peran pemerintah, kewenangan antar institusi, mekanisme
pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Sedangkan varibel Y sebagai
variabel dependen adalah terwujudnya pengelolaan zakat yang dapat
memajukan kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan sosial.
Selanjutnya, dapat dilihat dalam diagram kerangka pikir berikut
ini:
Gambar 3
287
M. Taufiq Rahman, “Teori Keadilan… loc.cit.
ccxxii
Kerangka Pikir Penelitian
H. Definisi Operasional Variabel
1. Nilai tauhid bahwa dalam pengelolaan zakat merupakan suatu
bentuk penghambaan diri kepada Allah swt. baik oleh pengelola
zakat maupun muzakki.
2. Prinsip akhlak bahwa dalam pengelolaan zakat tentu harus
dilandasi dengan etika dan moral
Terwujudnya Pengelolaan Zakat yang
dapat memajukan
Kesejahteran umum yang
berdasar pada
Keadilan Sosial
- Alqur’an - Hadis - UUD NRI Tahun
1945 - UU No. 23 Tahun
2011
Hakikat Pengelolaan Zakat - Nilai Tauhid - Prinsip Akhlak - Prinsip Kemanusiaan - Prinsip Keseimbangan - Prinsip Kemasyarakatan - Prinsip Distribusi - Prinsip Konsumsi
Pelaksanaan Pengelolaan Zakat
- Kepatuhan Hukum
Masyarakat - Peran Pemerintah - Koordinasi antar Institusi - Mekanisme Pengelolaan
zakat
Landasan Keberlakuan Hukum Islam
- Landasan Teologis - Landasan Filosofis - Landasan Yuridis - Landasan Sosiologis
ccxxiii
3. Prinsip kemanusiaan bahwa dalam pengelolaan zakat, pengelola
zakat menjembatani komunikasi antara muzakki dan mustahiq
sehingga terjalin rasa kemanusiaan.
4. Prinsip keseimbangan adanya keseimbangan yang adil yang
tercipta melalui pengelolaan zakat antara individu dan masyarakat,
antara dunia-akhirat, jasmani-rohani.
5. Prinsip kemasyarakan bahwa pengelolaan zakat yang baik dapat
menumbuhkan persaudaraan diantara kaum muslimin.
6. Prinsip distribusi bahwa zakat didistribusikan di daerah tempat
dipungut zakat
7. Prinsip konsumsi bahwa zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-
hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat charity tetapi lebih untuk
kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.
8. Landasan teologis yaitu nilai-nilai ketuhanan yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan.
9. Landasan filosofis yaitu nilai-nilai keadilan yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan.
10. Landasan yuridis yaitu nilai-nilai kepastian hukum yang termuat
dalam peraturan perundang-undangan.
11. Landasan sosiologis yaitu nilai-nilai sosial yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan.
ccxxiv
12. Kepatuhan hukum masyarakat adalah kesadaran masyarakat
(muzakki) dalam membayar zakat
13. Peran pemerintah adalah keterlibatan pemerintah sebagai peran
pemerintah sebagai pengatur (regulator), peran pemerintah sebagai
pengelola (operator), peran pemerntah pengawas (supervisor), dan
peran pemerintah sebagai eksekutor.
14. Koordinasi antar institusi adalah kerjasama antara lembaga
pengelola dalam pengelolaan zakat.
15. Mekanisme pengelolaan zakat adalah pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
ccxxv
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Makassar. Ada pun
pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa secara nasional
berlaku Undang-Undang Pengelolaan Zakat, Dijadikannya Jakarta
sebagai lokasi penelitian karena di Jakarta berkedudukan beberapa induk
organisasi pengelola zakat dan di Makassar sendiri ada beberapa
perwakilan lembaga pengelola zakat. Dipilihnya kedua kota tersebut
karena disinyalir bahwa pengelolaan zakat belum dapat mewujudkan
pemajuan kesejahteraan yang berdasar pada keadilan sosial
B. Pendekatan dan Sifat Penelitian
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yang
menekankan pada pengelolaan zakat, maka penelitian ini memakai
beberapa pendekatan, yaitu:
1. Teologis, pendekatan ini dilakukan karena kewajiban berzakat dan
pengelolaannya bersumber dari dalil naqli (al-Qur’an dan al-Hadis)
tentu diyakini kebenarannya dan mutlak adanya. Zakat sebagai
ajaran yang bersumber dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak
perlu dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan
ccxxvi
yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil argumentasi.288
Dikaitkan dengan pendekatan normatif, bahwa zakat sebagai ajaran
Islam secara normatif pasti benar dan memiliki nilai-nilai luhur. Ajaran
agama (zakat) dalam dimensi sosialnya menawarkan nilai-nilai
kemanusiaan, kebersamaan, kesetia-kawanan, tolong menolong,
tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Dalam dimensi
ekonomi, zakat menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan
saling menguntungkan.289
2. Penelitian normatif yang dimaksudkan, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti data sekunder,290 atau bahan pustaka
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.291 Sifat diskriptif ditujukan untuk
menggambarkan kebijakan, pengaturan, dan pelaksanaan
pengelolaan zakat. Sedangkan sifat eksplanatoris ditujukan untuk
menjelaskan kebijakan, pengaturan, dan pelaksanaan pengelolaan
zakat tersebut.
288
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Grafindo Perkasa, 2000), h. 34.
289
Ibid., h. 34-35. 290
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 24.
291
J.L.K. Valerine, Modul Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), h. 409.
ccxxvii
3. Non doktrinal, pendekatan ini dimaksudkan dimaksudkan untuk
mengsinkronisasikan antara hukum yang berlaku dengan realita
empiris dalam masyarakat. Dalam pendekatan empirik digunakan
kualitatif induktif fenomenologis karena dalam melihat hukum tidak
semata-mata sebagai perangkat aturan perundangan yang bersifat
normatif belaka, akan tetapi hukum dapat dilihat sebagai perilaku
masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dengan
aspek-aspek kemasyarakatan. Hukum tidak hanya dilihat sebagai
suatu entitas normatif, melainkan sebagai bagian riil dari sistem
sosial dalam kaitannya dengan variabel sosial yang ada dalam
masyarakat292. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu cara atau
prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan
terlebih dahulu meneliti data sekunder yang ada kemudian
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan.293
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pola deskriptif. Jenis
penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
menjelaskan dan menggambarkan apa adanya tentang pengelolaan zakat
kaitannya dengan problema keadilan sosial di Indonesia. Menurut
Sumardi Suryabrata, secara harfiyah penelitian deskriptif adalah
292
Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., h. 38. 293Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1996), h. 52.
ccxxviii
penelitian yang dimaksudkan untuk pencandraan mengenai situasi-situasi
atau kejadian-kejadian.294
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kota Jakarta
dan Kota Makassar. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat yang
bersangkutan dipandang sebagai komunitas yang memiliki derajat
keseragaman (degree of community). Homogenitas dari komunitas
masyarakat tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa dalam zakat
dan pengelolaannya memiliki permasalahan yang sama. Oleh karena itu,
sampel dalam jumlah tertentu dari seluruh populasi dianggap representatif
untuk diteliti.
Adapun peincian sampel adalah: Sampel di Kota Jakarta
sebanyak 275 orang sedangkan sampel untuk Kota Makassar sebanyak
125 orang yang diambil secara acak (random sampling).
D. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperlukan terdiri dari data primer (utama) dan data
sekunder (pelengkap/pendukung).
1. Data primer adalah data empirik yang diperoleh dari responden
dengan cara penelusuran di lapangan. Data tersebut meliputi faktor-
294
Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 10.
ccxxix
faktor yang berkorelasi dengan pengelolaan zakat yang didapatkan
dari sampel penelitian
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari institusi pengelola
zakat yang terkait dengan dokumen-dokumen pengelolaan zakat.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data sesuai variabel dalam penelitian ini,
digunakan instrumen pengumpul data sebagai berikut:
1. Angket (kuesioner) ditujukan kepada respoden. Angket ini merupakan
rangkaian pertanyaan yang bersifat terbuka dan tertutup sebagai
penjabaran dari indikator variabel. Pada angket terbuka, tidak
disediakan jawaban, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
responden mengemukakan pendapatnya. Pada angket tertutup,
peneliti telah menyiapkan berbagai alternatif jawaban dari responden
menjawab pertanyaan dengan memilih salah satu alternatif jawaban
yang tersedia pada setiap pertanyaan;
2. Wawancara dengan informan. Wawancara digunakan untuk menggali
lebih mendalam mengenai zakat dan pengelolaannya pada informan.
Untuk memudahkan pengumpulan data, wawancara dilakukan secara
berstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara.
ccxxx
F. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan penelitian ini adalah
analisis deskriptif–kualitatif. Jadi analisis kualitatif yang dimaksud untuk
mendeskripsikan tentang implikasi pengelolaaan zakat terhadap jaminan
keadilan sosial, termasuk data yang bersifat kuantitatif yang dihitung
dengan menggunakan tabulasi frekuensi dengan rumus:
f P = x 100% N
Keterangan
P = Persentase
F = Frekuensi pada kualifikasi atau kategori variasi yang bersangkutan
N = Jumlah frekuensi dari seluruh klasifikasi atau kategori variasi.
ccxxxi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
G. Hakikat Pengelolaan Zakat yang Dapat Mewujudkan Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia
Zakat sebagai salah satu rukun Islam, merupakan fardhu ‘ain dan
kewajiban taabbudi. Dalam Alqur’an perintah shalat sama pentingnya
dengan perintah zakat. Kewajiban zakat bergandengan dengan perintah
shalat terdapat pada 28 ayat Alqur’an. Menurut sebagian ulama besar,
jika shalat adalah tiang agama, maka zakat adalah mercusuar agama
atau dengan kata lain shalat merupakan ibadah jasmaniah yang paling
mulia, sedangkan zakat dipandang sebagai ibadah hubungan
kemasyarakatan yang paling mulia.
Bergandengannya kewajiban zakat dan perintah shalat dalam
Alqur’an menyiratkan bahwa semestinya Allah swt. tidak akan menerima
salah satu, dari shalat atau zakat, tanpa kehadiran yang lain. Pada
dasarnya, kepentingan ibadah shalat tidak dimaksudkan untuk
mengurangi arti penting zakat, karena shalat merupakan wakil dari jalur
hubungan dengan Allah swt. sedangkan zakat adalah wakil dari jalan
hubungan dengan sesama manusia.
Namun demikian, kenyataannya rukun ketiga ini belum sesuai
dengan harapan. Pengelolaan zakat masih memerlukan bimbingan dari
ccxxxii
segi syariah. Pendekatan kepada umat Islam masih memerlukan
tuntunan dan metode yang tepat dan mantap.
Pengelolaan zakat harus selalu berprinsip pada manajemen
Islami, karena dalam ajaran Islam segala sesuatu harus dilakukan secara
rapi, benar, tertib dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan
baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan.Tidak boleh
seorang muslim melakukan sesuatu, tanpa ada perencanaan, tanpa ada
pemikiran, dan tanpa adanya penelitian, kecuali sesuatu yang sifatnya
darurat. Oleh karena itu, apabila melakukan sesuatu dengan benar, baik,
terencana, dan terorganisasi dengan rapi, maka akan terhindar dari
keragu-raguan dalam memutuskan sesuatu atau dalam mengerjakan
sesuatu.295
Dalam pengelolaan zakat diperlukan manajemen modern, agar
zakat menjadi kekuatan yang bermakna. Penataan zakat perlu dilakukan
dengan baik, menyangkut aspek pendataan, pengumpulan,
penyimpanan, pembagian dan menyangkut kualitas manusianya. Oleh
karena itu, diperlukan organisasi kuat dan rapi.296
Dalam sistem ekonomi Islam terbangun pola segitiga hierarkis,
pada posisi paling atas ditempati posisi nilai, pada level pertengahan
295
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 2.
296
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 141-142.
ccxxxiii
berada prinsip-prinsip sebagai turunan nilai di atasnya, dan pada level
paling bawah ditempati posisi norma/kaedah sebagai penjabaran nilai
dan prinsip tersebut.297
Sistematika hierarkis tersebut dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
Gambar 4 Hierarki Sistem Ekonomi Islam
Nilai-Nilai
Prinsip/Asas Norma/Kaidah
Sumber: M. Arfin Hamid, 2007.
Berdasarkan pola hierarkis di atas, pada level tertinggi yaitu nilai-
nilai memiliki karakter lebih filosofis, ideal dan universal yang cenderung
mengerucut dan paling hakiki adalah nilai Ilaihiyah (Tauhid). Sementara
pada level prinsip sebagai derivasinya memiliki sifat lebih implementatif
dan spesifik, sementara pada level norma lebih bersifat operasional yang
termasuk kategori ini adalah peraturan perundang-undangan kontrak
atau akad-akad.298
297
M. Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia: Perspektif Sosio-Yuridis, (Jakarta: eLSAS, 2007), h. 256-257.
298
Ibid., h. 257.
ccxxxiv
Zakat sebagai salah satu instrumen rukun Islam yang berdimensi
ekonomi mengandung nilai dan prinsip, yaitu: nilai tauhid, prinsip akhlak,
prinsip kemanusiaan, prinsip keseimbangan dan prinsip kemasyarakatan.
Kelima komponen prinsip terintegrasi dalam pengelolaan zakat, sehingga
zakat dapat tercapai tujuannya yaitu mewujudkan keadian sosial.
Selanjutnya nilai dan prinsip ekonomi Islam dalam pengelolaan
zakat diuraikan sebagai berikut:
1. Nilai Tauhid
Merujuk pada pola pikir hierarkis dalam sistem ekonomi Islam,
maka tauhid merupakan dimensi nilai. M. Arfin Hamid, memposisikan
instrumen Ilahiyah (tahuid) sebagai nilai yang tertinggi dan bukan
sebagai prinsip. Nilai yang paling hakiki adalah nilai ilahiyah
(ketuhanan) diposisikan sebagai nilai yang merupakan sumber dari
segala sumber yang ada dibawahnya.299 Kerangka teori sistem
ekonomi Islam dibangun di atas landasan nilai dasar ketuhanan
(tauhid), internalisasi nilai-nilai ketuhanan mampu memberikan
dorongan yang kuat dalam mewujudkan pada tataran sosial
kemanusiaan. Aspek-aspek kebutuhan dasar terhadap aktualisasi
kemanusiaan dalam perspektif internalisasi tauhid merupakan
transformasi nilai.
299
Ibid., h.258.
ccxxxv
Nilai tauhid yang terkandung dari sistem ekonomi Islam, titik
berangkatnya dari Allah swt. dan tujuannya mencari ridha Allah swt.
serta cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Seorang
muslim dalam melakukan kegiatan produksi dan distribusi, di samping
memenuhi hajat hidupnya, keluarga, dan masyarakatnya, juga karena
melaksanakan perintah Allah swt. (Q.S. al-Mulk [67] Ayat 15). Ketika
seorang muslim mengkonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya
rezeki yang halal, pada hakkatnya sedang melaksanakan perintah
Allah swt. (Q.S. al-Baqarah [2] Ayat 168), maka sepantasnya seorang
muslim menikmatinya dalam batas kewajaran dan kesahajaan,
sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah swt. (Q.S. al-
A'raaf [7] Ayat 31–32)
Apabila seorang muslim berusaha, maka tidak akan berusaha
dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan perbuatan yang
mendatangkan riba dan menimbun barang, tidak akan berbuat zalim,
tidak akan menipu, mencuri, korupsi, dan kolusi dan tidak pula
melakukan praktik suap-menyuap (Q.S. al-Baqarah [2] Ayat 188).
Apabila memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya
karena kikir, tidak membelanjakan dengan cara boros karena merasa
hartanya itu merupakan amanah dari Allah swt. untuk dimanfaatkan
sesuai dengan ketentuan-Nya.
ccxxxvi
Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan
semata-mata sarana yang lazim baginya mencapai tujuan yang lebih
tinggi dan sarana penunjang dan pelayan bagi realisasi akidah dan
syariatnya.
Islam mengintrodusir sebuah ajaran tentang penyertaan hak
orang-orang fakir dan miskin pada setiap harta dan penghasilan orang
yang memperoleh keberuntungan. Oleh sebab itu, mengeluarkan dan
menyalurkan harta penyertaan tersebut menjadi wajib, karena
mengeluarkan bagian dari hak orang lain yang dalam akumulasi
hartanya itu, dan melalaikannya menjadi sebuah pelanggaran.
Membayar zakat adalah mengeluarkan sebagian harta sebagai wujud
pembersihan membersihkan dari harta tersebut, karena di dalam harta
yang dimiliki oleh seseorang ada hak orang lain.
Kewajiban adanya zakat berkaitan dengan konsep istikhlaf, al-
maal, dan al-milk dalam Islam. Ketiga konsep tersebut saling berkaitan
dan memiliki implikasi fungsional bagi manusia. Di samping fungsi
untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga untuk meningkatkan
pengabdian kepada Allah swt. melalui sarana beramal, baik yang
mahdhah (hubungan vertikal) dengan Allah swt. maupun ghairu
mahdhah (hubungan horisontal) dengan sesama ciptaan-Nya.
Tugas kekhalifahan manusia secara umum adalah tugas
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan
ccxxxvii
kehidupan (Q.S. al-An'am [6] Ayat 165) serta tugas pengabdian atau
ibadah dalam arti luas (Q.S. adz-Dzariyaat [51] Ayat 56). Untuk
menunaikan tugas tersebut, Allah swt. memberikan manusia anugerah
sistem kehidupan dan sarana kehidupan (Q.S. Luqman [31] Ayat 20).
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan
Islam merupakan hak mutlak milik Allah swt. Kepemilikan oleh
manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya (Q.S. al-
Hadiid [57] Ayat 7 dan Q.S. an-Nur [24] Ayat 33). Harta yang dianggap
sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia dapat
menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dapat pula sebagai ujian
keimanan.
Adanya ujian merupakan satu bentuk penilaian terhadap
kepatuhan dan pengakuan bahwa apa yang dimilikinya benar-benar
merupakan karunia dan kepercayaan dari Allah swt. bagi yang
menerimanya. Untuk itu, kewajiban zakat merupakan suatu yang
alamiah bagi kehidupan manusia, karena zakat yang diberikan atau
dikeluarkan oleh seseorang dari harta yang diperolehnya, pada
hakikatnya dikembalikan kepada pemilik utamanya yaitu Allah swt.
Zakat untuk keadilan sosial juga sejalan dengan ajaran
monotheisme murni (tauhid), sebagai ajaran Islam yang paling
prinsipil, tauhid meniscayakan adanya egaliterianisme (persamaan)
ccxxxviii
dan emansipatorisme (pembebasan manusia). Dalam perspektif
tauhid, seluruh orang harus tunduk kepada Allah swt. bukan kepada
manusia. Manusia bukanlah sumber kebenaran melainkan tidak lebih
dari hamba-Nya semata yang semuanya sama di mata Allah. Karena
itu, tauhid melahirkan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Bagi
elite-elite Mekah, ajaran Nabi yang egaliter dan menjunjung tinggi
keadilan sosial tersebut dianggap mengancam kekuasaan dan
ekonomi yang telah dibangun. Kaum elit pun dalam hal ini tidak dapat
membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Baginya, Islamisasi
lebih merupakan gerakan rakyat dalam menuntut haknya demi
keadilan sosial. Sebab itu, mereka tidak tertarik untuk mengikuti Nabi
dengan masuk Islam300.
Zakat merupakan bagian dari tauhid,301 dan tauhid itu sendiri
adalah zakat. Ibadah zakat menumbuhkembangkan amal shaleh dan
300
Montgomery Watt, Keagungan Islam, Terjemahan oleh Hartono Hadikusumo dari The Majesty That Was Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, h. 4, Fachry Ali, Islam Keprihatinan Universal dan Politik Indonesia, Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1984, h. 34, Ahmad Syalabi, al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Al-Nahdhah, tth. h. 29-30, dan Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta Gaya Media Pratama, 2002, h. 87
301
Tauhid adalah mengesakan Allah swt. dengan beribadah semata-mata kepada-Nya. Tauhid berdasarkan al-Qur’an ada tiga macam: Pertama, tauhid Rububiyah yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Tuhan dan Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui tauhid seperti ini, tetapi pengakuan tersebut tidak menjadikannya menjadi orang muslim, hal tersebut dinyatakan dalam Q.S. az-Sukhruf (43) Ayat 87 yang terjemahnya: “Dan sungguhlah jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya menjawab mereka, Allah”; Kedua, tauhid Uluhiyah, yaitu mengesakan Allah swt. dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyariatkan seperti berdoa, memohon pertolongan kepada Allah swt. menyembelih hewan kurban,
ccxxxix
memberkatinya. Tauhid merupakan jalan terbesar dan terpenting
untuk penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Allah swt. berfirman dalam
Q.S. Fushilat (41) Ayat 6-7 sebagai berikut:
Terjemahnya:
(6) Katakanlah: "Bahwasanya Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (7) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.
Para ahli tafsir (mufassir) dari kalangan salaf maupun orang-
orang sesudahnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-
kata zakat pada ayat di atas adalah tauhid yakni syahadat “Laa
bernadzar dan berbagai ibadah lainnya. Tauhid inilah yang diingkari orang-orang kafir dan menyebabkan perseteruaan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan rasul-rasul terdahulu; Ketiga, tauhid asma’ wa shifat, yaitu beriman terhadap segala yang terkandung dalam Alqur’an dan Hadis tentang sifat-sifat Allah swt. tentang sifat-sifat Allah swt. yang berasal dari penyifatan Allah swt. atas zatnya atau penyifatan Rasulullah Muhammad saw. Lihat Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (terjemahan), (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), h. 62.
ccxl
Ilaahah Illallah” yang iman dengan hati menjadi bersih, karena tauhid
itu menolak adanya Tuhan dan sesembahan selain Allah swt. dari hati
yang merupakan pangkal kesuciannya. Adapun penetapan
pengabdian, peribadatan (uluhiyah) Allah swt. dalam hati, ialah
pangkal hidup dan berkembangya hati.302
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapat sama dengan Abu Fida’
Abdur Rafi’ bahwa zakat adalah tauhid dan keimanan yang dapat
membersihkan dan menyucikan hati. Berzakat berarti menafikan
Tuhan lain kecuali Allah swt. dan mengukuhkannya dalam hati sebagai
Tuhan yang berhak disembah, itulah kalimat Laa Ilaahah Illallah,
kalimat inilah yang menjadi dasar kebersihan hati dari bentuk
kemusyrikan.303
Zakat dan pengelolaannya dapat meningkatkan perasaan
tauhid bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah swt.
Tujuan ini dapat lebih jelas dipahami bila orang menganggap Alqur’an
dan Hadis memerintahkan manusia bermurah hati dengan
mendermakan kekayaannya, memberi sedekah dan derma sebelum
dan sesudah melaksanakan ibada puasa ramadhan atau idul fithri.304
302
Ibid., h.62-63. 303
Syeikh Ibnu Taymiyyah, Panduan Merawat dan Mencerdaskan Kalbu (terjemahan), (Jakarta: PT. Sermabi Ilmu Semesta, 2006), h. 25.
304
Mahmud Abu Saud, GBEI: Garis-Garis Besar Ekonomi Islam (terjemahan), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 22.
ccxli
Sukron Kamil dalam tulisannya, menyatakan bahwa konsep
tauhid ekonomi Islam merupakan pemersatu. Artinya setiap individu
sebagai bagian dari masyarakat dan setiap orang diperkenankan
untuk mengembangkan pribadinya. Konsep zakat sebagai doktrin
yang diturunkan dari tauhid Islam menghendaki pemerataan hasil
pekerjaan.305
Dalam pandangan Kuntowijoyo, konsep tentang iman, tentang
tauhid harus diaktualisasikan dan aksi kemanusiaan. Pusat dari
perintah zakat adalah iman, yaitu keyakinan kepada Tuhan, tapi
ujungnya adalah untuk kesejahteraan sosial. Di dalam Islam konsep
teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya menurut Islam,
manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannya untuk
kepentingan diri manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang
merupakan nilai inti (core value) seluruh ajaran Islam.306
Selanjutnya menurut Kuntowijoyo, bahwa zakat adalah sebuah
keyakinan (tauhid) akan harta yang dibersihkan, disitilahkan sebagai
internalisasi zakat. Sedangkan konkretisasi dari keyakinan yang
dihayati secara internal adalah membayar zakat. Keyakinan bahwa
305
Sukron Kamil, Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqih: Problem dan Solusi, dalam Idris Thaha (ed), Berderma Untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantrofi Islam, (Bandung: Teraju Mizan, 2003), h. 50-51.
306
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008), h. 383.
.
ccxlii
sebagian milik harta itu bukan milik orang yang mendapatkan dan
keyakinan bahwa rezeki itu harus dinafkahkan. Apabila orang
membayar zakat termasuk mengelolanya dengan baik itulah disebut
dengan eksternalisasi atau ibadah.307
Allah swt. telah menegaskan bahwa penyaluran zakat
hanyalah untuk orang-orang yang telah disebutkan dalam
Firman Allah swt. Q.S. at-Taubah (9) Ayat 60 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Para ulama telah sepakat atas delapan golongan penerima
zakat yang termaktub dalam ayat di atas, tetapi sebagian ulama
307
Mujahid Quraisy, “Dinamika Ilmu Ekonomi Islam dan Model Saintifikasi Kuntowijoyo”, Jurnal Mukaddimah, Vol. XV, No. 26, Januari-Juni 2009, h. 11.
ccxliii
berbeda pendapat tentang tafsir makna setiap golongan. Diantara
ulama ada yang mempersempit makna, sebagian lainnya memperluas.
Pada masa Rasulullah, orang-orang yang serakah dengan
harta dunia, tidak dapat menahan hawa nafsu ketika melihat dana
sedekah dan zakat, serta mengharapkan percikan harta tersebut dari
Rusulullah, tetapi ternyata tidak diperhatikan oleh Rasulullah. Orang-
Orang serakah tersebut mulai menggunjing dan menyerang
kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian turunlah ayat
Alqur’an yang menyingkap sifat-sifat munafik dan serakah itu dengan
menunjukan kepalsuannya yang hanya mementingkan kepentingan
pribadi. Ayat itu juga menerangkan kemana sasaran zakat itu harus
dikeluarkan. Allah swt. berfirman dalam Q.S. at-Taubah (9) Ayat 58-60
sebagai berikut:
ccxliv
Terjemahnya:
58. Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. 59. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). 60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dijelaskannya lebih rinci oleh Allah swt. dalam Alqur’an
tentang penyaluran zakat, maka para penguasa atau petugas zakat,
atau juga lembaga-lembaga pengelola zakat tidak dapat membagikan
zakat sesuai dengan sekehendak hatinya, karena jika demikian, hal itu
akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab
yang akan digunakan untuk kepentingan pribadinya atau juga
kepentingan golongannya dan bukan untuk kepentingan Islam dan
umat Islam.
ccxlv
Memurut Arifuddin Ahmad bahwa, untuk mewujudkan
pengelolaan zakat yang berkeadilan sosial, maka pengelolaannya
harus berbasis tauhid. Pada hakikatnya manusia diperintahkan Allah
swt. untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa (tauhid) dan beribadah
kepada-Nya. Ajaran tauhid menjadi pondasi, benteng, pilar, dan nilai
utama manajemen kehidupan manusia beriman. Implementasi tauhid
sebagai ruh seluruh aktivitas manusia baik yang bersifat keduniaan
maupun akhirat.308
Dalam penutup surah at-Taubah (9) Ayat 60 dinyatakan
bahwa, “…Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui,” pernyataan ayat tersebut hendak menegaskan bahwa
dalam mengelola zakat harus dilakukan secara baik. Allah swt. akan
mendengar keluhan para mustahik yang seharusnya menerima
bagian, tapi tidak menerimanya. Allah swt. juga mendengar keluhan
para muzakki yang telah menitipkan hartanya untuk disalurkan kepada
para mustahik tapi belum disalurkan. Oleh karena itu, menjadi penting
bagi lembaga pengelola zakat untuk dapat menyusun laporan
keuangan yang baik dan transparan.
Menurut Faried Wajedy bahwa zakat sebagai ajaran yang
bersumber dari Tuhan mengandung nilai tauhid untuk
308
Arifuddin Ahmad, Akademisi UIN Alauddin Makassar, Wawancara, pada 22 April 2011.
ccxlvi
diimplementasikan di bumi demi kemaslahatan manusia, tentu saja
pengelolaan zakat juga harus berlandaskan dengan semangat tauhid
agar tujuan zakat dapat tercapai.309
Nilai tauhid sebagai satu kesatuan antara keyakinan,
perkataan, dan tindakan, dan tauhid sebagai kesatuan integritas dan
perilaku. Dalam sistem manajemen, nilai tauhid tercermin antara lain
dalam kesatuan visi dan misi yang dimiliki sebuah organisasi atau
lembaga. Adanya kesatuan visi, misi, tujuan, dan nilai itulah sebuah
lembaga dapat melakukan kegiatan dan mencapai sasaran yang telah
ditetapkan. Semua elemen dalam organisasi menjalankan kegiatan
dengan berpegang pada aturan yang sama serta memberikan
pelayanan yang sama tanpa adanya perbedaan. Semua orang
diperlakukan secara adil tanpa adanya diskriminasi. Oleh karena itu,
nilai tauhid yang menjadi jiwa organisasi atau lembaga Islam dapat
menjadi motivator bagi kemajuan dan dinamika organisasi dalam
mencapai tujuan.
2. Prinsip Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, dari kata khuluk yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.310 Pengertian
309
Faried Wajedy, Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Wawancara, pada 20 April 2011.
ccxlvii
yang sama juga ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008) yang berarti budi pekerti; tabiat; kelakuan.
Sedangkan pengertian akhlak menurut istilah adalah tabiat
atau sifat seseorang yakni, keadaan jiwa yang telah terlatih sehingga
di dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang telah
melahirkan perbuatan secara spontan tanpa terpikirkan. Akhlak
haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer, tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan, serta dorongan dari luar.311 Kebaikan
akhlak adalah penentu utama prinsip sebagai manusia, baik atau
buruknya manusia ditentukan oleh akhlaknya dan perbuatannya.312
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara kegiatan ekonomi
dengan akhlak. Islam tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan
kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan prinsip dan keutamaan
yang diajarkan agama. Kegiatan yang berkaitan dengan akhlak
terdapat pada langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan
produksi, distribusi, peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim terikat
oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas ekonomi yang
310
Imam Sukardi (et.al), Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), h. 82.
311
Ibid., h. 82. 312
Antonius Atoshoki (et.al), Relasi dengan Tuhan, (Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2006), h. 19.
ccxlviii
dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengembangkan
maupun menginfakkan hartanya.
Zakat sebagai sendi dasar Islam mengandung potensi untuk
memperbaiki akhlak masyarakat khususnya masyarakat Islam. Zakat
sebagai ibadah yang mengandung prinsip-prinsip akhlak yang baik
dan menghilangkan akhlak yang jelek dapat digunakan sebagai
sarana pendidikan akhlak yang efektif, agar tercipta suatu masyarakat
yang makmur, sejahtera serta bermoral.313
Dalam pengelolaan zakat ada yang perlu diperhatikan baik
pemberi maupun penerima zakat, bagi pemberi hendaklah meluruskan
niat mengeluarkan zakat dengan ikhlas, tidak riya, semata-mata
karena Allah swt. Barang yang dizakati adalah barang yang terbaik
dan dari hasil yang halal dan legal. Dalam pelaksanaanya sebaiknya
diserahkan pada amil zakat, karena menyangkut perasaan hati yang
menerima zakat agar tidak merasa rendah diri dan hina disertai
dengan membaca doa. Bagi penerima zakat agar dimanfaatkan zakat
tersebut untuk kepentingan yang benar dijalan Allah swt.314
313
Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Wawancara, pada 25 April 2011.
314
Siti Wahidah, Pendidikan Akhlak Dalam Ibadah Zakat, http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--sitiwahida-4351 diakses 12 Pebruari 2011.
ccxlix
Zakat mempunyai sasaran dan kesan terutama dalam
menegakkan akhlak mulia yang perlu dilaksanakan oleh umat Islam
dalam memelihara roh dan prinsip yang ditegakkan oleh umat Islam,
dibangun kesadarannya dan dibesarkan dengan kepribadiannya.315
Tujuan zakat pada dasarnya untuk mensucikan dan
mensucikan adalah mendidik dengan akhlak mulia. Orang yang
mengeluarkan zakat akan belajar mengasihi dan bermurah hati,
semuanya membentuk akhlak mulia. Pada dasarnya akhlak mulia
yang dikehendaki Islam itu adalah berbuat ihsan yang pengertiannya
secara sederhana adalah mengerjakan sesuatu yang baik.
Mengerjakan sesuatu dengan baik merupakan akhlak Islam yang
fundamental.316
Dalam konteks pengelolaan zakat, perilaku utama yang harus
dimiliki oleh manusia pengelola zakat baik secara individu maupun
organisasi adalah menerapkan manajemen kenabian yaitu mensifati
sifat nabi dalam mengelola zakat, seperti sifat siddiq (benar), amanah
(terpercaya), fatanah (cerdas), dan tabligh (komunikatif-promotif).
Selanjutnya diuraikan sebagai berikut:
315
Muhammad Uda Kasim, Zakat: Teori, Kutipan, dan Agihan, (Kuala Lumpur: Utusan Publication and Distribution, 2005), h. 303.
316
Faried Wajedy, Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Wawancara, pada 20 April 2011.
ccl
a. Jujur (shiddiq)
Shiddiq adalah sifat Rasulullah Muhammad saw. Shiddiq
berarti benar dan jujur atau memberitakan sesuatu sesuai dengan
kenyataan.317 Rasulullah Muhammad saw. adalah manusia yang
paling sempurna dalam hal kejujuran oleh karena itu, diberi gelar
al-amin.318 Sikap jujur berarti selalu berlandaskan ucapan,
keyakinan, serta perbuatan berdasarkan ajaran Islam. Tidak ada
kontradiksi atau pertentangan yang disengaja antara ucapan dan
perbuatan.
Nabi Muhammad saw. sangat mengutamakan kejujuran
dalam hal pengelolaan zakat. Shiddiq ini maknanya sangat
mendalam, karena melibatkan sikap mental, dan hati nurani yang
paling dalam. Dalam shiddiq yang paling diutamakan adalah yang
tak tampak, yang immateri. Artinya, pemalsuan, rekayasa,
penambahan, tidak akan terjadi, sebab shiddiq mencakup wilayah
qalbiyah.
Dalam pengelolaan zakat, kejujuran dapat ditampilkan
dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu,
janji, pelayanan, pelaporan, dan mengakui kelemahan dan
317Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasit, Juz 1, (Teheran: al-Maktabah
al-Ilmiyah, t.th.), h. 513. 318
Afsalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, (terjemahan), (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 2000), h. h. 7.
ccli
kekurangan (tidak ditutup-tutupi), kemudian diperbaiki secara terus
menerus, serta menjauhkan diri dari berbuat bohong dan menipu
(baik sesama anggota pengelola, pengawas, pemerintah, penerima
zakat, pembayar zakat, maupun mitra yang lain).
Transparansi sebagai bagian dari kejujuran menjadi tolok
ukur profesionalisme sebuah lembaga atau perusahaan. Adanya
transparansi, maka publik dapat menilai keberadaan sebuah
organisasi pengelola zakat. Menyebutkan jenis-jenis kegiatan yang
dilakukan oleh pengelola zakat yang dapat menarik kepercayaan.
Sebaliknya, ketidakjelasan (samar-samar) akan menimbulkan
keragu-raguan (shubhat) yang sulit bagi publik untuk memberikan
kepercayaan pada lembaga tersebut. Syariah menghendaki
adanya kejujuran (transparansi) dalam setiap tindakan.
Keterbukaan dapat menghindari terjadinya persangkaan buruk
yang dapat menjurus pada suatu fitnah.
Transparansi merupakan suatu bentuk pelayanan yang
diberikan untuk memudahkan setiap orang yang menjadi mitra.
Transparansi dapat berbentuk petunjuk, atau laporan kegiatan,
serta hal-hal lain yang dibutuhkan oleh setiap orang yang
berkepentingan. Contoh: petunjuk dari lokasi sebuah organisasi,
laporan keuangan (bagi lembaga keuangan publik), pemberitahuan
adanya kerusakan atau kesalahan.
cclii
b. Amanah
Amanah artinya dapat dipercaya, bertanggung jawab dan
bertentangan dengan khianat.319 Amanah adalah prilaku yang
harus dimiliki oleh seorang petugas zakat, karena pengelola sehari-
harinya akan berhubungan dengan dana zakat yang sumbernya
dari masyarakat (muzakki) dan amanah sangat mempengaruhi
kepercayaan masyarakat. Apabila dihadapan masyarakat para
petugas zakat memperlihatkan sifat amanah, maka masyarakat
akan memberikan kepercayaannya kepada lembaga pengelola
zakat yang dampaknya akan semakin tenang untuk menyalurkan
zakatnya kepada lembaga tersebut. Begitupun sebaliknya, apabila
pengelola zakat tidak amanah maka menimbulkan
ketidakpercayaan terhadap pengelola zakat dan akan berdampak
negatif pada pengelola zakat yang lain karena adanya citra buruk
dalam pengelolaan zakat.
Upaya memelihara kualitas pengelolaan zakat harus pula
disertai sifat amanah yang harus dimiliki oleh setiap orang baik
secara pribadi maupun organisasi. Sifat kolektif tercermin dalam
sebuah organisasi atau lembaga.
Amanah artinya dapat melaksanakan suatu tugas sesuai
dengan visi, misi, dan aturan yang berlaku. Amanah berarti
319
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam… op.cit., h. 28.
ccliii
memiliki kemampuan yang pantas untuk melakukan suatu tugas
atau program secara profesional. Setiap pekerjaan atau program
yang terencana dilakukan sesuai dengan semestinya serta penuh
tanggung jawab tanpa ada penyelewengan.
Realisasi amanah pada sebuah lembaga pengelola zakat,
yaitu melaksanakan semua tugas sesuai dengan kepatutan.
Amanah menunjukkan kepercayaan yang besar dari publik
terhadap keberadaan sebuah lembaga atau organisasi. Pada
lembaga yang amanah bertanggung jawab disertai dengan
pengelolaan zakat yang baik dan profesional.
Ada beberapa indikator dari amanah, antara lain: tepat
waktu, sesuai aturan, tidak mengingkari janji, transparansi,
memberikan pelayanan terbaik bagi setiap mitra. Keamanahan itu
juga diwujudkan dalam bentuk transparansi dalam menyampaikan
laporan pertanggung jawaban secara berkala dan juga ketepatan
penyalurannya yang sejalan dengan ajaran Islam.
Di dalam Alqur’an dikisahkan sifat utama Nabi Yusuf yang
dipercaya menjadi bendahara Negara Mesir dan pada saat itu
Mesir dilanda krisis pangan sebagai akibat musim kemarau, Nabi
Yusuf mampu mensejahterakan kembali masyarakat Mesir
karena keamanahannya, sebagaimana dalam Q.S. Yusuf
(12) Ayat 55 sebagai berikut:
ccliv
Terjemahnya:
Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
c. Kompeten dan profesional (fathanah)
Fathanah artinya mengerti, memahami secara mendalam
segala hal yang terjadi dalam tugas dan kewajiban. Sifat ini akan
menumbuhkan kreativitas dan kemampuan untuk melakukan
berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Kreativitas dan inovatif
hanya dapat dilakukan apabila ketika seseorang selalu berusaha
untuk menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan dan
informasi yang baik yang berhubungan dengan pekerjaannya.320
Seorang petugas zakat harus mampu melaksanakan
tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang diembannya
baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan, seperti
yang disebutkan dalam Q.S. Yusuf (12) Ayat 55. Kata menjaga
(hifzu) berarti kata kerja yang berhubungan dengan kemampuan
320
Abdullah Amrin, Strategi Pemasaran Asuransi Syariah, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), h. 35.
cclv
dari segi fisik. Sedangkan kata alim, berarti mempunyai ilmu dan
berpengetahuan.321
Pengelola zakat harus memahami dengan baik hukum-
hukum zakat. Yusuf Qardhawi mensyaratkan amil itu memahami
hukum zakat, apabila tidak mengetahui tentang hukum-hukum
zakat tidak mungkin mampu melaksanakan pekerjaannya, karena
belum mengetahui ilmunya, sehingga akan membuat kesalahan.
Selain memahami hukum-hukum zakat juga memiliki kemampuan
untuk melaksanakan tugas. Harus ada syarat-syarat sehingga
petugas zakat mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik,
kejujuran saja belum cukup, bila tidak disertai kemampuan dan
kekuatan untuk bekerja.322
Sifat fathanah adalah sifat cerdas, kecerdasan yang
dimaksudkan adalah kecerdasan spiritual yaitu kemampuan untuk
memberikan makna ibadah setiap perilaku kegiatan, melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju
321
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 623.
322
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (terjemahan), (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2007), h. 546.
cclvi
manusia seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid
(integralistik) dan berprinsip hanya karena Allah swt.323
d. Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan sesuatu.324 Hal ini berarti
bahwa orang yang mengelola zakat harus memiliki sifat komunikatif
dan argumentatif. Seorang pengelola zakat harus mampu
mengkomunikasikan visi dan misi organisasi yang diembangnnya
dan harus menyampaikan zakat yang dikelolanya secara baik
kepada muzakki, mustahik, pemerintah maupun kepada
masyarakat dengan tidak harus berbohong dan menipu.
Pengelola zakat menjadi seorang negosiator yang baik
dalam membujuk orang kaya untuk membayar zakat. Oleh karena
itu, harus berbicara dengan benar dan bijaksana serta tepat
sasaran (bil-hikmah) kepada mitranya dan kalimat-kalimatnya
selalu pada pembicaraan yang benar dan berbobot (qaulan
sadiidan). Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Ahzab (33) Ayat 70-
71 sebagai berikut:
323
Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, (Bandung: Mizan, 2006), h. 130.
324
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam… op.cit., h. 68.
cclvii
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar. (71) Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.
Sifat tabligh ini dalam konteks pengelolaan zakat adalah
keterbukaan dalam menyampaikan informasi atau laporan baik
penerimaan dana zakat maupun pendistibusian dan
pendayagunaannya sehingga masyarakat tahu kinerja lembaga
pengelola zakat tersebut.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, apabila zakat
dilaksanakan dengan prinsip-pinsip akhlak (shiddiq, amanah, fathanah,
tabligh) sebagai prinsip manajemen kenabian, maka dalam waktu
singkat para penerima zakat akan berkurang, sedangkan pembayar
zakat terus bertambah. Hal ini menjadi indikator berhasilnya
pelaksanaan zakat. Sebaliknya kalau para penerima zakat terus
bertambah dan pembayar zakat semakin berkurang maka itu adalah
tanda kegagalan pelaksanaan zakat.
cclviii
3. Prinsip Kemanusiaan
Segala sesuatu ciptaan Tuhan yang ada di muka bumi pada
hakikatnya diperuntukkan untuk manusia. Sejalan dengan itu, Islam
adalah sebuah agama humanisme, yaitu agama yang sangat
mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah yang menjadi
prinsip dasar ajaran Islam dan berbeda dengan ajaran filsafat dan
ajaran agama lain. Humanisme Islam adalah humanisme teosentrik,
artinya bukan hanya merupakan sebuah agama yang memusatkan diri
pada pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi juga mengarahkan
perjuangannya untuk kemuliaan manusia.325
Adanya syariah berupa zakat merupakan bukti bahwa Islam
adalah agama humanis. Adanya syariah inilah setiap muslim dituntut
berjiwa humanis, yaitu mampu merespon penderitaan yang dirasakan
oleh orang yang kurang beruntung. Untuk kemudian mengulurkan
tangannya sehingga mengejewantahlah keimanan dalam dirinya
dalam amal sosial. Islam menghendaki setiap muslim menyucikan
jiwanya sebagai salah satu bentuk kasih sayang kepada sesama
manusia.
Salah satu karakter mendasar manusia adalah ketika ditimpa
kesulitan manusia berkeluh kesah sedangkan jika dilimpahkan
berbagai kenikmatan, menjadi kikir, kecuali orang-orang yang
325
Kuntowijoyo, Paradigma Islam… op.cit., h. 275..
cclix
tersucikan jiwanya. Setelah manusia tersucikan jiwanya, maka akan
muncul sifat humanis dalam jiwanya. Apabila seseorang selalu
berkeluh kesah maka tidak akan pernah berpikir untuk memberi
kebaikan pada orang lain, begitu pula jika menjadi kikir.
Humanisme Islam dalam syariah zakat dapat pula diartikan
sebagai ruh agama Islam yang selalu menginginkan kebaikan dan
kebahagiaan bagi setiap manusia dengan cara mengurangi beban
penderitaan yang dialaminya. Begitu pula dengan syariah Islam yang
berupa larangan yang semata-mata berorientasi individu. maka di
dalamnya terkandung nilai-nilai humanis, masalah kebaikan dan
kebahagiaan manusia sebagai ladang orientasinya.
Dalam hierarki rukun Islam, zakat menempati posisi ketiga
setelah shalat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat memiliki kedudukan
yang amat penting dalam agama Islam. Zakat sebenarnya
mengandung prinsip kemanusiaan yang tinggi. Berbagi rezeki bukan
sekadar aktualisasi rasa keagamaan seseorang, melainkan juga
cermin artikulasi sosial bagi yang memiliki kelebihan material.
Ada kesadaran bahwa si kaya bahwa dalam harta yang
dimilikinya terdapat juga hak orang lain. Sayangnya, dalam proses
pemberian zakat, prinsip-nilai kemanusiaan itu justru terabaikan dan
terlupakan, baik oleh pemberi maupun penerima zakat.
cclx
Menurut salah seorang responden, Andang B. Malla bahwa
zakat dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tinggi. Kesadaran
untuk berbagi kepada orang yang membutuhkan akan membentuk
rasa kepedulian sosial yang tinggi, sehingga dengan sendirinya peran
zakat dalam pembangunan masyarakat dapat berjalan.326
Agar zakat tetap dalam koridor prinsip kemanusian, maka
pengelolaan zakat harus rapi, benar, tertib dan teratur. Adanya
pengelolaan zakat yang baik tentu saja akan meningkatkan minat
wajib zakat untuk menyalurkannya pada lembaga pengelola zakat,
sebaliknya apabila zakat tidak dikelola secara profesional akan
menurunkan gairah para wajib zakat untuk berzakat melalui lembaga
pengelola zakat, akibatnya masyarakat menyalurkan zakatnya secara
langsung kepada masyarakat.
Konsep pengelolaan zakat dalam Undang-Undang Pengelolaan
Zakat menekankan empat kegiatan pokok yakni perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap
pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan zakat. Institusi
yang bertugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan
mendayagunakan zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ). BAZ dibentuk oleh pemerintah sedangkan LAZ
dibentuk atas prakarsa masyarakat, dijalankan oleh masyarakat,
326
Andang B. Malla, warga masyarakat, Wawancara, pada 25 April 2011.
cclxi
namun dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh Pemerintah. Baik BAZ
maupun LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah.
Pengelolaan zakat secara profesional mencakup aspek yang
luas. Salah satunya adalah daya dukung organisasi yang handal.
Menurut Didin Hafidhuddin, model pengelolaan zakat yang modern-
profesional ini memiliki beberapa ciri, yang antara lain adalah:
Pertama, pengelolaan zakat secara full time, yaitu pengelolaan zakat
yang dilakukan dalam jam kerja sehari 8 jam dengan jumlah hari kerja
minimal lima hari dalam seminggu. Kedua, dikelola oleh orang-orang
yang memilki kompetensi, yaitu setiap orang yang paling memiliki
kapasitas dan kapabilitas sesuai dengan bidang tugas atau jabatan
yang hendak diembannya.
Ketiga, seluruh pengelola mendapatkan balas jasa yang wajar,
yaitu bahwa seluruh pengelola yang terlibat dalam pengelolaan zakat
tersebut mendapatkan gaji atau upah yang wajar, sekurang-kurangnya
memenuhi kebutuhan standar untuk hidup yang sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan sekitar keberadaan lembaga pengelola zakat
tersebut.
Keempat, orientasi penilaian di dalam lembaga adalah orientasi
prestasi, yaitu bahwa setiap orang yang terlibat dalam pengelolaan
zakat tersebut berorientasi prestasi. Lembaga juga menilai setiap
orang dengan kontribusi yang diberikan dalam pencapaian prestasi
cclxii
lembaga. Setiap orang yang tidak memberikan sumbangan manfaat
atau prestasi kepada lembaga, selayaknya tidak terlibat dalam
pengelolaan zakat di lembaga tersebut.
Kelima, menggunakan atau melakukan cara-cara sesuai
standar manajemen modern, yaitu mekanisme lembaga zakat tersebut
telah memenuhi standar manajemen modern, seperti adanya visi dan
misi, perencanaan tahunan, pengorganisasian, penyusunan personil,
penyusunan anggaran, dan melakukan evaluasi perkembangan
secara periodik.
Keenam, mengimplementasikan transparansi dan akuntabilitas
lembaga, yaitu melakukan pencatatan setiap kegiatan atau transaksi
dengan benar, menyusun laporan dan selanjutnya mempublikasikan
laporan kegiatan dan keuangannya kepada public, sehingga
masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengakses informasi
kegiatan dan keuangan lembaga untuk kemudian memberikan
apresiasi.327
Pola pembagian langsung ke fakir miskin justru menunjukkan
pengelolaan yang tidak modern dan bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan karena membuat fakir miskin menunggu lama dan
327
Didin Hafidhuddin, “Mewujudkan Manajemen Zakat Modern dan Profesional” http://pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/1288-mewujudkan-manajemen-zakat-modern-dan-profesional.html diakses pada 28 Agustus 2011.
cclxiii
mengantri. Seperti itu sebetulnya yang dapat merendahkan martabat
manusia, berdesakan. Oleh karena itu, setiap orang harus berbuat
baik dengan cara yang tidak baik pula.
Eri Sudewo menulis, bahwa pengelolaan zakat melalui lembaga
pengelola zakat didasarkan pada berbagai pertimbangan, salah-
satunya adalah prinsip kemanusiaan yaitu menjaga perasaan rendah
diri para penerima zakat apabila berhadapan langsung dengan
pembayar zakat untuk menerima haknya.328
Jadi, pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat pada
dasarnya mengimplementasikan prinsip-prinsip kemanusian dengan
mengurangi beban psikologis penerima zakat dan juga tetap
memuculkan kepercayaan diri penerima zakat dalam mengambil
haknya, dengan cara itu pengelola zakat dapat menempatkan
penerima zakat lebih terhormat.
4. Prinsip Keseimbangan
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda yaitu
transedental dan horizontal. Maka zakat memiliki banyak hikmah dan
arti dalam kehidupan manusia. Diantara hikmah zakat adalah
menciptakan masyarakat yang sejahtera dan menghilangkan
kesenjangan antara orang kaya dengan miskin dan mendistribusikan
328
Hamid Abidin, (ed.), Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Pemanfaatan Zakat Infak Sedekah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h. 168.
cclxiv
harta yang dimiliki sebagai bentuk solidaritas sosial yaitu prinsip
pertengahan atau prinsip keseimbangan.
Pertengahan yang adil merupakan ruh dari ekonomi Islam.
Ruh ini merupakan perbedaan yang sangat jelas dengan sistem
ekonomi lainnya. Ruh dari sistem kapitalis sangat jelas dan tampak
pada pengkultusan individu, kepentingan pribadi, dan kebebasannya
hampir-hampir bersifat mutlak dalam pemilikan, pengembangan, dan
pembelanjaan harta. Ruh sistem ekonomi komunis tercermin pada
prasangka buruk terhadap individu dan pemasungan naluri untuk
memiliki dan menjadi kaya. Komunis memandang kemaslahatan
masyarakat, yang diwakili oleh negara, adalah di atas setiap individu
dan segala sesuatu.
Ciri khas pertengahan ini tercermin dalam keseimbangan
yang adil yang ditegakkan oleh Islam diantara individu dan
masyarakat, sebagai mana ditegakkannya dalam berbagai pasangan
lainnya, seperti dunia-akhirat, jasmani-rohani, akal-rohani, idealisme-
fakta dan lainnya.
Keseimbangan dalam Islam dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
Dalam beraktivitas setiap muslim harus memperhatikan
kemampuan keterbatasan fisik. Manusia yang diciptakan memiliki
cclxv
keterbatasan fisik tidak dapat dipaksa untuk melakukan aktivitas di
luar kemampuan. Oleh karena itu, keseimbangan (tawazun) antara
waktu istirahat dan bekerja harus menjadi suatu prinsip. Ini artinya,
ada pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang.
Berlebihan akan mengakibatkan kepincangan baik dalam
kerja maupun fisik. Pengaturan itu menunjukkan perlunya program
kerja yang jelas sehingga capaian-capaiannya dapat terukur.
Prinsip pengelolaan zakat yang baik memperhatikan kemampuan
manusia dalam berbagai aspek. Disiplin dalam menggunakan
waktu secara teratur akan melahirkan karya-karya yang bermutu.
Sementara ketidakteraturan menimbulkan masalah dalam bekerja,
bahkan dapat menimbulkan ketidakseimbangan baik dalam
bekerja maupun fisik.
b. Keseimbangan antara ruhani dan jasmani
Sebagai makhluk yang terdiri atas unsur ruhani dan
jasmani setiap muslim dituntut untuk dapat menjaga
keseimbangan antara keduanya baik antara ruhani dan jasmani
maupun antara ibadah dengan usaha (Q.S. al-Jumu’ah [62]:10).
Beribadah tidak dapat dilakukan dengan benar tanpa adanya
unsur material. Sebagai contoh, ibadah salat sah dilakukan jika
menutup aurat. Penutup aurat jelas berupa kain atau yang lainnya
cclxvi
yang sifatnya materi. Syarat penutup aurat tersebut harus bersih
dan suci serta diperoleh dengan usaha yang halal.
Demikian pula ibadah haji, yang diwajibkan bagi orang
yang mampu serta memiliki bekal yang cukup untuk keperluannya
selama perjalanan serta bekal bagi keluarga yang ditinggalkan.
Ibadah zakat pun demikian dapat dilakukan apabila memiliki
kecukupan harta. Semua itu menunjukkan bahwa setiap muslim
harus dapat mengatur waktu untuk beribadah dan bekerja
(aktivitas) dengan seimbang.
Keseimbangan antara ruhani dan jasmani berarti juga
keseimbangan antara unsur zikir (do’a) serta ikhtiar. Do’a sebagai
motivasi instrinsik bagi setiap muslim yang dapat menjadi
penggerak dalam jiwa dan do’a juga merupakan ibadah.
Sementara ikhtiar merupakan aktivitas yang telah dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah dibuat. Intisari keseimbangan antara
jasmani dan ruhani dalam pengelolaan zakat yaitu perasaan yang
senang dan nyaman bagi amil, muzakki dan mustahik. Aktivitas
yang dilakukan tidak semata-mata mengikuti aturan yang dibuat
oleh manusia melainkan bagian dari perintah agama.
Unsur jasmani dapat berupa finansial yang diberikan
kepada mustahik sehingga memiliki motivasi hidup untuk bekerja
dan mustahik merasa diperhatikan. Manusia tidak bisa lepas dari
cclxvii
kebutuhan materi yang menjadi penunjang kehidupan. Oleh
karena itu, dukungan finansial hendaknya tidak diabaikan, karena
dapat memberi dampak pada ruhani.
c. Keseimbangan antara pribadi dan masyarakat (publik)
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bantuan dan
peran serta orang lain. Begitu pula pada harta yang dimiliki
seseorang terdapat hak orang lain (Q.S. al-Zhariyat [51] Ayat 19).
Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan publik dapat
direalisasikan dalam berbagai aktivitas antara lain kepekaan
(responsif) terhadap orang lain. Kepedulian terhadap masalah
yang dihadapi orang lain merupakan salah satu karakter orang
yang beriman. Sehingga, seseorang yang tidak memiliki
kepedulian dinilai sebagai orang yang tidak memiliki kualitas iman
yang sempurna.
Perwujudan responsif dapat dilakukan dengan memiliki
sifat empati dan simpati terhadap orang lain. Responsif terhadap
masalah orang lain memupuk jiwa pemurah dan menghilangkan
sifat kikir. Terbangunnya suasana partisipatif menjadi sebuah
kekuatan yang dapat menjadi modal sosial (social capital)
sehingga dapat menumbuhkan berbagai aksi kolektif. Aksi kolektif
dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah sosial yang
cclxviii
dihadapi masyarakat dan bangsa. Salah satu bentuk dari sifat
responsif adalah dengan menunaikan zakat, infaq, dan sadaqah.
Keseimbangan antara individu dan publik dalam
pengelolaan zakat terwujud dengan adanya bentuk kepedulian
yang diberikan oleh muzakki kepada mustahik melalui amil zakat
untuk menyalurkan dana zakat secara cepat dan tepat.
Menurut Muid Nawawi, zakat merupakan ibadah yang
memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab
itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia,
terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan
dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di
antara manusia, salah satunya adalah menjadi unsur penting
dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (social
distribution) dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam
masyarakat.329
5. Prinsip Kemasyarakatan
Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara
beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk masyarakat
yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu - individu tersebut,
namun tidak dapat memisahkan diri. Manusia tidak dapat hidup tanpa
329Muid Nawawi, Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara, pada 26
April 2011.
cclxix
masyarakat, sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui
masyarakat, seperti bahasa, adat istiadat dan sopan santun.
Manusia berasal dari satu keturunan, antara seseorang
dengan lainnya dapat bertalian darah, dekat atau jauh, manusia pada
dasarnya bersaudara. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih
kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama,
kebangsaan dan lokasi domisilinya.
Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan
kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan khususnya
kepada orang yang membutuhkan (mustahik) baik dalam bentuk
kewajiban zakat maupun sedekah dan infak:
1. Mengikis habis sifat-sifat kikir dalam jiwa seseorang, serta melatihnya memiliki sifat-sifat dermawan dan mengantarnya mensyukuri nikmat Allah sehingga akhirnya ia dapat menyucikan diri dan mengembangkan kepribadiannya.
2. Menciptakan ketenangan dan ketentraman, bukan hanya kepada penerima, tetapi juga kepada pemberi zakat, infak dan sadakah.
3. Mengembangkan harta benda, yaitu ketenangan bathin dari pemberi zakat akan mengantarkannya berkonsentrasi dalam pemikiran dan usaha pengembangan harta. Penerima zakat akan mendorong terciptanya daya beli dengan adanya pemberi zakat330.
Dari ketiga inti di atas, bahwa hubungan persaudaraan bukan
sekadar hubungan mengambil dan menerima atau pertukaran
330
Didin Hafifuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 9.
cclxx
manfaat tetapi melebihi itu semua yaitu memberi tanpa meminta
imbalan dan membantu tanpa dimintai bantuan.
Umat Islam sebagai umat yang bersaudara baik dalam
praktek amalan- amalan ibadah maupun dalam praktik kehidupan
manusia itu sendiri di dalam masyarakat. Islam menganjurkan untuk
saling tolong menolong dalam urusan-urusan kebaikan dan dilarang
tolong menolong dalam pekerjaan-pekerjaan dosa. Masyarakat yang
beragama. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Arifin, bahwa bila mana
manusia sebagai makhluk sosial itu berkembang, maka berarti pula
manusia itu sendiri adalah makhluk berkebudayaan, baik material
maupun moral.331
Manusia yang berstatus makhluk sosial itu harus tumbuh di
dalam jiwanya rasa tanggung jawab kepada masyarakat di mana ia
hidup, untuk mengembangkan aktifitas, baik moral maupun
materialnya. Orang yang benar-benar bertaqwa kepada Allah swt.
telah tumbuh dan terbina di dalam dirinya rasa sosial dan rasa cinta -
mencintai untuk saling bantu membantu dan kasih - mengasihi.
Prinsip kemasyarakatan dalam zakat dan pengelolaannya
tercermin pada fungsi sosial zakat, seperti yang difirmankan Allah swt.,
dalam Q.S. Adz-Zaariyaat (51) Ayat 19, sebagai berikut:
331
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 20.
cclxxi
Terjemahnya:
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Ayat di atas menjelaskan bahwa pada harta kekayaan ada
fungsi sosial yang melekat padanya, dan dari ayat inilah, fuqaha
merumuskan dan mengkonkritkan fungsi sosial dari zakat dalam
kehidupan bermasyarakat.332 Zakat diarahkan untuk mewujudkan
kesejahteraan umat dan sedapat mungkin dapat menekan angka
kemiskinan. Zakat berfungsi sebagai ibadah formal juga berfungsi
sebagai ibadah sosial.333
Zakat sebagai sarana transformatif yaitu zakat berfungsi untuk
mendorong orang yang posisinya dalam kubangan kemiskinan agar
dientaskan dan diberdayakan menjadi kaum aghniya. Jadi, zakat
memproses orang yang posisinya sebagai mustahik ke arah sebagai
muzakki zakat. Sistem sosial di dunia yang mengimplementasikan nilai
transformasi zakat ini, juga digambarkan sebagai model ideal dalam
pembangunan sosial umat manusia.
332
M. Arfin Hamid, “Hukum Zakat: Pengembangan dan Pendayagunaannya Sebuah Kajian Kearah Formalisasi Hukum Zakat di Indonesia” Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999, h. 87-88.
333
Ibid., h 88.
cclxxii
Zakat mengandung nilai-nilai sosial, sikap peduli terhadap
sesama. Zakat juga merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi
salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh karena itu,
setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu diwajibkan
mengeluarkan zakat. Apalagi, zakat merupakan amal sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan umat manusia. Islam mewajibkan berzakat
agar Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbagi
terhadap sesamanya. inilah prinsip sosial yang diajarkan kepada
Islam.334
6. Prinsip Distribusi
Setiap muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu
(nisbah) diwajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin
dan orang yang memerlukan. Pengeluaran tersebut merupakan pajak
keagamaan yang disebut zakat.
Konsep hukum zakat menyebutkan bahwa sistem zakat
berusaha untuk mempertemukan pihak surplus muslim dengan pihak
defisit Muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan
pendapatan antara surplus dan defisit muslim atau bahkan menjadikan
kelompok yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzakki).
334
Faried Wajedy, Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Wawancara, pada 20 April 2011.
cclxxiii
Fakir adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan
tetap. Ibnu sabil, adalah orang yang terputus dari sumber kehidupan.
Sedang orang dalam perjalanan (musafir) adalah orang yang terputus
dari sumber pekerjaan, kehabisan bekal. Fii sabilillah adalah orang
yang berperang di jalan Allah yang membutuhkan banyak biaya.
Sedang amiilin adalah orang yang mengusahakan zakat. Oleh karena
itu, prinsip distribusi dalam Islam yaitu "khailayakuna dullatan bainal
aghnia wal masakin." Artinya, harta itu tak hanya beredar pada
kalangan orang kaya saja, tapi juga beredar pada orang miskin.
Menurut Nasaruddin Umar bahwa dalam prinsip
pendistribusian zakat, maka zakat harus didistribusikan di daerah
dimana zakat itu dipungut. Oleh karena itu, manfaat pengelolaan zakat
dapat cepat dan langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar,
sekaligus mencegah fenomena pengurasan sumberdaya masyarakat
lokal. Fenomena pengurasan sumberdaya zakat dari suatu daerah ke
daerah lain, adalah gejala yang terlihat dalam pengelolaan zakat
modern dan professional.335
Prinsip distribusi zakat mengikuti sistem otonomi daerah. Harta
yang dihasilkan satu daerah pendistribusiannya diutamakan untuk
daerah itu sendiri seperti tertuang dalam hadis “Zakat itu diambil dari
335
Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Wawancara, pada 25 April 2011.
cclxxiv
orang kaya di kalangan mereka dan dikembalikan (dibayarkan) kepada
kaum fakirnya”.
Dalam satu riwayat, Rasulullah saw. mendelegasikan sahabat
Muadz bin Jabal, untuk menarik harta zakat dari orang-orang kaya di
daerah Yaman, dan membagikannya kepada kaum fakir miskin di
daerah tersebut. Kebijakan RasululLah ini, yang memerintahkan agar
membagikan harta zakat kepada fakir-miskin dimana zakat dipungut,
juga dijalankan sahabat Muadz saat menjadi pejabat di masa Abu
Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra. Namun pada suatu ketika, di era
Umar ra, mengirimkan harta zakat ke Madinah, pusat pemerintahan
Umar ra. Mula-mula Umar ra menolaknya, namun kemudian
menerimanya setelah Muadz ra. menyatakan bahwa dia tidak
menemukan seorangpun yang berhak menerima zakat di Yaman.
Riwayat di atas, menjadi rujukan ulama untuk menentukan
hukum boleh-tidaknya, dan juga sah-tidaknya, memindahkan harta
zakat dari tempat dipungut ke tempat yang lain. Secara umum,
dibolehkan mengalihkan zakat ke luar tempat tinggal orang yang
mengeluarkannya bila di negeri itu terdapat orang yang lebih
membutuhkan dan jika hal tersebut dapat mewujudkan maslahat yang
lebih besar bagi kaum muslimin, atau jika lebih dari kebutuhan kaum
fakir yang ada di negerinya. Seandainya tidak ada satu pun di antara
cclxxv
sebab yang telah disebutkan itu, maka tidak boleh mengalihkan zakat
ke negeri lain.
7. Prinsip Konsumsi
Sejak awal Alqur’an memberikan kebebasan memilih (freedom
of choice) pada semua orang untuk mengonsumsi segala sesuatu
yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan sosial tradisional dan perbedaan temperamental. Alqur’an
memberikan rambu proporsionalitas berupa perilaku tengah-tengah
dalam konsumsi Q.S. Al-Furqan (25) Ayat 67. Antara asketisme yang
sembunyi dari kesenangan dunia di satu sisi, dan materialisme yang
membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme
kehidupan; tidak melampaui batas maksimal (berlebihan, boros, dan
mewah) atau batas minimal (kikir dan bakhil); keterbatasan sumber
daya ekonomi (untuk memenuhi keinginan) merupakan pertimbangan
utama bagi efisiensi dan prioritas (awlawiyah) dalam pemenuhan
kebutuhan berdasarkan preferensi daruriyyat, hajiyyat, dan
tahsiniyyat.336
Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahik,
baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahik
dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak sedangkan
336
Al Ghazali, Al-Mustasfa fi `Ilm al-Ushul (T.tp.: Dar al-Fikr, t.th.) h. 23. Lihat juga Imam al-Shatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.).
cclxxvi
dari sisi sosial, mustahik dituntut dapat hidup sejajar dengan
masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan
untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat charity tetapi
lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.
Kelemahan utama orang miskin serta usaha kecil yang
dikerjakannya sesungguhnya tidak semata-mata pada kurangnya
permodalan, tetapi lebih pada sikap mental dan kesiapan manajemen
usaha. untuk itu, zakat usaha produktif pada tahap awal harus mampu
mendidik mustahik sehingga benar-benar siap untuk berubah. Karena
tidak mungkin kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari
perubahan mental si miskin itu sendiri. Inilah yang disebut peran
pemberdayaan. Zakat yang dapat dihimpun dalam jangka panjang
harus dapat memberdayakan mustahik sampai pada dataran
pengembangan usaha. program-program yang bersifat konsumtif ini
hanya berfungsi sebagai stimulan atau rangsangan dan berjangka
pendek, sedangkan program pemebrdayaan ini harus diutamakan.
Makna pemberdayaan dalam arti yang luas ialah memandirikan mitra,
sehingga mitra dalam hal ini mustahik tidak selamanya tergantung
kepada amil.
Data di lapangan menunjukkan bahwa pendistribusian dan
pendayagunaan zakat lebih besar untuk zakat konsumtif dibandingkan
dengan zakat produktif, hal ini tidak akan mampu menuntaskan
cclxxvii
persoalan kemiskinan. Zakat produktif pada dasarnya menggunakan
model sirkulasi, bahwa zakat itu harus bergulir dan bergilir artinya
pengelolaan zakat yang produktif dapat mentrasformasikan seorang
yang tadinya miskin menjadi seorang yang mandiri, bahkan dapat
menjadi seorang muzakki (orang wajib zakat). Ajaran Islam sendiri
tidak memerintahkan agar orang menerima zakat melainkan
mengeluarkan zakat. Oleh karena itu, untuk mencapai tingkatan
muzakki, seorang mustahik ditrasformasikan secara bertahap
Menurut A. Qodri Azizy, bahwa zakat hendaknya tidak sekadar
konsumtif, maka idealnya zakat dijadikan sumber dana umat.
Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal yang
bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahik yang tidak mungkin untuk
dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk
kepentingan mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat
dilakukan.337
Perilaku konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan,
yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu. Untuk
itu, Alqur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang berjuang
untuk kesinambungan generasi dan masa depan, kemakmuran bumi
(`isti`mar fi al-ard) dan, sekaligus larangan melakukan kerusakan atas
337
A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 148-149.
cclxxviii
lingkungan (fasad fi al-ard, `ayth fi al-ard). Inilah yang dimaksud
sebagai prinsip solidaritas kemanusiaan dan lingkungan (hifz al-bi’ah).
H. Landasan Keberlakukan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Zakat yang Dapat Mewujudkan Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia.
Islam adalah agama Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui perantaraan Jibril dan selanjutnya disampaikan
kepada seluruh umat Manusia. A. Muhtadi Anshor menulis, Islam
mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang mempedomani dan
mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya.
Dalam hal ini, Islam tidak hanya dipahami hanya sekadar perangkap
aturan layanan Tuhan seperti agama Yahudi dan Kristen tetapi Islam juga
menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat
manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.338
Islam sebagai agama Allah swt. berfungsi sebagai pembimbing
kehidupan manusia yang mengantar kepada kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat. Di samping itu, Islam sendiri memiliki seperangkat ajaran
yang lebih kompleks dan fleksibel dibanding dengan ajaran-ajaran yang
dibawa Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.
338
A. Muhtadi Anshor, “Kewajiban Zakat dan Pajak dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ahkam, Volume 11, No. 2, Nopember 2009, h. 135.
cclxxix
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.
diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera
lahir dan batin. Di dalam Islam terdapat berbagai petunjuk tentang
bagaimana seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan agar
lebih bermakna.339
Salah satu tujuan penciptaan manusia di bumi ini adalah
beribadah kepada Allah swt. Ibadah kepada Allah swt. adalah suatu
kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia selama hidupnya. Hal ini
dinyatakan dalam Q.S. al-Dzariyat (51) Ayat 56 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka
menyembah-Ku.
Harun Nasution tidak mengartikan Liya’budun pada ayat di atas
sebagai beribadah, mengabdi atau menyembah. Tuhan sebenarnya tidak
berhajat untuk disembah atau dipuja manusia. Tuhan adalah Maha
Sempurna dan tak berhajat kepada apapun. Oleh karena itu, kata
339
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 28
cclxxx
liya’budun lebih tepat diartikan tunduk atau patuh. Kata abdun memang
mengandung arti tunduk dan patuh sehingga Harun Nasution
mengartikan ayat tersebut dengan “Tidak kuciptakan jin dan manusia
kecuali untuk tunduk dan patuh kepadaku.”340
Penciptaan manusia untuk beribadah atau tunduk/patuh kepada
Allah swt. dimaknai bahwa totalitas aktivitas manusia harus didedikasikan
untuk beribadah. Oleh karena itu, Allah swt. menurunkan syariah kepada
manusia sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalankan
pengabdiannya kepada Allah swt.
Diturunkannya syariah Islam kepada manusia terkait
kapasitasnya sebagai khalifah. Manusia sebagai hamba Allah swt. telah
diposisikan sebagai khalifah di muka bumi ini, hal ini disebutkan dalam
Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 30 sebagai berikut.
Terjemahnya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
340
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I (; Jakarta: UI Press, 1985), h. 38-39.
cclxxxi
Pengertian khalifah, jika dilihat dari akar katanya yang berasal
dari kata khalafa, berarti menggantikan tempat seseorang
sepeninggalnya. Oleh karena itu, khalif atau khalifah berarti seorang
pengganti. Dari sinilah kata khulafa dan khalaif sebagai bentuk jamak dari
kata khalifah telah digunakan dalam Alqur’an .341
Kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai khalifah fi al-ard,
dalam Ensiklopedi Islam diuraikan pengertian, kata khalifah berarti wakil,
pengganti atau duta Tuhan di muka bumi atau pengganti Nabi
Muhammad saw. dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Lebih
jauh lagi, khalifah fi al-ard digambarkan sebagai kedudukan yang suci,
yakni bayang-bayang Allah swt. di muka bumi.342
Menurut Musa As’arie, Alqur’an menyebut manusia sebagai ‘abd
dan sebagai khalifah. Esensi dari makna kedudukan manusia sebagai
‘abd Allah swt. meniscayakan adanya kepatuhan, ketundukan dan
kepatuhan manusia kepada Sang Pencipta. Sedangkan esensi dan
kreatifitas dalam upaya membentuk kebudayaan, dalam konteks
antropologi merupakan satu proses perwujudan eksistensi manusia.343
341
Mustafa, Manusia Menurut al-Qur’an, Filsafat dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam”, http://www.pdfbest.com/18/1897a9993550f329-download.pdf diakses 4 Maret 2010.
342
Dasuki Hafidz, (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid V, (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1993), h. 35.
343
Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), h. 38.
cclxxxii
Konsep khalifah dan ‘abd, meski keduanya memiliki dimensi
perbedaan yang cukup tegas, tidak lantas dapat dipertentangkan, sebab
kedua konsep itu berada dalam mainstream pemikiran yang sama.
Menarik dikemukan penjelasan Tobroni dan Samsul Arifin yang
menyatakan bahwa fungsi manusia sebagai ‘abd dan khalifah dalam
konteks yang lebih makro, atau minimal dalam paradigma tauhid, tidak
dipandang kesatuan yang terpisah, tapi mengandung adanya hubungan
dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi
kemanusiaannya.344
Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta, sekaligus
menurunkan syariah sebagai petunjuk kepada manusia. Adanya syariah
sebagai pendukung manusia dalam kapasitanya sebagai khalifah untuk
memakmurkan bumi. Oleh karena itu, manusia dimintai
pertanggungjawabannya oleh Tuhan melalui peribadatan. Untuk
memakmurkan bumi, manusia harus membuat aturan-aturan (hukum)
sendiri yang berpedoman kepada syariah.
Aturan-aturan yang dibuat oleh manusia bukan hanya untuk
kepentingan manusia semata-mata, tetapi juga untuk kepentingan alam
dan lingkungan sekitar manusia. Penciptaan aturan tersebut agar terjadi
344
Tobroni dan Samsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Penddidikan, (Yogyakarta: SI Press, 1994) h. 154.
cclxxxiii
keseimbangan dalam kehidupan manusia atau terciptanya harmonisasi
kehidupan.
Dalam Islam, salah-satu term keadilan adalah al-mizan atau
seimbang.345 Menurut Hayyan Ul Haq, dalam konteks hukum
keseimbangan dapat diinterpretasikan sebagai keadilan, maka keadilan
seharusnya didedikasikan untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan
kehidupan bersama.346 Selanjutnya, menurut Hayyan Ul Haq:
This unity is indicated by a good or normal interaction among three components in a social system. It was interaction, not components, that become the main focus of the systems’ view. A social system will work properly if all components can interact normally. Good quality interaction among the components will stimulate the full participation of the components so as to function proportionally, which in turn, maintains unity. This condition requires a balance or equality.347 .
Apabila manusia menjalankan tugasnya dengan baik sebagai
khalifah, maka alam akan memberikan respon positif kepada manusia,
sebaliknya apabila manusia tidak memfungsikan dirinya sebagai khalifah,
maka alam akan memberikan respon negatif terhadap manusia. Jadi,
345
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 115.
346
Hayyan Ul Haq, “Managing Uncertainty and Complexity in the Utilization of Biodiversity Through the Tailor-Made Inventor Doctrine and Contract Law”, Paper Presented at International Workshop Managing Uncertainty and Complexity in Biodiversity and Climate Change, University Chatolic Louvain La-Neuve, Belgium 15-16 June 2006, h. 20; Lihat juga Hayyan Ul Haq, “Constructing a Coordinated Structure in the Contract for the Transfer of Technology” dalam International Journal Technology Transfer and Commercialisation, Vol. 6, No. 1, 2007, h. 31.
347
Hayyan Ul Haq, Managing Uncertainty… loc.cit.
cclxxxiv
pada dasarnya hukum bukan untuk manusia semata tetapi juga untuk
alam sekitar manusia agar keutuhan dan keberlanjutan kehidupan
bersama tetap eksis.
Pada dasanya hukum itu terbagi atas dua bagian, yaitu hukum
yang sumber dari Tuhan dan ditetapkan oleh rasul-Nya disebut syariah
dan hukum yang dibuat oleh manusia disebut hukum wad’i. Syariah
mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda dengan hukum produk
manusia (hukum wad'i),348 antara lain:
1. Syariah adalah serentetan peraturan yang digunakan untuk
beribadah. Melaksanakannya merupakan suatu kepatuhan yang
pelakunya berhak mendapat pahala dan meninggalkannya atau
menyalahinya merupakan suatu kemaksiatan yang pelakunya akan
dibalas dengan siksaan di akhirat.
Beribadah kepada Allah swt. adalah melaksanakan segala perintah-
Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Ini berarti hukum
Islam adalah ibadah. Jika hukum wad'i dilanggar, dapat saja si
pelaku terlepas dari hukuman yang diancamkan kepadanya. Namun
jika manusia melanggar syariah, maka manusia tetap diancam oleh
hukuman di akhirat (jika tidak bertobat). Pada prinsipnya, balasan,
348
Amrullah Achmad (et.al), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH.,(Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 87-88.
cclxxxv
baik berupa pahala maupun siksa dalam konteks syariah itu bersifat
ukhrawi. Sekalipun demikian, di dalam syariah ditetapkan sejumlah
hukuman, baik yang sudah ditetapkan kadarnya (hudud) maupun
yang sudah diserahkan kepada ulil amri (ta'zir).
2. Kepatuhan kepada hukum Islam merupakan tolok ukur keimanan
seseorang. Sifat kedua ini tidak dapat dipisahkan dari sifat yang
pertama, pengklasifikasian disini, disamping sebagai penguat sifat
yang pertama, sekadar untuk membedakan aspek mana yang ingin
ditekankan.
3. Syariah bersifat Ijabi dan Salbi, artinya syariah itu memerintahkan,
mendorong dan menganjurkan melakukan perbuatan ma'ruf (baik)
serta melarang perbuatan munkar dan segala macam
kemudharatan. Berbeda dengan hukum wad'i, aspek Ijabi dalam
syariah lebih dominan. Hal ini mengingat bahwa tujuan utama
syariah adalah mendatangkan, menciptakan dan memelihara
kemaslahatan bagi umat manusia. Sedangkan aspek Salbi, yang
bertujuan menghindari kemudharatan dan kerusakan, sebenarnya
telah tercakup didalamnya. Perlu pula dikemukakan pula bahwa
kemaslahatan individu dan masyarakat haruslah berimbang. Artinya
kemaslahatan individu bukan sekadar tujuan sampingan yang
hanya diperhatikan jika membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
cclxxxvi
4. Syariah tidak hanya berisi perintah dan larangan, tetapi juga berisi
ajaran-ajaran untuk membentuk pribadi-pribadi muslim sejati,
berakhlak mulia, berhati suci, berjiwa tinggi serta mempunyai
kesadaran akan segala tanggung jawab, termasuk didalamnya
kewajiban menjalin hubungan yang erat dan harmonis antar sesama
manusia dan sang Khaliknya dengan cara yang sangat sempurna.
Syariah dilihat dari sifatnya, dibagi dua. Pertama, ada yang
tetap/konstan (tsabat), artinya tetap berlaku universal sepanjang zaman,
tidak mengenal perubahan dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi
dan kondisi. Sebaliknya situasi dan kondisilah yang harus menyesuaikan
diri dengan syariah. Kedua, ada yang bersifat elastis, fleksibel (murunah),
tidak harus berlaku universal, mengenal perubahan serta dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi349, kategori ini disebut fiqih.
Ibrahim Hosen memberikan pendapat yang sama, hukum Islam
diklasifikasikan dalam dua bagian, yaitu: hukum Islam kategori syari'ah
dan hukum Islam kategori fiqih. Syari'ah adalah hukum Islam yang
dijelaskan secara tegas di dalam Alqur’an atau sunnah yang tidak
mengandung penafsiran atau penakwilan. Sedangkan fiqih adalah hukum
Islam yang tidak atau belum ditegaskan oleh nash Alqur’an dan sunnah
dan hal itu baru diketahui melalui ijtihad. Dari segi status dan penerapan
349
Ibid., h. 87.
cclxxxvii
antara shari'ah dan fiqih tidak sama. Syari'ah statusnya qat'i sedangkan
fiqih statusnya zanni.350
Menurut M. Arfin Hamid, dalam memahami syariah Islam sebagai
sebuah sistem dalam konteks yang ekslusif, syariah dalam posisi internal
dan integratif dari ajaran Islam sebagai sebuah kesatuan yang sistematis,
menyeluruh (kaffah), dan mandiri sesuai dengan ayat Alqur’an, udkhulu fi
al-silmi kaffah, artinya masuklah Islam secara menyeluruh. Secara
internal, semua umat Islam mutlak menempatkan syariah di atas
segalanya yang harus terimplementasi dalam segala dimensi kehidupan
manusia.351
Konsep holistik syariah ini menempatkan manusia sebagai titik
sentral dalam rangka membumikan ajaran Tuhan melalui penerapan
syariah. Posisi manusia sebagai central point dalam bingkai penerapan
syariah memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dimensi dimaksud adalah manusia sebagai subjek dan manusia
sebagai objek pengaturan syariah. Dimensi manusia sebagai subjek
dimaknai dengan kemampuan manusia untuk berusaha menjadikan
syariah sebagai tuntunan hidup dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Dalam
350
Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Tiga Sembilan, 1990), 103-104.
351
M. Arfin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia: Aplikasi dan Prospektifnya, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 22.
cclxxxviii
dimensi ini manusia memerlukan daya kreativitas (ijtihad) untuk
memahami teks suci syariah yang terkandung dalam al-Qurán dan as-
Sunnah. Tingkat kemampuan memahami dan melakukan interpretasi
terhadap teks suci akan menentukan tingkat kemaslahatan yang dapat
diwujudkan dalam tatanan aplikatif. Sebaliknya, ketidakberanian dan
parsialitas pemahaman terhadap Alqur’an akan membawa kepada pola
penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering
nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan syariah
dalam kehidupan manusia. Padahal hakikat keberadaan syariah adalah
membawa kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.352
Pada dimensi kedua, manusia berkedudukan sebagai objek yang
akan diatur, diayomi dan dilindungi oleh syariah. Dalam dimensi ini
manusia dijadikan sebagai arena kerja syariah, tanpa manusia, syariah
yang bersifat normatif sakralitas tidak memiliki arena operasional berupa
tempat penerapan syariah. Perilaku manusia yang diatur syariah tidak
hanya terbatas pada perilaku individu terhadap dirinya semata-mata
tetapi juga perilaku individu terhadap kelompok dan perilaku kelompok
terhadap kelompok lain.353
352
Rusdi Ali Muhammad, “Teori Gradualisme: Aplikasi Penerapan Syariáh Islam di NAD”, http://www.ditpertais.net/swara/warta18-03.asp, diakses 4 Maret 2011.
353
Ibid.
cclxxxix
Syariah Islam mengandung prinsip-prinsip yang sangat universal,
oleh karena itu, secara teologis setiap orang Islam diperintahkan untuk
tidak mengambil dari luar Islam jawaban terhadap permasalahan yang
ada, karena secara teoretik semua permasalahan tersebut sudah ada
solusinya dalam tuntunan agama.354
Bagi orang Islam, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan
antara agama dengan hukum. Menjadi orang Islam berarti
mengimplikasikan kepatuhan kepada hukum yang telah diturunkan oleh
Allah swt. sehingga ketika seseorang menolak menaati hukum,
konsekuensinya telah berhenti menjadi muslim. Islam memberikan
perhatian secara khusus terhadap tanggung jawab manusia, dari
tanggung jawablah itulah hak-hak personal dan komunal seseorang akan
diberikan.355
Prinsip-prinsip Islam sangat memungkinkan menjadi dasar dari
sistem hukum nasional. Sebab, dasar yang bersumber dari Alqur’an dan
ajaran Rasulullah itu telah diyakini dan diamalkan oleh mayoritas
354
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Modern: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), h. 74.
355
Ibid., h. 75.
ccxc
masyarakat Indonesia dan mengkristal sebagai nilai-nilai
keindonesiaan.356
Dalam konteks hukum yang berkeadilan sosial, syariah Islam
menetapkan prinsip keadilan sosial sebagai tujuan tertinggi, bukan hanya
untuk kepentingan umat Islam saja tetapi juga seluruh kepentingan umat
manusia, karena Islam dapat mengayomi seluruh alam (rahmatan lil
alamin).
Undang-undang dikatakan tidak berkeadilan sosial, apabila
undang-undang tersebut melanggar hak-hak manusia, atau
mengunggulkan salah satu kepentingan kelompok saja. Sebaliknya
undang-undang dikatakan berkeadilan sosial, apabila undang-undang itu
mengatur kehidupan masyarakat sedemikian rupa, sehingga untung dan
beban di bagi secara pantas. Oleh karena itu, syariah Islam adalah
hukum berkeadilan sosial karena menempatkan hak dan kewajiban
secara seimbang.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip yang melandasi syariah Islam,
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
356
Bowo Pribadi, Nilai Islam Jadi Dasar Hukum, http://bataviase.co.id/node/481341 diakses 12 Pebruari 2011.
ccxci
Gambar 5 Landasan Keberlakuan Syariah Islam
Sumber: Hasil olahan penulis, 2011
Pada gambar 5 menunjukkan bahwa syariah Islam yang
diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia memiliki elemen-elemen
pokok yang terkandung di dalamnya seperti landasan teologis, landasan
filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.
Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan sistem
yang tidak dapat dipisahkan (integrated system), sehingga syariah Islam
Landasan
Yuridis
Landasan Sosiologis
Landasan Teologis
Landasan Filosofis
Syariah Islam
ccxcii
bersifat universal dan absolut yang berangkat dari doktrin ajaran Islam bahwa Islam
itu sebagai rahmatan lil alamin.
Sementara itu dalam filsafat barat ada tiga landasan
keberlakukan hukum, yaitu kekuatan berlaku filosofis, kekuatan berlaku
sosilogis dan dan kekuatan berlaku yuridis. Ketiga-tiganya berlaku syarat
kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan yang diharapkan
memberikan dampak positif bagi pencapaian efektifitas hukum itu sendiri.
Ketiga aplikasi keberlakuan hukum beserta nilai-nilai dasarnya
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6 Keberlakuan Hukum dan Nilai-Nilai Dasarnya
Sumber: M. Arfin Hamid, 2007.
Landasan tertinggi yang melandasi bangunan syariah Islam
adalah teologis (tauhid), yang meletakkan dasar-dasar hubungan antara
Allah swt. dan manusia dan hubungan manusia dengan sesamanya serta
terhadap makhluk lainnya.357 Landasan teologis dalam syariah tidak
357
M. Arfin Hamid, Hukum Ekonomi… op.cit., h. 59.
Keadilan
Kegunaan
Kepastian
Filosofis
Sosiologis
Yuridis
Hukum
ccxciii
pernah dipisahkan, dari teologilah institusi hukum itu dibangun dan
dengan menaati hukum aspek teologi dapat dipertahankan358
Menurut B. Hestu Cipto Handoyo, suatu peraturan perundang-
undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan,
yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.359
Landasan filosofis (filisofische grondslag) memiliki makna apabila
rumusannya atau normanya mendapatkan pembenaran dikaji secara
filosofis. Jadi mendapatkan alasan sesuai dengan cita-cita dan
pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan
sesuai dengan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan (way of
life), filsafat hidup bangsa, serta kesusilaan. Landasan sosiologis
(sociologische groundslag) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai
dengan keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat., tata nilai, dan
hukum yang hidup di masyarakat agar peraturan yang dibuat dapat
dijalankan. Landasan yudiris (rechts ground) apabila mempunyai dasar
358
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Modern: Studi tentang… op.cit., h. 74. 359
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), h. 62. Ilmu Filsafat sebagai dasar filosofis peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ke-Indonesiaan adalah Pancasila sebagai “weltanschauung”, yaitu sebagai pandangan hidup termasuk alam cita. Ilmu Sosial sebagai dasar sosiologis. Dalam konteks ke-Indonesiaan, yaitu adanya keberagamaan masyarakat asli Indonesia atau kebhinekaan sosial, budaya, agama dan norma lokal nusantara, dan Ilmu hukum sebagai dasar yuridis mengingat hukum berupa peraturan perundang-undangan tersebut harus berakar jauh ke bawah sehingga efektif keberlakuannya. Lihat Ade Saptomo, Akomodasi Keberagamaan ke Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Satya Arinanto dan Ninik Triyanti, Memahami Hukum dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009), h. 39.
ccxciv
hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum
yang lebih tinggi derajatnya. Disamping itu landasan yuridis
mempertanyakan apakah peraturan yang dibuat sudah dilakukan oleh
atas dasar kewenganannya. Ketiga landasan tersebut harus terpenuhi
dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Sementara syariah Islam sendiri menempatkan landasan teologis
sebagai bagian yang tidak terpisahkan, karena sumber syariah Islam
berasal dari Alqur’an dan Hadis.360 Oleh karena itu, keabsahan Alqur’an
dan Hadis sebagai sumber hukum tidak dapat diragukan lagi karena
memiliki bobot kebenaran absolut, walaupun didalamnya tetap diberi
ruang untuk dipahami dan ditafsirkan terhadap nilai-nilai yang terkandung
didalamnya dengan satu prinsip bahwa perubahan hukum karena
perubahan ruang dan waktu sebagaimana dipopulerkan oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziyah.361
Manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah (pengemban
hukum), tentu dituntut untuk mengemban syariah Islam dengan baik,
manusia harus mewujudkan hukum dalam keseharian hidup manusia
360Ulama hadis pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hadis
ialah segala, sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-Sunnah. Menurut ulama hadis, bentuk-bentuk hadis atau al-Sunnah ialah segala berita berkenaan dengan; sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw.. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 27
361
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, (Yogyakarta: LKis, 2004), h. 4.
ccxcv
sebagai khalifah dengan kata lain manusia adalah pengemban syariah.
Apabila mengikuti pendapat Meuwissen mengenai pengembanan hukum
praktis, bahwa pengemban hukum praktis sebagai aktivitas yang
ditujukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan dan kehidupan
sehari-hari secara nyata, meliputi pembentukan, penemuan, dan bantuan
hukum.362
Hukum yang dibuat oleh manusia pada dasarnya harus sejalan
dengan syariah Islam. Umat Islam harus menempatkan Alqur’an dan
Hadis sebagai sumber syariah Islam utama. Oleh karena itu, Alqur’an dan
Hadis merupakan primary metanorm bagi umat Islam dan menempatkan
UUD NRI Tahun 1945 sebagai secondary metanorm.
Menurut Hans Kelsen, disebut sebagai norma dasar (grundnorm),
yaitu induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dan sebagai alat
mengapa suatu hukum itu dipatuh i dan mempertanggungjawabkan
pelaksanaan hukum. Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari
norma dasar yang berada di pucak piramida, dan semakin ke bawah
semakin beragam, konkrit dan menyebar. Norma dasar teratas bersifat
abstrak dan semakin ke bawah bersifat konkrit.363
362
Aminuddin Ilmar, Konstruksi Teori dan Metode Kajian Ilmu Hukum, (Makassar: Hasanuddin University Press, 2009), h. 17
363
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta, Kencana, 2009), h. 62.
ccxcvi
Umat Islam harus menempatkan syariah Islam sebagai norma
tertinggi. Oleh karena itu, setiap produk peraturan perundangan-
perundang-undangan yang mengabaikan prinsi-prinsip syariah pada
dasarnya tidak valid.
Setiap norma hukum adalah sumber bagi norma yang lain,
karena memuat prosedur atau isi norma yang akan dibuat. Maka setiap
norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber bagi norma hukum yang
lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.364
Merujuk pada teori Hans Kelsen di atas, validitas norma hukum
digambarkan sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi
negara. Dalam konteks ke-Indonesian, UUD NRI Tahun 1945 merupakan
metanorm dalam sistem hukum nasional. Oleh karena itu, setiap undang-
undang yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945.
Terkait perundang-undangan zakat, setiap produk hukum yang
berhubungan dengan zakat pada dasarnya harus mengacu pada syariah
Islam sebagai norma tertinggi (metanorm, groundnorm) karena sumber
zakat berasal dari Alqur’an dan Hadis. Jadi, pengaturan zakat tidak boleh
menyalahi Alqur’an dan Hadis. Apabila ada peraturan perundang-
364
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 117.
ccxcvii
undangan terkait dengan zakat yang tidak selaras dengan Alqur’an dan
Hadis, maka peraturan perundang-undangan tersebut tidak valid.
Jadi, peraturan perundang-undangan zakat, tidak hanya
divalidasi oleh UUD NRI 1945 sebagai metanorm dalam sistem hukum
nasional, tetapi juga divalidasi oleh Alqur’an dan Hadis yang juga
merupakan metanorm. Oleh karena itu, apabila berbicara tentang hierarki
norma hukum dalam konteks zakat, maka Alqur’an dan Hadis merupakan
primary metanorm dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai secondary
metanorm.
Untuk validasi peraturan perundan-undangan zakat dengan
syariah Islam, di bawah ini diuraikan landasan hukum yang baik dalam
hukum zakat dan implementasinya dalam peraturan perundang-
undangan:
1. Landasan Teologis
Kewajiban zakat bersumber dari Allah swt. dan diperkuat oleh
Rasulullah Muhammad saw. Oleh karena itu, zakat adalah kewajiban
agama dan merupakan salah satu rukun Islam. Zakat sebagai
kewajiban dari Allah swt. tentu saja didalamnya mengandung nilai-nilai
tauhid yang harus diimplementasikan oleh manusia sebagai hamba
Allah swt. di bumi ini.
ccxcviii
Dalam perspektif teologis, zakat bertumpu pada dua alasan
fundamental. Pertama, segala kekayaan alam di langit dan di bumi
adalah milik Tuhan (Q.S. Ali Imran [3] Ayat 180). Doktrin itu
mengandung nilai instrumental, bahwa hak kepemilikan kekayaan
alam pada manusia bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi sekadar
amanah dari Tuhan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kemanusiaan.
Kedua, manusia pada hakikatnya berasal dari umat yang satu
dan hendak kembali kepada Tuhan yang Tunggal. Ini berarti, manusia
merupakan satu kesatuan yang terbingkai dalam persaudaraan
keluarga yang masing-masing anggotanya sama-sama memiliki hak
hidup sesuai dengan hakikat kemanusiaannya.365
Nilai tauhid dalam ibadah zakat sebagai bagian dari syariah
Islam, maka untuk membumikan nilai tauhid tersebut perlu diformulasi
dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang juga memiliki
dimensi ketauhidan pula, agar zakat tidak kehilangan ruhnya sebagai
ajaran yang bersumber dari Alqur’an dan Hadis.
Apabila ditelaah Sila Pertama Pancasila, yaitu: “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, dan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
365
F Maksun, “Zakat dan Keadilan Ekonomi” http://www.zisindosat.com/zakat-dan-keadilan-ekonomi/ diakses pada 3 Maret 2010.
ccxcix
Esa”. Frase tersebut mengandung tiga makna, yaitu: Pertama, negara
tidak boleh membuat peraturan perundang undangan atau melakukan
kebijakan kebijakan yang bertentangan dengan keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa; Kedua, negara berkewajiban membuat
peraturan perundang undangan atau melakukan kebijakan kebijakan
bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dari segolongan pemeluk agama yang memeluknya; Ketiga,
negara berkewajiban membuat peraturan perundang undangan yang
melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) merupakan
sebuah undang-undang yang pada dasarnya telah memiliki landasan
teologis, sehingga undang-undang tersebut memiliki kekuatan untuk
membangkitkan kesadaran umat Islam untuk membayar zakat.
Untuk memfungsionalkan peraturan perundang-undangan
zakat pada kehidupan umat Islam, maka UUPZ harus bersinergi dalam
arti tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi baik UUD
NRI Tahun 1945 maupun Alqur’an dan Hadis.
Apabila dicermati UUPZ yang terkait dengan pengelolaan
zakat, maka dapat diidentifikasi nilai tauhid yang ada didalamnya,
yaitu:
ccc
1) Konsideran bagian menimbang huruf a UUPZ bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Zakat sebagai salah satu ibadah dalam Islam yang
terangkum dalam rukun Islam. Zakat sebagai bagian dari ibadah
tentu saja harus dijalankan oleh umat Islam yang memiliki harta
yang memenuhi nisab dan haulnya.
Kewajiban melaksanakan zakat sebagai bagian dari
ibadah umat Islam sebagaimana yang dimaksud konsideran
bagian menimbang huruf a UUPZ, pada hakikatnya didasarkan
pada Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI Tahun
1945.
Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:
Pasal 28E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selanjutnya Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
Pasal 29 Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
ccci
Nilai tauhid sebagaimana termuat dalam Pasal 28E Ayat
(1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UUPZ,
sejalan dengan Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat
256 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Menurut Adi Sasono,366 ada empat aspek teologis
keberagamaan yang terkait dengan Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 256,
yaitu: Pertama, penegakan perinsip kebebasan beragama. Prinsip
ini menyatakan tidak ada paksaan dalam agama. Segala bentuk
pemaksaan dalam agama justeru melahirkan iman tidak sejati.
366
Adi Sasono, Menuju Rakyat Berdaulat: Wawancara Adi Sasono Ketua Umum Dekopin, (Jakarta: Penerbit Republika, 2008), h. 239
cccii
Kedua, prinsip toleransi (tasamuh), yaitu setiap individu
beriman tidak bisa tidak kecuali menghormati hak penganut agama
lain menyatakan dan menerapkan keimanannya.
Ketiga, prinsip aksiologis, yaitu tujuan hidup penganut
keyakinan (agama atau spritualitas) adalah membawa kebaikan,
mencegah keburukan, dan meyakini Allah swt. yang dijadikan
rujukan permanen bagi tiap hubungan antar agama dan
keyakinannya.
Keempat, kelanjutan prinsip ketiga adalah prinsip
kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Tiap umat
beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan
jujur dalam mengembangkan keyakinanya.
Dalam konteks pengelolaan zakat, seorang muslim tidak
diperbolehkan untuk mengambil zakat dari non muslim dan tidak
boleh memaksakan kepada penganut lain untuk membayar zakat,
karena merupakan kewajiban umat Islam, begitupun sebaliknya
umat non muslim tidak boleh melarang umat Islam untuk
mengambil zakat dari orang Islam sendiri kemudian mengelolanya.
Oleh karena itu, dibutuhkan saling kesepahaman dalam
menjalankan ibadah masing-masing.
Selanjutnya nilai-nilai Tauhid yang terkandung dalam
undang-undang yang terkait dengan zakat:
ccciii
2) Konsideran bagian menimbang huruf b UUPZ bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam; Pasal 1 Ayat (2): Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam Pasal 1 ayat (5): Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
Beberapa substansi hukum mengenai kewajiban berzakat
bagi orang Islam, termuat dalam beberapa pasal yang terkait
pengelolaan zakat dalam UUPZ telah sejalan dengan ketentuan
Islam yang menegaskan bahwa orang beragama Islam yang
mampu dibebankan hukum untuk membayar zakat, selain itu tidak
ada kewajiban bagi non muslim untuk membayar zakat.
Berdasarkan hadis Rasulullah Muhammad saw. yang
diriwayatkan Imam Bukhari bahwa ketika Nabi mengutus Muaz bin
Jabal ke Yaman, beliau berpesan agar dia mengajak orang-orang
di sana untuk memeluk Islam, mengajarkan shalat, memungut
zakat dari para hartawan untuk dibagikan kepada orang-orang
miskin.367
367
Qastalani, Irsyad al-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), h. 569.
ccciv
Menurut ijma, zakat tidak wajib atas orang kafir karena
zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang
kafir bukan orang yang suci. Menurut Mazhab Syafi’i, mewajibkan
orang murtad untuk mengeluarkan zakat hartanya sebelum
murtad, yakni harta yang dimilikinya ketika masih menjadi seorang
muslim. Murtad menurut Mazhab Syafi’i tidak menggugurkan
kewajiban zakat. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa murtad menggugurkan kewajiban zakat sebab orang
murtad sama dengan orang kafir.368
Menurut Yusuf Qardawi, bahwa zakat, sebagai kewajiban
Islam, tidak diperlukan dari non-Muslim karena merupakan bagian
dari agama Islam dan tidak bisa diharapkan menunaikan zakat
bagi orang yang tidak percaya dalam Islam.369
Zakat sebagai kewajiban orang Islam, oleh karena itu
pengelolaannya juga diserahkan kepada orang Islam. Yusuf
Qardawi, mensyaratkan pengelolaan zakat kepada orang muslim.
Zakat adalah salah satu urusan kaum muslimin yang termasuk
368
Wahbah al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, (terjemahan), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 98.
369
Yusuf al-Qardawi, Fiqih al-Zakah: a Comparative Study of Zakah, Regulations and Philosophy in the Light of Qur'an and Sunnah, Volume I, (Arab Saudi: Scientific Publishing Centre King Abdulaziz University Jeddah, t.th.), h. 33.
cccv
rukun Islam, karena itu urusan penting kaum muslimin itu diurus
oleh sesama muslim.370
Zakat yang dikeluarkan orang muslim harus dilandasi
dengan iman dan takwa. Muatan nilai keimanan dan ketakwaan
dalam pemberian zakat berimplikasi bahwa zakat adalah
kewajiban dengan niat yang ikhlas dari seorang hamba untuk
mengeluarkan sebagian dari hartanya yang telah memenuhi
takaran tertentu dalam satu satuan waktu kepada pihak-pihak
yang berhak yang bertujuan untuk kemaslahatan diri maupun
kemaslahatan pihak yang menerima.
Begitu pentingnya nilai keimanan dan ketakwaan dalam
zakat, sehinga Allah swt. hanya memerintahkan kepada orang
yang beriman untuk berzakat sebagaimana dinyatakan dalam Q.S.
al-Baqarah (2) Ayat 267 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
370
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 127
cccvi
Apabila ayat di atas didekati dengan pendekatan kaidah
ushul fiqih, yaitu kaidah pemahaman perbandingan terbalik
(mafhum mukhalafah), maka orang yang tidak beriman, tidak
diwajibkan membayar zakat. Oleh karena itu, hanya orang-orang
yang berimanlah yang sanggup membayar zakat secara ikhlas
karena dilandasi semangat keimanan dan ketakwaan.
Seseorang yang tidak memiliki keimanan dan ketakwaan
dalam hatinya, maka mustahil dapat mengeluarkan zakatnya
secara ikhlas. Keikhlasan membayar zakat akan menjadikan spirit
kepada manusia untuk senantiasa berjuang mencari harta
sebanyak-banyaknya untuk digunakan di jalan Allah swt. dan
memberikan sebagiannya kepada orang yang berhak.
Pada dasarnya tujuan membayar zakat apabila dilandasi
semangat keimanan dan ketakwaan adalah mencapai ridha Allah
swt. Hal tersebut, dinyatakan Allah swt. dalam Q.S. ar-Ruum (30)
Ayat 39 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
cccvii
Jadi, orang yang membayar zakat harus meniatkan zakat
sebagai kewajiban dari hartanya dan memaksudkannya kepada
keridhaan Allah swt. sebab ikhlas adalah syarat diterimanya
semua ibadah.
Nilai keimanan dan ketakwaan dalam pengelolaan zakat
tidak hanya ditujukan kepada pemberi zakat, tetapi juga kepada
pengelola zakat (amil). Iman dan takwa merupakan sistem nilai
tauhid sebagai landasan yang di atasnya dibangun pengelolaan
zakat yang berkeadilan sosial.
Pengelola zakat sebagai pihak yang melakukan berbagai
aktivitas pengelolaan zakat, berperan sebagai pihak yang wajib
beriman dan bertakwa, sehingga kegiatan pengelolaan zakat
senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah swt.. Kegiatan
pengelolaan zakat menjadi bagian dari amal shalih umat manusia
dalam memakmurkan bumi sebagai perintah Allah swt. (Q.S. Huud
[11] Ayat 61).
Pengelola zakat mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat dengan baik apabila memiliki spirit
keimanan dan ketakwaan, sehinnga pengelolaannya
terimplemetasi dalam prinsip-prinsip good zakat governance yang
mengadopsi sifat dan prilaku Nabi Muhammad saw. dalam
cccviii
berbisnis, yaitu Shiddiq berarti benar; Fathanah berarti cerdas;
Amanah berarti dapat dipercaya; dan Tabligh berarti
menyampaikan (terbuka, komunikatif).
Jadi, menerapkan prinsip-prinsp good governance dalam
pengelolaan zakat hanya dapat dilakukan dengan baik apabila
pengelola zakat memiliki iman dan takwa sebagai basis nilai, hal
itulah yang menjadi asas pengelolaan zakat sebagaimana
diamanahkan dalam UUPZ.
2. Landasan Filosofis
Perumusan aturan atau norma dalam peraturan perundang-
undangan harus mendapatkan pembenaran apabila dikaji secara
filosofis, artinya rumusan atau norma mempunyai alasan yang dapat
dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam. Alasan yang
dimaksud juga sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup manusia
dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta sesuai pula dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan, dan
cita-cita kesusilaan.
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan cita-cita moral dan cita hukum sebagaimana
diamanatkan oleh Pancasila. Nilai-nilai yang bersumber pada
pandangan filosofis Pancasila, yakni:
cccix
a. Nilai-nilai religius bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila
Ketuhanan Yang Maha Esa,
b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab,
c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum
nasional seperi yang terdapat di dalam sila Persatuan Indonesia,
d. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat
di dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan
e. Nilai-nilai keadilan, baik individu maupun sosial seperti yang
tercantum dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.371
Dalam konteks pengelolaan zakat di Indonesia, peraturan
perundang-undangan zakat harus dapat dikembalikan kepada nilai-
nilai yang terkandung dalam Alqur’an dan Hadis serta Pancasila
sebagai falsafah/dasar negara.
371
Anonim, Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, http://www. scribd.com/doc/32246829/Tata-Urutan-Peraturan-Perundang-undangan”, diakses pada 15 Maret 2011.
cccx
Dalam mengidentifikasi landasan filosofis yang terkandung
dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
zakat, maka di bawah ini diuraikan muatan filosofisnya, yaitu:
1) Konsideran bagian menimbang huruf a UUPZ bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
Frase dalam konsideran menimbang huruf a UUPZ, tentang
kemerdekaan tiap penduduk untuk beribadah, tidak hanya
dimaknai sebagai frase teologis tetapi juga dimaknai sebagai frase
filosofis.
Adanya jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
beribadat menurut agamanya, juga sebagai penanda bahwa
bangsa Indonesia mengakui eksistensi agama dan Indonesia
adalah negara yang penduduknya beragama. Secara tersirat juga
mengandung makna bahwa setiap warga negara Indonesia harus
menganut suatu agama dan beribadah berdasarkan keyakinanan
keagamaannya itu.
Tidak dibenarkan warga negara Indonesia untuk tidak
beragama. Dalam Islam, pada hakikatnya agama merupakan fitrah
yang berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan firman
Allah swt. dalam Q.S. ar-Ruum (30) Ayat 30 sebagai berikut:
cccxi
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Agama sebagai fitrah, pasti sejalan dengan jati diri manusia
dan dianut oleh setiap manusia. Ada yang menganut agama sejak
masih muda dan ada yang menjelang akhir kehidupannya seperti
Fir’aun.372
Selain itu pula, agama yang benar dipastikan tidak ada yang
bertentangan dengan jati diri dan naluri manusia, kalau pun ada
cepat atau lambat akan ditolak oleh penganutnya sendiri, dan
ketika itu terbukti bahwa agama bukan fitrah.373
Selanjutnya, agama sebagai fitrah, tidak boleh dan tidak
perlu dipaksakan, sesuai dengan Firman Allah swt. dalam Q.S. al-
Baqarah (2) Ayat 256 sebagai berikut:
372M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2007), h. 53.
373Ibid., h. 53.
cccxii
Terjemahnya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Di ayat yang lain, Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Kafirun
(109) Ayat 6 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Kemerdekaan beragama adalah ciri manusia yang paling
penting, maka Allah swt. sangat melarang pemaksaan dalam
menentukan pilihan beragama. Manusia tidak berhak sedikitpun
memaksa manusia lain agar beriman, karena urusan beriman atau
kafir seseorang mutlak urusan Allah swt. semata-mata dengan
urusan hamba-Nya. Kemerdekaan inilah yang menjadi pembeda
terpenting antara manusia dengan makhluk Allah swt. yang lain.
Setiap manusia dalam melaksanakan hak pilih sebagai
implementasi nilai kemanusiannya dan nilai kemanusiaan
seseorang tergantung pada kemerdekaan yang dihayatinya.
Kemerdekaan memeluk dan beribadah menurut agamanya
masing-masing diberikan kepada setiap individu penduduk
cccxiii
Indonesia, dan bukannya kepada kelompok agama secara kolektif
untuk mewajibkan kemauannya kepada individu dalam kelompok
tersebut. Oleh sebab itu, negara tidak boleh merampas hak
individu penduduk tersebut dengan membuat peraturan
perundang-undangan yang mengutamakan sebuah aturan agama.
Pelaksanaan aturan agama harus berasal dari kesadaran dan
dorongan hati nurani setiap individu penduduk, dan bukannya
karena desakan undang-undang, dengan pengenaan sanksi
pidana, baik pidana penjara dan/atau pidana denda.
2) Konsideran bagian menimbang huruf c UUPZ bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
Salah satu filosofi yang terkandung dalam UUPZ, bahwa
zakat itu untuk meningkatkan keadilan kesejahteraan masyarakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim
yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi orang
yang berhak menerimanya. Pengelolaan zakat yang baik dapat
menjadi sumber dana potensial yang dimanfaatkan untuk
memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan zakat harus bermuara pada
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Semua kegiatan-kegiatan
pengelolaan zakat yang tidak dapat mensejahterakan mayarakat,
maka dianggap melanggar UUPZ bahkan lebih jauh lagi telah
cccxiv
melanggar konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD NRI
Tahun 1945, karena UUD NRI Tahun 1945 mengamanahkan salah
satu cita-cita dasar bangsa Indonesia yaitu mewujudkan
kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan sosial. Keadilan
dan Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan akhir dari
pengelolaan zakat.
Sejak awal Islam memerintahkan umatnya untuk
menegakkan keadilan. Alqur’an selalu memerintahkan orang-
orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan. Allah swt.
berfirman dalam Q.S. an-Nisaa (4) ayat 135:
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran…
cccxv
Menurut Budhy Munawar Rachman, bahwa penafsiran
ayat ini dapat dikatakan bahwa elan vital Alqur’an adalah keadilan
dan menuntut orang yang beriman untuk menciptakan masyarakat
yang adil (egalitarian) dan mencegah orang-orang yang mau
melakukan bencana di muka bumi ini. Usaha untuk menegakkan
keadilan bukan sesuatu yang abstrak yang hanya cukup dengan
diungkapkan tetapi sesuatu yang mesti diwujudkan dalam aksi
nyata. Salah satu bentuk mewujudkan keadilan adalah zakat
sebagai filantrofi Islam.374
Berdasarkan sudut pandang teologis, agama memainkan
peran yang cukup penting dalam keterlibatannya pada keadilan
sosial, yaitu pada kewajiban menegakkan keadilan yang betul-
betul konkrit, yakni keterlibatan secara serius bersama masyarakat
marginal dalam usaha menegakkan keadilan.375
Orang-orang kafir dalam arti kafir yang sebenarnya
adalah-adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan
menghidupkan terus-menerus ketidakadilan serta merintangi
upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat.376
374
Budhy Munawar Rachman, Relevansi Filantrofi Islam dengan Keadilan Sosial: Tinjauan Teologis, dalam Idris Thaha (ed), Berderma Untuk Semua… op.cit., h. 6.
375Ibid., h. 11.
376
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (terjemahan), (Yogyakarta: LKiS, 1993), h. 6-7.
cccxvi
Zakat yang mempunyai sifat-sifat ekonomik religius
berkaitan erat dengan pelaksanaan kebijaksanaan pemerataan
untuk mencapai keadilan sosial. Oleh karena itu, di dalam
kewajiban melaksanakan zakat terdapat landasan filosofisnya.
Menurut M. Quraish Shihab,377 terdapat tiga landasan
filosofis kewajiban zakat, yaitu:
1) Prinsip istikhlaf (penugasan sebagai khalifah). Allah swt.
adalah pemilik seluruh alam semesta dan segala isinya,
termasuk pemilik harta benda. Orang yang beruntung
memperoleh sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima
titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan
sesuai dengan kehendak pemiliknya, serta menjadikan harta
benda sebagai alat dan sarana kehidupan untuk seluruh
manusia sehingga penggunaannya harus diarahkan untuk
kepentingan bersama;
2) Prinsip solidaritas sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang
hidup bersama dengan individu-individu dalam masyarakat,
meskipun manusia mempunyai sifat berbeda-beda tetapi
manusia tidak dapat dipisahkan dari yang lainnya karena
manusia adalah makhluk sosial yang harus selalu berinteraksi
377
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 323-325.
cccxvii
dengan manusia lain. Dalam bidang ekonomi, meskipun
seseorang mempunyai kepandaian dan keterampilan, tetapi
hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan orang
lain, baik secara langsung dan disadari ataupun tidak secara
langsung dan tidak disadari. Dalam berproduksi Allah swt.
yang menciptakan bahan mentahnya sedangkan manusia
bertugas melakukan perubahan, penyesuaian dan
mengolahnya. Oleh karena itu, sangat wajar manakala Allah
swt. memerintahkan manusia untuk mengeluarkan sebagian
kecil dari harta yang diamanatkan kepadanya untuk
kepentingan orang lain;
3) Prinsip persaudaraan, Manusia berasal dari satu keturunan,
antara seseorang dengan yang lainnya terdapat pertalian
darah, baik dekat maupun jauh. Pertalian darah tersebut akan
menjadi kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain,
yaitu agama, kebangsaan, tempat tinggal dan sebagainya.
Persaudaraan itu tidak hanya hubungan mengambil dan
menerima tetapi melebihi hal itu, yaitu memberi tanpa menanti
imbalan atau membantu tanpa dimintai bantuan. Kebersamaan
dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada
kesadaran bahwa sebagian harta kekayaan harus ada yang
dikeluarkan dalam bentuk kewajiban zakat
cccxviii
Dikaitkan dengan landasan filosofis, terkadang pembuat
undang-undang bertindak ambigu karena produk legislasi yang
dihasilkan tidak mempunai landasan filosofi yang jelas untuk masalah
yang sedang dihadapi, baik masalah hukum masa kini (ius
constitutum), maupun masalah implementasi hukum (ius
constituendum).378
3. Landasan Yuridis
Berbicara tentang landasan yuridis dalam sebuah undang-
undang, maka harus dilihat dari pemberlakuan undang-undang
tersebut yang terdiri atas dua jenis karakter, yaitu hukum imperatif dan
hukum fakultatif.
Hukum imperatif adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a
priori harus dipatuhi dan mempunyai kekuatan untuk memaksa serta
mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara a
priori untuk dipatuhi melainkan hanya sekadar melengkapi, subsidair
atau dispositif. Meskipun demikian, secara umum hukum memiliki
kesamaan yaitu memaksa dan mengatur sekaligus, akan tetapi tingkat
pemaksaan dan pengaturannya berbeda.379
378
Marwan Effendy, Kejaksaan: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 4.
379
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 37-38.
cccxix
Dalam pandangan Nawiasky bahwa ada suatu norma yang
disebut dengan formelle gezetz, yaitu sebuah aturan hukum yang
bersifat formal dilekatkan ketentuan memaksa, baik berupa paksaan
pelaksanaan (vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman
(strafe). Dalam sistem undang-undang inilah diperoleh suatu tata
norma hukum yang mengikat (verbindlich) secara nyata.380
Pada umumnya hukum publik bersifat imperatif, sedangkan
hukum privat bersifat fakultatif, tetapi dalam hal-hal tertentu dapat
berlaku sebaliknya. Hukum yang secara luas dan mendalam berusaha
mewajibkan keadilan sejati berisifat imperatif apabila diperlukan untuk
kepentingan umum.381
Undang-Undang Pengelolaan Zakat dalam perspektif teori
hierarki norma digolongkan dalam kedudukan norma formelle gesetz
(peraturan perundang-undangan), karena berbentuk formelle gesetz
maka secara otomatis tidak termasuk dalam golongan norma dasar
(grundnorm) dan atau golongan aturan dasar (grund gesetz). Norma
hukum di luar golongan norma dasar (grund norm) dan atau golongan
aturan dasar (grund gesetz) tidak boleh berbentuk norma hukum
tunggal, norma itu haruslah norma hukum berpasangan. Oleh sebab
380
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 224.
381
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara… op.cit., h. 38.
cccxx
itu, norma hukum tersebut haruslah dilekati norma hukum sekunder-
berbentuk sanksi pidana atau sanksi pemaksa.382
Berkaitan dengan UUPZ, menurut Jimly Asshiddiqie bahwa
UUPZ dalam hukum nasional berkategori privat atau berlaku khusus
bagi masyarakat Muslim.383
Dalam Pasal 21 ayat (1) UUPZ, bahwa dalam rangka
pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri atas
kewajiban zakatnya. Sedangkan Ayat (2) menyatakan dalam hal tidak
dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta
bantuan BAZNAS.
Kewajiban membayar zakat tidaklah semata-mata diserahkan
kepada kesadaran para muzakki, namun juga menjadi tangung jawab
petugas pengelola zakat. Pada masa Rasulullah dan para sahabatnya,
penghimpunan zakat dilakukan oleh amil zakat dengan
memungut/menagih dari para muzakki. Hal ini dilakukan mengingat
kedudukan zakat yang cukup signifikan dalam ajaran Islam. Bahkan
ajaran Islam menyerukan perang terhadap kaum yang tidak mau
membayar zakat, seperti yang terjadi pada masa awal pemerintahan
Khalifah Abu bakar.
382
Sumber:http://www.scribd.com/doc/16923591/Undangundang-Zakat-dan Dekonstruksi, diakses pada 8 Mei 2011.
383
Hukum Islam Mestinya Diadopsi, http://bataviase.co.id/node/161026 diakses pada 4 Mei 2011.
cccxxi
Menurut Didin Hafidhuddin, diktum-diktum dalam Undang-
Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat lebih bersifat
himbauan, tidak sebagaimana lazimnya sebuah undang-undang yang
memiliki kekuatan memaksa dan mengikat. Dilaksanakannya atau
tidak UUPZ, sama sekali tidak memiliki konsekuensi hukum kecuali
pada Pasal 21.384.
Apabila dibandingan dengan UUPZ yang baru dengan
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka
UUPZ yang baru lebih imperatif karena mengatur sanksi seperti sanksi
administratif pada Pasal 36 dan sanksi pidana pada Pasal 39, Pasal
40, dan Pasal 41.
Dalam pelaksanaan pengumpulan zakat tidak dapat dilakukan
paksaan terhadap muzakki, melainkan muzakki melakukan
penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan
hukum Islam. Dalam hal ini muzakki dapat menghitung sendiri
hartanya dan kewajiban zakatnya, namun demikian muzakki dapat
meminta bantuan kepada BAZ untuk menghitungnya.
Dalam Islam, aturan zakat membawa kekuatan imperatif
(kewajiban) pemungutannya dapat dipaksakan (Q.S. at-Taubah ayat 9
dan 103). Negara yang mempunyai otoritas untuk melakukan
384
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 104.
cccxxii
pemaksaaan seperti halnya pajak, karena negara mempunyai
kekuatan dengan perangkat pemerintahannya, dan didukung regulasi
yang mengikat sehingga dana zakat akan mudah dikumpulkan,
kemudian dapat menjadi bagian pendapatan negara seperti halnya
pajak
Abdurrahman Qadir menulis, pengaturan zakat dalam Alqur’an
menampilkan kata zakat dalam empat gaya bahasa,385 sebagai
berikut:
a. Menggunakan kata insya’i, yaitu kata perintah, seperti yang
terdapat dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 43, 83 dan 110; Q.S al-
Ahzab (33) ayat 33; Q.S. al-Hajj (22) ayat 78; Q.S. an-Nur (24)
ayat 56; Q.S. al-Muzzammil (73) ayat 20, yaitu menggunakan kata
“aatuu” atau “anfiquu”. Dalam ayat lain digunakan pula kata kerja
dengan menggunakan kata “khuz”, yaitu perintah untuk mengambil
atau memungut zakat (shadaqah) seperti dalam Q.S. at-Taubah
(9) ayat 103. Sasaran perintah ini ditujukan kepada penguasa
(amil zakat) untuk memungut dan mengelola zakat dari para wajib
zakat;
b. Menggunakan kata targhib (motivasi), yaitu suatu dorongan untuk
tetap mendirikan shalat dan membayar zakat yang merupakan ciri
385
Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001), h. 45-47.
cccxxiii
orang yang beriman dan takwa, kepada orang yang beriman dan
takwa dijanjikan akan memperoleh pahala yang berlipat ganda dari
Allah swt. Hal ini dapat dilihat Q.S. al-Baqarah (2) ayat 277;
c. Menggunakan kata tarhib (intimidasi/peringatan), ditujukan kepada
orang yang suka menumpuk harta kekayaan dan tidak
mengeluarkan zakatnya. Orang-orang seperti ini diancam dengan
siksa yang pedih, sebagaimana Firman Allah swt. dalam Q.S. at-
Taubah (9) ayat 34-35;
d. Menggunakan kata madh (pujian/sanjungan), yaitu pujian Allah
swt. kepada orang-orang yang menunaikan zakat. Orang-orang ini
disanjung sebagai penolong (wali) yang disifati dengan sifat
ketuhanan, kerasulan dan orang-orang yang beriman karena
kesanggupannya memberikan harta yang disenanginya berupa
zakat kepada orang lain. Ayat dalam bentuk pujian/sanjungan
dijumpai dalam Q.S. Al-Maaidah (5) ayat 55;
Keberadaan UUPZ yang disahkan pada 23 Desember 1999
belum mampu mengatasi permasalahan mengenai zakat, bahkan
pengelolaan zakat seperti benang kusut yang tak terurai. Keruwetan
ini antara lain terjadi karena, secara yuridis-formal UUPZ hanya
terbatas pada pengaturan pengelolaan zakat dan tidak memiliki
kekuatan memaksa muzaki dalam membayarkan zakat. Supremasi
pemerintah, selaku penguasa dan penyelenggara negara yang
cccxxiv
memiliki daya paksa, tak terlihat dalam undang-undang tersebut
seperti dalam Pasal 12 Undang-UUPZ bahwa petugas hanya akan
mengambil zakat setelah diberitahu oleh muzaki. Ini berarti Undang-
Undang tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa dalam mengambil
zakat dari muzaki.
Berkaitan mengenai ketentuan muzakki di dalam UUPZ, Pasal
1 Ayat (5) bahwa muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha
yang berkewajiban menunaikan zakat. Penggunaan frase “badan
usaha” adalah sebuah langkah progresif karena sebagian besar ulama
tidak menetapkan badan usaha sebagai muzakki dengan argumen
bahwa wajib zakat selalu melekat pada subyek hukum perseorangan
dan bukan pada subyek hukum sebagai badan, muzakki haruslah
beragama Islam, sesuai dengan ketentuan syarat-syarat muzakki yang
disepakati oleh jumhur ulama.
Dalam Penjelasan di Pasal 4 ayat (3) bahwa yang dimaksud
dengan badan usaha meliputi badan usaha yang tidak berbadan
hukum seperti firma dan yang berbadan hukum seperti perseroan
terbatas dan badan usaha yang dimaksud adalah badan usaha yang
dimiliki oleh umat Islam.
Keberadaan badan usaha semisal perusahaan sebagai
muzakki merupakan sebuah terobosan baru dalam rangka
menciptakan kesejahteraan umat. Keberadaan perusahaan sebagai
cccxxv
wadah usaha kemudian menjadi badan hukum atau syakhsiyyah
I'tibariyyah.
Perusahaan juga diizinkan memiliki kekayaan dari Tuhan.
Kepemilikan dan penggunaan kekayaan bukan saja untuk partisipan
langsung perusahaan (direct stakeholders), seperti pemegang saham,
kreditor, karyawan, dan pemerintah, tetapi juga pihak yang tidak terkait
langsung dengan bisnis perusahaan (indirect stakeholders), seperti
masyarakat penerima zakat, infaq, dan shadaqah. Hal ini dilandasi
bahwa manusia adalah Khalifatullah fil Ardh (wakil Tuhan) untuk
mengelola bumi atau menciptakan kesejahteraan bagi semua manusia
dan alam. (QS al-Anbiya [21] ayat 107).
Perusahaan tidak saja berorientasi pada profit (profit-oriented)
atau pemegang saham (stockholders-oriented), tetapi juga berorientasi
pada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders-oriented) atau
orientasi sosial (social-oriented). Orientasi pada stakeholders adalah
menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan kepada manusia,
yaitu laba atau aset bersih perusahaan juga dialokasikan sebagai
zakat (bersifat sosial). Iwan Triyuwono mengistilahkan orientasi zakat
(zakat-oriented) sebagai zakat metaphorised organizational reality,
cccxxvi
perusahaan memberikan pertanggungjawaban horizontal (manusia
dan alam) dan vertikal (kepada Allah swt).386
Di dalam perusahaan diantara individu timbul transaksi,
meminjam, menjual, berhubungan pihak luar, dan menjalin kerja
sama. Segala kewajiban dan ditanggung bersama, termasuk
didalamnya kewajiban kepada Allah dalam bentuk zakat tetapi
diluar zakat perusahaan, tiap individu juga wajib mengeluarkan
zakat sesuai dengan penghasilan dan nishabnya. Para ulama
kontemporer menganalogikan zakat perusahaan ini kepada zakat
perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi
kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading
atau perdagangan.387
Zakat yang dikenakan pada badan usaha seperti perusahaan
selama perusahaan tersebut produktif (menghasilkan barang dan jasa)
disepakati dikenakan zakat dengan alasan dikembangkan dan
menguntungkan, akan tetapi tidak serta merta semuanya dikenakan
zakat seperti BUMN, Perbankan, dan perusahaan milik negara lainnya
tidak dapat dikenakan zakat karena semua warga negara dianggap
386
Wahyuddin Abdullah, “Sudahkah Menunaikan Zakat Perusahaan?’, Fajar, Senin, 22 Agustus 2011, h. 4.
387
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam … op.cit., h. 105.
cccxxvii
sebagai pemiliknya, karena itu pemanfaatan dan keuntungannya untuk
kepentingan seluruh rakyat Indonesia.388
Apabila ditinjau pelaksanaan syariat Islam di bidang
pengelolaan zakat, maka UUPZ masih sangat mandul, karena
undang-undang tersebut hanya mengatur pengelolaan zakat padahal
yang paling penting adalah pembayaran zakat. Pengelolaan zakat
hanya dapat dilakukan jika pembayaran zakat udah menjadi
kesadaran umum umat Islam.389
4. Landasan Sosiologis
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai
landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting
agar perundang-undangan yang dibuat dipatuhi oleh masyarakat, tidak
menjadi kalimat-kalimat mati belaka. Oleh karena itu, peraturan
perundang-undangan yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat,
sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat.
Membuat suatu aturan yang tidak sesuai dengan tata nilai,
keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya, tidak
mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi. Hukum yang dibentuk
388
M. Arfin Hamid, “Hukum Zakat: Pengembangan dan …op.cit., h. 105. 389
Hamka Haq, Syariat Islam: Wacana dan Penerapannya, (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 2003), h. 71
cccxxviii
harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law)390 dalam
masyarakat.
Produk perundang-undangan tidak sekadar merekam keadaan
seketika (moment opname). Masyarakat berubah, nilai-nilai pun
berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat
diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan
yang berorientasi masa depan.
Dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-
ketentuan yang terdapat di dalam suatu peraturan perundang-
undangan sesuai atau sejalan dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat pada umumnya. Landasan ini terkait
dengan daya laku kaidah/normanya setelah disahkan dan
diundangkan. Tingkat penerimaan masyarakat atau subjek hukum
yang dicakup oleh kaidah/norma suatu perundang-undangan sangat
tergantung kepada apakah isi kaidah/norma suatu peraturan
perundang-undangan tersebut sesuai atau tidak dengan keyakinan
umum atau kesadaran hukum yang sedang berlangsung.
390
Teori hukum living law berangkat dari pemikiran hukum Friedrich Carl Von Savigny dengan konsep jiwa bangsa (volksgeist) sebagai sumber hukum. Friedrich Carl Von Savigny menggambarkan teorinya sebagai berikut: “it is in the common consciousness of the people the positive law lives, and hence we have to call it Volkrecht [folk, or people, law]… It is the Volksgeist [folk, or national, spirit] living and working in all the individuals in common, which begets the positive law, so that for the consciousness of each individual there is, not by chance, but necessarily, one and the same law… The form, in which the Law lives in common consciousness of the people, is not that of abstract rule, but the living intuition of the institute of the Law in its organic connection. Lihat Ron Villanova, Legal Methods: A Guide for Paralegals and Law Students, (United States of America: Llumina Press, 1999), h. 5.
cccxxix
Landasan sosiologis sangat penting agar isi kaidah/norma
yang terbentuk di dalam peraturan perundang-undangan dapat
diaplikasikan dengan baik dan dapat dipatuhi dengan sepenuh hati
oleh subjek hukum yang dikenai aturan, dengan kata lain
kaidah/normanya tidak menjadi huruf-huruf mati.
Secara sosiologis keberadaan UUPZ tidak dapat dipisahkan
dengan keberadaan umat Islam di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat
dari diktum konsideran UUPZ tersebut, yaitu:
a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
b. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam
Dalam konsideran UUPZ tersebut secara tegas menyatakan
bahwa setiap penduduk diberi jaminan dalam menjalankan ibadah
sesuai agama yang dianutnya. Oleh karena itu, zakat sebagai bagian
dari ibadah wajib umat Islam yang mampu harus dijamin termasuk
aspek pengelolaannya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Menyangkut harta yang dikenai zakat dalam Pasal 4 ayat (2)
meliputi: emas, perak, dan logam mulia lainnya; uang dan surat
berharga lainnya; perniagaan; pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
peternakan dan perikanan pertambangan; perindustrian; pendapatan
dan jasa; dan rikaz.
cccxxx
Syarat-syarat harta zakat adalah tidak sama antara jenis harta
yang satu dengan jenis harta yang lain mengingat ketentuan-ketentuan
itu cenderung disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat
tempat Rasulullah hidup (Saudi Arabia), maka perlu distandarisasikan
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di daerah-daerah lain, agar
dan dilaksanakan di daerah yang bersangkutan, terutama sekali
ketentuan masalah nisab zakat.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, digunakanlah standar
syariah strategis zakat. Syariah strategis yang dicanangkan oleh Nabi
Muhammad saw. yang berkaitan dengan hal ini, menurut Masdar F.
Mas’udi,391 sebagai berikut:
1) Berkaitan dengan objek zakat (pajak), Nabi menetapkan bahwa,
“Zakat (pajak) dikenakan atas jiwa dan semua jenis harta kekayaan
yang dimiliki oleh masyarakat dimana zakat itu ditetapkan”.
Berdasarkan syariah primer ini sesuai dengan taraf sosial ekonomi
masyarakat Madinah. Muhammad saw. menetapkan syariah
sekunder mengenai jenis-jenis kekayaan yang dikenakan zakat
yang meliputi: 1) Hasil pertanian (zuru’); 2). Hasil kebun (tsamar);
3). Ternak (mawasy); 4). Harta niaga (urudl tijarah); 5). Uang
(naqd); 6). Hasil tambang (ma’din); dan 7). Harta temuan (rikaz).
391
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta: P3M, 1993), h. 116-125.
cccxxxi
Dari ketentuan (syariah) yang sekunder ini ditetapkan pula aturan
tersier berupa rincian masing-masing kategori tadi.
2) Menyangkut besar kecilnya tarif atau kadar zakat secara absolut
yang harus dibayar oleh masyarakat, Nabi menetapkan bahwa hal
itu ditentukan oleh berat ringannya tantangan keadilan dan
kesejahteraan yang dihadapi. Sesuai dengan prinsip syariah yang
primer atau strategis ini, Nabi menetapkan tarif zakat antara 2,5%
dan 10%. Ada satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi,
20%, karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun (rikaz).
Artinya apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan
ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam
kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan
Nabi tersebut tidak ada halangan untuk diperbesar, kalau perlu
sistem perzakatan progresif pun diterapkan.
3) Menyangkut kadar relatif dari tarif zakat, Nabi Muhammad saw.
menentukan bahwa hal itu harus dilihat pada sektor ekonomi mana
yang telah mencuatkan kesenjangan sosial pada masyarakat yang
bersangkutan. Atas dasar prinsip ini, sesuai dengan taraf
masyarakatnya, Nabi telah menetapkan atas hasil pertanian tarif
zakat yang lebih tinggi dari yang dikenakan atas kekayaan niaga.
Atas hasil pertanian ditetapkan zakat (pajak) 5% - 10%, sementara
atas niaga hanya 2,5%. Seperti diketahui, penduduk Madinah
cccxxxii
adalah masayarakat yang secara ekonomi lebih banyak bertumpu
pada oalah pertanian. Jika ada usaha perdagangan, itu hanya
melibatkan sekelompok kecil saja dan belum berkembang. Ini
berbeda dengan yang terjadi di Makkah, dimana arus utama
perekonomian justru pada perdagangan, bahkan tidak jarang yang
sangat kapitalistik.
4) Menyangkut waktu pembayaran zakat, Rasulullah menetapkan
sebagian zakat (pajak) harus dibayar secara periodik tapi juga ada
yang dibayar tergantung kapan kekayaan yang terkena zakat itu
tiba di tangan.
Prinsip sosiologis yang melekat pada hukum-hukum yang
termuat dalam al-Quran dan as-sunnah sudah semestinya dipahami
dan diselami secara mendalam, sehingga ketika dilakukan penerapan
dalam tataran aplikatif tidak akan kehilangan ruh sosiologis yang
mendasarinya. Oleh karena itu, asbab an-nuzul dan asbab al wurud
memegang peranan penting dalam mengungkapkan realitas dan
kondisi sosial ketika aturan itu disyariatkan.
cccxxxiii
I. Pelaksanaan Pengelolaan Zakat yang Dapat Mewujudkan Jaminan Keadilan Sosial di Indonesia
1. Kepatuhan Hukum Masyarakat
Zakat merupakan ibadah yang mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi vertikal-transendental dan dimensi sosial-transendental. Zakat
berdimensi vertikal-transendental karena zakat merupakan salah satu
rukun Iman, sehingga orang Islam yang diberi kelonggaran rizki oleh
Allah swt. kemudian mengeluarkan sebagaian hartanya untuk
dibagikan kepada orang yang membutuhkan, maka orang tersebut
telah menjalankan rukun iman atau telah menunaikan prestasi
keimanannya.
Sedangkan zakat dikatakan berdimensi sosial-horinsontal
karena orang yang mengeluarkan zakat berarti telah membantu orang-
orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dalam interaksi sosialnya.
Oleh karena itu, bagi orang Islam yang mampu akan tetapi tidak mau
mengerluarkan sebagian hartanya untuk berzakat, maka ulama telah
sepakat bahwa orang tersebut kafir.
Dalam pengelolaan zakat yang sangat dibutuhkan adalah
kepatuhan masyarakat yang kaya untuk menunaikan zakatnya. Untuk
mengetahui pendapat responden mengenai kepatuhan hukum
masyarakat dalam membayar zakat dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
cccxxxiv
Tabel 2 Kepatuhan Hukum Masyarakat Dalam Membayar Zakat
Pada Lembaga Pengelola Zakat
No.
Kategori
R e s p o n d e n Jumlah
Jakarta Makassar
F % F % F %
1. Patuh Hukum 51 29,14 32 25,50
83 27,66
2. Kurang Patuh
Hukum 96 54,85 57 45,60
153
51,00
3. Tidak
Patuh Hukum 28 16,00 36 28,80
64
21,33
Jumlah 175 100 125 100
300
100
Skor Penilaian : Patuh = 11-15 Kurang Patuh =6-10 Tidak Patuh =1-5
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011.
Data empirik pada tabel di atas menggambarkan bahwa
tingkat kepatuhan hukum masyarakat di Jakarta dalam membayar
zakat pada lembaga pengelola zakat sebanyak 51 responden atau
29,14 persen, sedangkan yang kurang patuh membayarkan zakatnya
pada lembaga pengelola zakat sebanyak 96 responden atau sebesar
54,86 persen dan sebanyak 28 responden atau 16,00 persen yang
tidak patuh hukum membayarkan zakatnya pada lembaga pengelola
zakat. Sementara untuk masyarakat Kota Makassar, responden yang
patuh hukum membayar zakat pada lembaga pengelola zakat
cccxxxv
sebanyak 32 responden atau 25,50 persen, sedangkan yang kurang
patuh membayar zakat pada lembaga pengelola zakat sebanyak 57
responden atau sebesar 45,60 persen dan sebanyak 36 responden
atau 28,80 persen yang tidak patuh hukum membayarkan zakatnya
pada lembaga pengelola zakat.
Apabila dilihat pada Tabel 2, menggambarkan bahwa tingkat
kepatuhan masyarakat Jakarta masih lebih baik dibandingkan dengan
tingkat kepatuhan masyarakat Kota Makassar dalam membayar
zakatnya pada lembaga pengelola zakat. Secara keseluruhan
menunjukkan bahwa pada umumnya responden di dua kota tersebut
belum patuh hukum membayar zakat pada lembaga pengelola zakat,
hal ini dapat dilihat dengan jawaban responden sebanyak 153
responden atau sebesar 51,00 kurang patuh hukum membayar zakat
pada lembaga pengelola zakat, sedangkan yang patuh hukum
sebanyak 83 responden atau sebesar 27,66 persen dan tidak patuh
hukum sebanyak 64 responden atau sebesar 21,33 persen.
Ada beberapa alasan yang diberikan responden seperti masih
belum percaya pada pengelolaan zakat yang sudah ada, walaupun
sudah mengetahui dengan baik kewajibannya dan sudah memiliki
akses Informasi lebih banyak terhadap zakat. Di samping itu, adapula
responden yang menyatakan bahwa masyarakat lebih suka
menyalurkan zakatnya secara langsung karena lebih afdhal dan
cccxxxvi
mustahik langsung menerima supaya ada ikatan emosional antara
muzakki dengan mustahik.
Pendapat responden tersebut didukung hasil penelitian PIRAC
pada tahun 2004, menyatakan kepercayaan muzakki dalam berzakat
berturut-turut adalah menitipkannya di masjid sekitar rumah (64%);
lansung memberikan kepada penerima (20,5%); menyalurkan lewat
Badan Amil Zakat (9%); menyalurkan lewat sarana lain (3%); melalui
LAZ dan BMT (1,5%); dan melalui yayasan amal (2%).392
Data tersebut diperkuat pula oleh pernyataan salah seorang
pengurus BAZ Kota Makassar, H. Katcong Tahir, bahwa masih sangat
banyak masyarakat yang berkewajiban membayar zakat, tidak
membayarnya. Kalau pun ada yang membayar zakat, itu pun secara
umum bukan kepada lembaga amil zakat, melainkan diberikan secara
langsung.393
Ada beberapa alasan responden langsung memberikan
zakatnya kepada masyarakat miskin dengan tidak melalui amil zakat,
yaitu ketidakpercayaan wajib zakat kepada lembaga pengelola zakat,
karena ada kemungkinan zakat tidak tepat sasaran atau dana zakat
disalah gunakan dan kalaupun membayarkan zakat lebih
392Setiawan Budi Utomo, Metode Praktis Penetapan Nisab Zakat: Model Dinamis
Berdasarkan Standar Nilai Emas dan Kebutuhan Hidup Layak (KHY) Provinsi, (Bandung: PT. Mizan Pustaka Utama, 2009), h. 27-28.
393
H. Katjong Tahir, Pengurus BAZ Kota Makassar, Wawancara, pada 3 Mei 2011.
cccxxxvii
mempercayai kepada lembaga pengelola zakat swasta (LAZ) dari
pada lembaga pengelola zakat yang dibentuk pemerintah (BAZ).
Hasil penelitian Asep Saepudin Jahar, menyimpulkan bahwa
dibandingkan dengan BAZ, LAZ sebagai lembaga pengelola zakat
yang dibentuk oleh masyarakat lebih profesional dan lebih mandiri
dalam mengelola zakat. Keprofesionalan dan kemandirian LAZ juga
mempengaruhi pendistribusian zakat kepada masyarakat muslim.394
Sesuai dengan data tersebut dapat dipahami, adanya
masyarakat wajib zakat yang tidak mengeluarkan zakatnya atau
mengeluarkan zakat tetapi tidak melalui lembaga pengelola zakat
menunjukkan adanya paradigma yang keliru tentang zakat baik dari
sisi pemahaman masyarakat tentang zakat itu sendiri maupun
terhadap pengelola zakat.
Prinsip dasar bagi pembayaran zakat, di samping kesadaran
umat Islam, juga ketentuan pemungutan atas inisiatif pemerintah
selaku amil zakat. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-Taubah (9) ayat
103:
394
Asep Saepudin Jahar, The Clash of Muslim and the State: Waqf and Zakat in Post Independence Indonesia, dalam Studi Islamika: Indonesian Journal For Islamic Studies, Vol. 13 No. 3, 2006, p. 372.
cccxxxviii
Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Dalam ayat tersebut, Allah memberi instruksi kepada setiap
amil zakat, baik institusi pemerintah maupun maupun masyarakat yang
diakui pemerintah untuk proaktif melakukan pemungutan zakat.
Adanya data mengenai rendahnya pemahaman masyarakat tentang
zakat merupakan modal penting untuk melakukan sebuah gerakan
massif untuk memberikan edukasi tentang zakat secara integral.
Kerjasama intensif perlu diupayakan antara masjid dan lembaga
pengelola zakat guna memberdayakan zakat sebagai salah satu pilar
utama Islam.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan zakat
yang merupakan rukun Islam ketiga, tak seperti shalat ataupun puasa
yang relatif umum di masyarakat, namun pemahaman masyarakat
dalam memahami zakat masih sedikit dibawah shalat dan puasa. Dari
pemahaman yang terkesan seadanya itu timbullah beberapa persepsi
yang salah yang tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri menjadi
zakat terkesan sebagai ibadah yang tidak penting.
cccxxxix
Ada tiga persoalan yang berhubungan dengan persepsi
masyarakat umat Islam di sekitar pengertian zakat selama ini yang
merupakan persepsi yang keliru dan harus diluruskan.
1. Pertama, zakat sebagai ketentuan terpisah dari ketentuan shalat.
Persepsi salah bagi kebanyakan umat Islam yang keliru
bahwa zakat merupakan ketentuan terpisah dengan shalat perlu
diluruskan. Pelurusan persepsi ini sangat penting karena suatu
persepsi sangat menentukan tingkah laku perbuatan terhadap
sesuatu yang dipersepsinya, demikian juga persepsi umat Islam
tentang zakat.
Sementara ini persepsi umat Islam tentang zakat
merupakan kewajiban terpisah dengan shalat, sehingga umat
Islam pada umumnya hanya mementingkan shalat saja,
sementara dengan zakat hampir tidak diperdulikan oleh umat
Islam. Berbeda apabila umat Islam bisa diubah persepsinya
tentang zakat sebagai kewajiban satu paket dengan shalat, maka
perilaku umat Islam akan mementingkan zakat sebagaimana
mementingkan terhadap shalat. Jadi sangat penting meluruskan
persepsi ini.
2. Nisab zakat sebagai ketentuan maksimal bukan minimal
cccxl
Persepsi masyarakat tentang nisab zakat sebagai
ketentuan maksimal seperti selama ini perlu dirumuskan kembali.
Masyarakat dapat mengubah persepsinya bahwa nisab zakat yang
tertera dalam dalil-dalil Alqur’an dan hadis merupakan ketentuan
minimal, sehingga dengan demikian masyarakat umat Islam bisa
memiliki kesadaran memberikan zakatnya dengan berlomba-lomba
memberikan sebanyak mungkin, karena menurut ajaran Islam
berlomba-lomba dalam kebaikan adalah sangat dianjurkan (Q.S.
al-Baqarah [2] ayat 148).
Apabila umat Islam bisa mengubah persepsinya bahwa
nisab zakat yang ditentukan oleh ajaran Islam itu sebagai
ketentuan minimal bukan ketentuan maksimal, maka akan banyak
dana zakat yang bisa terkumpul. Di sisi lain secara psikologi sosial
dapat difahami bahwa persepsi itu merupakan proses selektif dari
interpretasi yang kemudian akan mewujud perbuatan, di samping
dapat dipahami bahwa persepsi nisab sebagai ketentuan minimal
maka ada proses edukatif yang sangat luar biasa bagi umat Islam
untuk memotivasi diri mau berzakat sebanyak-banyaknya,
ketimbang ketika nisab itu dipersepsi sebagai ketentuan maksimal.
3. Zakat hanya dimaknai sebagai ibadah saja.
Zakat selama ini hanya dimaknai oleh umat Islam pada
umumnya sebagai ibadah semata, dengan demikian nilai zakat
cccxli
penetrasinya yang terpenting adalah bagi si pemberi zakat saja
yaitu terhindar dari dosa karena telah melaksanakan kewajiban
ibadah yang hukumnya wajib dan mendapatkan pahala yang akan
mengantarkan kehidupan dirinya selamat pada kehidupan di
akhirat nantinya. Persepsi seperti itu tentu tidak banyak membawa
kebaikan terutama bagi upaya pengentasan kemiskinan dan
persaudaraan umat Islam yang sangat penting dan pokok
merupakan hikmah diwajibkannya zakat dalam ajaran Islam.
Edukasi keagamaan mutlak diperlukan guna memberikan
kesadaran berzakat. Edukasi tersebut harus dilakukan secara massif
dan sistematis. Edukasi sosialisasi zakat terutama zakat maal di
ditempuh dengan cara membedakan antara zakat fitrah dan maal. Tak
kalah penting, upaya tersebut mesti dilakukan melalui masjid-masjid
yang merupakan ujung tombak aktivitas umat Islam.
2. Peran Pemerintah
Zakat merupakan salah satu rukun Islam merupakan
instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanya untuk
mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata
tetapi juga merupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada
Allah swt. atas rezeki yang telah diberikan-Nya. Oleh karena itu peran
cccxlii
pemerintah dalam pengelolaan zakat tidak dapat dinafikan agar tujuan
zakat dapat tercapai yang mensejahterakan masyarakat.
Di Indonesia, kelembagaan pengelolaan zakat di bawah
wewenang Kementerian Agama dengan nama Direktorat
Pemberdayaan Zakat di bawah naungan Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam. Hal ini berbeda dengan masalah haji
yang memiliki struktur Direktorat Jenderal (Ditjen) tersendiri yaitu
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Oleh karena itu,
salah satu cara maksimalkan potensi zakat adalah pemerintah
membentuk Direktorat Jenderal Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS) pada
Kementerian Agama yang memiliki tugas dan fungsi untuk
menghimpun, mengelola dan menyalurkan ZIS sesuai dengan
ketentuan syariah yang ada, sehingga zakat dapat dikelola satu pintu,
profesional, tepat sasaran, terdistribusi merata dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan peran pemerintah sebagai dalam pengelolaan
zakat. Menurut M. Shiddiq al-Jawi, peran pemerintah dalam
pengelolaan zakat ada dua, yaitu: (1) pemerintah berperan sebagai
pelaksana tunggal dalam pengelolaan zakat, baik dalam pemungutan
maupun pembagian zakat; (2) Pemerintah berperan sebagai pemberi
cccxliii
sanksi (uqubat) terhadap orang kaya tidak mau melaksanakan
zakat395.
Dalam tulisan ini, peran pemerintah dalam pengelolaan zakat
dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu: peran pemerintah sebagai
pengatur (regulator), peran pemerintah sebagai pengelola (operator),
peran pemerintah pengawas (supervisor), dan peran pemerintah
sebagai eksekutor. Keempat peran tersebut diuraikan selanjutnya:
a. Pemerintah sebagai pengatur (regulator) zakat
Peran pemerintah sebagai regulator tidak dapat dinafikan
karena pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk
memaksakan wajib zakat dalam membayar zakat. Pemerintah
berperan membuat sistem perundang-undangan zakat yang dapat
menjamin agar seluruh fungsi administratif negara dapat
meningkatkan kesejahteraan umum maupun perseorangan melalui
peran zakat.
Pemerintah sebagai regulator zakat, membuat
serangkaian aturan main supaya terdapat otoritas legal yang
berhak menarik zakat, menyalurkan zakat, membuat skema
395
M. Shiddiq al-Jawi, “Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat”, http:// punyahari.blogspot.com/2009/11/peran-pemerintah-dalam-pengelolaan.html diakses 20 Pebruari 2011.
cccxliv
maksimalisasi penggunaan zakat, dan pemantauan maksimalisasi
dana hasil zakat.396
Masuknya negara dalam pengelolaan zakat, terdapat
empat regulasi formal umum yang bisa diintrodusir oleh negara.
Regulasi tersebut lebih tepat dalam bentuk undang-undang,
karena: Pertama, pihak-pihak yang mengelola zakat. Tidak jarang
urusan pengelolaan zakat memunculkan konflik horizontal sesama
umat Islam, karena wilayah penarikan zakat yang selama ini
menjadi domainnya diambil oleh sesama pengelola zakat. Oleh
karena itu, diperlukan otoritas legal yang mengkoordinir secara
nasional pengelolaan zakat.397
Kedua, tata niaga zakat. Regulasi ini bertujuan untuk
memastikan bahwa mekanisme penarikan, distribusi, dan
penyampaian zakat dapat dilakukan tepat sasaran. Ketiga, skema
penggunaan. Regulasi ini intinya mengatur bahwa zakat tidak
boleh disalurkan secara langsung kepada masyarakat miskin. Oleh
karena itu, zakat tersebut harus dikekola secara efektif, sehingga
396
Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto, “Zakat, Keadilan dan Keseimbangan Sosial” dalam Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008, h. 13.
397
Ibid., h. 13.
cccxlv
dapat menjadi modal kerja produktif yang dapat difungsikan untuk
menghasilkan pendapatan rutin masyarakat miskin.398
Keempat, pendampingan. Masyarakat miskin dengan
karakteristik keterampilan yang rendah dan tingkat pengetahuan
yang tidak tinggi pula menyebabkan pengelolaan zakat yang
diberikan tersebut jelas tidak maksimal. Oleh karena itu, menjadi
aktivitas sia-sia ketika seperangkat aturan main zakat yang telah
diformulasikan tetapi maksimalisasi atas penggunaan zakat itu
tidak ada.399
Menurut Hamka yang dikutip Muhammad Fuad Nazar,
zakat bukanlah urusan kemerdekaan seseorang dengan harta
bendanya, melainkan hak bagi negara Islam mengambil harta itu
dan menyerahkan kepada yang berhak menerimanya. Peraturan
zakat yang diurus oleh negara menjadi jalan tengah di dalam
pertentangan orang yang bermodal dengan kaum miskin. Jadi,
zakat itu usaha meminimalisir pertentangan kelas.400
Sebelum lahirnya UUPZ yang baru, peraturan
perundangan-undangan mengenai zakat diatur dalam Undang-
398
Ibid., h. 14. 399
Ibid., h. 14. 400
Muhammad Fuad Nasar, “Spirit Ideologis Zakat”, http://lazisgarudaindonesia .or.id/?p=920 diakses pada 23 Pebruari 2011.
cccxlvi
Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan
petunjuk operasionalnya dituangkan dalam Keputusan Menteri
Keputusan menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, kemudian diganti dengan Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Di bawah rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, pengelolaan zakat secara nasional
belum memadai. Ribuan OPZ, baik bentukan pemerintah (Badan
Amil Zakat/BAZ) maupun masyarakat (Lembaga Amil Za-kat/LAZ),
muncul tanpa mendapat regulasi dan pengawasan yang memadai.
Hal ini secara jelas rawan memunculkan penyimpangan dana
zakat dari masyarakat oleh pengelola yang tidak amanah.
Kasus di Jeneponto dapat menjadi perhatian bahwa
regulasi dan pengawasan yang tidak optimal, Kepala Inspektorat
Kabupaten Jeneponto, Mangga T Kulle, diperiksa Kejari Jeneponto
terkait dengan adanya dugaan penyelewengan dana Badan Amil
Zakat (BAZ). Pengelolaan dana BAZ Jeneponto diduga terjadi
penyimpangan. Terbukti rapat pengurus baru dilakukan sekali
dalam kurun waktu 10 tahun. Padahal seharusnya laporan
cccxlvii
pertanggungjawaban keuangan dilakukan oleh pengurus secara
rutin. Dana BAZ dihimpun dari infaq PNS, haji dan zakat mal.401
Pemerintah berperan membuat sistem perundang-
undangan zakat yang dapat menjamin agar seluruh fungsi
administratif negara dapat meningkatkan kesejahteraan umum
maupun perseorangan melalui peran zakat.
Untuk mengetahui peran pemerintah sebagai regulator
zakat dapat diketahui pendapat responden pada tabel di bawah ini:
Tabel 3
Peran Pemerintah Sebagai Pengatur Zakat
No. Kategori
R e s p o n d e n
Jumlah
Jakarta Makassar
F % F % F %
1. Berperan 63 36,00 39 31,20 102 34,00
2. Kurang Berperan 101 57,71 67 53,60 168 56,00
3. Tidak Berperan 11 6,28 19 15,20 30 10,00
Jumlah 175 100 125 100
300
100
Skor Penilaian : Berperan= 11-15 Kurang Berperan =6-10 Tidak Berperan = 1-5
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011.
401
“Mantan Kepala Inspektorat Mankir”, http://www.ujungpandangekspres. com/view.php?id=65818, diakses pada 20 Mei 2011.
cccxlviii
Berdasarkan data pada Tabel 3 menggambarkan bahwa
responden di Jakarta memberikan penilaian bahwa pemerintah
telah berperan sebagai pengatur zakat, hal itu diungkapkan
sebanyak 63 responden atau sebesar 36,00 persen, untuk kategori
pemerintah kurang berperan sebagai pengatur zakat sebanyak
101 responden atau sebesar 57,71 persen. Sedangkan kategori
penilaian pemerintah tidak berperan sebagai pengatur zakat
sebanyak 11 responden atau sebesar 6,28 persen.
Apabila dibandingkan dengan responden yang berdomisili
di Makassar, sebanyak 39 responden atau sebesar 31,20 persen
yang memberikan penilaian bahwa pemerintah telah berperan
sebagai pengatur zakat. Untuk kategori pemerintah kurang
berperan sebagai pengatur zakat sebanyak 67 responden atau
sebesar 53,60 persen. Sedangkan kategori penilaian pemerintah
tidak berperan sebagai pengatur zakat sebanyak 19 responden
atau sebesar 15,20 persen.
Secara keseluruhan dari dua kota penelitian, sebanyak
102 responden atau sebesar 34,00 yang memberikan penilaian
bahwa pemerintah telah berperan sebagai pengatur zakat.
Selanjutnya, sebanyak 168 responden atau sebesar 56,00
memberikan penilaian bahwa pemerintah kurang berperan sebagai
pengatur zakat dan sebanyak 30 responden atau sebesar 10,00
cccxlix
persen memberikan penilaian bahwa pemerintah tidak berperan
sebagai pengatur zakat.
Dari data tersebut disimpulkan bahwa pemerintah sebagai
regulator belum berperan dengan baik. Pendapat responden
tersebut mengindikasikan lemahnya pemerintah sebagai regulator
zakat, baik menyusun peraturan perundang-undangan juga dalam
mengatur lembaga-lembaga pengelola zakat.
Menurut salah seorang responden, Muhammad Fuad
Nasar, salah satu kelemahan mendasar yang belum diatur dalam
tata perundang-undangan zakat di Indonesia adalah menyangkut
pengaturan tentang posisi regulator. Meskipun pemerintah selama
ini telah memposisikan dirinya sebagai regulator, akan tetapi
pelaksanaan fungsi regulator ini belum berjalan dengan efektif.
Pemerintah semestinya lebih aktif lagi membuat pengaturan-
pengaturan sehingga mampu menciptakan harmoni dan
optimalisasi pengelolaan zakat di Indonesia.402
Sedangkan menurut Djoko Sunggoro, UUPZ dan
Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang zakat dinilai belum
mampu mengoptimalkan pengelolaan zakat. Oleh karena itu,
diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) yang secara khusus
402
Muhammad Fuad Nasar, Wakil Sekretaris Umum BAZNAS, Wawancara, pada 26 April 2011.
cccl
mengatur tata kelola zakat. Peraturan Pemerintah berfungsi
sebagai pedoman pelaksanaan secara teknis dari UUPZ.403
Untuk menjadikan zakat sebagai sarana mewujudkan
keadilan sosial, tentu pengelolaan zakat harus efektif, oleh karena
itu, peran pemerintah sebagai regulator sangat berpengaruh.
Pemerintah dapat secara elegan mengambil peran sebagai
regulator yang secara kuat-legitimate mengawal dunia zakat
melalui regulasi-regulasi yang mampu menunjang pengembangan
zakat di Indonesia.
Pemerintah sebagai regulator, juga berhak melakukan
peninjauan ulang (pencabutan izin) apabila ada lembaga zakat
yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan
dana zakat yang dikumpulkan masyarakat.
Tidak efektifnya peran pemerintah sebagai regulator
ditandai dengan munculnya lembaga pengelola zakat yang
pendiriannya tidak melalui prosedur. Padahal regulasi tentang
pendirian LAZ yang diatur dalam Pasal 22 huruf (b) Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat.
403
Djoko Sunggoro, Kepala Pusat Informasi Dompet Dhuafa, Wawancara, pada 28 April 2011.
cccli
Persyaratan-persyaratan untuk pengukuhan LAZ oleh
pemerintah meliputi: berbadan hukum; memiliki data muzakki dan
mustahik; telah beroperasi minimal selama 2 tahun; memiliki
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2
tahun terakhir memiliki wilayah operasi secara nasional minimal 10
provinsi; mendapat rekomendasi dari Forum Zakat (FOZ); telah
mampu mengumpulkan dana Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah) dalam satu tahun; melampirkan surat pernyataan bersedia
disurvei oleh Tim yang dibentuk oleh Departemen Agama dan
diaudit oleh akuntan publik; dalam melaksanakan kegiatan
bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) dan Departemen Agama.
b. Pemerintah sebagai pengelola (operator) zakat
Dalil-dalil Alqur’an dan al-Sunnah menunjukkan bahwa
pihak yang mengelola zakat adalah pemerintah, yakni seorang
Imam (khalifah) atau orang-orang yang mewakilinya.404 Dalil-dalil
Alqur’an yang dimaksud adalah Firman Allah swt. dalam Q.S. at-
Taubah (9) ayat 60 dan Q.S. at-Taubah (9) ayat 103.
Firman Allah dalam Q.S. at-Taubah (9) ayat 60 sebagai
berikut:
404
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, (New Delhi: Goodwork Books, 2002), h. 68.
ccclii
Terjemahnya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Firman Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah (9) ayat 103
sebagai berikut:
Terjemahnya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
cccliii
Dalam hubungannya dengan dua ayat tersebut, Imam al-
Kasani menyatakan bahwa seorang imam (khalifah) mempunyai
hak untuk untuk menuntut dan memungut zakat. Kalau tidak
demikian, maka apa artinya disebutkan “‘amilin” dalam Q.S at-
Taubah (9) ayat 60.405
Firman Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah (9) ayat 103,
menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari wajib zakat
(muzakki) untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima
zakat (mustahik). Petugas zakat (amil) bertugas mengambil dan
zakat. Kewenangan untuk melakukan pengambilan zakat dengan
kekuatan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.
Imam (khalifah) adalah orang yang melaksanakan
pemungutan dan pembagian zakat, baik dengan langsung
maupun melalui wakilnya. Barangsiapa yang membangkang,
maka zakat diambil dengan paksa.406
Menurut Nasaruddin Umar, amil itu adalah orang-orang
yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil,
menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambil dari
para muzaki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak
405
Sjechul Hadi Permono, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995), h. 8.
406
Ibid., h. 7
cccliv
menerimanya dan tidak ada satu pun dalil dalam Alqur’an maupun
Hadis Nabi yang membolehkan masyarakat mengelola zakat.
Apabila masyarakat berebut mengelola zakat, bisa jadi terjadi
kekacauan. Padahal zakat itu milik fakir miskin.407
Pada hakikatnya zakat membawa kekuatan imperatif
(kewajiban), oleh karena itu pemungutannya dapat dipaksakan
berdasarkan Q.S. at-Taubah (9) ayat 60 dan 103. Negara yang
mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaaan seperti halnya
pajak, karena negara mempunyai kekuatan dengan perangkat
pemerintahannya dan didukung regulasi yang mengikat sehingga
dana zakat akan mudah terkumpulkan, kemudian dapat menjadi
bagian pendapatan negara seperti halnya pajak.
Terkait tanggapan responden mengenai peran pemerintah
sebagai operator zakat, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
407
Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Wawancara, pada 25 April 2011.
ccclv
Tabel 4 Peran Pemerintah Sebagai Pengelola Zakat
No. Kategori
R e s p o n d e n
Jumlah Jakarta Makassar
F % F % F %
1. Berperan 109 62,28 97 77,60 206 68,66
2. Kurang Berperan 66 37,71 26 20,80 92 30,66
3. Tidak Berperan - - 2 1,60 2 0,66
Jumlah 175 100 125 100
300
100
Skor Penilaian : Berperan= 11-15 Kurang Berperan =6-10 Tidak Berperan = 1-5
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011.
Data pada Tabel 4 menggambarkan bahwa responden di
Jakarta memberikan penilaian bahwa pemerintah telah berperan
sebagai pengelola zakat, hal itu diungkapkan sebanyak 109
responden atau sebesar 62,28 persen, untuk kategori pemerintah
kurang berperan sebagai pengelola zakat sebanyak 66 responden
atau sebesar 37,71 persen dan tidak ada responden yang
memberikan penilaian pemerintah tidak berperan sebagai
pengelola zakat.
ccclvi
Apabila dibandingkan dengan responden yang berdomisili
di Makassar, sebanyak 97 responden atau sebesar 77,60 persen
yang memberikan penilaian bahwa pemerintah telah berperan
sebagai pengelola zakat. Untuk kategori pemerintah kurang
berperan sebagai pengelola zakat sebanyak 26 responden atau
sebesar 20,80 persen. Sedangkan kategori penilaian pemerintah
tidak berperan sebagai pengatur zakat sebanyak 2 responden atau
sebesar 1,60 persen.
Secara keseluruhan dari dua kota penelitian, sebanyak
206 responden atau sebesar 68,66 yang memberikan penilaian
bahwa pemerintah telah berperan sebagai pengatur zakat.
Selanjutnya, sebanyak 92 responden atau sebesar 30,66
memberikan penilaian bahwa pemerintah kurang berperan sebagai
pengatur zakat dan sebanyak 2 responden atau sebesar 0,66
persen memberikan penilaian bahwa pemerintah tidak berperan
sebagai pengatur zakat.
Berdasarkan data tersebut, maka disimpulkan bahwa
peran pemerintah sebagai pengelola masih perlu ditingkatkan.
Apabila dikonfirmasi kepada responden mengenai kurang
berperannya pemerintah sebagai pengelola zakat karena UUPZ
memberikan juga kewenangan kepada masyarakat (LAZ) untuk
mengelola zakat, sehingga pemerintah bukan pengelola tunggal
ccclvii
zakat dan penerapan sistem Islam di masyarakat yang tidak
menyeluruh (kaffah).
Terkait pemerintah sebagai operator zakat, sepenuhnya
tidak disetujui oleh lembaga pengelola zakat seperti lembaga
pengelola zakat yang tergabung dalam Forum Zakat (FOZ),
menurut Djoko Sunggoro bahwa pemerintah semestinya bertindak
sebagai pengatur dan pengawas saja dan tidak menjadi operator
zakat, karena status pemerintah hendaknya sebagai wasit saja
bukan menjadi pemain.408
Sedangkan, menurut Nasaruddin Umar, pemerintah
berniat mendorong penyatuan pengelolaan zakat agar segi
penghimpunan dan penyalurannya berjalan terpadu. Pengelolaan
secara terpadu akan meningkatkan zakat secara komprehensif.
Banyaknya lembaga zakat yang ada di Indonesia saat ini ternyata
masih belum berjalan secara optimal. Bahkan banyaknya
Lembaga Amil Zakat (LAZ) mulai dari tingkat nasional hingga
kecamatan justru menimbulkan permasalahan tersendiri.409
Ada beberapa keuntungan yang diperoleh apabila
pengelolaan zakat diserahkan kepada negara, yaitu: (1) para wajib
408Djoko Sunggoro, Kepala Pusat Informasi Dompet Dhuafa, Wawancara, pada 28
April 2011. 409
Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Wawancara, pada 25 April 2011.
ccclviii
zakat lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya dan fakir
miskin lebih terjamin haknya; (2) Perasaan fakir miskin lebih dapat
dijaga, tidak seperti orang yang meminta-minta; (3) Pembagian
zakat menjadi lebih tertib; (4) Zakat yang diperuntukkan bagi
kepentingan umum dapat disalurkan dengan baik karena
pemerintah lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya.410
Pengelolaan zakat oleh negara, dapat membangun
jaringan kerja (net working) lebih terarah, semakin mudah
berkoordinasi, komunikasi dan informasi dengan unit pengumpul
zakat (LAZ), sehingga pengentasan kemiskinan semakin terarah,
tepat guna dan tidak overlapping dalam penyaluran dana zakat,
kepastian dan mendisipilinkan muzakki membayar zakat ke
lembaga pengelola zakat semakin terjamin, sekaligus terbangun
konsistensi lembaga pengelola zakat agar terjaga terus menerus
karena sudah ada sistem yang mengatur.
Pentingnya pengelolaan zakat diambil alih oleh negara
dapat dilihat dari aspek efektivitas penghimpunan dan
pendayagunaan. Zakat dipandang sebagai instrumen sosio-
ekonomi dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,
jadi membutuhkan kekuasaan dan kewenangan yang besar untuk
410
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), h. 52.
ccclix
dapat mengumpulkan dan menyalurkannya secara merata kepada
yang berhak. Aktor yang memiliki kekuasaan yang cukup kuat dan
dibekali alat penegak hukum tentu hanyalah pemerintah dan
pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan dan
pemenuhan hak dasar masyarakatnya. Zakat adalah salah satu
instrumen kapital yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
mewujudkan hal tersebut.
Apabila dilihat frase dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan
sosial. Oleh karena itu, pemerintahlah yang bertanggung jawab
terhadap pemajuan kesejahteraan umum masyarakat, hal itu
berimplikasi bahwa zakat harus dikelola oleh negara dalam
mewujudkan kesejahteraan umum yang berdasar keadilan sosial.
Apabila dikaitkan dengan Firman Allah swt. dalam Q.S. al-
Taubah (9) ayat 103, bahwa lafadzh yang berarti
ambillah, menandakan adanya kekuasaan yang dimiliki untuk
mengambil zakat. Pengambilan zakat dapat dilakukan secara
paksa, seperti pemerintah membuat peraturan perundang-
undangan yang tegas agar muzakki mengeluarkan zakatnya
ccclx
secara sukarela atau terpaksa, karena salah sifat dasar dari
hukum adalah imperatif atau memaksa.
Terkait dengan peran negara dalam pengelolaan zakat,
Muhammad Hashim Kamali menyatakan bahwa:
Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur’an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pillar or the faith, zakat is prescribed in the Qur`an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose411.
Jadi, menurut Muhammad Hashim Kamali bahwa Islam
mengusulkan sebuah negara kesejahteraan seperti yang terlihat
dari penekanan secara keseluruhan di dalam Alqur’an dan
Sunnah untuk membantu yang tak berdaya, yang membutuhkan
dan miskin. Sebagai pilar atau iman, zakat ditentukan dalam
Alqur’an dengan tujuan spesifik untuk memastikan bantuan sosial
yang diperlukan. Kepuasan dari persyaratan mendasar dari bagi
yang membutuhkan. Muslim atau lainnya yang merupakan salah
satu tujuan utama untuk pendapatan negara, baik dari pajak, zakat
411
Heru Susetyo, “Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga”, http://imz.or.id/new/publication/45/ diakses 26 Maret 2011.
ccclxi
atau amal-amal lainnya, harus diperluas. Nabi sendiri sebagai
kepala negara jelas menunjukkan bahwa negara berkomitmen
untuk tujuan ini.
Zakat berhubungan dengan prinsip keadilan dan keadilan
bersifat primer. Itulah sebabnya zakat merupakan rukun Islam
yang bisa menggunakan kekuasaan negara untuk mengambilnya,
tidak seperti shalat, puasa dan haji yang tidak dapat dipaksa oleh
negara (polisi, atau aparat pemerintah).
c. Pemerintah sebagai pengawas (supervisor) zakat
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus
dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya
harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara
asal-asalan.412 Oleh karena itu, pengawasan merupakan hal
penting dalam sebuah organisasi. Dalam Islam pengawasan
merupakan proses amar ma’ruf nahi mungkar yang bertujuan
untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi dalam rangka
mengembalikan atau meluruskan berbagai penyimpangan yang
terjadi atau memberikan masukan secara integral mengapa
perjalanan sebuah organisasi tersendat-sendat.
412
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah… op.cit. h. 1.
ccclxii
Pengawasan dalam Islam memiliki sifat ganda,
pengawasan bersifat material dan spiritual. Pengawasan tidak
hanya dilakukan oleh pimpinan tetapi juga Allah swt. melakukan
pengawasan. Adanya karakteristik tersebut dapat dipahami bahwa
pelaksana berbagai perencanaan yang telah disepakati akan
bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah swt. sebagai
pengawas yang Maha Mengetahui. Pengawasan dalam Islam
lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi,
pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman.
Dalam konteks zakat, pemerintah atau ulill amri sebagai
khalifah, menempati peran penting dalam memultifungsikan dan
mengoptimalisasikan institusi zakat guna mensejahterakan
masyarakat, seperti menerapkan sistem pengawasan yang mantap
dalam pengelolaan zakat.
Untuk mengetahui pendapat responden mengenai peran
pemerintah dalam pengawasan zakat, dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
ccclxiii
Tabel 5 Peran Pemerintah Sebagai Pengawas Zakat
No. Kategori
R e s p o n d e n
Jumlah
Jakarta Makassar
F % F % F %
1. Berperan 21 12,00 16 12,80 37 12,33
2. Kurang Berperan 69 39,42 72 57,60 141 47,00
3. Tidak Berperan 85 48,57 37 29,60 122 40,66
Jumlah 175 100 125 100
300
100
Skor Penilaian : Berperan= 11-15 Kurang Berperan =6-10 Tidak Berperan = 1-5
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011.
Data di atas menunjukkan berbagai penilaian responden
mengenai peran pemerintah sebagai pengawas zakat. Responden
di Jakarta, ada 21 responden atau sebesar 12,00 persen yang
menyatakan pemerintah telah berperan sebagai pengawas zakat,
selanjutnya sebanyak 69 responden atau sebesar 39,42 persen
yang memberikan penilaian bahwa pemerintah kurang berperan
sebagai pengawas zakat dan sebanyak 85 responden atau
ccclxiv
sebesar 48,57 persen yang menyatakan bahwa pemerintah tidak
berperan sebagai pengawas zakat.
Sementara itu, responden di Makassar memberikan
penilaian, sebanyak 16 responden atau sebesar 12,80 persen yang
menyatakan pemerintah telah berperan sebagai pengawas zakat,
sebanyak 72 responden atau sebesar 57,60 persen yang
memberikan penilaian bahwa pemerintah kurang berperan sebagai
pengawas zakat dan sebanyak 37 responden atau sebesar 29,60
persen yang menyatakan bahwa pemerintah tidak berperan
sebagai pengawas zakat
Secara keseluruhan dari dua kota penelitian, sebanyak 37
responden atau sebesar 12,33 yang memberikan penilaian bahwa
pemerintah telah berperan sebagai pengatur zakat. Selanjutnya,
sebanyak 141 responden atau sebesar 47,00 memberikan
penilaian bahwa pemerintah kurang berperan sebagai pengatur
zakat dan sebanyak 122 responden atau sebesar 40,66 persen
memberikan penilaian bahwa pemerintah tidak berperan sebagai
pengatur zakat.
Apabila disimpulkan dari pernyataan secara umum
responden diketahui bahwa peran pemerintah sebagai pengawas
zakat belum berperan dengan baik. Adapun alasan responden
menyatakan demikian karena selama ini fungsi pengawasan tidak
ccclxv
berjalan sama sekali. Adanya pengelola zakat liar yang berpotensi
melakukan penyelewengan atau penyimpangan dana zakat, tidak
ada yang mengawasi. LAZ-LAZ yang telah dikukuhkan, akan tetapi
kinerjanya tidak memenuhi kelayakan standar persyaratan masih
bebas dan leluasa tanpa pengawasan. Perilaku pengelola zakat
yang menyalahi ketentuan dan etika, juga dibiarkan tanpa
pengawasan sama sekali, sehingga kondisi pengawasan zakat
saat ini belum efektif.
Menurut Masykur Yusuf, pengawasan zakat selama ini
dilakukan oleh para ulama. Lebih banyak kontrol personal, zakat
tidak diwajibkan oleh negara, warga muslim yang bayar zakat lebih
banyak karena kesadaran individual. Pengontrolnya, misalnya jika
muslim itu ikut jamaah pengajian akan dilakukan oleh imam, kiai
atau guru spiritualnya.413
Berkenaan dengan pengawasan zakat, sesuai dengan
Pasal 34 Ayat (1) UUPZ bahwa menteri melaksanakan pembinaan
dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota, dan LAZ. Sedangkan Gubernur dan
bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan
413
H. Masykur Yusuf, Manager Eksekutif LAZ DAPU al-Markaz al-Islami Makassar, Wawancara, pada 9 Mei 2011.
ccclxvi
terhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ
sesuai dengan kewenangannya (Ayat 2)
Masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap
BAZNAS dan LAZ (Pasal 35 Ayat [1]). Pengawasan yang dilakukan
masyarakat dilakukan dalam bentuk akses terhadap informasi
tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ;
dan penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ (Ayat 3).
d. Pemerintah sebagai eksekutor
Pemerintah selain berperan sebagai pengelola zakat, juga
berhak menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang tidak
melaksanakan zakat yang hartanya sudah memenuhi syarat-syarat
wajib zakat.
Tindakan dan sanksi yang dijatuhkan pemerintah kepada
orang yang menolak membayar zakat bergantung pada kondisinya
masing-masing yang dirinci sebagimana dikemukakan oleh Abdul
Qadim Zallum,414 sebagai berikut :
Pertama, jika orang tidak membayar zakat karena tidak
tahu akan kewajibannya (li-jahlihi li wujubiha), maka tidak dikafirkan
414
Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, (Beirut: Darul ‘Ilmi li al-Malayin, 1983), h. 189.
ccclxvii
dan tidak dijatuhi sanksi ta’zir. Pemerintah hanya menyampaikan
kewajibannya dan mengambil zakat darinya.
Kedua, jika orang tidak membayar zakat dengan
mengingkari kewajibannya dalam agama, maka dianggap murtad
dan diperlakukan sebagai orang murtad. Pertama-tama orang
tersebut akan diminta taubat (kembali masuk Islam). Jika tidak mau
bertaubat, maka pemerintah menjatuhkan hukuman mati
kepadanya, dan hartanya menjadi hak Baitul Mal.
Ketiga, jika orang tersebut tidak membayar zakat tapi
masih mengimani akan kewajibannya dalam agama, maka zakat
akan diambil secara paksa oleh pemerintah. Jika berkelompok dan
tidak mau membayar zakat, maka akan diperangi pemerintah dan
diperlakukan sebagai bughat (pemberontak), sebagaimana
dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ketika memerangi sekelompok
orang yang menolak membayar zakat.
Dalam UUPZ, mengatur sanksi adminitrasi berupa
peringatan tertulis; penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
pencabutan izin (Pasal 36) kepada BAZNAS atau LAZ yang tidak
memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki;
Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana
social keagamaan lainnya dilakukan tidak sesuai dengan syariat
Islam dan tidak dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang
ccclxviii
diikrarkan oleh pemberi; Pengelolaan infak, sedekah, dan dana
sosial keagamaan lainnya tidak dicatat dalam pembukuan
tersendiri; LAZ tidak menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
Adapun sanksi pidana diatur dalam:
Pasal 39 Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 40 Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 41 Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dibandingkan dengan Undang-Undang No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, pengaturan sanksi hanya
menyangkut sanksi pidana kepada setiap pengelola zakat yang
karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak
benar harta zakat (Pasal 21). Apabila dicermati UUPZ tersebut,
ccclxix
sanksi hanya dijatuhkan kepada pengelola zakat bukan kepada
muzakki yang tidak membayar zakat.
Dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat juga tidak mengatur sanksi administrasi
misalnya denda kepada muzakki atau pencabutan izin kepada
pengelola zakat yang lalai dalam mengelola zakat. Sementara
Di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berlaku hukum
pidana yang terkait pengelolaan zakat yaitu Qanun No. 7 Tahun
2004 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam qanun tersebut terdapat
ketentuan mengenai hukuman bagi para pelanggar Qanun Zakat
baik itu Muzakki, Amil maupun Baitul Mal. Bagi Muzakki yang tidak
membayar zakat menurut jumlah yang sebenarnya diancam
dengan hukuman ta’zir berupa denda maksimal 2 (dua) kali nilai
zakat yang wajib dibayarkannya dan minimal 1 (satu) kali nilai
zakat yang wajib dibayarkannya. Kepada Amil dan Baitul Mal yang
melanggar ketentuan Qanun ini diancam dengan hukuman Ta’zir
berupa uqubat cambuk maksimal 4 (empat) kali, minimal 1 (satu)
kali atau denda maksimal Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu
rupiah), minimal Rp. 500.000.- (lima ratus ribu rupiah) atau
kurungan maksimal 6 (enam) bulan dan minimal 2 (dua) bulan.
ccclxx
Hakikat sanksi dalam UUPZ sebagai unsur pemaksaan
dalam mengoptimalkan penerimaan dan pengelolaan zakat.
Pemerintah sebagai eksekutor harus memaksimalkan fungsinya
untuk memberikan sanksi kepada orang atau lembaga zakat yang
melakukan pelanggaran.
Dalam perspektif fiqih al-siyasah (fikih politik), tindakan
pemerintah tersebut dapat dibenarkan dalam menjatuhkan sanksi.
Penyebabnya adalah tugas pemerintah sebagai pemutus perkara
yang menjadi khalifah (yarfa' al khilaf). Di samping itu, pemerintah
adalah satu-satunya institusi yang sah dan memiliki kekuatan
memaksa.
Untuk mengetahui peran pemerintah sebagai eksekutor
dalam pengelolaan zakat dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6 Peran Pemerintah Sebagai Eksekutor
No. Kategori
R e s p o n d e n
Jumlah
Jakarta Makassar
F % F % F %
1. Berperan - - 3 2,40 3 1,00
2. Kurang Berperan 34 19,42 41 32,80 75 25,00
3. Tidak Berperan 141 80,57 81 64,80 222 74,00
Jumlah 175 100 125 100
300
100
ccclxxi
Skor Penilaian : Berperan= 11-15 Kurang Berperan =6-10 Tidak Berperan = 1-5
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011.
Berdasarkan data pada tabel di atas menggambarkan
bahwa responden di Kota Jakarta memberikan penilaian pada dua
kategori pilihan. Sebanyak 34 responden atau sebesar 19,42
persen yang menyatakan bahwa pemerintah kurang berperan
sebagai eksekutor, selanjutnya sebanyak 141 responden atau
sebesar 80,57 persen yang menyatakan bahwa pemerintah tidak
berperan sebagai eksekutor dan tidak ada responden yang
memberikan penilaian mengenai pemerintah telah berperan
sebagai eksekutor.
Sedangkan untuk responden di Kota Makassar, sebanyak
3 responden atau sebesar 2,40 persen yang menyatakan bahwa
pemerintah telah berperan sebagai eksekutor, selanjutnya
sebanyak 41 responden atau sebesar 32,80 persen yang
menyatakan bahwa pemerintah kurang berperan sebagai
eksekutor dan sebanyak 81 responden atau sebesar 64,80 yang
memberikan penilaian mengenai pemerintah tidak berperan
sebagai eksekutor.
Secara keseluruhan dari dua kota penelitian, sebanyak 3
responden atau sebesar 1,00 yang memberikan penilaian bahwa
ccclxxii
pemerintah telah berperan sebagai eksekutor zakat. Selanjutnya,
sebanyak 75 responden atau sebesar 25,00 memberikan penilaian
bahwa pemerintah kurang berperan sebagai pengatur zakat dan
sebanyak 222 responden atau sebesar 74,00 persen memberikan
penilaian bahwa pemerintah tidak berperan sebagai pengatur
zakat.
Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa pemerintah
belum berperan dengan baik sebagai eksekutor. Sesuai hasil
wawancara dengan responden mengenai belum berperannya
pemerintah sebagai esksekutor karena pemerintah selama ini tidak
memberikan sanksi kepada pengelola zakat yang melalaikan
kewajibannya dalam mengelola zakat. Oleh karena itu, salah satu
faktor tidak optimalnya pemerintah sebagai eksekutor untuk
menjatuhkan sanksi karena UUPZ tidak secara tegas mengatur
mengenai sanksi seperti sanksi administrasi dan pidana kepada
pengelola zakat dan juga tidak adanya sanksi kepada wajib zakat.
Menurut Muhammad Fuad Nasar, fungsi eksekutor pada
hakikatnya diperankan oleh BAZNAS dan sampai sekarang ini
belum ada lembaga pengelola zakat yang mendapat sanksi baik
teguran maupun secara tertulis baik karena kelalaian, pelanggaran
maupun ketidaktifan dan juga tidak ada sanksi pidana. Di samping
ccclxxiii
itu sejak 2009 Pemerintah tidak lagi melakukan pengukuhan
terhadap amil zakat yang baru.415
Pernyataan yang sama juga dikemukakan responden,
Djoko Sunggoro bahwa sampai sekarang ini belum ada pengelola
zakat yang terkena sanksi baik pidana maupun administrasi baik
karena kelalainnya dalam mengelola zakat maupun karena
penyalahgunaan dana zakat.416
Salah satu faktor yang mendukung tidak efektifnya sanksi
hukum karena persoalan substansi hukum. Apabila mengacu pada
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
bahwa salah satu kelemahan mendasar dari Undang-Undang No.
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat karena tidak adanya
sanksi hukum bagi para wajib zakat. Padahal, sanksi adalah salah
satu unsur norma hukum yang membedakannya dengan norma
lain.
Sanksi dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat diatur dalam Pasal 21 yang menyebutkan
setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat
dan mencatat dengan tidak benar harta zakat, infak, sedekah,
415Muhammad Fuad Nasar, Wakil Sekretaris Umum, Wawancara, pada 26 April
2011. 416
Djoko Sunggoro, Kepala Pusat Informasi Dompet Dhuafa, Wawancara, pada 28 April 2011.
ccclxxiv
hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang, diancam
dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
Pasal 21(c), mengatur setiap petugas badan amil zakat
dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana
kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Apabila dilihat bunyi pasal tersebut, jelas
disebutkan bahwa sanksi tersebut hanya dikenakan kepada
pengelola zakat (amil), sama sekali tidak menyebut sanksi bagi
para pelanggar kewajiban membayar zakat (muzakki).
3. Koordinasi antar institusi
Lembaga zakat yang ada saat ini di dunia Islam ada dua
bentuk, yaitu lembaga zakat yang berada di bawah pemerintah serta
lembaga pengelola zakat yang berada di bawah pengelolaan
masyarakat.
Saudi Arabia sebagai negara yang berdasar Islam memiliki
aturan Undang-undang pengelolaan zakat yang sudah berlaku sejak
tahun 1951. Seluruh zakat di Saudi Arabia ditampung di Departemen
Keuangan. Departemen Keuangan bekerjasama dengan Departemen
ccclxxv
Sosial yang bertugas menyalurkan zakat kepada mustahik. Setiap
muzakki wajib menyetorkan zakatnya kepada negara, tetapi juga diberi
kebebasan untuk menyalurkan zakatnya sendiri sebesar 50% dari
harta wajib zakatnya.
Dalam masalah mustahik, negara Saudi Arabia melalui
Departemen Sosial memiliki standar baku dalam menentukan
mustahik zakat dengan melihat kebutuhan dari para mustahik. Adanya
standar baku mustahik dapat menjadi pedoman penyaluran zakat
sebagai antisipasi agar zakat sampai kepada pihak yang berhak
menerimanya.
Di Malaysia sendiri, penghimpunan dana zakat ada dua bentuk
yaitu lembaga murni swasta dalam hal ini Pusat Pungutan Zakat (PPZ)
dan Baitul Mal (BM). PPZ merupakan perusahaan swasta yang
beroperasi pada tanggal 1 Januari 1991. PPZ lahir sebagai respon
terhadap lemahnya perkembangan zakat akibat dari sistem dan SDM
yang kurang. Adanya sistem baru, PPZ mengelola zakat
menggunakan sistem korporat yang berbasis teknologi komputer serta
marketing yang baik. PPZ merupakan perusahaan yang bergerak
dalam hal pengelolaan zakat menjadi rujukan negara-negara bagian di
Malaysia. Selain di Kuala Lumpur, PPZ juga ada di beberapa negara
bagian lainnya seperti Melaka, Pahang, Selangor, Pulau Pinang, dan
Negeri Sembilan.
ccclxxvi
Selain itu terdapat pula lembaga yang menghimpun zakat yaitu
Baitul Mal (BM). Dalam hal ini pemerintah Kerajaan Malaysia
memberikan hak kepada setiap negara bagian untuk mengelola
zakatnya sendiri, tidak dibentuk lembaga nasional. Walaupun
demikian, pemerintah tetap mengawasi.
Berdasarkan UUPZ, telah diatur lembaga pengelola zakat
yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan
Lembaga Amil Zakat) yang dibentuk oleh masyarakat (Pasal 6 dan
Pasal 7).
Lembaga pengelola zakat merupakan institusi yang memiliki
tugas untuk mengelola zakat mulai dari pengumpulan sampai
pendayagunaan dan penyalurannya. Berdasarkan statusnya, lembaga
pengelola zakat merupakan lembaga yang berbasis syariah karena
mengelola dana zakat sebagai bagian dari syariah agama Islam yang
secara jelas ketentuan muzakki dan mustahiknya.417
Adanya dua kelembagaan yang mengelola zakat, tentu
kedua lembaga tersebut harus saling berkoordinasi agar tidak terjadi
tumpang tindih dalam pendistribusian zakat.
417
Zakat sebagai bentuk derma yang hukumnya wajib bukan sebagai filantropi biasa karena zakat sangat jelas aturannya. Dalam ajaran lain tidak terdapat bentuk derma yang wajib dengan aturan jelas sebagaimana dalam Islam. Sebagai contoh derma dalam ajaran Yahudi secara essensial kewajiban agama. Praktik filantropi Yahudi sering tumpang tindih dan menimbulkan problem identitas Yahudi yang mendorong kebersamaan dan solidaritas yang tidak diberikan oleh budaya keagamaan Yahudi semata. Lihat: Derek J. Penslar, “Asal-Usul Filantropi Yahudi Modern”, dalam Warren E. Ilchman dkk (Ed), Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, (Jakarta: CRSC UIN Syahid Jakarta, 2006), h. 237.
ccclxxvii
Untuk mengetahu pendapat responden mengenai koordinasi
antar instansi dalam pengelolaan zakat dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 7 Koordinasi Institusi Pengelolaan Zakat
No.
Kategori
R e s p o n d e n Jumlah
Jakarta Makassar
F % F % F %
1. Koordinasi 41 23,42 19 15,20 60 20,00
2. Kurang Koordinasi 101 57,71 60 48,00 161 53,66
3. Tidak ada Koordinasi 33 18,85 46 36,80 79 26,33 Jumlah 175 100 125 100 300 100
Skor Penilaian: Koordinasi= 11-15 Kurang Koordinasi =6-10 Tidak Ada Koordinasi = 1-5
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011.
Berdasarkan data pada Tabel 7, menggambarkan bahwa
responden di Jakarta memberikan penilaian bahwa telah ada
koordinasi antar institusi dalam pengelolaan zakat, hal itu
diungkapkan sebanyak 41 responden atau sebesar 23,42 persen,
untuk kategori kurang koordinasi antar institusi dalam pengelolaan
zakat sebanyak 101 responden atau sebesar 57,71 persen.
Sedangkan kategori penilaian tidak ada koordinasi antar institusi
dalam pengelolaan zakat sebanyak 33 responden atau sebesar
18,85 persen.
ccclxxviii
Apabila dibandingkan dengan responden yang berdomisili
di Makassar, sebanyak 19 responden atau sebesar 15,20 persen,
untuk kategori telah ada koordinasi antar institusi dalam
pengelolaan zakat, dan sebanyak 60 responden atau sebesar
48,00 persen menyatakan kurang koordinasi antar institusi dalam
pengelolaan zakat. Sedangkan kategori penilaian tidak ada
koordinasi antar institusi dalam pengelolaan zakat sebanyak 46
responden atau sebesar 36,80 persen.
Secara keseluruhan dari dua kota penelitian, sebanyak 60
responden atau sebesar 20,00 yang memberikan penilaian telah
ada koordinasi antar institusi dalam pengelolaan zakat, dan
sebanyak 161 responden atau sebesar 53,66 persen menyatakan
kurang koordinasi antar institusi dalam pengelolaan zakat.
Sedangkan kategori penilaian tidak ada koordinasi antar institusi
dalam pengelolaan zakat sebanyak 79 responden atau sebesar
26,33 persen.
Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa koordinasi
pengelolaan zakat belum berjalan dengan baik. Koordinasi
tersebut tidak hanya pada koordinasi sesama pengelola zakat
tetapi juga pengelola zakat dengan pemerintah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Juraidi, selama
ini koordinasi antara lembaga pengelola zakat belum berjalan
ccclxxix
dengan baik, kalapun ada koordinasi hanya BAZNAS saja yang
selalu berkoordinasi dengan Direktorat Pemberdayaan Zakat .
Sedangkan lembaga pengelola zakat swasta tidak pernah
menyampaikan laporannya.418
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden,
disimpulkan pada umummya belum ada koordinasi yang baik
antara lembaga pengelola zakat dengan pemerintah maupun
sesama lembaga pengelola zakat, bahkan ada pengelola zakat
tidak pernah sama sekali berkoordinasi dengan pemerintah
terutama dari LAZ, tetapi sesama anggota yang tergabung dalam
satu wadah seperti Forum Zakat (FOZ) koordinasi tetap dilakukan.
Faktor yang menjadi penyebab tidak terbangunnya
koordinasi yang baik, adalah substansi hukum. Alasan responden
yang menyatakan demikian karena hubungan kerja yang diatur
dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat hanya bersifat koordinatif, konsultatif,
dan informatif yang berlaku antar badan amil zakat. Tidak ada
pengaturan kewenangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
untuk melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap BAZ
provinsi, BAZ Kabupaten/kota, BAZ kecamatan, dan LAZ sehingga
418
A. Juraidi, Kasubdit Pengawasan Lembaga Zakat Direktorat Pemberdayaan Zakat Kemenag RI, Wawancara, pada 26 April 2011.
ccclxxx
untuk sekadar mengetahui jumlah zakat yang terhimpun secara
nasional merupakan sesuatu yang sulit dan organisasi pengelola
zakat saat ini tidak memiliki struktur yang jelas ditinjau dari sisi
pengendalian.
Tidak adanya koordinasi yang baik antar lembaga
pengelola zakat maupun dengan pemerintah dapat memunculkan
permasalahan seperti tumpah tindih dalam pendistribusian zakat,
kemudian terciptanya kompetisi yang tidak sehat antar pengelola
zakat sehingga dapat memunculkan ketidakpercayaan masyarakat
baik pembayar zakat maupun penerima zakat.
Untuk menindaklanjuti UUPZ dalam mengkoordinasikan
yang terkait dengan regulator dan operator zakat, maka
Kementerian Agama diberikan wewenang untuk memberikan izin
operasi lembaga pengelola zakat swasta melalui Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam khususnya Direktorat Pemberdayaan
Zakat. Jadi Kementerian Agama memiliki fungsi koordinasi,
memfasilitasi, dan mengatur pengelolaan zakat.
Meskipun Kementerian Agama diberikan wewenang, tetapi
ada kelemahan dari kebijakan hukum dalam mensinergikan antara
Kementerian Agama dengan lembaga pengelola zakat yaitu tidak
efisiensinya hubungan keduanya pada tataran profesionalisme dan
sistem kerja organisasi. Direktorat Pemberdayaan Zakat masih
ccclxxxi
dihuni oleh orang-orang yang tidak memiliki keterampilan
manajemen yang baik dan tidak memiliki kapabilitas
mentranformasikan kebijakan hukum dalam bentuk rencana
konkrit dan program yang relevan dengan misinya. Selanjutnya,
sistem koordinasi pada pengumpulan dan pendistribusian zakat
diantara lembaga pengelola zakat tidak diorganisir secara baik,
khsusnya antara pemerintah dengan lembaga pengelola zakat
swasta.419
Apabila dicermati perkembangan dunia zakat nasional
menjadi lambat, karena tidak ada upaya koordinasi dan sinergi
antar lembaga pengelola zakat. Hasilnya, kinerja dunia zakat
nasional, khususnya dalam pengentasan masyarakat dari
kemiskinan, terasa jauh dari optimal.
Selanjutnya menurut A. Juraidi, bahwa ada LAZ yang
kadang sulit diatur dan tidak mau dikoordinasikan dan
disinergikan. Maunya mengelola zakat sendiri-sendiri. Sebagian
LAZ ini begitu bersemangat untuk mengkampanyekan zakat.
Terkadang memberi kesan persaingan yang begitu keras diantara
berbagai lembaga pengelola zakat. Ada juga lembaga pengelola
zakat tidak mau melaporkan kegiatannya kepada otoritas
pembinaan zakat di Indonesia, yaitu pemerintah. Padahal jelas-
419
Asep Saepudin Jahar, The Clash of … op.cit., h.. 373.
ccclxxxii
jelas ditegaskan bahwa LAZ itu bertanggung jawab kepada
pemerintah sesuai tingkatannya. Untuk mendukung perwujudan
pangkalan data (data base) zakat Indonesia saja, pengelola zakat
swasta terkesan tidak mau terlibat dan menghindar. Tentu saja
LAZ dengan model seperti ini perlu ditangani untuk perbaikan
kondisi zakat di Indonesia.420
Salah satu faktor yang menghambat adanya koordinasi
adalah faktor substansi hukum itu sendiri. Menurut Didin
Hafhiduddin selain masalah sanksi juga masalah kelembagaan
zakat. Sebab, selama ini hubungan antara satu dengan yang lain
tidak diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Selama ini, hubunganya hanya bersifat
koordinasi, tidak sampai hubungan struktural sehingga mempunyai
kekuatan untuk membina ke daerah. Sekarang ini sekadar
mencakup informatif, koordinatif dan konsultatif.421
Lembaga pengelola zakat merupakan lembaga
keagamaan karena bergerak dalam hal pengumpulan dan
pendayagunaan zakat sebagai bagian dari perintah agama. Di sisi
lain, lembaga zakat juga merupakan lembaga sosial, karena zakat
420
A. Juraidi, Kasubdit Pengawasan Lembaga Zakat Direktorat Pemberdayaan Zakat Kemenag RI, Wawancara, pada 26 April 2011.
421
“UU Zakat Masih Mandul”, http://majalah.hidayatullah.com/?p=2313 diakses pada 5 Mei 2011.
ccclxxxiii
sebagai perwujudan keimanan diberikan kepada setiap orang yang
berhak menerimanya (mustahik). Sebagai lembaga ekonomi,
lembaga zakat dapat menjadi mediator bagi peningkatan ekonomi
masyarakat (dhuafa). Dalam operasionalnya, lembaga pengeloa
zakat harus sesuai dengan petunjuk syariah yang tertuang dalam
Alqur’an dan sunnah.
Lembaga pengelola zakat merupakan salah satu sarana
untuk mewujudkan maqashid al-shari’ah. Hal ini berdasar pada
tujuan disyaria’atkannya kewajiban (taklif) terhadap hamba
sebagaimana dikatakan al-Syathibi bahwa shari’ah ditetapkan
untuk kemaslahatan hamba pada saat kini dan yang akan datang.
Zakat sebagai sarana membantu kehidupan individu serta
kemaslahatan masyarakat.422
Kemaslahatan yang ingin dicapai pada saat kini dapat
diimplementasikan dengan program-program yang menyangkut
kebutuhan (hajat) untuk memenuhi kebutuhan hidup mendesak
dalam waktu relatif cepat (zakat konsumtif). Sedangkan
kemaslahatan yang akan datang dapat diimplementasikan melalui
program-program yang manfaatnya dapat dirasakan secara terus
menerus dan berkelanjutan (zakat produktif)
422
As-Syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, Vol. 2, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997), h. 9.
ccclxxxiv
Dalam konteks pengaturan sebagai operator zakat,
berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat yang baru,
fungsi operator telah dimandatkan kepada BAZNAS merupakan
lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat
secara nasional dengan fungsi melakukan perencanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
melakukan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat; melakukan pengendalian pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan melakukan
pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
zakat.
4. Mekanisme Pengelolaan Zakat
a. Pengumpulan zakat
Pengelolaan zakat sebagaimana diatur dalam UUPZ
adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian
dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
(Pasal 1 UUPZ). Pengelolaan dan pendayagunaan zakat sebagai
bentuk dari manajemen zakat menjadi pembicaraan yang tidak
terlepas dari perdebatan.
Dalam pengumpulan zakat, berdasarkan hasil wawancara
dengan responden disimpulkan mengenai mekanisme
ccclxxxv
pengumpulan, perolehan atau pemungutan zakat yang dilakukan
oleh pengelola zakat menggunakan beberapa cara, antara lain; a)
Pengumpulan atau pemungutan zakat dilakukan oleh petugas atau
Amil atau tim khusus yang ditunjuk dengan cara mengambil atau
mendatangi secara langsung pada muzakki; b) Kegiatan
pengumpulan zakat juga dapat dilakukan dengan cara muzakki
dapat membayar zakat dengan mendatangi secara langsung ke
pengelola zakat setempat/terdekat; c) Zakat juga dapat dibayarkan
melalaui transfer langsung ke nomor rekening lembaga pengelola
zakat (terutama untuk muzakki yang jauh); d) Zakat dapat juga
dikumpulkan atau dipungut secara kolektif; e) Pengambilan secara
rutin juga menjadi salah satu cara yang dilakukan lembaga
pengelola zakat dalam kegiatan pengumpulan zakat, f) Lembaga
pengelola zakat juga melakukan kegiatan pengumpulan zakat
berdasarkan tanggal yang telah disepakati bersama antara
muzakki.
Selanjutnya, hasil wawancara dengan responden
pengelola zakat, disimpulkan bahwa zakat yang dikumpulkan lebih
banyak pada zakat maal berupa zakat dari kekayaan dan zakat
penghasilan yaitu gaji yang diterima oleh pegawai yang diambil
setiap bulan, adapun zakat fitrah tetap diterima tetapi diserahkan
ccclxxxvi
kepada panitia masjid untuk didistribusikan kepada yang berhak
menerimanya.
Adapun zakat yang berasal dari sektor industri seperti
zakat perusahaan baik perusahaan yang bergerak di bidang jasa
maupun barang serta hasil pertambangan, tampaknya sebagian
besar responden pengelola zakat menyatakan belum optimal
pegumpulannya, bahkan di Makassar sendiri dari tiga lokasi
peneltian (BAZ Kota Makassar, BAZ Provinsi Sulawesi-Selatan
dan LAZ-DAPU Al Markaz al Islami) belum pernah menerima zakat
perusahaan.
Perusahaan termasuk perusahaan tambang wajib
mengeluarkan zakat karena keberadaan perusahaan adalah
sebagai badan hukum (recht person), di antara individu itu
kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan
dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Menurut ulama,
zakat perusahaan dianalogian kepada zakat perdagangan,
sementara zakat pertambangan disebut madin. Hasil tambang
tidak disyaratkan haul, zakatnya wajib dibayar ketika barang itu
telah digali. Hal ini mengingat bahwa haul disyaratkan untuk
menjamin perkembangan harta, sedang dalam hal ini
perkembangan tersebut telah terjadi sekaligus, seperti dalam zakat
tanaman.
ccclxxxvii
Menurut Muhammad Fuad Nasar, saat ini setidaknya di
Baznas baru sekitar 50 perusahaan yang membayar zakat
korporasi. Padahal jumlah perusahaan baik BUMN maupun
swasta di Indonesia mencapai ratusan. Perusahaan BUMN
memiliki potensi zakat sebesar Rp 14,3 triliun. Jumlah ini belum
termasuk dengan perusahaan swasta.423
Potensi zakat perusahaan yang belum tergali, disebabkan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap perkembangan
zakat kakayaan ini, karena masih terdoktrin bahwa zakat hanya
sebatas zakat fitrah dan kekayaan pribadi. Oleh karena itu
kesadaran setiap pengusaha muslim juga berpengaruh dalam
perkembangan zakat perusahaan, sehingga jika bentuk zakat ini
diterapkan dan dioptimalkan, potensi terhimpunnya dana zakat
akan lebih besar.
Pengelolaan usaha pertambangan oleh pihak swasta,
seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang bergerak dalam usaha
pertambangan batubara di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur,
Begitupula dengan PT Semen Bosowa Maros merupakan peluang
untuk menggali potensi zakat hasil pertambangan. Para ulama
423
Muhammad Fuad Nasar, Wakil Sekretaris Umum, Wawancara, pada 26 April 2011.
ccclxxxviii
sepakat bahwa tidak ada ketentuan tentang batas waktu satu
tahun untuk mengeluarkan zakat hasil pertambangan.
Esensi zakat perusahaan berdasar pada dalil-dalil yang
bersifat umum, seperti yang termaktub dalam firman Allah swt.
Q.S. Al-Baqarah (2) Ayat 267, sebagai berikut:
Tejemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Ayat tersebut juga didukung oleh sebuah hadis riwayat
Imam Bukhari dari Anas bin Malik bahwasanya Abu Bakar Shidiq
telah menulis surat yang berisikan kewajiban zakat yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepadanya yang berisikan
pesan tentang zakat, yaitu:
دقة ق بین مجتمع خشیة الص .لا یجمع بین مفترق ولا یفرArtinya:
Janganlah digabungkan sesuatu yang terpisah dan jangan pula dipisahkan sesuatu yang tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. (H.R. Imam Bukhari).
ccclxxxix
Hadis tersebut pada awalnya berkaitan dengan perkongsian
hewan ternak. Akan tetapi para ulama mengaplikasikannya
sebagai qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain. Berdasarkan
ini, keberadaaan wadah usaha bersama kemudian menjadi badan
hukum atau syakhsiyyah 'itibariyyah.
Para ulama Indonesia dalam menyikapi zakat perusahaan
belum mencapai kesatuan pemikiran (unity of tought). Oleh karena
itu, perluasan obyek zakat (zakat perusahaan) dikembalikan
kepada prinsip sumber zakat ialah prinsip an-nama’ atau al istinma
(prinsip produktif) dan di luar kebutuhan pokok berdasarkan dalil-
dalil umum zakat dalam Alquran dan sunah.
Dalam peraturan perundang-undangan zakat di Indonesia,
zakat perusahaan dan pertambangan telah diatur dalam Pasal 11
Ayat (2) huruf b dan d UUPZ, bahwa di antara objek zakat yang
wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan
serta pertambangan.
Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait
(29 Rajab 1404 H) menyatakan kewajiban zakat sangat terkait
dengan perusahaan. Perusahaan, menurut hasil muktamar
dikategorikan syakhsan i'tibaran (badan hukum yang dianggap
orang) atau syakhsiyyah hukmiyyah karenanya perusahaan
termasuk muzakki atau subyek zakat. Bahkan di Indonesia sendiri
cccxc
sudah ada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mewajibkan
zakat perusahaan. Namun, aplikasi zakat perusahaan di lapangan
masih jauh dari yang diharapkan, yaitu masih dihadapkan pada
persoalan kurangnya pemahaman masyarakat khususnya para
pelaku ekonomi,
Menurut Djoko Sunggoro, Kepala Pusat Informasi Dompet
Dhuafa, apabila kekuatan zakat perusahaan ini dapat
direalisasikan pada tataran yang lebih riil, maka upaya untuk
mengentaskan kemiskinan diyakini akan dapat terakselerasi
dengan baik. Kaum dhuafa dan kelompok marjinal masyarakat
akan semakin merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan-
perusahaan yang beroperasi di negeri ini. Bagi perusahaan
sendiri, komitmen untuk berzakat akan mengundang rahmat dan
pertolongan Allah swt. Keberkahan akan semakin terasa, dan
produktivitas pun akan semakin meningkat. Tidak perlu ada
kekhawatiran kalau zakat ini akan menyebabkan kebangkrutan
perusahaan. Tidak pernah ada dalam sejarah, orang atau
perusahaan bangkrut karena senang memberi.424
b. Pendistribusian dan pendayagunaan zakat
424
Djoko Sunggoro, Kepala Pusat Informasi Dompet Dhuafa, Wawancara, pada 28 April 2011.
cccxci
Ada beberapa masalah dalam pendayagunaan dan
pengelolaan zakat, yaitu: Pertama, distribusi pembagian zakat
kepada para mustahik (orang yang berhak menerima zakat) yaitu
mengenai pemerataan pembagian harta zakat), apakah harus
merata atau hanya sebagian; Kedua, pengembangan harta zakat
oleh pengumpul zakat; dan Ketiga regulasi zakat.425
Dalam tulisan diuraikan mengenai model pendistribusian
dan pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola zakat guna
terwujudnya keadilan sosial. Adapun lembaga pengelola zakat
yang dimaksud adalah:
1) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan
lembaga pengelola zakat tingkat nasional. Jaringan pengelola
BAZNAS ada di seluruh nusantara yang terdiri dari 33 Badan
Amil Zakat Daerah Tingkat Propinsi. BAZNAS dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden No. 8 tahun 2001, tanggal
17 Januari 2001.426
Adapun yang menjadi tugas pokok BAZNAS adalah
merealisasikan misi BAZNAS yaitu: (1) meningkatkan
425N. Oneng Nurul Bariyah, “Kontekstualisasi Total Quality Management dalam
Lembaga Pengelola Zakat untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)”, Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h. 85.
426
Sumber: www.baznas.or.id diakses pada 20 Mei 2011.
cccxcii
kesadaran umat untuk berzakat; (2) mengarahkan masyarakat
mencapai kesejahteraan, baik fisik maupun non fisik melalui
pendayagunaan zakat, (3) meningkatkan status mustahik
menjadi muzakki melalui pemulihan, peningkatan kualitas
SDM, dan pengembangan ekonomi masyarakat; (4)
mengembangkan budaya memberi lebih baik dari menerima di
kalangan mustahik; (5) mengembangkan manajemen yang
amanah, profesional dan transparan dalam mengelola zakat;
(6) Menjangkau muzakki dan mustahik seluas-luasnya; (7)
memperkuat jaringan antar organisasi pengelola zakat.
Adapun kegiatan pokok BAZNAS adalah menghimpun ZIS dari
muzakki dan menyalurkan ZIS kepada mustahik yang berhak
menerima sesuai ketentuan agama427.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) memiliki
kebijakan dalam hal pendistribusian dana. BAZNAS
meyalurkan ZIS kepada para mustahik sebagaimana
ditentukan dalam Q.S. at-Taubah ayat 60 yaitu: Fakir (Orang
yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghasilkan),
miskin memiliki penghasilan Rp. 260.000,-/org/bln (sesuai
standar DKI Jakarta BPS 2007), muallaf (maksimal 2 tahun),
Riqab (tidak ada), garimin (untuk memenuhi kebutuhan pokok
427
Ibid.
cccxciii
(termasuk pendidikan & kesehatan), Ibnu sabil (orang yang
sedang menempuh tujuan tertentu yang diridhai Allah swt.
tetapi dalam kesulitan (pelajar, dai), Fisabilillah (orang yang
berjuang di jalan Allah swt./kegiatan syiar Islam).
Untuk penyaluran dana, BAZNAS memiliki beberapa
program. Program tersebut secara garis besar terdiri atas:
Program kemanusiaan, Program kesehatan, program
pendidikan, program ekonomi, dan program dakwah.
Adapun alokasi dana untuk program kemanusiaan
sebanyak 10%, Program kesehatan sebanyak 20%, program
pendidikan 25%, program ekonomi sebanyak 35%, dan
program dakwah sebanyak 10%.
Program yang dilakukan, yaitu: Indonesia Cerdas,
Indonesia Makmur, Indonesia Peduli, Indonesia Takwa, dan
Indonesia Sehat. Seluruh program tersebut dilaksanakan di
berbagai daerah yang berada di seluruh Indonesia melalui unit
salur zakat yang tersebar di berbagai daerah.
a. Program Indonesia Cerdas
Program Indonesia cerdas merupakan salah satu
program yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan
masyarakat dan meningkatkan kualitas pendidikannya.
Peningkatan pendidikan masyarakat sangat penting bagi
cccxciv
peningkatan kemakmuran. Adanya pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki masyarakat sehingga
masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Di sisi
lain, upaya peningkatan pendidikan merupakan sarana
melahirkan manusia yang memiliki kecerdasan sehingga
terpelihara agamanya.
Upaya peningkatan pendidikan sebagai bagian
misi syariah dalam upaya memelihara agama dan
keyakinannya (hifz al-din). Agama hanya dapat dipahami
oleh orang-orang yang berakal serta syariahnya
dibebankan atas orang-orang yang berakal pula. Oleh
karena itu, pendidikan sebagai sarana penting memelihara
akal sehat umat.
Dalam program Indonesia cerdas ini, ada
beberapa macam yang dilakukan, yaitu: Program
beasiswa studi, Satu Keluarga Satu Sarjana (SKSS), Dana
Infaq Abadi Anak Negeri (DINNAR), dan program Mobil
dan Motor Pintar yang dilakukan di beberapa daerah
terpencil di Indonesia. Program mobil dan motor pintar
sebagai sarana mempermudah orang-orang di daerah
terpencil dalam memperolah bantuan sarana belajar.
cccxcv
Program-program pendidikan merupakan bagian
dari kegiatan BAZNAS untuk membantu masyarakat
dhuafa agar mendapatkan pendidikan secara gratis.
Pendidikan merupakan aset utama bagi pemberdayaan
mustahik agar dapat memberdayakan dirinya dengan ilmu
pengetahuan yang telah dimiliki.
b. Indonesia Makmur
Program Indonesia makmur merupakan program
BAZNAS dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Program Indonesia makmur bertujuan untuk menumbuhkan
kemandirian mustahik, lebih jauh bertujuan agar dapat menjadi
muzakki. Program pemberdayaan masyarakat merupakan
program yang penting dalam upaya memberikan jaminan
kehidupan masa depan kaum dhuafa.
Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
BAZNAS ada beberapa jenis, yaitu:
(1) Pelatihan kewirausahaan
Pelatihan kewirausahaan memiliki tujuan sebagai
berikut: a) mengurangi penganguran; b) membantu kaum
dhuafa agar memiliki keterampilan siap kerja; c) membantu
lulusan agar dapat bekerja pada bidang yang dikuasai; d)
membantu lulusan agar mampu memiliki usaha mandiri
cccxcvi
dangan sistem bapak angkat; e) membantu kalangan
dunia usaha mendapatkan SDM yang memiliki
keterampilan yang dibutuhkan. Secara global tujuan dari
pelatihan kewirausahaan adalah membekali para mustahik
agar memiliki keterampilan sehingga dapat mandiri.
(2) Baznas Sentral Ternak
Program pemberdayaan yang dilakukan BAZNAS
yaitu program BAZNAS Central Ternak. Adanya program
tersebut sehinnga petani ternak dapat meningkatkan
pendapatannya sehingga meningkat kesejahteraan
hidupnya.
Sebagaimana program pemberdayaan lainnya,
sentral ternak ini memiliki tujuan sebagai berikut: a)
memfasilitasi peternak-peternak gurem dan peternak yang
tergolong mustahik di wilayah Cimande untuk mencapai
pengembangan peternak modern; b) sebagai wadah pusat
training peternak untuk pengembangan kepada peternak
berbasis comitee development; c) menciptakan lumbung
ternak di daerah; d) memberikan lapangan kerja dan
Penyerapan tenaga kerja secara optimal.
cccxcvii
Adanya program sentral ternak memberikan
peluang kerja yang baik dan pemberdayaan masyarakat
lokal sesuai dengan kondisi wilayah yang ada. Sehingga,
upaya urbanisasi yang besar-besaran tidak akan terjadi.
Selain sentral ternak ada juga program Desa Ternak
Makmur, program pendampingan kelompok peternak
potensial dengan sistem dana bergulir untuk
mengembangakan potensi ternak wilayah. Sesuai
namanya program ini mendampingi peternak memiliki
kemampuan berternak yang baik dan mengarahkan
peternak, memberikan kontribusi dan partisipasi pada
pembangunan desa sasaran. Desa ternak makmur
bertujuan untuk: Mengembangkan potensi ternak daerah,
dapat meningkatkan kapasitas dan kompetensi peternak,
melatih perternak dalam tanggung jawab sosial, dan dapat
membangun jaringan usaha di pedesaan. Desa ternak
makmur merupakan bentuk usaha kelompok yang
dilakukan oleh para petani.
(3) Lapak Sampah Terpadu
Upaya BAZNAS memberdayakan dhuafa tidak
terbatas pada para petani atau masyarakat lain untuk
berwirausaha. BAZNAS juga memberikan perhatian
cccxcviii
kepada para pemulung sampah melalui program Lapak
Sampah Terpadu.
(4) Lumbung Tani Organik
Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan
pertanian yang cukup luas, walaupun saat ini semakin
berkurang dengan perluasan industri. Namun, masih ada
penduduk yang menggantungkan hidup pada usaha
pertanian.
Dalam upaya meningkatkan para petani miskin,
BAZNAS memiliki program pemberdayaan yang
dinamakan gerakan pertanian organik. Adanya program
gerakan pertanian organik, para petani diajak untuk
kembali pada keseimbangan alam dengan menerapkan
pertanian yang alami tanpa penggunaan zat kimia yang
semakin berkembang saat ini.
Program lumbung tani organik memiliki beberapa
tujuan, yaitu: 1) menghasilkan pangan yang sehat, bebas
dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan;
2) meningkatkan kapasitas dan kompetensi petani dalam
rangka pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) ramah
lingkungan; 3) meningkatkan taraf hidup petani yang terdiri
dari dhuafa; 4) adanya bantuan modal bergulir dan
cccxcix
pendampingan program maka tercipta kelompok tani
mandiri.
(5) Pemberdayaan Kampung Nelayan Makmur
Program pemberdayaan kampung nelayan adalah
program pengembangan multi potensi baik potensi
ekonomi maupun potensi lainnya. Tujuan program
pendampingan nelayan adalah: 1) meningkatkan
pengetahuan nelayan dan masyarakat dalam
memaksimalkan potensi diri dan lingkungannya; 2)
meningkatkan kemampuan dan keterampilan nelayan
kegiatan pengembangan potensi laut berbasis pada
potensi laut wilayah.
(6) Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan perempuan adalah program
peningkatan kualitas perempuan. Pemberdayaan
perempuan yang terfokus pada 3 isu yaitu: pemberdayaan
perempuan melalui kegiatan ekonomi produktif,
pemberdayaan perempuan melalui kegiatan kesehatan,
dan pemberdayaan perempuan melalui kegiatan
pendidikan.
cd
Tujuan Program pemberdayaan perempuan
adalah: 1) memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat
bawah baik pada tingkat praktis maupun strategis; 2)
meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya
perempuan untuk menjaga kesehatan sehingga dapat
menurunkan angka kematian ibu, kematian bayi, Infeksi
Saluran Reproduksi (ISR) dan penyakit menular; 3)
meningkatkan kualitas SDM perempuan.
Lokasi program pemberdayaan perempuan yang
telah dilakukan yaitu Jakarta dengan program Koperasi
Perempuan, di Indramayu ada tiga, yaitu: home industri
kecap, sandal, dan kerajinan kayu.
c. Indonesia Peduli
Selain program pemberdayaan, BAZNAS juga memiliki
program kemanusiaan yang disebut Indonesia Peduli. Program
Indonesia Peduli adalah program bantuan kepada individu
atau lembaga untuk memenuhi kebutuhan hidup sesaat atau
bantuan kepada masyarakat yang tertimpa musibah bencana
sesegera mungkin.
Jaringan Program Indonesia Peduli melalui pembentuk
Unit Salur Zakat (USR) atau Jaringan Relawan Indonesia
(JARI) yang merupakan wakil dari Badan Amil Zakat Daerah
cdi
(BAZDA), LAZDA, LSM yang memiliki komitmen kemanusiaan.
Program Indonesia peduli merupakan salah satu bentuk cepat
tanggap terhadap situasi dan kondisi yang terjadi pada
masyarakat khususnya masalah bencana yang menimpa
masyarakat.
Dalam upaya mempermudah kinerja khususnya dalam
penyaluran dana zakat, BAZNAS memiliki Unit Salur Zakat
Center yaitu program pembentukan unit penyaluran dana ZIS
dalam bentuk penyaluran karitas (penyaluran dana langsung
dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok atau penyediaan
layanan kepentingan umum).
Jaringan Kerja USZ skala nasional dengan sistem
kemitraan rutin pelayanan dan program insindentil. USZ
Pelayanan rutin memiliki tujuan sebagai berikut: 1) pelayanan
bantuan keperluan pokok mustahik; 2) menyediakan wahana
bagi mustahik untuk memperoleh atau meningkatkan
pendapatan; 3) mencegah terjadinya eksploitasi terhadap
mustahik untuk kepentingan yang menyimpang.
Unit Salur Zakat (USZ) terdapat di seluruh Indonesia
yaitu 30 Badan Amil Zakat tingkat Provinsi, 30 Lembaga Amil
Zakat Tingkat Pusat dan 9 Mitra Salur zakat Daerah. Adanya
cdii
Unit Salur Zakat sebagai upaya memudahkan koordinasi dari
BAZNAS ke beberapa wilayah tujuan di tanah air.
Untuk mengatasi bencana yang terjadi di beberapa
wilayah Indonesia, BAZNAS memiliki program tanggap
bencana. Melalui Program Tanggap Bencana berupaya
membantu memberikan bantuan kepada masyarakat yang
tertimpa musibah sesegera mungkin. Jaringan Relawan
Indonesia (JARI) dan USZ Center yang tersebar di 33 propinsi
memungkinkan bantuan cepat di laksanakan.
d. Program Indonesia Taqwa
Program Indonesia Taqwa diwakili dengan program dai
mandiri yaitu program pengiriman dai ke daerah-daerah
terpencil di nusantara. Dai yang ditugaskan adalah dai yang
telah melewati seleksi dan memiliki kesiapan untuk terjun ke
daerah terpencil.
Dai yang telah siap ditugaskan, telah dibekali materi
dakwah dan syariah, kemampuan membangun komunitas
yang mandiri serta keterampilan wirausaha. Sehingga
diharapkan dengan hadirnya para dai, akan terwujud
pencerahan dan pemberdayaan masyarakat yang seutuhnya.
Program ini memfasilitasi biaya pelatihan, transportasi, bea
hidup dai.
cdiii
Tujuan pogram Indonesia taqwa adalah: 1) sarana
pengembangan da'wah Islamiyah ke pelosok nusantara; 2)
sarana dai dalam mengimlementasikan keilmuan yang di miliki;
3) membantu masyarakat dalam memahami ajaran Islam. 4)
pengembangan masyarakat produktif dengan pendamping dai
mandiri.
Dalam program Indonesia Taqwa, ada juga Program
Kaderisasi Ulama. Program ini antara lain dilakukan melalui
program beasiswa studi bagi calon ulama. Program Indonesia
taqwa merupakan bagian dari sabilillah yang menjadi salah
satu bagian dari mustahik zakat.
e. Indonesia Sehat
Badan Amil Zakat Nasional melalui Program Indonesia
Sehat menghadirkan 3 layanan kesehatan yaitu: Unit
Kesehatan Keliling (UKK), Dokter Keluarga Prasejahtera,
Rumah Sehat Indonesia.
Unit Kesehatan Keliling melalui mobil klinik kesehatan
ditujukan khusus untuk melayani dan membantu kaum dhuafa.
UKK adalah pelayanan pengobatan dan konsultasi serta
penyuluhan kesehatan di lokasi atau daerah rawan kesehatan
dan jauh akses puskesmas atau rumah sakit. UKK beroperasi
4 hari dalam seminggu.
cdiv
Unit Kesehatan Keliling diadakan dengan tujuan
sebagai berikut: 1) memberikan jasa pelayanan kesehatan
yang murah dan mudah dijangkau masyarakat pra-sejahtera;
2) membangun ketahanan kesehatan yang menyeluruh
(holistik) dan berkesinambungan sebagai tindakan promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif.
Dokter Keluarga Prasejahtera (DKPS) adalah program
layanan kesehatan mustahik melalui kerjasama dengan klinik
di masyarakat. Program DKPS diberikan dalam bentuk
pelayanan kesehatan (pengobatan) dan pendampingan
(penyuluhan) hidup sehat bagi masyarakat kurang mampu.
Program dengan kartu DKPS bagi mustahik ini, dalam
satu bulan melayani 100 KK dengan 500 pelayanan kesehatan
di lima wilayah. Tujuan DKPS yaitu: 1) memberikan jasa
pelayanan kesehatan yang murah dan mudah dijangkau
masyarakat pra-sejahtera. 2) membangun ketahanan
kesehatan yang menyeluruh (holistik) dan berkesinambungan
sebagai tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif. 3)
memotivasi masyarakat untuk melaksanakan pola hidup sehat.
Mahalnya biaya pengobatan telah mempersulit
masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang layak mendorong BAZNAS untuk mencari cara untuk
cdv
menolong kaum dhuafa. Rumah sehat adalah program
pemberian bantuan kesehatan kepada dhu’afa setingkat
rumah sakit yang terletak di kawasan Jakarta Pusat tepatnya
di Masjid Raya Sunda Kelapa.
2) Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Makassar
Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Makassar dalam
mengelola zakat selain berdasar pada UUPZ juga berdasar
pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar No. 5 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Zakat.
Program pendayagunaan zakat yang dilakukan BAZ
Kota Makassar selama 2010,428 di bagi empat kelompok, yaitu:
Pertama, Pembinaan Keagamaan yang meliputi bantuan
masjid, bantuan guru mengaji 458 Orang, muallaf 11 Orang
dan kegiatan keagamaan (lomba tadarrus al-Quran TPA dan
tukang becak; buka puasa dengan panti asuhan guru mengaji,
penyandang cacat, dan tukang becak; maulid/panti asuhan;
sosialisasi zakat, infaq, dan shadaqah.
Kedua, Pengembangan ekonomi dan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang meliputi bantuan fakir miskin 552 Orang;
bantuan keterampilan 40 Orang; bantuan musafir 3 Orang.
428
Sumber: http://bazmakassar.blogspot.com diakses pada 30 April 2011.
cdvi
Ketiga, Bantuan pendidikan dan kesehatan yang meliputi
bantuan beasiswa 99 Orang; bantuan kesehatan; sunatan
massal 256 anak; bantuan pengobatan; fogging/pencegah
DBD di sekolah dan masjid. Keempat, bantuan sosial yang
meliputi fasilitas tenda duka 14 titik tiap kecamatan; bantuan
bencana kebakaran; pelayanan ambulans; Kelima, biaya
sekretariat/amil yang meliputi biaya operasional kantor dan
amil dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).
3) Dompet Dhuafa Republika
Dompet Dhuafa adalah lembaga nirlaba yang
berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum
dhuafa dengan dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS). Organisasi
ini lahir dari empati kolektif komunitas jurnalis yang sering
berinteraksi dengan masyarakat miskin, sekaligus kerap
berjumpa dengan kaum kaya. Digagaslah manajemen yang
menggalang kebersamaan dengan siapapun yang
berkepedulian kepada kaum dhuafa. Empat orang wartawan
yaitu Parni Hadi, Haidar Bagir, S. Sinansari Ecip dan Eri
Sudewo yang berpadu sebagai Dewan Pendiri pada lembaga
independen Dompet Dhuafa.429
429
Sumber: http://www.dompetdhuafa.org. diakses pada 30 April 2011.
cdvii
Dompet Dhuafa memiliki visi yaitu
“terwujudnya masyarakat berdaya yang bertumpu pada
sumber daya lokal melalui sistem yang berkeadilan”
Sedangkan misi yang diemban: (1) membangun nilai
kemanusiaan dan kemandirian; (2) meningkatkan partisipasi
derma masyarakat dan dukungan sumber daya untuk
pemberdayaan; (3) mendorong sinergi program dan jaringan
organisasi pemberdayaan masyarakat global; (4)
menumbuhkembangkan dan mendayagunakan aset
masyarakat melalui ekonomi berkeadilan; (5) mengembangkan
zakat sebagai alternatif dalam pengentasan kemiskinan.430
Dompet Dhu’afa memiliki beberapa program, yaitu:
a. Pendidikan
Di antara program pendidikan yaitu Sekolah
Unggul Bebas Biaya yang dinamakan Smart Ekselensia
Indonesia. Smart Ekselensia Indonesia yang menjadi
program pendidikan Dompet Dhu’afa memiliki paradigma
berfikir “starting with end”, artinya dalam mendesain
sebuah program harus dimulai dengan pertanyaan: Apa
yang ingin dihasilkan? Kemudian apa yang dimiliki saat ini
serta bagaimana caranya agar yang diinginkan itu dicapai
430
Ibid.
cdviii
dengan menggunakan apa yang dimiliki. Adanya
paradigma berpikir tersebut, tiga hal yang dapat diperoleh,
yaitu: 1) institusi pendidikan akan berkembang secara
berkesinambungan; 2) dorongan motivasi untuk
melakukan perubahan jauh lebih kuat; 3) parameter
keberhasilan program akan jauh lebih terukur.
Program pendidikan SMART EI digagas untuk
meningkatkan harkat dan derajat kaum dhuafa. Melalui
pendidikan dan pembinaan yang komprehensif dan
berkesinambungan diharapkan melahirkan siswa yang
memiliki bekal berkarya untuk bangsa, negara, dan
agamanya. Selama dalam proses pendaftaran hingga
mengikuti pendidikan di SMART Ekselensia semua siswa
bebas dari semua biaya
b. Pemberdayaan Masyarakat
Program lain dari Dompet Dhuafa Republika
adalah pemberdayaan masyarakat. Pengembangan
masyarakat yang dilakukan Dompet Dhuafa ada beberapa
macam. Dalam pemberdayaan masyarakat ini ada dua
jenis kelompok masyarakat, yaitu masyarakat rural dan
masyarakat urban. Pembagian kelompok masyarakat ini
didasarkan pada kondisi masyarakat serta untuk
cdix
memudahkan program yang akan dilakukan sehingga
memudahkan evaluasi kinerjanya.
Dalam program pengembangan ekonomi, Dompet
Dhuafa membagi empat kriteria yang menjadi penilaian,
yaitu: Pertama, layak sosial; (padat karya, tidak
menimbulkan gejolak, kecemburuan, persaingan tidak
sehat di masyarakat setempat). Kedua, layak lingkungan;
(tidak menimbulkan masalah/gangguan lingkungan seperti:
bau limbah, suara, pencemaran udara/air/tanah). Ketiga,
layak teknis; (menggunakan teknologi ramah lingkungan,
peralatan mudah diperbaiki bila mnegalami kerusakan.
Keempat, Dapat dijadikan aset produktif Indonesia
Adanya penetapan kriteria pengembangan
ekonomi yang ditetapkan Dompet Dhuafa merupakan
indikator perencanaan program. Setiap program yang akan
dilakukan harus memiliki perencanaan yang matang
dengan indikatorindikatornya dapat terukur. Selain itu,
penetapan kriteria akan memudahkan evaluasi terhadap
program yang dilakukan. Dalam program pengembangan
masyarakat Dompet Dhuafa menggunakan beberapa
pendekatan yaitu: pendekatan usaha sektor riil yang
cdx
melibatkan mustahik, layak/sehat, dan berkesinambungan
serta dapat mandiri.
Dalam program pengembangan masyarakat DD
memiliki jejaring yaitu: Masyarakat Mandiri, Lembaga
Pertanian Sehat, Kampoeng Ternak, BMD, dan BMT
Center. Pengembangan lembaga-lembaga yang dibentuk
oleh Dompet Dhuafa selanjutnya merupakan jejaring
Dompet Dhuafa yang diharapkan mampu mandiri.
c. Kesehatan
Program Kesehatan yang ada di Dompet Dhuafa
yaitu LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma). Layanan
Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) merupakan lembaga non
profit jejaring Dompet Dhuafa Republika khusus di bidang
kesehatan yang melayani kaum dhuafa secara paripurna
melalui pengelolaan dana sosial masyarakat (ZISWAF-
Zakat, Infak, Sedekah dan wakaf) dan dana sosial
perusahaan. LKC telah memiliki izin operasional secara
legal dari Balai Pengobatan Nomor:
445.5/240/T/5186/Dinkes Kabupaten Tangerang. Semua
kegiatan LKC berpijak pada visi dan misi yang telah
ditetapkan. Visi LKC adalah menjadi institusi yang mampu
mengembangkan program pelayanan kesehatan secara
cdxi
profesional bagi dhuafa di Indonesia pada tahun 2012.
Sedangkan misi LKC adalah: 1) Mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan yang berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK); 2) Mengembangkan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM); 3) Mengembangkan kemitraan
dengan sesama jejaring Dompet Dhuafa dan di luar
jejaring Dompet Dhuafa.
Dari seluruh program yang dilakukan oleh Dompet
Dhuafa Republika, pengguna dana terbesar sampai 30 Rabiul
Awwal 1432 H adalah kelompok sabilillah. Disusul oleh
kelompok, amil, ibnu sabil, muallaf dan gharimin.431 Bagian
terbesar dana hibah untuk fakir miskin. Dalam penyaluran
dana oleh Dompet Dhuafa melihat aspek prioritas kelompok
yang membutuhkan bantuan.
4) LAZ DAPU al-Markaz al-Islami Makassar
Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Amal Peduli Umat
(DAPU) al-Markaz al-Islami Makassar dibentuk pada 25 Sya’ban
1423 H atau bertepatan 1 Nopember 2002. Al Markaz al-Islami
telah memposisikan diri sebagai lembaga penerima zakat (zakat
fitrah, zakat mal), infaq, shadaqah, dana sosial, wakaf,
431
Ibid.
cdxii
penyembelihan hewan qurban yang dilaksanakan oleh sebuah
panita yang dibentuk oleh Pengelola Harian Yayasan Islamic
Centre (YIC) al-Markaz al-Islami Makassar.
LAZ DAPU al-Markaz al-Islami Makassar memiliki visi yaitu
“Menjadi institusi pengelola zakat yang amanah dalam
menyelenggarakan berbagai program pemberdayaan ekonomi
umat.” Sedangkan misinya adalah: (1) Memotivasi masyarakat
untuk menghimpun dana zakat dan non-zakat; (2) Menghimpun
dan mengelola dana zakat dan non zakat secara profesional dan
transparan; (3) Melayani kepentingan muzakki dan mustahik; (3)
Menyelenggarakan berbagai program pendidikan, dakwah, sosial
dan kemaslahatan umat; (5) menyelenggarakan berbagai program
pemberdayaan ekonomi umat.
Berdasarkan Pedoman Dasar dan Kegiatan Strategis-nya,
LAZ DAPU al-Markaz al-Islami Makassar menyalurkan dana pada
empat bidang kegiatan:
1. Pengembangan SDM
a. Memberikan bantuan bagi siswa sekolah dhuafa al-Markaz
al-Islami
b. Beasiswa bagi siswa berprestasi untuk tingkat SD, SMP,
SMA dan bantuan biaya penelitian bagi mahasiswa yang
kurang mampu
cdxiii
2. Bantuan sosial
Pemberian bantuan kepada masyarakat yang sedang
mengalami krisis, musibah, sakit, cacat, bencana alam,
santunan untuk anak yatim, fakir miskin, pemberdayaan
pegawai masjid, orang terlantar dan lain-lain.
3. Bidang Dakwah,
Memberikan kepada orang yang masih awam terhadap ajaran
Islam termasuk muallaf, baik melalui pendidikan dan pelatihan
maupun santunan secara langsung, termasuk bantuan untuk
guru mengaji.
4. Pengembangan ekonomi
Memberikan bantuan bagi dhuafa disertai pembinaan sehingga
terwujud wirasusaha yang tangguh dan mandiri, mengubah
mustahik menjadi muzakki.
Apabila dilihat program tersebut pada umumnya
pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh LAZ DAPU al-
Markaz al-Islami Makassar masih bersifat konsumtif walaupun
sudah ada yang mengarah pada kegiatan-kegiatan produktif.
Berdasarkan uraian di atas, dari empat lembaga pengelola
zakat (BAZNAS, BAZ Kota Makassar, Dompet Dhuafa, dan LAZ
DAPU al-Markaz al-Islami Makassar) pendistribusian dan
pendayagunaan zakat telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan
cdxiv
Lembaga Amil Zakat meliputi dua bentuk yaitu program produktif dan
konsumtif. Program yang dilakukan secara umum meliputi bidang
pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sosial.
Diantara kesuksesan pengelolaan zakat dalam merealisasikan
tujuan kemasyarakatan adalah pendistribusian yang baik.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Q.S. at-Taubah (9) ayat 60,
bahwa sasaran zakat yaitu terdiri dari 8 golongan (1) fakir, (2) miskin,
(3) amil, (4) muallaf, (5) memerdekakan budak, (6) orang-orang yang
berhutang, (7) keperluan di jalan Allah swt., (8) orang-orang yang
sedang dalam perjalanan.
Dalam praktiknya, pada empat lembaga pengelola zakat
tersebut tidak selalu menyalurkan dananya secara merata kepada
semua mustahik yang telah disebutkan dalam Alqur’an , karena
disesuaikan dengan tujuan lembaga, kondisi, serta kebutuhan
masyarakat sekitar dan disesuaikan dengan konsentrasi atau fokus
lembaga tersebut, maka hal itulah yang menjadi prioritas lembaga
dalam menyalurkan dananya. Misalkan lembaga yang memiliki tujuan
utama untuk memberdayakan keterampilan, dana difokuskan pada
eksplorasi lembaga pendidikan. Tujuan ini akan menjadi pemandu
agar lembaga tidak salah dalam memilih dan menentukan program
khususnya, yang memiliki keunggulan dan menjadi karakteristik
lembaga tersebut.
cdxv
Meskipun ada skala prioritas yang sesuai kebutuhan
masyarakat dari program pengelola zakat, tetapi program-program
yang dilakukan tersebut tetap terkait dengan upaya mewujudkan
keadilan dan merupakan sesuatu yang mesti dilakukan, karena selama
ini terjadi ketimpangan baik sosial maupun ekonomi. Lembaga
pengelola zakat telah berkiprah dalam upaya memperbaiki keadaan
masyarakat (mustahik zakat) baik melalui program pendidikan,
ekonomi, maupun sosial.
Dalam perspektif ekonomi Islam, penyebab utama ketimpangan
ekonomi bukan oleh kelangkaan (scarcity), melainkan karena
terjadinya distribusi dan alokasi sumber daya ekonomi yang tidak
merata. Oleh karena itu, zakat disyari’atkan antara lain bertujuan untuk
mempersempit ketimpangan ekonomi di dalam masyarakat dengan
pendistribusiannya khusus kepada kelompok tertentu.
Keadilan distributif kekayaan melalui zakat adalah untuk
melakukan keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan kepemilikan
kolektif. Islam memang mengakomodasi kepemilikan pribadi,
sebagaimana dalam Q.S. at-Taghabun (64) ayat15.
Terjemahnya:
cdxvi
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Kepemilikan pribadi ini bukanlah mutlak sehingga si pemilik
dapat mengalokasikan hartanya ini sesuai dengan selera nafsunya
semata. Kepemilikannya hanyalah bersifat artifisial, karena memiliki
keterkaitan dengan sang Pemilik aslinya, yaitu Allah swt.
Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Taha (20) ayat 5-6.
Terjemahnya:
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.
Keadilan distributif dalam ekonomi zakat dapat berpengaruh
besar terhadap keseimbangan ekonomi secara nasional. Dhuafa yang
dapat terpenuhi kebutuhan pokoknya akan berpengaruh pada produksi
barang dan jasa. Peningkatan barang dan jasa akan meningkatkan
tenaga kerja sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Peningkatan
tenaga kerja akan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan
nasional secara keseluruhan.
cdxvii
Adanya peningkatan pendapatan nasional akan dapat
mewujudkan peningkatan kesejahteraan secara umum. Oleh karena
itu, keadilan ekonomi merupakan salah satu indikator terwujudnya
kesejahteraan umum.
Dalam konteks sosial, aktifitas berzakat yang terkoordinir
dengan baik akan mampu memerdekakan masyarakat dari belenggu
kemiskinan serta mendorong pembangunan perekonomian
masyarakat ke arah kemakmuran yang lebih baik. Contoh terbaik
adalah yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Abdul Azis, dimana
kesuksesan pengelolaan zakat mampu mengeluarkan masyarakat dari
kemiskinan.
Keberhasilan Umar bin Abdul Aziz karena kemampuan
manajemen dan kejujuran yang dimiliki. Konsep distribusi zakat yang
dikembangkan bahwa zakat merupakan bentuk subsidi silang yang
secara langsung dapat dirasakan dampak ekonominya. Zakat harus
memiliki dampat pada peningkatan masyarakat yang memiliki daya
beli rendah. Rangsangan zakat akan meningkatkan demand atau
permintaan, sehingga pada akhirnya meningkatkan supply. Dengan
kata lain peningkatan demand tersebut juga mendorong peningkatan
produksi. Zakat menjadi stimulan pertumbuhan perekonomian secara
mikro maupun makro. Pada akhirnya zaman khilafah Umar bin Abdul
cdxviii
Aziz para pembayar zakat berkeliling kota untuk mencari penerima
zakat yang sudah sulit ditemui, karena mereka pada umumnya sudah
memiliki kemapanan dibidang ekonomi.
Apabila esensi zakat sebagai salah satu instrumen pembebasan
ekonomi dapat difahami oleh umat Islam keseluruhan, maka tingkat
kemakmuran rakyat dapat meningkat secara merata karena
keberkahan yang diperoleh, serta perekonomian negeri ini menjadi
lebih baik.
cdxix
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
4. Hakikat pengeloaan zakat pada dasarnya mengandung nilai dan
prinsip seperti nilai tauhid, prinsip akhlak, prinsip kemanusiaan, prinsip
keseimbangan, prinsip kemasyarakatan, prinsip distribusi, dan prinsip
konsumsi. Nilai dan prinsip tersebut belum terimplementasi dengan
baik dalam pengelolaan zakat sehingga zakat sebagai salah satu
rukun Islam yang terkait dengan ekonomi Islam belum dapat
memajukan kesejahteraan umum yang berdasar pada keadilan sosial.
5. Landasan keberlakuan hukum Islam seperti landasan teologis,
landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis belum
terimplementasikan secara baik dalam peraturan perundang-undangan
pengelolaan zakat sehingga pengelolaan zakat belum sepenuhnya
dapat mewujudkan jaminan keadilan sosial di Indonesia
6. Dalam pelaksanaan pengelolaan, masih kurang kepatuhan hukum
dalam membayar zakat pada pengelola zakat, pemerintah baik belum
berperan dengan baik sebagai pengatur (regulator), pengelola
(operator), pengawas (supervisor), dan eksekutor zakat; belum
terkoordinasi pengelolaan zakat dengan baik; dan mekanisme
pengumpulan zakat dengan obyek zakat yang masih konvensional dan
cdxx
belum menyentuh sumber-sumber ekonomi modern serta
pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang masih berorientasi
konsumtif.
B. Saran-Saran
1. Untuk mewujudkan zakat yang berkeadilan sosial, perlu penerapan
sistem zakat secara kaffah di Indonesia dengan membuat standarisasi
pengelolaan zakat nasional (fiqih zakat) yang menjadi rujukan bagi
semua Badan Amil Zakat tingkat propinsi, kabupaten maupun kota
ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) sehigga lembaga zakat memiliki
pola yang sama dalam pengelolaan zakat.
2. Pendistribusian zakat hendaknya pada mustahik yang berada di
sekitar lokasi pengumpulan zakat sehingga memberdayakan
masyarakat di daerah tersebut dan pendistibusian serta
pendayagunaanya berorientasi zakat produktif.
3. Perlu mengoptimalkan pengumpulan zakat pada sumber-sumber
ekonomi modern seperti zakat badan usaha yang mengelola sumber
daya alam maupun yang mengelola jasa.
cdxxi
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Abdul Majid bin Aziz al-Zindani, et.al., 1997, Mukjizat Al-Qur’an dan As-
sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema Insani Press. Abdullah Amrin. 2007. Strategi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia. Abd al-Wahhab Khallaf. 1978. Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Qalam li al-
Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi. Abdul Qadim Zallum. 1983. Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah. Beirut : Darul ‘Ilmi
li al-Malayin. Abdurrachman Qadir. 2001. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari. t.th. Shahih al-
Bukhari. Juz II. Dimasyq: Dar wa al-Mutabi al-Shabil. Abuddin Nata. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Grafindo Perkasa. Abu Fida’ Abdur Rafi’. 2004. Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun
Nafs (Penyucian Jiwa). (terjemahan). Jakarta: Penerbit Republika. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. 1989. Ihyā Ulūm ad-Din. Jilid III. Beirut:
Dar al-Fikr. Abu Yasid, 2004. Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai
Agama Universal. Yogyakarta: LKis. Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
cdxxii
Adi Sasono. 2008. Menuju Rakyat Berdaulat: Wawancara Adi Sasono Ketua Umum Dekopin. Jakarta: Penerbit Republika.
Afzalurrahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. (terjemahan). Jilid 3.
Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf. _______2000. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. (terjemahan).
Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy. Arifin, M. 2000. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di
Lingkungan Sekolah dan Keluarga.Jakarta: Bulan Bintang. Ahmad Azhar Basyir. 1988. Asas-Asas Hukum Muamalat. Yogyakarta:
Fakultas Hukum UII. Ahmad Ifham Sholihin. 2010. Ekonomi Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Ahmad Munif Suratmaputra. 2002. Fisafat Hukum Islam al-Ghazali;
Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad Syalabi, t.th. al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah. Kairo:
Maktabah Al-Nahdhah. Ainur R. Shopian, (ed.). 1997. Negara Sejahtera dalam Islam dan
Peranannya di Bidang Ekonomi dalam Etika Ekonomi Politik. Surabaya: Risalah Gusti.
Ali Abdul Halim Mahmud. 2004. Akhlak Mulia. (terjemahan). Jakarta: Gema
Insani Press. Ali Anwar Yusuf. 2002. Wawasan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Ali Nurdin. 2006. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al-Qu’ran. Surabaya: Penerbit Erlangga. Amartya Sen. 2010. The Idea of Justice. London: Penguin Books. Aminuddin Ilmar. 2009. Konstruksi Teori dan Metode Kajian Ilmu Hukum.
Makassar: Hasanuddin University Press.
cdxxiii
Amir Syarifudin. 2009. Ushul Fikih. Jilid 2. Jakarta; Kencana Prenada Media Group.
Amrullah Achmad (et.al). 2006. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional: Mengenang 65 th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press
Andre Ata Ujan. 2009. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius. Anonim. 2006. Social Justice in an Open World: The Role of the United
Nations. New York: United Nations Publication. Antonius Atoshoki. (et.al). 2006. Relasi dengan Tuhan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo. Anwar Sani, M. 2010. Jurus Menghimpun Fulus: Manajemen Zakat Berbasis
Masjid. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Arfin Hamid, M. 2006. Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia:
Aplikasi dan Prospektifnya. Bogor: Ghalia Indonesia. ______2007. Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia: Perspektif
Sosio-Yuridis. Jakarta: eLSAS. Arskal Salim and Azyumardi Azra, (ed.). 2003. Sharia and Politics in Modern
Indonesia. Singapore: ISEAS Asghar Ali Engineer. 1993. Islam dan Pembebasan (terjemahan).
Yogyakarta: LKiS. Asmaran As. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Press.
Bagir Manan. 1996. Politik Perundang-Undangan dalam Rangka
Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian. Bandar Lampung: FH-UNILA.
Budhy Munawar Rachman. (ed.). 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
______ 2001. Islam Plural: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
cdxxiv
Bur Rusuanto. 2005. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Carl Joachim Friedrich. 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis.
(terjemahan). Bandung: Nusa Media. Chaider S. Bamuaalim dan Irfan Abubakar. (ed.). 2005. Revitalisasi Filantropi
Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya [PBB] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Christopher Heath Wellman and Alan John Simmons. 2005. Is There a Duty to Obey
the Law?. New York: Cambridge University Press.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo. 2007. Mimpi Negara
Kesejahteraan. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa. Dasuki Hafidz. (ed.). 1993. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Jakarta: Ikhtiar Baru
van Hoeve. Daud Rasyid. 1998. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta: Gema Insani Press. Dennis Patterson. (ed.). 2010. A Companion to Philosophy of Law and Legal
Theory, (United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. Didin Hafidhuddin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani Press. _______ 2003. Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press. _______dan Hendri Tanjung. 2008. Manajemen Syariah dalam Praktik.
Jakarta: Gema Insani Press. Endang Saifuddin Anshari. 2004. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran
tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Fajar Riza dan Endang Tirtana (ed.). 2007. Islam, HAM, dan Keindonesiaan:
Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity.
cdxxv
Fachry Ali. 1984. Islam Keprihatinan Universal dan Politik Indonesia. Jakarta:
Pustaka Antar Kota Fakhruddin. 2008. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, Malang: UIN
Malang Press. Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama). Jakarta:
Logos. Fazlur Rahman. 1982. Islam and Modernity, Transformation of Intellectual
Tradition. Chicago: The University of Chicago Press. Fernando M. Manullang, E. 2007. Menggapai Hukum. Jakarta : Kompas. Fu’ad Abdul Baqi. 1981. al-Mu’jam al-Mufahras li alfazd al-Qur'an al-Karim.
Mesir : Dar al-Fikr. Frans H. Winarta. 2009. Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. Ghazali, Al. t.th. Al-Mustasfa fi `Ilm al-Ushul. T.tp.: Dar al-Fikr, t.th.
Hamid Abidin. (ed.). 2004. Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju
Pemanfaatan Zakat Infak Sedekah. Jakarta: Piramedia. Hamka Haq. 2003. Syariat Islam: Wacana dan Penerapannya. Ujung
Pandang: Yayasan al-Ahkam. Harun Nasution. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid I. Jakarta:
UI Press. Harry J. Gensler. 2011. Ethics: A Contemporary Introduction, Second Edition.
New York: Routledge. Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing,
(Bandung: Mizan.
Hestu Cipto Handoyo, B. 2008. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Ibnu Khaldun. 2005. The Muqaddimah: An Introduction the History. United Kingdom: Princeton University Press.
cdxxvi
Ibrahim Musthafa. (et.al.). 2004. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Maktabah asy-
Syuruq ad-Dauliyah. Idris Thaha. (ed). 2003. Berderma Untuk Semua: Wacana dan Praktik
Filantrofi Islam. Bandung: Teraju Mizan.
Imadduddin Abdulrahim, M. 2002. Islam Sistem Nilai Terpadu. Jakarta: Gema Insani Press.
Imam Abu Hamid al-Ghazali. 2008. Al Mustashfa bi Tahqiqi Abdullah
Mahmud Muhammad Umar. Beirut: Darul Kutub Ilmiyah. Imam Sukardi. (et.al). 2003. Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern. Solo: Tiga
Serangkai. Imdadun Rahmat, M. 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Membaca Realitas.
Jakarta: Erlangga. Irfan Idris. 2009. Islam dan Konstitusionalisme: Konstribusi Islam dalam
Penyusunan Undang-Undang Dasar Indonesia Modern. Yogyakarta: antonyLib.
Isbandi Rukminto Adi. 2005. Konsep dan Pokok Bahasan dalam Ilmu
Kesejahteraan Sosial. Jakarta : UI Press. Isnawati Rais. 2005. Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim. Jakarta: Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam. t.th. Qawaidul Ahkam fi Islahil
Anam. Damaskus: Darul Qalam. Jamil Ahmad. 1996. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang
Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
_______ 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. John Perry. et.al (ed.), Introduction to Philosophy: Classical and Contemporary Reading. New
York: Oxford University Press.
cdxxvii
John Rawls. 2003. A Theory of Justice. United States of America: Harvard University Press. _______ 2003. Justice as Fairness: a Restatement. United States of America: President and
Fellows of Harvard College.
Jon Mandle. 2009. Rawl’s a Theory of Justice: an Introduction. New York: Cambridge University Press.
Joseph Raz. 2009. The Authority of Law: Essays on Law and Morality. United
States: Oxford University Press. Kirdi Dipoyudo. 1990. Membangun Atas Dasar Pancasila. Jakarta : CSIS. Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: PT.
Mizan Pustaka. Laode Husen. 2005. Hubungan Fungsi Pengawasan DPR dengan BPK
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: CV. Utomo Lawrence M. Friedman. 1975. The Legal System: a Sosial Science
Perspective. New York : Russel Sage Foundation. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. 2009. Indonesia Economic Outlook 2010. Jakarta: Kompas Gramedia.
Louis Ma’luf. 1997. al-Munjid fi Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq. Mahmud Abu Saud. 1996. GBEI: Garis-Garis Besar Ekonomi Islam.
(terjemahan). Jakarta: Gema Insani Press. Mahmud Syalthut. 1966. Islam: Aqidah wa Syariah, t.tp: Dar al-Qalam. Mahyuddin. 1999. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakarta : Kalam Mulia. Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. t.th. al-Mu’jam al-Wasit. Juz 1. Teheran: al-
Maktabah al-Ilmiyah. Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
cdxxviii
Marzuki Wahid dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Masdar F. Mas’udi. 1993. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam.
Jakarta: P3M. _______ 2005. Menggagas Ulang Zakat: Sebagai Etika Pajak dan Belanja
Negara untuk Rakyat. Bandung: PT. Mizan Pustaka Masjfuk Zuhdi. 1993. Studi Islam (Aqidah). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Michael J. Sandel. 2010. Justice: What’s the Right Thing to Do?. London:
Penguin Books. Mohammad Asror Yusuf. 2004. Kaya Karena Allah: Sikap dan Pandangan
Islam terhadap Dunia Materi. Depok: Kawan Pustaka. Mohammad Shujaat. 2004. Social Justice in Islam. New Delhi: Anmol
Publications PVT. LTD. Muchotob Hamzah dkk. 2004. Tafsir Maudhu’i Al-Muntaha, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren. Muhammad Ayub. 2007. Understanding Islamic Finance. (terjemahan).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Muhammad Abu Zahrah. 1958. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy. Muhammad Baqir al-Habsyi. 2005. Fiqih Praktis 1 menurut al-Qur’an. al-
Sunnah dan Pendapat Ulama. Bandung: PT Mizan Pustaka. Muhammad bin Thahir bin Asyur. 2006. Maqasid asy-Syariah al-Islamiyah.
Kairo: Darus Salam. Muhammad Daud Ali. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf.
Jakarta: Universitas Indonesia Press. _______ dan Habibah Daud. 1995. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press. ______2002. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
cdxxix
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. 1981. al-Mu’jam al-Mufahras li alfazd al-Qur’an al-Karim. Mesir: Dar al-Fikr.
Muhammad Ibnu Mukaram Ibnu Mansur, t.th. Lisan al-Arab. Juz IX. Beirut:
Dar Lisan al-Arab. Muhammad Ibn Ya’qub al-Fairuzabadiy. 1985. Al-Qamus al-Muhith. Beirut:
Dar al-Fikr. Muhammad Ismail Ibrahim. 1969. Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam al-Quraniyyah.
Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi. Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma. 2002.
Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani Press. Muhammad Kamaludin Imam. t.th. Ushulul Fiqh al-Islamy, Iskandariyah:
Darul Matnu’at al-Jami’ah. Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani Press. Muhammad Tahir Azhary. 2007. Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana.
Muhammad Tholhah Hasan. 2005. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural.
Jakarta: Lantabora Press.
Muhammad Uda Kasim. 2005. Zakat: Teori, Kutipan, dan Agihan. Kuala Lumpur: Utusan Publication and Distribution.
Muhammad Syakir Sula. 2004. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan
Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. Muhammad Yusuf Musa. 1988. Islam Suatu Kajian Komprehensif.
(terjemahan). Jakarta: Rajawali Pers. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman.1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung: Al-Ma’arif.
Munawir Syadzali. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press.
cdxxx
Murtadha Muthahhari. 2009. Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam. (terjemahan). Bandung: Mizan.
Musa Asy’ari. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. Muslich. 2004. Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan
Substansi Implementatif. Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII. Mustafa Haji Daud. 2004. Tamadun Islam. Kuala Lumpur: Utusan
Publications & Distributors Sdn Bhd. Natsir Fathuddin, TM. 2008. Kuliah Akhlak: Kajian Sistematis Mengenai
Akhlak Terhadap Allah dan Rasulullah SAW. Jilid I. Bogor: Pesantren Baitussalam.
Panitia Penyusun Biografi. 1990. Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaruan
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Tiga Sembilan. Paul Spicker. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. London:
Prentice Hall. Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto. 1988. Hukum dan
Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Qastalani. 1990. Irsyad al-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari III. Beirut : Dar al-
Fikr, 1990. Qodri Azizy, A. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong
Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Quraish Shihab, M. 2003. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan. _______2007. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: PT.
Mizan Pustaka. _______2007. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
cdxxxi
Ratno Lukito. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Modern: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Razi. 1996. Mukhtar as-Shahah. Beirut: Maktabah Lubnan. Richard B. Brandt (ed.). 1962. Social Justice. United States of America:
Prentice-Hall, Inc. Robert N. Bellah. 1976. Beyond Belief. New York: Harper & Row. Ron Villanova. 1999. Legal Methods: A Guide for Paralegals and Law Students,
(United States of America: Llumina Press. Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia. Routledge.Cavendish. 2002. Jurisprudence. New York: Cavendish
Publishing. Michael J. Sandel. 2010. Justice: What’s the Right Thing to Do?. London:
Penguin Books. Sabahuddin Azmi. 2002. Islamic Economics. New Delhi: Goodwork Books. Sahal Mahfudh. 2007. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2007. Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya. _______ 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya.
Yogyakarta: Genta Publishing. Satya Arinanto dan Ninik Triyanti. 2009. Memahami Hukum dari Konstruksi
Sampai Implenetasi. Jakarta: PT. Rajawali Pers.
Sayyid Qutb. 2000. Social Justice in Islam. New York: Islamic Publications International.
_______ 2001. Tafsir fi Zhilalil Qur`an. Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press. Sayid Sabiq. 1985. Aqidah Islam (Ilmu Tauhid). (terjemahan). Bandung:
PT. Diponegoro.
cdxxxii
Setiawan Budi Utomo. 2009. Metode Praktis Penetapan Nisab Zakat: Model Dinamis Berdasarkan Standar Nilai Emas dan Kebutuhan Hidup Layak (KHY) Provinsi. Bandung: PT. Mizan Pustaka Utama.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan. 1998. Kitab Tauhid, (terjemahan).
Jakarta: Akafa Press. Sjechul Hadi Permono. 1995. Pemerintah Republik Indonesia Sebagai
Pengelola Zakat. Jakarta, Pustaka Firdaus. Singh, N.K. 1998. Social Justice and Human Rights in Islam. New Delhi:
Mehra Offset Press.
Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press Sofyan Hasan, K.N. 1995. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. Surabaya: Al-
Ikhlas. Sri Nurhayati dan Wasilah. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta:
Salemba Empat. Sukarno Aburaera et.al. 2009. Filsafat Hukum. Malang: Bayumedia
Publishing Sukron Kamil. 2002. Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis.
Jakarta Gaya Media Pratama. Sumardi Suryabrata. 1995. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Stuart Oskamp and P. Wesley Schultz. 2009. Attitudes and Opinions. Third Edition.
New York: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Syarif Hidayatullah. 2008. Ensiklopedia Rukun Islam, Ibadah Tanpa Khilafiah,
Zakat. Jakarta: Al-Kautsar Prima. Syatibi. 1997. Al Muwafaqat fi Ushul asy-Syariah. Vol. 2. Beirut: Dar Ibnu
Affan. Syeikh Ibnu Taymiyyah. 2006. Panduan Merawat dan Mencerdaskan Kalbu.
(terjemahan). Jakarta: PT. Sermabi Ilmu Semesta. Syihab, H.Z.A. 1998. Aqidah Ahlu Sunnah. Jakarta: Bumi Aksara.
cdxxxiii
Syuhudi Ismail. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang.
Theo Huijbers. 2010. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius. Tim Penulis Hizbut Tahrir Indonesia. 2002. Menegakkan Syariah Islam. (T.tp:
Hizbut Tahrir Indonesia. Tobroni dan Samsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik
Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Penddidikan. Yogyakarta: SI Press.
Topo Santoso. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariah
dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press. Umer Chapra, M. 2000. Sistem Moneter Islam. (terjemahan). Jakarta: Gema
Insani Press. _______ 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. United
Kingdom: The Islamic Foundation. Valerine, J.L.K. 2009. Modul Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Yunahar Ilyas. 2002. Kuliah Akhlak. Jakarta: Pustaka Pelajar. Yusuf Hamid Alim. 1994. Al-Maqasid al-Ammah Lissyariah al-Islamiyah.
Riyadh: Ma’had Ali al-Fikri al-Islami. Yusuf al-Qardawi. t.th. Fiqh al-Zakah: a Comparative Study of Zakah,
Regulations and Philosophy in the Light of Qur'an and Sunnah, Volume I. Arab Saudi: Scientific Publishing Centre King Abdulaziz University Jeddah.
______ 2007. Hukum Zakat. (terjemahan). Bogor : Pustaka Litera Antarnusa. _______2005. Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan.
(terjemahan). Jakarta: Zikrul Hakim. Wael B. Hallaq. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul
Fiqh Madzhab Sunni. (terjemahan). Jakarta: Rajawali Press.
cdxxxiv
Wahbah al-Zuhayly. 1988. Zakat: Kajian Berbagai Mazhab. (terjemahan). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Warren E. Ilchman dkk. (ed.). 2006. Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia.
Jakarta: CRSC UIN Syahid Jakarta. Wiwoho, B. et.al., (ed.). 1992. Zakat dan Pajak. Jakarta: Bina Rena Pari
Wara, 1992.
B. Sumber-Sumber Lain Ahmad Sutarmadi, “Jangan Tutup Gerak LAZ, tapi Atur dan Awasi Mereka”,
Majalah InfoZ, Edisi 4 Tahun VI, Januari-Februari 2010. Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto. “Zakat, Keadilan dan
Keseimbangan Sosial” dalam Jurnal Pemikiran dan Gagasan. Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008.
Ahmad Zaenal Fanani. “Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan
Islam”http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORI%20KEADILAN%20PERSPEKTIF%20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf diakses pada 28 Juni 2010.
Ali Parman. ”Ketaatan Berzakat: Telaah Hukum Islam dan Implikasinya
Terhadap Manajemen Zakat di Kota Makassar ”Disertasi, Program Pascasarjana UIN alauddin Makassar. 2007.
______ “Kemoderatan Dalam Hukum Islam: Telaah Terhadap Implementasi
Ibadah-Muamalah yang Bercorak Matematis”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar. 25 Oktober 2011.
Almisar Hamid. “Nasib Lembaga Amil Zakat Di Indonesia” http://www.ahmad
heryawancom/opini-media/sosial-politik/4297-nasib-lembaga-amil-zakat-di-indonesia.pdf diakses pada 2 Mei 2010.
Amiur Nuruddin. 1994. “Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an dan Implikasinya
Pada Tanggung Jawab Moral”. Disertasi. Yogyakarta : Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.
cdxxxv
Anonim, Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, http://www. scribd.com/doc/32246829/Tata-Urutan-Peraturan-Perundang-undangan”, diakses pada 15 Maret 2011.
Anwar Ibrahim. Negara Kesejahteraan Versi Maccae ri Luwu.
http://alwyrachman. blogspot.com/2009/09/negara-kesejahteraan-versi-maccae-ri.html diakses pada 5 Juni 2010.
Arfin Hamid, M. “Hukum Zakat: Pengembangan dan Pendayagunaannya
Sebuah Kajian Kearah Formalisasi Hukum Zakat di Indonesia” Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 1999.
______ “Teori Bisnis Tazkiyah: Konsep dan Aplikasinya pada Bank Syariah
dan Institusi Syariah Lainnya”. Jurnal Amanna Gappa. Vol. 16 Nomor 4 Desember 2008.
______ “Menakar Paradigma Kesadaran Berzakat” Fajar. Sabtu, 28 Agustus
2010. _______, “Konsep Reformasi Berzakat” Fajar, Rabu, 25 Agustus 2011. Aris Munandar. “Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial, dan
Pemberdayaan Masyarakat” Jurnal Universitas Paramadina. Vol.2 No. 1 September 2002.
Asep Saepudin Jahar. The Clash of Muslim and the State: Waqf and Zakat in
Post Independence Indonesia dalam Studi Islamika: Indonesian Journal For Islamic Studies, Vol. 13 No. 3, 2006.
Asmawi. “Relevansi Teori Maslahat dengan UU Pemberantasan Korupsi”
http://asmawi.net/wp-content/uploads/2010/01/Relevansi-Teori-Maslahat-dengan-UU-Pemberan-tasan-Korupsi.PDF diakses pada 2 Juni 2010.
Bowo Pribadi, Nilai Islam Jadi Dasar Hukum, http://bataviase.co.id/node/
481341 diakses 12 Pebruari 2011. Didin Hafidhuddin, “ Mewujudkan Manajemen Zakat Modern dan Profesional”
http://pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/1288-mewujudkan-manajemen-zakat-modern-dan-profesional.html diakses pada 28 Agustus 2011.
Dawam Rahardjo, M. “Adl” dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Vol V No. 3. 1994.
cdxxxvi
_______ 1996. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci. Jakarta : Paramadina. Edi Suharto. Islam dan Negara Kesejahteraan. http://www.policy.hu/suharto/
Naskah% 20PDF/ IslamNegaraKesejahteraan.pdf diakses pada 24 Februari 2010.
Erman Rajagukguk, Filsafat Hukum Ekonomi. http://www.ermanhukum.com/
Kuliah/Filsafat%20Hukum%20Ekonomi%20Kul%20II.pdf diakses 22 April 2011.
Hairunnizam Wahid dkk., “Kesedaran Membayar Zakat Pendapatan di
Malaysia” http://www.ukm.my/hairun/kertas%20kerja/kesedaran%20 membayar%20zakat%20pendapatan.pdf diakses 6 September 2011.
Hayyan ul Haq ”Managing Uncertainty And Complexity In The Utilization Of
Biodiversity Through The Tailor-Made Inventor Doctrine And Contract Law, Paper, Presented at International Workshop Managing Uncertainty and Complexity in Biodiversity and Climate Change, University Chatolic Louvain La-Neuve, Belgium 15-16 June 2006.
_______“Constructing a Coordinated Structure in the Contract for the
Transfer of Technology” International Journal Technology Transfer and Commercialisation. Vol. 6, No. 1, 2007.
Henry Simarmata. Keadilan Sosial: Perspektif Perdebatan antara John
Maynard Keynes dan Friedrich von Hayek. http://www.psik-indonesia.org/files_pdf/Keadilan%20Sosialpaper%20okt_ 20090330050314. pdf diakses pada 23 Juni 2010.
Heru Susetyo, “Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara
Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga”. http://imz.or.id/new/publication/45/ diakses 26 Maret 2011.
http://bazmakassar.blogspot.com diakses pada 30 April 2011. http://www.dompetdhuafa.org. diakses pada 30 April 2011. http://www.reocities.com/CapitolHill/embassy/4083/tarbiyah/konsepnegara.ht
ml. diakses pada 30 April 2011.
cdxxxvii
http://www.scribd.com/doc/16923591/Undangundang-Zakat-danDekonstruksi, diakses 8 Mei 2011.
Hukum Islam Mestinya Diadopsi, http://bataviase.co.id/node/161026, diakses
4 Mei 2011. Imam Purwadi. Negara Kesejahteraan dalam Pandangan Ketatanegaraan
Islam. http://wwwgats.blogspot.com/2009/07/negara-kesejahteraan-dalam-pandangan.html diakses pada 5 Juni 2010.
“Keadilan Hukum Atau Keadilan Sosial Yang Diperlukan Rakyat Timor-
Leste?”http://www.yayasanhak.minihub.org/direito/txt/2003/26/06_direito.html diakses pada 1 Juni 2010.
Maksun, F. “Zakat dan Keadilan Ekonomi” http://www.zisindosat.com/zakat-
dan-keadilan-ekonomi/ diakses pada 3 Maret 2010. Mantan Kepala Inspektorat Mankir”, http://www.ujungpandangekspres.
com/view.php?id=65818, diakses pada 20 Mei 2011. Masdar F. Mas'udi. "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah"
dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3. Vol. VI Th. 1995.
“Masih Terjadi Kesenjangan Antara Potensi dan Aktualisasi PengumpuIan
Zakat” Harian Pelita. 3 Maret 2009. Mawardi. “Strategi Efektifitas Peran Lembaga Zakat Di Indonesia” dalam
Jurnal Hukum Islam. Vol. IV No. 2 Desember 2005. Merza Gamal. Peran Negara dalam Ekonomi Islam. http:// www. Kabar
indonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20071 diakses pada 2 Spetember 2010.
Muhammad Joni, “Pengelolaan Zakat: Review Hukum
http://advokatmuhammadjoni.com/berita/info-hukum/145-pengelolaan-zakat-review-hukum.html diakses 6 September 2011
Mohammad Tahir Sabit Haji Mohammad, “Principles of Sustainable Development in Ibn Khaldun’s Economic Thought”, Malaysian Journal of Real Estate. Volume 5. Number 1. 2010.
Moch. Arief. “Prinsip Pengelolaan Zakat” dalam Infoz. Edisi 5 Th V Maret -
April 2010.
cdxxxviii
Mohammad Tahir Sabit Haji Mohammad. “Principles of Sustainable
Development in Ibn Khaldun’s Economic Thought”. Malaysian Journal of Real Estate. Volume 5, Number 1, 2010.
Muhammad Fuad Nasar, “Spirit Ideologis Zakat”, http://lazisgarudaindonesia
.or.id/?p=920 diakses pada 23 Pebruari 2011. Muhammad Joni, “Pengelolaan Zakat: Review Hukum”, http://
advokatmuhammadjoni.com/berita/info-hukum/145-pengelolaan-zakat-review-hukum.html diakses 6 September 2011
Muhtadi Anshor, A. “Kewajiban Zakat dan Pajak dalam Perspektif Islam”,
Jurnal Ahkam, Volume 11, No. 2, Nopember 2009. Mujahid Quraisy, “Dinamika Ilmu Ekonomi Islam dan Model Saintifikasi
Kuntowijoyo”, Jurnal Mukaddimah, Vol. XV, No. 26, Januari-Juni 2009.
Mustafa, Manusia Menurut al-Qur’an, Filsafat dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam”, http://www.pdfbest.com/18/1897a9993550f329-download.pdf diakses 4 Maret 2010
Nurcholish Madjid. “Menuju Masyarakat Madani”. Ulumul Qur’an. Nomor 2/VII/1996.
Oneng Nurul Bariyah, N. “Kontekstualisasi Total Quality Management dalam
Lembaga Pengelola Zakat untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Prinsip dan Praktik)”. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Riyadi Terre. “Keluar dari Dilema Transisi: Sebuah Pendekatan Paradigmatik
Menuju Keadilan Transisional” dalam Jurnal Dignitas. Volume 1. No. 1 Tahun 2003.
Rusdi Ali Muhammad, “Teori Gradualisme: Aplikasi Penerapan Syariáh Islam
di NAD”, http://www.ditpertais.net/swara/warta18-03.asp, diakses 4 Maret 2011.
Samil Hasan. “Islamic Concept of Social Justice: Its Possible Contribution to
Ensuring Harmony and Peaceful Coexistence in a Globalised World” Macquarie Law Journal. Vol 7. 2007.
cdxxxix
Shahrukh Rafi Khan. “Sistem Ekonomi Politik dalam Negara Islam” dalam Jurnal Millah. Vol. II. No. 1 Januari 2002.
Shiddiq al-Jawi, M. “Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat”, http://
punyahari.blogspot.com/2009/11/peran-pemerintah-dalam-pengelolaan.html diakses 20 Pebruari 2011.
Siti Wahidah. Pendidikan Akhlak Dalam Ibadah Zakat, http://digilib.uin-
suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--sitiwahida-4351 diakses 12 Pebruari 2011.
Sofyan Lubis, M. Menggugat Kepatuhan Hukum Kita.
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=42 diakses 20 April 2011.
Steven E. Mayer. “Social Justice”. http://www.justphilanthropy.org/ resources/
Social Justice.pdf diakses 1 Juni 2010. Taufiq Rahman, M. “Teori Keadilan Sosial Sayyid Qutb” http://www
.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=112:teori-keadilan-sosial-sayyid-qutb&catid=18:seputar-ham& Itemid=16diakses pada 5 Juni 2010.
“UU Zakat Masih Mandul”, http://majalah.hidayatullah.com/?p=2313 diakses
pada 5 Mei 2011. Yulia Hafizah. “Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau dari Konsep Dasar
Ekonomi Islam” Jurnal Millah Vol. IV. No. 2. Januari 2005. Yuslam Fauzi, “Islam dan Kesejahteraan Dunia Muslim” http://www.cmm.or.i
d/ cmm-ind_more.php?id=A5248_0_3_0_M diakses pada 5 Februari 2011.
Wahyuddin Abdullah, “Sudahkah Menunaikan Zakat Perusahaan?’, Fajar,
Senin, 22 Agustus 2011. Wikipedia. Social justice. http://en.wikipedia.org/wiki/Social_justice. diakses
pada 5 Maret 2009. Zainuddin. “Constructing Appropriate Regulation to Optimize Zakat for Public
Welfare”. Makalah. disampaikan dalam International Indonesian Law Society Conference. dengan tema Rights to Justice: Exploring Legal
cdxl
Innovation towards Ideal State of Social Order. 8 December 2010. di Utrecht Belanda.
________.“Zakat: Konsumtif: Melestarikan Kemiskinan,” Harian Fajar, Kamis,
25 Agustus 2011. “Zakat Instrumen Mensejahterakan Umat” http://www.bisnis-kti.com/index.php
/2011 /08/zakat-instrumen-mensejahterakan-umat/ diakses 2 September 2011
“Zakat Makes Free!”, http://www.khalifah.co.id/sosial/enterpreneurship/1329-
zakat-makes-free diakses pada 27 Agustus 2011. Zulfahmi Bustami “Argumentasi Positifikasi Hukum Zakat di Indonesia” dalam
Jurnal Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007.