Download - Polip Nasi Fix
BAB I
PENDAHULUAN
Polip nasi merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada
membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik masa
edema lunak yang membentuk masa bertangkai dengan tangkai yang ramping
atau lebar.1 Sebagian besar polip ini berasal dari kompleks osteomeatal (KOM)
dan melebar ke rongga hidung.1,4
Prevalensi dari Penderita polip nasi masih belum diketahui secara pasti
karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemolologi serta tergantung
pada pemilihan populasi penelitian serta metode diagnostik yang digunakan.
Namun dari beberapa penelitian diketahui bahwa angka kejadian dari polip nasi
ini mencapai 1-4% dari total populasi di seluruh dunia. 2
Etiologi dari polip nasi ini sendiri masih merupakan subjek yang terus
menjadi sorotan dalam berbagai penelitian terkini. Berbagi faktor predisposisi
khusunya inflamasi kronis hidung, faktor intoleransi aspirin, asma dan riwayat
rinitis alergi.
Selain begitu banyak faktor predisposisi serta etiologinya, hal lain yang
juga menjadi sorotan terkini terkait polip hidung ini yaitu bagaimana
penanganan efektif yang dapat dilakukan. Selama ini penanganan yang
digunakan untuk polip nasi yaitu penanganan medikal dan operatif.
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan obat yang digunakan untuk
mengurangi ukuran polip dan meningkatkan patensi pernafasan melalui hidung
serta digunakan untuk mencegah kekambuhan. Kemudian pada pasien yang tidak
memberikan respon dengan terapi ini atau memiliki ukuran polip yang sangat
besar, tindakan operatif merupakan pilihan selanjutnya.2,3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. P
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Perumahan GDI, Simp. Sungai Duren
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Tanggal pemeriksaan : 8 April 2014
Anamnesis (auto)
Keluhan utama : hidung kanan dan kiri buntu sejak 1 tahun yang lalu
Anamnesis khusus :
Pasien mengeluh hidung kanan dan kiri tersumbat sejak 1 tahun yang lalu,
satu minggu ini dirasakan lebih berat pada hidung sebelah kiri. Pasien juga sering
pilek, cairan yang keluar dari hidung cair dan kadang kental dan tidak berbau.
Pasien sering bersin-bersin pada pagi hari, sebanyak 2 kali berturut-turut. Pasien
tidak pernah merasakan keluar darah dari hidungnya. Hidung tidak dirasakan
nyeri. Penciuman berkurang. Pasien juga mengeluh sakit kepala pada saat pilek.
Adanya suara sengau pada pasien.
Selain itu pasien mengeluh juga tenggorokan berlendir, telinga kiri kadang-
kadang bengap, cairan (-), nyeri telinga (-), demam tidak ada, gangguan tidur tidak
ada.
Riwayat pengobatan :
Pasien pernah membeli obat di apotik, tetapi sampai saat ini tidak ada
perubahan. Pasien juga sudah berobat ke Poli THT RSUD Raden Mattaher, pasien
diberi obat, namun pasien lupa nama obatnya. Setelah minum obat yang di berikan
oleh dokter, pileknya berkurang dan penciumannya mulai membaik
Riwayat penyakit dahulu :
2
Hipertensi (+), Diabetes Melitus (-), riwayat alergi obat dan makanan (-),
riwayat asma (-), riwayat keluarga asma (-)
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada
3
Telinga Hidung
Gatal : -/-
Korek telinga : -/-
Nyeri telinga : -/-
Bengkak : -/-
Otore : -/-
Tuli : -/-
Tinitus : -/-
Vertigo : -
Mual : -
Muntah : -
Mau jatuh : -
Rinore : +/+
Lama : +
Terus-menerus : -
Hilang timbul : +
Cair/lendir/nanah : cair
Campur darah/bau : -
Hidung buntu : +/+
Terus-menerus : -
Hilang timbul : +
Bersin : +/+
Dingin/lembab : +
Debu rumah : -
Asap rokok : -
Berbau : -/-
Mimisan : -/-
Nyeri hidung : -/-
Suara sengau : +
Tenggorok Laring
Sukar menelan : -
Sakit menelan : -
Trismus : -
Ptyalismus : -
Rasa mengganjal : -
Rasa berlendir : +
Rasa kering : -
Suara parau : -
Afonia : -
Sesak nafas -
Rasa sakit : -
Rasa mengganjal : -
Keadaan umum : baik, Kesadaran : compos mentis, TD : 170/100 mmHg, Nadi :
80x/m, Suhu badan : 36,8oC, RR : 20x/m, Anemia : -/-, Sianosis : -,
Stridor inspirasi : -, Retraksi suprasternal : -, Intercostal :-, Epigastrik :-
Pemeriksaan Fisik
4
a) Telinga
5
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop - +
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kiri Kanan
Hiperemis
Sulit dinilai
-
Retraksi -
Bulging -
Atropi -
Perforasi -
Bula -
Sekret -
Refleks Cahaya
Jam 7
Retro-aurikular dan
preauriculaKanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
b) Hidung
Rinoskopi
AnteriorKanan Kiri
Vestibulum
nasiHiperemis (-), livide (-) Hiperemis (-), livide (-)
Kavum nasiSekret (-), hiperemis (-),
Edema mukosa (-)
Sekret (-), hiperemis (-),
Edema mukosa (-)
Selaput lendir Dbn Dbn
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Lantai + dasar
hidungDbn Dbn
Konka inferiorHipertrofi (-), hiperemis (-),
livida (-)
Hipertrofi (-), hiperemis (),
livida (-)
Meatus nasi
medius-
Massa bertangkai, lunak,
warna putih keabu-abuan,
terbatas di meatus medius,
sudah keluar dari meatus
medius, tapi belum
memenuhi rongga hidung
Polip - +
Korpus alineum - -
Massa tumor - -
Fenomena
palatum mole(-) (-)
Rinoskopi
PosteriorKanan Kiri
Kavum nasi Sekret (-), hiperemis (-), Sekret (-), hiperemis (-),
6
Edema mukosa (-) Edema mukosa (-)
Selaput lendir Dbn dbn
Koana Dbn dbn
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Konka superiorHiperemis (-), livide (-),
edem (-)
Hiperemis (-), livide (-),
edem (-)
adenoid - -
Massa tumor - -
Fossa
rossenmuller- -
Transiluminasi
SinusKanan Kiri
Tidak dilakukan
c) Mulut
Hasil
Selaput lendir mulut Dbn
Bibir Sianosis (-) raghade (-)
Lidah Atropi papil (-), tumor (-)
Gigi Caries (-)
Kelenjar ludah Dbn
d) Faring
Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah
Palatum mole hiperemis (-), benjolan (-)
Palatum durum Hiperemis (-), benjolan (-)
Plika anterior Hiperemis (-)
Tonsil Dekstra : tonsil T1, hiperemis (-),
permukaan rata, kripta tidak melebar
detritus (-)
Sinistra : tonsil T1, hiperemis (-),
7
permukaan rata, kripta tidak melebar
detritus (-)
Plika posterior Hiperemis (-)
Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)
e) Laringoskopi indirect
Hasil
Pangkal lidah
Sulit dinilai
Epiglottis
Sinus piriformis
Aritenoid
Sulcus aritenoid
Corda vocalis
Massa
f) Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area
supraclaviculaDbn Dbn
g) Pemeriksaan Nervi Craniales
Kanan Kiri
8
Nervus III, IV, VI Dbn Dbn
Nervus V, VII Dbn Dbn
Nervus IX Dbn
Regio XII Dbn
I. PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
Tes Pendengaran Kanan Kiri
Tes rinne + +
Tes weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Tes schwabach Sama dg pemeriksa/N Sama dg pemeriksa/N
Kesimpulan : Fungsi Pendengaran dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi :
Foto thorax : -
Foto sinus paranasal :
- Terlihat ada penebalan mukosa dan adanya perselubungan di sinus maksila
sinistra
- Tidak ada destruksi tulang
- Tidak ada deviasi septum nasi
Foto jaringan lunak leher : -
Foto polos esophagus : -
Foto esophagus barium : -
CT-Scan : -
Laboratorium : tidak dilakukan
Hb : - - tes fungsi hati : -
Masa perdarahan : - - tes fungsi ginjal : -
Masa pembekuan : - - GDP :-
APTT : - - asam urat : -
Trombosit : - - Hitung jenis : -
9
Leukosit :- - Patologi/No/Tgl : tidak dilakukan
Diagnosis
Rhinitis vasomotor + polip nasi dextra stadium 1 at sinistra stadium 2 komplikasi sinusitis maksilaris sinistra
Diagnosis Banding
Rhinitis alergi
Tumor hidung dan sinonasal
Penatalaksanaan
Diagnostik : biopsi, tes cukit kulit
Terapi :
- Rhinitis vasomotor : dekongestan pseudoefedrin 2 x 60 mg/hari
- Polip berdasarkan stadium pada pasien ini kavum nasi kanan polip hidung
stadium 1 dan kavum nasi kiri stadium 2 bisa diberikan medikamentosa
dengan pemberian kortikosteroid, dapat mengurangi ukuran polip dan
mengurangi gejala sumbatan hidung. Diberikan kortikosteroid topikal
hidung (nasal spray) mometason, bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Kortikosteroid oral/sistemik
tidak diberikan karena pasien mempunyai riwayat hipertensi, jika diberikan
akan memperberat keadaan hipertensi pasien.
- Sinusitis : Antibiotik amoksilin 3 x 500 mg/hari
Monitoring
- Keluhan pasien : hidung tersumbat, penurunan penghidu, post nasal drip,
sakit kepala, bersin-bersin, rinore
- Ukuran polip mengecil atau menghilang, tidak ada perubahan
KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
o Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pada pasien
o Menjelaskan tentang terapi yang diberikan kepada pasien tentang manfaat,
cara, dan efek samping
o Memberitahu pasien untuk segera dating kembali ke dokter apabila tidak
ada perbaikan atau jika polip semakin membesar
10
o Memberitahu pasien jika polipnya tidak sensitive lagi diberi dengan obat-
obatan maka sebaiknya dilakukan operasi (polipektomi)
o Menganjurkan pada pasien agar menghindari faktor yang dapat memicu
terjadinya serangan, seperti menghindari minum es, atau makanan dingin
dari kulkas
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi hidung
A. Hidung luar
11
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala
nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi
anterior kartilago septum.2
B. Kavum nasi
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4
12
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.4
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os
etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os
palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan (2) kolumela.4 Bagian superior dan posterior disusun oleh
lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum
(quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior,
disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian posterior oleh
lamina sphenoidalis.6 Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula
oleh mukosa hidung. hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih
kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. 4
13
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4 Meatus
medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.4 Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum.4
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika
berasal dari a. karotis interna.4
Kompleks OsteoMeatal (KOM)
Merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka
media dan lamina papirasea.
Struktur yang membentuk KOM : proccesus unsinatus, infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal.
Fungsi : sebagai tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang
letaknya anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.
14
Gambar 3 : perdarahan cavum nasi
Perdarahan hidung
Bagian atas : a. etmoid anterior dan a. etmoid posterior (cabang dari a.
oftalmika dari a. carotis interna)
Bagian bawah : a. palatina mayor, a. sfenopalatina memasuki hidung dari
belakang ujung konka media
Bagian depan : cabang dari a. fasialis
Bagian depan septum : anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.
etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina mayor Pleksus
kiesselbach (little’s area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma sering jadi sumber epistaksis bagi anak-anak
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung : persarafan sensoris n. etmoidalis
anterior (cabang dari n. oftalmikus)
Rongga hidung lainnya : n. maksila (ganglion sfenopalatinum)
N. olfaktorius : reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
C. Fisiologi Hidung
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun
dari prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-
sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya
tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini,
maka akan terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait
15
serta perubahan pada mukosa yang menjadi salah satu predisposisi
terjadinya polip hidung.
Beberapa fungsi hidung juga antara lain :4
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik
2. Fungsi penghidu
3. Fungsi fonetik dalam resonansi suara, membantu proses bicara
4. Refleks nasal.
3.2 Polip Nasi
a. Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan
didalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun
perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak
dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau
meningoensefalokel.1,4
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis
alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang
mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan
bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.4
b. Patogenesis
Gambar 4 : Potongan Sagital hidung dan adanya polip di Meatus Medius
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetic. Menurut teori Barnstein,
terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
16
berturbulensi, terutama didaerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitealisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.1,4
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan adanya edema dan lama-kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar
menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk
tangkai.1,4
c. Makroskopi
Secara makroskopi polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,
agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila
ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke
polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat
berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya
dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.4,5
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di
meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.4,5
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring,
disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila
dan disebut juga polip antrokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang
berasal dari sinus etmoid.4,5
d. Mikroskopi
Secara mikroskopi tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet, pembuluh darah, saraf dan
kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia
17
epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik
atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.4
Berdasarkan jenis sel peradangannya, klasifikasi dari polip hidung
ini dibagi menjadi eosinophilik dan neutrophilik dominated inflammation,
tergantung dari sel inflamasi masa yang lebih dominan. Sebagian besar
pada polip hidung, eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling sering
ditemukan. Polip Eosinofilik mempunyai latar belakang alergi dan Polip
Neutrofilik biasanya disebabkan infeksi atau gabungan keduanya. 4,5
Macam Polip
Multipel, sering dijumpai, biasanya berasal dari selulae ethmoidalis
dimana bentuk sinus etmoidalis bersel-sel seperti sarang tawon
Soliter, umumnya berasal dari sinus maksilaris dimana sinus
maksilaris itu satu pada sisi kiri dan kanan yang dapat meluas lewat
ostium sinus, kebelakang sampai koana dan nasofaring yang disebut
choanal polip/ anthro choanal polip.
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat
dari yang ringan sampai yang berat, rinore dari yang jernih sampai purulen,
hipoosmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri
dihidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi
sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.4,5
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk
kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.
Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi
terhadap aspirin dan alergi obat lainya serta alergi makanan.4,6
2. Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat
yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.4
18
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997)
a. Stadium 1: polip masih terbatas dimeatus medius
b. Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, dan belum mencapai konka
inferior
c. Stadium 3: polip yang massif, memenuhi kaavum nasi dan mencapai
konka inferior
3. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi.4,7
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang
berasal dari ostium asesorius sinus maksila.
Gambar 5: Gambaran endoskopi cavum nasi kiri, menunjukkan polip pada
prosesus uncinatus. Tampak jelas polip berada di tengah, berwarna pucat dan
putih berkilau.
4. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, aldwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan
didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan
di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,
polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. CT terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa,
19
jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah
terutama bedah endoskopi.4,7,8
f. Diagnosis Banding
Rhinitis alergi
Angiofibroma
Angiofibroma adalah neoplasma vaskuler jinak yang memiliki potensi
untuk penghancuran lokal, dan ini timbul dari pterygoideus plate
Hemangioma
Lesi vaskuler jinak di rongga hidung dan sinus paranasal. Kebanyakan
muncul dari septum hidung anterior dan turbinat hidung
Papiloma inversi (Inverted papiloma)
Tumor hidung yang secara histologis jinak namun klinisnya ganas
dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh kembali,
bentuknya sangat menyerupai polip.
Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma biasanya
unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan
destruksi tulang.
g. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.4
1. Konservatif
Penatalaksanaan untuk polip yang masih kecil, dapat diobati secara
konservatif Polip tipe eosinofilik memberikan respon yang lebih baik
terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe
neutrofilik.4
Kortikosteroid ora l
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan
polip nasal adalah kortikosteroid oral seperti prednison dengan dosis 50
mg/hari atau deksametason selama 10 hari kemudian diturunkan perlahan.
Agen anti inflamasi non-spesifik ini secara signifikan mengurangi ukuran
peradangan polip dan memperbaiki gejala lain secara cepat. Tetapi masa
kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali dan munculnya gejala
yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan.3
Kortikosteroid topikal hidung atau nasal spray
20
Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid
intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Respon anti-inflamasi non-
spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah
tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot
hidung steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka
panjang dan jangka pendek seperti fluticson, mometason, beklometason
dipropionat. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin
harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam
keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral.3
Kortikosteriod sistemik
Pengunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan
metode alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip.
Berbeda dengan steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh
bagian hidung dan sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan
memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid topikal. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan dari
kortikosteroid intranasal, maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.
Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian
masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari selama
seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu. Menurut
van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk polip
dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam
beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan
tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid
tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan
kortikosteroid intrapolip seperti triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5
ml tiap 5-7 hari sekali sampai hilang, sekarang tidak dianjurkan lagi
mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli.3,8,9
Antibioti k
Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat
timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah
perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama
21
pembedahan. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga
antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis
sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.6
Follow up
Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua
kali setahun.
Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow
up yang lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima
kortikosteroid oral dosis tinggi atau menggunakan semprot hidung
steroid topikal dalam jangka lama.
Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi
medikamentosa gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan
sinus berulang yang memerlukan perawatan dengan berbagai
antibiotik.4,6
2. Operatif
Bila polip sudah besar atau polip tidak membaik dengan terapi
medikamentosa serta polip yang sangat massif dipertimbangkan untuk
terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan
senar polip atau cunam dengan analgesi local, etmoidektomi intra nasal
atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell_Luc
untuk sinus maksila. Yang terbaik adalah apabila tersedia fasilitas
endoskopi maka dapat dilakukan fasilitas endoskopi maka dapat dilakukan
tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).4,7,10
Indikasi Operasi7,10
Polip menghalangi saluran nafas.
Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi
infeksisinus.
Polip berhubungan dengan tumor.
Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang
gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Kontraindikasi Operasi10
Absolut- penyakit jantung dan penyakit paru
Relatif- gangguan pendarahan, anemia, infeksi akut yang berat
(eksaserbasi asma akut)
22
Bagan 1. Penatalaksaan polip nasi12
23
Stadium 2 dan 3 terapi operaratif
Polip rekuren : Cari faktor penyebab, steroid topical, steroid oral tidak lebih 3-4 x/tahun, kaustik, operasi ulang
Perbaikan : polip mengecil
Tindak lanjut dengan kortikosteroid topikal pemeriksaan berkala sebaiknya dengan nasoendoskopi
Perbaikan : polip menghilang
Perbaikan : polip mengecil
Tidak ada perbaikan
Terapi operatif
1. Kortikosteroid topical2. Polipektomi medikamentosa
Deksametason 12 mg (3 hr) 8 mg (3 hr) 4 mg (3 hr)
Methylprednisolone 64 mg 10 mg (10 hr) Prednisone 1 mg/kgbb (10 hari)
Persiapan pra bedah
Keterangan stadium polip 1. Polip dalam MM (NE)2. Polip keluar dari MM,
namun belum memenuhi kavum nasi
3. Polip memenuhi kavum nasi
Stadium 1 dan terapi medikamentosa
Biopsy , tatalaksana disesuaikanJika mungkin : biopsy untuk menentukan tipe polip dan lakukan polipektomi
Curiga keganasan : permukaan berbenjol, mudah berdarah
Massa bertangkai warna putih keabu-abuan : polip nasi, tentukan stadium
Keluhan sumbatan hidung dengan 1/> gejala
h. Komplikasi
Intranasal
o Sinusitis berulang
o Sinusitis kronis
o Acquired deformitas hidung
Orbital
o Proptosis
o Diplopia
Intrakranial
o Meningitis
o Encephalitis 11
i. Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip
hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi.
Akan tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian
kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif
merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi,
bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus,
pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali,
serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting
dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan
dengan intranasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka
kekambuhan polip hidung.3
Pencegahan
1. Mengatur alergi dan asma. Mengikuti pengobatan dokter rekomendasi untuk
mengelola asma dan alergi. Jika gejala tidak mudah dan secara teratur di
bawah kendali, konsultasi dengan dokter Anda tentang perubahan rencana
pengobatan Anda.
2. Hindari iritasi. Sebisa mungkin, hindari hal-hal yang mungkin untuk
memberikan kontribusi untuk peradangan atau iritasi sinus Anda, seperti
alergen, polusi udara dan bahan kimia.
24
3. Hidup bersih yang baik. Cuci tangan Anda secara teratur dan menyeluruh.
Ini adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi terhadap infeksi bakteri
dan virus yang dapat menyebabkan peradangan pada hidung dan sinus.
4. Melembabkan rumah Anda. Gunakan pelembab ruangan jika Anda memiliki
udara kering di rumah Anda. Hal ini dapat membantu meningkatkan aliran
lendir dari sinus Anda dan dapat membantu mencegah sumbatan dan
peradangan.
25
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien Tn.P usia 45 tahun datang ke Poli THT Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Jambi pada tanggal 8 april 2014 dengan keluhan utama
hidung kiri dan kanan buntu sejak 1 tahun yang lalu. Pasien didiagnosis dengan
polip hidung.
Diagnosis tersebut didapat dari anamnesis bahwa Pasien mengeluh hidung
kanan dan kiri tersumbat sejak 1 tahun yang lalu, satu minggu ini dirasakan lebih
berat pada hidung sebelah kiri. Pasien juga sering pilek, cairan yang keluar dari
hidung cair dan kadang kental dan tidak berbau. Pasien sering bersin-bersin pada
pagi hari, sebanyak 2 kali berturut-turut. Hidung tidak dirasakan nyeri. Penciuman
berkurang. Pasien juga mengeluh sakit kepala pada saat pilek. Adanya suara
sengau pada pasien. Pasien tidak pernah merasakan keluar darah dari hidungnya,
dalam hal ini menyingkirkan diagnosis banding tumor hidung dan sinonasal baik
tumor jinak epithelial dan non-epitelial maupun tumor ganas epithelial dan non-
epitelial.
Selain itu pasien mengeluh juga tenggorokan berlendir, ini menandakan
adanya ingus jatuh di tenggorokan (post nasal drip), telinga kiri kadang-kadang
bengap, cairan (-), nyeri telinga (-), demam tidak ada, gangguan tidur tidak ada.
Diagnosis yang ditegakkan juga didukung dari hasil pemeriksaan fisik,
yaitu pada inspeksi permukaan hidung tidak ada kelainan, pada palpasi hidung
tidak ada deformitas dan pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior nares sinistra dan dextra, kavum nasi sinistra terlihat massa dengan
permukaan licin, bentuk lonjong, berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan sudah keluar dari meatus medius, tapi belum memenuhi rongga hidung dan
ditekan tidak sakit, sekret (-), hiperemis (-), deviasi septum nasi (-), kavum nasi
dextra juga terlihat massa dengan permukaan licin, bentuk lonjong, berwarna
pucat yang berasal dari meatus medius dan belum keluar dari meatus medius,
sekret (-), hiperemis (-), deviasi septum nasi (-).
Pasien sudah melakukan pemeriksaan penunjang radiologi, yaitu foto sinus
paranasal, dari hasil pemeriksaan terlihat ada penebalan mukosa sinus maksila
dan adanya perselubungan pada sinus maksila, tidak ada destruksi tulang, tidak
ada deviasi septum, dari hasil pemeriksaan radiologi ini pasien sudah mengalami
26
komplikasi polip hidung yaitu sinusitis di sinus maksila. Pemeriksaan
laboratorium tidak dilakukan.
Menurut stadiumnya pada kavum nasi kanan polip hidung stadium 1 dan
pada kavum nasi kiri polip hidung stadium 2, maka pada pasien ini diberikan
terapi dekongestan pseudoefedrin 2 x 60 mg/hari untuk mengatasi gejala rhinitis
vasomotornya yaitu bersin-bersin, rinore, kortikosteroid topikal, untuk
mengurangi keluhan yaitu hidung buntu dan obat ini juga bisa mengurangi ukuran
polip. Pada pasien ini tidak diberikan kortikosteroid oral yang bekerja secara
sistemik dikarenakan pasien mempunyai riwayat hipertensi, sehingga hanya
diberikan yang topical (nasal sparay) mometason, pada pasien ini dibeikan juga
antibiotic amoksilin untuk sinusitisnya. Pasien juga disarankan untuk melakukan
terapi operatif untuk polip pada kavum nasi kiri apabila tidak ada respon dengan
terapi medikamentosa yang diberikan, karena sudah terjadi komplikasi sinusitis di
sinus maksila kiri akibat terganggunya drainase pada sinus.
27
BAB V
KESIMPULAN
Polip hidung merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, bewarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Penyebab pasti dari polip ini sendiri masih belum bisa dijelaskan secara
pasti, namun diduga adanya inflamasi kronis menjadi faktor penyebab utamanya.
Berbagai kondisi yang berhubungan dengan terbentuknya polip hidung ini
antara lain yaitu riwayat alergi, inflamasi kronik, ketidakseimbangan vasomotor.
Pada pasien dengan polip hidung ditemukan keluhan-keluhan berupa hidung
tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala sekunder
seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan
gangguan aktifitas.
Dari rinoskopi anterior ditemukan adanya masa berwarna pucat pucat
bertangakai yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Kemudian
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos, CT scan serta endoskopi
untuk menegakkan diagnosa.
Penatalaksanaan pada polip hidung ini dapat konservatif dengan obat-
obatan (medikamentosa) dan dengan tindakan operatif.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc Thai.
2005 : 88 (12) :1966-72
2. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4)
: 72-75
3. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps. Current
Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 : 27-36
4. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi VI cetakan 1. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2007
5. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi ke-VI. Penerbit Buku Kedokteran, EGC 1989
6. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
7. Stammberger H. Functional Endoscopic Sinus Surgery, Philadelphia: BC Decker;
1991.
8. Naclerio RM, Mackay IS. Guidelines for the Management of Nasal Polyposis. In:
Mygind N, Lildholt T. Nasal Polypsis: An Inflammatory Disease and Its Treatment.
Copenhagen : Munksgaard; 1997: 177-80.
9. Mygind N, Lildholt T. Medical Management. In: Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein
JM, Tos Meds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence:
Oceanside Publication :1977: 147-55.
10. Lund VJ. Surgical Treatment – Nasal Polyps: In Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein
JM, Tos Meds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence:
Oceanside Publication:1977: 157-63.
11. Waitzman, Ariel A. Polip nasi. 2014. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/994550 diakses : 12 April 2014
12. Perhimpunan dokter spesialis THT-KL I ndonesia. Guidline Penyakit THT-KL di
Indonesia. 2007. Hal 25
29